Upload
dinhmien
View
319
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF
SURAT ASH-SHAFF AYAT 2-3
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat
Guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam
Dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Oleh :
JUNARDI
(073111099)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Junardi
NIM : 073111099
Jurusan/ Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/ karya saya sendiri,
kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 12 November 2011
Saya yang menyatakan,
Junardi
NIM.073111099
iii
iv
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan, Semarang, Telp. (024)7601295
Fax7615387 Semarang 50185
NOTA PEMBIMBING Semarang, November 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
assalamu ‘alaikum wr. Wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah
skripsi denagan :
Judul : Pendidikan Karakter Perspektif Surat Ash-Shaff Ayat 2-3
Nama : Junardi
NIM : 073111099
Jurusan/ Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah.
Wassalamu ‘alaikum wr. Wb.
Pembimbing I
Drs. H. Mat Sholikhin, M. Ag
NIP. 19600524 199203 1 001
v
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan, Semarang, Telp. (024)7601295
Fax7615387 Semarang 50185
NOTA PEMBIMBING Semarang, November 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
assalamu ‘alaikum wr. Wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah
skripsi denagan :
Judul : Pendidikan Karakter Perspektif Surat Ash-Shaff Ayat 2-3.
Nama : Junardi
NIM : 073111099
Jurusan/ Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah.
Wassalamu ‘alaikum wr. Wb.
Pembimbing II
Dr. H. Hamdani, M.Ag
NIP. 19720405 199903 1 001
vi
ABSTRAK
Junardi ( NIM: 073111099 ), Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Surat Ash-
Shaff, Skripsi. Semarang: Program Strata I Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN
Walisongo Semarang, 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Apakah pendidikan karakter itu?, dan
bagaimanakah pendidikan karakter dalam perspektif surat Ash-Shaff ayat 2-3? “
Penelitian ini menggunakan metode riset kepustakaan (library research) dengan teknik
analisis deskriftif kualitatif. Kemudian data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan
metode Maudlu’i dan Tahlili. Sumber data primer yaitu Al-Qur’an, sedangkan data
sekundernya yaitu literatur-literatur lainnya yang berkaitan denga judul di atas seperti halnya
tafsir-tafsir, dan buku-buku lainnya.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa: Surat Ash-Shaff ayat 2-3 dalam penjelasannya
adalah mengenai konsistensi dan keterpaduan antara perkataan dan perbuatan seseorang,
jujur, berani berjuang, bertanggungjawab serta menghindari sifat munafik yang mana sifat
munafik tersebut termasuk sifat yang tercela dan sangat berbahaya kepada pribadi pelakunya,
dan bahkan berdampak buruk kepada orang lain.
Pendidikan karakter di sini pada hakikatnya ingin membentuk individu menjadi
seorang pribadi bermoral dan berakhlaq al-karimah yang dapat menghayati kebebasan dan
tanggung jawabnya, dalam relasinya dengan orang lain dan dunianya di dalam komunitas
pendidikan. Komunitas pendidikan ini bisa memiliki cakupan lokal, nasional, maupun
internasional (antar negara). Dengan demikian, pendidikan karakter senantiasa mengarahkan
diri pada pembentukan individu bermoral, jauh dan waspada dari sifat-sifat kemunafikan dan
sifat tercela, cakap mengambil keputusan yang tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu
berperan aktif dalam membangun kehidupan bersama. Singkatnya, bagaimana membentuk
individu yang menghargai kearifan nilai-nilai local, budaya dan adat istiadat sekaligus
menjadi warganegara dalam masyarakat global dengan berbagai macam nilai yang
menyertainya.
vii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah menganugerahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga menjadikan lebih bermakna
dalam menjalani hidup ini. Terlebih lagi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa cahaya ilahi kepada umat manusia sehingga dapat mengambil manfaatnya
dalam memnuhi tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan , saran –
saran serta motivasi dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
Suatu keharusan bagi pribadi penulis untuk menyampaikan terimakasih kepada:
1. Suja’i, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah
merestui pembahasan skripsi ini.
2. Drs. Darmu’in, M. Ag, selaku Dosen Wali Studi yang telah banyak berjasa kepada penulis
untuk membimbing selama masa studi.
3. Drs. H. Mat Sholikhin, M.Ag dan Dr. H. Hamdani, M.Ag selaku pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan,
pengarahan, petunjuk dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para dosen di lingkungan Fakultas Tarbiyah yang telah membekali berbagai ilmu
pengetahuan selama menempuh studi di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
5. Bapak / Ibu karyawan perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan perpustakaan IAIN Walisongo
Semarang atas pelayanan buku selama penyusunan skripsi.
6. Ayahanda Tamso dan Ibunda Suharni tercinta yang tidak pernah lelah menyanyangiku dan
membalas kebandelan, kenakalan juga kecerobohanku dengan belaian kasih serta untaian
kata sayang demi keberhasilan dan kesuksesanku.
7. Kakak-kakak dan adikku: Rustiami, Ahmad Zaeni, M. Arifin dan Uswatun Chasanah serta
saudara-saudara keponakanku dan semua yang senantiasa memberikan semangat dan
memperjuangkan segalanya demi suksesnya penulis menuntut ilmu.
8. Shahabat-shahabatku Ahmad Yusuf, Saikhul Aris, Azka Fahmi, Muh. Badruzzaman, M.
Rifai, Akhla Syafi, dan teman-teman senasib seperjuangan yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
viii
Harapan dan do’a penulis, semoga amal dan jasa-jasa baik dari mereka semua dapat
diterima di sisi Allah SWT dan mendapat balasan pahala yang lebih baik serta mendapat
kesuksesan baik itu di dunia dan di akhirat kelak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan dalam makna yang sesungguhnya, akan tetapi penulis berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat, baik bagi penulis maupun bagi pembaca pada
umumnya. Amin.
Semarang,12 November 2011
Penulis
Junardi
NIM. 073111099
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL. ........................................................................................... ................i
PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................. ...............ii
PENGESAHAN .................................................................................................... ..............iii
NOTA PEMBIMBING ......................................................................................... ..............iv
ABSTRAK ............................................................................................................ ..............vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... .............vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ..............ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah ................................................................... ...............1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ ...............4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ ...............5
D. Kajian Pustaka ................................................................................. ...............5
E. Kerangka Teoritik........................................................................................6
F. Metode Penelitian........................................................................................7
BAB II : URGENSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN KARAKTER
A. Pengertian Pendidikan Karakter...................................................................9
B. Urgensi Pendidikan Karakter ........................................................... ..............18
C. Tujuan Pendidikan Karakter ............................................................ ..............26
D. Pendidikan Karakter di Sekolah ..................................................... ..............32
BAB III : DESKRIPSI SURAT ASH-SHAFF AYAT 2-3
A. Teks dan Terjemahan Surat Ash-Shaff Ayat 2-3
1. Redaksi Teks ............................................................................. ..............40
2. Arti Teks Ayat ........................................................................... ..............40
B. Mufradat ................................................................................................. ..............40
C. Asbab Al-Nuzul ............................................................................... ..............41
D. Munasabah ....................................................................................... ..............44
x
E. Isi Kandungan Surat Ash-Shaff Ayat 2-3 ........................................ ..............47
BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF SURAT
ASH-SHAFF AYAT 2-3....................................................................................55
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... ...............69
B. Saran-Saran ..................................................................................... ...............69
C. Penutup ........................................................................................... ...............71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia bertubi-tubi terkena musibah, tidak hanya musibah
alam berupa guncangan gempa diberbagai daerah tetapi juga gempa-gempa
sosial, agama, politik, ekonomi dan hukum. Munculnya peristiwa satu dan
yang lainnya hampir-hampir tidak berjarak. Belum lepas dari ingatan bangsa
Indonesia bagaimana dahsyatnya musibah tsunami Aceh, gempa dahsyat di
Yogya, Tasikmalaya dan Padang, kemudian diiringi dengan peristiwa bom
bunuh diri di berbagai daerah.
Disusul pemilihan umum dan pemilukada yang diwarnai money politik
dngan berbagai intrik-intrik dan kecurangan yang melekat didalamnya,
diselingi kekerasan yang berbasis ideologi agama, tawuran antar kelompok
pemuda dan warga desa, diramaikan pula dengan ledakan bank centuri yang
mengguncang dunia politik serta makelar kasus dan mafia peradilan
perpajakan yang menyeret Gayus dengan kekayaannya yang fantastis dengan
melibatkan aparat penegak hukum baik di kepolisian, kejaksaan maupun
kehakiman. Kemudian yang paling baru adalah kasus mantan bendahara
Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin yang merupakan otak suap wisma
atlet yang melibatkan orang-orang dibelakangnya termasuk Sekretaris
Menpora dan tersangka lainnya.1
Lengkaplah sudah gempa alam, sosial, agama, politik dan hukum
yang diderita bangsa ini, sehingga masuk rangking tertinggi dalam daftar urut
negara terkorup di Dunia. Hal-hal tersebut menunjukkan betapa rendahnya
kualitas karakter manusia Indonesia. Krisis multidimensi, krisis etika, krisis
kepercayaan diri, krisis kepercayaan sosial belum berakhir dan cenderung
menjadi-jadi.
1 Koran Suara Merdeka, (Jawa Tengah, 25 Juli 2011 ), hlm.1
2
Mengapa bangsa dan manusia Indonesia, yang biasa mengklaim
dirinya religius, mengidap penyakit akut “Split of personality” (Kepribadian
yang terpecah)? Yaitu, keterpecahan atau tidak kemampuan menyatukan
perkataan dan perbuatan, antara teori dan praktek.2 Semua orang (bisa jaksa,
guru, polisi, hakim, guru, dosen, pejabat negara), bahkan orang-orang
beragama, tokoh partai, tokoh organisasi dan lain sebagainya yang hafal
tentang rumus-rumus, undang-undang, ayat-ayat, tetapi tidak mampu
melaksanakan apa yang ia ketahui dan ia hafal dalam kehidupan sehari-hari,
mudah tergoda oleh berbagai bujuk rayu, iming-iming, kepentingan golongan,
ekonomi agama, partai dan lain sebagainya.
Penyakit Split of Personality ini dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shaff
(61), ayat 2-3, sebagai berikut:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.”3
Melihat pada keadaan di Indonesia saat ini, dengan menoleh atas
beberapa hal tersebut di atas, bangsa Indonesia sangat memerlukan sumber
manusia dalam jumlah dan mempunyai kualitas karakter yang memadai
sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumber
daya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting, untuk
menggugah bangsa ini dan warga negaranya serta masyarakat sipil, pejabat
negara, institusi sosial kemasyarakatan dan keagamaan untuk instropeksi diri
2 http://aminabdullah.wordpress.com/pendidikan-karakter-mengasah-kepekaan-hati-nurani/
29 Juli 2011 3 Teungku Muh. Hasbi Ash-Shaddiqie, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2003), Cet.II, hlm.4205
3
serta melakukan langkah-langkah perbaikan menangani krisis
multidimensional bangsa ini.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.4
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan secara sistematis guna
mencapai tujuan tersebut. Penyelenggaraan sistem pendidikan ini merupakan
upaya perubahan terencana untuk meningkatkan sumber daya manusia serta
dapat membuka pengetahuan, kesadaran dan pemahaman mengenai diri
maupun lingkungan di sekitarnya, sehingga bermanfaat dalam melakukan
perubahan yang lebih baik.5
Hal tersebut berkaitan juga dengan pembentukan karakter peserta
didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan
berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard
University Amerika Serikat (ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi
lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard
skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di
dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill
daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter
peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
4 Undang-Undang SISDIKNAS (UU RI No 20 Th. 2003), (Jakarta:Sinar Grafika, 2009),
hlm.7 5 Iskandar Agung dan Nadirah Rumtini, Pendidikan Membangun Karakter Bangsa, (Jakarta:
Bestari Buana Murni, 2011), hlm.56
4
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku
yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga,
masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan
yang dapat di pertanggung jawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter
mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktifasi otak tengah secara
alami.6
Dalam pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah kepatuhan akan nilai-nilai
sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya.
Pendidikan karakter disini dalam rangka menanggapi atau merespon
atas isi kandungan Surat As-Shaff ayat 2-3, agar tercapainya tujuan
pendidikan yang berpijak pada karakter dasar manusia, yang bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut) serta bersumber dari agama seperti
halnya cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung
jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli dan kerjasama, percaya
diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan;
baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan.7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka penulis akan
kemukakan rumusan masalah yaitu “Bagaimana pendidikan karakter dalam
perspektif surat Ash-Shaff ayat 2-3.”
6 D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi
Publishing, 2010), hlm. 1-2 7 Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, (Semarang: IAIN Walisongo
Semarang, 2010), hlm.39
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah: “Untuk mengetahui
bagaimana pendidikan karakter dalam perspektif surat Ash-Shaff ayat 2-3”.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara akademik, penelitian ini bisa memperkaya wawasan keilmuan,
khususnya kajian pendidikan dan memberikan suatu pandangan atau
warna baru.
2. Sebagai sumbangan pikiran dalam rangka peningkatan pendidikan agama
Islam.
D. Kajian Pustaka
Dalam sebuah kegiatan penelitian, baik lapangan maupun literal, maka
tidak lepas dari penelitian atau berangkat dari landasan teori yang merupakan
hasil penelitian atau pemikiran sebelumnya. Dengan demikian penelitian yang
dilakukan saat ini berangkat dari teori yang sebelumnya telah membahas
penelitian terhadapnya.
Beberapa buah karya yang telah membahas mengenai pendidikan
karakter antara lain sebagai berikut:
a. M. Sofyan al-Nashr dalam skripsinya Pendidikan karakter berbasis
kearifan lokal telaah pemikiran KH. Abdurrahman Wahid menunjukkan
bahwa penanaman nilai-nilai moral moral khas Indonesia dapat
dilakukan melalui pendidikan, maka kearifan lokal (tradisi dan ajaran
agama Islam) harus dijadikan ruh dalam proses pendidikan tersebut. Dan
representasi dari pendidikan karakter berbasis kearifan lokal terdapat
dalam pesantren (yang oleh Gus Dur dikatakan sebagai subkultur
kehidupan masyarakat), sebuah model pendidikan yang dianggap kolot,
jadul dan ketinggalan zaman. Akan tetapi, nilai-nilai hidup yang
berkarakter khas Indonesia masih tetap terjaga di pesantren.8
8 M.Sofyan al-Nashr, Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal, Skripsi (Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2010 )
6
b. Fihris dalam dalam buku laporan individunya Pendidikan Karakter Di
Madrasah Salafiyah (Studi Kasus Madrasah Salafiyah Girikusumo
Demak) yang menjelaskan bahwa; salah satu model pendidikan karakter
yang diyakini efektif oleh banyak kalangan sekarang ini adalah model
pendidikan “Madrasah berbasis pesantren” atau boarding school dengan
beragam variasinya sebagai sistem pendidikan tertua dalam sejarah
pendidikan negeri ini. Sistem pendidikan ini bukan saja memberikan
pengetahuan kognitif kepada santri, tetapi juga sekaligus bersama-sama
belajar membudayakan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, suatu
kombinasi antara ilmu pengetahuan dan budaya, antara learning to know
dengan learning to do.9
c. Doni Koesoema A. yang berjudul Pendidikan Karakter; Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global : 2010. D. Yahya Khan yang berjudul
Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri : 2010. Masnur Muslich,
Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional:
2011. Serta buku-buku yang membahas tentang pendidikan karakter dan
penjelasan-penjelasan dari surat Ash Shafh ayat 2-3.
E. Kerangka Teoritik
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan
adat istiadat. Menurut pendapat Qodri Azizy pendidikan adalah suatu usaha
sadar untuk mengembangkan kepribadian peserta didik.10
Pendidikan dalam
hal ini lebih bermakna luas, yakni segala usaha dan perbuatan yang bertujuan
mengembangkan potensi diri menjadi lebih dewasa. Jadi bukan sekedar
pendidikan formal sekolah yang terbelenggu dalam ruang kelas.
9 Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.iii
10 Qodri Azizy, Membangun Integritas Bangsa, (Jakarta: Renaisan, 2004), hlm.73
7
Menurut Doni A. Koesoema pendidikan karakter adalah usaha yang
dilakukan secara individu dan sosial dalam menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri.11
Pendidikan ini
merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang berakhlak
mulia.
