124
PENGARUH BANTUAN SOSIAL DAN TINGKAT INFLASI TERHADAP KEMISKINAN SELURUH PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2007 – 2017 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E.) Disusun Oleh : Kurniasih Anderesta 11150840000073 JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M

PENGARUH BANTUAN SOSIAL DAN TINGKAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46115...PENGARUH BANTUAN SOSIAL DAN TINGKAT INFLASI TERHADAP KEMISKINAN SELURUH PROVINSI DI

  • Upload
    others

  • View
    24

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PENGARUH BANTUAN SOSIAL DAN TINGKAT INFLASI TERHADAP

KEMISKINAN SELURUH PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2007 –

2017

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi (S.E.)

Disusun Oleh :

Kurniasih Anderesta 11150840000073

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H / 2019 M

i

ii

iii

iv

v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

1. Nama Lengkap : Kurniasih Anderesta

2. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 09 April 1996

3. Alamat : Jl. Mimosa XIV P-6 Buncit Indah, Pejaten

Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan

4. Telepon : 083808460601

5. Email : [email protected]

II. Pendidikan Formal

1. TK Quratul A’yun 2001 – 2002

2. SD Negeri Pejaten Barat 10 Pagi Jakarta Selatan 2002 – 2008

3. SMP Sabiluna Islamic Boarding School 2008 – 2011

4. SMK Walisongo Jakarta 2011 – 2014

5. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015 – 2019

III. Seminar dan Workshop

1. Meet and Greet “Be a Wonderful Person with Innovation and

Achievement”, diselenggarakan oleh LDK KOMDA FEB, 10 September

2015.

2. Seminar Nasional “Peningkatan Sumber Daya Kelautan Nasional Sebagai

Pilar Pembangunan Ekonomi”, diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi

dan Bisnis, 18 November 2016.

3. Seminar Nasional “Riba Sumber Masalah Ekonomi Umat”,

diselenggarakan oleh Universitas Esa Unggul Jakarta, 23 Mei 2017.

4. Seminar Nasional dalam kegiatan kompetisi LKTI Incredible Research and

Competition (INSTINCT) 2017 dengan tema Peningkatan Perekonomian

Indonesia di Kawasan ASEAN, diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian

Ilmiah dan Informasi (LPII FE UR) Fakultas Ekonomi Universitas Riau.

IV. Pengalaman Organisasi

1. Anggota Divisi Internal HMJ Ekonomi Pembangunan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2016-2017.

vi

ABSTRACT

The percentage of poverty in Indonesia in 2018 for the first time at single

digit numbers. The poverty rate that continues to decline indicates the

government's success in various policies that have been implemented. This

research aims to know the impact of Social Assistance and Inflation on Poverty in

The Provinces in Indonesia on Period 2007-2017. Using a panel data analysis

with REM Approach (Random Effect Method) in a group of: (1) 33 the provinces,

(2) The Province of Java and Sumatra, (4) The Province of Bali, Nusa Tenggara,

Maluku and Papua. In addition, this research uses FEM Approach (Fixed Effects

Method) on the Group (3) The Province of Kalimantan and Sulawesi. The results

showed that the Social Assistance variable only has a significant impact on the

group of (4) Bali, Nusa Tenggara, Maluku and Papua. The Province of

Kalimantan and Sulawesi, the Social Assistance variable has a positive coefficient

on the poverty that indicates the occurrence of in-effectiveness distribution of

Social Assistance in that region. And inflation has a positive coefficient on all the

group of regression and significantly affect poverty.

Keywords: Poverty, Social Assistance, Inflation, REM (Random Effect Method),

FEM (Fixed Effects Method).

vii

ABSTRAK

Persentase Kemiskinan di Indonesia pada tahun 2018 untuk pertama kalinya

menyentuh angka satu digit. Angka kemiskinan yang terus menurun menunjukan

keberhasilan pemerintah atas berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Bantuan Sosial dan Inflasi

terhadap Kemiskinan di Seluruh Provinsi di Indonesia tahun 2007 - 2017.

Menggunakan analisis data panel dengan pendekatan REM (Random Effect

Method) pada kelompok: (1) 33 Provinsi, (2) Provinsi Jawa dan Sumatera, (4)

Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Selain itu, penelitian ini menggunakan

pendekatan FEM (Fixed Effect Method) pada kelompok (3) Provinsi Kalimantan

dan Sulawesi. Hasilnya menunjukan bahwa variabel Bantuan Sosial hanya

memiliki pengaruh yang signifikan pada kelompok Provinsi Bali, Nusa Tenggara,

Maluku, dan Papua. Pada kelompok Provinsi Kalimantan dan Sulawesi, variabel

Bantuan Sosial memiliki nilai koefisien positif terhadap kemiskinan yang

menandakan terjadinya inefektivitas penyaluran Bantuan Sosial di daerah tersebut.

Sedangkan variabel Inflasi memiliki koefisien positif pada keempat kelompok

regresi dan signifikan mempengaruhi kemiskinan.

Kata Kunci: Kemiskinan, Bantuan Sosial, Inflasi, REM (Random Effect Method),

FEM (Fixed Effect Method).

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis

panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkar rahmat dan hidayah-Nya

penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi

Terhadap Kemiskinan Seluruh Provinsi Di Indonesia Tahun 2007 – 2017” dapat

diselesaikan guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan

pendidikan strata satu pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi

dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Perjalanan panjang telah penulis lalui dalam rangka perampungan penulisan

skripsi ini. banyak hambatan yang dihadapi dalam penyusunannya, namun berkat

kehendak-Nya lah sehingga penulis berhasil menyelesaikan penyusunan skripsi

ini. Dengan selesainya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih

kepada:

1. Orang tua Penulis, Ibunda Pariyah dan Alm. Ayahanda Dody Sanjaya yang

telah mendidik dan memberikan kasih sayang, dukungan, doa, serta

kesabaran tanpa batas kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Amilin, S.E.Ak., M.Si., CA., QIA., BKP., CRMP., selaku

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

semoga Bapak selalu diberikan kemudahan oleh Allah SWT untuk

mengembangkan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

3. Bapak Djaka Badranaya, S.Ag., M.E. selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, memberikan motivasi dan arahan, ilmu yang bermanfaat

selama perkuliahan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini

hingga skripsi ini selesai. Semoga bapak selalu diberikan kesehatan dan

keberkahan oleh Allah SWT.

4. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si dan Bapak Sofyan Rizal, M.Si selaku Ketua

dan Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan yang telah memberikan

arahan serta bimbingan yang berarti dalam penyelesaian perkuliahan ini.

ix

5. Ibu Utami Baroroh, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan banyak arahan dan menjadi tempat Penulis untuk berdiskusi

perihal perkuliahan. Semoga ibu selalu dalam lindungan Allah SWT.

6. Seluruh jajaran dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan

ilmu yang sangat berguna dan berharga bagi penulis selama perkuliahan

serta jajaran karyawan dan staff UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

melayani dan membantu penulis selama perkuliahan.

7. Kepada Sahabat Minceu Lovers, yang tiada henti memberikan semangat dan

mengisi hari-hari Penulis selama perkuliahan. Terimakasih kepada Andini,

Azalia Nada Bayanillah, Diyah Ayu Fatimah, Diyah Ayu Setyo, Khairun

Nisa, Maria Ulfah, Octavira Maretta, Priska Fatma Anggita, Rara Min

Arsyillah, Resha Ayu Nuvisa, Sofi Pratiwi, dan Tenti Aprianti Rukmana.

Semoga kita tetap memberikan semangat satu sama lain dalam hal-hal baik.

8. Kakak-kakak tingkat dan teman-teman angkatan 2015 Jurusan Ekonomi

Pembangunan, terimakasih atas kebersamaan dan kebaikannya selama ini

sehingga bisa menghantarkan Penulis sampai pada tahap ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih untuk

do’a, dukungan, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna

dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik

yang membangun dari berbagai pihak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Mei 2019

Kurniasih Anderesta

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………...

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. v

ABSTRACT ........................................................................................................... vi

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 6

C. Batasan Masalah........................................................................................... 6

D. Rumusan Masalah ........................................................................................ 6

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7

F. Tinjauan Kajian Terdahulu ........................................................................ 15

G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 23

A. Teori Terkait............................................................................................... 23

1. Kemiskinan (Poverty) ............................................................................... 23

2. Perlindungan Sosial (Social Security)........................................................ 28

3. Inflasi (Inflation) ........................................................................................ 34

B. Hubungan Antar Variabel ............................................................................. 39

1. Hubungan Bantuan Sosial dengan Kemiskinan ......................................... 40

2. Hubungan Inflasi dengan Kemiskinan ....................................................... 40

C. Kerangka Berpikir ........................................................................................ 41

D. Hipotesis ....................................................................................................... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 43

A. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 43

B. Metode Penentuan Sampel ......................................................................... 43

xi

C. Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 44

D. Instrumen Penelitian................................................................................... 44

E. Teknik Analisa Data ................................................................................... 45

1. Model Regresi Data Panel ......................................................................... 46

2. Estimasi Model Data Panel ........................................................................ 46

3. Pemilihan Model Data Panel ..................................................................... 49

4. Uji Asumsi Klasik ...................................................................................... 50

5. Uji Kelayakan ............................................................................................ 50

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 52

A. Temuan Hasil Penelitian ............................................................................ 52

1. Seluruh Provinsi (33 Provinsi) ................................................................... 52

2. Jawa dan Sumatera..................................................................................... 55

3. Kalimantan dan Sulawesi........................................................................... 58

4. Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua ................................................. 60

5. Uji Asumsi Klasik ...................................................................................... 62

6. Uji Kelayakan ............................................................................................ 64

B. Pembahasan ................................................................................................ 68

BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 74

A. Simpulan .................................................................................................... 74

B. Saran ........................................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 81

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Penelitian Sebelumnya ......................................................................... 15

Tabel 3. 1 Operasional Variabel Penelitian........................................................... 44

Tabel 4. 1 Uji Chow Seluruh Provinsi .................................................................. 53

Tabel 4. 2. Uji Hausman Seluruh Provinsi ............................................................ 53

Tabel 4. 3. Uji Lagrange Multiplier Seluruh Provinsi .......................................... 53

Tabel 4. 4. Hasil Estimasi Data Panel Seluruh Provinsi ....................................... 54

Tabel 4. 5. Uji Chow Provinsi di Jawa dan Sumatera ........................................... 55

Tabel 4. 6. Uji Hausman Provinsi di Jawa dan Sumatera ..................................... 56

Tabel 4. 7. Hasil Uji Lagrange Multiplier Provinsi di Jawa dan Sumatera .......... 56

Tabel 4. 8. Hasil Data Panel Provinsi di Jawa dan Sumatera ............................... 57

Tabel 4. 9. Hasil Uji Chow Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi ....................... 58

Tabel 4. 10. Hasil Uji Hausman Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi ................ 58

Tabel 4. 11. Hasil Data Panel Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ....................... 59

Tabel 4. 12. Hasil Uji Chow Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

............................................................................................................................... 60

Tabel 4. 13. Uji Hausman Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua 60

Tabel 4. 14. Hasil Uji Lagrange Multiplier Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku,

dan Papua .............................................................................................................. 61

Tabel 4. 15. Hasil Data Panel Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

............................................................................................................................... 62

Tabel 4. 16. Hasil Uji Multikolinearitas 33 Provinsi ............................................ 63

Tabel 4. 17. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Jawa dan Sumatera ................. 63

Tabel 4. 18. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ....... 63

Tabel 4. 19. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku,

dan Papua .............................................................................................................. 63

Tabel 4. 20. Hasil Uji Heteroskedastisitas Provinsi Kalimantan dan Sulawesi .... 64

Tabel 4. 21. Uji t-Statistik 33 Provinsi .................................................................. 65

Tabel 4. 22. Uji t-Statistik Provinsi Jawa dan Sumatera ....................................... 65

Tabel 4. 23. Uji t-Statistik Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ............................. 65

xiii

Tabel 4. 24. Uji t-Statistik Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua .... 65

Tabel 4. 25. Uji F-Statistic 33 Provinsi ................................................................. 66

Tabel 4. 26. Uji F-Statistic Provinsi Jawa dan Sumatera ...................................... 66

Tabel 4. 27. Uji F-Statistic Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ............................ 66

Tabel 4. 28. Uji F-Statistic Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua ... 66

Tabel 4. 29. Uji R-Square 33 Provinsi .................................................................. 67

Tabel 4. 30. Uji R-Square Provinsi Jawa dan Sumatera ....................................... 67

Tabel 4. 31. Uji R-Square Provinsi Kalimantan dan Sulawesi ............................. 67

Tabel 4. 32. Uji R-Square Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua ........... 67

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007 - September 2018 ............ 4

Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 41

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Luasnya kawasan NKRI membuat pembangunan dan pemerataan di banyak

daerah sering terhambat serta beranekaragamnya potensi dan masalah yang

dimiliki dan dihadapi setiap provinsi membuat pemerintahan secara sentral sudah

tidak lagi bisa diterapkan di Indonesia. Hadirnya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan

Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah

Tangganya Sendiri adalah langkah awal dari otonomi daerah dimana setiap daerah

memiliki hak dan wewenang untuk menjalankan rumah tangganya sendiri namun

masih tetap dalam pengawasan pemerintah pusat. Di dalam undang-undang

tersebut dibahas perihal pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap

pemerintahan daerah serta persyaratan-persyaratan dan segala macam

peraturannya hingga perihal keuangan daerah tentang pendapatan daerah pada

Pasal 37, selanjutnya pada Pasal 38 tentang Urusan Keuangan Daerah, dan Pasal

39 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja.

Berjalannya waktu, Undang-Undang yang mengatur perihal otonomi daerah

terus diperbaharui agar dapat terus sesuai dengan perubahan keadaan dan kondisi

yang terjadi di Indonesia. Undang-Undang terbaru perihal Otonomi Daerah

termaktub dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

sebagai bentuk pembaruan dari UU Nomor 32 Tahun 2007 yang dirasa sudah

tidak lagi relevan dengan perkembangan keadaan, ketata negaraan, dan tuntutan

penyelanggaraan otonomi daerah saat ini. Perbedaan dari Undang-Undang No 32

tahun 2007 dengan UU Nomor 23 tahun 2014 terletak pada jumlah bab yang

awalnya hanya 16 bab dengan 240 pasal kini menjadi 27 bab dengan 411 pasal.

Salah satu permasalahan utama yang selalu menjadi prioritas pemerintah

baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dari tahun ke tahun ialah

perihal kemiskinan yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Indikator

kemiskinan sering berbeda-beda tiap lembaga yang melakukan penghitungan

jumlah penduduk miskin. Tidak hanya Indonesia, masalah kemiskinan bahkan

2

menjadi masalah prioritas utama dari Sustainable Development Goals. Menurut

indikator yang digunakan Bank Dunia, orang yang masuk ke dalam kategori

miskin ialah ketika pengeluarannya tidak lebih dari USD$ 1,9 per hari (World

Bank, 2016). Sedangkan standar Angka Garis Kemiskinan yang digunakan Badan

Pusat Statistik sebesar Rp401.220,- per kapita per bulan atau Rp13.374,- per

kapita per hari (BPS, 2018). Angka Garis Kemiskinan tersebut terjadi peningkatan

sebesar 3,9 % dari periode September 2017 yang sebesar Rp387.160,- dan 7,14 %

dari Maret 2017 yang sebesar Rp374.478,-.

Bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), garis kemiskinan tersebut dianggap

terlalu rendah karena sangat jauh dengan Standar dari Bank Dunia dan Kebutuhan

Hidup Layak (KHL) yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 bagi pekerja lajang dalam sebulan. DPR

beranggapan bahwa indikator kemiskinan adalah sesuatu yang sakral untuk

melihat keberhasilan program-program pemerintah yang bertujuan untuk

mengentaskan kemiskinan (DPR, 2018). Standar Bank Dunia dikonversikan ke

dalam kurs sehingga menurut kajian DPR Angka Garis Kemiskinan bukan berada

pada Rp401.220,- melainkan berada dikisaran Rp837.045,- per kapita perbulan.

Nilai yang hampir dua kali lipat dari angka yang ditetapkan oleh BPS untuk garis

kemiskinan Maret 2018. Sedangkan Kebutuhan Hidup Layak yang ditetapkan

pemerintah jauh lebih rendah dari Standar KHL. Pada sisi pangan, BPS

menetapkan minimal kebutuhan yang harus terpenuhi sebesar 2100 kalori/hari

sedangkan KHL Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menetapkan

standar sebesar 3000 kalori/hari. Maka jika dihitung dalam rupiah, biaya yang

dibutuhkan untuk memenuhi KHL standar BPS hanya senilai Rp296.302 per

bulan, sedangkan bila mengikuti standar Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp523.654,- per bulan.

Sehingga Rp401.220,- bukanlah angka yang cukup bahkan sekedar untuk

memenuhi Standar KHL yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi.

Hal ini segera dibantah oleh Bappenas yang menyatakan bahwa garis

kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia tidak mengkonversikan $1.90

kedalam kurs melainkan melihat dari sisi P (Purchasing Power Parity) untuk

3

membandingkan angka kemiskinan di berbagai negara dengan standar yang Garis

Kemiskinan Internasional. Hasilnya menyatakan bahwa posisi P Indonesia pada

Maret 2018 dengan garis kemiskinan Rp401.220,- sudah setara dengan USD2,5

P/hari (Bappenas, 2018). Itu artinya, standar garis kemiskinan yang digunakan di

Indonesia pada tahun 2018 sudah setara dengan standar yang digunakan

Internasional. Selain standar yang digunakan tersebut, di Indonesia setiap provinsi

juga memiliki standar yang berbeda-beda. Standar garis kemiskinan di Jakarta

dengan asumsi memiliki satu sampai tiga anak, garis kemiskinannya sekitar

Rp593 ribu per kapita, itu artinya pengeluaran minimal setiap keluarga sebesar

Rp3 juta per bulan, masih lebih rendah dibanding UMR yang mencapai Rp3,6

juta. Sedangkan di NTT, standar garis kemiskinannya Rp354 ribu, dengan asumsi

jumlah satu keluarga enam orang maka pengeluaran minimal sekitar Rp2,1 juta,

masih lebih besar dibanding UMR NTT yang hanya Rp1,7 juta (BPS, 2018).

Pada tahun 2017 pada semester dua jumlah penduduk miskin menurut BPS

sebanyak 26 juta jiwa−hasil dari penjumlahan penduduk miskin di kota dan di

desa. Jumlah tersebut lebih tinggi dibanding jumlah penduduk miskin pada 2007

sebanyak 37,1 juta penduduk. Namun jika dilihat dari persentase jumlah

penduduk miskin, tahun 2007 sebanyak 12,5% untuk perkotaan dan 20,37% untuk

pedesaan, sedangkan tahun 2017 sebanyak 7,26% penduduk perkotaan dan

10,12% penduduk pedesaan (BPS, 2018). Provinsi dengan jumlah penduduk

miskin terbanyak pada tahun 2017 ialah Provinsi Sumatera Selatan dengan 1,4

juta jiwa, Provinsi Lampung dengan 1,3 juta jiwa, dan Provinsi Nusa Tenggara

Timur dengan 1,1 juta jiwa (BPS, 2018). Hingga pada semester 1 tahun 2018 ini

kemiskinan secara nasional mencapai persentase paling rendah hingga menyentuh

angka 9,82% (BPS, 2018).

4

Sumber: BPS, 2018

Gambar 1. 1 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007 - September 2018

Untuk dapat menurunkan jumlah penduduk miskin, maka pemerintah

melakukan berbagai upaya untuk terus menurunkan Persentase Kemiskinan. Salah

satunya ialah dengan adanya Perlindungan Sosial berupa adanya Dana Bantuan

Sosial pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang bertujuan untuk membantu

masyarakat miskin dari kerentanan kondisi yang terjadi (Permendagri Nomor 32

Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang

Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Bantuan Sosial ini

tidak selalu diberikan secara berkelanjutan, melainkan pemerintah harus melihat

indikator-indikator seseorang atau kelompok berhak mendapatkan Bantuan Sosial

tersebut. Besaran dari Dana Bantuan Sosial ini pun tidak memiliki pagunya,

dimana nominalnya ditentukan masing-masing oleh setiap Kepala Daerah dan

DPRD sesuai dengan kemampuan saat merumuskan APBD tahun berikutnya.

Dana Bantuan Sosial ini adalah bentuk tindakan pemerintah secara langsung

untuk menekan angka kemiskinan di daerahnya masing-masing dalam jangka

pendek.

Dana Bantuan Sosial terdiri dari bantuan yang direncanakan dan bantuan

yang tidak direncanakan. Bantuan yang direncanakan adalah bantuan yang akan

diberikan kepada masyarakat baik individu maupun kelompok yang memiliki

kriteria untuk mendapatkan Dana Bantuan Sosial tersebut. Sedangkan bantuan

yang tidak direncanakan adalah dana yang digunakan ketika terjadi peristiwa alam

10.96 11.13

10.7

10.12 9.82

2014 2015 2016 2017 2018

Persentase Penduduk Miskin Tahun 2014 - 2018 Semester 1

Persentase

5

yang menimbulkan kerusakan dan mempersulit masyarakat dalam memenuhi

kebutuhannya pasca peristiwa alam tersebut. Namun dalam prakteknya, Dana

Bantuan Sosial sering diselewengkan oleh pemerintah daerah di berbagai daerah

di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali memberikan

surat peringatan kepada daerah yang memiliki Dana Bantuan Sosial dengan

nominal yang dianggap terlalu besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) tahun tersebut.

Selain Bantuan Sosial, hal lain yang juga mampu mempengaruhi Persentase

Kemiskinan di Indonesia ialah Inflasi. Peningkatan harga pada barang dan jasa

dapat melemahkan daya beli masyarakat sehingga akan banyak masyarakat yang

awalnya tidak berada di bawah garis kemiskinan menjadi di bawah garis

dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar imbas

kenaikan harga tersebut. Menurut Satriawan (Satriawan, n.d.), Dosen Jurusan

Ilmu Ekonomi UGM dalam artikelnya yang berjudul Inflasi dan Penanggulangan

kemiskinan menyatakan bahwa upaya penanggulangan juga harus diimbangi

dengan menjaga Inflasi sehingga akan terciptanya stabilitas daya beli bagi rumah

tangga miskin dan rentan serta terciptanya kondisi ekonomi yang bersahabat bagi

rumah tangga miskin untuk melakukan ekonomi produktif. Badan Pusat Statistik

menyatakan hal yang sama bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi turunnya

Persentase Kemiskinan di Indonesia ialah terjaganya Tingkat Inflasi. Pernyataan

Setiawan dan BPS juga didukung oleh Menteri Bambang Brodjonegoro yang

menyatakan bahwa garis kemiskinan tahun 2014–2017 naik dikarenakan adanya

Inflasi. Maka dari itu sudah seharusnya pemerintah menjaga harga-harga

komoditas utama yang memiliki kontribusi yang besar terhadap kemiskinan

seperti beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, dan

daging sapi. Beras menjadi komoditas paling utama dengan sumbangan garis

kemiskinan 18,80% pada garis kemiskinan di perkotaan dan 24,52% pada garis

kemiskinan di pedesaan. Jika komoditas beras mengalami Inflasi yang tidak

terkendali, maka pengaruhnya ke garis kemiskinan di pedesaan akan meningkat

sebesar 24,52% atau hampir seperempatnya (Bappenas, 2018).

