Upload
buikhue
View
241
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENGGUNAAN MEDIA ANIMASI BERBASIS PENDEKATAN KOMUNIKASI TOTAL
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN
PADA ANAK TUNARUNGU KELAS DASAR V
DI SLB-B YRTRW SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2009/2010
Skripsi
Oleh :
Basten Yuni Artika
K 5106012
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
PENGGUNAAN MEDIA ANIMASI BERBASIS PENDEKATAN KOMUNIKASI TOTAL
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN
PADA ANAK TUNARUNGU KELAS DASAR V
DI SLB-B YRTRW SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2009/2010
Oleh :
Basten Yuni Artika
K 5106012
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Luar Biasa Jurusan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Dosen Pembimbing I
Drs. Abdul Salim Choiri, M. Kes NIP. 19570901 198203 1 002
Dosen Pembimbing II
Priyono, S. Pd. M. Si
NIP. 19710902 200501 1 001
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari :.Rabu................................
Tanggal :.7 April 2010....................
Tim Penguji Skripsi:
Nama Terang Tanda tangan
Ketua : Drs Rusdiana Indianto, M. Pd .........................
Sekretaris : Drs Maryadi, M. Ag ...........................
Anggota I : Drs. Abdul Salim Choiri, M. Kes .........................
Anggota II : Priyono, S. Pd, M. Si ............................
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd
NIP. 19600727 198702 1 001
v
ABSTRAK Basten Yuni Artika. PENGGUNAAN MEDIA ANIMASI BERBASIS PENDEKATAN KOMUNIKASI TOTAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN PADA ANAK TUNARUNGU KELAS DASAR V DI SLB-B YRTRW SURAKARTA TAHUN AJARAN 2009/2010. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret, 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman melalui penggunaan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total pada anak tunarungu kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009 / 2010.
Penelitian ini berbentuk Classroom Action Research / Penelitian Tindakan Kelas merupakan pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Penelitian ini berupa kolaborasi atau kerjasama antara peneliti, guru, dan siswa. Sumber data penelitian ini adalah peristiwa proses pembelajaran membaca pemahaman yang berlangsung di kelas dengan informan (guru dan siswa), serta dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi, wawancara, tes dan analisis dokumen. Untuk menguji validitas data penulis menggunakan triangulasi teknik dan review informan. Teknis analisis yang digunakan adalah dengan analisis kritis dan analisis deskriptif komparatif. Data kualitatif dianalisis dengan teknik analisis kritis sedangkan data yang berupa tes diklasifikasikan sebagai data kuantitatif. Data tersebut dianalisis secara deskriptif komparatif, yakni membandingkan nilai tes antar siklus dengan indikator pencapaian.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total dalam pembelajaran Bahasa Indonsia dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman pada anak tunarungu kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2009/2010.
vi
ABSTRACT
Basten Yuni Artika. IMPLEMENTING OF THE ANIMATION MEDIA BASED ON TOTAL COMMUNICATION APPROACH TO INCREASE THE ABILITY OF COMPREHENSION READING TOWARD THE HEARING EMPAIRMEN STUDENT AT THE GRADE V IN SLB B YRTRW SURAKARTA ACADEMIC YEAR OF 2009/2010. Thesis. Surakarta: Theacher Training and Education, University of Sebelas Maret Surakarta, March, 2010.
The goal of this research is to increase the ability of ccomprehension reading trough the implementation of animation media based on total ccommunication approach toward the hearing impairment student at the grade V in SLB B YRTRW Surakarta academic year of 2009/2010.
This research is in the form of Classroom Action Research is deep concerning about the learning activity that is an action consciously appear and happen in the classroom altogether. This research is a collaboration or cooperation between researcher, teacher and student. The data source of this research are learning process of a comprehension reading which is happen in the classroom with informant (teacher and student) and document. The data collection technique that is use are observation technique, interview, test and document analysis. To verify the data validity the writer use triangulation technique and review informant. Aanalysis technique which is use are by critical and descriptive comparative analysis. The qualitative data is analyzed using the critical analyzing mean while the data in form of test is classified as quantitative data. Those data are analyzed descriptive comparatively that is by comparing the test score between the sycle and the achievement indicator.
According to the research result can be concluded that the Implementation of animation media based on total communication approach in the learning of Bahasa Indonesia can increase the ability of comprehension reading toward the hearing impairment student at the grade V in SLB B YRTRW Surakarta academic year of 2009/2010.
vii
MOTTO
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan,
“ Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah
(nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti
azab-Ku sangat berat”.
( Terjemahan Al Qur’an Surat Ibrahim :7 )
viii
PERSEMBAHAN Karya ini kupersembahkan
Kepada:
1. Ibu dan Bapak tercinta, Tutik Wahyuningsih
dan Suyitno atas pancaran doa dan kasih
sayangnya.
2. Adik-adikku, Dwi Setianingsih tersayang
atas segala bantuan serta motivasi dalam
penelitian, dan Chaesar Dewa Tama yang
selalu memberikan semangat.
3. Bapak dan Ibu Dosen PLB yang telah
banyak memberikan ilmu.
4. Almamater.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan untuk memenuhi sebagian
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, motivasi dan bimbingan
dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis
ucapkan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Bapak Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, yang telah
memberikan izin dalam melakukan penelitian;
2. Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta, Bapak Prof. Dr.rer.nat. Sajidan, M.Si yang telah memberikan
izin dalam melakukan penelitian;
3. Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta, Bapak Drs. Amir Fuady, M.Hum yang telah memberikan izin
dalam melakukan penelitian;
4. Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bapak Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd;
5. Ketua Program Studi Pendidikan Luar Biasa Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bapak Drs.
Abdul Salim Choiri, M.Kes dan sekaligus Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dalam penyusunan skripsi;
6. Sekretaris Program Studi Pendidikan Luar Biasa Jurusan Ilmu Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Bapak Drs. Maryadi, M.Ag ;
7. Bapak Priyono, S. Pd, M. Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dalam penyusunan skripsi;
8. Bapak Misdi S. Pd, selaku Kepala Sekolah SLB-B YRTRW Surakarta yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian;
x
9. Ibu Dra. Sri Sumarsih, selaku guru kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta,
yang telah banyak membantu, memberikan masukan serta kerjasama dalam
bentuk kolaborasi dengan penulis dalam penelitian ;
10. Seluruh bapak dan ibu guru SLB B YRTRW Surakarta yang telah ikut
memberikan semangat dan bantuan selama pelaksanaan penelitian;
11. Siswa kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta yang telah membantu pelasanaan
penelitian;
12. Teman-teman kos Samuri ( Dwi Setianingsih, mbak Winda, Miranti, Reni, mbak
Anif, Ajeng, mbak Lilis, Denis, Ias, Cilla, Wahyu, Fadil, Tini, Evillina, Mbak
Hesti dan Isti ), terimakasih untuk persaudaraan, dukungan dan semangatnya
dalam menyelesaikan skripsi ini;
13. Keluarga besar JN UKMI UNS atas segala pelajaran bermakna dan ukhuwah
yang terjalin indah;
14. Teman-teman PLB 2006 (Ajeng, Mbak Ipunk, Hastati, Selvy Dwi, Tse-tse,
Aman, Mbak Nita, Drajat, De Aziz, Fitri, Ham_id, Helga, Mbak Restix,
Yippy, Inay, Ka Chipa, Selviana, Reni Retno, Nita, Mbak Lulut, Reni Puji,
Ricun, Natan, Ifah, Poyan, Wahyu, Pras, Mbak Heni, Anita, Sasi, Titus,
Tunang dan Yonas) atas semangat dan dukungan;
15. Sahabat terbaikku Trias Ayu Nugraheny, atas segala motivasi dan doanya;
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, Maret 2009
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGAJUAN........................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iv
HALAMAN ABSTRAK ............................................................................. v
HALAMAN MOTTO ................................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................... viii
DAFTAR ISI.................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................ xiv
DAFTAR BAGAN .......................................................................... xv
DAFTAR GRAFIK ........................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 6
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................. 8
1. Tinjauan Tentang Anak Tunarungu.................................................... 8
a. Pengertian Anak Tunarungu...................................................... 8
b. Faktor Penyebab Tunarungu..................................................... 9
c. Klasifikasi Anak Tunarungu...................................................... 11
d. Karakteristik Ketunarunguan .................................................. 16
2. Tinjauan Tentang Membaca Pemahaman..................................... 18
a. Pengertian Membaca................................................................. 18
b. Pengertian Membaca Pemahaman............................................ 19
c. Membaca Pemahaman untuk Anak Tunarungu........................ 22
xii
Halaman
3. Tinjauan Tentang Media...............................................................
a. Pengertian Media......................................................................
b. Ciri-ciri Media Pendidikan........................................................
c. Fungsi dan Manfaat Media Pendidikan.....................................
d. Pemilihan Media Pengajaran......................................................
e. Klasifikasi Media dan Jenis Media............................................
f. Media Animasi............................................................................
4. Tinjauan Tentang Komunikasi Total..............................................
a. Pengertian Komunikasi Total...................................................
b. Faktor-Faktor yang Mendorong Perkembangan
KomunikasiTotal......................................................................
c. Penerapan Komunikasi Total...................................................
d. Metode Komunikasi yang Dikenal dalam Pendidikan
AnakTunarungu......................................................................
C. Kerangka Berfikir..............................................................................
D. Hipotesis Tindakan.........................................................................
BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................
A. Tempat dan Waktu Penelitian ...........................................................
B. Pendekatan penelitian .....................................................................
C. Subjek Penelitian................................................................................ D. Teknik Pengumpulan Data.................................................................
E. Sumber Data.......................................................................................
F. Uji Validitas Data...............................................................................
G. Teknik Analisis Data...........................................................................
H. Indikator Ketercapaian........................................................................
I. Prosedur Penelitian...............................................................................
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................
A. Pelaksanaan Tindakan ............................................................
1. Siklus Pertama .................................................................
23
23
24
25
28
30
32
33
34
35
36
39
42
43
44
44
44
45
45
48
49
49
50
50
53
53
53
xiii
Halaman
a. Perencanaan Tindakan ............................................ 53
b. Tindakan I ............................................................... 55
c. Pengamatan ............................................................. 57
d. Refleksi .................................................................. 57
2. Siklus Kedua ................................................................. 58
a. Perencanaan Tindakan II ......................................... 58
b. Tindakan II .............................................................. 60
c. Pengamatan ............................................................. 62
d. Refleksi ................................................................... 62
3. Siklus Ketiga ................................................................. 63
a. Perencanaan Tindakan III ........................................ 63
b. Tindakan III ............................................................ 65
c. Pengamatan ............................................................. 66
d. Refleksi ................................................................... 66
B. Hasil Penelitian ...................................................................... 67
C. Pembahasan Hasil Penelitian.................................................. 80
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN .......................... 92
A. Simpulan ............................................................................... 92
B. Implikasi ................................................................................ 92
C. Saran ..................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 95
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Hasil Wawancara Observasi Awal............................................ 98
Lampiran 2 : Daftar nilai ulangan harian membaca pemahaman .................... 101
Lampiran 3 : Lembar Observasi Awal Keaktifan Siswa................................. 102
Lampiran 4 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I............................. 103
Lampiran 5 : Silabus SLB B Kelas Dasar V .................................................. 110
Lampiran 6 : Kisi-Kisi Soal Test Prestasi Belajar Siklus I ............................. 111
Lampiran 7 : Bacaan Post-Test I ................................................................... 112
Lampiran 8 : Soal-Soal Post-Test I ................................................................ 113
Lampiran 9: Penilaian Menceritakan Kembali Siklus 1 .................................. 114
Lampiran 10 : Lembar Observasi Keaktifan Siswa Siklus 1 .......................... 115
Lampiran11 : Lembar Observasi Kemampuan Guru Menjelaskan Siklus 1 .... 116
Lampiran 12 : Lembar Observasi Kemampuan Mengelola Kelas Siklus 1 ..... 117
Lampiran 13 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus II ......................... 122
Lampiran 14 : Kisi-Kisi Soal Test Prestasi Belajar Siklus II .......................... 124
Lampiran 15 : Bacaan Post-Test II ................................................................ 125
Lampiran 16 : Soal-Soal Post-Test II............................................................. 126
Lampiran 17 : Penilaian Menceritakan Kembali Siklus II .............................. 127
Lampiran 18 : Lembar Observasi Keaktifan Siswa Siklus II .......................... 128
Lampiran 19 : Lembar Observasi Kemampuan Guru Menjelaskan Siklus II .. 129
Lampiran 20 : Lembar Observasi Kemampuan Mengelola Kelas Siklus II .... 130
Lampiran 21 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus III ........................ 131
Lampiran 22 : Kisi-Kisi Soal Test Prestasi Belajar Siklus III ......................... 136
Lampiran 23 : Bacaan Post-Test III ............................................................... 137
Lampiran 24 : Soal-Soal Post-Test III ........................................................... 138
Lampiran 25 : Penilaian Menceritakan Kembali Siklus III ............................ 139
Lampiran 26 : Lembar Observasi Keaktifan Siswa Siklus III......................... 140
Lampiran 27 : Lembar Observasi Kemampuan Guru Menjelaskan Siklus III . 141
Lampiran 28 : Lembar Observasi Kemampuan Mengelola Kelas Siklus III ... 142
Lampiran 29 : Dokumentasi Observasi Awal ................................................ 143
xv
Lampiran 30 : Dokumentasi Siklus 1............................................................. 144
Lampiran 31 : Dokumentasi Siklus 2............................................................. 145
Lampiran 32 : Dokumentasi Siklus 3............................................................. 146
Lampiran 33 : Surat Permohonan Izin Research Kepada Rektor .................... 147
Lampiran 34 : Surat Permohonan Izin Research Kepada Kepala Sekolah ...... 148
Lampiran 35 : Surat Permohonan Izin Menyusun Skripsi .............................. 149
Lampiran 36 : Surat Keputusan Dekan FKIP ................................................. 150
Lampiran 37 : Surat Keterangan telah Melaksanakan Penelitian ................... 151
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Daftar Nilai Ulangan Harian Aspek Membaca Pemahaman
Siswa KelasV SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran
2009/2010 Semester Genap ......................................................
Tabel 2 : Keterampilan Membaca Pemahaman ........................................
Tabel 3 : Hubungan Media dengan Tujuan Belajar ..................................
Tabel 4 : Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian............................
Tabel 5 : Deskripsi Indikator Ketercapaian ..............................................
Tabel 6 : Kemampuan Awal Membaca Pemahaman Siswa Kelas Dasar
SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009 / 2010
Semester Genap .......................................................................
Tabel 7 : Hasil Observasi Kondisi Awal Keaktifan Siswa ........................
Tabel 8 : Hasil Tes Membaca Pemahaman Siklus 1 .................................
Tabel 9 : Keaktifan Siswa Pada Kegiatan Belajar Mengajar Siklus II ......
Tabel 10 : Hasil Tes Membaca Pemahaman Siklus 2 .................................
Tabel 11 : Hasil Observasi Keaktifan Siswa Siklus 2 .................................
Tabel 12 : Hasil Tes Membaca Pemahaman Siklus 3 .................................
Tabel 13 : Hasil Observasi Keaktifan Siswa Siklus 3 .................................
Tabel 14 : Peningkatan Nilai Tes Membaca Pemahaman Tiap Siklus ........
Tabel 15 : Peningkatan Keaktifan Siswa Kelas Dasar V SLB B YRTRW
Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010 Tiap Siklus ......................
Tabel 16 : Hubungan Media dengan Tujuan Belajar..................................
2
21
31
44
50
67
68
69
70
71
72
73
74
75
77
81
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1: Alur Kerangka Berpikir ................................................... 42
Gambar 2: Prosedur Penelitian Tindakan Kelas ................................ 45
Gambar 3: Triangulasi teknik ........................................................... 49
Gambar 4: Grafik Tabulasi Nilai Membaca Pemahaman ................... 76
Gambar 5: Grafik Tabulasi Keaktifan Siswa ..................................... 78
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ketunarunguan adalah satu istilah umum yang menggambarkan suatu
kondisi dimana indera pendengaran anak mengalami gangguan. Istilah ini
menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik. Akibat dari
adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran.
Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang
bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan
aktifitas berbahasa dan komunikasi secara verbal.
Kehilangan pendengaran adalah ancaman utama, bukan saja terhadap pendengaran, tetapi juga kepada kehidupan pribadi dan sosial. Ketidakmampuan mendengar penuturan bahasa, musik, dan bunyi-bunyian alam sekeliling berkaitan dengan masalah, psikologi sosial yang memberi pengaruh terhadap fungsi dan kualitas kehidupan sehari-hari. Lindblade (dalam Jamila K. A Muhammad, 2008 : 56).
Akibat dari keadaaan tersebut, tentu saja akan berpengaruh kepada
kemampuan berbahasa anak tunarungu yang terdiri dari keterampilan menulis,
menyimak, berbicara, dan membaca. Hal ini merupakan dampak yang secara
langsung dialami oleh anak tunarungu. Mengingat dari semua keterampilan
tersebut, sangatlah mengandalkan indera pendengaran sebagai penerima
xviii
informasi. Sejak kecil dunia mereka begitu sunyi, perolehan informasi dan
pengetahuan hanya mengandalkan pada indera visual.
Dari keempat keterampilan berbahasa tersebut, membaca
merupakan keterampilan yang paling sulit untuk anak tunarungu. Lerner (dalam
Mulyono Abdurrahman, 2003 : 200) mengemukakan bahwa, “Kemampuan
membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi”.
