Upload
yanzensandhi
View
1.696
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan adalah bagian integral dari pembangunan nasional
yang diarahkan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia yang sehat, cerdas
dan produktif, serta mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat
dengan komitmen yang tinggi terhadap kemanusiaan dan etika. Pembangunan
kesehatan ini diselenggarakan dengan memberikan prioritas kepada upaya
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit di samping penyembuhan dan
pemulihan kesehatan.
Sumber daya manusia merupakan unsur yang sangat penting dalam
menyukseskan pembangunan. Salah satu sasaran terpenting sumber daya manusia
adalah anak yang merupakan tumpuan masa depan bangsa dan negara. Anak harus
dipersiapkan sebaik-baiknya agar mampu berfungsi sebagai penerus di masa depan.
Masa bayi adalah satu tahapan individu yang sangat menentukan. pada masa
ini pertumbuhan berlangsung sangat cepat dan proses pematangan terus berjalan
terutama peningkatan sistem saraf. Faktor gizi merupakan salah satu hal yang
berpengaruh pada proses tumbuh kembang sistem saraf dan otak serta tingkat
kecerdasan manusia sehingga status gizi yang baik harus diupayakan sedini mungkin.
Ada lebih dari 100 jenis zat gizi dalam ASI antara lain AA, DHA, Taurin, dan
Spingomyelin yang tidak terdapat dalam susu sapi. Beberapa produsen susu formula
2
mencoba menambahkan zat gizi tersebut, tetapi hasilnya tetap tidak bisa menyamai
kandungan gizi yang terdapat dalam ASI. Banyak manfaat yang didapat melalui
pemberian ASI eksklusif, baik untuk ibu maupun pada bayi.(1)
ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan
lain pada bayi berumur nol sampai enam bulan. Bahkan air putih tidak diberikan
dalam tahap ASI eksklusif ini. Pada tahun 2001 World Health Organization
menyatakan bahwa ASI eksklusif selama enam bulan pertama hidup bayi adalah yang
terbaik.
Diare merupakan suatu penyakit yang paling sering dijumpai pada bayi
berusia >5 bulan. Umum diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasanya (lazimnya lebih dari
tiga kali sehari), disertai dengan adanya perubahan dan konsistensi tinja dari
penderita bersangkutan.
Penyakit diare sangat berbahaya bagi manusia karena diare bisa menyebabkan
kehilangan cairan tubuh pada anak atau orang dewasa yang bisa menyebabkan
kematian.
Sampai saat ini penyakit diare atau sering juga disebut juga gastroenteritis,
masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama dari masyarakat di Indonesia.
Dari daftar urutan penyebab kunjungan Puskesmas/ Balai pengobatan, hampir selalu
termasuk dalam kelompok penyebab utama bagi masyarakat yang berkunjung kesana.
Di Indonesia dapat ditemukan sekitar 60 juta kejadian tiap tahun pasien penderita
diare, 70-80% dari penderita ini adalah anak di bawah lima tahun (± 40 juta
3
kejadian). Kelompok ini setiap tahunnya mengalami lebih dari satu kejadian diare. 1-
2% akan jatuh ke dalam dehidrasi dan bila tidak segera ditolong 50-60% diantaranya
DPT(2).
Angka kematian balita lebih tinggi terjadi dibandingkan dengan golongan lain
yaitu 17,7%. Diantara balita yang sakit dalam satu bulan terkhir 12,3% menderita
diare atau prevalensi diare dalam satu bulan adalah 2,2%. Insidens diare di Indonesia
dilaporkan 200-700 per 1000 penduduk pertahun dan 60-80% diantaranya adalah
penderita balita terutama bayi(2).
Akibat perilaku lingkungan masyarakat Indonesia yang kurang baik dan
sanitasi lingkungan yang buruk menimbulkan balita mudah sekali terserang penyakit
diare. Bahkan, tidak kurang dari 100 ribu balita Indonesia per tahunnya meninggal
akibat diare. berdasarkan data rumah tangga yang diambil sampel sebanyak 7.200 di
daerah pulau Jawa dan tiga provinsi di Sumatera menyebutkan, kematian disebabkan
diare sekitar 28 persen. Kalau diprediksi dari data UNICEF setiap 30 detik satu balita
meninggal akibat diare(2).
Bayi yang sedang dalam masa pertumbuhan merupakan kelompok yang
rentan terhadap adanya perubahan dalam intake konsumsi makanan. Intake makanan
yang berlebihan atau kekurangan dari yang dibutuhkan akan mempengaruhi gizinya.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut : ”Bagaimana hubungan antara pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian diare pada bayi di RSU Mataram?”.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Tujuan Umum :
Untuk mengetahui hubungan pemberian ASI Eksklusif terhadap kejadian
diare pada bayi di RSU Mataram.
1.3.2 Tujuan Khusus :
a. Untuk mengetahui pengaruh faktor umur pemberian ASI ekslusif
terhadap kejadian diare pada bayi.
b. Untuk mengetahui pengaruh makanan/minuman selain ASI terhadap
kejadian diare pada bayi.
c. Untuk mengetahui hubungan higienitas tempat minum susu bayi
terhadap kejadian diare pada bayi yang diberikan susu formula.
d. Untuk mengetahui hubungan lama penyimpanan ASI terhadap
kejadian diare pada bayi.
e. Untuk mengetahui pengaruh kebersihan lingkungan terhadap kejadian
diare pada bayi.
5
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Dengan diketahuinya hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian
diare pada bayi di RSU Mataram diharapkan dapat menjadi salah satu
sumber informasi bagi Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Mataram
dalam menerapkan berbagai kebijakan untuk mencapai Indonesia Sehat
2010.
1.4.2 Merupakan sumber informasi bagi RSU Mataram agar dapat menerapkan
kebijakan-kebijakan dan mengembangkan program penanggulangan diare
pada bayi yang di rawat di RSU Mataram.
1.4.3 Terhadap ilmu pengetahuan diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah
terutama dalam bidang kesehatan dan menjadi masukan bagi penelitian
selanjutnya.
1.4.4 Merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam rangka menambah
wawasan dan pengetahuan serta pengembangan diri khususnya dalam
bidang penelitian.
1.5 ACUAN PENELITIAN
1.5.1 Studi kepustakaan.
1.5.2 Bimbingan dan pengarahan dari staff pengajar bagian IKM-IKK
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
1.5.3 Seminar dan diskusi.
6
1.5.4 Survei lapangan meliputi: pengumpulan dan pengolahan data
sekunder, serta wawancara dengan pihak-pihak terkait.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang ASI
Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa
dan garam-garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mammae ibu, yang
berguna bagi makanan bayi.
Kolostrum merupakan cairan yang pertama dikeluarkan/disekresi oleh
kelenjar payudara pada 4 hari pertama setelah persalinan. komposisi kolostrum
ASI setelah persalinan mengalami perubahan. Kolostrum berwarna kuning
keemasan disebabkan oleh tingginya komposisi lemak dan sel-sel hidup.
Kolostrum merupakan pencahar (pembersih usus bayi) yang membersihkan
mekonium sehingga mukosa usus bayi yang baru lahir segera bersih dan siap
menerima ASI. Hal ini menyebabkan bayi sering defekasi dan feses berwarna
hitam. Jumlah energi dalam kolostrum hanya 56 kal/100ml kolostrum dan pada
hari pertama bayi memerlukan 20-30 cc. Kandungan protein pada kolostrum lebih
tinggi dibandingkan kandungan protein dalam susu matur(3).
2.1.1 Aspek Gizi (4)
a. Manfaat kolostrum :
1. Kolostrum mengandung zat kekebalan terutama IgA untuk melindungi
bayi dari berbagai penyakit infeksi terutama diare.
8
2. Jumlah kolostrum yang diproduksi bervariasi tergantung dari hisapan
bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Walaupun sedikit namun cukup
untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Oleh karena itu kolostrum harus
diberikan pada bayi.
3. Kolostrum mengandung protein, vitamin A yang tinggi dan mengandung
karbohidrat dan lemak rendah, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi
bayi pada hari-hari pertama kelahiran.
4. Membantu mengeluarkan mekonium yaitu kotoran bayi yang pertama
berwarna hitam kehijauan.
b. Komposisi :
1. ASI mudah dicerna, selain mengandung zat gizi yang sesuai, juga
mengandung enzim-enzim untuk mencernakan zat-zat gizi yang terdapat
dalam ASI tersebut.
2. ASI mengandung zat gizi berkualitas tinggi yang berguna untuk
pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan bayi/anak.
3. Selain mengandung protein yang tinggi, ASI memiliki perbandingan
antara Whei dan Casein yang sesuai untuk bayi. Rasio Whei dengan
Casein merupakan salah satu keunggulan ASI dibandingkan dengan
susu sapi. ASI mengandung Whey yang lebih banyak yaitu 65:35.
Komposisi ini menyebabkan ASI lebih mudah diserap. Sedangkan pada
susu sapi mempunyai perbandingan Whey:Caasein adalah 20:80,
sehingga tidak mudah diserap.
