PENENTUAN NILAI ENERGI DARI INTENSITAS TOTAL MELALUI CITRA …etheses.uin-malang.ac.id/4576/1/03540013.pdf · Data citra korona ada 4 data, data ke 1,2 dan 4 berdimensi 128 x 128,
Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
344 x 292
429 x 357
514 x 422
599 x 487
Citation preview
skripsi(ANALISIS PADA CITRA KORONA MATAHARI )
SKRIPSI
Oleh:
MALANG 2008
(ANALISIS PADA CITRA KORONA MATAHARI)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
(ANALISIS PADA CITRA KORONA MATAHARI)
Oleh:
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dosen Pembimbing III
Mengetahui,
4
(ANALISIS PADA CITRA KORONA MATAHARI)
SKRIPSI
Oleh:
Dinyatakan Diterima Sebagai Salah Satu Persyaratan
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Tanggal 25 Juli 2008
Susunan Dewan Penguji : Tanda Tangan
1. Penguji Utama : Drs. Abdul Basid, M.Si ( ) NIP. 131 918
439
2. Ketua : Drs. Irjan, M.Si ( ) NIP. 150 381 861
3. Sekretaris : Ahmad Abtokhi, M.Pd ( ) NIP. 150 327 245
4. Anggota : Drs. Bambang Setiahadi, M.Sc ( ) NIP. 300 001
002
: Ach. Nasihuddin, M.Ag ( ) NIP. 150 302 531
Mengetahui dan Mengesahkan
Ketua Jurusan Fisika
5
PERSEMBAHAN
keberhasilan sang buah hati tercinta.
Kakakku Vivi dan Imam, Adikku Ridwan
dan Icha, serta ponakanku Azzam dan Aziz
yang selalu menjadi motivator bagi
keberhasilanku.
6
MOTTO
uθ èδ “ Ï% ©!$# Ÿ≅ yèy_ š[ôϑ ¤±9 $# [!$ u‹ÅÊ tyϑs) ø9 $#uρ #Y‘θçΡ …
çνu‘ £‰ s%uρ tΑ Η$oΨtΒ (#θ ßϑ n=÷è tF Ï9 yŠ y‰ tã
∩∈∪
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan
bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan
hak. Dia menjelaskan tanda- tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui”.
(Q.S. Yunus: 5).
Skripsi yang berjudul “Penentuan Nilai Energi Dari Intensitas Total
Melalui
Citra Grayscale (Analisis Pada Citra Korona Matahari)”. Shalawat
serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
telah
mengantarkan umat manusia dari zaman kebodohan menuju zaman yang
terang
benderang yang kaya akan ilmu pengetahuan
Dalam penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah berjasa
dan
senantiasa memberikan dukungan, bimbingan, arahan serta motivasi
sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis memberikan
ucapan terima
kasih yang dalam kepada:
1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN)
Malang.
2. Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU., DSc selaku Dekan
Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
3. Drs. M.Tirono, M.Si selaku Ketua Jurusan Fisika Universitas
Islam Negeri
(UIN) Malang.
4. Ahmad Abthoki, M.Pd selaku Dosen Pembimbing I yang
senantiasa
membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi.
5. Ach. Nasihuddin, M.Ag selaku pembimbing II yang senantiasa
mengarahkan
dan membimbing penulisan skripsi dibidang integrasi Sains dan
Islam.
8
6. Drs. Bambang Setiahadi, M.Sc selaku pembimbing dalam analisis
program.
7. Bapak dan ibu dosen Fisika yang senantisa memberikan ilmu dan
informasi
yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
8. Kedua orang tua penulis yang tidak pernah berhenti mencurahkan
do’a dalam
setiap langkah penulis dengan penuh ketulusan hati dan kesabaran
jiwa demi
keberhasilan penulis dapat tercapai sesuai dengan ridho Allah
SWT.
9. Teman-teman Fisika 03 yang telah memberikan dukungan, bantuan
dan
loyalitas serta kerjasamanya selama penulisan skripsi ini.
10. Teman-teman kos simpang gajayana no. 71 atas segala bantuan
baik moril
maupun materiil.
11. Semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun
materiil, yang
tidak bisa penulis sebutkan di sini satu persatu.
Dengan iringan do’a semoga Allah SWT membalas semua amalan
mereka
dengan pahala yang berlipat ganda, di dunia dan akhirat. Penulis
menyadari
walaupun telah berusaha dengan semaksimal mungkin dalam penyusunan
skripsi
ini, akan tetapi masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan.
Oleh karena
itu, para pembaca dapat memperbaiki dan melanjutkan sebagai
pengembangan
dan perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya, penulis berharap apa yang penulis persembahkan
dalam
bentuk karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya, dan bagi
para pembaca pada umumnya.
2.3 Mengukur Energi
Radiasi..............................................................
11 2.3.1 Sudut
Ruang.........................................................................
11 2.3.1 Intensitas dan Cara Penentuan
Nilainya................................ 12
2.4 Satuan Surya
.................................................................................
14 2.5 Penentuan Nilai Energi Dari Intensitas Tiap Titik dan Energi
Total
Keseluruhan pada Citra Korona
.................................................... 16 2.6
Pengaruh Dinamika Matahari Terhadap
Bumi............................... 18 2.7 Pengolahan Citra Digital
............................................................... 21
2.7.1 Citra Digital
.........................................................................
21 2.7.2 Dasar Pengolahan Citra
Digital............................................. 23 2.8 IDL
(Interactive Data
Language)..................................................24 2.9
Energi Matahari dalam Kajian
Al-Qur’an...................................... 26 2.10 Kerangka
Konseptual
..................................................................
28
BAB III : METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan
Waktu........................................................................
32 3.2 Alat dan Bahan
.............................................................................
32
3.2.1 Alat
......................................................................................
32
3.2.2
Bahan...................................................................................
32 3.3 Prosedur Pengolahan
Data.............................................................
33 3.4 Langkah Kerja
..............................................................................
34 3.5 Analisis
Data.................................................................................
36
3.5.1 Penentuan Nilai Energi Dari Intensitas
................................. 36 3.5.2 Penentuan Nilai Energi
Total Korona Matahari .................... 37 3.5.3 Penentuan Nilai
Daerah Energi Degradasi ............................ 37 3.5.4
Penentuan Nilai Daerah Energi
Standar................................ 38
3.6 Diagram Blok Algoritma Pengolahan Citra
Korona....................... 38 3.7 Diagram Alir Penentuan Energi
Dari Intensitas dan Energi Total .. 39 3.8 Diagram Blok Penelitian
...............................................................
40
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perhitungan
.....................................................................
41
4.1.1 Hubungan Intensitas Total dan Energi Total pada Citra Korona
Matahari Terhadap Bilangan Sunspot...................... 43
4.1.2 Energi Degradasi Citra Korona dan Energi Standar Daerah Citra
Korona
........................................................................
44 4.1.2.1 Data Citra Korona 1
................................................. 44 4.1.2.2 Data
Citra Korona 2 ................................................. 46
4.1.2.3 Data Citra Korona 3
................................................. 47 4.1.2.4 Data
Citra Korona 4 .................................................
48
4.2 Pembahasan
..................................................................................
50 4.2.1 Hubungan Intensitas Total dan Energi Total pada
Citra
Korona Matahari Terhadap Bilangan Sunspot...................... 52
4.2.2 Degradasi Energi Citra Korona dan Energi Standar Daerah
Citra Korona
........................................................................
53
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Macam-macam Format Citra
.............................................................. 22
Tabel 2.2 Perbedaan pendapat para mufasir tentang dhiya’ dan siraj
.................. 27 Tabel 3.1 Perbandingan Latar Belakang Warna
pada Data Citra Korona ............ 33 Tabel 4.1 Hubungan Antara
Bilangan Sunspot, Intensitas Total dan Energi
Total pada Citra Koerona
Mtahari....................................................... 43
Tabel 4.2 Hubungan Antara Nilai Degradasi dan Nilai Energi pada
Data Citra
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Korona Saat Sunspot Maksimum
...................................................... 9 Gambar 2.2
Korona Saat Sunspot Minimum
........................................................ 9 Gambar
2.3 Model Skema Korona
.....................................................................
10 Gambar 2.4 Sudut Bidang dan Ruang
................................................................ 11
Gambar 2.5 Koordinat Spherical (Bola)
............................................................. 12
Gambar 2.6 Definisi Intensitas Spesifik
............................................................. 13
Gambar 2.7 Rentang Pembagian Daerah Citra Korona
....................................... 17 Gambar 2.8 Potongan
Pembagian Daerah Citra Korona .....................................
18 Gambar 2.9 Bagan Kerangka Konseptual
.......................................................... 31
Gambar 3.1 Tampilan Directories dan Convert Citra Image
Editor.................... 34 Gambar 3.2 Tampilan Preference (Pants
dan Fonts) Pada IDL .......................... 35 Gambar 3.3
Tampilan Listing Untuk Membaca Data Dan Menjalankan Listing.. 35
Gambar 3.4 Tampilan Listing Untuk Membaca Data dan Pemanggilan
Data...... 36 Gambar 3.5 Rentang Nilai Degradasi dari Warna Hitam
ke Putih....................... 37 Gambar 3.6 Penentuan Letak
Koordinat Nilai Gray........................................... 37
Gambar 3.7 Diagram Blok Algoritma Pengolahan Citra Korona
........................ 38 Gambar 3.8 Diagram Alir Penentuan Nilai
Intensitas dan Energi Total ............. 39 Gambar 3.9 Diagram
Blok Penelitian
................................................................ 40
Gambar 4.1 Grafik Hubungan antara Intensitas, Energi Total dan
Bilangan
Sunspot............................................................................................
44 Gambar 4.2 Rentang Degradasi pada Data Citra Grayscale Korona
Matahari 1.. 44 Gambar 4.3 Rentang Degradasi pada Data Citra
Grayscale Korona Matahari 2.. 46 Gambar 4.4 Rentang Degradasi pada
Data Citra Grayscale Korona Matahari 3.. 47 Gambar 4.5 Rentang
Degradasi pada Data Citra Grayscale Korona Matahari 4.. 48
13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Listing Program Analisis Intensitas pada Daerah Citra
Korona...... 60 Lampiran 2 Program Analisis Energi Total
...................................................... 61 Lampiran
3 Nilai Relative Sunspot Numbers, r = 0.62 (10 g + f)
Desember
1997
................................................................................................
62 Lampiran 4 Nilai Relative Sunspot Numbers, r = 0.62 (10 g + f)
Desember
1999
................................................................................................
64 Lampiran 5 Nilai Relative Sunspot Numbers, r = 0.62 (10 g + f)
Desember
2000
................................................................................................
66 Lampiran 6 Nilai Keluaran Analisis dan Energi Total (Dicantumkan
dalam
Bentuk CD)
.....................................................................................
67
14
ABSTRAK
Sari, Endah Mutiara. 2008. Penentuan Nilai Energi Dari Intensitas
Total Melalui Citra Grayscale (Analisis Pada Citra Korona
Matahari). Skripsi Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing : Ahmad
Abtokhi, M.Pd dan Ach. Nasihuddin, M.Ag.
Kata kunci: Energi Intensitas, Citra Grayscale, Korona. Energi dari
intensitas total pada daerah citra korona matahari merupakan
gambaran pancaran korona yang mengarah ke bumi. Struktur citra
korona matahari tergantung medan magnet pada sunspot (bintik
matahari). Citra korona matahari memiliki daerah yang bernilai
energi tinggi dan energi rendah yang dapat ditunjukkan dengan citra
grayscale yang menggambarkan daerah terang dan gelap. Penelitian
ini dilakukan dengan tujuan untuk: (1) Menentukan nilai energi dari
intensitas dan energi intensitas total seluruh daerah citra korona
matahari; (2) Mengetahui hubungan energi dari intensitas dan energi
dari intensitas total dengan bilangan sunspot; (3) Menentukan letak
dan nilai daerah degradasi energi grayscale.
Data citra korona ada 4 data, data ke 1,2 dan 4 berdimensi 128 x
128, sedangkan data citra korona ke 3 berdimensi 225 x 225.