Sebagai proses visual membaca merupakan proses menerjemahkan
simbol tulis ke dalam kata-kata lisan. Sebagai suatu proses berfikir, membaca
mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca
kritis dan pemahaman kreatif.
Untuk membaca teknis, sebagian besar anak tunarungu tidak
mengalami kesulitan, tetapi untuk membaca pemahaman banyak anak
tunarungu yang mengalami kesulitan. Berkaitan dengan definisi membaca
pemahaman (Comprehension Reading), Mile A. Tinker dan Constance Mc
Cullough (1975:9), mengutip beberapa pengertian membaca pemahaman yang
diterjemahkan secara bebas dengan memperhatikan taksonomi Barrett
berpendapat bahwa aspek dalam membaca pemahaman meliputi: (1)
komprehensif literal, (2) pengingatan, (3) pengorganisasian, (4) komprehensif
inferensial, (5) evaluasi, dan (6) apresiasi.
Uraian di atas menggambarkan bahwa begitu rumitnya proses
membaca. Sebagian besar anak tunarungu tidak mengalami kesulitan dalam hal
membaca teknis, disisi lain banyak pula yang mengalami kesulitan dalam
membaca pemahaman. Kemiskinan kosakata membuat anak tuna rungu
kesulitan dalam memahami suatu bacaan.
M. Cem Girgin (2008:27) mengemukakan bahwa, “The aim of training
children with hearing impairment in the auditory oral approach is to develop
good speaking abilities. However, children with profound hearing-impairment
show a wide range of spoken language abilities, some having highly intelligible
speech while others have unintelligible speech”.
xix
Tujuan melatih anak tunarungu dengan pendekatan auditory oral adalah
untuk mengembangkan kemampuan berbicara yang baik. Akan tetapi, anak
dengan tingkat tunarungu yang parah menunjukkan rentan perbedaan
kemampuan berbahasa yang luas. Beberapa dari mereka dapat berbicara dengan
mudah dimengerti, sementara yang lain mengucapkan kata-kata yang tidak
mudah dipahami.
Pendapat tersebut menjelaskan bahwa tujuan dari pendidikan anak
tunarungu dalam pendekatan auditory oral adalah pada berkembangnya
kemampuan bicara yang baik. Pendekatan auditory oral disini adalah pendekatan
pembelajaran yang berbasis pada kemampuan bicara /oral anak tunarungu. Anak
tunarungu dengan kategori berat akan menunjukkan kesulitan dalam berbicara
bahasa, beberapa mempunyai kemampuan yang lebih bila dibandingkan dengan
anak tunarungu lainnya.
Tidak mengherankan bahwa kesulitan membaca pada anak-anak
tunarungu sebagai akibat dari kehilangan pendengaran. Banyak
anak tunarungu memperoleh pendidikan dengan menggunakan bahasa lisan.
Demikian halnya dengan yang terjadi di kelas Dasar V SLB-B YRTRW Surakarta
Tahun Ajaran 2009 / 2010. Beberapa pertanyaan yang jawabannya terdapat
dalam bacaan saja mereka mengalami kesulitan. Terlebih lagi jika ada perintah
untuk menceritakan kembali isi bacaan. Bahasa lisan mereka sangat berantakan
dalam menyusun kalimat isi bacaan. Seharusnya hal ini menjadi dasar bagi siswa
dalam memahami bacaan-bacaan yang juga banyak terdapat pada mata
pelajaran di luar Bahasa Indonesia.
Dari hasil nilai ulangan tes semester genap mata pelajaran Bahasa
Indonesia, dalam aspek membaca pemahaman nilai siswa adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Daftar Nilai Ulangan Harian Aspek Membaca Pemahaman Siswa KelasV
SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009 / 2010 Semester Genap
No Nama Siswa Nilai
xx
1 Ri 50
2 And 40
3 Dn 50
4 Fr 40
5 Anj 50
6 As 50
7 Nr 40
Dari tabel 1 tersebut, terlihat ada 3 siswa dari 7 siswa secara keseluruhan
yang mendapat nilai 40 atau sebesar 42,85% dan 4 siswa yang lain mendapat nilai 50 atau sebesar 57,14%. Bila dianalisis dengan meninjau KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang telah ditetapkan untuk Bahasa Indonesia yaitu ≥ 60, belum ada dari ke 7 siswa tersebut yang mencapai ketuntasan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal siswa dalam membaca pemahaman adalah 0%.
Hal ini juga ditegaskan oleh hasil wawancara dengan guru kelas, bahwa
memang kendala utama dalam bahasa anak tunarungu adalah dalam membaca
pemahaman. Semua siswa di kelas Dasar V yang berjumlah 7 siswa mengalami
kesulitan dalam membaca pemahaman. Begitu juga dalam proses observasi
awal, dalam meninjau aspek keaktifan siswa menunjukkan keaktifan yang kurang
dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Dalam aspek pemahaman, guru harus
bekerja keras dan berfikir kreatif agar anak dapat memahami isi dari bacaan.
Selama ini guru mengandalkan gambar dan pengalaman siswa sehari-hari,
diangkat menjadi topik pembicaraan.
Proses belajar mengajar akan lebih variatif dan kreatif jika
menggunakan media pembelajaran. Begitu pula dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia, terlebih lagi bagi anak tunarungu. Mereka sangat membutuhkan
media sebagai alat bantu dalam memvisualkan hal-hal yang bersifat abstrak,
terutama yang terkandung dalam bacaan.
Hamalik (dalam Azhar Arsyad, 2005 : 15) mengemukakan bahwa, “Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa”.
xxi
Azhar Arsyad, (2005 : 15) yang menyatakan bahwa, ”Dalam suatu
proses belajar mengajar, ada dua unsur yang amat penting adalah metode
mengajar dan media pembelajaran”. Berdasarkan paparan di atas, maka penulis
berinisiatif untuk menggunakan suatu media pembelajaran visual animasi
berbasis pendekatan komunikasi total. Pada dasarnya animasi adalah
menciptakan gerakan, dan cara termudah adalah dengan menggambar rangkaian
gerakan, seperti yang sering dilihat di televisi maupun dilayar lebar. Animasi
tidak hanya untuk film kartun saja, dapat juga kita gunakan untuk media
pendidikan, informasi, dan media pengetahuan lainnya. Animasi juga dapat
dijadikan media untuk menarik perhatian siswa agar tetap fokus dan semangat
saat proses belajar mengajar berlangsung.
Perlakuan khusus pada penggunaan media animasi untuk pembelajaran
anak tunarungu adalah peran serta guru sebagai fasilitator pengganti suara yaitu
dengan komunikasi total. Komunikasi total merupakan cara berkomunikasi
dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Dalam
kaitannya dengan pemanfaatan media animasi ini yang paling penting adalah
kejelasan bahasa verbal guru. Artikulasi harus benar-benar jelas dan terlihat
perbedaan tiap-tiap huruf.
Dengan media ini sistem pengajaran diharapkan dapat lebih efektif dan
membantu anak tunarungu dalam membaca pemahaman. Ilustrasi animasi/
gambar bergerak diharapkan dapat menghidupkan pemahaman siswa dalam
memahami jalan cerita serta makna yang terkandung dalam suatu bacaan.
Thomas Wibowo (2005: 82) mengemukakan bahwa, “Keberhasilan
menggunakan media dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil
belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan pesan, dan (3)
karakteristik penerima pesan. Dengan demikian dalam memilih dan
menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut”. Beberapa aspek
tersebut akan lebih meningkatkan hasil belajar siswa jika disertai dengan
kemampuan guru dalam mengelola kelas.
xxii
Seperti yang dikemukakan oleh Andyarto Surjana, (2002: 65) bahwa,
“Upaya yang dilakukan guru untuk mengkondisikan kelas dengan
mengoptimalisasikan berbagai sumber (potensi yang ada pada diri guru, sarana
dan lingkungan belajar di kelas) yang ditujukan agar proses belajar mengajar
dapat berjalan sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai”.
Atas dasar latar belakang tersebut, muncul ketertarikan dalam diri
penulis untuk melakukan penelitian dan mengkaji lebih lanjut ke dalam skripsi
dengan judul “ Penggunaan Media Animasi Berbasis Pendekatan Komunikasi
Total untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman pada Anak
Tunarungu Kelas Dasar V di SLB-B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010
“.
B. Rumusan Masalah
Apakah penggunaan media animasi berbasis pendekatan komunikasi
total dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas Dasar
V SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009 / 2010 ?
C. Tujuan Penelitian
Untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman melalui
penggunaan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total pada anak
tunarungu kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009 / 2010.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini adalah
bertambahnya reverensi menuju perkembangan kualitas pembelajaran Bahasa
Indonesia khususnya dalam keterampilan membaca pemahaman bagi anak
xxiii
tunarungu. Selain itu, penelitian ini bisa dijadikan sebagai dasar dalam
melakukan penelitian selanjutnya dengan variabel yang lebih kompleks.
2. Manfaat Praktis
a. Guru
1) Sebagai gambaran penerapan media pembelajaran animasi berbasis
pendekatan komunikasi total dalam meningkatkan kemampuan
membaca pemahaman siswa tunarungu kelas Dasar V SLB B YRTRW
Surakarta, sekaligus memberikan alternatif solusi pada kesulitan
membaca pemahaman pada siswa dalam pelaksanaan pembelajaran
Bahasa Indonesia.
2) Sebagai salah satu pilihan untuk menerapkan salah satu media
pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik siswa untuk
meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa tunarungu
kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta.
b. Siswa tunarungu kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta
1) Sebagai alternatif media belajar untuk meningkatkan kemampuan
membaca pemahaman siswa.
2) Sebagai salah satu sarana untuk membantu siswa dalam memahami isi
suatu bacaan dalam belajar membaca pemahaman.
c. Bagi peneliti selanjutnya
1) Sebagai salah satu referensi untuk melakukan kajian-kajian lebih lanjut
mengenai suatu rancangan pembelajaran membaca pemahaman
dengan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik siswa.
2) Menjadi salah satu bahan kajian yang relevan dalam penelitian lanjutan
dengan variabel yang sama, di sekolah dan kondisi yang berbeda.
xxiv
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN
HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Tentang Anak Tunarungu
a. Pengertian Anak Tunarungu
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan
pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai
rangsangan terutama melalui indera pendengarannya. Batasan pengertian anak
tunarungu telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang semuanya itu pada
dasarnya mengandung pengertian yang sama. Di bawah ini dikemukakan
beberapa definisi anak tuna rungu.
Kehilangan pendengaran adalah ancaman utama, bukan saja terhadap pendengaran, tetapi juga kepada kehidupan pribadi dan sosial. Ketidakmampuan mendengar penuturan bahasa, musik, dan bunyi-bunyian alam sekeliling berkaitan dengan masalah, psikologi sosial yang memberi pengaruh terhadap fungsi dan kualitas kehidupan sehari-hari. (Lindblade dan McDonald, 1995, Saunders 1994, Taylor 1993 dalam Jamila K. A Muhammad, 2008 : 56).
Andreas Dwidjosumarto (dalam Sutjihati Somantri 1996:74)
mengemukakan bahwa “Seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar
suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing)”. Tuli adalah mereka yang indera
pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga
pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka
yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi
untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar
(hearing aids).
Anak tunarungu adalah yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak. Mufti Salim, (dalam Sutjihati Somantri, 1996:74)
xxv
Dari berbagai pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa tunarungu
merupakan suatu keadaan dimana fungsi indera pendengaran mengalami
gangguan, baik dengan taraf kurang mendengar ataupun karena kerusakan indera
pendengaran, sehingga berpengaruh terhadap keterampilan berbahasa serta dalam
menerima berbagai informasi terutama yang mengandalkan auditoris. Informasi
yang ada hanya dapat mengandalkan indera penglihatan dan pengalaman nyata.
b. Faktor Penyebab Tunarungu
Jamila K. A Muhammad (2008 : 57) mengungkapkan beberapa faktor-
faktor penyebab masalah pendengaran ini bersumber dari berbagai faktor,
sebelum lahir, dan setelah lahir, seperti sebagai berikut :
1. Sebelum masa kelahiran a. Penyakit turunan yang disebabkan oleh gen b. Bukan penyakit turunan
1) Sakit selama hamil, terutama oleh virus seperti rubela, demam glandular, dan selesma.
2) Semasa hamil, sang ibu mengidap penyakit yang disebabkan oleh pola makan, seperti beri-beri dan kencing manis.
3) Selama hamil, sang ibu mengkonsumsi obat ataupun bahan kimia seperti kuanin dan streptomycin.
4) Sang ibu menderita toksemia pada masa akhir kehamilan. 5) Sering hamil
2. Saat melahirkan a. Masa melahirkan yang terlalu lama atau bayi sulit keluar yang
menyebabkan terjadinya tekanan yang kuat pada bagian telinga. b. Kelahiran prematur c. Cedera pada saat dilahirkan, terutama pada telinga d. Penyakit hemolisis yang sering kali disebabkan oleh faktor Rh.
3. Setelah Kelahiran a. Anak mengidap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus,
seperti gondok dan campak. b. Kecelakaan yang mencederai bagian telinga c. Pengkonsumsian antibiotik, seperti streptomycin. d. Menangkap bunyi yang terlalu keras dalam jangka waktu yang lama
M. Tholib, 2009 (dalam http://bintangbangsaku.com/artikel/2009/02/anak-
tunarungu/) mengemukakan pendapat tentang faktor penyebab tunarungu sebagai
berikut:
1. Penyebab Tunarungu Tipe Konduktif:
xxvi
a. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan antara lain oleh:
1) tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus akustikus externus), dan
2) terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa). b. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat
disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut: 1) Ruda Paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada
telinga seperti karena jatuh tabrakan, tertusuk, dan sebagainya. 2) Terjadinya peradangan/infeksi pada telinga tengah (otitis media). 3) Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki
tulang stapes. 4) Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada
gendang dengar (membran timpani) dan tulang pendengaran. 5) Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak
terbentuknya tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir. 6) Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga
telinga tengah dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.
2. Penyebab Terjadinya Tunarungu Tipe Sensorineural a. Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan), b. Disebabkan oleh faktor non genetik antara lain:
1) Rubena (Campak Jerman) 2) Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak. 3) Meningitis (radang selaput otak ) 4) Trauma akustik
Brown seperti yang dikutip oleh Heward & Orlansky (dalam Muljono Abdurrahman, 2003: 71 ) memberikan contoh penyebab kerusakan pendengaran yaitu :
1) Materna Rubella (campak), pada waktu ibu mengandung muda terkena penyakit campak sehingga dapat menyebabkan rusaknya pendengaran anak.
2) Faktor keturunan, yang tampak dari adanya beberapa anggota keluarga yang mengalami kerusakan pendengaran.
3) adanya komplikasi pada saat dalam kandungan dan kelahiran prematur, berat badan kurang, bayi lahir biru, dan sebagainya.
4) Meningitis (radang otak), sehingga ada semacam bekteri yang dapat merusak sensitifitas alat dengar di bagian dalam telinga.
5) Kecelakaan / trauma atau penyakit. Dari beberapa uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa memang
ada banyak faktor yang menyebabkan ketunarunguan, baik ditinjau dari waktu
terjadinya kerusakan ataupun tempat kerusakan indera pendengaran. Semua faktor
tersebut saling berkaitan, belum tentu bayi yang dalam masa kehamilan ibu sangat
sehat sampai proses kelahiranpun lancar, tetapi di masa post natal terjadi hal-hal
xxvii
yang menyebabkan ketunarunguan, sangat mungkin anak tersebut mengalami
ketunarunguan. Tetapi jika ketunarunguan terjadi sejak lahir, sangat kecil
kemungkinan anak tersebut akan normal pada tahap perkembangan selanjutnya.
c. Klasifikasi Anak Tunarungu
Jamila K. A Muhammad (2008: 59) berpendapat bahwa, “Terdapat
berbagai faktor yang berkaitan dengan klasifikasi masalah pendengaran,
yaitu tahap kehilangan pendengaran, usia ketika kehilangan pendengaran
dan jenis-jenis masalah kehilangan pendengaran”.
