Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENERAPAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI BEDA
AGAMA DALAM PENGASUHAN ANAK MENURUT HUKUM
ISLAM DAN UU No. 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK DI DESA KUTOWINANGUN KEC.
TINGKIR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
M. Yusuf Eka Putra
NIM : 21110015
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2015
ii
iii
iv
v
MOTTO
34. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.
Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
13. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk Kedua orang tuaku, Mama Rina dan Bapak Rukhul
sebagai wujud kasih sayang atas bimbingan dan kepedulian tiada batas untuk anak-
anaknya.
Untuk adik-adik perempuanku Putri dan Jihan semoga dengan selesainya skripsi dapat
menginspirasi kalian untuk selalu semangat belajar dan menggapai cita-cita.
Untuk keluarga besar yang juga memberikan semangat tiada henti untuk selalu berada
di jalan Allah.
Untuk teman-teman Ahwal Al-Syakhshiyyah 2010
Dan untuk seseorang yang selalu menemaniku dimanapun, kapanpun, dan seperti
apapun ENS. Dan untuk semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini dan
tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, terima kasih yang sebsar-besarnya .
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala
puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmatNYA sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa
tercurah kepada nabi Muhammad SAW yang telah menuntun ummatnya kejalan yang di
ridhoi Allah SWT.
Skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan banyak pihak. Maka dari itu
penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd, selaku rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Syukron Ma'mun, M.Si., selaku ketua jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyyah
3. Bapak Moh Khusen, M.A selaku pembimbing akademik
4. Bapak Drs. Machfudz, M.Ag,. Selaku dosen pembimbing skripsi
5. Bapak dan Ibu dosen serta karyawan IAIN Salatiga.
6. Warga desa Kutowinangun Kec. Tingkir
7. Teman-teman Ahwal Al-Syakhshiyyah 2010
8. dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam segala hal untuk
menyelesaikan skripsi.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk pembaca. Terima Kasih
Wassalamu'alikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Penulis
viii
ABSTRAK
Putra, M. Yusuf Eka. 2015. Penerapan Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Beda Agama Dalam Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam Dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di Desa Kutowinangun Kec. Tingkir. Skripsi. Fakultas Syari'ah. Jurusan Ahwal Al- Syakhshiyyah.Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing : Drs. Machfudz, M.Ag.
Peneltian ini merupakan upaya mengetahui bagaimana penerapan Hak dan
kewajiban pengasuhan anak dalam keluarga beda agama menurut Hukum Islam dan UU
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana penerapan hak dan kewajiban suami isteri beda agama dalam pengasuhan anak menurut Hukum Islam di desa Kutowinangun Kec. Tingkir?. Bagaimana penerapan hak dan kewajiban suami isteri beda agama dalam pengasuhan anak menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak di desa Kutowinangun Kec. Tingkir? Jenis penelitian ini merupakan peneltian deskriptif kualitatif menafsirkan dan menuturkan situasi yang sedang terjadi di masyarakat mengenai penerapan hak dan kewajiban suami isteri beda agama dalam pengasuhan anak menurut hukum islam dan undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tujuandari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis penerapan hak dan kewajiban suami isteri beda agama dalam pengasuhan anak menurut Hukum Islam di desa Kutowinangun Kec. Tingkir juga untuk mengetahui penerapan hak dan kewajiban suami isteri beda agama dalam pengasuhan anak menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak di desa Kutowinangun Kec. Tingkir. selama kurang lebih 3 minggu. Dalam kurun waktu tersebut penulis mewawancarai beberapa nara sumber dan menganalisa hasil wawancara tersebut dengan dokumen-dokumen yang berupa ayat Al-qur’an, hadits, pendapat para ulama fiqh dan Undang-undang perlindungan anak no 23 Tahun 2002. Berdasarkan hasil penelitian, pengasuhan anak merupakan tanggung jawab penuh bagi kedua orang tua untuk menanamkan aqidah sebagaimana yang terdapat dalam ayat Al-qur’an,hadits, dan pendapat para ulama sebagai pondasi Hukum Islam.Dalam hal pengasuhan anak keluarga beda agama, belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan Hukum Islam dan UU No. 23 Tahu 2002 Tentang perlindungan anak.Keluarga beda agama tersebut belum sepenuhnya mengetahui bahwa pegasuhan anak telah diatur dalam Hukum Islam yang menyebabkan ketidak seimbangan pengasuhan anak dalam hal pendidikan agama. Selain itu UU No. 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak juga menjelaskan bahwa seharusnya kedua orang tua dapat menyeimbangkan pendidikan agama dalam keluarga beda agama. Sehingga yang terjadi anak akan mendapatakan haknya dengan seimbang.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................... i
NOTA PEMBIMBING .......................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................... iv
MOTTO............................................................................... v
PERSEMBAHAN .................................................................. vi
KATA PENGANTAR ............................................................. vii
ABSTRAK ............................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................... 3
C. Tujuan dan Kegunaan .................................................... 3
D. Penegasan Istilah ........................................................... 4
E. Telaah Pustaka ............................................................... 6
F. Metodologi Penelitian ................................................... 8
G. Sistematika Penulisan .................................................... 10
x
BAB II KONSEP PENGASUHAN ANAK MENURUT HUKUM
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG No. 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
A. Tinjauan Terhadap Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam
1. Pengertian pengasuhan anak ................................. 12
2. Bentuk-bentuk pengasuhan anak ........................... 13
B. Konsep Pengasuhan Anak Menurut UU No.23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak ........................................... 20
BAB III PENERAPAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
BEDA AGAMA DALAM PENGASUHAN ANAK DI
KUTOWINANGUN KEC.TINGKIR
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
1. Letak dan keadaan geografis ............................ 29
2. Keadaan penduduk........................................... 30
3. Daftar lembagabidang keagamaan dan pendidikan
keagamaan kelurahan Kutowinangun ............. 33
B. Gambaran Kasus Penerapan Hak dan kewajiban Suami Isteri
Beda Agama Dalam Pengasuhan Anak di Desa Kutowinangun
Kec. Tingkir
1. Penerapan Hak dan kewajiban suami isteri beda
agama terhadap pengasuhan anak pada keluarga N
xi
...................................................................... 37
2. Penerapan Hak dan kewajiban suami isteri beda
agama terhadap pengasuhan anak pada keluarga E
...................................................................... 43
BAB IV ANALISIS PENERAPAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI
ISTERI BEDA AGAMA DALAM PENGASUHAN ANAK MENURUT
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMO 23 TAHUN
2002
A. Analisis PengasuhanAnakDalamKeluarga Beda Agama
menurut Hukum Islam ................................................... 50
B. Analisispenerapanhakdankewajiban Suami Isteri Beda
Agama dalamPengasuhanAnakMenurutUndang-Undang
No.23 Tahun 2002 TentangPerlindunganAnak ..............
................................................................................... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 61
B. Saran .............................................................................. 62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada manusia.
Itu adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan bagi manusia
untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya (Tihami dan Sahrani,
2009:06). Pernikahan merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah yaitu
penataan kebutuhan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi.
Salah satu tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan dan
melangsungkan keturunan. Keturunan merupakan anak dari hasil pernikahan
yang memiliki kemiripan sifat dan bentuk fisik dari suami isteri yang terikat
dalam hubungan resmi. Keberadaan anak pada umumnya sangat didambakan
oleh setiap pasangan suami isteri. Karena tidak sedikit suami isteri yang
menikah tapi belum diberi kepercayaan untuk mempunyai anak. Didalam
kelangungan hidupnya anak merupakan tanggung jawab yang dilimpahkan
bagi pasangan suami isteri.
Suami isteri memiliki hak dan tanggung jawab secara bersama yang
diantaranya adalah anak yang mempunyai nasab yang jelas (Tihami dan
Sahrani, 2009). Kewajiban bagi suami isteri lainnya adalah mengasuh anak,
yaitu mendidik dan memelihara, mengurus makanan, minuman, pakaian dan
kebersihannya dalam periode umurnya yang pertama ( Al Barry, 1977:51).
2
Dalam pengasuhan anak, seorang wanita atau isterilah yang memiliki
keutamaan dibanding laki-laki atau suami, karena wanita dinilai lebih mampu
dalam hal pengasuhan anak dibandingkan laki-laki. Wanita dinilai lebih tekun,
lebih sabar, lemah lembut dan lebih banyak waktunya.
Dalam hubungan pernikahan umumnya pasangan laki-laki dan perempuan
memiliki kepercayaan agama yang sama dalam melangsungkan pernikahan.
Namun penulis menemui fenomena banyaknya pernikahan beda agama yang
terjadi. Pernikahan beda agama adalah pernikahan yang berlangusng diantara
laki-laki dan perempuan yang memiliki kepercayaan agama yang berbeda.
Narasumber yang penulis temui berjumlah dua pasang suami istri beda agama
yaitu suami yang memiliki keyakinan kristen dan isteri yang memiliki
keyakinan islam dan suami yang berkeyakinan Islam dan istri yang
berkeyakinan kristen. Hubungan tersebut terus berlanjut sampai mempunyai
keturunan atau anak.
