Upload
zulfikar-nur-aly-nugraha
View
56
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Sebuah tulisan mengenai fenomena kebahasaan di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Citation preview
Penggunaan Bahasa Indonesia dan Asing pada Menu Makanan yang Didagangkan Di sekitar Jatinangor
Jatinangor, sebuah kecamatan di wilayah Sumedang, Jawa Barat. Wilayah Jatinangor
langsung berbatasan dengan Cileunyi, Kab. Bandung, sehingga Jatinangor menjadi daerah
sisimpangan dari Sumedang atau Tanjungsari menuju Bandung. Mahasiswa di sekitar Jatinangor
sering menyebut Jatinangor sebagai kota atau kawasan pendidikan. Walaupun statusnya masih
sebagai kecamatan, penyebutan tersebut memang tidak aneh karena di Jatinangor terdapat
beberapa lembaga setingkat perguruan tinggi diantaranya, Universitas Padjadjaran, ITB
Jatinangor, IPDN, dan IKOPIN. Perguruan tinggi tersebut adalah perguruan tinggi yang bukan
saja dikenal di Jawa Barat tetapi juga daerah lainnya di Indonesia. Hal ini tentu saja mengundang
banyak calon mahasiswa dan para pelaku usaha baik masyarakat Jawa Barat dan masyarakat
lainnya di Indonesia untuk kuliah dan membuka usaha. Sehingga karena banyaknya pendatang
dari luar daerah mengakibatkan datangnya pengaruh-pengaruh dari luar Jatinangor yang
memengaruhi kebiasaan dan cara hidup masyarakat Jatinangor, termasuk dari segi bahasa.
Jika kita jalan-jalan atau membeli makanan di Jatinangor, kita akan menemukan daftar
menu makanan yang disediakan atau didagangkan yang penamaannya ada yang memakai bahasa
lokal (sunda), bahasa Indonesia, dan bahkan bahasa asing. Dari bahasa Sunda misalnya comro
(oncom dijero), gehu (togé tahu), bala-bala, lotek, dan lainnya. Kalau dari bahasa Indonesia
misalnya tahu bulat, pisang aroma, nasi goreng, nasi kuning, ayam goreng, dan sebagainya. Dan
dari bahasa asing ada kebab, sandwich, omelet, steak, dan lainnya.
Jika diperhatikan dari wilayah geografis Jatinangor berada di wilayah Jawa Barat yang
notabene memiliki kebudayaan sunda dengan masyarakatnya yang menjaga nilai-nilai kearifan
lokal kasundaan-nya. Namun ada sebuah fenomena dalam pemakaian/penggunaan kosakata
dalam nama menu makanan-makanan yang didagangkan umumnya banyak memakai bahasa
Indonesia dan bahkan asing. Masyarakat asli Jatinangor jika mau beli makanan mereka misalnya
akan mengatakan “hayang nasi goreng euy!” atau “meuli ayam goreng wé lah!” padahal bahasa
pertama mereka adalah bahasa Sunda, tetapi ketika mau makan di luar atau beli di luar dalam
menyebutkan nama makanan dalam bahasa Indonesia. Begitu juga pedagangnya jika mau
menawarkan dagangan makanannya mereka mengatakan (walaupun ke sesama orang sunda)
“palay nasi goreng A?” atau “mésér atuh sandwich-na!”. Fenomena seperti ini tentu
menimbulkan pertanyaan, terutama penggunaan nama menu makanan yang sudah umum seperti
nasi goreng dan ayam goreng, walaupun pedagang dan pembelinya sama-sama orang Sunda
tetapi dalam menyebut nama menu makanan, mereka tidak dibasa Sundakeun nama menu
makanannya misalnya menjadi goréng hayam atau goréng sangu. Apa yang terjadi dengan
masyarakat asli Jatinangor dan urang Sunda lainnya?
Fenomena tersebut tentu bisa terjadi karena adanya interaksi-interaksi yang pesat antara
masyarakat Jatinangor dengan para pendatang sehingga banyak aspek-aspek yang datang dari
luar Jatinangor memengaruhi masyarakat asli terutama dalam penggunaan bahasa, termasuk
penamaan nama makanan-makanan dalam daftar menu yang didagangkan para pelaku dagang di
Jatinangor termasuk masyarakatnya sendiri. Karena bahasa akan selalu berkembang bahkan
berubah dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Kita tidak bisa memaksakan supaya
bahasa terjaga atau tetap dalam keasliannya, karena setiap budaya akan selalu memengaruhi
budaya lainnya.
Zulfikar N. Nugraha
180210110007
Dialektologi