Upload
truongthuan
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
29
BAB V
PENGARUH ETNOSENTRISME TERHADAP PERTUKARAN PESAN DALAM KOMUNIKASI ANTAR MAHASISWA UNIVERSITAS
KRISTEN SATYA WACANA YANG SALING BERBEDA LATAR BELAKANG BUDAYANYA
Pada bab ini penulis akan memaparkan hasil penelitian berupa data yang
sudah diseleksi sedemikian rupa serta menganalisanya dengan konsep - konsep
yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya untuk menjawab tujuan pertama dari
penelitian ini. Penyajian bab ini sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan
oleh penulis yakni secara deskriptif dalam memaparkan data - data yang ada.
Pertukaran pesan dititik beratkan pada pertukaran simbol yang bermakna
yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latarbelakang budayanya, khususnya
dalam 3 kasus yang sudah diteliti oleh penulis. Pertukaran simbol yang dimaksud
dapat berupa kata - kata atau kalimat yang disampaikan secara lisan maupun
tertulis dan komunikasi non verbal yang disampaikan dalam interaksi antar dua
orang yang berbeda latarbelakang budayanya.
5.I. Pengaruh Etnosentrisme Terhadap Pertukaran Pesan dalam
Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa UKSW di Kegiatan PSBI tahun
20121
Penulis terjun langsung ke lapangan untuk mecermati pertukaran
pesan dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi selama kegiatan PBSI
tahun 2012 yang terselenggara dari tanggal 14 April 2012 sampai 28 April
2012. Kegiatan ini merupakan satu rangkaian kegiatan dalam rangka
Pekan Olahraga Mahasiswa. Dalam jadwal kegiatan yang terlampir dapat
dicermati bahwa kegiatan PSBI terselenggara dari tanggal 26 April - 28
April 2012. Kegiatan ini diselenggarakan di lapangan basket UKSW dan
1 Dalam kasus ini, semua narasumber menggunakan nama samaran, sesuai dengan persetujuan dari penulis dengan narasumber
30
Balairung UKSW. Terdapat beberapa stand setiap etnis yang mengikuti
kegiatan ini dengan hiasan sesuai ciri khas dari masing - masing etnis serta
memamerkan makanan khas dari etnis tersebut dan ada satu panggung
untuk menampilkan tari - tarian dari setiap etnis.
Selama penulis mengamati acara PSBI tahun 2012 ini ada beberapa
hal yang dicermati yakni bagaimana ketika suatu etnis melakukan
pertunjukan tari - tariannya, penonton yang merupakan etnis tersebut
merasa bangga dan ikut bergabung, namun penonton yang merupakan
etnis lain sibuk dengan etnisnya masing - masing, kesibukan yang
dilakukan seperti mengobrol dengan etnisnya, foto - foto bersama, dan
sebagainya. Bentuknya tidak berbaur melainkan kumpul dengan etnis
masing - masing di stand mereka. Dalam acara terakhir yang merupakan
puncak acara ada penampilan dari band - band gabungan etnis terdapat
sedikit kericuhan. Hal ini diakibatkan oleh mahasiswa dari beberapa etnis
yang masuk kelapangan basket berbau akohol atau sudah meminum
minuman keras di luar tempat kegiatan. Ketika band etnis Poso dan Papua
menunjukan kebolehannya, teman - teman dari etnis Poso yang sedang
mabuk menaiki panggung dan menari - nari diatas panggung. Awalnya
aksi ini didiamkan, namun selang beberapa menit melihat beberapa orang
tersebut melepaskan baju dan melompat - lompat diatas panggung,
akhirnya satpam atau petugas keamananpun menertibkan satu - persatu
penonton yang sedang mabuk dari atas panggung. Tidak berhenti disana,
setelah turun dari panggung masih terjadi perdebatan antara satpam dan
salah seorang dari etnis tersebut. Perdebatan ini mulai mereda ketika
Pembantu Rektor 3 datang dan menenangkan suasana.
Simbol yang ditemukan oleh penulis ketika mencermati tingkah
laku atau bahasa tubuh dari etnis Poso yang menari - nari diatas panggung
dengan kondisi mabuk, yakni ; meloncat - loncat, sambil menggeleng -
gelengkan kepala dan beberapa ada yang melepas baju, ada pula yang
melakukan atraksi melompat dari atas panggung ke bawah panggung.