Hal yang menarik bagi penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai
tumbuh kembang anak dari pasangan suami istri beda agama ini karena di
dalam upaya pengasuhan anak, pemerintah sendiri telah menetapkan
perlindungan anak dengan UU No.23 Tahun 2002. Hal tersebut menjadikan
dasar bagi penulis untuk melakukan studi kasus terhadap masalah diatas
dengan judul PENERAPAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
BEDA AGAMA DALAM PENGASUHAN ANAK MENURUT HUKUM
ISLAM DAN UU No. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN
ANAK.DI DESA KUTOWINANGUN KEC. TINGKIR
3
B. Rumusan Masalah
Dari beberapa masalah tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana penerapan hak dan kewajiban suami isteri beda agama dalam
pengasuhan anak menurut Hukum Islam di desa Kutowinangun Kec.
Tingkir?
2. Bagaimana penerapan hak dan kewajiban suami isteri beda agama dalam
pengasuhan anak menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan anak di desa Kutowinangun Kec.
Tingkir?
C. Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan sebagai
berikut
1. Untuk mengetahui penerapan hak dan kewajiban suami isteri beda agama
dalam pengasuhan anak menurut Hukum Islam di desa Kutowinangun
Kec. Tingkir.
2. Untuk mengetahui penerapan hak dan kewajiban suami isteri beda agama
dalam pengasuhan anak menurut Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak di desa Kutowinangun
Kec. Tingkir.
Kegunaan dari hasil penelitian ini, penulis harapkan dapat memberikan
manfaat antara sebagai berikut.
4
1. Sebagai stimulan untuk mengembangkan ataupun mencari tema
pembahasan dalam penyusunan skripsi selanjutnya.
2. Dapat memberikan pemahaman tentang pengasuhan anak dalam keluarga
beda agama menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak.
3. Dapat menambah perbendaharaan penelitian khususnya jurusan Ahwal Al-
Syakhsiyyah.
D. Penegasan istilah
Untuk mempermudah pemahaman mengenai penelitian ini, penulis akan
mengemukakan definisi istilah-istilah yang terkandung dalam judul skripsi
ini, sehingga tidak menimbulkan kerancuan. Skripsi ini berjudul Hak Dan
Kewajiban Ssuami Isteri Beda Agama Dalam Pengasuhan Anak Menurut
Hukum Islam Dan UU RI NO.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
1. Hak dan kewajiban
Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan
penggunaannya tergantung pada kita sendiri.
Kewajiban sesuatu yang dilakukan dengan tanggung jawab
(Depdiknas: 1988).
2. Suami isteri beda agama
Suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang
wanita.Isteri adalah wanita yang menjadi pasangan hidup resmi seorang
pria. (Depdiknas: 1988).
5
Suami isteri beda agama adalah pasangan hidup resmi antara pria
dan wanita yang memiliki perbedaan keyakinan agama. (Depdiknas:
1988).
3. Pengasuhan
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, pengasuhan adalah
proses, cara, perbuatan mengasuh. Menurut Gunarsa (2002) dikutip dari
Pratiwi, bahwa pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak
dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik
(makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis
(afeksi atau perasaan) tetapi juga normanorma yang berlaku di
masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.
4. Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan (Depdiknas: 1988).
5. Hukum Islam
Hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan
dengan kehidupan berdasarkan al-qur’an dan hadits; hukum syara.
6. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak
Yaitu peraturan yang mengatur tentang segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berprestasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
6
Jadi hak dan kewajiban suami isteri beda agama dalam pengasuhan
anak menurut Hukum islam dan UU No. 23 Tahun 2002 adalah bentuk
tanggung jawab pasangan suami isteri dalam mendidik dan mengasuh
anak yang dipelajari menurut hukum Islam dan UU No.23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak ( RI: 2002).
E. Telaah Pustaka
Setelah diadakan penulusuran, dapat ditemui banyak penelitian dan
karya tulis mengenai pengasuhan anak, diantaranya:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Laila Miftahul Jannah
Mahasiswa STAIN Salatiga dengan judul penelitian “ Kekerasan Orang
tua Terhadap Anak Sebagai Penyebab Dicabutnya Hak Asuhnya ( Studi
Komparasi antara Kompilasi Hukum Islam dan KUHperdata). Skripsi ini
membahas tentang pencabutan hak asuh anak akibat kekerasn yang
dilakukan oleh pemegang hak asuh anak. Dalam skripsi ini, pembahasan
hak asuh anak setelah putusan pengadilan menjatuhkan putusan dalam
tinjauan komparasi antara KHI dan KUHPerdata.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Umi Azizah Mahasiswa
STAIN Salatiga dengan judul penelitian “Hak Asuh Anak Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian (Studi Analisisis Kompilasi Hukum
Islam). Skripsi ini membahas secara umum bagaiamana pandangan
Kompilasi Hukum islam dalam memutuskan hak asuh anak ketika terjadi
perceraian
7
Ketiga, penelitian yang dilakukan Muhammad Imamul Umam
Mahasiswa STAIN Salatiga dengan judul penelitian “Hak Asuh Anak
dalam Perkara Cerai Talak Karena Istri Murtad (Studi Analitis Penetapan
PA No. 447/Pdt.G/2003/PA.Sal)”. Skripsi ini membahas mengenai hasil
putusan yang ditentukan oleh Hakim Pengadilan Agama Salatiga. Dalam
putusan tersebut menerangkan tentang hak asuh setelah terjadinya putusan
yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Agama Salatiga.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh David Idris Mahasiswa
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul “Tinjauan Makasid Asy
Syariah Imam Asy Syatibi Terhadap Hak Asuh Anak (Hadhanah) Bagi
yang murtad”. Skripsi ini membahas hak asuh anak bagi ibu yang murtad
ditinjau dari maqosid as syariahh mengenai maslahat dan mafsadat jika
pengasuhan anak ada pada ibu yang murtad. Sehingga dapat digunakan
sebagai bahan pertimbang para Hakim dalam Istinbat hukum hak asuh
anak bagi ibu yang murtad.
Kelima, penilitian yang dilakukan oleh Muhlisin Mahasiswa
STAIN Salatiga dengan judul “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap
Anak Akibat Perceraian (Studi Komparasi Putusan Pengadilan Agama
Nomor 256/Pdt.G/2004/PA.SAL dan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Nomor 386 K/AG/2005”. Skripsi ini membahas tentang hasil putusan
setalah terjadinya perceraian, dimana anak berhak untuk mendapatakan
perlindungan dan berhak mendpatakan pengasuhan dari orang tua
meskipun setelah terjadinya perceraian.
8
F. Metodologi penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan deskriptifkualitatif yang termasuk dalam
jenis penelitian kualitatif. Peneltian deskriptif kualitatif menafsirkan dan
menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi di
dalam masyarakat, pertentangan 2 keadaan/ lebih, hubungan antarvariabe;
perbedaan antar fakta, pengaruh terhadap suatu kondisi dan lain-lain.
2. Sumber data
Sumber data adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian.
Yang dimaksud dengan sumber data dalam suatu penelitian adalah subjek
darimana data diperoleh. Kesalahan-kesalahan dalam menggunakan atau
memahami sumber data, maka data yang diperoleh juga akan meleset dari
yang diharapkan. (Bungin:2001).
Sumber data dalam penilitian ini berupa hasil wawancara dengan
narasumber, Al-qura’an dan hadits, pendapat para ulama fiqh, dan UU
No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Selain itu, penulis juga
memperoleh data mengenai gambaran umum daerah penelitian, tempat
ibadah, kelompok ibadah, dan pendidikan keagamaan dari kelurahan
Kutowinangun.
3. Metode pengumpulan data
a. Wawancara
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik wawancara
mendalam (in depth interview). Dengan wawancara mendalam, bisa
9
digali apa yang tersembunyi di sanubari seseorang, apakah yang
menyangkut masa lampau, masa kini maupun masa sekarang.
(Bungin, 2010 : 67).
Proses wawancara terhadap narasumber di kelurahan
Kutowinangun membutuhkan waktu kurang lebih 3 minggu dalam
beberapa kali sesi tanya jawab. Narasumber tersebut meliputi keluarga
NT dan NM, keluarga NR dan EH, dan beberapa masyarakat
setempat.
b. Telaah Dokumen
Dokumen yang dimaksud adalah segala catatan baik berbentuk
catatan dalam kertas (hardcopy) maupun elektronik (softcopy).
Dokumen dapat berupa buku, artikel media massa, catatan harian,
manifesto, undang-undang, notulen, blog, halaman web, foto, dan
lainnya. (Sarosa, 2012:61)
Dalam penelitian yang diperoleh berupa ayat Al- qur’an, Hadits,
Undang-Undang, Buku, catatan, rekaman wawancara, dan data
kelurahan Kutowinangun.
c. Observasi
Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah
ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau
peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi
adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian,
untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku
10
manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap
aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut.
Observasi yang dilakukan penulis antara lain mengamati pola
hidup sehari-hari dan keagamaan,dan kehidupan sosial narasumber.
