67
PENGARUH BERAT MOLEKUL POLISTIREN (PS) TERHADAP PERMUKAAN QCM (QUARTZ CRYSTAL MICROBALANCE) HASIL MODIFIKASI DENGAN TEKNIK PLASMA NITROGEN SKRIPSI Oleh: Tyas Nurul Zafirah (135090300111023) JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

PENGARUH BERAT MOLEKUL POLISTIREN (PS) TERHADAP …repository.ub.ac.id/4769/1/Tyas Nurul Zafirah.pdf · 2020. 6. 2. · QCM dengan variasi berat molekul polistiren, yaitu 35.000 g/mol,

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • PENGARUH BERAT MOLEKUL POLISTIREN (PS)

    TERHADAP PERMUKAAN QCM (QUARTZ CRYSTAL

    MICROBALANCE) HASIL MODIFIKASI DENGAN TEKNIK

    PLASMA NITROGEN

    SKRIPSI

    Oleh:

    Tyas Nurul Zafirah

    (135090300111023)

    JURUSAN FISIKA

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

    ALAM

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • PENGARUH BERAT MOLEKUL POLISTIREN (PS)

    TERHADAP PERMUKAAN QCM (QUARTZ CRYSTAL

    MICROBALANCE) HASIL MODIFIKASI DENGAN TEKNIK

    PLASMA NITROGEN

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Sains dalam bidang Fisika

    Oleh:

    Tyas Nurul Zafirah

    (135090300111023)

    JURUSAN FISIKA

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

    ALAM

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

    PENGARUH BERAT MOLEKUL POLISTIREN (PS)

    TERHADAP PERMUKAAN QCM (QUARTZ CRYSTAL

    MICROBALANCE) HASIL MODIFIKASI DENGAN

    TEKNIK PLASMA NITROGEN

    Oleh:

    Tyas Nurul Zafirah

    135090300111023

    Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji

    Pada tanggal ………………….

    Dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Sains dalam bidang fisika

    Pembimbing I

    Dr.Eng. Masruroh, S.Si., M.Si

    NIP. 19751231.200212.2.002

    Pembimbing II

    Dr.Ing. Setyawan P Sakti, M.Eng

    NIP. 19650825.199002.1.001

    Mengetahui,

    Ketua Jurusan Fisika

    Fakultas MIPA Universitas Brawijaya

    Prof. Dr.rer. nat. Muhammad Nurhuda

    NIP.19640910.199002.1.001

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : TYAS NURUL ZAFIRAH

    NIM : 135090300111023

    Jurusan : FISIKA

    Penulisan Skripsi berjudul:

    PENGARUH BERAT MOLEKUL POLISTIREN (PS)

    TERHADAP PERMUKAAN QCM (QUARTZ CRYSTAL

    MICROBALANCE) HASIL MODIFIKASI DENGAN

    TEKNIK PLASMA NITROGEN

    Dengan ini menyatakan bahwa:

    1. Isi dari Skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya sendiri dan tidak menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termaktub di isi dan tertulis di daftar pustaka dan Tugas Akhir ini.

    2. Apabila dikemudian hari ternyata Skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan, maka saya akan bersedia menanggung resiko yang akan saya terima.

    Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.

    Malang, 9 Agustus 2017

    Yang menyatakan

    (Tyas Nurul Zafirah)

    NIM. 135090300111023

  • PENGARUH BERAT MOLEKUL POLISTIREN (PS)

    TERHADAP PERMUKAAN QCM (QUARTZ CRYSTAL

    MICROBALANCE) HASIL MODIFIKASI DENGAN TEKNIK

    PLASMA NITROGEN

    ABSTRAK

    Pada penelitian ini dilakukan pengamatan pada permukaan QCM dengan variasi berat molekul polistiren, yaitu 35.000 g/mol,

    192.000 g/mol, dan 280.000 g/mol yang kemudian diberi perlakuan

    plasma nitrogen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh berat molekul polistiren yang dideposisikan pada

    permukaan QCM hasil modifikasi plasma nitrogen terhadap

    kekasaran, tingkat kebasahan, dan kemampuannya dalam imobilisasi Salmonella enteriditis, serta mengetahui akibat perlakuan plasma

    nitrogen terhadap pembentukan gugus fungsi baru. Lapisan tipis

    polistiren dideposisikan dengan teknik spin coating dan kemudian

    diberi perlakuan plasma nitrogen selama 2 menit, daya 40 Watt, tekanan 0.3 Torr, dan laju alir gas nitrogen 20 mL/menit.

    Karakterisasi yang dilakukan menggunakan mikroskop optik, TMS-

    1200 Polytech TopMap-µLab, contact angle measurement, FTIR, dan seperangkat alat uji imobilisasi. Hasil karakterisasi menunjukkan

    nilai kekasaran dan tingkat kebasahan akan mengalami peningkatan

    sebanding dengan kenaikan berat molekul polistiren, adapun untuk kemampuannya dalam imobilisasi Salmonella enteriditis

    menunjukkan bahwa QCM/PS yang telah diberi perlakuan plasma

    memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan QCM/PS tanpa

    perlakuan plasma. Penambahan berat molekul polistiren meningkatkan kemampuannya dalam imobilisasi Salmonella

    enteriditis. Akibat adanya perlakuan plasma nitrogen menyebabkan

    penurunan nilai kekasaran dan tingkat kebasahan, serta terbentuknya gugus fungsi C≡N, dengan intensitas absorbsi yang semakin besar

    sebanding dengan peningkatan berat molekul polistiren.

    Kata Kunci : Polistiren, Berat Molekul, Kekasaran, Tingkat

    Kebasahan, FTIR, Imobilisasi, Plasma Nitrogen

  • THE EFFECT OF POLYSTYRENE (PS) MOLECULAR

    WEIGHT ON THE QCM (QUARTZ CRYSTAL

    MICROBALANCE) SURFACE TREATED WITH NITROGEN

    PLASMA

    ABSTRACT

    On this research, observations on QCM surface were made with variation of polystyrene molecular weight, are 35.000 g/mol, 192.000

    g/mol, and 280.000 g/mol, then treated with nitrogen plasma. The

    purpose of this research is to know the effect of polystyrene molecular weight deposited on the surface QCM (Quartz Crystal

    Microbalance) treated with nitrogen plasma to its roughness,

    wettability, its ability to immobilize Salmonella enteriditis, and the effect of nitrogen plasma treatment on the formation of new

    functional groups. A thin layer of polystyrene deposited with spin

    coating technique and then treated with nitrogen plasma for 2

    minutes, power 40 Watt, pressure 0.3 Torr, and nitrogen gas flow rate 20 mL/min. The characterizations of polystyrene surface (PS)

    performed using optical microscope, TMS-1200 Polytech TopMap-

    µLab, contact angle measurement, FTIR, and immobilization test kit. The characterization results show the roughness and wettability

    increased due to the increase in polystyrene molecular weight.

    QCM/PS treated with plasma nitrogen provides better results on immobilization Salmonella enteriditis than QCM/PS without plasma

    treatment. The increasing of polystyrene molecular weight increases

    its ability in immobilizing Salmonella enteriditis. Due to nitrogen

    plasma treatment causes a decrease in the value of roughness and wettability, as well as the formation of C≡N functional group, which

    is increasing absorption intensity is proportional to the increase in

    polystyrene molecular weight.

    Keywords : Polystyrene, Molecular Weight, Roughness,

    Wettability, FTIR, Immobilization, Nitrogen Plasma

  • Kata Pengantar

    Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat

    dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang dilaksanakan di Laboratorium Material Maju dan Plasma serta

    Laboratorium Teknologi Sensor Jurusan Fisika, Laboratorium

    Analisis Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

    Alam, Universitas Brawijaya. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat

    beliau.

    Skripsi ini disusun untuk memberikan informasi mengenai

    penelitian yang berjudul “Pengaruh Berat Molekul Polistiren (PS)

    Terhadap Permukaan QCM (Quartz Crystal Microbalance) Hasil Modifikasi Dengan Teknik Plasma Nitrogen”. Serangkaian

    penelitian tersebut dilaksanakan bulan Desember 2016 sampai

    selesai. Penelitian ini didanai oleh hibah desentralisasi Penelitian

    Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT) No: 137/SP2H/LT/DPRM/III/2016 dan RISTEK DIKTI melalui LPPM

    UB.

    Selama proses pembuatan skripsi ini, penulis mendapatkan

    dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Tanpa bantuan tersebut,

    penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada :

    1. Ayah dan Mama tercinta (Yuli Giswantoro dan almh Rika Zubainar) yang telah membesarkan, menyayangi,

    mendorong dan membantu penulis selama ini.

    2. Adikku Hapsari Mahdiyatul Karomah dan Muhammad Hidayatullah Khalafi atas semangat, hiburan, dan motivasinya bagi penulis.

    3. Bapak Prof. Dr.rer.nat Muhammad Nurhuda selaku Ketua Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Brawijaya yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk

    melaksanakan tugas akhir.

    4. Ibu Dr.Eng. Masruroh S.Si., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

  • 5. Bapak Dr. Ing. Setyawan Purnomo Sakti, M.Eng selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan

    arahan kepada penulis. 6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen atas segala ilmu dan

    bimbingan yang telah diberikan.

    7. Seluruh laboran beserta jajaran Staff Jurusan Fisika Universitas Brawijaya atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

    8. Sahabat-sahabatku, Sri Ageng Sukowati dan Rani Fitri Kusumawardhani yang selalu memberikan dukungan, bantuan, dan motivasi bagi penulis selama penulisan skripsi

    ini.

    9. Rekan sekelompok penelitian Agnesya Ayu Febriani yang telah berjuang bersama-sama selama proses penelitian

    hingga penulisan skripsi ini.

    10. Teman-teman satu bimbingan penelitian (Mbak Lela, Daniel, Rudi, Somad, Haris, Bintang, Fahmi, dan Bintang Muslim) yang telah berjuang bersama-sama menyelesaikan penelitian

    ini.

    11. Rekan-rekan Penelitian ASMAT (Mbak Nur, Mbak Sukma, Mbak Nike, Mas Ridha, dan Mas Imran) atas bantuan dan

    bimbingannya selama ini.

    12. Teman-teman fisika angkatan 2013 atas dukungan serta pertemanan kita selama ini.

    13. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

    Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena

    itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

    penulis agar lebih baik lagi selanjutnya.

    Malang, 18 Juli 2017

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .......................................... 3

    LEMBAR PERNYATAAN........................................................... 5

    ABSTRAK .................................................................................... 7

    ABSTRACT .................................................................................. 9 Kata Pengantar ........................................................................... 11

    DAFTAR ISI ............................................................................... 13

    DAFTAR GAMBAR ................................................................... 15 DAFTAR TABEL ....................................................................... 17

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... 19

    BAB I PENDAHULUAN ............... Error! Bookmark not defined. 1.1. Latar Belakang ....................Error! Bookmark not defined.

    1.2. Rumusan Masalah ...............Error! Bookmark not defined.

    1.3. Batasan Masalah ..................Error! Bookmark not defined.

    1.4. Tujuan Penelitian.................Error! Bookmark not defined. 1.5. Manfaat Penelitian ...............Error! Bookmark not defined.

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA .... Error! Bookmark not defined. 2.1. QCM (Quartz Crystal Microbalance)Error! Bookmark not defined. 2.2. Karakteristik Polistiren ........Error! Bookmark not defined.

    2.3. Metode Deposisi Lapisan Tipis Dengan Teknik Spin

    Coating ...............................Error! Bookmark not defined. 2.4. Plasma Nitrogen ..................Error! Bookmark not defined.

    2.5. Interaksi Antara Plasma Dengan Permukaan PolimerError! Bookmark not defined.

    2.6. Teknik Imobilisasi Sel .........Error! Bookmark not defined.

    2.7. Teknik Pengukuran Sudut Kontak (Contact Angle)Error! Bookmark not defined. 2.8. Uji Kekasaran Permukaan....Error! Bookmark not defined.

    2.9 FTIR (Fourier Transform Infrared)Error! Bookmark not defined.

    BAB III METODE PENELITIAN Error! Bookmark not defined. 3.1. Waktu dan Tempat PelaksanaanError! Bookmark not defined.

