128
MORALITAS PESERTA DIDIK PADA PENDIDIKAN INKLUSIF (Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang) TESIS Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Islam dalam Konsentrasi Etika/Tasawuf Oleh : Siti Barokah NIM. 065112072 PROGRAM MAGISTER INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO 2008

pengertian moral

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pengertian moral

MORALITAS PESERTA DIDIK PADA PENDIDIKAN INKLUSIF

(Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang)

TESIS

Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Islam dalam Konsentrasi Etika/Tasawuf

Oleh : Siti Barokah

NIM. 065112072

PROGRAM MAGISTER INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

WALISONGO 2008

Page 2: pengertian moral

2

DR. H.Abdul Muhaya, MA. Perum BPI Blok K-17 Ngaliyan Semarang Telpon, 024 – 7625443

NOTA PEMBIMBING Pembimbing dengan ini menerangkan bahwa Tesis Saudari Siti

Barokah NIM. 065112072 yang berjudul : “MORALITAS PESERTA

DIDIK PADA PENDIDIKAN INKLUSIF” telah siap dan memenuhi

syarat untuk diujikan sebagai tesis pada konsentrasi Etika

Islam/Tasawuf, Program Pascasarjana IAIN Walisongo tahun

akademik 2007/2008

Semarang, Juli 2008 Pembimbing DR.H. Abdul Muhaya, M.A. NIP. 150245380

Page 3: pengertian moral

3

DEPARTEMEN DEPARTEMEN AGAMA iiiiiI IAIN WALISONGO PROGRAM PASCASARJANA Jln. Raya Ngaliyan (kampus 3) Semarang 50185. Telp./Fax (024) 7614454. E-mail : Pascaws @ plasa.com Home Page : www.pascawalisongo.cjb.com

PENGESAHAN

Tesis berjudul : MORALITAS PESERTA DIDIK PADA PENDIDIKAN INKLUSIF (Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang)

Ditulis oleh : Siti Barokah NIM : 065112072

Telah dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister

Studi Islam dalam Konsentrasi Etika/Tasawuf

Semarang, Juli 2008

Direktur

Dr. H. Achmad Gunaryo, M.SocSc NIP. 150247012

Page 4: pengertian moral

4

DEKLARASI

DENGAN PENUH KEJUJURAN DAN TANGGUNG JAWAB,

PENULIS MENYATAKAN BAHWA TESIS INI TIDAK BERISI

MATERI YANG TELAH PERNAH DITULIS OLEH ORANG LAIN

ATAU DITERBITKAN, KECUALI INFORMASI YANG TERDAPAT

DALAM REFERENSI YANG DIJADIKAN SEBAGAI BAHAN

RUJUKAN DALAM PENELITIAN INI.

Semarang, Juli 2008 Penulis, Siti Barokah NIM. 065112072

Page 5: pengertian moral

5

Abstraksi Moralitas Peserta Didik pada Pendidikan Inklusif, merupakan judul yang dipilih dalam penelitian ini untuk mendukung tersedianya fakta dengan mengungkapkan data dan penalaran moralitas peserta didik yang dikemas dengan landasan moral budaya Jawa, yaitu prinsip hormat dan prinsip rukun, yang merupakan moralitas yang memberikan dukungan untuk menjaga harmoni kehidupan demi kelangsungan hidup manusia. Gagasan tersebut dilatar belakangi adanya :

1. Keresahan yang terjadi pada dunia pendidikan tentang moralitas peserta didik yang berada pada degradasi moral, hal tersebut sering disaksikan pada tayangan televisi, mass media dan suguhan-suguhan internet.

2. Pendidikan inklusif sebagai solusi dengan memberikan pelayanan pendidikan untuk semua, menerima keberbedaan dan tidak ada diskriminasi.

Fokus pada penelitian ini mengajukan rumusan masalah untuk mengetahui bagaimana moralitas peserta didik pada SD Hj. Isriati sebagai penyelenggara pendidikan inklusif yang sekaligus mengkombinasikan kurikulum dengan syariah Islam dan apakah ada perbedaan antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik non berkebutuhan khusus.

Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, menggunakan metode pengumpulan data dengan observasi, wawancara, dan telaah dokumen. Data tersebut diidentivikasi untuk menentukan data yang mewakili untuk selanjutnya dianalisis. Analisis yang dipergunakan untuk menguatkan fakta yang ada adalah SPSS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik pada usia 6 sampai dengan 12 tahun yang sederajad dengan peserta didik Sekolah Dasar yang memiliki kecenderungan untuk menjadi manusia yang bermoral baik terhadap orang tua, guru dan teman sebayanya, pada SD Hj Isriati Semarang sebagai penyelenggara Pendidikan Inklusif menunjukkan hasil yang sangat baik bagi peserta didik berkebutuhan khusus dengan prosentase, 71, 43 %, moralitas peserta didik non berkebutuhan khusus, yang tempat duduknya berdekatan dengan peserta didik berkebutuhan khusus atau normal 1 serta peserta didik yang tempat duduknya berjauhan atau normal 2 menunjukkan peringkat baik dengan prosentase, 52, 63 %, sampai dengan 64, 28 % Fakta tersebut memberikan kontribusi bahwa pendidikan inklusif adalah wadah pelayanan education for future yang sesuai dengan fitrah manusia, yaitu kesucian, tanpa melihat perbedaan. Kata Kunci : Moralitas Peserta Didik terhadap Orang tua, Moralitas

terhadap Guru, serta Moralitas terhadap Teman Sebaya.

Page 6: pengertian moral

6

Kata Pengantar Dengan memanjatkan sembah sujud dan penuh ketaatan hanya

untuk mengabdi kepada Tuhan yang Maha segalanya, kami bersimpuh

tak berdaya kecuali mencari ridhoNya, dan shalawat serta salam kami

panjatkan kepada junjungan dan tauladan seluruh umat manusia,

Muhammad SAW, yang akan kita nantikan syafaatnya di yaumul

kiyamah. Amiin.

Penulisan tesis ini, berusaha untuk mengungkapkan data-data

dan fakta yang berkaitan dengan moralitas peserta didik pada

pendidikan inklusif. Moralitas peserta didik yang akan diteliti dalam

tesis ini dikaitkan dengan moralitas budaya Jawa yaitu prinsip hormat

dan prinsip rukun.

Dalam proses penulisan sampai dengan penyelesaian tesis ini,

tidak lepas dari dorongan semangat, dukungan, tegur sapa, masukan,

bimbingan dari semua pihak, utamanya yang terkait langsung pada diri

penulis, untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih

yang tidak terhingga dan dengan iringan do’a, semoga Yang Maha

Kuasa, selalu melimpahkan ketetapan Iman, Islam serta kesehatan,

sehingga tetap akan terus berbuat kebaikan untuk semua.

Ucapan terima kasih, penulis tujukan kepada :

1. Dr.H. Achmad Gunaryo, M.SocSc, selaku rektor program

Pascasarjana IAIN Walisongo;

2. Prof. Dr. H. Amin Syukur, M.A., selaku penasehat akademik, dan

sekaligus mursyid yang memberi dorongan untuk terus maju

dalam mengikuti perkuliahan di Pasca IAIN Walisongo, serta Drs.

HM. Darori Amin, M.A., selaku penasehat akademik;

3. DR. H.Abdul Muhaya, M.A., selaku pembimbing yang penuh

kesabaran dan kecerdikan, yang telah meluangkan waktu pada

proses penulisan tesis ini;

4. Seluruh dosen pada program Pascasarjana IAIN Walisongo yang

menorehkan ilmunya dan tersirat pada diri penulis untuk terus

Page 7: pengertian moral

7

semangat menapaki hidup dengan ilmu, amal dan kebijakan, serta

seluruh perangkat tenaga administrasi yang tidak mampu disebut

namanya satu persatu yang telah membantu terselesainya

penulisan tesis ini;

5. Suamiku, Drs. Pudji Tikno, M.M, Putri-putriku, Puti Widya

Ekasani SE, Osi Isna Sabela dan putra bungsuku Ikhsan Salasa,

yang memberikan dukungan besar berupa dorongan, semangat,

serta mampu menimbulkan persaingan dalam berbuat kebaikan,

yang insya Allah menuju kepada yang diridhoiNya

6. Teman-teman sejawat di Seksi Kurikulum Subdin Pendidikan Luar

Biasa (PLB) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa

Tengah, yang pada bulan Juli 2008 ini telah bubar dengan

diberlakukannya Susunan Organisasi dan Tenaga Kerja (SOTK)

yang baru dan melebur menjadi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa

Tengah

7. Dan seluruhnya yang memberikan dukungan, dorongan, semangat

,bimbingan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

semoga semuanya selalu pada kebaikan yang dilandasi dengan

akal dan syariah yang mampu menuntunnya ke jalan bimbingan

Tuhan.

Dan dengan kerendahan hati, dimohon kritik, saran dan

masukan dari semua pihak untuk perkembangan Pendidikan

Inklusif di masa mendatang, sebagai Pendidikan yang berorientasi

pada rasa atau hati sebagai fitrah yang suci untuk menuju sang

Illahi.

Semarang, Juli 2008

Penulis

Page 8: pengertian moral

8

DAFTAR SINGKATAN

ABK : Anak Berkebutuhan Khusus

ADHD : Attention Deficit Hyperactivity Disorder

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome

CIBI : Cerdas Isimewa Bakat istimewa

Dirjen : Direktorat Jenderal

Dikdasmen : Pendidikan Dasan dan Menengah

Depdiknas : Departemen Pendidikan Nasional

HIV : Human Immunedeviciency Virus

HAM : Hal Azasi Manusia

LIRP : Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran

MAN : Madrasah Aliyah Negeri

Pildacil : Pilihan Dai Kecil

PLB : Pendidikan Luar Biasa

PUS : Pendidikan Untuk Semua

PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa

SLB : Sekolah Luar Biasa

SD : Sekolah Dasar

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SMA : Sekolah Manengah Atas

SPSS : Statistical Products and Solution Services

SOTK : Susunan Organisasi dan Tata Kerja

Sisdiknas : Sistim Pendidikan Nasional

SAW : Sollallahu a’laihi wa Sallaam

UNESCO : United Nations Educational Scientific and Cultural

Organization

UU : Undang-Undang

Page 9: pengertian moral

9

MOTTO

منلميذقلميعرف

”Barang siapa yang tidak pernah merasakan, maka ia tidak akan pernah tahu”

(Sufi)

DAFTAR ISI

Page 10: pengertian moral

10

Halaman Judul ............................................................. i

Halaman Persetujuan ................................................... ii

Halaman Pengesahan ................................................... iii

Pernyataan Keaslian Karya Tulis Tesis ...................... iv

Abstraksi ...................................................................... v

Kata Pengantar ............................................................ vi

Daftar Singkatan .......................................................... viii

Motto ............................................................................ ix

Daftar Isi ...................................................................... x

Daftar Tabel ................................................................ xiii

Daftar Lampiran .......................................................... xiv

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................. 8

C. Tujuan ............................................................... 8

D. Signifikansi ........................................................ 8

E. Telaah Pustaka .................................................. 9

F. Metode Penelitian ............................................. 12

1. Pendekatan Penelitian .................................. 12

2. Metode Pengumpulan Data .......................... 12

3. Teknik Analisis Data ..................................... 13

G. Sistimatika Penulisan ......................................... 13

II. LANDASAN TEORI

A. Definisi Moral, Etika dan Akhlak .................... 16

B. Perbedaan Moral, Etika dan Akhlak ............... 23

C. Persamaan Moral, Etika dan Akhlak ............... 25

D. Teori Moral, Etika dan Akhlak ........................ 26

1. Emotivisme ................................................... 26

2. Intuisionisme ................................................ 28

3. Konsekuensialisme ....................................... 31

Page 11: pengertian moral

11

4. Deontologi .................................................... 31

5. Etika Hak ...................................................... 33

6. Teori-teori Akhlak ........................................ 33

E. Strategi Pembentukan Moralitas ....................... 34

- Mujahadah dan Riyadhah ............................... 35

- Kebijakan atau Jalan Tengah ......................... 36

- Kepatuhan terhadap Agama ........................... 39

- Kekuatan Ilmu ................................................. 42

F. Cakupan Moralitas Peserta Didik

1. Moralitas Peserta Didik .............................. 43

2. Faktor-faktor Pembentuk Moralitas

Peserta Didik ............................................... 46

III. MORALITAS PESERTA DIDIK PENDIDIKAN

INKLUSIF

A. Pengertian dan Konsep Pendidikan Inklusif ...... 52

B. Landasan Kekuatan Pendidikan Inklusif ........... 62

C. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ............ 64

D. Sekilas Perkembangan SD Hj. Isriati Semarang .. 67

E. Aplikasi Pendidikan Inklusif pada SD Hj. Isriati

Semarang ........................................................... 69

F. Moralitas Peserta Didik SD Hj. Isriati Semarang

1. Moralitas Peserta Didik terhadap Orang Tua .. 84

2. Moralitas Peserta Didik terhadap Guru ....... 85

3. Moralitas Peserta Didik terhadap Teman

Sebaya ............................................................ 86

IV. DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

A. Deskripsi Data Penelitian .................................... 88

B. Hasil Analisis Data Penelitian ............................. 105

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Page 12: pengertian moral

12

A. Kesimpulan ........................................................... 107

B. Saran dan Penutup ............................................... 108

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Page 13: pengertian moral

13

Tabel 1.1. : Data Peserta Didik Berkebutuhan Khusus SD Hj. Isriati Semarang ......................... 6 Tabel 2.1. : Perbedaan Moral, Etika dan Akhlak ....... 24 Tabel 2.2. : Ciri-ciri Pemikir Heteronomous dan Otonomous ........................................... 45 Tabel 3.1. : Kegiatan Pelayanan Guru Pembimbing terhadap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus ................................................ 77 Tabel 4.1. : Deskripsi Subyek Berdasarkan Kelompok Peserta Didik ...................................... 89 Tabel 4.2. : Skor Subyek pada Nilai Rerata, Minimal dan Maksimal ..................................... 90 Tabel 4.3. : Skor Subyek pada Nilai Rerata, Minimal dan Maksimal untuk ABK .................... 90 Tabel 4.4. : Kategori Moralitas Peserta Didik Berke- butuhan Khusus berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi ............... 91 Tabel 4.5. : Kategori Moralitas Peserta Didik Normal 1 berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi ............................................. 92 Tabel 4.6. : Kategori Moralitas Peserta Didik Normal 2 berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi ............................................. 93 Tabel 4.7. : Rekapitulasi Hasil Penelitian Kategori Moralitas Peserta Didik Berkebutuhan Khusus, Normal 1 dan Normal 2 ......... 94 Tabel 4.8. : Kategori Moralitas Peserta Didik Berke- s-d butuhan Khusus berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi ............... 95 Tabel 4.16. : Kategori Moralitas Peserta Didik Berke- butuhan Khusus berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi ............... 104

DAFTAR LAMPIRAN

Page 14: pengertian moral

14

Lampiran 1 : Daftar kuesioner peserta didik

Lampiran 2 : Butir Jawaban Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

Lampiran 3 : Butir Jawaban Non Peserta Didik Berkebutuhan

Khusus (Normal 1)

Lampiran 3 : Butir Jawaban Non Peserta Didik Berkebutuhan

Khusus (Normal 2)

Lampiran 4 : Rekapitulasi Butir Jawaban Peserta Didik

Lampiran 5 : Lampiran-lampiran Hasil Analiysis SPSS

Page 15: pengertian moral

15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Moralitas peserta didik merupakan persoalan yang aktual dan

penting untuk dibicarakan, hal itu disebabkan, pertama, adanya

kecendrungan menurunnya moralitas peserta didik terutama di kota

kota besar, kedua, peserta didik merupakan generasi muda yang akan

memegang estafet kepemimpinan bangsa. Ketiga, peserta didik juga

merupakan aset utama bagi kemajuan bangsa dan negara.

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha

mengembangkan potensi diri melalui proses pengembangan

pembelajaran yang tersedia melalui jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan tertentu (UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003).

Dalam proses pengembangan pembelajaran yang dijalani

peserta didik diarahkan pada pembentukan manusia dewasa, memiliki

tanggung jawab menjalankan kewajiban-kewajibannya. Oleh karena

itu, idealnya peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritial keagamaan, pengendalian

diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas no.

20 tahun 2003).

Bagi peserta didik masa sekolah adalah masa untuk belajar

menjadi orang dewasa, bukan untuk menjadi remaja yang sukses

(Elias, Maurice J.et all, 2003,h.33), berkaitan dengan pendapat

tersebut peserta didik yang dalam proses menuju kedewasaannya

(pendidikan) disiapkan untuk mampu berperilaku baik, memiliki sopan

santun, sehingga memberikan ciri kekhasan sebagai manusia yang

bernilai, mampu menunjukkan jati dirinya, bertanggung jawab dengan

apa yang menjadi pilihan hatinya. Dengan kata lain, pendidikan

tidaklah semata sebagai proses pencerdasan peserta didik, akan tetapi

Page 16: pengertian moral

16

pendidikan juga bertujuan untuk menciptakan peserta didik yang

bermoral. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang

berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, cet.Ke III: 2288)

Perilaku baik yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya

tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga

dilaksanakan dengan sukarela. Ia muncul bersamaan dari peralihan

dari kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang

diatur dari dalam, yang disertai tanggung jawab pribadi untuk

tindakan masing-masing (Elizabeth B.Hurlock, 1978: 75).

Bertingkah laku baik, bagi peserta didik, seharusnya terwujud

dalam seluruh pola kehidupan yang berimplikasi pada keluarga, guru,

dan teman. Ciri tersebut harus merupakan trade mark yang menjadi

jati dirinya untuk dijadikan bekal menuju kedewasaan peserta didik.

Secara sosiologis, peserta didik merupakan bagian dari

lingkungan dimana mereka hidup, berbuat dan berkarya dengan apa

yang dimilikinya dan apa yang didapatkannya termasuk nilai baik

buruk yang didapatkan secara turun-temurun..

Kondisi-kondisi yang masih konsisten dan mampu memberikan

kekuatan bagi mereka dan merupakan warisan dari nenek moyang

yang tidak pernah luntur oleh perkembangan kehidupan bangsa yang

menggeser nilai-nilai kehidupan bangsa ini ialah prinsip rukun1 dan

prinsip hormat2. Warisan tersebut merupakan warisan budaya yang

luhur, sebagaimana tertuang dalam peribahasa “Rukun agawe santoso,

crah agawe bubrah”. Yang artinya pertikaian membuat perceraian,

rukun membangun kekuatan (Purwadi, Djoko Dwiyanto, 2006: 257).

1 Rukun adalah kesatuan perasaan antar individu dalam melaksanakan sebuah visi bersama dengan menyingkirkan segala jenis pertengkaran dan pertentangan (Purwadi, 2006:257) 2 Berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis, bahwa keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya (H. Geertz dalam Franz Magnis-Suseno, 2001:60).

Page 17: pengertian moral

17

Sikap saling menghargai, saling menghormati, saling

mengasihi, saling berempati, saling tolong menolong dan saling

bekerja sama, seharusnya dipertahankan atau diuri-uri sebagai filosofi

bangsa supaya manusia menjadi manusia yang sehat jasmani, sehat

rokhani, sehat sosial maupun sehat spiritualnya, sebagaimana kriteria

sehat menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ironisnya, fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan,

mengisyaratkan bahwa telah terjadi degradasi moral, tayangan

Televisi, kupasan media cetak, berita di dalam internet marak dengan

berita-berita tentang sikap-sikap negatif, seperti tidak menghargai, dan

menghormati kepada para guru-guru, bahkan sampai terjadi

perkelaian, tawuran, pelecehan, pemerkosaan dan juga pembunuhan

yang dilakukan oleh peserta didik di jenjang Sekolah Dasar (SD),

Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) di

berbagai kota besar di negara ini. Hal ini merupakan indikasi

merosotnya moralitas yang mustinya dijunjung tinggi demi

terwujudnya manusia yang bermoral. Sehingga yang tercipta sekarang

ini adalah sebuah ras yang non manusiawi, dan inilah mesin berbentuk

manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam

yang fitrah (Ary Ginanjar Agustian, 2001: xliii).

Untuk membentuk dan mengarahkan peserta didik pada

moralitas baik atau berperilaku baik diperlukan kondisi dan situasi

yang benar-benar berada dalam keadaan selaras, tenang, tentram,

tanpa perselisihan, pertentangan, damai satu sama lain, suka bekerja

sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat.

Situasi dan kondisi tersebut diatas dianggap sebagai asumsi

bahwa jiwa manusia dalam mengambil keputusan sangat dipengaruhi

oleh kondisi jiwa dan lingkungan dimana mereka hidup, mereka

bersosialisasi, mereka meniru. Menurut Jensen & Kingston (1986),

sebagaimana dikutip oleh John W. Santrock, peniruan merupakan

suatu bagian yang penting dari proses membujuk peserta didik/anak-

Page 18: pengertian moral

18

anak untuk berperilaku dengan baik kepada orang lain (John W.

Santrock, 2002: 49)

Dalam perspektif Jawa, pendidikan moral harus diarahkan

pada dua kaidah yang paling menentukan dalam pola pergaulan

masyarakat. Kaidah yang pertama menegaskan bahwa dalam setiap

situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak

menimbulkan konflik. Kaidah kedua adalah sikap hormat, kaidah ini

menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu

menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat

kedudukannya (Frans Magnis Suseno, 2001: 38). Dua kaidah tersebut

seharusnya dijadikan dasar dalam pendidikan moralitas, khususnya

bagi peserta didik, yang berada di SD Hj. Isriati Semarang memiliki

latar belakang budaya Jawa.

Ary Ginanjar menyatakan bahwa proses pendidikan moralitas

itu harus dilakukan secara kronologis. Ary mengungkapkan bahwa

dengan menabur gagasan, akan memetik perbuatan, dengan menabur

perbuatan akan memetik kebiasaan, dengan menabur kebiasaan akan

memetik karakter, dan dengan menabur karakter, akan memetik nasib

(Ary Ginanjar, 2003: lviii).

Secara psikologis, pendidikan moral sangatlah tepat diberikan

pada anak berusia 6 s-d 12 tahun. Menurut Kohlberg3, anak pada usia

6 s-d 12 dalam perkembangan moralnya berada pada tingkat tiga,

dimana mereka berfokus pada orientasi keserasian interpersonal dan

konformitas (Sikap anak baik), dan tingkat empat, mereka juga berada

3 Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya .(http.www //google. Moral).

Page 19: pengertian moral

19

pada orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas

hukum dan aturan), (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral).

Pengetahuan yang disampaikan oleh guru-guru dalam proses

pembelajaran diharapkan sebagai sesuatu gagasan yang selanjutnya

perlu dibarengi dengan perbuatan nyata dengan melihat keberbedaan,

memperlakukan sentuhan kasih sayang dan kesabaran, karena

tanggung jawab yang dihadapinya untuk segera bertindak begitu saja,

sebagaimana Prinsip Pendidikan. Karena itulah pendidikan hendaknya

tidak hanya diarahkan pada kecakapan yang bersifat intelektual

semata, tetapi harus diarahkan pada penemuan tujuan pendidikan,

sebagaimana dirumuskan oleh UNESCO yaitu Learning how to know,

Learning how to learn, Learning how to do, Learning how to be,

Learning how to live together. Dalam kurikulum yang telah dibakukan

disebutkan pentingnya menyeimbangkan tiga ranah yaitu ranah proses

berpikir, ranah nilai dan ranah keterampilan4.

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dirjen Management

Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, merekomendasikan ada

9 jenis anak berkebutuhan khusus atau sering disingkat ABK5 yang

perlu ditangani. Di Jawa Tengah terdapat 155 (seratus lima puluh

lima) sekolah penyelenggara inklusif6. Pendidikan Inklusif adalah

suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswi yang memiliki

hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang

4 Benjamin S.Bloom dan kawan-kawannya berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (=daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu (1) Ranah proses berpikir (coknitive domain), (2) Ranah nilai atau sikap (affektive domain), dan (3) Ranah keterampilan (psychomotor domain) (Anas Sudijono, 2007: 49). 5 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 6 Data ini diperoleh dari Seksi Kurikulum, Subdin Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Jalan Pemuda Nomor 134 Semarang.

Page 20: pengertian moral

20

memungkinkan (Denis, Enrica, 2006, hal. 44). Pendidikan Inklusi di

Jawa Tengah tersebar di 24 (dua puluh empat) Kabupaten/Kota, terdiri

dari 138 (seratus tiga puluh delapan) Sekolah Dasar (SD), 14 (empat

belas) Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 2 (dua) Sekolah

Menengah Atas (SMA), serta 1 Madrasah Aliyah Negeri (MAN).

Anak Berkebutuhan Khusus pada umumnya sudah inheren pada

sekolah reguler. Salah satu sekolah inklusi adalah SD Isriati

Semarang, dijadikan sebagai obyek dalam penelitian ini dengan

pertimbangan bahwa (1) Memiliki keberagaman peserta didik

berkebutuhan khusus, ada 57 (lima puluh tujuh) anak, meliputi jenis

kebutuhan gangguan pendengaran 1 (satu) anak, lambat belajar (slow

learner) 40 (empat puluh) anak, berkesulitan belajar/gangguan

pemusatan perhatian (hyper aktif ringan ada 2 (dua) anak dan hyper

aktif berat ada 2 (dua) anak), Tunalaras/gangguan emosi 9 (lima)

anak, gangguan belajar 1 (satu) anak dan Authis ada 1 (satu) anak, (2)

Menerapkan pendidikan Islami, dengan menambah kurikulum agama

Islam sebagai bekal penanaman akhlak.Untuk lebih jelasnya bisa

melihat tabel dibawah ini.

