Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH MELALUI
PENDAPATAN PER KAPITA TERHADAP KETIMPANGAN
PENDAPATAN DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2000-2013
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Billy Indra Jaya
115020107111060
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Artikel Jurnal dengan judul :
PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH MELALUI PENDAPATAN PER
KAPITA TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI DKI JAKARTA
TAHUN 2000-2013
Yang disusun oleh :
Nama : Billy Indra Jaya
NIM : 115020400111014
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Jurusan : S1 Ilmu Ekonomi
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di
depan Dewan Penguji pada tanggal 17 Februari 2016 (diisi tanggal ujian)
Malang, …………….. (diisi t
Dosen Pembimbing,
Dr. Moh. Khusaini, SE., M.Si., MA.
NIP. 19710111 199802 1 001
1
PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH MELALUI
PENDAPATAN PER KAPITA TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN
DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2000-2013
Billy Indra Jaya
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
ABSTRAK Belanja pemerintah daerah DKI Jakarta salah satunya mempunyai fungsi dalam menstimulus
pertumbuhan ekonomi yang digambarkan dengan peningkatan pendapatan per kapita. Pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas ditandai dengan menurunnya tingkat pengangguran, kemiskinan, dan
ketimpangan pendapatan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Namun penghitungan
pendapatan per kapita tidak menggambarkan pendapatan yang sebenarnya pada setiap penduduk.
Kondisi ideal pertumbuhan ekonomi seharusnya diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan
masyarakat dan pemerataan distribusi pendapatan yang lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh antara belanja pemerintah daerah, pendapatan per kapita, dan ketimpangan
pendapatan di Provinsi DKI Jakarta pada periode tahun 2000-2013. Penelitian ini menggunakan
metode analisis jalur untuk menguji pengaruh langsung dan tidak langsung antara variabel-variabel
dengan mengunakan software SPSS versi 17. Hasil penelitian menunjukan bahwa belanja pemerintah daerah mempunyai pengaruh yang besar terhadap pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita
mempunyai pengaruh yang kecil terhadap ketimpangan pendapatan. Selanjutnya, belanja pemerintah
daerah mempunyai pengaruh yang kecil terhadap ketimpangan pendapatan, sedangkan belanja
pemerintah daerah dapat mempengaruhi perubahan ketimpangan pendapatan melalui pendapatan per
kapita.
Kata kunci: Belanja Pemerintah Daerah, Pendapatan Per Kapita, Ketimpangan Pendapatan, Path
Analysis
A. PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan yang setingggi-tingginya,
selain itu juga menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat
pengangguran (Kuncoro, 2004). Menurut Keynes diperlukan campur tangan pemerintah untuk
mengendalikan perekonomian ke arah kondisi full employment (Boediono, 1990). Melalui kebijakan
fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi perekonominan dengan menggunakan pajak, pijaman
masyarakat, dan pengeluaran pemerintah (Jhingan, 2012).
Provinsi DKI Jakarta sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki fungsi dan
peran penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan (UU No.29 Tahun 2007).
Berdasarkan UU No.22 Tahun 1999, pemerintah memberikan kewenangan Daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah daerah mengeluarkan sejumlah uang untuk membiayai pembangunan prasarana di
daerah yang besumber dari pendapatan daerah. Pemanfaatan pendapatan daerah dipergunakan dalam
mendanai pelaksanaan pemerintah guna melindungi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat
(Permendagri No 13 Tahun 2006). Selama periode 2000-2013, belanja daerah Provinsi DKI Jakarta
memiliki tren meningkat, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2008 (BPS, 2014). Wagner
menjelaskan bahwa ketika pendapatan per kapita meningkat perkembangan pengeluaran pemerintah semakin besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (Mangkoesoebroto, 1993).
2
Penghitungan pendapatan per kapita melihat pemerataan pendapatan dari PDRB dengan semua jumlah
penduduk (Todaro & Smith, 2011).
Selama periode tahun 2000-2013 PDRB per kapita Provinsi DKI Jakarta memiliki tren meningkat dan lebih tinggi dibandingan rata-rata PDRB per kapita Nasional. Ahluwalia-Chenery
dalam Todaro (2011) menjelaskan bahwa nilai dari PDRB per kapita tidak menunjukkan bagaimana
sebenarnya pendapatan didistribusikan dan siapa yang paling diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi.
Bank Dunia menggolongkan pendapatan penduduk menjadi tiga kategori yaitu, 40 persen penduduk
berpedapatan rendah, 40 persen penduduk berpendapatan sedang, dan 20 persen penduduk
berpendapatan tinggi (BPS, 2015). Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi DKI Jakarta
pada tahun 2008-2013 menuju pada ketimpangan sedang. Hal ini ditunjukkan dari kelompok 40 persen
penduduk berpendapatan rendah masih berkisar 14,66 persen sampai dengan 19,87 persen dari
pendapatan regional yang dihasilkan oleh penduduk Provinsi DKI Jakarta pada periode waktu tersebut.
Alat ukur lainnya untuk menilai tingkat ketimpangan pendapatan antara kelompok
masyarakat adalah Gini Ratio. Koefisien gini ratio Provinsi DKI Jakarta pada periode tahun 2007-2013
tergolong dalam kategori ketimpangan rendah di bawah 0,4. Selama periode 2007-2013 angka gini
ratio cenderung fluktuatif namun mempunyai tren meningkat. Pada tahun 2013 koefisien gini rasio
mencapai 0,364 tergolong kategori rendah, namun, angka tersebut dikawatirkan akan terus meningkat
di tahun mendatang.
Berdasarkan penjelasan diatas belanja pemerintah daerah DKI Jakarta berperan dalam
menstimulus pertumbuhan ekonomi yang digambarkan dengan peningkatan pendapatan per kapita.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas ditandai dengan menurunnya tingkat pengangguran,
kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Namun penghitungan pendapatan per kapita tidak menggambarkan pendapatan yang sebenarnya pada setiap
penduduk. Kondisi ideal pertumbuhan ekonomi seharusnya diikuti dengan meningkatnya
kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh belanja
pemerintah daerah terhadap pendapatan per kapita, dan bagaimana selanjutnya pendapatan per kapita
mempengaruhi tingkat ketimpangan pendapatan penduduk Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan uraian
diatas peneliti menetapkan judul “Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Melalui Pendapatan Per
Kapita Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000-2013”.
B. KAJIAN PUSTAKA
Fungsi Pemerintah Dalam Perekonomian
Pemerintah mempunyai peran dalam pengeluaran tertentu sehingga dapat mempengaruhi
perekonomian.Bentuk pengaruh pemerintah diterapkan pada kebijakan-kebijakan untuk
mengintervensi perekonomian.Sebagian besar perekonomian harus mengikuti kebijakan pemerintah
dibandingkan diserahkan pada mekanisme pasar. Kebijakan pemerintah dibutuhkan untuk
membimbing, memberi koreksi, dan melengkapi halhal tertentu ( Musgrave, 1991).