9
c. Komposisi Taurin, DHA, dan AA pada ASI
1. Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam ASI yang
berfungsi sebagai neurotransmiter dan berperan penting untuk proses
maturasi sel otak. Percobaan pada binatang menunjukkan bahwa
defisiensi taurin akan berakibat pada terjadinya gangguan pada retina
mata.
2. Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) adalah asam
lemak tak jenuh rantai panjang (polysaturated fatty acids) yang
diperlukan untuk pembentukkan sel-sel otak yang optimal. Jumlah DHA
dan AA dalam ASI sangat mencukupi untuk menjamin pertumbuhan dan
kecerdasan anak. Diamping itu DHA dan AA dalam tubuh dapat
dibentuk/disintesa dari substansi pembentuknya (prekursor) yaitu
masing-masing dari Omega 3 (asam linolenat) dan Omega 6 (asam
linoleat).
2.1.2 Aspek Imunologik(3,4)
1. ASI mengandung zat anti infeksi, bersih dan bebas dari kontaminasi.
2. Immunoglobulin A (IgA) dalam kolostrum atau ASI kadarnya cukup tinggi.
Sekretori IgA tidak diserap tetapi dapan melumpuhkan bakteri patogen E.
Coli dan berbagai virus dalam saluran pencernaan.
3.Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan
yang mengikat zat besi di saluran cerna.
10
4.Lysosim, Enzim yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. Coli dan
salmonella) dan virus. Jumlah lysosim dalam ASI 300 kali lebih banyak
daripada susu sapi.
5.Sel darah putih pada ASI dalam 2 minggu pertama lebih dari 4000 sel per
mil. Terdiri dari tiga macam yaitu : Bronchus-Associated Lynphocyte
Tissue (BALT) antibodi pernafasan, Gut Associated Lymphocyte Tissue
(GALT) antibodi saluran pernafasan, dan Mammary Associated
Lymphocyte Tissue (MALT) antibodi jaringan payudara ibu.
6.Faktor bifidus, sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen, menunjang
pertumbuhan bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga keasaman
flora usus bayi dan berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang
merugikan.
2.2 Tinjauan Umum Tentang Pemberian ASI Eksklusif(6)
Air susu ibu (ASI) Eksklusif adalah ASI yang diberikan sejak bayi baru lahir
sampai dengan usia enam bulan, tanpa dicampur dengan makanan atau cairan lain
walau air putih sekalipun dengan pengecualian pemberian vitamin, mineral, atau obat
dalam bentuk tetes atau sirup.
Pada Tahun 2001, WHO merevisi rekomendasi global mengenai ASI. Isi dari
revisi tersebut adalah pemberian ASI pada bayi harus dilakukan sesegera mungkin
yaitu dianjurkan dalam satu jam setelah bayi lahir. Selain itu ibu dianjurkan memberi
11
ASI eksklusif pada bayinya selama 6 bulan, dimana rekomendasi sebelumnya ASI
eksklusif hanya sampai 4 bulan.
Untuk memungkinkan ibu tetap memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan,
maka WHO dan UNICEF merekomendasikan :
1. ASI inisiasi dalam 1 jam pertama kehidupan
2. ASI eksklusif yaitu bayi hanya meminum ASI saja tanpa makanan atau
minuman tambahan, bahkan air sekalipun.
3. ASI sesuai dengan kebutuhan, yaitu sesering yang bayi inginkan, siang atau
malam.
4. Tanpa penggunaan botol atau dot.
Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan pertama kehidupan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI
bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan dan perkembangannya. ASI memberi
semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama
hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang
disebabkan berbagai penyakit umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang
paru-paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan
kehamilan.
Rekomendasi pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan tampaknya masih
terlalu sulit untuk dilaksanakan. Berbagai kendala yang menghambat pemberian ASI,
adalah :
12
1. Perilaku menyusui yang kurang mendukung misalnya membuang
kolostrum karena dianggap tidak bersih dan kotor.
2. Pemberian makanan/minuman sebelum ASI keluar.
3. Kurangnya rasa percaya diri ibu bahwa ASI cukup untuk bayinya.
4. Ibu kembali bekerja setelah cuti bersalin, yang menyebabkan penggunaan
susu botol/susu formula secara dini, sehingga menggeser/menggantikan
kedudukan ASI. Hal ini diperberat lagi dengan adanya kecenderungan
meningkatnya peran ganda wanita dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997
jumlah pekerja wanita adalah 34,33 juta jiwa dengan angka pertumbuhan
sebesar 4,76% (1998), sementara angka pertumbuhan pekerja pria pada
tahun yang sama adlaah 2,70%.
5. Gencarnya promosi susu formula, baik melalui petugas kesehatan maupun
melalui mass media, bahkan dewasa ini secara langsung ke ibu-ibu.
6. Sikap petugas kesehatan yang mendukung tercapainya keberhasilan
program PP-ASI (Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu).
2.3 Tinjauan Umum Mengenai Pengaruh Susu Formula
Dewasa ini promosi susu formula sangat marak, baik melalui media elektronik
maupun media cetak. Secara tidak langsung hal ini mempengaruhi pola pemberian
ASI di masyarakat.
Promosi besar-besaran susu formula membuat banyak ibu yang tergoda untuk
memberikan susu formula pada bayinya. Ada anggapan yang keliru bahwa susu
13
formula dapat menggantikan ASI, namun kenyataanya tidak demikian, dimana ASI
tidak dapat tergantikan oleh susu formula sehebat atau semaha apapun.
2.4 Tinjauan Umum Cara Penyimpanan ASI(3,4,5,6)
a. Persiapan dasar untuk penyimpanan ASI
- Pilih waktu dimana payudara dalam keadaan yang paling penuh terisi,
pada umumnya terjadi di pagi hari.
- Semua peralatan yang akan digunakan telah disterilkan terlebih dahulu.
Breast pump sebaiknya dibersihkan segera setelah digunakan agar sisa
susu tidak mengering dan menjadi sulit dibersihkan.
- Pilih tempat yang tenang dan nyaman pada saat memerah susu, tempat
yang ideal seharusnya dimana ibu tidak terganggu oleh suara bel pintu
atau telepon masuk. Di tempat kerja, mungkin bisa di meeting room yg
kosong, toilet, dan lain-lain.
- Cuci tangan dengan sabun sedangkan payudara dibersihkan dengan air
Sebelum memulai, minumlah segelas air atau cairan lainnya, misalnya:
susu, juice, decaffeinated tea/coffee, atau sup, disarankan minuman hangat
agar membantu menstimulasi payudara.
- Usahakan untuk relax, kalau bisa dengan kaki yg diangkat.
- Kompres payudara kira-kira 5-10 menit, atau mandi air hangat sambil
memijat payudara membantu agar air susu dapat keluar dengan lancar.
- Bila masih kesulitan bisa meminta oxytocin pada dokter
14
b. Lama Penyimpanan ASI yang telah diperah
- Jika ruangan tidak ber-AC, disarankan tidak lebih dari 4 jam.
- Namun, jika ruangan ber-AC, bisa sampai 6 jam.
Namun, perlu diingat suhu ruangan tersebut harus stabil. Misalnya
ruangan ber-AC, tidak mati sama sekali selama botol ASI ada di
dalamnya.
- Segera simpan ASI di lemari es setelah diperah. ASI ini bisa bertahan
sampai delapan hari dalam suhu lemari es. Syaratnya, ASI ditempatkan
dalam ruangan terpisah dari bahan makanan lain yg ada di lemari es.
- Jika lemari es tidak memiliki ruangan terpisah untuk menyimpan botol
ASI hasil pompa, maka sebaiknya ASI tersebut jangan disimpan lebih dari
3 x 24 jam.
- Ibu juga dapat membuat ruangan terpisah dengan cara menempatkan botol
ASI dalam container plastik yang tentunya dibersihkan terlebih dahulu
dengan baik.
- ASI hasil pompa dapat disimpan dalam freezer biasa sampai tiga bulan.
Namun jangan menyimpan ASI ini di bagian pintu freezer, karena bagian
ini yang mengalami perubahan dan variasi suhu udara terbesar.
Jika Ibu kebetulan memiliki freezer penyimpan daging yang terpisah atau
deep freezer yang umumnya memiliki suhu lebih rendah dari freezer biasa,
maka ASI hasil pompa/perasan bahkan dapat disimpan sampai dengan
enam bulan di dalamnya.
15
c. Cara Menyimpan ASI hasil pompaan dan perasan
- Simpan ASI dalam botol yang telah disterilkan terlebih dahulu.
- Botol yang paling baik sebetulnya adalah yang terbuat dari gelas atau
kaca.
- Jika terpaksa menggunakan botol plastik, pastikan plastiknya cukup kuat
(tidak meleleh jika direndam dalam air panas).
- Jangan pakai botol susu berwarna atau bergambar, karena ada
kemungkinan catnya meleleh jika terkena panas.
- Jangan lupa bubuhkan label setiap kali Ibu akan menyimpan botol ASI,
dengan mencantumkan tanggal dan jam ASI dipompa atau diperas.