Tabel 1.1.

Data Peserta Didik Berkebutuhan Khusus SD Hj. Isriati Semarang Tahun Pelajaran 2007/2008

Kelas Jenis Anak Berkebutuhan Khusus Jumlah

I I I s-d VI I,III,IV I, III III I,II, III, V III

1. Gangguan pendengaran 2. Lambat belajar 3. Berkesulitan belajar - Gangguan pemusatan perhatian - hyper aktif berat - hyper aktif ringan 4. Tuna Laras 5. Authis

1 40

2 2 2 9 1

Jumlah 57

Page 21: pengertian moral

21

Fokus dalam penelitian ini akan mendiskripsikan perilaku

peserta didik, dengan mejadikan peserta didik berkebutuhan khusus

sebagai operan condition, mereka yang tampak dalam kondisi fisik,

gerak fisik maupun memiliki perilaku yang berbeda, sehingga bisa

menimbulkan perhatian bagi teman sebayanya, peserta didik

berkebutuhan khusus tersebut memiliki jenis kebutuhan sebagai

berikut :

1. Tunagrahita/lambat belajar/slow learner, yang memiliki ciri-ciri: 1) Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil atau besar, 2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia, 3) Perkembangan bicara atau bahasa terlambat, 4) Tidak ada atau kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan seperti pandangan kosong, 5) Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali), 6) Sering keluar ludah atau cairan dari mulut (ngiler).

2. Tunalaras (Dysruptive) atau Gannguan Emosi dan perilaku, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1).Cenderung membangkang, 2) Mudah terangsang emosinya, emosional, dan mudah marah, 3) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu, 4) Sering bertindak melanggar norma sosial, norma susila atau hukum (Buku II : Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu /Inklusi ,2004) .

3. Authis, memiliki ciri-ciri: a) Komunikasi: Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat, b). Bersosialisasi atau berteman lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak tertarik untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat dalam bersosialisasi atau berteman seperti misalnya tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum, c) Kelainan penginderaan sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat, d) Bermain tidak spontan/reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura, e) Perilaku dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Seringkali sulit mengubah rutinitas sehari-hari (http.www.google.ciri-ciri authis).

Page 22: pengertian moral

22

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, maka fokus penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana moralitas baik peserta didik pada sekolah inklusi

SD Hj. Isriati Semarang.

2. Apakah ada perbedaan moralitas peserta didik antara peserta

didik berkebutuhan khusus dengan non berkebutuhan khusus

pada pendidikan inklusif SD Hj. Israti Semarang.

C. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui moralitas baik peserta didik pada SD Hj.

Isriati Semarang.

b. Untuk mengetahui perbedaan moralitas baik peserta didik

antara peserta didik berkebutuhan khusus7 dengan non

berkebutuhan khusus pada pendidikan inklusif SD Hj. Isriati

Semarang.

D. Signifikansi

Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dan tujuan

dari penelitian ini, diharapkan memiliki nilai manfaat secara

praktis.

Manfaat Praktis

1. Dengan diketahui moralitas baik peserta didik berkebutuhan

khusus maupun normal yang belajar bersama-sama mengikuti

proses pembelajaran pada SD Hj. Isriati Semarang sebagai

penyelenggara Pendidikan Inklusif, maka akan bisa diambil

manfaat dari pembelajaran hidup bersama (learning to live

together).

7 Anak yang dalam proses pertumbuhan/perkembangan secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan pada (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, sehingga perleu memperoleh pelayanan Pendidikan Inklusif.

Page 23: pengertian moral

23

2. Dengan diketahui perbedaan moralitas peserta didik

berkebutuhan khusus dengan non berkebutuhan khusus pada SD

Hj. Isriati Semarang sebagai penyelenggara Pendidikan

Inklusif, maka secara umum suguhan-suguhan teman-teman

(anak berkebutuhan khusus) memberikan sentuhan batiniah

sehingga memberikan manfaat pada semua (orang tua, guru dan

teman sebaya).

E. Telaah Pustaka

Pendidikan Inklusif disosialisasikan oleh Direktorat Pembinaan

Sekolah Luar Biasa Dirjen Manajemen Dikdasmen Depdiknas di

Jakarta pada tahun 2003-2004, merupakan program pelayanan

pendidikan yang diharapkan mampu mengakses pendidikan untuk

semua (educational for all), tanpa diskriminasi dan menerima

keberbedaan. Program Pendidikan Inklusif merupakan program

pendidikan yang terus disosialisasikan dan diupayakan

keberadaannya dengan memberikan sarana prasarana dan

beasiswa. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan

diantaranya sebagai berikut :

1. Pengembangan Program Bimbingan Sosial untuk Siswa

Sekolah Dasar yang melaksanakan program Inklusi (Studi Kasus

di SD Lab. UPI Kampus Cibiru dan SD Sains Al Biruni), (Pudji

Asri, 2005), dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa :

(a) Profil perkembangan sosial yang berkaitan dengan hubungan

sosial, karakteristik kelompok, perkembangan etika pada anak

berkebutuhan khusus tidak berbeda dengan anak pada

umumnya hanya mengalami hambatan yang disebabkan

kelainannya, besarnya peranan keluarga dan lingkungan

sekolah dalam pembentukan perilaku sosial mereka;

Page 24: pengertian moral

24

(b) Program dan pelaksanaan layanan bimbingan konseling

termasuk bimbingan sosial sudah ada tetapi dalam realisasinya

belum optimal;

(c) Jenis layanan bimbingan sosial yang diberikan ada yang

mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus dalam semua

kegiatan sekolah, dan ada yang mengikut sertakan orangtua

dalam program kegiatan tersebut;

(d) Kendala yang dihadapi guru adalah ketidak pahamannya

tentang anak berkebutuhan khusus, tidak adanya panduan

untuk melaksanakan pendidikan inklusi, kurangnya tenaga

profesional dan sarana prasarana untuk menunjang kelancaran

program pendidikannya.

Rekomendasi kepada Sekolah untuk mengembangkan sistem

“sekolah yang ramah”, meningkatkan kepedulian dan layanan

pendidikan dengan kerja team yang solid antara pengajar, orang

tua, tenaga ahli, masyarakat dan pemerintah.

Dari kesimpulan penelitian dikemukakan terkait dengan

hubungan sosial peserta didik yang berkebutuhan khusus, tidak

ada perbedaan dalam profil perkembangan sosial yang berkaitan

dengan hubungan sosial, karakteristik kelompok, perkembangan

etika pada anak berkebutuhan khusus tidak berbeda dengan anak

pada umumnya hanya mengalami hambatan yang disebabkan

kelainannya, besarnya peranan keluarga dan lingkungan sekolah

dalam pembentukan perilaku sosial mereka.

2. Hasil Jurnal Studi Islam mengemukakan bahwa Sekolah

Syariah dan Pendidikan Inklusi, yang ditulis sebgaimana ditulis

sebagai berikut ”Through comparative analysis, the study finds

five same characteristics of Islamic education and inclusive

education: (a) education as a right/duty; (b) education for all; (c)

the principle of non-segregation; (d) the holistic view of the pupil;

Page 25: pengertian moral

25

(e) handicap seen in relation to external factors, especially school

environment. (Santoso, Muhammad Abdul Fattah , 2005.

Pemikiran tersebut sangat mendukung berkembangnya

Pendidikan Inklusif, hasil analisis perbandingan tersebut

menemukan lima karakteristik dari Pendidikan Islam dan

Pendidikan Inklusi, a) pendidikan sebagai suatu kewajiban, b)

pendidikan untuk semua, c) prinsip dari tidak adanya pemisahan,

d) suatu pandangan utuh dari peserta didik, dan e) mengerti

rintangan dalam hubungan dalam faktor-faktor eksternal,

khususnya lingkungan sekolah.

3. Dalam penelitian ini penulis berusaha memberikan

kontribusi dalam bentuk penyajian fakta dengan mendiskripsikan

moralitas peserta didik berkebutuhan khusus dan normal yang

belajar bersama-sama pada sekolah penyelenggara Pendidikan

Inklusif yang diharapkan memberikan makna dalam kehidupan,

dengan asumsi bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki

fitrah kesucian8, sehingga manusia tidak terhalang oleh kondisi-

kondisi fisik semata namun lebih kepada segi batiniah yang

mempunyai kekuatan yang tidak terhingga untuk mengantarkan

manusia pada posisi tertingginya, yaitu keutamaan atau

kebahagiaannya dalam melaksanakan kewajiban untuk berbuat

baik demi kemaslakhatan dirinya, lingkungan dan masa depannya

dengan memperhatikan dan mengedepankan nilai moralitas yang

dimilikinya, yaitu menjaga kerukunan dan tetap hormat sesuai

dengan derajat kedudukannya.

8 Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (keburukan) dan ketaqwaannya (kebaikan) (SQ Asy Syams (Matahari), 91: 8).

Page 26: pengertian moral

26

F. Metode Penelitian

Penelitian ini membidik moralitas perilaku peserta didik

berkebutuhan khusus dan peserta didik normal yang belajar

bersama-sama dalam satu pembelajaran yang dilakukan dalam

kelas inklusif, dimana pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik

(guru) diharapkan mampu mengakomodir keberagaman peserta

didik yang berbeda dalam kondisi fisik, intelegensi, sosial maupun

emosionalnya.

Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan sosiologis yang berpijak pada kebijakan lokal (local

wisdom), mengingat SD Hj. Isriati Semarang adalah sekolah di

Jawa Tengah, maka pendekatan yang digunakan terfokus pada

moralitas budaya Jawa.

Metode Pengumpulan data

1. Pengamatan (Observasi), adalah kegiatan yang akan

dilaksanakan dengan memusatkan perhatian terhadap obyek

yang menjadi sasaran penelitian (Arikunto,1985: 127).

Pengamatan dilakukan terhadap a) Perilaku peserta didik

berkebutuhan khusus yaitu mereka yang mengalami

ganngguan kesulitan belajar (Hyper aktif ringan dan Hyper

aktif berat), tuna laras (Dysruptive) (Gannguan Emosi dan

perilaku) dan authis, 2) Peserta didik normal yang belajar

bersama-sama dengan peserta didik berkebutuhan khusus, 3)

Pembelajaran guru di kelas inklusif, dengan harapan

diperoleh data yang berkaitan dengan perilaku peserta didik.

2. Wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan

untuk memperoleh informasi dari terwawancara

(Arikunto,1985:126). Wawancara dalam penelitian yang telah

Page 27: pengertian moral

27

dilakukan untuk mengungkapkan sejarah perkembangan

penyelenggaran pendidikan inklusif, digunakan untuk

memperoleh data tentang jumlah anak berkebutuhan khusus

(ABK), jenis anak berkebutuhan khusus dan perilaku peserta

didik normal terhadap peserta didik berkebutuhan khusus,

serta data-data lain yang mendukung untuk memperjelas

analisis penelitian ini.

3. Telaah Dokumen adalah teknik penggalian data yang terdapat

dalam bentuk dokumen seperti buku, peraturan-peraturan,

catatan dan lainnya (Arikunto,1985: 131). Teknik ini

digunakan untuk memperoleh data tentang keadaan

lingkungan, sejarah penyelenggaran Pendidikan Inklusif,

pembelajaran dan perhatian guru pembimbing yang fokus

terhadap peserta didik berkebutuhan khusus.

Teknik Analisis Data

Deskripsi kualitatif dengan menggunakan bantuan

program SPSS9. Selanjutnya hasil tersebut diuji dengan teknik

triangulasi; yaitu menguji data yang peneliti peroleh dari satu

informan dengan informan yang lainnya. Sikap moralitas yang

akan dilihat yaitu: Pertama sikap hormat terhadap orang tua,

guru dan teman sebaya dan kedua sikap rukun terhadap orang

tua, guru dan teman sebaya.

G. Sistimatika Penulisan

Dalam menguraikan kronologi berpikir penulis untuk mencari

kebenaran dalam penulisan tesis ini, maka diuraikan pada bab-bab

sebagai berikut :

9 SPSS adalah suatu software yang berfungsi untuk menganalisis data, melakukan perhitungan statistic baik untuk statistic parametrik maupun non parametrik dengan basis windows (Imam Ghozali, 2001: 15)

Page 28: pengertian moral

28

BAB I, Pendahuluan yang mengungkapkan fenomena

kehidupan peserta didik dalam tayangan televisi, berita mass

media serta dalam internet menunjukkan warna yang suram, untuk

itu penulis berasumsi bahwa situasi tersebut lebih disebabkan oleh

situasi yang tidak mendukung berkembangnya moralitas baik yang

telah tertanam pada diri individu dalam pelayanan pendidikan

yang diberlakukan di Indonesia, yang diungkap dalam latar

belakang masalah, untuk itu perlu diungkapkan permasalahan

tentang bagaimana moralitas peserta didik pada pendidikan inklusi

yang mampu mengakomodir semua keberbedaan peserta didik,

untuk mencari jawaban permasalahan tersebut informasi data dan

fakta dengan menggunakan observasi, wawancara, telaah dokumen

serta intrumen pertanyaan kepada peserta didik pada SD Hj. Isriati

Semarang sebagai tempat researh ini dilakukan, kemudian untuk

penguatan, apakah fakta tersebut telah mendukung

berlangsungnya pelayanan pendidikan yang seharusnya

diberlakukan.

BAB II, berisi tentang landasan-landasan konsep dan teori

sebagai penguat, teori tersebut antara lain, teori tentang moralitas,

etika dan akhlak yang membicarakan kajian tentang baik dan

buruk perbuatan manusia, serta prinsip moralitas budaya bangsa

Indonesia yaitu prinsip rukun dan prinsip hormat.

BAB III, pada bab ini dikupas pelayanan pendidikan dalam

bentuk Pendidikan Inklusif perlu diungkap sebagai wadah bahwa

moralitas perlu ditanamkan dan dibiasakan pada peserta didik

dengan learning to live together pada jenjang sekolah dasar yang

merupakan tahap awal peserta didik dalam berpikir, bertindak dan

merasakan perkembangan moralnya, SD Hj. Isriati Semarang,

dipilih dalam penelitian ini karena memiliki beraneka ragam

peserta didik dalam jenis berkebutuhan khusus.

Page 29: pengertian moral

29

BAB IV, analisis deskripsi dengan menggunakan SPSS, untuk

menjawab permasalahan terungkap dalam bab ini dengan

mengungkapkan fakta moralitas peserta didik berkebutuhan

khusus, moralitas peserta didik non berkebutuhan khusus atau

normal 1 serta peserta didik non berkebutuhan khusus atau normal

2, dengan indikator sikap hormat dan sikap rukun peserta didik

terhadap orang tua, terhadap guru serta terhadap teman sebaya.

BAB V, berisi tentang kesimpulan, saran dan penutup dari

penelitian. Kesimpulan merupakan jawaban dari problem

penelitian yang telah ditulis pada rumusan masalah. Disamping itu

pada bab ini juga berisi saran yang ditujukan kepada pembaca baik

dari kalangan peneliti maupun dari pengambil kebijakan atau

birokrat dan penutup.

Page 30: pengertian moral

30

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Moral, Etika dan Akhlak

Moral

Moral, konon diambil dari bahasa Latin mos (jamak, mores)

yang berarti kebiasaan, adat. Sementara moralitas secara lughowi juga

berasal dari kata mos bahasa Latin (jamak, mores) yang berarti

kebiasaan, adat istiadat. Kata ’bermoral’ mengacu pada bagaimana

suatu masyarakat yang berbudaya berperilaku, dan kata moralitas juga

merupakan kata sifat latin moralis mempunyai arti yang pada dasarnya

sama dengan moral hanya ada nada lebih abstrak. Kata moral dan

moralitas memiliki arti yang sama, maka dalam pengertian disini lebih

ditekankan pada penggunaan moralitas, karena sifatnya yang abstrak.

Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai

yang berkenaan dengan baik dan buruk (K.Berten, 2007: 7). Senada

dengan pengertian tersebut, W.Poespoprodjo mendefinisikan moralitas

sebagai ”kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa

perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup

tentang baik buruknya perbuatan manusia (W.Poespoprojo, 1998: 18).

Baron, dkk mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Asri Budiningsih,

bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan

tindakan yang membicarakan salah atau benar (Asri Budinningsih,

2004: 24).

Moralitas seringkali dipahami sebagai suatu sikap moral atau

keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk

(K.Berten, 2007: 7). Pengertian tentang baik dan buruk merupakan

sesuatu yang umum, yang terdapat dimana-mana. Dengan kata lain,

moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal

(K.Berten, 2007: 12). Keharusan moral didasarkan pada kenyataan

Page 31: pengertian moral

31

bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau

norma-norma (K.Berten, 2007: 14)

Moral adalah suatu aturan atau tata cara hidup yang bersifat

normatif yang sudah ikut serta bersama kita seiring dengan umur yang

kita jalani (Amin Abdulah: 167), sehingga titik tekan ”moral” adalah

aturan-aturan normatif yang perlu ditanamkan dan dilestarikan secara

sengaja baik oleh keluarga, lembaga pendidikan, lembaga pengajian

atau komunitas-komunitas yang bersinggungan dengan masyarakat.

Immanuel Kant, seorang pemuka madzab filsafat baru, yang

disebut filsafat kritis (critical philosophy), karena karyanya ini

memberikan Kant reputasi internasional, mengatakan bahwa moralitas

adalah hal keyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar

penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara,

agama atau adat-istiadat (Frans Magnis-Suseno,1992). Menurut Kant,

moralitas meliputi melaksanakan panggilan kewajiban, dan tidak ada

kewajiban moral yang tidak sanggup dikerjakan. Tetapi demikian

dengan perasaan dan simpati bisa datang dan pergi terlepas dari

kehendak manusia, dan ia tidak dapat disatukan dengan peraturan H B

Acton, 2003: 22)

Seseorang dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Seseorang

boleh “ikut-ikutan” dengan pandangan serta tatanan moral masyarakat.

Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila

kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral sosial itu, maka

seseorang tersebut harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya

menjadi kewajibannya, seseorang tidak boleh mengikuti apa yang

diharapkan oleh lingkungannya (Fran Magnis Suseno, 1992).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa

moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan

dengan etiket atau adat sopan santun. Namun dalam Ensiklopedi

Indonesia, dijelaskan bahwa Moralitas memiliki makna: 1) Pola-pola

kaidah tingkah-laku, budi bahasa yang dipandang baik dan luhur

Page 32: pengertian moral

32

dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu. Secara terperinci

dapat dibedakan dalam (a) asas atau sifat moral, kebajikan; (b) sistem

atau ilmu pengetahuan tentang moral; (c) ajaran, makna atau

kesimpulan tentang moral; (d) peri keadaan yang sesuai dengan nilai

dan azas akhlak yang baik. 2) Drama: Bentuk Drama yang

berkembang di Eropa dalam abad pertengahan, kira-kira abad ke 14-

16, dimaksud untuk menunjukkan kepada penonton tentang

perjuangan abadi antara baik dan buruk dalam jiwa manusia. Tokoh-

tokoh lakon merupakan personifikasi kebajikan dan kejahatan. Drama

moralitas tumbuh terlepas dari drama misteri keagamaan, dan

merupakan langkah penting dalam penduniawian drama (Kamus

Bahasa Indonesia 1990: 2288-2289).

Moral yang diartikan juga sebagai akhlak adalah indikasi

seseorang yang paling sempurna imannya yaitu yang paling baik

akhlaknya. Yang lemah lembut dan tidak pernah menyakiti orang.

Seorang manusia tidak akan mencapai hakikat iman sebelum ia

mencintai orang lain, seperti ia mencintai dirinya (Sabda Rasulllullah

dalam Jalaluddin Rakhmat, 2003: 146-147).

Dengan demikian moralitas dapat disimpulkan sebagai kualitas

perbuatan atau tingkah laku manusia yang berhubungan dengan salah

atau benar, baik atau buruk yang diyakininya sebagai suatu aturan-

aturan normatif atau kaidah-kaidah dan berlaku dalam suatu komunitas

masyarakat tertentu yang dilakukan karena adanya suatu keharusan

atau kewajiban. Manusia diajak untuk membatinkan dirinya kepada

baik dan luhur. Dan tingkah laku manusia senantiasa tampil sebagai

akumulasi ekspresi10 aktualisasi potensi batin dan responsi11 pengaruh

lingkungan (Baharuddin, 2004: 393).

10 Ekspresi berarti bahwa tingkah laku menjadi media (sarana) untuk mengekpresikan kondisi psikis. 11 Responsi berarti tingkah laku muncul sebagai respon (tanggapan) terhadap stimulus lingkungan. Tingkah laku manusia senantiasa menampilkan dua sisi ekspresi dan responsi. Perbedaan antara satu tingkah laku dengan tingkah laku lainnya terletak pada prosentase masing-masing sisi.

Page 33: pengertian moral

33

Etika

Kata etika seringkali dipakai bersamanan dengan kata moral,

ketika seseorang berbicara tentang etika, tak lepas pula dengan kajian

yang membicarakan baik atau buruk, benar atau salah. Untuk

memahami pengertian dan istilah etika berikut uraiannya. Etika12

adalah cabang filsafat yang juga disebut sebagai filsafat moral yang

mempersoalkan baik dan buruk (Purwadi, Joko Dwiyanto, 2006:14).

Beretika mengacu pada bagaimana seharusnya manusia

berperilaku. Etika memberikan nasehat-nasehat mengenai perilaku,

biasanya dalam bentuk ungkapan, mutiara-kata, peribahasa, dan

sebagainya yang menyiratkan, tetapi tidak menyatakan dengan tegas,

tujuan yang baik dan didambakan yang moga-moga akan dicapai

dengan menuruti nasehat itu, dan akibat-akibat jelek yang akan

menimpa jika petuah itu dilanggar (Jujun S.Suriasumantri, 2006: 24).

K.Berten mendefnisikan etika sebagai ilmu yang membahas

tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan

moralitas (K. Berten, 2007: 15), dalam mempelajari dan membahas

moralitas, etika menggunakan tiga pendekatan yang oleh Berten

diterangkan sebagai etika deskriptif yang melukiskan tingkah laku

moral, etika normatif yang membicarakan moral dan adanya diskusi-

diskusi yang membahas tentang moral, dan metaetika, dalam

pendekatan ini telah memberikan penilaian atau rekomendasi tentang

moral, apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk, sebagai suatu

penegasan yang seakan memberikan klaim pada status moral.

12 Etika berasal dari kata Yunani yang artinya ’watak’. Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin mos yang merupakan bentuk tunggal, bentuk jamaknya mores yang artinya ’kebiasaan’. Istilah etika atau morel dan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kesusilaan. Obyek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Obyek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas tidak dapat dikenai penilaian moral.

Page 34: pengertian moral

34

Rekomendasi perbuatan baik atau buruk oleh para filosof masih

menjadi pokok pembicaraan dalam dunia filsafat, ada dua golongan

dalam menjawab persoalan ini (Ahmad Amin,1975: 84), yaitu :

1. Golongan pertama, berpendapat bahwa tiap-tiap manusia

mempunyai instinc yang dapat memperbedakan antara yang hak

dan yang batal, baik dan buruk, berakhlak dan tidak. Kekuatan

ini kadang berbeda sedikit karena perbedaan masa dan milliu,

tetapi tetap berakar pada manusia. Maka tiap-tiap manusia

mempunyai semacam ilham13 yang dapat mengenal sesuatu

akan baik dan buruknya.

2. Golongan kedua berpendapat bahwa, pengertian manusia

tentang baik dan buruk akan sama dengan pengertian manusia

tentang sesuatu yang lainnya, ialah tergantung pada

pengalaman. Dan bisa tumbuh sebab kemajuan zaman,

kecerdasan berpikir dan beberapa pengalaman14

Pengertian baik menurut etik adalah sesuatu yang berharga

untuk satu tujuan, sebaliknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk

tujuan, apabila yang merugikan, atau yang meyebabkan tidak tercapai

tujuan adalah buruk (Rahmat Djatnika,1996: 34), sehingga persoalan

baik akan terus menjadi bahan kajian yang sangat menarik untuk terus

ditelusuri dan diusahakan untuk ditemukan jawabannya.

Tokoh muslim yang membahas tentang etika, di abad

pertengahan yaitu Ibn Miskawaih, yang banyak berbicara tentang jiwa

dan etika (Azyumardi Azra, 1996: 83), memberikan kontribusi yang

13 Ilham ini didapat manusia ketika manusia melihat sesuatu, oleh karena manusia dapat merasa bahwa itu baik atau buruk, meskipun manusia tidak belajar ilmu pengetahuan atau menerima pendapat orang lain.Kekuatan ini bukan buah dari milliu, zama atau pendidikan, tetapi adalah instinc, bagian dari tabiat manusia yang diberikan Tuhan untuk dapat membedakan antara baik dan buruk. 14 Golongan dua ini berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai instinc untuk mengetahui baik dan buruk, tetapi pengalamanlah yang dapat memberikan hukum baik pada sebagian perbuatan dan hukum buruk pada bagian yang lainnya. Dan yang membuat perubahan berpikir perorangan dan bangsa dalam memberikan ukum pada sesuatu adalah karena luas dan lingkaran pengetahuannya serta banyak pengalamannya

Page 35: pengertian moral

35

besar, yang bisa dijadikan sebagai pijakan untuk memahami tentang

etika. Miskawaih memahami etika sebagai keadaan jiwa yang

mendalam yang menyebabkan munculnya perbuatan-perbuatan tanpa

pertimbangan yang mendalam.

