Upload
vesri-yossy
View
66
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Di antara 210 juta penduduk Indonesia, terdapat 32 juta anak yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Mereka terancam kelaparan disertai serangan diare dan infeksi saluran
pernapasan. Rangkaian penyakit itu merupakan ancaman terhadap kematian anak.
Bila anak-anak itu hidup terus maka kemampuan intelektual mereka akan turun 10-15
IQ poin, dengan konsekuensi drop out dari sekolah sebagai akibat defisiensi berbagai mikro
nutrient, seperti yodium, ferum, dan kurang energi protein (KEP). Nutrient sangat dibutuhkan
anak sebagai bahan tumbuh kembang otak serta kepribadian.
Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak
dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi
disamping merupakan sindrom kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga dan juga menyangkut aspek pengetahuan serta perilaku yang
kurang mendukung pola hidup sehat. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat
kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan
keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human Development Index
(HDI).
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro
dan kurang gizi mikro Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah
masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan
energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi
mikro.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 %
(1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan
prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.
Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5
juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak
gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi
kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-
29%), sangat tinggi (=>30%).
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi,
atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang
dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang
Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
Kurang gizi khususnya Kurang energi protein (KEP) masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensi balita gizi kurang, balita kurus dan balita
pendek masih tinggi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 prevalensi gizi
kurang (BB/U <-2 SD WHO 2006) sebesar 18,4%, balita pendek ( TB/U <-2 SD WHO 2006)
sebesar 36,8 %, dan balita kurus (BB/TB <-2 SD WHO 2006) sebesar 13,6 %. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun prevalensi gizi kurang sudah menurun di mana lebih rendah
dari target pembangunan kesehatan Indonesia 2009 sebesar 20% dan Millenium Development
Goals (MDGs) 2015 sebesar 18,5%, namun prevalensi balita pendek dan balita kurus masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2008).
KEP yang terjadi pada usia awal masa kanak-kanak akan memiliki dampak yang
bersifat permanen pada usia selanjutnya. KEP dapat mengakibatkan perubahan structural dan
fungsional otak yang sebagiannya dapat bersifat permanen. Anak-anak dengan kekurangan
gizi berat memiliki kepala yang lebih kecil daripada anak yang normal berdasar hasil
pemeriksaan auditory-evoced potensials, dan tetap abnormal walaupun telah terjadi
pemulihan dari stadium akut (Baker-Henningham & Grantham-McGregor, 2009).
Menurut Hadi (2005), masa balita ini menjadi lebih penting lagi oleh karena
merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang
berkualitas. Terlebih lagi 6 bulan terakhir masa kehamilan dan dua tahun pertama pasca
kelahiran merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa
emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Anak yang
menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah
dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF, 1998).
I.2. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh gizi buruk terhadap perkembangan inteligensi pada balita di
kota Padang ?
I.3. Tujuan Masalah
I.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran gizi buruk terhadap
perkembangan inteligensi pada balita di kota Padang.
I.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahu prevalensi gizi buruk di kota Padang.
b. Mengetahui adanya hubungan gizi buruk terhadap perkembangan inteligensi pada balita.
I.4. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui gambaran gizi buruk di kota Padang diharapkan dapat sebagai
informasi yang dapat menambah pengetahuan penulis tentang masalah gizi buruk dan juga
dapat informasi bagi semua orangtua tentang gizi buruk untuk dapat meningkatkan derajat
kesehatan anaknya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Gizi Buruk
II.1.1. Pengertian
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi,
atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang
dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Kasus KEP (Kurang Energi Protein)
adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
II.1.2. Penyebab Gizi Buruk
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF
ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu : (1) Kurangnya asupan gizi dari
makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya
tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu
kemiskinan. (2) Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan
oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan
secara baik. Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu: (1) Faktor
ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat; (2) Perilaku dan budaya
dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak; (3) Pengelolaan yang buruk dan
perawatan kesehatan yang tidak memadai. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
ada 3 faktor penyebab gizi buruk pada balita, yaitu: (1) Keluarga miskin; (2) Ketidaktahuan
orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak; (3) Faktor penyakit bawaan pada anak,
seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernapasan dan diare.
II.1.3. Klasifikasi Gizi Buruk
Dua Tipe Gizi Buruk (Kwasiorkor dan Marasmus)
Kwasiorkor
Memiliki ciri: (1) edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama
punggung kaki dan wajah) membulat dan lembab; (2) pandangan mata sayu; (3) rambut tipis
kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit dan mudah
rontok; (4) terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel; (5) terjadi pembesaran
hati; (6) otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk;
(7) terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis); (8) sering disertai
penyakit infeksi yang umumnya akut; (9) anemia dan diare.