- Simpan ASI di dalam botol yang tertutup rapat, jangan ditutup dengan dot.
Karena masih ada peluang untuk berinteraksi dengan udara.
- Jika dalam satu hari Ibu memompa atau memeras ASI beberapa kali, bisa
saja Asi itu digabungkan dalam botol yang sama. Syaratnya, suhu tempat
botol disimpan stabil, antara 0 s/d 15 derajat Celcius.
- Penggabungan hasil simpanan ini bisa dilakukan asalkan jangka waktu
pemompaan/pemerasan pertama s/d terakhir tidak lebih dari 24 jam.
d. Cara memberikan ASI yang telah didinginkan
- Panaskan ASI dengan cara membiarkan botol dialiri air panas yang bukan
mendidih yang keluar dari keran.
16
- Atau merendam botol di dalam baskom atau mangkuk yang berisi air
panas atau bukan mendidih.
- Jangan sekali-sekali memanaskan botol dengan cara mendidihkannya
dalam panci, menggunakan microwave atau alat pemanas lainnya, kecuali
yang memang didesain untuk memanaskan botol berisi simpanan ASI.
- Ibu tentunya mengetahui berapa banyak bayi Ibu biasanya sekali
meminum ASI. Sesuaikanlah jumlah susu yang dipanaskan dengan
kebiasaan tersebut. Misalnya dalam satu botol Ibu menyimpan sebanyak
180 cc ASI tetapi bayi Ibu biasanya hanya meminum 80 cc, jangan
langsung dipanaskan semua.
e. Indikator ASI Basi
- Sebenarnya jika Ibu mengikuti pedoman pemompaan/pemerasan ASI dan
penyimpanan yang baik, ASI tidak akan mungkin basi. Terkadang
memang setelah disimpan atau didinginkan akan terjadi perubahan warna
dan rasa, tapi itu tidak menandakan bahwa ASI sudah basi. Asalkan Ibu
berada dalam keadaan bersih ketika memompa atau memeras, menyimpan
ASI dalam botol yang steril dan tertutup rapat, dalam jangka waktu tepat
dan saat memanaskan juga mengikuti petunjuk, ASI akan terjaga dalam
kondisi yang baik.
- Dibandingkan susu formula, ASI lebih tahan lama. Pada saat berinteraksi
dengan udara luar, biasanya yang terjadi bukan pembusukan ASI tetapi
17
lebih merupakan berkurangnya khasiat ASI, terutama zat yang membantu
pembentukan daya imun bayi.
2.5 Tinjauan Umum Mengenai Diare(6)
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari
14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,
Bakteri, dan Parasit.
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak
saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu yang singkat
Dinegara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan
ekonomi masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi
masalah kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap
18
tahunnya dan 1 dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita
diare infeksi. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne
infections dan waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp,
Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium
perfringens dan Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3
juta penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali
setiap tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan
diare 3 kali setiap tahun.
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang
datang kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan,
Denpasar, Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001
penyebab terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp,
Salmonella spp, V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V.
Cholera non-01, dan Salmonella paratyphi A.
2.5.1 Epidemiologi Diare
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di
Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan
pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia
19
data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke
empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun
sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar
200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap
tahunnya.5 WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap
tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta
episode diare pada orang dewasa per tahun. Dari laporan surveilan terpadu tahun
1989 jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat
0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama
disentri di Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni,
Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan
oleh Shigella dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella
flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC).
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati
pasien diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman
terkontaminasi, berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS,
20
merupakan petunjuk penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk
diare infeksi.
2.5.2 Patofisiologi Diare
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis
menjadi diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan
invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri
dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan
abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam,
tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara
makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel
leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang
mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah.
Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan
tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan
pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
21
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya
adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam
magnesium
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi
yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat
toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam
empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon
intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat
menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik
usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi
bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory
bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan
waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis,
sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi
bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus
dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
22
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus.
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur
polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel
epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization
factor antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti
Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic
E.coli (EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF),
menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur
sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif
tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat
pada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
Invasi
23
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel
epitel usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke
sel epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi
inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya
mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman
Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses
patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa
lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.
Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh
Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan
sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC
serta V. Parahemolyticus.
Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin
(CT) yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus.
Toksin kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan
merangsang aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler
24
sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan
sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya
sama dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP
selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,
membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.
Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang
melibatkan reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron
kolinergik di pleksus mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori
VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian
melibatkan refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron
sensorik aferen kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron
sekretorik tipe 1 VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok
seperti 5-HT, neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan
penggunaan obat antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat
antisekretorik pada enterosit.
2.5.4 Diagnosis
25
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan
pemeriksaan yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat
penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama
antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Manifestasi Klinis
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah
dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis
yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan
yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi
berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang
merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang
pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala
ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang,
yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul).
Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat
naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
26
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa
renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun
sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas
dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat
timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan
akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit
berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita
menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih
berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih
banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat
menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena
tanpa alkali.
Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit,
jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non
infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin.
Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan
27
Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95%
tergantung dari jenis patogennya.
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat
terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi
dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial,
sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap pasien dengan
Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan
kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita
diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau
latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus
dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7.
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan
cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin,
analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya
biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.
28
2.5.5 Beberapa penyebab diare akut infeksi bakteri (7,8)
2.5.5.1 Infeksi non-invasif
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan yang
mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang tidak tepat cara
pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi.
Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang kemudian
diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang terjadi. Lekositosis perifer jarang
terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat pada pulasan feses. Masa berlangsungnya
penyakit kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang
terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik dalam
mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.
Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.
Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan gejala
muntah lebih dominan.
29
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala akut
mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10 jam. Gejala
diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah asupan makanan terkontaminasi dengan gejala
diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi. Terapi dengan
rehidrasi oral dan antiemetik.
Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk spora.
Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan
biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 – 24 jam setelah asupan
produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium,
kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini akan
berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 105
organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C
perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel polimorfonuklear,
pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan. Terapi dengan rehidrasi oral dan
antiemetik.
Vibrio cholerae
30
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi setelah
3 – 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat mempengaruhi
transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan
menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan air yang
terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi
diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan volume
darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang signifikan,
dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat ditemukan
V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah memerlukan
cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare.
Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai
dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada
kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral
memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.
31
Escherichia coli patogen
E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme
patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen penting,
yaitu :
1. Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2. Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3. Enteroadherent E. coli (EAEC).
4. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5. Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala
ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang terj
adi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24 jam.
Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien.
Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih.
Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self
limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses
jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat
diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada
penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole
atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui
32
akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus
dihindari pada diare yang berhubungan dengan EHEC.
2.5.5.2 Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.
Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,
demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri
abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 – 5 hari
kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus
yang lebih parah menetap selama 3 – 4 minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai
kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome.
Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya
disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah.
Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung
dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan
33
untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri.
Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari
merupakan antibiotik yang dianjurkan.
Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika
Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan penyebab.
Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual,
muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung
biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se. Kultur
darah positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi
HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat.
Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan resistensi
bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi
dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal
(osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau
fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7
hari atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat
diberi oral.
34
Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid.
Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali, delirium,
nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu
penyakit sistemik dan memberikan gejala primer yang berhubungan dengan traktus
gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial,
menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus halus.
Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau
perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari.
Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan
peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal.
Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul
penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada
minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada
minggu ke empat terjadi perbaikan klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada 90%
pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada
minggu kedua dan ketiga.
35
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu
penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat
menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika terjadi
resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan
sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga
menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan IV selama
7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari, telah
menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah. Vaksin thipoid oral
(ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.
Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus,
sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit toksin
dan invasi pada mukosa. Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi,
dari asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah
organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri abdomen dan
feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin timbul adalah demam,
mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat
ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan
36
quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik diindikasikan
untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika
terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari
cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya, penggantian cairan dan elektrolit
merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir
kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang memerlukan
media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik tidak
memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah atau
diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai
dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi epitel
usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan daerah
yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat
diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme). Feses
37
berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi
pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri
berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik tidak
diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada penyakit yang parah atau bekterimia.
Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik
pada sepsis.
Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini terjadi
akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah
asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan penyebab utama
diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan perkembangan
Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control (CDC) telah
meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare berdarah akut atau
HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga, yang menyebabkan
kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12
kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah. Nyeri
abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3 pasien.
Pemeriksaan abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan
bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien memerlukan perawatan di
rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa menunjukkan hematuria atau
38
proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik
(hematokrit < 30%), trombositopenia (<150 x 109/L), dan insufiensi renal (BUN >20
mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena diare.
Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan
penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60%
pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke
penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa proteinuria.
Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe biasanya
dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan
vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi
infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat
meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari.
Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.
Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas
menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
39
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.
Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi
yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi,
penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah
trimetroprim sulfametoksazole.
Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah
dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri abdomen, demam,
muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa
ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah
tritoprim sulfametoksazole.
2.5.6 Penatalaksanaan(8,9)
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat
minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang
40
membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium
klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter
air.
Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah
disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada,
cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh
garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua
pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus
minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama
kalinya.3 Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline
normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana
panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan
memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika
diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari
badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara :
BD plasma, dengan memakai rumus :
Kebutuhan cairan = BD Plasma – 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml
0,001
Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
41
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB
Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan :
Cara I :
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya,
maka kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari
berat badan saat itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas,
perubahan mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan
sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 – 7 liter pada orang dewasa dengan berat
badan 50 Kg.
Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada fase
akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus :
Na2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana :
42
Na1 = Kadar Natrium plasma normal; BW1 = Volume air badan normal, biasanya
60% dari berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita ; Na2 = Kadar natrium
plasma sekarang ; BW2 = volume air badan sekarang
B. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian
anti biotik. Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi
dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi,
diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara
empiris dapat dilakukan, tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur
dan resistensi kuman.
C. Obat anti diare(9,10)
Kelompok antisekresi selektif
43
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas
racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase
sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan
menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat
dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama hidrasec
sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula digunakan lebih
aman pada anak.
Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x
sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek
kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan
sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila
diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi
frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom
disentri obat ini tidak dianjurkan.
44
Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau
toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung
dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid
dengan cairan
Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna
akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor
saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan diare
harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.
45
2.5.7 Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan
elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik.
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak
tecapai rehidrasi yang optimal.
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis,
dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah
infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik untuk
terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah
infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita kelemahan
motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot pernafasan.
46
Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre tetap belum
diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare
karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp. dalam lumen usus
dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi
kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan
dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.
2.5.8 Prognosis
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan
terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit,
morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika
Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada
infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik
hemolitik.
2.5.9 Pencegahan
47
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci
tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran
manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga
dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus
diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan
makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika
ada kecurigaan tentang
keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air,
harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau
atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau
hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan
sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang
dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan
dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel
terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi
efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia
adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu
48
efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih
efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama
hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru
juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek
samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1
kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan dua
vaksin lainnya.
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 DASAR PEMIKIRAN VARIABEL YANG DITELITI
Penderita diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang utama di Indonesia, ini ditunjukkan dengan tingginya angka kesakitan dan
kematian yang disebabkan oleh penyakit tersebut, khususnya yang terjadi pada
balita.
Banyak faktor yang secara langsung dan tidak langsung dapat mendorong
terjadinya diare. Salah satu faktor tersebut adalah pemberian ASI eksklusif.
Pemberian ASI ekslusif merupakan salah satu cara untuk meningkatkan daya
tahan tubuh bayi. Kandungan dari ASI itu sendiri yang mudah dicerna
membuatnya tidak terjadi penolakan/alergi pada bayi.
Seiring berkembangnya zaman, pemberian ASI telah digantikan dengan
susu formula. Baik karena faktor pengetahuan ibu yang kurang akan ASI atau
49
faktor kesibukannya dalam pekerjaan. Hal ini ternyata berdampak pada
peningkatan kejadian diare pada bayi yang diberikan susu formula. Faktor
komposisi maupun penyajian (higienitas tempat minum, maupun air yang
digunakan) dari susu formula tersebut merupakan penyebab diare.
Diare sendiri yang merupakan penyakit infeksi tidak lepas dari faktor
lingkungan yang mendukung penyebaran kuman penyebab diare pada suatu
masyarakat.
Berdasarkan konsep pemikiran seperti yang dikemukakan di atas, maka
disusunlah pola pemikiran yang diteliti sebagai berikut :
Pengaruh Pemberian ASI Ekslusif
terhadap kejadian diare pada Bayi
Umur pemberian ASI
Makanan/Minuman selain ASI
Higienitas Tempat minum susu
Lama Penyimpanan ASI hingga disajikan
Kebersihan Lingkungan
50
3.2 VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel yang diteliti :
a. Variabel terikat : Pengaruh pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian
diare pada bayi
b. Variabel bebas :
- Umur pemberian ASI
- Makanan/minuman selain ASI
- Higienitas tempat minum susu
- Lama penyimpanan ASI hingga disajikan
- Kebersihan lingkungan
3.2 DEFINISI OPERASIONAL
1. Umur pemberian ASI ekslusif terhadap kejadian diare pada bayi :
Merupakan umur bayi pada saat pertama kali diberikan ASI oleh ibu
2. Makanan/minuman selain ASI terhadap kejadian diare pada bayi :
Merupakan makanan/minuman pendamping ASI maupun makanan/minuman
pengganti ASI
3. Higienitas tempat minum susu bayi terhadap kejadian diare pada bayi yang
diberikan susu formula :
Merupakan kebersihan dari tempat minum susu bayi baik tempat minum
berisi susu formula maupun tempat penyimpanan ASI.
51
4. Lama penyimpanan ASI terhadap kejadian diare pada bayi :
Merupakan lamanya penyimpanan ASI sampai diberikan pada bayi
5. Pengaruh kebersihan lingkungan terhadap kejadian diare pada bayi :
Merupakan faktor kebersihan lingkungan baik berupa jamban dan
kebersihan air minum
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah Hybrid (gabungan antara jenis
penelitian kuantitatif dan kualitatif) kuantitatif disini untuk menjelaskan
hubungan pemberian ASI dengan kejadian Diare dan kualitatif disni
dimaksudkan untuk mendeskripsikan hasil wawancara sebagaimana adanya dan
hasil yang diperoleh selanjutnya digambarkan berdasarkan tujuan penelitian
yang akan dicapai.
4.2 METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang diterapkan pada penulisan ini adalah metode survei,
observasi langsung, dan wawancara secara mendalam (In depth interview)
dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
52
4.3 LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di RSU Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat.
4.4 WAKTU PENELITIAN
Waktu penelitian terhitung dari tanggal 12 januari-26 januari 2010.
4.5 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
a. Populasi
Ibu dari Balita yang berumur dibawah 6 bulan yang menderita diare baik
yang mendapatkan ASI eksklusif maupun non-ASI eksklusif yang berobat
jalan dan rawat inap di Rumah Sakit Umum Mataram
b. Sampel
Balita yang menderita diare yang memenuhi kriteria inklusi
c. Kontrol
Yang menjadi control dalam penelitian ini adalah para Balita yang mendapatkan
ASI eksklusif dan non-ASI eksklusif yang tidak menderita diare
4.6 TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL
Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling
4.7 KRITERIA PEMILIHAN
53
a. Kriteria Inklusi
- Semua pasien Balita yang didiagnosa kerja diare dan berumur 6 bulan
- Memiliki riwayat pemberian ASI eksklusif
b. Kriteria Eksklusi
- Pasien Balita yang didiagnosa kerja diare dan berumur 6 bulan dengan yang
tidak diberikan ASI eksklusif
4.7 Jenis dan Instrumen Data
1. Jenis Data
Data berupa data primer yang diperoleh melalui hasil wawancara terhadap
informan.
2. Instrumen Data
Instrumen yang dipakai untuk memperoleh data melalui wawancara adalah
pedoman wawancara tertulis.
4.8 Manajemen Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam
dengan informan yang didokumentasikan melalui tape recorder dan
pencatatan langsung.
2. Pengolahan dan Penyajian Data
54
Data yang diperoleh dari hasil wawancara dari informan diolah dengan
menggunakan komputer untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk narasi
dan kutipan langsung.
4.9 Etika Penelitian
1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak Rumah
Sakit setempat sebagai permohonan izin dari peneliti untuk melakukan
penelitian.
2. Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu peneliti memberikan
inform concent kepada informan yang akan menjadi sumber informasi.
3. Kami akan berusaha untuk menjaga kerahasiaan data subjek penelitian
yang terdapat pada hasil wawancara yang diperoleh, sehingga tidak ada
pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan.
55
BAB V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.7 Gambaran Umum
Rumah sakit umum Mataram terletak di provinsi NTB di pulau Lombok
yang beralamat Jl. Pejanggik No. 6 Mataram. Yang menurut Kep. Menkes. RI.
No. 13/MENKES/SK/I/2005 status rumah sakit ini digolongkan ke dalam
rumah sakit tipe B (pendidikan). Yang memiliki kapasitas tempat tidur
sebanyak 349 untuk pasien rawat inap, yang memiliki jumlah tenaga kerja
sebanyak 978 orang (PNS: 793 orang, PTT Honor Daerah: 55 orang, PTT
Pusat: 4 orang).
