Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Pengaruh Penerapan Tata Kelola Perusahaan terhadap Luas Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di dalam Sektor Perkebunan Kelapa
Sawit dan Pertambangan di Indonesia Periode 2012-2013
Deniyanto Sorip, Dwi Hartanti
1. Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok
2. Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai kondisi penerapan Tata Kelola Perusahaan di
sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan Indonesia untuk kemudian diukur dalam beberapa komponen,
yaitu kepemilikan blockholders, kepemilikan publik, independensi dewan komisaris, dan fungsi CG (Corporate
Governance) perusahaan. Hasil pengukuran tersebut akan digunakan untuk mencari adanya pengaruh yang diberikan
dari penerapan CG terhadap tingkat pengungkapan CSR perusahaan. Adapun teori yang digunakan di dalam
penelitian berfokus pada keuntungan dan konsekuensi yang diperoleh dari perusahaan melalui penerapan CG yang
baik disertai dengan transparansi serta kesadaran pada aktivitas CSR. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
berjumlah (27) perusahaan yang sudah meliputi kedua sektor pekebunan kelapa sawit dan pertambangan pada
periode 2012-2013 yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian menggunakan uji statistik Random
Effect (Least Squares Dummy Variables) menunjukkan bahwa independensi di dalam perusahaan membawa dampak
yang signifikan untuk menjaga insentif perusahaan berbudaya bisnis yang transparan. Namun, masih tingginya
kerjasama politik yang ada antara para pebisnis dengan pihak pemerintah daerah, menciptakan adanya bias atas
informasi terkait peran publik dalam mengontrol aktivitas perusahaan.
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
2
The Influence of Corporate Governance towards the Level of Corporate Social Responsibility Disclosure in Indonesian Palm Oil and Mining Sector for the Period 2012-
2013
Abstract
The objective of this study is to present an empirical evidence of the CG (Corporate Governance) implementation in
the Indonesian palm oil sector and the mining sector for which the measurement of CG is separately conducted
between the variables: Blockholders ownership, Public ownership, Board Independency, and CG Functions of the
company. The measured data will be statistically observed in order to find out whether there is a significant
influence towards the company’s CSR (Corporate Social Responsibility) disclosure. The theories used in this study
are specifically focusing on the benefits and consequences for the company’s sustainability through executing good
Corporate Governance as well as CSR activities with transparency and awareness. The samples used in this study
include (27) listed companies that are operating in the mining sector as well as the palm oil sector in the Indonesian
Stock Exchange (BEI) during 2012-2013. Through regression analysis and statistical test using the Random Effects
(Least Squares Dummy Variables), this study found out that independency in most of the companies observed has
significant influence in controlling the company’s conduct of transparency. However, there is still a high political
misconduct between the companies and the regional government which created a bias of information towards the
role of society as controlling stakeholder for the company’s CSR.
Keywords: Corporate Governance, Corporate Social Responsibility, Board Independency, Corporate Governance
Functions
Pendahuluan
Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance - GCG) merupakan penerapan
bisnis secara optimal yang bertujuan agar kinerja organisasi semakin meningkat dan
menciptakan nilai organisasi yang berharga bagi seluruh pemangku kepentingan perusahaan.
GCG juga bukan hanya sekedar penerapan secara struktural, tetapi sebuah penerapan yang ikut
mendukung ketaatan dan transparansi (Tuanakotta, 1999). Semenjak kejatuhan Enron (2001) dan
WorldCom (2002) yang diakui sebagai akibat dari penerapan tata kelola perusahaan yang buruk,
perusahaan-perusahaan multinasional mulai beradaptasi untuk memprioritaskan GCG sebagai
faktor utama bagi kemajuan perusahaan. Namun, Claessens dan Fan (2002) menemukan bahwa
masih banyak perusahaan yang mengalami kesulitan di dalam menerapkan GCG, khususnya di
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
3
Asia. Pemegang saham mayoritas yang dominan di dalam pengambilan keputusan perusahaan
menjadi masalah utama yang kerap ditemukan di perusahaan-perusahaan Asia, termasuk
Indonesia. Selain itu, maraknya perusahaan yang berasas kekeluargaan, yaitu perusahaan yang
didominasi oleh keluarga pemilik, juga menjadi penyebab utama kesulitan di dalam menerapkan
GCG.
Pada tahun 2010, World Bank dan IMF (International Monetary Fund) melakukan pengecekan
atas perkembangan GCG di Indonesia dalam bentuk ROSC (Report on the Observance of
Standards and Codes). Hasil dari pengecekan tersebut adalah bahwa perusahaan-perusahaan
terbuka di Indonesia sudah mentaati peraturan yang ada untuk mengoptimalkan tata kelola
perusahaannya. Namun, substansi dari GCG itu sendiri, yakni transparansi, akuntabilitas,
fairness, dan tanggung jawab, tidak dilaksanakan secara merata. Claessens (2006) menunjukkan
bahwa GCG sangat sulit untuk dilaksanakan di Asia akibat tingginya hubungan principal-agent
yang berlangsung dan kurangnya perlindungan bagi pemegang saham minoritas. Selain itu, para
direksi perusahaan juga menyatakan bahwa GCG memiliki risiko yang besar karena sistem
perusahaan perlu beradaptasi dan hal tersebut memerlukan biaya yang besar. Rama (2012) turut
menjelaskan bahwa adanya ketidakseimbangan insentif yang berlangsung di dalam perusahaan
akibat praktik korupsi yang relatif besar. Praktik tersebut menghalangi para anggota yang
berkeinginan mewujudkan keharmonisan operasi bisnis melalui GCG.
