Upload
others
View
27
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENDIDIKAN HUMANIS PAULO FREIRE DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Dwi Larasati
NIM. 11160110000058
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Dwi Larasati
Tempat/Tgl.Lahir : Napal Putih, 19 Juni 1998
NIM : 11160110000058
Jurusan/Prodi : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam Perspektif
Pendidikan Islam
Dosen Pembimbing : Dr. Akhmad Sodiq., M. Ag
NIP : 19710709 199803 1 00 1
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah
Jakarta, 10 Maret 2020
Mahasiswa Ybs.
Dwi Larasati
NIM. 11160110000058
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412 Jakarta
FORM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
No. Revisi : 01
Hal :1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
PENDIDIKAN HUMANIS PAULO FREIRE DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh:
Dwi Larasati
NIM. 11160110000058
Menyetujui,
Dosen Pembimbingan Skripsi
Dr. Akhmad Sodiq., M. Ag
NIP. 19710709 199803 1 00 1
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul “Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam Perspektif
Pendidikan Islam” disusun oleh Dwi Larasati NIM. 11160110000058, Program
Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan
sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai
ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 10 Maret 2020
Yang Mengesahkan,
Pembimbing
Dr. Akhmad Sodiq., M. Ag
NIP. 19710709 199803 1 00 1
ii
ABSTRAK
Dwi Larasati (11160110000058), “Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam
Perspektif Pendidikan Islam”
Kata Kunci: Pemikiran, Humanistik, Pendidikan Islam, Paulo Freire
Pendidikan humanis mengajarkan bagaimana peserta didik sebagai manusia
mampu memahami proses pembelajaran secara kritis berlandaskan kerangka filosofis
tujuan hidupnya sebagai manusia hal ini pula yang dipertegas oleh Paulo Freire.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pendidikan humanis menurut Paulo
Freire dan bagaimana Pendidikan humanis Paulo Freire dalam perspektif pendidikan
Islam. Dengan menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research),
penelitian ini memerlukan dokumen yang cukup banyak seperti buku, artikel, jurnal,
dan dokumen lainnya. Adapun sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari data
primer (data pokok) dan data sekunder (data penunjang atau pendukung). Metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa Pendidikan humanis Paulo Freire
mempunyai corak kesamaan ide dengan konsep pendidikan Islam secara khusus yaitu
pendidikan sebagai wadah untuk mengembangkan potensi peserta didik yang
membebaskan. Pendidikan humanis dan pendidikan Islam, memiliki relevansi dalam
orientasi dan proses pendidikan, sama-sama sangat menekankan humanisasi dan
pembebasan sebagai orientasi pendidikan, serta menempatkan peserta didik dan
pendidik sama-sama sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Perbedaannya
adalah bahwa cakupan pendidikan Islam lebih luas dikarenakan mampu
menintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.
iii
ABSTRACT
Dwi Larasati (11160110000058), “ Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam
Perspektif Pendidikan Islam”
Keywords: Thought, Humanist, Islamic Education, Paulo Freire
Humanist education teaches how learners as humans are able to understand the
learning process critically based on the philosophical framework of his life as a human
being. This is also reinforced by Paulo Freire. This study aims to determine the
concept of humanist education according to Paulo Freire and how Paulo Freire's
humanist education is in the perspective of Islamic education. By using this type of
library research, this research requires quite a number of documents such as books,
articles, journals, and other documents. The data sources in this study were obtained
from primary data (primary data) and secondary data (supporting or supporting data).
The analytical method used in this research is qualitative analysis.
From the results of this research note that Paulo Freire's humanist education
has a similarity of ideas with the concept of Islamic education specifically, education
as forum for developing the potential of free learners. Humanist education and Islamic
education, having relevance in orientation and the educational process, both
emphasize humanization and liberation as educational orientations, and place students
and educators alike as subjects in the teaching and learning process. The difference is
that the scope of Islamic education is broader because it is able to integrate religious
and general science.
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Sebagaimana
kita telah diberikan nikmat Iman dan Islam, serta nikmat sehat sebagai bentuk kasih
sayang-Nya kepada kita semua. Berkat rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul
“Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam” dapat
terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa kita panjatkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, beserta sahabanya.
Sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan, penulis menyadari
sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Dalam menyelesaikan skripsi
ini tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang dialami oleh penulis dan berkat
kesungguhan hati, kerja keras dan motivasi serta bantuan dari berbagai pihak, maka
penulis dapat menjalani kesulitan tersebut. Maka atas tersusunnya skripsi ini, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk serta
dukungan terutama kepada:
1. Allah SWT, yang selalu memberikan kesehatan, kemudahan, serta nikmat yang
luar biasa kepada penulis.
2. Orang tua penulis, Ibunda Sinem S.pd dan Ayahanda Saidi Awal yang tersayang,
yang selalu mendoakan serta menjadi semangat bagi penulis dalam mengejar cita-
cita.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Sururin, M.Ag, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Bapak Drs, Abdul Haris, M.Ag dan Bapak Drs. Rusdi Jamil, M.Ag selaku ketua
dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.
v
6. Bapak Dr. Akhmad Sodiq, M.A, selaku dosen Pembimbing Skripsi yang telah
meluangkan waktunya, memberikan ilmunya, banyak membantu dalam
pengerjaan skripsi, dan selalu memberikan nasihat-nasihat kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
7. Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Noor, selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak
membantu dan selalu memberikan masukan selama studi, serta yang sealu
meluangkan waktunya untuk penulis pada saat meminta arahan selama pengerjaan
skripsi.
8. Kakak tersayang Ageng Septa Rini S.STM,M.KM, Adik tersayang Tri Dara
Februa Luki dan Hanif Radhitya Farhan yang tidak pernah bosan menyemangati
penulis dan selalu membantu selama masa studi.
9. K.H. Irham Hasymi Lc, M.pd dan Umi Eka Susanti S.Ag, Umi Musliha, Umi
Rismawati Afnan, Umi Dwi Rahmiati, dan seluruh guru di Pondok Pesantren Al-
hasanah Bengkulu yang tak pernah henti memberikan nasihat hingga saat ini.
10. Om Bagus, Mbak Wie, Kak Mamduh, serta seluruh Wali Dosen ahfi BBC
Motivator School, selaku guru spiritual di Kahfi BBC Motivator School yang tidak
akan pernah membiarkan anak didiknya kehausan ditengah banyaknya telaga.
11. Seluruh keluarga Kahfi BBC Motivator School terkhusus angkatan 18 yang selalu
memberikan motivasi untuk tetap bertahan dalam keadaan rapuh.
12. Teman-teman seperjuangan PAI angkatan 2016 yang selalu memberikan bantuan
dalam keadaan apapun.
13. Sahabat fillah Hilma Ayunina, Popy Ermaliani, Hunafa Ulfitriyah dan Putri Pedine
(HILAPONADIN) yang selalu menciptakan tawa serta kebahagiaan dalam
kehidupan sehingga penat yang dirasa pada saat pengerjaan skripsi mampu
diringankan oleh canda tawa mereka.
14. Sahabat Terbaik Nayla Elfasya, Siti Himdatul Akmal, Zurriyatina, Lasmiyati, dan
kak Andillah Utami, menjadi tempat terbaik untuk penulis bertukar pikiran.
vi
15. Sahabat tercinta Eri Rizqi Rachmawati, Ulfha Afrilani, Siti Mariah Ulfa, Siti
Marwah Ulfa, Ayu Lestari, Lilo Mayawati, Siti Aisyah, Sutriyani, Mira Hartati,
dan seluruh sahabat yang menemani penulis selama masa studi 6 tahun di Pondok
Pesantren Al-hasanah Bngkulu, yang sampai saat ini selalu melantunkan doa
dalam kelancaran penulis mengerjakan skripsi
16. As’ad Kholilullah, yang selalu membantu penulis, yang selalu ada ketika
dibutuhkan, yang selalu menyemangati tanpa henti, dan yang setia menemani pada
saat masa pengerjaan skripsi.
17. Tunjung Magenta S.pd yang tidak pernah bosan menjawab pertanyaan penulis
berkaitan dengan skripsi.
18. Senat Mahasiswa FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menjadi
penyemangat penulis agar bisa belajar membagi waktu dengan baik.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dan
rahmat Allah SWT. dan semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................ii
ABSTRACT ........................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv
DAFTAR ISI ..........................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 12
C. Pembatasan Masalah .................................................................................... 12
D. Rumusan Masalah ........................................................................................ 12
E. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 13
F. Kegunaan Penelitian ..................................................................................... 13
BAB II KAJIAN TEORI ...................................................................................... 14
A. PENDIDIKAN HUMANIS .......................................................................... 14
1. Pengertian Pendidikan .............................................................................. 14
2. Pengertian Humanis .................................................................................. 17
3. Pengertian Pendidikan Humanis ............................................................... 18
4. Dasar dan Tujuan Pendidikan Humanis ................................................... 22
5. Ciri-ciri pendidikan Humanis ................................................................... 25
6. Landasan Pendidikan Humanis ................................................................ 25
B. Pendidikan Islam .......................................................................................... 27
1. Pegertian Pendidikan Islam ...................................................................... 27
2. Dasar Pendidikan Islam ............................................................................ 30
3. Tujuan Pendidikan Islam .......................................................................... 33
4. Ciri- ciri Pendidikan Islam. ...................................................................... 36
5. Komponen Pendidikan Islam .................................................................... 36
C. Hasil Penelitian yang Relevan ...................................................................... 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 44
A. Objek dan Waktu Penelitian ......................................................................... 44
B. Metode Penelitian ......................................................................................... 44
C. Fokus Penelitian ........................................................................................... 45
viii
D. Sumber Data ................................................................................................. 45
E. Prosedur Penelitian ....................................................................................... 46
BAB IV HASIL PENEITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 48
A. Biografi Paulo Freire .................................................................................... 48
1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan Paulo Freire .................. 48
2. Karya-karya Paulo Freire .......................................................................... 52
B. Pembahasan .................................................................................................. 53
1. Pemikiran Pendidikan Paulo Freire .......................................................... 53
2. Humanisme dan Pendidikan Pembebasan Paulo Freire ........................... 55
3. Tujuan Pendidikan Humanis Paulo Freire ................................................ 59
4. Konsep Kesadaran Paulo Freire ............................................................... 61
5. Islam Sebagai Spirit Pembebasan ............................................................. 63
6. Konsep Pendidikan Islam ......................................................................... 64
7. Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam Perspketif Pendidikan Islam ... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 81
A. Kesimpulan dan Saran .................................................................................. 81
B. Saran ............................................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi memberikan dampak pada perubahan kondisi yang ada di
masyarakat, terutama dikalangan masyarakat Indonesia, mulai dari pola pikir
dan tingkah laku yang sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi zaman.
Dampak positif dari globalisasi terjadinya perubahan tata nilai dan sikap,
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta tingkat kehidupan yang
lebih baik. Sedangkan dampak negatifnya adalah pola hidup konsumtif, sikap
individualis gaya hidup yang kebarat-baratan serta kesenjangan sosial.1
Adapun bentuk lain dari dampak negatifnya globalisasi adalah
penurunan kualitas moral bangsa, dapat kita lihat banyaknya bermunculan
kasus-kasus yang tidak sesuai dengan nilai-nilai norma yang hidup dalam
masyarakat, seperti: maraknya pencurian, terjadinya kasus pembunuhan, serta
kasus-kasus kenakalan remaja berupa tawuran, kurangnya sopan santun dan
penyalahgunaan narkoba terutama yang terjadi dikalangan pelajar.2
Beberapa kasus di atas menunjukkan bahwa pendidikan kita belum
mampu membangun karakter bangsa. Karakter tidak dapat dilepaskan dari
peran pendidikan yang ada di Indonesia. Proses pendidikan telah membentuk
struktur bangunan pemikiran seseorang hingga terbangun struktur
kepribadian. Struktur masyarakat menentukan pola pikir dan pola perilaku
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan memiliki
kontribusi yang sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia yang ada,
karena mereka semua adalah produk dari
1 Nurhaida, M. Insya Musa, Dampak Pengaruh Globalisasi Bagi Kehidupan Bangsa Indonesia,
Jurnal Pesona Dasar, Vol.3, No.3, Apil 2015, hal. 1
2 Machful Indra Kurniawan, Tri Pusat Pendidikan Sebagai Sarana Pendidikan Karakter Anak
Sekolah Dasar, Jurnal Pedagogia, Volume. 4, No.1, Februari 2015, hal. 41
2
proses pendidikan. Kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana kualitas
pendidikannya.3
Pendidikan merupakan transfomasi ilmu pengetahuan, budaya,
sekaligus nilai-nilai yang berkembang pada suatu generasi agar dapat
ditransformasikan kepada generasi berikutnya. Pendidikan tidak hanya
transformasi ilmu melainkan sudah berada dalam wilayah transformasi budaya
dan nilai yang berkembang dalam masyarakat. Pendidikan dalam makna
demikian jauh lebih luas cakupannya dibandingkan dengan pengertian yang
hanya merupakan transformasi ilmu. Pendidikan mengarahkan manusia pada
perwujudan budaya yang mengarah pada kebaikan dan pengembangan
masyarakat.4
Pendidikan dalam pandangan Umdirah (1990) tumbuh bersamaan
dengan munculnya manusia dimuka bumi. Pendidikan adalah kehidupan dan
kehidupan memerlukan pendidikan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa
pendidikan merupakan kebutuhan hakiki bagi kelangsungan hidup manusia,
karena manusia tidak akan bisa hidup secara wajar tanpa adanya proses
pendidikan.5
Pendidikan merupakan masalah esensial dalam kehidupan manusia.
Pendidikan menentukan baik atau buruknya sumber daya manusia. Jika
pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki kualitas yang baik, maka baik
juga sumber daya manusia yang dimilikinya. Oleh karena itu, desain pendidikan
selayaknya dipersiapkan secara matang sehingga hasil yang dicapai pun
memuaskan
Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh pendidikan nasional Indonesia,
peletak dasar yang kuat pendidikan nasional yang progresif untuk generasi
sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan
berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan,batin,karakter), pikiran (intelek dan tubuh anak) dalam taman siswa.
3 Hibana, Sodiq A, dkk, Pengembangan Pendidikan Humanis Religius di Madrasah, Jurnal
Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Volume 3, No 1, Juni 2015, hal. 20
4 Uci Sanusi dan Rudi Ahmad Suryadi, Imu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana ,2018), hal. 1
5 Ibid., hal.1
3
Tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu supaya kita memajukan
kesempurnaan idup, kehidupan, dan penghidupan anak-anak yang kita didik,
selaras dengan dunianya”.6
Untuk mempertegas pentingnya pendidikan bagi umat manusia,
khususnya bangsa Indonesia secara subtansional telah disebutkan dalam
pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada alenia keempat,
yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” selanjutnya lebih rinci didalam bab XII
Pasal 31 UUD RI tahun 1945 sebagai berikut;
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur oleh undang-
undang.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dai
anggaran pendapatan dan belanja negara untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Berdasakan uraian di atas berarti antara manusia dan pendidikan tidak
dapat dipisahkan. Adanya manusia secara otomatis membawa adanya
pendidikan. Manusia tidak mungkin dapat hidup layak tanpa adanya pendidikan.
Demikian juga pendidikan tidak akan dapat dijalankan tanpa adanya manusia.
Keberadaan pendidikan diduna ini sangat urgen, sehingga mutlak adanya. Oleh
karena itu dikeluarga, masyarakat, dan bangsa pada umumnya tidak lepas dari
pendidikan.7
6 Syafril dan Zelhendri, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2017), hal. 30
7 Noor Amirudin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2018), hal. 63-64
4
Manusia memiliki kebutuhan dan keinginan untuk berkembang menjadi
lebih baik. Kebutuhan serta keinginan tersebut selalu diupayakan dengan
berbagai cara, salah satunya adalah melalui kegiatan pendidikan. Sangat
disayangkan, apabila pendidikan lebih cenderung dan dominan menggunakan
gaya pendidikan bercerita. Ketimbang gaya pendidikan kritis seperti dialog,
diskusi, debat dan problem solving, yang sejatinya akan membawa perubahan
positif dalam liku hidup manusia sehari-hari.
Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki tujuan pendidikan
tersendiri yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, berilmu, sehat,cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab serta upaya dalam membimbing manusia yang belum dewasa kearah
kedewasaan. Pendidikan adalah suatu bertanggung jawab secara susila.8
Tujuan pendidikan selain membina intelektualitas, mengembangkan
ketrampilan atau membina manusia seutuhnya yng didalamnya juga membina
tanggung jawab yang bersangkutan sebagai manusia ciptaan Allah yang
mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap Allah dan masyarakat sehingga
terbina suatu suasana dan hubungan yang harmonis diantara masyarakat yang
berbudaya.9
Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan disekolah ialah
dengan cara menciptakan proses pembelajaran yang baik. Berbagai konsep dan
wawasan baru tentang proses belajar mengajar disekolah telah muncul dan
berkembang seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan zaman yang menuntut agar tercipta
anak didik yang mampu membawa zaman ini lebih baik lagi, lebih maju dan
berkembang.10
8 Hamid Darmadi, Pengantar Pendidikan Era Globalisas, (Jakarta: Animage, 2019), hal. 16
9 Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 218
10 Mohammad Muchlis Solichin, Teori Belajar Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan
Agama Islam, Jurnal Studi Islam, Vol.5, No. 1, Juni 2018. hal. 2
5
Di era modern ini semakin hari kita digerogoti oleh semangat
kapitalisme barat yang merasuk dan menjadikan kita orang-orang yang
tersubyek. Kita bukan lagi menjadi diri kita, melainkan kita hanya menjadi
representasi dari ambisi dan keserakahan pemilik modal. Semangat kapitalisme
tersebut telah menggejala di segala segi, termasuk pendidikan.
Selama ini, praktek pendidikan yang terjadi lebih nampak sebagai
doktrin atau alat hegemoni bagi kelas penguasa. Dimana peserta didik senantiasa
di-driill dan dilatih untuk menjadi penurut. Dalam konteks ini, pendidikan tidak
lagi menjadi proses pendewasaan manusia, melainkan alat sebuah sistem
penindasan. Bila kondisi pendidikan demikian, maka pendidikan sama sekali
menafikan keberadaan peserta didik sebagai seorang manusia yang memiliki
potensi untuk berfikir dan memiliki kesadaran, yang mengakibatkan peserta
didik tidak mempunyai kesadaran untuk maju.11
Pendidikan merupakan proses humanisasi atau biasa disebut dengan
proses pemanusiaan manusia. Proses ini tidak sekedar yang bersifat fisik, akan
tetapi menyangkut seluruh dimensi dan potensi yang ada pada diri dan realitas
yang mengitarinya. hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan anak
manusia, yaitu menyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka
adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya
Konsep pendidikan humanis tidak bisa dipisahkan dari makna kata
humanis itu sendiri sebagai kata sifatnya. Lorenz Bagus menggambarkan bahwa
kata humanis paling tidak dapat digambarkan sebagai salah satu karakteristik
yang dimiliki oleh aliran dalam filsafat yang bertujuan menghidupkan rasa
kemanusiaan dengan pergaulan yang lebih menghargai sisi kemanusiaan itu
sendiri. Pendidikan humanis pada dasanya merupakan suatu respon pendidikan
terhadap sisi kemanusiaan manusia mengingat manusia pada dasarnya disebut
11 Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Pena, 2000), hal. 4
6
sebagai makhluk pedagogik yang dapat diartikan sebagai makluk yang dapat
mengajar sekaligus diajar.12
Pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas
merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggung jawab penuh
atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendidikan yang
humanistik menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama
adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi dan
antar kelompok di dalam komunitas sekolah. Relasi ini berkembang dengan
pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cinta kasih
antara mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif
tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta, hati yang penuh
pengertian (understanding heart) serta relasi pribadi yang efektif (personal
relationship).13
Sistem Pendidikan di seluruh dunia memiliki pola-pola pendidikan yang
berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakat di negara tersebut. Adapun
konsep pendidikan menurut Paulo Freire, yaitu tokoh pendidikan brasil dan
teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia. Ada beberapa tema sentral
dalam konsep pendidikan pembebas dalam pemikiran Paulo Freire yaitu
humanisasi.14
Melihat kenyataan yang ada, para pemikir pendidikan berusaha
mengagas pemikiran tentang pendidikan bagi harkat kemanusiaan, dalam hal ini
muncullah sosok Pendidikan humanis yaitu Paulo Freire. Hakikat utama yang
diperjuangkan Paulo Freire dalam pendidikan adalah membangkitkan kesadaran
kritis sebagai prasyarat proses humanisasi atau memanusiakan manusia.
12 Abd. Rasyid , Pendidikan Humanis dalam Pandangan Paulo Freire, Jurnal Ekspose,
Volume 17, Nomor 1, Januari – Juni 2018, hal. 517
13 Abd. Qodir, Teori Belajar Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa, Jurnal
Pedagogik, Vol. 04, No. 02, Juli-Desember 2017, hal. 193
14 Tukiman Taruna, Analisi Organisasi dan Pola-pola Pendidikan, (Semarang: UKS, 2017), hal.
82-83
7
Kunci pokoknya adalah konsientisasi atau pembangkitan kesadaran
kritis. Seperti halnya pendidikan yang diusung oleh Paulo Freire yaitu
pendidikan kaum tertindas, dijalankan dengan kemurah-hatian otentik,
kedermawanan humanis (bukan humanitarian), menampilkan diri sebagai
pendidikan manusia. Begitulah proses pendidikan humanis yang seharusnya.15
Paulo Freire menyebutkan bahwa pendidikan lama itu adalah pendidikan
dengan system bank. Dalam pendidikan itu guru merupakan subyek yang
memiliki pengetahuan yang diidikan kepada murid. Murid adalah wadah atau
suatu tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu murid hanya sebagai objek
belaka. Sangat jelas dalam pendidikan semacam itu, bagi Freire tidak terjadi
komunikasi yang sebenarnya antara guru dan murid. Praktik pendidikan
semacam itu mencerminkan penindasan yang tejadi di masyarakat sekaligus
memperkuat struktur-struktur yang menindas.16
Peserta didik telah menjadi obyek demi kepentingan ideologi, politik,
industri dan bisnis. Salah satu contoh paling nyata adalah asumsi bahwa apa
yang diajarkan jauh lebih penting dari siapa yang diajar. Prestasi pendidik juga
diukur dari nilai yang didapat peserta didiknya. Pendidik sebagai pendidik tidak
mampu menghentikan dehumanisasi ini karena pendidik sendiri terjebak
sebagai obyek dalam sistem pendidikan nasional. Makin jarang dijumpai
pendidik yang (humanis) mengajar dengan cinta kasih.