    3.2. Alat dan Bahan ....................Error! Bookmark not defined.

    3.3. Tahapan Penelitian ..............Error! Bookmark not defined.

    3.3.1. Persiapan Sampel ......... Error! Bookmark not defined. 3.3.2. Pembuatan Larutan ...... Error! Bookmark not defined.

    3.3.4. Karakterisasi QCM Sebelum Plasma Treatment . Error!

    Bookmark not defined. 3.3.5. Modifikasi Permukaan dengan Plasma Nitrogen . Error!

    Bookmark not defined.

  • 3.3.6 Karakterisasi QCM Setelah Plasma Treatment .... Error!

    Bookmark not defined. 3.3.7 Pengukuran Kemampuan Imobilisasi QCM ......... Error!

    Bookmark not defined. 3.3.8 Pengujian Pembentukan Gugus Fungsi dengan FTIR

    Error! Bookmark not defined.

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN....... Error! Bookmark not defined.

    4.1. Pengaruh Berat Molekul Polistiren Terhadap Nilai

    Kekasaran (Roughness) QCM Hasil Modifikasi Plasma Nitrogen .............................. Error! Bookmark not defined.

    4.2. Pengaruh Berat Molekul Polistiren Terhadap Sifat

    Hidrofobisitas QCM Hasil Modifikasi Plasma NitrogenError! Bookmark not defined. 4.3. Pengaruh Modifikasi Plasma Nitrogen Terhadap

    Pembentukan Ikatan Kimia di Permukaan QCMError! Bookmark not defined.

    4.4. Hasil Imobilisasi Salmonella enteriditis Pada QCMError! Bookmark not defined.

    BAB V PENUTUP ......................... Error! Bookmark not defined. 5.1. Kesimpulan ......................... Error! Bookmark not defined.

    5.2. Saran ................................... Error! Bookmark not defined.

    DAFTAR PUSTAKA ..................... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN ................................... Error! Bookmark not defined.

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2. 1 Penampang QCM dengan elektroda perakError! Bookmark not defined. Gambar 2. 2 Efek piezoelektrik akibat (a) pemberian medan

    listrik, (b) perlakuan mekanikError! Bookmark not defined. Gambar 2. 3 Struktur Kimia PolstirenError! Bookmark not defined. Gambar 2. 4 Tahapan deposisi lapisan tipis dengan metode

    spin coating (a) deposisi, (b) spin-up, (c) spin-off,

    (d) evaporasi ...........Error! Bookmark not defined. Gambar 2. 5 Modifikasi Permukaan Polimer Dengan Plasma

    (a) Pembentukan Grup Fungsionalisasi,(b)

    Mempengaruhi Kekasaran Permukaan,(c)

    Pembentukan Crosslink, (d)Graft Polymerization, (e)Coating Lapisan TipisError! Bookmark not defined.

    Gambar 2. 6 Berbagai Metode ImobilisasiError! Bookmark not defined. Gambar 2. 7 Berbagai sudut θ yang dapat terbentuk antara

    liquid dengan permukaan targetError! Bookmark not defined. Gambar 2. 8 Kekasaran rata-rata RaError! Bookmark not defined. Gambar 2. 9 Interferometer dengan sumber cahaya putihError! Bookmark not defined. Gambar 2. 10 Pembagian Daerah Inframerah Berdasarkan

    Panjang Gelombang Error! Bookmark not defined. Gambar 2. 11 Spektrum Inframerah dalam mode (a) Absorbsi,

    (b) Transmitansi ......Error! Bookmark not defined. Gambar 2. 12 Macam-Macam Vibrasi Pada Molekul

    Poliatomik (a)Stretching Vibration, (b)Bending

    Vibration .................Error! Bookmark not defined.

    Gambar 3. 1 Diagram alir proses pembuatan larutan polistirenError! Bookmark not defined. Gambar 3. 2 Diagram alir proses deposisi polistiren diatas

    QCM .......................Error! Bookmark not defined. Gambar 3. 3 Diagram Alir Karakterisasi Sebelum Plasma

    Treatment ................Error! Bookmark not defined. Gambar 3. 4 Diagram Alir Proses Modifikasi Dengan Plasma

    Nitrogen ..................Error! Bookmark not defined. Gambar 3. 5 Diagram Alir Karakterisasi Setelah Plasma

    Treatment ................Error! Bookmark not defined.

    Gambar 4. 1 Grafik Nilai Kekasaran Polistiren Sebelum dan

    Sesudah Perlakuan PlasmaError! Bookmark not defined. Gambar 4. 2 Morfologi permukaan Polistiren sebelum

    perlakuan plasma.....Error! Bookmark not defined.

  • Gambar 4. 3 Morfologi permukaan Polistiren setelah

    perlakuan plasma .... Error! Bookmark not defined. Gambar 4. 4 Perbandingan Spektra FTIR Antara Polistiren

    Tanpa Perlakuan Plasma (warna merah) Dengan

    Setelah Plasma (warna biru)Error! Bookmark not defined. Gambar 4. 5 Perbandingan Intensitas Gugus Fungsi Nitril

    Pada Polistiren 35.000 g/mol (ungu), 192.000 g/mol (hijau), 280.000 g/mol (merah) Hasil

    Modifikasi Plasma NitrogenError! Bookmark not defined. Gambar 4. 6 Grafik Perubahan Frekuensi Terhadap Waktu

    Untuk Imobilisasi Antigen 0.1212 ppm Pada

    QCM Tanpa Perlakuan PlasmaError! Bookmark not defined. Gambar 4. 7 Grafik Perubahan Frekuensi Terhadap

    WaktuUntuk Imobilisasi Antigen 0.1212 ppm

    Pada QCM Setelah Perlakuan PlasmaError! Bookmark not defined. Gambar 4. 8 Grafik Perbandingan Perubahan Frekuensi Pada

    Konsentrasi Antigen 0.1212 ppmError! Bookmark not defined. Gambar 4. 9 Grafik Perbandingan Perubahan Frekuensi Pada

    Konsentrasi Antigen 0.2424 ppmError! Bookmark not defined. Gambar 4. 10 Grafik Perbandingan Perubahan Frekuensi Pada

    Konsentrasi Antigen 0.3636 ppmError! Bookmark not defined. Gambar 4. 11 Grafik Perbandingan Perubahan FrekuensiError! Bookmark not defined.

  • DAFTAR TABEL

    Tabel 4. 1 Tabel Perbandingan Perbedaan Kekasaran Polistiren Sebelum dan Sesudah Perlakuan PlasmaError! Bookmark not defined.

    Tabel 4. 2 Perbedaan Sudut Kontak Masing-Masing Berat

    Molekul Polistiren Sebelum dan Sesudah Perlakuan

    Plasma .........................Error! Bookmark not defined. Tabel 4. 3 Gugus Fungsi yang Terbentuk Pada Permukaan

    QCM/PS ......................Error! Bookmark not defined. Tabel 4. 4 Intensitas Nitril yang Terbentuk Setelah Perlakuan

    Plasma .........................Error! Bookmark not defined. Tabel 4. 5 Tabel Perbandingan Perubahan Frekuensi dalam

    Imobilisasi Salmonella enteritidisError! Bookmark not defined.

  • DAFTAR LAMPIRAN

    LAMPIRAN A Data Kekasaran PolistirenError! Bookmark not defined. Lampiran A. 1 Data Kekasaran Polistiren Sebelum

    Perlakuan Plasma NitrogenError! Bookmark not defined. Lampiran A. 2 Data Kekasaran Polistiren Sebelum

    Perlakuan Plasma NitrogenError! Bookmark not defined. LAMPIRAN B Sudut Kontak PolistirenError! Bookmark not defined.

    Lampiran B. 1 Sudut Kontak Polistiren Sebelum Perlakuan

    Plasma NitrogenError! Bookmark not defined. No table of figures entries found.Lampiran B. 2 Sudut Kontak Polistiren Setelah Perlakuan Plasma Nitrogen Error! Bookmark not defined.

    No table of figures entries found. LAMPIRAN C Hasil Imobilisasi Salmonella enteritidisError! Bookmark not defined.

    No table of figures entries found. LAMPIRAN D Hasil FTIR (Fourier Transform Infrared)Error! Bookmark not defined.

    Gambar D. 1 Perbandingan Spektra FTIR Antara

    Polistiren 35.000 g/mol Tanpa Plasma (warna merah) dengan Setelah Perlakuan

    Plasma (warna biru)Error! Bookmark not defined. Gambar D. 2 Perbandingan Spektra FTIR Antara

    Polistiren 192.000 g/mol Tanpa Plasma

    (warna merah) dengan Setelah Perlakuan

    Plasma (warna biru)Error! Bookmark not defined. Gambar D. 3 Perbandingan Spektra FTIR Antara

    Polistiren 280.000 g/mol Tanpa Plasma

    (warna merah) dengan Setelah Perlakuan

    Plasma (warna biru)Error! Bookmark not defined. Tabel D. 1 Frekuensi Absorbsi Beberapa MolekulError! Bookmark not defined.

    LAMPIRAN E Gambar Alat ........... Error! Bookmark not defined. Gambar E. 1 Vacuum Spin CoaterError! Bookmark not

    defined. Gambar E. 2 Ultrasonic Cleaner Error! Bookmark not defined. Gambar E. 3 Contact Angle MeasurementError! Bookmark not

    defined. Gambar E. 4 Frekuensi Counter Error! Bookmark not defined. Gambar E. 5 TMS 1200 Polytech TopMap-μLab ............. Error!

    Bookmark not defined. Gambar E. 6 Plasma Nitrogen dan Tabung Gas Nitrogen . Error!

    Bookmark not defined. Gambar E. 7 Generator Plasma .. Error! Bookmark not defined.

  • Gambar E. 8 Mikroskop Optik .. Error! Bookmark not defined.

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    QCM (Quartz Crystal Microbalance) adalah kristal kuarsa AT-

    Cut dimana kedua sisinya dilapisi oleh elektroda yang bekerja

    dengan memanfaatkan prinsip piezoelektrik. Artinya setiap

    perubahan massa yang terjadi dapat terdeteksi, ditandai dengan

    adanya perubahan frekuensi. QCM banyak digunakan dalam bidang

    sensor mulai tahun 1959 sejak Sauerbrey berhasil menemukan

    hubungan antara perubahan resonansi frekuensi dengan perubahan

    densitas massa pada bagian permukaan sensornya. Secara teoritis,

    perubahan massa akan sebanding dengan kuadrat frekuensi resonansi

    (Montagut dkk., 2008).

    Polistiren terbentuk dari kumpulan monomer stiren yang

    memiliki rantai hidrokarbon panjang dengan gugus fenil yang

    menempel pada atom karbonnya dan dilambangakan dengan rumus

    kimia C8H8 (Gray 2011). Deposisi polistiren pada permukaan QCM

    menimbulkan interaksi berupa adsorpsi yang dapat dimanfaatkan

    untuk imobilisasi antigen atau antibodi serta dapat menghindari

    terjadinya oksidasi pada elektroda QCM. Proses deposisi polistiren

    ini tidak menyebabkan QCM damping (Sakti et.al, 2000). Polistiren

    memiliki berat molekul dan derajat polimerisasi yang bervariasi

    (Ghosh 2006), adapun variasi berat molekul yang digunakan pada

    deposisi QCM, ternyata memberikan dampak terhadap kekasaran

    permukaan dan hidrofobisitas. Semakin besar berat molekul

    polistiren yang digunakan maka permukaan yang dihasilkan akan

    semakin hidrofobik (Sakti dkk., 2017).

