Upload
vodang
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cendana (Santalum album L.) merupakan tumbuhan endemik/asli dari
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan terkenal sebagai komoditi yang mahal
dan mewah. Cendana di NTT merupakan jenis cendana yang terbaik di dunia yang
menghasilkan minyak cendana dengan kadar santalol yang tinggi dibandingkan
jenis cendana yang terdapat di negara penghasil cendana lainnya seperti Australia,
India, Selandia Baru dan Fiji (Agusta & Jamal 2000). Kebutuhan minyak cendana
dunia sekitar 200 ton per tahun. Mayoritas kebutuhan tersebut disuplai dari India
(50%). Indonesia, Australia, Kaledonia Baru dan Fiji menyuplai sekitar 20 ton,
sehingga masih kekurangan sekitar 80 ton per tahun. Minyak cendana banyak
diekspor ke Eropa, Amerika, China, Hongkong, Korea, Taiwan dan Jepang
(Dephut 2009). Dengan demikian, cendana memiliki nilai ekonomi yang
kompetitif baik di dalam maupun di luar negeri.
Cendana pernah memberikan kontribusi bagi perekonomian khususnya
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi NTT. Kontribusi cendana terhadap PAD
tahun 1990-1997 berkisar 14 - 37%. Rata-rata kontribusi cendana terhadap PAD
Propinsi NTT sebesar 22.61% atau sebesar Rp4 071 925 588.00 (BanoEt 2000).
Tahun 2000 terjadi perubahan drastis di mana cendana tidak memberikan
kontribusi terhadap PAD atau 0% (Darmokusumo et al. 2000). Penyebab
penurunan produksi cendana adalah kebijakan pengelolaan cendana melalui
berbagai peraturan daerah (Perda). Penyebab utama penurunan produksi cendana
di NTT adalah kesalahan pengelolaan pada masa lalu yang mengutamakan aspek
ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian (ekologi) dan aspek sosial
(Butar-butar & Faah 2008; Sirait 2005; Rahayu et al. 2002; Darmokusumo et al.
2000).
Pemerintah melakukan eksploitasi cendana di NTT sejak tahun 1969–1999
yang diikuti dengan berbagai peraturan daerah tentang cendana. Umumnya isi dari
peraturan-peraturan daerah yaitu tentang fee, pajak, sangsi-sangsi bagi masyarakat
yang mengganggu tanaman cendana di lapangan dan penguasaan pemerintah
terhadap cendana yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan negara.
2
Peraturan yang sangat merugikan bagi masyarakat dan membuat masyarakat
trauma atau apatis terhadap cendana sampai sekarang adalah Perda Propinsi NTT
No. 16 Tahun 1986 tentang Cendana yang menyatakan bahwa cendana yang
tumbuh secara alami di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di lahan
milik dikuasai oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan Propinsi, dan untuk
pembagian hasil penjualan cendana di lahan milik tercantum 85% untuk pemda
dan 15% untuk masyarakat.
Pendapatan daerah yang berkurang, penurunan populasi dan kualitas
cendana di alam serta peraturan perundangan yang lebih tinggi menyebabkan
pemerintah Propinsi NTT mencabut Perda No. 16 Tahun 1986 melalui Perda
Propinsi No. 2 Tahun 1999 yang dikeluarkan pada tanggal 26 Maret 1999. Perda
ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 62 Tahun 1998
tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan ke daerah.
Pengelolaan cendana selanjutnya diserahkan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota masing-masing untuk menghindari kepunahan cendana di alam.
Keberadaan cendana di NTT termasuk dalam daftar tumbuhan langka dengan
kategori rawan (vulnerable) yang berarti beresiko tinggi mengalami kepunahan di
alam (IUCN 2010). Sedangkan menurut CITES cendana dimasukkan ke dalam
Appendix II (WWF Indonesia 2008).