4. Teknik Analisis Data
Setelah dilakukan pengumpulan data, penulis menganalisis data
dengan menggunakan pendekatan analisis (analitical approach) yaitu
mengetahui makna yang terkandung oleh istilah- istilah yang digunakan
dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional.(Ibrahim,
2006:310)
G. Sistematika penulisan
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini berisi latar belakang masalah yang akan dikaji penulis, agar
tidak terjadi kerancuan, penulis memberikan penegasan istilah, rumusan
masalah sebagai titik fokus pembahasan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian.
BAB II Konsep Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam Dan Undang-
Undang Perlindungan Anak
Bab ini berisi tinjauan terhadap pengasuhan anak dari pasangan suami istri
beda agama, konsep pengasuhan anak dari suami istri beda agama menurut
hukum Islam, dan konsep pengasuhan anak dari suami istri beda agama
menurut undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
11
BAB III Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Beda Agama Dalam Pengasuhan
Anak DiDesa KutowinangunKecamatan Tingkir
Bab ini berisi gambaran umum desa Kutowinangun Kec. Tingkir dan
gambaran umum kasus mengenai penerapan hak dan kewajiban suami istri
beda agama dalam pengasuhan anak di desa Kutowinangun Kec. Tingkir
BAB IV Analisis Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Beda Agama Dalam
Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002
Bab ini berisi kasus mengenai penerapan hak dan kewajiban suami istri
beda agama dalam pengasuhan anak di desa Kutowinangun Kec. Tingkir dan
analisis penerapanhak dan kewajiban dari suami istri beda agama dalam
pengasuhan anak menurut hukum Islam dan undang-undang No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak.
BAB V Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dan saran
12
BAB II
KONSEP PENGASUHAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
A. Tinjauan terhadap pengasuhan anak menurut hukum Islam
1. Pengertian pengasuhan anak
Pengasuhan atau biasa disebut parenting merupakan proses
menumbuhkan dan mendidik anak dari kelahiran anak hingga anak
memasuki usia dewasa. Tugas ini umumnya dikerjakan oleh ibu dan
ayah (orang tua biologis dari anak), namun bila orang tua biologisnya
tidak mampu melakukan pengasuhan, maka tugas ini diambil oleh
kerabat dekat termasuk kakak, nenek dan kakek, orang tua angkat, atau
oleh institusi seperti panti asuhan.
Menurut Myers (1992) pengasuhan anak paling tidak mencakup
beberapa aktivitas berikut yaitu : melindungi anak, memberikan
perumahan atau tempat perlindungan, pakaian, makanan, merawat
anak (termasuk memandikan, mengajarkan cara buang air, dan
memelihara bila anak sakit), memberikan kasih sayang dan perhatian
pada anak, berinteraksi dengan anak dan memberikan stimulasi
kepadanya, serta memberikan kemampuan sosialisasi dengan
budayanya.
13
Agar anak memiliki perkembangan yang optimal, perlu adanya
kerjasama dari orang tua dan juga interaksi yang cukup baik antara
anak dan orang tua terutama ibu. Bentuk interaksi dan pemberian
stimulasi yang tepat pada anak akan menghasilkan dampak positif
bagi tumbuh kembang anak. Misalnya, memberikan contoh kata-kata
positif yang diperdengarkan pada anak sejak kecil sehingga anak
mampu meniru dan menerapkan hal tersebut sampai dewasa.
Setiap orang tua memiliki caranya masing-masing dalam menddik
dan mengasuh anak. Latar belakang ekonomi, sosial, budaya , bahkan
agama menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengasuhan
anak. Untuk itu setiap orang tua wajib memahami karakter dan jiwa
anak sehingga perbedaan pada orang tua tidak menimbulkan konflik
dalam pengasuhan anak.
2. Bentuk-bentuk pengasuhan anak
Menurut Suardiman (1983 : 22) pengertian pola asuh adalah cara
mengasuh anak, usaha memelihara,membimbing, membina,
melindungi anak untuk kelangsungan hidupnya.
Bentuk-bentuk pengasuhan anak antara lain :
a. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif merupakan pola asuh yang cenderung
terhadap kemauan si anak. Apapun yang diinginkan anak
sekalipun itu hal-hal yang negatif selalu diijinkan orang tua,
seperti membolos, pergaulan bebas, dan sebagainya. Pola
14
pengasuhan anak semacam ini seringkali diakibatkan karena
orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga
mengabakan kewajiban dalam mendidk anak. Orang tua hanya
memberikan materi tanpa pengarahan ataupun perhatian khusus
pada anak sehingga menimbulkan dampak yang buruk bagi
perkembangan anak.
Anak yang diasuh dengan metode semacam ini cenderung
kurang perhatian, tidak memiliki kemampuan sosialisasi yang
baik, serta kurang menghargai orang-orang di sekitarnya.
b. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter adalah bentuk pengasuhan anak yang
bersifat memaksa, keras, dan otoriter. Hal ini dapat
dicerminkan dari peraturan-peraturan yang dibuat orang tua
tanpa memperhatikan kemauan si anak. Orang tua tidak segan-
segan memberikan hukuman mental maupun fisik apabila anak
melanggar peraturan.
Anak yang menginjak usia remaja maupun dewasa akan
sangat tertekan dengan pola pengasuhan semacam ini. Mereka
lebih senang berada diluar rumah, mudah sedih dan berpikir
negatif tentang orang tua. Namun, dampak positif dari pola
pengasuhan ini adalah anak menjadi pribadi yang mandiri,
disiplin, dan lebih bertanggung jawab dalam meraih kehidupan
yang lebih baik.
15
c. Pola asuh otoritatif
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak
yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan
mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak
dengan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini
adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para
orangtua kepada anak-anaknya.
Anak yang diasuh dengan pola semacam ini akan lebih
percaya diri, cerdas, ceria, kreatif, terbuka pada orang tua,
menghormati orang tua, tidak mudah stres maupun depresi, dan
disegani masyarakat sekitar.
(http://pgpaud2009.blogspot.com/2013/05/polapengasuhan-
anak-dalam-keluarga.html)
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasuhan anak dalam keluarga
beda agama
Dalam kehidupan berumah tangga, perbedaan merupakan hal yang
umum dialami setiap pasangan. Perbedaan latar belakang, sosial,
budaya, agama merupakan hal yang wajar meskipun seringkali
menimbulkan ketidakharmonisan. Perbedaan tersebut dapat diatasi
seiring dengan saling memahami satu sama lain dan mengutamakan
kepentingan bersama yaitu keberhasilan dalam mengasuh dan
mendidik anak.
16
Perbedaan agama atau prisip adalah hal yang seringkali dihadapi
dalam kehidupan rumah tangga pasangan berbeda agama. Hal ini tentu
akan berdampak besar bagi perkembangan fisik dan mental anak.
Dasar rasa cinta anak terhadap Tuhan serupa dengan dasar rasa
cintanya terhadap orang tua. Jika orang tua mengenalkan konsep
Tuhan, anak akan menerima dengan sungguh-sungguh. Dalam
mengenalkan itu biasanya sikap orang tua cenderung menekankan
sikap-sikap yang berkenan di hati mereka sendiri. (Spock, 1991:91).
Selain faktor agama itu sendiri, terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi pola pengasuhan anak dalam keluarga beda agama.
Menurut Triwardani (2001) dikutip dari Pratiwi menjelaskan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh yaitu: sosial, ekonomi,
pendidikan, kepribadian, nilai-nilai yang dianut orang tua, dan jumlah
anak.
Pergaulan orang tua dengan lingkungan sekitar akan
mempengaruhi bagaimana cara mereka dalam mendidik anak, apabila
lingkungan tersebut lebih banyak orang yang berpendidikan rendah,
atau bahkan apabila orang tua itu sendiri yang berpendidikan rendah,
maka orang tua juga cenderung tidak akan menanamkan pendidikan
yang tinggi untuk anak-anaknya. Hal tersebut juga dapat terjadi karena
faktor ekonomi dan juga kurangnya wawasan orang tua tentang
pentingnya pendidikan untuk masa depan.
17
4. Pengasuhan anak menurut hukum Islam
Hadhanah dalam perspektif islam diatur dengan sangat jelas sejak
anak masih dalam rahim ibunya, seperti hak waris, hak wakaf, dan hak
nasab. Menurut Dahlan (1999) dikutip dari Hannah (2014) hadhanah
secara terminologis adalah merawat dan mendidik seseorang yang
belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena tidak
bisa memenuhi keperluannya sendiri.
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya
hukum merawat dan mendidik anak adalah kewajiban bagi
orang tua, karena apabila anak yang masih kecil dan belum
mumayyiz tidak dirawat dan didik dengan baik, maka akan
berakibat buruk pada diri dan masa depan mereka, bahkan bisa
mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh karena itu anak-anak
tersebut wajib dipelihara, diasuh, dirawat dan dididik dengan
baik. Dalam surat Al Baqoroh ayat 233 telah diterangkan
dengan jelas sebagai berikut :
18
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan “ (QS. Al Baqarah : 233)
Dalam ayat tersebut terkandung penjelasan bahwa tanggung jawab
pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab penuh seorang ayah,
namun demikian, seorang suami atau ayah itu sendiri juga wajib
bertanggung jawab terhadap kebutuhan ibu. Hal ini diperkuat dengan
ilustrasi apabila anak tersebut disusui oleh perempuan lain maka ayah
wajib membayar perempuan yang menyusui anaknya tersebut.