Puesche, seperti dikutip oleh Boothroyd (dalam Muljono
Abdurrahman, 2003: 64 ) mengemukakan bahwa,” Klasifikasi anak tuna
rungu berdasarkan pada (1) tingkat ketunarunguan dan (2) tempat kerusakan
dalam telinga”. Dari kedua pendapat tersebut penulis menyimpulkan bahwa
klasifikasi anak tunarungu dapat dikelompokkan berdasarkan :
1) Tahap Kehilangan Pendengaran
Jamila K. A Muhammad (2008: 59) menjelaskan lebih lanjut tentang klasifikasi berdasarkan tahap kehilangan pendengaran sebagai berikut:
a) Masalah pendengaran (1) Ringan (mild)
(a) Tingkat kehilangan pendengaran antara 27 hingga 40 dB (b) Memahami percakapan (c) Mengalami kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang pelan dan
jauh (d) Memerlukan terapi penuturan
(2) Sedang (moderate) (a) Tingkat kehilangan pendengaran antara 41 hingga 70 dB (b) Dapat mendengar bunyi pada jarak satu hingga 1,5 meter
darinya (c) Memahami percakapan (d) Sulit untuk ikut dalam perbincangan dalam kelas (e) memerlukan alat bantu dengar (f) Memerlukan terapi penuturan
(3) Menengah Serius (Moderate-severe) (a) Tahap kehilangan pendengaran antara 56 hingga 70 dB (b) Memerlukan alat bantu dengar dan latihan pendengaran (c) Memerlukan latihan penuturan dan komunikasi (d) Orang yang ingin berbicara dengan mereka harus berbicara
dengan keras
xxviii
(e) Penuturan mereka mungkin akan tidak sempurna karena pengalamannya dalam mendengar pembicaraan terbatas
b) Tuli 1) Serius (Severe)
(a) Tingkat hilangnya pendengaran antara 71 hingga 90 dB (b) Dapat mendengar bunyi yang keras pada jarak antara nol sampai
30,5 cm darinya (c) Mungkin hanya dapat membedakan sebagian dari bunyi saja. (d) Memiliki masalah dalam penuturan (e) Membutuhkan pendidikan khusus, alat bantu dengar, dan latihan
penuturan dan komunikasi 2) Sangat serius (profound)
a) Tingkat kehilangan pendengaran lebih dari 90dB b) Sulit untuk mendengar bunyi, walaupun keras. c) Memerlukan alat bantu pendengaran dan terapi penuturan d) Usia ketika kehilangan pendengaran. e) Anak-anak yang kehilangan pendengarannya sebelum dapat
bertutur dan berbahasa berada dalam kategori tuli pralingual yang biasanya menyebabkan masalah dalam pembelajar. Kehilangan pendengaransetelah dapat bertutur dan berbahasa disebut sebagai tuli pascalingual.
Puesche et al, seperti dikutip oleh Boothroyd (dalam Muljono Abdurrahman, 2003: 64 ) menjelaskan tentang tingkat ketunarunguan sebagai berikut :
a) Kehilangan pendengaran ringan berarti bahwa suara-suara dengan kekuatan sampai dengan 25-40 dB dan diatasnya tidak dapat didengar. Seseorang yang kehilangan pendengaran ringan dapat mendengar dan berpartisipasi dalam percakapan, akan tetapi mempunyai kesulitan dalam mendengar suara-suara dan bunyi-bunyi yang lembut. Namun demikian, biarpun mereka mungkin terlambat dalam perkembangan bahasabya, akan tetapi bicara dan artikulasinya normal.
b) Kehilangan pendengaran sedang berarti bahwa suara-suara dengan kekuatan 45-70 dB tidak dapat didengar. Pada tingkatan ini, percakapan yang normal sukar diikuti dan artikulasinya kurang baik. Perkembangan bahasa anak semacam ini biasanya terbelakang.
c) Kehilangan pendengaran berat berarti tidak dapat mendengar suara-suara sampai kekuatan 70-90 dB. Mereka sama sekali tidak dapat mengikuti percakapan yang normal. Sebagian besar apa yang diucapkan orang tidak didengar. Alat bantu dengar sangat menolong baik bagi anak yang kehilangan pendengaran sedang maupun berat.
d) Bagi orang yang kehilangan pendengaran sangat berat, suara-suara harus mempunyai kekuatan 90 dB atau lebih agar dapat didengar. Tidak mungkin untuk dapat mendengar suara percakapan yang normal dan alat bantu dengar sedikit sekali manfaatnya. Anak-anak yang tuli berat, biasanya belajar sistem komunikasi yang lain seperti bahasa isyarat atau menggunakan tulisan dalam berkomunikasi.
xxix
Meninjau dari kedua pendapat tentang tingkat ketunarunguan di atas,
penulis membuat kesimpulan, bahwa katunarunguan memang dapat
diklasifikasikan berdasarkan taraf kehilangan pendengaran. Dasar klasifikasi ini
adalah yang paling berguna dalam pemberian tindak lanjut dalam pemberian
layanan maupun pendidikan bagi anak tunarungu. Dengan mengetahui berapa dB
kehilangan pendengaran anak, maka baik orangtua maupun guru di sekolah dapat
menyesuaikan segala bentuk cara berkomunikasi dengan anak yang lebih efektif.
2). Berdasarkan Letak Gangguan Pendengaran
Berdasarkan letak gangguan pendengaran ketunarunguan Somad dan
Didi Tarsidi dalam http://bintangbangsaku.com/artikel/2009/02/anak-
tunarungu/ mengemukakan bahwa Tunarungu dapat di- klasifikasikan sebagai
berikut:
a) Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
b) Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.
c) Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer.
Puesche et al, seperti dikutip oleh Boothroyd (dalam Muljono Abdurrahman, 2003: 69 ) mengemukakan bahwa,” Kerusakan pendengaran dapat disebabkan kelainan-kelainan pada tiga komponen pendengaran, baik satu komponen saja ataupun gabungan di antara ketiganya, yaitu:
a) Kerusakan konduktif Kerusakan pendengaran yang terjadi apabila bagian luar dan bagian tengah telinga tidak meneruskan getaran suara ke bagian dalam telinga. Ini biasa disebut dengan tuli konduktif. Umumnya pada anak-anak disebabkan karena otitis media (infeksi atau peradangan pada telinga bagian tengah). Tuli konduktif kurang sensitif terhadap suara dan biasanya sampai 50-60 dB. Apabila hal ini terjadi pada masa anak sebelum sekolah, dapat berpengaruh pada perkembangan perseptualnya dan dapat berakibat kesukaran tingkah laku atau kesukaran belajar pada waktu ia masuk sekolah. Ini dapat disembuhkan melalui pengobatan atau melalui pembedahan.
xxx
b) Kerusakan sensori Kerusakan pendengaran yang disebabkan karena kerusakan sensori, biasanya disebut dengan tuli sensoris atau tuli reseptif. Kerusakan sensori ini terjadi karena cochlea ( rumah siput ) tidak cukup mampu menghantarkan informasi mengenai macam-macam suara yang diterima dari bagian tengah telinga. Kemungkinan yang paling kuat sebab kerusakan sensori ini adalah karena kerusakan beberapa atau semua bagian yang halus pada cochlea. Anak yang tuli sensori atau tuli reseptif , akan kehilangan kemampuan dalam membedakan frekuensi suara, juga berkurangnya kemampuan dalam mengidentifikasi frekuensi-frekuensi suara yang sangat kompleks. Dengan demikian informasi yang disampaikan ke otak tidak rinci.
c) Kerusakan saraf Kerusakan saraf ini menyebabkan gangguan dalam memusatkan perhatian, mengingat, mengenal kembali, asosiasi, dan dalam memahami. Ini dapat disebabkan karena kerusakan langsung pada mekanisme saraf atau kerusakan tak langsung sebagai akibat dari kerusakan sensorik. Dari kedua penjelasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
berdasarkan letak gangguan pendengaran, tunarungu dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kategori yaitu tunarungu konduktif, sensori dan saraf. Masing-
masing jenis menunjukkan letak kerusakan yang mengakibatkan ketunarunguan.
Dengan klasifikasi ini, akan sangat membantu dalam penanganan secara medis
terhadap upaya penyembuhan atau pemaksimalan fungsi organ pendengaran anak.
Sehingga dapat menunjang segala aspek dalam kehidupan anak, baik secara
individu maupun sosial.
3). Berdasarkan Tingkat Keberfungsian Telinga
Somad dan Didi Tarsidi dalam (http://www.slbmuh-
palu.net/index.php?menu=news&id_news=828) mengemukakan klasifikasi
Anak tunarungu berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar
bunyi, ketunarunguan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu:
a) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan
b) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa
xxxi
memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
c) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
d) Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin baginya, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada komunikasi visual.
Untuk kepentingan pendidikan Andreas Dwidjosumanto (dalam Sutjihati Somantri 1996 :74) mengemukakan klasifikasi berdasarkan tingkat keberfungsian telinga, sebagai berikut :
1. Tingkat I : Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.
2. Tingkat II: Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB. Penderitanya kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara, dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.
3. Tingkat III : Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB
4. Tingkat IV :Kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas Dari beberapa pendapat tentang klasifikasi anak tunarungu di atas, penulis
menyimpulkan bahwa, pada dasarnya anak tunarungu memang luas cakupannya
dan memang harus ditinjau dariberbagai sisi dalam proses klasifikasi. Di atas telah
disebutkan ada 4 aspek yang menjadi dasar klasifikasi, yaitu berdasarkan tahap
kehilangan pendengaran, letak gangguan pendengaran, taraf ketidakberfungsian
telinga, dan berdasarkan kebutuhan pendidikan dan budaya.
Klasifikasi tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam pemberian
layanan dan pendidikan khusus bagi anak tunarungu, agar dalam kehidupan baik
individu serta sosial dapat berjalan dengan lancar dan meminimalkan bantuan dari
oranglain. Masing-masing dasar klasifikasi tersebut masih dapat diperluas lagi
nantinya, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
xxxii
d. Karakteristik Anak Tunarungu
1) Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu
Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik. Dengan demikian pada anak tunarungu tidak terjadi proses peniruan suara setelah perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan kemampuan dan taraf ketunarunguannya. Sutjihati Somantri (1996:76) Mohammad Efendi (2006:75) mengemukakan bahwa, ”Ada dua hal
penting yang menjadi ciri khas hambatan anak tunarungu dalam aspek kebahasaannya. Pertama, konsekuensi akibat kelainan pendengaran (tunarungu) berdampak pada kesulitan dalam menerima segala macam rangsangan bunyi yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada penderita akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada di sekitarnya”.
In spite of consistent field research to the contrary there still exists within both the educational community and the general public a perception that traditional literacy, the ability to read and write, may not be an instructional priority for the student with Severe Speech And Physical Disabilities. Victoria Zascavage (2009:131)
Pendapat di atas menjelaskan bahwa, dalam beberapa penelitian
tentang kelompok pendidikan dan persepsi masyarakat awam menununjukkan
bahwa kemampuan membaca dan menulis pada anak tunarungu dalam kategori
serius mungkin kurang mendapat prioritas.
Andreas Dwidjosumarto(1996: 36) mengemukakan bahwa, “Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan berbahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara khusus. Akibat dari ketidakmampuannya dibandingkan dengan anak yang mendengar dengan usia yang sama, maka dalam perkembangan bahasanya akan jauh tertinggal”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa
perkembangan bahasa anak tunarungu memang sangat terbatas. Baik itu dari segi
perkembangan membaca, bahasa tulis dan ujaran. Hal ini merupakan dampak dari
kerusakan dan ketidakberfungsian organ pendengaran yang mereka alami. Akibat
dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi
pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah
xxxiii
informasi yang bersifat auditif. Sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam
melakukan aktifitas berbahasa dan komunikasi secara verbal.
2) Perkembangan Emosi Anak Tunarungu
Herth dalam http://biokristi.sabda.org/biografi_helen_keller mengutip
perkataan Hellen Keller, yang buta dan tuli, di dalam otobiografinya menyatakan
bahwa “jika dia diberi kesempatan untuk memilih antara buta dan tuli, dia rela
memilih sebagai orang yang buta. Ini karena orang yang tuli akan merasa
terasing”.
Perkembangan sosial dan emosi anak yang memiliki masalah pendengaran sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka, perlakuan yang diterima, dan melalui kemampuan perkembangan mereka sendiri untuk membuat mereka mampu untuk mengungkapkan permasalahan mereka, keinginan, kebutuhan, dan untuk memahami perasaan oranglain. Jamila K. A Muhammad (2008:68)
Dari kedua pendapat di atas, maka penulis berpendapat bahwa masalah
komunikasi memberi implikasi terhadap kemandirian, kemampuan untuk bermain,
dan berbagi dengan rekan sebayanya. Kekurangan akan pemahaman akan bahasa
lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu
secara negatif atau salah dan hal ini sering menyebabkan tekanan pada emosinya.
Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan
pribadinya, dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif atau
sebaliknya menampakkan kebingungan atau keragu-raguan.
Emosi anak tunarungu selalu bergolak di satu pihak karena kemiskinan
bahasanya dan di sisi lain karena pengaruh dari luar yang diterimanya. Anak
tunarungu bila ditegur oleh orang yang tidak dikenalnya akan tampak resah,
gelisah.
3) Perkembangan Sosial Anak Tunarungu
Jamila K. A Muhammad (2008: 68) berpendapat bahwa,” Perkembangan sosial dan emosi anak yang memiliki masalah pendengaran sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka, perlakuan yang diterima, dan melalui kemampuan perkembangan mereka sendiri untuk membuat mereka mampu untuk mengungkapkan permasalahan mereka, keinginan, kebutuhan, dan
xxxiv
implikasi terhadap kemandirian, kemampuan untuk bermain, dan berbagi dengan rekan sebayanya”.
Sutjihati Somantri ( 1996 : 74 ) mengemukakan bahwa “Sudah menjadi
kejelasan bagi kita bahwa hubungan sosial banyak ditentukan oleh komunikasi
antara satu orang dengan oranglain”. Namun bagi anak tunarungu tidaklah
demikian karena anak ini mengalami hambatan dalam berbicara. Kemiskinan
bahasa membuat dia tidak mampu terlibat secara baik dalam situasi sosialnya.
Dan sebaliknya oranglain sulit memahami perasaan dan pikirannya.
Melihat kedua paparan di atas penulis menyimpulkan bahwa manusia
sebagai makhluk sosial yang selalu memerlukan kebersamaan dengan oranglain.
Demikian pula anak tunarungu tidak terlepas dari kebutuhan tersebut. Akan tetapi
dikarenakan mereka memiliki kelainan dalam segi fisik yang biasanya akan
menyebabkan suatu kelainan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Pada
umumnya lingkungan melihat mereka sebagai individu yang memiliki kekurangan
dan menilainya sebagai seorang yang kurang berkarya
2. Tinjauan Tentang Membaca Pemahaman
a. Pengertian Membaca
Meskipun media noncetak (televisi) telah banyak menggantikan
media cetak (buku), kemampuan membaca masih memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia modern. Dengan kemajuan ilmu dan
tenologi yang sangat pesat, manusia harus terus-menerus memperbaharui
pengetahuan dan ketarampilannya.
Pengertian membaca dalam KBBI diartikan sebagai (1) proses melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis atau dengan melisankan atau hanya dalam hati.(2). Mengeja atau melafalkan apa yang ditulis.(3). Mengucapkan.
Puji santosa, (dalam Muhammad Rohmadi, 2008:63) mengemukakan bahwa, “membaca dapat diartikan pula proses menyuarakan yang bertujuan untuk mengembangkan minat baca dan memahami bahasa tulis”.
Menurut Harris seperti yang dikutip oleh Mercer (dalam Muljono Abdurrahman, 2003:201) menjelaskan bahwa, “ada lima tahap perkembangan membaca, yaitu (1) kesiapan membaca, (2) membaca permulaan (3) keterampilan membaca cepat (4) membaca luas, dan (5) membaca yang sesungguhnya”.
xxxv
Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak mengalami kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang bidang studi pada kelas-kelas berikutnya. Oleh karena itu, anak harus belajar membaca agar ia dapat membaca untuk belajar. Lerner (dalam Muljono Abdurrahman, 2003: 200).
Meskipun membaca merupakan suatu kemampuan yang sangat
dibutuhkan, tetapi ternyata tidak mudah untuk menjelaskan hakikat membaca.
Muljono Abdurrahman, (2003: 203) merangkum pengertian membaca menurut
beberapa ahli, antara lain:
1) A.S. Broto (1975:10) mengemukakan bahwa “membaca bukan hanya mengucapkan bahasa tulisan atau lambang bunyi bahasa, melainkan juga menanggapi dan memahami isi bahasa tulisan”.
2) Soedarso (1983: 4) mengemukakan bahwa “membaca merupakan aktivitas kompleks yang memerlukan sejumlah besar tindakan terpisah-pisah mencakup penggunaan pengertian, khayalan, pengamatan, dan ingatan. Manusia tidak mungkin dapat membaca tanpa menggerakan mata dan menggunakan pikiran”.
3) Bond (1975:5) mengemukakan bahwa “membaca merupakan penggenalan simbol-simbol bahasa tulis yang merupakan stimulus yang membantu proses mengingat apa yang di baca, untuk membangun suatu pengertian melalui pengalaman yang telah dimiliki”.
Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian membaca di atas,
penulis menyimpulkan bahwa membaca merupakan suatu proses yang sangat
kompleks. Bukan hanya sekedar penggenalan simbol-simbol bahasa tulis, tetapi
lebih kepada stimulus yang membantu proses mengingat apa yang di baca, untuk
membangun suatu pengertian melalui pengalaman yang telah dimiliki.
Membaca sangatlah penting, terutama dalam proses pencarian informasi
secara visual. Dengan banyak membaca, pengetahuan akan bertambah dan
cakrawala pandang mengenai berbagai hal yang sedang berkembang terutama
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat.
b. Pengertian Membaca Pemahaman
Daryanto (1997: 101) mengemukakan bahwa “Dalam hubungan dengan
satuan pelajaran, ranah kognitif memegang peran paling utama “. Yang menjadi
tujuan pengajaran di SD, SMP, dan SMA pada umumnya adalah peningkatan
xxxvi
kemampuan siswa dalam aspek kognitif . Aspek kognitif dibedakan atas enam
jenjang menurut taksonomi Bloom (1956). Salah satu diantaranya adalah aspek
pemahaman (comprehension).