31
Tidak sedikit penonton dari suku lainnya yang juga meminum minuman
akohol dalam acara ini, namun mereka tidak melakukan hal tersebut.
Setelah ditelusuri dan penulis wawancarai secara tidak langsung dari
beberapa orang dari suku lainnya yang pada saat tersebut melihat kejadian
tersebut, salah satunya sebut saja Sonson yang menyampaikan
pendapatnya :
"kampungan sekali itu mereka diatas begitu, kalau kami minum ya hanya untuk senang - senang tapi tahu batasan dan bisa kontrol, tidak seperti mereka yang malah membuat onar".
Setelah kejadian tersebut reda, penulis mewawancarai pula salah
seorang yang sedang mabuk dari suku Poso atau pelaku utamanya sebut
saja Tintin mengatakan :
"asyiikkk pak broo, ini khan acara mahasiswa, yaa wajarlah kalau kami turut bahagia dan merayakannya".
Dari kejadian ini dapat dikatakan bahwa sekelompok etnis Poso
ingin merayakan kegembiraannya dengan menari - menari girang diatas
panggung, namun gerak - gerik atau bahasa tubuh mereka ditanggap oleh
suku lainnya kampungan atau pembuat onar.
Sesuai dengan konsep yang sudah dipaparkan bahwa etnosentrisme
adalah "paham" di mana para penganut suatu kebudayaan atau suatu
kelompok suku bangsa merasa lebih superior daripada kelompok lain
diluar mereka. Hal ini dapat membangkitkan sikap "kami" dan "mereka",
serta kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan perilaku
dalam kultur sendiri sebagai lebih baik, lebih logis, dan lebih wajar
daripada dalam kultur lain. Dalam pertukaran pesan yang dalam acara
PBSI, khususnya penulis menekankan kejadian pada hari terakhir, dimana
apa yang dilakukan oleh etnis Poso dirasa benar serta itu bentuk keluapan
dari kegembiraan dan wajar untuk dilakukan. Sedangkan etnis lain yang
melihat kejadian tersebut merasa terganggu dan melontarkan bahwa pesan
yang disampaikan melalui gerak - gerik etnis tersebut cenderung arogan
32
dan kampungan dengan menari sambil melompat - lompat dan membuka
bajunya diatas panggung. Ketika penulis mendekat dengan etnis Ambon
yang ikut menonton kegiatan tersebut, salah seorang sebut saja Yoyo
mengatakan :
"kalau kami mau mabuk ya memang buat senang - senang dan bagi kami mereka itu tidak mabuk, hanya begaya saja, karena kalau bagi kami mabuk itu harus sudah tepar itu baru benar namanya mabuk".
Setiap etnis mempunyai pandangan atau makna tersendiri tentang
mabuk dan semuanya itu diukur melalui kebiasaan atau ukuran dari etnis
mereka masing - masing. Tanpa sadar tingkahlaku dan apa yang mereka
persepsikan tidak lepas dari pengaruh etnosentrisme. Dimana etnis Poso
yang menari - nari sambil meloncat - loncat dan membuka bajunya diatas
panggung mengungkapkan superior dari etnis mereka. Sedangkan
penerima pesan yakni etnis lainnya yang memaknai simbol dari perilaku
etnis Poso diatas panggung, menangkap pesan tersebut dengan pandangan
dunia, nilai - nilai, kepercayaan, dan perilaku dari etnis mereka sendiri.
Tanpa disadari bahwa sikap "kami" dan "mereka" muncul dari komunikasi
antarbudaya yang telah dicermati oleh penulis dalam acara PSBI 2012.
5.2. Pengaruh Etnosentrisme Terhadap Pertukaran Pesan dalam
Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa UKSW dalam kalangan Kost
KFC Putri2
Berawal dari status facebook (FB) yang saling menyindir pada
tanggal 29 Maret 2012 yang diterbitkan oleh beberapa orang mahasiswi
UKSW yang tinggal disatu atap yakni di kost putri KFC. Nyindir -
menyindir sudah dilakukan selama dua hari, bermula dari satu kelompok
yang merasa tidak suka dengan keadaan kost yang ribut, menuangkan
kekesalannya melalui status FB dan kelompok yang merasa tersindir tidak
2 Narasumber pada kasus ini menggunakan nama samaran, sesuai persetujuan penulis dengan narasumber, bahwa penulis tidak akan mempublikasikan identitas dari narasumber
33
terima dengan cara penyampaian kelompok tersebut melalui media sosial.
