Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 61
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN
BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 3
TAHUN 1951 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN
TEGUH RIANTO S.H M.H Pengawas di Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia
ABSTRAK
Jurnal penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dengan jelas Pengawasan Ketenagakerjaan di Perusahaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan mengenai perusahaan yang menghalang-halangi Pengawas Ketenagakerjaan yang akan masuk ke perusahaan untuk melakukan pemeriksaan di perusahaan, karena jika perusahaan tersebut menghalang-halangi pengawas ketenagakerjaan maka dapat diancam dengan tindak pidana ringan. Dalam jurnal penelitian ini menggunakan studi kasus putusan Pengadilan Negeri Serang Perkara Nomor 4/Pid.Tipiring/2016/PN.Srg. yang menjatuhkan putusan tindak pidana ringan kepada seorang manajemen perrusahaan PT. Siemens Indonesia karena menghalang-halangi Pengawas Ketenagakerjaan saat akan memeriksa perusahaannya. Tujuan penelitian ini agar dapat mengetahui peranan Pengawas Ketenagakerjaan, tindak pidana di bidang ketenagakerjaan dan apakah dengan adanya putusan tindak pidana ringan tersebut dapat membuat efek jera bagi perusahaan-perusahaan lainnya. Peran Pengawas Ketenagakerjaan adalah untuk mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah ketenagakerjaan. Karakteristik sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan membedakan perbuatan pidana di bidang
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 62
ketenagakerjaan ke dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran, subjek yang di ancam pidana terdiri atas pegawai (Pengawas Ketenagakerjaan) dan koporasi (pengusaha). Penerapan sanksinya dilakukan secara alternatif, yaitu pelaku tindak pidana dapat diterapkan salah satu sanksi. Juga tidak menganut sanksi minimal dan sanksi maksimal khusus. Nominal denda yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) hanya sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang tidak relevan untuk digunakan pada masa sekarang.
Kata kunci: Pengawas Ketenagakerjaan, Perusahaan, Tindak Pidana Ringan.
A. Latar Belakang
Kebijakan dasar dalam hukum ketenagakerjaan adalah
melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja/buruh,
dari kesewenang-wenangan majikan/pengusaha yang dapat
timbul dalam hubungan kerja dengan tujuan memberikan
perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial.
Timbulnya hukum ketenagakerjaan dikarenakan adanya
ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan
ketenagakerjaan (antara pekerja/buruh dengan
pengusaha/majikan), dengan alasan itu pula dapat dilihat
tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat
meniadakan ketimpangan hubungan di antara keduanya.
Untuk mencapai tujuan hukum pada umumnya, yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka diperlukan proses
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 63
pembentukan dan pelaksanaan hukum agar sesuai dengan
tujuan tersebut, untuk itu diperlukan politik hukum. Dalam hal
ini politik hukum sebagai kebijakan dasar juga dimaksudkan
sebagai sarana dalam rangka mewujudkan pembinaan hukum
nasional. Akan tetapi, menurut Sunaryati Hartono, hukum
bukan merupakan suatu tujuan melainkan hanya merupakan
jembatan yang akan membawa kepada ide yang dicita-citakan,
ide yang di cita-citakan itu tidak lain merupakan tujuan hukum
itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Dalam usaha untuk mewujudkan pembinaan hukum nasional,
politik hukum menentukan hukum yang seharusnya berlaku
mengatur berbagai hal kehidupan dengan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, yang sering diistilahkan dengan
kebijakan hukum (legal policy).1
Pemerintah (negara) harus mampu memposisikan
dirinya sebagai regulator yang bijak melalui saran
pembentukan dan pelaksanaan Hukum Ketenagakerjaan,
dikarenakan hukum ketenagakerjaan akan menjadi sarana
untuk menjalankan kebijakan pemerintah di bidang
ketenagakerjaan itu sendiri.2
1 Sunaryati Hartono dalam Agusmidah, Dilematika Hukum
Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum, (Jakarta: Sofmedia, 2011), hal. 2-3. 2Ibid. hal. 12
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 64
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana,
sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial
termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di
samping itu, karena tujuannya adalah untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan
penegakan hukum itu pun termasuk dalam bidang kebijakan
sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.3
Demi mencapai kesejahteraan masyarakat, khususnya
dalam hal ini adalah kaum pekerja/buruh, dan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana terhadap pekerja/buruh,
maka pemerintah mengambil kebijakan untuk menggunakan
sarana “penal” (hukum pidana) yaitu dengan menerbitkan
peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan
yang sifatnya mengatur dan melindungi hak dan kewajiban
pekerja/buruh dengan menyertakan ketentuan-ketentuan
pidana ke dalamnya, baik yang berupa pidana administrasi,
pidana denda, pidana kurungan, maupun pidana penjara,
sehingga diharapkan hal tersebut dapat menimbulkan efek jera
dan menjadi salah satu upaya penanggulangan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan.
3Ibid
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 65
Dalam rangka menegakkan hukum di bidang
ketenagakerjaan, dibentuk Pegawas Ketenagakerjaan yang
berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Pembinaan dan
Pengawasan Ketenagakerjaan - Kementerian Ketenagakerjaan
yang merupakan unit kerja teknis yang bertugas memberikan
perlindungan ketenagakerjaan bagi pekerja dan pengusaha di
Indonesia. Visi Direktorat ini adalah mewujudkan masyarakat
industri yang sejahtera dan berkeadilan dengan
mempromosikan kepastian hukum. Direktorat ini juga menjadi
lembaga andalan serta menciptakan lingkungan kerja yang
nyaman dan produktif. Salah satu target pembinaan kerja
untuk periode 2015-2019 adalah peningkatan kepatuhan
perusahaan atas hukum ketenagakerjaan.4
Berdasarkan Pasal 176 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa
“Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan
independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan”.5
4Lembar Fakta: Pengawasan Ketenagakerjaan di Indonesia.
http://www.ilo.org/wcmsp5 /groups/public/asiaro-bangkok/ilo, diakses tanggal 20 Juni 2018.
5 Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279, Pasal 176.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 66
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan dalam satu
kesatuan sistem pengawasan ketenagakerjaan yang terpadu,
terkoordinasi dan terintegrasi dalam rangka menjamin
penegakan hukum megenai kondisi kerja dan perlindugan
tenaga kerja da peraturan yang menyangkut waktu kerja,
pengupahan, keselamatan, sesehatan serta kesejahteraan,
tenaga kerja anak serta orang muda dan masalah-masalah lain
yang terkait.
Dalam upaya penegakan hukum ketenagakerjaan
tersebut, pengawas ketenagakerjaan diberikan wewenang
sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) untuk melakukan
upaya paksa melalui lembaga pengadilan. Mekanisme
penyidikan tindak pidaa ketenagakerjaan yang dilakukan oleh
PPNS ketenagakerjaan mengacu kepada Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Sebagaimana KUHAP, terdapat 3 mekanisme
penegakan hukum yaitu Acara Pemeriksaan Biasa, Acara
Pemeriksaan Singkat dan Acara Pemeriksaan Cepat. Salah satu
pelanggaran yang termasuk Acara Pemeriksaan Cepat adalah
pelanggaran Tindak Pidana Ringan Ketenagakerjaan sesuai
dengan Pasal 2015–210 KUHAP.