Jadi, karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi
ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik
adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Dalam pendidikan karakter ada yang berupa berbasis potensi diri,
merupakan pendidikan yang tidak saja membimbing dan membina setiap
anak didik untuk memiliki kompetensi intelektual (kognitif), kompetensi
ketrampilan mekanik (pshicomotoric), tetapi juga berfokus pada pencapaian
pembangunan karakter (affective).12
F. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan riset kepustakaan (Library
Research) yaitu suatu riset kepustakaan atau penelitian kepustakaan murni.13
Metode riset ini dipakai untuk mengkaji sumber-sumber tertulis. Sebagai data
primernya adalah Al-Quran dan buku-buku tafsir. Di samping juga tanpa
mengabaikan sumber-sumber lain dan tulisan valid yang telah dipublikasikan
untuk melengkapi data-data yang diperlukan. Misalnya kitab-kitab, buku-
11
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
(Jakarta: Grafindo, 2010), cet. II, hlm.194. 12
D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi
Publishing, 2010), hlm. 14 13
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001), hlm.9
8
buku, dan lain sebagainya yang ada kaitannya dengan masalah yang penulis
teliti sebagai data sekunder.14
Sedang dalam menganalisis dan menelaah data, peneliti menggunakan
metode tahlili. Metode tahlili berarti mejelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dengan
meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh aspeknya, mulai dari uraian
makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar
pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al-
munasabat) dengan bantuan asbab an-nuzul, munasabat15
(keterkaitan ayat
dengan ayat, surat dengan surat dan seterusnya ) riwayat-riwayat berasal dari
Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti
susunan muskhaf, ayat perayat, dan surat-persurat. Metode ini terkadang
menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi nabi sampai tabi’in;
terkadang pula di isi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi
khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami al-Qur'an yang
mulia ini.16
14
Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian, (jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm.10 15
Syahrin Harahap, Islam Dinamis, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm.49 16
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudlu’i dan Cara Penerapannya, terj. Rosihon
Anwar , (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hlm. 23;24.
9
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER
A. Pengertian Pendidikan Karakter
Pengertian pendidikan secara sempit atau sederhana adalah sekolah,
pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal.1 Pendidikan dalam arti teoritik filosofis adalah pemikiran manusia
terhadap masalah-masalah kependidikan untuk memecahkan dan menyusun
teori-teori baru dengan mendasarkan kepada pemikiran normatif, spekulatif,
rasional empirik, rasional filosofik, maupun historik filosofik. Pendidikan
dalam arti praktik adalah suatu proses pemindahan pengetahuan atau
pengembangan potensi-potensi yang dimiliki subyek didik untuk mencapai
perkembangan secara optimal, serta membudayakan manusia melalui proses
transformasi nilai-nilai yang utama.2
Menurut pendapat Qodri Azizy pendidikan adalah suatu usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian peserta didik.3 Pendidikan dalam hal ini
lebih bermakna luas, yakni segala usaha dan perbuatan yang bertujuan
mengembangkan potensi diri menjadi lebih dewasa. Jadi bukan sekedar
pendidikan formal sekolah yang terbelenggu dalam ruang kelas.
Pendidikan menurut John Dewey4 merupakan proses pembentukan
kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan
sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini agar generasi muda sebagai
penerus generasi tua dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilai-nilai
atau norma-norma tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman,
1 Ara Hidayat & Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Educa,
2010), hlm.30 2 Mursid, Kurikulum dan pendidikan Anak Usia Dini, (Semarang: Akfi Media, 2009), hlm.56
3 Qodri Azizy, Membangun Integritas Bangsa, (Jakarta: Renaisan, 2004), hlm.73
4 John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang termasuk Mazhab
Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam
bidang pendidikan. Dewey dilahirkan di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan
studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan juga dalam bidang
pendidikan di beberapa universitas. Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih
dari 700-an artikel. Dewey meninggal dunia pada tahun 1952.
10
pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai
dan norma-norma hidup dan kehidupan.5
Pendidikan merupakan proses perubahan atau pengembangan diri
anak didik dalam segala aspek kehidupan sehingga terbentuklah suatu
kepribadian yang utuh (insan kamil) baik sebagai makhluk sosial, maupun
makhluk individu, sehingga dapat beradaptasi dan hidup dalam masyarakat
luas dengan baik. Termasuk bertanggung jawab kepada diri sendiri, orang
lain, dan Tuhannya.6
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,7 pendidikan
diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Noeng
Muhadjir8 mensyaratkan bahwa aktivitas pendidikan adalah aktifitas interaktif
antara antara pendidik dengan subyek yang dididik untuk mencapai tujuan
yang baik dengan cara yang baik dan dalam konteks positif.9
Sedangkan, karakter dalam kamus besar bahasa Indonesia, berarti
watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan orang yang lain.10
Karakter juga bisa diartikan tabiat, yaitu
peringai atau perbuatanyang selalu dilakukan atau kebiasaan, ataupun bisa
5 Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 67 6 Hasan Hafidz, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, (Solo: Ramadhani, 1989), hlm. 12.
7 Undang-Undang SISDIKNAS (UU RI No 20 Th. 2003), (Jakarta:Sinar Grafika, 2009),
hlm.3 8 Noeng Muhadjir adalah Pakar Kebijakan Pendidikan, mantan Rektor Universitas Ahmad
Dahlan dan Guru Besar Pascasarjana dalam Filsafat Ilmu, Penelitian, dan Kebijakan di Program
Pascasarjana berbagai Perguruan Tinggi sejak 1984., Lahir di Bukittinggi, 13 Nopember 1930.
Setelah SMA beliau masuk Fakultas Sastra, Pedagogik, dan Filsafat di UGM (1952) beliau juga
menyelesaikan S3 ditempat yang sama. Setelah menjadi Dekan di almamaternya selama 3 periode,
beliau mempergunakan waktu untuk studi keluar negeri seperti : Oklahoma State University
(1973), Harvard University (1978) untuk studi Administration for higher education dan policy and
planning dan University of Iowa (1994). 9 Mursid, Kurikulum dan pendidikan Anak Usia Dini, hlm.57
10 Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai pustaka, 1998), hlm.389
11
diartikan watak, yaitu sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap
pikiran dan tingkah laku atau kepribadian.11
Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur‟an, manusia adalah
makhluk dengan berbagai karakter. Dalam kerangka besar manusia
mempunyai dua karakter yang berlawanan, yaitu karakter baik dan buruk.
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kejahatan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.”(QS. Asy-Syam: 8-10).12
Karakter juga merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.13
Sedangkan menurut Suyanto14, karakter merupakan cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan
dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.15
Ratna Megawangi16 menyampaikan bahwa istilah karakter ini
diambil dari bahasa yunani yang berarti „to mark‟ (menandai). Istilah ini lebih
11
Najib sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya: PT JePe Press Media Utama,
2010), hlm.1 12
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Tafsir Al Bayan, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2002), hlm. 1032 13
Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, http://edukasi.kompasiana.com/konsep-urgensi-dan-
implementasi - pendidikan-karakter-di-sekolah/ 29 September 2011 14
Suyanto yaitu pakar pendidikan Indonesia, mantan Rektor UNY Jogjakarta serta Dirjen
Manajemen Pendidikan Dasar Menengah KemenDikNas. Beliau lahir di Magetan, Jatim, 2 Maret
1953. Beliau dikenal sebagai cendekiawan tanah air, lulusan S-3 di College of Education,
Michigan State University, AS (1986), dan banyak menelurkan ide-ide unik seputar dunia
pendidikan. 15
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
hlm.67 16
Ratna Megawangi lahir di Jakarta, 24 Agustus 1958. Dia perempuan cerdas dan
berkarakter kuat. Muslimah bergelar doktor dan post doctoral ini adalah pelopor pendidikan
12
fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter.
Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila
seseorang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus, tentu saja orang tersebut
memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya apabila seseorang berperilaku
jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter
mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang
potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri,
rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani,
dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah,
pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti,
berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja,
bersemangat, dinamis, sportif, tabah, hemat/efisien, menghargai waktu,17
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan
(estetis), terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang
terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif
sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai
dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).18
holistik berbasis karakter di Indonesia. Pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage
Foundation (Yayasan Warisan Luhur Indonesia), yang mengelola hampir 100 sekolah karakter di
berbagai penjuru tanah air, ia juga seorang penulis terkemuka. Buku dan artikel dosen dan lulusan
terbaik IPB (1982) ini sering menjadi perdebatan hangat dan best seller salah satunya adalah
“Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender”. 17
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, (Semarang: IAIN Walisongo
Semarang, 2010), hlm.24 18
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.24-25
13
Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan „personality‟,
Seseorang baru bisa disebut „orang yang berkarakter‟ (a person of character)
apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Adapun berkarakter menurut
Fihris yaitu berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.
Tadkiroatun Musfiroh19 (UNY, 2008) menyatakan bahwa; karakter mengacu
kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi
(motivations), dan keterampilan (skills).20
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter itu
berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi
orang berkarakter adalah orang yang memiliki kualitas moral (tertentu)
positif. Dengan demikian, pendidikan adalah membangun karakter, yang
secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang
didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang yang positif atau yang
baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Hal ini didukung oleh pakar pendidikan Amerika Serikat, Peterson
dan Seligman21
yang mengaitkan secara langsung character strenght dengan
kebajikan. Character strenght dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang
membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari character
strenght adalah karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan
sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan
yang baik, dan bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.22
Sebenarnya pembangunan karakter bangsa dikumandangkan sejak
awal negara ini lahir. Tetapi, program ini belum selesai karena banyak pihak-
19
Tadkiroatun Musfiroh adalah seorang ahli di bidang pendidikan dan Staff Site UNY, beliau
banyak menulis hasil karya ilmiah di bidang pendidikan dan linguistik, S1 di IKIP Yogyakarta
bidang PBSI, S2 dan S3 di Pasca Sarjana UGM. 20
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.24 21
Christopher Peterson dan Martin Seligmen adalah Ahli pendidikan dan psykologi America.
Seligman mengambil S3nya dalm bidang Psykologi di Universitas Pensylvania, Amerika Serikat.
Mereka bekerja bersama-sama khususnya dalam bidang pendidikan terutama masalah penguatan
karakter bangsa. Yang diharapkan olehnya, bangsanya punya karakter yang kuat agar tidak goyah
akan era modernisasi yang menurut mereka membawa dampak yang buruk pada masyarakatnya.
Buku yang dibuat oleh Peterson dan Seligman yang terkenal yaitu, 'Character Strength and
Virtue'. 22
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
hlm.72
14
pihak yang merasa dirugikan. Indonesia dengan kekayaan alamnya akan sulit
dikuasai manakala bangsanya memiliki karaker yang kuat. Oleh karena itu,
kondisi bangsa kita dibuat semakin tajam krisis karakternya. Menurut Masnur
Muslich, krisis karakter bangsa kita disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Terlampau terlena oleh sumber daya alam yang melimpah
b. Pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik
c. Surutnya idealisme, berkembangnya pragmatisme „overdosis‟
d. Kurang berhasil belajar dari bangsa sendiri23
Selain memperkecil resiko kehancuran, karakter juga menjadi modal
yang sangat penting untuk bersaing dan bekerjasama secara tangguh dan
terhormat di tengah- tengah bangsa lain. Karakterlah yang membuat bangsa
jepang cepat bangkit sesudah kekalahannya dalam Perang Dunia II dan
meraih kembali martabatnya di dunia internasional. Karakterlah yang
membuat bangsa Vietnam tidak bisa ditaklukkan, bahkan mengalahkan dua
bangsa yang secara teknologi dan ekonomi jauh lebih maju yaitu Prancis dan
Amerika. Pembangunan karakterlah yang membuat Korea Selatan sekarang
jauh lebih maju dari Indonesia, walaupun pada tahun 1962 keadaan kedua
negara secara ekonomi dan teknologi hampir sama. Pembangunan karakterlah
yang membuat para pejuang kemerdekaan berhasil menghantar bangsa
Indonesia ke gerbang kemerdekaannya.
Terma tersebut bila dirangkai dengan terma pendidikan, maka dapat
dimaknai dengan beragam pengertian, sekalipun secara substantif itu
sebenarnya sama. Di antaranya ada yang mengartikan pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).24
Menurut
Thomas Lickona,25
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak
akan efektif.
23
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
hlm.72 24
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.18 25
Thomas Lickona adalah seorang pakar dan profesor pendidikan dari Cortland University,
Amerika Serikat yang menulis buku “Educating for Character”, mengungkapkan tentang sepuluh
tanda-tanda zaman yang menggambarkan kemerosotan nilai-nilai moral di suatu bangsa yang
15
Menurut Doni A. Koesoema pendidikan karakter adalah usaha yang
dilakukan secara individu dan sosial dalam menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri.26
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang berakhlaq
mulia.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan
berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan
emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong
masa depan, karena seseorang lebih mudah dan berhasil rnenghadapi segala
macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara
akademis.
Menurut Masnur Muslich, Pendidikan karakter juga merupakan
alih- alih dari pendidikan budi pekerti, sebagai pendidikan nilai-moralitas
manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur
pembentukan nilai tersebut dan sikap yang didasari pada pengetahuan
mengapa nilai itu dilakukan. Dan semua nilai moralitas yang disadari dan
dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang
lebih utuh. Nilai itu adalah nilai yang membantu orang dapat lebih baik hidup
bersama dengan orang lain dan dunianya (learning to live together) untuk
menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan
seperti hubungan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be),
hidup bernegara, alam dunia dan Tuhan. Dalam penanaman nilai moralitas
tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran), dan unsur afektif
(perasaan) juga unsur psikomotorik (perilaku).
akhirnya menjadi inspirasi bagi banyak negara di dunia untuk menerapkan pendidikan karakter
dengan melibatkan seluruh elemen bangsa. 26
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
(Jakarta: Grafindo, 2010), cet. II, hlm.194.
16
Menurut T. Ramli, dalam pendidikan karakter memiliki esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.27
Dari
sini akhlak yang berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari kata mufrad
khuluq yang berarti budi pekerti.28
Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika
berasal dari bahasa Latin, etos, yang berarti kebiasaaan, sedangkan moral
berasal dari bahasa latin juga, mores, yang berarti kebiasaan.29
Di sisi lain
ada yang memberi pengertian bahwa kata akhlak berasal dari kata khalaqa
dengan akar bahasa khuluqun (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabiat,
atau juga dari kata khalqun yang berarti kejadian atau ciptaan.30
Akhlak atau budi pekerti perlu dijabarkan satu persatu. Budi adalah
hal yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang
didorong oleh pemikiran, rasio, yang disebut karakter. Pekerti ialah apa yang
terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut
dengan behaviour. Jadi menurut Djatnika, budi pekerti merupakan pepaduan
hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.
Menurut Nasruddin Razak, akhlak adalah perbuatan suci yang timbul
dari jiwa yang terdalam, karenanya perbuatan suci tersebut mempunyai
kekuatan yang hebat. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, dari jiwa
timbul perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.
Dengan fenomena tersebut, akhlak merupakan sikap mental dan laku
perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Dzat Yang Maha Kuasa,
dan merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan ke-Esaan Tuhan
(tauhid).31
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi
manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Adapun
kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara
27
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.27 28
Hamzah Ya‟kub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), hlm. 11. 29
Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islam, (Jakarta: Panjimas, 1992), hlm.26. 30
Muslim Nurdin, dkk., Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 1993, hlm. 205. Lihat
juga Barmarie Umary, Materia Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1991), Cet.X, hlm.1. 31
Nasruddin Razak, Dienul Islam, al-Ma‟arif, Bandung, 1989, hlm.35-39.
17
yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah kepatuhan
akan nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya.32
Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai,
yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.33
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur
universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah,
diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-
menolong dan gotongroyong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja
keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati,
dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam
model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling
the good, dan acting the good, knowing the good bisa mudah diajarkan sebab
pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus
ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan
mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa
mau berbuat sesuatu kebajikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang
mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta akan perilaku kebajikan
itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah
menjadi kebiasaan.34
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan
sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai
usia emas (golden age).35
Karena usia ini terbukti sangat menentukan
kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya.
32
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.27 33
Akhmad Sudrajat, Konsep Pendidikan Karakter. http://AkhmadSudrajat .wordpress.com./
2010/ konsep_ pendidikan_karakter, 27 Juli 2011 34
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.19 35
Anwar dan Arsyad Ahmad, Pendidikan Anak Usia Dini, (Bandung: Alfabeta, 2009),
hlm.20
18
B. Urgensi Pendidikan Karakter
Situasi sosial, kultural masyarakat kita akhir akhir ini memang
semakin mengkhawatirkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan
yang semakin merendahkan harkat dan derajat manusia. Hancurnya nilai-nilai
moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, dan lain-lainnya
yang telah terjadi dalam lembaga pendidikan kita. Hal ini mewajibkan kita
untuk mempertanyakan sejauh mana lembaga pendidikan kita telah mampu
menjawab dan tanggap atas berbagai macam persoalan dalam masyarakat
kita? Ada apa dengan pendidikan kita sehingga manusia dewasa yang telah
lepas dari lembaga pendidikan formal tidak mampu menghidupi gerak dan
dinamika masyarakat yang lebih membawa berkah dan kebaikan bagi semua
orang?