Daryanto (1997:106) berpendapat bahwa Kemampuan memahami
dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu :
a Menerjemahkan ( translation ) Pengertian menerjemahkan disini bukan saja pengalihan (translation) arti bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Dapat juga dari konsepsi abstrak menjadi suatu model, yaitu model simbolik untuk mempermudah orang mempelajarinya. Pengalihan konsep yang dirumuskan dengan kata-kata ke dalam gambar grafik dapat dimasukkan dalam kategori menerjemahkan.
b Menginterpretasikan Kemampuan ini lebih luas dari pada menerjemahkan. Ini adalah kemampuan untuk mengenal dan memahami.
c Mengekstrapolasi Agak lain dari menerjemahkan dan menafsirkan, tetapi lebih tinggi sifatnya. Ia menuntut kemampuan intelektual yang lebih tinggi.
Menurut Ekwall seperti yang dikutip oleh Hargrove dan Poteet (dalam Mulyono Abdurrahman, 2003: 194) ada tujuan kemampuan yang ingin dicapai melalui membaca pemahaman, yaitu:
a) mengenal ide pokok suatu bacaan b) mengenal detail yang penting c) mengembangkan imajinasi visual d) meramalkan hasil e) mengikuti petunjuk f) mengenal organisasi kerangan g) membaca kritis Untuk melatih anak membaca pemahaman, guru biasanya menugaskan
kepada anak untuk membaca yang dikenal dengan membaca dalam hati. Dengan
demikian, tujuan membaca dalam hati pada hakikatnya sama dengan membaca
pemahaman. Perbedaannya, anak-anak yang masih duduk di SD, tampaknya
masih sulit untuk mencapai tujuan seperti yang dikemukakan oleh Ekwall di atas.
Menurut Hragrove dan Poteet (dalam Mulyono Abdurrahman, 2003: 169)
ada sepuluh perilaku yang manjadi indikator kesulitan belajar membaca dalam
hati. Kesepuluh indikator tersebut adalah :
a) menunjuk tiap kata yang sedang dibaca dengan jari b) menelusuri baris yang sedang dibaca dari kiri ke kanan dengan jari c) menelusuri baris-baris yang sedang dibaca dari atas ke bawah d) membaca dengan berbisik
xxxvii
e) mengucapkan kata dengan keras f) menggerakkan kepala, bukan mata g) menempatkan buku dengan cara yang aneh h) menempatkan buku pada jarak pandang yang terlalu dekat. i) sering melihat gambar, jika ada j) hanya memandang secara sekilas dan kemudian berkata, “saya sudah
selesai”. Ruddell seperti dikutip oleh Hargrove dan Poteet (dalam Mulyono
Abdurrahman, 2003: 195) telah mengembangkan kerangka kerja lain tentang
bermacam-macam keterampilan membaca pemahaman. Kerangka kerja tersebut
mengkonseptualitaskan pemahaman sebagai suatu kontinum dari taraf faktual,
taraf interpretasi, hingga taraf aplikatif. Untuk sampai pada taraf faktual, anak
harus mengidentifikasi dengan mengingat data atau informasi yang ada dalam
bacaan. Untuk memilih pemahaman pada taraf interpretatif, anak harus melakukan
analisis, rekonstruksi atau pengujian, dan untuk sampai pada taraf aplikatif, anak
harus menggunakan atau mengaplikasikan data pada situasi baru.
Tabel. 2. Keterampilan Membaca Pemahaman
No Kompetensi Katerampilan Taraf Pemahaman
Faktual Interpretatif Aplikatif
1 Detail
a. Mengidentifikasi √ √
b. Membandingkan √ √ √
c. Mengklasifikasi √ √
2. Urutan √ √ √
3. Sebab dan akibat √ √ √
4. Ide Pokok √ √ √
5. Meramalkan hasil √ √
6. Mengevaluasi
a. Pertimbangan Pribadi √ √ √
b. Identifikasi Karakter √ √
c. Identifikasi Motif Pengarang √ √
7. Pemecahan masalah √
xxxviii
Dari beberapa pendapat tentang membaca pemahaman di atas, penulis
berpendapat bahwa pemahaman atau comprehension dapat diartikan menguasai
sesuatu dengan pikiran. Karena itu maka belajar berarti harus mengerti secara
mental makna filosofisnya, maksud dan implikasi serta aplikasi-aplikasinya,
sehingga menyebabkan siswa dapat memahami suatu situasi. Memahami
maksudnya, menangkap maknanya, adalah tujuan akhir dari setiap belajar.
Pemahaman atau comprehension memiliki arti yang sangat mendasar yang
meletakkan bagian-bagian belajar pada proporsinya. Tanpa itu, maka skill
pengetahuan dan sikap tidak akan bermakna.
Kemampuan ini umumnya mendapat penekanan dalam proses belajar-
mengajar. Siswa dituntut memahami atau mengerti apa yang diajarkan,
mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya
tanpa keharusan menghubungkannya dengan hal-hal lain. Bentuk soal yang sering
digunakan untuk mengukur kemampuan ini adalah pilihan ganda atau uraian.
c. Membaca Pemahaman untuk Anak Tunarungu
Cruickshank (dalam Mohammad Efendi 2006 :79 ) mengemukakan
bahwa “anak tunarungu seringkali memperlihatkan keterlambatan dalam belajar
dan kadang-kadang tampak ter-belakang”. Kondisi ini tidak hanya disebabkan
oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak, melainkan juga
tergantung kepada potensi kecerdasan yang dimilikinya. Rangsangan mental serta
dorongan dari lingkungan sekitar dapat memberikan kesempatan bagi anak
tunarungu untuk mengembangkan kecerdasannya.
Menyiasati masalah prestasi akademik yang dicapai oleh rata-rata anak tunarungu, Pusat Studi Demografi Univeritas Gallaudet ( Universitas yang mahasiswanya sebagian besar penderita tunarungu) yang berkedudukan di Amerika Serikat melakukan sebuah riset. Berdasarkan hasil kajiannya yang setiap tahun menyelenggarakan tes prestasi Stanford bagi anak tunarungu, dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu berusia 10 tahun memiliki kemampuan setingkat dengan anak kelas II dalam membaca dan berhitung. Sedangkan anak tunarungu berusia 17 tahun memiliki kemampuan setingkat dengan anak kelas IV dalam hal berhitung. Masih menggunakan tes yang sama ( tes prestasi Stamford ). Gentile, (dalam Mohammad Efendi 2006 :79)
xxxix
Jensema (dalam Mohammad Efendi 2006 :80) mencatat bahwa anak tunarungu yang memasuki periode usia 10 tahun dari usia 8-10 tahun, rata-rata yang memasuki periode usia 10 tahun dari usia 8-10 tahun, rata-rata yang mengalami penambahan kosakata sebanyak pada murid-murid yang normal pendengarannya antara permulaan taman kanak-kanak hingga akhir kelas II. Ditambah pula, kemampuan membaca anak tunarungu usia 14 tahun setingkat dengan anak kelas III.
Trybus dan Kurchmer (dalam Mohammad Efendi 2006 :80) melaporkan
hasil penelitiannya tentang kemajuan membaca dan berhitung pada 1.543 anak
tunarungu usia 3 tahun. Ia menemukan bahwa pemahaman membaca anak
tunarungu usia 9 tahun setingkat anak kelas II, dan pada usia 20 tahun setingkat
dengan anak normal kelas V.
Telah banyak pemaparan tentang membaca pemahaman, penulis
berpedapat bahwa membaca pemahaman pada anak tunarungu memang sangat
sulit. Keterbatasan pendengaran membuat anak tunarungu mengalami hambatan
dalam perkembangan bahasa, terutama dalam membaca pemahaman. Sangat
kompleksnya aspek-aspek yang terlibat didalamnya, yang membutuhkan juga
peran indera pendengaran dalam menangkap informasi auditif.
Kemampuan membaca mereka sangat tertinggal dibanding dengan anak
normal seusianya. Kemampuan mereka sebagian besar setara dengan anak normal
yang usianya berada di bawah mereka. Kemiskinan kosakata membuat anak tuna
rungu kesulitan dalam memahami suatu bacaan
3. Kajian Tentang Media
a. Pengertian Media
Proses belajar mengajar akan lebih variatif dan kreatif jika
menggunakan media pembelajaran. Azhar Arsyad ( 2005 : 3) menyatakan
bahwa ”Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah
berarti ’tengah’, ’perantara’ atau ’pengantar’. Dalam bahasa Arab, media
adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima”.
Gerlach & Ely ( dalam Azhar Arsyad, 2005 : 3 ) berpendapat bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus,
xl
pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
Pengertian lain dikemukakan oleh Mc Luhan (dalam Basuki Wibawa,
2001: 11) bahwa ”Media sangat luas sehingga mencakup semua alat
komunikasi dari seseorang ke oranglain yang tidak ada di hadapannya”.
Sedangkan menurut pendapat Romiszowski (dalam Basuki Wibawa, 2001: 12)
” Media adalah pembawa pesan yang berasal dari suatu sumber pesan ( yang
berupa orang atau benda ) kepada penerima pesan.
Dari beberapa pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa
media memang memiliki makna yang luas. Tetapi bila ditinjau dari bidang
pendidikan utamanya dalam proses belajar mengajar, penerima pesan itu
adalah siswa, pembawa pesan (media) itu berinteraksi dengan siswa melalui
indera mereka. Siswa dirangsang oleh media itu untuk menggunakan
inderanya untuk menerima informasi.
b. Ciri-ciri Media Pendidikan
Perolehan pengetahuan dan keterampilan, perubahan-perubahan sikap
dan tingkah laku dapat terjadi karena interaksi antara pengalaman baru dengan
pengalaman yang pernah dialami sebelumnya. Menurut Bruner ( dalam Azhar
Arsyad, 2005 : 7 ) ”Ada 3 tingkatan utama modus belajar, yaitu pengalaman
langsung (enactive), pengalaman piktorial / gambar ( iconic), dan pengalaman
abstrak (symbolic)”.
Gerlach & Ery ( dalam Azhar Arsyad, 2005 : 12 ) mengemukakan tiga ciri media yang merupakan petunjuk mengapa media digunakan dan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media yang mungkin guru tidak mampu (atau kurang efisien) melakukannya. Adapun ciri-ciri tersebut antara lain : 1) Ciri Fiksasi ( Fixative Property)
Ciri ini menggambarkan kemampuan media merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek. Suatu peristiwa atau objek dapat diurut dan disusun kembali dengan media seperti fotografi, video tape, audio tape, disket komputer, dan film.
2) Ciri Manipulatif Kemampuan media dari ciri manipulatif memerlukan perhatian
sungguh-sunguh karena apabila terjadi kesalahan dalam pengaturan
xli
kembali urutan kejadian atau pemotongan bagian-bagian yang salah, maka akan terjadi pula kesalahan penafsiran yang tentu saja akan membingungkan dan bahkan menyesatkan sehingga dapat mengubah sikap mereka ke arah yang tidak diinginkan.
3) Ciri Distributif Ciri distributif dari media memungkinkan suatu objek atau
kejadian ditransformasikan melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah besar siswa dengan stimulus pengamatan yang relatif sama mengenai kejadian itu.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa ciri-ciri
media pendidikan tidak dapat terlepas dari peran media tersebut dalam membantu
proses belajar mengajar. Ciri dasar media pembelajaran adalah menurut penulis
antara lain :(1) Bersifat nyata dan dapat terbuat dari bahan apapun, (2) Membantu
siswa dalam lelahami sesuatu yang bersifat rumit (3) Memberikan pengalaman
belajar yang berbeda dan bervariasi.
c. Fungsi dan Manfaat Media Pendidikan
Azhar Arsyad, (2005 : 15) berpendapat bahwa, ” dalam suatu proses
belajar mengajar, ada dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan
media pembelajaran”. Kedua aspek ini memang sangat berkaitan satu sama lain.
Pemilihan metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media yang
digunakan oleh seorang guru dalam proses pembelajaran.
Hamalik (dalam Azhar Arsyad, 2005 : 15) mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.
Basuki Wibawa, ( 2001: 12 ) berpendapat bahwa ”media dapat digunakan
dalam proses belajar mengajar dengan dua arah cara, yaitu sebagai alat bantu
mengajar dan sebagai media belajar yang dapat digunakan oleh siswa sendiri”.
Levie & Lentz (dalam Azhar Arsyad, 2005 : 16) mengemukakan empat
fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu :
1) Fungsi atensi Media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran.
2) Fungsi afeksi
xlii
Media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi yang menyangkut masalah sosial atau ras.
3) Fungsi kognisi Media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yag mengungkapkan bahwa lambang-lambang atau gambar memperlancar pencapaan tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.
4) Fungsi kompensatori Media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pembelajaran berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.
Media pembelajaran menurut Kemp & Dayton ( 1985:28 ), dapat
memenuhi tiga fungsi utama apabila media itu digunakan untuk perorangan,
kelompok, atau kelompok pendengar yang besar jumlahnya, yaitu:
1) Memotivasi minat atau tindakan Untuk tujuan memotivasi media pembelajaran dapat direalisasikan dengan teknik drama atau hiburan. Hasil yang diharapkan adalah melahirkan minat dan merangsang para siswa atau pendengar untuk bertindak.
2) Menyajikan informasi Untuk tujuan informasi, media pembelajaran dapat digunakan dalam rangka penyampaian informasi di hadapan sekelompok siswa. Isi dan bentuk penyajian bersifat amat umum, berfungsi sebagai pengantar, ringkasan laporan, atau pengetahuan latar belakang.
3) Memberi instruksi Media berfungsi untuk tujuan istruksional di mana informasi yang terdapat dalam media itu harus meliatkan siswa baik dalam benak atau mental maupun dalam bentuk aktivitas yang nyata sehingga pembelajaran dapat terjadi.
Kemp & Dayton (1985:3-4 dalam Azhar Arsyad, 2005 : 21-23) juga
mengemukakan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan dampak positif dari
penggunaan media sebagai bagian integral pembelajaran di kelas atau bagaimana
cara utama pembelajaran langsung sebagai berikut :
1) Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku 2) Pembalajaran bisa lebih menarik
xliii
3) Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan diterapkannya teori belajar dan prinsip-prinsip psikologis yang diterima dalam hal partisipasi siswa, umpan balik, dan penguatan.
4) Lama waktu pembelajaran yang diperlukan dapat dipersingkat karena kebanyakan media hanya memerlukan waktu singkat untuk mengantarkan pesan-pesan dan isi pelajaran dalam jumlah yang cukup banyak dan kemungkinannya dapat diserap oleh siswa lebih besar.
5) Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan bila mana integrasi kata dan gambar sebagai media pembelajaran dapat mengkomunikasikan elemen-elemen pengetahuan denga cara yang terorganisasikan dengan baik, spesifik dan jelas.
6) Pembelajaran dapat diberikan kapan dan di mana diinginkan atau diperlukan terutama jika media pembelajaran dirancang untuk penggunaan secara ndividu.
7) Sikap positif siswa terhadap apa yang mereka pelajari dan terhadap proses belajar dapat ditingkatkan.
8) Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif. Sudjana & Rivai (1992 : 2 dalam Azhar Arsyad, 2005 : 24-25),
mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu :
1) Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar
2) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran.
3) Metode mengajarkan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran.
4) Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, memerankan, dan lain-lain. Basuki Wibawa, ( 2001: 14 ) berpendapat bahwa, ”media itu dapat
membantu guru memberikan informasi dengan lebih baik :
1) Media mampu memperlihatkan gerak cepat yang sulit diamati dengan cermat oleh mata biasa
2) Media dapat memperbesar benda-benda keci yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang
3) Sebuah objek yang sangat besar tentu saja tidak dapat dibawa ke dalam kelas
4) Objek yang terlalu kompleks misalnya mesin atau jaringan radio dapat disajikan dengan menggunakan diagram atau model yang disederhanakan.
xliv
5) Media dapat menyajikan suatu proses atau pengalaman hidup yang utuh.
Dari beberapa pendapat tentang fungsi dan manfaat media, penulis
menyimpulkan bahwa media memiliki berbagai fungsi dan manfaat yang sangat
penting dalam pembelajaran. Media ibarat jembatan penghubung antara dua jalan
yang terputus. Jalan yang satu adalah materi yang diberikan oleh guru yang
dianggap sulit bagi siswa, sedangkan jalan yang kedua adalah pemahaman siswa.
Dengan media sebagai jembatan penghubung tersebut, terlihat jelas bahwa fungsi
dan manfaat media sangatlah besar. Terutama dalam memahamkan siswa terhadap
sesuatu yang memang sangat rumit dan perlu penjelasan riil.
d. Pemilihan Media Pengajaran
Azhar Arsyad, (2005 : 72-74) menjelaskan bahwa,”dari segi teori belajar,
berbagai kondisi dan prinsip-prinsip psikologis yang perlu mendapat
pertimbangan dalam pemilihan dan penggunaan media adalah sebagai berikut:
1) Motivasi. Harus ada kebutuhan, minat, atau keinginan untuk belajar dari pihak siswa sebelum memperhatikannya untuk mengerjakan tugas dan latihan. Lagi pula, pengalaman yang dialami siswa harus relevan dengan dan bermakna baginya. Oleh karena itu, perlu untuk melahirkan minat itu dengan perlakuan yang memotivasi dari informasi yang terkandung dalam media pembelajaran itu.