Menurut Musgrave (1991) terdapat tiga fungsi utama pemerintah dalam mempengaruhi
perekonomian sebagai berikut:
a. Fungsi alokasi. Pemerintah berfungsi sebagai penyediaan barang sosial, atau proses
pembagian keseluruhan sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang
sosial, dan bagaimana komposisi barang sosial ditemukan.
b. Fungsi distribusi. Pemerintah berfungsi sebagai penyesuai distribusi pendapatan dan
kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap masyarakat sebagai keadaan
distribusi yang merata dan adil
c. Fungsi stabilisasi. Pemerintah menggunakan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk
mempertahankan tingkat kesempatan kerja, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat.
3
Pengeluaran Pemerintah
Tujuan akhir dari pembangunan adalah kesejahteraan yang merata dalam arti masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.Dalam mewujudkan tujuan tersebut diperlukan peran pihak yang
menghendaki terciptanya keadilan dan kemakmuran, dalam hal ini pemerintah mempunyai peran untuk
mewujudkan tujuan tersebut.Selain memproduksi regulasi berupa peraturan, pemerintah mempunyai
peran dalam perekonomian suatu Negara berupa pengeluran pemerintah.Pengeluaran pemerintah
berupa barang dan jasa yang ditujukan pada kegiatan pembangunan yang dinilai dengan uang. Apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah
mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut
(Mangkoesoebroto, 1991)
Selain melakukan pengeluaran, pemerintah melakukan kegiatan penerimaan sebagai sumber pembiayaan pengeluran pemerintah.Penerimaan dan pengeluaran pemerintah dipadukan menjadi
sebuah sistem kebijakan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam lingkup
Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam lingkup daerah.Penyususunan
APBD pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan ekonomi makro dan sumber daya yang
tersedia agar dialokasikan secara tepat sesuai kebijakan pemerintah untuk menpersiapkan kondisi
pelaksanaan pengelolaan anggaran secara baik (Permendagri No. 58 Tahun 2005).
Belanja Pemerintah
Belanja Negara atau daerah dijelaskan dalam UU No. 17 Tahun 2003 adalah kewajiban
pemerintah pusat atau daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.Belanja pemerintah
adalah pengeluaran pemerintah yang dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (UU No. 17 Tahun
2003).Belanja pemerintah menurut cangkupan wilayah dibedakan menjadi belanja negara dan belanja
daerah.
Pengeluaran daerah terdiri dari belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah
(Pemendagri No.13 Tahun 2006). Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang
dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat
tanpa diskriminasi khususnya dalam pemberian pelayanan pelayanan umum.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 menjelaskan belanja daerah dipergunakan dalam rangka
mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota
yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penangganannya dalam bagian atau
bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undungan. Belanja penyelenggaraan
urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam
upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar,
pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan system
jaminan sosial.Peningkatan kaualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam
pecapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peratran perundang-undangan.
Teori Pengeluaran Pemerintah
Kebijakan Fiskal Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh memperbesar pendapatan nasional, sedangkan
penerimaan pemerintah bersifat mengurangi pendapatan nasional. Besarnya pengeluaran dan
penerimaan pemerintah digunakan untuk mempengaruhi keseimbangan ekonomi.Tehnik penggunaan dalam merubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah di kenal dengan kebijakan fiskal atau politik
fiskal (Sumparmoko, 1987).Due (1985) menjelaskan kebijakan fiskal adalah penyesuaian dalam
pendapatan dan pengeluaran pemerintah untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju
perekonomian yang dihendaki.Fiskal atau pajak sangat erat kaitannya dengan keseimbangan makro
ekonomi.
Sebelum tahun 1930, pengeluaran pemerintah hanya dianggap sebagai alat untuk membiayai
kegiatan-kegiatan pemerintah dan dinilai berdasarkan atas manfaat langsung yang ditimbulkannya
4
tanpa melihat pengaruhnya terhadap pendapatan nasional (Suparmoko, 1987).Ketika muncul masalah
pengangguran dan penurunan harga (deflasi) yang membuat ekonomi menjadi lesu, kebijakan yang
biasa digunakan pemerintah adalah kebijakan moneter. Kebijakan tersebutmempengaruhi jumlah uang
beredar dengan cara menurunkan tingkat bunga, Giro Wajib Minimum, dan pembelian surat berharga
oleh pemerintah. Namun harga cenderung menurun, sehingga mengurangi minat investor dan depresi
tidak teratasi.Hansen dalam Suparmoko (1987) menyarankan bahwa dalam masa depresi ekonomi
terdapat banyak pengangguran, peningkatan pengeluaran pemerintah adalah satu-satunya obat.Dalam
keadaan deflasi pemerintah menggunakan politik anggaran defisit untuk memperbesar pengeluarnya,
sebaliknya ketika keadaan inflasi pemerintah menggunakan anggaran surplus untuk mengurangi
pengeluaran sehingga mengurangi permintaan agregat.
Teori Adolf Wagner Adolf Wagner dalam teorinya menyatakan bahwa perkembangan pegeluaran pemerintah
semakin besar dalam persentase terhadap GNP (Mangkoesoebroto, 1991). Wagner menyatakan bahwa
dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran
pemerintah akan meningkat.
Berdasarkan pengamatan empiris, hukum Wagner memberi dasar akan timbulnya kegagalan
pasar dan eksternalitas. Wagner menyadari bahwa dengan tumbuhnya perekonomian, hubungan antara
industri dengan industri, hubungan industri dengan masyarakat dan sebagainya akan semakin rumit
(Mangkoesoebroto, 1991). Peranan pemerintah semakin besar, disebabkan pemerintah berperan
menyelesaikan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat, yakni kebutuhan pertahanan dan keamanan,
kebutuhan pendidikan, kebutuhan kesehatan, dan kebutuhan dalam akses transportasi.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah salah satu upaya dari para
ekonom terdahulu hingga saat ini. Pertumbuhan sangat diinginkan karena akan memungkinkan
masyarakat mengkonsumsi barang dan jasa lebih banyak, dan juga menyumbang pada penyediaan
barang dan jasa-jasa sosial yang lebih besar, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Pass
dan Lowes, 1998).
Berawal dari gagasan utama dari mazhab klasik yang berpandangan bahwa campur tangan
pemerintah perlu dikurangi dalam kegiatan ekonomi dan lebih mengutamakan mekanisme pasar untuk
mengaturnya (laissez faire, laissez passer). Adam Smith merupakan pelopor pemikiran mazhab klasik.
Dalam bukunya yang bejudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776),
Smith menjelaskan bahwa setiap kegiatan ekonomi yang didasari dengan mekanisme pasar dinilai
mampu mengalokasikan sumber daya secara efisien (Arsyad, 2010).
Menurut Smith, terdapat tangan gaib (invisible hand) di dalam mekanisme pasar yang berfungsi sebagai pengalokasi sumber daya agar perekonomian menuju pada kondisi keseimbangan
(equilibrium). Mekanisme pasar tidak akan berjalan sempurna jika ada gangguan pada pasar. Oleh
karena itu, masalah gangguan pasar akanteratasi jika pemerintah pengurangi campur tanganya terhadap
mekanisme pasar.