Kekuasaan pengawas ketenagakerjaan di antaranya
yaitu hak bebas memasuki setiap tempat kerja. Kekuasaan
pertama pegawas, tanpa adanya akan sangat sedikit pengawas
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 67
dilakukan, adalah mengunjungi perusahaan. Pegawas
ketenagakerjaan diberikan kekuasaan yang memadai:6
1. Untuk secara bebas memasuki setiap tempat kerja yang
wajib diawasi dan tanpa pemberitahuan sebelumnya pada
setiap jam di siang dan malam hari;
2. Untuk memasuki pada siang hari setiap tempat di mana
yang secara layak dipercaya sebagai tempat yang wajib
diawasi.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1948 tentang
Pengawasan Perburuhan terkandung diktum-diktum tentang
pengawasan yang dapat dikemukakan sebagai berikut :7
1. Pegawai yang dimaksud di atas beserta para pegawai
penbantunya dalam melakukan kewajiban pengawasan
terhadap para tenaga kerja yang menjadi wewenangnya,
berhak memasuki semua tempat dimana dijalankan atau
biasa dijalankan pekerjaan atau dapat disangka bahwa di
tempat itu dijalankan pekerjaan dan juga segala rumah
yang disewakan atau dipergunakan oleh pengusaha atau
wakilnya untuk perumahan atau perawatan buruh;
6 Rachmat Trijono, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Sinar
Sinanti, 2014), hal. 151-152 7 G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra SH, Ir. A.G. Kartasapoetra, Hukum
Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hal.232
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 68
2. Andaikata pada waktu menjalankan tugas kewajiban
seperti diatas ternyata mereka ditolak oleh pihak
pengusaha, sehingga pelaksanaan tugas kewajibannya
menjadi terhalang atau memungkinkan tidak dapat
dilaksanakan, maka para pegawai tersebut dapat meminta
bantuan alat kekuasaan Negara c.q Polisi R.I untuk
memasuki perusahaan yang bersangkutan dan selanjutnya
melaksanakan tugas kewajiban dengan seksama;
Hal-hal tersebut di atas juga diadopsi Undang-Undang
No. 23 tahun 1948 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 1951
tentang Pengawasan Perburuhan serta dalam Pasal 10
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 33
Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan.
Walaupun peraturan perundang-undangan mengatur
hak pengawas ketenagakerjaan demikian di atas, namun tidak
semua perusahaan patuh dan mentaatinya. Seperti Kasus PT.
Siemens Indonesia yang menghalang-halangi pengawas
ketenagakerjaan untuk memasuki perusahaan. Yang akhirnya
berujung pada perbuatan yang dapat dipidana.
Kasus PT. Siemens Indonesia berawal dari rencana
mogok kerja karyawan PT. Siemens Indonesia selama 1 (satu)
bulan yang disampaikan oleh Serikat Buruh Sejahtera
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 69
Indonesia (SBSI) PT. Siemens Indonesia kepada Manajemen PT.
Siemens Indonesia dan Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon.
Kemudian diadakan Perundingan Bipartit antara SBSI PT.
Siemens Indonesia dengan Manajemen PT. Siemens Indonesia
oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon. Namun sayangnya,
perundingan Bipartit tersebut tidak bisa menghasilkan
keputusan yang bisa disepakati oleh SBSI PT. Siemens
Indonesia dan Manajemen PT Siemens Indonesia. Selanjutnya
masing-masing pihak menempuh jalan sendiri-sendiri.
Sehingga SBSI PT. Siemens Indonesia memilih tetap
melanjutkan Aksi Mogok Kerja selama 1 (satu) bulan.
Untuk mencegah supaya tidak berlarut-larut, Dinas
Tenaga Kerja Kota Cilegon melakukan pemeriksaan kepada
Manajemen PT. Siemens Indonesia. Namun, Manajemen PT.
Siemens Indonesia, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ary
Reynold yang memegang Posisi sebagai Industrial Relation
Specialist, berusaha untuk menghalang-halangi Pengawas
Ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon. Dan
akhirnya pengawas ketenagakerjaan memperkarakan Ary
Reynold secara pidana, sampai dirinya dinyatakan bersalah
karena telah melakukan perbuatan tindak pidana ringan
berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor:
4/Pid.Tipiring/2016/PN.Srg.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 70
B. Pelanggaran Tindak Pidana Ringan Ketenagakerjaan
1. Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang
Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari
Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Undang-
Undang Pengawasan Perburuhan)
a. Pasal 2
1) Menteri yang diserahi urusan perburuhan atau
pegawai yang ditunjuk olehnya, menunjuk pegawai-
pegawai yang diberi kewajiban menjalankan
pengawasan perburuhan;
2) Pegawai-pegawai tersebut dalam ayat (1) pasal ini,
beserta pegawai pegawai pembantu yang
mengikutinya, dalam melakukan kewajiban-
kewajiban tersebut dalam pasal I ayat (1), berhak
memasuki semua tempat-tempat, dimana
dijalankan atau biasa dijalankan pekerjaan, atau
dapat disangka bahwa disitu dijalankan pekerjaan
dan juga segala rumah yang disewakan atau
dipergunakan oleh majikan atau wakilnya untuk
perumahan atau perawatan buruh. Yang
dimaksudkan dengan pekerjaan ialah pekerjaan
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 71
yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam
suatu hubungan kerja dengan menerima upah;
3) Jikalau pegawai-pegawai tersebut dalam ayat (1)
ditolak untuk memasuki tempat-tempat termaksud
dalam ayat (2) maka mereka memasukinya, jika
perlu dengan bantuan Polisi Negara.
b. Pasal 3 ayat (1)
Majikan atau wakilnya, demikian pula semua
buruh yang bekerja pada majikan itu, atas permintaan
dan dalam waktu sepantasnya yang ditentukan oleh
pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1), wajib
memberi semua keterangan keterangan yang sejelas-
jelasnya, baik dengan lisan maupun dengan tertulis, yang
dipandang perlu olehnya guna memperoleh pendapat
yang pasti tentang hubungan kerja dan keadaan
perburuhan pada umumnya di dalam perusahaan itu
pada waktu itu atau/dan pada waktu yang telah lampau.
c. Pasal 6 ayat (4)
Barang siapa menghalang-halangi atau
menggagalkan sesuatu tindakan yang dilakukan oleh
pegawai-pegawai dalam melakukan kewajibannya seperti
tersebut dalam pasal 2, begitu pula barang siapa tidak
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 72
memenuhi kewajibannya termaksud dalam pasal 3 ayat
(1), dihukum dengan hukuman kurungan selama-
lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima
ratus rupiah.
Selain dari peraturan perundang-undangan dan pasal-
pasal sebagaimana diuraikan di atas, pelaksanaan tindak
pidana ringan dapat digunaKan pada peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan dan pasal-pasal yang lain sepanjang
memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal
205 sampai dengan Pasal 210 dan proses dapat dilakukan
secara cepat.