2) Perbedaan individual. Siswa belajar dengan cara dan tingkat kecepatan yang berbeda-beda. Faktor-faktor seperti kemampuan dan kesiapan siswa untuk belajar. Tingkat kecepatan penyajian informasi melalui media hanya berdasarkan kepada tingkat pemahaman.
3) Tujuan pembelajaran. Jika siswa diberitahukan apa yang diharapkan mereka pelajari melalui pembelajaran itu, kesempatan untuk berhasil dalam pembelajaran semakin besar. Tujuan ini akan menentukan bagian isi yang mana yang harus mendapatkan perhatian pokok dalam media pembelajaran.
4) Organisasi isi. Pembelajaran akan lebih mudah jika isi dan prosedur atau keterampilan fisik yang akan dipelajari diatur dan diorganisasikan ke dalam urutan-urutan yang bermakna. Siswa akan memahami dan mengingat lebih lama materi pelajaran yang secara logis disusun dan diurut-urutkan secara teratur. Dengan cara seperti itu, tingkatan materi yang akan disajikan ditetapkan berdasarkan kompleksitas dan tingkat kesulitan materi itu. Dengan cara seperti ini dalam pengembangan dan penggunaan media, siswa dapat dibantu untuk secara lebih baik mensintesis dan memadukan pengetahuan yang akan dipelajari
xlv
5) Persiapan sebelum belajar. Siswa sebaiknya telah menguasai secara baik pelajaran dasar atau memiliki pengalaman yang diperlukan secara memadai yang mungkin merupakan prasyarat untuk penggunaan media dengan sukses. Dengan kata lain, ketika merancang materi pelajaran, perhatian harus ditujukan kepada sifat dan tingkat persiapan siswa.
6) Emosi. Pembelajaran yang melibatkan emosi dan perasaan pribadi serta kecakapan amat berpengaruh dan bertahan. Media pembelajaran adalah cara yang sangat baik untuk menghasilkan respons emosional seperti takut, cems, empati, cinta kasih, dan kesenangan.
7) Partisipasi. Agar pembelajaran berlangsung dengan baik, seorang siswa harus menginternalisasi informasi, tidak sekedar diberitahukan kepadanya. Oleh karena itu, belajar memerlukan kegiatan. Partisipasi aktif oleh siswa jauh lebih baik daripada mendengarkan dan menonton secara pasif.
8) Umpan balik. Hail belajar dapat meningkat apabila secara berkala siswa diinformasikan kemajuan belajarnya. Pengetahuan tentang hasil belajar, pekerjaan yang baik, atau kebutuhan untuk perbaikan pada sisi-sisi tertentu akan memberikan sumbangan terhadap motivasi belajar yang berkelanjutan.
9) Penguatan ( reinforcement ). Apabila siswa berhasil belajar, ia didorong untuk terus belajar. Pembelajaran yang didorong oleh keberhasilan amat bermanfaat dapat membangun keprcayaan diri, dan secara positif mempengaruhi perilaku di masa-masa yang akan datang.
10) Latihan dan pengulangan. Agar sesuatu pengetahuan atau keterampilan dapat menjadi bagian kompetensi atau kecakapan intelektual seseorang, haruslah pengetahuan atau keterampilan itu sering diulangi dan dilakukan dalam berbagai konteks.
11) Penerapan. Hasil belajar yang diinginkan adalah meningkatkan kemampuan seseorang untuk menerapkan atau mentransfer hasil belajar pada masalah atau situasi baru.
Azhar Arsyad, (2005 : 75) mengungkapkan bahwa, ”Seperti telah diuraikan di atas, kriteria pemilihan media bersumber dari konsep bahwa media merupakan bagian dari sistem instruksional secara keseluruhan. Untuk itu, ada beberapa kriteria yang patut diperhatikan dalam memilih media:
1) Sesuai dengan tujaun yangingin dicapai 2) Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang bersifat fakta, konsep,
prinsip, atau generalisasi. 3) Praktis, luwes, dan bertahan 4) Guru terampil menggunakannya 5) Pengelompokan sasaran 6) Mutu teknis
xlvi
Dari beberapa pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa kriteria yang
paling utama dalam pemilihan media bahwa media harus disesuaikan dengan
tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Contoh : bila tujuan atau
kompetensi peserta didik bersifat menghafalkan kata-kata tentunya media audio
yang tepat untuk digunakan. Jika tujuan atau kompetensi yang dicapai bersifat
memahami isi bacaan maka media cetak yang lebih tepat digunakan. Kalau tujuan
pembelajaran bersifat motorik (gerak dan aktivitas), maka media film dan video
bisa digunakan. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya yang bersifat melengkapi
(komplementer), seperti: biaya, ketepatgunaan; keadaan peserta didik;
ketersediaan; dan mutu teknis.
e. Klasifikasi dan Jenis Media
Azhar Arsyad, (2005 : 65) mengungkap klasifikasi dan jenis media,
antara lain:
1) Media audio Media audio berfungsi untuk menyalurkan pesan audio dari sumber ke
penerima pesan. Ada beberapa jenis media yang dapat kita kelompokkan dalam media audio antara lain radio, piringan audio, tape recorder, phonograph, telepon, laboratorium bahasa, public address system, dan rekaman tulisan jauh.
2) Media visual Media visual dibedakan menjadi dua, yaitu : a). Media visual diam antara lain : foto, ilustrasi, flash card, gambar
pilihan dan potongan gambar, film rangkai, transparansi, proyector, dan tachitoscopes, serta grafik, bagan, gambar katun, peta, dan globe.
b). Media visual bergerak meliputi gambar-gambar proyeksi bergerak seperti film bisu dan sebagainya.
3) Media audio visual Media ini menjadi lebih efektif penggunaannya bila dibandingkan dengan media pesan visual saja. Kemampuannya akan meningkat lagi bila media pesan visual ini dilengkapi dengan karakteristik gerak. Media yang terakhir ini tidak saja dapat menyampaikan pesan-pesan yang lebih rumit, tapi juga lebih realistis. Salah satu contoh media audio visual adalah Film. Adapun kelebihan film untuk pembelajaran antara lain : a). Lebih mendekati realistis b). Lebih menarik perhatian siswa c). Dapat mengatasi keterbatasan indera penglihatan d). Dapat diputar ulang
xlvii
Demikian juga bermain peran, verja lapangan, relajar dengan bantuan komputer, memiliki kerakteristik yang sangat berbeda dengan media audio, visual, dan audio visual.
Terdapat berbagai jenis media belajar Menurut Akhmad Sudrajat
(dalam http://garengs-sofian.blogspot.com/2009/08 ), diantaranya:
1. Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik 2. Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya 3. Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan
sejenisnya 4. Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR),
komputer dan sejenisnya. Sejalan dengan perkembangan IPTEK penggunaan media, baik yang
bersifat visual, audial, projected still media maupun projected motion media bisa
dilakukan secara bersama dan serempak melalui satu alat saja yang disebut Multi
Media. Contoh : dewasa ini penggunaan komputer tidak hanya bersifat projected
motion media, namun dapat meramu semua jenis media yang bersifat interaktif.
Hubungan antara media dengan tujuan pembelajaran menurut Allen (dalam Akhmad Sudrajat http://garengs-sofian.blogspot.com/2009/08/), sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel.3. Hubungan Media dengan Tujuan Belajar
Jenis Media 1 2 3 4 5 6 Gambar Diam S T S S R R Gambar Hidup S T T T S S Televisi S S T S R S Obyek Tiga Dimensi R T R R R R Rekaman Audio S R R S R S Programmed Instruction S S S T R S Demonstrasi R S R T S S Buku teks tercetak S R S S R S
Keterangan : R = Rendah S = Sedang T= Tinggi 1 = Belajar Informasi faktual 2 = Belajar pengenalan visual 3 = Belajar prinsip, konsep dan aturan 4 = Prosedur belajar 5 = Penyampaian keterampilan persepsi motorik 6 = Mengembangkan sikap, opini dan motivasi
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa pada
dasarnya klasifikasi dan jenis media dibagi berdasarkan sifat dan tujuan belajar.
xlviii
Keterangan : R = Rendah S = Sedang T= Tinggi 1 = Belajar Informasi faktual 2 = Belajar pengenalan visual 3 = Belajar prinsip, konsep dan aturan 4 = Prosedur belajar 5 = Penyampaian keterampilan persepsi motorik 6 = Mengembangkan sikap, opini dan motivasi
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa pada
dasarnya klasifikasi dan jenis media dibagi berdasarkan sifat dan tujuan belajar.
Berdasarkan sifatnya ada media audio, visual,dan audio visual. Sedangkan
berdasarkan tujuan belajar ada gambar diam, gambar hidup, televisi, obyek tiga
dimensi, rekaman audio, programmed instruction, demonstrasi, buku teks
bercetak, dan lain-lain. Dari semua jenis dan klasifikasi ini, memang sangat
diperlukan dalam pengenalan masing-masing fungsinya, yang akan
mempermudah guru dalam mencari solusi dalam memecahkan permasalahan
dalam mengajar yang memerlukan media.
f. Media Animasi
Pengertian animasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Depdiknas,
1990: 53 ) tersurat bahwa “Animasi adalah acara televisi yang berbentuk
rangkaian lukisan atau gambar yang digerakkan secara mekanik elektronis
sehingga tampak di layar menjadi bergerak”.
Menurut Reiber (dalam http://biologi-staincrb.web.id/blog/artikel-
pendidikan) “bagian penting lain pada multimedia adalah animasi. Animasi dapat
digunakan untuk menarik perhatian peserta diklat jika digunakan secara tepat,
tetapi sebaliknya animasi juga dapat mengalihkan perhatian dari substansi materi
yang disampaikan ke hiasan animatif yang justru tidak penting”.
Membahas tentang animasi, tidak akan terlepas dari bantuan komputer
dan multimedia. Tinjauan mengenai hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Coldbeck (dalam Gene L Wilkinson, 1984 : 25) telah mengkaji
150 orang siswa sekolah menengah negeri yang tergabung dalam enam kelompok.
Kelompok pertama belajar dengan buku teks yang terprogram (programmed text),
kelompok kedua dengan pengajaran kelas biasa, kelompok ketiga belajar dengan
xlix
kombinasi kelas biasa dan teks terprogram. Ternyata kelompok ketiga mencapai
hasil yang secara signifikan lebih baik dari pada dua kelompok lainnya.
Suatu variasi pembelajaran terprogram adalah dengan menggunakan
komputer untuk menyajikan bahan-bahan pembelajarannya sebagai pengganti
buku teks, disebut pembelajaran dengan bantuan komputer ( Computer Assisted
Instruction ). Atkinson (dalam Gene L Wilkinson, 1984 : 26) meneliti pengajaran
membaca yang diberikan dengan memakai terminal komputer selama 20 menit
perhari bagi siswa kelas 1. Hasilnya menunjukkan bahwa 0 dari 10 perbandingan
mencapai hasil yang lebih baik secara signifikan pada tes akhir yang telah
distandarkan daripada mereka yang tidak menggunakan komputer.
Dari beberapa pendapat di atas penulis berpendapat bahwa, animasi
biasanya identik dengan gambar, meski tidak menutup
kemungkinan untuk membuat animasi melalui medium lainnya seperti
fotografi ataupun objek. Hal ini terutama karena pada dasarnya
animasi adalah menciptakan gerakan, dan cara termudah adalah dengan
menggambar rangkaian gerakan. Sehingga bisa dikatakan bahwa animasi
adalah media berbasis kartun. Kesamaan dalam visualisasi antara komik
strip (yang dikenal juga sebagai kartun strip) dengan animasi membuat
istilah film kartun menjadi semakin lekat dengan animasi.
Animasi dapat membantu proses pelajaran jika peserta didik dapat
melakukan proses kognitif dibantu dengan animasi, sedangkan tanpa animasi
proses kognitif tidak dapat dilakukan. Berdasarkan penelitian, peserta didik yang
memiliki latar belakang pendidikan dan pengetahuan rendah cenderung
memerlukan bantuan, salah satunya animasi, untuk menangkap konsep materi
yang disampaikan.
4. Tinjauan Tentang Komunikasi Total
Anak tuna rungu tidak bisa berkomunikasi dengan mengandalkan
bahasa lisan atau oral saja, karena bahasa lisan anak tunarungu tidak dapat
berkembang secara wajar. Mereka miskin dalam lambang bahasa, terutama
l
lambang bahasa lisan. Sebagai akibatnya, mereka menggunakan cara lain sebagai
pengganti bahasa lisan yaitu dengan bahasa isyarat.
Isyarat-isyarat yang mereka gunakan sangat beranekaragam, sehingga
sulit dipahami oleh lawan bicaranya yang normal. Masyarakat mendengar
mengalami kesulitan dalam memahami isyarat yang mereka gunakan, sehingga
anak tunarungu mengalamikesulitan dalam penyesuaian diri dengan masyarakat.
Komunikasi total pada prinsipnya menekankan bahwa setiap anak tuna
rungu berhak atas segala sarana komunikasi yaitu bicara, membaca ujaran,
menulis “mendengar”, membaca, ejaan jari, isyarat dan sebagainya. Komunikasi
total bukanlah merupakan suatu konsep yang sama sekali baru, tetapi lebih
merupakan suatu ide atau konsep lama yang kemudian mendapat perumusan baru
setelah diperkuat dengan data penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan.
a. Pengertian Komunikasi Total
Andreas Dwijosumarto (1996: 167) merangkum beberapa definisi
tentang komtal telah dikemukakan oleh para ahli yang masing-masing memberi
penekanan yang berbeda, antara lain :
1) Denton (1970) sebagai tokoh Komtal merupakan keseluruhan spektrum dari modus bahasa yakni isyarat yang dibuat anak, bahsa isyarat baku, bicara, membaca ujaran, menulis dan sisa pendengaran. Brill (1986) dalam seminar di london mengemukakan :
“ Komtal meliputi penggunaan salah satu modus atau semua cara komunikasi yaitu menggunakan sistem isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran, amplifikasi, gesti, pantomimik, menggambar, menulis serta pemanfaatan sisa pendengaran sesuai kebutuhan dan kemampuan perorangan.
2) Garretson (1976) mengemukakan : “Komtal bukan merupakan suatu metode ataupun cara mengajar tertentu melainkan merupakan suatu pendekatan falsafah yang memungkinkan terciptanya suatu iklim komunikasi yang luwes bagi anak tunarungu”.
3) “Komtal menggambarkan suatu falsafah tentang komunikasi bukan suatu metode suatu pengajaran atau cara komunikasi melainkan dapat diumpamakan sebagai tujuan pendidikan. Tujuannya adalah mengungkapkan bahasa yang digunakan masyarakat dalam berbagai cara (meliputi bicara, baca ujaran, isyarat, ejaan jari, membaca dan menulis) sehingga memungkinkan komunikasi yang lengkap “. (Hide, M Gravatt, Australia, 1983)
li
4) “Komtal adalah salah satu falsafah yang mencakup cara komunikasi oral, aural dan manual sehingga terjadi komunikasi yang efektif dengan dan diantara kaum tunarungu”.
Dari beberapa pendapat dimuka maka Andreas Dwijosumarto dapat
menyimpulkan bahwa, “Komtal adalah konsep pendidikan bagi kaum tunarungu
yang menganjurkan digunakannya semua bentuk media komunikasi untuk
meningkatkan keterampilan berbahasa. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
dalam komtal dapat dibedakan antara bentuk komunikasi ekspresif meliputi
bicara, berisyarat, ejaan jari, menulis dan pantomimik. Sedangkan komponen
komunikasi reseptif , meliputi : membaca ujaran, membaca isyarat, ejaan jari serta
mimik, pemanfaatan sisa pendengaran (dengan ABD), dan membaca”.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, penulis menyimpulkan
bahwa pengertian komunikasi total adalah suatu bentuk media komunikasi yang
bertujuan untuk membantu anak tunarungu dalam memahami bahasa yang
digunakan masyarakat dalam berbagai cara (meliputi bicara, baca ujaran, isyarat,
ejaan jari, membaca dan menulis) sehingga memungkinkan komunikasi yang
lengkap. Terutama dalam pembelajaran, komunikasi total sangat penting
mengingat banyak sekali media pembelajaran yang dapat digunakan dalam upaya
menerapkan pendekatan komunikasi total agar anak tunarungu dapat terbantu.
b. Faktor-Faktor yang Mendorong Perkembangan Komunikasi Total
Andreas Dwijosumarto (1996: 167) Konsep komunikasi total ini dapat diterima berdasarkan beberapa alasan antara lain:
1) Anak tunarungu mempunyai hak memilih media komunikasi yang cocok sesuai dengan keadaan fisiknya karena kemampuan mendengar yang terbatas, maka media komunikasi yang cocok bagi mereka adalah media yang tidak terlalu menuntut penggunaan pendengaran.
2) pemakaian media komunikasi yang cocok meningkatkan keberhasilan berkomunikasi. Hal ini akan mempertebal rasa percaya diri anak tunarungu.
3) salah satu bentuk media yang digunakan dalam komunikasi total adalah isyarat yang memiliki perbedaan makna visual.