Sedangkan ideologi Keynes mengatakan untuk mendorong sistem perekonomian, masyarakat
harus bersedia meninggalkan ideology mekanisme pasar (laissez faire) yang murni terkandung dalam
pemikiran Klasik (Boediono, 1990).Pemerintah harus melakukan lebih banyak campur tangan yang
aktif dalam mengendalikan perekonomian nasional. Keynes berpendapat bahwa kegiatan produksi, dan
pemilikan faktor-faktor produksi, masih tetap bisa dipercayakan kepada pengusaha swasta, tetapi
pemerintah wajib melakukan kebijakan-kebijakan yang aktif untuk mempengaruhi gerak
perekonomian. Keynes dalam Mahyudi (2004) mengajukan peranan pemerintah untuk dapat memajukan perekonomian suatu Negara melalui APBN, aturan-aturan atau regulasi yang cenderung
membela masyarakat atau pengusah kecil, mekanisme pasar modal, dan lain-lain.
Pendapatan Per Kapita Kemakmuran suatu Negara dapat dihitung dengan membagi jumlah output suatu Negara
(PDB) dengan membagi jumlah penduduk. Angka tersebut dikenal sebagai angka PDB per kapita atau
pendapatan per kapita.Pendapatan per kapita adalah total pendapatan nasional kotor (GNI) suatu
5
Negara dibagi dengan jumlah penduduk (Todaro& Smith, 2011).Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menggunakan angka PDB per kapita untuk menyusun kategori tingkat kemakmuran suatu negara.PDB
per kapita merupakan ukuran kesejahteraan rata-rata perorangan yang cukup alamiah (Mankiw,
2012).Umumnya semakin tinggi angka PDB per kapitamaka semakin tinggi kemakmuran suatu
Negara.
Untuk membangun pertumbuhan ekonomi daerah secara berkelanjutan diperlukan
pertumbuhan pendapatan per kapita yang lebih besar disetiaptahunnya. Artinya nilai pendapatan per
kapita bergantung pada besarnya PDRB yang dihasilkan berbanding dengan pertumbuhan penduduk
daerah tersebut. Pendapatan per kapita dapat dihitung sebagai berikut:
𝑌𝑐𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 =𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝐷𝑜𝑚𝑒𝑠𝑡𝑖𝑘 𝑅𝑒𝑔𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝐵𝑟𝑢𝑡𝑜
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
Angka pendapatan per kapita tidak dapat menunjukkan bagaimana pendapatan didistribusikan
dan siapa yang paling diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi.Meskipun pendapatan per kapita
sebagai ukuran kesejahteraan telah diterima sebagai indikator dari tingkat kesejahteraan, namun
menurut Adisasmita (2013) masih memiliki kelemahan-kelemahan, yang dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, pendapatan per kapita tidak mempertimbangkan perbedaan kondisi geografis dan iklim.
Perbedaan kondisi geografis dalam mempengaruhi potensi pembangunan riil yang akanberdampak
pada perbedaan laju pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Kedua, perbedaan perilaku masyarakat. Akan berbeda kehidupan masyarakat yang gemar menabung dan bekerja keras sehingga meningkatan
produktifitas dengan masyarakat yang mementingkan konsumsi.Ketiga, perbedaan dalam komposisi
produksi. Sektor industri bersifat padat modal dan diharapkan menghasilkan pertumbuhan yang tinggi,
sedangkan sektor pertanian bersifat padat karya. Keempat, perbedaan dalam distribusi pendapatan.
Wilayah dengan pendapatan per kapita yang sama, tetapi berbeda dalam distribusi pendapatannya,
akan mempengaruhi dalam laju pertumbuhan ekonominya.
Distribusi Pendapatan Pertumbuhan ekonomi bersumber dari ketersedianya modal menurut mazhab kapitalis,
sehingga modal disediakan oleh penduduk berendapatan tinggi. Kapitalis menanamkan modal pada
industri, karena sektor industri memiliki produktivitas yang tinggi.Tingkat produktivitas yang tinggi merupakan pertimbangan yang penting bagi pemilik modal dalam menanamkan modalnya, agar
diperoleh keuntungan yang tinggi. Pada akhirnya investasi disediakan oleh penduduk berpendapatan
tinggi untuk membentuk modal pada sektor ekonomi yang memilki produktifitas yang tinggi.
Pertumbuhan ekonomi harus memiliki tingkat produktivitas yang tinggi, produktivitas yang
tinggi dapat diwujudkan karena didukung oleh modal yang besar, modal yang besar diakumulasikan
dari investasi, investasi yang besar disediakan atau berasal dari penduduk berpendapatan tinggi,
penduduk berpendapatan tinggi termasuk dalam bagian distribusi pendapatan (Adisasmita, 2013).
Distribusi pendapatan dapat dikatakan sebagai sumber kekuatan, dan pertumbuhan ekonomi sebagai
produk (Adisasmita, 2013).
Masalah yang sebenarnya bahwa kemakmuran masyarakat tidak semata-mata hanya
didasarkan oleh besarnya pertumbuhan ekonomi, namun bagaimana pendapatan itu didistribusikan
secara lebih merata atau timpang (Rahardja dan Manurung, 2008). Pendapatan dianggap merata bila seluruh golongan masyarakat menikmati dari hasil pertumbuhan ekonomi.
Kurva Lorenz Kurva Lorenz merupakan cara yang dilakukan untuk menganalisis pendapatan individu
berdasarkan garis kemerataan. Kurva Lorenz berasal dari nama Conrad Lorenz, seorang ahli statistika
dari Amerika Serikat yang mengembangkan hubungan antara kelompok-kelompok penduduk dan
pembagian (share) pendapatan mereka (Arsyad, 2010).
Jumlah penerima pendapatan digambarkan pada sumbu horizontal, tidak dalam angka mutlak
namun dalam presentase yang semakin meningkat. Pada sumbu vertikal mengambarkan pendapatan
total yang diterima oleh setiap presentase jumlah penduduk. Sedangkan garis diagonal menunjukkan
pemertaan sempurna dari distribusi ukuran pendapatan.
6
Koefisien Gini Ukuran lainnya yang dapat mengambarkan ketimpangan adalah koefisien Gini. Koefisien
Gini untuk Negara-negara yang distibusipendapatannya sangat timpang berada di antara 0,5 sampai
0,7, sedangkan untuk Negara yang koefisiennya relatif merata memiliki koefisien Gini antara 0,2
sampai 0,35 (Todaro dan Smith, 2011).
Berbeda dengan kurva Lorenz yang menggambarkan ketimpangan dengan melihat jarak
antara garis kemerataan dan kurva Lorenz. Koefisien gini menjelaskan semakin rendah nilai yang
dihasilkan maka distribusi pendapatan akan semakin merata, sebaliknya semakin tinggi nilai koefisien
yang diperoleh maka akan semakin tidak merata distribusi pendapatan di Negara tersebut.
