Upload
vanhanh
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGANTAR PRAKTIKUM
DAN
LAPORAN SEMENTARA
EPIDEMIOLOGI
Disusun oleh :
Prof. Dr. drh. Pratiwi Trisunuwati, MS
Dr. drh. Masdiana C.P., M.App.Sc
drh. Rositawati Indrati, MP
Nama :
Nim :
Kelas : No. Absen :
Kelompok :
LABORATORIUM EPIDEMIOLOGI
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2019
KATA PENGANTAR
Setelah mengalami beberapa perubahan baik materi maupun format yang
diperlukan, maka Buku Pengantar ini diterbitkan lagi. Buku Pengantar
Praktikum ini disusun dengan mengkaitkan teori supaya dapat berguna dan
bermanfaat untuk mahasiswa setelah mengalami proses belajar. Selama
proses belajar mengajar, isi buku menjadi acuan didalam Satuan Acara
Praktikum yang harus dipertanggung jawabkan oleh setiap mahasiswa
secara perorangan didalam kelompok.
Buku Pengantar ini sekaligus sebagai buku tugas yang harus diselesaikan
mahasiswa, dengan demikian setiap mahasiswa akan mengerti tugasnya
masing-masing dan merupakan bahan ujian akhir semester.
Saran dan kritik membangun akan diterima dengan baik, demi perbaikan buku
dimasa datang.
Tim Pengajar Mata Kuliah Epidemiologi
TATA TERTIB PRAKTIKUM
Setiap mahasiswa harus mematuhi peraturan yang dibuat oleh kelompok pengajar Epidemiologi. 1. Mengikuti pre test sebelum praktikum 2. Selama mengikuti praktikum harus memakai baju praktikum 3. Dilarang memakai kaos oblong, sandal, makan dan minum didalam
laboratorium selama kegiatan praktikum. 4. Selama praktikum berlangsung wajib menjaga kebersihan ruangan,
peralatan dan bahan-bahan praktikum. 5. Kerusakan alat atau pecah karena kecerobohan praktikan, biaya
penggantinya akan dibebankan pada praktikan. 6. Pratikan wajib mengerjakan dan menyerahkan tugas dan laporan
praktikum tepat pada waktunya. 7. Setiap pelanggaran peraturan akan dikenakan sanksi. 8. Pengambilan sample boleh dilakukan oleh anggota kelompok yang sama 9. Setiap mahasiswa mengerjakan sendiri setiap tugas, bukan merupakan
wakil kelompok, kecuali pengamatan susu mastitis dan uji yogurt 10. Penandatanganan oleh asisten setelah setiap selesai kegiatan dan
dinyatakan disetujui 11. Tidak diperkenankan membuat foto copy lembar tugas, atau
penandatanganan dengan kertas lain 12. Melakukan responsi pratikum setelah semua kegiatan diselesaikan 13. Mematuhi waktu sesuai dengan jadwal 14. Tidak boleh berganti kelompok, kecuali sakit dan alasan dapat diterima
oleh pengajar 15. Setelah melakukan praktikum dilakukan ujian praktikum 16. Bagi yang mengulang harus melapor dengan menunjukkan kartu puas
untuk bebas praktikum (minimal nilai pratikum ≥ 50,00, dinyatakan tidak menggulang pratikum)
17. Harus bersikap sopan dan mematuhi peraturan yang ada dilaboratorium Epidemiologi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. i
TATA TERTIB PRAKTIKUM .................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1. Bagaimana Menilai Terjangkitnya Penyakit .................................... 2
BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG PENYAKIT
2.1 Penyakit Non Infeksius................................................................. 5
2.2 Penyakit Infeksius ........................................................................ 6
BAB III TINJAUAN EPIDEMIOLOGIS SUATU PENYAKIT
3.1 Angka Prevalensi dan Angka insidensi ........................................ 9
3.2 Distribusi Geografi ....................................................................... 10
BAB IV CARA PENGIRIMAN DAN PENYIMPANAN BAHAN
4.1 Pengawetan Bahan ..................................................................... 16
4.2 Pengiriman Bahan ....................................................................... 17
BAB V ANTIBIOTIK DAN OBAT-OBATAN KIMIA
5.1 Uji Yoghurt ................................................................................. 23
BAB VI KESIMPULAN ........................................................................... 25
BAB VII MATERI PRAKTIKUM
Tugas I Pengiriman Bahan ...................................................................... 26
Tugas II Pengamatan Telur Cacing Dalam Tinja ..................................... 30
Tugas III Pengamatan Pada Kerokan Mukosa Usus ................................ 32
Tugas IV Pengamatan Scabiosis Pada Kulit ............................................ 34
Tugas V Pengamatan Susu Mastitis ........................................................ 36
Tugas VI Pemeriksaan Antibiotik dan Obat-obatan Kimia
Dalam Air Susu ......................................................................... 38
Gambar Telur Cacing Pada Sapi ............................................................. 40
Gambar Telur Cacing Pada Domba Dan Kambing .................................. 43
Gambar Telur Cacing Pada Unggas ........................................................ 44
Gambar Berbagai Jenis Ektoparasit Pada Hewan ................................... 45
Gambar Protozoa ................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 47
lab epid Fak Peternakan UB 1
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
BAB I PENDAHULUAN
Pemahaman pada konsep epidemiologi harus diawali dengan pengetahuan
ilmu-ilmu yang mendasar antara lain anatomi, phisiologi yang menjadi dasar
pijakan dalam ilmu manajemen ternak. Untuk mempelajari lebih lanjut tentang
konsep epidemiologi, maka perlu mengenal apa yang disebut dengan
penyakit dan aspek-aspek yang terkait. Pemahaman sakit dan sehat harus
terlebih dulu di ketahui. terlebih dahulu secara prinsip. Dikatakan ternak
dalam kondisi sehat apabila keadaan phisiologis stabil atau secara medis
disebut homeostatis, dapat bertumbuh dan berkembang serta berproduksi
dengan optimal. Metabolis kerja intra sel dan matriks ekstra seluler, diikuti
dengan pergantian bagian-bagian yang rusak atau mati dengan sel-sel yang
baru untuk menunjang stabilitas kehidupan ternak. Sedangkan apa yang
disebut sakit adalah kondisi yang menunjukkan adanya gangguan phisiologis
yang dinyatakan dengan gangguan regulasi fungsi sistem orag tubuh terlihat
dalam kelemahan fisik, nampak gejala klinis sehingga tidak dapat mencapai
penampilan produktivitas optimal. Penyebab penyakit dapat dibagi menjadi
aspek infeksius dan non infeksius. Masuk dalam kategori penyakit infeksius
adalah apabila disebabkan oleh agen penyebab penyakit (agent of
infectious), menyerang dan berdampak terhadap stabilitas phisiologis dan
kerusakan organ tubuh (pathogenesa) . Sedangkanpenyakit non infeksius
merupakan kondisi sakit yang disebabkan faktor-faktor lain, misalnya
lab epid Fak Peternakan UB 2
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
kekurangan vitamin, mineral, keracunan atau gangguan keseimbangan
hormonal. Keadaan-keadaan tersebut diatas akan memberikan akibat
gangguan phisiologis yang dapat teramati secara jelas atau perlu dengan
bantuan pemeriksaan laboratorium. Sebagai akibat adalah terjadinya
penurunan produksi sehingga menurunkan keuntungan atau bahkan berakhir
dengna kematian (case fatally rate).