Analisis data citra korona matahari pada penelitian ini menggunakan
bahasa pemrograman IDL (Interactive Data Language), setelah citra
di convert ke bentuk citra grayscale dalam format JPEG (Joint
Photographic Experts Group). Hasil dari analisis penentuan
intensitas total, energi daerah korona total serta pengambilan data
bilangan sunspot, dapat ditunjukkan ketiganya memiliki hubungan
kesebandingan. Daerah energi standar (3,86 x 1033 erg) citra korona
matahari ditentukan dengan mengambil titik koordinat dari tampilan
hasil analisis data (lampiran pada CD) citra korona matahari yang
setara dengan intensitas 1. Nilai degradasi energi daerah citra
korona matahari dapat ditentukan dengan mengambil nilai energi
hasil analisis program pada salah satu titik yang memiliki nilai
degradasi. Besar degradasi energi pada dua daerah yang berbeda
ditunjukkan oleh warna cerah (255) yang memiliki energi lebih besar
daripada daerah degradasi yang berwarna gelap(0). Hasil analisis
pada data menunjukkan data korona ke 1 memiliki energi sebesar
4,9570 x 1039 erg dengan bilangan sunspot 34,32. Data citra korona
2 memiliki energi terendah sebesar 4,3147 x 1039 erg dengan
bilangan sunspot 22,46. Data citra korona 3 memiliki energi paling
tinggi sebesar 21,8277 x 1039 erg dengan bilangan sunspot 113,57
sedangkan data citra korona ke 4 memiliki energi sebesar 6,4636 x
1039 erg dengan bilangan sunspot 89,86. Berdasarkan hasil analisis
dapat dibuktikan energi yang dimiliki matahari amat besar, seperti
yang dijelaskan firman Allah SWT dalam Al - Qur’an surat An-Naba’
ayat 13.
15
semesta oleh Allah SWT yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya bagi
orang-
orang yang mau menggunakan akalnya. Walaupun energi dari matahari
tidak
secara langsung disebutkan dalam Al-Qur'an, namun tersirat juga
bahwa matahari
adalah sumber energi:
Ÿ≅ yèy_uρ tyϑ s) ø9 $# £ÍκÏù #Y‘θçΡ Ÿ≅ yèy_uρ }§ ôϑ¤±9 $# %[`#uÅ
∩⊇∉∪
Artinya: "Dan Dia (Allah) menjadikan bulan bercahaya padanya dan
dia menjadikan matahari sebagai pelita."(QS. Nuuh, 71:16)
$ uΖù=yè y_ uρ %[`#uÅ %[`$δ uρ ∩⊇⊂∪
Artinya: "Dan kami (Allah) jadikan pelita yang amat terang
(matahari)." (QS. An Naba', 78:13)
Firman Allah yang menyatakan bahwa matahari diciptakan sebagai
pelita
seperti yang disebutkan dalam dua ayat tersebut diatas, telah
menarik perhatian
para ahli astronomi dan astrofisika untuk memikirkan bagaimana
terjadinya
sumber panas (pelita) di matahari.
Seperti diketahui bersama, salah satu yang membedakan antara
matahari
dengan bintang-bintang lain yang terlihat oleh kita pada malam hari
adalah
jaraknya terhadap bumi. Bintang di langit jaraknya jutaan, bahkan
milyaran kali
1
16
jarak matahari dari bumi sehingga cahaya bintang yang sampai di
bumi melemah.
Jarak antara matahari dan bumi berkisar 15.107 kilometer.
Secara umum matahari terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian
angkasa,
bagian permukaan dan bagian dalam. Bagian matahari yang bisa kita
amati secara
langsung adalah bagian angkasa matahari, bagian ini juga terbagi
menjadi tiga
yaitu fotosfer, kromosfer, dan korona. Dalam perkembangannya
pengamatan
korona yang dahulu hanya dapat dilakukan pada saat gerhana matahari
total yaitu
pada saat bulan menutupi fotosfer dan terlihat dengan jelas
berwarna putih. Kini
berkat penemuan seorang astronom Prancis Bernard Lyot pada tahun
1930 yang
berhasil menciptakan koronagraph, yakni sebuah teleskop khusus
untuk
mengamati korona.
matahari yang banyak terdapat pada bintik matahari (sunspot).
Sunspot yang
minimum dan sunspot yang maksimum akan memberikan bentuk korona
yang
berbeda-beda, sehingga energi dari intensitas setiap daerah citra
korona berbeda-
beda. Dengan demikian diperlukan pengolahan citra yang berupa suatu
sistem
visual yang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki informasi yang
berguna
dari sebuah citra, sehingga memudahkan dalam penentuan energi dari
intensitas
dari setiap citra korona.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dibuat suatu program
untuk
menentukan nilai energi dari intensitas citra korona matahari yang
berupa citra
digital dan telah diubah menjadi citra grayscale dengan tujuan
untuk
mengefisiensikan perhitungan. Oleh karena itu penulis mengambil
judul
17
”Penentuan Nilai Energi Dari Intensitas Total Melalui Citra
Grayscale (Analisis
Pada Citra Korona Matahari)”.
Data Language (IDL), dengan pertimbangan bahwa program IDL
memudahkan
mengolah data gambar (image), yang selanjutnya ditentukan energi
dari
intensitasnya. Di samping itu program IDL memiliki keuntungan yang
lebih
daripada program lainnya (seperti Matlab, Fortrant, Basic, dll)
karena program
IDL hanya memerlukan bahasa pemrograman yang cukup singkat,
dibandingkan
dengan program lainnya yang memerlukan bahasa pemprograman yang
cukup
panjang.
Berdasarkan latar belakang tersebut diperoleh rumusan masalah
yaitu:
1. Bagaimana menentukan letak nilai energi dari intensitas tiap
titik dan
energi dari seluruh daerah citra korona matahari?
2. Bagaimana menentukan nilai energi dari intensitas tiap titik dan
energi
dari intensitas total seluruh daerah citra korona matahari?
3. Bagaimana hubungan energi dari intensitas dan energi dari
intensitas total
dengan bilangan sunspot?
4. Bagaimana menentukan letak dan nilai daerah degradasi energi
citra
grayscale?
18
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menentukan letak nilai energi dari intensitas pada setiap titik
dan energi
dari seluruh daerah citra korona matahari.
2. Menentukan nilai energi dari intensitas pada setiap titik dan
energi dari
intensitas total seluruh daerah citra korona matahari.
3. Mengetahui hubungan energi dari intensitas dan energi dari
intensitas
total dengan bilangan sunspot.
4. Menentukan letak dan nilai daerah degradasi energi citra
grayscale.
1.4. Manfaat
2. Dapat dijadikan sebagai gambaran tentang pengolahan citra
terutama pada
citra grayscale secara umum.
3. Memberi informasi baru tentang penggunaan software IDL terkait
dengan
analisis penentuan nilai energi dari intensitas melalui citra
grayscale
(analisis pada citra korona matahari).
1.5. Batasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan dan terbatasnya kemampuan dari
penulis, maka penulis membatasi masalah sebagai berikut:
1. Data yang digunakan berupa citra korona matahari hasil
pengamatan yang
dilakukan oleh tim LASCO (Large Angle and Spectrometric
Coronagraph
Experiment) pada bulan Desember tahun 1997, 1999 dan 2000.
19
2. Data yang digunakan berupa 4 data citra korona matahari dengan
format
GIF (Graphics Interchange Format) dengan ukuran dimensi 128 x
128
pada data korona ke 1,2 dan 4 dan 225 x 225 pada data citra korona
ke 3,
kemudian diekstensionkan dalam format JPG.
3. Digunakan software IDL untuk analisis penentuan nilai energi
intensitas
total pada citra korona matahari.
20
Bagian matahari yang bisa kita amati secara langsung hanyalah
bagian
angkasa matahari saja. Bagian ini juga terbagi menjadi tiga yaitu
fotosfer,
kromosfer, dan korona.
Fotosfer merupakan lapisan pertama dari atmosfer matahari.
Cahaya
matahari yang kita gunakan dalam penentuan siang dan malam
sebenarnya berasal
dari atmosfer matahari yang terluar yaitu fotosfer. Radiasi
fotosfer matahari
sangat kuat pada gelombang kasat mata. Atmosfer bumi dapat
meloloskan
panjang gelombang kasat mata, sedangkan mata manusia sangat
sensitive pada
panjang gelombang kasat mata ini. Pada permukaan fotosfer terdapat
corak yang
disebut granulasi. (Ariasti dkk, 1995:18).
Bintik Matahari atau noda Matahari (Sunspot) adalah daerah gelap
pada
fotosfer. Sunspot memberikan indikasi bagi segala aktivitas
matahari, termasuk
korona matahari. Pada daerah sunspot medan magnetik yang terkandung
amat
besar, terutama pada saat pertama kali muncul, sehingga induksi
medan
magnetnya akan membawa energi yang menembus korona, apabila
energinya
tinggi sunspot akan menembus daerah korona dan mendorongnya lebih
luas.
Maka dapat dikatakan energi sunspot yang besar akan membuat nilai
energi
daerah korona semakin besar. (Setiahadi, 2008).
6
21
Menurut Tandberg-Hansen (1967:182) untuk menghitung bilangan
sunspot (R), telah ditunjukkan dan dikembangkan oleh Wolf (1855) di
Zurich.
Bilangan sunspot pada matahari digambarkan Wolf sebagai
R = k (10g + f ) (2.1)
Dimana:
sunspot pada lampiran halaman 57-62).
f = Jumlah total bintik matahari (sunspot) pada permukaan yang
terlihat,
tanpa memperkirakan ukuran.
2.2. Lapisan Korona
Korona adalah lapisan terluar Matahari dan memiliki suhu
mencapai
2 x 106 oK, yang disebabkan oleh medan magnet yang sangat berperan
dalam
menciptakan kondisi korona bersuhu tinggi, sementara suhu fotosfer
hanyalah
6.000 oK. Pada suhu sekitar 2 x 106 oK, korona bersinar dengan
cahaya yang
maksimal. (Setiahadi, 2008).
Saat terjadi Gerhana Matahari, struktur korona terlihat dengan
jelas jika
diamati menggunakan teleskop khusus, yaitu koronagraf (Indrajit
dan
Jamaluddin, 2001: hal 46).
Citra korona pada gelombang sinar x dan sinar ultraviolet
menunjukkan
22
struktur yang tidak homogen. Pada lokasi-lokasi tertentu tingkat
kecemerlangan
sangat tinggi, sementara pada daerah lainnya begitu lemah. Dalam
kondisi tidak
ada peristiwa ledakan menunjukkan suhu terendah korona adalah 1,4 x
106 oK dan
tertinggi 3,6 x 106 oK. (Anwar, 2005:1).
Tidak semua titik di permukaan matahari bisa menghasilkan
pancaran
partikel yang membentuk korona. Daerah-daerah di fotosfer yang
tidak
menghasilkan pancaran korona dinamakan lubang korona (coronal hole)
dan
biasanya terletak di daerah kutub-kutub matahari. Hasil pengamatan
korona yang
dilakukan para ahli mendapatkan gambaran tentang struktur medan
magnet
matahari di daerah itu. Bentuk-bentuk lengkungan pada busur-busur
korona
menunjukkan partikel yang terperangkap garis-garis gaya medan
magnet matahari
yang kutub-kutubnya ada di permukaan matahari. Bagian korona yang
menjulur
ke luar merupakan daerah yang garis gayanya terputus sehingga
partikel-partikel
yang berada di dalam medan magnet itu bisa bergerak. Jika menjalar
sampai
jutaan kilometer dari permukaan Matahari akan membawa partikel dan
radiasi
yang dipancarkan ke segala arah dengan kecepatan yang sangat
tinggi. (Munir,
2005:20).
matahari dapat meningkatkan temperatur korona. Dengan kata lain,
bunyi yang
diproduksi pada proses pendidihan tersebut memberi kenaikan kepada
korona
seperti yang dapat dilihat selama gerhana matahari. Bentuk korona
selalu berubah-
ubah dari tahun ke tahun. Ketika sunspot (bintik matahari) dalam
keadaan
23
pada gambar dibawah:
Sebaliknya pada saat bintik matahari (sunspot) dalam keadaan
minimum,
korona terlihat seperti disimpangkan, bentuk dari korona pada saat
bintik matahari
minimum serupa dengan pola yang dibentuk dengan menyebar besi
disekitar suatu
magnet. Seperti gambar dibawah: (Kaufmann, 1978:149-150).