Dari pengakuan salah satu narasumber pada tanggal 1 April 2012 pukul 11
malam akhirnya mereka berdua bertemu. Pertama diawali dengan
komunikasi yang baik dengan kata maaf dari salah seorang kelompok yang
mengkritik melalui media sosial, namun satu orang lainnya sebut saja
Nunun tidak terima dan mengeluarkan kata :
“jangan kalian kira saya anak baru di kos ini terus kalian bisa sesuka hati
disini”.
Sejak perkataan tersebut keluar, perdebatan diantara dua kubupun
tidak terhenti, bahkan membawa suku dari masing - masing kelompok.
Nunun mengatakan
"ini adalah tanah Jawa, kalian cuma pendatang, jadi ya harus ikut aturan
main disini".
Suasana yang berbau emosi akhirnya membuat salah seorang,
sebut saja Susi menampar Nunun dan merekapun mulai berkelahi. Setelah
dilerai akhirnya berhenti, namun Nunun mengatakan :
“what your f*ucking mouth!!! Pergi lo semua dari sini, jadi pendatang gak
tau diri !!!"
Mendengar kalimat ini salah satu teman Susi sebut saja Finy
menghantam dan menendang Nunun. Diperlukan waktu kurang lebih 5
menit untuk melerai Finy yang sedang mengamuk. Setelah mendapat
pukulan dan tendangan yang keras akhirnya Nunun diam dan teman -
teman yang lainnya sepakat untuk menghapus status - status FB yang
berkaitan dengan kejadian ini, dan beberapa hari kemudian Nunun pindah
dari kost putri KFC.
Ketika penulis mewawancarai salah seorang sebut saja Finy yang
melakukan pemukulan tersebut, ia mengatakan bahwa
34
"ini kost sudah dari dulu memang kondisinya ribut, bahkan di lantai 3 juga sering ribut, jangan dikira kami takut, kami gak salah kow, jelas - jelas dia tidak bisa diajak kompromi".
Pendapat ini berbeda dengan lawannya yang menganggap bahwa
ini tanah Jawa dan seharusnya para pendatang atau yang bukan etnis Jawa
harus bisa mengikuti aturan atau budaya yang ada di Jawa. Nunun
menegaskan hal tersebut melalui pernyataannya :
"saya sebenarnya anak baru dan angkatan 2011, tapi saya tidak takut
dengan mereka, karena saya tahu saya benar bahwa ini tanah Jawa dan
seharusnya mereka bisa memahami bagaimana budaya Jawa itu, masak ya
tinggal di tanah Jawa tidak ada sopan santun".
Sopan santun yang dimaksud adalah perilaku dari teman - teman
Susi dan Finy dimana mereka cenderung ribut atau berteriak - teriak di
kost putri KFC.
Kelompok Susi dan Finy terdiri dari berbagai etnis , namun yang
mendominasi adalah etnis Minahasa. Mereka merasa bahwa mereka ribut
itu sudah biasa dan tidak terima dengan anak baru yang baru datang dan
sudah menyindir - nyindir melalui media online. Susi menyampaikan
pendapatnya :
"Masak tidak bisa dibicarakan secara langsung, padahal ya sering bertemu dan kamar juga bersebelahan".
Temannya yang lain sebut saja Ririn beranggapan bahwa
seharusnya Nunun sebagai anak baru bisa bersikap baik dengan berkenalan
terlebih dahulu serta mengenal kondisi kost terlebih dahulu.