Untuk melihat pengaruh bantuan sosial dan inflasi terhadap kemiskinan di

Indonesia dengan skala yang lebih kecil, maka penelitian ini tidak hanya

6

mengolah data pada (1) 33 provinsi melainkan juga membagi provinsi menjadi 3

bagian besar, yaitu (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera, (3) Kalimantan dan

Sulawesi, (4) Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pembagian tersebut

sesuai dengan Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan

Transmigrasi yang mengelompokkan peran wilayah/pulau dalam pembentukan

PDB Nasional 1983 – 2013 menjadi 4 kelompok (Kemendes PDTT, 2015).

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan pernyataan dari Bambang Brodjonegoro selaku Menteri

Perencanaan Pembangunan Nasional serta melihat Dana Bantuan Sosial dan

Tingkat Inflasi sebagai beberapa faktor yang bertujuan untuk menurunkan jumlah

kemiskinan di Indonesia, maka hal tersebut mendorong penulis untuk meneliti

bagaimanakah pengaruh Dana Bantuan Sosial dan Inflasi persentase penduduk

miskin di Indonesia tahun 2007–2017.

C. Batasan Masalah Penelitian ini hanya membahas pada Bantuan Sosial yang diberikan baik

oleh Pemerintah daerah skala Nasional dan Provinsi yang berasal dari Laporan

Realisasi APBD Provinsi Tahun 2007–2017 dan Tingkat Inflasi Tahunan 33

Provinsi di Indonesia Tahun 2007–2017. Kemiskinan pada penelitian ini

menggunakan persentase penduduk miskin tahun 2007 – 2017 per provinsi.

Penelitian ini tidak memasukan Provinsi Kalimantan Utara karena provinsi

tersebut baru terbentuk pada tahun 2011. Pada penelitian ini penulis membagi

provinsi menjadi empat bagian, yaitu (1) 33 Provinsi (2) Provinsi di Jawa dan

Sumatera, (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi, (4) Provinsi di Bali, Nusa

Tenggara, Maluku, dan Papua.

D. Rumusan Masalah Rumusan Masalah pada penelitian ini berdasarkan identifikasi Masalah dan

Batasan Masalah yang dimiliki sebagai berikut:

1. Apakah Dana Bantuan Sosial memiliki pengaruh yang positif dan signifikan

terhadap kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan

Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua tahun 2007 – 2017?

7

2. Apakah Inflasi memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap

kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali,

Nusa Tenggara, Maluku dan Papua tahun 2007 – 2017?

3. Bagaimanakah pengaruh Dana Bantuan Sosial dan Inflasi terhadap

kemiskinan di Jawa dan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali,

Nusa Tenggara, Maluku dan Papua tahun 2007 – 2017?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berlandaskan pada Rumusan Masalah diatas, maka Tujuan dari Penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Melihat pengaruh Dana Bantuan Sosial terhadap kemiskinan di Jawa dan

Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan

Papua tahun 2007 – 2017.

2. Melihat pengaruh Inflasi terhadap kemiskinan di Jawa dan Sumatera,

Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua

tahun 2007 – 2017.

3. Melihat pengaruh Bantuan Sosial dan Inflasi terhadap kemiskinan di Jawa

dan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku

dan Papua tahun 2007 – 2017 secara simultan.

Berdasarkan Tujuan Penelitian, ini diharapkan dapat memberikan Manfaat

Penelitian sebagai berikut:

1. Bagi Masyarakat

a. Mendapatkan informasi perihal pengaruh Bantuan Sosial yang disalurkan

pemerintah daerah serta Tingkat Inflasi terhadap Persentase Kemiskinan

di Indonesia.

2. Bagi Akademisi

a. Mendapatkan informasi tentang pengaruh Bantuan Sosial dan Inflasi

terhadap penurunan kemiskinan di (1) 33 Provinsi, (2) Provinsi di Jawa

dan Sumatera, (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi, dan (4) Provinsi

di Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua tahun 2007–2017 di provinsi.

b. Menjadi awal dari penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih baik di

masa mendatang.

8

3. Bagi Pemerintah

a. Mendapatkan informasi dan sebagai pertimbangan pengambilan

keputusan perihal penyaluran Bantuan Sosial serta pengaruhnya terhadap

kemiskinan.

b. Sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan untuk menjaga stabilitas

harga-harga komoditas utama penggerak garis kemiskinan.

15

F. Tinjauan Kajian Terdahulu Penelitian sebelumnya bertujuan untuk mentelaah kembali penelitian-penelitian yang sesuai dengan pembahasan penelitian yang

sudah pernah dilakukan. Berikut ini adalah penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki korelasi dengan penelitian penulis

Tabel 1. 1 Penelitian Sebelumnya

No

.

Nama Penulis Judul Penelitian Variabel dan Sumber Data Metode Penelitian Hasil Penelitian

1. (Mustafa &

Nishat, 2017)

Role of Social

Protection in Poverty

Reduction in

Pakistan: A

Quantitative

Approach

Variabel: Headcount Ratio sebagai

variabel dependen, sedangkan

social protection diwakili oleh

pengeluaran pemerintah pada

kesehatan, pengeluaran pemerintah

pada pendidikan, bantuan asing,

subsidi dan transfer pemerintah,

zakat . Tambahan variabel lainnya

adalah kecenderungan autokratik

dan demokratik ekonomi pakistan

sebagai dummy variabel

independen pada tahun 1982-2012.

Menggunakan metode

ARDL (Auto

Regressive Disributed

Lag) dan ECM (Error

Correction Model)

Perlindungan sosial memiliki

peran yang signifikan pada

penurunan Persentase

Kemiskinan.

16

Sumber: World Development

Indicator, Pakistan Economic

Survey, dan Statictic Pakistan

Economy.

2. (Kiendrebeogo,

Assimaidou, &

Tall, 2017)

Social Protection for

Poverty Reduction in

Time of Crisis

Variabel: Persentase Kemiskinan

dan kesenjangan kemiskinan

sebagai variabel dependen

sedangkan pengeluaran sosial dan

krisis keuangan sebagai variabel

independen terhadap 40 negara

berkembang pada tahun 1984 –

2010.

Sumber: literature tautan finance-

poverty.

Menggunakan OLS

(Ordinary Least

Square) dan metode

estimasi GMM.

Negara dengan pengeluaran

sosial lebih besar memiliki

Persentase Kemiskinan lebih

rendah dibanding negara

dengan pengeluaran sosial

yang lebih kecil pada masa

krisis.

3. (J. Susanto,

2014)

Impact of Economic

Growth, Inflation

and Minimum Wage

Variabel: Persentase Penduduk

Miskin sebagai variabel dependen.

Sedangkan variabel independen

Menggunakan ECM

(Error Correction

Model).

Inflasi memiliki koefisien

positif terhadap persentase

penduduk miskin.

17

on Poverty in Java ialah Pertumbuhan Ekonomi,

Inflasi, dan Upah Minimum

Regional di Banten, Jakarta, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,

dan Jawa Timur tahun 2003 –

2011.

Sumber: Badan Pusat Statistik

4. (Putra,

Purnamadewi, &

Sahara, 2015)

Dampak Program

Bantuan Sosial

Terhadap

Pertumbuhan

Ekonomi dan

Kemiskinan di

Kabupaten

Tertinggal di

Indonesia

Variabel: PDRB sebagai variabel

dependen, Angka IPM, Jumlah

Penduduk Miskin, Jumlah

Penduduk, Tingkat Pengangguran,

Share Sektor Pertanian, Industri

dan Jasa, dan Bantuan Sosial

sebagai variabel independen.

Sumber Data: Badan Pusat Statistik

dan Kementerian Desa PDTT

Menggunakan regresi

model data panel dan

analisis deskriptif

kualitatif untuk

mengkaji dinamika

kemiskinan.

Bantuan Sosial yang

signifikan untuk

meningkatkan pertumbuhan

di daerah tertinggal di

Indonesia pada tahun 2010 –

2013 ialah bantuan ekonomi

dan dunia usaha, bantuan

kelembagaan sosial budaya,

dan bantuan infrastruktur

18

5. (Sendouw,

Rumate, &

Rotinsulu, 2017)

Pengaruh Belanja

Modal, Belanja

Sosial, dan

Pertumbuhan

Ekonomi terhadap

Persentase

Kemiskinan di Kota

Manado

Variabel: Belanja Modal, Belanja

Sosial, Pertumbuhan Ekonomi

sebagai variabel independen, dan

Persentase Kemiskinan sebagai

variabel dependen.

Sumber Data: Badan Pusat Statistik

Kota Manado, Badan Pusat

Statistik Provinsi Sulawesi Utara,

dan Bagian Keuangan Sekretariat

Daerah Kota Manado

Menggunakan analisis

regresi berganda dan

analisis deskriptif

untuk mengkaji dan

menganalisa perubahan

perekonomian yang

terjadi di Kota Manado

baik secara umum

maupun khusus.

Belanja Sosial tidak memiliki

pengaruh yang signifikan

terhadap kemiskinan baik

secara parsial maupun

simultan.

6. (Irfan Chani,

Pervaiz, Ahmad

Jan, Ali, &

Chaudhary,

2011)

Poverty, Inflation

and Economic

Growth: Empirical

Evidence dari

Pakistan

Variabel: Persentase Kemiskinan

sebagai variabel dependen,

Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi,

Investasi dan Perdagangan terbuka

pada periode 1972 – 2008 sebagai

variabel independen.

Sumber Data: World Development

Menggunakan ARDL

(Autoregressive

Distributed Lag) untuk

melihat hubungan

jangka pendek dan

panjang antara variabel

tersebut

Inflasi memiliki koefisien

positif baik dalam jangka

panjang dan jangka pendek

pada kemiskinan

19

Indicators dan Publikasi LAP

Lambert Academic Publishing

7. (Talukdar, 2012) The Effect of

Inflation on Poverty

in Developing

Countries: A Panel

Data Analysis

Variabel: Rasio Jumlah Penduduk

Miskin sebagai variabel dependen,

Indeks Harga Konsumen, Paritas

Daya Beli, Data Pembayaran

Bunga, Rasio Pendaftaran Sekolah

Sekunder, Penilaian politik sebagai

variabel independen.

Sumber Data: World Bank,

International Monetary Funds,

World Economic Outlook, World

Bank Global Development

Financial, UNESCO, dan Center

for Systemic Peace, VA, USA.

Menggunakan data

panel 115 negara

berkembang pada

periode 1981–2008.

Inflasi berkoefisien positif

dan berhubungan signifikan

secara statistic dengan

kemiskinan. Untuk negara

berpendapatan rendah,

hubungan antara Inflasi dan

kemiskinan tidak signifikan

secara statistik pada

spesifikasi tertentu.

8. (Imelia, 2012) Pengaruh Inflasi dan

Kemiskinan di

Variabel: Tingkat Inflasi Provinsi

Jambi sebagai variabel independen

Model analisis regresi

linier sederhana.

Variabel Tingkat Inflasi tidak

berpengaruh secara signifikan

20

Provinsi Jambi dan persentase penduduk miskin

Provinsi Jambi sebagai variabel

dependen pada tahun 1993 - 2007.

Sumber Data: Badan Pusat Statistik

(BPS) Provinsi Jambi.

terhadap persentase penduduk

miskin di Provinsi Jambi.

Hasil nilai t hitung 1,725 < t

table pada taraf signifikansi

(∝) sebesar 0,05 yaitu

sebesar 2,145 (uji dua sisi)

9. (E. Susanto,

Rochaida, &

Ulfah, 2014)

Pengaruh Inflasi dan

Pendidikan Terhadap

Pengangguran dan

Kemiskinan

Variabel: Inflasi dan tingkat

pendidikan sebagai variabel

independen dan pengangguran

sebagai variabel dependen pada

kemiskinan di Kota Samarinda

Sumber Data: Badan Pusat

Statistik, Baeda, Disnakertrans, dan

Diknas.

Path Analysis Inflasi dan tingkat pedidikan

berpengaruh langsung dan

signifikan terhadap

pengangguran. Inflasi tidak

berpengaruh langsung

terhadap kemiskinan namun

berpengaruh secara tidak

langsung terhadap

kemiskinan melalui

pengangguran.

10. (Barika, 2013) Pengaruh

Pertumbuhan

Variabel: Laju pertumbuhan

ekonomi, Pengeluaran pemerintah,

Analisis Regresi Pertumbuhan ekonomi dan

Inflasi tidak memiliki

21

Ekonomi,

Pengeluaran

Pemerintah,

Pengangguran, dan

Inflasi Terhadap

Persentase

Kemiskinan di

Provinsi se-Sumatera

pengangguran, dan Inflasi sebagai

variabel independen sedangkan

Inflasi sebagai variabel dependen.

Sumber Data: Badan Pusat Statistik

(BPS), Bank Indonesia, Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan,

dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Berganda. pengaruh terhadap

kemiskinan di Provinsi se-

Sumatera. Namun

pengeluaran pemerintah dan

pengangguran memiliki

pengaruh terhadap

kemiskinan.

11. (Mustamin,

Agussalim, &

Nurbayani,

2015)

Pengaruh Variabel

Ekonomi Makro

Terhadap

Kemiskinan di Kota

Makassar Provinsi

Sulawesi Selatan

Variabel: Belanja pemerintah,

Inflasi, dan infasi sebagai variabel

independen sedangkan kemiskinan

di Kota Makassar Provinsi

Sulawesi Selatan sebagai variabel

dependen pada periode 1999 –

2003.

Sumber Data: Mengumpulkan data

dari berbagai sumber yang relean

Path Analysis Inflasi memiliki pengaruh

secara langsung terhadap

kemiskinan sebesar -0,088,

dimana setiap kenaikan 1%

pada Inflasi akan

menurunkan kemiskinan

sebesar 0,088% dengan

signifikansi 5%.

22

terhadap penelitian tersebut

12. (Windra,

Marwoto, &

Rafani, 2016)

Analisis Pengaruh

Inflasi, Pertumbuhan

Ekonomi, dan

Tingkat

Pengangguran

Terhadap

Kemiskinan di

Indonesia

Variabel: Inflasi, pertumbuhan

ekonomi, dan tingkat

pengangguran sebagai variabel

independen sedangkan kemiskinan

sebagai variabel dependen periode

2001 – 2015.

Sumber Data: Badan Pusat Statistik

dan berbagai publikasi yang

relevan.

Analisis Regresi

Berganda.

Inflasi tidak memiliki

pengaruh yang signifikan

terhadap kemiskinan di

Indonesia meskipun memiliki

kecenderugan positif.

13. (Sugihartiningsi

h & Saleh,

2017)

Pengaruh Inflasi

Terhadap

Kemiskinan di

Indonesia Periode

1998 – 2014

Variabel: Inflasi sebagai variabel

dependen sedangkan kemiskinan

sebagai vaiabel independen.

Sumber Data: Asian Development

Bank dan Badan Pusat Statistik.

Regresi Linier

Berganda.

Inflasi memiliki pengaruh

positif terhadap kemiskinan.

14. (Siregar, 2017) Pengaruh PDRB Riil Variabel: PDRB Riil dan Inflasi Path Analysis. Inflasi memiliki pengaruh

23

dan Inflasi Terhadap

Persentase

Kemiskinan Kota

Medan dengan

Variabel Intervening

Pengangguran

sebagai variabel independen,

pengangguran sebagai variabel

intervening, dan kemiskinan

sebagai variabel dependen periode

tahun 2000 – 2014.

Sumber Data: Badan Pusat

Statistik.

secara langsung dan tidak

langsung terhadap

kemiskinan dengan

signifikansi <0,005.

15. (Duwila, 2016) Pengaruh

Pendidikan,

Pengangguran, dan

Inflasi Terhadap

Persentase

Kemiskinan di

Kawasan Timur

Indonesia (KTI)

Variabel: Provinsi yang diteliti

adalah Provinsi Nusa Tenggara

Timur, Sulawesi Selatan, dan

Papua dengan variabel independen

Pendidikan, Pengangguran, dan

Inflasi. Variabel dependennya ialah

jumlah penduduk miskin pada

tahun 2001 – 2010.

Sumber Data: Badan Pusat

Statistik.

Pooled Least Square

(PLS).

Inflasi memiliki pengaruh

negatif terhadap kemiskinan

di Kawasan Timur Indonesia

karena terjadinya perbaikan

distribusi pendapatan yang

menyebabkan peningkatan

Inflasi berdampak pada

penurunan jumlah penduduk

miskin.

24

16. (Sugema,

Irawan,

Ardipurwanto,

Holis, &

Bakhtiar, 2010)

The Impact of

Inflation on Rural

Poverty in

Indonesia: an

Econometrics

Approach

Variabel: Pendapatan dan

pengeluaran rumah tangga sebagai

variabel dependen dan Indeks

Harga Konsumen sebagai variabel

independen dengan data panel tahu

2002 – 2009.

Sumber Data: SUSENAS 2005 dan

Badan Pusat Statistik (BPS).

Head-Count Index,

Poverty Gap Index, and

Severity of Poverty

Index.

Masyarakat pedesaan lebih

rentan terhadap gejolak

ekonomi terutama pada

Inflasi bahan pangan.

22

G. Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan pada penelitian ini ialah sebagai berikut:

Bab 1 : Pendahuluan, Terdiri Dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah,

Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Tinjauan Kajian Terdahulu, Dan Sistematika Penulisan.

Bab 2 : Tinjauan Pustaka terdiri dari Teori Terkait, Hubungan antar Variabel,

Kerangka Berpikir, dan Hipotesis.

Bab 3 : Metode Penelitian terdiri dari Ruang Lingkup Penelitian, Metode

Penentuan Sampel, Metode Pengumpulan Data, Instrumen Penelitian,

dan Teknik Analisa Data.

Bab 4 : Temuan Penelitian dan Pembahasan terdiri dari Temuan Hasil

Penelitian dan Pembahasan.

Bab 5 : Simpulan dan Saran terdiri dari Simpulan dan Saran

23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Terkait

1. Kemiskinan (Poverty)

Permasalahan kemiskinan selalu menjadi topik hangat yang dibahas di

berbagai forum ekonomi dan politik. Tidak hanya di Indonesia, topik perihal

kemiskinan pun menjadi konsen permasalahan di berbagai negara di dunia.

Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu tidak

mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk mempertahankan dan

mengembangkan kehidupan agar semakin berkualitas (Bappenas, 2004). Bank

Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dari individu yang

tidak memiliki pendapatan dan tingkat konsumsi diatas dari batas minimum.

Selain dilihat dari sisi moneter, kemiskinan juga bisa diartikan

ketidakmampuan seseorang untuk berfungsi di daerah sekitarnya karena

keterbatasan mereka dalam hal pendidikan dan kesehatan (World Bank, 2005).

Kemiskinan cukup kompleks untuk dibahas karena penyebabnya bisa

beraneka ragam. Menurut UU Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan

Fakir Miskin, Fakir miskin adalah orang sama sekali tidak memiliki mata

pencaharian dan/atau mempunyai mata pencaharian tetapi tidak mempunyai

kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya

dan/atau keluarganya. Maka, kemiskinan adalah keadaan dimana individu tidak

memiliki tingkat konsumsi diatas batas minimum sehingga individu tersebut

tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya serta tidak mampu untuk

berfungsi di daerah sekitarnya akibat keterbatasan cakupan mereka terhadap

pendidikan dan kesehatan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melihat kemiskinan dengan Garis

Kemiskinan, yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs

Approach) dengan menjumlahkan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan

Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Ketika individu tidak dapat

24

memenuhi diatas GKM dan GKNM per bulan maka individu tersebut

dikategorikan kedalam penduduk miskin.

a. Garis Kemiskinan

Rumus Perhitungan:

GK = GKM + GKNM

GK = Garis Kemiskinan

GKM = Garis Kemiskinan Makanan

GKNM = Garis Kemiskinan Non Makanan

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah garis yang dihitung

berdasarkan minimal kalori yang harus terpenuhi oleh masing-masing individu

yang terdiri dari 52 komoditi. Menurut BPS yang berdasarkan hasil

Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978, minimal kalori yang harus dimiliki

oleh setiap orang dalam setiap harinya ialah sebanyak 2100 kalori. Sedangkan

menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, minimal kalori

yang harus terpenuhi setiap harinya ialah sebanyak 3000 kalori.

Berikut adalah formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan

Makanan (GKM) dari BPS:

𝐺𝐾𝑀 ∗𝑗𝑝= �𝑃𝑗𝑘𝑝 .𝑄𝑗𝑘𝑝 = �𝑉𝑗𝑘𝑝

52

𝑘=1

52

𝑘=1

Dimana:

GKM*jp: Garis Kemiskinan Makanan Daerah j (sebelum disetarakan

menjadi 2100 kilokalori) provinsi p

Pjkp : Rata-rata harga komoditi k di daerah j dan provinsi p.

Qjkp : Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j di

provinsi p.

Vjkp : Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j

provinsi p.

j : Daerah (perkotaan atau pedesaan).

25

p : Provinsi ke-p

Sedangkan untuk Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) ialah

kebutuhan minimum non makanan yang harus dipenuhi oleh individu berupa

sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Di perkotaan diwakili 51

komoditi sedangkan untuk dipedesaan terdapat 47 komoditi GKNM. Formula

nilai kebutuhan minimum non makanan dari hasil Survei Paket Komoditi

Kebutuhan Dasar 2004 sebagai berikut:

𝐺𝐾𝑁𝑀𝐽𝑃 = �𝛾𝑘𝑗𝑉𝑘𝑗𝑝

𝑛

𝑘=1

Dimana,

GKNMJP: Pengeluaran minimum non makanan atau garis kemiskinan non

makanan daerah j dan provinsi p

Vkjp : Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah j dan

provinsi p

ɣkj : Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan k menurut

daerah (hasil SPKKD 2004) dan daerah j

k : Jenis komoditi non-makanan terpilih

j : Daerah (Perkotaan atau pedesaan)

p : Provinsi ke-p

Definisi kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2008) ada tiga.

Pertama, kemiskinan relatif. Kemiskinan ini melihat dari distribusi pendapatan

dimana adanya standar minimum yang disusun pada suatu waktu di suatu

negara dengan mengelompokan masyarakat kedalam 40% berpendapatan

rendah, 40% berpendapatan menegah, dan 20% berpendapatan tinggi. Pada

setiap terjadinya peningkatan pendapatan/pengeluaran akan terjadi perubahan

standar minimum sehingga definisi ini sampai kapan pun akan terus

menganggap bahwa kemiskinan selalu ada di negara tersebut. Kemiskinan

relatif tidak bisa digunakan untuk membandingkan kemiskinan satu negara

dengan negara lain karena standar minimum yang digunakan berbeda-beda dan

tingkat pembangunan setiap negara pun berbeda. Kedua, kemiskinan absolut.