Tabel 1 : Nilai Koefisien Gini
Gini Ratio Keterangan
GR > 0,80 Ketimpangan sangat tinggi
0,60 < GR < 0,79 Ketimpangan tinggi
0,40 < GR < 0,59 Ketimpangan sedang
0,20 < GR < 0,39 Ketimpangan rendah
GR < 0,20 Ketimpangan sangat rendah
Sumber: Widodo, 2012
Kriteria Bank Dunia Perhitungan tingkat GDP sebagian besar melupakan kalkulasi tingkat pertumbuhan
pendapatan 40 persen kelompok penduduk teratas, yang secara tidak proposional memeroleh bagian
terbesar dari produk nasional (Todaro dan Smith, 2011). Montek Ahluwalia dan Hollis Chenery telah
menyusun indeks kesejahteraan sosial dengan mengelompokkan penduduk menurut pendapatan dalam
strata desil (D) atau persepuluhan. Indeks kesejahteraan ini telah diadopsi oleh Bank Dunia untuk mengukur tingkat pertumbuhan GDP yang bertumpu pada kemiskinan dimana diberikan bobot tingkat
pendapatan 40 persen penduduk terendah, 40 persen penduduk menengah, dan 20 persen penduduk
tertinggi.
Bank Dunia dalam Manurung dan Raharja (2008) telah membuat criteria untuk mengukur
distribusi pendapatan suatu negara.Pengukuran distribusi pendapatan diukur berdasarkan besarnya
kontribusi dari 40 persen penduduk termiskin. Kriteria yang digunakan oleh Bank Dunia tersebut
adalah:
- Apabila kelompok 20 persen penduduk termiskin memperoleh pendapatan lebih kecil dari 12
persen dari keseluruhan pendapatan nasional, maka dikatakan bahwa Negara yang bersangkutan
berada dalam tingkat ketimpangan yang tinggi dalam distribusi pendapatan.
- Apabila kelompok 20 persen penduduk termiskinpendapatannya antara 12 persen hingga 16
persen dari keseluruhan pendapatan nasional, maka dikatakan bahwa terjadi ketimpangan sedang dalam distribusi pendapatan.
- Apabila kelompok 20 persen penduduk termiskin pendapatannya lebih dari 16 persen dari
keseluruhan pendapatan nasional, maka dikatakan bahwa tingkat ketimpangan yang terjadi
rendah.
-
Hipotesis Kuznet
Simon Kuznets (1955) berpendapat bahwa pada tahap awal pembangunan mungkin disertai
dengan meningkatnya ketimpangan pendapatan, diikuti pada tahap selanjutnya dengan ketimpangan
yang besar (Lynn, 2003). Kurva Kuznet atau kurva U terbalik mununjukan kecenderungan
ketimpangan pendapatan terhadap peningkatan pertumbuhan pendapatan per kapita yang akan turun
kembali setelah mecapai tingkat tertinggi. Ketimpangan pendapatan menurun seiring dengan penigkatan GNP per kapita pada tahap pembangunan selanjutnya (Koncoro, 1997).
7
Hubungan Belanja Pemerintah Daerah, Pendapatan Per Kapita dan Ketimpangan Pendapatan
Instrumen yang digunakan pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian menurut
Adisasmita (2013) diataranya. Pertama, pajak yang diharapkan akan mengurangi konsumsi
masyarakat, sehingga mendorong masyarakat untuk menyalurkan pendapatannya ke tabungan,
selanjutnya diakumulasikan untuk investasi yang berpengaruh terhadap peningkatan output dan
pendapatan. Kedua, pengeluaran pemerintah (government expenditure) untuk membiayai
pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang menyerap tenaga kerja dan berfungsi meningkatkan
pengembangan kegiatan di berbagai sektor. Ketiga, regulasi atau peraturan untuk pengendalian yang
merupakan pengarahan bagi masyarakat agar melaksanakan atau menghentikan aktivitas ekonominya.
Pemerintah perlu menyediakan barang publik untuk memicu pertumbuhan yang cepat (Tulsidharan, 2006). Rasio pengeluaran publik akan meningkat terhadap GNP menanggapi kenaikan
GNP per kapita (Tulsidharan, 2006). Dalam tahap awal pembangunan, pengeluaran publik meningkat
dalam merespon peningkatan pendapatan per kapita..
Barro dalam Tulsidharan (2006) menggunakan pertumbuhan GDP per kapita sebagai ukuran
pertumbuhan ekonomi, dan mengamati bahwa ukuran pemerintah signifikan negatif dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Dalam pembangunan ekonomi diperlukan pertumbuhan PDRB yang tinggi agar terjadi
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun terdapat permasalahan golongan masyarakat
manakah yang akanmenumbuhkannya, sebagian kecil atau banyak masyarakat. Jika peningkatan
pertumbuhan ekonomi dilakukan oleh sedikit masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi
hanya terdampak pada masyarakatberpengahasilan tinggi. Namun jika pertumbuhan itu dihasilkan oleh masyarakat banyak, maka merekalah yang mendapat manfaat dari pertumbuhan dan hasil dari
pertumbuhan ekonomi akan terbagi rata. (Todaro dan Smith, 2011).
Kuznet (1955) menjelaskan bahwa kenaikan ketimpangan pendapatan adalah fitur awal
pembangunan ekonomi dan penurunan ketimpangan pendapatan adalah fitur akhir dari pembangunan
ekonomi. Kuncoro (2004) menjelaskan terdapat sasaran dasar pembangunan dalam program
pembangunan daerah (Propeda) dan rencana strategis (Renstra) yang hendak dicapai oleh suatu daerah.
Beberapa sasaran fundamendal pembangunan adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan laju perumbuhan ekonomi daerah.
2. Meningkatkan pendapatan per kapita.
3. Mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Upaya pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat salah satunya terhadap ketimpangan pendapatanmembuat kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi distribusi pendapatan.Kebijakan
perpajakan dan pengeluaran pemerintah mempunyai dampak untuk mengatasi distribusi pendapatan
dan masalah kemiskinan (Due & Friedlaender, 1984). Distribusi pendapatan yang tidak merata, berarti
terjadi ketimpangan yang dapat menghambat pembentukan modal sehingga pertumbuhan ekonomi
menjadi lesu, oleh karena itu pemerintah perlu membantu pendistribusian pendapatan yang tidak
merata sehingga lebih adil (Adisasmita, 2013).
Salah satu upaya pemerintah dalam pendistribusian pendapatan adalah dengan memproduksi
barang-barang publik yang tidak disediakan oleh sektor swasta. Peran pemerintah untuk sektor publik
berupa pengeluaran pemerintah yang bersumber dari pajak, retribusi, dan pendapatan lainnya. Sumber-
sumber pengeluaran pemerintah inilah yang akan medistribusikan pendapatan agar lebih merata lewat
pembangunan sarana kebutuhan umum sebagai upaya meningkatkan kesejaheraan masyarakat.
C. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Creswell (2009) menjelaskan
penelitian kuantitatif menguji suatu teori dengan cara merinci hipotesis-hipotesis yang spesifik, lalu
mengumpulkan data-data yang mendukung atau membantah hipotesis-hipotesis tersebut. Teori dalam
penelitian kuantitatif digunakan untuk membangun beberapa variabel yang saling berhubungan dan
kemudian dibentuk menjadi hipotesis yang menunjukkan adanya hubungan antar beberapa variabel.
8
Sedangkan hipotesis adalah prediksi-prediksi yang dibuat oleh peneliti mengenai hubungan antar
variabel yang ditentukan.