Depdikbud (dalam Sutjihati Somantri, 1996: 77) menguatkan
pendapat di atas dengan mengemukakan bahwa, “Bahasa mempunyai fungsi dan peranan pokok sebagai media untuk komunikasi. Dalam fungsinya dapat pula dibedakan berbagai peran bahasa, antara lain:
1) Bahasa sebagai wahana untuk mengadakan kontak/hubungan 2) Untuk mengungkapkan perasaan kebutuhan dan keinginan
lii
3) Untuk mengatur dan menguasai tingkah laku oranglain 4) Untuk pemberian informasi 5) Untuk memperoleh pengetahuan
Menurut Andreas Dwijosumarto (1996: 168) secara garis besar faktor
pendorong perkembangan komunikasi total ada lima faktor, yaitu :
1) ketidak puasan dengan hasil pendidikan yang diproleh melalui metode oral yang telah terungkap melalui berbagai penelitian.
2) penelitian tentang penggunaan komponen manual dalam komunikasi dengan anak tunarungu ternyata tidak merugikan penggunaan bahasa mereka.
3) hasil penelitian bahasa isyarat yang megakibatkan perubahan pandangan orang terhadap bahasa isyarat tersebut.
4) bertambahnya kesadaran mayoritas (orang dengar) untuk menghargai keikhasan kelompok minoritas (anak tunarungu).
5) Bertambahnya pengetahuan tentang fase-fase pertama perkembangan bahasa anak dengar dan bahasa anak tunarungu.
Dari beberapa pendapat tentang faktor-faktor pendorong perkembangan
komunikasi total di atas, penulis menyimpulkan bahwa,” Faktor pendorong
berkembangnya komunikasi total merupakan suatu hal yang memang menjadi
keunggulan sistem komunikasi jenis ini. Menurut penulis keunggulan yang
menjadi faktor pendorong berkembangnya komunikasi total antara lain: sistem
komunikasi total sangat membantu anak tunarungu dalam memahami komunikasi
dengan masyarakat umum, perpaduan antara berbagai komunikasi membuat
komunikasi menjadi kompleks dan memberi satu alternatif pilihan
mediakomunikasiyang dianggap paling efektif untuk dipadukan menjadi
komunikasi total.
c. Penerapan Komunikasi Total
Bila ditinjau sejarah perkembangan metode komunikasi untuk anak tunarungu yang sejak dahulu digunakan maka sebenarnya Komtal bukanlah konsep yang sama sekali masih baru. Sejak dahulu sebenarnya baik di dalam maupun di luar negeri sudah banyak ahli atau para pendidik anak tunarungu yang telah mengembangkan bicara dengan isyarat ejaan jari untuk komunikasi atau mengajar anak tunarungu. Maka lebih tepat dikatakan bahwa komtal merupakan suatu ide atau konsep lama yang kemudian mendapat perumusan baru setelah diperkuat oleh data penelitian
liii
dan perkembangan ilmu pengetahuan yang mutakhir. (Andreas Dwijosumarto, 1996: 168)
Mohammad Efendi (2006: 78) mengemukakan bahwa, ”Sejak tahun 1960 mulai diperkenalkan kombinasi pendekatan oral dan isyarat”. Beberapa penelitian diketahui, bahwa pemakaian kombinasi metode dapat meningkatkan pencapaian pendidikan umum ( Stevenson, 1964) kemampuan membaca ujaran (Stuckless dan Birch, 1966), dan kemampuan bahasa tulis dan kematangan sosial (Meadow, 1968). Penguasaan kemampuan memperoleh kosakata anak tunarungu serta kemampuan mengungkapkan dalam berbicara dengan menggunakan metode kombinasi isyarat dan oral rata-rata mencapai 66%. ( Mulyana, 1993).
Asikin (dalam Mohammad Efendi, 2006: 79) mengemukakan bahwa,
“Demikian pula dalam hal kecepatan membaca efektif, anak tunarungu yang dididik dengan menggunakan komunikasi total (kombinasi metode oral dan isyarat) memiliki kecepatan membaca efektif yang lebih baik dari pada anak tunarungu yang dididik menggunakan metode oral”.
Andreas Dwijosumarto (1996: 169) menjelaskan tentang penerapan komunikasi total yang mencakup struktur, strategi dan tahapan dalam penerapan komunikasi total, sebagai berikut :
1) Struktur Penerapan Komtal Dalam penerapan penggabungan berbagai komponen komtal perlu diperhatikan apakah menggunakan komunikasi simultan atau komunikasi serempak. maka timbul permasalahan, yaitu : a) bagaimana keseremapakan atau hubungan yang ada antara bentuk
lisan dan isyarat? apakah ditekankan pada hubungan atau pengendalian bentuk yang persis sama antara bentuk lisan dan isyarat, yaitu setiap kata serta fonem dialihkan dalam bentuk isyarat (pendekatan secara struktural) ? atau pendekatan konsseptual dimana penekanannya lebih pada pengalihan makna yang sama dan kurang diutamakan dalam pengalihan bentuk.
b) bagaimana proses yang dialami anak tunarungu dengan komunikasi serempak ini?
2) Strategi dalam Penerapan Komtal Berikut ini akan dibahas proses perkembangan anak tuna rungu yang dididik dengan komtal berdasarkan pandangan L. Evans : a) anak sedini mungkin diperkenalkan dengan isyarat untuk
menunjang perkembangan bahasa batini dan aspek kognitifnya fase alamiah diperkuat dengan kosa kata dasar isyarat yang masih sederhana dan primitif ini makin ditingkatkan menjadi isyarat pada taraf lambang dan aturan sintaksisnya. Bersamaan dengan penyajian isyarat anak juga selalu disapa dengan bicara melalui pemanfaatan sisa pendengaran serta baca ujaran sebagai persiapan komunikasi simultan dan agar terbuka alternatif baginya bila ia ternyata memiliki bakat untuk berkomunikasi secara oral.
liv
Kemampuan berisyarat dapat merupakan dasar untuk melatih kemampuan berbicara.
b) Kemampuan berisyarat makin ditingkatkan dengan penerapan sistem isyarat formal melalui pemanfaatan ejaan jari untuk mengisyaratkan kata-kata fungsi dan gejala tata bahasa lainnya (seperti awalan dan akhiran) sebagai mana berlaku dalam bahasa indonesia. Menurut pengamatan L. Vans hal ini sudah dapat dilaksanakan sewaktu anak berusia 3 tahun.
c) Dalam tahap perkembangan berikutnya menggunakan ejaan jari semakin dapat ditingkatkan sehingga penerapannya semakin mewakili struktur bahasa Indonesia, hal ini dilaksanakan dalam hubungan yang erat dengan kemampuan membaca dan menulis.
d) Untuk selanjutnya perkembangan bahasa indonesia dengan tulisan akan merupakan dasar yang baik bagi perkembangan membaca ujaran. Semakin anak memahami konteks kalimat ia akan semakin dapat menerka ucapan melalui baca ujaran. Yang perlu mendapat perhatian dalam keseluruhan proses ini adalah sikap pendidik atau metoda yang perlu digunakan untuk membantu anak meningkatkan kemampuan komunikasinya.
3) Tahapan dalam komtal a) Sewaktu anak masih pada taraf permulaan , teknik yang digunakan
adalah teknik “menangkap” pesan yang ingin disampaikan dan memberikan isyarat yang diperlukan untuk berkomunikasi. Selanjutnya anak diberi penguatan negatif, yaitu anak tidak dihiraukan bila ia sebenarnya sudah menguasai isyarat tertentu dan diberi penguatan positif bila anak berkomunikasi dengan isyarat.
b) anak pada permulaan tidak dituntut untuk bicara walaupun mereka tetap dirangsang agar mau mencoba menggerakkan mulutnya seaktu berisyarat.
c) Anak yang berada pada tahap penggabungan antara isyarat dan taraf ungkapan dua isyarat diperlakukan dengan suatu sikap yang dinamakan “ Communication Blocking” atau penghalang komunikasi. Yaitu mengambil sikap pura-pura tidak mengerti ungkapan anak sehingga merangsang mereka untuk makin memperpanjang atau memperluas ungkapannya dengan isyarat.
d) kesukaran paling besar bagi guru adalah untuk mengubah pola ucapan anak yang masih salah menjadi ungkapan dendan struktur bahasa Indonesia yang benar. untuk mencapai hal itu digunakan 2 cara yaitu : (1) Penyajian Bahasa Indonesia Secara Informal
Dimaksudkan bahwa guru dalam setiap kegiatan belajar meng ajar selalu berkomunikasi dengan bahasa isyarat formal artinya selalu berisyarat menurut struktur bahasa indonesia yang baku.
(2) Penyajian bahasa secara formal Penyajian formal dilakukan seaktu pengajaran bahasa seperti misalnya pada waktu pelajaran membaca. Selain mengulang
lv
kembali ungkapan mereka dalam struktur bahasa Indonesia yang baku, perbendaharaan kosa isyaratnya sewaktu mereka membutuhkannya untuk komunikasi.
Dari beberapa pendapat tentang penerapan komunikasi total, maka
penulis menyimpulkan bahwa, ” Komunikasi total dalam penerapannya dapat
dikatakan sebagai suatu proses menuju perbaikan pola komunikasi bagi anak
tunarungu. Mulai dari tahun 1960an, dibuktikan dengan beberapa penelitian yang
tersebut di atas, komunikasi total menjadi salah satu alternatif dalam
pegembangan dalam bidang komunikasi bagi anak tunarungu. Maka lebih tepat
dikatakan bahwa komtal merupakan suatu ide atau konsep lama yang kemudian
mendapat perumusan baru setelah diperkuat oleh data penelitian dan
perkembangan ilmu pengetahuan yang mutakhir.
d. Metode Komunikasi yang Dikenal dalam Pendidikan Anak Tunarungu
Tanggapan dan opini umum berpendapat bahwa berkomunikasi secara lisan adalah media utama dan cara termudah untuk mempelajari dan menguasai bahasa. Berkomunikasi melalui berbicara adalah cara terbaik. Namun bagi anak-anak yang memiliki masalah pendengaran (karena kerusakan pendengaran), cara komunikasi lain menggantikan fungsi berbicara. Terdapat berbagai cara berkomunikasi untuk anak-anak yang memiliki masalah pendengaran, yaitu metode auditory oral, membaca bibir, bahasa isyarat, dan komunikasi universal. Penggunaan metode-metode tersebut bergantung pada tingkat masalah pendengaran dan penanganan awal yang telah dilakukan”. Jamila K. A Muhammad (2008 : 71) 1) Metode Auditory Oral
Metode ini menekankan pada proses mendengar serta bertutur kata dengan menggunakan alat bantu yang lebih baik, seperti penggunaan alat bantu pendengaran, penglihatan, dan sentuhan. Metode ini tidak menggunakan bahasa isyarat atau gerakan jari tetapi lebih menekankan pada metode pembacaan gerak bibir (lip reading). Metode ini menggunakan bantuan bunyi untuk mengembangkan kemampuan mendengar dan bertutur kata, membutuhkan latihan pendengaran yang dapat melatih anak-anak untuk mendengar bunyi dan mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang berbeda.
2) Membaca Bibir Komunikasi dengan metode ini baik untuk mereka yang mampu
berkonsentrasi tinggi pada bibir penutur bahasa. Metode ini juga menekankan pada penglihatan yang baik. Menurut John Tracy, anak-
lvi
anak tunarungu mendengar melalui mata, “ a deaf child to listen with his eye”. Metode ini mengharuskan anak-anak selalu melihat gerakan bibir penutur bahasa dengan tepat dan dalam situasi ini penutur bahasa dengan tepat dan dalam situasi ini penutur bahasa harus barada di tempat yang terang dan dapat terlihat dengan jelas.
3) Bahasa Isyarat Pada umumnya, bahasa isyarat digunakan secara mudah dengan
menggabungkan perkataan dengan makna dasar. Terdapat berbagai bahasa isyarat, contohnya American Sign Language, Pidgin Sign English(PSE), Seeing Essential English (SEEI), Signing Exact English (SEE II), dan di Malaysia adalah Kod Tangan Bahasa Melayu (KTBM).
4) Komunikasi Universal Metode komunikasi universal adalah salah satu metode yang
menggabungkan gerakan jari, isyarat, pembacaan gerak bibir, penuturan dan implikasi auditoris atau yang dikenal juga dengan bahasa isyarat manual-verbal. Elemen penting dalam metode ini adalah penggunaan isyarat dan penuturan secara bersamaan. Melalui metode ini, anak-anak dapat memahami hal yang disampaikan menurut kemampuan masing-masing.
5) Penuturan isyarat Metode ini dikembangkan dari metode pembacaan bibir.
Menggunakan simbol-simbol tangan untuk memandu bunyi-bunyian. Simbol-simbol tangan yang dilambangkan ditentukan dengan bentuk-bentuk tangan yang menentukan maksud perkataan. Terdapat delapan simbol tangan yang ditentukan menurut konsonan yang berbeda dan empat simbol tangan untuk menentukan bunyi yang menyimbolkan huruf vokal.
Pendapat lain tentang metode komunikasi yang dikenal dalam pendidikan anak tunarungu dikemukakan oleh Yulmia Efni (dalam http://yulmiku yulmiku.blogspot.com/2007/12/memahami-komunikasi-total.html). Yulia berpendapat bahwa, “Secara umum, ada, ada tiga metode komunikasi yang dikenal dalam pendidikan anak tunarungu.
1) Bahasa isyarat yang menggunakan gerakan-gerakan tangan tertentu ataupun bahasa tubuh. Bahasa isyarat sendiri dikenal menjadi dua jenis yaitu SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) dan isyarat lokal, keduanya diibaratkan seperti bahasa Indonesia sesuai EYD dan bahasa Indonesia yang berkembang di kalangan atau komunitas tertentu sesuai dengan kebutuhan untuk berkomunikasi (seperti bahasa gaul).
2) Oral, metode ini menuntut anak tunarungu untuk dapat berbicara dengan artikulasi yang cukup jelas dan dapat dimengerti oleh lawan bicara juga menuntut agar bisa membaca bahasa bibir.
3) Komunikasi total, intinya menggunakan/ menggabungkan berbagai metode ataupun media apapun yang bisa digunakan, yang penting anak dapat berkomunikasi dan memahaminya
lvii
Penulis menyimpulkan dari beberapa pendapat di atas bahwa, “Metode
komunikasi yang dikenal dalam pendidikan anak tunarungu memang terdiri dari
bermacam-macam jenis. Karena sudah ada komtal, bukan berarti kemampuan
bicara tidak perlu dikembangkan lagi. Kemampuan berbicara tetaplah sebuah
modalitas yang sangat tidak boleh diabaikan. Karena setelah keluar dari sekolah,
anak-anak tersebut diharapkan dapat hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat,
yang notabene bisa mendengar dan berbicara. Tentu saja mereka harus bisa
melakukan komunikasi dengan cara yang telah biasa digunakan oleh masyarakat,
yaitu berbicara. Bahasa isyarat mungkin efektif digunakan di kalangan tunarungu
sendiri, tapi belum tentu masyarakat umum memahami bahasa isyarat dan mau
mempelajarinya.
lviii
B. Kerangka Berpikir
Ketunarunguan adalah satu istilah umum yang menggambarkan suatu
kondisi dimana indera pendengaran anak mengalami gangguan. Akibat dari
adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran.
Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang
bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan aktifitas
berbahasa dan komunikasi secara verbal.
Kemampuan berbahasa anak tunarungu yang terdiri dari keterampilan
menulis, menyimak, berbicara, dan membaca akan mengalami gangguan. Dari
keempat keterampilan berbahasa tersebut, membaca merupakan keterampilan
yang paling sulit untuk anak tunarungu. Kemampuan membaca merupakan dasar
untuk menguasai berbagai bidang studi, oleh karena itu kemampuan anak
tunarungu dalam membaca pemahaman sangat perlu untuk ditingkatkan.
Proses belajar mengajar akan lebih variatif dan kreatif jika menggunakan
media pembelajaran. Begitu pula dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, terlebih
lagi bagi anak tunarungu. Media yang digunakan pada penelitian ini adalah
animasi berbasis pendekatan komunikasi total. Animasi menjadi media untuk
memvisualisasikan bacaan, sedangkan komunikasi total oleh guru dapat
menggantikan suara yang tidak bisa didengar oleh anak. Selain itu, media ini juga
sangat menarik perhatian siswa sehingga dapat menjaga konsentrasi dan fokus
siswa dalam menerima pelajaran membaca pemahaman.
Skema 1. Alur Kerangka Berpikir
Anak tunarungu mengalami hambatan dalam pendengaran yang mengakibatkan ketermpilan berbahasa kurang maksimal , terutama dalam membaca pemahaman.
Kondisi akhir setelah tindakan Kemampuan siswa dalam membaca pemahaman meningkat.
Pembelajaran membaca pemahaman dengan menggunakan media animasi berbasis komunikasi total.
lix
C. Hipotesis Tindakan
Penerapan media pembelajaran animasi berbasis pendekatan komunikasi
total sangat membantu siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan
Kompetensi Dasar menjawab pertanyaan tentang isi cerita. Berdasarkan hal
tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis, “Penggunaan media animasi berbasis
pendekatan komunikasi total dapat meningkatkan kemampuan membaca
pemahaman pada siswa kelas Dasar V SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran
2001/2010”.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat yang dipilih dalam penelitian ini adalah SLB-B YRTRW
Surakarta pada kelas Dasar V. Terletak di desa Gumunggung RT 1 / II
Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta.