Gambar 2.2. Korona saat sunspot minimum (Kaufmann, 1978:150)
24
Berdasarkan gambar diatas, tampak korona dapat di bagi menjadi
3
komponen, yaitu:
1. Korona E: Suatu sumber emisi atau bentuk pancaran yang secara
langsung
berasal dari materi di dalam korona yang berasal dari unsur Fe XIV.
Pada
temperature tinggi dapat menyediakan energi yang penting bagi
ionisasi.
2. Korona K: jumlah cahaya fotosferik yang menyebar dari elektron
dalam
korona.
3. Korona F: bagian ini sebenarnya bukanlah bagian matahari. Bagian
ini
terbentuk dari penyebaran cahaya fotosferik oleh debu antar
planet.
(Einar Tandberg-Hansen, 1967:115).
2.3.1. Sudut Ruang
Sudut bidang merupakan ukuran sudut antara dua garis lurus. Sudut
ruang
adalah ukuran sudut bagi ruang dalam sebuah kerucut. Pada sisi kiri
gambar di
bawah ini adalah dua garis lurus yang bertemu pada puncak v, sudut
θ, diukur
dalam radian, yang ditentukan dari bagian lingkaran dengan jejari r
yang
dipusatkan pada v.
Gambar 2.4. Sudut bidang dan ruang
Jika s adalah panjang pancaran lingkaran yang dipotong oleh garis,
maka
θ = s/r. Di sebelah kanan menunjukkan gambar kerucut dengan puncak
v. Sudut
ruang pada kerucut (ω), diukur dalam steradian, yang ditentukan
dari bagian
lingkaran dengan radius r menuju pusat v. Kemudian A merupakan
luas
permukaan bola berjejari r yang dipotong oleh kerucut,
ω = 2r
A (2.2)
Sudut ruang sebagai objek yang menutup semua arah yang terlihat
menjadi
4π steradian. Koordinat bentuk bola (r, θ, φ ), yang ditunjukkan
pada gambar 2.5,
sering digunakan. Sudut θ dan φ didefinisikan sebuah arah. Sudut θ
adalah sudut
antara yang diberikan oleh sumbu z, dan φ adalah sudut antara sumbu
x dan
proyeksi yang diberikan arah di atas bidang xy. Area bayangan pada
gambar 2.5
26
memiliki sisi-sisi paralel θ dan φ yang mengarah ke atas. Karena
area ini adalah
jarak r dari tempat semula, sisi area ini memiliki panjang r dθ dan
r sin θ dφ .
sehingga area tersebut dapat dituliskan r2 sin θ dθ dφ , dan
menurut persamaan
(2.2) sudut ruang
dω = sin θ θd dφ (2.3)
berdasarkan persamaan (2.2), hal itu memberi catatan bahwa A adalah
proyeksi
dari daerah normal pada garis tampak.
φ φd
Unit dasar dari pengukuran energi radiasi akan didefinisikan
selanjutnya.
Pada gambar 2.6 dibawah ini dA adalah suatu unsur permukaan yang
arah
normalnya (arah tegak lurus) garis N, dan 'dA adalah suatu
permukaan yang
dilewati pancaran dan membentuk sudut θ terhadap garis normal (arah
tegak
lurus). Anggap dE , sebagai energi radiasi yang melintasi permukaan
dA per
detik dan secara langsung menuju dA ' . Hal ini akan sebanding
dengan dA cos θ,
27
area diproyeksikan normal kearah perambatan dan itu juga akan
sebanding dengan
sudut ruang dA ' seperti yang terlihat dari dA.
Faktor kesebandingan ini dikenal sebagai intensitas spesifik atau
hanya
sebagai intensitas dari medan radiasi. Intensitas I adalah energi
per unit area, per
unit waktu, dan per unit sudut ruang:
IdE = dAcos θ ωd (2.4)
'dA
dA
θ
ωd
Intensitas (I) adalah fungsi dari posisi, arah, dan waktu.
Persamaan yang lain dan harus diperhatikan adalah intensitas
rata-rata J.
Berikut ini adalah nilai rata-rata I yang dinyatakan kesegala
arah:
∫ ∫ ∫ == ω
πω
dI J
4 1
Persamaan integral di atas digunakan ke segala arah. Jika sudut
pada bola
yang ditujukkan oleh persamaan (2.3) digunakan, maka intensitas
rata-rata adalah
∫ ∫= π π
φθθ π
1 ddIJ
Limit yang ditunjukkan dari gambar 2.5 memberi catatan bahwa jika
I
tidak memiliki arah, hal ini dapat diperoleh dengan mengeluarkan
integral di atas,
28
dengan hasil akhir bahwa J = I. Medan radiasi di mana I yang tidak
tergantung
pada arah disebut isotropis. (Swihart, 1968:1-3).
2.4. Satuan Surya
Matahari adalah bintang yang terdekat dengan kita, karena itu
besaran fisis
matahari seperti jarak, jejari, dan massa dapat kita tentukan jauh
lebih teliti
daripada bintang lainnya. Dalam astrofisika sering besaran tersebut
digunakan
sebagai satuan. Misalkan untuk menyatakan jarak dua bintang dalam
sebuah
system bintang ganda sering digunakan satuan astronomi atau
astronomical unit,
disingkat AU. Satu AU adalah panjang setengah sumbu besar orbit
bumi
mengitari matahari yaitu 1,496 x 1013 cm (untuk perhitungan kasar
dan untuk
mudah diingat sering dibulatkan menjadi 150 juta kilometer). Untuk
menyatakan
jejari bintang orang menggunakan jejari matahari sebagai satuan dan
dituliskan R
( adalah lambang matahari). 1R = 6,96 x 1010cm (sering dibulatkan
menjadi
700.000 kilometer). Masa matahari yang dituliskan M digunakan pula
sebagai
satuan untuk menyatakan massa bintang (1M = 1,99 x 1033 gram atau
sering
dibulatkan menjadi 2 x 1033 gram). Untuk menyatakan waktu orang
dapat
menggunakan satuan tahun, walaupun seringkali juga dipakai satuan
hari, jam,
dan detik. Untuk menyatakan energi (daya pancar) yang dipancarkan
bintang
setiap detik, orang menggunakan satuan luminositas matahari L yaitu
3,86 x
1033 erg s 1− .
Matahari adalah sumber energi yang telah menghangati bumi
selama
beberapa milyar tahun. Sebagian besar energi yang kita gunakan di
bumi sekarang
berasal dari matahari. Sebagai contoh: energi minyak bumi adalah
tabungan
29
(plankton) yang terpendam dalam lautan selama masa yang panjang.
Tentunya
sangat menarik mengetahui berapa besarkah energi yang dituangkan ke
luar oleh
matahari setiap detiknya.
Untuk mengetahui luminositas matahari kita harus menentukan
terlebih
dahulu energi yang diterima oleh bumi setiap detik pada permukaan
seluas 1 cm2.
salah satu penentuannya adalah dengan menangkap matahari pada
permukaan
logam yang dihitamkan (misalnya platina atau perak) yang menyerap
energi itu,
sehingga suhu naik. Kenaikan suhu itu diukur dari kenaikan tahanan
logam
tersebut pada aliran listrik. Harga pengukuran itu kemudian harus
dikoreksi
terhadap penyerap energi oleh atmosfer bumi kita. Harga yang
diperoleh disebut
tetapan matahari. Pengukuran modern terhadap tetapan matahari
dilakukan
dengan pesawat terbang, roket dan pesawat antariksa. Hasil yang
diperoleh
adalah, permukaan seluas 1 cm2 yang terletak diluar atmosfer bumi
menerima
energi dari matahari setiap detiknya sebesar,
s cm erg 101,37 -1-26×=E (2.5)
Hubungan antara tetapan matahari dan luminositas matahari
dapat
digambarkan sebagai berikut. Sebuah benda memancarkan energi
sebesar L setiap
detik ke segala arah (dengan kata lain luminositas benda adalah L).
Kita
bayangkan sebuah bola berpusat pada sebuah energi itu dan berjejari
d. Seluruh
energi yang dipancarkan benda dalam satu detik akan melewati
permukaan bola
itu dalam sedetik pula, berarti setiap cm3 permukaan bola setiap
detiknya akan
dilewati energi sebesar,
24 d
L E
π = (2.6)
Dalam hal energi matahari yang sampai ke bumi, E adalah
tetapan
matahari, d adalah jarak matahari yang dapat kita ambil 1 AU, maka
persamaan
2.6 memberikan harga luminositas matahari,
E 4 2dL π=
331086,3 ×= erg s-1
Dengan kata lain luminositas matahari 3,9 x 1023 kilowatt. Energi
yang
dipancarkan matahari dalam sedetik sama dengan yang dibangkitkan
oleh semua
pembangkit energi buatan manusia sekarang selama 3 juta tahun.
(Sutantyo,
1984:56-60).
2.5. Penentuan Nilai Energi Dari Intensitas Tiap Titik dan Energi
Total
Keseluruhan pada Citra Korona
Energi intensitas tiap titik pada citra korona dapat ditentukan
berdasarkan
persamaan berikut:
(2.7)
(2.8)
(2.9)
Karena luas semua pixel pada citra sama, maka nilainya dianggap 1,
hal
ini juga dimaksudkan agar nilai dari intensitas sendiri tidak
mengalami perubahan.
Maka nilai E = I, dengan demikian nilai intensitas total seluruh
daerah pada citra
korona:
IAE
dAIdE
dA
jiIE (2.10)
Berdasarkan nilai energi dari intensitas tiap titik di atas, maka
kita akan
memperoleh nilai energi pada daerah citra korona keseluruhan,
dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
Dimana:
Ek = Tetapan nilai energi standar pancaran (3,86 ×1033 erg
s-1)
Ec = Energi kutub (daerah korona tenang di kutub), dimana nilai
energi
kutub = 0, hal ini dikarenakan daerah kutub matahari tidak
pernah
ada aktivitas matahari, dan nilai energi tidak terbaca, karena
nilai
dari panjang gelombangnya (λ ) hanya sekitar 5303 0
A . Hal ini
Gambar 2.7. Pembagian daerah citra korona
Apabila kita ambil potongan dari gambaran citra korona matahari di
atas,
maka kita akan mendapatkan gambaran seperti gambar di bawah
ini:
32
Energi keseluruhan yang tergambar pada citra korona merupakan
seluruh
energi korona yang mengarah pada kita. Dengan perbedaan besar
energi pada dua
daerah, dimana daerah yang berwarna cerah memiliki energi yang
lebih besar
daripada daerah korona yang berwarna gelap. Apabila terdapat daerah
citra korona
yang semestinya memiliki nilai degradasi rendah yang berenergi
tinggi, atau
sebaliknya terdapat daerah citra korona yang semestinya memiliki
nilai degradasi
tinggi yang berenergi rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, antara
lain:
• Karena sensor pixel CCD (Charge Couple Device) untuk merekam
gambar
mengalami kerusakan
• Cacat produksi (pembuatan plat CCD tidak sempurna). (Setiahadi,
2008)
2.6. Pengaruh Dinamika Matahari Terhadap Bumi
Kita telah melihat bagaimana dinamika matahari mempengaruhi
lingkungan bumi. Seperti yang telah diungkapkan, erupsi matahari
terbagi
menjadi dua kategori besar, yaitu flare dan CME (Coronal Mass
Ejection).
33
Sampai saat ini, bagaimana fenomena ini terjadi masih menjadi studi
yang
mendalam bagi para pakar astrofisika matahari, tetapi secara umum,
penyebab
utamanya adalah pelepasan secara seketika energi yang tersimpan
dalam medan
magnetik.
lengkungan-lengkungan loop pada korona matahari. Dengan berotasinya
matahari,
loop-loop ini mengalami puntiran, saling bertaut, tertarik,
menyimpan sejumlah
besar energi. Ketika tertarik terlalu kuat, loop-loop tersebut
seketika saling
terlepas, menyesuaikan dirinya lagi, membangkitkan adanya ledakan
yang sangat
besar (bahkan terbesar dalam tata surya), dan sebagian energinya
dilepaskan
sebagai semburan radiasi, yang disebut sebagai flare. Cahaya tampak
dan
ultraviolet flare yang mengarah ke bumi, menempuh waktu 8 menit
untuk
mencapai bumi. Bahaya terbesar yang muncul dari proton matahari
adalah adanya
akselerasi akibat lepasan ledakan radiasi, yang sampai 20 menit
setelah kejadian
flare. Proton energi-tinggi ini terabsorpsi pada lapisah ionosfer,
sehingga tidak
mengancam kehidupan dalam lingkungan bumi.