5.7.1 Sejarah
56
Bangunan gedung yang digunakan sebagai rumah sakit berasal dari
perubahan gedung peninggalan Belanda yang didirikan sekitar tahun 1915,
terletak ditengah Kota Mataram diatas tanah seluas 1,25 hektar yang awalnya
merupakan gedung sekolah dasar (HIS). Pada jaman Jepang digunakan
sebagai tempat pendidikan sekolah menengah Tji Gako dan sekolah guru
(KYO IN dan SI HANG GAKO). Setelah Indonesia merdeka tidak lagi
sebagai tempat pendidikan tetapi sebagai tempat Palang Merah Indonesia
kemudian menjadi rumah sakit dengan nama Rumah Sakit Beatrix. Antara
tahun 1947 – 1948 baru berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Mataram
dan menjadi bagian dari Dinas Kesehatan Rakyat Daerah Lombok. Pada masa
itu bangunan gedung ditambah lagi sesuai dengan kebutuhan.Pada tahun 1959
Daerah Nusa Tenggara Barat dibagi menjadi Kabupaten (Daerah Swatantra
Tingkat II). Rumah Sakit menjadi milik Daerah Lombok Barat.
Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Nusa Tenggara
Barat No. 448/Pem.47/5/151 tanggal 5 November 1969 mengubah status
Rumah Sakit Umum Mataram yang dikelola Pemerintah Kabupaten Lombok
Barat menjadi milik dan dikelola Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Barat dan disebut Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hal ini
berjalan sampai sekarang namun lebih dikenal dengan nama “Rumah Sakit
Umum Provinsi NTB”.
Tahun 2006 RSU Mataram berubah tipe dari Tipe B menjadi tipe B
Pendidikan sesuai SK Menkes no 15/2006 tanggal 6 Januari 2006. Pada tahun
57
2006 berdasarkan Peraturan Gubernur no 18/2006 RSU Mataram menjadi
RSUD Mataram
Ditahun 2007 telah dimulai peletakan batu pertama pembangunan
relokasi RSUP NTB secara bertahap sampai tahun 2011 di Kelurahan Dasan
Cermen Kota Mataram dengan luas area 122.416 m2, dengan kapasitas
menjadi 500 tempat tidur. Total tempat tidur nantinya akan menjadi 786
tempat tidur. Pada saat yang sama dicanangkan oleh Gubernur bahwa RSUP
NTB yang lama akan menjadi Rumah Sakit khusus ibu dan anak dibawah
kesatuan RSUP NTB.
5.8 Visi dan Misi
5.8.1 Visi
Menjadi Rumah Sakit Rujukan yang unggul dalam pelayanan
pendidikan & Penelitian di Indonesia Timur Tahun 2013
5.8.2 Misi
- Memberikan pelayanan kesehatan yang unggul dan berkualitas
secara profesional, selaras dengan perkembangan ilmu dan teknologi
kesehatan
- Mengembangkan pelayanan kesehatan yang terintegrasi dalam
program pembangunan kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
dan Sistem Kesehatan Nasional.
58
- Menyiapkan sumberdaya yang unggul untuk menunjang pelaksanaan
pelayanan pendidikan, pelatihan dan penelitian kesehatan.
- Mengembangkan sistem manajemen dan Administrasi Rumah Sakit
untuk menunjang pelayanan.
- Mengembangkan sistem manajemen dan Administrasi Rumah Sakit
untuk menunjang pelayanan.
BAB VI
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh ASI terhadap kejadian diare akut
pada bayi yang dirawat di RSU Mataram. Penelitian ini dilaksanakan selama 2
minggu mulai dari tanggal
Pengumpulan data diperoleh melalui “in-depth interview” dengan para
informan yang yaitu ibu dari para bayi yang berumur dibawah 6 bulan yang dirawat
jalan maupun rawat inap di RSU umum mataram. Total sampel pada penelitian ini
adalah 40 orang.
Dalam meperoleh informasi dengan para informan, digunakan pedoman
wawancara tertulis dan hasil wawancara didokumentasikan dengan menggunakan
tape recorder dan pencatatan langsung.
59
6.1 Karakteristik informan
6.1.2 Umur
Umur responden berkisar antara 22 – 48 tahun.
6.1.3 Pekerjaan
Pekerjaan para informan yaitu ibu rumah tangga sebanyak 23 orang, PNS 12
orang dan wirausaha sebanyak 5 orang
6.1.4 Pendidikan
Pendidikan para informan yaitu SD sebanyak 12 orang, SMP sebanyak 4 orang,
SMA sebanyak 15 orang dan 9 orang.
6.2 Perbandingan Kejadian Diare antara Balita dengan ASI Eksklusif dan Non-
ASI eksklusif
Dari penelitian didapatkan jumlah balita yang terkena diare dengan ASI
eksklusif adalah 1 dari 20 balita yang mendapatkan ASI eksklusif dengan
persentase 5%, sedangkan balita yang terkena diare dengan non-ASI eksklusif
adalah 8 dari 20 balita non-ASI eksklusif dengan persentase 40%
Tabel 1. Perbandingan kejadian diare pada Balita dengan ASI eksklusif dan
Non-ASI eksklusif di RSU Mataram Periode 12-26 Januari 2010
DIARE PERSENTASE
ASI EKSKLUSIF 1 5%
60
NON-ASI EKSKLUSIF 8 40%
Sedangkan jumlah balita yang tidak terkena diare dan mendapatkan ASI
eksklusif adalah 19 dari 20 balita dengan persentase 95%, dan balita non-ASI
eksklusif dengan tidak diare yaitu 12 dari 20 balita dengan persentase 60%
TIDAK DIARE PERSENTASE
ASI EKSKLUSIF 19 95%
NON-ASI EKSKLUSIF 12 60%
Tabel 2. Perbandingan resiko tidak diare pada Balita dengan ASI eksklusif dan
non-ASI eksklusif di RSU Mataram periode 12-26 Januari 2010
Tabel 3. Perbandingan diare pada Balita dengan ASI Eksklusif dan non-ASI Eksklusif
dengan menghitung RR/RO di RSU Mataram Periode 12-26 Januari 2010
DIARE TIDAK DIARE Jumlah
ASI EKSKLUSIF 1 19 20
61
NON-ASI
EKSKLUSIF
8 12 20
Jumlah 9 31 40
Dari tabel 3 dapat dianalisis dengan menghitung resiko relatif atau Ratio Odds yaitu RR atau RO = 1x12 = 12 = 0,0789
8x19 152
Hal ini bermakna bahwa Balita yang mendapatkan ASI eksklusif mempunyai resiko untuk
terkena diare sebanyak 0,0789x daripada Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.
Hal ini juga bermakna bahwa ASI eksklusif merupakan faktor protektif terhadap
kejadian diare pada balita.
6.2 Umur Pemberian ASI Pertama Kali
Berkaitan dengan umur pertama kali ASI yang diberikan pada balita hampir
semua informan mengatakan pemberiannya pada saat lahir. Namun demikian ada
beberapa informan mengatakan pemberian ASInya beberapa jam setelah
melahirkan, banyak yang memberikan alasan karena ASI yang keluar beberapa
jam hingga beberapa hari seperti yang dikutip dari wawancara berikut :
”..iya anak saya dapat ASI dari sejak lahir, tapi saya kasinya beberapa jam
kemudian karena waktu itu operasi sesar…”,
Ibu (Elf. 5 bulan)
62
“..dapetnya baru lahir itu, pas lahir ASInya belum keluar jadi tak pancing-
pancing saja dia…satu hari baru keluar ASInya..”,
Ibu (NN, 4 bulan)
“…ASI pertama kali dapat sejak baru lahir dia,.hmmm kalo itu (pemberian
ASI sewaktu lahir) tunggu dua hari baru dapet ASI anak saya..”,
Ibu (S, 4 bulan 5 hari)
Namun ada beberapa informan tidak memberikan ASInya pada bayinya. Hal
ini infroman memberikan alasan karena sewaktu lahir ASI tidak keluar dan
kebanyakan infroman memberikan susu formula ke anaknya sebagai pengganti
atau pembantu ASI. Namun ada juga informan tidak memberikan ASInya sejak
lahir karena ketika diberikan ASI anak tersebut langsung diare, hal ini bisa
dilihat dari kutipan wawancara berikut :
“..Anak saya dapat ASInya sejak saat dia lahir tapi cumin sedikit dapetnya,
jadi karena sedikit tadi makanya saya bantu dengan susu SGM 1, itu selang
seling dengan ASInya saya berikan..”
Ibu (MRR, 5 bulan 2 minggu)
“…Anak saya nda pernah dapat ASI, karena waktu saya kasi dia langsung
mencret, pertama lahir sih saya kasi, tapi karena beberapa minggu dia
langsung mencret makanya saya tidak kasi lagi…”
Ibu (IQ, 4,5 bulan)
63
6.3 Makanan/Minuman Tambahan Selain ASI
Beberapa Informan memberikan makanan/minuman tambahan kepada
bayinya. Kebanyakan dari mereka memberikan susu formula dan sedikit dari
mereka yang memberikan air putih sebagai pendamping ASI maupun sebagai
pengganti ASI. Namun ada beberapa informan yang memberikan makanan
padat seperti biskuit, bubur, dan pisang walapun umur anaknya belum melewati
umur 6 bulan.