Miskawaih memulai pembahasan etikanya dengan menganalisis

kebahagiaan dan mengidentifikasi kebaikan tertinggi guna

menyimpulkan kebahagiaan manusia selaku manusia. Kebahagiaan

haruslah menjadi tujuan tertinggi dengan sendirinya, karena

berhubungan dengan akal, yang merupakan hal yang paling mulia pada

diri manusia (Ibn Miskawaih, 1913: 10). Pendapat tersebut senada

dengan pendapat Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin

Rakhmat, mengatakan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang

bahagiya. Jadi baik adalah bahagiya. Hidup yang bahagiya adalah

hidup yang sempurna karena memiliki semua hal yang baik

(kesehatan, kekayaan, persahabatan, pengetahuan, kebajikan atau

kemuliaan. Hal-hal yang baik itu komponen kebahagiaan, semua dicari

untuk bahagiya (Jalaluddin Rakhmat, 2004: 41).

Akhlak

Menurut etimologi akhlaq berasal dari bahasa Arab dan

merupakan kata jama’ dari kata al-Khalqu yang berarti ciptaan, dan al-

khuluqu yang mengandung beberapa arti, diantaranya : tabiat, yaitu

sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan

tanpa diupayakan; adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan

manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginannya; watak, yaitu

cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang

diupayakan hingga menjadi adat (Endang Saifuddin Anshari, 1993:

25).

Al Ghozali (wafat sekitar tahun 1111 M) mendefinisikan

(ta’rif) akhlaq sebagai keadaan yang tertanam dalam jiwa, dengan

keadaan jiwa tersebut mampu menimbulkan tindakan-tindakan dengan

Page 36: pengertian moral

36

mudah dengan tanpa membutuhkan pemikiran dan penelitian terlebih

dahulu, jika ungkapan itu memunculkan tindakan baik dan terpuji

secara akal dan syara’ maka disebut akhlak baik, namun sebaliknya

jika memunculkan tindakan tercela maka disebut akhlak tercela (Al

Ghozali, Jilid III: 52).

Akhlak bukanlah merupakan ”perbuatan” baik ataupun

”pebuatan” buruk, juga bukan ”kekuatan” baik ataupun ”kekuatan”

buruk, juga bukan merupakan ”pembeda” antara baik dan buruk, akan

tetapi akhlak itu merupakan”hal” keadaan atau kondisi, dimana jiwa

mempunyai potensi yang bisa memunculkan daripadanya menahan

atau memberi. Jadi akhlaq itu adalah ibarat dari ”keadaan jiwa dan

bentuknya yang batiniah”(Zaki Mubarok,1924: 152). Akhlak adalah

situasi permanen dalam jiwa yang melahirkan bentuk-bentuk polalaku

tanpa melalui dorongan dari luar dan tanpa pengetahuan.

Tokoh muslim seangkatan dengan Al-Ghazali, Raghib al

Isfahani (wafat sekitar tahun 1108 M) dengan pemikiran akhlak

tentang konsep Nilai (khair). Ada tiga bentuk khair, yaitu khair li

dhatihi, khair li ghairihi, dan khair li dhatihi, khair li ghairihi.

Namun pada akhirnya konsep tersebut diklasifikasikan hanya menjadi

dua, yaitu : khair muthlaq (hakiki) dan khair muqayyad (kondisional).

Baik hakiki (khair muthlaq) adalah perbuatan baik yang dipilih

karena perbuatan itu sendiri dan setiap orang yang berakal

menginginkan perbuatan tersebut. Khair muthlaq ini tidak terikat

ruang dan waktu. Indikasi khair adalah memiliki manfaat, indah, dan

lezat. Oleh karena itu apapun tyang membawa manfaat dan

memotivasi untuk meraih kebaikan akhirat (khair ukhrawi) dan

kebahagiaan hakiki (sa’adah haqiqiyah) disebut juga khair dan

sa’adah. Akan tetapi sebaliknya, perbuatan seperti aniaya, tercela dan

merugikan diri ataupun orang lain, disebut sebagai tidak baik (sharr)

Baik kondisional (Khair muqayyad)adalah suatu perbuatan

yang selain memiliki sifat-sifat baik hakiki, didalamnya juga terdapat

Page 37: pengertian moral

37

sifat-sifat khair sharr. Untuk menjustivikasi apakah sesuatu itu baik,

ditentukan dari sejauh mana sifat-sifat baik itu mampu memberikan

kontribusi pada sesuatu yang dinilai baik tersebut. Apabila baik yang

terdapat pada sesuatu itu mampu memberikan lebih dibandingkan

dengan sifat-sifat yang tidak baik, maka obyek tersebut dinilai khair

muqayyad.

Akhlak atau keadaan batin yang telah tertanam dan inheren di

dalam diri manusia, bisa dikatakan sebagai modal pertama dan utama,

dan kualitas perbuatan manusia tergantung bagaimana manusia itu

cerdas dalam kecenderungannya dan mengkondisikan kecenderungan,

apakah manusia cenderung kepada hal-hal yang baik, ataukah

sebaliknya. karena apabila manusia memiliki akhlak yang baik, maka

akan beruntunglah hidupnya, begitu pula sebaliknya apabila manusia

memiliki kecenderungan buruk maka hancurlah hidupnya.

Pengertian baik dan buruk menurut al-Quran adalah kenikmatan

dan musibah (pendapat mufassir dalm ibn Taimiyyah, 2004: 1). Dan

barang siapa mengikuti sunnah dalam perkataan maupun perbuatan

maka ia akan berbicara dengan baik dan benar. Dan barang siapa

mengikuti hawa nafsu maka ia akan berbicara bohong.

B. Perbedaan Moral, Etika dan Akhlak

Secara terminologi, pengertian moral, etika dan akhlak

memiliki definisi dan obyek kajian yang berbeda. Definisi moral lebih

menitik beratkan pada perbuatan, tindakan atau tingkah laku manusia.

Atau kualitas dari perbuatan, tindakan, tingkah laku, apakah

perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk, benar atau salah.

Sedangkan etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk,

tidak hanya memberikan gambaran tentang perbuatan baik atau buruk

manusia, namun juga memberikan penilaian tentang baik atau buruk

akan perbuatan atau tindakan yang dipilih oleh manusia sedang akhlak

tatanannya lebih menekankan bahwa pada hakikatnya dalam diri

Page 38: pengertian moral

38

manuisia itu telah tertanam suatu keadaan dimana keduanya (baik dan

buruk) bersemayam di dalam tiap-tiap diri manusia atau dalam jiwa.

Untuk lebih jelasnya, perbedaan antara moral, etika dan akhlak

bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 2.1. Perbedaan Moral, Etika dan akhlak

Bahasan Definisi Obyek Kajian

1. Moral 2. Etika

- Membicarakan tentang baik dan buruk, benar dan salah

- Ajaran-ajaran tentang kebaikan

- Bersifat sobyektif dan relatif

- Bersumber dari aga-ma, aturan, tradisi dan idiologi

- Pengetahuan tentang

nilai-nilai baik dan buruk

- Norma-norma yang berlaku dalam masya-rakat tertentu

- Ilmu tentang filsafat moral

- Bersumber pada akal sehat

- Kebiasaan atau adat istiadat - Bagaimana masyarakat

tertentu berperilaku - Nilai perbuatan manusia - Perbuatan manusia yang

merupakan ekspresi, aktualisasi dan responsi dari keadaan jiwanya

- interaksi antar manusia dalam suatu masyarakat tertentu

- Orientasi untuk menentu-

kan pilihan baik atau buruk - Menjawab pertanyaan ten-

tang baik dan buruk - Bagaimana seharusnya ma-

nusia, berperilaku dalam komunitas masyarakat

- Perilaku baik dan buruk manusia

- Mengkaji filsafat moral - Mengkaji tentang moralitas - Hal-hal yang sangat praktis

dan dekat dengan kehidu-pan sehari-hari

- Mendiskusikan moral, pili-han mana yang baik dan buruk.

- Memberikan penilaian apa-kah perbuatan itu baik atau buruk.

Page 39: pengertian moral

39

3. Akhlak

- Internalisasi dan in-

heren dalam diri setiap manusia

- Bersumber dari sya-riah Islam (al-Quran dan al-Hadist)

- Sikap batin yang telah tertanam pada diri manusia

- Siratan-siratan hati yang tenang dan pe-nuh ketaatan dan ke-patuhan

- Setiap manusia yang ber-nyawa dan berakal.

- Mengkaji moral dan etika

(filsafat moral) - Jiwa manusia (akal, hati

dan panca indra serta hubungan ketiganya)

- Cakupannya: adat kebiasa-an, kualitas perbuatan ma-nusia, sikap batin yang harus dilestarikan dengan latihan dan sungguh-sung-guh.

C. Persamaan Moral, Etika dan Akhlak

Secara etimologi, moral dan etika memiliki arti yang sama,

yaitu adat kebiasaan, hanya saja berbeda dari asalnya. Moral berasal

dari bahasa latin, dan etika berasal dari bahasa Yunani. Dan ahlak

berarti ciptaan, dan berasal dari bahasa Arab.

Kecenderungan manusia pada kebaikan terbukti dari persamaan

konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman.

Perbedaan, jika terjadi terletak pada bentuk penerapan, atau pengertian

yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral (Muhammad

Quraish Shihab, 1998: 255).

Dari uraian tentang moral, etika dan akhlak, penulis

menemukan titik singgung yang ada pada ketiganya, yaitu ketiga

tiganya membicarakan tentang perbuatan baik atau buruk, benar atau

salah atau tindakan manusia. Pada umumnya kalangan awam

cenderung untuk menyamaratakan begitu saja antara moral dan etika,

bahkan tidak sedikit yang mengacaukannya dengan istilah ’toto

kromo’, ’sopan santun’, budi pekerti (dalam ruang lingkup adat

Page 40: pengertian moral

40

istiadat) atau dengan istilah ’akhlak’(dalam ruang agama)(Amin

Abdullah, 2004: 167).

Dalam kontek pembahasan tesis ini, moralitas yang dimaksud

dalam judul adalah moralitas Jawa, yaitu prilaku baik yang didasarkan

pada prinsip rukun dan prinsip hormat yang merupakan budaya leluhur

yang mampu mengokohkan sendi kehidupan sosial masyarakat Jawa.

D. Teori Moral, Etika dan Akhlak

Penelusuran kebenaran melalui sejarah filsafat memiliki

banyak konsep dan teori, begitu juga dengan teori moral, etika dan

akhlak, setiap teori yang lahir hampir selalu dilatar belakangi sejarah

kehidupan pencetusnya, sehingga menimbulkan teori yang berbeda-

beda walaupun mengungkap permasalahan yang sama.

1. Emotivisme

Perihal pokok dalam materi moral, etika adalah ”Baik” yang

dianggap sebagai suatu konsep unik unnalyzable. Moral ”baik”

menyarankan dalam penggunaan yang berkenaan dengan emosi.

Ketika menggunakan kata baik, tidak mewakili apapun, seperti ketika

menggunakan kata baik dalam kalimat hukuman, ”Ini adalah baik”,

mengacu pada penambahan ”adalah baik” tidak membedakan acuan

kepada apapun, hanya sebagai tanda berkenaan dengan emosi yang

menyatakan sikap manusia dan barangkali menimbulkan sikap serupa

pada orang lain, atau menimbulkan tindakan mereka kepada sesama

(W.D. Hudson).

Teori emotivism yang dkembangkan oleh C.L.Stevenson,

mengedepankan emotivism sebagai teori meta-ethical yang tajam yang

menggambarkan antara teori-teori. Argumentasi Stevenson

mengatakan kapan saja sutu pertimbangan moral dinyatakan, untuk

membedakan dua macam perbedaan antara : a). apa yang dikatakan

atau diasumsikan, sebagai kondisi yang berdasar pada fakta

Page 41: pengertian moral

41

pertimbangan, b). evaluasi positif atau negatif yang ditempatkan pada

kejadian-kejadian fakta tersebut.

Emotivism yang diungkapkan adalah dengan mengambil

pertimbangan moral lebih menekankan pada express bukan kepada

report-attitudes, sebagai contoh tentang analisa ”Ini adalah baik”,

sesuai dengan teorinya, meminta dengan tegas bahwa berkenaan

dengan pernyataan ini, aku melakukan juga dan berkenaan dengan ini

aku ingin kau melakkannya juga.

Ada tiga kemungkinan yang membedakan, yang berkenaan

dengan emosi, yaitu :

a. Berkenaan dengan emosi mungkin bergantung kepada diskripsi,

yaitu perubahan yang kemudian diikuti dengan seketika, atau

sangat segera, dengan berubah dari yang sebelumnya.

b. Ungkapan emosi berkenaan dengan bagaimanapun suatu titik boleh

selalu datang ketika suatu perubahan di dalam suatu diskriptif

mengganggu, berkaitan dengan emosi.

c. Arti emosi mungkin berkaitan dengan diskriptif.

Emotivisme lahir sebagai teori moralitas yang menonjolkan

pengaruh positivisme logis dalam etika, konsep-konsep moral menurut

teori Emotivism adalah sesuatu yang unanalysable (W.D.Hudson) tak

dapat dianalisa, sebab penganut faham positivisme logic, senantiasa

mengehendaki adanya keserbapastian kriteria, sesuatu yang sulit

dipenuhi oleh konsep-konsep moral.

Dalam menelaah pertimbangan-pertimbangan moral (moral

judgement), kaum emotivis hanya berisi apresiasi-apresiasi dan

tuntutan-tuntutan. Mereka menyimpulkan bahwa pertimbangan-

pertimbangan moral dalam kenyataannya tidak dapat melukiskan

apapun dan hanya bersifat emotif belaka, hanya mengenai persetujuan-

persetujuan dan ketidak setujuan tentang sesuatu tindakan tertentu

(W.D.Hudson).

Page 42: pengertian moral

42

2. Intuisionisme

Intuisi berarti suatu konsep yang menyatakan bahwa salah satu

sumber pengetahuan adalah dengan penangkapan kebenaran secara

langsung dan segera, (direct and immediate) (James Hasting). Atau

dapat pula dikatakan sebagai kekuatan batin yang dapat mengenai

sesuatu yang sebaiknya dengan selintas pandang dengan tiada

memandang buah dan akibatnya (Ahmad Amin, 1975: 105). Menurut

Bergson, intuisi adalah kemampuan manusia untuk meraih kenyataan

yang tidak tergantung pada posisi seseorang, dengan perkataan

kenyataan, intuisi adalah “a sympathy where by one carries oneself in

the interior of object to conside with what is unique and therefore

inexpressible in it “(Kolakowski, Bergson, 1985: 24)

Sedangkan akal praktis adalah merupakan bagian inti dari akal.

Dan dari sinilah akhirnya Kant sampai pada masalah intuisi

(Immanuel Kant, 1963:11-12). Dari pembedaan akal tersebut Kant

mengurai konsep umum moralitas yang berbasis pada empirikal dan

intelektual (ibid).

Teori intuisionisme ini juga berusaha memecahkan dilema-

dilema etis dengan berpijak pada intuisi, yaitu kemungkinan yang

dimiliki seseorang untuk mengetahui secara langsung apakah sesuatu

baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis mengetahui apa

yang baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya, bukan

berdasarkan situasi, kewajiban atau hak. Dengan intuisi kita dapat

meramalkan kemungkinan-kemunginan yang terjadi tetapi kita tidak

dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena kita tidak

dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan.

Menurut Henry Bergson seorang filosof Perancis. Uraiannya

mengatakan bahwa ”Bergson tidak benar-benar mengetahui apa yang

terjadi atau bagaimana perasaannya”. Uraian yang Bergson berikan

sangatlah lengkap namun demikian tampaknya mungkin juga tidak

mengetahui apa yang terjadi, meskipun Bergson dapat menceriterakan

Page 43: pengertian moral

43

kembali banyak diantara apa yang dikatakan mengenai kejadian itu.

(Juhaya S.Praja, 2005: 31)

Perbedaan tersebut terletak pada ungkapan: pengetahuan

mengenai (knowledge about) dan pengetahuan tentang (knowledge of).

Pengetahuan mengenai (knowledge about) disebut pengetahuan

discursive atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada

perantaranya. Dan Pengetahuan tentang (knowledge of) disebut

pengetahuan yang langsung atau pengetahuan intuitif, dan

pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung bandingkan dengan

ma’rifat qolbiyah dalam tasawuf (Ibid : 31).

Menurut Bergson, Intuisi ialah suatu sarana untuk mengetahui

secara langsung atau seketika (ibid : 32), intuisi tidak mengingkari

nilai pengalaman, inderawi yang biasa dan pengetahuan yang

disimpulkan darinya. Intuisi dapat menyingkapkan pada kita keadaan

yang senyatanya (Ibid : 33).

Dengan demikian teori intuitif belum mampu memberikan

kejelasan tentang sesuatu yang benar atau sesuatu yang baik, karena

masing-masing manusia akan memiliki dan mengungkapkan sesuai

dengan apa yang ada dalam masing-masing keadaan hati yang sangat

bersifat relatif, sehingga teori etika intuitif meurut penulis tetap akan

memberikan peluang untuk menelusuri tentang apa yang disebut baik,

benar yang begitu sulit untuk ditangkap oleh akal, indra dan

pengalaman, namun akan sangat dibantu dengan menjalankan syariah

sesuai dengan kemampuan dan kekuatan yang mampu dijalankan oleh

seseorang, sehingga dalam hal syariah kalau seseorang ingin baik

maka kerjakanlah begitu saja tanpa ada pertimbangan akal, karena

yang ada hanya ketaatan kepada sang Khalik.

Namun ketika manusia berhadapan dengan kegiatan sosial

peranan akal dijadikan sebagai alat berpikir untuk memberikan

pertimbangan, apakah tindakan seseorang bisa diterima oleh orang lain

atau lingkungan tersebut. Dalam hal lingkungan sosial peranan akal

Page 44: pengertian moral

44

masih dibutuhkan dan dalam hal agama peranan akal dinomor duakan.

Perbuatan yang dilakukan hanya semata-mata ketaatan dan kepatuhan

kepada sang Khaliq sebatas manusia itu mengetahui dan mampu untuk

melaksanakan perbuatan tersebut.

Pokok Persoalan Etika, sebagai ilmu yang membahas tentang

tingkah laku moral, maka pokok persoalan etika adalah perbuatan

manusia itu sendiri, namun tidak semua perbuatan manusia menjadi

pokok persoalan etika.

Berikut ini macam-macam perbuatan manusia :

a. Perbuatan yang dilakukan dengan kehendak atau voluntary actions

yakni, perbuatan ini dilakukan dengan penuh kesadaran dan

pikiran, inilah perbuatan yang memiliki nilai etis atau dapat

dinilai dari sisi baik dan buruk.

b. Perbuatan yang dilakukan dengan tanpa kehendak atau involuntary

actions, seperti contoh denyut jantung, darah, bernafas, dan lain

sebagainya. Perbuatan ini dilakukan dengan tanpa kesadaran dan

pikiran. Sehingga perbuatan ini tidak memiliki nilai etis atau tidak

dapat dinilai dari sisi baik dan buruk, sehingga tidak masuk dalam

persoalan etika.

c. Perbuatan semu, yakni perbuatan yang berdimensi etik tetapi

dilakukan diluar kesadarannya atau hanya kehendaknya. Perbuatan

ini menjadi perbuatan etis yang bersyarat. Contoh perbuatan yang

dilakukan dalam keadaan tidur, perbuatan ini tidak dapat dinilai

baik atau buruk dan tidak dapat dituntut dari segi etika.

d. Perbuatan yang netral, yakni perbuatan dengan ikhtiar akan tetapi

tidak berdimensi etik. Misalnya ketika mengikuti perkuliahan kita

bebas memakai pakaian dengan lengan panjang atau pendek, hal

ini tidak bisa dinilai baik atau buruk sebab perbuatan itu bebas

dari tuntutan etika ( Umar Bakri, 1977: 3-4)

Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah

konflik yang menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang

Page 45: pengertian moral

45

mana yang tidak baik dan mana yang selayaknya. Disinilah, etika

memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa yang seharusnya”

atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan

serta apa yang salah dan apa yang benar. (Harlan B. Miller, 1988).

Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau

panduan bagi ilmu dalam realisasi pengembangannya. Thomas Shanon

dalam Pengantar Bioetika (1995), untuk mengatasi konflik batin

dikemukakan teori-teori etika yang bermaksud untuk menyediakan

konsistensi dan koheren dalam mengambil keputusan–keputusan moral

(Deontologi dalam www// google).

3. Konsekuensialisme

Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan

memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa

yang harus dianggap etis adalah konsekuensi yang membawa paling

banyak hal yang menguntungkan, melebihi segala hal merugikan,

atau yang mengakibatkan kebaikan terbesar bagi jumlah orang

terbesar. Manfaat paling besar dari teori ini adalah bahwa teori ini

sangat memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu

dan memperhatikan bagaimana orang terpengaruh. Kelemahan dari

teori ini bahwa lingkungan tidak menyediakan standar untuk

mengukur hasilnya.

4. Deontologi

Pencetus dari teori Deontologi adalah filosof Jerman Immanuel

Kant. Deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti

“kewajiban”. Teori ini menganut bahwa dalam menentukan apakah

tindakannya bersifat etis atau tidak, dijawab dengan kewajiban-

kewajiban moral.

Suatu perbuatan bersifat etis, bila memenuhi kewajiban atau

berpegang pada tanggungjawab, jadi yang paling penting adalah

kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan, karena hanya dengan

Page 46: pengertian moral

46

memperhatikan segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan

menyalahkan moral.

Manfaat paling besar yang dibawakan oleh etika deontologis

adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar adalah bahwa

deontologi tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan.

Dengan hanya berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak

melihat beberapa aspek penting sebuah problem.

Menurut teori ini, perbuatan dikatakan baik apabila dilakukan

karena kehendak yang baik. Perbuatan adalah baik jika hanya

dilakukan karena kewajiban, dan juga karena wajib dilakukan. Dan

suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena

hormat untuk hukum moral. Hukum moral mengandung imperatif

kategoris, artinya perintah yang mewajibkan begitu saja tanpa

syarat. Tindakan manusia terjadi begitu saja tanpa ada sebab

musababnya.

Menurut Immanuel Kant, tentang teori moralnya, sebagaimana

dijelaskan oleh K. Berten, dapat diuraikan dalam tiga hal yaitu : a)

”Engkau harus begitu saja” (Du sollst). Imperatif kategoris

menjiwai semua peraturan etis, misalnya hutang harus dibayar,

(senang atau tidak senang), janji harus ditepati, dan lain

sebagainya. b) Kalau hukum moral harus dipahami sebagai

imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral, kehendak

harus otonom (menentukan dirinya sendiri) dan bukan heteronom

(ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan atau emosi).

Dan c) Dengan menemukan otonomi kehendak maka manusia akan

menemukan kebebasan dalam bertindak, manusia itu bebas dalam

mentaati hukum moral.

Orang yang bertindak karena kewajiban, berarti melakukan apa

yang dianggapnya masuk akal. Apa yang masuk akal bukan semata-

mata apa yang memajukan kepentingan orang itu sendiri, tetapi apa

yang akan membawa tindakannya kedalam keharmonisan dengan

Page 47: pengertian moral

47

tindakan-tindakan yang dilakukan orang lain sepanjang tindakan-

tindakan itu masuk akal juga (HB Acton, 2003: 84-85)

5. Etika Hak.

Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan

moral yang ada didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini

dipecahkan dengan hirarkhi hak. Yang penting dalam hal ini adalah

tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan sungguh-

sungguh.

Teori hak ini pantas dihargai terutama karena tekanannya pada

nilai moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu

situasi konflik etis. Selain itu teori ini juga menjelaskan bagaimana

konflik hak antar individu. Teori ini menempatkan hak individu

dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana memecahklan

konflik hak yang bisa timbul.

6. Teori-Teori Akhlak

Ada anggapan yang mengatakan bahwa akhlak itu tidak bisa

dirubah, anggapan ini dijawab oleh al-Ghazali dengan mengatakan

bahwa jika tingkah laku itu tidak dapat dirubah tentu tidak berguna

lagi perintah-perintah untuk memberikan wasiat, pesan, nasihat dan

pendidikan yang ada dalam agama.

Akhlak yang didefinisikan sebagai keadaan yang telah tertanam

dalam jiwa manusia (watak), apakah bisa dirubah atau dibentuk

kepada kecenderungan baik. Al-Ghazali mengatakan bahwa betapa

akhlak itu sebenarnya dapat menerima perubahan dengan memberikan

tamsil pada binatang. Bahwa binatang yang mempunyai watak buas,

rakus dan pembunuh, sebagaimana harimau, ternyata dalam

pertunjukan sirkus ternyata dapat menjadi binatang yang terdidik,

dapat menahan diri, kuda yang mempunyai watak melawan juga bisa

menjadi penurut dan tunduk. Ini membuktikan bahwa sebenarnya

Page 48: pengertian moral

48

akhlak yang diidentikkan dengan watak itu sebenarnya dapat

menerima perubahan atau dapat diformat.

Namun al-Ghazali juga menjelaskan dan mengakui bahwa tidak

semua bentuk pada manusia menerima perubahan. Al-Ghazali

menjelaskan bahwa eksistensi alam ini terklasifikasi dalam dua

kategori. Pertama, sesuatu yang tidak termasuk dalam bingkai ikhtiar

manusia yaitu ciptaan Allah yang sudah diformat sempurna dalam

standar kemakhlukannya, sehingga tidak perlu lagi menerima

kesempurnaan atau perubahan, seperti susunan tata surya dan juga

susunan tubuh manusia. Kedua, sesuatu yang eksistensinya diformat

dalam kekurangan sehingga masih harus disempurnakan lewat wilayah

ikhtiar manusia.

