12
Perspektif Vol. 11 No. 1 /Juni 2012. Hlm 79 - 90 ISSN: 1412-8004 Pengembangan Karet Alam (Hevea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK) 79 PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea brasiliensis) BERKELANJUTAN DI INDONESIA Sustainable Development of Natural Rubber in Indonesia SABARMAN DAMANIK Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jl. Tentara Pelajar 1.Bogor 16111. Telp. (0251) 8313083. Faks. (0251) 8336194 E-mail: [email protected] Diterima : 11 April 2012; Disetujui : 20 November 2012 ABSTRAK Pengembangan karet berkelanjutan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan investasi usaha perkebunan karet karena investasi pada komoditas ini merupakan investasi jangka panjang. Oleh karena itu dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi, konsumsi perdagangan, dan harga karet tingkat nasional maupun internasional. Produksi dan konsumsi karet dunia diperkirakan akan tumbuh dengan laju 2,5% / thn, sedangkan perdagangan karet dunia diperkirakan akan tumbuh dengan laju 2,6% pertahun, sehingga harga karet diperkirakan akan berkisar antara 1,2-1,5 US$/kg. Berdasarkan informasi tersebut, dengan skenario moderat, Indonesia diperkirakan mempunyai peluang untuk meningkatkan produksi yang sekaligus juga menambah volume ekspor mencapai 2,2% per tahun. Dalam upaya memanfaatkan peluang tersebut, Indonesia masih menghadapi berbagai masalah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan beberapa kebijakan seperti yang disarankan dalam studi ini. Kata kunci: Karet, Hevea brasiliensis, mutu, hasil, berkelanjutan ABSTRACT Prospect of sustainable rubber development is one of the important factors determining investment in rubber plantations as thikind of investment is a long term one. In according with this issue, area, production, consumption, trade, an price of rubber, either in term of international or national perspective are discussed. World production an consumption are projected to increase at the same growth rate that is at 2,5 % annual growth rate. World trade a projected to increase by 2,6/cent/annum, while rubber price is estimated to lie between USS$ 1,2 1,5 per kg in the next decade. Based on these figures and with a moderate scenario. Indonesia is estimated to have a opportunity to increase rubber production and export by 2,2% per annum, respectively. To capture these opportunities, Indonesia still faces some problems in relation to low productivity and product quality. The overcame these problems, same polities are also proposed within this study. Keywords: Rubber, Hevea brasiliensis, development, product, quality, sustainable PENDAHULUAN Karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman perkebunan yang penting baik bagi perekonomian masyarakat maupun sumber devisa non migas bagi negara. Tanaman karet berasal dari lembah Amazon, Brazilia yang mempunyai curah hujan antara 2000-3000 mm/thn dan hari hujan antara 120-170 hari/thn (Sutardi, 1981). Pengembangan karet dunia terkonsentrasi pada daerah antara 10 o LU dan 10 o LS (Moraes, 1977), salah satunya adalah Indonesia. Sebagian besar areal perkebunan karet Indonesia terletak di Pulau Sumatera (70%), Kalimantan (24%) dan Jawa (4%). Daerah-daerah tersebut memiliki curah hujan antara 1500- 4000 mm/thn dengan rata-rata bulan kering 0-4 bulan per tahun dan mempunyai elevasi < 500 m dpl. Thailand, India, dan China sedang mengembangkan karet di daerah semiarid, elevasi tinggi, dan daerah sub tropis (Vijayakumar et al., 2000). Areal Pertanaman karet di Indonesia meliputi area seluas 3.445.317 ha, dengan produksi total sebesar 2.770.308 ton pertahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Perbandingan luas areal menurut status pengusahaan yaitu perkebunan rakyat 84,66%, perkebunan besar negara 7,11%, dan perkebunan besar swasta 8,23%. Produksi perkebunan rakyat

PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

Perspektif Vol. 11 No. 1 /Juni 2012. Hlm 79 - 90

ISSN: 1412-8004

Pengembangan Karet Alam (Hevea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK) 79

PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea brasiliensis)

BERKELANJUTAN DI INDONESIA Sustainable Development of Natural Rubber in Indonesia

SABARMAN DAMANIK

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Jl. Tentara Pelajar 1.Bogor 16111. Telp. (0251) 8313083. Faks. (0251) 8336194

E-mail: [email protected]

Diterima : 11 April 2012; Disetujui : 20 November 2012

ABSTRAK

Pengembangan karet berkelanjutan merupakan salah

satu faktor penting yang menentukan investasi usaha

perkebunan karet karena investasi pada komoditas ini

merupakan investasi jangka panjang. Oleh karena itu

dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut

yang mencakup luas pertanaman, produksi, konsumsi

perdagangan, dan harga karet tingkat nasional

maupun internasional. Produksi dan konsumsi karet

dunia diperkirakan akan tumbuh dengan laju 2,5% /

thn, sedangkan perdagangan karet dunia diperkirakan

akan tumbuh dengan laju 2,6% pertahun, sehingga

harga karet diperkirakan akan berkisar antara 1,2-1,5

US$/kg. Berdasarkan informasi tersebut, dengan

skenario moderat, Indonesia diperkirakan mempunyai

peluang untuk meningkatkan produksi yang sekaligus

juga menambah volume ekspor mencapai 2,2% per

tahun. Dalam upaya memanfaatkan peluang tersebut,

Indonesia masih menghadapi berbagai masalah. Untuk

mengatasi permasalahan tersebut diperlukan beberapa

kebijakan seperti yang disarankan dalam studi ini.

Kata kunci: Karet, Hevea brasiliensis, mutu, hasil,

berkelanjutan

ABSTRACT

Prospect of sustainable rubber development is one of

the important factors determining investment in

rubber plantations as thikind of investment is a long

term one. In according with this issue, area,

production, consumption, trade, an price of rubber,

either in term of international or national perspective

are discussed. World production an consumption are

projected to increase at the same growth rate that is at

2,5 % annual growth rate. World trade a projected to

increase by 2,6/cent/annum, while rubber price is

estimated to lie between USS$ 1,2 – 1,5 per kg in the

next decade. Based on these figures and with a

moderate scenario. Indonesia is estimated to have a

opportunity to increase rubber production and export

by 2,2% per annum, respectively. To capture these

opportunities, Indonesia still faces some problems in

relation to low productivity and product quality. The

overcame these problems, same polities are also

proposed within this study.