Menindaklanjuti pencabutan perda di atas dan dalam rangka otonomi
daerah, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) yang pernah menjadi daerah
sentra produksi cendana terbesar untuk Pulau Timor, mengeluarkan Perda
Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana. Isi Perda antara lain tentang
pengakuan kepemilikan atas cendana yang berada dalam lahan milik
masyarakat/kelompok dan kebebasan masyarakat untuk menjual cendana secara
bebas dengan pembagian hasil penjualan 90% untuk masyarakat dan 10% untuk
pemerintah. Penelitian terakhir di Kabupaten TTS oleh Rahardjo dan Oematan
(2008) menunjukkan bahwa 45 responden masih memiliki tanaman cendana tetapi
sebagian masih memiliki keengganan dalam pengelolaan cendana dan
pemahaman masyarakat terhadap perubahan Perda tentang cendana masih sangat
rendah.
3
Sirait (2005) menyatakan bahwa hanya 5 responden atau 4 % dari seluruh
responden yang melakukan penanaman cendana, tidak terdapat produksi kayu
cendana pada masyarakat dan pengusaha/pengrajin tidak lagi mendapatkan
pasokan bahan baku kayu cendana secara resmi. Data BPS Kabupaten TTS (2008)
menunjukkan penurunan produksi cendana yaitu tahun 2002 sebanyak 148.39 ton
menjadi 33.5 ton pada tahun 2008. Kontribusi cendana terhadap PAD Kabupaten
TTS tahun 2003-2009 masih rendah yaitu rata-rata 0.26% atau Rp61 354
567/tahun (DPPKAD 2009). Penurunan produksi cendana menunjukkan
keberadaan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana belum
memberikan stimulus perubahan sikap dan tindakan dari masyarakat untuk
mengembangkan tanaman cendana.
Pengelolaan cendana di beberapa negara yang menjadi produsen cendana
pernah mengalami pasang surutnya produksi cendana seperti yang dialami
Kabupaten TTS atau Propinsi Nusa Tenggara Timur secara umum. Namun
pemerintah di negara lain secara cepat melakukan perubahan kebijakan dalam
pengelolaan cendana. Produksi cendana di India mulai menurun dari 4.000 ton
pada tahun 1950, 2000 ton tahun 1990 dan menjadi 1000 ton tahun 2000.
Perkiraan produksi cendana di India akan habis pada tahun 2008 (Awasthi 2007).
Khawatir kehilangan pasar global minyak cendana, Propinsi Kartanaka di India
sudah melakukan perubahan kebijakan dengan memberikan kesempatan kepada
masyarakat dan perusahaan dalam pengembangan cendana pada tahun 2001 dan
diikuti oleh Propinsi Tamilnadu pada tahun 2002. Tahun 2006, Pemerintah India
secara global melakukan kebijakan perubahan dalam bentuk Pengakuan
Kepemilikan Hutan: Scheduled Tribes and Other Tradisonal Forest Dweller Act
yaitu pengakuan kepemilikan hutan adat/masyarakat adat termasuk produk yang
berada di dalamnya untuk pemanenan, pengumpulan dan penggunaannya (FAO
2009).
Australia juga melakukan hal yang sama dalam perubahan kebijakannya
dengan memberikan peluang kepada investor/perusahaan dan masyarakat dalam
pengembangan cendana (FAO 2009; Ghose & David 2007). Pengembangan
cendana di Australia sudah dilakukan tahun 1970–1976 dalam bentuk penelitian.
Keberhasilan penanaman cendana oleh lembaga penelitian, menarik perhatian
4
sektor swasta dan masyarakat dengan membangun forest farm sandalwood dalam
luasan kecil sampai ratusan hektar.
Forest farm adalah istilah yang digunakan di Australia Utara dan Australia
Barat untuk hutan tanaman yang dikembangkan di lahan milik (Kusdamayanti
2005). Australia sudah memiliki luasan 830 ha pada tahun 2001 cendana, dan
akan ditingkatkan menjadi 2.300 ha pada tahun 2011 (Awasthi 2007). Saat ini,
India sudah mengimpor cendana dari Australia untuk pemenuhan kebutuhan
industri minyak cendana. Target pemerintah Australia adalah menjadi produsen
cendana terbesar di dunia untuk masa akan datang. Hal yang sama juga dilakukan
di negara produsen lain seperti New Kaledonia, Fiji, Tonga, Vanuatu dan
Queensland, saat ini sedang menggalakan pengembangan cendana (Robson 2004).