Demikian halnya dengan akhlak, secara garis besar al-Ghazali

memberikan penjelasan bahwa akhlakpun sama dengan eksistensi

alam, yaitu ada yang sudah diformat sempurna seperti akhlak para

nabi yang secara alamiah mempunyai kesempurnaan akal dan polalaku

yang baik, keseimbangan nafsu dan amarah, bahkan secara otomatis

sudah tunduk pada akal dan syara’, dan ada yang diformat menerima

perubahan. Dan dalam form yang menerima perubahan inilah, manusia

mempunyai andil yang besar untuk melakukan perubahan menuju

kepada perbaikan. Lalu dengan cara apa manusia melakukan

perubahan tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan

yang dijumpai pada watak manusia sangatlah berbeda-beda ada

manusia yang sangat baik sekali, baik, buruk dan jahat sekali. Penulis

merasa yakin dan sependapat dengan mengungkap kembali apa yang

telah di sampaikan al-Ghazali, untuk itu pemikirannya dalam usaha

memperbaiki akhlak.

E. Strategi Pembentukan Moralitas

Pendidikan moral sudah sangat lama dipermasalahkan, dimulai

dari pernyataan Meno yang terkenal itu kepada Socrates sebagai

Page 49: pengertian moral

49

berikut: Socrates, apakah moral itu bisa diajarkan, atau hanya bisa

dicapai melalui praktik kehidupan sehari-hari? Seandainya melalui

pengajaran dan praktik tidak bisa dicapai, apakah moral bisa dicapai

secara alamiah atau dengan cara lain? (Nurul Zuriah, 2007: 20-21).

Pernyataan Meno diatas sampai sekarang masih terus diperdebatkan,

terutama dikalangan ahli psikologi dan filsafat moral dalam Beck, ed,

1987 (Ibid: 21).

Kalau moral dipahami sebagai suatu adat kebiasaan yang hanya

terjadi pada masyarakat tertentu, maka manusia akan sulit untuk

berpegang pada satu aturan saja, manusia akan terus berjalan menurut

keadaan dimana mereka hidup dan begitu banyak adat kebiasaan-adat

kebiasaan yang harus dipatuhi dan harus dihormati, namun sangat

penting untuk terus diupayakan supaya adat kebiasaan yang baik atau

moralitas perlu ditanamkan pada diri manusia supaya menjadi manusia

yang bermoral, dengan cara memberikan latihan yang terus menerus

dan dengan hati yang bersungguh-sungguh, yang akhirnya akan

tertanam kebiasaan baik tersebut.

Mujahadah dan Riyadhah.

Al-Ghazali tidak memberikan definisi maupun teknik satu

persatu tentang mujahadah dan riyadhah. Nampaknya al-Ghazali

memberikan isyarat bahwa keduanya merupakan satu kesatuan utuh

yang dilaksanakan secara bersamaan.

Adapun yang dimaksud dengan kedua kata itu sebagai kata

kunci pembuka tabir akhlak bahwa akhlak itu dapat diformat dengan

mendorong hati dan jiwa, memberikan beban sebagai suatu kewajiban,

dan membiasakan secara kontinew untuk melakukan suatu aktivitas,

sehingga aktifitas itu tidak terasa menjadi beban dan kewajiban yang

pada gilirannya terciptalah suatu akhlak yang merupakan watak dan

tabiat, hal ini berarti berlaku pula pada kecenderungan kepada akhlak

baik atau positif) maupun akhlak buruk atau negatif.

Page 50: pengertian moral

50

Tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan sering dijumpai bahwa

watak manusia sangatlah berbeda-beda ada manusia yang sangat baik

sekali, baik, buruk dan jahat sekali, dan sifat-sifat kemarahan dan

kesyahwatan akan terus menyertahi manusia selama hidupnya,

sehingga tidak mungkin sifat-sifat itu dihilangkan dari dirinya. Tetapi

yang diinginkan adalah supaya manusia mampu mengendalikan dan

membimbing dengan jalan melatih dan bersungguh-sungguh. Dan

menempatkan sifat-sifat itu dalam kedudukan sedang atau

pertengahan, yakni antara sifat melampaui batas dan sifat menyia-

nyiakan. Sehingga tetap masih dikendalikan oleh akal pikiran yang

sehat (Al-Ghazali,1983: 510).

Kebijakan atau jalan Tengah

Sementara filosofis muslim lainnya yang berbicara tentang

bahasan etika, Ibn Miskawaih, mencoba berpikir bagaimana caranya

agar manusia mampu melatih jiwa sehingga mampu mencapai

kebahagiaan yang sempurna. Bagi Miskawaih, jiwa dipandang sebagai

sesuatu yang berbeda dengan badan. Jiwa membedakan manusia

kepada makhluk lain. Jiwa tidak hanya merupakan sistem aksiden

karena dalam dirinya sendiri memiliki kekuatan untuk membedakan

antara aksiden dengan esensial dan tidak dibatasi pada kesadaran akan

hal-hal yang aksidensi oleh indra (Sayyed Hossein Nasr,2003: 312) .

Kebijakan15, ia mengembangkan seperangkat aspek kebajikan

yang berkaitan dengan kebijaksanaan, keberhasilan, kebahagiaan,

keadilan, dan kesolekhan, yang menguraikan tentang perkembangan

moral yang hendak dicapai. Ia mencoba mengkombinasikan

15 Kebijakan menurut Ibn Miskawaih merupakan bagian dalam jiwa yang memiliki posisi tengah yang disebut juga dengan al hikmah. Posisi ini berada diantara kehinaan yaitu bodoh (al saft) dan dungu (al balh). Kebodohan menggunakan wilayah berpikir pada sesuatu yang tidak baik, sedangkan dungu adalah sengaja menyingkirkan wilayah berpikir. Adapun yang menjadi posisi tengahnya adalah kepandaian. Salah satu ujung yang mengapit posisi tengah adalah kondisi mental yang berlebihan sedang yang satunya dalam kondisi kurang (Ibn Miskawaih,1923:23).

Page 51: pengertian moral

51

pembagian kebijakan versi Plato dan pemahaman Aristoteles, dimana

keduanya diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh (Ibn

Miskawaih,1913: 24)

Ibn Miskawaih membicarakan etika sebagai kebijakan,

menurutnya kebijakan merupakan bagian dalam jiwa yang memiliki

posisi tengah yang disebut juga dengan al hikmah. Posisi ini berada

diantara kehinaan yaitu bodoh (al saft) dan dungu (al balh).

Kebodohan menggunakan wilayah berpikir pada sesuatu yang tidak

baik, sedangkan dungu adalah sengaja menyingkirkan wilayah

berpikir. Adapun yang menjadi posisi tengahnya adalah kepandaian.

Salah satu ujung yang mengapit posisi tengah adalah kondisi mental

yang berlebihan sedang yang satunya dalam kondisi kurang (Ibn

Miskawaih,1923: 23). Ibn Miskawaih, menyebutkan kekuatan jiwa (al

quwwatun nafsiyah) sebagaimana dikatakan Platinus, keutamaan-

keutamaan dan keburukan-keburukannya yang berkaitan dengannya.

Adapun yang berkaitan dengan keutamaan, pembagiannya menjadi

empat bagian, yaitu : kearifan, sederhana, keberanian,dan keadilan.

1. Kearifan, merupakan keutamaan dari jiwa berpikir yang

mengetahui, terletak pada mengetahui yang ada, atau

mengetahuai yang ilahiah dan manusiawi;

2. Sederhana, merupakan keutamaan dari bagian hawa nafsu.

Keutamaan ini tampak pada diri manuisa ketika manusia

tersebut mengarahkan hawa nafsu menurut penilaian baik dan

buruknya, sehingga manusia tidak tersesat oleh hawa nafsunya

dan manusia bebas dari hamba hawa nafsu;

3. Keberanian, keberanian jiwa amarah yang muncul pada diri

seseorang ketika jiwa ini tunduk dan patuh terhadap jiwa

berpikir serta menggunakan penilaian baik dalam menghadapi

hal-hal yang membahayakan;

4. Keadilan, juga merupakan kebajikan jiwa, yang timbul akibat

menyatunya tiga kebajikan yang tersebut diatas, ketiganya

Page 52: pengertian moral

52

bertindak selaras (tidak kontradiksi) (Ibn Miskawaih, 1994:

45)

Jiwa, Menurut Ibn Miskawaih, Jiwa manusia dibagi menjadi

tiga fakultas jiwa. Pertama, fakultas berpikir (al-quwwah al-natiqah)

ia merupakan jiwa tertinggi untuk berpikir dan menangkap fakta.

Organ tubuh yang digunakan adalah otak. Kedua, fakultas amarah (al-

quwwah al-qadabiyah), yakni jiwa keberanian untuk menghadapi

resiko, ambisi pada kekuasaan, kedudukan dan kehormatan. Organ

tubuh yang digunakan adalah hati. Ketiga, fakultas nafsu sahwat (al-

quwwah al-syahwiyyah), yakni dorongan nafsu makan, keinginan

terhadap kelezatan, minuman, seksual, dan segala macam inderawi.

(Suparman Syukur,2004: 327), merupakan substansi yang independen

yang mengembalikan badan dan ia bersifat kekal. Esensi jiwa tidak

akan mati dan terlibat dalam gerak abadi serta sirkulasi (keatas

menuju akal dan akal aktif, dan kebawah menuju ke materi) dan

kebahagiaan akan tumbuh melalui yang pertama (akal aktif) dan

kemalangan akan tumbuh melalui yang kedua (materi).

Raghib al-Isfahani, menjelaskan secara psikologis, munculnya

perilaku seseorang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : lintasan

pikiran (saanih), ide (khaitir), dari keduanya muncul kehendak

(iraadah), kemudian cita-cita (hazm), sampai akhirnya muncul

termanivestasi dalam perbuatan (’amal) (Amril M, 2002: 32). Menurut

Raghib, benih perbuatan moral dimulai pada tahap ide (khaitir), oleh

karena itu pada tahap ini sebaiknya seseorang dituntut untuk

melakukan pengujian-pengujian terhadap ide yang dimilikinya,

sehingga pada tahap ini bisa dikontrol atau dimanag dengan baik

sebelum samapai pada kehendak.

Menurut Elizabeth B.Hurlock (1978) perilaku yang dapat

disebut Moralitas yang sesungguhnya tidak saja sesuai dengan standar

sosial melainkan juga dilaksanakan dengan sukarela. Ia muncul

bersamaan dari peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri

Page 53: pengertian moral

53

atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai tanggung jawab

pribadi untuk tindakan masing-masing.

Tindakan sukarela yang disertahi dengan tanggung jawab

pribadi untuk tindakan masing-masing tidaklah bisa dipaksakan atau

diajarkan, tindakan ini menyangkut sikap batin yang telah dipola

dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah ditanamkan oleh

lingkungannya. Sehingga untuk membentuk moralitas peserta didik

dengan pembiasaan perlunya diberikan latihan-latihan yang sungguh-

sungguh (Imam Gazali).

Gagasan yang ditimbulkan dari hasil pemikirian yang cerdas

pentingnya selalu diekpresikan dalam kehidupan nyata dalam bentuk

penyampaikan informasi-informasi atau tulisan-tulisan yang

membutuhkan tindak lanjut. Dengan sarana pendidikan, peserta didik

memperoleh informasi-informasi yang baik yang akan dijadikan

sebagai sesuatu yang akan tertananm didalam hatinya.

Dengan informasi yang baik peserta didik terus akan

mengakumulasi dengan jalan melakukan atau bertindak sesuai dengan

arahan dan bimbingan dari pendidik dan orang-orang yang

menanamkan kebaikan tersebut pada perkembangan hidupnya selama

peserta didik megalami perkembangan moral dalam usia sekolah dasar

(7-12 tahun).

Kepatuhan terhadap Agama

Menurut Raghib al-Isfahani, bahwa landasan kemuliaan agama

adalah kesucian jiwa yang dicapai melalui pendidikan, kesederhanaan,

kesabaran, dan keadilan. Kesempurnaan bisa dicapai melalui

kebijaksanaan dengan jalan melaksanakan perintah-perintah agama,

kedermawanan melalui kesederhanaan, keberanian melalui kesabaran,

dan kebenaran berbuat diperoleh melalui keadilan (Suparman Syukur

2004: 199). Karena hidup selanjutnya bukan untuk mencari, namun

pentingnya diisi dengan perbuatan-perbuatan yang baik sehingga

Page 54: pengertian moral

54

dengan isian perbuatan-perbuatan yang baik tersebut mampu

menunjukkan hidupnya untuk menuju kepada tujuan akhir hakikinya

yaitu mencapai kebahagiannya untuk menuju Tuhan.

Sebagaimana diungkapkan Muhammad Noor Syam bahwa

khusus dalam tingkah laku manusia, manusia sebagai subyek telah

memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya,

disamping kecenderungan dan dorongan-dorongan ke arah yang tidak

baik (Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 116), lihat pula QS Asy Syams: 8,

yang artinya ”Pada dasarnya Allah telah mengilhamkan kepada jiwa

itu (jalan) kefasikan (keburukan) dan ketaqwaannya (kebaikan)”.

Tugas manusialah untuk melatih, terutama para pendidik dan

orang tua, dengan demikian, peserta didik yang mendapat pengajaran

dan pembelajaran di sekolah, pentingnya tugas guru untuk melatih dan

memberikan bantuan pada peserta didik untuk mengembangkan

potensi-potensi yang ada pada peserta didik (Zuharini dalam

Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 118).

Peranan guru dan perancang pembelajaran dalam

mengembangkan strategi pembelajaran moral mestinya harus lebih

banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

mengambil peran moral, baik di dalam lingkungan keluarga,

lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya dan lingkungan

masyarakarat yang lebih luas. Kesempatan untuk mengambil peran

sosial nampaknya meberikan kontribusi yang signifikan dalam

perkembangan moral. Penelitian Holstein dalam Kohlberg &Turriel,

memperlihatkan bahwa anak-anak yang maju dalam perkembangan

moral, memiliki orang tua yang juga maju dalam penalaran moral.

Orang tua yang berusaha mengenal pandangan anak, dan yang

mendorong terjadinya dialog, mempunyai anak yang secara moral

lebih matang.(C.Asri Budiningsih, 2004: 84)

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kolhberg (Cremers,

1995) disamping di dalam keluarga, pengambilan peran dalam

Page 55: pengertian moral

55

kelompok keluarga, pengambilan peran dalam kelompok sebaya, di

sekolah dan di masyarakat yang lebih luas, akan meningkatkan

perkembangan moralnya (Ibid). Pada diri peserta didik telah tertanam

potensi utama yang terus dilatih dengan stimulus-stimulus yang positif

sebagaimana menurut tokoh muslim yang dikenal dengan hujat al-

Islam, Al Ghozali menawarkan suatu konsep, yang bukan saja bersifat

lahiriah namun lebih bersifat batiniah, yaitu akhlaq sebagaimana

Sabda Rasulullah SAW, bahwa Mukmin yang paling sempurna

imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Yang lemah lembut dan

tidak pernah menyakiti orang (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 146-147).

Dan karena akhlaklah yang akan membawa dia kepada jalan

keselamatan (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 145).

Al-Ghazali memberikan pemahaman untuk penelusuran yang

sering menyertahi akhlak dengan empat opsi, yaitu pola laku positif

atau negatif, kemampuan untuk mengakses keduanya, pengetahuan

tentang keduanya, serta situasi jiwa dalam kecenderungannya terhadap

salah satunya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akhlak bukanlah bentuk

polalaku, kemampuan untuk membentuk polalaku, maupun

pengetahuan tentang polalaku.

Polalaku itu tidak disebut akhlak manakala tidak menetap

dalam jiwa karena akhlak tidak bersifat temporer. Sebagai contoh

seseorang yang memberikan infak karena sesuatu karena sebab-sebab

tertentu, seseorang yang marah, karena merasa didzalimi, dan setelah

seseorang itu tahu atau sadar, dimana didalam hatinya masih ada

guratan-guratan yang diketahuinya, sehingga hal semcam ini belum

dikatakan seorang yang berakhlak, karena tindakannya disebabkan

adanya dorongan-dorongan dan pertimbangan-pertimbangan dari luar

dirinya.

Ada empat rukun yang harus dipenuhi, agar diketahui

kesemprunaan suatu akhlak, yaitu 1) kekuatan ilmu, 2) kekuatan

marah, 3) kekuatan nafsu syahwat dan 4) kekuatan berlaku adil.

Page 56: pengertian moral

56

Keempat rukun ini harus merupakan satu kesatuan utuh. Sebagaimana

bentuk lahir, wajah misalnya, tidak bisa dikatakan sempurna

keindahannya manakala hanya berfokus pada keindahaan kedua

matanya saja, sementara apresiasi hidung diabaikan, demikian juga

dengan keempat rukun tersebut.

Kekuatan Ilmu

Kekuatan ilmu adalah kemampuan membedakan antara yang

baik dan buruk (positif atau negatif), manakala signal kemampuan ini

kuat maka akan melahirkan hikmah atau kebijaksanaan. Selanjutnya

kemampuan ini akan lebih bermakna manakala disertahi dengan

kemampuan mengekang dan melepaskan dorongan amarah menurut

batas yang dibutuhkan oleh hikmah itu sendiri dan kekuatan nafsu

syahwat berada dibawah isyaratnya. Sementara kekuatan keadilan

bertindak sebagai penyeimbang yang meletakkan kekuatan-kekuatan

garis lurus dengan batasan-batasan masing-masing.

Kekuatan marah yang sempurna adalah manakala berada dalam

garis lurus batasannya, dan ia akan melahirkan syaja’ah (keberanian),

dan manakala ia melampaui batasan tersebut maka yang lahir adalah

sikap tahawwur (berani tanpa pengetahuan), dan manakala lemah tidak

sampai pada batas yang ditentukan maka lahirlah sikap penakut, lemah

melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan.

Dari beberapa uraian tersebut, al-Ghazali memberikan

penekanan bahwa pokok-pokok akhlak dan dasar-dasarnya ada empat

yaitu hikmah16, keberanian17, menjaga keharmonisan diri atau

16 Hikmah adalah situasi jiwa yang dapat dipergunakan untuk mengatur marah dan nafsu syahwat dan mendorongnya menurut kehendak pengetahuan. Pemakaian dan pengendaliannya diatur oleh kehendak pengetahuan. 17 Keberanian adalah suatu keadaan jiwa yang merupakan sifat kemarahan, tetapi yang dituntun dengan sifat akal pikiran untuk terus maju atau mengekangnya

Page 57: pengertian moral

57

kelapangan dada18 dan keadilan19. Dan dari keempat sendi-sendi

pokok tersebut, timbulnya semua akhlak yang baik dan terpuji.

E. Cakupan Moralitas Peserta Didik

1. Moralitas Peserta Didik

Perkembangan Moral (moral development) berkaitan dengan

aturan20 dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh

manusia dalam interaksinya dengan orang lain (John W.Santrock,

2002: 287), yang diungkapkan dalam bentuk 1) Berpikir, 2) Bertindak

dan 3 ) Perasaan (Ibid).

Peneliti Perkembangan Moral, Pieget memicu tentang adanya

pemikiran isu-isu moral, dalam observasi dan wawancara yang

ekstensip terhadap anak-anak berusia 4–12 tahun. Piaget mengamati

anak-anak tersebut bermain kelereng sambil berusaha mempelajari

bagaimana anak-anak tersebut menggunakan dan memikirkan aturan-

aturan permainan. Piaget juga bertanya kepada anak-anak tentang

aturan-aturan etis, seperti mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan

(Ibid).

Kesimpulan yang diperoleh Piaget menyebutkan bahwa ada dua

cara yang jelas-jelas berbeda dalam berpikir tentang moralitas,

tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka, kedua cara

tersebut adalah :

18 Kelapangan dada ialah mendidik kekuatan syahwat atau kemauan dengan didikan yang bersendikan akal pikiran serta syariat agama. 19 Keadilan ialah suatu kekuatan dalam jiwa yang dapat membimbing kemarahan dan syahwat itu dan membawanya kearah yang sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan. Ada kalanya dibiarkan dan adakalanya dikekang dan semua ini dengan mengingat keadaan dan suasana yang sedang dihadapinya (Ihya Ulumuddin Imam al-Ghazali,1983:506-507). 20 Dalam mempelajari aturan-aturan ini para pakar perkembangan anak menguji tiga bidang yang berbeda, pertama bagaimana anak-anak berpikir atau bernalar tentang aturan-aturan untuk perilaku etis, kedua, bagaimana anak-anak sesungguhnya berperilaku dalam keadaan moral dan ketiga bagaimana anak-anak merasakan moral itu.

Page 58: pengertian moral

58

1) Heteronomous morality yaitu tahap perkembangan moral yang

terjadi pada anak-anak berusia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-

aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh

berubah.

2) Autonomous morality yaitu tahap perkembangan moral yang

terjadi pada anak-anak yang lebih tua (kira–kira usia 10 dan

lebih), pada fase ini anak-anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan

dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan di dalam menilai

suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-

maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Dan anak-anak usia 7-

10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap yang

menunjukkan beberapa ciri dari keduanya.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa pemikir heteronomous dalam

menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan

akibat-akibat dari perilaku itu, bukan maksud-maksud dari pelaku.

Sebagaimana dicontohkan bahwa memecahkan dua belas gelas

secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan satu gelas

secara sengaja ketika mencoba mencuri sepotong kue. Bagi pemikir

otonomous, yang benar adalah sebaliknya, maksud pelaku dianggap

sebagai yang terpenting. Pemikir heteronomous juga yakin bahwa

aturan tidak boleh diubah dan digugurkan oleh smua otoritas yang

berkuasa. Mereka menolak ketika diajukan aturan-aturan baru harus

diperkenalkan. Mereka bersikeras bahwa aturan-aturan harus selalu

sama dan tidak boleh diubah. Untuk melihat perbedaan pemikir

heteronomous dan pemikir otonomous, lebih jelasnya bisa dilihat

dalam tabel sebagai berikut :

Page 59: pengertian moral

59

Tabel 2.2. Ciri-ciri Pemikir Heteronomous dan Otonomous

No Pemikir Heteronomous Pemikir Otonomous

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

- Dilakukan anak berusia 4-10 tahun

- Mempertimbanggkan aki-bat-akibat dari perilaku .

- Aturan bersifat kaku, tidak boleh diubah

- Menolak aturan-aturan yang baru diperkenalkan

- Tunduk pada aturan-aturan sosial yang telah dibuat

- Yakin akan adanya keadilan yang immanen (immanent justice)21

- Merasa khawatir setelah melakukan pelanggaran.

- Dilakukan anak diatas usia 10 tahun

- Mempertimbangkan maksud-maksud dari pelaku

- Aturan bersifat fleksibel, bisa dibuat kesepakatan

- Menerima perubahan, tidak bersifat kaku

- Tunduk pada perubahan aturan denga kesepakatan

- Hukuman tidak serta merta diberlakukan begitu saja

- Hukuman hanya terjadi pada

seseorang yang relevan menyaksikan kesala-han dan bahwa hukuman juga tidak terelakan

Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang anak-anak juga

menjadi lebih canggih, dalam berpikir tentang persoalan-persoalan

sosial khususnya tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-

kondisi kerja sama. Pieget yakin bahwa pemahaman sosial ini terjadi

melalui relasi-relasi teman sebaya (Dalam kelompok teman sebaya,

dimana semua anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama,

rencana-rencana dirundingkan dan dikoordinasikan, dan ketidak

setujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati) yang saling

memberi dan menerima (Ibid.: 288)

Sekolah dan relasi dengan para guru merupakan aspek-aspek

kehidupan anak yang semakin tersetruktur. Pemahaman diri anak

berkembang, dan perubahan-perubahan dalam gender dan

21 Immanent justice adalah konsep bahwa apabila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.

Page 60: pengertian moral

60

perkembangan moral menandai perkembangan selama tahun-tahun

sekolah dasar setingkat anak usia 7-12 tahun (John W. Santrock, 2002:

342).

Islam mulai menerapkan pemberlakuan syariah bagi anak-anak

usia baligh (7-12), pada usia tersebut anak-anak telah diwajiban untuk

melakukan syariah seperti shalat, merupakan ibadah pertama yang

dimintai pertanggungan jawab di hadapan Tuhannya. Dengan

demikian anak pada usia tersebut telah dianggap mampu bertanggung

jawab akan kewajibannya. Sebagaimana penelitian akan

perkembangan moral yang dilakukan oleh Kohlberg, yang menyatakan

bahwa perkembangan moral manusia ada dalam tahapan-tahapan yang

sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan intelektualnya.

Menurut penulis pada dasarnya manusia termasuk peserta didik

telah memiliki potensi moral (baik dan buruk) yang telah tertanam

didalam batinnya (diri), baik buruk akan tumbuh dan berkembang

sangat dipengaruhi oleh stimulus-stimulus dan tauladan-tauladan

yang melingkupinya. Permasalahannya bagaimana mengkondisikan

dan mengarahkan peserta didik pada kecenderungan akal aktif (potensi

batiniah baik), atau peserta didik dengan moralitas baik.