    QCM dalam perannya sebagai biosensor berkaitan erat dengan

    kemampuannya dalam mengikat (immobile) biomolekul maupun

    mikroorganisme. Menurut Sakti & Santjojo (2012), perbedaan teknik

    pelapisan polistiren pada QCM akan mempengaruhi jumlah

    biomolekul yang berhasil diikat dan dideteksi. Penumbuhan

    polistiren dengan teknik air brush menujukkan hasil yang lebih baik

    dibandingkan dengan teknik spin coating. Masruroh dkk., (2014)

    melakukan variasi jenis pelarut yang digunakan untuk melarutkan

    polistiren. Diantara beberapa pelarut yang digunakan yakni toluene,

  • 2

    chloroform, xylene, dan THF (Tetrahydrofuran) diperoleh hasil

    bahwa, dengan pelarut chloroform imobilisasi biomolekul pada

    permukaan QCM menunjukkan hasil yang lebih siginifikan, adapun

    imobilisasi biomolekul yang telah dilakukan yaitu pada protein BSA

    (Bovine Serum Albumin). Interaksi yang terjadi berupa adsorpsi

    fisika (Sakti & Santjojo 2012). Tetapi interaksi tersebut relatif lemah

    sehingga memungkinkan terjadinya desorpsi (Brena dkk., 2013),

    yaitu pelepasan biomolekul tersebut dari permukaan QCM sehingga

    biomolekul tersebut berubah menjadi gas. Oleh karena itu, dilakukan

    modifikasi permukaan dengan radiasi UV. Ternyata, diperoleh hasil

    bahwa terbentuk suatu gugus karbonil dan hidroksil yang bersifat

    polar (Sakti dkk., 2017). Adanya gugus-gugus tersebut sebagai efek

    dari modifikasi polistiren (polimer) diharapkan mampu mengikat

    biomolekul/mikroorganisme dengan reaksi berupa ikatan kovalen,

    dimana teknik tersebut bersifat stabil (Brena dkk., 2013).

    Modifikasi permukaan polimer menggunakan plasma

    merupakan salah satu cara paling efektif. Hal ini dikarenakan,

    plasma dapat memodifikasi sifat fisika dan sifat kimia dari

    permukaan tanpa mempengaruhi karakter polimer secara

    keseluruhan. Selain itu, metode ini juga membutuhkan waktu

    treatment yang lebih pendek dibandingkan dengan metode

    modifikasi permukaan lainnya. Ketika plasma dipaparkan pada

    permukaan polimer, maka akan terbentuk fungsionalisasi grup, graft

    polymerization, coating, dan pembentukan crosslink molekul.

    Pembentukan tersebut dapat mempengaruhi dan sebagian lainnya

    tidak mempengaruhi kekasaran dari polimer (Yoshida dkk., 2013).

    Untuk membuktikan terbentuknya berbagai fenomena kimiawi

    tersebut maka perlu dilakukan pengujian FTIR (Fourier Transform

    Infrared). FTIR merupakan salah satu instrument yang menggunakan

    prinsip spektroskopi yang berguna untuk identifikasi senyawa

    organik karena spektrumnya yang sangat kompleks yang terdiri dari

    puncak-puncak. Dan masing-masing kelompok fungsional menyerap

    sinar inframerah pada frekuensi yang unik (Silviyah dkk., 2003).

  • 3

    1.2. Rumusan Masalah

    Pada penelitian ini rumusan masalah yang akan dipaparkan

    sebagai berikut :

    1) Bagaimana pengaruh berat molekul polistiren terhadap nilai kekasaran (roughness) permukaan QCM yang

    telah dipaparkan plasma nitrogen ?

    2) Bagaimana pengaruh berat molekul polistiren terhadap sifat hidrofobisitas dan tingkat kebasahan QCM yang

    telah dipaparkan plasma nitrogen ?

    3) Bagaimana pengaruh metode plasma nitrogen terhadap terbentuknya ikatan kimia pada permukaan QCM ?

    4) Bagaimana efisiensi QCM dalam imobilisasi Salmonella enteriditis akibat adanya variasi berat

    molekul polistiren dan perlakuan plasma nitrogen ?

    1.3. Batasan Masalah

    Guna mempersempit fokus pembahasan, maka ditetapkan

    batasan-batasan masalah sebagai berikut :

    1) Polistiren dilarutkan dalam pelarut kloroform. 2) Konsentrasi Polistiren sebesar 3%. 3) Dalam proses plasma nitrogen, dilakukan pemaparan

    selama 2 menit dengan daya 40 Watt, tekanan 0.3 Torr

    dan laju alir 20 mL/menit.

    4) Pada Proses imobilisasi, digunakan TrisCl 1M sebanyak 70 µL dan antigen Salmonella enteriditis sebanyak 30

    µL.

    1.4. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan

    sebelumnya maka, tujuan dari penelitian ini adalah :

    1) Mengetahui bagaimana pengaruh berat molekul polistiren terhadap nilai kekasaran (roughness)

    permukaan QCM yang telah dipaparkan plasma

    nitrogen.

    2) Mengetahui bagaimana pengaruh berat molekul polistiren terhadap sifat hidrofobisitas QCM yang telah

    dipaparkan plasma nitrogen.

  • 4

    3) Mengetahui bagaimana pengaruh metode plasma nitrogen terhadap terbentuknya ikatan kimia pada

    permukaan QCM.

    4) Mengetahui bagaimana efisiensi QCM dalam imobilisasi Salmonella enteriditis akibat adanya variasi

    berat molekul polistiren dan perlakuan plasma nitrogen.

    1.5. Manfaat Penelitian

    Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mendukung penelitian

    mengenai QCM sebagai biosensor terutama dalam hal modifikasi

    permukaan berbasis teknologi plasma guna meningkatkan

    kemampuannya dalam imobilisasi biomolekul.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. QCM (Quartz Crystal Microbalance)

    Quartz Crystal Microbalance (QCM) adalah sensor massa yang

    mampu mendeteksi perubahan massa hingga orde nanogram (10-9

    gram) (Chen 2015) yang memanfaatkan prinsip piezoelektrik dan ditemukan pertama kali oleh Curie bersaudara pada tahun 1880-an

    (Ferreira dkk., 2009). Selain itu, QCM dapat disebut juga sebagai

    resonator thickness shear mode (TSM) dimana pada kedua sisinya terdapat elektroda dari emas atau perak (Llanes dkk., 2006). Pada

    tahun 1950-an, Sauerbrey merupakan orang pertama yang berhasil

    merumuskan hubungan antara perubahan massa pada permukaan QCM dengan perubahan frekuensi osilasi, yang kemudian disebut

    sebagai persamaan Sauerbrey (Liu & Schutzer 2010). Untuk

    memperoleh QCM dilakukan dengan cara memotong mineral kuarsa

    pada sudut potong tertentu, yakni pada sudut 35.25o

    sehingga disebut juga sebagai kristal AT-Cut (Ferreira dkk., 2009).

    Gambar 2. 1 Penampang QCM dengan elektroda perak

    Efek piezoelektrik didefinisikan sebagai timbulnya momen dipol listrik pada permukaan zat padat setelah pemberian perlakuan

    mekanik (Gambar 2.2.b) atau adanya strain yang diakibatkan

    karena pemberian medan listrik (Gambar 2.2.a). Deformasi elastis (strain) yang diikuti dengan timbulnya momen dipol merambat

    sebagai gelombang. Dengan besar gelombang yang timbul berupa

    gelombang akustik dengan frekuensi antara 10-2

    sampai 1014

    Hz

    (Meliyadi,2014). Yang kemudian pada QCM, besar frekuensi gelombang tersebut menunjukkan jumlah massa biomolekul yang

    berhasil di imobilisasi.

    Elektroda perak Kristal Kuarsa

  • Gambar 2. 2 Efek piezoelektrik akibat (a) pemberian medan listrik, (b) perlakuan mekanik (Zhu 2010)

    Ketika QCM digunakan sebagai biosensor maka akan terjadi pembebanan massa (mass loading) pada permukaan QCM.

    Akibatnya, terjadi perubahan frekuensi resonansi QCM. Dengan

    menggunakan persamaan Sauerbrey berikut, maka banyaknya massa yang berhasil terperangkap pada QCM dapat diketahui.

    ………… (2. 1)

    Perubahan frekuensi QCM , adalah frekuensi awal sebelum terjadinya mass loading, merupakan massa jenis kuarsa (2.648

    g/cm3), adalah nilai modulus geser kuarsa (2.947 x 10

    11 g/cm

    2s

    2),

    A adalah luas permukaan, dan menunjukkan jumlah massa yang terdeposisi pada sensor QCM (Bai & Huang 2016). Persamaan ini digunakan dengan asumsi bahwa massa tersebut dianggap seperti

    material kaca (Sakti & Santjojo 2012).

    2.2. Karakteristik Polistiren

    Polistiren terbentuk dari kumpulan monomer styrene yang

    memiliki rantai hidrokarbon panjang dengan gugus fenil yang

    menempel pada atom karbonnya dan dilambangakan dengan rumus

    kimia C8H8 (Gray 2011). Adanya rantai panjang tersebut terikat dengan ikatan primer berupa ikatan kovalen yang membentuk cross-

    link antar cincin-cincinnya dan ikatan sekunder berupa ikatan

    +

    Voltage

    -

    +

    Charge

    -

    Force

    ↓ P

    ↓ P L

    T

    ↓ P

    ↓ P ∆L T-∆T

  • hidrogen dan/atau gaya Van der Waals (Park & Bronzino, 2003).

    Adapun sifat-sifat fisika yang dimiliki polystyrene yaitu :

    Konstanta dielektrik : 2.4 – 2.7

    Konduktivitas termal : 0.08 W/(m.K)

    Modulus Young : 3000 – 6000 MPa

    Kekuatan tarik (tensile strength) : 46-60 Mpa (Gray 2011)

    Gambar 2. 3 Struktur Kimia Polstiren

    Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi sifat fisis dari

    polistiren adalah berat molekul. Peningkatan berat molekul akan menghasilkan sifat yang lebih rigid dan kuat. Akan tetapi, akan

    semakin menyulitkan dalam pengaplikasiannya. Berat molekul rata-

    rata (Mw) dari polistiren yang banyak digunakan berkisar antara

    150.000 - 400.000 (Anonim 1995). Polistiren merupakan polimer yang banyak digunakan dalam

    kehidupan. Secara umum, polimer merupakan campuran dari

    molekul-molekul yang memiliki struktur kimia dan komposisi yang sama atau hampir sama, tetapi dengan derajat polimerisasi atau berat

    molekul yang berbeda (Ghosh 2006). Panjang rantai dari suatu

    polimer dalam satu grup yang sama akan bervariasi. Sehingga

    metode yang umum digunakan untuk mengkarakterisasi polimer tersbut menggunakan berat molekul rata-ratanya. Terdapat dua

    metode yang dapat digunakan yaitu number-average (Mn) atau berat

    rata-rata (Mw).

    …………(2. 2) …………(2. 3)

    Mi = berat molekul rata-rata pada range i

    xi = Fraksi total jumlah rantai polimer pada range i wi = Fraksi berat molekul pada range i

  • 2.3. Metode Deposisi Lapisan Tipis Dengan Teknik Spin Coating

    Berbagai teknologi lapisan tipis telah banyak digunakan dalam

    rangka fungsionalisasi resonator pada QCM, sebagai contoh yakni

    metode spin coating dan Langmuir-Blodgett (LB) Film Preparation. Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan lapisan tipis yang

    seragam dan homogen, sehingga mendukung fungsi dari QCM

    sebagai biosensor (Llanes dkk., 2006).

    Spin coating merupakan teknik pembentukan lapisan tipis dengan ketebalan pada orde mikrometer dan nanometer. Adapun

    ketebalan lapisan yang dapat dibuat dengan teknik ini berkisar antara

    1-2000 mikrometer. Teknik ini digunakan pertama kali sejak lima puluh tahun yang lalu. Pada umumnya, material yang digunakan

    sebagai lapisan tipis merupakan polimer yang diaplikasikan dalam

    bentuk larutan dengan tipe pelarut yang mudah menguap (Sahu dkk., 2009). Pada proses spin coating, larutan diteteskan pada target yang

    berputar dengan kecepatan tertentu. Adanya gaya sentrifugal

    menyebabkan larutan tersebut menyebar sehingga akan terbentuk

    lapisan homogen pada permukaan target. Terdapat dua parameter penting dalam proses ini yaitu, volume larutan yang diteteskan dan

    kecepatan putaran dari lempengan tempat target berada (Llanes dkk.,

    2006). Terdapat empat tahapan dalam proses spin coating, yaitu :

    a) Deposisi Material yang telah dilarutkan dalam pelarut tertentu, mulai

    diteteskan pada target yang masih dalam keadaaan diam atau berputar dengan kecepatan konstan yang rendah.

    b) Spin-Up Pada tahapan ini, target telah berputar dengan kecepatan final. Ciri-ciri dari fase ini yaitu, larutan yang diteteskan

    mulai menyebar pada permukaan target sebagai akibat dari

    adanya gaya sentrifugal. c) Spin-off

    Fase ini dimulai ketika target berputar dengan kecepatan

    konstan. Proses utama pada tahapan ini berupa penurunan

    ketebalan lapisan dari larutan yang diteteskan. Sehingga akan diperoleh ketebalan lapisan yang seragam (homogen).

    d) Evaporasi Ketika tahapan spin-off berakhir, maka akan terjadi proses penguapan pelarut. Sehingga, pada permukaan target

  • tersebut, akan terbentuk lapisan dengan komposisi hanya

    berupa zat terlarut dari larutan yang diteteskan sebelumnya

    (Sahu dkk., 2009).