Keywords: Rubber, Hevea brasiliensis, development,

product, quality, sustainable

PENDAHULUAN

Karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman

perkebunan yang penting baik bagi

perekonomian masyarakat maupun sumber

devisa non migas bagi negara. Tanaman karet

berasal dari lembah Amazon, Brazilia yang

mempunyai curah hujan antara 2000-3000

mm/thn dan hari hujan antara 120-170 hari/thn

(Sutardi, 1981). Pengembangan karet dunia

terkonsentrasi pada daerah antara 10o LU dan 10o

LS (Moraes, 1977), salah satunya adalah

Indonesia. Sebagian besar areal perkebunan karet

Indonesia terletak di Pulau Sumatera (70%),

Kalimantan (24%) dan Jawa (4%). Daerah-daerah

tersebut memiliki curah hujan antara 1500- 4000

mm/thn dengan rata-rata bulan kering 0-4 bulan

per tahun dan mempunyai elevasi < 500 m dpl.

Thailand, India, dan China sedang

mengembangkan karet di daerah semiarid,

elevasi tinggi, dan daerah sub tropis

(Vijayakumar et al., 2000).

Areal Pertanaman karet di Indonesia

meliputi area seluas 3.445.317 ha, dengan

produksi total sebesar 2.770.308 ton pertahun

(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010).

Perbandingan luas areal menurut status

pengusahaan yaitu perkebunan rakyat 84,66%,

perkebunan besar negara 7,11%, dan perkebunan

besar swasta 8,23%. Produksi perkebunan rakyat

Page 2: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

80 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90

78,97%, perkebunan besar negara 10,08% dan

perkebunan besar swasta 10,95%. Nilai ekspor

karet Indonesia tahun 2008 sebesar US$

6.023.295.600 dengan volume 2.283.153,8 ton. Laju

pertumbuhan produksi karet dunia diperkirakan

2,5% per tahun sedangkan laju perdagangan

dunia tumbuh 2,6% (BPS, 2009).

Indonesia mempunyai potensi untuk menjadi

produsen utama karet dunia walaupun saat ini

masih menduduki posisi kedua setelah Thailand.

Hal ini dapat terjadi jika permasalahan utama

yang dihadapi perkebunan karet dapat diatasi

dan agribisnisnya dikembangkan serta dikelola

secara baik. Indonesia masih memiliki lahan

potensial sekitar 0,5 juta hektar (Direktorat

Jenderal Perkebunan, 2010), yang cukup besar

untuk pengembangan karet terutama di

Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan

Papua. Hasil penelitian (Thomas et al., 2007),

karet dapat ditanam pada elevasi > 500 m dpl,

dan daerah beriklim kering dengan curah hujan

kurang dari 1500 mm/th. Hal ini menambah

peluang Indonesia untuk dapat memperluas

areal pertanaman karet.

Dalam situasi perkaretan dunia beberapa

tahun terakhir mengalami peningkatan karena

bertambahnya permintaan khususnya karet alam.

Terkait kondisi harga karet dunia yang relatif

stabil dan cukup tinggi, maka perluasan areal

perkebunan karet Indonesia diperkirakan akan

terus berlanjut dan perlu mendapatkan

dukungan agar kebun yang berhasil dibangun

dapat memberikan produktivitas yang tinggi.

Tahun 2025 diperkirakan Indonesia dapat

menjadi produsen utama karet dunia dengan luas

areal perkebunan karet mencapai 4,5 juta ha dan

mampu menghasilkan 3,3 juta ton.

Perkembangan karet alam masih mempunyai

harapan untuk tetap bertahan di pasar

internasional. Industri pabrik ban mobil tidak

selamanya memihak pada karet sintetis, karena

sebagian sifat karet alam tidak dimiliki oleh karet

sintetis. Perkembangan akhir-akhir ini

menunjukkan semakin banyak industri ban

radial yang memakai karet alam sebagai bahan

bakunya. Sejak dekade 1980 hingga saat ini,

permasalahan karet Indonesia adalah rendahnya

produktivitas dan kualitas karet yang dihasilkan,

khususnya karet rakyat. Sebagai gambaran

produksi karet rakyat hanya 600-650 kg

KK/ha/th. Walaupun demikian, peranan

Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar

karet alam dunia masih dapat diraih kembali

dengan memperbaiki teknik budidaya dan pasca

panen/pengolahan.

Perkembangan cara penyajian karet alam

ternyata sangat menarik. Timbulnya industri

karet dengan spesifikasi teknis merupakan

perkembangan yang sangat positif sebagai

jawaban yang sangat nyata. Demikian pula

dengan cara pengepakan yang baik akan

membuka era baru penyajian karet alam. Kondisi

kemajuan seperti ini menyebabkan para

konsumen mulai berpaling lagi ke karet alam.

Selain hal tersebut di atas, kemajuan lain

yang terjadi pada industri karet alam di

antaranya :

Pembuatan karet secara kimia yang

menghasilkan karet tahan minyak pelumas.

Penemuan karet termo-plastik yang berasal

dari campuran karet alam dan polipropilen.

Perluasan penggunaan karet alam untuk

pembuatan barang bukan ban.

Penemuan teknik pencangkokan dari lateks.

Perbaikan teknik eksploitasi seperti peng-

gunaan stimulan dan penyempurnaan alat

sadap.

Melalui inovasi teknologi seperti di atas,

bukan tidak mungkin usaha ini akan

memberikan dampak pada kenaikan harga jual

dan penurunan biaya produksi. Oleh karena itu

terdapat kecenderungan konsumen akan kembali

pada karet alam sehingga diperkirakan akan

terjadi kekurangan penawaran karet alam. Jika

berpijak pada asumsi ini maka dapat

disimpulkan masa depan karet alam memiliki

prospek yang cukup baik.

Dulu, tanaman karet lebih dikenal sebagai

penghasil lateks, namun dengan semakin

berkembangnya teknologi, kayu karet pun sudah

mulai dimanfaatkan. Tanaman karet yang sudah

berumur 20—30 tahun dapat ditebang dan

kayunya dimanfaatkan dalam pembuatan rubber

smoked sheet (RSS).

Page 3: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK) 81

Alur pembuatan RSS sebagai berikut : lateks

dimasukkan ke tangki penampungan dan

dicampur dengan asam formic, kemudian

lembaran karet dikeringkan di ruang asap

dengan suhu sekitar 120o - 140o C. Kayu karet

yang sudah tua dimanfaatkan sebagai bahan

bakar pengasapan tersebut.

Ditinjau dari sifat alaminya, kayu karet dapat

dijadikan sebagai barang substitusi kayu rami,

agathis, meranti putih, dan pinus sebagai bahan

baku kayu olahan. Berdasarkan asas manfaat dan

kegunaan kayu karet, prospek tanaman karet

sebagai penghasil kayu pada masa mendatang

cukup baik. Keadaan produk sampingan

tanaman karet dan perkiraan peluang

pengembangannya di Indonesia dapat dilihat

pada Tabel 1. Sisi permintaan lebih besar dari

penawaran sehingga peluang pasar masih sangat

terbuka, hal ini memberikan peluang bagi

pengembangan karet pada masa datang.