Ada banyak pendapat mengapa pendidikan tampaknya „kedodoran‟
dalam menjawab berbagai macam persoalan dalam masyarakat kita. Dari segi
tradisi pendidikan, dibandingkan dengan negara-negara maju, kita memiliki
tradisi pendidikan yang masih muda. Negara kita baru membuat program
pendidikan nasional secara terencana, katakanlah, baru pada pertengahan
abad ke-20 ini. Para intelektual kita sebelum kemerdekaan, seperti Soekarno,
Hatta, dan lain-lainnya, sebagian besar memperoleh pendidikan dari luar
negeri, khususnya di negeri Belanda. Baru setelah kemerdekaan, pada masa
Orde Lama, dan khususnya pada masa Orde Baru kita memiliki sistem
pendidikan nasional yang kurang lebih terprogram dan terencana.
Orde Baru telah memberikan sumbangan besar bagi berdirinya
banyak Sekolah Dasar Inpres pada tahun 80-an yang memberikan kesempatan
besar bagi anak-anak di daerah untuk memperoleh akses pendidikan.
Rupanya usaha nasional bagi perkembangan pendidikan nasional kita dengan
perbaikan sarana dan fasilitas pendidikan tidak disertai dengan perencanaan
kurikulum yag memadai sehingga sejak zaman Orde Baru sampai sekarang
kita selalu bermain „bongkar pasang‟ kurikulum. Kita kenal berbagai macam
jenis kurikulum seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum
19
Berbasis Kompetensi (KBK), dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).36
Pada masa setelah reformasi, situasi pendidikan nasional semakin
parah. Kurikulum tetap berganti setiap pergantian menteri, dari kurikulum
2004 ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menekankan
pada aspek profesionalisasi bagi seorang guru.37
Sementara itu, ribuan
sekolah SD Inpres yang dibangun oleh Orde Baru pada tahun 80-an mulai
rusak dan roboh,38
program perbaikan gedung-gedung sekolah tidak terjadi
secara signifikan sehingga banyak SD negeri kita yang situasinya mirip
„kandang bebek‟. Di beberapa tempat malahan warga saking marahnya sebab
jengkel karena tidak segera ada perbaikan gedung sekolah, justru malah
merobohkan sendiri gedung sekolah itu. Mereka khawatir akan keselamatan
anak-anak mereka yang tetap belajar di sekolah yang hampir roboh tersebut.39
Dari segi sosial ekonomi, sampai akhir tahun 80-an, pertumbuhan
ekonomi kita relatif cukup baik. Dunia pendidikan, meskipun tertatih-tatih,
masih memberikan ruang bagi yang miskin untuk mengenyam pendidikan.
Namun semenjak awal tahun 90-an, situasi ekonomi yang semakin baik
rupanya disertai dengan berbagai macam ketimpangan ekonomi yang
memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin. Setelah krisis
ekonomi dan reformasi tahun 1998, pendidikan kita benar benar stagnan,40
sebab tidak terlihat adanya kemauan politik pemerintah untuk memperbaiki
dunia pendidikan ditambah dengan naiknya harga bahan bakar minyak dan
harga sembilan bahan makanan pokok (sembako) yang menjadikan
bertambahnya orang miskin di negeri kita dan brarti pula banyak anak yang
36
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm.113 37
Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2007), hlm.4 38
Jawa Pos, (Jawa Tengah: 14 Juli 2011), hlm.8 39
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm.113 40
http://books.google.co.id/books?id=Setelah+krisis+ekonomi+dan+reformasi+tahun+1998,
2 September 2011
20
putus sekolah sebab orang tua tidak mampu membiayai sekolah anak-
anaknya. Sedangkan keadaan orang yang miskin semakin miskin.
Seperti pada masa otonomi daerah ini konsep kemandirian menjadi
tujuan dan sasaran penting pendidikan. Hal ini terlihat dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional dan policy pemerintah41
yang menggalakkan privatisasi
perguruan tinggi dan usulan program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dengan segala tujuannya,42
yang pada intinya ingin memberdayakan lembaga
pendidikan malah menuai buah yang pahit, sebab privatisasi perguruan tinggi
dan MBS merupakan awal uji coba pemerintah yang pelan-pelan ingin lepas
dari campur tangan terhadap dunia pendidikan dengan membebankan biaya
itu pada masyarakat. Tak heran bila MBS lantas diplesetkan menjadi
Masyarakat Bayar Sendiri.
Dari segi politik pendidikan, pemerintah semakin tidak dapat
memiliki daya tawar terhadap tuntutan persaingan global sehingga privatisasi
semakin dipercepat terutama di beberapa universitas negeri. Kebijakan politik
pendidikan ini jelas semakin jauh dari pelayanan pada rakyat sebab
universitas negeri semakin menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat
miskin. Puncak kebobrokan kinerja politik pendidikan pemerintah pada masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah ketika mereka dinyatakan
bersalah oleh pengadilan karena melanggar Konstitusi sebab tidak memenuhi
anggaran pendidikan 20% seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 perubahan ke-4 pasal 31 ayat 4.43
Sekolah-sekolah kita sendiri banyak menyemai perilaku tidak adil
dan kekerasan, baik karena intervensi dari pihak luar maupun dari kalangan
insan pendidikan sendiri. Akibatnya para siswa, guru, dan masyarakat yang
menjadi korban. Banyak peristiwa mengkhawatirkan terjadi di lingkungan
pendidikan kita yang menjadikan dunia pendidikan kita semakin lumpuh.
41
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas pendidikan non dikotomik, (Yogyakarta: Gama Media,
2002), hlm.152 42
Farida Arroyani, Majalah Edukasi, (IAIN Walisongo Semarang, 2009), Edisi: XXXIX,
hlm.12 43
Undang-Undang SISDIKNAS (UU RI No 20 Th. 2003), (Jakarta:Sinar Grafika, 2009),
hlm.30
21
Seperti halnya kasus tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Bupati
Kampar, Riau, Telah memacetkan dunia pendidikan di Kampar selama
beberapa minggu yang merugikan proses belajar siswa. Para murid sekolah
menjadi korban kekerasan dan kejahatan entah itu karena konflik politik
maupun karena perilaku kriminal biasa, melalui pembunuhan ataupun
pelecehan seksual. Sekolah yang semestinya memberikan harapan dan
optimisme malah menjadikan anak didik kita trauma dan putus harapan,
bahkan sampai bunuh diri. Belum lagi membaca berita seputar maraknya
tawuran antar pelajar, dan kasus-kasus yang lainnya
Tentu berbagai macam demoralisasi diatas tidak semuanya terjadi
karena proses salah didik dalam lembaga pendidikan kita. Lembaga
pendidikan merupakan salah satu lembaga di antara lembaga lain yang ada
dalam masyarakat. Kita tidak bisa mengharapkan bahwa lembaga pendidikan
kita menjadi obat mujarab bagi segala penyembuh luka-luka kemanusiaan
yang telah teraniaya oleh kebijakan pemerintah maupun kebijakan sekolah
sendiri.
Namun demikian, kita juga tidak bisa serta merta menuduh bahwa
lembaga pendidikan menjadi satu-satunya penyebab demoralisasi dalam
masyarakat kita. Inilah salah satu kekeliruan dalam pendidikan modern yang
disinyalir oleh Jacques Maritain.44 Kita percaya terlalu tinggi “segala sesuatu
dapat dipelajari melalui pengajaran.” Tidak setiap hal bisa dipelajari dan
diatasi hanya dengan pergi ke sekolah. Sekolah bukanlah tempat penyembuh
segala luka kemanusiaan. Lembaga pendidikan memang sejak dahulu
memiliki peran penting bagi sumbangan perjalanan peradaban umat manusia
dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Melihat pentingnya
sumbangan lembaga pendidikan dalam kerangka proses pembudayaan
masyarakat kita, sudah sepantasnyalah bila sekolah mempertanyakan kembali
program-programnya dan mengevaluasinya secara seksama apa saja yang
44
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm.115
22
belum optimal baik kinerja guru,45 kurikulum, sarana maupun fasilitas-
fasilitas yang ada dalam sekolah tersebut melalui program-program yang
sifatnya lintas kultural dalam mendidik anak-anak kita.
Sekolah telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga sosial yang
memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual dan moral bagi
siswanya. Hendaknya sekolah juga tidak terpisah dari masyarakat.46
Pengembangan karakter di tingkat sekolah tidak dapat melalaikan dua tugas
khas ini. Oleh karena itu, pendidikan karakter di dalam sekolah memiliki sifat
bidireksional, yaitu pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan
moral. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme
bagi para siswa agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman
intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat.
Pendidikan karakter menjadi semakin mendesak untuk diterapkan
dalam lembaga pendidikan kita mengingat berbagai macam perilaku yang
non-edukatif kini telah merambah dalam lembaga pendidikan kita, seperti
fenomena kekerasan, pelecehan seksual, bisnis mania lewat sekolah atau
perguruan tinggi seperti halnya konversi IAIN ke UIN selain dengan niatan
konsep pengintegrasian ilmu umum dan agama (dikotomi keilmuan), tetapi
ada hal yang perlu dicermati seperti kata Guru besar Ilmu Pendidikan Islam
IAIN Walisongo Ahmadi dalam perubahan IAIN ke UIN yaitu adanya politis
pragmatis, sehingga dengan dibukanya prodi umum (tadris) tersebut institusi
menjadi laku jual karena kecenderungan masyarakat yang memilih prodi
umum karena prospeknya yang lebih cerah.47
Tanpa pendidikan karakter, kita membiarkan campur aduknya
kejernihan pemahaman akan nilai-nilai moral dan sifat ambigu yang
menyertainya, yang pada gilirannya menghambat para siswa untuk dapat
mengambil keputusan yang memiliki landasan moral kuat. Pendidikan
karakter akan memperluas wawasan para pelajar tentang nilai-nilai moral dan
45
Wawasan, (Jawa Tengah, 8 Januari 2011), hlm.15 46
E. Mulyasa, Penelitian Tindakan Kelas, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm.60 47
Jamil, Surat Kabar Mahasiswa AMANAT, (IAIN Walisongo Semarang: Edisi 116/Juli
2011), hlm.4
23
etis yang membuat mereka semakin mampu mengambil keputusan yang
secara moral dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks ini pendidikan karakter yang diterapkan dalam
lembaga pendidikan kita bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan
pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah lingkungan hidup yang
menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan, serta
menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral
yang seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi.
Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti
mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang
kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun
sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh
penyakit sosial.48
Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi
proses perbaikan dalam masyarakat kita. Situasi sosial yang ada menjadi
alasan utama agar pendidikan karakter agar segera dilaksanakan dalam
lembaga pendidikan kita. Brooks dan Goble (1997) menyatakan bahwa:
Pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam
pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi
seluruh komunitas. Para siswa mendapatkan keuntungan dengan memperoleh
perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam
diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif.
Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan
ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orang
tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan,
meiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan
berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa,
pengenalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun guru, demikian juga
berkurangnya tindakan vandalisme didalam sekolah.49
48
http://berita.upi.edu/2011/05/31/peran-nilai-pesantren-dalam-pendidikan-karakter/2
Oktober 2011 49
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm.116
24
Memasuki abad ke-21 banyak pendidik ingin menekankan kembali
hadirnya pendidikan budi pekerti ini, untuk mempromosikan nilai-nilai positif
bagi anak-anak muda dalam kaitannya dengan merebaknya perilaku
kekerasan dalam masyarakat. Brooks dan Goble mengindikasikan bahwa,
kejahatan dan bentuk-bentuk lain perilaku tidak bertanggungjawab telah
meningkat dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan dan telah
merambah menembus berbagai macam aspek kehidupan sehari-hari dan telah
menjadi proses reproduksi sosial. Masyarakat kita sedang berada dalam
ancaman tindak kekerasan, vandalisme, kejahatan di jalan, adanya geng-geng
jalanan, anak-anak yang kabur dari sekolah/bolos, kehamilan di kalangan
anak-anak muda, korupsi para politisi dan pejabat yang semakin marak
dengan segala permasalahannya,50
kehancuran dalam kehidupan rumah
tangga, hilangnya rasa hormat pada orang lain dan memupusnya etika dan
tata krama.
Situasi-situasi seperti ini membuat kita perlu mempertimbangkan
bahwa pendidikan karakter yang menumbuhkan nilai-nilai moral dan nilai-
nilai kebersamaan sebagai satu anggota komunitas manusia perlu diajarkan di
kalangan generasi mudanya. Kita tertantang untuk memberikan prioritas atas
pendidikan karakter sebagai tantangan utama bagi proyek dan program
pendidikan di dalam lembaga pendidikan kita.
Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekadar berurusan dengan
proses pendidikan tunas muda yang sedang mengenyam masa pembentukan
di dalam sekolah, melainkan juga bagi setiap individu di dalam lembaga
pendidikan. Sebab pada dasarnya, untuk menjadi individu yang bertanggung
jawab di dalam masyarakat, setiap individu pasti mengembangkan berbagai
macam potensi dalam dirinya, terutama mengokohkan pemahaman moral
yang akan menjadi pandu bagi praksis mereka di dalam lembaga pendidikan.
Pembentukan karakter sebenarnya merupakan salah satu tujuan
pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di
antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta
50
Warta Jateng, (Jawa Tengah: 10 September 2011), hlm.13
25
didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU
Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk
insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter,
sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang
dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.51
Oleh karena itu, pendidikan karakter bukan semata-mata mengurusi
individu-individu, melainkan juga memperhatikan jalinan rasional antar
individu yang ada di dalam lembaga pendidikan itu sendiri dengan lembaga
lain di dalam masyarakat , seperti keluarga, masyarakat luas dan negara.
Padahal dalam corak relasional yang sifatnya kelembagaan inilah
sesungguhnya banyak terjadi penindasan terhadap kebebasan individu
sehingga mereka tidak dapat tumbuh sebagai manusia bermoral secara
maksimal.
Berbagai macam persoalan di atas tidak akan berkurang jika kita
tidak segera memulai pendidikan karakter dalam konteks pendidikan kita,
baik secara langsung melalui kurikulum, maupun dengan menciptakan sebuah
lingkungan yang bersifat asuh secara moral dalam lingkungan pendidikan
kita. Lembaga pendidikan yang memiliki keberanian untuk menanamkan
pengertian dan praktik keutamaan akan membuat mereka semakin relevan
dalam masyarakat.52
Lembaga pendidikan demikian ini akan membantu
membangun sebuah masyarakat yang sehat daripada sekedar mencetak para
pekerja sosial, sukarelawan dan konselor yang membantu mengatasi
kemunduran sosial dalam masyarakat mereka.53
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter
kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence
51
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.2 52
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm.118 53
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm.118
26
plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang
berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).54
C. Tujuan Pendidikan Karakter
Memang tidak dapat diingkari bahwa sudah sangat mendesak
pendidikan karakter diterapkan dalam lembaga pendidikan kita. Alasan-
alasan kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang terjadi tidak hanya
dalam diri generasi muda kita, namun telah menjadi ciri khas abad ini,
seharusnya membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana
lembaga pendidikan mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan
kultur. Sebuah kultur yang membuat peradaban kita semakin manusiawi. 55
Menurut Ahmadi, tujuan pendidikan harus dirumuskan atas dasar
nilai-nilai ideal yang diyakini dapat mengangkat harkat dan martabat
manusia, yaitu nilai-nilai ideal yang menjadi kerangka pikir dan bertindak
bagi setiap individu dan sekaligus menjadi pandangan hidup serta
memberikan arah bagi proses pendidikan.56
Tujuan pendidikan juga
merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan.57
Bagaimana meletakkan pendidikan karakter dalam kerangka
perdebatan tentang tujuan pendidikan? Meletakkan tujuan pendidikan
karakter dalam tantangan diluar kinerja pendidikan, seperti situasi
kemerosotan moral dalam masyarakat yang melahirkan kultur kemerosotan
tersebut sebagai penanda abad ini, memang bukan merupakan landasan yang
kokoh bagi pendidikan karakter itu sendiri. Sebab dengan demikian
pendidikan karakter memperhambakan diri demi tujuan korektif, kuratif
situasi masyarakat. Sekolah bukanlah hanya lembaga demi reproduksi nilai-
54
Jazuli Juwaini, http://www.google.co.id/ Pendidikan+yang+bertujuan+melahirkan+insan+
cerdas+dan+ berkarakter+ kuat, 7 Oktober 2011 55
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm134 56
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.91 57
Muchtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.50
27
nilai sosial,58
atau demi kepentingan korektif bagi masyarakat di luar dirinya,
melainkan memiliki dasar internal yang menjadi ciri bagi lembaga pendidikan
itu sendiri.
Pendidikan karakter semestinya adalah sebuah paradigma, bukan
mata pelajaran untuk diajarkan kepada anak. Membangun karakter tak bisa
mengandalkan mata pelajaran karakter, muatan pelajaran karakter, apalagi
sekadar penataran 100 jam ala Penataran P-4. Sebagai pelajaran, sangat
mungkin puluhan bahkan ratusan item karakter yang baik dapat dihafal anak.
