Upload
lyphuc
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS GIZI
DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN
DIFFAH HANIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
ABSTRACT DIFFAH HANIM, Effect of Selenium and Iodine Supplement on Blood Profile Nutritional Status and IQ-Score of School Children with Some Attributes of Cretinism. Supervised by RIMBAWAN, ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO.
Iodine Deficiency Disorder (IDD) is a public health problem especially for school-aged children living in endemic area. This condition might be worsen if the children have moderate or severe stunted and undernutrition together with IDD. This interaction was observed in this study. This study was aimed to investigate levels of some biochemical parameters, nutritional status and IQ score in school-aged children with iodine deficiency in endemic area of Boyolali Regency, Central Java. The before and after quasi experimental study design was implemented. The samples of study were school-aged children (9-12 years) suffering from iodine deficiency and Protein Energy Malnutrition (PEM) and attributed 6-11 sign of cretinism. A total number of 115 children were selected as study samples. Sampling was conducted purposively. Selenium (Se) and Iodine (I) of plasma, Haemogloblin (Hb) and Haematocrite (Ht) levels, and score of index Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC), nutritional status, and IQ score activity were determined. The group of treatments were Se supplement (n=34), I supplement (n=35), Se and I supplement (n=18) and placebo (n=28). The amount of Se and I given per day were 45 μg and 50 μg respectively. The study showed that before treatment the prevalence anemia based on Hb<11.5 g/dl and Ht<35% were 1.7% and 14% respectively, while microcytic and macrocytic anemia were 31% (based on MCV), 20% (based on MCH). When MCHC was used as a parameter, hypochromic and hyperchromic anemia were found 34%. Other cases such as leucopenia was observed 20.4% and deficiency of erythrocyte was 14.6%. Prevalence of Se and I deficiencies were very high (97.4% and 81.7% respectively). Anthropometrically 35% of samples were stunted and 34% were underweight. Score IQ as measured by Raven’s method showed that all of children who suffered from very severe deficiency of Selenium and Iodine (24.3% of the total samples) had IQ score lower than 25 (Idiot), 13% with IQ score between 25-40 (Imbecile), 10.7% with IQ score between 40-55 (Moron) and 8.7% with IQ score between 55-70 (borderline). Attribute of cretinism was found 6-11 signs. The nutritional status of the children were found better after all treatments. After treatments no cases of anemia based on Hb and Ht (p>0.05) were observed. Treatment with Se increased plasma Se (+2.76μg/dl) and I (+1.35μg/dl) which were higher than other treatments. Supplementation with Se improved blood profiles in term of leucocyte, MCV, plasma Se and I (p<0.01), and also increasing nutritional status based weight for age and IQ score (p<0.05). Iodine supplementation increased IQ score (p<0.01), and nutritional status based on height for age (p<0.05). Selenium and Iodine supplementation improved blood profiles in term of erythrocyte, MCH and MCHC (p<0.01). Based on LSD test, it was concluded that supplementation of 45 μg Se/day for two months may provide better response than supplementation of 50 μg I/day or supplementation of Se and I at the same time when intervention was conducted to 9-12 years old children with 6-11 cretinism signs. KEYWORDS: Nutritional Status, Score IQ, MCV, MCH, MCHC, Selenium, Iodine,
School Children with Cretinism Attributes
RINGKASAN
DIFFAH HANIM, Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium terhadap Profil Darah, Status Gizi dan Skor IQ Anak dengan Tanda Khas Kretin. Dibimbing oleh RIMBAWAN, ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO.
Gangguan akibat kurang iodium (GAKI) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama pada anak sekolah dasar yang tinggal di daerah endemik GAKI. Kondisi ini diperparah dengan adanya masalah kurang energi protein baik yang diukur menggunakan indikator berat badan maupun tinggi badan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur parameter biokimia, status gizi, skor IQ dan jumlah tanda khas kretin pada anak yang tinggal di daerah endemik GAKI.
Desain penelitian menggunakan Experimental Kuasi dengan sampel anak umur 9-12 tahun yang masih aktif dan tercatat di sekolah dasar (SD) daerah endemik GAKI, Boyolali Jawa Tengah. Jumlah sampel 115 anak penderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin. Sampel dipilih secara purposive tetapi SD dialokasikan secara random ke dalam empat kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan meliputi suplemen selenium 45 μg/hari (n=34), suplemen iodium 50 μg/hari (n=35), suplemen selenium+iodium (n=18) dan plasebo (n=28). Suplemen diberikan setiap hari selama dua bulan. Indikator profil darah yang diperiksa meliputi kadar Hb, Ht, jumlah eritrosit, leukosit, kadar MCV, MCH dan MCHC. Status gizi dengan indikator Z-skor BB/U dan TB/U. Skor IQ diukur dengan Set Test Raven (1995).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum perlakuan profil darah menurut kadar Hb ada 1.7% anak yang menderita anemia, berdasar kadar Ht ada 14% penderita anemia. Berdasarkan kadar MCV jenis anemia (microcytic dan macrocytic) ada 31%, menurut MCH jenis anemia (microcytic dan macrocytic) ada 20%. Hasil pemeriksaan MCHC menunjukkan jenis anemia (hipokromik dan hiperkromik) ada 34%. Jumlah anak yang kekurangan eritrosit ada 14.6% dan yang menderita Leukopenia ada 20.4%. Prevalensi defisiensi Se ada 97.4% dan defisiensi I sebesar 81.7%, sedangkan prevalensi stunted 35% dan underweight sebesar 34%. Skor IQ dengan metode Raven menunjukkan bahwa semua anak yang menderita defisiensi selenium dan iodium (24.3%) memiliki skor IQ kurang dari 25 (Idiot), ada 13% dengan IQ=25-40 (Imbecile), sebanyak 10.7% memiliki IQ=40-55 (Moron) dan 8.7% dengan IQ=55-70 (garis batas normal). Jumlah tanda khas kretin ada 6-11 tanda sehingga belum dapat meyakinkan untuk disebut kretin baru (15 tanda).
Setelah perlakuan meskipun tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) dalam hal kenaikan Hb tetapi mampu mengubah angka 1.7 % anak dengan kadar Hb rendah, menjadi normal (11.7-17.1 g/dL). Suplementasi Se dan I menunjukkan perubahan kadar Ht dari 18-48.5% menjadi 32.99-49.8% (p>0.05). Suplementasi Se dan I dapat memperbaiki jenis anemia mikrositik dan makrositik baik hipokromik maupun hiperkromik menjadi monositik-monokromik secara nyata (p<0.001) dibandingkan plasebo. Perubahan plasma Se dan I pada
kelompok perlakuan Se (+2.76μg/dL) lebih baik dibandingkan kelompok perlakuan I (1.35 μg/dL) dan plasebo (+1.2μg/dL).
Setelah suplementasi terjadi peningkatan status gizi pada semua kelompok perlakuan. Hasil paling baik ditemukan pada kelompok perlakuan suplemen selenium (3.04 kg) dengan kisaran kenaikan berat badan sebesar 1.96 – 3.04 kg (p<0.05). Pemberian suplemen I sebanyak 50 µg/hari memberikan pengaruh terbaik dengan rataan kenaikan tinggi badan 2.3 cm pada kisaran 1.2 – 3.5 cm (p<0.05). Pemberian suplemen Se sebanyak 45 μg/hari dan I sebanyak 50 μg/hari selama dua bulan dapat memperbaiki skor IQ anak (18 point) lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo. Jumlah tanda khas kretin turun satu point setelah pemberian suplemen selenium 45 μg/hari dan iodium 50 μg/hari selama dua bulan dari 6-11 tanda menjadi 5-10 tanda (p>0.05) dengan R(adjusted) sebesar 0.547.
Pemberian suplemen Se 45 μg/hari yang diminum setiap hari selama 2 bulan mampu memperbaiki profil darah, status gizi, skor IQ anak yang memiliki tanda khas ketin lebih baik dibandingkan dengan suplementasi I dengan dosis 50 μg/hari dalam waktu yang sama.
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS
GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN
DIFFAH HANIM
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Departemen Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
Halaman Pengesahan
Judul Penelitian : PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM
DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH,
STATUS GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN
TANDA KHAS KRETIN
Nama Mahasiswa : Diffah Hanim
NRP. : A 561030081
Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Rimbawan Ketua
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi Anggota Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Dekan Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 23 Januari 2008 Tanggal Lulus : 21 Februari 2008
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. drh. Nastiti Kusumorini, M.Sc
Dr.Ir. Hadi Riyadi, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Sunarno Ranu Wihardjo, MPH
2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2005 – Mei 2007 ialah masalah gangguan akibat kurang iodium (GAKI) dengan judul : PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Rimbawan selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir Ali Khomsan, MS ; Dr.Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, Dr.drh. Nastiti Kusumorini, M.Sc serta Dr.Ir. Hadi Riyadi, MS yang telah banyak memberi masukan saat ujian tertutup untuk perbaikan disertasi. Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Sunarno RW, MPH serta Dr. Ir. Anna Marliyati, MS yang telah memberi masukan sangat berharga saat ujian terbuka. Penulis juga menghaturkan terimakasih kepada dr. Sulis Lestari, dr. Syamsudin, M.Kes, dr. Mumpuni beserta seluruh staf DKK Boyolali dan staf Puskesmas Cepogo, Kab. Boyolali atas bantuan dan kerjasamanya yang baik selama pengumpulan data. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh staf Lab. Teknologi Maju BATAN Yogyakarta dan Lab. Klinik Prodia Surakarta serta semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu atas kerjasamanya yang baik selama penelitian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada:
Ytc. Ayahanda Zuhair (Alm) dan Ibunda Djulyunah Zuhair (Alm) atas segala doa dan kasih sayangnya kepada penulis sejak dalam kandungan hingga beliau wafat selalu mendukung proses belajar penulis. Kepada seluruh keluarga Bani Zuhair atas segala perhatian, pengertian dan bantuan materiil yang tak terhitung sehingga studi S3 ini dapat diselesaikan.
Yth. Rektor UNS, Prof. Dr. dr. Syamsul Hadi, SpKJ dan Ketua LPPM UNS, Prof. Dr. Sunardi, M.Sc serta Kepala Puslitbang PGKM, Prof. Dr. Ir. Sri Handajani, MS; Kepala dan Sekretaris P3G beserta semua staf peneliti khususnya Dra. Ismi DAN, MSi, Eva Agustinawati, S.Sos, MSi penulis sampaikan terimakasih yang tulus.
Yth. Dr. dr. AA Subiyanto, MS selaku Dekan FK UNS dan Prof. Dr. Bambang Suprapto, M.MedSci selaku Kepala Bagian Gizi Fak. Kedokteran UNS beserta seluruh staf Ilmu Gizi dan teman-teman sejawat di Jurusan IKM FK UNS khususnya dr. Bhisma Murti, MPH, Mphil, PhD dan Dra. Suci Murtikarini,M.Si di Bagian Anak RSUD. Moewardi, saudaraku Dra. Martini M.Si di Bagian Kimia FK UNS, serta Prof. Dra. Nurul M. MS di F.MIPA UNS atas doa dan nasehatnya, sahabat-sahabat saya lainnya di FK UNS Surakarta yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disampaikan terimakasih yang tulus.
Yth. Direksi PT. Kimia Farma (cq. Divisi Riset dan Pengembangan) melalui Drs. Dediwan, Apt. ; Dra. V. Ani Trimuryani, Apt. serta Drs. Imam Syaiful H, Apt. yang telah membantu formulasi dan produksi kapsul selenium selenat 45 μg dan kapsul iodium 50μg dan penyediaannya untuk suplementasi.
Yth. Direksi PT. Danone Aqua dan Biskuit yang telah membantu menyediakan minuman aqua bagi anak sekolah dasar untuk minum suplemen selama penelitian berlangsung, khususnya saudaraku Tani Sulaeman, SE, MBA,
saudaraku Dewi Larasati, SE,MM, saudaraku Inti W, SE,MM dan Drs. Seto BM., saya sampaikan terimakasih.
Yth. Prof.Dr.dr JB. Suparjatmo, Sp.PK (K), Dr.dr. AA Subiyanto, MS; dr. Sugeng Purwoko,M.MedSci, SpGK, dr. Endang Dewi Lestari, Sp.A(K) MPH atas bantuannya hingga peneliti memperoleh ijin/persetujuan etik kedokteran (Ethical Clearance) untuk pelaksanaan penelitian S3.
Ytc. Teman-teman Program Studi Gizi Masyarakat (GMK) SPS IPB tahun ajaran 2003 khususnya Dr. Ir. Sri Purwaningsih M.Si, Dr. Ir. Dwi Hastuti M.Si, Dr. Suryono, M.Si, Dr. Evawany A, M.Si, Dr. Esi Emilia M.Si, Dr. Ai Nurhayati, M.Si dan Ir. Zulhaida Lubis M.Si; Ir. Istiqlaliah M.Si, serta teman GMK tahun 2004 khususnya Dr.Ir. Dodik Briawan M.Si, sahabatku angkatan tahun 2005 khususnya Ir. C. Metti M.Sc serta seluruh civitas academica GMK IPB, teman se-rumah di Puri Hapsara (Bu Nanik UNHAS, Bu Sri Purwanti UNHAS, Bu Insun Sangaji UNPATI, Meisy dan Elly UNSRI, Rahmi Univ Jambi, Nisa UIN Syarifhidayatullah Jakarta, dan Iffah) tak lupa kepada saudaraku Dra. Eko Yuliastuti, MSi; Ir. Sri DAS, MSi dan saudaraku Dr. Ir. Endang Yuniastuti,M.Si sera teman-teman semua di Bogor dan Surakarta, penulis sampaikan rasa terimakasih yang dalam semoga Allah SWT senantiasa melapangkan semua urusan kita. Amin.
Ytc. Seluruh keponakanku yang tinggal di Jakarta (Mirdas, Reza, Achi, Nisa, Citra, Fauzia, Shifa), keponakanku di Surabaya dan Gresik (Radif, Ulil, Yomie, Offi, Emi, Diar dan Arma), keponakanku di Yogyakarta (Agaf, Wiga) keponakan di Cirebon (Iwan, Lukman, Lia, Iman, Ida) tante sampaikan terimakasih atas doa, perhatian dan pengertiannya selama tante mengambil S3 di Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan pemerhati masalah GAKI. Apabila terdapat kesalahan penulisan nama dan kekhilafan selama pelaksanaan penelitian dan perjalanan penyusunan disertasi ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Billahittaufik wal hidayah, Wassalam.
Bogor, Januari 2008
Diffah Hanim
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 20 Februari 1964 dari Ayah
R. Zuhair Durie dan ibu Hj. Djulyunah Humam. Penulis merupakan putri ke-9 dari sepuluh bersaudara.
Tahun 1983 penulis lulus dari SMA Muh. II Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk UNSOED Purwokerto pada Fakultas Biologi, Jurusan Zoologi. Selama penyusunan Skripsi penulis mendapat beasiswa dari UNOCAL-76, PERTAMINA dan lulus tahun 1988.
Sejak tahun 1990 penulis menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sebagai staf pengajar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Pada tahun 1993 melanjutkan pendidikan Pascasarjana S2 pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) IPB dengan beasiswa Proyek CHN-III Dikti dan lulus tahun 1996. Kemudian tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada SPS IPB, Program Studi GMK dengan beasiswa dari BPPS Dikti, Depdiknas.
Selama mengikuti program S3 penulis telah menghasilkan karya ilmiah berupa buku yang berjudul Menjadikan ‘UKS’ sebagai Upaya Promosi Tumbuh Kembang Anak Didik tahun 2005 yang diterbitkan oleh UGM Press, Yogyakarta dengan Editor Dr.Ir. Drajat Martianto, M.Si yang juga anggota komisi pembimbing disertasi penulis. Dua artikel ilmiah juga telag dihasilkan dengan judul : Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium Terhadap Status Gizi, Skor IQ dan Jumlah Tanda Khas Kretin pada Anak Sekolah Dasar yang diterbitkan pada Jurnal Kedokteran YARSI Vol. 16 No.1 Januari-April 2008 (Terakreditasi No. 23a/DIKTI/KEP/ 2004) serta artikel ilmiah lainnya dengan judul: Kajian Jenis Anemia Gizi Besi dan Status Gizi Anak Penderita ’GAKI’ Di Daerah Endemik Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah yang akan dimuat pada Jurnal Ilmiah Profesi Medika, Fakultas Kedokteran UPN ’Veteran’ Jakarta (Terakreditasi No. 39/DIKTI/KEP/2004).
Bogor, Januari 2008
Diffah Hanim
DAFTAR ISI
Halaman
Abstract ........................................................................................ i Ringkasan ........................................................................................ ii Halaman Judul ............................................................................ iv Halaman Pengesahan ................................................................ v Prakata ........................................................................................ vi Riwayat Hidup ............................................................................ viii Daftar Isi ............................................................................ x Daftar Tabel ............................................................................ xiii Daftar Gambar ............................................................................ xv Daftar Lampiran ............................................................................ xvii PENDAHULUAN
Latar belakang ................................................................ 1
Perumusan masalah ................................................................ 5
Tujuan penelitian ................................................................ 7
Kegunaan penelitian ................................................................ 8
Hipotesis ............................................................................ 8
TINJAUAN PUSTAKA Iodium dan Masalah GAKI .................................................... 9
Regulasi Kelenjar Thyroid. .................................................... 10
Dampak dari GAKI pada Berbagai Tahapan Perkembangan .... 14
Penilaian Status Iodium .................................................... 17
Kecukupan Iodium .............................................................. 18
Spektrum Kretin Endemik dan Kelainan Hipotiroid ................ 21
Selenium dan GAKI ……………………………………........ 27
Growth Spurt II Anak Sekolah .................................................... 30
Tes IQ pada Anak Sekolah Dasar ........................................ 34
Selenium, Perkembangan Fisiologi Otak dan Hasil Tes IQ ........... 35
Fisiologi dan Perkembangan Otak ……………………………...... 38
Darah dan Defisiensi Zat Gizi Mikro ........................................ 41
Eritrosit (Sel Darah Merah) .............................................. 42
Leukosit (Sel Darah Putih) ............................................... 43
Patofisiologi Anemia ..................................................... 44
Selenium, Fungsi, Sumber .................................................... 47
Kecukupan Selenium ................................................................ 50
Akibat Kekurangan dan Kelebihan Asupan Selenium................ 52
Penyerapan Selenium Organik dan Inorganik ............................ 55
Sistem Transpor dan Metabolisme Selenium ............................. 56
Status Selenium ................................................................. 57
Lama Intervensi dan Dosis Suplemen Se dan I ............................. 62
KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................... 63
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian .................................................... 64
Desain Penelitian ............................................................................ 65
Populasi dan Sampling ................................................................ 67
Variabel dan Definisi Operasional ............................................... 70
Cara Pengumpulan Data ................................................................ 75
Analisis Data ............................................................................ 76
Protokol Penelitian........................................................................... 77
H A S I L Hasil Penelitian Pendahuluan ……………………………........ 81
Hasil Penapisan Sampel ……………………………………........ 82
Hasil Penelitian Epidemiologi ……………………………….... 84
Karakteristik Anak menurut Hasil Pemeriksaan Laboratorium ...... 86
Hasil Pemeriksaan Profil Darah Rutin menurut Kelompok Perlakuan ..................................................... 86
Hasil Pemeriksaan Kadar Selenium dan Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan............................................. 91
Karakteristik Anak menurut Pemeriksaan Fisik ………………..... 94
Pengaruh Pemberian Suplemen terhadap Status Gizi.................. 94
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak ......................................... 100
Hasil Pengukuran Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan …………………………............ 100
Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan ................... 104
Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium
terhadap Jumlah Tanda Khas Kretin.................................... 109
PEMBAHASAN
Penapisan Sampel ....................................................... 111
Penapisan Tes IQ ................................................................... 111
Profil Darah Anak menurut Kelompok Perlakuan ................... 112
Kadar Selenium dan Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan ............................................................................... 120
Faktor yang Mempengaruhi Respon Profil Darah ................... 122
Status Gizi Anak menurut Kelompok Perlakuan ................... 127
Status Gizi berdasarkan standar CDC (WHO, 2000) menurut Kelompok Perlakuan ........................................... 127
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak ........................................... 132
Lingkar Lidah menurut Kelompok Perlakuan ...................
134
Skor IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan ................... 136
Jumlah Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan…............ 139
Faktor yang Mempengaruhi Respon Status Gizi ............................... 139
Analisis Normalitas Data dan Uji ANOVA ............................... 140
Analisis Regresi Logistik ....................................................... 141
Analisis Implikasi Kebijakan ....................................................... 142
Analisis Implikasi Keilmuan ....................................................... 143
Kebaruan Penelitian ....................................................... 143
Keterbatasan Penelitian ....................................................... 144
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ........................................................................................... 145
Saran ........................................................................................... 146
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 147
LAMPIRAN ............................................................................... 160
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Dampak Dfisiensi Iodium pada Organ dan Hormon Tikus ........... 14
2 Dampak Gangguan Akibat Kurang Iodium ................................... 16
3 Rekomendasi Asupan iodium ........................................................... 19
4 Upaya Penanggulangan GAKI oleh Depkes .................................. 20
5 Simtomatologi Kretin Endemik, Sengi (1974 –1999) ........... 21
6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Anak Diduga Kretin ........... 25
7 Matriks Hipotesis yang sudah Dibuktikan ....................... 30
8 Karakteristik Pertumbuhan Fisik dan Perubahan Komposisi Tubuh pada Masa Growth Spurt II ................................... 31
9 Kebutuhan Zat Gizi pada Puncak Growth Spurt II ....................... 33
10 Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven ....................... 35
11 Sumber dan Kandungan Selenium dalam Bahan Makanan ........... 43
12 Angka Kecukupan yang Dianjurkan untuk Selenium ...................... 44
13 Kadar Haemoglobin Normal pada Anak .................................. 50
14 Angka rata-rata dari Leukosit dan Angka Turunan / Diferensial pada Anak .......................................................... 52
15 Desain dan Lokasi Penelitian .......................................................... 67
16 Kriteria Inklusi untuk Penentuan Sampel Saat Penapisan .............. 68
17 Hasil Randomisasi SD untuk Penentuan Jenis Perlakuan ............... 70
18 Hasil Analisis Bio-availabilitas Kapsul Iodium dan Selenium 82
19 Besar dan Asal Sampel Penapisan ............................................. 84
20 Persentase Sebaran Partisipasi Responden ................................. 85
21 Hasil Analisis Profil Darah Rutin Anak Umur 9-12 tahun.............. 87
22 Hasil Analisis Pengukuran Biokimia Darah menurut Kelompok Perlakuan .......................................................... 88
23 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Leukosit pada Anak .................................................................................. 90
24 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Eritrosit pada Anak .................................................................................. 90
25 Hasil Analisis ∆ Kadar MCV pada Anak dengan Tanda Khas Kretin ...................................................................... 90
26 Hasil Analisis ∆ Kadar MCH pada Anak dengan Tanda Khas Kretin ...................................................................... 91
27 Hasil Analisis ∆ Kadar MCHC pada Anak dengan Tanda
Khas Kretin ................................................................... 92
28 Hasil Analisis Kadar Selenium dan Iodium dalam Plasma Darah Anak ................................................................... 93
29 Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Kelompok Perlakuan ........................................... 94
30 Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Kelompok Perlakuan ........................................... 94
31 Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Jenis Kelamin .................................................….. 94
32 Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Jenis Kelamin ........................................................ 95
33 Hasil Analisis ∆ Kadar Iodium dan Selenium Plasma ........ 95
34 Hasil Uji Beda Status Gizi menurut Kelompok Perlakuan ........ 96
35 Hasil Analisis Regresi Antropometri menurut Kelompok Perlakuan ........................................................ 97
36 Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan (Sebelum Perlakuan) ............................................. 98
37 Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan (Sesudah Perlakuan) ............................................. 99
38 Prevalensi Underweight menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan Sebelum dan Sesudah Suplementasi ................... 100
39 Prevalensi stunted menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan Sebelum dan Sesudah Suplementasi ................... 100
40 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak di Daerah Endemik GAKI menurut AKG (2004) ........................................................... 101
41 Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan ................... 103
42 Lingkar Lidah Anak menurut Jumlah Petanda Kretin.................. 103
43 Hasil Analisis Ukuran Lingkar Lidah dengan Faktor Anemia ..... 104
44 Lingkar Lidah Anak menurut Jenis Kelamin ................................ 107
45 Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sebelum Perlakuan ................................ 105
46 Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sesudah Perlakuan ................................ 105
47 Skor IQ menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin Anak
(Sebelum Perlakuan) ........................................................ 108
48 Skor IQ menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin Anak (Sesudah Perlakuan) ........................................................ 109
49 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Skor IQ pada anak ......................... 109
50 Hasil Analisis Selisih Penurunan Jumlah Tanda Khas Kretin ..... 111
51 Hasil Analisis Uji Beda ∆ Antropometri, Skor IQ menurut Kelompok Perlakuan ............................... 111
52 Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Profil Darah Anak ................................................................... 111
53 Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Status Gizi Anak .................................................................... 111
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Konversi T4 menjadi T3 …………………………………... 12
2 Spektrum Kretin Endemik dan Kongenital Hipotiroid................. 23
3 Alternatif Upaya Penanggulangan GAKI di Negara Berkembang 29
4 Bagian-bagian Otak ....................................................... 37
5 Bagian-bagian Otak Dilihat dari Tengah ............................... 38
6 Bagian Utama Otak dan Lobus ............................................ 38
7 Synaps ................................................................................ 41
8 Perbandingan Volume Sel Otak Penderita Kretin dengan Otak Orang Sehat .................................................................... 41
9 Reaksi Aktivitas Glutation-S-transferase ................................... 60
10 Hubungan Sinergis Zat Gizi sebagai Antioksidan ................... 62
11 Kerangka Pemikiran ....................................................... 64
12 Foto SDN Jombong 1 dan SDN Jombong 2 di desa Jombong, Kecamatan Cepogo, Boyolali sebagai Lokasi Penelitian........ 65
13 Hasil Penapisan Gejala / Tanda Khas Kretin ................................ 83
14 Hasil Penapisan Tes IQ ........................................................ 84
15 Distribusi Umur Anak (Tahun) ............................................ 85
16 Distribusi Jenis Kelamin ........................................................ 86
17 Status Kebersihan Anak di Daerah Endemik GAKI .................... 86
18 Hasil Analisis Persentase Kadar Eritosit menurut Kelompok Perlakuan ........................................................ 89
19 Hasil Analisis Persentase Kadar Leukosit menurut Kelompok Perlakuan ........................................................ 89
20 Hasil Analisis MCV menurut Kelompok Perlakuan ................... 90
21 Hasil Analisis MCV menurut Kelompok Perlakuan ................... 91
22 Hasil Analisis MCHC menurut Kelompok Perlakuan ................. 92
23 Hasil Analisis Status Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan ............................................ 93
24 Hasil Analisis Status Selenium Plasma menurut Kelompok Perlakuan ............................................ 93
25 Status Gizi Anak berdasar standar CDC (WHO, 2000).................. 96
26 Status Gizi Anak menurut Jenis Kelamin ............................ 98
27 Pelaksanaan Pengukuran Antropometri Anak di Daerah Endemik GAKI ................................................................. 99
28 Pengukuran Lingkar Lidah pada Anak Penderita GAKI ........... 102
29 Jumlah Tanda Khas Kretin dan Status Gizi Anak ................ 105
30 Hasil Analisis Skor IQ menurut Kelompok Perlakuan ..... 106
31 Hasil Analisis Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan ............................................................................ 110
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Lembar Data Kepatuhan ........................................................ 160
2 Presensi Kepatuhan Siswa ’Minum Kapsul’ SDN Jombong I, ...... 161 Kecamatan Cepogo, Boyolali (Minggu – I) .................... 162
3 Lembar Jawab Tes IQ Raven ........................................................ 163
4 Jenis Menu Makanan Harian Anak di Derah Endemik GAKI.......... 163
5 Nilai Zat Gizi Menurut Jenis Menu Makanan Harian Anak di Daerah Endemik GAKI ........................................................ 164
6 Rata-rata Nilai Zat Gizi Menurut Sumbangan Makanan Jajanan Anak di Daerah Endemik GAKI ............................... 164
7 Daftar Bahan Pangan Goitrogenik (Chapman, 1982)
8 Hasil Test Distribusi Kenormalan Data dan Homogenitas Sampel ................................................................................. 165
9 Jenis Intervensi Suplemen Iodium di Berbagai Negara………....... 166
10 Ethical Clearance ................................................................... 167
11 Surat-surat dan Hasil Analisis Laboratorium ................................ 168
12 Hasil Analisis Ancova ........................................................ 169
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS
GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN
DIFFAH HANIM
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Departemen Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kurang zat gizi mikro merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
serius di Indonesia karena jumlah penderitanya masih lebih dari 100 juta jiwa
(Untoro, 2004). Zat gizi mikro penting untuk kecerdasan dan kekebalan tubuh.
Akibatnya ada 360.000 siswa kehilangan kesempatan belajar karena tidak naik
kelas dan putus sekolah, dan tiap tahun 20.000 meninggal karena rentan terhadap
infeksi penyakit (Soekirman, 2003).
Salah satu masalah kurang zat gizi mikro di Indonesia adalah Gangguan
Akibat Kurang Iodium (GAKI). Dampak GAKI berat pada anak usia SD adalah
terjadinya kesulitan belajar, sehingga mengakibatkan prestasi belajar di sekolah
rendah dan mempertinggi persentase anak tinggal kelas dan putus sekolah. Hasil
penelitian tahun 1993 menunjukkan 75 % siswa usia SD yang menderita kretin
mengalami kesulitan belajar di sekolah, sehingga mereka memerlukan perhatian
dan pembinaan tertentu agar tidak gagal dalam pendidikan (Hartono, 2001).
Penelitian Salim (1999) di Boyolali menemukan anak didik usia SD yang
berindikasi kretin 11,89% dan GAKI 12,23 %, sehingga memerlukan pembinaan
pendidikan luar sekolah dan pemberdayaan keluarga agar mampu mengkonsumsi
garam beriodium setiap harinya bagi seluruh anggota keluarga. Kretin merupakan
puncak gunung es dari masalah GAKI, pada polarisasi yang lebih ringan
masalahnya lebih besar lagi.
GAKI merupakan bentuk lain dari kelaparan tak kentara (kurang gizi)
yang telah diketahui, bahwa anak penderita GAKI umumnya memiliki dampak
yang mirip dengan anak yang menderita kurang zat besi (Fe) yaitu mempunyai
aktivitas yang lemah dan kurang cerdas. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan otaknya akibat IQ yang hilang sekitar 5-10 point. Apabila dari 42
juta penduduk Indonesia yang berisiko GAKI ada sekitar 35 persennya (15 juta
orang) telah mengalami GAKI ringan dan sedang maka secara potensial Indonesia
akan kehilangan 150 juta point (Soekirman, 2002).
Fungsi selenium berhubungan pula dengan iodium, seperti yang
dikemukakan Arthur (1993) pada daerah endemik GAKI selain defisiensi iodium
juga ditemukan defisiensi unsur selenium secara bersamaan. Sejalan dengan hal
itu penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan et al. (2000) di Kabupaten
Pasuruan menunjukkan bahwa kekurangan iodium bukanlah satu-satunya
penyebab GAKI tapi juga disebabkan oleh kekurangan selenium dengan bukti
bahwa asupan iodium dan seleniumnya masih kurang dari angka kecukupan.
Terdapat hubungan antara asupan selenium dan iodium dengan parameter penentu
status iodium dan selenium, sehingga hubungan antara kekurangan iodium dan
selenium dapat dijadikan parameter dalam menentukan masalah GAKI. Hubungan
antara selenium dan iodium menurut WHO (1996) dikarenakan enzim deiodinase
mengandung selenium. Enzim deiodinase glutation peroksidase (GSH-Px)
mengubah tiroksin menjadi 3,5,3-triiodotironin (T3).
Salah satu peran penting selenium adalah sebagai komponen enzim
glutation peroksidase (GSH-Px) sel darah merah yang bila bertemu dengan
vitamin B2 (Riboflavin) pada jalur ‘HMP-Shunt’ dalam sitoplasma akan dapat
memperbaiki / meningkatkan kadar Hb. Kemudian enzim glutation peroksidase
dapat menghancurkan hidrogen peroksida dan hidroperoksida organik dengan
pengurangan ekuivalen dari glutation (IOM, 2000). Selanjutnya IOM (2000)
menganjurkan dilakukannya riset tentang intervensi selenium organik dan
inorganik untuk mencegah dan mengatasi berbagai kekurangan zat gizi mikro. Di
Indonesia belum tersedia data yang mencukupi untuk anak di daerah endemik
GAKI khususnya yang berkaitan dengan kecukupan zat gizi mikro iodium,
selenium, dan besi. Sementara di Skotlandia pemberian suplemen Selenium
selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah penduduk yang menderita
anemia di daerah endemik GAKI. Sodium Selenium memiliki efek positif yang
baik dalam meningkatkan kadar eritrosit dan leukosit pada anak yang menderita
anemia (Brown, et al. 2003).
Meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa masalah GAKI terkait
dengan defisiensi selenium, namun sampai saat ini program yang ada masih
mengandalkan cara intervensi gizi tunggal sehingga dampaknya kurang
memberikan hasil seperti yang diharapkan. Untuk itu diperlukan penelitian yang
dapat menunjukkan bahwa penanganan GAKI perlu mempertimbangkan peran zat
gizi Selenium (Se) sebagai antioksidan, komponen enzim dan antikarsinogen
(IOM, 2000).
Pada kretin endemik seringkali ditemukan dua kondisi yaitu hipothyroidi
dan kerusakan susunan saraf pusat (retardasi mental, tuli perseptif, retardasi
neuromotor dan kerusakan batang otak). Berdasarkan kenyataan bahwa ternyata
‘hipothyroidisme’ juga terlihat pada orang normal maka di Indonesia
Djokomoeljanto (2002) mendefinisikan bahwa seseorang termasuk kretin
endemik bila dilahirkan di daerah gondok endemik dan menunjukkan dua atau
tiga gejala dari : retardasi mental, tuli perseptif (sensorineural) nada tinggi dan
gangguan neuro-muskuler. Kondisi tersebut dapat disertai atau tidak disertai
hipothyroidisme. Sementara itu di Zaire tipe kretin miksudematosa merupakan
kejadian predominan sehingga dihipotesiskan bahwa defisiensi selenium (Se)
yang kebetulan prevalen akan melindungi otak fetus (deiodenase II bukan enzim
yang mengandung selenium) dan bukan perifer (deiodenase I adalah enzim yang
mengandung selenium). Artinya bila kandungan selenium dalam darah cukup
(0.1-1.1 μg /ml) maka pembentukan T3 dari T4 akan lancar sehingga gondok
maupun kretin endemik dapat dicegah (Linder, 1992). Oleh karena itu penelitian
tentang suplemen Se dengan Iodium untuk mencegah terjadinya kretin baru pada
anak usia sekolah dasar di desa endemik GAKI sangat penting untuk dilakukan.
Sampai saat ini telah diketahui bahwa determinan utama kadar T3 di otak
dan pituitary adalah serum T4. Hasil penelitian pada tikus menunjukkan bahwa
rendahnya T3 pada otak akibat kekurangan iodium berhubungan dengan
penurunan serum T4. Penemuan ini menjelaskan bahwa rendahnya fungsi otak
pada manusia yang mempunyai serum T4 rendah di daerah endemik GAKI
dipengaruhi oleh selenium, suatu komponen enzim yang memfasilitasi konversi
iodium (Kanarek et al.1991). Akan tetapi perlu dipertimbangkan bahwa jenis
selenium yang memiliki daya serap tinggi adalah selenium organik (Brown, et al.
2003).
Sudah diketahui bahwa mekanisme terjadinya goiter pada anak usia
sekolah adalah akibat dari defisiensi iodium yang menyebabkan penurunan T4
sehingga memicu sekresi TSH yang berakibat meningkatnya aktivitas kelenjar
thyroid. Meskipun mekanisme terjadinya kretin pada usia remaja awal (usia anak
> 10 tahun) masih merupakan perdebatan ilmiah, namun sudah menjadi
kesepakatan para ilmuwan bahwa kekurangan selenium pada awal kehamilan
akan melahirkan anak yang memiliki risiko kretin (Djokomoeljanto (2002). Hal
ini disebabkan oleh gagalnya T4 menjadi T3 akibat defisiensi selenium sehingga
menyebabkan kelainan kongenital pada pertumbuhan hippocampus otak. Anak
usia sekolah yang defisiensi iodium dan tinggal di daerah endemik GAKI
menunjukkan kemampuan belajar yang rendah dengan skor IQ rendah sehingga
angka putus sekolah tinggi. Hasil meta-analisis dari 18 studi yang dilakukan pada
tahun 1982-1991 menunjukkan bahwa GAKI mengakibatkan penurunan IQ point
rata-rata 13.5 point (Pennington & Schoen, 1996).
Saat ini kapsul minyak beriodium dosis tinggi dinilai tidak efektif karena
iodium banyak dibuang melalui urin sesaat setelah dikonsumsi (Djokomoeljanto,
1993). Keadaan ini memperpendek masa proteksi sehingga tidak cukup untuk
mengatasi kekurangan iodium. Selain itu pemberian iodium dosis tinggi juga
berisiko menimbulkan kasus hiperthyroid atau tirotoksisitas (Delange et al.,
2001). Penelitian epidemiologis lain (Elnagar, 1995) menemukan adanya kasus
hiperthyroid dikalangan orang dewasa di Sudan akibat mengkonsumsi kapsul
beriodium dosis tinggi (200 mg dan 800 mg). Kasus tirotoksisitas juga dilaporkan
di Eropa, Tasmania, dan Zimbabwe akibat pemberian suplemen dan fortifikasi
iodium dalam garam secara bersamaan (Dunn, 2002). Tirotoksisitas di Zimbabwe
ditemukan berakhir dengan kematian (WHO, 1997).
Pemberian iodium dosis rendah setiap bulan lebih efektif karena ekskresi
iodium melalui urin jumlahnya kecil. Diperkirakan kapsul yang diberikan setiap
bulan dengan dosis rendah akan dapat mengatasi GAKI. Hal ini dibuktikan
dengan pemberian kapsul beriodium dosis rendah pada anak sekolah dan orang
dewasa yang tinggal di daerah endemik GAKI di Afrika. Hasilnya kapsul
beriodium dosis rendah memiliki efikasi sama dengan dosis tinggi dan tidak
menimbulkan efek samping (Benmiloud et al. 1994). Berdasarkan hal tersebut,
pemberian dosis rendah disarankan oleh Executive Directur ICC/IDD sejak tahun
2004 (WHO, Consultative ICCIDD, 2005).
Efektifitas iodium akan meningkat bila diberikan bersamaan dengan zat
gizi mikro lainnya, sehingga cepat menunjukkan hasil perbaikan status gizi
(Sattarzadeh & Zlotkin, 1999). Hasil penelitian Saidin et al. (2002) pada anak
sekolah di daerah endemik GAKI dengan pemberian garam beriodium ditambah
vitamin A menunjukkan efektifitas iodium 2.25 kali sehingga kadar hormon
thyroid (T4) menjadi normal. Penelitian Brown, et al. (2003) menunjukkan
bahwa pemberian garam beriodium ditambah selenium organik dapat
memperbaiki kadar eritrosit anak sekolah yang menderita anemia di daerah
endemik GAKI.
Perumusan Masalah
Gejala gondok pada anak usia sekolah (9-12 tahun) khususnya kelompok
menjelang growth spurt II masih mudah terjadi dan cepat bereaksi terhadap
perubahan masukan iodium. Dengan demikian intervensi gizi pada anak usia
sekolah dapat diharapkan memberi respon yang positif. Masalah GAKI sering
diperburuk bersamaan dengan defisiensi zat gizi mikro lainnya seperti selenium
dan zat besi (Arthur, 1993).
Sampai saat ini yang menjadi perhatian pemerintah dalam usaha
penanganan masalah anak didik usia SD yang berindikasi Kretin (11,89 %) dan
GAKI (12,23 %) masih dengan intervensi zat gizi tunggal yaitu dengan suplemen
kapsul iodium, dan operasi pasar peredaran garam beriodium yang belum rutin.
Tindakan pencegahan GAKI yang ideal adalah dengan melakukan intervensi zat
gizi yang bersifat ‘multi-gizi mikro’ dapat berupa suplemen selenium dan iodium
dosis rendah. Tujuannya untuk meningkatkan status gizi termasuk mencegah
anemia yang sangat berpengaruh pada perkembangan otak dan pertumbuhan fisik
masa growth spurt II.
Pemberian iodium dosis tinggi berisiko menimbulkan kasus hiperthyroid
atau tirotoksisitas (Delange et al., 2001). Penelitian epidemiologi oleh Elnagar
(1995) menemukan adanya kasus tirotoksisitas atau hiperthyroid pada orang
dewasa di Sudan akibat mengkonsumsi kapsul beriodium dosis tinggi (200 mg
dan 800 mg). Selanjutnya tirotoksisitas di Zimbabwe ditemukan berakhir dengan
kematian (WHO, 1997).
Pemberian iodium dosis rendah setiap bulan bersamaan dengan
pemberian vitamin A pada anak sekolah di Yugoslavia dinilai lebih efektif karena
ekskresi iodium melalui urin jumlahnya kecil. Dilaporkan bahwa dosis rendah
dapat menurunkan prevalensi GAKI sampai 45%. Karena vitamin A dapat
menimbulkan efek teratogenik, maka WHO (1998) menganjurkan beta karoten
sebagai prekursor retinol dalam tubuh supaya lebih aman. Sementara di
Skotlandia hasil penelitian Brown et al. (2003) suplementasi iodium dosis rendah
dan selenium organik memiliki efikasi sama dengan dosis tinggi dan tidak
menimbulkan efek samping.
Sampai saat ini 15 tanda khas kretin masih belum teruji validitasnya
secara klinis dan baru 8 tanda khas yang secara umum mudah dikenali oleh bidan
desa dan petugas gizi (Kepala DKK Boyolali, 2005 komunikasi pribadi) sebagai
tanda awal akan terjadinya kretin pada anak usia sekolah. Sejumlah 8 tanda
tersebut belum satupun tanda yang telah diteliti apakah ada kaitannya dengan
profil darah, status gizi, dan skor IQ anak. Ada dugaan bahwa lingkar dan tebal
lidah berhubungan dengan skor IQ. Penebalan lidah pada anak usia sekolah di
daerah endemik GAKI belum banyak diteliti sehingga masih sedikit referensi
tentang pentingnya penelitian pertumbuhan dan perkembangan serta penebalan
lidah anak sejak lahir.
Penelitian tentang spektrum ‘kretin endemik’ dan jenis anemia menurut
indeks Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin
(MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration (MCHC) pada anak usia
9-12 tahun yang lahir di daerah endemik GAKI dengan memberikan intervensi
ganda zat gizi mikro belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu
penelitian dengan pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dan iodium 50
µg/hari selama 2 bulan pada anak sekolah dasar (SD) usia 9-12 tahun terhadap
profil darah, status gizi dan skor IQ penting untuk dilakukan.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dan untuk mencegah timbulnya
kretin baru maka dapat disusun pertanyaan penelitian (Research Question) :
1. Bagaimana perubahan profil darah pada kelompok yang diberi suplemen
iodium dosis rendah (50 µg/hari) dan suplemen selenium 45 μg/hari pada
anak SD (9 - 12 tahun) selama 2 bulan di daerah endemik GAKI ?.
2. Bagaimana perubahan status gizi menggunakan antropometri (berat badan
menurut umur, tinggi badan menurut umur) dan perubahan tebal lidah anak
yang memiliki tanda khas kretin pada tiap kelompok perlakuan ?.
3. Bagaimana perubahan skor IQ anak SD usia 9-12 tahun pada masing-masing
kelompok perlakuan ?.
4. Bagaimana perubahan spektrum kretin endemik dan jenis anemia pada anak
yang lahir di daerah gondok endemik pada tiap kelompok perlakuan ?.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Tujuan umum penelitian ini untuk mempelajari dampak penberian
suplemen iodium dosis 50 μg/hari dan selenium dosis 45 μg/hari pada anak
sekolah dasar usia 9-12 tahun di daerah endemik GAKI selama 2 bulan terhadap
peningkatan profil darah (kadar Se dan I dalam plasma, kadar Hb, Ht, Mean
Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean
Corpuscular Hemoglobin consentration (MCHC), jumlah eritrosit dan leukosit)
dan dampaknya setelah 2 bulan intervensi terhadap peningkatan status gizi, skor
IQ dan status kesehatan (tanda khas kretin) anak pada masa growth spurt II.
Tujuan Khusus :
1. Menganalisis perubahan profil darah pada kelompok yang diberi suplemen
iodium dosis rendah (50 µg/hari) dan selenium dosis 45 μg/hari pada anak SD
(9 - 12 tahun) selama 2 bulan di daerah endemik GAKI.
2. Menganalisis perubahan status gizi menggunakan antropometri (berat badan
menurut umur, tinggi badan menurut umur) pada masing-masing kelompok
perlakuan.
3. Menganalisis perubahan skor IQ anak SD usia 9-12 tahun pada masing-
masing kelompok perlakuan.
4. Menganalisis spektrum kretin endemik dan jenis anemia pada anak yang lahir
di daerah endemik GAKI pada masing-masing kelompok perlakuan.
Kegunaan Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat :
1. Memberikan bukti ilmiah pengaruh pemberian suplemen iodium dosis 50 mg
/hari dan selenium 45 mg /hari selama 2 bulan terhadap profil darah, status
gizi, status kesehatan khususnya tanda khas kretin pada anak SD usia 9-12
tahun sehingga dapat meningkatkan skor IQ anak di daerah endemik GAKI.
2. Memberikan alternatif model intervensi zat gizi mikro ganda dosis harian
untuk program penanggulangan GAKI dan jenis anemia tertentu pada anak
SD usia 9-12 tahun sehingga mampu mencegah timbulnya kretin baru di
daerah endemik GAKI.
3. Menjadi perintis penelitian diagnosis bentuk ringan dari kretin endemik yang
terjadi pada anak usia sekolah dasar di daerah endemik GAKI.
Hipotesis
1. Kandungan selenium dan iodium plasma anak SD kelompok intervensi lebih
tinggi dibandingkan kelompok kontrol (plasebo).
2. Peningkatan kadar selenium dan iodium plasma darah anak berpengaruh
terhadap peningkatan status gizi, status kesehatan, dan skor IQ anak
dibandingkan kelompok kontrol.
TINJAUAN PUSTAKA Iodium dan Masalah GAKI
Gangguan akibat kurang iodium (GAKI) merupakan salah satu masalah
yang serius di Indonesia dan memiliki kaitan erat dengan gangguan
perkembangan mental dan kecerdasan. Saat ini di Indonesia ada sekitar 42 juta
penduduk tinggal didaerah yang lingkungannya kekurangan iodium. Dari 42 juta
ada 10 juta penderita gondok, 750.000 – 900.000 menderita kretin endemik dan
3,5 juta menderita GAKI lainnya. Diperkirakan 8,2 juta penduduk tinggal di
daerah endemik sedang dan 8,8 juta tinggal di daerah endemik berat (Depkes,
2000).
