Upload
hacong
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENDIDIKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana
dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Oleh:
AGUS SETYABUDI
NIM: 053111310
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Agus Setyabudi
NIM : 053111310
Jurusan / Program Studi : Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian / karya saya
sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 14 Februari 2012
Saya yang menyatakan,
Agus Setyabudi
NIM. 053111310
iii
NOTA PEMBIMBING Semarang, 14 Februari 2012
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : PENDIDIKAN AKAL DALAM AL-QUR‟AN
Nama : Agus Setyabudi
NIM : 053111310
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam sidang munaqasah.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Pembimbing I
Dr. H. Ruswan, M.A.
NIP. 19680424 199303 1004
iv
NOTA PEMBIMBING Semarang, 14 Februari 2012
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : PENDIDIKAN AKAL DALAM AL-QUR‟AN
Nama : Agus Setyabudi
NIM : 053111310
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam sidang munaqasah.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Pembimbing II
Drs. Mahfud Junaedi, M.Ag.
NIP. 19690320 199803 1004
v
KEMENTERIAN AGAMA R.I.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Semarang
Telp. 024-7601295 Fax 7615387
PENGESAHAN
Naskah skripsi dengan:
Judul : PENDIDIKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN
Nama : Agus Setyabudi
NIM : 053111310
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
telah diujikan dalam sidang munaqasah dan dinyatakan LULUS oleh Dewan Penguji
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan dapat diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam.
Semarang, 7 Juni 2012
DEWAN PENGUJI
Ketua,
H. Amin Farih, M.Ag.
NIP: 19710614 200003 1002
Sekretaris,
Hj. Nur Asiyah, S.Ag., M.S.I.
NIP: 19710926 199803 2002
Penguji I,
Dr. H. Raharjo, M.Ed.St.
NIP: 19651123 199103 1003
Penguji II,
Nadhifah, S.Th.I., M.S.I.
NIP: 19750827 200312 2003
Pembimbing I,
Dr. H. Ruswan, M.A. NIP. 19680424 199303 1004
Pembimbing II,
Drs. Mahfud Junaedi, M.Ag.
NIP. 19690320 199803 1004
vi
ABSTRAK
Judul : PENDIDIKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN
Penulis : Agus Setyabudi
NIM : 053111310
Skripsi ini membahas tentang pendidikan akal dalam Al-Qur‟an. Kajiannya
dilatarbelakangi oleh adanya fenomena-fenomena mutakhir, yang seiring semakin
canggihnya sains dan teknologi, menggiring paradigma manusia kepada
kecenderungannya untuk menomor-duakan “Yang Transendental.” Studi ini
dimaksudkan untuk menjawab: (1) Bagaimana hakikat akal dalam Al-Qur‟an? (2)
Bagaimana konsep pendidikan akal yang ada dalam Al-Qur‟an?
Kedua permasalahan tersebut dibahas dengan menggunakan metode riset
kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan data melalui sumber primer
dan sekunder, kemudian dianalisis menggunakan metode maudlu’i sebelum
dilanjutkan dengan content analysis.
Kajian ini menunjukkan bahwa hakikat akal dalam Al-Qur‟an adalah sebuah
potensi untuk berpikir yang dapat mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus
dalam dosa atau pelanggaran dan kesalahan. Oleh karena itu, pendidikan akal dalam
Al-Qur‟an dirumuskan sebagai suatu usaha atau upaya untuk mengembangkan dan
membina potensi akal dalam berolah pikir agar mencapai kehidupan yang baik dan
benar di dunia dan akhirat berdasarkan prinsip keesaan Allah SWT, baik uluhiyah
maupun rububiyah. Langkah-langkahnya yaitu mengosongkan akal dari berbagai
“kebenaran-kebenaran”, membuka dan membangkitkan semua potensi indera,
bersikap kritis, tidak memaksakan potensi akal diluar kemampuannya serta
melakukan tindakan koherensi dan korespondensi.
Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan konfirmasi
bagi para mahasiswa, para tenaga pengajar dan peneliti, serta semua pihak yang
berkepentingan terhadap kajian ini, baik dari khalayak umum, maupun lingkungan
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang sendiri.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas kasih sayang-Nya yang
senantiasa melimpah. Shalawat salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat.
Skripsi dengan judul “Pendidikan Akal dalam Al-Qur‟an” ini disusun bukan
hanya sekedar untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I.) pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang. Bagi penulis, skripsi ini juga merupakan hasil awal pencarian penulis
terhadap satu dari sekian banyak misteri dunia dan manusia. Meski demikian, tiada
kata puas setelah penulis menyelesaikan skripsi ini. Sebab, di sana-sini terasa masih
ada yang kurang, mengingat masih terlalu banyak yang belum diketahui oleh penulis.
Dalam proses itu, tentu saja penulis banyak sekali merepotkan banyak pihak,
baik dari sisi materi maupun rohani. Oleh karena itu, wajib rasanya penulis
menghaturkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Ruswan, M.A. selaku Pembimbing I dan Bapak Drs. Mahfud
Junaedi, M.Ag. selaku Pembimbing II, yang senantiasa menyediakan waktu
pentingnya untuk mengarahkan penulis selama penyusunan skripsi ini sampai
usai.
2. Para bapak serta ibu dosen beserta segenap staf serta karyawan di IAIN
Walisongo Semarang, khususnya di lingkungan Fakultas Tarbiyah, yang telah
turut memperluas wacana penulis dan memudahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Ayahanda tercinta M. Muthalib (Alm) dan Ibunda tercinta Sri Mulyati, yang
dengan kesungguhan dan keikhlasan hati telah memberikan segala yang
dipunya. Dan yang paling penting, setiap hembusan nafasnya, penulis yakini,
penuh do‟a agar anak-anaknya, termasuk penulis, dapat mengemban sebagai
khalifah-Nya.
4. Saudara-saudara penulis tercinta: Saiful Anwar beserta istrinya Khoirul
Ummah, Nur Alfiyah beserta suaminya Ikhsan, Himmatul „Aliyah, M.
Misbahul Munir, M. Farih, yang berkat kesabaran dan ketabahannya akhirnya
viii
penulis mampu menyuguhkan sedikit tawa. Dan tak lupa keluarga besar
Simbah Kasnawi dan Kasiyan, yang selama ini telah banyak memberikan
dukungan dalam beragam bentuk dan rupa.
5. Sahabat-sahabat seperjuangan di Padepokan Damai: Hasan Joko Purnomo
sekeluarga, Mbak Tini sekeluarga, Yulianto sekeluarga, Arif Fatihul Khoir
beserta Ida-nya, Harbrian Agustiyono, Agus Hakim, Yopi Hartanto, Slamet
Nugroho yang telah menunjukkan citarasa dunia.
6. Sahabat-sahabat di lintas jalan: M. Abdul Chakim, Edi Eko Riyanto, Andhika
Agustiyono, Asbach Pratama, Firma Arizona, Suminto, Ichsan Fuadi, Ajid
Farkhani, Asnal Matholib sekeluarga, Agung Banyubening beserta 20B-nya,
yang tanpa lelah melahirkan inspirasi.
7. Prof. Abu Su‟ud, Bapak Suprayitno, Bapak Franciscus Sriyoto, Atho‟ Silmi
beserta keluarga besar KH. Abdullah Dzikron, Firmansyah, Ahmad Rifa‟i, M.
Sholihin, Ajib Taufan, M. Sibaril Majdi, Rusdiyanto dan M. Aqil, yang telah
berhasil menggairahkan penulis untuk terus mencari makna.
8. Teman-teman angkatan 2005, khususnya PAI C, M. Syakur, Taufiq Akbar,
Dwi M. Husein, Farid Ma‟ruf, Tajus Syarofi, Ipung, Sriyanto, Eddy Sa‟dan,
Sutarjo, Khomsatul Fawaid, Fauzan beserta Rajawali-nya, dan semuanya saja
yang tak pernah berhenti memacu penulis untuk segera menyusul mereka
dalam berbakti pada negeri.
9. Terkhusus, untuk seseorang yang hingga kini belum mampu penulis pahami
walau tidak jarang ia datang dengan sejuta ilham.
Hanya kata matur suwun yang mampu penulis berikan. Semoga Allah SWT
membalas kebaikan-kebaikan mereka. Akhirnya, penulis mohon adanya evaluasi
terhadap skripsi ini atas banyaknya kekurangannya di sana-sini. Semoga ada manfaat
pada skripsi yang sederhana ini. Amin.
Semarang, 14 Februari 2012
Penulis,
Agus Setyabudi
NIM. 053111310
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................... ii
NOTA PEMBIMBING .............................................................................. iii
PENGESAHAN ......................................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 7
E. Kajian Pustaka ........................................................................ 7
F. Penegasan Istilah .................................................................... 9
G. Metode Penelitian ................................................................... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKAL DAN PENDIDIKAN AKAL
A. Akal ........................................................................................ 13
1. Pengertian Akal ................................................................ 13
2. Diskursus Tentang Akal ................................................... 15
3. Peran Akal dalam Kehidupan ........................................... 18
4. Keterbatasan Akal ............................................................ 23
B. Pendidikan Akal
1. Pengertian Pendidikan Akal ............................................. 25
2. Unsur-unsur Dasar Pendidikan Akal ................................ 27
a. Tujuan Pendidikan Akal ............................................ 27
b. Materi Pendidikan Akal ............................................ 29
c. Metode Pendidikan Akal ........................................... 29
x
BAB III HAKIKAT AKAL DALAM AL-QUR’AN
A. Istilah „Aql dalam Al-Qur‟an ................................................. 32
B. Objek Akal dalam Al-Qur‟an ................................................. 35
C. Orang Berakal dalam Al-Qur‟an ............................................ 46
D. Hakikat Akal dalam Al-Qur‟an .............................................. 53
BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Pendidikan Akal dalam Al-Qur‟an ...................... 55
B. Tujuan Pendidikan Akal dalam Al-Qur‟an ............................ 56
C. Materi Pendidikan Akal dalam Al-Qur‟an .............................. 58
D. Metode Pendidikan Akal dalam Al-Qur‟an ............................ 58
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan ............................................................................. 62
B. Saran-Saran ............................................................................ 62
C. Penutup .................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDIDIKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN
A. Latar Belakang
Pada zaman dahulu, ketika manusia masih hidup pada taraf primitif, wilayah
mitos dan super-natural lebih menguasai dan dominan daripada wilayah rasio (akal).
Pengetahuan dan kepercayaan seperti seseorang tidak mempan ditembak atau
ditusuk, munculnya lintang kemukus sebagai tanda akan datangnya bencana, kaisar
Jepang adalah keturunan dewa Matahari, adanya “penunggu” pada sebuah pohon,
dan lain sebagainya, pada waktu itu masih dapat ditemukan dalam masyarakat luas.
Namun, seiring perkembangan taraf pemikiran, kebudayaan dan peradaban manusia,
ranah akal semakin menjadi lebih dominan. Sebagai gantinya, manusia
mengandalkan akalnya untuk menjelaskan segala fenomena-fenomena tersebut.1
Peran akal bagi kebudayaan dan peradaban manusia memang sangat besar.
Keberadaan ilmu pengetahuan yang menjadi salah satu bagian dari hasilnya
menunjukkan adanya indikasi tersebut. Pasalnya, dengan menggunakan potensi
akalnya untuk berpikir, awalnya manusia melahirkan disiplin ilmu pengetahuan yang
dinamakan filsafat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa filsafat merupakan ibu
dari segala ilmu. Namun, karena semakin kompleksnya persoalan-persoalan hidup
yang berbentuk dan bersifat praktis, konkret dan pragmatis, maka secara kuantitatif
berbagai jenis ilmu pengetahuan khusus lahir dengan objek studi yang berbeda-
beda.2
Ilmu pengetahuan atau sains yang merupakan produk akal tidak hanya
menjadikan apa yang dinamakan takhayul atau mitos sering terabaikan, tetapi ia juga
tidak jarang menggugat agama (wahyu). Hal ini karena, teori sains gaya Barat, yang
berlaku saat ini, tidak dapat merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas
1 Fenomena-fenomena ini sering disebut dengan mitos yaitu penjelasan atas fakta yang tidak
ada kebenarannya, hanya diduga atau dipercaya begitu saja. Ada juga yang disebut legenda yaitu
cerita rakyat yang berdasarkan mitos. Lihat. Amin Suyitno, dkk., “Ilmu Alamiah Dasar (IAD)”,
(Handout), (Semarang: 2002), hlm. 3.
2 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hlm. 21.
1
berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan, tetapi mengandalkan pemikiran yang
lahir dari tradisi-tradisi rasional dan sekular Yunani dan Romawi, serta dari
spekulasi-spekulasi metafisis para pemikir yang menganut paham evolusi kehidupan
dan penjelasan psikoanalitik tentang kodrat manusia.3 Akibat dari pemikiran teori
sains yang seperti ini, pada taraf yang lebih ekstrem, sebagaimana yang dikatakan
Lenin: “Sebagai konsekuensi ilmiah, agama harus ditumpas dengan kekerasan.”4
Dari kebingungan intelektual inilah kemudian Friederich Nietzsche (1844-1900)
lewat aksi “orang gilanya” dengan lantang memproklamirkan bahwa Tuhan telah
mati.
Keberanian Nietzsche ini keluar akibat kegelisahan mendalamnya yang tengah
menyaksikan Dunia Barat mengalami krisis begitu akut bagi kehidupan manusia,
yaitu suatu keterasingan hidup (alienasi).5 Manusia secara tidak langsung dipaksa
untuk mengikuti utopia kemajuan-kemajuan yang hanya didasarkan pada akal yang
terungkap dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan ambisinya untuk mengeksploitasi
dan menguasai alam yang seringkali mengabaikan nilai-nilai spiritual (agama).6
Fenomena yang terjadi pada masa Nietzsche ini, tampaknya berlanjut sampai
saat ini. Kemajuan sains yang semakin pesat secara otomatis membawa serta
teknologi pada perkembangan yang sangat menakjubkan dunia. Dengan teknologi,
segala kebutuhan manusia menjadi mudah terpenuhi. Terlebih pada masa sekarang
ini hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada manusia yang dapat terlepas dari peran
teknologi dalam usaha pemenuhan kebutuhannya, baik yang primer, sekunder
maupun tersier. Apa yang dahulu mungkin hanya ada dalam angan-angan dan impian
manusia, saat ini teknologi dapat mengantarnya kepada kenyataan.
3 C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, t.t.), hlm. 3.
4 Amin Suyitno, dkk., “Ilmu Alamiah Dasar (IAD)”, hlm. 7.
5 Alienasi berasal dari kata bahasa Latin yang berarti pemisahan dalam arti yang sangat
mendalam. Seorang yang mengalami alienasi, menurut arti kata asli, adalah orang yang terpisah dari
akalnya sendiri, orang yang telah kehilangan akalnya, ataupun orang yang tidak waras (madman).
Menurut Karl Marx kata ini untuk memberi nama kepada semacam perpecahan internal manusiawi.
Lihat Konrad Kebung, Esai Tentang Manusia: Rasionalisasi dan Penemuan Ide-ide, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2008), hlm. 137-138.
6 Konrad Kebung, Esai Tentang Manusia: Rasionalisasi dan Penemuan Ide-ide, hlm. 30.
2
Realitas inilah yang kemudian menyebabkan sebagian manusia beranggapan
bahwa sains dan teknologi-lah yang dapat membantu dan menyelesaikan semua
problematika kehidupan, bahkan yang dapat merealisasikan impian-impian manusia.
Akibatnya, ranah super-natural dan agama menjadi ter-marginal-kan. Hanya pada
saat-saat tertentu sajalah, dimana sains dan teknologi sudah tidak dapat menjalankan
fungsinya sebagaimana mestinya, kemudian manusia merapat kepada yang super-
natural dan agama. Pemikiran dan keadaan seperti ini, menurut Sayyed Hossein
Nasr, terutama dialami oleh sebagian umat manusia yang tengah atau telah mengikuti
proses modernisasi.7
Dalam pandangan Islam, potensi akal sangat diperhatikan. Hal ini dapat kita
lihat pada kitab suci Al-Qur‟an yang sering menyebutkan term al-„aql dan
derivasinya. Menurut Muhammad Abduh sebagaimana yang dikutip oleh A. Sadali,
bahwasanya anugerah yang diberikan Allah SWT kepada manusia meliputi: hidayah
insting, hidayah indera-indera dan perasaan, hidayah akal, hidayah agama, hidayah
taufiq atau inayah.8
Anugerah yang pertama (insting) dan kedua (indera dan perasaan) disamping
dimiliki oleh manusia juga dimiliki oleh hewan atau binatang. Sedangkan hidayah
akal, agama dan taufiq, diantara makhluk-makhluk Allah SWT di dunia ini, hanya
manusia-lah yang dikaruniai. Oleh karena itu, dalam ilmu mantiq (logika) ditemukan
rumusan tentang manusia dari hewan, yaitu al-insanu hayawanun-nathiq, manusia
adalah hewan yang nathiq, yang mengeluarkan pendapat dan berkata-kata dengan
mempergunakan pikirannya.9 Tegasnya, manusia adalah hewan yang berpikir.
