Upload
lynguyet
View
277
Download
23
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
PENDEKATAN PERENCANAAN TATA RUANGWILAYAH DI KOTA DENPASAR
ARYA BAGUS MAHADWIJATI WIJAATMAJA
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
TESIS
PENDEKATAN PERENCANAAN TATA RUANGWILAYAH DI KOTA DENPASAR
ARYA BAGUS MAHADWIJATI WIJAATMAJANIM. 0891861011
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ARSITEKTUR
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
ii
PENDEKATAN PERENCANAAN TATA RUANGWILAYAH DI KOTA DENPASAR
Tesis untuk memperoleh Gelar MagisterPada Program Magister Program Studi Arsitektur
Program Pascasarjana Universitas Udayana
ARYA BAGUS MAHADWIJATI WIJAATMAJANIM. 0891861011
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ARSITEKTUR
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
iii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 30 Maret 2015
Pembimbing I, Pembimbing II,
Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., Ph.D.
NIP. 19691018 199412 2 001
Dr. Ir. Widiastuti, MT.
NIP. 19681120 199503 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister ArsitekturProgram PascasarjanaUniversitas Udayana,
Ayu Made Suartika, S.T., MEng.Sc. Ph. D.NIP. 19691018 199412 2 001
DirekturProgram PascasarjanaUniversitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S(K).NIP. 19590215 198510 2 001
iv
Lembar Penetapan Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai pada
Tanggal 29 Januari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor 351/UN 14.4/HK/2015
Tanggal 26 Januari 2015
Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah:
Ketua : Dr. Gusti Ayu Made Suartika, S.T., MEng.Sc.
Anggota :
1. Dr. Ir. Widiastuti, MT.
2. Dr. Ir. Ida Ayu Armeli, M.Si.
3. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP.
4. Ni Ketut Pande Jayanti, ST., M.Eng.Sc., PhD
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Arya Bagus Mahadwijati Wijaatmaja
NIM : 089 186 1011
Program Studi : Program Magister Arsitektur
Judul Tesis : Pendekatan Perencanaan Tata Ruang Wilayah di Kota
Denpasar
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas
dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Denpasar, 30 Maret 2015
Yang Membuat Pernyataan,
Arya Bagus Mahadwijati Wijaatmaja
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan tuntunan-Nya, sehingga tesis
ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Gusti Ayu Made Suartika, S.T.,
MEng.Sc., Ph. D. selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah
memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti
program magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang
sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Widiastuti, MT. selaku
pembimbing II, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan
bimbingan kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S
(K) selaku Ketua Program Pasca Sarjana atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program Magister
di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga disampaikan kepada Gusti
Ayu Made Suartika, S.T., MEng.Sc., Ph. D selaku Ketua Program Studi Magister
Arsitektur yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian
tesis ini.
Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di
Program Studi Magister Arsitektur Program Pasacasarjana Universitas Udayana
vii
yang telah memberikan ilmu kepada penulis, bapak dan Ibu seluruh staf dan
karyawan di Sekretariat Program Studi Magister Arsitektur yang telah membantu
penulis dalam proses administrasi.
Terima kasih juga penulis tujukan kepada Ayah tercinta Dr. Gede
Marhaendra Wija Atmaja, SH., M. Hum., dan Ibu tercinta Dra. Ida Ayu Komang
Arniati, M. Ag., yang selalu sabar dan tetap memberikan semangat selama proses
penyusunan ini. Terimakasih kepada adik-adik tercinta, Arya Ngurah
Mahadyatmika Wijaatmaja, ST., dan Arya Ngurah Mahaiswara Wijaatmaja, S.
Kom., yang selalu sabar dan tetap memberikan semangat selama proses
penyusunan tesis ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan yang diberikan kepada penulis
hingga penyelesaian tesis ini.
Denpasar, Maret 2015
Penulis
viii
ABSTRAK
PENDEKATAN PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAHDI KOTA DENPASAR
Aktivitas perencanaan kota mempunyai peran penting dalam membentuklingkungan perkotaan dan juga gaya hidup bagi masyarakat pada lingkungantersebut. Perencanaan kota pada awalnya muncul sebagai respon terhadap kotaindustri modern, yang menghasilkan urbanisasi yang pesat pada abad XIX,terutama di Eropa dan Amerika Utara. Ada sebuah kepercayaan bahwa masalahsosial bisa diselesaikan dengan cara mendesain ulang kota.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses perencanaantata ruang wilayah di Kota Denpasar, pihak-pihak dan kepentingan yangberpengaruh serta pendekatan dalam perencanaan tata ruang wilayah di KotaDenpasar. Dengan pendekatan kualitatif penelitian memfokuskan kajiannya pada:para aktor kebijakan, jaringan kebijakan dan pendekatan perencanaan. Datadiperoleh dengan studi dokumen dan wawancara.
Perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar dilakukan melaluibeberapa tahapan yaitu: Evaluasi RTRW Kota Denpasar 2009-2029; PembahasanLaporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar;Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar; Pembahasan Materi RanperdaRTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD Kota Denpasar Sinkronisasidan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasardengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar;Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Balidalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar;Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi RanperdaKota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri Pekerjaan Umum;Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW KotaDenpasar 2010-2030 oleh menteri Pekerjaan Umum; serta Persetujuan PenetapanRanperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.
Para pihak yang terlibat dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar 2011-2031 adalah Bappeda Kota Denpasar, Seluruh Kepala Desa dan Lurah se KotaDenpasar, DPRD Kota Denpasar, Asosiasi Profesi, Bappeda Kabupaten Badungdan Bappeda Kabupaten Gianyar, Bappeda Provinsi Bali, Dinas Pekerjaan UmumProvinsi Bali, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Dinas Kelautan danPerikanan Provinsi Bali, Gubernur Bali, serta Menteri Pekerjaan Umum.
Berdasarkan lima uraian mengenai perbandingan perencanaan, yaitu:karakteristik perencanaan, peran negara, tujuan perencanaan, ruang lingkupperencanaan dan metode perencanaan, maka pendekatan yang diterapkan dalamperencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar adalah pendekatan rasionalkomprehensif.
Kata kunci: perencanaan kota, tata ruang wilayah, Kota Denpasar
ix
ABSTRACT
APPROACH TO REGIONAL SPATIAL PLANNINGIN DENPASAR CITY
Activity of the planning of a city has a important role both in forming cityenvironment and society’s life style in it. At first, the planning of city emerged asa response toward modern industry city which results fast urbanization in XIXcentury especially in Europe and North America. There is a belief that socialissues can be overcome by redesigning the city.
This research aims at knowing the process of regional layout planning inDenpasar city, the parties and the importance that influence it, and the approach inregional layout planning in Denpasar city as well. Through qualitative approach,the research focuses its concern on: the policy actors, policy network and planningapproach. Data obtained through document study and interview.
The planning of territory layout of Denpasar city is conducted throughseveral stages namely: RTRW (Planning of Territory Layout) Evaluation ofDenpasar city in 2009-2029; Discussion of Structured Database ArrangementReport and RTRW (Planning of Territory Layout)of Denpasar city; the RTRW(Planning of Territory Layout) of Technical Material Arrangement of Denpasarcity; the RTRW of Ranperda (Design of Regional Rule) Material discussion ofDenpasar city in Special Committee I of Denpasar Regional People’sRepresentative Council (DPRD); Technical Substance Synchronization andHarmonization of Denpasar RTRW (Planning of Territory Layout) with theRTRW (Planning of Territory Layout) of Badung and Gianyar regency;Coordination of BKPRD layout planning Work Group of Bali province inRanperda (Design of Regional Rule) discussion of Denpasar city about Denpasarcity RTRW (Planning of Territory Layout); The Recommendation of Bali’sGovernor about Ranperda (Design of Regional Rule) Substance AgreementGiving of Denpasar city about RTRW (Planning of Territory Layout) in Denpasarcity to the Ministry of Public Occupation; The Substance Agreement towardRanperda (Design of Regional Rule) of Denpasar city about RTRW (Planning ofTerritory Layout) of Denpasar city in 2010-2030 by the Ministry of PublicOccupation; and The Agreement of Ranperda (Design of Regional Rule)determination to be the Regional Rule (Perda) of Denpasar city about RTRW(Planning of Territory Layout) in Denpasar.
All the parties involved in RTRW (Planning of Territory Layout)agreement of Denpasar city in 2011-2031 are Bappeda (Department of RegionalPlanning and Developing) of Denpasar city, all village chiefs of Denpasar city,DPRD (Regional People’s Representative Council) of Denpasar city, ProfessionAssociation, Bappeda (Department of Regional Planning and Developing) ofBadung and Gianyar regency, Bappeda (Department of Regional Planning andDeveloping) of Bali province, Department of Public Occupation of Bali Province,Department of Ecology of Bali province, Department of Ocean and Fishery ofBali province, Bali Governor, along with the Ministry of Public Occupation.
x
Based on 5 explanations about planning comparative such as planningcharacteristic, country role, planning purpose, planning range space, and planningmethod, thus the approach applied in the planning of Denpasar city territorylayout is Comprehensive Rational Approach.
Keywords: urban planning, regional spatial planning, Denpasar City
xi
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai pendekatan perencanaan tata ruangwilayah di Kota Denpasar yang diwujudkan dengan Peraturan Daerah KotaDenpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar Tahun 2011-2031. Penulisan tesis ini terdiri dari 5 bab, dimana masing-masing bab membahaspokok bahasan yang berbeda, guna memahami pembahasan dan penyelesaianakan rumusan masalah yang dibahas dalam penulisan tesis ini.
Bab I menguraikan mengenai latar belakang masalah yang berawal dariadanya kesenjangan antara perencanaan kota yang ideal sebagai aktivitas teknisyang rasional dan netral dengan praktek perencanaan kota secara empiris sebagaifungsi negara yang diformulasikan melalui proses politik dan kebijakan publik.
Bab II menguraikan mengenai landasan teori dan konsep perencanaankota, perencanaan tata ruang wilayah kota dan pendekatan perencanaan kota.Penguraian tersebut merupakan landasan untuk memahami dan menganalisispokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan pada Bab I.
Bab III menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan untukmengumpulkan dan menganalisis data untuk menjawab permasalaham yang telahdiuraikan pada Bab I. Bab ini diuraikan dalam beberapa pokok bahasan, antaralain: rancangan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumenpenelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik penyajianhasil analisis data.
Bab IV merupakan pembahasan untuk menjawab permasalahan yangtertulis pada Bab I. pada bab ini dibahas mengenai proses penyusunan Perda No.27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031, pihak-pihak dankepentingan yang berpengaruh dalam penyusunan Perda No. 27 Tahun 2011tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031, dan pendekatan yang diterapkan dalamperencanaan tata ruang wilayah di Kota Denpasar serta produk kebijakan yangdihasilkan.
Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dan saran.Adapun kesimpulan dari rumusan masalah pertama, proses perencanaan meliputibeberapa tahapan yaitu: Evaluasi RTRW Kota Denpasar 2009-2029; PembahasanLaporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar;Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar; Pembahasan Materi RanperdaRTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD Kota Denpasar Sinkronisasidan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasardengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar;Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Balidalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar;Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi RanperdaKota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri Pekerjaan Umum;Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW KotaDenpasar 2010-2030 oleh menteri Pekerjaan Umum; serta Persetujuan PenetapanRanperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.Kesimpulan rumusan masalah kedua mengenai para pihak yang terlibat dalampenyusunan RTRW Kota Denpasar 2011-2031 adalah Bappeda Kota Denpasar,
xii
Seluruh Kepala Desa dan Lurah se Kota Denpasar, DPRD Kota Denpasar,Asosiasi Profesi, Bappeda Kabupaten Badung dan Bappeda Kabupaten Gianyar,Bappeda Provinsi Bali, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali, Badan LingkunganHidup Provinsi Bali, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Gubernur Bali,serta Menteri Pekerjaan Umum. Kesimpulan rumusan masalah ketiga mengenaipendekatan perencanaan yang diterapkan dalam perencanaan tata ruang wilayahKota Denpasar adalah pendekatan rasional komprehensif.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
PRASYARAT GELAR........................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA UJIAN........................................................................... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................. vi
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT........................................................................................................... ix
RINGKASAN ........................................................................................................ xi
DAFTAR ISI........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL............................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN .......................................................................................... 8
2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 8
2.2 Konsep ............................................................................................................ 11
2.2.1 Pendekatan perencanaan kota .................................................................. 11
2.2.2 Rencana tata ruang wilayah ..................................................................... 15
2.2.2.1 Tata ruang ................................................................................... 15
2.2.3.2 Rencana tata ruang wilayah ........................................................ 16
2.3 Landasan Teori................................................................................................ 20
2.3.1 Perubahan kebijakan ................................................................................ 20
2.3.2 Konfigurasi subsistem kebijakan ............................................................. 22
xiv
2.3.3 Pendekatan prosedural ............................................................................. 24
2.3.3.1 Perencanaan rasional komprehensif............................................ 24
2.3.3.2 Perencanaan inkremental ............................................................ 29
2.3.3.3 Mixed scanning ........................................................................... 32
2.3.3.4 Perencanaan advokasi ................................................................. 34
2.3.3.5 Equity planning ........................................................................... 35
2.3.3.6 Perencanaan adaptif .................................................................... 36
2.3.3.7 Perencanaan transaktif ................................................................ 37
2.3.3.8 Consensus building ..................................................................... 37
2.3.4 Pendekatan substantif............................................................................... 41
2.3.4.1 Pendekatan berdasarkan basis (pijakan) ..................................... 41
2.3.4.2 Pendekatan sistem kegiatan ........................................................ 41
2.4 Model Penelitian ............................................................................................. 42
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 44
3.1 Rancangan Penelitian ...................................................................................... 44
3.2 Lokasi Penelitian............................................................................................. 45
3.3 Jenis dan Sumber Data .................................................................................... 45
3.4 Instrumen Penelitian........................................................................................ 46
3.4.1 Pedoman wawancara................................................................................ 46
3.4.2 Daftar para pihak dan tahapan kegiatan ................................................... 47
3.4.3 Tabel perbandingan pendekatan perencanaan.......................................... 47
3.5 Teknik Pengumpulan Data.............................................................................. 48
3.6 Teknik Analisis Data....................................................................................... 48
3.7 Teknik Penyajian Data .................................................................................... 49
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 50
4.1 Proses Penyusunan RTRW Kota Denpasar Tahun 2011 -2031...................... 50
4.1.1 Rapat Evaluasi RTRW ............................................................................. 50
4.1.2 Pembahasan Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi
RTRW Kota Denpasar ............................................................................ 53
4.1.3 Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar ................................. 54
4.1.3.1 Analisis pengembangan wilayah................................................. 54
xv
4.1.3.2 Penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah ...... 56
4.1.3.3 Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota........................ 56
4.1.3.4 Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah ........................ 71
4.1.4.5 Penyusunan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang........... 72
4.1.4 Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang
Pansus I DPRD Kota Denpasar............................................................... 73
4.1.5 Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar........................................... 76
4.1.6 Rapat Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD
Provinsi Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang
RTRW Kota Denpasar ............................................................................ 77
4.1.7 Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi
Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri
Pekerjaan Umum..................................................................................... 79
4.1.8 Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar 2010-2030 oleh Menteri Pekerjaan Umum............................. 80
4.1.9 Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang
RTRW Kota Denpasar ............................................................................ 80
4.1.10 Rangkuman Proses Penyusunan RTRW Kota Denpasar ...................... 81
4.2 Para Pihak dan Kepentingan yang Berpengaruh dalam Penyusunan RTRW
Kota Denpasar....................................................................................................... 82
4.2.1 Bappeda Kota Denpasar .......................................................................... 82
4.2.2 Seluruh Kepala Desa dan Lurah se Kota Denpasar................................. 83
4.2.3 DPRD Kota Denpasar ............................................................................. 84
4.2.4 Asosiasi Profesi ....................................................................................... 84
4.2.5 Bappeda Kabupaten Badung dan Bappeda Kabupaten Gianyar ............. 85
4.2.6 Bappeda Provinsi Bali ............................................................................. 85
4.2.7 Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali..................................................... 86
4.2.8 Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali ................................................. 87
4.2.9 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali .......................................... 87
xvi
4.2.10 Gubernur Bali ........................................................................................ 88
4.2.11 Menteri Pekerjaan Umum ..................................................................... 88
4.2.12 Jaringan dan Taksonomi Kebijakan ...................................................... 88
4.3 Pendekatan yang Diterapkan dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah di Kota
Denpasar................................................................................................................ 90
4.3.1 Perubahan Kebijakan Publik .................................................................... 91
4.3.1.1 Keadaan agenda setting............................................................... 91
4.3.1.2 Arena konflik .............................................................................. 96
4.3.2 Pendekatan Perencanaan Berdasarkan Teori Perencanaan ...................... 96
4.3.2.1 Karakteristik perencanaan........................................................... 97
4.3.2.2 Peran negara dalam perencanaan tata ruang wilayah ................. 98
4.3.2.3 Tujuan perencanaan .................................................................... 98
4.3.2.4 Ruang lingkup perencanaan........................................................ 99
4.3.2.5 Metode perencanaan ................................................................. 101
BAB V SIMPULAN DAN SARAN................................................................... 105
4.1 Simpulan ................................................................................................... 105
4.2 Saran.......................................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 109
LAMPIRAN........................................................................................................ 114
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Taksonomi Policy Networks ........................................................... 22
Tabel 2.2 Taksonomi dari Komunitas Kebijakan ........................................... 23
Tabel 2.3 Taksonomi Taksonomi dari Perubahan Kebijakan ......................... 23
Tabel 2.4 Dampak Perubahan Ide dan Kepentingan pada Perubahan
Kebijakan........................................................................................ 24
Tabel 2.5 Perbandingan Pendekatan Rasional Komprehensif dengan
Pendekatan Inkremental ................................................................. 31
Tabel 2.6 Perbandingan Pendekatan Perencanaan .......................................... 39
Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian................................................... 55
Tabel 3.2 Teknik Analisis Data....................................................................... 46
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Ekonomi Politik dari Perubahan Kebijakan ...................................... 21
Gambar 2.2 Model Penelitian ............................................................................... 43
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian ............................................................................... 44
Gambar 4.1 Rencana Struktur Ruang.................................................................... 61
Gambar 4.2 Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Denpasar .................................. 64
Gambar 4.3 Skema Penetapan dan Pencapaian Target Proporsi RTHK 35% ...... 68
Gambar 4.4 Sebaran Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) ................................... 69
Gambar 4.5 Penetapan Kawasan Strategis Kota ................................................... 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara historis, kabupaten-kabupaten di Bali pada awalnya berasal dari
pusat-pusat kerajaan yang masing-masing masyarakat lokal di wilayah memiliki
adat istiadat, sistem Subak dan pemerintahan sendiri. Struktur masyarakat di tiap-
tiap kabupaten yang berbasiskan desa-desa adat mempunyai wilayah dengan
karakteristiknya sendiri yang tidak hanya menentukan pelaksanaan keagamaan,
melainkan juga persoalan sosial dan budaya.
Keadaan yang demikian bisa dilihat dari kondisi yang ada di Denpasar.
Secara geografis, Kota Denpasar mempunyai luas 12.398 km2. Tanahnya
merupakan endapan alluvial, yaitu terdiri dari endapan-endapan sungai dan
lapukan tanah vulkanik. Semenjak tahun 1958, Denpasar dijadikan sebagai pusat
pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang selanjutnya mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat tidak hanya dalam arti fisik,
namun juga secara sosial budaya. Pada periode ini Kota Denpasar diusulkan untuk
menjadi kota administratif yang bersamaan dengan pemekaran wilayah
Kecamatan Denpasar dan Kesiman. Hal ini mengingat dari jumlah penduduk Kota
Denpasar saat itu yang mencapai 150.000 jiwa, sehingga Kabupaten Badung yang
semula hanya memiliki 6 kecamatan sekarang menjadi 7 kecamatan. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1978, Kota Denpasar diubah statusnya
menjadi Kota Administratif Denpasar yang membawahi tiga kecamatan yakni:
Denpasar Barat dengan luas 50,06 km2, Denpasar Timur dengan luas 27,73 km2
2
dan Denpasar Selatan yang memiliki luas 46,19 km2. Apabila dilihat letak
strategis dengan daerah pusat kota, masing-masing kecamatan memiliki jarak
yang relatif sama ke pusat kota antara 4-5 km. Kota Denpasar terdapat 16 wilayah
kelurahan dan 27 wilayah desa. Selain itu, masih terdapat 35 desa adat dimana
desa adat ini dapat meliputi dua desa administrasi atau sebaliknya yang meliputi
dua desa adat. Dengan demikian Kota Denpasar berperan sebagai ibukota propinsi
dan pusat pengembangan industri pariwisata Indonesia Bagian Tengah (Warsilah
dalam Ardhana, 2004: 2).
Di era modern ini, dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Bali Selatan
seperti Tabanan atau Gianyar, tampaknya Denpasar mengalami perkembangan
yang menonjol terutama dalam aktifitas ekonomi. Perkembangan di sektor
perdagangan misalnya menyebabkan berkembangnya kota-kota baru sebagai pusat
pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Adanya mobilitas geografis telah
mengarah dengan semakin intensnya gerakan mobilitas penduduk seperti
urbanisasi.
Sebagaimana halnya dengan perkembangan kota-kota di Indonesia pada
umumnya, perkembangan Kota Denpasar pada khususnya mengalami persoalan-
persoalan fisik kota yang sama. Hal ini terlihat dari tidak tertatanya dengan baik
masalah infrastruktur kota. Dengan demikian diperlukan suatu upaya perencanaan
kota untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut.
Aktivitas perencanaan kota mempunyai peran penting dalam membentuk
lingkungan perkotaan dan juga gaya hidup bagi masyarakat pada lingkungan
tersebut. Perencanaan kota pada awalnya muncul sebagai respon terhadap kota
3
industri modern, yang menghasilkan urbanisasi yang pesat pada abad XIX,
terutama di Eropa dan Amerika Utara. Ada sebuah kepercayaan bahwa masalah
sosial bisa diselesaikan dengan cara mendesain ulang kota (Rydin, 1993: 17;
Krueckeberg, 1997: 3; Yewlett, 2001: 1304; Thorns, 2002: 180; UN-Habitat,
2009: 49).
Hal ini membawa perencanaan berkesinambungan untuk menemukan
paradigma yang lebih baik untuk menghadapi kompleksitas lingkungan perkotaan.
Dari sinilah kemudian mulai berkembang teori perencanaan sebagai kerangka
panduan dalam melakukan perencanaan. Program pada lembaga pendidikan
perencanaan secara tipikal mengetengahkan dua model teori perencanaan yaitu
teori tentang proses perencanaan dan teori tentang konteks atau konten (substansi)
perencanaan misalkan teori tentang struktur ruang kota (Fainstein, 2005: 121).
Dapat dikatakan teori perencanaan terdiri atas dua unsur, yaitu unsur hal yang
ingin dicapai dan unsur cara untuk mencapainya (Rustiadi, 2009: 336) atau
komponen prosedural dan substantif (Klaasen, 2003: 73).
Namun demikian, dalam beberapa dekade terakhir telah muncul paradigma
baru mengenai perencanaan dalam memandu perencana dalam dunia praktis atau
profesional (Innes, 1983: 35; Pallagst, 2006: 7). Muncul berbagai pertanyaan
bagaimana seharusnya perencana terlibat dalam perencanaan. Bagaimana
perencana menempatkan diri, apakah sebagai analis yang bebas nilai atau sebagai
aktor politik yang efektif dan berkomitmen (pada klien, masyarakat)?