Dari kasus diatas dan kronologi kejadian yang diperkuat dengan
pendapat dari masing - masing kelompok dapat dicermati bahwa
pertukaran pesan secara langsung, maupun tidak langsung berujung
pertikaian. Pertukaran pesan yang dititik beratkan pada pertukaran simbol
dalam kasus ini, yakni ; tertulis melalui media sosial, lisan dan dari gerak -
35
gerik tubuh masing - masing kelompok ketika sedang melakukan
komunikasi antarbudaya. Guna mengetahui lebih detail, maka penulis
menganalisanya dengan membagi menjadi dua, yakni ; 1) Pertukaran
simbol melalui tulisan di media sosial, dimana kelompok Nunun dari etnis
Jawa menyampaikan kekesalannya melalui media sosial, dan ketika hal
tersebut diketahui oleh kelompok Susi dan Finy yang sebagian besar
anggotanya dari etnis Minahasa tersinggung dengan tulisan - tulisan yang
berisi kritikan terhadap kelompoknya. Walaupun sebagian besar dari
tulisan - tulisan status tersebut tidak terekam oleh penulis, karena pada
akhirnya kedua kelompok bersepakat untuk menghapus semua status
tersebut, tetapi penulis mendapatkan keterangan langsung dari para pelaku
komunikasi antarbudaya tersebut. Dimana maksud dari kelompok Nunun
hanya untuk bercerita di media sosial dan mendapatkan perhatian dari
teman - teman facebook-nya. Namun hal ini dianggap berbeda dengan
kelompok Finy yang merasa bahwa sikap ini merupakan simbol dimana
mereka berbicara kepada orang - orang umum untuk menjelek - jelekan
kelompok Susi dan Finy. 2) Pertukaran simbol secara lisan atau langsung,
ketika kedua kelompok tersebut bertemu untuk menyelesaikan
permasalahan. Namun pada faktanya data yang didapat penulis dari
wawancara, permasalahan tersebut tidak selesai melainkan terjadinya
pertikaian dari kedua kelompok. Hal ini disebabkan satu kelompok dengan
kelompok lainnya merasa sama - sama benar dan berbicara dengan
emosional yang tinggi, terlihat dari kalimat - kalimat yang keluar dalam
perdebatan, terlebih sampai pada tamparan dan penonjokan yang terjadi.
Dua pemahaman besar dari masing - masing kelompok, yakni ;
kelompok Nunun merasa bahwa kost putri KFC ini berada di tanah Jawa,
sehingga ia beranggapan seharusnya yang tinggal dikost putri KFC ini bisa
mengikuti budaya Jawa. Seperti misalnya ; tidak ribut, kalem, tenang, dan
sebagainya. Hal ini menjadi penekanan dari kelompok Nunun. Bebeda
dengan kelompok Susi yang menekankan bahwa kost putri KFC dari dulu
36
memang sudah mempunyai kondisi yang ribut atau ramai. Perdebatan
yang saling merasa benar dengan pandangan mereka masing - masing ini
membuat pertikaian terjadi.
Tanpa disadari pertukaran pesan yang dilakukan dalam
komunikasi antarbudaya secara langsung ini, tidak ada tahap tolenrasi
melainkan semua pihak merasa benar sesuai dengan cara pandang mereka.
Sehingga dalam melakukan pertukaran pesan secara tertulis di media
sosial maupun secara lisan tidak menemukan jalan damai. Hal ini
menegaskan bahwa sikap "kami" dan "mereka" muncul pada kelompok
etnis masing - maisng yang tinggal di kost putri KFC Salatiga. Serta
kecenderungan dari setiap kelompok untuk melihat tingkah laku kelompok
lainnya melalui kacamata kultur dari setiap etnis mereka sendiri.
5.3. Pengaruh Etnosentrisme Terhadap Pertukaran Pesan dalam
Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa UKSW dalam Rapat BPMU
UKSW Periode 2011/2012
Ada beberapa macam rapat yang sudah dilakukan oleh BPMU
selama 1 periode tahun 2011 - 2012, yakni ; rapat komisi, rapat
keseluruhaan berupa koordinasi dan ada rapat sidang pleno yang berfungsi
untuk mengambil suatu keputusan. Penulis melakukan pengamatan dan
lebih memperdalam dengan wawancara langsung ketua BPMU UKSW
periode 2011 - 2012. Menurut keterangannya dokumen atau notulensi -
notulensi rapat banyak yang berantakan dalam artian pengarsipan kurang
rapi dikarenakan sekretaris yang tidak pernah menghadiri rapat.