Pendidik yang memberikan sepenuh waktu dan hidupnya untuk
kesejahteraan hidup peserta didiknya. Pendidik yang merasa gembira ketika
peserta didiknya berhasil dan pendidik yang merasa bersedih ketika
menyaksikan peserta didiknya gagal dalam mencapai tujuan dan cita-citanya.
Pendidik yang demikian hanya akan lahir dalam suasana pembentukan yang
memang mengedepankan aspek pemanusiaan dan pembudayaan.
15 Khusnul Mualim, Gagasan Pemikiran Humanistik Dalam Pendidikan, Journal Of Basic
Education, Vol. 01, No. 02 Januari-Juni 2017, hal. 4
16 Ibid., hal. 84
8
Dalam memilih nilai manusia harus memilih nilai yang berharga yaitu
nilai-nilai kemanusiaan untuk menjadi manusia yang seutuhnya dan dengan
nilai proses pendidikan manusia bisa menjadi manusia seutuhnya. Namun
hingga saat ini pendidikan belum mampu mencapai titik idealnya yakni
memanusiakan manusia agar menjadi manusia seutuhnya. Maka dari itu dalam
dunia pendidikan diperlukan sebuah paradigma humanis yaitu sebuah
paradigma yang memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk ciptaan
Allah dengan fitrah-fitrahnya atau potensi tertentu.17
Proses penyadaran yang mengarah sekaligus memproduksi suatu konsep
pembebasan yang dinamis agar tercipta iklim kemanusiaan yang lebih utuh.
Pendidik dan peserta didik ditempatkan dalam posisi belajar bersama (learning
together), keduanya berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan
secara horizontal tanpa adanya perendahan martabat salah satunya. Karenanya,
seorang pendidi kharus menjadi fasilitator dan partner belajar yang baik dalam
proses pendidikan guna tercapainya sebuah kesadaran diri peserta didik sebagai
manusia yang multipotensi.
Konsep pendidikan humanis harus praktis dalam proses pendidikan. Jika
tidak maka percuma sebuah konsep dibuat. Dalam implementasinya, seorang
pendidik harus menjadi qudwah atau teladan yang baik, dengan
mengedepankan cinta dan kasih sayang dalam proses mengajar. Pendidik harus
mampu memunculkan rasa empati, mampu memberi motivasi, menumbuhkan
sikap toleransi, memposisikan sebagai teman belajar, menciptakan suasana
belajar dialogis, mampu mengkombinasikan antara perasaan (keinginan peserta
didik) dengan bahan pengajaran, dan Pendidik dengan segala kerendahan hati
dituntut transparan atas segala kekurangan.18
Untuk tujuan itu, pendidikan ini mendorong para pendidik dan peserta
didik untuk menjadi subyek dari proses pendidikan dengan membuang
17 Ali Maksum dan Luluk Yunan, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post
Modern, (Yogyakarta: Ircisod,2015), hal. 187
18 Nur Zaini, Konsep Pendidikan Humanis Dan Implementasinya Dalam Proses Belajar
Mengajar , Jurnal Kependidikan, Pembelajaran, dan Pengembangan, Vol 01, No 01, 2019, hal. 71-72
9
ototarianisme serta intelektualisme yang mengasingkan. Hasil yang diharapkan
dari pendidikan hadap masalah dari perspektif Freire ini adalah peserta didik
diharapkan tidak demikian saja menerima keberadaannya, tetapi berani untuk
secara kritis mempertanyakan keberadaannya, bahkan mengubahnya.
Pendidikan hadap-masalah dianggap berhasil ketika murid tidak menjadi
penghafal informasi, tetapi ketika ia tahu dengan kritis informasi yang
dimilikinya, apa kaitan informasi itu dengan dirinya, serta bagaimana
memanfaatkannya untuk melakukan suatu perubahan.
Pendidikan Islam di Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan
dakwah Islamiyah yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist namun keduanya
belum benar-benar digunakan sebagaimana mestinya. Selain itu fenomena
konflik, kekerasan, kehidupan dewasa ini yang diakibatkan karena rendahnya
interaksi manusia.19
Secara harfiah, Islam berasal dari bahasa Arab salima, yang antara lain
berarti to be safe (terpelihara), and sound (dan terjaga), unharmed (tidak celaka),
safe (terjaga). Islam adalah agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan
kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul, Demikian
definisi agama Islam yang dikemukakan oleh Harun Nasution. Selanjutnya,
dalam ajaran Islam senantiasa mengarahkan manusia pada akhlak yang baik
(akhlaq mahmudah) dan menjauhi akhlak yang buruk (akhlaq mazmumah).20
Berangkat dari pernyataan tersebutlah maka, seharusnya agama Islam
menjadi spirit manusia dalam melakukan hal-hal baik seperti tolongmenolong,
tenggang rasa, mencintai sesama, mencintai perdamaian, hidup rukun, bukan
malah sebaliknya. Untuk menjawab berbagai macam permasalahan tersebut
ilmu pendidikan islam menawarkan pendekatan normative perenialis dalam
19 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 1
20 Rinaldi Datunsolang, Konsep Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Islam, Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam, Volume 5, Nomor 1, Februari 2017, hal. 141
10
membangun dan mengembangkan konsep pendidikannya. Yang dapat dimaknai
sebagai pengalaman dari ayat Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 30
لقخ ها ل ت بدخيل لخ فطر الناس علي خ التخ فا فخطرت الل فاقخم وجهك لخلدخينخ حنخي
خ ذلخك الدخين القيخم ولكخن اكث ر الناسخ ل ي علمون – ٣٠ الل
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah, tetaplah terhadap fitrah Allah yang telah menciptakan kamu
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus , tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Ilmu pendidikan islam juga meliputi seluruh aspek atau dimensi manusia
yaitu akal, fisik, akhlak, agama, jiwa, estetika dan kemasyarakatan. Oleh karena
itu pendidikan islam sedikit atau banyak memiliki kaitan dengan disiplin ilmu
yang membahas semua dimensi manusia.
Pendidikan Islam seperti cara yang dijalankan, Maka hanya akan
melahirkan peserta didik yang hanya mampu mengerti dan memahami sesuatu
pada dataran teks dan konteks, namun belum mampu menjawab problem dan
mengatasi yang mereka hadapi sendiri, oleh karena pendidikan tidak melahirkan
produk yang diajarkan untuk memecahkan persoalan dalam kehidupannya.
Untuk mencapai, maka pendidikan bukan sekedar menekankan kepada
teks dan konteks semata, tetapi mulai sekarang hendaknya pendidik dan
lembaga pendidikan Islam, mulai mengarahkan kepada materinya kepada
kontekstual dari tantangan kehidupan yang akan dihadapi oleh peserta didik
setelah mereka keluar dari pendidikannya.21
Orientasi pendidikan mestinya tidak sekedar untuk memenuhi pangsa
pasar tenaga kerja, tetapi lebih dari itu, sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan, penanaman nilai-nilai dan pengalaman, pengembangan
ketrampilan, kebudayaan peserta didik. Kemampun mengartikulasikan
21 Mulyadi, Pendidikan Islam: Sebuah Tantangan Bagi Pewarna Peradaban, Jurnal Madania,
Volume 2, No. 1, tahun 2012, hal. 47
11
pendidikan Islam yang membebaskan dalam konsep yang jelas menjadi
keharusan, mengingat Islam bukan agama yang statis melainkan sistem nilai
yang dinamis, humanis dan transformatif. Kehadiran konsep pendidikan
pemebebasan sangat relevan bagi khazanah pendidikan Islam, penyebabnya
adalah, Islam mempunyai potensi sebagai agama pembebas, hal ini dapat dilihat
pada ajaran-ajaran Islam yang revolusioner, seperti ajaran tentang keadilan, anti
diskriminasi, pluralisme, perlindungan terhadap yang lemah dan anti kekerasan.
Dari sinilah pendidikan kritis hadir untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat untuk peduli dan kritis terhadap segala persoalan yang terjadi dalam
lingkungan mereka. Freire mengharapkan pendidikan kritis bisa membenahi
carut-marut kehidupan bangsa terutama pendidikan. Bagi Freire, selaku tokoh
penggagas pendidikan kritis, Pendidikan haruslah berorientasi kepada
pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri.
Pengenalan akan realitas bagi Freire tidak hanya bersifat objektif atau
subjektif, tapi harus kedua-duanya secara sinergis. Sehingga dapat dikatakan
bahwa pendidikan kritis pada dasarnya merupakan salah satu paham dalam
pendidikan yang mengutamakan pemberdayaan peserta didik agar dapat berfikir
kreatif, mandiri, dan produktif yang dapat membangun diri dan masyarakatnya.
Selain itu, Islam sebagai agama besar mempunyai pengikut yang harus
diselamatkan dari kehancuran, karena kaum penindas kian hari semakin
bertambah. Selanjutya, Menggali dan mengembangkan paradigma pendidikan
Islam yang membebaskan dalam menyiapkan generasi Islam di masa depan.
Kehadiran pendidikan humanis adalah solusi terhadap hilangnya nilai-nilai
kemanusiaan dalam proses pendidikan.
Paulo Freire dalam konsep pendidikannya lebih menekankan pada
pembentukan kesadaran kritis, dan dalam prespektif pendidikan Islam sama
sekali tidak bertentangan bahkan bersifat integratif, karena Islam memberikan
penghargaan terhadap manusia secara wajar, mengutamakan kemanusiaan,
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadailan. Dengan demikian,
Pendidikan sudah saatnya perlu dikembangkan dengan nalar kritis agar dapat
membangun peradaban baru yang memberikan kebebasan secara lebih tegas,
12
Peserta didik harus diperlakukan sebagai subjek yang memiliki peran
sendiri, dapat mengatur kegiatannya sendiri, bukan sebagai objek yang
segalanya ditentukan oleh pendidik. Model pendidikan ini menghargai potensi
yang ada pada setiap individu, artinya potensi-potensi individual seorang peserta
didik tidak dimatikan dengan berbagai bentuk penyeragaman dan sanksi-sanksi,
akan tetapi dibiarkan tumbuh berkembang secara manusiawi.
Untuk itu dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti dengan judul
“Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam”
B. Identifikasi Masalah
1. Pendidikan yang kaku sehingga membuat siswa tidak berpikir kreatif
2. Pendidikan tidak hanya terpaku didalam ruangan saja tetapi dimanapun
tempat bisa untuk mengetahui sesuatu yang baru
3. Pendidikan bukan hanya ranah kognitif saja tetapi juga mementingkan
afektif siswa
4. Antara pendidik dan siswa masing-masing belum mengetahui bagaimana
mengimplementasikan konsep humanis Paulo Freire
5. Pendidikan humanis Paulo Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disebutkan diatas dalam
penelitian ini penulis membatasi masalah berupa Pendidikan Humanis Paulo
Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam . dengan fokus membahas pengertian
pendidikan, pengertian humanis, pengertian pendidikan islam, dan pendidikan
humanis Paulo Freire terhadap pendidikan islam.
D. Rumusan Masalah
Adapun berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas
maka dapat dirumuskan pokok-pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini
sebagai berikut;
1. Bagaimana Pendidikan Humanis Menurut Paulo Freire?
2. Bagaimana Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam Persepktif Pendidikan
Islam?
13
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui;
a. Konsep pendidikan humanis menurut Paulo Freire
b. Pendidikan humanis Paulo Freire dalam perspektif pendidikan Islam
F. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritik yaitu sebagai berikut;
Memberikan sumbangan pemikiran dan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan pendidikan, untuk kemajuan pendidikan secara umum dan
pendidikan islam secara khusu
b. Secara praktis , yaitu sebagai berikut;
- Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
dalam pengembangan ilmu pengetahuan
- Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian
untuk merumuskan kembali konsep pendidikan humanis
- Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi bagi semua
kalangan pemerhati pendidikan, khusunya dalam upaya pengkajian
secara lebih komperhensif dan serius terhadap konsep-konsep
pendidikan humanis.
14
BAB II
KAJIAN TEORI
A. PENDIDIKAN HUMANIS
1. Pengertian Pendidikan
Secara Bahasa pendidikan berasal dari Bahasa yunani, pedagogy, yang
mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah dianta oleh
seorang pelayan. Pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan
paedagogos. Dalam Bahasa romawipendidikan diistilahkan sebagai educate
yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada didalam. Dalam Bahasa inggris
pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih
intelektual.1
Kata education yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan
pendidikan merupakan kata benda turunan dari kata kerja Bahasa latin educare.
Bisa jadi secara etimologis kata pendidikan berasal dari dua kata kerja yang
berbeda, yaitu kata educare, berati menjinakkan dan educere yang berarti
keluar dari.2
Pendidikan nasional pada Bab I pasal I dikemukakan, bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan susasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secaa aktif
Mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.3
Pendidikan dalam KBBI diartikan sebagai proses perubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pegajaran dan pelatihan. Adapun dalam KBBI terbitan balai
pustaka menjelaskan bahwa, kata pendidik berasal dari kata dasar didik, yang
1 Abdul Kadir, Ahmad Fauzi, dkk, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 59
2 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2007), hal. 53
3 Amos Neolaka dan Grace Amialia, Landasan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2017), hal. 15
15
artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.4
Pendidikan yang dirumuskan dalam The International Standard
Classification Of Education (ISCE)-UNESCO adalah “Education As
Organized and sustained communication designed to bring about learning”
pendidikan adalah komunikasi terorganisasi dan berkelanjutan yang dirancang
untuk menumbuhkan belajar. Dengan demikian hasil pendidikan yang
berwujud proses adalah kegiatan belajar yang ditampilkan oleh peserta didik
dan lulusan lembaga pendidikan.5
Menurut Richey istilah pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas
dari pada proses yang berlangsung di dalam sekolah, suatu aktivitas sosial yang
memungkinkan masyarakat tetap ada dan berkembang sehingga memberikan
orientasi kepada kita bahwa pendidikan selalu saling berhubungan dengan
proses pendidikan formal dan informal di luar sekolah.6
Menurut Lodge bahwa hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah
proses hidup dan kehidupan yang berjalan bersama, tidak terpisah satu sama
lain karena berlangsung didalam dan oleh proses masyarakat, sehingga
sekurang-kurangnya tiap pribadi manusia terlibat dengan pengaruh pendidikan.
Jadi pendidikan meliputi seluruh umat manusia, sepanjang sejarah dan
sepanjang hidup manusia.7
Aliet Noorhayati Sutrisno dalam bukunya Telaah Filsafat Pendidikan,
mengungkapkan beberapa pengertian pendidikan diantaranya;
a. Pendidikan dari segi Bahasa bersal dari kata dasar didik, dan di beri awalan
men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan
memberi latihan. Pendidikan sebagai kata benda, brarti proses perubahan
sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
4 Ibid., hal. 15
5 Imtima, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Bandung: Imperial Bakti Utama, 2007), hal. 19
6 Muhammad Anwar, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2017), hal. 124
7 Ibid., hal. 126
16
b. Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis
untuk memotivasi, membina, membantu, dan membimbng seseorang.
c. Pendidikan adalah usaha pendewasaan manusia seutuhnya (lahir dan batin)
baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri, dalam arti tuntunan agar
anak didik memiliki kemerdekaan berpikir, merasa, berbicara, dan
bertindak, serta percaya diri dengan dengan penuh rasa tanggung jawab
dalam setiap tindakan dan perilaku kehidupan sehari-hari.
d. Pendidikan disebut juga dengan istilah attarbiyah, at-ta’lim, dan at-tadib.
Kata at-tarbiyah sebangun dengan kata ar-rabb, rabbayani, nurabbi,
rabbiyyun, dan rabban Merupakan pertumbuhan dan perkembangan.8
Al-jauhari mengatakan pendidikan adalah tarbiyah, dengan memberi
makna memelihara dan mengasuh. Apabila istilah attarbiyah diidentikkan
dengan bentuk madhinya rabbayani (Q.S Al-Isra’:24) dan bentuk mudhari’nya
(Q.S As-syu’ara: 18) Almarbiyah mempunyai arti mengasuh, menanggung,
memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, membesarkan dan
menjinakkan, seseorang disebut Rabbani jika mendidik manusia dengan ilmu
pengetahuan dari sekecil-kecilnya sampai menuju yang lebih tinggi.9
Muhammad Naquib Al-Attas medefinisikan pendidikan sebagai At-
ta’lim yaitu proses pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar.
Menurutnya jika istilah ta’lim disamakan dengan istilah tarbiyah, ta’lim
mempunyai makna pengenalan tempat segala sesuatu, sehingga maknanya
menjadi lebih universal daripada istilah tarbiyah, karena kata tarbiyah tidak
meliputi segi pengetahuan hanya mengacu pada kondisi eksternal.10
Jadi, pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses
yang berlangsung didalam sekolah, suatu aktivitas sosial yang memungkinkan
masyarakat tetap ada dan berkembang sehingga memberikan orientasi kepada
kita bahwa pendidikan selalu saling berhubungan dengan proses pendidikan
formal dan informal diluar sekolah dan usaha pendewasaan manusia seutuhnya
8 Aliet Noorhayati Sutrisno, Telaah Filsafat Pendidikan, (Yogyakart: Deepublish, 2014), hal. 12-
13.
9 Ibid., 14
10 Ibid., 14
17
(lahir dan batin) baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri, dalam arti
tuntunan agar anak didik memiliki kemerdekaan berpikir, merasa, berbicara,
dan bertindak, serta percaya diri dengan dengan penuh rasa tanggung jawab
dalam setiap tindakan dan perilaku kehidupan sehari-hari.
2. Pengertian Humanis
Humanisasi berasal dari kata yunani, humanitas berarti makhluk. Dalam
Bahasa Inggris human berarti manusia, humane berarti peramah, orang
penyayang, humanism berarti peri kemanusiaan. Humanisasi (insaniyyah)
artinya memanusiakan manusia yang mana dalam pengertian ini humanis
diartikan sebagai sebuah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik.11
Kata humanis dalam kamus ilmiah popular berarti suatu doktrin yang
menekankan pada kepentingan-kepentingan manusia dan ideal. Dalam
pengertian lain humanis adalah orang yang mendambakan dan
memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan
asas perikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama manusia.12
Dalam istilah psikologi kata humanis berarti membantu manusia
mengekpresikan dirinya secara kreatif dan merealisasikan potensiny secara
utuh.13 Humanisme adalah salah satu istilah dalam sejarah intelektual yang
sering digunakan dalam berbagai bidang, khusunya filsafat, pendidikan dan
literatur. Kenyataan ini menjelaskan berbagai macam makna yang dimiliki oleh
atau dibeikan kepada istilah ini humanisme ini memiliki unsur-unsur kesamaan
yang berkaitan dengan konsern dan nilai-nilai kemanusiaan yang biasanya
dimaksud untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.14
Humanisme, penumbuhan rasa kemanusiaan. Proses kemanusiaan yang
harus ditumbuhkan sejak seorang anak berada di bangku pendidikan awal.
11 Yeti Dwi Herti, Nilai-nilai Pendidikan Humanis dalam Surah An-Nisa Ayat 63, Jurnal
Kependidikan, Vol. 7, No. 1, Mei 2019. hal. 158
12 Yushinta Eka Farida, Humanisme dalam Pendidikan Islam, jurnal tarbawi , Vol.12, N0.1 Januari-
Juni 2015, hal.108
13 Carole Wade dan Carol Tavris, Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 2014), hal. 23
14 Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolastisisme, (Yogyakarta: Kanisus, 2004), hal. 17
18
Humanisme berarti memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan,
ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia dengan melawan 3 hal
yaitu dehumanisasi (Objektivasi teknologis, ekonimo, budaya atau negara),
agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas), loneliness (privatisasi,
individuasi).15
Humanisme berarti menganggap individu rasional sebagai nilai
tertinggi, menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir, dan mengabdi
pada pemupukan perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu
secara rasional dan juga dapat diartikan sebagai cara hidup berdasarkan
kemampuan-kemampuan manusia dan sumber-sumber masyarakat dan alam.
3. Pengertian Pendidikan Humanis
Secara umum pendidikan bertujuan membantu manusia untuk
mendapatkan eksistensi kemanusiaannya secara utuh. Oleh sebab itu sebagai
mahluk yang diberikan akal untuk berpikir, pendidikan tentu akan menjadi
jalan bagi manusia dalam upaya untuk memaksimalkan potensi yang di
berikan. Wawasan humanisme dalam pendidikan mengusung prinsip
pemberdayaan tiap manusia sebagai individu yang bebas untuk
mengembangkan potensinya.16
Pendidikan merupakan sebuah proses dialektika manusia untuk
mengembangkan kemampuan akal pikirnya, menerapkan ilmu pengetahuan
dalam menjawab problem-problem sosial, serta mencari hipotesa-hipotesa
baru yang kontekstual terhadap perkembangan manusia dan zaman. Sebuah
institusi dalam dunia pendidikan yang bernama sekolah adalah salah satu
faktor pendorong ke arah kemajuan menuju masyarakat yang sejahtera secara
ekonomi, berdaulat.
Pendidikan humanis adalah pendidikan yang memanusiakan manusia
yaitu menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dengan memfasilitasi siswa untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki siswa tanpa tertekan atapun merasa
15 Asep Suraya Maulana, Analisis Kritis Permasalahan Humanisasi Ilmu Agama, Jurnal Islamic
Studies, Vol.4, No.1 2018, hal. 53
16 Saifullah Idris dan Tabrani, Realitas Konsep Pendidikan Humanis Dalam Konteks Pendidikan
Islam, Jurnal Edukasi Bimbingan Konseling, 2017, hal. 100-103
19
tidak nyaman. Dalam kata lain bahwa pendidikan humanis ini mengutamakan
kepentingan manusia sebagai seseorang yang yang senantiasa harus
mendapatkan segala haknya sebagai manusia yang merdeka.17
Pendidikan humanis bermakna menekankan pentingnya pelestarian
eksistensi manusia dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih
berbudaya, sebagai manusia yang utuh dan berkembang. Konsep ajaran
humanis menjelaskan bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam
merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Pendidikan
humanis sebagai pemikiran pendidikan dari dua aliran yaitu, progresivisme
dan kooperatif.18
Penerapan teori humanis dalam ranah pendidikan, sebagaimana
pandangan Gage dan Berliner terdapat beberapa prinsip dasar dari pendekatan
humanistik yang bisa diterapakan untuk mengembangkan pendidikan,
diantaranya:
a. Peserta didik akan belajar dengan baik, apa yang ia inginkan dan perlu ia
ketahui. Saat ia telah mengembangkan kemampuan untuk menganalisa apa
dan mengapa sesuatu penting untuknya, sesuai dengan kemampuan yang
ada, kemudian untuk mengarahkan perilakunya untuk mencapai hal-hal
yang diinginkan. Peserta didik akan belajar dengan lebih mudah dan cepat.