2. Faktor-faktor Pembentuk Moralitas Peserta Didik

Pendidikan formal yang dilaksanakan dalam dunia

persekolahan, hampir memakan waktu kurang lebih 16 tahun (sekolah

dasar enam tahun, sekolah menengah pertama tiga tahun, sekolah

menengah atas tiga tahun dan perguruan tinggi kurang lebih empat

tahun) waktu yang cukup untuk membentuk moralitas peserta didik

Adat kebiasaan yang terbentuk merupakan suatu perbuatan

yang dilakukan dengan berulang-ulang, perbuatan tersebut akan

menjadi kebiasaan, karena dua faktor, pertama adanya kesukaan hati

kepada suatu pekerjaan, dan kedua menerima kesukaan itu dengan

melahirkan suatu perbuatan (Ahmad Amin,1975: 21).

Page 61: pengertian moral

61

Dan sifat urat syaraf itu menerima suatu perubahan, jisim atau

benda termasuk manusia disebut menerima perubahan, bila dapat

dirubah menurut bentuk-bentuk baru, dan bila dapat dirubah, maka

akan tetap dalam perubahan itu, kertas yang dilipat terasa pertama kali

sedikit menerima penolakan, maka apabila terus diupayakan dan

dipaksakan maka lambat laun akan dapat berubah dalam bentukan itu

(Ibid: 22).

Dalam bentukan yang dikehendaki sebagaimana peserta didik

yang dikehendaki dalam pembentukan moralitas yang dijunjung tinggi

maka akan memiliki moralitas yang baik dan kebiasaaan moralitas

yang baik yang telah terbentuk akan mepunyai dua sifat, pertama

memberikan kemudahan pada perbuatan itu karena telah menjadi

kebiasaan dan kedua menghemat waktu dan perhatian, karena manusia

itu hampir menjadi segolongan adat kebiasaan yang berjalan di

permukaan bumi dan nilainya akan bergantung kepada kebiasaannya

(ibdi: 32)

Butler mengemukakan bahwa sejumlah peserta didik untuk

setiap angkatan termasuk pada usia 6-12 tahun haruslah dididik untuk

mengetahui dan mengagumi kitab suci. Sedang Dernihkevich

menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi

(Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 109). Dan tugas utama pendidikan

adalah mempersiapkan peserta didik kearah kematangan akal dengan

memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru/pendidik

adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada

peserta didik. (Ibid : 115).

Peserta didik mempunyai bermacam-macam kebutuhan,

pemenuhan kebutuhan ini merupakan syarat yang penting bagi

perkembangan pribadi yang sehat dan utuh. Kebutuhan tersebut antara

lain Kebutuhan rasa kasih sayang, kebutuhan rasa aman, rasa harga

diri, kebebasan, sukses dan ingin tahu. (Khoiron Rosyadi, 2004: 195).

Kebutuhan dasar peserta didik tersebut merupakan haknya yang musti

Page 62: pengertian moral

62

diberikan oleh keluarga, pendidik pada saat pembelajaran dan

pembentukan masa perkembangannya, sehingga masa-masa yang

sangat menentukan tersebut benar-benar memperoleh porsi yang akan

mengantarkan dan sekaligus sebagai basic landasan dasar pada masa-

masa pengisian hidup berikutnya.

Perkembangan anak pada khususnya sangat tergantung pada

lingkungan dimana mereka hidup, dan peserta didik yang hidup

bersama keluarga, bersama-sama dengan teman sebayanya dan

lingkungan sekolah hampir kurang lebih 6 (enam) jam sehari, tentu

sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap penanaman moral

mereka terutama cara-cara temannya berpikir, temannya bertindak

dalam menyikapi atau merespon suatu sikap atau tindakan, temannya

berkata, kondisi temannya, cara temannya berpakaian, temannya

bersikap, karena pada dasarnya manusia hidup itu banyak meniru

(Akhmad Abdullah, 1975)

Seorang pendidik atau guru mempunyai peranan yang sangat

strategis dan besar dalam memberikan, menkondisikan, membuat

situasi pembelajaran menjadi berarti, John Dewey sebagaimana

dikutip Wasty Soemanto, ingin mengubah hambatan dalam demokrasi

pendidikan dengan jalan :

1. Memberi kesempatan pada murid/peserta didik untuk belajar

perorangan

2. memberi kesempatan murid untuk belajar melalui pengalaman

3. Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan

memberikan tujuan yang dapat menjelaskan ke arah kegiatan

belajar yang merupakan kebutuhan pokok peserta didik

4. Mengikut sertakan murid di dalam setiap aspek kegiatan

belajar yang merupakan kebutuhan poko peserta didik

5. menyadarkan murid bahwa hidup itu dinamis. Oleh karena itu,

murid harus dihadapkan dengan dunia yang selalu berubah

Page 63: pengertian moral

63

dengan kemerdekaan beraktifitas, dengan orientasi kehidupan

masa kini (Jalaluddin & Abdullah Idi, 2007: 93)

Dan apa yang berguna bagi manusia sebesar-besarnya apabila

manusia itu mendapat ahli pendidik yang baik dan bahaya akan

menimpanya, apabila manusia mendapat pendidik yang buruk,

sebagaimana difirmankan dalam al-Quran, bahwa manusia lahir dalam

keadaan fitrah, keluarga dan lingkunganlah yang akan membentuknya

menjadi manusia yang ingkar dan tidak berguna.

Koordinasi antar guru agar semua bekerja sama membina

moralitas siswa dalam setiap mata pelajaran masing-masing. Misalnya,

guru mata pelajaran sejarah menyisipkan pesan moral dengan memberi

tugas, "Carilah apa hikmah yang dapat diambil dalam kehidupan kita

sehari-hari tentang peristiwa Sumpah Pemuda 1928". Guru mata

pelajaran bahasa Inggris: "Buatlah kata-kata mutiara yang dapat

dipraktikkan dan merupakan nasehat kebaikan yang ditulis dalam

bentuk bahasa Inggris", dan tentunya semua mata pelajaran, bisa

diformat dalam bentuk–bentuk petuah dan nasehat akan kebaikan.

Dengan tetap mengutamakan mutu dari disiplin ilmu yang

disampaikan, hendaknya pesan-pesan moral diberikan dalam semua

mata pelajaran, tidak terlalu sering agar tidak jenuh, dan tidak terlalu

jarang agar tidak diabaikan. Maka dalam setiap even pendidikan,

lingkungan sekolah khususnya perangkat guru pentingnya

membiasakan dengan membentuk kebiasaan yang baik sebagaimana

diungkapkan bahwa dengan menabur gagasan, maka akan memetik

perbuatan, dengan menabur perbuatan akan memetik kebiasaan,

dengan memetik kebiasaan akan terbentuklah karakter atau sifat baik,

dan sentralnya adalah nasib (Ary Ginanjar, 2005: xliii)

Robert J. Havinghurst mengemukakan, bahwa peserta didik pada

masa usia 6-12 tahun harus melaksanakan tugas perkembangan,

sebagai berikut:

Page 64: pengertian moral

64

1. Mempelajari kecakapan-kecakapan jasmaniah yang dibutuhkan

untuk permainan sehari-hari;

2. Membentuk sikap yang baik terhadap diri sendiri sebagai suatu

makhluk yang tumbuh;

3. Belajar bergaul dengan teman sebaya;

4. Mempelajari peranan sosial laki-laki atau perempuan;

5. Memperkembangkan kecakapan dasar dalam menulis; membaca

dan berhitung;

6. Memperkembangkan pengertian yang perlu unuk kehidupan

sehari-hari;

7. Memperkembangkan kata hati, kesusilaan dan ukuran-ukuran

nilai;

8. Memperkembangkan sikap terhadap lembaga dan kelompok

sosial (Khoiron Rosyadi, 2004: 194).

Untuk menguatkan dan meninggikan pendidikan moral,

terutama akhlaknya, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

yaitu :

1. Meluaskan lingkungan pikiran, artinya terus berusaha untuk

belajar dengan semangat;

2. Berkawan dengan orang-orang terpilih, bukan berarti menolak

berkawan dengan orang awam namun lebih membekali diri

dengan lingkungan yang berpikir baik dan bijak. Karena pada

dasarnya manusia hidup suka mencontoh;

3. Membaca dan menyelidiki perjuangan para pahlawan dan yang

berpikiran luar biasa;

4. Supaya manusia memaksakan dirinya melakukan perbuatan

baik bagi umum, berbuat baik adalah kewajiban manusia,

karena kualitas antara lain terletak pada perbuatan baiknya;

5. Apa yang telah disampaikan di dalam kebiasaan tentang

menekan jiwa melakukan perbuatan yang tidak ada maksud

kecuali menundukkan jiwa. Dan menderma dengan perbuatan-

Page 65: pengertian moral

65

perbuatan setiap haridengan maksud membiasakan jiwa agar

taat, memelihara kekuatan penolaksehingga diterima ajakan

baik dan ditolak ajakan buruk (Ahmad Amin,1975: 63-66).

Bahwa pendidikan moral peserta didik pentingnya didasari

dengan kekuatan nilai yang dimulai dengan ketenangan hati nurani

yang suci maka keberhasilan pendidikan moral yang dibiasakan dan

dipaksakan pada awalnya akan menampakkan hasilnya.

Hasilnya adalah peserta didik yang bermoral yang mampu

mengaktualisasikan dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak

saja baik namun lehih kepada perbuatan-perbutan mulia, yang

dilakukan tidak karena ingin keuntungan, ingin di puji, ingin

dihormati namun perbuatan yang dilandasi dengan syariah namun

juga seringkali menggunakan akal pikirnya. Akal, syariah dan

dorongan hati yang suci akan terbentuk manusia digital, manusia baru

yang sesuai dengan tatanan transenden (manusia yang memiliki rukh).

Pendidikan Inklusif sebagai wadah dan model pelayanan yang

mampu membentuk serta mengembangkan moral peserta didik, karena

peserta didik dilatih sekaligus dihadapkan pada kehidupan yang nyata

(Learn to live together), mereka hidup tidak ada batasan antara yang

pandai dan yang kurang pandai, yang beruntung secara fisik maupun

yang kurang beruntung (anak berkebutuhan khusus), mereka yang

berasal dari keturunan kaya atau miskin, rumpun atau etnis, manusia

yang termarginalkan, dan lain sebagainya. Pendidikan inklusif adalah

pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan masa depan

(education for future), dan pendidikan islami (Islamic education).

Page 66: pengertian moral

66

BAB III

MORALITAS PESERTA DIDIK PENDIDIKAN INKLUSIF

A. Pengertian dan konsep Pendidikan Inklusif.

Setiap gagasan yang muncul, selalu dilatarbelakangi adanya

sejarah kehidupan atau fenomena di dalam masyarakat, sebgaimana

halnya pendidikan inklusif yang memberikan pelayanan pada

semua, diawali dengan adanya manusia yang hanya dipandang

dengan sebelah mata, mereka hanya dipandang hanya dari segi fisik

yang nyata atau kasat mata, padahal pada dasarnya manusia itu

memiliki akal pikir, kemampuan, dan kondisi batin yang sulit untuk

didiskripsikan.

Manusia yang diabaikan, tidak diperhatikan, tidak dihargai

yang akhirnya memberi kekuatan untuk mengungkapkan tekanan

dan keadaan dirinya atau kelompoknya kepermukaan yang

selanjutnya baru mendapatkan perhatian umum, diawali tidak

dianggapnya orang-orang disability, yang sebetulnya mereka hanya

secara fisik tampak tidak mampu, namun secara non fisik atau

batiniah memiliki kekuatan yang luar biasa.

Disinilah seringkali manusia banyak kelirunya ketika

memandang sesuatu hanya dari segi lahiriah saja. Anggapan keliru

tersebut memunculkan penanganan dan pelayanan yang keliru pula.

Sebagaimana pemberian pelayanan yang seharusnya diberikan

kepada kelompok disabel, memunculkan berbagai model pelayanan

pendidikan.

Model yang telah diperkenalkan sejak abad XX yaitu model

mainstreaming, menurut Berry, mainstreaming menekankan tiga

unsur yang mempunyai ciri-ciri: suatu rangkaian jenis-jenis layanan

pendidikan bagi siswa-siswa yang memiliki hambatan, pengurangan

jumlah anak-anak yang ’ditarik keluar’ dari kelas-kelas reguler, dan

Page 67: pengertian moral

67

penambahan ketetapan-ketetapan bagi layanan pendidikan di dalam

kelas-kelas reguler ketimbang diluar kelas-kelas tersebut (J.David

Smith,2006: 42).

Berry mengatakan bahwa embrio bagi kelahiran istilah

mainstreaming yang telah dikembangkan dimana-mana dengan

istilah least restrictive environment, pada artikel Dunn tahun 1968

berjudul ”Special Education for for the Mildly Retardet: is Much of

it Justifiable?” dalam artikel tersebut Dunn meminta para pendidik

khusus agar mempertimbangkan dengan seksama dengan adanya

hal-hal yang menunjukkan adanya kemajuan akademik yang lebih

besar pada anak-anak yang memiliki hambatan, yang ditempatkan

dikelas-kelas reguler daripada di kelas-kelas khusus.

Menurut Dunn (1968) tekanan untuk meneruskan dan

memperluas program (kelas-kelas khusus) menjadi hal yang tidak

diinginkan bagi kebanyakan anak-anak yang dipandang akan

memerlukannya (Ibid: 42). Dia juga menekankan labeling kepada

anak-anak untuk ditempatkan di kelas khusus membuat stigma yang

sangat destruktif bagi konsep diri mereka. Juga pemindahan anak

dari kelas reguler ke kelas khusus mungkin memberikan pengaruh

yang signifikan pada perasaan rendah diri dan problem penerimaan

diri ( Ibid). Keadaan ini berlaku pula pada situasi sekarang, bahkan

di Jawa Tengah dimana penempatan peserta didik pada sekolah luar

biasa (sekolah khusus) akan bisa menimbulkan traumatik bagi

peserta didik itu dan juga orang tua.

Dikatakan lebih lanjut oleh Lilly (1970), setelah publikasi

artikel ini muncul berbagai seruan untuk mengaktifkan pemikiran

Dunn pada kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik pendidikan

suatu ”zero reject model” yang menganjurkan bahwa tidak seorang

anak pun dengan keterbelakangan mental ’ditolak’ dari kelas

reguler dan ditempatkan di kelas khusus (Ibid: 43)

Page 68: pengertian moral

68

Berkenaan dengan promosi tersebut diatas, kebijakan yang

diambil oleh Council for Exception Children Policies Comission,

(1973) selanjutnya menetapkan bahwa semua siswa yang ”memiliki

hambatan” sebaiknya menghabiskan waktu secukupnya saja di luar

kelas reguler, hanya sebanyak yang diperlukan untuk mengontrol

variabel-variabel pengajaran mereka (Ibid: 43). Oleh Will (1986),

sekretaris dari badan tersebut membuat istilah dalam REI (Reguler

Education Initiative) menegaskan dengan menyatukan pendidikan

khusus dan reguler, satu ’tanggung jawab bersama’ akan tercipta

sehingga akan melayani anak-anak tanpa stigma label-label

diagnostik atau kelas-kelas yang terpisah (Ibid: 43)

Dijelaskan oleh Heller dan Schilit (1987), yang harus

diperhatikan bahwa sangat penting untuk diketahui kalau

pendidikan khusus tidak bisa mencari solusi-solusi institusional

bagi masalah-masalah individu tanpa mengubah situasi dan kondisi

dalam institusi tersebut. Menurut Mc Laughlian dan Warren (

1992), lembaga bisa diubah secara mendasar hanya sekolahlah yang

harus diubah secara mendasar”. Intinya pendidikan khusus bisa

diubah secara mendasar, hanya jika institusi sekolah umum diubah,

hal ini ditemukan berulang-ulang dalam literatur-literatur mengenai

perubahan pendidikan khusus yang telah ditulis dalam tahun

terakhir (Ibid : 44}.

Istilah inklusi yang dianggap istilah baru untuk

mendiskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan

(penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah

(dan juga diartikan sebagai menyatukan anak-anak berkelainan

(penyandang hambatan/cacat) dengan cara-cara yang realistis dan

komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh( Ibid

:45).

Perhatian yang besar terhadap semua peserta didik tanpa

melihat perbedaan, utamanya kondisi fisik atau melihat hambatan

Page 69: pengertian moral

69

faktual adalah suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswa atau

peserta didik yang memiliki hambatan dalam setiap tingkat

pendidikan mereka yang memungkinkan (Ibid: 46), hal ini sejalan

dengan ajaran Islam dalam Al-Quran, bahwa manusia pada

dasarnya sama, kecuali ketaqwaannya, sebagaimana tersurat dalam

surat al-Hujarat (49): 13 yang artinya ”Sesungguhnya Kami

menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan

dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya

kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa

diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha

Mengenal.”

Dalam buku J. Smith menggunakan istilah optimal inclusion

sebagai filosofi yang dipilihnya dengan pengertian untuk

mendorong pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat

inklusi yang memuaskan tiap individu siswa/peserta didik. Tujuan

utamanya, secara faktual adalah membantu pembaca menjadi

pendidik profesional yang dapat melihat sebagai yang utama dan

pertama kali dalam setiap keadaan, sedangkan cara atau hambatan

yang dimilikinya itu hanyalah satu karakter dari individualitasnya

(Ibid). Pemikiran tersebut dilatar belakangi bila hambatan

dipandang sebagai sesuatu yang sekunder bagi semua individu

siswa, pikiran itu mungkin berubah sekaligus merefleksikan

keterbukaan dan penerimaan yang lebih besar bagi seseorang serta

optimisme yang lebih besar dalam memperlakukan para penyandang

hambatan dengan lebih santun. (Ibid: 46)

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan

pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan

khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusif, selama

memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar

Page 70: pengertian moral

70

bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang

mungkin ada pada mereka.” (pernyataan Salamanca,1994)

Inklusi itu masa depan, milik ras manusia, hak asasi manusia,

pengupayaan agar bisa hidup berdampingan satu sama lain,

bukanlah sesuatu hal yang harus dilakukan kepada seseorang atau

untuk seseorang, dilakukan bersama bagi satu sama lain, bukanlah

sesuatu yang kita lakukan sedikit saja ( Marsha Forest, 2005: 19).

Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam.

Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah

inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang

sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,

menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap

siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh

para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi

juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian

dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman

sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan

individualnya dapat terpenuhi.

Menurut Heller, Holtzman&Messick (1982), mengatakan

bahwa layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus

secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil

identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan

bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan

anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang

sangat heterogen.

Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis

lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang

dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah

penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah

penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian

menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik

Page 71: pengertian moral

71

terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan

dan teman sebayanya ( www.google.Pendidikan Inclusive).

Dalam J. Smith menggunakan istilah optimal inclusion sebagai

filosofi yang dipilihnya dengan pengertian untuk mendorong

pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat inklusi yang

memuaskan tiap individu siswa/peserta didik. Tujuan utamanya,

secara faktual adalah membantu pembaca menjadi pendidik

profesional yang dapat melihat sebagai yang utama dan pertama

kali dalam setiap keadaan, sedangkan cara atau hambatan yang

dimilikinya itu hanyalah satu karakter dari individualitasnya (Ibid).

Pemikiran tersebut dilatar belakangi bila hambatan dipandang

sebagai sesuatu yang sekunder bagi semua individu siswa, pikiran

itu mungkin berubah sekaligus merefleksikan keterbukaan dan

penerimaan yang lebih besar bagi seseorang serta optimisme yang

lebih besar dalam memperlakukan para penyandang hambatan

dengan lebih santun. (Ibid: 46)

Pelayanan pendidikan yang selama ini diberlakukan seakan

membentuk kotak-kotak pelayanan pendidikan, yang secara

psikhologis sangat merugikan peserta didik dalam bersosialisasi,

yang mustinya dalam peletakan dasar dalam pembelajaran ini harus

diberikan dengan suguhan-suguhan menyeluruh tentang kehidupan

nyata, bahwa disekeliling kehidupannya ada kehidupan yang

berbeda dari dirinya, namun kenyataan yang sering ditemukan

dalam dunia pendidikan hanyalah keterbatasan-keterbatan yang

tidak mampu memberikan sumbangan yang bermakna bagi

perkembangan peserta didik khususnya perkembangan moralnya

dalam menuju kedewasaannya, karena dalam masa pembelajaran,

peserta didik/remaja sekolah adalah masa untuk belajar menjadi

orang dewasa, bukan untuk menjadi remaja yang sukses (Elias,

Maurice J.et all, 2003: 33)

Page 72: pengertian moral

72

Pengkotak-kotakan pemberian pelayanan pendidikan, yang

selama ini dipraktekkan dalam dunia pendidikan, utamanya praktek

pembatasan-pembatasan bagi peserta didik yang berkelainan (tuna

netra, tunadaksa, dll) menarik perhatian internasional dan nasional

sehingga menumbuhkan ide bagi lembaga-lembaga yang komitmen

terhadap dunia pendidikan dan hak asasi manusia.

Lembaga dunia maupun nasional yang komitment terhadap

pendidikan, khususnya pelayanan itu harus diberikan dalam bentuk

inklusif. lembaga-lembga tersebut menaruh perhatian lebih dan

konsisten memberikan landasan-landasan untuk penanganan,

perkembangan serta penggarapan bagi pendidikan inklusif sebagai

suatu pelayanan pendidikan masa depan (education for future),

lembaga Internasional dan Nasional tersebut antara lain adalah :

• Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (PUS) pada tahun 1990,

• Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Berkebutuhan Khusus tahun 1994,

• Kerangka Dakar, Pendidikan Untuk Semua (PUS) tahun 2000, • Deklarasi Bangkok tentang Pendidikan tahun 2004, para

Menteri dan para Pejabat Tinggi Kementerian dari 10 negara Asia Tenggara, bertemu dalam forum kementerian tanggal 26 Mei di Bangkok, Thailand. Untuk mendiskusikan isu ”peningkatan akses terhadap, dan kualitas dari, pendidikan melalui lingkungan belajar yang ramah anak”. Indonesia diwakili oleh Bapak Indra Jati Sidi, Ph.D yang menjabat Dirjen Dikdasmen.

• Rekomendasi Simposium Internasional tentang Inklusi dan Penghapusan Hambantan untuk Belajar, Patisipasi dan Perkembangan tahun 2005, - Inklusi - Sekolah ramah Anak

• Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat tahun 1993,

• Undang-Undang tentang Penyandang Cacat tahun 1997, • Deklarasi Bandung dengan Tema Indonesia menuju Inklusi

tahun 2004, • Konggres Internasional ke-8 tentang mengikutsertakan anak

penyandang kecacatan ke dalam masyarakat, menuju

Page 73: pengertian moral

73

kewarganegaraan yang penuh pada tahuan 2004 (Kompendium, 2006).

Lembaga-lembaga nasional maupun internasional tersebut

memberikan kekuatan dan dukungan yang besar demi

terselenggaranya pendidikan inklusif bagi semua penyelenggara

inklusi untuk lebih inten dan konsisten dalam meningkatkan

pelayanan pendidikan untuk semua tanpa melihat,

mempermasalahkan perbedaan yang ada dalam diri peserta didik,

utamanya bagi peserta didik berkelainan (secara fisik) dan peserta

didik berkebutuhan khusus (kognitif). Realitasnya secara inheren,

pelayanan bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang memiliki

kelambanan belajar (slow learner) dan peserta didik yang memiliki

kecerdasan diatas rata-rata (cerdas istimewa), telah dilaksanakan

oleh sekolah-sekolah reguler pada umumnya.

Sebagaimana tertulis dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal

31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem

Pendidikan Nasional bab III ayat 5 menyatakan ”bahwa setiap

warganegara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh

pendidikan”. Hal ini menunjukkan bahwa semua anak (peserta

didik) termasuk normal dan anak berkebutuhan khusus berhak

untuk memperoleh kesempatan dan perlakuan yang sama dalam

pendidikan,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam

penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada

penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa

”pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik

yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar

biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan

pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”.

Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan

Page 74: pengertian moral

74

pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan

pendidikan inklusif.

Sebagai bentuk kepedulian pada program Inklusif, Pemerintah

melalui Deklarasi Bandung dengan Tema Indonesia menuju

Pendidikan Inklusif tahun 2004, pada salah satu pernyataan yang

disepakati menyebutkan yaitu untuk ”Menyusun Rencana Aksi

(Action Plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas

fisik dan non fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan,

rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak

berkebutuhan khusus lainnya”.

Tindak lanjut dari pernyataan tersebut, tersurat dalam buku

panduan (tookit) edisi Indonesia terdiri dari buku 1 sampai 6 yang

menyebutkan bahwa pendidikan inklusif sebagai upaya untuk

menyikapi keberagaman atau keberbedaan, dengan metode-metode,

antara lain dalam :

Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP);

Bekerja Sama dengan Keluarga dan Masyarakat untuk Menciptakan LIRP;

Mengajak Semua Anak Bersekolah dan Belajar; Menciptakan Kelas Inklusif, Ramah terhadap Peserta Didik; Mengelola Kelas Inklusif dengan Pembelajaran yang Ramah Menciptakan LIRP yang sehat dan Aman.

Suatu lingkungan yang inklusif, dan ramah terhadap

pembelajaran (LIRP) adalah lingkungan yang menerima, merawat

dan mendidik semua anak tanpa memandang jenis kelamin, fisik,

intelektual, sosial, emosional, linguistik atau karakteristik lainnya.

Mereka bisa saja anak-anak yang cacat atau berbakat, anak jalanan

atau pekerja, anak dari orang-orang desa atau nomadik, anak dari

minoritas budayanya atau etnisnya, linguistiknya, anak-anak yang

terjangkit HIV/AIDS, atau anak-anak dari area atau kelompok yang

lemah dan termarginalisasi lainnya (Kompendium,2006: 37).

