Upload
phamkhue
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK
JAKARTA SECARA BERKELANJUTAN
INDAR PARAWANSA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Desember 2007
Indar Parawansa 99522008
ABSTRAK
Indar Parawansa. 2007. Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan. Dibimbing oleh: Hadi S Alikodra, M Sri Saeni, Dedi Soedharma, dan Dudung Darusman.
Hutan mangrove di Teluk Jakarta memerlukan kebijakan pengelolaan yang terpadu guna menjaga fungsi mangrove yang sangat vital bagi ekosistem wilayah pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini; mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta; dan menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan partisipatif dengan melibatkan stakeholder kunci dalam perumusan alternatif kebijakan dan strategi implementasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi berdasarkan hasil pengujian: Hasil uji vegetasi diketahui bahwa luasan hutan mangrove telah mengalami penyusutan dan spesiesnya mengalami pengurangan jenis. Hasil pengujian kualitas air diketahui bahwa parameter BOD, COD, amonia, dan logam berat (kadmiun dan timbal) telah melampaui baku mutu kualitas air. Kondisi fisik lahan mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, dan industri; (2) Kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta bervariasi berdasarkan kategori stakeholder yakni kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui peningkatan pendapatan masyarakat, pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan peningkatan investasi, sedangkan kelestarian ekosistem dilakukan melalui rehabilitasi kawasan secara partisipatif; dan (3) prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan berdasarkan aspirasi stakeholder secara berturut-turut adalah pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi, dan pengelolaan terpadu. Ketiga kebijakan ini dilaksanakan secara terpadu dan konsisten dengan berbagai langkah-langkah strategis yang telah disepakati oleh semua stakeholder. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan kondisi saat ini dirumuskan empat program utama yaitu rehabilitasi mangrove, penanganan sampah dan limbah, perbaikan kualitas perairan, dan pencegahan abrasi dan sedimentasi. Kata-kata kunci: kebijakan, pengelolaan, mangrove, berkelanjutan, Teluk
Jakarta.
ABSTRACT
Indar Parawansa. 2007. The Regime Development Policy of Sustainable Mangrove Forest Management in Teluk Jakarta. Supervised by: Hadi S Alikodra, M Sri Saeni, Dedi Soedharma, and Dudung Darusman.
Mangrove forest in Teluk Jakarta needs a comprehensive development policy in order to preserve its important functions for the coastal area ecosystem. The purposes of this research are to: identify the stakeholder need in managing mangrove in Teluk Jakarta; arrange the policy and strategy of sustainable mangrove management. This research uses a participative approach by involving the stakeholder key in formulating the policy alternative and its implementation strategy. The result of this research shows: (1) mangrove condition in Teluk Jakarta is damaged based on analysis result. The result of vegetation analysis shows that mangrove area and the variety of its species is decreasing. The result of water quality analysis show that the parameter of BOD, COD, Ammonia and metal (Cd and Pb) exceeded the water quality standard. The condition of land physic is damaged due to the land function shifting to fish pond, settlement and industry. (2) The felt needs of stakeholders to manage the mangrove are varied due to the condition of their level of welfare, ecosystem sustainability and economic growth. The level of welfare and economic growth can be developed throught income generating activity, education and health program. While the ecosystem sustainability can be enhanced throught participatory rehabilitation program. (3) The priority of mangrove sustainable management based on the stakeholders aspirations are people empowerment, technology application, and integrated management. Based on those priorities, there are four programs to be implemented: rehabilitation, pollution and waste management, water quality improvement, and abrassion and sedimentation prevention. Keywords: policy, management, mangrove, sustainable, Teluk Jakarta.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH
DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA SECARA BERKELANJUTAN
Oleh:
Indar Parawansa 99522008
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi : Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan
Nama Mahasiswa : Indar Parawansa
Nomor Pokok : 99522008
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS
Ketua
Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Anggota
Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana
Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Etty Riani, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal ujian: 19 September 2007 Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada tanggal 26 Juli 1960. Penulis adalah putra pertama dari empat bersaudara keluarga H.D Parawansa.
Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 3 Makassar lulus pada tahun 1972, melanjutkan ke SMP Negeri 6 Makassar dan lulus tahun 1975, selanjutnya masuk ke SMA Negeri I Makassar lulus tahun 1980. Penulis sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana Jurusan Kependudukan pada Universitas Gajah Mada dan lulus tahun 1995. Pada tahun 1999 penulis masuk Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL),
Pada tahun 1987 – 1999 mengabdi sebagai staf di Bappeda Takalar Sulawesi Selatan, pada tahun 1999 – sekarang menjadi staf pada Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri.
Penulis menikah dengan Khofifah Indar Parawansa dan dikarunia empat putra yaitu Ima, Baso, Aco dan Ali.
Bogor, Desember 2007
Indar Parawansa
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Robbul Alamin karena atas berkat dan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul: Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan.
Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan, Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, M.S., Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman M.Sc. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan petunjuk, saran, arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS, Selaku ketua program dan PLH Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro MSc, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan izin belajar dan kuliah sehingga selesainya program doktor ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dirjen Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, Bapak Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Ditjen Bina Pembangunan Daerah yang memberi sangat perhatian, teman-teman di Subdit Penataan Wilayah Pengembangan Khusus, Sahabat Dr. Suaedi, MSi, Dr. BJ Protondo, MSi, Dr. Royadi, SH, MM, Dr. Syafiudin H Muhammad Saleh, MSi, Dr. Ir. H. Gatot Irianto,DEA dan Keluarga, Sawiyo, Ahied dan Dany juga Dr. Ir. H Hertomo Heroe, MM, BAPPEDA dan Kepala Dinas serta Camat dan Kepala Desa/Lurah dari Muara Angke - Penjaringan Jakarta Utara, Muara Gembong-Bekasi dan Teluk Naga, Tangerang, Banten.
Terimakasih pula pada guruku sekaligus orangtua angkatku Bapak Prof. Dr. Ida Bagoes Mantra, Guruku yang menganggapku seperti anaknya sendiri Ibunda Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MS, Kakanda Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri.
Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih pula kepada ayahanda H. Djalaluddin Parawansa, Ibunda Mien Bakri (almarhumah) serta Pamanda Prof. Dr. H. Paturungi Parawansa dan mama Inna yang telah mendidik saya sejak kecil sampai menjadi sekarang ini, inilah wujud doamu kepada penulis yang dikabulkan Allah Robbull Alamin.
Kepada istri penulis Hj. Khofifah Indar Parawansa, yang turut mendorong dalam pelaksanaan kuliah, penyusunan proposal, penelitian sampai penulisan disertasi. Juga kepada anak-anakku tercinta: Ima, Baso, Aco dan Ali, adik-adikku Sila, Tayang, Ke’nang diucapkan banyak terima kasih telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini.
Kami menyadari bahwa disertasi ini masih kurang sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya dan semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2007
Indar Parawansa
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 6 1.5 Kerangka Pikir ................................................................................... 7 1.6 Novelty ............................................................................................... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 12
2.1 Hutan Mangrove ................................................................................ 12 2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan ..................... 23 2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove ........................................................... 34 2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove .......................................................... 36 2.5 Kebijakan Publik ............................................................................... 39
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 44 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 44 3.2 Tahapan Penelitian ............................................................................ 45 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ........................................................... 46 3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 47 3.5 Metode Analisis Data ........................................................................ 48
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................... 55
4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta ......................... 55 4.2 Kondisi Hutan Mangrove di Teluk Jakarta ........................................ 57 4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ................................................. 70 4.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove ................................... 73 4.5 Persepsi dan Keinginan Masyarakat ................................................. 79 4.6 Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta ................ 86
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 111
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 111 5.2 Saran ................................................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 113 LAMPIRAN ..................................................................................................... 118
xi
DAFTAR TABEL Halaman
1 Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia ........................... 15 2 Jenis data yang dikumpulkan ................................................................ 47 3 Jumlah responden berdasarkan usia .................................................... 47 4 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan .............................. 47 5 Jumlah responden berdasarkan pekerjaan ........................................... 48 6 Metode pengukuran kualitas air ............................................................ 51 7 Skala perbandingan berpasangan ......................................................... 53 8 Perubahan luas peruntukan lahan di Muara Angke .............................. 56 9 Perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian ............................ 58 10 Spesies mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian ........................ 66 11 Kualitas air di Teluk Jakarta .................................................................. 66 12 Luas wilayah dan kepadatan penduduk di Teluk Jakarta tahun 2004 ... 70 13 PDRB Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang tahun 2004 atas dasar
harga konstan tahun 2000 ..................................................................... 73 14 Permasalahan lingkungan hutan mangrove di Teluk Jakarta ................ 74 15 Permasalahan sosial ekonomi hutan mangrove di Teluk Jakarta ......... 75 16 Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan
mangrove di Teluk Jakarta .................................................................... 76 17 Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di sekitar
Teluk Jakarta ......................................................................................... 78 18 Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di
Muara Angke ......................................................................................... 80 19 Keinginan stakeholder terhadap pengembangan kawasan hutan
mangrove di Muara Angke .................................................................... 81 20 Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove
Muara Gembong .................................................................................... 82 21 Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di
Muara Gembong .................................................................................... 83 22 Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di
Kecamatan Teluk Naga ......................................................................... 85 23 Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove di
Kecamatan Teluk Naga ............................................................................. 86
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Kerangka berpikir penelitian .................................................................. 10 2 Peta lokasi penelitian ............................................................................. 44 3 Tahapan penelitian ................................................................................ 45 4 Luas hutan mangrove di Muara Angke .................................................. 61 5 Luas hutan mangrove di Muara Gembong ............................................ 62 6 Luas hutan mangrove di Teluk Naga ..................................................... 63 7 Tingkat kerapatan vegetasi di Teluk Jakarta ......................................... 64 8 Permasalahan dan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove
di Teluk Jakarta .................................................................................... 90 9 Hasil AHP penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk
Jakarta ................................................................................................... 92 10 Hasil Analisis AHP ................................................................................. 93
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Perubahan susunan jenis tumbuhan mangrove di Teluk Jakarta tahun
1988, 1994, 2000 ................................................................................... 119 2 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 1997 ............................... 120 3 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 2002 ............................... 121 4 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 2006 ............................... 122 5 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 1997 .......................... 123 6 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 2002 .......................... 124 7 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 2006 .......................... 125 8 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 1997 .................................. 126 9 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 2002 .................................. 127 10 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 2006 .................................. 128 11 Peta tutupan lahan bervegetasi di Teluk Jakarta tahun 2001 ................ 129 12 Peta tutupan lahan bervegetasi di Teluk Jakarta tahun 2006 ................ 130 13 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Muara Angke ....... 131 14 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Muara Gembong .. 132 15 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Teluk Naga .......... 134 16 Hasil analisis AHP pengelolaan Teluk Jakarta ...................................... 135 17 Foto kondisi mangrove di lokasi penelitian ........................................... 137
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan laut
yang memiliki potensi sumberdaya alam tinggi. Salah satu sumberdaya wilayah
pesisir adalah hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki nilai ekologis,
ekonomis dan sosial yang tinggi. Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat ikan,
udang, kerang dan jenis biota lainnya untuk memijah dan daerah asuhan bagi
jenis-jenis udang (Fauzi, 1999). Hutan mangrove juga berfungsi menjaga
stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai, memfilter dan
meremidiasi limbah, serta untuk menahan banjir dan gelombang.
Secara ekonomis fungsi hutan mangrove merupakan sumber energi,
daerah pengembangan perikanan dan pertanian, penghasil bahan bangunan,
bahan tekstil, dan produk bernilai ekonomi lainnya. Di samping itu hutan
mangrove juga memiliki manfaat sosial seperti tempat berinteraksi sosial dan
jasa-jasa wisata. Dari berbagai manfaat tersebut, nilai manfaat hutan mangrove
secara langsung hanya 3,56% sedangkan nilai manfaat tidak langsung mencapai
96,44% (Suhaeri, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa apabila hanya
memperhatikan manfaat langsung, maka hutan mangrove akan cenderung
dikonversi untuk pemanfaatan lainnya.
Fakta menunjukkan bahwa kerusakan mangrove ada dimana-mana,
bahkan intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara
siginifikan (Bratasida, 2002; Imanuddin dan Mardiastuti, 2002; Santoso, 2002).
Penyebab kerusakan mangrove sangat beragam menurut ruang dan waktu.
Secara umum kerusakan mangrove diakibatkan oleh tiga faktor yaitu: (1) faktor
internal seperti alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri
dan adanya pencemaran limbah, pestisida dan logam berat, (2) faktor eksternal
seperti kerusakan DAS hulu yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan
akumulasi zat pencemar, dan (3) faktor lain yang belum diidentifikasi (Waryono
dan Yulianto, 2002; Bratasida, 2002; Kusmana, 2002).
Kegiatan konversi lahan mangrove menjadi tambak, kawasan
permukiman, dan perindustrian telah menyebabkan degradasi hutan mangrove
baik secara fisik maupun habitat. Penurunan luas hutan mangrove di sepanjang
2
Pantai Utara Jawa berkaitan dengan belum adanya kejelasan tata ruang dan
rencana pengembangan wilayah pesisir, pembuangan limbah industri dan rumah
tangga, dan sedimentasi akibat pengolahan lahan yang kurang baik. Penyebab
yang terbesar adalah konversi kawasan hutan mangrove untuk usaha tambak,
permukiman, dan kawasan industri secara tak terkendali (Dahuri et al., 2001).
Akibatnya kualitas perairan pesisir merosot tajam, karena intrusi dan abrasi air
laut yang tidak dapat dikendalikan. Dampak ekonomisnya terlihat dari
menurunnya persediaan air tawar, hancurnya usaha pertambakan di daerah
pesisir, pencemaran logam berat dan bahan beracun berbahaya serta
menurunnya jenis, jumlah dan kualitas flora dan fauna di ekosistem pesisir.
Hutan mangrove di Teluk Jakarta seluas 9.749 ha. Areal hutan mangrove
di Teluk Jakarta terbentang mulai dari pantai Tangerang hingga Bekasi.
Kawasan ini meliputi tiga wilayah administratif, yaitu Kecamatan Muara Gembong
Kabupaten Bekasi, Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang, dan
Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.
Saat ini hutan mangrove di Teluk Jakarta terus mengalami kerusakan.
Konversi hutan mangrove menjadi tambak telah membawa dampak penurunan
luas hutan mangrove. UNEP dan LPP-Mangrove (2004) menyebutkan bahwa
kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta rusak berat dan sebagian telah berubah
fungsi menjadi permukiman dan budidaya. Apabila konversi hutan mangrove
menjadi tambak tidak dihentikan dan kegiatan eksploitasi hutan mangrove tidak
diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi, maka dikhawatirkan akan mengakibatkan
kerusakan bahkan pemusnahan hutan mangrove yang akan merugikan dan
mengancam kehidupan masyarakat pesisir.
Teluk Jakarta telah tercemar oleh logam berat (khususnya merkuri) dan
pestisida (rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT yang keduanya melebihi ambang
batas yaitu 0,5 ppb). Keadaan menjadi lebih buruk karena pembuangan minyak
dari kapal dan perahu kecil. Ikan dan invertebrata yang hidup di daerah tercemar
selanjutnya mengancam populasi burung air melalui sistem rantai makanan.
Bahkan dapat membahayakan kesehatan masyarakat bagi mengkonsumsi ikan
yang tercemar.
Permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir Teluk Jakarta semakin
berkembang dan kompleks seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang
tinggi. Terjadi peningkatan pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan mangrove.
3
Peningkatan pemanfaatan lahan di hutan mangrove akan merusak ekosistem
mangrove.
Rusaknya hutan mangrove di wilayah Teluk Jakarta disebabkan beberapa
hal yakni meningkatnya konversi lahan untuk permukiman, sarana dan prasarana
dan kegiatan lainnya sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Peningkatan pembangunan dan permukiman akan menimbulkan tekanan
terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, yang pada kenyataannya belum
memperhitungkan kerugian yang berdampak sosial ekonomi dan ekologis.
Demikian juga dengan pembangunan wilayah pesisir sekitar kawasan hutan
mangrove, pemanfaatan untuk usaha tambak yang dilakukan secara tidak
bijaksana. Hal ini merupakan kekeliruan dalam menilai fungsi hutan mangrove.
Untuk jangka pendek, manfaat ekonomi yang diperoleh dari lahan untuk industri
relatif tinggi dibanding sebagai lahan mangrove. Namun demikian, untuk jangka
panjang, terjadi penurunan nilai lahan industri yang semakin menurun,
sedangkan nilai lahan hutan mangrove relatif stabil untuk jangka panjang.
Dengan demikian, pertimbangan jangka panjang dalam pembangunan akan
menjadi faktor penting dalam pelestarian hutan mangrove.
Tekanan penduduk dan tingginya permintaan lahan untuk permukiman
dan industri menyebabkan kerusakan mangrove tidak dapat dielakkan.
Kepentingan ekonomi dan sosial lebih dominan dibandingkan dengan
kepentingan lingkungan. Upaya pemanfaatan mangrove dengan
mengkombinasikan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial faktanya masih
merupakan konsep yang belum banyak diimplementasikan (Wartaputra, 1990).
Eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang berlebihan akan
menyebabkan masalah lingkungan (Sumarwoto, 2001; Alikodra, 2002).
Munculnya masalah lingkungan secara langsung atau tidak langsung akan
berakibat pada menurunnya kualitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya
akan memperlemah upaya pembangunan itu sendiri (Keraf, 2002). Oleh karena
itu, Pemerintah Daerah sebagai penggerak utama pembangunan, diharapkan
mampu melihat secara cermat segala potensi yang ada di wilayahnya serta
merencanakan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Selama ini, yang menjadi pokok perhatian dari pembangunan adalah
peningkatan ekonomi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kondisi
ekologis dan sosial budaya. Akibatnya terjadi degradasi lingkungan berupa
4
penurunan kualitas tanah, air, dan udara. Di samping itu, juga menimbulkan
konflik sosial karena kesenjangan pendapatan.
Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk fungsi
ekologisnya dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, maka perlu
dilakukan upaya pengelolaan untuk menjamin kelestarian hutan mangrove.
Berdasarkan hal tersebut penelitian tentang pengembangan kebijakan
pembangunan daerah dalam penyelamatan hutan mangrove yang sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu telah dicanangkan oleh
pemerintah. Berbagai strategi dan program dirumuskan untuk mencapai
pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan seperti pemberdayaan masyarakat
pesisir, pengelolaan kawasan mangrove secara terpadu, pembentukan daerah
perlindungan laut, rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak hingga bantuan
langsung kepada masyarakat pesisir. Berbagai regulasi dalam pengelolaan
wilayah pesisir termasuk pengelolaan hutan mangrove juga telah dirumuskan.
Namun demikian, laju kerusakan hutan mangrove masih relatif tinggi
Secara umum kawasan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi
baik fisik maupun habitat. Secara spesifik kondisi mangrove di Teluk Jakarta
dapat dideskripsikan menurut tiga kawasan, yaitu: Muara Gembong, Muara
Angke, dan Teluk Naga. Hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong
semakin berkurang dikarenakan lahan mangrove diubah menjadi lahan tambak
yang berakibat pada terjadinya abrasi, intrusi air laut menurunkan kualitas air dan
tanah untuk tambak yang ditandai rendahnya produktivitas tambak serta adanya
ketidakteraturan dalam hal penataan permukiman masyarakat yang dibangun di
sepanjang pesisir pantai sederhana.
Kawasan mangrove di Muara Angke sebagian besar dikonversi menjadi
permukiman dan kawasan perniagaan. Populasi mangrove di lokasi ini sudah
sangat menipis. Masalah tersebut diperparah oleh dampak aktivitas pasar ikan
yang membuang limbah tangkapan laut berupa kulit kerang di atas kawasan
mangrove. Pertumbuhan anakan mangrove serta biota perairan di sekitarnya
menjadi terhambat bahkan rusak karena timbunan kulit kerang yang menumpuk
tebal di atas permukaan tanah. Hanyutnya sampah anorganik dari hulu sungai
yang masuk ke muara menambah tingkat pencemaran polusi di sekitar perairan
5
mangrove. Tingginya kandungan bahan pencemar yang hanyut telah
mempercepat kerusakan mangrove di kawasan Muara Angke.
Kawasan mangrove di Teluk Naga sudah berada pada kondisi yang
memperihatinkan. Kawasan mangrove sudah berubah 70% menjadi lahan
tambak. Tindakan konversi ke lahan tambak telah dilakukan sangat tergesa-gesa
tanpa perencanaan yang matang. Kandungan pirit yang tinggi dan jarangnya
populasi mangrove di sekitar tambak menjadikan produktivitas tambak menjadi
sangat rendah. Persaingan prioritas penggunaan lahan antara tambak dan
kawasan pariwisata menjadikan populasi mangrove semakin tergeser (DLH
Kabupaten Tangerang, 2004).
Berkurangnya ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga
karena usaha tambak yang dikembangkan di wilayah itu seluas 4.740,79 ha
sebagian besar memanfaatkan lahan hutan mangrove di sekitar pesisir yang
mengakibatkan abrasi yang tidak terbendung dan intrusi air laut yang
menghancurkan sebagian besar usaha petani. Kerusakan hutan mangrove di
wilayah pesisir Tangerang ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan
kebutuhan masyarakat yang meningkat dalam pemanfaatan kayu dari hutan
(DPK Kabupaten Tangerang, 2003).
Faktor lain yang signifikan mempengaruhi hilangnya hutan mangrove di
Teluk Jakarta adalah pengembangan kawasan untuk kegiatan usaha. Konsepsi
pembangunan Jakarta sebagai water front city akan berdampak pada hilangnya
ekosistem mangrove. Pemda DKI Jakarta melalui Badan Reklamasi Pantai
(BRP) merencanakan reklamasi pantai utara (pantura) seluas 2.700 ha
sepanjang 32 km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi. Pemerintah
Provinsi DKI menargetkan akan membuka daratan baru untuk keperluan industri,
perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi, dan permukiman. Reklamasi
pantai di daerah rawa-rawa sepanjang wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya
fungsi pemijahan, sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi yang
tidak terkontrol juga akan menghilangkan dan mengubah fungsi ekologis.
Isu lingkungan lain yang berkaitan dengan rusaknya hutan mangrove di
Teluk Jakarta adalah peningkatan muka air laut akibat pemanasan global dan
penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan telah
menyebabkan intrusi air laut ke wilayah daratan semakin tinggi. Hal ini akan
berdampak terhadap kerusakan ekologi dan bangunan fisik di sekitar Teluk
Jakarta.
6
Karakteristik wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh arus air merupakan
faktor yang sulit untuk dikendalikan. Pencemaran air oleh limbah rumah tangga
dan industri yang dilakukan di sekitar Muara Angke akan menyebabkan
kerusakan lingkungan di seluruh wilayah pesisir Teluk Jakarta. Demikian pula
dengan kegiatan industri di Teluk Naga akan berdampak terhadap kualitas
perairan di seluruh wilayah Teluk Jakarta.
Karakterisitik tersebut berbeda dengan dimensi sosial budaya
masyarakat. Kawasan pesisir Muara Gembong dan Teluk Naga dihuni oleh
sebagian besar nelayan, sedangkan masyarakat Muara Angke sangat bervariasi.
Dengan demikian, penyebab kerusakan hutan mangrove di ketiga lokasi ini
berbeda-beda. Hutan mangrove di Muara Gembong dirambah untuk keperluan
tambak dan kebutuhan kayu untuk rumah tangga, di Teluk Naga untuk keperluan
tambak dan industri, sedangkan di Muara Angke untuk keperluan lahan
permukiman dan perniagaan.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang perlu dikaji dalam
penelitian ini adalah: (1) kondisi hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini, (2)
kebutuhan stakeholder dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove, (3)
kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaan hutan mangrove Teluk
Jakarta secara berkelanjutan.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk
Jakarta saat ini;
2. Mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove
di Teluk Jakarta di masa mendatang;
3. Menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove di Teluk
Jakarta secara berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Memperoleh data dan informasi tentang kondisi hutan mangrove dan kualitas
eksosistem mangrove di Teluk Jakarta sebagai dasar dalam penyusunan
kebijakan pemanfaatan hutan mangrove di masa mendatang;
7
2. Sebagai bahan masukan bagi penentu kebijakan dalam proses pelibatan
masyarakat dalam mengembangkan partisipasi masyarakat untuk
pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan;
3. Memberikan sumbangan untuk memperkaya ilmu kajian lingkungan
khususnya pengembangan strategi dalam pemanfaatan hutan mangrove
secara berkelanjutan.
1.5 Kerangka Pikir
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan
yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam
biota, penahan abrasi, penahan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah,
pencegah intrusi air laut. Hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis
seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan
fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil
kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk
kepentingan ekonomi sesaat. Konflik kepentingan antara sektor seperti
Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen
Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan
degradasi kuantitas (kerapatan dan luas) maupun kualitas (komposisi dan
proporsi) mangrove semakin dipercepat.
Ancaman kerusakan bagi mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas
manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana
penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara
langsung melalui: alih fungsi, reklamasi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi
dan secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti penyakit, hama, dan
meningkatnya muka air laut.
Salah satu indikator hancurnya mangrove akibat alih fungsi mangrove
untuk tambak, industri dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi
lingkungan (Wartaputra, 1990; Kusmana, 2002). Perubahan hutan mangrove
menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika
terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta
8
abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan
sangat sulit direhabilitasi (Naamin, 2002; Soedharma et al., 1990).
Dalam kasus mangrove di Teluk Jakarta sebagai suatu ekosistem yang
meliputi tiga wilayah administrasi provinsi (DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan
Provinsi Banten), berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan dan pemanfaatan
antar wilayah akibat perbedaan cara pandang. Kondisi ini diperburuk dengan
adanya konversi mangrove untuk tujuan ekonomi, sehingga mendorong
kerusakan mangrove semakin parah.
Faktor lain yang mendorong rusaknya hutan mangrove di Teluk Jakarta
adalah rendahnya capacity building yang meliputi sumberdaya manusia, institusi
dan mekanisme aturan. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya koordinasi di
tingkat perencana, pengambil kebijakan dan pelaksana lapang, sehingga
menyebabkan terjadinya ketimpangan antara apa yang diinginkan (demand side)
dan apa yang dimiliki dari hutan mangrove (supply side) (Alikodra, 2002).
Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang
berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya,
serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat.
Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap
lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan,
seperti kasus Teluk Jakarta. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat
dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit
dikendalikan.
Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi
mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya
terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini
perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk
menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Persepsi masyarakat terhadap mangrove juga merupakan salah satu
yang mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah
pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan.
Supriharyono (2000) menyatakan kerusakan hutan mangrove terutama
disebabkan oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak.
Sedangkan Budhisantoso (1998) menyebutkan bahwa permasalahan utama
yang dihadapi dalam pengelolaan pengembangan kawasan pesisir, adalah
9
menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan
merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir
tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya
pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan
kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena
perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam
pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal
dilibatkan dalam proses pembangunan.
Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang
mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia antara lain
adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi
ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial
ekonomi masyarakat, sistem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan
kelembagaan (Machfuddin dan Nasendi, 1997). Kebijakan mengenai konversi
lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir.
Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan,
mengakibatkan kualitas dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami
ancaman dari berbagai pemangku kepentingan.
Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah
pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini
memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila
kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan
ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan
demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu
dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari.
Perbedaan kepentingan antara stakeholder terhadap pemanfaatan hutan
mangrove, seperti antara kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan,
transmigrasi, perhubungan, pariwisata dan perindustrian, menimbulkan tekanan
yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Selain itu terjadinya
degradasi hutan mangrove juga disebabkan pencurian dan penebangan yang
tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum
sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan.
Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan,
maka perlu pemahaman mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan
10
pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan
keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan
peraturan perundangan yang ada, sehingga konsep perencanaan dan
pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Teluk
Jakarta, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang
ada saat ini di tiga wilayah, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Teluk
Jakarta, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di
masa mendatang.
Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam
penyusunan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara
berkelanjutan di Teluk Jakarta. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung
upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan
hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pembangunan
wilayah pesisir terpadu. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
11
1.6 Novelty
Sumbangan pemikiran baru dari penelitian ini ialah memberikan informasi
dan pendekatan baru dalam menyusun kebijakan dan strategi pembangunan
daerah dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan
aspirasi pemangku kepentingan yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi
sumberdaya yang ada dan fungsi ekosistem mangrove, sehingga pemanfaatan
hutan mangrove dapat berkelanjutan khususnya di era otonomi daerah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang
surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan
hutan ini tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh
dengan baik di daerah tropik pada daerah-daerah pesisir yang terlindung, seperti
delta dan estuaria.
Lingkup hutan mangrove mempunyai cakupan yang luas, meliputi: (1)
satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput yang hanya tumbuh di habitat
mangrove, (2) jenis tumbuhan yang hidup berasosiasi dengan satu atau lebih
jenis pohon dan semak atau rumput, tetapi daerah tumbuhnya tidak terbatas di
habitat mangrove, dan (3) biota yang hidup di habitat mangrove, yaitu satwa
darat dan laut, lumut, jamur, alga, bakteri dan lain-lain, baik yang hidupnya
bersifat sementara atau tetap.
2.1.1 Struktur dan komposisi vegetasi
Hutan mangrove yang tumbuh baik di pantai berlumpur yang terlindung
estuaria, maupun di teluk umumnya memiliki batang lurus dan tingginya dapat
mencapai 35-45 m. Di pantai berpasir atau terumbu karang, mangrove tumbuh
kerdil, rendah dan batangnya seringkali bengkok. Daun-daun berbagai jenis
tumbuhan dalam hutan mangrove biasanya mempunyai tekstur yang serupa.
Sistem perakarannya khas dan merupakan suatu cara adaptasi terhadap
keadaan tanah yang anaerobik. Sonneratia dan Avicennia mempunyai akar
horisontal dilengkapi dengan pneumatofora berbentuk pasak yang muncul ke
permukaan tanah, Bruguiera dan Xylocarpus mempunyai akar horisontal dengan
pneumatofora berbentuk kerucut atau penebalan akar di bagian atas, sedangkan
ceriops tidak mempunyai perakaran khusus tetapi akar-akarnya terbuka dan
bagian bawah batangnya berlentisel yang cukup besar.
Komposisi mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya,
tergantung dari keadaan fisiografis pantai dan dinamika pasang surut, sehingga
di satu tempat terdapat jalur mangrove yang lebih lebar daripada di tempat
lainnya. Di sepanjang pantai yang lurus dan tidak berombak, jalur mangrove
13
kebanyakan agak sempit yaitu sekitar 25-50 m. Di delta-delta dimana banyak
arus, lumut ditemukan pada kebanyakan pohon mangrove seperti R. apiculata
dan R. mucronata. Lumut yang terdapat di hutang mangrove meliputi 5 jenis
lumut daun dan 21 jenis lumut hati yang sifatnya mirip lumut daun.