Sebagian besar pendidik dan ahli teori belajar akan setuju dengan dengan
pernyataan ini, meskipun mereka mungkin akan tidak setuju tentang apa
tepatnya yang menjadi motivasi peserta didik tersebut.
b. Mengetahui bagaimana cara belajar, ini lebih penting dari pada
membutuhkan banyak pengetahuan. Dalam dunia sosial dewasa ini,
keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dan berganti
dengan begitu sangat cepat, pandangan ini banyak dirasakan diantara
kalangan pendidik atau guru, terutama datang dari sudut pandang kognitif.
17 Afif Badawi Trisanta, Implementasi Pendidikan Humanis di SMA Negeri 6 Yogyakarta, Jurnal
Kebijakan Pendidikan, Vol. VI 2017, hal. 221
18 Zainul Arifin, Nilai Pendidikan Humanis-Religius, Jurnal An-Nuha, Vol.1, N0.2 Desember 2014,
hal. 64
20
c. Evaluasi diri, ini adalah satu-satunya evaluasi untuk pekerjaan bagi peserta
didik. Penekanannya adalah fokus kepada perkembangan internal dan
regulasi diri. Terkait dengan konteks ini, banyak tenaga pengajar yang
sepakat bahwa model evaluasi ini adalah hal yang penting, mereka juga
akan mengawal bahwa ini adalah sebuah kebutuhan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menghadapi dunia
eksternal. Pertemuan dengan pengharapan eksternal seperti ini
menghadapkan pertentangan pada sebagian besar teori humanistik.
d. Perasaan, ia adalah sama penting dengan kenyataan. Banyak tugas
dari pandangan humanistik seakan menvalidasi poin ini dan dalam satu
area, pendidik yang berorientasi humanistik membuat sumbangan yang
berarti untuk dasar pengetahuan yang ada.
e. Murid akan belajar dengan lebih baik dalam lingkungan yang tidak
mengancam. lni adalah salah satu area dimana seorang pendidik
humanistik telah memiliki dampak dalam praktik pendidikan. Orientasi
yang mendukung saat ini adalah lingkungan harus tidak mengancam baik
secara psikologis, emosional dan fisik.19
Dalam konteks islam, pendidikan humanis bersumber dari misi utama
kerasulan Nabi Muhammad SAW yaitu memberikan rahmat dan kebaikan bagi
seluruh alam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Saba’/34:28
يا ونذ ي را ولك نا اكث را الناس ا لا وما ا ارسلنكا ا لا كافةا ل لناس ا بش ي علمونا -٢
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS.
Saba’/34:28) Konsep nilai humanis yang dimaksud di dalam Islam adalah
memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi.
Humanisme merupakan ungkapan dari sekumpulan nilai Ilahiah yang ada
dalam diri manusia yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan dan
19 Subaidi, Konsep Pendidikan Islam Dengan Paradigma Humanis, Jurnal Tarbawi, Vol. II. No. 2,
Jull - Desember 2014, hal 12-13
21
moral manusia, yang tidak berhasil dibuktikan adanya oleh ideologi modern
akibat pengingkaran mereka terhadap agama.20
Paulo Freire, seorang pakar pendidikan dari Brazil yang disebut orang
sebagai tokoh multicontinental, berhasil melihat fenomena pendidikan sebagai
sasaran kritik pedasnya dalam karyanya yang terkenal Pendidikan Kaum
Tertindas. Meurut Freire, pendidikan yang dimulai dengan kepentingan
egoistis kaum penindas dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek
humanitarianisme mereka, justru memperhaturkan dan menjelmakan
penindasan itu sendiri.21
Paulo Freire menyebutkan bahwa pendidikan lama itu adalah
pendidikan dengan system bank. Dalam pendidikan itu guru merupakan
subyek yang memiliki pengetahuan yang diberikan kepada murid. Murid
adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu murid
hanya sebagai objek belaka. Sangat jelas dalam pendidikan semacam itu, bagi
Freire tidak terjadi komunikasi yang sebenarnya antara guru dan murid. Prakik
pendidikan semacam itu mencerminkan penindasan yang tejadi di masyarakat
sekaligus memperkuat struktur-struktur yang menindas.22
Untuk mengganti system pendidikan seperti itu Freire menyebutkan
mempunyai alternatif yaitu system baru yang dinamakan “problem-posing
education” atau “pendidikan terhadap masalah” yang memungkinkan
konsientisasi, guru dan murid bersama-sama menjadi subyek yang disatukan
oleh obyek yang sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang tinggal
menelan, tetap mereka berpikir bersama. Guru dan murid harus secara
serempak menjadi murid dan guru, begitulah system pendidikan humanis.23
Dari definisi pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
merupakan suatu proses pengembangan diri manusia agar berkembang sesuai
20 Hamam Burhanuddin, Konsep Pendidikan Nilai Humanis Dalam Al-Qur’an, Jurnal Pendidikan
Islam, Volume 3 nomor 1, edisi Januari – Juni 2018, hal. 62
21 Baharuddin, Pendidikan Humanistik, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2017), hal.14
22 Tukiman Taruna, Analisi Organisasi dan Pola-pola Pendidikan, (Semarang: UKS, 2017), hal.
84
23 Ibid., hal. 84
22
dengan koderatnya yang terdari dari jasmani, akal dan hati dengan tujuan
mengembangkan pandangan hidup, sikap dan keterampilan hidup.
Sedangan istilah humanis berasal dari kata latin “humanus” yang
mempunyai akar kata homo yang mempunyai makna manusia. Sehingga kata
humanus dapat diartikan sebagai sifat manusiawi atau sesuai sesuai dengan
kodrat manusia.. Dengan demikian, Kata humanis mempunyai makna segala
sesuatu yang menyangkut tentang kemanusiaan.
Dari dua definisi diatas “pendidikan dan humanis” dapat disimpulkan
bahwa pendidikan humanis adalah proses pengembangan diri manusia
seutuhnya. Dalam artian, pendidikan merupakan proses untuk menjadikan
manusia sebagaimana manusia yang sebenarnya yang mempunyai koderat
jasmani, akal dan hati. Pendidikan harus menggunakan pendekatan
kemanusiaan agar tercipta manusia yang utuh dengan segala potensinya.
Dalam paradigma humanis, manusia di pandang sebagai makhluk Tuhan yang
memiliki fitrah-fitrah tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Fitrah
manusia ini hanya bisa dikembangkan melalui pendidikan yang benar-benar
memanusiakan manusia.
4. Dasar dan Tujuan Pendidikan Humanis
a. Dasar Pendidikan Humanis
Dalam pendidikan humanis, yang melandasi dan mendasarinya adalah
kesamaan kedudukan manusia. Ibi berarti bahwa manusia satu dengan manusia
lainnya adalah sama, tidak ada yang sempurna, memilki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Hal ini sebagaimana yang disebutkan didalam
Al-Qur’an surat Al-Hujurat: 13
لا ل ت عارف واا ا نا ي ها الناسا ا نا خلقنكما م نا ذكر ا وان ثى وجعلنكما شعوبا وق باى ي اكرمكما ع ندا الل ا ات قىكمااا نا اللا عل يمرا خب يرا - ١٣
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
23
Dari pemaparan ayat diatas apabila ditarik kedalam frame pendidikan
maka ayat diatas mengandung suatu proses pendidikan humanis yang sangat
mulia sekali. Dari sinilah nilai-nilai pendidikan akan terlihat bilamana konsep
yang telah ada didalam Al-Qur’an telah dijelaskan, hal ini sesuai dengan salah
satu tujuan pendidikan pada umumnya yaitu menjadikan manusia sebagai
makhluk yang senantiasa merdeka, bebas, dihargai dan dijunjung tinggi
martabatnya.
Menurut Paulo Freire, tujuan pendidikan yang humanis adalah untuk
mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat dan keinginan peserta didik
dan Pendidik dengan kesadaran untuk menciptakan ilmu pengetahuan baru.
Kesadaran manusia dibentuk melalui pendidikan dan aksi-aksi budaya yang
membebaskan.
Klaim pendidikan sebagai sebuah praktek pembebasan yang ditujukan
untuk mengkaji ilmu baru, hal ini tidak akan tercapai jika perlakuan terhadap
kesadaran manusia sama seperti perlakuan pendidikan yang dominatif. Freire
menegaskan, Pendidik yang humanis harus tepat dalam memahami hubungan
dalam kesadaran manusia antara manusia dan dunia. Dengan demikian Freire
menekankan akan tujuan pendidikan untuk membentuk kesadaran manusia
guna menciptakan ilmu pengetahuan baru.24
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa tujuan pendidikan humanis
adalah supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup peserta didik, yaitu
selaras dengan kodratnya, serasi dengan adat-istiadat, dinamis,
memperhatikan sejarah bangsa dan membuka diri pada pergaulan dengan
kebudayaan lain.
Sedangkan Hamalik merinci tujuan pendidikan humanis sebagai
berikut;
a. Mengembangkan pengalaman dan seluruh potensi anak didik melalui
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
b. Mengembangkan aktualisasi diri dan kepribadian anak didik.
24 Nur Zaini, Konsep Pendidikan Humanis dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar,
Jurnal Kependidikan, Pembelajaran, dan Pengembangan, Vol. 01, No. 01, Februari 2019, hal. 63
24
c. Mengembangkan keterampilan-ketreampilan dasar seperti aspek
akademik, pribadi, hubungan antar insani, komunikasi dan ekonomi yang
dibutuhkan dalam kehidupan bersama.
d. Melibatkan anak didik dalam kegiatan pendidikan.
e. Menghayati pentingnya perasaan manusiawi dan menggunakan nilai-nilai
dan persepsi personal sebagai faktorfaktor yang terintegrasi dalam proses
pendidikan.
f. Mengembangkan suasana belajar yang kondusif dengan cara menciptakan
suasana belajar yang memberikan tantangan, menumbuhkan pemahaman,
bersifat mendukung serta bebas dari kecemasan.
g. Mengembangakan rasa hormat pada orang lain dan keterampilan
menyelesaikan konflik dalam kehidupan bermasyarakat.25
Adapun tujuan dari pendidikan humanis dalam perspektif psikologi
aalah adalah:
a. Menerima kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa serta menciptakan
pengalaman dan program untuk memperkembangkan keunikan potensi
siswa
b. Memudahkan aktualisasi diri siswa
c. Memperkuat perolehan ketrampilandasar (akademik, pribadi, antarpribadi,
komunikasi dan ekonomi)
d. Memutuskan pendidikan secara pribadi dan penerapannya
e. Mengenal pentingnya persaan manusia, nilai, dan persepsi dalam proses
pendidikan
f. Mengembangkan susasana belajar yang menantang dan bisa dimengerti,
mendukung, menyenangkan, serta bebas dari ancaman
g. Mengembangkan siswa masalah ketulusan, respek, dan menghargai orang
lain, dan terampil dalam menyelasaikan konflik.26
25 Ibid., hal. 63-64
26 Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Grafindo, 1989), hal. 181-182
25
5. Ciri-ciri pendidikan Humanis
Ciri pendidikan humanis bisa dikembalikan pada konsep tentang
manusia, yakni sebagai pribadi yang mandiri dengan kodrat rohani. Dengan ini
ditunjukkan bahwa pembentukan manusia berkeahlian saja tidak cukup tetapi
juga harus bermoral.27 Adapun ciri pendidikan humanis lainnya adalah bahwa
manusia akan semakin paham atas tugas kemanusiaannya dan berguna bagi
manusia lainnya.28
Menurut ahmad Bahruddin ciri-ciri pendidikan yang humanis sebagai
berikut;
a. Membebaskan, selalu dilandasi semangat membebaskan dan semangat
perubahan kearah yang lebih baik. Membebaskan berarti keluar dari
belenggu legal formalistic yang selama ini menjadikan pendidikan tidak
kritis dan tidak kreatif. Sedangkan semangat perubahan telah diartikan pada
kesatuan proses pembelajaran.
b. Adanya semangat keberpihakan, maksudnya adalah pendidikan dan
pengetahuan adalah hak sesame manusia.
c. Adanya kerja sama, maksudnya metodologi yang dibangun selalu
didasarkan kerja sama dalam proses pembelajaran, tidak ada sekat dalam
proses pembelajaran, juga tidak ada dikotomi guru dan murid semua
berproses secara partisifatif
d. System evaluasi berpusat pada subyek didik, karena keberhasilan
pembelajaran adalah ketika subyek didik menemukan dirinya
berkemampuan mengevaluasi dirinya sehingga bermanfaat bagi orang lain.
6. Landasan Pendidikan Humanis
Dalam konsep pendidikan humanis ini, bila ditelusuri terdapat tiga aliran
pendidikan yang dijadikan pendekatan atau sebagai paradigma/landasan
pendidikan nya sebagai berikut;
27 Sudiarja, Budi subanar, dkk, Karya Lengkap Diryakaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2018), hal. 11
28 Sudiarja, Negara Minus Nurani (Jakarta: Kompas, 2009), hal. 175
26
a. Aliran Progresivisme.
Aliran progresivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan
yang berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke-20 dan sangat
berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan. Progresivisme sebagai teori
pendidikan muncul sebagai reaksi yang nyata terhadap pendidikan
tradisional, yang menekankan pada metode-metode pengajaran formal,
mental belajar, dan literatur-literatur klasik. Karena progresivisme sendiri
selalu berhubungan dengan pengertian the liberal road to cultural, yakni
liberal bersifat fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap
terbuka, serta ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan
pengalaman.
b. Aliran Konstruktivisme.
Konstruktivisme dikemukakan pertama kali oleh Giambatista dan
kemudian diperkenalkan oleh Mark Baldwin serta dikembangkan lebih
lanjut oleh Jean Piaget. Dalam teori pendidikan ini, secara ontologis,
heterogenitas yang menjadi dasar pandangan tentang realitas, yang
membuat paradigma konstruktivisme menjadi dinamis. Disini, individu
dipandang sebagai makhluk yang otonom dan mandiri. Dalam hal ini,
belajar menjadi bersifat demokratis sesuai dengan kebutuhan minat dan
diferensiasi individu. Disini anak diperlakukan sesuai dengan kemampuan
bakat dan minat sehingga kegiatan belajar itu dirasakan sebagai sesuatu
yang menyenangkan, karena anak akan berkembang sesuai dengan gerak
dinamikanya masing-masing
c. Aliran Eksistensialisme.
Eksistensialisme pada hakikatnya merupakan aliran filsafat yang
bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan
keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Aliran ini
dikembangkan oleh Kierkegaard, dan Sartre. Eksistensialisme lahir sebagai
reaksi terhadap dua aliran yang memiliki pandangan ekstrem, yaitu
materialisme, yang memandang manusia sebagai obyek dan materi sebagai
27
keseluruhan manusia, dan idealisme, yang dikembangkan Hegel, yang
memandang manusia sebagai subyek kesadaran dengan terlalu
meremehkan eksistensi yang kongkret manusia, mengutamakan idea yang
sifatnya umum, serta menjunjung aspek kesadaran yang sangat berlebihan
sehingga seluruh manusia tergantung dari berpikir.29
B. Pendidikan Islam
1. Pegertian Pendidikan Islam
Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang
menentukan eksistensi dua perkembangan masyarakat tersebut, oleh karena
penddikan merupakan usaha melestarikan dan mengalihkan serta
menstransformasi nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya
sebagai generasi penerus.
Demikian juga halnya dengan peranan pendidikan Islam dikalangan
umat Islam merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam
untuk menanamkan nilai-nilai islam kepada generasi penerusnya sehingga
dapat berfungsi dan berkembang dimasyarakat.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-
nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta
dalam pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam. Manusia
harus dididik melalui proses Pendidikan Islam, yang berarti sistem pendidikan
yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin
kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai
dan mewarnai corak kepribadiannya.30
Adapun pegertian Pendidikan Islam dari Segi Bahasa adalah sebagai
berikut:
a. Al- Tarbiyah
Tabiyah bersal dari kata rabaa, yarbu tarbiyatan yang memiliki
makna tambah (zad) dan berkembang (numu). Maka al-tarbiyah dapat
29 Nur Zaini, Konsep Pendidikan Humanis Dan Implementasinya Dalam Proses Belajar Mengajar,
Jurnal Kependidikan, Pembelajaran, dan Pengembangan, Vol. 01, No. 01, Februari 2019, hal. 64-65
30 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hal. 7
28
berarti proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri
peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. Pengertian
ini didasarkan atas QS. Ar-Rum ayat 39:
تما م نا زكوة ا تر يدونا ا اموال ا الناس ا فلا ي رب وا ع ندا الل اا وما ا ات ي تما م نا ر با ل يب وا ا ف وما ا ات ي كا هما المضع فونا - ٣٩ ى
وجها الل ا فاول
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.
Dalam pengertian ini, pendidikan (al-tarbiyah) merupakan proses
menambahkan, menumbuhkan dan mengembangkan sesuatu (potensi)
yang terdapat pada peserta didik baik secara psikis, fisik,spiritual maupun
sosial.
b. Al- Ta’lim
Kata ta’lim yang jamaknya ta’alim atau asal katanya yaitu ‘allam,
yu’allimu, ta’liman. Dengan demikian kata al-ta’lim menunjukkan sebuah
proses pengajaran, yaitu menyampaikan sesuatu berupa ilmu pengetahuan.
c. Al- Tahdzib
Kata al-tahdzib secara harfiah berarti pendidikan akhlak, atau
menyucikan diri dari perbuatan akhlak yang buruk, dan berarti pula terdidik
atau terpelihara dengan baik.
d. Al-Riyadhah
Al-Riyadhah berasal dari kata raudha, yang mengandung arti tame
(menjinakkan), train (latihan), dan regulate (mengatur). Dalam pendidikan
ar-riyadah diartikan mendidik jiwa anak dengan akhlak mulia.
e. Al- Tadris
Kata al-tadris berasal dari kata darrasa yudarrisu tadrisan, yang
berarti pengajaran atau mengajarkan. Yaitu menyampaikan ilmu
29
pengetahuan kepada peserta didik yang selanjutnya memberi pengaruh dan
menimbulkan perubahan pada dirinya.31
Pendidikan islam memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan
pengertian pendidikan secara umum. Beberapa pakar pendidikan islam
memberikan rumusan pendidikan islam, diantaranya Zakiah Dradjat,
mendefinisikan bahwa pendidikan islam adalah sekaligus pendidikan Iman dan
pendidikan amal. Dan karena ajaran islam berisi ajaran tentang sikap dan
tingkah laku pribadi masyarakat menuju kesejahteraan hidup perorangan dan
hidup bersama, maka pendidikan islam adalaha pendidikan individu dan
pendidikan masyarakat.32
Muhamad Quthb dalam salah satu bukunya mengenai pendidikan
Islam, Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah, menyatakan bahwa pendidikan
merupakan pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, ruhani dan
jasmaninya, ahlak dan ketrampilannya serta segala aktivitasnya, baik aktivitas
individu maupun social dan lingkungannya berdasarkan nilai-nilai moral
islam.33
Yusuf Qardhawi, mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan
manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup,
baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.34
Secara umum pendidikan islam sebagai usaha untuk membimbing dan
mengembagkan potensi manusia secara optimal agar dapat digunakan dalam
memerankan dirinya sebagai pengabdi Allah yang setia. Dan diharapkan ia
31 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 7-21
32 Rudi Ahmad Suryadi dan Uci Sanusi, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2018),
hal. 7-8
33 Ibid., hal. 9
34 M. Fathi Halimi, Pendekatan Humanisme dalam Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal Rausyan
Fikr, Vol. 14, No. 1, Maret 2018, hal. 136
30
dapat melaksanakan pengabdian kepada Allah sebagai seorang seniman yang
baik dan berakhlak.35
Suatu pendidikan yang melatih perasan murid-murid dengan cara
sebegitu rupa sehingga didalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan
pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan mereka dipengaruhi
sekali dengan nilai spiritualitas dan semangat kesadaran akan nilai etis Islam
itulah yang disebut dengan pendidikan Islam.36
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam adalah usaha untuk membimbing menuju pertumbuhan kepribadian
peserta didik secara supaya peserta didik hidup sesuai dengan ajaran islam,
pendidikan Islam adalah rangkaian proses transformasi dan internalisasi ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai pada anak didik melalui pertumbuhan dan
pengembangan potensi fitrahnya, baik aspek spiritual, maupun fisiknya, guna
keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya sesuai dengan
nilai-nilai ajaran islam.
Pendidikan islam dengan paradigma humanis, tidak hanya melihat
bahwa pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata lewat pendidikan
intelek dan kecerdasan, melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang
manusia dan hakekat eksistensinya. Pendidikan Islam sebagai suatu pranata
sosial, juga sangat terkait dengan paradigma Islam terkait dengan hakikat
keberadaan (eksistensi) manusia. Sehingga eksistensi pendidikan merupakan
sarana vital dalam upaya menumbuh kembangkan daya kreatifitas peserta
didik, melestarikan nilai-nilai ilahiah dan insaniyah, serta membekali anak
didik yang produktif yang memungkinkan peserta didik dapat hidup sesuai
dengan perkembangan lingkungan dimana ia berada.
2. Dasar Pendidikan Islam
Dasar adalah landasan atau tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar
sesuatu itu berdiri kokoh. Dasar suatu bangunan adalah pondasi yang menjadi
35 Jalaluddin, Teolgi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 78-79
36 Nik Haryanti, Ilmu Pendidikan Islam, (Malang: Gunung Samudra, 2014), hal. .9
31
bangunan itu. Adapun dasar ideal pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
a. Al-Qur’an
Menurut Abdul Wahab Khallaf Al-Qur’an ialah kalam Allah yang
diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril
dengan lafadz berbahasa arab dengan makna yang benar sebagai hujjah
bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, danggap ibadah membacanya dan
urutannya dari surat Al-fatihah sampai An-Nas serta dijamin keasliannya.37
Ajaran yang terkandung didalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua
prinsip yaitu keimanan dan syaria’ah. Ayat Al-Qur’an yang pertama kali
turun adalah berkenaan dengan masalah keimanan juga pendidikan. Allah
berfirman dalam Q.S Al-‘Alaq ayat 1-5
ارب كاالذ ىاخلق سم رااب اخلاا١-ا ق نسانام ناعلق ٢-قاال ا رااوربكاالكرم لقلم اا٣-ا ق اي علماا٤-الذ ىاعلماب نساناماال ٥- علماال
(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
(2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3)
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,(4) Yang mengajar
(manusia) dengan pena.(5) Dia mengajarkan manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Tuhan berkata
hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan pencipta manusia (dari
segumpal darah). Selanjutnya unruk memperkokoh keyakinan dan
memeliharanya agar tidak luntur hendaknya melaksanakan pendidikan dan
pengajaran.38
Al-Qur’an merupakan petunjuk yang lengkap, pedoman bagi
manusia yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat
universal. Ajarannya mencangkup ilmu pengetahuan bagi pengembangan
kebudayaan umat manusia dan merupakan sumber pendidikan yang
terlengkap, baik pendidikan tentang alam semesta, kemasyarakatan
(sosial), moral (akhlaq), maupun spiritual (kerohanian), serta jasmani.