Dengan berpikir, berarti akal manusia eksis secara fungsional. Maka relevan jika
7 Kecenderungan ini mengakibatkan pengaruh yang buruk terhadap: pertama, pemikiran itu
sendiri, yang menjadi tidak berjiwa dan kotor sehingga lahirlah sekularisasi pemikiran. Kedua, bahasa.
Bahasa yang awalnya merupakan simbolik, sugestif dan provokatif menjadi prosaik dan matematis,
akibatnya bahasa kehilangan kekuatannya untuk mengangkat pikiran manusia mengatasi yang duniawi
dan memberikan kilasan-kilasan tentang yang transendental. Ketiga, moral. Moral menjadi tidak
permanen dan abadi dalam nilai-nilai. Sehingga manusia menciptakan nilai-nilai yang relatif dengan
mengindahkan wawasan tentang Yang Ilahi. Lihat. C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam
Islam, hlm. 4.
8 A. Sadali, dkk., Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 20.
9 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan
Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 8.
3
seorang Rene Descartes (1596-1650) berkata cogito ergo sum (saya berpikir maka
saya ada).
Akal diberikan Allah SWT kepada manusia tidak lain sebagai kunci untuk
memperoleh petunjuk terhadap segala hal.10
Dengan potensi akal, Allah SWT
memerintahkan manusia untuk berpikir dan mengelola alam semesta serta
memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan hidupnya.11
Oleh karena itu, di bumi ini manusia mengemban tugas sebagai khalifah-Nya.
Dalam misinya ini, manusia tidak hanya dibekali dengan akal saja, tetapi juga
diberi tuntunan, bimbingan dan petunjuk berupa Al-Qur‟an. Oleh karena itu, Al-
Qur‟an dan akal, tidak mungkin bertentangan satu sama lain. Akal mempunyai
ranahnya sendiri, begitu pula wahyu (Al-Qur‟an). Keduanya seharusnya koheren dan
saling melengkapi. Dalam hal ini tepat sekali seperti yang dikatakan Albert Einstein
bahwa “Science without religion is blind, religion without science is limp”,12
yang
artinya sains tanpa agama adalah buta, agama tanpa sains adalah lumpuh.
Kata-kata Albert Einstein di atas mengandung makna bahwa agama (wahyu)
tanpa ditunjang oleh akal dapat mengakibatkan kehidupan ini menjadi tidak dinamis
dan stagnan (jalan ditempat). Sedangkan kedahsyatan akal tanpa bimbingan agama
(wahyu) bisa menyesatkan manusia dan membinasakan nilai-nilai, norma-norma
serta hukum-hukum universal. Hal ini menunjukkan bahwasanya sains yang
notabene produk akal bersifat tidak bebas nilai dan mempunyai tanggung jawab
moral kepada Tuhan, kemanusiaan dan kealaman.
Senada dengan itu, Usman Abu Bakar dan Surohim menyatakan bahwasanya
secara fungsional keberadaan manusia memiliki tiga dimensi, yaitu:13
1. Ketuhanan. Dimensi ini akan menumbuhkan sikap ideologi, idealisme, cita-cita
dan perjuangan.
10
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, (Yogyakarta: Dinamika,
1996), hlm. 115.
11 Slamet Wiyono, Manajemen Potensi Diri, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 40.
12 Amin Suyitno, dkk., “Ilmu Alamiah Dasar (IAD)”, hlm. 6.
13 Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, (Respon
Kreatif Terhadap Undang-undang Sisdiknas), (Yogyakarta: Safira Insani Press, 2005), hlm. 122.
4
2. Kemanusiaan. Dimensi ini akan menumbuhkan kearifan, kebijaksanaan,
kebersamaan, demokratis, egalitarian dan menjunjung tinggi HAM.
3. Kealaman. Sedangkan dimensi ketiga ini akan melahirkan semangat dan sikap
ilmiah, sehingga melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesadaran yang
mendalam untuk melestarikannya.
Ketiga dimensi ini jika dapat terintegrasi dengan baik dan harmoni dalam diri
seseorang, maka tidak mungkin manusia akan mengalami kebingungan dan
kejanggalan secara intelektual.
Di dalam Al-Qur‟an terdapat ayat-ayat dalam berbagai bentuk yang bervariasi
terkait petunjuk penggunaan akal yang baik dan tepat. Diantara ayat-ayat tersebut
adalah QS. Ali Imran: 7.
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Diantara (isi)
nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
ta‟wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta‟wilnya melainkan Allah
SWT. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal. (QS. Ali Imran/3: 7).14
Selain terdapat dalam Al-Qur‟an, tuntunan penggunaan akal juga telah
diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits beliau yang artinya: “Berpikirlah
kamu tentang ciptaan-ciptaan Allah SWT dan jangan pikirkan tentang Zat Allah.”15
14
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1971),
hlm. 76.
15 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terj. Abdul
Hayyie Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 42.
5
Al-Qur‟an dan Hadits di atas mengingatkan kepada manusia bahwa meskipun
potensi akal jika digunakan secara maksimal sangat mengagumkan, namun tidaklah
semua yang ada dapat dicernanya. Akal mempunyai keterbatasan-keterbatasan.
Masih ada beberapa hal yang hanya dapat didekati dan dijangkau melalui wahyu.
Oleh karena itu, sumber intelektualitas manusia, yakni akal, mesti harus diperhatikan
dalam berolah pikir serta diarahkan dan dididik agar dapat berjalan dan bekerja
secara tepat serta sesuai dengan ranah dan porsinya.
Hal tersebut bukanlah non sense mengingat apabila dilihat dari segi
kemampuan dasar paedagogis, manusia dipandang sebagai homo edukandum, yaitu
makhluk yang harus dididik.16
Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahan dalam
mengarahkannya menjadi khalifah-Nya dan supaya dapat mengantarkan manusia
mencapai kehidupan yang baik dan benar di dunia dan akhirat, tentu Islam
mempunyai konsep tentang pendidikan akal.
Orang yang berakal, dalam pandangan Al-Qur‟an, sebagaimana yang
disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 190-191, yaitu:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran/3:
190-191).17
Berpijak dari rumusan konsep di atas, maka penulis sangat tertarik untuk
mencoba memberikan sedikit deskripsi tentang hakikat akal yang ada dalam Al-
Qur‟an. Dari kerangka berpikir tersebut, penulis kemudian ingin menganalisis
16
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 97.
17 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 109-110.
6
pendidikan akal yang ada didalamnya. Oleh karena itu, penulis mengangkat karya
tulis ini dengan judul “PENDIDIKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan cukup menarik yang
akan dibahas dalam karya ini, yaitu:
1. Bagaimanakah hakikat akal dalam Al-Qur‟an?
2. Bagaimanakah konsep pendidikan akal yang ada dalam Al-Qur‟an?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan:
1. Mengetahui hakikat akal dalam Al-Qur‟an.
2. Mengetahui konsep pendidikan akal yang ada dalam Al-Qur‟an.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu untuk:
1. Menambah dan meningkatkan wawasan yang lebih komprehensif dan holistik
mengenai hakikat akal dalam Al-Qur‟an.
2. Dimanfaatkan sebagai acuan dalam mendidik akal manusia.
3. Dapat diaplikasikan secara praktis dalam paradigma berpikir, sehingga sikap dan
tindakan keseharian sesuai dengan tuntunan Al-Qur‟an.
4. Menambah wacana dan khazanah keilmuan Islam tentang nilai-nilai yang
dikandung Al-Qur‟an.
E. Kajian Pustaka
Usaha untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur‟an pada saat ini telah banyak
dilakukan dari berbagai perspektif, pendekatan dan tinjauan. Buku-buku sekarang ini
juga marak yang mengkaji tentang kandungan Al-Qur‟an dari berbagai sudut
pandang ilmu pengetahuan. Hal ini tentu sangat positif, karena dapat memperkaya
7
khazanah keintelektualan dalam dunia Islam. Realitas ini dapat dilihat dengan
semakin banyaknya karya-karya tafsir, baik yang klasik maupun kontemporer.
Mengenai pembahasan tentang akal sendiri, penulis sudah sering sekali
menemukannya. Hal ini tentu saja sangat membantu penulis dalam menyelesaikan
karya tulis ini.
Diantara karya-karya yang relevan dengan kajian penulis di sini antara lain
yaitu: Pertama, buku Yusuf Qardhawi yang berjudul “Al-Qur’an Berbicara tentang
Akal dan Ilmu Pengetahuan.” Dalam buku ini disebutkan bahwa Al-Qur‟an memberi
petunjuk berkenaan dengan visi pemikiran dan ilmu pengetahuan, serta pembentukan
“akal ilmiah” yang bebas dan objektif.
Kedua, skripsi Muhammad Mahfudz, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dengan
judul “Peran Akal dalam Surat Ali Imran Ayat 190-191 dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan Islam.” Dalam karya ini disebutkan bahwa pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang harus membina, mengarahkan dan mengembangkan potensi akal
pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah. Karena akal
mempunyai fungsi untuk tadzakkur dan tafakkur, maka pendidikan yang
mempertimbangkan akal akan membawa manusia ke arah peradaban yang lebih maju
dan intelektualitas yang selalu mengedepankan moral dan nilai-nilai untuk menuju ke
arah insan kamil.
Ketiga, buku karya M. Quraish Shihab dengan judul “Logika Agama;
Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam.” Di sini dipaparkan bahwa
ajaran Islam selalu sesuai dengan akal menyangkut hal-hal yang berada dalam
wilayah akal, karena Allah SWT memberi manusia potensi untuk mengetahuinya.
Ajaran Islam tidak bertentangan dengan akal menyangkut hal-hal yang tidak
terungkap secara jelas, karena hal tersebut tidak ranah akal. Kita bisa memperoleh
informasi tentang yang tidak diungkap dengan jalur pencerahan batin.
Yang membedakan ketiga karya di atas dengan skripsi ini yaitu skripsi ini lebih
menitikberatkan pada pendidikan akal yang terdapat dalam Al-Qur‟an yang mana
tidak didapatkan pada karya di atas secara eksplisit.
8
F. Penegasan Istilah
Dalam rangka memberikan penjelasan dan penegasan istilah yang terdapat
dalam judul di atas, maka di sini disertakan definisi peristilahan yang dimaksud
untuk menghindari kesalahpahaman terhadapnya. Istilah-istilah tersebut yaitu:
1. Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata dasar didik, yang berarti memelihara dan
memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran dan
perbuatan.18
Pendidikan adalah usaha atau upaya mengembangkan kemampuan atau
potensi individu sehingga bisa hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun
sebagai anggota masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral sosial sebagai pedoman
hidup.19
2. Akal
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, kata akal berasal dari bahasa Arab al-
„aql yang berarti mengikat, menahan, memahami dan bijaksana. Akal diartikan juga
sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya
dari jiwa serta mengandung arti berpikir, memahami dan mengerti.20
3. Pendidikan Akal
Jadi, pendidikan akal adalah usaha atau upaya mengembangkan daya
berpikir, memahami dan mengerti sehingga bisa hidup optimal, baik sebagai pribadi
maupun sebagai anggota masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral sosial sebagai
pedoman hidup.
Berdasarkan pengertian istilah-istilah yang telah dijabarkan di atas, secara garis
besar dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan penulis dengan judul “Pendidikan
Akal dalam Al-Qur‟an” adalah sebuah usaha untuk mengembangkan potensi akal
manusia sesuai dengan tuntunan Al-Qur‟an. Yaitu dengan mencari terlebih dahulu
hakikat akal dalam Al-Qur‟an dari interpretasi para mufassir secara seksama, yang
18
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
hlm. 40.
19 Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar
Baru, 1996, Cet. 3), hlm. 2.
20 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1993), hlm. 98.
9
kemudian mengkajinya untuk memahami dan mengerti kandungannya tentang akal
dan menganalisisnya sehingga dapat menemukan pendidikan akal yang terdapat
didalamnya.
G. Metode Penelitian
Merujuk pada kajian di atas, penulis menggunakan metode yang relevan untuk
mendukung dalam pengumpulan dan penganalisisan data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini. Metode-metode tersebut yaitu:
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan studi
pustaka (library research),21
yaitu dengan cara mengadakan studi secara teliti
literatur-literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. Adapun
data tersebut digali dari dua sumber, yaitu:
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber-sumber yang memberikan data secara
langsung dari tangan pertama atau merupakan sumber asli.22
Dalam penelitian ini,
sumber data primernya yaitu Al-Qur‟an dan terjemahnya serta kitab-kitab tafsir
Al-Qur‟an, antara lain yaitu: tafsir Al-Azhar karya Hamka, tafsir Al-Misbah karya
M. Quraish Shihab dan tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur karya M. Hasbi Ash-
Shidieqy.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari sumber yang
lain yang tidak diperoleh dari sumber primer.23
Adapun sumber data sekunder
dalam penelitian ini yaitu buku-buku yang berkaitan dan relevan dengan
permasalahan dalam skripsi ini.
Selanjutnya, melalui metode studi pustaka (library research), maka langkah
yang ditempuh adalah dengan cara membaca, memahami serta menelaah buku-
21
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1999), Jil. 1, hlm. 9.
22 Nasution, Metode Reseach Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 150.
23 Saifuddin Anwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998), hlm. 91.
10
buku, baik berupa kitab-kitab tafsir maupun sumber-sumber lain yang berkenaan
dengan permasalahan yang ada, kemudian dianalisa.
2. Metode Analisis Data
Setelah pengumpulan data telah dilakukan dan data sudah terkumpul, maka
langkah selanjutnya adalah menganalisa data dengan menggunakan metode
maudlu’i, yaitu sebuah metode yang bertujuan untuk memperoleh petunjuk yang
utuh mengenai kandungan makna Al-Qur‟an, dengan menghimpun ayat-ayat Al-
Qur‟an dari berbagai surat yang memiliki topik atau tema yang sama atau saling
berkaitan dan sedapat mungkin diurutkan sesuai dengan urutan turunnya.24
Adapun langkah-langkah dalam metode tafsir Maudlu’i adalah sebagai
berikut:25
a. Menetapkan atau memilih masalah Al-Qur‟an yang akan dikaji.
b. Menelusuri dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah
ditetapkan.
c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pula asbabun
nuzul-nya.
d. Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam surahnya masing-
masing.
e. Menyusun topik (tema bahasan) dalam kerangka yang sesuai, sistematis,
sempurna dan utuh.
f. Melengkapi atau didukung dengan hadits bila dipandang perlu untuk lebih
kesempurnaan pembahasannya.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayat yang mempunyai pengertian sama.
Dengan kerangka kerja metode di atas, maka dalam hal ini penulis
mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang berhubungan dengan akal sebagai data
deskriptif, untuk selanjutnya melakukan analisis sesuai dengan isinya, atau sering
24
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 74.
25 Muhammad Nur Ichwan, Memasuki Dunia Al-Qur’an, (Semarang: Lubuk Raya, 2001),
hlm. 267-268.
11
disebut content analysis, yang merupakan analisis ilmiah terhadap data deskriptif
mengenai penafsiran akal dari para mufassir. Sebagaimana diungkapkan oleh Noeng
Muhajir, yang mengutip dari Albert Wijaya tentang content analysis, dengan
beberapa syaratnya, yaitu objektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi.26
26
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm.
66.