Permasalahan tersebut semakin tajam ketika perencanaan kota
berkembang menjadi suatu sistem birokratis yang diatur oleh pemerintahan lokal
4
dan diperjelas dengan perangkat peraturan tentang perencanaan kota/wilayah
(Thorns, 2002: 179-180). Perkembangan institusionalisasi perencanaan seperti itu
telah menyebabkan hadirnya politik sebagai kekuatan dominan dalam membentuk
kota (Brooks, 1993: 143). Konsekuensinya, perencanaan tidak lagi menjadi suatu
aktivitas mandiri oleh perencana, melainkan sebagai sebuah sistem kegiatan yang
melibatkan multi-aktor.
Dalam prakteknya tidak mungkin membicarakan perencanaan terpisah dari
konteks institusional dan politik, serta adanya kesulitan dalam memadankan relasi
kekuasaan dalam diskursus perencanaan (Friedmann, 1998, 245). Serta proses
perencanaan yang seiring dengan perumusan kebijakan publik dan memiliki
stereotipe sebagai sebuah proses yang kental dengan nuansa teknokratis dan
prosedural. Kepentingan para pihak dalam proses memegang peranan yang besar
dalam menentukan substansi dan hasil perencanaan (Mukhlis, 2009: 2).
Praktek perencanaan kota sebagai sebuah kebijakan publik juga telah
terjadi di Bali sejak tahun 1965, yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang untuk pertama kalinya direncanakan tata ruang wilayahnya. Dalam
memenuhi tuntutan perkembangan kota, sejak tahun 1986, Pemerintah Bali
menerapkan program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) atau Bali
Urban Infrastructure Programme (BUIP). Khusus untuk Kota Denpasar,
kemudian memiliki beberapa dokumen perencanaan, antara lain: Peraturan Daerah
(yang selanjutnya disebut Perda) No.11 tahun 1992 tentang Rencana Umum Tata
Ruang Kota Denpasar, Peraturan Daerah No.10 tahun 1999 tentang Rencana Tata
Ruang Kota Denpasar (Suarca, 2010: VIII.3-1 - VIII.3-4).
5
Rencana Pemerintah Kota (yang selanjutnya disebut Pemkot) Denpasar
untuk merevisi Perda No 10 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Denpasar sejatinya sudah muncul sejak tahun 2007. Pasalnya, Perda
RTRW dimaksud dinilai sudah kadaluwarsa dan kondisi di lapangan sudah
banyak yang berubah. Berdasarkan fakta tersebut, Bappeda Kota Denpasar telah
merancang revisi Perda RTRW yang akan diberlakukan dalam menata ruang di
kota yang berwawasan budaya ini. Sejauh mana proses revisi RTRW Denpasar
kini? Pembahasan ranperda RTRW Denpasar ini dipastikan memerlukan waktu
yang paling panjang di antara perda-perda yang dikeluarkan Pemkot Denpasar.
Pembahasan awal ranperda RTRW ini sudah berlangsung sejak
tahun 2007 lalu yang dimotori Bappeda Kota Denpasar (Balipost, 16 Nopember
2009). Ranperda tersebut kemudian baru disahkan pada tahun 2011 menjadi
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011 – 2031.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka diperlukan suatu kajian dalam
rangka memperoleh pemahaman tentang proses perencanaan RTRW Kota
Denpasar sebagai sebuah proses kebijakan publik. Melalui penelitian ini
diharapkan muncul pengetahuan atau pemahaman baru mengenai bagaimana
praktek perencanaan kota dilakukan dalam lingkungan kebijakan publik, dalam
situasi dan kondisi tertentu di Kota Denpasar, sehingga nantinya dapat menjadi
bahan kajian dan pertimbangan dalam menghadapi perencanaan ke depan.
6
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan sejumlah rumusan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penyusunan Perda No. 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota
Denpasar 2011-2031?
2. Pihak-pihak dan kepentingan manakah yang berpengaruh dalam penyusunan
Perda No. 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031?
3. Bagaimana pendekatan yang diterapkan dalam perencanaan tata ruang wilayah
di Kota Denpasar serta produk kebijakan yang dihasilkan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses penyusunan Perda No. 27 Tahun 2011 tentang
RTRW Kota Denpasar 2011-2031.
2. Untuk mengetahui pihak-pihak dan kepentingan yang berpengaruh dalam
penyusunan Perda No. 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar 2011-
2031.
3. Untuk mengetahui pendekatan yang diterapkan dalam perencanaan tata ruang
wilayah di Kota Denpasar serta produk kebijakan yang dihasilkan.
7
1.4 Manfaat Penelitian
Secara ringkas manfaat penelitian ini ke depan adalah sebagai berikut :
1. Manfaat akademis, penelitian ini dimaksud sebagai upaya pendekatan ilmiah
dan analisis akademis terhadap praktek perencanaan kota, sehingga dapat
memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang teori dan praktek perencanaan kota.
2. Manfaat praktis, hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan dapat
menambah referensi sebagai bahan refleksi dan antisipasi dalam melakukan
perencanaan ke depan.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada sub bahasan ini akan dibahas penelitian-penelitian yang relevan
dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian pertama, berjudul “Nilai-nilai
Budaya Bali dalam Produksi Tata Ruang di Kota Denpasar (Studi Kasus Jl. Gatot
Subroto Timur, Denpasar” oleh Pratiwi (2006). Penelitian ini dilatarbelakangi
oleh adanya Jalan Gatot Subroto Timur yang dibangun tahun 1980-an sebagai
kawasan bisnis baru Kota Denpasar, yang diciptakan dari sebuah konsep baru
yaitu konsolidasi tanah perkotaan, suatu konsep pembentukan wilayah yang bukan
berasal dari konsep tradisional tata ruang Bali.
Fokus penelitian pada proses perencanaan Jalan Gatot Subroto dan kondisi
tata ruang sesudahnya, namun bukan dari sisi teori perencanaan. Teori yang
digunakan mengacu pada teori Lefebvre, yaitu bahwa pembentukan ruang secara
sosial mempunyai tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu spatial practice
(praktek keruangan), representations of space (ruang tergagas), representational
spaces (ruang terhuni).
Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif khususnya
pendekatan studi kasus, dengan mempertimbangkan bahwa perubahan tata ruang
dan produksi tata ruang yang diteliti, yang meliputi aspek internal dan eksternal.
Penelitian dilakukan kepada informan yang merupakan pihak-pihak yang berperan
dalam produksi ruang yang diteliti, yaitu pemerintah, pemerhati kota ahli
9
budayawan, serta penghuni dan pemakai jalan. Sedangkan pengambilan sumber
data primer dilakukan dengan wawancara terarah.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa spatial
practice (praktek keruangan) Jalan Gatot Subroto Timur memang bernuansa
campuran; campuran permukiman dan tempat usaha serta campuran antara yang
menggunakan konsep-konsep ruang Bali maupun tidak, baik di dalam
representational spaces maupun representations of space sehingga menghasilkan
suatu pola tata ruang yang tanggung atau setengah-setengah. Walaupun demikian
pemerintah tampaknya tidak berkeberatan dengan adanya praktek keruangan
semacam ini, terbukti dengan tidak dipersulitnya memperoleh perijinan bangunan.
Penelitian kedua berjudul “Analisis Kebijakan dalam Perencanaan Kota
Baru Lampung di Natar” oleh Mukhlis (2009). Penelitian ini dilatarbelakangi
kebijakan dari Pemerintah Provinsi Lampung untuk memindahkan kantor
pemerintahan Provinsi Lampung dengan membangun Kota Baru Lampung di
Natar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi proses formulasi
lahirnya kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung di Natar berdasarkan Perda
13 Tahun 2007. Ada asumsi bahwa proses formulasi tidak dilakukan secara ideal
sehingga menjadi permasalahan utama mengapa kebijakan tersebut belum
diimplementasikan hingga saat ini.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif murni dengan
mempergunakan teori kelayakan isu publik sebagai agenda setting, teori formulasi
kebijakan dalam sebuah sistem politik, teori dimensi politik dan kekuasaan dalam
proses perencanaan, serta teori kelayakan implementasi kebijakan terhadap
10
kriteria teknis, keuangan dan ekonomi, administratif dan kelayakan politis
menjadi beberapa landasan teori yang dipergunakan sebagai alat analisis.
Beberapa sumber data yang dipergunakan adalah sebagai berikut: pertama,
diperoleh dari sumber primer, yaitu berupa data pengalaman, pemahaman dan
pengetahuan informan (narasumber) yang mewakili informasi bukan responden
yang mewakili populasi. Data pengalaman dimaksudkan sebagai data yang
diperoleh langsung dari para pihak, elit serta stakeholders lain yang teridentifikasi
dalam proses perencanaan Kota Baru Lampung di Natar; atau para pakar yang
sengaja diminta oleh peneliti untuk memberikan penguatan terhadap analisis yang
dilakukan.
Selain wawancara, dokumen-dokumen yang secara deskriptif menjelaskan
komentar dan pernyataan dari para narasumber dalam berbagai kesempatan
maupun pemberitaan yang terkait masuk dalam kategori sumber data primer.
Sementara data sekunder terdiri dari literatur dan dokumen-dokumen lain baik
berupa tulisan yang dimuat di surat kabar, majalah yang sudah maupun belum
dipublikasikan juga hasil penelitian orang lain yang mempunyai korelasi erat
dengan substansi penelitian; termasuk berbagai dokumen yang ada di Provinsi
Lampung yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian.
Berdasarkan sumber data primer dan sekunder dapat dijelaskan bahwa
sebagai sebuah kebijakan, menunjukkan bahwa persoalan atau problem perkotaan
yang dihadapi oleh Kota Bandar Lampung memiliki relevansi untuk dijadikan
sebagai latar belakang lahirnya Kota Baru Lampung di Natar. Bagi pengambil
kebijakan problem perkotaan tersebut layak dijadikan sebagai agenda setting. Di
11
sisi lain, berdasarkan teori kelayakan kebijakan yakni technical feasibility,
economic dan financial possibility, administrative operability dan political
viability sulit untuk mengatakan bahwa kebijakan pembangunan Kota Baru
Lampung di Natar telah memenuhi unsur rasionalitas tersebut.
Kedua penelitian ini meneliti tentang praktek perencanaan di dua lokasi
berbeda, dengan perspektif yang berbeda pula. Analisis pada penelitian pertama
menggunakan teori produksi ruang secara sosial, sedangkan penelitian kedua
menggunakan teori kebijakan publik. Namun kedua penelitian di atas
menggunakan metode penelitian kualitatif dan metode pengumpulan data yang
serupa, yaitu melalui wawancara terhadap para pihak yang terlibat langsung, para
pakar dan praktisi untuk memperoleh sumber data primer. Sedangkan data
sekunder diperoleh melalui tulisan-tulisan pada media massa dan dokumen lain
yang relevan dengan penelitian tersebut di atas.
2.2 Konsep
Sub-bab ini akan membahas tentang konsep yang merupakan hasil
abstraksi dan sistesis teori yang dikaitkan dengan masalah penelitian yang
dihadapi. Konsep memberikan batasan atas peristilahan dalam penelitian ini.
2.2.1 Pendekatan perencanaan kota
Istilah perencanaan telah muncul dalam berbagai literatur. Dalam
pemberian definisi terlihat berbagai pihak sering mengartikan perencanaan secara
berbeda, namun pengertian yang paling sederhana adalah suatu cara rasional
untuk mempersiapkan masa depan, atau apa yang ingin dicapai di masa depan.
12
Artinya, perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di
masa depan serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk
mencapainya. Pendekatan perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah
pencapaian serta mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada, mengukur kapasitas
untuk mencapainya, kemudian memilih arah-arah terbaik untuk mencapainya
(Kay dan Alder dalam Rustiadi dkk, 2009: 335).
Mendefinisikan lingkup perencanaan ternyata tidak mudah karena sifatnya
sangat terkait dengan berbagai bidang kajian, sehingga hampir tidak mungkin
dieksklusifkan sebagai suatu teori atau kajian yang bersifat khusus dan sulit untuk
mempelajarinya terpisah dengan bidang lainnya. Kesulitan itu antara lain
disebabkan:
1. Perencanaan muncul bersamaan dengan semua aspek disiplin ilmu sosial,sehingga sulit untuk membuat batasan;
2. Batasan profesi antara perencana dengan profesi-profesi terkait (real estatedeveloper, arsitek, pemerintah dan lain-lain) tidaklah jelas. Tidak adaperencana yang hanya melakukan perencanaan, sebaliknya para non-perencana juga melakukan perencanaan,
3. Bidang perencanaan ada yang dibagi berdasarkan atas obyek perencanaan(perencanaan guna lahan, perencanaan transportasi, perencanaan kota danlain-lain) dan ada pula yang didasarkan atas metode (cara mengambilkeputusan) (Campbell dan Fainstein dalam Rustadi, et. al, 2009: 336).
Friedmann (1998: 245) menyatakan kesulitan dalam merumuskan
perencanaan dikarenakan:
1. Masalah dalam mendefinisikan perencanaan sebagai suatu objek yangditeorikan,
2. Ketidakmungkinan membicarakan perencanaan terpisah dari konteksinstitusional dan politik aktual,
3. Ada beberapa model perencanaan dan dilema untuk memilih salah satu diantaranya; dan
4. Kesulitan mempersatukan relasi kekuasaan ke dalam diskursus perencanaan.
13
Definisi perencanaan kemudian mengalami perubahan dari waktu ke
waktu dan tidak seragam di seluruh dunia. Pandangan awal mendefinsikan
perencanaan kota sebagai perancangan fisik, yang dilaksanakan dengan kontrol
guna lahan dan berpusat pada negara, sebagai respon terhadap pertumbuhan pesat,
kekacauan, pertumbuhan populasi serta urbanisasi dari kota-kota di Eropa barat
pada abad ke 19 sebagai akibat revolusi industri (Rydin, 1993: 17; Krueckeberg,
1997: 3; Yewlett, 2001: 1304; Thorns, 2002: 180; UN-Habitat, 2009: 49).
Perencanaan pada masa kini merupakan suatu pendekatan yang dinamis yang
bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungannya dengan
menciptakan tempat yang lebih nyaman, adil, sehat, efisien dan atraktif untuk
generasi sekarang dan masa yang akan datang (American Planning Association,
2009).
Karena peranannya yang meluas, perencanaan kota dipandang sebagai
suatu pendekatan kesadaran kolektif (sosial) untuk membayangkan ulang suatu
kota. Dalam hal ini perencanaan berperan sebagai social reform, analisis
kebijakan, pembelajaran sosial dan mobilasi sosial (Friedmann, 1996: 20).
Perencanaan karenanya tidak hanya melibatkan perencana kota profesional, hal ini
merujuk pada perencanaan sebagai sebuah sistem daripada sebagai suatu aktivitas
mandiri oleh perencana. Meskipun demikian, perencanaan kota (atau wilayah)
memiliki perhatian khusus yang dipisahkan dari bidang lain, contohnya
perencanaan ekonomi atau perencanaan kesehatan. Inti dari perencanaan kota
adalah perhatian pada ruang. Perencanaan juga menonjolkan gerakan
pembangunan dari masa lalu ke masa depan. Hal ini berdampak pada
14
kemungkinan untuk memutuskan tindakan yang tepat terhadap dampak potensial
dalam membentuk relasi sosio-spasial perkotaan (Healey dalam UN-Habitat,
2009: 19).
Istilah perencanaan dapat juga merupakan bagian instrumental dan aspek
institusional dari negara yang mengandung arti cara kepemerintahan (suatu bentuk
politik) yang dikendalikan oleh kebijakan melalui beberapa proses bahasan dan
keputusan tindakan kolektif dalam relasinya dengan kebijakan tersebut (Harvey,
1985: 174; Bolan, 1996: 497, Yone, 2007: 320). Perencanaan karenanya bukan
kegiatan teknis yang netral tapi dibentuk oleh nilai yang harus dibuat eksplisit,
dan perencana sendiri secara fundamental terlibat dengan membuat keputusan
etis.
Dari berbagai pendapat dan definisi, perencanaan sebagai suatu profesi
dan seperangkat praktek terdiri atas dua hal yaitu unsur hal yang ingin dicapai
dan unsur cara untuk mencapainya (Rustiadi, 2009: 336); atau proses dan isi
(Brooks, 1993: 142) atau dimensi prosedural dan substantif (Klaasen, 2003: 73).
Dalam ranah teoritis, Fainstein mengemukakan bahwa teori perencanaan atau
planning theory lebih banyak membahas tentang dimensi prosedural perencanaan
dan teori urban atau urban theory serta teori dalam perencanaan atau theory in
planning membahas tentang dimensi substantif dari perencanaan (Fainstein, 2005:
121). Teori perencanaan, lebih banyak memuat teori pengambilan keputusan,
manajemen dan organisasi. Teori urban atau teori dalam perencanaan, terbentuk
dari berbagai pendekatan multidisiplin, seperti arsitektur, geografi, transportasi,
ekonomi dan sebagainya. Karena luasnya ruang lingkup perencanaan, maka
15
perencanaan dilakukan berdasarkan berbagai kombinasi pendekatan (Rustiadi,
2009: 342).
2.2.2 Rencana tata ruang wilayah
2.2.2.1 Tata ruang
Tata Ruang merupakan wujud dari pola ruang dan struktur ruang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2007. Pola ruang erat kaitannya dengan istilah-istilah kunci seperti
pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, serta posisi/lokasi dan lain-
lain. Istilah pola pemanfaatan ruang (atau pola ruang) berkaitan dengan aspek-
aspek distribusi (sebaran) spasial sumberdaya dan aktivitas pemanfaatannya
menurut lokasi. Secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya
digambarkan dalam berbagai bentuk peta. Peta land use (penggunaan lahan) dan
peta land cover (penutupan lahan) adalah bentuk deskripsi terbaik di dalam
menggambarkan pola pemanfaatan ruang. Struktur ruang merupakan gambaran
mengenai linkages (hubungan keterkaitan) antara aspek-aspek aktivitas
pemanfaatan ruang dan hubungan antar komponen-komponen yang ada pada
suatu wilayah. Di dalam interaksi spasial di daratan, secara spasial aspek
keterkaitan digambarkan dengan unsur jaringan prasarananya, sarana angkutan,
obyek yang dialirkan, besaran aliran, hingga aspek tujuan/maksud dari interaksi
yang dituju. Aspek kedua struktur ruang setelah struktur jaringan prasarana adalah
aspek struktur pusat-pusat aktivitas permukiman. Pada akhirnya, gambaran
mengenai kapasitas atau hirarki pusat-pusat dan linkage berimplikasi pada
kebutuhan sarana dan prasarana (Rustiadi dkk, 2009: 389, 390).
16
2.2.2.2 Rencana tata ruang wilayah
Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang
dilakukan agar terwujudnya alokasi ruang yang nyaman, produktif dan
berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan
keseimbanganantar wilayah. Proses perencanaan tata ruang sendiri dapat
dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan input, proses, output. Input
yang digunakan adalah keadaan fisik yang diproses dengan analisis secara
integral, baik kondisi saat ini maupun ke depan untuk masing-masing hirarki tata
ruang nasional, provinsi maupun kabupaten/kota sehingga menghasilkan output
berupa Rencana Tata Ruang yang menyeluruh, yaitu Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota.
Khusus untuk RTRW Kabupaten/Kota merupakan rencana tata ruang skala
kabupaten/kota dengan muatan kelengkapan infrastruktur dasar di tingkat lokal
atau regional yang disesuaikan dengan karakteristik zona-zona pengembangan
kawasan yang ada. Pada tataran operasional, RTRW tersebut perlu dikembangkan
lagi menjadi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang dilengkapi dengan aturan
pemanfaatan lahan yang dapat dijadikan dasar dalam pemberian izin dan
pengendalian pemanfaatan ruang yang ada (Supriyatno, 2009: 57-58).
Produk Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, adalah sebagai berikut
1. Tujuan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota
2. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota; muatan yang
diatur adalah:
a. Rencana Struktur Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota; terdiri atas
17
1) Arahan Pengembangan dan Distribusi Penduduk; Arahan distribusi
penduduk merupakan perkiraan jumlah dan kepadatan penduduk wilayah
kota hingga akhir tahun perencanaan yang selanjutnya dirinci dalam
distribusi pada setiap kawasan, sesuai dengan daya dukungnya.
2) Rencana Sistem Pusat Pelayanan Perkotaan; merupakan susunan yang
diharapkan dari unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam perkotaan,
lingkungan sosial perkotaan, dan lingkungan buatan perkotaan yang secara
hirarkis dan struktural berhubungan satu sama lain membentuk tata ruang
wilayah kota yang meliputi distribusi penduduk per unit permukiman
perkotaan, dan sebaran pusat-pusat pelayanan perkotaan (fungsi primer dan
sekunder).
3) Rencana Sistem Jaringan Transportasi; Sistem jaringan pergerakan dan
prasarana penunjang bagi angkutan jalan raya, angkutan kereta api,
angkutan laut, angkutan sungai, danau dan penyeberangan serta angkutan
udara.
4) Rencana Sistem Jaringan Utilitas (telekomunikasi, energi, pengairan,
prasarana pengelolaan lingkungan); Sistem jaringan utilitas dalam Wilayah
Kota/Kawasan Perkotaan sampai dengan akhir tahun perencanaan.
b. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota; merupakan bentuk
pemanfaatan ruang wilayah kota yang menggambarkan ukuran, fungsi serta
karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam. Materi yang diatur
meliputi kawasan budidaya perkotaan dan kawasan lindung.
18
3. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung, Budidaya Perkotaan, dan Kawasan
Tertentu; meliputi:
a. Rencana Pengelolaan Kawasan Perkotaan; mencakup rencana penanganan
lingkungan perkotaan, arahan kepadatan bangunan, dan arahan ketinggian
bangunan.
1) Rencana Penanganan Lingkungan Kota; Jenis penanganan lingkungan
dan jaringan pergerakan serta utilitas untuk tiap unit lingkungan dan
atau kawasan yang akan dilaksanakan dalam kota.
2) Arahan Kepadatan Bangunan; Perbandingan luas lahan yang tertutup
(bangunan dan prasarana serta lainnya seperti : jalan, perparkiran, dll)
dalam tiap unit lingkungan dan atau kawasan dengan luas kawasan (land
coverage).
3) Arahan Ketinggian Bangunan; ketinggian bangunan untuk setiap
kawasan kota, sesuai dengan daya dukung kawasan yang dirinci untuk
setiap unit lingkungan dan atau kawasan.
4) Rencana Penatagunaan Tanah, Air, Udara dan Sumber Daya lainnya
dengan memperhatikan keterpaduan sumber daya alam dengan sumber
daya buatan; mencakup penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya yang berwujud
konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam
lainnya (termasuk arahan baku mutu udara, air; pemanfaatan udara bagi
jalur penebangan dan komunikasi; pemanfaatan air dan penggunaannya)
19
b. Rencana pengelolaan kawasan tertentu di perkotaan; mencakup penanganan
lingkungan dan pengaturan bangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan
pengelolaan kawasan tertentu dengan tetap menjamin keserasiannya dengan
pengelolaan kawasan perkotaan lainnya.
4. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang; merupakan kegiatan pengawasan
dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perijinan,
pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme
pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme
pengenaan sanksi.
5. Legalisasi; Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Kota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Rencana Tata Ruang
yang telah diperdalam merupakan dokumen peraturan perundangan yang
mengikat secara hukum bagi masyarakat.