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data pengeluaran pemerintah, data statistik pendapatan per kapita dan data gini rasio Propinsi DKI Jakarta Tahun 2000 sampai dengan 2013
(timeseries). Data belanja pemerintah daerah, pendapatan per kapita dan gini ratio DKI Jakarta
bersumber dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta berupa laporan statistik daerah Jakarta Dalam
Angka.
Definisi Operasional
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Model struktural pertama: variabel terikat (dependent), yaitu: Pendapatan Per Kapita
(PPK) & variabel bebas (independent), yaitu: Belanja Pemerintah Daerah (BPD).
- Model struktural kedua: variabel terikat (dependent), yaitu: Ketimpangan Pendapatan
(KP) & variabel bebas (independent), yaitu: Belanja Pemerintah Daerah (BPD)
Belanja Pemerintah Daerah
Permendagri No. 13 tahun 2006 menjelaskan belanja daerah adalah kewajiban pemeintah
daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja daerah terdiri dari atas belanja
langsung dan tidak langsung. Data belanja pemerintah daerah dipaparkan dalam realisasi belanja
menurut jenis pengeluaran. Variabel belanja pemerintah daerah diukur dalam satuan juta rupiah.
Pendapatan Per Kapita
Pendapatan Per Kapita merupakan pertambahan atau perubahan pendapatan (GDP/PDRB)
dalam satu tahun tertentu dibandingkan dengan jumlah penduduk. Pendapatan per kapita hanya melihat
total PDRB dibagi dengan tiap individu penduduk. Pendapatan per kapita dapat dihitung sebagai
berikut:
𝑌𝑐𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 = 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝐷𝑜𝑚𝑒𝑠𝑡𝑖𝑘 𝑅𝑒𝑔𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝐵𝑟𝑢𝑡𝑜
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
Nilai pendapatan per kapita tidak menggambarkan pendapatan tiap penduduk yang
sebenarnya. Penelitian ini menggunakan data PDRB per kapita atas dasar harga berlaku tahun dasar
2000. Menurut Bank Indonesia (2014) PDRB atas harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan.
Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan pendapatan merupakan distribusi yang tidak proporsional dari pendapatan
nasional total di antara berbagai rumah tangga dalam Negara (Todaro dan Smith, 2011). Ketimpangan
pendapatan dapat diukur dengan koefisien gini. Koefisien gini mengukur ketimpangan pendapatan
dengan skala rasio 1 (satu) sampai 0 (nol). Nilai koefisien gini di bawah 0,4 tergolong baik, 0,4-0,5
tergolong sedang, dan di atas 0,5 tergolong buruk.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menggunakan teknik analisis jalur (Path Analysis). Pengolahan data
dilakukan melalui bantuan komputer dengan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 17.0. Tahapan
analisis data sebagai berikut:
9
Analisis Korelasi
Uji korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara variabel. Analisis
korelasi dibantu mengunakn software SPSS 17.0 Uji korelasi yang digunakan adalah Pearson Product Moment (PPM).
Korelasi PPM dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari harga (−1 ≤ 𝑟 ≤+1). Apabila nilai r = -1 artinya korelasinya negatif sempurna; r = 0 artinya tidak ada korelasi; dan r =
1 berarti korelasinya sangat kuat. Untuk menginterpretasi nilai r lihat pada tabel berikut:
Tabel 2 : Koefisien Korelasi Nilai r
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
0,60 – 0,799 Kuat
0,40 – 0,599 Cukup Kuat
0,20 – 0,399 Rendah
0,00 – 0,199 Sangat Rendah Sumber: Riduwan (2006)
Analisis Regresi Sederhana dan Ganda
Uji regresi digunakan untuk mencari pengaruh antar variabel. Dalam uji ini digunakan regresi
linier dan regresi ganda dengan rumus sebagai berikut:
Ŷ = 𝑏0 + 𝑏1𝑥 𝑏1 =𝑛 𝑋𝑌− 𝑋 𝑌
𝑛 𝑋2− ( 𝑋)
2 𝑏0 = 𝑌
𝑛− 𝑏1
𝑋
𝑛
Persamaan regresi berganda dirumuskan:
Ŷ = 𝑏0 + 𝑏1𝑋1 + 𝑏2𝑋2 + …+ 𝑏𝑘𝑥𝑘 Keterangan:
Ŷ = Nilai predisi dari Y untuk nilai tertentu dari X X = Variabel bebas yang mempunyai nilai tertentu untuk diprediksikan
𝑏0 = Nilai konstanta harga Y jika X = 0
𝑏𝑘𝑥𝑘 = Nilai arah sebagai penentu prediksi yang menujukan nilai peningkatan atau nilai penurunan
variabel Y
Analisis Jalur (Path Analysis)
Analisis jalur digunakan untuk menganalisis pola hubungan di antara variabel. Analisis jalur
bertujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung antara variabel bebas terhadap
variabel terikat (Riduwan dan Kuncoro, 2008).
Teknik analisis jalur menguji besarnya kontribusi yang ditunjukan oleh koefisien jalur pada
setiap diagram jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antar variabel (Riduwan dan
Kuncoro, 2008). Koefisien jalur adalah bentuk analisis regresi linier terstruktur pada variabel yang
terstandar (Chun Li, 1975).
Pada dasarnya koefisien jalur (path) adalah koefisien regresi yang distandarkan yaitu
koefisien regresi yang dihitung dari bari data yang telah diset dalam angka baku atau Z-score (data yang diset dengan rata-rata = 0 dan standar deviasi = 1). Koefisien jalur yang distandarkan
(standardized path coefficient) ini digunakan untuk menjelaskan besarnya pegaruh variabel bebas
(eksogen) terhadap variabel lain yang diberlakukan sebagai variabel terikat (endogen).
Dalam analisis regresi menggunakan SPSS, koefisien path ditunjukan dengan nilai Beta pada
tabel Coefficient dalam kolom Standardized Coefficients. Jika dalam diagram jalur sederhana
10
mengandung satu unsur hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen, maka koefisien
path adalah sama dengan koefisien korelasi r sederhana.
Asumsi-asumsi dalam menggunakan Path Analysis menurut Sarjono dan Julianita (2011)
sebagai berikut:
1. Hubungan di antara variabel bersifat linier dan adaptif;
2. Data yang digunakan terdistribusi normal, valid, dan reliable;
3. Mempunyai hubungan satu tarah dan tidak berbalik (looping);
4. Variabel terikat setidaknya dalam skala ukur interval dan rasio;
5. Menggunakan sampel probability sampling, yaitu teknik pengambilan sampel untuk
memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota
sampel.