12
BAB II
TINJUAN UMUM TERHADAP AKAL
DAN PENDIDIKAN AKAL
A. Akal
1. Pengertian Akal
Dalam struktur manusia, terdapat satu potensi yang dinyatakan dengan
beberapa kata, yaitu ratio (Latin), reason (Inggris dan Perancis), nous (Yunani),
verstand (Belanda), vernunft (Jerman), al-‘aql (Arab), buddhi (Sansekerta), dan akal
budi (satu perkataan yang tersusun dari bahasa Arab dan bahasa Sansekerta).1
Mengenai istilah “akal”, tidak jelas sejak kapan menjadi kosa kata dalam
bahasa Indonesia. Yang pasti, ia diambil dari bahasa Arab, yaitu aqala-ya’qilu-
‘aqlan dan sudah digunakan oleh orang Arab sebelum datangnya agama Islam, yang
berarti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang ditunjukkan seseorang dalam
situasi yang berubah-ubah. 2
Akal menurut pengertian pra-Islam ini berhubungan dengan pemecahan
masalah. Sedangkan orang berakal menurut pendapat ini adalah orang yang memiliki
kecerdasan untuk menyelesaikan masalah setiap kali ia dihadapkan pada problem
dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Hal ini bisa
dipahami dari kebiasaan orang Arab zaman jahiliyah, yang menyebut ‘aqil sebagai
orang yang dapat menahan amarahnya, dan oleh karena itu dapat mengambil sikap
dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.3
Secara etimologis, “akal” yang berasal dari bahasa Arab al-‘aql berarti rabth
(ikatan, tambatan), „uqul (akal pikiran), fahm (paham, mengerti), qalb (hati), al-hijr
(menahan), an-nahy (melarang), dan al-man’u (mencegah). Akal juga bisa berarti
1 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan
Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. 1, hlm. 15.
2 Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neuro Sains dan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
2002, hlm. 197.
3 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986) hlm. 6-7.
13
cahaya Robbani, yang dengannya jiwa dapat mengetahui sesuatu yang tidak dapat
diketahui oleh indera.4
Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami
dan berpikir. Dengan pengaruh masuknya filsafat Yunani ke dalam filsafat Islam,
menurut Toshihiko Izutzu, kata al-‘aql mengandung arti yang sama dengan nous,
yaitu daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.5
Namun, istilah akal seringkali dikacaukan dengan term “otak”. Meskipun
keduanya merujuk adanya kesamaan, tetapi juga mengandung perbedaan yang
mendasar. Pengertian otak misalnya, adalah merujuk kepada materi (jaringan syaraf
yang sangat lembut) yang terdapat dalam tempurung kepala. Disamping dimiliki oleh
manusia, otak juga dimiliki oleh binatang. 6
Oleh karena itu, dapat saja seseorang
berotak tetapi tidak berakal, misalnya orang gila.
Sedangkan dalam Kamus Ilmu Al-Qur‟an disebutkan bahwa kata ‘aql searti
dengan akal, wisdom atau reason, yang mempunyai tugas berpikir atau memikirkan
atau menghayati dan melihat atau memperhatikan alam semesta.7 Kebanyakan ahli
tafsir mengartikan akal tidak hanya dengan arti pikiran semata, tetapi juga perasaan.8
Akal, menurut Endang Saifuddin Anshari, merupakan satu potensi dalam
ruhani manusia yang memiliki kesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis
realitas kosmis yang mengelilinginya dan yang secara praktis dapat mengubah dan
mempengaruhinya.9 Sedangkan Musa Asy‟ari mengartikan akal sebagai daya ruhani
untuk memahami kebenaran yang bersifat mutlak dan kebenaran yang relatif.10
Hampir senada dengan yang lain, Imam Bawani menyimpulkan bahwa akal
4 Louis Ma‟luf, Al-Munjidu fil-Lugati wal-A’lam, (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986), hlm. 520.
5 Toshihiko Izutzu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an,
terj. Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah dan Amiruddin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997),
hlm. 65.
6 Imam Syafi‟ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an; Telaah dan Pendekatan
Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 74.
7 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. 2, hlm. 27.
8 Kaelany HD, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet.
2, hlm. 223.
9 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, hlm. 16.
10 Musa Asy‟ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1992), hlm. 122.
14
merupakan substansi ruhaniyah yang dengannya manusia dapat memahami dan
membedakan kebenaran dan kepalsuan.11
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan akal adalah suatu potensi atau daya yang terdapat dalam jiwa
manusia sebagai alat untuk mengerti dan memahami segala sesuatu, baik yang
bersifat teologis, kosmologis maupun etis, serta yang secara praktis dapat merubah
dan mempengaruhinya.
2. Diskursus Tentang Akal
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai
bukan hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan semata, tetapi
juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Dalam Al-Qur‟an
banyak kita jumpai ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berpikir dan
menggunakan akal. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika dikatakan Islam sebagai
agama rasional.12
Akan tetapi, menurut Harun Nasution, pemakaian kata rasional terhadap Islam
perlu ditegaskan ulang. Kerasionalan Islam bukannya kemudian percaya kepada
rasio semata-semata dan meninggalkan wahyu atau membuat akal lebih tinggi dari
wahyu. Karena dalam pemikiran Islam, baik dalam bidang filsafat ataupun ilmu
kalam, akal tetap tunduk pada wahyu, dan dipakai hanya untuk memahami teks-teks
suci tersebut.13
Banyak yang mengklaim bahwasanya kalangan filosof Islam dan kaum
Mu‟tazilah cenderung mengedepankan akal dari pada wahyu. Bagi Harun Nasution,
pendapat tersebut tidak beralasan. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran
Islam sebenarnya bukanlah akal dengan wahyu, melainkan penafsiran terhadap teks
wahyu. Sehingga bila kelihatan penafsiran yang jauh dari arti tekstual wahyu, dengan
penekanan pada arti metaforis, maka dianggap telah menolak wahyu.14
Meskipun
demikian ada beberapa orang dalam zaman Islam klasik yang dinilai terlalu
11
Imam Bawani, Segi-Segi Pendidikan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), hlm. 203.
12 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, hlm. 101.
13 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, hlm. 101-102.
14 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, hlm. 103.
15
mendewa-dewakan akal dan mengacuhkan wahyu. Mereka kemudian tidak dianggap
sebagai muslim atau orang beragama lagi.
Salah seorang tokoh yang terkenal diantaranya adalah Abul Hasan Ahmad Ibnu
Yahya Ibnu Ishaq Al-Rawandiy (lahir 825 M). Ibn Al-Rawandiy berpendapat bahwa
akal-lah satu-satunya jalan untuk memperoleh pengetahuan, yang menentukan baik
dan buruk serta yang menjadi kriteria segala-galanya. Akal pulalah yang menguji
keperluan datangnya rasul. Ajaran-ajaran yang dibawa rasul tak boleh tidak harus
sesuai dengan akal. Akan tetapi, kalau sesuai dengan akal maka datangnya rasul tak
ada gunanya. Dan kalau tidak sesuai, maka kerasulan yang membawa ajaran itu tidak
benar.15
Tokoh lainnya adalah Muhammad Ibnu Zakariyya Al-Razi (865-925 M). Al-
Razi berpendapat bahwa akal dapat mengetahui dan bisa menentukan segalanya,
sehingga wahyu tidak diperlukan lagi. Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga
alasan, yaitu:16
a. Akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak
berguna. Dengan akal, manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur
kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
b. Tidak ada pembenaran untuk pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing
yang lain. Sebab, semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya
pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka.
c. Ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama
Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan. Tidaklah masuk akal rasul-rasul
itu dikirim Tuhan, karena mereka membawa kekacauan di dunia dan rasa benci
serta permusuhan di kalangan bangsa-bangsa.17
Kekuatan akal untuk mengetahui, menurut Muhammad „Abduh, pada setiap
orang mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Perbedaan ini dibagi menjadi dua,
yaitu akal khawwash dan akal „awwam. Akal khawwash adalah akal yang dapat
mencapai pengetahuan tentang Tuhan, sedangkan akal ‘awwam adalah akal yang
15
http://forum.swaramuslim.net/more.php?id=43638_0_15_0_M.
16 http://forum.swaramuslim.net/more.php?id=43638_0_15_0_M.
17 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, hlm. 103-104.
16
tidak bisa mencapai seperti apa yang dicapai oleh akal khawwash. Dengan adanya
dua macam akal ini, maka fungsi wahyu, jika diterima oleh akal ‘awwam, memiliki
fungsi informasi, sedangkan yang diterima oleh akal khawwash berfungsi sebagai
konfirmasi. Maksudnya adalah kalau akal khawwash melakukan penyelidikan
tentang hal-hal yang ingin diketahui, maka wahyu berfungsi sebagai alat untuk
membenarkan penyelidikan. Berbeda dengan akal ‘awwam ketika melihat wahyu,
maka wahyu itu merupakan informasi pertama kali yang ia ketahui.18
Menurut Ibnu Rusyd, akal dibagi menjadi tiga: Pertama akal demonstratif
(burhaniy) yang memiliki kemampuan untuk memahami dalil-dalil yang meyakinkan
dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting serta melahirkan filsafat.
Kedua adalah akal logik (manthiqiy) yang sekedar mampu memahami fakta-fakta
argumentatif. Ketiga adalah akal retorik (khithabiy) yang mampu menangkap hal-hal
yang bersifat nasehat dan retorik, karena tidak dipersiapkan untuk memahami aturan
berpikir sistematis.19
Sedangkan menurut Al-Kindi, akal sebagai daya berpikir manusia dibagi
menjadi dua, yaitu akal praktis dan akal teoritis.20
Akal praktis adalah akal yang
menerima arti-arti yang berasal dari materi. Sedangkan akal teoritis adalah akal yang
menangkap arti-arti murni, yaitu arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, seperti
Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan diri pada alam materi, sedangkan
akal teoritis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian pada alam
immaterial.21
Hampir senada dengan pendapat di atas, Ruhullah Syams membedakan akal
sebagai berikut, yaitu:22
18
Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
hlm. 119-122.
19 Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Rosdakarya, 1994), hlm. 207-210.
20 Pembagian akal menjadi akal teoritis dan akal praktis tidak hanya disepakati oleh para
filosof muslim saja. Para filosof yang mendengungkan idealisme Jerman juga mengakui pembagian
ini. Hal ini ditunjukkan mereka dalam masalah kebenaran universal dan individu, dan sanggahan
mereka terhadap para filosof empirisme Inggris. Lihat. Herbert Mercuse, Rasio dan Revolusi;
Menyuguhkan Kembali Doktrin Hegel untuk Umum, Terj. Imam Baehaqie, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), Cet. 1, hlm. 15.
21 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 58-63.
22 http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/001/01.html
17
a. Akal insting, yaitu akal manusia pada awal penciptaannya, yakni akal yang masih
bersifat potensial dalam berpikir dan berargumen.
b. Akal teoritis, yaitu akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu
yang ada dan tiada (bersifat ontologis).
c. Akal praktis, yaitu kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan
beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah diperolehnya.
3. Peran Akal dalam Kehidupan
Menurut Muhammad Fuad Abd Al-Baqi, sebagaimana dinukil oleh Imam
Syafi‟ie, dalam kenyataannya, akal bukanlah wujud yang berdiri sendiri, melainkan
inheren dalam jati diri manusia. Oleh karena itu, akal merupakan pra-syarat adanya
manusia yang hakiki. Artinya, manusia belum dipandang sebagai layaknya manusia
apabila belum sempurna akalnya.23
Sebab, akal merupakan kemampuan khas
manusiawi yang secara potensial dapat didayagunakan untuk mendeskripsikan dan
memikirkan fenomena-fenomena serta melakukan penalaran yang akhirnya
mengantarkan manusia untuk mengambil keputusan dan melakukan suatu tindakan.
Tegasnya, manusia belum dianggap sebagai manusia jika belum menggunakan
potensi akalnya secara fungsional atau untuk berpikir.
Potensi akal yang digunakan untuk berpikir mempunyai fungsi-fungsi strategis
yang terletak dalam bidang-bidang:24
a. Pengumpulan ilmu pengetahuan (collecting the knowledge).
b. Memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi (problem solving).
c. Mencari jalan-jalan yang lebih efisien untuk memenuhi maksud-maksud kita
(looking for the way).
Meskipun buah pikiran manusia tampak beragam, namun pada hakikatnya
upaya mereka dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok,
yakni: apakah yang akan kita ketahui (ontologis)? bagaimanakah cara kita
23
Imam Syafi‟ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an, hlm. 75.
24 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1980),
hlm. 110.
18
memperolehnya (epistemologis)? dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita
(aksiologis)?25
Pertanyaan itu kelihatannya sederhana, namun mencakup permasalahan yang
sangat asasi. Berbagai pemikiran besar dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya
merupakan serangkaian jawaban yang diberikan atas ketiga pertanyaan tadi. Adanya
perbedaan-perbedaan diantara mereka tidak lebih karena tidak adanya kesamaan
dalam penggunaan cara mereka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dalam khasanah intelektual Barat, dikenal ada dua cara untuk memperoleh
pengetahuan:26
a. Rasionalisme yaitu pengetahuan hanya diperoleh dari rasio atau kesadaran kita.
Aliran ini dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650). Ia memulainya dengan
sebuah kesangsian atas segala sesuatu. Baginya, menyangsikan adalah berpikir
dan eksistensi dicapai dengan berpikir. Oleh karena itu, kemudian ia mengatakan
je pense donc je suis atau cogito ergo sum.27
Kesangsiannya ini sangat radikal,
tetapi hanya sebuah metode untuk menemukan dasar yang kokoh dari kebenaran.
b. Empirisme dipelopori oleh John Locke (1632-1704). Menurutnya, pada mulanya
rasio manusia itu bagaikan tabula rasa. Adapun seluruh isinya yang membentuk
ide-ide itu berasal dari pengalaman inderawi. Oleh karena itu, baginya sumber
pengetahuan adalah pengalaman.28
Perkembangan kegiatan akal (berpikir) manusia bila ditarik pada perjalanan
sejarahnya, setidak-tidaknya ada empat fase:29
a. Kosmosentris, yaitu alam semesta sebagai obyeknya, sebagaimana yang terjadi
pada zaman kuno.
25
Jujun S. Sumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm.
2.
26 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu
Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), hlm. 109. Di samping rasio dan pengalaman inderawi,
para filsuf muslim juga mengakui intuisi.
27 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 38-39.
28 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, hlm. 110.
29 Suyoto (Ed.), Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, (Yogyakarta: Aditya Media,
1994), hlm. 77.
19
b. Teosentris, yaitu obyek pembicaraannya adalah Tuhan, sebagaimana terjadi
pada Abad Pertengahan.
c. Antroposentris, dominasi wacananya adalah seputar manusia, seperti halnya
pada zaman modern.
d. Logosentris, pusat pembicaraannya adalah bahasa dan terjadi pada abad
keduapuluh.
Dengan aktifitasnya berpikir, akal tidak hanya memberikan kemungkinan-
kemungkinan kepada manusia untuk memahami hal-hal yang dapat dihitung,
ditimbang, diukur dan yang dapat diselidiki sebagai obyek yang tampak,
sebagaimana paham positivisme logis. Lebih dari itu, dengan menggunakan akalnya
untuk berpikir, manusia menjadi sanggup untuk menjelajahi dunia ruhaniyahnya atau
agama.30
Dalam setiap agama, baik Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Islam atau agama
apapun juga, harus berurusan dengan persoalan-persoalan yang mempunyai arti
paling hakiki bagi kehidupan manusia. Diantaranya yaitu masalah asal-usul alam
semesta, kodrat jiwa manusia dan tujuan akhirnya, lingkup dan batas-batas
kebebasan kehendak, kehidupan di akhirat, pahala serta siksaan. Selain agama,
permasalahan-permasalahan di atas juga merupakan kajian akal atau filsafat yang
dianggap sebagai masalah-masalah yang kekal dan tidak terpecahkan karena sifatnya
yang gaib.31
Diskusi mengenai akal dengan wahyu, science dengan agama, atau filsafat
dengan teologi sudah dimulai sejak abad Pertengahan dalam pelbagai ungkapan serta
cara hingga saat ini. Diskusi ini tidak hanya menyangkut pertanyaan apakah Tuhan
ada atau tidak sebagai obyek iman, atau apakah Tuhan dapat dimengerti atau tidak,
melainkan juga melingkupi segala sesuatu tentang manusia dan dunia dalam
hubungannya dengan Yang Ilahi.32
30
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, hlm. 16.