Pendidikan inklusif itu wajib mengingat bahwa anak itu

Page 75: pengertian moral

75

berbeda, (dalam kemampuan, kelompok etnis, usia, latar belakang,

gender, emosi, sosial dan lain sebagainya), semua anak bisa

belajar, sehingga sistimlah yang harus dirubah untuk menyesuaikan

dengan kondisi anak.

Masalah akan selalu timbul ketika suatu pendidikan

menampung semua bentuk kondisi dimana lingkungan tersebut

menerima, merawat dan mendidik semua anak tanpa memandang

perbedaan jenis kelamin (gender), fisik, intelektual, sosial,

emosional, linguistik atau karakteristik lainnya. Mereka bisa saja

anak-anak yang cacat atau berbakat, anak jalanan atau pekerja, anak

dari orang-orang desa atau nomadik, anak dari minoritas budayanya

atau etnisnya, linguistiknya, anak-anak yang terjangkit HIV/AIDS,

atau anak-anak dari area atau kelompok yang lemah dan termarginal

lainnya

Pada kenyataannya intelegensi peserta didik ada pada

tingkatan-tingkatan sebagaimana tampak pada kurve sebagai

berikut

:

KURVA INTELEGENSI ANAK

Sub normalIQ < 90

Normal

IQ 90-120Super normal

IQ > 120

ATAU

Super normal

IQ > 120

Sub normal

IQ < 90

Normal

IQ 90-120

Page 76: pengertian moral

76

Sehingga pelayanan pendidikan yang diberikan dan

diberlakukan harus bisa dan mampu mengakomodir semua

tingkatan intelegensi yang inheren pada setiap peserta didik yang

ada dalam kehidupan. Pendidikan Inklusif sebagai wadah yang

mampu memberikan dan mengakomodir semua itu.

Melalui pendidikan inklusif, peserta didik berkelainan dan

berkebutuhan khusus dididik atau diajar bersama-sama dengan

peserta didik lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang

dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam

masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus

yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena

itu, peserta didik berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan

peluang yang sama dengan peserta didik normal untuk mendapatkan

pelayanan pendidikan di sekolah-sekolah reguler terdekat.

Pendidikan inklusif diharapkan mampu memecahkan persoalan

dalam pelayanan dan penanganan pendidikan bagi peserta didik

berkebutuhan khusus selama ini, manusia sisa-sisa, termarginalkan

segera akan disingkirkan atau tidak diperdengarkan lagi karena

komitmen semua pihak melaksanakan pendidikan untuk semua dan

pelayanan pendidikan yang kecenderungannya diberikan bagi

seluruh warga negara, tidak terkecuali bagi mereka yang memiliki

kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial dan

warga negara yang berusia 7 s/d 15 tahun wajib untuk mengikuti

pendidikan dasar.

B. Landasan Kekuatan Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif memiliki kekuatan yang luar biasa karena

memiliki landasan yang berakar dari budaya bangsa Indonesia,

yaitu landasan filosofis utama, penerapan pendidikan inklusif di

Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus

cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang

Page 77: pengertian moral

77

disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003).

Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan

interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih

asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti

halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-

hari.

Landasan yuridis internasional, seperti tersebut diatas lembaga

dunia dan Undang-undang penguat yang menyuarakan supaya

gaung pendidikan inklusif dapat diakses keseluruh antero dunia,

sebagai ungkapan kembali bahwa Deklarasi PBB tentang HAM

tahun 1948, Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama

memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama

tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada

pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai

tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja

mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas.

Landasan pedagogis, Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003,

menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Jadi, melalui

pendidikanlah, semua peserta didik tanpa kecuali termasuk peserta

didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis

dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai

perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat, karena seperti

pelangi akan tampak keindahannya ketika warna itu beraneka.

Landasan empiris, perjalanan sejarah pembentukan pelayanan

pendidikan inklusif dan penelitian tentang inklusi yang telah

banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1952-an, diawali

Page 78: pengertian moral

78

dengan pengungkapan ceritera pengalaman hidup seorang laki-laki

negro dengan tulisannya dalam judul Novelnya ”Invisble Man”,

namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National

Academy of Sciences (Amerika Serikat) pada tahun 1980, hasilnya

menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan

atau anak berkebutuhan khusus di sekolah, kelas atau tempat khusus

tidak efektif dan diskriminatif.

Landasan spiritual yang berlandaskan firman Tuhan,

sebagaimana tertulis dalam Al-Quran, QS Az-Zuhruf, 43: 32, yang

intinya bahwa dalam kehidupan di dunia, Tuhan mewajibkan

kepada hambaNya untuk menaburkan rakhmat kepada semua, tanpa

melihat perbedaan kondisi fisik maupun psikhis seseorang,

sebagaimana kondisi peserta didik yang cacat. Taburan rakhmat

kepada semua juga diperkuat QS An-Nisa, 4: 9, yang

mengisyaratkan kepada manusia bahwa ketakutan dan kekhawatiran

manusia akan kehidupan anak-anak atau peserta didik yang dalam

kondisi lemah merupakan pekerjaan yang sia-sia karena

kesejahteraan anak-anak tersebut akan dijamin oleh Tuhan dengan

kekuasaanNya. Dan Tuhan mempertegas pula dalam firmannya

sebagaimana tersurat dalam QS Al An-Aam, 6: 160, yang

menjelaskan bahwa barang siapa membawa amal yang baik maka

baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa

membawa perbutan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan

malainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka

sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

C. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Pengertian Anak kebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang

secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau

penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional)

dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan

Page 79: pengertian moral

79

dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan

pelayanan pendidikan khusus.

Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan

atau penyimpangan tertentu, tetapi kelainan atau penyimpangan

tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan

pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak

dengan kebutuhan khusus.

Ada 9 (sembilan) jenis anak kebutuhan khusus, untuk keperluan

pendidikan inklusi, karena berdasarkan berbagai studi, hanya ada

sembilan jenis kelainan yang paling sering dijumpai di sekolah-

sekolah reguler. Jika masih dijumpai di sekolah, diluar 9 jenis

kebuthan khusus tersebut, maka guru dapat bekerjasama dengan

pihak yang relevan untuk menanganinya, yaitu lembaga-lembaga

terapi penanganan anak-anak seperti anak autis, anak korban

narkoba, anak yang memiliki penyakit kronis, dan lain-lain.

Secara singkat kesembilan jenis kebutuhan khusus tersebut,

masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan, adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran, adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

3. Tunadaksa/mengalami kelainan angota tubuh/gerakan, adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

4. Berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Page 80: pengertian moral

80

5. Tunagrahita atau retardasi mental adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus.

6. Lamban belajar (slow learner), adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik, adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena factor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan (berarti)

8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi, adalah anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan.

9. Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam

penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya (Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusi, 2004).

Page 81: pengertian moral

81

Peserta didik yang memiliki kelainan seperti tersebut diatas

direkomendasikan seyogyanya belajar bersama-sama dengan

peserta didik normal dalam kelas reguler, dengan demikian

mereka berada bersama-sama dalam kelas yang sama, memperoleh

kesempatan yang sama tanpa membedakan atau tanpa ada

diskriminasi. Pendidikan inklusif memberikan wadah bagi

kebersamaan mereka, untuk memperoleh kesempatan

mengembangkan potensi diri yang dimiliki masing-masing peserta

didik.

D. Sekilas Perkembangan SD Hj. Isriati Semarang.

Data yang diperoleh menyebutkan bahwa SD Hj. Isriati

Baiturrahman Semarang merupakan salah satu sekolah swasta yang

bernuansa Islam dari sekian banyak SD yang bernuansa Islami di

Semarang, ibu kota Jawa Tengah.

Secara de fakto SD Hj. Isriati berdiri dan menjalankan

operasionalnya pada tanggal 16 Juli 1985, namun secara de jure,

ijin operasional sementara, dari Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, nomor 1179/I03/I.87, baru

dikeluarkan pada 23 Juli 1987. Dan pada tanggal 6 Juni 1991

mendapatkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

Provinsi Jawa Tengah, nomor : 421.2/Swt/09237/1991.

Nama Hj. Isriati, diambil dari nama almarhumah Hajjah Isriati

istri H. Moenadi, mantan Gubernur Jawa Tengah periode tahun

1970-1975. Karena gagasan beliau untuk mendirikan lembaga

pendidikan Islam di lingkungan Masjid Raya Baiturrahman

Semarang. SD Hj. Isriati Baiturrahman terletak di kawasan

straategis Simpang Lima, pusat Kota Semarang, tepatnya di Jalan

Pandanaran 126 Semarang, Kelurahan Pekunden, Kecamatan

Semarang Tengah, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

Bangunan sekolah seluas 3.200 meter persegi ini, seakan berdiri

Page 82: pengertian moral

82

megah di atas tanah seluas 11.765 meter persegi, satu komplek

dengan TK Hj. Isriati Baiturrahman dan Masjid Raya Baiturrahman,

di sebelah barat Lapangan Pancasila Simpang Lima Semarang.

Sejak berdiri pada tahun 1985 sampai dengan sekarang SD Hj.

Isriati Baiturrahman telah mengalami tiga periode kepemimpinan.

Periode pertama, pada tahun 1985 – 1987, disebut sebagai periode

keperintisan. Pada periode ini SD Hj. Isriati Baiturrahman di bawah

kepemimpinan Siti Nizam Maria Ulfah, S.Pd.. Beliau bersama lima

orang guru dan pengurus Yayasan merintis berdirinya SD Hj. Isriati

Baiturrahman dengan siswa sebanyak 12 anak pada tahun pertama

dan 30 anak pada tahun ke dua.

Periode kedua, pada tahun 1987 – 2000, periode ini disebut

sebagai periode pencarian jati diri. Pada periode ini SD Hj. Isriati

di bawah kepemimpinan Hj. Dra. Sri Tantowiyah, M.Pd.. Beliau

bersama para guru mengembangkan pendidikan di SD Hj. Isriati

sekaligus mencari dan membentuk jati diri SD Hj. Isriati

Baiturrahman. Selama 13 tahun inilah SD Hj. Isriati memantapkan

diri sebagai sekolah Islam dan menunjukkan perkembangan yang

sangat pesat, baik dari sisi kuantitas siswanya maupun kualitasnya.

Periode ketiga, pada tahun 2000 – 2008. Periode ini disebut

sebagai periode pengembangan mutu. Pada periode ini SD Hj.

Isriati di bawah kepemimpinan Sunoto. Pada masa ini SD Hj. Isriati

memfokuskan pada peningkatan mutu dan kinerja sekolah melalui

peningkatan mutu sumber daya manusia, peningkatan mutu

kegiatan belajar mengajar, dan sarana prasarana. Alhamdulillah

lima tahun terakhir ini program tersebut telah terwujud.

Perjalanan terus berlangsung dalam sejarah peletakan dasar

pada tunas-tunas bangsa lewat pendidikan merupakan tugas mulia

yang harus mendapatkan dukungan dari semua pihak dengan karya

nyata sangat diharapkan demi terwujudnya masyarakat kota

Page 83: pengertian moral

83

Semarang yang utuh dan sehat untuk menyongsong era globalisasi

dunia yang tak kenal batas.

Untuk itu kolaborasi pendidikan sebagai proses belajar hidup

guna mengatasi keburukan dan mengembangkan kebaikan (Abdul

Munir Mulkhan, 2002:46) dengan sentuhan agama dan praktek

nyata sangatlah tepat dan dibutuhkan. Karena saleh, cerdas, dan

sukses hidup bagi manusia adalah persoalan yang bisa dipahami dan

dievaluasi, bukan takdir sebagai suatu hak prerogative Allah (Ibid).

Sesuai dengan peraturan Pemerintah yang menyebutkan fungsi

Pendidikan agama adalah membentuk manusia Indonesia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta

berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan

hubungan inter dan antarumat beragama (Peraturan Pemerintah RI

,2007,bab.II: 2). Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya

kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan

mengamalkan nilai-nilai agama yang meyerasikan penguasaannya

dalam ilmu pengetahuan dan seni (ibid).

Berbagai lomba telah diikutinya, lomba mata pelajaran, pidato

Bahasa Inggris, Sains, Sempoa, Vokal, Baca Puisi, Menggambar,

Pilihan Dai kecil (Pildacil), kegiatan tersebut diikutinya mulai dari

tingkat kecamatan, tingkat kota, wilayah Jawa Tengah dan tingkat

Provinsi Jawa Tengah. Semua kegiatan tersebut memperoleh

prestasi yang tidak mengecewakan, selalu mendapatkan juara.

E. Aplikasi Pendidikan Inklusif pada SD Hj. Isriati Semarang

Pada kenyataan dilapangan, ditemukan bahwa ada beraneka

kondisi peserta didik yang ditemukan, mereka ada yang tergolong

memiliki kecerdasan istimewa dan bakat istimewa (CIBI) dan

sebagian mereka ada yang memiliki kecerdasan yang rata-rata dan

sebagian ada yang berkebutuihan khusus.

Bagi kelompok peserta didik yang berkebutuihan khusus, SD

Isriyati menyelengarakan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif

Page 84: pengertian moral

84

adalah pendidikan yang memberikan pelayanan kepada anak-anak

biasa (regulars children) dan anak-anak berkebutuhan khusus22

(special need children). dan mereka dilayani secara inklusif. Di

kelas reguler, anak-anak reguler bersama Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) menggunakan kurikulum Berbasis Kompetensi yang

dimodifikasi. Kurikulum yang dimodifikasi adalah kurikulum yang

mengkombinasikan antara kurikulum yang diberlakukan dengan

memperhatikan kondisi peserta didik.

Kurikulum yang diberlakukan pada SD Hj. Isriati

Baiturrahman menggunakan Kurikulum Nasional (Kurikulum

Berbasis Kompetensi) dan Kurikulum Lokal, baik Kurikulum

Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama

secara terintegrasi. Perbandingan antara Kurikulum Departemen

Pendidikan Nasional dan Kurikulum Departemen Agama sekitar

80% : 20.

Didalam perjalanan melayani masyarakat, SD Hj. Isriati ingin

memberikan pelayanan terbaik kepada semua masyarakat tanpa

pandang bulu sesuai amanat yang tertuang dalam Undang–Undang

Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 “Bahwa Pendidikan adalah

Hak bagi semua warga Negara Indonesia, termasuk anak

berkebutuhan khusus”.

Berawal dari niat memberikan pelayanan untuk semua, dan

bersamaan dengan program Pemerintah yang mensosialisasikan dan

mencanangkan Program Inklusif pada tahun 2003, dan dengan

unsur ketidak sengajaan tersebut, SD Hj. Isriati menyelenggarakan

pendidikan Inklusif, barangkali ada hikmah dibalik jiwa yang besar

ada kebesaran Tuhan yang luar biasa, bahwa pada hakikatnya

manusia itu sama di hadapan TuhanNya, mereka anak berkebutuhan

22 Anak yang dalam proses pertumbuhan/perkembangan secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan pada (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, sehingga perlu memperoleh pelayanan Pendidikan Inklusif

Page 85: pengertian moral

85

khusus (ABK) memang tetap harus diberikan porsinya, harus

diberikan haknya, harus diberikan tempat yang layak, harus

dimanusiakan, harus dilayani, harus dikembangkan potensinya,

karena hidup adalah menanam benih kebaikan yang buahnya akan

dipetik oleh generasi-generasi sesudahnya.

Pembelajaran di Kelas Inklusif

Secara umum pembelajaran dikelas inklusif sama dengan

pembelajaran dikelas reguler, namun keberadaan peserta didik yang

berkebutuhan khusus atau anak berkebutuhan khusus (ABK) yang

ada pada SD Hj. Isriati Semarang, yang meliputi tuna

grahita/lambat belajar (slow learner), tuna laras dan autis maka

diberlakukan prisip-prinsip khusus sebagai berikut :

1. Penanganan bagi peserta didik yang memiliki kelainan

tunagrahita (Slow Learner), yaitu peserta didik yang

mengalami lamban dalam belajar, mereka memiliki potensi

intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk

tunagrahita berat. Dalam beberapa hal mereka mengalami

hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan

dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding

dengan yang tunagrahita berat, lebih lamban dibanding dengan

yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan

berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas

akademiknya maupun non akademik, dan karenanya

memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Dalam melaksanakan pembelajaran, para pendidik

menerapkan prinsip kasih sayang yang harus diberlakukan,

peserta didik yang memiliki intelegensi lebih lemah dibanding

peserta didik sebaya lainnya perlu diberikan perhatian khusus

dengan cara sabar. Mereka belajar tidak dengan mudah, harus

diberikan pembelajaran yang berulang-ulang, baru bisa

maenangkap apa yang diampaikan oleh pendidik. Kasih sayang

Page 86: pengertian moral

86

adalah sifat fitrah manusia, untuk menerapkan kepada peserta

didik merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan

kasih sayang para peserta didik merasakan sentuhan yang bisa

dirasakan dari dalam dirinya untuk kemudian sikap kasih

sayang bisa berkembang dengan menerapkan pada diri sendiri,

para pendidik dan tenaga kependidikan, kepada orang tua dan

kepada teman sebayanya. Dengan harapan para peserta didik

akan menjadi seorang yang penyayang, seorang penyayang

bukan saja menyayangi dirinya sendiri, melainkan menyayangi

dirinya dan orang lain (sabda Rasul)

Prinsip keperagaan, setiap memberikan pembelajaran

kepada peserta didik ini perlu didukung dengan alat peraga,

disamping dengan kata-kata yang tidak terlalu cepat, karena

mereka perlu dituntun dengan pelan dan menjelaskan dengan

telaten. Dengan alat peraga memperjelas pelajaran yang

diberikan kepada mereka. Peserta didik dengan kondisi lemah

akal pikirnya dalam menerima pembelajaran, biasanya

membutuhkan ketelatenan, mereka tidak seera merta mampu

untuk menerima pembelajaran dengan instan, mereka peerlu

pemberian yang bertahap dan teliti, mereka memang bisa

digolongkan peserta didik yang lambat, sehingga segala

sesuatunya tidak bisa cepat bahkan untuk memperjelas

pembelajaran yang diberikan oleh para pendidik memerlukan

alat peraga, alat peraga bisa beraneka macamnya

Prinsip habilitasi dan rehabilitasi adalah usaha untuk

mengembalikan peserta didik pada kondisi yang proporsional

sesuai dengan keadaan kemampuannya.

2. Penanganan peserta didik tunalaras/anak yang mengalami

gangguan emosi dan perilaku, dimana mereka mengalami

kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku yang

tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam

Page 87: pengertian moral

87

lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya,

sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya

memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan

dirinya maupun lingkungannya.

Beberapa prinsip yang diterapkan untuk ABK tunalaras seperti

Prinsip kebutuhan dan keaktifan, prinsip kebebasan

yang terarah, prinsip penggunaan waktu luang, prinsip

kekeluargaan dan kepatuhan, prinsp setia kawan dan idola serta

perlindungan, prinsip minat dan kemampuan, prinsip

emosional, sosial dan perilaku, prinsip disiplin, prinsip kasih

sayang

Prinsip-prinsp yang diterapkan untuk ABK tuna laras

sebetulnya juga merupakan kebutuhan peserta didik pada

umumnya, namun pada ABK tuna laras tampak sekali

kehidupan yang sarat dengan emosional dan kecenderungaan

berbuat menggannggu teman-teman sebayanya sehingga

penerapan prnsip- prinsip tersebut bertujuan unuk mengarahkan

kepada kenormalan supaya situasi pembelajaran tidak

terganngu dengan hadirnya anak berkebutuhan khusus tuna

laras dan peserta didik bisa melaksanakan pembelajaran dengan

tenang dan tidak gaduh.

3. Penanganan bagi peserta didik authis sebetulnya menggunakan

prinsip-prinsp yang hampir sama dengan prinsip yang

diterapkan pada ABK tunalaras, ABK ini hampir memiliki

kecenderungan yang mirip dengan ABK tunalaras hanya

koncentrasi pada autis seakan tidak mampu untuk konsentrasi

pada satu pelajaran, mereka lebih asyik dengan dunia sendiri,

kalau ABK autis maunya yang ini, maka mereka tidak mau

dibelokkan untuk memilih yang lainnnya, mereka asyik dengan

dunia imajinasinya sendiri.

Page 88: pengertian moral

88

Prinsip-prinsip yang diterapkan adalah prinsip

kebutuhan dan keaktipan, prinsip keperagaan, prinsip

kebebasan yang terarah, prinsip penggunaan waktu luang,

prinsip kekeluargaan dan kepatuhan, prinsip minat dan

kemampuan prinsip setia kawan dan idola serta perlindungan,

prinsip emosional, sosial dan perilaku, prinsip kasih sayang.

Peniruan adalah suatu bagian yang penting dari proses

membujuk anak-anak untuk berperilaku dengan baik kepada

orang lain (John W. Santrock, 2002:49). Ketika seorang

pendidik memperlakukan dengan baik kepada ABK yang

memang membutuhkan perhatian yang hkusus dan sentuhan

hati maka saat inilah untuk membentuk moralitas mereka

dimana saat-saat perkembangan moral berada pada posisi

meniru dan taat pada guru/pendidik.

Proses Pendidikan Inklusif pada SD Hj. Isriati Semarang

Ada beberapa model pembelajaran yang diterapkan pada SD Hj.

Isriati terkait dengan pelayanan pada peserta didik dengan

pelayanan pendidikan inklusi. Model-model pelayanan yang

diberikan tersebut antara lain :

1. Pembelajaran dengan membangkitkan Motivasi dan Kepercayaan

Peserta Didik. Dalam pelaksanaan pembelajaran ada beberapa

kegiatan yang musti dilakukan, yaitu menyajikan bahan ajar/materi

pembelajaran, mengimplementasikan metode pembelajaran, sumber

dan alat pembelajaran, membangkitkan motivasi dan kepercayaan diri

peserta didik, mengelola waktu, ruang, bahan dan perlengkapan

pengajaran, melakukan evaluasi, melakukan analisa, dan melakukan

tindak lanjut (follow up).

Namun dari ketujuh kegiatan tersebut, bagaimana guru

mampu untuk membangkitkan motivasi dan kepercayaan diri pada

peserta didik, karena dengan kegiatan tersebut penanaman moral

Page 89: pengertian moral

89

dengan kebaikan-kebaikan akan menimbulkan kesan yang dalam bagi

perkemabangan peserta didik pada masa-masa perkembangan

berikutnya. Pendidik atau para guru pada SD Hj. Isriati Semarang

melakukan berbagai hal, dengan memenuhi bahasa kasih sayang. Ada

lima hal yang diterapkannya :

a. Kata-kata pendukung, berupa kata-kata pujian dengan tulus, kata-

kata pujian dsb;

b. Saat-saat berkesan, dengan menyampaikan cerita-cerita

pengalaman yang pernah dialami oleh peserta didik dengan

pengalaman-pengalaman yang positif yang menarik bagi peserta

didik;

c. Menerima hadiah-hadiah, yaitu dengan memberikan hadiah-

hadiah bagi peserta didik yang telah berhasil melakukan

pekerjaan dengan baik atau telah membantu temannya dengan

baik pula;

d. Pelayanan, seorang guru harus memberikan pelayanan yang

terkait dengan peningkatan, supaya peserta didik merasa ada

perhatian dan penuh dengan kasih sayang;

e. Sentuhan fisik, hal tersebut perlu dilakukan supaya ada kedekatan

antara peserta didik dengan pendidik, misalnya dengan menepuk-

nepuk bahunya atau mengelus kepalanya.

Kelima hal tersebut pentingnya dilakukan sebagai bentuk

pendidikan yang bisa dibarengi dengan perbuatan yang perlu

diberikan sebagai suatu contoh yang harus dlihat oleh peserta didik

untuk selanjutnya akan ditiru dalam perbuatan nyatanya pada saat

peserta didik bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungan.

Disamping menerapkan prinsip pelayanan pembelajaran

tersebut diatas para pendidik dan tenaga kependidikan

dilngkungan SD Hj. Isriatai menerapkan pemebelajaran-

pembelajaran yang bersifat keagamaan, dengan adanya

penerapan Kurikulum Islami, sebagai konsekwensi dan

Page 90: pengertian moral

90

komitmen sejak awal, bahwa SD Hj. Isriati merupakan sekolah

yang menggunakan kombinasi kurikulum nasional dan kurkulum

Departemen agama.

Penerapan tersebut berupa penerapan perbuatan sebagai

ketaatan kepada Tuhan seperti, perbuatan-perbuatan yang

dibiasakan yaitu :

1. Awal pembelajaran diawali dengan berdoa bersama diaula

yang dikemas sebagai apel bersama, yang diikuti oleh semua

pesera didik dari kelas I sampai dengan kelas VI, do’a yang

dibaca adalah 1) membaca dua kalimah syahadat, suatu

persaksian atau janji yang harus ditanamkan dalam diri

setiap peserta didik sebagai suatu kebiasaan 2) membaca

surat al-Fatikhah dan 3) do’a belajar. Ketiga bacaan tersebut

dibaca oleh peserta didik yang telah dilatih serta didampingi

oleh bapak guru pembimbing. Doa tersebut dibacakan dan

diucapkan dalam tiga bahasa, bahasa Arab, bahasa Indonesia

dan bahasa Inggris;

2. Mengaji, membaca Al-Quran, serta belajar seni baca al-

Quran;

3. Mewajibkan peserta didik untuk menjalankan shalat wajib

dhuhur dengan dimasukkan kedalam kurikulum;

4. Memperkenalkan hadis-hadis rasul yang pendek-pendek

misalnya man jadda wa jadda (barang siapa bersungguh

maka akan memperoleh hasil). Hadis pendek tersebut

difigura sebagai hiasan dinding yang bisa dibaca setiap saat;

5. Memakai kerudung sebagai penutup aurot bagi wanita, dan

memakai celana panjang bagi laki-laki, dll. mengaji,

melakukan shalat berjamaah dlsb.