Sedangkan mengenai hak dalam hadhanah, hak seorang ibu
terhadap anak lebih kuat daripada hak ayah. Menurut schacht
(1985:214) ibu mempunyai hak merawat dan memelihara anak dalam
keadaan masih kecil sampai berumur tujuh atau sembilan tahun. Ini
bukan merupakan kewajiban, akan tetapi hak yang dapat menjadi
hilang apabila ibu memutuskan perkawinan kemudian mempunyai
hubungan terlarang dengan orang yang berbeda mahram dengan anak.
19
Selain itu, sosok ayah sebagai seorang pendidik yang baik
dikisahkan dalam Alquran melalui figur Luqman sebagai berikut :
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada
Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang
bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (12) dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".(13) dan Kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya
telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. “(14) (QS.
Luqman : 12-14).
Menurut Rafiq (1998) dikutip dari Nurrudin dan Tarigan (2006),
setidaknya ada delapan nilai-nilai pendidikan yang harus diajarkan
orang tua kepada anaknya seperti berikut ini :
1. Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT
2. Tidak mensyarikatkan Allah dengan sesuatu yang lain.
3. Berbuat baik kepada orang tua, sebagai bukti kesyukuran anak.
20
4. Mempergauli orang tua secara baik-baik (ma’ruf)
5. Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatkan balasan
dari Allah SWT.
6. Menaati perintah Allah SWT. Seperti shalat, amar ma’ruf dan
nahi munkar, serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.
7. Tidak sombong dan angkuh.
8. Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata
Proses pemeliharaan anak dan pendidikannya akan dapat berjalan
dengan baik, jika kedua orang tua saling bekerja sama dan saling
membantu. Tentu saja ini dapat dilakukan dengan baik jika keluarga
tersebut benar-benar keluarga yang sakinah dan mawaddah.(Nuruddin &
Tarigan : 2006)
B. Konsep pengasuhan anak menurut UU no 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak
Dalam pasal 1 undang-undang ini, yang dimaksud denganAnak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
21
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri,
atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat
Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat.
Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. Anak terlantar adalah anak yang
tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun
sosial. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik
dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya
secara wajar.
Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan
luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa. Anak angkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali
yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena
orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh
kembang anak secara wajar. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk
mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan
22
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan
kemampuan, bakat, serta minatnya.
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi
sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan. Pendamping adalah pekerja sosial
yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.
Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak
dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Pemerintah adalah
Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam pasal 2 undang-undang ini, Penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-
prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: nondiskriminasi; kepentingan
yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
dan penghargaan terhadap pendapat anak.
Di dalam bab II mengenai asas dan tujuan, berisi pasal 3 yangmenjelaskan
bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
23
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera.
Selanjutnya dalam bab III mengenai hak dan kewajiban anak, ditegaskan
dalam pasal 4 bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kemudian pasal 5
menerangkan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan. Selanjutnya, pasal 6 menguraikan tentang setiap anak
yang berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7 mengandung pengertian bahwa setiap anak berhak untuk
mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 berisi setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Selanjutnya pasal 9 menegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain hak anak sebagaimana
24
dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10 berkaitan dengan setiap anak berhak menyatakan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-
nilai kesusilaan dan kepatutan. Kemudian pasal 11 mejelaskan bahwa setiap anak
berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12 tentang hak penyandang cacat yaitu setiap anak yang
menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13 mengenai hak anak dalam pengasuhan yaitu setiap anak selama
dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuandiskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran;
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah
lainnya. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.
Pasal 14 menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah
25
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak
dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15 tentang hak perlindungan anak yaitu setiap anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan
dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16 menjelaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan
dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum.Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
Kemudian dilanjutkan dalam pasal 17 bahwa setiap anak yang dirampas
kebebasannya berhak untuk: mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan
penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau
bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang
menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan
hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18 berisi tentang setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Kemudian pasal
19 menerangkan bahwa setiap anak berkewajiban untuk: menghormati orang tua,
26
wali, dan guru; mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
mencintai tanah air, bangsa, dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran
agamanya; dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Dalam bab IV undang-undang ini menjelaskan tentang kewajiban dan
tanggung jawab dalam pengasuhan anak secara umum. Pada bagian kesatu pasal
20 diterangkan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan
anak. Pada bagian kedua mengenai kewajiban dan tanggung jawab negara dan
pemerintah terangkum dalam pasal 21 yang berisi negara dan pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap
anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya
dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau
mental.
Kemudian pasal 22 menjelaskan bahwa negara dan pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana
dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Dilanjutkan dalam pasal 23 yaitu negara dan pemerintah menjamin
perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak
dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung
jawab terhadap anak. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak.
27
Pasal 24 menerangkan negara dan pemerintah menjamin anak untuk
mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan
tingkat kecerdasan anak.
Pada bagian ketiga yaitu kewajiban dan tanggung jawab masyarakat
dijelaskan dalam pasal 25kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap
perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan perlindungan anak. Pada bagian keempat mengenai kewajiban
dan tanggung jawab keluarga dan orang tua terangkum dalam pasal 26 yaitu
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi anak; menumbuhkembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya,
atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 30 mengenai kuasa asuh, dalam hal orang tua sebagaimana
dimaksud dalam pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan
tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut. Tindakan
pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Selanjutnya pasal 31 ayat 1 diterangkan bahwa salah satu orang tua,
saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan
28
permohonan ke pengadilan untk mendapatkan penetapan pengadilan tentang
pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila
terdapat alasan yang kuat utuk itu. Kemudian dijelaskan dalam ayat 2 apabila
salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, tidak
dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan hak kuasa asuh orangtua
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat juga diajukan oleh pejabat berwenang
atau lembaga lan yang mempunyai kewenangan untuk itu.
Dalam bab IX mengenai penyelenggaraan perlindungan, pada bagian
kesatu perihal agama, dalam pasal 42 ayat 1 diterangkan bahwa setiap anak
mendapatkan perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. Sebelum anak
dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang
tuanya.
29
BAB III
PENERAPAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI BEDA
AGAMA DALAM PENGASUHAN ANAK DI KUTOWINANGUN KEC
TINGKIR
A. Gambaran umum daerah penelitian
1.Letak dan Keadaan Geografis
Kelurahan Kutowinangun terletak di Jl. Taman Pahlawan No.34
Salatiga, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Lokasinya sangat berdekatan
dengan Pasar Blauran, jaraknya sekitar ± 100 meter.
Secara geografis, Kelurahan Kutowinangun letaknya sangat strategis.
Kelurahan ini terletak di pinggir jalan raya yang sering dilalui angkutan
kota dengan nomor trayek 06, 05, 04, dan 16. Sehingga mudah untuk
menuju ke Kelurahan Kutowinangun. Kelurahan Kutowinangun juga
dekat dengan pusat pasar Kota Salatiga yang jaraknya ± 200 meter.
Kelurahan Kutowinangun dibatasi dengan:
a) Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Kalicacing dan Kelurahan
Salatiga.
b) Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Kauman Kidul.
c) Sebelah timur berbatasan dengan Kelurathan Sidorejo Kidul dan Dusun
Sukoharjo Kab. Semarang.
d) Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Gendongan.
(Sumber: Peta Rencana Pemekaran Kelurahan Kutowinangun).
30
2. Keadaan Penduduk
Adapun keadaan penduduk Kelurahan Kutowinangun Kecamatan
Tingkir Kota Salatiga dilihat dari Rekapitulasi Data Jumlah Penduduk
pada bulan Juli 2012 dapat dibagi sebagai berikut ini:
a. Jumlah penduduk yang dikelompokkan menurut umur dan jenis
kelamin
Tabel
Umur
(Tahun)
Laki-
laki
Perempuan Jumlah
0-4 610 600 1.210
5-9 848 759 1.607
10-14 824 782 1.606
15-19 823 776 1.599
20-24 877 828 1.705
25-29 986 935 1.921
30-39 1.946 2.017 3.963
40-49 1.598 1.720 3.318
50-59 1.230 1.391 2.621
60 keatas 1.083 1.424 2.507
Jumlah 10.825 11.232 22.057
Sumber : Kelurahan Kutowinangun
31
b. Penduduk berdasarkan agama yang dianut
Tabel
Agama Laki-laki Perempuan
Budha 79 100
Hindu 3 1
Islam 7.797 7.927
Kaholik 636 720
Kristen Protestan 2.298 2.466
Sumber : Kelurahan Kutowinangun
c. Penduduk menurut berdasarkan mata pencaharian
Tabel
No. Mata
Pencaharian
Jumlah No. Mata
Pencaharian
Jumlah
1 Mengurus rumah
tangga
2.896 32 Penata Rambut 16
2 Pelajar/Mahasisw
a
4.066 33 Mekanik 33
3 Pensiunan 453 34 Seniman 19
4 PNS 344 35 Tabib 3
5 TNI 51 36 Paraji 3
32
6 POLRI 26 37 Perancang
Busana
1
7 Perdgangan 41 38 Pendeta 23
8 Petani/Pekebun 45 39 Pastor 5
9 Peternak 15 40 Wartawan 3
10 Pekerja Industri 9 41 Ustadz/Mubalig
h
4
11 Pekerja
Konstruksi
9 42 Juru Masak 10
12 Pekerja
Transportasi
38 43 Anggota DPRD
Kabupaten/Kota
2
13 Karyawan Swasta 2.624 44 Dosen 40
14 Karyawan BUMN 54 45 Guru 204
15 Karyawan BUMD 8 46 Pengacara 7
16 Karyawan
Honorer
101 47 Notaris 1
17 Buruh Harian
lepas
1.774 48 Arsitek 4
18 Buruh
Tani/Perkebunan
50 49 Akuntan 5
19 Buruh
Nelayan/Perikana
n
2 50 Konsultan 6
33
20 Buruh Peternakan 11 51 Dokter 20
21 Pembantu Rumah
Tangga
87 52 Bidan 5
22 Tukang Cukur 6 53 Perawat 12
23 Tukang Listrik 12 54 Apoteker 4
24 Tukang Batu 80 55 Penyiar Radio 2
25 Tukang Kayu 19 56 Pelaut 16
26 Tukang Sol
Sepatu
6 57 Peneliti 216
27 Tukang
Las/Pandai Besi
9 58 Sopir 216
28 Tukang Jahit 64 59 Pedagang 1.197
29 Tukang Gigi 1 60 Perangkat desa 1
30 Penata Rias 13 61 Wiraswasta 2.180
31 Penata Busana 1
Sumber : Kelurahan Kutowinangun
3. Daftar lembaga bidang keagamaan dan pendidikan keagamaan kelurahan
Kutowinangun
a. Tempat Ibadah
Di kelurahan Kutowinangun kecamatan Tingkir kota Salatiga,
terdapat 23 tempat ibadah yang telah resmi tercatat di kantor kelurahan.