31 C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, t.t.), hlm. 82.
32 Konrad Kebung, Esai Tentang Manusia; Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2008), Cet. 1, hlm. 32.
20
Diskusi ini terus terjadi tidak lain karena akal dan agama merupakan dua
anugerah yang hanya diberikan Tuhan kepada manusia yang kedua-duanya adalah
sarana dan sumber pencarian kebenaran yang paling hakiki bagi manusia. Oleh
karena itu, manusia sering disebut sebagai makhluk pencari kebenaran.
Akal dan agama, dalam setiap fase zaman tercatat mengindikasikan adanya
upaya untuk saling mendominasi satu sama lainnya. Di Barat, pada Abad
Pertengahan, agama sangat kokoh dengan otoritasnya (Gereja). Segala pemikiran
yang bertentangan dengan Gereja dibumihanguskan.33
Baru ketika masa renaisans
tiba kemudian akal mendapat tenaga untuk memberontaknya, yang dilanjutkan
dengan Reformasi Protestan. Renaisans dengan humanisme-nya merupakan gerakan
elit intelektual, sedangkan Reformasi adalah gerakan massa. Renaisans adalah
gerakan kebudayaan, sedangkan Reformasi adalah gerakan teologis dan politis.34
Dan akhirnya pada masa modern akal menempati tahtanya sebagai penguasa dengan
science-nya. Perlahan-lahan segala yang berbau agama terpinggirkan selama tidak
dapat dicerna oleh akal.35
Fenomena ini kemudian menarik Auguste Comte (1798-1857) memunculkan
hipotesis bahwa proses berpikir ketuhanan manusia pada dasarnya bersifat evolusif
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1) Teologis
Pada tahap ini dicirikan oleh mentalitas dan pemikiran yang cenderung
animistis dan antropomorfis, memandang segala sesuatu dengan kategori-
kategori tujuan, kehendak dan roh, dan mengkonsepsikan penjelasan tentang
eksistensi segala hal sepenuhnya berdasarkan tujuan terdalam atau roh yang
33
Galileo Galilei (1564-1642) dihukum oleh inkuisisi (dicukil matanya) karena lewat
teleskop temuannya pada tahun 1810 telah berhasil membuktikan kebenaran teori Copernicus (yang
lebih dulu dihukum) bahwa bumi mengitari matahari sebagai pusat semesta yang bertentangan dengan
teori Aristoteles dan Ptolemaeus yang lebih sesuai dengan dogma Gereja bahwa bumi adalah pusat
semesta. Lihat. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 11-12.
34 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 12.
35 Science telah memberi umat manusia berkah melimpah; kemudahan materi dan
memperluas cakrawala pikirannya. Tetapi juga mendatangkan kegelisahan jiwa yang hebat dan
hilangnya perhatian kita secara bertahap pada pedoman spiritual dan etika (kebenaran, kehormatan
dan keadilan) yang telah menjadi benteng kokoh setiap peradaban besar masa lalu. Lihat. J. Donald
Walters, Crises in Modern Thought; Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan dalam Lingkup Filsafat
dan Hukum Kodrat, terj. B. Widhi Nugraha, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 1.
21
dianggap terdapat pada segala sesuatu. Dengan kata lain, pemikiran pada masa
ini didominasi oleh agama dan orientasi ke Tuhan. Kehendak, entitas spiritual
serta kekuatan-kekuatan adalah penyebab fenomena, dan sebaliknya, semua
fenomena dihasilkan oleh tindakan langsung dari suatu ada yang adikodrati.
Tahap ini secara esensial bersifat otoriter dan militeristik.
Tahap ini, juga dirinci menjadi tiga tahap lagi, yaitu: tahap animisme,
politeisme dan monoteisme.36
Pada tahap animisme, semua benda dianggap
berjiwa, khususnya benda-benda yang dianggap sakral (suci atau keramat).
Dalam tahap politeisme dipercayai adanya banyak dewa di balik gejala-gejala
alam. Akhirnya, pada tahap monoteisme meyakini bahwa ada satu kekuatan atau
peran tunggal Ilahi di balik semua gejala alam.
2) Metafisik
Dalam fase ini, dimana kehendak-kehendak pada tahap pertama di-
depersonalisasi, dijadikan dalam bentuk abstraksi dan di-reifikasi sebagai
entitas-entitas seperti gaya, kausa dan esensi. Tahap ini secara fundamental
bersifat legal dan eklesiastik (adanya privilese kaum Gereja).
3) Positivistik
Perkembangan ini ditandai dengan adanya pemikiran manusia yang
menganggap bahwa peristiwa-peristiwa dijelaskan dalam term-term hubungan
dan urutan yang teramati, dan bentuk tertinggi dari pengetahuan dicapai dengan
mendeskripsikan hubungan-hubungan antar fenomena-fenomena. Manusia mulai
menolak untuk berspekulasi mencari arche (asal-muasal) realitas. Metode ilmiah
digunakan untuk menggali dan menemukan fakta-fakta empiris, serta membuat
prediksi berdasarkan hukum kausalitas (sebab-akibat). Sains memunculkan
prediksi, dan prediksi memunculkan aksi. Tahap ini dicirikan dengan
penggunaan matematika, logika, pengamatan, eksperimentasi dan kontrol,
sehingga aktifitas industri dan teknologi menjadi sebuah keniscayaan.
Hipotesis August Comte di atas ternyata dipatahkan oleh penemuan-penemuan
abad ke-20. Dari penelitian-penelitian para sarjana tentang kehidupan primitif di
36
http://ruhullah.wordpress.com/2008/09/22/evolusi-akal-budi-auguste-comte/
22
Australia Tenggara, beberapa pulau di Samudera Pasifik dan Amerika Utara, serta
penelitian-penelitian arkeologi di Mesir, Irak dan Mohenjo-Daro, serta diperkuat oleh
penemuan-penemuan arkeologis di Lembah Aqaba di Hijaz dan kawasan Shamar di
Syiria Utara, diperoleh fakta bahwa kepercayaan paling awal manusia adalah
kepercayaan akan keesaan Tuhan.37
Bukan secara evolutif.
Tidak hanya sampai disitu, hubungan akal dan agama juga merambah pada
pemahaman tentang moralitas. Hal ini diungkapkan dengan apik oleh Dostoievsky
dalam Brothers Karamazov sebagaimana dinukil oleh Singkop Boas Boangmanalau,
“Kalau demi harmoni lalu anak-anak yang tak berdosa menjadi korban, dan kalau ini
merupakan prasyarat bagi terciptanya harmoni, maka karcis masuk surga yang
menjadi milikku wajib dikembalikan.”38
Di sini Dostoievsky mengajak untuk
menolak “keadilan” Tuhan yang tidak masuk akal tersebut. Keadilan Tuhan yang
absurd dan tak terpahamkan itu sangat jelas bertentangan dengan rasionalitas dan
moralitas.
Dari gambaran singkat diatas dapat ditarik pemahaman bahwasanya peran akal
dalam kehidupan sangat menentukan ke mana arah peradaban menghembus, karena
perannya sangat krusial dalam mengkaji hakikat-hakikat kehidupan seperti
metafisika, kosmologi dan etika.
4. Keterbatasan Akal
Dalam sejarah umat manusia, adanya pergolakan, baik yang bersifat konstruktif
maupun destruktif, tidak dapat terlepas dari peran akal dalam memahami dan
mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi manusia pada saat itu, termasuk
masalah tentang agama. Hal ini menunjukkan bahwa peran akal bagi manusia sangat
urgent bagi kehidupannya dalam membentuk dan merubah dunia. Sehingga sangat
relevan jika M. Iqbal menyatakan bahwa semua yang ada pada kita adalah hasil dari
apa yang kita pikirkan.39
37
Yunasril Ali, “Perspektif Al-Qur‟an Tentang Tuhan”, dalam Abuddin Nata, Kajian
Tematik Al-Qur’an Tentang Ketuhanan, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2008), hlm. 15.
38 Singkop Boas Boangmanalau, Marx, Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat Teodisi dan
Merekonstruksi Antropodisi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm.33.
39 Bagus Takwin, Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003), hlm. 67.
23
Meski keduanya, yakni akal dan agama, sama-sama digunakan untuk mencari
kebenaran yang fundamental, akan tetapi karena perspektif yang digunakan dalam
membahas hakikat sesuatu berbeda, di satu sisi secara filosofis, dan disisi yang lain
menggunakan pendekatan wahyu, maka konklusi yang dihasilkan dari keduanya
seringkali berbeda atau terlihat bertentangan. Oleh karena itu, akal dan agama sering
mengalami benturan yang menyebabkan kegoncangan dalam jiwa manusia. Hal ini
dikarenakan akal dan agama memiliki ranah yang berbeda. Wilayah akal adalah alam
fisik, sedangkan agama berbicara tentang alam metafisik atau wujud yang tidak
tampak oleh pandangan mata kita.
Meski akal bersifat rasional, namun menurut M. Quraish Shihab, dalam
rasionalitas ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:40
a. Rasional, yaitu sesuatu yang terjangkau dan dibenarkan oleh akal, seperti
1+1+1= 3.
b. Irasional, yaitu sesuatu yang bertentangan dengan akal, seperti 1+1+1= 1.
c. Supra-rasional, yaitu hakikat sesuatu yang benar tetapi tidak dapat dijangkau
oleh akal, dan disinilah kedudukan agama.
Selain itu, hubungan antara akal dan agama tidak dapat dipahami secara
struktural, artinya hubungan atas-bawah, melainkan harus dipahami secara
fungsional. Akal sebagai subyek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan
agama memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh
akal, serta untuk mentransformasikan hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal.41
Dari sini sudah terlihat bahwa akal dan agama harus saling mengakui dan tidak
boleh dipertentangkan. Begitu keduanya bertentangan, pasti salah satunya ada yang
keliru.
B. Pendidikan Akal
1. Pengertian Pendidikan Akal
Ada yang menyatakan bahwa kata “pendidikan” berasal dari bahasa Yunani,
yaitu pedagogi. Hal ini karena pada zaman Socrates hidup dikenal adanya sebuah
40
M. Quraish Shihab, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Cet. 1, hlm.
41 Imam Syafi‟ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an, hlm. 76.
24
jabatan sebagai paidagogos, yaitu budak “kerah putih” yang tugasnya menemani
pemuda yang sedang bersekolah sejak umur anak kelas satu SD sekarang.42
Namun,
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa pendidikan berasal dari
kata dasar “didik” yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran dan perbuatan.43
Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan
kebudayaan.44
Dengan demikian, bagaimanapun sesederhana peradaban suatu
masyarakat, di dalamnya pasti terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan.
Oleh karena itu sering dinyatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban
umat manusia sebagai usaha untuk melestarikan hidupnya.
Menurut Kunaryo Hadikusumo, pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia
untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi
pribadinya, yaitu pikir, cipta, karsa dan budi nurani, panca indera serta
keterampilan.45
Pendidikan ialah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada
anak dalam pertumbuhan jasmani maupun ruhaninya untuk mencapai tingkat
dewasa.46
Sedangkan Nana Sudjana berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha atau
upaya mengembangkan kemampuan atau potensi individu sehingga bisa hidup secara
optimal, baik sebagai pribadi ataupun sebagai anggota masyarakat, serta memiliki
nilai-nilai moral sosial sebagai pedoman hidupnya.47
42
Omi Intan Naomi (Peny), Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal,
Anarkis, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2006), Cet. VI, hlm. xiv.
43 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
hlm. 40.
44 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Akasara, 1995), hlm. 150.
45 Kunaryo Hadikusumo, dkk., Pengantar Pendidikan, (Semarang: IKIP Semarang Press,
1995), hlm. 22.
46 Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973)
hlm. 27.
47 Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar
Baru, 1996), Cet. 3, hlm. 2.
25
Manusia sebagai pelaku dan sasaran pendidikan memiliki alat yang inheren
dalam dirinya yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan dan kebenaran,
diantaranya yaitu akal. Mengacu pada prinsip penciptaan, maka dengan akal-lah
manusia berpotensi dan memiliki potensi untuk dididik dan mendidik.48
Namun, ketika diberikan kepada manusia sejak lahir, akal masih bersifat
potensi dasar yang belum aktual (siap pakai).49
Mengingat begitu berharga dan
pentingnya akal dalam kehidupan manusia, maka akal yang masih bersifat dasar ini
harus diaktualkan dengan bimbingan dan arahan yang tepat dan benar. Oleh karena
itu, potensi ini wajib untuk dididik.
Banyak tokoh dan ahli pendidikan yang telah merumuskan konsep pendidikan
akal, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Abdullah Nasih Ulwan, mengatakan bahwa pendidikan rasio (akal) adalah
membentuk pola pikir peserta didik dengan segala sesuatu yang bermanfaat.50
2. Ayn Rand, berpendapat bahwa karena akal tidak bersifat otomatis atau instingtif
dalam berolah pikir, juga mengingat secara psikologis pilihan untuk berpikir
atau tidak adalah pilihan untuk fokus atau tidak, dan secara eksistensial pilihan
untuk fokus atau tidak adalah pilihan untuk sadar atau tidak, serta secara
metafisika pilihan untuk sadar atau tidak adalah pilihan untuk hidup atau mati,
maka pendidikan akal dapat secara definitif dirumuskan sebagai suatu usaha atau
upaya untuk menciptakan dan menumbuhkan kesadaran dan kefokusan untuk
tetap hidup.51
3. Muhammad Quthb, berpandangan bahwa Islam melakukan pembinaan akal
dengan pembuktian dan pencarian kebenaran.52
Pandangan ini lebih mengarah
pada aspek metodologis daripada definitif. Namun memberikan arah kepada kita
48
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 47.
49 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan),
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hlm. 74.
50 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989),
Jilid I, hlm. 281.
51 Ayn Rand, Kebajikan Sang Diri: Konsep Baru Ego, Terj. A. Asnawi, (Yogyakarta: Ikon
Teralitera, 2003), hlm. 16.
52 Muhammad Quthb, Sistrem Pendidikan Islam, terj. Siaiman Harun, (Bandung: Al-
Ma‟arif,1993), hlm.130.
26
bahwa membina berarti juga mendidik agar akal menjadi kreatif, berkembang
sewajarnya untuk meneliti kebenaran. Jadi membina akal berarti mendidik akal.
4. Daisaku Ikeda, mendasarkan pendidikan akal pada tujuan utama kehidupan
Buddha yaitu usaha atau upaya menumbuhkan dan menyempurnakan karakter
seseorang yang terwujud dalam perilaku dan tindakan yang humanis serta
menjunjung tinggi HAM dengan cara pelatihan religius.53
5. Imam Bawani, memformulasikan pendidikan akal sebagai berikut: mendidik
akal tidak lain adalah mengaktualkan potensi dasarnya.54
Potensi dasar itu sudah
ada sejak manusia itu lahir dalam bumi, tetapi masih berada dalam alternatif:
berkembang menjadi akal yang baik atau sebaliknya. Dengan pendidikan yang
baik maka akal yang masih berupa potensi itu akhirnya menjadi akal yang dapat
digunakan, tapi dengan pendidikan yang buruk, akal menjadi fatal akibatnya.
Karenanya pendidikan akal mempunyai arti yang penting.
Dari deskripsi singkat mengenai definisi akal dan pendidikan yang telah
disampaikan di atas, serta pengertian tentang pendidikan akal, maka dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa pendidikan akal adalah suatu usaha atau upaya untuk
mengembangkan dan membina potensi akal manusia dalam rangka untuk
melestarikan kehidupannya dan mencapai kehidupan yang baik dan benar di dunia
dan akhirat.
2. Unsur-unsur Dasar Pendidikan Akal
a. Tujuan Pendidikan Akal
Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan harus memiliki
kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Para filosof muslim secara umum
menyatakan bahwa tujuan manusia adalah mengenal Tuhan melalui
pengetahuannya. Jalan pengetahuan itu dapat dilalui manusia dengan
mempergunakan akal atau kecerdasan. Jika pendidikan dimaksudkan sebagai
53
Daisaku Ikeda, Demi Perdamaian: Tujuh Jalur Menuju Keharmonisan Global, Terj. Rany
R. Moediarto, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Popular, 2001), hlm. 19
54 Imam Bawani, Segi-Segi Pendidikan Islam, hlm. 208.
27
jalan pencapaian maksud hidup tersebut, maka pendidikan haruslah merupakan
jalan pengetahuan.55
Menurut Ahmad D. Marimba sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin
Nata, fungsi tujuan pendidikan ada empat, yaitu:56
1) Tujuan berfungsi mengakhiri usaha, yaitu suatu tujuan yang mengindikasikan
telah tercapainya semua yang telah ditetapkan sebelumnya.