26

Kemiskinan ini dilihat dari kebutuhan minimum berupa kebutuhan makanan

dan kebutuhan non-makanan. Hal ini biasa disebut dengan Garis Kemiskinan.

Definisi kemiskinan ini bisa dibandingkan dengan negara lain karena standar

yang digunakan sama yaitu dengan melihat dari sisi Purchasing Power Parity

(PPP)/Paritas Daya Beli. Ketiga, kemiskinan struktural dan kemiskinan

kultural. Kemiskinan struktural adalah keadaan dimana individu tidak mampu

untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dikarenakan tempat tinggalnya yang

terisolir dan jauh dari pembangunan infrastruktur yang memadai. Sedangkan

kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi dikarenakan budaya yang

ada di sekitar individu tersebut. Masyarakat yang berada pada kemiskinan

kultural memilih “pasrah” dan menganggap bahwa apa yang terjadi padanya

adalah sebuah takdir dan sudah seharusnya disyukuri tanpa ada usaha lebih

untuk hidup lebih sejahtera.

Berdasarkan berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

permasalahan utama pada kemiskinan ialah ketidakmampuan individu dalam

memenuhi kebutuhan hak dasarnya, beban kependudukan, dan ketidakadilan

dan ketidaksetaraan gender (Bappenas, 2004). Kebutuhan hak dasar tersebut

berupa terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan

rendahnya kualitas kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya kualitas

pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, sulitnya mendapatkan

perumahan yang layak serta sanitasi yang baik, terbatasnya akses terhadap air

bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya

kondisi lingkungan hidup dan terbatasnya akses masyarakat pada sumber daya

alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi masyarakat

menengah kebawah dalam memutuskan suatu kebijakan. Kebutuhan-kebutuhan

tersebut lah yang belum bisa dinikmati oleh sekian persen jumlah penduduk

Indonesia yang masuk ke dalam persentase penduduk miskin.

Selain dari berbagai permasalahan kemiskinan diatas, kemiskinan juga

memiliki faktor-faktor yang menyebabkan seorang individu lebih rentan

miskin. Menurut Rini dan Sugiharti (Rini & Sugiharti, 2016), faktor-faktor

kemiskinan ialah (1) pengaruh gender kepala keluarga, dimana jika kepala

27

keluarga perempuan memiliki pengaruh yang signifikan menyebabkan

kerentanan kemiskinan; (2) peningkatan satu usia kepala keluarga menurunkan

kemungkinan untuk miskin, sehingga semakin muda usia kepala keluarga maka

akan meningkatkan penyebab kerentanan kemiskinan; (3) meningkatnya satu

satuan anggota keluarga, dimana semakin banyak jumlah individu dalam satu

keluarga maka akan meningkatkan kerentanan kemiskinan; (4) kepala keluarga

yang tidak bekerja, tidak adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

hidup dikarenakan tidak adanya pendapatan yang diperoleh oleh kepala

keluarga akan meningkatkan kerentanan kemiskinan; (5) tidak memiliki akses

kredit, seperti akses kepada perbankan cukup sulit atau rendahnya pengetahuan

mengenai perbankan sehingga individu tersebut tidak bisa mengajukan kredit

dan akan kesulitan untuk memulai usaha untuk mendapatkan pendapatan; (6)

kepala rumah tangga dengan pendidikan yang rendah, dimana semakin

rendahnya pendidikan yang dimiliki kepala rumah tangga maka akan

meningkatkan penyebab kerentanan kemiskinan; (7) kepemilikan telepon

genggam dan tv kabel, dimana variabel ini menganggap bahwa dengan

ketidakpemilikan kedua barang tersebut akan kesulitan untuk mengakses

informasi; (8) kepemilikan komputer, dimana ketidakpemilikan komputer akan

meningkatkan kerentanan kemiskinan karena sulitnya mendapatkan informasi

untuk meningkatkan taraf hidup; dan (9) bertempat tinggal di desa, dimana

infrastruktur masih sangat minim serta tidak beragamnya jenis pekerjaan

sehingga sulit untuk meningkatkan taraf hidup individu. Rini dan Sugiharti

menyatakan bahwa variabel-variabel tersebut adalah faktor-faktor yang dapat

meningkatkan

Menurut Itang (Itang, 2017) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab

kemiskinan ialah:

1. Pendidikan yang rendah

2. Malas bekerja

3. Keterbatasan sumber daya alam

4. Terbatasnya lapangan pekerjaan

5. Keterbatasan modal

28

6. Beban keluarga

Sejak jaman orde baru, pemerintah memberikan konsentrasi penuh

terhadap isu kemiskinan yang termaktub pada Repelita II – V Tahun 1977 –

1996. Persentase Kemiskinan yang pada awal Repelita sebesar 40% dan pada

awal Repelita V Persentase Kemiskinan menjadi 11% (Purwanto, 2007).

Hingga kini pemerintah terus melakukan berbagai program yang bertujuan

untuk menekan jumlah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakatnya.

2. Perlindungan Sosial (Social Security)

Menurut Barrientos dan Shepherd (2003) dalam (Supriyanto, Ramdhani, &

Rahmadan, 2014) perlindungan sosial secara tradisional dikenal sebagai

konsep yang lebih luas dari jaminan sosial, asuransi sosial, dan jaringan

pengaman sosial. Perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai kumpulan

upaya publik yang dilakukan dalam menghadapi dan menanggulangi

kerentanan, risiko, dan kemiskinan yang sudah melebihi batas (Supriyanto et

al., 2014). Gagasan perlindungan sosial ini pada dasarnya difokuskan dalam

prinsip fundamental keadilan sosial, serta hak-hak universal spesifik dimana

setiap orang harus mendapatkan jaminan sosial dan standar kehidupan yang

memadai agar dapat memperoleh layanan kesehatan serta kesejahteraan bagi

diri mereka maupun keluarga mereka untuk memerangi kemiskinan,

keterbelakangan, dan ketidaksetaraan. Landasan perlindungan sosial harus

dilengkapi dengan strategi lain, misalnya dengan memperkuat institusi

perburuhan dan institusi sosial serta mempromosikan lingkungan mikro

ekonomi yang pro pekerja. Saat ini, beberapa negara sudah memasukkan

elemen-elemen utama tersebut ke dalam sistem perlindugan sosial yang mereka

miliki. Pada negara-negara dengan penghasilan menengah ke bawah, akses

pada program perlindungan sosial sejalan dengan upaya untuk mengurangi

kemiskinan, ketidaksetaraan, dan transformasi sosial lainnya.

World Bank (2015) mendefinisikan perlindungan sosial sebagai

seperangkat tindakan publik yang dilakukan oleh melindungi warganya dari

tekanan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh menurunnya pendapatan

29

sebagai akibat dari berbagai kemungkinan (sakit, persalinan, kecelakaan kerja,

pengangguran, usia lanjut, dan kematian pencari nafkah); penyediaan layanan

kesehatan; dan pemberian tunjangan bagi keluarga yang memiliki anak. Secara

sederhana, perlindungan sosial adalah tentang bagaimana kita dapat menjaga

diri kita dan satu sama lain untuk mengelola risiko. Instrument inti dari

perlindungan sosial menurut World Bank yaitu Jaminan Sosial (Pensiun Usia

Lanjut, Disabilitas, Pengangguran, Persalinan, Kesehatan, dan Pengumpulan

Tabungan Informal), Bantuan Sosial (Bantuan Langsung Tunai, Bantuan

dalam bentuk barang, keringanan biaya dan insentif pajak, dan subsidi), dan

Pekerja (Program Pasar Pekerja Aktif dan Regulasi).

Browne (2015) menyatakan bahwa perlindungan sosial berkaitan dengan

melindungi dan membantu mereka yang miskin dan rentan seperti anak-anak,

perempuan, orang lanjut usia, disabilitas, pengungsi, pengangguran, dan orang

sakit. Menurut Asian Development Bank (2003) mendefinisikan perlindungan

sosial sebagai intervensi publik yang berorientasi pada modal manusia untuk (i)

membantu individu, rumah tangga, dan masyarakat untuk mampu mengelola

risiko; dan (ii) memberikan dukungan kepada orang miskin yang tidak mampu.

Konsep perlindungan sosial yang luas diantaranya dipicu oleh

kekhawatiran dunia akan risiko guncangan sosial ekonomi serta ancaman

terhadap penghidupan yang semakin besar. Perluasan kosep perlindungan juga

salah satunya dibahas dalam Pertemuan Puncak Pembangunan Milenium tahun

2010 oleh ILO (International Labor Oganization) bersama para kepala negara

dan pemerintahan dunia. Perlindungan sosial menjadi sebuah bagian terpadu

dari kebijakan sosial yang dirancang untuk menjamin kondisi keamanan

pendapatan serta akses dalam layanan sosial untuk semua penduduk. Hal

tersebut dapat diakukan dengan memberikan perhatian khusus kepada

kelompok-kelompok masyarakat yang tergolong rentan, serta melindungi dan

memberdayakan masyarakat dalam seluruh siklus kehidupan (Supriyanto et al.,

2014).

Secara umum, perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai segala

bentuk kebijakan dan intervensi publik yang dilakukan untuk merespon

30

beragam risiko dan kerentanan baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial

terutama yang dialami oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan. Tujuan

utama yang diharapkan dengan terlaksananya perlindungan sosial adalah

mencegah risiko yang dialami penduduk sehingga terhindar dari kesengsaraan

yang berkepanjangan; meningkatkan kemampuan kelompok miskin dan rentan

dalam menghadapi dan keluar dari kemiskinan dan kesenjangan sosial-

ekonomi; serta, memungkinkan kelompok miskin dan rentan untuk memiliki

standar hidup yang bermartabat sehingga kemiskinan tidak diwariskan dari satu

generasi ke generasi lainnya. Kiendrebeogo, Assimaidou, et al (2017)

menyatakan bahwa perlindungan sosial pada masa krisis finansial di 40 negara

berkembang pada tahun 1984 – 2010 sangat penting untuk pengurangan

kemiskinan pada masa tersebut dan pengurangan keuntungan akibat intervensi

kebijakan dari pemerintah.

Pada era sebelum krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997 – 1998,

Indonesia belum memiliki sebuah sistem pelindungan sosial yang terstruktur

dan terpadu. Pada era tersebut perlindungan sosial dilaksanakan dalam konteks

penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, dan pemberian

layanan publik. Pada era pasca-reformasi, dimana akibat dari krisis tersebut

ialah penurunan pendapatan riil, kelaparan yang merajalela, pengangguran,

putus sekolah, serta dampak lainnya menjadi ancaman yang dapat meluas ke

penjuru Indonesia. Respon yang dilakukan pemerintah Indonesia ialah

melakukan kebijakan intervensi dengan sebutan program Jaring Pengaman

Sosial (JPS). Program tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat miskin

serta masyarakat yang jatuh miskin karena kiris melalui intervensi pada

beberapa bidang, yakni panga, ketenagakerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Di era selanjutnya yaitu pasca-krisis dan reformasi, lahirlah Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

yang mendefinisikan kembali sistem jaminan sosial di Indonesia untuk masa

mendatang. Pada awal tahun 2000-an muncul berbagai program untuk berbagai

bidang seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk bantuan operasional

kepada sekolah-sekolah di Indonesia, Asuransi Kesehatan Untuk Rakyat

31

Miskin (Askeskin) yang kini menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

untuk bidang kesehatan, Beras Bersubsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan

Rendah (Raskin) dalam bidang pangan yang merupakan transformasi dari

program Operasi Pasar Khusus (OPK), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan

berubah menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) saat

kenaikan harga BBM, Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT) bagi

masyarakat lanjut usia, serta program Asistensi Sosial Orang Dengan

Kecacatan Berat (ASODKB) bagi masyarakat penyandang disabilitas

(Supriyanto et al., 2014).

Masalah yang kini dihadapi Indonesia dalam hal perlindungan sosial ialah

ketidaktepatan sasaran dalam penentuan penerima program, mekanisme

pendampingan program belum optimal, koordinasi dan pelaksanaan program

belum terintegrasi, dan prioritas pendanaan untuk Program Perlindungan Sosial

masih terbatas. Scott (2012) dalam Supriyanto, Ramdhani, et al (2014)

menyatakan bahwa tipe program perlindungan sosial yang paling umum

mencakup bantuan sosial, jaminan sosial, intervensi pasar tenaga kerja, dan

program berbasiskan komunitas/informal. Pada penelitian ini penulis

menggunakan Bantuan Sosial untuk mewakili dari perlindungan sosial

tersebut.

2.1 Bantuan Sosial Menurut Permendagri Nomor 32 tahun 2011 Tentang Pendoman

Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah menyatakan bahwa Bantuan Sosial adalah

pemberian uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga,

kelompok, dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak terus menerus dan selektif

yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

Bantuan Sosial terdiri dari dua jenis, (1) Bantuan Sosial yang direncanakan,

dialokasikan kepada individu dan/atau keluarga yang sudah jelas nama, alamat

penerima dan besarannya pada saat penyusunan APBD dan (2) Bantuan Sosial

yang tidak direncanakan, adalah Bantuan Sosial yang dialokasikan akibat

resiko sosial yang tidak direncanakan saat penyusunan APBD dan jika

32

menyalurannya ditunda maka akan menimbulkan resiko sosial yang lebih besar

bagi individu dan/atau keluarga yang bersangkutan.

Tidak jauh berbeda dengan Permendagri Nomor 32 tahun 2011, Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial mendefinisikan

Bantuan Sosial sebagai upaya untuk meringankan penderitaan, melindungi, dan

memulihkan kondisi kehidupan fisik, mental, dan sosial (termasuk kondisi

psikososial, dan ekonomi) serta memberdayakan potensi yang dimiliki agar

seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang mengalami

guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.

Program Bantuan Sosial memiliki tujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial melalui pengurangan kemiskinan. Bantuan yang diberikan

dalam program Bantuan Sosial tidak bergantung kepada kontribusi dari

penerima manfaatnya. Bantuan Sosial dapat diberikan secara langsung dalam

bentuk uang (in-cash transfers), juga dalam bentuk barang dan pelayanan (in-

kind transfers) (Supriyanto et al., 2014).

Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu menganggarkan

Dana Bantuan Sosial baik di APBN maupun APBD setiap tahunnya. Tidak ada

pagu anggaran bagi dana ini. Setiap provinsi diberikan kebebasan untuk

menentukan Dana Bantuan Sosial mereka sesuai dengan kemampuan finansial

provinsi tersebut. Oleh sebab itu, maka dana ini memiliki celah untuk

melakukan tindakan kecurangan dikarenakan tidak adanya pagu anggaran serta

kemungkinan untuk menyalahgunakan dana tersebut baik untuk kepentingan

pribadi maupun kelompok sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

cukup serius untuk mengiring APBD terutama pada akun ini.

Tujuan dari adanya Dana Bantuan Sosial adalah menurunkan jumlah

penduduk miskin dan rentan miskin. Indikator penerima Dana Bantuan Sosial

ialah (1) selektif, dimana pihak yang menerima dana Bantuan Sosial adalah

mereka yang ditunjuk untuk dilindungi dari kemungkinan resiko sosial; (2)

memenuhi persyaratan penerima bantuan, yaitu pihak yang memiliki identitas

yang jelas dan berdomisili dalam wilayah administratif pemerintahan daerah

33

berkenan; (3) bersifat sementara dan tidak terus menerus, kecuali dalam

keadaan tertentu dapat berkelanjutan; dan (4) sesuai dengan tujuan penggunaan

seperti untuk rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial,

jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan, dan penanggulangan bencana.

Maka dari itu Pemerintah Pusat melaksanakan berbagai program guna

menekan jumlah kemiskinan yang angkanya melonjak naik sejak krisis

moneter 1998 berupa Jaminan Pengaman Sosial (JPS), Beras untuk Rakyat

Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai bentuk kompensasi

kenaikan harga BBM, bantuan tidak langsung berupa Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN), Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Program Keluarga

Harapan (PKH).

Sejak tahun 2010 pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai Wakil Presiden Republik

Indonesia. TNP2K memiliki tujuan untuk menyelaraskan berbagai kegiatan

percepatan penanggulangan kemiskinan. Saat ini Pemerintah Pusat memiliki

berbagai program antara lainnya (Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan

(TNP2K), 2018):

1. Program di Bidang Pangan berupa Program Beras Sejahtera (Rastra) dan

Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

2. Program di Bidang Pendidikan berupa Program Indonesia Pintar (PIP),

Program Beasiswa Pendidikan bagi Masyarakat Miskin (Bidikmisi), dan

Program Keterampilan Hidup.

3. Program di Bidang Kesehatan berupa Program Indonesia Sehat.

4. Program di Bidang Energi berupa Program Subsidi Listrik, Program

Subsidi ELPIJI 3kg, dan Program Bantuan Penyediaan Lampu Tenaga

Surya Hemat Energi (LTSHE).

5. Program di Bidang Ekonomi dan Sosial berupa Program Keluarga

Harapan (PKH), Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Program

Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), Program Temu

Penguatan Kapasitas Anak dan Keluarga (TEPAK), Program Asistensi

34

Sosial Penyandang Disabiitas Berat (ASPDB), dan Program Asistensi

Sosial Penduduk Lanjut Usia Terantar (ASLUT).

6. Program di Bidang Perumahan berupa Program Rehabilitasi Sosial

Rumah Tidak Layak Huni dan Sarana Lingkungan (RS-RTLH dan

Sarling), Program Bantuan Pembiayaan Perumahan, dan Program

Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya.

7. Program di Bidang Pertanian berupa Subsidi Pupuk, Program Bantuan

Premi Asuransi Usaha Tani Padi (BP-AUTP), dan Program Bantuan

Premi Asuransi Ternak Sapi (BP-AUTS).

8. Program di Bidang Kelautan/Perikanan berupa Program Bantuan Premi

Asuransi Nelayan (BPAN) dan Program Bantuan Premi Asuransi

Perikanan bagi Pembudidaya Ikan Kecil (BP-AIK).

3. Inflasi (Inflation) Selain Dana Bantuan Sosial, salah satu faktor lainnya yang dapat

mempengaruhi Persentase Kemiskinan ialah Inflasi. Inflasi adalah suatu

keadaan dimana terjadi peningkatan harga barang dan jasa secara umum dan

terus menerus dalam jangka waktu tertentu (Bank Indonesia, 2018a). Inflasi

dapat diakibatkan oleh dua kemungkinan yaitu faktor fundamental dan faktor

non-fundamental (Bank Indonesia, 2018b):

Faktor fundamental ialah Inflasi inti, yaitu Inflasi yang terjadi dikarenakan

(a) interaksi permintaan-penawaran; (b) lingkungan eksternal: nilai tukar, harga

komoditi internasional, Inflasi mitra dagang; (c) ekspektasi Inflasi dari

pedagang dan konsumen. Kemudian Faktor non-fundamental ialah (a) Inflasi

komponen bergejolak (Volatile Food) dimana Inflasi ini terjadi ketika gagal

panen, gangguan alam, atau perkembangan harga komoditas pangan domestik

maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional; (b) Inflasi

komponen harga yang diatur pemerintah (Administered Price) dimana Inflasi

ini dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam menentukan harga Bahan

Bakar Minyak (BBM), harga listrik, dan harga transportasi.

Inflasi juga bisa timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push

inflation), demand (demand pull inflation), dan ekspektasi Inflasi. Inflasi sisi

35

penawaran disebabkan depresiasi mata uang, Inflasi luar negeri dari negara-

negara partner dagang, peningkatan administered price, dan terjadi gagal panen

atau terganggunya distribusi. Inflasi sisi permintaan disebabkan karena

tingginya permintaan terhadap barang dan jasa yang jumlahnya relatif terhadap

ketersediaannya. Sedangkan ekspektasi Inflasi adalah perkiraan perilaku

konsumsi masyarakat pada waktu tertentu seperti pada saat hari raya suatu

keagamaan, tahun baru, dan hari-hari besar lainnya (Bank Indonesia, 2018c).

Indikator yang sering digunakan untuk mengetahui Tingkat Inflasi berasal

dari Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dilakukan atas dasar Survey Biaya

Hidup (SBH) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS setiap

bulan akan memonitor perkembangan harga barang dan jasa di berbagai kota di

Indonesia. Selain Indeks Harga Konsumen, indikator Inflasi lain yang

digunakan berdasarkan standar Internasional best practice ialah (1) Indeks

Harga Perdagangan Besar (IHPB) dimana indikator ini melihat transaksi dari

penjual/pedagang utama kepada pedagang selanjutnya dalam jumlah besar

pada suatu komoditas; (2) Indeks Harga Produsen (IHP) dimana indikator ini

mengukur perubahan rata-rata harga yang diterima produsen domestik untuk

barang yang dihasilkan; (3) Deflator Produk Domestik Bruto (DPDB)

menunjukan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang

produksi lokal, barang jadi, dan jasa. Deflator PDB ini dihasikan dengan

membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan;

dan (4) Indeks Harga Aset ini mengukur ada harga aset antara lain property dan

saham (Bank Indonesia, 2018b).

Inflasi yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dikelompokan

dalam tujuh kelompok pengeluaran berdasarkan the Classification of Individual

Consumption by Purpose-COICOP), yaitu (1) bahan makanan; (2) makanan

jadi, minuman, rokok dan tembakau; (3) perumahan, air, listrik, gas, dan bahan

bakar; (4) sandang; (5) kesehatan; (6) pendidikan, rekreasi, dan olahraga; (7)

transport, komunikasi, dan jasa keuangan (Bank Indonesia, 2018b).

Perubahan IHK baik itu perbulan, tahun kalender, dan tahun ke tahun

disebut Tingkat Inflasi. Misalnya, pada Juni 2008 Indeks Harga Konsumen

36

sebesar 99.14 dan Indeks Harga Konsume pada Juni 2009 sebesar 110.08,

maka Inflasi tahunan pada bulan Juni 2009 ialah sebesar 11.03%. Rumus

menghitung Tingkat Inflasi ialah sebagai berikut:

𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 = 𝐼𝐻𝐾𝑛 − 𝐼𝐻𝐾𝑛−1

𝐼𝐻𝐾𝑛−1 × 100

Dimana n= IHK periode saat ini, dan n-1= IHK periode sebelumnya.