“…Iya air putih sama biskuit…biskuit milna yang diencerkan nda dimakan
langsung, saya kasi soalnya dia sudah bisa mengunyah…”
Ibu (MTF, 6 bulan)
“..mmm..saya kasi dia bubur SUN pas waktu dia berumur 4 bulan karena
pas dicoba dia suka, selain itu dapet susu SGM juga dia”
Ibu (N, 6 bulan)
“…Pernah saya kasi susu SGM trus kasi bubur tapi dia nda suka, sekarang
dia dapet ASI tapi saya bantu dengan susu dan bubur…”
Ibu (K, 6 bulan)
6.2.1 Perbandingan Pemberian ASI dengan Makanan/Minuman Tambahan
64
Perbandingan pemberian ASI dengan makanan/minuman tambahan lainya
sangat bervariasi dari informasi yang didapat dari informan pada penelitian kali
ini. ada yang lebih sering pemberian makanan/minuman tambahan daripada
ASInya sendiri, ada yang sebanding dan adapula yang lebih banyak pemberian
ASI daripada makanan/minuman tambahan dari informasi yang didapat dari
informan pada penelitian kali ini.
“…kalo mengenai lebih banyak ASInya dengan susunya sama buburnya,
lebih banyak ASI dia, kalo buburnya cuman 4 kali…ASInya ada 8 kali..”
Ibu (MTF, 6 bulan)
“…susu botolnya bisa sampai 8 kali sambil tunggu ASInya banyak keluar..”
Ibu (KAS, 5 bulan)
“…nda tau..kayaknya sama rata dia, biasanya susu botolnya saya kasi
siang dan ASInya malam hari..”
Ibu (J, 5 bulan)
6.2.2 Pengaruh ASI, Makanan, dan Minuman tambahan terhadap frekuensi
terjadinya diare
Sebagian besar informan memberi informasi bahwa pemberian
makanan/minuman tambahan selain ASI lebih sering terkena diare pada anak
65
mereka. Namun, beberapa dari mereka juga memberikan informasi pemberian
ASI juga menyebabkan diare pada awal masa kelahiran. Bila dibandingkan
frekuensi terjadinya diare pada anak informan yang mendapatkan
makanan/minuman lebih sering dibandingkan pada anak informan yang hanya
mendapatkan ASI saja tanpa makanan/minuman tambahan selain ASI.
“…susu botolnya bisa sampe 8 kali saya kasi sambil tunggu keluar ASInya,
ya..lebih sering dia diare anak saya, sudah 5 kali ini dia diare…”
Ibu (KAS, 5 bulan)
“..Nda pernah (susu formula) hanya ASI saja…kalau diare, nah..nda pernah
dia diare, baru kali..tapi waktu awal bulan sering diare dia, kentut sedikit saja
sudah keluar kotorannya…”
Ibu (OA, 2 bulan)
“..Waktu ASInya lebih banyak, tapi karena sering mencret-mencret dia saya
kasi susu botol..ehh malah mencret..”
“…Kalo dibandingin mencretnya waktu minum susu botol sama
ASInya..sering sekali sewaktu dia minum susu botol lebih banyak sama lebih
sering ketimbang waktu pake ASI”
Ibu (IQ, 4,5 bulan)
6.3.3 Higienitas tempat minum/makan pada anak yang mendapatkan
makanan/minuman tambahan
66
Hampir semua para informan menjaga dengan baik higienitas tempat
makanan/minuman untuk anak mereka dan para informan juga tahu dengan
baik bagaimana membersihkan tempat makanan/minuman anak mereka.
“..Iya sering (membersihkan tempat makanan/minuman anaknya),
dibersihkan dulu pake sabun terus dibersihkan dengan dihangatkan..”
Ibu (MTH, 6 bulan)
“…hmmm kalo membersihin tempat air minum anak saya, dicuciin dulu
setiap minum pake sabun baru pake air hangat..”
Ibu (J, 5 bulan)
“…Iya dengan cara merebus botolnya itu tapi dicuci dulu pake air
sabun..”
Ibu (DA, 1 bulan)
6.4 Cara Menyimpan ASI dan Memberikan ASI
6.3.1 Cara Menyimpan ASI
Hampir semua Informan tidak pernah menyimpan ASInya untuk kemudian
diberikan pada anak nantinya, mereka beranggapan bahwa menyimpan ASI bisa
menyebabkan basi pada ASInya. Dan hampir semua informan beralasan tidak
memiliki kulkas untuk menyimpan ASI. Ada beberapa informan juga berasalan
67
memeras ASInya untuk diberikan langsung ke anaknya karena jumlah ASI yang
keluar sedikit.
“…nah kalo menyimpan ASI saya nda pernah simpan paling diperas baru
dibuang karena takut basi..”
Ibu (J, 5 bulan)
“…Nda pernah saya simpan, langsung saya buang karena nda punya kulkas
di rumah..”
Ibu (MA, 2 bulan)
“…Sudah pernah saya peras, terus saya taruh dicangkir..saya langsung
kasi minum pake sendok nda saya panaskan lagi karena sedikit jumlahnya..”
Ibu (N, 6 bulan)
6.3.2 Cara Pemberian ASI
Para informan yang memberikan ASI ekslusif pada anaknya tidak
mengetahui cara menyusui yang baik kepada anaknya. Hal ini bisa dilihat dari
pernyataan mereka dalam menjaga kebersihan payudara baik sebelum maupun
sesudah memberikan ASI kepada anaknya. Hampir semua membersihkan
payudaranya sebelum memberikan ASI kepada anaknya, namun media
pembersih yang digunakan masih kurang baik untuk menjaga kebersihan
payudara bahkan dapat menjadi sumber infeksi dari diare. Mereka umumnya
membersihkan payudaranya dengan menggunakan air PAM, air sumur bahkan
air sabun untuk mencuci payudaranya sebelum memberikan ASI kepada
68
anaknya. Tidak ada satupun dari mereka yang menggunakan ASI yang keluar
dari payudara untuk membersihkan payudaranya baik sebelum memberikan
ASI maupun sesudah memberikan ASI.
“…Sebelum memberikan ASI saya membersihkan payudara saya dengan air
sumur baru saya kasikan (beri) ke anak saya,…kalo setelah menetek tak biarin
aja…”
Ibu (MA, 2 Bulan)
“..Saya bersihkan sih payudara saya sebelum berikan ASI ke anak saya,
saya bersihkan dengan air PAM aja…”
Ibu (E, 5 bulan)
“..kalo bersihin payudara sebelum kasi ASI sih iya, tak bersihin pake
sabun..”
Ibu (KI, 4 bulan 5 minggu)
“…Bersihin sebelum kasi ASI yah?,..yah saya bersihkan dulu payudara
saya pake air PAM, kalo selese nda saya bersihkan…”
Ibu (OA, 2 bulan)
6.5 Kebersihan Lingkungan
6.4.1 Sumber Air Minum
Sumber air minum para informan hanya terdiri dari tiga sumber air minum
utama antara lain sumber air minum yang berasal dari PAM, sumber air minum
yang berasal dari sumur (air tanah) dan sumber air minum kemasan (air galon).
69
Bagi informan yang mempunyai sumber air minum yang berasal dari
PAM dan air tanah (sumur) mereka merebus air tersebut sebelum
mengkonsumsinya.
Para informan yang memberikan minuman tambahan (susu formula) ke
anak mereka, mereka memasak terlebih dahulu sebelum digunakan untuk
menyeduh susu formula anak mereka.
“…untuk minum dirumah ada air galon ada juga air sumur…kalo minum
pake air galon lah..”
Ibu (K, 4 bulan)
“…kalo untuk minum pake air PAM aja di rumah, untuk nyuci sama
minum..tapi kalo minum dimasak lah..”
Ibu (N, 4 bulan)
“…Kalo di rumah untuk minum pake air galon, kalo untuk susunya saya
rebus dulu..”
Ibu (IQ, 4,5 bulan)
“…untuk minum pake air di rumah, tapi kalau diminum saya masak dulu
selama 20 menit…”
Ibu (IKA, 6 bulan)
6.4.2 Ketersediaan Fasilitas Jamban untuk BAB/BAK
70
Sudah banyak informan yang memiliki fasilitas jamban untuk BAB/BAK di
rumah mereka masing-masing, walaupun ada sebagian kecil informan yang
masih belum mempunyai jamban. Mereka yang tidak mempunyai jamban
umumnya menggunakan fasilitas jamban umum yang tersedia di masjid dan di
keluarga mereka. Namun, ada sebagian kecil yang masih BAB/BAK di sungai,
tentu saja kebiasaan ini berpengaruh dengan pola penyebaran diare.
Lingkungan sekitar informan juga sudah banyak yang memiliki jamban
sendiri di rumah mereka walaupun ada yang masih belum punya dan membuang
air besar/kecil di kali.
“…WC di rumah tidak ada…di tetangga juga banyak yang tidak ada
biasanya saya buang di kali..”
Ibu (IA, 2 bulan)
“…Jamban di rumah sudah ada,tetangga juga sudah punya semua, soalnya
daerah saya tinggal (tempat saya tinggal) sudah bersih..”