Hutan mangrove dijumpai zonasi yang dibentuk oleh keadaan topografi,
frekuensi pasang surut, lamanya penggenangan, komposisi dan stabilitas
sedimen tempat tumbuh dan tipe tanah, salinitas air dan atau tanah, dinamika
penyebaran propagule, dan dinamika proses pemakanan biji mangrove oleh
organisme yang berasosiasi dengan mangrove. Pada keadaan tertentu dapat
dijumpai hanya satu zone. Pembagian zonasi mangrove didasarkan antara lain
pada: frekuensi penggenangan oleh pasang surut air, tingkat salinitas dengan
memperhatikan frekuensi penggenangan air, dan berdasarkan nama genus
pohon yang dominan.
Jenis-jenis pohon mangrove cenderung untuk tumbuh dalam kelompok-
kelompok, zone-zone atau jalur-jalur sejajar pantai. Di pantai yang landai dengan
kemiringan membawa lumpur dan pasir, hutan mangrove merupakan jalur yang
lebih lebar. Ada tiga faktor utama yang menentukan tumbuh dan penyebaran
jenis-jenis mangrove adalah: (1) kondisi dan tipe tanah: keras atau lembek,
berpasir atau berlumpur, (2) salinitas: variasi rata-rata harian maupun tahunan;
frekuensi, kedalaman dan lamanya penggenangan, dan (3) ketahanan jenis-jenis
mangrove terhadap arus dan ombak.
Ketergantungan terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh genus Rhizophora.
Sebagai contoh, R. mucronata merupakan ciri umum untuk tanah yang
berlumpur dalam R. apiculata berlumpur dangkal, sedangkan R. stylosa erat
hubungannya dengan pantai yang berpasir atau berkarang yang sudah memiliki
lapisan lumpur atau pasar. Terhadap kadar garam (salinitas), ketergantungan
ditunjukkan apabila hubungan antara muara sungai ataupun danau dengan laut
bebas mendadak terputus, sehingga salinitas menurun karena kurangnya
pengaruh pasang surut, maka jenis Rhizophora spp., akan mati dan
permudaannya diganti oleh jenis yang dapat bertoleransi terhadap salinitas tanah
yang kurang peka terhadap kadar garam, seperti Lumnitzera sp., Xylocarpus
granatum. Meskipun komposisinya berbeda dari satu tempat dengan tempat
lainnya, dapat disebutkan bahwa anggota komunitas tumbuhan mangrove di
Indonesia paling sedikit 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba, 9 jenis
liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
14
Disamping tumbuhan tinggi, juga ditemukan berbagai ganggang dan
lumut (lumut daun dan lumut hati). Beberapa dari ganggang telah beradaptasi
untuk kehidupan dalam kondisi air payau dan jenis-jenis ini dapat melimpah
ringan, khususnya pada hutan yang paling dekat dengan laut, didominasi oleh
Avicennia yang seringkali tumbuh berasosiasi dengan Sonneratia jika kondisi
lumpurnya kaya akan bahan organik. Pada zone ini, Avicennia marina umumnya
tumbuh pada lumpur yang kokoh, sedangkan pada lumpur yang lebih lunak
tumbuh A. alba. Di belakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica dapat
membentuk tegakan-tegakan hampir murni pada tanah lempung yang kokoh
yang biasanya sewaktu-waktu dicapai air pasang. Lebih ke arah darat B.
cylindrica bercamur dengan R. apiculata, R. mucronata, B. parviflora dan X.
granatum. Zone batas antara hutan mangrove dan hutan pedalaman ditandai
oleh adanya Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, X. Moluccensis, Intsia bijuga,
Ficus retusa, Pandanus sp., Calamus sp., dan Oncosperma tigillaria.
Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa liar seperti
primata, reptil dan burung. Hutan mangrove merupakan salah satu komponen
ekosistem estuaria yang sangat penting bagi kehidupan burung-burung air
termasuk pula burung-burung yang melakukan migrasi. Disamping sebagai
tempat berlindung dan mencari makan, hutan mangrove juga mempunyai peran
yang sangat penting bagi burung-burung air yang tidak melakukan migrasi, yaitu
sebagai tempat berkembang biak (kawin dan bersarang). Kemunduran potensi
(luas, penyebaran dan degradasi) hutan mangrove menyebabkan semakin
terancamnya kelestarian berbagai jenis burung air. Hasil penelitian Alikodra et al.
(1990) di hutan mangrove muara Cimanuk (Jawa Barat) dan di Segara Anakan
(Jawa Tengah) berturut-turut terdapat 23 jenis dan 16 jenis burung wader, 12
jenis diantaranya termasuk jenis burung yang melakukan migrasi. Di pantai
Sulawesi, Whitten (1987) melaporkan adanya 34 jenis burung pantai yang
tergolong dalam burung migrasi.
Jenis primata yang seringkali dijumpai di hutan mangrove di Pulau Jawa
dan Pulau Sumatera adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis), sedangkan
di hutan mangrove di Pulau Kalimantan, selain kera ekor panjang juga terdapat
bekantan (Nasalis larvatus) sebagai primata yang endemik dan langka. Di
beberapa kawasan konservasi, seperti di hutan mangrove Angke Kapuk, Taman
Nasional Baluran dan Taman Nasional Ujung Kulon terdapat Lutung (Presbytis
cristata) merupakan jenis primata yang sering dijumpai. Hutan mangrove dihuni
15
pula oleh berbagai jenis reptil seperti biawak (Varanus salvator), kadal (Mabouya
fasciata) dan berbagai jenis ular (Boiga dendrophila). Hewan terbesar yang hidup
di rawa-rawa hutan mangrove adalah buaya muara (Crocodilus porosus).
Mengenai potensi kayu, Rambe et al., (1983) melaporkan bahwa
berdasarkan hasil cruising di 6 provinsi (Aceh, Riau, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Irian Jaya) pada pohon-pohon
berdiameter 10 cm ke atas. Secara detail disajikan data seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia
Jenis Kerapatan (individu/ha) Potensi (m3/ha) Avicennia spp. (6 - 45) 11 . 60 (1 - 17) Sonneratia spp. (2 - 23) 7 . 58 (1 - 12) Rhizophora spp. (37 - 185) 40 . 72 (19 - 90) Bruguiera spp. (7 - 125) 3 . 61 (3 - 29)
Sumber: Sukarjo (1999)
Data Potensi hutan mangrove terbesar yang pernah disurvei (135,5
m3/ha) terdapat di Kalimantan Selatan. Sedangkan kerapatan pohon yang cukup
tinggi terdapat di hutan mangrove di Aceh, Riau, Kalimantan Barat (estuaria
Sungai Kapuas), Kalimantan Timur (estuaria Sungai Sesayap), Jawa Tengah
(Segara Anakan), Bali (Benua), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni dan Cendrawasih),
potensi rata-ratanya lebih dari 40 m3/ha (Sukarjo, 1999).
2.1.2 Ekosistem hutan mangrove Hutan mangrove merupakan hutan yang dipengaruhi pasang-surut air laut
(Chapman, 1977). Tipe hutan ini disamping mempunyai fungsi ekonomis melalui
hasil berupa kayu dan hasil hutan ikutannya juga mempunyai fungsi ekologis
yang sangat penting sebagai interface antara ekosistem daratan dengan
ekosistem lautan. Dengan demikian di dalam ekosistem mangrove paling sedikit
terdapat lima unsur ekosistem yang saling kait-mengkait yaitu flora, fauna,
perairan, daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidup bergantung pada
ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem yang unik, karena di
dalam ekosistem mangrove terdapat dua tipe karakteristik ekosistem yaitu
karakteristik ekosistem lautan dan daratan. Kondisi semacam ini mengakibatkan
jenis-jenis biota yang hidup di habitat mangrove terdiri atas biota darat dan biota
16
laut. Penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem
mangrove adalah biota laut. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian-
penelitian mengenai biota di habitat mangrove masih sangat terbatas dan jauh
tertinggal dibandingkan dengan penelitian-penelitian mengenai vegetasi
mangrove. Oleh karena itu, informasi mengenai biota mangrove yang disajikan
belum mencerminkan kekayaan biota di ekosistem mangrove yang
sesungguhnya. Walaupun demikian informasi mengenai biota mangrove
seyogyanya dapat digunakan sebagai salah satu parameter yang harus
dipertimbangkan di dalam program pengelolaan hutan mangrove secara
berkesinambungan.
Ekosistem mangrove menyediakan lima tipe habitat bagi fauna, yakni: (1)
Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga, (2)
Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan
cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga
(terutama nyamuk), (3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan
keong/kerang, (4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai
habitat kepiting dan katak, dan (5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan
ikan/udang (Chapman, 1977).
Peranan penting dan ekosistem mangrove dalam menunjang kehidupan
biota laut sudah diyakini secara luas. Tetapi, sebenarnya habitat utama dan
ekosistem mengrove yang penting dan langsung menunjang kehidupan biota laut
adalah saluran-saluran air yang merupakan bagian integral dan ekosistem
mangrove tersebut. Dalam hal ini nampaknya vegetasi mangrove lebih berperan
sebagai penyedia nutrisi melalui serasahnya bagi produktivitas primer saluran-
saluran air tersebut.
Kartodiharjo (2000) dalam Hamilton dan Snedaker (1984), melaporkan
bahwa kelimpahan individu dan keragaman jenis biota laut tertinggi berada pada
estuaria dengan kedalaman 0,3 sampai 1,5 m. Kondisi estuaria dengan
kedalaman tersebut cenderung akan semakin banyak dijumpai di lokasi-lokasi
ekosistem mangrove yang berjarak semakin jauh dari pantai.
Di Indonesia saat ini terinventarisir sekitar 157 jenis tumbuhan mangrove
baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove. Jenis-jenis tumbuhan
mangrove tersebut terdiri atas 52 jenis pohon, 21 jenis semak, 13 jenis liana
(tumbuhan pemanjat), 6 jenis palma, 1 jenis pandan, 14 jenis rumput, 8 jenis
herba, 3 jenis parasit, 36 jenis epifit dan 3 jenis tema pada lampiran 2.1.
17
Sedangkan penyebaran jenis-jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama di
Indonesia dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan data pada lampiran 1
tersebut jumlah jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama tersebut adalah 27
jenis di Jawa dan Bali, 30 jenis di Sumatera, 11 jenis di Kalimantan, 20 jenis di
Sulawesi, 28 jenis di Maluku, dan 21 jenis di Irian Jaya (Sukarjo, 1999).
Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di
Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada
sekitar lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu
konsosiasi Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi
Bruguiera, dan konsosiasi Nypa. Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di
Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp. dengan Rhizophora spp. sering
ditemukan terutama di zone terdalam. Segi keanekaragaman jenis, zone transisi
(peralihan antara hutan mangrove dengan hutan rawa) merupakan zone dengan
jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak
khas habitat mangrove.
Secara umum, sesuai dengan kondisi habitat lokal, tipe komunitas
(berdasarkan jenis pohon dominan) mangrove di Indonesia berbeda dan suatu
tempat ke tempat lain dengan variasi ketebalan dan beberapa puluh meter
sampai beberapa kilometer dan garis pantai. Berdasarkan data jenis-jenis
tumbuhan mangrove yang sudah dilaporkan saat ini oleh beberapa peneliti di
berbagai daerah di pulau-pulau utama di Indonesia, secara umum dapat
dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian tersebut cukup mewakili keanekaragaman
jenis mangrove di Indonesia. Walaupun demikian, eksplorasi jenis tumbuhan
mangrove di berbagai daerah seyogyanya harus terus dilakukan untuk
mendapatkan data jenis tumbuhan mangrove selengkap-lengkapnya.
Penelitian mengenai fauna hutan mangrove di Indonesia masih terbatas
baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil
penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus
dengan hutan bakau mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung
Karawang, Segara Anakan, Delta Cimanuk, Pulau Burung, Pulau Rambut),
Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Ambon, Sumatera (Lampung,
Sumatera Selatan), dan Kalimantan.
Secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna terestris dan
fauna laut (Macnae, 1968) - Fauna terestris, misalnya kera ekor panjang
(Macaca spp), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.
18
Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan
Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan
Crustaceae didominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna
laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.
Alikodra et al. (1990) melaporkan adanya 45 jenis ikan dan 37 jenis famili
di Segara Anakan Cilacap dengan jenis-jenis ikan dominan seperti belanak
(Mugil sp.), boyor (Sillago sp.), tombol (Johnius sp.), susur-wedi (Trachiphalus
sp.), lidah (Cynoglossus sp.), lea (Setipine sp.), dan petek (Leiognathus sp.)
Soerianegara et al.,. (1985) melaporkan adanya sekitar 41 jenis ikan dari 26
famili, 4 jenis udang dari 3 famili, dan 3 jenis kerang di Muara Sungai Saleh,
Sumatera Selatan.
Alikodra (1999) melaporkan adanya sekitar 30 jenis burung di hutan
mangrove Segara Anakan - Jawa Tengah dan 28 jenis burung di hutan
mangrove Muara Cimanuk - Jawa Barat. Selain itu, di hutan mangrove juga
ditemukan jenis kera ekor panjang (Macaca sp.) seperti di Riau, bekantan
(Nasalis larvatus) yang endemik di hutan mangrove di Kalimantan
(Soemodihardjo et al., 1993), mamalia, reptilia dan lain-lain.
Fauna yang berada di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan
fauna laut (Macnae, 1968) bahwa umumnya fauna darat hanya menggunakan
ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan dan perlindungan. Di
Indonesia dikenal hanya satu jenis fauna darat yang seluruh siklus hidupnya
bergantung pada habitat mangrove, yaitu bekantan (Nasalis larvatus) yang
penyebarannya terbatas di Kalimantan.
Beberapa jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove adalah
Phalacrocorax carbo, P. melanogaster, P. niger, Anhinga anhinga, Egretta spp.,
dan Halcyon chioris. Jenis-jenis fauna ampibi yang sering ditemukan di
mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis. Jenis-jenis reptilia yang
sering dijumpai adalah Crocodilus porosus, Varanus salvator, Trimeresurus
wagleri, T. purpureomaculatus, Boiga dendrophila, Fordonia leucobalia, Bitia
hydroides, dan Cerberus rhynchops.
Beberapa jenis mamalia yang dijumpai di mangrove adalah Nasalis
larvatus, Presbytis cristatus, Cercopithecus mitis, Macaca irus, Sus scrofa,
Tragulus sp., Pteropsus spp., Fells viverrima, dan Herpestes spp. Banyak jenis
serangga yang menghuni habitat mangrove, yang umumnya didominasi oleh
19
nyamuk. Jenis serangga lain adalah semut (Aedes pembaensis, Anopheles spp.,
Culicoides spp.).
Fauna laut merupakan elemen utama dan fauna ekosistem mangrove.
Fauna laut di mengrove terdiri atas dua komponen, yaitu infauna yang hidup di
lobang-lobang di dalam tanah, dan epifauna yang bersifat mengembara di
permukaan tanah. Fauna umumnya didominasi oleh Crustacece. Selain itu,
komunitas infauna mangrove terdiri atas beberapa jenis Bivalvia dan satu genus
ikan. Sedangkan komunitas epifauna mangrove didominasi moluska (dalam hal
ini Gastropoda) dan beberapa jenis kepiting.
Fauna laut di ekosistem mangrove memperlihatkan dua pola penyebaran,
yaitu fauna yang menyebar secara vertikal dan fauna yang menyebar secara
horizontal. Fauna yang menyebar secara vertikal (hidup di batang, cabang dan
ranting, dan daun pohon) yakni berbagai jenis Moluska, terutama keong-
keongan, seperti Littorina scrabra, L. melanostona, L. undulata, Cerithidea spp.,
Nerita birmanica, Chthalmus withersii, Murex adustus, Balanus amphitrite,
Crassostraea cucullata, Nannosesarma minuta, dan Clibanarius longitarsus.
Fauna yang menyebar secara horizontal (hidup di atas atau di dalam
substratum) yang menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut: (a) mintakan
pedalaman (Birgus latro, Cardisoma carnifex, Thalassina anomala, Sesarma spp,
Uca lactea, U. bellator), (b) hutan Bruguiera dan Semak Ceriop (Sarmatium spp.,
Helice spp., Ilyograpsus spp., Sesarma spp., Metopograpsus frontalis, M.
thukuhar, M. messor, Cleistostoma spp., Tylodiplax spp., Ilyoplax spp.,
Thalassina anomala, Macrophthalmus depressus, Paracleistostoma depressum,
Utica spp., Telescopium telescopium, Uca spp., Cerithidea spp.), (c) hutan
Rhizophora (Metopograpsus latifrons, Alpheid prawa, Macrophthalmus
spp.,Telescopium telescopium), dan (d) mintakat pinggir pantai dan saluran
(Scartelaos viridis, Macrophthalmus Iatreillei, Boleophthalmus boddaerti, Uca
dussumieri, Periophthalmus chrysospilos, Tachypleus gigas, Cerberus
rhynchops, Syncera brevicula, Telescopium telescopium, Epixanthus dentatus,
Eurycarcinus integrifrons, Heteropanope eucratoides).
2.1.3 Peranan mangrove bagi biota laut Gambaran umum peranan suatu habitat mangrove bagi biota laut dapat
dilihat dari suatu model jaringan pangan (food web). Pada dasarnya sumbangsih
mangrove terhadap kehidupan biota laut adalah melalui guguran serasah
20
vegetasi (termasuk kotoran/sisa tubuh fauna yang mati) ke lantai hutan. Serasah
ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri menjadi detritus, yang mana
detritus tersebut merupakan makanan utama bagi konsumer primer. Selanjutnya
konsumen primer ini akan menunjang kehidupan biota tingkat konsumer
sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove.
Produktivitas primer habitat mangrove akan diperkaya oleh komunitas
alga di lumpur di lumpur dan akar, komunitas lamun, komunitas fitoplankton dan
laut, dan limbah organik terlarut (dissolved-organic compound) dari laut dan
daratan. Kesemua fenomena ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat
mangrove.
Tingginya produktivitas primer hutan mangrove salah satunya dapat
dilihat dan produktivitas serasah hutan tersebut yang umumnya beberapa kali
lipat produktivitas serasah tipe hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7
ton/ha per tahun (Kusmana, 1993). Kondisi habitat mangrove seperti ini
mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai feeding, spawning dan
nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya ikan dan udang) untuk
menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya.
Kusmana (2000), menyatakan bahwa seperti sudah diketahui secara
umum bahwa ekosistem mangrove merupakan interface antara ekosistem
daratan dengan ekosistem laut. Oleh karena itu, habitat-habitat lain yang
berinteraksi dengan habitat mangrove berasal dan ekosistem daratan dan lautan.
Hutan mangrove akan berkembang baik di muara-muara sungai, karena
di muara tersebut arus airnya cukup tenang yang mengakibatkan sedimentasi
sering terjadi. Proses sedimentasi ini memberikan, peluang pada jenis-jenis
pohon mangrove pionir untuk menginvasi lahan tersebut, misal jenis api-api
(Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.). Apabila sedimentasi ini tidak
terkendali, maka akan terjadi pergantian komunitas mangrove dengan jenis-jenis
pohon yang bertoleransi terhadap salinitas yang kecil (Bruguiera spp.,
Xylocarpus sp.) yang selanjutnya secara bertahap akan terjadi pergantian tipe
hutan dari hutan mangrove menjadi hutan daratan.
Dalam kaitannya dengan lingkungan perairan payau sebagai bagian
integral dan ekosistem hutan mangrove, air sungai yang banyak mengandung
lumpur (penetrasi cahaya ke dalam air berkurang) akan mengakibatkan
produktivitas primer perairan tersebut berkurang. Sejalan dengan proses
sedimentasi yang terus-menerus terjadi yang mengakibatkan terjadinya
21
pergantian secara bertahap dari tipe hutan mangrove ke hutan daratan, maka
lingkungan perairan payau beserta biota lautnya secara bertahap akan lenyap.
Estuaria merupakan suatu habitat akuatik yang tinggi produktivitas
primernya. Tipe habitat ini umumnya berasosiasi dengan habitat mangrove.
Nampaknya tipe habitat estuaria ini memberikan kondisi tempat hidup yang baik
untuk banyak jenis pohon mangrove dan biota laut yang berasosiasi dengan
habitat mangrove. Seagrass menunjang produktivitas mangrove melalui dua
cara, yaitu: (1) memperkecil arus air laut dan daya dorong ombak, dan (2)
menambah serasah sebagai input energi ke habitat mangrove. Fenomena
semacam ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove.
Hutan mangrove yang lebat umumnya dijumpai di pantai-pantai yang
terlindung dari hempasan ombak yang kuat. Dalam hal ini, secara fisik terumbu
karang akan menahan hempasan ombak sehingga perairan di belakang karang
tersebut akan berarus tenang yang mana kondisi seperti ini akan memberikan
peluang yang baik untuk tumbuhnya pohon-pohon mangrove dan biota laut yang
berasosiasi dengan habitat mangrove tersebut. Secara simultan keterkaitan
antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem lainnya akan menyebabkan
terbentuknya tiga macam tipe ekosistem yang saling berinteraksi dengan habitat
mangrove yaitu benthic ecosystem, pelagic ecosystem, dan supratidal
ecosystem.
Manfaat mangrove dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek
ekologis, aspek ekonomis dan pemenuhan sebagai pangan. Manfaat ekologis
mangrove adalah: (a) sebagai bahan organik dan hara bagi ekosistem akuatik
yang bersangkutan, (b) sebagai daerah pembiakan bagi berbagai binatang
terutama ikan dan udang, (c) merupakan lingkungan yang sangat heterogen
secara fisik memberikan berbagai macam relung, tempat perlindungan, daerah
khusus yang digunakan oleh spesies lainnya, (d) memberikan perlindungan
pantai (mencegah erosi) selama banjir bandang dan badai, (e) sebagai
penangkap sedimen menyebabkan pertambahan tanah (akresi), (f) menyaring
bahan-bahan pencemar dan hara yang dapat masuk wilayah pantai atau perairan
(menjadi suatu masalah jika ketidaksediaan hara dan bahan pencemar
berlebihan ada di perairan), dan (g) penyangga penting bagi hutan rawa yang
tidak toleran dengan air asin (Rawana et al., 2001).
Manfaat ekonomis yang dapat diperoleh dari hutan mangrove diantaranya
dapat diambil dari tumbuhan mangrove, tumbuhan bukan mangrove dan dari
22
hewan yang hidup disekitar hutan mangrove. Beberapa manfaat dari hutan
mangrove antara lain adalah sebagai: bahan bakar, konstruksi, produksi kertas,
alat rumah tangga, obat-obatan tradisional, pupuk hijau, pakan ternak,
peternakan lebah.
Pada hutan mangrove selain tumbuhan mangrove, tumbuhan lain yang
berada di hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi
adalah rumput got-got dan nipah. Manfaat ekonomi dari hewan yang hidup di
sekitar hutan mangrove di antaranya: sirip ikan sebagai bahan makanan dan
pupuk, krustase sebagai bahan makanan, lebah penghasil madu dan lilin,
unggas sebagai bahan makanan dan kerajinan bulu unggas yang bernilai
estetika atau keindahan.
Mangrove mempunyai peran yang sangat strategis baik dari aspek
lingkungan, ekonomi dan sosial. Beberapa fungsi utama mangrove yaitu: (1) filter
air asin (menghasilkan air payau, mengendalikan intrusi air laut, melindungi
abrasi pantai), (2) media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna (biologi
dan mikrobiologi), dan (3) ekotourisme.
Sebagian besar tanaman mempunyai toleransi yang rendah terhadap
garam, tetapi dalam mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang
naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar
dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar garam.
Tanaman mangrove dapat tumbuh ideal apabila airnya terdiri atas 50% air tawar
dan 50% air laut. Mangrove dapat menyerap air asin dan CO2 untuk keperluan
fotosintesisnya. Selain menurunkan kadar garam dan menghasilkan air bersih,
mangrove juga turut menyerap gas rumah kaca yang saat ini dituding sebagai
salah satu penyebab pemanasan global (Ball et al., 1997). Indikasi penyerapan
air garam terlihat dari konsentrasi lapisan garam pada permukaan daun.
Menyimpan air asin daun yang tebal, rambut yang berfungsi mengurangi
transpirasi. Bahkan ada beberapa spesies yang dapat menyimpan air di jaringan
internalnya.
Media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna in-situ (biologi dan
mikrobiologi). Siklus flora dan fauna (biologi dan mikrobiologi). Mangrove
merupakan sumber makanan bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi
sisa tanaman dan hewan. Interaksi komponen tersebut menjadikan mangrove
sebagai habitat pantai yang sangat penting.
23
Ekoturisme merupakan salah satu sumber pendapatan negara dari sektor
non-migas yang tidak terkena dampak resesi. Pengembangan sumberdaya
mangrove dengan segala komponen flora dan fauna yang ada dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan wisata. Di negara-negara maju
ekotourisme kawasan mangrove dapat sejajar dengan tujuan wisata lainnya,
karena di kawasan tersebut dapat dikembangkan berbagai hal menyangkut ikan,
pengembangan reptil dan sebagainya.
2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan
2.2.1 Konsepsi pengelolaan sumberdaya alam
Sumberdaya alam merupakan modal dasar dalam suatu pembangunan
yang harus dikelola secara arif dan bijaksana agar dapat memberikan manfaat
bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka
penggunaan dan pemanfaatannya harus dilakukan secara lestari, serasi,
seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan
sehingga menjamin generasi yang akan datang.
Sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi
pembangunan ekonomi. Selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi
tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat
serta sebagai aset bangsa yang penting. Untuk itu, ketersediaan dan
kesinambungan dari sumberdaya alam menjadi sangat krusial bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi dan sangat tergantung kepada kinerja
pengelola yaitu masyarakat dan pemerintah.
Manajemen berarti mengerjakan sesuatu, namun tidak dalam pengertian
manajemen jika kita menyiapkan suatu bidang lahan dan meninggalkanya begitu
saja. Berbeda dengan melindungi suatu kawasan pada keadaan alam dalam
pengelolaan dalam kawasan perlindungan alam adalah suatu tindakan
manajemen. Jika manajemen tersebut aktif, maka tahap pertama adalah
menetapkan suatu keputusan (Alikodra, 1999).
Hukum dasar manusia dan alam adalah bahwa manusia memiliki
kebutuhan yang tidak terbatas sedangkan kemampuan sumberdaya alam ada
batasnya bahkan dapat mengalami kelangkaan. Untuk itu harus melakukan
pilihan yang cermat. Pilihan ini harus memperhatikan apa yang diinginkan dan
apa yang dibutuhkan, dan kepentingan dimensi lain yaitu perlindungan,
24
pelestarian dan pemeliharaan sumberdaya alam yang kita memiliki (Alikodra,
1999). Ekologi, ekonomi dan sosial merupakan ukuran yang dapat dipergunakan
dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai, yaitu dengan
mengembangkan pertanyaan (1) apakah layak secara ekologi (2) apakah layak
secara ekonomi (3) apakah layak secara sosial dan politik.
2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Kartodihardjo et al., (2000) mengatakan kelembagaan (institusi) baik
formal maupun non-formal merupakan salah satu penentu dalam kinerja
pembangunan. Perbedaan kelembagaan (institusi) dengan organisasi perlu ada
pemahaman yang jeias dan pasti. Aturan-aturan dalam kelembagaan
dipergunakan untuk menata aturan main dan pemain-pemain atau organisasi-
organisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk
memenangkan permainan itu.
Schmid (1987) mendefinisikan institusi adalah seperangkat ketentuan
yang mengatur masyarakat yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan
bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap
pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang
telah mereka lakukan. Koentjaraningrat (1964) menyatakan bahwa kelembagaan
atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang
berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kelompok-kelompok
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan dapat juga
diartikan sebagai tatacara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur
hubungan antar manusia yang berkelompok pada suatu kelompok
kemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut kelembagaan merupakan suatu
jaringan dari proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok
manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta
pelakunya sesuai dengan kepentingan individu dan kelompoknya.
Sanim (1999) menyebutkan bahwa pada dasarnya kelembagaan
mempunyai beberapa fungsi, antara lain: (1) Memberikan pedoman kepada
anggota-anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bertingkah laku
atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah di dalam masyarakat
terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan, (2)
Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan, dan (3) Memberikan
pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial
25
artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-
anggotanya.
Peranan ketiga komponen tersebut saling berpengaruh terhadap
efektivitas pelaksanaannya dalam memberikan layanan, hak dan kewajiban
terhadap pemanfaatan dan penggunaan suatu sumberdaya. Berkenaan dengan
gambaran tersebut, dalam suatu sistem kelembagaan harus mengandung
perangkat aturan dari kelembagaan dan operasionalisasi kegiatan dari
kelembagaan yang bersangkutan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain
sistem kelembagaan harus mengandung aturan-aturan atau norma-norma dalam
masyarakat dan sistem.
GilIin (1987) dalam bukunya General Feature of Social Institution suatu
kelembagaan harus bercirikan lima hal, yakni: (1) suatu institusi merupakan
suatu organisasi dan pada pola-pola pemikiran dan kelakuan yang terwujud
melalui aktivitas-aktivitasnya, (2) memiliki tingkat kekekalan tertentu, (3)
mempunyai tujuan tertentu, (4) adanya alat untuk mencapai tujuan, dan (5)
mempunyai karakteristik tertentu.
Suatu kelembagaan, dicirikan oleh tiga komponen utama, yang menurut
Schmidt (1987) dalam Pakpahan (1990) adalah:
a. Batas kewenangan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaan
seperti yang diharapkan, ditentukan oleh empat hal, yaitu perasaan para
peserta sebagai suatu masyarakat, homogenitas, eksternalitas dan skala
ekonomi. Israel (1990) menegaskan bahwa batas kewenangan berperan
untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam
organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan
sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat berkelanjutan
sumberdaya tersebut dan pembagian manfaat bersih yang diperoleh masing-
masing pihak.
b. Hak kepemilikan. Hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap
sumberdaya tertentu yang diatur oleh peraturan, adat dan tradisi atau
konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu
tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak atau hak penguasaan, apabila
tanpa pengesahan dan masyarakat sekitarnya. lmplikasinya adalah (1) hak
seorang adalah kewajiban orang dan (2) hak yang tercermin oleh kepemilikan
adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. Bahwa property
26
right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap lahan, hasil
produksi dan lain-lain.
c. Aturan perwakilan. Mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya
terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah perwakilan yang
digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Terdapat tiga komponen utama dalam kelembagaan, yakni; (1) organisasi
atau wadah dan suatu kelembagaan, (2) fungsi dan kelembagaan dalam
masyarakat, dan (3) aturan main yang ditetapkan itu sendiri (Sanim, 1999).