2) Tujuan berfungsi mengarahkan usaha, yaitu suatu tujuan yang lebih bersifat
sebagai pembimbing dan pengarah (supervisor).
3) Tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan
lain, yaitu tujuan yang merupakan refleksi dari tujuan-tujuan yang telah
dicapai.
4) Fungsi dari tujuan ialah memberi nilai (sifat) pada usaha itu.
Mengingat manusia secara kodrati adalah makhluk pencari kebenaran yang
bersifat hakiki karena eksisnya akal padanya, maka pendidikan akal mempunyai
tujuan-tujuan sebagai berikut:
1) Membentuk akal manusia yang sempurna, yaitu akal yang berwawasan
vertikal dan horizontal secara seimbang,57
sehingga dapat menghindari
fundamentalisme, sekularisme dan ateisme.
2) Menciptakan manusia yang berpikir progress, sehingga tidak jatuh dalam
dogmatisme dan stagnan serta mampu menghasilkan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
3) Membentuk akal manusia yang bertanggung jawab serta menghargai nilai-
nilai dan hukum-hukum universal, sehingga mampu menciptakan sebuah
tatanan dunia yang dinamis dan harmonis.
Pada prinsipnya tujuan pendidikan akal adalah agar akal berkembang
secara optimal dalam batas kualitas yang paling maksimal menurut ukuran ilmu
55
Pengetahuan adalah konsekuensi dari jalan pengetahuan dalam arti jika menempuh dalam
pengetahuan, maka orang akan sampai ke pengetahuan. Lihat, Abdul Munir Mulkhan, Paradigma
Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1993),
hlm. 222.
56 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 45-
46.
57 A. Syafi‟ie, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1991), hlm. 35.
28
dan ketakwaan secara seimbang, sehingga dengan ilmunya, manusia dapat
menjalankan fungsinya sebagai ‘abdun dan khalifatullah fil ‘ard.
b. Materi Pendidikan Akal
Pendidikan akal secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah usaha sadar
yang mengarah kepada pengembangan dan pembinaan terhadap potensi dasar
yang dimiliki manusia, yaitu akal. Dalam aktifitasnya berpikir, akal memiliki
jangkauan yang luas. Karena, setiap yang ada atau mungkin ada di dunia ini,
baik yang dijumpai maupun yang tidak, semua dapat dipikirkannya, terlepas hal
itu masuk akal maupun tidak, atau pun diluar jangkauan akal. Oleh karena itu,
secara sistematis dan sesuai dengan tujuannya, materi pendidikan akal dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Bidang metafisika58
, yaitu materi yang berhubungan dengan hakikat yang ada
dibalik alam fisik atau yang bersifat transenden (diluar jangkauan pengalaman
manusia). Dalam kategori ini adalah hal-hal seperti yang super-natural, Tuhan
dan agama.
2) Bidang kosmologis, yaitu materi tentang alam semesta sebagai sebuah sistem
rasional dan teratur.59
3) Bidang moralitas atau etis, yaitu materi mengenai etika atau norma-norma
serta nilai-nilai hidup, baik secara pribadi maupun bermasyarakat.
c. Metode Pendidikan Akal
Mengingat manusia adalah zoon policon (makhluk sosial), maka akal
manusia perlu dididik untuk menghadapi polemik yang terjadi pada dirinya
sendiri dan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Oleh karena
58
Dalam pengertian ini, metafisika menjadi sinonim dengan teologi. Lihat juga Philipus Tule
(Ed.), Kamus Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 202. Menurut Sutan Takdir
Alisyahbana, metafisika dibagi menjadi dua golongan besar. Pertama, secara kuantitas terdiri dari
monisme, dualisme dan pluralisme. Monisme adalah suatu paham yang mengemukakan bahwa unsur
pokok segala yang ada di dunia adalah satu. Dualisme adalah suatu paham yang mengemukakan
bahwa unsur pokok segala yang ada di dunia ada dua, yaitu roh dan benda. Pluralisme adalah suatu
paham yang mengemukakan bahwa unsur pokok hakikat kenyataan ini banyak. Kedua, secara kualitas
yaitu spiritualisme dan materialisme. Spiritualisme yaitu aliran yang berpendapat bahwa hakikat itu
bersifat roh. Materialisme yaitu aliran yang berpendirian bahwa hakikat itu bersifat materi. Lihat.
Poerwantana, dkk., Seluk-beluk Filsafat Islam, (Bandung: Rosda, 1988), Cet. 1, hlm. 9.
59 Philipus Tule (Ed.), Kamus Filsafat, hlm. 65.
29
itu, diperlukan cara dan metode yang tepat untuk mendidik akal manusia supaya
ia dapat berperan dengan baik dalam kehidupan di dunia ini.
Supaya akal manusia dapat berperan dengan baik, maka perlu adanya
pendidikan akal yang berdasarkan atas:60
1) Membebaskan akal dari semua kekangan dan belenggu. Bila akal kita selalu
terbelenggu menutup kemungkinan akal tidak akan berfungsi, yaitu berpikir
tentang sesuatu.
2) Membangkitkan indera dan perasaan yang merupakan pintu untuk berpikir.
Akal harus disuguhi ide-ide atau permasalahan yang ada.
3) Membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang bisa membersihkan
akal dalam meninggikan kriterianya.
Ada tiga langkah untuk membina akal agar berkembang dengan baik:61
1) Mengembangkan budaya membaca. Islam memandang membaca itu sebagai
budaya intelektual, sehingga di zaman sahabat, mereka yang pandai disebut
al-qurra’. Ayat Al-Qur‟an yang pertama kali pun dimulai dengan perintah
membaca.
2) Mengadakan banyak observasi. Dengan penjelajahan-penjelajahan
dimungkinkan lebih banyak menemukan realitas lingkungan bio-fisik,
lingkungan psikologis maupun sosio-kultural, dan akan memberikan
kekayaan informasi yang diperlukan.
3) Mengadakan penelitian dan perenungan. Hal ini dalam upaya menemukan
rahasia-rahasia alam dan ketajaman nalar.
Berdasarkan materi-materi dan tujuan pendidikan akal di atas, maka
metode pendidikan akal yang tepat yaitu:
1) Metode induksi, yaitu suatu metode penalaran dari bagian ke keseluruhan,
dari yang partikular ke yang lebih umum, dan dari yang individual ke yang
universal.
60
Muhammad Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fi Kitabillah, Pendidikan dalam Al-Qur’an,
(Semarang: Wicaksana, 1989), hlm. 11.
61 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Alam, (Jakarta: Lantabora
Press, 2005), hlm. 39-40.
30
2) Metode deduksi, yaitu suatu metode penalaran sebagai kebalikan dari
metode induksi.
3) Metode kritis dialektis, yaitu suatu metode berpikir kritis yang terjadi dalam
diri manusia. Inti dari metode ini ialah bahwa kita mulai dengan mengkritik
segala hal yang telah diterima oleh orang banyak, kemudian kita berpikir
secara hati-hati.62
4) Metode korespondensi, yaitu metode yang mengatakan bahwa kebenaran
adalah kesesuaian antara suatu pernyataan mengenai suatu hal dengan hal
yang dimaksud.63
5) Metode koherensi, yaitu suatu metode yang berpandangan bahwa sesuatu
adalah benar jika secara konsisten ia dinyatakan benar oleh pernyataan
lainnya yang telah diketahui dan diterima sebagai benar.64
62
David Trueblood, Filsafat Agama, terj. M. Rasjidi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990),
hlm. 5-6.
63 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, hlm. 11-12.
64 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, hlm.
31
BAB III
HAKIKAT AKAL DALAM AL-QUR’AN
A. Istilah ‘Aql dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur‟an terdapat kurang lebih 49 kata „aql secara variatif yang
tersebar dalam 30 surat. Kecuali satu, semuanya berbentuk fi’il mudlori’. Secara rinci
dapat dipaparkan sebagai berikut:
.disebut sekali dalam QS. Al-Baqarah/2: 75 عقلوه .1
.disebut sekali dalam QS. Al-Mulk/67: 10 نعقل .2
disebut sekali dalam QS. Al-Ankabut/29: 43 يعقلها .3
.disebut sebanyak 24 kali dan dikemas dalam redaksi yang berbeda-beda تعقلون .4
a. لعلكم تعقلون sebanyak 8 kali.1
b. ان كنتم تعقلون sebanyak 2 kali, yaitu dalam QS. Ali Imran/3: 118 dan QS. Asy-
Syu‟ara‟/26: 28.
c. افال تعقلون sebanyak 13 kali.2
d. افلم تكونوا تعقلون hanya sekali, yaitu dalam QS. Yasin/36: 62.
.disebut sebanyak 22 kali dalam redaksi yang berbeda-beda يعقلون .5
a. يعقلون sebanyak 10 kali.3
b. ال يعقلون sebanyak 11 kali.4
c. افال يعقلون hanya sekali, yaitu dalam QS. Yasin/36: 68.
Menurut Yusuf Qardhawi, term تعقلون digunakan Al-Qur‟an agar kita
memikirkan ayat-ayat yang telah Allah SWT jelaskan, dan term يعقلون bersifat
menetapkan dan mengingkari. Sedangkan penggunaan dalam redaksi pertanyaan
negatif (istifham inkari) bertujuan memberikan dorongan dan membangkitkan
1 QS. Al-Baqarah/2: 73 dan 242, QS. Al-An‟am/6: 151, QS. Yusuf/12: 2, QS. An-Nur/24: 61,
QS. Al-Mu‟min/40: 67, QS. Az-Zukhruf/43: 3 dan QS. Al-Hadid/57: 17.
2 QS. Al-Baqarah/2: 44 dan 76, QS. Ali Imran/3: 65, QS. Al-An‟am/6: 32, QS. Al-A‟raf/7:
169, QS. Yunus/10: 16, QS. Hud/11: 51, QS. Yusuf/12: 109, QS. Al-Anbiya‟/21: 10 dan 67, QS. Al-
Mu‟minun/23: 80, QS. Al-Qashash/28: 60 dan QS. Ash-Shaffat/37: 138.
3 QS. Al-Baqarah/2: 164, QS. Ar-Ra‟d/13: 4, QS. An-Nahl/16: 12 dan 67, QS. Al-Hajj/22:
46, QS. Al-Furqan/25: 44, QS. Al-Ankabut/29: 35, QS. Ar-Rum/30: 24 dan 28, QS. Al-Jatsiyah/45: 5.
4 QS. Al-Baqarah/2: 170 dan 171, QS. Al-Maidah/5: 58 dan 103, QS. Al-Anfal/8: 22, QS.
Yunus/10: 42 dan 100, QS. Al-Ankabut/29: 63, QS. Az-Zumar/39: 43, QS. Al-Hujurat/49: 4 dan QS.
Al-Hasyr/59: 14.
32
semangat, dan penggunaan redaksi ال يعقلون adalah sebagai cercaan terhadap mereka
yang tidak memanfaatkan akal atau menafikannya sehingga mereka statis, taqlid buta
dan ingkar.5
Tabel Ayat-Ayat ‘Aql
No Kata Arti Tempat Ayat Bentuk
Kata Kel. Ayat
ماض فعل Memahami QS. 2: 75 عقلواه 1 Madaniyah
Madaniyah مضارع فعل Berpikir Q.S. 2: 44 تعقلون 2
Madaniyah مضارع فعل Mengerti Q.S. 2: 73 تعقلون 3
Madaniyah مضارع فعل Mengerti Q.S. 2: 76 تعقلون 4
Madaniyah مضارع فعل Memahami Q.S. 2: 242 تعقلون 5
Madaniyah مضارع فعل Berpikir Q.S. 3: 65 تعقلون 6
Madaniyah مضارع فعل Memahami Q.S. 3: 118 تعقلون 7
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 6: 32 تعقلون 8
Madaniyah مضارع فعل Memahami Q.S. 6: 151 تعقلون 9
Madaniyah مضارع فعل Mengerti Q.S. 7: 169 تعقلون 10
Makkiyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 10: 16 تعقلون 11
Makkiyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 11: 51 تعقلون 12
Madaniyah مضارع فعل Memahami Q.S. 12: 2 تعقلون 13
Makkiyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 12: 109 تعقلون 14
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 21: 10 تعقلون 15
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 21: 67 تعقلون 16
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 23: 80 تعقلون 17
Madaniyah مضارع فعل Memahami Q.S. 24: 61 تعقلون 18
Makkiyah مضارع فعل Mempergunakan akal Q.S. 26: 28 تعقلون 19
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 28: 60 تعقلون 20
Makkiyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 36: 62 تعقلون 21
Makkiyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 37: 138 تعقلون 22
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 40: 67 تعقلون 23
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 43: 3 تعقلون 24
Madaniyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 57: 17 تعقلون 25
Makkiyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 67: 10 نعقل 26
5 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terj. Abdul
Hayyie Al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 19-24.
33
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 29: 43 يعقلها 27
Madaniyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 2: 164 يعقلون 28
Madaniyah مضارع فعل Mengetahui Q.S. 2: 170 يعقلون 29
Madaniyah مضارع فعل Mengerti Q.S. 2: 171 يعقلون 30
Madaniyah مضارع فعل Mempergunakan akal Q.S. 5: 58 يعقلون 31
Madaniyah مضارع فعل Mengerti Q.S. 5: 103 يعقلون 32
Madaniyah مضارع فعل Mengerti Q.S. 8: 22 يعقلون 33
Makkiyah مضارع فعل Mengerti Q.S. 10: 42 يعقلون 34
يعقلون 35 Mempergunakan akal Q.S. 10: 100 مضارع فعل Makkiyah
Madaniyah مضارع فعل Berpikir Q.S. 13: 4 يعقلون 36
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 16: 12 يعقلون 37
Makkiyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 16: 67 يعقلون 38
Madaniyah مضارع فعل Memahami Q.S. 22: 46 يعقلون 39
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 25: 44 يعقلون 40
Makkiyah مضارع فعل Berakal Q.S. 29: 35 يعقلون 41
Makkiyah مضارع فعل Memahami Q.S. 29: 63 يعقلون 42
Makkiyah مضارع فعل Mempergunakan akal Q.S. 30: 24 يعقلون 43
Makkiyah مضارع فعل Berakal Q.S. 30: 28 يعقلون 44
Makkiyah مضارع فعل Memikirkan Q.S. 36: 68 يعقلون 45
Makkiyah مضارع فعل Berakal Q.S. 39: 43 يعقلون 46
Makkiyah مضارع فعل Berakal Q.S. 45: 5 يعقلون 47
Madaniyah مضارع فعل Mengerti Q.S. 49: 4 يعقلون 48
Madaniyah مضارع فعل Mengerti Q.S. 59: 14 يعقلون 49
B. Objek Akal dalam Al-Qur’an
Setelah mengetahui istilah-istilah akal dalam Al-Qur‟an, di sini penulis akan
menunjukkan implementasinya dalam Al-Qur‟an. Menurut Taufiq Pasiak,
implementasi akal dalam Al-Qur‟an berdasarkan objek kajiannya dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu metafisika, kosmologi dan etika.
34
1. Metafisika
a. Keimanan.6 Diantara ayatnya yaitu QS. Yunus/10: 100.
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah SWT;
dan Allah SWT menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya. (QS. Yunus/10: 100).7
Ayat ini ada kaitannya dengan ayat sebelumnya (QS. Yunus/10: 99) yang
mengisyaratkan bahwa keimanan merupakan kebebasan manusia yang tidak boleh
dipaksakan. Sebab, Allah SWT hanya akan menerima iman yang tulus, tanpa
pamrih dan tanpa paksaan.8
Dan dalam ayat ini disebutkan bahwa iman yang demikian hanya bisa
diperoleh dengan kehendak dan kekuasaan Allah SWT semata. Maka Allah SWT
mengizinkan dan memudahkan iman kepada mereka yang memahami ayat-ayat-
Nya.9
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud dengan “izin Allah SWT” dalam
ayat ini adalah hukum-hukum kausalitas yang diciptakan-Nya dan yang berlaku
secara universal bagi seluruh manusia. Dalam hal ini Allah SWT telah
menciptakan manusia dengan memiliki potensi berbuat baik dan buruk, dan
menganugerahinya akal untuk memilih apa yang benar serta menganugerahi
kebebasan memilih apa yang dikehendakinya. Bagi yang menggunakan akalnya
secara baik, maka dia telah memperoleh izin Allah SWT untuk beriman.