C. Penanganan Tindak Pidana Ringan Ketenagakerjaan
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan dalam satu
kesatuan sistem pengawasan ketenagakerjaan terpadu,
terkoordinasi dan terintegrasi dalam rangka menjamin
penegakkan hukum mengenai kondisi kerja dan peraturan
yang menyangkut waktu kerja, pengupahan, keselamatan,
kesehatan serta kesejahteraan, tenaga kerja anak serta orang
muda dan masalah-masalah lain yang terkait.
Dalam upaya penegakkan hukum ketenagakerjaan
tersebut, pengawasan ketenagakerjaan diberikan kewenangan
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 73
sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk
melakukan upaya paksa melalui lembaga pengadilan.
Mekanisme penyidikan tindak pidana ketenagakerjaaan yang
dilakukan oleh PPNS ketenagakerjaan mengacu pada hukum
acara sesuai yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Sebagaimana KUHAP, terdapat 3 (tiga)
mekanisme penegakkan hukum yaitu Acara Pemeriksaan
Biasa, Acara Pemeriksaan Singkat dan Acara Pemeriksaan
Cepat. Salah satu pelanggaran yang termasuk acara
pemeriksaan capat adalah tindak pidana ringan
ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 205-210 KUHAP.
Dasar hukum penaganan tindak pidana ringan
ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Wetboek
van Strafrecht) voor Nederlandsch-Indie Stbl. Nomor 732
Tahun 1915;
2. Undang-Undang Uap Tahun 1930 (Stroom Ordonantie
1930);
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
berlakunya Undang-Undang Perburuhan Tahun 1948
Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia;
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 74
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja;
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan;
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah;
9. Peraturan Kepala Kopolisian Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil;
10. Peraturan Kepala Kopolisian Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2010 tentang Koordinasi, Pengawasan dan
Pembinaan Penyidikan Bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
11. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda Dalam KUHP;
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi,
Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 75
Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk
Pengamanan Swakarsa;
13. Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengawasan Ketenagakerjaan.
Dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP bahwa “yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara
yang dincam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama
tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima
ratus rupiah” dan ketentuan sampai dengan Pasal 210 KUHAP
maka kategori suatu kasus sebagai tindak pidana ringan
ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
1. Pasal tindak pidana ringan dan sangat sederhana;
2. Hakim pada persidangan tunggal;
3. Penuntut umum tidak hadir, petugas kejaksaan pada
persidangan sebagai penerima pembayaran denda vonis;
4. Putusan dapat dijatuhkan cukup dengan keyakian hakim
yang didukung satu alat bukti yang sah (Penjelasan Pasal
184 KUHAP);
5. Tidak dibuat surat dakwaan;
6. Tidak dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Pengadilan;
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 76
7. Tidak dapat dimintakan banding kecuali putusan
dijatuhkan pidana merampas kemerdekaan.
Dalam penanganan tindak pidana ringan
ketenagakerjaan, sebagaimana amanat pada Pasal 182 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, penyidik berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenaga-
kerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau
barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen
lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan; dan
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 77
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan.
Berkaitan hal tersebut di atas, penyidik atas kuasa
penuntut umum setelah pemeriksaan dibuat, menghadapkan
terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa
ke persidangan.
Adapun tahapan-tahapan dalam menangani tindak
pidana ringan di dalam hukum ketenagakerjaan yaitu:8
1. Tahap Persiapan
Dalam melaksanakan penyidikan, kelengkapan
administrasi penyidikan yang harus disiapkan Penyidik
Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
a. Surat Perintah Tugas;
b. Surat Perintah Penyidikan;
Pada Tahap persiapan, Penyidik ketenagakerjaan harus
berkoordinasi dengan lembaga/instansi terkait sebagai
berikut:
a. Kepolisian;
b. Kejaksaan;
c. Pengadilan Negeri;
d. Lembaga Pemasyarakatan; dan
8Ibid
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 78
e. Pemerintah Daerah.
Bentuk koordinasi dengan lembaga/instansi terkait
dapat berupa pengiriman berkas administrasi penyidikan
dan penyampaian rencana tindak pidana ringan
ketenagakerjaan.
2. Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan, kelengkapan administrasi
penyidikan yang disiapkan penyidik ketenagakerjaan adalah
sebagai berikut:
a. Nota Pemeriksaan;
b. Berita Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Ketenagakerjaan yang terdiri dari 5 (lima) rangkap,
yaitu:
1) Lembar warna putih untuk Pengadilan Negeri;
2) Lembar warna merah untuk Tersangka;
3) Lembar warna biru untuk Kejaksaan Negeri;
4) Lembar warna kuning untuk Kepolisian;
5) Lembar warna hijau untuk PPNS Ketenagakerjaan
c. Berita Acara Pemeriksaan Tindak pidana Ringan
Ketenagakerjaan, sebagaimana tersebut di atas
ditandatangani oleh PPNS Ketenagakerjaan, dan
diketahui oleh pimpinan Unit Kerja Pengawasan
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 79
Ketenagakerjaan serta Korwas PPNS/Reskrim/Penyidik
POLRI setempat. Setelah itu, tembusan berita acara
pemeriksaan tindak pidana ringan ketenagakerjaan
diberikan kepada lembaga/instansi terkait.
Dalam melaksanakan penyidikan, administrasi
penyidikan harus berpedoman pada mekanisme sebagai
berikut:9
a. Denda yang dikenakan dikonversi sesuai dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasn Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda Dalam KUHP, yakni minimal 1.000,-
(seribu) kali nilai rupiah yang ditetapkan dalam
Undang-Undang yang menjadi kewenangannya;
b. Terkait dengan konversi denda sebagaimana pada huruf
a, maka penyidik ketika mengajukan tuntutan denda
nilainya sudah menyesuaikan/dikonversi;
c. Menggunakan dan menerapkan prinsip-prinsip
penulisan Bahasa Indonesia dan administrasi
perkantoran yang sesuai ketentuan, meliputi:
1) Penulisan dan penerapan pasal, tanggal, tanda
tangan, dan stempel dinas;
9Ibid
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 80
2) Merupakan kebulatan pikiran yang jelas/padat,
dengan susunan yang sistematis dan dapat
meyakinkan pihak terkait;
3) Tulisan menggunakan huruf cetak, terang dan jelas
dapat dibaca (apabila ditulis dengan tangan)
dengan mudah, menggunakan Bahasa Indonesia
yang mudah untuk dimengerti;
4) Format baku;
5) Buat ruang tepi untuk pembetulan manakala ada
kata yang akan diperbaiki;
6) Apabila ada tulisan yang salah jangan di tipe-ex;
7) Tulisan yang salah digaris satu kali;
8) Penggantian tulisan yang salah diparaf;
3. Pengisian Blangko Berita Acara Penyidikan Tindak Pidana
Ringan
Blanko Berita Acara Penyidikan Tindak Pidana
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
pedoman ini:
a. Nomor register
Nomor register yang dikhususkan untuk dokumen
berita acara dari masing-masing Unit Kerja
Pengawasan Ketenagakerjaan
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 81
b. Waktu pemeriksaan
Waktu, Nomor Surat Perintah Penyidikan;
c. Nama dan pangkat/golongan/jenjang jabatan dan
fungsi, Nomor Induk Kepegawaian yang melakukan
penyidikan
d. Identitas tersangka berisi:
1) Nama Tersangka;
2) Tempat/tanggal lahir/umur;
3) Jenis kelamin;
4) Kewarganegaraan;
5) Agama;
6) Pekerjaan;
7) Alamat tempat tinggal;
8) Tanggal dan tempat kejadian;
9) Peraturan perundangan yang dilanggar.
e. Identitas saksi berisi:
1) Nama;
2) Umur;
3) Alamat
4) Waktu dan tempat pengambilan keterangan;
5) Peraturan perundangan yang dilanggar.