    (a)

    (b)

    (c) (d)

    Gambar 2. 4 Tahapan deposisi lapisan tipis dengan metode spin

    coating (a) deposisi, (b) spin-up, (c) spin-off, (d) evaporasi (Aguilar & López 2011)

    2.4. Plasma Nitrogen

    Modifikasi permukaan polimer menggunakan plasma

    merupakan salah satu cara paling efektif. Hal ini dikarenakan,

    plasma dapat memodifikasi sifat fisika dan sifat kimia dari permukaan tanpa mempengaruhi karakter polimer secara

    keseluruhan. Selain itu, metode ini juga membutuhkan waktu

    treatment yang lebih pendek dibandingkan dengan metode modifikasi permukaan lainnya. Ketika plasma dipaparkan pada

    permukaan polimer, maka akan terbentuk fungsionalisasi grup, graft

    polymerization, coating, dan pembentukan crosslink molekul. Pembentukan tersebut dapat mempengaruhi dan sebagian lainnya

    tidak mempengaruhi kekasaran dari polimer (Yoshida dkk., 2013).

    Akan tetapi, penggunaaan plasma treatment bersifat time-dependant.

    Artinya, waktu penyimpanan yang semakin lama akan menyebabkan perubahan sifat hidrofilik pada permukaannya semakin melemah (Pal

    dkk., 2015).

  • Pada proses plasma nitrogen terjadi proses glow discharge,

    dimana hal tersebut terjadi pada saat atom-atom gas tersebut saling

    bertumbukan satu sama lain sehingga akan menimbulkan cahaya (glow discharge). Cahaya yang dihasilkan berbeda-beda pada proses

    tersebut bergantung pada jenis gas yang digunakan. Glow discharge

    dapat terjadi apabila besarnya tegangan yang diberikan cukup. Jika

    tegangan yang diberikan tidak sesuai maka tidak akan terjadi glow discharge sehingga tidak akan terbentuk plasma (Pye 2003).

    Beberapa jenis gas yang dapat digunakan sebagai plasma, dengan

    masing-masing gas memiliki karakteristik tertentu : a) Plasma gas Inert

    Helium, neon, dan argon merupakan jenis gas inert yang

    banyak digunakan dalam plasma. Walaupun argon lebih umum digunakan karena harganya yang relatif murah.

    b) Plasma oksigen Banyak digunakan untuk modifikasi permukaan polimer.

    c) Plasma nitrogen Penggunaan plasma nitrogen digunakan untuk meningkatkan

    wettability, printability, bondability, dan biokompatibilitas

    pada permukaan polimer. d) Plasma fluorin

    Ketika plasma yang mengandung gas fluorin digunakan

    maka reaksi pada permukaan, etching, dan plasma polimerisasi dapat terjadi secara serentak (Ebnesajjad &

    Ebnesajjad 2014).

    Sistem plasma berbasis Nitrogen banyak digunakan untuk

    memberikan treatment pada metal, polimer, dan membran polimerik. Pemanfaatan tersebut berkaitan dengan kemampuan plasma nitrogen

    dalam membentuk amine, imine, amide, nitrile, dan fungsionalisasi

    grup lainnya. Adanya gugus fungsi tersebut menyebabkan permukaan polimer semakin hidrofilik dan menurunkan sudut kontak

    secara signifikan (Pal dkk., 2015).

    2.5. Interaksi Antara Plasma Dengan Permukaan Polimer

    Reaksi yang terjadi plasma dengan permukaan polimer dapat dibagi menjadi tiga, sebagai berikut :

    1) Reaksi pada permukaan yang meliputi :

  • a. Reaksi antara species pada plasma dengan chemical groups dan atom-atom pada permukaan polimer.

    b. Reaksi antara atom-atom sehingga menghasilkan functional groups dan crosslinking pada permukaan

    polimer.

    Reaksi ini dapat terjadi ketika permukaan polimer di

    treatment dengan menggunakan plasma yang bersumber dari gas ammonia, karbon monoksida,

    karbon dioksida, fluorin, hidrogen, nitrogen

    dioksida, dan oksigen. 2) Jika gas bertindak sebagai monomer, maka pada permukaan

    polimer akan terjadi plasma-polimerisasi yang membentuk

    suatu lapisan tipis 3) Menghilangkan (remove) bagian permukaan dari polimer

    dengan memanfaatkan reaksi kimia dan physical etching

    untuk menghasilkan material yang bersifat volatil

    (Ebnesajjad 2014).

    (a)

    (b)

    (c)

    (d)

    (e)

    Gambar 2. 5 Modifikasi Permukaan Polimer Dengan Plasma (a)

    Pembentukan Grup Fungsionalisasi, (b) Mempengaruhi Kekasaran Permukaan, (c) Pembentukan Crosslink, (d) Graft Polymerization,

    (e)Coating Lapisan Tipis (Yoshida dkk., 2013)

    Secara umum, plasma treatment akan meningkatkan energi permukaan dari polimer. Akibatnya akan menurunkan sudut

    kontaknya (Ebnesajjad 2014).

    2.6. Teknik Imobilisasi Sel Imobilisasi adalah istilah umum yang digunakan untuk

    menggambarkan entrapment atau attachment dari sel atau partikel pada suatu permukaan sensor. Istilah tersebut dapat digunakan untuk

  • semua jenis biokatalis termasuk enzim, organel sel, sel tumbuhan

    dan binatang. Imobilisasi sel dapat difenisikan sebagai lokalisasi sel

    mikroba pada suatu daerah tertentu sehingga membatasi pergerakannya dan memunculkan karakter hidrodinamiknya.

    Imobilisasi dari sel mikroba banyak diaplikasikan terutama dalam

    bidang industri dan lingkungan (Cláudia dkk., 2013). Imobilisasi sel

    pada permukaan biosensor dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor fisis berupa kekasaran permukaan, faktor kimiawi berupa grup

    fungsionalisasi pada permukaanya dan muatan listrik, serta faktor

    biologis (Liu & Schutzer 2010).

    Gambar 2. 6 Berbagai Metode Imobilisasi (Blanca dkk., 2015)

    Tipe-tipe imobilisasi dapat dibagi menjadi dua yaitu, pasif dan aktif. Imobilisasi dikategorikan sebagai pasif karena imobilisasi

    terjadi sebagai akibat dari sifat mikroorganisme yang mudah

    menempel pada suatu permukaaan. Sedangkan imobilisasi aktif terjadi pada saat adanya flocculant agents, chemical attachment, dan

    gel encapsulation.

    Terdapat empat teknik imobilisasi yang dapat terjadi, yaitu : a. Covalent Bonding / Cross-linking

    Mekanisme imobilisasi pada teknik ini dapat terjadi akibat

    adanya agen pengikat (crosslinking). Keberadaan agen

  • tersebut dapat menyebabkan terbentuknya ikatan kovalen

    antara sel dengan permukaan sensor. Agar ikatan kovalen

    dapat terjadi, maka permukaan sensor harus dimodifikasi secara kimiawi. Sehingga akan terbentuk suatu agen

    pengikat (Cláudia dkk., 2013). Terdapat dua cara untuk

    menghasilkan agen pengikat pada permukaan sensor (yang

    telah dilapisi dengan polimer), pertama menambahkan sejumlah grup fungsionalisasi pada permukaan polimer, dan

    yang kedua dengan melakukan modifikasi pada backbone

    dari polimer tersebut sehingga menghasilkan suatu grup yang teraktivasi (Brena dkk., 2013). Teknik imobilisasi ini,

    bersifat efektif dan tahan lama apabila diterapkan pada

    enzim, tetapi jarang digunakan dalam imobilisasi sel. Hal ini disebabkan oleh agen pengikat untuk imobilisasi sel

    biasanya bersifat beracun dan sulit untuk menemukan

    kondisi kapan sel dapat diimobilisasi tanpa menyebabkan

    kerusakan pada sel tersebut. Walaupun jarang digunakan, akan tetapi terdapat beberapa penelitian yang berhasil

    melakukan imobilisasi dengam teknik ini, dimana sebagian

    besar sel yang diimobilisasi merupakan ragi. b. Entrapment

    Merupakan metode imobilisasi yang bersifat ireversibel. Sel

    yang akan diimobilisasi akan terjebak (entrapped) di dalam matriks pendukung atau fiber. Sehingga akan terbentuk suatu

    barrier atau pembatas disekitar mikroba yang telah

    diimobilisasi dan akan mencegah sel tersebut berdifusi ke

    lingkungan luar tetapi tetap memungkinkan adanya difusi sel dari luar barrier. Entrapment merupakan metode yang paling

    sering digunakan dalam imobilisasi sel. Akan tetapi terdapat

    beberapa kelemahan yaitu, adanya kemungkinan kebocoran sel, adanya batasan difusi yang terjadi, dan abrasi dari

    material pendukung selama penggunaan.

    c. Encapsulation Merupakan imobilisasi yang bersifat ireversibel dan serupa dengan teknik entrapment. Akan tetapi, pada encapsulation

    terbentuk suatu dinding membran semipermeabel (biasanya

    berbentuk kapsul) dan biokatalis tersebut akan bergerak bebas dalam ruang inti. Kelebihan, dari teknik imobilisasi ini

    yaitu dapat mencegah kebocoran biokatalis sehingga akan

    meningkatkan efisiensinya.

  • d. Adsorpsi Prinsip dari teknik ini adalah interaksi fisis antara

    mikroorganisme dengan permukaan target (carrier surfaces). Berbeda dengan entrapment, pada metode adsorpsi ini akan

    terjadi kontak langsung antara nutrien dengan sel yang

    diimobilisasi. Prinsip adsorpsi terletak pada adanya gaya-

    gaya yang bersifat lemah, namun tetap memungkinkan adanya proses pembentukan ikatan. Biasanya pada

    pembentukan ikatan akan melibatkan beberapa jenis gaya

    tersebut, yaitu gaya Van der Waals, ionik, interaksi hidofobik, dan ikatan hidrogen. Gaya elektrostatik (ionik)

    dan interaksi hidrofobik akan mempengaruhi adhesi antara

    sel dengan support surface, dimana hal tersebut merupakan langkah utama dalam mengontrol imobilisasi sel dalam

    teknik ini. Mekanisme imobilisasi dengan teknik adsorpsi

    dimulai dengan pengangkutan sel dari fase bulk menuju ke

    permukaan sensor (bersifat berpori dan inert), kemudian diikuti oleh adanya adhesi sel, dan pada akhirnya akan

    terbentuk kolonisasi pada permukaan sensor. Adapun

    kelebihannya, yaitu imobilisasi yang terjadi bersifat reversibel, murah, dan lebih efisien (Cláudia dkk., 2013).