Bisnis perkebunan kelapa sawit diakui sebagai bisnis yang marak dilakukan di Asia Tenggara.
Gillespie (2013) mencatat bahwa dukungan Indonesia terhadap perkembangan bisnis perkebunan
kelapa sawit dimulai sejak insiden krisis perekonomian tahun 1998. Pada saat itu, seluruh sektor
bisnis selain kelapa sawit mengalami penurunan yang tajam. Hanya bisnis kelapa sawit yang
mampu bertahan dan terus berkontribusi dalam mendongkrak kembali perekonomian Indonesia
selama krisis (Susila, 2004). Sejak kejadian tersebut, Indonesia kemudian memberikan perhatian
khusus terhadap bisnis perkebunan kelapa sawit, yang terlihat dari presentasi Menteri Pertanian
yang secara umum mendukung penuh ekspansi bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia
(Dirjen Perkebunan, 2008 – Kebijakan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
untuk Kesejahteraan Masyarakat. Presentasi pada tanggal 24 November, Bali, Indonesia kepada
Roundtable on Sustainable Palm Oil).
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
4
Di dalam penelitian oleh Gillespie (2013) pula, CSR yang dijalankan oleh perusahaan-
perusahaan kelapa sawit di Indonesia, sebagian besar tergolong minim. Seperti yang dinyatakan
oleh Sedyono (2007) dalam Gillespie (2013):
Kondisi CSR di Indonesia masih dalam tahap awal, meskipun perkembangan yang ada
telah mengindikasikan sinyal-sinyal yang menjanjikan. Empat atau lima tahun yang lalu,
CSR masih dianggap asing dan konsep kesadaran masih sangat rendah (Sedyono, 2007).
Kejadian yang sama juga dialami oleh sektor pertambangan di Indonesia yang selama ini
memunculkan banyak perdebatan. Devi dan Prayogo (2013) dari International Mining for
Development Center (IM4DC) menunjukkan hasil atas perkembangan penerapan CSR yang baik
dari industri tambang Indonesia selama 10 tahun terakhir. Kedua peneliti tersebut memberikan
laporan terkait dengan keadaan dari penerapan CSR perusahaan-perusahaan tambang serta
beberapa perkembangan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengurangi
penyalahgunaan ijin usaha tambang (IUP). Hasil dari laporan tersebut menunjukkan masih
minimnya perhatian dan konsistensi pengawasan oleh pemerintah serta kesadaran perusahaan
untuk menjalankan CSR secara substansif. Meskipun regulasi yang dikeluarkan selama 10 tahun
terakhir dinilai efektif dan tepat sasaran, namun implementasi dari regulasi tersebut masih
mengalami banyak ketidakseimbangan.
Devi dan Prayogo (2013) menemukan adanya konflik kepentingan yang cukup besar antara
pihak pemerintah daerah dengan para perusahaan tambang. Konflik tersebut disebabkan karena
adanya penyalahgunaan otonomi daerah dimana sebagian besar kewenangan tersebut, digunakan
para pemerintah daerah untuk pemenuhan kekayaan atas pihak tertentu. Pengawasan dari
pemerintah daerah yang minim dan beberapa bukti atas keberpihakan sebagian besar pemerintah
daerah kepada para perusahaan yang beroperasi menunjukkan masih lemahnya penekanan
regulasi terkait aktivitas tambang di Indonesia. Akibat dari kondisi tersebut, para investor
menjadi ragu untuk menanamkan modal investasinya ke dalam perusahaan di sektor
pertambangan karena ada resiko ketidakselarasan bisnis dengan regulasi.
Penelitian mengenai CSR masih minim dilakukan di Indonesia. Hal ini berkaitan erat dengan
akses yang sulit terhadap informasi-informasi seperti kinerja keuangan perusahaan dan informasi
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
5
lainnya. Selain itu, industri kelapa sawit dan pertambangan tidak banyak dilakukan penelitian
atau observasi yang berasal dari lingkungan domestik, khususnya terkait permasalahan yang ada
di dalam perusahaan tersebut dari segi CSR dan CG. Oleh karena itu, penelitian ini akan
memberikan kontribusi berupa bukti empiris mengenai kondisi serta pengaruh CG terhadap CSR
yang dilaksanakan perusahaan di sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan pada
periode 2012-2013.