37 Sapiudun Shidiq, Ushul Fikh, (Jakarta: Kencana, 2014) hal. 27
38 Nik Haryanti, Op.Cit., hal. 19
32
Dengan berpegang pada nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-
Qur’an, terutama dalam melaksanakan pendidikan Islam, akan mampu
mengarahkan manusia bersifat dinamis dan kreatif, serta mampu
menciptakan dan mengantarkan outputnya mencapai nilai-nilai ubudiyah
pada khaliknya, serta mampu hidup secara serasi dan seimbang, baik dalam
kehidupan dunia maupun akhirat. Pendidikan Islam yang ideal adalah yang
sepenuhnya mengacu pada pada nilai-nilai dasar Al-Qur’an, hal ini
diperlukan dalam sebuah pendidikan, yaitu mencakup Sejarah Pendidikan
Islam dan nilai-nilai normative pendidikan.
b. Al-Sunnah
Al-Sunnah menurut istilah syara’ adalah sesuatu yang datang dari
Rasulullah, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan
(taqrir).39 Atau dalam artian lain merupakan jalan atau cara yang pernah
dicontohkan Nabi Muhmmad SAW. Nabi sebagai sumber yang menjadi
acuan (suri tauladan) bagi manusia dalam seluruh aktifitas kehidupannya,
sekaligus sebagai petunjuk (pedoman) bagi kemaslahatan hidup manusia
dalam semua aspeknya.
Dari sini dapat dilihat bagaimana posisi dan fungsi hadist Nabi
sebagai sumber pendidikan Islam yang utama setelah Al-Qur’an.
Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisi
keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan Ilahiah yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an, tapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara
terperinci. Dalam pendidikan Islam, sunnah (hadist) Nabi saw, mempunyai
dua fungsi yaitu: (1) menjelaskan sistem pendidikan Islam yang tepat
dalam al-Qur’an dan menjelaskan hal-hal yang tidak dapat di dalamnya; (2)
menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama para
sahabatnya, seperti bagaimana memperlakukan anak, dan pendidikan
keimanan.
Kesemuanya ini dapat dilihat dari bagaimana cara Nabi
melaksanakan proses belajar mengajar, metode yang digunakan sehingga
39 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikh, (Semarang: Thoha Putra, 1994), hal. 40
33
dalam waktu singkat mampu diserap oleh para sahabat. Kharisma
merupakan syarat pribadi yang harus ada pada diri seorang pendidik.
Kesemua itu merupakan figur yang ada pada Nabi yang kemudian menjadi
modal bagi seluruh aktivitas manusia.
c. Ijtihad
Ijtihad berarti usaha keras dan bersungguh-sungguh yang dilakukan
oleh para ulama untuk menetapkan hukum suatu perkara atau ketetapan atas
persoalan tertentu, dari sini dapat diketahui bahwa ijtihad pada dasarnya
merupakan proses penggalian menetapkan hukum syari’ah yang dilakukan
oleh para mujtahid muslim, dengan menggunakan pendekatan nalar dan
pendekatan lainnya, seperti Qiyas, Maslahah al-Mursalah, Urf dan
sebagainya.40
Ijtihad mempunyai arti penting di bidang pendidikan, dimana
pendidikan Islam merupakan sarana untuk membangun pranata sosial dan
kebudayaan manusia. Indikasi ini memberikan arti bahwa maju mundurnya
atau sanggup tidaknya kebudayaan manusia berkembang secara dinamis,
sangat ditentukan dari dinamika sistem pendidikan yang dilaksanakan.
Dengan demikian ijtihad pendidikan Islam juga pada prinsipnya harus tetap
mengacu kepada nilai-nilai al-Qur’an dan Hadist (as-Sunnah).
3. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan islam secara universal adalah, bahwa pendidikan harus
ditujukan untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian
manusia secara menyeluruh dengan cara melatih jiwa, akal, pikiran, perasaan,
dan fisik manusia. Dengan demikian pendidikan harus mengupayakan
tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik yang bersifat spiritual, intelektual,
fisik, ilmu pengetahuan, maupun bahasa baik secara perorangan ataupun
kelompok, dan mendorong tumbuhnya aspek tersebut agar mencapai kebaikan
dan kesempurnaan.41
40 Satria Effendy, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 245
41 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 62
34
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany mencoba memperjelas tujuan
pendidikan Islam dengan membaginya dalam tiga jenis, yaitu;
a. Tujuan individual, yaitu tujuan yang berkaitan dengan kepribadian
individu dan pelajaran-pelajaran yang dipelajarinya. Tujuan ini
menyangkut perubahan yang diinginkan pada tingkah laku peserta
didik, aktivitas, dan pencapaiannya, pertumbuhan kepribadian, dan
persiapan peserta didik di dalam menjalani kehidupannya di dunia dan
di akhirat.
b. Tujuan sosial, yaitu tujuan yang berkaitan dengan kehidupan sosial
peserta didik secara keseluruhan. Tujuan ini menyangkut perubahan-
perubahan yang dikehendaki bagi pertumbuhan, memperkaya
pengalaman, dan kemajuan peserta didik dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat.
c. Tujuan profesional, yaitu tujuan yang berkaitan dengan peserta didik
sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktivitas
di antara aktivitas-aktivitas yang ada di dalam masyarakat.42
Ulama ahli pendidikan islam dari semua lapisan masyarakat islam,
berdiskusi dengan para ahli pendidikan umum, dan telah berhasil
merumuskan tujuan pendidikan islam adalah menanamkan takwa dan
akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia
yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran islam.43
Dari beberapa tujuan pendidikan islam, penulis menyimpulkan
bahwa tujuan pendidikan islam ini secara terpadu dan terarah diusahakan
agar dapat mencapai tujuan akhir pendidikan islam yaitu menggerakkan
manusia agar menjadi khalifah Allah dimuka bumi dengan sebaik-baiknya
yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola bumi sesuai
dengan kehendak Allah, mengarahkan manusia agar berakhlak mulia,
sehingga ia tidak menyalah gunakan fungsi kekhalifahannya, membina dan
42 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Ar-ruzz Media, 2014), hal. 87-88
43 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), hal. 29
35
mengarahkan potensi akal, jiwa, dan jasmaninya sehingga ia memiliki
ilmu, akhlak dan ketrampilan yang semua ini dapat digunakan guna
mendukung tugas pengabdian dan kekhalifannya dan dapat mengarahkan
manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Sehingga Pada hakikatnya tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya
manusia yang baik yaitu manusa yang beribadah kepada Allah dalam
rangka pelaksanaan fungsi kekhalifannya.
4. Ciri- ciri Pendidikan Islam.
a. Sistem Pendidikan Islam Merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist
b. System pendidikan islam memiliki jika tujuan akhir, prinsip
kepemimpinan, kebijaksanaan strategis, pengorganisasian dan system
manajemen penyelengara pendidikan berbasis pada serta dikendalikan
dengan ketentuan-ketentuan menurut al-ahkam al-khamsah
c. Visi misi, strategi, kepemimpinan pada tingkat penanggung jawab tertinggi
dari lembaga penyelenggara merujuk dan menjunjung tinggi ajaran islam,
baik dinyatakan secara eksplisit maupun tidak tentang ayat Al-Qur’an dan
hadist.
d. Tugas-tugas fungsional pengelolaan tingkat operasional sehari-hari
terhadap keseluruhan atau persatu dimensi dari system pendidikan itu,
dipraktekkan dengan menjunjung tinggi ajaran islam yang diunggulkan
secara kompetetif baik yang dinyatakan secara eksplisit mapun secara
implisit44
5. Komponen Pendidikan Islam
Dalam pendidikan islam memiliki komponen-komponen yang saling
berhubungan satu sama lain sesuai fungsinya masing-masing. komponen-
komponen tersebut merupakan pembentuk suatu pendidikan islam. Jika
komponen-komponen tersebut terjalin kerjasama yang baik maa akan
menghasilkan hasil yang maksimal. Adapun komponen-komponen pendidikan
islam sebagai berikut:
44 Hary Priatna Sanusi, Beberapa Ciri Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 11
No.1, 2013, hal.71-74
36
a. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada hakikatnya akan selalu berhubungan erat
dengan kondisi sosio-kultural di mana pendidikan dilaksanakan. Tujuan
pendidikan merupakan perwujudan dari nilai-nilai ideal masyarakat yang
ditentukan oleh dasar dan pandangan hidup manusia, sehingga perbedaan
pandangan hidup ini dapat menyebabkan perbedaan tujuan pendidikan.45
Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan.
Kalau kita melihat kembali pengertian pendidikan Islam secara
keseluruhan, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian
seseorang yang membuatnya menjadi “insan kamil”, yaitu manusia yang
utuh jasmani maupun rohani dan bertaqwa kepada Allah SWT.46
Tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada tujuan dan tugas
manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. Juga harus
memperhatikan sifat-sifat dasar manusia yang oleh Allah dibekali berbagai
macam fitrah, untuk itu, pola pendidikan Islam harus mampu membimbing,
mengembangkan potensi kreatif peserta didik (fitrah) insaniyah tersebut
secara maksimal sesuai kapasitas yang dimilikinya, bukan malah
menghambat atau bahkan mematikan potensi yang dimiliki peserta didik.
Serta berorientasi pada tuntutan masyarakat dan zaman, tuntutan ini berupa
pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan
masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya.
Sehingga tiap individu mampu berkomunikasi dengan baik terhadap
manusia lainnya sehingga menjadi pribadi yang senantiasa bertaqwa
kepada Allah SWT, dan mencapai kehidupan sukses di dunia dan di akhirat.
b. Tenaga Pendidik
45 Baharuddin, Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, (Yogyakarta: Ar-ruzz media, 2017), hal. 170-
171
46 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 29
37
Tenaga pendidik atau guru itu sendiri merupakan pihak yang
melaksanakan pendidikan. Sesuai dengan maknanya yang khas, guru
merupakan kreator tunggal yang senantiasa dinamis. Fungsi pendidik ini
terutama ditengah komunitas anak didiknya, menempati posisi yang lebih
baik dari segi kapasitas intelektual, keterampilan maupun aspek
kematangan humanisasinya.
Karena guru harus selalu megetahui karakter murid, berusaha
meningkatkan keahlian murid baik dalam bidang yang diajarkan maupun
dalam cara mengajarkannya dan guru harus mengamalkan ilmunya dan
tidak berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya.47
Pendidik merupakan bagian terpenting dalam pendidikan, termasuk
pendidikan Islam. Pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya
mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa),
kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa), agar mencapai tingkat
kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaan
(baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun abd) sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam.48
Menurut penulis pendidik atau guru adalah orang yang
mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat
derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki
manusia (peserta didik). Ketika guru hadir bersama-sama peserta didik di
sekolah, di dalam jiwanya harus tertanam niat untuk mendidik peserta didik
agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan, mempunyai sikap dan
watak yang baik, cakap dan terampil, bersusila dan berakhlak mulia.
Karena pendidik adalah seorang yang tidak hanya menyampaikan isi
pelajaran, namun juga substansi nilai yang ada di dalamnya. Pendidik
47 Ibid., hal. 181
48 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hal. 116.
38
selain bertugas melakukan transfer of knowladge, juga sebagai motivator
dan fasilitator dalam proses pembelajaran.
Guru bertugas menuangkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik
dan memberikan motivasi agar semua peserta didiknya bersemangat
mencari, menggali, dan mengembangkan ilmu. Guru pun berkewajiban
membentuk mentalitas peserta didik dengan tuntutan agama. Guru bukan
hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak peserta didik. Tetapi
juga harus membina watak dan jiwanya. Sedang dalam prosesnya guru
tidak boleh memandang siswa sebagai makhluk yang sama di segala hal.
Sebaliknya, guru memandang anak didik sebagai makhluk individual
dengan segala perbedaannya
c. Peserta didik
Peserta didik merupakan subjek utama dalam pendidikan. Para
pendidik selalu berhubungan dengan peserta didik, tetapi setalh tugas
pendidik selesai peserta didik dituntut mengamalkan ilmu dalam kehidupan
bermasyarakat. Peserta didik dituntut hidup mandiri, mampu
menyelesaikan tugas-tugasnya dengan kemmapuan yang ia miliki.49
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Karena fitrah
manusia tidak berkembang dengan sendirinya, karena itu manusia perlu
mengembangkan melalui pendidikan maupun lingkungan.
Peserta didik secara formal adalah orang yang sedang berada pada
fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis,
pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri peserta didik yang perlu
bimbingan dari pendidik. Dilihat dari kedudukannya, peserta didik adalah
makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan
49 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 88-89
39
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju titik optimal
kemampuan fitrahnya.50
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus bisa
memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan.
Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik
adalah. Pertama, peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyi
dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tdak boleh disamakan
dengan orang dewasa. Kedua, peserta didik memiliki kebutuhan dan
meuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin.51
d. Evaluasi pendidikan Islam
Evaluasi berarti suatu proses penilaian terhadap kemajuan dan
perkembangan pendidikan, terutama peserta didik untuk mencapai tujuan
pendidikan. Dengan evaluasi ini maka suatu kegiatan dapat diketahui
kemajuannya, serta diketahui pula tingkat keberhasilan seorang pendidik
dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan yang
dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas, sarana
prasarana, lingkungan dan lain sebagainya.52
Tujuan program evaluasi adalah mengetahui kadar pemahaman
peserta didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak
peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan. Selain
itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa di antara peserta didik
yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas maupun tamat.
Tujuan evaluasi bukan peserta didik saja, tetapi bertujuan
mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana pendidikan bersungguh-
sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan
50 Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman,
(Bandung: Marja, 2007), hal. 88
51 Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 105
52 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 307
40
Islam. Secara prinsipil, tujuan pelaksanaan evaluasi dalam pendidikan
Islam adalah untuk mengetahui kadar pemahaman peserta didik terhadap
materi pembelajaran, baik aspek kognitif, psikomotorik, afektif. Kajian
evaluasi dalam pendidikan Islam, tidak hanya berkonsentrasi pada aspek
kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu antara iman,
ilmu dan amal.
C. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Tunjung Magenta, Pemikiran Humanistik dalam Pendidikan Islam Perspektif
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Jakarta, 2019. Pendidikan Humanistik memandang bahwa perkembangan
Afektif lebih penting untuk didahulukan dibanding dengan kognitif siswa
dalam proses pendidikan. Yang ditekankan dalam pendidikan humanistik disini
adalah sisi kemanusiaannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Syed Muhammad
Naquib Al-Attas mengenai humanistik dalam Pendidikan Islam. Dengan
menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), penelitian ini
memerlukan dokumen yang cukup banyak seperti buku,artikel, jurnal, dan
dokumen lainnya untuk memperdalam judul yang penulis ambil. Adapun
sumber data yang diperoleh dari data primer (data pokok) dan data sekunder
(data penunjang atau pendukung). Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Adapun persamaan penelitian ini dengan apa yang saya bahas adalah
sama-sama membahas tentang humanis dalam pendidikan, dan perbedaannya
adalah dari segi kajian teori bab II penelitian ini langsung membahas tentang
humanis bukan pendidikan, tokoh yang dibahas dalam penelitian ini adalah
Naquin Al-attas, sedangkan tokoh yang saya bahas adalah Paulo Freire, adapun
berbedaan lainnya adalah penelitian ini mengangkat tokoh muslim sedangkan
yang saya bahas tokoh barat.
2. Intan Ayu Eko Putri, Konsep Pendidikan Humanistik Ki Hajar Dewantara
dalam pandangan Islam, Tesis IAIN Walisongo,Walisongo, 2012. Metode
41
penelitian yang digunakan adalah Libraryresearch dengan pendekatan Historis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran humanistik Ki Hajar
Dewantara dalam pendidikan yaitu dengan memposisikan pendidikan sebagai
penuntun. Maksudnya menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Pemikiran pendidikan humanistik menurut Ki Hadjar Dewantara
meliputi: a) pengakuan terhadap keberadaan fitrah manusia. b) humanisasi
pendidikan, c) memandang pendidik sebagai seorang yang mempunyai
kemampuan untuk memberi arahan atau tuntutan juga menjadi fasilitator dan
motivator bagi peserta didik. d) memandang peserta didik sebagai makhluk
yang memiliki potensi untuk memahami diri sendiri menurut kodratnya.
Perbedaan dengan skripsi yang ditulis oleh penulis adalah Al-Attas lebih
mengedepankan sikap atau Ta’dib. Untuk hal mengenai manusia memiliki
persamaan seperti pengakuan terhadap fitrah manusia.
Adapun persamaan penelitian ini dengan apa yang saya bahas adalah
sama-sama membahas tentang humanis dalam pendidikan, dan perbedaannya
adalah pada tokoh yang dibahas, dalam penelitian ini adalah Ki Hajar
Dewantara, sedangkan tokoh yang saya bahas adalah Paulo Freire, adapun
berbedaan lainnya adalah penelitian ini mengangkat tokoh muslim sedangkan
yang saya bahas tokoh barat.
3. Amiruddin, Pendidikan Humanis dalam Perspektif Paulo Freire dan Tan
Malaka, jurnal Kariman, Volume 01, No. 01, Tahun 2015. Pendidikan
humanis memandang manusia sebagai makhluk mulia yang harus
dikembangkan sesuai dengan koderatnya. Prinsip pendidikan harus
diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan
hidupnya. Sementara itu, pendidikan yang diselenggarakan oleh penjajah di
Brazil dan Indonesia semasa hidup Paulo Freire dan Tan Malaka dirasa masih
jauh dari ruh pendidikan yang semestinya.
42
Pendidikan dijadikan sebagai alat penindasan yang pada akhirnya
hanya mampu melahirkan penindas-penindas baru. Aksi pembungkaman
(culture of silence) masif diterapkan penjajah untuk melanggengkan
kekuasaannya. Kondisi itulah yang ditentang oleh Paulo Freire dan Tan Malaka
dengan memunculkan konsep pendidikan yang menempatkan manusia sebagai
ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan. Paulo Freire dan Tan Malaka
memiliki kesamaan pandangan terkait orientasi pendidikan humanis, yaitu:
penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, keadilan sosial dan
penerapan pendidikan harus berbasis realitas.
Adapun persamaan dengan apa yang saya bahas adalah dalam
penelitian ini sama-sama membahas tentang humanis dalam pendidikan.
Perbedaannya terdapat pada tokoh yang dibahas yaitu dalam penelitian ini
terdapat dua tokoh yaitu Paulo Freire dan Tan Malaka, sedangkan yang saya
bahas hanya pemikiran humanis Paulo Freire saja.
4. Nur Zaini, Konsep Pendidikan Humanis dan Implementasinya dalam Proses
Belajar Mengajar, Jurnal Kependidikan, Pembelajaran, dan Pengembangan,
Vol 01, No 01, Bln Feb, Thn 2019, Hal 62-72 . Pendidikan humanis harus
praksis dalam proses belajar mengajar. Maka dalam implementasinya, seorang
pendidik harus menjadi qudwah atau teladan yang baik, dengan
mengedepankan cinta dan kasih sayang dalam proses mengajar.
Pendidik harus mampu memunculkan rasa empati, mampu memberi
motivasi, menumbuhkan sikap toleransi, memposisikan sebagai teman belajar,
menciptakan suasana belajar dialogis, mampu mengkombinasikan antara
perasaan (keinginan peserta didik) dengan bahan pengajaran, dan Pendidik
dengan segala kerendahan hati dituntut transparan atas segala kekurangan.
Sehingga tercipta pola komunikasi multiarah (ways traffic communication)
yang baik antara pendidik dan peserta didik.
Persamaan dengan apa yang saya teliti adalah sama-sama membahas
tentang humanis dalam pendidikan, perbedaannya adalah dalam penelitian ini
43
lebih mengedepankan bagaimana sifat humanis terhadap pendidik dan teman
belajar. Sedangkan dalam penelitian saya objeknya hanya guru dan murid saja
5. Rinaldi Datunsolang, Konsep Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Islam
(Studi Pemikiran Paulo Freire), Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Volume
5, Nomor 1 : Februari 2017 . Perubahan paradigma pendidikan Islam dari
otoriter ke paradigma demokratis, tertutup ke keterbukaan, doktriner ke
partisipatoris. Perombakan paradigmatik tidak bisa ditawar lagi, mengingat
kompleksitas problem umat semakin meningkat. Adanya sinkrionisasi antara
lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lingkungan masyarakat dimana
pendidikan yang berorientasi pembebasan dapat tercapai.
Masyarakat perlu membudayakan tradisi kritis, dialog, keterbukaan,
semangat pluralisme dan praktek-praktek yang menyentuh problem-problem
kaum tertindas. Baik secara politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Tentu
dengan pendekatan kultural akan sangat berarti dalam mencerahkan rakyat
dalam program penyadaran dan pemberdayaan bukan pemaksaan. Setidaknya
kegelisahan akan model pendidikan dewasa ini yang hanya berorientasi
knowledge ansich dan kurang memepertimbangkan pada nilai (value) dapat
teratasi. Mengingat kebutuhan manusia yang berpihak pada nilai, tidak sekedar
kepentingan sesaat sangat diharapkan dalam melakukan tugas-tugas liberatif
atau pemberdayaan masyarakat.
Perbedaan dalam penelitian ini dengan apa yang saya bahas adalah
penelitian ini hanya membahas point-point nya saja, seperti apa itu pendidikan
pembebasan, apa itu pendidikan islam tetapi tidak dibahas apa saja persamaan
dan perbedaan antara pemikiran pendidikan Paulo Freire dengan Pendidikan
Islam.