Kebijakan pengembangan tanaman karet

menetapkan empat pola pengembangan yang

dikenal dengan program Hutan Tanaman

Industri (HTI), yaitu pola PIR, pola UPP, pola

swadaya, dan pola perkebunan besar. Penerapan

empat pola ini diharapkan dapat meningkatkan

produktivitas karet, khususnya perkebunan karet

rakyat yang masih berada pada tingkat yang

rendah.

Bibit atau klon unggul dipilih yang benar-

benar dapat menghasilkan kayu berkualitas dan

berproduktivitas tinggi. Sedikitnya ada lima

kriteria yang harus dipenuhi oleh klon unggul,

baik dalam bentuk benih, kayu okulasi, stum

mata tidur, maupun bibit dalam polibag. Kriteria

tersebut adalah: (1) Mempunyai pertumbuhan

awal yang cepat sehingga mampu berkompetisi

dengan gulma dan tanaman lain; (2) Mampu

beradaptasi dengan keadaan lahan terutama

padang alang-alang dan lahan gundul; (3)

Mempunyai pertumbuhan batang yang besar,

lurus, dan mutu kayu baik; (4) Mampu

memproduksi lateks yang tinggi: (5) Tidak

sensitif terhadap penyadapan dan perubahan

lingkungan fisik atau biologis.

Jenis-jenis klon yang memenuhi kriteria seperti

di atas adalah Avros 2037, BPM 1, BPM 107, RRIM

712, PRIC 100, PRIC 102, PRIC 110, PRIC 120, dan TM.

Adapun produksi rata-rata klon anjuran tersebut

sebesar 1,2 – 1,5 ton/ha/th (Tabel 2)

Produksi puncak dicapai pada umur tahun

sadap 8-9 tahun, setelah itu produksi lateks

menunjukkan kecenderungan menurun. Bila

dirata-rata produksi karet kering pada lima

tahun pertama antara 1.200-1.500 kg/ha/th.

Produksi karet kering rata-rata pada umur 10

tahun antara 1.600-1.800 kg/ha/th. Pengembangan

perkebunan karet ditentukan oleh banyak faktor

antara lain ketersediaan bahan tanam, tenaga

pembina, dan dukungan perbankan.

Menurut Hardjoamidjojo (2002), melalui

analisis prospektif ada beberapa tahap kegiatan

yang harus dilakukan, yaitu :

a. Menentukan faktor-faktor kunci untuk masa

depan sistem yang dikaji.

b. Menentukan tujuan strategis dan kepen-

tingan pelaku utama.

c. Mendefinisikan/mendeskripsikan hasil eva-

luasi kemungkinan masa depan.

d. Menentukan nilai faktor yang berpengaruh.

PROSPEK PENGEMBANGAN

KARET ALAM

Kebutuhan karet alam terus meningkat

sejalan dengan meningkatnya standar hidup dan

mobilitas manusia serta barang yang

memerlukan komponen yang terbuat dari karet

seperti ban kendaraan, conveyor belt, sabuk

Tabel 1. Keadaan kayu karet dan perkiraan peluang pengembangan kayu Indonesia tahun 2000 dan 2020

Jenis produk kayu Permintaan (000) Penawaran (000 m3) Peluang Pasar (000 m3) Tahun

2000 2020 2000 2020 2000 2020

Kayu untuk kertas dan kayu energi 135.269 237.425 74.425 74.425 60.844 163.000

Kayu bukan untuk kertas dan kayu pertukangan 49.700 94.425 88.643 88.643 38.943 5.782

Total (1000 m3) 184.969 331.580 163.068 163.068 99.787 168.782

Sumber : Nunung, 1991.

Page 4: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

82 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90

transmisi, sepatu dan sandal karet (Penebar

Swadaya, 2009). Secara fundamental harga karet

alam dipengaruhi oleh faktor permintaan

(konsumsi), penawaran (produksi), dan

stock/cadangan.

Pertumbuhan Konsumsi Karet Alam

Dalam kurun waktu 1980-2005, konsumsi

karet alam di Eropa dan jepang mengalami

penurunan dan stagnan namun di China dan

beberapa negara berkembang lainnya mengalami

pertumbuhan yang cukup tinggi (IRSG, 2004).

International Rubber Study Group (IRSG)

memperkirakan bahwa akan terjadi kekurangan

pasokan karet alam pada priode dua dekade ke

depan. Kondisi ini akan mempengaruhi pihak

konsumen, terutama pabrik-pabrik ban mobil

seperti Bridgestone, Goodyear, dan Michelin.

Oleh karena itu pada tahun 2004, IRSG

melakukan studi tentang permintaan dan

penawaran karet alam dan sintetik dunia. Hasil

studi menyatakan bahwa permintaan karet alam

dan sintetik adalah 31,3 juta ton (15 juta ton

adalah karet alam) pada tahun 2035 untuk

industri ban dan non ban. Produksi karet alam

pada tahun 2005 sebesar 8,5 juta ton, sehingga

diproyeksikan pertumbuhan produksi karet

Indonesia per tahun akan mencapai 3%,

sedangkan Thailand dan Malaysia hanya 1- 2%

(IRSG, 2004). Pertumbuhan produksi Indonesia

ini dapat dicapai melalui peremajaan atau

penanaman baru karet yang cukup luas dengan

perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3,5

juta ton dan tahun 2035 sebesar 5,1 juta ton

(Chairil, 2006)

Pertumbuhan Produksi Karet Alam di

Indonesia

Menurut Chairil (2006), penawaran karet

dunia meningkat lebih dari tiga persen per tahun

dalam dua dekade terakhir atau mencapai 8,81

juta ton pada tahun 2005. Pertumbuhan tersebut

berasal dari negara produsen, seperti Thailand,

Indonesia, Malaysia, India, China, dan lainnya.

Sejak tahun 1991 Malaysia tidak lagi menjadi

produsen utama karet alam dunia tetapi digeser

oleh Thailand, sementara Indonesia tetap sebagai

negara produsen kedua. Thailand memproduksi

lebih dari 33% karet alam dunia pada tahun 2005,

sementara Indonesia hanya 26% dan Malaysia

13%.

Proyeksi yang berkaitan dengan karet alam

Indonesia, menurut Susila dan Herman, 2000

dibagi menjadi tiga skenario yaitu skenario

optimis (SO), skenario pasimis (SP) dan skenario

moderat (SM) dengan pertumbuhan produksi

untuk SO, SP dan SM masing-masing sebesar 3,5;

2,0; dan 2,2% per tahun.

Keseimbangan Penawaran dan Permintaan

Karet Alam

Ketidakseimbangan (imbalance) penawaran

dan permintaan akan bereaksi terhadap harga.