Sedangkan di Indonesia, rumus IHK dihitung menggunakan rumus Laspreyres

yang dimodifikasi sebagai berikut:

𝐼𝑛 =∑ 𝑃𝑛𝑖

𝑃(𝑛−1)𝑖𝑃(𝑛−1)𝑖 .𝑄0,1

𝑘𝑖=1

∑ 𝑃0,1.𝑄0,1𝑘𝑖=1

× 100

Dimana:

In = Indeks periode ke-n

Pni = Harga barang ke-i pada periode ke-n

P(n-1)i = Harga jenis barang ke-i periode ke-(n-1)

Pn,1Qi = Nilai konsumsi jenis barang ke-i pada periode ke-n

P(n-1),i Qi = Nilai konsumsi jenis barang ke-i pada periode ke-(n-1)

K = Jumlah jenis barang paket komoditi

Tingkat Inflasi dapat terjadi pada tingkat yang ringan, sedang, berat dan

hiperInflasi. Inflasi tingkat ringan ketika kenaikan barang dan jasa berada di

bawah 10%; Inflasi tingkat sedang antara 10% - 30%; Inflasi tingkat berat

antara 30% – 100%; sedangkan hiperInflasi ketika kenaikan harga dalam

setahun tidak terkendali atau melebihi 100% (Suseno & Aisyah, 2009). Pada

negara-negara maju, Tingkat Inflasi rendah yang dianggap wajar berkisar

antara 2% sampai 3%. Sedangkan di Indonesia, angka Inflasi satu digit masih

dianggap wajar, dengan kata lain Inflasi hingga 9% masih dalam batas wajar

37

dan baru dianggap berbahaya jika sudah menyentuh 10% (Suseno & Aisyah,

2009).

Indonesia pada tahun 1972 hingga 1974 mengalami Inflasi dikarenakan

meningkatnya harga minyak dunia. Tingkat Inflasi pada tahun 1972 mencapai

25.7% dikarenakan hasil panen yang kurang baik sebagai akibat dari kemarau

yang panjang dan terus meningkat hingga menyentuh 50% pada tahun

selanjutnya dikarenakan kenaikan harga minyak di pasar dunia (Suseno &

Aisyah, 2009). Untuk menekan Tingkat Inflasi, pada tahun 1974 pemerintah

menerapkan stabilisasi berupa kebijakan kredit selektif untuk menekan uang

yang beredar di masyarakat dan mampu mengendalikan Inflasi akibat oil boom.

Pada tahun 1998, lagi-lagi Indonesia mengalami Tingkat Inflasi hingga

menyentuh 77.6% diakibatkan krisis nilai tukar. Berawal dari nilai tukar mata

uang Baht pada Dollar turun dan menyebar ke berbagai negara di sekitar

Thailand, salah satunya Indonesia. Tahun 1999 Tingkat Inflasi menurun hingga

2.01% karena adanya perbaikan dari sisi penawaran jangka pendek, yaitu

kecukupan pasokan bahan makanan oleh pemerintah, perbaikan produksi

sektoral, dan kelancaran distribusi barang-barang akibat membaiknya kondisi

keamanan (Suseno & Aisyah, 2009).

Secara garis besar ada tiga teori Inflasi, yaitu Teori Kuantitas, Teori

Keynes, dan Teori Strukturalis. Teori Kuantitas menyatakan bahwa uang

beredar merupakan faktor penentu atau faktor yang mempengaruhi kenaikan

harga. Peningkatan jumlah uang beredar akan berdampak pada peningkatan

harga barang dan jasa. Para ekonom yang menganut paham ini lebih dikenal

dengan ahli ekonomi beraliran Monetaris. Milton Friedman adalah salah satu

ekonom beraliran Monetaris yang mendapatkan Nobel di bidang ekonomi pada

tahun 1976. Ia sangat terkenal dengan penyataanya yaitu, “Inflation is always

and everywhere a monetary phenomenon”.

Teori Keynes tidak sependapat dengan teori kuantitas yang diyakini oleh

Milton Friedman. Keynes menyatakan bahwa paham yang dipercaya oleh

Friedman mengasumsikan ekonomi dalam keadaan full employment (kapasitas

38

ekonomi penuh) dimana tidak adanya pengangguran sama sekali. Teori Keynes

beranggapan bahwa jika kapasitas ekonomi belum penuh maka pertambahan

jumlah uang beredar akan meningkatkan permintaan barang dan jasa sehingga

akan membuka kesempatan kerja dan tidak akan terjadi kenaikan harga.

Sedangkan Teori Strukturalis didasarkan pada pengalaman negara-

negara di Amerika Latin. Teori ini menyatakan bahwa Inflasi terjadi karena

faktor-faktor struktural dalam perekonomian. Masalah yang dapat

menimbulkan Inflasi, yaitu penerimaan ekspor tidak elastis yang menyebabkan

terhambatnya kemampuan impor pada barang-barang yang dibutuhkan (Suseno

& Aisyah, 2009). Dengan terhambatnya barang-barang impor maka

ketersediaan barang dalam negeri akan mengalami scarcity (kelangkaan) yang

akan berdampak pada peningkatan harga.

Tingkat Inflasi harus dijaga karena World Bank (2018) menyatakan bahwa

Inflasi yang tinggi dapat berdampak buruk pada masyarakat miskin karena

mereka memiliki aset secara tunai dan sangat bergantung pada upah, tunjangan

kesejahteraan, dan pensiun. Hal yang sama juga dikatakan oleh Bank Indonesia

dimana Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan pendapatan riil menurun

sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan menjadikan orang miskin

semakin miskin. Selain itu Inflasi yang tinggi juga dapat menciptakan

ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan serta Tingkat

Inflasi domestik yang lebih tinggi dari negara tetangga menjadikan tingkat

bunga domestik tidak kompetitif sehingga dapat membahayakan nilai tukar.

Untuk mengendalikan Inflasi dapat digunakan kebijakan moneter yang

bersifat langsung maupun tidak langsung. Kebijakan moneter tidak langsung

dapat dilakukan dengan mengadakan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dengan

menerbitkan surat utang negara atau surat utang bank sentral (Suseno &

Aisyah, 2009). Sedangkan kebijakan moneter secara langsung ialah dengan

tingkat suku bunga tertentu. selain kebijakan moneter, pengendalian Inflasi

juga dapat dilakukan dengan kebijakan fiskal dimana belanja pemerintah dan

pajak menjadi instrumen pada pengendalian Inflasi.

39

B. Hubungan Antar Variabel Dalam rumusan masalah telah ditetapkan akan meneliti tentang pengaruh

Bantuan Sosial dan Inflasi terhadap Kemiskinan di Indonesia tahun 2007 – 2017.

Berdasarkan penelitian sebelumnya Mustafa dan Nishat (2017) menganalisis Role

of Social Protection in Poverty Reduction in Pakistan: A Quantitative Approach.

Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa perlindungan sosial memiliki peran

yang signifikan terhadap kemiskinan di Pakistan. Kemudian peneltian

Kiendrebeogo, Assimaidou, dan Tall (2017) tentang Social Protection for Poverty

Reduction in Time of Crisis menyatakan bahwa negara dengan pengeluaran

Bantuan Sosial yang lebih besar pada masa krisis memiliki Persentase

Kemiskinan lebih rendah dibanding negara dengan pengeluaran sosial yang lebih

kecil pada masa krisis.

Kemudian pada penelitian Susanto (2014) tentang Impact of Economic

Growth, Inflation and Minimum Wage on Poverty in Java menyatakan bahwa

inflasi memiliki koefisien positif terhadap penduduk miskin. Selanjutnya

penelitian Mustamin, Agussalim, dan Nurbayani (2015) tentang Pengaruh

Variabel Ekonomi Makro Terhadap Kemiskinan di Kota Makassar Provinsi

Sulawesi Selatan menyatakan bahwa Inflasi memiliki pengaruh secara langsung

terhadap kemiskinan sebesar -0,088, dimana setiap kenaikan 1% pada Inflasi akan

menurunkan kemiskinan sebesar 0,088% dengan signifikansi 5%.

Hal ini yang menjadi pertimbagan penulis untuk menggunakan variabel

Bantuan Sosial (SA) dan Inflasi (INF) sebagai variabel dependen dan Persentase

Kemiskinan (POV) sebagai variabel independen. Persamaannya adalah sebagai

berikut:

POV = f (SA, INF)

Keterangan:

POV = Persentase Kemiskinan

SA = Bantuan Sosial

INF = Inflasi

40

1. Hubungan Bantuan Sosial dengan Kemiskinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 Tentang Kesejahteraan

Sosial mendefinisikan Bantuan Sosial sebagai upaya untuk meringankan

penderitaan, melindungi, dan memulihkan kondisi kehidupan fisik, mental, dan

sosial (termasuk kondisi psikososial, dan ekonomi) serta memberdayakan

potensi yang dimiliki agar seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat

yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara

wajar.

Permendagri Nomor 32 tahun 2011 Tentang Pendoman Pemberian Hibah

dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah menyatakan bahwa Bantuan Sosial memiliki tujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan sosial melalui pengurangan kemiskinan. Bantuan

yang diberikan dalam program Bantuan Sosial tidak bergantung kepada

kontribusi dari penerima manfaatnya. Bantuan Sosial dapat diberikan secara

langsung dalam bentuk uang (in-cash transfers), juga dalam bentuk barang dan

pelayanan (in-kind transfers) (Supriyanto et al., 2014).

2. Hubungan Inflasi dengan Kemiskinan Inflasi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan harga barang dan

jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu (Bank

Indonesia, 2018a). Tingkat Inflasi harus dijaga karena World Bank (2018)

menyatakan bahwa Inflasi yang tinggi dapat berdampak buruk pada

masyarakat miskin karena mereka memiliki aset secara tunai dan sangat

bergantung pada upah, tunjangan kesejahteraan, dan pensiun. Hal yang sama

juga dikatakan oleh Bank Indonesia dimana Inflasi yang tinggi dapat

menyebabkan pendapatan riil menurun sehingga standar hidup dari masyarakat

turun dan menjadikan orang miskin semakin miskin. Selain itu Inflasi yang

tinggi juga dapat menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam

mengambil keputusan serta Tingkat Inflasi domestik yang lebih tinggi dari

negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik tidak kompetitif sehingga

dapat membahayakan nilai tukar.

41

C. Kerangka Berpikir Agar penelitian ini terstruktur dan sistematis, maka kerangka berpikir

sangatlah dibutuhkan agar penelitian ini sesuai dari pemikiran awalnya dan tidak

melebar atau bahkan menyempit serta dapat memecahkan permasalahan pada

penelitian ini. Berikut adalah kerangka berpikir pada penelitian ini.

Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir

D. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara pada suatu permasalahan yang masih

harus dibuktikan kebenarannya. Pada penelitian ini, hipotesis penulis adalah

sebagai berikut:

42

a. Dana Bantuan Sosial pada Persentase Penduduk Miskin

1. H0 Diduga Dana Bantuan Sosial tidak memiliki pengaruh terhadap

Persentase Penduduk Miskin secara parsial.

H1 Diduga Dana Bantuan Sosial memiliki pengaruh terhadap

Persentase Penduduk secara parsial.

b. Tingkat Inflasi pada Persentase Penduduk Miskin

1. H0 Diduga Tingkat Inflasi tidak memiliki pengaruh terhadap

Persentase Penduduk Miskin secara parsial.

H1 Diduga Tingkat Inflasi memiliki pengaruh terhadap Persentase

Penduduk Miskin secara parsial.

c. Dana Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi pada Persentase Penduduk Miskin

1. H0 Diduga Dana Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi secara simultan

tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap Persentase

Penduduk Miskin.

H1 Diduga Dana Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi secara simultan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Persentase Penduduk

Miskin.

43

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif korelasi yaitu

penelitian yang menggunakan statistik korelasional untuk menggambarkan dan

mengukur tingkat atau hubungan antara dua variabel atau lebih dalam serangkaian

nilai (Creswell 2012 dalam Creswell, 2014). Variabel dependen yang digunakan

pada penelitian ini adalah persentase penduduk miskin dan dua variabel

independen yaitu Bantuan Sosial dan Tingkat Inflasi pada tahun 2007 - 2017.

Penelitian ini mengelompokan regress data menjadi 4 kelompok, yaitu (1) 33

Provinsi, (2) Sumatera dan Jawa, (3) Kalimantan dan Sulawesi, dan (4) Bali, Nusa

Tenggara, Maluku, dan Papua. Hal tersebut bertujuan untuk melihat pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen di berbagai daerah. Pembagian

tersebut sesuai dengan Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan

Transmigrasi yang mengelompokkan peran wilayah/pulau dalam pembentukan

PDB Nasional 1983 – 2013 menjadi 4 kelompok (Kemendes PDTT, 2015).

Dikarenakan dua kelompok, yaitu (a) Bali dan Nusa Tenggara, dan (b) Maluku

dan Papua tidak bisa melaksanakan regresi Random Effect Model (REM), maka

peneliti menjadikannya satu kelompok menjadi kelompok ke-empat pada

kelompok regresi di penelitian ini.

B. Metode Penentuan Sampel

Menurut Amirullah (Amirullah, 2015), Sampel merupakan suatu sub

kelompok dari populasi yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Sampel

yang digunakan pada penelitian ini adalah 33 Provinsi dan tidak menggunakan

Provinsi Kalimantan Utara dikarenakan provinsi tersebut baru terbentuk pada

tahun 2011. Penelitian ini juga mengelompokan regress data menjadi 4 kelompok,

yaitu (1) 33 Provinsi, (2) Sumatera dan Jawa, (3) Kalimantan dan Sulawesi, dan

(4) Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Metode pengambilan sampel yang

akan digunakan adalah teknik purposive sampling yaitu cara pengambilan sampel

diserahkan pada pertimbangan pengumpul data yang berdasarkan atas

pertimbangan yang sesuai dengan maksud dan tujuan tertentu.

44

C. Metode Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan ialah persentase penduduk miskin di Indonesia yang

didapatkan dari Badan Pusat Statistik, Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

menurut Fungsi Bagian Perlindungan Sosial yang didapatkan dari Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan Republik Indonesia, dan Tingkat Inflasi Tahunan

didapatkan Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik pada 33 Provinsi di

Indonesia tahun 2007 – 2017.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen Penelitian adalah cara yang digunakan peneliti untuk

mengumpulkan data. Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini

ialah dengan pencatatan dokumen yang disediakan oleh Badan Pusat Statistik,

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, dan Bank Indonesia di situs website

masing-masing. Berikut ini adalah operasional variabel yang akan digunakan pada

penelitian ini:

Tabel 3. 1 Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Satuan Sumber Singkatan

Variabel Dependen

(Y)

Persentase

Penduduk Miskin

Persentase

Penduduk Miskin

adalah persentase

dari jumlah

penduduk suatu

negara terhadap

jumlah penduduk

yang memiliki rata-

rata pengeluaran

perkapita perbulan

dibawah garis

kemiskinan pada

Persen Badan Pusat

Statistik

POV

45

suatu periode.

Variabel (X1)

Bantuan Sosial

Bantuan Sosial

yang bersumber

dari APBD dan

dapat berupa uang

atau barang serta

pemberiannya tidak

terus menerus serta

penerima bantuan

adalah pihak-pihak

yang sesuai dengan

indikator penerima.

Milyar

Rupiah

Direktorat

Jenderal

Perimbangan

Keuangan RI

SA

Variabel (X2)

Tingkat Inflasi

Tingkat Inflasi

adalah peningkatan

harga pada barang

dan jasa dalam

waktu tertentu

berdasarkan

perubahan Indeks

Harga Konsumen

(IHK).

Persen Bank Indonesia

dan Badan

Pusat Statistik

INF

E. Teknik Analisa Data

Penelitian ini menggunakan alat analisis E-Views 8.0 sebagai alat

pengolahan data. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

panel. Data panel adalah gabungan antara data runtut waktu (time series) dan data

silang (cross section). Menurut Agus Widarjono (2009) dalam Basuki (2015)

penggunaan data panel dalam sebuah observasi mempunyai beberapa keuntungan

yang diperoleh. Pertama, data panel yang merupakan gabungan dua data yang

46

lebih banyak sehingga akan lebih menghasilkan degree of freedom yang lebih

besar. Kedua, menggabungkan informasi dari data time series dan cross section

dapat mengatasi masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel

(omitted-variable).

1. Model Regresi Data Panel Model regresi panel sebagai berikut:

𝒀 =∝ +𝒃𝟏𝑿𝟏𝒊𝒕 + 𝒃𝟐𝑿𝟐𝒊𝒕 + 𝒆

Keterangan:

Y = Variabel dependen

∝ = Konstanta

𝑋1 = Variabel independen 1

𝑋2 = Variabel independen 2

𝑏(1,2) = Koefisien regresi masing-masing variabel independen

𝑒 = error term

𝑡 = Waktu

𝑖 = Individu

2. Estimasi Model Data Panel Untuk mengestimasi model regresi data panel, terdapat tiga pendekatan,

antara lain (Basuki, 2015):

1. Common Effect Model

Merupakan pendekatan model data panel yang paling sederhana

karena hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. Pada

model ini tidak diperhatikan dimensi waktu maupun individu, sehingga

diasumsikan bahwa perilaku pendekatan Ordinary Least Square (OLS)

atau teknik kuadrat terkecil untuk mengestimasi model data panel.

47

Sehingga model ini tidak dapat membedakan varians antara waktu maupun

individu karena intercept-nya tetap.

Adapun persamaan regresi dalam model common effect dapat ditulis

sebagai berikut:

𝑌𝑖𝑡 =∝ +𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝜀𝑖𝑡

Dimana:

i = individu 1, individu, 2, individu 3, …, individu n

t = tahun 1, tahun 2, tahun 3, …, tahun n

Dimana i menunjukkan cross section (individu) dan t menunjukkan

periode waktunya. Dengan mengasumsikan bahwa antar individu memiliki

perilaku yang sama dalam kurun waktu tersebut.

2. Fixed Effect Model

Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat

diakomodasi dari perbedaan intersepnya. Untuk mengestimasi data panel

model Fixed Effect Model menggunakan teknik variabel dummy untuk

menangkap perbedaan intersep antar individu, perbedaan intersep bisa

terjadi karena perbedaan kondisi. Misalnya ada 10 individu, maka variabel

dummy yang digunakan ada 9 dummy. Setiap individu memiliki intercep

yang berbeda namun slopnya sama antar individu. Model estimasi ini

sering juga disebut dengan teknik Least Square Dummy Variable (LSDV).

Adapun persamaan regresi dalam model fixed effect dapat ditulis

sebagai berikut:

𝑌𝑖𝑡 =∝ +𝑖 ∝𝑖𝑡+ 𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝜀𝑖𝑡

�𝑦1𝑦1𝑦𝑛� = �

∝∝∝� + �

𝑖 0 00 𝑖 00 0 𝑖

� �∝1∝2∝𝑛� + �

𝑥11 𝑥21 𝑥𝑝1𝑥12 𝑥22 𝑥𝑝2𝑥1𝑛 𝑥2𝑛 𝑥𝑝𝑛

� �𝛽1𝛽2𝛽𝑛� + �

𝜀1𝜀2𝜀𝑛�

Teknik seperti diatas dinamakan Least Square Dummy Variable

(LSDV). Selain diterapkan untuk efek tiap individu, LSDV ini juga dapat

48

mengakomodasi efek waktu yang bersifat sistemik. Hal ini dapat dilakukan

penambahan variabel dummy waktu di dalam model.

3. Random Effect Model

Model data panel yang mengestimasi dimana gangguan mungkin

saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Pada model Random

Effect perbedaan intersep diakomodasi oleh error terms masing-masing

individu. Keuntungan menggunakan model Random Effect yakni

menghilangkan heteroskedastisitas. Model ini juga disebut dengan Error

Component Model (ECM) atau teknik Generalized Least Square (GLS).

Dengan demikian, persamaan model Random Effect dapat dituliskan

sebagai berikut:

𝑌𝑖𝑡 =∝ +𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝑊𝑖𝑡

𝑌𝑖𝑡 =∝ +𝑋𝑖𝑡𝛽 + 𝜀𝑖𝑡

i = individu 1, individu, 2, individu 3, …, individu n

t = tahun 1, tahun 2, tahun 3, …, tahun n

dimana:

wit = 𝜀𝑖𝑡 + 𝑢1;𝐸(𝑤𝑖𝑡) = 0;𝐸(𝑤𝑖𝑡2) =∝2+∝𝑢2;

E(wit, wjt-1)=0; I ± j; E(ui, 𝜀𝑖𝑡)=0;

E(𝜀𝑖, 𝜀𝑗𝑠)=E(𝜀𝑖, 𝜀𝑗𝑡)= E(𝜀𝑖, 𝜀𝑗𝑠)=0

Meskipun komponen error wt bersifat homokedastik, nyatanya

terdapat korelasi antara wt dan wit-s (equicorrelation), yakni:

Corr(wit, wi(t-1)) = ∝𝑢2/(∝2+∝𝑢2)

Karena itu, metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan

estimator yang efisien bagi model Random Effect. Metode yang tepat

untuk mengestimasi model Random Effect adalah Generalized Least

49

Squares (GLS) dengan asumsi homokedastik dan tidak ada cross-sectional

correlation.

3. Pemilihan Model Data Panel Untuk memilih model data panel yang tepat, dapat dilakukan pengujian

terlebih dahulu yaitu berupa Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji Langrage

sebagai berikut:

1. Uji Chow

Uji Chow ialah Uji yang digunakan untuk menentukan model

manakah yang paling tepat antara Common Effect atau Fixed Effect dalam

mengestimasi data panel.

Apabila Probabilitas dari Redudant Fixed Effect <0,05 maka model

yang terbaik adalah Fixed Effect atau H0 ditolak. Sedangkan bila

Probabilitas dari Redudant Fixed Effect >0,05 maka model yang paling

tepat adalah Common Effect dimana H1 ditolak.

2. Uji Hausman

Uji Hausman yakni pengujian statistik untuk menentukan model

manakah yang terbaik antara Random Effect atau Fixed Effect dalam

mengestimasi data panel.

Apabila Probabilitas dari Correlated Random Effect <0,05 maka

model yang terbaik adalah Fixed Effect atau H0 ditolak. Sedangkan bila

Probabilitas dari Correlated Random Effect >0,05 maka model yang paling

tepat adalah Random Effect dimana H1 ditolak.

3. Uji Lagrange Multiplier

Uji Lagrange Multiplier digunakan untuk menentukan model maka

yang lebih tepat antara Common Effect atau Random Effect yang paling

tepat digunakan untuk mengestimasi data panel.

Apabila Probabilitas dari Breusch-Pagan <0,05 maka model yang

terbaik adalah Random Effect atau H0 ditolak. Sedangkan bila Probabilitas

50

dari Breusch-Pagan >0,05 maka model yang paling tepat adalah Common

Effect dimana H1 ditolak.

4. Uji Asumsi Klasik

Uji ini digunakan untuk memastikan apakah model dalam penelitian ini

valid sebagai alat penduga. Pada penelitian ini hanya digunakan dua Uji Asumsi

Klasik yaitu Multikolinearitas dan Heteroskedastisitas, yaitu:

a. Multikolinearitas

Mulitikolinearitas adalah adanya hubungan linier antara variabel

independen di dalam regresi. Uji ini digunakan ntuk menguji ada tidaknya

multikolinearitas pada model. Jika hasilnya dibawah 0.08 maka tidak

terjadi gejala multikolinearitas. Karena ketika suatu model memiliki

masalah korelasi antar variabel dependen, maka hasilnya nanti akan

dianggap tidak stabil.

b. Heterokedastisitas

Heterokedastisitas adalah masalah regresi dimana adanya faktor

gangguan varian yang tidak sama atau variannya tidak konstan. Hal ini

akan memunculkan berbagai permasalahan yaitu penaksir OLS yang bias

atau varian dari koefisien yang salah (Supranto, 2009). Uji ini melihat

apakah di dalam model yang diteliti terdapat varian yang berbeda antar

variabel. Dalam penelitian ini akan menggunakan metode dengan uji

glejser untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dalam model

regresi dengan meregres absolut residual. Jika hasilnya diatas 0.05 maka

tidak terjadi gejala heteroskedastisitas.