Disamping pembiasaan tersebut diatas, diberikan

pelayanan yang intensif yang dilakukan oleh guru pembimbing

khusus, berikut kegiatan Guru Pembimbing terhadap peserta

Page 91: pengertian moral

91

didik berkebutuhan khusus, yang disajikan dalam tabel untuk

memberi kemudahan kepada pembaca, peserta didik yang nama-

namanya disebutkan dengan jelas dibawah ini ditulis dengan

persetujuan kepala sekolah, guru pembimbing serta orang tua.

Dari hasil identifikasi terhadap peserta didik yang

mengalami hambatan dalam belajar dan perilaku yang tidak

semestinya sebagai peserta didik yang seharusnya patuh serta

taat dan berperilaku baik atau bermoral, ditemukan ada beberapa

peserta didik yang menonjol dan membutuhkan pelayanan yang

ekstra. Pelayanan kepada peserta didik yang mengalami kelainan

yang dilakukan oleh guru pembimbing, sebagai berikut :

Tabel 3.1.

Kegiatan Pelayanan yang diberikan oleh Guru Pembimbing terhadap para peserta didik berkebutuhan khusus

No Hari/Tgl Peserta

Didik

Kelas Kegiatan

1.

8 Des’05

6 Mei’06

3 Agust’08

24 Okt’07

Nadia I D Selama satu semester belum adanya kemajuan yang berarti. Konsul dengan ortu (Ibu) tentang perilaku sehari-hari, pengasuhan dan komunikasi

Menerima kedatangan ortu Nia dan menjelaskan duduk persoalannya

Mau mengerjakan soal dengan penekanan atau pengulangan perintah

Full out di BK dengan bimbingan guru BK

Pertemuan dengan ortu Nadia, membahas hasil pemeriksaan psikologis dan rekomendasi untuk berseko-

Page 92: pengertian moral

92

lah di sekolah khusus (SLB)

2.

13 Des’05

10 Juni’06

3 Agust’7

24 Sept’07

22 Sept’07

24 Okt’07

8 Des’07

Alif 1 C

Setiap pagi menjelang masuk kekelas, pasti nangis dan mogok. Konsul dengan ortu (ayah) Alif saat usia 3-5 th sering step (sakit), punya sifat kecil hati (tak percaya diri), emosi tinggi

Menerima kedatangan ortu dijelaskan bahwa Alif agak sukar menerima pelajaran, karena kemampuan menulis dan membaca yang belum sempurna

Mau mengerjakan soal dengan penekanan/ pengulangan perintah.

Berkonsultasi dengan ortu, terkait dengan hasil psikotes

Full out di BK, sambil menunggu pendamping buat Alif

Alif ikut tes, ortu melaksanakan drill di rumah dan belajar dg terapi secara intensif

Full out di ruang BK, dengan bimbingan guru BK

Alih tangan kasus untuk menetukan terapi alternatif bagi alif.

3.

16-31 Juli’07

M. Naufal

Athala

3 C Pemberian pendampingan kepadanya, ABK dengan kelainan ADHD, sambil menunggu datangnya shadow

4.

2 Agust’07

Fairus 2 C Menunjukkan sikap mengganggu teman, rame,

Page 93: pengertian moral

93

7 Agust’07

cari perhatian

Pendekatan terhadap Fais tentang latar belakang keluarga dan peristiwa pemicu perilakunya, bisa disebabkan situasi keluarga

5.

15 Agus’07 Dita 5 C Dita mempunyai emosi yang sulit untuk dikontrol, marah meledak tanpa pandang bulu, juga marah kepada wali kelas

6.

5 Okto’07

30 Okt’07

6 Nov’07

Hendra 4 C Sering sekali marah (emosi mudah terpancing) sehingga teman suka jengkel

Marah-marah dengan Lutfi sampai merusak kacamata lutfi, karena mau meminjam kacamata tidak boleh sama lutfi

Hendra mulai dapat mengendalikan diri

7.

7 Nov’07

14 Nov’07

Henky 2 D Orang tua sharing tentang perkembangan Henky, rencana akan diberikan shadow (pendamping)

Pendampingan oleh terapis untuk memaksimalkan potensi yang ada

Bahwa peserta didik berkebutuhan khusus, sangatlah

membutuhkan perhatian, kesabaran, ketabahan serta keintensifan

dalam memberikan pelayanan kepadanya, apa yang dilakukan oleh

pendidik akan merupakan contoh tauladan yang seharusnya

dilakukan kepada peserta didik seluruhnya, karena manusia pada

Page 94: pengertian moral

94

dasarnya memiliki rokh kesucian yang amat sangat dekat dengan

keselarasan kebaikan dan manusia yang bermoral dan bermartabat.

Dengan demikian pendidikan yang dilakukan dalam

pendidikan inklusif membantu tumbuh kembangkan pendidikan

yang memiliki rokh kehidupan manusia yang hakiki, yaitu

manusia yang pada hatinya telah terdapat cahaya nur illahi yang

memang harus dilatih terus menerus, supaya cahaya tersebut tidak

padam.

F. Moralitias Peserta Didik pada SD HJ. Isriatai Semarang

Memperhatikan pembelajaran yang dilaksanakan SD HJ. Isriati

dengan menerapkan pendidikan inklusi sangat relevan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Piaget tentang perkembangan

pemikiran atau penalaran moral pada anak-anak usia 4 s/ 7 tahun,

usia 7 s/d 10 dan pada usia diatas 10 tahun, mereka memiliki

pemikiran tentang moral dengan ciri-ciri, bagi anak anak berusia 4-

10 tahun, selalu mempertimbanggkan akibat-akibat dari perilaku,

aturan yang disepakatinya bersifat kaku, tidak boleh diubah, mereka

juga menolak aturan-aturan yang baru diperkenalkan, mereka

hanya tunduk pada aturan-aturan sosial yang telah dibuat, yakin

akan adanya keadilan yang immanen (immanent justice), dan

biasanya mereka merasa khawatir setelah melakukan pelanggaran.

Aturan atau norma-norma yang diberlakukan di sekolah akan

selalu dipatuhi oleh peserta didik tersebut. Bagi peserta didik atau

anak- anak yang berusia diatas usia 10 tahun, mereka

mempertimbangkan maksud-maksud dari pelaku, mereka juga

menganggap bahwa aturan-aturan bersifat fleksibel, bisa dibuat

kesepakatan dan bisa berubah, mereka lebih fleksibel, mau

menerima perubahan, tidak bersifat kaku, mereka tunduk pada

perubahan aturan dengan kesepakatan, mereka menganggap bahwa

hukuman tidak serta merta diberlakukan begitu saja dan hukuman

Page 95: pengertian moral

95

hanya terjadi pada seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan

dan bahwa hukuman juga tidak terelakan.

Usia peserta didik pada jenjang sekolah dasar (sekitar usia 7 s/d

15 tahun), sebagaimana peserta didik pada SD Hj.Isriati Semarang,

pada usia tersebut peserta didik memiliki oriantasi penalaran moral

pada tingkat kepatuhan terhadap aturan–aturan atau norma-norma

yang berlaku, belum memiliki pola pikir sendiri, pendapat sendiri,

mereka memiliki kecenderungan berpikir yang tidak neko-neko,

masih murni, masih lugu, masih kaku, kalau aturannya berbunyi

melarang mereka mereka akan mematuhinya sesuai dengan aturan

tersebut, mereka belum banyak mendapat pengaruh dari luar

dirinya.

Lingkungan keluarga (orang tua, kakek neneknya, saudara-

saudaranya dan juga anggota keluarga yang lainnya). Lingkungan

sekolah dan sekaligus lingkungan teman sebayanya yang baru

dikenalnya dan akan diketahuinya ketika mereka berbaur dan

bersama-sama bersekolah selama proses pendidikan di Sekolah.

Lingkungan sekolah yang baru dimasukinya memberikan

konsekwensi pada dirinya untuk mematuhi aturan-aturan yang

diterapkan dan memmiliki hukum wajib dengan ketentuan apabila

peraturan-peraturan tersebut dilanggar mereka akan mendapatkan

sangsi, teguran bahkan hukuman sehingga mereka berusaha untuk

menjadi peserta didik yang baik dengan mentaati aturan-aturan

yang diberlakukan di sekolah tersebut serta mematuhi perintah-

perintah guru/para pendidik serta tenaga kependidikan yang ada di

sekolah tersebut yang akhirnya membentuk peserta didik menjadi

anak yang baik, peseta didik yang bermoral, moralitasnya baik.

Keaneka ragaman teman sebaya, karena mereka berasal dari

berbagai keadaan, berbagai kondisi dan berbagai latar belakang, hal

itupun akan memberikan sesuatu yang baru kepada peserta didik,

sesuatu pemikiran yang baru diketahuinya ketika mereka bersekolah

Page 96: pengertian moral

96

atau bersosialisasi dengan teman-temannya. Teman-teman yang

dalam keberbedaan fisik dan emosional termasuk teman-temannya

yang memiliki kebutuhan khusus (ABK), keberbedaan ini akan

mempengaruhi pemikiran yang memberikan warna dalam pemikiran

selanjutnya, atau ungkapan perasaannya atau emosinya.

Emosi negatif dalam bentuk kejengkelan, ketidak sabaran atau

yang lainnya itu akan timbul, misalnya ada temannya yang nakal,

ada temannya yang kurang pandai dalam mata pelajaran, atau ada

temannya yang terlalu aktip dalam geraknya atau acuh (autis). Dan

juga emosi dalam bentuk positif misalnya merasa kasihan melihat

temannya yang kurang beruntung, tidak mempunyai anggota tubuh

yang lengkap tidak bisa melihat dengan baik (tuna daksa, tuna

netra, tuna grahita). Keadaan ini tentu merupakan keadaan-keadaan

yang diketahui dan dikenalnya ketika mereka bersekolah.

Menurut Tomkins (lih.Morgan,dkk.,1984) mengemukakan

bahwa emosi itu menimbulkan energi untuk motivasi. Disamping

itu Tomkins juga mengemukakan pendapat bahwa adanya 9 macam

innate emotions, berdasarkan atas tipe gerak dan ekspresi yang

nampak pada seseorang. Tiga bersifat positif, yaitu 1) interest atau

excitement, 2) enjoyment atau joy, 3) surprise atau startie. Yang

enam bersifat negatif, yaitu: 1) distress atau anguish, 2) fear atau

terror, 3) shame atau humilitation, 4) contemp, 5) disgust, 6) anger

atau rage. Dengan demikian adanya suguhan-suguhan teman

sebaya yang memiliki keberbedaan dengan dirinya akan

merangsang emosinya untuk bertindak atau bersikap. Dan sikap

atau tindakan tersebut bisa berbentuk negatif atau positif.

Kecenderungannya untuk bersikap positif mempunyai harapan

yang membahagiakan kepada semua lingkungan yang dekat dengan

peserta didik, mereka akan merasa bahagya dan puas ketika

menyaksikan peserta didik terus bissa melakukan perbuatan baik

karena dorongan kondisi yang memang telah disiapkan oleh

Page 97: pengertian moral

97

lingkungan sekolah. Sekolah yang menerapkan kurikulum islami

akan lebih membentuk kebiasaan-kebiasasan baik ini akan tumbuh

tanpa dengan disadarinya yatu dengan intuitif. Dimana kebenaran

intuitif tumbuh dengan sendirinya tanpa ada dorongan baik dari

dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Bahkan kadang-kadang

tidak diketahuinya mengapa peserta didik berbuat baik dengan tiba-

tiba.

Selanjutnya dengan kebiasaan yang baik yang telah ditanamkan

oleh sekolah yang menerapkan kurikulum islami disamping

kurikulum nasional, peserta didik akan memiliki akhlak yang baik

pula, karena pada dasarnya akhlak yang baik itu harus dibentuk

dikondisikan, diberi stimulus, adanya figur yang tetap konsisten

bisa dijadikan pegangan oleh peserta didik, bisa dijadikan refernsi

oleh mereka menjadi manusia yang baik, bahagia dan memiliki

kepuasan diri, yang dientik dengan manusia yang berakhlakul

karimah (Imam Ghazali)

Secara umum, ketika masuk dalam lingkungan SD Hj. Isriati

Semarang, yang lokasinya persis berdampingan dengan masjid

Baiturrakhman Semarang yang sangat megah tersebut, bertemu

dengan banyak peserta didik yang lalu lalang dengan ceria seakan

menggambarkan kebahagian yang tercermin dari dalam hati,

tingkah laku yang nampak mencerminkan kehidupan rokhani yang

sehat. Implementasi moralitas peserta didik didiskripsikan pada

uraian berikut.

Dalam kontek ini, maka moralitas yang diharapkan sesuai

dengan kondisi peserta didik yang ada di Jawa Tengah, karena SD

HJ Isriati, berlokasi di Semarang Jawa Tengah, yaitu moralitas

yang bertumpu pada prinsip rukun dan prinsip hormat. Peserta didik

dalam berpikir, bertindak dan merasakan selalu dalam keselarasan

dan keharmonisan dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial

pertama-tama yang ditemukan oleh peserta didik adalah lingkungan

Page 98: pengertian moral

98

keluarga, moralitas pertama yang akan dilihat bagaimana peserta

didik berusaha untuk menyelaraskan hubungan dan menjaga

keharmonisan antara dirinya dengan kedua orang tuanya.

Lingkungan sosial kedua, ketika peserta didik dalam

perkembangan hidup mulai memasuki dunia sekolah, maka peserta

didik bertemu dan bersosialisasi dengan guru yang merupakan

peletak kebaikan dan merupakan model yang ditemukan peserta

didik, sehingga perkembangan moral berikutnya adalah moralitas

peserta didik terhadap guru. Kemudian di sekolah disamping

bertemu dan bersosialisasi dengan guru-gurunya, mereka juga

bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya.

Untuk mengetahui sikap moralnya, dibawah ini diuraikan

beberapa pertanyaan untuk mengungkap sikap hormat maupun

sikap rukun baik terhadap orang tua, guru maupun teman

sebayanya.

1. Moralitas Peserta Didik terhadap Orang Tua

Penalaran atau pemikiran, tindakan dan perasaan moral

yang dipilih dalam kecenderungannya yang berlandaskan dengan

sikap hormat adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan,

antara lain : 1) Jika saya akan bepergian atau pergi ke sekolah,

saya memberi salam dan mohon ijin kepada orang tua, 2). Jika

orang tua sedang berbicara, saya tidak menyela pembicaraannya,

3) Kalau saya berbicara dengan orang tua dengan lembut, tidak

kasar dan tidak sembrono, 4) Kalau disuruh orang tua, saya

mengerjakan dengan ringan dan tidak terpaksa, 5) Saya ingin

menghormatinya, saya merasa rikuh pekewuh, malu, apabila

saya melanggar nasehat- nasehat dan perintah-perintahnya, dan

6) Dimanapun saya berada, saya ingat dan berusaha untuk

menjaga nama baiknya, (dengan berbuat baik, tidak melanggar

aturan, tidak nakal, dan lain sebagainya)

Page 99: pengertian moral

99

Penalaran atau pemikiran, tindakan dan perasaan moral

yang dipilih dalam kecenderungannya yang berlandaskan dengan

sikap rukun adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan,

antara lain : 1) Jika sedang ada persoalan dirumah, di sekolah

dengan guru maupun dengan teman, saya berusaha untuk

bermusyawarah, mengutarakan kepada orang tua, 2) Jika terjadi

perselisihan, saya memilih untuk mengalah, karena mengalah itu

perbuatan mulia dan disayangi Tuhan, 3) Jika bepergian, saya

menggandeng dan mengiringi orang tua, 4) Kalau akan bepergian

dan bertemu orang tua, saya mencium tangannya, 5) Saya merasa

kesepian atau sedih apabila ditinggal pergi orang tua lebih dari

tiga hari, dan 6) Apabila dinasehati, diperintah orang tua, saya

menurut, dan melaksanakan perintahnya

2. Moralitas Peserta Didik terhadap Guru

Dalam sikap Hormat, beberapa pertanyaan antara lain :

1) Jika sedang diajar oleh bapak/ibu guru, saya mendengarkan

dengan penuh perhatian, 2) Jika ada pelajaran yang kurang atau

tidak jelas, saya akan bertanya dan akan memohon untuk

diterangkan kembali pada bagian yang belum saya ketahui, 3)

Saya segera menghadap dan melaksanakan perintah bapak/ibu

guru apabila dipanggil atau diperintah, 4) Saya menundukan

kepala, membungkukkan badan, dan memberi salam ketika

bertemu bapak/ibu guru dimana saja, 5) Saya akan mematuhi

aturan-aturan yang dibuat dan diberlakukan di sekolah, walaupun

kadang-kadang berat dengan aturan tersebut, dan 6) Saya merasa

bersalah apabila melanggar aturan-aturan sekolah tersebut

Dalam sikap Rukun, diajukan untuk menjawab beberapa

pertanyaan, antara lain : 1) Saya berusaha menjaga kewajiban

sebagai peserta didik yang baik mematuhi ucapan-ucapan

bapak/ibu guru, 2) Saya melihat kebaikan-kebaikan dan

Page 100: pengertian moral

100

tauladan-tauladan yang diajarkan dan dicontohkan oleh bapak-

ibu guru, 3) Saya peduli dengan jerih payah, perbuatan baik dan

mulia bapak/ibu guru dengan memberikan ilmu dan mengajar

saya, 4) Saya bertindak segera apabila bapak/ibu guru menyuruh

saya melakukan suatu pekerjaan, 5) Saya merasa bapak/ibu guru

seperti malaikat dalam memberikan ilmu pada semua peserta

didik, karena tidak mengharapkan balasan, dan 6) Saya merasa

kehilangan apabila ada bapak/ibu guru yang sedang menderita

sakit, dan saya mendo’akannya biar cepat sembuh dan sabar

menerimaa cobaan hidup.

3. Moralitas peserta Didik terhadap Teman Sebaya

Sikap Hormat terhadap teman sebaya akan diungkap

dengan mengajukan beberapa pertanyaan antara lain, 1) Kalau

saya bermusyawarah dan berdiskusi dengan teman, saya

berusaha tidak menyinggung perasaannya, 2) Saya tidak

membicarakan kejelekan-kejelekan teman kepada teman yang

lainnya, 3) Saya segera akan menolong dan bekerja sama dengan

teman apabila teman saya membutuhkan pertolongan, 4) Saya

akan segera menjenguk teman yang sakit di Rumah sakit apabila

sudah tiga hari tidak masuk sekolah, 5) Saya berdosa apabila

saya mengejek teman yang miskin, kurang pandai, teman yang

nakal, karena saya tidak ingin menjadi seperti dia, dan 6) Saya

merasa perasaan teman sama dengan saya, sehingga kalau ada

teman yang sedang kesusahan, saya bersimpati kepadanya

Sikap Rukun terhadap teman sebaya akan menjawab

beberapa pertanyaan sebagai berikut, antara lain : 1) Saya

bermain dan berteman dengan siapa saja, tidak memandang

apakah teman itu pandai atau tidak pandai, normal atau cacat,

kaya atau miskin, anaknya orang biasa atau anaknya pejabat,

dlsb, 2) Saya mengajak belajar, bermain bersama, membentuk

Page 101: pengertian moral

101

kelompok belajar, supaya teman-teman yang lainnya bersedia

bergabung, 3) Saya menjalin hubungan dengan teman, dengan

cara menelpon, pergi atau bersilaturrokhim kerumahnya, 4) Saya

membantu teman-teman, dengan berbuat semampu saya,

memberi berupa materi maupun bukan materi, 5) Saya

mengagumi teman yang baik hati, suka menolong teman lainnya,

suka membantu dan tidak suka berkelahi, menmbulkan masalah,

serta 6) Saya sedih apabila melihat teman-teman berkelahi, tidak

akur dengan teman lain dan berbuat tidak sopan.

Dari beberapa pertanyaan tersebut, dikategorikan dalam

4 kategori, kategori pertama, apabila peserta didik menjawab

dengan memilih jawaban selalu, maka moralitas peserta didik

bisa dinilai dengan sangat baik, kategori kedua, apabila peserta

didik menjawab dengan memilih jawaban sering kali, maka

moralitas peserta didik bisa dinilai dengan baik, kategori ketiga

apabila peserta didik menjawab dengan memilih jawabaan

kadang-kadang, maka moralitas peserta didik bisa dinilai

dengan cukup, dan kategori keempat, apabila peserta didik

menjawab dengan memilih jawaban tidak pernah, maka

moralitas peserta didik dinilai tidak baik.

Page 102: pengertian moral

102

BAB IV

DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

A. Deskripsi Data Penelitian

Data yang telah terkumpul dianalisis secara kuantitatif

menggunakan metode statistik. Variabel peserta didik terlebih dulu

dipaparkan dengan statistik deskriptif yaitu statistik yang berfungsi

untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang

diteliti melalui data responden sebagaimana adanya, tanpa melakukan

analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum

(Sugiyono, 2002: 21). Statistik deskriptif juga memberikan gambaran

atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean),

standart deviasi, varian, maksimum, minimum (Ghozali, 2001: 19).

Adapun deskripsi data yang dilakukan terhadap subyek

penelitian menghasilkan data di bawah ini.

1. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Kelompok Peserta Didik

Seluruh subyek yang menjadi sampel penelitian berjumlah 40

(empat puluh) peserta didik. Mereka adalah peserta didik yang

memiliki ciri dengan jenis berkebutuhan khusus berjumlah 7 (tujuh)

peserta didik, subyek kedua adalah peserta didik non berkebutuhan

khusus atau normal 1, yaitu peserta didik yang tempat duduknya

berdekatan dengan peserta didik berkebutuhan khusus, berjumlah 19

(sembilan belas) peserta didik, dan peserta didik non berkebutuhan

khusus atau normal 2, yang tempat duduknya berjauhan dengan

peserta didik berkebutuhan khusus, mereka berjumlah 14 (empat

belas) peserta didik, data tersebut bisa dilihat dalam tabel di bawah

ini.

Page 103: pengertian moral

103

Tabel 4.1.

Deskripsi Subyek Berdasarkan Kelompok Peserta Didik

No

Kelompok Peserta Didik

Total

1. Berkebutuhan khusus 7

2 Normal 1 19

3 Normal 2 14

Jumlah 40

Pengelompokan tersebut untuk mengetahui moralitas peserta

didik berkebutuhan khusus, moralitas peserta didik normal 1, dan

untuk mengetahui peserta didik normal 2. Dengan demikian akan

diketahui perbedaan moralitas peserta didik berkebutuhan khusus

dengan moralitas peserta didik normal 1 serta peserta didik normal 2.

1.1.Moralitas Peserta Didik

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa Moralitas peserta

didik berkebutuhan khusus mimiliki skor yang bergerak antara 63

sampai dengan 143, peserta didik normal 1 memiliki skor yang

bergerak antara 88 sampai dengan 140 serta peserta didik normal 2

memiiki skor yang bergerak antara 71 sampai dengan 144. Data

selengkapnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Page 104: pengertian moral

104

Tabel 4.2.

Skor Subyek Pada Nilai Rerata, Minimal dan Maksimal

No Peserta Didik Responden (N) Rerata Skor

Minimal Skor

Maksimal 1. ABK 7 113 63 143

2. Normal 1 19 112 88 140

3. Normal 2 14 118 71 144

Sementara itu nilai rerata masing-masing subyek adalah peserta

didik berkebutuhan khusus (ABK) sebesar 113, rerata peserta didik

normal 1 sebesar 112 dan rerata peserta didik normal 2 sebesar 118.

1.1.1. Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (ABK)

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa Moralitas peserta

didik berkebutuhan khusus memiliki skor yang bergerak antara 63

sampai dengan 143 dengan rerataan sebagaimana ditampakkan dalam

tabel di bawah ini.

Tabel 4.3.

Skor Subyek Pada Nilai Rerata, Minimal dan Maksimal

No Variabel Responden (N) Rerata Skor

Minimal Skor

Maksimal 1. Moralitas

Baik sekali 5 39 114 143

2. Moralitas Baik

1 38 85 113

3. Moralitas Sedang

1 36 56 84

Page 105: pengertian moral

105

Sementara itu pengelompokan Peserta Didik berdasarkan

Kategori Moralitas Peserta Didik Berkebutuhan Khusus didasarkan

dalam tiga kategori moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, dan

sedang. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata

yang harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik

dan standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 113

dan deviasi standarnya adalah 29. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali (71,

42 %), baik (14,29 %) dan sedang (14, 29 %) yang secara lengkap

dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.4.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berkebutuhan khusus Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang

Skor Jumlah Persentase

1. Moralitas Baik sekali

114- 143 5 71, 42 %

2. Moralitas Baik 85- 113 1 14, 29 %

3. Moralitas Sedang 56- 84 1 14, 29 %

1.1.2. Peserta Didik Normal 1

Pengelompokan Subyek Berdasarkan Peserta Didik Normal 1

yang tempat duduknya berdekatan dengan peserta didik berkebutuhan

Khusus. Gambaran Moralitas peserta didik dikategorikan dalam empat

jawaban yang ada, dalam item pertanyaan merupakan data kualitatif

untuk kemudian ditranformasikan ke dalam bentuk kuantitatif dengan

pernyataan moralitas baik sekali yang diberi skor 4, baik diberi skor 3,

sedang diberi skor 2 dan kurang baik diberi skor 1.