Pengaruh negatif GAKI terhadap kelangsungan hidup manusia dapat
terjadi sejak masih dalam kandungan, setelah lahir sampai dewasa. GAKI yang
terjadi pada ibu hamil mempunyai risiko terjadinya abortus, lahir mati, cacat
bawaan yang sangat merugikan. Hal ini dapat berakibat negatif pada susunan
saraf pusat, berpengaruh terhadap kecerdasan dan perkembangan sosial
masyarakat dikemudian hari. Sedangkan gangguan yang terjadi setelah lahir
merupakan lanjutan dari gangguan pada waktu dalam kandungan
(Djokomoeljanto, 2001).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan
bahwa satu dari tiga ibu hamil berisiko kekurangan iodium. Penduduk yang
tinggal didaerah rawan GAKI kehilangan IQ sebesar 13,5 point lebih rendah
dibandingkan dengan yang tinggal didaerah cukup iodium. Indonesia diperkirakan
telah defisit tingkat kecerdasan sebesar 140-150 juta IQ point. Keadaan ini tentu
amat berpengaruh pada upaya-upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia
(BPS-UNICEF, 1995).
Mengingat bahwa sesungguhnya pengaruh GAKI di masyarakat
merupakan fenomena gunung es dan kretin endemik sebagai puncaknya dengan
prevalensi berkisar 1-10 %, namun pengaruh yang jauh lebih besar lagi yaitu
pengaruh yang tidak nampak pada populasi yang mengalami kerusakan otak serta
hipothyroidisme serebral. Maka sesungguhnya pengaruh GAKI yang paling
merugikan adalah perkembangan otak selama kehidupan fetal (janin 14 minggu)
atau pengaruh fase intra uterin growth retadardation (IUGR) (ACC/SCN, 2001).
Regulasi Kelenjar Thyroid.
Aktivitas kelenjar thyroid pada leher diatur oleh hormon yang disekresi
oleh dua kelenjar di otak yaitu kelenjar Pituitary dan Hypothalamus. Aktivitas
kelenjar thyroid dikontrol melalui stimulasi TSH (thyroid stimulating hormon)
disekresi oleh pituitary. TSH juga disebut thyrotropin, suatu protein dengan berat
molekul 28.000 yaitu glycoprotein terdiri dari oligosakarida yang mengikat residu
asporagin (beberapa gula residu yang mengandung sulfat). Thyroid mampu
mengubah sensitivitasnya dengan adanya iodium dalam makanan. Dengan
defisiensi iodium, sensitivitas TSH meningkat, mengakibatkan stimulasi kelenjar
thyroid. Stimulasi ini membentuk peningkatan transpor iodida, peningkatan
aktivitas thyroperoxidase dan pembesaran kelenjar thyroid (Bender, 2002).
Kelenjar pituitary berperan dalam pengaturan aktivitas thyroid. Tingginya
T4 dalam darah akan menghambat sekresi TSH, sebaliknya kadar T4 yang rendah
akan meningkatkan sekresi TSH. Hal ini bergantung pada konversi T4 ke T3
dengan pituitary yang sangat ditentukan cukup atau tidaknya kandungan
selenium. Aktivitas pituitary dikontrol oleh thyrotropin releasing hormon (TRH)
yang disintesis oleh hypothalamus. TRH adalah tripeptida dengan struktur
pyroglutamat histidin – proline – NH2 (Brody, 1999).
Peningkatan hormon thyroid akan meningkatkan basal metabolic rate
(BMR). Pengukuran BMR dapat digunakan untuk menilai status thyroid. Metoda
ini untuk mendiagnosa hypothyroid atau hyperthyroidi tetapi tidak lazim
digunakan karena tidak praktis. Peningkatan BMR telah dihubungkan dengan
peningkatan bermacam-macam reaksi yang menggunakan ATP. Peningkatan
penggunaan ATP disesuaikan dengan peningkatan aktivitas dari rantai respirasi
dan dalam reduksi O2. Dua reaksi yang berhubungan erat dengan kenaikan BMR
dan level tertinggi plasma hormon thyroid adalah Na,K-ATP-ase (pompa sodium)
dan sintesis asam lemak. Na,K,ATP ase ada dalam membran pada semua sel
tubuh. Peningkatan sintesis asam lemak dengan naiknya aktivitas thyroid
dihubungkan dengan diversi asam lemak pada lintasan hati dari sintesis
trigliserida menuju oksidasi.
Peningkatan aktivitas thyroid juga menyebabkan kenaikan sintesis asam
lemak. Efek keseluruhan berupa gagalnya peningkatan oksidasi asam lemak dan
sintesis asam lemak yang mengakibatkan produksi panas berlebihan. Perubahan
kadar hormon thyroid sering terjadi pada penyakit yang tidak brehubungan
dengan status iodium. Penyakit ini dikenal dengan hyperthyroidism dan
hypothyroidism, disebabkan kerusakan kelenjar thyroid, pituitary atau
hypothalamus. Hyperthyroidism mengakibatkan penurunan berat badan, meskipun
terjadi peningkatan asupan energi yang menghasilkan pelepasan asam lemak
berlebihan dari jaringan adipose selama berpuasa. Hyperthyroidism dapat diatasi
dengan obat-obat yang menghambat 5’ deiodinase seperti propylthiouracil yang
mempunyai struktur yang sama dengan senyawa antithyroid dalam sayur kol
(Stipanuk, 2000).
Pada hypothyroidism, kecenderungan metabolisme terjadi berlawanan
yaitu, menurunkan BMR disertai penurunan suhu tubuh, dan perubahan berat
badan. Hormon thyroid berperan utama dalam pertumbuhan normal fetus.
Defesiensi hormon thyroid mengakibatkan efek buruk pada perkembangan otak.
Perubahan kandungan hormon thyroid dalam tubuh mengakibatkan perubahan
metabolisme dengan membentuk reseptor hormon thyroid.
Untuk melepaskan hormon thyroid dalam darah, iodothyroglobulin harus
diresorbsi dalam bentuk butiran koloid oleh endocytosis kembali ke sel thyroid.
Di dalam sel thyroid, iodothyroglobulin dihidrolisa oleh lysosomal protease,
sehingga T4 dan T3 dilepaskan ke dalam darah. Di dalam darah T4 dan T3
berhubungan dengan transport protein dan didistribusikan ke sel-sel sasaran dalam
jaringan peripheral. Tiga protein transport ini mengikat dan mengangkut T4 dan
T3 dalam darah. Thyroid mengikat globulin dalam plasma, mempunyai kapasitas
terkecil tetapi afinitas (daya tarik menarik) T4 dan T3 terbesar. Albumin dan
transthyretin (prealbumin) juga mengangkut hormon thyroid.
Diiodotyrosin dan monoiodotyrosin tidak digunakan untuk sintesis hormon
thyroid dalam sel thyroid yang diiodinasi, dan iodium dibuat tersedia untuk daur
ulang pembentukan iodothyroglobulin baru. Beberapa jaringan seperti hati, ginjal,
otak, pituitary dan adipose dapat mengiodinasi T4 untuk menghasilkan T3 dan
Reseptor T3 (Gambar 1). T3 dalam darah disintesis di dalam hati dari T4. A5’
selenium dependent deiodinase menghasilkan T3 dan 5 deiodinase menghasilkan
5T3. Konversi T4 menjadi T3 gagal bila defisiensi selenium.
T3
5’deiodinase
T4 5 deiodinase
Reseptor T3
Gambar 1 Konversi T4 menjadi T3 (Burk & Hill, 1993)
Efek ganda dari hormon thyroid dihasilkan dari reseptor inti dengan efek
ekspresi gen. Reseptor-reseptor ini terlihat sama dalam semua jaringan, dan lebih
suka mengikat T3 daripada T4. Walaupun mekanisme peran hormon thyroid
belum jelas, efek biologi dalam responsnya untuk meningkatkan messenger RNA
(mRNA) dan sintesis protein digerakkan oleh reseptor hormon thyroid. Sejumlah
hipotesis tentang mekanisme ini telah dikemukakan meliputi modulasi NA+/ K+,
ATPase, sistem transport, sensitivitas reseptor adrenergic dan neurotransmitters.
Dampak hormon thyroid pada metabolisme diantaranya menstimulasi
Basal Metabolisme Rate (BMR), konsumsi oksigen dan produksi panas, penting
untuk perkembangan sistem saraf normal dan pertumbuhan linear. Secara
langsung atau tidak langsung banyak sistem organ dipengaruhi oleh hormon
thyroid.
Pelepasan hormon-hormon thyroid oleh kelenjar thyroid dikontrol dan
dibebaskan dari hypothalamus pada kelenjar pituitary untuk menstimulasi thyroid
stimulating hormon (TSH). TSH disekresi dari anterior pituitary dan
meningkatkan aktivitas kelenjar thyroid untuk menghasilkan T4. Output TSH
diatur oleh T4 melalui umpan balik negatif ke pituitary. Penurunan T4 dalam
darah menggerakkan pelepasan TSH pituitary, menghasilkan hyperplasia thyroid,
Tingginya T4 menghambat TSH dan pelepasan hormon thyrotropin.
Asupan iodium 100-150 μg/hari sudah memenuhi kecukupan gizi.
Kandungan iodium urine sama dengan level asupan dan dapat digunakan untuk
memperkirakan konsumsi iodium. Defisiensi iodium terjadi dengan asupan <
50μg /hari. Orang yang mengkonsumsi <50 μg/hari berisiko berkembang menjadi
goiter. Goiter hampir selalu disebabkan asupan iodium <10μg /hari. Goiter adalah
pembesaran atau hypertrophy dari kelenjar thyroid. Grade goiter ada 3 yaitu :
1. Terjadi pembesaran dengan ukuran kecil dapat dideteksi dengan palpasi
2. Leher yang tebal
3. Pembengkakan kelenjar yang besar dan terlihat dari jarak jauh
Grade ketiga ini menekan trachea dan menghasilkan nafas pendek selama
melakukan pekerjaan berat. Insiden tertinggi goiter ditemukan pada negara
berkembang seperti Republik Cheko, Yugoslavia, India, Paraguay, Peru,
Argentina, Pakistan, Afrika, Asia Tenggara dan New Guinea. Goiter mulai
diberantas pada tahun 1950 melalui fortifikasi garam dengan iodium. Garam meja
difortifikasi dengan 100 mg KI / kg NaCl. Susu dan roti difortifikasi dengan
iodium. Iodium dalam susu awalnya berasal dari desinfektan yang digunakan
dalam industri susu. Iodida dalam roti (1mg Iodium/kg roti) bermula dari pembuat
oksidasi adonan oleh pabrik roti (SCN, 2004).
Komplikasi serius dari defesiensi iodium adalah kretin. Sebaran goiter
pada masyarakat yang mengalami GAKI ada ± 2% populasi kretin. Kretin
berdampak retardasi mental dan mempunyai karakteristik penampilan wajah dan
lidah besar. Beberapa diantaranya bisu dan tuli, kerdil, displegia dan quadriplegia
juga dapat terjadi. Kretin berasal dari defesiensi iodium maternal, yaitu diet yang
berhubungan dengan intra uterin growth retardation (IUGR). Kerusakan mental
dan fisik pada kretin tidak dapat pulih kembali. Kerusakan ini dapat dicegah
dengan memberikan iodium pada ibu yang defisien pada awal kehamilan (Suitor
& Crowley, 1984).
Goiter mudah didiagnosa dengan terjadinya pembengkakan di
tenggorokan. Kretin susah didiagnosa karena muncul dengan berbagai cara yang
berbeda. Kerusakan yang timbul menggambarkan pentingnya hormon thyroid
untuk perkembangan janin. Defisiensi iodium hubungannya dengan goiter dan
kretin dapat diatasi melalui program fortifikasi iodium pada garam dan suntikan
minyak Iodium, maupun dengan kapsul iodium. Garam dapat difortifikasi dengan
Iodida (KI) atau kalium iodat (KIO3). Iodat lebih stabil terhadap kelembaban dan
sinar matahari dan digunakan sebagai suplemen di negara sedang berkembang.
Iodium dalam minyak terikat secara kovalen dengan asam lemak dan dilepaskan
dengan katabolisme minyak. Suntikan minyak lebih diterima di daerah dimana
makanan tidak diasinkan seperti di New Guinea. Efikasi minyak dinyatakan pada
studi iodium terhadap anak sekolah yang defisiensi (Dunn et al.1995).
Ambang batas iodium dalam urine yang dipertimbangkan sebagai indikasi
defisiensi iodium adalah 0.4 μmol iodium /L urine. Dosis single oral trigliserida
mengandung 675 mg iodium menghasilkan konsentrasi iodium urine diatas
ambang batas. Dampak defisiensi iodium terhadap berat thyroid dan plasma T4
digambarkan dengan percobaan tikus yang diberi diet normal (0.2 mg I /kg diet),
diet rendah (0.1 mg I /kg diet) selama 4 bulan (Suitor & Crowley, 1984).
Tabel 1 Dampak Defisiensi Iodium pada Organ dan Hormon Tikus
(Suitor & Crowley,1984). Normal Defisiensi Berat Kelenjar thyroid (mg) 13 23 Plasma T4 (ng / ml) 40 20 Aliran darah thyroid (ml/min per gr jaringan) 23 68 Thyroid stimulating hormon (ng / ml ) 2.4 2.9
Dampak dari GAKI pada Berbagai Tahapan Perkembangan
Dampak defisiensi iodium pada pertumbuhan dan perkembangan
dinyatakan sebagai gangguan akibat kekurangan iodium. Dampak GAKI terlihat
pada semua tahap pertumbuhan khususnya pada fetus, neonatus dan bayi, yaitu
pada periode pertumbuhan cepat. Ketahanan dan perkembangan fetus peka
terhadap defisiensi iodium. Perkembangan otak pada fetus dan neonatus
dipengaruhi dengan peningkatan proporsi defisiensi iodium berat (Tabel 2). Hal
ini berasal dari rendahnya thyroxine maternal pada fetus yang berhubungan
dengan tingkat asupan iodium yang kurang dari 25% dibanding normal. Bila
tingkat asupan kurang dari 50% dari normal disebut goitre (Stipanuk, 2000)
Telah banyak data yang menunjukkan bahwa anak yang goiter mempunyai
kemampuan belajar lebih rendah dibanding anak tidak goiter. Semua dampak
GAKI dapat dicegah bila defisiensi iodium diatasi sebelum kehamilan. Goiter
telah digunakan selama beberapa tahun untuk memaparkan efek defisiensi iodium.
Efek klinis dari asupan iodium berlebih (20 mg/hari) juga terdapat pada goiter
endemik dan hipothyroidism. Penderita defisiensi iodium pada usia lanjut lebih
sensitif terhadap peningkatan asupan iodium karena persisten thyroid. Iodium
menimbulkan hyperthyroidism telah dipaparkan pada banyak negara dengan latar
belakang defisiensi iodium. Status iodium dapat diukur dengan determinasi dari
eksresi iodium urine, dan pengukuran level hormon thyroid dan pituitary thyroid
stimulating hormon (TSH) (Depkes, 2000).
Defisiensi iodium mengurangi simpanan iodium thyroid dan mengurangi
produksi T4. Penurunan T4 dalam darah menimbulkan sekreasi peningkatan TSH
yang meningkatkan aktivitas thyroid dengan akibat hyperplasia thyroid.
Peningkatan mortality perinatal disebabkan defisiensi iodium telah ditemukan di
Zaire dalam percobaan suntikan minyak beriodium dan suntikan kontrol yang
diberi pada pertengahan kehamilan. Pada kelompok yang diberi perlakuan
ternyata perinatal dan kematian bayi dengan kenaikan berat lahir. Berat lahir
terendah secara umum dihubungkan dengan tingginya kelainan congenital dan
risiko morbiditas pada anak (UNICEF, 2003).
Defisiensi iodium pada anak karakteristiknya berhubungan dengan goiter.
Tingkatan goiter meningkat sejalan dengan umur, yang maksimum pada masa
remaja. Prevalensi kurang iodium lebih banyak pada wanita daripada pria. Goiter
pada anak sekolah 6- 12 tahun merupakan indikator defisiensi iodium pada
masyarakat. Studi tentang anak sekolah yang tinggal di daerah defisiensi iodium
pada sejumlah negara menunjukkan kerusakan kemampuan belajar dan IQ
dibandingkan pada daerah non defisiensi iodium. Studi ini sulit untuk didesain
karena sulitnya menentukan kelompok kontrol yang tepat (Gellispie et al. 2003).
Pentingnya fungsi thyroid pada neonatus berhubungan dengan fakta
bahwa pada saat lahir otak bayi hanya 1/3 dari ukuran penuhnya dan tumbuh
secara cepat sampai akhir tahun kedua. Hormon thyroid yang tergantung pada
suplai iodium cukup penting untuk perkembangan otak normal. Hasil observasi
neonatal di Zaire menemukan bahwa tingkat hypothyroidism kimiawi 10% akan
mengakibatkan hypothyroidism pada bayi dan anak-anak dan jika defisiensi tidak
diperbaiki akan mengakibatkan retardasi fisik dan mental. Observasi ini
menunjukkan risiko besar kerusakan mental pada populasi defisiensi iodium berat
(Hetzel et al. 1990).
Tabel 2. Dampak Dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (Hetzel et al. 1990)
Tahapan Perkembangan Dampak
Fetus Neonatus Anak-anak dan Remaja Orang Dewasa Semua Umur
- Aborsi - Lahir Mati - Anomali Congenital - Peningkatan Kematian
Perinatal - Peningkatan Kematian Bayi - Cretinism Neurologi (defisiensi
mental, tuli, spastic diplegia) - Gangguan psikomotor - neonatal Goiter - Neonatal Hypothyroid - Goitre - Juvenile hypothyroid - Kerusakan fungsi mental - Retardasi perkembangan fisik - Goitre dengan segala
komplikasinya - Hypothyroid - Kerusakan fungsi mental - Hyperthyroid - Rentan terhadap radiasi nuklir
Banyak penyebab yang merupakan faktor terjadinya penurunan
kemampuan belajar dan IQ yang rendah sehingga mengacaukan interpretasi dari
perbedaan antara daerah-daerah yang diteliti. Daerah defisiensi iodium sama
dengan daerah yang mempunyai sekolah miskin, menderita banyak deprivasi
sosial, status sosial ekonomi rendah dan miskin zat gizi lainnya. Beberapa studi
menunjukkan bahwa defisiensi iodium dapat merusak kemampuan belajar bahkan
bila dampak faktor lain seperti deprivasi sosial tidak diperhitungkan akan terjadi
kerugian ekonomi dan sosial (UNICEF, 2000).
Menurut Widodo (2000) secara umum anak umur 10 - 12 tahun dapat
dipastikan akan menjadi kretin bila memiliki ciri / tanda khas sebagai berikut :
1. Gerakan anak tidak terkoordinasi
2. Motivasi belajar kurang
3. Bila berjalan sering jatuh, terhuyung-huyung, langkah tidak teratur
4. Sering kejang
5. Sulit diajak bicara
6. Sulit menangkap pembicaraan orang lain
7. Kurang/tidak dapat mendengar
8. Juling (starbismus)
9. Pendek dibanding seusianya
10. Kulit berbintik / berbercak
11. Ada benjolan di leher
12. Apatis, tidak bersemangat
13. Anaemia (pucat, lemah, malas)
14. Muka, tangan bengkak, lidah membesar
15. Mengalami gangguan pertumbuhan fisik
Upaya iodisasi garam, roti atau minyak telah menunjukkan pencegahan
yang efektif terhadap goiter pada orang dewasa. Determinan utama otak dan
pituitary T3 adalah serum T4. Hasil penelitian pada tikus yang kekurangan iodium
ternyata memiliki serum T3 pada otak yang rendah. Hal ini berhubungan dengan
penurunan serum T4, sehingga perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki
defisiensi iodium pada manusia. Penemuan ini menjelaskan bahwa fungsi otak
pada manusia yang mempunyai serum T4 rendah di daerah endemik GAKI sangat
dipengaruhi oleh selenium, suatu komponen enzim yang memfasilitasi konversi
iodium (Kanarek et al. 1991)
Penilaian Status Iodium
Banyaknya populasi yang berisiko GAKI disebabkan hidup di
lingkungan kurang iodium ditandai dengan tanah dimana iodium tercuci oleh es,
air hujan atau lumpur. Pencucian ini banyak terjadi pada daerah pegunungan.
Penilaian status iodida umumnya diarahkan pada populasi yang tinggal didaerah
yang diduga defisiensi iodida. Penilaian didasarkan pada pengujian fisik dan
kimia dari individu. Data yang dikumpulkan untuk penilaian ini meliputi :
- total populasi dihitung meliputi jumlah anak-anak dibawah 15 tahun
- insiden goiter yang dinyatakan dengan pengujian fisik (palpasi atau visible
goiter) dan kretin dalam populasi
- jumlah ekskresi iodida dalam urine dan jumlah iodida dalam air minum
- penentuan serum T4 atau TSH dalam berbagai kelompok umur, khususnya
neonatus dan ibu hamil memerlukan fungsi thyroid untuk perkembangan otak
- tes kimia yang mengukur ekskresi iodida dalam urine berdasarkan kemampuan
iodida untuk mereduksi cerric ion (Ce4+) menjadi cerrous (Ce3+).
Pembagian tingkat keparahan (severity) telah diadopsi dari WHO,
meskipun dengan pengamatan berbeda untuk menentukan severity. Secara umum,
visible goiter rate (VGR) lebih mudah diverifikasi daripada palpasi. Observasi
terbaru di Tanzania menunjukkan bahwa palpasi thyroid over estimasi terhadap
ukuran kelenjar dibanding ultrasonografi, khususnya pada anak. Skala penilaian
goiter rate, tidak esensial karena butuh waktu dan dana, dan sampel terbatas tidak
cukup untuk menetapkan goiter rate (Glinoer & Delange, 2000).
Semua bayi di negara maju ditapis untuk menjamin kadar hormon
thyroidnya cukup. Dalam program tapis tersebut darah neonatus diambil dan
diteteskan pada kertas filter yang kemudian kering untuk dikirim ke laboratorium.
Kadar serum T4 dan TSH atau keduanya diukur dengan teknik immunoassay.
Monitoring hypothyroid neonatal juga telah dimulai pada beberapa daerah kurang
iodium dinegara berkembang. Beberapa penelitian menyatakan pada populasi
yang defisien iodium, kadar serum T4 terendah pada saat lahir dan rendah pada
anak-anak daripada orang dewasa (Gellispie et al. 2003)
Kecukupan Iodium
Makin parah tingkat kekurangan iodium yang dialami makin banyak
komplikasi yang ditimbulkannya. Karena sulit sekali memeriksa jumlah iodium
yang dikonsumsi seseorang perhari maka sebagai penggantinya diperiksa
ekskresi iodium dalam urine sehari karena dianggap dapat memberi gambaran
masukan iodium orang tersebut. Besaran ini dinyatakan dalam jumlah mikrogram
iodium per gram kreatinin urine, atau mikrogram iodium per desiliter. Untuk itu
di Indonesia tiap lima tahun diadakan Widyakarya Nasional Pangan Gizi
(WKNPG) tahun 2004 guna menyusun angka kecukupan gizi (AKG) yang
dianjurkan untuk tiap orang menurut kelompok jenis kelamin dan umurnya (Tabel
3).
Tabel 3 Rekomendasi Asupan Iodium (μg / hari) WKNPG-VIII LIPI, 2004)
Sebaran Umur dan Keadaan
WKNPG_2004 IOM_2001 FAO/WHO_2001
0 – 6 bulan 7 – 11 bulan 1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun perempuan 10-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19- 64 tahun > 64 tahun Hamil Menyusui
90 120 120 120 120 120 150 150 150 150 200 200
110 120 90 120 120 120 150 150 150 150 200 200
45 135 75 110 100 140 100 110 110 110 200 200
Banyaknya metoda suplemen iodium tergantung pada beratnya masalah
GAKI pada populasi, grade iodium urine dan prevalensi goiter dan kretin. Dari
segi kriteria berat – ringan GAKI, komplikasi terbesar adalah kretin endemik.
Menurut Djokomoeljanto (2002) Kretin endemik ini mempunyai 3 sifat pokok :
1. secara epidemiologis selalu berhubungan dengan gondok endemik dan
defisiensi iodium berat;
2. secara klinis ditandai dengan defisiensi mental, bersama dengan :
- gejala neurologik yang mencolok; terdiri atas gangguan pendengaran dan
berbicara, kelainan khas dalam cara berjalan dan sikap berdiri,
- hipothyroidi dan mencolok gangguan perkembangan pertumbuhan;
3. dengan upaya pencegahan yang baik, yaitu dengan jalan mengoreksi
defisiensi iodium, dan zat gizi lainnya maka kelahiran bayi dengan kretin
dapat dicegah.
Pengobatan penderita kretin dengan iodium tidak memperbaiki gangguan
perkembangan fisik, mental maupun saraf, namun dapat memperbaiki
hipothyroidi apabila hal itu bukan disebabkan atrofi kelenjar thyroid. Dengan
demikian kretin neurologi pasti menetap, sedangkan perbaikan kretin miks-
edematosa dalam hal hipothyroidinya, masih mungkin disembuhkan
(Djokomoeljanto, 2002). Beberapa upaya penanggulangan GAKI telah dilakukan
oleh Depkes (Tabel 4) namun hasilnya masih belum sebaik yang diharapkan.
Tabel 4 Upaya Penanggulangan GAKI oleh Depkes (Glinoer dan Delange, 2000)
GAKI Ringan GAKI Sedang GAKI Berat
Prevalensi Goiter Iodium Urine Upaya Penanggulangan
5 – 19,9% 50 – 99 mg/ l Eliminasi dengan garam beriodium
20 – 29,9%, beberapa hypothyroidism 20 –49 mg/ l • garam beriodium • minyak beriodium • oral dan suntik
≥ 30%, endemik kretin < 20 mg/ l • garam
beriodium • minyak
beriodium
Pengalaman Djokomoeljanto (1974-2002) menunjukkan bahwa pada
kasus kretin, sebagian besar terdapat defisiensi mental serta gangguan
pendengaran, khususnya sensori neural dan bilateral. Pada kasus ini ditemukan
76% dengan kelainan neurologik, dan 29 % dengan kelainan tubuh pendek atau
cebol (Tabel 5). Dimensi baru GAKI lebih diperkuat oleh hasil yang didapat
akhir-akhir ini dari binatang percobaan. Pada binatang tersebut (domba)
diberlakukan defisiensi iodium berat sebelum atau selama hamil, kemudian
diperiksa efeknya terhadap perkembangan janin, khususnya perkembangan otak.
Penelitian pada domba yang kekurangan iodium menunjukkan kejadian
lahir mati (still-birth) serta keguguran (abortus) meningkat. Pada akhir
kehamilan, janin tampak kecil, terdapat gangguan pertumbuhan tengkorak serta
adanya gangguan perkembangan skelet. Jelas terlihat adanya gangguan
perkembangan otak – berat otak kurang, demikian pula jumlah selnya, seperti
halnya dengan kadar DNA. Pada semua kasus kadar T4 fetus maupun ibu sangat
rendah. Karena efek defisiensi iodium berat dapat diulang dengan hasil sama
seperti membuat kombinasi perlakuan trioidektomi pada ibu hamil 6 minggu
sebelum kehamilan, demikian pula dengan thyroidektomi fetus, maka data ini
mendukung dugaan bahwa dampak kekurangan iodium pada perkembangan fetus
disebabkan karena mengurangnya fungsi thyroid fetus maupun ibu.
Tabel 5 Simtomatologi kretin endemik, Sengi 1974 - 1999 (Djokomoeljanto, 2001)
A. Gangguan pendengaran - bisu tuli
B. Retardasi mental C. Gangguan neuromotor
- gangguan bicara - cara jalan khas - refleks meninggi - mata juling - berjalan terlambat
D. Hipothyroidi - cebol
E. Gondok
93 % 12 % 95 % 76 % 37 % 46 % 29 % 2 % 27 % 29 % 29 % 70 %
Spektrum Kretin Endemik dan Kelainan Hipothyroid
Sudah menjadi kesepakatan internasional, bahwa istilah gondok
endemik (dengan sebab yang multi faktorial) berbeda dengan GAKI (dengan
sebab defisiensi iodium). Menurut Djokomoeljanto (2002) dari tahun ke tahun
spektrum klinik yang dikelompokkan dalam GAKI merupakan satu evolusi
perkembangan IPTEK. Pada Gambar 2 dapat dilihat gambaran spektrum GAKI
yang diketahui sejak tahun 1983 hingga tahun 1993 dimulai dari aspek demografis
(angka kematian) aspek klinis yang mudah dilihat (gondok, kretin endemik,
hipothyroidisme) dan aspek lain yang memerlukan perhatian dan pemeriksaan
khusus (gangguan perkembangan saraf dan mental). Dari aspek demografis yang
terjadi di Zaire, diketahui :
• berat badan neonatus berhubungan dengan terkoreksinya defisiensi iodium
pada pertengahan kehamilan
• pada berat badan sama maka Infant Mortality Rate (IMR) anak dari ibu
defisiensi iodium belum dikoreksi akan lebih tinggi
• IMR menurun dengan pemberian iodium pada ibu dengan defisiensi berat.
Selanjutnya dari aspek klinis yang mudah diketahui seperti :
a. Gondok endemik
Penyebab utama gondok memang defisiensi iodium tetapi juga didukung
dengan zat goitrogen, kelebihan iodium, dan status gizi yang kurang baik.
Namun tidak terlihatnya gondok bukan berarti bebas GAKI.
b. Kretin endemik
Pada kretin endemik ada dua komponen yaitu hipothyroidi dan kerusakan
susunan saraf pusat (mental retardasi, tuli perseptif, retardasi neuromotor dan
kerusakan batang otak. Berdasarkan kenyataan bahwa ternyata
‘hipothyroidisme’ juga terlihat pada orang normal maka di Indonesia difinisi
seseorang termasuk kretin endemik bila dilahirkan di daerah gondok endemik
dan menunjukkan dua atau tiga gejala dari : retardasi mental; tuli perseptif
(sensorineural) nada tinggi; gangguan neuro-muskuler). Ia dapat disertai atau
tidak disertai Hipothyroidisme. Sedangkan di Zaire tipe kretin miksudematosa
merupakan predominan sehingga dihipotesiskan bahwa defisiensi selenium
(Se) yang kebetulan prevalen akan melindungi otak fetus (deiodenase II bukan
selenium enzim) dan bukan perifer (deiodenase I adalah selenium enzim).
c. Hipothyroidisme
Hipothyroidisme terlihat jelas pada kretin tipe miksudematosa tetapi juga
ditemukan pada populasi normal, sehingga hipothyroidisme dapat mengenai
siapa saja asal ia kekurangan iodium berat. Data yang dikumpulkan Hartono
(1999) menunjukkan bahwa meskipun kadar TSH ibu sedikit diatas 5 uU/ml
namun sebagai ‘transien hipothyroidisme’ yang berdampak buruk terhadap
anaknya.
d. Kretin Sub-klinik
Istilah ini diperkenalkan dari Cina yang melihat gejala anak sangat bodoh
tetapi tidak menunjukkan gejala kretin klasik. Kemudian berdasarkan IQ anak
sekolah dibagi menjadi : amat berat (IQ = 0-20); berat (IQ = 20-35); sedang
(IQ = 35-50) dan gejala kretin sub-klinik ringan (IQ = 50-75) dan mereka
menunjukkan perbaikan setelah diberi iodium. Namun pada kretin sub-klinik
ternyata juga menunjukkan gangguan ringan pada perkembangan psikomotor
dan pendengaran. Data epidemiologi dari Spanyol dan Indonesia menyebutkan
bahwa meskipun defisiensi iodium ringan tetap akan mempengaruhi
perkembangan neuropsikologis populasi. Jadi kretin sub-klinik di Cina sama
dengan kretin endemik tipe neurologis (Djokomoeljanto, 2002).
e. Gangguan Perkembangan Saraf
Hasil diagnosis gejala kretin endemik klasik memiliki gangguan
perkembangan saraf yang menyebabkan kelainan cara berjalan, sikap berdiri,
hingga badan menjorok ke depan hampir menyerupai sindrom Parkinson. Pada
anak diawali dengan kesulitan mengangkat kepala sehingga kepala seperti
lunglai. Selanjutnya Gambar 2 memperlihatkan spektrum endemik kretin dan
hipothyroid.
Spektrum GAKI terhadap Gangguan Perkembangan Saraf dan Mental
Gangguan Perkembangan Saraf Mixedematous
Kongenital Hipothyroid
Cerebral Cortex Myelinasi Striatum Perkembangan Sistem Syaraf Pusat
Serabut Otak Cerebellum Corpus Collasum Hippocampus
Mata 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lahir-5 tahun
Masa kehamilan 9 bulan
Gambar 2 Spektrum Kretin Endemik dan Kongenital Hipothyroid
Program penanggulangan GAKI secara nasional telah berjalan sejak
tahun 1978, dimulai dengan iodisasi garam dilanjutkan dengan suntikan lipiodol
yang akhirnya diganti dengan kapsul minyak beriodium. Dampak
penanggulangan GAKI Nasional diketahui dengan membandingkan hasil
pemetaan tahun 1982 dibanding dengan pemetaan tahun 1998. Terdapat
penurunan yang sangat tajam dari 37 % menjadi 9,8 % (Depkes, 2003). Selain
itu, target yang harus dicapai dalam program penanggulangan GAKI telah
dicanangkan yaitu Indonesia bebas kretin baru tahun 2000. Kini kita sudah
berada di tahun 2006 apakah Indonesia telah bebas kretin baru? Kita masih
Masa Ibu Hamil
Masa Usia Anak T4
Kebutuhan /Kec. Se ?
belum mampu menjawab dengan pasti karena tidak ada alat, indikator, metode
yang dapat digunakan oleh petugas pelaksana pelayanan kesehatan di daerah
endemik untuk menilai ada / tidak kretin baru.
Menurut Widodo (2000) wanita usia subur (WUS) adalah salah satu
kelompok umur berisiko tinggi menderita GAKI. Dampak yang ditimbulkan
jika WUS menderita kekurangan iodium dapat terbawa jika hamil dan
menghambat pertumbuhan bayi yang dikandung. Pada tahun 1994 saat
pengambilan data dasar penelitian dilakukan pemeriksaan TSH. Hasilnya,
sebanyak 23,8 % (190 orang) dari 798 orang yang mempunyai TSH > 10
microunit/ml. Dan 70 % (559 orang) yang belum menerima kapsul iodium sejak
lebih dari setahun yang lalu. Ditemukan adanya indikasi Anak-anak tersangka
kretin baru. Selain 254 anak-anak usia 6-20 tahun yang dilaporkan tersangka
kretin tersebut, sebenarnya setiap tahun selalu muncul penderita-penderita baru
yang memiliki gejala kretin. Mereka umumnya mempunyai kelainan fisik dan
mental yang nampak nyata.
Untuk melihat tanda-tanda klinis yang nampak pada penderita
digunakan indeks khusus tanda-tanda klinis penderita hipothyroid, seperti
digunakan pada Index Quibex untuk bayi neonatal. Tanda-tanda yang dihimpun
dari berbagai literatur untuk mendeteksi adanya hambatan tumbuh kembang /
tersangka kretin mulai dari neonatal hingga anak usia sekolah. Himpunan tanda-
tanda klinis tersebut bersifat terbuka artinya boleh ditambahkan bila daftar tidak
ada. Selanjutnya gold standard adalah hasil pemeriksaan TSH, T3, T4 atau
mungkin pemeriksaan kematangan tulang. Hasil pemeriksaan tulang dan darah
di rumah sakit Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang dan UGM Yogyakarta
terhadap lima anak yang baru terdaftar diduga kretin dapat dilihat pada Tabel 6.
Tiga anak diduga menderita kretin berkaitan dengan GAKI, namun masih harus
dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium TSH, T3, T4 dan jika perlu Bone
maturation. Selanjutnya kurang jelas ada keterkaitan dengan GAKI atau tidak.
Tabel 6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Anak Tersangka Kretin (Widodo, 2000)
No Nama TSH (Ref 0,32 – 5,0) u/ml
T4 (45 – 120) ng/ml
1. M. Efendi 8,9 110,7 2. Rahmawati 1,1 116,4 3. Reza 0,41 102,6 4. Nurohman 2,10 108,5 5. Rohmat 0,47 122,3
Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari lima anak yang sudah dapat
diambil darahnya hanya satu yang mengarah kepada tanda hiperthyrotropenemia.
Apakah kondisi kasus ini sedang menuju ke arah perbaikan? Kemungkinan itu ada
karena kasus ini pernah dirujuk ke RSUP Sarjito Yogyakarta dan tiga kali
ditangani melalui JPS namun tidak berlanjut karena kekurangan biaya transport.
Selain itu juga ditemukan anak dengan kondisi yang sangat lemah, berat badan
tidak sesuai dengan umurnya (6,7 kg pada usia 2 tahun). Hormon T4 normal,
namun kadar TSH lebih tinggi dari batas normal. Hal ini dikarenakan sedikitnya
asupan iodium, sehingga untuk memenuhi kecukupan tiroksin diperlukan pemacu
(TSH) dalam jumlah yang melebihi normal. Kondisi ini bila berlarut akan
menyebabkan terjadinya hipothyroid dan jika terus berlanjut akan menjadi kretin.
Sampai saat ini berdasarkan pemetakan GAKI di Propinsi Jawa Tengah
yang dilakukan oleh Tim GAKI Fakultas Kedokteran-UNDIP dan Kanwil Depkes
Jateng Tahun 1996 masih ditemukan TGR pada anak perempuan usia Sekolah
Dasar (SD) sebanyak 4,5 % dan VGR 0,7 %. Apabila mengikuti kriteria daerah
endemik dan non endemik berdasarkan prevalensi TGR pada anak perempuan
usia SD yang digunakan WHO (1994), maka daerah Kabupaten Boyolali termasuk
daerah endemik ringan. Ada 89 Desa IDT yang tersebar di 16 Kecamatan dalam
wilayah Kabupaten Boyolali yang di antaranya merupakan endemik GAKI
(Hadisaputro, 1996).
Hilangnya zat gizi terutama zat gizi mikro pada anak usia sekolah
umumnya melalui sel dari kulit dan permukaan dalam tubuh (seperti: usus, tractus
urinarius, saluran napas) sebanyak 14 ug/hari. Disamping kekurangan iodium,
anemia juga merupakan bagian tanda kretin pada anak SD sehingga anak menjadi
pucat, lemah dan lesu yang akhirnya motivasi belajar menurun. Keadaan anak
yang ditandai dengan penurunan jumlah sel darah merah yang disebabkan oleh
rendahnya kadar besi dan zat gizi mikro lainnya seperti selenium dalam darah
akan menjadikan salah satu risiko tinggi anemia pada anak usia sekolah sehingga
mengganggu pertumbuhan pada masa cepat atau Growth sprout (Frey, 2002).
Defisiensi zat gizi mikro essesnsial seperti iodium, besi, zinc, dan
selenium biasanya merupakan hasil akhir dari keseimbangan zat gizi mikro
tersebut yang negatif dalam jangka waktu lama. Apabila kadar zat gizi mikro
total mulai menurun, terjadi deplesi pada berbagai lien, dan sumsum tulang.
Setelah cadangan komponen zat gizi mikro habis terjadi penurunan kandungan zat
gizi mikro dalam plasma dan suplai zat gizi mikro pada sumsum tulang maupun
otak dan sistem syaraf ssehingga tidak mencukupi untuk regenerasi sel yang
normal. Selanjutnya jumlah protoporphyrin eritrosit meningkat, mulai terjadi
produksi eritrosit mikrositik dan selanjutnya kadar Hb darah menurun (Carley,
2003). Dampak peningkatan status iodium terhadap mental dan psikomotor anak
sekolah (7 – 11 tahun) dilaporkan oleh Van den Briel, dan West (2000) yang
menunjukkan bahwa intervensi garam beriodium selama 1 tahun dapat
meningkatkan performance mental dan psikomotor pada kelompok intervensi
sedangkan kelompok kontrol tidak ada perubahan. Sementara itu hasil penelitian
tentang evaluasi efektivitas iodisasi garam, dan elevasi konsentrasi iodium
hubungannya dengan status goiter anak sekolah di daerah endemik Goiter
dilaporkan oleh Jooste dan Weight (2000) bahwa iodisasi garam sebenarnya telah
menghilangkan defisiensi iodium selama satu tahun, tetapi goiter rate tidak
menurun. Pengukuran goiter dengan palpasi tidak tepat untuk evaluasi jangka
panjang program iodisasi.
UNICEF (1997) mengungkapkan bahwa status gizi dan kesehatan anak
Indonesia masih belum sebaik negara ASEAN lainnya, sehingga dikhawatirkan
akan menjadi beban negara dalam memperoleh sumberdaya manusia yang
berkualitas. Oleh karena itu pemberian obat cacing dalam program PMT-AS
sangat membantu pemulihan kasus-kasus gizi kurang. Namun sampai saat ini
anak SD masih belum semuanya mendapatkan program pemberian obat cacing
dan makanan tambahan.
Investigasi variabel biologis (Serum Zn, retinal, Thyrotropin, Fe) yang
berkontribusi terhadap retardasi pertumbuhan linear anak pra sekolah telah
diteleliti oleh Elnour dan Hambraeus (2000) dengan hasil variabel biologis
berkontribusi positif terhadap retardasi pertumbuhan linear anak pra sekolah.
Artinya semakin rendah variable biologis maka pertumbuhan anak makin
terhambat. Selanjutnya ketidakmampuan belajar dan pencapaian motivasi yang
rendah sebagai akibat defisiensi iodium dalam jangka waktu lama telah diteliti
oleh Tiwari dan Godbole et al. (1996) dengan hasil anak-anak yang defisiensi
iodium berat (severe) mempunyai kemampuan belajar dan pencapaian motivasi
yang rendah dibandingkan dengan anak yang defisiensi iodiumnya sedang (mild).
Selanjutnya keragaan konsumsi garam beriodium pada anak usia SD di
daerah endemik GAKI, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah juga
ditunjukkan oleh Hanim dan Purwoko (2001) bahwa ada lebih 19 merek dagang
garam beriodium yang beredar di pasar Kecamatan Selo tetapi yang dikonsumsi
oleh keluarga ditemukan 11 merek dagang garam dengan kandungan iodium rata-
rata 30-50 ppm. Setelah semua garam yang beredar di warung dan pasar di desa
Selo sebagai daerah endemik GAKI Kab. Boyolali di analisis ternyata Selo belum
merupakan desa bergaram baik.
Penelitian penetapan kehilangan iodium dilakukan dengan cara
menambahkan larutan kalium iodat berlabel radioisotop (mengeluarkan sinar
gamma) ke dalam campuran cabe dan garam di dalam tabung khusus untuk
radioisotop. Setelah dicampur, iodium radioisotop dibaca dengan ‘gamma
counter’ lalu dibandingkan dengan hasil pembacaan iodium radioisotop standar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa iodium sisa yang masih terdeteksi sekitar
90-99 %, walaupun komposisi jumlah iodium dan cabe bervariasi. Bila selain
bumbu cabe ditambahkan cuka maka sisa iodium terdeteksi sekitar 77-78 %. Bila
volume iodium radioisotop ditingkatkan 2,5 kali lipat meskipun ditambahkan cabe
dan cuka, maka iodium sisa yang terdeteksi 98-99 % (Purawisastra et al. 2002).
Selenium dan GAKI
Hasil penelitian Rimbawan et al. (2000) tentang keterkaitan antara
defisiensi selenium dan defisiensi iodium dalam menentukan masalah GAKI
(Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) dan upaya penanggulangannya melalui
fortifikasi ganda menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara defisiensi iodium
dengan selenium di daerah endemik GAKI di Jawa Timur. Sementara hasil
penelitian Adriani et al. (2002) tentang identifikasi Gondok di daerah pantai telah
menunjukkan bahwa ibu hamil di daerah pantai memiliki kandungan selenium
dalam batas marginal (rata-rata 0.1 μg/ml) dan bila hal ini dibiarkan akan
menimbulkan masalah kretin di daerah pantai Tuban Jawa Timur.
Hartono dan Djokomoeljanto (2002) telah melaporkan hasil penelitian
tentang perkembangan sistem saraf pada anak di daerah endemik GAKI,
Ngantang, Jawa Timur, Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar TSH ibu
hamil yang > 5 μU/ml akan memberikan dampak negatif pada perkembangan
anak yang dilahirkannya (yaitu cerebral hypothyroidism). Sementara hasil
penelitian Brown et al. (2003) menunjukkan ada pengaruh positif terhadap
perbaikan profil darah orang sehat yang diberi suplemen Se organik (Se
methionine : 50 μg/hari ) dan Se inorganik (Na2SeO3 : 50 μg/hari) selama 2 bulan
sedangkan kelompok plasebo tidak. Adapun rata-rata peningkatan eritrosit sekitar
0.034 μg/ml (dengan Na2SeO3 : 50 μg/hari) dan 0.076 μg/ml (dengan Se
methionine : 50 μg/hari) disamping itu juga terjadi peningkatan aktivitas
ekstraseluler GPx dan sitosol GPx (cytosolic glutation peroxidase).
Manifestasi dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium tingkat berat
adalah kretin. Berdasarkan hasil survey nasional GAKI (1998) diperkirakan
masih terdapat 9000 bayi lahir kretin per tahun di Indonesia. Meskipun angka ini
relatif kecil namun penderita kretin memberikan dampat yang besar bagi kualitas
SDM. Penderita membebani keluarga dan masyarakat seumur hidupnya.
Berbagai faktor diduga sebagai penyebab terjadinya kretin. Selain kekurangan
iodium, kekurangan zat gizi mikro lain dan faktor genetik diperkirakan sebagai
penyebab terjadinya kelainan tumbuh kembang pada anak. Sampai saat ini,
penanganan masalah kretin belum dilakukan secara intensif mulai dari promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif (Depkes, 2000). Namun perkembangan upaya
penanggulangan masalah GAKI di negara berkembang dari laporan ACC/SCN
(2001) menyebutkan bahwa suplemen yang memiliki biaya tinggi mulai
dihentikan kecuali untuk penanganan GAKI di daerah endemik termasuk wilayah
pantai. Gambar 3 menunjukkan alternatif upaya penanggulangan GAKI yang
sudah dilakukan di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia.
Hasil penelitian Widardo (1998) menunjukkan bahwa pemberian
suplemen minyak iodium dosis rendah ditambah beta karoten yang diberikan pada
anak di daerah endemik GAKI ternyata mampu meningkatkan sintesa dan sekresi
hormon tiroksin bebas (FT4) dari kelenjar thyroid, meningkatkan kadar EIU dan
menghambat (menurunkan) sekresi hormon TSH oleh kelenjar hipofisa pada masa
tumbuh cepat dibanding dengan pemberian suplemen iodium dosis tinggi. Selain
itu tambahan beta karoten pada suplemen minyak iodium dosis rendah dapat
meningkatkan kadar serum vitamin A dan memicu peningkatan hormon tiroksin
(setelah 4 bulan penelitian). Selanjutnya hormon tiroksin digunakan untuk
metabolisme dalam tubuh, pertumbuhan jaringan otak dan tulang. Oleh karena
itu, anak yang mengalami defisiensi iodium dan selenium akan mengalami
gangguan pertumbuhan tulang (menjadi pendek) dan gangguan perkembangan
otak (menjadi bodoh). Hal yang sama juga terjadi pada ibu hamil dan ibu masa
nifas yang diteliti oleh Lamid (2007).