Begitu banyak rapat yang telah dilakukan oleh BPMU UKSW,
namun penulis hanya akan mengambil sebuah rapat pleno atau rapat
pengambilan keputusan oleh BPMU. Salah satu agenda dari rapat pleno
yang dilakukan oleh BPMU UKSW adalah penjatuhan sanksi terhadap
Senat Mahasiswa Universitas (SMU) karena telah menyelenggarakan
37
kegiatan diluar sepengetahuan BPMU. Seperti yang sudah dikatakan oleh
penulis diawal bahwa pengarsipan atau dokumentasi dari notulensi tidak
ada. Namun ketua BPMU memberikan keterangan perdebatan yang
terjadi;
"Waktu itu perdebatan terjadi memang diantara semua fungsionaris, tapi pada akhirnya mengerucut hanya antara komisi program dan anggran. Komisi anggaran ingin seluruh program SMU di bidang tersebut dibekukan, sementara teman dari komisi program berpikir kalau misalnya dibekukan yang rugi adalah mahasiswa, mhasiswa tidak dpt menikmati program yang sudah terjadwalkan akan berjalan dalam waktu dekat dalam bidang itu. Komisi anggaran tetap bersikeras agar supaya SMU ke depan tidak main - main lagi. Akhirnya kita musyawarah terus, tidak smpai parah sih kak, tapi intinya ada perdebatan, masing - masing mempertahankan pendapatnya, tapi puji Tuhan bisa ditengahi dan sepakat bahwa sanksinya adalah hanya program itu yang dibekukan"
Dalam rapat pleno ini mengalami perdebatan panjang dalam
menentukan bentuk sanksi untuk SMU UKSW, akhirnya terdapat dua
pilihan yakni apakah melakukan pembekuan kegiatan tersebut atau
kegiatan satu bidang secara keseluruhan sesuai dengan penjelasan dari
ketua BPMU diatas. Namun bukan melihat hasil dari rapat tersebut, tetapi
penulis lebih mencermati bagaimana proses komunikasi antarbudaya
dalam rapat tersebut. Keterangan dari ketua BPMU UKSW bahwa rapat
yang berlangsung tidak kondusif, dikarenakan banyak yang berbeda
paham, hal ini ditegaskan melalui pendapatnya :
"Seperti misalnya saya dari Ambon berdebat dengan etnis Batak yang sama - sama mempunyai suara yang keras, membuat teman - teman yang dari etnis Jawa tidak terbiasa dengan keadaan tersebut, dan mereka mengira kami sedang saling marah"
Tidak hanya mewawancarai ketua BPMU UKSW, penulis juga
melakukan wawancara dengan salah seorang anggota BPMU UKSW yang
merupakan peserta rapat pleno tersebut, namun dari etnis yang berbeda
yakni Jawa. Ia mengatakan bahwa paling malas mengikuti rapat pleno
38
tersebut, karena perdebatan yang tidak ada ujungnya, dan tidak
mencerminkan sebagai seorang mahasiswa yang berbicara diforum tetapi
tidak mempunyai etika, dalam artian dengan melakukan bentak - bentakan
atau berupa gertakan. Sedangkan berbeda dengan pandangan ketua BPMU
UKSW, walaupun rapat tidak berjalan dengan kondusif, paling tidak
perdebatan yang terjadi merupakan suatu bentuk pelajaran dan konflik
dalam rapat itu wajar. Hal ini disampaikan pula oleh salah seorang senior
LK etnis Ambon yang mengatakan bahwa :
"perdebatan atau konflik yang terjadi didalam organisasi itu adalah wajar, dan terkadang konflik tersebut mempercepat pendewasaan dari organisasi tersebut".
Pertukaran pesan dalam komunikasi antarbudaya dalam rapat pleno
BPMU UKSW mempunyai dua pandangan yang berbeda dari masing -
masing etnis. Beberapa orang etnis Jawa cenderung lebih tertarik untuk
diam dan tidak mengikuti perdebatan karena mereka menganggap banyak
hal yang sebenarnya bisa dilakukan dengan diskusi dengan baik dibanding
dengan mengeluarkan gertakan - gertakan dengan nada yang tinggi
membuat para peserta sidang tidak nyaman lagi. Namun berbeda dengan
etnis Ambon, Batak yang terbiasa dengan berbicara dengan nada yang
keras, mereka menganggap hal itu wajar saja.