    2.7. Teknik Pengukuran Sudut Kontak (Contact Angle)

    Wettability dapat ditentukan dengan cara mengukur sudut

    kontak yang terbentuk antara permukaan polimer dengan tetesan dari liquid tertentu yang digunakan, misalnya air distilasi. Semakin kecil

    sudut kontak menunjukkan bahwa liquid tersebut membasahi

    permukaan polimer sehingga material tersebut bersifat hidrofilik, dan begitu pula sebaliknya (Ebnesajjad and Ebnesajjad 2014). Dalam

    menentukan sudut kontak, erat kaitannya dengan besarnya tegangan

    yang terjadi pada antar permukaannya (interfacial), dimana hal ini berkaitan dengan persamaan Young :

    …………… (2.4)

    merupakan sudut kontak yang terbentuk pada keadaan setimbang, menunjukkan energi bebas (free energy) antar permukaan, menunjukkan tegangan permukaan yang terjadi antara permukaan

    sampel (solid) dengan cairan (liquid) yang diditeteskan, dan

  • menunjukkan tegangan permukaan yang terjadi antara cairan (liquid)

    yang diditeteskan dengan permukaan sampel (solid) (STRI GUIDE

    92/1 Hydrophobicity classification guide, 1992).

    Gambar 2. 7 Berbagai sudut θ yang dapat terbentuk antara

    liquid dengan permukaan target (Yuan & Lee 2013)

    Untuk , maka tetesan dari cairan

    tersebut akan menyebar dan membasahi seluruh permukaan sampel.

    Untuk hanya sebagian permukaan sampel yang

    basah (wetting), dan untuk maka permukaan sampel tidak

    akan basah sama sekali (non-wetting). Suatu permukaan

    dikategorikan sebagai material yang bersifat hidrofilik apabila

    memiliki sudut kontak dan jika memiliki sudut

    kontak maka tergolong ke dalam material

    hidrofobik (Tsui & Russell 2008).

    2.8. Uji Kekasaran Permukaan

    Kekasaran (baik pada skala nano maupun mikro) yang disimbolkan dengan R, terbentuk oleh ketidakteraturan panjang

    gelombang pendek pada permukaannya, yang ditandai dengan

    adanya puncak (menunjukkan keadaan maksimum) dan lembah (menandai keadaan minimum). Berbagai teknik digunakan untuk

    mengukur kekasaran suatu permukaan, baik dengan menggunakan

    metode optik, seperti interferensi dan hamburan cahaya, maupun dengan metode mekanik, seperti oblique sectioning dan stylus

    profilometry. Secara umum, kekasaran permukaan merujuk pada

    variasi ketinggian pada suatu permukaan relatif dibandingkan dengan

    permukaan acuan. Menurut ANSI (American National Standards Institute) dan ISO (International Standardization Organization)

    setidaknya terdapat empat jenis nilai kekasaran permukaan, yakni

  • Ra, Rv, Rz, Rp (Rodriguez dkk., 2011). Ra Merupakan kekasaran

    permukaan rata-rata sepanjang daerah L.

    Gambar 2. 8 Kekasaran rata-rata Ra (Chi dkk.,

    n.d.)

    ……….(2. 5)

    Guna mengukur kekasaran permukaan suatu material dapat

    menggunakan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan

    TMS-1200 TopMap μ.Lab yang memanfaatkan prinsip kerja Interferometer Michelson/Mirau dengan sumber berupa cahaya

    putih. Alat tersebut memiliki resolusi spasial yang tinggi, mampu

    menampilkan data dalam bentuk 2D maupun 3D, cepat dan presisi serta dapat menghasilkan resolusi topography dengan kualitas tinggi

    untuk mengetahui fungsional permukaan dan mikrostrukturnya

    sehingga dapat diketahui nilai parameter kritis seperti flatness, ripple dan roughness serta tergolong ke dalam non-contact topography

    (Anon 2011), artinya dalam menentukan kekasaran permukaan tidak

    menyentuh langsung sampel yang diuji, melainkan memanfaatkan

    interferensi cahaya. Pertama, sumber cahaya putih akan menuju beam splitter, sehingga akan terbentuk dua berkas sinar yang sejajar.

    Sinar yang pertama akan menuju sampel dan sinar yang kedua akan

    menuju internal reference mirror. Selanjutnya sinar yang telah mengenai permukaan sampel akan memantul dengan sudut pantul

    yang berbeda-beda dan mengalami interferensi dengan berkas sinar

    kedua. Pola interferensi itulah yang kemudian akan ditangkap oleh

    detektor, sehingga menghasilkan pola kekasaran permukaan dari sampel tersebut (Kaplonek & Czeslaw 2012).

  • Gambar 2. 9 Interferometer dengan sumber cahaya putih

    (Kaplonek & Czeslaw 2012)

    2.9 FTIR (Fourier Transform Infrared)

    Interferogram merupakan pola optik yang dihasilkan dan

    tersusun atas signal yang kompleks. Interferogram umumnya merupakan plot antara intensitas dengan waktu (time-domain

    spectrum). Akan tetapi, ahli kimia lebih tertarik pada spektrum

    frekuensi (frequency-domain spectrum). Sehingga dengan menggunakan persamaan matematika Transformasi Fourier dapat

    mengkonversi time-domain spectrum tersebut menjadi frequency-

    domain spectrum.

    …………(2. 6)

    Alat yang memanfaatkan prinsip ini kemudian disebut sebagai FTIR

    (Fourier Transform Infrared) (Pavia, 1979).

    FTIR merupakan salah satu instrumen yang menggunakan prinsip spektroskopi yang berguna untuk identifikasi senyawa

    organik karena spektrumnya yang sangat kompleks yang terdiri dari

    CCD detector

    Magnification selector

    Filter Beam

    Splitter 2

    External source

    of white light

    Interferogram

    Beam splitter 1

    Measuring range Examined surface

    White light beam

    Optical

    fibre Mirau interferometer

    Objective lens

    Internal reference

    mirror

    Piezoelektrik

    Driver system

  • puncak-puncak. Dan masing-masing kelompok fungsional menyerap

    sinar inframerah pada frekuensi yang unik (Silviyah dkk., 2003).

    Inframerah merujuk kepada radiasi elektromagnetik yang terjadi pada 0.7 µm hingga 1000 µm. Akan tetapi, daerah 2.5 µm hingga 25

    µm (4000-400 cm-1

    ) lebih sering digunakan dalam analisis kimiawi.

    Hal ini disebabkan oleh garis spektrum yang dihasilkan biasanya

    sempit dan berbeda, sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi spektrum yang dihasilkan (Doyle n.d.).

    Gambar 2. 10 Pembagian Daerah Inframerah Berdasarkan

    Panjang Gelombang (Yang 2011)

    Spektrum inframerah yang dihasilkan oleh FTIR umumnya

    disajikan dalam plot antara frekuensi transmisi (atau absorbansi)

    yang dinyatakan dalam bilangan gelombang (cm-1

    ) dengan intensitas transmisi (atau absorbansi) pada sumbu y (Wade,2003). Absorbsi

    terjadi ketika terdapat perubahan besar dan arah dari momen dipol

    suatu molekul. Perubahan tersebut terjadi akibat adanya vibrasi

    molekul (Yang 2011). Secara umum, pada molekul poliatomik dengan n atom akan memiliki (3n-6) mode vibrasi. Dengan (n-1)

    merupakan stretching vibrations dan (2n-5) bending vibrations.

    Perubahan intensitas absorbsi pada inframerah akan berubah terkait dengan kesimetrisan ikatan. Semakin simetris ikatan tersebut maka

    akan semakin lemah absorpsi yang terjadi. Bahkan pada molekul

    diatomik yang sangat simetris seperti O2, N2, Cl2, dan H2 tidak dapat

    λ (cm)

    7,8 x 10-5 to 3x10-4

    (0.000078-0.0003)

    3x10-4 to3x10-3

    (0.0003-0.003)

    3x10-3 to3x10-2

    (0.003-0.03)

    λ (µm)

    0.78 to 3

    3 to 30

    30 to 300

    λ (cm-1)

    (wavenumber)

    12820 to 4000

    4000 to 400

    400 to 33

  • menyerap sinar inframerah. Hal ini dikarenakan absorbsi tidak dapat

    terjadi ketika terjadi vibrasi simetris. (Robert & Caserio 1977).

    Gambar 2. 11 Spektrum Inframerah dalam mode (a) Absorbsi, (b) Transmitansi (Wade,2003)

    Absorption

    Frequency in wavenumbers (cm-1)

    Transmission

    Frequency in wavenumbers (cm-1)

    (a)

    (b)

  • Gambar 2. 12 Macam-Macam Vibrasi Pada Molekul Poliatomik

    (a)Stretching Vibration, (b)Bending Vibration (Yang 2011)

    (a)

    (b)

  • 21

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

    Penelitian dilakukan di di Laboratorium Material Maju dan

    Plasma untuk tahapan pembuatan larutan polistiren, deposisi

    polistiren di atas QCM, proses modifikasi permukaan dengan plasma

    nitrogen, dan karakterisasi menggunakan mikroskop optik serta

    pengukuran kekasaran dengan TMS 1200 Polytech TopMap-μLab,

    Laboratorium Teknologi Sensor untuk pengukuran sudut kontak,

    frekuensi dan imobilisasi Salmonella enteriditis. Serangkaian

    penelitian tersebut dilaksanakan pada laboratorium yang terletak di

    Jurusan Fisika. Kemudian penelitian dilakukan di Laboratorium

    Analisis Jurusan Kimia untuk karakterisasi FTIR., Fakultas

    Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya

    pada bulan Desember 2016 – Juni 2017.

    3.2. Alat dan Bahan

    Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu neraca digital,

    cawan petri, gelas kimia, gelas ukur, pinset, mikro pipet, vacuum

    ultrasound cleaner, vacuum spin coater, oven, contact angle

    measurement, frekuensi counter, plasma nitrogen, TMS 1200

    Polytech TopMap-μLab, dan FTIR Spectrophotometer

    (8400/Shimadzu). Sedangkan bahan yang digunakan yakni QCM

    dengan elektroda perak, polistiren dengan berat molekul 35.000

    g.mol-1

    , 192.000 g.mol-1

    , dan 280.000 g.mol-1

    , chloroform, Tris Cl,

    dan Salmonella enteriditis.

    3.3. Tahapan Penelitian

    3.3.1. Persiapan Sampel

    QCM terlebih dahulu dibersihkan dengan etanol dan

    kemudian diletakkan di vacuum ultrasound cleaner. Proses

    pembersihan dilakukan dengan cara menggetarkan QCM selama ±3

    menit. Selanjutnya, untuk menghilangkan etanol yang mungkin

    menempel, maka QCM diletakkan didalam oven bersuhu 100o C

    selama 15 menit. Hal ini bertujuan agar molekul-molekul etanol

  • 22

    Mulai

    Polistiren ditimbang dengan neraca digital

    khloroform dituang di botol kimia

    botol kimia diletakkan di ultrasound cleaner

    Dilakukan selama 2 menit

    Selesai

    menguap. Sehingga permukaan QCM tidak terkontaminasi oleh

    molekul lainnya.

    3.3.2. Pembuatan Larutan

    Konsentrasi larutan Polistiren yang digunakan pada

    penelitian ini yaitu 3% yang dilarutkan dalam kloroform. Adapun

    besarya konsentrasi yang digunakan dapat dihitung menggunakan

    rumusan berikut :

    %𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 =𝑔 (𝑧𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡)

    𝑚𝐿 (𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡)× 100%

    Langkah-langkah yang dilakukan adalah polistiren ditimbang

    menggunakan neraca digital. Kemudian kloroform dituang pada

    botol kimia. Polistiren yang telah ditimbang tersebut selanjutnya

    diletakkan di dalam botol kimia yang telah berisi kloroform.

    Selanjutnya gelas kimia tersebut diletakkan di vacuum ultrasound

    cleaner selama 2 menit dengan tujuan agar polistiren dapat segera

    larut dan diperoleh larutan yang homogen.

    Gambar 3. 1 Diagram alir proses pembuatan larutan polistiren

  • 23

    Polistiren yang digunakan memiliki berat molekul 35.000

    g.mol-1

    , 192.000 g.mol-1

    , dan 280.000 g.mol-1

    . Untuk memperoleh

    konsentrasi 3% untuk polistiren dengan berat molekul 192.000

    g.mol-1

    dan 280.000 g.mol-1

    digunakan polistiren dengan massa 0.03

    gram yang dilarutkan dalam 1 mL kloroform. Sedangkan untuk

    mendapatkan konsentrasi yang sama pada polistiren dengan berat

    molekul 35.000 g.mol-1

    maka 0.06 gram polistiren dilarutkan di

    dalam 2 mL kloroform.