2. Waktu Penelitian
Rencananya tahap persiapan hingga tahap pelaporan membutuhkan
waktu kurang lebih lima bulan, terhitung sejak Novenber 2009. Berikut
rincian jadwal kegiatan penelitian:
No Kegiatan Bulan Nov Des Jan Feb Mar
1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5
1 Penyusunan proposal
2 Skripsi Bab I,II,III
3 Penyusunan Instrumen
lx
Tabel. 4. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berbentuk penelitian tindakan kelas (classroom action
research). Penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang didasarkan
adanya masalah yang dihadapi oleh guru dan siswa pada proses pembelajaran.
Pada penelitian ini diterapkan solusi yang berusaha untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini melibatkan partisipasi aktif peneliti, guru, dan siswa.
Prosedur penelitian tindakan kelas mencakup langkah-langkah: (1)
persiapan, (2) studi/ survey awal, (3) pelaksanaan siklus, dan (4) penyusunan
laporan. Prosedur penelitian tindakan kelas secara rinci dapat dilihat pada
gambar berikut:
4 Perijinan
5 Pelaksanaan penelitian
6 Analisis data
7 Penyusunan laporan
Permasalahan
Permasalahan baru hasil
Apabila permasalahan
belum terselesaikan
Perencanaan tindakan I
Perencanaan tindakan II
Refleksi I
Refleksi II
Pelaksanaan tindakan I
Pengamatan/ mengumpulkan data
pelaksanaan tindakan II
Pengamatan/ mengumpulkan
data II
lxi
Skema 2. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas
(Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi, 2006: 74)
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas Dasar V SLB-B YRTRW
Surakarta tahun ajaran 2009/2010. Siswa kelas ini berjumlah 7 orang yang terdiri
dari 4 putri dan 3 putra. Sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan dalam
hal membaca pemahaman.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menerapkan teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
1. Observasi
Sutrisno Hadi (dalam Sugiyono, 2008:203) mengemukakan bahwa
“Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang
tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang
terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan”.
Sugiyono (2008:203) mengemukakan bahwa, “Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain”.
Dari segi proses pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat
dibedakan menjadi participant observation (observasi berperan serta) dan non
participant observation (observasi non partisipan). Dalam penelitian ini, yang
digunakan adalah non participant observation (observasi non partisipan).
Peneliti pada tahap ini tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan yang
dilakukan siswa dan guru. Fokus observasi penelitian ini adalah pada kegiatan
pembelajaran Bahasa Indonesia kelas V semester II dalam kompetensi dasar
membaca pemahaman.
Dilanjutkan ke siklus berikutnya
lxii
Dalam pelaksanaan siklus, observasi dilakukan bersamaan dengan
pelaksanaan kegiatan pembelajaran membaca pemahaman. Observasi
dilakukan di dalam kelas tanpa mempengaruhi kegiatan pembelajaran.
Observasi terhadap siswa, difokuskan pada keaktifan siswa dalam belajar dan
kesungguhan siswa dalam menyelesaikan tugas. Sedangkan observasi terhadap
guru difokuskan dalam kemampuan guru dalam menjelaskan dan mengelola
kelas
Peneliti disini juga bertindak sebagai peleksana kegiatan pembelajaran
saat itu, jadi untuk observasi terhadap kemempuan guru dalam menjelaskan
dan mengelola kelas, dibantu oleh guru kelas yang bersangkutan.
2. Wawancara
Esterberg (dalam Sugiyono, 2008:317) mendefinisikan wawancara
sebagai berikut, “Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk
bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonsultasikan makna dalam suatu topik tertentu”.
Sugiyono (2008:194) mengemukakan bahwa, “ Wawancara digunakan
sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi
pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga
apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam
dan jumlah respondennya sedikit/kecil.
Sutrisno Hadi (dalam Sugiyono, 2008:194) mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam menggunakan metode wawancara adalah sebagai berikut :
a) Bahwa subyek (responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri
b) Bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya
c) Bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.
Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak
terstruktur, dan dapat dilakukan melalui tatap muka (face to face) maupun
dengan tidak langsung. Peneliti menggunakan wawancara terstruktur melalui
lxiii
tatap muka, yaitu teknik pengumpulan data bila peneliti telah mengetahui
dengan pasti tentang informasi yang akan diperolehnya serta dilakukan secara
langsung melalui tatap muka tidak melalui perantara apapun. Oleh karena itu,
dalam melakukan wawancara, peneliti telah menyiapkan instrumen penelitian
berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis.
Teknik wawancara ini digunakan untuk mengetahui permasalan yang
dihadapi guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran membaca pemahaman.
Wawancara ditujukan kepada guru kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta,
untuk mencari informasi tentang kesulitan dalam pembelajaran membaca
pemahaman yang dihadapi dan alternatif penyelesaiannya.
3. Teknik tes
Sarwiji Suwandi (2008:68) mengemukakan bahwa, “Pemberian tes
dimaksudkan untuk mengukur seberapa jauh hasil yang diperoleh siswa setelah
kegiatan pemberian tindakan. Dengan perkata lain, tes disusun dan dilakukan
untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan siswa sesuai dengan
siklus yang ada”.
Teknik tes ini dilakukan untuk mengetahui perubahan hasil belajar
siswa setelah diadakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media
animasi berbasis komunikasi total. Tes yang dipilih adalah tes tertulis dan tes
perbuatan. Langkah-langkah yang ditempuh peneliti dalam pengambilan data
menggunakan tes adalah dengan menyiapkan instrumen tes, menilainya, dan
mengolah data yang diperoleh. Tes dilakukan dua kali yakni, tes sebelum
dilakukakan tindakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa dan tes
setelah dilakukakan tindakan untuk mengetahui kemampuan siswa yang telah
mengalami perlakuan.
4. Teknik Analisis Dokumen
lxiv
Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari yang tertulis sederhana
sampai yang lebih lengkap dan kompleks. Dalam penelitian ini dokumen yang
akan dianalisis antara lain : data nilai siswa, RPP yang telah dibuat oleh guru,
silabus, daftar presensi siswa, dan buku induk siswa.
E. Sumber data
Sumber data penelitian ini antara lain:
1. Peristiwa proses pembelajaran membaca pemahaman yang berlangsung di
kelas Dasar V SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2009/2010.
2. Informan , yaitu guru kelas Dasar V SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran
2009/2010.
3. Dokumen
Data yang dikumpulkan, antara lain: silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), hasil tes siswa, serta hasil wawancara dengan guru dan
beberapa siswa kelas Dasar V.
F. Uji Validitas Data
Uji validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan triangulasi teknik, yaitu mengecek data yang telah diperoleh dari
sumber yang sama dengan teknik yang berbeda yakni dicek dengan wawancara
mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi. Selain itu juga menggunakan
review informan kunci yakni menginformasikan data atau interpretasi temuan
kepada informan kunci sehingga diperoleh kesepakatan antara peneliti dan
informan tentang data tersebut. Hal ini dilakukan melalui kegiatan diskusi setelah
kegiatan pengamatan maupun kajian dokumen.
Observasi partisipatif
Wawancara mendalam
Sumber data sama
lxv
Skema 3. Triangulasi teknik
(Sugiyono, 2008 : 331)
G. Teknik Analisis Data
Sarwiji Suwandi (2008:70) mengemukakan bahwa, “Teknik analisis yang
digunakan untuk menganalisis data-data yang telah berhasil dikumpulkan
antaralain dengan teknik deskriptif komparatif (statistik deskriptif komparatif )
dan teknik analisis kritis”.
Teknik statistik deskriptif komparatif untuk menganalisis data
kuantitatif, misalnya hasil tes siswa tiap siklus kemudian dilakukan perbandingan.
Statistik deskriptif dapat digunakan untuk mengolah karakteristik data yang
berkaitan dengan menjumlah, merata-rata, mencari titik tengah, mancari
persentase, dan menyajikan data yang menarik, mudah dibaca,dan diikuti alur
berfikirnya (grafik, tabel, chart).
Teknik analisis kritis digunakan untuk menganalisis data kualitatif,
misalnya dari hasil wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Teknik analisis
kritis mencakup kegiatan untuk mengungkap kelemahan dan kelebihan kinerja
siswa dan guru dalam proses pembelajaran berdasarkan kriteria normatif yang
diturunkan dari kajian teoritis maupun dari ketentuan yang ada.
H. Indikator Ketercapaian
Pada siklus terakhir sekurang-kurangnya siswa kelas Dasar V SLB B
YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009 / 2010 dapat mencapai:
Tabel 5. Deskripsi Indikator Ketercapaian
No Variabel Indikator Keterangan
Dokumentasi
lxvi
1 Keaktifan siswa dalam
pembelajaran membaca
pemahaman.
5 dari 7 siswa
termasuk dalam
kategori aktif.
Skor 10–20= kurang aktif
Skor 21–30 = cukup aktif
Skor 31–40 = aktif
Dengan 10 aspek yang
diamati, dengan
penilaian kriteria:
4= Sering,
3= Kadang-kadang,
2= Pernah
1= tidak pernah.
2
Ketuntasan belajar siswa
dalam pembelajaran
membaca pemahaman.
5 dari 7 siswa
mampu mendapat
nilai
≥ 60.
KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal) Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia adalah
≥ 60.
I. Prosedur Penelitian
Untuk memperoleh hasil penelitian yang diharapkan, maka peneliti
menggunakan prosedur penelitian sebagai berikut:
1. Persiapan
Pada tahap ini peneliti berkunjung ke SLB-B YRTRW Surakarta dan
menemui kepala sekolah. Peneliti meminta ijin kepada kepala sekolah untuk
mengadakan penelitian di sekolah yang beliau ampu. Peneliti meminta ijin
dengan disertai surat ijin penelitian/ research dari Dekan FKIP UNS dilampiri
proposal penelitian. Pada tahap ini peneliti juga menemui guru kelas
Dasar V SLB B YRTRW Surakarta untuk mempersiapkan kegiatan survei awal.
2. Studi / Survei Awal
lxvii
Pada tahap ini peneliti melakukan survei awal pada siswa kelas Dasar V
untuk mengenal kemampuan siswa dalam proses pembelajaran membaca
pemahaman. Survei ini dilakukan dengan mengamati proses pembelajaran
membaca pemahaman dan memeriksa hasil tes sebelum dilakukan tindakan.
3. Pelaksanaan Siklus
Pelaksanaan penelitian ini, mekanisme kerjanya diwujudkan dalam
bentuk siklus, yang setiap siklus mencakup empat kegiatan, yaitu (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi , dan (4) analisis dan refleksi.
Adapun secara rinci empat tahap pelaksanaan diuraikan sebagai berikut:
a. Perencanaan meliputi kegiatan meninjau silabus dan membuat
rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) mata pelajaran Bahasa
Indonesia dengan standar kompetensi membaca pemahaman
menggunakan media animasi berbasis komunikasi total. Selain itu
peneliti juga menyiapkan berbagai sarana yang diperlukan selama
pembelajaran seperti kertas HVS, alat tulis, lembar observasi, dan
dokumentasi.
b. Pelaksanaan, dilakukan dengan menerapkan pembelajaran
menggunakan media animasi berbasis komunikasi total yang telah
disepakati antara peneliti dengan guru. Peneliti melaksanakan rencana
pelaksanan pembelajaran (RPP) yang telah dibuat sebelumnya dengan
sistematis.
Adapun skenario pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1) Peneliti memperlihatkan cerita pendek melalui layar kepada
siswa
Dengan bantuan media laptop yang dihubungkan dengan LCD,
maka di layar putih akan muncul film animasi layaknya sedang
menonton di bioskop. Film animasi ini memiliki rangkaian cerita
yang nantinya memerlukan pemahaman siswa.
2) Siswa memperhatikan cerita tersebut
lxviii
3) Peneliti membagikan teks cerita
Peneliti meminta siswa untuk membaca
4) Peneliti menayangkan cerita sekali lagi
Pada tahap ini, pendekatan komunikasi total mulai dilakukan.
Yaitu dengan membantu siswa memahami isi film dengan
penjelasan guru melalui membaca bibir (lip reading). Artikulasi
guru harus jelas disertai dengan ekspresi yang sesuai agar
pemahaman siswa meningkat.
5) Peneliti memberikan pertanyaan lisan kepada siswa
Pertanyaan lisan ini dilakukan untuk mengetahui secara cepat
bagaimana pemahaman siswa pasca mendapat tindakan. Dengan
pertanyaan lisan diharapkan akan memperkecil kemungkinan
siswa dalam melihat jawaban teman lain, seperti jika tes
dilakukan secara tertulis.
6) Setelah selesai, peneliti meminta anak untuk menceritakan
kembali isi bacaan ke depan kelas secara bergantian
c. Tahap observasi dilakukan dengan mengamati proses pembelajaran
(aktivitas guru dan siswa). Kegiatan ini diarahkan pada pokok-pokok
penting yang telah ditetapkan pada pedoman observasi. Selain itu,
peneliti juga melakukan wawancara dengan guru dan siswa agar data
lebih lengkap dan akurat.
4. Analisis dan refleksi dilakukan oleh peneliti dan guru dengan cara
menganalisis hasil observasi, hasil pekerjaan siswa, serta hasil wawancara.
Dengan demikian, analisis dilakukan terhadap proses dan hasil pembelajaran
yang dilakukan.
5. Tahap Pengamatan
Pada tahap ini peneliti melakukan pengamatan pada proses
pembelajaran di setiap siklus yang diterapkan oleh guru. Peneliti mengamati
guru dan siswa saat pembelajaran membaca pemahaman berlangsung.
6. Tahap Pelaporan
lxix
Pada tahap ini peneliti menyusun laporan dari semua kegiatan yang
telah dilakukan selama penelitan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
1. Siklus 1
a. Perencanaan
Kegiatan perencanaan ini dilaksanakan pada hari Jum’at, 8 Januari 2010. Peneliti melakukan diskusi dengan guru kelas terkait dengan segala sesuatu terkait dengan penelitian yang akan dilakukan di kelas Guru tersebut. Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari diskusi sebelumnya yang dilakukan peneliti dengan guru kelas saat peneliti dalam masa PPL (Program Pengalaman Lapangan) di sekolah yang sama.
Peneliti dan guru kelas mendiskusikan rancangan tindakan yang akan dilakukan dalam proses penelitian. Dari hasil identifikasi dan penetapan masalah, peneliti kemudian mengajukan solusi alternatif untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa berupa penggunaan media animasi berbasis komunikasi total . Dalam tahap ini peneliti menunjukkan proposal penelitian yang akan menjadi bahan acuan lanjutan dalam tahap perencanaan. Tahap perencanaan tindakan I meliputi kegiatan sebagai berikut: 1) Peneliti dan guru menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
dan kisi-kisi soal dengan Kompetensi Dasar menjawab pertanyaan
tentang isi cerita.
2) Peneliti mempersiapkan film animasi yang akan dinarasikan menjadi
bentuk bacaan, kemudian membuat pertanyaan berdasarkan kisi-kisi
yang telah disepakati.
3) Peneliti memberikan deskripsi tentang media animasi yang akan
digunakan dalam penelitian kepada Guru kelas agar terjalin sebuah
kesamaan persepsi. Kemudian menyepakati skenario pembelajaran
yang akan dilaksanakan pada tahap tindakan I.
a) Langkah-langkah (skenario) pada pertemuan pertama:
lxx
7) Peneliti memperlihatkan cerita pendek melalui layar kepada
siswa
Dengan bantuan media laptop yang dihubungkan dengan LCD,
maka di layar putih akan muncul film animasi layaknya sedang
menonton di bioskop. Film animasi ini memiliki rangkaian cerita
yang nantinya memerlukan pemahaman siswa.
8) Siswa memperhatikan cerita tersebut
9) Peneliti membagikan teks cerita
Teks ini adalah narasi tertulis dari film animasi yang telah siswa
lihat di layar. Alur cerita harus sama dengan yang di film, agar
anak tidak merasa bingung. Setelah anak benar-benar
menemukan kesamaan cerita, anak diharapkan akan mampu
memahami bacaan dengan mudah. Hal ini dikarenakan telah ada
ilustrasi kongkret tentang bacaan melalui film animasi.
10) Peneliti meminta siswa untuk membaca
11) Peneliti menayangkan cerita sekali lagi
Pada tahap ini, pendekatan komunikasi total mulai dilakukan.
Yaitu dengan membantu siswa memahami isi film dengan
penjelasan guru melalui membaca bibir (lip reading). Artikulasi
guru harus jelas disertai dengan ekspresi yang sesuai agar
pemahaman siswa meningkat.
12) Peneliti memberikan pertanyaan lisan
kepada siswa
Pertanyaan lisan ini dilakukan untuk mengetahui secara cepat
bagaimana pemahaman siswa pasca mendapat tindakan. Dengan
pertanyaan lisan diharapkan akan memperkecil kemungkinan
siswa dalam melihat jawaban teman lain, seperti jika tes
dilakukan secara tertulis. Jadi, kemampuan siswa sebenarnya
dapat diukur.
lxxi
13) Peneliti memberikan soal tertulis kepada
siswa
14) Setelah selesai, peneliti meminta anak
untuk menceritakan kembali isi bacaan ke depan kelas secara
bergantian.
b) Langkah-langkah (skenario) pertemuan kedua:
(1) Peneliti membagikan lagi lembar bacaan, soal dan jawaban siswa
(2) Siswa membawa pekerjaan sendiri yang telah dinilai oleh guru
(3) Peneliti memutar film sekali lagi untuk mengingatkan kembali
(4) Siswa memperhatikan jawaban dari pertanyaan sendiri yang
dikerjakan pada pertemuan sebelumnya.