Kenaikan harga terjadi karena defisit penawaran

dan turunnya harga karena surplus penawaran.

Data IRSG 2004, menunjukkan ketidak-

seimbangan penawaran dan permintaan karet

alam mulai terlihat sejak tahun 1990 an dan

berpengaruh terhadap cadangan (stock) karet

alam dunia.

Tabel 2. Jenis-jenis klon karet yang dianjurkan (produksi rata-rata kg/ha/th)

Klon Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Rata-rata

AVROS 2037 344 716 1.219 1.587 2.167 1.207 BPM 1 739 1.050 1.449 1.520 1.700 1.292 BPM 107 1.125 1.346 1.576 1.702 1.854 1.521 RRIM 717 1.115 1.541 1.746 1.681 1.464 1.509 RRIM 728 927 1.177 1.553 1.793 1.767 1.443 PRIC 100 710 1.278 1.645 1.788 1.907 1.466 PRIC 101 1.068 1.323 1.449 1.328 1.623 1.358 PRIC 102 941 1.120 1.541 1.619 1.746 1.393 PR 314 629 986 1.104 1.578 1.939 1.227 TM 8 547 961 1.545 1.793 2.200 1.409 TM 9 673 913 1.755 2.103 2.128 1.514

Sumber : Balai Penelitian Karet Getas, 1991.

Page 5: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK) 83

Menurut Ng (1986), tidak berpengaruhnya

surplus atau defisit pasokan dan cadangan

terhadap harga karet dunia disebabkan adanya

imperfect knowledge terhadap penawaran dan

permintaan global karet alam pada waktu

tertentu serta adanya kegiatan spekulasi dan

hedging pada kegiatan pemasaran karet alam

dunia seperti forward purchase, future contract,

longterm arrangement.

Target pengembangan karet harus didukung

dengan berbagai faktor antara lain:

a. Seluruh sentra produksi mempunyai

komitmen untuk pengembangan karet pada

wilayahnya masing-masing.

b. Penyediaan benih/bibit karet sesuai dengan

permintaan setiap wilayah pengembangan.

c. Peningkatan kemampuan petugas penyuluh

perkebunan yang menangani karet.

d. Terpenuhinya sumber daya manusia dan

sarana petani untuk pemelihaaraan kebun

dan penanganan pasca panen.

e. Dukungan perbankan berupa dana untuk

pemeliharaan dan pengelolaan kebun.

Pengembangan perkebunan karet masih

dilakukan secara tradisional dan masih

memegang kuat ketentuan-ketentuan adat

masyarakat setempat khususnya terkait dengan

konservasi sumberdaya alam. Hal ini mereka

lakukan karena mereka hidup di lingkungan

alam pegunungan dengan kemiringan lereng

yang cukup tajam sehingga membutuhkan

pengelolaan yang baik agar tidak terjadi bencana.

Penentuan lokasi kebun karet dan cara

pengelolaan oleh petani setepat dilakukan

dengan sangat hati-hati, sehingga pengembangan

perkebunan karet dapat dikatakan tidak

menimbulkan permasalahan lingkungan yang

berarti.

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan

(2010), pengembangan perkebunan karet di

Indonesia diusahakan oleh petani (PR) seluas

2.935.081 ha (84,75%), perkebunan besar nasional

seluas 239.132 ha ( 6,97%), dan perkebunan besar

swasta 275.931 ha (8,28%) sehingga permasalahan

sosial khususnya yang terkait dengan lahan tidak

pernah terjadi. Kehadiran tanaman karet sebagai

tanaman perkebunan telah memberikan manfaat

sosial yang positif khususnya dalam penyediaan

kesempatan kerja dan usaha. Oleh karena itu

biaya dan manfaat lingkungan maupun biaya

dan manfaat sosial dalam pengembangan

perkebunan karet bernilai positf.

Ekspor karet Indonesia meningkat dari

1.874.3.241 ton pada tahun 2004 menjadi 2.295.456

ton pada tahun 2008 dan menurun menjadi

1.991.262 pada tahun 2009 dengan nilai 3.241.533

US$. Kenaikan volume dan nilai ekspor tersebut

memberikan peluang yang besar untuk

pengembangan karet alam Indonesia.

PERKEMBANGAN HARGA

KARET ALAM

Karet sintetik sebagai produk hasil industri

harganya relatif lebih stabil dibandingkan

dengan karet alam yang berfluktuasi dipengaruhi

oleh kondisi alam (Chairil, 2006). Untuk

menghindari kerugian karena gejolak harga karet

alam, pasar berjangka (future trading) karet

menyediakan sarana dan mekanisme lindung

nilai (hedging). Pasar berjangka karet alam yang

saat ini menjadi panutan/pedoman dunia adalah

Singapura (SICOM), Jepang (TECOM), Thailand

(AFET) dan China (SHFE). Sedangkan pasar fisik

(physical) karet alam selain di Singapura dan

Jepang juga terdapat di negara produsen seperti

Malaysia dan Thailand.

Kalangan produsen mengenal Singapura dan

Kuala Lumpur sebagai pasar karet global

sedangkan London, New York dan Tokyo

sebagai pasar dari kalangan konsumen. Beberapa

faktor yang mempengaruhi tren harga karet alam

adalah pasar luar negeri, permintaan, dan

penawaran (ekspor dan cadangan), situasi politik

dan ekonomi internasional, tren nilai tukar, harga

karet sintetik, dan pertumbuhan ekonomi global.

Menurut Hardjoamidjojo (2002), cadangan karet

alam yang dimiliki pabrik ban (afloat stock) dan

kualitas ban berperan besar pada keputusan

perusahaan apakah memakai lebih besar karet

alam atau karet sintetik.

Budiman (2004) menyatakan permintaan

karet alam dan sintetik akan terus bertumbuh

karena didorong perkembangan industri

automotif dan ban. Secara ekonomi permintaan

karet alam dan sintetik ditentukan oleh kondisi

sekarang dan perkembangan ke depan dari

industri otomotif. Perkembangan ekonomi yang

Page 6: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

84 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90

pesat dan terjadi peningkatan standar kehidupan

dari masyarakat di negara-negara padat

penduduk, maka permintaan jenis ban akan

meningkat di masa yang akan datang.

Sejak pertengahan tahun 2002 harga karet

mencapai harga US$ 1,00/kg dan tahun 2006 telah

mencapai US$ 2,20/kg untuk harga SIR 20 di

SICOM Singapura. Harga diperkirakan akan

stabil pada jangka panjang sampai tahun 2020.