Model Persamaan Matematika
𝑌 = 𝜌𝑌𝑋𝑋+ 𝜌𝑦𝜀1 (1) Persamaan struktural 1
𝑍 = 𝜌𝑍𝑋𝑋+ 𝜌𝑍𝑌𝑌 + 𝜌𝑍𝜀2 (2) Persamaan struktural 2
Model Analisis Jalur
Berikut adalah model analisis jalur yang digunakan dalam penelitian:
Gambar 1 : Diagram Jalur Path
Sumber: Ilustrasi penulis, 2015
Keterangan:
BPD = Belanja Pemerintah Daerah
PPK = Pendapatan Per Kapita
KP = Ketimpangan Pendapatan
𝜌 = Koefisien jalur
𝜀 = Besarnya koefisien variabel lain di luar penelitian yang mempengaruhi
Langkah kerja analisis jalur secara garis besar sebagai berikut:
Menurut (Riduwan dan Kuncoro,2007) terdapat tahapan dalam melakukan analisis jalur
antara lain:
1. Merumuskan hipotesis dan persamaan struktural
2. Menghitung koefisien jalur didasarkan pada koefisisen regresi
a. Menghitung koefisien jalur simultan
b. Menghitung koefisien jalur secara parsial
c. Meringkas dan menyimpulkan
𝜌𝑌𝑋
𝜀1
𝜌𝑌
𝜀2
𝜌𝑍
𝜌𝑍𝑌 𝜌𝑍𝑋
BPD (X) PPK (Y)
KP (Z)
11
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Selanjutnya analisis akan mengunakan analisis jalur. Dalam analisis jalur estimasi dibagi
menjadi 2 sub-struktural. Setiap sub-struktural mempunyai variabel dependen dan variabel independen
yang berbeda. Hasil pengujian analisis path dari SPSS 17.0 sebagai berikut:
Gambar 2 : Diagram Jalur Path Lengkap Dengan Nilai Pengaruh
Sumber: Ilustrasi penulis, 2015
Berikut rangkuman hasil nilai koefisien jalur, pengaruh langsung dan tidak langsung, dan
pengaruh keseluruhan antar variabel yang dijelaskan pada tabel 3.
Tabel 3 : Rangkuman Nilai Koefisien Jalur, Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung, dan
Pengaruh Keseluruhan Antar Variabel
Variabel
Pengaruh Pengaruh Berdasarkan Koefisien
Determinan
Langsung Tidak Langsung Langsung Tidak Langsung
Sub-stuktural 1
X terhadap Y 0,973 - 94,6% -
Sub-struktural 2
X terhadap Z -0,592 0,838 -19,15% 70,27%
Y terhadap Z 0,941 - 34,35% -
Pengaruh variabel lain diluar penelitian
𝜺𝟏 0,232 - 5,4% -
𝜺𝟐 0,920 84,8%
Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2015
1. Pengaruh belanja pemerintah daerah (X) secara langsung mempengaruhi pendapatan per kapita
(Y) sebesar 0,973 atau 94,6%. Belanja pemerintah daerah signifikan mempengaruhi pendapatan
per kapita secara langsung dan mempunyai pengaruh positif.
2. Pengaruh belanja pemerintah daerah (X) secara langsung mempengaruhi ketimpangan pendapatan per kapita (Z) sebesar -0,592 atau -19,15%. Belanja pemerintah daerah tidak signifikan
mempengaruhi ketimpangan pendapatan secara langsung dan mempunyai pengaruh negatif.
Belanja pemerintah daerah (X) secara tidak langsung mempengaruhi ketimpangan pendapatan (Z)
melalui pendapatan per kapita (Y) sebesar 0,838 atau 70,27%.
BPD (X) PPK (Y)
𝜌𝑌𝑋 = 0,973
𝜀1=0,23
𝜌𝑌
KP (Z)
𝜀2=0,92
𝜌𝑍
𝜌𝑍𝑌 = 0,941 𝜌𝑍𝑋 = −0,592
12
3. Pengaruh pendapatan per kapita (Y) secara langsung mempengaruhi ketimpangan pendapatan (Z)
sebesar 0,941 atau 34,35%. Pendapatan per kapita tidak signifikan mempengaruhi ketimpangan
pendapatan secara langsung dan mempunyai konribusi negatif.
4. Besarnya pengaruh variabel lain (𝜀1) diluar variabel belanja pemerintah daerah (X) yang dapat
mempengaruhi pendapatan per kapita (Y) sebesar 0,232 atau 5,4%. Sedangkan besarnya pengaruh
variabel lain (𝜀2) diluar variabel belanja pemerintah daerah (X) dan pendapatan per kapita (Y)
yang dapat mempengaruhi ketimpangan pendapatan sebesar 84,8%.
Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah (X) Terhadap Pendapatan Per Kapita (Y)
Belanja pemerintah daerah secara langsung menunjukan pengaruh positif signifikan terhadap
pendapatan per kapita. Variasi perubahan belanja pemerintah daerah sangat kuat mempengaruhi
pendapatan per kapita. Hal ini memberikan penjelasan bahwa setiap kenaikan belanja pemerintah akan
meningkatkan tingkat pendapatan per kapita.
Hasil ini mendukung teori pengeluaran pemerintah Wagner yang mengatakan bahwa dalam
satu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran
pemerintah pun akan meningkat (Mangkoesoebroto, 1992). Artinya meningkatnya peran pemerintah
dalam kegiatan ekonomi disebabkan pemerintah harus mengatur masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat. Penelitian sebelumnya mendukung penelitian ini yang menjelaskan pengeluaran atau
belanja pemerintah secara signifikan dipengaruhi oleh variasi dalam PDRB per kapita (Sukartini dan
Saleh, 2012). Due dan Friedlaender (1984) menjelaskan pengeluaran pemerintah dalam perekonomian
berpengaruh terhadap sektor produksi, sektor distribusi, sektor konsumsi masyarakat, dan sektor
keseimbangan perekonomian.
Selama periode 2000-2013 belanja pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mengalami
peningkatan disetiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, realisasi
belanja pemerintah daerah pada tahun 2013 sebesar 38,29 triliun. Belanja pemerintah daerah pada
tahun 2013 mempunyai nilai nominal 11,24 kali dibandingkan tahun 2000. Sedangkan pada tahun
2012 kontribusi belanja pemerinah daerah terhadap PDRB DKI Jakarta sebesar 2,86 persen meningkat
menjadi 3 persen pada tahun 2013. Besarnya pengeluaran pemerintah DKI Jakarta dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan kontribusi belanja sebesar 6,62 persen terhadap PDRB DKI Jakarta.
Peran pemerintah daerah melalui pengeluaran pemerintah dapat merangsang peningkatan
investasi dan penyerapan angkatan kerja diharapkan mampu meningkatkan kegiatan ekonomi daerah
guna tercapainya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat (Rustiono,
2008).
Belanja pemerintah daerah DKI Jakarta mempunyai pengaruh langung terhadap peningkatan
pertumbuhan ekonomi melalui belanja yang disalurkan pada pendapatan sektor rumah tangga, sektor
perusahaan, dan sektor pemerintah. Belanja pemerintah yang dikeluarkan menjadi pendapatan bagi
sektor-sektor lainnya sehingga berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan per kapita di setiap
sektor tersebut.
Belanja terbesar pemerintah daerah DKI Jakarta pada tahun 2013 diantaranya belanja
pegawai, belanja barang, dan belanja modal. Belanja pegawai dipergunakankan untuk membayar gaji pegawai pemerintah daerah dengan realisasi belanja sebesar 12,02 triliun. Artinya pendapatan setiap
pegawi pemerintah dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan prilaku konsumsi mereka.