1. Bagaimana menilai terjangkitnya suatu penyakit?
Cara penilaian sangat tergantung kepada tujuan akhirnya, apakah dalam
mencapai pengobatan individuil, populasi atau menyusun strategi
pencegahan penyakit atau dengan tujuan yang lain. Salah satu upaya
penilaian penyakit dengan skala lokasi, waktu dan populasi tertentu,
merupakan standart studi epidemiologi. Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal diperlukan interaksi berbagai bidang ilmu dalam mengolah data
dan menetukan tindakan yang tepat. Penilaian secara kelompok (populatif)
akan memberikan hasil yang lebih terarah untuk tindakan pencegahan
penyakit secara lebih luas yang akan mengarah terhadap kebijakan
pemerintah dalam pengendalian penyakit tertentu. Berbagai data harus fi
analisis untuk memutuskan cara yang lebih mudah dicapai, tepat dan
bermanfaat. Ketika pertahanan (respon imun) tubuh rendah, maka bahan
yang bersifat racun sebagai produk samping dari organisme (mis : LPS dari E
coli) dapat mengakibatkan radang usus (enteritis) atau terjadi diare. Oleh
lab epid Fak Peternakan UB 3
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
karena itu disimpulkan bahwa kejadian penyakit merupakan ketidak
seimbangan dan interaksi beberapa faktor sehingga berakibat terjangkitnya
suatu penyakit, seperti gambar dibawah ini :
(a) Agent as separate causal factor
(b) Agent as component of environment
Gambar 1. Interaksi faktor (triad) penyebab penyakit
Host
Disease
Agent
Enviroment
Host
Disease
Agent
lab epid Fak Peternakan UB 4
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Manajemen pemeliharaan ternak yang kurang tepat, pakan yang tidak
rasional atau pemilihan bibit yang kurang selektif, akan memberikan
kesempatan lebih besar berjangkitnya suatu penyakit. Dengan demikian
upaya penanggulangan penyakit selalu akan menyangkut masalah-masalah
yang berkaitan dengan manajemen ternak. Pemilihan bibit merupakan hal
yang sangat penting, termasuk pemilihan daerah dengan klimat yang sesuai
sebaiknya menjadi pertimbangan sebelum melakukan usaha peternakan.
Epidemiologi ternak yang di ajarkan sebagai salah satu Materi Kuliah (wajib)
dalam kurikulum Fakulktas Peternakan merupakan sebagian dari ilmu
Epidemiologi secara utuh, mempunyai tujuan agar mahasiswa mengenal
berbagai upaya dalam mencegah kejadian penyakit pada usaha peternakan
berdasarkan menejemen kesehatan ternak. Sehingga perlu di perkenalkan
beberapa jenis penyakit yang umum terjadi di Indonesia, penyakit strategic
(SK Mentan tentang PHMS), cara pengenalan secara dini, pengiriman
sampel ke laboratorium dan konsep vaksinasi.
lab epid Fak Peternakan UB 5
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
BAB II. PENGERTIAN UMUM TENTANG PENYAKIT
Pada Bab I telah di jelaskan bahwa penyakit dapat diakibatkan oleh penyebab
yang bersifat infeksius dan non infeksius. Untuk menjadi lebih jelas, Bab II
akan mengulas secara umum tentang hal tersebut.
2.1 Penyakit non Infeksius
Kelompok penyakit ini terjadi tidak disebabkan oleh agen penyakit, sehingga
seringkali disebut dengan penyakit metabolik. Penyakit metabolik dapat
terjadi karena disfungsi organ atau gangguan nutrisi (malnutrisi, defisiensi
nutrisi, intoksikasi). Di bawah ini merupakan contoh dari kelompok penyakit
metabolik :
1. Gangguan metabolisme tubuh karena kegagalan kerja organ atau sistema
misalnya Hyperthyroidismus, Diabetes inspidus dan Kiste ovarium.,
corpus luteum persisten
2. Gangguan metabolisme karena kekurangan zat tertentu, diakibatkan
karena asupan ke dalam tubuh kurang, misalnya Paralisis puerpureum,
Milk fever, Rachitis, Ketosis dan Hypocalcemia.
3. Gangguan metabolisme karena adanya produk racun atau produk lain
misalnya zat semacam hormon, yang berasal dari luar maupun dalam
tubuh.
lab epid Fak Peternakan UB 6
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Internal : apabila racun tersebut merupakan produk yang dihasilkan oleh
organ sebagai akibat disfungsi organ, atau dihasilkan oleh mikroorganisme
didalam tubuh, termasuk juga kemungkinan berasal dari cacing.
Eksternal : apabila racun tersebut berasal dari luar tubuh, misalnya racun
yang terkandung didalam pakan ternak, salah satu diantaranya aflatoxin dari
bahan pakan asal kang-kacangan, cyanida dari daun singkong atau yang lain.
Kondisi sakit yang disebut diatas dapat bersifat ringan sampai dapat berakibat
dengan kematian. Untuk menetapkan jenis penyakit, dilakukan dengan
pemeriksaan pathologi klinis misalnya pemeriksaan kadar gula darah, kadar
ureum darah, PCV (Packed cell volume) atau uji-uji yang lain.
Sering kali juga terjadi panyakit yang bersifat sekunder, artinya merupakan
akibat samping dari penyebab utama. Misalnya terjadi kerusakan jaringan
oleh karena perusakkan mekanis, kemudian terkontaminasi oleh
mikroorganisme lain, sehingga akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
gangguan terhadap kondisi phisiologi.