Gambar 3 Alternatif Upaya Penanggulangan GAKI di Negara Berkembang
Hasil penelitian Widodo (2000) menunjukkan bahwa ada keterkaitan
antara kejadian kretin baru pada anak usia sekolah (6-20 tahun) dengan masalah
kekurangan Selenium, karena daerah endemik GAKI di kaki gungung Merapi dan
Kretin ?
S t r a t e g i P e n u r u n a n K e ja d ia n D e f is ie n s i G iz i M ik r o
t i m e
perb
aika
n pe
ndud
uk
F o r t i f i k a s i
M a k a n a n T a m b a h a n
S u p p l e m e n t a s i
Suplemen Fortifikasi Pemberian Makanan Tambahan
Waktu
Merbabu termasuk daerah yang kekurangan selenium. Selanjutnya beberapa
hipotesis hubungan sebab akibat antara defisiensi Se dan I yang telah terbukti
melalui penelitian di berbagai negara dapat dilihat pada Tabel 7.
Table 7 Matriks Hipotesis yang Sudah Dibuktikan
Hubungan Sebab Akibat antara Defiiensi Se & I REFERENCES VARIABEL 1 VARIABEL 2
Gondok Kadar Iodium Hetzel, et al. (1990) Gondok Suplemen Selenium Scultinc & Yulia (2000) Gondok Suplemen Vitamin A dan
selenium Widardo, Scultinc, and Yulia (2000)
Gangguan pertumbuhan
Kadar Iodium Hetzel, et al. (1990)
Kadar Iodium dalam plasma
Kekurangan Vitamin A (KVA)
Widardo, Scultinc, and Yulia (2000)
Kadar Iodium dalam plasma
Kekurangan Selenium Ma, et al. (1993) Beckett, et al. (1993) Thilly, et al. (1993)
Kadar Iodium dalam plasma
Goitrogenik Thilly, et al. (1993) Osman, et al. (1992) Rao (1995)
Kadar Iodium dalam plasma
Suplemen Selenium Vanderpas, et al. (1993) Pharoah (1993)
Kandungan Iodium Lingkungan dengan kadar Iodium rendah
Koutras, et al. (1980) Rao (1995)
Kandungan selenium Lingkungan dengan kadar Selenium rendah
Lahagu, et al. (1993)
Kandungan Iodium Air minum dengan kandungan iodium rendah
Osman et al. (1992)
Growth Spurt II pada Anak Sekolah Dasar
Growth Spurt II merupakan masa pertumbuhan cepat dan unik karena adanya
karakteristik pertumbuhan fisik (Tabel 8) dan perubahan komposisi tubuh yaitu:
1. Kecepatan pertumbuhan fisik masa remaja adalah tercepat kedua kecepatan
pertumbuhan pada masa bayi. Kira-kira 20 % tinggi badan dan 50 % berat
badan dicapai pada masa remaja disebut ‘Growth Spurt’(Soetjiningsih, 1998)
Perlu lebih banyak energi dan zat gizi mikro untuk mendukung pertumbuhan
fisik yang optimal (James, 2001; Shils and Young, 1988)
2. Pertumbuhan fisik remaja ditandai dengan peningkatan jumlah dan ukuran sel
dan kematangan sistem reproduksi. Pertumbuhan fisik remaja umumnya
diiringi dengan penyempurnaan kematangan seksual dan epifise tulang
(Wardlaw et al. 1992).
3. Pada usia 10 tahun : 80 % tubuh terbentuk, dan 50 % bobot skeletal tercapai.
Bobot skeletal meningkat sampai dekade ke-empat (6 % pada Perempuan)
Tabel 8 Karakteristik Pertumbuhan Fisik dan Perubahan Komposisi Tubuh
pada Masa Growth Spurt II No. Pertumbuhan remaja Perempuan (P) Keterangan
1 Tinggi badan (9-10 th) P = laki-laki (L) Gizi baik dg TB >120 cm
2 Puncak kecepatan TB 9.0 cm /th Laju TB 0.5 –0.75 cm /bln
3 Usia kecepatan TB 12.1 th Ada faktor genetik & etnik
4 Berat badan (9-10 th) P < L Gizi baik dg BB: 20-25 kg
5 Puncak kecepatan BB 8.8 kg /th Laju BB 0.5 – 0.73 kg /bln
6 Usia kecepatan BB 12.9 th Ada faktor genetik & etnik
7 Peningkatan BB P = 0.75 x L Peningkatan BB pd (P) yang kurus
7 kematangan seksual P lebih cepat 2 th dari L Di daerah endemik GAKI belum ada data
8 Pertumbuhan pubertas Peningkatan lemak > L Di daerah endemik GAKI belum ada data
9 Spurt pubertas Usia 12.8 th Kisaran usia mens awal 10-16 th
Di daerah endemik GAKI belum ada data
10 Cadangan lemak sub-kutan
P > L karena lemak untuk menstruasi 17 % BB dan 22 % untuk mengatur siklus ovulasi
Di daerah endemik GAKI belum ada data
11 Bentuk /tanda awal pubertas
Kematangan sex dg menstruasi tiap bulan Perubahan payudara Pertumbuhan rambut pubis
Sama untuk semua lingkungan (daerah endemik GAKI = daerah bukan endemik)
Sumber : Modifikasi Shils and Young (1988); Soetjiningsih (1998) dan Adiningsih (2002)
Adanya perubahan hormonal sebagai penyebab terjadinya perbedaan
karakteristik remaja laki-laki dan perempuan, sehingga remaja perempuan lebih
berisiko terhadap kretin dan gangguan kesehatan lainnya. Hormon yang
berpengaruh pada tumbuh kembang remaja adalah ‘growth hormon’, thyroid,
hormon sex, insulin, IGFs (Insulin-like Growth Factors) dan hormon yang
dihasilkan kelenjar adrenal, antara lain :
1. Somatotropin atau hormon pertumbuhan : merupakan pengatur utama pada
pertumbuhan somatis terutama kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat
dipengaruhi hormon somatotropin. Growth Hormon (GH) merangsang
terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan anak
umur 10-14 tahun. GH mempunyai ‘circadian variation’ yang aktivitasnya
meningkat pada malam hari waktu tidur, sesudah makan, sesudah latihan
fisik, dan perubahan kadar gula darah.
2. Glukokortikoid : memiliki fungsi yang bertentangan dengan somatotropin dan
hormon thyroid, serta androgen karena ‘kortison’ memiliki efek anti anabolik.
Kalau kortison berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat dan
terjadi osteoporosis.
3. Insulin like Growth Factors (IGFs) : merupakan somatomedin yang kerjanya
sebagai mediator GH dan kerjanya mirip dengan ‘insulin’ juga sebagai efek
mitogenik terhadap kondrosit, dan osteoblas. IGFs terutama diproduksi oleh
hati.
4. Masa remaja terjadi perubahan hormonal rata-rata pada usia 10-16 tahun.
5. Pertumbuhan hormon estrogen dan androgen di mulai saat pubertas. Hormon
tersebut sangat berperan dalam perilaku sexual
6. Perubahan hormonal di masa puber terjadi secara teratur, terintegrasi, yang
diselaraskan oleh sistem syaraf pusat dan kelanjar endokrin. Kelenjar
pituitari, yang terletak di dasar otak, berperanan penting. Kelenjar ini disebut
master gland karena mensekresi hormon ke sistem aliran darah yang
menstimulasi kelenjar lain untuk menghasilkan berbagai macam hormon.
Pada masa puber, kelenjar pituitari meningkatkan produksi hormon
pertumbuhan dan mentriger dua hormon gonadotropin, yaitu follicle-
stimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormon (LH). Pada perempuan
FSH dan LH menstimulasi ovari untuk mengolah dan mensekresi hormon
estrogen dan progesteron. Oleh karena itu masa puber sebagai suatu sistem
prenatal yang menjadi aktif. Walaupun masa puber memiliki landasan secara
biologis, namun beberapa pengalaman remaja pada masa ini dipengaruhi oleh
faktor sosial dan psikologisnya (Zanden, 1985).
Peningkatan kebutuhan beberapa mineral dalam tubuh pada masa remaja (per
hari) disesuaikan dengan daerah endemik GAKI dapat dilihat pada Tabel 9.
Perbedaan karakteristik pertumbuhan remaja laki-laki dan perempuan
berdampak terhadap kecukupan zat gizi. Seluruh perubahan pada masa remaja
memberikan pengaruh yang besar pada kebiasaan makan remaja. Adapun
kebutuhan gizi pada masa remaja menurut Martianto (2004) adalah :
1. Beberapa vitamin yang penting selama masa remaja :
- Vitamin A diperlukan untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi dan
proleferasi sel, reproduksi dan integritas sistem kekebalan (imunitas)
- Vitamin D berperanan dalam memelihara homeostasis Ca dan P dalam
pengerasan tulang
- Vitamin C penting untuk sintesis collagen
- Folacin penting untuk sintesis DNA
- Vitamin B12 diperlukan untuk pertumbuhan sel yang cepat
- Vitamin B6 penting pada masa pubertas (terutama laki-laki yang banyak
memiliki massa otot). Vit. B6 berperan dalam pembentukan enzim yang
terkait dengan metabolisme Nitrogen
- Riboflavin, Niacin dan Thiamin penting untuk metabolisme energi yang
diperlukan saat pubertas (Growth Spurt II)
2. Masa remaja membutuhkan mineral yang cukup tinggi, terutama Ca, Fe dan
Zn untuk pertumbuhan cepat :
- Ca untuk memelihara peningkatan massa tulang
- Fe untuk membantu perkembangan sel darah merah dan massa otot
- Zn untuk pembentukan tulang baru dan jaringan otot
Tabel 9 Kebutuhan Zat Gizi (RDA) pada Puncak Growth Spurt II Modifikasi Hartono (2001), IOM (2001) dan Martianto (2004)
Mineral/hari Jenis kelamin
Rata-rata untuk Periode usia 10-20 th
Pada Puncak Growth Spurt II
Ca (mg/hari) L P
210 110
400 240
Fe (mg/hari) L P
10 18
30 50
Zn (mg/hari) L P
15 15
30 30
Mg (mg/hari) L P
40 40-55
280 280
Se (μg/hari) L P
280 280
400 400
Iodium (μg/hari) L P
130 100
150 150
Tes IQ pada Anak Sekolah Dasar
Banyak tes IQ untuk mengukur kualitas anak seperti tingkat
pengetahuan, daya ingat sesaat, alasan abstrak, bagian kemampuan visual dan
perasaan. Test IQ mengukur sebagian dari budaya seseorang baik yang nyata
maupun budaya yang tidak dilakukan. Namun biasanya untuk keperluan
akademik sehingga kurang baik untuk mengukur kreativitas anak. Banyak tipe tes
IQ yang disesuaikan dengan umur anak, salah satunya dari The Wechsler tests
yang digunakan untuk mengukur ‘individually administered IQ tests’ termasuk
WISC-IV (umur 6-16 tahun), WAIS-III (umur 16-89 tahun), dan WPPSI-III
(umur 2.5 - 7 tahun) dengan frequency of Wechsler IQ scores. Setelah
pengamatan secara acak, ternyata banyak faktor yang menetukan nilai/skor
sehingga perlu diamati ulangan tes setiap minggunya karena dapat berubah antara
5-10 point.
Untuk ukuran kemampuan verbal pada anak dengan kelainan fisik atau
mental tertentu Wechsler tidak menganjurkan pengukuran verbal, karena memang
sudah dapat dipastikan anak dengan kelainan pasti memiliki kemampuan verbal
yang buruk. Hal ini juga diakui oleh Raven yang kemudian mengembangkan
‘Block Design’ untuk mengukur IQ melalui ketajaman pengamatan gambar
berwarna yang diambil untuk dipasangkan ke gambar design utamanya (WISC_IV
untuk anak umur 6-16 tahun). Model ini kemudian dikenal sebagai Modeled after
Raven's Progressive Matrices atau Matrix Reasoning (WAIS-III) (Morris, 2006).
Tabel 10 Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven (Morris, 2006)
IQ Diskripsi Lama Diskripsi Raven Skor (100)
10 Idiot Retardasi mental sangat berat Kurang dari 1 25 Idiot Retardasi Mental Berat Kurang dari 1 40 Imbecile Retardasi Mental Sedang Kurang dari 3 55 Moron Retardasi Mental Ringan Kurang dari 13 70 Garis Batas Kurang dari 15 85 Dull Normal Di bawah Rata-rata Kurang dari 16
100 Rata-rata 50 - 60 115 Di Atas Rata-rata 61 - 84 125 Superior 85 - 95 130 Jenius Sangat Superior 95 - 98.5 145 Sangat Sangat Superior 98.5 - 100
Selenium, Perkembangan Otak dan Hasil Tes IQ
Sudah tiga dekade terakhir, selenium diteliti sebagai pemelihara dari
perkembangan otak sebagai akibat dari defisiensi selenium. Perubahan
kandungan selenium nampak jelas pada penderita Alzheimer dan tumor otak.
Adapun jenis selenium yang paling berpengaruh adalah selenoprotein dan
selenocystein yang mampu melindungi kerusakan lebih lanjut dari penyakit
Parkinson. Selenoprotein juga telah dilaporkan aktif sebagai keberlangsungan sel
saraf otak bersama-sama dengan 2 iodothyronine deiodenase (Chen and Berry,
2003). Perkembangan otak manusia sudah mulai berlangsung pada saat individu
berada di dalam kandungan. Perkembangan otak ini tidak dapat dipisahkan
dengan proses pertumbuhan yang berjalan secara bersamaan dan saling
melengkapi. Otak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika sistem saraf
berfungsi dengan baik serta pertumbuhan dari organ yang membangun sistem
saraf juga telah terbentuk secara sempurna. Otak tersusun atas 3 bagian, yaitu :
cerebrum (sisi sadar), cerebellum, dan medulla oblongata (dua bagian terakhir
ini) merupakan bagian otak yang “tidak sadar“. Medulla oblongata merupakan
bagian yang terdekat ke spinal cord, dan terlibat dalam pengaturan detak jantung,
proses bernafas, pengaturan tekanan darah, pusat refleks rasa mual, batuk, bersin,
dan kembung. Hipotalamus mengatur homeostatis, dan memiliki daerah
pengaturan untuk rasa haus, lapar, suhu tubuh, keseimbangan air dan tekanan
darah dan menghubungkan sistem saraf dengan sistem endokrin. Midbrain (otak
tengah) dan pons juga merupakan bagian otak yang tidak sadar (unconscious
brain) dapat dilihat pada Gambar 4. Thalamus berperan sebagai titik relay pusat
bagi pesan-pesan saraf yang masuk (Fox, 1993).
Cerebellum (Gambar 5) merupakan bagian kedua terbesar penyusun otak,
setelah cerebrum. Cerebellum berfungsi untuk koordinasi otot dan memelihara
tekanan normal otot dan postur. Bagian otak yang sadar mencakup lapisan-lapisan
cerebral, yang dipisahkan oleh corpus callosum. Cerebrum mengatur intelegensi
dan kemampuan menghafal, belajar dan mengingat. Selama masa perkembangan
embrio, otak yang pertama terbentuk berupa tabung (tube), dan ujung bagian yang
membesar menjadi tiga gelembung kosong yang akan membentuk otak, dan
posterior yang akan berkembang menjadi spinal cord. Lobus occipital (Gambar 6)
pada bagian belakang otak menerima dan memproses informasi visual. Lobus
temporal menerima sinyal suara, memproses bahasa dan arti kata. Lobus parietal
berhubungan dengan sensori korteks dan memproses informasi tentang sentuhan,
rasa, tekanan, sakit, panas dan dingin. Lobus frontal melakukan tiga fungsi, yaitu
(1) aktifitas motorik dan integrasi aktifitas otot, (2) berbicara, dan (3) proses
berfikir (Fox, 1993). Kretin merupakan manifestasi GAKI yang sangat parah.
Namun tanpa gejala adanya kekurangan iodium IQ anak di daerah GAKI lebih
rendah setidaknya 10 poin dari rekannya di daerah non endemik GAKI.
Sebagian besar manusia telah meneliti tentang area kemampuan
berbahasa dan berbicara, dan diketahui bahwa area ini berada di bagian kiri
hemispher otak. Keseluruhan bahasa ditemukan pada daerah Wernicke.
Kemampuan berbicara pada daerah Broca. Kerusakan daerah Broca menyebabkan
gangguan berbicara namun tidak pada kemampuan berbicara total. Kegagalan
daerah Wernicke menyebabkan gangguan kemampuan menulis dan menyebutkan
kata-kata, tetapi masih bisa berbicara. Bagian lainnya di dalam korteks
berhubungan dengan kemampuan berfikir yang lebih besar, perencanaan,
mengingat, personalitas dan aktivitas lainnya. Selain otak, sistem saraf juga
dibangun oleh spinal cord. Spinal cord berada sepanjang sisi dorsal tubuh dan
menghubungkan otak ke seluruh tubuh. Bagian yang berwarna abu-abu
mengandung sebagian besar sel-sel tubuh dan dendrit. Disekitar bagian yang
berwarna putih dibangun oleh gulungan akson intraneural (tracts). Beberapa dari
tracts ini ascending (membawa pesan ke otak) dan yang lainnya descendinens
(membawa pesan dari otak). Spinal cord terlibat dalam aksi refleks yang tidak
secara langsung melibatkan otak (Fox, 1993).
Gambar 4 Bagian-bagian Otak.
Sumber:http://www.prs.k12.nj.us/schools/PHS/Science_Dept/APBio/pic/brain.gif.
Gambar 5 Bagian-bagian Otak Dilihat dari Tengah (Purves et al. 2004)
Gambar 6 Bagian Utama Otak dan Lobus (Purves et al. 2004)
Fisiologi dan Perkembangan Otak
Fox (1993) menjelaskan sistem saraf dibangun oleh dua sel utama, yaitu:
a. Neuron, yang merupakan struktur dasar dan unit fungsional dari sistem saraf.
Mereka mempunyai fungsi khusus dalam memberikan respon terhadap
rangsangan fisik maupun kimia, melakukan impuls elektrokimia dan mengatur
keluarnya bahan kimia tertentu. Melalui serangkaian aktifitas ini, neuron
membangun fungsi terhadap stimulus sensori, kemampuan belajar, mengingat
dan mengontrol otot dan kelenjar. Neuron tidak dapat dibelah melalui proses
mitosis, sekalipun ada neuron yang dapat muncul lagi sebagai bagian terpisah
atau bertunas dengan membentuk cabang baru dengan kondisi yang sama.
Neuron dikelompokkan berdasarkan struktur dan fungsinya.
Berdasarkan fungsinya, neuron dikelompokkan kepada kemampuan melakukan
impuls. Sensori, atau afferent, neuron melakukan impuls dari penerima sensor
ke sistem syaraf pusat. Motor, atau efferent melakukan impuls keluar dari
sistem syaraf pusat menuju organ-organ yang akan menerima impuls (otot-otot
dan kelenjar-kelenjar). Hubungan antarneuron atau disebut intraneuron,
terletak diseluruh sistem saraf pusat dan bertugas melayani hubungan tersebut,
atau membentuk kesatuan, yang sekaligus melakukan fungsi sistem saraf.
b. Neuroglia atau sel – sel glial, (glia =glue) merupakan sel penyokong dalam
sistem saraf yang membantu fungsi neuron. Sel – sel glial ini jumlahnya
mencapai lima kali jumlah neuron, dan sel ini juga mempunyai kemampuan
mitosis yang terbatas (kanker dan tumor yang terjadi pada orang dewasa
umumnya disusun oleh sel-sel glial). Makhluk hidup yang terdiri atas multisel
harus mengawasi dan menjaga kondisi lingkungan internal yang konstan
seperti mengawasi dan memberikan respon terhadap semua respon yang
berasal dari lingkungan luar. Kedua fungsi ini dikoordinasi oleh dua sistem
organ yaitu sistem saraf pusat dan sistem endokrin.
Perkembangan otak manusia terjadi sejak didalam kandungan. Pada masa
awal periode perkembangan ini terjadi pertumbuhan sel-sel otak yang sangat
cepat. Mulai usia kehamilan 3 minggu sampai bayi dilahirkan, otak berkembang
cepat dan merupakan 13% dari berat badan bayi saat dilahirkan (Hurlock, 1988).
Memang sudah diketahui bahwa perkembangan fisik otak merupakan prioritas
utama. Meskipun demikian, perkembangan otak masih terus berlangsung selama
beberapa bulan setelah kelahiran. Ukuran sel otak bertambah dan volumenya
menjadi dua kali beratnya pada tahun pertama usianya. Pada anak usia dua tahun,
jumlah jaringan saraf dan metabolisme di otak dua kali orang dewasa dan hal ini
menetap sampai usia 0-11 tahun maka sejak dalam kandungan sampai usia
mencapai 5 tahun sering disebut sebagai golden age.
Otak janin yang tumbuh sangat cepat sejak minggu 10 – 18 usia
kehamilan, menuntut sang ibu untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi dalam
rentang waktu tersebut. Otak juga mengalami pertumbuhan yang cepat sampai
usia 2 tahun. Malnutrisi pada masa periode pembentukan otak ini akan
menimbulkan efek merugikan terhadap sistem syaraf dan tidak hanya memberikan
pengaruh pada neuron, tapi juga terhadap sel sel glial yang bertanggung jawab
untuk pertumbuhan dan perkembangan. Pengaruh terhadap sel glial ini akan
merubah perkembangan myelin terutama karena myelin ini akan terus menerus
terbentuk disekitar akson pada awal kelahiran (Thompson Higher Edu, 2007).
Otak dapat diibaratkan sebagai mesin yang memerlukan bahan bakar agar
fungsinya optimal. Faktor gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak dengan
cara memodifikasi : (1) jumlah dan ukuran sel saraf, dan mengatur posisi saraf
dalam sistem saraf pusat, (2) perkembangan dendrite, myelinasi akson dan
jaringan synaps, (3) membentuk neurotransmitter (Gambar 7)
EPA dan DHA merupakan pembangun sebagian besar korteks cerebral
otak (bagian yang digunakan untuk berfikir) dan juga dibutuhkan untuk
pertumbuhan normal otak. Neurotransmitter dapat diartikan sebagai molekul
yang bertugas sebagai pengantar pesan di dalam otak. Otak membutuhkan zat gizi
khusus (selenium) untuk fungsi neurotransmitter ini. Otak tidak mampu
menyimpan glikogen atau lemak yang bisa dirombak jika otak kekurangan zat
gizi. Otak juga tidak mampu menyimpan oksigen untuk mengoksidasi bahan
bakar ataupun zat gizi. Karena itu otak benar-benar tergantung pada suplai darah
untuk memenuhi kebutuhan oksigen maupun zat gizi yang diangkut darah.
Sehingga otak sehat akan tampak penuh sel dengan warna yang jelas
dibandingkan dengan otak yang kurang sehat (Gambar 8). Rangsangan sensori
ibarat zat gizi yang penting untuk pertumbuhan normal, perkembangan dan
berfungsinya otak, sehingga kekurangan sensori ini selama periode pembentukan
otak dapat menyebabkan perkembangan otak menjadi tidak normal baik struktur
maupun fungsinya (kemampuan neurochemical maupun neuroelectrical).
Kekurangan sensori menyebabkan rangsangan emosional terhadap sentuhan,
gerakan, penciuman terhambat dan berpengaruh terhadap ikatan (bonding) ibu
anak (Chavetz, 1990).
Gambar 7 Synaps (Purves et al. 2004)
Kretin Orang Sehat
Gambar 8 Perbandingan Volume Sel Otak Penderita Kretin dengan Otak Orang Sehat (Cassels & Lie, 2006)
Darah dan Defisiensi Zat Gizi Mikro
Darah adalah cairan merah yang tidak tembus cahaya, juga merupakan
suatu organ yang unik, berupa suatu cairan yang bersentuhan dengan hampir
seluruh jaringan tubuh lain. Sel darah tidak mempunyai sifat kohesif dan berada di
dalam medium cairan darah – yaitu plasma. Sel darah terdiri atas eritrosit tanpa
inti dan trombosit serta sel yang berinti yaitu leukosit. Fungsi darah adalah :
1. Transpor oksigen, karbondioksida, dari dan ke paru-paru, zat-zat gizi, dan
zat-zat hasil metabolisme.
2. Pengatur lingkungan pH dan temperatur.
3. Mencegah pendarahan trombosit dan faktor-faktor pembekuan.
4. Pertahanan tubuh fagositosis dan imunoglobulin.
Selanjutnya Underwood (2002) mengatakan bahwa setiap bagian darah memiliki
fungsi dan peran yang sangat spesifik dan bila salah satu kekurangan atau sampai
habis maka tubuh seseorang akan mengalami kelainan yang bersifat sistemik.
Adapun fungsi dan peran setiap komponen darah adalah :
1. Hematokrit Bagian dari sel darah dari keseluruhan volume darah (%).
2. Plasma Merupakan darah padat yang terdiri dari sel-sel darah.
Bagian darah yang cair terdiri dari 9-90 % air, 6,5-8% protein.
3. Plasma albumin 60% dari plasma sebagai albumin berfungsi sebagai
transpor bagi bilirubin, urobilin, asam amino, dan lemak.
4. Hemoglobin Zat warna dari butir darah merah terdiri dari globin
(protein) dan haem (struktur yang mengandung Fe).
5. Plasma globumin α1, α2, β, dan γ globulin.
Pemeriksaan kuantitatif sel darah adalah penting. Pada laboratorium yang
modern, secara rutin dilakukan dengan menggunakan alat penghitung sel yang
automatis. Dengan alat ini, ukuran dan konsentrasi eritrosit, dan leukosit serta
konsentrasi trombosit dihitung, hemoglobin secara automatis dihitung. Juga,
proporsi dari leukosit untuk setiap jenis – perbedaan jenis leukosit dihitung dari
ukuran sel dan kandungan granula www.current.med.com (2002)
Eritrosit (Sel Darah Merah)
Eritrosit (sel darah merah) dapat berubah bentuk dan merupakan sel tanpa
inti serta bikonkaf. Eritrosit paling banyak ditemukan di antara keseluruhan sel
darah. Sewaktu darah disentrifus maka akan terpisahkan komponen plasma dan
seluler, yang bagian sel darah merahnya sekitar 45% dari volume total, ini
merupakan “volume pacaked cell” atau hematokrit. Eritrosit merupakan sel
pembawa oksigen karena banyak mengandung hemoglobin. Sel membran tersusun
atas dua lapis fosfolipid dengan protein integral. Bentuk sel dipertahankan oleh
struktur protein yang membentuk sitoskeleton. Sistem enzim melindungi
hemoglobin dari eksidasi yang ireversibel. Eritrosit yang matang tidak
mempunyai material inti, sehingga protein baru tidak dapat disintesis
(Underwood, 2002).
Metabolisme eritrosit terjadi dengan siklus mulai hemoglobin kemudian
verdoglobin, biliverdin, dan bilirubin (terikat pada albumin). Sebagian
urobilinogen masuk peredaran darah besar ke ginjal. Bagian-bagian yang penting
dari eritrosit adalah hemoglobin, membran sel (untuk menentukan golongan
darah), antigenitas dari golongan darah, fermen untuk aerobik dan oksidasi
anaerobik yang biasanya tinggi pada anak yang tinggal di daerah pegunungan.
Kadar Hb dan eritrosit pada anak pada umumnya dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Kadar Haemoglobin Normal pada Anak (Underwood, 2002)
Usia 1 th 2 th 4 th 8 th 12 th
Hb (gr per dl) 12.1 12.4 12.7 13.6 14.2
Eritrosit (x 1012 per l) 5.0 4.8 4.6 4.7 4.8
Leukosit (Sel Darah Putih)
Sel darah putih, mempunyai inti sel, tidak mengandung hemoglobin,
terdiri dari granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil), limfosit, dan monosit. Semua
leukosit dapat bergerak amuboid (seperti Amoeba) dan dapat mencaplok benda
asing (misalnya bakteri). Angka rata-rata dari leukosit dan angka turunan
/diferensial pada anak-anak dapat dilihat pada Tabel 12.
Sel-sel darah putih dibentuk sebagian dalam sumsum tulang (granulosit,
monosit, dan limfosit) dan sebagian dalam jaringan limfa (limfosit dan sel-sel
plasma). Orang dewasa memiliki kira-kira 7.000 sel darah putih per mililiter
kubik darah, terdiri dari 62% neutrofil, 2,3% eosinofil, 0,4% basofil, 5,3%
monosit, dan 30,3% limfosit. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membentuk
sel-sel darah putih adalah vitamin dan asam amino seperti halnya sel-sel lainnya.
Sesudah dibentuk, sel-sel tersebut ditranspor dalam darah ke berbagai bagian
tubuh. Masa hidup tiap sel berbeda, granulosit sekitar 12 jam, monosit sulit dinilai
(karena selalu mengembara), tetapi bisa beberapa minggu atau bulan, limfosit
dapat berumur 110 – 300 hari (Irianto dan Waluyo, 2004).
Tabel 12 Angka Rata-rata dari Leukosit dan Angka Turunan /Diferensial pada Anak www.current.med.com (2002)
Darah Usia 1-2 th 2-6 th 6-12 th
Leukosit x 10 g/l 6.0 – 17.5 6.0 - 17 4.5 – 14.5
Neutrofil granulosi (%) 1.9 – 8.0 50 - 70
Limfosit (%) 0.9 – 5.2 25 - 40
Monosit (%) 0.2 – 1.0 2.0 – 8.0
Eusiofil (%) 0.0 – 0.8 2.0 – 4.0
Basofil (%) 0.0 – 0.2 0.0 – 1.0
Secara umum, manfaat sel darah putih adalah untuk membantu
pertahanan tubuh terhadap infeksi yang masuk, karena selain mampu bergerak
amuboid juga bersifat fagositosis (memangsa). Sel-sel darah putih yang berfungsi
melawan penyakit disebut antibodi. Contoh antibodi misalnya limfosit yang
mampu menyerang dan menghancurkan organisme yang spesifik (bakteri, virus)
dan toksin. Limfosit ada dua jenis, yaitu T-limfosit dan B-limfosit. Perbedaan
antara T-limfosit dan B-limfosit adalah tempat pematangannya. B-limfosit
mengalami pematangan di sumsum tulang, sedang T-limfosit mengalami
pematangan di timus. Neutrofil dan monosit juga berfungsi fagositosis. Satu
neutrofil mampu memfagosit 5 – 20 bakteri. Monosit yang keluar dari sumsum
tulang dan masuk ke darah merupakan sel imatur (belum masak), sesudah
beberapa jam, monosit akan menjadi makrofag (sel raksasa) yang mampu
memfagosit 100 bakteri. Selain sel darah putih, sekelompok sel yang tersebar luas
di seluruh jaringan dan membatasi beberapa pembuluh darah dan limfa juga
membantu melindungi tubuh terhadap benda asing yang masuk. Sistem ini disebut
sistem retikuloendotelial (Tierny et al. 2003).
Patofisiologi Anemia
Anak-anak disebut anemia bila Hb dan eritrosit turun sampai kurang dari
11 g /dl atau hematokrit kurang 33%. Beberapa penyebab dan jenis anemia yaitu:
1. Anemia disebabkan kekurangan zat besi (Fe)
a. Gejalanya : luka di sudut mulut atau bibir. Kuku menjadi rapuh dan datar.
b. Penyebabnya : makanan yang tidak cukup mengandung Fe. Fe tidak cukup
diresorpsi. Terjadi perdarahan, infeksi dan darahnya hancur.
2. Anemia megaloblastik
a. Simptom /Gejala : Pucat, ikterus di sklera (akibat hemolisis), rasa panas di
lidah (akibat atropimukosa), rasa kesemutan, dan gangguan psikosis.
b. Penyebabnya : kekurangan makanan yang mengandung vitamin B12, tidak
adanya faktor intrinsik, gangguan resorpsi di usus halus, dan penyakit
cacing.
c. Gambaran darah : Megaloblastik eritropuetik, megalokariosit (MCV dan
MCH naik) leukopeni, granulositopeni, dan trombopeni.
d. Penyebab kekurangan asam folat
Tidak cukup dalam makanan, gangguan resorpsi di usus, obat-obatan, adanya
senyawa antagonis dari asam folat (misal: aminopterin, ametopterin, daraprin).
Pada kasus anemia megaloblastik ditunjukkan peranan penting vitamin
B12 dan asam folat di dalam proses eritropoesis karena eritroblas
memerlukan kedua vitamin tersebut untuk proliferasi selama proses
diferensiasi sel. Defisit vitamin B12 dan folat menghambat sintesa DNA
akibatnya sel darah merah tidak matang dan mati lebih awal (eritroblas
apoptosis) maka terjadilah anemia makrositik (Koury dan Ponka, 2004). Di
daerah endemik GAKI hal ini terjadi seiring dengan kejadian defisiensi
iodium dan selenium. Hal ini diduga sebagai penyebab meningkatnya
kejadian gangguan autoimun sehingga penderita mengalami pernicious
anemia (Allen, 2004). Prevalensi jenis anemia makrositik di negara-negara
Amerika Latin cukup tinggi yaitu 40-50 % (Allen & Casterline Sabel, 2001).
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa GAKI dan spektrum kretin
endemik disebabkan oleh defisiensi beberapa zat gizi yang terkait seperti
iodium, selenium, besi, seng dan beberapa vitamin. Hampir semua zat gizi
tersebut berperan dalam eritropoiesis (WHO/UNICEF, 2004).
3. Anemia hemolitik
Masa hidup eritrosit turun, selama eritrosit yang lisis bisa digantikan,
maka tidak terjadi anemia.
a. Akibat lisis dari eritrosit
Bilirubin, total bilirubin naik. Fe dalam serum naik. Pengeluaran
sterkobinilogen di feses naik. Pengeluaran urobilin di urin naik.
b. Penyebab anemia hemolitik
1). Pengaruh bentuk sel : sprositoris, ovalositosis, dan sel sakit.
2). Hemoglobinopati
• Talasemia : diturunkan secara otonomal (talasemia mayor dan
talasemia minor). Ada dua macam α dan β talasemia. Fetal
hemoglobin = Hb F = α2 γ2 . Adult hemoglobin = Hb A = α2 γ2
α talasemia = Rantai α dari hemoglobin terganggu.
β talasemia. = Rantai β dari hemoglobin terganggu.
Simptom : Hepatosplenomegali + Anemia
• Enzimatopi.
3) Pengaruh dari luar sel
(a) Toksis hemolisis
(b) Hemolisis – Usemik – Sindrom
(c) Mekanis hemolitik → pada kelainan klep jantung
(d) Imun hemolitis
(e) Infeksi.
4. Leukemia
Penyakit sel darah putih (leukosit) yang mengalami pembelahan secara
berulang-ulang. Penyakit ini semacam kanker yang menyerang sel-sel darah
putih. Akibatnya fungsi sel darah putih terganggu, bahkan sel-sel darah merah
dapat terdesak karena pertumbuhan sel darah putih yang berlebihan sehingga
sel darah merah menurun (Underwood, 2002).
Pada anak yang menderita gangguan akibat kurang iodium (GAKI)
biasanya dibarengi dengan kekurangan zat gizi mikro lain seperti zat besi,
sehingga anak yang tinggal di daerah endemik GAKI juga akan menderita
anemia. Namun karena daerah endemik GAKI umumnya di daerah yang tinggi
sehingga faktor VO2max juga tinggi maka kadar haemoglobin (Hb) darah anak
di daerah tersebut juga tinggi. Hasil penelitian di Skotlandia menunjukkan
bahwa hasil suplemen selenium organik dan inorganik selama 28 hari mampu
memperbaiki profil darah (eritrosit dan leukosit) penduduk yang menderita
anemia di daerah endemik GAKI (Brown et al. 2003). Menurut Small (2004)
proses terjadinya defisiensi besi merupakan dasar tahapan :
a. defisiensi besi prelaten
Hilangnya besi melebihi asupan besi, sehingga terjadi keseimbangan besi
negatif dan penurunan cadangan besi. Saat cadangan besi menurun terjadi
kompensasi dengan peningkatan absorbsi besi dari makanan. Deteksi keadaan
ini dilakukan pengukuran feritin serum.
b. defisiensi besi laten
Keadaan ini terjadi bila cadangan besi terkuras habis tetapi kadar hemoglobin
darah masih lebih tinggi dari batas bawah nilai normal. Pada tahap ini terjadi
abnormallitas biokimia pada metabolisme besi yang biasanya bisa dideteksi,
terutama penurunan satu rasi transferin. Peningkatan jumlah Free Erytrocite
Protophorphyrin (FEP) tampak pada tahap pertengahan dan akhir dari
defisiensi besi laten. Parameter yang lain yaitu peningkatan Total Iron-
Binding Capacity (TIBC) dan Mean Corpuscular Volume (MCV) biasanya
dalam batas normal.
c. anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi terjadi bila konsentrasi hemoglobin menurun sampai
dibawah nilai normal.
Dikatakan oleh Frewin, et al. (1997) bahwa tahapan terjadinya defisiensi
besi pada anak di daerah endemik GAKI umumnya seiring dengan defisiensizat
gizimikro lainnya. Profil darah anak di daerah endemik GAKI menjadi akurat
bila dinilai dengan menggunakan pemeriksaan hematologi dan biokimia.
Biasanya anak yang tinggal di daerah endemik GAKI memiliki konsentrasi Hb
normal tetapi banyak ditemukan anak yang menderita anemia mikrositik hiper-
kromik (sel darah merah dengan ukuran lebih kecil dan mengandung banyak Hb).
Selenium, Fungsi dan Sumber
Selenium (Se) menjadi perhatian para ilmuwan sejak tahun 1930-an, pada
saat terjadi keracunan pada ternak akibat mengkonsumsi tanaman yang tumbuh di
wilayah yang kandungan selenium tanahnya tinggi. Kegunaan selenium sebagai
zat gizi pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1979 oleh ilmuwan
China yang melaporkan bahwa suplemen selenium dapat mencegah
perkembangan penyakit Keshan yaitu suatu penyakit Cardiomyopathy pada anak-
anak yang tinggal di wilayah yang memiliki kandungan selenium rendah.
Meskipun demikian, pada penyakit ini diduga ada komponen-komponen lain juga
terlibat di dalamnya, seperti infeksi virus, rendahnya asupan vitamin E, protein,
metionin dan mineral mikro lainnya (WHO, 1996).
Selenium merupakan salah satu mikronutrien esensial dalam jumlah yang
sedikit, dan dapat menjadi racun dalam jumlah yang banyak. Selenium berasal
dari bahasa Yunani selena yang berarti bulan. Selenium bukan logam, terdapat
dalam beberapa bagian proses oksidasi seperti Se2+, Se4+ dan Se6+ . Secara kimia
selenium seperti sulfur, sehingga selenium dapat mensubstitusi sulfur dalam asam
amino seperti methionine, cysteine dan cystine (Brody, 1999).
Kandungan selenium dalam bahan makanan sangat tergantung dari
konsentrasi kandungan selenium dalam tanah. Karena terdapat perbedaan
konsentrasi kandungan selenium dalam tanah, maka daftar tabel kandungan
selenium dalam makanan dibuat berdasarkan perkiraan secara umum. Produk
hewani (khususnya daging) lebih banyak mengandung selenium dibandingkan
tumbuh-tumbuhan. Makanan laut juga merupakan sumber selenium yang baik,
meskipun bioavabilitas selenium akan menjadi rendah bila ikan sebagai makanan
laut terkontaminasi mercury karena selenium yang berikatan dengan mercury
akan menjadi bentuk yang tidak dapat diserap (Stipanuk, 2000).
Menurut Linder (1992) selenium dalam bahan makanan terdapat dalam
bentuk organik dan inorganik. Pada umumnya selenium dalam bahan makanan
terdapat dalam bentuk organik, yaitu Selenomethionine, Selenocystine,
Selenocysteine dan Se-Methyl Selenomethionine. Selanjutnya Brown et al.(2003)
mengemukakan bahwa bentuk inorganik selenium diantaranya selenite (H2SeO3)
dan selenate (H2SeO4). Bentuk inorganik selenium dapat ditemukan pada
beberapa sayuran. Pada beberapa bagian dunia, kandungan selenium dalam
makanan pokok rendah, tetapi dapat dilengkapi dari makanan yang berasal dari
hewan yang kaya akan sodium selenite (Na2SeO3).
Selenium memiliki fungsi fisiologis yang berhubungan dengan fungsi
vitamin E yaitu memelihara struktur dan fungsi otot, antioksidan, anti karsinogen.
Selenium berperan sebagai komponen enzim glutation peroksidase. Selenium
bersama-sama vitamin E berperan sebagai katalase dan superoksida dismutase
yang merupakan salah satu komponen sistem kekebalan tubuh. Glutation
berfungsi menyediakan proton H untuk mengkonversi hidrogen peroksida menjadi
air dengan bantuan enzim glutation peroksidase. Selenium berpengaruh terhadap
metabolisme dan toksisitas berbagai jenis obat dan zat kimia serta berperan dalam
melawan toksisitas perak, kadmium dan merkurium (WHO, 1996).
Clark et al. (1996) mengemukakan bahwa Selenium dapat meningkatkan
fungsi imun pada ternak, memperbesar neuropsikologis pada manusia dan
memperbaiki kondisi penyakit spesifik pada manusia. Selanjutnya dari segi
kesehatan beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan mineral
Se untuk melihat total insiden penyakit kanker dengan pengurangan secara
spesifik dari risiko kanker paru-paru, prostat dan colorectal. Penelitian di
Amerika terhadap 1300 laki-laki dewasa dengan pemberian suplemen selenium
sebanyak 200 μg/hari akan menurunkan risiko terkena kanker prostat karena
rendahnya prostate-specific antigen (PSA).
Fungsi selenium berhubungan pula dengan iodium, seperti yang
dikemukakan Arthur ( 1993) pada daerah endemik GAKI selain defisiensi iodium
juga ditemukan defisiensi unsur selenium secara bersamaan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Rimbawan et al. (2000) menunjukkan bahwa kekurangan iodium
bukanlah satu-satunya penyebab GAKI di Kabupaten Pasuruan, tapi juga
disebabkan oleh kekurangan selenium dengan bukti bahwa asupan iodium dan
seleniumnya masih kurang dari angka kecukupan, terdapat hubungan antara
asupan selenium dan iodium dengan parameter penentu status iodium dan
selenium, sehingga hubungan antara kekurangan iodium dan selenium dapat
dijadikan parameter dalam menentukan masalah GAKI. Hubungan antara
selenium dan iodium menurut WHO (1996) dikarenakan enzim deiodinase
mengandung selenium, yang mengubah tiroksin menjadi 3,5,3-triiodotironin (T3).
Sumber makanan yang kaya akan selenium adalah daging dan seafood
(Tabel 13). Secara umum kandungan selenium pada tumbuhan tergantung
kandungan selenium dalam tanah. Contohnya kacang brazil yang tumbuh di
Brazil dengan kandungan selenium dalam tanah tinggi menyebabkan kandungan
selenium pada kacang lebih 100 μg/buah, ketika kacang ditanam pada area yang
rendah kadar selenium tanahnya menyebabkan kandungan selenium kacang
menurun sekitar 10 kalinya. Di Amerika gandum merupakan sumber selenium,
tetapi buah dan sayur relatif lebih rendah kadar seleniumnya.
Tabel 13 Sumber dan Kandungan Selenium dalam Bahan Makanan (Whanger, Linus Pauling Institute ;2003)
Bahan Makanan Ukuran Porsi Selenium (μg)
Kacang Brazil (dari tanah yang tinggi kandungan seleniumnya) 10 gr 839
Udang 30 gr 34 Rajungan (Crab meat) 30 gr 40 Ikan Salmon 30 gr 40 Mie yang diperkaya dg Se (matang) 1 mangkok 35 Nasi, roti tawar coklat 1 mangkok 19 Daging ayam 30 gr 20 Daging babi (Pork) 30 gr 33 Daging sapi (Beef) 30 gr 17 Roti (tepung gandum) 2 lembar (slices) 15 Susu 80 gr (1 gelas) 5
Kecukupan Selenium
Kebutuhan selenium untuk manusia tidak sama satu dengan yang lainnya
karena dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, daya adaptasi dan kondisi fisiologis.
Orang Amerika pada umumnya membutuhkan 54 μg Se/hari untuk menggantikan
kehilangan dalam urine dan feses, bahkan ada yang menemukan 80 μg /hari untuk
keseimbangan positif. Perbedaan energi kinetik Se mungkin dipengaruhi daya
adaptasi yang berbeda baik antar penduduk dari wilayah kekurangan Se maupun
antara wilayah yang kekurangan Se dan cukup Se (Luo et al. 1985).
Rekomendasi National Research Council (1980) menentukan perkiraan
kecukupan selenium yang aman dan memenuhi kebutuhan setiap orang per hari
sebanyak 50μg sampai 200μg. Rekomendasi tersebut berdasarkan penelitian yang
dilakukan pada hewan dan manusia. Tahun 1989 RDA untuk selenium dikoreksi
dengan memperhitungkan berat badan menjadi 70 μg untuk laki-laki dan 55 μg
untuk wanita. Namun hal ini telah dikoreksi lagi oleh Institute of Medicine (
IOM, 2000) menjadi kecukupan selenium yang aman dan memenuhi kebutuhan
setiap orang (laki dan perempuan sama) sebanyak 55 μg/hari sampai 280 μg/hari.
Angka kecukupan untuk orang Indonesia ditentukan dengan mengacu pada
angka kecukupan orang Amerika. Kebutuhan orang dewasa di Amerika Serikat
sebanyak 70 μg/hari untuk laki-laki dewasa dan 55 μg /hari untuk perempuan
dewasa. Karena berat badan orang Indonesia lebih rendah diperkirakan
kebutuhannya sekitar 60 μg untuk laki-laki dewasa dan 50 μg untuk perempuan
dewasa (WKNPG, 2004). Angka kecukupan yang dianjurkan oleh Food and
Nutrition Board (FNB) berdasarkan kecukupan selenium untuk memaksimalkan
aktivitas enzim gluthation peroxidase sebagai antioksidan dalam plasma seperti
yang tercantum pada Tabel 14.
Di Cina asupan selenium sekitar 10 μg sampai 15 μg /hari menyebabkan
penyakit Keshan. Penyakit Keshan ternyata dapat dicegah dengan pemberian
suplemen selenium sebanyak 50 μg /hari. Sedangkan di Kroatia (Marijana Matek,
2000) asupan selenium sekitar 33 μg /hari hal ini menunjukkan asupan selenium
dalam diet sehari-hari untuk kelompok wanita yang diobservasi pada daerah
Zagreb di Kroatia lebih rendah dari mayoritas orang negara-negara Eropa, dan
lebih rendah dari nilai yang direkomendasikan oleh WHO (2001).