Sedangkan yang enggan menggunakannya, Allah SWT akan menjadikan
6 QS. Al-Furqan/25: 44, QS. Asy-Syu‟ara‟/26: 28, QS. Yunus/10: 42 dan 100, QS. Hud/11:
51, QS. Yasin/36: 62, QS. Az-Zumar/39: 43, QS. Al-Anbiya‟/21: 67, QS. Ar-Rum/30: 28, QS. Al-
Ankabut/29: 35 dan 63, QS. Al-Baqarah/2: 73, 75, 76, 170, 171, dan 242, QS. Al-Anfal/8: 22, QS. Al-
Hasyr/59: 14, QS. Al-Hajj/22: 46, QS. Al-Maidah/5: 103.
7 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 322.
8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 6,
hlm. 161.
9 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 2,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 1856.
35
kesesatan dan kekufuran dalam jiwanya yang kemudian mengantarnya menuju
murka-Nya.10
b. Akhirat.11
Diantara ayatnya yaitu QS. Al-An‟am/6: 32:
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang
yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-An‟am/6:
32).12
Menurut Hamka, yang dimaksud dengan permainan dan senda gurau
adalah perbuatan yang tidak tentu maksudnya dan tidak jelas tujuannya, baik
untuk mencari manfaat atau untuk menolak madlarat.13
Orang yang menggunakan
akalnya untuk memahami hal tersebut tentu tidak akan terpesona dan larut
didalamnya. Karena dibalik dunia ini ada masa depan yang lebih menjanjikan,
yaitu akhirat.
c. Wahyu.14
Diantara ayatnya yaitu QS. Yunus/10: 16.
Katakanlah: “Jikalau Allah SWT menghendaki, niscaya aku tidak
membacakannya kepada kamu dan Allah SWT tidak (pula)
memberitahukannya kepada kamu. Sesungguhnya aku telah tinggal
bersama kamu sekian lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak
memikirkan(nya)? (QS. Yunus/10: 16).15
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol 6,
hlm. 162.
11 QS, Al-A‟raf/7: 169, QS. Al-Qashash/28: 60, QS. Yusuf/12: 109, QS. Al-An‟am/6: 32,
QS. Al-Mulk/67: 10.
12 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 191.
13 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), Juz VII, hlm. 173.
14 QS. Yunus/10: 16, QS. Yusuf/12: 2, QS. Az-Zukhruf/43: 3, QS. Al-Anbiya‟/21: 10, QS.
Al-Baqarah/2: 44, QS. Ali Imran/3: 65.
15 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 308.
36
Pada ayat sebelumnya, kaum musyrikin mengusulkan agar nabi
Muhammad SAW mendatangkan Qur’an (bacaan) yang tidak mempersalahkan
kepercayaan mereka dan mengganti ancaman siksa dengan rahmat. Dengan
permintaan itu, mereka bermaksud merobohkan sendi-sendi dakwahnya. Sebab,
Muhammad SAW telah menyatakan bahwa Al-Qur‟an berasal dari Allah SWT,
bukan darinya. Jika dapat diganti, berarti hal itu membuktikan sebaliknya.16
Ayat ini merupakan hujjah bahwa Al-Qur‟an merupakan wahyu yang
benar-benar berasal dari Allah SWT melalui nabi Muhammad SAW. Pasalnya,
selama 40 tahun tinggal bersama mereka, beliau diketahui tidak dapat membaca
dan menulis. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya
(al-amin). Hal yang demikian jelas ini tentu sangat aneh jika ada orang yang
memikirkannya mengingkari kebenaran Al-Qur‟an.
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas sebenarnya menunjukkan bahwa
untuk mengetahui kebenaran ayat-ayat Al-Qur‟an, seseorang dapat
memperolehnya dengan jalan mempelajari sejarah hidup nabi Muhammad SAW.17
d. Ibadah. QS. Al-Maidah/5: 58.
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang,
mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu
adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan
akal. (QS. Al-Maidah/5: 58).18
Pada ayat sebelumnya, Allah SWT melarang menjadikan pengendali
urusan orang-orang beriman kepada orang-orang Yahudi, Nasrani dan musyrik.
Sebab, mereka tidak akan berhenti mempersulit dan mengolok-olok agama Allah
SWT, walaupun pada lahirnya mereka menunjukkan sikap bersahabat.19
16
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 2,
hlm. 1786.
17 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 6,
hlm. 41.
18 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 170.
19 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 2,
hlm. 1108.
37
Ayat di atas merupakan salah satu contoh pelecehan dan olok-olokan
mereka, yakni apabila mu’adzin menyeru untuk sholat, yaitu mengumandangkan
adzan atau mengajak mereka sholat, mereka menjadikannya bahan ejekan dan
permainan. Selain itu, ketika mendengar adzan, mereka datang kepada Rasulullah
SAW dan berkata: ”Engkau telah membuat suatu tradisi baru yang tidak dikenal
oleh para nabi sebelumnya, seandainya engkau nabi, tentu engkau tidak
melakukan itu dan seandainya apa yang engkau lakukan ini baik, tentu para nabi
terdahulu telah melakukannya”.20
Orang yang menggunakan akalnya niscaya mereka akan menghormati
keyakinan dan kepercayaan orang lain walau tidak seagama dengan mereka,
apalagi ini adalah adzan, ajakan untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa yang
mana merupakan tujuan utama manusia diciptakan di dunia ini, yaitu untuk
beribadah kepada-Nya.
2. Kosmologi
a. Manusia.21
Diantara ayatnya yaitu:
Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani,
sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai
seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai
kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua,
diantara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu
memahami(nya). (QS. Al-Mu‟min/40: 67).22
Ayat sebelumnya, Allah SWT melarang menyembah selain kepada-Nya
dan memerintahkan supaya tunduk kepada-Nya, sebab Dia-lah yang memiliki
20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 4,
hlm. 137.
21 QS. Yasin/36: 68, QS. Al-Mu‟min/40: 67.
22 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 768.
38
semua alam. Dan ayat ini merupakan salah satu dari bukti kekuasaan-Nya
tersebut, yakni menunjukkan bagaimana proses kejadian manusia hingga
wafatnya.23
Ibn „Asyur memahami kalimat la’allakum ta’qilun dalam arti agar
kejadian manusia seperti digambarkan ayat ini menjadi bukti tentang wujud dari
sang Kholiq Yang Maha Pencipta. Siapa yang memahami hakekat tersebut, maka
dia telah berada dalam jalan yang benar dan sesuai dengan tujuan pencipta-Nya,
sedang yang tidak memahaminya maka bagaikan tidak memiliki akal.24
Thabathaba‟i memahami maksud kata la’allakum ta’qilun dalam arti agar
kamu mengetahui kebenaran yang tertancap dalam diri kamu, maksudnya adalah
keyakinan akan keesaan Allah SWT yang merupakan fitrah dalam diri setiap
insan. Mengetahui hakekat itu merupakan tujuan penciptaan manusia dari segi
kehidupan ruhaninya, sebagaimana sampai kepada ajal yang ditentukan
merupakan tujuan kehidupan duniawinya secara lahiriah.25
b. Fenomena Alam.26
Diantara ayatnya yaitu:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam
dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah SWT turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan
23
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 4,
hlm. 3631.
24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 12,
hlm. 354.
25 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 12,
hlm. 354.
26 QS. Ash-Shaffat/37: 138, QS. Al-Jatsiyah/45: 5, QS. An-Nahl/16: 12 dan 67, QS. Al-
Mu‟minun/23: 80, QS. Ar-Rum/30: 24, QS. Al-Ankabut/29: 43, QS. Al-Baqarah/2: 164, QS. Al-
Hadid/57: 17, QS. Ar-Ra‟d/13: 4.
39
yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda
(keesaan dan kebesaran Allah SWT) bagi kaum yang memikirkan. (QS.
Al-Baqarah/2: 164).27
Setelah dalam ayat sebelumnya Allah SWT menyebut ke-Esaan-Nya dan
hanya Dia-lah yang patut disembah, kemudian dalam ayat ini Dia menjelaskan
sebagian fenomena alam yang menunjukkan ke-Esaan dan kekuasaan-Nya.28
Dalam Tafsir Al-Mishbah dijelaskan bahwa ayat ini mengundang manusia
untuk berpikir dan merenung tentang sekian banyak hal: pertama, tentang
penciptaan langit dan bumi. Kedua, tentang pergantian malam dan siang. Ketiga,
tentang bahtera-bahtera yang berlayar di laut yang membawa apa yang berguna
bagi manusia. Keempat, tentang apa yang Allah SWT turunkan dari langit berupa
air. Kelima, tentang berbagai binatang yang diciptakan Allah SWT.29
Sekiranya manusia memperhatikan fenomena alam ini dengan perasaan
dan pandangan yang penuh penyelidikan bagaikan seseorang yang baru
mengunjungi alam ini, tentulah akan tergetar jiwanya dan terbukalah baginya
segala keajaiban alam yang menyelimutinya. Orang yang menggunakan akalnya
akan mengerti sumber dari segala keajaiban alam ini, yaitu Allah SWT.
3. Etika.30
Diantara ayatnya yaitu:
27
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 40. Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa kaum Quraisy berkata kepada Nabi Muhammad SAW: “Berdoalah kepada Allah
SWT agar Dia menjadikan bukit Shafa ini emas, sehingga kita dapat memperkuat diri melawan
musuh”. Maka Allah SWT menurunkan QS. Al-Maidah/5: 115 untuk menyanggupi permintaan
mereka dengan syarat apabila mereka kufur setelah dipenuhi permintaan mereka, maka Allah SWT
akan memberikan siksaan yang belum pernah diberikan-Nya di alam ini. Maka bersabdalah nabi
Muhammad SAW: “Wahai Tuhanku, biarkanlah aku dengan kaumku. Aku akan mendakwahi mereka
sehari demi sehari”. Maka turunlah ayat ini untuk menjelaskan mengapa mereka meminta bukit Shafa
menjadi emas jika mereka mengetahui banyak ayat-ayat yang luar biasa. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dan Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Ibnu „Abbas. Lihat. Q. Shaleh dan A. Dahlan,
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, hlm. 46.
28 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 1,
hlm. 256.
29 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2,
hlm. 374-375.
30 QS. Al-An‟am/6: 151, QS. Ali Imran/3: 118, QS. An-Nur/24: 61, QS. Hujurat/49: 4, Al-
Baqarah/2: 44.
40
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab
(Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? (QS. Al-Baqarah/2: 44).31
Walaupun secara lahiriah ditujukan kepada Bani Israel, ayat ini juga
ditujukan kepada semua manusia, khususnya tokoh-tokoh agama yang melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dianjurkannya.32
Bahaya para tokoh
agama ini yaitu ketika agama sudah menjadi perusahaan dan industri.
Menurut Quraish Shihab, ada dua hal dalam ayat ini yang menyebabkan
tokoh agama dikecam. Pertama, seseorang yang menyuruh orang lain berbuat baik
pastilah ia mengingatnya atau tidak mungkin melupakannya. Kedua, seseorang yang
membaca kitab suci pasti juga ingat apa yang ada didalamnya.33
Tindakan semacam ini akan memadamkan cahaya iman sehingga akan
membawa orang-orang untuk tidak percaya lagi kepada agama. Pasalnya, seseorang
yang berakal tidak akan mempercayai kebenaran suatu perkataan kecuali jika orang
yang berkata tersebut menjadi praktek hidup dalam kenyataan bagi perkataannya itu.
Selain menggunakan kata ‘aql, masih banyak ayat-ayat Al-Qur‟an yang
memerintah manusia untuk berpikir, yaitu: fakkara dan derivasinya, nadzara dan
derivasinya, dzakara dan derivasinya, serta faqiha dan derivasinya. Namun, semua
term ini tidak semuanya mengandung arti seperti term „aql secara etimologi, yaitu
memahami, mengerti sesuatu.34
a. Fakkara dan derivasinya.
Fakkara dari segi bahasa berarti memikirkan sesuatu.35
Dalam Al-Qur‟an
term fakkara dan derivasinya ini disebut sebanyak 18 kali. Diantara ayatnya yaitu
QS. Al-Baqarah/2: 219.
31
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 16.
32 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 1,
hlm. 100.
33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2,
hlm. 179.
34 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidayat Agung, 1989), hlm. 275.
35 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hlm. 322.
41
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari
keperluan”. Demikianlah Allah SWT menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berpikir. (QS. Al-Baqarah/2: 219).36
Ayat ini menjelaskan larangan minum khamr dan berjudi karena keduanya
dosa besar dan lebih banyak madlarat-nya daripada manfaatnya. Setelah
pelarangan itu, kemudian diteruskan dengan tata cara mengeluarkan harta, yaitu
yang lebih dari keperluan.
Dalam Tafsir Al-Mishbah disebutkan, ada yang berpendapat bahwa yang
dipikirkan dalam ayat ini yaitu tentang minuman khamr dan perjudian yang
madlarat-nya lebih banyak daripada manfaatnya. Ada juga yang berpendapat,
yang dipikirkan adalah bagaimana menjadikan dunia sebagai ladang untuk
akhirat, sehingga melakukan hal-hal yang banyak manfaatnya dan menghindari
yang lebih banyak madlarat-nya, atau bahkan menghindari bukan hanya yang
buruk tetapi juga yang tidak ada manfaatnya.37
Pemakaian term tafakkarun dalam ayat di atas dan ayat-ayat lainnya
memiliki arti untuk merenungkan hal-hal yang bersifat empiris dan terjangkau
oleh panca indera. Menurut Quraish Shihab, kata tafakkarun mengandung
pengertian untuk memfungsikan akal agar memikirkan dan menemukan jawaban
36
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 53. Dalam suatu riwayat yang
dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa‟id atau „Ikrimah yang bersumber dari Ibnu „Abbas,
bahwasanya segolongan sahabat, ketika diperintah untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah
SWT, datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata: “Kami tidak mengetahui perintah infaq yang
bagaimana dan harta yang mana yang harus kami keluarkan itu?” Maka Allah SWT menurunkan ayat
ini yang menegaskan masalah tersebut. Lihat. Q. Shaleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, hlm. 71.
37 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2,
hlm. 469.
42
atas apa yang belum diketahui, serta merenungkan kekuasaan Allah SWT supaya
manusia mau beriman.38
b. Nadzara dan derivasinya.
Secara etimologi, term nadzara berarti memandang.39
Penggunaan term
nadzara dan derivasinya di dalam Al-Qur‟an terulang sebanyak 129 kali, namun
tidak semuanya mempunyai arti yang identik dengan „aql. Diantara ayatnya yang
mempunyai arti identik dengan „aql yaitu QS. Al-Hajj/22: 15.
Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah SWT sekali-kali tiada
menolongnya (Muhammad SAW) di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia
merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian
hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa
yang menyakitkan hatinya. (QS. Al-Hajj/22: 15).40
Ayat ini memberi pengertian bahwa musuh-musuh Islam tidak mempunyai
daya untuk mematahkan seruan Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW.
Orang yang menyangka bahwa Allah SWT tidak akan menolong Muhammad
SAW dan agama-Nya, maka hendaklah dia bunuh diri dengan menggunakan tali
yang diikatkan dibagian bangunan rumahnya. Kemudian memikirkan apakah apa
yang dilakukannya itu dapat menghilangkan rasa sakit hatinya.41
c. Faqiha dan derivasinya.
Faqiha secara etimologi berarti mengerti, faham akan sesuatu.42
Penggunaan term faqiha dan derivasinya di dalam Al-Qur‟an terulang sebanyak
20 kali. Namun yang mempunyai kesamaan arti dengan „aql diantaranya yaitu QS.
Al-A‟raf/7: 179.
38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 11,
hlm. 349-350.
39 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hlm. 457.
40 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 513-514.
41 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 3,
hlm. 2669.
42 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hlm. 321.