Konsumsi karet alam meningkat dari 4,4%

pada tahun 2006 menjadi 6,2% pada tahun 2007,

sementara karet sintetik menurun sebesar 4,7%

(2006) dan 4,6% (2007). Tahun 2007 harga karet

alam bertahan sekitar US$ 2.00/kg. Jika

invesment fund dan spekulator masuk ke pasar

berjangka untuk profit taking maka akan terjadi

lonjakan harga. Damardjati (2011), Darmansyah

(2011) dan Pane (2011) memproyeksikan bahwa

menjelang akhir tahun 2012 diperkirakan harga

karet relatif layak dan dipengaruhi

perkembangan perekonomian global dan market

fundamental.

PENGEMBANGAN KARET

BERKELANJUTAN

Pengembangan karet berkelanjutan perlu

memperhatikan faktor-faktor yang mem-

pengaruhi arah strategi pengembangan karet

yang berkelanjutan, yaitu :

Identifikasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh

Menurut Hasyim (1998), lahan merupakan

modal penting proses produksi pertanian oleh

petani (termasuk petani karet), karena di atas

lahan tersebut kegiatan produksi dimulai dan

menjadi pengahasilan rumah tangga petani.

Struktur penghasilan petani dikaitkan dengan

status sosial petani (berdasarkan penguasaan

lahan), tampak bahwa peranan lahan dalam

bentuk pengelolaan usaha tani (on farm) sangat

menonjol pada status petani pemilik yaitu

sebesar 72% (Fadjar et al., 2008).

Terdapat delapan faktor strategis (Tabel 3)

yang mempengaruhi pengembangan karet

berkelanjutan (Herman dan Damanik, 2009),

yaitu : ketersediaan teknologi, tenaga pembina,

pelatihan petani, dukungan kebijakan, luas

kebun petani, ketrampilan petani, kelembagaan

petani, produksi dan produktivitas. Ketersediaan

teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani dan

dukungan kebijakan dikategorikan sebagai faktor

penentu (input) dalam sistem agribisnis karena

faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang

kuat terhadap faktor lainnya, tetapi

ketergantungannya kepada faktor lain relatif

lemah. Sedangkan faktor luas kebun petani,

ketrampilan petani, kelembagaan petani dan

produksi serta produktivitas merupakan faktor

penghubung dalam sistem agribisnis karet

karena mempunyai pengaruh dan ketergan-

tungan yang kuat terhadap faktor lain.

Terdapat tiga faktor terikat yaitu harga karet,

hama penyakit terkendali dan pendapatan

petani. Ketiga faktor tersebut akan menjadi

sasaran akhir atau produk dari strategi

pembangunan perkebunan karet berkelanjutan

karena mempunyai karakteristik ketergantungan

yang cukup kuat namun mempunyai pengaruh

yang relatif lemah terhadap faktor lain. Kondisi

faktor yang menjadi output atau sasaran dari

pembangunan perkebunan karet berkelanjutan

bervariasi seperti hama, penyakit jamur akar

putih yang belum terkendali menyebabkan

kerugian mencapai miliaran rupiah hingga

pendapatan petani dalam kondisi moderat

(cukup memadai), dan harga karet di tingkat

petani tergolong optimis (sangat tinggi)

Selanjutnya pada Lampiran 1, dijelaskan

penilaian terhadap pengaruh langsung antar

faktor yang mempengaruhi pengembangan karet

di Indonesia.

Kondisi Faktor-faktor yang Berpengaruh

Ada tiga kemungkinan kondisi dari masing-

masing faktor strategis yang mempengaruhi

keberlanjutan perkebunan karet di masa yang

akan datang. Secara ringkas kondisi berbagai

faktor strategis tersebut dapat dilihat pada Tabel

3. Faktor-faktor strategis tersebut umumnya

berada pada kondisi moderat dan cenderung

mengarah ke kondisi optimis (kondisi kombinasi

1B-2C-3C-4B-5A-6B-7C-8B). Oleh karena itu

diperlukan berbagai upaya perbaikan sehingga

faktor-faktor strategis dapat mencapai kondisi

optimal yaitu suatu kombinasi 1A-2A-3A-4A-5A-

6A-7A-8A. Kondisi tersebut menggambarkan

semua faktor strategis berada pada kondisi

Page 7: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK) 85

optimal dalam memberikan dukungan bagi

terlaksananya pembangunan perkebunan karet

secara berkelanjutan. Upaya perbaikan yang

perlu dilakukan meliputi semua faktor strategis

dengan sasaran sebagai berikut:

a. Teknologi mutakhir selalu tersedia,

contohnya perbanyakan vegetatif melalui

sambung samping yang saat ini telah berhasil

dilakukan. Sambung samping dilakukan

mulai dari penyiapan entres, penyiapan

batang bawah, memasukkan entres, mengikat

dan menutup dengan plastik telah berhasil

dengan tingkat produktivitas yang tinggi

(Hasrun et al., 2008).

b. Tenaga pembina tersedia memadai dari segi

jumlah maupun kualitas dengan kelembagan

yang mapan seperti Kelembagaan Usaha

Agribisnis Terpadu (Kemala, 2007).

c. Kegiatan pelatihan dan penyuluhan

terprogram dan terlaksana dengan baik

sesuai dengan kebutuhan petani.

d. Adanya dukungan kebijakan pemerintah

yang menjadikan sub sektor perkebunan

sebagai unggulan secara konsekuen dan

berkesinambungan.

e. Luas kebun karet petani terus bertambah

berkat dukungan kebijakan pemerintah dan

ketersediaan dana.

f. Produktivitas kebun cukup tinggi paling

tidak 60% dari potensinya.

g. Petani mempunyai kemampuan yang tinggi

dan cepat dalam mengadopsi teknologi baru

dan pengalaman terus meningkat.

h. Kelembagaan ekonomi petani berkembang

dengan baik dan dapat memberikan

pelayanan yang optimal kepada petani

anggotanya.

Tabel 3. Beberapa kemungkinan kondisi dari faktor-faktor yang berpengaruh

No Faktor Keadaan (Kondisi) 1 Ketersediaan teknologi 1A 1B 1C

Teknologi mutakhir terus berkem-bang dan tersedia secara lokal.

Teknologi tersedia tetapi lambat sampai ke petani

Teknologi tidak tersedia secara lokal.

2 Tenaga Pembina 2A 2B 2C Tenaga pembina tersedia dengan kemampuan yang memadai dan siap membantu petani

Ketersedian tenaga memadai, tetapi kemampuannya terbatas.

Ketersediaan pembina baik jumlah maupun kemampuannya terbatas.

3 Pelatihan petani 3A 3B 3C Pelatihan dan penyuluh terprogram dengan jelas dan lerlaksana dengan baik.

Pelatihan dan penyuluh terprogram tetapi dukungan pembiayaan kecil.

Penyuluhan dan pelatihan kurang terprogram, karena minimnya dukungan pembiayaan.

