Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
11
PENGARUH PERSEPSI PROVIDER SWASTA TENTANG IMPLEMENTASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL TERHADAP KEIKUTSERTAAN SEBAGAI PROVIDER
PRATAMA BPJS KESEHATAN DI KOTA MEDAN TAHUN 2014
TESIS
Oleh
LIDIA MARIE WINARISKI 127032255/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
12
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan kebutuhan yang utama bagi setiap penduduk yang
hidup di dunia ini, dan pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut baik
kesehatan fisik maupun mental. Keadaan kesehatan seseorang akan dapat
berpengaruh pada segi kehidupan sosial ekonominya, maupun kelangsungan
kehidupan suatu bangsa dan negara dimanapun di dunia ini, baik di negara yang
sudah maju maupun di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya agar terwujud manusia Indonesia yang bermutu,
sehat,dan produktif. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan dilaksanakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan. Kedua upaya adalah
pelayanan berkesinambungan atau continuum care. Upaya kesehatan masyarakat
dilaksanakan pada sisi hulu untuk mempertahankan agar masyarakat tetap sehat dan
tidak jatuh sakit, sedangkan upaya kesehatan perorangan dilaksanakan pada sisi hilir
(Notoatmodjo,2005).
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dinyatakan
bahwa negara bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum. Kemudian pembukaan tersebut dijabarkan dalam
pasal-pasal UUD 1945 yang mencakup banyak aspek dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. 1
13
Secara umum kondisi kesehatan rakyat Indonesia masih memprihatinkan. Hal
ini dapat digambarkan dengan beberapa indikator seperti Angka Kematian Ibu (AKI)
yang semakin meningkat 359/100.000 kelahiran hidup (KH) serta Angka Kematian
Bayi (AKB) yang masih tinggi 32/1.000 KH. Besarnya AKI dan AKB
menggambarkan masih rendahnya tingkat kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat,
status gizi, status kesehatan ibu, cakupan dan kualitas pelayanan serta kondisi
kesehatan lingkungan (SDKI, 2012).
Situasi kesehatan rakyat Indonesia tidak terlepas dari kemampuan ekonomi
sebahagian besar rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketidakmampuan
finansial akan sangat berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
seperti makanan pokok, pakaian, tempat tinggal yang layak serta kemampuan dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak apabila mengalami kondisi sakit.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 menunjukkan angka
kesenjangan ekonomi di Indonesia sebesar 0,413. Artinya, hanya 40% dari
pendapatan negara yang menyebar di masyarakat, selebihnya yakni 60% dikuasai
oleh perorangan. Ketidakseimbangan ini menimbulkan masalah-masalah sosial
lainnya di masyarakat.
Ole h sebab itu beberapa aspek yang diatur pemerintah adalah hak warga
negara untuk mendapatkan kesehatan melalui pelayanan kesehatan. Hal ini terdapat
dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat 3
14
juga menegaskan hal serupa bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, berbagai negara berusaha untuk
mewujudkan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk atau jaminan kesehatan
semesta (universal health coverage) upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan
akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang komprehensif., bermutu, dan
merata bagi seluruh penduduk. Indonesia bersama negara-negara anggota Organisasi
Kesehatan Dunia Wilayah Asia Tenggara (WHO-SEARO) lainnya telah menyepakati
strategi pencapaian jaminan kesehatan semesta yang mencakup langkah
:1) menempatkan pelayanan kesehatan primer sebagai pusat jaminan kesehatan
semesta,2) meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan melalui perlindungan
sosial, 3) meningkatkan efisiensi pemberian pelayanan kesehatan, dan 4) memperkuat
kapasitas pelayanan kesehatan untuk mencapai jaminan kesehatan semesta
(Kemkokesra, 2012).
Sejarah dimulainya sistem jaminan kesehatan di Indonesia berlaku sejak tahun
1968. Pada tahun tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan jaminan kesehatan
dan masih terbatas kepada pegawai negeri yang dikelola oleh PT.Askes. Sedangkan
untuk masyarakat luas yang kurang mampu, pemerintah telah mengadakan program
dana sehat di puskesmas sejak tahun 1970an. Kemudian pada tahun 1992 secara
resmi dikeluarkan jaminan kesehatan bagi tenaga kerja yang dikelola oleh PT.
Jamsostek. Pada tahun yang sama pemerintah juga menerapkan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Pada tahun-tahun berikutnya jaminan
15
kesehatan untuk masyarakat mengalami perkembangan. Munculnya Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda) di banyak propinsi dan kabupaten, Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Jamsostek), Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) serta
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), keseluruhan ini adalah upaya-upaya
pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang baik dan terjangkau untuk
masyarakat. Hingga muncul sistem penjaminan kesehatan terbaru yaitu Sistem
Jaminan Kesehatan Nasional (Thabrany, 2011).
Menurut Kasim,dkk (2009) berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi
pelaksanaan Jamkesda di pelayanan dasar di Puskesmas Banjar menyatakan bahwa
manfaat program jamkesda masih kurang dirasakan oleh masyarakat karena secara
khusus program ini lebih terasa di rumah sakit.. Penelitian Ginting (2011)
menunjukkan pasien rawat inap peserta jamkesmas hanya 60,4% saja yang ingin
dirawat inap kembali di Rumah Sakit Sembiring, Deli tua dimana mutu pelayanan
berupa daya tanggap, perhatian dan kepedulian petugas terhadap pasien jamkesmas
masih rendah. Adanya berbagai kelemahan dengan sistem jaminan kesehatan yang
sudah pernah ada diharapkan dapat diatasi dengan sistem jaminan kesehatan nasional
Terkait dalam pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini,
pada tahap awal JKN mengintegrasikan jaminan kesehatan yang diberikan kepada
peserta jamkesmas, askes, jamsostek, dan anggota TNI/Polri yang selama ini dikelola
secara terfragmentasi ke dalam suatu wadah yang dikelola oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan. Proses pentahapan ini direncanakan akan
16
dilaksanakan sampai tahun 2019 di mana seluruh warga negara akan tercakup dalam
sistem jaminan sosial ini (BPJS, 2012).
Hal penting lainnya yang menjadikan mengapa sistem jaminan sosial nasional
begitu dibutuhkan adalah, pertama memberikan manfaat yang komprehensif dengan
premi terjangkau. Kedua, asuransi kesehatan sosial nasional menerapkan kendali
mutu dan biaya.Sehingga peserta bisa mendapatkan pelayanan bermutu dan memadai
dengan biaya yang wajar.Ketiga, asuransi kesehatan sosial menjamin sustainabilitas
(kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan). Keempat, asuransi
kesehatan sosial memiliki portabilitas, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah
Indonesia. (Kemenkes, 2013).
Jaminan kesehatan nasional yang berlaku saat ini adalah bagian terintegrasi
dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan menggunakan
mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib dan merupakan bagian yang
terintegrasi dari sub sistem pendanaan kesehatan. Sub sistem pendanaan kesehatan
merupakan bagian dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Oleh karena itu,
pengembangan dari yang sudah ada tidak bisa dilepaskan dari sistem kesehatan di
Indonesia secara keseluruhan yang bertujuan akhir untuk mencapai derajat kesehatan
penduduk Indonesia yang memungkinkan penduduk untuk hidup produktif serta
berdaya saing (Kemenkes RI,2013).
Berdasarkan data Rifaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah
puskesmas di Indonesia telah mencapai 9.188 puskesmas. Namun hanya 7,4% yang
memiliki dokter untuk menangani pasien. Sistem jaminan ini menghendaki penyedia
17
pelayanan tingkat pertama mampu menjadi gatekeeper yang akan melayani pasien
JKN. Untuk itu BPJS menggandeng klinik swasta dan praktek dokter/dokter gigi
sebagai bagian dari provider pratama dalam pelayanan kesehatan ini.
Untuk menangani seluruh pasien BPJS diperkirakan membutuhkan sekitar
41.000 fasilitas pelayanan kesehatan primer agar JKN bisa berjalan. Sementara saat
ini jumlah fasilitas pelayanan primer yaitu klinik swasta dan puskesmas yang ada di
Indonesia masih sekitar 15.100 unit. Artinya fasilitas yang tersedia sebagai pelaksana
pelayanan kesehatan primer masih kurang sekitar 25.900 unit untuk melayani sekitar
123 juta peserta BPJS (Pusat KPMAK UGM).
Untuk menjadi penyedia pelayanan pratama dalam sistem jaminan ini tentu
tidak mudah. Ada berbagai prasyarat yang harus dipenuhi oleh klinik swasta atau
praktek dokter sehingga dianggap layak untuk bekerja sama dengan BPJS, prosedur
tersebut disebut dengan sistem kredensialing. Sistem kredensialing akan
mempertimbangkan banyak hal sebagai persyaratan, antara lain : sumber daya
manusia, sarana dan prasarana, peralatan medis dan obat-obatan medis, lingkup
pelayanan, dan komitmen pelayanan.(Kemenkes RI, 2013).
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang telah melakukan uji
kelayanan adalah PT. Jamsostek Persero dan PT.Askes. Berdasarkan data PT.
Jamsostek (2013) jumlah PPK pratama yang selama ini telah melayani seluruh
peserta Jamsostek ada sekitar 4.896 unit yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini dapat mempertimbangkan klinik swasta yang pernah
18
bekerjasama dengan PT.Jamsostek dan PT. Askes untuk menjadi PPK pratama
dalam BPJS kesehatan.
Kuantitas (jumlah) dan kualitas (mutu) akan sangat mempengaruhi pelayanan
kesehatan yang akan diberikan. Ada berbagai penelitian yang telah dilakukan
terhadap mutu pelayanan klinik swasta terhadap kepuasan pasien. Menurut Wahyu
(2011), mutu pelayanan, harga dan fasilitas klinik Asy Syifa di Kota Bekasi
mempunyai pengaruh yang positif terhadap kepuasan pasien. Kesiapan klinik swasta
dan praktek dokter dalam penerapan sistem JKN ini adalah sesuatu yang mutlak
dilakukan.
Sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia, Kota Medan diharapkan menjadi
salah satu pusat penyedia pelayanan kesehatan yang lengkap dan baik. Berdasarkan
Profil Dinas Kesehatan Kota Medan (2012) jumlah klinik swasta, balai pengobatan
dan praktek dokter/dokter gigi yang ada di Kota Medan berjumlah 1.345 unit. Jumlah
klinik swasta yang pernah menjadi PPK I dalam program Jamsostek ada sekitar 68
unit. Sedangkan jumlah klinik yang sudah layak atau lulus proses kredensialing
untuk menjadi penyedia fasilitas pelayanan pratama bagi masyarakat dan mau
melakukan kontrak kerjasama dengan BPJS kesehatan adalah sebanyak 52 buah.
Artinya yang sudah dinyatakan lulus kredensialing BPJS dan telah operasional dalam
JKN hanya 3,6 persen dari seluruh klinik pratama yang ada. Jumlah tersebut apabila
ditambah dengan puskesmas yang ada di Kota Medan dianggap sangat kurang
memadai untuk menampung seluruh peserta JKN yang akan ditangani di Kota
Medan.
19
Proses kredensialing yang menjadi prasyarat untuk menjadi PPK I dalam JKN
menjadi dilema bagi seribu lebih klinik swasta. Mereka dianggap tidak layak menjadi
PPK dalam JKN sebelum memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh BPJS.
Di lain pihak, implementasi JKN yang telah berlangsung sejak Januari 2014 menuntut
PPK I yang cukup sehingga pasien JKN tidak menumpuk di beberapa PPK yang
telah menjalin kerjasama dengan BPJS. Sementara itu sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan oleh BPJS bekerjasama dengan kementrian Kesehatan bahwa
penyakit-penyakit yang dapat ditangani di PPK I harus dirujuk kembali Ke PPK I
oleh rumah sakit yang menerima pasien dengan kondisi penyakit yang masuk ke
dalam daftar pelayanan PPK I.
Berdasarkan survei peneliti di lapangan, sejak BPJS mulai berlaku per 1
Januari 2014, jumlah masyarakat yang mendaftar untuk menjadi peserta dalam
program JKN mencapai ratusan orang per hari, bahkan hingga pertengahan bulan
Maret antrian masih mencapai 300 orang dalam sehari. Hal ini menggambarkan
antusiasme masyarakat yang besar untuk bisa memperoleh jaminan terhadap
pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
Peningkatan peserta JKN yang tidak diiringi dengan penambahan PPK dalam
jumlah yang memadai tentu menjadi dilema dalam penerapan JKN ini. Hal tersebut
di atas tentu harus dapat diakomodir oleh pemerintah dengan menyediakan fasilitas-
fasilitas kesehatan yang cukup dan memadai dalam segi jumlah dan kualitas
pelayanan. Bagaimanapun hal tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah mengingat
tahun 2019 seluruh penduduk Indonesia harus terdaftar sebagai peserta BPJS.
20
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap salah satu
pemilik klinik swasta di Kota Medan bahwa pemilik swasta ini sangat ingin untuk
menjadi salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan pratama untuk JKN. Namun,
kurangnyanya sosialisasi tentang JKN oleh pemerintah dan BPJS membuat pemilik
klinik tersebut tidak paham hal apa yang harus diperbuat agar dapat menjadi salah
satu PPK dalam penyelenggaraan JKN. Untuk itu peneliti tertarik untuk mengetahui
bagaimana persepsi provider swasta tentang implementasi JKN terhadap
keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan di Kota Medan.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana pengaruh persepsi provider swasta tentang
implementasi JKN terhadap keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan
di Kota Medan tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh persepsi provider
swasta tentang implementasi JKN terhadap keikutsertaan sebagai provider pratama
BPJS kesehatan di Kota Medan tahun 2014.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Memberikan masukan dalam proses penyelenggaraan JKN
21
2. Memberikan masukan kepada BPJS dalam bekerja sama dan menjalin
kemitraan dengan klinik swasta dalam implementasi JKN di lapangan
3. Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan dalam rangka
membina klinik swasta dalam implementasi JKN
22
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jaminan Kesehatan Nasional
2.1.1. Definisi Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Jaminan kesehatan nasional
(JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang
bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat
yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya telah dibayar oleh pemerintah.
2.1.2. Mekanisme Jaminan Kesehatan Nasional
1. Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat
wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko
sosial ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya (UU
SJSN No.40 tahun 2004).
2. Sistem jaminan sosial nasional adalah tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) kesehatan
dan BPJS ketenagakerjaan.
23
3. Jaminan sosial adalah bentuk perlindungan social untuk menjamin seluruh
rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
2.1.3 Prinsip-prinsip Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan kesehatan nasional mengacu kepada prinsip-prinsip Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) berikut :
1. Prinsip Kegotongroyongan
Gotong royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup
bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam
SJSN, prisip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang
kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi,
dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan
SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian,
melalui prinsip gotong royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh BPJS adalah nirlaba bukan untuk mencari laba.
Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan
peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil
pengembangannya, akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas.
Prinsip-prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana
yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
24
4. Prinsip portabilitas.
Prinsip portabilitas jaminan social dimaksudkan untuk memberikan jaminan
yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat
tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Prinsip kepesertaan bersifat wajib
Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga
dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat.,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah
serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di
sector formal, bersamaan dengan sector informal dapat menjadi peserta secara
mandiri, sehingga pada pada akhirnya SJSN dapat mencakup seluruh rakyat.
6. Prinsip dana amanat
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada
badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalan rangka
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
7. Prinsip hasil pengelolaan dana jaminan social
Dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-
besarnya.
2.1.4 Kepesertaan JKN
Peserta dalam sistem ini adalah penerima bantuan iuran (PBI) JKN dan bukan
PBI JKN dengan rincian sebagai berikut :
25
a. Peserta PBI jaminan kesehtan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan
orang tidak mampu.
b. Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang
tidak mampu terdiri atas :
a. Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu:
1. Pegawai negeri sipil
2. Anggota TNI
3. Anggota Polri
4. Pejabat Negara
5. Pegawai pemerintah non pegawai negeri
6. Pegawai swasta
7. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai huruf f yang menerima
upah
b. Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu:
1. Pekerja diluar hubungan kerja atau pekerja mandiri
2. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima upah
3. Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga
Negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 bulan.
c. Bukan pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas :
1. Investor
2. Pemberi kerja
3. Penerima pensiun
26
4. Veteran
5. Perintis kemerdekaan
6. Bukan pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e
yang mampu membayar iuran
d. Penerima pensiun terdiri atas :
1. Pegawai negeri sipil yang berhenti dengan hak pension
2. Anggota TNI dan anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun
3. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pension
4. Penerima pension selain huruf a, huruf b, dan huruf c
5. Janda, duda atau anak yatimpiatu dari penerima pension sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak
pensiun.
Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi :
1. Istri atau suami yang sah dari peserta
2. Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari peserta
Peserta bukan PBI dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.
e. WNI di Luar Negeri
Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri diatur
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.
27
2.1.5. Pembiayaan
a. Iuran
Iuran jaminan kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur
oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau pemerintah untuk program jaminan
kesehatan (Pasal 16, Perpres No. 12/2013) tentang jaminan kesehatan.
b. Pembayar Iuran
- Bagi peserta PBI, iuran dibayar oleh pemerintah
- Bagi peserta penerima upah, iuran dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja
- Bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja
iuran dibayar oleh peserta yang bersangkutan
- Besarnya iuran jaminan kesehatan nasional ditetapkan melalui peraturan
presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan
social, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak
c. Pembayaran Iuran
Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah
nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI).
Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan
iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iurannya
tersebut setiap bulan kepada BPJS kesehatan secara berkala (paling lambat
tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka iuran
dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN
28
dikenakan denda administrative sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total
iuran yang tertunggak dan dibayarkan oleh pemberi kerja.
d. Peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja wajib
membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS kesehatan. Pembayaran iuran
JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai
dengan gaji atau upah peserta.Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan
pembayaran iuran, BPJS kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi
kerja dan/atau peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya
iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan
pembayaran iuran bulan berikutnya.
Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua fasilitas kesehatan dapat
dijangkau dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan
pembayaran berdasarkan kapitasi, BPJS kesehatan diberi wewenang untuk melakukan
pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna.
Semua fasilitas kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS
kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan
gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan
tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS
kesehatan.
29
BPJS kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak
menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif
yang berlaku di wilayah tersebut.
2.1.6. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan
BPJS kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama
dengan sistem kapitasi (Perpres No. 12, 2013). Apabila di suatu daerah tertentu tidak
memungkinkan dilakukan pembayaran secara kapitasi,maka BPJS akan melakukan
pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna.
Semua fasilitas kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS
kesehatan wajib melayani pasien pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah
keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas
kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan
BPJS.
2.2. Pelayanan Kesehatan
2.2.1. Definisi Pelayanan Kesehatan
Pengertian pelayanan kesehatan menurut para ahli dan institusi kesehatan
adalah :
1. Menurut Notoatmodjo (2007) Pelayanan kesehatan adalah sub sistem
pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif
(pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran
masyarakat.
30
2. Menurut Azwar (1996) Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalamn suatu organisasi
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan perseorangan, bersama-sama
dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah, dan mencembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perorangan keluarga kelompok, dan ataupun masyarakat.
3. Menurut Depkes RI (2009)
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun
masyarakat.
4. Menurut Levey dan Loomba (1973)
Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara,
keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Jadi pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan
utamanya adalah promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), preventif
(pencegahan),kuratif (penyembuhan), dan rehabilitasi (pemulihan) kesehatan
perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat, lingkungan. Yang dimaksud sub
sistem disini adalah sub sistem dalam pelayanan kesehatan yaitu input , proses,
output, dampak, umpan balik.
31
1. Input adalah sub elemen – sub elemen yang diperlukan sebagai masukan
untuk berfungsinya system
2. Proses adalah suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah masukan
sehingga mengasilkan sesuatu (keluaran) yang direncanakan
3. Output adalah hal-hal yang dihasilkan oleh proses
4. Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran setelah beberapa waktu
lamanya
5. Umpan balik adalah hasil dari proses yang sekaligus sebagai masukan untuk
sistem tersebut
6. Lingkungan adalah dunia diluar sistem yang mempengaruhi sistem tersebut.
2.2.2. Tujuan Pelayanan Kesehatan :
1. Promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), hal ini diperlukan
misalnya dalam peningkatan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan
2. Preventif (pencegahan terhadap orang yang berisiko terhadap penyakit),
terdiri dari :
a. Preventif primer.
b. Terdiri dari program pendidikan, seperti imunisasi,penyediaan nutrisi
yang baik, dan kesegaran fisik.
c. Preventif sekunder.
d. Terdiri dari pengobatan penyakit pada tahap dini untuk membatasi
kecacatan
32
e. dengan cara mengindari akibat yang timbul dari perkembangan penyakit
tersebut.
3. Preventif tersier.
Pembuatan diagnosa ditunjukan untuk melaksanakan tindakan rehabilitasi,
pembuatan diagnosa dan pengobatan.
4. Kuratif (penyembuhan penyakit).
5. Rehabilitasi (pemulihan), usaha pemulihan seseorang untuk mencapai fungsi
normal atau mendekati normal setelah mengalami sakit fisik atau mental ,
cedera atau penyalahgunaan.
2.2.3 . Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan
Syarat-syarat pokok pelayanan kesehatan yang baik adalah :
1. Tersedia dan berkesinambungan
Pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia dimasyarakat serta bersifat
berkesinambungan artinya semua pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat
tidak sulit ditemukan.
2. Dapat diterima dan wajar
Artinya pelayanan kesehatan tidak bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaan masyarakat.
3. Mudah dicapai
Dipandang sudut lokasi untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang
baik pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting.
4. Mudah dijangkau
33
Dari sudut biaya untuk mewujudkan keadaan yang harus dapat diupayakan
biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
5. Bermutu
Menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan
dan dipihak lain tata cara penyelenggaraanya sesuai dengan kode etik serta standar
yang telah ditetapkan.
2.2.4. Stratifikasi Pelayanan Kesehatan
Stratifikasi pelayanan kesehatan merupakan pengelompokan pemberian
pelayanan kesehatan berdasarkan tingkat kebutuhan subjek layanan kesehatan.
Stratifikasi pelayanan kesehatan yang dianut oleh tiap negara tidaklah sama. Namun
secara umum stratifikasi pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan
dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka (promosi
kesehatan). Yang dimaksud pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah pelayanan
kesehatan yang bersifat pokok (basic health services), yang sangat dibutuhkan oleh
sebagian besar masyarakat serta mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama
ini bersifat pelayanan rawat jalan (ambulatory/ out patient services). Bentuk
34
pelayanan ini di Indonesia adalah Puskesmas, Puskesmas pembantu, Puskesmas
keliling, dan Balkesmas.
2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua
Pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan yang lebih
lanjut yang diperlukan oleh kelompok masyarakat yang memerlukan rawat inap (in
patient services) yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer
dan memerlukan tersedianya tenaga-tenaga spesialis. Bentuk pelayanan ini misalnya
Rumah Sakit tipe C dan D.
3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah pelayanan kesehatan yang
diperlukan oleh kelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak dapat ditangani
oleh pelayanan kesehatan sekunder, bersifat lebih komplek dan umumnya
diselenggarakan oleh tenaga-tenaga superspesialis. Bentuk pelayanan ini di Indonesia
adalah Rumah Sakit tipe A dan B (Azwar, 1996).
2.2.5. Jenjang Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan tingkat pelayanan kesehatan maka jenjang pelayanan kesehatan
dibedakan atas lima, yaitu:
1. Tingkat rumah tangga
Pelayanan kesehatan oleh individu atau oleh keluarga sendiri.
2. Tingkat masyarakat
Kegiatan swadaya masyarakat dalam menolong mereka sendiri, misalnya:
posyandu, polindes, POD, saka bakti husada, dan lain-lain.
35
3. Fasilitas pelayanan tingkat pertama
Upaya kesehatan tingkat pertama yang dilakukan oleh puskesmas dan unit
fungsional dibawahnya, praktek dokter swasta, bidan swasta, dokter keluarga dan
lain-lain.
4. Fasilitas pelayanan tingkat kedua
Upaya kesehatan tingkat kedua (rujukan spesial) oleh balai: balai pengobatan
penyakit paru (BP4), balai kesehatan mata masyarakat (BKMM), balai kesehatan
kerja masyarakat (BKKM), balai kesehatan olah raga masyarakat (BKOM), sentra
pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional (SP3T), rumah sakit kabupaten
atau kota, rumah sakit swasta, klinik swasta, dinas kesehatan kabupaten atau kota,
dan lain-lain.
5. Fasilitas pelayanan tingkat ketiga
Upaya kesehatan tingkat ketiga (rujukan spesialis lanjutan atau konsultan)
oleh rumah sakit provinsi atau pusat atau pendidikan, dinas kesehatan provinsi dan
departemen kesehatan.
2.2.6. Upaya Pelayanan Rujukan
Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan yang
melaksanakan pelimpahan wewenang atau tanggung jawab timbal balik, terhadap
suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan, secara vertikal dalam arti dari unit yang
terkecil atau berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara
horisontal atau secara horizontal dalam arti antar unit-unit yang setingkat
kemampuannya.
36
Salah satu bentuk pelaksanaan dan pengembangan upaya kesehatan dalam
Sistem kesehatan Nasional (SKN) adalah rujukan upaya kesehatan. Untuk
mendapatkan mutu pelayanan yang lebih terjamin, berhasil guna (efektif) dan berdaya
guna (efesien), perlu adanya jenjang pembagian tugas diantara unit-unit pelayanan
kesehatan melalui suatu tatanan sistem rujukan. Dalam pengertiannya, sistem rujukan
upaya kesehatan adalah suatu tatanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya
penyerahan tanggung jawab secara timbal balik atas timbulnya masalah dari suatu
kasus atau masalah kesehatan masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal,
kepada yang berwenang dan dilakukan secara rasional.
a. Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari :
1. Rujukan internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan
di dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas
pembantu) ke puskesmas induk.
2. Rujukan eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang
pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke
puskesmas rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit
umum daerah).
b. Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari :
1. Rujukan medik adalah rujukan pelayanan yang terutama meliputi upaya
penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya, merujuk
pasien puskesmas dengan penyakit kronis (jantung koroner, hipertensi,
diabetes mellitus) ke rumah sakit umum daerah.
37
2. Rujukan kesehatan adalah rujukan pelayanan yang umumnya berkaitan
dengan upaya peningkatan promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan
(preventif). Contohnya, merujuk pasien dengan masalah gizi ke klinik
konsultasi gizi (pojok gizi puskesmas), atau pasien dengan masalah kesehatan
kerja ke klinik sanitasi puskesmas.
Rujukan secara konseptual terdiri atas:
1. Rujukan upaya kesehatan perorangan yang pada dasarnya menyangkut masalah
medik perorangan yang antara lain meliputi:
a. Rujukan kasus untuk keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan
operasional dan lain-lain.
b. Rujukan bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium klinik yang
lebih lengkap.
c. Rujukan ilmu pengetahuan antara lain dengan mendatangkan atau mengirim
tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk melakukan tindakan, memberi
pelayanan, ahli pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan kualitas
pelayanan.
2. Rujukan upaya kesehatan masyarakat pada dasarnya menyangkut masalah
kesehatan masyarakat yang meluas meliputi:
a. Rujukan sarana berupa antara lain bantuan laboratorium dan teknologi
kesehatan.
38
b. Rujukan tenaga dalam bentuk antara lain dukungan tenaga ahli untuk
penyidikan sebab dan asal usul penyakit atau kejadian luar biasa suatu
penyakit serta penanggulangannya pada bencana alam, gangguan
kamtibmas, dan lain-lain.
c. Rujukan operasional berupa antara lain bantuan obat, vaksin, pangan pada
saat terjadi bencana, pemeriksaan bahan (spesimen) bila terjadi keracunan
masal, pemeriksaan air minum penduduk, dan sebagainya.
d. Dari puskesmas ke instansi lain yang lebih kompeten baik intrasektoral
maupun lintas sektoral
e. Bila rujukan ditingkat kabupaten atau kota masih belum mampu
menanggulangi, bisa diteruskan ke provinsi atau pusat (Trihono, 2005).
Jalur rujukan terdiri dari dua jalur, yakni:
1. Rujukan upaya kesehatan perorangan
a. Antara masyarakat dengan puskesmas
b. Antara puskesmas pembantu atau bidan di desa dengan puskesmas
c. Intern petugas puskesmas atau puskesmas rawat inap
d. Antar puskesmas atau puskesmas dengan rumah sakit atau fasilitas pelayanan
lainnya.
2. Rujukan upaya kesehatan masyarakat
Dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten atau kota
39
2.2.7. Bentuk dan Upaya Pelayanan Kesehatan
1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer)
Pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan yang bersifat dasar dan
dilakukan bersama masyarakat dan dimotori oleh:
a. Dokter Umum (Tenaga Medis)
b. Perawat Mantri (Tenaga Paramedis)
Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan
masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali
diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami gangguan kesehatan atau
kecelakaan. Primary health care pada pokoknya ditunjukan kepada masyarakat yang
sebagian besarnya bermukim di pedesaan, serta masyarakat yang berpenghasilan
rendah di perkotaan. Pelayanan kesehatan ini sifatnya berobat jalan (Ambulatory
Services). Diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat
untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan.
Contohnya : Puskesmas, Puskesmas keliling, klinik.
2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (sekunder)
Pelayanan kesehatan sekunder adalah pelayanan yang lebih bersifat spesialis
dan bahkan kadang kala pelayanan subspesialis, tetapi masih terbatas. Pelayanan
kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah rumah
sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut (rujukan). Di Indonesia
terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe D sampai dengan
rumah sakit kelas A.
40
Pelayanan kesehatan dilakukan oleh:
a. Dokter Spesialis
b. Dokter Subspesialis terbatas
Pelayanan kesehatan ini sifatnya pelayanan jalan atau pelayanan rawat
(inpantient services).Diperlukan untuk kelompok masyarakat yang memerlukan
perawatan inap, yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer.
Contoh : Rumah Sakit tipe C dan Rumah Sakit tipe D.
3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tersier)
Pelayanan kesehatan tersier adalah pelayanan yang lebih mengutamakan
pelayanan subspesialis serta subspesialis luas.
Pelayanan kesehatan dilakukan oleh:
a. Dokter Subspesialis
b. Dokter Subspesialis Luas
Pelayanan kesehatan ini sifatnya dapat merupakan pelayanan jalan atau
pelayanan rawat inap (rehabilitasi).Diperlukan untuk kelompok masyarakat atau
pasien yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder.
Contohnya: Rumah Sakit tipe A dan Rumah sakit tipe B.
Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan kesehatan secara
umum dapat dibedakan atas dua, yaitu:
1. Pelayanan kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran
(medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri
41
(solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya
untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya
terutama untuk perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok kesehatan masyarakat
(public health service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara
bersama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasarannya untuk kelompok
dan masyarakat.
2.3. Pelayanan Kesehatan Pratama
2.3.1. Definisi Pelayanan Kesehatan Pratama
Pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan
yang bersifat non spesialistik (primer) meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap
( Permenkes No.71, 2013).
2.3.2. Persyaratan Klinik Pratama
Sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Pasal 5
ayat (1), beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh fasilitas kesehatan pratama
untuk menjadi salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan terdiri atas:
a. untuk praktik dokter atau dokter gigi harus memiliki:
1. Surat Ijin Praktik;
2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
42
3. perjanjian kerja sama dengan laboratorium, apotek, dan jejaring lainnya;
4. surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
b. untuk Puskesmas atau yang setara harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/dokter gigi, Surat Ijin Praktik Apoteker
(SIPA) bagi Apoteker, dan Surat Ijin Praktik atau Surat Ijin Kerja (SIP/SIK)
bagi tenaga kesehatan lain;
3. perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; dan
4. surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
c. untuk Klinik Pratama atau yang setara harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional
2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/dokter gigi dan Surat Ijin Praktik atau
Surat Ijin Kerja (SIP/SIK) bagi tenaga kesehatan lain
3. Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA) bagi Apoteker dalam hal klinik
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan
5. perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan dan
6. surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
d. untuk Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara harus memiliki :
43
1. Surat Ijin Operasional
2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan
4. perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan dan
5. surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
Dalam hal di suatu kecamatan tidak terdapat dokter berdasarkan penetapan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, BPJS Kesehatan dapat bekerja
sama dengan praktik bidan dan/atau praktik perawat untuk memberikan Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama sesuai dengan kewenangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan (Permenkes pasal 8, 2013). Dalam rangka pemberian
pelayanan kebidanan di suatu wilayah tertentu, BPJS Kesehatan dapat bekerja sama
dengan praktik bidan. Persyaratan bagi praktik bidan dan/atau praktik perawat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas:
a. Surat Ijin Praktik (SIP);
b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c. perjanjian kerja sama dengan dokter atau puskesmas pembinanya; dan
d. surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
2.3.3. Kredensialing dan Rekredinsialing.
Kredensialing dan rekredensialing dilakukan kepada keseluruhan fasilitas
kesehatan yang akan dan masih berkerjasama dengan BPJS Kesehatan, baik faskes
44
tingkat pertama maupun tingkat lanjutan. Kredensialing dan rekredensialing
dilakukan kepada keseluruhan fasilitas kesehatan milik Pemerintah maupun Swasta /
Perorangan.
Kredensialing adalah penilain BPJS terhadap fasilitas kesehatan yang ada
untuk mengetahui fasilitas yang layak dan memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan
PBJS (Askes, 2013). Beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam penilaian
kredensialing adalah :
a. Kriteria Administratif
1. Surat permohonan kerjasama
2. Surat Ijin Praktek
3. Surat Ijin Operasional ( Bagi Klinik Pratama, Puskesmas dan fasilitas
kesehatan lain yang ditetapkan Menteri Kesehatan)
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
5. Kontrak kerjasama dengan jejaring (jika diperlukan)
6. Surat Pernyataan Kesediaan mematuhi ketentuan Program Jaminan
Kesehatan Nasional.
b. Kriteria Teknis
1. Sumber Daya Manusia : ketenagaan, pelatihan kompetensi, pengalaman
kerja, pengalaman kerjasama dengan asuransi, penghargaan yang dimiliki.
2. Sarana dan Prasarana : bangunan, ruangan pendukung, perlengkapan
praktek, perlengkapan penunjang administrasi dan perlengkapan penunjang
umum.
45
3. Peralatan Medis dan Obat-obatan : peralatan medis mutlak, peralatan
kedaruratan, obat-obatan, peralatan medis tambahan, peralatan kunjungan
rumah dan perlengkapan edukasi.
4. Lingkup Pelayanan : konsultasi/pemeriksaan, pelayanan gigi, pelayanan
obat, pelayanan laboratorium sederhana, pelayanan imunisasi, pelayanan
KB, promosi kesehatan dan kunjungan rumah.
5. Komitmen Pelayanan : pemenuhan jam praktek, penggunaan aplikasi SIM,
kepatuhan terhadap panduan klinik, penyelenggaraan prolanis, mendukung
aktifitas kesehatan masyarakat yang dilaksanakan BPJS Kesehatan
Dalam menetapkan pilihan Fasilitas Kesehatan, BPJS Kesehatan melakukan
seleksi dan kredensialing dengan menggunakan kriteria teknis yang meliputi:
a. sumber daya manusia;
b. kelengkapan sarana dan prasarana;
c. lingkup pelayanan; dan
d. komitmen pelayanan.
Rekredensialing adalah proses seleksi ulang terhadap pemenuhan persyaratan
dan kinerja pelayanan bagi fasilitas kesehatan yang telah dan akan melanjutkan
kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Rekredensialing bertujuan untuk memperoleh
fasilitas kesehatan yang berkomitmen dan mampu memberikan pelayanan kesehatan
yang efektif dan efisien melalui metode dan standar penilaian yang terukur dan
objektif. Proses Rekredensialing dilakukan 3 bulan sebelum kontrak dengan faskes
berakhir. Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk
46
penetapan kerja sama dengan BPJS Kesehatan, jenis dan luasnya pelayanan, besaran
kapitasi, dan jumlah Peserta yang bisa dilayani. Perpanjangan kerja sama antara
fasilitas kesehatan dengan BPJS kesehatan setelah dilakukan rekredensialing.
1. Kriteria Administratif
Updating Surat Ijin Praktek dan Surat Ijin Operasional
2. Kriteria Teknis
a. Sumber Daya Manusia (updating)
b. Sarana dan Prasarana (updating)
c. Peralatan Medis dan Obat-obatan (updating)
d. Lingkup Pelayanan (updating)
e. Realisasi Komitmen Pelayanan : pemenuhan jam praktek, penggunaan
aplikasi SIM, kepatuhan terhadap panduan klinik, penyelenggaraan prolanis,
mendukung aktifitas kesehatan masyarakat yang dilaksanakan BPJS
Kesehatan.
f. Kinerja Faskes : Angka kepuasan pasien, angka rujukan, angka
keberkunjungan prolanis, ketepatan waktu penyampaian laporan
2.3.4. Cakupan Pelayanan Kesehatan Pratama
1. Rawat Jalan Tingkat Pertama
1) Administrasi pelayanan, meliputi biaya administrasi pendaftaran peserta
untuk berobat, penyediaan dan pemberian surat rujukan ke fasilitas
kesehatan lanjutan untuk penyakit yang tidak dapat ditangani di fasilitas
kesehatan tingkat pertama.
47
2) pelayanan promotif preventif, meliputi
1) Kegiatan penyuluhan kesehatan perorangan
Penyuluhan kesehatan perorangan meliputi paling sedikit penyuluhan
mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih
dan sehat.
2) Imunisasi dasar
Pelayanan imunisasi dasar meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG),
Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis-B (DPTHB), Polio, dan Campak.
3) keluarga berencana
a) Pelayanan keluarga berencana meliputi konseling, kontrasepsi dasar,
vasektomi dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang
membidangi keluarga berencana.
b) Penyediaan dan distribusi vaksin dan alat kontrasepsi dasar menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
c) BPJS Kesehatan hanya membiayai jasa pelayanan pemberian vaksin dan alat
kontrasepsi dasar yang sudah termasuk dalam kapitasi, kecuali untuk jasa
pelayanan pemasangan IUD/Implan dan Suntik di daerah perifer.
4) Skrining kesehatan
a) Pelayanan skrining kesehatan diberikan secara perorangan dan
selektif.
48
b) Pelayanan skrining kesehatan ditujukan untuk mendeteksi risiko
penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu,
meliputi:
1) diabetes mellitus tipe 2
2) hipertensi
3) kanker leher rahim
4) kanker payudara dan
5) penyakit lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pelayanan skrining kesehatan penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi
dimulai dengan analisis riwayat kesehatan, yang dilakukan sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun sekali. Jika Peserta teridentifikasi mempunyai risiko penyakit diabetes
mellitus tipe 2 dan hipertensi berdasarkan riwayat kesehatan, akan dilakukan
penegakan diagnosa melalui pemeriksaan penunjang diagnostik tertentu dan
kemudian akan diberikan pengobatan sesuai dengan indikasi medis. Pelayanan
skrining kesehatan untuk penyakit kanker leher rahim dan kanker payudara dilakukan
sesuai dengan indikasi medis.
5) Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis
6) Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
7) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
8) Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama
9) Pemeriksaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui dan bayi
49
10) Upaya penyembuhan terhadap efek samping kontrasepsi termasuk
penanganan komplikasi KB paska persalinan
11) Rehabilitasi medik dasar.
2. Pelayanan Gigi
a) Administrasi pelayanan, meliputi biaya administrasi pendaftaran
peserta untuk berobat, penyediaan dan pemberian surat rujukan ke fasilitas
kesehatan lanjutan untuk penyakit yang tidak dapat ditangani di fasilitas
kesehatan tingkat pertama
b) Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis
c) Premedikasi
d) Kegawatdaruratan oro-dental
e) Pencabutan gigi sulung (topikal, infiltrasi)
f) Pencabutan gigi permanen tanpa penyulit
g) Obat pasca ekstraksi
h) Tumpatan komposit/GIC
i) Skeling gigi (1x dalam setahun)
3. Rawat Inap Tingkat Pertama
Cakupan pelayanan rawat inap tingkat pertama sesuai dengan cakupan pelayanan
rawat jalan tingkat pertama dengan tambahan akomodasi bagi pasien sesuai indikasi
medis.
50
4. Pelayanan darah sesuai indikasi medis
Pelayanan transfusi darah di fasilitas kesehatan tingkat pertama dapat dilakukan
pada kasus:
a. Kegawatdaruratan maternal dalam proses persalinan
b. Kegawatdaruratan lain untuk kepentingan keselamatan pasien
c. Penyakit thalasemia, hemofili dan penyakit lain setelah mendapat
rekomendasi dari dokter Fasilitas kesehatan tingkat lanjutan
2.3.5. Prosedur Pelayanan
1. Ketentuan Umum
a. Peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan
tingkat pertama tempat peserta terdaftar
b. Ketentuan di atas dikecualikan pada kondisi:
berada di luar wilayah Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat Peserta
terdaftar; atau dalam keadaan kegawatdaruratan medis.
c. Peserta dianggap berada di luar wilayah apabila peserta melakukan
kunjungan ke luar domisili karena tujuan tertentu, bukan merupakan
kegiatan yang rutin. Untuk mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan
tingkat pertama tempat tujuan, maka peserta wajib membawa surat
pengantar dari Kantor BPJS Kesehatan tujuan.
d. Dalam hal peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan,
Fasilitas Kesehatan tingkat pertama harus merujuk ke Fasilitas Kesehatan
51
rujukan tingkat lanjutan terdekat sesuai dengan sistem rujukan yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang- undangan.
e. Peserta yang melakukan mutasi pada tanggal 1 s/d akhir bulan berjalan,
tidak dapat langsung mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat
pertama yang baru sampai dengan akhir bulan berjalan. Peserta berhak
mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang baru di
bulan berikutnya.
f. Peserta dapat memilih untuk mutasi fasilitas kesehatan tingkat pertama
selain fasilitas kesehatan tempat peserta terdaftar setelah jangka waktu 3
(tiga) bulan atau lebih.
g. Untuk peserta yang baru mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dan
sudah membayar iuran, maka pada bulan berjalan tersebut peserta dapat
langsung mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama
tempat peserta terdaftar
2. Rawat Jalan Tingkat Pertama dan Pelayanan Gigi
a. Peserta menunjukkan kartu identitas BPJS Kesehatan (proses administrasi)
b. Fasilitas kesehatan melakukan pengecekan keabsahan kartu peserta
c. Fasilitas kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan/pemberian tindakan
d. Setelah mendapatkan pelayanan peserta menandatangani bukti pelayanan
pada lembar yang disediakan. Lembar bukti pelayanan disediakan oleh
masing-masing fasilitas kesehatan.
e. Bila diperlukan atas indikasi medis peserta akan memperoleh obat.
52
f. Apabila peserta membutuhkan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan
pasca melahirkan, maka pelayanan dapat dilakukan oleh bidan atau dokter
umum.
g. Bila hasil pemeriksaan dokter ternyata peserta memerlukan pemeriksaan
ataupun tindakan spesialis/sub-spesialis sesuai dengan indikasi medis,
maka fasilitas kesehatan
h. Surat rujukan dibutuhkan untuk pertama kali pengobatan ke Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan, dan selanjutnya selama masih dalam
perawatan dan belum di rujuk balik ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
tidak dibutuhkan lagi surat rujukan. Dokter yang menangani memberi surat
keterangan masih dalam perawatan.
i. Fasilitas kesehatan wajib melakukan pencatatan pelayanan dan tindakan
yang telah dilakukan ke dalam Aplikasi Sistem Informasi Manajemen yang
telah disediakan BPJS Kesehatan
j. Ketentuan Khusus Pelayanan pemeriksaan kehamilan (ANC) dan
pemeriksaan pasca melahirkan (PNC)
1) Peserta memeriksakan kehamilan (ANC) pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama atau jejaringnya sesuai dengan prosedur pemeriksaan
di fasilitas kesehatan tingkat pertama
2) Pemeriksaan kehamilan (ANC) dan pemeriksaan pasca melahirkan
(PNC) tingkat pertama akan memberikan surat rujukan ke fasilitas
kesehatan tingkat lanjutan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
53
sesuai dengan sistem rujukan yang berlaku diharapkan dilakukan pada
satu tempat yang sama, misalnya pemeriksaan kehamilan (ANC)
dilakukan pada bidan jejaring maka diharapkan proses persalinan dan
pemeriksaan pasca melahirkan (PNC) juga dilakukan pada bidan
jejaring tersebut.
3) Pemeriksaan kehamilan (ANC) dan pemeriksaan pasca melahirkan
(PNC) pada tempat yang sama dimaksudkan untuk :
a) Monitoring terhadap perkembangan kehamilan
b) Keteraturan pencatatan partograf
c) Memudahkan dalam administrasi pengajuan klaim ke BPJS
Kesehatan
3. Rawat Inap Tingkat Pertama
a. Peserta datang ke fasilitas kesehatan tingkat pertama yang memiliki fasilitas
rawat inap
b. Fasilitas kesehatan dapat melayani peserta yang terdaftar maupun peserta
yang dirujuk dari fasilitas kesehatan tingkat pertama lain
c. Peserta menunjukkan identitas BPJS Kesehatan
d. Fasilitas kesehatan melakukan pengecekan keabsahan kartu peserta
e. Fasilitas kesehatan melakukan pemeriksaan, perawatan, pemberian
tindakan, obat dan bahan medis habis pakai (BMHP)
54
f. Setelah mendapatkan pelayanan peserta menandatangani bukti pelayanan
pada lembar yang disediakan. Lembar bukti pelayanan disediakan oleh
masing-masing fasilitas kesehatan.
g. Fasilitas kesehatan wajib melakukan pencatatan pelayanan dan tindakan
yang telah dilakukan ke dalam Aplikasi Sistem Informasi Manajemen yang
telah disediakan BPJS Kesehatan
h. Peserta dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan bila secara
indikasi medis diperlukan
4. Pelayanan darah sesuai indikasi medis
a. Darah disediakan oleh fasilitas pelayanan darah yang bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan
b. Penggunaan darah sesuai indikasi medis berdasarkan surat permintaan darah
yang ditandatangani oleh dokter yang merawat.
2.4. Persepsi
2.4.1. Definisi Persepsi
Persepsi adalah pengamatan yang merupakan kombinasi penglihatan,
penciuman, pendengaran serta pengalaman masa lalu. Persepsi dinyatakan sebagai
proses menafsir sensasi-sensasi dan memberikan arti kepada stimuli. Persepsi
merupakan penafsiran realitas dan masing-masing orang memandang realitas dari
sudut perspektif yang berbeda (Notoatmodjo, 2003). Persepsi dapat dipandang
55
sebagai proses seseorang menyeleksi, mengorganisasikan dan menafsirkan informasi
untuk suatu gambaran yang memberi arti (Abramson, 1991).
Persepsi adalah bagaimana kita melihat dunia sekitar kita. Persepsi
didefinisikan sebagai proses yang dilakukan individu untuk memilih, mengatur, dan
menafsirkan stimuli ke dalam gambar yang berarti dan masuk akal mengenai dunia
(Schiffman, G.Leon, Lazar, Leslie, 2004). Sedangkan menurut Simamora dan Bilson
(2002) persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana seorang
menyeleksi, mengorganisasikan, menginterpretasikan stimuli dalam suatu gambaran
dunia yang berarti menyeluruh. Individu terbuka terhadap berbagai pengaruh yang
cenderung membelokkan persepsi mereka, yaitu sebagai berikut :
1. Penampilan fisik
Berbagai studi mengenai penampilan fisik telah menemukan bahwa model yang
menarik lebih persuasif dan mempunyai pengaruh yang lebih positif terhadap
sikap dan perilaku konsumen
2. Stereotip
Stereotip ini menimbulkan harapan mengenai bagaimana situasi, orang, atau
peristiwa tertentu akan terjadi dan stereotip ini merupakan faktor penentu yang
penting bagaimana stimuli tersebut dirasakan
3. Petunjuk yang tidak relevan
Ketika diperlukan untuk membuat perkembangan yang sulit melalui persepsi,
para konsumen sering kali memberi respon pada stimuli yang tidak relevan.
56
4. Kesan pertama
Kesan pertama cenderung pribadi, namun dalam membentuk kesan tersebut,
penerima belum mengetahui stimuli mana yang relevan, penting, atau yang dapat
diramalkan menjadi perilaku lainnya.
5. Terlalu cepat mengambil keputusan
Banyak orang yang terlalu cepat mengambil kesimpulan sebelum meneliti semua
keterangan atau bukti yang berhubungan.
6. Efek halo
Gagasan efek halo diperluas meliputi penilaian terhadap berbagai objek atas dasar
penilaian pada satu dimensi. Dengan definisi yang lebih luas, para pemasar
memanfaatkan efek halo ketika mereka memperluas merek yang menghubungkan
satu lini produk dengan yang lain. Produsen memperoleh pengakuan dan status
yang cepat dengan mengaitkan nama yang sudah terkenal.
Dari beberapa pendapat mengenai persepsi dapat disimpulkan bahwa persepsi
adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi
tentang lingkungannya, melalui indera dan tiap-tiap individu dapat memberikan arti
yang berbeda. Persepsi dapat diartikan juga sebagai proses seorang individu memilih,
mengorganisasi dan menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan
sebuah gambar yang bermakna tentang dunia ( Kotler, 1994 ).
2.4.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi
Beberapa orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda dalam melihat suatu
obyek yang sama, hal ini dipengaruhi oleh: 1) tingkat pengetahuan dan pendidikan
57
seseorang, 2) faktor pada pemersepsi / pihak pelaku persepsi, 3) faktor obyek atau
target yang dipersepsikan dan 4) faktor situasi dimana persepsi itu dilakukan
(Dunham, 1984).
2.5. Pengambilan Keputusan
2.5.1. Definisi Keputusan
Keputusan adalah suatu reaksi terhadap beberapa solusi alternatif yang
dilakukan secara sadar dengan cara menganalisa kemungkinan - kemungkinan dari
alternatif tersebut bersama konsekuensinya.Setiap keputusan akan membuat pilihan
terakhir, dapat berupa tindakan atau opini. Itu semua bermula ketika kita perlu untuk
melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk itu keputusan
dapat dirasakan rasional atau irrasional dan dapat berdasarkan asumsi kuat atau
asumsi lemah. Keputusan adalah suatu ketetapan yang diambil oleh orang yang
berwenang berdasarkan kewenangan yang ada padanya.
2.5.2. Bentuk atau Jenis Keputusan
1. Keputusan Terprogram
Merupakan keputusan yang berulang dan telah ditentukan sebelumnya, dalam
keputusan terprogram prosedur dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
yang dialami organisasi. Keputusan terprogram memiliki struktur yang baik karena
pada umumnya kriteria bagaimana suatu kinerja diukur sudah jelas, informasi
mengenai kinerja saat ini tersedia dengan baik, terdapat banyak alternatif keputusan,
58
dan tingkat kepastian relatif yang tinggi. Tingkat kepastian relatif adalah
perbandingan tingkat keberberhasilan antara 2 alternatif atau lebih. Contoh keputusan
terprogram adalah, aturan umum penetapan harga pada industri rumah makan dimana
makanan akan diberi harga hingga 3 kali lipat dari direct cost.
2. Keputusan Tidak Terprogram
Keputusan ini belum ditetapkan sebelumnya dan pada keputusan tidak
terprogram tidak ada prosedur baku yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan. Keputusan ini dilakukan ketika organisasi menemui masalah yang
belum pernah mereka alami sebelumnya, sehingga organisasi tidak dapat
memutuskan bagaimana merespon permasalahan tersebut, sehingga terdapat
ketidakpastian apakah solusi yang diputuskan dapat menyelesaikan permasalahan
atau tidak, akibatnya keputusan tidak terprogram menghasilkan lebih sedikit alternatif
keputusan dibandingkan dengan keputusan terprogram selain itu tingginya
kompleksitas dan ketidakpastian keputusan tidak terprogram pada umumnya
melibatkan perencanaan strategik.
2.5.3. Teori Pengambilan Keputusan
Terdapat beberapa teori pengambilan keputusan. Keputusan-keputusan yang
diambil oleh individu dapat dipahami melalui dua pendekatan pokok, yaitu
pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif menitikberatkan
pada apa yang seharusnya dilakukan oleh pembuat keputusan sehingga diperoleh
suatu keputusan yang rasional. Pendekatan deskriptif menekankan pada apa saja yang
59
telah dilakukan orang yang membuat keputusan tanpa melihat apakah keputusan yang
dihasilkan itu rasional atau tidak rasional (Suharnan, 2005).
Dengan demikian, pendekatan normatif akan mengacu pada prinsip-prinsip
keputusan yang seharusnya dibuat menurut pikiran logis (ideal). Sementara itu,
pendekatan deskriptif akan mengacu pada kenyataan-kenyataan keputusan yang telah
dibuat oleh kebanyakan orang (realitas-empiris).
Menurut Hastjarjo yang dikutip oleh Suharnan (2005) pengambilan keputusan
juga dapat dipelajari dari sudut tingkat resiko yang menyertainya. Sebagian keputusan
yang dibuat seseorang dalam keadaan yang sedikit atau tanpa resiko (riskless choice).
Sementara itu sebagian keputusan yang lain harus dibuat dalam suasana yang
mengandung resiko (risky choice).
Berikut ini akan dijelaskan beberapa pendekatan dalam pengambilan
keputusan:
a) Pendekatan normatif
Jika digunakan pendekatan normatif dalam pengambilan keputusan, maka
seseorang akan menempuh cara-cara yang rasional berdasarkan perhitungan
matematis atau statistik. Suatu keputusan yang rasional harus memperhatikan prinsip-
prinsip berikut: memperbandingkan di antara pilihan, transitisitas, mengabaikan
faktor umum, dominan, kontinuitas, dan invarian (Plous, 1993; Suharnan, 2005).
1. Memperbandingkan pilihan. Prinsip pertama adalah seseorang pembuat keputusan
yang rasional harus membandingkan di antara dua pilihan atau lebih. Biasanya
dilakukan dengan membuat daftar urut pilihan, termasuk sifat-sifat penting yang
60
dimiliki oleh masing-masing. Setelah itu, seseorang akan menentukan satu pilihan
yang terbaik, atau mungkin semua pilihan tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan sehingga ia boleh memilih alternatif yang mana yang dikehendaki.
2. Transitisitas. Prinsip ini mengatakan bahwa jika ada tiga pilihan misalnya A, B,
dan C; A lebih disukai daripada B, dan B lebih disukai daripada C, maka A
adalah paling disukai diantara kedua pilihan tersebut. Pilihan seseorang
seharusnya jatuh pada A, dan bukan B atau C.
3. Mengabaikan faktor umum. Jika dua alternatif mengandung resiko yang keduanya
memiliki peluang sama di dalam menghasilkan konsekuensi-konsekuensi tertentu,
maka faktor-faktor yang sama ini seharusnya diabaikan ketika menentukan salah
satu pilihan. Dengan kata lain, menentukan satu pilihan diantara dua alternatif
seharusnya hanya tergantung pada konsekuensi hasil yang berbeda, bukan pada
konsekuensi hasil yang sama-sama dimiliki oleh keduanya. Konsekuensi-
konsekuensi hasil yang sama di antara dua pilihan ini disebut faktor-faktor umum
(common factors), dan seharusnya dikeluarkan dari pertimbangan.
4. Dominan. Jika ada dua objek pilihan atau lebih yang semuanya memiliki sifat-
sifat sama, namun paling sedikit ada satu sifat menarik dan menonjol yang
dimiliki oleh salah satu dari dua objek tersebut, maka seharusnya orang memilih
objek yang memililki sifat menonjol daripada objek yang lain.
5. Kontinuitas. Untuk serangkaian hasil, pembuat keputusan harus selalu lebih
berspekulasi antara hasil terbaik dan terburuk menjadi hasil yang pertengahan jika
untuk mendapatkan hasil terbaik terdapat rintangan yang cukup besar.
61
6. Invarian. Prinsip ini mengatakan bahwa cara penyajian seharusnya tidak
menentukan suatu pilihan. Misalnya, orang membeli sepeda motor merek A atau
B, seharusnya tidak ditentukan oleh cara penyampaian pesan poromosi apakah
melalui media pandang-dengar atau media cetak.
b) Teori prospek
Teori ini adalah salah satu pendekatan deskriptif. Teori ini dikembangkan oleh
Danniel Kahneman dan Amos Tversky di sekitar tahun 80-an. Namun, di kalangan
ahli psikologi Indonesia teori prospek baru dikenal pada tahun 90-an (Suharnan,
1999). Prinsip-prinsip yang diajukan oleh teori prospek meliputi: prinsip fungsi nilai
(value function), bingkai keputusan (decision frame), perhitungan mental-psikologis
(psychological accounting), probabilitas (probability), dan efek kepastian (certainty
effects).
1. Fungsi nilai. Teori prospek mendefinisikan nilai di dalam kerangka kerja bipolar
di antara perolehan (gains) dan kehilangan (losses). Keduanya bergerak dari titik
tengah yang merupakan referensi netral. Fungsi nilai bagi suatu perolehan
(mendapatkan sesuatu) akan berbeda dengan kehilangan sesuatu itu. Nilai bagi
suatu kehilangan dibobot lebih tinggi. Sementara itu, nilai bagi suatu perolehan
dibobot lebih rendah.
2. Pembingkaian. Teori prospek memprediksi bahwa preferensi (kecenderungan
memilih) akan tergantung pada bagaimana suatu persoalan dibingkai atau
diformulasikan. Jika titik referensi diformulasikan sedemikian rupa sehingga hasil
keputusan dianggap atau dipersepsi sebagai suatu perolehan, maka orang yang
62
mengambil keputusan akan cenderung menghindari resiko (risk averse).
Sebaliknya, jika titik referensi diformulasikan ke arah keputusan yang
menghasilkan kerugian atau kehilangan, maka orang akan cenderung mengambil
resiko (risk seeking).
3. Perhitungan psikologis. Orang yang membuat keputusan tidak hanya membingkai
pilihan-pilihan yang ditawarkan, tetapi juga membingkai hasil serta akibat dari
pilihan-pilihan itu. Hal ini disebut perhitungan mental atau psikologis.
Perhitungan psikologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu minimal accounting
dan inclusive accounting (Kahneman dan Tversky dalam Suharnan, 2005). Suatu
perhitungan disebut sebagai minimal accounting apabila hasil-hasil dari pilihan
yang akan ditetapkan dibingkai menurut konsekuensi yang langsung
menyertainya. Suatu perhitungan disebut inclusive accounting apabila hasil-hasil
keputusan dibingkai dengan memperhitungkan kejadian sebelumnya.
4. Probabilitas. Teori prospek berpandangan bahwa kecenderungan orang dalam
membuat keputusan merupakan fungsi dari bobot keputusan (decision weight).
Bobot keputusan ini tidak selalu berhubungan dengan besar-kecilnya peluang atau
frekuensi kejadian. Kejadian-kejadian yang memiliki peluang rendah cenderung
diberi bobot nilai yang tinggi (overweight). Sementara itu, kejadian-kejadian yang
berpeluang sedang atau tinggi justru cenderung diberi bobot nilai yang rendah
(underweight).
5. Efek kepastian. Teori prospek memprediksi bahwa pilihan yang dipastikan tanpa
resiko sama sekali akan lebih disukai daripada pilihan yang masih mengandung
63
resiko meski kemungkinannya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena orang-
orang cenderung menghilangkan sama sekali adanya resiko (eliminate) daripada
hanya menguranginya (reduce) atau memperkecil resiko.
c) Pendekatan heuristik
Heuristik adalah cara menentukan sesuatu melalui hukum kedekatan,
kemiripan, kecenderungan, atau keadaan yang diperkirakan paling mendekati
kenyataan. Heuristik merupakan suatu strategi yang cenderung menghasilkan
keputusan yang tepat, tetapi tidak menjamin ketepatan secara mutlak. Sebagai
konsekuensinya, seseorang memliiki kemungkinan untuk membuat keputusan yang
salah atau perkiraan yang melencengakibat kelemahan dari pemakaian strategi
heuristik.
Beberapa strategi penting dari heuristik yang sering digunakan orang di dalam
proses pengambilan keputusan, yaitu: keterwakilan, ketersediaan informasi,
pembuatan patokan, perangkap keputusan, kepercayaan yang berlebihan, dan
pembingkaian.
1. Keterwakilan (representativeness). Menurut Nisbett (Matlin,1994) keterwakilan
merupakan pendekatan heuristik yang paling penting dalam proses pengambilan
keputusan. Suatu sampel tampak mewakili apabila terdapat kesamaan
karakteristik utama dengan yang dimiliki oleh populasinya. Lebih khusus,
keterwakilan sangat tergantung pada bagaimana sampel dipilih dari populasi yang
menjadi asalnya. Keterwakilan pada umumnya merupakan strategi yang sangat
berguna, karena dapat mengarahkan seseorang kepada pengambilan keputusan
64
yang benar. Meskipun begitu, apabila seseorang menggunakan strategi tersebut
secara berlebihan, maka ia dapat mengambil keputusan-keputusan yang salah.
2. Ketersediaan informasi (availability). Tversky & Kahneman (Matlin, 1994)
mengatakan bahwa seseorang akan menggunakan strategi ini ketika ia sedang
membuat estimasi atau taksiran terhadap frekuensi peristiwa atau kemungkinan
pemunculan kejadian berdasarkan tingkat kemudahan contoh-contoh yang dapat
diperoleh. Dengan kata lain, orang mempertimbangkan frekuensi kejadian dengan
cara menetapkan apakah contoh-contoh informasi yang relevan dapat ditemukan
dengan mudah di dalam ingatan ataukah memerlukan usaha yang keras. Faktor-
faktor yang mempengaruhi ketersediaan informasi atau ingatan seseorang antara
lain (Matlin, 1994; Suharnan, 2005) adalah (a) kekinian informasi (recency).
Ingatan mengenai informasi pada umumnya makin menurun bersamaan dengan
semakin berlalunya waktu. Semakin baru suatu informasi diterima atau peristiwa
dialami seseorang, maka semakin baik hal itu diingat kembali.; (b) keakraban
(familiarity). Keakraban dengan contoh-contoh juga mempengaruhi kesalahan
perkiraan seseorang mengenai suatu peristiwa.; dan (c) kejelasan (vividness).
Informasi yang dapat dibayangkan dan diingat kembali dengan jelas oleh
seseorang juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi taksiran terhadap
frekuensi suatu peristiwa. Jika orang dapat membayangkan kembali dengan jelas
di dalam ingatannya mengenai beberapa peristiwa yang relevan dengan peristiwa
yang akan ditaksir, seolah-olah peristiwa itu sedang terjadi sekarang, maka ia
akan menggunakan informasi itu sebagai acuan.
65
3. Patokan dan penyesuaian (ancor and adjusment). Seseorang sering menggunakan
strategi memasang jangkar atau menetapkan patokan awal lalu melakukan
penyesuaian pada saat akan membuat estimasi-estimasi. Strategi ini dimulai
dengan menebak suatu keadaan awal yang paling mendekati, dan ini dijadikan
patokan, kemudian dibuat penyesuaian-penyesuaian secara bertahap sesuai
dengan informasi tambahan yang diterima.
4. Perangkap (entrapment). Perangkap atau jebakan ialah suatu proses pengambilan
keputusan yang berarti menambah atau memperkuat komitmen terhadap pilihan-
pilihan yang telah dibuat sebelumnya. Seseorang atau kelompok dikatakan
terperangkap apabila orang atau kelompok itu berusaha mempertahankan
keputusan yang pernah dibuat. Faktor yang mempengaruhi orang terperangkap,
yaitu pertama, orang lebih melihat imbalan (reward) yang akan diperoleh apabila
tujuan yang diinginkan tercapai daripada melihat kerugian yang akan diderita
apabila ia mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan tersebut. Kedua, orang
mempersepsi bahwa tujuan yang diinginkan sudah tampak di depan mata dan
hampir dipastikan akan dapat dicapai dalam waktu singkat, sehingga hal ini lebih
mendorong orang itu untuk meneruskan perjalanan daripada mundur atau
menyerah. Ketiga, orang sudah terlanjur menanamkan sejumlah besar investasi
atau mengorbankan banyak uang, tenaga, pikiran, dan waktu. Keempat,
kecenderungan orang dalam situasi kompetitif untuk tetap mempertahankan
keunggulan, sehingga keinginan untuk mematikan lawan menjadi sangat besar.
Kelima, muncul perasaan malu pada diri seseorang, karena apabila ia menyerah
66
maka berarti harga dirinya menjadi rendah di mata orang lain. Keenam, adanya
rasa tanggung jawab yang terlalu besar (berlebihan) terhadap kegagalan tugas
atau keberhasilan tugas yang menjadi tanggung jawab seseorang.
5. Kepercayaan yang berlebihan (overconfidence). Terdapat banyak keputusan yang
salah atau melenceng disebabkan antara lain oleh kepercayaan yang berlebihan
dari pembuat keputusan. Orang tidak jarang membuat perkiraan kedepan yang
ternyata tidak terbukti kebenarannya. Orang juga sering melakukan penaksiran
yang tidak realistis terhadap kemungkinan apakah suatu peristiwa sering terjadi
atau jarang terjadi, karena hanya didasarkan pada perhitungan statistic yang
dianggap sudah tepat.
6. Bingkai keputusan (decision frame). Bingkai keputusan adalah cara-cara yang
digunakan di dalam mengajukan pertanyaan dan konteks pilihan atau
permasalahan agar dihasilkan keputusan tertentu (Matlin, 1994; Suharnan, 2005).
Cara-cara ini dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap pilihan atau
permasalahan yang hendak diputuskan. Suatu cara penyajian atau konteks yang
berbeda akan menghasilkan keputusan yang berbeda pula, meski persoalan yang
diangkat sebenarnya sama.
2.5.4. Keputusan yang kompleks
Menurut Anderson yang dikutip oleh Suharhan (2005) ada tiga kemungkinan
pendekatan berdasarkan nilai yang diharapkan dalam situasi yang kompleks, yaitu
memaksimalkan nilai minimum, memaksimalkan nilai maksimum, dan
memaksimalkan nilai yang diharapkan (unbiased). Selain itu, ketika menghadapi
67
masalah yang sangat kompleks atau sulit, orang dapat mempertimbangkan
penggunaan proses berpikir sadar (conscious thinking) atau berpikir tidak sadar
(unconscious thinking).
1. Memaksimalkan nilai minimum. Pendekatan ini cenderung mengarah pada
keputusan yang pesimis. Individu cenderung mempertimbangkan situasi atau
resiko yang paling buruk yang akan terjadi jika ia memilih suatu alternatif, atau
alternatif yang lain. Jadi, keputusan dibuat sepenuhnya menurut pertimbangan
kemungkinan paling buruk yang akan terjadi nanti.
2. Memaksimalkan nilai maksimum. Pendekatan ini memiliki pandangan yang
optimis. Individu cenderung mempertimbangkan hal-hal yang baik dan mungkin
dapat terjadi jika ia memilih suatu alternatif, atau memilih alternatif yang lain. Ia
lalu memilih alternatif yang dirasakan paling memuaskan. Keputusan yang dibuat
sepenuhnya menurut perspektif kemungkinan didepan yang paling baik, dan
mengabaikan kemungkinan lain yang jelek akan terjadi.
3. Memaksimalkan nilai harapan. Pendekatan ini pada umumnya dianggap lebih
rasional karena individu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang baik
dan buruk akan terjadi terhadap alternatif-alternatif pilihan yang dibuatnya.
Pendekatan ini dapat diterapkan pada pengambilan keputusan didalam situasi
yang pasti atau tidak pasti.
4. Penggunaaan berpikir sadar atau tidak sadar. Ketika menghadapi masalah-
masalah atau keputusan-keputusan yang kompleks didalam kehidupan sehari-hari,
individu perlu mempertimbangkan mana yang lebih baik atau berguna antara
68
penerapan proses berpikir sadar atau tidak sadar. Pikiran sadar memiliki kapasitas
memproses informasi yang sangat terbatas, sedangkan pikiran tidak sadar
memiliki kapasitas yang jauh lebih besar di dalam memproses informasi.
Pengambilan keputusan untuk masalah-masalah yang mudah, maka penerapan
berpikir sadar dianggap lebih efektif. Sebaliknya, bagi masalah-masalah yang
kompleks, maka penerapan proses berpikir tidak sadar akan jauh lebih efektif atau
berguna, sehingga menghasilkan keputusan yang berkualitas baik. Hal ini
disebabkan karena masalah-masalah yang kompleks sulit ditentukan secara pasti
apa saja komponen-komponen atau atribut-atribut yang dimiliki. Selain tidak
jelas, juga mungkin saja berjumlah banyak dan saling terkait antara komponen
satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, seseorang cukup memahami kesan-
kesan keseluruhan (global impression) mengenai suatu masalah dan tidak perlu
menganalisis komponen demi komponen masalah secara rinci dan kuantitatif.
69
2.6. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang digunakan maka kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah :
Persepsi Klinik Swasta :
1. Manfaat 2. Kepentingan 3. Profit 4. Kredentialing 5. Sistem Klaim
Keputusan ikut serta :
1. Ya 2. Tidak
70
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey dengan menggunakan pendekatan
explanatory research atau penelitian penjelasan yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh persepsi provider klinik swasta terhadap keikutsertaan sebagai provider
BPJS kesehatan di Kota Medan tahun 2014.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi ini
berdasarkan pertimbangan banyaknya klinik swasta yang ada di Kota Medan yaitu
1.345 klinik swasta tetapi yang menjadi PPK I dalam JKN baru 3,6%, sehingga perlu
diteliti persepsi pemilik klinik swasta terhadap program BPJS. Penelitian dilakukan
pada bulan Maret - Juni Tahun 2014.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi dan Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti.
Namun dalam penelitian ini sampel adalah keseluruhan objek penelitian atau objek
yang diteliti yaitu semua klinik swasta yang memenuhi persyaratan untuk menjadi
PPK I yang ada di Kota Medan yaitu sebanyak 68 klinik swasta.
71
3.1. Teknik Pengambilan Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari responden melalui proses
wawancara dengan menggunakan kuesioner.
2. Data Sekunder
Data Sekunder diperoleh dari Kantor Dinas Kesehatan Kota Medan dan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kota Medan.
3.2. Definisi Operasional
1. Persepsi tentang manfaat adalah pandangan responden tentang guna, faedah,
yang didapatkan oleh responden dari sistem JKN yang dikelola oleh BPJS.
2. Persepsi tentang kepentingan adalah pandangan responden tentang tujuan
utama responden yang ingin dicapai melalui system JKN yang dikelola oleh
BPJS.
3. Persepsi tentang profit adalah pandangan responden tentang nilai yang
diperoleh oleh responden dalam bentuk uang yang diperoleh dari system JKN
yang dikelola oleh BPJS.
4. Persepsi tentang kredensialing adalah pandangan responden tentang proses
penilaian yang dilakukan oleh BPJS dalam menilai penyelenggara pelayanan
yang layak dalam implementasi JKN.
5. Persepsi tentang sistem klaim adalah pandangan responden tentang suatu cara
pencairan dana yang dilakukan oleh BPJS terhadap fasilitas yang menjadi
penyenggara pelayanan dalam system JKN
72
3.3. Aspek Pengukuran
3.3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas
Variabel karakteristik persepsi meliputi skala pengukuran nominal dan
ordinal. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas No. Variabel Indi-
kator Kriteria Jawaban
Bobot Nilai
Kategori Variabel
Skor Skala Pengukuran
1 Manfaat 3 a. Sangat setuju b. kurang setuju
c. Tidak setuju
3 2 1
a.Baik b.Kurang Baik
6-9 3-5
Ordinal
2 Kepentingan 4 a. Sangat setuju b. kurang setuju
c. Tidak setuju
3 2 1
a.Baik b.Kurang Baik
9-12 4--8
Ordinal
3 Profit 4 a. Sangat setuju b. kurang setuju
c. Tidak setuju
3 2 1
a.Baik b.Kurang Baik
9-12 4--8
Ordinal
4 Kredensialing 4 a. Sangat setuju b. kurang setuju
c. Tidak setuju
3 2 1
a.Baik b.Kurang Baik
9-12 4--8
Ordinal
5 Kapitasi dan Sistem Klaim
3 a. Sangat setuju b. kurang setuju c. Tidak
Setuju
3 2 1
a.Baik b.Kurang Baik
6-9
3-5
Ordinal
3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat
Keikutsertaan klinik swasta diukur melalui 1 pertanyaan dan dibagi dalam 2
kategori yaitu “ya” dan “tidak” dengan menggunakan skala Guttman.
73
Tabel.3.2. Skala Pengukuran Variabel Terikat No. Variabel Indi-
Kator Kriteria Bobot
Nilai Skor Skala
Pengukuran 1 Keikutsertaan 1 1. Ikut serta
0. Tidak ikut serta
1 0
Ordinall
3.4. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik berganda
untuk melihat sejauh mana pengaruh variabel independen tentang implementasi
kebijakan JKN terhadap variabel terikat.
Persamaan regresi logistik berganda adalah sebagai berikut :
Y = α + β1 X1 + β2 X2+ β3 X3+ β4 X4+ β5 X5+ β6 X6+ β7 X7
Keterangan :
Y = Variabel dependen (partisipasi klinik swasta)
α = Konstanta regeresi logistik
β1 … β6 = Koefisien regeresi logistik variabel penelitian
X1 = Manfaat
X2 = Kepentingan
X3 = Profit
X4 = Kredentialing
X5 = Kapitasi dan Sistem Klaim
X6 = Keikutsertaan
74
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Kota Medan
4.1.1 Kondisi Geografis
Kota Medan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara merupakan pusat
pemerintahan, pendidikan, kebudayaan, dan perdagangan. Terletak di pantai timur
Sumatera dengan batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
Luas wilayah Kota Medan adalah 256,10 Km² terdiri atas 21 kecamatan
dan 151 kelurahan. Kota Medan memiliki geografi yang unik, ramping di tengah dan
membesar di sisi Utara dan sisi Selatan. Bagian Utara merupakan kawasan industri
dan pelabuhan serta pemukiman yang dihubungkan ke bagian Selatan oleh bagian
Tengah yang ramping. Bagian Selatan merupakan pusat kegiatan perkotaan.
4.1.1 Distribusi Penduduk Kota Medan Berdasarkan Kelompok Umur dan
Jenis Kelamin
Jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan data statistik Kota Medan tahun 2013
adalah 2.122.804 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 8,008/Km²
75
namun daerah terpadat penduduknya adalah Kecamatan Perjuangan yaitu
22,867 jiwa/Km² sedangkan Kecamatan Medan Labuhan adalah daerah yang
renggang penduduknya yaitu 3,072 jiwa/Km². Berikut distribusi penduduk
berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin di Kota Medan Tahun 2013.
Berdasarkan tabel 4.1. di bawah ini terlihat bahwa penduduk Kota Medan pada tahun
2013 terbanyak pada kelompok umur 15-44 tahun dan berjenis kelamin perempuan.
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan
Jenis Kelamin di Kota Medan Tahun 2013
No Kelompok Umur (Tahun)
Jumlah Penduduk Laki-laki % Perempuan %
1 0-4 99.365 9,48 94.516 8,79 2 5-14 190.360 18,16 179.983 16,75 3 15-44 553.390 52,82 579.021 53,86 4 45-64 172.678 16,47 178.749 16,63 5 ≥65 32.082 3,07 42.660 3,97 Total 1.047.875 100 1.074.929 100
Sumber : Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan 4.1.2 Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan di Kota Medan Tahun 2013
Kota Medan memiliki fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 4.445. Jumlah ini
cukup banyak untuk sarana pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan
masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan
terbanyak adalah praktik dokter perorangan 2.019 unit, dan sarana pelayanan yang
paling sedikit adalah rumah sakit khusus lainnya yaitu sebesar 5 unit serta beberapa
sarana kesehatan lainnya dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan di Kota Medan Tahun 2013
No Fasilitas Kesehatan Jumlah %
76
1 Rumah Sakit Umum 57 1,3 2 Rumah Sakit Jiwa 6 0,2 3 Rumah Sakit Ibu dan Anak 9 0,2 4 Rumah Sakit Khusus Lainnya 5 0,1 5 Puskesmas Perawatan 13 0,3 6 Puskesmas Non Perawatan 26 0,6 7 Puskesmas Keliling 13 0,3 8 Puskesmas Pembantu 41 0,9 9 Poskeskel 151 3,4 10 Posyandu 1.396 31,4 11 Apotek 85 1,9 12 Toko Obat 19 0,4 13 GFK 38 0,9 14 Rumah Bersalin 246 5,5 15 Balai Pengobatan/Klinik 321 7,2 16 Praktik Dokter Bersama - 17 Praktik Dokter Perorangan 2019 45,4 18 Praktik Pengobatan Tradisional Jumlah 4.445 100
Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kota Medan
4.2. Analisis Univariat
Tabel berikut ini merupakan analisis univariat variabel independen dan
dependen pada penelitian Pengaruh Persepsi Provider Swasta tentang Implementasi
Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS
Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014.
4.2.1 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Manfaat
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang menyatakan
sangat setuju JKN memiliki manfaat yang lebih besar daripada program sebelumnya
sebanyak 37 orang (54,4%), yang setuju sebanyak 18 orang (26,5%), dan responden
yang menyatakan kurang setuju sebanyak 13 orang (19,1%). Responden yang
menyatakan sangat setuju JKN memiliki manfaat lebih dari 75% sebanyak 29 orang
(42,6%), yang menyatakan setuju sebanyak 28 orang (41,2%), dan yang menyatakan
77
kurang setuju sebanyak 11 orang (16,2%). Responden yang menyatakan setuju
jumlah kunjungan pasien meningkat sebanyak 44 orang (64,7%), dan yang
menyatakan kurang setuju sebanyak 24 orang (35,7%). Responden yang menyatakan
setuju pendapatan meningkat sebanyak 34 orang (50,0%), dan yang menyatakan
kurang setuju sebanyak 34 orang (50,0%). Responden yang menyatakan setuju
cakupan wilayah pelayanan bertambah sebanyak 26 orang (38,2%), dan yang
menyatakan kurang setuju sebanyak 42 orang (61,8%). Secara rinci dapat pada tabel
4.3 berikut ini.
Tabel 4.3. Distribusi Responden Menurut Uraian tentang Manfaat Sebagai
Provider Swasta BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014
No Persepsi Kriteria Jumlah % 1 JKN memiliki manfaat yang lebih besar
daripada program sebelumnya Sangat Setuju 37 54,4
Setuju 18 26,5 Kurang Setuju 13 19,1
Total 68 100 2 Manfaat yang dirasakan lebih dari 75 % Sangat Setuju 29 42,6
Setuju 28 41,2 Kurang Setuju 11 16,2
Total 68 100 3 Jumlah kunjungan Meningkat Setuju 44 64,7
Kurang Setuju 24 35,7 Total 68 100
4 Pendapatan Meningkat Setuju 34 50,0 Kurang Setuju 34 50,0
Total 68 100 5 Cakupan wilayah pelayanan bertambah Setuju 26 38,2 Kurang Setuju 42 61,8 Total 68 100
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa setelah dilakukan
pengkategorian berdasarkan jawaban responden, responden yang memiliki persepsi
78
baik tentang manfaat sama besar dengan responden yang memiliki persepsi kurang
baik yaitu sebesar 34 orang (50%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Variabel Manfaat Sebagai Provider Swasta BPJS Kesehatan tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional
di Kota Medan Tahun 2014
Variabel Jumlah Persentase (%) Manfaat
Baik 34 50,0 Kurang Baik 34 50,0
Jumlah 68 100,0
4.2.2 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Kepentingan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang menyatakan
sangat setuju sistem JKN mendukung kepentingannya sebanyak 39 orang (57,4%),
yang setuju sebanyak 17 orang (25,%), dan responden yang menyatakan kurang
setuju sebanyak 12 orang (17,6%). Responden yang menyatakan sangat setuju visi
dan misi klinik sejalan dengan JKN sebanyak 34 orang (50%), yang menyatakan
setuju sebanyak 23 orang (41,2%), dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 11
orang (16,2%). Responden yang menyatakan sangat setuju sistem JKN memperkuat
keberadaan klinik sebanyak 46 orang (67,6%), yang menyatakan setuju sebanyak 11
orang (16,2%), dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 11 orang (16,2%).
Responden yang menyatakan sangat setuju sistem JKN mendukung program-program
yang ada di klinik sebanyak 40 orang (58,8%), yang menyatakan setuju sebanyak 17
orang (25%), dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 11 orang (16,2%). Secara
rinci dapat dilihat pada tabel 4.5.
79
Tabel 4.5. Distribusi Responden Menurut Uraian tentang Kepentingan Sebagai
Provider Swasta BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014
No Persepsi Kriteria Jumlah % 1 2
Kepentingan bapak/ibu didukung dengan adanya JKN
Sangat Setuju 39 57,4 Setuju 17 25,0 Kurang Setuju 12 17,6
Total 68 100 Visi dan misi klinik sejalan dengan sistem JKN
Sangat Setuju 34 50,0 Setuju 23 33,8 Kurang Setuju 11 16,2
Total 68 100 3 Sistem JKN memperkuat keberadaan klinik Sangat Setuju 46 67,6
Setuju 11 16,2 Kurang Setuju 11 16,2
Total 68 100 4 Sistem JKN mendukung program-program
yang ada di klinik Sangat Setuju 40 58,8 Setuju 17 25,0 Kurang Setuju 11 16,2
Total 68 100
Berdasarkan uraian diatas setelah dilakukan pengkategorian dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi baik tentang kepentingan yaitu
sebanyak 41 orang (60,3%) dan sebagian kecil responden memiliki persepsi kurang
baik yaitu sebanyak 27 orang (39,7%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Variabel Kepentingan Sebagai Provider Swasta
BPJS Kesehatan tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional
di Kota Medan Tahun 2014
Variabel Jumlah Persentase (%) Kepentingan
Baik 27 39,7 Kurang Baik 41 60,3
Jumlah 68 100,0
80
4.2.3 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Profit
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang menyatakan
sangat setuju system JKN menambah penghasilan klinik sebanyak 44 orang (64,7%),
yang setuju sebanyak 10 orang (14,7%), dan responden yang menyatakan kurang
setuju sebanyak 14 orang (20,6%). Responden yang menyatakan sangat setuju
pendapatan meningkat lebih dari 50% sebanyak 34 orang (50%), yang menyatakan
setuju sebanyak 20 orang (29,4%), dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 14
orang (20,6%). Responden yang menyatakan sangat setuju bahwa penghasilan yang
diperoleh sesuai dengan pengeluaran yang ada sebanyak 27 orang (39,7%), yang
menyatakan setuju sebanyak 26 orang (38,2%) dan yang menyatakan kurang setuju
sebanyak 15 orang (22,1%). Responden yang menyatakan setuju dengan system JKN
bisa menutupi operasional klinik sebanyak 41 orang (60,3%), dan yang menyatakan
kurang setuju sebanyak 27 orang (39,7%). Responden yang menyatakan setuju bisa
mempunyai penghasilan yang tetap tinggi sebanyak 28 orang (41,2%), dan yang
menyatakan kurang setuju sebanyak 40 orang (58,8%). Responden yang menyatakan
setuju bisa mempunyai penghasilan yang terus bertambah sebanyak 37 orang
(54,4%), dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 31 orang (45,6%). Secara
rinci dapat pada tabel 4.7 berikut ini.
81
Tabel 4.7. Distribusi Responden Menurut Uraian tentang Profit Sebagai
Provider Swasta BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014
No Persepsi Kriteria Jumlah % 1 Sistem JKN akan menambah penghasilan Sangat Setuju 34 50,0
Setuju 23 33,8 Kurang Setuju 11 16,2
Total 68 100 2 Pendapatan meningkat lebih dari 50% Sangat Setuju 46 67,6
Setuju 11 16,2 Kurang Setuju 11 16,2
Total 68 100 3 Penghasilan yang diperoleh sesuai dengan
pengeluaran yang ada Sangat Setuju 27 39,7
Setuju 26 38,2 Kurang Setuju 15 22,1 5 6 7
Total 68 100 Keuntungan menutupi operasional klinik Setuju 41 60,3
Kurang Setuju 27 39,7 Total 68 100
Penghasilan lebih besar dari sebelum JKN Setuju Kurang Setuju
28 40
41,2 58,8
Total 68 100 Penghasilan tetap tinggi Setuju 37
31 54,4 45,6 Kurang Setuju
Total 68 100
Berdasarkan hasil penelitian setelah dilakukan pengkategorian diketahui
bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi baik tentang profit yaitu sebesar
40 orang (58,8%) dan sebagian kecil responden memiliki persepsi kurang baik yaitu
sebesar 28 orang (41,2%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Variabel Bisnis dan Profit Sebagai Provider
Swasta BPJS Kesehatan tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional
di Kota Medan Tahun 2014
Variabel Jumlah Persentase (%)
82
Bisnis dan Profit Baik 40 58,8
Kurang Baik 28 41,2 Jumlah 68 100,0
4.2.4 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Kredensialing
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang menyatakan
sangat setuju dengan sistem kredensialing yang ada sebanyak 32 orang (47,1%), yang
setuju sebanyak 20 orang (29,4%), dan responden yang menyatakan kurang setuju
sebanyak 16 orang (23,5%). Responden yang menyatakan sangat setuju kredensialing
mudah diterapkan di klinik sebanyak 29 orang (42,6%), yang menyatakan setuju
sebanyak 23 orang (33,8%), dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 16 orang
(23,5%). Responden yang menyatakan sangat setuju kredensialing dipermudah
persyaratannya sebanyak 50 orang (73,5%), yang menyatakan setuju sebanyak 14
orang (20,6%) dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 4 orang (5,9%).
Responden yang menyatakan sangat setuju kredensialing dilakukan setahun sekali
sebanyak 29 orang (42,6%), yang menyatakan setuju sebanyak 16 (23,5%), dan
yang kurang setuju sebanyak 23 orang (33,8%). Secara rinci dapat dilihat pada
tabel 4.9.
Tabel 4.9. Distribusi Responden Menurut Uraian tentang Kredensialing
Sebagai Provider Swasta BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014
No Persepsi Kriteria Jumlah % 1 Setuju dengan sistem kredensialing yang
ada Sangat Setuju 32 47,1 Setuju 20 29,4 Kurang Setuju 16 23,5
Total 68 100 2 Kredensialing mudah diterapkan di klinik Sangat Setuju 29 42,6
83
Setuju 23 33,8 Kurang Setuju 16 23,5
Total 68 100 3 Setuju sistem kredensialing dipermudah
persyaratannya Sangat Setuju 50 73,5 Setuju 14 20,6 Kurang Setuju 4 5,9
Total 68 100 4 Setuju kredensialing dilakukan setiap 1
tahun sekali Sangat Setuju 29 42,6 Setuju 16 23,5 Kurang Setuju 23 33,8
Total 68 100
Berdasarkan hasil penelitian setelah dilakukan pengkategorian diketahui
bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi baik tentang kredensialing yaitu
sebesar 41 orang (60,3%) dan sebagian kecil responden memiliki persepsi kurang
baik yaitu sebesar 27 orang (39,7%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Variabel Kredensialing Sebagai Provider
Swasta BPJS Kesehatan tentang Implementasi Jaminan Kesehatan
Nasional di Kota Medan Tahun 2014
Variabel Jumlah Persentase (%) Kredensialing
Baik 40 58,8 Kurang Baik 28 41,2
Jumlah 68 100,0
4.2.5 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Kapitasi dan Sistem
Klaim
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang menyatakan
sangat setuju dengan sistem klaim yang diterapkan BPJS sebanyak 36 orang (52,9%),
yang setuju sebanyak 17 orang (25%), dan responden yang menyatakan kurang setuju
sebanyak 15 orang (22,1%). Responden yang menyatakan sangat setuju dengan
84
waktu klaim selama 15 hari sebanyak 35 orang (51,5%), yang menyatakan setuju
sebanyak 21 orang (30,9%), dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 12 orang
(17,6%). Responden yang menyatakan sangat setuju dengan prosedur klaim yang
ditetapkan BPJS sebanyak 36 orang (52,9%), yang menyatakan setuju sebanyak 20
orang (29,4%), dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 12 orang (17,6%).
Responden yang menyatakan sangat setuju dengan system kapitasi yang diterapkan
BPJS sebanyak 46 orang (67,6%), yang menyatakan setuju sebanyak 10 orang
(14,7%), dan yang menyatakan kurang setuju sebanyak 12 orang (17,6%).
Tabel 4.11. Distribusi Responden Menurut Uraian tentang Kapitasi dan Sistem
Klaim Sebagai Provider Swasta BPJS Kesehatan di Kota Medan Tahun 2014
No Persepsi Kriteria Jumlah % 1 Setuju dengan sistem klaim yang
diterapkan BPJS Sangat Setuju 36 52,9 Setuju 17 25,0 Kurang Setuju 15 22,1
Total 68 100 2 Setuju dengan waktu klaim selama 15 hari Sangat Setuju 35 51,5
Setuju 21 30,9 Kurang Setuju 12 17,6
Total 68 100
Tabel 4.11. (Lanjutan)
No Persepsi Kriteria Jumlah % 3 Setuju dengan prosedur klaim yang
diterapkan BPJS Sangat Setuju 36 52,9 Setuju 20 29,4 Kurang Setuju 12 17,6
Total 68 100 4 Setuju dengan sistem kapitasi yang
diterapkan BPJS Sangat Setuju 46 67,6 Setuju 10 14,7 Kurang Setuju 12 17,6
Total 68 100
85
Berdasarkan hasil penelitian setelah dilakukan pengkategorian diketahui
bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi baik tentang kapitasi dan sistem
klaim yaitu sebesar 41 orang (60,3%) dan sebagian kecil responden memiliki persepsi
kurang baik yaitu sebesar 27 orang (39,7%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel
4.12.
Tabel 4.12. Distribusi Frekuensi Variabel Kapitasi dan Sistem Klaim Sebagai
Provider Swasta BPJS Kesehatan tentang Implementasi Jaminan Kesehatan
Nasional di Kota Medan Tahun 2014
Variabel Jumlah Persentase (%) Kapitasi dan Sistem Klaim
Baik 45 66,2 Kurang Baik 23 33,8
Jumlah 68 100,0
4.2.6 Distribusi Responden Berdasarkan Keikutsertaan Sebagai Provider
Pratama BPJS Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden ikut
serta sebagai provider pratama BPJS kesehatan yaitu sebesar 52 orang (76,5%) dan
sebagian kecil responden tidak ikut serta yaitu sebesar 16 orang (23,5%). Secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.13.Distribusi Frekuensi Variabel Keikutsertaan Sebagai Provider
Swasta BPJS Kesehatan tentang Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional
di Kota Medan Tahun 2014
Variabel Jumlah Persentase (%) Keikutsertaan
Ya 52 76,5 Tidak 16 23,5
86
Jumlah 68 100,0 4.3. Hasil Analisis Bivariat
Analisis Bivariat digunakan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara
variabel bebas (meliputi manfaat, kepentingan, Bisnis dan Profit, Kredensialing,
Kapitasi dan Sistem Klaim) dengan variabel terikat (keikutsertaan sebagai provider
pratama BPJS kesehatan) dengan menggunakan uji Kai Kuadrat dengan tingkat
kemaknaan α=0,05.
4.3.1 Hubungan antara Persepsi Tentang Manfaat dengan Keikutsertaan
Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa responden
dengan persepsi baik tentang manfaat memiliki proporsi lebih besar dalam
keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan yaitu sebesar 97,1% dan
responden dengan persepsi kurang baik memiliki proporsi sebesar 55,9%.
Hasil uji kai kuadrat menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara responden yang memiliki persepsi baik dengan responden yang memiliki
persepsi kurang baik tentang manfaat dengan keikutsertaan sebagai provider pratama
BPJS kesehatan. Hal ini ditunjukkan dari nilai ρ= 0,001 ≤ ,05. Nilai Odds Ratio (OR)
=26,053 artinya responden yang memiliki persepsi baik tentang manfaat mempunyai
kecenderungan 26,053 kali untuk ikut serta sebagai provider pratama BPJS
kesehatan. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.14.
87
Tabel 4.14. Hubungan antara Persepsi Tentang Manfaat dengan Keikutsertaan
Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan
Kategori Manfaat
Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama
Total
ρ value
OR Ya Tidak f % f % f %
Baik 33 97,1% 1 2,9 34 100 0,001
26,053 Kurang Baik 19 55,9 15 44,1 34 100
4.3.2 Hubungan antara Persepsi Tentang Kepentingan dengan Keikutsertaan
Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa responden
dengan persepsi baik tentang kepentingan memiliki proporsi lebih besar dalam
keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan yaitu sebesar 90,2% dan
responden dengan persepsi kurang baik memiliki proporsi sebesar 55,6%.
Hasil uji kai kuadrat menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara responden yang memiliki persepsi baik dengan responden yang memiliki
persepsi kurang baik tentang kepentingan dengan keikutsertaan sebagai provider
pratama BPJS kesehatan. Hal ini ditunjukkan dari nilai ρ= 0,001 ≤ 0,05. Nilai OR
=7,4 artinya responden yang memiliki persepsi baik tentang kepentingan mempunyai
kecenderungan 7,4 kali untuk ikut serta sebagai provider pratama BPJS kesehatan.
Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.15.
88
Tabel 4.15. Hubungan antara Persepsi Tentang Kepentingan dengan
Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan
Kategori
Kepentingan
Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama
Total
ρ value
OR Ya Tidak f % f % f %
Baik 37 90,2 4 9,8 41 100 0,001
7,4 Kurang Baik 15 55,6 12 44,4 27 100
4.3.3 Hubungan antara Persepsi Tentang Profit dengan Keikutsertaan Sebagai
Provider Pratama BPJS Kesehatan
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa responden
dengan persepsi baik tentang profit memiliki proporsi lebih besar dalam
keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan yaitu sebesar 95,0% dan
responden dengan persepsi kurang baik memiliki proporsi sebesar 50,0%.
Hasil uji kai kuadrat menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara responden yang memiliki persepsi baik dengan responden yang memiliki
persepsi kurang baik tentang profit dengan keikutsertaan sebagai provider pratama
BPJS kesehatan. Hal ini ditunjukkan dari nilai ρ= 0,001 ≤ 0,05. Nilai OR = 19 artinya
responden yang memiliki persepsi baik dan profit mempunyai kecenderungan 19 kali
untuk ikut serta sebagai provider pratama BPJS kesehatan. Secara rinci dapat dilihat
pada tabel 4.16.
89
Tabel 4.16. Hubungan antara Persepsi Tentang Profit dengan Keikutsertaan
Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan
Kategori
Bisnis dan Profit
Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama
Total
ρ
value
OR Ya Tidak f % f % f %
Baik 38 95,0 2 5,0 40 100 0,001
19 Kurang Baik 14 50,0 14 50,0 28 100
4.3.4 Hubungan antara Persepsi Tentang Kredensialing dengan Keikutsertaan
Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa responden
dengan persepsi baik tentang kredensialing memiliki proporsi lebih besar dalam
keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan yaitu sebesar 90,0% dan
responden dengan persepsi kurang baik memiliki proporsi sebesar 57,1%.
Hasil uji kai kuadrat menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara responden yang memiliki persepsi baik dengan responden yang memiliki
persepsi kurang baik tentang kredensialing dengan keikutsertaan sebagai provider
pratama BPJS kesehatan. Hal ini ditunjukkan dari nilai ρ= 0,002. Nilai OR = 6,75
artinya responden yang memiliki persepsi baik tentang kepentingan mempunyai
kecenderungan 6,75 kali untuk ikut serta sebagai provider pratama BPJS kesehatan.
Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.17.
90
Tabel 4.17. Hubungan antara Persepsi Tentang Kredensialing dengan
Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan
Kategori
Kredensialing
Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama
Total
ρ value
OR Ya Tidak f % f % f %
Baik 36 90,0 4 10,0 40 100 0,002
6,75 Kurang Baik 16 57,1 12 42,9 28 100
4.3.5 Hubungan antara Persepsi Tentang Kapitasi dan Sistem Klaim dengan
Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa responden
dengan persepsi baik tentang kredensialing memiliki proporsi lebih besar dalam
keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan yaitu sebesar 93,3% dan
responden dengan persepsi kurang baik memiliki proporsi sebesar 43,5%.
Hasil uji kai kuadrat menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara responden yang memiliki persepsi baik dengan responden yang memiliki
persepsi kurang baik tentang kapitasi dan system klaim dengan keikutsertaan sebagai
provider pratama BPJS kesehatan. Hal ini ditunjukkan dari nilai ρ= 0,001. Nilai OR =
18,2 artinya responden yang memiliki persepsi baik tentang kapitasi dan sistem klaim
mempunyai kecenderungan 18,2 kali untuk ikut serta sebagai provider pratama BPJS
kesehatan. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.18.
91
Tabel 4.18. Hubungan antara Persepsi Tentang Kapitasi dan Sistem Klaim
dengan Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama BPJS Kesehatan
Kategori
Kapitasi dan Klaim
Keikutsertaan Sebagai Provider Pratama
Total
ρ
value
OR Ya Tidak f % f % f %
Baik 42 93,3 3 6,7 45 100 0,001
18,2 Kurang Baik 10 43,5 13 56,5 23 100
Berdasarkan hasil analisis di atas diketahui bahwa seluruh variabel yaitu
variabel persepsi tentang manfaat (ρ=0,001), kepentingan (ρ=0,001), bisnis dan profit
(ρ=0,001), kredensialing (ρ=0,002) serta kapitasi dan sistem klaim (ρ=0,001)
menunjukkan ρ value < 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan antara kelima
variabel tersebut dengan variabel keikutsertaan sebagai provider BPJS kesehatan.
Tabel 4.19. Hasil Analisis Bivariat antara Variabel Independen dengan Variabel
Dependen
No Variabel Ρ value 1 Persepsi tentang Manfaat 0,001 2 Persepsi tentang Kepentingan 0,001 3 Persepsi tentang Bisnis dan Profit 0,001 4 Persepsi tentang Kredensialing 0,002 5 Persepsi tentang Kapitasi dan Sistem Klaim 0,001
4.4 Analisis Multivariat
4.4.1 Pembuatan Model Faktor Penentu Keikutsertaan Sebagai Provider BPJS
Kesehatan
Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan model yang terbaik dalam
menentukan determinan tingkat keikutsertaan sebagai provider BPJS kesehatan.
Dalam pemodelan ini semua variabel kandidat dicobakan secara bersama-sama.
92
Model terbaik akan mempertimbangkan dua penilaian yaitu nilai signifikansi ratio
log-likelihood (ρ≤0,05) dan nilai signifikansi ρ wald (ρ≤0,05). Secara rinci dapat
dilihat pada tabel 4.20.
Tabel 4.20. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Persepsi
tentang Manfaat, Kepentingan, Profit, Kredensialing serta Kapitasi dan Sistem
Klaim dengan Variabel Keikutsertaan sebagai Provider BPJS Kesehatan
Variabel B P Wald Persepsi tentang Manfaat 11,958 0,110 Persepsi tentang Kepentingan 0,758 0,804 Persepsi tentang Profit 12,243 0,031 Persepsi tentang Kredensialing 10,504 0,023 Persepsi tentang Kapitasi dan Sistem Klaim 10,539 0,018
-2 log likelihood=33,868 G=40,333 ρ value=0,000 Dari hasil analisis diatas terlihat bahwa signifikansi log-likelihood < 0,05
(ρ=0,000). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel persepsi tentang
profit (ρ=0,031), variabel persepsi tentang kredensialing (ρ=0,023), dan variabel
tentang kapitasi dan sistem klaim (ρ=0,018) mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan ρ ≤ 0,05. Sedangkan
variabel persepsi tentang manfaat (ρ=0,110) dan persepsi tentang kepentingan
(ρ=0,804) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keikutsertaan sebagai
provider pratama BPJS kesehatan ρ ≥ 0,05.
93
BAB 5
PEMBAHASAN
Hasil analisis uji statistik dengan menggunakan regresi logistik berganda
menunjukkan bahwa variabel persepsi tentang profit, kredensialing, kapitasi dan
sistem klaim mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keikutsertaan sebagai
provider pratama BPJS kesehatan, sedangkan variabel persepsi tentang manfaat dan
kepentingan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keikutsertaan
sebagai provider BPJS kesehatan di Kota Medan Tahun 2014.
5.1 Pengaruh Persepsi tentang Manfaat Terhadap Keikutsertaan Sebagai
Provider BPJS Kesehatan
Hasil analisis uji statistik dengan menggunakan regresi logistik berganda
menunjukkan bahwa variabel persepsi tentang manfaat tidak mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan
(ρ=0,081). Artinya, banyaknya variasi pandangan dan motivasi yang mendorong yang
berhubungan dengan persepsi tentang manfaat tidak meningkatkan dominasinya
dalam keikutsertaan provider swasta dalam program jaminan kesehatan nasional.
Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden dengan persepsi baik
tentang manfaat JKN 33 orang (63,5%) menyatakan ikut serta sebagai provider BPJS
kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fatmawati (2003) yang menyatakan
bahwa menjadi PPK I askes merupakan kebanggaan tersediri bagi dokter keluarga
sebab pasien yang datang berobat sebahagian besar adalah peserta askes. Peserta
94
program JKN saat ini adalah seluruh peserta askes, jamsostek, masyarakat
umum dan masyarakat miskin. Keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat sebagai
peserta menjadikan provider memperoleh keuntungan yang lebih besar (50%)%),
jumlah kunjungan meningkat (64,7%).
Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden dengan persepsi kurang
baik tentang manfaat yaitu sebanyak 12 orang (44,4%) menyatakan tidak ikut serta
sebagai provider BPJS. Pengalaman responden sebelumnya dalam program askes dan
jamsostek yang lebih banyak kerugian dibanding manfaat yang dirasakan membuat
responden memilih untuk membuka praktek sendiri. Justru dengan praktek sendiri
pendapatan yang diperoleh lebih besar.
Menurut Saefuddin dan Ilyas (2001) pemberi pelayanan kesehatan memegang
peranan kunci dalam menentukan sumber daya medis apa saja yang sebenarnya
dibutuhkan oleh pasien. Kebanyakan pemberi pelayanan kesehatan tidak memiliki
pengetahuan untuk peduli terhadap persoalan biaya kesehatan. Sistem kapitasi yang
diberlakukan terhadap provider pratama BPJS kesehatan seharusnya memberi
manfaat optimum bagi penyelenggara pelayanan dan peserta.
5.1 Pengaruh Persepsi tentang Kepentingan Terhadap keikutsertaan sebagai
Provider BPJS Kesehatan
Hasil analisis uji statistik dengan menggunakan regresi logistik berganda
menunjukkan bahwa variabel persepsi tentang kepentingan tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS
95
kesehatan (ρ=0,804). Artinya, banyaknya variasi pandangan dan motivasi yang
mendorong yang berhubungan dengan kepentingan tidak meningkatkan dominasi
kepentingan dalam keikutsertaan provider swasta dalam program jaminan kesehatan
nasional.
Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden dengan persepsi baik
tentang kepentingan JKN sebesar 37 orang (71,2%) menyatakan ikut serta sebagai
provider BPJS kesehatan. Responden menyatakan visi misi dan keberadaan klinik
menjadi semakin berkembang dengan adanya program BPJS kesehatan.
Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Fatmawati (2003) yang
menyatakan bahwa hanya 40% PPK I askes menyatakan merasa beruntung
bekerjasama dengan PT.Askes. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden
dengan persepsi kurang baik tentang kepentingan sebesar 12 orang (75%)
menyatakan tidak ikut serta sebagai provider BPJS kesehatan. Responden
menyatakan tidak mampu bersaing dengan provider yang besar dan memiliki banyak
peserta sedangkan responden hanya memiliki peserta yang sedikit. Responden
menyatakan keadaan ini tdak mendukung keberadaan kliniknya.
5.2 Pengaruh Persepsi tentang Profit Terhadap keikutsertaan Sebagai Provider
BPJS Kesehatan
Hasil analisis uji statistik dengan menggunakan regresi logistik berganda
menunjukkan bahwa variabel persepsi tentang bisnis dan profit mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan
96
(ρ=0,009). Artinya, banyaknya variasi pandangan dan motivasi yang mendorong yang
berhubungan dengan bisnis dan profit akan meningkatkan dominasi bisnis dan profit
dalam keikutsertaan provider swasta program jaminan kesehatan nasional.
Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi
baik memiliki proporsi yang paling besar dalam keikutsertaan sebagai provider
pratama BPJS kesehatan (95%). Hal ini menunjukkan semakin baik persepsi
responden maka semakin meningkat keikutsertaannya.
Hal ini sesuai dengan Schuler (1999) yang menyatakan bahwa hubungan
antara kepuasan dengan imbalan uang akan positif bila dipenuhi tiga dimensi imbalan
uang yaitu : keadilan pembayaran, tingkat kewajaran, dan praktik administrasi
pembayaran.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden ada berbagai alasan
yang dikemukakan oleh responden terkait dengan profit yang diperoleh dalam sistem
JKN ini. Seluruh responden adalah para pemilik klinik yang sebelumnya adalah
pemilik fasilitas pratama yang bekerja sama dengan PT Jamsostek dan sebagian lagi
adalah fasilitas pratama PT Askes. Jika dibandingkan dengan sebelum JKN,
penghasilan yang diperoleh tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan banyaknya
fasilitas tambahan yang harus dipenuhi dalam proses pelaksanaan pelayanan seperti
menyediakan jaringan internet dan komputer, menambah tenaga medis dokter,
perawat, admintrasi, serta biaya perbaikan dan perawatan klinik
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Putu Januraga dkk
(2009) di Kabupaten Jembrana, Bali. Informan memiliki persepsi yang buruk tentang
97
keuntungan yang diperoleh oleh provider. Penelitian ini menyatakan bahwa
keuntungan yang diperoleh oleh PPK I sebagai pemberi pelayanan kesehatan dalam
program Jaminan Kesehatan Daerah Jembrana Tahun 2009 sangat kecil dibandingkan
dengan sistem fee for service (FFC). Hal ini sesuai dengan pernyataan informan,
“...Sistem ini kurang kami sukai karena ada resiko kerugian didalamnya.
Pengalaman dengan sistem ini juga tidak terlalu baik apalagi dengan apa yang sudah
terjadi di Jembrana selama ini dimana masyarakat sudah terbiasa berobat secara
mudah dan di mana saja. Sistem ini juga merugikan masyarakat dari sisi kebebasan
memilih PPK...”.
Namun berdasarkan hasil pengamatan di lapangan di salah satu klinik swasta
kedatangan seorang pasien bayi yang mengalami kejang akibat panas tinggi. Dokter
jaga menyatakan bahwa obat yang disediakan dalam daftar obat program JKN tidak
ada yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Dokter berinisiatif untuk memberikan
resep obat untuk ditebus di apotik dan memberi surat rujukan agar segera dibawa ke
salah satu rumah sakit agar segera mendapat penanganan. Pemilik klinik yang tidak
berada di tempat menghubungi dokter jaga untuk klarifikasi tindakannya. Pemilik
klinik menyampaikan bahwa tindakan dokter tersebut tidak sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan oleh BPJS. Pemilik klinik menyatakan berikan saja obat yang
ada di klinik yang sudah disediakan. Hal ini dilakukan agar klinik tidak merasa rugi
dengan menyediakan obat baru dan obat yang lama dikhawatirkan tidak terpakai.
Sistem yang diterapkan di PPK I adalah sistem kapitasi dengan cara
pembayaran di depan. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu upaya penghematan
98
yang tidak seharusnya dilakukan oleh PPK agar biaya operasional dapat ditekan
sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar. Beberapa
upaya penghematan yang dilakukan oleh beberapa provider menurut hasil
pengamatan peneliti di lapangan adalah : hanya menyediakan beberapa jenis obat
yang dibutuhkan pasien di pelayanan pratama, mengupayakan agar tidak terjadi
berobat ulang oleh pasien yang sama dalam jangka waktu dekat sebab satu pasien
dihitung sekali saja dalam satu bulan, penyakit-penyakit yang memerlukan beberapa
kali kunjungan diberi rujukan untuk mendapat pengobatan di rumah sakit, atau sesuai
kasus di atas dengan menganjurkan memberikan obat yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien karena obat tersebut sudah tersedia di klinik.
Undang-undang nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional
menyatakan bahwa program jaminan kesehatan nasional diselenggarakan untuk
menjamin setiap warga negara dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang
komprehensif mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan biaya
yang ringan karena merupakan sebuah asuransi sosial. Maka berdasarkan undang-
undang tersebut responden dalam hal ini adalah sebagai provider pratama yang
menjadi gatekeeper kepada masyarakat dalam pelayanan kesehatan seharusnya lebih
mengutamakan kesehatan pasien dengan memberikan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien dan berkualitas.
Hasil tabulasi silang juga menunjukkan bahwa responden dengan persepsi
kurang baik yaitu 14 orang (50%) menyatakan tidak ikut serta dalam program BPJS.
Beberapa alasan yang dikemukakan adalah sistem jaminan jamsostek yang selama ini
99
dijalankan hanya cukup untuk menutupi operasional klinik, ada juga yang
mengemukakan akan melihat perkembangan ke depan sebab beberapa rekan yang
telah menjalankan menyatakan sistem yang diterapkan masih sering berganti dari satu
sistem ke sistem lain menyebabkan para provider agak kewalahan mengikuti
perkembangan mekanisme yang terus berubah. Sebahagian lagi menyatakan lebih
menguntungkan membuka praktik sendiri dengan sistem dan prosedur yang dibuat
sendiri.
5.3 Pengaruh Persepsi tentang Kredensialing Terhadap keikutsertaan Sebagai
Provider BPJS Kesehatan
Hasil analisis uji statistik dengan menggunakan regresi logistik berganda
menunjukkan bahwa variabel persepsi tentang kredensialing mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS kesehatan
(ρ=0,015). Artinya, banyaknya variasi pandangan dan motivasi yang mendorong yang
berhubungan dengan kredensialing akan meningkatkan dominasi kredensialing dalam
keikutsertaan provider swasta dalam program jaminan kesehatan nasional.
Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa provider yang memiliki persepsi
baik tentang kredensialing ikut serta sebagai provider dalam BPJS kesehatan sebesar
36 orang (69,2%). Kredensialing adalah suatu mekanisme yang harus dipenuhi oleh
provider untuk menjadi salah satu pemberi pelayanan dalam program BPJS. Hal ini
bukanlah hal yang baru dalam sistem jaminan sosial. Sebelumnya dalam program
askes dan jamsostek prosedur kredensialing juga telah diterapkan.
100
Responden memiliki beberapa tanggapan mengenai kredensialing yang
diterapkan oleh BPJS. Responden yang sebelumnya adalah provider jamsostek
sebahagian besar menyatakan proses kredensialing yang saat ini berlaku lebih mudah
untuk diterapkan dibandingkan sebelum BPJS. Namun, tidak terlepas dari berbagai
keluhan yang disampaikan oleh provider tentang krensialing sebahagian responden
menyatakan bahwa menyediakan poli gigi hanya menjadi pengeluaran besar bagi
klinik. Peralatan gigi dan obat-obatan yang harus disediakan memerlukan biaya yang
sangat mahal, sementara pasien yang datang untuk berobat gigi sangat sedikit.
Beberapa responden juga menyatakan bahwa kredensialing dilakukan setahun sekali
sangat memberatkan.
Hasil tabulasi silang juga menunjukkan bahwa responden dengan persepsi
kurang baik tentang kredensialing tidak menjadi salah satu provider BPJS kesehatan
sebesar 12 orang (42,9%). Sedangkan responden dengan persepsi baik dan tidak
menjadi provider sebesar 4 orang(10%). Kredensialing adalah satu dari beberapa
alasan yang dikemukakan oleh responden yang tidak ikut bekerjasama dengan BPJS.
Responden yang sebelumnya bekerjasama dengan askes sebahagian besar adalah
praktek dokter dan dokter keluarga. Dalam program sebelumnya kredensialing tidak
serumit kredensialing yang berlaku saat ini. Para dokter merasa biaya yang harus
dikeluarkan untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan sangat besar. Menurut
perhitungan responden tidak sesuai dengan hasil yang akan diperoleh. Prosedur yang
banyak dan berubah-ubah serta peraturan-peraturan yang tidak menentu membuat
responden mengambil sikap untuk menjalankan praktik umun seperti biasa. Salah
101
satu responden yang merupakan praktik dokter spesialis juga mengundurkan diri
padahal sebelumnya sudah terdaftar sebagai PPK I di BPJS. Responden menyatakan
tidak mungkin kapitasi dokter umum dengan dokter spesialis sama besar. Pihak BPJS
menyatakan bahwa belum ada peraturan yang membedakan antara praktek umum
dengan praktek spesialis.
Menurut Saefuddin dan Ilyas (2001) kredensialing adalah hal yang
membedakan antara asuransi tradisional dengan asuransi managed care.
Kredensialing dikembangkan sebagai hasil ujian memperoleh lisensi sebagai dokter
sehingga dokter yang dikontrak adalah dokter yang memiliki sertifikat kelulusan. Hal
ini penting agar managed care memiliki keseimbangan antara biaya dan pelayanan.
5.4 Pengaruh Persepsi tentang Kapitasi dan Sistem Klaim Terhadap
keikutsertaan sebagai Provider BPJS Kesehatan
Hasil analisis uji statistik dengan menggunakan regresi logistik berganda
menunjukkan bahwa variabel persepsi tentang kapitasi dan sistem klaim mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap keikutsertaan sebagai provider pratama BPJS
kesehatan (ρ=0,001). Artinya, banyaknya variasi pandangan dan motivasi yang
mendorong yang berhubungan dengan kapitasi dan sistem klaim akan meningkatkan
dominasi keikutsertaan provider swasta dalam program jaminan kesehatan nasional.
Diantara ketiga variabel, persepsi tentang kapitasi dan sistem klaim memiliki
pengaruh yang paling kuat.
102
Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden dengan persepsi baik
tentang kapitasi dan sistem klaim yang menjadi salah satu provider BPJS sebesar 42
orang (61,8%). Sebahagian besar responden menyatakan sangat setuju dengan
kapitasi yang diterapkan oleh BPJS. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Sugiarto,Hendrartini dan Mukti (2003) menyatakan bahwa persepsi stakeholders
dalam hal ini kepala puskesmas tentang sistem kapitasi sangat positif. Pola ini
dirasakan mampu melakukan kendali biaya pelayanan kesehatan. Pola kapitasi yang
berpusat di PPK I dan bukan di kabupaten akan menekan biaya dan memaksimalkan
pelayanan.
Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Karyati, Mukti A.G, Nusyirwan
(2004) yang menyatakan bahwa 78,9% dokter keluarga tidak puas dengan besar
kapitasi yang rendah . Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian
Chotimah (2000) yang menyatakan bahwa 73,57 % responden merasa sangat tidak
puas dengan gaji atau upah yang diterima dalam melayani pasien askes.
Kapitasi dalam program BPJS ini sangat berkaitan erat dengan kepesertaan.
Semakin banyak peserta yang terdaftar dalam satu provider, maka jumlah kapitasi
yang diterima akan semakin besar. Sejarah kapitasi berasal sebuah program baru yang
bernama managed care. Di Indonesia managed care diterjemahkan sebagai jaminan
pelayanan kesehatan masyarakat (JPKM). Metode pembiayaan yang selama ini
dikenal dengan sistem fee for service (FFS) menyebabkan tingginya biaya
pengobatan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Kesehatan menjadi sebuah
barang mahal yang sulit untuk dihindari bagi setiap orang yang mengalami kesakitan.
103
Oleh karena itu pemerintah mengadopsi managed care yang menggunakan sebuah
system yang disebut kapitasi. Kapitasi adalah metode pembayaran diawal yang
dihitung berdasarkan angka pemanfaatan pelayanan dan biaya satuan pelayanan ari
seluruh peserta yang terdaftar di provider tersebut.
Kapitasi dalam program BPJS ini menurut sebagian besar responden lebih
besar dari kapitasi yang mereka peroleh dari program sebelumnya baik jamsostek
ataupun askes. Besaran kapitasi tiap klinik berbeda, ada yang sepuluh ribu rupiah,
sembilan ribu rupiah, dan delapan ribu rupiah. Angka kapitasi provider swasta lebih
tinggi dibandingkan puskesmas yang hanya diberi kapitasi sebesar lima ribu rupiah
per kepala.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peserta yang terdapat di setiap
klinik tidak merata. Beberapa klinik memiliki peserta yang sangat banyak, beberapa
lagi memiliki peserta yang lebih sedikit. Beberapa responden yang sebelumnya
memiliki peserta banyak di program sebelumnya mengalami kehilangan peserta.
Pihak BPJS menyatakan tidak tahu mengapa terjadi kehilangan peserta di beberapa
provider dan penambahan peserta di provider lain. Sejauh ini banyaknya kesalahan
dan permasalahan di lapangan menunjukkan ketidaksiapan BPJS dalam
penyelengaraa JKN.
Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden dengan persepsi kurang
baik tentang kapitasi dan sistem klaim yang tidak ikut serta sebagai provider BPJS
kesehatan sebesar 13 orang (19,1%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Januraga,
dkk (2009) yang menyatakan sebahagian besar stakeholders (PPK I) program
104
jaminan kesehatan Jembrana memiliki persepsi negatif tentang sistem kapitasi.
Beberapa alasan yang dikemukakan responden adalah besarnya kapitasi tidak begitu
berpengaruh terhadap penghasilan sebab peserta yang terdaftar tidak cukup banyak
sehingga kapitasi tersebut hanya cukup untuk memenuhi operasional, biaya
pengeluaran lebih besar daripada penghasilan.
105
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Persepsi tentang profit berpengaruh terhadap keikutsertaan provider swasta
sebagai provider pratama dalam BPJS kesehatan di Kota Medan.
2. Persepsi tentang kredensialing berpengaruh terhadap keikutsertaan provider
swasta sebagai provider pratama dalam BPJS kesehatan di Kota Medan.
3. Persepsi tentang kapitasi dan sistem klaim berpengaruh terhadap keikutsertaan
provider swasta sebagai provider pratama dalam BPJS kesehatan di Kota Medan.
6.2 Saran 1. Pihak BPJS meningkatkan sosialisasi kepada provider swasta tentang perlunya
penambahan jumlah provider pratama dalam penyelenggaraan program JKN.
2. Kerjasama dan koordinasi yang baik antara BPJS dan Dinas Kesehatan dalam
membina dan meningkatkan peran provider swasta sebagai provider pratama
dengan meningkatkan pengetahuan tentang JKN untuk menyamakan persepsi
demi kelancaran progam jaminan sosial nasional
3. BPJS meningkatkan dan memperbaiki secara cepat sistem dan peraturan yang
diperlukan dalam penyelenggaraan JKN demi membentuk persepsi yang baik
bagi provider pratama.
106
DAFTAR PUSTAKA Abramson J.H. (1991). Metode Survei Dalam Kedokteran Komunitas. Yogyakarta
: Gadjah Mada Press. Asuransi Kesehatan. Kredentialing dan Kebijakan Kesehatan tahun 2013 Azwar, Azrul. 1996. Menuju Pelayanan Kesehatan yang Lebih Bermutu. Yayasan
Penelitian Ikatan Dokter Indonesia: Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Statistics Indonesia.
http://bps.go.id/menutab.php?tabel=1&id_subyek=23diakses tanggal 02 maret 2014 Jam 01.45.
BPJS. 2014. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan. Jakarta Depkes RI. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta Dinas Kesehatan Kota Medan. Profil Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2012.
Medan Fatmawati. 2003. Pengetahuan dan Sikap PPK I Terhadap Konsep Managed
Care. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol.06/No.01/2003 Ginting, Selamat . 2011. Pengaruh Mutu Pelayanan terhadap Keinginan Pasien
Jamkesmas untuk Dirawat Inap Kembali di Rumah Sakit Sembiring, Deli Tua. Tesis. Universitas Sumatera Utara
Karyati, Mukti A G, Nusyirwan. Tingkat Kepuasan Dokter Keluarga Terhadap Sistem
Pembayaran Kapitasi PT.Askes di Kota Medan. Jurnal Manjemen Pelayanan Kesehatan Vol 07/No.02/Juni/2004
Kasim, Felix; Winarno ; Sopha M (2009). Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan
Jamkesda di Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas yang Berada Dalam Lingkup Pembinaan Dinas kesehatan Kota Banjar . Universitas Kristen Maranatha.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan
Puskesmas 2011. Jakarta Kementerian Kesehatan RI. 2013. Bahan Paparan Jaminan Kesehatan Nasional
dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta.
107
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dll. 2012. Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019. Jakarta
Kotler , P. 1994. Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Kontrol. Edisi ke enam. PT. Prenhalindo, Jakarta.
Matlin M. W. 1994. Cognition 3th edition. New York. Harcourt Brace.
Notoatmodjo, Sukidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan: Rineka Cipta. Jakarta
Notoatmodjo, Sukidjo. 2003. Pendidikan dan Ilmu Prilaku : Rineka Cipta. Jakarta
Notoatmodjo, Sukidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat (Ilmu dan Seni). Rineka Cipta. Jakarta
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan Nasional
Saefuddin, Ilyas Y.2001. Managed Care : Mengintegrasikan Penyelenggaraan dan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI. Jakarta
Schiffman G. Leon, Lazaar, Leslie. 2004. Consumer Behaviour 7Th edition. Perilaku Konsumen : PT. Indeks Company. Surabaya
Schuler, R.S Jackson, Susan E. 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia Menghadapi Abad 21. Erlangga. Jakarta
Sugiarto, Julita Hendrartini, Mukti A G . 2003. Persepsi Stakeholder Terhadap Perubahan Pola Kontrak Kapitasi Total Biaya Pelayanan Kesehatan Peserta Wajib Askes Dari Basis Kabupaten ke Basis Puskesmas di Kabupaten Kulonprogo.Jurnal Manajemen Kesehatan Vol 06/No.04/2003.
Simamora, Bilson (2002). Panduan Riset Perilaku Konsumen: Pustaka Utama. Surabaya
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administratif. Alfabeta : Bandung.
Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Penerbit Srikandi. Surabaya.
108
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012.
Thabrany, H. 2011. Asuransi Kesehatan Nasional, PAMJAKI : Jakarta
Trihono. 2005. Manajemen Puskesmas Berbasis Paradigma Sehat . Jakarta: Sagung Seto
Undang-Undang Dasar RI 1945
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jamina Sosial Nasional.
109
KUESIONER PENELITIAN PENGARUH PERSEPSI PROVIDER SWASTA TENTANG IMPLEMENTASI
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL TERHADAP KEIKUTSERTAAN SEBAGAI PROVIDER PRATAMA BPJS KESEHATAN
DI KOTA MEDAN TAHUN 2014
Identitas Responden
Nama Klinik :
Alamat :
I. Manfaat
1. Apakah menurut Bapak/Ibu system JKN ini memiliki manfaat yang lebih
besar terhadap masyarakat daripada program yang ada sebelumnya?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
2. Apakah JKN ini berdampak positif terhadap klinik Bapak/Ibu?
a. ya
b. tidak
3. Jika ya, apakah manfaat yang diperoleh lebih dari 75%?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
98
110
4. Bisakah Bapak/Ibu sebutkan manfaat apa saja yang diperoleh dengan
adanya JKN?
a. Jumlah kunjungan meningkat
b. Pendapatan meningkat
c. Cakupan wilayah pelayanan bertambah
d. Lainnya, sebutkan………….
5. Jika tidak, dampak negatif apa saja yang Bapak/Ibu rasakan dengan adanya
JKN?
a. Jumlah kunjungan menurun
b. Pendapatan berkurang
c. Cakupan wilayah pelayanan berkurang
d. Jumlah pasien berkurang
e. Komplain dari masyarakat dengan system baru
II. Kepentingan
1. Apakah kepentingan Bapak/Ibu didukung dengan system JKN ini?
a. Sangat setuju
b. Kuranng setuju
c. Tidak setuju
2. Apakah visi/misi klinik ini sejalan dengan system JKN?
a. Sangat setuju
b. Kuranng setuju
111
c. Tidak setuju
3. Apakah sitem JKN ini memperkuat keberadaan klinik ini?
a. Sangat setuju
b. Kuranng setuju
c. Tidak setuju
4. Apakah system JKN ini mendukung program-program yang ada di klinik
Bapak/Ibu?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
III. Bisnis/Profit
1. Apakah Bapak/Ibu yakin system JKN akan menambah penghasilan klinik
Bapak/Ibu?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
2. Apakah pendapat yang Klinik Bapak/Ibu meningkat lebih dari 50%?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
112
3. Apakah Bapak/Ibu menilai penghasilan yang diperoleh sesuai dengan
pengeluaran yang ada?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
4. Keuntungan seperti apa yang Bapak/Ibu harapkan dari system JKN?
a. Bisa menutupi operasional klinik
b. Bisa menghasilkan keuntungan lebih besar dari sebelum ikut JKN
c. Bisa mempunyai penghasilan yang tetap tinggi
IV. Kredentialing
1. Apakah Bapak/Ibu setuju dengan system kredentialing yang diterapkan
oleh BPJS?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
2. Jika ya, Apakah Klinik Bapak/Ibu menilai kredentialing tersebut mudah
untuk diterapkan di klinik Bapak/Ibu?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
113
3. Jika tidak, kriteria yang mana klinik Bapak/Ibu tidak setuju?
Sebutkan ….
4. Apakah Bapak/Ibu setuju system kredentialing dipermudah persyaratannya?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
5. Coba Bapak/Ibu sebutkan bagian mana yang harus di sesuaikan?
Sebutkan ………………………………………………………..
6. Apakah Bapak/Ibu setuju kredensialing dilakukan setiap 1 tahun sekali?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
7. Jika tidak, menurut Bapak/Ibu berapa tahun sekali sabaiknya dilakukan
kredentialing?
V. Sistem Klaim
1. Apakah Bapak/Ibu setuju dengan system klaim yang diterapkan BPJS?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
114
2. Apakah Bapak/Ibu setuju dengan waktu klaim selama 15 hari?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
3. Apakah Bapak/Ibu setuju dengan prosedur klaim yang ditetapkan BPJS?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
4. Apakah Bapak/Ibu setuju dengan system kapitasi yang diterapkan BPJS?
a. Sangat setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
VI. Keikutsertaan
Apakah Bapak/Ibu menjadi salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam system
JKN ini?
a. Ya
b. Tidak
Jika tidak, mengapa Bapak/ Ibu tidak ikut menjadi salah satu fasilitas primer
dalam BPJS…………………………………………
115
Frequencies
sistem JKN memiliki manfaat yang lebih besar
13 19.1 19.1 19.118 26.5 26.5 45.637 54.4 54.4 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
manfaat lebih dari 75%
11 16.2 16.2 16.228 41.2 41.2 57.429 42.6 42.6 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
manfaat jumlah kunjungan meningkat
24 35.3 35.3 35.344 64.7 64.7 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
manfaat pendapatan meningkat meningkat
34 50.0 50.0 50.034 50.0 50.0 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
116
manfaat cakupan wilayah pelayanan bertambah
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid tidak setuju 42 61.8 61.8 61.8
setuju 26 38.2 38.2 100.0 Total 68 100.0 100.0
Statistics
68 68 68 680 0 0 0
ValidMissing
N
Kepentingandidukukng
dengansystem JKN
ini
visi/misi kliniksejalandengan
sistem JKN
Sistem JKNini
memperkuatkeberadaan
klinik
Sistem JKNmendukungprogram-program yangada di klinik
Kepentingan didukukng dengan system JKN ini
12 17.6 17.6 17.617 25.0 25.0 42.639 57.4 57.4 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
visi/misi klinik sejalan dengan sistem JKN
11 16.2 16.2 16.223 33.8 33.8 50.034 50.0 50.0 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Sistem JKN ini memperkuat keberadaan klinik
11 16.2 16.2 16.211 16.2 16.2 32.446 67.6 67.6 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
117
Sistem JKN mendukung program-program yang ada di klinik
11 16.2 16.2 16.217 25.0 25.0 41.240 58.8 58.8 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Statistics
68 68 68 68 68 680 0 0 0 0 0
ValidMissing
N
JKN akanmenambahpenghasilan
klinik
Pendapatanklinik
meningkatlebih dari 50%
Penghasilanyang
diperolehsesuaidengan
pengeluaranyang ada
Bisamenutupi
operasionalklinik
Bisamenghasilkankeuntunganlebih besar
dari sebelumikut JKN
Bisamenolong
lebih banyakpasien
JKN akan menambah penghasilan klinik
14 20.6 20.6 20.610 14.7 14.7 35.344 64.7 64.7 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Pendapatan klinik meningkat lebih dari 50%
14 20.6 20.6 20.620 29.4 29.4 50.034 50.0 50.0 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
118
Penghasilan yang diperoleh sesuai dengan pengeluaran yang ada
15 22.1 22.1 22.126 38.2 38.2 60.327 39.7 39.7 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Bisa menutupi operasional klinik
27 39.7 39.7 39.741 60.3 60.3 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Bisa menghasilkan keuntungan lebih besar dari sebelum ikut JKN
40 58.8 58.8 58.828 41.2 41.2 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Bisa menolong lebih banyak pasien
31 45.6 45.6 45.637 54.4 54.4 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Setuju dengan sistem kredentialing oleh BPJS
16 23.5 23.5 23.520 29.4 29.4 52.932 47.1 47.1 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
119
Kredetialing mudah diterapkan di klinik
16 23.5 23.5 23.523 33.8 33.8 57.429 42.6 42.6 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Sistem kredentialing dipermudah persyaratannya
4 5.9 5.9 5.914 20.6 20.6 26.550 73.5 73.5 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Kredentialing dilakukan setiap 1 tahun sekali
23 33.8 33.8 33.816 23.5 23.5 57.429 42.6 42.6 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Statistics
68 68 68 68 680 0 0 0 0
ValidMissing
N
Setujudengansistem
klaim yangditerapkan
BPJS
Setujudengan waktuklaim selama
15 hari
Setujudengan
prosedurklaim yangditetapkan
BPJS
setujudengankapitasi
Salah satuFasilitas
KesehatanPrimer dalamsistem JKN
120
Setuju dengan sistem klaim yang diterapkan BPJS
15 22.1 22.1 22.117 25.0 25.0 47.136 52.9 52.9 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Setuju dengan waktu klaim selama 15 hari
12 17.6 17.6 17.621 30.9 30.9 48.535 51.5 51.5 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Setuju dengan prosedur klaim yang ditetapkan BPJS
12 17.6 17.6 17.620 29.4 29.4 47.136 52.9 52.9 100.068 100.0 100.0
tidak setujusetujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
setuju dengan kapitasi
12 17.6 17.6 17.610 14.7 14.7 32.446 67.6 67.6 100.068 100.0 100.0
tidak setujukurang setujusangat setujuTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
121
Statistics Manfaat Kepentingan Bisnis prpfit Kredentialing Kapitasi N Valid 68 68 68 68 68 Missing 0 0 0 0 0 Mean 1.50 1.60 1.59 1.59 1.66 Median 1.50 2.00 2.00 2.00 2.00 Mode 1(a) 2 2 2 2 Std. Deviation .504 .493 .496 .496 .477 Sum 102 109 108 108 113
a Multiple modes exist. The smallest value is shown Manfaat
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid Kurang Baik 34 50.0 50.0 50.0
Baik 34 50.0 50.0 100.0 Total 68 100.0 100.0
Kepentingan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid Kurang Baik 27 39.7 39.7 39.7
Baik 41 60.3 60.3 100.0 Total 68 100.0 100.0
Bisnis prpfit
Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
16 23.5 23.5 23.552 76.5 76.5 100.068 100.0 100.0
TidakYaTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
122
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid Kurang Baik 28 41.2 41.2 41.2
Baik 40 58.8 58.8 100.0 Total 68 100.0 100.0
Kredentialing
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid Kurang Baik 28 41.2 41.2 41.2
Baik 40 58.8 58.8 100.0 Total 68 100.0 100.0
Kapitasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid Kurang Baik 23 33.8 33.8 33.8
Baik 45 66.2 66.2 100.0 Total 68 100.0 100.0
Manfaat * Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Crosstab
Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Total
Tidak Ya Tidak Manfaat Kurang Baik Count 15 19 34
Expected Count 8.0 26.0 34.0 % within Manfaat 44.1% 55.9% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
93.8% 36.5% 50.0%
% of Total 22.1% 27.9% 50.0% Baik Count 1 33 34
Expected Count 8.0 26.0 34.0 % within Manfaat 2.9% 97.1% 100.0%
123
% within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
6.3% 63.5% 50.0%
% of Total 1.5% 48.5% 50.0% Total Count 16 52 68
Expected Count 16.0 52.0 68.0 % within Manfaat 23.5% 76.5% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 23.5% 76.5% 100.0% Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 16.019(b) 1 .000 Continuity Correction(a) 13.813 1 .000
Likelihood Ratio 18.516 1 .000 Fisher's Exact Test .000 .000 Linear-by-Linear Association 15.784 1 .000
N of Valid Cases 68 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.00. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower Odds Ratio for Manfaat (Kurang Baik / Baik) 26.053 3.186 213.062
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Tidak
15.000 2.097 107.306
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Ya
.576 .425 .781
N of Valid Cases 68
124
Kepentingan * Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Crosstab
Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Total
Tidak Ya Tidak Kepentingan Kurang Baik Count 12 15 27
Expected Count 6.4 20.6 27.0 % within Kepentingan 44.4% 55.6% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
75.0% 28.8% 39.7%
% of Total 17.6% 22.1% 39.7% Baik Count 4 37 41
Expected Count 9.6 31.4 41.0 % within Kepentingan 9.8% 90.2% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
25.0% 71.2% 60.3%
% of Total 5.9% 54.4% 60.3% Total Count 16 52 68
Expected Count 16.0 52.0 68.0 % within Kepentingan 23.5% 76.5% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 23.5% 76.5% 100.0% Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 10.887(b) 1 .001 Continuity Correction(a) 9.044 1 .003
Likelihood Ratio 10.890 1 .001 Fisher's Exact Test .003 .001 Linear-by-Linear Association 10.727 1 .001
N of Valid Cases 68 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.35.
125
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower Odds Ratio for Kepentingan (Kurang Baik / Baik)
7.400 2.056 26.636
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Tidak
4.556 1.639 12.659
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Ya
.616 .433 .875
N of Valid Cases 68
Kredentialing * Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Crosstab
Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Total
Tidak Ya Tidak Kredentialing Kurang Baik Count 12 16 28
Expected Count 6.6 21.4 28.0 % within Kredentialing 42.9% 57.1% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
75.0% 30.8% 41.2%
% of Total 17.6% 23.5% 41.2% Baik Count 4 36 40
Expected Count 9.4 30.6 40.0 % within Kredentialing 10.0% 90.0% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
25.0% 69.2% 58.8%
% of Total 5.9% 52.9% 58.8% Total Count 16 52 68
Expected Count 16.0 52.0 68.0 % within Kredentialing 23.5% 76.5% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 23.5% 76.5% 100.0%
126
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 9.882(b) 1 .002 Continuity Correction(a) 8.141 1 .004
Likelihood Ratio 9.951 1 .002 Fisher's Exact Test .003 .002 Linear-by-Linear Association 9.737 1 .002
N of Valid Cases 68 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.59. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower Odds Ratio for Kredentialing (Kurang Baik / Baik)
6.750 1.885 24.172
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Tidak
4.286 1.540 11.925
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Ya
.635 .453 .889
N of Valid Cases 68 Kapitasi * Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Crosstab
Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Total
Tidak Ya Tidak Kapitasi Kurang Baik Count 13 10 23
Expected Count 5.4 17.6 23.0 % within Kapitasi 56.5% 43.5% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
81.3% 19.2% 33.8%
% of Total 19.1% 14.7% 33.8%
127
Baik Count 3 42 45 Expected Count 10.6 34.4 45.0 % within Kapitasi 6.7% 93.3% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
18.8% 80.8% 66.2%
% of Total 4.4% 61.8% 66.2% Total Count 16 52 68
Expected Count 16.0 52.0 68.0 % within Kapitasi 23.5% 76.5% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 23.5% 76.5% 100.0% Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 21.025(b) 1 .000 Continuity Correction(a) 18.346 1 .000
Likelihood Ratio 20.665 1 .000 Fisher's Exact Test .000 .000 Linear-by-Linear Association 20.716 1 .000
N of Valid Cases 68 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.41. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower Odds Ratio for Kapitasi (Kurang Baik / Baik) 18.200 4.345 76.230
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Tidak
8.478 2.683 26.789
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Ya
.466 .290 .747
N of Valid Cases 68
128
Bisnis prpfit * Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Crosstab
Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN Total
Tidak Ya Tidak Bisnis prpfit
Kurang Baik Count 14 14 28 Expected Count 6.6 21.4 28.0 % within Bisnis prpfit 50.0% 50.0% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
87.5% 26.9% 41.2%
% of Total 20.6% 20.6% 41.2% Baik Count 2 38 40
Expected Count 9.4 30.6 40.0 % within Bisnis prpfit 5.0% 95.0% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
12.5% 73.1% 58.8%
% of Total 2.9% 55.9% 58.8% Total Count 16 52 68
Expected Count 16.0 52.0 68.0 % within Bisnis prpfit 23.5% 76.5% 100.0% % within Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 23.5% 76.5% 100.0% Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 18.537(b) 1 .000 Continuity Correction(a) 16.120 1 .000
Likelihood Ratio 19.503 1 .000 Fisher's Exact Test .000 .000 Linear-by-Linear Association 18.264 1 .000
N of Valid Cases 68 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.59.
129
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower Odds Ratio for Bisnis prpfit (Kurang Baik / Baik) 19.000 3.823 94.420
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Tidak 10.000 2.464 40.579
For cohort Salah satu Fasilitas Kesehatan Primer dalam sistem JKN = Ya .526 .361 .767
N of Valid Cases 68 Block 1: Method = Enter
Block 0: Beginning Block
Omnibus Tests of Model Coefficients
40.333 5 .00040.333 5 .00040.333 5 .000
StepBlockModel
Step 1Chi-square df Sig.
Classification Tablea,b
0 16 .0
0 52 100.0
76.5
ObservedTidak
Ya
Salah satu FasilitasKesehatan Primerdalam sistem JKNOverall Percentage
Step 0Tidak Ya
Salah satu FasilitasKesehatan Primerdalam sistem JKN Percentage
Correct
Predicted
Constant is included in the model.a.
The cut value is .500b.
130
Variables in the Equation
1.179 .286 16.998 1 .000 3.250ConstantStep 0B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Variables not in the Equation
16.019 1 .00010.887 1 .00118.537 1 .0009.882 1 .002
21.025 1 .00032.028 5 .000
mankatkepkatbiskatkrekatkapikat
Variables
Overall Statistics
Step0
Score df Sig.
Model Summary
33.868a .447 .674Step1
-2 Loglikelihood
Cox & SnellR Square
NagelkerkeR Square
Estimation terminated at iteration number 7 becauseparameter estimates changed by less than .001.
a.
Classification Tablea
9 7 56.3
3 49 94.2
85.3
ObservedTidak
Ya
Salah satu FasilitasKesehatan Primerdalam sistem JKNOverall Percentage
Step 1Tidak Ya
Salah satu FasilitasKesehatan Primerdalam sistem JKN Percentage
Correct
Predicted
The cut value is .500a.
131
Variables in the Equation
2.481 1.552 2.556 1 .110 11.958 .571 250.511-.277 1.119 .061 1 .804 .758 .084 6.7962.505 1.161 4.656 1 .031 12.243 1.258 119.1232.352 1.036 5.154 1 .023 10.504 1.379 80.0122.355 .997 5.579 1 .018 10.539 1.493 74.394
-11.744 3.609 10.589 1 .001 .000
mankatkepkatbiskatkrekatkapikatConstant
Step1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: mankat, kepkat, biskat, krekat, kapikat.a.