Perumusan Masalah
Analisis kebijakan adalah suatu analisis yang menghasilkan dan
menyajikan informasi sehingga dapat memberikan landasan dari para pembuat
kebijakan dalam membuat keputusan (Dunn 2004). Perumusan masalah dilakukan
melalui empat fase yaitu pencarian masalah (problem search), pendefinisian
masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem specification) dan
pengenalan masalah (problem sensing).
Kebijakan pemerintah Kabupaten TTS mengeluarkan Perda No. 25 Tahun
2001 tentang cendana terbukti belum menjawab permasalahan yang terjadi di
lapangan karena perda tersebut sekedar menindaklanjuti peraturan sebelumnya.
Permasalahan pengelolaan cendana yang mementingkan aspek ekonomi tanpa
melibatkan masyarakat/lembaga adat yang sudah ada sebelumnya (aspek sosial)
menyebabkan berkurangnya populasi cendana di alam (aspek ekologis).
999Pengakuan secara hukum atas hak kepemilikan dan penjualan atas cendana di
lahan milik yang tercantum dalam Perda No. 25 Tahun 2001, terbukti belum dapat
merubah sikap dan perilaku masyarakat di Kabupaten TTS untuk
mengembangkan cendana. Tingkat keberhasilan pengelolaan cendana yang rendah
di Kabupaten TTS disebabkan kurangnya sosialisasi dan implementasi perubahan
Perda tentang cendana (Rahardjo & Faah 2008; Harisetijono 2003; Rahayu et al.
2002) dan belum efektifnya Perda No. 25 Tahun 2001 sebagai dasar hukum dalam
pengelolaan cendana (Sirait 2005).
5
Kebijakan yang tepat dan efektif adalah kebijakan yang dapat merubah
perilaku/respon masyarakat. Kebijakan yang efektif memerlukan pengkajian yang
dalam tentang masalah yang terjadi di lapangan, informasi yang lengkap tentang
karakteristik SDA dan pengetahuan yang relevan. Lebih lanjut dikatakan bahwa
efektifitas implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan
dirumuskan atas dasar masalah yang tepat serta terdapat kemampuan menjalankan
solusinya di lapangan (Dunn 2004).
Permasalahan tersebut di atas disebabkan belum berubahnya orientasi/arah
kebijakan pemda yang memandang pengelolaan cendana hanya dari sisi fisik kayu
belum memperhatikan subyek yang diatur yaitu swasta, individu, kelompok
masyarakat, dan lingkungan, serta peraturan perundangan masih menjadi
instrumen yang dominan bahkan tunggal. Kedua hal ini terjadi akibat adanya
narasi kebijakan dan diskursus yang menjadi kebijakan konvensional politik dan
tidak sejalan dengan masalah yang terjadi di lapangan (Kartodihardjo 2006b).
Pembangunan suatu daerah akan menimbulkan suatu permasalahan jika
hasil pembangunan yang dicapai tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan yang
diharapkan. Kerusakan sumberdaya alam di beberapa negara disebabkan belum
berubahnya orientasi atau arah kebijakan secara mendasar yaitu pengelolaan
sumberdaya alam secara komprehensif serta aturan main dan instrumen dalam
kelembagaan belum diikuti dengan pembaharuan landasan filosofi dan kerangka
pikir berdasarkan karakteristik sumber daya alam (Diamond 2005 dalam
Kartodihardjo 2006b).
Pola pengelolaan sumberdaya alam yang lestari harus menempatkan
sumberdaya tersebut sebagai subjek dan obyek pembangunan regional maupun
nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pembangunan di suatu daerah
merupakan suatu optimasi pemanfaatan sumberdaya alam yang ada untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa menimbulkan kerusakan
sumberdaya alam tersebut sehingga dapat dinikmati generasi sekarang dan yang
akan datang.