Diantaranya adalah sembilan Masjid, tujuh Gereja, enam Mushola dan
satu Vihara.
34
Di RW I tercatat ada tiga tempat ibadah yaitu Masjid Jamiul Qoil
yang diketuai oleh Hadi Winarto, Gereja Bethel Indonesia Bethany dan
Gereja Kristen Indonesia yang terletak di Jl. Jendral Sudirman RW I
Kalioso.
Di RW II terdapat dua tempat ibadah yaitu Masjid Al Muklis yang
diketuai oleh Suranta serta Mushola Nurul Amal Kalibodri yang diketuai
oleh Muji Santoso.
Sedangkan di RW III, terdapat enam tempat ibadah yang masing
masing adalah Masjid At Taubah yang diketuai oleh Zahroni, Masjid Ar
Rohmah yang diketuai oleh Sigit, Mushola Nurul Iman yang terletak di Jl.
Bengawan dan diketuai oleh Masudi, Mushola Nurul Hidayah yang
bertempat di RT 16 dan diketuai oleh Basuni, Mushola Hamdan yang
terletak di Jl. Kaligelis dan diketuai oleh H. Iskandar, serta terdapat satu
gereja yaitu Gereja Bethel Indonesia Pondok Daud.
Di RW IV hanya terdapat satu tempat ibadah yaitu Gereja sidang
Jemaat Allah yang terletak di komplek perumahan Wahid yang diketuai
oleh pendeta Yoseph Triyanto.
Sementara itu, di RW V Nanggulan terdapat tiga tempat ibadah
yaitu Masjid Nidaul Sunah yang diketuai oleh Purwanto, serta dua
Mushola yang masing-masing adalah Mushola Hamdan yang diketuai oleh
Karno dan Mushola Bengkok yang diketuai oleh Muhdasori.
Di RW VI terdapat dua masjid yaitu Masjid Al Huda yang diketuai
oleh Slamet HS serta Masjid At Taubah yang diketuai oleh Muhadi. Di
35
RW VII terdapat tiga tempat ibadah yaitu Masjid Sub Inti.. yang diketuai
oleh H. Parmin, Gereja Kristen Jawa Salatiga Timur,dan Vihara.
Kemudian di RW VIII Blondo Celong terdapat satu masjid dan dua
gereja yang masing-masing adalah Masjid Istiqomah yang diketuai oleh
Giman, Gereja Bethel Indonesia Blondo Celong, dan Gereja Pantekosta
Seluruh Indonesia Blondo Celong.
b. Kelompok Ibadah
Untuk mendukung berbagai macam kegiatan keberagamaan dari
masing-masing agama yang berbeda di kelurahan Kutowinangun ini, maka
masyarakat Kutowinangun membentuk beberapa kelompok ibadah.
Sampai saat ini, kantor kelurahan mencatat ada sebanyak 11 kelompok
ibadah yang terdiri dari tujuh kelompok ibadah umat muslim, dua
kelompok ibadah umat nasrani, dan dua kelompok ibadah umat Budha.
Tujuh kelompok ibadah umat muslim tersebut diantaranya adalah
Pengajian Malam Sabtu di Jl. Kaliwungu RW II yang diketuai oleh
Mulyono, Majelis Taklim Hati Beriman di Jl. Taman Pahlawan No 36 RT
16 RW III yang diketuai oleh Hj.Titiek Sularti, pengajian Al Hidayah RW
III yang juga diketuai oleh Hj.Titiek Sularti, pengajian Nidaul Sunah RW
V Nanggulan yang diketuai oleh Susariwati, pengajian Al Huda RW VI
Nanggulan yang diketuai oleh Sugiarti.
Selain kelompok ibadah yang berupa pengajian ataupun majelis
taklim, di kelurahan Kutowinangun juga memiliki dua kelompok ibadah
36
yang dibentuk oleh remaja setempat yaitu Remaja Masjid Al Muklis yang
bertempat di Jl. Kaliwungu RW I dan diketuai oleh Endang, serta Remaja
Nanggulan Peduli Pendidikan yang terletak di Masjid Al Huda RW VI
yang diketuai oleh Lilik Yulianto.
Kemudian dua kelompok ibadah umat nasrani yaitu Persekutuan
Doa Efrata yang terletak di RW III dan diketuai oleh Purwariati, serta
Persekutuan Lingkungan St. Benedictus Wilayah Matheus yang terletak di
RW IV dan diketuai oleh J. Eddy Prasetyo.
Selain kelompok ibadah agama Islam dan Kristen, terdapat pula
dua kelompok ibadah agama budha yaitu Oikumene yang masing0masing
terletak di RW VI dan RW VII Nanggulan dan diketuai oleh YF Arini.
c. Pendidikan Keagamaan
Dalam rangka upaya penanaman nilai-nilai keagamaan sejak dini
bagi anak-anak, diperlukan adanya kegiatan atau lembaga yang mampu
mendorong semangat, kegiatan bersosialisai dan rasa ingin tahu terhadap
pengetahuan agama. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, kelurahan
Kutowinangun bekerja sama dengan masyarakat mendirikan beberapa
lembaga pendidikan keagamaan diantaranya adalah empat Taman
Pendidikan Alquran (TPQ), satu RA, dan satu sekolah minggu.
Empat TPQ tersebut masing-masing adalah TPQ Al Muklis yang
bertempat di RW II Kalioso yang diketuai oleh H. Hariadi, S.Pd, TPQ
Nurul Hidayah yang bertempat di RT 16 RW III, TPQ Bengkok yang
bertempat di RW V Nanggulan, serta TPQ At Taubah yang bertempat di
37
RW VI Nanggulan yang diketuai oleh Sugiarti. Sementara itu, satu RA
yang terdapat di kelurahan Kutowinangun adalah RA Aisiyah yang
bertempat di RW VII Nanggulan dan diketuai oleh Sunarno.
Sedangkan pendidikan keagamaan untuk anak-anak yang beragama
Kristen, di daerah tersebut terdapat satu Sekolah Minggu yang terletak di
RW IV dan diketuai oleh Yulya.
B. Gambaran Kasus Penerapan Hak dan Kewajiban Suami Istri Beda
Agama Dalam Pengasuhan Anak di Desa Kutowinangun Kec. Tingkir
1. Penerapan Hak dan kewajiban suami istri beda agama terhadap
pengasuhan anak pada keluarga N.
a. Data keluarga
1) Suami
Nama : NM
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : laki- laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Tanggul Ayu 2 006/013
Kutowinangun kec.Tingkir
Agama : Islam
Pekerjaan : buruh harian lepas
Pendidikan terakhir : SMP
2) Istri
38
Nama : NT
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Tanggul Ayu 2 006/013
Kutowinangun kec.Tingkir
Agama : Kristen
Pekerjaan : pembantu rumah tangga
Pendidikan terakhir : SMA
3) Anak pertama
Nama : EH
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Tanggul Ayu 2 006/013
Kutowinangun kec.Tingkir
Agama : Kristen
Pekerjaan : operator warnet
Pendidikan terakhir : SMA
4) Anak kedua
Nama : DS
39
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Tanggul Ayu 2 006/013
Kutowinangun kec. Tingkir
Agama : Islam
Pekerjaan : buruh pabrik
Pendidikan terakhir : SMA
5) Anak ketiga
Nama : PM
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Tanggul Ayu 2 006/013
Kutowinangun kec. Tingkir
Agama : Kristen
Pekerjaan : buruh pabrik
Pendidikan terakhir : SMA
b. Latar belakang keluarga
NM dan NT adalah pasangan yang menikah pada tahun
1985. Setelah menikah, keduanya berdomisili di Sragen (tempat
asal NM) bersama kedua orang tua NM. Sebenarnya, orang tua
40
NM tidak menyetujui anakya menikah dengan NT karena
perbedaan agama. Namun NM mendesak orang tuanya untuk
merestui pernikahannya dengan NT karena apabila tidak mendapat
restu orang tua, NM akan kawin lari dengan NT hal ini
dikarenakan komitmen antara mereka berdua yang sudah kuat
walaupun dengan resiko yang besar. Oleh sebab itu, orang tua NM
dengan berat hati menyetujui pernikahan anaknya walaupun
mengakibatkan mereka tidak akan pernah sepaham dengan NT.