Jumlah saksi minimal 2 (dua) orang.
f. Barang bukti dapat berupa:
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 82
1) Nota pemeriksaan; dan//atau
2) Bukti lain (akte pengawasan ketenagakerjaan,
dokumen pemeriksaan/pengujian atau dokumen
lainnya yang terkait)
g. Waktu menghadap pengadilan;
Tanggal, hari, jam, lokasi pengadilan
h. Penandatanganan berita acara dilakukan oleh:
1) Tersangka;
2) Saksi-saksi;
3) Korwas PPNS/Reskrim/Penyidik POLRI;
4) Penyidik;
5) Pimpinan Unit Pengawasan Ketenagakerjaan
i. Pasal yang dilanggar
Nomor pasal, ayat atau huruf.
j. Uraian pelanggaran
4. Tahap akhir
Pada tahap akhir, berkas perkara tipiring
disampaikan ke Pengadilan Negeri dan Korwas
PPNS/Reskrim/Penyidik POLRI sesuai wilayah hukumnya
dengan surat pengantar dari Pimpinan Unit Kerja
Pengawasan Ketenagakerjaan. Adapun prosedur
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 83
pemeriksaan perkara tipiring ketenagakerjaan di
Pengadilan sebagai berikut:
a. Penyidik atas kuasa hukum penuntut umum dalam
waktu 3 (tiga) hari sejak Berita Acara Pemeriksaan
dibuat, menghadapkan pelanggar ke sidang pengadilan
(Pasal 205 ayat (2) KUHAP);
b. Jaksa Penuntut Umum dapat hadir dipersidangan
dengan sebelumnya menyatakan keinginannya untuk
hadir pada sisang;
c. Pengadilan mengadili dengan hakim tunggal, pada
tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal
dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan terdakwa
dapat banding (Pasal 205 ayat (3) KUHAP);
d. Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari
untuk mengadili perkara dengan acar pemeriksaan
tipiring (Pasal 206 KUHAP), yakni salah satu hari yang
khusus ditunjuk sebagai hari dilaksanakannya
pemeriksaan tipiring;
e. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada
pelanggar tentang hari, tanggal, jam, dan tempat ia
harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut
dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 84
bersama berkas dikirim ke Pengadilan (Pasal 207 ayat
(1) poin a KUHAP);
f. Perkara tipiring yang diterima harus disidangkan pada
hari itu juga (Pasal 207 ayat (1) poin a KUHAP);
g. Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera
mencatat dalam buku register semua perkara yang
diterimanya, dengan memuat nama lengkap, tempat
lajir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa serta
apa yang didakwakan kepadanya (Pasal 207 ayat (2)
poin a dan b KUHAP);
h. Saksi tidak disumpah/janji, kecuali hakim
menganngap perlu (Pasal 208 KUHAP);
Adapun ketentuan Putusan Perkara Tipiring
Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
a. Tidak dibuat Surat Putusan secara tersendiri,
melainkan dicatat dalam daftar catatan perkara
kemudian panitera mencatat dalam buku register serta
ditandatangani oleh hakim dan panitera yang
bersangkutan (Pasal 209 ayat (1) KUHAP);
b. Putusan dijatuhkan pada hari yang sama dengan hari
diperiksanya perkara itu juga, toleransi penundaan
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 85
dapat dilakukan apabila ada permohonan dari
Terdakwa;
c. Putusan pemidanaan dapat dijatuhkan cukup dengan
keyakinan hakim yang didukung satu alat bukti yang
sah (penjelasan Pasal 184 KUHAP);
d. Bersifat “cepat” itu menghendaki agar perkara tidak
sampai tertunggak, di damping itu situasi serta kondisi
masyarakat belum memungkinkan apabila untuk
semua perkara Tipiring terdakwa diwajibkan hadir
pada waktu putusan diucapkan, maka perkara-perkara
cepat (baik tipiring maupun tilang) dapat diputus di
luar hadirnya Terdakwa (verstek) dan “Pasal 214
KUHAP” berlaku untuk semua perkara yang diperiksa
dengan Acara Cepat;
e. Terhadap putusan verstek sebagaimana tersebut
dalam poin di atas, yang berupa pidana perampasan
kemerdekaan, terpidana dapat mengajukan
perlawanan verstek) ke Pengadilan Negeri yang
memutuskan perkara tersebut dengan tata cara
sebagai berikut:
1) Panitera memberitahukan PPNS adanya
perlawanan/verzet;
2) Hakim menetapkan hari sidang perlawanan;
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 86
3) Perlawanan diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari
setelah putusan diberitahukan secara sah kepada
Terdakwa;
4) Terhadap putusan pengadilan dalam perkara
tipiring yang menjatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan data diajukan banding ke
Pengadilan Tinggi.
D. Analisa Kasus Tindak Pidana Ringan Berdasarkan Putusan
Pengadilan Negeri Serang Perkara Nomor:
4/Pid.Tipiring/2016/PN.Srg.
Kasus tindak pidana ringan di bidang ketenagakerjaan
berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Serang di bawah
register perkara Nomor 4/Pid.Tipiring/2016/PN.Srg. berawal
dari peristiwa hukum di mana buruh PT. Siemens Indonesia
yang berlokasi di Kawasan Industrial Estate Cilegon melakukan
aksi mogok kerja untuk menuntut penolakan diskriminasi
upah. Berkaitan dengan tuntutan dari para buruh tersebut
kemudian diadakan perundingan Bipartit antara buruh PT.
Siemens Indonesia yang diwakili oleh Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI) PT. Siemens Indonesia dengan Manajemen
PT. Siemens Indonesia di Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon.
Namun sayangnya, rencana perundingan tersebut tidak bias
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 87
dilaksanakan karena PT. Siemens Indonesia tidak hadir
sehingga tidak dapat menghasilkankeputusan yang bias
disepakati oleh SBSI PT. Siemens Indonesia danManajemen PT.
Siemens Indonesia.
Ketidak hadiran PT. Siemens Indonesia dalam pertemuan
bipartit membuat kecewa SBSI PT. Siemens Indonesia,
sehingga SBSI PT. Siemens Indonesia membuat laporan tindak
pidana yang dilakukan oleh PT. Siemens Indonesia kepada
Pengawas Ketenagakerjaan Kota Cilegon mengenai peristiwa di
mana ketika sejumlah buruh PT. Siemens Indonesia melakukan
aksi mogok kerja untuk menuntut haknya tenyata PT. Siemens
Indonesia malah merekrut sebanyak 50 orang dengan
memperkerjakan tenaga baru untuk menggantikan para buruh
yang tidak bekerja karena sedang melakukan mogok kerja.