6
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan pokok yang perlu dijawab dalam
penelitian ini adalah :
a. Sejauhmana tingkat pemahaman masyarakat terhadap perubahan Perda
tentang cendana dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh di masyarakat
dalam pengelolaan cendana,
b. Apa dan bagaimana proses pembuatan dan pencabutan Perda Provinsi NTT
No. 16 Tahun 1986 tentang cendana serta proses pembuatan Perda Kabupaten
TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana, dan
c. Apa dan bagaimana kebijakan yang mampu mengatasi permasalahan
pengelolaan cendana di Kabupaten TTS.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah melakukan verifikasi faktor penyebab
permasalahan pengelolaan cendana dan mengetahui proses pembuatan kebijakan
yang mengatur pengelolaan cendana di Kabupaten TTS. Untuk mencapai tujuan
dimaksud, diperlukan beberapa kajian sebagai berikut:
1. Melakukan verifikasi terhadap penyebab permasalahan cendana yaitu:
a. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap perubahan Perda
tentang cendana.
b. Keterlibatan masyarakat dan lembaga adat dalam perencanaan, perumusan
dan pelaksanaan kebijakan tentang cendana.
c. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepemilikan cendana dan
perilaku ekonomi rumahtangga dalam pengelolaan cendana.
2. Mengetahui proses pembuatan dan pencabutan Perda Provinsi NTT No. 16
Tahun 1986 tentang cendana serta proses pembuatan Perda Kabupaten TTS
No. 25 Tahun 2001 tentang cendana.
3. Membuat rekomendasi kebijakan untuk mengatasi pengelolaan cendana di
Kabupaten TTS dalam rangka mencapai pengelolaan cendana yang lestari.
7
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna:
1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah khususnya
Pemerintah Daerah Kabupaten TTS dan Kabupaten lainnya di Propinsi
NTT, dalam penyempurnaan aturan /kebijakan pengelolaan cendana yang
lestari pada masa datang.
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi masyarakat dan
swasta/dunia usaha/stakeholder yang tertarik dalam pengelolaan cendana
secara lestari.
3. Memberikan kontribusi pemikiran ilmiah dalam pengembangan ilmu
pengetahuan tentang pengelolaan cendana yang lestari.
4. Untuk mengembalikan identitas Propinsi NTT sebagai penghasil cendana
(pulau cendana) dan dalam rangka mempertahankan keragaman jenis
hayati (biodiversity) di dunia.
Kerangka Pemikiran
Kebijakan pengelolaan cendana di Kabupaten TTS melalui Perda No. 25
Tahun 2001 sampai sekarang belum menunjukkan adanya peningkatan
pertumbuhan cendana baik di lahan milik maupun di kawasan hutan negara.
Kebijakan sebelumnya (Perda Propinsi No. 16 Tahun 1986) yang lebih
mementingkan aspek ekonomi dari cendana terhadap PAD yang tidak melibatkan
masyarakat/lembaga adat dalam pengelolaan cendana berdampak pada
menurunnya keberadaan populasi cendana di alam. Pengembangan cendana juga
masih terkendala dengan sikap masyarakat yang sampai sekarang masih trauma
dan apatis terhadap cendana.
Penurunan cendana baik kuantitas dan kualitas menyebabkan beberapa
industri kerajinan dan pabrik penyulingan minyak cendana di Propinsi NTT
mengalami kekurangan bahan baku. Beberapa industri dan kerajinan cendana saat
ini sudah tidak berproduksi disebabkan kekurangan cendana sebagai bahan baku
utama. Sebaliknya, keberadaan industri kerajinan dan pabrik penyulingan minyak
secara tidak langsung dapat memberikan masukan terhadap PAD, lapangan usaha
8
dan tambahan pendapatan bagi masyarakat. Data tentang besarnya pendapatan
dari usaha tersebut belum diketahui secara langsung.