Perencanaan tata ruang dalam penelitian ini adalah perencanaan RTRW
tingkat kabupaten/kota. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kota
Denpasar telah memiliki beberapa dokumen perencanaan, antara lain: Dokumen
RIK tahun 1971, Dokumen RIK tahun 1981, Perda RUTR Kota No.11 tahun
1992, Dokumen RTRWK tahun 1993, dan Perda RTRWK No.10 tahun 1999.
20
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Perubahan kebijakan
Proses kebijakan yang sebenarnya juga merupakan proses politik yang
terlalu kompleks untuk dipandang sebagai proses linier formulasi-implementasi-
evaluasi semata. Dalam kacamata pandang proses politik ini, bahkan, evaluasi
hanyalah merupakan bahan tambahan dalam kancah politik sebagai penyeimbang
pertarungan kepentingan yang dialektis untuk kemudian terjadi keputusan-
keputusan politik tertentu (Parsons, 1997: 569).
Grindle dan Thomas mengembangkan sebuah kerangka untuk
mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang perubahan kebijakan. Kerangka yang
mereka gagas pada dasarnya bersifat analitis, karena berusaha memetakan proses
dan mengidentifikasi faktor-faktor penting yang mempengaruhi hasil pengenalan
pembaharuan. Kerangka kerja ini membuat sistemastisasi pemikiran mengenai
bagaimana konteks bias mempengaruhi situasi-situasi tertentu, bagaimana situasi-
situasi tersebut membentuk pilihan-pilihan, bagaimana opsi-opsi dijelaskan dalam
batasan politik, teknis, birokratik dan implikasinya dan bagaimana karakteristik
kebijakan mempengaruhi konflik dan sumber-sumber yang diperlukan untuk
mengatur upaya pengenalan perubahan kebijakan yang reformatif. Jadi, kerangka
ini semata-semata mencerminkan pengetahuan intuitif dari pembuat kebijakan
yang bermanuver dalam situasi kompleks untuk mencapai tujuan tertentu.
21
`
I. Konteks Lingkungan
KARAKTERISTIKINDIVIDU DARI ELITKEBIJAKANIdeologiKeahlian professionalMemori dan kesamaansituasi kebijakanPosisi dan sumber-sumberkekuasaanKomitmen institusionaldan politikTujuan dan atributpersonal
II Keadaan Agenda Setting
Persepsi
SITUASI KRISISTekanan kuat untukperubahanTingkat pertaruhantinggiPengambilankeputusan tingkattinggiPerubahan inovatifTekanan untukmengambil tindakansecepatnya
POLITIK SEPERTIBIASANYAPersoalan telahdipilihTingkat pertaruhanrendahPengambilankeputusan tingkatrendahPerubahanincrementalWaktu yang fleksibel
FOKUS PERHATIANPEMBUATAN KEPUTUSAN
Pembuatan kebijakancenderung didominasioleh relasi politikmakro
Pembuatan kebijakancenderung didominasioleh relasi politikmikro dan hubunganbirokratik
III Keadaan Agenda Setting
ARENA KONFLIK
PUBLIKDampak langsung luas,memilliki kecepatandan kelayakan yangtinggi bagi publik
BIROKRATIKTidak berdampak langsungluas, tidak visibel bagipublik
SUMBER-SUMBER UNTUKIMPLEMENTASI DAN KELANJUTAN
LegitimasiTradisi stabilitas politkReformasi individual atau sistemikOtonomiDerajat konsensusTingkat dukungan politikOtoritas organisasi
KONTEKS PILIHANKEBIJAKANTekanan sosialKonteks historisKondisi ekonomiKapasitas administrasiKebijakan lainnya
Gambar 2.1 Ekonomi Politik dari Perubahan KebijakanSumber: Grindle dan Thomas, 1991
22
2.3.2 Konfigurasi subsistem kebijakan
Dalam studi kebijakan publik, dimensi politik mau tidak mau harus
menjadi fokus perhatian. Karena sesungguhnya kebijakan publik itu adalah
sebuah kompleksitas Tarik menarik pengaruh dari berbagai pihak yang begitu
beragam.
Politik juga mampu menggambarkan dan mengintegrasikan apa
sesungguhnya persoalan kebijakan yang ada. Persoalan kebijakan muncul ke
permukaan dengan cara yang sangat kompleks, yaitu melalui dinamika
masyarakat yang di situ melibatkan aspirasinya, konsep diri, kepercayaan dan
kemudian mengkonstruksi persoalan-persoalan tertentu. (Howlett dan Ramsesh,
1998: 468).
Untuk melihat lebih dalam tipe dari sebuah subsistem yang ada, maka kita
harus mencermati dua aspek penting yaitu jaringan kebijakan dan komunitas
kebijakan. Ada dua variable yang harus dilihat, yaitu pihak-pihak dominan. Dua
pihak tersebut dikonstruksi pada Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1Taksonomi Policy Networks
Pihak-pihak dominan Jumlah anggotaSedikit Banyak
Negara Birokratis, sistem klien ataujaringan korporatis
Jaringan pluralis
Masyarakat Parsipatori, menangkapsemua elemen
Jaringan isu
Sumber: Howlett dan Ramesh, 1998: 470
Demikian pula bila akan memahami keadaan komunitas kebijakan di suatu
tempat maka juga menggunakan dua variable yaitu apakah ada ide-ide yang
23
dominan dan berapa banyak bangunan ide yang ada. Untuk lebih jelas bias dilihat
pada Tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2Taksonomi dari Komunitas Kebijakan
Adanya dominasi ide Banyaknya ideSedikit Banyak
Ada Hegemonik PerpecahanTidak ada Perlombaan Kekacauan
Sumber: Howlett dan Ramesh, 1998: 471
Setelah kita tahu tipe dari subsistem kebijakan di atas, maka berikutnya
kita juga harus mengetahui lebih lanjut tentang tipe dari perubahan kebijakan itu
sendiri. Ada dua tipe perubahan kebijakan, yaitu inkremental dan rasional
komprehensif. Tapi tidak bisa hanya dilihat tipe perubahan kebijakan dari kedua
kategori tersebut, namun juga harus dilihat dari aspek tempo atau kecepatan
perubahan itu terjadi. Kedua dimensi di atas (model perubahan dan kecepatan
perubahan) dikonstruksikan pada Tabel 2.3 berikut:
Tabel 2.3Taksonomi dari Perubahan Kebijakan
Model perubahan Kecepatan perubahanCepat Lambat
Paradigmatik Paradigmatik cepat Paradigmatik gradualNormal Inkremental cepat Inkremental gradual
Sumber: Howlett dan Ramesh, 1998: 472
Kendati demikian tabel di atas masih belum mampu menjelaskan sampai
pada saat mana perubahan itu menjadi cepat atau lambat. Dalam hal ini apa yang
menyebabkan terjadinya kecepatan atau kelambatan dari sebuah perubahan
tersebut. Untuk melihat kecepatan perubahan kebijakan kita juga harus melihat
aspek ide. Kita harus melihat perubahan pada tingkat ide ini. Bila tidak ada
24
perubahan pada tingkat ini maka bisa dipastikan bahwa perubahan yang terjadi
akan inkremental. Untuk lebih jelas bias dilihat pada Tabel 2.4 berikut:
Tabel 2.4Dampak Perubahan Ide dan Kepentingan pada Perubahan Kebijakan
Adanya perubahan tingkatide
Adanya perubahan aktor/kepentinganYa Tidak
Ya Paradigmatik cepat Paradigmatik lambatTidak Inkremental cepat Inkremental lambat
Sumber: Howlett dan Ramesh, 1998: 473
Perencanaan memiliki ruang lingkup yang luas, oleh karena itu
perencanaan umumnya dilaksanakan dengan berbagai pendekatan. Dalam
landasan teori berikut ini, pendekatan perencanaan akan dibedakan menjadi dua
pendekatan, yaitu: pendekatan prosedural dan pendekatan substantif.
2.3.3 Pendekatan perencanaan
Berdasarkan prosesnya, perencanaan dapat diklasifikasikan menjadi
perencanaan rasional komprehensif, perencanaan inkremental, mixed scanning,
perencanaan strategis, perencanaan advokasi, Equity planning, perencanaan
adaptif, perencanaan transaktif, dan pembangunan konsensus.
2.3.3.1 Perencanaan rasional komprehensif
Rational comprehensive planning (pendekatan rasional komprehensif) atau
disebut juga synoptic planning (perencanaan sinoptis) (Hoogerwerf 1983, 28;)
merupakan tradisi perencanaan yang dominan dan paling luas diterima (Winarno,
2002: 74) serta menjadi titik permulaan bagi sebagian besar pendekatan-
25
pendekatan perencanaan yang muncul kemudian sebagai modifikasi atau reaksi
atas pendekatan rasional komprehensif-sinoptis ini (Hudson, 1979: 388).
Seperti arti namanya, yaitu komprehensif, yang berarti menyeluruh,
analisis dalam perencanaan komprehensif dilakukan dari semua aspek kehidupan
perkotaan (kependudukan, perekonomian, sosial, fisik dan sebagainya) (Djunaedi,
2000: 3) dan sangat menekankan pada rasionalitas dengan bermodalkan
komprehensivitas informasi dan keahlian pembuatan keputusan (Islamy, 1992:
50). Dalam pendekatan ini, permasalahan dipandang sebagai suatu sistem yang
terintegrasi (satu sudut pandang sistem) menggunakan konsep dan model
matematika untuk mempertimbangkan sumber daya dan kendala dengan
ketergantungan yang besar terhadap jumlah dan analisis kuantitatif (Hudson,
1979: 389; Paturusi, 2008: 32).
Berikut ini adalah merupakan ciri-ciri atau karakteristik dari model
rasional-komprehensif menurut Lindblom (Hoogerwerf, 1983: 25; Islamy, 1988:
4.4):
1. Penentuan nilai-nilai dan tujuan-tujuan dibedakan dari dan umumnyamerupakan persyaratan bagi analisis empiris (menurut pengalaman)dari alternatif-alternatif kebijaksanaan,
2. Perumusan kebijaksanaan oleh karena itu dapat didekati melaluianalisis cara dan tujuan. Terlebih dahulu tujuan dipisahkan dari cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut,
3. Suatu kebijakan disebut “baik” apabila didasarkan atas pemilihancara-cara yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
4. Analisis harus lengkap (komprehensif), setiap faktor yang pentingdan relevan diperhatikan,
5. Landasan teori sangat penting.
26
Berdasarkan karakteristik di atas, menurut Yehezkel Dror, untuk membuat
keputusan rasional, maka pembuat keputusan harus (Islamy, 1988: 4.4; Islamy,
1992: 50):
1. Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada pada masyarakat;2. Mengetahui semua alternatif-alternatif yang tersedia;3. Mengetahui semua konsekuensi-konsekuensi dari setiap alternatif;4. Menghitung rasio antara tujuan-tujuan dan nilai-nilai sosial yang
dikorbankan bagi setiap alternatif dan5. Memilih alternatif yang paling efisien.
Pendekatan rasional komprehensif dilakukan secara sekuensial (urut)
sebagai berikut: (1) penentuan tujuan, (2) identifikasi alternatif kebijakan, (3)
evaluasi cara mencapai tujuan dan (4) implementasi kebijakan. Proses ini tidak
selalu kaku mengikuti urutan ini, setiap tahap bisa mengalami pengulangan
beragam, umpan balik dan elaborasi pada setiap sub-proses (Hudson, 1979: 388).
Beberapa elaborasi terhadap proses ini seperti: (1) Perumusan masalah; (2)
Perumusan tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang diurutkan berdasarkan
nilai pentingnya, (3) menyusun alternatif untuk mencapai tujuan, nilai-nilai atau
sasaran tadi, (4) Penilaian konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari setiap
alternatif, (5) Setiap alternatif dan konsekuensi dibandingkan satu sama lain untuk
kemudian, (6) diputuskan alternatif terbaik yang memiliki nilai konsekuensi-
konsekuensi yang paling cocok (rasional) dengan tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan (Islamy 1988: 4.5; Islamy, 1992: 50; Winarno: 2002: 74).
Alternatif lain: (1) pengumpulan dan pengolahan data, (2) analisis, (3)
Perumusan tujuan dan sasaran perencanaan, (4) pengembangan alternatif rencana,
(5) evaluasi dan seleksi alternatif rencana dan (6) penyusunan dokumen rencana
27
(Djunaedi, 2000: 3). Atau (1) rumusan tujuan dan sasaran, (2) identifikasi dan
rancangan alternatif, (3) prediksi dampak yang akan ditimbulkan pada setiap
alternatif, (4) evaluasi dan penilaian terhadap alternatif berdasarkan tujuan dan
sasaran, (5) penentuan alternatif terbaik, (6) implementasi perencanaan, dan (7)
umpan balik hasil perencanaan untuk memperbaiki rencana berikutnya (Paturusi,
2008: 33).
Sebagai suatu model, pendekatan ini tentunya memiliki kelebihan dan
kelemahan (Paturusi, 2008: 32). Kelebihan pendekatan ini antara lain:
1. Spesifikasi perangkat tujuannya lengkap, menyeluruh, dan terpadu2. Perumusan tingkat kepentingannya relatif sesuai dengan informasi
sumber daya dan prioritasnya. Produk akhir perencanaan sangatditentukan oleh kualitas informasi sebagai masukan awal,
3. Informasinya kontinu, akurat dan waktunya ketat. Keakuratan datamenjadi tumpuan utama pendekatan ini, sehingga diperlukan waktu,kecermatan dan ketelitian untuk memilah dan memilih informasiyang memang dibutuhkan dalam perencanaan,
4. Peramalan yang tepat dan rinci, dengan dukungan data yang akuratdisertai analisis rencana yang baik.
Kekurangan pendekatan ini antara lain:
1. Diperlukan survei yang rinci mencakup informasi fisik geografis,data sosial kependudukan dan data sosial ekonomi. Untuk itu butuhwaktu yang banyak dan dana yang besar,
2. Dibutuhkan cara analisis yang rumit dan spesifik dengan data yangbaik, sesuai bidang masing-masing,
3. Hasil analisis yang canggih seringkali tidak sesuai dengan kenyataanaktual. Karena pendekatannya sangat teoritis ilmiah, berbagaiprediksi dan analisis terlalu “tinggi” sehingga nyaris ke utopis (non-implementability), dan
4. Sering mengabaikan kenyataan politik dan menggunakan anggapanbahwa koordinasi selalu berjalan dengan baik.
28
Model rasional komprehensif yang sangat mengutamakan proses berpikir
rasional murni yang berorientasi pada pencapaian tujuan secara ekonomis dan
efisien jelas mengabaikan aspek emosional dan kekuasaan. Di mana kedua aspek
tersebut juga ikut berperan dalam praktek perencanaan (Forester, 1996a: 204;
Forester, 1996b: 241; Hoch, 1996: 30). Kritik paling gencar datang dari penganjur
teori inkremental yaitu Charles E. Lindblom. Ia mengatakan bahwa penerapan
model rasional komprehensif akan banyak mengalami hambatan/kekurangan
(Islamy, 1988: 4.11) karena:
1. Tidak akan ada nilai-nilai masyarakat yang sepenuhnya disepakatioleh anggota-anggotanya, tetapi hanya beberapa nilai darikelompok-kelompok masyarakat dan individu-individu tertentusaja yang disepakati dan itupun banyak yang bertentangan satusama lain.
2. Nilai-nilai yang saling bertentangan itu tidak dapatdiperbandingkan atau dinilai bobotnya, misalnya, adalah tidakmungkin membandingkan dan menimbang nilai-nilai kemuliaanseseorang terhadap peningkatan pembayaran pajaknya.
3. Lingkungan para pembuat kebijakan khususnya sistem kekuasaandan sistem kepemimpinan, menyebabkan mereka tidak mungkinmelihat atau menilai bobot nilai-nilai masyarakat secara tepat,khususnya nilai-nilai yang tidak memiliki lawan (oposisi) yangaktif atau sangat kuat.
4. Para pembuat kebijakan tidak termotivasi untuk membuatkeputusan-keputusan atas dasar tujuan-tujuan masyarakat, tetapihanya untuk sebesar mungkin keuntungan mereka sendiri.
5. Para pembuat kebijakan tidak termotivasi untuk memaksimumkanpencapaian-pencapaian tujuan tetapi semata-mata untukmemuaskan/memenuhi tuntutan-tuntutan untuk tetap maju;mereka tidak berusaha menemukan suatu cara terbaik, tetapimereka telah menghentikan usahanya ketika mereka telahmenemukan alternatif yang dapat bekerja atau yang dapat dipakaiuntuk mencapai tujuan tersebut.
6. Banyak investasi-investasi besar yang terdapat pada program-program dan kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan sehinggamenghalangi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkankembali alternatif-alternatif yang pernah dipilih pada pembuatankebijakan sebelumnya.
29
7. Terdapat sejumlah besar hambatan-hambatan untukmengumpulkan semua informasi yang diperlukan untukmengenali semua alternatif kebijakan yang memungkinkan danakibat-akibat masing-masing alternatif tersebut termasuk biayapengumpulan informasi dan waktu yang dibutuhkannya.
8. Tidak adanya kemampuan meramal yang cukup baik pada ilmu-ilmu sosial dan perilaku, maupun ilmu-ilmu fisika dan biologisehingga memungkinkan para pembuat kebijakan dapatmemahami semua konsekuensi-konsekuensi setiap alternatif.
9. Para pembuat kebijakan kendatipun dibantu dengan teknik-teknikanalisis komputer yang paling maju pun tidak akan mampumenghitung secara tepat rasio biaya keuntungan bilamanaterdapat sejumlah besar nilai-nilai politik, sosial, ekonomi dankebudayaan yang berbeda.
10. Para pembuat kebijakan memiliki kebutuhan-kebutuhan pribadi,keterbatasan-keterbatasan, penyimpangan-penyimpangan yangdapat menghalangi mereka melakukan sesuatu secara rasional.
11. Ketidakpastian tentang akibat-akibat pelbagai macam alternatifkebijakan memaksa para pembuat kebijakan berhenti berusahasetelah menemukan alternatif-alternatif yang mendekati ataumirip dengan alternatif kebijakan sebelumnya untuk mengurangiakibat-akibat yang tidak diinginkan.
12. Sifat pembuat kebijakan yang berjenjang dan berbeda-beda dalambirokrasi yang besar telah menyebabkan timbulnya kesulitandalam mengkoordinasikan pembuatan keputusan sehinggamasukan-masukan dan pelbagai macam spesialis perludipertemukan untuk sampai kepada keputusan yang diinginkan.
2.3.3.2 Perencanaan inkremental
Setelah melihat kelemahan-kelemahan pada model rasional komprehensif,
Herbert A. Simon menawarkan model lain yang disebut prinsip rasional
terikat/terbatas. Simon menganggap model ini lebih realistis, karena mengakui
akan keterbatasan-keterbatasan yang ada perencana, seperti keterbatasan
pengetahuan, keahlian, waktu, dana, tenaga dan sebagainya, sehingga perencana
sebagai pembuat kebijakan tidak mampu mempertimbangkan semua nilai-nilai
sosial dan dampaknya secara detail. Oleh karena itu dalam membuat kebijakan,
30
perencana cukup memuaskan diri dengan hanya memilih satu alternatif yang
“cukup baik” yang dijumpai pertama kali dengan tanpa bersusah payah mencari
alternatif-alternatif yang paling baik (Islamy, 1988: 4.18; Parsons, 2005: 276).
Lebih lanjut Charles E Lindblom, mengemukakan bahwa perumusan
kebijakan analitis tidak dapat disangkal lagi punya keterbatasan – dan harus
menyediakan ruang bagi politik – sampai pada tingkat bahwa:
1. analisis bisa salah, dan masyarakat menyadari hal itu,
2. analisis tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik nilai dan kepentingan,
3. prosesnya lambat dan mahal, dan
4. analisis tidak dapat menunjukkan secara tegas masalah mana yang harus
ditangani (Linblom, 1986: 22).
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, maka Lindblom memperkenalkan
model incremental atau disebut The Science of “Muddling Through”.
Karakteristik pembuatan keputusan, dalam term “muddling through” adalah
sebagai berikut:
1. pembuatan keputusan berjalan melalui perubahan bertahap,2. pembuatan keputusan melibatkan penyesuaian dan negosiasi mutual,3. kelalaian pembuatan keputusan lebih disebabkan oleh eksklusif aksidental
ketimbang eksklusif yang sistematis atau disengaja,4. pembuatan keputusan tidak dibuat sekali untuk semua,5. pembuatan keputusan tidak dipandu oleh teori,6. pembuatan keputusan lebih baik ketimbang “usaha si manusia untuk
memahami segala hal”,7. ukuran keputusan yang baik adalah pada kesepakatan dan proses ketimbang
pada pencapaian tujuan dan sasaran, dan8. pembuatan keputusan melibatkan upaya trial and error (Parsons, 2005: 289).
Secara sederhana perbedaan karakteristik antara kedua pendekatan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2.5.
31
Tabel 2.5Perbandingan Pendekatan Rasional Komprehensif dengan Pendekatan Inkremental
Rasional komprehensif Inkremental
1. Klarifikasi nilai-nilai atau tujuanberbeda dari dan biasanya merupakanprasayarat untuk analisis empiristerhadap alternatif-alternatif kebijakan
1. Pemilihan nilai-nilai/tujuan-tujuan dananalisis empiris terhadap tindakan yangdiperlukan tidak berbeda satu sama laintetapi saling berkaitan
2. Perumusan kebijakan oleh karenanyamelalui pendekatan analisis cara-tujuan.Pertama tujuan ditentukan kemudiandicari cara-cara untuk mencapai tujuanitu
2. Karena cara dan tujuan tidak berbeda,maka analisis cara-tujuan seringkalitidak tepat atau terbatas.
3. Penentuan suatu kebijakan disebut“baik” ditentukan atas dasar pemilihancara-cara yang paling tepat untukpencapaian tujuan yang diinginkan
3. Penentuan kebijakan disebut “baik” bilaberbagai pembuat keputusan itumelakukan, memberikan kesepakatansecara langsung terhadap kebijakanyang dibuat
4. Analisis dilakukan secarakomprehensif; setiap faktor yangpenting dan relevan dipertimbangkansecara seksama
4. Analisis dibatasi secara drastis:
i. Kemungkinan-kemungkinan hasilyang penting tidak/kurangdiperhatikan
ii. Alternatif-alternatif kebijakan yangpotensial tidak/kurang diperhatikan
iii. Nilai-nilai penting yangberpengaruh tidak/kurangdiperhatikan
Sumber: Lindblom, 1959: 81
Dalam karyanya yang lebih baru (1963), Lindblom berusaha memperluas
dan memperbaiki ide-idenya: hasilnya adalah pengenalan gagasan disjointed
incrementalism (inkrementalisme yang terputus-putus). Dalam pendekatan ini
pembuatan keputusan dilakukan melalui perbandingan antara kebijakan yang
hanya memiliki sedikit perbedaan dengan kebijakan lain dan tidak ada tujuan atau
visi besar yang mesti dikejar selain mengatasi problem dan memperbaiki keadaan.
Tujuan ditetapkan menurut sarana dan sumber daya yang tersedia. Ia bersifat
32
terputus-putus karena keputusan tidak dibuat di bawah rencana yang menyeluruh,
kontrol lengkap atau koordinasi (Parsons, 2005: 289).
Pendekatan inkremental sendiri juga dikritik sebagai terlalu “khawatir”
dan konservatif, karena mengingkari kekuatan perubahan sosial yang revolusioner
(perubahan besar dan dalam waktu relatif singkat), sehingga pendekatan ini
kadang dianggap sebagai pendekatan yang pro-interia dan anti-inovasi, sesuai
dengan lingkupnya yang relatif sempit dan parsial. (Dror dalam Ham dan Hill,
1993: 88). Pendekatan ini juga dikritik berkaitan dengan kelemahannya dalam
berpikir induktif dengan berasumsi bahwa stimulus dan respon jangka pendek
dapat menggantikan kebutuhan terhadap visi dan teori (Djunaedi, 2000: 5;
Rustiadi, dkk, 2009: 343).