Atas dasar laporan tersebut, Pengawas Ketenagakerjaan Kota
Cilegon melakukan investigasi ke PT. Siemens Indonesia.
Karena berdasarkan Pasal 144 huruf a Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan, yang menyatakan:
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 pengusaha
dilarang mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan
pekerja/buruh lain dari luar perusahaan.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 88
Sanksi bagi perusahaan yang mengganti pekerja/buruh
yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan sebagaimana ketentuan Pasal 187 adalah
pelanggaran tindak pidana yang diancam dengan pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12
(duabelas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Menindak lanjuti laporan dari SBSI PT. Siemens Indonesia
tentang adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh PT.
Siemens Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) /
Pengawas Ketenagakerjaan Kota Cilegon dengan membawa
surat tugas melakukan pemeriksaan kepada Manajemen PT.
Siemens Indonesia untuk meminta data soal adanya pekerja
pengganti saat buruh melakukan mogok kerja, akan tetapi
perusahaan melalui Ary Reynold selaku Industrial Relation
Specialis PT. Siemens Indonesia tidak memberikan data-data
yang diminta PPNS/Pengawas Ketenagakerjaan tersebut,
bahkan malah berusaha untuk menghalang-halangi Pengawas
Ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja Kota Cilegon.
Tindakan PT. Siemens Indonesia yang berusaha
menghalang-halangi Pengawas Ketenagakerjaan adalah
merupakan tindakan yang tidak diperbolehkan, karena
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 89
Pengawas Ketenagakerjaan memiliki hak untuk memasuki
tempat/perusahaan yang diduga melakukan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Pengawas Ketenagakerjaan, yang menyatakan: Pengawas
Ketenagakerjaan berhak memasuki seluruh Perusahaan atau
Tempat Kerja atau tempat-tempat yang diduga dilakukannya
pekerjaan.
Bahkan suatu perusahaan yang melakukan tindakan
menghalang-halangi pengawas ketenagakerjaan merupakan
suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor
23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia.
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1951
menyatakan bahwa: “Pegawai-pegawai tersebut dalam ayat (1)
pasal ini, beserta pegawai-pegawai pembantu yang
mengikutinya, dalam melakukan kewajiban-kewajiban
tersebut dalam pasal I ayat (1), berhak memasuki semua
tempat-tempat, dimana dijalankan atau biasa dijalankan
pekerjaan,atau dapat disangka bahwa disitu dijalankan
pekerjaan dan juga segala rumah yang disewakan atau
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 90
dipergunakan oleh majikan atau wakilnya untuk perumahan
atau perawatan buruh”.
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1951
menyatakan bahwa Majikan atau wakilnya, demikian pula
semua buruh yang bekerja pada majikan itu, atas permintaan
dan dalam waktu sepantasnya yang ditentukan oleh pegawai-
pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1), wajibmemberi semua
keterangan keterangan yang sejelas-jelasnya, baikdengan lisan
maupun dengan tertulis, yang dipandang perlu olehnya guna
memperoleh pendapat yang pasti tentang hubungan kerja dan
keadaan perburuhan pada umumnya di dalam perusahaan itu
pada waktu itu atau/dan pada waktu yang telah lampau.
Ketentuan Pasal Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 3 Tahun 1951
menyatakan bahwa: “Barang siapa menghalang-halangi atau
menggagalkan sesuatu tindakan yang dilakukan oleh pegawai-
pegawai dalam melakukan kewajibannya seperti tersebut
dalam pasal 2, begitu pula barang siapa tidak memenuhi
kewajibannya termaksud dalam pasal 3 ayat (1), dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau
denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah”.
Merasa dihalang-halangi oleh PT. Siemens Indonesia,
Pengawas Ketenagakerjaan yang juga Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS), melaporkan dan mempidanakan staf perusahaan
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 91
PT Siemens di Kota Cilegon, Ary Reynold di PN Serang, dengan
tuntutan menghalang-halangi dalam penyelesaian aksi mogok
kerja. dan meminta data karyawan.
Dalam sidang kasus tindak pidana ringan yang digelar di
Pengadilan Negeri (PN)/Hubungan Industrial/Tindak Pidana
Korupsi Klas 1A Serang pada hari Rabu tanggal 2 November
2016 di bawah register perkara Nomor
4/Pid.Tipiring/2016/PN.Srg. yang dipimpin oleh Hurhadi AS.,
SH., MH. Selaku hakim tunggal yang dibantu oleh Radita
Pitaloka, SH. sebagai Panitera Pembantu, Penuntut Umum dari
Dinas Ketenagakerjaan Kota Cilegon Rachamatullah dalam
dakwaannya menyebutkan terdakwa (Ary Relnold) dinilai
telah terbukti melakukan pelanggaran atas proses pengawasan
yang telah dilakukan pengawas. Padahal pengawas telah
membawa surat tugas dalam menunaikan tugasnya pada saat
itu. Pengawas Ketenagakerjaan Kota Cilegon waktu
mendatangi PT Siemens telah membawa surat tugas untuk
meminta data soal adanya pekerja pengganti saat pekerja yang
lain berdemontrasi. Akan tetapi pihak perusahaan PT. Siemens
Indonesia melalui Ary Reynold tidak memberikannya.
Sedangkan Ary Reynold membantahnya dengan argumen
bahwa data yang dibutujkan/diminta oleh Pengawas
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 92
Ketenagakerjaan: Karena pihaknya berdalih data yang
dibutuhkan pengawas berada di Jakarta.
Setelah Penuntut Umum dan Terdakwa mengajukan
bukti-bukti serta saksi-saksi, Hakim yang memeriksa perkara
tersebut menyatakan bahwa Ary Reynold selaku Industrial
Relation Specialis PT. Siemens Indonesia terbukti secara sah
dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ringan
melanggar Pasal 4 ayat (4) juncto Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia, yang amarnya putusannya sebagai berikut:10
M E N G A D I L I
1. Menyatakan bahwa Terdakwa ARY REYNOLD anak dari
ARTHUR TAMBUNAN tersebut telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Menghalang-halangi atau menggagalkan sesuaru
yang dilakukan oleh pegawai pengawas
Ketenagakerjaan”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa ARY REYNOLD
anak dari ARTHUR TAMBUNAN oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 1 (satu) bulan;
10 Putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 4/Pid.Tipiring/2016/PN.Srg.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 93
3. Menetapkan bahwa pidana penjara tersebut tidak perlu
dijalankan Terdakwa apabila dalam tenggang waktu
selama 2 (dua) bulan sejak putusan diucapkan tidak
dihukum dalam putusan pengadilan lain yang telah
berkekuatan hukum tetap;
4. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sejumlah
Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah).