    3.3.3. Deposisi Polistiren di atas QCM

    Masing-masing larutan polistiren yang telah dibuat

    kemudian di deposisikan pada setiap sisi QCM. Untuk deposisi

    polistiren menggunakan spin coater yang diatur pada kecepatan (𝜔1) dan waktu awal (𝑡1) 500 rpm dan 5 second. Sedangkan untuk kecepatan (𝜔2) dan waktu akhirnya (𝑡2) yaitu 3000 rpm dan 60 second. Selanjutnya QCM (Quartz Crystal Microbalance) yang telah

    dibersihkan diletakan pada dudukan spin coater yang telah tersedia.

    Dengan menggunakan micropipet, diambil larutan polistiren

    sebanyak 50 μL dan diteteskan pada QCM saat terjadi transisi

    menuju kecepatan akhir (𝜔2) 3000 rpm. Setelah proses deposisi dilakukan, maka QCM diletakkan di dalam oven bersuhu 150

    o C

    selama 60 menit. Hal ini bertujuan agar molekul yang berasal dari

    pelarut yang digunakan dapat menguap. Sehingga pada permukaan

    QCM hanya terdapat lapisan tipis yang tersusun atas polistiren.

  • 24

    Mulai

    Spin coater diatur pada ω1 = 500 rpm dan t1 = 5 second

    Spin coater diatur pada ω2 = 3000 rpm dan t2 = 60 second

    QCM diletakkan di spin coater

    Larutan polistiren diambil menggunakan mikropipet sebanyak 50 μL

    Polistiren diteteskan saat transisi menuju v2 = 3000 rpm

    QCM dianneling suhu 150o C selama 1 jam

    Selesai

    Gambar 3. 2 Diagram alir proses deposisi polistiren diatas QCM

    3.3.4. Karakterisasi QCM Sebelum Plasma Treatment

    Sebelum dilakukan plasma treatment, QCM yang telah

    dideposisi dengan polistiren perlu dilakukan karakterisasi. Dengan

    tujuan agar diketahui perbedaan morfologi dan frekuensi dari QCM

    akibat adanya proses plasma nitrogen. Karakterisasi yang perlu

    dilakukan yaitu pengukuran frekuensi, pengamatan dengan

    menggunakan mikroskop optik, pengukuran kekasaran, dan

    pengukuran sudut kontak.

    3.3.4.1. Pengukuran Frekuensi

    QCM yang digunakan memiliki frekuensi awal 10 MHz.

    Adanya proses deposisi menyebabkan frekuensi dari QCM akan

    menurun. Untuk itulah perlu dilakukan proses pengukuran frekuensi.

  • 25

    3.3.4.2. Pengamatan di bawah Mikroskop Optik

    Setelah proses deposisi dilakukan, hal yang perlu

    dilakukan kemudian adalah mengamati bagaimana lapisan tipis yang

    dideposisikan. Secara kasat mata kemungkinan akan tampak bahwa

    lapisan tipis yang kita tumbuhkan rapi, akan tetapi belum tentu

    secara makroskopis diperoleh lapisan yang terlapis secara

    menyeluruh. Untuk itulah perlu dilakukan pengamatan menggunakan

    mikroskop optik. Sampel yang telah diletakkan di meja objek

    kemudian diamati dengan perbesaran 100x dan 500x. Perbesaran

    100x bertujuan untuk memperoleh lapang pandang yang lebih luas.

    Sehingga dapat melihat baik tidaknya lapisan tipis yang

    dideposisikan. Sedangkan perbesaran 500x digunakan untuk melihat

    morfologi dari lapisan tipis yang digunakan.

    3.3.4.3. Pengukuran Kekasaran Menggunakan TMS

    Untuk mengetahui besarnya nilai kekasaran dari

    permukaan, maka digunakan TMS 1200 Polytech TopMap-μLab.

    Pengukuran nilai kekasaran dilakukan pada kedua sisi dengan

    masing masing sisi dilakukan pengamatan pada lima titik yang

    berbeda. Adanya perlakuan bertujuan untuk memperoleh nilai rata-

    rata dari kekasaran pada permukaan tersebut. Adapun nilai kekasaran

    yang diukur berupa parameter Ra.

    3.3.4.4. Pengukuran Sudut Kontak

    Karakterisasi terakhir yang perlu dilakukan adalah

    mengetahui kebasahan permukaan QCM. Dengan cara mengukur

    besarnya sudut kontak antara permukaan QCM dengan aquades

    menggunakan Contact Angle Measurement. Volume aquades yang

    diteteskan pada permukaan QCM sebanyak 15 μL. Setelah ditetesi

    dengan aquades pada bagian elektrodanya kemudian diambil

    gambarannya. Setiap sisi yang ditetesi dilakukan pengulangan

    sebanyak 5 kali. Sehingga diperoleh hasil rata-ratanya.

  • 26

    Gambar 3. 3 Diagram Alir Karakterisasi Sebelum Plasma

    Treatment

    3.3.5. Modifikasi Permukaan dengan Plasma Nitrogen

    Sebelum sampel diletakkan di chamber, dilakukan proses

    pembersihan pada chamber. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir

    adanya zat-zat tertentu yang tidak diinginkan dan kemungkinan

    berada di dalam chamber. Proses pembersihan dilakukan selama dua

    menit. Setelah itu, barulah sampel diletakkan pada chamber dengan

    keadaan permukaan qcm yang akan dimodifikasi menghadap ke atas.

    Sebelumnya, agar QCM cukup ketika diletakkan pada elektroda

    bawah, maka kedua kakinya ditekuk sedikit dan diberi pemberat.

    Sehingga dalam keadaan yang lurus.

    Setelah QCM dipastikan dalam keadaan yang lurus,

    kemudian chamber ditutup dan Rotary Pump dinyalakan. Proses

    vakum dilakukan hingga sensor tekanan menunjukkan 4.00 Volt.

    Setelah mencapai tekanan 4.00 Volt kemudian dialiri gas Nitrogen

    sebanyak 20 mL/menit. Barulah kemudian generator dinyalakan dan

    diatur pada daya 40 Watt. Proses pemaparan dengan plasma nitrogen

    Mulai

    QCM yang telah dideposisi dengan Polistiren

    Pengukuran Frekuensi

    Pengamatan dengan Mikroskop Optik

    Pengukuran kekasaran dengan TMS

    Pengukuran Sudut Kontak

    Selesai

  • 27

    dilakukan selama 2 menit. Kemudian, secara bertahap reaktor plasma

    dimatikan. Semua tahapan tersebut diulangi untuk masing-masing

    QCM yang telah dideposisi polistiren dengan berat molekul 192.000

    g.mol-1

    dan 280.000 g.mol-1

    .

    Gambar 3. 4 Diagram Alir Proses Modifikasi Dengan Plasma

    Nitrogen

    3.3.6 Karakterisasi QCM Setelah Plasma Treatment

    Setelah dilakukan modifikasi dengan plasma nitrogen,

    kemudian QCM dilakukan karakterisasi dengan tujuan untuk

    mengetahui perubahan apa yang terjadi. Adanya hasil karakterisasi

    ini kemudian dibandingkan dengan kondisi awal QCM. Adapun

    karakterisasi yang dilakukan sama seperti sebelumnya, yaitu

    pengukuran frekuensi, pengamatan dengan mikroskop optik,

    pengukuran kekasaran dengan TMS, dan pengukuran sudut kontak.

    Mulai

    Chamber dibersihkan selama 2 menit

    QCM diletakkan di chamber

    Rotary Pump dinyalakan

    Gas Nitrogen dialirkan ke dalam chamber

    Generator daya dinyalakan

    Dilakukan pemaparan selama 2 menit

    Selesai

  • 28

    Gambar 3. 5 Diagram Alir Karakterisasi Setelah Plasma Treatment

    3.3.7 Pengukuran Kemampuan Imobilisasi QCM

    QCM yang telah diberikan perlakuan plasma nitrogen

    kemudian diukur kembali frekuensinya hingga stabil (atau minimal

    300 detik). Jika grafik pengukuran telah menunjukkan hasil yang

    stabil selanjutnya ditetesi dengan pelarut Tris Cl sebanyak 70 µL.

    Akibat penetesan ini maka grafik pengukuran akan mengalami

    penurunan. Selanjutnya setelah 300 detik atau mencapai keadaan

    yang stabil, dilakukan penetesan Salmonella enteriditis sebanyak 30

    µL. dan ketika grafik menunjukkan keadaan yang stabil (minimal

    300 detik) maka pengukuran kemampuan imobilisasi biomolekul

    dinyatakan selesai. Pengukuran kemampuan imobilisasi biomolekul

    juga dilakukan pada QCM yang belum diberi perlakuan plasma

    nitrogen.

    Mulai

    QCM yang telah diberi perlakuan dengan Plasma Nitrogen

    Pengukuran Frekuensi

    Pengamatan dengan Mikroskop Optik

    Pengukuran Kekasaran dengan TMS

    Pengukuran Sudut Kontak

    Selesai

  • 29

    3.3.8 Pengujian Pembentukan Gugus Fungsi dengan FTIR

    Untuk mengetahui pengaruh perlakuan plasma nitrogen terhadap

    QCM secara kimiawi maka dilakukan FTIR (Fourier Transfrom

    Infrared) . Sehingga dapat membandingkan gugus fungsi yang

    dihasilkan antara QCM tanpa perlakuan plasma dengan QCM yang

    telah diberikan perlakuan plasma. Serta untuk mengetahui apakah

    terbentuk gugus fungsi baru akibat adanya perlakuan plasma nitrogen

    tersebut.

  • 31

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Pengaruh Berat Molekul Polistiren Terhadap Nilai Kekasaran (Roughness) QCM Hasil Modifikasi Plasma

    Nitrogen

    Polistiren adalah polimer yang tersusun atas rantai stiren yang

    berulang. Semakin panjang rantai yang terbentuk maka berat

    molekul dari polimer tersebut semakin besar. Penambahan berat

    molekul dari polistiren yang digunakan akan mempengaruhi nilai

    kekasaran yang dihasilkan. Semakin besar berat molekul polistiren

    maka viskositas larutan yang dihasilkan juga akan semakin kental.

    Sehingga lapisan tipis yang terdeposisi akan semakin tebal.

    Akibatnya lapisan polistiren yang dihasilkan akan semakin kasar

    pula.

    Deposisi lapisan tipis polistiren pada permukaan QCM

    menggunakan metode spin coating. Polistiren yang telah dilarutkan

    dalam pelarut yang mudah menguap diteteskan pada permukaan

    QCM. Dengan memanfaatkan gaya sentrifugal, maka lapisan

    polistiren akan tersebar merata. Saat kekentalan dari larutan

    polistiren mengalami peningkatan maka, penyebaran larutan yang

    terjadi semakin lambat. Akibatnya akan dihasilkan lapisan yang lebih

    tebal dan nilai kekasaran yang lebih besar dibandingkan dengan

    polistiren dengan berat molekul yang lebih rendah. Pada Gambar

    4.1. menunjukkan grafik yang menyatakan hubungan antara berat

    molekul polistiren dengan nilai kekasaran, tampak bahwa terjadi

    peningkatan nilai kekasaran sebanding dengan bertambahnya berat

    molekul polistiren yang digunakan.

    Paparan plasma nitrogen pada permukaan QCM mempengaruhi

    kekasaran dari QCM tersebut. Yaitu menyebabkan nilai kekasaran

    permukaannya mengalami penurunan. Akibatnya permukaan hasil

    modifikasi tersebut akan bersifat lebih halus dibandingkan sebelum

    treatment. Penurunan nilai kekasaran setelah perlakuan plasma

    terjadi pada seluruh berat molekul. Polistiren dengan berat molekul

    paling besar mengalami degradasi yang paling banyak.Hal ini

    disebabkan pada polistiren dengan rantai yang lebih panjang terjadi

    pemutusan rantai oleh plasma yang lebih banyak dibandingkan

  • 32

    dengan polistiren yang lebih rendah berat molekulnya. Pemutusan

    rantai tersebut terjadi sebagai adanya mekanisme ion bombardment

    pada permukaan substrat.