Namun sikap hidup dan watak yang hendak dibangun tetap berada di dunia
lain, jauh dari kehidupan anak. Dalam hal ini, karakter menjadi hasil untung-
untungan, bukan upaya pendidikan secara sengaja (by-design).
Paradigma pendidikan karakter meniscayakan suatu desain
menyeluruh, kesinambungan proses panjang sejak usia dini, dan pembebasan
pendidikan dari segala bentuk ambisi yang menodai kemuliaan anak sebagai
manusia yang multidimensi. Desain itu harus menjamin hak anak untuk
tumbuh mengasah karakter diri tanpa intimidasi target paksa-massal oleh
sistem pendidikan yang sok tahu akan kebutuhan masa depan.
Anak berhak bebas dari stigma bodoh dari sistem yang mengacu
nilai UAN. Semulia apa pun tujuan UAN, faktanya UAN telah menanam di
alam bawah sadar guru-orang tua-anak suatu garis-garis strata definisi nasib
di masa depan. Seolah-olah nilai UAN adalah tiket masa depan, sehingga
harus dibela dengan segala cara dan segenap energi. Akibatnya, pendidikan
melahirkan manusia-manusia instan yang mengandalkan ijazah untuk naik
jenjang atau mendapatkan pekerjaan dengan mudah, bukan pribadi-pribadi
yang siap dengan bekal hidup (life skill), mampu bekerja dan siap berkarya.
Faktanya, di tengah berlimpahnya sumber daya alam, mayoritas output
pendidikan selalu berorientasi menjadi karyawan perusahaan atau pegawai
negeri.59
58
Doni Koesoema A, Pendidikan Anak: Bukan Mesin Kultur Sosial, Dalam Majalah
Kebudayaan Basis, Tahun Ke-55, Juli-Agustus 2006, hlm.62 59
http://www.tempo.co/hg/kolom/Pendidikan(Bukan-mata-pelajaran)Karakter.html, 27
September 2011
28
Itu bisa dihindari seandainya pendidikan tidak didesain layaknya
restoran cepat saji yang menyuruh konsumen menyantap menu yang sudah
tertentu. Sekolah seyogianya bukan sebuah pencetakan massal-seragam,
melainkan tempat di mana setiap anak berkesempatan mengembangkan diri
sesuai dengan kecenderungan minat masing-masing dan sesuai dengan
tahapan perkembangan masing-masing (developmentally appropriate
practices).
Dalam kerangka ini, pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah
fondasi dan inti dari pendidikan karakter. Inilah periode kesempatan emas
menanamkan sikap-sikap hidup positif menjadi otomatis-logis melalui
pengalaman konkret yang terekam pada sambungan-sambungan antarsel otak.
Perekaman itu hanya mungkin melalui pemenuhan kebutuhan dan tahapan
main anak dengan baik, dari main fungsional (sensorimotor play), main
pembangunan (constructive play), main peran (role play), hingga main
dengan aturan (play with rules).
Dari situlah anak menemukan dan menanam konsep-konsep serta
keterampilan dasar kehidupan dengan akar yang kuat. Fondasi yang
diharapkan terbangun dari pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah
tuntasnya fase praoperasional dalam skala empat perkembangan kognitif Jean
Piaget. Maksudnya adalah fase ketika anak belum memiliki kemampuan
operasi mental yang memadai, masih bergantung pada benda-benda (mainan).
Bila terbangun dengan matang, pada akhir fase ini, anak meraih dasar-dasar
kemampuan untuk mengerjakan suatu proyek secara mandiri serta masih
membutuhkan pula berbagai situasi pendidikan yang mendukung baik situasi
pendidikan keluarga, masyarakat maupun sekolah. Fase ini berproses dari
usia 4 tahun hingga menjelang usia 8 tahun.60
Salah satu ciri kognitif yang menonjol pada anak yang sukses
melalui fase praoperasional, sebagaimana terlihat pada anak-anak lulusan
PAUD ber-Metode Sentra, adalah curiosity yang kuat. Di tangan guru yang
60
Mursid, Manajemen Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini, (Semarang: Akfi Media, 2009),
hlm.1
29
mumpuni meladeni “kehausannya”, anak seperti itu berpeluang tumbuh
menjadi pembelajar-peneliti yang efektif. Anak-anak seperti itu, sejak kelas
IV SD, hanya membutuhkan guru-guru pemandu/pendamping proyek-proyek
belajar, bukan guru-guru penceramah yang selalu tertekan oleh beban target
kurikulum.
Selain memiliki ciri kognitif di atas, mereka beranjak dari pijakan
konkret benda-benda ke representasi konsep abstrak dalam operasi mental.
Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, mereka tak perlu merasakan
ditangkap pengawas untuk mengerti bahwa menyontek itu salah. Mereka tak
melakukannya karena logikanya berkata itu tak berguna dan merugikan diri.
Kelak, mereka tak butuh palang pintu besi sebagai penanda larangan
memasuki busway dengan mobil pribadi, karena simbol verboden sudah
cukup sebagai penanda abstrak yang logis. Mereka tak perlu merasakan
penjara untuk membenarkan bahwa korupsi itu perbuatan nista.61
Manusia secara natural memang memiliki potensi dalam dirinya
untuk tumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan dirinya dan
keterbatasan budayanya. Di lain pihak manusia juga tidak dapat abai terhadap
lingkungan sekitarnya sehingga dengan pendidikan manusia membuka diri
terhadap dunia.62
Oleh karena itu, tujuan pendidikan karakter semestinya
diletakkan dalam kerangka gerak dinamis dialektis, berupa tanggapan
individu atas impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang
melingkupinya, untuk dapat menempa diri menjadi sempurna sehingga
potensi-potensi yang dimiliki menjadi manusiawi.
Semakin menjadi manusiawi berarti ia juga menjadi makhluk yang
mampu berelasi secara sehat dengan lingkungan diluar dirinya tanpa
kehilangan otonomi dan kebebasannya sehingga ia menjadi manusia yang
bertanggung jawab. Untuk itu, ia perlu memahami dan menghayati nilai-nilai
relevan bagi pertumbuhan dan penghargaan akan harkat dan martabat
61
http://www.tempo.co/hg/kolom/Pendidikan(Bukan-mata-pelajaran)Karakter.html, 27
September 2011 62
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global, ,
hlm.55
30
manusia yang tercermin dalam usaha dirinya untuk menjadi sempurna
melalui kehadiran orang lain atau sifat toleran dalam ruang dan waktu tertentu
bagi tiap individu.
Jika dilihat dari dinamika relasi antara lembaga, pendidikan karakter
merupakan proses pendidikan manusia sebagai agen bagi perubahan tata
sosial dalam masyarakatnya berdasrkan nilai-nilai moral dan nilai-nilai
kemanusiaan pada umumnya. Pendidikan karakter dalam artian ini
membentuk pribadi bermoral yang terlibat aktif dalam masyarakat dengan
menciptakan struktur dan lingkungan yang membantu pertumbuhan moral
individu.63
Dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka
dinamika dan dialektika proses pembentukan individu, para insan pendidik
seperti guru, orang tua, staf sekolah, masyarakat dan lain-lainnya diharapkan
semakin dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana
pembentukan moral, perilaku (akhlaq) dan nilai-nilai keteladanan dengan cara
menyediakan ruang bagi figur untuk anak didik serta menciptakan lingkungan
yang kondusif dalam proses perkembangan dan pembelajarannya berupa
kenyamanan dan keamanan dalam membantu suasana pengembangan diri
antara individu satu dengan yang lainnya dalam keseluruhan dimensinya
(teknis, intelektual, psikologis, sosial, estetis dan religius).
Sedangkan untuk pertumbuhan individu secara utuh, seyogyanya
pendidikan karakter mempunyai tujuan jangka panjang yang mendasarkan
diri bagi tiap individu untuk tanggap aktif atas impuls natural sosial yang
dialami dan diterimanya yang pada gilirannya semakin mempertajam visi
hidupnya di kemudian hari.64
Salah satu tantangan berat yang akan dihadapi adalah bagaimana
meretas penindasan sekelompok individu terhadap komunitas lain, bahkan
terhadap komunitas besar yang disebut bangsa atau lembaga supranasional
yang acuh terhadap nilai moral serta anti akan nilai-nilai kemanusiaan.
63
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.28 64
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm.135
31
Tantangan ini mewajibkan masyarakat untuk mengaktualisasikan proyek
pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan, dengan perspektif baru,
yaitu nilai baru yang disebut belarasa bagi kemanusiaan. Kehadiran
pendidikan karakter mengandaikan adanya visi tentang manusia yang
integral, pemahaman tentang tujuan pendidikan yang visioner, dan
pemahaman tentang nilai-nilai yang berlaku secara unversal.65
Pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral
individu yang ada dalam lembaga pendidikan. Untuk itu paradigma
pendidikan karakter merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan.
Penanaman nilai dalam diri siswa, dan pembaruan tata kehidupan bersama
yang lebih menghargai kebebasan individu merupakan dua wajah pendidikan
karakter dalam lembaga pendidikan. Dua hal ini jika di integrasikan akan
menjadikan pendidikan karakter sebagai pedagogi.66
Jadi, Pendidikan karakter pada hakikatnya ingin membentuk
individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat menghayati kebebasan
dan tanggung jawabnya, dalam relasinya dengan orang lain dan dunianya di
dalam komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan ini bisa memiliki
cakupan lokal, nasional, maupun internasional (antar negara).
Dengan demikian, pendidikan karakter senantiasa mengarahkan diri
pada pembentukan individu bermoral, cakap mengambil keputusan yang
tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu berperan aktif dalam
membangun kehidupan bersama. Singkatnya, bagaimana membentuk
individu yang menghargai kearifan nilai-nilai lokal sekaligus menjadi
warganegara dalam masyarakat global dengan berbagai macam nilai yang
menyertainya.
Strategi pembinaan karakter, perlu didukung oleh tiga pilar, yaitu
lingkungan keluarga (orang tua), sekolah dan lingkungan.67
Pendidikan
65
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah), hlm.28 66
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm135 67
D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi
Publishing, 2010), hlm.122
32
karakter dimulai dari lingkungan keluarga karena lingkungan inilah yang
pertama kali dikenal oleh seseorang sejak ia lahir. Lingkungan keluarga
sangat berpengaruh karena merupakan dasar dari pembentukan karakter
seseorang. Selanjutnya lingkungan tempat tinggal, lingkungan pergaulan dan
lingkungan sekolah.
Dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-
upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu
peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan baik
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, sesama
manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasrkan norma-norma agama, hukum
tata krama, budaya dan adat istiadat.68
Pendidikan karakter juga merupakan proses membangun otak secara
terpadu, dalam rangka mengantar anak mencapai tahap-tahap kematangan
multidimensinya secara utuh. Berhentilah mereduksi pendidikan hanya untuk
beberapa item akademis-kognitif dengan ukuran angka-angka yang masih
samar. Mari merdekakan anak-anak dari pengebirian sistemik sebagi peluang
masa depan mereka.
D. Pendidikan Karakter di Sekolah
Negara Indonesia memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah
dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan.
Untuk memenuhi sumber daya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran
yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 UU tersebut menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.69
68
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.29 69
Undang-Undang SISDIKNAS (UU RI No 20 Th. 2003), hlm.7
33
Saat ini mulai marak dibicarakan mengenai pendidikan karakter.
Wacana ini muncul dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapai
maraknya korupsi beserta perilaku negatif lain, yang menunjukkan pelakunya
tidak berkarakter baik. Karakter yang dibangun pada siswa tidak semata-mata
tugas guru atau sekolah. Mengingat siswa beraktivitas tidak hanya di sekolah,
namun siswa juga menghabiskan waktu di rumah dan sekaligus menjadi
anggota masyarakat yang merupakan bagian dari warga negara Indonesia mau
pun warga dunia. Di satu sisi guru dituntut untuk mendidik siswa menjadi
generasi muda yang berkarakter baik, namun di sisi lain setiap hari siswa
melihat contoh orang tua di rumah yang mungkin sering tidak taat pada
peraturan.
Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan.
Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa,
pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam
meningkatkan derajat dan martabat bangsa Indonesia. Di lingkungan
Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di
seluruh jenjang pendidikan yang dibinanya. 70
Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk
mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat
berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, danberadab berdasarkan
falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung
perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945.
Di samping itu, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita
dewasa ini makin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk
memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan
pendidikan. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana
Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program
70
Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, http://edukasi.kompasiana.com/konsep-urgensi-dan-
implementasi -pendidikan-karakter-di-sekolah/ 29 September 2011
34
prioritas pembangunan nasional. Upaya pembentukan karakter sesuai dengan
budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah
melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar dan luar sekolah, akan tetapi
juga melalui pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur,
disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab, dan sebagainya.
Pembiasaan itu bukan hanya mengajarkan (aspek kognitif) mana
yang benar dan salah, akan tetapi juga mampu merasakan (aspek afektif) nilai
yang baik dan tidak baik serta bersedia melakukannya (aspek psikomotorik)
dari lingkup terkecil seperti diri bsendiri, keluarga sampai dengan cakupan
yang lebih luas di masyarakat bangsa dan negara. Nilai-nilai tersebut perlu
ditumbuh kembangkan peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi
pencerminan hidup bangsa Indonesia. oleh karena itu, sekolah memiliki
peranan yang besar sebagai pusat pembudayaan melalui pengembangan
budaya sekolah (school culture). Pendidikan karakter juga dapat dilakukan
melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media
massa.
Pedoman ini ditujukan kepada semua warga pada setiap satuan
pendidikan(dasar sampai menengah) melalui serangkaian kegiatan
perencanaan, pelaksanaan dan penilaian yang bersifat komprehensif.
Perencanaan di tingkat satuan pendidikan pada dasarnya adalah melakukan
penguatan dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Sedangkan pelaksanaan dan penilaian tidak hanya menekankan aspek
pengetahuan saja, melainkan juga sikap perilaku yang akhirnya dapat
membentuk akhlak mulia.71
Pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan Tuhan,
yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri
fitrah yang alamiah ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga
71
http://pdf.Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, puskurbuk, p4tk-bispar.net/.../43-
pedoman-pelaksanaan-pendidikan-karakter.html
35
lingkungan memilki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan
prilaku. Sekolah dan masyarakat sebagai bagian dari lingkungan memiliki
peranan yang sangat penting, oleh karena itu setiap sekolah dan masyarakat
harus memiliki pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan
dibentuk. Para pemimpin dan tokoh masyarakat juga harus mampu
memberikan suri teladan mengenai karakter yang akan dibentuk tersebut.
Pendidikan karakter di sekolah merupakan suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil.
Pembangunan karakter di sekolah ini harus dilandasi oleh sebuah
kebutuhan dengan mengikuti perkembangan zaman. Banyak yang bertanya,
mengapa harus karakter? Bukankah sekolah lebih mengedepankan akademis?
Mengapa sekolah harus masuk ke wilayah pembangunan karakter anak? Dari
banyaknya pertanyaan, ternyata banyak pula yang sudah mendapatkan
jawaban secara empiris.
Ketika berbicara secara parsial tentang pendidikan formal,
pendidikan di sekolah tampaknya ada sebagian orang yang hanya melihat
mutu dari salah satu sisi, yaitu sisi akademis. Sementara data empiris
menunjukkan bahwa mutu akademis akan mudah patah jika tidak dibarengi
dengan karakter secara utuh.72
Banyak kasus-kasus muncul di tengah-tengah masyarakat. Ketika
kasus itu bertolak dari fitrah manusia, lagi-lagi yang di cap kambing hitam
adalah sekolah. Sekolah dianggap gagal dalam membangun mental anak
bangsa. Sementara, tuntutan pendidikan begitu banyak untuk membuktikan
sebuah keberhasilan lembaga. Persoalan yang sering muncul adalah di tengah
hingar bingarnya pendidikan persaingan pendidikan yang dianggap
berkualitas terkadang ada yang dilupakan, yaitu bagaimana membangun anak
bangsa yang berkarakter.
72
Najib sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, hlm.6
36
Sekolah tidak hanya mengedepankan kualitas akademik, tetapi yang
tidak kalah penting juga adalah membangun karakter anak didik. Apa artinya
memiliki anak cerdas; tetapi suka berbohong, tidak jujur, serta berani kepada
orang tua dan guru. Begitu juga sebaliknya.
Menurut Najib Sulhan, dalam membangun karakter pendidikan di
sekolah, ada tiga pilar yang perlu dijadikan pijakan. Ketiga pilar memadukan
potensi dasar anak. Ketiga pilar yang dipakai untuk mewujudkan sekolah
berkarakter yaitu meliputi tiga hal. Pertama, membangun watak, kepribadian,
atau moral. Kedua, mengembangan kecerdasn majemuk. Ketiga,
kebermaknaan pembelajaran. Agar ketiga pilar itu tetap kokoh, maka ada
kontrol, evaluasi dan perbaikan berkelanjutan.