Tinjauan Teoritis
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR - Corporate Social Responsibility) merupakan
kebijakan bisnis yang menyangkut kegiatan sosial perusahaan sebagai kompensasi untuk
pengaruh bisnis terhadap lingkungan di sekitarnya (European Commission, 2014). Belal (2001)
di dalam Jamali dan Mirshak (2007) menyatakan bahwa CSR masih menjadi suatu “misteri” bagi
negara-negara berkembang. Hal ini dikarenakan persebaran informasi atas CSR belum merata,
yang terfokus hanya pada negara-negara maju seperti di Amerika dan Eropa. Kurangnya
pengetahuan atas CSR tersebut, ditunjukkan dari banyaknya kasus terkait kondisi lingkungan dan
sosial akibat kegiatan bisnis di Asia Tenggara (Ballard, 2001; Jamali dan Mirshak, 2007).
Penerapan CSR di negara-negara berkembang, khususnya di Asia Tenggara, kurang konsistensi,
sesuai dengan hasil observasi yang dilakukan oleh World Bank (2010) dalam ROSC (Report on
the Observance of Standards and Codes). Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh
kurangnya pemahaman atas teori-teori CSR yang telah dipublikasikan secara global. Selain itu,
di dalam ROSC oleh World Bank (2010), sebagian besar masalah mengenai CSR terklasifikasi
sebagai status “form over substance” dimana peraturan dan kebijakan telah dibuat tetapi tidak
dilaksanakan dengan benar.
Objektif CSR sebagai pendukung dalam menanamkan kepercayaan pemegang saham menjadi
faktor yang krusial bagi perusahaan. Menurut Friedman (1970), menggunakan CSR sebagai
“investasi” pada komunitas yang terkena dampak eksternalitas negatif, mampu dijadikan sebagai
kekuatan jangka panjang oleh perusahaan. Kekuatan jangka panjang yang dimaksud adalah
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
6
reputasi dan nama baik perusahaan di kalangan para pemangku kepentingan eksternal
(Konsumen, Supplier, Penegak Hukum, Lingkungan Sosial, Bank). Selain itu, loyalitas dari para
pemangku kepentingan memiliki potensi sebagai penjamin keberlangsungan perusahaan serta
berfungsi sebagai keunggulan kompetitif jangka panjang.
Jones (1980) menyatakan bahwa CSR seharusnya menjadi suatu proses yang adil dimana seluruh
kepentingan memiliki kesempatan untuk didengar. Di dalam kutipan oleh Carroll (1999), Jones
(1980) mendefinisikan CSR sebagai kesadaran perusahaan atas kewajibannya terhadap
kelompok-kelompok sosial yang berada di luar ruang lingkup pemangku kepentingan.
Kewajiban tersebut, menurut Jones (1980) haruslah dilaksanakan dengan sukarela, dalam arti,
tidak didasari oleh peraturan atau kontrak apapun. Lebih jauh lagi, Jones (1980) menyatakan
kesuksesan atas CSR hanya bisa terjadi ketika perusahaan mampu memperluas tanggung
jawabnya melebihi nilai-nilai tradisional, termasuk keterikatan kepada para pemegang saham.
Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance – CG) didefinisikan oleh OECD (Organisations
for Economic Co-operations and Development) (1999) sebagai suatu sistem dimana seluruh
operasi bisnis diarahkan dan dikendalikan. Struktur dari suatu CG menspesifikasikan distribusi
atas kewenangan dan tanggung jawab dari seluruh anggota perusahaan, termasuk dewan
eksekutif perusahaan (Direksi dan Dewan Komisaris), manajer, pemegang saham, dan para
pemangku kepentingan perusahaan lainnya. Menurut OECD (2004), CG diakui sebagai salah
satu elemen penting di dalam mendorong efisiensi dan pertumbuhan perekonomian, serta
meningkatkan keyakinan investor dalam berinvestasi. Sebuah CG yang baik (Good Corporate
Governance – GCG) perlu menyediakan suatu insentif yang kuat kepada manajemen dan jajaran
eksekutif perusahaan dalam mencapai objektif yang bermanfaat bagi perusahaan dan para
pemegang saham disertai dengan monitoring yang rutin pada setiap kinerja perusahaan (OECD
Principles of Corporate Governance, 2004).
Pada tahun 2000, La Porta et al. (2000) memberikan ulasan atas pentingnya korelasi antara
perlindungan investor dan CG. La Porta et al. (2000) lebih jauh lagi menyatakan bahwa
ekspropriasi menjadi isu utama mengapa CG dan perlindungan investor perlu diutamakan dalam
menjaga kestabilan ekonomi. Ekspropriasi merupakan proses penggunaan control ownership
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
7
untuk memaksimalkan kesejahteraan suatu pihak tertentu dengan mendistribusikan kekayaan
dari pihak lain (Claessens et al. 2000). La Porta et al. (2000) menyatakan ekspropriasi sebagai
masalah utama perekonomian karena telah disalahgunakan oleh berbagai eksekutif perusahaan.
La Porta et al. (2000) juga menjelaskan pentingnya pembentukan perlindungan investor secara
hukum. Hal ini dikarenakan ekspropriasi cenderung merugikan para investor yang telah
memberikan bantuan finansial kepada perusahaan, khususnya pemegang saham minoritas yang
mengalami kerugian terbesar akibat aktivitas tersebut.