2.2 Penyakit Infeksius
Sebagai penyebab penyakit atau bibit penyakit dapat berupa bakteri, virus,
protozoa, jamur, cacing atau ektoparasit. Beberapa contoh penyakit infeksius
dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
lab epid Fak Peternakan UB 7
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Tabel 1. Contoh Penyakit dan Penyebabnya
Disebabkan oleh bakteri
Nama Penyakit Bakteri
Antraks = Radang Limpa
Boutvuur = Radang Paha
Malleus = Ingus Ganas Tubercolosis
Brucellosis = Bang’s Disease
Septichaemia haemoragica
Bacillus anthracis
Clostridium chauvei Malleomices mallei Mycobacterium tubercolusis
Brucella abortus Pasteurella multocida
Disebabkan oleh virus
Nama Penyakit Bakteri
Cacar = Pox
Rabies = Gila Anjing Apthae epizootica = Penyakit mulut dan
kuku
New Castle Disease = Tetelo
Vaccinia variola
Herpes virus Rhinovirus Paramyxovirus
Untuk lebih mengenal penyakit, ditugaskan untuk membaca dan mempelajari
buku Pengantar Penyakit Pada Ternak dan Penanggulangannya (Pratiwi dan
rosita, 1990). Pengantar Ilmu Penyakit Hewan (Pratiwi, 2011), Animal Disease
and Preventive Health care (Pratiwi, 2016).
lab epid Fak Peternakan UB 8
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
BAB III TINJAUAN EPIDEMIOLOGIS SUATU PENYAKIT
Tinjauan epidemiologis berorientasi pada daerah (lokasi) yang terbatas dan
berorientasi pada sejenis penyakit tertentu atau beberapa penyakit yang
bersifat terkait. Untuk melakukan tinjauan ini, maka dilakukan pengumpulan
data dari berbagai faktor (lihat Gambar 1.). Minimal data yang harus
dikumpulkan ialah :
a. Angka prevalensi, angka insidensi
b. Distribusi geografis
c. Susceptibilitas species , bangsa, kelamin dan umur
d. Status imunologi dari populasi
e. Peranan vektor, hospes atau hospes intermedier
f. Pengaruh klimat (suhu, kelembaban curah hujan)
g. Pengaruh manajemen
h. Imunisasi dan pengobatan
Dari data tersebut, dapat diperhitungkan dengan rumus perkiraan studi
epidemiologi. Dengan kesimpulan yang didapat, maka dapat dipertimbangkan
dan diputuskan tindakan yang harus diambil, dalam kelompok ternak yang
diamati. Tindakan yang diambil, antara lain ialah :
1. Pengobatan secara masal
2. Immunisasi disekitar daerah yang terserang atau terancam
lab epid Fak Peternakan UB 9
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
3. Penutupan daerah yang terserang, keluar masuk ternak, bahanpakan
ternak atau alat-alat yang digunakan
4. Pembatasan mutasi ternak
5. Pemusnahan ternak didaerah terserang
6. Manajemen penggembalaan
Kejadian wabah perlu mendapat perhatian yang cermat, agar tidak keliru
dengan penyakit non infeksius. Defisiensi mineral atau vitamin dapat terjadi
karena mutu vegetasi yang kurang baik akibat tanah yang kurang memadai.
3.1 Angka Prevalensi dan Angka Insidensi
Perhitungan ini dilakukan berdasarkan pengertian bahwa ilmu Epidemiologi
ialah multi disiplin, mengukur jumlah kejadian serta kualitas penyakit untuk
dapat menjelaskan kondisi dalam kelompok yang diukur. Agar suatu hitungan
dapat menjelaskan kelompok, maka perhitungan harus dapat dilihat dalam
bentuk proporsi terhadap kelompoknya. Variabel yang diukur dalam jumlah
dibagi dengan jumlah keseluruhan kelompoknya, variabel yang diukur dalam
jumlah dibagi dengan jumlah keseluruhan kelompoknya. Sebagai contoh
kasus tuberkulosis pada kelompok sapi perah disuatu desa ditemukan
sebesar 100 ekor, dari jumlah ternak 3000 ekor. Maka angka 100 tersebut
diperhitungkan terhadap jumlah ekor dalam kelompok dikalikan 100%. Untuk
mendapatkan angka yang lebih terinci didalam jumlah tadi, misalnya dengan
kelompok umur atau kelamin tertentu. Pada perhitungan yang lebih spesifik
lab epid Fak Peternakan UB 10
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
ini digunakan dalam menentukan umumnya menggunakan angka insidensi
dinyatakan dalam bentuk persentase.
ANGKA PREVALENSI =
Keterangan : waktu pada saat perhitungan
Angka prevalensi ini menjelaskan suatu pada waktu tertentu, merupakan
potret keadaan tersebut pada saat yang dikehendaki. Menjawab tentang
tuberkolosis pada sapi perah, maka angka prevalensinya ialah 100 dibagi
3000 kali 100 % = 3,33% Untuk yang lebih menciri dilakukan perhitungan lain
untuk menentukan angka insidensi dengan memperhitungkan populasi
beresiko.
ANGKA INSIDENSI =
Keterangan : dalam periode waktu tertentu
Angka kematian atau mortalitas menggambarkan jumlah ternak yang mati
didalam kelompok pada suatu periode tertentu. Sedangkan untuk merinci
lebih jauh, didapatkan rumusan lain misalnya Age Specific Mortality Rate,
yaitu pemantauan jumlah kematian pada umur tertentu, digunakan Case
Fatality Rate.
Jumlah penderita penyakit
X 100%
Populasi ternak yang diteliti
Jumlah penderita penyakit
X 100%
Jumlah populasiberesiko
lab epid Fak Peternakan UB 11
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
3.2 Distribusi Geografi
Untuk mengenal penyakit yang terjadi, perlu mempertimbangkan kondisi
geografis. Hal ini menyangkut pada kemungkinan tumbuh kembang
mikroorganisme pada kondisi alam tertentu. Baik untuk perkembangan
maupun untuk hospes intermedier yang membantu didalam siklus hidupnya.
Sebagai contoh misalnya Fasciola hepatica tidak banyak menular atau tidak
akan menimbulkan penyakit Distomatosis pada ternak didaerah yang kering,
tidak berawa-rawa karena tidak ada siput air (Lymnaea trucantula) yang
berperan terhadap kehidupan miracidium. Antraks dan Boutvuur akan lebih
banyak didapatkan berjangkit kembali pada daerah berkapur, karena dua
jenis penyakit tersebut tahan terhadap daerah berkapur dan bertahan hidup
pada daerah berkapur dan pada daerah anaerob. Pada kondisi tersebut akan
membentuk spora, terutama apabila kondisi tidak memungkinkan. Dengan
demikian akan muncul penyakit yang bersifat sporadis, artinya penyakit
tersebut tidak akan hilang sama sekali, dan kemungkinan akan muncul pada
saat tertentu.
1. Kesesuaian bangsa, kelamin dan umur
Berbagai penyakit pada umumnya mempunyai sifat spesifikasi kondisi yang
sesuai untuk dapat berkembang dan tumbuhnya bibit penyakit, sehingga akan
berakibat adanya pengaruh keseimbangan untuk munculnya bibit penyakit.
Perbedaan bangsa, kelamin dan umur akan memberikan respon yang
lab epid Fak Peternakan UB 12
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
berbeda pada masuknya bibit penyakit. Misalnya untuk caplak akan lebih
banyak menyerang Bos taurus bila dibandingkan dengan Bos indicus.