Pernikahan NM dan NT berjalan sesuai syariat Islam di
Kantor Urusan Agama (KUA) Sragen. Dalam hal ini, NT terpaksa
memeluk Islam terlebih dahulu demi berlangsungnya pernikahan
dan mendapat restu kedua orang tua NM.
Namun setelah dua tahun menikah, NT kembali lagi
memeluk agama Kristen dan NM tidak melarang hal tersebut
karena NM masih ingin menunjukkan toleransi nya pada NT dan
hal ini juga dikarenakan cinta NM yang begitu besar pada NT.
Kemudian NM dan NT dikaruniai anak laki-laki yang
diberi nama EH. Dua tahun berselang, lahir anak kedua NM dan
NT yang juga berjenis kelamin laki-laki yang diberi nama DS.
Beberapa tahun kemudian NM dan NT beserta anak-anaknya
pindah ke Kutowinangun Salatiga dikarenakan adanya selisih
paham antara NT dan orang tua NM. perselisihan antara orang tua
41
dan menantu tersebut tidak pernah menemukan titik temu
dikarenakan perbedaan prinsip keduanya.
Setelah pindah ke Salatiga, kehidupan pasangan NM dan
NT berangsur membaik. Pada tahun 1994, lahir anak ketiga dari
NM dan NT yang berjenis kelamin perempuan dan diberi nama
PM. NM bekerja sebagai buruh harian lepas di sekitar wilayah
tersebut seperti menjadi buruh tani atau kuli bangunan. Sedangkan
NT bekerja sebagai asisten rumah tangga di Tengaran. Meskipun
hidup sederhana, keduanya mampu menyekolahkan ketiga anak
mereka sampai tingkat SMA.
Saat ini, anak pertama mereka EH telah menikah dan masih
tinggal bersama kedua orang tuanya. Begitu juga dengan PM yang
masih tinggal bersama NM dan NT dan sudah bekerja sebagai
buruh pabrik. Sedangan DS, saat ini menetap di Sragen bersama
dengan anak istrinya.
c. Proses pengasuhan anak
Menurut keterangan dari NT pada saat wawancara tanggal
10 Mei 2015 , NM dan NT berusaha mengasuh anak secara
bersama-sama dan tidak memaksakan kehendak masing-masing.
NM dan NT memberi kebebasan pada anak mereka dalam
menentukan agama. Selain itu, NM dan NT juga mengedepankan
toleransi satu sama lain dalam menjalankan agama masing-masing,
misalnya dalam kewajiban beribadah sesuai agamanya, NM justru
42
sering mengingatkan istrinya NT untuk pergi ke gereja setiap hari
minggu. Sebaliknya, NT juga tidak lupa mengingatkan suamiya
NM untuk sholat lima waktu maupun mengikuti pengajian rutin.
Dalam toleransi beragama memang pasangan ini cukup
baik dan mampu menghargai satu sama lain. Namun dalam
mendidik dan mengasuh anak terutama dalam pengenalan agama,
NT lebih berperan besar daripada NM. Hal ini dapat diketahui
berdasarkan penuturan NT bahwasanya sejak kecil ketiga anak NM
dan NT yaitu EH,DS,dan PM sudah sering diajak ke gereja dan
diberi pengetahuan mengenai agama Kristen. Dalam hal ini, NM
tidak pernah melarang NT berbuat demikian bahkan NM juga tidak
berusaha untuk mengimbangi anak-anaknya dengan pengetahuan
agama Islam. Hal ini dikarenakan pengetahuan NM tentang agama
Islam juga tidak begitu banyak dan NM cenderung mengalah pada
istrinya NT.
Mengetahui hal tersebut, orang tua NM yang memiliki
pengetahuan agama yang cukup baik berusaha untuk menasehati
NM agar tidak terlalu mengalah pada NT dan juga agar NM mau
mengajarkan anak-anaknya mengenai Islam. Namun NM tidak
melaksanakan anjuran itu dengan baik sehingga orang tua NM
meminta salah satu anak dari NM dan NT ikut dengan mereka
tinggal di Sragen dan dididik secara Islam.
43
Akhirnya pada tahun 1998, anak kedua NM dan NT yaitu
DS ikut bersama dengan orang tua NM. Sampai saat ini DS
memeluk agama Islam dan telah menikah dengan AN yang juga
beragama Islam dan telah memiliki seorang anak. Sedangkan anak
pertama dan ketiga NM dan NT yaitu EH dan PM memeluk agama
kristen.
d. Dampak pada anak
Berdasarkan wawancara dengan NM pada tanggal 13 Mei
2015, dalam mengasuh anak dan mengenalkan agama, NM dan NT
memiliki cara yang berbeda. NM cenderung membiarkan anaknya
dalam memilih agama apapun yang akan mereka anut, sedangkan
NT cenderung melakukan pendekatan tersendiri agar anak-anaknya
mengikuti agama yang dianutnya.
Karena anak tidak memperoleh pengetahuan yang
seimbang antara agama Islam yang dianut oleh NM dan agama
Kristen yang dianut oleh NT, mengakibatkan anak-anak tersebut
tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai agama sehingga
pada akhirnya mereka mengikuti kemauan ibunya kecuali DS. DS
yang tinggal bersama kakek nenek nya dan diberi pengetahuan
mengenai agama Islam memilih untuk menganut agama Islam
walaupun sebelumnya sudah memiliki pengetahuan agama Kristen
dari ibunya.
44
2. Penerapan Hak dan kewajiban suami istri beda agama terhadap
pengasuhan anak pada keluarga E.
a. Data keluarga
1) Suami
Nama : EH
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Tanggul Ayu 2 006/013
Kutowinangun kec.Tingkir
Agama : kristen
Pekerjaan : operator warnet
2) Istri
Nama : NR
Umur : 24 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Tanggul Ayu 2 006/013
Kutowinangun kec.Tingkir
Agama : Islam
Pekerjaan : penjahit
45
3) Anak
Nama : SAN
Umur : 4 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Tanggul Ayu 2 006/013
Kutowinangun kec.Tingkir
Agama : Islam
Pekerjaan : -
b. Latar belakang keluarga
EH dan NR adalah pasangan yang menikah pada tahun
2011. Keduanya merupakan tetangga kampung karena rumah
mereka yang hanya berjarak beberapa meter saja. Sebelum
menikah, hubungan EH dan NR juga tidak berjalan mulus layaknya
pasangan pada umumnya. Perbedaan keyakinan antara EH sebagai
seorang kristiani dan NR yang merupakan seorang muslim menjadi
kendala untuk menuju pernikahan.
Apa yang dialami EH sama halnya dengan kedua orang tua
EH yaitu NM dan NT yang menjalani kehidupan rumah tangga
yang berbeda agama. Pada awalnya, hubungan EH dan NR
ditentang sepenuhnya oleh NT yang merupakan ibu dari EH.
Sedangkan ayah EH yaitu NM lebih menyerahkan keputusan
46
kepada EH karena EH lah yang nantinya akan menjalani kehidupan
rumah tangga apapun konsekuensi yang harus ditanggung. NM
justru mendukung hubungan EH dan NR karena NR adalah
seorang muslim sama seperti dirinya. Harapan NM adalah NR
dapat mengajak EH untuk memeluk agama Islam.
Namun seiring berjalannya waktu, NT tetap bersikeras
melarang EH menikah dengan NR hingga percekcokan pun sering
terjadi. Pada akhirnya EH memutuskan pergi dari rumah diikuti
NR. Sebenarnya orang tua NR berat melepas NR, tapi dikarenakan
tidak tega melihat anaknya menderita, orang tua NR akhirnya
melepas NR pergi bersama EH dalam keadaan belum menikah.
Sampai pada suatu saat NR mengandung anak dari EH. NR dan EH
memutuskan kembali kerumah dan meminta restu orang tua
masing-masing agar diijinkan menikah.
Perilaku nekat EH membuat NT marah besar, namun tidak
ada cara lain selain menikahkan EH dan NR demi menutupi aib
keluarga. EH dan NR pun menikah sesuai syariat islam. Seperti
halnya yang pernah dilakukan NT pada kasus sebelumnya, EH
untuk sementara memeluk Islam demi menikahi NR yang tengah
hamil muda. Beberapa bulan kemudian lahir anak pertama EH dan
NR yang ber jenis kelamin perempuan dan diberi nama SAN.