Medan magnetik itu sendiri bisa saja terlepas sebagai dirinya
sendiri,
seperti karet gelang yang dilepaskan dengan kekuatan tinggi;
terpental dari
atmosfer luar matahari (korona), membawa gas terioniasi yang
melingkupinya. Ini
yang disebut sebagai CME, paket bermuatan gas terionisasi/plasma,
yang
perjalanannya diikuti oleh medan magnetik. Kadang- kadang disebut
juga sebagai
awan magnetik, paket ini yang bisa berukuran lebih besar dari
planet-planet tata
surya, memberikan pengaruh yang lebih besar di bumi daripada flare.
Meskipun
34
gelombang kejut yang mempercepat partikel-partikel bermuatan yang
ditemui
ditengah jalan. CME ditembakkan pada arah radial keluar dari
matahari, dan
hanya sebagian yang mengarah ke bumi. Biasanya CME dan
partikel-partikel
bermuatan yang mengarah pada magnetosfer matahari tiba setelah 3-4
hari setelah
kejadian CME, tetapi menyebabkan kejadian elektrik yang
signifikan.
Energi yang dibawa bisa mencapai satu juta elektron-volt, dan
cukup
untuk menyebabkan terjadinya charging, terutama pada
komponen-komponen
elektronik pada sistem satelit. Angin tersebut bahkan ketika sampai
pada
magnetosfer bumi bisa menyebabkan pengerutan magnetosfer. Bahkan
arah
medan magnetiknya secara langsung bisa mempengaruhi medan magnetik
bumi.
CME mengarah ke selatan, secara dramatis mempengaruhi medan
magnetik bumi, menyebabkan arus muatan listrik yang kuat, atau arus
cincin, dan
mempengaruhi ekuator magnetik. Arus cincin ini yang berperanan pada
gangguan
pembangkit tenaga listrik di permukaan bumi. Di dalam ionosfer,
arus ini dikenal
sebagai elektrojet, yang terkait dengan fenomena aurora, (pada
lintang tinggi).
Masalah lain adalah radiasi. Di luar atmosfer Bumi berkeliaran
partikel
berenergi tinggi yang dilontarkan matahari melalui mekanisme
Pelontaran Massa
Korona (CME) dan radiasi sinar kosmis yang berasal dari Galaksi
Bima Sakti atau
sisa supernova. Eksposur terhadap radiasi pada astronot yang berada
dalam
perjalanan ke Mars akan jauh lebih besar daripada astronot dalam
orbit Bumi atau
pada permukaan Bulan. Ion berat yang dibawa radiasi sinar kosmis
dapat
35
kanker.(Astraatmadja, 2008)
Badai Matahari atau solar storm bila mengarah ke Bumi dapat
menimbulkan gangguan pada lingkungan Bumi. Dari gangguan pada
kinerja
satelit, pesawat antariksa, sistem navigasi pesawat terbang,
komunikasi radio,
hingga melumpuhkan jaringan listrik dalam skala luas. (Anwar,
2005)
2.7. Pengolahan Citra Digital
Istilah citra yang digunakan dalam bidang pengolahan citra dapat
diartikan
sebagai suatu fungsi kontinyu dari intensitas cahaya dalam bidang
dua demensi.
Pemrosesan citra dengan computer digital membutuhkan citra digital
sebagai
masukannya. Citra digital adalah citra kontinyu yang diubah dalam
bentuk diskrit,
baik koordinat ruang maupun intensitas cahayanya. Pengolahan
digitalisasi terdiri
dari dua proses, yaitu pencuplikan (sampling) posisi, dan
kuantisasi intensitas.
Citra digital dapat dinyatakan dalam matriks dua demensi f (x,y)
dimana ‘x’ dan
‘y’ merupakan koordinat piksel dalam matriks dan ‘f’ merupakan
derajat
intensitas piksel tersebut. (Fahmi, 2007:8).
Piksel merupakan sampel dari pemandangan yang mengandung
intensitas
citra yang dinyatakan dalam bilangan bulat. (Ahmad, 2005:14).
Citra digital berbentuk matriks dengan ukuran M x N akan
tersusun
sebagai berikut :
Suatu citra f(x,y) dalam fungsi matematis dapat dituliskan sebagai
berikut:
0 1−≤≤ Mx
0 1−≤≤ Ny
0 1),( −≤≤ GyxF
G = Banyaknya skala keabuan (graylevel )
Interval (0,G) disebut skala keabuan (grayscale). Besar G
tergantung pada proses
digitalisasinya. Biasanya keabuan 0 (nol) menyatakan intensitas
hitam dan G
menyatakan intensitas putih. Untuk citra 8 bit, nilai G sama dengan
28 = 256
warna (derajat keabuan). (Rinaldi, 2004:19-23).
Citra digital disajikan dalam berbagai format yang umumnya
dikenal,
seperti yang terurai pada tabel di bawah:
Tabel 2.1. Macam-macam Format Citra.
Ekstensi
Nama
Keterangan
Bmp
Gif
Graphics Interchange Format
Gif biasanya digunakan di website. Format gif mendukung citra
bergerak. Namun format gif hanya mendukung 255 warna tiap frame.
Format gif juga mendukung citra transparan.
37
Jpg/jpeg
jp2/jpg2/ j2k
Joint Photographic Experts Group 2000
Merupakan pengembangan dari JPEG yang berbasis transformasi
wavelet. Format ini mendukung kompresi tipe lossless dan lossy.
Namun, support JPEG 2000 dalam berbagai aplikasi masih kurang,
disebabkan kebutuhan hardware yang tangguh dan paten.
Pbm
Portable Bitmap Format
Merupakan format citra hitam putih yang sederhana. PBM memerlukan 1
bit tiap pixel. Tidak seperti format citra lainnya, format PBM
merupakan plain text yang bias diolah dengan menggunakan pengolah
text. Format PBM merupakan bagian dari PNM (Portable Pixmap File
Format).
Pgm
Portable Graymap Format
Merupakan format citra abu-abu yang sederhana. Format PGM
memerlukan 8 bit tiap pixel. PGM merupakan citra mentah dengan
kompresi tipe lossless. Format PGM merupakan bagian dari PNM
(Portable Pixmap File Format).
Ppm
Portable Pixmap Format
Merupakan format citra berwarna yang sederhana. PPM memerlukan 24
bit tiap pixel. PPM merupakan citra mentah dengan kompresi tipe
lossless. Format PPM merupakan bagian dari PNM (Portable Pixmap
File Format).
Png
Portable Network Graphics
PNG adalah format citra dengan kompresi tipe lossless dengan
kedalaman bit berkisar antara 1 sampai dengan 32. PNG didesain
untuk menggantikan format citra GIF untuk diimplementasikan di
website. Algoritma kompresi PNG tidak memerlukan paten karena sudah
menjadi public domain sejak tahun 2003.
Tiff
Tagged Image File Format
Merupakan format citra yang sudah digunakan sejak dulu. Mendukung
kompresi tipe lossless dan lossy.
(http://fajri.freebsd.or.id/tugas_akhir/bab2.pdf)
Pengolahan citra (image processing) merupakan proses pengolahan
piksel-
piksel dalam citra digital untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa
alasan
dilakukannya pengolahan citra digital antara lain yaitu:
38
• Untuk mendapatkan citra asli dari suatu citra yang sudah buruk
karena
pengaruh derau.
mendekati citra sesungguhnya.
kegiatan, yaitu:
• Mengolah informasi yang terdapat pada citra.
Pengolahan citra digital dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut :
• Pemugaran citra (image restoration)
• Pemampatan citra (image compression)
• Segmentasi citra (image segmentation)
• Pengorakan citra (image analysis)
2.8. IDL (Interactive Data Language)
Interactive Data Language (IDL) merupakan lingkungan
perhitungan
yang komplit untuk analisis dan visualisasi interaktif secara
ilmiah dan teknis.
IDL dapat mengintegrasikan data secara kuat, menyusun bahasa yang
sesuai
dengan berbagai macam analisis matematik, pengolahan gambar,
teknik
menampilkan grafik, dan sarana graphical user interface (GUI).
Keadaan umum
39
spesifik, membuat IDL menjadi sebuah alat pengolahan gambar yang
ideal.
Paket tersebut menyediakan beberapa prosedur dan fungsi untuk
menunjukkan gambaran yang baik, hasil salinan, koreksi geometrik,
transformasi
fourier dan sebagainnya. IDL dirancang untuk digunakan oleh para
ahli ilmu
pengetahuan, karena memiliki sintaksis yang mudah untuk dipelajari
yang
membantu pengguna dalam berkonsentrasi pada aplikasi yang
dikhususkan pada
rancangan sistem dan pengembangannya yang tergantung pada program
yang
akan kita buat. Kemampuan untuk segera menampilkan hasil, seperti
grafik atau
gambar. Menyediakan sebuah antar tatapan visual yang berguna
untuk
mengintepretasikan data yang kompleks dan metode efisien untuk
pembuatan
rangkaian bahasa program yang akan dijalankan.
IDL memiliki powerful, notasi fleksibel terhadap komputer modern
dan
stasiun kerja. Data teknis, dalam bentuk skalar, vektor, matriks
atau susunan yang
digambarkan dan dimanipulasikan seperti variabel tunggal. IDL
menyediakan
serangkaian bentuk data dan pengoprasian untuk menghadirkan data
ilmu
pengetahuan secara efektif. IDL dapat menampilkan detail dan pesan
kesalahan
informasi yang tersedia.
2.9. Energi Matahari dalam Kajian Al Qur’an
óΟ s9 r& (#÷ρts? y# ø‹x. t,n=y{ ª!$# yì ö7y™ ;N≡ uθ≈yϑ y™ $
]%$t7ÏÛ ∩⊇∈∪ Ÿ≅ yèy_ uρ tyϑ s) ø9 $# £ÍκÏù #Y‘θ çΡ Ÿ≅ yè y_
uρ
}§ôϑ ¤±9 $# %[`#uÅ ∩⊇∉∪
tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya
bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?” (QS.
Nuh:15-16)
Setelah ayat yang lalu mengajak manusia memperhatikan dirinya, ayat
di
atas mengajaknya untuk memperhatikan alam raya, yang dimulai dengan
langit.
Allah berfirman: tidakkah kamu melihat yakni memperhatikan
bagaimana Allah
menciptakan tujuh langit yang demikian indah dan teliti serta
berlapis-lapis? Dan
Dia menjadikan padanya yakni langit yang banyak itu bulan sebagai
nur yakni
cahaya yang memancar dan menjadikan matahari bagaikan pelita yang
sangat
terang benderang.
Firman-Nya wa ja’ala asy-syamsa sirajan yang artinya Dia
menjadikan
matahari pelita setelah sebelumnya menyatakan bahwa dia menjadikan
padanya
bulan (sebagai) nur mengisyaratkan adanya perbedaan antara matahari
dan bulan.
Matahari dijadikan Allah (bagaikan) pelita, yakni memiliki pada
dirinya sendiri
sumber cahaya, sedang bulan tidak dijadikannya (bagaikan) pelita
kendati dia
bercahaya. Ini berarti bulan bukanlah planet yang memiliki cahaya
pada dirinya
sendiri, tetapi ia memantulkan cahaya, berbeda dengan matahari.
(Shihab,
2002:467-468).
41
uθ èδ “Ï% ©!$# Ÿ≅yè y_ š[ôϑ ¤±9 $# [ !$u‹ÅÊ tyϑ s) ø9 $#uρ #Y‘θ
çΡ
Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya.”(QS. Yunus:5)
Ayat ini masih merupakan lanjutan dari uraian tentang kuasa Allah
SWT.
Serta ilmu dan hikmah-Nya dalam mencipta, menguasai dan mengatur
alam raya.