44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek penelitian pada penelitian ini adalah Pendidikan Humanis Paulo
Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam. Adapun Tempat penelitian yang
dilakukan penulis ialah di Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta
perpustakaan-perpustakaan lain. Waktu pengumpulan data terkait penelitian
dan proses penulisan dimulai pada tanggal 10 Oktober- 5 Maret 2020.
B. Metode Penelitian
Metode berasal dari kata yunani yaitu methodos artinya jalan atau
cara. Metode merupakan cara untuk memahami objek yang menjadi sarana
ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah kerja, meneliti,
mengkaji, dan menganilisis objek sasaran penelitian untuk mencari hasil atau
kesimpulan.1 Sedangkan metode penelitian adalah cara ilmiah yang
digunakan peneliti untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat
ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan lain
sehingga nantinya dapat digunakan untuk menemukan dan memecahkan
masalah yang diajukan.2
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan riset kepustakaan
(Library research). Riset pustaka yaitu penelusuran dan pemanfaatan sumber
perpustakaan untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian
dengan rangkaian yang berkaitan dengan kegiatan dalam metode data
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian yang
dibutuhkan.3
1 Kuncoro Ningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hal. 7
2 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 6.
3 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 3
45
Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatiif adalah suatu penelitian
yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena,
peristiwa, aktivita sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran individual
serta secara secara individual maupun kelompok. Beberapa deskripsi ini
digunakan untuk menemukan prinsip-prinsip dan penjelasan yang mengarah
pada penyimpulan.4
Jenis riset ini diambil dengan dasar data-data dilapangan sudah ada
didalam buku-buku ataupun terbitan-terbitan terdahulu, yang dikumpulkan
oleh orang-orang lain. Atau kemungkinan data-data kepustakaan itu sudah
tidak ada lagi dilapangan karena dimakan oleh situasi perubahan yang terjadi.
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ialah mempersempit masalah, sehingga peneliti mampu
mengetahui secara mendalam apa yang menjadi fokusnya dalam penelitian di
lapangan. Penelitian tersebut diselidiki secara menyeluruh dan secara khusus
serta dalam bagian yang mendukung atau menambah kejelasan makna dalam
situasi di lapangan. Setelah mengetahui dan memahami secara mendalam dan
menyeluruh dari apa yang terjadi dilapangan kemudian menghasilkan
hipotesis atau teori baru dari apa yang terjadi di lapangan.5
Berdasarkan penjelasan mengenai fokus penelitian di atas, maka penulis
memfokuskan penelitian ini dengan membatasi permasalahan mengenai
Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam.
D. Sumber Data
Dalam prosedur pengumpulan data penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa literatur sebagai sumber data, yang terdiri dari sumber data primer
dan sumber data sekunder. Sebagai sumber data primer peneliti merujuk pada
buku-buku berikut:
4 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), hal.
60
5 Muri Yususf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2014), hal. 367
46
1. Pedagogy of The Oppressed, terjemahan edisi Indonesia berjudul
Pendidikan Kaum Tertindas.
2. Education: The Practice of freedom, terjemahan edisi Indonesia berjudul
Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan.
3. Educacao Como Pratica de Liberdade, terjemahan edisi Indonesia
berjudul Pendidikan yang membebaskan.
4. The Politics of Education: Culture, Power and Liberation, terjemahan
edisi Indonesia berjudul Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan
Sedang sumber data sekunder adalah sumber yang diperoleh yang secara
tidak langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap
informasi mengenai penelitian ini. Diantara buku sekunder dalam penelitian
ini adalah:
1. Pendidikan Humanistik, karya Drs. H. Baharuddin, M.Pdi.
2. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, karya Prof. Dr. H. Abuddin Nata.
3. Ilmu Pendidikan Islam, Karya Prof. Dr. H. Abuddin Nata.
4. Ilmu Pendidikan Islam, Karya Prof. Dr. Hj. Zakia Dardajat,
5. Humanisme dan Skolastisisme, karya Thomas Hidya Tjaya
6. Dasar-dasar Pendidikan, Abdul Kadir, Ahmad Fauzi,dkk,
7. Landasan Pendidikan Amos Neolaka dan Grace Amialia,
8. Telaah Filsafat Pendidikan , Aliet Noorhayati Sutrisno.
9. Ilmu Pendidikan Islam , karya Arifin.
10. dan jurnal-jurnal, serta buku-buku lainnya yang berhubungan dengan
pendidikan humanis Paulo Freire dan Pendidikan Islam.
E. Prosedur Penelitian
Dalam proses penelitian, kegiatan pengumpulan data merupakan
kegiatan yang sangat penting.6 Terkait proses pengumpulan data, peneliti
mengambil prosedur penelitian berupa:
6 Suharsimi Arikunto, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hal. 266
47
1. Tahap persiapan dan perencanaan, adalah tahap dimana penulis mulai
membuat perumuan masalah dan pembatasan masalah
2. Tahap pelaksanaan, adalah tahap dimana penulis mulai mengumpulkan
referensi yang akan digunakan yang berkenaan dengan topik yang dibahas
3. Tahap penyelesaian, adalah tahap dimana penulis mengakhiri
pengumpulan data setelah mendapatkan semua informasi yang penulis
butuhkan berkenaan dengan topik yang dibahas.
Selain dari prosedur di atas, peneliti juga menguraikan langkah-
langkah yang digunakan dalam melakukan penelitian kepustakaan, yaitu:
1. Menyiapkan alat perlengkapan. Dalam penelitian kepustakaan tidak
memerlukan perlengkapan yang banyak, cukup mempersiapkan alat tulis
dan kertas kecil yang difungsikan untuk menulis catatan penelitian.
2. Menyusun biblografi kerja. Biblografi kerja merupakan catatan tentang
sumber data primer yang digunakan dalam kegiatan penelitia. Sumber
data tersebut, tentu saja berasal dari buku-buku koleksi perpustakaan.
3. Mengatur waktu. Dalam penelitian kepustakaan, peneliti dituntut untuk
dapat mengatur waktu sebaik mungkin.
4. Membaca dan membuat catatan penelitian. Bahan sumber penelitian yang
berupa teks-teks bacaan harus dicari, dikumpulkan, dan diklasifikasi
berdasarkan koleksi, judul, topik dan sub topik, sesuai dengan topik
penelitin yang dilakukan.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Paulo Freire
1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan Paulo Freire
Sosok Paulo Freire oleh khalayak lebih dikenal sebagai seorang
pendidik yang memiliki perhatian serius terhadap masalah-masalah sosial
terutama mengenai fakta multikultural. Anggapannya bahwa pendidikan
multikultural sangat penting karena faktanya bahwa di hampir semua negara
dunia pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari fakta multikultural. Karena
pendidikan multicultural menjadi bagian dari proses pembaharuan
kebudayaan dengan terlebih dahulu melalui upaya penyadaran.
Paulo Reglus Neves Freire lebih sering di panggil Paulo Freire, dan
dalam penelititan ini akan sering disebut Freire, lahir pada tanggal 19
September 1921 di Recife, sebuah kota kecil di daratan Amerika Latin. Kota
Recife adalah adalah salah satu pusat kemiskinan dan keterbelakangan di
kawasan Brazilia bagian Timur Laut.1
Dengan penuh hormat dan cinta, dia meceritakan tentang kedua orang
tuanya. Ayahnya bernama Joaquim Temistocles Freire, adalah seorang
anggota polisi militer di Purnambuco yang berasal dari Rio Grande do Norte.
Dia pengikut aliran kebatinan tanpa menjadi anggota dari agama resmi. Ia
sangat baik dalam bersikap, dan mampu untuk mencintai.2
Ibunya bernama Edultrus Neves Freire, berasal dari Pernambuco,
yang menganut agama katolik, ia sangat lembut, adil dan baik budi. Kedua
orang tuanyalah yang dengan contoh dan cinta mengajarkan kepada Paulo
Freire untuk menghargai dialog dan menghormati pendapat orang lain. Ketika
1 Rinaldi Datunsolang, Konsep Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Islam (Studi Pemikiran
Paulo Freire), Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 5, Nomor 1, Februari 2017, hal. 134
2 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 257
49
krisi ekonomi Amerika Serikat 1929 mulai melanda Brazil, orang tuanya
mengalami kesulitan finansial sehingga Freire terpaksa belajar mengerti apa
artinya menjadi lapar bagi seorang anak sekolah. Pada 1931, keluarga Freire
terpaksa pindah ke Jabtao. Ayahnya meninggal ditempat itu.3
Kemisikanan dan ketertinggalan penduduk masyarakat Recife telah
melahirkan berbagai pemikiran pendidikan Freire yang berhaluan pada moral
kemanusiaan. Sejak saat itu pula, Freire memutuskan untuk berjuangan
melawan kelaparan. Freire mengingkan agar orang lain tidak ada yang
merasakan penderitaan karena kelaparan seperti yang ia alami.
Krisis ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan dan ketertinggalan
itu tidak lepas dari kondisi Brazil yang hidup dalam bayang-bayang pengaruh
feodalisme. Masa-masa itu nyaris tidak ada ekpresi masyarakat yang
mengemuka. Masyarakat seakan dibungkam, baik dari pemikiran ataupun
akses ekonomi. Status sosial yang mengemuka pada saat itu hanya ada dua
yaitu tuan dan budak. Menurut istilah Freire keadaan tersebut disebut sebagai
“The Culture of Silence” atau kebudayaan bisu. Suatu kebudayaan yang
merupakan ciri utama dari keterbelakangan masyarakat-masyarakat dunia
ketiga.4
Pada tahun 1931, ayah Freire meninggal dunia. Pada saat itu usia
Freire menginjak sepuluh tahun. Tepatnya pada usia 13 tahun Freire
menginjakkan kakinya di bangku sekolah, hingga ahirnya dapat melanjutkan
studinya di Universitas Recife dan mengambil fakultas hukum. Pada jenjang
studi berikut, Freire mengambil disiplin ilmu yang berbeda dengan studi
awalnya, yaitu filsafat pendidikan. pada tahun 1959 meraih gelar doktor di
3 Abudin Nata, Ibid., hal. 257
4 Amiruddin, Pendidikan Humanis dalam Perspektif Paulo Freire Dan Tan Malaka , jurnal
Kariman, Volume 01, No. 01, 2015, hal. 22-23
50
bidang sejarah dan filsafat pendidikan, yang juga merupakan saat pertama
Freire mengemukakan pikirannya tentang filsafat pendidikan.5
Tahun 1959 dijadikan sebagai tahun awal munculnya ide-ide
mengenai pendidikan melalui kajian disertasinya di Universitas Recipe. Paulo
Freire pun juga pernah menjalani kehidupannya di balik jeruji besi setelah
beberapa gagasan pemikirannya dinilai sering menentang kebijakan
pemerintah. Setelah bebas dari penjara ia kemudian meninggalkan negeri
tempat kelahirannya memilih pergi ke Chili. Di Negara ini dirinya bergabung
dengan salah satu organisasi besar dunia yaitu Unesco. Ibarat gayung
bersambut, wadah inipun dinilai cukup tepat untuk mengembangkan
gagasannya yang selalu berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.6
Setelah menikah dengan Elza Maia Costa Oliveira –seorang guru dari
Recife- tahun 1944, mulai tumbuh minatnya mendalami buku-buku
pendidikan (filsafat pendidikan dan sosiologi pendidikan) melebihi buku-
buku tentang hukum. Walau begitu, ilmu hukumknya tetap berjasa. Berkat
ijazah hukum, ia dapat menjabat Direktur Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, sebuah Lembanga Pelayanan Sosial di Pernambuco. Bekerja di
lembaga sosial membuatnya sering berkontak secara langsung dengan orang-
orang miskin kota. Pengalaman ini kelak juga ikut mempengaruhi filosofi
pendidikannya.7
Tahun 1961 Joao Goulart menggantikan Janio Quadros sebagai
presiden Brazilia. Di masa presiden baru ini gerakan kaum petani dan kaum
budayawan melakukan kampanye yang bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran dan kemampuan baca tulis supaya rakyat dapat berpartisipasi aktif
di bidang politik. Freire sendiri mengembangkan program literasi (melek
5 Muhammad Hanif Dakhiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta : Pena, 2000), hal.
18.
6 Supriyanto, Paulo Freire: Biografi Sosial Intelektual Modernisme Pendidikan, Jurnal Al-
Ta’dib, Vol. 6, No. 2, Juli – Desember 2013, hal. 101
7 Dennis E. Collins, SJ, Paulo Freire: His Life, Works and Though, (New York: Paulist Press,
1977), hal. 6
51
huruf) bagi ribuan petani di daerah Recife dari Juni 1963 sampai Maret 1964.
Program ini disambut dengan antusias besar oleh rakyat Brazilia. Ia
menggunakan metode conscientization (konsientasi: penyadaran) untuk
membangkitkan kesadaran rakyat atas realitas yang menindas mereka, dan
bangkitnya kesadaran rakyat menimpulkan dampak terhadap perubahan
sosial. Tetapi kesadaran rakyat ini sekaligus membuat khawatir pihak militer
dan tuan tanah.8
Pada tahun 1964 pikiran-pikiran Freire dianggap membahayakan
eksistensi pemerintah, bahkan freire dituduh oleh pemerintah Brazil
melakukan tindakan subversif. Akhirnya konflik tersebut membuat Paulo
Freire di jebloskan ke dalam penjara selama tujuh puluh hari dan menjadi
pesakitan karena diinterogasi berulang-ulang.
Keluar dari penjara Paulo Freire langsung diusir dari negerinya. Ia
lantas memutuskan untuk pindah ke Chili. Selama lima tahun berada di Chili
Paulo Freire terlibat dalam program pemberantasan buta huruf yang
diselenggarakan oleh pemerintah Chili sampai akhirnya menarik perhatian
dunai internasional. UNESCO mengakui bahwa Chili merupakan salah satu
bangsa di dunia yang berhasil mengatasi masalah pendidikan dasar. Dan
sampai akhirnya Paulo Freire ditarik ke UNECSO untuk bekerja dalam
bidang pendidikan. di sinilah kemudian sosok Paulo Freire mulai menarik
perhatian.9
Dari gambaran singkat tersebut, perjalanan hidup Paulo Freire dapat
disimpulkan bahwa kepribadian dan bangunan teori-teori pendidikan Paulo
Freire salah satunya dikonstruksi dari konteks zaman dan kenyataan obyektif
yang melingkupinya. Paulo Freire yang hidupnya selalu diakrabi oleh
kesulitankesulitan hidup dan penindasan oleh negara, dengan sendirinya
8 Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, Terj. Alois A. Nugroho, (Jakarta:
Gramedia, 1984), hal. 30
9 Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, (Yogyakarta; Resis Book, 2006), hal.
18
52
menjadikannya seorang teoritisi yang berpraksis. Paulo Freire melahirkan
gagasan-gagasan pengetahuan yang juga turun langsung ke lapangan
perjuangan membela kaum buta huruf di Brazil teraleniasi oleh proses
hegemoni kesadaran yang telah melahirkan “kebudayaan bisu”.
2. Karya-karya Paulo Freire
Paulo Freire telah menulis berbagai buku dan makalah dalam bahasa
Portugis dan spanyol. Beberapa karyanya yang telah diterbitkan diantaranya
adalah:
a. Pedagogy of The Oppressed, terjemahan edisi Indonesia berjudul
Pendidikan Kaum Tertindas.
b. Cultural Action For Freedom, terjemahan edisi Indonesia berjudul Aksi
Kultural Untuk Pembebasan.
c. Education For Critical Consciousness, terjemahan edisi Indonesia
berjudul Pendidikan Untuk Kesadaran Kritis.
d. Education: The Practice of freedom, terjemahan edisi Indonesia berjudul
Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan.
e. The Politics of Education: Culture, Power and Liberation, terjemahan
edisi Indonesia berjudul Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan
f. Educacao Como Pratica de Liberdade, terjemahan edisi Indonesia
berjudul Pendidikan yang membebaskan.
g. Pedagogy in Process: The Letters to Guinea-Bissau, terjemahan edisi
Indonesia berjudul Pendidikan Sebagai Proses.
h. Pedagogy of The Heart, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pedagogy
Hati
i. Pedagogy of The Hope, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pedagogy
Pengharapan.
53
B. Pembahasan
1. Pemikiran Pendidikan Paulo Freire
Secara umum pemikiran Paulo Freire adalah humanisasi, yakni
pendidikan yang diarahkan pada usaha membantu masyarakat. Terutama
kaum yang tertindas, dan pendidikan yang memberdayakan dan bertolak dari
kepentingan masyarakat, bukan pendidikan yang didasarkan atas kemauan
penguasa.
Adapun pemikiran pendidikan Paulo Freire dapat dikemukakan sebagai
berikut:
Pertama, dari segi titik tolaknya, bahwa pendidikan kaum tertindas
harus diciptakan bersama dengan dan bukan untuk kaum tertindas dalam
perjuangan memulihkan kembali kemanusiaan yang telah dirampas.
Pendidikan kaum tertindas harus memperjuangkan melawan penindasan
dalam situasi di mana dunia dan manusia berada dalam interaksi. Oleh karena
itu dalam perjuangan ini diperlukan praksis yang merupakan sebuah proses
interkasi antara refleksi dan aksi. Salah satu faktor terpenting dalam gerakan
pembebasan adalah perkembangan kesadaran.10
Kedua, dari segi sistemnya, bahwa pendidikan system lama yaitu
system bank harus diubah menjadi system yang seimbang, egaliter dan adil,
yaitu system yang memberikan peluang dan kebebasan kepada peserta didik
untuk ikut serta menentukan arah program pendidikan. Dalam pendidikan
system bank itu guru merupakan subjek yang memiliki pengetahuan yang
diberikan kepada murid. Murid adalah wadah arau suatu tempat deposit
belaka. Dalam proses belajar itu, murid semata-mata merupakan objek.
Sangat jelas dalam sistem tersebut tidak terjadi komunikasi yang sebenarnya
antara guru dan murid. Praktik pendidikan yang semacam itu mencerminkan
penindasan yang terjadi di masyarakat sekaligus memperkuat struktur yang
menindas.11
10 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 265 11 Ibid., 265.
54
Pendidikan system bank antara lain ditandai oleh keadaan sebagai
berikut:
a. Guru mengajar, murid belajar.
b. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
c. Guru berpikir sedangkan murid dipikirkan.
d. Guru menentukan peraturan, sedang murid diatur.
e. Guru memilih dan melaksanakan pilihannya, sedangkan murid
menyetujuimya.
f. Guru bercerita, sedang murid mendengarkan.
g. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan
gurunya.
h. Guru memilih bahan dan isi peajaran, sedangkan murid tanpa diminta
pendapatnya, menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
i. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan
kewenangan jabatannya, yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan
muridnya.
j. Guru adalah subjek dan murid adalah objek belaka.
Untuk mengetahui sistem bank tersebut Paulo Fraire mengajukan
alternatif system baru yang dinamakan problem posing education atau
pendidikan hadap masalah. Guru dan murid sama-sama menjadi objek yang
sama. Mereka berpikir bersama, guru dan murid secara serempak menjadi
guru dan murid.
Dengan pendidikan humanis diharapkan mampu membuat peserta
didik menuju proses berpikir bebas dan kreatif, karena model pendidikan ini
menghargai potensi yang ada pada setiap individu. Peserta didik harus
ditempatkan sebagai pusat (center) dari aktivitas pendidikan dan
pembelajaran. Pendidik merupakan fasilitator, pembimbing yang menjadi
mitra didik peserta didik di dalam kegiatan pembelajaran
Ketiga, dari segi metodenya, pendidikan menggunakan menggunakan
metode dialog, menurut Paulo Freire, bahwa dialog sebagai unsur pendidikan
kaum tertindas yang pada intinya adalah kata. Menurutnya, kata mempunyai
55
dua dimensi yaitu refleksi dan aksi yang berada dalam interaksi radikal.
Tanpa refleksi hanya akan terjadi aktivisme, tanpa aksi hanya akan terjadi
verbalisme.12
Pemikiran pendidikan Paulo Freire ingin menjadikan pendidikan
sebagai alat atau sarana untuk membebaskan masyarakat dari kepentingan
kelompok elit yang menginginkan masyarakat menjadi objek
kepentingannya, sehingga terjadi kesenjangan antara kaum elit dan
masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat dilihat adanya keinginan mengubah
istilah pendidikan untuk masyarakat menajadi pendidikan dengan
masayarakat.
2. Humanisme dan Pendidikan Pembebasan Paulo Freire
Pemikiran Freire mengenai humanisme yakni pendidikan yang
diarahkan pada usaha membantu masyarakat, upaya memanusiakan manusia,
terutama kaum yang tertindas dan pendidikan yang memberdayakan dan
bertolak dari kepentingan masyarakat, bukan pendidikan yang didasarkan
atas kemauan penguasa.
Gagasan dan corak pemikirannya in bertolak dari permasalahan
pendidikan yang dihadapi masyarakat brazil pada waktu itu. Yaitu pendidikan
yang berpihak pada kaum yang mampu. Secara spesifik humanisme Freire
lebih mengarah kepada kata “pembebasan” yakni bebas dari ketertindasan
dan keterbelengguan dari apapun yang membuat manusia menjadi tidak bebas
untuk melakukan apa yang dikehendainya. 13
pendidikan humanis seperti yang digambarkan oleh Paulo Freire
harus mampu mengaktifkan potensi dasar manusia dengan konsep yag lebih
humanis. Kesadaran diri, kemauan bebas, serta kreativitas peserta didik harus
dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang
memanusiakan manusia harus mampu mengembangkan kreativitas peserta
12 Ibid., hal. 267.
13 Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hal. 51
56
didik secara maksimal. Pendidikan adalah sebuah investasi sumber daya
manusia. Jika pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki kualitas yang
mumpuni, maka baik juga sumber daya manusia yang dimilikinya. Karena
itu, desain pendidikan selayaknya dipersiapkan secara matang sehingga hasil
yang dicapai pun memuaskan.14
Hal yang tidak boleh dilupakan dalam konsep pendidikan humanis
sehingga bisa mendukung apa yang dicita-citakan oleh Paulo Freire terkait
dengan konsep pendidikan humanisnya adalah bagaimana mendudukkan
pendidikan tersebut sebagai jalan dalam penguatan sisi normativitas-teologis
peserta didik untuk mengenl Tuhannya.