4 Kebijakan pemerintah 4A 4B 4C Adanya dukungan kebijakan pemerintah dengan sasaran program yang jelas dan dapat diimplementasikan karena didukung oleh institusi yang kuat.

Adanya dukungan kebijakan tetapi belum memiliki program yang jelas serta kurang didukung oleh institusi yang kuat

Tidak ada dukungan kebijakan dan program tidak jelas.

5 Luas kebun karet 5A 5B 5C Bertambah luas Tetap Berkurang (mengecil)

6 Produksi dan produktivitas

6A 6B 6C Tinggi (60% potensinya = 1.250 kg/ha/th)

Sedang (50% dari potensinya = 1.000 kg/ha/th )

Rendah (kurang dari 1.000 kg/ha/th).

7 Ketrampilan Petani 7A 7B 7C Kemampuan petani tinggi dan cepat mengadopsi teknologi baru yang tersedia dan pengalaman petani terus bertambah.

Keterampilan petani cukup memadai, tetapi lambat menerima teknologi baru.

Kemampuan dan keterampilan petani rendah dan kesulitan untuk mengakses teknologi baru.

8 Kelembagaan Petani 8A 8B 8C Adanya kelembagaan ekonomi

petani yang kuat dan berfungsi melayani kebutuhaan petani anggotanya.

Kelembagaan ekonomi petani kurang berkembang dan tidak berfungsi dengan baik.

Tidak ada kelompok tani maupun kelembagaan ekonomi petani.

Page 8: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

86 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90

Kondisi optimal dari berbagai faktor strategis

tersebut dapat dicapai dengan menerapkan

strategi pembangunan perkebunan karet

berkelanjutan. Kondisi A adalah optimal yang

artinya ada keterkaitan dan saling mendukung

sedangkan Kondisi B kurang optimal dimana

teknologi tersedia tetapi lambat penyerapan

petani. Kondisi C menunjukkan tidak optimal

dan teknologi belum tersedia.

Strategi Pengembangan Perkebunan Karet

Berkelanjutan

Strategi dapat didefinisikan sebagai suatu

rangkaian tindakan yang ditujukan untuk

mencapai sasaran jangka panjang berdasarkan

kajian dan penelitian yang sudah dilakukan.

Strategi pengembangan sistem agribisnis

komoditas harus dilakukan sesuai dengan

formulasi efisiensi dan integrasi simpul-simpul

pada setiap subsistem agribisnis (Damanik, 2007).

Sasaran pembangunan perkebunan karet di

Indonesia adalah : meningkatkan pendapatan

petani khususnya dari perkebunan karet rakyat

dan menjadikan Indonesia sebagai sentra

produksi utama perkebunan karet dunia.

Mengingat berbagai faktor strategis saat ini

umumnya berada pada kondisi moderat dan

beberapa berada pada kondisi minim dalam

memberikan dukungan bagi terlaksananya

pembangunan perkebunan karet yang

berkelanjutan maka diperlukan kerja keras dan

perubahan yang cukup besar dalam perencanaan

maupun pelaksanaan kegiatan pembangunan sub

sektor perkebunan karet Indonesia.

Tahun 2008, produktivitas perkebunan karet

Indonesia rata-rata 989 kg/ha/thn atau meningkat

dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meskipun

demikian, produktivitas perkebunan tersebut

masih di bawah potensi yang mungkin dicapai.

Potensi produktivitas perkebunan karet di

Indonesia diperkirakan dapat mencapai 2.000

kg/ha/tahun, tetapi dengan kondisi bahan tanam

yang ada saat ini dan kemampuan petani

mengelola kebun karetnya, maka produktivitas

yang mungkin dicapai beberapa tahun ke depan

diperkirakan hanya mencapai 1.250 kg/ha/tahun.

Peningkatan produktivitas rata-rata sekitar 25%

dapat dicapai dengan arahan kebijakan dan

langkah operasional yang dilakukan oleh

pemerintah dan pelaku agribisnis perkebunan

karet, seperti

a. Penyediaan teknologi mutakhir secara lokal

Kondisi ini menuntut agar lembaga

penelitian nasional melakukan uji lokasi dan

kesiapan lembaga penyuluhan serta dinas terkait

untuk segera menyebarluaskan hasil-hasil

penelitian yang dihasilkan. Pada saat ini kinerja

berbagai lembaga yang terkait dengan

penyediaan teknologi umumnya masih rendah

karena berbagai kendala terutama keterbatasan

dana dan tenaga profesional, serta kejelasan

tugas dan fungsi masing-masing lembaga/

instansi. Dukungan kebijakan dan ketersediaan

dana sangat dibutuhan untuk membenahi

kondisi faktor strategis ini.

b. Tenaga pembina dan kelembagaannya

Adanya program revitalisasi telah

mendorong penambahan tenaga pembina di

lapangan dan hal ini cukup membantu untuk

menyiapkan petani untuk mengikuti program

revitalisasi. Namun, upaya penambahan tenaga

pembina belum menjamin kesinambungan

pembinaan petani karena kegiatan revitalisasi

terkendala dana dari perbankan serta tenaga

tambahan tersebut masih bersifat sementara

dengan sistem kontrak kerja dan dukungan dana

sangat minim. Oleh karena itu perlu dirumuskan

model kelembagaan petani karet yang bersifat

permanen seperti koperasi. Keberadaan

kelembagaan koperasi di masyarakat petani karet

sangat strategis baik sebagai organisasi

pemasaran maupun pembiayaan (Adnyana,

2005). Penambahan tenaga pembina sesuai

dengan kebutuhan dan dukungan pendanaan

yang memadai untuk membantu petani

mengatasi berbagai permasalahan yang mereka

hadapi secara berkesinambungan.

c. Kegiatan pelatihan dan penyuluhan

Pengetahuan dan pengalaman petani

melakukan budidaya karet perlu ditingkatkan.

Oleh karena itu diperlukan upaya pelatihan/

pembinaan dan penyuluhan secara intensif untuk

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan

mereka. Peningkatan pengetahuan dan

keterampilan perlu dilakukan secara bersama-

sama melalui kelompok tani hamparan dengan

Page 9: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK) 87

metode sekolah lapang. Melalui sekolah lapang

diharapkan lahir kebersamaan petani untuk

mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi.

Pembenahan faktor strategis ini juga menuntut

dukungan kebijakan dan pendanaan yang

memadai.

d. Dukungan kebijakan pemerintah

Dukungan kebijakan pemerintah baik pusat

maupun daerah merupakan faktor strategis yang

sangat dibutuhkan dalam menciptakan posisi

yang dapat memberikan dukungan secara

optimal bagi terlaksananya pembangunan

perkebunan karet berkelanjutan di Indonesia.