Penemuan oleh Johnson et al. (2000) menunjukkan adanya hubungan antara perlindungan
investor dan krisis keuangan. Dalam negara-negara yang kurang menerapkan perlindungan
investor, pihak internal perusahaan cenderung menganggap baik para investor selama prospek
masa depan masih memberikan prediksi yang menjanjikan. Namun, ketika prospek mulai
menunjukkan penurunan, ekspropriasi kerap dilakukan dan tidak ada yang bisa dilakukan oleh
para pemegang saham ataupun kreditor. Penelitian oleh Johnson et al. (2000) pada 25 negara
selama krisis Asia tahun 1997-1998 menunjukkan bahwa variabel-variabel CG seperti indeks
perlindungan investor dan kualitas pelaksanaan hukum menjadi prediktor yang kuat dalam
menjelaskan ukuran penurunan pasar selama krisis.
Pemegang saham blok (blockholders) merupakan pemegang saham perusahaan yang memiliki
saham dalam jumlah besar sehingga mampu memberikan dampak positif atau negatif secara
signifikan dalam waktu yang singkat terhadap keberlangsungan perusahaan. Edmans (2014)
menyatakan bahwa terdapat dua mekanisme yang pada umumnya digunakan oleh blockholders,
yaitu mekanisme “voice” dan “exit” (Hirschman, 1970). Melalui “voice”, blockholders
mengintervensi secara langsung terhadap kegiatan operasional perusahaan. Beberapa cara yang
umumnya dilakukan dengan “voice” adalah pemberian dana kepada perusahaan atau memaksa
perusahaan untuk menjalankan keinginan blockholders atas kepentingan tertentu. Sedangkan
“exit” merupakan intervensi oleh blockholders secara tidak langsung terhadap perusahaan yang
umumnya berupa ancaman penurunan nilai investasi perusahaan dengan menjual sebagian besar
saham perusahaan ke dalam pasar.
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
8
Edmans (2014) memberikan hasil atas adanya pengaruh positif yang signifikan dari peran
blockholders untuk menjaga stabilisasi penerapan GCG di sebagian besar perusahaan terbuka di
Amerika. Namun, Edmans (2014) menyatakan bahwa hasil yang berbeda kemungkinan besar
akan terjadi di negara lain karena blockholders tidak akan selalu membawa efek positif terhadap
insentif manajemen perusahaan dalam menjaga GCG. Atas informasi tersebut, maka penulis
menetapkan suatu hipotesis:
H1 Kepemilikan Pemegang Saham Blok perusahaan berpengaruh positif terhadap
pengungkapan CSR
Sesuai dengan teori CSR integratif menurut Jones (1980), publik atau masyarakat memiliki
potensi untuk mengendalikan keberlangsungan perusahaan dengan memperhatikan proses kinerja
CSR perusahaan hingga saat ini. Dengan meletakkan reputasi dan nama baik perusahaan sebagai
pengendali eksternal, maka publik dapat melakukan penekanan saat pelanggaran CSR dilakukan
oleh perusahaan. Ghazali (2007) menyatakan bahwa publik dan pemerintah perlu melakukan
ketegasan dan penekanan peraturan (regulation enforcement) terhadap perusahaan-perusahaan
terbuka, khususnya di sektor-sektor yang berinteraksi langsung ke dalam lingkungan dan
masyarakat.
Ghazali (2007) juga menyatakan bahwa tingkat pengungkapan CSR sangatlah bergantung
kepada tekanan publik baik sebagai pemangku kepentingan maupun pemegang saham minoritas
di perusahaan. Pada saat tekanan publik memiliki dukungan berupa regulasi atau peraturan
pemerintah yang mengikat, perusahaan akan cenderung mengungkapkan lebih banyak.
Sebaliknya, ketika tekanan publik tidak dianggap sebagai ancaman bagi perusahaan,
pengungkapan akan dilakukan pada batas minimal. Melalui kedua informasi tersebut, maka
penulis membuat suatu hipotesis:
H2 Kepemilikan Publik perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR
Harjoto dan Jo (2011), dalam penelitiannya terkait hubungan CG dan CSR, menggunakan
Independensi Dewan Eksekutif perusahaan sebagai variabel untuk mengukur CG. Hasil dari
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
9
penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh positif yang signifikan dari keberadaan
anggota Dewan Eksekutif yang independen dalam perusahaan terhadap tingkat pengungkapan
CSR.
Dengan adanya independensi dari suatu anggota, maka pengambilan keputusan yang
menciptakan ketidakseimbangan atas kepentingan, seperti ekspropriasi, menjadi sulit untuk
dilakukan. Terlebih lagi, dengan adanya regulasi yang mengikat tugas dari anggota independen
dalam melakukan pengawasan, maka tekanan terhadap para anggota eksekutif lainnya untuk
menjalankan transparansi dengan benar, menjadi lebih besar. Atas dasar informasi tersebut, maka
penulis membuat hipotesis:
H3 Independensi Dewan Komisaris perusahaan berpengaruh positif terhadap
pengungkapan CSR
Hasil penelitian Chan et al. (2014) menunjukkan adanya pengaruh positif yang signifikan dari
kualitas kinerja komite-komite yang bergerak di bawah Komisaris Independen – Komite Audit,
Komite Nominasi, Komite Remunerasi, dan Komite CG – dalam mendorong insentif perusahaan
agar lebih transparan mengungkapkan informasi kepada para pemangku kepentingan. Namun,
Chan et al. (2014) berargumen bahwa pengaruh yang diberikan terhadap transparansi informasi
tidak akan signifikan apabila legalisme menjadi panutan dalam pembentukan komite tersebut.