Agaknya ia tempatkan di sini antara lain untuk mengingat bahwa
kalau matahari
dan bulan saja diatur-Nya, maka tentu lebih-lebih lagi
manusia.
kata dhiya’ dapat dipahami arti jamak, dapat pula dalam arti
tunggal. Ini
mengisyaratkan bahwa sinar matahari bermacam-macam walaupun
sumbernya
hanya satu. (Shihab, 2002:19-21).
Selain pendapat tentang istilah dhiya’ dan siraj di atas, terdapat
beberapa
perbedaan pendapat dari para mufasir yang lain tentang dua istilah
tersebut,
sebagaimana tabel di bawah ini:
Tabel 2.2. Perbedaan pendapat para mufasir tentang dhiya’ dan
siraj.
Mufasir !$ u‹ÅÊ %[`#uÅ
M. Quraish Shihab Sinar matahari bermacam- macam walaupun sumbernya
hanya satu.
Memiliki sumber cahaya pada dirinya.
M. Hasbi ash- shiddieqy
Cahaya yang sangat terang dan memancarkan panasnya.
Allamah kamal faqih Cahaya yang kuat dan sangat.
Cahaya yang sangat panas.
Pelita yang memberikan sinar yang berasal dari dirinya
sendiri.
42
Matahari adalah bintang terdekat dengan bumi, dimana tiap bagian
serta
aktivitasnya dapat diketahui. Setiap aktivitas matahari dapat
berpengaruh terhadap
lingkungan bumi, sehingga dengan menentukan besar kecilnya energi
yang
dipancarkan dari aktivitas matahari, dapat diketahui besar kecilnya
dampak dari
aktivitas tersebut terhadap lingkungan bumi.
Matahari yang teramati oleh kita adalah bagian angkasa matahari
yang
terdiri dari fotosfer, kromosfer dan korona. Terdapat beberapa
aktivitas pada
matahari salah satunya adalah timbulnya bintik matahari (sunspot)
yang
merupakan indikasi bagi segala aktivitas matahari yang lain.
Indikasi sunspot
yang maximum dapat menyebabkan peningkatan pada aktivitas matahari
yang
lain. Aktivitas matahari terbesar yang disebabkan oleh pelepasan
secara seketika
energi dari medan magnetik yang terkandung pada sunspot adalah
flare dan CME
(Coronal Mass Ejection) yang sedikit banyak berpengaruh bagi
lingkuangan di
bumi.
CME terjadi pada bagian korona matahari yang merupakan
atmosfer
terluar matahari. Aktivitas ini menyebabkan beberapa dampak bagi
bumi
diantaranya energi yang dibawa bisa mencapai 1 juta elektron-volt,
dan cukup
untuk menyebabkan terjadinya charging, terutama pada
komponen-komponen
elektronik pada sistem satelit. Angin tersebut bahkan ketika sampai
pada
magnetosfer bumi bisa menyebabkan pengerutan magnetosfer. Bahkan
arah
medan magnetiknya secara langsung bisa mempengaruhi medan magnetik
bumi.
CME mengarah ke selatan, secara dramatis mempengaruhi medan
magnetik bumi,
43
menyebabkan arus muatan listrik yang kuat, atau arus cincin, dan
mempengaruhi
ekuator magnetik. Arus cincin ini yang berperanan pada gangguan
pembangkit
tenaga listrik di permukaan bumi. Pada sunspot maximum terjadi
peningkatan
nilai energi dan semakin luasnya daerah korona matahari, sehingga
gangguan
yang diakibatkan akan semakin besar.
Energi dari intensitas total pada daerah citra korona matahari
merupakan
gambaran pancaran korona yang mengarah ke bumi. Struktur citra
korona
matahari tergantung medan magnet pada sunspot (bintik matahari).
Citra korona
matahari memiliki daerah yang bernilai energi tinggi dan energi
rendah yang
dapat ditunjukkan dengan citra grayscale yang menggambarkan daerah
terang dan
gelap. Dengan menentukan energi dari intensitas pada citra korona
matahari,
maka akan diketahui besar kecilnya gangguan pada bumi. Analisis
penentuan
energi dari intensitas pada citra korona matahari dapat menggunakan
bahasa
pemrograman IDL (Interactive Data Language) dengan menggunakan
persamaan
∑∑ − −
),( N
i
M
j
jiIE untuk energi dari intensitas tiap titik pada daerah citra
korona
matahari dan persamaan ET = ∑ (E(i,j) - Ec) x Ek untuk energi
seluruh daerah
citra korona, setelah citra di convert ke bentuk citra grayscale
dalam format JPEG
(Joint Photographic Experts Group).
Hasil analisis yang dilakukan pada 4 data citra korona matahari
yang
berdimensi 128 x 128 untuk data ke 1,2 dan 4, sedangkan data citra
korona ke 3
berdimensi 225 x 225 menunjukkan data korona ke 1 memiliki energi
sebesar
4,9570 x 1039 erg dengan bilangan sunspot (jumlah sunspot pada
fotosfer) 34,32.
44
Data citra korona 2 memiliki energi terendah sebesar 4,3147 x 1039
erg dengan
bilangan sunspot 22,46. Data citra korona 3 memiliki energi paling
tinggi sebesar
21,8277 x 1039 erg dengan bilangan sunspot 113,57 sedangkan data
citra korona
ke 4 memiliki energi sebesar 6,4636 x 1039 erg dengan bilangan
sunspot 89,86.
Pada tampilan hasil analisis program penentuan energi seluruh
daerah citra
grayscale korona matahari terdapat daerah energi standar yang
merupakan daerah
pada citra grayscale korona matahari yang memiliki energi sebesar
3,86 x 1033 erg
pada titik koordinat yang bernilai setara dengan intensitas 1,
kemudian degradasi
energi daerah citra korona matahari dapat ditentukan dengan
mengambil nilai
energi hasil analisis program pada salah satu titik yang memiliki
nilai degradasi.
Besar degradasi energi pada dua daerah yang berbeda ditunjukkan
oleh warna
cerah (255) yang memiliki energi lebih besar daripada daerah
degradasi yang
berwarna gelap(0).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa energi dari
intensitas
total dan bilangan sunspot memiliki hubungan kesebandingan. Karena
Sunspot
memberikan indikasi bagi segala aktivitas matahari, termasuk korona
matahari,
apabila energinya tinggi sunspot akan menembus daerah korona
dan
mendorongnya lebih luas. Maka dapat dikatakan energi sunspot yang
besar akan
membuat nilai energi daerah korona semakin besar. Nilai energi
degradasi daerah
citra korona matahari dapat ditentukan dengan mengambil nilai
energi hasil
analisis program pada salah satu titik yang memiliki nilai
degradasi. Dengan
perbedaan besar energi pada dua daerah, dimana daerah degradasi
yang berwarna
cerah (255) memiliki energi yang lebih besar daripada daerah
degradasi yang
45
berwarna gelap(0). Daerah energi standar citra korona matahari
ditentukan dengan
mengambil titik koordinat dari hasil analisis citra korona matahari
yang setara
dengan intensitas 1 dengan energi sebesar 3,86 x 1033 erg.
2.10.1 Bagan Kerangka Konseptual
Latar Belakang
Aktivitas Matahari
Pengolahan Citra Digital Dan
IDL (Interactive Data Languange)
LAPAN-Pasuruan pada bulan Maret - April 2008.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1.1. Perangkat Keras
Pentium III 863 MHz.
yang menganalisis citra dan menggunakan bahasa pemrograman IDL
versi 5.0
sebagai perangkat yang berfungsi untuk menganalisis nilai energi
dari citra korona
matahari.
Bahan yang digunakan adalah citra korona matahari yang telah
dikumpulkan oleh tim LASCO pada bulan Desember pada tahun 1997,1999
dan
2000, yang ditentukan sebagai data citra korona1 pada tanggal 16
desember 1997,
citra korona 2 pada tanggal 22 desember 1997, citra korona 3 pada
tanggal 22
desember 1999 dan citra korona 4 pada tanggal 22 desember
2000.
32
47
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi
pustaka,
yaitu dengan mengambil data citra korona yang telah dikumpulkan
oleh tim
LASCO yang memiliki latar belakang warna gelap dan terang. Dari
hasil
pengamatan visual dan hasil pengolahan program maka didapat bahwa
untuk citra
korona matahari pengolahan yang paling cocok adalah warna gelap.
Dengan
pertimbangan agar energi tiap daerah korona matahari dapat terlihat
jelas.
Perbandingan citra dikumpulkan dengan latar belakang gelap dan
terang
dapat dilihat pada gambar di bawah:
Tabel 3.1. Perbandingan latar belakang warna pada data citra korona
Gambar Keterangan
Citra korona matahari dengan latar belakang warna gelap sebelum
citra diubah menjadi citra grayscale.
Citra korona matahari dengan latar belakang hitam setelah citra
diubah menjadi citra grayscale.
Citra korona matahari dengan latar belakang warna cerah sebelum
citra diubah menjadi citra grayscale.
Citra korona matahari dengan latar belakang abu- abu setelah citra
diubah menjadi citra grayscale.
48
Untuk menganalisis nilai energi dari intensitas dari citra korona
matahari.
Maka terdapat langkah-langkah sebagai berikut:
1. Data citra korona matahari yang telah diperoleh di masukkan
dalam
sebuah file.
2. File yang telah disimpan kemudian diekstension kedalam format
JPEG,
dan di convert menjadi citra grayscale (array 2D) menggunakan
Image
Editor (lihat tampilan di bawah):
Gambar 3.1. Tampilan directories dan convert citra pada image
editor
3. Menyimpan data dengan menambahkan part pada bagian preference
(file)
di tampilan pertama program IDL serta mengatur font (masukan
dan
keluaran) pada preference.
4. Menuliskan listing program untuk menganalisis nilai intensitas
dan energi
seluruh daerah citra korona, dengan statement (lihat pada
lampiran),
kemudian menjalankan program dengan perintah “.r endah8”:
Gambar 3.3. Tampilan listing untuk membaca data dan menjalankan
listing
5. Memanggil file yang telah disimpan untuk dianalisis nilai energi
dari
intensitas dan energi total citra korona matahari menggunakan
bahasa
pemrograman IDL Versi 5.0.
Gambar 3.4. Tampilan listing untuk membaca data dan pemanggilan
data
6. Menganalisa data dengan metode deskriptif dari hasil analisis
perhitungan
menggunakan bahasa pemrograman IDL Versi 5.0.
3.5. Analisis Data
menggunakan bahasa pemrograman IDL versi 5.0. program ini digunakan
untuk
menganalisis nilai energi dari intensitas dan energi total setiap
data citra korona
matahari.
3.5.1. Penentuan Nilai Energi Dari Intensitas
Pada tahap ini dilakukan dengan cara citra terlebih dahulu di
convert
menjadi citra grayscale, dengan tujuan untuk mengetahui daerah
berintensitas
tinggi dan berintensitas rendah. Maka untuk menentukan nilai energi
dari
intensitas tersebut digunakan rumus:
I = Intensitas titik/pixel milik objek
i,j = Lokasi titik tersebut dalam bidang citra berukuran m x
n
3.5.2. Penentuan Nilai Energi Total Korona Matahari
Dari hasil penentuan nilai energi dari intensitas, maka akan
didapat energi
keseluruan dari citra korona, yang di rumuskan sebagai
berikut:
∑ ×−= EkEcjiEET )],[( (3.2)
3.5.3. Penentuan Nilai Daerah Degradasi Energi
Pada tahap ini dilakukan dengan cara mengambil salah satu titik
yang
mewakili nilai gray (seperti gambar dibawah), kemudian mengambil
nilai energi
di titik yang memiliki nilai gray pada tampilan hasil analisis
program (lihat
lampiran pada CD).
Gambar 3.5. Rentang nilai degradasi dari warna hitam ke
putih.
Gambar 3.6. Penentuan letak koordinat nilai gray
52
3.5.4. Penentuan Nilai Daerah Energi Standar
Pada tahap ini dilakukan dengan cara mengambil salah satu titik
yang
mewakili nilai intensitas 1 yang berarti nilai energi pada titik
koordinat tersebut
adalah 3,86 x 1033 erg pada tampilan nilai intensitas hasil
analisis citra korona
dengan bahasa IDL (lihat lampiran dalam CD).