Berbagai permasalahan dalam pengelolaan cendana perlu diketahui dengan
melakukan identifikasi masalah-masalah yang menjadi kendala dalam
pengembangan cendana di Kabupaten TTS pasca dikeluarkannya Perda No. 25
Tahun 2001 tentang cendana. Kajian beberapa literatur menyatakan bahwa
permasalahan cendana disebabkan kurangnya sosialisasi dan implementasi
perubahan perda tentang cendana (Butar-Butar & Faah 2008; Harisetijono 2003;
Rahayu dkk. 2002) dan belum efektifnya Perda No. 25 Tahun 2001 sebagai dasar
hukum dalam pengelolaan cendana (Sirait 2005).
Analisis kebijakan secara kuantitatif dilakukan melalui analisis di tingkat
rumahtangga petani untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi, budaya dan
kebijakan yang mempengaruhi masyarakat memiliki dan tidak memiliki cendana
serta perilaku ekonomi rumahtangga petani yang memiliki cendana.
Rumahtangga petani (Farm Household) adalah satu unit kelembagaan yang
setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan waktu,
tenaga kerja dan reproduksi. Pola perilaku rumahtangga dalam aktivitasnya dapat
bersifat subsisten, semi-komersial sampai berorientasi pasar. Sesuai prinsip
ekonomi, rumahtangga petani dalam mengalokasikan sumberdaya umumnya
bertindak rasional, mengkonsumsi barang dan jasa untuk memaksimumkan
utilitas, serta sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan, seperti
layaknya sebuah perusahaan dalam skala besar (Purwita 2009).
Analisis kebijakan secara kualitatif dilakukan dengan pendekatan proses
pembuatan kebijakan dengan mengkaji bagaimana proses pembuatan kebijakan
seperti yang dikembangkan Institute of Development Studies (IDS): proses
non_linier untuk melihat bagaimana narasi/diskursus, aktor dan kepentingan-
kepentingan oleh orang atau kelompok tertentu (IDS 2006). Pendekatan tersebut
menyakini bahwa penetapan masalah serta solusi tertentu seringkali melibatkan
berbagai kepentingan, kerangka pikir dan aktor/jaringan. Pemahaman tentang
bagaimana proses pembuatan dan implementasi kebijakan berlangsung, setiap
pihak diharapkan dapat menjalankan suatu agenda untuk melakukan intervensi
yang sesuai. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemisahan antara masukan yang
9
berdasarkan pandangan keilmuan dengan ide yang didasarkan kepentingan politik
(Lackey 2007 dalam Kartodihardjo 2008). Untuk melihat hubungan proses
pembuatan dan implementasi suatu kebijakan dan mengetahui di mana upaya
memperbaiki suatu kebijakan dalam penelitian ini akan mengacu pada konsep
yang dikembangkan Baginski dan Soussan (2002) pada Gambar 1.
Pengkajian kebijakan pengelolaan cendana di Kabupaten TTS dilakukan
dengan pendekatan proses pembuatan kebijakan dan implementasinya serta
didukung dengan analisis faktor-faktor sosial ekonomi dan budaya rumahtangga
petani untuk mendapatkan faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan dalam
rangka pembaharuan kebijakan pengelolaan cendana di masa depan. Dengan
demikian diharapkan dapat diperoleh alternatif kebijakan pengelolaan cendana
yang optimal dan lestari di Kabupaten TTS.
Kerangka pemikiran penelitian dapat digambarkan seperti pada Gambar 2:
10
Aspek Ekonomi Aspek Sosial Aspek Ekologi
Identifikasi Masalah
Kebijakan
Populasi cendana menurun:
Kurang bahan baku industri
kerajinan & pabrik
penyulingan minyak
cendana
PAD
Lapangan usaha
Pendapatan
masyarakat
Analisis
Kebijakan
Faktor Kepemilikan
Cendana dan Perilaku
Ekonomi RT Petani
Proses Pembuatan
dan Implementasi
Kebijakan
Rekomendasi masalah
kebijakan
Pengelolaan
cendana yang
lestari
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
Kebijakan Pengelolaan Cendana
(Perda Propinsi No.16 Thn 1986 dan
Perda Kabupaten TTS No. 25 Thn
2001
Trauma & peran
masyarakat/adat
Nilai2 budaya
1. Diskursus/narasi, Aktor
dan Kepentingan
2. Faktor-faktor Yang
Berpengaruh
11