Melalui informasi di atas, maka penulis membuat hipotesis:
H4 Fungsi CG perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR
Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana signifikansi pengaruh yang diberikan oleh
variabel-variabel yang termasuk sebagai komponen pengukur CG perusahaan terhadap tingkat
pengungkapan CSR. Seperti yang ditunjukkan dalam diagram 1, penelitian ini terdiri dari empat
variabel independen yang diprediksi memberikan pengaruh langsung terhadap variabel
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
10
dependen, disertai dengan empat variabel kontrol yang diprediksi mampu berfungsi sebagai
pengendali signifikansi model secara keseluruhan.
Sumber:Data Diolah
Perkebunan kelapa sawit merupakan sektor agrikultur di Indonesia yang belum memiliki jumlah
perusahaan terdaftar yang signifikan di dalam Bursa Efek Indonesia, yaitu sebanyak 15
perusahaan pada akhir tahun 2013. Hanya sebagian kecil yang tergolong sebagai perusahaan
senior di dalam pasar dan sebagian lainnya baru melaksanakan IPO (Initial Public Offering)
dalam dua atau tiga tahun terakhir (Daftar Emiten Sub Sektor Perkebunan Bursa Efek Indonesia,
2013). Selain itu, selama tahun 2010 hingga tahun 2012, ada beberapa perusahaan yang
mengubah sektor bisnisnya menjadi perkebunan kelapa sawit, salah satunya adalah PT. SMART,
Tbk yang pada tahun 2010 mengubah sektor bisnis perusahaan dari informasi dan teknologi
menjadi sektor perkebunan (kelapa sawit).
Diagram 1 - Kerangka Variabel Penelitian
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
11
Atas dasar tidak relevansinya rasio keuangan yang dihasilkan serta jumlah sampel yang kurang
signifikan pada tahun-tahun sebelum perubahan sektor dilakukan, maka periode ruang lingkup
penelitian untuk perusahaan-perusahaan di sektor perkebunan kelapa sawit adalah pada tahun
2012 hingga 2013 dimana sebagian besar perusahaan sudah menjalani kegiatan operasional
setidaknya dua tahun disertai jumlah sampel yang lebih baik.
Sektor pertambangan memiliki jumlah perusahaan terdaftar yang lebih signifikan di dalam Bursa
Efek Indonesia. Namun, beberapa perusahaan juga melakukan perubahan sektor menjadi sektor
pertambangan pada tahun 2012 hingga 2013, seperti PT. Myoh Technology, Tbk (2012), PT.
Cipendawa, Tbk (2012), dan PT. Eatertainment International, Tbk (2013). Selain itu, beberapa
perusahaan tidak memberikan akses yang mudah kepada publik untuk memperoleh laporan
tahunan pada tahun 2007 hingga 2011 sehingga informasi mengenai kinerja keuangan
perusahaan yang digunakan untuk variabel penelitian, tidak bisa diperoleh.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode purposive
sampling yang mengikuti kriteria sebagai berikut:
1. Perusahaan publik (Tbk) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode
2012-2013 dan dikategorikan ke dalam sektor pertambangan atau kelapa sawit
(perkebunan).
2. Memiliki Laporan Tahunan yang mampu diakses dengan mudah oleh publik
pada tahun 2012-2013 melalui laman Bursa Efek Indonesia ataupun laman
perusahaan itu sendiri.
3. Perusahaan telah menjalankan bisnisnya sebagai perusahaan terbuka selama
setidaknya 2 tahun sejak IPO.