Ibu (KAS, 5 bulan)
“…WC di rumah sudah ada kalau di rumah, tetangga juga sudah banyak
rata-rata..tapi masih ada yang buang air di kali..”
Ibu (A, 5 bulan)
6.5.3 Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Memegang dan Memberi Makan Anak
71
Hampir seluruh informan sudah memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum
memegang maupun memberi makan pada anak mereka, walaupun ada sebagian kecil
yang tidak melakukannya dengan alasan anak mereka rewel jika tidak segera diberi
makan dan digendong.
Sebagian besar informan juga sudah melakukan cuci tangan dengan baik. Mereka
hampir seluruhnya menggunakan sabun untuk mencuci tangan dan sebagian kecil
hanya menggunakan air mengalir saja.
“…Mencuci tangan yah, nda pernah karena kalo nangis dia nda bisa diam
makanya saya langsung saya ambil..”
Ibu (BJ, 1 bulan)
“…yah cuci tangan sih kalau mau pegang, kasi makan, sama selese ganti
popoknya..tapi cucinya sebentar saja..”
Ibu (MRR, 5 bulan 2 minggu)
“..cuci tangan sih iya, tapi cuci tangan pake air saja..”
Ibu (AS, 5 bulan)
72
BAB VII
PEMBAHASAN
7.1 Umur Pemberian ASI Pertama kali
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa umur pemberian ASI pertama kali
sebagian besar telah memberikan ASInya sejak bayi lahir. Hal ini sudah bagus
mengingat ASI ekslusif harus diberikan sedini mungkin dan sesering mungkin.
Pemberian ASI pada jam pertama kehidupan baik untuk pencernaan bayi karena
ASI pada 4 hari pertama ini mengandung kolostrum yang merupakan pencahar
yang membersihkan mekonium sehingga mukosa usus bayi yang baru lahir
segera bersih dan siap menerima ASI.
Bayi pada minggu-minggu pertama kelahiran yang mendapatkan kolostrum
akan sering mengalami defekasi dan feses akan berwarna hitam. Jumlah energi
yang terdapat pada ASI pada awal-awal persalinan tidak terlalu banyak hanya 56
kal/100ml, ini penting karena organ bayi yang baru lahir belum bekerja dengan
baik sehingga membutuhkan energi yang tidak terlalu besar yang justru akan
menambah tingkat metabolismenya yang berujung pada pembebanan pada kerja
organ. Pemberian ASI sewaktu lahir juga penting karena kadar Imunoglobulin
73
yang tinggi yang dapat membantu kekebalan tubuh bayi melawan kuman-kuman
pathogen. Hal ini disebabkan karena ASI mengandung IgA yang tinggi. Bagian
sekretori dari IgA tidak mudah diserap jadi dapat membantu melumpuhkan
bakteri patogen E. Coli dan virus dalam pencernaan. ASI juga mengandung
lisosim yang merupakan enzim yang melindungi bayi terhadap bakteri E.coli dan
Salmonella.
Dari penelitian juga didapatkan bahwa banyak yang tidak memberikan ASI
sejak lahir karena produksi ASI mereka yang sedikit dan cenderung untuk
dibantu dengan susu formula. Seperti yang dijelaskan diatas kebutuhan energi
dan metabolism bayi pada awal kelahiran tidak besar. Jumlah ASI yang
diproduksi kelenjar susu pun tidak terlalu banyak karena menyesuaikan dengan
kebutuhan bayi. Seiring dengan bertambahnya hari produksi ASI akan
meningkat yang disebabkan karena rangsangan berupa isapan dari bayi akan
merangsang pelepasan hormon Oxytocin dan Prolactin yang nantinya
menyebabkan produksi ASI meningkat.
Pemberian susu formula sejak awal kelahiran akan menyebabkan bayi diare
karena kandungan protein whey yang lebih rendah dari casein sehingga
menyebabkan susu formula sulit diserap ditambah lagi enzim LDH (Lactate
Dehidrogenase) yang masih kurang. Jika penyerapan yang berkurang ini terjadi
di usus besar bayi maka akan menyebabkan tekanan osmotik intralumen
meningkat sehingga cairan dari ekstralumen akan masuk dan selanjutnya akan
menyebabkan diare pada bayi tersebut.
74
7.2 Makanan dan Minuman Selain ASI
Dari hasil penelitian diperoleh informasi masih banyak yang memberikan
makanan atau minuman tambahan selain ASI bahkan ada yang memberikan
makanan padat sebelum waktunya. Sebagian besar dari mereka memberikan
susu formula sebagai pendamping atau pengganti ASI. Kebanyakan pemberian
susu formula ini disebabkan kurangnya produksi ASI pada masa menyusui. Jika
dilihat alasan pemberian susu formula tersebut sebenarnya kurang tepat, karena
perlu diingat ketika memberikan susu formula pada bayi maka faktor resiko
untuk terkena diare semakin banyak mulai dari kebersihan tempat minum,
kebersihan air yang digunakan hingga toleransi terhadap kandungan laktosa
pada susu formula.
Perbandingan pemberian ASI terhadap makanan/minuman tambahan lain
bisa dilihat sangat bervariasi pada penelitian ini. Sebaiknya perbandingan
pemberiannya lebih banyak ASI daripada makanan/minuman tambahan. Selain
untuk mencegah kemungkinan terjadinya diare, perlu diperhatikan juga
pemberian ASI yang lebih sering akan membuat bayi menghisap lebih aktif
dibandingkan dengan memberikan susu formula dengan menggunakan botol
dot. Pada pemberian ASI bayi aktif menghisap, hal ini akan melatih otot-otot
disekitar mulut untuk bergerak dan lidah lebih aktif dalam menghisap. Proses
pelatihan ini akan membantu anak dalam proses berbicara nantinya.
75
Dibandingkan dengan payudara, botol dot konvensional membuat bayi lebih
pasif dalam menghisap.
Frekuensi diare jika dibandingkan dengan anak yang mendapatkan ASI
ekslusif dengan anak yang mendapatkan makanan/minuman tambahan. Dari
hasil penelitian ini dapat dilihat, frekuensi diare cenderung lebih banyak pada
pemberian makanan/minuman tambahan daripada ASI. Hal ini telah dijelaskan
diatas, karena pada pemberian makanan/minuman tambahan akan semakin
meningkatkan resiko terkena diare.
Mengenai beberapa informasi yang menyatakan bahwa anaknya mengalami
diare ketika diberikan ASI pada awal-awal minggu kelahiran, kemungkinan hal
ini disebabkan karena kandungan kolostrum yang berfungsi untuk
mengeluarkan mekonium pada bayi sehingga menyebabkan lebih sering untuk
defekasi. Dan perlu juga diperhitungkan faktor kebersihan payudara ketika
menyusui anak.
Higienitas tempat makan/minum anak pada penelitian ini didapatkan
hampir semua informan sudah memahami cara membersihkan tempat
minum/makan anaknya.
7.3 Cara Menyimpan ASI dan Memberikan ASI
Dari penelitian diperoleh informasi sebagian besar informan tidak
mengetahui cara menyimpan ASI. Mereka beranggapan menyimpan ASI dapat
membuat ASI tersebut menjadi basi. ASI sendiri dapat bertahan 4 jam pada
76
keadaan terbuka, kebanyakan dari mereka beranggapan jika ASI yang sudah
diperas harus disimpan di lemari es dan jika tidak disimpan di lemari es akan
menyebabkan ASI tersebut basi.
Dari penelitian juga diperoleh informasi bahwa mereka memeras ASI dan
kemudian menampungnya untuk sementara karena ASI yang keluar dari
payudara jumlahnya sedikit. Hasil dari perasan tersebut kemudian langsung
diberikan ke anak mereka.
Di penelitian ini juga diperoleh informasi yang penting bahwa semua
informan membersihkan payudaranya tidak menggunakan ASI yang keluar dari
payudaranya sebelum memberikan ASI maupun setelah diberikan ASI.
Kebanyakan dari mereka menggunakan air dari sumber air minum mereka
(PAM, sumur, dll) untuk membersihkan payudaranya sebelum memberikan ASI
ke anak. Kebiasaan ini sebenarnya semakin meningkatkan faktor resiko terkena
diare pada anak yang mendapatkan ASI, karena pada air dari sumber air minum
mereka (PAM, sumur, dll) masih mengandung kuman-kuman yang bisa jadi
menyebabkan diare. Kuman-kuman tersebut akan melekat pada payudara dan
akan terhisap pada saat bayi menyusui. Hal ini tentu bisa menjadi salah satu
faktor penyebab terjadinya diare.
Membersihkan payudara sebaiknya mengoleskan ASI yang keluar dari
payudara yang kemudian dioleskan disekitar aerola hingga papilla mammae
karena pada ASI sendiri mengandung antibodi dan enzim yang bisa membunuh
kuman-kuman disekitar aerola dan papilla mammae. Setelah memberikan ASI
77
pula sebaiknya melakukan hal yang sama, disamping untuk membersihkan
dapat juga mencegah iritasi pada kulit payudara ketika menyusui.