Putusan tersebut diputus pada hari Rabu tanggal 2
Nopember 2016 oleh Nurhadi, AS., SH., MH. sebagai Hakim
Tunggal putusan mana diucapkan dalam sidang yang terbuka
untuk umum pada hari itu juga, oleh Hakim Tunggal tersebut
dengan dibantu oleh Radita Phitaloka, S., SH. sebagai Panitera
Pengganti yang dihadiri oleh Rachmatullah, SH. selaku
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dinas Tenaga Kerja dan
Terdakwa yang didampingi Kuasa Hukumnya.
Putusan hakim yang menghukum terdakwa Ary Reynold
dengan pidana penjara selama 1 bulan kurungan dan
membayar biaya perkara tersebut adalah hukuman pidana
percobaan, artinya Terdakwa tidak diharuskan menjalankan
pidana penjara tersbut kalau selama 2 bulan tidak melakukan
tindakan pindana lain.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 94
E. Kendala dan Penanggulangan Tindak Pidana Ringan
Ketenagakerjaan
Bahwa Kepala Dinas Tenaga Kerja Propinsi Banten,
Alhamidi11 cukup puas dan senang dengan putusan Pengadilan
Negeri Serang dengan Perkara Nomor
4/Pid.Tipiring/2016/PN.Srg. yang menyatakan Ary Reynold
selaku Industrial Relation Specialis PT. Siemens Indonesia
telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana ringan karena
melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia (Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan), Menurut Alhamidi, pelaporan terhadap
Manajemen PT. Siemens Indonesia tersebut untuk
memberikan pemahaman kepada perusahaan dan pengusaha
atas peran dan fungsi pegawai pengawas ketenagakerjaaan,
karena di lapangan pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selalu
mengalami kesulitan pada saat menjalankan tugas untuk minta
data kepada perusahaan akan jumlah pegawai, termasuk
tenaga kerja asing., padahal tugas kita ini dilindungi oleh UU
nomor 3 tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan. Lanjut
11 Alhamidi, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Banten,
wawancara: 2 Juli 2018.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 95
Alhamdi, pelaporan dan proses persidangan dengan tindak
pidana ringan atau tipiring, agar ada efek jera dan tidak ada
lagi kesewenang-wenangan perusahaan terhadap Pengawas
Ketenagakerjaan terhadap peran dan fungsi pengawasan.
Akan tetapi menurut Penulis penjatuhan pidana seperti
kasus tersebut belum dirasakan memberikan efek jera bagi
Terdakwa termasuk juga bagi perusahaan yang telah
melakukan tindak pidana di bidang Ketenagakerjaan, apalagi
hukuman tersebut hanya berupa hukuman percobaan, yang
notabene tidak perlu dijalankan. Tugas Pegawas
Ketenagakerjaan dalam menjalankan kewenangannya tidak
mudah, karena yang diawasi adalah pengusaha yang memiliki
kekayaan (uang). Sehingga dengan kekayaan yang dimiliki
pengusaha dapat mempengaruhi berbagai pihak demi
kepentingannya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama
ini pengusaha mengeluarkan biaya siluman demi kelancaran
usahanya baik secara terpaksa maupun dengan sukarela.12Hal
ini tentunya dikhawatirkan para pengusaha akan menganggap
remeh dan tidak menghargai hukum ketenagakerjaan
Indonesia serta tidak menutup kemungkinan akan ada kasus-
kasus ini terulang di tempat-tempat perusahaan lain.
12 Penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan Tindak Pidana Ketenagakerjaan Harus Dimaksimalkan Melalui PPK dan PPNS, http://buruh-online.com/2015/11/penegakan-tindak-pidana-ketenagakerjaan-harus-dimak simalkan-melalui-ppk-dan-ppns.html, diakses tanggal 9 Mei 2016.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 96
Penjatuhan tindak pidana ringan oleh Pengadilan Negeri
Serang dan Pengadilan Negeri Ambon tersebut di atas adalah
sama yaitu melanggar ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan karena
menghalang-halangi pegawai pengawas ketenagakerjaan untuk
meminta keterangan dari pengusaha.
Karakteristik sanksi pidana dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan ini
membedakan perbuatan pidana di bidang ketenagakerjaan ke
dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran, subjek yang di
ancam pidana terdiri atas pegawai (Pengawas
Ketenagakerjaan) dan koporasi (pengusaha). Bentuk sanksi
yang diatur dalam undang–undang ini dibedakan ke dalam
sanksi kejahatan bagi pegawai berupa pidana penjara atau
pidana denda atau administrasi, dan pelanggaran bagi
pengusaha berupa pidana penjara (kurungan) atau denda
dengan penjatuhan secara alternatif. Kategori bentuk sanksi
pidana ini sangat tergantung pada jenis perbuatan pidana yang
dilakukan oleh pengusaha maupun pegawai. Penerapan
sanksinya dilakukan secara alternatif, dalam pengertian bahwa
terhadap pelaku tindak pidana dapat diterapkan salah satu
sanksi, misalnya pidana penjara saja, atau denda saja. Hal ini
tidak dimungkinkan sanksi tersebut dijatuhkan saksi yang
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 97
bersifat komulatif dengan redaksi “pidana penjara dan / atau
denda ”, tetapi bersifat alternatif dengan redaksi “pidana
penjara atau denda“.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 juga tidak
menganut sanksi minimal dan sanksi maksimal khusus.
Perlunya adanya penetapan sanksi minimal khusus yang
demikian ini digunakan untuk jenis–jenis kejahatan di bidang
ketenagakerjaan yang memiliki dampak yang merugikan
terhadap masyarakat secara masiv. Oleh karenya diperlukan
adanya sanksi khusus, dengan harapan perbuatan itu tidak
akan pernah dilakukan. Di samping itu, sanksi pidananya
mempunyai karakteristik yang sangat luwes, di mana
perbuatan tindak pidananya ringan sanki pidananya juga
ringan, perbuatan pelanggaran pidananya berat sanksi pidanya
juga ringan.
Konsep sanksi pidana dalam di bidang Pengawasan
Ketenagakerjaan tidak dikenakan kepada perusahaan
(korporasi), melainkan kepada orang perorangan sebagai
subyek hukum pidana, ini disebabkan karena ada beberapa
delik yang menurut sifatnya tidak dapat dilakukan oleh
korporasi. Sistem penjatuhan/pengenaan sanksi pidana dalam
ketenagakerjaan kurang memenuhi rasa keadilan yang
bermartabat, karena memakai sistem alternatif (atau), yaitu
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 98
sanksi pidana ringan atau denda yang notabene sudah tidak
relevan lagi dan tidak sebanding di masa sekarang. Sehingga
sanksi pidana ketenagakerjaan akan lebih bisa mewujudkan
keadilan yang bermartabat apabila memakai sistem pidana
komulatif artinya sanksi pidana penjara dan denda, karena
menurut sifat sanksi pidana yang dikenakan sebagai obat
terakhir (ultimum premedium) mengarah ke premedium atau
utama artinya hukum pidana labih diutamakan dari yang lain
juga adanya nilai denda yang harus diberikan.