Menyambut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang di jadikan
acuan kurikulum di sekolah sekarang, maka tidak cukup KTSP dipahami
sampulnya saja. Esensi KTSP juga harus dipahami secara utuh. KTSP lebih
memberdayakan potensi lingkungan. Untuk menyusun KTSP, hal yang sudah
harus dirumuskan terlebih dahulu oleh sekolah adalah visi, misi, dan tujuan.
Itu sebagai landasan pertama dan ditambah dengan landasan yang kedua
berupa komitmen, motivasi dan kebersamaan. Sebagai contoh;
Visi, menyiapkan kader dasar umat dan bangsa yang terampil dan
unggul dalam prestasi berdasarkan iman dan takwa.73
Misi, Tindakannya berupa:
1. Mengembangkan potensi siswa melalui pembelajaran secara efektif,
motivatif, kreatif, dan inovatif.
2. Menanamkan penghayatan terhadap nilai ajaran agama Islam sebagai
dasar perilaku dalam membentuk kepribadian.
3. Menciptakan iklim yang kondusif dalam segala aspek pembelajaran.
4. Menerapkan menejemen partisipatif dan terbuka untuk semua warga
sekolah dan masyarakat.
Tujuan, terwujudnya manusia yang bertakwa, berakhlak mulia,
cakap, percaya diri sendiri, cinta tanah air serta berguna bagi masyarakat dan
73
Najib sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, hlm.7-8
37
negara. Beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur
yang diridlai oleh Allah.74
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
(stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan
itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos
kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.75
Inti dari manajemen dalam
penyelenggaraan pendidikan diatas adalah untuk mencapai dan meningkatkan
efektifitas, efisiensi, dan produktivitas kerja dalam mencapai tujuan
pendidikan yang diinginkan.76
Menurut Doni Koesoema A., bahwa setiap individu yang terlibat
dalam dunia pendidikan, terlibat dalam negosiasi dan perjumpaan dengan
orang lain, seperti guru, karyawan, orang tua, siswa, masyarakat, pegawai
pemerintah dan lain-lainnya. Peristiwa perjumpaan ini sangatlah rentan
dengan konflik kepentingan. Jika konflik kepentingan ini muncul, manakah
standar moral dan etika profesi yang dipakai sebagai sarana untuk
memecahkan konflik kepentingan ini?
Tanpa standar moral dan etika profesi, lembaga pendidikan atau
sekolah hanya akan diisi oleh orang-orang yang bernafsu memuaskan
kepentingan diri dan kelompoknya, bahkan bisa jadi menindas mereka yang
tidak memiliki kekuasaan. Tanpa etika profesi, kebebasan dan individu tidak
bisa dihargai. Tanpa ada etika profesi tidak akan ada pendidikan karakter di
sekolah. Bila tidak adanya etika profesi disekolah, pendidikan karakter
apapun yang diterapkan di dalam sekolah akan mandul, sebab tidak memiliki
jiwa dan semangat yang dihayati oleh para pelaku di dalam lembaga
pendidikan itu sendiri.
Oleh karena itu, bukan hanya menjadi milik para guru semata,
melainkan juga semestinya menjiwai seluruh individu yang bekerja di dalam
74
Najib sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, hlm.8 75
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.26 76
Ara Hidayat & Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, hlm.17
38
lingkup pendidikan. Petugas keamanan, para karyawan, petugas kebersihan
meskipun secara formal legal mugkin tidak memiliki ekspresi etika profesi
sebagimana dimiliki oleh seorang guru dan dokter, mereka juga memiliki
standar nilai-nilai moral yang mendukung terciptanya kultur pendidikan
karakter di sekolah.77
Pendidikan karakter di sekolah mempunyai tujuan untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang
mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta
didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak
mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Melalui program ini
diharapkan setiap lulusan memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik
yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai
norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan
karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.78
Pendidikan karakter di sekolah sangat terkait dengan manajemen atau
pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan
karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan
pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi,
nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian,
pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan
demikian manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam
pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada
setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau
77
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global,
hlm.162-163 78
Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, http://edukasi.kompasiana.com/konsep-urgensi-dan-
implementasi-pendidikan-karakter-di-sekolah/ 29 September 2011
39
nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan,
dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian
pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi
menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta
didik sehari-hari di masyarakat.
Menurut Thomas Lickona, Setidaknya ada tiga yang terlibat dalam
proses pendidikan karakter di sekolah yaitu melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).79
Kemudian pada
tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah. Budaya sekolah yang dimaksud yaitu perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua
warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.
Harapan ke depan, sekolah dapat menghasilkan kualitas sumber
daya manusia yang handal, baik secara iman dan takwa (imtak) maupun ilmu
dan teknologi (iptek). Untuk itulah perlu membangun kultur sekolah dengan
landasan yang kokoh, yaitu karakter. Karakter disini yang menyangkut nilai-
nilai moral agama dan kecerdasan anak yang menjadi modal dalam
bermasyarakat dan berbangsa. Kita bisa membayangkan betapa indahnya jika
kehidupan anak bangsa diwarnai kejujuran, keramahan, dan berbagi bentuk
pribadi yang mulia. Itu semua tidak lepas dari sebuah kebiasaan yang perlu
dibangun mulai dasar, baik di sekolah maupun di rumah.80
79
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.74 80
Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya: PT JePe Press Media Utama,
2010), hlm.7
40
BAB III
DESKRIPSI SURAT ASH-SHAFF AYAT 2-3
A. Teks dan Terjemahan Surat Ash-Shaff Ayat 2-3
1. Redaksi Teks
2. Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”1
B. Mufradat
Agar lebih mudah memahami kandungan surat Ash-Shaff ayat 2-3,
penulis memandang perlu menguraikan beberapa istilah atau mufradat
yang ada dalam ayat diatas, diantaranya:
Kata ( ) lima, berarti mengapa
( ) kabura, berarti besar tetapi yang dimaksud adalah amat
keras karena sesuatu yang besar terdiri dari banyak hal/komponen. Kata
ini digunakan di sini untuk melukiskan sesuatu yag sangat aneh, yakni
mereka mengaku beriman, mereka sendiri yang meminta agar dijelaskan
tentang amalan yag paling disukai Allah untuk mereka kerjakan, lalu
setelah di jelaskan oleh-Nya, mereka mengingkari janji dan enggan
1Teungku Muh. Hasbi Ash-Shaddiqie, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nuur, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2003), Cet.II, hlm.4205
41
melaksanakannya. Sungguh hal tersebut adalah suatu keanehan yang luar
biasa besarnya.2
( ) maqtan adalah kebencian yang sangat hebat/besar. Dari sini,
ayat ini menggabungkan dua hal yang keduanya sangat besar dan hebat
sehingga apa yang diuraikan di sini sungguh sangat mengundang murka
Allah SWT.3
C. Asbab Al-Nuzul
Menurut bahasa asbab al-nuzul. Berarati sebab-sebab turunnya ayat-
ayat Al-Qur‟an. Sedangkan asbab al-nuzul, sebagaimana dikutip oleh Al
Shalih4 adalah sesuatu yang dengan sebabnyalah turun suatu ayat atau
beberapa ayat, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan
hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.5
Menurut Teungku Muh. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Ilmu-Ilmu Al-
Qur‟an, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi SAW atau sesuatu
pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi sehingga turunlah satu atau
beberapa ayat dari Allah SWT yang berhubungan dengan dengan
kejadian itu, baik peristiwa itu merupakan pertengkaran atau merupakan
kesalahan yang dilakukan maupun suatu peristiwa atau suatu keinginan
yag baik.6
Menurutnya dari definisi diatas, ayat-ayat Al-Qur‟an itu dibagi dua,
yaitu: ayat-ayat yang ada sebab nuzulnya dan ayat ayat yang tidak ada
sebab nuzulnya. Memang demikianlah ayat-ayat dalam Al-Qur‟an. Ada
2 M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, (jakarta:
Lentera hati, 2002), Volume 14, hlm.11-12 3 M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, (jakarta:
Lentera hati, 2002), Volum 14, hlm.11-12 4 Subhi Ash-Shalih, Seorang Cendekiawan Islam Timur Tengah yang berasal dari Libanon,
salah satu karyanya yang paling terkenal tentang studinya dalam kajian Al-Quran yaitu Mabahits
fi ulumil Qur‟an (Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an). 5 Ahmad Syadzaly, Ulumul Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm.90
6 Teungku Muh. Hasbi Ash-Shaddiqie, Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2002), Cet.II, hlm. 19
42
yang diturunkan tanpa didahului oleh sebab dan ada yang diturukan
sesudah didahului sesuatu sebab.
Pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat tidak mungkin jika tidak
dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan yang
berkaitan dengan diturunkannya ayat. Sementara pemahaman tentang
asbab al-nuzul ini akan sangat membantu dalam memahami konteks
turunnya ayat. Ini sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat pada kasus
dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan
semakin besar jika mengabaikan riwayat asbab al-nuzul.7
Sementara itu asbab al-nuzul surat Ash-Shaff ayat 2-3 yaitu masih
ada hubungannya dengan ayat ke-1, yang menurut Imam at-Tirmidzi
meriwayatkan suatu riwayat, demikian juga al-Hakim yang menilainya
shahih, dari Abdullah bin Salam yang berkata. “Sekiranya saja kita
mengetahui amalan yang paling disukai oleh Allah, tentu kita akan
mengamalkannya. Allah SWT lalu menurunkan ayat, „Apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah; dan Dialah Yang
Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman!
Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?‟
Rasulullah lantas membacakannya hingga akhir.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas riwayat yang senada
dengan di atas.8
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Abdullah bin Rawahah
berkata, “Para mu‟min pada masa Rasulullah sebelum jihad berkata,
„Seandainya kami mengetahui perbuatan-perbuatan yang disukai Allah,
tentu kami akan melaksanakannya.” Maka Rasulullah menyampaikan
bahwa perbuatan yang paling disukai Allah ialah beriman kepada-Nya,
berjihat menghapuskan kemaksiatan yang dapat merusak iman, dan
mengakui kebenaran risalah yang disampaikan Nabi-Nya. Setelah datang
7 M.Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),
hlm.79 8 Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an; Penerjemah, Tim
Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani, 2008) hlm.570
43
perintah jihad, sebagian orang-orang yang beriman merasa berat
melakukannya. Maka turunlah ayat ini sebagai celaan atas sikap mereka
yang kurang baik itu.9
Sedangkan menurut riwayat Abu Shaleh, “Mereka
berkata,‟Sekiranya saja kita mengetahui amalan yang paling utama dan
paling disukai oleh Allah.‟ Setelah itu turunlah ayat ke-10 surat Ash-Shaff;
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang
pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”(Q.S. Ash-Shaff ayat
10-11).”10
Setelah ayat di atas turun, akan tetapi mereka ternyata enggan untuk
berjihad sehingga turunlah ayat ke 2 surat Ash-Shaff. Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Ikrimah dari Ali dari Ibnu Abbas riwayat yang mirip
dengan di atas.
Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas,
demikian juga Ibnu jarir dari jalur adh-Dhahhak yang berkata, “Ayat 2,
„Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan?” diturunkan berkenaan dengan seorang laki-
laki yang dalam yang dalam peperangan mengucapkan akan melakukan
tindakan-tindakan yang ternyata tidak ia lakukan, yaitu menebaskan
pedang, menusukkan tombak, serta membunuh (pihak musuh).11
9 M. Atho Mudzhar, dkk., Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), Jilid X, hlm.109-110 10
M. Atho Mudzhar, dkk., Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), hlm.120 11
Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an; Penerjemah, Tim
Abdul Hayyie, hlm.571
44
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menuturkan bahwa mayoritas ulama
menyatakan bahwa ayat ini turun ketika kaum muslimin mengharapkan
diwajibkannya jihad atas mereka, tetapi ketika Allah mewajibkannya,
mereka tidak melaksanakannya. Riwayat lain menyatakan bahwa ayat ini
turun sebagai kecaman terhadap mereka yang mengatakan: “Kami telah
membunuh (musuh), menikam, memukul, dan telah melakukan ini dan
itu,” padahal mereka tidak melakukannya. Dengan demikian ayat diatas
mengecam juga orang-orang munafiq yang mengucapkan kalimat syahadat
dan mengaku muslim tanpa melaksanakan secara baik dan benar tuntunan
agama Islam.12
D. Munasabah
Secara etimologi, munasabah berarti al-musyaakalah (المشاكله) dan
al-muqaarabah (المقاربه) yang mempunyai arti saling menyerupai dan
saling mendekati.13 Selain itu munasabah mempunyai arti pula
“persesuaian, hubungan atau toleransi, yaitu hubungan persesuaian antara
ayat yang satu dengan ayat yang lain atau surat sebelum atau sesudahnya.14
Secara terminologi, munasabah adalah adanya keserupaan dan
kedekatan di antara berbagai ayat, surat dan kalimat yang mengakibatkan
adanya hubungan.15
Baik hubungan dalam bentuk makna ayat-ayat dan
macam-macam hubungan, atau keniscayaan dalam berfikir. Seperti
hubungan sebab-musabab, hubungan kesetaraan dan hubungan
perlawanan. Munasabah sangat penting perannya dalam penafsiran, karena
untuk:
1. Menemukan makna yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-
kalimat atau ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur‟an, sehingga bagian dari
Al-Qur‟an saling berhubungan dan tempatnya satu rangkaian yang
utuh dan integral.
12
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, hlm.11 13
Ramli Abdul Wahib, Ulumul Qur‟an I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.91 14
Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an I, (Surabaya: Dunia Cinta, 2001), hlm. 154 15
Ramli Abdul Wahib, Ulumul Qur‟an I, hlm.91
45
2. Mempermudah pemahaman Al-Qur‟an.
3. Memperkuat keyakinan atas kebenaran sebagai wahyu Allah
4. Menolak tuduhan bahwa susunan Al-Qur‟an kacau.16
Seperti yang telah dikemukakan di atas mengenai munasabah, para
mufasir mengingatkan agar dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur‟an khususnya yang berkaitan dengan penafsiran ilmiah, seseorang
dituntut untuk memperlihatkan segi-segi bahasa Al-Qur‟an serta korelasi
antara ayat.17
Kemudian seperti diketahui, penyusun ayat-ayat Al-Qur‟an
tidak berdasarkan pada kronologi masa turunnya, tetapi pada korelasi
makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat terlalu berkaitan dengan
kandungan ayat kemudian.
Menurut Teungku Muh. Hasbi Ash-Shiddieqy, neraca yang dipegang
dalam menerangkan macam-macam munasabah antara ayat-ayat dan
surat-surat, kembali kepada derajat tamatsul dan tasyabuh antara maudlu‟-
maudlu‟nya. Maka jika munasabah itu terjadi pada urusan urusan yang
bersatu dan berkaitan awal dan akhirnya, maka itulah munasabah yang
dapat diterima akal dan dipahami. Tetapi jika munasabah itu dilakukan
terhadap ayat-ayat yang berbeda-beda sebabnya dan urusan-urusan yang
tidak ada keserasian antara satu dengan yang lain, maka tidaklah yang
demikian itu dikatakan tanasub (bersesuaian) sama sekali.18
Dalam Surat Ash-Shaff ayat 2-3 itu memiliki munasabah dengan
ayat sebelumnya yaitu ayat ke-1. Dalam ayat pertama surat Ash-Shaff
dimulai uraiannya dengan penyucian (tasbih) terhadap Allah SWT dan
mengingatkan bahwa seluruh wujud menyucikan-Nya, mengingatkan agar
yang menyimpang dari sistem yang berlaku dan yang direstui di jalan
Allah. Sedangkan ayat kedua dan ketiga, mereka yang tidak menyucikan
Allah SWT menyimpang dari sistem yang berlaku padahal semua
menyucikan-Nya, sungguh sikap mereka itu harus diluruskan. Kaum
16
Ramli Abdul Wahib, Ulumul Qur‟an I, hlm.94-95 17
M.Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran dalam Kehidupan,
(Bandung: Mizan, 1996), hlm.135 18
Teungku Muh. Hasbi Ash-Shaddiqie, Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, hlm.42
46
beriman telah menyadari hal tersebut, bahkan ada yang telah menyatakan
siap untuk berjuang (berjihad) dalam rangka untuk menyucikan Allah
SWT, tetapi ketika tiba saatnya mereka mengingkari janji.19
Dengan demikian, ayat ini serupa dengan firman-Nya dalam Q.S. Al
Baqarah ayat 246;
Artinya:“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil
sesudah Nabi Musa, Yaitu ketika mereka berkata kepada seorang
Nabi mereka: "Angkatlah untuk Kami seorang raja supaya Kami
berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka
menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan
berperang, kamu tidak akan berperang". mereka menjawab:
"Mengapa Kami tidak mau berperang di jalan Allah, Padahal
Sesungguhnya Kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Maka
tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling,
kecuali beberapa saja di antara mereka. dan Allah Maha
mengetahui siapa orang-orang yang zalim.”20
Sementara munasabah dengan ayat sesudahnya yaitu ayat keempat,
antara lain persesuaian pokok yang dibicarakan adalah masalah
perjuangan/peperangan yang dimana dalam ayat yang keempat tersebut
Allah lebih mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam satu
barisan yang seakan-akan mereka bangunan yang tersusun rapi. Sayyid
mengomentari ketiga ayat di atas yaitu ayat ke-2, 3 dan 4, dengan
19
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, (jakarta:
Lentera hati, 2002), Vol 14, hlm.10-11 20
M.Quraisy Shihab, dkk., Al-Quran dan Terjemahnya (Al Bayan), (Semarang: CV Asy
Syifa‟) hlm.101
47
menyatakan bahwa disana terlihat penyatuan akhlaq pribadi seseorang
dengan kebutuhan masyarakat di bawah naungan akidah keagamaan.21
Kemudian Munasabah antar surat Ash-Shaff dengan surat
sebelumnya (surat Al-Mumtahanah) yaitu surat yang telah lalu Allah telah
melarang kita mengangkat orang-orang kafir menjadi pemimpin dan
mengadakan hubungan akrab dengan orang-orang kafir yang memusuhi
dan memerangi kaum muslimin.22
Dalam surat ini Tuhan menganjurkan
kita berjihad untuk memerangi orang-orang kafir yang memusuhi Allah.23
Sedangkan persesuaian surat Ash-Shaff dengan surat sesudahnya (
surat Al-Jumu‟ah), yaitu surat Ash-Shaff ini ditutup dengan perintah untuk
berjihad, yang dinamakan sebagai perniagaan. Sedangkan surat
sesudahnya (Al-Jumu‟ah) ditutup dengan perintah shalat Jum‟at dan
pemberitahuan bahwa shalat Jum‟at itu lebih baik dari pada perniagaan
duniawiyah.24
E. Isi Kandungan Surat Ash-Shaff Ayat 2-3
Surat Ash-Shaff diturunkan di Madinah dan terdiri dari 14 ayat.