3.6. Diagram Blok Algoritma Pengolahan Citra Korona
Gambar 3.7. Diagram blok algoritma pengolahan citra korona
53
3.7. Diagram Alir Penentuan Energi Dari Intensitas Dan Energi
Total
Mulai
= 11
),( M
j
N
i
jiIE
∑ ×−= EkEcjiEET )],[(
Gambar 3.8. Diagram alir penentuan energi dari intensitas dan
energi total
54
55
Berdasarkan data citra korona matahari yang telah dikumpulkan oleh
pihak
LASCO dan telah diambil 4 data citra korona matahari pada tanggal
16 Desember
1997, 22 Desember 1997, 22 Desember 1999 dan 22 Desember
2000.
Empat data citra korona matahari tersebut digunakan sebagai
contoh
analisis perhitungan. Untuk menganalisis nilai intensitas di tiap
titik dan nilai
energi total keseluruhan daerah citra korona matahari digunakan
bahasa
pemrograman IDL, sedangkan untuk mengetahui hubungan intensitas,
energi total
daerah citra korona matahari dan bilangan sunspot digunakan
Microsoft Excel XP.
Kemudian dari 4 data citra korona matahari tersebut dibuat tabel
dan
dicantumkan titik-titik yang memiliki nilai energi standar sebesar
3,86 x 1033 erg
yang setara dengan intensitas 1 (lihat pada lampiran di dalam CD),
kemudian nilai
energi ditranformasikan ke dalam citra grayscale (0-255). Tabel
yang dibuat
berisikan: date (tanggal, bulan, tahun) data yang diambil, gambar
data citra
korona matahari, bilangan sunspot (R), intensitas total dan energi
dari intensitas
total keseluruhan daerah citra korona matahari.
Intensitas total di setiap titik pada daerah citra korona matahari
diperoleh
menurut persamaan berikut:
∫ ∫= dAIdE (4.2)
IAE = (4.3)
Karena luas semua pixel pada citra sama, maka nilainya dianggap 1,
hal ini
juga dimaksudkan agar nilai dari intensitas sendiri tidak mengalami
perubahan.
Maka nilai E = I, dengan demikian nilai energi dari intensitas
total seluruh daerah
pada citra korona: ∑∑ − −
jiIE . Berdasarkan nilai energi dari intensitas tiap
titik di atas, maka kita akan memperoleh nilai energi pada daerah
citra korona
keseluruhan, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
ET = ∑ ( E(i,j) - Ec) x Ek (4.4)
Dimana:
Ek = Tetapan nilai energi standar pancaran (3,86 ×1033 erg)
Ec = Energi kutub (daerah korona tenang di kutub), dimana nilai
energi
kutub = 0
number” yang telah dikumpulkan oleh pihak LAPAN, Watukosek. Dari
tabel-
tabel tersebut kemudian dibuat suatu grafik (histogram) (lihat
gambar 4.1).
57
4.1.1. Hubungan Intensitas Total dan Energi Total Pada Citra
Korona
Matahari Terhadap Bilangan Sunspot.
Hubungan antara intensitas total dan energi total pada citra
korona
matahari terhadap bilangan sunspot dapat digambarkan sebagai
berikut (lihat
lampiran pada CD):
Tabel 4.1. Hubungan antara bilangan Sunspot, intensitas total dan
energi total pada citra korona matahari
No. Date Gambar Korona
4,9570 x 1039 erg
2 22 – 12 - 1997
4,31470 x 1039 erg
3 22 - 12 - 1999
113,57 5,65482 x 106erg
21,8277 x 1039 erg
4 22 - 12 - 2000
6,46360 x 1039 erg
HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS,ENERGI TOTAL DAN BILANGAN SUNSPOT
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
E N
E R
G I
Energi total
Gambar 4.1. Grafik hubungan antara intensitas, energi total dan
bilangan Sunspot
Berdasarkan tampilan grafik diatas tampak bahwa hubungan
antara
intensitas, energi total dan bilangan sunspot adalah sebanding.
Dengan kata lain,
semakin banyak sunspot pada permukaan matahari, maka semakin besar
nilai
bilangan sunspot yang didapat, begitupun energi pancaran seluruh
daerah korona
aktif akan semakin meningkat.
4.1.2. Energi Degradasi Citra Korona Dan Energi Standar Daerah
Citra
Korona
Pada data korona 1 memiliki rentang degradasi citra grayscale
seperti
gambar di bawah:
Gambar 4.2. Rentang degradasi pada data citra grayscale korona
matahari 1
E N
E R
G I
(1 040
e rg
Nilai-nilai degradasi dari data citra korona di atas dapat
digambarkan
beserta titik letak koordinat daerah pada citra korona matahari dan
nilai energi
pada daerah tersebut sebagai berikut (lihat lampiran dalam
CD):
Table 4.2. Hubungan antara nilai degradasi dan nilai energi pada
data citra korona matahari 1
No. Nilai degradasi
Nilai energi (x 1033 erg)
1 9 (5,114) 34,74 2 33 (70,74) 918,68 3 62 (71,35) 189,14 4 79
(14,54) 281,78 5 94 (36,50) 358,98 6 127 (23,65) 528,82 7 133
(72,34) 165,98 8 159 (58,36) 220,02 9 184 (49,44) 185,28 10 206
(62,39) 239,32 11 247 (47,65) 945,70 12 255 (62,79) 957,28
Nilai energi pada tabel diatas merupakan salah satu nilai energi
dari
beberapa titik koordinat pada citra korona matahari yang memiliki
nilai degradasi
(citra grayscale).
Masing-masing nilai degradasi citra korona memiliki energi,
pada
degradasi terendah memiliki energi sekitar 34,74 x 1033 erg dan
memiliki energi
tertinggi sebesar 957,28 x 1033 erg. Pada data citra korona
matahari di atas tidak
memiliki daerah korona energi standar yang memiliki intensitas 1
(lampiran pada
CD) atau energi sebesar 3,83 x 1033 erg.
60
Pada data korona 2 memiliki rentang degradasi citra grayscale
seperti
gambar di bawah:
Gambar 4.3. Rentang degradasi pada data citra grayscale korona
matahari 2
Nilai-nilai degradasi dari data citra korona di atas dapat
digambarkan
beserta titik letak koordinat daerah pada citra korona matahari dan
nilai energi
pada daerah tersebut sebagai berikut (lihat lampiran dalam
CD):
Table 4.3. Hubungan antara nilai degradasi dan nilai energi pada
data citra korona matahari 2
No. Nilai degradasi
pada citra Nilai energi (x 1033 erg)
1 0 (0,2) 0 2 33 (43,40) 131,24 3 62 (52,53) 123,52 4 79 (15,49)
162,12 5 94 (21,51) 181,42 6 127 (30,52) 138,96 7 133 (84,89)
289,50 8 159 (92,84) 177,56 9 184 (43,59) 196,86 10 206 (78,85)
876,22 11 247 (74,40) 524,96 12 255 (75,60) 953,42
Nilai energi pada tabel diatas merupakan salah satu nilai energi
dari
beberapa titik koordinat pada citra korona matahari yang memiliki
nilai degradasi
(citra grayscale).
Masing-masing nilai degradasi citra korona memiliki energi,
pada
degradasi terendah memiliki energi sekitar 0 erg dan memiliki
energi tertinggi
61
sebesar 953,42 x 1033 erg. Pada data citra korona matahari di atas
tidak memiliki
daerah korona energi standar yang memiliki intensitas 1 (lampiran
pada CD) atau
energi sebesar 3,83 x 1033 erg.
4.1.2.3. Data Citra Korona 3
Pada data korona 3 memiliki rentang degradasi citra grayscale
seperti
gambar di bawah:
Gambar 4.4. Rentang degradasi pada data citra grayscale korona
matahari 3
Nilai-nilai degradasi dari data citra korona di atas dapat
digambarkan
beserta titik letak koordinat daerah pada citra korona matahari dan
nilai energi
pada daerah tersebut sebagai berikut (lihat lampiran dalam
CD):
Table 4.4. Hubungan antara nilai degradasi dan nilai energi pada
data citra korona matahari 3
No. Nilai degradasi
pada citra Nilai energi (x 1033 erg)
1 0 (99,132) 0 2 33 (63,120) 185,28 3 62 (40,104) 57,90 4 79
(79,148) 138,96 5 94 (164,186) 397,58 6 127 (183,71) 459,34 7 133
(154,72) 567,42 8 159 (94,142) 81,06 9 184 (95,153) 598,30 10 206
(137,141) 918,68 11 247 (115,72) 895,52 12 255 (114,92)
980,44
62
Nilai energi pada tabel diatas merupakan salah satu nilai energi
dari
beberapa titik koordinat pada citra korona matahari yang memiliki
nilai degradasi
(citra grayscale).
Masing-masing nilai degradasi citra korona memiliki energi,
pada
degradasi terendah memiliki energi sekitar 0 erg dan memiliki
energi tertinggi
sebesar 980,44 x 1033 erg.
Pada citra korona di atas juga terdapat daerah-daerah yang memiliki
nilai
“energi standar” yang memiliki intensitas 1 dengan energi sebesar
3,83 x 1033 erg
(1I = Ek). Titik-titik pada daerah citra korona diatas yang
merupakan daerah
energi korona standar, sebagai berikut (lihat lampiran dalam
CD):
(0,82) (0,96) (0,97) (0,107) (0,124) (0,126)
(0,139) (0,145) (1,69) (87,107) (88,125) (89,109)
(89,121) (91,124) (93,110) (95,131) (95,133) (96,123)
(96,123) (98,129) (98,133) (100,124) (100,132) (102,133)
(102,134) (103,129) (103,133) (105,135)
Pada data korona 4 memiliki rentang degradasi citra grayscale
seperti
gambar di bawah:
Gambar 4.5. Rentang degradasi pada data citra grayscale korona
matahari 4
63
Nilai-nilai degradasi dari data citra korona di atas dapat
digambarkan
beserta titik letak koordinat daerah pada citra korona matahari dan
nilai energi
pada daerah tersebut sebagai berikut (lihat lampiran dalam
CD):
Table 4.5 Hubungan antara nilai degradasi dan nilai energi pada
data citra korona matahari 4
No. Nilai degradasi
pada citra Nilai energi (x 1033 erg)
1 0 (80,62) 0 2 33 (47,50) 231,60 3 62 (46,45) 239,32 4 79 (75,104)
501,80 5 94 (66,111) 432,32 6 127 (32,76) 416,88 7 133 (20,71)
409,16 8 159 (42,36) 262,48 9 184 (40,42) 247,04 10 206 (41,43)
239,32 11 247 (80,65) 945,70 12 255 (87,74) 957,28
Nilai energi pada tabel diatas merupakan salah satu nilai energi
dari
beberapa titik koordinat pada citra korona matahari yang memiliki
nilai degradasi
(citra grayscale).
Masing-masing nilai degradasi citra korona memiliki energi,
pada
degradasi terendah memiliki energi sekitar 0 erg dan memiliki
energi tertinggi
sebesar 957,28 x 1033 erg.
Pada citra korona di atas juga terdapat daerah-daerah yang memiliki
nilai
“energi standar” yang memiliki intensitas 1 dengan energi sebesar
3,86 x
1033 erg (1I = Ek). Titik-titik pada daerah citra korona di atas
yang merupakan
daerah energi korona standar, sebagai berikut (lihat lampiran dalam
CD):
64
(109,4) (109,5) (111,2) (111,4) (111,5) (111,7)
(120,12) (120,13) (121,13) (121,14) (121,17) (121,20)
(121,22) (122,14) (122,15) (122,17) (122,20) (123,15)
(123,17) (123,18) (123,19) (123,20) (125,17) (125,19)
(125,22) (125,23) (127,16) (127,20) (127,21) (127,23).
4.2. Pembahasan
gelombang sinar x dan sinar ultraviolet menunjukkan struktur yang
tidak
homogen. Pada lokasi-lokasi tertentu tingkat kecemerlangan sangat
tinggi,
sementara pada daerah lainnya begitu lemah. Daerah citra korona
dengan warna
cerah memiliki energi yang lebih tinggi dibandingkan daerah pada
citra korona
dengan warna gelap yang cenderung memiliki energi lebih
rendah.