5. Uji Kelayakan

a. Uji-t

Uji-t bertujuan untuk mengetahui besaran koefisien (slope) regres

secara individu. Dengan kata lain, uji ini digunakan untuk melihat apakah

variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen secara parsial.

Selain itu, uji ini juga dapat mengetahui apakah masing-masing

variabel memiliki probabilitas yang signifikan atau tidak terhadap variabel

51

dependennya. Jika nilai t-Prob <0,05 maka dapat dikatakan variabel

tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Namun

jika nilai t-Prob >0,05 maka dapat dikatakan variabel tersebut tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependennya.

b. Uji-F Uji F bertujuan untuk mengetahui besaran koefisien (slope) regres

secara bersamaan (simultan). Dengan kata lain, uji ini digunakan untuk

melihat apakah variabel-variabel independen dapat menjelaskan variabel

dependen secara bersama-sama (simultan).

Apabila Prob(F) <0,05 maka dapat dikatakan semua variabel

independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel

dependennya. Bila nilai Prob(F) >0,05 maka dapat dikatakan bahwa

seluruh variabel independen tidak memiliki pengaruh yang signifikan

secara simultan terhadap variabel dependennya.

c. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (Goodness of Fit) dinotasikan dengan R-Square

yang merupakan suatu ukuran penting karena dapat menggambarkan baik

tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R-Square mencerminkan

seberapa besar variasi dari variabel dependen terhadap variabel

independen. Bila nilai koefisien mendekati 1, maka variasi dari variabel

terikat secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel-variabel

bebasnya. Sedangkan jika nilai R-Square mendekati 0, maka variasi dari

variabel terikat secara keseluruhan tidak dapat diterangkan oleh variabel

bebasnya.

52

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Temuan Hasil Penelitian Pada peneltian ini penulis me-regres sebanyak empat kali untuk melihat

pengaruh Bantuan Sosial dan Inflasi dari (1) 33 Provinsi, (2) Provinsi di Sumatera

dan Jawa, (3) Provinsi di Kalimatan dan Sulawesi, dan (4) Provinsi di Bali, Nusa

Tenggara, Maluku, dan Papua dengan menggunakan regresi data panel.

Untuk dapat menentukan model yang digunakan di setiap pembagian

daerah, yang harus dilakukan adalah melihat hasil dari Uji Chow, Uji Hausman,

dan Uji Lagrange Multiplier. Berbagai uji tersebut adalah uji yang bertujuan untuk

melihat nilai probabilitas (P-Value) F-Statistik lebih kecil dari tingkat signifikansi

∝=5% sehingga dapat menentukan model regresi mana yang lebih cocok

digunakan dalam penelitian ini. Hipotesisnya adalah sebagai berikut:

Uji Chow H0 = Model Common Effect

H1 = Model Fixed Effect

Uji Hausman H0 = Model Random Effect

H1 = Model Fixed Effect

Uji Lagrange Multiplier H0 = Model Common Effect

H1 = Model Random Effect

1. Seluruh Provinsi (33 Provinsi) Pada kelompok data panel ini menggunakan 33 Provinsi. Pada tahun 2011,

Indonesia memiliki provinsi baru yaitu Provinsi Kalimantan Utara. Dikarenakan

penelitian ini menggunakan periode 2007 – 2017 maka Provinsi Kalimantan Utara

tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Berikut adalah hasil olah data berupa Uji

Chow, Uji Hausman, Uji Lagrange Multiplier, dan Random Effect Model (REM):

53

a. Uji chow

Tabel 4. 1 Uji Chow Seluruh Provinsi

Effect Test Statistic d.f Prob

Cross-Section F 97.438759

(32,328) 0.0000

Cross-Section Chi

Square

853.764201

32 0.0000

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Hasil Uji Chow menunjukkan Probabilitas t- statistic pada Cross-Section F

adalah 0.0000, dimana nilai tersebut dibawah dari nilai 0.05 yang menyatakan

bahwa H0 ditolak dan model yang lebih baik ialah model fixed effect. Selanjutnya

adalah hasil dari Uji Hausman untuk mengetahui manakah model yang terbaik

antara Random Effect dan fixed effect.

b. Uji Hausman

Tabel 4. 2. Uji Hausman Seluruh Provinsi

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob

Cross-Section Random 0.732038 2 0.6935

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Hasil Uji Hausman menunjukkan Probabilitas 0.6935, dimana nilai tersebut

diatas dari nilai 0.05 yang menyatakan bahwa H1 ditolak dan model yang lebih

baik ialah model Random Effect. Dikarenakan H1 ditolak, maka selanjutnya ialah

melihat hasil dari Uji Lagrange Multiplier untuk mengetahui manakah model yang

terbaik antara common effect dan Random Effect.

c. Uji Lagrange Multiplier

Tabel 4. 3. Uji Lagrange Multiplier Seluruh Provinsi

Null (no rand. Effect)

Alternative

Cross-section

One-side

Period One-sided Both

Breusch-Pagan 1436.182

(0.0000)

7.658859

(0.0056)

1443.841

(0.0000)

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

54

Hasil Uji Lagrange Multiplier dengan menggunakan Breusch-Pagan

menunjukkan Probabilitas 0.0000, dimana nilai tersebut dibawah dari nilai 0.05

yang menyatakan bahwa H0 ditolak. Maka model yang lebih baik untuk seluruh

provinsi ialah model Random Effect.

d. Model Random Effect (REM)

Model data panel yang digunakan pada olah data 33 Provinsi ini adalah

dengan menggunakan model Random Effect Model (REM) dapat dijelaskan

melalui persamaan sebagai berikut:

POV = 17.48479 – 0.002312 LN_SA + 0.305760 INF + e

Dimana:

POV : Persentase Penduduk Miskin pada 33 Provinsi di Indonesia

SA : Dana Bantuan Sosial pada 33 Provinsi di Indonesia

INF : Tingkat Inflasi pada 33 Provinsi di Indonesia

Berdasarkan Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji Lagrange yang telah

dilakukan dapat disimpulkan bahwa model dalam penelitian ini menggunakan

metode analisis dengan pendekatan efek acak (Random Effect).

Tabel 4. 4. Hasil Estimasi Data Panel Seluruh Provinsi

Dependent Variabel: POV

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob C 17.48479 4.255461 4.108788 0.0000

LN_SA -0.002312 0.001570 -1.473039 0.1416

INF 0.305760 0.044207 6.916585 0.0000

R-squared 0.136372

Adjusted R-squred 0.131574

F-statistic 28.42295

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

55

Variabel SA menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar -0.002312, dimana

hal tersebut berdampak positif terhadap variabel POV. Maka, jika terjadi kenaikan

1% pada Dana Bantuan Sosial maka akan menurunkan Kemiskinan sebesar

0.002312% namun tidak signifikan karena Probabilitas t-statistik variabel SA

diatas dari 0.05 yaitu sebesar 0.1416.

Lain halnya dengan variabel INF. Variabel INF menunjukkan nilai positif

sebesar 0.305760 terhadap variabel POV. Maka, jika terjadi kenaikan 1% pada

Inflasi maka akan meningkatkan kemiskinan sebesar 0.305760%. Hal ini

menunjukkan bahwa variabel INF berdampak negatif terhadap Persentase

Kemiskinan dengan Probabilitas t-statistik 0.0000 dibawah 0.05 maka variabel

INF signifikan mempengaruhi POV. Selanjutnya adalah hasil output Provinsi di

Jawa dan Sumatera.

2. Jawa dan Sumatera Pada kelompok data panel ini menggunakan provinsi yang ada di Pulau

Jawa dan Sumatera (16 provinsi), yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI

Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bangka

Belitung, dan Kepulauan Riau. Berikut adalah hasil olah data berupa Uji Chow,

Uji Hausman, Lagrange Multiplier, dan Random Effect Model (REM):

a. Uji chow

Tabel 4. 5. Uji Chow Provinsi di Jawa dan Sumatera

Effect Test Statistic d.f Prob Cross-Section F 68.428916 (15,158) 0.0000

Cross-Section

Chi Square

354.538809 15 0.0000

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Hasil Uji Chow menunjukkan Probabilitas t-statistik pada Cross Section F

menunjukkan nilai 0.0000 yang menyatakan bahwa H0 ditolak dan model yang

lebih baik ialah model fixed effect. Selanjutnya ialah membandingkan manakah

yang lebih baik antara Random Effect atau fixed effect dengan Uji Hausman.

56

b. Uji Hausman

Tabel 4. 6. Uji Hausman Provinsi di Jawa dan Sumatera

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob

Cross-Section Random 0.322975 2 0.8509

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Uji Hausman menunjukkan Probabilitas sebesar 0.8509. Nilai tersebut

diatas 0.05 yang menandakan bahwa H1 ditolak dan berdasarkan Uji Hausman

dapat disimpulkan model yang lebih baik ialah Random Effect. Karena Uji Chow

dan Uji Hausman menunjukkan hasil yang berbeda, maka dibutuhkan satu uji lagi

yaitu Uji Lagrange Multiplier dimana pada uji ini akan menentukan manakah

model yang lebih baik antara common effect atau Random Effect.

c. Uji Lagrange Multiplier

Tabel 4. 7. Hasil Uji Lagrange Multiplier Provinsi di Jawa dan Sumatera

Null (no rand. Effect)

Alternative

Cross-section

One-side

Period One-sided Both

Breusch-Pagan 638.9003 (0.0000)

2.428894 (0.1191)

641.3292 (0.0000)

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Uji Lagrange Multiplier adalah uji terakhir untuk menentukan manakah

model terbaik antara common effect atau Random Effect. Berdasarkan hasil Uji

Lagrange Multiplier menunjukkan Probabilitas Cross-section One-side Breusch

adalah 0.000<0.05 yang menandakan bahwa model yang terbaik untuk Provinsi di

Jawa dan Sumatera adalah model Random Effect.

d. Model Random Effect (REM)

Model terbaik yang digunakan pada Provinsi di Jawa dan Sumatera adalah

Random Effect model dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut:

POV = 13.22897 – 0.001110 LN_SA + 0.218040 INF + e

Dimana:

POV : Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Jawa dan Sumatera

57

SA : Dana Bantuan Sosial di Provinsi Jawa dan Sumatera

INF : Tingkat Inflasi di Provinsi Jawa dan Sumatera

Berdasarkan Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji Lagrange Multiplier yang

telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa model yang paling baik untuk

digunakan pada Provinsi di Jawa dan Sumatera adalah model Random Effect.

Tabel 4. 8. Hasil Data Panel Provinsi di Jawa dan Sumatera

Dependent Variabel: POV Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob C 13.22897 4.508658 2.934126 0.0038

LN_SA -0.001110 0.001676 -0.662338 0.5086

INF 0.218040 0.049028 4.447295 0.0000

R-squared 0.108329

Adjusted R-

squred

0.098021

F-statistic 10.50891

Prob(F-statistic) 0.000049

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Variabel SA menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar -0.001110

terhadap variabel POV. Hal tersebut berdampak positif terhadap kemiskinan

karena jika terjadi kenaikan 1% pada Dana Bantuan Sosial maka akan

menurunkan Persentase Kemiskinan sebesar 0.001110% di Provinsi Jawa dan

Sumatera Utara. Probabilitas t-statistic 0.5086>0.05 yang menandakan bahwa

variabel ini tidak signifikan mempengaruhi Persentase Kemiskinan di Provinsi

Jawa dan Sumatera.

Sedangkan variabel INF menunjukan nilai koefisien positif terhadap

variabel POV dengan koefisien 0.218040. Dapat dikatakan bahwa peningkatan

1% pada Tingkat Inflasi akan meningkatkan Persentase Kemiskinan sebesar

0.218040 sehingga berdampak negatif terhadap Persentase Kemiskinan. Variabel

INF memiliki probabilitas 0.0000<0.05 dimana menunjukkan bahwa variabel INF

58

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap POV. Selanjutnya ialah hasil data

panel Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi.

3. Kalimantan dan Sulawesi Pada kelompok data panel ini menggunakan provinsi yang ada di Pulau

Kalimantan dan Sulawesi (10 provinsi), yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan

Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat.

Berikut adalah hasil olah data berupa Uji Chow, Uji Hausman, dan Fixed Effect

Model (REM):

a. Uji Chow Tabel 4. 9. Hasil Uji Chow Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi

Effect Test Statistic d.f Prob Cross-Section F 51.197974 (9,98) 0.0000

Cross-Section Chi Square 191.487068 9 0.0000

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Berdasarkan hasil Uji Chow dengan Probabilitas t-statistik pada Cross

Section F menunjukan nilai 0.0000<0.05 yang menunjukkan bahwa H0 ditolak

dan model yang lebih baik digunakan pada data panel ini ialah model fixed effect.

Selanjutnya ialah hasil Uji Hausman yang bertujuan untuk menentukan manakah

model yang jauh lebih baik antara Random Effect atau fixed effect.

b. Uji Hausman

Tabel 4. 10. Hasil Uji Hausman Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob

Cross-Section

Random

7.693219 2 0.0214

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Berdasarkan hasil Uji Hausman didapatkan Probabilitas 0.0214<0.05

dimana hal ini dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan model yang digunakan

pada data panel Provinsi Kalimantan dan Sulawesi adalah model fixed effect.

d. Model Fixed Effect (FEM)

59

Model data panel yang digunakan pada Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

adalah model fixed effect yang dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai

berikut:

POV = 3.471853 + 0.002381 LN_SA + 0.333542 INF + e

Dimana:

POV : Persentase Penduduk Miskin Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

SA : Dana Bantuan Sosial di Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

INF : Tingkat Inflasi di Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

Berdasarkan Uji Chow dan Uji Hausman dapat disimpulkan bahwa model

terbaik yang dapat digunakan pada Provinsi Kalimantan dan Sulawesi adalah

model fixed effect.

Tabel 4. 11. Hasil Data Panel Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

Dependen Variabel: POV

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob C 3.471853 7.211297 0.481446 0.6313

LN_SA 0.002381 0.002793 0.852211 0.3962

INF 0.333542 0.081828 4.076133 0.0001

R-squared 0.847014

Adjusted R-

squred

0.829842

F-statistic 49.32571

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Variabel SA menunjukkan nilai koefisien positif terhadap POV dengan

koefisien 0.002381 dimana peningkatan 1% pada Bantuan Sosial akan

meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 0.002381%. Hal tersebut

menunjukan bahwa Inflasi memiliki dampak negatif terhadap Persentase

Kemiskinan. Probabilitas t-statistik pada variabel SA adalah 0.3962>0.05 yang

menandakan bahwa variabel SA tidak signifikan mempengaruhi variabel POV.

60

Begitu pula dengan variabel INF yang menunjukkan nilai koefisien positif

terhadap POV dengan koefisien 0.333542 dimana peningkatan 1% variabel INF

akan meningkatkan variabel POV sebesar 0.333542% dengan Probabilitas t-

statistik sebesar 0.0001<0.05. Dapat disimpulkan bahwa variabel INF memiliki

pengaruh yang signifikan pada variabel POV dan berdampak negative terhadap

Persentase Kemiskinan. Selanjutnya adalah hasil data panel terakhir pada

penelitian ini yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

4. Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

Pada kelompok data panel ini menggunakan provinsi yang ada di Pulau

Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua (7 provinsi), yaitu Bali, Nusa Tenggara

Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Berikut adalah hasil olah data berupa Uji Chow, Uji Hausman, Uji Lagrange

Multiplier dan Random Effect Model (REM):

a. Uji Chow

Tabel 4. 12. Hasil Uji Chow Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

Effect Test Statistic d.f Prob Cross-Section F 102.260708 (6,68) 0.0000

Cross-Section

Chi Square

177.475977 6 0.0000

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Berdasarkan Uji Chow menunjukkan Probabilitas pada Cross-section F

sebesar 0.0000<0.05 dimana dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan model yang

lebih baik digunakan pada data panel ini ialah model fixed effect. Selanjutnya

dilakukan Uji Hausman untuk menentukan manakah model yang lebih baik antara

Random Effect atau fixed effect.

b. Uji Hausman

Tabel 4. 13. Uji Hausman Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob

Cross-Section

Random

1.902759 2 0.3862

61

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Berdasarkan hasil Uji Hausman didapatkan nilai Probabilitas sebesar

0.3862>0.05 dimana dapat disimpulkan bahwa H1 ditolak sehingga model yang

lebih baik digunakan pada data panel ini berdasarkan Uji Hausman adalah model

Random Effect. Dikarenakan Uji Chow dan Uji Hausman menunjukan dua hasil

yang berbeda maka yang harus dilakukan adalah uji terakhir yaitu Uji Lagrange

Multiplier untuk menentukan manakah model yang lebih baik antara common

effect dan Random Effect.

c. Uji Lagrange Multiplier

Tabel 4. 14. Hasil Uji Lagrange Multiplier Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

Null (no rand. Effect)

Alternative

Cross-section

One-side

Period One-sided Both

Breusch-Pagan 254.0351 (0.0000)

0.501983 (0.4786)

254.5371 (0.0000)

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Hasil Uji Lagrange Multiplier menunjukkan Probabilitas dari Cross-section

One-side pada Breusch Pagan menunjukkan 0.0000<0.05. Hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa H0 ditolak dan model yang paling baik digunakan pada data

panel Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

d. Model Random Effect (REM)

Model data panel Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua adalah

Random Effect yang dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut:

POV = 48.66117 – 0.012129 LN_SA + 0.445436 INF + e

Dimana:

POV : Persentase Penduduk Miskin Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan

Papua

SA : Dana Bantuan Sosial Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

INF : Tingkat Inflasi Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

62

Berdasarkan Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji Lagrange Multiplier

menunjukkan bahwa model data panel yang terbaik pada Provinsi Bali, Nusa

Tenggara, Maluku, dan Papua adalah model Random Effect.

Tabel 4. 15. Hasil Data Panel Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

Dependen Variabel: POV

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob C 48.66117 14.97376 3.249764 0.0017

LN_SA -0.012129 0.005482 -2.212428 0.0300

INF 0.445436 0.132185 3.369777 0.0012

R-squared 0.250683

Adjusted R-

squred

0.230431

F-statistic 12.37828

Prob(F-statistic) 0.000023

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Variabel SA menunjukkan nilai koefisien negatif terhadap variabel POV

dengan koefisien -0.012129. Maka, jika terjadi peningkatan variabel SA sebesar

1% akan menurunkan variabel POV sebesar 0.012129%. Hal tersebut

menunjukkan bahwa Bantuan Sosial memiliki dampak positif terhadap Persentase

Kemiskinan. Probabilitas variabel SA sebesar 0.0300<0.05 menunjukkan bahwa

variabel ini memiliki pengaruh yang signifikan pada variabel POV.

Selanjutnya ialah Uji Asumsi Klasik, yaitu Uji Multikolinearitas dan Uji

Heteroskedastisitas serta Uj Hipotesis, yaitu Uji t-statistik, Uji F-statistik, dan Uji

R-Squared.

5. Uji Asumsi Klasik

Pada penelitian ini akan dilakukan Uji Asumsi Klasik yaitu Uji

Multikolinearitas dan Uji Heteroskedastisitas. Berikut adalah hasil dari kedua uji

tersebut.

a. Uji Multikolinearitas

63

Pengujian ini bertujuan untuk melihat apakah kedua variabel bebas memiliki

masalah multikolinearitas atau tidak. Suatu persamaan dapat dikatakan memiliki

masalah multikolinearitas ketika nilainya melebihi 0.80. Berikut adalah hasil dari

Uji Multikolinearitas pada keempat data panel dalam penelitian ini.

Tabel 4. 16. Hasil Uji Multikolinearitas 33 Provinsi

LN_SA INF

LN_SA 1.000000 -0.184012 INF -0.184012 1.000000

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Tabel 4. 17. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Jawa dan Sumatera

LN_SA INF

LN_SA 1.000000 -0.131032 INF -0.131032 1.000000

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Tabel 4. 18. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

LN_SA INF

LN_SA 1.000000 -0.246122 INF -0.246122 1.000000

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Tabel 4. 19. Hasil Uji Multikolinearitas Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

LN_SA INF

LN_SA 1.000000 -0.284642

INF -0.284642 1.000000 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Berdasarkan hasil dari Uji Multikolinearitas diatas, semua data panel

menunjukan nilai dibawah 0.80 dimana dapat disimpulkan bahwa tidak ada

masalah multikolinearitas pada data panel dalam penelitian ini.

64

b. Uji Heterogenitas

Uji Heteroskedastisitas adalah uji untuk melihat apakah ada ketidaksamaan

varian antar residual untuk pengamatan regresi linier yang dilakukan. Pada

penelitian ini yang melaksanakan Uji Heteroskedastisitas hanya data panel

Provinsi Kalimantan dan Sulawesi karena modelnya adalah model fixed effect

sedangkan provinsi lainnya adalah model Random Effect sehingga tidak

dibutuhkan Uji Heteroskedastisitas. Pada penelitian ini menggunakan jenis

Glejser dengan menjadikan residualnya menjadi variabel dependen.

Tabel 4. 20. Hasil Uji Heteroskedastisitas Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

Dependen Variabel: RESABS

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob

C 3.575766 2.528452 1.414212 0.1605

LN_SA -0.001188 0.000979 -1.212917 0.2281

INF 0.028355 0.028691 0.988284 0.3254

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Hasil Uji Glejser menunjukkan bahwa nilai Probabilitas dari variabel SA

ialah sebesar 0.2281 dan variabel INF sebesar 0.3254. Dapat ditarik kesimpulan

bahwa pada model fixed effect Provinsi Kalimantan dan Sulawesi tidak terdapat

masalah heteroskedastisitas.

6. Uji Kelayakan

Uji Hipotesis pada penelitian ini terdiri dari Uji t-Statistik, Uji F-Statistik,

dan Uji R-Squared.

a. Uji t-Statistik

Pengujian ini bertujuan untuk menguji apakah variabel independen (Social

Assistance dan Inflation) berpengaruh secara parsial terhadap variabel

dependennya (Poverty) yaitu dengan membandingkan masing-masing t-Statistik

dari regresi dengan t-tabel dalam menolak atau menerima hipotesis.

65

Tabel 4. 21. Uji t-Statistik 33 Provinsi

Variabel t-Statistik Probabilitas Keterangan

LN_SA -1.473039 0.1416 Tolak H1: ∝=5%

INF 6.916585 0.0000 Tolak H0: ∝=5%

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Pada data panel 33 Provinsi menunjukan bahwa secara parsial variabel

independen yang signifikan mempengaruhi variabel dependen hanya Tingkat

Inflasi.