2.3.3.3 Mixed scanning
Sebagai tanggapan atas pendekatan rasional dan inkremental, Etzioni
(1967, 1986) menyatakan bahwa pendekatan rasionalitas dalam pembuatan
keputusan membutuhkan sumber daya yang lebih besar daripada apa yang dapat
dimanfaatkan oleh pembuat keputusan. Sedangkan strategi inkremental, yang
mempertimbangkan kapasitas aktor yang terbatas, telah menciptakan keputusan
yang mengabaikan inovasi sosial dasar masyarakat. Etzioni kemudian
mengemukakan pendekatan ketiga yang disebut mixed scanning (pengamatan
campuran).
Mixed scanning mereduksi aspek yang tidak realistis dalam pendekatan
rasional dengan membatasi detail yang dibutuhkan dalam membuat keputusan
fundamental dan membantu mengatasi kecenderungan konservatif
33
inkrementalisme dengan mengeksplorasi alternatif jangka panjang. Model mixed
scanning ini membuat dualisme tersebut menjadi eksplisit dengan
mengombinasikan (a) proses pembuatan kebijakan fundamental yang menentukan
arah dasar, dan (b) proses inkremental yang disiapkan untuk keputusan
fundamental dan untuk melaksanakannya setelah keputusan itu tercapai.
Mixed scanning memiliki dua kelebihan daripada inkremantalisme, yaitu
menyediakan suatu strategi untuk evaluasi. Fleksibilitas dari tingkat pengamatan
yang berbeda membuat mixed scanning sebagai suatu strategi yang berguna untuk
pembuatan keputusan dalam lingkungan dengan stabilitas beragam dan oleh
pihak-pihak dengan kontrol beragam serta kapasitas untuk pembangunan
konsensus (Etzioni, 1967: 385).
Dengan demikian model ini mengakui bahwa para pembuat keputusan
harus mempertimbangkan biaya pengetahuan: tak semuanya bisa diamati, jadi
para pembuat keputusan berusaha (atau harus berusaha) untuk mengamati area-
area utama secara penuh dan “secara rasional”, sedangkan area lainnya hanya
akan diamati secara “sepotong-sepotong” (Parsons, 2005: 301).
Ham dan Hill mencatat bahwa ada problem dalam model Etzioni, yaitu
apakah keputusan fundamental memang signifikan seperti yang diungkapkan
Etzioni. Meski dalam beberapa situasi keputusan fundamental memang penting,
namun dalam situasi lainnya pembuatan keputusan dilakukan secara kurang
terstruktur. Dalam beberapa area organisasi dan kebijakan, tindakan dijustifikasi
karena “sesuatu selalu telah terlaksana”, daripada harus merujuk pada keputusan
fundamental yang berperan sebagai konteks bagi tindakan tersebut. Ketika ini
34
terjadi, hal-hal yang tidak direncanakan lebih banyak muncul daripada rancangan
kebijakan yang mencirikan proses kebijakan. Kesulitan lain adalah bagaimana
membedakan keputusan fundamental dengan keputusan inkremental (Ham dan
Hill, 1993: 91).
2.3.3.4 Perencanaan advokasi
Advocacy planning (perencanaan advokasi) dikembangkan pertama kali
oleh Paul Davidoff (1965). Perencanaan advokasi muncul sebagai tanggapan atas
praktek perencaaan yang dilakukan satu lembaga perencanaan tunggal yang
dikontrol pemerintah tanpa akuntabilitas publik dan dikelola oleh perencana tanpa
pengetahuan tentang kondisi sosial dan ekonomi, dengan mengabaikan pluralisme
nilai-nilai masyarakat serta eksklusi terhadap masyarakat miskin dan minoritas.
(Checkoway, 1994: 141; Clavel, 1994: 146).
Perencanaan advokasi menolak adanya asumsi bahwa hanya ada satu nilai
atau satu kepentingan umum tunggal, tetapi mengakui adanya pluralisme nilai-
nilai atau kepentingan dari dan dalam kelompok masyarakat yang sebagian besar
tidak mampu diakomodasi dalam perencanaan formal. Karenanya perencana harus
mampu berperan sebagai advokat dalam proses politik untuk mempertemukan
kepentingan pemerintah dan kelompok masyarakat seperti itu, organisasi atau
individu yang menaruh perhatian dalam mengajukan kebijakan untuk
pembangunan masa depan komunitas (Davidoff, 2000 [1965] : 425).
Dalam pendekatan ini perencana dituntut meliki kemampuan khusus,
seperti: keahlian diplomatik dalam mendengarkan, negosiasi, mediasi,
35
penyelidikan, inovasi, rekonsiliasi, fasilitasi atau organisasi dan banyak lagi
(Forester, 1994: 154).
Perencanaan advokasi telah berhasil dalam mencegah munculnya rencana
yang tidak sensitif dan menantang pandangan tradisional tentang kepentingan
umum yang tunggal. Perencanaan advokasi juga dianggap berhasil dalam
menjembatani antara unsur profesional dan politis (Marris, 1994: 143) serta
memberi pengaruh pada perkembangan suatu bentuk pendekatan perencanaan
berikutnya yaitu equity planning (Krumholz, 1994: 150).
Namun, pendekatan ini juga tidak terlepas dari kritik, bahkan pada konsep
pluralism yang diusungnya. Perencanaan advokasi dianggap terlalu
menyederhanakan bahwa suatu komunitas/kelompok masyarakat memiliki satu
kepentingan, daripada terdiri dari berbagai kepentingan dan sering kali
bertentangan satu sama lain; mengesampingkan kekuatan politik (kekuatan politik
“tersembunyi” seperti kelompok “lobby”) bila dibandingkan dengan analisis
rasional, serta memandang terlalu tinggi terhadap peran perencana-advokat
sebagai formulator dan generator isu (Hayden, 1994: 160; Peattie, 1994: 152).
2.3.3.5 Equity planning
Equity planning atau perencanaan (berdasarkan) keadilan, terinspirasi dari
perencanaan advokasi yang dikemukakan Davidoff. Equity planning mengikuti
pendapat perencanaan advokasi bahwa akar-akar ketidakadilan sosial ekonomis
perkotaan perlu diatasi, tapi tidak sependapat bahwa perencana mempunyai
tanggung jawab eksplisit untuk membantu pihak-pihak yang tidak beruntung
(Djunaedi, 2000: 4). Equity planning berusaha untuk mencapai redistribusi
36
kekuasaan, sumber daya atau partisipasi yang semula berpusat pada elit lokal
menuju pada penduduk miskin (Krumholz, 1994: 150).
2.3.3.6 Perencanaan adaptif
Perencanaan adaptif didasarkan pada ide untuk menghasilkan kesempatan
pembelajaran tentang pelaksanaan menyeluruh, pemantauan dan re-evaluasi pada
tahap rencana. Dalam satu pengertian, pendekatan adaptif mencerminkan
peleburan perencanaan dengan manajemen yang menekankan pentingnya
fleksibilitas dan responsivitas pada level pembuatan keputusan dan rancangan
(Dempster, 1998: 132).
Pendekatan ini dilakukan apabila diperoleh informasi baru maka segera
dilakukan review atas suatu pengelolaan yang sedang berjalan sehingga
dirumuskan pendekatan-pendekatan baru. Perencanaan adaptif hanya dapat
dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan luas yang biasanya hanya
dimiliki oleh pucuk-pucuk pimpinan. Namun pendekatan adaptif menghadapi
kendala, terutama akibat adanya penolakan lembaga pengelola atau pihak-pihak
yang memanfaatkan sumberdaya untuk melakukan penyesuaian terhadap hal-hal
yang bagi mereka penuh ketidakpastian. Selain itu, perencanaan adaptif yang
terlalu longgar, akan banyak menimbulkan inkonsistensi dalam perspektif jangka
panjang yang berpengaruh pada kesinambungan kebijakan perencanaan dan
program-program antar waktu yang dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan-
tujuan strategis jangka panjang (Rustiadi, dkk, 2009: 344).
37
2.3.3.7 Perencanaan transaktif
Perencanaan transaktif dikembangkan oleh Friedmann sebagai respon
terhadap permasalahan yang timbul akibat sentralisasi dalam perencanaan sosial
yang didasarkan model rasional komprehensif yang abai pada proses (McAvoy,
dkk, 1991: 45). Menurut Friedmann, perencanaan dalam prosesnya haruslah:
normatif, politis, transaktif, inovatif dan berdasarkan pembelajaran sosial
(Friedmann, 1993: 483).
Perencanaan transaktif menempatkan isu keterlibatan para pihak dengan
menempatkan komunitas perencanaan dalam suatu diskusi. Menurut pendekatan
ini, pengetahuan akan bermanfaat dengan baik ketika menghasilkan tindakan yang
berkontribusi dalam mempertemukan kebutuhan kelompok masyarakat yang
berkepentingan. Prinsip utama perencanaan transaktif adalah pembelajaran
bersama melalui kontak langsung dengan para pihak yang dipengaruhi oleh
implementasi dari suatu rencana (Sharma, 2008: 83).
Perencanaan transaktif menempatkan para pihak yang terpengaruhi
tersebut dalam proses perencanaan, bersifat partisipatif. Dalam beberapa situasi
hal ini secara nyata menguntungkan ketika isu-isu lokal langsung diperoleh dari
semua kelompok yang hadir, dan interaksi tatap muka dengan mereka atau
kelompok perwakilan mengalami kecocokan. (Alexander, 1994: 375).
2.3.3.8 Consensus building
Munculnya consensus building (pembangunan konsensus) sebagai suatu
pendekatan dalam perencanaan telah membuka peluang untuk memformulasi
ulang perencanaan komprehensif. Consensus building muncul secara pararel
38
dengan pemikiran “rasionalitas komunikatif” dalam pengertian bahwa suatu
keputusan dikatakan rasional pada derajat dimana keputusan tersebut dicapai
dengan persetujuan melalui diskusi yang melibatkan semua stakeholder dalam
kedudukan yang setara (Innes, 1996: 461).
Consensus building berperan sebagai suatu cara dalam menemukan
strategi yang layak untuk menghadapi perencanaan dan kebijakan yang tidak
pasti, kompleks dan kontroversial. Karena melalui konsensus akan muncul
pengetahuan, ide dan aksi bersama yang lebih baik untuk menghadapi kondisi
tersebut. Melalui proses konsensus, para stakeholder akan mampu belajar, secara
bersama memperoleh pemahaman baru dan membangun kepercayaan dan
menciptakan solusi yang efektif (Innes dan Booher, 1999: 421).
39
Tabel 2.6Perbandingan Pendekatan Perencanaan
Pendekatan perencanaan Rasional Komprehensif Inkremental Mixed Scanning Perencanaan Advokasi
KarakteristikPerencanaan
Netral Aktivitas teknis yang berpusat
pada negara
Sama seperti rasionalkomprehensif
Sama seperti rasionalkomprehensif
Advokasi dalam prosespolitik untukmempertemukankepentingan pemerintahdan kelompok masyarakat
Peran negara Sebagai perantara netral yangingin mencapai masyarakatyang stabil denganpengetahuan teknis
Sama seperti rasionalkomprehensif
Sama seperti rasionalkomprehensif
Mendengarkan danmenerima aspirasimasyarakat
Tujuan Peningkatan kualitaslingkungan
Sama seperti rasionalkomprehensif
Sama seperti rasionalkomprehensif
Keadilan sosial terutamabagi masyarakat yangtermajinalkan
Ruang lingkup Fisik/spasial dan sosialekonomi
Fisik/spasial dan sosialekonomi
Fisik/spasial dan sosialekonomi
Permasalahan darimasyarakat yangtermajinalkan
Metode Perumusan masalahPengumpulan dataAnalisisTujuan dan sasaranPerencanaanPengambilan keputusanImplementasi
Sama seperti rasionalkomprehensif, namunhanya memfokuskan untukmelanjutkan kondisi yangtelah ada dalam jangkapendek (setahap demisetahap)
Sama seperti inkremental,namun tetapmemperhatikan tujuanjangka panjang
Advokasi kelompok yangterpinggirkan agar dapatdiakomodasi pemerintah.
Sumber: Shetawy, 2002: 81
40
Tabel 2.6 (Lanjutan)Perbandingan Pendekatan Perencanaan
Sumber: Shetawy, 2002: 81
Pendekatanperencanaan
Equity Planning Perencanaan Adaptif Perencanaan Transaktif Consensus building
KarakteristikPerencanaan
Merepresentasikan semua kelassosial
Perubahan dilakukan dengancepat sesuai kondisi yangtelah ada
Pembelajaran bersamadengan para pihak yangdipengaruhi olehimplementasi dari suaturencana
Pembelajaran bersamadengan para pihak yangdipengaruhi olehimplementasi dari suaturencana
Peran negara Mengakomodasi kepentingansemua kelas sosial
Dominan, keputusan diamniloleh pihak-pihak yangmemiliki kewenangan
Negara sebagai pengaturumum dan regulator, terbukauntuk dominasi salah satupihak atau menekan pihaklain.
Negara sebagai fasilitatormelibatkan semuastakeholder dalamkedudukan yang setara
Tujuan Keadilan sosial, kesetaraan kelas Perubahan dalam waktusingkat
Kompromi Persetujuan yang melibatkansemua stakeholder dalamkedudukan yang setara
Ruang lingkup Kepentingan semua kelompok Rencana yang sedangberjalan
Kelompok kepentingan Kelompok kepentingan
Metode Diskusi yang melibatkan semuastakeholder dalam kedudukan yangsetara
Review atas suatupengelolaan yang sedangberjalan sehinggadirumuskan pendekatan-pendekatan baru
Diskusi yang melibatkansemua stakeholder
Diskusi yang melibatkansemua stakeholder dalamkedudukan yang setara
41
2.4 Model Penelitian
Model penelitian dimulai dari kajian pustaka terkait dengan topik
penelitian yaitu tentang pendekatan perencanaan. Konsep yang sudah ditentukan
akan menjadi sebuah penjelasan tentang apa saja yang dicari dalam penelitian ini.
Rumusan masalah merupakan indikator untuk menentukan teori yang akan
digunakan untuk menganalisisnya.
Perencanaan tata ruang dapat dipahami dengan teori pendekatan
perencanaan, namun prakteknya tidak mungkin membicarakan perencanaan
terpisah dari konteks institusional dan politik, serta adanya kesulitan dalam
memadankan relasi kekuasaan dalam diskursus perencanaan, sehingga diperlukan
juga teori perubahan kebijakan publik untuk memahami proses perencanaan tata
ruang wilayah sebagai bagian dari proses perumusan kebijakan publik yang
bersifat birokratis.
Dengan demikian untuk mengetahui pendekatan perencanaan yang
diterepkan dalam perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar, perlu diketahui
terlebih dahulu proses dan pihak-pihak dan kepentingan-kepentingan yang terlibat
dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar. Untuk lebih jelas model perencanaan
dapat dilihat pada Gambar 2.2
42
BAB IIIGambar 2.2 Model Penelitian
Kesimpulan dan saran
Proses analisis
Proses penyusunan PendekatanPerencanaan
Perencanaan Kota sebagai aktivitasteknis yang rasional dan netral
Teori pendekatan perencanaan: Karakteristik perencanaan Tujuan Ruang Lingkup Metode
Siapa dan bagaimanapihak-pihakberpengaruh
Perencanaan Kota sebagai fungsinegara yang diformulasikan melaluiproses politik dan kebijakan publik
Teori perubahan kebijakan konfigurasi subsistem
kebijakan
43
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang rancangan penelitian, lokasi penelitian, jenis
dan sumber data yang digunakan, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data,
teknik analisis data, serta teknik penyampaian hasil analisis.
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui integrasi teori dan praktek
perencanaan yang mencakup proses dan substansi perencanaan kota dalam
tingkatan rencana tata ruang wilayah kota serta dampak rencana tersebut pada
struktur dan pola ruang. Berdasarkan hal yang ingin dicapai tersebut, maka
penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Format kualitatif dimanfaatkan
untuk keperluan meneliti sesuatu dari segi prosesnya. Serta data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka
(Moleong,2008:7).
Penelitian ini menggunakan pendekatan penulisan deskriptif. Penelitian
deskriptif mempunyai bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai
kondisi, situasi atau fenomena realitas yang menjadi obyek penelitian dan
berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat,
model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu
(Bungin, 2008: 68).
Rancangan penelitian yang dilakukan ini melalui beberapa tahapan, yakni
diawali dengan menentukan permasalahan, menentukan instrumen penelitian,
menentukan metode yang dipergunakan mencakup wawancara dan studi
44
dokumentasi. Selanjutnya, tahapan menganalisis data yang sudah terkumpul.
Tahap terakhir merupakan kesimpulan serta rekomendasi. Keseluruhan rangkaian
proses tersebut disusun dan kemudian disajikan dalam wujud tesis.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di Kota Denpasar dengan ruang lingkup
penelitian pada kasus perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar. Karena
perencanaan merupakan salah satu fungsi pemerintahan maka penelitian juga
dilakukan pada lingkungan birokrasi Pemerintah Kota Denpasar yang
membidangi perencanaan kota.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Sesuai dengan pendekatan penelitian maka jenis data yang akan diperoleh
adalah data kualitatif yang diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian-uraian.
Sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data
Tabel 3.1Peta Lokasi Penelitian/Orientasi Perencanaan
45
sekunder. Sumber data primer bersumber dari informasi dari para stakeholder
yang terlibat dalam proses dan memahami substansi perencanaan tata ruang Kota
Denpasar, meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar dan
Dewan Perwakilan Rakyat Kota Denpasar.
Sumber data sekunder utama berupa peraturan daerah tentang rencana tata
ruang yang mencakup Perda RUTR Kota No.11 tahun 1992, Dokumen RTRWK
tahun 1993, dan Perda RTRWK No.10 tahun 1999,notulen rapat dan berita acara
rapat. Sumber data sekunder lainnya berupa bahan-bahan informasi mengenai
proses rencana tata ruang yang dikeluarkan instansi yang membidangi perencanan
kota, seperti majalah, buletin, berita-berita media massa, pengumuman, atau
pemberitahuan. Penjabaran jenis dan sumber data dalam penelitian ini dapat
dilihat melalui tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1Jenis dan Sumber Data
No
Tujuan Data Jenis Data Sumber PerolehanData
1 Mengetahui prosespenyusunan Perda No. 27Tahun 2011 tentangRTRW Kota Denpasar2011-2031 serta produkkebijakan yang dihasilkan
Laporan Panitia KhususRTRW.
Notulendan berita acararapat
Media massa.
Kualitatif WawancaraStudidokumen
BappedaKotaDenpasar
DPRDKotaDenpasar
2. Mengetahui pihak-pihakdan kepentingan yangberpengaruh dalampenyusunan Perda No. 27Tahun 2011 tentangRTRW Kota Denpasar2011-2031.
Laporan Panitia KhususRTRW.
Notulendan berita acararapat
Naskah RTRW. Materi teknis RTRW Peraturan perundang-
undangan.
Kualitatif Studidokumen
BappedaKotaDenpasar
DPRDKotaDenpasar
3. Mengetahui pendekatanyang diterapkan dalamperencanaan tata ruangwilayah di Kota Denpasar.
Laporan Panitia KhususRTRW.
Media massa. Naskah RTRW. Peraturan perundang-
undangan.
Kualitatif Studidokumen
BappedaKotaDenpasar
DPRDKotaDenpasar
46
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, instrumen yang dipakai dalam pengumpulan
data lebih banyak bergantung pada diri peneliti sebagai alat pengumpulan data.
Hal ini disebabkan oleh sulitnya mengkhususkan secara tepat pada apa yang akan
diteliti. Di samping itu, orang sebagai suatu instrumen dapat mengambil
keputusan secara luwes. Ia dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan
(Moleong, 1988:19).
Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang dipakai untuk mengum-
pulkan data adalah pedoman wawancara, seperangkat komputer dan alat tulis.
3.4.1 Pedoman wawancara
Pedoman wawancara digunakan pada metode wawancara yang dilakukan
pada orang-orang yang terlibat dalam proses perencanaan RTRW Kota Denpasar,
serta para pakar dan praktisi yang berkompoten dalam bidang perencanaan. Di
dalamnya termuat pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan rumusan masalah
dan sasaran pada penelitian yang dilaksanakan. Pertanyaan yang diberikan lebih
terfokus pada proses perencanaan RTRW Kota Denpasar serta dampaknya pada
struktur dan pola ruang Kota Denpasar (pedoman wawancara terlampir).
3.4.2 Daftar para pihak dan tahapan kegiatan
Daftar tahapan kegiatan digunakan untuk mengelompokkan pihak-pihak
yang terlibat berserta gagasan masing-masing, serta untuk menyusun tahapan-
tahapan kegiatan yang dilakukan dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar.
Tahapan-tahapan kegiatan tersebut disusun berdasarkan urutan kronologis.
47
3.4.3 Tabel perbandingan pendekatan perencanaan
Tabel perbandingan pendekatan perencanaan digunakan untuk
mencocokkan proses perencanaan yang terjadi dengan teori pendekatan
perencanaan seperti yang tertulis pada Tabel 2.6
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan teknik
kepustakaan. Wawancara dilakukan terhadap Bappeda Kota Denpasar dan DPRD
Kota Denpasar. Teknik wawancara menggunakan petunjuk umum atau prosedur
wawancara. Jenis wawancara ini menggunakan petunjuk umum atau prosedur
wawancara tanpa perlu dilakukan secara berurutan. Demikian pula penggunaan
dan pemilihan kata untuk wawancara dalam hal tertentu tidak dirumuskan secara
baku. Petunjuk wawancara berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan
isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat
seluruhnya tercakup. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan
disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara yang
sebenarnya. Arahan wawancara ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai
proses dan substansi perencanaan serta dampaknya terhadap tata ruang wilayah.
Teknik studi dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder
berupa dokumen-dokumen resmi maupun tidak resmi, seperti yang telah
disebutkan pada bagian jenis dan sumber data. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah teknik perekaman dan pencatatan baik untuk wawancara
maupun dokumentasi, serta teknik penelurusan data secara online melalui internet.
48
3.6 Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis fakta-fakta yang ditemukan di lapangan, dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, reduksi data yaitu melakukan
penyusunan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan sumber data sekunder,
kemudian ditentukan data atau informasi yang sesuai fokus penelitian. Sementara
data yang kurang relevan dikesampingkan.
Kedua, pengklasifikasian data dalam beberapa titik tekan pada persoalan
atau rumusan masalah penelitian. Pada tahap inilah pendekatan-pendekatan teori
yakni teori-teori yang relevan dijadikan teori untuk memahami, meneliti serta
menganalisis fokus dalam penelitian.
Tabel 3.2Teknik Analisis Data
No TujuanData
InstrumenPenelitian
Teknik analisis
1 Mengetahui prosespenyusunan Perda No.27 Tahun 2011 tentangRTRW Kota Denpasar2011-2031
Laporan PanitiaKhusus RTRW.
Media massa.
Daftar parapihak dantahapankegiatan
Pedomanwawancara
Data dianalisisberdasarkan urutankronologi prosesperencanaan RTRWdengan teori perubahankebijakan, denganpenekanan pada: Keadaan agenda
setting Arena Konflik
2. Mengetahui pihak-pihak dan kepentinganyang berpengaruhdalam penyusunanPerda No. 27 Tahun2011 tentang RTRWKota Denpasar 2011-2031.