Tabel 14 Angka Kecukupan Yang Dianjurkan Untuk Selenium
(Whanger, Linus Pauling Institute ;2003) Life Stage Umur Pria (μg/hari) Wanita (μg/hari)
Bayi baru lahir 0-6 bulan 15 15
Bayi 7-12 bulan 20 20
Anak Batita 1-3 tahun 20 20
Anak dini usia 4-8 tahun 30 30
Anak 9-13 tahun 40 40
Remaja 14-18 tahun 55 55
Dewasa > 19 tahun 55 55
Hamil Ibu hamil Semua umur - 60
Menyusui Ibu menyusui Semua
umur - 70
Para ilmuwan Cina berpendapat bahwa batas minimun kebutuhan
selenium sebanyak 40 μg/hari, hampir mendekati dengan yang direkomendasikan
sebanyak 55 μg /hari untuk aktivitas glutation peroksidase. Asupan dibawah 11
μg/hari dipastikan akan menyebabkan penyakit akibat kekurangan selenium.
Dosis keracunan selenium (selenosis) diperkirakan konsumsi lebih dari 900 μg
/hari atau kandungan dalam plasma sebesar 100 μg/dL (lebih 12.7 μmol/L). Level
aman maksimal asupan selenium dalam diet diperhitungkan sebesar 800 μg/hari,
tapi dapat lebih rendah pada beberapa individu yaitu sebanyak 600 μg/hari. Oleh
karena itu ditentukan uptake level untuk selenium sebanyak 400 μg/hari, untuk
melindungi individu yang lebih sensitive terhadap selenium. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa asupan selenium sebanyak 724 μg pada orang
dewasa masih pada level aman (Whanger, 2003)
Akibat Kekurangan dan Kelebihan Asupan Selenium
Kepentingan selenium sebagai zat gizi pada manusia pertama kali
ditemukan pada tahun 1979, pada saat ilmuwan China melaporkan bahwa
suplemen selenium dapat mencegah perkembangan penyakit Keshan, yaitu suatu
penyakit kardiomiopati atau degenerasi otot jantung yang terutama terlihat pada
anak-anak dan perempuan dewasa (Keshan adalah sebuah provinsi di Cina).
Sedangkan penyakit Keshan-Beck menyerang anak remaja yang menyebabkan
rasa kaku, pembengkakan dan rasa sakit pada sendi jari-jari yang diikuti oleh
osteoartritis secara umum, yang terutama dirasakan pada siku, lutut dan
pergelangan kaki. Meskipun demikian, penyakit ini diduga ada komponen-
komponen lain juga terlibat di dalamnya, seperti infeksi virus, rendahnya asupan
vitamin E, protein, metionin dan mineral mikro lainnya. Menurut Rodrigo et al.
(2003) perkembangan penyakit Keshan-Beck dapat dicegah serta dikurangi
gejalanya dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 100 μg /hari.
Kekurangan selenium pada manusia karena makanan yang dikonsumsi
belum banyak diketahui. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang
mendapat makanan parenteral total yang pada umumnya tidak mengandung
selenium menunjukkan aktivitas glutation peroksidase rendah dan kadar selenium
dalam plasma serta sel darah merah yang rendah. Beberapa pasien menjadi lemah,
sakit pada otot-otot dan terjadi kardiomiopati serta pada pasien kanker kadar
seleniumnya rendah. Orang-orang yang mempunyai masalah dengan
gastrointestinal seperti Crohn’s disease, merupakan faktor risiko mengalami
defisiensi selenium karena terganggunya proses penyerapan. Khususnya
tatalaksana diet di rumah sakit yang dilakukan pada penderita phenylketonuria
(PKU) dapat menyebabkan rendahnya selenium dalam diet.
Endemik defisiensi Se dapat terjadi karena bahan makanan di daerah
tertentu kekurangan selenium yang disebabkan biosfirnya sangat bervariasi.
Kenyataan bahwa tidak setiap orang di daerah kekurangan selenium terkena
penyakit defisiensi Se. Hal ini menunjukkan bahwa daya adaptasi manusia
berlainan satu sama lainnya dan kemungkinan disebabkan faktor genetik (Faisal,
1998).
Defisiensi selenium berbeda pada setiap manusia, hal ini karena daya
adaptasi setiap orang berbeda satu dengan yang lainnya. Di New Zealand dan
Finlandia yang merupakan daerah rendah kandungan selenium dalam tanah dan
airnya, asupan selenium dari diet sehari-hari adalah 30 μg - 50 μg /hari,
dibandingkan dengan asupan di USA dan Canada yaitu 100 μg – 250 μg /hari.
Konsentrasi selenium dalam darah anak-anak di New Zealand lebih rendah
dibandingkan anak-anak yang tinggal di negara lainnya. Faktor utama yang
mempengaruhi rendahnya kandungan selenium dalam darah anak-anak di New
Zealand karena intake selenium yang rendah yang juga merupakan gambaran
rendahnya kandungan selenium dalam tanah di New Zealand. Kandungan
Selenium dalam darah bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan
jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. Anak yang menderita
phenylketonuria dan Maple syrup urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se
dalam darah (The Lancet / Internet: MedScape 15 Juli 2000).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti et al. (2000) pada kasus
keguguran di RSUP Dr.Sardjito mengungkapkan bahwa wanita yang mengalami
keguguran pada trimester pertama masa kehamilan mempunyai kadar selenium
dibawah normal dan diatas kadar normal. Hasil penelitian tentang berbagai akibat
yang disebabkan oleh defisiensi selenium, yaitu kelainan kardiovaskuler,
kardiomiopati endemik, penyakit jantung koroner, kanker saluran cerna, kanker
hematologis, limfa dan endrokrin.
Penelitian berdasarkan keadaan geografi menunjukkan kecenderungan
bahwa populasi yang hidup didaerah rendah kadar selenium dalam tanah dan
relative rendah asupan selenium dalam makanan mempunyai angka kematian
yang tinggi akibat kanker. Hasil studi epidemiologi kejadian kanker karena
asupan selenium yang rendah bukan suatu yang pasti, tetapi mempunyai
kecenderungan kejadian kanker pada individu dengan kadar selenium rendah pada
darah dan kuku. Bagaimanapun, kecenderungan ini kurang nyata pada wanita.
Contohnya, penelitian secara prospektif pada lebih dari 60.000 perawat di
Amerika ditemukan tidak berhubungan antara kadar selenium dalam kuku dan
total risiko kanker. Penelitian pada laki-laki Taiwan yang terinfeksi hepatitis B
atau C, konsentrasi selenium dalam plasma menurun dan mempunyai hubungan
lebih besar dengan risiko kanker hati. Rendahnya kadar selenium berhubungan
pula dengan risiko kejadian kanker dan berhubungan secara nyata dengan
perokok (Whanger, 2003).
Kelebihan asupan selenium akan menyebabkan keracunan. Efek keracunan
selenium ditandai dengan kerontokan rambut dan perubahan morfologi kuku.
Pada beberapa kasus, ditemukan juga lesi pada kulit dan abnormalitas sistem
syaraf. Meskipun demikian, mekanisme biokimia efek keracunan selenium ini
masih belum jelas (WHO, 1996). Apabila takarannya melebihi 3-5 kali lebih besar
dari yang direkomendasikan oleh RDA maka akan mengakibatkan keracunan Se
dalam tubuh (Clement, 1998). Tercatat ada beberapa penelitian yang telah
dilakukan untuk mengantisipasi risiko keracunan mineral Selenium. Lisk et al.
(1995) melaporkan, bahwa dengan mengkonsumsi bawang putih dapat mencegah
defisiensi ataupun keracunan mineral Se. Akan tetapi konsumsi bawang putih
dibatasi oleh kesukaan pribadi dan kondisi sosial. Oleh sebab itu dianggap kurang
efektif, sehingga Finley et al. (2001) melakukan percobaan pada tikus dengan
menggunakan brokoli yang memiliki kandungan selenium cukup tinggi, dimana
hasilnya membuktikan bahwa dengan mengkonsumsi brokoli tinggi Se maka
dapat mencegah terjadinya kanker kolon pada tikus. Kemudian konsumsi brokoli
tinggi Se dapat direkomendasikan untuk menghambat terjadinya kanker. Akan
tetapi permasalahan baru bahwa dampak mengkonsumsi makanan yang berasal
dari spesies Bressica seperti brokoli, kol dan sejenisnya, dapat menimbulkan
penyakit goiter (gondok) pada manusia. Goiter ini disebabkan karena adanya zat
goitrogenik yang mempengaruhi kelenjar thyroid melalui beberapa cara, yaitu
menghambat konversi iodida menjadi iodium, menghambat proses iodonisasi
asam amino tirosin dari mono-iodotirosine, menghambat penggabungan dua
molekul di-iodotirosine membentuk tyroxin.
Penyerapan Selenium organik dan inorganik
Bentuk organik selenium lebih siap diserap dibandingkan bentuk
inorganik, demikian pula selenium yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan
pada umumnya lebih mudah digunakan tubuh daripada selenium dari hewan.
Tetapi ada pula para ahli yang menyatakan bahwa penyerapan bentuk organik
selenium sama efisiennya dengan bentuk inorganik, meskipun dalam tingkat yang
berbeda. Bentuk utama selenium dalam tubuh adalah selenomethionine dan
selenocysteine. Makanan yang berasal dari nabati memiliki kandungan selenium
tinggi khususnya dalam bentuk selenomethionine, dibandingkan yang berasal dari
hewan. Sedangkan makanan yang berasal dari hewan bentuk seleniumnya
bervariasi, diantaranya sulfide dan selenide, selenocysteine dan selenomethionine
(Stipanuk, 2000).
Tempat penyerapan selenium di usus halus, terutama duodenum, namun
tidak terjadi penyerapan selenium di lambung dan sangat sedikit penyerapan
terjadi di jejunum dan ileum. Selenomethionine diserap seluruhnya di dalam
duodenum. Bentuk selenium yang lainnya pada umumnya diserap dengan baik
juga. Penyerapan selenium mempunyai variasi rentang yang cukup luas yaitu 50 –
100%. Penyerapan selenium tidak efektif untuk menunjukkan status selenium
tubuh. Penyerapan selenium pada akhirnya berhubungan dengan faktor
penghambat zat gizi atau pendukung penyerapan. Vitamins A, C, dan E bersama-
sama dengan glutathione meningkatkan penyerapan selenium dan sebaliknya
logam berat seperti merkuri menurunkan penyerapan lewat pengendapan dan
chelation (Bender, 2002)
Berdasarkan keseimbangan dan kestabilan isotop selenium dapat
ditunjukkan bahwa bentuk selenomethionine lebih efektif penyerapannya
dibandingkan selenite. Selenoamino acid diserap sekitar 50%-80%,
selenomethionine lebih baik penyerapannya dibandingkan selenocysteine.
Selenite penyerapannya bervariasi antara 44 % - 70 %. Selenate lebih banyak
penyerapanya daripada selenite (Elson, 2003).
Sistem Transpor dan Metabolisme Selenium
Mekanisme traspor selenium masih belum jelas dan masih merupakan
bahan diskusi. Ada yang berpendapat bahwa selenium masuk kedalam sel darah
merah lewat sistem difusi (diffusion) dan pembawa (carried). Bentuk inorganik
selenium melewati brush border dengan cara transpor pasif, sedangkan bentuk
organik selenium (selemethionine dan juga selenocysteine) secara transport aktif.
Selenium setelah diserap dari usus akan mengikuti transpor protein
untuk diangkut melalui darah ke hati dan jaringan lainnya. Didalam darah
manusia, selenium berikatan dengan sulfihydryl groups dalam α dan β globulins.
Khususnya, lipoprotein seperti VLDL (α-2 globulin) dan LDL (aβ globulin).
Selenocystine yang terkandung dalam plasma protein disebut selenoprotein.
Hasil isolasi dari tikus sepertinya selenoprotein berfungsi bagi transpor selenium
dan kemungkinan sebagai simpanan protein.
Mekanisme bagaimana selenium melepaskan diri dari transpot plasma
protein masih belum diketahui. Jaringan yang relatif mengandung konsentrasi
selenium yang tinggi adalah ginjal, hati, jantung, pankreas dan otot. Paru-paru,
otak, tulang dan sel darah merah juga mengandung selenium. Total kandungan
selenium dalam tubuh bervariasi antara 3 - 15 mg tergantung asupan dalam diet.
Di dalam jaringan tubuh seperti hati, selenomethionin akan menjadi :
(1) Cadangan sebagai selenomethionine dalam pool asam amino
(2) Dipergunakan untuk sintesis protein ketika asam amino methionine
digunakan.
(3) Di-katabolisme menjadi Se-adenocysteine (SeAM) dan akhirnya menjadi
selenocysteine dan selenocystine.
Selenomethionine bergabung dengan protein dalam metionin dengan
bentuk acylates Met-tRNA, atau melalui mekanisme trans-sulfuration menjadi
selenocysteine, kemudian dengan bantuan enzim -lyase diubah menjadi hydrogen
selenide (H2Se). Sebaliknya, selenite menjadi H2Se lewat selenodiglutathione dan
glutathione selenopersulfide. Hydrogen selenide pada umumnya sebagai prekusor
untuk ketersediaan selenium dalam bentuk aktif yaitu dalam bentuk selenoprotein.
Selanjutnya metabolisme H2Se melalui proses methylasi S-adenosylmethionine
menjadi methylselenol, dimethylselenide dan trimethyl-selenonium ion.
Untuk menjaga keseimbangan selenium didalam tubuh dilakukan dengan
cara mengeluarkan selenium dari tubuh. Ekskresi Se melalui tiga jalan utama
yaitu paru-paru, sistem pengeluaran urin 50% - 60% atau 45 μg, lewat feses
sebesar 40% - 50%, dan sisanya lewat paru-paru dan kulit. Asupan selenium yang
tinggi dikeluarkan lewat paru-paru dalam bentuk dimethylselenide. Pengeluaran
selenium melalui paru-paru akan menghasilkan bau bawang putih dari bagian
selenium yang menguap. Pengeluaran Se dalam bentuk feses bukan merupakan
jalur yang utama. Pengeluaran Se yang utama dalam keadaan fisiologis normal
melalui sistim urine.
Status Selenium
Konsentrasi selenium dalam eritrosit, serum, plasma, urine atau rambut
dapat digunakan untuk menduga status selenium pada manusia. Kandungan
selenium pada berbagai organ penting seperti selenium pada hati, ginjal, jantung,
otak, jaringan otot dan lainnya, juga dapat menduga status selenium manusia.
Menurut para ahli penentuan selenium melalui kadar selenium pada serum darah,
eritrosit, urin dan plasma lebih menunjukkan keadaan kadar selenium sebenarnya.
Hal ini disebabkan selenium dalam eritrosit, serum, plasma dan urin dihitung
sebagai selenium dalam enzim yang mempunyai sifat fungsional yang sudah pasti.
Berlainan dengan kadar selenium dalam berbagai jaringan seperti hati, ginjal, dan
otot lebih menggambarkan kadar selenium total yaitu selenium dalam enzim juga
dihitung dalam bentuk komplek (IOM, 2000).
Seberapa jauh adanya hubungan kadar selenium dalam serum darah,
eritrosit, plasma, urin dan rambut dapat menentukan status selenium, sangat
tergantung pada ras, daerah dan pengaruh lingkungan lainnya. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kadar selenium dengan parameter tersebut pada
suatu lokasi tidak selalu menggambarkan keadaan sebenarnya terjadi defisiensi
atau tidak. Pada daerah yang defisit seleniumnya tidak semua penduduk menderita
akibat gangguan kekurangan selenium atau sebaliknya pada daerah yang tinggi
deposit seleniumnya juga tidak selalu menderita keracunan selenium.
Pada proses metabolisme normal, dalam tubuh akan terbentuk radikal
bebas dari senyawa oksigen, misalnya superoksida, oksigen singlet yang
merugikan. Radikal bebas biasanya bersifat oksidatif dan akan memicu
pembentukan kanker melalui mutasi gen dan merangsang pembelahan sel. Zat
pengoksidasi (oksidan) atau radikal bebas lain juga dapat berasal dari luar tubuh
(makanan, asap rokok, asap mobil, pollutan, dll). Jika potensi dari zat oksidan
lebih tinggi daripada antioksidan di dalam tubuh seperti vitamin C, beta-karoten,
vitamin E, dan GSH, maka keadaan ini disebut oxidative stress (stress oksidatif),
yang merusak atau mengoksidasi biomolekul di dalam tubuh termasuk DNA dan
berarti karsinogenik (IOM, 2000).
Senyawa karsinogen dapat dimodifikasi melalui konjugasi dengan suatu
gula (asam glukoronat), sulfat, gugus metil, atau glutathion (GSH). Beberapa
enzim glutathion-S-transferase (GST) berperan untuk mentransfer GSH ke
berbagai karsinogen membentuk senyawa konjugasinya dengan GSH yang netral,
mudah larut di dalam air sehingga dapat di keluarkan dari tubuh.
Selenium (Se) merupakan komponen esensial enzim glutation peroksidase
(GSH-Px). Enzim glutathione peroxidase (Gambar 9) akan mengkatalisasi
penguraian H2O2 dan hidroperoksida lipid oleh glutathione (GSH) sehingga lipid
membran sel menjadi aman dan oksidasi Hb menjadi MetHb dapat dicegah.
Enzim GSH-Px tidak aktif bila kekurangan Se dan sebagai akibatnya tubuh akan
terpapar radikal bebas dan peroksida berbahaya yang bersifat mutagenik dan
karsinogenik. Glutation peroksidase (GSH-Px.) bekerja secara sinergis dalam
mencegah timbulnya radikal bebas dalam tubuh. Kadar GSH-Px yang tinggi
dalam darah belum tentu menunjukkan rendahnya kadar aktivitas radikal bebas
dalam tubuh, karena proses kerja antioksidan dalam tubuh bekerja secara sinergis
maka apabila komponen yang satu mengalami kenaikan aktivitas maka harus
diikuti kenaikan aktivitas komponen yang lainnya. Hal ini seperti hasil penelitian
Thomson et al. (1985) bahwa pemberian suplemen tinggi Se pada orang New
Zealand melalui roti putih sebanyak 200 μg /hari selama 8 – 13 minggu
menunjukkan kadar aktivitas GSH-Px meningkat di dalam darah, eritrosit plasma
dan platelets, tetapi tidak menghasilkan perubahan dalam komponen sistem
pertahanan tubuh terhadap lipid peroksida karena aktivitas glutathione-S-
transferase tidak berubah selama suplementasi berlangsung. Glutathione
peroxidase mengurangi katalisator dari :
Organik peroxides yang merupakan turunan dari unsaturated fatty acids
(lipid peroxide LOOH), nucleic acids dan molekul lainnya.
Hidrogen Peroxide (H2O2) dengan reaksi sebagai berikut :
Penurunan aktivitas gluthation peroksidase ditemukan juga pada pasien
yang positif HIV seperti yang dikemukan oleh Beauvieux (1996) Pada pasien
yang terinfeksi HIV mengalami defisiensi selenium dan vitamin A. Aktivitas
radikal bebas tinggi dan kadar GSH-Px rendah pada pasien yang positif HIV
dibandingkan dengan pasien yang tidak HIV. Pemberian suplemen selenium dan
beta karoten selama 12 bulan pada pasien yang positif HIV menunjukkan
kenaikan kadar GSH-Px secara signifikan. GSH-Px dan GSH mempunyai peranan
yang penting sebagai sistem pertahanan tubuh untuk menetralkan hidrogen
peroksida, suplemen selenium juga dapat melindungi sel dari oxidative stress.
Gambar 9 Reaksi aktivitas Glutathione-S-transferase (Thomson et al. 1985)
Penelitian yang dilakukan oleh Sunarti et al. (2000) tentang kadar
selenium dan aktivitas glutathion peroksidase pada kasus keguguran di RSUP
Dr.Sardjito menunjukkan bahwa kadar selenium pada wanita keguguran lebih
rendah atau lebih banyak dari yang dianjurkan, serta aktivitas glutation
peroksidase lebih terlihat pada wanita hamil yang tidak mengalami keguguran
sebagai kontrol. Keguguran dimungkinkan berkaitan dengan kerusakan DNA dan
membran biologik akibat kurangnya sistem pertahanan antioksidan terhadap
radikal bebas atau akibat toksisitas selenium. Kadar selenium yang rendah
menyebabkan penurunan aktivitas enzim glutathion peroksidase sehingga enzim
ini tidak dapat menetralkan hidroksida yang ada di dalam tubuh. Radikal bebas
H202 atau
LOOH/ROOH 2H20 atau
LOH/ROH + H20
2 G-SH GS-SG
Glutathione peroxidase
turunan hidroksi peroksida dapat menyebabkan kerusakan DNA, kerusakan
protein, dan terjadinya lipid peroksidasi. Kerusakan komponen membran sel
kemungkinan merupakan salah satu penyebab keguguran.
Selenium dalam proses sebagai zat gizi antioksidan berinteraksi dengan
zat gizi mikro lainnya secara sinergis antara lain vitamin C dan khususnya vitamin
E. Vitamin E juga sebagai zat antioksidan, mengurangi beberapa gejala akibat
kekurangan selenium pada hewan. Kekurangan copper juga akan meningkatkan
oksidatif stress dan dapat menurunkan aktivitas gluthation peroxsidase dalam
plasma pada hewan yang kekurangan copper.
Peran vitamin E berhubungan erat dengan unsur selenium dan enzim
gluthation peroksidase. Tokoferol adalah senyawa antioksidan yang kuat. Gejala
pada hewan percobaan dapat ditafsirkan sebagai terjadinya proses peroksidasi
berlebihan pada jaringan jika tidak ada perlindungan terhadap peroksidasi oleh
vitamin E. Enzim gluthation peroksidase memulihkan gluthation teroksidasi
menjadi gluthation, sehingga dengan reaksi tersebut terbentuknya hidroperoksida
yang bersifat sangat merusak dapat dikendalikan sampai minimum. Jika
gluthation berperan menguraikan hidroperoksida yang sudah terbentuk, vitamin E
berperan mencegah terbentuknya hidroperoksida dan dengan demikian mencegah
pula kerusakan oleh peroksida (IOM, 2000).
Dari Gambar 10 dapat dilihat adanya hubungan sinergis antara vitamin E
dengan GSH-Px. berawal dari proses autoksidasi asam lemak tidak jenuh (PUFA)
sehingga akan terbentuk hidroperoksida. Vitamin E berfungsi memutus rantai
proses autoksidasi sehingga mencegah timbulnya hidroperoksida, sedangkan
GSH-Px. bekerja memunahkan hidroperoksida yang sudah terbentuk sehingga
mencegah terjadinya kerusakan asam lemak tidak jenuh. Oleh karena itu asam
lemak tidak jenuh khususnya asam lemak esensial seperti linoleat, linolenat dan
arakhidonat dapat terlindungi dari peroksidasi. Pada proses pemutusan rantai
autoksidasi oleh vitamin E akan terbentuk vitamin E radikal. Vitamin E radikal
direduksi oleh vitamin C sehingga menghasilkan bentuk vitamin E dan vitamin C
radikal, yang kemudian dinetralkan kembali menjadi vitamin C oleh GSSG.
Gambar 10 Hubungan Sinergis Zat Gizi sebagai Antioksidan (Thomson et al. 2003)
Selanjutnya The Lancet (Internet: MedScape 15 Juli 2000)
mengemukakan bahwa selenium berfungsi sebagai penambah kekebalan bila
dalam darah mengandung penuh selenium (95 ppb). Pada kondisi tersebut
seseorang akan meningkat penggandaan sel-T yang diduga sebagai perluasan
klonal untuk peningkatan imunitas. Limfosit dari para relawan ditambah dengan
selenium (seperti natrium selenit) dengan dosis 200 mikrogram per hari
menunjukkan peningkatan tanggapan terhadap rangsangan antigen dan
peningkatan kemampuan untuk mengembangkan limfosit sitotoksik dan
menghancurkan sel tumor. Disamping itu aktivitas sel pembunuh alami meningkat
(82%), dan juga peningkatan 118% sitotoksisitas tumor yang menjadi perantara
limfosit sitotoksik dibandingkan pada awalnya.
Lama Intervensi dan Dosis Suplemen Se dan I
Suplemen selenium dan iodium diberikan setiap hari selama dua bulan (8
minggu). Hasil penelitian Thomson et al. (1985) dan Whanger, Linus Pauling
Institute (2003) menunjukkan bahwa pemberian suplemen tinggi Se pada orang
New Zealand melalui roti tawar sebanyak 200 μg /hari selama delapan minggu
menunjukkan kadar aktivitas GSH-Px meningkat di dalam darah, tetapi tidak
menghasilkan perubahan dalam komponen sistem pertahanan tubuh terhadap lipid
peroksida karena aktivitas glutathione-S-transferase tidak berubah selama
suplementasi berlangsung. Sedangkan yang diberikan selama 13 minggu tidak
menunjukkan perbedaan hasil yang nyata. Dengan demikian lama intervensi Se
untuk pertahanan tubuh paling efektif selama delapan bulan. Selanjutnya karena
Se bersifat toksik maka Muhilal (2004) menganjurkan dilakukan penelitian dose-
response untuk melihat hubungan antara dosis dan efek samping yang terjadi
sebagai dampak pemberian suplemen Se untuk tujuan perbaikan profil darah
dengan menggunakan nilai uptake level (UL) adalah nilai asupan zat gizi (Se dan
I) tertinggi yang tidak menimbulkan efek samping/toksisitas.
Suplemen Selenium (Se) dan Iodium (I) diberikan dengan dosis yang
didasarkan angka kecukupan yang dianjurkan (AKG) paling rendah agar tidak
menimbulkan efek samping pada anak yang diteliti. Disamping itu asupan
terendah yang tidak menimbulkan efek samping dapat digunakan untuk estimasi
UL dari zat gizi (Se dan I). Dosis suplemen iodium yang diberikan juga mengacu
pada rekomendasi WHO/UNICEF/ICCIDD (1992) yaitu sebesar 50 μg /hari untuk
anak usia 9-12 tahun. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya
ekskresi Se sebesar 50% - 60% atau 45 μg (Elson, 2003).
KERANGKA PEMIKIRAN
Gambar 11 Kerangka Pemikiran Perlunya Intervensi Gizi Ganda melalui Suplemen Iodium dan Selenium pada Anak dengan Tanda Khas Kretin di Daerah Endemik GAKI
Sosial – Ekonomi rendah
Asupan Zat Gizi Kurang Infeksi
Daerah Endemik GAKI
• Rendah Iodium • Rendah Selenium • Garam ber-iodium
< 30 ppm • Kandungan Se &
Iodium dlm air minum + bahan makanan rendah
Absorpsi Zat Gizi Terganggu
Imunitas Seluler Terganggu
Morbiditas tinggi
Status Gizi Rendah Kemampuan Kognitif rendah
Tumbuh Kembang Fisik & Otak Terganggu sifat Permanen
Intervensi Zat Gizi Mikro pada Anak SD usia 9-12 tahun Melalui Suplemen Selenium dan Iodium dosis rendah selama 2 bulan
Selenium + Iodium
Plasebo
Pengaruh Terhadap : Profil Darah, Status Gizi, Skor IQ, Jumlah Tanda Khas Kretin
Iodium Dosis 50 μg/hari
Selenium dosis 45 μg/hari
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian
Persiapan penelitian mulai dilakukan pada Agustus 2005 yaitu mengurus
perijinan wilayah sampai pada lokasi sekolah dasar (SD) dan perijinan
Laboratorium di BATAN Yogyakarta dan Balai Laboratorium Kesehatan
Yogyakarta untuk analisis kadar mikronutrien, serta Laboratorium Klinik Prodia
Surakarta untuk analisis profil darah. Survey awal atau pendahuluan untuk
Penapisan sampel dan penentuan dosis selenium dan iodium dimulai pada
Desember 2005 – April 2006. Penelitian utama dilakukan setelah semua sampel
terseleksi dan menyatakan bersedia mengikuti penelitian hingga selesai (April
2006 – Mei 2007). Penelitian ini sudah mendapatkan ethical clearance dari
Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta, No:
2181/H.27.17.1/PL/2005 Tanggal 21 Des 2005.
Lokasi penelitian di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya di dua
desa wilayah kerja Puskesmas Cepogo, yaitu desa Wonodoyo dan Jombong.
Gambar 12 Foto SDN Jombong 1 dan SDN Jombong 2 di Desa Jombong,
Kecamatan Cepogo, Boyolali sebagai Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi berdasarkan penyebaran masalah GAKI pada anak SD
usia 9-12 tahun di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Secara keseluruhan ada
89 desa di 16 Kecamatan. Masing-masing desa endemik mewakili Kecamatan di
daerahnya yang dipilih secara random sampling sebagai dasar pemilihan lokasi
digunakan hasil pemantauan status gizi anak usia sekolah pada tahun 2000 oleh
DKK Boyolali (TGR 14.5 % dan VGR 12 % dan anak cenderung kretin 11.4%).
Kemudian diambil satu Kecamatan dan terpilih Kecamatan Cepogo sebagai
lokasi penelitian dan terpilih SD yaitu :
1. SDN Jombong I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
2. SDN Jombong II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
3. SDN Wonodoyo I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
4. SDN Wonodoyo II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan tiga tahap (Tabel 15) yang terdiri dari penelitian
pendahuluan untuk Penapisan sampel dengan menggunakan kriteria inklusi (Tabel
17) dilanjutkan dengan penentuan bio-availabilitas kapsul sodium selenat (kapsul
dosis 45ug) sesuai anjuran kecukupan gizi (AKG) dan penelitian epidemiologi
yang berupa intervensi gizi mikro (Sodium selenat dan Iodium) pada anak usia SD
laki-laki dan perempuan berumur 9 – 12 tahun.
Dalam penelitian ini diberikan sejumlah alasan untuk memadukan
pendekatan metode kuantitatif dan kualitatif, yaitu:
1. mengidentifikasi aspek dan variabel yang muncul dari hasil pengamatan
2. mengilustrasikan model statistik kuantitatif dengan studi kasus kualitatif
(jumlah tanda khas kretin)
3. meningkatkan validitas konvergensi hasil (data laboratorium)
4. meningkatkan validitas eksternal (generalisasi daerah endemik GAKI)
Tabel. 15 Desain dan Lokasi Penelitian
Tahap Penelitian Desain Lokasi penelitian Waktu
1. Penelitian pendahuluan untuk Penapisan sampel
Rapid assesment /Survey cepat dengan menggunakan kriteria inklusi (Tabel 16)
Daerah : a. Kecamatan
Cepogo, Kab. Boyolali, Jawa Tengah
Laboratorium : Lab. Teknologi Maju BATAN-Yogyakarta
Feb-April 2006
2. Penentuan nilai bio-availabilitas sodium selenat (kapsul dosis 45 ug) dan kapsul iodium 50 ug
Desain in-vitro Laboratorium : Teknologi Maju BATAN-Yogyakarta
Februari 2006
3. Penelitian epidemiologi pada anak SD
Desain Experimental Quasi (Before & After Quasi Experiment) : a. Persiapan, seleksi
sampel b. Pemberian obat cacing
‘albendazole’ 400 mg c. Pre-test (pemeriksaan
darah, BB, TB TLidah), tes IQ
d. Intervensi gizi dan monitoring minum kapsul (4 kelp) selama 2 bl
e. Post-test f. Pengukuran dampak
fisik (status gizi, kesh) setelah 4 bl intervensi
Daerah : a. Kecamatan
Cepogo, Kab. Boyolali, Jawa Tengah
Laboratorium : Balai Kesehatan Yogyakarta
Juni 2006 s.d Nopember 2006
Tabel 16 Kriteria Inklusi untuk Penentuan Sampel Saat Penapisan
No. Kriteria
1 Umur 9 – 12 tahun (kelas IV dan V). Umur 9 pada anak perempuan telah mengalami menstruasi pertama, sedangkan pada anak laki-laki sebenarnya umur 9 tahun 10 bulan
2 Lahir di desa endemik GAKI terpilih 3 Status gizi kurang 4 Tidak menderita penyakit diare 5 Tidak mempunyai kelainan kongenital / cacat bawaan 6 Tidak menderita panas/demam, DBD, batuk pilek yang berat. 7 Tidak menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) 8 Tampak menderita penyakit Thyroid/ ada benjolan di leher 9 Sulit diajak bicara, sulit menangkap pembicaraan orang lain dan
kurang/tidak dapat mendengar 10 Apatis, tidak bersemangat 11 Tidak anaemia (pucat, lemah, malas) anemia berat (Hb < 8 g/dl) 12 Muka, tangan bengkak, lidah membesar 13 Cebol / kerdil dibanding seusianya 14 Motivasi belajar kurang 15 Telah mendapatkan penjelasan tentang penelitian 16 Menyetujui Informed Consent 17 Bersedia untuk mematuhi semua prosedur penelitian 18 Tidak berpartisipasi dalam penelitian lain
Kriteria No. 14-16 perlu dicantumkan sebagai kriteria inklusi karena sejak tahun
1996 kesepakatan Helsinki telah diamandemen kembali untuk Ethical Clearance
jenis penelitian high risk maupun jenis penelitian kuratif.
Populasi dan Sampling
Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah anak SD kelas IV dan
kelas V pada usia 9-12 tahun yang tinggal di desa endemik GAKI di Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah. Sampel, unit observasi dan unit analisis adalah :
• Sampel desa diambil secara random sampling dan terpilih dua desa
(Jombong, Wonodoyo) di kecamatan Cepogo.
• Unit observasi dalam penelitian ini ada empat SDN yaitu SDN Jombong (I
dan II) dan SDN Wonodoyo (I dan II).
Unit analisis dalam studi ini adalah murid SDN (laki laki dan perempuan
usia 9-12 tahun) yang aktif sekolah di kelas IV dan V SDN terpilih. Kemudian
dibuat daftar murid calon subyek atas dasar daftar absensi dan secara random
diambil sebagai unit analisis. Selanjutnya dilakukan Penapisan sampel dengan
menggunakan 6-11 tanda / ciri khas kretin endemik. Apabila terdapat 6-11 tanda
artinya anak memiliki risiko menjadi kretin. Adapun 15 tanda/ciri khas kretin
endemik tersebut (Widodo, 2000) adalah :
• Gerakan anak tidak terkoordinasi
• Motivasi belajar kurang
• Bila berjalan sering jatuh, terhuyung-huyung, langkah tidak teratur
• Sering kejang
• Sulit diajak bicara
• Sulit menangkap pembicaraan orang lain
• Kurang/tidak dapat mendengar
• Juling (starbismus)
• Cebol / kerdil dibanding seusianya
• Kulit berbintik / berbercak
• Ada benjolan di leher
• Apatis, tidak bersemangat
• Anaemia (pucat, lemah, malas)
• Muka, tangan bengkak, lidah membesar
• Mengalami gangguan pertumbuhan fisik
Selanjutnya untuk menentukan jumlah sampel digunakan rumus (Murti,
2006) yaitu:
n = [Z α √ 2p(1-p) + Zβ √ p1(1-p1) + p0 (1 – p0)
(p1 - p0)2
n = besar sampel masing-masing kelompok
p0 = proporsi subyek dalam kelompok kontrol = 0.33
p1 = proporsi subyek dalam kelompok studi = 0.12 (prevalensi kretin
Jawa Tengah tahun 1998 ada 12%)
p = proporsi gabungan = ( p1 + p0 ) : 2 = 0.226
p1 - p0 = perbedaan proporsi subyek dalam kelompok studi dan kontrol
(perbedaan minimal yang bermakna secara klinik) = 0.0481
α = batas kemaknaan, menggunakan : 0.05
Z α = Z 0.025 = 1.96
1-β = power, biasanya 0.90 atau 0.80 (dalam penelitian dipakai 0.90)
Zβ = Z 0.10 = 1.282
1 – p = 0.774
1 – p1 = 0.88 n = 2.285 : 0.0481 = 46.8 ∼ 47 anak / kelompok
1 – p0 = 0.67 perlakuan
Proporsi subyek dalam kelompok studi ditentukan berdasarkan besarnya
prevalensi anak penderita kretin di Jawa Tengah sebesar 12%. Jadi berdasarkan
rumus tersebut total sampel = 4 kelompok x 47 anak = 188 anak. Untuk
mengantisipasi terjadinya lost follow up maka jumlah sampel ditambah 10%
menjadi 206. Semua sampel diberi obat cacing, namun sebelumnya dilakukan
random sampling Sekolah Dasar dengan mengundi lintingan kertas tertutup untuk
menentukan kelompok perlakuan (A,B,C,D). Hasil sampling SD untuk jenis
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Hasil Randomisasi SD untuk Penentuan Jenis Perlakuan No. Model Dosis Nama
Kelompok SDN terpilih secara acak
1 Kapsul Iodium 50 μg/orang/hari +
Selenium 45 μg/orang/hari Kelompok : A Wonodoyo II
Cepogo (51 anak) 2 Kapsul iodium saja 50
μg/orang/hari Kelompok : B Wonodoyo II
Cepogo (52 anak) 3 Kapsul Selenium 45 μg/orang/hari Kelompok : C Jombong II Cepogo
(52 anak) 4 Kapsul tanpa Se & I (Plasebo) Kelompok : D Jombong I Cepogo
(51 anak) Total sampel pada saat penapisan ada 206 anak
Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 anak sehingga jumlah
sampel yang memenuhi syarat untuk dianalisis ada 115 anak (n1=18, n2=35,
n3=34, n4 = 28 anak). Sebanyak 50 anak mengikuti terapi gizi klinik di
Semarang karena dikhawatirkan akan menjadi kasus kretin baru. Sembilan belas
anak sudah lebih dari 20 hari tidak minum suplemen (kepatuhan minum suplemen
kurang dari 80%). Tiga belas anak pindah sekolah, dan 9 anak takut diambil
darahnya. Dengan demikian drop out sampel mencapai 44.17 %. Tingginya drop
out sampel hingga mencapai 50% juga dialami oleh Soekarjo, et al. (2004) yang
meneliti tentang suplementasi vitamin A dan zat besi pada remaja di Jawa Timur.
Pada umumnya penelitian epidemiologi yang bersifat kuratif bukan promotif-
preventif akan mengalami drop out tinggi sampai 50% (Ahmed et al., 2001).
Dalam penelitian ini saat penapisan menggunakan set power statistik 90% namun
setelah terjadi drop out sampel maka power statistik menjadi 87%.
Variabel dan Definisi Operasional
1. Profil darah anak usia 9-12 tahun adalah pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb)
dalam g/dl, kadar hematokrit (Ht) dalam %, kadar eritrosit, leukosit, MCV,
MCH, MCHC, kadar Se (μg/dl) dan kadar I (μg/dl). Selanjutnya hasil
pemeriksaan profil darah untuk menentukan :
• Pre-Post test jenis anemia anak SD usia 9-12 tahun
Harga absolut dihitung dari konsentrasi eritrosit, konsentrasi Hb dan Ht.
Rumus MCV, MCH dan MCHC dapat dilihat pada Box.1
Mean corpuscular volume (MCV) dalam femtoliter (fl) =
Hematokrit (1/1)
Konsentrasi eritrosit (per liter)
Mean corpuscular haemoglobin (MCH) dalam pikogram (pg) =
Konsentrasi hemoglobin (g/dl)
Konsentrasi eritrosit (per liter)
Mean corpuscular haemoglobin consentarion (MCHC)
Dalam gram per deciliter (g/dl) = Konsentrasi hemoglobin (g/dl)
Hemotokrit (l/l)
Box 1 Rumus MCV, MCH dan MCHC (Irianto dan Waluyo, 2004).
Anemia akan ditemukan apabila konsentrasi hemoglobin kurang dari 13
g/dl pada pria, atau 11,5 g/dl pada perempuan, hematokrit juga mengalami
penurunan. Naiknya konsentrasi eritrosit disebut polisitaemia, biasanya disertai
dengan meningkatnya konsentrasi hemoglobin dan hematokrit.
• Pre-Post test status Selenium dan Iodium pada anak usia 9-12 tahun
merupakan hasil analisis pengukuran kadar Se dan iodium dalam plasma
darah kemudian dibandingkan dengan nilai kadar normal (Se = 0.1-6.1 μg/ dl.
dan Iodium 3-6.5 μg/ dl). Cara pengukuran preparasi sampel dilakukan di
Lab. Klinik Prodia Solo dan analisis menggunakan metode APN (analisis
pengaktif nuklir) dikerjakan di BATAN / Balai Kesehatan Yogyakarta.
Kalkulasi indeks merupakan hasil keseluruhan pengelompokan berdasarkan
cut off point (normal atau defisiensi).
• Pre-Post test jumlah eritrosit dan leukosit pada anak usia 9-12 tahun
merupakan hasil analisis pengukuran jumlah eritrosit dan leukosit dalam
darah kemudian dibandingkan dengan nilai kadar normal (eritrosit : 4.2-5.4
ml/mm3 dan leukosit : 5-10 ml/mm3 atau juta / ml). Preparasi dan analisis
sampel dilakukan di Lab Klinik Prodia Solo dengan kalkulasi indeks hasil
keseluruhan pengelompokkan berdasarkan cut off point (normal atau
defisiensi).
Langkah kerja laboratoris untuk pemeriksaan darah rutin adalah :
a. Penentuan Kadar Hb : menggunakan metode Cyanmethemoglobin. Ke dalam
tabung reaksi, dimasukkan tepat 5 ml larutan reagen Hb (larutan pengencer
Drabkin), pengukuran menggunakan buret. Dipipet dengan pipet Hb
terstandarisasi 0.02 ml darah (tepat). Darah dalam pipet dimasukkan kedalam
larutan reagen Hb. Pipet dibilas dengan menghisap larutan dan
mengeluarkannya sampai 3x dan dijaga jangan sampai timbul gelembung
udara. Tabung diputar supaya darah bercampur dengan reagen Hb.
Didiamkan selama 10 menit agar terbentuk sianmet-Hb. Dibaca dengan
Spektrofotometer pada 540 nm. Blanko digunakan larutan reagen Hb.
Perhitungan g% Hb sampel = densitas sampel dibagi densitas standar
dikalikan g % Hb standar (Underwood, 2002).
b. Penentuan Kadar Ht : menggunakan volume packed red cells (VPRC). Darah
yang digunakan telah diberi antikoagulan (heparin). Darah dimasukkan ke
dalam pipa kapiler. Ujung pipa kapiler berisi darah ditutup. Normal VPRC
untuk laki-laki 45 % dan perempuan 41 % dari volume seluruhnya
(Underwood, 2002).
c. Perhitungan MCV (Mean Corpuscular Volume) adalah rata-rata volume
masing-masing eritrosit, dihitung dari volume eritrosit dibagi banyaknya
eritrosit dalam 1 liter darah. MCV dinyatakan dalam femtoliter (fl). Normal
MCV pada semua kelompok umur sama, yaitu 80-94 fl (Underwood, 2002).
d. Perhitungan MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) merupakan rata-rata
banyaknya Hb dalam tiap eritrosit.
MCH dinyatakan dalam pico-gram (pg). Normal MCH pada anak usia
sekolah yaitu 20-27 pg. (Underwood, 2002).
e. Perhitungan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration)
merupakan persentase banyaknya Hb terhadap volume eritrosit.
MCHC dinyatakan dalam gram /100 mililiter (g/100ml). Normal MCHC
pada semua kelompok umur sama, yaitu 33-38 g/100 ml (Underwood, 2002).
f. Jenis anemia menurut ukuran besarnya eritrosit. Menurut Underwood (2002)
dan Tierny et al. (2003) ada tiga jenis anemia, yaitu anemia makrositik (jenis
anemia yang memiliki ukuran eritrosit lebih besar dari normal), anemia
mikrositik (jenis anemia yang memiliki ukuran eritrosit lebih kecil dari
g % Hb sampel = Densitas sampel x g % Hb standar Densitas standar
MCV = Volume Packed Red Cells (VPRC) Banyaknya eritrosit 1 liter
MCHC = Hb (g /100 ml darah ) VPRC
MCH = Hb (g /100 ml darah ) Banyaknya eritrosit / liter
normal), dan anemia monositik (jenis anemia yang memiliki ukuran eritrosit
normal).
g. Jenis anemia menurut kadar Hb dalam eritrosit. Menurut Underwood (2002)
dan Tierny et al. (2003) ada tiga jenis, yaitu anemia hiperkromik (jenis
anemia yang memiliki kandungan Hb dalam eritrosit berlebih), anemia
hipokromik (jenis anemia yang memiliki kandungan Hb dalam eritrosit
kurang), dan anemia monokromik (jenis anemia yang memiliki kandungan
Hb dalam eritrosit tidak banyak berubah).
2. Status Gizi Antropometri adalah keadaan gizi anak sebagai hasil dari asupan
dan metabolisme dari berbagai zat gizi di dalam tubuh, yang diukur secara
antropometri dan dinilai berdasarkan indeks berat badan menurut umur
(BB/U) dan tinggi badanmenurut umur (TB/U).
Pre-Post test status gizi anak SD usia 9-12 tahun dengan indikator BB/U dan
TB/U Dengan kriteria sebagai berikut :
a. Termasuk Status Gizi Obese bila : > 3 SD
b. Termasuk Status Gizi Lebih (Gemuk = Over Weight) : +2 <Z< 3 SD
c. Termasuk Status Gizi Normal bila : -2 ≤ Z ≤ 2 SD
d. Termasuk Status Gizi Kurang bila : -3 < Z < - 2 SD
e. Termasuk Status Gizi Stunted bila : Z < -3 SD
3. Skor IQ adalah hasil test IQ anak menurut metode Raven (1995) yaitu untuk
Pre-Post test skor IQ terhadap gejala kretin sub-klinik
• IQ <25 : idiot (Retardasi mental berat)
• IQ=25-40 : Imbecile (Retardasi mental sedang)
• IQ=40-55 : Moron (Retardasi mental ringan)
• IQ=55-70 : garis batas dengan gangguan ringan pada perkembangan
psikomotor dan pendengaran
• IQ=70-85 : di bawah garis normal dapat termasuk gejala kretin sub-
klinik ringan
Data Karakteristik anak SD usia 9-12 tahun yang diambil dengan wawancara :
a. Umur Anak
Difinisi operasional : umur pada saat penelitian dilakukan dalam tahun
Penuh (tahun, bulan)
Prosedur pengukuran : dihitung berdasarkan catatan sekolah
b. Jenis kelamin
Difinisi operasional : jenis kelamin anak yang diintervensi laki-laki dan
perempuan
Prosedur pengukuran : dikutip dari catatan sekolah dan observasi
langsung
c. Kondisi kesehatan anak
Difinisi operasional : catatan kesehatan anak selama 3 bulan terakhir
Prosedur pengukuran : laporan dari yang bersangkutan /keluarga /teman
/guru
d. Kebersihan anak selama pemeriksaan
Difinisi operasional : hasil pemeriksaan kebersihan anak berdasarkan
pemeriksaan lubang hidung, telinga, kuku jari
tangan dan korengan/ tidak untuk mengetahui
potensi kecacingan.
Prosedur pengukuran : diamati dan diperiksa oleh peneliti
Kalkulasi Indeks : 1. Kotor sekali 2. kotor
3. bersih 4. bersih sekali
Kontrol Kualitas Data
Untuk menjaga tingkat kepercayaan (reliabilitas) data yang dikumpulkan, maka
peneliti berusaha dengan cara :
1. Bekerja bersama satu Tim dengan Puskesmas Cepogo, Bidan Desa, Kepala
Sekolah, Guru kelas dan Guru UKS di setiap SD lokasi penelitian dan
Peneliti sendiri sebagai pengumpul data di SD
2. Melakukan pertemuan / koordinasi antara peneliti dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten (DKK), dan Dinas Pendidikan Nasional Kantor cabang Cepogo
untuk mendiskusikan setiap masalah yang timbul di lapangan.