Berkaitan dengan hal tersebut, organisasi dalam suatu sistem kelembagaan
mempunyai fungsi pokok sebagai berikut, yakni (1) operative institution dan (2)
regulative institution. Sebagai operative institution, suatu sistem kelembagaan
harus menghimpun berbagai pola atau tata cara dan perangkat aturan dalam
mengelola aktivitas masyarakat yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga
yang bersangkutan. Sedangkan sebagai regulative institution, suatu sistem
kelembagaan bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan setiap
aktivitas anggota masyarakat yang menjadi bagian mutlak dan lembaga itu
sendiri melalui sistem pengawasan dan kontrol.
Dalam pengelolaan dalam sumberdaya kelembagaan berperan dalam
penetapan dan pengaturan berbagai peraturan yang melembaga yang
menetapkan berbagai tingkat pengawasan terhadap penggunaan sumberdaya
atau barang dan jasa kepada para pengambil keputusan yang berbeda, baik
individu maupun kelampok. Jadi hak-hak milik mengacu kepada hak-hak yang
diberikan kepada pemilik sumberdaya dan pembatasan dalam penggunaan
sumberdaya (Sanim, 1999).
Efektivitas kelembagaan dalam menggambarkan struktur hak-hak milik
yang dapat mengalokasikan sumberdaya yang efisien tergantung pada
pemenuhan syarat-syarat pendefinisian hak-hak kepemilikan, yakni (1) universal,
(2) eksklusif, (3) dapat dipindahtangankan dan terjamin pelaksanaannya. Dengan
perkataan lain kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya terkait erat dengan
hak-hak kepemilikan.
Di sisi lain peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam,
diupayakan untuk (1) membangun kerangka umum pemanfaatan sumberdaya
alam agar sistem dan prosedur pendayagunaan sumberdaya alam lebih etis, (2)
mengarahkan dan mengatur pelaku pengguna sumberdaya alam sesuai dengan
27
segala sesuatu yang telah dikukuhkan dalam kerangka umum pemanfaatan
sumberdaya alam (3) mengubah perilaku, kebijakan (pengaturan alokasi
sumberdaya alam dan perlindungan sumberdaya alam) dan teknologi
pemanfaatan sumberdaya alam (4) menginternalisasikan biaya oportunitas ke
dalam nilai (harga) sumberdaya alam, dan (5) menjamin kepentingan untuk
menunjang sistem keamanan pemanfaatan sumberdaya alam.
Peranan kelembagaan Iainnya dalam upaya penetapan manfaat dan
biaya dan pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan dimensinya, yakni
(1) dimensi temporal; yang berkaitan dengan manfaat yang bentambah segera
atau manfaat bertambah setelah kurun waktu yang sama, (2) dimensi spasial;
manfaat bertambah pada okasi tertentu atau manfaat bertambah sedikit
(remotely), (3) kemampuan untuk diraba (tangibility); manfaat yang cukup jelas
atau manfaat yang relatif untuk didefinisikan, dan (4) distribusi; manfaat
bertambah pada orang-orang yang menanggung biaya pengelolaan atau manfaat
bertambah pada orang lain.
Pengelolaan sumberdaya alam harus memperhatikan; (1) Keutuhan
fungsi ekosistem, yaitu keterkaitan keanekaragaman, keselarasan, dan
keberlanjutan dan ekosistem, (2) Memperhatikan dampak pembangunan
terhadap Iingkungan dengan menerapkan sistem analisis mengenai dampak
Iingkungan, sehingga dampak negatif dapat dikendalikan dan dampak positif
dapat dikembangkan, (3) Kepentingan generasi masa depan bahkan diusahakan
tercapainya transgenerational equity, sehingga kualitas dan kuantitas
sumberdaya alam dijaga keutuhannya untuk generasi akan datang (4) Wawasan
jangka panjang, karena perubahan lingkungan berlangsung penciutan
sumberdaya alam tidak masuk pasar. Perhitungan penciutan ini dilakukan secara
eksplisit. Komponen lingkungan yang tidak dapat dipasarkan seperti nilai
sumberdaya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan, dan hal-
hal lain yang meningkatkan kualitas lingkungan, sehingga proses ekonomi
secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan.
Di dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak mudah untuk menentukan
lembaga-lembaga mana yang seharusnya terlibat dan bagaimana susunan
kelembagaannya. Kejelian dalam menentukan hal tersebut sangat esensial
dalam mengevaluasi kelembagaan lokal. Ada beberapa hal yang perlu dikaji,
yakni (1) pembatasan sumberdaya dan penggunaannya, (2) distribusi biaya dan
28
manfaatnya, (3) karakteristik sumberdaya, (4) karakteristik penggunaannya dan
(5) pertimbangan pemilikan bersama.
Eksistensi kelembagaan dalam kaitannya dengan pengelolaan
sumberdaya alam meliputi: (1) pentingnya peranan dan fungsi kelembagaan
dalam pengelolaan sumberdaya, (2) munculnya kegagalan pasar, (3)
kelembagaan mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda yang semuanya
memiliki tugas yang jelas batasannya yang bersifat kompleks, formal, dan
permanen, (4) kelembagaan mempunyal kekuasaan yang sah untuk membuat
keputusan yang final dan mengikat, dan (5) kelembagaan mempunyai
kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik.
2.2.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Beberapa pengelola lingkungan merasa tertantang dengan pendekatan
partisipatif, karena menyadari bahwa merupakan tugas merekalah untuk
merumuskan persoalan dan mengembangkan penyelesaiannya. Saat ini di
negara-negara demokratik dengan masalah yang sedemikian kompleks lebih
banyak pengelola memandang positif pendekatan partisipatif ini (Mitchell et al.,
1997).
Bryan and Louse (1982), partisipasi di bidang pembangunan mencakup
keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan untuk
memberi konstribusi dalam pembangunan dan kesediaan untuk turut
bertanggung jawab. Mubyarto (1984) menyebutkan bahwa partisipasi adalah
kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan
kemampuannya tanpa mengorbankan diri sendiri. Partisipasi oleh beberapa ahli
dikaitkan dengan upaya dalam mendukung program pemerintah.
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan
keputusan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana keterlibatan dalam
pelaksanaan program dan keputusan dalam konstribusi sumberdaya atau
bekerjasama dalam organisasi-organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat
dan program pembangunan, atau keterlibatan dalam evaluasi program.
Secara umum keempat macam ketertibatan ini mengarah kepada
partisipasi dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Pentingnya keterlibatan
masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan
Iingkungan pesisir. Menurut Cohen dan Uphoff (1977) setidaknya memiliki tiga
alasan utama, yaitu: (1) Sebagai Iangkah awal mempersiapkan masyarakat
29
untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat
terhadap program pengelolaan Iingkungan yang dilaksanakan, (2) Sebagai alat
untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat
setempat, dan (3) Masyarakat mempunyai hak untuk urun rembug dalam
menentukan program-program pengelolaan Iingkungan yang akan dilaksanakan
di wilayah mereka.
Partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan akan
terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila memenuhi tiga faktor utama
pendukungnya, yaitu:
1. Faktor kemampuan peran serta bersumber pada faktor psikologis individu
yang menyangkut persepsi dan emosi yang melekat pada diri manusia.
Faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya,
sulit diamati dan diketahui dengan pasti dan tidak mudah dikomunikasikan,
namun selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak
perilaku manusia. Objek pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan
keberadaan, manfaat, hasil dan upaya yang menarik minat seseorang untuk
berpartisipasi. Subjek akan berpartisipasi karena memiliki persepsi positif
terhadap kegiatan tersebut, yaitu memperoleh hasil atau keuntungan bagi
dirinya. Persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat lingkungan
sekitar, mendengar suara, merasakan atau mencium sesuatu. Dengan kata
lain, persepsi adalah apa yang dialami langsung oleh seseorang (Bell, 1978).
Persepsi berhubungan dengan ketergantungan seseorang kepada berapa
jauh impresi suatu objek membuat arti.
2. Faktor tingkat kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
tergantung pada banyak faktor yang sating berinteraksi, terutama faktor
pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal, keterampilan,
pengalaman dan ketersediaan permodalan. Tingkat pendidikan akan
tercermin pada tingkat pengetahuan, sikap mental dan keterampilan.
Kemampuan permodalan akan tercermin pada tingkat pendapatan rumah
tangga dan bantuan dana yang bisa diperoleh, sedangkan pengalaman akan
dicerminkan oleh lamanya seseorang berkecimpung dalam kegiatan-kegitan
pengelolaan lingkungan yang telah berlangsung. Faktor kemampuan
menunjukkan lapisan keberadaan masyarakat.
3. Faktor kesempatan masyarakat dalam proses pengelolaan lingkungan
dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi, terutama faktor
30
ketersediaan sarana dan prasarana fisik yang diperlukan untuk
berlangsungnya proses pengelolaan lingkungan, kelembagaan yang
mengatur interaksi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan,
birokrasi yang mengatur dan menyediakan kemudahan dan mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, serta faktor
sosial budaya masyarakat.
Pengertian partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat
adalah keterlibatan masyarakat secara aktif baik moril maupun materil dalam
program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang di dalamnya
menyangkut kepentingan individu. Partisipasi merupakan masukan daam proses
pembangunan dan sekaligus juga sebagai keluaran atau sasaran dan
pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula bersifat horizontal.
Terdapat delapan tingkatan partisipasi masyarakat, yaitu: manipulasi,
terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredaman, kemitraan,
pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Tipe partisipasi
manipulasi dan terapi dikategorikan sebagai non partisipasi. Tipe partisipasi
menyampaikan informasi, konsultasi dan peredaman dikategorikan sebagai
tingkat partisipasi tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat
didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki
kemampuan untuk mendapat jaminan bahwa pandangan mereka akan
dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Jika
partisipasi dibatasi pada tingkat ini, maka kecil kemungkinan ada perubahan
dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Tipe partisipasi kemitraan,
pendelegasian kekuasaan, pengawasan masyarakat dikategorikan sebagai
tingkat partisipasi otoritas masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam tingkatan ini
memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan
kemitraan dan memiliki kemampuan tawar-menawar dengan pengambil
keputusan. Bahkan Iebih jauh masyarakat memiliki mayoritas suara dalam
proses pengambilan keputusan dan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh
mengelola suatu objek kebijakan tertentu.
Partisipasi daIam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan
memberikan kesempatan kepada masyarakat mengemukakan pendapat dan
aspirasinya dalam menilai suatu rencana kegiatan. Masyarakat juga diberi
kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil. Partisipasi
31
dalam pelaksanaan pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan
masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah
disepakati bersama. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan adalah
partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah
dilaksanakan, baik pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di
masyarakat dan ikut menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan.
Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan adalah partisipasi
masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai serta mengawasi kegiatan
pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
Tahapan partipasi masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat
terlibat pada semua tahapan program, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan
sampai pada pemanfaatan hasil kegiatan pembangunan. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa jika masyarakat sejak awal dilibatkan secara penuh dalam
suatu kegiatan, maka dengan sendirinya akan timbul rasa memiliki dan tanggung
jawab moral terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan.
Visi yang mendasari model strategi pemberdayaan masyarakat adalah
segenap upaya pembangunan yang diselenggarakan harus diarahkan langsung
pada akar persoalannya yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Komponen-
komponen yang masih tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan
kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan keseluruhan
potensinya atau dengan kata lain memberdayakannya.
Canter (1977), Comick (1979) dan Coulet (1989), Wengert (1979) dalam
Santoso (1993) merinci peran serta masyarakat sebagai berikut :
1) Peran serta masyarakat sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini
berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan
yang tepat dan baik untuk diiaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu
pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau
terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk
dikonsultasi.
2) Peran serta masyarakat sebagai strategi. Penganut paham ini mendalilkan
bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan
dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu pemahaman
bahwa apabila masyarakat merasa memiliki akses terhadap proses
pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan
32
pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan
tersebut akan memiliki kredibilitas.
3) Peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi. Peran serta masyarakat
didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi
dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu
pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat,
sehingga pandangan dan preferensi dan masyarakat tersebut adalah
masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.
4) Peran serta masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa. Dalam konteks
ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk
mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha Pencapaian konsensus
dan pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini
adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan
toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan.
5) Peran serta masyarakat sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran serta
masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk mengobati masalah-masalah
psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan, tidak
percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan sebagai komponen
penting dalam masyarakat.
6) Pemberian wewenang kepada masyarakat. Disamping dikehendak terjadinya
perubahan sikap dan perilaku dan institusi pemerintah seperti telah
dipaparkan diatas secara teoritik kepada pihak masyarakat perlu terus
diberdayakan kesadarannya serta didorong tanggung jawab dan
kemandiriannya.
Secara konseptual Iangkah pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan
melalui suatu strategi pemberian wewenang demokrasi partisipatif. Osborn
(1996) menyebut langkah trersebut sebagai perwujudan model great society.
Pertimbangan perwujudan model great society ini menjadi penting karena
didasarkan kepada beberapa alasan pertimbangan sebagai berikut: (1)
komunitas masyarakat memiliki komitmen lebih besar terhadap anggotanya
ketimbang sistem birokrasi; (2) komunitas masyarakat Iebih memahami
masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi pelayanan; (3) birokrasi akan lebih
memfokuskan memberikan pelayanan, sedangkan masyarakat akan lebih pada
memecahkan masalahnya; (4) birokrasi sebaiknya menawarkan pelayanan,
sedangkan masyarakat lebih menawarkan kepedulian; (5) komunitas lebih
33
fleksibel dan kreatif dalam menangani masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi
pelayanan; (6) biaya yang dibutuhkan oleh komunitas lebih murah daripada biaya
yang dibutuhkan oleh pelayanan birokrasi; (7) standar perilaku komunitas Iebih
efektif daripada pelayanan birokrasi; dan (8) komunitas masyarakat dapat Iebih
memfokuskan pada kapasitas dan sistem pelayanan Iebih pada kekurangan.
Perpaduan antar stakeholders dalam mengembangkan potensi daerah
serta sektor-sektor kegiatan usaha strategis maupun dalam menanggulangi
permasalahan serta persoalan Iingkungan yang ada di daerah dapat diwujudkan
melalui kerjasama antar ketiganya secara sinergis. Secara kualitatif, tolok ukur
keberhasilan kerjasama secara sinergis tadi adalah terciptanya suatu kondisi
segi harmonis berupa kemakmuran bagi wilayah dan kesejahteraan bagi
masyarakat serta keuntungan bagi pengusaha. Tingkat pelibatan masyarakat
yang diharapkan dan dimungkinkan harus ditentukan.
Pengelola tradisional biasanya enggan untuk melewati tingkat pelibatan
masyarakat, dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis dan
membuang-buang waktu. Pengelola pada dasarnya mempunyai tanggung jawab
untuk melakukan pendekatan partisipasi masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah
ilmiah, dan Iembaga-lembaga masyarakat mempunyai tugas berdasarkan hukum
yang tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebaliknya, masyarakat semakin
meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi yang Iebih
bermanfaat, yang dalam keyakinan mereka termasuk pula pelimpahan sebagian
kekuasaan. Pelimpahan atau alokasi kembali kekuasaan itu menimbulkan isu
tentang apakah kelompok yang diberikan kepercayaan dan kekuasaan dapat
dipercaya.
Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove memerlukan suatu pendekatan yang fleksibel, sabar dan
membutuhkan waktu. Membangun pemahaman dan keyakinan masyarakat
terhadap pentingnya pengelolaan mangrove sangat memakan waktu dan dapat
memperlambat pengukuran kemajuan pekerjaan dalam rehabilitasi mangrove.
Namun hal tersebut sebanding dengan perolehan hasil dalam jangka panjang
karena dapat membangun rasa kepemilikan dan komitmen masyarakat yang kuat
yang merupakan jaminan kelangsungan rehabilitasi mangrove.
Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan melibatkan
masyarakat dalam menyusun proses perencanaan dan pengelolaan hutan
mangrove secara lestari. Dengan pola pendekatan pengelolaan berbasiskan
34
masyarakat, diharapkan setiap rumusan perencanaan muncul dan aspirasi
masyarakat. Pola pendekatan ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: (1)
program perencanaan partisipasi pembangunan masyarakat desa (P3MD), dan
(2) pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). PRA secara harfiah diartikan
sebagai cara untuk memahami keadaan atau kondisi desa dengan melibatkan
partisipasi masyarakat.
PRA secara luas diartikan sebagai pendekatan dan tekhnik-tekhnik
pelibatan masyarakat dalam proses-proses pemikiran yang berlangsung selama
kegiatan perencanaan dan pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi
program pembangunan masyarakat, sehingga dengan PRA dimaksudkan untuk
memungkinkan masyarakat setempat melaksanakan analisis tentang mereka
sendiri dan sering juga untuk merencanakan dan mengambil tindakan.
2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove Pengelolaan sumber daya alam adalah upaya manusia dalam mengubah
sumber daya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan
mengusahakan kontinuitas produksi (Soerianegara, 1987). Dahuri (2001)
menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove,
adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian
hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivtas
mempunyai dua arti, yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan
hasil panen.
Pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi. Hal
ini sebagai Iangkah awal adalah mencegah semakin rusaknya ekosistem hutan
mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan
konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan
tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi
keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya (Saenger et al., 1983).
Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan
mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana
pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikoordinasi secara resmi di dalam
rencana tata ruang daerah tersebut dan merupakan rencana tata ruang
kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang
akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada dan aspirasi masyarakat
perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi Iangsung dan dipertimbangkan
35
dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian dan kerjasama
dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaan tersebut tidak akan
berfungsi dengan baik (Alikodra, 1999).
Pengelolaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan
ekosistem di sekitarnya sehingga tidak berorientasi dalam lingkup kecil. Saenger,
et al., (1983) mengatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove harus mencakup
wilayah yang Iebih luas dari ekosistem tersebut, sehingga secara ideal
merupakan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan.
Aspek sosial ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang
diperoleh dan pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan
masyarakat lokal tempat sumberdaya alam berada. Pengelolaan hutan mangrove
tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses
kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara Iangsung
maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat
menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan
menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Aspek sosial ekonomi
diwujudkan dalam bentuk pengelolaan multiguna (Ahson, 1993).
Pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk
kepentingan banyak pihak secara seimbang, sehingga terhindar dari orientasi
tunggal yang sempit dan berjangka pendek Dahuri, et al., (2001). Pengelolaan
multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam sehingga
membuka pilihan yang Iebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam
pengelolaan hutan mangrove.
Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang kompleks
untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat
akomodatif dari pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar
kawasan. Pada dasarnya kegiatan pelestarian mangrove dilakukan demi
memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan
Iebih dirasakan manfaatnya apabila Iebih berpihak pada institusi yang paling
rentan terhadap sumberdaya mangrove, yakni masyarakat. Masyarakat harus
diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah
menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan
mangrove. Dengan demikian persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan
mangrove perlu diarahkan kepada cara pandang pentingnya sumberdaya ini.
36
2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove
Pemanfaatan hutan mangrove bergantung sepenuhnya pada
perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem
mangrove (Dahuri, 2001). Kawasan hutan menurut fungsinya dibagi menjadi
beberapa peruntukkan, yaitu hutan produksi, hutan lindung, hutan wisata dan
hutan suaka alam (Alikodra, 1999). Kegiatan penataan hutan ini berdasarkan
pedoman pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.
60/Kpts/DJ/I/1978 dengan memperhatikan usulan dan pertimbangan Direktorat
Perlindungan dan Pengawetan Alam. Selain tipe-tipe hutan di atas, hutan
mangrove di Indonesia juga ada yang tumbuh di kawasan non kehutanan yaitu
rakyat.
Hutan mangrove yang terletak di hutan produksi digunakan untuk
menghasilkan keperluan masyarakat pada umumnya dan untuk kepentingan
pembangunan industri serta ekspor. Hasil hutan mangrove di hutan produksi
dapat berupa kayu bahan bangunan, kayu bakar, arang dan kulit kayu yang
mengandung zat penyamak atua tanin.
Di Indonesia, hutan mangrove ini dapat dibedakan menjadi tiga macam
berdasarkan sifat pengelolaannya, yaitu IUPHHK, IUPHHT, dan Perum
Perhutani. Pengelolaan oleh IUPHHK dan IUPHHT biasanya diterapkan pada
hutan mangrove yang terletak di luar Pulau Jawa yang masuk dalam areal
konsesi pemegang IUPHHK dan IUPHHT. Sedangkan di Pulau Jawa,
pengelolaan hutan mangrove diserahkan pada Perum Perhutani.
Sistem silvikultural yang digunakan dalam pengelolaan hutan ini adalah
sistem pohon induk (seed trees method). Sistem ini berdasarkan pada Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei
1978 yang mengatur cara penebangan dan pemeliharaan hutan mangrove
sebagai suatu keterpaduan pekerjaan.
Hutan mangrove yang boleh ditebang harus terletak mulai dari jarak 50 m
dari tepi hutan yang menghadap ke arah pantai dan 10 m dari tepi hutan yang
menghadap ke tepi sungai, alur air dan jalan raya. Penebangan dilakukan
dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha setelah itu areal ditutup
terhadap penebangan. Pohon yang ditebang berdiameter minimal 10 cm pada
ketinggian 20 cm di atas pangkal akar tunjang atau banir. Pada umur 15-20
tahun setelah penebangan dilakukan penjarangan, kemudian ditutup kembali
terhadap penebangan sampai hutan tersebut berumur 30 tahun.
37
Pembangunan hutan tanaman industri hutan mangrove dapat
dilaksanakan di lahan non produktif, namun masih layak atau cocok untuk
ditanami dengan jenis pohon mangrove dan terletak tidak jauh dari tepi sungai
yang masih digenangi oleh air laut saat pasang. Kegiatan dalam IUPHHK dan
IUPHHT ini meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman,
pemeliharaan dan pemanenan.
Luas hutan mangrove di Pulau Jawa adalah 70.502 ha yang tersebar di
Unit I Jawa Tengah sebesar 16.513 ha, Unit II Jawa Timur sebesar 20.994 ha
dan Unit III Jawa Barat seluas 32.995 ha (Perhutani, 1996). Pola pengelolaan
hutan mangrove di ketiga unit tersebut berbeda-beda tergantung pada kondisi
setempat. Hutan mangrove di Unit I dan II sedikit terpengaruh oleh pasang surut,
sedangkan di Unit III Jawa Barat umumnya dipengaruhi oleh pasang surut.
Sehingga pengelolaan hutan mangrove di Unit III dilakukan dengan model
empang parit (sylvofishery).
Model empang parit ini pada intinya melibatkan masyarakat secara
langsung berperan serta dalam pembangunan hutan, dimana 20% dari luas
lahan digunakan untuk tambak dan sisanya (80%) ditanami dengan vegetasi
mangrove. Perbandingan luas antara tegakan mangrove dengan empang adalah
4:1. Penanaman dilakukan dengan jarak 5 x 2 meter. Jenis-jenis vegetasi yang
ditanam adalah Sonneratia sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp.,
Ceriops sp., Avicenia sp., dan Xylocarpus sp.
Dalam sistem ini, para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok
Tani Hutan (KTH) yang terdiri atas 16-25 KK tiap KTH. Tiap KK diberi lahan
garapan seluas + 5 ha dan pada tahap awal Perum Perhutani memberi bantuan
gratis berupa pupuk 450 kg/ha dan kredit tanpa bunga berupa benih ikan sesuai
dengan kebutuhan. Biaya pengolahan tanah sepenuhnya tanggungan petani,
sedangkan biaya penanaman vegetasi mangrove ditanggung oleh Perum
Perhutani.
Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas
yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun
bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta
memelihara kesuburan tanah (Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990).
Hutan mangrove yang terletak dalam kawasan lindung adalah hutan yang
mangrove yang tumbuh di sempadan pantai, sempadan sungai dan kawasan
pantai berhutan bakau.
38
Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat. Kriteria sempadan sungai adalah sekurang-
kurangnya 100 meter di kanan kiri sungai besar dan 50 meter di kanan kiri anak
sungai yang berada di luar permukiman. Untuk sungai di kawasan permukiman
berupa jalan inspeksi selebar 10-15 meter. Kriteria kawasan pantai perhutani
bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan
terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.
Di dalam kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan budidaya kecuali yang
tidak mengganggu fungsi lindung. Kegiatan budidaya yang sudah ada harus
mematuhi ketentuan-ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung maka harus dicegah
perkembangannya dan fungsi kawasan dikembalikan secara bertahap. Kegiatan
yang diperbolehkan di kawasan ini adalah penelitian eksplorasi mineral dan air
tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.
Hutan suaka alam adalah hutan yang karena sifatnya diperuntukkan
secara khusus untuk melindungi alam hayati dan manfaat-manfaat lainnya (UU
No. 5 tahun 1967). Hutan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka
margasatwa. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau
ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung
secara alami. Sedangkan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang
untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai
upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam cagar alam adalah untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan
kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Fungsi penunjang budidaya dapat
dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam
cagar alam untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran. Sedangkan
kegiatan boleh yang dilakukan di suaka margasatwa hampir sama dengan cagar
alam dengan tambahan diperbolehkannya kegiatan wisata secara terbatas yaitu
kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam di suaka
margasatwa dengan persyaratan tertentu.
39
Hutan ini berfungsi sebagai hutan yang dapat memenuhi kepentingan
rekreasi dan kebudayaan. Dalam fungsi ini terdapat unsur komersial, sehingga
dalam pengelolaannya termasuk kegiatan bidang pengusahaan. Prinsipnya
adalah mencari manfaat yang sebesar-besarnya, keserbagunaan manfaat secara
lestari baik spiritual dan material tanpa mengganggu kelestarian hutannya.
Selain hutan produksi, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata,
hutan mangrove juga tumbuh di kawasan budidaya non kehutanan. Kawasan ini
dapat berupa hutan produksi yang dikonversi atau areal dengan tujuan
penggunaan lain. Hutan mangrove di kawasan ini biasanya dijadikan sebagai
daerah permukiman, industri, areal persawahan pasang surut, areal
pertambakan dan sebagainya. Pola pengelolaan di kawasan ini cenderung
merusak dan menurunkan fungsi serta luas hutan mangrove, termasuk
meniadakan jalur hijau mangrove. Hal ini disesuaikan dengan kepentingan dan
tujuan pemilik hutan mangrove tersebut.
Bagi petani tambak yang memelihara ikan dan udang secara intensif,
keberadaan hutan mangrove sangat mengganggu karena dijadikan sebagai
tempat persembunyian hama dan penyakit. Sehingga mereka menebang habis
vegetasi mangrove di tambaknya. Selain itu, adanya perbedaan persepsi dan
konflik kepentingan mengenai status serta pemanfaatan hutan mangrove
diantara berbagai sektor pemerintahan mengakibatkan pengelolaan yang
serampangan, tidak terpadu dan tidak memperhatikan kelestarian hasil.
2.5 Kebijakan Publik
Secara umum istilah kebijakan dipergunakan untuk menunjuk perilaku
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu
(Anderson, 1999). Kebijakan publik didefinisikan oleh Eyestone (1971) sebagai
hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungan. Dunn (1999) memberikan
pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang
mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Santoso (1993) dengan mengkomparasi berbagai definisi yang
dikemukakan para ahli menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan
40
mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu 1) para ahli
yang berpendapat bahwa kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah
disebut kebijakan publik, 2) para ahli yang memberikan perhatian khusus pada
pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang terkelompok dalam pandangan kategori
kedua terbagi pula kedalam dua kubu pendapat, yakni mereka yang memandang
kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai
tujuan dan maksud tertentu. Sedangkan kubu lainnya menganggap kebijakan
publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan.
Penjelasan lebih lanjut dan pandangan kelompok pertama para ahli
tersebut adalah melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan yaitu perumusan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian, dengan kata lain bahwa
kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dan para pembuat keputusan
kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut. Padangan dan kelompok kedua menyatakan kebijakan
publik terdiri dan keputusan dan tindakan artinya kebijakan publik sebagai suatu
hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa
diramalkan.
Dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semua
harus diperhitungkan yaitu: (1) Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik
dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat, dengan demikian mereka
atau individu-individu yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus
dibatasi. Ada juga dampak yang diinginkan (intended consequences) dan ada
dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences); (2) Kebijakan yang
mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok
diluar sasaran atau tujuan kebijakan, atau juga dinamakan dampak yang
melimpah (externalities or spillover effects), (3) Kebijakan yang mungkin
mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan-keadaan
dimasa yang akan datang, dengan kata lain kebijakan yang berdampak
berdasarkan dimensi waktu yakni masa sekarang dan masa yang akan datang;
(4) Kebijakan yang mempunyai dampak dalam bentuk biaya langsung dan biaya
tidak Iangsung, artinya ada biaya yang langsung dikeluarkan oleh program
tersebut dan ada biaya tidak Iangsung dikeluarkan oleh pihak lain, apakah oleh
pemerintah, swasta atau masyarakat; dan (5) Kebijakan yang mempunyai
dampak terhadap biaya-biaya yang tidak bisa dihitung, tetapi dapat dirasakan
oleh semua pihak.
41
Analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab
pertanyaan: (1) apa hakekat permasalahan, (2) kebijakan apa yang sedang atau
pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya, (3) seberapa
bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, (4) alternatif kebijakan
apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang dapat
diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut membuahkan informasi
tentang: masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil
kebijakan, dan kinerja kebijakan.
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang
lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: (1) perumusan
masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
menimbulkan masalah kebijakan; (2) peramalan (prediksi) menyediakan
informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif
kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu; (3) rekomendasi (preskripsi)
menyediakan informsi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di
masa depan dari suatu pemecahan masalah; (4) pemantauan (deskripsi)
menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari
diterapkannya alternatif kebijakan; dan (5) evaluasi menyediakan informasi
mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah.
Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang
tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu
terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi
juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis
sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk
menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga
macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama
untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya
dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan
yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
Dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal
mengenai tiga macam pertanyaan tersebut, dapat digunakan satu atau lebih dari
tiga pendekatan analisis, yaitu:
1) Pendekatan empiris: ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab
dan akibat dari kebijakan publik. Pertanyaan utama bersifat faktual dan
macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif.
42
2) Pendekatan valuatif: ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa
kebijakan. Pertanyaan berkenaan dengan nilai (berapa nilainya) dan tipe
informasi yang dihasilkan bersifat valuatif.