Dukungan kebijakan yang sangat diperlukan

terutama dalam mempersiapkan tenaga pembina

agar menjadi tenaga yang profesional,

penyediaan dana untuk penyuluhan dan

pembinaan petani, penyediaan kredit bunga

bersubsidi untuk modal kerja petani, serta

perbaikan berbagai infrastruktur dan prasana

penunjang lainnya seperti jalan, jembatan,

terminal, dan pelabuhan.

Program revitalisasi perkebunan karet yang

dicanangkan oleh pemerintah pusat hingga saat

ini belum berjalan sesuai dengan harapan

terutama karena masalah pencairan dana dari

bank yang ditunjuk belum terlaksana dengan

baik. Oleh karena itu perlu dukungan kebijakan

pemerintah daerah maupun pemerintah pusat

untuk mempercepat realisasi pendanaan tersebut.

Jika memungkinkan, pemerintah daerah (Pemda)

harus terlibat secara aktif dan berperan sebagai

inisiator dan fasilitator untuk menetapkan

kebijakan yang mendukung program

pengembangan komoditas (Damanik et al., 2009).

e. Peningkatan produktivitas perkebunan karet

Produktivitas perkebunan karet masih

rendah karena sebagian besar tanaman sudah

tua. Tanaman terserang hama dan penyakit

tanaman serta kurang intensifnya pengelolaan

kebun. Langkah operasional yang dapat

ditempuh untuk meningkatkan produktivitas

perkebunan karet adalah dengan menerapkan

teknologi budidaya mutakhir seperti

penggunaan bahan tanaman (klon unggulan),

dan pengendalian hama penyakit. Klon unggul

penghasil lateks seperti BPM 24, BPM 107, BPM

109, IRR 104, PB 217, dan PB 260 memiliki sifat

daya hasil tinggi 2,38-2,51 ton per ha dan daya

adaptasi lingkungan baik, Sedangkan klon

penghasil lateks dan kayu adalah IRR 112,IRR

118, PB 330, PB 340 dan RRIC 100 (Damanik et

al., 2010).

f. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan

petani

Pengetahuan dan keterampilan petani

merupakan salah satu kunci keberhasilan dan

keberlanjutan pengembangan perkebunan karet

di suatu wilayah. Saat ini petani karet umumnya

masih belum memiliki pengetahuan dan

keterampilan yang memadai untuk mengelola

perkebunan karet secara baik. Kondisi ini terjadi

karena tanaman karet memerlukan pengelolaan

dari hulu sampai hilir. Oleh karena itu

diperlukan dukungan kebijakan untuk

membenahi atau merevitalisasi lembaga dan

program penyuluhan petani karet.

g. Kelembagaan ekonomi petani

Kelembagaan ekonomi petani merupakan

salah satu wadah bagi petani karet untuk tumbuh

dan berkembang serta mengatasi berbagai

kendala dan permasalahan secara bersama-sama.

Kelembagaan petani umumnya sudah terbentuk

berupa kelompok tani, tetapi belum berfungsi

sebagaimana yang diharapkan karena adanya

berbagai keterbatasan seperti terbatasnya tenaga

pembina, anggaran untuk pembinaan dan

fasilitas untuk pembinaan petani. Meskipun

demikian, keberadaan kelompok tani sudah

sangat membantu petani mengatasi berbagai

permasalahan bersama seperti perbaikan jalan

produksi secara gotong-royong dan

mendapatkan pupuk secara bersama. Kelompok

tani yang sudah terbentuk tersebut dapat

dijadikan sebagai cikal-bakal untuk

menumbuhkan kelembagaan ekonomi petani

yang lebih produktif dan berdaya guna bagi

petani anggotanya.

Model kelembagaan ekonomi klaster industri

telah dikembangkan oleh Mc Cann (2001). Para

pelaku dibagi dalam klaster industri sebagai

berikut : industri inti, perusahaan pemasok,

pembeli, industri pendukung, industri terkait

dan lembaga pendukung. Model ini diadopsi

Page 10: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

88 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90

oleh Wahyudi (2008) untuk model

pengembangan kelembagaan jarak pagar selain

model desa mandiri energi (DME).

KESIMPULAN

Pengembangan perkebunan karet di

Indonesia dipengaruhi oleh delapan faktor

strategis yang saling berkaitan dan sangat

menentukan keberlanjutan perkebunan karet

antara lain : ketersediaan teknologi, tenaga

pembina, pelatihan petani, dukungan kebijakan,

luas perkebunan karet, produktivitas,

keterampilan petani, dan kelembagaan ekonomi

petani. Faktor-faktor strategi ini berada pada

kondisi moderat dan mengarah kepada kondisi

optimis. Hal tersebut terjadi karena adanya

pencanangan revitalisasi perkebunan di

Indonesia oleh pemerintah.

Untuk mempercepat pencapaian sasaran

pengembangan sekaligus menjamin keberlan-

jutan pembangunan perkebunan karet di

Indonesia diperlukan dukungan dan konsistensi

kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat

maupun daerah serta komitmen perbankan

dalam program revitalisasi perkebunan.

Kebijakan tersebut meliputi kebijakan produksi

dan peningkatan mutu, perdagangan,

revitalisasi, dan perindustrian

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O. 2005. Laporan Lintasan dan

Marka jalan Menuju Ketahanan Pangan

Terlanjutkan dalam rangka Perdagangan

Bebas. Badan Penelitian dan Pengem-

bangan Pertanian. Depertemen Per-

tanian. Jakarta. 35 hlm. (Tidak dipubli-

kasikan).

Badan Pusat Statistik. 2009. Ekspor-Impor Karet.

Badan Pusat Statistik. Jakarta

Budiman. S. 1988. Proyeksi Konsumsi Karet di

Masa Depan. Majalah Sasaran No: 8

Februari . Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2009. Ekspor-Impor Karet.

Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Balai Penelitian Karet Getas, 1991. Klon-klon

Karet Anjuran Skala Besar dan Kecil. Seri

Buku Saku. ISBN 978-979-25-3285-

2,Salatiga.

Chairil, A. 2006. Perkembangan pasar dan

prospek agribisnis karet di Indonesis.

Makalah disajikan pada Lokakarya

Budidaya Tanaman Karet, 4-6 September

2006, Medan. 19 hlm.

Damanik, S. 2007. Strategi pengembangan

agribisnis kelapa (Cocos nucifera) untuk

meningkatkan pendapatan petani di

Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.

Perspektif 6 (2) : 94-104.

Damanik, S., C. Indrawanto, dan K. Aedan . 2009.

Model Pengembangan dan Kelembagaan

Jarak Pagar. Buku Inovasi Teknologi

Perkebunan (Jarak Pagar). Pusat

Penelitian dan Pengembangan Per-

kebunan. Bogor. Hlm. 107-112.

Damanik, S., M. Syakir, I. M. Tasma dan

Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca

Panen Karet. Buku Budidaya dan

Pascapanen Karet. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan. Bogor. 86

hlm.