Tidak semua titik di permukaan matahari bisa menghasilkan
pancaran
partikel yang membentuk korona. Daerah-daerah di fotosfer yang
tidak
menghasilkan pancaran korona dinamakan lubang korona (coronal hole)
dan
biasanya terletak di daerah kutub-kutub matahari.
Fenomena matahari penyebab utamanya adalah pelepasan secara
seketika
energi yang tersimpan dalam medan magnetik. Garis-garis medan
magnetik
matahari muncul dari dalam matahari melalui lengkungan-lengkungan
loop pada
65
korona matahari. Medan magnetik itu dapat terlepas dengan
sendirinya, seperti
karet gelang yang dilepaskan dengan kekuatan tinggi terpental dari
atmosfer luar
matahari (korona), membawa gas terioniasi yang melingkupinya.
Dinamika matahari yang besar pada daerah korona adalah CME
yang
membawa energi tinggi membawa dampak bagi bumi, energi yang dibawa
bisa
mencapai 1 juta elektron-volt, dan cukup untuk menyebabkan
terjadinya charging,
terutama pada komponen-komponen elektronik pada sistem satelit.
Angin tersebut
bahkan ketika sampai pada magnetosfer bumi bisa menyebabkan
pengerutan
magnetosfer. Bahkan arah medan magnetiknya secara langsung
bisa
mempengaruhi medan magnetik bumi. CME mengarah ke selatan, secara
dramatis
mempengaruhi medan magnetik bumi, menyebabkan arus muatan listrik
yang
kuat, atau arus cincin, dan mempengaruhi ekuator magnetik. Arus
cincin ini yang
berperanan pada gangguan pembangkit tenaga listrik di permukaan
bumi.
Medan magnetik yang terlepas dengan energi tinggi yang tepental
dari
atmosfer luar matahari (korona) yang membawa gas terionsasi
memiliki nilai atau
tingkat energi yang bebeda. Hal ini tampak pada data citra korona
matahari yang
telah dipilih dengan latar belakang gelap dan telah di convert ke
dalam bentuk
citra grayscale. Dengan demikian akan tampak daerah dengan nilai
energi tinggi,
daerah energi korona standar dan daerah dengan nilai energi yang
lebih rendah.
Berdasarkan hasil analisis daerah energi pada citra korona
matahari
menggunakan bahasa pemrograman IDL, maka akan diperoleh intensitas
dengan
ditiap titik yang selanjutnya akan diperoleh nilai energi di tiap
daerah energi
standar dan energi seluruh daerah citra korona matahari. Dengan
demikian kita
66
korona matahari terhadap bumi.
4.2.1. Hubungan Intensitas Total dan Energi Total Pada Citra
Korona
Matahari Terhadap Bilangan Sunspot.
korona matahari. Pada daerah sunspot medan magnetik yang terkandung
amat
besar, terutama pada saat pertama kali muncul, sehingga induksi
medan
magnetnya akan membawa energi yang menembus korona, apabila
energinya
tinggi sunspot akan menembus daerah korona dan mendorongnya lebih
luas.
Maka dapat dikatakan energi sunspot yang besar akan membuat nilai
energi
daerah korona semakin besar. Dengan demikian dapat dikatakan
semakin banyak
sunspot yang muncul (bilangan sunspot) maka akan memberi energi
yang besar
bagi kenaikan korona.
Hal ini dapat dilihat pada grafik 4.2, pada gambar citra korona
4.2
memiliki bilangan sunspot 34,32 dan memiliki intensitas total
1,2842 x 106 erg
serta energi total sebesar 4,9570 x 1039 erg. Pada citra korona 4.3
memiliki
bilangan sunspot 22,46 dan memiliki intensitas total 1,1178 x 106
erg serta energi
total sebesar 4,31470 x 1039 erg, sedangkan pada citra korona 4.4
memiliki
bilangan sunspot 113,57 dan memiliki intensitas total 5,65482 x 106
erg serta
energi total sebesar 21,82770 x 1039 erg. Pada citra korona 4.5
memiliki bilangan
sunspot 89,86 dan memiliki intensitas total 1,67448 x 106 erg serta
energi total
sebesar 6,46360 x 1039 erg. Dengan demikian ketiganya memiliki
hubungan
kesebandingan.
67
4.2.2. Degradasi Energi Citra Grayscale Korona dan Energi Standar
Daerah
Citra Korona
Energi keseluruhan yang tergambar pada citra korona merupakan
seluruh
energi korona yang mengarah pada kita. Dengan perbedaan besar
energi pada dua
daerah, dimana daerah yang berwarna cerah (nilai degradasi 225)
memiliki energi
yang lebih besar daripada daerah korona yang berwarna gelap (0).
(Setiahadi,
2008).
Berdasarkan tabel 4.2, 4.3, 4.4, 4.5, dapat dilihat bahwa nilai
tertinggi pada
degradasi tinggi (warna cerah) dan nilai terendah pada degradasi
rendah (warna
gelap). Namun ada beberapa daerah citra korona yang semestinya
memiliki nilai
degradasi rendah yang berenergi tinggi, atau sebaliknya ada
beberapa daerah citra
korona yang semestinya memiliki nilai degradasi tinggi yang
berenergi rendah.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Adanya Pixel-pixel yang rusak
Hal ini menyebabkan nilai suatu daerah pada citra mengalami
penurunan.
Sebagai contoh: Pada data citra korona 3 perbandingan nilai
degradasi 133 yang
semestinya nilai energinya rendah memiliki energi sebesar 567,42 x
1033 erg
dengan degradasi 159 dengan energi 81,06 x 1039 erg yang semestinya
memiliki
energi yang lebih tinggi
Hal ini menyebabkan nilai suatu daerah pada citra mengalami
kenaikan.
Sebagai contoh: Pada data citra korona 1 perbandingan nilai
degradasi 33
68
dengan energi sebesar 918,68 x 1039 erg dengan degradasi 206 dengan
energi
239,32 x 1039 erg yang semestinya memiliki energi yang lebih
tinggi.
c. Karena sensor pixel CCD untuk merekam gambar mengalami
kerusakan
d. Karena faktor umur, sehingga mempengaruhi cara kerja
e. Cacat produksi (pembuatan plat CCD tidak sempurna).
Energi standar pada daerah citra korona merupakan daerah yang
memiliki
nilai intensitas 1, dan memiliki nilai energi sebesar 3,86 x 1033
erg (1I = Ek).
Berdasarkan pernyataan ini serta pembahasan diatas telah tampak
bahwa matahari
memiliki begitu besar energi yang berasal dari dirinya sendiri
(sumber energi) dan
bukan pantulan dari cahaya yang lain. Hal ini telah dijelaskan
dalam alqur’an:
$ uΖù= yèy_ uρ %[`#uÅ %[`$ ¨δuρ ∩⊇⊂∪
Artinya: “Dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari)” (QS.
An-Naba’,78: 13).
Ayat diatas mencantumkan kata “pelita yang amat terang” yang
dapat
ditafsirkan sebagai sinar atau panas yang sangat hebat, yang mana
istilah ilmiah
saat ini disebut dengan reaksi termonuklir yang menghasilkan energi
nuklir yang
amat panas, tentunya hal ini membuktikan bahwa matahari memiliki
energi yang
amt besar.
Ayat diatas sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan besar
nilai
energi akibat reaksi termonuklir pada permukaan matahari, yang
dapat disaksikan
adanya bagian korona yang terlempar keluar matahari yang
ketinggiannya dapat
mencapai ratusan ribu kilometer dari permukaan matahari.
Berdasarkan uraian diatas, Al-Qur’an ternyata mendorong manusia
untuk
selalu mau menggunakan akal (pikirannya) dalam mencari jawaban
atas
69
penciptaan langit dan bumi. Usaha manusia untuk mencari jawaban
yang
dimaksud, merupakan awal mula timbulnya tradisi penelitian atau
pengamatan
terhadap alam sekitarnya yang pada akhirnya akan menjadi ilmu-ilmu
yang sangat
diperlukan oleh umat manusia. Allah menciptakan langit dan bumi
beserta isinya
tentulah tidak sia-sia, pasti membawa manfaat bagi kemaslahatan
umat manusia.
70
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Energi dari intensitas total pada citra korona dapat ditentukan
dengan
persamaan:
ditentukan dengan persamaan: ∑ ×−= EkEcjiEET )],[( .
2. Hubungan antara Intensitas total, Energi intensitas total dan
bilangan
sunspot adalah hubungan kesebandingan. Karena Sunspot
memberikan
indikasi bagi segala aktivitas matahari, termasuk korona matahari,
apabila
energinya tinggi sunspot akan menembus daerah korona dan
mendorongnya lebih luas. Maka dapat dikatakan energi sunspot yang
besar
akan membuat nilai energi daerah korona semakin besar.
3. Nilai energi degradasi daerah citra korona matahari dapat
ditentukan
dengan mengambil nilai energi hasil analisis program pada salah
satu titik
yang memiliki nilai degradasi. Dengan perbedaan besar energi pada
dua
daerah, dimana daerah degradasi yang berwarna cerah (255)
memiliki
energi yang lebih besar daripada daerah degradasi yang berwarna
gelap(0).
56
71
4. Daerah energi standar citra korona matahari ditentukan dengan
mengambil
titik koordinat dari hasil analisis citra korona matahari yang
bernilai
intensitas 1 dengan energi sebesar 3,86 x 1033 erg.
5.2. Saran
1. Hendaknya dilakukan studi penelitian pada korona secara rutin,
agar
diperoleh referensi data citra korona lebih banyak dibandingkan
sekarang,
karena bagaimanapun juga korona sedikit banyak mempengaruhi
kehidupan di bumi.
2. Hendaknya Alqur’an menjadi dorongan manusia untuk selalu
mau
menggunakan akal (pikirannya) dalam mencari jawaban atas
penciptaan
langit dan bumi beserta isinya yang tentunya tidak sia-sia, pasti
membawa
manfaat bagi kemaslahatan umat manusia.
72
Anwar, B. 2005. Pemanasan Korona Matahari, (online), (http: // www.
Pikiran
Rakyat. com /Squirrel mail/Src/ Login. Php, diakses 28 juli 2005).
Anwar, B. 2005. Badai Matahari, (online), (http: // www. Pikiran
Rakyat. com
/Squirrel mail/Src/ Login. Php, diakses 5 mei 2008). Ariasti,
Adriana W. dkk. 1995. Perjalanan Mengenal Astronomi. Bandung: ITB
Astraatmadja, Tri L. 2008. Iklim di Matahari dan Masa Depan Manusia
di
Antariksa, (online), (http://langitselatan.com/2007/05/02/iklim-di
matahari/, diakses tanggal 5 mei 2008).
Company. United States of Amerika. Fahmi. 2007. Perancangan
Algorima Pengolahan Citra Mata Menjadi Citra
Polar Iris Sebagai Bentuk Antara System Biometric, (online),
(http://library. Usu. Ac.id/modules. Php, diakses 6 maret
2008).
http://fajri.freebsd.or.id/tugas_akhir/bab2.pdf, (diakses pada 2
maret 2008).
http://lasco-www.nrl.navy.mil/index.php?p=content/public_images,
(diakses pada 20 januari 2008). Indrajit, D. dan Jamaluddin, J.
2001. Fisika Untuk SMU. Bandung: Grafindo
Media Pratama. Kaufmann, W. J. 1978. Exploration of The Solar
System. London: Macmillan
Publishing Co., Inc. Munir, M. S. 2005. Laporan Praktik Kerja
Lapangan. Pengamatan Sunspot Pada
Tanggal 29 Februari – 04 Maret 2005 Di Stasiun Pengamatan Matahari
(SPM) Lapan Watukosek Pasuruan Jawa Timur. Malang: Jurusan Fisika
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Malang.
Rinaldi, Munir. 2004. Pengolahan Citra Digital Dengan Pendekatan
Algoritmik.
Bandung: Informatika.
Setiahadi, Bambang. 2008. Pengaruh Sunspot Terhadap Korona Matahari
dan Penentuan Energi Intensitas Seluruh daerah citra korona
matahari. Watukosek: Observatorium Matahari Watukosek, LAPAN.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al – Misbah: Pesan, Kesan Dan
Keserasian
Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. Swihart, Thomas L. 1968.