Laporan PanitiaKhusus RTRW.
Media massa. Naskah RTRW. Peraturan
perundang-undangan.
Daftar parapihak dantahapankegiatan
Para pihak yang adadianalisis dengan teorikonfigurasi subsitemkebijakan.
3. Mengetahuipendekatan yangditerapkan dalamperencanaan tata ruangwilayah di KotaDenpasar serta produkkebijakan yangdihasilkan.
Laporan PanitiaKhusus RTRW.
Media massa. Naskah RTRW. Peraturan
perundang-undangan.
Tabelperbandinganpendekatanperencanaan
Menguraikan proses danproduk kebijakan yangdihasilkan dalam poin-point berikut: Tujuan Metode
49
3.7 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang dapat
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian informasi dilakukan dalam bentuk teks naratif yang
memperlihatkan adanya proses perencanaan serta pihak-pihak yang terlibat dalam
proses perencanaan
Penarikan simpulan merupakan satu bagian dari satu kegiatan konfigurasi
yang utuh. Penarikan simpulan dilakukan berdasarkan analisis yang cermat dan
mendalam terhadap data-data yang diperoleh. Simpulan yang didapat harus
mampu memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang telah dikemukakan
dalam rumusan permasalahan penelitian ini.
50
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Proses Penyusunan RTRW Kota Denpasar Tahun 2011 -2031
Maksud Penyusunan RTRW Kota Denpasar adalah merevisi Perda Nomor
10 tahun 1999 tentang RTRW Kota Denpasar sesuai amanat Pasal 78 UU. Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perda RTRW Kota Denpasar harus
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 16 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN serta Perda Provinsi
Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali, agar terjadi kesinambungan dan
integrasi sistem penataan ruang nasional, provinsi dan daerah kota.
Penyusunan RTRW dimaksud diinisiasi oleh Bappeda Kota Denpasar
dalam sebuah proses yang melibatkan beberapa pihak. Proses tersebut diuraikan
dalam uraian di bawah ini.
4.1.1. Rapat Evaluasi RTRW
Dalam rangka revisi Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang RTRW Kota
Denpasar, maka diadakan rapat untuk membahas evaluasi RTRW Kota Denpasar
(Perda Nomor 10 Tahun 1999) bertempat di Bappeda Kota Denpasar pada 19 Mei
2006. Rapat dihadiri seluruh kepala desa/lurah Kota Denpsar. Rapat ini bertujuan
memperoleh informasi atau masukan sebagai bahan kajian dalam rangka evaluasi
RTRW.
51
Beberapa informasi yang diterima Bappeda Kota Denpasar, antara lain
informasi dari Lurah Serangan, bahwa perumahanan masyarakat di Serangan sudah
ada sejak lama, dan kondisi sempadan pantai tidak lagi memenuhi ketentuan (Jarak
dari pantai rata-rata mencapai lima meter, bahkan kurang). Kepala Desa Sanur Kaja
menyampaikan bahwa permasalahan kawasan jalur hijau di Jalan Sedap Malam
yang mengalami pembangunan secara masif, sehingga semakin mengurangi
kawasan jalur hijau. Lurah Sesetan menyatakan bahwa warga Sesetan yang
memiliki lahan di kawasan hutan bakau mengusulkan untuk merubah ketentuan
penggunaan lahan di kawasan tersebut. Kepala Desa Kesiman Petilan
menyampaikan bahwa masih menginginkan adanya jalur hijau di wilayahnya
karena di wilayahnya terdapat Subak Delod Sema yang masih berfungsi hingga kini
(Notulen Rapat dalam Rangka Evaluasi dan Revisi RTRW Kota Denpasar, 2006).
4.1.2. Pembahasan Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi
RTRW Kota Denpasar
Rapat pembahasan ini bertujuan untuk memperoleh masukan dan informasi
terhadap Laporan Pendahuluan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi
RTRW Kota Denpasar. Rapat diselenggarakan di Kantor Bappeda Kota Denpasar
pada 27 Juli 2006, dan dihadiri Kepala Bappeda Provinsi Bali, Kepala PU Provinsi
Bali, Pimpinan Komisi DPRD Kota Denpasar, Kepala SKPD yang terkait
lingkungan Kota Denpasar, institusi pendidikan, asosiasi profesi, PHDI, seluruh
bidang di lingkungan Bappeda Kota Denpasar dan seluruh camat di Kota Denpasar.
Evaluasi terhadap Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang RTRW Kota
Denpasar dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: Pertama, evaluasi data, yakni
52
mengumpulkan berbagai data pemanfaatan ruang yang terjadi, selanjutnya
dibandingkan dengan strategi dan rencana pemanfaatan ruang yang termuat dalam
RTRW Kota Denpasar Tahun 1999, serta mengumpulkan data mengenai kebijakan-
kebijkan dan strategi yang ada saat ini dibandingkan dengan kebijakan dan strategi
pembangunan yang dijadikan dasar dalam RTRW Kota Denpasar Tahun 1999.
Kedua, penentuan perlu tidaknya peninjauan kembali RTRW Kota Denpasar
karena terjadinya perubahan kebijakan pemerintah, terjadinya simpangan-
simpangan yang besar terhadap struktur dan pemanfaatan ruang. Ketiga, tipologi
peninjauan kembali RTRW Kota Denpasar, dimana dalam hal ini akan dilihat
besarnya simpangan yang terjadi dan perubahan-perubahan faktor eksternal
(Bappeda Kota Denpasar, 2006: I-8).
Pemaparan yang disampaikan dalam rapat antara lain, terjadinya
pelanggaran jalur hijau, sempadan dan pemanfaatan lahan. Kurun waktu
pelaksanaan Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang RTRW yang sudah berlangsung
lebih dari lima tahun dan harus disesuaikan dengan peraturan di atasnya.
Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa daerah terbangun di Kota Denpasar telah
mencapai 64% dari luas Kota Denpasar.
Dalam pemaran juga disampaikan mengenai tinjauan kebijakan
pembangunan dari Provinsi Bali dan Kota Denpasar. Tinjauan kebijakan
pembangunan Provinsi Bali yang dimaksud meliputi Rencana Strategis Provinsi
Bali yang mencakup visi dan misi pembangunan Provinsi Bali, yaitu: Terwujudnya
Bali Dwipa Jaya berdasarkan Tri Hita Karana. Tinjauan kebijakan pembangunan
Kota Denpasar meliputi Visi dan Misi Pembangunan Kota Denpasar, yaitu:
53
Mewujudkan Pembangunan Kota Denpasar yang Berwawasan Budaya yang
Dijiwai oleh Agama Hindu dan Dilandasi Tri Hita Karana.
Terhadap pemaparan laporan pendahuluan tersebut muncul beberapa
masukan, antara lain dari Kepala Bappeda Kota Denpasar koreksi terhadap luas
wilayah, batas-batas administrasi, jumlah kecamatan dan penyesuaian Visi dan Misi
Kota Denpasar sesuai RPJM 2006. Kelompok ahli Pemkot Denpasar mengusulkan
perlu adanya sinkronisasi antara kebijakan tata ruang nasional, provinsi dan kota.
Bappeda Provinsi Bali memberikan masukan agar laporan yang disusun fokus pada
tata ruang dan menampilkan data yang akurat. Perwakilan dari REI dan IAI
mempertanyakan tolak ukur dalam menentukan lahan terbangun mencapai 64%.
DPRD Kota Denpasar menyampaikan agar dibuat jadwal mengenai tahapan-
tahapan penyusunan RTRW yang akan dilakukan (Notulen Rapat Pembahasan
Laporan Pendahuluan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota
Denpasar, 2006)
Kepala Bappeda Kota Denpasar menyatakan bahwa penyusunan RTRW
telah digunakan dasar yang jelas sebagai acuan. Setidaknya ada tiga poin penting
yang bisa dijadikan landasan dalam melakukan revisi Perda RTRW Tahun 1999.
Disebutkan, landasan pertama, yakni masa peraturan perundang-undangan (Perda)
dapat ditinjau kembali bila sudah berlaku lima tahun atau lebih. Selain itu, kondisi
di lapangan juga menjadi dasar pertimbangan dalam perubahan ini.
54
4.1.3. Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar
Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar dilakukan oleh Bappeda
Kota Denpasar setelah proses pengolahan data menjadi database terstruktur
dilakukan.
4.1.3.1. Analisis pengembangan wilayah
Data yang terkumpul dianalisis menjadi beberapa poin analisis, yang
selanjutnya diuraikan dalam uraian berikut. Analisis fisik wilayah, yang meliputi
letak dan administrasi wilayah kota denpasar, landform, relief dan topografi, iklim,
geologi, litologi dan jenis, hidrologi, analisis kesesuaian lahan, analisis ekosistem
wilayah dan analisis kawasan rawan bencana (tsunami, banjir, abrasi, intrusi laut ).
Pola ruang wilayah Kota Denpasar yang meliputi: pemanfaatan ruang
daratan, penggunaan ruang perairan/lautan dan pemanfaatan ruang udara. Kondisi
dan analisis sosial kependudukan, yang meliputi jumlah dan perkembangan,
kepadatan penduduk, komposisi penduduk, mobilitas penduduk, proyeksi jumlah
dan penyebaran penduduk.
Kondisi dan analisis sosial budaya yang meliputi: sejarah Kota Denpasar,
kondisi sistem sosial Budaya Bali di Kota Denpasar, komponen superstruktur
sosiokultural Bali, struktur sosial budaya masyarakat Denpasar, infrastruktur sosial
budaya, analisis Kota Denpasar Berwawasan Budaya Bali, analisis sosial budaya
sebagai landasan tata ruang Kota Denpasar serta analisis perwujudan Kota
Denpasar yang beridentitas Budaya Bali.
55
Analisis perekonomian Kota Denpasar yang meliputi: pertumbuhan
ekonomi kota, sektor basis dan sektor unggulan, sektor basis dan sektor unggulan,
identifikasi kegiatan perekonomian perkotaan dan perekonomian sektor informal
kota.
Analisis kondisi dan kebutuhan sistem transportasi yang meliputi: sistem
dan struktur jaringan jalan, kondisi dan pelayanan jaringan jalan, sistem
perangkutan dan terminal, headway angkutan umum, kondisi Pelabuhan Benoa,
analisis pengembangan Pelabuhan Benoa, dan usulan perbaikan dan peningkatan
sistem transportasi.
Kondisi dan analisis sistem infrastruktur wilayah, jaringan air bersih,
jaringan listrik dan sumber daya energi lainnya, jaringan telekomunikasi, jaringan
drainase, jaringan air limbah, pengelolaan persampahan dan jaringan irigasi.
Analisis kebutuhan fasilitas, yang meliputi: analisis fasilitas perumahan,
analisis fasilitas perkantoran pemerintahan, analisis kebutuhan fasilitas pendidikan,
analisis kebutuhan fasilitas kesehatan, analisis kebutuhan fasilitas peribadatan,
analisis kebutuhan fasilitas perdagangan dan jasa, serta fasilitas ruang terbuka,
rekreasi dan olah raga.
Analisis Kecenderungan Pola Ruang Wilayah yang meliputi :Analisis Pola
Penyebaran Aktivitas Penduduk; Kecencerungan Pola Ruang yang meliputi:
Analisis kecenderungan perkembangan kawasan perumahan dan permukiman,
analisis kecenderungan perkembangan kawasan perdagangan dan jasa, analisis
kecenderungan alih fungsi kawasan pertanian; analisis kawasan lindung yang
meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan
56
perlindungan setempat, analisis kawasan cagar budaya, analisis kawasan suaka
alam; analisis daya tampung ruang dan daya dukung prasarana yang meliputi
analisis daya tampung ruang, analisis daya dukung prasarana air bersih, analisis
pemanfaatan ruang perairan dan analisis pemanfaatan ruang udara.
Analisis struktur ruang wilayah yang meliputi analisis keterkaitan kota
denpasar dengan wilayah sekitar, analisis struktur jaringan jalan utama, analisis
sistem pusat-pusat kegiatan dan pelayanan serta potensi dan permasalahan
pengembangan.
4.1.3.2. Penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah
Setelah melalui tahapan analisis, tahapan yang dilakukan berikutnya adalah
penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah, yang meliputi: tinjauan
visi dan misi pembangunan Kota Denpasar, perumusan tujuan dan sasaran penataan
ruang wilayah, kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan kebijakan
dan strategi pengembangan pola ruang.
4.1.3.3. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Tahap berikutnya adalah penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota,
yang meliputi: Rencana Struktur Ruang, Rencana Pola Ruang Wilayah Kota,
Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) dan Rencana Pengembangan kawasan
Strategis Kota.
1. Rencana Struktur Ruang
Rencana struktur ruang wilayah Kota Denpasar merupakan kerangka tata
ruang wilayah Kota Denpasar yang tersusun atas konstelasi pusat-pusat kegiatan
57
yang berhierarki satu sama lain yang dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana
wilayah kota.
Rencana struktur ruang wilayah kota berfungsi: sebagai arahan pembentuk
sistem pusat kegiatan wilayah kota yang memberikan layanan bagi bagian wilayah
kota dan kawasan di sekitarnya yang berada dalam wilayah kota; dan sistem
perletakan jaringan prasarana wilayah kota yang menunjang keterkaitannya serta
memberikan layanan bagi fungsi kegiatan yang ada dalam wilayah kota, terutama
pada pusat-pusat kegiatan yang ada.
Rencana struktur ruang wilayah kota dirumuskan berdasarkan : kebijakan
dan strategi penataan ruang wilayah kota, kebutuhan pengembangan dan pelayanan
wilayah kota dalam rangka mendukung kegiatan sosial ekonomi, daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup wilayah kota dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Rencana struktur ruang wilayah Kota Denpasar memperhatikan dan
mengadopsi kebijakan pengembangan sistem perkotaan berdasarkan arahan
RTRWN dan RTRWP Bali, yang selanjutnya diintegrasikan dengan penetapan
sistem perkotaan dan sistem prasarana wilayah kota. Kebijakan ini dimaksudkan
untuk menjamin keterpaduan struktur ruang pada tingkat nasional, Provinsi Bali
dan Kota Denpasar.
Rencana struktur ruang wilayah Kota Denpasar akan ditinjau sesuai
kedudukan Kota Denpasar dalam lingkup makro (keterkaitan antar wilayah) dan
dalam lingkup mikro (keterkaitan antar kawasan/kecamatan di dalam wilayah Kota
Denpasar.
58
Dalam lingkup makro, Rencana Struktur Tata Ruang Kota Denpasar
diarahkan untuk meningkatkan integrasi dan keterkaitan Kota Denpasar dengan
wilayah yang lebih luas yaitu :
Keterkaitan dalam lingkup Wilayah Nasional, bahwa Kota Denpasar
merupakan Kota Inti dari PKN (Pusat Kegiatan Nasiona) yaitu Kawasan Perkotaan
Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan yang sekaligus KSN (Kawasan Strategis
Nasional) yaitu Kawasan Metropolitan Sarbagita, berfungsi sebagai pusat
pengembangan perekonomian nasional.
Keterkaitan dalam lingkup Wilayah Provinsi Bali, bahwa Kota Denpasar
merupakan Ibukota Provins Bali, pusat system perkotaan Bali dan Bali Bagian
Selatan, sehingga perlu dikembangkan aksesibilitas yang tinggi ke masing-masing
kota-kota fungsi PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) seperti Kota Singaraja, Kota
Semarapura dan Kota Negara serta kota-kota fungsi PKL (Pusat Kegiatan Lokal)
seperti Kota Bangli, Kota Amlapura, Kota Seririt.
Keterkaitan dalam lingkup Kawasan Metropolitan Sarbagita, bahwa Kota
Denpasar sebagai Kota Inti Kawasan Metropolitan Sarbagita membutuhkan
koordinasi dan integrasi pengembangan sistem prasarana kota yang terpadu dengan
Kota-Kota Satelit di sekitarnya (Kawasan Perkotaan Badung/Mangupura, Gianyar,
Tabanan, Jimbaran) beserta pusat-pusat kegiatan lainnya seperti ibukota kecamatan
(Kediri, Blahkiuh, Kerobokan, Sukawati, Blahbatuh) dan pusat-pusat kegiatan
pariwisata (Kawasan Pariwisata Nusa Dua, Tuban, Kuta, Sanur, Lebih, Ubud, dan
Kawasan Daya Tarik Wisata Khusus Tanah Lot).
59
Dalam lingkup mikro, Rencana Struktur Tata Ruang Kota Denpasar
diarahkan untuk meningkatkan pemerataan dan hirarki pusat-pusat pelayanan kota,
Bagian Wilayah Kota, lingkungan Permukiman yang didukung sistam prasarana
kota yang efisein dan efektif.
Dengan demikian Rencana Struktur Ruang Kota Denpasar pada dasarnya
merupakan Rencana Struktur Sistem Pusat Pelayanan Perkotaan Kota Denpasar.
Rencana ini merupakan kerangka dasar pembentuk wujud tata ruang wilayah Kota
Denpasar yang terdiri atas: sistem pusat pelayanan kota; pengembangan distribusi
kependudukan; dan sistem prasarana wilayah kota.
Sistem pusat pelayanan kota, sebagaimana dimaksud di atas, mencakup:
sistem perwilayahan pengembangan kota; sistem pusat-pusat pelayanan kota yang
berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan atau pemerintahan;
dan sistem hirarki pelayanan kegiatan kota.
Sedangkan pengembangan sistem prasarana wilayah kota, mencakup:
sistem jaringan transportasi sebagai jaringan prasarana utama; sistem jaringan
energi; sistem jaringan telekomunikasi; sistem jaringan sumber daya air; sistem
jaringan air minum; sistem jaringan air limbah; sistem persampahan; sistem
jaringan drainase; sistem penanggulangan bencana. Peta rencana struktur ruang
wilayah Kota Denpasar, dapat dilihat pada Gambar 4.1.
60
Gambar 4.1 Rencana Struktur Ruang
Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011
61
2. Rencana Pola Ruang Wilayah Kota
Rencana pola ruang wilayah merupakan rencana distribusi peruntukan
ruang dalam wilayah Kota Denpasar yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan fungsi budidaya. Ukuran atau luasan fungsi fungsi lindung dan
fungsi budidaya ditentukan berdasarkan kebutuhan ruang untuk berbagai kegiatan
serta target proporsi pemanfaatan ruang terbangun yang diharapkan. Berdasarkan
misi penataan ruang Kota Denpasar yaitu untuk mencapai kebutuhan ruang terbuka
yang ingin dituju adalah 35% yang terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat, maka
komposisi pemanfaatan uang harus dikelola sedemikian rupa untuk dapat
mewujudkannya.
Rencana pola ruang wilayah kota berfungsi: sebagai alokasi ruang untuk
berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan
dalam wilayah kota; mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;
sebagai dasar penyusunan indikasi program pembangunan; dan sebagai dasar
pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah kota.
Rencana pola ruang wilayah dirumuskan berdasarkan: kebijakan dan
strategi penataan ruang wilayah kota; daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup wilayah kota; kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi
dan lingkungan; dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
Rencana pola ruang wilayah Kota Denpasar merujuk pada rencana pola
ruang yang ditetapkan dalam RTRWN, RTRWP Bali, serta diserasikan dengan
RTRW Kabupaten yang berbatasan yang terdiri dari Kawasan Lindung dan
Kawasan Budidaya.
62
Hirarki fungsi ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya di Kota
Denpasar terdiri dari: Kawasan lindung, mencakup: kawasan yang memberikan
perlindungan kawasan bawahannya; kawasan perlindungan setempat; kawasan
pelestarian alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan; kawasan rawan bencana;
dan ruang terbuka hijau kota.
Kawasan budidaya, mencakup: kawasan peruntukan perumahan dan
permukiman; kawasan peruntukan perdagangan dan jasa; kawasan peruntukan
perkantoran pemerintahan; kawasan peruntukkan fasilitas pendidikan; kawasan
peruntukkan fasilitas kesehatan; kawasan peruntukkan fasilitas rekreasi, taman dan
olah raga; kawasan peruntukkan fasilitas peribadatan; kawasan peruntukan
pariwisata; kawasan peruntukkan industri dan pergudangan; kawasan peruntukkan
kegiatan pertahanan dan keamanan; kawasan peruntukkan prasarana transportasi
kawasan peruntukan prasarana infrastruktur kota; kawasan peruntukan setra dan
kuburan; kawasan ruang terbuka non hijau; kawasan peruntukan pertanian;
kawasan peruntukan perikanan; dan peruntukan kawasan pesisir dan laut.
Rencana pengembangan kawasan lindung wilayah kota diarahkan seluas
1.200,1 Ha atau 8,39% dari luas wilayah Kota. Rencana pengembangan kawasan
budidaya diarahkan seluas 11.577,9 Ha atau 90,61% dari total luas wilayah kota.
Peta rencana pola ruang wilayah kota dapat dilihat pada Gambar 4.2.
63
Gambar 4.2 Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Denpasar
Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011
64
3. Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota
Ruang terbuka hijau menurut Per-Mendagri No. 1 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan adalah : ruang-ruang dalam
kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam
bentuk area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka
yang pada dasarnya tanpa bangunan.
Ruang Terbuka Hijau menurut Per-MenPU No. 05/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
adalah RTH adalah area memanjang/ jalur dan/ atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Ruang Terbuka Hijau Kota adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat
ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
Menurut Pasal 28 dan Pasal 29, UU. No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, disebutkan bahwa perencanaan tata ruang wilayah kota, harus menyediakan
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang terdiri dari ruang
terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat, yaitu: Ruang terbuka hijau
publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah yang
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Ruang terbuka hijau privat,
adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya
untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Ruang Terbuka Hijau Privat
65
penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta,
perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang.
Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga
puluh) persen dari luas wilayah kota, dengan proporsi ruang terbuka hijau publik
pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.
Berdasarkan Rencana Pola Ruang, sebaran beberapa fungsi kawasan yang
menjadi komponen pola ruang, serta jenis fungsi ruang yang dapat dikategorikan
termasuk dapat berfungsi sebgai RTHK, maka target Pengembangan Ruang
Terbuka Hijau Kota (RTHK) di Kota Denpasar 20 tahun mendatang sesuai
kebijakan dan strategi yang telah ditetapkan adalah minimal 35% dari luas wilayah
kota, sehingga melebihi 5% dari target minimal sebesar 30% yang telah ditetapkan
UU. No. 26 Tahun 2007, maupun PP. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN serta Perda
Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali.
Tata cara pencapaian angka minimal RTHK 35% adalah :
a. RTHK disadari terdapat baik pada ruang Kawasan Lindung maupun ruang
Kawasan Budidaya, dalam bentuk ruang terbuka maupun dalam bentuk
ruang terbangun. Didapatkan komposisi rencana pola ruang Kawasan
Lindung dan Kawasan Budidaya di Kota Denpasar adalah 9,39% dan
90,61%, sedangkan perbandingan ruang terbuka dan ruang terbangun
adalah 32,10% dan 67,90%.
b. Komposisi RTHK pada ruang terbangun baik hunian maupun non hunian
merupakan komponen Koefisen Daerah Hijau (KDH) Minimum dari Ruang
Terbangun Kota yaitu jumlah proporsi ruang dalam satu kapling yang tidak
66
tertutup bangunan atau tutupan lahan lainnya. KDH Minimum adalah sisa
ruang kapling setelah dikurangi luas Koefisien Tapak Bangunan (KTB)
maksimum. KTB terdiri dari ruang untuk Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
dan % luas prasarana yang diperkeras. KDH minimum juga dapat
disetarakan dengan taman permukiman, atau bangunan lainnya yang tidak
tertutup perkerasan.