43
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah SWT) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah SWT), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah SWT). Mereka
itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai. (QS. Al-A‟raf/7: 179).43
Selain menjadi penjelasan mengapa seseorang tidak mendapat petunjuk
dan mengapa pula disesatkan oleh Allah SWT, ayat ini juga berfungsi sebagai
ancaman kepada mereka yang mengabaikan tuntunan pengetahuannya. Hati, mata
dan telinga orang-orang yang memilih kesesatan dipersamakan dengan binatang,
karena binatang tidak bisa menganalogikan apa yang ia dengar dan apa yang ia
lihat dengan sesuatu yang lain. Lebih dari itu, manusia yang diberi anugerah ‘aql
dianggap lebih buruk dari binatang, sebab dengan instingnya binatang saja akan
selalu mencari kebaikan dan menghindari bahaya. Sementara manusia yang sesat
justru menolak kebaikan dan kebenaran, malahan mereka mengarah kepada
bahaya yang tiada taranya. Setelah kematian mereka akan kekal di api neraka,
berbeda dengan binatang yang punah dengan kematiannya.44
Kata yafqahun, menurut Quraisy Shihab, biasanya digunakan untuk
pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang tersembunyi. Dengan
demikian, ayat ini menilai orang munafik tidak mengetahui hal-hal yang
mendalam. Mereka hanya mengetahui hal-hal yang bersifat lahiriyah dan material.
43
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 251-252.
44 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 5,
hlm. 313-314.
44
Adapun yang bersifat spiritual maka mereka tidak dapat menghayati dan
merasakannya. Di sinilah sumber kesesatan dan kecelakaan mereka.45
d. Dzakara dan derivasinya.
Secara etimologi, dzakara berarti menyebut, mengingat.46
Dalam Al-
Qur‟an, dzakara dan derivasinya disebut sebanyak 292 kali. Namun yang artinya
identik dengan „aql adalah derivasinya yang tadzakkur. Penggunaan term
tadzakkur dalam Al-Qur'an terulang sebanyak 13 kali, diantaranya yaitu QS. Al-
Fathir/35: 37.
Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah
kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan
yang telah kami kerjakan.” Dan apakah Kami tidak memanjangkan
umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau
berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?
Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang
dzalim seorang penolongpun. (QS. Al-Fathir/35: 37).47
Ayat ini menggambarkan keadaan mereka yang mendustakan Allah SWT
dan rasul-Nya dengan meminta dikeluarkan dari api neraka dan berjanji tidak akan
mengulangi apa yang telah mereka kerjakan selama ini. Namun, disini Allah SWT
menolaknya dengan mempertanyakan umur mereka yang panjang yang tidak
digunakan selama itu.48
Redaksi tadzakkur mengandung pengertian perintah memikirkan sesuatu
dan pengambilan pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Allah SWT terhadap
orang-orang yang menyembah kepada selain-Nya, yang telah dijelaskan dalam
45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 5,
hlm. 677.
46 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hlm. 134.
47 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 701.
48 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 4,
hlm. 3390.
45
ayat-ayat-Nya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT pada ayat
di atas.
Tabel Jumlah Ayat-Ayat tentang Akal
No Kata Jumlah
1 „Aql dan derivasinya 49 kali
2 Fakkara dan derivasinya 18 kali
3 Nadzara dan derivasinya 129 kali
4 Faqiha dan derivasinya 20 kali
5 Dzakara dan derivasinya 292 kali
6 Qalb dan derivasinya 168 kali
7 Ulul albab 16 kali
8 Ulin nuha 2 kali
C. Orang Berakal dalam Al-Qur’an
Al-Qur‟an tidak menyebut „aql sebagai potensi dan substansi dalam diri
manusia, dimana beberapa proses olah pikir berlangsung darinya. Namun, jika
melihat makna yang dimaksudkannya, Al-Qur‟an memuat istilah al-albab (bentuk
jamak dari lubbu yang berarti isi atau saripati sesuatu).49
Menurut Al-Biqa‟i, albab
adalah akal yang memberi manfaat kepada pemiliknya dengan memilah sisi
substansial dari kulitnya. Ia adalah sisi terdalam akal yang berfungsi menangkap
perintah Allah SWT dalam hal-hal yang dapat diindera dan dapat menyaksikan-Nya
melalui ayat-ayat-Nya.50
Dalam Al-Qur‟an kita dapat menemukan term albab yang terangkai dengan
term ulu (bentuk jamak dari dzu yang berarti mempunyai),51
sehingga menjadi ulul
albab.52
Sehingga ulul albab sering diartikan sebagai orang yang berakal.
49
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terj. Abdul
Hayyie Al-Kattani, dkk., hlm. 30.
50 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terj. Abdul
Hayyie Al-Kattani, dkk., hlm. 31.
51 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hlm. 133.
52 Al-Qur‟an menyebut term ulul albab sebanyak 16 kali dalam 10 surat, yaitu QS. Shad: 29
dan 43, QS. Yusuf: 111, QS. Az-Zumar: 9, 18 dan 21, QS. Al-Mu‟min: 54, QS. Ibrahim: 52, QS. Al-
46
Selain menggunakan term ulul albab untuk merepresentasikan orang yang
berakal, Al-Qur‟an juga menggunakan istilah ulin nuha. Nuha adalah bentuk jama‟
dari nuhyah, yaitu larangan, kepintaran, akal.53
Ulin nuha disebut dalam Al-Qur‟an
sebanyak 2 kali, yaitu dalam QS. Thaha/20: 54 dan 128.
Orang berakal diidentifikasikan dalam Al-Qur‟an sebagai berikut:
1. Orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah SWT:
Allah SWT menyediakan bagi mereka adzab yang keras, maka bertaqwalah
kepada Allah SWT hai orang-orang yang mempunyai akal: (yaitu) orang-
orang yang beriman. Sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan peringatan
kepadamu. (QS. Ath-Thalaq/65: 10).54
Ayat di atas menyebutkan bahwa ciri seorang yang mempunyai akal adalah
orang yang beriman. Dan di sana juga disebutkan perintah untuk bertaqwa baginya.
Hal ini karena sebaik-baik bekal adalah taqwa. Firman Allah SWT:
Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah SWT
mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-
Baqarah/2: 197).55
2. Orang yang selalu ingat kepada Allah SWT serta memikirkan segala ciptaan-
ciptaan-Nya. Firman Allah SWT:
Baqarah: 179, 197 dan 269, QS. Ali Imran: 7 dan 190-191, QS. Ar-Ra‟d: 19, QS. Ath-Thalaq: 10, QS.
Al-Maidah: 100.
53 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hlm. 472.
54 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 947.
55 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.hlm. 48.
47
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah SWT sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
(QS. Ali Imran/3: 190-191).56
3. Orang yang berpikir kritis terhadap semua perkataan, pendapat maupun teori yang
ada. Sehingga dengan demikian, dapat mengetahui mana yang benar dan tidak.
Sehingga pendapat yang benarlah yang diikuti. Sebagaimana firman Allah SWT:
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah SWT
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-
Zumar/39: 18).57
56
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 109-110. Dalam suatu riwayat
yang dikemukakan oleh Ath-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu „Abbas bahwa
orang Quraisy datang kepada orang Yahudi untuk bertanya: “Mukjizat apa yang dibawa Musa kepada
kalian?” Mereka menjawab: “Tongkat dan tangannya terlihat putih bercahaya”. Kemudian mereka
bertanya kepada kaum Nasrani: “Mukjizat apa yang dibawa „Isa AS kepada kalian?” Mereka
menjawab: “Ia dapat menyembuhkan orang buta sejak lahir hingga dapat melihat, menyembuhkan
orang berpenyakit sopak dan menghidupkan orang mati”. Kemudian mereka menghadap Nabi
Muhammad SAW dan berkata: “Hai Muhammad, coba berdoalah engkau kepada Tuhanmu agar
gunung Shafa ini dijadikan emas”. Lalu Rasulullah SAW berdoa. Maka turunlah ayat ini sebagai
petunjuk untuk memperhatikan apa yang telah ada, yang akan lebih besar manfaatnya bagi orang yang
berakal. Lihat. Q. Shaleh dan A. Dahlan (ed.), Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-ayat Al-Qur’an, hlm. 125.
57 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 748. Diriwayatkan oleh
Juwaibir yang bersumber dari Jabir bin „Abdillah bahwasanya setelah turun ayat Laha sab’atu
abwab… (Jahanam itu mempunyai tujuh pintu…) sebagaimana dalam QS. Al-Hijr: 44, datanglah
seorang laki-laki Ansar menghadap Nabi Muhammad SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, aku
mempunyai tujuh hamba yang telah aku merdekakan seluruhnya untuk ke tujuh pintu neraka”. Ayat
ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Lihat. Q. Shaleh dan A. Dahlan (ed.), Asbabun Nuzul;
Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, hlm. 465.
48
4. Berani mengatakan kebenaran. Firman Allah SWT:
Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya
yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah SWT hai
orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-
Maidah/5: 100).58
Firman Allah SWT:
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang
dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar/39: 9).59
Orang yang mempunyai akal atau ulul albab akan selalu menimbang-
nimbang segala sesuatu, baik menurut akal atau syari‟at. Dengan pemikiran dan
pertimbangan yang matang terhadap segala sesuatu, ulul albab akan mendapat
keberuntungan dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Karena apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT pasti baik secara akal, sebaliknya, apa yang dilarang
oleh Allah SWT pasti juga buruk menurut akal.60
5. Orang yang menyerahkan permasalahan diluar kemampuannya kepada Allah
SWT dengan berpegang pada Al-Qur‟an. Sebagaimana firman-Nya:
58
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.hlm. 179.
59 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.hlm. 747.
60 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasihan Al-Qur’an, Vol. 3,
hlm. 215.
49
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur‟an) kepada kamu. Diantara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat,61
itulah pokok-pokok isi Al-Qur‟an
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.62
Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
ta‟wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta‟wilnya melainkan Allah
SWT. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal. (QS. Ali Imran/3: 7).63
Ayat di atas menyebutkan bahwa persoalan-persoalan ghaib tidak dapat
diketahui oleh akal manusia. Oleh karena itu, seorang ulul albab akan menyerahkan
masalah tersebut kepada Allah SWT dengan berpegang kepada Al-Qur‟an.
6. Orang yang memperhatikan ayat-ayat-Nya, baik qauliyah maupun kauniyah.
Firman Allah SWT:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shaad/38: 29).64
61
Ayat yang muhkamat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami
dengan mudah.
62 Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyabihat: ayat-ayat yang mengandung beberapa
pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara
mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah SWT yang mengetahui, seperti ayat-ayat
yang berhubungan dengan yang ghaib, misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka
dan lain-lain.
63 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 76. Diriwayatkan bahwa kaum
Nasrani Najran bertanya kepada Rasulullah SAW: “Bukankah anda mengatakan tentang Almasih
bahwa dia adalah kalimat Allah dan ruh-Nya?” Mereka bermaksud hendak menjadikan pernyataan ini
sebagai alat untuk menetapkan atau membenarkan kepercayaan mereka tentang Isa AS bahwa beliau
bukan manusia, melainkan ruh Allah, menurut pemahaman mereka. Sementara itu, mereka
meninggalkan ayat-ayat yang pasti dan muhkam yang menetapkan ke-esa-an Allah SWT secara
mutlak dan meniadakan dari-Nya sekutu dan anak dalam bentuk apa pun. Maka turunlah ayat ini yang
mengungkapkan usaha mereka yang hendak memperalat nash-nash yang samar dan dapat
menimbulkan bermacam-macam gambaran, dan meninggalkan nash-nash yang murni pasti. Lihat.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Terj. As‟ad Yasin, dkk., Jil.
3, hlm. 48.
64 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 736.
50
Diantara ayat-ayat Al-Qur‟an yang memerintah ulul albab untuk
memperhatikan ayat-ayat qauliyah-Nya yaitu:
(Al-Qur‟an) ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya
mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui
bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang
berakal mengambil pelajaran. (QS. Ibrahim/14: 52).65
Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir. (QS.
Al-Mu‟min/40: 54).66
Sedangkan yang memerintah untuk memikirkan ayat-ayat kauniyah-Nya
yaitu firman Allah SWT:
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah SWT
menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di
bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang
bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya
kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar/39: 21).67
7. Orang yang dapat mengambil pelajaran dari sejarah. Firman Allah SWT:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-
orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,
65
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. (388).
66 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 766.
67 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.hlm. 748.
51
akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan
segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
(QS. Yusuf/12: 111).68
8. Orang yang dapat mengambil pelajaran dari hukum-hukum. Firman-Nya:
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-
orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah/2: 179).69
9. Orang yang mengambil pelajaran dari fenomena yang menakjubkan. Firman Allah
SWT:
Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan
(Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari
Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS.
Shaad/38: 43).70
10. Orang yang mengikuti segala perintah dan larangan Allah SWT. Firman Allah
SWT:
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang
yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang
memenuhi janji Allah SWT dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang
yang menghubungkan apa-apa yang Allah SWT perintahkan supaya
68
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.hlm. 366.
69 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.hlm. 44.
70 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 738.
52
dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab
yang buruk, dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya,
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan
kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak
kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat
kesudahan (yang baik). (QS. Ar-Ra‟d: 19-22).71
11. Orang yang dapat mencapai hikmah. Firman Allah SWT:
Allah SWT memberikan hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran
dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (QS. Al-
Baqarah/2: 269).72
D. Hakikat Akal dalam Al-Qur’an
Dari sedikit deskripsi tentang akal di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud akal dalam Al-Qur‟an yaitu potensi untuk berpikir yang mengikat atau
menghalangi seseorang terjerumus dalam dosa atau pelanggaran dan kesalahan. Oleh
karena itu, bisa saja seseorang memiliki daya pikir yang sangat cemerlang, tetapi ia
dinilai tidak berakal, karena ia melakukan aneka dosa dan pelanggaran. Sejalan
dengan makna ini, sebagaimana ketika Al-Qurthubi menafsirkan QS. Ath-Thur/52:
32, diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat nabi Muhammad SAW berkata
kepada beliau: “Alangkah berakalnya si A yang Nasrani itu.” Nabi Muhammad SAW
menjawab: “Tidak! Seorang kafir tidaklah berakal. Tidakkah engkau mendengar
firman Allah SWT QS. Al-Mulk/67: 10.73
71
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 372.
72 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 67.
73 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 14,
hlm. 353.
53
Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka
yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk/67: 10).
Seseorang yang tidak menggunakan potensi akalnya untuk menghalanginya
terjerumus dari dosa, pelanggaran dan kesalahan, Al-Qur‟an tidak menamainya orang
yang berakal. Itulah yang juga diakui oleh para penghuni neraka sebagaimana
terbaca dalam QS. Al-Mulk/67: 10 di atas. Meski demikian, Al-Qur‟an tidak pernah
menyebut “orang yang berakal” dengan menggunakan bentuk fa’il dari kata ‘aql.
namun, Al-Qur‟an menggunakan istilah ulul albab dan ulin nuha.
Sebagai potensi untuk berpikir, jangkauan akal sangat luas. Tidak hanya pada
ranah yang empiris semata. Melainkan juga yang abstrak, termasuk yang metafisika.
Namun, cara memikirkan antara yang empiris dan yang abstrak atau metafisika tidak
sama. Hal ini akan penulis coba menggalinya pada bab selanjutnya.
54
BAB IV
ANALISIS
PENDIDIKAN AKAL DALAM AL-QUR’AN
Berangkat dari uraian yang telah dikemukakan dan dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, maka pada bab ini penulis akan mencoba menganalisisnya sehingga
mendapatkan garis besar terhadap pendidikan akal yang ada dalam Al-Qur‟an.
A. Pengertian Pendidikan Akal dalam Al-Qur’an
Dalam QS. An-Nahl: 78 Allah SWT berfirman:
Dan Allah SWT mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78).1
Menurut Al-Maraghi, kata af’idah dalam ayat di atas mempunyai arti akal.
Sebab, dengan akalnya, manusia dapat memahami dan membedakan antara petunjuk
dan kesesatan, antara yang baik dan buruk, serta antara yang benar dan salah.2 Ayat
ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya ketika keluar dari rahim ibunya, manusia
tidak mempunyai pengetahuan apa pun. Manusia hanya dibekali oleh Allah SWT
tiga potensi, yaitu pendengaran, penglihatan dan akal untuk memperoleh
pengetahuan. Oleh karena itu, agar sarana untuk memperoleh pengetahuan tersebut
dapat terarah dengan baik, maka Allah SWT memberikan bimbingan dan tuntunan
berupa kitab petunjuk, yaitu Al-Qur‟an.
(Al-Qur‟an) Ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya
mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui
1 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 413.