Perbedaan kelamin misalnya kecenderungan kasus hemophillia pada
manusia, jenis kelamin laki-laki yang diserang, tidak pada wanita. Demikian
pula perbedaan umur, akan memberikan gambaran perbedaan serangan
penyakit, misalnya Coccidiosis akan lebih banyak menyerang umur muda
pada periode starter dan grower dari pada ayam-ayam dewasa. Populasi
ternak dengan kekhususan tersebut dianggap sebagai populasi beresiko.
Contoh penyakit lain banyak mempengaruhi angka insidensi. Sehingga
dengan spesifikasi ini akan dapat diramalkan atau didiagnosa lebih tepat.
2. Status imunitas dari populasi atau kelompok ternak
Status imunitas dari kelompok ternak dapat terjadi karena vaksinasi secara
massal atau individuil, sehingga akan memberikan imunitas kepada anak-
anaknya pada tahapan tertentu. Demikian pula pada ternak yang sembuh dari
suatu penyakit akan dapat memiliki imunitas yang dapat memberikan ingatan
untuk menyusun ketahanan penyakit yang terkait.
3. Peran vektor atau hospes intermedier
Penularan penyakit kepada ternak yang lain akan lebih cepat terjadi apabila
keperluan biologis bibit penyakit tersebut terpenuhi, misalnya vektor transmisi.
Sebagai contoh untuk Fasciola, diperlukan siput yang sesuai untuk kehidupan
miracidium. Tanpa adanya siput, maka untuk melengkapi siklus hidupnya
lab epid Fak Peternakan UB 13
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Fasciola akan mati dan tidak dapat berkembang. Dengan demikian penularan
atau angka morbiditas akan rendah, bahkan manusia memanfaatkan situasi
ini untuk menanggulangi penularan, yaitu dengan mematiakn siput agar siklus
hidup Fasciola terputus. Hospes intermedier atau vektor yang lain, misalnya
kecoa akan dapat menularkan cacing pita pada ayam. Berarti dengan
kebersihan sekitar kandang insecta, akan memgurangi kejadian penyakit.
4. Pengaruh klimat atau iklim
Iklim akan mempengaruhi keberhasilan perkembangbiakan mikroorganisme
tersebut apakah diperlukan suhu panas atau rendah, dan kelembaban tinggi
atau rendah. Sebagai contoh misalnya penyakit jamur akan tumbuh subur
pada keadaan kelembaban tinggi. Telur-telur cacing akan tumbuh menjadi
larva setelah tanah menjadi lembab dan tumbuh menjadi larva infektif untuk
masuk ke dalam tubuh ternak yang terinfeksi. Sedangkan saat kering pada
umumnya telur-telur cacing akan tetap bertahan tidak tumbuh tetapi tetap
hidup, menunggu hujan yang akan tiba.
5. Pengaruh manajemen
Pemeliharaan yang kurang tepat akan berakibat terhadap terjadinya
kesempatan serangan penyakit. Kemungkinan faktor pakan yang kurang,
bentuk kandang maupun bahan kandang yang tidak memenuhi syarat.
Kadang-kadang juga karena kurang benarnya cara pemerahan, sehingga
lab epid Fak Peternakan UB 14
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
dapat menyebabkan mastitis. Atau tidak pernah dilakukan potong kuku
sehingga akan memberikan kesempatan infeksi pada teracak.
Kondisi semacam itu menjadi pre disposisi kejadian suatu penyakit padfa
ternak, apakah infeksius atau non infeksius. Sehingga perlu di lakukan
pemahaman seberapa jauh tindakan menejemen yang benar agar tidak
muncul penyakit.
6. Immunitas dan manajemen kesehatan ternak
Dalam menejemen kesehatan ternak termasuk di dalamnya adalah
pemeliharaan atau environment secara global. Sanitasi dan higienen akan
sangant menentukan terjangkitnya penyaki karena memberikan kemungkinan
kemunculan agen penyakit.
Tindakan vaksinasi secara individual akan dapat dilacak seberapa jauh
tindakan pencegahan yang telah dilakukan. Kadang-kadang vaksinasi yang
kurang benar akan menyebabkan sumber penularan, karena mikroorganisme
yang dilemahkan tadi akan muncul menjadi kuat dan akan menyerang ternak
lain. Syarat mutlak tindakan vaksinasi dalah kondisi sehat, sehingga organ
limpoid dapat membentuk sel imun sesuai dengan kriteria kemampuan
vaksin dalam merangsang pembentukan antibody homolog.
Pengobatan terhadap penyakit tertentu sering kali dapat menyembuhkan,
tetapi akan berakibat lain yaitu kemungkinan ternak yang sembuh dapat
berperan sebagai karier. Kemungkinan akan menularkan penyakit kepada
lab epid Fak Peternakan UB 15
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
ternak yang lain yang mempunyai daya tahan tubuh rendah. Misalnya pada
ayam yang terserang NCD, dan sembuh karena pengobatan akan dapat
berperan sebagai karier. Demikian pula kesembuhan tersebut tidak menjamin
pemulihan produktivitas ternak seperti semula.
Sebenarnya memang pengetahuan tentang penyakit merupakan sesuatu
yang kompleks, oleh karena itu agar dapat memberikan pengobatan maupun
pencegahan yang tepat, perlu kiranya dilakukan tindakan-tindakan yang
membantu dalam diagnosa. Misalnya pemeriksaan laboratorium, inipun harus
didukung oleh tindakan yang tepat oleh petugas lapangan dalam teknis
pengiriman bahan. Dalam pengiriman sampel memerukan SOP pengiriman,
agar dapat di lakukan dengan tepat. Misalnya etiket harus jelas demikian pula
berita acara pemeriksaan lab. Demikian pula cara penambahan bahan untuk
pengiriman sesuai dengan tujuan.
lab epid Fak Peternakan UB 16
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
BAB IV. CARA PENGIRIMAN BAHAN DAN PENYIMPANAN BAHAN
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk membantu dokter dalam
menentukan diagnosa dan pengobatan, dapat dilakukan oleh teknisi yang
terdidik dalam pengawasan dokter. Sedangkan tugas didaerah wabah antara
lain ialah memberikan informasi dan mengirim sampel dari ternak yang
terserang atau tersangka. Untuk menjaga keutuhan bahan tersebut maka
perlu dilakukan upaya yang harus diketahui oleh petugas lapangan. Berbagai
hal yang harus dilakukan ialah mencantumkan dalam berita acara
pemeriksaan : :
1. Nama dan alamat dokter hewan, pejabat yang ditunjuk, atau alamat
kepada Laboratorium Diagnostik penyakit harus jelas.