Surat ini dinamakan Ash-shaff yang berarti „barisan‟ yang diambil dari
ayat ke-4.25
Surat ini dinamakan juga dengan surat Al Hawariyin dan
diturunkan sesudah surat At-Taghabun.
Surat ini mengingatkan para mukmin terhadap beberapa kewajiban,
dan menakuti para mukmin dari meniru sikap umat Musa dan Isa.
Disamping itu surat ini menandaskan, bahwa agama Allah adalah Islam
dan agama Islam pasti akan memperoleh kemenangan terhadap segala
agama.26
Dan surat ini merentang jalan petunjuk untuk menghindari azab,
yaitu iman yang murni dan jihad di jalan Allah. Pada Akhirnya surat Ash-
21
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, hlm.12-13 22
M. Atho Mudzhar, dkk., Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), hlm.107 23
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Tafsir Al Bayan, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2002), hlm.1329 24
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, penerjemah: bahrun Abu Bakar ,dkk,
(Semarang: PT Karya Toha Putra, cet II, 1993), Juz XXVIII, hlm.149 25
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, hlm.1 26
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Tafsir Al Bayan, hlm.1329
48
Shaff memerintahkan kita untuk menolong agama Allah dan meninggikan
kalimat-Nya.
Di dalam surat Ash-Shaff berisikan tentang beberapa peringatan bagi
para muslimin terhadap kewajiban-kewajiban mereka diantaranya adalah
yang terdapat dalam ayat ke 2 dan 3 surat ini. Dalam ayat ke-2 dan 3
memberikan pengertian bahwa orang-orang yang mengaku dirinya
mukmin, seharusnya tidak berdusta dan tidak menyalahi janji. Orang yang
berdusta dan menyalahi janji tidak ada hakikat keimanan baginya. Selain
itu ayat ini mewajibkan kita agar memenuhi nazar dan janji. Dan ayat ini
mengkritik orang yang berjanji yang tidak di tepatinya.27
Dalam tafsir Al-Misbah seperti yang dikemukakan dalam riwayat at-
Tirmidzi tentang turunnya surat ini dapat dinilai sebagai kecaman, setelah
ayat pertama surat Ash-Shaff dimulai uraiannya dengan penyucian (tasbih)
terhadap Allah SWT dan mengingatkan bahwa seluruh wujud
menyucikan-Nya, mengingatkan agar yang menyimpang dari sistem yang
berlaku dan yang direstui di jalan Allah.
Sedangkan selanjutnya yaitu ayat kedua dan ketiga, mereka yang
tidak menyucikan Allah SWT menyimpang dari sistem yang berlaku,
sungguh sikap mereka itu harus diluruskan. Kaum beriman telah
menyadari hal tersebut, bahkan ada yang telah menyatakan siap untuk
berjuang dalam rangka untuk menyucikan Allah SWT, tetapi ketika tiba
saatnya untuk berjihad mereka mengingkari janji dan enggan
melakukannya. Ayat ini mengecam mereka dengan memanggil mereka
dengan panggilan keimanan sambil menyindir bahwa dengan keimanan itu
mestinya tidak berlaku demikian.28
Ayat-ayat di atas merupakan kecaman. Sementara ulama
memahaminya sebagai kecaman kepada orang-orang munafik, bukan
27
Janji menurut jumhur ulama tidak mewajibkan kita menepati janji secara mutlak, ada yang
wajib ada yang tidak. Yang wajib ialah yang hasilnya dirasakan oleh orang yang kita janjikan,
seperti berjanji akan memberikan sesuatu, maka wajib kita menepatinya. Lihat Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Tafsir Al Bayan, hlm.1331 28
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, hlm.10
49
orang-orang mukmin, karena sifat orang-orang mukmin sedemikian tinggi
sehingga mereka tidak perlu dikecam. Pendapat ini menurut M. Quraisy
Shihab benar, tetapi kita juga tidak dapat mengatakan bahwa yang
dikecam itu tidak hanya orang munafik, tetapi juga yang imannya masih
lemah, walaupun mereka bukan munafik. Karena itu, ayat di atas
menggunakan kata alladzina amanu, bukan al-mu‟minun. Melalui ayat-
ayat inilah mereka dididik sehingga akhirnya mencapai peringkat
keimanan yang tinggi (mu‟minun).29
Kedua ayat tersebut mengandung sanksi dari Allah SWT serta
kecaman terhadap orang beriman yang mengucapkan apa yang tidak
mereka kerjakan. Ini menggambarkan sisi pokok dari kepribadian seorang
muslim, yakni kebenaran dan istiqamah/konsistensi serta kelurusan sikap
dan batinnya sama dengan lahirnya, pengamalannya sesuai dengan
ucapannya secara mutlak.30
Jadi, ada dua macam kelemahan manusia yang dikemukakan ayat
ini, yaitu:
1. Ketidak sesuaian antara perkataan dan perbuatan mereka. Kelemahan
ini kelihatannya mudah diperbaiki, tetapi sukar dilaksanakan. Sangat
banyak manusia yang pandai berbicara, suka menganjurkan suatu
perbuatan baik, dan mengingatkan agar orang lain menjauhi larangan-
larangan Allah, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya.31
Thabathaba‟i menggarisbawahi perbedaan antara mengatakan
sesuatu apa yang tidak dia kerjakan, dan tidak mengerjakan apa yang
dikatakan. Yang pertama adalah kemunafikan, sedang yang kedua
adalah kelemahan tekad. Yang kedua inipun merupakan keburukan.
Allah menjadikan kebahagiaan manusia melalui amal kebajikan yang
dipilihnya sendiri, sedang kunci pelaksanaannya adalah kehendak dan
tekad, yang keduanya tidak akan memberi dampak positif kecuali jika
ia mantap dan kuat. Nah, tidak adanya realisasi perbuatan setelah
29
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, hlm.12-13 30
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, hlm.12-13 31
M. Atho Mudzhar, dkk., Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), hlm.109
50
ucapan merupakan pertanda kelemahan tekad dan ini tidak akan
menghasilkan kebajikan bagi yang bersangkutan. Demikian lebih
kurang Thabathaba‟i.32
Namun tidak berarti bahwa orang-orang tidak boleh mengatakan
kebenaran bila ia sendiri belum mampu melaksanakannya. Mengatakan
kebenaran wajib, sedangkan melaksanakannya tergantung
kemampuan.33
Allah berfirman dalam Q.S. At-Taghabun ayat 16;
Artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan
nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. dan
Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka
mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”34
Allah memperingatkan bahwa sangat besar dosanya orang
mengatakan sesuatu, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya. Hal ini
berlaku baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan
masyarakat.
2. Tidak menepati janji yang telah mereka buat. Suka menepati janji yang
telah ditetapkan merupakan salah satu ciri dari ciri-ciri orang-orang
yang beriman. Jika ciri itu tidak dipunyai oleh orang-orang yang
mengaku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, berarti ia telah menjadi
orang yang munafik.35
Rasulullah SAW bersabda: “Tanda orang munafik ada tiga
macam: bila berkata, ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi janjinya,
dan bila dipercaya, ia berkhianat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).36
32
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, hlm.12 33
M. Atho Mudzhar, dkk., Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), hlm.110 34
Fadlol Abdur Rahman, dkk, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Al-Jumanatul Ali,
2005), hlm.558 35
M. Atho Mudzhar, dkk., Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), hlm.28 36
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, penerjemah: bahrun Abu Bakar ,dkk,
hlm.129
51
Orang-orang salaf berdalil akan wajibnya menepati janji.
Kemudian Allah menjelaskan amat buruknya perbuatan itu, dan amat
dibencinya oleh Allah. Firman-Nya:
Artinya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.(Qs. Ash-Shaff ayat 3)37
Itu sebabnya menepati janji merupakan bukti bagi karakter yang
baik atau akhlaq yang mulia. Dengan menepati janji itu, terwujudlah
kepercayaan di antara kelompok-kelompok, sehingga terikatlah
kelompok kelompok itu dengan ikatan cinta dan kasih sayang apa lagi
bila diterapkan dalam pendidikan, ketika sebagian individu satu
berhubungan dengan individu yang lain, sehingga mereka menjadi satu
tangan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan yang mereka inginkan.
Dan sebaliknya jika pada suatu umat tersiar ingkar/menyalahi
janji, maka akan kecillah kepercayaan di antara individu dan akan lepas
pula tali-tali pengikat, sehingga mereka akan menjadi ikatan-ikatan
yang bercerai-berai dan tidak bermanfaat. Jika mempunyai
lawan/musuh tidak lagi takut kepada mereka, jika krisis semakin
menghebat dan bahaya memberat, sebab mereka saling berlepas diri dan
saling tidak mempercayai.38
Ciri kepribadian muslim ini sangat ditekankan oleh Al-Qur‟an,
sunnah pun berulang-ulang menambahkan penekanannya.39
Dalam Al-
Qur‟an Allah mengecam orang-orang yahudi dalam Q.S. Al-Baqarah
ayat 44;
37
Teungku Muh. Hasbi Ash-Shaddiqie, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nuur, hlm.4205 38
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, penerjemah: bahrun Abu Bakar ,dkk,
hlm.129 39
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, hlm.13
52
Artinya: “mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan)
kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu
sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka
tidaklah kamu berpikir?”40
Allah juga mengecam orang-orang munafik dengan firman-Nya
dalam Q.S. An-Nisa ayat 81;
Artinya: “Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: „Kami
sepenuhnya taat.‟ tetapi apabila mereka telah pergi dari
sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam
hari, berbeda dengan yang telah mereka katakan tadi.”41
Juga firman-Nya dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 204-205;
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya
kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah
penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari
kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan
padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak,
dan Allah tidak menyukai kebinasaan/perusakan.”42
Jadi dapat disimpulkan mengenai penjelasan ayat di atas
hubungannya dengan pendidikan karakter yaitu bahwa seorang mukmin
40
M.Quraisy Shihab, dkk., Al-Quran dan Terjemahnya (Al Bayan), hlm.17 41
M.Quraisy Shihab, dkk., Al-Quran dan Terjemahnya (Al Bayan), hlm.237 42
M.Quraisy Shihab, dkk., Al-Quran dan Terjemahnya (Al Bayan), hlm.79-80
53
hendaknya menjauhi karakter-karakter yang kurang baik (akhlaq al-
mazmumah) yang nantinya menjadikan murka Allah menimpa atasnya,
diantaranya yang diterangkan dalam surat Ash-Shaff ayat 2-3 adalah
menghindari sifat-sifat munafik/kemunafikan.
Sedangkan pendidikan karakter disini memposisikan diri apabila
ada seorang muslim atau mukmin yang mempunyai karakter-karakter
yang kurang baik seperti yang diterangkan dalam ayat di atas, supaya
dapat menjauhi/menghindari sifat kemunafikan tersebut dan bertindak,
berperilaku serta berperingai layaknya orang yang beriman tanpa
adanya unsur kemunafikan didalam dirinya. Sehingga dapat tercermin
dalam tindakannya sesuai dengan apa yang diucapkannya dan juga
mempunyai sifat-sifat terpuji lain seperti halnya jujur, menepati janji,
dapat dipercaya, ikhlas, dan sifat-sifat terpuji lainnya.
Karena di sini karakter yang baik seperti halnya menepati janji
merupakan perwujudan dari iman yang kuat. Budi pekerti yang agung,
dan sikap yang yang berperikemanusiaan pada seseorang, menimbulkan
kepercayaan dan penghormatan masyarakat. Sebaliknya, perbuatan
menyalahi janji merupakan tanda iman yang lemah, serta tingkah laku
yang jelek, dan sikap yang tidak berperikemanusiaan, akan
menimbulkan sikap saling mencurigai dan dendam di dalam
masyarakat. Oleh karena itulah, agama Islam sangat mencela orang
yang suka berdusta dan menyalahi janjinya.43
Agar sifat tercela itu tidak dipunyai oleh orang-orang beriman,
alangkah baiknya jika kita menepati janji dan berkata benar itu
dijadikan tujuan pendidikan yang utama yang diajarkan kepada anak-
anak agar anak-anak nantinya mempunyai karakter yang mulia yang
tidak menyimpang dari segi agama di samping beriman kepada Allah
43
M. Atho Mudzhar, dkk., Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), hlm.110
54
dan rasul-Nya dan melatih diri mengerjakan berbagai bentuk ibadah
yang diwajibkan atasnya.44
44
M. Atho Mudzhar, dkk., Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), hlm.111
55
BAB IV
ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF
SURAT ASH-SHAFF AYAT 2-3
Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan.
Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa,
pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam
meningkatkan derajat dan martabat bangsa Indonesia. Di lingkungan
Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di
seluruh jenjang pendidikan yang dibinanya. 1
Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan
visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita
sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Di samping itu, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita
dewasa ini makin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk
memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan
pendidikan. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana
pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program
prioritas pembangunan nasional.
Selain itu juga melihat keadaan bangsa dan manusia Indonesia saat
ini, yang biasa mengklaim dirinya religius, pada kenyataannya banyak yang
mengidap penyakit akut “Split of personality” (Kepribadian yang terpecah)?
Yaitu, keterpecahan atau tidak kemampuan menyatukan perkataan dan
perbuatan (munafik), antara teori dan praktek.2
1 Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, http://edukasi.kompasiana.com/konsep-urgensi-dan-
implementasi -pendidikan-karakter-di-sekolah/ 29 September 2011 2 Amin Abdullah, http://aminabdullah.wordpress.com/pendidikan-karakter-mengasah-
kepekaan-hati-nurani/ 29 Juli 2011
56
Penyakit Split of Personality ini dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shaff
(61), ayat 2-3, sebagai berikut:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.”3
Dengan melihat ayat diatas terdapat kelemahan dalam diri semua
orang (bisa jaksa, ustad, guru, polisi, hakim, guru, dosen, pejabat negara dan
lain sebagainya), bahkan orang-orang beragama, tokoh partai, tokoh
organisasi dan lain sebagainya yang hafal tentang rumus-rumus, undang-
undang, ayat-ayat, tetapi tidak mampu melaksanakan apa yang ia ketahui dan
ia hafal dalam kehidupan sehari-hari, korupsi, mudah tergoda oleh berbagai
bujuk rayu, iming-iming, kepentingan golongan, ekonomi agama, partai dan
lain sebagainya.
Dari gambaran tersebut, bangsa Indonesia sangat memerlukan sumber
manusia dalam jumlah dan mempunyai kualitas karakter yang memadai,
konsisten, jujur, kepribadian yang menyatu antara perkataan dan
perbuataanya serta bertanggungjawab sebagai pendukung utama dalam
pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan
memiliki peran yang sangat penting, untuk menggugah bangsa ini dan warga
negaranya serta masyarakat sipil, pejabat negara, institusi sosial
kemasyarakatan dan keagamaan untuk instropeksi diri serta melakukan
langkah-langkah perbaikan menangani krisis multidimensional bangsa ini.