Berbeda dari kasus - kasus sebelumnya, dimana pertukaran simbol
dan pesan dapat dicermati dengan jelas, sedangkan dalam kasus ini, dalam
pertukaran pesan cenderung lebih susah untuk dicermati. Hal ini
dikarenakan pertukaran simbol tersebut hanya sampai pada taraf
pengambilan sikap tidak ada komunikasi dua arah yang menunjukan
perilaku balik dari etnis Jawa ketika mengikuti rapat pleno tersebut, misal ;
melakukan protes terhadap cara komunikasi dari etnis lainnya, khususnya
etnis Ambon dan Batak yang seringkali berbicara dengan nada keras.
Namun sebagian etnis Jawa cenderung lebih mengambil sikap diam dan
mendengarkan perdebatan tersebut.
39
Sehingga pertukaran pesan yang terjadi dalam komunikasi
antarbudaya di rapat pleno BPMU UKSW ini disadari atau tidaknya
terdapat pengaruh etnosentrisme dalam menyampaikan dan menerima
simbol - simbol dari etnis lainnya, hal ini dibuktikan dengan beberapa hal,
yakni ; 1) Etnis Ambon dan Batak merasa benar dan sudah baik ketika
melakukan perdebatan dengan nada yang tinggi, 2) Etnis Jawa sebenarnya
merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut, namun lebih cenderung
untuk berdiam dan tidak menyampaikan pendapatnya atas ketidak
nyamanan dalam rapat pleno tersebut.
Tiga kasus yang telah diteliti penulis untuk menggambarkan
pengaruh etnosentrisme terhadap pertukaran pesan yang berbeda
budayanya dikalangan mahasiswa UKSW , yakni ;
1) Kasus Pentas Seni dan Budaya UKSW tahun 2012, dimana pertukaran
simbol - simbol terjadi dari gerak - gerik tubuh etnis Poso ketika
sedang mabuk, menari - nari diatas panggung sambil membuka baju
dan meloncat - loncat diacara terakhir PSBI. Dimana hal ini ditonton
oleh berbagai etnis yang hadir dalam acara tersebut dan mempunyai
pandangan masing - masing ketika melihat simbol dari gerak - gerik
kelompok etnis Poso tersebut. Kecenderungan dalam melihat atau
memandang menggunakan kacamata dari etnis masing - masing.
2) Kasus pertukaran pesan mahasiswi UKSW yang tinggal di kost putri
KFC Salatiga, dimana terdapat dua kelompok besar yakni kelompok
Nunun dari etnis Jawa dan kelompok Susi dan Finy yang sebagian
besar anggotanya dari etnis Minahasa. Pertukaran simbol terdapat dua
hal, yaitu ; secara tertulis melalui media sosial dan secara lisan ketika
ingin menyelesaikan masalah. Namun yang terjadi adalah pertikaian
sampai pada tahap perilaku tamparan dan penonjokan. Hal ini terjadi
karena pertukaran pesan tersebut dilakukan tanpa adanya toleransi
40
antar kedua etnis, terlebih masing - masing kelompok merasa benar
dengan pendapat dan perilaku mereka.
3) Kasus rapat pleno BPMU UKSW periode 2011 - 2012 dalam
mengambil keputusan sanksi terhadap SMU UKSW, dimana penulis
meneliti proses komunikasi yang terjadi didalam rapat tersebut. Tata
cara berbicara dalam perdebatan mempunyai kesan berbeda dari setiap
etnis yang tergabung dalam anggota BPMU UKSW periode 2011 -
2012. Etnis Ambon dan Batak merasa sudah terbiasa dalam
menyampaikan pendapat dengan menggunakan nada yang tinggi,
berbeda dengan etnis Jawa yang merasa kurang nyaman ketika
perdebatan terjadi dengan mendengarkan suara - suara yang bernada
tinggi tersebut. Namun etnis Jawa cenderung tidak memprotes cara
berkomunikasi dari etnis Ambon dan Batak, tetapi lebih mengambil
sikap untuk diam.