Astrophysics And Stellar Astronomy. New York: John
Wiley And Sons, Inc.
74
Lampiran 1. Listing Program Analisa Intensitas Pada Daerah Citra
Korona ;PRO ENDAH1,OFILE,EC,EK PRO ENDAH1,OFILE EK=3.86
IFILE=DIALOG_PICKFILE() READ_JPEG,IFILE,IMG SIZ=SIZE(IMG)
XBYT=SIZ(1) YBYT=SIZ(2) WINDOW,/FREE,XS=XBYT,YS=YBYT TVSCL,IMG
NX=XBYT NY=YBYT E=FLTARR(NX,NY) E=IMG EC=0 PRINT, 'energikutub ',Ec
OPENW,UNIT1,OFILE,/GET_LUN ET=0.0 ;PRINT,E[0:NX-1,0:NY-1] FOR
I=0,NX-1 DO BEGIN FOR J=0,NY-1 DO BEGIN
;PRINTF,UNIT1,I,J,(E[I,J]-Ec)*Ek ;ET=ET+(E[I,J]-Ec)*Ek
PRINTF,UNIT1,I,J,E[I,J] ET=ET+(E[I,J] ENDFOR ENDFOR PRINTF,UNIT1,ET
FREE_LUN,UNIT1 RETURN END
75
Lampiran 2. Program Analisa Energi Total
;PRO ENDAH1,OFILE,EC,EK PRO ENDAH2,OFILE EK=3.86
IFILE=DIALOG_PICKFILE() READ_JPEG,IFILE,IMG SIZ=SIZE(IMG)
XBYT=SIZ(1) YBYT=SIZ(2) WINDOW,/FREE,XS=XBYT,YS=YBYT TVSCL,IMG
NX=XBYT NY=YBYT E=FLTARR(NX,NY) E=IMG EC=0 PRINT, 'energikutub ',Ec
OPENW,UNIT1,OFILE,/GET_LUN ET=0.0 ;PRINT,E[0:NX-1,0:NY-1] FOR
I=0,NX-1 DO BEGIN FOR J=0,NY-1 DO BEGIN
PRINTF,UNIT1,I,J,(E[I,J]-Ec)*Ek ET=ET+(E[I,J]-Ec)*Ek
;PRINTF,UNIT1,I,J,E[I,J] ;ET=ET+(E[I,J] ENDFOR ENDFOR
PRINTF,UNIT1,ET FREE_LUN,UNIT1 RETURN END
76
December 1997
g f R g f R g f R Obsr
01 0013 3 1 50 37.44 0 0 0.00 1 50 37.44 NE
02 0025 3 1 45 34.32 0 0 0.00 1 45 34.32 AS
03 0040 3 1 52 38.69 0 0 0.00 1 52 38.69 NW
04 0003 3 1 28 23.71 1 4 8.74 2 32 32.45 DR
05 0055 3 2 25 28.08 0 0 0.00 2 25 28.08 MR
06 0015 3 2 22 26.21 0 0 0.00 2 22 26.21 NE
07 0002 2 2 21 25.58 0 0 0.00 2 21 25.58 AS
08 0055 3 4 20 37.44 1 1 6.86 5 21 44.3 AS
09 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- NW
10 0200 3 3 16 28.7 2 9 18.1 5 25 46.8 DR
11 0015 3 3 19 30.58 2 9 18.1 5 28 48.67 MR
12 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- NE
13 0010 3 3 25 34.32 2 4 14.98 5 29 49.3 AS
14 0120 3 3 21 31.82 1 2 7.49 4 23 39.31 DR
15 0205 3 3 20 31.2 1 2 7.49 4 22 38.69 NW
16 0007 3 2 23 26.83 1 2 7.49 3 25 34.32 DR
17 0020 3 2 14 21.22 1 1 6.86 3 15 28.08 MR
18 0020 2 1 12 13.73 0 0 0.00 1 12 13.73 NE
19 0040 2 1 10 12.48 0 0 0.00 1 10 12.48 NE
20 0020 3 1 7 10.61 0 0 0.00 1 7 10.61 AS
21 0040 2 1 2 7.49 1 3 8.11 2 5 15.6 MR
22 0125 3 1 2 7.49 1 14 14.98 2 16 22.46 DR
23 0235 3 1 1 6.86 1 21 19.34 2 22 26.21 MR
24 0030 3 1 2 7.49 1 28 23.71 2 30 31.2 NE
25 0211 3 1 2 7.49 1 24 21.22 2 26 28.7 NE
26 0140 3 1 2 7.49 2 21 25.58 3 23 33.07 AS
27 0040 2 1 4 8.74 1 18 17.47 2 22 26.21 NW
28 0035 3 1 4 8.74 1 29 24.34 2 33 33.07 NE
29 0020 4 2 8 17.47 1 23 20.59 3 31 38.06 MR
77
30 0035 2 1 9 11.86 2 13 20.59 3 22 32.45 BS
31 0010 3 1 6 9.98 2 15 21.84 3 21 31.82 NE
MEAN 20.48 10.82 31.31
December 1999
g f R g f R g f R Obsr
01 0010 3 3 48 48.67 5 62 69.89 8 110 118.56 AS
02 0030 3 3 31 38.06 3 29 36.82 6 60 74.88 DR
03 0240 3 3 17 29.33 1 14 14.98 4 31 44.3 DR
04 0010 3 6 48 67.39 1 12 13.73 7 60 81.12 NW
05 0020 2 3 31 38.06 1 7 10.61 4 38 48.67 NW
06 0040 3 3 28 36.19 1 2 7.49 4 30 43.68 AS
07 0015 3 3 30 37.44 0 0 0.00 3 30 37.44 DR
08 0130 3 4 34 46.18 3 5 21.84 7 39 68.02 DR
09 0312 3 4 30 43.68 3 6 22.46 7 36 66.14 BS
10 0040 3 4 47 54.29 3 17 29.33 7 64 83.62 AS
11 0315 2 5 27 48.05 3 15 28.08 8 42 76.13 DR
12 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- AS
13 0020 2 2 16 22.46 4 12 32.45 6 28 54.91 MR
14 0025 2 2 21 25.58 6 19 49.3 8 40 74.88 AS
15 0140 3 2 3 14.35 7 31 63.02 9 34 77.38 DR
16 0355 4 2 4 14.98 9 54 89.86 11 58 104.83 DR
17 0345 2 1 2 7.49 4 40 49.92 5 42 57.41 MR
18 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- BS
19 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- BS
20 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- BS
21 0039 2 2 63 51.79 3 63 58.03 5 126 109.82 BS
22 0015 3 4 54 58.66 5 38 54.91 9 92 113.57 MR
23 0030 3 3 58 54.91 4 43 51.79 7 101 106.7 AS
24 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- DR
25 0010 3 4 62 63.65 2 8 17.47 6 70 81.12 DR
26 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- BS
27 0010 3 3 71 63.02 1 4 8.74 4 75 71.76 AS
28 0430 3 3 32 38.69 1 2 7.49 4 34 46.18 DR
29 0010 3 3 32 38.69 4 13 33.07 7 45 71.76 NW
79
30 0015 3 3 16 28.7 2 7 16.85 5 23 45.55 MR
31 0010 3 2 24 27.46 1 8 11.23 3 32 38.69 AS
MEAN 39.91 31.97 71.88
December 2000
g f R g f R g f R Obsr
01 0005 3 6 54 71.14 4 44 52.42 10 98 123.55 MR
02 0000 3 4 21 38.06 3 25 34.32 7 46 72.38 NW
03 0115 3 4 17 35.57 4 36 47.42 8 53 82.99 NW
04 0015 2 6 26 53.66 2 17 23.09 8 43 76.75 DR
05 0005 3 5 19 43.06 2 13 20.59 7 32 63.65 AS
06 0008 3 4 12 32.45 2 6 16.22 6 18 48.67 MR
07 0005 3 4 15 34.32 2 10 18.72 6 25 53.04 DR
08 0010 3 4 24 39.94 3 20 31.2 7 44 71.14 AS
09 0020 3 3 19 30.58 1 2 7.49 4 21 38.06 MR
10 0034 3 2 19 24.34 1 2 7.49 3 21 31.82 BS
11 0005 3 4 34 46.18 2 3 14.35 6 37 60.53 DR
12 0110 3 5 46 59.9 2 7 16.85 7 53 76.75 BW
13 0105 3 4 46 53.66 1 6 9.98 5 52 63.65 AS
14 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- MR
15 -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- BS
16 0030 2 9 62 94.85 3 20 31.2 12 82 126.05 DR
17 0007 2 8 53 82.99 4 51 56.78 12 104 139.78 MR
18 0004 3 8 59 86.74 4 47 54.29 12 106 141.02 AS
19 0155 3 8 52 82.37 6 46 66.14 14 98 148.51 DR
20 0015 2 7 65 84.24 3 40 43.68 10 105 127.92 BS
21 0012 3 8 67 91.73 3 25 34.32 11 92 126.05 AS
22 0006 2 6 46 66.14 3 8 23.71 9 54 89.86 MR
23 0018 3 6 66 78.62 3 8 23.71 9 74 102.34 BS
24 0003 3 8 72 94.85 4 8 29.95 12 80 124.8 MR
25 0012 3 4 75 71.76 4 23 39.31 8 98 111.07 AS
26 0026 2 3 43 45.55 3 15 28.08 6 58 73.63 MR
27 0038 2 3 79 68.02 4 36 47.42 7 115 115.44 BS
28 0110 2 4 66 66.14 4 48 54.91 8 114 121.06 BS
29 0158 2 4 56 59.9 3 75 65.52 7 131 125.42 BS
81
30 0018 3 5 42 57.41 4 74 71.14 9 116 128.54 AS
31 0008 2 5 26 47.42 3 77 66.77 8 103 114.19 AS
MEAN 60.05 35.76 95.82
82
Tampilan hasil analisis nilai intensitas tiap titik pada data citra
korona matahari 1 0 0 12 0 1 12 0 2 12 0 3 12 0 4 12 0 5 12 0 6 12
0 7 12 0 8 12 0 9 12 0 10 12 0 11 12 0 12 12 0 13 12 0 14 12 0 15
12 0 16 12 0 17 12 0 18 12 0 19 12 0 20 12 0 21 12 0 22 12 0 23 12
0 24 47 0 25 49 0 26 48 0 27 46 0 28 46 0 29 45 0 30 42 0 31 41 0
32 45 0 33 42 0 34 44 0 35 47 0 36 47 0 37 48 0 38 46 0 39 41 0 40
59 0 41 58 0 42 60 0 43 63 0 44 63 0 45 60 0 46 59 0 47 61 0 48 61
0 49 62 0 50 61 0 51 59 0 52 60
83
0 53 61 0 54 56 0 55 48 0 56 64 0 57 76 0 58 77 0 59 68 0 60 66 0
61 65 0 62 60 0 63 57 0 64 60 0 65 62 0 66 74 0 67 68 0 68 65 0 69
75 0 70 68 0 71 57 0 72 56 0 73 58 0 74 62 0 75 63 0 76 59 0 77 56
0 78 54 0 79 52 0 80 61 0 81 64 0 82 64 0 83 58 0 84 53 0 85 51 0
86 46 0 87 39 0 88 56 0 89 58 0 90 59 0 91 55 0 92 51 0 93 49 0 94
48 0 95 46 0 96 47 0 97 47 0 98 47 0 99 48 0 100 47 0 101 44 0 102
42 0 103 41 0 104 46 0 105 49 0 106 48 0 107 53 0 108 65
84
0 109 47 0 110 40 0 111 39 0 112 11 0 113 11 0 114 11 0 115 11 0
116 12 0 117 11 0 118 10 0 119 10 0 120 12 0 121 12 0 122 12 0 123
12 0 124 12 0 125 12 0 126 12 0 127 12 1 0 12 1 1 12 1 2 12 1 3 12
1 4 12 1 5 12 1 6 12 1 7 12 1 8 12 1 9 12 1 10 12 1 11 12 1 12 12 1
13 12 1 14 12 1 15 12 1 16 12 1 17 12 1 18 12 1 19 12 1 20 12 1 21
12 1 22 12 1 23 12 1 24 42 1 25 42 1 26 40 1
LOAD MORE