7.4 Kebersihan Lingkungan
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sumber air minum yang banyak
digunakan adalah sumber air minum yang berasal dari PAM, air tanah (sumur),
dan air kemasan (gallon). Semua informan sudah baik dalam mengolah sumber
air minum ini sebelum dikonsumsi. Dengan merebus air terlebih dahulu dapat
membunuh kuman patogen yang terdapat pada air sebelum dikonsumsi.
Pada penelitian juga diperoleh informasi bahwa hampir semua responden
telah memiliki jamban untuk BAB/BAK, beberapa yang tidak punya membuang
air besar dan kecil pada WC umum yang tersedia dilingkungan dan sebagian
kecil masih membuang air besar dan kecil pada kali. Kebiasaan ini dapat
menyebarkan penyakit diare pada satu orang ke orang banyak jika kali tersebut
digunakan sebagai sumber air disekitar masyarakat. Mengingat sumber transmisi
kuman diare seperti E.Coli, shigella, dan salmonella serta beberapa parasit
seperti cacing melalui fecooral. Jika seseorang yang terkena diare BAB
sembarangan maka ini akan meningkatkan resiko terkena diare pada orang lain,
karena feses yang dibuang tersebut mengandung kuman-kuman patogen yang
dapat menyebabkan diare. Vector seperti serangga (lalat) dapat membantu
78
penyebaran diare. Feses yang dibuang sembarangan akan terpapar dengan udara
lalat akan mudah untuk hinggap, dan kuman-kuman patogen ini akan menempel
pada tubuh serangga. Jika lalat ini kemudian terbang menghinggapi
makanan/minuman yang ada di rumah akan dapat membantu penyebaran diare.
Kebiasaan mencuci tangan sebelum menyentuh dan memberi makan pada
anaknya pada penelitian kali ini didapatkan hampir semua informan telah
menyadari pentingnya menjaga kebersihan tangan sebelum menyentuh dan
memberi makan pada anak. Kebiasaan ini tentu dapat memutuskan mata rantai
terjadinya diare pada bayi, karena dengan mencuci tangan kita telah membunuh
kuman patogen pada tangan kita yang sebelumnya kita tidak tahu telah
memegang apa saja yang mungkin bisa menyebabkan diare. Pada anak yang
masih mendapatkan ASI penting sekali membersihkan tangan sebelum
membersihkan payudara yang kemudian akan diberikan pada anak. Dengan
menggunakan sabun dan mencucinya selama 2 menit keseluruh permukaan
tangan akan dapat membunuh kuman-kuman patogen yang menyebabkan diare.
79
BAB VIII
KESIMPULAN
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan
1. Dilihat dari resiko relatif atau ratio odds dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat
hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap diare pada balita yaitu ASI
merupakan faktor protektif terhadap diare pada balita.
2. Umur pemberian ASI pada anak
ASI telah diberikan pada saat jam-jam pertama kelahiran walaupun masih ada yang
belum memberikan dengan alasan produksi ASI yang kurang.
3. Makanan/minuman tambahan selain ASI
a. Sebagian besar memberikan susu formula sebagai pendamping ASI maupun
sebagai pengganti ASI, beberapa orang telah memberikan makanan padat
meskipun anaknya belum mencapai umur 6 bulan.
b. Pemberian makanan/minuman tambahan ini sangat bervariasi dengan pemberian
ASI.
80
c. Hampir semua informan yang memberikan makanan/minuman tambahan
mengetahui cara menjaga kebersiha tempat makan/air minum anaknya.
d. Sebagian besar informan yang memberikan makanan/minuman tambahan
cenderung mengalami diare.
4. Cara menyimpan dan memberikan ASI
a. Hampir semua informan tidak pernah menyimpan ASInya karena takut ASInya
basi dan sebagian besar beralasan tidak mempunyai tempat untuk menyimpan
(kulkas).
b. Semua informan tidak menggunakan ASI yang keluar dari payudara untuk
membersihkan payudaranya baik sebelum dan sesudah memberikan ASI pada
anaknya. Sebagian besar menggunakan air dan air sabun untuk membersihkan
payudaranya sebelum memberikan ASI.
5. Kebersihan lingkungan
a. Sebagian besar menggunakan air PAM, air sumur, dan air galon sebagai sumber
air minum.
b. Semua informan memasak terlebih dahulu sumber air minumnya sebelum
digunakan untuk menyeduh susu formula untuk anaknya.
c. Sebagian besar telah memiliki jamban khusus untuk BAB/BAK.
d. Hampir semua informan mencuci tangannya sebelum menyentuh dan
memberikan makanan pada anaknya.
8.2 Saran
1. Pihak Dinas Kesehatan Mataram
81
a. Kebijakan Departemen Kesehatan RI mengenai program Peningkatan
Pemberian ASI eksklusif (PP-ASI) dan inisiasi dini perlu disosialisasikan
lebih lanjut dalam bentuk iklan-iklan layanan masyarakat melalui media
radio, televisi, surat kabar, majalah, dan lain-lain.
b. Perlunya ditegakkan aturan mengenai indikasi pemberian susu formula
dan makanan tambahan selain ASI di sarana kesehatan ibu dan anak, dan
pada petugas kesehatan untuk tidak menganjurkan pemberian susu
formula tanpa indikasi tertentu agar ibu bersedia dan tetap berusaha
sedapat mungkin untuk memberikan ASI Eksklusifnya.
c. Menyediakan WC percontohan bagi warga dan penyuluhan tentang bahaya
diare.
d. Mengoptimalkan kembali penyuluhan tentang pentingnya PHBS.
2. Untuk penelitian selanjutnya
a. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh membersihkan
payudara terhadap kejadian diare pada anak yang mendapatkan ASI.
b. Perlunya dilakukan penelitian tentang angka kejadian diare pada anak yang
segera mendapatkan ASI setelah lahir dengan yang tidak mendapatkan ASI
setelah lahir.
82
DAFTAR PUSTAKA
1). Siregar AM, [Online] 2004, Pemberian ASI Ekslusif dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya, [Cited februari 2nd 2009], Available from URL :
http://library.usu.ac.id/modules.php?
op=mcload&name=Download&file=index&req=getit&lid=986
2). Guandalini, Stefano, [Online] 2009, Diarrhea, [Cited December 5th 2009],
Available from URL : http://www.emedicine.com
3). Irawati, TH, [Online] 2003,Menyusui Pada Satu Jam Pertama Kehidupan,
[Cited 3rd Februari 2009], Available from URL :
http://www.promosikesehatan.com/artikel.php?mn=11&yr=2007&nid=337
4). Gross, J. Steven,[Online]2009, Composition of Breast Milk from Mother of
Preterm Infants, [Cited December 15th 2009],Available from URL :
http://www.pediatric.org
5). Cushing, A. Alice, [Online]2009, Diarrhea on Breast Fed and Non-Breast Fed
Infants, [Cited December 15th 2009],Available from URL :
http://www.pediatric.org
83
6). Wagner, E. Carol,[Online]2009, Human Milk and Lactation, [Cited June 9th
2009],Available from URL :http://www.emedicine.com
7). Gershon Anne, Krugman’s Infectious Diseases of Childern 11 th Edition ,
Mosby : New York, 2003, 278-293
8). Zein, Umar,[Online] 2004, Diare Akut Disebabkan Bakteri, [Cited December
9th 2009], URL : http://www.e-USUrespository.com
9). McMillan A. Julian, Oski’s Pediatrics : Principle and Practice 3 rd Edition ,
Lippincolt Williams: England, 1999, 377-310
10). Berhman, Richard E, Nelson Textbook of Pediatric 17 th Edition, W.B.
Saunders : New York,2003,106-107, 1273-1276.
11). Carol, Wagner L,Counseling The Breastfeeding Mother,[Cited on June
5th,2009], URL : http://www.emedicine.medscape.comarticle979458-
overview
12). Schmitt, MD, Diarrhea :Breast-Fed Infants,[Cited on March 23th,2009], URL:
http://www.med.umich.edu1librpapa_diarrhbr_hhg.htm
13). Schmitt, MD, Diarrhea :Formula-Fed Infants,[Cited on April 17th,2007],
URL: http://www.med.umich.edu1librpapa_diarrhbr_hhg.htm
14). Kaneshiro, K. Neil, Breast milk, [Cited on August 2th, 2009], URL:
http://www.nlm.nih.govmedlineplusencyarticle002451.htm
15). Neil K. Kaneshiro, MD, Breastfeeding Tips,[ Cited on August 2th, 2009], URL:
http://www.nlm.nih.govmedlineplusencyarticle002451.htm
84
16). Neil K. Kaneshiro, MD, Neil K. Kaneshiro, MD, Breastfeeding-self-care,
[ Cited on August 2th, 2009], URL:
http://www.nlm.nih.govmedlineplusencyarticle002451.htm
HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI EKSLUSIF DENGAN
KEJADIAN DIARE PADA BAYI DI RSU MATARAM
Oleh :
WAYAN SULAKSMANA SANDHI
C11105014
Pembimbing :
Dr. dr. ARMYN NURDIN, MSc
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
85
MAKASSSAR
2009