KDH Minimum diasumsikan sebagai berikut :
Minimal 20% untuk perumahan, perkantoran pemerintahan, kawasan
efektif pariwisata, pernidustrian dan pergudangan, fasilitas pendidikan,
fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan dan fasilitas pertahanan dan
keamanan
Minimal 15% untuk perdagangan dan jasa
c. Penetapan Kawasan Lindung yang terdiri dari Tahura Ngurah Rai,
sempadan pantai, sempadan sungai dan hutan kota seluas 1.200,1 Ha atau
9,39% luas wilayah kota seluruhnya menjadi RTHK.
d. Penetapan taman-taman kota, lapangan olah raga dan taman rekreasi lainnya
sebagai RTHK dengan asumsi komposisi 90% berupa bukaan yang ditanami
tanaman maupun rerumputan. Perlu upaya mendorong pengembangan
taman-taman terbuka, ruang terbuka di lingkungan permukiman, pusat
kawasan dan skala kota yang baru.
e. Penetapan taman-taman median, ruang terbuka di pinggir jalan, telajakan,
dan bahu jalan pada seluruh jaringan jalan dengan asumsi 10% dari luas
seluruh jaringan jalan
67
f. Penetapan sawah yang merupakan komponen sabuk hijau kota sebagai
RTHK, walalupun tidak seluruh masa waktu setahun merupakan masa
tanam, namun sawah yang dipertahankan berkelanjutan di Kota Denpasar
merupakan sawah yang dikelola subak, sebagai wujud kota yang berjatidiri
budaya Bali.
g. Penetapan KDH dari lokasi infrastruktur kota seperti Pelabuhan, terminal,
TPA, IPAL dan lainnya yang diasumsikan 10%.
Gambar 4.3 Skema Penetapan dan Pencapaian Target Proporsi RTHK 35%
Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011
68
Gambar 4.4 Sebaran Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK)
Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011
69
4. Rencana Pengembangan Kawasan Strategis Kota
UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 memberikan perhatian khusus
terhadap Kawasan Strategis dan memasukkannya sebagai Kawasan yang harus
diprioritaskan penataan ruangnya.
Kawasan strategis Kota atau kawasan lainya dapat menjadi bagian dari
kawasan strategis nasional atau kawasan strategis provinsi, dan bagi kawasan-
kawasan tersebut penataan ruangnya memerlukan koordinasi dengan Pemerintah
atau Pemerintah Provinsi Bali atau Pemerintah Kabupaten yang berbatasan;
Berdasarkan kriteria Kawasan Strategis Kota Denpasar, maka penetapan
kawasan strategsi adalah: Kawasan strategis yang memiliki kepentingan signifikan
dalam perekonomian kota atau wilayah, mencakup: Kawasan Pusat Kota, Kawasan
Sanur, Kawasan Ubung Kaja, Kawasan Pulau Serangan, Kawasan Pelabuhan
Benoa, Kawasan Pengembangan LC Margaya.
Kawasan strategis yang memiliki kepentingan pelestarian nilai historis dan
budaya yang menjadi jati diri kota, mencakup: Kawasan Pusat Kota, Kawasan
Taman Budaya (Art Centre). Kawasan strategis yang memiliki kepentingan untuk
pelayanan sosial dan publik yang tinggi, mencakup : Kawasan Pusat Pemerintahan
Provinsi Bali; Kawasan Pusat Perkantoran Pemerintahan Kota; dan Kawasan
Sanglah.
Kawasan strategis yang memiliki kepentingan perlindungan keragaman
sumber daya hayati dan perlindungan terhadap bencana, mencakup Kawasan
Tahura Ngurah Rai. Peta penetapan kawasan strategis kota dapat dilihat pada
Gambar 4.5.
70
Gambar 4.5 Penetapan Kawasan Strategis Kota
Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011
71
4.1.3.4. Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah
Pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan
pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Arahan pemanfaatan ruang
dilaksanakan melalui penyusunan indikasi program pemanfaatan ruang, rencana
indikasi pembiayaan beserta pengembangan penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya;
Arahan pengembangan struktur ruang dan pola ruang dilakukan
berdasarkan arahan pengembangan struktur ruang beserta komponen
pembentuknya yang dituangkan dalam indikasi program jangka panjang dan
indikasi program utama jangka menengah lima tahunan.
Pemanfaatan ruang diselenggarakan dengan kegiatan penyusunan dan
penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air,
neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lainnya.
Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan
prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama
bagi pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang
hak atas tanah. Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung,
diberikan prioritas pertama bagi pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak
atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan
haknya.
Dalam penyelenggaraan penatagunaan, dikembangkan peta dasar wilayah
atau kawasan yang bersumber dari data peta citra satelit terkini dengan koordinat
72
terpadu antara peta dasar kota dengan peta dasar provinsi dan kabupaten sekitar,
yang selanjutnya dimutakhirkan setiap lima tahun.
4.1.3.5. Penyusunan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
Tujuan pengendalian pemanfaatan ruang adalah untuk menjamin
tercapainya konsistensi pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan. Dalam hal ini pengendalian pemanfaatan ruang merupakan perangkat
untuk memastikan perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pemanfaatan ruangnya
telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dengan demikian
penyimpangan-penyimpangan pemanfaatan ruang dapat dihindari.
Pengendalian pemanfaatan ruang dapat berjalan dengan cukup efektif dan
efisien apabila mempunyai dasar perencanaan tata ruang yang baik dan berkualitas
serta informasi yang akurat terhadap praktek-pratek pemanfaatan ruang yang
berlangsung.
Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kota termuat dalam
Pasal 28, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang berlaku mutatis
mutandis sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (1), yang merupakan bagian
dari muatan yang harus ada dalam sebuah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
(RTRWK).
Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota berisi: ketentuan
umum peraturan zonasi; ketentuan perizinan; ketentuan insentif dan disinsentif; dan
arahan sanksi.
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui mekanisme perizinan
pemanfaatan ruang, dengan berpedoman pada rencana tata ruang yang lebih rinci
73
(RDTR, RRTR dan ketentuan peraturan zonasi), dengan memperhatikan ketentuan,
standar teknis, kelengkapan prasarana, kualitas ruang, dan standar kinerja kegiatan
yang ditetapkan. Untuk mendukung pelaksanan pengendalian pemanfaatan ruang
dibutuhkan kegiatan pengawasan dan penertiban. Pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah kota dilakukan oleh Walikota melalui Badan Koordinasi Penataan Ruang
Daerah (BKPRD) Kota.
4.1.4. Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang
Pansus I DPRD Kota Denpasar
Pembahasan dilakukan antara Bappeda Kota Denpasar, Bagian Hukum
Setda Kota Denpasar bersama dengan Panitia Khusus (Pansus) I RTRW Kota
Denpasar pada tanggal 15 Oktober 2008 dan 3 November 2008. Pembahasan
mengalami jeda waktu yang cukup lama karena baru disahkannya beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perda RTRW, seperti UU
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Perda RTRW Provinsi Bali
sebagai payung RTRW Denpasar.
Pada rapat pembahasan bersama Pansus RTRW muncul beberapa
pertanyaan dan usul terhadap Ranperda RTRW Kota Denpasar, antara lain tentang
berapa persen ruang terbuka di Kota Denpasar dan kondisi hutan mangrove.
Berdasarkan data pada tahun 2006, persentase ruang terbuka adalah 45,46% dan
luas hutan mangrove di Kota Denpasar adalah 564,01 atau 4,41%. Syarat minimal
Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Kawasan Perkotaan menurut Pasal 28 dan 29
UU Nomor 26 Tahun 2007 adalah 30% yang meliputi RTH Publik 20% dan RTH
Privat 10%.
74
Berdasarkan Rencana Pola Ruang Kota Denpasar Tahun 2026 dan
Komposisi Fungsi Ruang Terbuka Hijau di Kota Denpasar, maka proporsi target
pencapaian Ruang Terbuka Hijau di Kota Denpasar sampai pada tahun 2026 adalah
minimal 35%, dengan uraian sebagai berikut: Koefision Wilayah Terbangun Kota
Denpasar adalah 67,19% (dihitung berdasarkan luas kawasan terbangun berbanding
luas wilayah kota), sehingga proporsi Ruang Terbuka adalah kebalikannya yaitu
32,18%, masih di bawah target 35% sesuai dengan yang tertuang dalam Kebijakan
dan Strategi Pengembangan Ruang Terbangun dan Terbuka Kota.
Terkait pertanyaan mengenai mekanisme disinsentif untuk mengendalikan
perkembangan yang tidak sesuai. Bappeda Kota Denpasar menjawab: Pengendalian
rencana tata ruang dilakukan dengan menyusun mekanisme dan perangkat
disinsentif untuk mengendalikan perkembangan yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang, berupa: pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya
biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang dan/atau pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan
kompensasi dan pengenaan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sanksi-sanksi yang dimaksud antara lain: peringatan dan/atau teguran,
penghentiuan sementara pelayanan administratif, penghentian sementara kegiatan
pembangunan dan atau pemanfaaatan ruang, pencabutan ijin yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang, pemullihan fungsi atau rehabilitasi fungsi ruang,
pembongkaran bagi bangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang,
pemutihan perijinan dan pengenaan denda.
75
Terkait pertanyaan mengenai pengembangan Kawasan Margaya, jawaban
yang diberikan adalah: Pengelolaan Kawasan Pengembangan Margaya yang
merupakan kawasan pengembangan baru pada perbatasan wilayah Kota Denpasar
dengan Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, didasarkan atas: Kebutuhan
pengembangan terusan jaringan jalan linglar barat Kota Denpasar untuk
mengurangi kemacetan di wilayah Kota Denpasar yang terkoneksi langsung dengan
Jalan Sunset di Kabupaten badung yang berfungsi sebagai jalan antar wilayah (jalan
kolektor primer); Adanya keinginan masyarakat untuk mengalihkan fungsi
kawasan tersebut menjadi kawasan budidaya (permukiman) dengan proses Land
Consolidation (LC): Pada kawasan ini diarahkan akan menjadi pusat kegiatan
perdagangan dan jasa serta kegiatan sosial budaya Kota Denpasar di bagian barat.
Terkait pertanyaan mengenai kewenangan Badan Koordinasi Penataan
Ruang, jawaban yang diberikan adalah: Kewenangan Badan Koordinasi Penataan
Ruang Daerah Kota (BKPRD) adalah bersifat ad-hoc untuk membantu pelaksanaan
tugas koordinasi penataan ruang di daerah berdasarkan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang.
BKPRD Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dan BKPRD Kabupaten/Kota
ditetapkan oleh Bupati/Walikota (Berita Acara Pembahasan Materi Ranperda
RTRW Denpasar dalam Sidang Pansus I (RTRW Kota Denpasar) DPRD Kota
Denpasar, 2006).
76
4.1.5. Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar
Rapat sinkronisasi dihadiri oleh Kepala Bappeda Kota Denpasar, Kepala
Litbang Bappeda Kabupaten Badung, Kepala Bappeda Kabupaten Gianyar, DPRD
Kota Denpasar, DPRD Kabupaten Badung, DPRD Kabupaten Gianyar, Tim
BKPRD Kota Denpasar, BKPRD Kabupaten Badung, serta BKPRD Kabupaten
Gianyar, dan diselenggarakan pada tanggal 9 Februari 2010.
Rapat sinkronisasi menghasilkan kesimpulan dan kesepakatan, antara lain:
Kebijakan pengembangan struktur ruang makro antar wilayah Kota Denpasar
ditetapkan dengan pemanfaatan fungsi Kota sebagai Ibu Kota Provinsi Bali,
kawasan perkotaan inti dari Pusat Kegiatan Nasional, Kawasan Strategis Nasional
dan Kawasan Metro Sarbagita. Kebijakan dan strategi pengembangan sistem
infrastruktur dirancang secara terpadu antar Kota Denpasar dengan kabupaten
penyanding beserta sub-sistemnya.
Rencana struktur ruang wilayah kota yang mencakup sistem pusat
pelayanan, prasarana wilayah dan pengembangan distribusi kependudukan
dirancang dengan memperhatikan dan mengarahkan pada wilayah sekitar
Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar sebagai daerah (kota) satelit. Pola ruang
meliputi kawasan lindung dan budidaya, Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan
Gianyar sepakat untuk saling mensinkronkan peruntukan pada kawasan-kawasan
yang berbatasan, terutama pada daerah yang mempunyai fungsi lindung.
77
Kawasan strategis kota yang didasarkan pada peran yang signifikan dalam
perekonomian, yang memiliki nilai historis dan budaya, serta kawasan yang
memiliki tingkat pelayanan sosial dan publik yang tinggi, dirancang sebanyak 12
Kawasan Strategis Kota Denpasar. Kawasan Strategis Kota yang menyatu dengan
Kawasan Strategis Nasional, kawasan Strategis Provinsi atau menjadi bagian
kawasan strategis lainnya, penataan ruangnya dikoordinasikan dengan Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten yang berbatasan, sedangkan untuk
Kawasan Strategis yang menyatu dengan Kawasan Strategis lainnya dirancang
lebih detail dalam RDTR Metropolitan Sarbagita dan RDTR Teluk Benoa.
Arahan pemanfaatan ruang khususnya pada daerah perbatasan dilakukan
sinkronisasi peruntukan, sehingga terjadi harmonisasi dalam pemanfaatannya.
Untuk batas wilayah akan dilakukan penegasan dengan pematokan yang akan
difasilitasi oleh Provinsi Bali. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan secara
sinergis antara Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten
Gianyar (Berita Acara Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar, 2010).
4.1.6. Rapat Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD
Provinsi Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang
RTRW Kota Denpasar
Rapat koordinasi diselenggarakan di Kantor bappeda Provinsi Bali pada
tanggal 11 Maret 2010 dan 19 Mei 2010, dengan kegiatan penilaian kelengkapan
dokumen materi teknis Ranperda tentang RTRW Kota Denpasar dan penilaian
78
substansi kelengkapan materi teknis Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar terhadap Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009-2029 dan Kebijakan
Provinsi Bali.
Dalam rapat Bappeda Provinsi Bali memberikan masukan dan koreksi,
antara lain mengenai kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota, yaitu:
Kebijakan dan strategi penataan ruang kota harus mencantumkan kawasan strategis
Kota Denpasar. Kebijakan pengembangan kawasan budidaya prioritas yang
mencakup kebijakan pengembangan kawasan andalan di kawasan Denpasar-Ubud-
Kintamani (Bali Selatan), serta pengembangan pertanian organik dalam kebijakan
dan strategi penataan ruang Kota Denpasar.
Bappeda Provinsi Bali juga memberikan masukan mengenai rencana
struktur ruang wilayah kota, antara lain: Perlu dicantumkan kawasan perkotaan
Metropolitan Sarbagita, disamping PKN, KSN juga kawasan strategis Provinsi
Bali, lokasi helipad untuk pendaratan helikopter sebagai transportasi udara,
Pelabuhan Benoa tidak perlu menyediakan lokasi akomodasi perlu disesuaikan
dengan dokumen RDTR Teluk Benoa.
Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Bali mengkoreksi tentang kesesuaian
prosentase RTHK sebesar 35% yang belum sesuai dengan hasil penjumlahan
RTHK Publik 15,75% dan RTHK Privat sebesar 15%. Koreksi lain adalah
pencantuman ketinggian bangunan yakni 5 level agar dikoreksi menjadi 15 meter
sehingga tidak multitafsir. Dinas PU Provinsi Bali menyarankan untuk mengatur
arahan insentif dan bentuk-bentuk insentif dalam Ranperda RTRW Kota Denpasar.
79
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali mempertanyakan RTH
mininmal 35% dari luas wilayah kota apakah sudah realitis, mengingat dalam
perhitungan memasukkan komponen lahan sawah sebagai komponen RTH yang
rawan mengalami alih fungsi lahan. Untuk menambah luas RTHK perlu dihitung
RTHK sepanjang ruas jalan.
Dinas Kelautan dan Perikanan mengkoreksi tentang jarak perairan
kabupaten/kota sepanjang 4 mil dirubah menjadi sepertiga wilayah kewenangan
provinsi, serta lokasi Marina Serangan yang sedang diusulkan perlu dimasukkan
dalam Ranperda RTRW Kota Denpasar.
4.1.7. Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan
Substansi Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar
kepada Menteri Pekerjaan Umum
Sekretaris Daerah Kota Denpasar mengirim surat permohnan rekomendasi
gubernur untuk persetujuan substansi terhadap Ranperda Kota Denpasar tengang
RTRW Wilayah Kota Denpasar pada tanggal 9 Februari 2010. Atas surat tersebut
Gubernur Bali kemudian mengirimkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum pada
tanggan 24 Mei 2010, yang menyatakan bahwa Rancangan Perda Kota Denpasar
tentang RTRW telah dikonsultasikan dan dibahas dalam Rapat Koordinasi
Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dan Rapat Pleno
BKPRD Provinsi Bali di Kantor Bappeda Provinsi Bali pada tanggal 11 Maret 2010
dan 19 Mei 2010.
Berdasarkan hasil konsultasi dan pembahasan, Gubernur Bali memberikan
rekomendasi bahwa Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar dapat
80
diproses lebih lanjut untuk dilakukan evaluasi materi muatan teknis oleh instansi
Pemerintah anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) untuk
selanjutnya mendapat persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum
(Rekomendasi Pemberian Persetujuan Substansi Ranperda Kota Denpasar tentang
RTRW Kota Denpasar, 2010).
4.1.8. Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW
Kota Denpasar 2010-2030 oleh Menteri Pekerjaan Umum
Menteri Pekerjaan Umum pada prinsipnya menyetujui Ranperda Kota
Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar untuk segera diproses lebih lanjut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan beberapa catatan, yaitu
mengingat Kota Denpasar memiliki RTH seluas 24,12 % dari luas wilayah kota,
maka untuk memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, Pemerintah Kota Denpasar agar mengupayakan
perwujudan RTH seluas 31,14% dari luas wilayah kota pada akhir tahun rencana
sebagaimana tercantum dalam Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar.
4.1.9. Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar
tentang RTRW Kota Denpasar
Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Ke-10 masa persidangan ketiga DPRD
Kota Denpasar pada tanggal 28 November 2011 telah menyetujui 13 Ranperda Kota
Denpasar termasuk di dalamnya Ranperda tentang RTRW menjadi Perda Kota
81
Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar Tahun 2011-2031
(Keputusan DPRD Kota Denpasar Nomor 07 Tahun 2011).
4.1.10. Rangkuman Proses Penyusunan RTRW Kota Denpasar
Berdasarkan uraikan di atas, maka proses penyusunan RTRW Kota
Denpasar secara garis besar, melalui tahapan sebagai berikut:
1. Evaluasi RTRW
2. Pembahasan Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi
RTRW Kota Denpasar
3. Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar, yang meliputi tahapan
sebagai berikut:
a. Analisis pengembangan wilayah
b. Penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah
c. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
d. Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah
e. Penyusunan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
4. Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus
I DPRD Kota Denpasar
5. Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Badung dan Kabupaten Gianyar
6. Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi
Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar
82
7. Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi
Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri
Pekerjaan Umum
8. Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar 2010-2030 oleh menteri Pekerjaan Umum
9. Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang
RTRW Kota Denpasar
4.2. Para Pihak dan Kepentingan yang Berpengaruh dalam Penyusunan
RTRW Kota Denpasar
Terdapat dua aspek utama dalam proses pembahasan Ranperda RTRW Kota
Denpasar. Yaitu, pertama, adalah pihak yang terlibat dalam kebijakan, di mana
yang dimaksud di sini adalah orang atau institusi yang mempengaruhi kebijakan
tertentu. Kedua, jaringan kebijakan, yaitu bagaimana masing-masing pihak degan
gagasan-gagasannya menjalin hubungan (bisa saling mendukung atau bertolak
belakang) dalam mempengaruhi kebijakan.
Berdasarkan proses penyusunan RTRW Kota Denpasar seperti yang telah
diuraikan di atas, maka dapat ditentukan para pihak dan kepentingan yang
berpengaruh dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar adalah sebagai berikut.
4.2.1. Bappeda Kota Denpasar
Bappeda Kota Denpasar memiliki tugas membuat perumusan kebijakan
teknis bidang Perencanaan Pembangunan Daerah yang meliputi bidang Sosial
83
Budaya, perekonomian, sarana dan prasarana wilayah, pemerintahan dan aparatur,
pendataan dan pelaporan, serta bidang penelitian dan pengembangan, termasuk
dalam bidang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar. Bappeda Kota
Denpasar terlibat dalam semua proses penyususnan RTRW, mulai dari tahapan
evaluasi hingga pembahasan materi atau substansi RTRW.
4.2.2. Seluruh Kepala Desa dan Lurah se Kota Denpasar
Kepala desa dan lurah dilibatkan dalam tahap evaluasi RTRW Kota
Denpasar. Beberapa gagasan yang disampaikan antai lain:
Lurah Serangan menyampaikan bahwa perumahanan masyarakat di
Serangan sudah ada sejak lama, dan kondisi sempadan pantai tidak lagi memenuhi
ketentuan (Jarak dari pantai rata-rata mencapai lima meter, bahkan kurang).
Gagasan mengenai sempadan pantai yang dapat kurang dari lima meter tidak
diakomodasi dalam RTRW, sebab dalam Pasal 83 Ayat (3) huruf a, ditulis bahwa
sempada pantai dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air
laut tertinggi ke arah darat.
Kepala Desa Sanur Kaja menyampaikan bahwa permasalahan kawasan jalur
hijau di Jalan Sedap Malam yang mengalami pembangunan secara masif, sehingga
semakin mengurangi kawasan jalur hijau. Gagasan ini diakomodasi secara parsial
dalam Pasal 50 huruf a bahwa Jalan Sedap Malam termasuk dalam kawasan
peruntukan kegiatan sektor informal, yaitu: pedagang bunga dan tanaman hias,
tanpa mendirikan bangunan permanen.
Lurah Sesetan menyatakan bahwa warga Sesetan yang memiliki lahan di
kawasan hutan bakau mengusulkan untuk merubah ketentuan penggunaan lahan di
84
kawasan tersebut. Usul ini tidak diakomodasi dalam RTRW, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 10 Ayat (2) huruf c bahwa memantapkan hutan bakau di
Kawasan Denpasar Selatan sebagai kawasan taman hutan raya.
4.2.3. DPRD Kota Denpasar
DPRD Kota Denpasar berperan sebagai badan legislatif yang memberikan
persetujuan dan pengesahan dari Ranperda menjadi Perda RTRW. DPRD Kota
Denpasar dilibatkan dalam tahapan penyusunan berikut ini: Pembahasan Laporan
Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar,
Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD
Kota Denpasar, Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Badung dan Kabupaten Gianyar; dan Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi
Perda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar. Pada Rapat Pembahasan
Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD Kota
Denpasar, disampaikan beberapa usul dan pertanyaan, yang semuanya sudah
dijawab dalam rapat tersebut.
4.2.4. Asosiasi Profesi
Perwakilan dari REI dan IAI mempertanyakan tolak ukur dalam
menentukan lahan terbangun mencapai 64% pada Pembahasan Laporan
Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar, yang sudah
dijawab melalui Materi Teknis RTRW Kota Denpasar.
85
4.2.5. Bappeda Kabupaten Badung dan Bappeda Kabupaten Gianyar
Bappeda Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar terlibat dalam tahap
Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung dan Kabupaten
Gianyar. Masing-masing institusi berperan sebagai perwakilan dari masing-masing
kabupaten/kota. Hasil dari sinkronisasi adalah kesepakatan bersama antara
Walikota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabuaten Gianyar tentang Sinkronisasi
dan Harmonisasi Substansi RTRW Kota Denpasar dengan Kabupaten Badung dan
Kabupaten Gianyar.