Nominal denda yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4)
Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 hanya sebesar Rp. 500,-
(lima ratus rupiah) perlu disesuaikan lagi, seperti halnya nilai
denda dengan nominal “dua ratus lima puluh rupiah” dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibaca atau
disesuaikan menjadi Rp. 2.500.000,00,- (dua juta lima ratus
ribu rupiah) berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Bahkan
ketentuan pidana denda dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan nilai nominal terendah
sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sampai yang
tertinggi sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 99
perbedaan Undang-Undang no. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dengan UU No. 3 Tahun 1951 tentang
Pengawasan Perburuhan, yaitu di mana Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah menggunakan
sanksi yang bersifat alternatif komulatif dengan redaksi
“pidana penjara dan/atau denda”, dan menggunakan sanksi
minimal khusus dan maksimal khusus baik itu pidana penjara
maupun dendanya. Sedangkan mengenai besaran jumlah
denda pun sudah dirasakan memenuhi nominal dalam keadaan
sekarang. Sanksi pidana tersebut tidak atau belum digunakan
untuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang
Pengawasan Perburuhan.
Dengan demikian, demi tercapainya kesejahteraan
masyarakat, khususnya dalam hal ini adalah kaum
pekerja/buruh, dan untuk mencegah terjadinya tindak pidana
terhadap pekerja/buruh, bahkan terhadap Pengawas
Ketenagakerjaan maka perlu adanya kebijakan untuk
menggunakan sarana “penal” (hukum pidana) yang maksimal
yaitu dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan
yang sesuai dengan masa sekarang mengenai ketenagakerjaan
yang sifatnya mengatur dan melindungi hak dan kewajiban
pekerja/buruh serta Pengawas Ketenagakerjaan dengan
menyertakan ketentuan-ketentuan pidana yang maksimal juga
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 100
ke dalamnya, baik yang berupa pidana administrasi, pidana
denda, pidana kurungan, maupun pidana penjara secara
maksimal dengan sistem kumulatif di bidang hukum
ketenagakerjaan, sehingga diharapkan hal tersebut dapat
menimbulkan efek jera dan pengusaha akan taat dan takut
serta mematuhi peraturan perundang–undangan
ketenagakerjaan.
Kebijakan dasar dalam hukum ketenagakerjaan adalah
melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja/buruh,
dari kesewenang-wenangan majikan/pengusaha yang dapat
timbul dalam hubungan kerja dengan tujuan memberikan
perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial.
Timbulnya hukum ketenagakerjaan dikarenakan adanya
ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan
ketenagakerjaan (antara pekerja/buruh dengan
pengusaha/majikan), dengan alasan itu pula dapat dilihat
tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat
meniadakan ketimpangan hubungan di antara keduanya.
Untuk mencapai tujuan hukum pada umumnya, yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka diperlukan proses
pembentukan dan pelaksanaan hukum agar sesuai dengan
tujuan tersebut.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 101
Dalam teori tujuan hukum yang dikemukakan oleh
Mochtar Kusumaatmadja tujuan pokok daripada hukum
apabila hendak direduksi pada satu hal saja, adalah ketertiban
(order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama daripada
segala hukum. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan
syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat
manusia yang teratur. Terlepas dari segala kerinduan akan hal-
hal lain yang juga menjadi tujuan daripada hukum., ketertiban
sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objekrif
yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala
bentuknya.13
Tujuan hukum yang diajukan oleh Mochtar
Kusumaatmadja itu berkaitan erat dengan definisi atau
pengertian hukum yang diajukan beliau jika diartikan dalam
artinya yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan
keseluruhan asas-asas (principle) dan kaidah-kaidah (norms)
yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
melainkan meliputi juga lembaga-lembaga (institutions) dan
proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya
kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan perkataan lain,
suatu pendekatan yang normatif semata-mata tentang hukum
13 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 102
tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan hukum
secara menyeluruh.
Oleh karena itu guna mencapai ketertiban
ketenagakerjaan sebagaimana salah satu tujuan hukum di
bidang pengawasan ketenagakerjaan, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) bersama dengan pemerintah seharusnya
menyiapkan undang–undang yang komprehensif yang mampu
memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dan
bagi pengawas ketenagakerjaan, agar para pengusaha bisa
mematuhi dan mentaati hukum ketenagakerjaan. Karena
Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Nomor 3 Tahun
1951 sudah tidak relevan lagi untuk digunakan di masa
sekarang ini.
Disamping itu pemerintah dengan seluruh jajarannya
dari pusat sampai daerah melaksanakan undang–undang
tersebut secara konsisten dan konsekuen, termasuk semua
pemangku kepentingan harus bekerja sama dan saling
mendukung agar tidak muncul perselisihan antara tenaga kerja
dengan pengusaha, serta masing–masing memenuhi hak dan
kewajibannya.
Dan tidak menutup kemungkinan bahwa terhadap
pelaku usaha yang melanggar norma–norma hukum
ketenagakerjaan ditambahkan sanksi kerja sosial, sehingga
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 103
dapat menimbulkan efek jera bagi perusahaan yang melanggar
peraturan perundang-undangan.
Ataupun juga bisa menggunakan sistem restorative
justice, karena keadilan restoratif tidak berfokus pada
hukuman penjara, melainkan pada bagaimana perbaikan atau
pemulihan keadaan pasca terjadinya suatu tindak
pidana.Dalam hal ini, pelaku tindak pidana dapat diwajibkan
untuk membayar ganti rugi, melakukan kerja sosial, atau
tindakan wajar lainnya yang diperintahkan oleh penegak
hukum atau pengadilan.
Diterapkannya keadilan restoratif ini karena jika
pengusaha dihukum dengan penjara pidana, maka dapat
mengakibatkan pekerja/buruh pun tidak dapat bekerja dan
mendapatkan upah, karena pengusaha tersebut tidak bisa
menjalankan perusahaannya sampai hukuman pidananya
selesai. Oleh karenannya dengan sistem restoratif justice ini
diharapkan pengusaha yang melakukan tindak pidana
khususnya tindak pidana ringan tidak diwaajibkan dipidana,
akan tetapi cukup dengan didenda dengan nominal yang sesuai
saat ini (minimal Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta) sampai
dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 104
F. Penutup
Peran Pengawas Ketenagakerjaan adalah untuk
mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang masalah ketenagakerjaan, yaitu Transparasi
Pengusaha dan Pekerja dan memangku kepentingan lainnya
diinformasikan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik
penguasaha maupun pekerja, serta apa yang mereka harapkan
menurut Undang-undang. Yaitu bahwa peran dari pada
pengawasan ketenagakerjaan adalah untuk melindungi
buruh/tenaga kerja atas kesejahteraan, keselamatan kerja,
kesehatan kerja, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja dan
perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia. Pengawasan
ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang dijamin
hubungan kerja dan kemandirian dari pengaruh eksternal yang
tidak pantas, baik secara politis maupun finansial. Pengawas
ketenagakerjaan harus memiliki akuntabilitas atas tindakan
dan kinerja mereka. Efisiensi dan efektifitas, prioritas
ditetapkan atas dasar kriteria yang tepat untuk
memaksimalkan dampak. Serta aspirasi layanan pengawasan
ketenagakerjaan adalah untuk mencapai lingkup yang
universal, memperluas peranan dan aktivitasnya untuk
melindungi sebesar mungkin pekerja diseluruh sektor
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 105
ekonomi bahkan pekerja yang di luar hubungan kerja
tradisional;
Karakteristik sanksi pidana dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan
membedakan perbuatan pidana di bidang ketenagakerjaan ke
dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran, subjek yang di
ancam pidana terdiri atas pegawai (Pengawas
Ketenagakerjaan) dan koporasi (pengusaha). Penerapan
sanksinya dilakukan secara alternatif, yaitu pelaku tindak
pidana dapat diterapkan salah satu sanksi, misalnya pidana
penjara saja, atau denda saja. Hal ini tidak dimungkinkan
sanksi tersebut dijatuhkan saksi yang bersifat komulatif
dengan redaksi “pidana penjara dan / atau denda ”, tetapi
bersifat alternatif dengan redaksi “pidana penjara atau denda“.
juga tidak menganut sanksi minimal dan sanksi maksimal
khusus. Nominal denda yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4)
hanya sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang tidak relevan
untuk digunakan pada masa sekarang.