2. Cantumkan gejala penyakit dengan tanda-tanda klinis.
3. Pemeriksaan yang diinginkan (bakteriologis, pathologi klinis, pathologi
anatomi yang lain)
4. Keterangan tentang ternak yang terserang, misalnya umur, spesies,
kelamin dan bangsa
5. Jumlah ternak yang terserang dalam populasi
6. Jumlah kematian
7. Jenis bahan yang dikirim
8. Pengawet yang digunakan harus sesuai dengan tujuan pemeriksaan
lab epid Fak Peternakan UB 17
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
9. Bila laporan hasil sangat diperlukan, dapat ditulis segera melalui telegram
atau telepon
Berita acara tersebut harus disertakan pada saat pengiriman bahan serta
beberapa keterangan harus ditempelkan pada botol atau pembungkus bahan
tersebut dalam bentuk etiket. yang ditempel pada botol atau kemasan bahan
yang di kirim tersebut. Etiket yang ditempel seharusnya cukup memberikan
informasi tentang jenis bahan, spesifikasi ternak dan pemeriksaan yang
dikehendaki. Sedapat mungkin pengirim bahan mempertimbangkan bahwa
pada hari libur umumnya tidak ada pemeriksaan atau dengan catatan khusus
(segera/CITO).
4.1 Pengawetan Bahan
Pengiriman bahan ke laboratorium diagnostik dapat berupa bahan segar atau
bahan yang diawetkan, tergantung pada berbagai kepentingan pemeriksaan.
Misalnya untuk keperluan bedah bangkai, maka bangkai yang dikirim secepat
mungkin sebelum 24 jam agar belum didapatkan perubahan pasca mati yang
berarti. Untuk pemeriksaan pathologi anatomi dilakukan pengawetan bahan
dengan zat yang tidak merusak, tetapi mempertahankan kondisi. Adapun dua
macam cara pengawetan ialah :
1. Pendinginan
Bahan yang dipakai : es, es kering
lab epid Fak Peternakan UB 18
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Dengan es : (sekitar 40C) bahan dapat dimasukkan dalam kontainer,
kemudian dikelilingi dengan es yang diletakkan pada kontainer yang sedikit
lebih besar. Untuk memperllama pencairan es, dapat ditambahkan garam
dapur atau serbuk gergaji. Bahan yang diawetkan dengan cara ini misalnya
air susu, serum darah.
Dengan es kering atau dry ice: (- 20-300 C )bahan yang dikirim, dibungkus
rapi atau dalam kontainer yang dilapisi dengan bahan yang memisahkan
antara dry ice dengan bahan. Keadaan ini dipertahankan agar tidak terjadi
pembekuan yang tidak diinginkan. Untuk mencegah terjadinya pecahnya
kontainer maka perlu dipertimbangkan agar tidak ditutup terlalu rapat.
2. Mempergunakan bahan kimia
Bahan yang dipakai : alkohol, formalin, asam borat.
❒ Pengiriman contoh untuk pemeriksaan histopahatologi dapat
menggunakan larutan formalin 10 % atau Paraformaldehyda 4% dalam
phospat buffer saline. Caranya ialah dengan memotong jaringan yang
dicurugai kira-kira 1 cm2, masukkan kedalam larutan secepat mungkin
sejak kematian atau biopsi. Jumlah cairan tersebut dipersiapkan 10 kali
volume potongan jaringan tersebut. Bahan lain yang dapat digunakan
ialah alkohol 96 % atau 70 %, hanya saja bahan ini kurang baik apabila
dibandingkan dengan formalin, karena dapat mengeraskan jaringan akibat
dehydrasi jaringan. Bateri akan mati dengan larutan tersebut.
lab epid Fak Peternakan UB 19
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
❒ Pengiriman contoh bahan untuk pemeriksaan terhadap virus, dapat
digunakan gliserin 50 %. Sedang bahan yang dapat dipakai untuk
menghambat pertumbuhan bakteri ialah asam borat.. Virus akan tetap
hidup dengan gliserin.
4.2 Pengiriman Bahan
Pemilihan bahan contoh yang dikirim sangat tergantung kepada jenis penyakit
yang dicurigai, dipertimbangkan pula predileksi dari penyakit atau organ yang
diserang. Dengan pertimbangan-pertimbangan itulah dapat dipilih bahan
contoh apa yang diperiksa.
1. Tinja atau isi usus
Kasus helminthiasis hamper menyerang setiap ternak yang di pelihara,
karena mata rantai yang seringkali tidak di putus secara tuntas. Akibat dari
kecacingan sebenarnya cukup besar pada produksi, namun seringkali di
abaikan. Apabila ternak tersertang endoparasit, maka dapat ditentukan
keparahan dan jenis cacing apa yang menyerang pada ternak dengan
pemeriksaan tinja baik secara natif atau apung.
Tinja dapat dikirim dalam keadaan segar apabila tidak memerlukan waktu
yang lama, maka dapat disimpan dalam pendingin dengan termos berisi es.
Bila diperlukan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan, maka bahan
pengawet yang digunakan adalah formalin 5-10%. Pemeriksaan tinja pada
umumnya digunakan untuk meneliti adanya :
lab epid Fak Peternakan UB 20
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
● Telur cacing
● Larva
● Cacing dewasa
● Darah
● Oocyst protozoa
Pemeriksaan tinja dapat dilakukan antara lain dengan cara :
● Pemeriksaan sederhana atau native
● Pemeriksaan dengan pewarna
● Pemeriksaan dengan metode apung atau flotation methode
Pemilihan cara ini sangat tergantung pada tujuan pemeriksaan.
Interpretasi jumlah epg
Fasciola hepatica : sangat berarti berapapun ditemukan
Cacing paru2 : sangat berarti berapapun di temukan
Triichuris : >500 eggs/g feces
Coccidia : >1,000 oocysts/g feces
2. Air susu
Pada umumnya untuk pemeriksaan bakteriologi, air susu harus disimpan
dalam botol dan dimasukkan dalam kontainer sejuk yang (dengan es batu)
atau harus dalam keadaan segar, misalnya untuk penyakit mastitis.Air susu
tidak di sarankan ditambahkan dengan larutan kimiawi yang akan merusak
komposisi air susu, demikian pula tidak menggunakan system freezing.
lab epid Fak Peternakan UB 21
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Pemeriksaan air susu yang menjadi asam oleh karena mastitis subklinis,
dapat di lakukan dengan konsep ikatan sel somatic dengan bahan uji misalnya
dengan CMT
3. Jaringan
Jaringan sebagai contoh yang harus diperiksa secara bakteriologis,
histopathologis atau parasitologis. Pemilihan jaringan tergantung pada
predileksi atau kesukaan organ yang diserang oleh penyebab penyakit
tersebut. Usahakan jaringan tidal lebih dari 4 jam harus sudah dipotong
secara benar dan dicelupkan kedalam larutan formalin 10 % atau
Paraformaldehyda 4% dalam phospat buffer saline (BSA) sebagai
pengawet untuk pemeriksaan histophatologis. Bahan seperti hati, limpa atau
ginjal harus dipotong kecil seperti kubus 1 cm tegak lurus pada permukaan
untuk melihat struktur anatominya. Botol atau kontainer yang dipakai lebih
baik bermulut lebar tetapi rapat agar mudah untuk mengambil potongan
jaringan yang terendam.