Sedangkan belanja barang dipergunakan untuk membiayai keperluan operasional pemerintah dengan
membeli barang atau jasa dari sektor perusahaan. Berdasarkan data Bank Indonesia (2014). belanja
modal DKI Jakarta dipergunakan untuk proyek konstruksi, pengadaan mesin dan alat (mesin pompa,
alat berat, alat kesehatan). Belanja pemerintah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui
penambahan pendapatan sektor rumah tangga maupun sektor perusahaan.
Pengaruh Pendapatan Per Kapita (Y) Terhadap Ketimpangan Pendapatan (Z)
Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh langsung antara pendapatan per
kapita dan ketimpangan pendapatan. Pendapatan per kapita mempunyai kontribusi jalur yang positif tidak signifikan terhadap perubahan ketimpangan pendapatan. Temuan ini memberikan indikasi bahwa
besarnya ketimpangan pendapatan ditentukan oleh faktor pendapatan per kapita salah satunya. Hasil
13
ini mendukung hipotesis kuznets yang menyatakan bahwa terdapat relasi antara tingkat ketimpangan
pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk U terbalik.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak dikelola dengan baik akan menciptakan jurang kesenjangan
pedapatan. Berdasarkan data BPS pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta pada tahun 2013 angka PDRB
per kapita atas dasar harga berlaku DKI Jakarta mencapai 125,97 juta. Angka tersebut mempunyai
nilai nominal 5,58 kali lebih besar dari tahun 2000 dengan tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah yang
berbeda.
Tabel 4 : PDRB Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2013
Lapangan Usaha Nilai (Miliar Rp) Struktur (Persen)
Pertanian 1004,23 0,08
Pertambangan dan Penggalian 5466,95 0,44
Industri Pengolahan 191337,11 15,23
Listrik Gas dan Air Bersih 11023,86 0,88
Konsruksi 140171,54 11,16
Perdagangan, Hotel dan Restoran 265127,74 21,11
Pengangkutan dan Komunikasi 131763,26 10,49
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 348546,44 27,75
Jasa-jasa 161444,66 12,85
Produk Domestik Regional Bruto 1255925,78 100,00 Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2014
Menurut Adisasmita (2014) peningkatan pendapatan per kapita tergantung pada potensi pembangunan riil berupa faktor-faktor produksi atau pada sektor unggulan yang dimiliki daerah
tersebut. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta (2015), 72,39 persen PDRB DKI Jakarta disokong oleh
sektor tersier (perdagangan, angkutan, keuangan, dan jasa). Sedangkan ditinjau dari kontribusi setiap
lapangan usaha terhadap PDRB DKI Jakarta, terdapat empat lapangan usaha yang memberikan
kontribusi terbesar terhadap PDRB Jakarta. Keempat lapangan usaha tersebut adalah lapangan usaha
keuangan, real estat dan jasa perusahaan, lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran, dan
lapangan usaha industri pengolahan. perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan kendaraan
bermotor, lapangan usaha industri pengolahan, lapangan usaha konstruksi, dan lapangan usaha Jasa
Keuangan. Total dari ketiga lapangan usaha bersebut memberikan kontribusi sebesar 64,09 persen
terhadap PDRB DKI Jakarta tahun 2013. Hal ini menunjukan struktur perekonomian DKI Jakarta
secara perlahan bergeser dari kelompok lapangan usaha sekunder ke kelompok lapangan usaha tersier.
Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,11 persen dalam lima tahun terakhir, membuat pendapatan per kapita terus meningkat di setiap tahunnya. Besarnya pendapatan per kapita
DKI Jakarta pada tahun 2013 sebesar 126,12 juta rupiah, tiga kali lebih besar dibandingkan pendapatan
per kapita nasional pada tahun yang sama.
Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang tinggi menimbulkan ketimpangan distribusi
pendapatan karena tidak memperhatikan apakah pertumbuhan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari
tingkat pertumbuhan penduduk. Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang tidak dikelola dengan baik
akan menciptakan jurang ketimpangan pendapatan.
Dibalik pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang positif terdapat masalah ketimpangan
pendapatan yang keadaanya terus memburuk. Gini Ratio DKI Jakarta pada tahun 2014 tercatat sebesar
0,436 artinya digolongkan ketimpangan sedang dan tertinggi dalam lima tahun terakhir (BPS DKI
Jakarta, 2015). Rasio gini tahun 2014 meningkat derastis dibandingkan tahun 2013 sebesar 0,364. Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta belum berkualitas karena hanya berfokus pada pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, sehingga ketimpangan pendapatan belum teratasi.
14
Belanja Pemerintah Daerah (X) Terhadap Ketimpangan Pendapatan (Z)
Belanja pemerintah daerah berpengaruh secara langsung terhadap perubahan ketimpangan
pendapatan mempunyai kontribusi jalur yang negatif tidak signifikan. Belanja pemerintah daerah
memiliki pengaruh tidak langsung terhadap ketimpangan pendapatan melalui pendapatan per kapita.
Pemerintah melalui kebijakan perpajakan dan pengeluaran mempunyai dampak atas distribusi
pendapatan (Due dan Friedlaender, 1984). Mankiw (2006) menambahkan kebijakan fiskal merupakan
pilihan-pilihan pemerintah mengenai tingkat pembelanjaan dan penerimaan pajak pemerintah secara
keseluruhan. Kebijakan fiskal sendiri dapat mempengaruhi tabungan, investasi, dan pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek dapat meningkatkan produksi barang
dan jasa.
Berdasarkan data Bank Indonesia pada tahun 2013 belanja pemerintah daerah DKI Jakarta banyak dialokasikan pada belanja barang, belanja pegawai, dan belanja modal. Salah satu fokus
realisasi belanja modal pemerintah daerah DKI Jakarta adalah program pencegahan banjir yang
mencakup proyek pengerukan serta konstruksi bantaran sungai, waduk, dan saluran air. Terjadi
peningkatan realisasi belanja untuk bantuan sosial dari 16 miliar pada tahun 2012 menjadi 1,04 triliun
pada tahun 2013. Peningkatan belanja bantuan sosial terkait dengan berbagai program yang
diluncurkan pemerintah daerah DKI Jakarta untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Realisasi belanja pemerintah daerah DKI Jakarta tahun 2013 pada triwulan I hingga III masih
rendah sebesar 23 persen (Bank Indonesia, 2014). Sedangkan realisasi belanja pemerintah meningkat
tajam sebesar 84,6 persen pada triwulan IV tahun 2013. Sejumlah inisiatif program dilakukan untuk
mengakselerasi penyerapan diantaranya adalah pemanfaatan teknologi untuk mendukung proses
pengadaan. Hasil penelitian menjelaskan belanja pemerintah daerah mempunyai konrtribusi jalur yang
negatif tidak signifikan. Hasil menjelaskan bahwa belanja pemerintah daerah DKI Jakarta lebih banyak
dialokasikan pada belanja operasional pemerintah dibandingkan belanja untuk pembangunan daerah.
Artinya biaya untuk mengoprasionalkan pemerintah masih tinggi sehingga alokasi belanja lainnya
menjadi berkurang. Rendahya penyerapan belanja pemerintah daerah DKI Jakarta hingga triwulan III
menyebabkan kegitan pemerintah tidak berjalan efektif. Pada triwulan IV pemerintah mengakselerasi
untuk meningkatkan penyerapan untuk mencapai target akhir tahun anggaran.