3. Penyuntingan data dilakukan segera setelah data terkumpul oleh peneliti
dengan bimbingan dan arahan komisi pembimbing.
Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung kepada subyek
dengan menggunakan kuesioner. Selain itu dilakukan wawancara mendalam
kepada Kepala Puskesmas Cepogo, Kepala Sekolah Dasar terpilih, Guru Kelas
dan Guru UKS setiap SD terpilih. Selanjutnya untuk mengidentifikasi masalah
dengan pendekatan Fish Bone yaitu melihat masalah dari aspek manusia,
lingkungan, metode, alat dan materi. Langkah-langkah yang dilakukan untuk
pengumpulan data adalah :
1. Menggalang komitmen dengan DKK Boyolali, Kapuskes dan dokter
Puskesmas, Bidan desa, Dinas Pendidikan Nasional cabang Cepogo.
Dilanjutkan sosialisasi tentang pelaksanaan penelitian pemberian kapsul
iodium dan selenium (frekuensi dan dosis). Hal ini bertujuan untuk
menghindarkan over dosis.
2. Setelah sosialisasi kegiatan penelitian dengan pihak DKK Boyolali dan
Diknas Boyolali selanjutnya sosialisasi dengan pihak SD dan orangtua murid
di setiap lokasi SD terpilih. Dalam hal ini peneliti didampingi pihak
Puskesmas.
3. Setelah informed consent diperoleh dari pihak orangtua murid dan disaksikan
kepala SD atau guru kelas, maka kegiatan penelitian utama segera dapat
dilakukan dengan sampel yang berdasarkan hasil Penapisan.
4. Peneliti bersama dengan tim Puskesmas yang sudah dilatih melakukan
pengukuran antropometri, tebal lidah, dan wawancara mendalam tentang
konsumsi anak setiap hari, dilanjutkan dengan pengambilan darah oleh tim
paramedis dari Prodia Solo. Pengambilan data primer lain seperti identitas
dan riwayat kesehatan sampel dilakukan oleh peneliti. Data sekunder besar
prevalensi GAKI diverifikasi dengan data dari berbagai pihak terkait.
5. Jenis paket intervensi yang diberikan adalah :
• Kapsul selenium dosis 45 μg/hari dan iodium dosis 50 μg/hari disediakan
oleh peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan (SDN Wanodoyo II).
• Kapsul iodium dengan dosis rendah (50 μg/hari) saja diberikan selama 2
bulan (SDN Wonodoyo I)
• Kapsul selenium dosis 45 μg/hari saja disediakan oleh peneliti untuk
dikonsumsi selama 2 bulan (SDN Jombong II).
• Kapsul tanpa iodium maupun selenium (Plasebo) diberikan selama 2 bulan
(SDN Jombong I)
Secara teknis, masing-masing subyek penelitian diambil darahnya pada
pagi hari melalui Vena median cubiti sebanyak 3 ml dan ditampung dalam
tabung EDTA untuk pengukuran kandungan zat gizi selenium dan iodium dalam
plasma. Garam diambil dari masing-masing rumah tangga untuk pengukuran
kadar iodium. Demikian juga air diambil dari rumah tangga secara sub-sampel
untuk pengukuran iodium, dan selenium. Asupan iodium dan selenium diperoleh
dengan wawancara 24-hour recall dan FFQ (Food Frequency Qiestionaire)
untuk mengetahui asupan protein hewani dan zat goitrogenik. Informasi
distribusi kapsul iodium dan selenium dilakukan dengan lembar catatan
kepatuhan minum kapsul (Lampiran 1). Semua data kegiatan penelitian di
lapangan kemudian diolah dengan cara :
• Hasil wawancara 24-hour recall diolah dengan komputer program Nutri-Soft
(2005) kemudian dibandingkan dengan AKG.
• Pengukuran iodium dan selenium pada plasma darah anak SD dengan metode
NAA (Neutron Activation Analysis).
Analisis Data
Data yang diperoleh di tabulasi dan dianalisis dengan software SPSS for
windows Release 13. Data kualitatif diolah untuk penyusunan pola
kecenderungan dan analisis hubungan antar berbagai pola yang diperoleh.
Sedangkan data kuantitatif diolah untuk menganalisis perubahan profil darah antar
kelompok, status gizi, status kesehatan dan skor IQ anak antar kelompok yang
diberi suplemen dan kelompok kontrol (sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan) menggunakan Independent T-test dilanjutkan analisis Ancova Table
test. Uji Chi-square digunakan untuk menguji kesamaan distribusi peubah non
parametrik antar kelompok perlakuan. Uji ANOVA digunakan untuk
membandingkan perbedaan peubah parametrik sebelum perlakuan seperti kadar
Hb, Ht, eritrosit, leukosit, MCV, MCH, MCHC, kadar Se dan I, status gizi
(underweight dan stunted), skor IQ dan jumlah tanda khas kretin anak. Uji
efektivitas suplementasi menggunakan selisih nilai (∆) parameter profil darah,
status gizi, skor IQ dan jumlah tanda khas ketin pada anak sebelum dan sesudah
perlakuan. Sebelum semua data diolah perlu dilakukan tes kenormalan data
dengan Kolmogorov Smirnov Goodness of Fit.
Untuk mengkoreksi (adjusted) peubah perancu (confounder) yang diduga
berpengaruh terhadap besaran selisih dampak setelah 2 bulan perlakuan
menggunakan uji ANCOVA. Kemudian bila uji ancova nyata dilanjutkan analisis
hubungan antar variabel digunakan Regresi Linier Sederhana dilanjutkan analisis
multivariate (two factor nested design) untuk mengetahui nilai odds ratio kretin
endemik pada anak menurut standar nilai kandungan Se dan I dalam plasma
darah.
Protokol Penelitian
1. Penapisan Anak
a. Kriteria penerimaan (Tabel 16)
b. Kriteria penolakan
• anak SD umur kurang dari 9 dan atau lebih 12 tahun pada waktu
penapisan (skrining)
• tidak bersedia memberikan ‘inform consent’ / tidak kooperatif
• sedang menderita penyakit tertentu
2. Pengelompokan Anak
a. Anak kelas IV+V dari SDN Wanodoyo II mendapat kapsul selenium
dosis 45 μg/hari dan iodium dosis 50 μg/hari yang disediakan oleh
peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan (Kelompok A)
b. Anak kelas IV+V dari SDN Wonodoyo I mendapat kapsul iodium dengan
dosis 50 μg/hari saja diberikan selama 2 bulan (Kelompok B)
c. Anak kelas IV+V SDN Jombong II mendapat kapsul selenium dosis 45
μg/hari saja disediakan oleh peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan
(Kelompok C).
d. Anak kelas IV+V SDN Jombong I mendapat kapsul tanpa iodium maupun
selenium (Plasebo) diberikan selama 2 bulan (Kelompok D)
3. Dosis dan Pemberian Suplemen
Dosis suplemen iodium yang diberikan mengacu pada rekomendasi WHO/
UNICEF/ICCIDD (1992) yaitu sebesar 50 μg /hari untuk anak usia 9-12
tahun. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya ekskresi
Se sebesar 50% - 60% atau 45 μg (Elson, 2003). Dosis rendah yang
ditetapkan tersebut masih berada pada batas aman (safe level intake). Seluruh
suplemen untuk penelitian ini diproduksi oleh PT Kimia Farma tepatnya
Divisi Riset dan Pengembangan di Bandung. Pengujian Laboratorium
Analisis Kimia Farma di Surabaya untuk pemeriksaan bentuk, warna, isi,
waktu hancur dan ketepatan kadar selenium selenat maupun iodium dapat
disimpulkan telah memenuhi syarat seperti yang diharapkan dalam penelitian.
a. Pemilihan suplemen
Suplemen utama dalam penelitian ini adalah kapsul selenium dan iodium.
Untuk mengkondisikan bebas kecacingan diberikan terlebih dulu obat
cacing ‘albendazole’ dosis 400 mg cukup satu kali di minum sebelum
penelitian.
i. Kapsul selenium (Se) adalah kapsul suplemen yang mengandung
selenium selenat 45 μg yang diberikan kepada anak setiap hari selama
dua bulan
ii. Kapsul iodium (I) adalah kapsul suplemen yang mengandung iodium 50
μg yang diberikan kepada anak setiap hari selama dua bulan
iii. Kapsul plasebo adalah kapsul yang secara fisik sama dengankapsul
prlakuan tetapi hanya mengandung selulosa yang diberikan setiap hari
selama dua bulan.
Pemberian suplemen secara tersamar
Pada tahap I semua anak menerima obat cacing ‘Albendazole’ 400 mg dalam
satu kapsul. Kemudian randomisasi dan terdapat empat kelompok (A, B,C,D)
i. Pada tahap II suplemen kapsul iodium dan selenium dimulai di setiap
kelompok dengan dosis harian 50 μg/hari (1 kapsul iodium) dan dosis
harian 45 μg/hari (1 kapsul selenium) diberikan saat anak mengikuti
pelajaran sekolah setelah istirahat pertama.
ii. Tahap III setelah suplemen diberikan selama 2 bulan dilakukan
monitoring dampak selama 2 bulan dengan pemantauan tiap bulan. Jadi
ada 4 kali pengukuran antropometri, 2 kali (pre dan post) pengukuran
profil darah dan skor IQ
4. Kepatuhan anak
Kepatuhan anak untuk minum kapsul iodium dan selenium dapat
diandalkan keterjaminannya karena setiap anak minum kapsul di sekolah di
depan guru dan tim peneliti lapangan yang ditunjuk dari Puskesmas Cepogo.
Adapun formulir catatan harian untuk melihat kepatuhan anak dapat dilihat
pada Lampiran 2.
5. Pengukuran respon intervensi gizi dan pencatatan data
a. Semua data mulai dari awal sampai akhir penelitian dicatat setelah ‘item’
kegiatan selesai untuk menghindari ‘data hilang’ atau data kurang
lengkap. Artinya sebelum periode ‘run-in’ berakhir maka semua
pencatatan data baik primer, sekunder maupun yang bersifat fakultatif
harus sudah dievaluasi kelengkapan dan kebenarannya. Karena dalam
penelitian ini ada kegiatan pemantauan selama 4 bulan selama intervensi
zat gizi, maka diperlukan pencatatan data antara. Data antara ini ada 4x
hasil pemantauan dan pengukuran dari antropometri, dan tebal lidah.
b. Penilaian respon subyektif
Menggunakan kuesioner dilakukan pemantauan setiap minggu untuk
mengetahui apakah ada keluhan subyektif dari anak yang diberi
intervensi gizi dan beberapa efek samping yang dirasakan oleh anak yang
telah minum suplemen iodium dosis harian 50 μg/hari (1 kapsul) dan
suplemen selenium dosis harian 45 μg/hari (1 kapsul).
6. Pengambilan darah
Sampel darah diambil dari pembuluh vena anak pada pagi hari sebanyak dua
kali awal dan akhir penelitian (pre test dan post test). Darah langsung
dimasukkan kedalam tabung yang sudah diberi EDTA. Plasma diperoleh
dengan cara memutar darah sisa analisis hematologi (Hb, Ht, MCV, MCH,
MCHC, Leukosit dan eritrosit) menggunakan centrifuge selama 15 menit 2000
rpm. Selanjutnya plasma darah disimpan dalam ‘Eppendorf plastic tubes’
dengan suhu -20 C. Preparasi sampel darah yang akan diukur dan dianalisis
kandungan selenium maupun iodiumnya dilakukan di Laboratorium Klinik
Prodia. Analisis kandungan zat gizi sampel darah dilakukan dengan
menggunakan APN (Analisis Pengaktif Neutron) di Laboratorium Teknologi
Maju BATAN, Yogyakarta dan Laboratorium Balai Kesehatan Yogyakarta.
7. Pengukuran Kemampuan Kognitif
Kemampuan Kognitif untuk mendapatkan skor IQ anak dilakukan oleh
seorang psikolog dengan menggunakan metode Raven Cognitive Classical.
Ada tiga kolom lembar jawab seperti contoh (Lampiran 3).
HASIL PENELITIAN
Hasil Penelitian Pendahuluan
Dosis rendah yang ditetapkan untuk suplemen iodium yang diberikan
kepada anak mengacu pada rekomendasi WHO/ UNICEF/ICCIDD (1992) yaitu
sebesar 50 μg /hari. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya
ekskresi Se sebesar 50% - 60% atau 45 μg (Elson, 2003). Selanjutnya dilakukan
penelitian pendahuluan untuk memastikan apakah ada pengaruh pengganggu dosis
rendah yang ditentukan dengan bioavailabilitasnya. Mengingat usia anak 9-12
tahun merupakan masa growth spurt-II sehingga diharapkan dengan penambahan
dosis rendah Se dan I akan dapat memperbaiki profil darah, status gizi, status
kesehatan dan skor IQ anak. Penelitian bioavailabilitas dosis rendah kapsul
iodium dan selenium dengan menggunakan prosedur baku bioavailabilitas zat
gizi, yaitu prosedur duplo analisis pengaktif neutron (APN) di Laboratorium
Teknologi Maju BATAN dan di Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.
Selain itu menurut IOM (2001) penentuan dosis rendah Iodium 50
μg/hari berdasarkan rata-rata untuk masa pertumbuhan anak usia 10-20 tahun
laki-laki sebesar 130 μg/hari dan untuk anak perempuan 100 μg/hari.
Pertimbangan dosis rendah Sodium Selenat 45 μg/hari karena kebutuhan anak
perempuan dan laki-laki mencapai 280 μg/hari. Penelitian ini tidak menggunakan
tikus sebagai sarana analisis bio-availabilitas, tetapi cukup menggunakan tabung
dengan saraf ayam yang ditanam untuk mengetahui test reliabilitas (TR). Hasil
penjumlahan Internal Consistency + TR dinyatakan sebagai nilai Test bio-
availabilitasnya (BATAN, 1999). Adapun hasil analisis bio-availabilitas (jenis
prosedur Duplo/ AAS di BATAN) adalah :
Tabel 18 Hasil Analisis Bio-availabilitas Kapsul Iodium dan Selenium
Sampel Nilai Kandungan Murni
Hasil Kecepatan Tumbuh Sel
Reliabilitas / Validitas (In-Vitro)
Kapsul Sodium Selenat
48 (harusnya 50)
Tampak pada hari ke-22
S : 0.65<R<0.85 (=0.77)
Kapsul Iodium 50 (harusnya 50)
Tampak langsung pada menit ke-10
S : 0.65<R<0.85 (=0.85)
Hasil Penapisan Sampel
Jumlah SD/MI di Kecamatan Cepogo ada 47, namun tidak semuanya
berada di wilayah endemik GAKI. Ada 27 SD/MI yang berada di wilayah desa
endemik GAKI. Dari 27 SD/MI tersebut secara random diambil 6 SD, namun
karena siswa yang berasal dari dua SD kebanyakan memiliki 8-15 tanda khas
kretin maka mereka diambil untuk mengikuti terapi giziklinik diSemarang.
Dengan demikian dalam penelitian ini hanya menggunakan 4 SD yaitu SDN
Jombong I dan II, serta SDN Wonodoyo I dan II. Jumlah keluarga dengan TGR
14.5 % di kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali tercatat ada 4595 keluarga
dengan anak usia sekolah dasar. Jumlah anak SD kelas IV dan V yang tinggal di
daerah endemik GAKI sebanyak 1813 anak. Dari 1813 anak kelas IV dan V
tersebut yang tinggal di desa endemik GAKI seperti Jombong, dan Wonodoyo
ada sekitar 206 anak (Data Penilaian Kinerja Puskesmas, 2005). Setelah
dilakukan penapisan terhadap 206 calon sampel menunjukkan bahwa ciri khas
hipothyroid (cebol) ada 29 %. Adapun hasil penapisan tanda khas kretin dapat
dilihat pada Gambar 13, dan penapisan tes IQ pada Gambar 14.
Gambar 13 Hasil Penapisan Gejala / Tanda Khas Kretin
18%
46%
32%
22%
29%
<DengarGangg.Bicarajln lambatPendekGondok
30%
15%55% IQ <35 (Imbecile)
IQ=40-70(Moron)IQ=70-85(Dull Normal)
Gambar 14 Hasil Penapisan Tes IQ
Berdasarkan rumus besar sampel seharusnya jumlah sampel untuk
penelitian intervensi zat gizi selenium dan iodium dosis rendah harian ini sebesar
206 anak. Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 anak sehingga jumlah
sampel yang memenuhi syarat untuk dianalisis ada 115 anak (n1=18, n2=35,
n3=34, n4=28 anak). Kejadian drop out 91 anak disebabkan ada 50 anak
mengikuti terapi gizi klinik di Semarang, 19 anak lebih dari 20 hari tidak minum
suplemen, 13 anak pindah sekolah, 9 takut diambil darahnya. Dengan demikian
drop out sampel mencapai 44.17 %. Hal ini seperti yang dialami oleh Soekarjo et
al. (2004) yang melalukan studi suplementasi zat besi pada remaja. Adapun besar
sampel dan asal sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Besar dan Asal Sampel pada Waktu Penapisan
No. Asal Sampel Jumlah Sampel
1 SDN Gedangan I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. (Kelas IV dan V)
40 anak
2 SDN Gedangan II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. (Kelas IV dan V)
39 anak
3 SDN Jombong I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali (Kelas IV dan V)
31 anak
4 SDN Jombong II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali (Kelas IV dan V)
39 anak
5 SDN Wonodoyo I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. (Kelas IV dan V)
39 anak
6 SDN Wonodoyo II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. (Kelas IV dan V)
18 anak
Besar sampel yang digunakan pada saat penapisan 206 anak
Retardasi Mental Berat-Sedang
Retardasi Mental Ringan Di bawah Rata-rata
Selanjutnya sebaran sampel yang mengikuti kegiatan penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Persentase Sebaran Partisipasi Subyek Penelitian
Sebaran Sampel Asal Sekolah Awal
perlakuan Akhir
perlakuan
% Partisipasi
subyek / asal sekolah
Total Partisipasi Desa (%)
SDN Jombong I 31 anak 28 anak 90.32 SDN Jombong II 40 anak 34 anak 80
85.16
SDN Wonodoyo I 42 anak 35 anak 88.1 SDN Wonodoyo II 18 anak 18 anak 100
94.05
Total 131 115 87.78
Hasil Penelitian Epidemiologi
Karakteristik Anak Menurut Pemeriksaan Fisik
Karakteristik anak dalam penelitian ini sebagai tanda anak yang
diperkirakan akan mempengaruhi perubahan pertumbuhan dan perkembangan
intelektual yang terjadi pada diri anak. Dalam penelitian ini ada karakteristik
umur, jenis kelamin, dan tanda khas kretin.
1. Umur dan Jenis Kelamin Anak
9%
51%
30%
10%
9 tahun10 tahun11 tahun12 tahun
Gambar 15 Distribusi Umur Anak (Tahun)
Salah satu periode dalam kehidupan manusia adalah usia remaja awal.
Pada usia 9-12 tahun ini muncul tantangan baru dan unik bagi anak-anak yang
tumbuh normal. Lain halnya dengan anak yang tumbuh di daerah endemic
GAKI, maka anak masa awal remaja ini tubuhnya mengalami hambatan
pertumbuhan sehingga ukurannya lebih pendek dan menjadi tampak lebih tua
dibandingkan anak seusia yang tinggal di daerah non endemik. Faktor umur
menjadi penting dalam penelitian ini karena perubahan hormonal rata-rata
terjadi pada usia 10-16 tahun, sehingga sampel dalam penelitian ini termasuk
didalamnya. Distribusi umur anak dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 15.
Jenis kelamin termasuk faktor penting diperhatikan dalam penelitian ini
karena anak usia 9-12 tahun sudah menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan
fisik maupun perkembangan seksual menurut kematangan hormonnya. Distribusi
jenis kelamin anak yang menjadi sampel dapat dilihat pada Gambar 16.
59%
41%
Laki-lakiPerempuan
Gambar 16 Distribusi Jenis Kelamin Anak
2. Kebersihan anak selama pemeriksaan
Kebersihan anak berdasarkan pemeriksaan lubang hidung, telinga, kuku
jari tangan dan korengan / kesehatan kulit yang diamati dan diperiksa oleh tim
peneliti selama penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kebersihan anak masih
sangat rendah dengan penampilan yang kotor Gambar 17.
86%
14% Kotorbersih
Gambar 17 Status Kebersihan Anak di Daerah Endemik GAKI
Karakteristik Anak menurut Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Profil Darah menurut Kelompok Perlakuan
Dari Tabel 21 dapat diketahui bahwa kadar Hb anak penderita GAKI
dengan status gizi kurang dan buruk tetap tinggi (11.5 – 17.1 g/dl). Hal ini
disebabkan karena faktor VO2max yang tinggi di daerah pegunungan. Oleh
karena itu jenis anemia anak SD yang tinggal di daerah endemik GAKI di lereng
Gunung Merapi ini termasuk hiperkromik (kadar Hb berlebih dalam eritrosit).
Hal ini juga sesuai dengan banyaknya eritrosit dalam 1 liter darah anak
mencapai 4.18 – 6.44 (106/ul). Namun karena anak di pegunungan memiliki
kebiasaan asupan zat besi “heme” yang rendah, maka pada anak tersebut dikenal
sebagai “dilutional pseudoanemia” .
Tabel 21 Hasil Analisis Profil Darah Rutin Anak Umur 9-12 tahun
Status Defisiensi Parameter Pemeriksaan
Pre Post Nilai Rujukan Awal
(%) Akhir (%)
Nilai p
Hb (g/dl) 11.0 -17.10 11.70 -17.10 11.5-15.5 1.7 0 0.015
Ht (%) 18.0 – 48.5 32.99 - 49.80 35 - 45 14 3.5 0.158
MCV (fl) 28.3 – 87.7 61.5 – 97.47 79 - 99 31 16 0.000
MCH (pg) 18.80 -32.50 19.39 – 32.1 27 - 31 20 7 0.000
MCHC (d/dl) 32.90 -38.00 34.59 – 39.4 33 - 37 34 18 0.000
Eritrosit (106/μl)
4.18 – 6.44 4.18 – 6.64 4.2 -5.2 14.63 3.5 0.056
Leukosit (103/μl)
4.04 – 7.57 6.04 – 9.80 4.5 – 14.5 20.43 3.5 0.000
Hasil pemeriksaan kadar Hb pada anak di daerah endemik GAKI (Tabel
21) menunjukkan seolah-olah tidak terjadi anemia pada anak usia 9-12 tahun
yang memiliki tanda khas kretin. Begitu pula jika dilihat dari jumlah leukosit
tidak terjadi kasus infeksi akibat kelebihan leukosit bahkan yang terjadi
Leukopenia yaitu kasus kurangnya jumlah leukosit. Akan tetapi kalau dilihat dari
indeks MCV, MCH dan MCHC maka dapat jelas disebutkan bahwa yang terjadi
pada anak dengan tanda khas kretin di daerah endemik GAKi adalah jenis
anemia mikrositik hiperkromik.
Tabel 22 Hasil Analisis Karakteristik Biokimia Darah menurut Kelompok Perlakuan
Variabel Kelompok Sebelum Sesudah Paired
t-test R p
A: Se+I 12.3± 2.8 14.5± 2.8 0.000 0.77* 0.015 B : I 12.8± 2.3 14.3± 2.3 0.000 0.77* 0.015 C: Se 11.9 ±3.5 14.3 ± 2.8 0.000 0.11* 0.017
Hb (g/dl)
D:Plasebo/PL 13.2 ± 2.9 13.9 ±3.5 0.000 -0.03 0.475 A: Se+I 33.5 ±15.5 49.8 ±3.48 0.000 0.11* 0.017 B : I 25.4 ± 3.25 30.35 ±3.3 0.000 -0.03 0.475 C: Se 30.5± 8.75 39.75± 4.5 0.000 0.11* 0.017
Ht (%)
D:Plasebo/PL 22.25 ±4.25 35.75±4.25 0.000 0.11* 0.017 A: Se+I 58 ± 9.7 88.47 ± 9.2 0.000 0.06 0.342 B : I 38.3 ± 4.7 70.47± 5.9 0.000 -0.02 0.683 C: Se 48.5 ± 9.6 69.55±9.6 0.000 -0.02 0.662
MCV (fl)
D:Plasebo/PL 39.8 ± 2.5 43.25±2.5 0.000 0.02 0.683 A: Se+I 25.65±6.85 25.74 ±6.4 0.000 0.07 0.07 B : I 24.16±5.75 24.6 ±5.85 0.000 0.07* 0.032 C: Se 23.8 ± 4.74 23.95± 4.5 0.000 0.07* 0.033
MCH (pg)
D:Plasebo/PL 22.99 ± 2.95 23.85± 2.8 0.000 -0.07* 0.033 A: Se+I 35.45±2.55 36.99 ± 2.4 0.000 0.11* 0.024 B : I 33.95±1.05 35.95 ±1.8 0.000 0.11* 0.008 C: Se 34.85±1.75 35.45 ± 2.3 0.000 0.11* 0.008
MCHC (d/dl)
D:Plasebo/PL 35.44±1.95 36.77±1.95 0.000 -0.11* 0.008 A: Se+I 5.21 ±1.13 5.31 ±1.12 0.000 0.14* 0.008 B : I 5.33 ±1.09 5.49 ±1.09 0.000 0.14* 0.002 C: Se 5.18 ± 2.6 5.81 ± 0.6 0.000 0.14* 0.002
Eritrosit (106/ul)
D:Plasebo/PL 5.05 ± 2.75 5.05 ± 1.12 0.000 -0.14* 0.002 A: Se+I 5.81 ±1.76 7.55 ±1.28 0.000 0.14* 0.008 B : I 5.25 ±1.11 6.86 ±0.76 0.000 0.14* 0.002 C: Se 4.95 ±0.81 6.95 ±0.75 0.000 0.14* 0.002
Leukosit (103/ul)
D:Plasebo/PL 4.75 ±0.7 6.99 ±0.7 0.000 -0.14* 0.002 A: Se+I 0.67± 0.27 1.91 ±0.67 0.000 0.14* 0.008 B : I 1.01 ±0.22 1.85 ± 0.22 0.000 0.14* 0.002 C: Se 0.98 ±0.28 1.77 ±0.28 0.000 0.14* 0.002
Kadar Selenium plasma (μg/dl) D:Plasebo/PL 0.95 ± 0.22 1.09 ±0.14 0.000 -0.14* 0.002
A: Se+I 1.98 ±0.67 4.19 ±0.67 0.000 -0.25* 0.031 B : I 2.74 ±0.87 6.23 ±1.11 0.000 0.29 0.011 C: Se 1.99 ±0.67 5.67 ±1.12 0.000 -0.13 0.174
Kadar Iodium plasma (μg/dl) D:Plasebo/PL 1.98 ±0.57 5.32±0.87 0.000 0.25* 0.031
Hasil analisis uji pengaruh antar kelompok (Gambar 18) sangat nyata
(p<0.01) dengan Adjusted R Square sebesar 0.41 (artinya status leukosit dapat
diperbaiki dengan pemberian Se dan I sebesar 41%).
Gambar 18. Hasil Analisis Persentase Status Leukosit menurut Kelompok
Selanjutnya hasil analisis status eritrosit (Gambar 19) dengan uji pengaruh
antar kelompok sangat nyata (p<0.01) memiliki Adjusted R Square 0.431 (artinya
43.1% status eritrosit dapat diperbaiki dengan pemberian Se dan I).
Gambar 19 Hasil Analisis Persentase Status Eritosit menurut Kelompok Perlakuan
Tabel 23 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Leukosit pada Anak
0
5
10
15
20
25
30
35
NormalLeukopenia
Normal 5.2 20 6.1 20.6 5.2 30.4 1.7 15.6
Leukopenia 19.1 3.5 23.5 0 25.2 0 13.9 0
PL (b) PL(s) Se
(b)Se (s) I(b) I(s) Se+I
(b)Se+I(s)
0
5
10
15
20
25
30
NormalKurang
Normal 7.8 16.5 18.3 27.3 13 27.8 5.2 13.9
Kurang 16.5 7.8 11.3 2.3 17.4 2.6 10.4 1.7
PL(b) PL(s) Se(b) Se(s) I(b) I(s)Se+I (b)
Se+I (s)
Stat
us L
euko
sit (
%)
Stat
us E
ritr
osit
(%)
Kelompok Post Test Pre Test ∆ Keterangan
Se+I 7.90 6.97 0.93a Tidak Beda Nyata I 7.88 6.77 1.11a Tidak Beda Nyata Se 8.79 6.80 1.99b Beda Nyata Plasebo (PL) 6.89 6.54 0.35a Tidak Beda Nyata
Tabel 24 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Eritrosit pada Anak
Kelompok Post Test Pre Test ∆ Keterangan
Se+I 5.99 3.88 2.11a Tidak Beda NyataI 5.89 3.96 1.93b Beda Nyata Se 5.79 3.73 2.06a Tidak Beda NyataPlasebo (PL) 4.65 3.09 1.56c Beda Nyata
Gambar 20 Hasil Analisis Persentase Kadar MCV menurut Kelompok Perlakuan
Tabel 25 Hasil Analisis Selisih (∆) Kadar MCV pada Anak dengan Tanda Khas Kretin
Kelompok Post Test Pre Test ∆ Keterangan
Se+I 67.7 48.3 19.4a Tidak Beda Nyata I 45.0 33.6 11.4b Beda Nyata Se 58.1 38.9 19.2a Tidak Beda Nyata Plasebo (PL) 42.3 37.3 5.0c Beda Nyata
0
5
10
15
20
25
30
MCV (makrositik) 18.3 14.8 20 9.6 20.9 7 13.9 16
MCV (mikrositik) 6.1 3.5 9.6 2.6 9.6 9.6 26 10
MCV (monositik) 0 6.1 0 17.4 0 13.9 0 13.9
PL (b)
PL (s)
Se (b)
Se (s)
I(b) I(s)Se+I(b)
Se+I(s)
Stat
us M
CV
(%)
Gambar 21 Hasil Analisis MCH menurut Kelompok Perlakuan
Selanjutnya hasil analisis kadar MCH (Gambar 21) dengan uji pengaruh
antar kelompok sangat nyata (p<0.01) memiliki nilai Adjusted R Square 0.155
(artinya 15.5 % kadar MCH dapat diperbaiki dengan pemberian Se dan I).
Adapun selisih nilai perbaikan MCH dari masing-masing kelompok dapat dilihat
pada Tabel 26.
Tabel 26 Hasil Analisis Uji Beda ∆ kadar MCH pada Anak dengan Tanda Khas
Kretin
Kelompok Post Test Pre Test ∆ Keterangan
Se+I 32.30 18.20 14.1a Tidak Beda Nyata I 29.81 19.94 9.87b Se 28.54 19.06 9.48b
Beda Nyata
Plasebo (PL) 25.94 20.04 5.9c Tidak Beda Nyata
Hasil analisis kadar MCHC (Gambar 22) dengan uji pengaruh antar
kelompok sangat nyata (p<0.01) memiliki nilai Adjusted R Square 0.73 (artinya
73 % kadar MCHC dapat diperbaiki dengan pemberian Se dan I). Adapun selisih
nilai perbaikan MCHC dari tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 27.
0
5
10
15
20
25
30
MCH (makrositik) 20.9 17.4 21.7 13.9 29.6 27.8 13.9 3.5
MCH (mikrositik) 3.5 3.5 7.8 7.8 0.9 0.9 1.7 3.5
MCH (monositik) 0 3.5 0 7.8 0 1.8 0 8.6
PL(b) PL(s) Se(b) Se(s) I(b) I(s)Se+I (b)
Se+I (s)
Stat
us M
CH
(%)
Gambar 22 Hasil Analisis MCHC menurut Kelompok Perlakuan
Tabel 27 Hasil Analisis ∆ kadar MCHC pada Anak dengan Tanda Khas Kretin
Kelompok Post Test Pre Test ∆ Keterangan
Se+I 38.0 33.55 4.45a Beda Nyata I 35.0 32.80 2.2c Tidak Beda Nyata Se 36.2 33.10 3.1d Beda Nyata Plasebo (PL) 35.5
33.50 2.0b Tidak Beda Nyata
Hasil Pemeriksaan Kadar Selenium dan Iodium Plasma
Pemeriksaan selenium sebagai pencetus keracunan pada manusia
dimulai setelah ada kasus dalam pencernaan terdapat zat selenium sebanyak dua
gram sehingga orang yang mengkonsumsinya mengalami kerusakan di lambung
dan usus yang sangat serius. Sejak itu dosis selenium dianjurkan tidak lebih dari
400 mg/orang/hari. Dalam penelitian ini pemeriksaan kadar selenium dan
iodium plasma menggunakan analisis pengaktif neutron (APN) di BATAN
Yogyakarta, dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 28. Nilai Adjusted R Square
0.45 (artinya 45% status defisiensi iodium dapat diperbaiki dengan suplemen Se
dan I).
0
5
10
15
20
25
30
MCHC (hiperkromik) 15.7 6.1 18.3 10.4 29.6 1.8 10.4 1.8MCHC (hipokromik) 8.7 15.7 11.3 3.5 0.9 0.9 5.2 3.5MCHC (monokromik) 0 2.6 0 16.5 0 27.8 0 10.4
PL (b)
PL (s)
Se (b)
Se (s) I(b) I(s) Se+I
(b)Se+I(s)
Stat
us M
CH
C (%
)
Tabel 28 Hasil Analisis Kadar Selenium dan Iodium dalam Plasma Darah Anak
Status Defisiensi Parameter Pemeriksaan
Pre Test Post Test Nilai Rujukan Awal Akhir
Nilai p
Kadar selenium (μg/dl)
0.4 – 1.28 1.09 – 3.99 1.1 – 6.1 112(97.4%) 4 (3.5%) 0.000
Kadar iodium (μg/dl)
1.35– 4.1 3.22 – 6.27 3.3 – 6.9 94(81.7%) 15(13%) 0.000
Gambar 23 Hasil Analisis Status Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan
Gambar 24 Hasil Analisis Status Selenium Plasma menurut Kelompok Perlakuan
0
5
10
15
20
25
30
35
Defisiensi Se 27 4 34 0 33 0 18 0
Normal 1 24 0 34 2 35 0 18
PL(b) PL(s) Se(b) Se(s) I(b) I(s) Se+I (b)
Se+I (s)
0
5
10
15
20
25
30
PL(b) PL(s Se(b) Se(s I(b I(s Se+I(b Se+I(s
DefisiensIodiumNorma
Stat
us Io
dium
Pla
sma
(%)
Stat
us S
e P
lasm
a (%
)
Tabel 29 Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Kelompok Perlakuan
Kadar Selenium Anak Penderita GAKI
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Defisiensi Baik Defisiensi Baik
Total
Kelompok Perlakuan
n % n % n % n % n %
A: Se+I 18 15.7 - - - - 18 15.7 18 15.7 B : I 33 28.7 2 1.7 - - 35 30.4 35 30.4 C: Se 34 29.6 - - - - 34 29.6 34 29.6 D:Plasebo /PL 27 23.5 1 0.9 4 3.5 24 20.9 28 24.3 Total
112 97.4 3 2.6 4 3.5 111 96.5 115 100
Tabel 30 Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Kelompok
Perlakuan Kadar Iodium Anak Penderita GAKI
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Defisiensi Baik Defisiensi Baik
Total
Kelompok Perlakuan
n % n % n % n % n %
A: Se+I 18 15.7 - - 4 3.5 14 12.2 18 15.7 B : I 25 21.7 10 8.7 5 4.3 30 26.1 35 30.4 C: Se 30 26.1 4 3.5 3 2.6 31 27 34 29.6 D:Plasebo/PL 21 18.3 7 6.1 3 2.6 25 21.7 28 24.3 Total
94 81.7 21 18.3 15 13 100 87 115 100
Hasil tabulasi antara kadar selenium dan iodium menurut jenis kelamin
dapat dilihat pada Tabel 31 dan Tabel 32.
Tabel 31 Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Jenis
Kelamin Kadar Selenium Anak Penderita GAKI
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Defisiensi Baik Defisiensi Baik
Total
Jenis Kelamin
n % n % n % n % n %
Laki-laki 66 57.4 2 1.7 2 1.7 66 57.4 68 59.1
Perempuan 46 40 1 0.9 2 1.7 45 39.1 47 40.9
Total 112 97.4 3 2.6 4 3.5 111 96.5 115 100
Tabel 32 Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Jenis Kelamin
Kadar Iodium Anak Penderita GAKI
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Defisiensi Baik Defisiensi Baik
Total
Jenis Kelamin
n % n % n % n % n %
Laki-laki 54 47 14 12.2 9 7.8 59 51.3 68 59.1
Perempuan 40 34.8 7 6.1 6 5.2 41 35.7 47 40.9
Total 94 81.7 21 18.3 15 13 100 87 115 100
Tabel 33 Hasil Analisis Selisih (∆) Kadar Iodium dan Selenium Plasma
Variabel Kelompok Sesudah Perlakuan
Sebelum Perlakuan
Selisih (∆) Ketr
Se+I 2.84 2.06 0.79a
I 3.70 2.54 1.1a
Tidak Beda Nyata
Se 3.62 2.27 1.35b Beda Nyata
Kadar Iodium (μg/dl )
Plasebo/PL 1.23 0.67 0.56c Tidak Beda Se+I 2.12 0.91 1.45a
I 2.37 0.65 1.46a
Tidak Beda Nyata
Se 3.41 0.72 2.76b Beda Nyata
Kadar Selenium (μg/dl )
Plasebo/PL 1.92 1.2c Tidak Beda
Pengaruh Pemberian Suplemen terhadap Status Gizi
Untuk menentukan status gizi anak dalam penelitian ini menggunakan
standar CDC (WHO, 2000). Selanjutnya hasil pemberian suplemen selenium
dan iodium terhadap status gizi berdasarkan CDC (WHO, 2000) menunjukkan
bahwa anak stunted dari kelompok perlakuan dengan pemberian suplemen
kapsul selenium 45 μg ditambah iodium 50 μg per hari selama dua bulan masih
ada satu anak (0.9%) yang tinggi badannya tetap termasuk ’pendek’
pertumbuhannya. Pada kelompok selenium saja atau iodium saja ternyata
didapatkan dua anak (1.8%) yang masih termasuk kategori ’pendek’. Sementara
pada kelompok plasebo ada 5 anak (4.6%). Padahal sebelum diberi intervensi
ada 33 anak (28.69%) anak yang termasuk pendek, 7 anak (6.1%) dengan status
gizi kurang, ada 49 anak (42.6%) yang termasuk pendek sekaligus mengalami
kurang gizi. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 25.
0
5
10
15
20
25
30
35
Baik(b) Baik(s) Pendek(b) Pendek(s) Kurang(b) Kurang(s) Pd+Kr(b) Pd+Kr(s)
Se+I
Iod
Se
PLJum
lah an
ak (o
rang
)
Gambar 25 Status Gizi Anak berdasar Standar CDC (WHO, 2000)
Tabel 34 Hasil Uji Beda Status Gizi menurut Kelompok Perlakuan
Variabel Kelompok Post Test Pre Test (∆) Ketr
Se+I 27.85 25.76 2.09 I 26.62 24.27 2.93
Tidak Beda Nyata
Se 32.34 29.3 3.04 Beda Nyata
Berat Badan (kg)
Plasebo/PL 32.96 31 1.96 Tidak Beda Se+I 129.8 128.1 1.7 Tidak Beda I 133.9 130.4 3.5 Beda Nyata Se 127.5 126.1 1.4
Tinggi Badan (cm)
Plasebo/PL 126.3 125.1 1.2 Tidak Beda Nyata
Hasil analisis regresi antropometri menurut kelompok perlakuan
selengkapnya dapat dilihat di Tabel 35.
Tabel 35 Hasil Analisis Regresi Antropometri Menurut Kelompok Perlakuan
Variabel Kelompok Sebelum Sesudah Paired t-test
R p
A: Se+I
21.9 ±2.23 23.1 ±2.24 0.000 0.536* 0.002
B : I
20.9± 3.36 22.1±3.36 0.000 0.398* 0.002
C: Se
19.6± 4.22 20.5±4.22 0.000 0.403* 0.015
Berat Badan (kg)
D:Plasebo/PL
19.1±3.86 20.3 ±3.86 0.000 0.441* 0.003
A: Se+I
120.1±4.21 122.5±4.21 0.000 0.54* 0.002
B : I
123.5±5.74 125.9±5.74 0.000 0.77* 0.015
C: Se
115.5±7.32 117.9 ±7.32 0.000 0.78* 0.003
Tinggi Badan (cm)
D:Plasebo/PL
117.7±5.87 120.1±5.87 0.000 0.88 0.251
A: Se+I
12.2 ± 1.25 9.6 ±1.25 0.000 -0.32* 0.025
B : I
16.5 ± 1.7 14.8 ±1.7 0.000 0.40* 0.002
C: Se
19.1 ±1.62 13.9 ±1.62 0.000 -0.25* 0.036
BB/U (%)
D:Plasebo/PL
20.1 ±1.7 12.2 ±1.7 0.000 -0.40 0.062
A: Se+I
15.7 ±0.79 3.5 ±0.79 0.000 -.035* 0.016
B : I
29.6 ±0.56 15.7 ±0.56 0.000 0.35* 0.016
C: Se
27.0 ± 0.45 7.0 ± 0.45 0.000 -0.28* 0.021
TB/U (%)
D:Plasebo/PL
19.4 ±0.56 8.7 ±0.56 0.000 -0.25* 0.047
A: Se+I
29.6 ±1.16 9.6 ±1.12 0.000 0.6 0.685
B : I
23.9 ±1.10 8.7 ±1.08 0.000 0.24* 0.043
C: Se
15.7 ±1.11 6.1 ±1.09 0.000 -0.24* 0.043
Lingkar lidah (%)
D:Plasebo/PL
30.4 ±1.21 26.1 ±1.21 0.000 -0.22 0.081
Berdasarkan jenis kelamin, dapat diketahui bahwa sebelum perlakuan
anak laki-laki yang termasuk stunted ada 6 anak (5.3%) sementara anak
perempuan ada 4 (3.5%) Hasil analisis jenis kelamin dan status gizi baik
sebelum maupun sesudah perlakuan dapat dilihat pada Gambar 25. Selanjutnya
karakteristik antropometri anak yang terdiri dari umur, berat badan dan tinggi
badan disajikan pada Tabel 36.
0
10
20
30
40
50
Lk(pre) Lk(post) Pr(pre) Pr(post)
baikpendekkurangpdk+krg
Gambar 26 Status Gizi Anak menurut Jenis Kelamin
Tabel 36 Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan (Sebelum Perlakuan)
Karakteristik Se+I I Se Plasebo/PL Rata2 Total
p
Laki-laki (Sebelum Perlakuan)
Umur (bl) 125±11.6 119.45±3.35 126.56±6.7 129.35±8.8 125.7±8.6 0.832
BB (kg) 26.08±2.5 25.18±2.65 26.1±3.7 25.26±2.27 26.1±6 0.236
TB (cm) 127.7±4.9 128.49±4.6 127.57±6.7 128.85±4.69 129.3±6 0.273
Perempuan (Sebelum Perlakuan)
Umur (bl) 125.56±6.5 122.1±4.05 125.56±6.5 128±8.2 125.3±7.9 0.176
BB (kg) 27.1±4.82 28.43±3.68 27.1±4.8 27.04±5.47 26.26±3.6 0.257
TB (cm) 131.1±7.66 132±5.72 131.1±7.6 130.98±7.4 129.3±6 0.175
Laki-laki dan Perempuan (Sebelum Perlakuan)
Umur (bl) 126.09±6.5 120.65±3.8 123.5±10.1 128.8±8.45 125.3±7.9 0.510
BB (kg) 26.5±4.2 26.6±3.5 25.7±2.2 25.95±3.86 26.3±3.7 0.454
TB (cm) 129.3±6 130.1±5.3 128.1±4.2 129.68±5.87 129.3±6.0 0.175
Stat
us G
izi (
%)
Tabel 36 menunjukkan bahwa sebelum perlakuan tidak ada perbedaan
yang nyata (p>0.05) antara umur, berat badan, dan tinggi badan anak usia 9-12
tahun yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI. Namun setelah
dilakukan intervensi gizi dengan suplementasi selenium dan iodium terjadi
perbedaan yang nyata (p<0.01) antara berat badan, dan tinggi badan anak
menurut kelompok perlakuan (Tabel 37).
Tabel 37 Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan
(Sesudah Perlakuan) Karakteristik Se+I I Se Plasebo/PL Rata2
Total p
Laki-laki (Sesudah Perlakuan)
Umur (bl) 128±11.6 123.45±3.3 129.59±6.7 131.9±8.8 123.72±9 0.015
BB (kg) 27.47±2.4 26.47±2.8 28.05±3.74 25.91±2.32 27.66±3.72 0.013
TB (cm) 129.63±5 130.03±4.8 129.63±6.6 130.17±4.6 129.86±5.3 0.013
Perempuan (Sesudah Perlakuan)
Umur (bl) 128.56±6.5 125.1±4.05 129.56±6.5 133±8.2 128.8±7.9 0.015
BB (kg) 26.91±2.1 29.81±3.9 29±4.72 27.85±5.3 28.53±4.38 0.013
TB (cm) 130.33±3.2 133.49±5.6 133.22±7.6 130.18±4.6 131.1±5.97 0.013
Laki-laki dan Perempuan (Sesudah Perlakuan)
Umur (bl) 129.09±6.5 123.7±3.8 126.8±10.1 131.88±8.7 128.8±7.9 0.007
BB (kg) 28.5±4.3 27.97±3.6 27.36±2.4 26.66±3.9 27.66±3.8 0.048
TB (cm) 131.3±7.1 131.6±5.3 129.9±4.3 130.96±5.8 131.5±6.1 0.016
Gambar 27 Pelaksanaan Pengukuran Antropometri Anak di Daerah Endemik GAKI
Tabel 38 Prevalensi Underweight menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan
Sebelum dan Sesudah Suplementasi Laki-laki (L) Perempuan (P) L + P Jenis Perlakuan n % n % n %
Sebelum Perlakuan
Plasebo (PL) 13 23.2 6 10.71 19 33.93 Se 8 14.28 6 10.71 14 25 I 6 10.71 7 12.5 13 23.21 Se+I 8 14.28 2 3.57 10 17.86 Total 35 62.5 21 37.5 56 100 Sesudah Perlakuan
Plasebo (PL) 11 19.64 2 3.57 13 23.21 Se - - - - - - I - - 1 1.78 1 1.78 Se+I - - 1 1.78 1 1.78 Total 11 19.64 4 7.14 15 26.78
Tabel 39 Prevalensi Stunted menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan Sebelum dan Sesudah Suplementasi
Laki-laki (L) Perempuan (P) L + P Jenis Perlakuan n % n % n %
Sebelum Perlakuan
Plasebo (PL) 12 22.22 4 7.4 14 25.92 Se 11 20.37 7 12.96 18 33.33 I 10 18.52 9 16.67 19 35.18 Se+I 9 16.67 2 3.7 11 20.37 Total 32 59.26 22 40.74 54 100 Sesudah Perlakuan
Plasebo (PL) 8 14.81 4 7.41 12 22.22 Se 2 3.7 - - 2 3.7 I 1 1.85 1 1.85 2 3.7 Se+I 1 1.85 - - 1 1.85 Total 12 22.22 5 9.26 17 31.48
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak
Berdasarkan hasil wawancara dengan sebagian ibu siswa didapatkan
keterangan bahwa anak usia 9-12 tahun yang masih sekolah di desa Wonodoyo
dan Jombong umumnya memiliki kebiasaan makan 2-3 kali sehari dengan menu
gizi yang kurang seimbang karena sangat tergantung bahan makanan yang
tersedia di pasar atau di kebun. Biasanya mereka makan makanan dari sumber
energi dan protein seperti nasi, umbi-umbian, tempe, tahu, dan susu.