3) Pendekatan normatif: ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan
yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah publik, dan informasi
yang dihasilkan bersifat preskriptif.
Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui
apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal
tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang
berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran
yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan
akibat dari tindakan pemerintah.
Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu : (1) analisis prospektif, (2) analisis
retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif
merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi
informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya
berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan
dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara
utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis
prospektif dan retrospektif.
Kebijakan pembangunan kehutanan yang diterapkan selama lebih dari 30
tahun ternyata belum mampu mewujudkan keberpihakan kepada rakyat karena
masih beriorentasi sentralistik. Oleh karena itu, dalam era reformasi saat ini
rakyat menginginkan terjadinya perubahan dalam pembangunan kehutanan
(Alikodra, 2000). Perubahan kebijakan yang diperlukan diharapkan mampu
memenuhi harapan: (1) menghilangkan dan mencegah terjadinya kolusi, korupsi
dan nepotisme di lingkungan institusi kehutanan, (2) menerapkan asas-asas
profesionalisme dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, (3) memberikan
manfaat yang maksimal dan berkelanjutan bagi rakyat serta mengembangkan
peran serta rakyat dalam segala aspek pembangunan kehutanan, dan (4)
menjaga dan menjamin terwujudnya kelestarian sumber daya hutan.
Berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, menurut LPP-
Mangrove (2001) bahwa berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini
dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas,
terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar atau dekat hutan.
43
Bahkan dengan berkembangnya IUPHHK, IUPHHT sebagian besar dari mata
pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut secara otomatis
menjadi berkurang. Akibatnya masyarakat dimaksud, menjadi kurang peduli
terhadap pengamanan hutan. Artinya, aspek lingkungan dan keamanan hutan
menjadi terganggu, dan selanjutnya aspek sosialnya juga sulit dipertahankan
keabsahannya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Teluk Jakarta yang meliputi tiga lokasi
penelitian yaitu: Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang, Kecamatan
Penjaringan Jakarta Utara, dan Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi.
Muara Angke secara geografis terletak pada 06o 06’ 03’’– 06o 06’ 17’’LS dan 106o
44’ 43’’ – 106o 45’ 45’’ BT. Muara Gembong terletak diantara 060 00' 20" - 06° 03'
37" LS dan 106° 59' 30” - 107° 00' 43" BT. Teluk Naga secara geografis terletak
diantara 106° 42’ 08” - 106° 42’ 58” BT dan 06° 01’ 53” - 06° 02’ 44” LS. Desa-
desa di tiga lokasi tersebut dapat mewakili lokasi penelitian dengan karakteristik
utama memiliki hutan mangrove. Peta lokasi penelitian seperti tertera pada
Gambar 2.
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
##
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
# #
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
###
# #
#
##
#
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# # #
#
#
#
#
# # #
#
#
#
#
#
# # #
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
##
#
2.7 0
5.67
2. 74
4.57
3.39
5.59
6.36
4.00
1.00
8. 61
2.242.35
2. 63 0.3 6
0.1 30.37
0.192.080.79
1.06
6.50
2.53
4.59
2. 72 2. 41
1.46
1.89
3. 16
2.8 22.761. 50
3.22
1. 28
4. 42
0.34
3.6 3
0.7 3
1.83
3. 61
2. 85
3. 63
3. 16
2.0 0
2.00
2. 66
1. 33
1.0 0
0.0 1
1. 000.90
3.67
0.70
1.87
0.86
1.62 2.13
0.50
1.15
0.6 9
1.72 0.52
5.78 1.1 9
0.63
0.74 1. 82
1.552.251.2 1
1.6 7
0.76
8. 37 1.47
1.70
2.701.81
0.902.39
1.70
1.37
2. 77
1.06
0. 75
2. 23
1.71 1.5 9 2.511. 08
1.51
1.64 2. 91
0.38 2.85
2.65 0. 84
0. 80
3.0 8
1. 272.8 9
1.24
0.83 2. 700. 84
0. 92
ANGKE
SAPAT ANCOLANCOL
PLUIT
Tipar
Kuru s
PLUIT ANCOL
POLM AS
Rengas
WARAKAS
Kodam ar
Ka ndang
Wa rakas
CIKARANG
Suka pura
Plumpa ng
KAPUKMAS
PODOMORO
MUARABARU
RawaindahSUNT ERMAS
TTG. 249A
PLUITMURNI
KAMALMUARA
PADEMANGANKAPUKMUARA
Malaka DuaRa wama la ng
KALI ANGKEKALI PLUI T KALI ANCOL
KAPUKMUARA PADEMANGAN
SUNTERJAYA
KAMALMUARA
WADUK PLUIT
MUARABAHARI
ANCOL TIM UR
SungaiBambu
Kanda ngsapi
Malaka Sa tu
Saran gbang o
Su ngaibego g
Vila g ading
JEMBATANDUA
PLUITMUT IARA
TANJUNGPRIOK
T ANJUNGPRIOK
Kelapa gading
Pulong andang
KEL. PAPANGGO
DAERAH KHUSUS
KALI SUNT ER 2KALI SUNTER 1
PULAU UNT UNG JAWA
Ma laka hajibandanKEC.KEL APAGADING
KALI BANJIRKANAL
KELURAHAN ROROTAN
KEL .PEGANGSAAN DUA
KECAMATAN CI LINCI NGKOTAMADYA JAKARTA UT ARA
KELURAHAN KELAPAGADING TI MUR
KELURAHAN KELAPAGADING BARAT
LAJI
GAGA
ANGKE
SLIPI
KAPUK
KAMAL
KOANG
BULAK
KAPUKKAPUK
GROGOL
TOMANG
PESING KRUKUT
MAPHAR
CIT RA5
KRESEK
MALANG
DUT AMAS
PAKU WAN
PERMATA
MENCENG
KEM BANG
SEMANAN
DURIKEPA
TTG. 2 71
PALM ERAH
JATI PULO
JELAMBAR
DURIKEPACIPONDOH
RAWALELE
TTG. 273
TEGALALURKALIDERES
RAWABUAYA
BULAKSERE
HUT ANJAT I
KEM BANGAN
ANEKAELOK
KALIDERES
KALI ANGKE
GREENVILLA
PINTUKECIL
KAYU BESARKAPLINGPTB
CENGKARENG
BOJONGRAYA
PONDOKCABEKALI GROGOL
KALI GROGOL
KEMANGGISAN
LI NGKUNGAN3
BOJONGINDAH
KAMPUNGDURI
KAM PUNGBARU
PURIKEMBANG
DKI JAKARTA
MERUYA UT ARA
TAMANKENCANA
KAM PUNGG UNUNG
BAMBULARANGAN
JAKART A BARAT
KEDOYA SELATAN
CENGKARENGINDAH
GALU R
SENEN GALURGAM BIR
GEM POL
CIKI NI
GAM BIR
CIDENG
CI DENG
HARMONI
KARTINI SERDANG
KWITANG
PASEBAN
SERDANG
KAYUAWET
DURIPOLO
KEBONSI RI H
CI LIWUNG 3
KEBONKELAPA
KARANGANYARKEBONKOSONG
KAL I KRUKUT 1
MANGGGADUA SELATAN
4.7 1
5. 99
2. 04
34
294.71
4.80
4.26
1.30
2.04
3.73
4.594. 36
1.75
2. 00 2.00
2.001.00
2.00
1.00
2. 00
2. 00
2.00
1.002.00
2.00
3
OMUARA
UARA
SAMBI
T APANG
RU
RUM UDI
RAWABOKOR
TANJUNGAN
MULYA
BENDUNGANLYA
DADAPLEBAK
NDAH
M BAN
BON BESAR
WALUMPANG
KALI PERANCIS
SUNGAI TAHANG
KOSAMBI T IMUR
KOSAMBI BARAT
R TIM UR
2.2 7
2. 00
2. 96
2.00 1. 33
2. 681.46
1.3 72.5 3
1.25
1. 281.63
1.8 4
1.90 2.1 1
2.11
1. 60
1.281.1 0
1.141.05
1. 05
2.2 0
2.87 4.03
3. 63
3.20
3.694.214.03
4.0 3
6. 05
2.561.86
1. 341.09
2.3 5
3.00
1. 60
1.6 0
1.66
Kepu
Tanah ap it
Su ngaibambu
Po mahanbu la k
Peju angpra tama
Kaliaban ggatet
LAUT JAWA
PANTAI MAKMUR
PAHLAWAN SETIA
KECAMAT AN TARUNAJAYA
KECAMATANBEBELAN
PANTAI SEDERHANA
PANTAI MEKAR
PANTAI HARAPAN JAYA
HU
Tanjun g nuhun
Gaga teng ah
Muar age mbong
Tanah ba ru Po n
Se mbilangan
Ceg er
Sasa k
PETA LOKASI PENELITIANTELUK JAKARTA
U
2 0 2 4 6 Km
KETER ANGAN :
Batas Administras i :
: Batas Prov ins i
: Batas Kabupaten
: Batas Kecamat an
: Batas Des a
: J alan Layang
: J alan Lokal
: J alan U tama
: J alan TolTransportasi :
H UTAN R AW A
H UTAN BAK AU
P ADANG RU MPUT
P ASIR/B UKIT PAS IR LAUT
K EBUN
P ERMU KIMAN
R AWA
S AWAH
S EMAK BELUKAR
TEGALAN /LADANG
TAMAN
: J alan Lain
: J alan S etapak
E MPAN G
Landuse :
Sungai
#
3.00 Titik Tinggi
Sumber Dat a :
Pet a Rupabumi BAKOSUR TAN AL Skala 1 : 25.000
6 ° 8 ' 2 0 " 6 ° 8 ' 2 0 "
6 ° 3 ' 1 0 " 6 ° 3 ' 1 0 "
5 ° 5 8 ' 0 0 " 5 ° 5 8 ' 0 0 "
1 0 6 ° 4 1 ' 2 0 "
1 0 6 ° 4 1 ' 2 0 "
1 0 6 ° 4 6 ' 3 0 "
1 0 6 ° 4 6 ' 3 0 "
1 0 6 ° 5 1 ' 4 0 "
1 0 6 ° 5 1 ' 4 0 "
1 0 6 ° 5 6 ' 5 0 "
1 0 6 ° 5 6 ' 5 0 "
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan yaitu: (1)
Teluk Jakarta dapat menjadi potret pengelolaan kawasan mangrove di Indonesia,
(2) Teluk Jakarta terdiri atas tiga wilayah administrasi yang memiliki orientasi
45
yang berbeda dalam pemanfaatan kawasan di sekitar hutan mangrove, dan (3)
kondisi kawasan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi fisik dan
habitat yang masih terus berlangsung.
Penelitian awal dilakukan mulai bulan November sampai dengan
Desember 2005, sedangkan pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan pada
Januari 2006 sampai dengan Januari 2007.
3.2 Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan yaitu: (1) menganalisis
kondisi ekosistem mangrove di Teluk Jakarta pada tiga lokasi yakni Muara
Gembong, Teluk Naga, dan Muara Angke, (2) mereview kebijakan dan
permasalahannya serta menganalisis kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan
hutan mangrove, dan (3) menyusun prioritas kebijakan pengelolaan hutan
mangrove Teluk Jakarta dan strategi implementasinya. Secara visual tahapan
penelitian disajikan pada Gambar 3.
7DKDS�
7DKDS� 7DKDS�
. HELMDNDQ�3HQJHORODDQ�+XWDQ�0 DQJURYH�GDQ�
3HUP DVDODKDQQ\ D
6WUDWHJL�,PSOHP HQWDVL�GDQ�
5HNRP HQGDVL
. RQGLVL�( NRVLVWHP �0 DQJURYH�7HOXN�- DNDUWD
. HEXWXKDQ�6WDNHKROGHU�GDODP � 3HQJHORODDQ�+ XWDQ�
0 DQJURYH
3ULRULWDV�. HELMDNDQ�
3HQJHORODDQ
$QDOLVLV�YHJHWDVL� VSDVLDO$QDOLVLV�NXDOLWDV�DLU
$QDOLVLV�NHEXWXKDQ
) * '$ + 3$QDOLVLV�NHELMDNDQ
Gambar 3. Tahapan penelitian
Analisis spasial vegetasi mangrove di wilayah Teluk Jakarta dilakukan
untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove saat ini dan perubahannya
dengan menggunakan sistem informasi geografis. Hasil analisis ini memberikan
46
gambaran kondisi magrove berupa kerapatan dan perubahan tutupan lahan di
setiap wilayah. Analisis kualitas air dilakukan secara langsung di lokasi
penelitian. Hasil analisis ini memberikan gambaran kondisi perairan di Teluk
Jakarta dari aspek fisika dan kimia. Parameter kualitas air yang digunakan
adalah kualitas air baku untuk perairan.
Analisis kebijakan pengelolaan hutan mangrove di wilayah Teluk Jakarta
mencakup kebijakan yang telah dirumuskan selama ini. Hasil analisis ini berupa
deskripsi kebijakan dan permasalahan implementasinya pada tiga wilayah
administrasi yaitu Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk Naga. Selanjutnya
dilakukan analisis kebutuhan masyarakat dan stakeholder kunci dalam
pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta. Kebutuhan masyarakat dan
stakeholder dikategorikan berdasarkan tiga wilayah administrasi.
Hasil analisis tersebut selanjutnya digunakan sebagai masukan dalam
perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara
berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan partisipatif
dengan melibatkan semua stakeholder. Perumusan alternatif kebijakan
didasarkan pada permasalahan yang ditemukan dan kebutuhan masyarakat dan
stakeholder. Alternatif kebijakan tersebut disusun dalam bentuk prioritas
kebijakan menggunakan analytical hierarchy process (AHP) secara partisipatif.
Strategi implementasi kebijakan dirumuskan oleh semua stakeholder
untuk setiap alternatif kebijakan. Teknik yang digunakan adalah focus group
discussion (FGD) melibatkan pakar dan stakeholder di tiga wilayah yaitu Muara
Gembong, Muara Angke, dan Teluk Naga. Hasil FGD merupakan kesepakatan
bersama semua stakeholder dan pakar sehingga strategi yang dirumuskan lebih
mudah diimplementasikan.
3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini
dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Primer diambil secara
langsung di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait.
Metode wawancara dan pengamatan langsung di lapangan digunakan untuk
memperoleh data dan informasi yang lebih rinci tentang kondisi parameter yang
dikaji, sedangkan dokumentasi ditekankan untuk memperoleh informasi
pendukung yang dapat memberikan gambaran secara umum. Data yang
diperlukan secara rinci sebagaimana tertera pada Tabel 2.
47
Tabel 2. Jenis data yang dikumpulkan
No Jenis Data Sumber Data Keterangan
1. Penggunaan lahan, peta RTR Kab. Bekasi, Kab. Tangerang, dan Kota Jakarta Utara
BPN, Bappeda: Kab. Bekasi, Kab. Tangerang, dan Kota Jakarta Utara
Data sekunder
2. Data keadaan penduduk, (sosial dan ekonomi)
BPS, wawancara, dan kuesioner Data primer dan sekunder
3. Kualitas air (fisika dan kimia) Pengukuran langsung dan analisis laboratorium
Data primer
4. Vegetasi mangrove Citra landsat TM tahun 1997, 2002, 2006, pengukuran langsung, dan studi pustaka
Data primer
5. Kebutuhan stakeholder dan pendapat pakar
Wawancara, kuesioner, dan diskusi
Data primer
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini
dilakukan melalui beberapa metode, yakni: studi literatur, wawancara dan
pengamatan lapangan.
Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan
langsung di lapangan dan melalui cluster random sampling. Responden dibagi ke
dalam cluster kecamatan yakni Muara Gembong, Penjaringan, dan Teluk Naga.
Komposisi responden penelitian ini berdasarkan kategori usia, pendidikan, dan
pekerjaan disajikan pada Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5.
Tabel 3. Jumlah responden berdasarkan usia
Kecamatan Usia Responden
Total 20 – 30 tahun 31 – 49 tahun > 49 tahun
Muara Gembong 46 34 20 100
Penjaringan 20 74 6 100
Teluk Naga 30 40 30 100
Tabel 4. Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan
Kecamatan Pendidikan Responden
Total SD SMP SMA
Muara Gembong 44 40 16 100
Penjaringan 22 50 28 100
Teluk Naga 28 38 34 100
48
Tabel 5. Jumlah responden berdasarkan pekerjaan
Kecamatan Pekerjaan Responden
Total Buruh Petani Nelayan Pengusaha Pegawai
Muara Gembong 26 22 38 2 12 100 Penjaringan 40 34 8 10 8 100
Teluk Naga 68 14 12 2 4 100
Metode wawancara digunakan untuk memperoleh data yang belum
tercatat dalam literatur serta untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat.
Metode wawancara yang akan dilakukan terdiri atas wawancara bebas dan tidak
terstruktur serta wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner.
Wawancara ini akan dilakukan terhadap masyarakat, tokoh masyarakat,
pengurus lembaga, aparat pemerintahan desa, pejabat pemerintah daerah dan
instansi terkait, serta para pakar di bidang hutan mangrove. Metode ini dilakukan
guna mengetahui persepsi dan harapan masyarakat dengan adanya upaya
penyelamatan hutan mangrove.
Studi literatur dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan
informasi pendukung yang sangat diperlukan dalam penelitian ini, yang terkait
dengan pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam menyelamatkan
hutan mangrove. Data dan informasi meliputi: kondisi dan karakteristik
sumberdaya alam, kondisi dan karakteristik lokasi. Kondisi sosial ekonomi dan
lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan hutan mangrove. Sumber data
dan informasi ini berupa jurnal, laporan-laporan, karya ilmiah, proseding dan
berbagai sumber pustaka lainnya.
Pengamatan merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan
melalui pencatatan, pengukuran dan pengamatan terhadap kejadian atau faktor-
faktor yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. Pengamatan dan analisis
vegetasi dilakukan untuk mengetahui kondisi dan jumlah hutan mangrove, dan
pengamatan untuk kualitas air dilakukan baik secara insitu maupun eksitu.
3.5 Metode Analisis Data
Pada dasarnya penelitian ini bersifat eksploratif atau kajian evaluatif,
untuk itu berdasarkan data yang telah diperoleh dianalisis dengan metode
sebagai berikut:
49
1. Analisis spasial vegetasi mangrove
Untuk analisis secara keseluruhan di ketiga lokasi penelitian digunakan
sistem informasi geografis (SIG). Hal ini untuk memudahkan melihat perubahan
tutupan lahan khususnya tutupan lahan vegetasi mangrove. Citra yang
digunakan sebagai dasar analisis adalah citra satelit Landsat 7 ETM.
SIG adalah suatu sistem analisis berbasis komputer yang mampu
melakukan hubungan (relasi) antara data spasial (keruangan) dan data atribut
(data base). Sistem Informasi Geografi memerlukan konfigurasi software dan
hardware dengan performa yang tinggi. Hardware yang dibutuhkan antara lain
komputer dengan basis Windows, Digitizer dan Ploter, sedangkan Software yang
dibutuhkan antara lain PC ArcInfo dan ArcView. Dalam proses penyusunan SIG,
diperlukan beberapa tahapan proses hingga dihasilkan SIG. Adapun tahapan
tersebut adalah inventarisasi kawasan mangrove, penyusunan basis data dan
penyusunan basis model.
Delineasi kawasan mangrove menggunakan citra penginderaan jauh
skala tinjau 1: 250.000 (Landsat). Tahap berikutnya adalah melakukan uji lapang
(ground truth) terhadap hasil interpretasi. Hasil delineasi bentuk lahan setelah
uji lapang, kemudian diplot pada peta Rupabumi Indonesia skala 1: 25.000, agar
posisi koordinatnya mengacu pada sistem koordinat sebenarnya (real world
coordinate).
Basis data merupakan prasyarat utama memanfaatkan SIG untuk
berbagai aplikasi, termasuk untuk penyusunan SIG kawasan mangrove.
Pengertian basis data (database) adalah himpunan rekaman data (record) yang
bersifat spesifik, dimana pengaksesannya dikontrol oleh DBMS (database
management systems). Apabila basis data telah didefinisikan, struktur record
data yang berkaitan dengan panjang item (item width), nama item (field) dan
jenis data (integer, numerik, karakter) dijabarkan kedalam DBMS. Kemudian
apabila key in data ke dalam basis data dilaksanakan, DBMS bertanggung jawab
terhadap berbagai analisis untuk sorting data, penyajian, dan hubungan antar
record data.
Dalam menyusun basis data, himpunan data perlu dikelompokkan
berdasarkan temanya. Agar dapat dihimpun secara terstruktur dan sistematis,
maka karakteristik data perlu diklasifikasikan. Dalam klasifikasi data, karakteristik
data yang disajikan dalam atribut dalam bentuk kode. Penyusunan dan penyajian
kodifikasi karakteristik data ke dalam atribut perlu dikomunikasikan dengan
50
pengguna agar penempatan kumpulan record datanya sesuai pada atribut yang
diinginkanya.
Basis data dasar yang diperlukan meliputi: garis pantai, jaringan jalan,
jaringan sungai (hidrologi), nama-nama wilayah geografi (toponim), dan wilayah
administrasi pemerintahan. Basis data tematik meliputi: kawasan mangrove, dan
penutup lahan.
Basis model (model base) merupakan model aplikasi SIG untuk
mendukung pengambilan keputusan dari perencanaan spasial. Penyusunan
basis model menggunakan fungsi-fungsi SIG, terutama mengenai transformasi
dan integrasi data untuk menghasilkan informasi sintetik. Burrough (1983)
menjelaskan bahwa SIG mempunyai fungsi untuk memanipulasi dan
mengintegrasikan berbagai data tematik dengan teknik overlay. Metode overlay
memudahkan analisis dalam memberikan kriteria berbagai indikator dari data
tematik yang dihimpun dalam basis model (Birkin et al., 1996). Keseluruhan hasil
analisis SIG akan disajikan dalam ArcView. ArcView dapat menampilkan
hubungan antara data spasial dan data atribut secara bersamaan, sehingga
memudahkan dalam analisis perencanaan ataupun analisis kebijakan.
Untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi, dilakukan kalkulasi
kerapatan vegetasi dengan metode normalized difference vegetation index
(NDVI). Persamaan NDVI adalah:
3434
BandBandBandBand
NDVI+−
=
Band 4 merujuk pada band dengan kisaran panjang gelombang infra
merah dekat (near infra red), Band 3 merujuk pada band dengan kisaran panjang
gelombang merah. Jika citra yang dihasilkan kurang bagus tingkat
kekontrasannya akibat cuaca, maka klasifikasi citra yang digunakan adalah
dengan metode interpretrasi.
Berdasarkan penghitungan NDVI tersebut diperoleh citra NDVI yang
merefleksikan tutupan vegetasi di permukaan bumi. Untuk memperoleh informasi
spasial tentang kelas penutupan vegetasi, selanjutnya dilakukan proses density
slicing dengan mengikuti batas kelas yang digunakan dalam penilaian vegetasi
tutupan lahan. Batas kelas dalam proses density slicing diperoleh dengan
51
mengalikan nilai NDVI dengan batas kelas yang digunakan untuk penilaian pada
kondisi tutupan lahannya.
Kerapatan vegetasi di suatu lokasi dapat dideteksi dengan tampilan
degradasi warna putih pada citra NDVI. Semakin gelap warna hijau yang
ditampilkan citra pada suatu lokasi menunjukkan bahwa intensitas vegetasi di
lokasi tersebut semakin tinggi dan sebaliknya bila obyek diperlihatkan dengan
degradasi warna hijau yang lebih terang.
Untuk mendapatkan gambaran tentang obyek yang ada pada citra
dengan keadaan di lapangan, dilakukan pengambilan sampel ke lokasi
penelitian. Lokasi yang diambil sebagai sampel adalah lokasi yang memberikan
kenampakan yang berbeda pada citra. Untuk menentukan koordinat di lokasi
digunakan GPS.
2. Analisis kualitas air
Pertumbuhan vegetasi mangrove sangat tergantung pada dinamika
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhannya. Faktor-faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove yang pada intinya mencakup
genangan pasang surut, dan salinitas perairan serta faktor-faktor yang
mempengaruhi kedua unsur ini seperti air tawar, iklim dan kaitannya dengan
berbagai proses-proses geomorfologi dan geofisik. Pengambilan sampel
dilakukan pada setiap titik pengamatan yang telah ditentukan. Parameter dan
alat pengukuran disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Metode pengukuran kualitas air
Parameter Peubah Satuan Alat Pengukuran
Fisika Suhu °C Termometer
Salinitas ‰ Refraktometer
Kimia pH - pH Meter
Daya hantar listrik µmhos/cm Konduktometer
Oksigen terlarut mg/liter DO Meter
BOD mg/liter Reaksi Nessler COD, CO2 bebas mg/liter Titrasi
Amonia mg/liter Spektrofometer
Hg, Cd, Pb mg/liter AAS
52
3. Analisis kebutuhan stakeholder
Pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam pengelolaan
hutan mangrove secara berkelanjutan dilakukan dengan pendekatan partisipatif.
Pendekatan partisipatif merupakan strategi dalam paradigma pembangunan
yang bertumpu pada masyarakat dan stakeholder. Strategi ini menyadari
pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan
internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya
material dan non-material yang penting melalui redistribusi modal atau
kepemilikan.
Participatory rural appraisal (PRA) dilakukan untuk memperoleh informasi
tentang kondisi sosial dan ekonomi pada kawasan hutan mangrove Teluk
Jakarta. PRA dilakukan dengan melibatkan semua masyarakat pada tiga lokasi
terpilih. Kegiatan PRA dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan
penjaringan aspirasi. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan, keterlibatan,
kepentingan, pengetahuan, dan kebutuhan terhadap hutan mangrove.
4. Analisis kebijakan
Dalam penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk
Jakarta dilakukan dengan analisis multikriteria yang dilakukan dengan partisipatif.
Alat analisis yang digunakan adalah AHP. Penggunaan AHP dimasudkan untuk
penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan
keputusan dalam memilih strategi terbaik dengan cara: (1) mengamati secara
sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak
untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; (2) membandingkan
secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif; (3) memilih
alternatif terbaik untuk diimplementasikan; dan (4) membuat strategi pengelolaan
hutan mangrove secara optimal, dengan cara menentukan prioritas kegiatan.
Penetapan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk
Jakarta dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi
masyarakat, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur (intangible)
ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Tahap terpenting dari
AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya
merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu
tingkat hirarki (Saaty, 1993).
53
Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga
diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis
komputer menggunakan perangkat lunak Expert Choice 2000. Expert Choice
merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas
metodologi pengambilan keputusan yakni AHP.
Langkah-langkah dalam analisis data dengan AHP adalah:
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah
2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan fokus, dilanjutkan dengan
tujuan, kriteria dan alternatif kebijakan pada tingkatan level paling bawah.
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing
tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari
para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen
dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif
pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 – 9 berdasarkan
skala Saaty seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Skala perbandingan berpasangan
Skala Definisi
1 Kedua elemen sama pentingnya (equally importance) terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen lainnya (moderately importance)
5 Elemen satu lebih penting dari pada elemen lainnya (strongly importance)
7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting dari pada elemen lainnya (very strongly importance)
9 Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya (extremely importance)
2, 4, 6 dan 8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan (intermediate value)
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i
Sumber: Saaty (1993)
4. Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh
stakeholder yang berkompeten berdasarkan hasil identifikasi stakeholder.
5. Menghitung akar ciri, vektor ciri, dan menguji konsistensinya. Jika tidak
konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Indeks konsistensi
(CI) menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang
54
konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai
pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban
dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.
5. Penyusunan strategi dan arahan program
Arahan strategi dan program pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta
disesuaikan dengan kondisi wilayah dan kebutuhan stakeholder di masa
mendatang agar dihasilkan rumusan yang memberikan jaminan keberlanjutan
pengelolaan hutan mangrove. Kegiatan ini dilakukan melalui focus group
discussion (FGD) di Jakarta dengan melibatkan semua stakeholder.
FGD dilakukan untuk menemukan alternatif penyelesaian secara
partisipatif. Diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik. Tujuan
FGD adalah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang
dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan
hutan mangrove.
Stakeholder yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk
Jakarta dikategorikan berdasarkan tingkat nasional, regional, dan lokal yaitu:
1. Nasional: Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, LPP Mangrove,
pakar dan peneliti dari IPB dan LIPI.
2. Regional: Bappeda, BPLHD, DPRD, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan,
Dinas Pariwisata (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, dan Kota
Jakarta Utara).
3. Lokal: Camat, Koperasi nelayan, pengusaha hotel dan restoran, pengusaha
perikanan tambak, pedagang sektor informal, nelayan, wisatawan, lembaga
lokal, dan organisasi sosial.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta
1. Muara Angke
Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan
mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta. Pada mulanya
kelompok hutan ini seluas 1.114 ha, namun karena kegiatan pembangunan
luasnya menurun menjadi 327,7 ha.
Pembangunan kawasan Kapuk-Angke digagas oleh Pemerintah Daerah
DKI Jakarta, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985 bertujuan untuk
mengembangkan areal tambak dan ”eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai,
untuk perumahan dan fungsi kota lainnya. Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk
seluas ±1.114 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta
(berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI dengan Departemen
Pertanian cq Direkorat Jendral Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni
1977, dan didalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah). Tujuan kerjasama
dimaksud adalah untuk mengelola, memanfaatkan dan membina kawasan hutan
seluas ±1.114 ha yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara, Muara Kamal dan
Muara Angke.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161/Kpts/Um/6/1977
tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur,
Angke Kapuk dan sekitarnya sebagai berikut: a) sebagai hutan lindung, 5 km
sepanjang pantai selebar 100 meter; b) sebagai cagar alam Muara Angke; c)
sebagai kebun pembibitan; dan d) sebagai ”lapangan dengan tujuan istimewa”.
Kawasan delta Sungai Angke pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam
dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda (GB) No 24 tanggal 18 Juni
1939 seluas 15,40 ha.
Berkaitan dengan adanya kegiatan pembangunan permukiman di
kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan
pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan
kawasan hutan yang tetap dikuasai pemerintah yakni 322.6 ha. Berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/1998 tanggal 29 Februari 1988
yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas
56
335,50 ha. Kemudian berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara
Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata
Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota
Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan
adalah seluas 327,70 ha. Secara detil disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Perubahan luas peruntukan lahan di Kawasan Muara Angke (ha)
Kawasan Menhut (1984) Menhut (1988) Gub DKI (1989) Hutan lindung 49,25 50,80 44,76 Cagar alam Muara Angke 21,45 25,00 25,02 Hutan wisata 91,45 101,60 99,85 Kebun pembibitan kehutanan 10,47 10,47 10,52 Cengkareng Drain 29,05 28,36 28,93 Jalur transmisi PLN 29,90 25,90 23,07 Jalur tol dan jalur hijau 91,37 91,37 95,50
Jumlah 322,60 335,50 327,70
2. Muara Gembong
Sejarah pengelolaan mangrove di Muara Gembong Kabupaten Bekasi
pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian setelah
masa kemerdekaan Negara Republik Indonesia maka pengelolaan mangrovenya
dilakukan oleh Jawatan Kehutanan Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Barat.