Page 106: pengertian moral

106

Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa Moralitas

peserta didik normal 1 mimiliki skor yang bergerak antara 88 sampai

dengan 140. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-

rata yang harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata

teoritik dan deviasi standar teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar,

1993). Rerataan teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

112 dan deviasi standarnya adalah 14. Dengan demikian dapat

diketahui bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik

sekali (10,52 %), baik (42, 11 %), sedang (26,32 %) serta kurang baik

(21,05) yang secara lengkap dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 4.5.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori

Rentang Skor Jumlah Persentase

1. Moralitas Baik sekali

128 - 140 2 10, 52 %

2. Moralitas Baik 113 - 127 8 42, 11 %

3. Moralitas Sedang 98 - 112 5 26, 32 %

4. Moralitas Kurang Bak

83 - 97 4 21, 05 %

1.1.3. Peserta Didik Normal 2

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa Moralitas peserta

didik normal 2 memiliki skor yang bergerak antara 88 sampai dengan

140. Pengelompokan subyek dilakukan dalam empat kategori

moralitas peserta didik, yaitu baik sekali, baik, sedang dan tidak baik.

Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata

yang harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik

dan deviasi standar teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Page 107: pengertian moral

107

Rerataan teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

144 dan deviasi standarnya adalah 19. Dengan demikian dapat

diketahui bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik

sekali (7, 14 %), baik (57,14 % ) sedang (14, 29 %) dan kurang baik

(21, 43 %) yang secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.6.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang Skor Jumlah Persentase

1. Moralitas Baik sekali

139 - 158 1 7, 14 %

2. Moralitas Baik 119 - 138 8 57, 14 %

3. Moralitas Sedang 99 - 118 2 14, 29 %

4. Moralitas Kurang Bak

79 - 98 3 21, 43 %

Dari hasil data deskripsi penelitian dapat disimpulkan bahwa

hasil perolehan tingkat moralitas peserta didik berkebutuhan khusus

bergerak dari rerataan skor 114 sampai dengan 143 dengan prosentase

71, 40 % memperoleh tingkat moralitas Baik sekali, peserta didik

normal 1 bergerak dari rerataan skor 113 sampai dengan 127 dengan

prosentase 42, 11 % memperoleh tingkat moralitas Baik, dan untuk

peserta didik normal 2 bergerak dari rerataan skor 119 sampai dengan

138 dengan prosentase 57, 14 % memperoleh tingkat moralitas Baik,

yang secara lengkap dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Page 108: pengertian moral

108

Tabel 4.7.

Rekapitulasi Hasil Penelitian Kategori Moralitas Peserta Didik Berkebutuhan Khusus, Normal 1 dan Normal 2.

No Kategori Rerata Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. ABK 113 5 71, 42 % Baik sekali

2. Normal 1 112 11 52, 63 % Baik

3. Normal 2 118 9 64, 28 % Baik

Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa moralitas ABK

memiliki kriteria baik sekali pada posentase 71, 43%, moralitas

peserta didik normal 1 memiliki kriteria baik pada prosentase 57, 90

% dan moraltas peserta didik normal 2 memiliki kriteria baik pada

prosentase 64, 23 %.

Apabila dicermati lebih mendalam, didapatkan pemahaman

bahwa hasil penelitian ini memiliki relefansi yang sangat positif antara

pengembangan strategi pembelajaran dengan moralitas peserta didik.

Semakin tinggi moralitas peserta didik, maka dapat dipastikan bahwa

strategi pembelajarannya juga semakin baik. Hal ini sangat sesuai

dengan penyataan yang diungkapkan oleh Budiningsih (2004) yang

menyatakan bahwa guru dan perancang pembelajaran dalam

mengembangkan strategi pembelajaran moral dengan lebih banyak

memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengambil peran

moral, baik di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,

lingkungan teman sebaya dan lingkungan masyarakarat yang lebih

luas. Kesempatan untuk mengambil peran sosial nampaknya

meberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan moral

(Budiningsih, 2004: 84).

Page 109: pengertian moral

109

Hasil Penelitian

1. Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

1.1 Moralitas Peserta Didik terhadap Orang Tua

Berdasarkan hasil data penelitian terhadap peserta didik

berkebutuhan khusus, menunjukkan moralitas yang sangat baik. Untuk

melihat lebih detail bahwa moralitas sangat baik tersebut ditunjukkan

dalam hubungannya dengan orang tua.

Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat kategori

moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang

baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata yang

harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan

standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 39

dan deviasi standarnya adalah 8. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali (57,

14 %), baik (28,57 %) dan sedang (14, 29 %) yang secara lengkap

dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.8.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. Moralitas Baik sekali

40 - 49 4 57, 14 %

2. Moralitas Baik 31 - 39 2 28, 57 %

3. Moralitas Sedang

22 - 30 1 14, 29 %

Sangat Baik

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik

berkebutuhan khusus (ABK) terhadap orang tua memiliki moralitas

Page 110: pengertian moral

110

yang sangat baik, hal ini didasarkan dari pencapaian nilai prosentase

yang lebih dari prosentase rata-rata yang dihasilkan yaitu sebesar 57,

14 %.

1.2. Moralitas Peserta Didik terhadap Guru

Berdasarkan hasil data penelitian terhadap peserta didik

berkebutuhan khusus, menunjukkan moralitas yang sangat baik. Untuk

melihat lebih detail bahwa moralitas sangat baik tersebut ditunjukkan

dalam hubungannya terhadap guru.

Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat kategori

moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang

baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata yang

harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan

standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 39

dan deviasi standarnya adalah 8. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali (57,

14 %), baik (28, 57 %) dan sedang (14, 29 %) yang secara lengkap

dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.9.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. Moralitas Baik sekali

39 - 49 4 57, 14 %

2. Moralitas Baik

28 - 38 2 28, 57 %

3. Moralitas Sedang

17 - 27 1 14, 29 %

Sangat

Baik

Page 111: pengertian moral

111

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa moralitas peserta

didik berkebutuhan khusus (ABK) terhadap Guru memiliki moralitas

yang sangat baik, hal ini didasarkan dari pencapaian nilai prosentase

yang lebih dari prosentase rata-rata yang dihasilkan yaitu sebesar 57,

14 %.

1.3. Moralitas Peserta Didik terhadap Teman Sebaya

Berdasarkan hasil data penelitian moralitas terhadap peserta

didik berkebutuhan khusus terhadap teman sebaya, menunjukkan

moralitas yang sangat baik. Untuk melihat lebih detail bahwa

moralitas sangat baik tersebut ditunjukkan dalam hubungannya

terhadap teman sebaya.

Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat kategori

moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang

baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata yang

harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan

standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 38

dan deviasi standarnya adalah 10. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali (57,

14 %), baik (28, 57 %) dan sedang (14, 29 %) yang secara lengkap

dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Page 112: pengertian moral

112

Tabel 4.10.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. Moralitas Baik sekali

37 - 47 4 57, 14 %

2. Moralitas Baik

25 - 36 2 28, 57 %

3. Moralitas Sedang

13 - 24 1 14, 29 %

Sangat

Baik

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik

berkebutuhan khusus (ABK) terhadap teman sebaya memiliki

moralitas yang sangat baik, hal ini didasarkan dari pencapaian nilai

prosentase yang lebih dari prosentase rata-rata yang dihasilkan yaitu

sebesar 57, 14 %.

2. Peserta Didik Normal 1

2.1 Moralitas Peserta Didik terhadap Orang Tua

Berdasarkan hasil data penelitian terhadap peserta didik normal

1, menunjukkan moralitas yang sangat baik. Untuk melihat lebih detail

bahwa moralitas sangat baik tersebut ditunjukkan dalam hubungannya

dengan orang tua.

Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat kategori

moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang

baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata yang

harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan

standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 39

dan deviasi standarnya adalah 8. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali (31,

Page 113: pengertian moral

113

58 %), baik (36, 84 %), sedang (21, 05 %) serta kurang baik (10, 53

%) yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.11.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang

Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. Moralitas Baik sekali

40 - 45 6 31, 58 %

2. Moralitas Baik

34 - 39 7 36, 84 %

3. Moralitas Sedang

28 - 33 4 21, 05 %

4. Moralitas Kurang Baik

22 - 27 2 10, 53 %

Baik

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik normal

1 memiliki moralitas baik terhadap orang tua, hal ini didasarkan dari

pencapaian nilai prosentase 68, 42 % di atas prosentase rata-ratanya.

1.2. Moralitas Peserta Didik terhadap Guru

Berdasarkan hasil data penelitian terhadap peserta didik normal

1, menunjukkan moralitas yang sangat baik. Untuk melihat lebih detail

bahwa moralitas sangat baik tersebut ditunjukkan dalam hubungannya

terhadap guru.

Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat kategori

moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang

baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata yang

harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan

standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 36

dan deviasi standarnya adalah 6. Dengan demikian dapat diketahui

Page 114: pengertian moral

114

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali

(21,05 %), baik (36, 84 %) dan sedang (42, 11 %) yang secara

lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 5.12.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang

Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. Moralitas Baik sekali

42 - 48 4 21, 05 %

2. Moralitas Baik

37 - 41 7 36, 84 %

3. Moralitas Sedang

30 - 36 8 42, 11 %

Baik

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik normal

1 memiliki moralitas yang baik terhadap guru, hal ini didasarkan dari

pencapaian nilai prosentase yang lebih besar dari prosentase rata-rata

yang dihasilkan yaitu 57, 89 %.

1.3. Moralitas Peserta Didik terhadap Teman Sebaya

Berdasarkan hasil data penelitian terhadap peserta didik normal

1, menunjukkan moralitas yang sangat baik terhadap teman sebaya.

Untuk melihat lebih detail bahwa moralitas sangat baik tersebut

ditunjukkan dalam hubungannya terhadap teman sebaya.

Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat kategori

moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang

baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata yang

harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan

standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 37

Page 115: pengertian moral

115

dan deviasi standarnya adalah 7. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali

(10,53 %), baik (31,58 %), sedang (52,63 %) serta kurang baik (5,26

%) yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.13.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. Moralitas Baik sekali

46 – 53 2 10, 53 %

2. Moralitas Baik

38 – 45 6 31, 58 %

3. Moralitas Sedang

30 - 37 10 52, 63 %

4. Moralitas Kurang Baik

22 - 29 1 5, 26 %

Sedang

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik normal

1 memiliki moralitas yang sedang terhadap teman sebaya, hal ini

didasarkan dari pencapaian nilai prosentase yang lebih kecil dari

prosentase rata-rata yang dihasilkan yaitu 42, 11 %.

3. Peserta Didik Normal 2

3.1 Moralitas Peserta Didik terhadap Orang Tua

Berdasarkan hasil data penelitian terhadap peserta didik normal

2, menunjukkan moralitas yang sangat baik. Untuk melihat lebih detail

bahwa moralitas sangat baik tersebut ditunjukkan dalam hubungannya

dengan orang tua.

Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat kategori

moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang

baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata yang

Page 116: pengertian moral

116

harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan

standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40

dan deviasi standarnya adalah 7. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali (64,

29 %), baik (14, 29 %), sedang (21, 43 %) serta kurang baik (10, 53

%) yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.14.

Kategori Moralitas peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. Moralitas Baik sekali

41 - 48 9 64, 29 %

2. Moralitas Baik

33 - 40 2 14, 29 %

3. Moralitas Sedang

25 - 32 3 21, 43 %

4. Moralitas Kurang Baik

25 - 32 3 21, 43 %

Sangat Baik

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik normal

2 memiliki moralitas yang baik sekali terhadap orang tua, hal ini

didasarkan dari pencapaian nilai prosentase yang lebih besar dari

prosentase rata-rata yang dihasilkan yaitu 64, 29 %.

3.2. Moralitas Peserta Didik terhadap Guru

Berdasarkan hasil data penelitian terhadap peserta didik normal

2, menunjukkan moralitas yang sangat baik. Untuk melihat lebih detail

bahwa moralitas sangat baik tersebut ditunjukkan dalam hubungannya

terhadap guru. Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat

Page 117: pengertian moral

117

kategori moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan

kurang baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-

rata yang harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata

teoritik dan standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar,

1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 43

dan deviasi standarnya adalah 13. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali

(7,14 %), baik (35,71 %), sedang (50 %) serta kurang baik (7,14 %)

yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.15.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. Moralitas Baik sekali

58 - 71 1 7,14 %

2. Moralitas Baik

44 - 57 5 35,72 %

3. Moralitas Sedang

30 - 43 7 50 %

4. Moralitas Kurang Baik

26 - 29 1 7,14 %

Sedang

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik normal

2 memiliki moralitas yang sedang terhadap guru, hal ini didasarkan

dari pencapaian nilai prosentase yang lebih kecil dari prosentase rata-

rata yang dihasilkan yaitu 42, 86 %.

3.3. Moralitas Peserta Didik terhadap Teman Sebaya

Berdasarkan hasil data penelitian terhadap peserta didik normal

2, menunjukkan moralitas yang sangat baik. Untuk melihat lebih detail

Page 118: pengertian moral

118

bahwa moralitas sangat baik tersebut ditunjukkan dalam hubungannya

terhadap guru.

Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat kategori

moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang

baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata yang

harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan

standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).

Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 38

dan deviasi standarnya adalah 7. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali

(10,53 %), baik (35,71 %), sedang (42,92 %) serta kurang baik (7,14

%) yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.16.

Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi

No Kategori Rentang

Skor Jumlah Persentase Keterangan

1. Moralitas Baik sekali

47 - 54 2 10, 53 %

2. Moralitas Baik

39- 46 5 35, 71 %

3. Moralitas Sedang

31 - 38 6 42, 92 %

4. Moralitas Kurang Baik

23 - 30 1 7, 14 %

Sedang

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik normal

2 memiliki moralitas yang sedang terhadap guru, hal ini didasarkan

dari pencapaian nilai prosentase yang lebih kecil dari prosentase rata-

rata yang dihasilkan yaitu 46, 24 %.

Page 119: pengertian moral

119

B. Hasil Analisis Data Penelitian

Dari deskripsi analisis data dapat disimpulkan bahwa tingkat

moralitas peserta didik dalam penelitian dengan menggunakan

analisis statistik, maka menghasilkan temuan-temuan di bawah ini:

Pertama, hasil analisis data mengenai moralitas peserta didik

berkebutuhan khusus menunjukkan moralitas yang sangat baik

pada rentangan skor 113 sampai dengan 143 dengan prosentase 71,

42 %. Hasil ini selaras dengan hasil wawancara yang penulis

lakukan kepada Kepala Sekolah, beberapa guru pembimbing khusus

serta guru pembimbing, dan melalui kuesioner yang mengatakan

bahwa pada umumnya peserta didik berkebutuhan khusus tergolong

peserta didik yang jujur, disiplin dan sangat baik.

Kedua, hasil analisis data mengenai moralitas peserta didik

normal 1 menunjukkan moralitas yang baik pada rentang skor 112

s/d 140 dengan prosentase 52, 63 %

Ketiga, hasil analisis data mengenai moralitas peserta didik

normal 2 menunjukkan moralitas yang baik pada rentang skor 118

s/d 144 dengan prosentase 64, 28 %.

Keempat, hasil analisis data mengenai moralitas peserta didik

berkebutuhan khusus menunjukkan moralitas yang sangat baik,

terhadap orang tua, terhadap guru maupun terhadap teman sebaya

dengan prosentase 57, 14 %.

Kelima, hasil analisis data mengenai moralitas peserta didik

normal 1 menunjukkan moralitas baik terhadap orang tua dan guru

dengan prosentase masing-masing 68, 42 % dan 57, 84 %,

sedangkan moralitas peserta didik normal 1 terhadap teman sebaya

memiliki kriteria sedang dengan prosentase 42, 11 %.

Keenam, hasil analisis data mengenai moralitas peserta didik

normal 2 menunjukkan moralitas baik sekali terhadap orang tua

dengan prosentase 64, 29 %, sedangkan moralitas peserta didik

Page 120: pengertian moral

120

normal 2 terhadap guru dan teman sebaya memiliki kriteria sedang

dengan prosentase masing-masing 42, 86 % dan 46, 24 %.

Page 121: pengertian moral

121

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat didiskripsikan

bahwa moralitas peserta didik pada Sekolah Inklusif SD Hj. Isriati

Semarang bisa disimpulkan sebagai berikut :

1. Moralitas peserta didik berkebutuhan khusus menunjukkan

moralitas yang sangat baik dengan prosentase 71, 42 %.

2. Moralitas peserta didik berkebutuhan khusus terhadap orang tua,

terhadap guru maupun terhadap teman sebaya menunjukkan

moralitas baik, dengan prosentase 57, 14 %.

3. Moralitas peserta didik non peserta didik berkebutuhan khusus

(peserta didik yang tempat duduknya berdekatan dengan

peserta didik berkebutuhan khusus atau normal 1 dan peserta

didik yang tempat duduknya berjauhan dengan peserta didik

berkebutuhan khusus atau normal 2, menunjukkan moralitas

baik dengan prosentase berkisar antara 52, 63 % sampai dengan

64, 28 %.

4. Moralitas peserta didik Normal 1 menunjukkan moralitas Baik

terhadap orang tua maupun terhadap guru, dengan prosentase

57, 84 % sampai dengan 68, 42, terhadap teman sebaya

menunjukkan moralitas sedang dengan proentase 42, 11 %.

5. Moralitas peserta didik Normal 2 menunjukkan moralitas sangat

baik terhadap orang tua dengan prosentase 64, 29 %, terhadap

guru maupun terhadap teman sebaya menunjukkan moralitas

sedang dengan prosentase 42, 86 %, sampai dengan 46, 24 %.

Page 122: pengertian moral

122

B. Saran dan Penutup

Saran

Penelitian ini hanya memiliki ruang lingkup bagi peserta didik

berkebutuhan khusus serta peserta didik normal yang berada

dilingkungan SD Hj Isriati Semarang sebagai penyelengara

pendidikan inklusif, serta hanya memotret moralitas peserta didik

berkebutuhan khusus, normal 1 dan normal 2. Berkaitan dengan hal

tersebut maka disarankan kepada :

1. Bagi Peneliti, untuk terus membicarakan dan menyampaikan

gagasan tentang moralitas, serta meneliti bidang lain yang

terkait untuk perbaikan dan konsistensi terhadap moralitas baik.

2. Bagi Birokrat, hasil yang mendiskripsikan bahwa moralitas

peserta didik pada kategori baik pada pendidikan inklusif,

direkomendasikan bahwa pendidikan inklusif adalah pendidikan

yang sesuai dengan fitrah manusia, untuk selanjutnya menjadi

acuan untuk pengambilan keputusan dalam penerapan kebijakan

pendidikan.

Penutup

Dengan memohon keridhaan Yang Maha Segalanya, dan

memanjatkan doa kepada Allah. Penulis menyadari sepenuhnya,

bahwa dalam penulisan dan pembahasan tesis ini masih ada

kekurangan, baik dari segi bahasa, sistimatika maupun analisisnya.

Untuk itu penulis mengharapkan masukan, kritik, tegur sapa

dan saran untuk perbaikan tesis ini.

Akhirnya, semoga tesis ini bermanfaat bagi siapa saja yang

berkesempatan membaca serta dapat memberikan sumbangan yang

positif bagi khasanah ilmu pengetahuan.

Page 123: pengertian moral

123

Adik-adik yang disayang Tuhan

Perkenankan bu Barokah minta tolong kepada adik-adik untuk mengisi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dibawah ini.

Hasil jawaban adik-adk sangat membantu tugas bu Barokah dalam menyelesaikan/membuat Tesis/karya penelitian dengan judul “Moralitas Peserta Didik pada Pendidikan Inklusif”.

Selamat bekerja ya, Tuhan akan membalas perbuatan adik-adik yang dilakukan dengan baik dan ikhlas, atas bantuan dan jerih payah adik-adik, bu Barokah mengucapkan terima kasih dan semoga keikhlasan Adik-adik menjadi ladang amal dan Tuhan selalu bersama-sama orang-orang yang baik dan ikhlas. Amiin

Semarang, Juli 2008

Saya, Bu Siti Barokah/Mahasiswi Pascasarjana IAIN Walisongo

Adik-adik cukup mengisi dengan memberi tanda silang (X) sesuai dengan keadaan dan perasaan hati adik-adik, dengan memilih salah satu jawaban dibawah ini :

Lampiran 1: Kuesioner Sikap Hormat dan Sikap Rukun Peserta Didik pada SD Hj. Isriati Semarang

Page 124: pengertian moral

124

NO PERTANYAAN

JAWABAN

S SK K TP

MORALITAS TERHADAP ORANG TUA

Hormat

1. Jika saya akan bepergian atau pergi ke sekolah, saya memberi salam dan mohon ijin kepada orang tua.

2. Jika orang tua sedang berbicara, saya tidak menyela pembicaraannya.

3. Saya berbicara dengan orang tua, saya melakukannya dengan lembut, tidak kasar dan tidak sembrono.

4. Kalau disuruh orang tua mengerjakan sesuatu atau disuruh membeli sesuatu, saya mengerjakan dengan ringan,siap dan tidak terpaksa.

5. Saya merasa rikuh pekewuh, malu, apabila saya melanggar nasehat-nasehat dan perintah-perintah baik bapak/ibu.

6. Dimanapun saya berada, saya ingat dan berusaha untuk menjaga nama baik bapak dan ibu, (dengan berbuat baik, tidak melanggar aturan, tidak nakal, dan lain sebagainya).

Rukun

7. Jika sedang ada persoalan dengan orang tua, saya berusaha untuk bermusyawarah dengan orang tua.

Page 125: pengertian moral

125

8. Jika terjadi perselisihan, saya memilih untuk mengalah, karena mengalah itu perbuatan mulia dan disayangi Tuhan.

9. Jika bepergian dengan orang tua kemana saja, saya berusaha untuk menggandeng dan mengiringi orang tua.

10. Jika saya akan bepergian keluar rumah dan setiap pulang di rumah serta bertemu orang tua, saya berusaha mencium tangannya.

11. Saya merasa kesepian atau sedih apabila ditinggal pergi orang tua lebih dari tiga hari.

12. Apabila dinasehati, diperintah orang tua, saya menurut, dan melaksanakan perintahnya.

MORALITAS TERHADAP

GURU/PENDIDIK

Hormat

13. Jika bapak/ibu guru sedang menerangkan pelajaran, saya mendengarkan dengan penuh perhatian.

14. Jika ada pelajaran yang kurang atau tidak jelas, saya akan bertanya dan akan memohon untuk diterangkan kembali dengan sopan pada bagian yang belum saya ketahui.

15. Saya segera menghadap dan melaksanakan perintah bapak/ibu guru apabila dipanggil atau diperintah.

16. Saya menundukkan kepala, membungkukkan badan, dan memberi salam ketika bertemu bapak/ibu guru dimana saja.

Page 126: pengertian moral

126

17. Saya merasa bersalah bila saya bercanda dengan teman-teman dan tanpa sepengetahuan saya ternyata hal tersebut di ketahui oleh bapak/ibu guru.

18. Saya merasa bapak/ibu guru merupakan orang-orang yang wajib dipatuhi perintah-perintahnya, saya menganggap bapak/ibu guru wajib digugu dan ditiru.

Rukun

19. Saya berhutang budi pada kebaikan bapak/ibu guru yang telah mengajar dengan ikhlas dan sabar.

20. Bila saya kurang setuju dengan pendapat bapak/ibu guru saya cenderung memilih mengalah.

21. Saya mengerjakan perintah bapak/ibu guru seperti mengerjakan pekerjaan rumah (PR), menulis dengan rapi dan sebagainya.

22. Saya bertindak segera apabila bapak/ibu guru menyuruh saya melakukan suatu pekerjaan.

23. Saya merasa nyaman bersama bapak/ibu guru.

24. Saya merasa kehilangan apabila ada bapak/ibu guru sedang menderita sakit, dan saya mendo’akannya biar cepat sembuh dan sabar dalam menerimaa cobaan hidup.

MORALITAS TERHADAP TEMAN

SEBAYA

Hormat

Page 127: pengertian moral

127

25. Kalau saya bermusyawarah dan berdiskusi dengan teman, saya berusaha tidak menyinggung perasaannya, dengan berbicara tenang.

26. Saya menghormati teman, walaupun dia tidak berada di samping saya.

27. Saya tidak pernah mengejek teman-teman.

28. Saya tidak bertindak usil, mencolak colek atau menjahili teman.

29 Saya berdosa apabila saya mengejek teman yang cacat, miskin, kurang pandai, teman yang nakal, karena saya tidak ingin menjadi seperti dia.

30. Saya merasa perasaan teman sama dengan saya, sehingga kalau ada teman yang sedang kesusahan, saya bersimpati kepadanya.

Rukun

31. Saya bermain dan berteman dengan siapa saja, tidak memandang apakah teman itu pandai atau tidak pandai, normal atau cacat, kaya atau miskin, anaknya orang biasa atau anaknya pejabat, dlsb.

32. Saya menolong teman-teman yang membutuhkan, tanpa membeda-bedakannya.

33. Saya menghormati teman, sekalipun dia cacat, kurang pandai, dan tidak pandai bergaul.

34. Saya rukun dengan teman-teman

35. Saya merasa kehilangan/kesepian apabila ada teman yang tidak masuk sekolah lebih dari 3 (tiga) hari.

Page 128: pengertian moral

128

36. Saya merasa terpanggil untuk membantu teman, ketika ada teman lain yang mengganggunya

Keterangan:

S = Selalu

SK = Sering kali

KK = Kadang-kadang

TP = Tidak pernah