Kebanyakan sayur yang dikonsumsi banyak mengandung goitrogenik seperti
kobis, kembang kol, sawi, melinjo, daun + umbi singkong, gaplek, gadung,
rebung, daun ketela, dan kecipir. Adapun contoh menu makanan anak dengan
energi 2000 Kalori, 1700 Kalori dan 1400 Kalori dapat dilihat pada Lampiran 4.
Selanjutnya tingkat kecukupan zat gizi makro dan mikro (Tabel 40)
Tabel 40 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak di Daerah Endemik GAKI menurut AKG (2004)
Zat gizi Makanan jajanan
Sarapan Makan siang
makan malam
Total zat gizi/hari
AKG % AKG
Energi (Kal) 83-488 362.2 562.3 608.2 1013.5-1418.5 1800 78.81 Karbohidrat (g)
17 – 65.8 38.3 79.4 72.7 207.4- 256.2 180 142.3
Protein (g) 4 – 10.9 5.3 9.2 9.4 27.9- 34.8 45 77.33 Lemak (g) 20.5– 27.9 6.1 9.5 4.2 40.3- 47.7 360 13.25 Vitamin A (ug)
591–674.5 38.7 163.1 201.3 993.8-1077.6 500 215.5
Vitamin C (mg)
15.4-23.2 4.3 13 15.5 48.2-56 45 124.4
Ca (mg) 47.2-289.4 75 70.3 65.6 258.1-500.3 600 83.38 Fe (mg) 2 –5.2 2.1 3.2 1.6 9 – 10.1 10 101 Zn (mg) 0.7 –2.3 0.8 1.2 2.3 5 – 6.6 8 78.93 Iodium (ug) 2.06 -2.37 3.1 3.2 3.2 11.56 – 11.87 120 9.89 Selenium (ug)
0.65 - 0.9 0.9 1.9 9.5 12.95 – 13.36 20 66.8
Hasil Pengukuran Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan
Pengukuran lingkar lidah belum banyak dilakukan, untuk itu peneliti
banyak konsultasi dengan para pakar ilmu penyakit dalam RSUD. Moewardi
Surakarta untuk mendapatkan data lingkar lidah yang paling tepat dan tidak
bersifat invasif untuk anak sekolah dasar. Adapun metode pengukurannya yaitu :
Anak harus mampu mengucapkan ’A’ dengan keras dan dilanjutkan
menjulurkan lidahnya selama 15 detik.
Pengukuran pada anak dilakukan sambil duduk (saling menghadap antara
pengukur dan yang diukur)
Pengukuran dilakukan tiga kali kemudian data yang dipakai adalah hasil dari
rata-rata pengukuran tiga kali tersebut (A1 + A2 + A3 dibagi 3)
Semua alat ukur yang digunakan bersifat ’disposible’ sehingga hanya dapat
dipakai satu kali pengukuran dan langsung dibuang /dibakar. Hal ini untuk
mencegah diambil anak guna mainan yang dapat menyebabkan penularan
penyakit tertentu. Pengukuran lingkar lidah dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Pengukuran Lingkar Lidah pada Anak Penderita GAKI
Salah satu tanda khas kretin adalah terjadinya penebalan dan pembesaran
volume lidah. Sebelum perlakuan kejadian anak di daerah endemik GAKI yang
sudah mengalami penebalan lidah ada 53% dan sesudah penelitian tidak ada
perbaikan bahkan jumlahnya mengalami kenaikan menjadi 72.2% (Tabel 41).
Umumnya anak yang memiliki lidah tebal juga mengalami stunted (53%).
Tabel 41 Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan
Lingkar Lidah Anak Penderita GAKI
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Tebal Normal Tebal Normal
Total
Kelompok Perlakuan
n % n % n % n % n %
A: Se+I 9 7.8 9 7.8 14 12.2 4 3.5 18 15.65
B : I 24 20.9 11 9.6 28 23.9 7 6.1 35 30.43
C: Se 15 13.1 19 16.5 22 19.1 12 10.4 34 29.56
D:Plasebo/PL 13 11.3 15 13.1 19 16.5 9 7.8 28 24.35
Total 61 53 54 47 83 72.2 32 27.8 115 100
Jumlah tanda kretin hubungannya dengan lingkar lidah anak penderita GAKI
menunjukkan bahwa sebelum perlakuan lingkar lidah anak yang berukuran lebih
besar dari normal terjadi peningkatan prevalensi seiring dengan peningkatan
jumlah tanda khas kretin (6-10) dan untuk 11 jumlah tanda khas kretin ada
penurunan prevalensi pembesaran lingkar lidah. Hal ini disebabkan keterbatasan
jumlah sampel sehingga ada kemungkinan bila jumlah sampel lebih banyak maka
jumlah tanda khas kretin pada anak penderita GAKI juga akan semakin bervariasi
(Tabel 42).
Tabel 42 Lingkar Lidah Anak menurut Jumlah Tanda Kretin
Lingkar Lidah Anak Penderita GAKI
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Tebal Baik Tebal Baik
Total
Jumlah Tanda Khas Kretin n % n % n % n % n %
Ada 6 8 6.9 9 7.8 12 10.4 5 4.3 17 14.74 Ada 7 11 9.6 14 12.2 14 12.2 11 9.6 25 21.74 Ada 8 8 6.9 10 8.7 13 11.3 5 4.3 18 15.65 Ada 9 9 7.8 9 7.8 13 11.3 5 4.3 18 15.65 Ada 10 21 18.3 6 5.2 24 20.9 3 2.6 27 23.48 Ada 11 4 3.5 6 5.2 7 6.1 3 2.6 10 8.7 Total
61 53 54 47 83 72.2 32 27.8 115 100
Tabel 43 menunjukkan bahwa sebelum perlakuan jumlah anak penderita
GAKI yang memiliki lingkar lidah lebih tebl dari ukuran lingkar lidah normal
pada anak di daerah non endemik ada 61 anak (53.04%) diantaranya 23 anak
(20.0%) memiliki skor IQ kurang dari 25 yang artinya anak-anak tersebut
mengalami retardasi mental sangat berat-berat. Menurut Djokomoeljanto (2001)
anak dengak dengan retardasi mental berat biasanya berhubungan sangat nyata
dengan defisiensi iodium dan selenium amat berat. Setelah diberi perlakuan ke-
23 anak yang memiliki skor IQ kurang dari 25 dapat menunjukkan perbaikan
skor IQ yaitu mampu mengerjakan soal dengan skor 25-40. Meskipun sudah
mengalamikenaikan skor IQ anak tersebut masih menderita retardasi mental pada
tingkat sedang. Ada dua anak (1.7%) dengan lingkar lidah lebih besar dari
normal yang tadinya memiliki skor IQ antara 25-40 menjadi 55-70 (termasuk
kategori pada garis batas dengan gejala kretin sub-klinik ringan).
Tabel 43 Lingkar Lidah Anak menurut Skor IQ Anak
Lingkar Lidah Anak Penderita GAKI
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Tebal Baik Tebal Baik
Total
Kategori Skor IQ
n % n % n % n % n %
IQ =0-25 (Retardasi mental Berat
23 20 24 20.9 - - - - 47 40.87
IQ = 25-40 (Retardasi mental Sedang)
32 27.83
20 17.4 31 26.7 11 9.6 52 45.22
IQ = 40-55 (Retardasi mental Ringan
6 5.2 10 8.7 50 43.5 17 14.8 16 13.91
IQ=55- 70 (garis batas normal)
- - - - 2 1.7 4 3.5 - -
Total
61 53 54 47 83 72.2 32 27.8 115 100
Tabel 44 Lingkar Lidah Anak menurut Jenis Kelamin
Lingkar Lidah Anak Penderita GAKI
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan Tebal Normal Tebal Normal
Total
Jenis Kelamin
n % n % n % n % n %
Laki-laki 40 34.78 28 24.35 50 43.48 18 15.65 68 59.13
perempuan 21 18.26 26 22.61 33 28.69 14 12.17 47 40.87
Total 61 53.04 54 46.96 83 72.17 32 27.82 115 100
Jumlah tanda khas kretin yang dialami semua individu sebelum diberi
perlakuan dalam penelitian ini berkisar antara 6-11 tanda. Bila dilihat
hubungannya dengan status gizi saat pre-test (p>0.05) menunjukkan bahwa anak
yang memiliki status gizi buruk dengan 6 tanda khas kretin ada 6 anak (5.3%),
dengan 7 tanda khas kretin ada 11 anak (9.7%), selengkapnya dapat dilihat pada
Gambar 29.
0
2
4
6
8
10
12
baik pendek kurang pdk+kr
6tanda7tanda8tanda9tanda10tanda11tanda
jum
lah
anak
(ora
ng)
Sebelum Perlakuan
0
5
10
15
20
25
30
baik pendek kurang pdk+kr
6tanda7tanda8tanda9tanda10tanda11tanda
jum
lah
anak
(ora
ng)
Sesudah Perlakuan
Gambar 29 Jumlah Tanda Khas Kretin dan Status Gizi Anak
Hasil Tes IQ Anak Menurut Kelompok Perlakuan
Hasil analisis uji Ancova menunjukkan bahwa ada perbedaan sangat
nyata (p=0.000) antar kelompok baik sebelum maupun sesudah pemberian
suplemen selenium dan iodium terhadap skor IQ. Sebelum perlakuan anak yang
menderita defisiensi selenium dan iodium sangat berat dengan skor IQ kurang dari
25 pada kelompok pemberian selenium saja ada 47 anak (40.87%), kelompok
pemberian iodium saja ada 17.3%, dan kelompok pemberian Se+Iod ada 8.7%.
Setelah pemberian kapsul selenium dan iodium dosis rendah selama 2 bulan anak
yang menderita defisiensi selenium dan iodium sangat berat sudah tidak
ditemukan lagi. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30 Hasil Analisis Skor IQ menurut Kelompok Perlakuan
Hasil analisis uji pengaruh antar kelompok sangat nyata (p<0.01).
Adjusted R Square = 0.374 (37.4 % skor IQ dapat diperbaiki dengan pemberian
suplemen Se dan Iod). Dalam penelitian ini hasil test IQ pada anak yang memiliki
tanda khas kretin menunjukkan bahwa pada saat pre-test kelompok plasebo tidak
ada anak yang menderita gizi buruk dan defisiensi selenium maupun iodium
sangat berat. Namun setelah perlakuan keadaan berbalik menjadi kelompok
plasebo yang masih memiliki anak dengan kategori retardasi mental ringan atau
menderita defisiensi selenium dan iodium sub-klinik ringan (Tabel 45-46). Selain
itu juga dapat diketahui skor IQ menurut status gizi dan jenis kelamin anak yang
memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI.
0
2
4
6
8
10
12
14
IQ<25 5.3 1.7 7.8 3.5 9.5 3.5 3.5 0
IQ=25-40 8.7 4.3 10.4 3.5 13 5.3 5.3 0.9
IQ=40-55 10.4 4.3 4.3 0 0 5.3 0 0
IQ=55-70 0 7 7.8 3.5 7 4.3 1.7 5.3
IQ=70-85 0 5.3 0 10.4 0 5.3 5.3 7.8
IQ>85 0 1.7 0 9.5 0 6.1 0 1.7
PL(b) PL(s) Se(b) Se(s) I(b) I(s)Se+I (b)
Se+I (s)
Jum
lah
anak
men
urut
Sko
r IQ
(%)
Tabel 45 Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sebelum Perlakuan
Kelompok Perlakuan Skor IQ
Status Gizi Se+I I Se Plasebo/PL
Total
Buruk 6(5.3%) 7(6.1%) 6(5.3%) - 19(16.5%) Kurang - - 1(0.9%) - 1(0.9%) Pendek - 5(4.3%) 4(3.5%) - 9(7.8%)
25-40
Baik 4(3.5%) 8(7%) 6(5.3%) - 18(15.7%) Buruk 4(3.5%) 6(5.3%) 6(5.3%) 5(4.3%) 21(18.3%) Kurang - - 1(0.9%) 3(2.7%) 4(3.5%) Pendek 1(0.9%) 1(0.9%) 2(1.7%) 2(1.7%) 6(5.3%)
40-55
Baik 3(2.7%) 8(7%) 8(7%) 2(1.7%) 21(18.3%) Buruk - - - 9(7.8%) 9(7.8%) Kurang - - - 2(1.7%) 2(1.7%) Pendek - - - - -
55-70
Baik - - - 5(4.3%) 5(4.3%) Total 18(15.7%) 35(30.43%) 34(29.56%) 28(24.3%) 115(100%)
Tabel 46 Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sesudah Perlakuan
Kelompok Perlakuan Skor IQ
Status Gizi Se+I I Se Plasebo/PL
Total
Buruk - - - - - Kurang 1(0.9%) - - - 1(0.9%) Pendek - 1(0.9%) - - 1(0.9%)
25-40
Baik 10(8.7%) 15(13%) 15(13%) - 40(34.78%) Buruk - - - 6(5.3%) 6(5.3%) Kurang - 1(0.9%) - 6(5.3%) 7(6.1%) Pendek 1(0.9%) 1(0.9%) 2(1.7%) 3(2.7%) 7(6.1%)
40-55
Baik 6(5.3%) 12(10.4%) 17(14.8%) 8(7%) 44(41.74%) Buruk - - - 1(0.9%) 1(0.9%) Kurang - - - 2(1.7%) 2(1.7%) Pendek - - - 2(1.7%) 2(1.7%)
55-70
Baik - - - 5(4.3%) 5(4.3%) Total 27(23.5%) 31(26.96%) 34(29.56%) 33(28.96%) 115(100%)
Pengkategorian skor IQ menurut kelompok perlakuan dan status gizi
anak yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI dapat dilihat
pada Tabel 47-48.
Tabel 47 Skor IQ menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin Anak (Sebelum Perlakuan)
Laki-laki (L) Perempuan (P) L + P Kategori Skor IQ Sebelum Perlakuan n % n % n %
IQ<25 (Idiot/Retardasi mental sangat Berat)
Gizi buruk (stunted+underweight)
10 8.7 9 7.8 19 16.5
Gizi kurang (underweight) - - 1 0.9 1 0.9 Pendek (stunted) 9 7.8 9 7.8 18 15.7 Gizi Baik (Normal) 5 4.3 4 3.5 9 7.8 Total 24 20.9 23 20.0 47 40.86 IQ=25-40 (Imbecile/Retardasi mental Sedang)
Gizi buruk (stunted+underweight)
14 12.2 7 6.1 21 18.3
Gizi kurang (underweight) 2 1.7 2 1.7 4 3.5 Pendek (stunted) 5 4.3 1 0.9 6 5.3 Gizi baik (normal) 12 10.4 9 7.8 21 18.3 Total IQ=40-55 (Moron/Retardasi mental Ringan)
Gizi buruk (stunted+underweight)
8 1 1.7 9 7.8
Gizi kurang (underweight) 1 1.7 1 0.9 2 1.7 Pendek (stunted) - - - - - - Gizi Baik (Normal) 2 1.7 3 2.7 5 4.3 Total 11 9.7 5 4.3 16 13.9
Tabel 48 Skor IQ, Status Gizi dan Jenis Kelamin Anak (Sesudah Perlakuan)
Laki-laki (L) Perempuan (P) L + P Kategori Skor IQ Sesudah Perlakuan n % n % n %
IQ=25-40 (Imbecile/Retardasi mental Sedang)
Gizi buruk (stunted+underweight)
- - - - - -
Gizi kurang (underweight) - - 1 0.9 1 0.9 Pendek (stunted) - - 1 0.9 1 0.9 Gizi baik (normal) 20 17.4 20 17.4 40 34.78 Total 20 17.4 22 19.1 42 36.52 IQ=40-55 (Moron /Retardasi mental Ringan)
Gizi buruk (stunted+underweight)
5 4.3 1 0.9 6 5.3
Gizi kurang (underweight) 5 4.3 2 1.7 7 6.1 Pendek (stunted) 5 4.3 2 1.7 7 6.1 Gizi Baik (Normal) 31 26.96 17 14.8 48 41.74 Total 46 40.0 22 19.1 68 59.13 IQ=55-70 (Moron/Garis batas)
Gizi buruk (stunted+underweight)
1 0.9 - - 1 0.9
Gizi kurang (underweight) - - - - - - Pendek (stunted) 1 0.9 1 0.9 2 1.7 Gizi Baik (Normal) - - 2 1.7 2 1.7 Total 2 1.7 3 2.7 5 4.3
Hasil analisis selisih (∆) peningkatan skor IQ pada anak menurut
kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian iodium atau selenium saja
memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan skor IQ anak (Tabel 49).
Tabel 49 Hasil Analisis Uji Beda Selisih (∆) Peningkatan Skor IQ pada Anak
Kelompok Post Test Pre Test ∆ Keterangan
Se+I 35 28.4 6.6a Beda Nyata I 42.5 24.5 18b Tidak Beda Nyata Se 42.5 24.5 18b Beda Nyata Plasebo/PL 35 30.9 4.1b Tidak Beda Nyata
Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium terhadap
Perkembangan Jumlah Tanda Khas Kretin
Spektrum ‘kretin endemik’ pada anak yang lahir di daerah gondok
endemik di Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali ini menunjukkan adanya 6-
11 tanda khas kretin (kurang dapat mendengar, gangguan berjalan sering jatuh,
langkah tidak teratur, motivasi belajar kurang, sulit diajak bicara, sulit
menangkap pembicaraan orang lain, pendek dibanding seusianya, kulit berbintik
/ bercak, ada benjolan di leher, apatis, tidak bersemangat, anemia /pucat, lemah,
malas, muka dan tangan bengkak, lidah membesar, dan mengalami gangguan
pertumbuhan fisik). Adapun hasil pemberian suplemen selenium dan iodium
terhadap perkembangan jumlah tanda khas kretin dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31 Hasil Analisis Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan
Hasil analisis selisih (∆) penurunan jumlah tanda khas kretin pada anak
di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 50.
0
5
10
15
20
25
30
5Tanda
6Tanda
7Tanda
8Tanda
9Tanda
10Tanda
11Tanda
Jum
lah
Tan
da K
has K
retin
Tabel 50 Hasil Analisis ∆ Penurunan Jumlah Tanda Khas Kretin
Kelompok Post Test Pre Test ∆ Keterangan
Se+I 9.5 10.5 -1.0a Tidak Beda Nyata I 8.5 9.5 -1.0a Tidak Beda Nyata Se 6 7.5 -1.5a Tidak Beda Nyata Plasebo/PL 7 8 -1.0a Tidak Beda Nyata
Tabel 51 Hasil Analisis Uji Beda ∆ Antropometri, Skor IQ menurut Kelompok
Perlakuan Variabe
l Kelompok Post Pre ∆ Keterangan
Se+I 27.85 25.76 2.09c I 26.62 24.27 2.93b Se 32.34 29.3 3.04a
BB (kg)
Plasebo/PL 32.96 31 1.96d
a>b>c>d beda sangat nyata (p<0.001)
Se+I 129.8 128.1 1.7b I 135.9 130.4 5.5a Se 127.5 126.1 1.4c
TB (cm)
Plasebo/PL 126.3 125.1 1.2d
a>b>c>d beda sangat nyata (p<0.001)
Se+I 35 28.4 6.6a I 42.5 24.5 18b Se 42.5 24.5 18b
Skor IQ
Plasebo/PL 35 30.9 4.1c
I=Se Tidak beda nyata (p=0.075)
b>a>c (p<0.001)
Se+I 9.5 10.5 -1.0a I 8.5 9.5 -1.0a Se 6 7.5 -1.0a
Jumlah Tanda Khas
Kretin Plasebo/PL 6 8 -1.0a
Tidak berbeda nyata (p>0.05)
Tabel 52 Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Profil Darah Anak Suplemen untuk Peningkatan
Profil Darah Nilai Odd Ratio 95% CI Nilai p
Se 0.31 0.19 – 0.62 0.002 I 0.30 0.11 – 0.72 0.003 Se+I 0.30 0.21 – 0.62 0.001 Plasebo (PL) 0.11 0.11 – 0.72 0.038
Tabel 53 Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Status Gizi Anak Suplemen untuk Peningkatan
Status Gizi Nilai Odd Ratio 95% CI Nilai p
Se 0.44 0.21 – 0.67 0.000 I 0.64 0.51 – 0.87 0.000 Se+I 0.54 0.41 – 0.97 0.001 Plasebo (PL) 0.14 0.11 – 0.87 0.041
PEMBAHASAN 1. Penapisan Sampel
Berdasarkan rumus besar sampel seharusnya jumlah sampel untuk
penelitian intervensi zat gizi selenium dan iodium yang diberikan setiap hari ini
sebesar 206 anak. Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 (44,71%)
Adapun besar sampel dan asal sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 19-20. Jumlah sampel yang mengikuti penelitian intervensi gizi hingga
datanya lengkap dan dapat dianalisis ada 115 anak (55.29%).
Dalam penelitian ini 115 anak kemudian dipastikan menderita kretin
secara patognomonik (memiliki tanda-tanda khas kretinisme) namun belum
sampai pada taraf menderita kretinisme dengan gangguan neuropsikomotorik.
Anak sekolah dasar (SD) dengan tanda khas kretin yang ditengarai dari
gangguan neuropsikomotorik ini kemudian dipelajari dalam penelitian ini.
Tabel 20 menunjukkan bahwa angka partisipasi masyarakat khususnya orang
tua siswa SD untuk mengikuti kegiatan penelitian masih cukup tinggi, yaitu
lebih dari 85%. Ada 15 desa di Kecamatan Cepogo dan yang tercacat sebagai
desa dengan garam beriodium baik sebanyak 10 desa (66.67%). Sepuluh desa
tersebut telah dapat dilakukan monitoring garam setiap satu tahun sekali. Lima
desa lainnya belum dapat dilakukan monitoring garam karena lokasinya yang
sangat jauh dan tinggi mendekati Gunung Merapi dan Gunung Merbabu
sehingga sangat sulit terjangkau kendaraan umum, akibatnya banyak petugas
kesehatan yang kurang berani ambil inisiatif ke desa tersebut.
2. Penapisan Tes IQ
Kemampuan kognitif anak diukur melalui tes IQ untuk mendapatkan
skor IQ yang kemudian dicocokkan dengan kisaran kandungan /kadar selenium
dan iodium dalam plasma darah anak. Tes IQ dilakukan oleh seorang psikolog
dengan menggunakan metode Raven Cognitive Classical. Ada 36 soal yang
disusun pada tiga kolom lembar jawab seperti pada Lampiran 3. Adapun hasil
penapisan tes IQ anak dapat dilihat pada Gambar 14. Selanjutnya hasil
pengkategorian skor IQ dengan kadar selenium dan iodium adalah:
IQ =25-40 (Idiot = Retardasi mental berat) tidak ditemukan (0 %)
IQ =40-55 (Imbecile= Retardasi mental sedang) ada 30 %
IQ =55-70 (Moron = Retardasi mental ringan/dibawah garis) ada 55 %
IQ =50-75 (Dull Normal = di bawah rata-rata) biasanya dengan gangguan
ringan pada perkembangan psikomotor dan pendengaran ada 15 %.
3. Penelitian Epidemiologi
Profil Darah Anak menurut Kelompok Perlakuan
Indikator yang paling umum untuk mengetahui defisiensi berbagai zat gizi
melalui pemeriksaan darah anak di laboratorium adalah pengukuran kadar Hb, Ht,
jumlah dan ukuran sel darah merah (eritrosit), darah putih (leukosit), kadar
berbagai zat gizi penting seperti I, Se, Fe, Zn, serta Ca. Penelitian ini menganalisis
darah secara menyeluruh yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan kondisi
kesehatan dan status gizi seseorang. Oleh karena itu pemeriksaan darah yang
dilakukan tanpa puasa terlebih dulu (sesaat/sewaktu) sering disebut sebagai
pemeriksaan darah rutin. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam penelitian ini
selanjutnya disebut profil darah. Dalam penelitian ditemukan kadar Hb anak
paling rendah 11.50 g/dl dan paling tinggi mencapai 17.10 g/dl sehingga rata-rata
kadar Hb 14.1 dengan standar deviasi sebesar 0.814. Sepintas tidak ditemukan
penderita anemia, namun bila dilihat jumlah eritrosit sebelum pemberian
suplemen selenium dan iodium ternyata kadar eritrosit minimum 4.23 dan
maksimum 6.64 (Tabel 21). Hal ini disebabkan tingginya VO2max individu
yang tinggal di pegunungan, yang umumnya mereka sering berjalan kaki naik atau
turun lereng gunung. Kenaikan kadar hematokrit (Ht) belum disertai dengan
profil darah lainnya secara nyata dan pada penelitian ini adalah rataan konsentrasi
Hb dan Ht antar kelompok tidak berbeda nyata.
Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa manfaat pemberian
suplemen selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan ternyata mampu
memperbaiki profil darah anak penderita GAKI. Secara umum anak penderita
GAKI di daerah endemik di Boyolali tidak ada masalah dengan anemia gizi besi
karena kadar Hemoglobin (Hb)nya hampir semua tinggi (11.50 – 17.10 g/dl).
Namun bila dilihat hasil pemeriksaan jenis anemia dengan metode penghitungan
indeks mean corpuscular volume (MCV) ternyata sebelum perlakuan ada 31%
penderita anemia jenis mikrositik dan makrositik, tetapi setelah diberi suplemen
jumlah penderita anemia mikrositik/makrositik menurut MCV ini tinggal 16%.
Penghitungan dengan metode mean corpuscular hemoglobin (MCH)
menunjukkan hasil bahwa prevalensi jenis anemia mikrositik pada awal penelitian
ada 20% dan setelah pemberian suplemen jumlah individu yang menderita anemia
jenis MCH menjadi 7%. Penghitungan menggunakan mean corpuscular
hemoglobin concentration (MCHC) menunjukkan bahwa ditemukan 34% anak
penderita anemia jenis hipokromik, kemudian setelah pemberian suplemen maka
menurun menjadi 18%.
Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa kadar Hb anak dengan 6-
11 petanda kretin yang hidupnya di pegunungan adalah normal (11.5-17.1 g/dl)
namun prevalensi total anemia mikrositik maupun makrositik menurut kadar
hematokrit ada 14% pada awal penelitian, dan setelah diberi perlakuan maka
penderita anemia jenis mikrositik tinggal 3.5% dan lainnya sudah normal, yaitu
memiliki bentuk sel monositik 96.5%. Studi suplementasi selenium terhadap anak
penderita GAKI di Schotlandia menunjukkan bahwa status anemia anak
berhubungan dengan status selenium dan iodium (Brown, et al. 2003).
Status anemia berdasarkan kadar hematokrit juga memiliki pola yang
hampir sama dengan hemoglobin yaitu rata-rata kadar hematokrit setelah
perlakuan menunjukkan perbaikan yang sangat nyata yaitu menjadi 32.99% -
49.8%. Prevalensi anemia pada anak penderita GAKI dengan tanda khas kretin
berdasarkan hematokrit saat awal penelitian ada 14% dan setelah pemberian
suplemen selenium dan iodium menjadi 3.5%. Selanjutnya menurut kelompok
perlakuan perubahan profil darah MCV dapat dilihat pada Gambar 20.
Pada Gambar 21 dapat diketahui bahwa kelompok perlakuan dengan
pemberian plasebo ternyata tetap terjadi perbaikan profil darah MCH yaitu
sebelum perlakuan tidak ada yang monositik tetapi setelah perlakuan ada 3.5%
anak berstatus monositik. Dengan demikian ada 6.1 % (plasebo), 9.6% (Se), 9.6%
(I), dan 26% (Se+I) yang menderita anemia mikrositik. Menurut WHO (1994) hal
ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih
lebih dari 5%. Analisis perhitungan selisih persentase dari post test dan pre test
untuk variable MCV (Tabel 22 dan Tabel 25). Analisis perhitungan selisih
persentase dari post test dan pre test untuk variable MCH pada Tabel 22 dan
Tabel 26. Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian
suplemen dapat disimpulkan sementara bahwa pemberian suplemen selenium 45
µg/hari atau Se+I dapat menyembuhkan anemia mikrositik hiperkromik menjadi
sehat (monositik monokromik)
Gambar 22 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian
plasebo ternyata hampir sama dengan yang terjadi pada profil darah MCHC, yaitu
tidak dapat memperbaiki profil darah anak karena tidak ada zat gizi untuk
perbaikan hematokrit, eritrosit dan leukosit. Akibatnya anak yang menderita
anemia hipokromik masih ada 4 anak dari 28 anak yang termasuk kelompok
plasebo (14.3%). Namun dilihat secara keseluruhan sampel maka pemberian
suplemen selenium dan iodium sangat bermanfaat bagi perbaikan profil darah
khususnya untuk penyembuhan anemia hipokromik. Selisih persentase dari post
test dan pre test untuk variable MCHC (Tabel 27)
Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian suplemen
dapat disimpulkan bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dapat
mengkoreksi anemia hiperkromik menjadi sehat (monokromik) sebesar 11%,
sementara iodium saja hanya dapat 0.8% dan interaksi selenium+iodium 5.3%
saja. Sementara pada kelompok plasebo terjadi perbaikan status anemia 6%
mungkin disebabkan faktor pemberian obat cacing Albendazole 400 mg.
Ada beberapa penjelasan tentang mengapa seseorang dilihat dari kadar
Hbnya tidak termasuk anemia tetapi setelah dilihat dari kadar MCV, MCH atau
MCHC ternyata menderita anemia jenis mikrositik hiperkromik atau makrositik
hipokromik yang banyak terjadi pada individu yang tinggal di daerah endemik
GAKI. Adapun penjelasan mengapa kadar Hb kurang peka pada tahap awal
kekurangan zat besi, karena metode ini memiliki kelemahan antara lain :
a. Nilai Hb yang rendah tidak spesifik untuk defisiensi besi. Defisiensi gizi lain,
gangguan genetik dan infeksi dapat menyebabkan penurunan kadar Hb.
b. Kadar Hb yang rendah menunjukan stadium akhir defisiensi besi sehingga
tidak sensitif untuk deteksi dini defisiensi besi
c. Kadar Hb tergantung usia, jenis kelamin, dan ras.
d. Kadar Hb bervariasi tergantung berbagai faktor, yaitu merokok, bertempat
tinggal di daerah tinggi (pegunungan).
Namun demikian, kadar Hb tetap berguna untuk mengetahui beratnya
anemia untuk semua golongan usia, jenis kelamin, dan ras. Kandungan besi
serum merupakan ukuran jumlah atom besi yang terikat pada transferin. Besi
serum meningkat pada anak yang mengalami gangguan thalassemia,
hemokromatosis, penyakit hati, leukemia akut, keracunan logam berat, penyakit
ginjal, dan injeksi besi intramuskuler. Kadar besi serum menurun pada anemia
defisiensi besi, kehilangan darah kronis, penyakit kronis (lupus, rheumatoid
arthritis), menstruasi berlebihan (Frey, 2002). Eritropoesis terjadi karena
penurunan kadar zat besi dalam feritin yang disimpan pada hepar, lien, dan
sumsum tulang. Eritropoesis produksi sel darah merah itu dinamis dalam waktu
yang cepat dan didaur ulang 0.8-1 % per hari. Artinya pada kondisi normal (sehat)
eritrosit akan seimbang antara sel yang rusak dan yang baru. Pada saat tubuh
kehilangan banyak darah, terjadi peningkatan kapasitas kebutuhan oksigen
sebagai respon cepatnya proliferatif.
Eritrosit dapat berubah bentuk dan merupakan sel tanpa inti serta
bikonkaf. Eritrosit paling banyak ditemukan di antara keseluruhan sel darah.
Sewaktu darah disentrifus maka akan terpisahkan komponen plasma dan seluler,
yang bagian sel darah merahnya sekitar 45% dari volume total, ini merupakan
“volume pacaked cell” atau hematokrit. Eritrosit merupakan sel pembawa oksigen
karena banyak mengandung hemoglobin. Sel membran tersusun atas dua lapis
fosfolipid denganprotein integral. Bentuk sel dipertahankan oleh struktur protein
yang membentuk sitoskeleton. Sistem enzim melindungi hemoglobin dari eksidasi
yang ireversibel. Eritrosit yang matang tidak mempunyai material inti, sehingga
protein baru tidak dapat disintesis. Fungsi eritrosit adalah untuk transpot oksigen.
Kira-kira 44% dari butir darah adalah sel darah merah, bentuknya bundar, pipih
dan di tengahnya cekung, dengan garis tengah 7,5 μm (Underwood, 2002).
Dalam penelitian ini jumlah eritrosit (106/ul) sebelum perlakuan
pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah adalah 4.18 – 6.44
dan sesudahnya berkisar 4.18 – 6.64 dengan nilai rujukan 4.2 – 5.2 106/ul.
Prevalensi kelainan eritrosit pada anak di daerah endemik GAKI ini tidak berbeda
nyata (p>0.05) antara sebelum dan sesudah perlakuan (dari 14.63% menjadi
3.5%). Penurunan sel darah merah dan penurunan aktivitas eritropoesis adalah
hasil dari penurunan metabolisme jaringan yang berhubungan dengan peranan zat
besi sebagai kofaktor esensial metabolik. Sementara peranan selenium sebagai
antioksidan sangat berpengaruh pada penstabilan metabolisme jaringan. Menurut
WHO (1996) kejadian /kasus kesehatan yang besar prevalensinya kurang dari 5%
bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditangani secara
nasional. Namun cukup ditanggulangi secara wilayah melalui program kesehatan
kabupaten dengan koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten bagi keluarga tidak
mampu, sedangkan untuk keluarga mampu tentunya dapat berobat secara mandiri
ke rumah sakit.
Review oleh West et al. (2007) nilai Odd Ratio (OR) suplementasi
vitamin A terhadap anemia sebesar 0.5. Nilai OR suplementasi besi dan asam
folat terhadap anemia sebesar 0.2 namun dengan kombinasi besi, folat dan
vitamin A dapat lebih menurunkan peluang kejadian anemia (OR=0.1).
Sebaliknya hasil penelitian ini dengan pemberian suplemen Se 45 μg/hari selama
2 bulan dapat menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik
(OR=0.1). Sementra hasil pemberian I sebanyak 50 μg/hari selama 2 bulan dapat
menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2)
namun dengan kombinasi Se+I selama 2 bulan tidak dapat lebih menurunkan
peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2).
Kadar eritrosit anak di daerah endemik GAKI ini sangat signifikan
pengaruhnya terhadap kadar MCV (p<0.001). Akibatnya ada 66% anak
menderita jenis anemia mikrositik yaitu anemia yang diklasifikasikan
berdasarkan ukuran eritrosit (MCV). Klasifikasi ini mempunyai nilai diagnosis
yang tinggi pada sebagian besar jenis anemia yang sering ditemukan pada
masyarakat yang tinggal di daerah pengunungan (tempat yang tinggi). Informasi
selanjutnya dari diagnosis diperoleh dari pemeriksaan morfologi eritrosit.
Penyakit pada darah sering diperlihatkan dengan bertambahnya ukuran eritrosit
yang bermacam-macam, antara lain anisositosis dan terdapatnya eritrosit yang
mempunyai bentuk yang bermacam-macam (poikilositosis). Meningkatnya
anisositosis dan poikilositosis eritrosit merupakan kelainan yang spesifik
ditemukan pada berbagai gangguan hematologis dan gangguan sistemik gizi
metabolik (Tierny et al. 2003). Hasil analisis pemberian suplemen selenium dan
iodium dosis rendah selama dua bulan terhadap status eritrosit pada anak
penderita GAKI yang memiliki tanda khas kretin dapat dilihat pada Gambar 28.
Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen
selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata
mampu memperbaiki jumlah eritrosit dari gangguan kurang eritrosit hingga
menjadi normal yaitu 4.2 -5.2 (106/ul). Sementara kelompok plasebo masih ada
3.5% dari total sampel yang menderita gangguan kurang eritrosit. Kalau dihitung
menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo selama 2
bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita gangguan kurang eritrosit.
Selanjutnya hasil analisis uji beda antar kelompok menurut selisih hasil perbaikan
profil eritrosit sesudah dan sebelum perlakuan berbeda sangat nyata (p<0.001).
Menurut Semba (2007) saat ini sudah diketahui bahwa sirkulasi kadar
selenium yang rendah sangat erat hubungannya dengan kasus kejadian anemia
pada orang dewasa. Selenium juga memiliki kontribusi pada pasien yang
mengalami dialisis, pasien TBC. Meskipun hubungan anemia dan difisiensi
selenium sudah diketahui, namun tanda /gejala defisiensi selenium yang spesifik
belum ada kesepakatan para ahli. Hal ini masih menimbulkan pertanyaan di
bidang pathogenesis anemia, tentang apakah kejadian anemia menyebabkan
defisiensi selenium, atau sebaliknya defisiensi selenium akan menyebabkan
terjadinya anemia.
Dalam penelitian ini terjadinya anemia dapat dijelaskan dari terganggunya
sistem imun tubuh yang disebabkan oleh stress oksidatif. Stress oksidatif adalah
keadaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh. Pada
kondisi ini, aktivitas molekul radikal bebas atau spesies oksigen reaktif (SOR)
dapat menimbulkan kerusakan seluler dan genetika. Pembawa radikal bebas dan
SOR yang dominan berasal dari makanan dan minuman yang kita konsumsi.
Gambar 28 menunjukkan bahwa dengan pemberian selenium dapat
memperbaiki jumlah sel eritrosit. Hal ini dapat dijelaskan dari potensi mekanisme
biologi peran selenium dalam mencegah terjadinya anemia, yaitu selenium
sebagai antioksidan utama yang berupa selenoenzyme pada eritrosit. Sehingga sel
eritrosit tetap mampu bertahan hidup normal sampai 120 hari. Selain itu
mekanisme lain menunjukkan bahwa selenium mampu menurunkan kejadian
inflamasi dan stres oksidatif. Sistem antioksidan tubuh sebagai mekanisme
perlindungan terhadap serangan radikal bebas, secara alami telah ada dalam tubuh
kita. Berdasarkan asal terbentuknya, antioksidan ini dibedakan menjadi dua yakni
intraseluler (di dalam sel) dan ekstraseluler (di luar sel) atau pun dari makanan.
Salah satu zat gizi yang merupakan antioksidan adalah selenium (Se). Selenium
memiliki beberapa fungsi, fungsi fisiologis selenium diantaranya sebagai
antioksidan dan antikarsinogen (WHO, 1996).
Hasil analisis ∆ peningkatan jumlah eritrosit pada anak di daerah endemik
GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian
iodium 50 µg/hari + selenium 45 µg/hari memiliki pengaruh terbaik untuk
meningkatkan jumlah eritrosit anak. Tabel 22 menunjukkan bahwa pemberian
Se+I selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan jumlah eritrosit sebanyak 2.11
(106/ul). Jumlah eritrosit normal untuk anak usia 9-12 tahun adalah 4.8 (106/ul).
Sebelum penelitian ini rata-rata semua anak memiliki jumlah eritrosit sebesar 3.88
(106/ul) artinya perlu peningkatan eritrosit sebesar 0.92 (106/ul).
Seperti halnya dengan hasil kadar eritrosit, maka dalam penelitian ini
jumlah leukosit (103/ul) sebelum perlakuan pemberian suplemen kapsul selenium
dan iodium dosis rendah adalah 4.04 – 7.57 dan sesudahnya berkisar 6.04 – 9.8
dengan nilai rujukan 4.5 – 14.5 103/ul. Berdasarkan hasil analisis dengan
menggunakan Ancova dapat dikatakan bahwa prevalensi leukopenia pada anak di
daerah endemik GAKI ini sangat berbeda nyata (p<0.001) antara sebelum dan
sesudah perlakuan (dari 20.43% menjadi 3.5%). Selanjutnya manfaat intervensi
selenium dan iodium terhadap kadar leukosit selain meningkatkan imunitas anak
juga dapat menurunkan berbagai jenis keluhan kesakitan. Secara kualitatif anak
yang tadinya mengaku sering pusing dan cepat lelah setelah sekolah menjadi tidak
merasakan adanya keluhan tersebut setelah dua bulan minum suplemen Se dan I.
Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen
selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata
mampu memperbaiki jumlah leukosit dari leukopenia (jumlah leukosit kurang dari
normal) hingga menjadi normal yaitu 4.5 – 14.5 (103/ul). Sementara kelompok
plasebo masih ada 3.5% dari total sampel yang menderita leukopenia. Jadi kalau
dihitung menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo
selama 2 bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita leukopenia. Dengan
demikian cocok seperti dengan teori penyakit darah bahwa satu komponen darah
mengalami gangguan maka komponen lainnya akan segera mengatasi gangguan
yang timbul. Dalam penelitian ini anak yang mengalami gangguan kekurangan
eritrosit ternyata juga mengalami gangguan leukopenia dan semuanya terjadi pada
kelompok plasebo.
Hasil analisis ∆ peningkatan jumlah leukosit pada anak di daerah endemik
GAKI menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45
µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan jumlah leukosit anak.
Tabel 24 menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan
sudah dapat meningkatkan jumlah leukosit sebesar 1.99 (103/ul). Dalam
penelitian ini sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium jumlah
leukosit anak berkisar 4.04-7.57 (103/ul) dan setelah perlakuan menjadi 6.04 –
9.80 (103/ul) dengan prevalensi leukopenia sebesar 5.43% artinya sudah menjadi
masalah kesehatan masyarakat di daerah endemik GAKI. Dengan demikian
masalah leukopenia pada anak usia 9-12 tahun ternyata dapat diatasi dengan
pemberian selenium 45 µg/hari.
Kadar Selenium dan Iodium Plasma Menurut Kelompok Perlakuan
Tabel 28 menunjukkan bahwa defisiensi selenium pada awal penelitian
sangat tinggi (97.4%) berbeda sangat nyata dengan setelah diberi perlakuan
suplemen kapsul selenium menjadi 3.5% (p=0.000). Begitu pula halnya dengan
hasil pemeriksaan kadar iodium sebelum pemberian suplemen ada 81.7% anak
yang menderita defisiensi iodium berbeda sangat nyata dengan setelah perlakuan
dengan pemberian suplemen iodium selama dua bulan turun menjadi 13 %
(p<0.001).
Kalau dianalisis lebih lanjut semua kelompok perlakuan baik yang diberi
suplemen selenium+iodium, selenium saja, atau kelompok iodium saja ternyata
anak yang tadinya menderita defisiensi selenium dan iodium menjadi sehat
semua. Namun kelompok plasebo juga mengalami perbaikan profil darah
mungkin disebabkan konsumsi air kemasan yang bersih dan sehat yang disediakan
oleh peneliti. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kebersihan air minum sangat
menentukan keberhasilan program pemberian kapsul suplemen pada anak sekolah
dasar yang biasanya mengkonsumsi air kurang sehat. Pada kelompok perlakuan
selenium dengan pemberian kapsul plasebo masih ada 3.5% yang menderita
defisiensi selenium. Setelah dianalisis lebih lanjut ternyata empat anak tersebut
ada kaitannya dengan kasus empat anak yang memiliki kelainan sel eritrosit
(3.5%). Hasil analisis kadar selenium dan iodium menurut kelompok perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 22 dan Tabel 33.
Berdasarkan Tabel 32-33 dapat diketahui bahwa sebenarnya manfaat
pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah pada anak di
daerah endemik GAKI sangat nyata untuk perbaikan profil darah supaya tidak
defisien terhadap zat gizi selenium maupun iodium pada masa pertumbuhan
cepatnya. Hasil penelitian Brown, et.al (2003) menunjukkan bahwa pemberian
suplemen selenium saja pada anak di daerah endemik GAKI di Skotlandia selama
28 hari mampu memperbaiki profil darah anak penderita anemia jenis mikrositik.
Berdasarkan hasil perhitungan selisih persentase perubahan status kadar selenium
pada anak yang menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin dapat
disimpulkan sementara bahwa kelompok perlakuan Se 45 µg/hari saja atau Se+I
selama dua bulan adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi selenium. Hasil
perhitungan selisih persentase perubahan status kadar iodium pada anak yang
menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin tersebut dapat disimpulkan bahwa
kelompok perlakuan selenium 45 µg/hari + Iodium 50 µg/hari selama dua bulan
adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi iodium (Tabel 33).
Tabel 31 dan 32 menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin baik pada
kondisi sebelum dan sesudah diberi perlakuan terdapat perbedaan yang nyata
antara kadar iodium dan selenium dalam plasma darah anak laki-laki dan
perempuan. Hal ini sesuai dengan teori masa pertumbuhan cepat antara laki-laki
dan perempuan diawali pada usia 9-12 tahun. Dalam penelitian ini semua sampel
juga berumur antara 9-12 tahun, sehingga anak laki-laki dan perempuan dengan
kondisi yang sama saat awal penelitian ternyata juga menunjukkan kebutuhan zat
gizi selenium dan iodium yang sama untuk pertumbuhan cepat kedua.
Hasil analisis ∆ peningkatan kadar iodium plasma pada anak di daerah
endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa
pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk
meningkatkan kadar iodium plasma anak. Hal ini ada kaitannya dengan tingkat
defisiensi iodium (81.7%) pada awal penelitian yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan defisiensi selenium (97.4%). Berdasarkan Tabel 33 dapat
diketahui bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat
meningkatkan kadar iodium plasma sebesar 1.35 ppm. Dalam penelitian ini
sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium kadar iodium plasma
anak berkisar 1.35 – 4.10 ppm dan setelah perlakuan menjadi 3.52 – 6.27 ppm
dengan prevalensi sebelum intervensi defisiensi iodium sebesar 81.7%, setelah
perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan prevalensi
defisiensi iodium turun menjadi 13% (p<0.001). Dengan demikian masalah
defisiensi iodium dikalangan anak SD dapat pula diatasi dengan pemberian
selenium 45 µg/hari saja.
Hasil analisis ∆ peningkatan kadar selenium plasma pada anak di daerah
endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa
pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk
meningkatkan kadar selenium plasma anak. Tabel 33 menunjukkan bahwa
pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan kadar
selenium plasma sebesar 2.76 ppm. Sebelum dilakukan intervensi suplemen
selenium dan iodium kadar selenium plasma anak berkisar 0.4-1.28 ppm dan
setelah perlakuan menjadi 1.09 – 3.99 ppm dengan cut off point kadar rujukan 1.1-
6.1 ppm, sehingga prevalensi defisiensi selenium ada 97.4% sebelum intervensi
dan setelah perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan
prevalensi defisiensi iodium turun menjadi 3.5% itupun pada kelompok plasebo
(p=0.000). Dengan demikian masalah defisiensi selenium dan iodium dikalangan
anak SD dapat diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari saja.