Setiap rangkaian belajar mengajar harusnya ditempatkan sebagai
pengkayaan pengalaman kebertuhanan. Pendidikan bukanlah sosialisasi atau
internalisasi pengetahuan dan keberagaman pendidik, tetapi bagaimana
peserta didik mengalami sendiri keber-Tuhanan-nya. Ketaqwaan dan
keshalehan bukanlah sikap dan perilaku yang datang secara mendadak, tetapi
melalui sebuah tahap penyadaran yang harus dilakukan sepanjang hayat
karena itu, pendidikan tidak lain sebagai proses penyadaran diri atas realitas
universum.15
Pemikiran pendidikan Paulo Freire yang berhaluan pada kemanusiaan
dengan kritik perlawan terhadap ketidakadilan merupakan tempaan dari
situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya sejak kecil. Corak pendidikan
Paulo Freire tertuang dalam konsep pendidikan kaum tertindas. Menurut
pengamatan Paulo Freire, pendidikan yang berlangsung di negaranya
sangtlah jauh dari ruh tujuan pendidikan yang seharusnya yaitu menjadikan
peserta didik memahami diri dan kondisi realitas sosialnya sehingga
14 A. Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana, 1991), hal. 15
15 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal. 180-188
57
terciptalah manusia yang benar-benar manusia yang mempunyai moral
kehidupan.
Pendidikan yang diterapkan oleh kaum penindas tak akan mampu
melahirkan manusia yang seutuhnya. Cetusan pendidikan ini hanya akan
melahirkan penindas-penindas baru yang siap mengeksploitasi kehidupan
umat manusia. Bagi kaum penindas, peserta didik tak lebih dari sekadar
barang yang boleh dimanfaatkan kapan dan dimana saja. Bagi penindas hanya
ada dua kehidupan yaitu kenyamanan bagi kaum penindas dan kenistaan bagi
kaum tertindas.16
Bagi Paulo Freire pendidikan yang mempertegas dan memperjelas
arah pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan, yaitu sebuah upaya
pemberdayaan masyarakat tertindas menuju sebuah paradigma kritis dan
trasformatif dalam mewujudkan sebuah kebebasan sebagai hak asasi setiap
manusia.17 Dengan demikian jelaslah, bahwa pendidikan harus mampu
menjadikan manusia yang bebas dari intimedasi dan hegemoni sehingga
terciptalah manusia yang bebas sebagai wujud dari hak asasi setiap manusia.
Di samping itu, Paulo Freire aktif mengkritisi proses dehumanisasi
pendidikan yang harus segera digantikan dengan proses humanisasi
pendidikan. Humanisasi pendidikan dianggapnya sebagai satu-satunya jalan
dalam mewujudkan pendidikan humanis yang pada gilirannya akan
membebaskan peserta didik dari penindasan terstruktur yang disebut
pendidikan. Dalam perspektif ini, dia melihat bahwa pendidikan telah jauh
dari semangat pembebasan dan cenderung tidak humanis.18
Lebih lanjut, Paulo Freire berpandangan bahwa dalam upaya
menerapkan pendidikan humanis, peserta didik sebagai manusia harus
16 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj:tim redaksi (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 33
17 Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan Kihajar
Dewantara, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 145.
18 Hasanuddin Wahid, Arti Lapar bagi Anak Sekolah, dalam Saiful Arif, PemikiranPemikiran
Revolusioner, (Malang: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 154
58
diajarkan tujuan hidupnya secara holistik-komprehensif. Ada perbedaan
antara manusia dengan binatang dalam hal tujuan hidup. Binatang mungkin
cukup beradaptasi dengan alam sementara manusia memiliki fungsi
memanusiakan alam dengan proses transformasi. Dalam konteks ini,
pendidikan humanis mengajarkan bagaimana peserta didik sebagai manusia
mampu memahami proses pembelajaran secara kritis berlandaskan kerangka
filosofis tujuan hidupnya sebagai manusia.19
Humanisasi adalah fitrah manusia yang harus diperjuangkan. Fitrah
itulah yang sering diabaikan oleh kaum penindas. Manusia bebas adalah
manusia yang berkembang sesuai dengan fitrahnya. Menurut Freire, manusia
bebas adalah manusia sejati, yaitu manusia merdeka yang bisa menjadi subjek
bukan objek yang menerima perlakuan dari orang lain. Manusia sejati adalah
manusia yang sadar untuk bertindak mengatasi dunia dan realitas yang
menindas.
Pada hakikatnya manusia mampu memahami keadaan dirinya dan
lingkungannya dengan berbekal pikiran dan dengan tindakan akan mampu
merubah situasi yang tidak selaras dengan jalan pikirnya. Jika seseorang
hanya pasrah bahkan tanpa perlawanan menghadapi situasi itu maka ia sedang
tidak manusiawi. Ketika kaum tertindas dengan kesadaran dirinya mampu
membebaskan dirinya sendiri dari segala bentuk penindasan maka saat itu
terjadilah yang namanya pembebasan.
Dari ulasan diatas dapat diketahui bahwa muara tujuan pendidikan
yang diinginkan oleh Paulo Freire adalah untuk menciptakan manusia yang
memiliki kesadaran kritis sehingga tercipta manusia-manusia yang merdeka
dan tumbuh sesuai dengan koderatnya. Setelah manusia tumbuh sesuai
dengan fitrahnya, maka dapat dipastikan akan bisa mengatasi permasalahan
diri dan lingkungannya.
19 Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hal. 82-84
59
3. Tujuan Pendidikan Humanis Paulo Freire
Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan.
Tujuan utama pendidikan menurut Freire adalah conscientizacao,
konsientisasi, penyadaran. Yaitu peningkatan menuju kesadaran kritis
sebagai fase kesadaran tertinggi. Kata konsientisasi berasal dari bahasa Brazil
conscientizacao, suatu proses di mana manusia berpartisipasi secara kritis
dalam aksi perubahan, tidak seharusnya dipahami sebagai manipulasi kaum
idealis. Bahkan jika visi kita mengenai konsientasi bersifat dialogis, bukan
subjektif atau mekanistik, maka kita tidak dapat memberi label pada
kesadaran ini dengan sebuah peran yang tidak dimilikinya, yakni peran untuk
melakukan perubahan terhadap dunia.20
Pendidikan humanis Paulo Freire bertujuan untuk membangun
kesadaran masyarakat yang selama ini terjebak pada bentuk kesadaran magis
atau kesadaran naif yang selama ini telah menenggelamkan mereka pada
dominasi kekuasaan serta membuat masyarakat bersikap fatalis terhadap
realitas yang dihadapi. Dan berupaya mengarahkan masyarakat pada
tumbuhnya kesadaran kritis, sehingga masyarakat tidak akan lagi terbenam
pada proses sejarah. Melainkan menjadikan masyarakat menjadi pelaku aktif
dan kritis dalam menentukan perubahan nasibnya sendiri. karena pendidikan
kritis berusaha menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat
dalam proses pembelajaran menuju arah yang lebih baik.
Pendidikan humanis berupaya mengarahkan masyarakat pada
tumbuhnya kesadaran kritis, sehingga masyarakat tidak akan lagi terbenam
pada proses sejarah melainkan menjadikan masyarakat menjadi pelaku aktif
dan kritis dalam menentukan perubahan nasibnya sendiri. karena pendidikan
kritis berusaha menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat
dalam proses pembelajaran menuju arah yang lebih baik.
Secara lebih rinci, tujuan pendidikan kritis dapat dijabarkan sebagai
berikut:
20 Ibid., hal. 187
60
a. Peserta didik sepenuhnya berperan sebagai subyek dalam proses belajar
mengajar
b. Peserta didik dapat lebih mandiri dalam menghadapi masalah dan
menyelesaikannya, tanpa harus tunduk pada relasi kekuasaan yang
menindas dalam bentuk apapun, baik berbentuk pengetahuan maupun
kebenaran yang menguasainya.
c. Peserta didik mendapatkan kemerdekaan dalam menentukan takdir
hidupnya sesuai dengan potensi yang dia miliki tanpa harus tunduk pada
realitas pasar di lapangan dengan mengubah atau membuat potensi lain di
dalam dirinya.
d. Peserta didik dapat lebih apresiatif terhadap perbedaan, tidak mudah
menyalahkan pandangan orang di luar dirinya dengan membenarkan
pandangan dirinya.
e. Peserta didik berani membicarakan masalah-masalah lingkungan dan
turun tangan dalam lingkungan tersebut.21
f. Guru tidak lagi monoton “mendoktrin” dan “mendikte” peserta didik
dengan pengetahuan yang ada, tetapi menempatkan diri sebagai teman
dialog peserta didik.
g. Memahami betul keadaan peserta didik dan lingkungannya.
h. Peserta didik dapat lebih mandiri dalam menghadapi masalah dan
menyelesaikannya, tanpa harus tunduk pada relasi kekuasaan yang
menindas dalam bentuk apapun, baik berbentuk pengetahuan maupun
kebenaran yang menguasainya.
i. Peserta didik mendapatkan kemerdekaan dalam menentukan takdir
hidupnya sesuai dengan potensi yang dia miliki tanpa harus tunduk pada
realitas pasar di lapangan dengan mengubah atau membuat potensi lain di
dalam dirinya.
j. Peserta didik dapat lebih apresiatif terhadap perbedaan, tidak mudah
menyalahkan pandangan orang di luar dirinya dengan membenarkan
pandangan dirinya.
k. Peserta didik berani membicarakan masalah-masalah lingkungan dan
turun tangan dalam lingkungan tersebut.
l. Guru tidak lagi monoton “mendoktrin” dan “mendikte” peserta didik
dengan pengetahuan yang ada, tetapi menempatkan diri sebagai teman
dialog peserta didik.22
21 Muhammad Karim, Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2009), hal. 211-212.
22 Ibid., hal. 211-212.
61
Berdasakan tujuan pendidikan humanis di atas, penulis
menyimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan humanis Paulo Freire adalah
untuk mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat dan keinginan
peserta didik dan Pendidik dengan kesadaran untuk menciptakan ilmu
pengetahuan baru. Kesadaran manusia dibentuk melalui pendidikan dan aksi-
aksi budaya yang membebaskan. Klaim pendidikan sebagai sebuah praktek
pembebasan yang ditujukan untuk mengkaji ilmu baru, hal ini tidak akan
tercapai jika perlakuan terhadap kesadaran manusia sama seperti perlakuan
pendidikan yang dominatif. Paulo Freire menegaskan, Pendidik yang
humanis harus tepat dalam memahami hubungan dalam kesadaran manusia
antara manusia dan dunia. Dengan demikian Paulo Freire menekankan akan
tujuan pendidikan untuk membentuk kesadaran manusia guna menciptakan
ilmu pengetahuan baru.
Tujuan pendidikan yang membebaskan pada hakekatnya adalah fitrah
yang sejalan-dengan hukum-hukum alam. Setiap orang berupaya menjadi
manusia sejati yang harus harus terwujud melalui dunia pendidikan. Lembaga
pendidikan sebagai wahana pengembangan ilmu dalam arti luas. Ilmu dapat
berkembang dengan pesat dalam dunia pendidikan dengan beragam
perbedaan baik itu interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner dalam
kerangka akademik.
Dengan demikain dunia akademik semakin kaya khazanah keilmuan
dari perbedaan tersebut. Pengkayaan keilmuan tersebut lahir dari kebebasan
dan pembebasan berfikir. Tujuan pembebasan bermuara pada peningkatan
pada daya kreativitas berfikir yang lebih produktif. Dunia pendidikan sendiri
harus banyak melatih tentang kebebasan. Murid harus bebas dan aman supaya
dapat belajar bagaimana berfikir kritis sekaligus toleran terhadap setiap
perbedaan.
4. Konsep Kesadaran Paulo Freire
Kesadaran diri dewasa ini menjadi wacana yang telah ditinggalkan.
Hal itu disebabkan oleh masuknya manusia kedalam era globalisasi yang
menonjolkan akal semata dalam proses kehidupan. Padahal tema kesadaran
62
adalah merupakan hal penting bagi manusia. Melihat kesadaran menjadi
bagian terpenting bagi manusia, sebab itulah titik fokus pemahaman
mengenai kesadaran akan berpengaruh pada pemahaman tentang hakikat
pendidikan konsientisasinya Paulo Freire.
Namun demikian, Bagi penganut mazhab Freirean, hakekat
pendidikan adalah demi membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat
proses humanisasi atau memanusiakan manusia. Kunci bagi proses
pendidikan ialah “konsientisasi” atau proses pembangkitan kesadaran kritis.
Dalam pandangan Paulo Freire pendidikan tidak lain adalah proses
pemanusiaan manusia kembali atau menjadikan manusia yang utuh.
Sementara itu dalam Islam pendidikan adalah untuk menjadikan
manusia khalifah sebagaimana Firman Allah swt dalam surah Al-baqarah
ayat 30, berikut ini:
ها ها من ي فسد في فة قال وا اتعل في جاعل ف الرض خلي كةان ى واذ قال ربك للمل
اعلم ما ل ت علم ون – ٣٠ ونن ن سبح بمدك ون قدس لك قال انء ويسفك الدما
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat
“aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata “apakah
Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan
darah disana, sedang kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan
nama-Mu?” Dia berfirman, “sungguh, Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui”
Ayat di atas memiliki makna yang relevan dengan pendidikan dalam
Islam, bahwa manusia mestilah menjadi pemimpin di muka bumi. Kemudian
dari pada itu, Freire merumuskan pendidikan sebagai suatu latihan kebebasan,
tindakan mengetahui, pendekatan kritis terhadap realitas, serta dorongan
untuk merubahnya.
Konsientisasi adalah perkembangan kesadaran kritis yang dicapai
melalui praktik pendidikan yang dialogis seta berkaitan dengan tanggung
jawab sosial dan politik. Tujuanya ialah membentuk sikap kritis masyarakat.
Sikap kritis ini diharapkan menuntun mereka dalam mewujudkan tranformasi
dunia. Pendidikan Islam pun demikian halnya, dalam prosesnya
63
menginginkan kesadaran terbentuk bagi peserta didik. Sebab Islam menjadi
spirit dalam tindakan pendidikan
5. Islam Sebagai Spirit Pembebasan
Secara harfiah, Islam berasal dari bahas Arab salima, yang antara lain
berarti to be safe (terpelihara), and sound (dan terjaga), unharmed (tidak
celaka), safe (terjaga). Islam adalah agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan
Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul,
Demikian definisi agama Islam yang dikemukakan oleh Harun Nasution.23
Salah satu ayat yang menaruh perhatian besar pada pembebasan
manusia ialah tampak dalam firman Allah surat Al-‘Araf ayat 157.
مكت وب عنده م ف الت ور ىة ي الذي يد ونه الذين ي تبع ون الرس ول النب ال مث ى ل ل م الطيب ت وي رم عليهم الب ىه م عن الم نكر وي يل يم ر ه م بلمعر وف وي ن ه والن
وعزر وه ونصر وه وات ب ع وا ويضع عن ه م اصره م والغل ل الت كانت عليهم فالذين ا من وا بهك ه م الم فلح ون - ١٥٧ ى
ا ول الن ور الذي ا نزل معه
“Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada
di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka
itulah orang-orang yang beruntung”.
Ayat ini tampak secara jelas upaya pembebasan manusia, bahwa
Allah swt. memerintahkan kepada Nabi Muhamad SAW, untuk melepaskan
umat manusia dari belenggu-belenggu dan kekuatan tirani lainnya. Di sini
betapa Islam bukan sekedar agama formal, tetapi juga risalah yang sangat
23 Sofya, zulkarnaen suleman, Metodologi Studi Islam Kontemporer, (Gorontalo: Sultan Amai
Pres, 2013), hal. 9
64
agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingn-kepentingan
pribadi.
Berdasarkan beberapa penyataan di atas, dapat dikatakan bahwa
Islam mampu melakukan terobosan yang mengarah pada kondisi
pembebasan, namun tetap menyatu pada agama. Kalau diteliti secara
seksama, sebenarnya terdapat dua pengaruh pokok yang sangat erat
hubungannya yang menunjukan bahwa antar Islam dengan pendidikan tidak
bisa di pisah-pisahkan dan keduanya ini dapat dijadikan kaca mata untuk
melihat mengapa Islam begitu berjaya dimasa lalu.
Ketika Islam dilihat sebagai upaya pembebasan manusia, melalui
pendidikan maka terdapat dua konteks pemaknaan yaitu: pertama,
pendidikan harus dipahami dalam posisinya secara demokratis, yakni
pelaksana pendidikan harus dilakukan secara demokratis, terbuka dan
dialogis. Kedua, pendidikan Islam sebagsi proses alih nilai-nilai ke-Islaman
atau transfer of Islamic value.
Kata kunci dari nilai-nilai ke-Islaman itu adalah Tauhid yang
menujukan pada pengertian bahwa tidak ada penghambatan kepada selain
Allah swt, bebas dari belenggu kebadanan dan kerohanian. Islam sebagai
sistem tauhid inilah yang merupakan sistem normative dasar ontologisme
bagi pengembangan landasan aksiologis Islam dan sebagai landasan
epistemologis (Islam sebagai sistem pengetahuan) kalau dengan kata kunci
ini, Islam secara transparan menghendaki dan menciptakan persamaan, maka
pendidikan Islam harus dipahami sebagai proses pembebasan manusia untuk
tidak merasa ada diskriminasi tertentu dengan orang atau kelompok lain,
dikuasai ditindas ataupun diperbudak.
6. Konsep Pendidikan Islam
Secara etimologi, pendidikan adalah usaha membina dan
mengembangkan pribadi manusia baik aspek rohani maupun jasmani yang
berlangsung secara bertahap. Dan diharapkan melalui pendidikan dapat
terbentuk kepribadian yang utuh sebagai manusia individual, sosial, dan
hamba Tuhan yang mengabdi kepada-Nya. Definisi pendidikan Islam yang
diberikan oleh para tokoh pendidikan Islam sangatlah beragam, baik
65
pengertian secara umum, maupun definisi pendidikan secara khusus
perspektif tokoh pendidikan Islam. Namun, untuk mempermudah dalam
mendefinisikan pendidikan islam kita dapat melacak secara linguistik kata
pendidikan tersebut.
pendidikan Islam adalah rangkaian proses transformasi dan
internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada anak didik melalui
pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, baik aspek spiritual,
maupun fisiknya, guna keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala
aspeknya sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Sehingga eksistensi
pendidikan merupakan sarana vital dalam upaya menumbuh kembangkan
daya kreatifitas peserta didik, melestarikan nilai-nilai ilahiah dan insaniyah,
serta membekali anak didik yang produktif yang memungkinkan peserta
didik dapat hidup sesuai dengan perkembangan lingkungan dimana ia
berada.24
Pendidik merupakan bagian terpenting dalam pendidikan, termasuk
pendidikan Islam. Pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya
mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa),
kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa), agar mencapai tingkat
kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaan (baik
sebagai khalifah fi al-ardh maupun abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam.25
Pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan
yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan
kemampuan dasar yang dimiliki manusia (peserta didik). Ketika guru hadir
bersama-sama peserta didik di sekolah, di dalam jiwanya harus tertanam niat
untuk mendidik peserta didik agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan,
mempunyai sikap dan watak yang baik, cakap dan terampil, bersusila dan
24 Arifudin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura, 2008), hal. 36
25 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hal. 116
66
berakhlak mulia. Karena pendidik adalah seorang yang tidak hanya
menyampaikan isi pelajaran, namun juga substansi nilai yang ada di
dalamnya. Pendidik selain bertugas melakukan transfer of knowladge, juga
sebagai motivator dan fasilitator dalam proses pembelajaran.26
Guru bertugas menuangkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik
dan memberikan motivasi agar semua peserta didiknya bersemangat mencari,
menggali, dan mengembangkan ilmu. Guru pun berkewajiban membentuk
mentalitas peserta didik dengan tuntutan agama. Guru bukan hanya
menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak peserta didik. Tetapi juga harus
membina watak dan jiwanya. Sedang dalam prosesnya guru tidak boleh
memandang siswa sebagai makhluk yang sama di segala hal. Sebaliknya,
guru memandang anak didik sebagai makhluk individual dengan segala
perbedaannya.
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Karena fitrah
manusia tidak berkembang dengan sendirinya, karena itu manusia perlu
mengembangkan melalui pendidikan maupun lingkungan.27 Peserta didik
secara formal adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan
perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan dan
perkembangan merupakan ciri peserta didik yang perlu bimbingan dari
pendidik. Dilihat dari kedudukannya, peserta didik adalah makhluk yang
sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut
fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan
yang konsisten menuju titik optimal kemampuan fitrahnya.
Pendidikan Islam memahami peserta didik atas dasar pendekatan
terhadap hakikat kejadian manusia yang menempatkannya selaku makhluk
Allah yang mulia yang mempunyai fitrah. Dalam pandangan yang lebih
26 Ibid., hal. 120
27 Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman,
(Bandung: Marja, 2007), hal. 88
67
modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran
pendidikan sebagaimana disebut di atas, melainkan juga harus diperlakukan
sebagai subyek pendidikan.28
Subjek pendidikan adalah orang yang berkenaan langsung dengan
proses pendidikan dalam hal ini pendidik dan peserta didik. Peserta didik
yaitu pihak yang merupakan subjek terpenting dalam pendidikan. Hal ini
disebabkan atau tindakan pendidik itu diadakan atau dilakukan hanyalah
untuk membawa anak didik kepada tujuan pendidikan Islam yang dicita-
citakan.
Pendekatan dalam metode pendidikan Islam dinyatakan dalam Al-Qur’an
menggunakan sistem multi approach yang meliputi antara lain:
a. Pendekatan religius, bahwa manusia diciptakan memiliki potensi dasar
(fitrah) atau bakat agama.
b. Pendekatan filosofis, bahwa manusia adalah makhluk rasional atau
berakal pikiran untuk mengembangkan diri dan kehidupannya.
c. Pendekatan rasio-kultural, bahwa manusia adalah makhluk
bermasyarakat dan berkebudayaan sehingga latar belakangnya
mempengaruhi proses pendidikan.
d. Pendekatan scientific, bahwa manusia memiliki kemampuan kognitif, dan
afektif yang harus ditumbuhkembangkan.
Berdasarkan multi approach tersebut, penggunaan metode harus
dipandang secara komprehensif terhadap anak. Karena peserta didik tidak
saja dipandang dari segi perkembangan, tetapi juga harus dilihat dari berbagi
aspek yang mempengaruhinya.29 metode pendidikan Islam sangat
menghormati hak kebebasan peserta didik serta menekankan kebebasan
peserta didik untuk berdiskusi, berdebat dan berdialog (dalam batas-batas
kesopanan dan hormat-menghormati).