Perkembangan berikutnya pada tahun 1976, dengan terbentuknya Unit III Perum
Perhutani maka pengelolaan mangrove di kawasan Muara Gembong dilakukan
oleh Resort Pemangkuan Hutan Muara Gembong Bagian Kesatuan Pemangkuan
Hutan Ujung Karawang Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor Perum Perhutani
Unit III Jawa Barat.
Sebagai konsekuensi daerah penyangga DKI Jakarta, aktivitas
pembangunan di DKI mengakibatkan permintaan lahan di Kabupaten Bekasi
meningkat sehingga dari luasan mangrove 9.764,45 ha yang tersisa menjadi
hutan hanya 330,24 ha (3,4%), sedangkan yang lainnya telah beralih fungsi
menjadi pertambakan (68,85%), persawahan (22,30%) dan bentuk penggunaan
lainnya (Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi, 2000).
Kondisi penggunaan kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bekasi
adalah: hutan sekitar 1.093,28 ha, sawah sekitar 1.225,95 ha, permukiman
57
sekitar 365,45 ha, empang sekitar 7.434,77 ha, kebun campuran sekitar 159,65
ha dan abrasi mencapai 202,05 ha (KPH Bogor, 2004).
Kerusakan mangrove pada kawasan ini juga diprediksi terus meningkat,
sejalan dengan diterbitkannya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 Tahun 2003
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara. Dalam Perda ini,
kawasan mangrove dapat dimanfaatkan bagi kawasan pelabuhan, industri,
pariwisata dan perikanan dimana sektor-sektor tersebut telah dijadikan sektor
andalan bagi penggerak perekonomian di Kabupaten Bekasi.
Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh Perum Perhutani
difokuskan kepada usaha persewaan lahan garapan, demikian halnya pelayanan
publik yang dilakukan Pemda lebih memfokuskan kepada penerimaan pajak atas
lahan garapan. Situasi ini yang mendorong pergerakan politik penggarap untuk
tidak membayar kedua jenis pajak. Persoalan ketidaktaatan terhadap kontrak
dan duplikasi pajak, telah menimbulkan konflik baik antara penggarap dan Perum
Perhutani maupun konflik peran antara Pemda dengan Perum Perhutani.
Kondisi ini mempengaruhi kerusakan hutan mangrove, sehingga pada periode
tahun 1943 – 2002 kerusakan hutan mangrove mencapai 15.058,23 ha (Suhaeri,
2005).
3. Teluk Naga
Sejak dikembangkan budidaya udang pada tahun 1986 dengan membuka
tambak-tambak baru, pengelolaan lingkungan di Kecamatan Teluk Naga semakin
tidak terarah. Seiring dengan pengembangan usaha tambak, penambangan pasir
laut yang dimaksudkan untuk membangun prasarana tambak ternyata
menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yang berakibat pada rusaknya lingkungan
di kawasan hutan mangrove yang semula luasnya 1.192 ha, kini tidak ada lagi
(Bappeda Kabupaten Tangerang, 2004).
4.2 Kondisi Hutan Mangrove Teluk Jakarta
1. Hasil analisis vegetasi Hutan mangrove di Teluk Jakarta saat ini dalam kondisi yang rusak dan
luasnya makin berkurang. Hasil kajian pada tiga lokasi penelitian (Muara Angke,
Muara Gembong, dan Teluk Naga) menggambarkan variasi jenis mangrove
mulai berkurang setiap tahun. Di wilayah Teluk Naga tidak ditemukan ekosistem
58
hutan mangrove, karena lahan hutan mangrove telah dikonversi menjadi lahan
tambak, aktifitas penambangan pasir laut, dan pariwisata.
Hasil analisis sistem informasi geografis menunjukkan perubahan tutupan
lahan mangrove pada tahun 1997, 2002, dan 2006 yang signifikan. Kawasan
pesisir Teluk Jakarta selama 10 tahun telah mengalami perubahan tutupan lahan
yang relatif tinggi. Laju perubahan luas hutan mangrove pada tiga wilayah
berbeda-beda. Hasil analisis sistem informasi geografis tentang perubahan luas
hutan mangrove disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian
Lokasi Luas hutan mangrove (ha) Persentase
perubahan (%) 1997 2002 2006 Muara Angke 122,04 102,37 117,60 3,63 Muara Gembong 174,49 121,27 108,19 37,99 Teluk Naga 44,37 12,62 6,25 85,91
Total 340,90 236,26 232,04 42,52 Sumber: Hasil analisis SIG (2007)
Hutan mangrove di lokasi penelitian mengalami perubahan luasan. Dalam
waktu 10 tahun mencapai 42,52%. Perubahan luas hutan mangrove berbeda-
beda antar lokasi sesuai dengan karakteristik ekologis dan sosial masyarakat.
Hutan mangrove di Muara Angke relatif tidak berubah selama 10 tahun. Hal ini
karena adanya perhatian pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam
melestarikan hutan mangrove. Penetapan status kawasan lindung Muara Angke
mendorong pemerintah untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan mangrove.
Lembaga swadaya masyarakat bersama masyarakat telah melakukan berbagai
kegiatan rehabilitasi kawasan dan pendidikan lingkungan bagi masyarakat untuk
menjaga hutan mangrove di Muara Angke. Fakor ini merupakan hal positif yang
dapat dijadikan model pengelolaan kawasan mangrove.
Hutan mangrove di Muara Gembong mengalami degradasi fisik. Alih
fungsi lahan menjadi tambak dan kerusakan habitat akibat abrasi dan
sedimentasi menyebabkan kerusakan mangrove terus berlanjut. Selain itu terjadi
konflik pemanfaatan antara masyarakat dengan Perum Perhutani dan Pemda
sehingga para pemangku kepentingan kurang bertanggung jawab terhadap
kelestarian hutan mangrove.
59
Hutan mangrove di Teluk Naga mengalami perubahan yang sangat
signifikan selama 10 tahun, yakni mencapai 85,91%. Luas kawasan mangrove
yang tersisa adalah 6,25 ha. Perubahan luas hutan mangrove ini disebabkan
oleh alih fungsi lahan menjadi tambak dan kawasan industri. Tidak jelasnya
sistem pengelolaan dan penatagunaan lahan di kawasan pesisir mendorong
pemanfaatan kawasan yang berlebih. Selain faktor pengelolaan, kerusakan
ekosistem mangrove juga disebabkan oleh kegiatan penambangan pasir laut di
sekitar pantai sehingga ekosistem mangrove menjadi terdegradasi. Secara visual
kondisi tutupan lahan di Teluk Jakarta di sajikan pada Gambar 4, Gambar 5, dan
Gambar 6.
Selain perubahan luas tutupan lahan, hutan mangrove Teluk Jakarta juga
mengalami penurunan kualitas habitat berupa pengurangan kerapatan vegetasi
(Gambar 7). Hal ini terlihat rendahnya persentase tutupan lahan yang masih
tergolong hijau. Laju perubahan kerapatan vegetasi pada Teluk Jakarta semakin
tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya degradasi lingkungan mangrove.
Hasil pengamatan vegetasi mangrove di Teluk Jakarta menunjukkan
bahwa jenis mangrove yang tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah dan air.
Selain itu juga dipengaruhi kebijakan penanaman mangrove oleh instansi
pemerintah dan lembaga swadaya. Jenis vegetasi mangrove di Teluk Jakarta
secara rinci disajikan berdasarkan tiga wilayah studi.
Jenis mangrove di Muara Angke yang ditemukan adalah jenis api-api,
bakau, dan pidada. Berdasarkan kawasan, jenis mangrove di Muara Angke
adalah: (1) hutan lindung Angke-Kapuk didominasi oleh api-api dan bakau; (2)
suaka margasatwa Muara Angke didominasi oleh pidada; (3) taman wisata alam
ditanami dengan jenis bakau; dan (4) Lahan dengan tujuan istimewa (LDTI)
mencakup: kebun pembibitan kehutanan yang didominasi oleh jenis api-api dan
bakau, Cengkareng drain ditanami dengan jenis ketapang, jalur transmisi PLN
didominasi jenis api-api, dan jalur hijau tol Sedyatmo didominasi oleh jenis api-
api, bakau, dan pidada.
Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah jenis tumbuhan di Muara Angke
semakin berkurang. Hal ini terlihat dari kondisi tahun sebelumnya, seperti terlihat
dari hasil penelitian Kusmana (1983) yang menyatakan bahwa di Muara Angke
terdapat 11 spesies dan penelitian Sukardjo (1981) yang menyatakan bahwa
vegetasi mangrove yang terdapat di Muara Angke di dominasi oleh Avicennia
60
mariana, A. alba, A. officinalis, Rhizophora apicullata, R. mucronata, Bruguiera
parviflora, Someratia alba, dan Excoecasia aglocha.
Berkurangnya spesies mangrove dari tahun-tahun sebelumnya
disebabkan oleh adanya perubahan lahan sekitar kawasan Muara Angke yang
dialihkan menjadi pertokoan dan perindustrian, perumahan dan beberapa fungsi
lainnya yang menyebabkan hilangnya daerah resapan air dan aliran air di muara
sungai semakin melambat karena jalur yang ditempuh semakin panjang,
sehingga laju sedimentasi di muara semakin meningkat.
Jenis mangrove di Muara Gembong yang ditemukan adalah jenis api-api,
bakau, dan pidada. Berdasarkan wilayah adminisitrasi, jenis mangrove yang
dominan di setiap desa adalah: (1) Desa Pantai Sederhana didominasi oleh
bakau dan terdapat pula tanaman sela yaitu jeruju dan piai; (2) Desa Pantai
Mekar didominasi oleh bakau dan api-api; (3) Desa Pantai Harapan Jaya
didominasi oleh pidada dan bakau; (4) Desa Bakti didominasi oleh didominasi
oleh bakau; (5) Desa Pantai Bahagia didominasi oleh bakau; dan (6) Desa
Jayasakti didominasi oleh bakau dan api-api.
Kegiatan usaha pertambakan telah menyebabkan berkurangnya jenis
mangrove. Selain itu faktor alam di beberapa lokasi berupa pantai terbuka
menyebabkan anakan mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik di wilayah
tersebut. Kondisi ini mendorong perlunya kegiatan rehabilitasi mangrove
sehingga jenis mangrove yang ditemukan lebih homogen.
Pada tahun 1998 telah dilakukan kegiatan rehabilitasi jalur hijau dengan
luasan 5 ha. Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh LPP Mangrove (survey
lapang pada Juli 2000), diketahui bahwa kondisi terakhir areal hasil penanaman
pada kegiatan rehabilitasi pada tahun 1998 cukup baik (LPP Mangrove, 2000).
Komposisi jenis pohon yang terdapat di areal jalur hijau hasil penanaman tahun
1998 terdiri dari jenis Avicennia sp. (permudaan alam), Rhizophora mucronata,
R. apiculata, R. stylosa dan Bruguiera gymnorrhiza (hasil penanaman). Jenis
pohon yang mendominasi areal ini adalah jenis Avicennia sp.
Hutan mangrove di Teluk Naga yang seluas 6,25 ha terletak di Desa
Teluk Naga. Jenis mangrove yang ditemukan adalah bakau dan nipa. Saat ini
berkembang usaha pembibitan bakau di beberapa lokasi. Hal ini karena masih
sesuainya lahan untuk pembibitan bakau
61
Gambar 4. Luas hutan mangrove di Muara Angke
62
Gambar 5. Luas hutan mangrove di Muara Gembong
63
Gambar 6. Luas hutan mangrove di Teluk Naga
64
Gambar 7. Tingkat kerapatan vegetasi di Teluk Jakarta
Kerapatan rendah Kerapatan sedang Kerapatan tinggi
65
Hasil penelitian Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia (2002)
menyatakan bahwa vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bekasi masih alami.
Jenis-jenis vegetasi yang ada sebanyak 13 jenis, yaitu Avicenna alba, Avicenna
officinalis, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Excocaria agallocha,
Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, Derris trifoliate, Chromolaena odorate,
Cyperus maritime, Nypa fruticans, Sesuvum portulacastum dan Wedelia biflora.
Komposisi jenis tumbuhan dan komponen utama penyusun kawasan
hutan mangrove adalah api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora mucronata)
dan pidada (Sonneratia alba). Tumbuhan yang mendominasi adalah Avicenna
officinalis dan Rhizophora mucronata. Hasil analisis vegetasi menunjukkan
bahwa Avicenna officinalis memiliki kerapatan relatif (KR) sebesar 30,5% dengan
frekuensi relatifnya (FR) sebesar 49,5%, sedangkan Rhizophora mucronata
memiliki kerapatan relatif (KR) sebesar 44,2% dan frekuensi relatif (FR) 12,3%
(PSK-UI, 2002).
Berkurangnya spesies mangrove ini diduga sebagai akibat dari
meningkatnya limbah rumah tangga dan industri yang mengakibatkan
menurunnya kualitas air yang akhirnya mengganggu pertumbuhan dan
kehidupan berbagai spesies mangrove dan berbagai tingkatan pada setiap
spesies mangrove. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar logam berat dan
amonia yang melebihi standar baku mutu yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI
Jakarta (1995), yakni melebihi standar baku mutu lingkungan perairan.
Vegetasi hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong berbeda
berdasarkan tingkatan vegetasi. Vegetasi hutan mangrove pada tingkat semai
didominasi oleh mangrove dari jenis piyae (Acrostichum aureum) dan jenis nipa
(Nypa fructicans), dan bakau (Rhizophora mucronata). Vegetasi hutan mangrove
tingkat pancang dijumpai didominasi oleh Rhizophora mucronata, Acrostichum
auereum dan Acanthus Illicifolius. Vegetasi hutan mangrove tingkat pohon
didominasi oleh Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Kondisi vegetasi mangrove tersebut menggambarkan bahwa hutan
mangrove di Teluk Jakarta masih baik dan layak untuk dilestarikan. Masih
terdapat variasi sejumlah spesies mangrove di lokasi penelitian. Namun jika
pertumbuhan hutan mangrove yang ada tidak dijaga dengan baik, maka akan
terjadi pengurangan kuantitas maupun kualitas hutan mangrove itu. Secara
umum jenis vegetasi mangrove yang terdapat di Teluk Jakarta disajikan pada
Tabel 10.
66
Tabel 10. Spesies mangrove yang ditemukan di Muara Angke, Muara
Gembong, Teluk Naga
Spesies Mangrove Muara Angke
Muara Gembong
Teluk Naga
Jeruju putih (Acanthus ebracteatus) √ Jeruju hitam (Acanthus ilicifolius) √ Piai raya (Acrostichum aureum) √ √ Piai lasa (Acrostichum speciosum) √ Teruntun (Aegiceras corniculatum) √ √ Api-api (Avicennia alba) √ √ Api-api putih (Avicennia marina) √ √ √ Lenggadai (Bruguiera cylindrical) √ Tancang merah (Bruguiera gymnorrhiza) √ √ Buta-buta (Excoecaria agallocha) √ √ Nipah (Nypa fructicans) √ √ Bakau minyak (Rhizopora apiculata) √ √ Bakau merah (Rhizopora mucronata) √ √ √ Bakau (Rhizopora stylosa) √ Pidada (Sonneratia alba) √ Pidada (Sonneratia caseolaris) √ √ √
Sumber: LPP-Mangrove (2004)
2. Hasil analisis kualitas air
Kajian mengenai kualitas air difokuskan pada faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove dan kualitas air untuk perairan
umum dan perikanan. Parameter yang digunakan adalah paramater fisika dan
kimia. Hasil analisis kualitas air disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Kualitas air di Teluk Jakarta
Parameter Satuan Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga Baku Mutu Suhu °C 26,44 – 27,41 28,15 – 28,23 26,10 – 26,49 21,0 – 32,0
Salinitas ‰ 26,34 – 26,67 24,73 – 26,00 24,43 – 26,56 0,0 – 35,0 pH - 7,39 – 7,83 6,78 – 7,70 7,06 – 7,23 6,5 – 8,5 DHL μmhos/cm 1162 – 2300 79 – 1524 1000 – 3022 -
CO2 bebas mg/liter 0,43 – 0,85 0,60 – 0,94 0,50 – 0,110 ≤ 6,00 DO mg/liter 0,21 – 0,13 3,34 – 7,60 3,00 – 4,11 ≤ 25,00 BOD mg/liter 446,10 – 329,12 20,00 – 28,45 25,23 – 39,00 40 – 80 COD mg/liter 45,22 – 789,0 93,00 – 193,00 56,67 – 180,00 - Amonia mg/liter 7,11 – 3,32 0,15 – 0,30 1,98 – 4,23 ≤ 0,16 Merkuri mg/liter - 0,0004 – 0,0009 - ≤ 0,32 Kadmium mg/liter 0,001 0,005 – 0,04 0,008 – 0,015 ≤ 0,001 Timbal mg/liter 0,021 – 0,034 0,02 – 0,09 0,07 – 1,00 ≤ 0,03
Sumber: Hasil analisis (2005)
67
Stasiun pengamatan di Kecamatan Penjaringan, tepatnya di Desa Muara
Angke terdapat di kawasan suaka marga satwa Muara Angke. Kawasan hutan
mangrove yang masih tersisa di wilayah Muara Angke dan merupakan lahan
basah (wet land) yang lebih dipengaruhi luapan Sungai Angke pada saat pasang
surut air laut.
Rata-rata suhu di Sungai Angke maupun lahan mangrove adalah 27,4oC
pada saat pasang dan 26,4oC pada saat surut. Rata-rata salinitas air adalah
26,3‰ saat surut dan saat pasang mencapai 26,7‰. pH air saat surut adalah 7,4
dan saat pasang adalah 8,3 dengan rata-rata 7,8. Jika dibandingkan dengan
baku mutu kualitas air sesuai PP No. 48 tahun 1990 parameter suhu, salinitas
dan pH masih dalam batas yang ditolerir namun BOD, COD, amonia, dan logam
berat telah melampaui ambang batas. Rendahnya kualitas air tersebut diduga
menjadi penyebab langkanya kehidupan biota perairan di kawasan suaka marga
satwa Muara Angke. Rusaknya hutan mangrove di kawasan Muara Angke ini
juga menyebabkan langkanya air tawar di daratan, karena mengakibatkan
terjadinya intrusi air laut ke daratan Penjaringan dan sekitarnya.
Muara Gembong merupakan salah satu wilayah yang berada di Teluk
Jakarta, yang merupakan daerah yang cukup terlindung dari hempasan ombak
dan gelombang pantai Teluk Jakarta. Hal ini menyebabkan kawasan hutan
mangrove yang berada di wilayah tersebut masih cukup baik, namun kerusakan
terjadi karena perubahan fungsi dari kawasan hutan mangrove menjadi daerah
pertambakan. Rendahnya salinitas air ini karena ke lokasi ini banyak masuk air
tawar.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tingginya BOD dan COD
yang telah melebihi batas ambang untuk air minum baku (lebih dari 6 mg/l).
Demikian pula untuk perikanan laut yaitu >20 mg/l (SK Gubernur DKI Jakarta,
1995). Nilai BOD5 relatif tinggi yaitu di muara sungai Citarum yang disebabkan
karena buangan rumah tangga dari pemukiman nelayan di perairan estuaria
tersebut, serta adanya penimbunan bahan organik yang tidak terbawa arus pada
saat pasang. Kadar amonia dan logam berat juga menyebabkan terjadinya
hambatan pada pertumbuhan hutan mangrove.
Tipe pasut di Kecamatan Muara Gembong sama dengan di Muara Angke
yakni tipe pasut tunggal. Sifat fisik tanah pada hutan mangrove Muara Gembong
secara umum adalah tipe liat berlempung, permiabilitas lambat, dan drainae
68
terhambat. Kondisi perairan terganggu akibat aktivitas manusia mengubah hutan
mangrove menjadi tambak.
Kecamatan Teluk Naga dulunya merupakan lokasi hutan mangrove,
namun pada tahun 1986 dikembangkan menjadi daerah pertambakan seluas
4.740,8 ha. Akibat konversi lahan tersebut, selain mengakibatkan terjadinya
abrasi juga mengakibatkan terjadinya intrusi air laut yang menghancurkan
sebagian besar usaha petani. Namun kondisi wilayah yang ada masih
memungkinkan untuk menyelamatkan hutan mangrove guna menghindari
terjadinya abrasi pantai yang lebih luas.
Suhu perairan di hutan mangrove Teluk Naga pada saat pasang yaitu
26,5oC dan terendah 26,1oC. pH pada saat pasang 7,2 dan pada saat surut 7,1
dengan pH rata-rata 7,2. Parameter BOD, COD, amonia, sangat tinggi sehingga
menimbulkan pencemaran perairan. Di lokasi penelitian juga terdapat logam
berat kadmium dan timbal yang kadarnya sudah tinggi. Kandungan Cd di
perairan berkisar 0,0009 – 0,104 mg/l dengan rata-rata 0,022 mg/l pada saat
pasang dan saat surut berkisar 0,008 – 0,013 mg/l dengan rata-rata 0,010 mg/l.
Nilai rata-rata ini telah melebihi baku mutu air untuk air minum (Saeni, 2004).
Selain logam berat Cd, Logam berat timbal (Pb) juga telah melebihi baku mutu.
Kandungan Pb berkisar 0,08 – 1,00 mg/l dengan rata-rata 0,49 mg/l pada saat
pasang dan saat surut berkisar 0,07 – 1,00 mg/l dengan rata-rata 0,18 mg/l.
Kadar logam berat Pb telah melewati ambang batas sehingga perairan
tidak layak untuk air minum, kegiatan perikanan, pertanian, dan peternakan.
Kondisi perairan Teluk Naga tersebut memerlukan perhatian terhadap masalah
kualitas air guna penyelamatan hutan mangrove yang telah rusak. Terjadinya
peningkatan kadar orto-fosfat di perairan disebabkan oleh meningkatnya
buangan limbah industri dan rumah tangga, begitu pula halnya dengan
parameter logam berat seperti kadmium dan timbal yang meningkat sebagai
akibat adanya aktivitas kegiatan industri, gedung tinggi, jalan sempit, dan
kemacetan lalu lintas (Saeni, 2004). Selain hal tersebut suhu perairan juga
terindikasi meningkat sehingga bisa mengganggu proses fisiologis (metabolisme)
tumbuhan mangrove.
Pertumbuhan dan perkembangan mangrove sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan. Kusmana (2005) menyatakan bahwa berdasarkan
berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan penyebaran jenis mangrove sangat
berkaitan dengan salinitas, tipe pasang dan frekuensi penggenangan.
69
Supriharyono (2000) menyatakan bahwa walaupun tumbuhan mangrove dapat
berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan
mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri
terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia. Dinyatakan bahwa ada empat faktor
utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: frekuensi arus
pasang, salinitas tanah, air tanah, dan suhu air.
Berdasarkan nilai-nilai kisaran parameter lingkungan tersebut diketahui
bahwa mangrove masih dapat tumbuh dengan baik. Dengan nilai kisaran suhu
yang diperoleh memungkinkan semua jenis tumbuhan mangrove dapat tumbuh,
sehingga memungkinkan untuk menjumpai jenis-jenis mangrove antara lain:
Rhizophora apiculata, Xylocarpus ganatum, Sonneratia alba, Limnitzera
racemosa, Bruguera rymnorhiza, Rhizophora stylosa, dan Rhizophora
mucronata. Walsh (1974) menyatakan bahwa suhu merupakan pembatas
kehidupan mangrove, dengan suhu yang baik tidak kurang dari 20 0C sedangkan
kisaran suhu musiman tidak melebihi 50C. Namun demikian suhu yang tinggi
(400C), cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan tumbuhan
mangrove.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
mangrove adalah salinitas. Kusmana (2000) menyatakan bahwa salinitas air dan
salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya
tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di
daerah estuaria dengan salinitas 10 - 30‰. Nilai salinitas memungkinkan
tumbuhan mangrove dengan beberapa jenis dapat tumbuh dengan baik.
Faktor lingkungan lain yang menjadi pembatas dalam pertumbuhan
mangrove adalah kadar oksigen rendah. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
nilai kisaran kadar oksigen terlarut (DO) yaitu 0,21 – 7,26 mg/l. Nilai tersebut
tergolong ideal untuk kebutuhan pertumbuhan mangrove. Apabila kandungan
oksigen terlarut rendah maka mangrove memiliki tingkat adaptasi dengan sistem
perakaran khas yang dimiliki. Sistem perakaran mangrove dua tipe yakni: tipe
cakar ayam yang mempunyai pneumatofora dan tipe tongkat yang mempunyai
lentisel. Tingkat kandungan oksigen terlarut yang tinggi memungkinkan bagi
tumbuhan mangrove untuk tumbuh dengan baik, dan apabila habitat mengalami
kandungan oksigen terlarut yang rendah, maka sistem perakaran tersebut
berfungsi untuk mengambil dan mengikat oksigen dari udara.
70
Hasil pengukuran pH diperoleh bahwa rata-rata nilai pH yaitu 6,7 – 7,8.
Nilai tersebut merupakan pH netral. Kisaran pH tersebut tidak terlalu
berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove, hal tersebut disebabkan karena
pH yang terukur merupakan pH netral dan masih mampu ditolerir atau masih
dalam batas toleransi.
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat pada ketiga wilayah kajian berbeda-
beda, baik dari struktur perekonomian maupun karakteristik sosial budaya
masyarakatnya. Wilayah kecamatan terluas adalah Kecamatan Muara Gembong
tetapi memiliki kepadatan penduduk yang paling rendah. Persentase penduduk
Kecamatan Muara Gembong juga relatif kecil (1,78%). Kecamatan Penjaringan
merupakan wilayah yang terpadat dari tiga lokasi kajian. Kecamatan Teluk Naga
relatif kecil dibanding luas wilayah Kabupaten Tangerang. Secara rinci masing-
masing wilayah dideskripsikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Luas wilayah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Penjaringan, Muara Gembong, dan Teluk Naga tahun 2004
Kecamatan Luas wilayah Penduduk Kepadatan
Penduduk (jiwa/km2)
Luas (km2)
% terhadap Kabupaten
Jumlah (jiwa)
% terhadap Kabupaten
Penjaringan 35,48 25,42 176.586 15,04 4.977Muara Gembong 140,09 11,00 36.109 1,78 258Teluk Naga 40,58 3,65 106.162 3,20 2.616
Sumber: BPS Jakarta Utara (2006); BPS Bekasi (2006); BPS Tangerang (2006)
1. Muara Angke
Secara administratif kawasan hutan mangrove Muara Angke termasuk
wilayah Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Pluit,
Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Luas wilayah Jakarta Utara 139,55 km2,
dengan jumlah penduduk tahun 2005 sekitar 1.173.935 jiwa dengan rincian
jumlah laki-laki 601.567 jiwa (51,43%) dan jumlah perempuan 572.368 jiwa
(48,57%). Tingginya tingkat kepadatan penduduk di Jakarta Utara ini
dikarenakan tingkat urbanisasi yang tinggi (Jakarta Utara Dalam Angka, 2005).
71
Luas wilayah Kecamatan Penjaringan 35,49 km2, dengan jumlah
penduduk 176.586 jiwa (91.502 jiwa laki-laki dan 85.084 jiwa perempuan),
kepadatan penduduk 4.976 jiwa/km2. Penduduk yang tinggalnya berdekatan
dengan hutan mangrove Muara Angke adalah penduduk yang berada di
Kelurahan Pluit, Kelurahan Angke dan Kelurahan Kamal Muara. Disamping itu
beberapa anggota masyarakat juga ikut memberikan pengaruh terhadap
keberadaan hutan mangrove Muara Angke, seperti Kelurahan Tegal Alur dan
Kelurahan Teluk Gong.
Penduduk di Kelurahan Pluit mempunyai tingkat pendidikan yang merata
mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Mata pencaharian
masyarakat di Kelurahan Pluit sebagian besar adalah karyawan (pegawai negeri
dan swasta), pedagang, dan nelayan.
Keberadaan perumahan Pantai Indah Kapuk dengan segenap sarana
prasarananya (rumah sakit, lapangan golf, pertokoan dan lain-lain) telah
memberikan dampak langsung terhadap pengembangan wilayah Kelurahan Pluit
termasuk pengembangan wilayah Kecamatan Penjaringan. Di samping itu
adanya Tempat Pelelangan Ikan di Muara Angke, pengolahan ikan asin dan
kerang hijau, terminal dan restoran juga merupakan pusat-pusat kegiatan yang
memberikan pengaruh besar terhadap kondisi pengembangan wilayah dan
peningkatan pendapatan masyarakat.
Di samping itu, terbukanya akses dari beberapa potensi obyek wisata di
wilayah DKI Jakarta (Taman Impian Jaya Ancol, Mangga Dua, Glodok, Mega
Mall Pluit, Anggrek Mall, Senayan Plaza, Bandara Sukarno Hatta) menuju
wilayah Kelurahan Pluit dan SM Muara Angke, memberikan peluang besar untuk
dapat mengembangkan kegiatan pendidikan lingkungan dan wisata terbatas,
serta mengembangkan kegiatan ekonomi yang mendukung kegiatan wisata di
Kelurahan Pluit dan Kecamatan Penjaringan.
2. Muara Gembong
Kecamatan Muara Gembong berada di utara Kabupaten Bekasi yang
berbatasan langsung dengan Laut Jawa, memiliki luas wilayah 140,09 km2 dan
merupakan kecamatan terbesar di Kabupaten Bekasi. Jumlah penduduknya
mencapai 36.108 jiwa dengan kepadatan 258 jiwa /km2.
Panjang pantai di Kecamatan Muara Gembong adalah 17 km. Hutan
mangrove yang dimiliki saat ini luasnya 330,24 ha. Luas tambak yang ada di
72
kecamatan ini seluas 6.714,94. Sarana dan prasarana yang ada di kecamatan ini
adalah satu buah Tempat Pelelangan Ikan.
Kabupaten Bekasi yang merupakan penyangga DKI Jakarta mempunyai
nilai lokasi strategis untuk rencana pembangunan di masa yang akan datang.