Menurut keterangan dari EH pada wawancara tanggal 15
Mei 2015, sebagai seorang muallaf EH tidak pernah melakukan
47
ibadah selayaknya orang muslim bahkan EH cenderung kembali
beribadah menurut keyakinannya dahulu yaitu kristen. Namun NR
tetap sabar dan berusaha meyakinkan EH tentang kebenaran ajaran
Islam. Meskipun bukan orang Islam yang betul-betul taat, NR tetap
bersikukuh dalam agama Islam dan mendidik anaknya SAN sesuai
dengan ajaran Islam.
c. Proses pengasuhan anak
Dalam mengasuh anak yaitu SAN, antara EH dan NR tidak
ada kesepakatan tertentu mengenai agama apa yang akan dianut
SAN nantinya. Semua berjalan begitu saja dengan sendirinya. EH
yang bekerja sebagai operator warnet jarang berada dirumah
sehingga SAN lebih dekat dengan ibunya yaitu NR. NR yang
hanya bekerja dirumah sebagai penjahit memiliki waktu yang
cukup banyak untuk mengasuh SAN dan mendidik SAN.
Peran NR begitu besar dalam proses tumbuh kembang
SAN. NR memberikan perhatian penuh sekaligus sedikit demi
sedikit mengenalkan kepada SAN tentang apa itu agama Islam.
Meskipun SAN baru berusia 4 tahun, SAN sudah pandai
menghafal doa sehari-hari seperti doa mau tidur dan doa mau
makan. SAN juga sering memperhatikan NR ketika sholat maupun
membaca Al-quran.
Sebelum menikah dengan EH, NR bukanlah seorang
muslim yang taat, akan tetapi setelah menikah NR banyak merubah
48
pola hidupnya menjadi lebih islami. Hal itu dilakukan NR supaya
SAN mendapati figur yang baik dan layak dijadikan contoh dalam
hal beragama. Karena usia SAN yang masih balita, NR belum
pernah menjelaskan maupun memberi pengertian mengenai
perbedaan agama antara NR dan EH. NR hanya berusaha untuk
merawat SAN dengan baik juga menjaga komunikasi dan
keterbukaan dengan EH tentang mendidik SAN untuk medapatkan
masa depan yang lebih baik. EH dan NR juga menjalin kerjasama
yang baik dalam memberikan pendekatan keagamaan pada SAN
supaya tidak timbul kebingungan dalam diri SAN atas agama yang
dianut oleh orang tuanya.
Walaupun EH masih diintervensi oleh ibunya dalam hal
mendidik SAN, EH tetap menyerahkan keputusan kepada NR atas
agama apa yang akan dianut oleh SAN. EH yang pada dasarnya
bukan penganut kristen yang taat lebih memilih untuk mengalah
dalam hal mengasuh anak karena EH tidak ingin kehidupan rumah
tangganya terjadi banyak selisih paham diakrenakan agama. Hal
tersebut merupakan bagian dari konsekuensi EH dan NR yang
memutuskan untuk menikah walaupun berbeda agama. Hal ini
mereka sadari penuh agar anak mereka yaitu SAN tidak menjadi
korban perselisihan orang tua.
Sampai saat ini kehidupan pasangan EH san NR tetap
berjalan dengan baik sekalipun ada perbedaan yang sangat
49
menonjol diantara mereka. EH dan NR berusaha menghargai dan
menghormati satu sama lain dalam hal agama. Namun NR tidak
bosan-bosannya mengajak suaminya EH untuk kembali memeluk
Islam meskipun sulit karena EH juga masih dibawah pengaruh
ibunya yaitu NT karena tempat tinggal yang masih berdekatan.
Harapan NR kehidupan rumah tangganya bisa menjadi satu
keluarga yang utuh memeluk Islam.
d. Dampak pada anak
Berdasarkan wawancara dengan NR pada tanggal 15 Mei
2015, pada usia 4 tahun saat ini, SAN masih menikmati masa kecil
yang penuh keceriaan dan belum mengerti mengenai perbedaan
agama kedua orang tuanya. Sejauh ini antara EH dan NR mampu
memposisikan secara proporsional antara hak dan kewajiban
mereka sebagai orang tua dalam hal memberikan rasa aman dan
nyaman dalam diri SAN. EH dan NR jarang sekali terlibat
percekcokan dikarenakan perbedaan agama.
Walaupun NT, ibu dari EH masih berusaha supaya SAN
mengikuti agamanya, namun NR sebagai ibu dari SAN merasa
lebih berhak atas SAN sehingga terkadang NR membatasi SAN
dalam berhubungan dengan NT.
50
BAB IV
ANALISIS PENERAPAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI BEDA
AGAMA DALAM PENGASUHAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
A. Analisis Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Pengasuhan Anak
Menurut Hukum Islam.
Kurangnya pemahaman terhadap kitab suci Al-Qur’an, Hadits,
maupun undang-undang perlindungan anak merupakan sebab dari terjadinya
pernikahan beda agama. Keluarga beda agama yang ada di tengah masyarakat
Kutowinangun merupakan salah satu contoh bahwa pernikahan beda agama
bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi. Dalam praktiknya pernikahan beda
agama ini memiliki dampak yang kurang baik.
Hal tersebut bisa dilihat pada keluarga NM dengan NT, dan juga EH
dengan NR. Perbedaan agama yang mereka jalani dalam ikatan keluarga
dianggap solusi terbaik untuk menyatukan rasa kasih sayang antara satu sama
lain. Di dalam pasal 75 poin a Kompilasi Hukum Islam (KHI) diterangkan
dengan jelas bahwa perkawinan bisa dianggap batal apabila salah satu dari
suami atau istri murtad. Pada kasus kedua pasangan tersebut, saat
melangsungkan akad nikah secara Islam, NT dan EH menyatakan masuk
Islam untuk mendapatkan legalisasi pernikahan walaupun setelah pernikahan
keduanya kembali ke agama semula. Hal ini sangat tidak dibenarkan dalam
51
Islam, namun pengetahuan agama yang minim membuat hal tersebut menjadi
hal yang dianggap biasa dan tidak menimbulkan dampak apapun.
Masyarakat di lingkungan Kutowinangun tersebut mengetahui hal itu
namun tidak menjadi masalah yang berarti karena mereka menganggap
bahwa pernikahan beda agama adalah hal yang wajar. Penilaian masyarakat
yang demikian disebabkan kurangnya pengetahuan agama walaupun di
lingkungan tersebut terdapat banyak fasilitas dan kegiatan keagamaan Islam
maupun Kristen. Menurut informasi dari WN selaku tetangga NT, warga
sekitar tidak merasa keberatan ada penduduk yang menikah beda agama
dalam hal ini pasangan NT dan NM juga pasangan EH dan NR. Masyarakat
lebih mengedepankan toleransi antar umat beragama sehingga tidak ada
inisiatif menegur kedua keluarga tersebut. Dalam bersosialisasi dengan
masyarakat maupun keikutsertaan dalam kegiatan keberagamaan, kedua
keluarga ini dinilai cukup aktif walaupun kegiatan mereka berbeda sesuai
dengan agama masing-masing.
NM dan NT yang telah memiliki tiga orang anak memutuskan
menikah atas dasar rasa kasih sayang yang kuat antara keduanya dan
keyakinan bahwa keduanya mampu menjalani rumah tangga walaupun
berbeda agama. NM dan NT sempat mendapatkan perlawanan dari kedua
orang tua mereka namun pasangan ini tetap pada pendirian mereka untuk
menikah.
Sedangkan EH dan NR yang juga merupakan pasangan suami istri
beda agama, memutuskan menikah atas dasar NR telah hamil diluar nikah.
52
Hubungan ini juga tidak disetujui oleh NM dan NT maupun orang tua dari
NR. Namun EH tetap bersikeras menikahi NR. Dalam hal ini EH merasa
dirinya berhak menikahi NR karena melihat masa lalu orang tua nya yaitu
NM dan NT yang juga berbeda agama. Dengan kata lain EH mengikuti jejak
orangtua nya dalam mendapatkan pasangan hidup yang berbeda agama. EH
dan NR dikaruniani satu anak bernama SAN yang kini berusia tiga tahun.
Dari kedua kasus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dampak dari
pernikahan antara NT dan NM adalah salah satu dari anak mereka yaitu EH
mengikuti jejak orang tuanya dalam mendapatkan pasangan hidup yang
berbeda agama. Sedangkan kesimpulan dari kasus kedua yaitu pasangan beda
agama EH dan NR, belum terlihat menimbulkan dampak yang berarti pada
anak mereka yaitu SAN yang masih berusia tiga tahun. Untuk menghindari
percekcokan dalam rumah tangga, EH lebih menyerahkan hak sepenuhnya
kepada NR mengenai agama yang akan dianut sang anak walaupun konflik-
konflik kecil kerap terjadi dalam rumah tangga EH dan NR. Untuk itu, sedini
mungkin NR berusaha mengenalkan agama Islam kepada SAN dengan
harapan setelah dewasa kelak SAN akan memilih beragama Islam.