4. Parasit
Parasit yang berukuran besar dapat dimasukkan dalam botol atau pot
bermulut besar dengan pengawet formalin 5-10 %. Sedangkan ektoparasit
terutama pada kulit misalnya scabiosis dapat di ambil sampel sebagai bahan
pemeriksaan berupa kerokan kulit kecil dan terikat pada jaringan atau
kerokan, lebih baik dikirim bersama keropeng yang diambil dari tepi daerah
lab epid Fak Peternakan UB 22
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
terserang. Kerokan tersebut dimasukkan ke dalam pot kecil yang berisi larutan
KOH 10 % atau NaOH 10 % dengan maksud jaringan tersebut larut. Pada
endoparasit dapat di ambil dari kerokan usus dapat di simpan dalam larutan
pengawet atau kerokan segar sehingga dapat di identifikasi jenis larva cacing
maupun protozoa yang menempel dan masuk ke dalam jaringan usus
(endoparasit) atau kulit (ektoparasit).
5. Ternak pasca mati/post mortal
Pengiriman sebaiknya kurang dari 24 jam sejak kematian, agar sebelum
terjadi perubahan jaringan yang berarti, yang disebabkan oleh proses
kematian. Untuk memperlama kemungkinan, dapat disimpan didalam almari
es untuk dibekukan.
Pemeriksaan pasca mati diharapkan tidak melampaui masa busuk bangkai,
karena akan merubah tampilan jaringan organ sehingga sulit untuk di jadikan
acuan pathologi sistemik. Demikian pula pengawetan dengan formalin akan
mengaburkan perubahan jaringan lunak. Sehingga sebaiknya se segera
mungkin atau hanya dengan pendinginan bukan pembekuan.
lab epid Fak Peternakan UB 23
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
BAB V. RESIDU ANTIBIOTIK PADA PRODUK TERNAK
Penggunaan antibiotik pada peternakan sapi perah telah mengakibatkan
kemungfkinan residu antibiotik dalam air susu, daging dan produk olahanya,
yang dapat menimbulkan masalah bagi konsumen. Antibiotik antara lain
dipergunakan langsung pada ambing untuk pengobatan mastitis, injeksi untuk
pegobatan berbagai penyakit dan dipakai juga sebagai bahan tambahan
pakan.
Bagaimanapun teknik penggunaannya, sejumlah antibiotika akan ditemukan
dalam ambing sapi dan akibatnya adalah antibiotik kadang-kadang dijumpai
dalam air susu dan produk olahanya, apabila belum melalui masa ekskresi
dari tubuh ternak. Aplikasi melalui ambing dalam pengobatan mastitis yang
paling banyak dipilih, merupakan sebagian besar penyebab utama dalam air
susu dibandingkan dengan antibiotok jenis yang lain.
Tenggang waktu sampai antibiotik ditemukan dalam air susu setelah
pemberian pada ternak terjadi mulai dari beberapa jam sampai beberapa hari
tergantung pada jenis antibiotik ayang dipakai dan terutama cara penggunaan
obat tersebut. Oleh karena itu bagi sapi-sapi yang sedang diobati, sebaiknya
air susu yang diperah tidak dikirim ke tempat pengolahan susu atau
dikonsumsi. Apakah susu tersebut berasal dari ambing yang diobati maupun
ambing lainnya, agar benar-benar terjamin bahwa hanya air susu yang tidak
mengandung antibiotik. Jika sapi yang diobati dengan menggunakan
lab epid Fak Peternakan UB 24
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
antibiotik berdaya aktif lama, maka harus ada keterangan sejelas-jelasnya
pada peternak agar selama masa pengoatan air susu ini tidak dikirim ke pabrik
pengolahan air susu. Peraturan yang diterbitkan oleh Perda Jatim, air susu
segar baru di perbolehkan di jual kepada konsumen 7 hari setelah pengobatan
terakhir, walaupun secara teori pada 72 jam post pengobatan terakhir, air susu
sudah bebas dari residu antibiotic.
Antibiotik dan obat-obatan kimia bersifat stabil dalam air susu., baik pada
penyimpanan secara dingin sebelum air susu diolah maupun di pasteurisasi
tidak mengurangi secara efektif jumlah kadar antibiotik. Oleh karena itu
terdapatnya antibiotik dalam air susu dapat mengganggu proses fermentasi
dalam olahan susu. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa industri
pengolahan air susu mempermasalahkan antibiotik secara serius sejak awal.
Alasan lain tertentu mengapa hal tersebut dipermasalahkan adalah kaitannya
dengan kesehatan masyarakat.
Beberapa metode pembuatan produk olahan air susu berdasarkan aktivitas
mikroba tertentu, contohnya pemakaian asam laktat pada pembuatan yoghurt.
Sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu teknik untuk mendeteksi
antibiotika dalam susu. Umumnya cara tersebut didasarkan pada
penghambatan tumbuhnya bakteri tertentu.
lab epid Fak Peternakan UB 25
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Uji Yoghurt terhadap residu anti biotik
Uji didasarkan pada penghambatan pertumbuhan bakteri fermentasi
pembuatan yoghurt Apabila di dapatkan residu antibiotic, mjaka fermentasi
tidak akan terjadi.
Misalnya dalam air susu mengandung Penicilin 0,005 IU /ml, kemudian
dilakukan pemanasan sampai suhu 80-85oC dengan tujuan merusak
senyawa-senyawa bakteristatik yang secara alami terdapat dalam air susu,
yang juga dapat menghambat pertumbuhan yoghurt (walaupun sangat kecil
kemungkinannya). Setelah dipanaskan susu didinginkan mencapai suhu
45oC, kemudian diinokulasi dengan bakteri fermentasi yoghurt dan diinkubasi
pada suhu 42-45oC selama 3 jam. Apabila terjadi keasamam maka dapat
disimpulkan sementara bahwa susu segar tersebut tidak mengandung
antibiotic, sebaliknya apabila fermentasi tidak terjadi diimpulkan bahwa air
susu tersebut mengandung antibiotic yang menhambat perkembangan bakteri
Terdapat juga beberapa teknik pengujian sederhana terhadap keberadaan
residu antibiotic dengan prinsip keberhasilan perkembangan bakteri pada
suatu bahan. Apabila terjadi perkembangan bakteri, secara awal di katakan
bahwa bahan tersebut bebas dari residu, demikian sebalikny pada tidak terjadi
perkembangan bakteri post inokulasi artinya terdapat residu anti biotik pada
bahan yang diperiksa. .
lab epid Fak Peternakan UB 26
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
BAB VI. KESIMPULAN
Sebagai hand out menjelang praktikum Epidemiologi, maka teori yang sudah
di sajikan akan dikembangkan pada mata acara praktikum.