Kegiatan ekonomi yang diselenggarakan di DKI Jakarta akan mempunyai
dampak langsung maupun tidak langsung
3. Teluk Naga
Kecamatan Teluk Naga terletak di daerah pesisir Teluk Jakarta. Sebagian
wilayahnya berada di pinggir pantai, sedangkan sebagian wilayah berupa
dataran. Jumlah penduduk di Kecamatan Teluk Naga adalah 113.696 jiwa,
dengan kepadatan adalah 2.399 jiwa per km2, dimana kepadatan tertinggi
terdapat di Desa Kampung Melayu Barat dan kepadatan terendah di Desa
Muara. Pendapatan per kapita penduduk adalah Rp4.585,07.
Luas areal hutan di Kecamatan Teluk Naga adalah 620 ha dimana hutan
milik negara seluas 10 ha, tanah adat 223 ha dan hutan milik Perum Perhutani
387 ha. Luas pertambakan di kecamatan ini adalah 527 ha. Sarana dan
prasarana transportasi yang ada di kecamatan ini adalah jalan desa 36.907,86
m, jalan penghubung antar desa sepanjang 596 m. Dermaga kapal sebanyak 4
buah, yang mendukung kelancaran akses ke pulau-pulau yang terletak di
Kepulauan Seribu (BPS Kabupaten Tangerang, 2005).
Struktur perekonomian di wilayah sekitar Teluk Jakarta bervariasi pada
setiap lokasi. Namun demikian, ketiga lokasi memiliki karakteristik yang sama
yakni peran sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan relatif kecil.
Sektor yang memberikan sumbangan terbesar adalah industri pengolahan dan
perdagangan, hotel, dan restoran.
Di Jakarta Utara, peran sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan hanya mencapai 0,16%. Demikian pula dengan sumbangan sektor ini
terhadap perekonomian Kabupaten Bekasi yang hanya 2,25%. Laju
pertumbuhan sektor ini di ketiga wilayah semakin menurun. Hal ini merupakan
ancaman terhadap kelestarian kawasan mangrove yang memiliki fungsi ekologis
penting. Distribusi PDRB pada tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.
73
Tabel 13. PDRB Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang tahun 2004 atas harga dasar konstan tahun 2000
Lapangan usaha Jakarta Utara Bekasi Tangerang
Juta Rupiah % Juta Rupiah % Juta Rupiah % Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan
86.096 0,16 841.132 2,25 1.470.664 9,76
Pertambangan dan penggalian
- - 482.680 0,13 12.597 0,08
Industri pengolahan 24.802.860 47,10 30.023.618 80,33 8.370.263 55,54Listrik, gas, dan air bersih
805.809 1,53 681.015 1,82 946.300 0,06
Bangunan 4.578.281 8,69 406.365 1,09 285.067 1,89Perdagangan, hotel, dan restoran
9.487.044 18,02 3.353.750 8,97 1.878.403 12,46
Pengangkutan dan komunikasi
5.886.604 11,18 520.089 1,39 1.084.697 7,20
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
3.105.511 5,90 350.431 0,94 381.079 2,53
Jasa-jasa 3.907.100 7,42 718.565 1,92 641.731 4,26Jumlah 52.659.305 100,00 37.377.649 100,00 15.070.780 100,00
Sumber: BPS Jakarta Utara (2006); BPS Bekasi (2006); BPS Tangerang (2006)
4.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove
Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi yaitu Muara Angke
Muara Gembong dan Teluk Naga dan berdasarkan hasil data sekunder yang
relevan dengan topik penelitian, ditemukan beberapa permasalahan pokok yang
dapat mengancam kelestarian hutan Mangrove.
1. Degradasi hutan mangrove
Hutan mangrove di kawasan Muara Angke yang berstatus hutan lindung
tahun 1995 seluas 50,80 ha dan tahun 1999 luasan menyusut menjadi 44,76 ha
atau berkurang 6,04 ha selama 5 tahun atau 1,21 ha per tahun. Demikian juga
hutan wisata Muara Kamal dari 101,60 ha berkurang 99,82 ha atau menyusut
1,78 ha atau 0,36 ha per tahun. Hutan mangrove cagar alam Muara Angke relatif
tetap yaitu 25,25 ha. Di Muara Gembong luasan hutan mangrove dari 9.749,9 ha
menjadi 3.320 ha berarti menyusut menjadi 6.429,90 ha.
Rusaknya hutan mangrove berarti terganggunya penyediaan serasah
dalam perairan yang sangat dibutuhkan untuk tumbuhnya mikroorganisme.
Disamping itu terganggunya daerah pengasuhan (nursery ground), daerah
74
mencari pakan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spanning ground) bagi
berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya.
Lokasi Muara Angke, Muara Gembong dan Teluk Naga yang memiliki
hutan mangrove menjadi sangat rentan terhadap meningkatnya jumlah
penduduk, terutama untuk pemukiman dan pemenuhan kebutuhan hidupnya
misalnya untuk tambak. Akibatnya pantai terancam terjadi abrasi dan
sedimentasi, bahkan pencemaran dari sampah rumah tangga dan domestik tidak
dapat dikendalikan. Hal ini akan mengganggu kelestarian lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi dapat dilacak, ditemukan
permasalahan lingkungan hutan mangrove sebagaimana tertera pada Tabel 14.
Tabel 14. Permasalahan lingkungan hutan mangrove di Teluk Jakarta
Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga
- Dikonversi menjadi permukiman.
- Di sebelah timur ada pemukiman nelayan dan di selatan pantai indah kapuk,
- Abrasi dan sedimentasi
- Pencemaran dari sampah dan limbah industri.
- Luas hutan mangrove menyusut
- Kawasan pantai yang berhadapan dengan ombak dan gelombang besar sehingga terjadi abrasi dan sedimentasi
- Eksploitasi hutan mangrove untuk kepentingan ekonomi sesaat.
- Hutan mangrove telah rusak - Terjadi abrasi dan sedimentasi- Pencemaran air, akumulasi
sampah dan limbah - Wilayah pesisir dari utara ke
selatan tidak ada hutan mangrove
- Kualitas air rendah, kotor, warna hitam dan bau
- Penambangan pasir laut. - Pembangunan fasilitas wisata
Sumber: Hasil survey lapangan (2006) 2. Permasalahan sosial ekonomi
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove, yang menilai
mangrove tidak memiliki nilai berharga, sehingga keberadaan pohon mangrove
dibabat untuk kepentingan kayu bakar, bahan bangunan, bahan arang dan
bahan kertas (pulp). Pada umumnya hutan mangrove seperti di Muara Gembong
dan Teluk Naga digunakan usaha tambak, bahkan ada anggapan dengan
semakin luas membabat mangrove, areal tambak menjadi luas dan produksinya
meningkat. Hutan mangrove sangat rentan terhadap kegiatan manusia untuk
tambak, persawahan dan pemukiman.
Faktor sosial lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan
mangrove adalah aspek kepemilikan lahan. Di Muara Gembong, sebagian besar
lahan budidaya telah menjadi milik pengusaha dari luar Muara Gembong untuk
75
dijadikan lahan budidaya perikanan. Tenaga kerja di usaha budidaya perikanan
tersebut adalah masyarakat Muara Gembong yang belum memiliki lahan. Petani
juga menggarap lahan hutan milik Perum Perhutani dengan sistem sewa lahan.
Pendapatan petani masih relatif rendah. Keuntungan lebih banyak diperoleh
pedagang dan pemilik lahan.
Dukungan pendanaan untuk melestarikan hutan mangrove relatif kurang
karena apresiasi penentu kebijakan terhadap pelestarian hutan mangove masih
rendah. Pada umumnya pertimbangan pendanaan lebih diarahkan pada sektor-
sektor yang memberikan hasil ekonomi secara langsung. Berdasarkan hasil
penelitian lapangan di tiga lokasi ditemukan permasalahan sosial ekonomi
masyarakat hutan mangrove secara rinci sebagaimana tertera pada Tabel 15.
Tabel 15. Permasalahan sosial ekonomi hutan mangrove di Teluk Jakarta
Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga - Tingginya permintaan sumber
daya lahan untuk pemukiman. - Pembabatan mangrove untuk
kayu bakar, konstruksi, dan pembuatan arang.
- Partisipasi masyarakat rendah. - Belum memiliki data dan
informasi mangrove yang lengkap
- Keterbatasan wawasan terhadap manfaat dan fungsi hutan mangrove
- Tidak taatnya petambak terhadap kontrak dengan Perum Perhutani
- Tingginya kebutuhan masyarakat untuk lahan tambak.
- Kesenjangan ekonomi antara penduduk Jakarta dengan penduduk Muara Gembong.
- Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi
- Keinginan Pemda guna meningkatkan PAD sehingga mengkonversi hutan mangrove
- Tekanan jumlah penduduk mengganggu lahan hutan mangrove
Sumber: Hasil survey lapangan (2006)
3 Konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan
Pengelolaan hutan mangrove terdiri atas dua fungsi utama yaitu pertama
sebagai fungsi lindung yang diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan
fungsi pengaturan tata air, pencegahan intrusi air laut, polusi, perlindungan
terhadap angin, abrasi pantai dan mempertahankan habitat biota akuatik dan
terrestrial. Kedua, pengelolaan hutan mangrove dengan fungsi pelestarian
diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian, keunikan
keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem hutan mangrove. Dalam
kegiatan perlindungan dan pelestarian hutan mangrove diupayakan dapat
terintegrasi dengan kepentingan dan hak masyarakat sekitarnya.
76
Permasalahan utama dalam pengelolaan hutan mangrove yang berkaitan
dengan upaya kelestarian fungsinya adalah perambahan hutan mangrove dalam
bentuk perubahan status kawasan untuk keperluan perluasan tambak yang
dilakukan secara besar-besaran oleh pihak swasta atau secara sporadis oleh
masyarakat untuk keperluan permukiman, kawasan industri dan keperluan lain
serta pengambilan kayu oleh masyarakat. Luas kawasan hutan mangrove di
Muara Angke, kondisinya banyak mengalami tekanan berupa pencemaran dan
perambahan. Selain itu belum ditemukan formula yang cukup memadai untuk
menghentikan atau menghambat upaya perambahan yang dilakukan secara
sistematis dan sporadis.
Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Teluk Jakarta mengalami konflik
antar stakeholder. Konflik pemanfaatan terjadi secara horisontal antar
masyarakat dan pengusaha, dan konflik vertikal antar pemerintah daerah. Konflik
di Muara Gembong dan di Teluk Naga akibat belum memiliki status hutan yang
jelas. Sosialisasi kebijakan bagi para petambak dan masyarakat kurang efektif
sehingga tetap menimbulkan pola pemanfaatan yang berlebihan.
Pantai Utara Jakarta yang terbentang sepanjang 32 km, akan direklamasi
dengan mengambil lebar dari bibir pantai ke arah laut sejauh 1,5 km dan
kedalaman maksimal 8 m. Artinya seluruh lahan reklamasi akan menghabiskan
lahan seluas 2.500 ha. Rencananya, diatas lahan reklamasi itu, selain untuk
pembangunan kegiatan industri, juga untuk fasilitas kegiatan pariwisata,
perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi dan perumahan penduduk untuk
750. 000 jiwa. Kawasan ini meliputi Kabupaten Bekasi di timur hingga Kabupaten
Tangerang di sebelah barat.
Kawasan reklamasi tersebut diapit dua sungai besar yang berpotensi
sebagai sumberdaya air, yakni sungai Citarum di timur dan sungai Cisadane di
barat. Juga terdapat 13 sungai kecil lainnya yang bermuara ke teluk Jakarta.
Untuk mereklamasinya dibutuhkan 335 juta meter kubik bahan urukan, termasuk
pasir. Untuk pemenuhan deposit pasir laut ini, berdasarkan studi terdapat di
Tanjung Burung, pulau Tidung, TanjungKait,TanjungPontang, pantai Cemara,
pasir Putih, serta bekas pertambangan timah di pulau Bangka dan Belitung.
Kawasan reklamasi tengah diperuntukkan sebagai pusat bisnis,
perkantoran, industri, pergudangan dan apartemen yang akan dimulai dari
sekarang hingga 2010, dan untuk perumahan dan pariwisata, lahan reklamasi
77
yang disediakan adalah bagian barat dan timur, yang akan dibangun mulai 2005
sampai 2015.
Pemda DKI Jakarta belum menilai biaya kerusakan ekosistem seperti
mangrove, padang lamun, terumbu karang, ikan dan ekosistem laut yang akan
hilang dari kawasan ini. Hilangnya cagar alam Muara Angke yang selama ini
berfungsi ekologis strategis bagi Jakarta. Hilangnya mata pencarian
pembudidaya ikan yang memanfaatkan teluk Jakarta selama ini, tidak menjadi
bahan pertimbangan. Sementara keahlian mayoritas di kawasan itu adalah
budidaya dan menangkap ikan.
Dalam peraturan daerah tentang RUTR (Rencana Umum Tata Ruang)
1960 - 1985 maupun RUTR 1985 – 2005 tidak terdapat rencana reklamasi
pantura. Landasan hukum reklamasi Pantura adalah Keppres No. 52 tahun 1995
tentang Reklamasi Pantura. Dalam Peraturan Daerah No. 6 tahun 1999 tentang
rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010 muncul ketentuan tentang reklamasi
pantura.
Alih fungsi lahan terjadi karena tidak tegasnya penegakan hukum
mengenai ketaatan terhadap rencana tata ruang yang telah disusun. Alih fungsi
lahan terjadi khususnya untuk hutan mangrove di Muara Angke untuk
permukiman dan pedagangan, di Muara Gembong untuk kegiatan pertambakan,
dan di Teluk Naga untuk kegiatan pertambakan dan industri. Permasalahan
konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta
disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan
mangrove di Teluk Jakarta
Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga - Konflik
pemanfatan untuk permukiman dan kawasan lindung
- Reklamasi kawasan Pantura Jakarta
- Terjadi konflik pemanfaatan kepentingan lahan antar petambak dengan Perum Perhutani, dan Perum Perhutani dengan Pemda.
- Belum ditetapkan status dan fungsi hutan mangrove
- Dikonversi menjadi lahan tambak dan penambangan pasir laut
- Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi
4. Permasalahan kelembagaan dan kebijakan
Penentu dan pembuat kebijakan yang kurang mempertimbangkan nilai
dan fungsi hutan mangrove merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kerusakan mangrove di Teluk Jakarta. Salah satu indikasi dari hal tersebut
78
adalah pemanfaatan ruang yang tidak konsisten dengan RTRW. Disamping itu
sosialisasi kebijakan dalam pelestarian hutan mangrove belum
diimplementasikan secara tepat sehingga masyarakat belum sepenuhnya
mengetahui adanya kebijakan tersebut.
Kelembagaan pemerintah di Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk
Naga belum berperan secara tepat, untuk itu perlu ditingkatkan kapasitasnya.
Sampai saat ini belum ada kelembagaan yang memiliki kewenangan dan tugas
pokok dalam mengelola dan melestarikan hutan mangrove pada wilayah Teluk
Jakarta secara terpadu. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih kegiatan
di tingkat lapangan dan tidak jelasnya penanggung jawab jika terjadi
permasalahan.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan permasalahan kelembagaan
hutan mangrove di Teluk Jakarta sebagai berikut: (1) Belum ada lembaga yang
terpadu mengelola Teluk Jakarta; (2) Lembaga sosial ekonomi belum berperan
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (3) Belum didukung data dan
informasi tentang hutan mangrove; (4) Belum ada kebijakan mendorong
pemanfaatan lahan secara optimal dan berkelanjutan dengan tetap
memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove; (5) Adanya egoisme sektoral,
tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi terkait; (6) Peran pemerintah
dalam menyelesaikan konflik antar instansi, pengusaha, dan masyarakat belum
optimal; dan (7) Rencana tata ruang wilayah pesisir yang disepakati oleh tiga
wilayah administrasi di Teluk Jakarta belum ada.
Peraturan berfungsi sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku
stakeholder dalam melakukan pemanfaatan hutan mangrove. Kinerja
pengelolaan hutan mangrove merupakan output dari peraturan. Terdapat 67
peraturan yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan pengelolaan
hutan mangrove. Hirarki peraturan mulai dari UU hingga peraturan desa, yang
berdasarkan pengaturannya terdiri atas: pengalokasian distribusi kewenangan
pengelolaan hutan mangrove; pengaturan substansi penentuan kawasan hutan
mangrove dan konversi mangrove; pengaturan pemanfaatan hutan mangrove;
pengaturan rehabilitasi hutan mangrove; dan perlindungan serta pengamanan
hutan mangrove. Secara garis besar pengaruh berbagai peraturan terhadap
kinerja pengelolaan hutan mangrove disajikan pada Tabel 17.
79
Tabel 17. Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di sekitar Teluk Jakarta
Peraturan Bidang isi Pelaksanaan Kinerja
PP Nomor 69 Tahun 1996
Pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang
PERDA No. 5 tahun 2003 tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan mangrove,
Menimbulkan keraguan status hutan mangrove dan peluang bagi free rider untuk memperjualbelikan lahan garapan. Kawasan ini termasuk dalam daerah lingkungan kepentingan pelabuhan.
PP Nomor 70 Tahun 1996
Pelabuhan Relokasi pelabuhan Tanjung Priok ke wilayah pantai utara Kab. Bekasi
PP Nomor 15 Tahun 1990 jo. No. 141/2000
Usaha perikanan Diimplementasikan pada areal garapan dan penggarap memperoleh insentif
Perubahan pola pemanfaatan dari tambak tumpangsari menjadi tambak intensif. Kuota pemanfaatan melewati 4 kali lebih besar dari 2.156,71 ha menjadi 8.431,55 ha.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2000
Perijinan usaha perikanan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 09/Men/2001
Intensifikasi budidaya udang pada rawa dan payau
Dalam tataruang mangrove dialokasikansebagai kawasan pelabuhan
Keputusan Menteri Keuangan No 174/KMK. 04/1993
Penentuan klasifikasi dan besarnya nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan PBB
Mangrove dikategorikan sebagai tanah yang tidak terlalu produktif,nilai jualnya sdh sama dengan kelas terendah.
Mangrove dianggap bernilai apabila bermanfaat dalam jangka pendek
Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 593/Kep 518/Huk/1988
Penguasaan, peruntukkan dan penggunaan tanah timbul di Provinsi Jawa Barat
Duplikasi pengaturan kawasan mangrove terutama yang tidak ada tanamannya karena dianggap sebagai tanah timbul
Tanah timbul yang berbatasan dengan lahan objek land reform. Terjadi dualisme lembaga hak pemilikan dan tidak bisa diekslusinya 530 penggarap illegal
SK Dirut Perum Perhutani
Pengelolaan hutan bersama masyarakat
Diterapkan pada kegiatan pengelolaan hutan mangrove
Hutan mangrove yang tersisa antara 330,24 – 1.195,28 ha, karena hak kepemilikan menimbulkan ketidakpastian
Perda Kabupaten No.44 Bekasi No5 2003.
Tata ruang kawasan khususnya Pantura
Mangrove tidak dijadikan sebagai kawasan lindung
Penggarap tidak taat aturan main kontrak
SK Kepala Unit III No. 2201/Kpts/III/1997
Petunjuk kerja GRPKH
Dilaksanakannya sejak tahun 1999.
Hasil reboisasi 21,68 ha/tahun dengan laju pemanfaatan mangrove 255,44 ha/tahun. Hutan yang tersisa 386,21 ha.
SKB Bupati Bekasi, dan KKPH Bogor No.5 /SPK/Ek/236.3/VIII19 85 dan No. 059.7/Bgr/Ill.
Kerjasama pelestarian mangrove
Merehabilitasi 5.700 ha lahan kritis di kawasan hutan mangrove
PERDES Harapan Jaya, Panti Bahagia, Pantai Bakti, Pantai Mekar dan Pantai Sederhana
Penolakan program pengelolaan hutan mangrove yang diinisiasi Perhutani
Penebangan mangrove pada lahan garapan dan penggarap tidak menanam mangrove pada lahan garapan
Tanaman mangrove hanya disisakan pada pematang tambak berkisar antara 5 – 10 pohon/lahan garapan
Sumber: Suhaeri (2005)
80
Permasalahan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta yaitu: (a)
adanya interaksi yang tinggi dari masyarakat karena kebutuhan akan lahan
menyebabkan alih fungsi lahan hutan menjadi tambak, sawah, pemukiman, dan
kebun; (b) lebih dominannya pertimbangan ekonomi sehingga terjadi perubahan
penggunaan lahan; (c) kurangnya dukungan Pemda dalam hal penegakan
hukum; (d) belum samanya persepsi tentang eksistensi hutan mangrove, baik
status maupun fungsi; dan (e) rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di
sekitar hutan mangrove.
4.5 Persepsi dan Keinginan Masyarakat
Aspirasi para pihak (pemerintah, pengusaha, LSM, dan masyarakat) perlu
dikumpulkan dan dikaji secara bersama-sama melalui. Mekanisme penyaringan
aspirasi perlu dipandu fasilitator atau tenaga ahli yang menguasai permasalahan
tentang pengembangan kebijakan dan kapasitas kebijakan secara tepat yang
dapat menyelamatkan hutan mangrove serta prinsip-prinsip pengusahaan yang
mampu mendorong peran serta para pihak secara adil, transparan dan
berwawasan lingkungan kebijakan pembangunan daerah dan pengembangan
kapasitas kebudayaan dalam penyelamatan hutan mangrove.
1. Muara Angke
Hasil wawancara terhadap keinginan 100 responden di kawasan Hutan
Muara Angke dan wilayah sekitarnya menunjukkan bahwa diperlukan adanya
penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh guna menjaga
kelestarian hutan mangrove pada saat ini dan di masa yang akan datang.
Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di Muara
Angke, 30,0% responden menyatakan sangat setuju untuk menjaga dan
melindungi hutan mangrove guna menghindari kerusakan, 65,6% menyatakan
setuju, 3,2% kurang setuju, 1,0% tidak setuju, serta 0,2% menyatakan sangat
tidak setuju secara rinci seperti tertera pada Tabel 18. Kenyataan ini
menggambarkan bahwa dalam mengembangkan hutan mangrove di kawasan
suaka marga satwa dan wilayah sekitarnya diperlukan peran serta masyarakat.
Untuk itu maka sangat diharapkan adanya upaya perlindungan hutan mangrove
secara efisien dan efektif guna menghindari kerusakan yang berkepanjangan
yang pada akhirnya akan berakibat pada perubahan situasi lingkungan.
81
Tabel 18. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Angke
Pertanyaan
Jumlah Responden
Sangat Setuju Setuju Kurang
SetujuTidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Penyelamatan hutan mangrove 50 46 4 0 0
Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove
20 72 5 3 0
Manfaat hutan mangrove bagi masyarakat
19 79 1 1 0
Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada didalamnya
36 61 2 1 0
Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove
25 70 4 0 1
Jumlah 150 328 16 5 1
Persentase (%) 30,0 65,6 3,2 1,0 0,2 Sumber: Hasil analisis (2006)
Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove tergolong
tinggi yakni mencapai 96%. Hal ini menunjukkan besarnya ketergantungan
masyarakat pesisir terhadap sumberdaya hutan mangrove. Dalam kegiatan
pengelolaan, masyarakat perlu dilibatkan secara substantif. Persentase
masyarakat yang menyatakan bahwa partisipasi masyatakat dibutuhkan
mencapai 95%. Kondisi ini menunjukkan perlunya pelibatan masyarakat dalam
pengelolaan hutan mangrove dari waktu ke waktu. Selain itu secara langsung
juga akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan pada lokasi tersebut. Untuk
itu perlu diupayakan kembali peningkatan luas dan kerapatan hutan mangrove
dalam rangka mengantisipasi perubahan lingkungan yang menyebabkan
rusaknya hutan mangrove tersebut. Penyebaran hutan mangrove secara baik
dapat ditentukan oleh kondisi ekologi hutan dan habitat dari jenis hutan
mangrove tersebut (Istomo, 1992; Dahuri, 2003).
Kawasan hutan mangrove Muara Angke merupakan salah satu jenis
hutan kota yang masih relatif terpelihara dengan baik di wilayah Jakarta Utara.
Oleh karena itu diharapkan adanya perlindungan guna penyelamatan hutan pada
masa yang akan datang.
82
Tabel 19. Keinginan stakeholder terhadap pengembangan kawasan hutan mangrove di Muara Angke
Keinginan Stakeholder Jumlah Responden
Persentase (%)
Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove 26 26,0
Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut
31 31,0
Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut 18 18,0
Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan
11 11,0
Meningkatkan lapangan kerja 6 6,0
Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan 8 8,0
Jumlah 100 100,0 Sumber: Hasil analisis (2006)
Kegiatan pembangunan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
kegiatan pembangunan dalam berbagai sektor cukup menentukan keberhasilan
suatu pembangunan. Pada penelitian ini terlihat bahwa masyarakat yang
berkeinginan meningkatkan sarana pembangunan hanya 11,0%. Rustiadi et al.,
(2004) menyatakan bahwa semakin meningkat sarana dan prasarana
infrastruktur penunjang pembangunan merupakan suatu pertanda bahwa daerah
tersebut maju dan berkembang dari waktu ke waktu, serta dalam berbagai sektor
pembangunan juga meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Susilo (2003)
bahwa peningkatan sarana dan prasarana pembangunan di desa yang
berdekatan tidak sama, sehingga perkembangan desa tersebut juga beda.
Untuk itu pada penelitian ini selain kondisi lingkungan yang diperlukan dalam
peningkatan suatu kawasan hutan mangrove, faktor penting lain yang perlu
diperhatikan adalah peningkatan sarana dan prasarana untuk pengembangan
kawasan hutan tersebut.
Terpeliharanya kawasan hutan mangrove di Muara Angke dan wilayah
sekitarnya yang ditunjang dengan peningkatan sarana dan prasarana yang ada
di dalamnya, maka diharapkan akan dapat menggenjot subsektor tenaga kerja
melalui ketersediaan lapangan kerja. Keadaan ini sangat diharapkan oleh
masyarakat yang berada di sekitar wilayah kawasan hutan mangrove, seperti
yang terlihat pada Tabel 19 yang menunjukkan adanya persentase responden
sebesar 26,0%.
83
Partisipasi masyarakat secara langsung dalam setiap kegiatan
pembangunan merupakan bentuk interaksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keterlibatan masyarakat juga sangat penting dalam menentukan suatu
keberhasilan dalam pembangunan di setiap subsektor. Soetrisno (1995)
menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan
kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan,
melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.
2. Muara Gembong
Hasil wawancara di Kecamatan Muara Gembong secara umum terlihat
bahwa keinginan stakeholder untuk menyelamatkan hutan mangrove cukup
besar. Sebanyak 60% responden menginginkan perlunya menjaga kelestarian
hutan mangrove dan melakukan rehabilitasi mangorve yang sesuai dengan
kondisi lokasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove
Muara Gembong
Keinginan Stakeholder Jumlah Responden
Persentase (%)
Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove 30 30,0
Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut
29 29,0
Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut 5 5,0
Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan
10 10,0
Meningkatkan lapangan kerja 11 11,0
Dalam pengelolaan melibatkan masyarakat 15 15,0
Jumlah 100 100,0 Sumber: Hasil analisis (2006)
Tabel 21 menunjukkan bahwa dalam upaya penyelamatan hutan
mangrove di Kecamatan Muara Gembong, maka kelestarian hutan mangrove
perlu dijaga dengan mencegah terjadinya konversi lahan menjadi peruntukan
lain secara berlebihan, kualitas perairan perlu dijaga dari buangan limbah rumah
tangga mengingat umumnya masyarakat Kecamatan Muara Gembong hidupnya
di pesisir pantai Kecamatan Muara Gembong. Aktifitas lain yang diinginkan
masyarakat adalah melakukan penanaman kembali anakan berbagai jenis
84
mangrove guna mencegah berkurangnya berbagai jenis hutan mangrove di
pesisir Muara Gembong. Dalam rangka penyelamatan hutan mangrove,
pelibatan masyarakat sangat dibutuhkan baik sebagai penyedia tenaga kerja
maupun untuk mengambil keputusan dalam pelaksanaan setiap kegiatan di
wilayah pesisir.
Tabel 21. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Gembong
Pertanyaan
Jumlah Responden
Sangat Setuju Setuju Kurang
Setuju Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Penyelamatan hutan mangrove 27 68 2 2 1
Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove
22 70 5 2 1
Manfaat hutan mangrove bagi masyarakat
22 74 2 1 1
Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada didalamnya
23 58 11 3 5
Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove
15 75 10 0 0
Jumlah 109 345 30 8 8
Persentase (%) 21,8 69, 0 6,0 1,6 1,6 Sumber: Hasil analisis (2006)
Persepsi responden masyarakat (90,8%) Kecamatan Muara Gembong
menginginkan adanya perhatian yang serius terhadap kelestarian hutan
mangrove. Persepsi ini berkembang karena lahan yang semulanya merupakan
lahan hutan mangrove dialihkan menjadi peruntukan lainnya. Peralihan lahan
hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya semakin berkembang di Kecamatan
Muara Gembong sejalan dengan keluarnya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 tahun
2003 tentang rencana tata ruang kawasan khusus pantai utara. Penilaian
secara ekonomis yang hanya sesaat, Perda ini sangat menguntungkan karena
membuka lapangan kerja baru, meningkatnya basis-basis pertumbuhan ekonomi
untuk sub sektor perhubungan, industri, pariwisata, dan perikanan namun
secara ekologis menimbulkan kerusakan pada lahan hutan mangrove yang
berdampak pada terjadinya abrasi pantai.
85
Menurut McNelly (1992) dan Suhaeri (2005) peranan hutan mangrove
belum mendapat penghargaan sebagaimana mestinya, sebagaimana terlihat
di Kecamatan Muara Gembong. Total PDRB yang bersumber dari mangrove
terus mengalami peningkatan, namun penghargaan mangrove baru dinilai dari
kontribusi langsung komoditas kehutanan dan belum dinilai secara utuh sebagai
ekosistem. Tingkat kerusakan hutan mangrove semakin meningkat dari tahun ke
tahun seiring dengan perubahan lahan hutan mangrove menjadi peruntukan lain
sekaligus peningkatan lapangan usaha.
3. Teluk Naga
Kondisi kawasan pesisir pantai utara (Pantura) Kabupaten Tangerang,
DKI Jakarta dan Bekasi telah lama memburuk serta tampak tak terurus dan
cenderung terabaikan sehingga telah kehilangan kemampuannya sebagai
agen perlindungan ekosistem pantai. Adanya reklamasi pantai di lokasi tersebut
yang dirintis sejak jaman pemerintahan Soeharto, Sejalan dengan itu, dalam
rangka memperbaiki pantai yang rusak ke kondisi semula, telah dilakukan
kegiatan membersihkan sampah yang berlebihan dan memperkaya
tumbuhannya, khususnya mengembalikan kemampuan fungsi sebagai
penyangga ekosistem dan perlindungan pantai, maka pemerintah mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) nomor 32 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah
(PP) nomor 47 tahun 1997 merupakan kawasan lindung sempadan pantai.