Jumlah sampel perusahaan yang diteliti adalah 27 perusahaan dengan periode dua tahun. Proses
penyortiran perusahaan adalah sebagai berikut:
Tabel 1 - Proses Pemilihan Sampel
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
12
Sektor Perkebunan Kelapa Sawit:
Jumlah Perusahaan yang terdaftar di BEI pada tahun 2012
Jumlah Perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sampel
Jumlah Perusahaan yang memenuhi kriteria
Nominal
11
4
7
Sektor Pertambangan:
Jumlah Perusahaan yang terdaftar di BEI pada tahun 2012
Jumlah Perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sampel
Jumlah Perusahaan yang memenuhi kriteria sampel
38
18
20
Jumlah Sampel Perusahaan yang digunakan 27
Sumber: Data Diolah
Penelitian menggunakan model Khan et al. (2013) yang telah disesuaikan dengan kondisi
regulasi di Indonesia, disertai penambahan satu variabel, yaitu Fungsi CG Dewan Eksekutif
perusahaan (CG Board Functions). Dalam model Khan et al. (2013) variabel-variabel seperti
CEO Duality dimana terdapat anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang menjabat di dua
posisi, tidak relevan dengan kondisi regulasi yang ada di Indonesia. Begitupula dengan variabel
Audit Committee yang sudah menjadi kewajiban di setiap perusahaan sehingga tidak ada
variabilitas yang bisa diambil melalui variabel tersebut. Atas pertimbangan tersebut, maka kedua
variabel tersebut tidak dimasukkan ke dalam model penelitian ini. Namun, penulis memasukkan
variabel Fungsi CG perusahaan (CGBF) sesuai dengan model penelitian pada Chan et al. (2014)
dimana terdapat pengaruh positif yang signifikan dengan tingkat pengungkapan CSR. Model
penelitian terdiri dari satu variabel dependen, empat variabel independen, dan empat variabel
kontrol. Adapun model tersebut adalah:
CSRDI = β0 + β1 BLKO+ β2 PUB + β3 BIND + β4 CGBF + β5 FSIZE + β6 FAGE +
β7 LEV + β8 ROA + εi
Keterangan:
CSRDI Indeks pengungkapan CSR
BLKO Jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham blok (blockholders)
PUB Jumlah saham perusahaan yang dimiliki publik
BIND Proporsi Komisaris Independen dalam perusahaan terhadap jumlah
Komisaris
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
13
CGBF Bobot skor yang dikenakan terhadap fungsi CG perusahaan berdasarkan
proses pengecekan aspek pada Thomson Reuters ESG
FSIZE Logaritma natural dari total aset perusahaan
FAGE Logaritma natural dari umur perusahaan
LEV Rasio dari total hutang perusahaan dengan total aset pada nilai buku
ROA Rasio dari pendapatan sebelum beban bunga dan pajak (EBIT) dengan total
aset pada nilai buku
Hasil Penelitian
Hasil deskriptif dari data penelitian memberikan beberapa informasi penting terkait dengan
tingkat pengungkapan CSR di sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Dengan rerata
0.489198, nilai tersebut menggolongkan perusahaan-perusahaan di kedua sektor masih memiliki
insentif yang lemah dalam menjalankan CSR secara voluntary. Dari total 12 komponen untuk
indeks pengungkapan CSR, rata-rata dari 27 perusahaan yang diteliti, komponen CSR yang
diungkapkan atau dilakukan secara sukarela, tidak lebih dari 50% dari total komponen yang
diteliti. Penelitian ini menunjukkan sebagian besar pengungkapan dan penerapan CSR di kedua
sektor masih memiliki sifat legalisme yang kental, yakni hanya melaksanakan CSR sebagai
sekedar pentaatan terhadap peraturan yang ada namun secara substansi, tidak diterapkan dengan
baik.
Keadaan kepemilikan saham di sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan menunjukkan
bahwa sebagian besar perusahaan didominasi oleh pemegang saham blok. Hal tersebut
merupakan fenomena yang wajar sesuai dengan pernyataan oleh Devi dan Prayogo (2013) bahwa
hampir seluruh perusahaan pertambangan memaksimalkan perdagangan ekspor sehingga
terdapat kemungkinan yang besar untuk Foreign Direct Investment (FDI) mengintervensi sektor
pertambangan dalam menjalankan aktivitasnya. Pernyataan yang serupa juga disampaikan oleh
Gillespie (2013) akibat permintaan global yang tajam terhadap minyak kelapa sawit sehingga
menarik perhatian investor dunia untuk menanamkan modalnya di industri perkebunan kelapa
sawit. Hal ini terlihat jelas di struktur kepemilikan saham dalam laporan tahunan di setiap
perusahaan yang cenderung meliputi kepemilikan saham oleh perusahaan asing dalam jumlah
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
14
yang besar. Akibatnya, kepemilikan saham oleh publik tergolong sebagai pemegang saham
minoritas di kedua sektor.
Terkait dengan independensi dewan komisaris, seluruh perusahaan yang diteliti kecuali PT.
Radiant Utama Interinsco, Tbk, telah mentaati kebijakan terkait jumlah keanggotaan komisaris
independen di dalam struktur manajemen perusahaan. Namun, keterbatasan penelitian untuk
dapat mengobservasi keadaan internal dari kinerja komisaris independen, memunculkan
pertanyaan: “Apakah dengan sekedar pentaatan kebijakan tersebut mampu meningkatkan
transparansi perusahaan secara signifikan?”
Fungsi CG Perusahaan, secara statistik menunjukkan hasil dimana sebagian besar perusahaan
telah mentaati dan mengatur kinerja para komite di bawah dewan komisaris dengan efektif.
Namun, penulis menemukan bahwa masih terdapat sejumlah perusahaan yang tidak mentaati
kebijakan terkait pembentukan komite-komite selain komite audit, seperti:
- PT Ratu Prabu Energi, Tbk
- PT ATPK Resources, Tbk
- PT Cita Mineral Investindo, Tbk
- PT Citatah, Tbk, PT Darma Henwa, Tbk
Ukuran perusahaan di dalam sampel penelitian memiliki persebaran yang relatif kecil sehingga
dapat disimpulkan industri pertambangan dan kelapa sawit tergolong sebagai pasar yang
kompetitif. Hal ini berkaitan dengan umur perusahaan-perusahaan yang ada pada sampel, dimana
hampir seluruh perusahaan yang diteliti telah beroperasi setidaknya 10 tahun minimal.