Ayat Al-Qur’an diatas yaitu surat Ash-Shaff ayat 2-3 disamping
mendidik kaum muslimin dengan keimanan yang lurus, Al-Qur’an juga
sangat menaruh perhatian untuk mengarahkan mereka pada amalan yang
3 Teungku Muh. Hasbi Ash-Shaddiqie, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2003), Cet.II, hlm.4205
57
shaleh. Sebab, keimanan yang benar tidak boleh tidak harus terungkap dalam
tingkahlaku dan tindakan. Ini dilaksanakan dengan menghiasi diri dengan
akhlak yang luhur, cinta berbuat baik pada orang lain dan bersegera dalam
melaksanakan apa yang diridlai Allah dan Rasulnya.4
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.5
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan secara sistematis dalam
model pendidikan holistik6 guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut
berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu
bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan
masyarakat.
Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu
tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan
belajar mengajar dan luar sekolah, akan tetapi juga melalui pembiasaan
(habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja
keras, cinta damai, tanggung-jawab, dan sebagainya.
Kemudian dalam proses pendidikan, terbentuknya karakter siswa,
secara teoritik merupakan arti dan tujuan hakiki dari pendidikan itu sendiri.
Oleh karena itu hal tersebut merupakan urgenitas kecerdasan karakter sebagai
4 M. Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Perpustakaan Salman Institut
Teknologi Bandung, 1985), hlm. 203 5 Undang-Undang SISDIKNAS (UU RI No 20 Th. 2003), (Jakarta:Sinar Grafika, 2009),
hlm.7 6 Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, (Semarang: IAIN Walisongo
Semarang, 2010), hlm.39
58
tujuan akhir dari pendidikan, dan pada dasarnya merupakan penjabaran dari
missi risalah dari semua agama samawi.
Islam bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa missi terbesar dari
agama ini adalah menyempurnakan kemuliaan karakter (makarim al-akhlaq),
yakni membentuk kepribadian yang mulia yang mencerminkan kemuliaan
akhlak yang luhur. Gagasan Islam teragung ini sudah secara berulang-ulang
telah didengungkan, dicerna, dipahami dan dipraktekkan oleh para civitas
akademika yang lebih-lebih pada sekolah yang berbasis islam dan pondok
pesantren baik santri, ustadz, guru, maupun pengelolanya sendiri.7
Dengan pendidikan karakter akan menjadikan manusia cerdas, pintar,
kreatif, inovatif, mandiri dan bertanggung jawab. Pendidikan selalu
mengajarkan, membimbing dan membina setiap manusia untuk memiliki
kompetensi intelektual (kognitif), karakter (Affective), dan kompetensi
ketrampilan mekanik (Psychomotoric) dan menggali serta memberdayakan
potensi yang dimiliki peserta didik untuk bekal hidup mereka kelak.
Pendidikan selalu mengajari sesuatu yang baik mentaati peraturan, tidak
munafik, menghindari sifat-sifat yang buruk, hidup menurut norma dan etika
sosial, jujur, tidak suka berbohong (berdusta), tidak mendlolimi orang lain,
memiliki mimpi yang indah untuk masa depan, memiliki semboyan hidup
untuk memacu dalam berjuang, dan ingin menghirup wangi harum surga.8
Pendidikan dilaksanakan juga untuk membantu anak didik untuk dapat
memuliakan hidup. Pendidikan ditantang tidak hanya membantu anak didik,
agar hidupnya berhasil tetapi lebih-lebih agar hidupnya bermakna, di samping
itu pendidikan mampu memberikan kearifan. Karena seseorang yang arif
budiman memiliki pengetahuan yang luas, kecerdasan, akal sehat, mengenal
inti-inti hal yang diketahui, bersikap hati-hati, pemahaman terhadap norma
kebenaran masyarakat, kemampuan belajar dari pengalaman hidup.9
7 Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm. 74
8 D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi
Publishing, 2010), hlm. 23 9 Buchori Muchtar, Pendidikan Antisapatoris, (Jakarta: Kanisius, 2001), hlm.49
59
Pendidikan karakter memang mempunyai problematika yang sangat
kompleks, oleh karena itu untuk pelaksanaannya dalam sebuah lembaga
pendidikan memerlukan berbagai macam pendekatan pembelajaran.
Pendekatan merupakan arahan ideal yang selanjutnya dapat dijabarkan dalam
bentuk metode, teknik, strategi pembelajaran yang dipilih dan ditetapkan
untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi ke arah tujuan
pembelajaran yag di harapkan.10
Strategi pembinaan karakter perlu didukung oleh tiga pilar yakni
orang tua, sekolah (guru) dan lingkungan. Dalam konteks tersebut, budaya
paternalistik bisa dijadikan acuan, yakni orang yang lebih tua yang disegani
oleh yang lebih muda. Melalui peran orang tua dan guru yang berwibawa,
pendidikan karakter dapat ditanamkan. Guru dalam melaksanakan proses
kegiatan pendidikan karakter ini dilakukan dengan segala daya upaya artinya
guru dalam proses pendidikan tidak hanya berperan sebagai pengajar yang
menyampaikan materi pengajaran tetapi dia juga bertindak sebagai inspirator,
inisiator, fasilitator, mediator, supervisor, evaluator, teman, sekaligus
pembimbing, lebih matang (pengalamannya), otoritas akademik, pengasuh
dan sepenuh hati dengan cinta dan kasih sayang. 11
Biasanya salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang untuk
berperilaku baik, walaupun secara kognitif ia mengetahuinya (moral
knowing), yaitu karna ia tidak terlatih untuk melakukan kebajikan atau moral
action. Untuk itu orang tua dan guru tidak cukup memberikan pengetahuan
tentang kebaikan, tetapi harus terus membimbing anak sampai tahap
implementasi dalam kehidupan anak sehari-hari.12
Dalam pendidikan karakter penting adanya penekanan tiga komponen
yang baik (component of good character), yaitu moral knowing atau
pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan
moral action atau perbuatan moral. Sedang dalam istilah yang dipakai oleh
10
D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, hlm.14 11
D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, hlm.2 12
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
hlm.133
60
Fihris yaitu knowing the good, feeling the good dan acting the good.13
Hal ini
di perlukan agar anak anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan
sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Moral knowing merupakan hal yang penting untuk diajarkan karena
untuk mengetahui kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral moral itu
sendiri. Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada
anak yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat enam aspek emosi yang harus mampu
dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yaitu nurani,
percaya diri, merasakan penderitaan orang lain, mencintai kebenaran, mampu
mengontrol diri dan kerendahan hati.
Moral Action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat
diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan
hasil dari komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong
seseorang dalam perbuatan yang baik maka harus dilihat dari tiga aspek lain
dari karakter, yaitu kompetensi, keinginan dan kebiasaan.14
Pendidikan karakter terhadap anak hendaknya menjadikan seseorang
anak terbiasa untuk berperilaku baik sehingga ia menjadi terbiasa dan akan
merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Sebagai contoh, seorang anak
yang terbiasa mandi dua kali sehari, akan merasa tidak enak bila mandi satu
kali dalam sehari. Dengan demikian kebiasaan baik yang sudah menjadi
naluri, otomatis akan membuat seorang anak merasa bersalah bila tidak
melakukan kebiasaan baik tersebut.
Yang perlu didasari adalah mendidik kebiasaan baik saja tidak cukup.
Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu menghargai pentingnya nilai-
nilai moral (valuing). Misalnya, ia tidak berdusta, mencuri atau perbuatan
tercela lainnya karena ia mengetahui sanksi hukumnya, dan bukan karena ia
menjunjung tinggi nilai kejujuran. Oleh karena itu, setelah anak memiliki
pengetahuan (moral knowing), orang tua hendaknya dapat menumbuhkan
13
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, hlm.39 14
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
hlm.134
61
rasa atau keinginan anak untuk berbuat baik, dalam hal ini adalah moral
action.
Pada posisi lain, keinginan untuk berbuat baik bersumber dari
kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Aspek kecintaan inilah
sebagai sumber energi yag secara efektif membuat seseorang mempunyai
karakter yang konsisten antara pengetahuan (moral knowing) dan tindakannya
(moral action). Oleh karena itu, aspek ini merupakan yang paling sulit untuk
diajarkan karena menyangkut moral feeling.15
Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek moral feeling adalah
dengan cara membangkitkan kesadaran anak akan pentingnya memberikan
komitmen terhadap nilai-nilai moral. Sebagai contoh, untuk menanamkan
kecintaan anak untuk jujur dengan tidak mencontek, orang tua dan guru harus
dapat menumbuhkan rasa bersalah, malu dan tidak empati atas tindakan
mencontek tersebut. Kecintaan ini (moral feeling) akan menjadi kontrol
internal yang paling efektif, selain kontrol eksternal berupa pengawasan
orang tua terhadap tindak tanduk anak dalam keseharian.
Terlepas dari adanya moral feeling anak yang mencintai kebajikan,
orang tua tidak lantas menghilangkan perannya dalam melakukan kontrol
eksternal. Kontrol eksternal juga juga penting dan perlu diberikan orang tua,
khususnya dalam memberikan lingkungan yang kondusif kepada anak untuk
membiasakan diri berperilaku baik dan menghindari perbuatan-perbuatan
tercela salah satu diantaranya yaitu perbuatan munafik.16
Pembiasaan itu bukan hanya mengajarkan (aspek kognitif) mana
yang benar dan salah, akan tetapi juga mampu merasakan (aspek afektif) nilai
yang baik dan tidak baik serta bersedia melakukannya (aspek psikomotorik)
dari lingkup terkecil seperti diri bsendiri, keluarga sampai dengan cakupan
yang lebih luas di masyarakat bangsa dan negara. Nilai-nilai tersebut perlu
ditumbuh kembangkan peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi
15
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
hlm.135 16
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
hlm.135
62
pencerminan hidup bangsa Indonesia. oleh karena itu, sekolah memiliki
peranan yang besar sebagai pusat pembudayaan melalui pengembangan
budaya sekolah (school culture). Pendidikan karakter juga dapat dilakukan
melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media
massa.
Pedoman ini ditujukan kepada semua warga pada setiap satuan
pendidikan (dasar sampai menengah) melalui serangkaian kegiatan
perencanaan, pelaksanaan dan penilaian yang bersifat komprehensif.
Perencanaan di tingkat satuan pendidikan pada dasarnya adalah melakukan
penguatan dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Sedangkan pelaksanaan dan penilaian tidak hanya menekankan aspek
pengetahuan saja, melainkan juga sikap perilaku yang akhirnya dapat
membentuk akhlak mulia.17
Pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan Tuhan,
yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri
fitrah yang alamiah ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga
lingkungan memilki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan
prilaku. Sekolah dan masyarakat sebagai bagian dari lingkungan memiliki
peranan yang sangat penting, oleh karena itu setiap sekolah dan masyarakat
harus memiliki pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan
dibentuk. Para pemimpin dan tokoh masyarakat juga harus mampu
memberikan suri teladan mengenai karakter yang akan dibentuk tersebut.
Pendidikan karakter di sekolah merupakan suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil.
17
http://pdf.Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, puskurbuk, p4tk-bispar.net/43-
pedoman-pelaksanaan-pendidikan-karakter.html
63
Selain dari pada itu seperti yang dijelaskan dalam tafsir bab 3 pendidikan
yang ditekankan adalah menghindari sifat-sifat munafik. orang munafik adalah
pendusta dan merupakan musuh dalam selimut. Menurut terminologi Al-Qur’an
pengertian munafik merujuk pada mereka yang tidak beriman namun berpura-
pura beriman, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Munafiqun
ayat 1-3;
Artinya: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
"Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul
Allah". dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-
benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya
orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu
menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka
menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya Amat
buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah
karena bahwa Sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian
menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka
tidak dapat mengerti.”18
Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia munafik yaitu hanya
kelihatannya percaya tetapi sebenarnya tidak, yang diucapkan tidak seperti
apa yang ada dalam hatinya, yang dikerjakannya tidak seperti apa yang
diucapkannya (bohong).19
Orang-orang munafik itu pada lahirnya beriman kepada Allah dan
hari kemudian, tetapi sebenarnya mereka masih tetap dalam kekafiran.
Mereka ini hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Kalau
18
Fadlol Abdur Rahman, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Al-Jumanatul Ali,
2005), hlm.555 19
Ananda Santoso dan S. Priyanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika,
1995), hlm.239
64
mereka diberi nasehat dan peringatan, mereka tiada mau menerimanya.
Orang-orang munafik ini dalam keraguan. Sebenarnya mereka itu mendengar
petunjuk Al-Qur’an sebagai suluh yang menerangi hatinya. Tapi karena
mereka dipengaruhi oleh kebiasaan mereka, maka petunjuk itu tiadalah
diturutinya. 20
Orang-orang munafik itu menampakan imannya hanya diluarnya saja
akan tetapi sebenarnya mereka ingkar kepada Allah swt. Itulah sifat dari orang
munafik.dan juga diterangkan dalam surat Al-Munafiqun ayat 4 Allah berfirman;
Artinya: “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka
menjadikan kamu kagum. dan jika mereka berkata kamu
mendengarkan Perkataan mereka. mereka adalah seakan-akan kayu
yang tersandar. mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang
keras ditujukan kepada mereka. mereka Itulah musuh (yang
sebenarnya) Maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah
membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan
(dari kebenaran)?21
Orang munafik dalam ayat diatas diumpamakan seperti kayu yang
tersandar, Maksudnya untuk menyatakan sifat mereka yang buruk meskipun
tubuh mereka bagus-bagus dan mereka pandai berbicara, akan tetapi
sebenarnya otak mereka adalah kosong tak dapat memahami kebenaran dari
ajaran-ajaran Islam. Di samping ayat diatas juga diterangkan dalam ayat yang
lain yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 8-10;
20
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2004), hlm. 4-5 21
Fadlol Abdur Rahman, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.555
65
Artinya: “Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada
Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan
orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan
orang-orang yang beriman, Padahal mereka hanya menipu dirinya
sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit,
lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih,
disebabkan mereka berdusta.”22
Rasulullah SAW juga telah bersabda tentang ciri-ciri orang munafik ini
antara lain:
:آيت المنافق ثالث :عه ابي ىسيسة زضي اهلل عنو عه النبي صلى اهلل عليو و سلم قال
) البخاز زواه) اذا حدث كرب و اذا وعد اخلف و اذا اؤتمه خان
Artinya: Dari Abu hurairah Ra. Dari Nabi SAW Beliau bersabda Tanda
orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila
berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari.
Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia
mengkhianatinya." (HR. Bukhari).23
Dalam hadist di atas nampaklah oleh kita bahwa ciri-ciri yang
dominan yag dimiliki oleh orang orang munafiq adalah dusta, ingkar janji,
khiyanat, berbeda antara yang diucapkan dengan apa yang diperbuat, dan
orang tersebut mempunyai sifat malas melaksanakan shalat berjama'ah
terutama shalat yang dijelaskan dalam hadis diatas, yang menandakan bahwa
dirinya termasuk dari golongan orang-orang munafik. Subhanallah, betapa
miripnya kemarin dengan hari ini. Di zaman ini banyak di antara kaum
muslimin yang masih bersifat dengan sifat ini, mereka sangat banyak dan
22
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an, (jakarta:
Lentera hati, 2002), Volume 1, hlm.98 23
Al-Bukhari, Imam Abdullah bin Ismail, Shahih Bukhari Juz 1, (Beirut: Darul Fikri, 1981),
hlm.14
66
diantaranya mereka merasa berat mengerjakan kedua shalat ini dengan alasan
lelah atau ngantuk sepulang kerja atau alasan lainnya.24
Ciri-ciri orang munafik tersebut sebenarnya sangat banyak terdapat
dalam Al-Qur`an dan dari Rasul SAW juga menyebutkan sebagian di
antaranya guna memperingatkan umatnya dari ciri-ciri golongan tersebut,
supaya jangan sampai mereka terjatuh ke dalamnya sehingga mereka
akhirnya menjadi mirip seperti mereka. Padahal sungguh Nabi SAW telah
menyatakan bahwa barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk dari kaum tersebut.
Khalifah Ali RA mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda,
''Sungguh aku tidak mengkhawatirkan seorang mukmin ataupun seorang
musyrik atas umatku. Seorang mukmin akan dipelihara Allah dengan
imannya dari perbuatan yang mengganggu mereka dan seorang musyrik akan
Allah patahkan gangguannya dengan sebab kemusyrikannya dari mereka,
Tapi, aku sangat mengkhawatirkan seorang munafik yang pandai bersilat
lidah, mengucapkan apa-apa yang kamu ketahui dan mengerjakan apa yang
kamu ingkari”. 25
Selanjutnya dijelaskan pula mengenai orang munafik ini dalam Al-
Qur’an surat At-Taubah ayat 67;
Artinya: “orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan
sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang
Munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka
menggenggamkan tangannya[kikir]. mereka telah lupa kepada Allah,
Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik
24
Supriadi Tuangku Sinaro, http://ceramahsantri.blogspot.com/2011/08/tanda-tanda-orang-
munafik.html, 5 November 2011 25
Supriadi Tuangku Sinaro, http://ceramahsantri.blogspot.com/2011/08/tanda-tanda-orang-
munafik.html, 5 November 2011
67
itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah: 67).26
Sebagai umat Islam, kita perlu selalu waspada terhadap tipu daya
mereka. Jika tidak, tipu daya mereka dapat menghancurkan umat Islam itu
sendiri. Khalifah Umar bin Khattab terbunuh karena ulah orang munafik.