    Gambar 4. 1 Grafik Nilai Kekasaran Polistiren Sebelum dan Sesudah

    Perlakuan Plasma

    Tabel 4. 1 Tabel Perbandingan Perbedaan Kekasaran Polistiren Sebelum

    dan Sesudah Perlakuan Plasma

    Berat Molekul

    (g/mol)

    Kekasaran (nm) Selisih (nm)

    Tanpa Plasma Setelah Plasma

    35.000 355,42 329,39 26,04

    192.000 427,68 388,61 39,08

    280.000 519,69 456,56 63,13

    Ion bombardment yang terjadi pada permukaan substrat

    menyebabkan terjadi perubahan morfologi. Hal ini didukung dengan

    hasil pengamatan mikroskop optik perbesaran 500x. Pada hasil

    pengamatan mikroskop optik, tampak bahwa pola warna hitam

    (ditunjukkan oleh lingkaran pada Gambar 4.2 dan 4.3) yang

    terbentuk setelah perlakuan plasma lebih sedikit dibandingkan

    dengan sebelum perlakuan plasma. Pola berwarna hitam tersebut

    355,42 427,68

    519,69

    329,38

    388,61

    456,56

    0,00

    100,00

    200,00

    300,00

    400,00

    500,00

    600,00

    35.000 192.000 280.000

    Ke

    kasa

    ran

    (n

    m)

    Berat Molekul (g/mol)

    Tanpa Plasama Setelah Plasma

  • 33

    menunjukkan perbedaan porositas lapisan tipis polistiren. Semakin

    banyak pola berwarna hitam yang terbentuk maka porositas

    polistiren semakin besar pula. Akibatnya permukaan yang dihasilkan

    akan semakin kasar.

    Gambar 4. 2 Morfologi permukaan Polistiren sebelum perlakuan

    plasma

  • 34

    Gambar 4. 3 Morfologi permukaan Polistiren setelah perlakuan

    plasma

    Tumbukan yang terus-menerus antara ion dengan permukaan

    substrat menyebabkan pengikisan dan pembentukan lapisan baru

    disekitar permukaan substrat tersebut. Akibatnya akan menurukan

    porositas dari polistiren. Perubahan ini hanya terjadi pada bagian

    permukaan substrat saja tanpa mengubah keseluruhan sifat dari

    substrat tersebut (Yoshida dkk., 2013).

    4.2. Pengaruh Berat Molekul Polistiren Terhadap Sifat Hidrofobisitas QCM Hasil Modifikasi Plasma Nitrogen

    Sifat hidrofobisitas suatu material berkaitan dengan energi

    permukaannya. Semakin besar energi permukaannya maka material

    tersebut bersifat hidrofilik, dan begitu pula sebaliknya. Pada material

    yang bersifat hidrofilik, gaya adhesi yang terjadi antara air dengan

    permukaan substrat menyebar dan lebih besar. Akibatnya tetesan air

    tersebut akan menyebar merata pada permukaan substrat. Selain

    berkaitan dengan energi permukaan, tingkat kebasahan (wettability)

    juga bergantung pada morfologi permukaan. Pada material yang

    bersifat hidrofilik, permukaan substrat akan cenderung lebih halus

    sehingga air akan tersebar merata pada permukaannya. Sedangkan

    pada material hidrofobik, adanya perbedaan ketinggian pada

    permukaan substrat, menyebabkan air tertahan dan tidak dapat

    tersebar merata pada permukaannya. Sehingga, besarnya sudut

    kontak antara air dengan permukaan substrat akan semakin besar

    pula.

    Tabel 4. 2 Perbedaan Sudut Kontak Masing-Masing Berat Molekul

    Polistiren Sebelum dan Sesudah Perlakuan Plasma

    Berat Molekul

    (g/mol)

    Sudut Kontak (o)

    Selisih (o)

    Tanpa Plasma Setelah Plasma

    35.000 82,639 42,808 39,831

    192.000 84,122 46,966 37,156

    280.000 85,836 52,535 33,301

  • 35

    Peningkatan sudut kontak terjadi sebagai akibat adanya

    penambahan berat molekul polistiren yang digunakan. Hal ini serupa

    dengan peningkatan kekasaran sebanding dengan bertambahnya

    berat molekul. Adapun setelah perlakuan plasma, besar sudut kontak

    seluruh variasi berat molekul mengalami penurunan. Hal ini

    disebabkan oleh adanya perubahan morfologi dan struktur kimia

    pada permukaanya. Perubahan morfologi yang terjadi berupa

    semakin rendahnya beda ketinggian pada permukaan polistiren.

    Sedangkan perubahan struktur kimia yang terjadi berupa

    pembentukan fungsionalisasi grup C≡N yang bersifat polar. Ketika

    air diteteskan pada permukaan tersebut akan terjadi interaksi polar-

    polar antara air dengan gugus C≡N. Sehingga gaya adhesi yang

    terjadi juga akan semakin besar. Akibatnya air tersebut akan tersebar

    pada permukaannya dan sudut kontak yang terbentuk akan semakin

    kecil.

    4.3. Pengaruh Modifikasi Plasma Nitrogen Terhadap Pembentukan Ikatan Kimia di Permukaan QCM

    Plasma merupakan wujud benda keempat yang terdiri dari

    partikel partikel bermuatan seperti elektron, ion dan atom atau

    molekul netral. Adanya partikel bermuatan dalam plasma dapat

    memungkinkan terjadi interaksi antar plasma dengan material.

    Reaksi yang terjadi dalam mempengaruhi material tersebut baik

    secara fisis maupun kimiawi. Dalam hal ini, interaksi yang paling

    banyak terjadi berupa interaksi kimiawi, yaitu terbentuk suatu gugus

    fungsi baru sebagai akibat adanya perlakuan plasma nitrogen.

  • 36

    Gambar 4. 4 Perbandingan Spektra FTIR Antara Polistiren Tanpa Perlakuan

    Plasma (warna merah) Dengan Setelah Plasma (warna biru)

    Pada Gambar 4.4, menunjukkan adanya pembentukan gugus

    fungsi baru pada daerah yang diberi lingkaran, sebagai akibat adanya

    perlakuan plasma nitrogen. Gugus fungsi baru terbentuk pada daerah

    bilangan gelombang 2300-2400 cm-1

    . Berdasarkan database

    absorbansi spektrum inframerah, pada daerah tersebut terjadi

    pembentukan gugus fungsi C≡N yang bersifar polar. Selain terjadi

    pembentukan gugus fungsi baru, terdapat beberapa gugus fungsi

    yang mengalami penurunan intensitas absorbansi. Penurunan

    intensitas tersebut menunjukkan jumlah gugus fungsi tersebut dalam

    suatu material mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh

    adanya pemutusan rantai polimer pada proses plasma nitrogen.

    Akibatnya terdapat suatu rantai yang tidak stabil. Guna mencapai

    kestabilan, rantai tersebut akan menarik atom/molekul disekitarnya,

    dalam hal ini berupa ion nitrogen. Sehingga terbentuklah suatu ikatan

    baru, yaitu nitril C≡N.

    Tabel 4. 3 Gugus Fungsi yang Terbentuk Pada Permukaan

    QCM/PS

    Bilangan Gelombang (cm-1

    ) Gugus Fungsi

    1500-1600 C = C

    1600-1680 C − C

    Pembentukan gugus fungsi C≡N terjadi pada seluruh variasi berat

    molekul. Akan tetapi, intensitas absorbansi gugus fungsi nitril

    Tanpa Plasma

    Setelah Plasma

  • 37

    mengalami peningkatan sebanding dengan penambahan berat

    molekul polistiren. Semakin besar berat molekul polistiren yang

    digunakan, maka intensitas gugus fungsi nitril yang terbentuk

    semakin besar. Hal ini disebabkan oleh, pemutusan rantai polistiren

    terjadi paling besar pada berat molekul 280.000 g/mol. Akibat

    pemutusan rantai tersebut, maka rantai terluar dari polimer akan

    menarik ion nitrogen untuk mencapai keadaan yang stabil. Semakin

    banyak ion nitrogen yang berhasil diikat maka intensitas absorbsi

    dari gugus nitril akan mengalami peningkatan pula.

    Tabel 4. 4 Intensitas Nitril yang Terbentuk Setelah Perlakuan Plasma

    Bilangan Gelombang (cm-1

    ) Intensitas Absorbsi

    2341,41 0,275

    2341,63 0,525

    2341,64 0,725

    Gambar 4. 5 Perbandingan Intensitas Gugus Fungsi Nitril Pada Polistiren

    35.000 g/mol (ungu), 192.000 g/mol (hijau), 280.000 g/mol (merah) Hasil

    Modifikasi Plasma Nitrogen

    Pada Gambar 4.5, tampak dua buah puncak yang berada pada

    daerah gugus fungsi C≡N. Untuk berat molekul polistiren 35.000

    g/mol puncak dengan intesitas yang lebih rendah berada pada daerah

    2341,64, sedangkan puncak yang lainnya berada pada daerah

    2360,31. Hal ini disebakan oleh adanya efek situs/kisi (site effects),

    yaitu ion Nitrogen yang seharusnya menggantikan satu atau lebih

    35.000 g/mol

    192.000 g/mol

    280.000 g/mol

  • 38

    atom dari polistiren, tetapi ion Nitrogen tersebut menempati daerah

    interstitial dari polistiren (Bernstein dkk., 1997).

    4.4. Hasil Imobilisasi Salmonella enteriditis Pada QCM

    Salmonella tergolong ke dalam jenis bakteri gram negatif yang

    berbentuk batang. Digolongkan kedalam bakteri gram negatif karena

    memiliki dinding sel yang tipis sehingga tidak dapat

    mempertahankan zat warna metil ungu pada metode perwarnaan

    gram. Umumnya bakteri jenis ini bersifat pathogen dan dapat

    ditemui pada usus binatang. Konsumsi makanan yang kurang matang

    dan higienis dapat menyebabkan seseorang terinfeksi bakteri ini.

    Terdapat dua jenis Salmonella yang paling banyak dijumpai yakni

    Salmonella typhimurium dan Salmonella enteriditis. Infeksi

    Salmonella typhimurium dapat menyebabkan sesorang terserang

    penyakit tifus, sedangkan Salmonella enteriditis menyebabkan

    gastroenteritis (food poisoning).

    Saat ini telah banyak metode yang dilakukan untuk mendeteksi

    keberadaan bakteri Salmonella di dalam makanan. Akan tetapi

    metode tersebut memakan waktu yang cukup lama. Sehingga

    dibutuhkan suatu metode baru yang lebih sederhana, cepat , dan

    akurat. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan QCM sebagai

    biosensor. Perubahan frekuensi yang terjadi dapat mengindikasikan

    jumlah mikroorganisme yang berhasil ditangkap/immobile. Terdapat

    empat macam cara imobilisasi. Yaitu adsorpsi, entrapment,

    crosslinking/covalent bonding, dan encapsulation.

    Imobilisasi Salmonella enteriditis pada permukaan QCM tanpa

    perlakuan plasma nitrogen menghasilkan perubahan frekuensi yang

    lebih rendah dibandingkan dengan imobilisasi pada permukaan QCM

    yang telah diberi perlakuan plasma nitrogen. Hal ini terjadi pada

    seluruh variasi konsentrasi antigen yang diberikan. Kecilnya

    perubahan frekuensi yang terjadi menunjukkan jumlah bakteri yang

    berhasil ditangkap/immobile. Rendahnya jumlah bakteri yang

    berhasil diimobilasi pada permukaan QCM tanpa perlakuan plasma

    nitrogen disebabkan oleh jenis interaksi antara bakteri dengan

    permukaan QCM/PS berupa imobilisasi pasif. Imobilisasi dengan

    teknik ini, sangat bergantung pada morfologi permukaan sensor.

    Semakin kasar permukaan sensor tersebut maka jumlah

  • 39

    bakteri/biomolekul yang berhasil diimobilisasi semakin besar.