1. Sebagai pemahaman dasar sarjama peternakan semestinya memahami
tentang prinsip dasar tentang penyakit, pemeriksaan sederhana/lapang
untuk menetukan pemcegahan dari aspek menajemen. Atau sebelum
dilakukan pemeriksaan secadar nmedik oleh profesi yang di beri
kewenangan.
2. Cara pemilihan dan penanganan bahan untuk diperiksa sangat
menentukan keberhasilan dan ketepatan pemeriksaan.
3. Pengiriman bahan harus dengan kontainer yang memenuhi syarat dengan
bahan pengawet yang sesuai dengan etiket lengkap.
4. Pengiriman bahan untuk di periksa secara labporatorium harus dilakukan
sedini mungkin, hindarkan dari kontaminasi agar mendapatkan hasil yang
akurat sesuai dengan jenis pemeriksaan yang diperlukan.
5. Residu antibiotik dapat terdeteksi pada produk ternak, apabila pengobatan
antibiotik dalam dosis tinggi dan terus menerus. Sehingga melewati
ambang batas kemampuan sistem ekskresi, atau kurang dari 72 sejak
pemberian antibiotika terakhir.
lab epid Fak Peternakan UB 27
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
BAB VII MATERI PRATIKUM
TUGAS I
PENGIRIMAN BAHAN
(Tugas individual)
Siapkan cara pengiriman 4 bahan/sampel untuk pemeriksaan laboratorium
sesuai dengan tujuan pemeriksaan.
HASIL KERJA SEMENTARA
I. Spesifikasi asal bahan buat pada etiket atau berita acara :
1. Tinja sapi untuk pemeriksaan endoparasit, identifikasi sederhana,
pastikan bangsa, umur dan cara pemeliharaan
2. Bagian dari alat pencernaan usus ayam buras untuk pemeriksaan kerokan
mukosa usus terhadap larva cacing, cacing dewasa maupun protozoa.
lab epid Fak Peternakan UB 28
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
3. Kerokan kulit kelinci dan kambing untuk pemeriksaan scabiosis, sebutkan
letak pengerokan.
4. Air susu mastitis dari keempat puting untuk pengamatan perubahan fisik
sebutkan dari laktasiu ke berapa, letak putting
lab epid Fak Peternakan UB 29
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
II. Cara pengawetan dan pengiriman bahan sesuai dengan tujuan
pemeriksaan
1. Tinja sapi (metode yang dikehendaki,) dengan bahan pengawet apa
2. Alat pencernaan usus ayam buras (sebutkan jenis ayam apa) dengan
bahan pengawet apa
lab epid Fak Peternakan UB 30
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Paraf
Dosen/Asisten :
……………………
…
3. Kerokan kulit kelinci dan kambing (umur ternak) bahan pengawet apat
4. Air susu dari empat puting dari ambing yang sama
lab epid Fak Peternakan UB 31
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
TUGAS II
PENGAMATAN TELUR CACING DALAM TINJA
Bahan dan alat : ● Tinja baru (diambil dari rectum atau segar) satu sendok teh
● Cairan fisiologis atau air bersih
● Lidi atau gelas pengaduk
● Obyek glass dan penutup
● Mikroskop
Cara kerja :
● Ambil obyek glass dan penutup, bersihkan
● Ambil tinja sapi satu ujung korek api, letakkan pada glass obyek
● Teteskan sedikit air, aduk pelan dengan lidi, buang bagian yang kasar
● Tutupkan gelas penutup, jangan sampai ada udara yang terperangkap
● Amati dibawah mikroskop, diperhatikan dan tentukan perkiraan jenis telur
cacing (dibandingkan dengan gambar)
● Gambarlah yang saudara lihat
HASIL KERJA SEMENTARA
lab epid Fak Peternakan UB 32
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Paraf
Dosen/Asisten :
……………………
…
HASIL KERJA SEMENTARA
lab epid Fak Peternakan UB 33
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
TUGAS III
PENGAMATAN PADA KEROKAN MUKOSA USUS
Bahan dan alat : ● Siapkan usus ayam buras, keroklah dengan scalpel
● Cairan fisiologi atau air bersih
● Gelas obyek dan gelas penutup
● Mikroskop
Cara kerja:
● Pisahkan menjadi 3 bagian : proventrikulus, usus halus dan caecum
● Buka tiap bagian dengan gunting, kemudian keroklah bagian mukosa dengan scalpel
● Lakukan pemeriksaan seperti pada tugas II, tentukan apakah
terdapat protozoa, larva cacing, cacing dewasa atau telur cacing pada sampel
● Tentukan jenis yang saudara lihat, gambarlah
HASIL KERJA SEMENTARA
lab epid Fak Peternakan UB 34
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Paraf
Dosen/Asisten :
……………………
…
HASIL KERJA SEMENTARA
lab epid Fak Peternakan UB 35
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
TUGAS IV
PENGAMATAN SCABIOSIS PADA KULIT
Bahan dan alat : ● Siapkan kerokan kulit penderita kudisan (scabiosis) kelinci atau
kambing
● KOH 10 %
● Gelas arloji atau pot plastik
● Mikroskop
Cara kerja:
● Ambil kerokan mukosa letakkan dalam pot atau gelas arloji
● Tambahkan KOH 10 %
● Aduk pelan kemudian diamkan 5-10 menit
● Buatlah preparat sederhana pada gelas obyek dengan penutup
● Lihat dibawah mikroskop
● Tentukan jenis ektoparasit yang terlihat, gambarlah
HASIL KERJA SEMENTARA
lab epid Fak Peternakan UB 36
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Paraf
Dosen/Asisten :
……………………
…
HASIL KERJA SEMENTARA
lab epid Fak Peternakan UB 37
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
TUGAS V
PENGAMATAN SUSU MASTITIS
Bahan dan alat : ● Siapkan air susu mastitis dari empat puting
● Paddle dengan empat lubang
Cara kerja: ● Tuangkan air susu setiap puting pada setiap lubang pada paddle
● Aduk dan lihat apakah terdapat mucous/lendir
● Amati perubahan yang terjadi
● Cari cara pembacaan denganCMT
HASIL KERJA SEMENTARA
Pengamatan :
Kode Warna Bau Viskositas
Susu segar
Puting kanan depan
Puting kiri depan
Puting kanan belakang
Puting kiri belakang
Jelaskan perubahan yang terjadi :
a. Puting depan kiri
lab epid Fak Peternakan UB 38
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Paraf
Dosen/Asisten :
……………………
…
b. Puting depan kanan
c. Puting belakang kiri
d. Puting belakang kanan
lab epid Fak Peternakan UB 39
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
TUGAS VI
PEMERIKSAAN RESIDU ANTIBIOTIK
DALAM AIR SUSU
Bahan dan alat :
● Tabung reaksi
● Pipet 1 ml
● Penangas air
● larutan penicillin 0,005 IU
● Starter yogurt aktif
Cara kerja:
● Sediakan 8 tabung reaksi, masing-masing diisi dengan 4 ml sampel air
susu
● 4 tabung untuk sampel C1 (putting depan kanan ), C2 (putting depan kiri) , D1 (putting belakang kanan), D2 (putting belang kanan)
● 2 tabung untuk sampel A1 dan A2 ( sampel susu puting sehat) .