Demikian pula kerusuhan yang terjadi di masa Khalifah Usman bin Affan dan
perang saudara yang terjadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Maka, tidak
menutup kemungkinan kerusuhan, kekacauan, dan perseteruan yang terjadi di
negeri kita selama ini juga karena ulah orang-orang munafik. Karenanya
wajib atas setiap muslim untuk mengetahui ciri-ciri munafik di atas dan sifat-
sifat lainnya agar bisa menjaga diri kita dari hal-hal yang tidak kita inginkan
akibat darinya.27
Sifat-sifat orang munafik yang telah digambarkan diatas adalah
termasuk sifat yang tercela dan sangat berbahaya kepada pribadi pelakunya,
dan bahkan berdampak buruk kepada orang lain, coba perhatikan kejadian
yang kita dengar dan saksikan selama ini, para koruptor, para pejabat
sebagaimana tikus-tikus berdasi, orang islam yang tidak suka memakai ajaran
islam, seluruhnya mereka adalah orang-orang munafik.
Nabi SAW juga telah memperingatkan kepada kita dengan sabdanya
di atas, tentang bahaya orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang
'bermuka dua, lahirnya kelihatan baik, tetapi hatinya ternyata jahat, busuk,
suka menari diatas penderitaan orang lain, Secara lahir mereka baik, manis
bicaranya, elok tampilannya, baju necis, celana jens, sepatu hitam mengkilat,
bau harum, berjalan tegap, seakan-akan mereka teman kita, padahal mereka
musuh besar kita. Mereka juga pandai bersilat lidah, perkataannya sangat
menakjubkan dan meyakinkan, tetapi perbuatannya bertentangan dengan
ucapan mereka sendiri.
Di depan kita mereka mengaku pembela kebenaran, penegak keadilan,
pejuang hak asasi manusia, dan pendekar demokrasi. Tetapi, ternyata mereka
26
Fadlol Abdur Rahman, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.198 27
http://al-atsariyyah.com/ciri-ciri-orang-munafik.html, 5 November 2011
68
adalah penghalang kebenaran, perusak keadilan, pelanggar hak asasi manusia,
dan penghambat demokrasi. Mereka juga mengaku pembela rakyat dan
penolong kaum lemah, ternyata mereka adalah penipu (pengkhianat) rakyat
dan zhalim terhadap kaum lemah. Bahkan, mereka dengan mudah berani
bersumpah dengan nama Allah dan Al-Quran di atas kepalanya, tetapi
tindakan mereka ternyata menipu Allah dan bertentangan dengan petunjuk-
petunjuk Al-Qur’an dan ajaran Islam. Benar apa yang diungkapkan oleh
Direktur Pembinaan SMP, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas),
Didik Suhardi tentang banyak keluhan dari masyarakat akan menurunnya tata
krama, etika, dan kreativitas karena melemahnya pendidikan budaya dan
karakter bangsa.28
Kesimpulannya dari penjelasan di atas yaitu bahwa karakter yang ada
pada perspektif surat Ash-Shaff ayat 2-3 adalah konsistensi dan keterpaduan
antara perkataan dan perbuatan seseorang, jujur, berani berjuang,
bertanggungjawab serta menghindari sifat munafik yang mana sifat munafik
tersebut termasuk sifat yang tercela dan sangat berbahaya kepada pribadi
pelakunya, dan bahkan berdampak buruk kepada orang lain. Oleh karna itu,
mari kita cegah sifat ini dengan tunduk dan patuh kepada ajaran allah dan
Rasulnya. Marilah kita jauhi semaksimal mungkin sifat-sifat munafik yang
tercela ini dan semoga Allah memelihara kita semua terhindar dari segala
sifat-sifat kemunafikan, karna sifat munafik ini dapat menyengsarakan
pelakunya baik di dunia dan akhirat serta kelak wajar baginya mendapat siksa
yang pedih.29
28
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
hlm.133 29
M.Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an, Vol.1,
hlm.100
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menerangkan secara jelas tentang segala persoalan
yang menyangkut pendidikan karakter dalam perspektif surat Ash-Shaff
ayat 2-3 dengan berbagai macam argumentasinya, maka penulis mencoba
memberikan sebuah kesimpulan sebagai intisari dari pembahasan materi
sekripsi ini.
Adapun Kesimpulannya dari penjelasan skripsi ini yaitu bahwa
pendidikan karakter yang ada dalam (perspektif) surat Ash-Shaff ayat 2-3
adalah konsistensi dan keterpaduan antara perkataan dan perbuatan
seseorang, jujur, berani berjuang, bertanggungjawab serta menghindari
sifat munafik yang mana sifat munafik tersebut termasuk sifat yang tercela
dan sangat berbahaya kepada pribadi pelakunya, dan bahkan berdampak
buruk kepada orang lain. Oleh karna itu, mari kita hindari cegah sifat ini
dengan tunduk dan patuh kepada ajaran allah dan Rasulnya. Marilah kita
jauhi semaksimal mungkin sifat-sifat munafik yang tercela ini dan semoga
Allah memelihara kita semua terhindar dari segala sifat-sifat kemunafikan,
karna sifat munafik ini dapat menyengsarakan pelakunya baik di dunia dan
akhirat serta kelak wajar baginya mendapat siksa yang pedih.
B. Saran-saran
Dengan berakhirnya skripsi ini, penulis dengan rendah hati akan
memberikan saran-saran guna kebaikan dan verifikasi terhadap penulisan
skripsi ini.
1. Memang sulit jika kita mencari orang dengan tipe munafik ini, oleh
karena itu kita harus waspada dan menjauhi sifat ini karena mereka ini
berkata hanya pada mulutnya saja, dan apa yang ia katakan itu tidak
ataupun jarang ia pikirkan dan dilaksanakan, kemudian dalam
70
perbuatannya sehari-hari nampak seperti baik tapi hanya tipu daya
belaka, artinya segala amal perbuatan yang dikerjakan itu bukan
ditegakkan di atas dasar keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah, akan
tetapi hanya didasarkan pada perasaan dan hawa nafsunya semata-mata
untuk mencari muka, penampilan, mengambil hati masyarakat dan
pandangan orang belaka. Segala perbuatan baiknya itu hanya dijadikan
tempat berlindung untuk menutupi segala keburukan I’tikad dan niat
dalam hatinya.
2. Sungguh sangat memprihatinkan bila sifat ini ada pada diri kita, anak
didik kita dan masyarakat Indonesia, bila kita biarkan pastilah negeri
yang kita cintai ini lama kelamaan akan carut marut dan terpecah
karena tidak adanya kepercayaan lagi antara orang satu dengan orang
yang lain antara golongan satu dengan yang lain seperti halnya yang
terjadi pada tubuh parlemen Indonesia saat ini, para pejabat wakil
rakyat yang dipercaya oleh rakyatnya untuk mengayomi dan
menampung aspirasi rakyat, malah bertindak khiyanat mereka sesuka
hatinya duduk-duduk santai dikantor yang mewah serta mengambil
hak yang bukan miliknya (korupsi). Jika hal ini terus berlanjut niscaya
bangsa Indonesia akan hancur. Oleh karena itu “Wahai para pejabat
yang korupsi selayaknya engkau sadar sebelum maut menjemputmu
dan takutlah kepada Allah SWT akan siksanya yang amat pedih”.
3. Strategi pembinaan karakter, perlu didukung oleh tiga pilar, yaitu
lingkungan keluarga (orang tua), sekolah dan lingkungan. Pendidikan
karakter dimulai dari lingkungan keluarga, oleh karena itu lingkungan
inilah yang pertama kali dikenal oleh seseorang sejak ia lahir.
Lingkungan keluarga sangat berpengaruh karena merupakan dasar dari
pembentukan karakter seseorang. Selanjutnya lingkungan tempat
tinggal, lingkungan pergaulan dan lingkungan sekolah.
4. Untuk mengetahui pendidikan karakter perspektif surat Ash-Shaff ayat
2-3 memerlukan metode tafsir tahlily dan metode tafsir al-maudlu’i.
Untuk itu sebaiknya dalam mengkaji ayat tersebut perlu mengadakan
71
penyelidikan berbagai literartur tafsir untuk mengkomparasikannya
kemudian menyimpulkannya.
5. Penulis meyakini kebenaran mutlak hanya milik Allah, maka skripsi
ini adalah karya yang banyak dipengaruhi oleh pikiran manusia,
sementara manusia memiliki keterbatasan dan kelemahan, namun
semua ini harapan penulis menjadikan skripsi sebagai dialog
intelektual dalam dunia pendidikan, sebuah usaha tidak ada “ruginya”,
sebuah kerugian adalah “tidak adanya usaha”, yang menghantarkan
pada penyesalan dan kemunduran.
C. Penutup
Dengan berakhirnya skripsi ini penulis memanjatkansyukur
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kenikmatan,
hidayah dan pertolongan-Nya pada penulis, sehingga dapat mengerjakan
dan menyelesaikan penulisan skripsi ini, walaupun masih banyak
kekurangan di sana-sini. Sekali lagi penulis mengucapkan rasa syukur
kehadirat-Nya, karena berkat pertolongan-Nya skripsi yang berjudul
“Pendidikan Karakter Perspektif Surat Ash-Shaff Ayat 2-3”, dapat penulis
selesaikan.
Selanjutnya limpahan rahmat dan salam semoga mengalir
kepangkuan Rasulullah saw. yang telah memberikan bimbingan kepada
kita jalan kebenaran menuju kebahagiaan dunia akhirat melalui Al-Quran
dan sunnahnya, begitu pula para shahabat dan keluarganya beliau nabi
Muhammad saw.
Harapan penulis, semoga semua pihak yang telah membantu
penulis dalam penyelesaian skripsi ini, menjadikan amal yang baik dan
mendapatkan balasan kebaikan di sisi Allah SWT. Amin.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul, Ramli, Wahib, Ulumul Qur’an I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Abdullah, Amin, http://aminabdullah.wordpress.com/pendidikan-karakter-mengasah-
kepekaan-hati-nurani/ 29 Juli 2011
Abdur, Fadlol, Rahman, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Al-Jumanatul Ali,
2005.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Agung, Iskandar dan Nadirah Rumtini, Pendidikan Membangun Karakter Bangsa, Jakarta:
Bestari Buana Murni, 2011
Al-Bukhari, Imam Abdullah bin Ismail, Shahih Bukhari Juz 1, Beirut: Darul Fikri, 1981
Al-Nashr, M. Sofyan, Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal, Skripsi Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2010.
Amanah, H. St. Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Cv. Asy-Syifa, 1993
Anwar dan Arsyad Ahmad, Pendidikan Anak Usia Dini, Bandung: Alfabeta, 2009
Arikunto, Suharsimi, Prosedur penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Arroyani, Farida, Majalah Edukasi, IAIN Walisongo Semarang, 2009, Edisi: XXXIX
As-Suyuthi, Jalaluddin, Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an; Penerjemah; Tim
Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Azizy, Qodri, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta: Renaisan, 2004
Buchori, Muchtar, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta: Kanisius, 2001
Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an I, Surabaya: Dunia Cinta, 2001.
Djatnika, Rahmat, Sistem Etika Islam, Jakarta: Panjimas, 1992
E. Mulyasa, Penelitian Tindakan Kelas, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010
Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, Semarang. IAIN Walisongo Semarang,
2010
Hadi, Sutrisno, metodologi Research, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001.
Hafidz, Hasan, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, Ramadhani, Solo, 1989
Hajar, Ibnu, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan, Jakarta:
Grafindo Persada, 1996.
Harahap, Syahrin, Islam Dinamis, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.
Hayy al-Farmawi, Abdul, Metode Tafsir Maudlu’i dan Cara Penerapannya, terj. Rosihon
Anwar, Bandung: CV Pustaka Setia, 2002.
Hidayat, Ara & Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Educa, 2010
Http://al-atsariyyah.com/ciri-ciri-orang-munafik.html, 5 November 2011
Http://berita.upi.edu/2011/05/31/peran-nilai-pesantren-dalam-pendidikan-karakter/ 2
Oktober 2011
Http://books.google.co.id/books?id=Setelah+krisis+ekonomi+dan+reformasi+tahun+1998,
2 September 2011
Http://pdf.Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, puskurbuk, p4tk-bispar.net./43-
pedoman-pelaksanaan-pendidikan-karakter.html
Http://www.tempo.co/hg/kolom/- Pendidikan (Bukan-mata-pelajaran) Karakter. html-, 27
September 2011
Jamil, Surat Kabar Mahasiswa AMANAT, IAIN Walisongo Semarang: Edisi 116/Juli 2011
Jawa Pos, Jawa Tengah: 14 Juli 2011
Juwaini, Jazuli, http://www.google.co.id/Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan
cerdas dan berkarakter kuat, 7 Oktober 2011
Khan, D. Yahya, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, Yogyakarta: Pelangi
Publishing, 2010.
Koesoema A., Doni, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik anak di Zaman Global, Jakarta:
Grafindo, 2010, cet. II
Mas’ud, Abdurrahman, Dikotomi Ilmu Agama dan Non Agama, Semarang: IAIN
Walisongo,1999.
_______, Menggagas pendidikan non dikotomik, Yogyakarta: Gama Media, 2002
Mu’in, Fatchul, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik dan Praktik, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011
Mudzhar, M. Atho, dkk., Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), Jakarta:
Lentera Abadi, 2010
Muhammad, Teungku, Hasbi Ash-Shaddiqie, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2002, Cet.II
_______, Tafsir Al Bayan, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002
_______, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2003),
Cet.II.
Mursid, Kurikulum dan pendidikan Anak Usia Dini, Semarang: Akfi Media, 2009
_______, Manajemen Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini, Semarang: Akfi Media, 2009
Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,
Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Mustafa, Ahmad, Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, penerjemah: bahrun Abu Bakar, dkk,
Semarang: PT Karya Toha Putra, cet II, 1993, Juz XXVIII.
Najati, M. Ustman, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Bandung: Perpustakaan Salman Institut
Teknologi Bandung, 1985
Nurdin, Muslim, dkk., Moral dan Kognisi Islam, Bandung: Alfabeta, 1993.
Prasetyo, Agus & Emusti Rivasintha, http://edukasi.kompasiana.com/konsep-urgensi-dan-
implementasi-pendidikan-karakter-di-sekolah/ 29 September 2011
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1989
Rozikin, Aplikasi Konsep Sabar Menurut Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 200 Dalam
Pendidikan Islam, Skripsi, Semarang: fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang, 2009
Santoso, Ananda dan S. Priyanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika,
1995
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu, Bandung: Mizan,
1996
_______, dkk., Al-Quran dan Terjemahnya (Al Bayan), Semarang: CV Asy- Syifa’.
_______, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
_______, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera hati,
2002, Volum.14
Suara Merdeka, Jawa Tengah, 25 Juli 2011.
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Sudrajat, Akhmad, Konsep Pendidikan Karakter. Error! Hyperlink reference not valid. Juli
2011]
Sulhan, Najib, Pendidikan Berbasis Karakter, Surabaya: PT JePe Press Media Utama, 2010
Syadzaly, Ahmad, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai pustaka, 1998
Tuangku, Supriadi, Sinaro, http://ceramahsantri.blogspot.com/2011/08/tanda-tanda-orang-
munafik.html, 5 November 2011
Undang-Undang SISDIKNAS (UU RI No 20 Th. 2003), Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Warta Jateng, Jawa Tengah: 10 September 2011
Wawasan, Jawa Tengah, 8 Januari 2011
Ya’kub, Hamzah, Etika Islam, Bandung: Diponegoro, 1993
Yamin, Martinis, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung Persada
Press, 2007
Yunus, Mahmud, Tafsir Qur’an Karim, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2004.
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap : Junardi
2. Tempat & Tgl. Lahir : Kendal, 5 Desember 1986
3. NIM : 073111099
4. Alamat Rumah : Desa Pesawahan Rt. 02 Rw. 03, Kec. Pegandon
Kab. Kendal
Kode Pos 51357
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. SD Sumbersari 3 Ngampel Kendal, Lulus Tahun 1999
b. SMP N 1 Pegandon Kendal, Lulus Tahun 2002
c. SMK Bhinneka Patebon Kendal, Lulus Tahun 2005
2. Pendidikan Non- Formal
a. MDA “Mambaul Huda” Sumbersari Pegandon Kendal
b. PONPES Roudlotut Tholibin Pegandon Kendal
c. PONPES Nurul Huda Mangkang Semarang
Semarang, 12 November 2011
Junardi
NIM.073111099