4.2.6. Bappeda Provinsi Bali
Bappeda Provinsi Bali terlibat dalam tahapan Pembahasan Laporan
Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar; serta Rapat
Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dalam
Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.
Dalam Rapat Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang
BKPRD Provinsi Bali, Bappeda Provinsi Bali memberikan masukan dan koreksi,
antara lain mengenai kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota, yaitu:
Kebijakan dan strategi penataan ruang kota harus mencantumkan kawasan strategis
Kota Denpasar. Kebijakan pengembangan kawasan budidaya prioritas yang
mencakup kebijakan pengembangan kawasan andalan di kawasan Denpasar-Ubud-
Kintamani (Bali Selatan), serta pengembangan pertanian organik dalam kebijakan
dan strategi penataan ruang Kota Denpasar.
86
Usulan mengenai penentuan kawasan strategis Kota Denpasar diakomodasi
dalam Bab VI Penetapan Kawasan Strategis Kota. Usulan tentang kebijakan
pengembangan kawasan budidaya prioritas yang mencakup kebijakan
pengembangan kawasan andalan di kawasan Denpasar-Ubud-Kintamani (Bali
Selatan) diakomodasi dalam Pasal 11 Ayat (4) Huruf b, bahwa: Strategi
pengembangan kawasan budidaya kreatif dan unggulan adalah dengan
menyelaraskan fungsi-fungsi kegiatan pariwisata, pertanian, industri kecil
unggulan untuk mendukung kawasan andalan nasional pada poros pengembangan
Kawasan Denpasar – Ubud – Kintamani.
4.2.7. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali terlibat dalam tahap Rapat Koordinasi
Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dalam
Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.
Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Bali mengkoreksi tentang kesesuaian
prosentase RTHK sebesar 35% yang belum sesuai dengan hasil penjumlahan
RTHK Publik 15,75% dan RTHK Privat sebesar 15%. Koreksi lain adalah
pencantuman ketinggian bangunan yakni 5 level agar dikoreksi menjadi 15 meter
sehingga tidak multitafsir. Dinas PU Provinsi Bali menyarankan untuk mengatur
arahan insentif dan bentuk-bentuk insentif dalam Ranperda RTRW Kota Denpasar.
Koreksi atas jumlah RTHK telah diakomodasi dalam Pasal 42 Ayat (4) dan
(5) yang menyatakan bahwa RTHK mencapai 36% dari luas wilayah Kota
Denpasar, dengan perincian RTHK publik sebesar 20% dan RTHK Privat sebesar
16%. Koreksi atas ketinggian bangunan diakomodasi dalam Pasal 68 Ayat (2)
87
huruf b, bahwa ketinggian bangunan yang memanfaatkan ruang udara di atas
permukaan tanah dibatasi maksimal 15 m.
4.2.8. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali terlibat dalam tahap Rapat
Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dalam
Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali mempertanyakan RTH
mininmal 35% dari luas wilayah kota apakah sudah realitis, mengingat dalam
perhitungan memasukkan komponen lahan sawah sebagai komponen RTH yang
rawan mengalami alih fungsi lahan. Untuk menambah luas RTHK perlu dihitung
RTHK sepanjang ruas jalan. Usulan ini diakomodasi dalam Pasal 42 Ayat (2) huruf
c, yang mengikutsertakan jalur hijau jalan sebagai komponen RTHK.
4.2.9. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali terlibat dalam tahap Rapat
Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dalam
Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.
Dinas Kelautan dan Perikanan dalam rapat tersebut di atas mengkoreksi
tentang jarak perairan kabupaten/kota sepanjang 4 mil dirubah menjadi sepertiga
wilayah kewenangan provinsi, serta lokasi Marina Serangan yang sedang diusulkan
perlu dimasukkan dalam Ranperda RTRW Kota Denpasar.
Koreksi tentang ruang laut tidak diakomodasi dalam RTRW Kota Denpasar,
Pasal 4 Ayat (2) menyatakan bahwa Ruang laut terdiri atas wilayah laut paling jauh
88
4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan dan sejauh jarak garis tengah antar wilayah laut kabupaten yang
berdekatan. Usulan mengenai Marina di Serangan diakomodasi dalam Pasal 47 ayat
(4) huruf a.
4.2.10. Gubernur Bali
Gubernur Bali berperan dalam pemberian persetujuan substansi Ranperda
Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri Pekerjaan Umum
setelah melalui Rapat Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang
BKPRD Provinsi Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW
Kota Denpasar.
4.2.11. Menteri Pekerjaan Umum
Menteri Pekerjaan Umum terlibat dalam pemberian persetujuan Ranperda
Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar untuk segera diproses lebih lanjut
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.2.12. Jaringan dan Taksonomi Kebijakan
Merujuk pada taksonomi dari policy networks yang dikemukakan Howlett
dan Ramesh (1998: 470) ada dua kelompok pelaku kebijakan yaitu negara dan
masyarakat, serta ada empat model jaringan kebijakan, yaitu birokratik,
partisipatori, jaringan isu dan jaringan pluralis.
Dari pembahasan di atas maka pelaku negara adalah: Bappeda Kota
Denpasar, DPRD Kota Denpasar, Gubernur Bali, dan BKPRN, sedangkan pelaku
89
masyarakat/non-negara adalah asosiasi profesi komponen dan masyarakat
khususnya, jajaran kepala desa dan lurah se-Denpasar. Melihat dari gagasan dan
argumentasi dari para pihak yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat bahwa
pihak yang paling dominan dalam mempengaruhi jaringan kebijakan adalah
lembaga negara.
Fakta ini sejalan dengan pandangan Gramscian tentang hegemoni bahwa
kekuasaan dari kelas penguasa lebih halus ketimbang dominasi fisik dari satu kelas
atau kelas lainnya. Kelas penguasa punya hegemoni atas proses mental dari pihak
yang dikuasai. Kekuasaan riil dari kelas dominan adalah kekuasaan mereka dalam
membuat pandangan mereka tentang dunia mendominasi orang lain (Parsons, 2005:
149). Dari sini dapat dilihat bahwa DPRD tidak sekedar mengontrol agenda atau
definisi problem dari Ranperda tentang RTRW ini tetapi juga mempunyai kapasitas
untuk mengontrol cara orang untuk memandang realitas tentang permasalahan yang
akan ditanggulangi dalam Ranperda tentang RTRW ini.
Secara kuantitas para pihak yang ada dalam jaringan kebijakan ini relatif
sedikit dan dengan dominannya lembaga negara, maka model jaringan kebijakan
yang terjadi adalah jaringan birokratis, yang bercirikan sistem klien atau jaringan
korporatis. Jaringan birokratis ini terjadi dari kelompok kecil anggota DPRD
(Pansus RTRW), dan instansi pemerintah, yang sering bekerja sangat erat bersama-
sama untuk waktu yang lama. Mereka mengembangkan hubungan pribadi dan
saling memiliki ketergantungan sistemik, sehingga "menutup" proses kebijakan
dari kontrol populer/masyarakat. Selain itu jaringan birokratis ini juga terjadi secara
90
vertikal, antara Pemerintah Kota Denpasar dan DPRD Kota Denpasar dengan
Gubernur Bali dan BKPRN.
Dari sudut pandang taksonomi komunitas kebijakan ada empat model
komunitas kebijakan, yaitu, hegemonik, perlombaan, perpecahan dan kekacauan.
Walaupun negara menjadi pihak yang dominan, serta adanya sedikit gagasan/ide
yang berseberangan dari masing-masing pihak, namun tidak ada dominasi ide atau
gagasan yang mewarnai proses pembahasan Ranperda RTRW Denpasar ini.
Dengan demikian, maka model taksonomi komunitas kebijakan yang terjadi adalah
model perlombaan.
Sedangkan dari aspek taksonomi perubahan kebijakan ada empat model
perubahan kebijakan yaitu pradigmatik cepat, inkremental cepat, paradigmatik
gradual dan inkremental gradual. Bila dilihat dari waktu pembahasan yang
memakan waktu selama empat tahun dari tahun 2006 sampai 2011. Maka kecepatan
perubahan kebijakan yang terjadi adalah perubahan secara lambat. Sedangkan
model perubahan yang terjadi tidak bersifat pragmatik, terlihat dari tidak adanya
perubahan isu mendasar yang mengakibatkan perubahan substansi Ranperda secara
mendasar. Perubahannya terjadi secara bertahap dalam tempo yang lama, sehingga
model perubahan kebijakan yang terjadi adalah perubahan inkremental gradual.
4.3. Pendekatan yang Diterapkan dalam Perencanaan Tata Ruang
Wilayah di Kota Denpasar
Perencanaan tata ruang wilayah kota merupakan aktivitas yang bersifat
teknis, namun sekaligus merupakan fungsi negara yang diformulasikan dalam
91
kebijakan publik, sehingga untuk menentukan pendekatan yang diterapkan dapat
dilihat melalui dua sudut pandang, yaitu: perubahan kebijakan publik dan
pendekatan berdasarkan atas teori perencanaan.
4.3.1. Perubahan Kebijakan Publik
Penyusunan RTRW Kota Denpasar 2011-2031 berawal dari evaluasi
terhadap RTRW Kota Denpasar Tahun 2009, sehingga untuk memahami
perubahan kebijakan yang terjadi perlu diketahui agenda setting dan arena konflik
dari proses kebijakan RTRW ini.
4.3.1.1. Keadaan agenda setting
Dalam menganalisis agenda setting, ada dua aspek yang menjadi perhatian
utama yaitu persepsi dan fokus perhatian kebijakan.
1. Persepsi
Bila melihat alat analisis yang diajukan Grindle dan Thomas (1991) tentang
aspek ekonomi politik dari perubahan kebijakan, dapat dilihat bahwa dalam situasi
ini keadaan agenda settingnya berada pada garis situasi “politik seperti biasanya”.
Keadaan agenda setting yang membentuk persepsi pada “politik seperti
biasanya” dapat dilihat dari lima variabel, yaitu adanya persoalan yang telah dipilih,
tingkat pertaruhan rendah, pengambilan keputusan tingkat rendah, perubahan
inkremental dan waktu yang fleksibel. Kelima variabel ini ditemukan dalam proses
perubahan Perda tentang RTRW ini.
92
a. Persoalan yang dipilih;
Rencana Pemerintah Kota Denpasar untuk melakukan perubahan Perda No.
10 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Denpasar sejatinya
sudah muncul sejak tahun 2006. Perubahan ini dilandasi pertimbangan bahwa Perda
No. 10 tahun 1999 tentang RTRW Kota Denpasar dinilai sudah kadaluwarsa dan
kondisi di lapangan sudah banyak yang berubah. Berdasarkan fakta tersebut,
Bappeda Kota Denpasar telah merancang revisi Perda RTRW yang akan
diberlakukan dalam menata ruang di Kota Denpasar. Pembahasan awal ranperda
RTRW ini diprakarsai Bappeda Kota Denpasar yang melibatkan konsultan
perencana untuk Secara garis besar permasalahan tata ruang yang dialami Kota
Denpasar adalah sebagai berikut:
1) Terus bertambahnya kebutuhan lahan baru untuk permukiman dalam rangka
menampung pertumbuhan penduduk yang demikian cepat dan hal ini
menimbulkan meningkatnya kepadatan di Kota Denpasar serta adanya
proses densifikasi permukiman ke kawasan pinggiran kota (urban sprawl);
2) Tingginya pertambahan jumlah penduduk terutama pendatang,
membutuhkan tambahan sarana dan prasarana perkotaan serta lapangan
kerja yang mencukupi;
3) Besarnya potensi alih fungsi lahan sawah irigasi, akibat tuntutan
permukiman dan kegiatan produktif lainnya yang membutuhkan ruang,
namun di sisi lain banyak terdapat lahan tidur yang belum termanfaatkan;
4) Kemacetan lalu lintas pada beberapa ruas jalan utama yang disebabkan
kurangnya dukungan sistem infrastruktur terutama jaringan jalan dan terus
93
menambahnya kepemilikan kendaraan serta bercampurnya arus lalu lintas
regional dan lokal pada kawasan perkotaan di Kota Denpasar dan
sekitarnya;
5) Makin mendominasinya kawasan perdagangan dan jasa pada jalan-jalan
utama di Kota Denpasar, sehingga Kota Denpasar terkesan lebih cenderung
menjadi kota perdagangan ketimbang kota budaya;
6) Maraknya pelanggaran-pelanggaran terhadap kawasan-kawasan
perlindungan setempat seperti kawasan sempadan pantai, Ruang Terbuka
Hijau (RTH), sempadan jalan, sempadan sungai, dan radius kawasan suci
dan tempat suci;
7) Mulai berkurangnya kualitas pelayanan air bersih, persampahan, air limbah,
drainase akibat daya tampung jaringan yang ada beberapa diantaranya telah
mencapai kapasitasnya;
8) Kurang terintegrasinya pola pemanfaatan ruang terutama di wilayah-
wilayah perbatasan antar Kawasan Metropolitan Sarbagita;
9) Makin memudarnya wajah tata ruang bernuansa budaya Bali baik tata
lingkungan, konsep catuspatha, tata bangunan maupun wajah arsitektur Bali
yang merupakan jati diri unik kota-kota di Bali;
10) Belum terintegrasinya Struktur Tata Ruang Kawasan Metropolitan
Sarbagita, yang dapat mendorong keserasian hubungan fungsional antara
Kota Denpasar sebagai kota inti dengan ibukota kabupaten/kecamatan atau
pusat-pusat kegiatan lainnya yang berdekatan;
94
11) Belum adanya pengaturan tentang pemanfaatan ruang wilayah perairan dan
laut sesuai batas kewenangan 4 mil laut untuk pemerintah Kota/Kabupaten;
dan
12) Belum tertuangnya penerapan konsep-konsep mitigasi bencana dalam
penataan ruang wilayah Kota Denpasar.
mengawali revisi Perda RTRW sebelumnya.
Dari fakta di atas, tampak bahwa inisiatif awal dari perubahan Perda No. 10
tahun 1999 tentang RTRW Kota Denpasar datang dari keinginan untuk melakukan
perubahan bukan karena tekanan publik untuk melakukan perubahan. Latar
belakang perubahan Perda RTRW ini adalah persoalan yang dipilih bersama antara
eksekutif dan legislatif, dalam hal ini Pemerintah Kota Denpasar dan DPRD Kota
Denpasar.
b. Tingkat pertaruhan yang rendah
Tidak adanya tekanan yang kuat untuk melakukan perubahan menyebabkan
terjadinya tingkat pertaruhan yang rendah. Hal ini tampak dari perubahan legal
drafting sebanyak enam kali untuk mengakomodasi baik perubahan-perubahan di
lapangan maupun penyesuaian dengan peraturan-peraturan baru yang secara
hirarkis berada di atas Perda, yaitu Perda No. 16 Tahun 2009 tentang RTRW
Provinsi Bali 2009-2029 dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
c. Pengambilan keputusan tingkat rendah
Tidak nampak pengambilan keputusan dari level tertinggi, yakni Walikota
Denpasar dan pimpinan DPRD dalam pengambilan keputusan, dikarenakan tidak
95
ada situasi krisis dan tekanan yang mendesak pengambilalihan keputusan pada level
tertinggi. Pengambilan keputusan dilakukan pada level SKPD dan Pansus RTRW.
d. Perubahan inkremental
Perubahan secara inkremental memiliki karakteristik konservatif, karena
cenderung menisbikan perubahan sosial yang revolusioner (perubahan besar dan
dalam waktu relatif singkat), sehingga pendekatan ini kadang dianggap sebagai
pendekatan yang pro-interia dan anti-inovasi, sesuai dengan lingkupnya yang relatif
sempit dan parsial.
Seperti telah diungkapkan dalam poin analisis sebelumnya, bahwa
perubahan yang terjadi adalah perubahan secara inkremental. Perubahan kebijakan
dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan Perda No. 16 Tahun 2009
tentang RTRW Provinsi Bali 2009-2029 dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
e. Waktu yang fleksibel
Tidak adanya tekanan dalam mengesahkan Perda RTRW dengan segera
membuat waktu pembahasan Perda RTRW ini bersifat fleksibel. Hal ini terlihat dari
waktu pembahasan yaitu dari tahun 2007 hingga tahun 2011.
2. Fokus perhatian pembuatan kebijakan
Pada bagian analisis mengenai pihak kebijakan sebelumnya dijelaskan
bahwa model taksonomi jaringan kebijakan yang terhadi adalah jaringan birokratis
yang dihegemoni oleh lembaga negara. Dalam proses pembahasan Ranperda
96
RTRW ini, tidak ditemukan adanya pengaruh politik makro yang dapat merubah
substansi dari Ranperda RTRW ini. Pembuatan kebijakan cenderung didominasi
oleh relasi politik mikro dan hubungan birokratik. Hal ini tampak dari kurangnya
partisipasi publik dalam pembahasan Ranperda ini. Relasi yang terjadi adalah relasi
antar instansi dalam domain lembaga negara. Sehingga proses pembahasan
Ranperda ini cenderung tertutup dari kontrol dan tekanan publik.
4.3.1.2. Arena konflik
Situasi politik seperti biasanya membawa kebijakan ini pada arena konflik
di tingkat birokratik. Seperti telah diuraikan dalam analisis mengenai taksonomi
komunitas kebijakan yang terjadi adalah perlombaan ide di dalam komunitas.
Perlombaan ide yang terjadi hanya terbatas pada jaringan birokratik yang terbentuk
dan tidak meluas kepada pertentangan ide dalam masyarakat.
4.3.2. Pendekatan Perencanaan Berdasarkan Teori Perencanaan
Untuk mengetahui pendekatan perencanaan yang diterapkan dalam
Penyusnan RTRW Kota Denpasar, digunakan Perbandingan Pendekatan
Perencanaan, yang diuraikan ke dalam pokok-pokok uraian: karakteristik
perencanaan, peran negara, tujuan perencanaan, ruang lingkup perencanaan dan
metode perencanaan.
4.3.2.1. Karakteristik perencanaan
Perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar dipelopori oleh Bappeda
Kota Denpasar yang berperan sebagai lembaga teknis daerah yang bertanggung
97
jawab terhadap perencanaan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam pasal
14 , ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah
urusan perencanaan dan pengendalian pembangunan. Kewenangan perencanaan
pengendalian tersebut kemudian dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
dari 26 (dua puluh enam) urusan sesuai dengan pasal 7, ayat (2), Bappeda sebagai
salah satu lembaga teknis daerah yang merupakan unsur pendukung tugas kepala
daerah, mengemban 3 (tiga) urusan wajib yang wajib dilaksanakan, yaitu urusan
penataan ruang, perencanaan pembangunan dan urusan statistik.
Aktivitas perencanaan yang dilakukan dalam penyusunan RTRW Kota
Denpasar berpusat pada Bappeda sebagai institusi yang merencanakan sejak awal
hingga melakukan pembahasan substansi dari RTRW Kota Denpasar. Karena sifat
perencanaannya yang bersifat teknis dan berpusat pada lembaga negara, yakni
Bappeda Kota Denpasar, maka pendekatan perencanaan yang sesuai dengan Teori
Pendekatan Perencanaan adalah Pendekatan Rasional Komprehensif.
4.3.2.2. Peran negara dalam perencanaan tata ruang wilayah
Dalam rangka penyusunan RTRW, Bappeda Denpasar melakukan revisi
terhadap Perda No. 10 tahun 1999 tentang RTRW, dengan melalui beberapa
tahapan, yang melibatkan perwakilan masyarakat, asosiasi profesi dan instansi
terkait. Dalam setiap tahapan muncul berbagai usulan dan masukan yang diterima
oleh Bappeda Kota Denpasar dan diakomodasi ke dalam RTRW Kota Denpasar.
98
Dalam hal ini Bappeda Kota Denpasar sebagai perwakilan negara berperan
sebagai perantara netral yang ingin mencapai masyarakat yang stabil dengan
pengetahuan teknis, mendengarkan dan menerima aspirasi masyarakat, melakukan
pembelajaran bersama dengan para pihak yang dipengaruhi oleh implementasi dari
suatu rencana. Berdasarkan peran ini, maka pendekatan yang diterapkan dari sudut
pandang peran negara adalah rasional komprehensif, pendekatan advokasi,
transaktif dan consensus building.
4.3.2.3. Tujuan perencanaan
Tujuan Penyusunan RTRW Kota Denpasar adalah dalam rangka
mewujudkan RTRW sebagai pedoman penataan ruang dan pembangunan bagi
pemerintah Kota Denpasar dan pihak-pihak lainnya.
Sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar
adalah :
a. Terwujudnya keterpaduan rencana tata ruang wilayah kota dengan rencana
tata ruang wilayah nasional, provinsi serta rencana jangka panjang daerah
b. Terarahnya pengembangan struktur ruang dan pola ruang wilayah kota yang
terintegrasi dengan wilayah yang lebih luas
c. Terkendalinya pembangunan di Kota Denpasar baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat;
d. Terciptanya keserasian pemanfaatan ruang antara kawasan lindung dan
kawasan budidaya perkotaan ;
e. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di
Kota Denpasar;
99
f. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha.
g. Terkoordinasinya pembangunan antar kawasan dan antar sektor
pembangunan.
Tujuan perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar yang ingin dicapai
secara garis besar adalah peningkatan kualitas lingkungan, yang sejalan dengan
tujuan dari pendekatan rasional komprehensif.
4.3.2.4. Ruang lingkup perencanaan
Ruang lingkup perencanaan adalah Wilayah Kota Denpasar dengan luas
daratan keseluruhan 12.778 Ha yang terletak pada koordinat 08º36'20” - 08º44'48”
LS dan 115º10'00” - 115º16'26” BT, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara: Kecamatan Mengwi dan Abiansemal (Kabupaten Badung)
2. Sebelah Timur: Kecamatan Sukawati ( Kabupaten Gianyar ) dan Selat Badung
3. Sebelah Selatan: Kecamatan Kuta Selatan (Kabupaten Badung) dan Teluk
Benoa
4. Sebelah Barat: Kecamatan Kuta Utara dan Kuta (Kabupaten Badung)
Ruang wilayah juga mencakup ruang perairan, sehingga lingkup ruang
perairan adalah sejauh batas kewenangan pemerintah Kota/Kabupaten yaitu sejauh
4 mil laut. Sedangkan ruang udara dibahas sampai batas tertentu yang berpengaruh.
Selain itu batas pengamatan wilayah daratan juga memperhatikan keterkaitan
fungsional dengan wilayah di sekitarnya, terutama Kawasan Metropolitan
Sarbagita.
100
Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar sesuai
arahan ayat 1, Pasal 26 dan Pasal 28 UU. No. 26 Tahun 2007, menghasilkan output
sebagai berikut :
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kota;
b. rencana struktur ruang wilayah kota yang meliputi sistem permukiman
perkotaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kota;
c. Rencana pola ruang wilayah kotayang meliputi kawasan lindung kota dan
kawasan budi daya kota;
d. penetapan kawasan strategis kota;
e. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
f. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
g. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan
kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi
bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai
pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
h. arahan pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi indikasi program utama
jangka menengah lima tahunan; dan
i. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi
ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif
dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Secara garis besar ruang lingkup perencanaan tata ruang wilayah Kota
Denpasar mencakup aspek fisik, spasial dan sosial ekonomi, sesuai dengan ruang
lingkup dari perencanaan rasional komprehensif.