Terkait rasio total kewajiban dengan total aset perusahaan atau yang lebih dikenal sebagai
leverage, rerata nilai menunjukkan hasil yang relatif aman bagi para investor untuk berinvestasi.
Hal ini dikarenakan jumlah aset yang dibiayai melalui hutang cukup rendah sehingga resiko
dalam melakukan investasi cenderung kecil.
Rasio pengembalian atas aset (ROA) memiliki persebaran nilai yang bervariasi. Hal ini
dikarenakan beberapa perusahaan mengalami kerugian bisnis pada tanggal pencatatan.
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
15
Akibatnya, beberapa nilai ROA menunjukkan hasil yang bernilai negatif. Rasio tertinggi dimiliki
oleh PT. Resource Alam Indonesia, Tbk sedangkan rasio terendah dimiliki oleh PT. Bayan
Resources, Tbk. Tabel 2 - Hasil Statistik Deskriptif
Variabel Rerata Simpangan
Baku
Nilai
Minimum
Nilai
Maksimum
Indeks Pengungkapan CSR 0.489198 0.304167 0 1
Kepemilikan Blockholders 0.594764 0.160233 0.1654 0.8735
Kepemilikan Publik 0.371189 0.162379 0.0947 0.8346
Independensi Dewan Komisaris 0.387713 0.115575 0 0.5
Fungsi CG Perusahaan 0.506614 0.377013 0 1
Ukuran Perusahaan (Normal) 10,097,974,261 13,412,784,414 146,215,986 64,268,423,108
Ukuran Perusahaan (ln) 22.12341 1.630134 18.8006 24.88633
Umur Perusahaan (ln) 3.283677 0.5982608 2.302585 4.663439
Leverage 33.05593 25.48025 14.5 91.2
Rasio EBITDA dengan Total Aset
(ROA) 7.814074 9.867795 -16.28 28.5
Pembahasan
F(8,45) = 8.36
Prob > F = 0.0000
R-squared = 0.5979
Adj. R-squared = 0.5264
Root MSE = 0.20932
Tabel 3 - Hasil Uji Regresi Linear
CSRDI Coef. Std. Err. t P > | t |
BLKO -0.07131 0.234473 -0.3 0.762
PUB -0.57168 0.207162 -2.76 0.008
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
16
BIND 0.163115 0.278042 0.59 0.56
CGBF 0.450477 0.100276 4.49 0.000
FSIZE 0.033231 0.024911 1.33 0.189
FAGE 0.013307 0.059055 0.23 0.823
LEV -0.00068 0.001341 -0.51 0.613
ROA 0.001567 0.003896 0.4 0.69
Sumber: Data Diolah
Tabel 4 Hasil Korelasi Antar Variabel
CSRDI BLKO PUB BIND CGBF FSIZE FAGE LEV ROA CSRDI 1 BLKO 0.0658 1 PUB -0.3785 -0.1937 1 BIND 0.0187 -0.2679 0.2179 1 CGBF 0.6999 0.0188 -0.141 0.0165 1 FSIZE 0.4422 0.2654 0.0505 0.0383 0.5382 1 FAGE 0.0782 -0.3779 0.2158 -0.0798 0.1605 0.1396 1 LEV -0.1797 -0.0333 0.2419 -0.0178 -0.1161 0.1376 0.0069 1 ROA 0.0868 0.2803 -0.3374 -0.0297 -0.1151 -0.0402 -0.0794 -0.4275 1
Hasil regresi statistik menunjukkan bahwa kepemilikan blockholders tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR. Faktor penyebab dari tidak signifikannya
pengaruh adalah karena kurangnya sampel penelitian yang digunakan untuk mampu menjelaskan
kepemilikan blockholders terhadap tingkat pengungkapan CSR. Namun, hasil korelasi
menunjukkan adanya hubungan positif antara kedua variabel yang sesuai dengan prediksi
sebelumnya berdasarkan Edmans (2014). Atas pembahasan tersebut, maka H1 ditolak.
Hasil regresi statistik menunjukkan adanya pengaruh negatif yang signifikan dari kepemilikan
publik terhadap tingkat pengungkapan CSR. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh
Khan et al. (2013) yang menunjukkan adanya pengaruh positif yang signfikan dari variabel yang
sama terhadap tingkat pengungkapan CSR. Salah satu faktor yang dapat menjelaskan adanya
perbedaan tersebut adalah karena kurangnya pengawasan atau intervensi publik yang efektif
dalam mendorong perusahaan untuk berinsentif menjalankan CSR. Ditambah lagi, beberapa
penemuan oleh Gillespie (2013) dan Devi dan Prayogo (2013) atas banyaknya kerjasama politik
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
17
antara pemerintah daerah dengan perusahaan-perusahaan di kedua sektor, menyebabkan
kepemilikan publik memberikan pengaruh yang berlawanan dari teori. Keleluasaan berbagai
perusahaan untuk tidak memperhatikan dengan optimal atas pentingnya regulasi mengenai
pelestarian lingkungan hidup dan lingkungan sosial, menciptakan bias atas objektif dari adanya
kepemilikan saham oleh publik. Atas pembahasan tersebut, maka H2 ditolak.