Kenyataannya kebijakan tersebut disalahartikan karena dengan adanya
reklamasi, dengan tujuan untuk pembangunan water front city serta pusat bisnis,
bahkan secara illegal diikuti oleh pengembang dengan dalih adanya ijin seperti
pemerintah Kabupaten Tangerang untuk membangun pusat wisata. Dengan
perubahan ini, maka sebagian besar lahan di pesisir Kabupaten Tangerang
menjadi rusak berat dan secara langsung berakibat pada rusaknya lahan hutan
mangrove. Hal ini sudah disadari oleh masyarakat setempat (pesisir Kabupaten
Tangerang), sehingga 95% diantara mereka mengatakan perlunya
menyelamatkan kondisi kawasan pesisir dan ekosistem hutan mangrove dari
kerusakan yang berkepanjangan.
Hanya sebagian masyarakat yang mempunyai keinginan untuk
menyelamatkan hutan mangrove di Teluk Naga. Dari Tabel 22 juga terlihat
adanya sejumlah responden yang tidak memahami manfaat dari pelestarian
hutan mangrove. Hal ini terjadi karena didesak oleh keterbatasan lapangan
86
kerja dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga meskipun
kawasan pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang telah memburuk di
Kecamatan Teluk Naga masih ada responden yang kurang mendukung upaya
penyelamatan hutan mangrove, secara rinci seperti tertera pada Tabel 22.
Tabel 22. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Teluk
Naga
Pertanyaan
Jumlah Responden
Sangat Setuju Setuju Kurang
Setuju Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Penyelamatan hutan mangrove 15 85 0 0 0
Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove
20 64 5 6 5
Manfaat hutan mangrove bagi masyarakat
23 70 3 4 0
Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada di dalamnya
33 55 8 1 3
Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove
40 60 0 0 0
Jumlah 131 334 16 11 8
Persentase (%) 26,2 66,8 3,2 2,2 1,6 Sumber: Hasil analisis (2006)
Data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang (2005) luas
abrasi di pantai utara Kabupaten Tangerang telah mencapai 193 ha lebih.
Kawasan yang terkena abrasi membentang sepanjang 52 km dengan garis
pantai yang telah bergeser antara 15 sampai 50 m ke arah daratan. Abrasi
pantai di pesisir utara Kabupaten Tangerang terjadi sangat parah, mulai dari
Tanjung Kait di bagian barat sampai Tanjung Pasir dan Teluk Naga di bagian
timur tak luput dari penggalian pasir yang membuahkan abrasi pantai.
Hal ini juga terlihat dari pemandangan di sepanjang jalan raya pantai
utara Kabupaten Tangerang sepanjang kurang lebih 15 km dari Tanjung Kait
menuju Tanjung Pasir banyak didapati empang-empang maupun cekungan
bekas penambangan pasir. Stakeholder di Kecamatan Teluk Naga pada
umumnya menginginkan adanya perhatian khusus pada kawasan hutan
mangrove yang telah mengalami kerusakan serius (Tabel 23).
87
Tabel 23. Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga
Keinginan Stakeholder Jumlah Responden
Persentase (%)
Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove 46 46,0
Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut
21 21,0
Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut 14 14,0
Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan
2 2,0
Meningkatkan lapangan kerja 7 7,0
Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan 10 10,0
Jumlah 100 100,0 Sumber: Hasil analisis (2006)
Masyarakat di pesisir Kecamatan Teluk Naga telah menyadari bahwa
kawasan hutan mangrove di pesisir Kecamatan Teluk Naga telah rusak berat.
46% responden masyarakat mengharapkan adanya perhatian serius terhadap
perbaikan kawasan hutan mangrove, dan 21% dari mereka perlu menanam
kembali jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut, disamping itu 10%
dari mereka mengharapkan adanya keterlibatan masyarakat dalam setiap
aktivitas kegiatan pembangunan.
4.6 Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Teluk Jakarta
Sebagai salah satu negara yang memiliki tekanan penduduk dan ekonomi
yang tinggi di daerah pantai, pemerintah Indonesia memandang bahwa wawasan
dan kesepakatan mangrove harus di dasarkan pada pertimbangan nilai ekologi,
sosial dan budaya (Alikodra, 2000). Permasalahan utama dalam pengelolaan
mangrove secara lestari sangat tergantung pada keharmonisan diantara ketiga
komponen tersebut.
Manfaat mangrove secara terhadap kepentingan bangsa dan masyarakat
setempat sudah didokumentasikan dengan baik sekalipun masih belum
sepenuhnya diakui oleh ilmuwan lain yang berhubungan dengan pengumpulan
data dan penelitian sumberdaya pantai. Demikian juga sudah diketahui tentang
kondisi adanya tekanan sosial ekonomi terhadap sumberdaya mangrove, status
88
hukum dan kelembagaan yang belum jelas sehingga berbagai instansi
mengembangkan sumberdaya mangrove.
Keseimbangan kepentingan perlu dijaga untuk mencapai peningkatan
pengembangan ekonomi, di satu pihak, dan usaha perlindungan ekosistem hutan
mangrove di lain pihak. Peningkatan kesadaran akan fungsi perlindungan,
produksi dan sosial ekonomi dari ekosistem mangrove tropis, serta konsekuensi
kerusakan hutan mangrove merupakan pokok-pokok yang harus
dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya secara terpadu untuk
konservasi dean pelestarian. Memperhatikan berbagai fungsi tersebut, maka
dalam pengelolaan mangrove dengan didasari ekosistem daratan dan lautan,
perlu menggunakan konsep perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang
terpadu.
Pada prinsipnya ada tiga pilihan dalam pengelolaan dan pengembangan
mangrove: (1) perlindungan ekosistem secara alami; (2) pemanfaatan ekosistem
untuk berbagai penggunaan barang dan jasa atas dasar kelestarian; (3)
konservasi ekosistem alami, khususnya untuk kepentingan tertentu. Dalam
melaksanakan ketiga pilihan diatas belum didukung oleh ketersediaan data yang
lengkap.
Fungsi dan manfaat hutan mangrove dapat menempatkan peranannya
yang cukup besar dalam kelestarian mutu dan tatanan lingkungan serta
pengembangan ekonomi kerakyatan dan pendapatan negara. Oleh karena itu
pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan mangrove perlu dilakukan
melalui suatu sistem pengelolaan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi
dan peranannya bagi kepentingan generasi masa kini maupun masa datang
serta perlunya dibangun institusi pengelola yang profesional.
Prinsip kelestarian menjadi tujuan utama dalam pengelolaan hutan
mangrove yang diindikasikan oleh tiga tujuan pokok yang saling terkait dan tidak
dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu tujuan ekologis,
ekonomis, dan sosial. Tujuan ekologis, yaitu sebagai suatu sistem penyangga
kehidupan antara lain merupakan pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah,
mencegah erosi dan abrasi, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara
bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Tujuan ekonomis, yaitu sebagai sumber yang menghasilkan barang dan
jasa baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun
89
yang tidak terukur seperti ekoturisme. Tujuan sosial, yaitu sebagai sumber
penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian
masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan mangrove, serta
untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pengelolaan hutan mangrove merupakan bagian pengembangan
kawasan pesisir secara keseluruhan sehingga selalu mempertimbangkan
kepentingan dan manfaat yang lebih luas, dengan tetap mengutamakan
kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. UU No. 32 tahun 2004
memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah sebagai daerah otonom
dalam pengelolaan lingkungan, termasuk didalamnya pengelolaan mangrove.
Langkah yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kerusakan hutan
mangrove melalui: (a) komitmen dan konsistensi Pemerintah Daerah Provinsi
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pengembangan wilayahnya
untuk tetap mengacu kepada Tata Ruang Daerah dengan prinsip konservasi
untuk kawasan jalur hijau mangrove dan tetap menjaga fungsi pelestarian untuk
kawasan hutan mangrove yang telah ditetapkan peruntukannya sebagai suaka
alam atau suaka margasatwa; (b) penetapan jalur hijau pantai dengan mangrove
untuk kawasan-kawasan yang sesuai secara ekologis (Keppres 32 Tahun 1990
tentang Kawasan Lindung), yaitu 130 kali perbedaan pasang-surut melalui
Peraturan Daerah; dan (c) menetapkan lokasi prioritas rehabilitasi dan
melaksanakan rehabilitasi untuk kawasan hutan mangrove yang telah mengalami
degradasi melalui kemitraan antara pemerintah dan masyarakat.
Secara umum permasalahan yang perlu diatasi agar kerusakan hutan
mangrove tidak berkelanjutan adalah: (1) data dan informasi serta pengetahuan
dam teknologi yang berkaitan dengan sumberdaya alam mangrove masih
terbatas, sehingga belum mendukung tata ruang, pembinaan, pemanfaatan yang
lestari dan perlindungan serta rehabilitasinya, (2) belum berkembangnya
pengelolaan hutan mangrove, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya manusia,
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan maupun pengawasannya, (3)
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan
mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara
lestari, terutama dalam hal pendidikan, pengetahuan, kesadaran, keterbatasan,
dan kesempatan berusaha, (4) pengelolaan kawasan hutan mangrove
merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, namun
90
keikutsertaan secara aktif dari masyarakat dalam proses perencanaan,
pelaksanaan sampai dengan pemanfaatannya masih terbatas, sehingga pesepsi
dan kepedulian antara pengelola dan pengguna hutan mangrove berbeda-beda,
dan (5) mekanisme pendanaan yang belum memadai untuk program-program
pengelolaan hutan mangrove yang meliputi perlindungan, pelestarian, penelitian,
dan pemanfaatan yang lestari dengan melibatkan berbagai aspek pokok seperti
sarana dan prasarana (Alikodra, 1999).
Dalam wilayah penelitian, diidentifikasi empat permasalahan utama dalam
pengelolaan hutan mangrove yaitu degradasi ekosistem mangrove, persepsi dan
pola hidup masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove, konflik
pemanfaatan dan laih fungsi lahan, kelembagaan pengelolaan dan kebijakan
yang sifatnya sektoral.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove, analisis kebutuhan
masyarakat dan stakeholder, kebijakan pembangunan wilayah pesisir Teluk
Jakarta, hasil diskusi dengan pakar dan stakeholder diperoleh lima alternatif
kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta secara berkelanjutan
berdasarkan permasalahan yang ada seperti yang disajikan pada Gambar 8.
Penerapan Teknologi
Pemberdayan Masyarakat
Pengelolaan Terpadu
Penegakan Hukum
Konflik Pemanfaatan dan alih fungsi lahan
Degradasi ekosistem mangrove
Persepsi dan pola hidup masyarakat
Kelembagaan dan Kebijakan Sektoral
PERMASALAHAN
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN
Penguatan Kelembagaan
Gambar 8. Permasalahan dan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta
91
Deskripsi alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk
Jakarta adalah:
1. Kebijakan penegakan hukum mencakup penyediaan perangkat hukum yang
tepat, melakukan penegakan hukum melalui mekanisme pemberian sanksi
yang konsisten dan reward. Guna menghindari terjadinya ketimpangan dan
konflik kepentingan serta aktualisasi pelaksanaan kebijakan dan strategi
dalam pengelolaan lingkungan maka perlu ada koordinasi dan sinkronisasi
kebijakan dan peraturan perundang-undangan di pusat dan di daerah dengan
memperhatikan hukum adat dan kearifan lokal. Penegakan hukum (law
enforcement) dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan kebijakan yang
telah ditetapkan dapat dilaksanakan secara konsisten, menghindari konflik
kepentingan horizontal dan vertikal.
2. Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi dan akses
masyarakat dalam pembangunan. Dalam kaitan itu, pemberdayaan dan
peningkatan partisipasi masyarakat sekitar hutan mangrove sangat
diperlukan dan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam upaya
melestarikan hutan mangrove sekaligus mensejahterakan masyarakat.
Mengingat, masyarakat pesisir merupakan komunitas yang pola
kehidupannya sebagian besar sangat tergantung dengan sumberdaya hutan
mangrove, dan sebaliknya masyarakat di sekitar hutan mangrove yang akan
merasakan dampak dari kerusakan hutan mangrove. Dalam pengelolaan
lingkungan diperlukan keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat sejak
proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasi. Hal ini
dilakukan agar pengelolaan lingkungan untuk menjaga ekosistem kelautan
lebih sesuai dengan proses demokratisasi dan penerapan prinsip people
centre development. Strategi pemberdayaan masyarakat (community
empowerment) diarahkan bagi masyarakat lokal agar dapat mengakses
sumberdaya informasi, politik, ekonomi, teknologi dan sosial untuk
kesejahteraannya dan untuk pemeliharaan kualitas lingkungan. Upaya yang
dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi sumberdaya
lokal sehingga akan terbangun rasa memiliki akan sumberdaya yang ada.
3. Melakukan pengembangan dan penerapan teknologi kelautan yang efisien,
efektif, dan ramah lingkungan melalui investasi pemerintah dan swasta
dengan kolaborasi lembaga riset dan partisipasi masyarakat. Pengembangan
dan penerapan teknologi mencakup adopsi teknologi ramah lingkungan yang
92
produktif dan efisien. Arah pengembangan teknologi yang dikembangkan
adalah pada pengembangan dan penerapan teknologi budidaya perikanan,
mitigasi bencana, pencegahan abrasi pantai, dan penanggulangan illegal
fishing. Pengembangan dan penerapan teknologi ini harus dapat menjamin
peningkatan kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi nasional, dan
kelestarian lingkungan. Untuk itu diperlukan kemitraan dengan dunia usaha,
kolaborasi dengan lembaga riset dan partisipasi masyarakat.
4. Pengelolaan terpadu dari aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan yang bersifat lintas sektor dan multistakeholder.
Pengelolaan lingkungan untuk menjaga ekosistem kelautan dilakukan secara
terpadu dan komprehensif (integrated management) dari berbagai aspek
pembangunan sehingga terwujud suatu mekanisme pengelolaan lingkungan
yang optimal dan berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai
kepentingan. Keterpaduan mencakup pengelolaan pada level birokrasi,
keterpaduan wilayah, dan keterpaduan antar stakeholder yakni masyarakat,
pemerintah, pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat yang
menggunakan prinsip-prinsip sistem manajemen nasional.
5. Penguatan kapasitas kelembagaan mencakup kelembagaan pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha. Kelembagaan ini perlu
ditingkatkan baik kualitas maupun peransertanya dalam pembangunan.
Peningkatan kapasitas kelembagaan (capacity building) untuk menegaskan
mekanisme kerjasama antar lembaga guna menghindari konflik kewenangan
dan konflik pemanfaatan. Peningkatan kapasitas kelembagaan diarahkan
dalam rangka kerjasama yang harmonis diantara semua institusi serta
kemampuan dalam pengelolaan lingkungan di wilayahnya masing-masing.
Perangkat hukum yang memadai, penegakan hukum yang tegas, dan
kapasitas kelembagaan yang sesuai akan berdampak positif secara ekonomi,
politik, sosial budaya, dan pertahanan dan keamaman.
4.6.1 Prioritas kebijakan pengelolaan Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk
Jakarta disusun menurut urutan prioritas berdasarkan hasil analisis yang
melibatkan pakar dan praktisi yang berkompeten dibidangnya. Analisis yang
digunakan adalah analytical hierarchy process (AHP) yang merupakan salah satu
metodologi paling efektif dalam penentuan prioritas-prioritas yang strategis
93
karena datanya merupakan representasi dari aspirasi para expert yang juga
mewakili instansi-instansi dan kepakaran-kepakaran yang terkait dengan
substansi kajian. Ada sembilan expert sebagai responden yang mewakili
instansi-instansi terkait, yaitu perguruan tinggi (IPB), Kementerian Lingkungan
Hidup, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, serta
individual pakar. Hirarki analisis AHP disajikan pada Gambar 9.
PENENTUAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA
PEMERINTAH (PUSAT DAN DAERAH)
(0,637)
LEVEL 1FOKUS
PENGUSAHA DAN INVESTOR
(0,105)
MASYARAKAT DAN LSM
(0,258)
Penegakan Hukum(0,092)
LEVEL 5KEBIJAKAN
Penerapan Teknologi
(0,270)
Pengelolaan Terpadu(0,220)
Penguatan Kelembagaan
(0,104)
LEVEL 2AKTOR
LEVEL 4KRITERIA
Terpeliharanya habitat
mangrove
Tercukupinya luas lahan mangrove
Peningkatan Pendapatan masyarakat
Peningkatan pendidikan
dan kesehatan
Peningkatan PAD
Meningkatnya investasi
Berkembangnya sektor informal
Terciptanya kesempatan
kerja dan berusaha
Pemberdayaan Masyarakat
(0,314)
Kelestarian Ekosistem
(0,250)
LEVEL 3TUJUAN
Pertumbuhan ekonomi(0,250)
Kesejahteraan Masyarakat
(0,500)
Terjaganya fungsi
ekosistem
Gambar 9. Hasil AHP penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk
Jakarta
Analisis AHP dalam kajian ini memperhatikan aktor dalam pengelolaan
hutan mangrove. Hasil judgement pakar dan stakeholder menunjukkan bahwa
aktor yang paling berperan dalam penentuan kebijakan pengelolaan hutan
mangrove di Teluk Jakarta adalah pemerintah dan pemerintah daerah (bobot
0,637). Hal ini berkaitan dengan fungsi dan kewenangan pemerintah untuk
mengatur sumberdaya milik bersama seperti hutan mangrove. Di samping itu,
hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat vital sehingga apabila
keberadaannya terganggu dapat menghambat proses pembangunan yang akan
merugikan semua pihak. Aktor yang juga memiliki peran penting adalah
masyarakat (bobot 0,258). Masyarakat dalam hal ini adalah pihak yang langsung
memanfaatkan hutan mangrove untuk kegiatan sehari-hari. Dengan demikian
sangat terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan mangrove.
94
Pada level tujuan, yang menjadi prioritas utama adalah kesejahteraan
masyarakat (bobot 0,500). Hal ini menunjukkan indikasi bahwa kesejahteraan
masyarakat sangat berperan dalam keberhasilan pengelolaan hutan mangrove.
Masyarakat sebagai penerima manfaat terbesar dari keberadaan hutan
mangrove memerlukan perhatian khusus terkait dengan tingkat
kesejahteraannya. Kelestarian pemanfaatan hutan mangrove berkaitan erat
dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingginya pengetahuan tentang
konservasi dan tingkat pendapatan masyarakat akan menunjang keberlanjutan
pengelolaan mangrove. Tujuan kelestarian ekologi dan pertumbuhan ekonomi
memiliki bobot yang sama yakni 0,250. Hal ini menunjukkan bahwa kelestarian
ekologi dan pertumbuhan ekonomi harus didorong untuk memenuhi tujuan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat, kriteria
yang paling utama adalah peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan
pendidikan dan kesehatan. Untuk mencapai tujuan kelestarian ekologi faktor
terpeliharanya habitat mangrove dan terjaganya fungsi ekosistem merupakan
kriteria yang harus diperhatikan. Sedangkan untuk mencapai tujuan pertumbuhan
ekonomi, faktor yang paling utama adalah perkembangan sektor informal dan
tumbuhnya investasi swasta.
Hasil analisis AHP pada level alternatif kebijakan berdasarkan judgement
pakar dan stakeholder diperoleh hasil seperti pada Gambar 10.
Gambar 10. Hasil analisis AHP
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemberdayaan
masyarakat merupakan prioritas tertinggi dalam pengelolaan hutan mangrove di
Teluk Jakarta dengan bobot 0,314. Kebijakan ini perlu dilaksanakan secara
menyeluruh dengan didukung oleh seluruh stakeholder. Prioritas kedua adalah
95
penerapan teknologi dengan bobot 0,270 dan ketiga adalah pengelolaan terpadu
dengan bobot 0,220. Kebijakan penerapan teknologi dan pengelolaan terpadu ini
perlu dilakukan untuk mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat.
4.6.2 Strategi implementasi kebijakan pengelolaan Secara operasional diperlukan suatu strategi implementasi guna
memudahkan perwujudan kebijakan yang menjadi prioritas pengelolaan hutan
mangrove di Teluk Jakarta. Strategi implementasi ini dirumuskan melalui FGD
yang melibatkan pakar dan praktisi. Pada saat FGD disepakati bahwa kelima
kebijakan yang dirumuskan harus dilakukan secara konsisten dan terpadu
dengan melibatkan stakeholder pada ketiga wilayah kajian.
Pada tahap operasional, strategi dan program harus disesuaikan dengan
karakteristik ketiga wilayah kajian dengan memperhatikan aspek ekologi,
ekonomi, sosial budaya, dan teknologi. Guna menyelamatkan hutan mangrove
yang masih ada dan memperluas kawasan hutan mangrove sesuai dengan yang
dibutuhkan untuk dapat berfungsi secara optimal, maka terdapat empat program
yang perlu dilakukan yaitu rehabilitasi kawasan mangrove, perbaikan kualitas
perairan, penanganan sampah dan limbah, dan pengendalian abrasi dan
sedimentasi.
1. Strategi pemberdayaan masyarakat Masyarakat pesisir dapat dibedakan menjadi dua kelompok menurut jenis
kegiatan utamanya yaitu nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak.
Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor
perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas.
Petambak adalah nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau
sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di
wilayah pantai (Soewito, 1984). Namun untuk wilayah Teluk Jakarta, selain
sebagai nelayan, masyarakat di wilayah pesisir juga ada yang menjadi buruh,
pedagang, dan karyawan untuk kegiatan di sekitar pantai.
Beberapa strategi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya hutan mangrove di Teluk Jakarta yang cukup efektif dan efisien
untuk diterapkan dan dikembangkan adalah: pendekatan kelompok, penguatan
kelembagaan, pendampingan, pengembangan sumberdaya manusia, dan
96
pemberian stimulan. Kelima strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan dan saling mempunyai kerkaitan yang erat satu sama lain.
Dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, dapat dilakukan dengan
cara: (a) pemberian motivasi untuk menciptakan kondisi yang membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya dan berupaya mengembangkannya; (b)
penguatan untuk memperkuat potensi dan daya yang dimiliki masyarkat dengan
memberikan input dan membuka peluang untuk berkembang; dan (c) pemberian
potensi untuk memberikan perlindungan agar mempunyai kemampuan bersaing.
Upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan mangrove, akan dapat
dilakukan secara baik jika masyarakat yang bersangkutan didukung oleh: (1)
taraf pendidikan yang memadai, baik secara kuantitatif maupun kualitatif; (2)
Tingkat kesehatan yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas; (3)
Penguasaan/akses sumber-sumber kemajuan ekonomi yang memadai seperti
modal, teknologi, lapangan kerja, pasar, dsb; (4) Keberadaan faktor-faktor sosial
budaya yang mendukung baik yang berkaitan dengan tata nilai, kelembagaan
sosial, maupun interaksi sosial antar kelompok.
Pendidikan masyarakat umumnya masih rendah dan bersifat non-captive,
sehingga upaya peningkatan sumberdaya manusia dilakukan melalui
pendekatan kelompok (penyuluhan interpretatif, demonstrasi, pelatihan dan studi
banding) maupun perorangan (pendampingan). Agar masyarakat dapat
mengapresiasikan kegiatan dengan baik, maka perlu dilibatkan dalam seluruh
tahap manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan evaluasi. Dengan demikian masyarakat dapat merasakan bahwa masalah
yang ada merupakan masalah yang bersama yang perlu dipecahkan sendiri.
Pengenalan masalah dilakukan bersama-sama masyarakat dengan
menggunakan teknik participatory rural appraisal (PRA).
Pendekatan sosial budaya pada dasarnya untuk mengubah perilaku
masyarakat yang bersifat negatif menjadi positif serta mengembangkan budaya
positif yang telah ada pada sebagian anggota masyarakat sehingga bisa
memasyarakat. Pengubahan perilaku merupakan bukan hal yang mudah karena
berkaitan dengan sistem nilai yang berlaku dan telah mengakar dalam
masyarakat serta mengubah sikap masyarakat tersebut sesuai dengan yang
diharapkan.
Metode yang dapat digunakan adalah metode penyuluhan atau
interpretasi sosial budaya yang disertai dengan penyediaan sarana sosial budaya
97
yang mendukung perilaku masayarakat tersebut. Hal yang penting adalah bahwa
perubahan perilaku tersebut terjadi secara sukarela atas kepentingannya sendiri.
Masyarakat mengetahui bahwa apabila ia berperilaku sebagaimana yang
disarankan, maka ia akan memperoleh insentif dan apabila tidak melakukan hal
tersebut akan rugi dibanding dengan orang yang melakukannya.
Upaya pelestarian terhadap keberadaan suaka margasatwa Muara Angke
akan sulit dilakukan, mengingat tekanan yang begitu besar dan permasalahan
yang sedemikian kompleks. Untuk itu diperlukan upaya bersama antara
stakeholder dan pihak-pihak lain yang bersifat terus menerus, terkonsentrasi
yang dituangkan dalam bentuk upaya konkrit pengelolaan dan rehabilitasi hutan
mangrove di kawasan tersebut.
Disamping itu perlu adanya monitoring terhadap mangrove yang telah
ditanam, agar rehabilitasi yang telah dilakukan benar-benar sesuai dengan
rencana, selain itu perlunya tindak lanjut kegiatan tersebut dikaitkan dengan
kegiatan lainnya seperti penelitian, wisata dan pendidikan lingkungan. Dalam
kaitan dengan rencana reklamasi Pantura, perlu melibatkan masyarakat dalam
proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Proses partisipatif ini akan
lebih menjamin kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan
keberlanjutan pembangunan yang dilaksanakan di Teluk Jakarta. Pada proses
ini, dapat disepakati bersama berbagai kegiatan pembangunan yang dapat
dilakukan dengan melibatkan masyarakat.
Selain peningkatan kualitas pendidikan, langkah-langkah strategis
pemberdayaan masyarakat yang harus dilakukan adalah:
1) Mentransformasi nelayan tradisional menjadi nelayan modern untuk
memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir yang ada yang sekaligus dapat
memainkan peran ganda dalam membantu menjalankan fungsi pengawasan
terhadap berbagai praktek ilegal yang dilakukan di sekitar hutan mangrove.
Kegiatan transformasi nelayan dilakukan secara spesifik lokasi yakni nelayan
dapat diarahkan pada kegiatan yang tidak bergantung pada sumberdaya
mangrove misalnya nelayan Muara Angke ke arah budidaya perairan,
nelayan Muara Gembong ke arah pengolahan hasil perikanan, dan nelayan
Teluk Naga ke arah jasa wisata.
2) Peningkatan keberpihakan pemerintah dan pengusaha terhadap nelayan
kecil dan masyarakat di wilayah pantai yang tingkat kesejahteraannya masih
relatif rendah. Upaya ini dilakukan dengan peningkatan aktivitas nelayan
98
dalam kegiatan produksi dengan memberikan wilayah tangkapan yang sesuai
dengan kemampuannya dengan mengubah rezim pengelolaan perikanan dari
quasi open acces menjadi limited entry. Penentuan sistem ini harus disepakti
oleh semua stakeholder di wilayah Teluk Jakarta. Untuk nelayan di Muara
Gembong dan Teluk Naga, perlu perhatian yang lebih serius karena sulitnya
mencari alternatif usaha sehingga dapat mengancam keberlanjutan program.
Dengan demikian perlu pendampingan dan sosialisasi kegiatan yang intensif
pada awal program.
3) Memberikan aksesibilitas yang tinggi kepada generasi muda nelayan untuk
memperoleh pendidikan yang terjangkau, akses terhadap pelayanan
kesehatan yang murah, dan akses terhadap lembaga keuangan yang mudah
khususnya lembaga keuangan mikro di pedesaan. Upaya ini tentu saja harus
dimulai dengan program pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat
(pembinaan, pendampingan, penyuluhan) secara bertahap hingga mencapai
tingkat mandiri. Selain itu perlu fasilitasi pemerintah untuk pemasaran dan
pengolahan hasil perikanan yang dapat menjamin peningkatan kesejahteraan
nelayan.
2. Strategi penerapan teknologi Jenis teknologi yang dikembangkan di masing-masing lokasi adalah jenis
teknologi yang prospektif, yaitu: secara ekonomis menguntungkan, secara teknis
mudah dilakukan oleh masyarakat, secara sosial budaya dapat diterima (tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku), dan secara lingkungan tidak
menimbulkan kerusakan ekosistem.
Pengembangan dan peningkatan penguasaan teknologi dilakukan melalui
berbagai pendekatan yaitu introduksi inovasi, perbaikan teknologi yang ada,
introduksi metode, memperbaiki dan mengembangkan kembali pengetahuan
lokal yang ada, merekayasa teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat,
atau introduksi alat. Metodologi yang digunakan adalah demonstrasi cara dan
pembangunan proyek percontohan (demonstrasi plot) seperti metode rehabilitasi
di Teluk Naga.
Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah:
1) Pengembangan teknologi perlindungan wilayah pantai dan mitigasi bencana.
Teknologi ini dapat memanfaatkan sumberdaya lokal seperti penanaman
mangrove yang dikombinasi dengan break waters. Untuk kawasan tertentu
99
yang telah mengalami abrasi, dilakukan dengan bangunan tanggul yang
kokoh kemudian melakukan program rehabilitasi dan reboisasi kawasan
menjadi hutan mangrove. Program ini perlu dilakukan khususnya di Muara
Gembong dan Teluk Naga yang sangat rentang terhadap abrasi dan
sedimentasi. Luas hutan mangrove yang dipersyaratkan yakni sesuai dengan
keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Selain itu perlu pengembangan teknik
konservasi yang ekonomis, efektif, dan dapat dilakukan oleh masyarakat
secara berkelanjutan.
2) Pengembangan dan adopsi teknologi pengolahan hasil perikanan. Upaya ini
dimulai dengan penyediaan coldstorage dengan kapasitas yang besar di
setiap sentra penghasil perikanan guna menjamin ketersediaan bahan baku
dan kepastian harga, menambah jumlah sarana dan prasarana pelabuhan
perikanan dan pusat pendaratan ikan. Selanjutnya perlu dikembangkan
teknologi pengolahan hasil perikanan yang ekonomis dan berdasarkan
permintaan pasar. Meningkatkan fasilitas laboratorium pengujian mutu hasil
perikanan (laboratorium), baik yang terdapat di pusat maupun di daerah, agar
mampu melaksanakan pengujian mutu sesuai standar yang berlaku terhadap
produk perikanan yang akan dipasarkan ke pasar lokal maupun ekspor.