● 2 tabung yang tersisa untuk sampel B1 dan B2 diisi dengan sampel susu
mastitis.
● Siapkan larutan penicillin 0,5 IU/ml
● Panaskan seluruh tabung reaksi yang berisi sampel A1, A2, B1, B2, C1 .
C2, C3 dan C4 pada suhu 80oC-85oC selama 10 menit
● Dinginkan sampai mencapai suhu 45oC
● Tambahkan 3 % starter yogurt aktif pada semua tabung
● Masukkan ke incubator semua tabung pada temperatur 43oC selama 3- 4
jam (atau lebih)
● Amati perubahan yang terjadi : - Susu yang menjadi yogurt akan terjadi perubahan konsistensi dari encer
menjadi kental, berarti tidak ada antibiotika dalam susu
- Susu tetap encer berarti ada antibiotik dalam susu
lab epid Fak Peternakan UB 40
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
HASIL KERJA SEMENTARA
1. Pengamatan sebelum inkubasi
Kode Warna Viskositas
2. Pengamatan setelah inkubasi
Kode Warna Viskositas Penilaian
lab epid Fak Peternakan UB 41
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Tanda Tangan
Dosen/Asisten :
……………………
…
lab epid Fak Peternakan UB 42
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Sumber : Soulsby E.J.L., 1971
Eggs Worm Parasites Of Cattle (Original)
1. Schistosoma bovis
2. Eurytrema pancreaticum
3. Schistosoma spindalis
4. Schistosoma japonicum
5. Schistosoma indicum
6. Ornithobilharzia turkestanicum
7. Thelazia rodesii
8. Schistosoma nasalis
9. Oesophagustomum radiatum
10. Syngamus larygeus
11. Mecistocirrus digitatus
12. Fischoederius cohboldi
13. Bunosthomum phlebotonum
14. Carmyerius spatiosus
15. Gastrothylax crumenifer
16. Cooperia pectinita
17. Ascaris vitulorum
18. Fischoederius clongatus
lab epid Fak Peternakan UB 43
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Ostertagia Haemonchus contortus
Trichosronylus spp Nematodirus
Trichostrongylus Trichuris spp
lab epid Fak Peternakan UB 44
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Moniezia Fasciola spp
Paramphistomum Paramphistomum
lab epid Fak Peternakan UB 45
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Sumber : Soulsby E.J.L., 1971
Egg Worm Parasites Of Sheep (Original)
1. Fasciola hepatica
2. Paramphistomum cervi
3. Thysaniezia giardi
4. Moniezia expansa
5. Moniezia benedeni
6. Dicoceolium dendriticum
7. Strongyloides papillosus
8. Gongylonema pulchrum
9. Trichuris globulosa
10. Fasciola gigantica
11. Nematodirus spathiger
12. Gaigeria pachyscelis
13. Tricostrongylus spp
14. Skrjabinema ovis
15. Acitellina centripunctata
16. Chabertia ovina
17. Haemonchus contortus
18. Bunostomum trigonocephalus
19. Oesophagustomum columbinarum
20. Cotylophoron cotylophorum
21. Fascioluides magna
22. Ostertagia circumcincta
23. Marshallagia marshalli
lab epid Fak Peternakan UB 46
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Morfologi telur cacing:
13. Capillaria annulala
14. Capillaria relusa
15. Capillaria columbae
16. Capillaria longicollis
17. Amaebotaenia sphenoides
18. Hymenolepis carioca
19. Raillietina cesticillus
20. Choanotaenia infundibulum
21. Single egg ofC. infundibulum
22. Raillietina echinubothrida
23. Raillietina Terragona
24. Davainea proglottina
1. Ascaridia galli
2. Heterakis galliae
3. Saburula brumpti
4. Prasthoganimus sp
5. Strongiloides avium
6. Tetramers Americana
7. Acuaria spiralis
8. Acuaria hanulosa
9. Gongylonema ingluvicola
10. Syngamus trachea
11. Harteria gallinarum
12. Oxyspirura mansoni
1.
Eggs Worm Parasites Of The Fowl (Original)
.
lab epid Fak Peternakan UB 47
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Morfologi Ektoparasit
,
Sarcoptes scabiei
Psoroptes spp
Demodec spp
Chorioptes equi
Mange-Scabies
lab epid Fak Peternakan UB 48
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Psoroptes
Morfologi protozoa usus - Eimeria sp.
lab epid Fak Peternakan UB 49
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
DAFTAR PUSTAKA
Campell. R.S.F., Copeman. D.B., Goddard. M.E., Johnson S.J. and Tranter.
W.P., 1983. Veterinary Epidemiology. A.U.I.D.P
Donal P. Conway and M. Elizabeth McKenzie, 2007.Poultry Coccidiosis Diagnosticand Testing Procedures. Blackwell Publishing
Edsel Salvana, MD, DTM&H, 2010. Introduction of Parasitology
Friedman G.D., 1986. Primer of Epidemiology. Yayasan Essentia Medica.
Penerbit Buku-buku Ilmiah Kedokteran, Yogyakarta
Hansen J., Perry B., 1994. The Epidemiology, Diagnosis and Control of Helmith Parasite Runimants. International Laboratory for research.
Ethiophia
Direktorat bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departement Pertanian. 1990. Manual Standart Metoda Diagnosa
Laboratorium Kesehatan Hewan.
Lapage G. 2000. Monning’s Veterinary Helminthology and Entomology Greenworld Publ
Soulsby E.J.L., 2012. Veterinary Helminthology Helminth, Arthopode and
Protozoa of Domesticated Animal Minig. Balliere, Tindal and Cassel. London
Trisunuwati P., Indrati R., 1990. Pengantar penyakit Pada Ternak dan
Penaggulangannya. Nuffic-Universitas Brawijaya. Madang
lab epid Fak Peternakan UB 50
2019
Penuntun Praktikum Epidemiologi
Trocy P.M., Itard. J. and Morell P., 1989. Manual of Tropical Veterinary
Parasitology. C.A.B International, U.K
Thrusfield, M , 2006 . Veterinary epidemiology
Tritschler.J and Bradrad LM, 2002 Parasites livestock fecal examination for
parasite eggs
Villarroe A, 2013 Internal Parasites in Sheep and Goats,