Porsi alokasi belanja operasional pemerintah yang tinggi dan realisasi belanja pemerintah
yang rendah pada triwulan I hingga III menyebabkan ketimpangan pendapatan DKI Jakarta belum
teratasi. Peningkatan belanja bantuan sosial bertujan untuk meningkatkan kesejahteraan namun
dampaknya belum bisa mengurangi ketimpangan pendapatan.
E. PENUTUP
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh belanja pemerintah daerah pada
pendapatan per kapita sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi yang
tinggi menimbulkan masalah ketimpangan pendapatan di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan pada hasil
analisis model analisis jalur dan pembahasan sebelumnya yang telah disajikan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pendapatan per kapita menunjukan pengaruh yang
besar. Variasi perubahan belanja pemerintah daerah memiliki dampak proporsional terhadap
perubahan pendapatan per kapita. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap adanya peningkatan
belanja pemerintah daerah akan meningkatkan pendapatan per kapita. Artinya adanya kenaikan pengeluaran pemerintah memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
2. Pengaruh pendapatan per kapita terhadap ketimpangan pendapatan menunjukan pengaruh yang
kecil. Variasi perubahan pendapatan per kapita memiliki dampak proporsional terhadap
ketimpangan pendapatan. Hal ini menjelaskan bahwa setiap adanya peningkatan pendapatan per
kapita akan meningkatkan ketimpangan pendapatan walaupun memiliki pengaruh yang kecil.
Artinya terdapat indikator lainnya selain pendapatan per kapita yang dapat mempengaruhi
ketimpangan pendapatan, sehingga pendapatan per kapita menjadi salah satu indikator yang
memiliki kontribusi pembentuk pertumbuhan ekonomi.
15
3. Pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap ketimpangan pendapatan menunjukkan pengaruh
yang kecil. Variasi perubahan belanja pemerintah daerah memiliki dampak kontradiktif terhadap
perubahan ketimpangan pendapatan. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap adanya peningkatan
belanja pemerintah daerah akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan. Artinya adanya
pengeluaran pemerintah akan mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan walaupun memiliki
pengaruh yang kecil. Sedangkan belanja pemerintah daerah dapat mempengaruhi kenaikan
ketimpangan pendapatan melalui pendapatan per kapita. Artinya setiap pengeluaran pemerintah
yang bersifat non-produktif berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan per kapita sehingga
menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga berfokus pada pertumbuhan yang cepat dan tidak
bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan.
Saran
Berdasarkan uraian kesimpulan diatas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut:
1. Bagi peneliti selanjutnya menambahkan waktu amatan dan lingkup penelitian lebih luas lagi.
Menggunakan metode analisis yang berbeda dalam menguji variabel-variabel yang diteliti.
2. Menjadi kajian untuk mengevaluasi belanja pemerintah dan kajian pertumbuhan ekonomi DKI
Jakarta. Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta belum berkualitas sehingga belum mampu
meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh. Pemerintah DKI Jakarta sebagai pemerintah
daerah diharapkan berperan untuk mengurangi jurang ketimpangan pendapatan dengan
mengupayakan program-program yang berdampak pada pengurangan tingkat ketimpangan
pendapatan masyarakat secara merata.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Raharjo. 2013. Teori-teori pembangunan ekonomi: pertumbuhan ekonomi dan
pertumbuhan wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Alma, Buchari., Kuncoro, E. Achmad., & Riduwan. 2008. Cara menggunakan dan memaknai analisis
jalur: Path Analysis. Bandung: Alfabeta.
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: BPSTIE-YKPN.
Badan Pusat Statistik. 2015. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Pengeluaran Provinsi DKI
Jakarta 2010-2014. Jakarta: BPS Provinsi DKI Jakarta. Bank Indonesia. 2014. Kajian Ekonomi Regional Provinsi DKI Jakarta triwulan IV Tahun 2013.
Jakarta: Bank Indonesia.
Berita Resmi Statistik. 2014. Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta Triwulan IV Tahun 2013. Jakarta:
BPS Provinsi DKI Jakarta.
Boediono. 1990. Seri synopsis pengantar ilmu ekonomi no. 2: Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE-
UGM.
Creswell, John W. & Fawaid, Akhmad. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatiif, Kuantitatif,
dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Basaha (Ed 4).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Due, John F., Friedlaender, Ann F., 1984. Keuangan Negara: Perekonomian Sektor Publik. Terjemahan oleh Ellen Gunawan dan Rudy Sitompul. Jakarta: Erlangga.
Jhingan, M.L. 2012. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Rajawali Pers.
Julianita, WInda. & Sarjono, Haryadi. 2011. SPSS vs LISREL Sebuah Pengantar, Aplikasi Untuk Riset.
Jakarta: Salemba Empat.
Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta:
AMP-YKPN.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan pembangunan daerah: reformasi, perencanaan, strategi, dan
peluang. Jakarta: Erlangga.
Kuznet, Simon. 1955. Economic Growth And Income Inequality. The American Economic Review.
Vol.45, (No.1) : 1-28.
Li, Ching Chun. 1975. Path Analysis: A Primer. Pacific Grove: Boxwood Press.
16
Lynn, Stuart R. 2003. Economic Development : Theory And Practice For A Divided World. New
Jersey: Prentice Hall
Mahyudi, Akhmad. 2004. Ekonomi pembangunan dan analisis data empiris. Bogor: Ghalia Indonesia.
Mangkusubroto, Guritno. 1991. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE-UGM
Mankiw, N. Gregory. 2012. Principles of Macroeconomics. (S.L.): South Western Cengage Learning.
Manurung, Mandala. & Raharja, Prathama. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi &
Makroekonomi). Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Musgrave, Peggy., Musgrave, Richard A., & Sirait, Alfonsus. 1991. Keuangan Negara dalam teori
dan praktek. Jakarta: Erlangga.
Pass, Christopher (et al). 1998. Kamus Lengkap Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Pelosi, Marilyn K. & Sandifer, Theresa M. 2003. Elementary Statistics: From Discovery To Decision. New York: John Wiley & Sons.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah. Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah. Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Jakarta.
Riduwan. 2006. Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta.
Sukartini, Ni Made. & Saleh, Samsubar. 2012. Pengujian Hukum Wagner dalam Perekonomian
Indonesia Kajian Pengeluaran Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Provinsi. Jurnal Bisnis dan
Ekonomi, Vol.19, (No.1) : 1-24 Suparmoko, M. 1987. Keuangan Negara: Dalam Teori Dan Praktek. Yogyakarta: BPFE
Todaro, Michael P. & Smith, Stephen C. 2011. Pembangunan Ekonomi: Edisi Kesebelas Jilid 1.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Tulsidharan, Sajikumar. 2006. Government Expenditure and Economic Growth in India (1960 to
2000). Finance India. Vol.20, (No.1) : 169-179.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta.
Widodo, Nyoto. 2012. Pertumbuhan Ekonomi Jakarta Berkualitas? Kelompok Kelas Menengah
Menggeliat? Jakarta: Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta.