Upload
nandya-panasea
View
1.537
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Word of mouth, komunitas merek, loyalitas, pemasaran
Citation preview
A. Judul
Pengaruh Word of Mouth Marketing dan Komunitas Merek (Brand Community)
terhadap Loyalitas Merek (Brand Loyalty) Sepeda Motor Harley Davidson di Kota
Denpasar
B. Latar Belakang Masalah
Di era New Wave Marketing, dimana persaingan begitu sengit, banyak produk
sejenis yang beredar dipasaran. Karena itu arti sebuah merek (brand) menjadi sangat
penting. Untuk bertahan dipasaran diperlukan sebuah merek (brand) yang akan
menciptakan nilai tambah atas suatu produk. Selain sebagai pembeda dan identitas
sebuah produk di tengah-tengah lautan produk sejenis, sebuah merek (brand)
mempunyai makna psikologis dan simbolis yang istimewa di mata konsumen. Produk
bisa saja dengan mudah ditiru oleh pesaing, namun suatu merek (brand) sangat sulit
untuk ditiru karena persepsi konsumen atas nilai suatu merek (brand) tertentu tidak
akan mudah diciptakan. Janita (2009:4) menyatakan merek (brand) menjadi sebuah
kontrak kepercayaan antara perusahaan dan konsumen, karena merek (brand)
menjamin adanya konsistensi bahwa sebuah produk akan selalu dapat menyampaikan
nilai yang diharapkan konsumen darinya.
Menurut Kartajaya (2004:144) merek (brand) merupakan nilai utama
pemasaran. Semakin kuat merek produsen di pasar, maka semakin eksis pula merek
tersebut, terutama dalam hal mendominasi kesadaran konsumen sehingga akan
mengarahkan konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut. Dengan demikian,
merek (brand) saat ini tak hanya sekedar identitas suatu produk saja dan hanya
1
sebagai pembeda dari produk pesaing, melainkan lebih dari itu, merek (brand)
memiliki ikatan emosional istimewa yang tercipta antara konsumen dengan produsen.
Pesaing bisa saja menawarkan produk yang mirip, tapi tidak mungkin menawarkan
janji emosional yang sama.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa merek mempunyai
peranan penting dan merupakan aset terbesar bagi perusahaan. Menurut Nguyen et al
(2011), loyalitas merek (brand loyalty) merupakan hasil keluaran dari ekuitas merek
(brand equity) yang merupakan asset berharga bagi keberaadaan sebuah merek di
pasar. Durianto et al (2004:6) menambahkan bahwa agar merek produk dapat
bertahan lama dalam kondisi pasar yang semakin kompetitif dan keluar sebagai
pemenang, dibutuhkan konsumen yang memiliki loyalitas merek yang tinggi.
Schiffman et al (2007) menyatakan bahwa definisi loyalitas merek yang umum
dipakai oleh para pemasar adalah suatu bentuk sikap dan perilaku konsumen terhadap
suatu merek. Konsumen akan memiliki preferensi terhadap satu merek meski banyak
tersedia merek alternatif. Pengukuran sikap konsumen terhadap suatu merek
menyangkut seluruh perasaan konsumen mengenai produk dan merek serta
kecenderungan mereka untuk membeli produk dan merek tersebut. Pengukuran
perilaku bergantung pada respon periaku konsumen yang telah diberi sebuah stimulus
yang bertujuan untuk mempromosikan produk atau merek alternatif. Loyalitas merek
dapat diartikan bahwa konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah merek,
mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan
pembeliannya di masa mendatang (Mowen et al, 2007:6).
2
Di tengah banyaknya produk dengan berbagai brand yang berbeda-beda
menyebabkan konsumen menjadi kritis dalam menentukan keputusan pembelian.
Meraih loyalitas pelanggan bukanlah perkara yang mudah. Banyak hal yang
dilakukan produsen untuk meraih loyalitas pelanggan, seperti melakukan penguatan
brand dan membentuk komunitas pelanggan yang mengusung produk tertentu.
Dinamisnya kebutuhan dan perilaku konsumen dari waktu ke waktu membuat
pemasar kesulitan dalam menentukan kebutuhan konsumen pada saat ini. Riset
terhadap perilaku konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
menjadi hal yang penting untuk menghadapi dinamisnya pasar. Menurut Tjiptono
(2007), salah satu faktor fundamental dalam studi perilaku konsumen adalah jaminan
bahwa “People often buy products not for what they do, but for what they mean”.
Artinya, konsumen membeli sebuah produk bukan semata-mata mengejar manfaat
fungsional yang diperlukan, namun lebih dari pada itu seperti nilai, citra diri, gengsi
dan kepribadian.
Pada satu dekade terakhir, muncul fenomena penggunaan word of mouth
marketing sebagai salah satu upaya produsen untuk mengkomunikasikan produknya
kepada konsumen. Menurut Word of Mouth Marketing Association (WOMMA),
word of mouth adalah komunikasi dari orang ke orang antara sumber pesan dan
penerima pesan dimana penerima pesan menerima pesan dengan cara tidak komersial
mengenai suatu produk, pelayanan atau merek. Fenomena word of mouth marketing
diyakini mampu memotivasi kuantitas pembelian konsumen, bersifat efisien karena
tidak memerlukan anggaran yang besar, menciptakan citra positif bagi produk serta
3
mampu menyentuh hati konsumen. Efektifitas dari penggunaan word of mouth
marketing dengan mengkomunikasikan tema yang menjadi buah bibir pada word of
mouth marketing kepada komunitas yang terkait erat dengan brand yang dipasarkan.
Fenomena word of mouth diyakini bisa mendorong pembelian oleh konsumen, bisa
mempengaruhi komunitas, efisien karena tidak memerlukan budget yang besar (low
cost), bisa menciptakan image positif bagi produk, dan bisa menyentuh emosi
konsumen.
Keberadaan dari word of mouth wajib diperhatikan oleh tim pemasaran
perusahaan dalam menyusun strategi pemasarannya. Karena selama bertahun-tahun,
iklan melalui media massa berhasil dan mampu menginterupsi orang, tetapi hal
tersebut membutuhkan budget yang tidak sedikit. Berdasarkan hasil survey Global
Online Consumer Study (2009) yang dilakukan oleh lembaga riset Nielsen,
menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh konsumen (90 persen) mempercayai
rekomendasi mengenai pembeliansuatu produk dari orang – orang yang mereka
kenal, dan tujuh dari sepuluh konsumen (70 persen) mempercayai rekomendasi atau
testimoni dari pelanggan yang terpercaya. Konsumen sebagai sasaran penjualan
sebuah produk sebetulnya memang memiliki potensi yang besar untuk memasarkan
produk yang dipasarkan.Bagaikan virus yang dapat melakukan penyebaran sangat
cepat yang semula hanya diawali oleh satu orang yang memiliki jaringan luas, dapat
memberikan pengaruh terhadap pemasaran sebuah produk.Dengan melihat kekuatan
pengaruh pemasaran dari mulut ke mulut, produsen sebuah produk perlu untuk lebih
fokus dalam menjalankan “Word of Mouth Marketing”.Membuat para pelanggan
4
membicarakan (do the talking), mempromosikan (do the promotion) dan menjual (do
the selling).
Menurut Stewart E. Perry dalam CED Definition and Terminology yang
dikutip oleh Permana (2011) memandang ada dua makna komunitas yaitu komunitas
sebagai kategori yang mengacu pada orang – orang yang saling berhubungan
berdasarkan nilai – nilai dan kepentingan bersama yang khusus atau komunitas
sebagai satu kategori manusia yang berhubungan satu sama lain karena didasarkan
pada lokalitas tertentu yang sama, yang karena kesamaan lokalitas tersebut secara tak
langsung membuat mereka mengacu pada kepentimgan dan nilai – nilai yang sama.
Kartajaya (2009:160) menambahkan bahwa dalam era New Wave Marketing saat ini,
yang harus dilakukan bukanlah melakukan segmentasi, tapi communitization.
Komunitisasi terjadi karena adanya relasi pribadi yang erat antara anggota komunitas
tersebut karena adanya kesamaan interest dan values. Dengan adanya komunitas
maka akan menciptakan hubungan yang erat antara pengguna (pelanggan) dengan
merek (brand) yang digunakan oleh seluruh anggota komunitas. Di dalam komunitas
tersebut tentunya akan menimbulkan conversation yang baik mengenai merek
(brand) yang digunakan yang secara tidak langsung dapat digunakan sebagai alat
pemasaran yang bersifat low bugdet-high impact.
Harley – Davidson Motorcycle Company merupakan perusahaan produsen
sepeda motor yang didirikan di Milwaukee, Amerika Serikat pada tahun 1903.
Perusahaan tersebut berkembang menjadi perusahaan manufaktur yang terkenal di
dunia akan produk – produk sepeda motor yang memiliki kualitas terbaik dan
5
memiliki penggemar fanatik yang tersebar di seluruh dunia. Sementara itu, di
Indonesia, Harley-Davidson mulai dikenal oleh masyarakat sejak tahun 1950-an.
Peran media massa seperti surat kabar, majalah, maupun televisi saat itu cukup besar
dalam memperkenalkan si bongsor ini. Akhirnya, pada tahun 1997, HDMC membuka
kantor perwakilan pertamanya di Indonesia melalui PT Mabua Harley-Davidson.
Harley – Davidson memiliki slogan yang tertulis di website resmi (www.harley-
davidson.com) yakni, ”We fulfill dreams through experiences of motorcycling-by
providing motorcyclist and general public, an exapanding line of motorcycle,
branded products and service in selected market segments.“ Artinya adalah, “Kami
memenuhi impian melalui pengalaman berkendara sepeda motor dengan
menyediakan bagi para pengendara dan masyarakat umum hasil pengembangan
sepeda motor mutakhir, produk dan layanan berkualitas yang tersedia untuk segmen
pasar eksklusif.“ Slogan tersebut mendeskripsikan tingginya kualitas produk dan
pelayanan yang ditawarkan oleh Harley – Davidson hingga mampu melam memenuhi
segala impian dalam mengendarai sepeda motor.
Menurut Rahmat (2011), Harley-Davidson bukan sekadar motor berbobot 400
kilogram. HD bukan pula sekadar motor yang memudahkan Anda untuk bepergian ke
satu tempat. Ia pun bukan sekadar motor gagah yang menjadi alat gagah-gagahan
bagi pemiliknya. Harley adalah “agama” yang dipuja oleh para pemiliknya, HD ibarat
agama yang senantiasa dipuja-puja dalam kehidupan. Aktivitas kehidupan mereka
sangat sukar dilepaskan dari motor gede tersebut. Saking cintanya (baca: maniak),
banyak pemilik maupun pecinta Harley mentato tubuhnya dengan logo kebesaran
6
HD. Bronson et al (2004) menambahkan bahwa Harley – Davidson menawarkan
pesona lifestyle motorcycling yang unik dan memiliki karakter yang kuat di benak
para pengguna Harley – Davidson. Rahmat (2011) menambahkan bahwa Harley-
Davidson mempunyai karakter unik di mata pemiliknya, tak seperti motor lain yang
memiliki karakter seragam di mata masyarakat. Sementara, Harley-Davidson justru
dipersepsikan secara berbeda-ibeda. Ibarat sebuah teks dalam ilmu bahasa, Harley-
Davidson adalah sebuah entitas yang multitafsir. Tiap pemilik mempunyai persepsi
dan sensasi tersendiri atas karakter Harley-Davidson yang dimilikinya. Sebab itu,
berkembang adagium If I have to explain Harley-Davidson, You would not
understand.” Hal tersebutlah yang membuat membuat HD dicintai dan dipuja
layaknya sebuah agama. Para pelanggan dengan bangga mengendarai Harley –
Davidson milik mereka dan secara sukarela menceritakan pengalamannya dalam
mengendarai Harley – Davidson dan membentuk komunitas Harley Owner’s Group
(HOG) yang secara tidak sadar melakukan word of mouth marketing serta
mempromosikan merek Harley – Davidson.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang ingin di
teliti adalah :
1. Bagaimanakah pengaruh word of mouth marketing terhadap loyalitas merek
(brand loyalty) sepeda motor Harley - Davidson di Kota Denpasar.
7
2. Bagaimanakah pengaruh komunitas merek (brand community) terhadap
terhadap terhadap loyalitas merek (brand loyalty) sepeda motor Harley -
Davidson di Kota Denpasar.
3. Bagaimanakah pengaruh word of mouth marketing dan komunitas merek
(brand community) terhadap terhadap terhadap loyalitas merek (brand loyalty)
sepeda motor Harley - Davidson di Kota Denpasar.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh word of mouth marketing terhadap terhadap terhadap
loyalitas merek (brand loyalty) Harley - Davidson di Kota Denpasar.
2. Mengetahui pengaruh komunitas merek (brand community) terhadap terhadap
loyalitas merek (brand loyalty) Harley - Davidson di Kota Denpasar.
3. Mengetahui pengaruh word of mouth marketing dan komunitas merek (brand
community) terhadap terhadap terhadap loyalitas merek (brand loyalty)
pelanggan Harley - Davidson di Kota Denpasar.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat tidak hanya bagi penulis, tetapi juga bagi
pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
8
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris pada bidang
manajemen pemasaran, khususnya mengenai word of mouth marketing dan
komunitas merek (brand community) serta pengaruhnya terhadap terhadap
terhadap loyalitas merek (brand loyalty) Harley – Davidson.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan dijadikan acuan
serta referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya serta diharapkan dapat
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan, masukan dan informasi yang
berguna bagi perusahaan dalam mengambil kebijaksanaan strategis bagi PT
Mabua Motor Indonesia selaku ATPM tunggal sepeda motor Harley -
Davidson di Indonesia khususnya dealer cabang Kota Denpasar dalam
merumuskan strategi pemasaran perusahaan untuk dapat meraih pangsa pasar
yang lebih besar dalam industri sepeda motor gede (moge).
E. Kajian Pustaka
E.1 Landasan Teori
E.1.1 Pemasaran
Menurut Swastha et al (1997), pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-
kegiatan pokok yang dilakukan oleh para pengusaha dalam usahanya
mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang, dan mendapatkan laba.
Berhasil tidaknya dalam pencapaian bisnis tergantung pada keahlian pelaku bisnis di
9
bidang pemasaran. Selain itu juga tergantung dalam mengkombinasikan fungsi-fungsi
tersebut agar organisasi dapat berjalan lancar.
Sedangkan menurut Wiliam J. Stanton (1996) pemasaran adalah sistem
keseluruhan dari kegiatan - kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan,
menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang
memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Jadi
pemasaran merupakan suatu sistem dari kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan,
ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan
mendistribusikan barang dan jasa kepada kelompok pembeli.
Pemasaran adalah suatu proses yang didalamnya individu dan kelompok
mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan dengan menciptakan,
menawarkan, dan secara bebas menukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.
Sedangkan (manajemen) pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan
pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang, dan jasa
untuk menciptakan pertukaran yang memenuhi sasaran-sasaran individu dan
organisasi (Kotler, 2010).
E.1.2 Pengertian Word of Mouth
Menurut Putri (2007) yang dikemukakan oleh Sumarni (2008), mengartikan
“word of mouth” seperti buzz, yaitu; obrolan murni di tingkat pelanggan yang
menular, tentang orang, barang, tempat (infectious chatter; genuine, street level
excitement about a new person, place, or thing). Atau secara umum yakni obrolan
10
tentang brand. Sutisna (2002) berpendapat bahwa kebanyakan proses komunikasi
antar manusia melalui mulut ke mulut. Setiap orang setiap hari berbicara dengan yang
lainnya, saling tukar pikiran, saling tukar informasi, saling berkomentar dan proses
komunikasi lainnya. Pengertian tersebut ditambahkan oleh pendapat dari Khasali
(2003) yang mengartikan word of mouth sebagai suatu hal yang dibicarakan banyak
orang. Pembicaraan terjadi karena adanya kontroversi yang membedakan dengan hal-
hal yang biasa dan normal dilihat orang.
Menurut Kartajaya (2007), word of mouth merupakan media
komunikasi yang paling efektif. Dengan buzzing yang tepat, diharapkan
persepsi merek yang kurang baik mulai dapat beralih. Pendapat tersebut
diperjelas oleh Prasetyo dan Ihalauw (2004) yang mengungkapkan bahwa
komunikasi informal tentang produk atau jasa berbeda dengan komunikasi
informal pengirim yang tidak berbicara dalam kapasitas sebagai seorang
professional atau komunikator komersial, tetapi cenderung sebagai teman.
Komunikasi tersebut sering disebut sebagai komunikasi dari mulut ke mulut
atau getok tular (word of mouth communication) yang cenderung lebih
persuasif karena pengirim pesan tidak memiliki kepentingan sama sekali atas
tindakan si penerima setelah itu. Komunikasi ini sangat bermanfaat bagi
pemasar.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka word of mouth dapat didefinisikan sebagai komunikasi antara pelanggan
pengguna produk tertentu yang menceritakan pengalamannya tentang telah
11
digunakannya kepada orang lain. Sehingga secara tidak langsung pelanggan
tersebut telah melakukan promosi bagi brand tertentu dan memotivasi orang
lain yang mendengarkan informasi tersebut untuk ikut menggunakan produk
yang sama.
E.1.3 Proses Word of Mouth
Layaknya bentuk komunikasi pada umumnya, komunikasi word of
mouth tentunya memerlukan proses untuk menyampaikan informasi mulai
dari sumber hingga sampai ke tujuan. Setiap saluran di dalam proses
komunikasi memiliki kepentingan yang tak boleh diabaikan. Sutisna (2002)
berpendapat bahwa dalam pandangan tradisional proses komunikasi word of
mouth dimulai dari informasi yang disampaikan melalui media massa
kemudian diinformasikan atau ditangkap oleh pemimpin opini yang
mempunyai pengikut dan berpengaruh. Bahkan secara lebih luas model itu
juga memasukkan penjaga informasi (gatekeeper) sebagai pihak yang terlibat
dalam proses komunikasi tersebut. Model komunikasi word of mouth yang
lebih luas digambarkan oleh Sutisna (2002) sebagai berikut
12
Media Massa Pemimpin
Opini
Pengikut
Gatekeeper
Gambar 1. Model Proses Word of Mouth
Orang-orang yang kita tanyai dan mintai informasinya, disebut sebagai
pemimpin opini (opinion leader). Pemimpin opini merupakan orang yang
sangat sering mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain.
Menurut Schiffman dan Kanuk yang dialihbahasakan oleh Zulkifli
(2007) menyatakan bahwa proses kepemimpinan pendapat merupakan
kekuatan konsumen yang sangat dinamis dan berpengaruh. Sebagai sumber
informasi informal, para pemimpin pendapat sangat efektif mempengaruhi
para konsumen dalam keputusan mereka yang berhubungan dengan produk.
Kondisi tersebut didukung oleh budaya Indonesia dimana informasi
dari mulut ke mulut cepat tersebar. Orang – orang sangat percaya akan
informasi dari orang terdekatnya. Menurut Cranston yang dikutip Kurniawan
(2007) menyatakan bahwa konsumen Indonesia cenderung berciri sosial,
senang berkumpul dan membuat kelompok, seperti kebiasaan arisan dan
ngerumpi. Sebuah isu baru cepat tersebar berkat kebiasaan ini. Ciri unik ini
oleh para ahli marketing dilihat sebagai bagian strategi pemasaran yang cukup
efektif yang bernama word of mouth marketing.
Pemasar harus lebih jeli tentang informasi yang beredar dan sebisa
mungkin menyisipkan informasi mengenai produknya dalam informasi yang
ramai dibicarakan. Kotler (2010) menambahkan bahwa tantangan utama
sekarang ini adalah menarik perhatian dan menanamkan brand dalam benak
13
setiap orang. Humas dan pemasaran dari mulut ke mulut semakin berperan
dalam bauran pemasaran dalam rangka membangun dan memelihara brand.
Kurniawan (2007) menambahkan bahwa yang tidak boleh dilupakan dalam
word of mouth adalah kredibilitas. Word of mouth juga dipengaruhi oleh peran
public relations, media, iklan, yang mempunyai peran untuk membangun
awareness akan sebuah produk atau merek.
Menurut Irawan (2007) yang dikutip oleh Sumarni (2008), karakter
suka berkumpul merupakan cermin dari kekuatan pembentukan grup dan
komunitas. Kekuatan komunitas ini sangat besar pengaruhnya terhadap
strategi pemasaran. Salah satu strategi yang penting adalah strategi
komunikasi yang menggunakan word of mouth untuk membantu penetrasi
pasar dari suatu merek.
E.1.4 Perilaku Konsumen
Sebuah organisasi dapat mencapai tujuannya jika memahami kebutuhan
dan keinginan konsumen, dan mampu memenuhinya dengan cara yang lebih
efisien dan efektif dibanding pesaing (Simamora, 2004). Perilaku konsumen
itu sendiri menurut Engel et al (1995) adalah tindakan yang langsung terlibat
untuk mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa,
termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini.
Sementara itu Luondon dan Bitta dikutip dari Simamora (2004) lebih
menekankan perilaku konsumen sebagai suatu proses pengambilan keputusan.
Bahwa perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan yang
14
mensyaratkan aktivitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh,
menggunakan atau mengatur barang dan jasa. Kotler dan Amstrong (2010)
mengartikan perilaku konsumen sebagai perilaku pembelian konsumen akhir,
baik individu maupun rumah tangga yang membeli produk untuk konsumsi
personal.
Sedangkan perilaku konsumen, seperti didefinisikan oleh Schiffman
dan Kanuk (2007) adalah proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari,
membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk,
jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya. Jadi, dapat
dikatakan bahwa perilaku konsumen merupakan studi tentang bagaimana
pembuat keputusan (decision unit), baik individu, kelompok, ataupun
organisasi, membuat keputusan-keputusan beli atau melakukan transaksi
pembelian suatu produk dan mengkonsumsinya.
Ada beberapa hal penting yang dapat diungkapkan dari definisi
menurut Schiffman dan Kanuk (2007):
1. Perilaku konsumen adalah suatu proses yang terdiri dari beberapa tahap
yaitu:
a. Tahap perolehan (acquistion) : mencari (searching) dan membeli
(purchasing)
b. Tahap konsumsi (consumption) : menggunakan (using) dan
mengevaluasi (evaluating)
15
c. Tahap tindakan pasca beli (disposition) : apa yang dilakukan oleh
konsumen setelah produk itu digunakan atau dikonsumsi.
2. Unit-unit pengambilan keputusan beli (decision unit) menurut Kotler
(2010) terdiri dari:
a. Konsumen individu yang membentuk pasar konsumen (consumer
market).
b. Konsumen organisasional yang membentuk pasar bisnis (business
market).
E.1.5 Tipe – tipe Perilaku Konsumen
Pengambilan keputusan oleh konsumen akan berbeda menurut jenis
pengambilan keputusan pembelian. Menurut Assel, dalam Kotler (2010)
membedakan empat tipe perilaku pembelian konsumen berdasarkan pada
tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat perbedaan di antara merek, seperti
diilustrasikan gambar di bawah ini :
16
Complex Buying Behavior
Variety Seeking Buying Behavior
Dissonance Reducing Buying
Behavior
Habitual Buying Behavior
Gambar 2. Tipe – tipe Perilaku Keterlibatan Konsumen (Kotler, 2010)
Keterangan :
1. Complex Buying Behavior
Perilaku membeli yang rumit membutuhkan keterlibatan yang tinggi
dalam pembelian dengan berusaha menyadari perbedaan-perbedaan yang
jelas di antara merek-merek yang ada. Perilaku membeli ini terjadi pada
waktu membeli produk- produk yang mahal, tidak sering dibeli, beresiko,
dan dapat mencerminkan diri pembelinya.
17
2. Dissonance Reducing Buying Behavior
Perilaku membeli semacam ini mempunyai keterlibatan yang tinggi dan
konsumen menyadari hanya terdapat sedikit perbedaan di antara berbagai
merek.
3. Variety Seeking Buying Behavior
Dalam hal ini konsumen membeli suatu pruduk berdasarkan kebiasaan,
bukan berdasarkan kesetiaan terhadap merek. Konsumen memilih produk
secara berulang bukan karena memilih merek produk, tetapi karena
mereka sudah mengenal produk tersebut.
4. Habitual Buying Behavior
Perilaku pembelian ini mempunyai partisipasi yang rendah, namun masih
terdapat perbedaan merek yang jelas. Konsumen berperilaku dengan
tujuan mencari keanekaragaman dan bukan kepuasaan.
E.1.6 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen
Menurut Kotler (2007:203) faktor – faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumen adalah sebagai berikut.
1. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan ini sifatnya sangat luas dan menyangkut segala aspek
manusia. Menurut Stanton (1996) kebudayaan didefinisikan simbol dan
fakta yang kompleks, yang diciptakan oleh manusia, diturunkan dari
generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur tingkah laku manusia
dalam masyarakat yang ada.
18
a. Kultur
Kultur adalah faktor yang paling pokok dari keinginan dan perilaku
seseorang. Makhluk yang lebih rendah umumnya dituntun oleh
naluri. Sedangkan manusia, perilakunya biasanya dipelajari dari
lingkungan sekitarnya. Sehingga nilai, persepsi, preferensi, dan
perilaku antara seseorang yang tinggal pada daerah tertentu dapat
berbeda dengan orang lain yang berada di lingkungan lain pula.
a. Subkultur
Setiap kultur mempunyai subkultur yang lebih kecil, atau kelompok
orang dengan sistem nilai yang sama berdasarkan pengalaman dan
situasi hidup yang sama. Seperti kelompok kebangsaan yang
bertempat tinggal pada suatu daerah mempunyai citarasa dan minat
etnik yang khas. Demikian pula halnya dengan kelompok keagamaan.
Daerah geografik adalah merupakan subkultur tersendiri. Banyaknya
subkultur ini merupakan segmen pasar yang penting dan pemasar
sering menemukan manfaat dengan merancang produk yang
disesuaikan dengan kebutuhan subkultur tersebut.
b. Kelas Sosial
Kelas sosial susunan yang paling permanen dan teratur dalam suatu
masyarakat anggotanya mempunyai nilai, minat, dan perilaku yang
sama. Kelas sosial tidak ditentukan oleh faktor tunggal seperti
pendapatan tetapi kombinasi pekerjaan, pendapatan, pendidikan,
19
kekayaan, dan variabel lainnya. Kelas sosial memperlihatkan
preferensi produk dan merek yang berbeda.
2. Faktor Sosial
a. Kelompok
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak kelompok kecil.
Kelompok kecil mempunyai dua bentuk yaitu kelompok primer, di
mana anggotanya berinteraksi secara tidak formal seperti keluarga,
teman, dan sebagainya. Ada pula yang disebut kelompok sekunder,
yaitu seseorang berinteraksi secara formal tetapi tidak regular.
b. Keluarga
Anggota keluarga pembeli dapat memberikan pengaruh yang kuat
terhadap perilaku pembeli. Keluarga orientasi adalah keluarga yang
terdiri dari orang tua yang memberikan arah dalam hal tuntutan
agama, politik, ekonomi, dan harga diri. Bahkan jika pembeli sudah
tidak berhubungan lagi dengan orang tua, maka pengaruh perilaku
pembelian tetap ada. Sedangkan pada anak prokreasi, yaitu keluarga
yang terdiri atas suami-istri dan anak, pengaruh pembelian itu akan
terasa.
c. Peran dan Status
Posisi seseorang dalam setiap kelompok dapat ditentukan dari segi
peran dan status. Setiap peran membawa status yang mencerminkan
penghargaan umum oleh masyarakat.
20
3. Faktor Pribadi
a. Usia dan Tahap Daur Hidup
Orang akan mengganti barang dan jasa yang dibeli sepanjang hidup.
Kebutuhan dan selera seseorang akan berganti sesuai usia. Pembelian
dibentuk oleh daur hidup keluarga. Sehingga pemasar hendaknya
memperhatikan perubahan minat pembelian yang terjadi yang
berhubungan dengan daur hidup manusia.
b. Pekerjaan
Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi barang dan jasa yang
dibelinya. Dengan demikian pemasar dapat mengidentifikasi
kelompok yang berhubungan dengan jabatan yang mempunyai minat
di atas rata- rata terhadap produk mereka.
c. Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi sangat mempengaruhi pilihan produk. Pemasar
yang produknya peka terhadap pendapatan dapat dengan seksama
memperhatikan kecenderungan dalam pendapatan pribadi, tabungan,
dan tingkat bunga. Jadi jika indikator- indikator ekonomi tersebut
menunjukkan adanya resesi, pemasar dapat mencari jalan untuk
menetapkan posisi produknya.
d. Gaya Hidup
21
Orang yang berasal dari subkultur, kelas sosial dan pekerjaan yang
sama dapat mempunyai gaya hidup yang berbeda. Gaya hidup
seseorang menunjukkan pola kehidupan orang yang bersangkutan
yang tercermin dalam kegiatan, minat, dan pendapatnya. Konsep gaya
hidup apabila digunakan oleh pemasar secara cermat, dapat
membantu untuk memahami nilai-nilai konsumen yang terus berubah
dan bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi perilaku konsumen.
e. Kepribadian dan Konsep Diri
Setiap orang mempunyai kepribadian yang khas dan ini akan
mempengaruhi perilaku pembeliannya. Kepribadian sangat
bermanfaat untuk menganalisis perilaku konsumen bagi beberapa
pilihan produk atau merek.
4. Faktor Psikologis
a. Motivasi
i. Teori Motivasi Freud
Sigmund Freud mengasumsikan bahwa kekuatan psikologis yang
membentuk perilaku sebagian besar tidak disadari dan bahwa
seseorang tidak dapat memahami motivasi dirinya secara
menyeluruh.
ii. Teori Motivasi Maslow
22
Menurut Maslow kebutuhan manusia tersusun berjenjang. Mulai
dari yang paling banyak menggerakan sampai pada yang paling
sedikit memberi dorongan.
b. Persepsi
Orang dapat memberikan persepsi yang berbeda terhadap rangsangan
yang sama karena ada tiga proses persepsi, yaitu :
i. Perhatian yang Selektif (selective interest)
Setiap hari orang dihadapkan pada rangsangan yang banyak dan
tidak semuanya dapat diterima. Perhatian yang selektif berarti
harus dapat menarik perhatian konsumen pada pasar tersebut.
ii. Gangguan yang selektif (selective distortion)
Setiap hari orang dihadapkan pada rangsangan yang banyak dan
tidak semuanya dapat diterima. Perhatian yang selektif berarti
harus dapat menarik perhatian konsumen pada pasar tersebut.
iii. Mengingat Kembali yang selektif (selective retention)
Orang cenderung melupakan apa yang mereka pelajari dan
menahan informasi yang mendukung sikap dan kepercayaan
mereka. Mengingat yang selektif berarti mereka akan mengingat
apa yang dikatakan keunggulan suatu produk dan melupakan apa
yang dikatakan pesaing.
c. Proses Pembelajaran
23
Proses pembelajaran menjelaskan perubahan dalam perilaku seseorang
yang timbul dari pengalaman dan kebanyakan perilaku manusia adalah
hasil proses belajar. Secara teori pembelajaran seseorang dihasilkan
melalui dorongan, rangsangan, isyarat, tanggapan, dan penguatan. Para
pemasar dapat membangun permintaan akan produk dengan
menghubungkannya dengan dorongan yang kuat, dengan
menggunakan isyarat motivasi, dan dengan memberikan penguatan
yang positif.
d. Keyakinan dan Sikap
Proses pembelajaran menjelaskan perubahan dalam perilaku seseorang
yang timbul dari pengalaman dan kebanyakan perilaku manusia adalah
hasil proses belajar. Secara teori pembelajaran seseorang dihasilkan
melalui dorongan, rangsangan, isyarat, tanggapan, dan penguatan. Para
pemasar dapat membangun permintaan akan produk dengan
menghubungkannya dengan dorongan yang kuat, dengan
menggunakan isyarat motivasi, dan dengan memberikan penguatan
yang positif.
i. Komponen Kognitif (cognitive component)
Komponen ini terdiri dari kepercayaan konsumen dan pengetahuan
tentang obyek. Kepercayaan tentang atribut suatu produk biasanya
dievaluasi secara alami.
ii. Komponen Afektif (affective component)
24
Perasaan dan reaksi emosional terhadap suatu obyek. Hal demikian
yang disebut komponen afektif sikap.
iii. Komponen Perilaku (behavioral component)
Komponen ini adalah respon dari seseorang terhadap obyek atau
aktivitas seperti keputusan untuk membeli atau tidaknya suatu
produk akan memperlihatkan komponen perilaku.
E.1.7 Pengertian Komunitisasi
Menurut Kartajaya (2009:160) bahwa dalam era New Wave Marketing
saat ini, yang harus dilakukan bukanlah melakukan segmentasi, tapi
communitization. Komunitisasi terjadi karena adanya relasi pribadi yang erat
antara anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest dan
values. praktik kanalisasi distribusi ini berubah ke arah komunal—baik di
ranah online maupun offline. Apalagi produk yang dipasarkan di sini adalah
produk hasil kreasi bersama pelanggan alias co-creation. Sebab itu, yang
perlu dilakukan adalah aktivasi komunal. Anggota komunitaslah yang menjadi
pelaku-pelaku pemasaran tersebut. Kunci perusahaan agar sukses dalam
melakukan aktivas komunal adalah membiarkan kebebasan bagi para anggota
komunitas untuk merasakan dan memiliki pengalaman pada merek. Selain itu,
untuk melakukan aktivasi komunal ini dibutuhkan konektor yang mampu
menghubungkan merek dengan anggota komunitas serta menjadi trigger
dalam aktivitas pemasaran anggota komunitas—baik secara online maupun
25
offline. Dengan kata lain, seperti yang pernah dibahas dalam komunitisasi,
pelanggan ini tidak diperlakukan sekadar sebagai database.
Dengan adanya komunitas maka akan menciptakan hubungan yang erat
antara pengguna (pelanggan) dengan merek (brand) yang digunakan oleh
seluruh anggota komunitas. Di dalam komunitas tersebut tentunya akan
menimbulkan conversation yang baik mengenai merek (brand) yang
digunakan yang secara tidak langsung dapat digunakan sebagai alat
pemasaran yang bersifat low bugdet-high impact. Komunikasi dan relasi
horisontal dengan komunitas pelanggan ini membuat produsen dan pelanggan
menjadi dekat dan merasa saling memiliki—khususnya memiliki merek
tersebut. Rasa memiliki menumbuhkan rasa bangga pada merek tersebut.
Ketika merek sudah mendapat tempat di hati para pelanggannya, dengan
sendirinya pelanggan akan menjadi brand evangelist kepada orang lain.
E.1.8 Pengertian Komunitas Merek (Brand Community)
Menurut Stewart E. Perry dalam CED Definition and Terminology yang
dikutip oleh Permana (2011:1) memandang ada dua makna komunitas yaitu
komunitas sebagai kategori yang mengacu pada orang – orang yang saling
berhubungan berdasarkan nilai – nilai dan kepentingan bersama yang khusus
atau komunitas sebagai satu kategori manusia yang berhubungan satu sama
lain karena didasarkan pada lokalitas tertentu yang sama, yang karena
kesamaan lokalitas tersebut secara tak langsung membuat mereka mengacu
pada kepentimgan dan nilai – nilai yang sama.
26
Menurut Carol Anne Odgin yang dikutip oleh Permana (2011:1), ada
beberapa alasan yang menyebabkan komunitas berbeda dari kumpulan
manusia lain atau kelompok manusia. Ada 5 faktor yang disebut Odgin dan
bisa membedakan komunitas dari kelompok individu lainnya, antara lain:
1. Pembatasan dan eksklusifitas yang berdasalkan hal tersebut bias
dirumuskan siapa yang menjadi anggota komunitas tersebut dan bukan
anggota komunitas.
2. Tujuan yang merupakan landasan komunitas.
3. Aturan yang memberikan batasan terhadap perilaku anggota komunitas,
termasuk ancaman untuk disingkirkan dari komunitas tersbut bagi
anggota yang melanggar
4. Komitmen terhadap kesejahteraan orang lain, sehingga terdapat
kepedulian terhadap anggota lain dari komunitas tersebut.
5. Kemandirian yakni memiliki kebebasan sendiri untuk menentukan apa
yang dilakukan dan cara memasuki komunitas.
Schouten & Koenig yang dikutip oleh Kusuma (2007:73)
mendefinisikan brand community (komunitas merek) yang dikutip dari
sebagai kelompok sosial yang berbeda yang dipilih secara pribadi berdasarkan
pada persamaan komitmen terhadap kelas produk tertentu, merek dan aktivitas
konsumsi.
27
Hubungan antara komunitas dan kebutuhan konsumen menurut Resnick
Marc yang dikutip oleh Kusuma (2007:55) ada beberapa kebutuhan konsumen
yang dapat terpenuhi di dalam suatu komunitas, diantaranya adalah :
1. Informasi (information)
Konsumen diberikan kebebasan untuk membagikan informasi mengenai
pengalaman mereka bersama produk yang mereka miliki, hal ini dapat
membantu konsumen dalam menentukan produk mana yang akan mereka
beli. Adanya review dari anggota yang ahli (expert) memberikan banyak
informasi dan masukan bagi konsumen mengenai bagaimana
memaksimalkan penggunaan produk.
2. Komunikasi (communication)
Bukti nyata dari sebuah komunitas adalah adanya suatu komunikasi dari
setiap anggota. Berbagai aktivitas dapat menjadi sangat bernilai bagi
konsumen dan didalam aktivitas tersebuut terjalin komunikasi antar
konsumen. Komunikasi dapat menjadi media informasi bagi konsumen
untuk mengetahui lebih banyak mengenai produk.
3. Hiburan (entertainment)
Komunitas menyediakan hiburan bagi konsumen yang menjadi
anggotanya. Konsumen dapat menikmati setiap aktivitas hiburan yang
disediakan oleh pemilik komunitas dengan mengikuti berbagai kegiatan
dalam komunitas.
28
4. Produktivitas (productivity)
Melalui komunitas, konsumen dapat meningkatkan produktivitas mereka
dalam memberikan masukan dalam kemajuan produk atau perusahaan.
Komunitas menyediakan akses bagi konsumen untuk menyalurkan
berbagai macam informasi yang berguna bagi perusahaan atau pihak
lainnya yang berhubungan.
5. Timbal Balik (feedback)
Konsumen menggunakan fasilitas berbagi informasi di dalam komunitas
untuk memberikan feedback kepada perusahaan mengenai kesukaan atau
ketidaksukaan mereka terhadap produk yang telah dikonsumsi. Selain itu
feedback diberikan dalam bentuk solusi pemecahan masalah serta product
improvement.
Muniz dan O Guinn (2001) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
karakteristik dalam brand community, diantaranya yaitu:
1. Online brand community bebas dari batasan ruang dan wilayah.
2. Komunitas dibangun dari produk atau jasa komersial.
3. Merupakan tempat saling berinteraksi dimana setiap anggota memiliki
budaya untuk mendukung dan mendorong anggota lainnya untuk
membagikan pengalaman bersama produk yang mereka miliki.
4. Relatif stabil dan mensyaratkan komitmen yang kuat karena tujuan.
Anggota komunitas memiliki identitas dengan level diatas rata-rata
konsumen awam karena mereka mengetahui seluk beluk produk.
29
E.1.9 Komponen – komponen Komunitas Merek (Brand Community)
Menurut Muniz dan O’Guin, yang dikutip oleh Kusuma (2007:54)
menemukan bahwa terdapat tiga tanda penting dalam komunitas, yaitu :
1. Kesadaran Bersama (Consciousness of kind)
Elemen terpenting dari komunitas adalah kesadaran masyarakat atas
suatu jenis produk, dan ini jelas terlihat dalam komunitas. Setiap anggota
saling berbagi (share) seperti yang dikemukakan oleh Bender (1978)
yang menggambarkan seperti “we-ness”. Setiap anggota merasa bahwa
hubungannya dengan merek itu penting, namun lebih penting lagi,
mereka merasa hubungannya lebih kuat satu sama lain sesama anggota.
yang saling mengenal, walaupun mereka tidak pernah bertemu. Segitiga
ini adalah konstelasi sosial yaitu pusat dari komunitas merek Cova’s
(1997) penegasan bahwa link lebih penting dari suatu hal. Setiap anggota
juga memiliki catatan penting yang menjadi batasan antara pengguana
merek lain. Ada beberapa kualitas penting, tidak mudah diungkapkan
secara verbal, yang membedakan mereka dari yang lain dan membuat
mereka serupa satu sama lain. Demarkasi seperti ini biasanya meliputi
referensi merek untuk pengguna yang “berbeda” atau “khusus”
dibandingkan dengan pengguna merek lain. Seperti mereka memiliki cara
untuk menyapa khusus antar anggota atau sebutan khusus antar anggota.
Kesadaran dari jenis yang ditemukan pada komunitas merek tidak
terbatas pada suatu daerah geografis. Hal ini terlihat pada penelitian
30
kolektif tentang komunitas, serta analisis dalam halaman Web.
Komunitas merek digambarkan oleh besarnya komunitas. Komunitas
merek digambarkan oleh besarnya komunitas (Anderson, 1983). Anggota
merasa menjadi bagian dari anggota besar, namun dengan mudah
membayangkan komunitas. Komunitas merek tidak hanya diakui namun
juga dirayakan. Didalam indikator Conciousness of Kind ini terdapat dua
elemen, yaitu:
a. Legitimasi (Legitimacy)
Legitimasi adalah proses dimana anggota komunitas membedakan
antara anggota komunitas dengan yang bukan anggota komunitas,
atau memiliki hak yang berbeda. Dalam konteks ini merek dibuktikan
atau ditunjukkan oleh “yang benar-benar mengetahui merek”
dibandingkan dengan “alasan yang salah” memakai merek. Alasan
yang salah biasanya dinyatakan oleh kegagalan dalam menghargai
budaya, sejarah, ritual, tradisi, dan simbol-simbol komunitas.
Komunitas merek secara umum membuka organisasi sosial yang
tidak menolak adanya anggota apapun, namun seperti komunitas pada
umumnya bahwa mereka memiliki status hirarki. Siapapun yang setia
kepada suatu merek bisa menjadi anggota komunitas, tanpa
kepemilikan. Namun, kesetiaan kepada merek harus tulus dan
memiliki alasan yang tepat. Yang membedakan antara anggota
komunitas yang benar-benar memiliki kepercayaan pada merek dan
31
mereka yang hanya kebetulan memiliki produk merek tersebut adalah
kepeduliannya terhadap merek tersebut. Namun legitimasi tidak
selalu ada dalam suatu komunitas merek.
b. Loyalitas Merk Oposisi (Opposotional Brand Loyalty)
Komunitas merek oposisi adalah proses sosial yang terlibat selain
kesadaran masyarakat atas suatu jenis produk (Conciousness of kind).
Melalui oposisi dalam kompetisi merek, anggota komunitas merek
mendapat aspek pengalaman yang penting dalam komunitasnya, serta
komponen penting pada arti merek tersebut. Ini berfungsi untuk
menggambarkan apa yang bukan merek dan siapakah yang bukan
anggota komunitas merek. Demikian pula, Englis dan Solomon
(1997) dan Hogg dan Savolainen (1997) melaporkan bahwa pilihan
konsumen dalam menggunakan merek adalah yang menandai bahwa
itu merupakan pilihan mereka dalam berbagai gaya hidup.
2. Ritual dan Tradisi (Rituals and tradition)
Ritual dan tradisi juga nyata adanya dalam komunitas merek. Ritual dan
tradisi mewakili proses sosial yang penting dimana arti dari komunitas itu
adalah mengembangkan dan menyalurkan dalam komunitas. Beberapa
diantaranya berkembang dan dimengerti oleh seluruh anggota komunitas,
sementara yang lain lebih diterjemahkan dalam asal usulnya dan
diaplikasikan. Ritual dan tradisi ini dipusatkan pada pengalaman dalam
menggunakan merek dan berbagi cerita pada seluruh anggota komunitas.
32
Seluruh komunitas merek bertemu dalam suatu proyek dimana dalam
proyek ini ada beberapa bentuk upacara atau tradisi. Ritual dan tradisi
dalam komunitas merek ini berfungsi untuk mempertahankan tradisi
budaya komunitas. Ritual dan tradisi yang dilakukan diantaranya yaitu :
a. Merayakan Sejarah Merek (Celebrating The History Of The Brand)
Menanamkan sejarah dalam komunitas dan melestarikan budaya
adalah penting. Pentingnya sejarah merek yang juga tampak jelas
tertera di halaman web yang dikhususkan. Adanya konsistensi yang
jelas ini adalah suatu hal yang luar biasa. Misalnya adanya perayaan
tanggal berdirinya suatu komunitas merek. Apresiasi dalam sejarah
merek seringkali berbeda pada anggota yang benar-benar menyukai
merek dengan yang hanya kebetulan memiliki merek tersebut. Hal ini
ditunjukkan dengan suatu keahlian, status keanggotaan, dan
komitmen pada komunitas secara keseluruhan. Mitologi merek ini
menguatkan komunitas dan menanamkan nilai perspektif. Status
anggota diperoleh dari migrasi dari marginal ke status komunitas
yang mendalam menambahkan nilai pengalaman dalam
menggunakan merek.
b. Berbagi Cerita Merek (Sharing Brand Stories)
Berbagi cerita pengalaman menggunakan produk merek adalah hal
yang penting untuk menciptakan dan menjaga komunitas. Cerita
berdasarkan pengalaman memberi arti khusus antar anggota
33
komunitas, hal ini akan menimbulkan hubungan kedekatan dan rasa
solidaritas antar anggota. Secara mendasar, komunitas menciptakan
dan menceritakan kembali mitos tentang pengalaman apa yang
dialaminya pada komunitas. Berbagi cerita merek adalah hal yang
penting karena proses ini mengukuhkan kesadaran yang baik antara
anggota dan merek yang memberikan kontribusi pada komunitas. Hal
ini juga membantu dalam pembelajaran nilai-nilai umum. Lebih
lanjut, dengan berbagai komentar dengan anggota komunitas lainnya,
maka salah satu anggota akan merasa lebih aman didalamnya,
pemahaman bahwa ada banyak anggota yang juga merasakan
pengalaman yang sama. Ini adalah keuntungan utama dalam
komunitas. Hal ini juga membantu melestarikan warisan sehingga
merek tetap hidup dari budaya dan komunitas mereka. Dalam semua
komunitas, teks dan simbol yang kuat adalah yang mewakili budaya
kelompok (Gustifield, 1978; Hunter dan Suttles, 1972), tetapi
komunitas merek mungkin lebih mengarah pada pandangan
masyarakat kontemporer konsumen. Anggota komunitas merek
berbagi interpretasi strategi, dan dengan itu juga mewakili interpretasi
komunitas (Fishn, 1980; Scott, 1994).
3. Tanggung Jawab Moral (Moral responsibility)
Komunitas juga ditandai dengan tanggungjawab moral bersama.
Tanggungjawab moral adalah memiliki rasa tanggungjawab dan
34
berkewajiban secara keseluruhan, serta kepada setiap anggota komunitas.
Rasa tanggungjawab moral ini adalah hasil kolektif yang dilakukan dan
memberikan kontribusi pada rasa kebersamaan dalam kelompok.
Tanggungjawab moral tidak perlu terbatas untuk menghukum kekerasan,
peduli pada hidup. Sisitem moral bisa halus dan kontekstual.
Demikianlah halnya dengan komunitas merek. Sejauh ini tanggungjawab
moral hanya terjadi dalam komunitas merek. Hal ini nyata paling tidak
ada dua hal penting dan misi umum tradisional, yaitu :
a. Integrasi dan Mempertahankan Anggota (Integrating and retaining
members)
Dalam komunitas tradisional memperhatikan pada kehidupan umum.
Perilaku yang konsisten dianggap sebagai dasar tanggungjawab
keanggotaan komunitas. Untuk memastikan kelangsungan hidup
jangka panjang yang diperlukan untuk mempertahankan anggota lama
dan mengintegrasikan baru. Tradisional masyarakat di sana adalah
adanya kesadaran moral sosial. Komunitas yang formal dan tidak
formal mengetahui batas dari apa yang benar dan yang salah, yang
tepat dan yang tidak tepat. Walaupun ada, lebih kurang dari
variabilitas yang dijelaskan secara resmi oleh anggota komunitas, ada
rasa di antara anggota masyarakat bahwa adanya kesadaran sosial dan
kontrak. Hal ini juga berlaku dalam komunitas merek.
35
b. Membantu dalam Penggunaan Merek (Assisting in the use of the
brand)
Tanggungjawab moral meliputi pencarian dan membantu anggota lain
dalam penggunaan merek. Meskipun terbatas dalam cakupan, bantuan
ini merupakan komponen penting dari komunitas. Sebagian besar
informan melaporkan telah membantu orang lain baik yang dikenal
maupun tidak. Ini adalah sesuatu yang mereka lakukan “tanpa
berpikir,” hanya bertindak dari rasa tanggungjawab yang mereka
rasakan terhadap anggota komunitas. Salah satu cara ini merupakan
perwujudan dari diri sendiri, bantuan itu sendiri melalui tindakan
untuk membantu sesama anggota komunitas memperbaiki produk
atau memecahkan masalah, khususnya yang melibatkan pengetahuan
yang diperoleh melalui pengalaman beberapa tahun menggunakan
merek.
E.1.10 Produk
Produk merupakan salah satu unsur dari bauran pemasaran yang dapat
memuaskan atau memenuhi kebutuhan dan keinginan dari konsumen.
Diharapkan melalui pembelian produk tersebut konsumen akan terpenuhi
kepuasannya.
Kotler (2010:69) mendefinisikan produk adalah segala sesuatu yang
dapat ditawarkan ke pasar untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan.
Produk-produk yang dipasarkan meliputi barang fisik, jasa, pengalaman,
36
acara-acara, orang, tempat, properti, organisasi dan gagasan. Produk
merupakan bagian dari pemasaran karena pengertian pemasaran itu sendiri
adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok
mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan dengan menciptakan,
menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan
pihak lain (Kotler, 2010:10). American Marketing Association dalam Renald
Kasali (2000:53) juga mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses
perencanaan dan eksekusi, mulai dari tahap konsepsi, penetapan harga,
promosi hingga distribusi barang-barang, ide-ide, dan jasa-jasa, untuk
melakukan pertukaran yang memuaskan individu dan lembaga-lembaganya.
Jadi, produk adalah alat yang digunakan individu atau lembaga agar
pertukaran dalam pemasaran dapat dilakukan sehingga keinginan dan
kebutuhan pasar dapat dipenuhi. Produk yang ditawarkan kepada kosumen
haruslah memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Produk bisa berupa
manfaat tangible maupun intangible yang dapat memuaskan konsumen.
Kotler (2010:72) mengidentifikasikan enam tingkat hierarki produk,
yaitu:
1. Kebutuhan keluarga (family need) yaitu kebutuhan inti yang mendasari
keberadaan suatu produk, contoh: keamanan.
2. Kebutuhan produk (product need) yaitu semua kelas produk yang dapat
memenuhi suatu kebutuhan inti dengan lumayan efektif, contoh: tabungan
dan penghasilan.
37
3. Kelas produk (product class) yaitu sekelompok produk dalam keluarga
produk yang diakui mempunyai ikatan fungsional tertentu, contoh:
instrumen keuangan.
4. Lini produk (product line) yaitu sekelompok produk dalam suatu kelas
produk yang saling terkait erat karena melaksanakan suatu fungsi yang
sama, dijual kepada kelompok pelanggan yang sama, dan dipasarkan
melalui saluran yang sama atau masuk ke dalam rentang harga tertentu,
contoh: asuransi jiwa.
5. Jenis produk (product type) yaitu satu kelompok produk dalam lini produk
yang sama-sama memiliki salah satu dari beberapa kemungkinan bentuk
produk tersebut, contoh: asuransi berganda.
Unit produk (item) yaitu suatu unit tersendiri dalam suatu merek atau nilai
produk yang dapat dibedakan berdasaran ukuran, harga, penampilan atau ciri lain.
E.1.11 Pengertian Merek (brand)
Merek (brand) suatu produk atau jasa memegang peranan sangat
penting. Berbagai pengertian mengenai merek (brand) telah diungkapkan oleh
para peneliti. Kevin L.Keller (2007:1) mendefinisikan merek sebagai bagian
paling berharga dari properti legal, memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi perilaku konsumen, dapat dibeli dan dijual, dan menyediakan
pendapatan masa depan yang aman bagi perusahaan. American Marketing
Association dalam Kotler (2010:82) mendefinisikan merek sebagai nama,
istilah, tanda, simbol , atau desain, atau kombinasi semuanya, yang
38
dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau
sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang atau jasa pesaing.
Merek menjadi tanda pengenal yang sangat penting bagi penjual atau
pembuat. Definisi brand serupa diungkapan oleh Janita (2005) yaitu brand
adalah ide, kata, desain grafis dan suara / bunyi yang mensimbolisasikan
produk, jasa, dan perusahaan yang memproduksi produk dan jasa tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan brand adalah
identitas tambahan dari suatu produk yang tak hanya membedakannya dari
produk pesaing; namun merupakan janji produsen atau kontrak kepercayaan
dari produsen kepada konsumen dengan menjamin konsistensi bahwa sebuah
produk akan selalu dapat menyampaikan nilai yang diharapkan konsumen dari
sebuah produk.
Merek-merek terbaik memberikan jaminan kualitas dan merek lebih
dari sekedar simbol. Sehingga merek dapat memiliki enam pengertian (Kotler,
2010:460) sebagai berikut.
1. Atribut , yaitu merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.
2. Manfaat, yaitu atribut perlu diterjemahkan menjadi manfaat fungsional
dan emosional.
3. Nilai, yaitu merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
4. Budaya, yaitu merek juga mewakili budaya tertentu.
5. Kepribadian, yaitu merek juga mencerminkan kepribadian tertentu.
39
6. Pemakai, yaitu merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau
menggunakan merek tersebut.
E.1.12 Kebaikan dan Keburukan Merek
Kotler (2010:90) merumuskan beberapa keunggulan bagi penjual yang
menggunakan merek pada produknya, yaitu:
1. Merek memudahkan penjual memproses pesanan dan menelusuri masalah
baik masalah yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan, pemesanan
produk atau jasa tersebut dan lain sebagainya.
2. Nama merek dan tanda merek penjual memberikan perlindungan hukum
atas ciri-ciri produk yang unik.
3. Merek memberikan penjual kesempatan untuk menarik pelanggan yang
setia dan menguntungkan. Kesetiaan konsumen memberi penjual atau
perusahaan perlindungan dari persaingan serta pengendalian yang lebih
besar dari perencanaan program pemasarannya.
4. Merek membantu penjual melakukan segmentasi pasar.
5. Merek yang kuat membantu meningkatkan citra perusahaan, memudahkan
perusahaan meluncurkan merek-merek baru yang mudah diterima para
distributor dan pelanggan.
Menurut Swastha (2002:138) alasan-alasan perusahaan untuk tidak
menggunakan merek pada barang atau jasa yang dijualnya adalah sebagai
berikut.
1. Pertimbangan perusahaan
40
Adanya ketidakpuasan konsumen terhadap barang atau jasa yang telah
dibelinya baik mengenai mutu, harga maupun pelayanan yang diberikan
perusahaan. Adanya ketidakpuasan konsumen tersebut akan berakibat
tidak menguntungkan bagi perusahaan sebagai pemilik produk dan merek
karena konsumen akan menjadi ragu-ragu untuk melakukan pembelian
ulang, tidak hanya pembelian untuk barang yang sama tetapi juga pada
barang atau jasa lain yang memiliki merek yang sama.
2. Sifat barang
Beberapa macam barang sengaja tidak diberi merek karena sulit dibedakan
dengan barang yang dihasilkan dari perusahaan lain seperti: kapas,
gandum, buah-buahan, sayur-sayuran dan sebagainya. Jadi, yang termasuk
dalam kelompok ini adalah barang-barang yang secara fisik mudah rusak,
busuk atau basi. Apabila barang-barang semacam ini diberi merek maka
resiko yang harus ditanggung oleh perusahaan sangat besar karena apabila
terjadi kerusakan barang seringkali mengakibatkan rusaknya nama baik
merek tersebut.
E.1.13 Ekuitas Merek (Brand Equity)
Ekuitas merek menurut Kotler dan Amstrong (2010:357) adalah nilai
dari suatu merek, menurut sejauh mana merek itu mempunyai loyalitas merek
yang tinggi, kesadaran nama, kualitas yang diterima, asosiasi merek yang
kuat, serta aset lain seperti paten, merek dagang dan hubungan saluran. Kevin
L.Keller (2005) mendefinisikan ekuitas merek sebagai nilai yang secara
41
langsung ataupun tidak langsung dimiliki oleh merek. Darmadi Durianto, dkk
(2004:4) mendefinisikan ekuitas merek sebagai seperangkat aset dan liabilitas
merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol yang mampu
menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa
baik pada perusahaan maupun pada pelanggan. Brand Equity sangat berkaitan
dengan seberapa banyak pelanggan suatu merek merasa puas dan merasa rugi
bila berganti merek (brand switching), menghargai merek itu dan
menganggapnya sebagai teman, dan merasa terikat kepada merek itu (Kotler,
2010 : 461).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekuitas merek (brand
equity) adalah kekuatan merek yang menjanjikan nilai yang diharapkan
konsumen atas suatu produk sehingga akhirnya konsumen akan merasa
mendapatkan kepuasan yang lebih bila dibanding produk-produk lainnya.
Menurut Kotler (2010:86) ekuitas merek yang tinggi akan memberikan
sejumah keunggulan bersaing bagi perusahaan, yaitu:
1. Perusahaan tersebut akan memiliki pengaruh perdagangan yang lebih
besar dalam melakukan tawar menawar dengan distributor dan pengecer
karena pelanggan mengharapkannya menjual merek tersebut.
2. Perusahaan tersebut dapat menggunakan harga yang lebih tinggi daripada
pesaing-pesaingnya karena merek itu memiliki persepsi mutu untuk lebih
tinggi.
42
3. Perusahaan tersebut dapat dengan mudah melakukan perluasan produk
karena nama merek tersebut menyandang kredibilitas yang tinggi.
4. Merek tersebut menawarkan kepada perusahaan itu suatu pertahanan
terhadap persaingan harga.
Menurut Aaker dalam Simamora (2003:14) ekuitas merek memiliki tiga
nilai yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Nilai fungsional
Nilai fungsional adalah nilai yang diperoleh dari atribut produk yang
memberikan kegunaan (utility) fungsional kepada konsumen. Nilai ini
berkaitan langsung dengan fungsi yang diberikan oleh produk atau
layanan kepada konsumen.
2. Nilai Emosional
Merek memberikan nilai emosional apabila konsumen mengalami
perasaan positif (positive feeling) pada saat membeli atau menggunakan
suatu merek. Pada intinya, nilai emosional berhubungan dengan perasaan
yaitu perasaan positif apa yang dialami konsumen pada saat membeli
produk.
3. Nilai Ekspresi diri
Nilai ini berpusat pada ekspresi publik dengan kata lain mencari jawaban
atas “jati diri” seseorang atau tentang “bagaimana saya di mata orang lain
maupun diri saya sendiri”.
43
Brand equity tidak terjadi dengan sendirinya tetapi ditopang oleh
elemen-elemen pembentuk brand equity, dimana hal tersebut dapat
dikelompokkan menjadi lima kategori (Durianto, dkk; 2004:4) sebagai
berikut.
1. Brand awareness atau kesadaran merek merupakan kesanggupan
sekumpulan konsumen untuk mengenal atau mengingat kembali tentang
keberadaan suatu merek yang merupakan suat bagian dari kategori
produk atau jasa tertentu.
2. Brand Association atau asosiasi merek adalah pencitraan suatu merek
terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya
hidup, manfaat, atribut produk, geografi, harga, pesaing, selebritis dan
lain-lain.
3. Brand Perceived quality atau persepsi kualitas merupakan persepsi
konsumen terhadap kinerja kualitas atau keunggulan suatu produk atau
jasa yang dibandingkan dengan harapan konsumen dalam mengkonsumsi
produk atau jasa tersebut.
4. Brand loyalty atau loyalitas merek merupakan keterikatan atau kesetiaan
konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek produk atau jasa tertentu.
5. Other proprietary asset atau aset-aset merek lainnya
44
Perceived quality
Brand association
Brand Equity
Brand awareness
Brand loyalty
Brand assets
Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat:Efisiensi dan efektifitas program pemasaranBrand loyaltyHarga atau labaPerluasan merekPeningkatan perdaganganKeuntungan kompetitif
Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat:Interpretasi atau proses informasiRasa percaya diri dalam pembelianPencapaian kepuasan dari pelanggan
Gambar 3. Konsep Ekuitas Merek (brand equity) Sumber: Durianto, dkk
(2004:5)
45
Unsur-unsur brand equity diluar other proprietary asset dikenal dengan
unsur-unsur utama dari brand equity. Elemen brand equity yang kelima (other
proprietary asset) akan secara langsung dipengaruhi oleh kualitas dari
keempat unsur utama tersebut.
Menurut Kotler (2010:461) terdapat konsumen yang sadar akan
keberadaan suatu produk atau jasa tertentu (brand awareness), dimana
kesadaran merek ini diukur berdasarkan ingatan atau pengakuan konsumen
terhadap merek tersebut. Di atas itu, ada merek yang memiliki penerimaan
(brand acceptability) yang tinggi atas suatu kondisi dimana konsumen tidak
menolak untuk membeli merek tersebut. Kemudian ada pula merek yang
tingkat preferensi mereknya tinggi, ini merupakan kondisi dimana konsumen
memilih suatu merek diatas merek lainnya. Akhirnya, terdapat merek yang
memiliki tingkat kesetiaan merek yang tinggi dari konsumen.
E.1.14 Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Richard L.Oliver (2000) menyatakan bahwa brand loyalty adalah
pilihan dari konsumen pada merek dari produk atau jasa yang paling disukai.
Pengertian brand loyalty menurut Freddy Rangkuti (2002:60) adalah ukuran
kesetiaan konsumen terhadap suatu merek produk atau jasa tertentu. Hal ini
merupakan inti dari brand equity yang menjadi sentral gagasan pemasaran
karena merupakan suatu ukuran keterkaitan sekelompok konsumen terhadap
suatu brand equity. Schiffman dan Kanuk (2007) menambahkan bahwa
loyalitas merek merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah
46
penelitian mengenai perilaku konsumen. Ada banyak definisi loyalitas merek
ditinjau dari berbagai macam sudut pandang. Definisi yang umum dipakai
adalah penjelasan bahwa loyalitas merek merupakan suatu preferensi
konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian pada merek yang
sama pada produk yang spesifikasi atau pelayanan tertentu.
47
Loyalitas merek juga merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan
kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang
mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek yang lain, terutama
jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik yang menyangkut
harga ataupun atribut lain. Pelanggan yang loyal pada umumnya akan
melanjutkan pembelian merek tersebut meski dihadapkan banyak alternatif
merek pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul.
Sebaliknya, pelanggan yang tidak loyal pada suatu merek, pada saat mereka
melakukan pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak didasarkan
karena keterikatan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada
karakteristik produk, harga, dan kenyaman pemakaiannya serta atribut lain
yang ditawarkan oleh merek lain (Durianto, 2001). Loyalitas menurut Mowen
et al (2007) adalah kondisi dimana pelanggan mempunyai sikap yang positif
terhadap suatu merek, mempunyai komitmen terhadap merek tersebut, dan
bermaksud meneruskan pembeliannya dimasa mendatang. Pernyataan yang
sama berasal dari Dharmmesta (1999) yang menyatakan bahwa loyalitas
menunjukkan kecenderungan pelanggan untuk menggunakan suatu merek
tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi. Hal ini berarti loyalitas selalu
berkaitan dengan preferensi pelanggan dan pembelian aktual. Pernyataan yang
terkait dengan tingkat konsistensi ini juga berasal dari Oliver (1999) dalam
Fandi Tjiptono (2007) yang menyatakan, bahwa loyalitas merek merupakan
komitmen yang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk
48
atau jasa yang disukai secara konsisten dimasa datang, sehingga menimbulkan
pembelian merek atau rangkaian merek yang sama secara berulang, meskipun
pengaruh situasional dan upaya pemasaran berpotensi untuk menyebabkan
perilaku beralih merek.
Adapun menurut Griffin (2005) prasyarat untuk mengembangkan
loyalitas diperlukan adanya 2 keterikatan yang dirasakan pelanggan terhadap
produk dan jasa tertentu yaitu pertama tingkat preferensi (seberapa besar
keyakinan) pelanggan terhadap produk dan jasa tertentu dan yang kedua
tingkatan differensiasi produk yang dipersepsikan, misalnya seberapa
signifikan pelanggan membedakan produk atau jasa tertentu dari alternatif-
alternatif lain.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, pengertian loyalitas merek dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat Shiffman dan Kanuk (2004) dimana
loyalitas merek merupakan bentuk preferensi konsumen secara konsisten
untuk melakukan pembelian pada merek yang sama pada produk yang
spesifik atau kategori pelayanan tertentu sehingga pengukuran loyalitas merek
akan melibatkan pengukuran sikap (aspek kognitif, afektif, dan konatif
konsumen terhadap merek).
Terdapat lima tingkatan brand loyalty dari yang terendah sampai yang
tertinggi (Freddy Rangkuti; 2002:61), yaitu:
1. Switcher buyer. Pada tingkat loyalitas yang paling dasar ini konsumen
sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek apapun yang
49
ditawarkan. Merek memainkan peranan yang kecil dalam keputusan
pembelian karena konsumen lebih memperhatikan harga sehingga
konsumen lebih sering berpindah-pindah merek dalam mengkonsumsi
suatu kategori produk atau jasa.
2. Habitual buyer. Pada tingkatan ini tidak terdapat dimensi ketidakpuasan
yang cukup memadai untuk mendorong perubahan dalam mengkonsumsi
suatu merek, terutama apabila pergantian ke merek lainnya memerlukan
suatu biaya tambahan.
3. Satisfied buyer. Pada tingkatan ini terdapat konsumen yang puas namun
menanggung biaya peralihan baik itu waktu, uang atau resiko sehubungan
dengan upaya untuk melakukan pergantian ke merek yang lainnya.
4. Likes the brand. Konsumen memiliki perasaan emosional dalam
menyukasi suatu merek. Rasa suka ini didasari oleh asosiasi seperti
simbol, pengalaman dalam menggunakan atau kesan kualitas yang tinggi.
5. Commited buyer. Terdapat konsumen yang memang setia terhadap suatu
merek. Konsumen merasa bangga dalam memakainya karena dapat
menunjukkn identitas dirinya.
E.1.15 Aspek – aspek Loyalitas Merek
Schiffman dan Kanuk (2007) menerangkan bahwa komponen -
komponan loyalitas merek terdiri atas empat macam, yaitu:
1. Kognitif (cognitive)
50
Merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh konsumen.
Komponen kognitif ini berisikan persepsi, kepercayaan dan stereotype
seorang konsumen mengenai suatu merek. Loyalitas berarti bahwa
konsumen akan setia terhadap semua informasi yang menyangkut harga,
segi keistimewaan merek dan atribut-atribut penting lainnya. Konsumen
yang loyal dari segi kognitif akan mudah dipengaruhi oleh strategi
persaingan dari merek-merek lain yang disampaikan lewat media
komunikasi khususnya iklan maupun pengalaman orang lain yang
dikenalnya serta pengalaman pribadinya.
2. Afektif (affective)
Komponen yang didasarkan pada perasaan dan komitmen konsumen
terhadap suatu merek. Konsumen memiliki kedekatan emosi terhadap
merek tersebut. Loyalitas afektif ini merupakan fungsi dari perasaan
(affect) dan sikap konsumen terhadap sebuah merek seperti rasa suka,
senang, gemar, dan kepuasan pada merek tersebut. Konsumen loyal secara
afektif dapat. bertambah suka dengan merek-merek pesaing apabila
merek-merek pesaing tersebut mampu menyampaikan pesan melalui
asosiasi dan bayangan konsumen yang dapat mngarahkan mereka kepada
rasa tidak puas terhadap merek yang sebelumnya.
3. Konatif (conative)
Batas antara dimensi loyalitas sikap dan loyalitas perilaku yang
direpresentasikan melalui kecenderungan perilaku konsumen untuk
51
menggunakan merek yang sama di kesempatan yang akan datang.
Komponen ini juga berkenaan dengan kecenderungan konsumen untuk
membeli merek karena telah terbentuk komitmen dalam diri mereka untuk
tetap mengkonsumsi merek yang sama. Bahaya-bahaya yang mungkin
muncul adalah jika para pemasar merek pesaing berusaha membujuk
konsumen melalui pesan yang menantang keyakinan mereka akan merek
yang telah mereka gunakan sebelumnya. Umumnya pesan yang dimaksud
dapat berupa pembagian kupon berhadiah maupun promosi yang ditujukan
untuk membuat konsumen langsung membeli.
4. Tindakan (action)
Merekomendasikan atau mempromosikan merek tersebut kepada orang
lain. Konsumen yang loyal secara tindakan akan mudah beralih kepada
merek lain jika merek yang selama ini ia konsumsi tidak tersedia di
pasaran. Loyal secara tindakan mengarah kepada tingkah laku
mempromosikan merek tersebut kepada orang lain.
E.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Guna membantu penelitian ini, peneliti mengkaji beberapa penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan word of mouth
marketing, komunitas merek (brand community), dan loyalitas merek (brand
loyalty), sebagai berikut.
52
1. Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2007) dengan judul “Analisis
Pengaruh Brand Community Terhadap Loyalitas Merk Pada Pengguna
Honda Megapro di Surakarta”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh dari elemen brand community terhadap loyalitas
merek pada pengguna sepeda motor sport Honda Megapro di Surakarta.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan analisis regresi
berganda terhadap data yang diambil dari populasi komunitas Megapro di
Surakarta yakni sebanyak 40 responden. Hasil dari penelitian tersebut
adalah variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap loyalitas
merek adalah variabel integrasi dan mempertahankan anggota dengan
koefisien sebesar 0,339.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Wuryanto (2007) dengan judul “Analisis
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Word of Mouth Marketing
(WoMM) Studi pada Hungry Buzz Dinner Semarang. Sampel penelitian
ini adalah konsumen Hungry Buzz Diner, sejumlah 126 responden.
Structural Equation Modeling (SEM) yang dijalankan dengan perangkat
lunak AMOS, digunakan untuk menganalisis data, Hasil analisis
menunjukkan bahwa keunggulan atribut layanan dan berpengaruh
terhadap kepuasan pemberi referensi dan kinerja word of mouth marketing
dan kepuasan pemberi referensi berpengaruh positif terhadap kinerja word
of mouth marketing. Temuan empiris tersebut mengindikasikan bahwa
keunggulan atribut layanan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan
53
pemberi referensi dengan nilai regressi sebesar 0,64; keunggulan atribut
layanan berpengaruh signifikan terhadap kinerja word of mouth marketing
dengan nilai regressi sebesar 0,39; kepuasan pemberi referensi
berpengaruh signifikan terhadap kinerja word of mouth marketing dengan
nilai regressi sebesar 0,41.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Wardhani (2008) dengan judul “Pengaruh
Word of Mouth Pada Produk Kredit Mikro Mandiri PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk. Hub. Jakarta Pulogadung Terhadap Minat Pengajuan
Kredit Para Wirausahawan”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana efek word of mouth mempengaruhi minat
pengajuan kredit para wirausahawan dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan studi literature dan menggunakan instrument penelitian
berupa kuesioner yang dibagikan kepada 125 responden. Penelitian
dilakukan dengan analisis statistic SPSS for Windows 15 dengan variabel
word of mouth yang terdiri dari 5 dimensi yaitu talker, topics, tools, taking
parts, dan tracking dan variabel niat beli konsumen. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa terdapat pengaruh yang tinggi dari variabel-variabel word
of mouth pada produk Kredit Mikro Mandiri terhadap minat pengajuan
kredit para wirausahawan.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Hermansyah (2009) dengan judul
“Pengaruh Strategi Pemasaran Word of Mouth Terhadap Proses Keputusan
Pembelian Konsumen (Studi pada CV Jaya Mandiri Interior Malang)”.
54
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh secara parsial dan
simultan Word of Mouth Marketing terhadap proses keputusan pembelian
konsumen CV Jaya Mandiri Interior Malang. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis multiple regression.
Dimensi word of mouth marketing yang digunakan adalah talkers, topics,
dan tools sebagai variabel independen dan proses keputusan pembelian
konsumen sebagai variabel dependen.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Khairani (2011) dengan judul “Analisis
Pengaruh Citra Merek, Ketidakpuasan Konsumen, Iklan, Word of Mouth,
dan Karakteristik Kategori Produk Terhadap Keputusan Perpindahan
Merek Pada Sabun Pembersih Wajah”. Tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah untuk menganalisis pengaruh citra merek, ketidakpuasan
konsumen, iklan, word of mouth, dan karakteristik kategori produk
terhadap keputusan perpundahan merek. Penelitian ini dilakukan terhadap
konsumen sabun pembersih wajah yang telah berpindah ke merek lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa citra merek, ketidakpuasan
konsumen, iklan, word of mouth, dan karakteristik kategori produk
berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan perpindahan merek.
Variabel word of mouth merupakan faktor yang paling dominan
mempengaruhi keputusan berpindah merek dengan presentase sebesar
0,221.
55
6. Penelitian yang dilakukan oleh Rendy Dwi Permana (2011) dengan judul
“Persepsi Masyarakat Surabaya Terhadap Komunitas Motor Gede (Studi
Deskripsi Persepsi Masyarakat Surabaya Terhadap Komunitas Motor
Gede). Hasil penelitian tersebut berdasarkan hasil wawancara terhadap
sampel yang ada menunjukkan terdapat stigma negative terhadap anggota
komunitas motor gede yang ada di Kota Surabaya. Stigma negative
tersebut timbul karena adanya sikap arogansi serta aksi kebut-kebutan di
jalan raya yang dilakukan oleh beberapa oknum komunitas pada saat
berkendara.
7. Penelitian yang dilakukan oleh Susan Schwartz McDonald (2004) dengan
judul “Brand Equity: Working Toward A Diciplined Methodology for
Measurement” diperoleh hasil bahwa ada dua cara untuk mengukur brand
equity yaitu dengan brand transfer analysis (mengetahui atribut yang
diposisikan perusahaan terhadap merek, mengetahui atribut yang paling
dipentingkan oleh target pasar dan mengetahui kinerja atribut
dibandingkan dengan atribut pesaing pada dimensi tersebut) serta brand
premium analysis (mengetahui kemungkinan berbagai alternatif posisi
harga produk di pasar).
8. Penelitian yang dilakukan oleh Kevin Lane Keller (2005) dengan judul
“Measuring Brand Equity” diperoleh hasil bahwa cara yang digunakan
untuk mengetahui tingkat ekuitas merek sebuah produk adalah dengan
mengukur tingkatan elemen-elemen ekuitas merek dan membuatnya ke
56
dalam laporan ekuitas merek. Elemen ekuitas merek tersebut yaitu
kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand association),
persepsi kualitas merek (brand perceived quality) dan loyalitas merek
(brand loyalty).
9. Penelitian yang dilakukan oleh Jeffrey Steven Podoshen (2006) dengan
judul “Word of Mouth, Brand Loyalty, Acculturation, and the American
Jewish Consumer”. Metodelogi penelitian mengambil sampel sebanyak
400 responden dan menggunakan analisis regresi dan analisis chi square.
Hasil penelitian tersebut adalah terdapat perbedaan yang signifikan dari
keputusan pembelian dan perilaku konsumen dengan etnis Amerika
Yahudi dan Amerika non Yahudi.
10. Penelitian yang dilakukan oleh Camila A. Alire (2007) dengan judul
“Word-of-mouth Marketing: Abandoning the Academic Library Ivory
Tower”. Hasil peneltian tersebut adalah perpustakaan kampus berhasil
meninggalkan sikap layaknya menara gading akademik seperti yang
dilakukan oleh perpustakaan-perpustakaan lainnya. Penggunaan metode
word of mouth marketing terbukti efektif dalam memasarkan
perpustakaan kampus kepada civitas akademika.
11. Penelitian yang dilakukan oleh Jung Jaehee dan Sung Eun-Young (2008)
dengan judul “Consumer-Based Brand Equity: Comparisons Among
Americans and South Koreans in the USA and South Koreans in Korea”
diperoleh hasil bahwa diantara elemen-elemen ekuitas merek yang ada,
57
persepsi kualitas merek dan asosiasi merek yang lebih tinggi ada pada
siswa Amerika dibandingkan siswa Korea Selatan yang ada di Amerika
maupun di Korea Selatan. Bagi siswa Korea Selatan, loyalitas merek
adalah elemen ekuitas merek yang terpenting sebab terdapat hubungan
positif antara loyalitas merek dengan pembelian ualng pada siswa Korea
Selatan.
12. Penelitian yang dilakukan oleh Nimesh Gupta dan Pulkit Verma (2008)
dengan judul “Comparative Brand Equity of Hutch and Airtel Cell Phone
(Delhi”), diperoleh hasil bahwa secara keseluruhan ekuitas merek Airtel
Cellphone lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekuitas Hutch Cellphone.
F Hipotesis
1. Hubungan word of mouth marketing dengan loyalitas merek (brand
loyalty)
Kotler (2010) menambahkan bahwa tantangan utama sekarang ini adalah
menarik perhatian dan menanamkan brand dalam benak setiap orang.
Humas dan pemasaran dari mulut ke mulut semakin berperan dalam
bauran pemasaran dalam rangka membangun dan memelihara brand.
Kurniawan (2007) menambahkan bahwa yang tidak boleh dilupakan
dalam word of mouth adalah kredibilitas. Word of mouth juga dipengaruhi
oleh peran public relations, media, iklan, yang mempunyai peran untuk
58
membangun awareness akan sebuah produk atau merek. Ini menjadi dasar
pengembangan hipotesis yang diajukan, yaitu: H1: Word of marketing
secara positif berhubungan dengan loyalitas merek (brand loyalty)
2. Hubungan komunitas merek (brand community) terhadap loyalitas merek
(brand loyalty)
Menurut Cranston yang dikutip Kurniawan (2007) menyatakan bahwa
konsumen Indonesia cenderung berciri sosial, senang berkumpul dan
membuat kelompok, seperti kebiasaan arisan dan ngerumpi. Sebuah isu
baru cepat tersebar berkat kebiasaan ini. Menurut Irawan (2007) yang
dikutip oleh Sumarni (2008), karakter suka berkumpul merupakan cermin
dari kekuatan pembentukan grup dan komunitas. Kekuatan komunitas ini
sangat besar pengaruhnya terhadap strategi pemasaran.
Menurut Kartajaya (2009) bahwa komunikasi dan relasi horisontal dengan
komunitas pelanggan ini membuat produsen dan pelanggan menjadi dekat
dan merasa saling memiliki—khususnya memiliki merek tersebut. Rasa
memiliki menumbuhkan rasa bangga pada merek tersebut. Ketika merek
sudah mendapat tempat di hati para pelanggannya, dengan sendirinya
pelanggan akan menjadi brand evangelist kepada orang lain. Ini menjadi
dasar pengembangan hipotesis yang diajukan, yaitu: H2: Komunitas
merek (brand community) berhubungan secara positif dengan loyalitas
merek (brand loyalty).
59
Word of mouth marketing
Loyalitas merek (brand loyalty)
Komunitas merek (brand community)
3. Hubungan word of mouth marketing dan komunitas merek (brand
community) terhadap loyalitas merek (brand loyalty)
Telah diungkapkan dalam masing - masing hipotesis sebelumnya bahwa
beberapa peneliti menemukan hubungan antara word of mouth marketing
dan komunitas merek (brand community) terhadap loyalitas merek (brand
loyalty). Menurut Kartajaya (2007), word of mouth merupakan media
komunikasi yang paling efektif. Dengan buzzing yang tepat, diharapkan
persepsi merek yang kurang baik mulai dapat beralih. Kartajaya (2009)
menambahkan bahwa dengan adanya komunitas maka akan menciptakan
hubungan yang erat antara pengguna (pelanggan) dengan merek (brand)
yang digunakan oleh seluruh anggota komunitas. Di dalam komunitas
tersebut tentunya akan menimbulkan conversation yang baik mengenai
merek (brand) yang digunakan yang secara tidak langsung dapat
digunakan sebagai alat pemasaran yang bersifat low bugdet-high impact.
Ini menjadi dasar pengembangan hipotesis yang diajukan, yaitu: H3:
Terdapat hubungan antara word of mouth marketing dan komunitas merek
(brand community) terhadap loyalitas merek (brand loyalty)
H1
H2
60
Gambar 4. Konsep Penelitian
G. Metode Penelitian
G.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di empat Kecamatan di Kota Denpasar, yaitu
Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Utara dan Denpasar Selatan
dengan distribusi tersebar. Subjek penelitian ini adalah pemilik sepeda motor
Harley Davidson yang berdomisili di Kota Denpasar. Alasan peneliti
menggunakan lokasi penelitian tersebut adalah sebagai berikut.
1. Belum ada penelitian sebelumnya yang mengangkat masalah pengaruh
word of mouth marketing, dan komunitas merek (brand community)
terhadap loyalitas merek (brand loyalty) sepeda motor Harley –Davidson
di Kota Denpasar
2. Kota Denpasar, yang merupakan ibu kota provinsi Bali, serta merupakan
pusat perekonomian Provinsi Bali. Berbagai aktifitas ekonomi terjadi di
Kota Denpasar seperti pariwisata, perdagangan, dan perkantoran. Hal
tersebut menyebabkan penduduk Kota Denpasar merupakan pasar
potensial bagi sepeda motor Harley Davidson.
3. Adanya faktor- faktor lain seperti keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya
dari peneliti.
61
G.2 Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah hubungan antara word of mouth marketing,
dan komunitas merek (brand community) terhadap loyalitas merek (brand
loyalty) sepeda motor Harley –Davidson di Kota Denpasar.
G.3 Identifikasi Variabel
Menurut Sugiyono (2009) variabel penelitian adalah suatu atribut atau
sifat atau nilai dari orang, obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasi
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik
kesimpulannya. Variabel – variabel yang digunakan untuk menganalisis
hubungan antara word of mouth marketing, dan komunitas merek (brand
community) terhadap loyalitas merek (brand loyalty) sepeda motor Harley –
Davidson di Kota Denpasar, adalah sebagai berikut.
1. Independent Variable merupakan variabel yang mempengaruhi atau
menjadi penyebab berubah atau timbulnya variabel dependen yang
disimbolkan dengan (X), dan yang menjadi variabel independen dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Variabel word of mouth marketing (X1)
b. Variabel komunitas merek (brand community) (X2)
2. Dependent Variable meupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat dari variabel independen, dan yang menjadi variabel
dependen dalam penelitian ini adalah Loyalitas Merek (brand loyalty)
yang disimbolkan dengan (Y)
62
G.4 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel merupakan suatu definisi yang diberikan
kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan
kegiatan. Definisi operasional variabel untuk penelitian ini adalah:
1. Word of mouth marketing (X1), adalah usaha pemasaran yang memicu
konsumen untuk membicarakan, mempromosikan, merekomendasikan,
serta menjual produk sepeda motor Harley – Davidson kepada pelanggan
lain. Menurut Putri (2007) yang dikemukakan oleh Sumarni (2008),
mengartikan “word of mouth” seperti buzz, yaitu; obrolan murni di tingkat
pelanggan yang menular, tentang orang, barang, tempat atau segala hal
yang terkait dengan merek Harley – Davidson. Indikator yang digunakan
untuk mengukur konstruk kinerja word of marketing mengacu pada
Wuryanto (2007) , adalah sebagai berikut.
a. Bersedia merekomendasikan Harley – Davidson kepada orang lain
(X1.1).
b. Bersedia merekomendasikan Harley – Davidson kepada banyak orang
(X1.2).
c. Bersedia merekomendasikan Harley – Davidson melalui media gratis
(X1.3).
d. Bersedia merekomendasikan Harley – Davidson melalui media
berbayar (X1.4).
63
e. Menjadi penyuka Harley – Davidson (X1.5).
f. Menjadi brand advocate dari Harley – Davidson (X1.6).
2. Komunitas merek (brand community) (X2 ), adalah relasi pribadi antar
individu – individu yang memiliki nilai (value) serta minat (interest) yang
sama terkait dengan suatu brand produk yakni Harley – Davidson.
Menurut Kartajaya (2009) Dengan adanya komunitas maka akan
menciptakan hubungan yang erat antara pengguna (pelanggan) dengan
merek (brand) Harley – Davidsom yang digunakan oleh seluruh anggota
komunitas. Di dalam komunitas tersebut tentunya akan menimbulkan
conversation yang baik mengenai merek (brand) Harley – Davidson yang
digunakan yang secara tidak langsung dapat digunakan sebagai alat
pemasaran yang bersifat low bugdet-high impact. Komunikasi dan relasi
horisontal dengan komunitas pelanggan ini membuat produsen dan
pelanggan menjadi dekat dan merasa saling memiliki—khususnya
memiliki merek tersebut. Rasa memiliki menumbuhkan rasa bangga pada
merek tersebut. Ketika Harley – Davidson sudah mendapat tempat di hati
para pelanggannya, dengan sendirinya pelanggan akan menjadi brand
evangelist kepada orang lain.
Indikator yang digunakan untuk mengukur konstruk variabel komunitas
merek (brand community) mengacu pada Muniz dan O’Guin (2001),
adalah sebagai berikut.
64
a. Legitimasi (X2.1), proses dimana anggota komunitas Harley –
Davidoson mampu membedakan dan meiliki legitimasi antara anggota
komunitas dengan yang bukan anggota komunitas.
b. Loyalitas merek oposisi (X2.2), anggota komunitas Harley – Davidson
mampu menggambarkan apa yang bukan bagian dari Harley -
Davidson dan siapakah yang merek pesaing dari Harley – Davidson.
c. Merayakan sejarah merek (X2.3), yakni anggota komunitas Harley –
Davidson memahami sejarah dari Harley – Davidson dan paham
mengenai merek Harley – Davidson.
d. Berbagi cerita merek (X2.4), yakni anggota komunitas Harley –
Davidson mampu menceritakan pengalamannya menggunakan produk
Harley – Davidson.
e. Integrasi dan mempertahankan anggota (X2.5), yakni mempertahankan
anggota komunitas Harley – Davidson yang sudah ada serta
mengintegrasikan orang lain untuk ikut bergabung dalam komunitas
Harley – Davidson.
f. Membantu dalam menggunakan merek (X2.6), yakni membantu
sesame anggota komunitas Harley – Davidson baik mengenai
penggunaan produk maupun menyelesaikan masalah yang ditemui
oleh anggota komunitas.
3. Loyalitas merek (brand loyalty) (Y1), sikap konsumen yang menyenangi
merek Harley – Davidson yang menimbulkan kesetiaan dan komitmen
65
pada diri konsumen serta memiliki keinginan yang kuat untuk membeli
ulang merek yang sama pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
a. Kognitif (cognitive) (Y1.1)
Loyalitas berarti bahwa konsumen akan setia terhadap semua
informasi yang menyangkut harga, segi keistimewaan merek dan
atribut-atribut penting mengenai produk Harley – Davidson.
b. Afektif (affective) (Y1.2)
Konsumen memiliki kedekatan emosi terhadap merek Harley –
Davidson.. Loyalitas afektif ini merupakan fungsi dari perasaan
(affect) dan sikap konsumen terhadap sebuah merek seperti rasa suka,
senang, gemar, dan kepuasan pada merek tersebut.
c. Konatif (conative) (Y1.3)
Komponen ini juga berkenaan dengan kecenderungan konsumen untuk
membeli produk Harley - Davidson karena telah terbentuk komitmen
dalam diri mereka untuk tetap mengkonsumsi merek yang sama.
d. Tindakan (action) (Y1.4)
Merekomendasikan atau mempromosikan produk Harley – Davidson
kepada orang lain
G.5. Jenis dan Sumber Data
G.5.1 Jenis Data
1. Data kualitatif
66
Rahyuda (2004: 18) mendefiniskan data kualitatif sebagai data yang
dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat, atau gambar.Data kualitatif yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tanggapan responden yang
diuraikan sejalan dengan isi kuesioner.
2. Data kuantitatif
Menurut Soeratno dan Arsyad (2008: 63), data kuantitatif adalah
serangkaian observasi (pengukuran) yang dapat dinyatakan dalam angka-
angka.Rahyuda (2004: 18) mendefinisikan data kuantitatif sebagai data
yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan dengan jalan
memberikan skor. Data kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi hasil tabulasi kuesioner.
G.5.2 Sumber Data
1. Data Primer
Indrianto dan Supomo (2002) menyatakan data primer adalah data
penelitian yang berasal langsung dari sumber asli atau tidak melalui media
perantara.Data primer yang digunakan pada penelitian ini adalah data hasil
tabulasi kuesioner.
2. Data Sekunder
Indrianto dan Supomo (2002) menyatakan data sekunder adalah data yang
diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh
dan dicatat oleh pihak lain. Data sekunder pada penelitian ini adalah teori-
teori yang relevan dengan penelitian dan hasil penelitaian sebelumnya.
67
G.6 Metode Penentuan Populasi dan Sampel
G.6.1 Populasi
Sugiyono (2009) dalam bukunya menyatakan populasi merupakan
wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai
kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pemilik sepeda motor Harley – Davidson yang berdomisili di
Kota Denpasar
G.6.2 Metode Penentuan Sampel
Ferdinand (2002) menyatakan bahwa ukuran sampel untuk pengujian
model menggunakan SEM adalah antara 100-200 atau tergantung pada jumlah
parameter yang digunakan dalam seluruh variabel laten, yaitu jumlah
parameter dikalikan 5 sampai 10. Penelitian ini menggunakan 16 indikator
sehingga dengan menggunakan estimasi berdasarkan jumlah parameter
diperoleh ukuran sampel sebesar 90 – 160 responden. Dalam penelitian ini
sampel yang digunakan adalah maksimal, yaitu sebesar 160 responden.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah non probability sample yaitu metode purposive (purposive sampling).
Purposive sampling yaitu memilih sampel bertujuan secara subjektif. Hal ini
dilakukan karena peneliti telah memahami bahwa informasi yang dibutuhkan
dapat diperoleh dari kelompok sasaran tertentu yang mampu memberikan
68
informasi yang dikehendaki karena mereka memiliki informasi seperti itu dan
mereka memenuhi kriteria yang ditentukan oleh peneliti. Metode purposive
digunakan sebagai pertimbangan layak tidaknya seseorang menjadi sampel
dalam penelitian ini. Dalam hal ini pertimbangan yang dipergunakan dalam
menentukan karakteristik responden adalah sebagai berikut : Sampel adalah
mereka pria atau wanita pemilik kendaraan Harley – Davidson, dengan usia
minimal 17 tahun, dengan tingkat pendidikan minimal SMA/setara dan telah
menjadi anggota komunitas Harley – Davidson minimal selama 1 tahun.
G.7 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Metode wawancara
Teknik wawancara dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara
langsung dengan responden yang digunakan sebagai referensi tambahan
dalam upaya pemecahan masalah yang sedang diteliti.
2. Metode dokumentasi
Metode ini dilakukan dengan cara memperoleh data dari buku-buku
referensi dan jurnal, mencari informasi langsung pada internet serta
majalah dan tabloid yang berhubungan dengan penelitian.
3. Metode kuesioner
69
Metode kuesioner digunakan untuk memperoleh informasi dari pelanggan
melalui pertanyaan-pertanyaan yang mengungkap tentang masalah yang
berhubungan dengan penelitian. Pertanyaan yang digunakan adalah
pertanyaan tertutup. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner berdasarkan
pada Skala Likert (skala 1 sampai 4), dengan ketentuan penilaian masing-
masing alternatif jawaban sebagai berikut:
a. Jawaban Sangat Setuju (SS) diberi skor 4
b. Jawaban Setuju (S) diberi skor 3
c. Jawaban Tidak Setuju (TS) diberi skor 2
d. Jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 1
G.8 Validitas dan Realibilitas Instrumen
G.8.1 Validitas Instrumen
Uji validitas bertujuan untuk memeriksa apakah kuesioner sudah tepat
untuk mengukur apa yang ingin diukur dan cukup dipahami oleh semua
responden yang diindikasikan oleh kecilnya persentase jawaban responden
yang tidak terlalu menyimpang dari jawaban responden lainnya.
Husein Umar (2000:190) menyebutkan uji validitas dapat dilakukan
dengan jalan menyerahkan instrument untuk dinilai dan diisi oleh responden
minimal 30 responden. Kemudian korelasi antara masing-masing pertanyaan
dihitung dengan teknik korelasi product moment dengan bantuan komputer.
Adapun rumus korelasi tersebut sebagai berikut:
70
...........................................
(1)
Keterangan:
R = Nilai korelasi X dan Y
X = Skor total tiap item instrumen
Y = Skor total instrument pada masing-masing responden
N = Jumah responden
Ketentuan penilaian validitas dengan kriteria sebagai berikut:
0,800 < Rxy ≤ 1,000 : Validitas sangat tinggi
0,600 < Rxy ≤ 0,800 : Validitas tinggi
0,400 < Rxy ≤ 0,600 : Validitas cukup
0,200 < Rxy ≤ 0,400 : Validitas rendah
Rxy ≤ 0,000 : Tidak Valid
Pengujian validitas instrument dalam penelitian ini akan
menggunakan komputer dengan paket program SPPS for Windows 13.00.
G.8.2 Realibilitas Instrumen
Uji validitas bertujuan untuk memeriksa apakah kuesioner sudah tepat
untuk mengukur apa yang ingin diukur dan cukup dipahami oleh semua
responden yang diindikasikan oleh kecilnya persentase jawaban responden
yang tidak terlalu menyimpang dari jawaban responden lainnya.
71
Husein Umar (2000:190) menyebutkan uji validitas dapat dilakukan
dengan jalan menyerahkan instrument untuk dinilai dan diisi oleh responden
minimal 30 responden. Kemudian korelasi antara masing-masing pertanyaan
dihitung dengan teknik korelasi product moment dengan bantuan komputer.
Adapun rumus korelasi tersebut sebagai berikut:
...........................................
(1)
Keterangan:
R = Nilai korelasi X dan Y
X = Skor total tiap item instrumen
Y = Skor total instrument pada masing-masing responden
N = Jumah responden
Ketentuan penilaian validitas dengan kriteria sebagai berikut:
0,800 < Rxy ≤ 1,000 : Validitas sangat tinggi
0,600 < Rxy ≤ 0,800 : Validitas tinggi
0,400 < Rxy ≤ 0,600 : Validitas cukup
0,200 < Rxy ≤ 0,400 : Validitas rendah
Rxy ≤ 0,000 : Tidak Valid
Pengujian validitas instrument dalam penelitian ini akan
menggunakan komputer dengan paket program SPPS for Windows 13.00.
72
G.9 Teknik Analisis Data
G.9.1 Analisis Faktor
Analisis faktor digunakan untuk mengidentifikasi dimensi suatu
struktur dan kemudian menentukan sampai seberapa jauh setiap variabel dapat
dijelaskan oleh setiap dimensi (Ghozali, 2007:267). Dalam penelitian ini,
analisis faktor yang digunakan adalah confirmatory factor analysis yang
dilakukan menggunakan komputer dengan paket program SPSS For Windows
15.0. Penggunaan analisis faktor confirmatory factor analysis terdiri dari
beberapa tahap yaitu:
1) Menentukan Determinant of Correlation Matrix
Nilai koefisien determinasi (Determinant of Correlation Matrix) yang
mendekati nilai 0 memiliki arti bahwa variabel-variabel yang membentuk
suatu faktor memiliki korelasi yang kuat.
2) Menentukan nilai KMO dan Bartlett’s Test
Analisis faktor dikatakan layak apabila besaran nilai KMO minimal 0,5.
Begitu juga dengan nilai Bartlet’s test dengan nilai signifikansi lebih
kecil dari alpha (α = 0,05) untuk dapat melanjutkan analisis faktor.
3) Menentukan nilai MSA (Measures of Sampling Adequancy)
Pada bagian Anti-image Correlation ditunjukkan nilai MSA untuk semua
variabel yang membentuk suatu faktor dimana nilai MSA yang
memenuhi syarat untuk analisis faktor adalah minimal 0,5.
73
1) Menentukan nilai Communalities
Angka Communalities menunjukkan varians dari masing-masing
variabel terhadap faktor yang terbentuk. Nilai communalities yang
dinyatakan valid membentuk suatu faktor adalah minimal 0,6.
2) Menentukan nilai Total Variance Explained
Untuk dapat melanjutkan analisis faktor, haruslah terbentuk satu
faktor dengan nilai eigenvalue > 1.
3) Menentukan nilai Component Matrix
Pada tabel Component Matrix ditunjukkan nilai loading faktor dari
masing-masing variabel yang membentuk suatu faktor. Hal tersebut
menjelaskan korelasi antara satu variabel dengan faktor yang
terbentuk.
Apabila seluruh persyaratan faktor terpenuhi, maka seluruh indikator
yang terdapat pada suatu variabel dapat dinyatakan valid membentuk suatu
faktor.
G.9.2 Analisis Kuantitatif
Teknik analisis yang digunakan ialah analisis regresi linear berganda.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui ketergantungan suatu variabel
terikat dengan satu atau lebih variabel bebas. Penelitian ini menggunakan
model regresi linear berganda yang dibantu dengan program SPSS for
Windows untuk menganalisis pengaruh word of mouth marketing dan
74
komunitas merk (brand community) terhadap loyalitas merek (brand loyalty)
sepeda motor Harley - Davidson di Kota Denpasar.
Variabel terikat dari model ini yaitu Loyalitas Merek (brand loyalty)
(Y1) sedangkan variabel bebasnya yaitu Word of Mouth Marketing (X1), dan
Komunitas Merek (brand community) (X2)
Adapun bentuk umum dari persamaan regresi linier berganda menurut
Wirawan (2002 : 292) adalah sebagai berikut :
Ŷ = a + β1X1 + β2X2 + βnXn + e
Dimana :
Ŷ = Variabel terikat
a = Bilangan Konstanta
X1,X2, Xn =
Variabel bebas
e = Standar eror
1. Uji F (F-test)
Uji F digunakan untuk mengetahui ketetapan model penelitian
mengenai pengaruh word of mouth marketing (X1) dan komunitas merek
(brand community) (X2) sebagai variabel independen terhadap loyalitas merek
(Y1) sebagai variabel dependen. Adapun prosedur pengujian hipotesis
statistiknya menurut Wirawan (2002:292) adalah sebagai berikut:
a) Perumusan hipotesis statistik
75
H0 : β1 , β2 = 0, artinya word of mouth marketing dan komunitas merek
(brand community) secara serempak tidak berpengaruh signifikan terhadap
loyalitas merk (brand loyalty) sepeda motor Harley Davidson di Kota
Denpasar.
H1 : β1 , β2¹ 0, artinya word of mouth marketing dan komunitas merek
(brand community) secara serempak berpengaruh signifikan terhadap loyalitas
merk (brand loyalty) sepeda motor Harley Davidson di Kota Denpasar.
b) Menentukan Taraf Nyata
Menentukan taraf nyata untuk menentukan nilai Ftabel , (a) = 5% dan
degree of freedom (df = V1, V2), dimana V2 = (k-1) dan V2 = (n-k).
c) Menghitung Fhitung
F = knR
kR
/1
1/2
2
Dimana :
n = Jumlah Data
R2 = Koefisien Determinasi
k = Jumlah Variabel
d) Menentukan daerah penerimaan dan penolakan Ho
H0 diterima jika : Fhitung <Ftabel atau Sig. Uji F >a
H0 ditolak jika : Fhitung> Ftabel atau Sig. Uji F <a
e) Simpulan
76
Bandingkan nilai Fhitung dan Ftabel atau bandingkan nilai signifikansi Uji
F dan alpha (a); terima/tolak Ho; serta disimpulkan sesuai dengan yang
diformulasikan.
G.9.2 Uji Asumsi Klasik
Model regresi dikatakan model yang baik apabila model tersebut bebas
dari asumsi klasik statistik. Pada penelitian ini uji asumsi klasik yang
digunakan adalah uji normalitas, uji multikolinearitas, dan uji
heterokedastisitas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk meyakinkan apakah residual dapat
terdistribusi dengan normal dan independen. Hal ini berarti bahwa
perbedaan antara nilai prediksi dengan nilai yang sebenarnya (error) akan
terdistribusi secara simetris di sekitar nilai rata-rata sama dengan nol. Uji
normalitas terhadap residual dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov
Smirnov Model dengan taraf signifikansi 5 persen.
2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik mulitkolinearitas, yaitu adanya hubungan
linier antar variabel independent dalam model regresi. Prasyarat yang
harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya
multikolinearitas. Priyatno (2008 : 39) menyatakan, ada beberapa metode
pengujian yang bisa digunakan, di antaranya dengan melihat nilai inflation
77
factor (VIF) pada model regresi, dengan membandingkan nilai koefisien
determinasi individual (r2) dengan nilai determinasi secara serempak (R2),
dan dengan melihat nilai eigenvaluedan condition index. Pada penelitian
ini akan dilakukan uji mulitkolinearitas dengan melihat nilai inflation
factor (VIF) pada model regresi. Menurut Ghozali (2007 : 92), nilai cut off
yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah
nilai tolerance di bawah 0,10 atau sama dengan nilai VIF di atas 10.
3. Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah nilai residu
mempunyai varian yang konstan.Terjadinya heterokedastisitas dapat
diketahui jika nilai residu tidak mempunyai varian yang konstan sepanjang
nilai rentang tertentu. Dalam penelitian ini, cara yang digunakan untuk
mengukur heterokedastistas adalah Glejser test, yaitu pengujian yang
dilakukan dengan cara meregresikan residual dengan variabel independen.
Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas yaitu dengan melihat ada
atau tidaknya pola tertentu pada grafik heterokedastisitas dimana sumbu X
adalah Y yang telah diprediksi dan sumbu Y adalah residual (Y prediksi-Y
sesungguhnya) yang telah distandardized.Sebagai dasar pengambilan
keputusan yang perlu diperhatikan adalah jika ada pola tertentu, seperti
titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu sehingga telah terjadi
heterokedastisitas, jika tidak ada pola yang jelas, maka tidak terjadi
heterokedastisitas.
78
4. Uji Autokolerasi
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier ada
kolerasi antara kesalahan penggunaan metode pada periode t dengan
kesalahan penggunaan metode pada periode sebelumnya.
DAFTAR RUJUKAN
Aaker, David A., and George S. Day. Marketing Research, 3rd edition. New York
Alire.Camila.2007.Word-of-mouth Marketing: Abandoning the Academic Library
Ivory Tower. New Library World. Vol.108:545-551
Durianto, D., Sitinjak, T. 2001. Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas
dan Perilaku Merek. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Engel et al. 1995. Perilaku Konsumen. Jakarta: Binarupa Aksara.
Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. 2005. Pedoman Penulisan Usulan
Penelitian, Skripsi dan Mekanisme Pengujian. Denpasar.
Gupta et al.2008.Comparative Brand Equity of Hutch and Airtel Cell Phone (Delhi”).
Guru Jambheswar University Hisar.
Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Cetakan
keempat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hermansyah, Lutfi.2009.Pengaruh Strategi Pemasaran Word of Mouth Terhadap
Proses Keputusan Pembelian Konsumen (Studi pada CV Jaya Mandiri Interior
79
Malang). Skripsi Jurusan Manajemen Program Studi S-1 Manajemen pada
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang, Malang.
Janita, Ike. 2005. “Inspirasi Bisnis: Perspektif Baru Dalam Strategi Branding, Bisnis,
dan Karir”. Amara Books
Janita, Ike. 2009. “Creating & Sustaining Brand Equity”. Amara Books.
Jaehee, Jung et al.2008.Consumer-Based Brand Equity: Comparisons Among
Americans and South Koreans in the USA and South Koreans in Korea.
Journal of Fashion Marketing, Vol 12. 2008; 24-35.
Kartajaya, Hermawan. 2004. Hermawan Kartajaya on Brand. Bandung: Mizan
Pustaka.
Kartajaya, Hermawan.2009.New Wave Marketing. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kasali, Rhenald. 2000. Membidik Pasar Indonesia, Segmentasi, Targeting dan
Positioning. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Keller.Kevin L.,2005.Measuring Brand Equity. Darmouth College
Khairani.2011.Analisis Pengaruh Citra Merek, Ketidakpuasan Konsumen, Iklan,
Word of Mouth, dan Karakteristik Kategori Produk Terhadap Keputusan
Perpindahan Merek Pada Sabun Pembersih Wajah.
Kusuma.2007.Analisis Pengaruh Brand Community Terhadap Loyalitas Merk Pada
Pengguna Honda Megapro di Surakarta. Universitas Diponegoro.
80
Kotler, Philip dan Gary Armstrong. 2010a. Prinsip-prinsip Pemasaran. Jilid 1. Edisi
Keduabelas. Jakarta: Erlangga.
Kotler, Philip dan Gary Amstrong. 2010b. Prinsip-prinsip Pemasaran. Jilid 2. Edisi
Keduabelas. Jakarta: Erlangga.
McDonald. Susan. 2004.Brand Equity: Working Toward A Diciplined Methodology
for Measurement. National Analysist.
Mowen, John dan Minor,M (2007). Perilaku Konsumen.Jakarta : Erlangga.
Podoshen, Jeffrey S. 2007.Word of Mouth, Brand Loyalty,Acculturation, and The
American Jewish Consumer.Journal of Consumer Marketing:266-282
Rahyuda, I Ketut, dkk. 2004. Buku Ajar Metodologi Penelitian. Denpasar: Fakultas
Ekonomi Universitas Udayana.
Schiffman, Leon.Lezlie Lazar Kanuk.2007.Perilaku Konsumen.Jakarta: PT Indeks.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Stanton, W.J.1996. Prinsip Pemasaran. Edisi Ketujuh. Jilid I. Jakarta:Erlangga
Tjiptono, F. 2007. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Andi.
Wardhani, Fieldha Rosa Yunita.2008.Pengaruh Word of Mouth Pada Produk Kredit
Mikro Mandiri PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Hub. Jakarta Pulogadung
Terhadap Minat Pengajuan Kredit Para Wirausahawan. Skripsi Jurusan Ilmu
Administrasi Niaga Program Studi S-1 Ekstensi pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok.
Wirawan, Nata. 2002. Statistik Inferensia. Edisi Kedua. Denpasar:Keraras Emas
81
Wuryanto.2007. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Word of
Mouth Marketing (WoMM) Studi pada Hungry Buzz Dinner Semarang. Tesis
Jurusan Manajemen Program Studi S-2 pada Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro, Semarang.
Web Rujukan
http://the-marketeers.com/archives/di-era-new-wave-segmentasi-adalah-
komunitisasi.html, diakses pada 15 Maret 2012
http://the-marketeers.com/archives/djonnie-rahmat-ber-storytelling-tentang-harley-
davidson.html, diakses pada 15 Maret 2012
http://the-marketeers.com/archives/harley-davidson-sebagai %E2%80%9Cagama
%E2%80%9D-baru.html, diakses pada 15 Maret 2012
http://the-marketeers.com/archives/harley-davidson-besar-berkat-komunitisasi-dan-
storytelling.html, diakses pada 15 Maret 2012
http://blog.nielsen.com/nielsenwire/wp-content/uploads/2009/07/pr_global-
study_07709.pdf, diakses pada 11 April 2011
http://womma.org/wom101/wom101.pdf, diakses pada 29 Maret 2012
82