Marasmus
Memiliki ciri-ciri: (1) badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya
terbungkus kulit; (2) wajah seperti orang tua; (3) mudah menangis/cengeng dan rewel; (4)
kulit menjadi keriput; (5) jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy
pant/pakai celana longgar); (6) perut cekung, dan iga gambang; (7) sering disertai penyakit
infeksi (umumnya kronis berulang); (8) diare kronik atau konstipasi (susah buang air).
Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis
kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.
II.1.4. Hubungan Gizi Buruk dengan Inteligensi
Kekurangan gizi anak pada masa kehamilan ibu dan usia dini anak selain
menyebabkan keterlambatan dalam pertumbuhan fisik dan perkembangan motorik, juga akan
mengganggu perkembangan kognitif yang menyebabkan berkurangnya IQ (intelligence
quotient) hingga 15 poin.
Kebutuhan gizi dibagi atas dua bagian yaitu kebutuhan zat-zat gizi makro seperti
energi, protein dan lemak dan kebutuhan zat gizi mikro yakni vitamin dan mineral.
Zat gizi makro berfungsi pada proses metabolisme otak dan peningkatan efisiensi
proses rangsangan otak, sehingga kekurangan gizi makro menyebabkan terganggunya asupan
makanan ke otak dan terganggunya proses metabolisme otak. Energi sangat dibutuhkan otak.
Selain untuk membantu proses pertumbuhan dan perkembangan otak, energi diperlukan
untuk metabolisme sel-sel syaraf. Demikian juga lemak yang sangat dibutuhkan dalam
perkembangan otak di mana lebih dari 60 persen berat otak adalah lemak.
Sedangkan zat gizi mikro seperti iodium, asam folat, zat besi, seng, tembaga, vitamin,
dan cholin, diperlukan dalam pertumbuhan otak. Asam folat berfungsi untuk pembentukan
tabung syaraf, zat besi untuk pembentukan mielin, monoamin dan mendukung metabolisme
energi di sel syaraf dan sel glia, yang diperlukan untuk pembentukan DNA, tembaga untuk
metabolisme energi sel syaraf dan sel glia, dan cholin untuk membentuk neurotransmitter,
metilasi DNA dan pembentukan mielin, urainya. Sedangkan Vitamin D berperan pada
kemampuan daya ingat, kontrol motorik dan keseimbangan emosi, vitamin A untuk
pembentukan struktur sel syaraf, vitamin E berfungsi dalam proteksi dari membran sel-sel
syaraf, vitamin B6 dan B12 untuk pembentukan neurotransmitter, vitamin C berfungsi
sebagai antioksidan dan vitamin B1 memproduksi energi.
II.2. Inteligensi
II.2.1. Pengertian
Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara
rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus
disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir
rasional itu.
Inteligensi dapat diukur dengan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah
skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan
sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan
seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental
Age) dengan umur kronologik (Chronological Age).
Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan
dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada
pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor
ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian
timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi,
bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Pada saat ini ada beberapa tes IQ yang popular antara lain : Standford-Binet
Intelligence Scale untuk usia 3-14 tahun, The Wechsler Intelligence Scale for Children-
Revised (WISC-R) untuk usia 6-16 tahun, The Wechsler Adult Intelligence Scale Revised
(WAIS-R) untuk usia 16 sampai 64 tahun, The Standard Progressive Matrices (SPM) dan The
Kaufman Assesment Battery for Children (K-ABC) untuk anak usia 4 sampai 12,5 tahun.
Perkembangan inteligensi juga dapat dilihat melalui proses tumbuh kembang anak
tersebut pada penilaian KPSP ( Kuisioner Pre Skrining Perkembangan).
II.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi
Faktor genetik :
Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh
kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung dalam sel telur yang telah dibuahi,
dapat ditentukan kualitas pertumbuhan. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat
berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal
Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi
bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan,
sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya.
1. Status Gizi
Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat makanan yang
adekuat. Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun kuantitas akan
menyebabkan gizi kurang. Keadaan gizi kurang dapat mengakibatkan perubahan
struktural dan fungsional pada otak. Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan
menghambat multiplikasi sel janin, sehingga jumlah sel neuron di otak dapat
berkurang secara permanen. Sedangkan kekurang gizi pada usia anak sejak lahir
hingga 3 tahun akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel
glia dan proses mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia kehamilan dan
usia anak sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya.
2. Stimulasi
Perkembangan psikis seseorang tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam
dirinya, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri anak tersebut.
Oleh karena itu lingkungan sosial harus mendukung perkembangan anak melalui
pemberian berbagai stimulasi. Bila anak mendapatkan stimulasi maka ia akan
mengembangkan kemampuannya dalam batas-batas yang diberikan oleh keluarga atau
lingkungannya.
3. Pendidikan ibu
Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak.
Ibu yang berpendidikan tinggi lebih terbuka menerima informasi dari luar tentang
cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan
sebagainya (Soetjiningsih, 1995).