Hasil regresi statistik menunjukkan bahwa independensi dewan komisaris tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR. Kurangnya sampel penelitian
menjadi faktor utama atas ketidakmampuan variabel dalam menjelaskan pengaruhnya terhadap
tingkat pengungkapan CSR. Namun, hasil korelasi menunjukkan adanya hubungan positif antara
independensi dewan komisaris dengan variabel dependen. Hal ini sesuai dengan prediksi
hubungan berdasarkan Khan et al. (2013). Atas pembahasan tersebut, maka H3 ditolak.
Hasil regresi statistik menunjukkan bahwa fungsi CG perusahaan memiliki pengaruh positif yang
signifikan terhadap tingkat pengungkapan CSR. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian
sebelumnya oleh Chan et al. (2014). Melalui hasil tersebut, maka ada kemungkinan yang besar
bahwa komite-komite yang dibentuk di bawah kewenangan dewan komisaris berdasarkan
regulasi yang mengatur, melaksanakan kinerjanya secara efektif untuk mengawasi dan mengatur
aktivitas perusahaan dalam mempertahankan transparansi. Atas pembahasan tersebut, maka H4
diterima.
Kesimpulan
Adanya pengaruh yang signifikan dari fungsi CG perusahaan melalui kinerja para komite di
bawah kewenangan dewan komisaris menunjukkan bahwa sebenarnya independensi mampu
memperbaiki keadaan CG dan transparansi perusahaan di sektor pertambangan dan perkebunan
kelapa sawit. Namun, di saat yang bersamaan, pengaruh negatif yang signifikan dari kepemilikan
publik, mencerminkan masih kurangnya pengawasan publik dan penekanan regulasi pemerintah
yang konsisten untuk melestarikan budaya bisnis yang penuh kesadaran di dalam kedua sektor.
Meskipun pengaruh yang diberikan dari kepemilikan blockholders dan independensi dewan
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
18
komisaris tidak signifikan, bukti korelasi antara kedua variabel terhadap tingkat pengungkapan
CSR menunjukkan adanya potensi bagi penelitian selanjutnya untuk mereplikasi penelitian ini
dengan sampel perusahaan yang lebih besar.
Secara keseluruhan, sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan di Indonesia telah
mengalami kemajuan dari segi regulasi yang dikeluarkan pemerintah dan juga inisiasi budaya
bisnis yang transparan dari CSR yang sudah dimulai pada tahap 1 sesuai model CSR oleh Zadek
(2007). Adanya beberapa perusahaan yang telah mencapai tahap yang melebihi compliance and
disclosure seharusnya mampu menjadi contoh bahwa aktivitas filantropik bukanlah penghambat
bagi keberlangsungan bisnis, malah mampu menjadi pendorong yang kuat agar bisnis semakin
berkembang.
Kepustakaan
Carroll, A.B. (1999). Corporate Social Responsibility: Evolution of a Definitional Construct.
Business and Society, University of Georgia, United States of America.
Chan et al. (2014). Corporate Governance Quality and CSR Disclosures. University of Western
Australia. Springer Science + Business Media Dordrecht 2013
Cheffins, B.R. (2012). The History of Corporate Governance. European Corporate Governance
Institute. Faculty of Law, University of Cambridge, United Kingdom.
Claessens, S., Fan, J.P.H. (2003). Corporate Governance in Asia: A Survey. Finance Group.
University of Amsterdam, Netherlands
Devi, B., Prayogo, D. (2013). Mining and Development in Indonesia: An Overview of the
Regulatory Framework and Policies. Centre for Social Responsibility in Mining, University of
Queensland, Australia.
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014
19
Edmans, A. (2014). Blockholders and Corporate Governance. Finance Subject Area, London
Business School, Regent’s Park, London, United Kingdom.
Gillespie, P. (2012). The Challenges of Corporate Governance in Indonesian Oil Palm:
Opportunities to Move Beyond Legalism? Asian Studies Review, Asian Studies Association of
Australia, Australia
Ghazali, N.A.M. (2007). Ownership Structure and Corporate Social Responsibility Disclosure:
some Malaysian Evidence. Research Paper, International Islamic University, Malaysia.
Jamali, D., Mirshak, R. (2007). Corporate Social Responsibility (CSR): Theory and Practice in a
Developing Country Context. Journal of Business Ethics. Springer.
Khan, et al. (2013). Corporate Governance and Corporate Social Responsibility Disclosures:
Evidence from an Emerging Economy. Journal of Business Ethics, Springer Science+Business
Media.
La Porta et al. (2000). Investor Protection and Corporate Governance. Journal of Financial
Economics, Harvard University, United States of America.
Organization of Economic Co-operation and Development. (2004). OECD Principles of
Corporate Governance. Head of Publications Service, OECD Publications Service, France.
Rama, M. (2012). Corporate Governance and Corruption: Ethical Dilemmas of Asian Business
Groups. Centre for Corporate Governance, University of Technology, Australia.
World Bank. (2010). Report on the Observance of Standards and Codes. Annex: Corporate
Governance Detailed Country Assessment. http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf.
Pengaruh Penerapan..., Deniyanto Sorip, FE UI, 2014