Tabel 4. 22. Uji t-Statistik Provinsi Jawa dan Sumatera

Variabel t-Statistik Probabilitas Keterangan

LN_SA -0.662338 0.5086 Tolak H1: ∝=5%

INF 4.447295 0.0000 Tolak H0: ∝=5%

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Begitu pula pada Uji t-Statistik Provinsi Jawa dan Sumatera menunjukkan

bahwa secara parsial yang mempengaruhi variabel dependen hanya Tingkat

Inflasi.

Tabel 4. 23. Uji t-Statistik Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

Variabel t-Statistik Probabilitas Keterangan

LN_SA 0.852211 0.3962 Tolak H1: ∝=5%

INF 4.076133 0.0001 Tolak H0: ∝=5%

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Hal yang sama juga dimiliki oleh Uji t-Statistik Provinsi Kalimantan dan

Sulawesi bahwa variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen

dengan signifikan hanya Tingkat Inflasi.

Tabel 4. 24. Uji t-Statistik Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

Variabel t-Statistik Probabilitas Keterangan

66

LN_SA -2.212428 0.0300 Tolak H0: ∝=5%

INF 3.369777 0.0012 Tolak H0: ∝=5%

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Berbeda dengan data panel sebelumnya, pada Uji t-Statistik Provinsi Bali,

Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua menunjukan bahwa secara parsial baik SA

dan INF memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel POV karena nilai

Probabilitasnya dibawah 0.05.

b. Uji F-Statistik

Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah variabel independen

(Bantuan Sosial dan Inflasi) berpengaruh secara bersama-sama (simultan)

terhadap variabel dependen (Persentase Kemiskinan). Berikut adalah hasil dari Uji

F-Statistik data panel pada penelitian ini.

Tabel 4. 25. Uji F-Statistic 33 Provinsi

F-Statistic Prob(F-Statistic) Keterangan

28.42295 0.000000 Tolak H0: ∝ = 5%

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Tabel 4. 26. Uji F-Statistic Provinsi Jawa dan Sumatera

F-Statistic Prob(F-Statistic) Keterangan

10.50891 0.000049 Tolak H0: ∝ = 5%

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Tabel 4. 27. Uji F-Statistic Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

F-Statistic Prob(F-Statistic) Keterangan

49.32571 0.000000 Tolak H0: ∝ = 5%

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Tabel 4. 28. Uji F-Statistic Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

F-Statistic Prob(F-Statistic) Keterangan

12.37828 0.000023 Tolak H0: ∝ = 5%

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

67

Berdasarkan Uji F-Statistic pada keempat data panel diatas (Tabel 4.25,

4.26, 4.27, dan 4.28) menunjukkan bahwa semua data panel memiliki pengaruh

yang signifikan secara simultan terhadap variabel dependen karena

Probabilitasnya dibawah 0.05.

c. Uji R-Square

Tabel 4. 29. Uji R-Square 33 Provinsi

R-Square 0.136372

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Tabel 4. 30. Uji R-Square Provinsi Jawa dan Sumatera

R-Square 0.108329

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Tabel 4. 31. Uji R-Square Provinsi Kalimantan dan Sulawesi

R-Square 0.847014

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Tabel 4. 32. Uji R-Square Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua

R-Square 0.250683

Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8.0

Berdasarkan pada Tabel 4.29, 4.30, 4.31, dan 4.32 didapatkan koefisiensi

determinasi yang berbeda-beda. Hanya Provinsi Kalimantan dan Sulawesi saja

yang memiliki koefisiensi lebih dari 0.5 dimana dapat disimpulkan bahwa variabel

independen dapat menjelaskan variabel dependen sebesar 84,70%. Sedangkan

sisanya (100% - 84,70% = 15,3%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti

dalam penelitian ini. Sedangkan pada data panel 33 Provinsi, Provinsi di Jawa dan

Sumatera, dan Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki

koefisien determinasi dibawah 0.5 dimana dapat disimpulkan bahwa variabel

independen hanya mampu menjelaskan variabel dependenya sebesar 13,64%,

10,83%, dan 25,07% pada masing-masing data panel tersebut.

68

B. Pembahasan

1. Bantuan Sosial dan Kemiskinan

Bantuan Sosial sebagai salah satu cara pemerintah untuk menekan laju

kemiskinan di Indonesia. Pengeluaran ini selalu rutin tersedia untuk

menanggulangi berbagai risiko sosial dan ekonomi. Dana Bantuan Sosial ini

dimiliki mulai dari APBD Provinsi, hingga APBN. Pada APBD, tidak ada

ketentuan pagu untuk mengalokasikan anggaran ke akun Bantuan Sosial sehingga

dana ini dikembalikan pada kemampuan dari masing-masing daerah. Pada

penelitian ini dana Bantuan Sosial yang digunakan adalah dana Bantuan Sosial

APBD Provinsi yang bersumber dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) APBD

Provinsi.

Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Bantuan

Sosial menunjukkan nilai koefisien negatif terhadap Persentase Kemiskinan di

Indonesia pada data panel (1) 33 Provinsi sebesar -0.002312. Hal serupa juga

dimiliki oleh (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera dengan nilai koefisien sebesar -

0.001110. Begitu pula dengan (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan

Papua dengan nilai koefisien -0.012129. Artinya, semakin meningkat Dana

Bantuan Sosial yang diberikan maka akan menurunkan Persentase Kemiskinan.

Dimana dapat dikatakan bahwa Bantuan Sosial memiliki dampak positif terhadap

Persentase Kemiskinan di ketiga kelompok tersebut. Temuan ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Kiendrebeogo, dkk (2017) yang menyatakan

bahwa negara dengan pengeluaran Bantuan Sosial yang lebih besar memiliki

Persentase Kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan negara dengan

pengeluaran Bantuan Sosial yang lebih kecil.

Namun jika melihat dari sisi Probabilitas t-Statistic, hanya (4) Provinsi Bali,

Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang menunjukkan bahwa Bantuan Sosial

secara signifikan berdampak pada Persentase Kemiskinan di daerah tersebut

dengan nilai 0.0300. Penelitian yang dilakukan oleh Mustafa dan Nishat (2017)

menyatakan hal yang sesuai dengan temuan penulis bahwa Perlindungan sosial

memiliki peran yang signifikan pada penurunan Persentase Kemiskinan.

69

Sedangkan untuk kelompok olah data lainnya, hasil yang didapatkan

berdasarkan nilai Probabilitas t-Statistic menunjukkan bahwa Bantuan Sosial tidak

signifikan mempengaruhi Persentase Kemiskinan. Pada (1) 33 Provinsi, nilai

Probabilitas t-Statistic sebesar 0.1416. Begitu pula dengan (2) Provinsi di Jawa

dan Sumatera yang memiliki nilai Probabilitas t-Statistic sebesar 0.5086. Terakhir,

pada (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi memiliki nilai Probabilitas t-

Statistic sebesar 0.3962. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang sudah lebih

dahulu dilakukan oleh Yuliantari dan Aswitari (2018) di Kabupaten Badung

bahwa Bantuan Sosial tidak berdampak secara signifikan terhadap kesejahteraan

di daerah tersebut. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sendouw, et al

(2017) yang menyatakan bahwa Belanja Sosial tidak memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap kemiskinan baik secara parsial maupun simultan

Hal ini tidak sesuai dengan tujuan Bantuan Sosial yang diharapkan dapat

menjadi alat untuk menekan laju persentase penduduk miskin. Berdasarkan dari

temuan penulis yang menunjukan bahwa Bantuan Sosial hanya signifikan pada

kelompok (4) Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, dapat dikatakan

bahwa adanya indikasi inefektivitas terhadap Dana Bantuan Sosial berbagai

daerah lainnya baik dari sisi distribusi maupun program-program yang dijalankan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI No 228/PMK.05/2016

Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.05/2015

Tentang Belanja Bantuan Sosial Pada Kementerian/Lembaga menyatakan bahwa

biaya penyaluran dana bantuan sosial harus dialokasikan secara efektif dan efisien

dengan mempertimbangkan, (a) besaran alokasi Belanja Bantuan Sosial; (b)

jangka waktu penyaluran; (c) jumlah penerima bantuan sosial; dan (d) sebaran

wilayah bantuan sosial.

Bappenas (2014) menyatakan beberapa poin yang menyebabkan

perlindungan sosial hingga kini belum dirasakannya dampak program oleh

masyarakat, yaitu (a) ketidaktepatan sasaran dalam penentuan penerima program;

(b) mekanisme pendampingan program belum optimal; (c) koordinasi dan

pelaksanaan program belum terintegrasi.

70

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)

menyatakan bahwa dana bantuan sosial sering kali disalahgunakan oleh pihak-

pihak yang tidak bertanggungjawab, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut

(Fauzi, 2010):

1. Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Kalimantan Timur pada tahun

2009 menemukan penyelewengan dana bantuan sosial sebesar

Rp19.951.884.277 oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. BPK

meminta agar dana tersebut dikembalikan ke kas negara namun hanya

disetorkan Rp2 miliar dan sisanya menjadi kerugian negara. Kejaksaan

menetapkan mantan bendahara bantuan sosial Kabupaten Kutai Timut

sebagai tersangka untuk kasus penyelewengan dana bantuan sosial karena

telah membuat proposal fiktif serta tanpa telaah staf dan persetujuan

sekretaris daerah.

2. Anggaran dana bantuan sosial APBD Kutai tahun 2005 – 2006 menurut

perhitungan BPK mengalami total kerugian Rp29,57 miliar. Modus

operandinya dengan menggunakan proposal fiktif berupa perjalanan dinas

sebesar Rp19,7 miliar, bantuan komunikasi dan alat pengamanan sekitar

Rp3,5 miliar, serta dana untuk kepentingan organisasi masyarakat.

Penyelewengan tersebut dilakukan salah satu anggota DPRD serta

membagikan dana tersebut kepada 37 anggota DPRD lainnya masing-

masing sebesar Rp375 juta. Tersangka dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.

3. Anggota DPRD Cianjur dijatuhi hukuman 1 tahun penjara, denda Rp50

juta, dan subsider 1 bulan oleh Majlis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur

dalam sidang perkara korupsi dana bantuan sosial yag bersumber dari

APBD 2008 sebesar Rp85 juta.

4. BPK Perwakilan Kalimantan Barat mengungkapkan beberapa temuan

yang berindikasikan berasal dari dana bantuan sosial, antara lain:

1) Penggunaan Keuangan Daerah oleh Anggota DPRD Provinsi

Kalimantan Barat berindikasi kerugian keuangan daerah sebesar

Rp10 miliar.

71

2) Pengeluaran Keuangan KONI Provinsi Kalimantan Barat oleh

Wakil Bendahara KONI kepada Satgas Pra PON XVII berindikasi

kerugian keuangan daerah sebesar Rp1,37 miliar.

3) Pengeluaran Keuangan KONI Provinsi Kalimantan Barat oleh

Wakil Bendahara KONI kepada Satgas Pelatda PON XVII

berindikasi kerugian keuangan daerah sebesar Rp8,59 miliar.

4) Kerugian Kas Keuangan KONI Provinsi Kalimantan Barat Tahun

2009 yang berindikasikan kerugian keuangan daerah sebesar Rp2,1

miliar.

5) Hingga tahun 2012, BPK masih menemukan permasalahan

penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja

bantuan sosial sebesar Rp31,66 triliun. BPK menganjurkan agar

pemerintah menetapkan klasifikasi anggaran dalam Daftar Isian

Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sesuai ketentuan (DPD.go.id,

2013).

Maka dari itu Bappenas melakukan berbagai langkah pengembangan terkait

bantuan sosial agar lebih komprehensif, adil, menyeluruh, dan mengarah pada

perkembangan masyarakat yang produktif dan sejahtera, yaitu (Supriyanto et al.,

2014):

1. Mempersiapkan transformasi kelembagaan pelaksanaan program

baik di tingkat pusat maupun daerah.

2. Mengembangkan Sistem Rujukan dan Layanan Terpadu dala rangka

mewujudkan pelayanan yang komprehensif dan responsive.

3. Menyempurnakan Basis Data Terpadu yang bersifat bottom-up dan

aspiratif dimana pengelolaan basis data tersebut berada di bawah

pemerintah pusat namun validasi dan verifikasi menjadi tanggung

jawab daerah.

4. Mengembangkan dan melaksanakan konsep perlindungan sosial

melalui penghidupan berkelanjutan (suistanable livelihood).

72

5. Melaksanakan mekanisme penjangkauan (outreach) aktif untuk

memberikan pelayanan bagi kelompok marjinal dan rentan yang

belum tersentuh.

6. Membangun dan menata sistem bantuan sosial yang terbagi dalam

subsistem bantuan sosial regular (bantuan tunai bersyarat, difabel,

lansia, dan anak terlantar) dan bantuan sosial temporer yang

diberikan saat kejadian bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik

sosial.

7. Mengembangkan lingkungan yang inklusif bagi kelompok marjinal,

baik dari aspek layanan public, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.

2. Inflasi dan Kemiskinan

Inflasi terjadi karena berbagai faktor baik itu faktor internal maupun faktor

eksternal. Indonesia sudah beberapa kali mengalami Tingkat Inflasi yang tinggi

diakibatkan berbagai hal sejak tahun 1974 karena musim kemarau yang panjang

dan menyebabkan kegagalan panen. Muncul kembali pada tahun 1998 dimana

terjadi krisis moneter akibat menurunnya nilai mata uang Baht terhadap USD

yang berimbas ke negara-negara lain di sekitar Thailand salah satunya Indonesia.

Berbagai upaya dilakukan baik oleh pemerintah dengan kebijakan fiskal maupun

oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral dengan kebijakan moneter.

Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil bahwa Inflasi memiliki nilai

koefisien positif terhadap Persentase Kemiskinan sebesar 0.305760 untuk (1) 33

Provinsi. Pada (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera nilai koefisiennya sebesar

0.218040. Selanjutnya pada (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi dengan nilai

koefisien sebesar 0.333542. Terakhir, pada (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara,

Maluku, dan Papua memiliki nilai koefisien sebesar 0.445436. Sehingga jika

terjadi peningkatan Inflasi maka akan meningkatkan Persentase Kemiskinan di

berbagai provinsi di Indonesia. Hal tersebut berdampak negatif terhadap

Persentase Kemiskinan.

Selanjutnya, jika melihat dari keempat Probabilitas t-Statistic, untuk (1) 33

Provinsi sebesar 0.0000. Begitu pula dengan Probabilitas t-Statistic untuk (2)

Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar 0.000. Selanjutnya, untuk (3) Provinsi di

73

Kalimantan dan Sulawesi memiliki nilai Probabilitas t-Statistic sebesar 0.001.

Terakhir, untuk (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

memilliki nilai Probabilitas t-Statistic sebesar 0,0012. Dimana dapat disimpulkan

bahwa Inflasi secara signifikan dapat mempengaruhi Persentase Kemiskinan di

Indonesia.

Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Menteri Perencanaan Pembangunan

Nasional Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro yang menyatakan bahwa

Inflasi harus terus dijaga untuk menekan persentase penduduk miskin agar tidak

terus meningkat terutama pada komoditas utama pangan (Bappenas, 2018).

74

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang sudah dibahas sebelumnya,

penulis memperoleh kesimpulan dari penelitian mengenai Pengaruh Bantuan

Sosial dan Tingkat Inflasi Terhadap Kemiskinan di Seluruh Provinsi di Indonesia

Tahun 2007 – 2017, adalah sebagai berikut:

1. Bantuan Sosial memiliki koefisien negatif pada data panel (1) 33 Provinsi

sebesar -0.002312, (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar -0.001110,

dan (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar -

0.012129. Dimana setiap terjadi peningkatan 1% pada Bantuan Sosial

akan menurunkan Persentase Kemiskinan sebesar koefisien pada masing-

masing data kelompok panel tersebut. Sedangkan pada (3) Provinsi di

Kalimantan dan Sulawesi memiliki koefisien positif terhadap kemiskinan

di provinsi tersebut sebesar 0.002381. Maka setiap peningkatan 1% pada

Bantuan Sosial maka akan meningkatkan Persentase Kemiskinan di (3)

Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi sebesar 0.002381%. Dapat diduga

bahwa Program Bantuan Sosial yang dilaksanakan di (3) Provinsi di

Kalimantan dan Sulawesi tidak tepat sasaran sehingga tidak efektif

menurunkan persentase kemiskinan.

2. Secara Parsial, Variabel Bantuan Sosial (SA) tidak signifikan

mempengaruhi kemiskinan pada regresi (1) 33 Provinsi dengan nilai

Probabilitas t-Statistic sebesar 0.1416, (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera

dengan Probabilitas t-Statistic sebesar 0.5086, dan (3) Kalimantan dan

Sulawesi dengan nilai Prob t-Statistik sebesar 0.3962. Bantuan Sosial

hanya signifikan pada Provinsi Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

dengan nilai Prob t-Statistik sebesar 0.0300. Bantuan sosial berkoefisien

negatif dan signifikan hanya didapati di kelompok data panel (4) Provinsi

di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Tidak efektifnya bantuan

sosial mengindikasikan adanya penyelewengan dan berbagai modus

penyimpangan yang terjadi saat dana tersebut dikucurkan. Menurut ICW

(Indonesian Corruption Watch), modus operandi yang dilakukan

75

diantaranya ketidakberdayaan pejabat Bendahara Pengeluaran terhadap

kepentingan atasannya karena bila tidak dilaksanakan maka ancaman

karier pejabat tersebut. Pada kondisi lain, adanya rangkap jabatan sebagai

pejabat yang mempunyai wewenang mengelola keuangan daerah dan

sebagai pejabat penerima, mengelola, dan mempertanggungjawabkan

(Fauzi, 2010).

3. Inflasi memiliki koefisien positif terhadap keempat data panel tersebut

sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan Inflasi meningkatkan

Persentase Kemiskinan baik di (1) 33 Provinsi dengan nilai koefisiensi

sebesar 0.305760, (2) Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar 0.21804, (3)

Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi sebesar 0.333542, serta (4) Provinsi

Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua dengan nilai koefisien sebesar

0.445436.

4. Sedangkan Variabel Inflasi (INF) secara parsial signifikan mempengaruhi

kemiskinan di seluruh kelompok data panel yang diteliti dalam penelitian

ini dengan nilai Prob t-Statistik untuk (1) 33 Provinsi sebesar 0.0000. (2)

Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar 0.000, (3) Provinsi di Kalimantan

dan Sulawesi sebesar 0.001, dan (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara,

Maluku, dan Papua sebesar 0,0012.

5. Secara simultan Variabel Bantuan Sosial dan Inflasi memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap kemiskinan di seluruh data panel penelitian ini

dengan nilai Prob(F-Statistik) untuk (1) 33 Provinsi sebesar 0.000000, (2)

Provinsi di Jawa dan Sumatera sebesar 0.000049, (3) Provinsi di

Kalimantan dan Sulawesi sebesar 0.0000000, dan (4) Provinsi di Bali,

Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 0.000023.

B. Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan, maka diajukan beberapa saran sebagai

berikut:

1. Bagi Masyarakat

a. Di berbagai provinsi didapatkan hasil bahwa Bantuan Sosial memiliki

koefisien negatif terhadap kemiskinan di Indonesia. Hal ini dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat miskin untuk dapat ikut serta dalam

76

program-program yang disediakan oleh pemerintah agar menjadi

stimulus untuk keluar dari garis kemiskinan dengan berbagai program

yang ada.

b. Inflasi memiliki koefisien positif terhadap kemiskinan sehingga hal ini

akan memunculkan dampak yang lebih besar terhadap masyarakat

miskin. Mayoritas dari mereka hanya memiliki aset lancar sehingga

ketika terjadi Inflasi, daya beli masyarakat miskin akan menurun dan

mereka memiliki kemungkinan untuk tidak mampu memenuhi kebutuhan

dasarnya. Sehingga masyarakat yang berada di atas garis kemiskinan

dapat menekan laju permintaan yang berlebih agar tidak berimbas kepada

masyarakat miskin.

2. Bagi Akademisi

a. Dapat menggunakan variabel-variabel lain untuk memperkaya wawasan

dan menemukan variabel-variabel dengan nilai koefisien determinasi

yang lebih baik sehingga dapat menjelaskan kemiskinan dengan lebih

baik lagi.

b. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang efektivitas Bantuan Sosial di

(3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi yang mendapatkan koefisien

positif pada penelitian ini. Hal ini mengindikasikan adanya inefektivitas

Bantuan Sosial di provinsi-provinsi tersebut baik dari sisi distribusi

maupun program-program yang dilaksanakan.

c. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang program-program Bantuan

Sosial apa saja yang memiliki pengaruh terhadap Persentase Kemiskinan

di (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua karena

berdasarkan temuan penelitian hanya hasil olah data kelompok empat

saja yang signifikan mempengaruhi penurunan dari Persentase

Kemiskinan.

3. Bagi Pemerintah

a. Pada penelitian ini Bantuan Sosial nyatanya tidak memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap kemiskinan pada (1) 33 Provinsi, (2) Provinsi di

Jawa dan Sumatera, dan (3) Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi. Hanya

(4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang memiliki

77

pengaruh signifikan. Namun bukan berarti Bantuan Sosial tidak lagi

dibutuhkan. Bantuan Sosial ini membutuhkan program-program yang

tepat sasaran agar sesuai dengan tujuan dari Bantuan Sosial itu sendiri.

Terlebih seperti yang terjadi pada penelitian ini, Provinsi di Kalimantan

dan Sulawesi memiliki koefisien positif terhadap kemiskinan yang

mengindikasikan kegagalan program (inefektivitas) atau penyerapan

anggaran Bantuan Sosial yang tidak terealisasi dengan baik. Dengan

hadirnya e-bansos yang mulai digagas oleh pemerintah diharapkan dapat

membuat Bantuan Sosial memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi

untuk menekan laju kemiskinan (PresidenRI.go.id, 2016).

b. Berdasarkan temuan pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa hanya

Bantuan Sosial di (4) Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan

Papua yang berpengaruh positif dengan koefisien negatif dan signifikan

terhadap Persentase Kemiskinan di Indonesia, maka berbagai program

dan kegiatan Bantuan Sosial di berbagai provinsi tersebut dapat menjadi

acuan untuk membuat program dan kegiatan di daerah lain. Program dan

kegiatan yang bertujuan untuk kesejahteraan sosial harus pula diimbangi

dengan keadaan yang sebenar-benarnya terjadi agar sesuai dengan

kebutuhan masyarakat.

c. Inflasi sebagai indikator perekonomian sudah seharusnya terus dijaga

agar tetap stabil pada persentase 3±1 persen sehingga upaya pemerintah

untuk terus menurunkan persentase penduduk miskin akan terus menurun

dan mencapai tujuan dari Sustainable Development Goals yaitu No

Poverty pada tahun 2030. Kebijakan yang bisa dilakukan oleh

pemerintah untuk menjaga Tingkat Inflasi yaitu dengan mengatur pajak

dan pengeluaran pemerintah. Selain itu, Bank Indonesia selaku Bank

Sentral di Indonesia dapat melakukan kebijakan dengan tetap menjaga

Jumlah Uang Beredar (JUB) seperti menjaga tingkat diskonto, Operasi

Pasar Terbuka (OPT), Cadangan Wajib Minimum, serta Imbauan Moral..