4. Status ekonomi
Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
kecerdasan anak. Kemiskinan berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan
lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan. Kemiskinan akan menyebabkan
keterbatasan keluarga dalam menyediakan berbagai fasilitas bermain menyebabkan
otak anak kurang mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat menghambat
perkembangannya (Depkes, 2007).
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
III.1. Kerangka Konsep
III.2. Hipotesis
H0 : Tidak ada pengaruh gizi buruk terhadap perkembangan inteligensi pada balita di kota
Padang
Ha : Ada pengaruh gizi buruk terhadap perkembangan Inteligensi pada balita di kota Padang.
Gizi Buruk
Inteligensi
Asupan Nutrisi
BAB IV
METODE PENELITIAN
IV.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah bersifat Deskriptif Analitik dengan menggunakan rancangan
Cross sectional study, dimana variable-variabel yang termasuk factor resiko dan variable-
variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama.
IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di kota Padang pada bulan January tahun 2010.
IV.3. Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah semua anak balita dengan diagnosa medis gizi
buruk yang ada di kota Padang.
Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode sampel acak sistematik, dengan
mengambil sampel acak dilakukan secara berurutan dengan interval tertentu pada bulan
tersebut, yaitu semua balita dengan gizi buruk yang ada di kota Padang.
IV.4. Variabel dan Defenisi Operasional
IV.4.1. Variabel Penelitian
a. Variabel independen :
Gizi buruk
b. Variabel dependen :
Perkembangan inteligensi
IV.4.2. Defenisi Operasional
a. Gizi Buruk
Gizi buruk yaitu tampak sangat kurus dan atau edema pd kedua punggung kaki sp
seluruh tubuh dan pada hasil Antropometri (BB/PB) <-3 SD (bila ada edema BB bisa lebih).
Alat ukur : Timbangan Berat Badan dan Pengukur Panjang Badan
hasil ukur : 1. Tipe Kwarshiorkor BB 60% - 69% baku, disertai edema
2. Marasmus dengan BB < 60% baku, tanpa melihat proporsi tubuh
Skala ukur yang digunakan adalah skala interval.
b. Inteligensi
Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Inteligensi dapat disimpulkan dari
berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Alat ukur : pengamatan dan KPSP ( Kuisioner Pre Skrining Perkembangan)
hasil ukur : - rendah
- sedang
- tinggi
Skala yang digunakan adalah skala nominal.
IV.5. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan yaitu kuisioner tersrtuktur dan alat pengukur berat
badan.
IV.6. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan Data
Data penelitian adalah data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan dan hasil
kuisioner terhadap keluarga balita yang gizi buruk. Sedangkan data sekunder terdiri dari
identitas pasien yang meliputi umur, jenis kelamin, alamat.
Data perkembangan inteligensi dengan memberikan angket berisi pertanyaan tentang
perkembangan inteligensi anak tersebut. Sedangkan untuk identitas pasien dan diagnose gizi
buruk diambil dari buku status pasien.
Pengolahan Data
Univariat
Analisa ini meliputi seleksi data, mengelompokan data dan menurut variasi yang ada
dalam pertanyaan yang sesuai dengan subvariable penelitian untuk selanjutnya dilakukan
tabulasi data dan penyajian data dalam bentuk table distribusi frekuensi kemudian dianalisa
dengan teknik presentase. Setiap jawaban yang benar diberi nilai (1), dan yang jawaban yang
salah diberi nilai (0). Untuk menentukan persentase setiap subvariabel digunakan rumus :
FP = N x 100%Keterangan : P = Persentase
F = FrekuensiN = Jumlah Responden
Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variable dependen dengan
independen dengan mengugunakan uji statistic chi square dengan derajat kepercayaan 95%
atau p = 0,05, yaitu : Hubungan gizi buruk dengan perkembangan inteligensi anak balita.
Rumus :
X2=∑ (O−E)2
E
Keterangan :
X2 = chi Square
∑❑= Jumlah
O = nilai yang diobservasi
E = nilai yang diharapkan
Jika p < 0,05 maka secara statistic desebut bermakna dan jika p > 0,05 maka hasil
perhitungan disebut tidak bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. 2009. Status gizi dan perkembangan inteligensi. Diakses dari
http://anwarsasake.wordpress.com/
Badan Litbang Kesehatan. 2001. Dampak Kekurangan Gizi. Diakses dari
Http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?
node=0&PHPSESSID=2914503ab35f3c6bdb40b19b371c6b3f.
Markum, A.H. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI.
Notoatmojo, S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Ke-2.
Jakarta: Rineka Cipta
Sabri, Luknis, Sutanto Priyo Hastono. 2006. Statistik Kesehatan. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak . EGC. Penerbit Buku Kedokteran.
Lampiran
Kuisioner :
1. Data Sampel
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
BB/TB :
2.