2 Ahmad Mushthafa Al-Maraghî, Tafsir Al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk.,
(Semarang: Toha Putra, 1992), Juz. XIV, hlm. 211.
55
bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang
berakal mengambil pelajaran. (QS. Ibrahim/14: 52).3
Oleh karena itu, dalam perspektif Al-Qur‟an, pendidikan akal adalah suatu
usaha atau upaya untuk mengembangkan dan membina potensi akal manusia agar
memperoleh pengetahuan dalam rangka untuk mencapai kehidupan yang baik dan
benar di dunia dan akhirat berdasarkan prinsip keesaan Allah SWT, baik uluhiyah
maupun rububiyah.
B. Tujuan Pendidikan Akal dalam Al-Qur’an
Menurut Einstein, dalam otak manusia terdapat apa yang dinamakan dengan
godspot, yaitu sebuah titik yang tidak dapat diisi dengan suatu apa pun, kecuali oleh
cahaya ketuhanan. Hal ini mungkin yang dimaksud oleh Al-Qur‟an sebagai fitrah
manusia untuk bertuhan sebagaimana yang telah terjadi pada masa primordial
manusia. Firman Allah SWT:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah SWT mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Atau agar
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (QS.
Al-A‟raf/7: 172-173).4
3 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 388.
4 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 250.
56
Ayat ini menginformasikan kepada kita bahwasanya semenjak masih berada
dalam kandungan, manusia sudah diberi tahu oleh Allah SWT bahwa Dia-lah Tuhan
semesta alam. Sehingga dengan demikian, manusia tidak dapat berkilah ketika kelak
berada di akhirat jika selama hidup di dunia tidak mengakui-Nya atau bahkan
menafikan eksistensi-Nya.
Bagi manusia yang mengakui eksistensi-Nya, tentu saja tidak cukup hanya
dengan pengakuan semata. Sebab, Allah SWT menciptakan manusia tidak lain
hanyalah agar manusia melayani-Nya.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat/51: 56).5
Pelayanan tersebut tidak hanya bermakna secara ritual (vertikal), melainkan
juga bersifat kealaman dan kemanusiaan (horisontal) sehingga manusia dapat
mengemban amanat-Nya sebagai khalifah di bumi ini untuk mewujudkan rahmat
bagi seluruh alam.
Dengan demikian, tujuan pendidikan akal dalam Al-Qur‟an dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Untuk meyakini adanya Tuhan.
2. Untuk mengetahui bahwa hanya Allah SWT yang berhak disembah (uluhiyah).
3. Untuk memahami bahwa pencipta alam semesta adalah Allah SWT (rububiyah).
4. Untuk menunjukkan bahwa ada dunia lain selain dunia sekarang ini (akhirat)
5. Untuk membimbing dan mengantar manusia sebagai khalifah-Nya sehingga dapat
hidup bahagia di dunia dan akhirat.
5 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 862.
57
C. Materi Pendidikan Akal
Materi pendidikan akal dalam Al-Qur‟an mencakup tiga hal, yaitu:
1. Metafisika
Metafisika disini mencakup hal-hal yang bersifat gaib. Diantaranya yang
disebutkan dalam Al-Qur‟an yaitu masalah ketuhanan, malaikat, syaitan, akhirat,
wahyu, dan lainnya yang tidak bersifat fisik dan diluar jangkauan indera.
2. Kosmologi
Dalam Al-Qur‟an sangat jelas dan banyak sekali ayat yang menyebutkan
anjuran untuk memikirkan dan memahami alam semesta, baik yang sudah diketahui
maupun belum terungkap. Dan materi ini merupakan kajian ilmiah atau sains.
3. Etika
Hal abstrak yang menjadi materi alam selain yang metafisika yaitu etika.
Etika Al-Qur‟an yaitu etika yang didasarkan pada prinsip ketuhanan, kealaman dan
kemanusiaan. Dan banyak ayat-ayat yang menunjukkan akan hal tersebut.
D. Metode Pendidikan Akal dalam Al-Qur’an
Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwasanya ranah akal
dalam berolah pikir sangatlah luas. Tidak hanya terbatas pada yang empiris saja,
melainkan juga yang abstrak atau metafisika dan etika. Oleh karena itu, berdasarkan
materi pendidikan akal sebagaimana telah disebutkan dalam bab II, juga paparan
ayat-ayat tentang akal sebagaimana dalam bab III, di sini penulis menemukan
langkah-langkah pendidikan akal yang ada didalamnya.
1. Mengosongkan akal
Untuk mengetahui kebenaran, langkah yang tepat pertama kali yaitu tidak
taqlid buta pada sesuatu yang sudah ada dan mapan, sekalipun hal itu merupakan
pandangan mayoritas. Hal ini bisa kita lihat dalam QS. Al-Baqarah: 170.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah SWT,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah
58
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al-Baqarah:
170).6
Dari ayat di atas kita dapat memahami bahwa Al-Qur‟an tidak menghendaki
adanya taqlid terhadap kebiasaan yang sudah menjadi tradisi dan adat atau budaya
tanpa menyeleksinya terlebih dahulu. Dengan kata lain, langkah awal dalam
membentuk akal sehat yaitu mengosongkan akal dari berbagai “kebenaran” yang
telah diterimanya, meskipun “kebenaran” itu menjadi pandangan hidup mayoritas
orang.
2. Membuka dan membangkitkan semua potensi indera
Setelah akal kosong dari “kebenaran-kebenaran”, semua potensi yang dimiliki
manusia harus dibuka dan dibangkitkan untuk dimanfaatkan secara maksimal, baik
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan lain-lainnya. Hal ini tidak lain agar
menjadi bahan akal dalam berolah pikir. Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas
QS. QS. An-Nahl: 78.
3. Bersikap kritis
Setelah bahan-bahan didapat, akal harus menimbang-nimbangnya penuh hati-
hati dengan bersikap kritis-dialektis. Setiap bahan yang didapat dipertanyakan dalam
diri sendiri lalu mempertanyakan pendapat-pendapat yang sudah mapan untuk
kemudian dipikirkan sendiri dengan penuh kehati-hatian. Firman Allah SWT dalam
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah SWT petunjuk
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar/39: 18).7
6 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 41.
7 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 748.
59
4. Tidak memaksakan potensi akal yang diluar kemampuannya
Dalam bersikap kritis, tentu ada hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal,
atau lebih tepatnya tidak dapat dicerna oleh akal. Jika terjadi hal yang demikian,
bukan berarti hal tersebut tidak benar. Akan tetapi hal tersebut bukanlah ranah akal.
Misalnya hal-hal yang bersifat metafisik. Meski demikian, akal kita tetap dapat
memikirkannya namun bukan langsung pada objek metafisiknya, melainkan melalui
dengan apa yang ada untuk mengantarkan kepadanya. Hal ini tampak pada QS. Ali
Imran: 7.
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur‟an) kepada kamu. Diantara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur‟an dan
yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
ta‟wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta‟wilnya melainkan Allah
SWT. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal. (QS. Ali Imran/3: 7).8
Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Nu‟aim melalui Ibnu „Abbas yang
berbunyi “Berpikirlah tentang makhluk Allah SWT dan jangan berpikir tentang
Allah SWT”,9 juga mengisyaratkan bahwasanya hal-hal yang metafisik seperti Tuhan
merupakan kajian diluar akal.
8 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 76.
9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, hlm. 309.
60
5. Koherensi dan korespondensi
Setelah mengetahui bahwasanya hal-hal yang metafisik tidak dapat dijangkau
oleh akal, sesuai dengan hadits nabi di atas, maka untuk mengetahui kebenaran yang
metafisik akal dapat mendapatinya lewat berpikir secara korespondensi-koherensi.
Hal ini dicontohkan dengan apik oleh Al-Qur‟an sebagaimana dalam QS. Yunus/10:
16.
Katakanlah: “Jikalau Allah SWT menghendaki, niscaya aku tidak
membacakannya kepada kamu dan Allah SWT tidak (pula)
memberitahukannya kepada kamu. Sesungguhnya aku telah tinggal bersama
kamu sekian lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?
(QS. Yunus/10: 16).10
Korespondensi dalam ayat ini yaitu bahwa nabi Muhammad SAW adalah
seorang yang ummi (tidak bisa baca tulis) dan sudah tinggal lama bersama mereka
selama itu. Sedangkan koherensi dalam ayat ini yaitu bahwa nabi Muhammad SAW
merupakan orang yang kejujurannya telah terbukti dan diketahui oleh banyak orang.
Oleh karena itu merupakan hal yang tidak masuk akal jika Al-Qur‟an yang
dibacakannya adalah suatu kebohongan.
10
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 308.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian bab demi bab yang telah penulis deskripsikan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hakikat akal dalam Al-Qur’an yaitu potensi untuk berpikir yang mengikat atau
menghalangi seseorang terjerumus dalam dosa atau pelanggaran dan kesalahan.
Oleh karena itu, bisa saja seseorang memiliki daya pikir yang sangat cemerlang,
tetapi ia dinilai tidak berakal, karena ia melakukan aneka dosa dan pelanggaran.
2. Pendidikan akal dalam Al-Qur’an yaitu suatu usaha atau upaya untuk
mengembangkan dan membina potensi akal manusia agar memperoleh
pengetahuan dalam rangka untuk mencapai kehidupan yang baik dan benar di
dunia dan akhirat berdasarkan prinsip keesaan Allah SWT, baik uluhiyah maupun
rububiyah. Adapun langkah-langkahnya yaitu mengosongkan akal dari berbagai
“kebenaran-kebenaran”, membuka dan membangkitkan semua potensi indera,
bersikap kritis, tidak memaksakan potensi akal diluar kemampuannya serta
melakukan tindakan koherensi dan korespondensi.
B. Saran-saran
Dari hasil kajian yang telah dilakukan ini, penulis bermaksud memberikan
saran-saran:
1. Pendidikan akal ini sebenarnya sangat urgen dan wajib ditindaklanjuti, sebab hal
ini selaras dengan keadaan manusia masa kini yang sebagian besar tengah hanyut
dalam budaya pop.
2. Mengingat sains dan teknologi semakin canggih dalam memenuhi kebutuhan
manusia mendapatkan akses informasi-informasi, maka pendidikan akal
diharapkan mampu digunakan sebagai solusi yang tepat sebagai filter.
62
C. Penutup
Akhirnya, penulis tidak dapat berkata apa-apa kecuali puja dan puji kepada
Allah SWT dengan penuh rasa syukur, serta shalawat dan salam kepada nabi
Muhammad SAW atas selesainya penulisan skripsi ini.
Satu hal yang penting, skripsi ini sangat jauh dari kebenaran. Oleh karena itu,
penulis harapkan pelurusannya dengan kritik yang benar pula. Meski demikian,
penulis tetap berdoa semoga skripsi ini mampu memberi manfaat bagi yang
membacanya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Fayid, Muhammad, Al-Tarbiyah Fi Kitabillah, Pendidikan dalam Al-
Qur’an, Semarang: Wicaksana, 1989.
Abu Bakar, Usman, dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam,
(Respon Kreatif Terhadap Undang-undang Sisdiknas), Yogyakarta: Safira
Insani Press, 2005.
Ali, Yunasril, “Perspektif Al-Qur’an Tentang Tuhan”, dalam Abuddin Nata, Kajian
Tematik Al-Qur’an Tentang Ketuhanan, Bandung: Penerbit Angkasa, 2008.
Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Yogyakarta: Dinamika,
1996.
Anwar, Saifuddin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998.
Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Bawani, Imam, Segi-Segi Pendidikan Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1987.
Boas Boangmanalau, Singkop, Marx, Dostoievsky, Nietzsche: Menggugat Teodisi
dan Merekonstruksi Antropodisi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
D. Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif,
1980.
Daien Indrakusuma, Amir, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional,
1973.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra,
1971.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1993.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1999.
Hadikusumo, Kunaryo, dkk., Pengantar Pendidikan, Semarang: IKIP Semarang
Press, 1995.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983, Juz VII.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern; Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
HD, Kaelany, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, (Jakarta: Bumi Aksara,
2005.
http://forum.swaramuslim.net/more.php?id=43638_0_15_0_M.
http://ruhullah.wordpress.com/2008/09/22/evolusi-akal-budi-auguste-comte/
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/001/01.html
Ikeda, Daisaku, Demi Perdamaian: Tujuh Jalur Menuju Keharmonisan Global, Terj.
Rany R. Moediarto, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Popular, 2001.
Intan Naomi, Omi, (Peny), Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif,
Liberal, Anarkis, Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Izutzu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-
Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah dan Amiruddin,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 65.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Kebung, Konrad, Esai Tentang Manusia: Rasionalisasi dan Penemuan Ide-ide,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992.
Ma’luf, Louis, Al-Munjidu fil-Lugati wal-A’lam, Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986.
Mercuse, Herbert, Rasio dan Revolusi; Menyuguhkan Kembali Doktrin Hegel untuk
Umum, Terj. Imam Baehaqie, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil.
2, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
_______, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 1, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000.
_______, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 3, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000.
_______, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jil. 4, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000.
Munir Mulkhan, Abdul, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: Sipress, 1993.
Mushthafa Al-Maraghî, Ahmad, Tafsir Al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, dkk.,
Semarang: Toha Putra, 1992), Juz. XIV.
Nasih Ulwan, Abdullah, Pendidikan Anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani,
1989.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986.
Nasution, Metode Reseach Penelitian Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nur Ichwan, Muhammad, Memasuki Dunia Al-Qur’an, Semarang: Lubuk Raya,
2001.
Pasiak, Taufiq, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neuro Sains dan Al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 2002.
Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1991.
Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: PT Rosdakarya, 1994.
Qadir, C. A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, t.t.
Qardhawi, Yusuf, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terj.
Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk., Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Quthb, Muhammad, Sistrem Pendidikan Islam, terj. Siaiman Harun, Bandung: Al-
Ma’arif,1993.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Terj. As’ad
Yasin, dkk., Jil. 3.
Rand, Ayn, Kebajikan Sang Diri: Konsep Baru Ego, Terj. A. Asnawi, Yogyakarta:
Ikon Teralitera, 2003.
S. Sumantri, Jujun, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Sadali, A., dkk., Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Saifuddin Anshari, Endang, Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran tentang
Paradigma dan Sistem Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Shaleh, Q., dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
ayat Al-Qur’an.
Shihab, M. Quraish, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam
Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
_______, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
_______, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2, Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
_______, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 4, Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
_______, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 5, Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
_______, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 12,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
_______, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 14,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
_______, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 11,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung:
Sinar Baru, 1996.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat
Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005.
Suyitno, Amin, dkk., “Ilmu Alamiah Dasar (IAD)”, (Handout), Semarang: t.p., 2002.
Suyoto (Ed.), Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, Yogyakarta: Aditya
Media, 1994.
Syafi’ie, A., Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1991.
Syafi’ie, Imam, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an; Telaah dan
Pendekatan Filsafat Ilmu, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Takwin, Bagus, Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur,
Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Tholhah Hasan, Muhammad, Islam dan Masalah Sumber Daya Alam, Jakarta:
Lantabora Press, 2005.
Trueblood, David, Filsafat Agama, terj. M. Rasjidi, Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1990.
Tule, Philipus, (Ed.), Kamus Filsafat, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995.
W. Al-Hafidz, Ahsin, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2006.
Wahyudi Asmin, Yudian, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1995.
Walters, J. Donald, Crises in Modern Thought; Menyelami Kemajuan Ilmu
Pengetahuan dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, terj. B. Widhi
Nugraha, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Wiyono, Slamet, Manajemen Potensi Diri, Jakarta: Grasindo, 2004.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidayat Agung, 1989.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap : Agus Setyabudi
2. Tempat & Tgl. Lahir : Rembang, 15 Agustus 1985
3. NIM : 053111310
4. Alamat Rumah : Jl. Slamet Riyadi No. 7 Ds. Ngadem Rembang
HP : 085227748441
e-mail : [email protected]
website : http://www.padepokandamai.blogspot.com/
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. SD Negeri Ngadem Rembang lulus tahun 1998
b. MTs Mualimin Mualimat Rembang lulus tahun 2001
c. SMA Negeri 1 Rembang lulus tahun 2005
d. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang lulus tahun 2012
C. Karya Ilmiah
1. Pendidikan Akal dalam Al-Qur’an (Skripsi, 2012)
Semarang, 14 Februari 2012
Agus Setyabudi
NIM. 053111310