78

DAFTAR PUSTAKA

Amirullah. (2015). Metode Penelitian Manajemen. Malang: Bayumedia Publishing Malang.

Bank Indonesia. (2018a). Inflasi. Diakses pada February 2, 2019, dari Default website: https://www.bi.go.id/id/moneter/Inflasi/pengenalan/Contents/Default.aspx

Bank Indonesia. (2018b). Inflasi. Diakses pada February 2, 2019, dari Pentingnya website: https://www.bi.go.id/id/moneter/Inflasi/pengenalan/Contents/Pentingnya.aspx

Bank Indonesia. (2018c). Inflasi. Diakses pada February 2, 2019, dari Disagregasi website: https://www.bi.go.id/id/moneter/Inflasi/pengenalan/Contents/Disagregasi.aspx

Bappenas. (2004). Penanggulangan Kemiskinan. Diakses pada January 11, 2019, dari https://www.bappenas.go.id/files/5413/6082/9497/bab-16-penanggulangan-kemiskinan.pdf

Bappenas. (2018). Siaran Pers Membedah Angka Kemiskinan Terkini: Langkah Strategis untuk Terus Turunkan Kemiskinan. Diakses pada January 11, 2019, dari https://www.bappenas.go.id/files/2815/3309/5355/Siaran_Pers_-_Membedah_Angka_Kemiskinan_Terkini_Langkah_Strategis_untuk_Terus_Turunkan_Kemiskinan.pdf

Barika. (2013). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah, Pengangguran, dan Inflasi Terhadap Kemiskinan di Provinsi se-Sumatera. Jurnal Ekonomi Dan Perencanaan Pembangunan, 05(01), 27–36.

Basuki, A. T. (2015). Regresi Model PAM, ECM dan Data Panel dengan EVIEWS 7. Yogyakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT).

BPS. (2008). Analisis Kemiskinan 2008. Diakses pada January 14, 2019, dari http://daps.bps.go.id/File Pub/Analisis Kemiskinan 2008.pdf

BPS. (2018). Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2018. Diakses pada January 11, 2019, dari Berita Resmi Statistik website: https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/07/16/1483/persentase-penduduk-miskin-maret-2018-turun-menjadi-9-82-persen.html

DPR. (2018). BULETIN APBN 2019. Diakses pada January 11, 2019, dari Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI. website: https://berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/publik-file/buletin-apbn-publik-65.pdf

Duwila, U. (2016). Pengaruh Pendidikan, Pengangguran, dan Inflasi Terhadap Kemiskinan di Kawasan Indonesia Tertinggal. Jurnal Ekonomi, X(1), 104–109.

Fauzi, M. (2010, August). Tren Korupsi Bantuan Sosial pada Pemerintah Daerah. BPK

79

Dalam Lingkaran Hukum. Badan Pemeriksa Keuangan. Diakses pada dari http://www.bpk.go.id/assets/files/magazine/edisi-121-no-xxx-bpk-dalam-lingkaran-hukum_edisi_121_no__xxx__bpk_dalam_lingkaran_hukum_.pdf

Imelia. (2012). Pengaruh Inflasi terhadap Kemiskinan di Provinsi Jambi. Jurnal Paradigma Ekonomika2, 1(5), 42–48.

Irfan Chani, M., Pervaiz, Z., Ahmad Jan, S., Ali, A., & Chaudhary, A. R. (2011). Poverty, Inflation and Economic Growth: Empirical Evidence Dari Pakistan. MPRA Paper, (34290). Diakses pada dari http://mpra.ub.uni-muenchen.de/34290/

Itang. (2017). Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan. Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan, Dan Kebudayaan, 1–30.

Kemendes PDTT. (2015). Rancangan Awal Rencana Strategis Tahun 2015 – 2019.

Kiendrebeogo, Y., Assimaidou, K., & Tall, A. (2017). Social protection for poverty reduction in times of crisis. Journal of Policy Modeling, 39(6), 1163–1183. https://doi.org/10.1016/j.jpolmod.2017.09.003

Mustafa, A. R. U., & Nishat, M. (2017). Role of Social Protection in Poverty Reduction in Pakistan: A Quantitative Approach. Pakistan Journal of Alied Economics, 27(1), 68–88.

Mustamin, S. W., Agussalim, & Nurbayani, S. U. (2015). Pengaruh Variabel Ekonomi Makro Terhadap Kemiskinan di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis, 4(2), 165–173.

PresidenRI.go.id. (2016). Teknologi Digital dan Efektivitas Bantuan Sosial. Diakses pada dari http://presidenri.go.id/berita-aktual/teknologi-digital-dan-efektivitas-bantuan-sosial.html

Purwanto, erwan agus. (2007). Mengkaji Potensi Usaha Kecil dan Menengah. Jurnal Ilmu Sosial Dan Politik, 10(3), 295–324.

Putra, E. P., Purnamadewi, Y. L., & Sahara. (2015). Dampak Program Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal di Indonesia. TATA LOKA, 17(3), 161–171.

Rini, A. S., & Sugiharti, L. (2016). Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan di Indonesia: Analisis Rumah Tangga. Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan, 01(2), 17–33.

Satriawan, E. (n.d.). Inflasi dan Penanggulangan Kemiskinan. Diakses pada January 23, 2019, dari https://macroeconomicdashboard.feb.ugm.ac.id/Inflasi-dan-penanggulangan-kemiskinan/

Sendouw, A., Rumate, V. A., & Rotinsulu, D. C. (2017). Pengaruh Belanja Modal, Belanja Sosial, dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Persentase Kemiskinan di Kota Manado. Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Sam Ratulangi.

Siregar, S. (2017). Pengaruh PDRB Riil dan Inflasi Terhadap Kemiskinan di Kota

80

Medan Menggunakan Variabel Intervening Pengangguran. Jurnal Ilmiah Methonomi, 3(2), 61–71.

Sugema, I., Irawan, T., Ardipurwanto, D., Holis, A., & Bakhtiar, T. (2010). The Impact of Inflation on Rural Poverty in Indonesia: an Econometrics Approach. International Research Journal of Finance and Economics, (58), 50–57.

Sugihartiningsih, & Saleh, K. (2017). Pengaruh Inflasi Terhadap Kemiskinan di Indonesia Periode 1998 – 2014. Proceedings, 518–526.

Supranto, J. (2009). Statistik Teori dan Aplikasi (Jilid 2). Jakarta: Erlangga.

Supriyanto, R. W., Ramdhani, E. R., & Rahmadan, E. (2014). Perlindugan Sosial di Indonesia Tantangan dan Arah ke Depan. Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat, Kementerian /Bappenas. Diakses pada February 23, 2019, dari https://www.bappenas.go.id/files/5114/2889/4558/Perlindungan_Sosial_di_Indonesia-Tantangan_dan_Arah_ke_Depan.pdf

Susanto, E., Rochaida, E., & Ulfah, Y. (2014). Pengaruh Inflasi dan Pendidikan Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan. INOVASI, 22(1), 32–41.

Susanto, J. (2014). Impact of Economic Growth, Inflation and Minimum Wage on Poverty in Java. Media Ekonomi & Teknologi Informasi, 22(1), 32–41.

Suseno, & Aisyah, S. (2009). Inflasi. Seri Kebanksentralan. Pusat Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan (SK) Bank Indonesia, No. 22.

Talukdar, S. . (2012). The Effect of Inflation on Poverty in Developing Countries: A Panel Data Analysis. Texas Tech University.

Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2018). Program Bantuan Pemerintah untuk Individu, Keluarga, dan Kelompok Tidak Mampu Menuju Bantuan Sosial Terintegrasi. Diakses pada dari http://tnp2k.go.id/download/24108G2P Buku 1 - FA Final.pdf

Windra, Marwoto, P. B., & Rafani, Y. (2016). Analisis Pengaruh Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tingkat Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Progresif Manajemen Bisnis (JIPMB), 14(2), 19–27.

World Bank. (2005). What is Poverty and Why Measure it? Diakses pada January 14, 2019, dari Poverty Manual, All, JH Revision of August 8, 2005 website: http://siteresources.worldbank.org/PGLP/Resources/PMch1.pdf

World Bank. (2016). Overview Poverty. Diakses pada January 11, 2019, dari http://www.worldbank.org/en/topic/poverty/overview

81

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1: Uji Model Panel

1. 33 Provinsi

A. Common Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 08:57 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.004193 0.003416 1.227578 0.2204

INF 0.318548 0.133719 2.382215 0.0177 C 0.824645 8.894413 0.092715 0.9262 R-squared 0.017252 Mean dependent var 13.38281

Adjusted R-squared 0.011792 S.D. dependent var 7.396025 S.E. of regression 7.352289 Akaike info criterion 6.836131 Sum squared resid 19460.22 Schwarz criterion 6.868316 Log likelihood -1237.758 Hannan-Quinn criter. 6.848924 F-statistic 3.159824 Durbin-Watson stat 0.051759 Prob(F-statistic) 0.043613

B. Fixed Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 08:57 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.002444 0.001578 -1.548861 0.1224

INF 0.305344 0.044219 6.905212 0.0000 C 17.82214 4.085864 4.361902 0.0000 Effects Specification

82

Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.906460 Mean dependent var 13.38281

Adjusted R-squared 0.896764 S.D. dependent var 7.396025 S.E. of regression 2.376368 Akaike info criterion 4.660472 Sum squared resid 1852.257 Schwarz criterion 5.035965 Log likelihood -810.8756 Hannan-Quinn criter. 4.809728 F-statistic 93.48630 Durbin-Watson stat 0.544677 Prob(F-statistic) 0.000000

C. Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 97.438759 (32,328) 0.0000

Cross-section Chi-square 853.764201 32 0.0000

Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 08:57 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.004193 0.003416 1.227578 0.2204

INF 0.318548 0.133719 2.382215 0.0177 C 0.824645 8.894413 0.092715 0.9262 R-squared 0.017252 Mean dependent var 13.38281

Adjusted R-squared 0.011792 S.D. dependent var 7.396025 S.E. of regression 7.352289 Akaike info criterion 6.836131 Sum squared resid 19460.22 Schwarz criterion 6.868316 Log likelihood -1237.758 Hannan-Quinn criter. 6.848924 F-statistic 3.159824 Durbin-Watson stat 0.051759 Prob(F-statistic) 0.043613

83

D. Random Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 03/01/19 Time: 08:58 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363 Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.002312 0.001570 -1.473039 0.1416

INF 0.305760 0.044207 6.916585 0.0000 C 17.48479 4.255461 4.108788 0.0000 Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 7.223278 0.9023

Idiosyncratic random 2.376368 0.0977 Weighted Statistics R-squared 0.136372 Mean dependent var 1.321004

Adjusted R-squared 0.131574 S.D. dependent var 2.545546 S.E. of regression 2.372179 Sum squared resid 2025.804 F-statistic 28.42295 Durbin-Watson stat 0.496867 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics R-squared 0.007166 Mean dependent var 13.38281

Sum squared resid 19659.92 Durbin-Watson stat 0.051198

E. Uji Hausman

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 0.732038 2 0.6935

84

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LN_SA -0.002444 -0.002312 0.000000 0.4069

INF 0.305344 0.305760 0.000001 0.6940

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 08:58 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 363

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 17.82214 4.085864 4.361902 0.0000

LN_SA -0.002444 0.001578 -1.548861 0.1224 INF 0.305344 0.044219 6.905212 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.906460 Mean dependent var 13.38281

Adjusted R-squared 0.896764 S.D. dependent var 7.396025 S.E. of regression 2.376368 Akaike info criterion 4.660472 Sum squared resid 1852.257 Schwarz criterion 5.035965 Log likelihood -810.8756 Hannan-Quinn criter. 4.809728 F-statistic 93.48630 Durbin-Watson stat 0.544677 Prob(F-statistic) 0.000000

F. Uji Lagrange Multiplier

Lagrange multiplier (LM) test for panel data Date: 03/01/19 Time: 09:03 Sample: 2007 2017 Total panel observations: 363 Probability in () Null (no rand. effect) Cross-section Period Both Alternative One-sided One-sided Breusch-Pagan 1436.182 7.658859 1443.841

85

(0.0000) (0.0056) (0.0000) Honda 37.89700 2.767464 28.75412 (0.0000) (0.0028) (0.0000) King-Wu 37.89700 2.767464 20.90748 (0.0000) (0.0028) (0.0000) GHM -- -- 1443.841 -- -- (0.0000)

2. Provinsi di Jawa dan Sumatera

A. Common Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:32 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.000356 0.003044 0.116819 0.9071

INFL 0.187783 0.127163 1.476720 0.1416 C 9.650198 7.936701 1.215895 0.2257 R-squared 0.012482 Mean dependent var 11.65182

Adjusted R-squared 0.001066 S.D. dependent var 5.030512 S.E. of regression 5.027831 Akaike info criterion 6.084753 Sum squared resid 4373.282 Schwarz criterion 6.138795 Log likelihood -532.4583 Hannan-Quinn criter. 6.106672 F-statistic 1.093342 Durbin-Watson stat 0.052912 Prob(F-statistic) 0.337399

B. Fixed Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:45 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

86

LN_SA -0.001153 0.001688 -0.682753 0.4958 INFL 0.218460 0.049033 4.455343 0.0000

C 13.33533 4.358365 3.059710 0.0026 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.868268 Mean dependent var 11.65182

Adjusted R-squared 0.854094 S.D. dependent var 5.030512 S.E. of regression 1.921535 Akaike info criterion 4.240782 Sum squared resid 583.3830 Schwarz criterion 4.565037 Log likelihood -355.1889 Hannan-Quinn criter. 4.372298 F-statistic 61.25910 Durbin-Watson stat 0.474770 Prob(F-statistic) 0.000000

C. Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 68.428916 (15,158) 0.0000

Cross-section Chi-square 354.538809 15 0.0000

Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:33 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.000356 0.003044 0.116819 0.9071

INFL 0.187783 0.127163 1.476720 0.1416 C 9.650198 7.936701 1.215895 0.2257 R-squared 0.012482 Mean dependent var 11.65182

Adjusted R-squared 0.001066 S.D. dependent var 5.030512 S.E. of regression 5.027831 Akaike info criterion 6.084753 Sum squared resid 4373.282 Schwarz criterion 6.138795

87

Log likelihood -532.4583 Hannan-Quinn criter. 6.106672 F-statistic 1.093342 Durbin-Watson stat 0.052912 Prob(F-statistic) 0.337399

D. Random Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/28/19 Time: 19:38 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176 Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.001110 0.001676 -0.662338 0.5086

INFL 0.218040 0.049028 4.447295 0.0000 C 13.22897 4.508658 2.934126 0.0038 Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 5.057863 0.8739

Idiosyncratic random 1.921535 0.1261 Weighted Statistics R-squared 0.108329 Mean dependent var 1.326014

Adjusted R-squared 0.098021 S.D. dependent var 2.013422 S.E. of regression 1.912199 Sum squared resid 632.5754 F-statistic 10.50891 Durbin-Watson stat 0.436552 Prob(F-statistic) 0.000049

Unweighted Statistics R-squared 0.010632 Mean dependent var 11.65182

Sum squared resid 4381.474 Durbin-Watson stat 0.063027

E. Uji Hausman

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Chi-Sq. d.f. Prob.

88

Statistic Cross-section random 0.322975 2 0.8509

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LN_SA -0.001153 -0.001110 0.000000 0.8332

INFL 0.218460 0.218040 0.000001 0.5775

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 07:34 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 176

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 13.33533 4.358365 3.059710 0.0026

LN_SA -0.001153 0.001688 -0.682753 0.4958 INFL 0.218460 0.049033 4.455343 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.868268 Mean dependent var 11.65182

Adjusted R-squared 0.854094 S.D. dependent var 5.030512 S.E. of regression 1.921535 Akaike info criterion 4.240782 Sum squared resid 583.3830 Schwarz criterion 4.565037 Log likelihood -355.1889 Hannan-Quinn criter. 4.372298 F-statistic 61.25910 Durbin-Watson stat 0.474770 Prob(F-statistic) 0.000000

F. Uji Lagrange Multiplier

Lagrange multiplier (LM) test for panel data Date: 03/03/19 Time: 19:03 Sample: 2007 2017 Total panel observations: 176 Probability in ()

89

Null (no rand. effect) Cross-section Period Both Alternative One-sided One-sided Breusch-Pagan 638.9003 2.428894 641.3292 (0.0000) (0.1191) (0.0000) Honda 25.27648 1.558491 18.97519 (0.0000) (0.0596) (0.0000) King-Wu 25.27648 1.558491 17.19345 (0.0000) (0.0596) (0.0000) GHM -- -- 641.3292 -- -- (0.0000)

3. Provinsi di Kalimantan dan Sulawesi

A. Common Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:54 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.020054 0.005222 -3.840027 0.0002

INF -0.002861 0.174355 -0.016410 0.9869 C 61.86347 13.42994 4.606384 0.0000 R-squared 0.127698 Mean dependent var 11.41055

Adjusted R-squared 0.111393 S.D. dependent var 5.170789 S.E. of regression 4.874293 Akaike info criterion 6.032721 Sum squared resid 2542.184 Schwarz criterion 6.106371 Log likelihood -328.7997 Hannan-Quinn criter. 6.062594 F-statistic 7.831956 Durbin-Watson stat 0.224163 Prob(F-statistic) 0.000669

B. Fixed Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:54 Sample: 2007 2017

90

Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.002381 0.002793 0.852211 0.3962

INF 0.333542 0.081828 4.076133 0.0001 C 3.471853 7.211297 0.481446 0.6313 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.847014 Mean dependent var 11.41055

Adjusted R-squared 0.829842 S.D. dependent var 5.170789 S.E. of regression 2.132958 Akaike info criterion 4.455566 Sum squared resid 445.8522 Schwarz criterion 4.750164 Log likelihood -233.0561 Hannan-Quinn criter. 4.575056 F-statistic 49.32571 Durbin-Watson stat 0.541346 Prob(F-statistic) 0.000000

C. Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 51.197974 (9,98) 0.0000

Cross-section Chi-square 191.487068 9 0.0000

Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 19:54 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.020054 0.005222 -3.840027 0.0002

INF -0.002861 0.174355 -0.016410 0.9869 C 61.86347 13.42994 4.606384 0.0000

91

R-squared 0.127698 Mean dependent var 11.41055

Adjusted R-squared 0.111393 S.D. dependent var 5.170789 S.E. of regression 4.874293 Akaike info criterion 6.032721 Sum squared resid 2542.184 Schwarz criterion 6.106371 Log likelihood -328.7997 Hannan-Quinn criter. 6.062594 F-statistic 7.831956 Durbin-Watson stat 0.224163 Prob(F-statistic) 0.000669

D. Random Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/28/19 Time: 19:56 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110 Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.001497 0.002775 0.539358 0.5908

INF 0.320160 0.081635 3.921829 0.0002 C 5.772792 7.269271 0.794136 0.4289 Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 3.908562 0.7705

Idiosyncratic random 2.132958 0.2295 Weighted Statistics R-squared 0.125487 Mean dependent var 1.852571

Adjusted R-squared 0.109141 S.D. dependent var 2.319182 S.E. of regression 2.188968 Sum squared resid 512.6991 F-statistic 7.676891 Durbin-Watson stat 0.456700 Prob(F-statistic) 0.000766

Unweighted Statistics R-squared -0.017209 Mean dependent var 11.41055

Sum squared resid 2964.493 Durbin-Watson stat 0.078985

92

E. Uji Hausman

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 7.693219 2 0.0214

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LN_SA 0.002381 0.001497 0.000000 0.0056

INF 0.333542 0.320160 0.000031 0.0171

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 03/01/19 Time: 07:26 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 110

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 3.471853 7.211297 0.481446 0.6313

LN_SA 0.002381 0.002793 0.852211 0.3962 INF 0.333542 0.081828 4.076133 0.0001

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.847014 Mean dependent var 11.41055

Adjusted R-squared 0.829842 S.D. dependent var 5.170789 S.E. of regression 2.132958 Akaike info criterion 4.455566 Sum squared resid 445.8522 Schwarz criterion 4.750164 Log likelihood -233.0561 Hannan-Quinn criter. 4.575056 F-statistic 49.32571 Durbin-Watson stat 0.541346 Prob(F-statistic) 0.000000

4. Provinsi di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua

93

A. Common Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 21:07 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 77

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.025438 0.010868 2.340649 0.0219

INF 0.792573 0.388635 2.039375 0.0450 C -50.00336 28.71397 -1.741430 0.0858 R-squared 0.092362 Mean dependent var 20.15688

Adjusted R-squared 0.067832 S.D. dependent var 10.24073 S.E. of regression 9.887310 Akaike info criterion 7.458563 Sum squared resid 7234.158 Schwarz criterion 7.549880 Log likelihood -284.1547 Hannan-Quinn criter. 7.495089 F-statistic 3.765173 Durbin-Watson stat 0.123164 Prob(F-statistic) 0.027718

B. Fixed Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 21:08 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 77

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.012860 0.005513 -2.332740 0.0226

INF 0.439446 0.132259 3.322611 0.0014 C 50.57611 14.48101 3.492581 0.0008 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.909445 Mean dependent var 20.15688

Adjusted R-squared 0.898791 S.D. dependent var 10.24073 S.E. of regression 3.257921 Akaike info criterion 5.309524 Sum squared resid 721.7555 Schwarz criterion 5.583476

94

Log likelihood -195.4167 Hannan-Quinn criter. 5.419102 F-statistic 85.36515 Durbin-Watson stat 0.726858 Prob(F-statistic) 0.000000

C. Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 102.260708 (6,68) 0.0000

Cross-section Chi-square 177.475977 6 0.0000

Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 21:08 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 77

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA 0.025438 0.010868 2.340649 0.0219

INF 0.792573 0.388635 2.039375 0.0450 C -50.00336 28.71397 -1.741430 0.0858 R-squared 0.092362 Mean dependent var 20.15688

Adjusted R-squared 0.067832 S.D. dependent var 10.24073 S.E. of regression 9.887310 Akaike info criterion 7.458563 Sum squared resid 7234.158 Schwarz criterion 7.549880 Log likelihood -284.1547 Hannan-Quinn criter. 7.495089 F-statistic 3.765173 Durbin-Watson stat 0.123164 Prob(F-statistic) 0.027718

D. Uji Hausman

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Chi-Sq. d.f. Prob.