101
4.3.2.5. Metode perencanaan
Penyusunan perencanaan RTRW dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:
1. Evaluasi RTRW
2. Pembahasan Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi
RTRW Kota Denpasar
3. Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar, yang meliputi tahapan
sebagai berikut:
a. Analisis pengembangan wilayah
b. Penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah
c. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
d. Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah
e. Penyusunan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
4. Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus
I DPRD Kota Denpasar
5. Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Badung dan Kabupaten Gianyar
6. Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi
Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar
7. Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi
Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri
Pekerjaan Umum
102
8. Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar 2010-2030 oleh Menteri Pekerjaan Umum
9. Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang
RTRW Kota Denpasar
Tahapan-tahapan di atas dapat dikelompokkan ke dalam metode dari
pendekatan komprehensif.
1. Perumusan masalah; dilakukan dengan cara melakukan evaluasi terhadap
RTRW Kota Denpasar Tahun 2009-2029, dari evaluasi ini kemudian
ditemukan beberapa permasalahan, yang mendorong terjadinya penyusunan
RTRW Kota Denpasar Tahun 2011-2031.
2. Pengumpulan data, dilakukan melalui tahapan Penyusunan Database
Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar, yang menghasilkan
berbagai data yang diperlukan termasuk masukan dan usulan dari lembaga
dan instansi terkait.
3. Analisis, dilakukan dalam tahapan Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota
Denpasar, yang meliputi: Kondisi Dan Analisis Fisik Wilayah, Analisis Pola
Ruang Wilayah Kota Denpasar, Analisis Sosial Kependudukan, Analisis
Sosial Budaya, Analisis Perekonomian Kota Denpasar, Analisis Kondisi
dan Kebutuhan Sistem Transportasi, Analisis Sistem Infrastruktur Wilayah,
Analisis Kebutuhan Fasilitas, Analisis Kecenderungan Pola Ruang
Wilayah, Analisis Struktur Ruang Wilayah
103
4. Penentuan tujuan dan sasaran, Secara umum tujuan penataan ruang wilayah
Kota Denpasar adalah untuk mewujudkan Kota Denpasar yang berwawasan
budaya, nyaman, aman, kreatif, produktif dan berdaya saing, dan
berkelanjutan, sejalan dengan rencana pembangunan jangka panjang Kota,
Provinsi dan Nasional. Selanjutnya secara khusus Penataan ruang wilayah
kota bertujuan untuk mewujudkan:
a. ruang wilayah kota yang nyaman, aman, produktif, kreatif,
berkelanjutan dan mencerminkan jatidiri budaya Bali;
b. keterpaduan struktur ruang kota dengan Kawasan Metropolitan
Sarbagita, wilayah Provinsi Bali dan sistem perkotaan nasional;
c. keterpaduan dan optimalisasi pola ruang kawasan lindung, kawasan
budidaya beserta ruang terbuka hijau kota
d. keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan kota yang berwawasan budaya Bali akibat
pemanfaatan ruang;
e. keseimbangan dan keserasian perkembangan antar bagian wilayah
kota;
f. keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan
g. ruang wilayah kota yang tanggap terhadap mitigasi dan adaptasi
bencana.
5. Perencanaan, dilakukan dalam tahapan Penyusunan Materi Teknis RTRW
Kota Denpasar, yang meliputi Rencana Struktur Ruang, Rencana Pola
104
Ruang Wilayah Kota, Rencana Ruang Terbuka Hijau (RTHK), Rencana
Pengembangan Kawasan Strategis Kota.
6. Pengambilan keputusan, dilakukan melalui tahapan
a. Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang
Pansus I DPRD Kota Denpasar
b. Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar
c. Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi
Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar
d. Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi
Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri
Pekerjaan Umum
e. Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar 2010-2030 oleh Menteri Pekerjaan Umum
f. Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang
RTRW Kota Denpasar
105
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar dilakukan melalui beberapa
tahapan yaitu: (1) Evaluasi RTRW Kota Denpasar 2009-2029; (2) Pembahasan
Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar; (3)
Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar, yang meliputi tahapan sebagai
berikut: (a) Analisis pengembangan wilayah, (b) Penyusunan kebijakan dan strategi
pengembangan wilayah, (c) Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, (d)
Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah, (e) Penyusunan ketentuan
pengendalian pemanfaatan ruang;
Tahapan berikutnya adalah (4) Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota
Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD Kota Denpasar (5) Sinkronisasi dan
Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar;
(6) Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali
dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar (7)
Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi Ranperda
Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri Pekerjaan Umum
(8) Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar 2010-2030 oleh menteri Pekerjaan Umum; serta (9) Persetujuan
Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar
106
Para pihak yang terlibat dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar 2011-
2031 adalah Bappeda Kota Denpasar, Seluruh Kepala Desa dan Lurah se Kota
Denpasar, DPRD Kota Denpasar, Asosiasi Profesi, Bappeda Kabupaten Badung
dan Bappeda Kabupaten Gianyar, Bappeda Provinsi Bali, Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Bali, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Bali, Gubernur Bali, serta Menteri Pekerjaan Umum.
Masing-masing pihak memiliki gagasan dan usulan yang disampaikan
selama proses penyusunan RTRW Kota Denpasar. Beberapa gagasan tersebut ada
yang telah diakomodasi dalam RTRW Kota Denpasar 2011-2031, dan ada beberapa
gagasan yang tidak diakomodasi.
Model jaringan kebijakan yang terjadi adalah jaringan birokratis, yang
bercirikan sistem klien atau jaringan korporatis. Jaringan birokratis ini terjadi dari
kelompok kecil anggota DPRD (Pansus RTRW), dan instansi pemerintah.
Walaupun negara menjadi pihak yang dominan, serta adanya sedikit gagasan/ide
yang berseberangan dari masing-masing pihak, namun tidak ada dominasi ide atau
gagasan yang mewarnai proses pembahasan Ranperda RTRW Denpasar ini.
Dengan demikian, maka model taksonomi komunitas kebijakan yang terjadi adalah
model perlombaan atau kompetisi gagasan.
Dalam situasi ini keadaan agenda settingnya berada pada garis situasi
“politik seperti biasanya”, hal ini dapat dilihat dari lima variabel, yaitu adanya
persoalan yang telah dipilih, tingkat pertaruhan rendah, pengambilan keputusan
tingkat rendah, perubahan inkremental dan waktu yang fleksibel. Relasi yang
107
terjadi adalah relasi antar instansi dalam domain aktor negara. Sehingga proses
penyusunan RTRW Kota Denpasar ini cenderung tertutup dari kontrol dan tekanan
publik.
Berdasarkan lima uraian mengenai perbandingan perencanaan, yaitu:
karakteristik perencanaan, peran negara, tujuan perencanaan, ruang lingkup
perencanaan dan metode perencanaan, maka pendekatan yang diterapkan dalam
perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar adalah pendekatan rasional
komprehensif.
5.2 Saran
Dengan model jaringan birokratis dan relasi yang terjadi adalah antar
instansi dalam domain negara, penyusunan RTRW Kota Denpasar ini cenderung
tertutup dari kontrol dan tekanan publik. Kepada lembaga pemerintah yang terlibat
dalam penyusunan RTRW disarankan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam perencanaan tata ruang untuk menjaga transparansi dalam pemanfaatan
ruang dan memenuhi prinsip partisipasi dan berkeadilan. Partisipasi yang dimaksud
bukan hanya bersifat keterwakilan oleh kepala desa atau lurah, namun partisipasi
secara langsung dalam diskusi publik dalam proses perencanaan tata ruang
berikutnya.
Walaupun dalam proses penyusunan RTRW Kota Denpasar ini terjadi
konsensus di antara pengambil kebijakan, namun konsenseus tersebut tidak
melibatkan masyarakat secara aktif. Pembangunan konsensus berperan sebagai
suatu cara dalam menemukan strategi yang layak untuk menghadapi perencanaan
108
dan kebijakan yang tidak pasti, kompleks dan kontroversial. Karena melalui
konsensus akan muncul pengetahuan, ide dan aksi bersama yang lebih baik untuk
menghadapi kondisi tersebut. Melalui proses konsensus, para stakeholder akan
mampu belajar, secara bersama memperoleh pemahaman baru, menembus
penghalang mental dan emosional, membangun kepercayaan dan menciptakan
solusi yang efektif.
Masyarakat yang saat ini cenderung dikecualikan dari proses perencanaan
tata ruang, harus diikutsertakan di masa depan, bukan hanya demi formalitas tetapi
juga secara aktif dalam kegiatan penataan ruang. Ini adalah strategi dimana
masyarakat bergabung dalam menentukan bagaimana informasi dibagi, tujuan dan
kebijakan ditetapkan, sumber daya yang dialokasikan, program-program yang
dioperasikan, dan manfaat yang diperoleh. Partisipasi adalah sarana bagi
masyarakat yang memungkinkan untuk berbagi manfaat dari masyarakat yang
makmur dan berkeadilan sesuai asas penataan ruang, untuk itu diharapkan juga
kepedulian masyarakat agar terlibat secara pro-aktif dalam perencanaan tata ruang.
109
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adisasmita, R. 2008. Pengembangan Wilayah-Konsep dan Teori. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Barker, C. 2008. Cultural Studies-Teori dan Praktik, Edisi Keempat. Yogyakarta:Kreasi Wacana.
Bolan, R.S. 1996. Planning and Institusional Design. In: Mandelbaum, S.J, Mazza,L., Burchell, R.W., editors. Explorations in Planning Theory. New Jersey:Center for Urban Policy Research The State University of New Jersey. p. 497-513.
Bungin, M. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.Davidoff, P. 2000[1965]: Advocacy and Pluralism in Planning. In: Legates, R.T.
dan Stout, F., editors. The City Reader. London: Routledge. p. 423-33.Forester, J. 1996a. The Rationality of Listening, Emotional Sensitivity, and Moral
Vision. In: Mandelbaum, S.J, Mazza, L., Burchell, R.W., editors. Explorationsin Planning Theory. New Jersey: Center for Urban Policy Research The StateUniversity of New Jersey. p. 204-44.
________. 1996b. Argument, Power, and Passion in Planning Practice. In:Mandelbaum, S.J, Mazza, L., Burchell, R.W., editors. Explorations inPlanning Theory. New Jersey: Center for Urban Policy Research The StateUniversity of New Jersey. p. 241-62.
Friedmann, J. 1996. Two Centuries of Planning Theory: An Overview. In:Mandelbaum, S.J, Mazza, L., Burchell, R.W., editors. Explorations inPlanning Theory. New Jersey: Center for Urban Policy Research The StateUniversity of New Jersey. p. 10-29.
Gottdiener, M. dan L. Budd. 2005. Key Concepts in Urban Studies. London: SAGEPublications Ltd.
Grindle, M.S. and J.W. Thomas .1991. Public Choices and Policy Change: ThePolitical Economy Of Reform In Developing Countries. Baltimore: JohnHopkins University Press.
Ham, C., dan M. Hill. 1993. The Policy Prosess in the Modern Capitalist State. 2nd
edition. New York: Harvestey Wheatsheaf.Harvey, D. 1985. The Urbanization of Capital. Maryland: The Johns Hopkins
University Press.Hoogerwerf. A. 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Penerbit Erlangga.Howlett, Michael, M. Ramesh, 1998. Policy Subsystem Configurations and Policy
Change: Operationalizing the Postpositivist Analysis of the Politics of thePolicy Process, Policy Studies Journal, Vol. 26, No. 3
Islamy, M. I. 1988. Materi Pokok Kebijakan Publik. Jakarta: Penerbit Karunika.Universitas Terbuka.
___________. 1992. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanan Negara. Jakarta:Bumi Aksara.
110
Klaasen, I.T., 2003. Knowledge- Based Design: Developing Urban & RegionalDesign Into A Science. Armsterdam: Delf University Press.
Krueckeberg, D.A. 1997. The Culture of Planning. In: Krueckeberg, D.A., editor.Introduction to Planning History in the United States. New Jersey: Center forUrban Policy Research The State University of New Jersey. p.1-12.
Lindblom, C.E. 1986. Proses Penetapan Kebijaksanaan Edisi Kedua. (ArdianSyamsudin, Pentj). Jakarta: Erlangga.
Moleong, L. J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PTRemaja Rosdakarya.
Parsons, W. 2005. Public Policy – Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.(Tri Wibowo Budi Santoso, Pentj). Jakarta: Prenada Media.
Paturusi, S.A. 2008. Perencanaan Kawasan Pariwisata. Denpasar: UdayanaUniversity Press.
Purdom, C. B. 1921. An Introductory Chapter. In: Purdom, C. B., editor. TownTheory and Practice. London: Benn Brothers Limited.
Rustiadi, E, dkk. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta:Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Rydin, Y. 1993. The British Planning System – An Introduction. London:Macmillan.
Soetomo, S. 2009. Urbanisasi dan Morfologi – Proses Perkembangan Peradabandan Wadah Ruang Fisiknya: Menuju Ruang Kehidupan yang Manusiawi.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Supriyatno, B. 2009. Manajemen Tata Ruang. Tangerang: CV. Media Berlian.Tarigan, R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah Edisi Revisi. Jakarta: PT
Bumi Aksara.Thorns, D. C., 2002. The Transformation of Cities – Urban Theory and Urban Life.
New York: Palgrave Macmillan.UN-Habitat. 2009. Planning Sustainable Cities. London: Earthscan.United Nations Human Settlements Programme. 2007. Inclusive and Sustainable
Urban Planning: A Guide for Municipalities, Volume 1: An Introduction toUrban Strategic Planning. Nairobi: United Nations Human SettlementsProgramme.
Winarno, B. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Penerbit MediaPress.
Yunus, H. B. 2008 Struktur Tata Ruang Kota, Edisi VII. Yogyakarta: PustakaPelajar.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 tahun 1999 tentang Rencana TataRuang Wilayah (RTRW) Denpasar 1999-2019.
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana TataRuang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011 – 2031
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata RuangWilayah (RTRW) Provinsi Bali 2009-2029
111
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang PenataanRuang.
Tesis dan Disertasi
Dempster, M. B. 1998. “A Self-Organizing Systems Perspective on Planning forSustainability” (tesis). Ontario: University Waterloo.
Mukhlis, M. 2009. “Analisis Kebijakan dalam Perencanaan Kota Baru Lampung diNatar” (tesis). Lampung: Universitas Lampung.
Pratiwi, I.A.T. 2006. “Nilai-nilai Budaya Bali dalam Produksi Tata Ruang di KotaDenpasar (Studi Kasus Jl. Gatot Subroto Timur, Denpasar)” (tesis). Jakarta:Universitas Indonesia.
Sharma, V. 2008. “Planning for Holistic Sustainability: A Study of “Process inKerala (India) and Sweden” (disertasi). Adelaide: The University of Adeilade.
Shetawy , Ahmed Adel Amin. 2004. “The Politics Of Physical Planning Practice:The Case Of The Industrial Areas In Tenth Of Ramadan City Egypt”(disertasi). London: The Development Planning Unit The Bartlett School OfArchitecture And Planning University College London University Of London.
Stefan, A. M. 2004. “The New Urbanism Movement: the Case of Sweden” (tesis).Sweden: Blekinge Tekniska Högskola International Master’s Programme inEuropean Spatial Planning.
Jurnal, Makalah dan Paper
Alexander, E. R. 1994. The Non-Euclidean Mode of Planning: What is It to Be.Journal of the American Planning Association, Vol. 60, No.3 (Summer 1994):372-76.
Almandoz, A. 2004. The Garden City in Early Twentieth-Century Latin America.Urban History, 31, 3: 437-52.
Ardhana, I Ketut. 2004. Denpasar: Perkembangan Dari Kota Kolonial Hingga KotaWisata. Konferensi International I Sejarah Kota (The First InternationalConference on Urban History) di Universitas Airlangga, Surabaya 23-25Agustus 2004.
Brooks, M. 1993. A Plethora of Paradigms? Journal of the American PlanningAssociation, Vol. 59, No .2: 142-45.
Bryson, J. M., dan R. C. Einsweiler. 2000 [1988]. Masa Depan PerencanaanStrategis untuk Publik. (Achmad Djunaedi, Pentj). Tulisan Asli: Bryson, JohnM.; dan Robert C. Einsweiler. 1988. “The Future of Strategic Planning forPublic Purpose”, dalam buku J. M. Bryson dan R.C. Einsweiler (eds.),Strategic Planning: Threats and Opportunities for Planners. Planners Press,American Planning Association, Chicago, Illinois. Hal. 216-230.Diterjemahkan, disingkat dan dimodifikasi untuk bahan kuliah MPKD UGM.
Carlino, G. A., dan A. Saiz. 2008. City Beautiful. IZA Discussion Paper No. 3778.Bonn: The Institute for the Study of Labor.
Checkoway, B. 1994. Paul Davidoff and Advocacy Planning in Retrospect. Journalof the American Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 142-45.
112
Clavel, P. 1994. The Evolution of Advocay Planning. Journal of the AmericanPlanning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 146-49.
Djunaedi, A. 1995. Perencanaan Stratejik Untuk Perkotaan: Belajar dariPengalaman Negara Lain. Jurnal PWK, Nomor 19/Juni 1995: 20-25.
_________ . 2000. Keragaman Pilihan Corak Perencanaan (Planning Styles) untukMendukung Kebijakan Otonomi Daerah. Makalah disampaikan pada Seminardan Temu Alumni MKPD 2000. Sanur. 27-30 Agustus.
Etzioni, A. 1967. Mixed-Scanning: A “Third” Approach to Decision-Making.Public Administration Review, Vol. 27, No.5 (Dec., 1967): 385-92.
_________. 1986. Mixed Scanning Revisited. Public Administration Review, Vol.46, No. 1 (Jan. - Feb., 1986): 8-14.
Fainstein, S.S. 2005. Planning Theory and the City. Journal of Planning Educationand Research, Vol.25: 121-30.
Forester, J. 1994. Bridging Interest and Community Planning and the Challenges ofDeliberative Democracy. Journal of the American Planning Association, Vol.60, No.2 (Spring 1994): 153-58.
Friedmann, J. 1993. Toward a Non-Euclidian Mode of Planning. Journal of theAmerican Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 160-61.
__________. 1998. Planning Theory Revisited. European Planning Studies,Vol.59, No.4: 482-85.
Hayden, D. 1994. Who Plans the USA? A Comment on “Advocacy and Pluralismin Planning”. Journal of the American Planning Association, Vol. 60, No.2(Spring 1994): 160-61.
Hudson, B. M. 1979. Comparison of Current Planning Theories: Counterparts andContradictions. Journal of the American Planning Association, Vol.45, No.4:387-98.
Innes, J. E. 1983. Planning Theory and Practice: Bridging the Gap. Journal ofPlanning Education and Research, Vol. 3, No. 1 (Summer 1983): 35-45.
________. 1996. Planning Through Consensus Building: A New View of theComprehensive Planning Ideal. Journal of the American Planning Association,Vol. 62, No.4 (Autumn 1996): 460-72.
________. dan D. E. Booher. 1999. Consensus Building and Complex AdaptiveSystems: A Framework for Evaluating Collaborative Planning. Journal of theAmerican Planning Association, Vol. 65, No.4 (Autumn 1999): 412-23.
Kaufman, J.L, dan H.M. Jacobs. 2000 [1996]. Perencanaan Strategis: Kajian dariPerspektif Perencanaan Publik. (Achmad Djunaedi, Pentj). Tulisan Asli:Kaufman ,J.L.; dan Jacobs, H.M. 1996. “A Public Planning Perspective onStrategic Planning”, dalam Journal of the American Planning Association, Vol. 53, No. 1, 1987. Diterjemahkan, disingkat dan dimodifikasi untuk bahankuliah MPKD UGM.
Krumholz, N. 1994. Advocacy Planning: Can it Move the Center? Journal of theAmerican Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 150-51.
Lindblom, C. E. 1959. The Science of “Muddling Through”. Public AdministrationReview, Vol.19, No.2 (Spring 1959): 79-88.
113
Marris, P. 1994. Advocacy Planning As a Bridge Between the Professional and thePolitical. Journal of the American Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring1994): 143-46.
Pallagst, K. 2006. Growth Management in the San Francisco Bay Area:Interdependence of Theory and Practice. IURD Working Paper Series 02,Institute of Urban and Regional Development, UC Berkeley.
Peattie, L. R. 1994. Communities and Interests in Advocacy Planning. Journal ofthe American Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 151-53.
Yewlett, CJL. 2001. Theory and Practice in Operational Research and TownPlanning: a Continuing Creative Strategy? Journal of the OperationalResearch Society, Vol.52: 1304-314.
Yone, H.L. 2007. Another Planning Theory? Rewriting the Meta-Narrative.Planning Theory, Vol 6, No.3: 315–26.
Website
American Planning Association. 2009. What is Planning? [cited 2010 Feb. 11].Available from URL: http://www.planning.org/aboutplanning/whatisplanning.htm.
_________________________. 2010. New Urbanism. [cited 2010 Jun. 26].Available from URL: http://www.planning.org/divisions/newurbanism/
Avena, C. 2010. City Beautiful Movement in the Progressive Age. [cited 2010 Feb.20]. Available from URL: http://www.fordham.edu/academics/colleges__graduate_s/undergraduate_colleg/fordham_college_at_l/special_programs/honors_program/honors_history/homepage/progressive_movement/index.asp.
Cambridge Dictionary, 2010. [cited 2010 Jun. 25]. Available from URL:http://dictionary.cambridge.org/
Doxiadis, C. A. 1970. Ekistics, the Science of Human Settlements. [cited 2010 Feb.20]. Available from URL: http://www.doxiadis.org/files/pdf/ecistics _the_science_of_human_settlements.pdf
Rose, J.K. 2010. The City Beautiful Movement. [cited 2010 Feb. 20]. Availablefrom URL: http://xroads.virginia.edu/~CAP/CITYBEAUTIFUL/city.html.
Savage, C. 2010. City Beautiful Movement. [cited 2010 Feb. 20]. Available fromURL: http://digital.library.okstate.edu/encyclopedia/entries/C/CI007.html.
Suarca. I. N. 2010. Tata Ruang di Propinsi Bali. In: Direktorat Jenderal PenataanRuang Departemen Pekerjaan Umum. Sejarah Penataan Ruang Indonesia.[cited 2010 Feb 06]. Available from URL: http://www.penataanruang.net/taru/sejarah/
Suardana, I.N.G. 2009. Denpasar, Ketika Pertumbuhannya tak Terkendali. [cited2009 Nov. 28]. Available from URL: http://ingsuardana.blogspot.com/ 2009/07/denpasar-ketika-pertumbuhannya-tak.html.
Winarno, H. 2010. Teori Ekistics dan Penataan Ruang di Indonesia. In: DirektoratJenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Sejarah PenataanRuang Indonesia. [cited 2010 Feb 06]. Available from URL:http://www.penataanruang.net/ taru/sejarah/
114
LAMPIRAN
Pedoman wawancara kepada Bappeda Kota Denpasar
1. Apa yang melatarbelakangi revisi RTRW Kota Denpasar 2009 – 2029?
2. Bagaimana proses perencanaan RTRW Kota Denpasar tahap demi tahap?
3. Bagaimana prosedur perencanaan RTRW Kota Denpasar?
4. Siapa saja pihak yang terlibat dalam perencanaan RTRW?
5. Bagaimana substansi atau materi teknis RTRW disusun?
Pedoman wawancara kepada para pihak yang terlibat dalam proses perencanaan
RTRW.
1. Pada tahap apa anda terlibat dalam proses perencanaan RTRW?
2. Bagaimana proses perencanaan RTRW Kota Denpasar tahap demi tahap
yang anda ikuti?
3. Apa masukan, saran atau pendapat yang anda sampaikan pada setiap tahap?