Untuk menjamin keberlanjutan upaya ini, perlu dikembangkan pula sistem
agribisnis yang dapat menunjang pemasaran hasil produksi perikanan dan
produk olahannya.
3) Penerapan teknologi budidaya perikanan untuk komoditi potensial. Sistem
yang tepat untuk pengembangan budidaya laut adalah sea farming. Sistem
ini mengkombinasikan kegiatan restocking (rehabilitasi stok ikan), budidaya
dalam keramba jaring apung, budidaya dalam kadang sekat, dan penyediaan
sarana seperti hacthery. Sistem sea farming dapat digunakan untuk wilayah
di sekitar Teluk Jakarta dan telah dilakukan di Kepulauan Seribu. Teknik
budidaya yang sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ekosistem mangrove
adalah sistem sylvofishery (tumpangsari) antara budidaya perikanan dan
pelestarian mangrove. Teknik ini dapat digunakan di wilayah Muara
Gembong yang kualitas airnya relatif masih mendukung.
5) Pembinaan dan pendampingan penggunaan teknologi tepat guna secara
bertahap sesuai dengan tingkat adopsinya. Pembinaan ini dilakukan untuk
masyarakat agar dapat terus meningkatkan kemampuannya dalam
menerapkan teknologi yang sesuai sehinga tingkat kesejahteraannya dapat
100
meningkat sejalan dengan produktivitasnya. Lembaga yang diharapkan
berperan dalam upaya ini adalah lembaga pendidikan dan lembaga swadaya
masyarakat. Upaya ini difokuskan pada kawasan yang memiliki potensi
perikanan tinggi tetapi kualitas SDM yang rendah seperti di Muara Gembong
dan Teluk Naga.
3. Strategi pengelolaan terpadu Dalam rangka mengimplementasikan strategi pengelolaan hutan
mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan diperlukan dukungan program-
program berbagai instansi terkait dari tingkat pusat sampai tingkat desa dan
lembaga-lembaga lainnya. Kegiatan pembangunan dan pengembangan sarana
dan prasarana merupakan kewenangan instansi sektoral. Seringkali berbagai
macam kegiatan tersebut sebenarnya sudah direncanakan tetapi dalam waktu
dan atau tempat yang berbeda, sehingga seolah-olah masing-masing berjalan
sendiri. Apabila kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara bersama-sama
menangani permasalahan yang ada, maka akan terjadi kerjasama yang sinergis.
Untuk itu diperlukan koordinasi yang baik sampai di tingkat lokasi kegiatan, baik
pada tahap perencanaan maupun dalam tahap implementasinya di lapangan.
Berdasarkan penelitian di lapangan, instansi yang berperan penting di
tingkat kabupaten/kota yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kimpraswil,
Dinas Perindag, Dinas Pertanian, Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup,
Dinas Kehutanan, Dinas Koperasi UKM, dan PT Perhutani. Lembaga-lembaga
penunjangnya adalah Kadin, Lembaga Asuransi, Perbankan, Lembaga
Penjamin, BUMN dan BUMD, LSM dan berbagai stakeholder.
Dinas Perikanan dan Kelautan berperan dalam membina dan
mengembangkan usaha dan produksi perikanan, termasuk pertambakan. Dinas
Kimpraswil berperan dalam penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana,
pembuatan jalan, saluran, pengerukan, dan pencegahan abrasi. Dinas Perindag
berperan dalam penyediaan informasi pasar dan harga. Dinas Pertanian
berperan dalam pengembangan produksi pertanian, termasuk mengawasi
konversi lahan pertanian. Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup berperan
dalam membina dan memantau lingkungan hidup. Dinas Kehutanan dan PT
Perhutani berperan dalam menjaga kelestarian hutan mangrove dan mengawasi
pengelolaan dan penyelamatan hutan mangrove. Dinas Koperasi UKM membina
101
koperasi dan UKM. Bappeda mengendalikan prasarananya, dan Dinas
Pemberdayaan Masyarakat membantu masyarakat untuk mandiri.
Lembaga-lembaga penunjang seperti bank dan lembaga keuangan bukan
bank berperan membina kelembagaan yang ada. Perbankan berperan dalam
penyediaan perkreditan dan pinjaman, lembaga penjamin dan asuransi berperan
dalam memberikan konsultasi dan penjamin BUMN dan BUMD, swasta dan LSM
berperan sebagai mitra usaha yang saling membutuhkan, saling memperkuat
dan saling menguntungkan.
Peran Camat dipertegas dengan Peraturan Daerah dalam
mengkoordinasikan kepala desa dan berbagai stakeholder. Kepala Desa
berperan penting sebagai ujung tombak dalam meningkatkan pengetahuan,
pengawasan kemampuan dan kesejahteraan warganya. Untuk itu, camat dan
kepala desa perlu dibekali wawasan dan pengetahuan tentang penyelamatan
hutan mangrove melalui pendidikan dan latihan sesuai dengan yang dibutuhkan
dengan dukungan dari berbagai instansi secara lintas sektoral dari tingkat pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.
Keterpaduan pengelolaan lingkungan merupakan necessary condition
untuk mencapai kelestarian lingkungan kelautan dan keberlanjutan usaha
perikanan. Keterpaduan ini mencakup antara pusat dan daerah dan antar
wilayah. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini
adalah:
1) Menyusun mekanisme kerjasama antar instansi dan sistem koordinasi
kelembagaan yang transparan di pusat dan antar daerah. Mekanisme ini
menjadi blue print pengelolaan sumberdaya hutan mangrove yang disusun
dan disepakati secara bersama-sama semua stakeholder yang dilengkapi
dengan mekanisme kerjasama, tata laksana dan aspek insentif/disinsentif
serta seleksi.
2) Penataan ruang kawasan budidaya agar terhindar dari eksternalitas yang
dapat mengganggu kualitas lingkungan perairan sehingga usaha budidaya
yang dilakukan dapat berkelanjutan. Selanjutnya membangun komitmen
pelaksanaan program pembangunan kelautan dan pantai sesuai RTR dan
kemudian penyediaan jaringan infrastruktur penunjang budidaya seperti
jaringan listrik, jalan, dan komunikasi.
3) Peningkatan kapasitas stakeholder pembangunan khususnya di daerah
sehingga semua pelaku pembangunan dapat memahami dan menjalankan
102
tugas fungsi dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku
tanpa konflik dengan pihak lain.
4) Mengembangkan sistem informasi eksekutif pengelolaan mangrove yang
terkait dengan semua sektor lainnya di seluruh wilayah Teluk Jakarta. Sistem
ini berbasis teknologi informasi yang dapat di akses oleh semua instansi, baik
untuk memperoleh informasi maupun untuk memberikan informasi. Potensi
dan kondisi wilayah perairan dapat diketahui dengan cepat dan akurat
sehingga dapat meningkatkan efektivitas perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan kegiatan pembangunan wilayah Teluk Jakarta.
4. Penguatan kelembagaan Pemanfaatan hutan dan ekosistem hutan mangrove melibatkan berbagai
instansi. Setiap instansi sudah ditentukan perannya, namun penjabarannya
terkadang tidak jelas dan seringkali terlihat adanya peranan dan tanggung jawab
yang terisolir. Banyak duplikasi dan tumpang tindih antara tanggung jawab dan
peranan pada berbagai instansi pemerintah.
Terdapat instansi kunci yang berperan dan mempunyai tanggung jawab
yang lebih besar dari instansi lainnya, yaitu Departemen Kehutanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan, Departemen Dalam Negeri, dan Kementerian Negara
Lingkungan Hidup. Departemen Kehutanan mempunyai tanggung jawab dalam
pengelolaan seluruh kawasan hutan pantai termasuk hutan mangrove tetapi tidak
menyebutkan tanggung jawab dan otoritas lintas sektoral untuk menjamin
keharmonisan dalam pelaksanaan dengan berbagai instansi. Kekosongan
kewenangan ini merupakan kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk
sinkronisasi kegiatan lintas sektor dan lintas wilayah. Departemen Kelautan dan
Perikanan mempunyai peranan dalam pengelolaan sumberdaya mangrove
khususnya yang berhubungan dengan produksi perikanan. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup melakukan penyelamatan lingkungan dari kerusakan akibat
kegiatan pemanfaatan hutan mangrove.
Paradoks kelembagaan yang mendasar dalam pengelolaan mangrove
dan sumberdaya wilayah pantai adalah instansi masing-masing bertindak
menurut kepentingan sektoralnya dan secara umum tidak memandang situasi
secara jernih meskipun pemisahan kepentingan sektoral di wilayah pantai
bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumberdaya secara lestari. Adanya
kepentingan multisektoral memerlukan peran Depdagri untuk melaksanakan
103
kebijakasanaan lintas sektoral. Dengan demikian Depdagri mempunyai
kewenangan dalam pengelolaan mangrove di Teluk Jakarta, yang harus
bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove.
Kerangka kerja instansi sektoral harus terkait secara baik dangan
kebijakan yang dibuat oleh lembaga koordinasi seperti Bappenas pada tingkat
nasional dan Bappeda untuk tingkat daerah. Kelemahan yang ada saat ini
adalah: (1) Kejelasan tentang peranan dan tanggung jawab masing-masing
instansi di dalam pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari; (2)
Kurangnya pemahaman terhadap peranan pentingnya strategi dan rencana
pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari dan wilayah pantai diantara
instansi sektor dan bahkan instansi koordinator yang dapat menentukan strategi
dan rencana tersebut; dan (3) Kurangnya tenaga perencana dan pakar di Kantor
Bappeda dalam memberikan input penting untuk perencanaan tata ruang
provinsi dan kabupaten, serta menyiapkan data base sumberdaya alam.
Urusan yang menjadi kewenangan pusat adalah penyelenggaraan
konservasi alam karena fungsi dan karakteristik pengelolaannya akan lebih aman
jika ada di Pusat. Di luar konservasi sumberdaya alam urusan yang termasuk
administrasi dan teknis operasional menjadi kewenangan daerah Kabupaten dan
Kota, sedangkan daerah provinsi kewenangannya dalam perencanaan makro
provinsi, pedoman, pengawasan dan hal-hal lain yang cakupannya melintas
batas kabupaten.
Pada tingkat provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten), belum
sepenuhnya menjabarkan dan mengimplementasikan kelembagaan yang dapat
berperan dalam pelestarian atau penyelamatan hutan mangrove di wilayahnya.
Demikian juga lembaga seperti BPN, Dinas Tata Kota, Bappeda, perlu mengatur
penataan ruang dan penggunaan lahan yang berwawasan lingkungan.
Guna membantu pelaku usaha kecil mengatasi masalah permodalan
diperlukan suatu lembaga keuangan satu lembaga keuangan mikro yang dapat
memberi pinjaman dengan persyaratan yang sederhana sehingga mereka dapat
segera mendapatkan modal pada saat yang diperlukan. Pelaku usaha tersebut
harus tetap dididik untuk selalu bertanggung jawab sehingga mereka dapat
mengembalikan pinjamannya dan meningkatkan usahanya. Karena penghasilan
mereka tidak tetap dan beragam maka sistem pengembalian sebaliknya
dilakukan secara periodik dengan jumlah yang tidak ditentukan tetapi mereka
harus melunasi pinjamannya dalam jangka waktu maksimum yang ditentukan.
104
Upaya-upaya yang dapat ditempuh adalah 1) mengembangkan lembaga
keuangan yang telah ada dengan memperluas jangkauan sampai ke lokasi
sasaran. Lembaga keuangan yang telah ada adalah Bank Rakyat Indonesia,
Bank Perkreditan Rakyat, atau Perum Pegadaian atau 2) menciptakan suatu
sistem dana bergulir yang dilengkapi dengan kelembagaan kelompok yang
dibuat oleh kelompok sendiri, misalnya untuk dana yang bersumber dari
pengurangan subsidi BBM atau program lainnya.
Peningkatan mutu kelembagaan masyarakat yang dilakukan oleh
keluarga, perlu diberi pengetahuan tentang prinsip-prinsip usaha, yaitu
pengelolaan sumberdaya modal, bahan baku, dan tenaga kerja untuk
menghasilkan suatu produk dan pemasarannya secara berkelanjutan. Walaupun
usaha tersebut tetap dilaksanakan dalam lembaga keluarga, tetapi pelaku usaha
perlu diberi pengertian tentang pentingnya administrasi usaha dengan baik
sehingga perkembangan usahanya dapat dimonitor. Untuk itu, diperlukan
pelatihan dan bimbingan secara kontinu sampai mereka menyadari, memahami
serta mau dan dapat melaksanakan sendiri.
Metode yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah penyuluhan,
pelatihan, pendampingan, dan pemagangan. Peningkatan peran perluasan
jaringan usaha seperti koperasi, usaha patungan, kelompok usaha, bersama baik
di bidang produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran.
Upaya lainnya adalah mengintroduksi lembaga perkreditan seperti
lembaga keuangan mikro. Lembaga perkreditan yang diintroduksikan harus
dapat memberikan pinjaman dengan prosedur yang sederhana dan dalam waktu
cepat serta besar pinjaman yang sesuai kelayakan usaha tani. Lembaga yang
dapat berfungsi seperti itu adalah lembaga keuangan pemerintah, misalnya Bank
Rakyat Indonesia (BRI), Bank DKI, Bank Jabar, atau Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) dan Perum pengadaian, termasuk koperasi.
Meningkatkan kekuatan lembaga yang telah ada di masyarakat
(penguatan internal) dengan membangun dan mengembangkan unsur-unsur
lembaga sosial kemasyarakatan yang ada di masyarakat, misalnya kebiasaan
orang tua menabung di sekolah, lembaga arisan, lembaga keuangan yang
terbentuk dalam pengajian, majelis taklim, organisasi masyarakat, atau
mengubah paradigma dan memperbaiki kinerja koperasi yang telah ada agar
sesuai dengan sendi-sendi koperasi.
105
5. Penegakan hukum Regulasi mengenai kawasan pesisir belum banyak. Regulasi yang ada
sebagian besar tidak khusus mengenai kawasan mangrove. Beberapa regulasi
yang berkenaan dengan ekosistem pesisir, pantai dan pulau kecil yaitu regulasi
dalam hal perikanan, sumberdaya alam, lingkungan, dan tata ruang.
Kekurangan regulasi ini berlanjut dengan pelaksanaannya di lapangan.
Secara umum bisa dikatakan bahwa implementasi regulasi masih sangat lemah
yang ditujukan oleh banyaknya pelanggaran dan ketidakpatuhan hukum.
Kelemahan implementasi hukum ini juga karena sistem peradilan yang tidak
efisien yang tidak memberikan dorongan bagi masyarakat untuk memenuhi
regulasi yang ada. Dengan demikian maka kelemahan implementasi hukum
merupakan kelemahan sistem atau kelembagaan yang memang merupakan
prasyarat pelaksanaan hukum secara efisien.
Akibat kelemahan regulasi serta kelembagaan maka sumberdaya hutan
mangrove tidak tertata dengan baik. Tumpang tindih kegiatan dalam hal
pemanfaatan ruang masih terjadi. Dampak eksternalitas negatif pemanfaatan
sumberdaya masih tetap berlangsung namun tidak dapat dihentikan karena
kelembagaan yang ada tidak memiliki kapasitas untuk mengatasinya. Demikian
pula, transfer dan alokasi hasil pemanfaatan sumberdaya cenderung tidak adil
dan hanya menguntungkan beberapa pihak yang memiliki kekuatan sosial,
ekonomi dan politik. Kelemahan dalam aspek hukum dan kelembagaan ini
membuat proses pemiskinan di satu sisi serta pengkayaan di sisi lain tetap
berlangsung. Dengan kata lain, akibat hukum dan kelembagaan yang lemah
maka distribusi manfaat serta disparitas status sosial ekonomi tetap berlangsung
di antara masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan
mangrove.
Hukum pengelolaan hutan mangrove meliputi semua peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga
pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan. Dari sudut hirarkinya, peraturan perundang-undangan
yang memiliki tingkat lebih tinggi akan ditindaklanjuti dengan peraturan
pelaksanaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Semua permasalahan seperti benturan kepentingan antara
lembaga harus diselesaikan dengan mengacu kepada peraturan perundang-
undangan yang mempunyai tingkatan lebih tinggi.
106
Peraturan tentang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, seperti
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2005 tentang Perikanan, Undang-Undang
Nomor 41 tentang 1999 Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur mengenai pengelolaan
dan pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Namun demikian
kerusakan wilayah pesisir dan degradasi habitat masih terjadi. Hal ini merupakan
indikasi lemahnya penegakan hukum. Untuk penegakan hukum tentunya perlu
memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap citra dan peranan aparatur
negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Upaya-
upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah:
1) Menelaah dan mengkaji materi yang terkandung dalam setiap peraturan yang
ada mengenai validitasnya jika dihadapkan pada tuntutan kebutuhan
masyarakat dalam rangka mengembangkan stabilitas politik, ekonomi, sosial
budaya, dan hankam. Juga perlu merevitalisasi kebijakan–kebijakan maupun
aturan–aturan yang selama ini memberikan peluang tindak pidana korupsi,
kolusi dan nepotisme dengan mengedepankan pengetatan fungsi
pengawasan dan pemeriksaan.
2) Penegakan aturan hukum dan sanksi yang tegas terhadap para pelaku IUU
(illegal, unreported, and unrated) fishing; Masih banyaknya kegiatan IUU
fishing baik oleh nelayan Indonesia maupun oleh kapal-kapal ikan asing
selain disebabkan oleh kurangnya pengawasan juga disebabkan oleh
lemahnya penegakan aturan hukum dan kurang beratnya sanksi yang
dikenakan terhadap para pelanggar. Hal ini diperparah lagi oleh adanya
pihak-pihak tertentu yang menjadi backing kegiatan IUU fishing tersebut.
Oleh karena itu menjadi tugas DKP, dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri
Sipil, Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan untuk menegakkan aturan
hukum dan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar.
3) Mengembangkan sistem pengawasan berbasis teknologi informasi sehingga
informasi pelanggaran dapat diperoleh lebih akurat, cepat, efisien, dan efektif.
Pengembangan teknologi ini diharapkan saling sinergi dengan teknologi
penangkapan ikan dan mitigasi bencana. Diharapkan perhatian dari
Departemen Kelautan dan Perikanan, LIPI, perguruan tinggi, dan pengusaha
untuk memberi dukungan dalam pengembangan sistem ini.
107
4.6.3 Arahan program pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan
mangrove tersebut dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan.
Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan diakomodir secara resmi di
dalam rencana tata ruang daerah tersebut, dan merupakan bagian dari rencana
tata ruang kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan
survey yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada. Untuk
aspirasi masyarakat perlu dinilai dan di dengar melalui komunikasi langsung dan
dipertimbangkan didalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian,
dan kerjasama dengan masyarakat setempat maka rencana pengelolaan
tersebut tidak akan berfungsi dengan baik (Alikodra, 2000).
Dalam kaitan dengan kondisi mangrove di tiga lokasi, maka terdapat
emapt program utama yang harus dilakukan yakni rehabilitasi mangrove,
penanganan sampah, perbaikan kualitas air, dan pengendalian abrasi dan
sedimentasi.
1. Rehabilitasi mangrove
Beberapa prinsip-prinsip rehabilitasi yang merupakan bagian dari strategi
nasional diantaranya: (1) masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan/
menggunakan mangrove dalam rangka memperoleh produksi yang
berkesinambungan, (2) keanekaragaman hayati harus dipertahankan atau
ditingkatkan, (3) areal mangrove tidak boleh berkurang, dan (4) melestarikan
mangrove harus dilakukan dengan jalan melestarikan habitat, tidak sekadar
dengan penanaman saja.
Dalam ekosistem pesisir, secara alami hutan mangrove mempunyai
peran ekologis yang sangat penting dan tidak dapat tergantikan. Walaupun
manusia dapat merekayasa, akan tetapi memerlukan biaya yang tinggi dan
sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, dalam jangka
panjang keberlangsungan usaha kecil, baik pertanian, tambak, nelayan,
pembuatan terasi, pembuatan ikan asin maupun usaha pembesaran nener
ditentukan oleh kuantitas (luas) dan kualitas hutan mangrove.
Untuk melindungi sumberdaya lahan sawah diperlukan kebijakan yang
dapat mencegah konversi lahan sawah menjadi tambak (misalnya dengan
kebijakan insentif-disinsentif), pembuatan tanggul penangkal (break water) yang
dapat mencegah masuknya air (pasang) laut sekaligus sebagai pembatas antara
108
areal persawahan dengan pertambakan, dan pembuatan saluran irigasi sehingga
mampu memenuhi kebutuhan air sawah, terutama pada musim kemarau. Dalam
kaitannya dengan perlindungan sumberdaya hutan mangrove, tata ruang
kabupaten/kota yang ada saat ini perlu disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat dan pelestarian hutan mangrove.
Rencana penanaman tidak dapat dipisahkan dari penyusunan rencana
pengembangan sumber daerah pantai secara keseluruhan dan juga tidak dapat
dipisahkan dari rencana pengelolaan wilayah tersebut, karena sangat penting
ditinjau dari tipe program rehabilitasinya, faktor ekologis dan sosial ekonominya.
Beberapa arahan prinsip yang terpenting adalah: (1) perlunya penyesuaian
(kecocokan) antara rencana penanaman dan prinsip-prinsip ekologis yang
berlaku pada perencanaan sumberdaya pantai dalam mendukung pembangunan
yang berkelanjutan, dan (2) upaya penanaman mangrove pada tempat-tempat
yang tidak pernah ada mangrovenya tidak akan bermanfaat. Kegiatan ini
kemungkinan akan gagal karena kondisi lapangan tidak sesuai dengan
pertumbuhan mangrove.
Rehabilitasi kerusakan hutan mangrove harus menjadi salah satu
program kerja prioritas, meliputi: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan
masyarakat untuk mensosialisasikan dan menyamakan persepsi arti pentingnya
hutan mangrove dalam kaitannya dengan produktivitas usaha; (2) partisipasi
masyarakat melalui kelompok-kelompok, sekolah-sekolah, dan acara-acara
khusus (pengajian, arisan) dalam menghutankan kembali mangrove; (3) insentif
kepada masyarakat yang melaksanakan rehabilitasi hutan mangrove
memanfaatkan dana-dana crash programme dari BUMN dan swasta; (4)
peningkatan jaringan kemitraan dengan melakukan pendekatan ke instansi
pemerintah dalam peningkatan usaha tambak yang dikaitkan dengan
penanaman hutan mangrove; (5) penyuluhan, pembinaan dan menyebarluaskan
informasi melalui leaflet, brosur, dan buku-buku saku tentang arti dan pentingnya
mangrove; (6) pendekatan ke sekolah-sekolah untuk melakukan praktek
bersama antara siswa dengan anggota dan masyarakat dalam rehabilitasi
mangrove atas dasar saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan; dan (7) tenaga pendamping yang ahli dalam bidang hutan
mangrove untuk membantu koperasi dan masyarakat.
109
2. Penanganan sampah dan limbah
Program yang perlu diprioritaskan dalam penanganan sampah dan
limbah, meliputi: (1) penyuluhan dan pembinaan kepada anggota dan
masyarakat tentang jenis-jenis limbah dan dampak negatifnya melalui
pendekatan sosial dari penggunan pakan dan pestisida; (2) pelatihan tentang
teknik-teknik budidaya tambak atas usaha lain yang cepat mengurangi terjadinya
limbah dan teknik penanganan limbah yang ramah lingkungan; (3)
penyebarluasan brosur-brosur dan leaflet tentang jenis-jenis limbah, tanda-tanda
(indikator) adanya limbah, bahaya yang ditimbulkan dan cara mengatasinya; (4)
partisipasi anggota dan masyarakat dalam mengatasi limbah dengan sistem
insentif dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab; (5) petak-petak
percontohan tentang teknik penanganan limbah di lingkungannya; (6) jaringan
kemitraan dengan instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan usaha-
usaha seperti pemberian dan pestisida dan penanganan limbah yang
ditimbulkan; dan (7) informasi pada lembaga kelompoknya tentang bencana
limbah di wilayah kinerja yang disebabkan oleh usaha perorangan/kelompok,
perusahaan yang menghasilkan limbah dan membahayakan.
3. Perbaikan kualitas perairan
Program penanganan kualitas perairan untuk mendukung penyelamatan
hutan mangrove yang perlu diprioritaskan melalui: (1) koordinasi dan pendekatan
sosial dengan tokoh-tokoh masyarakat, kelompok, dan lembaga-lembaga yang
ada untuk menyamakan persepsi arti dan pentingnya menangani kualitas
perairan yang terkena pencemaran; (2) jaringan kemitraan dan pendekatan
dengan instansi Pemerintah dan swasta dalam mengadakan sosialisasi dan
teknik penanganan pencemaran; (3) partisipasi dan kesadaran anggota dan
masyarakat dalam menangani pencemaran, misalnya tidak membuang
sampah/limbah ke sungai, laut, saluran tambak, tetapi mengolah yang lebih
bermanfaat/mendaur ulang limbah yang dihasilkan; (4) kerjasama dengan
lembaga-lembaga penelitian secara periodik dalam pemeriksaan kondisi
perairannya; dan (5) pembinaan, penyuluhan, dan penyebarluasan informasi
melalui brosur, leaflet atau media lainnya tentang jenis-jenis pencemaran, baku
mutu lingkungan, dan teknik-teknik penanganannya.
110
4. Pengendalian abrasi dan sedimentasi
Program yang perlu diprioritaskan dalam penanganan abrasi pantai dan
sedimentasi meliputi: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan tokoh-tokoh
masyarakat, pemuka agama, dan lembaga lainnya untuk menyamakan persepsi,
arti dan pentingnya pengendalian abrasi pantai dan sedimentasi dengan sistem
insentif; (2) jaringan kemitraan dan pendekatan dengan instansi pemerintah dan
swasta berkaitan dengan bencana alam abrasi pantai dan sedimentasi, misalnya
pembuatan break water, penanaman hutan mangrove secara bersama seperti
gotong royong; (3) pembinaan, penyuluhan dan penyebarluasan informasi yang
berkaitan dengan abrasi, sedimentasi dan teknik-teknik pengendalian langsung
dan tak langsung pada anggota dan masyarakat; (4) informasi kepada instansi
dan lembaga yang tugas dan kewenangannya berkaitan dengan pengendalian
abrasi pantai dan sedimentasi khususnya yang terjadi di wilayah kerjanya; dan
(5) partisipasi dan kesadaran anggota dan masyarakat dalam pengendalian
abrasi pantai dan sedimentasi dengan sistem insentif (bonus).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pengembangan kebijakan
dan strategi dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi berdasarkan
hasil pengujian:
a. Hasil analisis spasial vegetasi mangrove diketahui bahwa luasan hutan
mangrove telah mengalami penyusutan dan spesiesnya mengalami
pengurangan jenis. Persentase perubahan luas hutan mangrove selama
10 tahun mencapai 42,52% dari 340,90 ha menjadi 232,04 ha.
b. Hasil pengujian kualitas air diketahui bahwa parameter BOD, COD,
amonia, dan logam berat (kadmiun dan timbal) telah melampaui baku
mutu kualitas air. Kondisi fisik lahan mengalami kerusakan akibat alih
fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, dan industri.
c. Hutan mangrove Teluk Jakarta sangat rentan terhadap abrasi,
sedimentasi, dan alih fungsi lahan.
2. Kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta
bervariasi berdasarkan kategori stakeholder yakni kesejahteraan masyarakat,
kelestarian ekosistem, dan pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui peningkatan
pendapatan masyarakat, pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan
peningkatan investasi, sedangkan kelestarian ekosistem dilakukan melalui
rehabilitasi kawasan secara partisipatif.
3. Prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara
berkelanjutan berdasarkan aspirasi stakeholder secara berturut-turut adalah
pemberdayaan masyarakat (0,314), penerapan teknologi (0,270), dan
pengelolaan terpadu (0,220). Ketiga kebijakan ini dilaksanakan secara
terpadu dan konsisten dengan berbagai langkah-langkah strategis yang telah
disepakati oleh semua stakeholder. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan
mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan kondisi saat ini dirumuskan empat
112
program utama yaitu rehabilitasi mangrove, penanganan sampah dan limbah,
perbaikan kualitas perairan, dan pencegahan abrasi dan sedimentasi.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, hasil analisis dan pembahasan maka
disarankan:
1. Merancang mekanisme pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan
kawasan mangrove di Teluk Jakarta.
2. Menyusun informasi hutan mangrove melalui inventarisasi dan pemetaan
baik aspek lingkungan, sosial dan ekonomi serta penataan kembali tata
ruang dan tata guna lahan yang melibatkan seluruh wilayah administrasi di
Teluk Jakarta.
3. Melakukan reformasi terhadap mekanisme koordinasi instansi-instansi yang
terkait dalam penjabaran aturan dan kebijakan dalam bentuk pokja (model
satu atap)
McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. DLH Kabupaten Tangerang. 2004. Perencanaan Strategis (Renstra) 2003-2008. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang. Tangerang. [DPK]. 2003. Rencana Strategis Pembangunan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang Tahun 2003 – 2008. Dinas Perikanan dan Kelautan. Tangerang. Imanuddin dan A. Mardiastuti. 2002. Ekologi Bangau Bluwok Mycteria cinerea di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor. Soerianegara, I. 1987. The Width of Mangrove Green Belt as Coastal Zone Protection Forest. Media Konservasi. Buletin Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Alikodra, H.S. 2002. Policy Analysis on Sustainable Mangrove Conservation. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Tanggal 6 – 7 Agustus 2002. Jakarta. Soemodihardjo, S., A. Budiman, S. Hardjowigeno, N. Naamin, E. Subiandono, dan Sudarmadji. 1993. Penelitian dan Pengembangan. Makalah Utama. Seminar Pembahasan Strategi Nasional dan Program Aksi Mangrove di Indonesia. Jakarta. Walsh, G.E. 1974. Mangrove: a review. In : Ecology of halophytes. Academic Press. New York. Wartaputra, S. Kebijaksanaan Pengelolaan Mangrove ditinjau dari sudut konservasi. Dalam Soemihardjo dkk. (eds) Prosiding Seminar IV Ekosystem aturan baru. Sumarwoto, O. 2001. Atur – Diri – Sendiri. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Keraf, A. S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. [BAPPEDA] Badan Perencana Daerah. 2004. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang. [BPS Tangerang] 2005. Kotamadya Tangerang dalam Angka. Kota Tangerang pada tahun 2004. [BPS Jakarta] 2006. Kota DKI dalam Angka.. Jakarta. [BPS Bekasi] 2005. Kota Bekasi dalam angka. Bekasi.