Faktor yang Mempengaruhi Respon Profil Darah
Tabel 22 menunjukkan bahwa respon hemoglobin (Hb) pada semua
kelompok suplemen nyata (p<0.05) kecuali pada kelompok plasebo (p>0.05).
Sementara respon hematokrit (Ht) justru pada kelompok suplemen iodium yang
tidak nyata (p>0.05). Namun demikian, perbaikan profil eritrosit sangat nyata
pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo (p<0.05). Selenium merupakan
komponen esensial enzim glutation peroksidase (GSH-Px). Enzim glutathione
peroxidase (Gambar 1) akan mengkatalisasi penguraian H2O2 dan hidroperoksida
lipid oleh glutathione (GSH) sehingga lipid membran sel menjadi aman dan
oksidasi Hb menjadi MetHb dapat dicegah. Hal ini berarti dengan suplemen
selenium yang bersifat antioksidan dan iodium dapat secara positif mempengaruhi
sel darah merah, baik jumlah maupun umur eritrosit. Respon positif juga
ditemukan pada penelitian pada anak GAKI yang menderita anemia di Skotlandia
(Brown et al. 2003). Peningkatan jumlah Free Erytrocite Protophorphyrin (FEP)
tampak pada tahap pertengahan dan akhir dari defisiensi besi laten.
Dalam penelitian ini anak usia 10-12 tahun yang berstatus gizi
underweight dan stunted+underweight mengalami anemia gizi besi (mikrositik
hiperkromik dan makrositik hipokromik) karena tidak seimbangnya ukuran
eritrosit dan kadar Hb. Anemia gizi besi jenis tersebut biasanya merupakan hasil
akhir dari keseimbangan besi yang negatif dalam jangka waktu lama. Apabila
kadar besi total mulai menurun, sumsum tulang mengalami deplesi. Setelah
cadangan besi habis terjadi penurunan kandungan besi plasma dan suplai besi
pada sumsum tulang tidak mencukupi untuk regenerasi hemoglobin yang normal.
Selanjutnya kalau dilihat kadar leukosit ternyata pada semua kelompok
perlakuan termasuk plasebo berbeda nyata (p<0.05) sehingga individu yang
sebelum perlakuan mengalami leukopenia menjadi berada pada batas normal.
Pada Tabel 56 juga terlihat bahwa tidak ada perbedaan damapk suplemen Se dan I
dibandingka dengan plasebo. Adanya respon positif yang dialami kelompok
plasebo ini disebabkan selama perlakuan mereka juga mengkonsumsi air mineral
yang bersih dan bebas dari E.coli sehingga mereka bebas diare dan kecacingan.
Efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular
Volume (MCV) yang tidak nyata (p>0.05) ini terjadi erat kaitannya dengan
interaksi penyerapan selenium sebagai antioksidan dan iodium yang mencegah
sensitivitas TSH agar tidak meningkatkan stimulasi kelenjar thyroid. Perubahan
MCV akan terjadi bila cadangan besi terkuras habis tetapi kadar hemoglobin
darah masih lebih tinggi dari batas bawah nilai normal (biasanya di daerah
pegunungan). Pada tahap ini terjadi abnormallitas biokimia pada metabolisme besi
yang biasanya bisa dideteksi, terutama penurunan satu rasi transferin. Disamping
itu ada faktor homeostatis untuk keseimbangan profil darah (WHO, 1996).
Dampak pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular
Haemoglobin (MCH) berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok suplemen iodium 50
µg/hari saja, selenium 45 µg/hari saja dan plasebo (Tabel 56). Justru pada
kelompok Se+I tidak nyata (p>0.05). Hal ini disebabkan respon Ht yang rendah
karena faktor ketinggian lokasi disamping rendahnya status gizi. Anak dengan 6-
11 tanda khas kretin yang menderita underweight ini memiliki respon Ht 61 %
lebih rendah (OR=0.43; 95%CI 0.26-0.82; p=0.03) dibandingkan dengan anak
yang memiliki status gizi normal. Begitu juga pada anak yang stunted memiliki
respon Ht 63 % lebih rendah (OR=0.49;95%CI 0.19-0.86; p=0.03) dibandingkan
dengan anak yang tidak stunted.
Pengaruh pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular
Haemoglobin Consentration (MCHC) berbeda nyata (p<0.05) pada semua
kelompok pemberian suplemen selenium dan iodium termasuk plasebo (Tabel
56). Selain disebabkan respon Hb yang rendah karena faktor ketinggian lokasi
juga rendahnya status gizi. Anak dengan tanda khas kretin yang menderita
underweight (48.7%) ini memiliki respon Hb 59 % lebih rendah (OR=0.43;
95%CI 0.26-0.82; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang tidak underweight.
Begitu juga anak yang stunted memiliki respon Hb 69 % lebih rendah (OR=0.41;
95%CI 0.22-0.91; p=0.02) dibandingkan dengan anak yang tidak stunted.
Tabel 22 juga menunjukkan bahwa efek pemberian suplemen Se dan I
terhadap kadar selenium plasma berbeda nyata (p<0.05). Hal ini terjadi erat
kaitannya dengan interaksi penyerapan selenium sebagai antioksidan disamping
respon positif akibat defisiensi selenium yang sudah kronis pada anak. Selain itu
juga disebabkan karena asupan selenium yang rendah dan lingkungan tanah dan
airnya yang sangat kurang mengandung selenium. Menurut Semba (2007) kadar
selenium plasma atau serum tergantung pada usia, semakin muda semakin
cenderung defisiensi dan seiring dengan rendahnya risiko terkena penyakit
degeneratif. Risiko defisiensi selenium terjadi pada orang dewasa yang merokok,
dan pada wanita yang mengalami obes.
Defisiensi selenium berbeda pada setiap manusia, hal ini karena daya
adaptasi setiap orang berbeda satu dengan yang lainnya. Di New Zealand dan
Finland yang merupakan daerah rendah kandungan selenium dalam tanah dan
airnya, asupan selenium dari diet sehari-hari adalah 30ug - 50 ug/hari, bandingkan
dengan asupan di USA dan Canada yaitu 100 ug – 250 ug/hari. Konsentrasi
selenium dalam darah anak-anak di New Zealand lebih rendah dibandingkan
anak-anak yang tinggal dibandingkan dengan negara lainnya. Faktor utama yang
mempengaruhi rendahnya kandungan selenium dalam darah anak-anak di New
Zealand karena intake selenium yang rendah yang juga merupakan gambaran
rendahnya kandungan selenium dalam tanah di New Zealand. Kandungan
Selenium dalam darah bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan
jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. Anak yang menderita
phenylketonuria dan maple syrup urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se
dalam darah (Mc.Kenzie, 1978).
Efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar iodium plasma berbeda
nyata (p<0.05) pada kelompok Se+I dan kelompok Se saja. Pada Tabel 56
terlihat bahwa rata-rata kadar iodium plasma baik pada sebelum dan sesudah tetap
ada yang defisiensi iodium (<3.3 μg/dl) sebanyak 13% (Tabel 49). Faktor
rendahnya respon Se dan I terhadap kadar iodium plasma ini erat hubungannya
dengan rendahnya mutu makanan terutama asupan protein hewani yang mudah
diserap (Semba, 2007).
Hasil analisis regresi biokimia darah menurut kelompok perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 22. Ada kemungkinan kenaikan kadar Hb anak pada kelompok
Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R
kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.77 yang artinya 77%
kenaikan kadar Hb anak dengan tanda khas kretin dipengaruhi oleh pemberian
suplemen selenium dan iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen iodium
saja. Pada kelompok selenium saja dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan
sebesar 0.11 artinya 11% kenaikan kadar Hb anak dipengaruhi oleh pemberian
suplemen selenium saja. Pada kelompok plasebo tidak mengalami kenaikan kadar
Hb justru sebanyak 3 % anak mengalami penurunan.
Tabel 22 menunjukkan bahwa kenaikan kadar Ht anak pada kelompok
Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R
kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.11 yang artinya 11%
kenaikan kadar Ht anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian
suplemen selenium dan iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen
selenium saja dan plasebo. Pada kelompok iodium saja kadar Ht anak tidak
mengalami kenaikan tetapi justru sebanyak 3 % anak mengalami penurunan. Hal
ini kemungkinan berkaitan dengan 2% anak yang mengalami penurunan MCV
pada kelompok pemberian iodium. Pemberian suplemen selenium dan iodium
terhadap MCV tidak berbeda nyata. Hal ini sangat logis karena MCV merupakan
perbandingan antara kadar Ht dengan jumlah eritrosit.
Hasil analisis regresi linier antara kelompok perlakuan dengan kadar MCH
menunjukkan bahwa pada kelompok Iodium diperkuat oleh efek bersih dari
analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R
Square) adalah 0.07 yang artinya 7 % kenaikan status MCH anak di daerah
endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium, sama halnya
dengan yang diberi suplemen selenium saja. Sementara pada kelompok plasebo
jumlah anak yang mengalami penurunan status MCH ada 7 % yang berkaitan
dengan kadar Hb yang tidak mengalami kenaikan sebanyak 3 % anak dan anak
yang memiliki konsentrasi eritrosit rendah ada 14%. Begitu pula dengan kadar
leukosit, kelompok plasebo tidak mengalami perbaikan yang diperkuat oleh efek
bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan
0.14 yang artinya 14 % kenaikan status leukosit pada anak dipengaruhi oleh
pemberian suplemen Se+I, Se saja atau iodium saja.
Efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang
disesuaikan (Adjusted R Square) untuk kadar selenium plasma adalah 0.14 yang
artinya 14 % kenaikan status kadar selenium plasma pada anak dapat dipengaruhi
oleh pemberian suplemen Se+I, Se saja atau iodium saja. Sementara efek bersih
dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan
(Adjusted R Square) untuk kadar iodium plasma adalah 0.29 yang artinya 29 %
kenaikan status iodium plasma pada anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi
oleh pemberian suplemen iodium saja. Pada kelompok Se+I justru mengalami
penurunan 25%, dan kelompok plasebo memiliki efek bersih sebesar 0.29 yang
artinya kenaikan status iodium plasma pada anak tidak dipengaruhi suplemen.
Kemungkinan faktor yang mempengaruhi koreksi kadar iodium plasma adalah
intake energi dan iodium harian, obat cacing sebelum perlakuan dan perilaku
sehat seperti kebiasaan menggunakan sandal/sepatu.
Status Gizi Anak menurut Kelompok Perlakuan
Status gizi adalah hasil interaksi asupan berbagai zat gizi ke dalam tubuh
anak pada saat sebelum dan sesudah intervensi suplemen selenium dan iodium,
yang diukur secara antropometri. Hasil pengukuran antropometri disajikan
dengan Z-skor BB/U dan TB/U berdasar data CDC (WHO, 2000). Anak dikatakan
stunted bila Z-skor TB/U <- 2 SD, termasuk status gizi kurang (underweight) bila
-3 < Z-skor < - 2 SD dan termasuk status gizi buruk (wasting) bila Z-skor < -3
SD. Selanjutnya asupan zat gizi dalam penelitian ini adalah jumlah makanan dan
minuman yang masuk ke dalam tubuh anak yang diterjemahkan ke dalam energi,
protein, lemak dan zat gizi mikro lainnya per hari.
Status Gizi berdasarkan standar CDC (WHO, 2000) menurut Kelompok
Perlakuan
Status gizi antropometri dalam penelitian ini didasarkan pada hasil
pengukuran berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi dianalisis dengan
menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan indeks tinggi badan
menurut umur (TB/U). Berdasarkan hasil perhitungan Z-skor BB/U dengan batas
<-2SD sebagai underweight, maka prevalensi underweight pada anak usia 9-12
tahun yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI ada 48.69%.
Analisis status gizi menurut jenis kelamin (Gambar 25) menunjukkan bahwa
prevalensi underweight anak laki-laki (51.47%) lebih tinggi dari anak perempuan
(44.68 %).
Status gizi anak menurut jenis kelamin dalam penelitian ini tidak dapat
dianalisis menurut gender pathway karena jumlah sampel antara anak laki-laki
dan perempuan berbeda (Gambar 25). Namun demikian dapat diketahui bahwa
respon suplementasi lebih baik pada anak perempuan, yang dapat dibuktikan dari
jumlah anak perempuan dari masing-masing kelompok perlakuan memiliki
perbaikan status gizi yang baik dari pada anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena
laju pertumbuhan anak perempuan usia 9-12 tahun (masa growth sprout II) lebih
cepat dibandingkan dengan anak laki-laki (Tabel 8). Usia 9-12 tahun merupakan
kelompok usia resiko (chacth up periode) terhadap gangguan pertumbuhan jika
tidak mendapatkan cukup asupan zat gizi.
Status gizi (BB/U) menurut kelompok perlakuan pada anak laki-laki di
daerah endemik GAKI sebelum dan sesudah diberi perlakuan ternyata lebih
berisiko kurang gizi dibandingkan anak perempuan. Akan tetapi hal ini perlu
dilihat kecenderungan menderita anemia kronis pada anak perempuan yang
menderita kurang gizi dibandingkan anak laki-laki yang kurang gizi. Respon
perbaikan status gizi anak perempuan lebih baik dibandingkan dengan respon
anak laki-laki. Artinya bila anak perempuan di daerah endemik GAKI selalu
menerima suplemen selenium dan iodium maka harapan untuk dapat menjaga
status gizi baik diukur dari BB/U akan lebih baik dibandingkan dengan respon
anak laki-laki (Tabel 36-37).
Berdasarkan Tabel 36 dan 37 dapat diketahui bahwa respon pemberian
suplemen terhadap status gizi menurut jenis kelamin tidak berbeda nyata antara
anak laki laki dan perempuan (p>0.05). Namun pada saat pre-test ada perbedaan
status gizi menurut jenis kelamin (p<0.05). Artinya jenis kelamin tidak
mempengaruhi respon pemberian suplemen namun status gizi awal (masa lalu)
anak yang berpengaruh terhadap respon pemberian suplemen selenium dan
iodium. Meskipun demikian tetap perlu analisis gender untuk melihat kesetaraan
status gizi, perolehan menu makanan bergizi seimbang, dan kesempatan sekolah
anak laki-laki dan perempuan di daerah endemik GAKI.
Dalam penelitian ini ternyata pemberian Se 45 µg/hari terhadap berat
badan memiliki selisih 3.04 (paling baik). Hal ini dikarenakan bahwa mekanisme
kerja selenium dalam bentuk aktif sodium selenat sangat berperan aktif sebagai
antioksidan, komponen enzim GSH-Px.dan anti karsinogen (IOM, 2000) sehingga
cepat dalam membantu proses penyerapan zat gizi dan sebagai luarannya
kenaikan berat badan anak mudah tercapai. Selain itu alasan yang paling masuk
akal untuk menjelaskan mengapa berat badan anak dapat meningkat sesuai
harapan dalam tujuan penelitian adalah adanya pemberian obat cacing
‘Albendazol 400 mg’ yang dapat membersihkan usus dari telur dan keberadaan
semua jenis cacing. Selanjutnya menurut Semba (2007) menyebutkan bahwa
selenium juga mampu secara langsung mencegah anemia dan semua penyebab
kematian pada manusia karena selenium mampu mengurangi kapasitas
penggunaan oksigen darah yang terjadi pada anak dengan tanda khas kelainan
fisik, dan pada pasien dengan komplikasi jantung.
Peningkatan status gizi terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk
plasebo (1.96 kg), dari kelompok pemberian suplemen kapsul selenium + iodium
yaitu rata-rata penambahan berat-badannya sebesar 2.09 kg. Sementara dilihat
dari tinggi badan maka terjadi peningkatan tinggi badan anak 1.20-3.50 cm
selama 4 bulan pengamatan (Tabel 34). Terjadinya peningkatan tinggi badan
setelah pemberian suplemen Se+I (∆=1.7) pemberian iodium 50 µg/hari (∆=3.5)
pemberian Se 45 µg/hari (∆=1.4), dan Plasebo (∆=1.2) menunjukkan bahwa anak
usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin masih tetap dapat tumbuh tinggi
meskipun tanpa pemberian suplemen. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 34.
Pemberian iodium memiliki pengaruh terbaik terhadap tinggi badan (p=0.00). Hal
ini mirip dengan beberapa hasil penelitian dengan pemberian suplemen zinc 35–
40 mg/hari (Black, 2003) yang menunjukkan bahwa peningkatan tinggi badan
sebagai cermin status gizi masa lalu dapat dikoreksi seiring dengan perkembangan
motorik dan IQ anak dengan catatan selama intervensi anak tidak mengalami sakit
yang dapat mengganggu proses penyerapan zat gizi di usus.
Hasil pengamatan status gizi menunjukkan bahwa sebelum perlakuan ada
15 anak (13%) dengan kategori pendek, 7 anak (6.1%) termasuk kurang gizi, dan
49 anak (42.6%) menderita kurang gizi serta termasuk pendek (gizi buruk). Anak
dengan status gizi buruk (underweight + stunted) sebelum perlakuan paling
banyak pada kelompok plasebo (12.2%), selanjutnya kelompok iodium saja ada
13 anak (11.3%), kelompok selenium saja ada 12 anak (10.4%). Setelah diberi
selenium 45 µg/hari dan suplemen kapsul iodium 50 µg/hari selama 2 bulan
semua kelompok perlakuan tidak ada lagi anak yang memiliki gizi buruk kecuali
kelompok plasebo. Namun demikian setelah perlakuan masih ditemukan 10 anak
(8.7%) dengan kategori stunted dan sebanyak 8 anak (7%) masih mengalami
kurang gizi. Jadi secara keseluruhan ada peningkatan status gizi baik dari 44 anak
(38.26%) menjadi 90 anak (78.26%).
Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada anak remaja awal (usia 9-12
tahun) baik laki-laki maupun perempuan merupakan masa penting, karena selain
mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu (misalnya penyakit infeksi, depresi,
anemia dan diare) juga dapat mempengaruhi produktifitas dan aktivitas
belajarnya. Oleh karena itu pemantauan status gizi perlu dilakukan secara
berkesinambungan termasuk di daerah endemik GAKI. Namun faktor
keterbatasan tenaga, waktu dan sarana pemantauan belum memungkinkan
dilakukan pemantauan status gizi secara berkesinambungan akibatnya KMS anak
sekolah tidak jalan.
Hasil analisis status gizi sesudah perlakuan antar kelompok sangat berbeda
nyata (p<0.001), kecuali pada kelompok Se saja bila dibandingkan dengan
kelompok yang diberi suplemen iodium saja maupun Se+I. Kelompok plasebo
sangat berbeda nyata (p<0.001) bila dibandingkan kelompok yang mendapat
suplemen. Selanjutnya hasil analisis perumbuhan fisik dilihat dari status gizi anak
dan perkembangan psikologis sama-sama dipengaruhi oleh masukan zat gizi
selama periode tumbuh kembangnya. Kecerdasan anak ternyata dipengaruhi oleh
hal yang lebih kompleks daripada pertumbuhan fisik. Kekurangan gizi pada masa
tumbuh kembang anak akan berpengaruh baik pada kecerdasan maupun kondisi
fisik mereka. Anak-anak yang kekurangan gizi, disamping akan memperlihatkan
penampilan fisik yang buruk juga akan meperlihatkan perkembangan kecerdasan
yang terlambat. Sebaliknya kadar gizi yang cukup dapat menampilkan
perkembangan fisik yang baik tetapi belum tentu menjamin perkembangan
kecerdasan yang baik (Husaini et al. 2001).
Sementara hasil penelitian terhadap tikus terungkap bahwa kurang gizi
menyebabkan “isolasi diri” yaitu mempertahankan untuk tidak mengeluarkan
energi yang banyak dengan mengurangi kegiatan interaksi, aktivitas, perilaku
eksploratorik, kurang perhatian dan motivasi yang rendah. Aplikasi teori ini pada
manusia ialah bahwa pada keadaan kurang energi dan protein (KEP), anak
menjadi tidak aktif, apatis, pasif dan tidak mampu berkonsentrasi. Akibatnya,
anak dalam melakukan kegiatan eksploratori fisik di sekitarnya hanya mampu
sebentar saja dibandingkan dengan anak yang gizinya baik, yang mampu
melakukannya dalam waktu yang lebih lama (Pollitt, 2000).
Untuk melakukan aktivitas motorik, dibutuhkan ketersediaan energi dalam
jumlah yang cukup banyak. Anak usia sekolah saat pelajaran olahraga, upacara
bendera dengan berdiri, berjalan, berlari melibatkan suatu mekanisme yang
memerlukan energi dalam jumlah yang tinggi. Dengan demikian anak sekolah
yang menderita kekurangan energi dan protein biasanya selalu mengalami
keterlambatan perkembangan psikomotorik dan tidak mampu konsentrasi dalam
waktu lama. Selanjutnya, tahapan perkembangan aktivitas motorik anak sekolah
yang cerdas akan menurunkan tingkat ketergantungan atau kontak yang terus
menerus dengan para guru dan orangtua mereka. Keadaan ini tampaknya
berpengaruh secara nyata terhadap mekanisme self-regulatory, sehingga anak-
anak menjadi lebih bersosialisasi dan ramah terhadap lingkungan sekitarnya.
Sebaliknya keterlambatan locomotion dan perkembangan motorik anak sekolah
akan merusak akses pada sumber-sumber eksternal yang akan berakibat kurang
baik terhadap regulasi emosional dan menghambat perkembangan kecerdasan
anak. Ini berarti bahwa tingkat kemandirian seorang anak akan berkorelasi secara
positif dengan tingkat kecerdasan mereka. Anak-anak yang sudah mendapat gizi
yang cukup selama periode perkembangan mereka masih memerlukan peluang
untuk tumbuh mandiri yang diperlukan bagi perkembangan tingkat kecerdasan
mereka (Husaini et al. 2001).
Kemungkinan kenaikan berat badan anak pada kelompok Se+I diperkuat
oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang
disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.536 yang artinya 53.6% kenaikan berat
badan anak penderita GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan
iodium. Pada kelompok iodium saja dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan
sebesar 0.398 artinya 39.8% kenaikan berat badan anak dipengaruhi oleh
pemberian suplemen iodium saja, dan yang dipengaruhi selenium saja ada 40.3%.
Namun pada kelompok plasebo juga mengalami kenaikan berat badan yang
dipengaruhi obat cacing sebesar 44.1%.
Berdasarkan hasil analisis Adjusted R Square = 0.85 (85% anak kurang
gizi menggunakan indikator BB/U dapat diperbaiki dengan suplemen Se dan
Iod). Hal ini terjadi disamping karena tingkat konsumsi energi yang relatif cukup
(1400 – 2000 Kal), protein 35-45 g, lemak 8.75 – 19.25 % juga disebabkan
pemberian obat cacing Albendazole 400 mg satu kali sebelum intervensi zat gizi
mikro dimulai. Menurut Stephenson et al.(1993) bahwa dengan pemberian dosis
tunggal obat cacing Albendazole satu kali saja dapat memperbaiki pertumbuhan
anak (peningkatan berat badan 1.6-1.75 kg) serta dapat meningkatkan kadar Hb
anak di Kenya selama 4 bulan.
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak
Energi merupakan sumber zat gizi utama untuk beraktifitas.
Keseimbangan energi akan tercapai bila asupan energi sesuai dengan energi yang
digunakan/ dikeluarkan. Energi yang digunakan tergantung kepada jenis
pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan sehari-hari. Dalam penelitian ini
perhitungan kecukupan energi dilakukan menggunakan 24 hours Recall pada sub-
sampel anak SD di desa endemik GAKI, dan frekuensi makan/hari. Berdasarkan
wawancara dengan 41 anak diketahui bahwa belum ada keseimbangan energi
dengan komposisi tubuh pada anak.
Hasil analisis regresi linier antara intake energi /hari terhadap berat badan
sebelum maupun sesudah diberi perlakuan tidak menunjukkan adanya hubungan
yang nyata (p>0.05), begitu pula antara intake energi /hari terhadap tinggi badan
anak juga tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) dengan R=0.16. Dapat
disimpulkan sementara bahwa perbaikan status gizi anak baik dari indikator BB/U
maupun TB/U tidak dipengaruhi oleh intake energi. Artinya perlakuan pemberian
supelemen selenium dan iodium serta obat cacing sangat berpengaruh terhadap
perbaikan status gizi anak di daerah endemik GAKI.
Kebutuhan zat gizi (RDA) pada puncak Growth Spurt II (umur 10-20
tahun) baik laki-laki maupun perempuan seperti yang dikemukakan oleh Hartono
(2000) dan IOM (2001) pada Tabel 11 ternyata untuk Se sebesar 280 (μg/hari)
dan kebutuhan iodium antara 100-130 (μg/hari). Sementara menurut AKG (2004)
kebutuhan selenium hanya 20 (μg/hari) dan iodium sebanyak 120 (μg/hari).
Dalam penelitian analisis kecukupan zat gizi selenium dan iodium menggunakan
rekomendasi dari Hartono (2001) dan IOM (2001) mengingat selenium dan
iodium yang diekskresi tubuh mencapai 50 μg/hari.
Hasil analisis rata-rata intake zat gizi pada anak di daerah endemik GAKI
menurut sumbangan kecukupannya dari rumah maupun makanan jajanan di
sekolah dapat dilihat pada Lampiran 4-7. Diketahui bahwa persentase kecukupan
energi (Kal), protein dan lemak pada anak masih sangat jauh dari seimbang,
begitu juga dengan tingkat kecukupan mineral mikro seperti zat gizi besi, seng,
selenium dan iodium. Hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang nyata (p>0.05) antara intake selemiun/hari dengan kadar selenium
dalam plasma baik sebelum dan sesudah diberi perlakuan, begitu pula antara
intake iodium /hari terhadap kadar iodium plasma anak juga tidak ada hubungan
yang nyata (p>0.05) dengan R=0.15. Artinya pemberian supelemen selenium dan
iodium serta obat cacing sangat berpengaruh terhadap perbaikan status defisiensi
selenium dan iodium pada anak di daerah endemik GAKI.
Dalam penelitian ini wawancara tingkat kecukupan konsumsi dilakukan
dengan metode Recall 24 jam yang lalu oleh Bidan Desa dibantu oleh guru SD
setempat. Dikarenakan anak-anak yang memiliki tanda khas kretin kebanyakan
sulit berbicara dan menangkap pertanyaan dari Tim peneliti, maka dilakukan
cross-chek dengan food frequency dan penimbangan makanan jajanan di sekolah.
Secara tidak langsung terlihat adanya hubungan antara iodium dan
selenium, dimana ketersediaan selenium yang rendah pada tanah diduga juga
mengandung iodium yang rendah. Interaksi yang terbentuk antara iodium dan
selenium bersifat sangat kompleks dan terkait dengan fungsi-fungsi selenium
dalam selenoprotein. Selain itu selenium juga sangat dibutuhkan dalam proses
perubahan T4 menjadi T3 selain enzim deiodonase (WHO, 2001). Sebaliknya
yang menghambat proses perubahan T4 menjadi T3 dari bahan makanan yang
banyak dikonsumsi oleh penduduk di daerah endemik adalah makanan yang
mengandung goitrogenik. Goitrogenik adalah zat yang dapat menghambat
pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam
kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goitrogenik dapat menghambat perubahan
iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon
tiroksin terhambat (Linder, 1992). Goitrogenik alami menurut Chapman (1982)
terdapat dalam jenis pangan seperti 1) kelompok sianida (daun + umbi singkong,
gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung); 2) kelompok mimosin
(pete cina dan lamtoro); 3) kelompok isothiosianat (daun pepaya); 4) kelompok
asam (jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka), untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Lampiran 7.
Meskipun sudah diketahui jenis bahan makanan yang mengandung
goitrogenik, namun kandungan zat gizi lain dalam bahan makanan tersebut tetap
banyak membantu kecukupan gizi penduduk setempat. Berdasarkan hal tersebut,
maka WHO (2001) sudah menganjurkan program penanggulangan GAKI dengan
fortifikasi iodium pada garam dengan melakukan universal garam beriodium.
Selanjutnya Burk, et al. (2006) mengatakan bahan makanan yang banyak
mengandung selenium biasanya juga ditemukan banyak mengandung iodium,
misalnya daging dan seafood (0.4-1.5 μg/g), sereal dan padi-padian (0.1-0.8 μg/g)
tergantung pada kandungan selenium pada tanah.
Lingkar Lidah menurut Kelompok Perlakuan
Tabel 41 menunjukkan bahwa pemberian suplemen kapsul iodium maupun
selenium selama dua bulan seolah-olah tidak ada manfaatnya bila dilihat dari
besaran ukuran volume lingkar lidah anak di daerah endemik GAKI. Hal ini
dapat dijelaskan dari ilmu patologi anatomis, bahwa cacat lahir atau penyakit
bawaan lahir seperti dampak permanen dari defisiensi zat gizi mikro dalam waktu
yang lama dan bersifat kronis adalah sulit untuk diperbaiki. Begitu juga
‘glossitis’ dan kelainan bawaan lahir pada lidah akibat defisiensi zat gizi mikro
yang sangat lama (Underwood, 2002). Sampai saat ini kegunaan selenium
sebagai suplemen tambahan zat gizi yang tepat untuk setiap kasus kekurangan zat
gizi mikro masih banyak diteliti untuk pencegahan dan pengobatan penyakit.
Pengaruh suplemen selenium dan iodium terhadap volume lingkar lidah
menunjukkan hasil yang negatif, artinya semua suplemen yang diberikan kepada
anak penderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin tidak berpengaruh positif.
Namun demikian tetap terjadi perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan
(p=0.001) setelah diberi suplemen. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan
jika pemberian suplemen dilakukan lebih dini kepada anak penderita GAKI maka
diharapkan ada perbaikan atau koreksi dari perbesaran volume lingkar lidah.
Kemungkinan ini diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova)
dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.114 yang
artinya 11.4% nilai volume lingkar lidah anak penderita GAKI dipengaruhi oleh
pemberian suplemen selenium dan iodium.
Selanjutnya kalau dilihat dari Tabel 41-42 dapat diperhitungkan bahwa
pemberian Se+I memiliki selisih negative yaitu 3.5%-7.8% = -4.3%, pemberian I
50 µg/hari memiliki selisih 6.1% - 20.9% = - 14.8%, dan pemberian Se 45
µg/hari memiliki selisih 10.4% - 13.1% = -3.3% sedangkan pemberian kapsul
plasebo memiliki selisih 7.8% - 11.3% = -3.5%. Hasil negatif dari lingkar lidah
ini belum banyak penjelasan yang dapat mengartikan perubahan lingkar lidah
setelah pemberian suplemen zat gizi mikro. Namun ada kemungkinan pada anak
yang sebelum perlakuan menderita radang tenggorokan atau ada kelainan
‘glossitis’ sehingga anak menjadi sulit mengucap kata ‘A’ setelah pemberian
suplemen selenium dan iodium menjadi sehat sehingga dapat mengucapkan kata
‘A’ dengan lancar akibatnya dapat merubah ukuran lingkar lidah anak setelah 2
bulan perlakuan.
Kejadian penebalan lidah sehingga menyebabkan ukuran lingkar lidah
menjadi lebih besar dari ukuran lingkar lidah normal dapat dijelaskan menurut
ilmu penyakit dalam dan THT (Telinga-Hidung-Tenggorakan). Adapun
penjelasan tersebut menyebutkan bahwa fenomena anak kekurangan iodium dan
selenium akan mengalami penebalan lidah dan sulit mengucapkan ‘A’ seperti
yang terjadi pada anak yang mengalami peradangan ‘tonsil’ di tenggorokan atau
amandel (Quindom.com. 2006). Karena sakit atau sulit bicara maka umumnya
anak yang defisiensi iodium dan selenium berat menjadi apatis dan motivasinya
menurun seiring dengan penurunan IQ point (Van den Briel and West, 2000).
Perkembangan pengetahuan biologi molekuler saat ini memungkinkan
untuk mengidentifikasi kelompok bahan yang dapat merangsang produksi leukosit
dan megakariosit, yang dikenal sebagai colony stimulating factors. Kelompok
bahan ini termasuk granulocyte- dan granulocyte/monocyte- colony stimulating
factors (G-CFS adan GM-CFS). Sitokin sekarang digunakan untuk pengobatan
pada kemoterapi penyakit kronis, termasuk kelainan lidah akibat cacat bawaan
atau defisiensi zat gizi mikro yang kronis. Selenium khususnya seleno metionin
atau seleno sistein mampu untuk merangsang produksi anti oksidan dan trombosit
yang akhir-akhir ini telah dapat diidentifikasikan untuk menangkal radikal bebas
dan memperlama hidup sel sehat dan menghentikan proses patologis sel maupun
jaringan yang rusak (Chen & Berry, 2003).
Pada umumnya anak yang sudah mengalami penebalan lidah atau
memiliki lingkar lidah yang lebih besar dari ukuran lingkar lidah normal juga
akan diikuti gejala penyakit ‘Hematinik’. Hematinik adalah faktor zat-zat gizi
/diet yang esensial baik untuk sintesis hemoglobin maupun produksi eritrosit yang
menurun atau memang sudah rendah saat lahir yang biasanya dialami oleh
penderita kretin yang lahir di daerah endemik GAKI.
Dilihat dari Tabel 44 ternyata tidak ada perbedaan tingkat risiko antara
anak laki-laki dan perempuan, artinya anak laki-laki maupun anak perempuan
yang memiliki lingkar lidah lebih besar dari normal meningkat jumlahnya
meskipun sudah diberi perlakuan (p<0.001; r=0.58). Dengan demikian manfaat
pemberian suplemen selenium dan iodium dengan dosis rendah selama dua bulan
tidak memberikan dampak positif terhadap penebalan lingkar lidah anak di daerah
endemik GAKI. Hal ini mungkin disebabkan karena waktu pemberian suplemen
yang kurang lama (tidak enam bulan) dan dosis yang diberikan terlalu rendah
untuk perbaikan kesehatan ‘Glossitis’ mulut dan lidah anak. Belum ada data
tentang gangguan fungsi bicara (bisa sampai bisu) yang disebabkan kekurangan
iodium tingkat berat seperti pada penderita kretin, sehingga dalam penelitian ini
dilakukan diagnosis bentuk ringan dari kretin endemik.
Skor IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan
Selanjutnya kalau dilihat status gizi dengan standar CDC (WHO, 2000)
hubungannya dengan skor IQ pada anak di daerah endemik GAKI dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum perlakuan ada 19 anak (16.5%)
dengan status gizi buruk dan memiliki kategori retardasi mental sangat berat
dengan skor IQ kurang dari 25. Anak berstatus pendek ada 27 (23.5%) memiliki
skor IQ antara 25–40 dan setelah dilakukan pemberian suplemen kapsul iodium
dan selenium dosis rendah selama 2 bulan ternyata ada peningkatan skor IQ yang
sangat nyata (p=0.001; r=0.463). Gambaran selengkapnya status gizi
hubungannya dengan skor IQ dapat dilihat pada Gambar 30.
Banyak tes IQ untuk mengukur kualitas anak seperti tingkat pengetahuan,
daya ingat sesaat, alasan abstrak, bagian kemampuan visual dan perasaan. Test
IQ mengukur sebagian dari budaya seseorang baik yang nyata maupun budaya
yang tidak dilakukan. Namun biasanya untuk keperluan akademik sehingga
kurang baik untuk mengukur kreativitas anak. Setelah pengamatan secara acak,
ternyata banyak faktor yang menetukan nilai/skor sehingga perlu diamati ulangan
tes setiap minggunya karena dapat berubah antara 5-10 point. Untuk ukuran
kemampuan verbal pada anak dengan kelainan fisik atau mental tertentu Wechsler
tidak menganjurkan pengukuran verbal, karena memang sudah dapat dipastikan
anak dengan kelainan pasti memiliki kemampuan verbal yang buruk. Hal ini juga
diakui oleh Raven yang kemudian mengembangkan ‘Block Design’ untuk
mengukur IQ melalui ketajaman pengamatan gambar berwarna yang diambil
untuk dipasangkan ke gambar design utamanya. Model ini kemudian dikenal
dengan nama ‘Modeled after Raven's Progressive Matrices’ sebagai Matrix
Reasoning (Morris, 2006).
Peningkatan skor IQ setelah pemberian suplemen kapsul iodium 50
µg/hari ditambah selenium 45 µg/hari (15.7% - 9.4% = 6.3%) dari IQ sangat
rendah/idiot yaitu IQ kurang dari 25 (retardasi mental berat) dan retardasi mental
sedang (IQ=25-40) menjadi retardasi mental ringan (IQ=40-55). Pemberian
iodium 50 µg/hari saja dapat meningkatkan 100% artinya dari 30.4% anak yang
menderita retardasi mental berat (skor IQ <25) semua dapat dikoreksi menjadi
retardasi mental tingkat sedang (skor IQ=40-55). Pemberian selenium 45 µg/hari
juga dapat meningkatkan 100% artinya dari 29.6 % anak yang menderita retardasi
mental berat (skor IQ <25) semua dapat dikoreksi menjadi tingkat sedang (skor
IQ=40-55), dan plasebo (19.1% - 10.4% = 8.7%) dari kategori retardasi mental
berat (skor IQ <25) menjadi tingkat sedang dengan skor IQ=40-55. Artinya dapat
diambil kesimpulan sementara bahwa pemberian iodium 50 µg/hari atau selenium
45 µg/hari saja memberikan pengaruh terbaik terhadap skor IQ (p<0.001).
Kemampuan metakognitif diyakini sebagai kemampuan tingkat tinggi
untuk menegemen pengetahuan. Metakognitif berhubungan dengan gaya kognitif
dan strategi belajar (Limited, 1996). Kemampuan kognitif dibutuhkan untuk
bekerja pada suatu tugas, sedangkan metakognisi penting untuk memahami
bagaimana tugas itu akan dikerjakan. Kemampuan kognisi ada dua hal, yaitu
penilaian terhadap diri sendiri (self assessment) dan menegemen diri sendiri
sebagai kemampuan mengatus pengembangan kognitif diri sendiri (self-
menegement). Kemampuan metakognitif berhubungan dengan teori pembelajaran
konstruktivis yang menempatkan kognisi dan pemahaman dalam diri individu
(Imel, 2002). Secara teoritis kemampuan metakognitif dapat meningkatkan
ketrampilan pemecahan masalah di kelas saat proses pembelajaran, namun sejauh
yang penulis ketahui belum ada penelitian empiris yang mendukung atau menolak
teori tersebut ketika diterapkan di dalam konteks pendidikan dasar di Indonesia.
Untuk itulah penelitian dilakukan untuk melihat adanya pengaruh suplemen
selenium dan iodium dalam meningkatkan skor IQ anak usia sekolah dasar.
Hasil analisis selisih (∆) peningkatan skor IQ pada anak di daerah endemik
GAKI menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian iodium saja
atau pemberian suplemen selenium saja memiliki pengaruh terbaik untuk
meningkatkan skor IQ anak. Tabel 49 menunjukkan bahwa pemberian selenium +
iodium ternyata tidak efektif karena pada usia 9-12 tahun merupakan saat tumbuh
cepat kedua sehingga yang dibutuhkan adalah lemak tidak jenuh khususnya
arachidonic acid (ARA), sialic acid (SA) dan docosahexaenoic acid (DHA) dan
iodium saja untuk perkembangan otak anak (Yehuda et al. 1999). Nilai rata-rata
skor IQ anak sebelum perlakuan sebesar 24.5 – 30.9 artinya angka tersebut dalam
kisaran skor IQ<25 yang memiliki indikasi bahwa anak-anak yang memiliki 6-11
tanda khas kretin di daerah endemik GAKI dalam penelitian ini menderita
retardasi mental berat. Kemudian nilai rata-rata skor IQ anak sesudah perlakuan
meningkat menjadi 35 – 42.5 artinya skor IQ anak dalam kisaran skor IQ=25-40
yang memiliki indikasi retardasi mental kategori sedang. Jadi dengan pemberian
suplemen selenium 45 µg/hari saja atau suplemen iodium 50 µg/hari saja selama 2
bulan dapat meningkatkan skor IQ anak sebesar 18 point.
Jumlah Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan
Dalam penelitian ini spektrum 6-11 tanda khas kretin yang paling cepat
menunjukkan pengaruhnya dari pemberian suplemen selenium dan iodium adalah
(motivasi belajar, sulit menangkap pembicaraan orang lain, benjolan di leher,
anemia , ukuran lingkar lidah, dan gangguan pertumbuhan fisik=BB/U, TB/U).
Hasil analisis selisih persentase dari post test dan pre test untuk variable tanda
khas kretin (Tabel 50-51)
Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok anak yang menderita
GAKI dengan tanda khas kretin yang diberi suplemen dapat disimpulkan bahwa
pemberian suplemen selenium 45 µg/hari saja atau iodium 50 µg/hari atau
selenium 45 µg/hari +iodium 50 µg/hari dapat menurunkan jumlah tanda khas
kretin 1 point. Sementara plasebo tidak dapat menurunkan tetapi tetap ada
penurunan sebesar 0.1 % . Artinya ada kemungkinan bila pemberian suplemen
dilakukan dengan durasi yang lebih lama akan dapat menurunkan jumlah tanda
khas kretin pada masa pertumbuhan anak penderita GAKI di daerah endemik.
Tidak ada perbedaan hasil penurunan jumlah tanda khas kretin pada anak
di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan. Hal ini
disebabkan karena pengukuran yang bersifat kualitatif tanpa menggunakan alat
yang sudah standar atau baku, sehingga hasilnya kurang valid (Gambar 26).
Faktor yang Mempengaruhi Respon Status Gizi
Pada Tabel 64 terlihat bahwa pada semua kelompok suplemen mengalami
peningkatan berat badan dan tinggi badan yang nyata (p<0.05) antara sebelum dan
sesudah perlakuan. Efek bersih suplementasi Se dan I terhadap berat badan
sebesar 1.96-3.04 kg dan terhadap pertambahan tinggi badan sekitar 1.2-3.5 cm
(Tabel 34). Efek suplemen selenium dan iodium pada anak di daerah endemik
GAKI ini sejalan dengan hasil penelitian suplemen selenium dan iodium pada
anak penderita anemia terhadap berat badan meskipun nyata tetapi efek bersihnya
kecil yaitu 0.26 SD (Brown et al. 2003) Artinya pemberian suplemen selenium 45
µg/hari dan iodium 50 µg/hari dapat mengurangi dampak memburuknya status
gizi seiring dengan pertambahan umur pada masa growth sprout II.
Efek pemberian suplemen selenium dan iodium terhadap semua kelompok
perlakuan ternyata tidak berbeda dengan plasebo. Artinya pada semua kelompok
mengalami pertambahan berat badan dan tinggi badan tanpa melihat status anemia
maupun status defisiensi selenium dan iodium. Namun demikian kejadian stunted
pada kelompok plasebo tetap terbanyak yaitu 22.22 % dan underweight 23.31%.
Meskipun perlakuan dengan pemberian suplemen relatif cepat (2 bulan) tetapi
memiliki efek yang cukup besar terhadap perbaikan status gizi anak. Efek bersih
BB/U +1.52 SD dan efek bersih TB/U +0.8 SD. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa suplementasi Se dan I dapat meningkatkan perbaikan
pertumbuhan anak dengan tanda khas kretin di daerah endemik GAKI.
Analisis Normalitas Data dan Uji ANCOVA
Sebelum semua data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis, maka
perlu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan One-Sampel
Kolmogorov-Smirnov Test, Program SPSS for Windows V.11 (Lampiran1).
Hasilnya semua data dari tiap variabel sangat nyata (p=0.000) memiliki distribusi
normal. Bukti ini diperkuat dengan efek bersih dari analisis peragam (Ancova)
bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sebelum dan sesudah
perlakuan dengan pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah
selama dua bulan (Lampiran 8)
Setelah yakin bahwa semua data memiliki distribusi normal, maka
menurut disain penelitian ini digunakan analisis uji ANCOVA untuk mengetahui
nyata tidaknya perbedaan sebelum dan sesudah perlakuan pemberian suplemen
selenium dan iodium selama dua bulan pada anak di daerah endemik GAKI.
Hasilnya semua variabel yang diteliti berbeda sangat nyata antara sebelum dan
sesudah perlakuan (Paired Sampel T-test). Namun hasil korelasi Spearman antara
jumlah tanda kretin, kategori ketinggian area desa, jenis kelamin, dengan variabel
bebas seperti status gizi, lingkar lidah, skor IQ, jenis anemia dan kadar selenium
maupun kadar iodium. Hasil analisis ANCOVA dapat dilihat pada Lampiran 9.
Analisis regresi linier digunakan untuk melihat apakah pemberian
suplemen selenium dan iodium yang diberikan menurut kelompok masing-masing
variabel yang diteliti benar-benar bersih dari faktor-faktor pengganggu
(confounding factor). Hal ini perlu dilakukan khususnya untuk melihat manfaat
bersih dari intervensi gizi selenium dan iodium terhadap status gizi yang sangat
erat hubungannya dengan tingkat kecukupan energi /hari. Disamping itu data zat
gizi rujukan untuk komposisi bahan makanan mikronutrien masih sangat minim
sehingga menjadi masalah tersendiri dalam analisis konversi tingkat kecukupan
zat gizi (dalam penelitian ini zat gizi selenium dan iodium).
Selanjutnya analisis kepatuhan minum kapsul harian pada anak di daerah
GAKI sangat tergantung pada kedisiplinan guru dalam meluangkan waktu saat
istirahat untuk memberikan suplemen kapsul selenium dan iodium kepada anak
didiknya di kelas. Tingkat kepatuhan minum suplemen dalam penelitian sebesar
79.17%-95.83% memiliki hubungan yang nyata dengan perbaikan skor IQ anak
(p=0.009; r=0.243). Artinya kepatuhan anak dengan tanda khas kretin di daerah
endemik GAKI di Kabupaten Boyolali dapat dikatakan ‘baik’ untuk
keberlangsungan program, jika suplemen selenium dan iodium akan dijadikan
alternatif program penanganan GAKI.
Analisis Regresi Logistik
Hasil analisis bivariate antara kadar Se dan I plasma dengan status gizi, skor
IQ dan jumlah tanda khas kretin (Tabel 22) menunjukkan bahwa suplementasi
selenium 45 µg/hr saja yang mempunyai nilai p < 0.05 yaitu perbaikan profil
darah (kadar leukosit, MCV, kadar Se dan I plasma), status gizi (BB/U) dan skor
IQ. Variabel independen lain seperti status gizi (TB/U) dan jumlah tanda khas
kretin mempunyai nilai p > 0.05.
Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa sampel yang diberi suplemen
seleneium 45 µg/hr saja terlihat risiko anemia mikrositik hiperkromik disertai
defisiensi Se dan I dan menderita kurang gizi lebih rendah dan bermakna (kadar
leukosit, MCV, kadar Se dan I plasma) dibandingkan sampel yang diberi iodium
50 µg/hr atau Se+I (p<0.01; OR=0.31; 95%CI OR 0.19-0.62). Pemberian Se+I
selama 2 bulan menunjukkan risiko menderita anemia makrositik hipokromok
lebih rendah dan bermakna dibandingkan sampel yang diberi suplemen Se
sebanyak 45 µg/hr atau I sebanyak 50 µg/hr saja (p<0.01; OR=0.64; 95%CI OR
0.11-0.99).