    Besarnya Salmonella enteriditis yang diimobilisasi dapat diketahui

    dengan cara menghitung besarnya ∆f dari frekuensi stabil QCM

    setelah ditetesi TrisCl dikurangi frekuensi stabil QCM setelah

    ditetesi antigen Salmonella enteriditis (Gambar 4.6 dan 4.7).

    Gambar 4. 6 Grafik Perubahan Frekuensi Terhadap Waktu Untuk

    Imobilisasi Antigen 0,1212 ppm Pada QCM Tanpa Perlakuan Plasma

    -250

    -200

    -150

    -100

    -50

    0

    50

    0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

    ∆f

    (Hz)

    Waktu (s)

    ∆f=198 Hz

  • 40

    Gambar 4. 7 Grafik Perubahan Frekuensi Terhadap WaktuUntuk

    Imobilisasi Antigen 0,1212 ppm Pada QCM Setelah Perlakuan

    Plasma

    Pada subbab pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa

    terbentuk suatu fungsionalisasi grup baru yaitu nitril C≡N akibat

    perlakuan plasma nitrogen. Nitril merupakan gugus fungsi yang

    bersifat polar. Sehingga gugus tersebut bersifat aktif untuk mengikat

    atom/molekul lain disekitarnya. Kemudian keberadaaan gugus fungsi

    tersebut dimanfaatkan untuk mengimobilisasi Salmonella enteriditis.

    Sehingga interaksi yang terjadi dalam imobilisasi Salmonella

    enteriditis bersifat imobilisasi aktif. Kelebihan dari teknik

    imobilisasi ini adalah lebih tahan lama. Adanya peningkatan

    intensitas absorbsi C≡N ternyata juga meningkatkan kemampuan

    imobilisasinya. Pada paparan sebelumnya, peningkatan intensitas

    absorbsi nitril ini sebanding dengan peningkatan berat molekul

    polistiren. Hal ini tampak pada Gambar 4.8. Peningkatan berat

    molekul polistiren akan meningkatkan jumlah bakteri yang berhasil

    diimobilisasi.

    -350

    -300

    -250

    -200

    -150

    -100

    -50

    0

    50

    0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

    ∆f

    (Hz)

    Waktu (s)

    ∆f=270 Hz

  • 41

    Gambar 4. 8 Grafik Perbandingan Perubahan Frekuensi Pada

    Konsentrasi Antigen 0,1212 ppm

    Gambar 4. 9 Grafik Perbandingan Perubahan Frekuensi Pada

    Konsentrasi Antigen 0,2424 ppm

    39,5

    198

    396

    55,5

    270

    1221,5

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1400

    35.000 192.000 280.000

    ∆f

    (Hz)

    Berat Molekul (g/mol)

    Tanpa Plasma Setelah Plasma

    213 246,5

    1143

    311,5 347

    2248,5

    0

    500

    1000

    1500

    2000

    2500

    35.000 192.000 280.000

    ∆f

    (Hz)

    Berat Molekul (g/mol)

    Tanpa Plasma Setelah Plasma

  • 42

    Gambar 4. 10 Grafik Perbandingan Perubahan Frekuensi Pada

    Konsentrasi Antigen 0,3636 ppm

    351 250

    1150

    524

    1617

    4858

    0

    1000

    2000

    3000

    4000

    5000

    6000

    35.000 192.000 280.000

    ∆f

    (Hz)

    Berat Molekul (g/mol)

    Tanpa Plasma Setelah Plasma

    0

    1000

    2000

    3000

    4000

    5000

    6000

    35.000 192.000 280.000

    ∆F

    (Hz)

    Berat Molekul (g/mol)

    0.1212 ppm 0.2424 ppm 0.3636 ppm

    - - - - - Tanpa Plasma

    ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ ̶̶̶̶̶̶̶̶̶̶ Setelah Plasma

  • 43

    Gambar 4. 11 Grafik Perbandingan Perubahan Frekuensi

    Tabel 4. 5 Tabel Perbandingan Perubahan Frekuensi dalam Imobilisasi

    Salmonella enteritidis

    Konsentrasi

    (ppm)

    Berat

    Molekul

    (g/mol)

    Perubahan Frekuensi

    (Hz) Selisih (Hz)

    Tanpa

    Plasma

    Setelah

    Plasma

    0.1212

    35.000 39,5 55,5 16

    192.000 198 270 72

    280.000 396 1221,5 825,5

    0.2424

    35.000 213 311,5 98,5

    192.000 246,5 347 100,5

    280.000 1143 2248,5 1105,5

    0.3636

    35.000 351 524 173

    192.000 250 1617 1367

    280.000 1150 4858 3708

    Guna mengetahui titik optimum QCM hasil modifikasi plasma

    nitrogen dalam hal imobilisasi Salmonella enteriditis maka dilakukan

    pengamatan pada tiga konsentrasi antigen yang berbeda. Yaitu 0,121

    ppm, 0,2424 ppm, dan 0,3636 ppm. Berdasarkan Gambar 4.11

    diperoleh hubungan yang linear antara konsentrasi antigen yang

    diberikan dengan perubahan frekuensi QCM yang terjadi. Hal ini

    terjadi pada QCM/PS tanpa perlakuan plasma nitrogen (ditandai

    dengan garis putus-putus) maupun pada QCM/PS setelah perlakuan

    plasma nitrogen (ditandai dengan garis lurus). Semakin besar

    konsentrasi antigen yang diberikan, maka semakin banyak pula

    jumlah bakteri yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu,

    besarnya perubahan frekuensi yang terjadi akan semakin besar pula.

  • 45

    BAB V

    PENUTUP

    5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat

    disimpulkan :

    1. Nilai kekasaran mengalami kenaikan sebanding dengan penambahan berat molekul polistiren yang digunakan. Hal

    ini terjadi baik pada QCM tanpa perlakuan plasma maupun

    pada QCM hasil modifikasi plasma nitrogen.

    2. Tingkat kebasahan QCM/PS mengalami peningkatan sebanding dengan bertambahnya berat molekul polistiren

    yang digunakan. Adanya penurunan tingkat kebasahan

    terjadi sebagai akibat dari perlakuan plasma nitrogen,

    dengan degradasi paling besar terjadi pada polistiren dengan

    berat molekul yang paling besar.

    3. Perlakuan plasma nitrogen mengakibatkan permukaan QCM/PS menjadi hidrofilik. Hal ini dibuktikan pada hasil

    FTIR terbentuk gugus C≡N yang bersifat polar.

    4. Perlakuan plasma nitrogen juga mempengaruhi kemampuannya dalam hal imobilisasi. QCM/PS yang telah

    diberi perlakuan plasma nitrogen menunjukkan hasil yang

    lebih baik dibandingkan dengan QCM/PS tanpa plasma

    untuk masing-masing berat molekul polistiren dan antigen

    yang diberikan.

    5.2. Saran Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah dilakukan

    kajian lebih lanjut mengenai jenis interaksi imobilisasi yang terjadi

    antara gugus C≡N dan Salmonella enteriditis.

  • 47

    DAFTAR PUSTAKA

    Aguilar, R.G. & López, J.O., 2011. Low cost instrumentation for

    spin-coating deposition of thin films in an undergraduate

    laboratory. Latin-American Journal of Physics Education, 5(2),

    hal.368–373.

    Anon, 2011. Data Sheet Tms-1200 TopMap.

    Anon, 1995. DSC Measurement of Polystyrene.

    Anon, 1992. STRI GUIDE 92/1 Hydrophobicity classification guide.

    Swedish Transmission Research Institute. Available at:

    http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intit

    le:Hydrophobicity+Classification+Guide#0.

    Bai, Q. & Huang, X., 2016. Using Quartz Crystal Microbalance for

    Field Measurement of Liquid Viscosities. Journal of Sensors,

    2016.

    Bernstein, M.P., Sandford, S.A. & Allamandola, L.J., 1997. The

    Infrared Spectra Of Nitriles And Related Compounds Frozen.

    The Astrophysical Journal, 20(1983).

    Blanca A.G. Rodriguez, Erika K.G. Trindade, Diego G.A. Cabral,

    Erika C.L. Soares, Cayo E.L. Menezes, Danielle C.M.

    Ferreira, Renata K. Mendes & Rosa F. Dutra. 2015.

    Nanomaterials for Advancing the Health Immunosensor,

    Biosensors - Micro and Nanoscale Applications, Dr. Toonika

    Rinken (Ed.), InTech, DOI: 10.5772/61149.

    Brena, B., González-pombo, P. & Batista-viera, F., 2013.

    Immobilization of Enzymes : A Literature Survey. , 1051.

    Bruno, N. & Marek, P. ed., 2013. Geology and Mineralogy Research

    Developments : New Developments in Quartz Research:

    Varieties, Crystal Chemistry and Uses in Technology :

    Varieties, Crystal Chemistry and Uses in Technology, New

    York: Nova Pulishers.

    Chen, H.X., 2015. Study on Liquid QCM Sensor Design and its

    Response Model. Applied Mechanics and Materials, 742,

    hal.32–35. Available at:

    http://www.scientific.net/AMM.742.32.

    Chi, T, T Ballinger, R Olds, M Zecchino, Characterizing Surface

    Texture High and Low Pass Filters.

  • 48

    Cláudia, S., Martins Silveira, Martins Claudia Miranda, Maria

    Larissa, Guedes Cidrão. Santaella Sandra Tédde, 2013. Immobilization of microbial cells : A promising tool for

    treatment of toxic pollutants in industrial wastewater. , 12(28),

    hal.4412–4418.

    Doyle, W.M., Principles and Applications of Fourier Transform

    Infra- red ( FTIR ) Process Analysis.

    Ebnesajjad, S. & Ebnesajjad, C.F., 2014. Surface Treatment of

    Materials for Adhesive Bonding second edi., Waltham, USA:

    Elsevier Inc.

    Ferreira, G.N.M., da-Silva, A.-C. & Tomé, B., 2009. Acoustic wave

    biosensors: physical models and biological applications of

    quartz crystal microbalance. Trends in biotechnology, 27(12),

    hal.689–697.

    Ghosh, P., 2006. Polymer Science Molecular Weights of Polymers.

    Gray, J.E., 2011. Materials Science and Technologies : Polystyrene:

    Properties, Performance and Applications, New York: Nova

    Science Publishers, Inc.

    Kaplonek, W. & Czeslaw, L., 2012. Coherence Correlation

    Interferometry in Surface Topography Measurements, Recent

    Interferometry Applications. Topography and Astronomy,

    hal.1–27.

    Llanes, Doris Susana, Hempel Ulrike, Ocampo Aquiles, 2006. Interface Layer to Improve Polystyrene Attachment on Quartz

    Crystal Microbalance Resonator. , hal.9–19. Liu, Q. & Schutzer, D., 2010. Cell-Based Biosensors Principles and

    Applications, Norwood: Artech House.

    Masruroh, D.J.D.H Djoko, Lalu A. Didik, Eka Rahmawati, Masdiana

    Pagaga, Abdurrouf & S.P Sakti, 2014. Solvent effect on

    morphology of polystyrene coating and their role to

    improvement for biomolecule immobilization in application of

    QCM based biosensor. Applied Mechanics and Materials, 530–

    531, hal.54–57.

    Meliyadi, Lalu Ahmad Didik. 2014. Pengaruh Kloroform Dan

    Toluena Sebagai Pelarut Polistiren Terhadap Pelapisan Zinc

    Phthalocyanine (ZnPc) Pada Permukaan QCM Untuk

    Meningkatkan Imobilisasi Protein. Malang : Universitas

    Brawijaya.

  • 49

    Montagut, Yeison, García José Vicente, Jiménez Yolanda,

    March Carmen, Montoya Ángel, Arnau Antonio, 2008. QCM Technology in Biosensors.

    Pal, D., Neogi, S. & De, S., 2015. Surface modi fi cation of

    polyacrylonitrile co-polymer membranes using pulsed direct

    current nitrogen plasma. Thin Solid Films, 597, hal.171–182.

    Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.tsf.2015.11.050.

    Pavia, Donald L., Gary M Lampman, George S.Kriz, 1979.

    Introduction to Spectroscopy. Bellingham : Harcourt Brace

    College Publishers.

    Pye, D., 2003. Practical Nitriding and Ferritic Nitrocarburizing,

    USA: ASM International.

    Rober