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam adalah rangkaian proses transformasi dan internalisasi ilmu
28 Abudidin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 131
29 Arifudin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura, 2008), hal. 41
68
pengetahuan dan nilai-nilai pada anak didik melalui pertumbuhan dan
pengembangan potensi fitrahnya, baik aspek spiritual, maupun fisiknya, guna
keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya sesuai dengan
nilai-nilai ajaran islam. Sehingga eksistensi pendidikan merupakan sarana
vital dalam upaya menumbuh kembangkan daya kreatifitas peserta didik,
melestarikan nilai-nilai ilahiah dan insaniyah, serta membekali anak didik
yang produktif yang memungkinkan peserta didik dapat hidup sesuai dengan
perkembangan lingkungan dimana ia berada.
7. Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam Perspketif Pendidikan Islam
Pendidikan humanis mengajarkan bagaimana peserta didik sebagai
manusia mampu memahami proses pembelajaran secara kritis berlandaskan
kerangka filosofis tujuan hidupnya sebagai manusia hal ini pula yang
dipertegas oleh Paulo Freire bahwa ada atribut yang melekat pada diri
manusia yang kemudian membedakannya dengan binatang, yaitu kesadaran
diri, kemauan bebas, dan kreativitas.30
Pendidikan humanis merupakan tanggapan dan kritik
terhadap praktik pendidikan tradisional. Ciri pendidikan tradisional yang
ditolak kalangan humanis adalah: guru otoriter, pengajaran menekankan
buku teks, siswa pasif hanya mengingat informasi dari guru, ruang belajar
terbatas di kelas yang terasing dari kehidupan nyata dan menggunakan
hukuman fisik dan menakut-nakuti siswa untuk membangun kedisiplinan.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa peserta didik adalah individu
sebagai makhluk sosial, tidak dapat dipisahkan dari aspek kehidupan manusia
secara psikologis dan sosial, artinya pada diri individu untuk tumbuh dan
berkembang, dibentuk dan dipengaruhi dari dua ranah, yaitu:
a. Potensi diri yang dimiliki secara kodrati, peserta didik dilahirkan dengan
berbagai kemampuan seperti emosional, kecerdasan, bakat, dan unsur
psikologis yang lain. Peserta didik mempunyai keinginan untuk
30 Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, terj.
A.Widya Martaya, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 66
69
mengeksplorasi dan mengembangkan potensi dirinya. Bakat eksplorasi
pada peserta didik akan membuahkan kreasi-kreasi baru dalam suasana
kebebasan, karena tanpa kebebasan tidak mungkin berkembang
kemampuan yang kreatif. Dengan demikian, proses pendidikan yang
bersifat otoriter dan membatasi kebebasan peserta didik, maka kreatifitas
peserta didik tidak akan berkembang.31
b. Ranah sosial dengan berbagai realitasnya, yang memiliki peran sebagai
proses pendidikan, sekaligus merupakan ruang reproduksi sosial terhadap
individu, yang menjadikan keberadaan individu dalam hidup dan
kehidupan sosial menjadi lebih bermakna. Pandangan tersebut,
memberikan pemahaman bahwa kebermaknaan individu dalam realitas
sosial tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan yang berakar pada
nilai-nilai moral, tatanan budaya dan agama, yang berlangsung baik di
dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa,
sebagai proses pencerdasan dan humanisasi.
Hakikat sebuah pendidikan adalah pembebasan atau humanisasi, yaitu
upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat
manusia sebagai salah satu landasannya. Manusia adalah makhluk otonom
yang memiliki kehendak, kemauan, keinginan, dan lain seterusnya yang pasti
berbeda dengan manusia yang lain.
Manusia tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti kehendak dari pihak
luar agar mengikutinya karena ini bertentangan dengan hak otonom manusia
sebagai mahluk yang bebas dari segala bentuk pengekangan diri. Ia steril dari
semua bentuk pengukungan kebebasan hidup manusia sebagai makhluk
otonom. Dengan kata lain, manusia adalah subyek atau pribadi yang memiliki
hak cipta, rasa, dan karsa yang mengerti dan menyadari keberadaannya, yang
dapat mengatur, menentukan, dan menguasai dirinya serta memiliki budi,
31 H.A.R. Tilaar, Rian Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal.
63-66.
70
kehendak serta dorongan untuk mengembangkan pribadinya menjadi lebih
baik.32
Pendidikan dimaksudkan untuk menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada peserta didik, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya. Dalam pendidikan, tidak memakai istilah paksaan, serta
selalu menjaga kelangsungan hidup batin anak dan mengamati agar anak
dapat tumbuh dan berkembang menurut kodratnya.
Paulo Freire mengungkapkan bahwa sejak lahir peserta didik sudah
membawa pengetahuan awal. Pengetahuan yang dimiliki peserta didik ini
merupakan dasar untuk membangun serta memahami pengetahuan
selanjutnya. Menurut Paulo Freire pendidik adalah fasilitator dan partner
dalam proses pendidikan dalam rangka mencapai sebuah penyadaran diri
sebagai manusia. Guru tidak lagi monoton “mendoktrin” dan “mendikte”
murid dengan pengetahuan yang dipelajarinya, tetapi lebih meminta kepada
muridnya untuk mengembangkan sesuatu yang bermakna bagi
pengembangan pribadinya dari bahan yang dipelajarinya.
Secara filosofis tanggung jawab guru (pendidik) yang menempatkan
diri sebagai teman dialog siswa lebih besar dari pada guru yang hanya
memindahkan informasi yang harus diingat oleh siswa. Guru dan murid
adalah makhluk yang belum sempurna dan keduanya harus belajar satu sama
lain dalam proses pendidikan. Proses ini bukan berarti bahwa guru harus
menolak perannya sebagai figur yang melaksanakan proses belajar. Namun
proses tersebut didasarkan pada dialog kritis dan penciptaan pengetahuan
bersama.
Dengan konsep pendidikan humanis diharapkan mampu membuat
peserta didik menuju proses berpikir bebas dan kreatif, karena model
32 Moh Yamin, Menggugat Pendidikan di Indonesia: Belajar dari Paolo Freire dan Ki Hajar
Dewantara (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2009), hal. 12
71
pendidikan ini menghargai potensi yang ada pada setiap individu.33 Artinya
potensi-potensi individual seorang peserta didik tidak dimatikan dengan
berbagai bentuk penyeragaman dan sanksi-sanksi, akan tetapi dibiarkan
tumbuh berkembang secara manusiawi. Dalam pendidikan kritis, peserta
didik harus ditempatkan sebagai pusat (center) dari aktivitas pendidikan dan
pembelajaran. Pendidik merupakan fasilitator, pembimbing yang menjadi
mitra didik peserta didik di dalam kegiatan pembelajaran.
Konsep humanisme adalah memanusiakan manusia sesuai dengan
perannya sebagai khalifah di bumi ini. Manusia memiliki potensi unik pada
ranah biologis, sosial, intelektual dan spritual, yang sangat potensial untuk
dikembangkan oleh dan melalui proses pendidikan. Pendidikan dipandang
sebagai bantuan kepada anak atau siswa supaya menjadi manusiawi. Mereka
dapat mengaktualisasikan diri dengan cara menemukan dan mengembangkan
jati diri dan potensinya secara optimal sehingga menjadi manusia yang
sesungguhnya.34
Apa yang digambarkan oleh Paulo Freire di atas memberikan suatu
landasan teoretis sekaligus praktis dalam pengembangan pendidikan humanis
dimana manusia yang dianggap sebagai ciptaan yang khas sebagaimana telah
diilustrasikan dalam Al-Qur’an sebagai “ahsan taqwim” memiliki potensi
yang perlu untuk terus dikembangkan karena dalam dirinya melekat potensi
yang berbeda dengan binatang itu sendiri.
Hal yang menarik untuk dicermati dalam Al-Qur’an dimana manusia
yang dikatakan sebagai ciptaan yang khas karena dianugerahkan dengan
pendengaran, penglihatan, serta rasa seperti yang termaktub dalam QS.al-
A’raaf (7): 179
33 Mustofa Rembangi, Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di
Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hal.27
34 Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group2008), hal. 53.
72
ل ول م اعي نس ل م ق ل وب ل ي فقه ون با ن الن وال ولقد ذرأن لهنم كثي ا م
م ك ه ىك كالن عام بل ه م اضل ا ول ى
ول م ا ذان ل يسمع ون با ا ول
ي بصر ون با
الغ فل ون–١٧٩ “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan
jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak,
bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”
Ayat ini tampak secara jelas upaya pembebasan manusia, bahwa
Allah swt. memerintahkan kepada Nabi Muhamad saw. untuk melepaskan
umat manusia dari belenggu-belenggu dan kekuatan tirani lainnya. Di sini
betapa Islam bukan sekedar agama formal, tetapi juga risalah yang sangat
agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingn-kepentingan
pribadi Islam adalah Agama protes, oposisi dan revolusi. Baginya Islam
memiliki makna ganda, pertama, Islam sebagai ketundukan, yang
diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas, dan kedua Islam sebagai
revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas
miskin.
Dalam perspektif Islam, pendidikan sesuai fitrah manusia sangat
mutlak dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi fungsi, peran, dan
eksistensi fitrah kemanusiaannya. Pendidikan dalam pandangan para pemikir
muslim adalah pemenuhan jati diri atau esensi kemanusiaan dihadapan
Tuhan. Pada konteks ini pendidikan dalam perspektif Islam, lebih pada
pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengembangan fitrah kemanusiaan,
sehingga pendidikan Islam identik dengan proses pengembangan yang
73
bertujuan membangkitkan dan mengaktifkan potensi-potensi yang dimiliki
manusia.35
Hal ini senada dengan karakterstik paradigma pendidikan humanis
yang berorientasi mewujudkan segenap potensi-potensi dasar yang dimiliki
oleh manusia secara maksimal demi tercapainya cita-cita yang ideal. Dimana
pendidikan kritis bertolak belakang dengan paradigma pendidikan
konservatif, yang cenderung menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk
melegitimasi sistem sosial, politik, dan budaya (ideologi dominan) yang ada
di masyarakat dan telah mengenyampingkan peran kemampuan potensi nalar
dan kreasi peserta didik.
Pendidikan Islam membentuk keberanian moral bagi setiap peserta
didik untuk senantiasa melakukan kegiatan-kegiatan bermanfaat bagi semua
manusia dan sebaliknya menghindari perbuatan-perbuatan maksiat yang
merugikan orang lain. Keberanian ini merupakan dorongan dari iman dan
akhlak yang berakar pada wahyu Tuhan, sehingga manusia selalu
melancarkan " 'amr al- ma'ruf nahyi 'an al-munkar", sebagi bentuk kreatifitas
manusia baik ia sebagai 'abdullah maupun khalifatullah yang mana di
dalamnya tercermin kehidupan yang mandiri, terbebaskan dari rasa takut
demi kesejahteraan, keadilan dan perwujudan kemanusiaan.36
Dalam hal ini Allah berfirman dalam QS. Ali lmran: 104:
هون عن الم نكر نك م ا مة يدع ون ال الي ويم ر ون بلمعر وف وي ن ولتك ن مك ه م الم فلح ون - ١٠٤ ى
وا ول
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
35 Arifudin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura, 2008), hal. 36
36 Subaidi , Konsep Pendidikan Islam Dengan Paradigma Humanis, Jurnal Tarbawi, Vol. II, No.
2. Juli – Desember, 2014, hal. 17
74
Proses pembelajaran semacam ini, akan menumbuhkan mental
kemandirian daya kritis peserta didik. Dalam konteks pendidik dan peserta
didik tersebut, paradigma kritis akan menjadi sebuah pendekatan humanistik-
tauhidik dalam proses pembelajaran yang membentuk manusia (pendidik dan
peserta didik) menjadi diri yang memiliki independensi akal, dengan
mengacu pada nilai-nilai Islami, sehingga mampu mengembangkan dan
mengamalkan pengetahuannya secara praktis dengan dilandasi kesadaran dan
tanggung jawab.
Pengakuan terhadap potensi peserta didik tersebut, berarti
mengupayakan kebebasan peserta didik untuk memiliki daya kretivitas yang
termanifestasikan dalam bentuk aktivitas yang memerankan dirinya sebagai
subjek dalam pencarian pengetahuan. Hal tersebut mencerminkan kebebasan
manusia untuk berfikir dan bertindak, sehingga menjadi manusia yang
berkesadaran, kreatif, dan inovatif serta mandiri
Kebebasan dalam pandangan pendidikan Islam yang perlu digaris
bawahi adalah masih adanya keterikatan dengan norma-norma dan pesan-
pesan llahiyah baik yang terangkum dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Jadi, yang dimaksud dengan humanisasi pendidikan Islam dalam penulisan
ini adalah penerapan konsep humanisme dalam pendidikan Islam secara ril
sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan digambarkan
oleh Allah SWT. Allah SWT, berfirman dalam Q.S Al-Imran ayat 159:
ولو ك نت فظا غليظ القلب لن فضوا من حولك ن الل لنت ل م فبما رحة م فاعف عن ه م واست غفر ل م وشاوره م ف المر فاذا عزمت ف ت وكل على الل
ب الم ت وكلي - ١٥٩ ان الل ي "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya".
75
Konsep pendidikan Islam juga sangat menentang keras pola
pendidikan liberal, yang disebut oleh Freire dengan pola pendidikan “gaya
bank”. Peserta didik bukanlah saran investasi yang akan dipetik hasilnya.
Selain pola pendidikan dalam pendidikan Islam, juga bukan ajang
indoktrinasi untuk melegitimasi dan melanggengkan struktur sosial politik,
dan ekonomi yang menindas. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi,
pendidikan Islam dalam pembahasan ini, mengutip dari salah satu batasan
pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung adalah tarbiyah al-muslimin
dan tarbiyah ‘inda al- muslimin.37
Humanisme yang dimaksud dalam Islam adalah memanusiakan
manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Begitu
tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam, manusia harus
menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk
mengembangkan dirinya baik dengan panca inderanya, akal maupun hatinya
sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Sebagaimana keterangan di atas pada hakikatnya agama Islam sejalan
dengan fitrah manusia yang bertujuan untuk mengaktualisasikan keberadaan
manusia, secara otomatis, ini akan memberikan pandangan dasar bagi
pendidikan Islam. Artinya, dengan menggunakan pemaknaan agama Islam
yang memiliki visi dan misi kemanusiaan (humanis) secara jelas dan sesuai
dengan keberadaan fitrah manusia. Dari ilustrasi yang demikian ini, akan
memberikan paradigma pendidikan Islam yang sejalan dengan paradigma
agama.
Dalam konsep pendidikan humanis, nalar dan kesadaran manusia
bukanlah sebuah wadah kosong yang pasif dan siap diisi oleh pengetahuan,
nilai, dan norma yang telah diangap mapan. Melainkan, nalar dan kesadaran
manusia yang idealnya timbul sebagai hasrat dan potensi yang harus
37 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 36
76
dituangkan dalam perwujudan kritis, aktif, kreatif, serta progresif dalam
mendorong lahirnya proses transformasi sosial.
Dari pemaparan di atas, maka kita dapat menarik benang merah antara
proses pembelajaran dalam konsep pendidikan humanis dan konsep
pendidikan Islam pada proses pembelajaran peserta didik dan pendidik sama-
sama berposisi sebagai subjek yang bersama-sama menjadi pelaku aktif,
sedangkan objek dari pembelajaran adalah ilmu pengetahuan yang akan dikaji
bersama. Penerapan pendidikan humanis, dapat kita jadikan inspirasi dan
acuan dalam mengembangkan pendidikan Islam.
Pendidikan humanis adalah suatu proses pendidikan yang hendak
“memanusiakan” kembali manusia dan diharapkan mampu membuat peserta
didik menuju proses berpikir bebas dan kreatif, karena model pendidikan ini
menghargai potensi yang ada pada setiap individu, Freire berasumsi bahwa
pendidikan dapat digunakan sebagai alat pembebasan yang meletakkan
manusia pada fitrah kemanusiaanya, konsep pendidikan humanis didasarkan
pada pandangan bahwa antara peserta didik dan pendidik sama-sama subjek
dalam proses belajar mengajar, dan yang menjadi objek adalah materi atau
ilmu yang dikaji bersama.
Pendidikan humanis Paulo Freire mempunyai corak kesamaan ide
dengan konsep pendidikan Islam secara khusus yaitu pendidikan sebagai
wadah untuk mengembangkan potensi peserta didik yang membebaskan.
Pendidikan humanis dan pendidikan Islam, memiliki relevansi dalam
orientasi dan proses pendidikan, sama-sama sangat menekankan humanisasi
dan pembebasan sebagai orientasi pendidikan, serta menempatkan peserta
didik dan pendidik sama-sama sebagai subjek dalam proses belajar mengajar.
Pendidikan kritis yang ditawarkan Freire memberikan inspirasi
tentang muatan yang seharusnya ada dalam pendidikan, alur berfikir Freire
sangat relevan dengan pandangan pendidikan Islam. Islam sebagai sebuah
agama yang telah mengajarkan adanya penghargaan terhadap terhadap
eksistensi manusia yang merupakan makhluk beradab, berfikir, dan memiliki
77
kesadaran jauh sebelum Freire ada. Dalam konteks inilah Islam memandang
penting kedudukan manusia dalam proses pembentukan yang tidak lain
merupakan aktualisasi dimensi manusia yang berupa fitrah. Pendidikan Islam
memiliki nilai positif dan konstruktif dalam mendidik peserta didik menjadi
mandiri dan mampu mengembangkan potensinya secara optimal.
Paulo Freire dalam konsep pendidikannya lebih menekankan pada
pembentukan kesadaran kritis, dan dalam prespektif pendidikan Islam sama
sekali tidak bertentangan bahkan bersifat integratif, karena Islam memberikan
penghargaan terhadap manusia secara wajar, mengutamakan kemanusiaan,
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadailan. Dengan demikian,
pendekatan-pendekatan yang dipakai Paulo Freire dalam konsep
pendidikannya bukan tidak mungkin memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam pendidikan Islam.
Al-Qur`an sangat memperhatikan tentang humanisme atau
memanusiakan manusia, hal ini terbukti dengan banyaknya ayat-ayat al-
Qur`an yang menjelaskan tentang manusia dari mulai penciptaan, potensi
yang dimilikinya, perannya di muka bumi ini dan ditinggikannya derajat
manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya, tetapi
humanisasi yang diterapkan dalam al-Qur`an tidak meninggalkan peran
manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan untuk mengabdi kepada
khaliknya.
Adapun konsep pendidikan Islam humanis yang terdapat di dalam al-
Qur`an adalah; pertama, pendidikan merupakan salah satu aktifitas yang
bertujuan mencari ridha Allah, kedua, adanya perbandingan antara
pengetahuan agama dan pengetahuan umum, ketiga, kebebasan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, dan keempat, mengkaji ilmu
pengetahuan yang membumi sehingga dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dari gambaran pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang
dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan
78
menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni
memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma
pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni:
a. Menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di
bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa
dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh
aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla
Allah.
b. Adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan
pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu
faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah
kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak
memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama.
c. Perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan
pengembangan keilmuan secara maksimal.
d. Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi.
Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan.
Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable
dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi
ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya
yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka
terhadap lingkungan.
Dari pemaparan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa Pemikiran
Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam
terdapat beberapa persamaan dan perbedaan, sebagaimana sajian tabel
berikut;
79
PERSAMAAN
Konsep Pendidikan Humanis Paulo
Freire
Konsep Pendidikan Islam
1. Pendidikan humanis hadir
untuk membangkitkan
kesadaran masyarakat agar
peduli dan kritis terhadap
segala persoalan yang terjadi
dalam lingkungan mereka.
2. Metode penerapan konsep
pendidikan humanis Paulo
Freire didasarkan pada
pandangan bahwa antara
pendidik dan peserta didik
sama-sama subjek dalam
proses belajar mengajar, dan
yang menjadi objek adalah
materi atau ilmu yang dikaji
bersama.
3. Pendidikan adalah wadah
yang menampung potensi
peserta didik.
4. Memiliki pandangan bahwa
manusia lahir dengan fitrah-
fitrah tertentu yang dapat
dikembangkan melalui
pendidikan humanis
5. Konsep pendidikan
mengarah kepembebasan,
tidak menindas.
1. Pendidikan Islam
mengajarkan adanya
penghargaan terhadap
eksistensi manusia yang
merupakan makhluk
beradab, berpikir, dan
memiliki kesadaran
2. Metode penerapan
pendidikan Islam
didasarkan pada
pandangan bahwa antara
pendidik dan peserta didik
sama-sama subjek dalam
proses belajar mengajar,
dan yang menjadi objek
adalah materi atau ilmu
yang dikaji bersama.
3. Pendidikan adalah wadah
yang menampung potensi
peserta didik
4. Memiliki pandangan
bahwa manusia lahir
dengan fitrah-fitrah
tertentu yang dapat
dikembangkan melalui
pendidikan humanis
5. Islam mengajarkan untuk
tidak menindas
80
PERBEDAAN
Konsep Pendidikan Humanis
Paulo Freire
Konsep Pendidikan Islam
1. Pendidikan tidak lain
hanyalah proses
humanisasi saja, yaitu
memanusiakan manusia.
2. Konsep pendidikan atas
dasar kemanusiaan yang
mengarah pada
humanisasi yaitu
penyadaran.
3. Hanya sebatas tentang
nilai-nilai psikologi
4. Konsep pendidikan Paulo
Freire tidak berlandaskan
agama.
5. Tidak membawa agama
untuk dijadikan sebagai
solusi permasalahan
rakyat
1. Pendidikan adalah salah satu
proses untuk menjadikan
manusia khalifah di bumi
dan membentuk menjadi
insan kamil.
2. Konsep pendidikan Islam
secara prinsip diletakkan
pada dasar-dasar ajaran
islam, yaitu fitrah manusia
sebagai makhluk pedagogik.
3. Pendidikan islam mampu
mengintegrasikan ilmu
agama dan ilmu umum.
4. Konsep pendidikan islam
melandasi pendidikannya
dengan agama
5. membawa agama untuk
dijadikan sebagai solusi
permasalahan rakyat.
81
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan dan Saran
Setelah menelaah Konsep Pendidikan Humanis Paulo Freire dalam
Perspektif Pendidikan Islam, maka penulis menyimpulkan bahwa pendidikan
humanis adalah suatu proses pendidikan yang hendak “memanusiakan” kembali
manusia dan diharapkan mampu membuat peserta didik menuju proses berpikir
bebas dan kreatif, karena model pendidikan ini menghargai potensi yang ada
pada setiap individu. Metode penerapan paradigma pendidikan humanis
didasarkan pada pandangan bahwa antara peserta didik dan pendidik sama-sama
subjek dalam proses belajar mengajar, dan yang menjadi objek adalah materi
atau ilmu yang dikaji bersama.