Berdasarkan Tabel 53 nilai Odd Ratio dan nilai p untuk status gizi anak yang
diberi suplemen Iod 50 µg/hr tampak risiko untuk stunted (TB/U) lebih rendah
dibandingkan dengan pemberian Se+I (p<0.01; OR=0.64; 95%CI OR 0.51-0.87).
Sementara risiko untuk underweight (BB/U) lebih rendah dibandingkan dengan
pemberian I saja (p<0.01; OR=0.44; 95%CI OR 0.21-0.67).
Analisis Implikasi Kebijakan
Pada hakekatnya, masalah GAKI dan spektrum kretin di daerah
endemik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditangani
secara Nasional tetapi tidak boleh melupakan faktor budaya setempat/ lokal.
Artinya endemisitas dari tiap lokasi dengan ketinggian daerah di atas permukaan
air laut yang berbeda memiliki tingkat risiko yang berbeda juga. Dalam penelitian
ini diketahui bahwa ada hubungan antara ketinggian lokasi SD atau tempat tinggal
anak dengan kadar iodium dalam plasma darah yang sangat signifikan, yaitu
makin tinggi lokasi SD dan tempat tinggal anak maka kadar iodium dalam plasma
akan makin rendah (p=0.00; r=6.57). Begitu pula dengan semakin tinggi lokasi
tempat sekolah dan tempat tinggal anak maka akan semakin rendah kadar
selenium dalam plasma darah anak (p=0.00; r=7.20).
Kesepakatan internasional antara Badan Kesehatan Dunia (WHO,
2006) dengan para pengambil kebijakan bidang kesehatan di negara-negara
berkembang memutuskan bahwa prevalensi Total Goiter Rate (TGR) sudah tidak
layak lagi dipakai sebagai indikator prevalensi GAKI di daerah endemik.
Sekarang dianjurkan menggunakan Urinary Iodine Excretion (UIE) sebagai
indikator besarnya masalah GAKI di masyarakat. Namun dampak penggunaan
data UIE di Indonesia belum juga menghasilkan keputusan yang tepat dalam
penanganan GAKI dan spektrum kretin endemik. Begitu pula dengan upaya
UNICEF dalam menggalakkan Universal Salt Iodisation (USI) di Indonesia
ternyata memerlukan regulasi, law inforcement, social inforcement dan
community inforcement dalam melaksanakan universal garam beriodium (USI).
Sebagai perbandingan berikut disajikan hasil intervensi suplemen iodium di
berbagai Negara (Lampiran 9).
Hal yang sama terjadi pada pemberian kapsul minyak beriodium, dimana
kandungan Iodium setiap kapsul adalah sekitar 190 - 210 mg Iodium per 0,5 ml.
Selanjutnya ditetapkan bahwa jumlah aman untuk setiap kapsul lipiodol adalah
sebanyak 200 mg Iodium (Depkes, 2000). Sasaran untuk pemberian kapsul
minyak beriodium di kecamatan endemik berat (prevalensi TGR > 30%) adalah
wanita usia subur, ibu hamil, ibu menyusui dan anak sekolah dasar.
Analisis Implikasi Keilmuan
Selenium dan Iodium dalam darah manusia sangat bervariasi karena
keadaan geografi, umur, dan perbedaan jumlah/jenis makanan yang dikonsumsi
setiap hari. Misalnya anak penderita phenylketonuria dan Maple syrup urine
asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se dalam darah (The Lancet, MedScape
2000). Artinya setiap anak kemungkinan dapat mengalami defisiensi selenium
dan iodium atau sebaliknya mengalami kelebihan selenium dan iodium dalam
darahnya. Oleh karena itu perlu pendidikan pengenalan bahan makanan yang
mengandung banyak atau kurang selenium dan iodium, serta jenis bahan makanan
yang dapat menghambat penyerapan iodium maupun selenium. Underwood
(2002) mengatakan bahwa setiap bagian darah memiliki fungsi dan peran yang
sangat spesifik dan bila salah satu kekurangan atau sampai kehabisan zat gizi
maka tubuh seseorang akan mengalami kelainan yang bersifat sistemik. Sebagai
contoh berdasarkan keadaan geografi, maka diketahui kecenderungan populasi
yang hidup di daerah rendah kadar Se dalam tanah dan relatif rendah asupan Se
dalam makanan memiliki angka kematian yang tinggi akibat kanker.
Kebaruan Penelitian
1. Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 15 tanda khas kretin yang masih
diragukan validitasnya secara klinis ternyata baru ditemukan 6-11 tanda khas
kretin yang secara umum mudah dikenali sebagai tanda awal akan terjadinya
kretin pada anak usia sekolah. Tanda khas kretin yang paling dominan
berpengaruh terhadap skor IQ anak adalah lingkar dan tebal lidah dengan
nilai pseudo R square = 0.903. Penebalan lidah pada anak usia sekolah di
daerah endemik GAKI belum banyak diteliti sehingga masih sedikit referensi
tentang pentingnya penelitian pertumbuhan dan perkembangan lidah anak
sejak lahir.
2. Penelitian ini berhasil menunjukkan hubungan antara spektrum ‘kretin
endemik’ dan jenis anemia mikrositik hiperkromik maupun anemia mikrositik
hipokromik pada anak usia 9-12 tahun yang lahir di daerah endemik GAKI
dan memiliki 6-11 tanda khas kretin. Adapun nilai pseudo R square 6-11
tanda khas kretin menurut kuatnya hubungan (R) dengan skor IQ adalah:
i. lidah membesar (pseudo R square = 0.90)
ii. anemia /pucat, lemah, malas (pseudo R square = 0.89)
iii. motivasi belajar kurang (pseudo R square = 0.88)
iv. kurang dapat mendengar (pseudo R square = 0.84)
v. pendek/cebol/ kerdil dibanding seusianya (pseudo R square = 0.83)
vi. sulit diajak bicara, sulit menangkap pembicaraan orang lain (pseudo R
square = 0.79)
vii. mengalami gangguan pertumbuhan fisik/status gizi buruk/kurang gizi
(pseudo R square = 0.78)
viii. apatis, tidak bersemangat (pseudo R square = 0.73)
ix. ada benjolan di leher (pseudo R square = 0.66)
x. kulit berbintik/ bercak merah (pseudo R square = 0.56)
xi. gangguan berjalan /langkah tidak teratur (pseudo R square = 0.39)
Konsisi tersebut dapat dikoreksi dengan pemberian selenium 45 µg/hari dan
iodium 50 µg/hari selama 2 bulan. Namun masih perlu dilakukan analisis
yang lebih rinci tentang faktor perancu guna melihat faktor yang paling
dominan mempengaruhi tanda khas kretin.
3. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan GAKI dengan teknik yang
mengandalkan palpasi dan IEU tidak dapat secara langsung dihubungkan
dengan skor IQ anak. Khususnya pada anak usia 9-12 tahun yang memiliki
tanda khas kretin dan tinggal di daerah endemik GAKI.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dari desainnya, yaitu tidak mampu
menggunakan Randomizaed Control Trial (RCT) tetapi cukup menggunakan
eksperimen kuasi (Non Randomisasi) sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini
dikarenakan lokasi yang sangat sulit dijangkau untuk dilakukan RCT pada
sampel. Namun randomisasi Sekolah Dasar tetap dilakukan dalam penentuan
kelompok perlakuan. Meskipun demikian nilai homogenitas pada semua sampel
/subyek penelitian tetap tinggi (p=0.008) (Lampiran 8).
Tingginya drop out sampel (44.14%) tidak mempengaruhi power statistik,
karena sejak awal penelitian (saat penapisan) power statistik sudah di set tinggi
(90%). Setelah terjadi drop out sampel 44.14% maka power statistik menjadi
87%. Hal ini terjadi karena sampel yang drop out tetap secara random sehingga
tidak mengganggu tingkat kemampuan untuk mengambil kesimpulan karena
distribusi sampel tetap seimbang dan homogen dan hasilnya tetap nyata (Murti,
2008 Komunikasi pribadi). Analisis data dalam penelitian ini belum mencakup
semua faktor perancu yang mempengaruhi perbaikan profil darah, status gizi dan
skor IQ anak, dan penurunan jumlah tanda khas kretin.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Suplementasi Se 45 µg/hr saja memberikan pengaruh terbaik terhadap
perbaikan kadar leukosit, MCV, kadar Se dan I plasma sangat nyata
(p<0.01), dan terhadap status gizi (BB/U) serta skor IQ (p<0.05).
2. Pemberian Iod 50 µg/hr memberikan pengaruh terbaik terhadap skor IQ
(p<0.01) dan status gizi masa lalu menurut TB/U (p<0.05)
3. Pemberian Se+I memiliki pengaruh terbaik terhadap profil darah (kadar
eritrosit, MCH, MCHC) sangat nyata (p<0.01).
4. Berdasarkan uji Δ Beda (LSD) ternyata pemberian suplemen Se 45 µg/hr
secara nyata lebih baik daripada pemberian suplemen Iod 50 µg/hr maupun
Se+I pada anak usia 9-12 tahun yang memiliki 6-11 tanda khas kretin. Hal
ini dikarenakan lokasi endemik yang diambil satu tempat yaitu di Kabupaten
Boyolali saja, sehingga ada kemungkinan akan lain hasilnya (Se+I yang
terbaik) jika melibatkan anak dengan tanda khas kretin di daerah endemik
GAKI lainnya.
S a r a n
1. Untuk memperbaiki pertumbuhan dan skor IQ anak yang memiliki tanda khas
kretin di daerah endemik GAKI perlu diberikan suplemen selenium 45 µg/hari
dan iodium 50 µg/hari (rasio 1:1).
2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang interaksi Se dan I dengan dosis dan rasio
yang berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada masa
growth sprout II terutama yang memiliki tanda khas kretin. Perlu melibatkan
langsung usaha kesehatan sekolah (UKS) melalui pemberdayaan UKS di
daerah endemik GAKI menjadi UKS Waspada Kretin. Tentu saja UKS
Waspada Kretin perlu dibina terus menerus secara kelembagaan dan
managerial oleh Puskesmas di daerah endemik GAKI sehingga perlu relawan
petugas gizi dan kesehatan yang setiap minggu atau bulan memberdayakan
UKS yang ada di sekolah dasar menjadi UKS Waspada Kretin.
3. Mengingat zat gizi selenium dan iodium dalam DKBM maupun hasil analisis
kandungan Se dan I lainnya masih sangat terbatas, maka perlu dilengkapi
disertai dengan penelitian tentang bioavailabilitas Se dan I pada makanan
Indonesia.
Akhirnya dengan hasil penelitian ini, diharapkan pengelolaan program
kesehatan dan gizi khususnya program penanganan GAKI di kabupaten/kota
dapat melaksanakan survei cepat masalah gizi, untuk memperoleh gambaran
GAKI di daerahnya dengan menggunakan 15 tanda khas kretin. Hal ini untuk
mempermudah jangkauan program penanganan GAKI tanpa banyak analisis di
Laboratorium yang mahal biaya dan memerlukan ketrampilan serta tenaga khusus.
Selain itu perlu peningkatan fungsi Posyandu di daerah endemik GAKI menjadi
Posyandu Waspada Kretin. Adanya Posyandu Waspada Kretin diharapkan semua
lapisan masyarakat di perdesaan di daerah endemik GAKI dapat mengenali
dengan benar tanda-tanda khas kretin dan segera bertindak untuk penanganan
anak yang memiliki tanda khas kretin.
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN. 2001. Nutrition Policy Paper No. 19. ADB Nutrition and
Development Series No.4. Attacking the Double Burden of Malnutrition
in Asia and the Pacific. ADB, Manila, Philippines.
Adiningsih, S. 2002. Ukuran Pertumbuhan dan Status Gizi Remaja Awal.
Prosiding Konggres Nasional PERSAGI dan Temu Ilmiah XII. Jakarta.
Ahmed F, Khan MR, Jackson AA. 2001. Supplemental Vitamin A enhances the
response to weekly supplemental iron folic acid in anemia teenagers in
urban Bangladesh. Am J. Clin Nutr. 74:108-15
Allen LH. 2004. Folate and Vitamin B12 Status in America. Nutrition Review
62(6): S29-S33
Allen L, Casterkine Sabel J. 2001. Prevalence and causes of nutritional anemia.
CRC Press Florida:7-22
Anonim. 2004. Hemoglobin Structure. http://www.ags.uci.edu/blood_fluid
Arisman. 2002. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Bagian Ilmu Gizi Fakultas
Kedeokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Arthur, J.R., Fergus Nicol, and Beckket, G.J. 1993. Selenium Deficiency Thyroid
Hormone Metabolism and Thyroid Hormone Deiodinases. Am. Jou. Clin.
Nutr. 57: 236-238
BATAN. 1990. Analisis Pengaktif Neutron pada Laboratorium Teknologi Maju.
Prosiding BATAN, Yogyakarta.
Beauvieux MC Delmas, E Peuchant, A Couchouron, J Constans, C Sergeant, M
Simonoff, JL Pellegrin, B Leng, C Conri and M Clerc. 1996. The
enzymatic Antioxidant System in Blood and Glutathione Status in Human
Immunodeficiency Virus (HIV)-Infected Patients: Effects of
Supplementation with Selenium or Beta-Carotene. American Journal of
Clinical Nutrition, Vol. 64: 101-107.
Bender.A.David. 2002. Introduction to Nutrition and Metabolism. 3th. Edition.
Taylor and Francis Group. London.
Benmiloud M, Chaoki ML. 1994. Prevention of Iodine Deficiency Disorder by
Oral Administration of Lipiodol During Pergnancy. European J
Endocrinol 130 (6):547-551
Biro Pusat Statistik – UNICEF, 1995. Garam Beriodium di Rumah Tangga,
Konsumsi, Pengetahuan, Pilihan dan Penanganan. Jakarta.
Black, M. 2003. The evidence linking zinc deficiency with children's cognitive
and motor functioning. Department of Pediatrics, University of Maryland
School of Medicine, Baltimore, MD 21201, USA.
Brody, T. 1999. Nutritional Biochemistry, 2 th edition. University of California at
Berkeley. Berkeley, California.
Brown, K.M; Pickard, K; Nicol, F; and Arthur J.R. 2003. Effect of organic and
inorganic selenium supplementation on selenoprotein function in a
scottish population. Rowett Research Institute
Bulletin IoM, May, 2004. Risk, Side effect of selenium with herbal and food
products. www.medscape.com
Burk R.F., and Hill K.E. 1993. Regulation of selenoproteins. Annu. Rev. Nutr.
13:65-81.
Burk R.F., Levander O.A. 2006. Selenium, (dalam:Shils ME, Shike M, Ross AC,
Caballero B, Cousins RJ,eds). Modern Nutrition in Health and Disease. 10th
ed.Philadelphia : Lipincott William & Wilkins.
Carley, C. 2003. Anemia:When Is it Iron Deficiency? Janetti Publications Inc.
Pediatr Nurs 29(2):127-133.
Caroline Cassels and Désirée Lie. 2006. Major Cognitive Decline Linked to High
Fat, High Copper Diet. Internet: Medscape CME News Posted 08/16/2006
Chapman. BA. 1982. A Medical Geography of Endemic Goiter in Central Java. A
Disertation Submited to the Graduate of the Univesity of Hawaii. USA.
Chavetz, PHM. 1990. Savety of intervention to reduce nutritional anemia.
http://www.becomehealthynow.com.article.minerals
Chen J, Berry MJ. 2003. Selenium and selenoproteins in the brain and brain
diseases. Department of cell and Molecular Biology, University of Hawaii
at Manoa, Honolulu 96866, USA. J Neurochem. Jul;86(1):1-12
Clark,G.W.B.,Smyrk,T.C.,Mirvish,S.S.,Anselmino,M.,Yamashita,Y.,Hinder,R.A.
,Clement Ip. 1996. The Chemopreventive Role of Selenium in
Carcinogenesis. J.Am. Coll.Toxicol. 8:921-925.
Clement Ip. 1998. Lessons from Basic Research in Selenium and Cancer
Prevention. The Journal of Nutrition Vol.128. November 1998, pp. 1845-
1854.
Combs G.F.Jr. and Combs S.B. 1986. The Role of Selenium in Nutrition.
Academic Press,inc.
Craig JG. 1992. Human Development. New Jersey: A Sigmon & Schuster
Company.
Data Penilaian Kinerja Puskesmas. 2005. Data Penilaian Kinerja Pada Cakupan
di Puskesmas Cepogo. Laporan Kegiatan di Puskesmas Cepogo,
Kabupaten Boyolali. Jawa Tengah.
DeMeester,T.R and Birt,D.F. 1998. Effect of Gastroduodenal juice and dietary
fat on the development of Barretts esophagus and esophageal neoplasia
and experimental rat model. Ann. Surg. Oncol.,1:252-261.
Departemen Kesehatan R.I. 2000. Pedoman Distribusi Kapsul Minyak Beriodium.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
-----------------. 2002. Mengenal Kretin Yang Disebabkan Gangguan Akibat
Kurang Iodium (GAKI). Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta
-----------------. 2003. Gizi Dalam Angka. Ditjen Binkesmas, Direktorat Gizi
Masyarakat, Jakarta.
Djokomoeljanto, R. Hadisaputro S, Darmono, Soetardjo, Toni S. 1993. Laporan
Penelitian Pengalaman Penggunaan Yodium dalam Minyak Yodiol di
Daerah Gondok Endemik. Konggres Nasional III. Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PEKENI). Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Djokomoeljanto, R. 2001. The Effect of Iodine Deficiency on Children, The Case
of Indonesia. Materi Simposium“Childhood malnutrition: Its
consequences and management” Solo 19 Februari 2001.
----------------------. 2002. Spektrum Klinik GAKI : dari Gondok hingga Kretin
Endemik. Jurnal GAKI Indonesia. Vol.3, No.1. ISSN : 1412-5951
Dunn JT and FV der Haar. 1995. A Practical of Endemic Goiter among School
Children in Some Parts of Sumatera, Jawa and Bali. Netherland.
Dunn JT. 2002. Iodine Excess in IDD Control Programe. Jurnal GAKI
Indonesia.2(1):20-24
Elnagar B et al. 1995. The Effect of Defferent Doses of Oral Iodized Oil on
Goiter Size, Urinary Iodine and Thyroid Related Hormones. J.Clin.
Endocrinol Metab 80(3):891-7
Elnour, A. and Hambraeus, L. 2000. Variable of Contribution on Biology
Investigation (Zn and Fe Serum, Retinal, Thyrothrophine) on Retardation
Linier Growth of Pre-School Children. The American Journal of Clinical
Nutrition. Volume 71 : 59-66
Elson M. Haas. 2003. The Complete Guide to Diet and Nutritional Medicine,
Celestial Arts. J Neurochem. 2003 Jul;86(1):1-12
Etsuo Niki et.al. 1995. Interaction Among Vitamin C, Vitamin E and B-Carotene.
American Journal Clinical Nutrion, Vol.62.1322S-6S.
Faisal Anwar.1998. Telaah Beberapa Zat Gizi Mikro (Selenium). Jurusan GMSK
Fakultas Pertanian IPB.
Finley J.W., Clement Ip., Donald J.Lisk, Cindy D.Davis, Korry J.Hintze, and Phil
D.Whanger.2001. Cancer Protective Propertirs of High Selenium
Broccoli. Jurnal Agric.Food Chem, 49: 2679-2683.
Florence and Setright. 1994. The Handbook of Preventive Medicine: A Complete
Guide to Diet, Dietary Supplements anf Lifestile Factors in the Prevention
of Disease. Kingsclear Books, Australia.
Fomon SJ et al. 2003. Inevetable Iron Loss by Human Adolescent, with
Calculations of the Requirement for Absorbed Micronutrient. American
Society for Nutrition Science: 133: 167-172. www.asns.org
Fox, S.I. 1993. Human Physiology. Wm. C. Brown Publisher, Iowa
Frewin R, Henson, A Provan, D. 1997. ABC of clinical hematology: iron
deficiency anemia. BMJ. 314:360
Frey, R. 2001. Serum Iron and Selenium Level. Eds. Gale Encyclopedia of
Alternative Medicine. Farmington Hills, Michigan; Gale Group.
Gillespie S., Mclachlan M., Shrimpton R. 2003. Combating Malnutrition:Time to
Act. Human Development Network: Health, Nutrition, and Population
series.World Bank-UNICEF. Nutrition Assessment. Washington,D.C.
Gibney M.J., Vorster H. And Kon Frans J. 2002. Introduction to Human
Nutrition. Blackwell Science.
Glinoer D, Delange F. 2000. The Potential Repercussions of Maternal, Fetal, and
Neonatal Hypothyroxinemiaon The Progeny. Thyroid.
Gibson R.S. (1990). Principles of nutrition and nutritional assessment. Oxford
University Press.
Hadisaputro S. (1993). Prevalensi GAKI dalam rangka evaluasi efektivitas
distribusi kapsul minyak beriodium di Jawa Tengah. Simposium GAKI,
UNDIP, Semarang.
Hadisaputro,S. 1996. Survai Pemetaan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
(GAKI) di Jawa Tengah. Kerjasama Tim GAKI FK.UNDIP- Kanwil
Prop Jawa Tengah.
Hair, JE, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. (1998). Multivariate data
analysis. Upper Saddle River, NJ:Prentice Hall.
Hartono B. 1994. Information Processing of the Learning Disabled Children
Living in Iodine Deficient Area. Semarang. FK. UNDIP.
Hartono, B. 2001. Perkembangan Fetus dalam Kondisi Defisiensi Iodium dan
Cukup Iodium. Makalah dalam Temu Nasional GAKI. Semarang 4 – 5
November 2001
Hanim, D. Rimbawan. Purwoko, S. Triharyanto, E. 2001. Pengaruh PMT
bergaram Iodium Tinggi dan Kapsul Iodium Dosis Rendah Terhadap
Peningkatan Kekuatan Otot dan Status Gizi Anak Perempuan Usia SD.
Jurnal Kedokteran ‘YARSI’ ISSN No: 0854-1159 Vol. 9. No. 3 Tahun
2001.
Hetzel, et. Al. 1990. The Iodine Deficiency Disorders : nature, pathogenesis and
epidemiologi. World review of nutrition and diet
Hetzel BS. Iodine Deficiency: an International Public Health Problem. In:
Present knowledge in Nutrition. 6th edition. Editors: Myrtle L Brown .
International Life Sciences Insitute Nutrition Foundation, Washington DC,
1990, Chapter 35: 308.
http://www.prs.k12.nj.us/schools/PHS/Science_Dept/APBio/pic/brain.gif.
Hurlock B.E. 1978. Perkembangan Anak Jilid 1 dan jilid 2. Edisi ke-6.
Terjemahan. PT. Gelora Aksara Pratama. Penerbit Erlangga, Surabaya.
Husaini, A Mahdin; Jahari, B Abas; Harahap, Heryudarini; Halati, Siti;
Nugraheni, Anita; Pollitt, Ernesto (2001). KMS Perkembangan Anak
Teknologi Sederhana yang Relevan dengan Program Peningkatan Kualitas
SDM. Medika No. 1 Tahun XXVII. Pp: 18.
Imel, S. 2002. Metacognitive skills for adult learning. http//www.cete.org.
/cve/index.asp. Diakses 30 Oktober 2006
IOM. 2000. Dietary Reference Intakes, For Vitamin C, Vitamin E, Selenium, and
Carotenoids. National Academy Press. Washington, DC.
Irianto, K. Dan Waluyo,K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Yrama Widya,
Bandung. Hal: 237-258.
James L.Groff and Sareen S.Gropper. 1999. Advanced Nutrition and Human
Metabolism. Wadswoth Thomson Learning.
James,J.S. 2001. The Expanding the Spectrum of Selenium for Health : AIDS
Treatment News. No. 347. Internet: Medscape Posted 02/5/2001.
Jensen Lautan. 1997. Radikal Bebas pada Eritrosit dan Lekosit. Cermin Dunia
Kedokteran No.116:49-52.
John R. Butterly; Richard E. Horowitz. 2006. Controversies in Laboratory
Medicine: A Series From the Institute for Quality in Laboratory Medicine.
Internet: Medscape Posted 02/15/2006.
Jooste P.L.; and Weight, M.J. 2000. The Evaluation of Efectiveness Salt Iodize,
Elevation of Iodium Concentration and Goiter Status of School Children
in Goiter Endemic. The American Journal of Clinical Nutrition 2000
Volume 71 : 75-80).
Kanarek, Robin and Marks-Kaufman, R.1991. Nutrition and Behavior New
Perspectives. Tufts University. Medford, Massachusetts.
Katz J, West KP, Khatry SK. 2000. Maternal Low Dose Vitamin A or Beta
Carotene Supplementation Has no Effect o Fetal Loss and Early Infant
Mortality: a Randomized Cluster Trial in Nepal. Am J. Clin Nutr 71:1570-
1576
Koury MJ, dan Ponka P. 2004. New Insight into Erytropoesis: the role of folate,
vitamin B12 and iron. Annu Rev. Nutr. 24:105-131
Lernershow S, Hosmer D, Klar J, Lwanga S. 1990. Adequacy of Sampel Size in
Health Studies. Chichester : John Willey & Sons.
Linder,MC. 1992. Nutritional Biochemestry and Metabolism. Terjemahan.
Elsevier. New York.
Limited, 1996. Learning Concept. Open Learning Technology Corporation
Limited. http//gwisz.circ.gwu.edu./kearsley.html. Diakses 12 Agustus.
2005
Liste,L.D., Prakash S. Sundaresan, and M.G. Vakantesh Mannar. 1995. Stability
of iodine in iodized Salt. 8th World Salt Symposium. Vol.2: Edited by
Rob M.Geertman, Elsevier, Amsterdam-Tokyo.
Luo X.M, HJ Wei, CL Yang, J Xing, X Liu, CH Qiao, YM Feng, J Liu, YX Liu
and Q Wu.1985. Bioavailabilities of Selenium to resident in Low Selenium
Area of China. American Journal Clin.Nutrition. 42: 439-448.
Marijana Matek, 2000. The importance of selenium to human health. The Lancet.
July 15, 2000; volume 356, pp.233-241
Marit M., Gert P., Bendicht W. and Ulrich N W. 2000. Antioxidant and Thyroid
Hormone Status In Selenium Deficient Phenylketonuric and
Hyperphenylalaninemic Patients. American Journal of Clinical Nutrition,
Vol. 72, No. 4, 976-981, October 2000.
Martianto, D.; Hartoyo, Khomsan, A.; Riyadi, H; Sukandar, D. 2003. Studi
Evaluasi Program JPS. (Proposal) Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga. IPB dan Sekretariat Proyek Program
Pengembangan JPS. BAPPENAS, Jakarta.
Martianto,D. 2004. Gizi Pada Usia Remaja. Materi Bahan Kuliah Gizi Remaja
pada Program Studi GMK, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
McKenzie RL, HM Rea, CD Thomson and MF Robinson. 1978. Selenium
Concentration and Glutathione Peroxidase Activity in Blood of New
Zealand Infants and Children. American Journal of Clinical Nutrition,
Vol 31, 1413-1418.
Ministry of Health, Directorate General of Community Health Directorate of
Community Nutrition. 2003. Technical Assisteance for Evaluation on
Intensified Iodine Deficiency Control Project. IBRD LOAN No.4125-Ind.
Morris, 2006. Major Cognitive Decline Linked to High Fat, High Copper Diet.
Arch Neurol. 2006;63:1085-1088.
Moeloek,F.A. 1999. Gizi sebagai Basis Pengembangan SDM Menuju Indonesia
Sehat 2010. Razak Taha, Hardinsyah, dan Ambo Ala (Eds), Pembangunan
Gizi dan Pangan dari Pespektif Kemandirian Lokal. Perhimpunan Peminat
Gizi dan Pangan Indonesia (PERGIZI-Pangan) Indonesia dan Center
Regional Resource Development and Community Empowerment Bogor.
Muhilal. 2004. Monitoring and Evaluation of Nutrition Programme. Satelitte
Meeting on Problem of Designing Appropriate Nutrition Programs
Evaluation in Indonesia The Eight National Workshop on Food and
Nutrition. Jakarta, 17-19 May 2004.
Murti, B. 1996. Penerapan Metode Statistik Non-Parametrik Dalam Ilmu-Ilmu
Kesehatan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif di Bidang Kesehatan. UGM. Press, Yogyakarta.
Osman A., Khalid B., Tan T.T.T., Wu L.L., Ng M.L. 1992. Protein energy
malnutrition, thyroid hormone and goitre among Malysian Aborigines and
Malays. Asia Pacific J Clin Nutr, 1: 13-20.
Papalia DE, Olds SW. 1989. Human Development. United States of America :
MCGraw-Hill.
Purawisastra,S., Dahro,A.M., Santoso,S.B., Sukati, dan Muhilal. 2003.
Penetapan Kehilangan Iodium Bila Dicampur Bumbu Cabe dengan
Menggunakan Iodium Isotop. Journal GAKI Indonesia. Vol.5-6, No.2:1-9.
Pennington,J.A dan Schoen, S.A.1996. Contributions of food groups to estimated
intakes of nutritional elements: Results from the FDA total diet studies,
(1982-1991). Int J Vitam Nutr Res 1996;66:342-9.
Purves, A.; Sinauer, H.; Freeman,WH. 2004. The Science of Biology. 4th Edition.
Sinauer Associates (www.sinauer.com) dan WH Freeman
(www.whfreeman.com)
Purwoko,S. Hanim,D. Widardo, Triharyanto,E. Dan Suriyasa,P. 2001. Hubungan
Kecacingan pada anak sekolah dasar dengan kemiskinan keluarga di Kota
Surakarta. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.
Quindom.com. 2006. Classical Intelligence Test - 2nd Revision 60 questions, 45-
60 min. Internet: Medscape Quindom News Posted 08/16/2006.
Rickert, V.I. 1996. Adolescent Nutrition : Assessment and Management.
Chapman & Hall, New York.
Rimbawan dkk. 2000. Studi Keterkaitan antara Defisiensi Selenium dan
Defisiensi Iodium dalam Menetukan Masalah GAKI (Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium) dan Upaya Penanggulangannya Melalui Fortifikasi
Ganda. Institut Pertanian Bogor.
Rodrigo MR., Franqoise M., Marleen B., Franqoise B.,Carl S., Marioa T.R., Jean
N., Noemi P dan Jean V. 2003. Selenium and Iodine Suplementation of
Rural Tibetan Children Affected by Kashin-Beck Osteoarthropathy.
American Journal Clinical Nutrition. Vol 78: 137-144.
Salim, A. 1999. Uji model Penanganan Anak Kretin dan GAKI Di Sekolah
Dasar Daerah Gondok Endemik. Laporan Penelitian Bagian Proyek
Pengembangan Kesehatan dan Gizi Masyarakat (CHN-III, IBRD Loan No.
3550-IND) Direktorat Binlitabmas, Ditjen DIKTI – Depdikbud. Jakarta.
Saidin, S. 2001. Hubungan kandungan clor serum dengan hormon T3/T4 pada
anak sekolah di daerah gondok endemik. Abstrak. www.gizi.net
SCN, 2004. 5th Report on the World Nutrition Situation. Nutrition for Improved
Development Outcomes. WHO, Geneva. Switzerland.
Semba RD. 2007. Selenium. In: Nutritional Anemia. Kraemer K and
Zimmermann MB. Eds. Sight and Life Press.Basel Switzerland.
Seifert KL, Hoffnung RJ. 1987. Child and Adolescent Development. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Soekirman. 2002. Peran Gizi dalam Perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM).
Majalah Pangan. Edisi No.38/XI/Jan.
Soekirman. 2003. Fortifikasi dalam Program Gizi: Apa dan Mengapa. Bulletin
KFI.
Stephenson,LS; Latham,MC; Adam,EJ; Nikoti,SN; and Pertet A. 1993. Physical
Fitness, Growth and Appetite of Kenyan School Boys with Hookworm and
Ascaris lumbricoides Infections Are Improved Four Months After a Single
Dose of Albendazole. The Journal of Nutrition (Internet: Accepted 5
Agustus 2001)
Stipanuk M.H. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition.
W.B.Saunder Company. Philadelphia.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Bagian Kesehatan Anak. FK
Udayana, Bali. Editor: Gde Ranuh. Bagian Ilmu Kesehatan Anak UNAIR
Surabaya.
Suitor,C.J.W. and M.F.Crowley. 1984. Nutrition, Priciple and Application in
Healthh Promotion. J.P.Lippincott Co.Philadelphia.
Sunarti, Detty ST dan Zainal A.N.G. 2000. Kadar Selenium dan Aktivitas
Glutation Peroksidase pada Kasus-Kasus Keguguran di RSUP
Dr.Sardjito.
Susanto, R. 2001. GAKI, Penyakit Penyebab Retardasi Mental. Pertemuan ilmiah
nasional ''Gangguan Akibat Kekurangan Iodium'' (GAKI) 2001 tanggal 4-5
November 2001 berlangsung di Semarang.
Thaha AR. 2001. Pemetaan GAKI di Propinsi Maluku. Kerjasama FKM UNHAS
dengan Kanwil Kesehatan Propinsi Maluku.
Thaha AR, Dachlan DM dan Jalar N. 1997. Analisis Faktor Resiko Coastal
Goiter. Jurnal GAKI Vol 1 Nomor 1 hal 9-17. Jakarta.
Tapan K.Basu, Norman J.T. and Manohar L.G. 1999. Antioxidants in Human
Health and Disease. CABI Publishing.
Thomson CD, LK Ong and MF Robinson.1985. Effect of Supplementation with
High-Selenium Wheat Bread on Selenium, Glutathione Peroxidase and
Related Enzymes in Blood Components of New Zealand Residents.
American Journal of Clinical Nutrition, Vol 41, 1015-1022.
Thomson CD. Assessment of requirements for selenium and adequacy of
selenium status: a review. European Journal of Clinical Nutrition.
2004;58(3):391-402.
Thompson Higher Education. 2007. Brain Development, Nutrition and Health
Status. www.thompsonhigher.braindev.edu.com
Tierny, LM; Mc.Phee,SJ; dan Papadakis, MA. 2003. Diagnosis dan Terapi
Kedokteran untuk Penyakit Dalam_Buku 2. Salemba Medika, Jakarta.
Hal: 63-121
Tim GAKI FK UNDIP dan Kanwil Depkes RI 1996. Pemetaan GAKI di
Propinsi Jawa Tengah. Laporan Penelitian, Kanwil Depkes Prop. Jawa
Tengah.
Tiwari, B.D.; and Godbole, M.M. 1996. Learning Disability and Low Motivation
Its Effect of Iodium Deficiency in a Long Time. The American Journal of
Clinical Nutrition. Volume 63 : 782-786.
Tortora, G. J. and N. P. Anagnostakos. 2002. Principles of Anatomy and
Physiology, 6th edition. Harper and Row Publisher, New York.
Underwood, J.C.E. 2002. Patology and Sistemic Desease. Vol.2. EGC. Jakarta.
P:707-772.
UNICEF. 2003. The State of the World’s Children-2003. United Nations
Children’s Fund, New York.
UNICEF. 2000. Strategy for Improved Nutrition of Children and Women in
Developing Countries. Policy Review Paper E/2000, New York UNICEF-
WHO, New York.
Untoro, R. 2004. Pelaksanaan Program Fortifikasi Pangan Dalam Rangka
Penanggulangan Kurang Gizi Mikro. Makalah pada Workshop KFI.
Cisarua Bogor, 9-10 Desember.
US.FDA. 2002. Drug Interactions Checker to check for possible interactions.
MedScape Journal of Medicine.
Van den Briel, T.; West, C.E. 2000. The Effect of Increasing Ioidine Status on
psychomotor of school children (7-11 y.) The American Journal of
Clinical Nutrition. Volume 72 : 1179-1185.
Wardlaw, MG. Insel,PM. Seyler, MF. 1992. Contemporary Nutrition: Issue and
Insights. Mosby Year Book. Toronto.
Whanger.D. Philip. 2003. Selenium. Dept. of Environmental and Molecular
Toxicology. Oregon State University.
World Health Organizaton. 1996. Trace Elements in Human Nutrition and Health.
WHO Geneva.
WHO. 1996. Selenium. UNEP,ILO and WHO. Geneva.
WHO and FAO. 1998. Human Vitamin and Mineral Reguirements. Food and
Nutrition Division. Rome.
WHO. 1992. Indicators for assessing Iodine deficiency Disorders and Their
control through Salt Iodization. WHO Geneva.
WHO/CDC (World Health Organization/Center for Desease Control and
Peventiion). 2005. Assessing Nutritional Status of Populations. Geneva.
WHO/UNICEF/ICCIDD. 1994. Iodine and Health: Eliminating iodine deficiency
disorders safely through salt iodization, Geneva.
WHO/UNICEF. 2004. Focusing on anemia: toword and integrated approach fo
effective anemia control. Geneva.
WHO-SEARO. South East Asia - IDD Elimination Action Group. Febr 2000,
New Delhi India.
WHO. 2001. Assessment of Iodine Deficiency Disorder and Monitoring Their
Elimination : A Guide for Programme Managers. Secong Edition. Geneva.
www.medscape.com/journal, 2006. Accidental Discovery the Chicago Health and
Drug Project (CHDP), Arch Neurol. 2006;63:1085-1088.
Widodo. 2000. Kasus Tersangka Kretin Baru di Kecamatan Srumbung,
Kabupaten Magelang. Balai Penelitian GAKI, Borobudur Magelang Jawa
Tengah
Widardo; Hanim,D; Purwoko,S; dan Triharyanto E. 2001. Gerakan Awal
Pencegahan Kecacingan dengan Pemeriksaan Tinja pada Anak Sekolah
Dasar di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Laporan Pengabdian
Masyarakat LP2M UNS, Surakarta.
WKNPG, LIPI. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi, Iodium, Seng, Mangan,
Selenium. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.
PERSAGI, PERGIZI-PANGAN, PDGMI. Jakarta.
www.current.med.com/ch13.html. Diagnosis and Medicine Theraphy. 2003.
(Internet: Accepted 25 Agustus 2002)
Yehuda S, Rabinovitz S, Mostofsky D.I. 1999. Essential fatty acids and selenium,
iodine are mediators of brain biochemistry and cognitive functions. J
Neurosci Res. 1999; 56:565-570.
Zanden J.W.V. 1985. Human Development. United States of America : Alfred A.
Knopf, Inc.
Lampiran 1.
Lembar Data Kepatuhan
Bulan ke : 1 / 2 * (lingkari yg sesuai)
Nama anak :______________________ SD :_______________
Umur : ______th. ______bulan Kelas :_______________
Minum Kapsul Obat (beri tanda ) Ya
No. Tanggal
Habis Tidak habis Sisa Tidak
Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 dst dst.nya
Lampiran 2.
Presensi Kepatuhan Siswa ’Minum Kapsul’ SDN Jombong I,
Kecamatan Cepogo, Boyolali (Minggu – I)
No. NAMA Hr.1 Hr.2 Hr.3 Hr.4 Hr.5 Hr.6 Keterangan 1 Kabul
Budiyanto
2 M. Sofan 3 Suryati 4 5 6 7 8 9 10 Dstnya........
Lampiran 3.
LEMBAR JAWAB TES IQ : RAVEN SETS ‘A_AB_B’ NAMA : UMUR : ASAL SDN : KELAS : IV / V
A AB B 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 6 6 6 7 7 7 8 8 8 dstnya s.d 12
dstnya s.d 12
dstnya s.d 12
(Sumber : Morris, and Raven (2006)
Lampiran 4.
Jenis Menu Makanan Harian Anak di Derah Endemik GAKI
Ukuran Rumah Tangga (URT) Waktu
Jenis Hidangan 2000 kilokalori 1700
kilokalori 1400
kilokalori Nasi 2 sendok nasi 2 sendok
nasi 1 sendok
nasi Tempe/Tahu/Telur ayam bumbu semur
1 potong 1 potong ½ potong
Sayur Tumpang tempe bayam + tauge
½ piring ½ piring ½ piring
Pagi
Teh manis 1 gelas 1 gelas 1 gelas 10.00 Bubur kacang hijau 1 gelas 1 gelas ½ gelas
Nasi 3 sendok nasi 2 sendok nasi
1½ sendok nasi
Ayam goring (sayap) 1 potong 1 potong 1 potong Tempe /tahu bacem 2 potong 1 potong 1 potong Lalap (tomat, timun, kobis)
½ mangkok ½ mangkok ½ mangkok
Sayur asem kobis+melinjo
1 sn sayur 1 sn sayur 1 sn sayur
Sambal terasi 1 sendok makan 1 sendok teh 1 sendok teh
Siang
Nenas /papaya/pisang 1 potong 1 potong 1 potong 16.00 Buah-buahan dirujak 1 piring ½ piring ½ piring
Nasi sayur kobis /Mie goreng
3 sendok makan 2 sendok makan
1½ sendok makan
Telur dadar 1 potong ½ potong ½ potong Tahu / tempe goreng 1 potong 1 potong 1 potong Sayur bayam + mie sedap/indomie
1 sn sayur 1 sn sayur 1 sn sayur
Malam
Jagung manis rebus 1 potong 1 potong 1 potong Keterangan : untuk URT nasi digunakan sendok nasi (centong), bukan sendok makan
Lampiran 5.
Nilai Zat Gizi Menurut Jenis Menu Makanan Harian Anak
di Daerah Endemik GAKI
Zat gizi Nasi Pecel tahu
Nasi Tumpang
Nasi bumbu pecel/tumpang
Nasi/Mie goreng
Karak / kerupuk
Berat /porsi 150 g 109 g 83 g 94 g 1 pt: 7 g Energi (Kal) 190.7 160.3 83 166.2 15.7 Protein (g) 7.2 3.9 3.4 4.4 0.4 Karbohidrat (g) 31 30.3 28.3 24.5 1.6 Lemak (g) 4.6 2.7 2.6 5.6 1 Vitamin A (ug) 39.3 39.3 - - - Vitamin C (mg) 3.7 3.7 - - - Fe (mg) 3 0.9 0.5 0.5 - Zn (mg) 0.9 0.6 0.5 0.4 - Iodium (ug) 0.2 - 0.3 0.2 - Selenium (ug) 9.5 9.5 9.5 9.5 -
Lampiran 6.
Rata-rata Nilai Zat Gizi Menurut Sumbangan Makanan Jajanan
Anak di Daerah Endemik GAKI
Zat gizi Rata-rata Intake / Jenis
kelamin
AKG Sumbangan (%) makjan di rumah
Sumbangan (%) makjan di
SD Energi (Kal) L= 1700-2000
P= 1400-1800 2000 0.97 – 8.35 3.61 – 18.77
Karbohidrat L= 180 – 220 P= 160 – 180
1000 9.17 – 13.72 0.27 – 22.8
Protein (g) L= 35 - 45 P= 35 - 45
40 4.0 – 6.89 4.9 – 17.3
Lemak (%) L=12.0 – 19.25P=8.75 – 13.25
20 8.75 – 19.25 42.5 - 50
Fe (mg) L=13.0-29.0 P=11.5-14.5
15 4.0 – 13.0 16.0 – 29
Zn (mg) L=5.46 – 6.11 P=4.50 – 6.62
7 - 8 1.78 – 4.46 4.5 – 6.1
Iodium (ug) L=10.6 – 11.57 P=11.2 – 11.87
120 2.06 – 9.98 2.50 – 7.36
Selenium (ug) L=12.95 – 13.3 P=12.75 – 13.4
30 4.65 - 9.91 1.25 - 4.55
Lampiran 7.
Daftar Bahan Pangan Goitrogenik (Chapman, 1982)
No Nama Bahan
Pangan
Kelompok Famili Nama Latin Zat Goitrogenik
1 Singkong Eupharbiaceae Manihot sp Sianida
2 Gaplek Eupharbiaceae Manihot sp Sianida
3 Gadung Dioscoreaceae Dioscore Sianida
4 Daun singkong Eupharbiaceae Manihot sp Sianida
5 Kool dan Sawi Crucifera Cabbage &
Brascia
Sianida
6 Pete cina/ Lamtoro Leguminoceae Leucaena Isothiosianat
7 Daun pepaya Carica Carica Papaya Sianida
8 Rebung Gramineae Bambosa Bamboo Sianida
9 Daun Ketela Cenvolvulaceae Ipomea Batatas Sianida
10 Kecipir Leguminoceae Psophocarpus sp Sianida
11 Terung Solanaceae Solanum sp Sianida
12 Petai Leguminoceae Parkia Belum
Diketahui
13 Jengkol Leguminoceae Pithecolobium Belum
Diketahui
14 Bawang Allium Allium sp Disulf.Alipatik
15 Asam Leguminoceae Tamarindus Indica Zat Asam
16 Jeruk Nipis Rutaceae Citrus Aurintfolia Zat Asam
17 Belimbing Wuluh Averrhoaceae Averhoa Bilimbi Asam
18 Cuka - - Zat Asam
Lampiran 8
Tests of Normalityb
,233 47 ,000 ,802 47 ,000
,199 52 ,000 ,876 52 ,000
kategori IQ skor (Predefisiensi Se+I amatberatdefisiensi Se+I berat
group intervensStatistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correctiona.
group intervensi is constant when kategori IQ skor (Pre) = defisiensi Se+I sedang. It has been omb.
Test of Homogeneity of Variancea
7,350 1 97 ,0084,369 1 97 ,039
4,369 1 89,426 ,039
7,017 1 97 ,009
Based on MeanBased on MedianBased on Median andwith adjusted dfBased on trimmed mean
group intervensi
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
group intervensi is constant when kategori IQ skor (Pre) = defisiensi Se+I sedang. It hasbeen omitted.
a.
Lampiran 9.
Jenis intervensi suplemen iodium di berbagai Negara (ACC/SCN, 2001)
Jenis Intervensi
Tempat Dosis/ Perlakuan
Frekuensi
Periode Intervensi
Target Dampak / hasil
Suplemen iodium melalui oral
Cote d I'voere
- - 30 minggu anak Prevalensi gondok berkurang 64% (kekurangan besi), 12% (besi cukup)
- Uttar Pradesh India
- - - Anak usia 9-15 thun
Adanya perbedaan kemampuan belajar anak yang defisiensi iodium berat dengan sedang
Suplemen iodium
PRC 480 mg iodium dlm 1 mL poppy seed oil
- 12 bulan dan 18 bln
Anak sekolah
18% turun jadi 5% (12 bln anak diberi serum iodium dan minyak iodium), 18% jadi 9% (18 bln anak konsumsi garam beriodium dari pasar)
Fortifikasi iodium pd biskuit
Afrika Selatan
60 μgr iodium/hari
43X 43 minggu Anak sekolah 6-11 th
Prevalensi konsentrasi iodium turun dari 97% jadi 5 %
Suplemen iodium
Bolivia 475 mg minyak
beriodium
- 22 bulan Anak sklh 5-12 th
Tidak ada pengaruh pemberian suplemen dibanding kontrol
Suplemen Iodium
Columbia - - 22 bulan Anak sekolah
Adanya perbaikan IQ
Suntikan minyak beriodium
Equador - - 2 tahun anak prp 6-10 th
Tes IQ lebih baik
Suplemen iodium
Malawi - - - 6-8 tahun
Tidak ada efek perkembangan mental karena 25% partisipan keluar