Damardjati, D.S. 2011. Prospektif harga karet

alam, focus pada tren pasokan karet

alam. Makalah disajikan dalam

Lokakarya Karet Nasional, 26 September

2011, Jakarta.

Darmansyah. 2012. Rubber fund price stabili-

zation. Makalah pada Workshop Kerja

sama Komoditi Trialeteral Karet, 28

Februari 2012. 13 hlm.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik

Perkebunan Indonesia 2009-2011:

Komoditas Karet. Direktorat Jenderal

Perkebunan. Jakarta.

Fadjar, U., M.T. Sitorus, A.H. Dharmawan, dan S.

Tjondronegoro. 2008. Bentuk struktur

sosial komunitas petani dan implikasinya

terhadap diferensiasi kesejahteraan (studi

kasus petani kakao). Pelita Perkebunan

24 (3) : 219-240.

Hardjoamidjojo, H. 2002. Panduan Analisis

Prospektif. Jurusan Teknologi Industri

Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor. 45 hlm (tidak

dipublikasikan)

Page 11: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

Pengembangan Karet Alam (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK) 89

Hasrun, H., Z. Lapomi, R. Branford-Bowd, S.

Badcock and B.K. Matlick. 2008. Panduan

Amarta untuk keberlanjutan kakao

(Evaluasi kebun, Rehabilitasi dan

Peremajaan). Laporan Penelitian. 55 hlm.

(Tidak dipublikasikan)

Hasyim, W. 1998. Peasant Under Peripheral

Capitalism. Universiti Kebangsaan

Malaysia. 67p.

Herman dan S. Damanik. 2009. Evaluasi

Pengembangan Kakao Indonesia.

Laporan Hasil Penelitian Lembaga Riset

Perkebunan Indonesia (LRPI). 19 hlm.

International Rubber Study Group (IRSG). 2004.

Rubber. International Rubber Study

Group Wembley. London.

Kemala, S. 2007. Strategi pengembangan sistem

agribisnis lada untuk meningkatkan

pendapatan petani. Perspektif 6 (1) : 47-

55.

Mc.Cann, P. 2001. Urban and Regional Economic.

Oxford University Press. USA.

Moraes, V.H.F. 1977. Rubber In Ecophysiology of

Tropical Crops 315-318. Academic

Press , New York.

Ng, C.S. 1986. Marketing of Malaysian Rubber

Trends and Strategies Malaysian Rubber

Research and Develovment Boards

(MRRDB). Monograph No. 12. IRSG

(International Rubber Study Group).

Nunung, M. 1991. Harapan Baru Tanaman Karet.

Kedaulatan Rakyat 3 Juni 1991.

Pane, A.A. 2011. Prospektif harga karet 2012-

2013. Makalah disajikan dalam

Lokakarya Karet Nasional, 26 September

2011, Jakarta.

Penebar Swadaya. 2009. Panduan Lengkap Karet.

Cetakan 2. Penebar Swadaya. Jakarta.

235 hlm.

Susila, W.R. dan Herman. 2000. Prospek dan arah

pengembangan komoditas karet

Indonesia. Buletin Kehutanan dan

Perkebunan. 1(2): 173 – 186.

Sutardi 1981. Faktor Ekologi daerah budidaya

karet di Jawa dan beberapa

pengembangan di luar Jawa. Pertemuan

Teknis Perkebunan II. Research Centre

Getas.

Thomas, Hidayati U, dan Silaban, M, 2007.

Rekomendasi Pemupukan PT Pamor-

ganda Tahun 2007. Balai Penelitian Karet

Sembawa.

Vijayakumar, K.R. Chandrasehkar, T.R. and

Varghese Philip. 2000. Agroclimate In

Natural Rubber. Rubber Research of Indi.

Wahyudi, A. dan S. Wulandari. 2008. Model

kelembagaan pengembangan jarak pagar.

Prosiding Lokakarya III Inovasi

Teknologi Jarak Pagar untuk mendukung

program Desa Mandiri Energi, Malang 5

Nopember 2007. Hlm 187-195.

Page 12: PENGEMBANGAN KARET ALAM (Hevea …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/...dalam tulisan ini didiskusikan tentang kajian tersebut yang mencakup luas pertanaman, produksi,

90 Volume 11 Nomor 2, Des 2012 : 79 - 90

Lampiran 1. Skor hasil penilaian terhadap pengaruh langsung antar faktor

Dari ↓ Terhadap→ Luas Kebun

Keteram-pilan Petani

Keterse-diaan Teknologi

Pelati-han Petani

Produksi & Produk-tivitas

Serangan Hama Penykt

Pendapa-tan Petani

Keter-sedian Saprodi

Keterse-diaan Kredit

Biaya Tenaga Kerja

Kondisi Infra-struktur

Kelem-bagaan Petani

Harga

Kebijakan Pemda

Tenaga Pembina

Hama/ penyakit terkendali

Cadangan lahan

Luas Kebun Karet 2 - - 3 1 3 - 1 1 2 2 1 1 1 - 1 Keterampilan Petani 2 1 - 2 2 2 - - - 1 2 - 1 1 2 1

Ketersediaan Teknologi 1 2 2 2 1 1 - - - - 1 2 2 2 2 - Pelatihan Petani - 3 - 2 1 2 - - - - 2 2 - - 3 - Produksi & Produktivitas 2 1 - - - 3 - 2 - 1 2 3 1 1 3 1 Serangan Hama penyakit 1 - 1 1 2 1 - - - - 1 1 1 1 1 1 Pendapatan Petani 3 1 1 1 - - - 2 - 1 2 1 2 2 2 1 Ketersedian Saprodi - - - - 1 1 1 - - - - - - - - - Ketersediaan Kredit 1 - - - 1 - 2 - - 1 - 2 - - - - Biaya Tenaga Kerja 1 - - - 2 1 2 - - 1 - - - - - - Kondisi Infrastruktur 2 - - - 2 - 2 2 - - - 2 1 - 1 1 Kelembagaan Petani 1 3 - 2 3 2 3 2 1 - 2 1 2 2 2 1 Harga Karet 3 1 1 1 3 - 3 - - - - - 1 - 1 1 Kebijakan Pemda 3 2 1 2 2 1 3 2 2 1 3 3 - 1 2 1 Tenaga Pembina 1 3 - 2 3 2 3 2 - - 3 3 1 2 3 - Hama/penyakit terkendali 2 2 2 2 3 2 3 - - - - 2 - - - -

Keterangan : Skor 1 : optimal pengaruh komponen yang terkait. Skor 2 : kurang optimal Skor 3 : belum ada keterkaitan

90 Pengembangan Karet Alam (Hevea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia (SABARMAN DAMANIK)