Di dalam Islam dijelaskan bahwa orangtua mempunyai peran besar
dalam pengenalan agama kepada anaknya. Penanaman nilai-nilai aqidah,
akhlak dan ibadah jelas mengharuskan campur tangan orang tua. Pendidikan
dari orang tua merupakan salah satu kunci sukses masa depan anak
sebagaimana sabda Nabi yaitu :
53
ِ ٌَّ َرُسَٕل َّللاَّ ُث أَ ٌَ أَثُٕ َُْرْيَرحَ يَُحدِّ ٍْ » :قَبَل - صهى َّللا عهيّ ٔسهى-َكب َيب ِي
ِّ َراَِ ْٔ يَُُصِّ ِّ أَ َداَِ ِّٕ اُِ يَُٓ َٕ ٌَ أَثَ نٍُٕد فِى ثَُِى آَدَو إاِلَّ يُٕنَُد َعهَى اْنفِْطَرِح َحتَّى يَُكٕ ْٕ َي
ٍْ َجْدَعبَء ٌَ فِيَٓب ِي ٕ َعبَء َْْم تُِحسُّ ًْ خً َج ًَ ِٓي خُ ثَ ًَ ِٓي ُْتَُج اْنجَ ب تُ ًَ ِّ َك َسبَِ جِّ ًَ ْٔ يُ ثُىَّ . «أَ
ٌْ ِشْئتُْى اْقَرُءٔا إِ َٔ ِ انَّتِى فَطََر انَُّبَس َعهَْيَٓب الَ تَْجِديَم )يَقُُٕل أَثُٕ َُْرْيَرحَ فِْطَرحَ َّللاَّ
ٌَ ٕ ًُ ٍَّ أَْك ََر انَُّبِس الَ يَْعهَ نَِك َٔ ٍُ اْنقَيُِّى ي ِ َ نَِ اندِّ ِحيِح (نَِ ْهِ َّللاَّ اُِ ُيْسهٌِى فِى انصَّ َٔ َر
ٍِ َحْرةٍ ِد ْث ًَّ ٍْ ُيَح نِيِد َع َٕ ٍِ اْن ٍْ َحبِجِت ْث َع
Artinya :
Abu Hurairah menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda “setiap bayi tidaklah dilahirkan melainkan dalam kesucian (fitrah).
Kedua orang tua nya lah yang membuatnya kelak jadi yahudi, nasrani, atau
majusi, seperti hewan yang diturutsertakan ke dalam hewan-hewan lain yang
bergerombol : apakah disitu ada hewan yang tidak mau ikut?” Abu Hurairah
lalu berkata : jika kalian mau, bacalah surat Ar rum : 30 : tetaplah diatas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Sunnguh tidak ada
perubahan pada fitrah Allah itu. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya. (HR. Muslim)
Hadits tersebut diperkuat dengan pendapat Imam Syafi’i, bahwa
seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama islam. Sedangkan
madzhab-madzhab lainnya tidak mensyaratkannya. Hanya saja ulama
madzhab hanafi mengatakan bahwa, kemurtadan wanita atau laki-laki yang
mengasuh, menggugurkan hak asuhan. (Mughniyah: 1994)
Namun pada kenyataan yang tercermin dari kasus NT dan NM, fitrah
pada anak sebagaimana sabda Rasulullah tidak lagi berlaku pada anak-anak
mereka sekalipun NM beragama Islam. Hal ini disebabkan NT yang
beragama kristen memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap keagamaan
anak-anak mereka dibanding NM. NT sejak dini menghendaki anak-anaknya
54
untuk aktif mengikuti berbagai macam kegiatan agama Kristen, misalnya
sekolah minggu, meryakan hari natal, paskah dan hari besar lainnya. Padahal
perlu diketahui bahwa sebagian ulama-ulama, diantaranya Imam Syafi’i,
berpendapat, bahwa sebaiknya anak kecil itu diberi hak untuk memilih, kalau
ia sudah dapat mengerti. (Al-Barry: 1977) Latar belakang pendidikan NM
yang merupakan lulusan SMP berdampak pada kurangnya wawasan
keagamaan dan cenderung menyerahkan perihal pendidikan keagamaan anak
pada istrinya NT yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih dari
NM yaitu lulusan SMA.
Selain faktor pendidikan, faktor ekonomi juga menjadikan pengaruh
NT yang mendominasi pendidikan agama bagi anak-anaknya. NT yang
bekerja sebagai asisten rumah tangga, memiliki penghasilan yang lebih besar
daripada NM yang bekerja serabutan. Sehingga hal ini membuat NT merasa
lebih berhak memegang kendali rumah tangga. Hal ini kontras dengan sikap
NM yang cenderung pasif dalam urusan pengasuhan maupun pendidikan
terhadap anak-anaknya. Hal ini bertolak belakang dengan firman Allah yang
menjelaskan tentang peran seorang suami didalam kehidupan berumah tangga
sebagai berikut :
55
Artinya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,oleh karena
Allah SWT telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang sholeh, ialah yang taat kepada
Allah SWT lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha tinggi lagi Maha besar. (QS An nisa : 34)
Dalam ayat ini tergambar jelas bahwa seorang suami berhak
memimpin keluarga dan seorang istri harus mentaati suaminya.
Imam Nawawi menjelaskan hal-hal yang harus dilakukan suami yaitu:
1. Memberi nasihat, menyuruh dan mengingatkan untuk berbuat baik
serta menyenangkan hati istri.
2. Memberi nafkah istri sesuai dengan usaha dan kemampuan.
3. Selalu bersabar dan tidak mudah marah apabila istri berkata dan
berbuat sesuatu yang menyakitkan.
4. Bersikap lemah lembut dan berbuat baik terhadap istri karna pada
umumnya mereka kurang sempurna akal dan agamanya.
5. Menuntun istri dalam jalan kebaikan.
6. Mengajari dalam urusan agama seperti berkenaan dengan thaharah
dan lain-lain.
56
Selanjutnya berkenaan dengan kewajiban istri pada suami dijelaskan bahwa
wanita-wanita yang shalih seperti yang dijelaskan oleh ayat adalah mereka
yang taat pada suami. Mereka melaksanakan kewajiban ketika suami tidak
drumah, menjaga kehormatan, serta memelihara rahasia dan harta suami
sesuai dengan ketentuan Allah SWT; karena Allah telah menjaga dan
memberikan pertolongan kepada mereka. (Nuruddin dan Tarigan : 2006)
Namun kenyataan dalam kasus ini suami lah yang lebih tunduk pada
istrinya. Seharusnya NM sebagai kepala keluarga maupun ayah dari anak-
anaknya mampu memberikan teladan dalam hal aqidah, syariat dan akhlak.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat Luqman ayat 17 yang
berbunyi :
Artinya: “Wahai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah (umat
manusia) mengerjakan yang baik dan mencegah yang munkar dan bersabarlah
terhadap segala yang menimpa atas dirimu. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah salah satu yang diwajibkan oleh Allah.” (QS Al Luqman : 17)
Pemahaman orang tua terhadap aqidah sangat diperlukan karena
mengajarkan aqidah pada anak adalah wajib hukumnya. Bahwasanya satu-
satunya dzat yang harus disembah hanyalah Allah SWT karena Allah SWT
yang menciptakan alam semesta.
Penerapan dalam kasus pasangan beda agama EH dan NR, pendidikan
agama pada anak lebih didominasi oleh NR selaku ibunya. NR yang
57
sebetulnya bukan Islam yang taat, mulai belajar tentang Islam lebih jauh
untuk dapat mendidik anaknya SAN secara Islam. Hal ini cukup selaras
dengan perintah Allah dalam Alquran tentang kewajiban menyembah Allah.
Namun kenyataan yang bertolak belakang ada pada keluarga beda
agama NT dan NM. Dengan adanya pendidikan agama yang hanya didapat
dari NT, anak-anak NT dan NM tidak mendapatkan pengetahuan mengenai
agama Islam sehingga tidak mampu memahami ajaran Islam. Bahkan salah
satu dari anak mereka yaitu EH juga memiliki pasangan yang berbeda agama
pula walaupun pada awalnya tidak disetujui oleh NT dan NM. Namun EH
tetap menikahi pasangannya yaitu NR dikarenakan NR telah hamil diluar
nikah.
B. Analisis Penerapan Hak dan Kewajiban Suami Isteri Beda Agama
dalam Pengasuhan Anak Menurut Undang-undang No 23 tahun
20002 Tentang Perlindungan Anak
Selain dari sisi hukum Islam, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
juga telah dijelaskan mengenai hak anak dalam memeluk agama sebagaimana
tertera dalam pasal 42 sebagai berikut:
(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya
(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.
Jadi telah diterangkan dengan jelas apabila anak belum memiliki
pengetahuan yang cukup tentang agamanya maka wajib mengikuti agama
orang tua. Namun apabila orang tua tersebut berbeda agama, maka
58
seharusnya orang tua mampu mengenalkan agama mereka masing-masing
sehingga anak memperoleh kemudahan mengenai pemilihan agama pada saat
dewasa kelak.
Sedangkan DS yang merupakan anak kedua dari NT dan NM berada
di bawah pengasuhan orang tua NM sejak umur 8 tahun dan di didik secara
Islam. Hal ini dikarenakan orang tua NM mengkhawatirkan adanya
penyalahgunaan hak anak dalam memeluk agama. Hal ini sesuai dengan pasal
26 ayat 1 dan 2 undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
yang berisi:
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya;
c.