Putusan tindak pidana ringan terhadap perusahaan
dikhawatirkan tidak membuat efek jera bagi perusahaan,
karena sistem pengenaan sanksi pidana kurang memenuhi
rasa keadilan yang bermartabat, karena memakai sistem
alternatif (atau), yaitu sanksi pidana ringan atau denda yang
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 106
nominalnya sudah tidak relevan lagi untuk masa sekarang.
Sehingga sanksi pidana ketenagakerjaan akan lebih bisa
mewujudkan keadilan yang bermartabat apabila memakai
sistem pidana tunggal, atau tidak alternatif artinya sanksi
pidana penjara dan nominal denda seperti nominal denda
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 107
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No.
13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No.
4279.
____________. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. UU
Nomor 23 Tahun 2014, LN. No. 224 Tahun 2014.
TLN. No. 5587.
____________. Undang-Undang Peradilan Umum. Undang-Undang
No. 49 LN. No. 158 Tahun 2009. TLN No. 5077.
Juncto Undang-Undang No. 8 LN No. 34 Tahun 2004.
TLN. No. 4379. Juncto Undang-Undang No. 2 LN. 20
Tahun 1986. TLN. No. 3327
____________. Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 LN.
No. 76 Tahun 1981, TLN. No. 3209.
____________. Undang-Undang tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 108
Seluruh Indonesia (Pengawasan Perburuhan) UU No.
3 Tahun 1951. LN. No. 4 Tahun 1951.
____________. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsh-Indie) Stbl. 732 Tahun
1915.
Peraturan Presiden tentang Pengawasan Ketenagakerjaan.
Perpres No. 21 Tahun 2010
Peraturan Mahkamah Agung tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam
KUHP. Perma No. 02 Tahun 2012
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Tata Cara
Pengawasan Ketenagakerjaan. Permenaker No. 33
Tahun 2016.
B. Buku
Abdussalam, HR. Dan Adri Desasfuryanto. Hukum
Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan). Cetakan Ke-
5. Jakarta: PTIK. 2016.
_____________. Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Restu Agung,
2008.
Agusmidah. Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan
Politik Hukum. Jakarta: Sofmedia. 2011.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 109
Anwar, Yesmil.. 2009. System Peradilan Pidana (Konsep,
Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakkan
Hukum Di Indonesia), Bandung: Widya Padjadjaran.
Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-2. Jakarta:
Rineka Cipta. 1992.
Bambang, R. Joni. Hukum Ketenagakerjaan. Bandung: Pustaka
Setia. 2013.
Budiono, Abdul Rachmat, Hukum Perburuhan Di Indonesia,
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1995.
Darmadiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum
(apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008
Fanani, Ahmad Zaenal.makalah dengan judul Teori Keadilan
dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam. Diakses
di www.badilag.net tanggal 24 Mei 2014.
Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.
2010.
Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional
Indonesia, Cet. 5. Bandung: Binacipta, 1987.
Hamzah, Andi. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi
Revisi. Cetakan Ketiga. Jakarta: Sinar Grafika.
Kartasapoetra, G, dkk. Hukum Perburuhan di Indonesia
Berlandaskan Pancasila, Jakarta: Bina Aksara. 1986.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 110
Khakim, Abdul. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan Hukum
Dalam Pembangunan Nasional. Bandung : Binacipta.
1970.
Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril. 2004. Hukum Acara
Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Cetakan Pertama.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
Manan, Abdul. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,
Cetakan kesatu, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2014.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Cet. Ke-
1. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004.
Patrik, Purwahid. Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam
Perjanjian. Semarang: Badan penerbit UNDIP. 1986.
Prints, Darwan. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti. 2000.
Riyanto, Astim. Teori Konstitusi. Bandung : Yapemdo, 2009.
Salam, Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori &
Praktek, Bandung: Mandar Maju.
Sastrohadiwiryo, Siswanto. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia
Pendekatan Administratif dan Operasional. Cetakan
Ketiga. Jakarta: Bumi Aksara. 2005.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 111
Soedjono, Wiwoho. Hukum Perjanjian Kerja. Jakarta :Bina
Aksara, 2003.
Soedarjadi. Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha. Yogyakarta:
Pustaka Yustisia. 2009.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3, Jakarta:
UI Press. 2008.
Soesilo, R. 1973. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian
Perkara Pidana Bagi Penegak Hukum). Bogor :
Politeia.
Sova, Sakhiyatu. Tiga Nilai Dasar Hukum menurut Gustav
Radbruch. Semarang: Fakultas Hukum Diponegoro,
2013.
Tanya, Bernard L. dan Yoan. Simanjuntak, Markus Y. Hage.
Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing. 2010.
Trijono, Rachmat. Pegantar Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta:
Sinar Sinanti, 2014.
Widodo, Hartono. dan Judiantoro. Hukum Ketenagakerjaan
Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2013.
Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi.
Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2015
e-ISSN
Halaman 112
C. Lain-lain
Ahamidi, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi
Banten. Wawancara: tanggal 10 Juli 2016.
Casale, Giuseppe. Pengawasan Ketenagakerjaan Apa dan
Bagaimana: Panduan Untuk Pekerja, (Organisasi
Perburuhan Internasionl). Direktur Program
Admiistrasi dan Pengawasan Ketenagakerjaan).
Lembar Fakta: Pengawasan Ketenagakerjaan di Indonesia.
http://www.ilo.org
/wcmsp5/groups/public/asiaro-bangkok/ilo,
diakses tanggal 20 Juni 2016.
Noname. Undang-Undang Ketenagakerjaan Terbaru UU No 13
Tahun 2003 dan Klasifikasi Tenagakerja. dalam
http://www.gurupendidikan.net., Diakses 26 April
2016.
Noname. “Pengertian Hubungan Kerja”. Dalam
http://www.sarjanaku.com. Diakses 26 April 2016.
Penegakan-tindak-pidana-ketenagakerjaan-harus-
dimaksimalkan-melalui-ppk-dan-ppns.http://buruh-
online.com/2015/11/diakses tanggal 9 Mei 2018.
Putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor
4/Pid.Tipiring/2016/PN.Srg.