95

Statistic Cross-section random 1.902759 2 0.3862

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LN_SA -0.012860 -0.012129 0.000000 0.2074

INF 0.439446 0.445436 0.000020 0.1755

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 02/28/19 Time: 21:10 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 77

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 50.57611 14.48101 3.492581 0.0008

LN_SA -0.012860 0.005513 -2.332740 0.0226 INF 0.439446 0.132259 3.322611 0.0014

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.909445 Mean dependent var 20.15688

Adjusted R-squared 0.898791 S.D. dependent var 10.24073 S.E. of regression 3.257921 Akaike info criterion 5.309524 Sum squared resid 721.7555 Schwarz criterion 5.583476 Log likelihood -195.4167 Hannan-Quinn criter. 5.419102 F-statistic 85.36515 Durbin-Watson stat 0.726858 Prob(F-statistic) 0.000000

E. Random Effect Model

Dependent Variable: POV Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/28/19 Time: 21:09 Sample: 2007 2017 Periods included: 11 Cross-sections included: 7

96

Total panel (balanced) observations: 77 Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_SA -0.012129 0.005482 -2.212428 0.0300

INF 0.445436 0.132185 3.369777 0.0012 C 48.66117 14.97376 3.249764 0.0017 Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 10.84838 0.9173

Idiosyncratic random 3.257921 0.0827 Weighted Statistics R-squared 0.250683 Mean dependent var 1.817731

Adjusted R-squared 0.230431 S.D. dependent var 3.711344 S.E. of regression 3.255780 Sum squared resid 784.4077 F-statistic 12.37828 Durbin-Watson stat 0.659475 Prob(F-statistic) 0.000023

Unweighted Statistics R-squared -0.054303 Mean dependent var 20.15688

Sum squared resid 8403.128 Durbin-Watson stat 0.061560

F. Uji Lagrange Multiplier

Lagrange multiplier (LM) test for panel data Date: 02/28/19 Time: 21:02 Sample: 2007 2017 Total panel observations: 77 Probability in () Null (no rand. effect) Cross-section Period Both Alternative One-sided One-sided Breusch-Pagan 254.0351 0.501983 254.5371 (0.0000) (0.4786) (0.0000) Honda 15.93848 -0.708508 10.76922 (0.0000) (0.7607) (0.0000) King-Wu 15.93848 -0.708508 12.16660 (0.0000) (0.7607) (0.0000) GHM -- -- 254.0351 -- -- (0.0000)

97

5. Data Penelitian

No. Daerah Tahun POV LN_SA INF

1 Nanggroe Aceh Darussalam 2007

3,28 24,37

2,24

Nanggroe Aceh Darussalam 2008

3,16 25,93

2,33

Nanggroe Aceh Darussalam 2009

3,08 26,21

1,25

Nanggroe Aceh Darussalam 2010

3,04 26,20

1,77

Nanggroe Aceh Darussalam 2011

2,97 26,37

1,23

Nanggroe Aceh Darussalam 2012

2,92 26,62

1,30

Nanggroe Aceh Darussalam 2013

2,87 27,14

1,99

Nanggroe Aceh Darussalam 2014

2,83 27,25

2,09

Nanggroe Aceh Darussalam 2015

2,84 27,29

0,24

Nanggroe Aceh Darussalam 2016

2,80 27,27

0,11

Nanggroe Aceh Darussalam 2017

2,77 27,62

1,45

2 Sumatera Utara 2007

2,63 24,37

1,89

Sumatera Utara 2008

2,53 25,68

2,37

Sumatera Utara 2009

2,44 25,65

0,96

Sumatera Utara 2010

2,43 25,86

2,08

Sumatera Utara 2011

2,43 26,14

1,30

Sumatera Utara 2012

2,34 26,62

1,35

Sumatera Utara 2013

2,34 26,13

2,32

Sumatera Utara 2014

2,29 25,82

2,10

Sumatera Utara 2015

2,38 25,44

1,18

Sumatera Utara 2016

2,33 25,14

1,85

98

Sumatera Utara 2017

2,23 27,17

1,16

3 Sumatera Barat 2007

2,48 25,20

2,08

Sumatera Barat 2008

2,37 25,03

2,54

Sumatera Barat 2009

2,26 25,64

0,72

Sumatera Barat 2010

2,25 25,89

2,06

Sumatera Barat 2011

2,20 26,07

1,68

Sumatera Barat 2012

2,08 26,29

1,43

Sumatera Barat 2013

2,02 25,34

2,39

Sumatera Barat 2014

1,93 25,11

2,45

Sumatera Barat 2015

1,90 23,16

1,21

Sumatera Barat 2016

1,97 23,43

1,11

Sumatera Barat 2017

1,91 23,75

1,28

4 Riau 2007

2,42 24,63

2,02

Riau 2008

2,36 25,28

2,20

Riau 2009

2,25 25,27

0,66

Riau 2010

2,16 25,89

2,00

Riau 2011

2,14 26,04

1,63

Riau 2012

2,09 26,53

1,20

Riau 2013

2,13 25,32

2,18

Riau 2014

2,08 25,18

2,16

Riau 2015

2,18 25,22

0,97

Riau 2016

2,04 24,66

1,40

Riau 2017

2,00 24,59

1,58 5 Jambi 2007 24,25

99

2,33 2,00

Jambi 2008

2,23 24,98

2,45

Jambi 2009

2,17 24,40

0,91

Jambi 2010

2,12 25,29

1,94

Jambi 2011

2,16 25,34

1,33

Jambi 2012

2,11 26,00

1,46

Jambi 2013

2,13 27,09

2,13

Jambi 2014

2,13 25,59

2,12

Jambi 2015

2,21 24,68

1,21

Jambi 2016

2,12 24,04

1,11

Jambi 2017

2,07 24,12

1,49

6 Sumatera Selatan 2007

2,95 24,95

2,11

Sumatera Selatan 2008

2,88 25,13

2,41

Sumatera Selatan 2009

2,79 25,16

0,56

Sumatera Selatan 2010

2,74 25,24

1,80

Sumatera Selatan 2011

2,66 25,78

1,33

Sumatera Selatan 2012

2,60 26,09

1,00

Sumatera Selatan 2013

2,64 24,28

1,95

Sumatera Selatan 2014

2,61 24,28

2,13

Sumatera Selatan 2015

2,62 23,56

1,12

Sumatera Selatan 2016

2,59 23,17

1,30

Sumatera Selatan 2017

2,57 23,42

1,05

7 Bengkulu 2007

3,10 23,65

1,61

Bengkulu 2008

3,03 23,92

2,60

100

Bengkulu 2009

2,92 26,91

1,06

Bengkulu 2010

2,91 25,13

2,21

Bengkulu 2011

2,86 25,49

1,37

Bengkulu 2012

2,86 25,57

1,53

Bengkulu 2013

2,88 23,96

2,30

Bengkulu 2014

2,84 24,19

2,38

Bengkulu 2015

2,84 22,66

1,18

Bengkulu 2016

2,83 22,79

1,44

Bengkulu 2017

2,75 23,02

1,27

8 Lampung 2007

3,10 24,91

1,88

Lampung 2008

3,04 24,55

2,70

Lampung 2009

3,01 25,95

1,43

Lampung 2010

2,94 25,10

2,30

Lampung 2011

2,83 25,14

1,44

Lampung 2012

2,75 24,89

1,46

Lampung 2013

2,67 24,88

2,02

Lampung 2014

2,65 24,82

2,09

Lampung 2015

2,60 24,88

1,47

Lampung 2016

2,63 24,56

0,90

Lampung 2017

2,57 24,32

1,11

9 DKI Jakarta 2007

1,53 25,65

1,80

DKI Jakarta 2008

1,46 25,60

2,41

DKI Jakarta 2009

1,29 24,78

0,85 DKI Jakarta 2010 26,47

101

1,25 1,78

DKI Jakarta 2011

1,32 26,87

1,38

DKI Jakarta 2012

1,31 27,06

1,51

DKI Jakarta 2013

1,31 27,67

2,08

DKI Jakarta 2014

1,41 27,25

2,19

DKI Jakarta 2015

1,28 28,37

1,19

DKI Jakarta 2016

1,32 28,53

0,86

DKI Jakarta 2017

1,33 28,80

1,31

10 Jawa Barat 2007

2,61 26,38

1,63

Jawa Barat 2008

2,57 26,07

2,41

Jawa Barat 2009

2,48 28,15

0,70

Jawa Barat 2010

2,42 26,68

1,89

Jawa Barat 2011

2,37 26,71

1,13

Jawa Barat 2012

2,29 26,88

1,35

Jawa Barat 2013

2,26 26,46

2,21

Jawa Barat 2014

2,22 26,65

2,03

Jawa Barat 2015

2,26 26,28

1,00

Jawa Barat 2016

2,17 26,50

1,01

Jawa Barat 2017

2,06 26,71

1,29

11 Jawa Tengah 2007

3,02 26,15

1,83

Jawa Tengah 2008

2,96 26,42

2,26

Jawa Tengah 2009

2,87 28,02

1,20

Jawa Tengah 2010

2,81 26,88

1,93

Jawa Tengah 2011

2,76 26,95

0,99

102

Jawa Tengah 2012

2,71 27,13

1,44

Jawa Tengah 2013

2,67 26,71

2,08

Jawa Tengah 2014

2,61 26,67

2,11

Jawa Tengah 2015

2,59 26,40

1,00

Jawa Tengah 2016

2,58 26,88

0,86

Jawa Tengah 2017

2,50 27,25

1,31

12 DI Yogyakarta 2007

2,94 24,69

2,08

DI Yogyakarta 2008

2,91 26,43

2,29

DI Yogyakarta 2009

2,85 25,99

1,08

DI Yogyakarta 2010

2,82 25,33

2,00

DI Yogyakarta 2011

2,78 25,26

1,36

DI Yogyakarta 2012

2,77 25,48

1,46

DI Yogyakarta 2013

2,71 25,26

1,99

DI Yogyakarta 2014

2,68 25,20

1,89

DI Yogyakarta 2015

2,58 25,13

1,21

DI Yogyakarta 2016

2,57 27,00

1,49

DI Yogyakarta 2017

2,51 26,41

1,44

13 Jawa Timur 2007

2,99 26,25

1,84

Jawa Timur 2008

2,92 26,22

2,25

Jawa Timur 2009

2,81 28,49

1,22

Jawa Timur 2010

2,73 26,83

1,96

Jawa Timur 2011

2,66 27,06

1,46

Jawa Timur 2012

2,57 27,38

1,50 Jawa Timur 2013 27,33

103

2,54 2,03

Jawa Timur 2014

2,51 27,04

2,05

Jawa Timur 2015

2,51 26,86

1,90

Jawa Timur 2016

2,47 24,14

1,01

Jawa Timur 2017

2,42 27,49

1,40

14 Kalimantan Barat 2007

2,56 24,89

2,15

Kalimantan Barat 2008

2,40 24,39

2,42

Kalimantan Barat 2009

2,23 26,59

1,59

Kalimantan Barat 2010

2,20 25,59

2,14

Kalimantan Barat 2011

2,15 25,23

1,65

Kalimantan Barat 2012

2,07 25,89

1,82

Kalimantan Barat 2013

2,17 24,36

2,19

Kalimantan Barat 2014

2,09 26,07

2,24

Kalimantan Barat 2015

2,13 24,25

2,18

Kalimantan Barat 2016

2,08 25,83

1,30

Kalimantan Barat 2017

2,06 25,03

1,35

15 Kalimantan Tengah 2007

2,24 24,98

2,06

Kalimantan Tengah 2008

2,16 24,68

2,46

Kalimantan Tengah 2009

1,95 27,20

0,33

Kalimantan Tengah 2010

1,91 25,49

2,25

Kalimantan Tengah 2011

1,88 25,68

1,52

Kalimantan Tengah 2012

1,82 25,89

1,77

Kalimantan Tengah 2013

1,83 25,76

1,92

Kalimantan Tengah 2014

1,80 25,44

1,96

104

Kalimantan Tengah 2015

1,78 25,30

1,56

Kalimantan Tengah 2016

1,68 25,83

0,75

Kalimantan Tengah 2017

1,66 25,12

1,16

16 Kalimantan Selatan 2007

1,95 25,04

2,05

Kalimantan Selatan 2008

1,87 24,91

2,45

Kalimantan Selatan 2009

1,63 27,50

1,35

Kalimantan Selatan 2010

1,65 25,25

2,20

Kalimantan Selatan 2011

1,67 25,75

1,38

Kalimantan Selatan 2012

1,61 25,95

1,79

Kalimantan Selatan 2013

1,56 24,87

1,96

Kalimantan Selatan 2014

1,57 25,04

1,99

Kalimantan Selatan 2015

1,55 24,72

1,64

Kalimantan Selatan 2016

1,51 24,68

1,27

Kalimantan Selatan 2017

1,55 27,77

1,34

17 Kalimantan Timur 2007

2,40 24,99

2,12

Kalimantan Timur 2008

2,25 25,58

2,40

Kalimantan Timur 2009

2,05 27,12

1,02

Kalimantan Timur 2010

2,04 25,80

1,94

Kalimantan Timur 2011

1,91 26,16

1,33

Kalimantan Timur 2012

1,85 26,61

1,46

Kalimantan Timur 2013

1,85 25,73

2,13

Kalimantan Timur 2014

1,84 25,86

2,12

Kalimantan Timur 2015

1,81 25,52

1,21 Kalimantan Timur 2016 24,62

105

1,79 1,22

Kalimantan Timur 2017

1,81 26,26

1,15

18 Sulawesi Utara 2007

2,44 23,55

2,32

Sulawesi Utara 2008

2,31 24,47

2,27

Sulawesi Utara 2009

2,28 26,00

0,84

Sulawesi Utara 2010

2,21 25,24

1,84

Sulawesi Utara 2011

2,14 25,50

(0,40)

Sulawesi Utara 2012

2,03 25,74

1,80

Sulawesi Utara 2013

2,14 24,55

2,09

Sulawesi Utara 2014

2,11 25,32

2,27

Sulawesi Utara 2015

2,19 24,37

1,72

Sulawesi Utara 2016

2,10 24,00

(1,05)

Sulawesi Utara 2017

2,07 24,75

0,89

19 Sulawesi Tengah 2007

3,11 24,54

2,10

Sulawesi Tengah 2008

3,03 24,82

2,34

Sulawesi Tengah 2009

2,94 26,31

1,75

Sulawesi Tengah 2010

2,89 24,88

1,86

Sulawesi Tengah 2011

2,76 25,16

1,50

Sulawesi Tengah 2012

2,70 25,58

1,77

Sulawesi Tengah 2013

2,66 24,60

2,02

Sulawesi Tengah 2014

2,61 24,73

2,18

Sulawesi Tengah 2015

2,64 24,34

1,43

Sulawesi Tengah 2016

2,65 25,78

0,40

Sulawesi Tengah 2017

2,65 25,96

1,47

106

20 Sulawesi Selatan 2007

2,65 25,42

1,74

Sulawesi Selatan 2008

2,59 25,41

2,52

Sulawesi Selatan 2009

2,51 27,69

1,22

Sulawesi Selatan 2010

2,45 25,17

1,88

Sulawesi Selatan 2011

2,33 25,41

1,05

Sulawesi Selatan 2012

2,28 26,01

1,50

Sulawesi Selatan 2013

2,33 24,69

1,83

Sulawesi Selatan 2014

2,26 24,68

2,15

Sulawesi Selatan 2015

2,31 25,13

1,50

Sulawesi Selatan 2016

2,22 25,52

1,08

Sulawesi Selatan 2017

2,25 26,41

1,49

21 Sulawesi Tenggara 2007

3,06 24,21

2,02

Sulawesi Tenggara 2008

2,97 24,58

2,73

Sulawesi Tenggara 2009

2,94 26,11

1,53

Sulawesi Tenggara 2010

2,84 25,05

1,35

Sulawesi Tenggara 2011

2,68 24,36

1,63

Sulawesi Tenggara 2012

2,57 25,80

1,65

Sulawesi Tenggara 2013

2,62 23,87

1,78

Sulawesi Tenggara 2014

2,55 23,82

2,13

Sulawesi Tenggara 2015

2,62 22,38

1,98

Sulawesi Tenggara 2016

2,55 23,27

1,19

Sulawesi Tenggara 2017

2,48 24,15

1,09

22 Bali 2007

1,89 24,77

1,78 Bali 2008 25,14

107

1,82 2,26

Bali 2009

1,64 27,19

1,47

Bali 2010

1,59 25,45

2,09

Bali 2011

1,44 26,53

1,32

Bali 2012

1,37 26,51

1,55

Bali 2013

1,50 26,83

1,99

Bali 2014

1,56 26,94

2,08

Bali 2015

1,66 26,88

0,99

Bali 2016

1,42 26,17

1,08

Bali 2017

1,42 26,57

1,20

23 Nusa Tenggara Barat 2007

3,22 24,93

2,17

Nusa Tenggara Barat 2008

3,17 25,45

2,59

Nusa Tenggara Barat 2009

3,13 26,75

1,21

Nusa Tenggara Barat 2010

3,07 24,48

2,31

Nusa Tenggara Barat 2011

2,98 25,56

1,88

Nusa Tenggara Barat 2012

2,89 24,92

1,38

Nusa Tenggara Barat 2013

2,85 26,03

1,95

Nusa Tenggara Barat 2014

2,84 25,98

1,98

Nusa Tenggara Barat 2015

2,81 25,69

1,23

Nusa Tenggara Barat 2016

2,77 25,94

0,96

Nusa Tenggara Barat 2017

2,71 25,86

1,31

24 Nusa Tenggara Timur 2007

3,31 25,15

2,13

Nusa Tenggara Timur 2008

3,24 24,98

2,39

Nusa Tenggara Timur 2009

3,15 26,64

1,84

108

Nusa Tenggara Timur 2010

3,14 25,77

2,28

Nusa Tenggara Timur 2011

3,06 25,99

1,54

Nusa Tenggara Timur 2012

3,02 25,40

1,67

Nusa Tenggara Timur 2013

3,01 25,39

2,13

Nusa Tenggara Timur 2014

2,98 25,34

2,05

Nusa Tenggara Timur 2015

3,12 25,04

1,59

Nusa Tenggara Timur 2016

3,09 24,59

0,91

Nusa Tenggara Timur 2017

3,06 26,96

0,69

25 Maluku 2007

3,44 24,32

1,72

Maluku 2008

3,39 24,50

2,23

Maluku 2009

3,34 26,05

1,87

Maluku 2010

3,32 24,93

2,17

Maluku 2011

3,14 25,15

1,05

Maluku 2012

3,03 24,49

1,91

Maluku 2013

2,96 24,74

2,18

Maluku 2014

2,91 24,22

1,92

Maluku 2015

2,96 24,34

1,78

Maluku 2016

2,96 24,48

1,19

Maluku 2017

2,91 24,51

(0,25)

26 Papua 2007

3,71 24,34

2,34

Papua 2008

3,61 26,26

2,53

Papua 2009

3,63 26,74

0,65

Papua 2010

3,61 26,19

1,50 Papua 2011 26,72

109

3,47 1,22

Papua 2012

3,42 26,87

1,51

Papua 2013

3,45 27,84

2,11

Papua 2014

3,33 27,95

2,08

Papua 2015

3,35 27,74

1,03

Papua 2016

3,32 27,76

1,42

Papua 2017

3,32 27,60

0,88

27 Maluku Utara 2007

2,48 23,78

2,34

Maluku Utara 2008

2,42 24,10

2,64

Maluku Utara 2009

2,34 26,10

1,36

Maluku Utara 2010

2,24 24,69

1,67

Maluku Utara 2011

2,22 24,38

1,51

Maluku Utara 2012

2,09 24,82

1,16

Maluku Utara 2013

2,03 24,78

2,28

Maluku Utara 2014

2,00 24,58

2,23

Maluku Utara 2015

1,83 24,44

1,51

Maluku Utara 2016

1,86 24,13

0,65

Maluku Utara 2017

1,86 24,31

0,68

28 Banten 2007

2,20 25,26

1,84

Banten 2008

2,10 24,92

2,44

Banten 2009

2,03 26,17

1,05

Banten 2010

1,97 25,23

1,81

Banten 2011

1,84 25,70

1,24

Banten 2012

1,74 26,15

1,47

110

Banten 2013

1,77 26,09

2,27

Banten 2014

1,71 25,70

2,32

Banten 2015

1,75 26,14

1,46

Banten 2016

1,68 25,93

1,08

Banten 2017

1,72 25,98

1,38

29 Bangka Belitung 2007

2,26 23,84

0,96

Bangka Belitung 2008

2,15 24,25

2,91

Bangka Belitung 2009

2,01 26,64

0,77

Bangka Belitung 2010

1,87 24,58

2,24

Bangka Belitung 2011

1,75 22,96

1,61

Bangka Belitung 2012

1,68 25,03

1,88

Bangka Belitung 2013

1,66 23,81

2,16

Bangka Belitung 2014

1,60 23,94

2,20

Bangka Belitung 2015

1,57 23,00

1,18

Bangka Belitung 2016

1,62 23,65

1,91

Bangka Belitung 2017

1,67 23,31

1,14

30 Gorontalo 2007

3,31 23,93

1,90

Gorontalo 2008

3,21 23,83

2,22

Gorontalo 2009

3,22 26,13

1,47

Gorontalo 2010

3,14 24,42

2,01

Gorontalo 2011

2,93 24,17

1,41

Gorontalo 2012

2,85 24,94

1,67

Gorontalo 2013

2,89 24,88

1,76 Gorontalo 2014 25,48

111

2,86 1,81

Gorontalo 2015

2,90 24,40

1,46

Gorontalo 2016

2,87 24,89

0,26

Gorontalo 2017

2,84 24,86

1,47

31 Kep. Riau 2007

2,33 24,48

1,58

Kep. Riau 2008

2,22 24,19

2,13

Kep. Riau 2009

2,11 26,95

0,63

Kep. Riau 2010

2,09 25,35

2,00

Kep. Riau 2011

2,00 24,98

1,32

Kep. Riau 2012

1,92 25,89

0,70

Kep. Riau 2013

1,85 26,90

2,11

Kep. Riau 2014

1,86 26,35

2,03

Kep. Riau 2015

1,75 25,43

1,48

Kep. Riau 2016

1,76 24,37

1,26

Kep. Riau 2017

1,81 23,99

1,39

32 Papua Barat 2007

3,67 24,73

2,34

Papua Barat 2008

3,56 25,56

2,38

Papua Barat 2009

3,58 27,47

1,65

Papua Barat 2010

3,55 25,61

1,83

Papua Barat 2011

3,46 25,93

0,86

Papua Barat 2012

3,30 26,19

1,57

Papua Barat 2013

3,30 26,92

1,99

Papua Barat 2014

3,27 26,80

1,88

Papua Barat 2015

3,25 26,93

1,68

112

Papua Barat 2016

3,21 26,84

1,29

Papua Barat 2017

3,14 26,88

0,36

33 Sulawesi Barat 2007

2,95 23,87

1,10

Sulawesi Barat 2008

2,82 23,60

1,11

Sulawesi Barat 2009

2,73 26,55

1,17

Sulawesi Barat 2010

2,61 24,49

1,63

Sulawesi Barat 2011

2,63 24,46

1,59

Sulawesi Barat 2012

2,57 24,45

1,19

Sulawesi Barat 2013

2,50 23,82

1,78

Sulawesi Barat 2014

2,49 24,55

2,06

Sulawesi Barat 2015

2,48 24,51

1,62

Sulawesi Barat 2016

2,42 24,87

0,80

Sulawesi Barat 2017

2,41 24,88

1,33