Pendidikan humanis Paulo Freire mempunyai corak kesamaan ide
dengan konsep pendidikan Islam secara khusus yaitu pendidikan sebagi wadah
untuk mengembangkan potensi peserta didik yang membebaskan. Pendidikan
humanis dan pendidikan Islam, memiliki relevansi dalam orientasi dan proses
pendidikan. Pendidikan humanis dan pendidikan Islam sama-sama sangat
menekankan humanisasi dan pembebasan sebagai orientasi pendidikan, serta
menempatkan peserta didik dan pendidik sama-sama sebagai subjek dalam
proses belajar mengajar.
Pendidikan sebagai suatu sistem merupakan suatu kesatuan yang utuh
dengan bagian-bagiannya yang berinteraksi satu sama lain. Jadi pendidikan
dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan aktivitas manusia yang terbentuk dari
bagian-bagian yang mempunyai hubungan fungsional dalam usaha mencapai
tujuan akhir pendidikan.
82
B. Saran
Dari hasil kesimpulan, penulis memberikan saran-saran yang bersifat
konstruktif bagi dunia pendidikan. Setelah melakukan penelitian Pendidikan
Humanis Paulo Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam maka penulis akan
menyumbangkan beberapa saran antara lain untuk:
1. Tokoh atau Pemikir Muslim
a. Konsep pendidikan humanis Paulo Freire tidak semuanya bertentangan
dengan konsep Islam. Sehingga, konsep pendidikan humanis Paulo
Freire yang sesuai bisa dijadikan sebuah khazanah bagi kaum muslim
agar tidak ragu untuk dapar dijadikan sebagai referensi dalam bidang
pendidikan Islam.
2. Pendidik
a. Bagi para pendidik, patut untuk lebih mempertimbangkan bagaimana
mengembangkan potensi siswa sesuai dengan tujuan pendidikan Islam
untuk memperbaiki mutu pembelajaran dan sebuah alternatif dalam
pemberantasan dehumanisasi.
b. Pendidik harus memahami peran dan tanggung jawabnya dengan
menerapkan nilai-nilai pendidikan humanis.
c. Dalam belajar hendaknya menngunakan model pembelajaran
disesuaikan dengan perkembangan ana
d. Pendidik tidak boleh memandang status sosial, ekonomi, suku, agama,
dalam pendidikan agar tidak terjadinya diskriminasi
e. Pendidik hendaklah memiliki sifat yang terbuka terhadap peserta
sehingga tidak membuat peserta didik tertekan
f. Pendidik hendaklah memiliki sifat yang menerima agar peserta didik
berani dalam menyampaikan pemikirannya.
83
3. Peneliti selanjutnya
a. Mengingat masih banyaknya naskah kepustakaan yang mengajarkan
tentang pendidikan humanis, maka perlu dilakukan penelitian yang
intensif oleh para peneliti.
b. Kumpulkan sebanyak-banyaknya bahan bacaan terkait judul penelitian
ini guna untuk menambah wawasan dan memperbanyak sudut pandang.
Akhirnya, dengan mengucapkan Al-hamdu lillahi rabbil’alamin
penelitan ini dapat terselesaikan. Semoga skripsi ini membawa manfaat
untuk menambah pengetahuan dan pengembangan khazanah keislaman,
amin.
84
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nurwadjah. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Hati yang Selamat Hingga Kisah
Luqma. Bandung: Marja, 2007
Amir, Jusuf. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani, 1995
Amiruddin. Pendidikan Humanis dalam Perspektif Paulo Freire Dan Tan Malaka.
jurnal Kariman. Volume 01, No. 01, 2015
Amirudin, Noor. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2018
Anwar, Muhammad. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2017
Arif, Arifudin. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kultura, 2008
Arifin, Zainul. Nilai Pendidikan Humanis-Religius. Jurnal An-Nuha. Vol.1, N0.2
Desember 2014
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2014
Baharuddin, Pendidikan Humanistik. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2017
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009
Burhanuddin, Hamam. Konsep Pendidikan Nilai Humanis Dalam Al-Qur’an. Jurnal
Pendidikan Islam. Volume 3 nomor 1, edisi Januari – Juni 2018
Dakhiri, Muhammad Hanif. Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Jakarta : Pena,
2000
Darajat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Darmadi, Hamid. Pengantar Pendidikan Era Globalisas,. Jakarta: Animage, 2019
85
Datunsolang, Rinaldi. Konsep Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Islam
(Studi Pemikiran Paulo Freire). Jurnal Manajemen Pendidikan Islam.
Volume 5, Nomor 1, Februari 2017
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grafindo, 1989
Effendy, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2012
Farida, Yushinta Eka. Humanisme dalam Pendidikan Islam. jurnal tarbawi. Vol.12,
No.1 Januari-Juni 2015
Freire, Paulo. Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum
Tertindas, terj. A.Widya Martaya. Yogyakarta: Kanisius, 2001
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. terj:tim redaksi Jakarta: LP3ES, 2008
Freire, Paulo. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Terj. Alois A. Nugroho.
Jakarta: Gramedia, 1984
Freire, Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan,
Penerjemah Agung Prihantoro dan Fuad Arif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007
Halimi, M. Fathi. Pendekatan Humanisme dalam Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal
Rausyan Fikr, Vol. 14, No. 1, Maret 2018
Haryanti, Nik. Ilmu Pendidikan Islam. Malang: Gunung Samudra, 2014
Herti, Yeti Dwi. Nilai-nilai Pendidikan Humanis dalam Surah An-Nisa Ayat 63.
Jurnal Kependidikan. Vol. 7, No. 1, Mei 2019
Hibana, Sodiq A, dkk. Pengembangan Pendidikan Humanis Religius di Madrasah.
86
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 3, No 1, Juni
2015
Idris, Saifullah dan Tabrani. Realitas Konsep Pendidikan Humanis Dalam Konteks
Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi Bimbingan Konseling. 2017
Imtima. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bakti Utama, 2007
Jalaluddin. Teolgi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Kadir, Abdul Ahmad Fauzi,dkk. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2014
Karim, Muhammad. Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2009
Kesuma, Dharma Teguh Ibrahim. Struktur Fundamental Paedagogik. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikh. Semarang: Thoha Putra, 1994
Koesoema, Doni. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo, 2007
Ma’arif, A. Syafi’i. Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991
Maksum, Ali dan Luluk Yunan. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern
dan Post Modern. Yogyakarta: Ircisod,2015
Maulana, Asep Suraya. Analisis Kritis Permasalahan Humanisasi Ilmu Agama.
Jurnal Islamic Studies. Vol.4, No.1, 2018
Mualim, Khusnul. Gagasan Pemikiran Humanistik Dalam Pendidikan. Journal Of
Basic Education. Vol. 01, No. 02 Januari-Juni 2017
87
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008
Mujib, Abdul Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2014
Mulkhan, Abdul Munir. Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Mulyadi. Pendidikan Islam: Sebuah Tantangan Bagi Pewarna Peradaban. Jurnal
Madania. Volume 2, No. 1, tahun 2012
Murtiningsih, Siti. Pendidikan Seabagai Alat Perlawanan. Yogyakarta; Resis Book,
2006
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2010
Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2012
Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2012
Neolaka, Amos dan Grace Amialia. Landasan Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2017
Qodir, Abd. Teori Belajar Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa.
Jurnal Pedagogik. Vol. 04, No. 02, Juli-Desember 2017
Rasyid, Abd. Pendidikan Humanis dalam Pandangan Paulo Freire. Jurnal Ekspose.
Volume 17, Nomor 1, Januari – Juni 2018
Rembangi, Mustofa. Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan
Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras, 2008
Sanusi, Uci dan Rudi Ahmad Suryadi. Imu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana ,2018
88
Sanusi, Hary Priatna. Beberapa Ciri Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama
Islam. Vol. 11 No.1, 2013
Shidiq, Sapiudun. Ushul Fikh. Jakarta: Kencana, 2014
SJ, Dennis E. Collins. Paulo Freire: His Life, Works and Though. New York: Paulist
Press, 1977
Sofya, zulkarnaen suleman. Metodologi Studi Islam Kontemporer. Gorontalo: Sultan
Amai Pres, 2013
Solichin, Mohammad Muchlis. Teori Belajar Humanistik dan Aplikasinya dalam
Pendidikan Agama Islam. Jurnal Studi Islam. Vol.5, No. 1, Juni 2018
Subaidi. Konsep Pendidikan Islam dengan Paradigma Humanis. Jurnal Tarbawi. Vol.
II, No. 2. Juli – Desember, 2014
Sudiarja, Budi subanar, dkk. Karya Lengkap Diryakaya. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2018
Sudiarja. Negara Minus Nurani. Jakarta: Kompas, 2009
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta. Ar-ruzz Media, 2014
Supriyanto. Paulo Freire: Biografi Sosial Intelektual Modernisme Pendidikan. Jurnal
Al-Ta’dib. Vol. 6, No. 2, Juli – Desember 2013
Suryadi Rudi Ahmad. dan Uci Sanusi, Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Deepublish, 2018
Sutrisno, Aliet Noorhayati. Telaah Filsafat Pendidikan. Yogyakart: Deepublish, 2014
89
Syafril dan Zelhendri. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2017
Syar’i, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Taruna, Tukiman. Analisi Organisasi dan Pola-pola Pendidikan. Semarang: UKS,
2017
Tilaar, H.A.R. Rian Nugroho. Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009
Tjaya, Thomas Hidya. Humanisme dan Skolastisisme. Yogyakarta: Kanisus, 2004
Trisanta, Afif Badawi. Implementasi Pendidikan Humanis di SMA Negeri 6
Yogyakarta. Jurnal Kebijakan Pendidikan. Vol. VI 2017
Wade, Carole dan Carol Tavris. Psikologi. Jakarta: Erlangga, 2014
Wahid, Hasanuddin. Arti Lapar bagi Anak Sekolah, dalam Saiful Arif,
PemikiranPemikiran Revolusioner. Malang: Pustaka Pelajar, 2003
Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan
Kihajar Dewantara. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009
Zaini, Nur. Konsep Pendidikan Humanis dan Implementasinya dalam Proses Belajar
Mengajar. Jurnal Kependidikan, Pembelajaran, dan Pengembangan. Vol. 01,
No. 01, Februari 2019
95
95
LEMBAR UJI REFERENSI SKRIPSI
Nama : Dwi Larasati
Dosen Pembimbing : Dr. Akhmad Sodiq, M.Ag
(Lembar Uji Referensi ini, telah disetujui. Ciputat, 05 Mei 2020
Dr. Akhmad Sodiq ., M.Ag)
No.
Footnote
BAB I
Referensi Buku
1
Nurhaida, M. Insya Musa, Dampak Pengaruh Globalisasi Bagi
Kehidupan Bangsa Indonesia, Jurnal Pesona Dasar, Vol.3, No.3, Apil
2015, hal. 1
2
Machful Indra Kurniawan, Tri Pusat Pendidikan Sebagai Sarana
Pendidikan Karakter Anak Sekolah Dasar, Jurnal Pedagogia, Volume.
4, No.1, Februari 2015 hal. 41
3
Hibana, Sodiq A, dkk, Pengembangan Pendidikan Humanis Religius di
Madrasah, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi,
Volume 3, No 1, Juni 2015. hal. 20
4 & 5 Uci Sanusi dan Rudi Ahmad Suryadi, Imu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana ,2018) hal. 1
6 Syafril dan Zelhendri, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta:
Kencana, 2017) hal. 30
7 Noor Amirudin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2018)
hal. 63-64
8 Hamid Darmadi, Pengantar Pendidikan Era Globalisas, (Jakarta:
Animage, 2019) hal. 16
9 Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani,
1995) hal. 218
96
10
Mohammad Muchlis Solichin, Teori Belajar Humanistik dan
Aplikasinya dalam Pendidikan Agama Islam, Jurnal Studi Islam, Vol.5,
No. 1, Juni 2018. hal. 2
11 Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Pena,
2000) hal. 4
12 Abd. Rasyid, Pendidikan Humanis dalam Pandangan Paulo Freire,
Jurnal Ekspose, Volume 17, Nomor 1, Januari – Juni 2018, hal. 517
13
Abd. Qodir, Teori Belajar Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi
Belajar Siswa, Jurnal Pedagogik, Vol. 04, No. 02, Juli-Desember 2017,
hal. 193
14 Tukiman Taruna, Analisi Organisasi dan Pola-pola Pendidikan,
(Semarang: UKS, 2017) hal. 82-83
15 & 16
Khusnul Mualim, Gagasan Pemikiran Humanistik Dalam Pendidikan,
Journal Of Basic Education, Vol. 01, No. 02 Januari-Juni 2017, hal. 4
& 84
17 Ali Maksum dan Luluk Yunan, Paradigma Pendidikan Universal di
Era Modern dan Post Modern, (Yogyakarta: Ircisod,2015) hal. 187
18
Nur Zaini, Konsep Pendidikan Humanis Dan Implementasinya Dalam
Proses Belajar Mengajar, Jurnal Kependidikan, Pembelajaran, dan
Pengembangan, Vol 01, No 01, 2019, hal. 71-72
19 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2012), hal.
1
20
Rinaldi Datunsolang, Konsep Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif
Islam, Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Volume 5, Nomor 1,
Februari 2017 hal.141
21
Mulyadi, Pendidikan Islam: Sebuah Tantangan Bagi Pewarna
Peradaban, Jurnal Madania, Volume 2, No. 1, tahun 2012, hal. 47
BAB II
97
1 Abdul Kadir, Ahmad Fauzi,dkk, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta:
Kencana, 2014) hal. 59
2 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2007) hal.
53
3 & 4 Amos Neolaka dan Grace Amialia, Landasan Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2017) hal. 15
5 Imtima, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Bandung: Imperial Bakti
Utama, 2007) hal.19
6 & 7 Muhammad Anwar, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2017) hal.
124 & 126
8-10 Aliet Noorhayati Sutrisno, Telaah Filsafat Pendidikan, (Yogyakart:
Deepublish, 2014), hal. 12-14
11 Yeti Dwi Herti, Nilai-nilai Pendidikan Humanis dalam Surah An-Nisa
Ayat 63, Jurnal Kependidikan, Vol. 7, No. 1, Mei 2019, hal.158
12 Yushinta Eka Farida, Humanisme dalam Pendidikan Islam, jurnal
tarbawi , Vol.12, N0.1 Januari-Juni 2015, hal. 108
13 Carole Wade dan Carol Tavris, Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 2014)
hal. 23
14 Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolastisisme, (Yogyakarta:
Kanisus, 2004) hal. 17
15 Asep Suraya Maulana, Analisis Kritis Permasalahan Humanisasi Ilmu
Agama, Jurnal Islamic Studies, Vol.4, No.1 2018, hal. 53
16
Saifullah Idris dan Tabrani, Realitas Konsep Pendidikan Humanis
Dalam Konteks Pendidikan Islam, Jurnal Edukasi Bimbingan
Konseling, 2017
17
Afif Badawi Trisanta, Implementasi Pendidikan Humanis di SMA
Negeri 6 Yogyakarta, Jurnal Kebijakan Pendidikan, Vol. VI 2017, hal.
100-103
98
18 Zainul Arifin, Nilai Pendidikan Humanis-Religius, Jurnal An-Nuha,
Vol.1, N0.2 Desember 2014, hal. 221
19 Subaidi, Konsep Pendidikan Islam Dengan Paradigma Humanis, Jurnal
Tarbawi, Vol. II. No. 2, Jull - Desember 2014, hal. 64
20
Hamam Burhanuddin, Konsep Pendidikan Nilai Humanis Dalam Al-
Qur’an, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 3 nomor 1, edisi Januari –
Juni 2018, hal. 62
21 Baharuddin, Pendidikan Humanistik, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media,
2017) hal. 14
22 & 23 Tukiman Taruna, Analisi Organisasi dan Pola-pola Pendidikan,
(Semarang: UKS, 2017) hal. 84
24 & 25
Nur Zaini, Konsep Pendidikan Humanis dan Implementasinya dalam
Proses Belajar Mengajar, Jurnal Kependidikan, Pembelajaran, dan
Pengembangan, Vol. 01, No. 01, Februari 2019, hal. 63-64
26 Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Grafindo,
1989) hal. 181-182
27 Sudiarja, Budi subanar, dkk, Karya Lengkap Diryakaya (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2018 ), hal. 11
28 Sudiarja, Negara Minus Nurani (Jakarta: Kompas, 2009), hal. 175
29
Nur Zaini, Konsep Pendidikan Humanis Dan Implementasinya Dalam
Proses Belajar Mengajar, Jurnal Kependidikan, Pembelajaran, dan
Pengembangan, Vol. 01, No. 01, Februari 2019, hal. 64-65
30 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hal. 7
31 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 7-
21
32 & 33 Rudi Ahmad Suryadi dan Uci Sanusi, Ilmu Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Deepublish, 2018), hal. 7-9
34 M. Fathi Halimi, Pendekatan Humanisme dalam Perspektif Pendidikan
Islam, Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 14, No. 1, Maret 2018, hal. 136
99
35 Jalaluddin, Teolgi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), hal. 78-79
36 Nik Haryanti, Ilmu Pendidikan Islam, (Malang: Gunung Samudra, 2014),
hal. .9
37 Sapiudun Shidiq, Ushul Fikh, (Jakarta: Kencana, 2014) hal. 27
38 Nik Haryanti, Ilmu Pendidikan Islam, (Malang: Gunung Samudra, 2014),
hal. 19
39 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikh, (Semarang: Thoha Putra,
1994), hal. 40
40 Satria Effendy, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 245
41 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.
62
42 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Ar-ruzz Media,
2014), hal. 87-88
43 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), hal. 29
44 Hary Priatna Sanusi, Beberapa Ciri Pendidikan Islam, Jurnal
Pendidikan Agama Islam Vol. 11 No.1, 2013, hal.71-74
45 Baharuddin, Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, (Yogyakarta: Ar-ruzz
media, 2017), hal. 170-171
46 & 47 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
hal. 29 & 181
48 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006),
hal. 116.
49 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hal. 88-89
50 Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Hati yang Selamat
Hingga Kisah Luqman, (Bandung: Marja, 2007), hal. 88
51 Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2014), hal. 105
100
52 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.
307
BAB III
1 Kuncoro Ningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT
Gramedia, 1989), hal. 7
2 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 32008), hal. 6
3 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008), hal. 3
4 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2011), hal. 60
5 Muri Yususf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hal. 367
6
Suharsimi Arikunto, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2013), hal. 266
BAB IV
1
Rinaldi Datunsolang, Konsep Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif
Islam (Studi Pemikiran Paulo Freire), Jurnal Manajemen Pendidikan
Islam, Volume 5, Nomor 1, Februari 2017, hal. 134
2 & 3 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2012), hal. 257
4 Amiruddin, Pendidikan Humanis dalam Perspektif Paulo Freire Dan Tan
Malaka, jurnal Kariman, Volume 01, No. 01, 2015, hal. 22-23
5 Muhammad Hanif Dakhiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan,
(Jakarta: Pena, 2000), hal. 18.
101
6
Supriyanto, Paulo Freire: Biografi Sosial Intelektual Modernisme
Pendidikan, Jurnal Al-Ta’dib, Vol. 6, No. 2, Juli – Desember 2013, hal.
101
7 Dennis E. Collins, SJ, Paulo Freire: His Life, Works and Though, (New
York: Paulist Press, 1977), hal. 6
8 Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, Terj. Alois A.
Nugroho, (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 30
9 Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, (Yogyakarta;
Resis Book, 2006), hal. 18
10, 11 &
12
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hal. 265-267
13 Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, kekuasaan dan
pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 51
14 A. Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan
Fakta, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), hal. 15
15
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem
Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal. 180-
188
16 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj:tim redaksi (Jakarta:
LP3ES, 2008), hal. 33
17
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paulo
Freire dan Kihajar Dewantara, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009),
hal. 145.
18
Hasanuddin Wahid, Arti Lapar bagi Anak Sekolah, dalam Saiful Arif,
PemikiranPemikiran Revolusioner, (Malang: Pustaka Pelajar, 2003), hal.
154
19 & 20 Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 82-84 & 187
102
21-22 Muhammad Karim, Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media,
2009), hal. 211-212.
23 Sofya, zulkarnaen suleman, Metodologi Studi Islam Kontemporer,
(Gorontalo: Sultan Amai Pres, 2013), hal. 9
24 Arifudin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura,
2008), hal. 36
25 & 26 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006),
hal. 116 & 120
27 Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Hati yang Selamat
Hingga Kisah Luqman, (Bandung: Marja, 2007), hal. 88
28 Abudidin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005), hal. 131
29 Arifudin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura,
2008), hal. 41
30
Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi
Kaum Tertindas, terj. A.Widya Martaya, (Yogyakarta: Kanisius, 2001),
hal. 66
31 H.A.R. Tilaar, Rian Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hal. 63-66.
32
Moh Yamin, Menggugat Pendidikan di Indonesia: Belajar dari Paolo
Freire dan Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2009), hal.
12
33
Mustofa Rembangi, Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis
Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi,
(Yogyakarta: Teras, 2008), hal.27
34 Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group2008), hal. 53
35 Arifudin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura,
2008), hal. 36
103
36 Subaidi , Konsep Pendidikan Islam Dengan Paradigma Humanis,
Jurnal Tarbawi, Vol. II, No. 2. Juli – Desember, 2014, hal. 17
37
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2008), hal. 36
BIODATA PENULIS
Dwi Larasati, lahir di Bengkulu, 19 Juni 1998.
Penulis tinggal di provinsi Banten tepatnya di
Tangerang Selatan. Penulis memulai Pendidikan di
TK Harapan Bunda Bengkulu pada tahun 2003.
Kemudian melanjutkan ketingkat Sekolah Dasar
pada tahun 2004-2010 di SDN O1 Napal Putih.
Penulis melanjutkan Pendidikan ketingkat
Madrasah Tsanawiyah (2010) dan Madrasah Aliyah
(2013) di Pondok Modern Al-Hasanah Bengkulu. Setelah lulus MA Penulis
melanjutkan kuliah S1 pada tahun 2016 di Universitan Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, mengambil program studi Pendidikan Agama Islam, dan kuliah
D4 di Kampus Kahfi BBC Motivator School pada tahun 2016. Selama mengikuti
masa perkuliahan ada banyak hal yang telah penulis dapatkan terutama dalam hal
organisasi. Adapun organisasi yang penulis ikuti adalah HMJ PAI dan SEMA FITK,
selain itu penulis aktif dalam berbagai acara di Kampus Kahfi BBC Motivator School.