(5) Peneliti menjelaskan kembali isi film dengan komunikasi total
(6) Peneliti memulai membacakan lisan soal nomor 1 kemudian
memancing siswa untuk memberikan jawaban secara lisan.
Kemudian membenarkan jika jawaban siswa salah.
(7) Siswa menulis jawaban yang benar di buku tulis masing-masing.
4) Peneliti menyiapkan sarana yang dipakai saat pembelajaran yaitu laptop, LCD, kamera digital, lembar observasi, dan alat tulis.
b. Tindakan
Siklus I terdiri dari dua pertemuan bersamaan dengan jadwal Bahasa Indonesia di kelas Dasar V, yaitu pada 26 dan 28 Januari 2010. Dalam tahap ini dilakukan tindakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. 1) Pertemuan pertama
Pelaksanaan pertemuan pertama adalah pada tanggal 26 Januari 2010. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pelaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total. Peneliti berkolaborasi dengan guru, sehingga antara peneliti dan guru memiliki tugas masing-masing.
Peneliti melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total dikelas. Peneliti juga melakukan observasi terhadap keaktifan siswa saat pembelajaran berlangsung. Guru berperan dalam melakukan observasi terhadap kemampuan peneliti dalam menjelaskan dan mengelola kelas.
Pada tahap pertama peneliti menayangkan film animasi yang
berjudul Berkebun, yang terdiri dari 25 kalimat dengan 6 tokoh yang
lxxii
berperan di dalamnya. Kemudian dibagikan kepada siswa teks narasi
dari film tersebut. Langkah selanjutnya barulah siswa diberikan soal
tertulis siklus I. Soal ini akan mengungkap kemampuan membaca
pemahaman siswa, yang menurut R.B Ruddell seperti dikutip oleh
Hargrove & Poteet (1984: 195) terdiri dari dari 3 pemahaman, yaitu:
a) Pemahaman faktual yaitu proses mengidentifikasi dengan
mengingat data atau informasi yang ada dalam bacaan.
b) pemahaman interpretatif yaitu proses analisis, rekonstruksi atau
pengujian.
c) pemahaman aplikatif yaitu proses menggunakan atau
mengaplikasikan data pada situasi baru.
Setelah selesai mengerjakan, siswa bersiap untuk maju ke depan kelas
untuk menceritakan kembali isi bacaan tersebut.
2) Pertemuan Kedua Pertemuan kedua dilaksanakan pada hari kamis tanggal 28 Januari
2010. Pertemuan ini merupakan lanjutan dari pertemuan pertama. Fokus dalam pertemuan ini adalah pada pengungkapan jawaban yang benar terhadap pertanyaan pada pertemuan pertama.
Sesuai dengan RPP yang telah dibuat, awalnya peneliti membagikan lagi lembar bacaan, soal dan jawaban kepada siswa. Siswa membawa pekerjaan sendiri yang telah dinilai oleh peneliti. Kemudian peneliti memutar film sekali lagi untuk mengingatkan kembali isi film yang berjudul Berkebun. Siswa memperhatikan jawaban dari pertanyaan sendiri yang dikerjakan pada pertemuan sebelumnya.Selanjutnya peneliti menjelaskan kembali isi film dengan komunikasi total.
Peneliti memulai membacakan lisan soal nomor 1 kemudian memancing siswa untuk memberikan jawaban secara lisan. Kemudian membenarkan jika jawaban siswa salah. Siswa menulis jawaban yang benar di buku tulis masing-masing, hal ini bertujuan agar siswa paham benar mengenai penggunaan kata tanya beserta jawaban yang tepat. Sehingga kemampuan membaca pemahaman siswa juga akan meningkat.
c. Pengamatan
Tahap pengamatan siklus I dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan yaitu pada tanggal 26 dan 28 Januari 2010. Pada saat pembelajaran Bahasa Indonesia berlangsung peneliti sebagai partisipan aktif. Mengamati kegiatan belajar mengajar dari awal sampai akhir dan
lxxiii
mencatat hasil siklus I di dalam kelas. Dikatakan partisipasi aktif, karena peneliti terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan oleh anak dalam kegiatan belajar mengajar sebagai guru. Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Selasa, 26 Januari 2010 dan berlangsung selama 2x45 menit. Peneliti mengawali pembelajaran dengan melakukan apersepsi terhadap siswa, mengabsen siswa, dan memberikan pertanyaan pancingan yang mengarah ke pelajaran.
Peneliti berkolaborasi dengan guru, sehingga antara peneliti dan guru memiliki tugas masing-masing. Peneliti melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total dikelas. Peneliti juga melakukan observasi terhadap keaktifan siswa saat pembelajaran berlangsung. Guru berperan dalam melakukan observasi terhadap kemampuan peneliti dalam menjelaskan dan mengelola kelas.
d. Refleksi
Pada tahap refleksi ini diawali dengan poses analisis terlebih dahulu, peneliti bersama dengan guru kelas mengadakan diskusi terkait pelaksanaan tindakan 1. Analisis yang dimaksud adalah terhadap hasil observasi, serta hasil pekerjaan siswa. Secara umum terdapat beberapa kelemahan yang terjadi saat proses belajar mengajar yaitu: 1) Film yang dipilih terlalu panjang, dan terlalu lama sehingga siswa merasa
bosan dan tidak aktif dalam pembelajaran.
2) Tokoh dalam cerita terlalu banyak, dalam waktu singkat siswa belum
mampu mengingat ke enam tokoh dalam cerita.
3) Tema kurang begitu dekat dengan kehidupan siswa, sehingga siswa agak
sulit dalam memahami.
4) Jenis film lebih baik memakai bahasa indonesia, hal ini bertujuan agar
siswa yang masih memiliki sisa pendengaran dapat menangkap makna
percakapan dalam cerita, sedangkan untuk yang tidak memiliki sisa
pendengaran bisa mengandalkan lip reading (membaca bibir) dari tokoh
yang sedang berbicara.
Bertolak dari hasil analisis tersebut, maka guru dan peneliti
merumuskan refleksi sebagai berikut:
lxxiv
1) Agar siswa lebih antusias, aktif dan sungguh-sungguh dalam
mengikuti pembelajaran, sebaiknya film yang dipilih jangan terlalu
panjang, supaya tujuan dari pembelajaran itu sendiri dapat tercapai.
2) Pilih film yang tokoh dalam cerita tidak terlalu banyak, sehingga
memudahkan siswa untuk dapat fokus pada peran dan karakter
masing-masing tokoh.
3) Pilih film yang bertema dekat dengan kehidupan siswa, sehingga
siswa mudah memahami.
4) Jenis film lebih baik memakai bahasa Indonesia, hal ini bertujuan agar
siswa yang masih memiliki sisa pendengaran dapat menangkap
makna percakapan dalam cerita, sedangkan untuk yang tidak
memiliki sisa pendengaran bisa mengandalkan lip reading (membaca
bibir) dari tokoh yang sedang berbicara.
2. Siklus 2
a. Perencanaan
Kegiatan perencanaan ini dimulai pada hari Sabtu 30 Januari 2010. Perencanan ini sangat berdasar pada refleksi dari siklus1, sehingga diharapkan segala kekurangan dapat dihindari dalam pelaksanaan siklus 2 ini. Adapun kegiatan perencanaan adalah mencakup langkah-langkah sebagai berikut: 1) Peneliti dan guru menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan
kisi-kisi soal dengan Kompetensi Dasar menjawab pertanyaan tentang isi
cerita.
2) Peneliti mempersiapkan film animasi yang akan dinarasikan menjadi bentuk
bacaan, kemudian membuat pertanyaan berdasarkan kisi-kisi yang telah
disepakati.
3) Peneliti dan guru menyepakati skenario pembelajaran yang akan
dilaksanakan pada tahap tindakan siklus 2.
a) Langkah-langkah (skenario) pembelajaran pada tindakan siklus 2
pertemuan pertama:
(1) Peneliti memperlihatkan cerita pendek melalui layar kepada siswa
lxxv
Dengan bantuan media laptop yang dihubungkan dengan LCD,
maka di layar putih akan muncul film animasi layaknya sedang
menonton di bioskop. Film animasi ini memiliki rangkaian cerita
yang nantinya memerlukan pemahaman siswa.
(2) Siswa memperhatikan cerita tersebut
(3) Peneliti membagikan teks cerita
Teks ini adalah narasi tertulis dari film animasi yang telah siswa lihat
di layar. Alur cerita harus sama dengan yang di film, agar anak tidak
merasa bingung. Setelah anak benar-benar menemukan kesamaan
cerita, anak diharapkan akan mampu memahami bacaan dengan
mudah. Hal ini dikarenakan telah ada ilustrasi kongkret tentang
bacaan melalui film animasi.
(4) Peneliti meminta siswa untuk membaca
(5) Peneliti menayangkan cerita sekali lagi
Pada tahap ini, pendekatan komunikasi total mulai dilakukan. Yaitu
dengan membantu siswa memahami isi film dengan penjelasan
guru melalui membaca bibir (lip reading). Artikulasi guru harus jelas
disertai dengan ekspresi yang sesuai agar pemahaman siswa
meningkat.
(6) Peneliti memberikan pertanyaan lisan kepada siswa
Pertanyaan lisan ini dilakukan untuk mengetahui secara cepat
bagaimana pemahaman siswa pasca mendapat tindakan. Dengan
pertanyaan lisan diharapkan akan memperkecil kemungkinan siswa
dalam melihat jawaban teman lain, seperti jika tes dilakukan secara
tertulis. Jadi, kemampuan siswa sebenarnya dapat diukur.
(7) Peneliti memberikan soal tertulis kepada siswa
(8) Setelah selesai, peneliti meminta anak untuk menceritakan kembali
isi bacaan ke depan kelas secara bergantian
b) Langkah-langkah (skenario) tindakan silkus 2 pertemuan kedua: 1) Peneliti membagikan lagi lembar bacaan, soal dan jawaban siswa
lxxvi
2) Siswa membawa pekerjaan sendiri yang telah dinilai oleh guru
3) Peneliti memutar film sekali lagi untuk mengingatkan kembali
4) Siswa memperhatikan jawaban dari pertanyaan sendiri yang
dikerjakan pada pertemuan sebelumnya.
5) Peneliti menjelaskan kembali isi film dengan komunikasi total
6) Peneliti memulai membacakan lisan soal nomor 1 kemudian
memancing siswa untuk memberikan jawaban secara lisan.
Kemudian membenarkan jika jawaban siswa salah.
7) Siswa menulis jawaban yang benar di buku tulis masing-masing.
4) Peneliti menyiapkan sarana yang dipakai saat pembelajaran yaitu laptop, LCD, kamera digital, lembar observasi, dan alat tulis.
b. Tindakan
Siklus 2 terdiri dari dua pertemuan bersamaan dengan jadwal Bahasa Indonesia di kelas Dasar V, yaitu pada 2 dan 4 Februari 2010. Dalam tahap ini dilakukan tindakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. 1) Pertemuan pertama
Pelaksanaan pertemuan pertama adalah pada tanggal 2 Februari 2010. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pelaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total. Peneliti berkolaborasi dengan guru, sehingga antara peneliti dan guru memiliki tugas masing-masing.
Peneliti melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total dikelas. Peneliti juga melakukan observasi terhadap keaktifan siswa saat pembelajaran berlangsung. Guru berperan dalam melakukan observasi terhadap kemampuan peneliti dalam menjelaskan dan mengelola kelas.
Pada tahap pertama peneliti menayangkan film animasi yang
berjudul Berangkat Sekolah, yang terdiri dari 18 kalimat dengan 4 tokoh
yang berperan di dalamnya. Kemudian dibagikan kepada siswa teks narasi
dari film tersebut. Langkah selanjutnya barulah siswa diberikan soal
tertulis siklus 2. Setelah selesai mengerjakan, siswa bersiap untuk maju ke
depan kelas untuk menceritakan kembali isi bacaan tersebut.
2) Pertemuan Kedua Pelaksanaan pertemuan kedua dilaksanakan pada hari kamis
tanggal 4 Februari 2010. Pertemuan ini merupakan lanjutan dari
lxxvii
pertemuan pertama. Fokus dalam pertemuan ini adalah pada pengungkapan jawaban yang benar terhadap pertanyaan pada pertemuan pertama.
Sesuai dengan RPP yang telah dibuat, awalnya peneliti membagikan lagi lembar bacaan, soal dan jawaban kepada siswa. Siswa membawa pekerjaan sendiri yang telah dinilai oleh peneliti. Kemudian peneliti memutar film sekali lagi untuk mengingatkan kembali isi film yang berjudul Berangkat Sekolah. Siswa memperhatikan jawaban dari pertanyaan sendiri yang dikerjakan pada pertemuan sebelumnya. Selanjutnya peneliti menjelaskan kembali isi film dengan komunikasi total.
Peneliti memulai membacakan lisan soal nomor 1 kemudian
memancing siswa untuk memberikan jawaban secara lisan. Kemudian
membenarkan jika jawaban siswa salah. Siswa menulis jawaban yang
benar di buku tulis masing-masing, hal ini bertujuan agar siswa paham
benar mengenai penggunaan kata tanya beserta jawaban yang tepat.
Sehingga kemampuan membaca pemahaman siswa juga akan
meningkat.
c. Pengamatan
Tahap pengamatan siklus 2 dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan yaitu pada tanggal 2 dan 4 Februari 2010. Pada saat pembelajaran Bahasa Indonesia berlangsung peneliti sebagai partisipan aktif. Mengamati kegiatan belajar mengajar dari awal sampai akhir dan mencatat hasil siklus 2 di dalam kelas. Dikatakan partisipasi aktif, karena peneliti terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan oleh anak dalam kegiatan belajar mengajar sebagai guru.
Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Selasa, 2 Februari 2010 dan berlangsung selama 2x45 menit. Peneliti mengawali pembelajaran dengan melakukan apersepsi terhadap siswa, mengabsen siswa, dan memberikan pertanyaan pancingan yang mengarah ke pelajaran.
Peneliti berkolaborasi dengan guru, sehingga antara peneliti dan guru memiliki tugas masing-masing. Peneliti melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total dikelas. Peneliti juga melakukan observasi terhadap keaktifan siswa saat pembelajaran berlangsung. Guru berperan dalam melakukan observasi terhadap kemampuan peneliti dalam menjelaskan dan mengelola kelas.
d. Refleksi
lxxviii
Pada tahap refleksi ini, peneliti bersama dengan guru kelas mengadakan diskusi terkait pelaksanaan tindakan 2 untuk melakukan proses analisis. Analisis yang dimaksud adalah terhadap hasil observasi, serta hasil pekerjaan siswa. Secara umum terdapat beberapa kelemahan yang terjadi saat proses belajar mengajar yaitu: 1) Dalam menjelaskan kurang adanya penekanan terhadap inti dari bacaan.
2) Keaktifan dan antusias siswa saat maju untuk menceritakan kembali
kurang.
Berdasar pada hasil analisis tersebut, maka guru dan peneliti merumuskan refleksi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya, sebagai berikut: 1) Agar siswa lebih memahami isi bacaan dengan mudah, diusahakan
dalam menjelaskan dilakukan penekanan yaitu dengan klik tombol
pause (berhenti sementara waktu) pada bagian-bagian yang penting
guna menjelaskan secara lebih mendalam.
2) Perlu ada reward untuk siswa yang berani maju ke depan menceritakan
kembali dengan kemauan sendiri. Walaupun akhirnya semua siswa
akan mendapatkan reward.
3. Siklus 3
a. Perencanaan
Kegiatan perencanaan ini dimulai pada hari Senin, 8 Februari 2010. Perencanan ini sangat berdasar pada refleksi dari siklus 2, sehingga diharapkan segala kekurangan dapat dihindari dalam pelaksanaan siklus 3 ini dan indikator ketercapaian akan terpenuhi. Adapun kegiatan perencanaan adalah mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
1) Peneliti dan guru menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
dan kisi-kisi soal dengan Kompetensi Dasar menjawab pertanyaan
tentang isi cerita.
2) Peneliti mempersiapkan film animasi yang akan dinarasikan menjadi
bentuk bacaan, kemudian membuat pertanyaan berdasarkan kisi-kisi
yang telah disepakati.
3) Peneliti dan guru menyepakati skenario pembelajaran yang akan
dilaksanakan pada tahap tindakan siklus 3.
a) Langkah-langkah (skenario) pada tindakan siklus 3 :
lxxix
(1) Peneliti memperlihatkan cerita pendek melalui layar kepada siswa
Dengan bantuan media laptop yang dihubungkan dengan LCD,
maka di layar putih akan muncul film animasi layaknya sedang
menonton di bioskop. Film animasi ini memiliki rangkaian cerita
yang nantinya memerlukan pemahaman siswa.
(2) Siswa memperhatikan cerita tersebut
(3) Peneliti membagikan teks cerita
Teks ini adalah narasi tertulis dari film animasi yang telah siswa
lihat di layar. Alur cerita harus sama dengan yang di film, agar anak
tidak merasa bingung. Setelah anak benar-benar menemukan
kesamaan cerita, anak diharapkan akan mampu memahami
bacaan dengan mudah. Hal ini dikarenakan telah ada ilustrasi
kongkret tentang bacaan melalui film animasi.
(4) Peneliti meminta siswa untuk membaca
(5) Peneliti menayangkan cerita sekali lagi
Pada tahap ini, pendekatan komunikasi total mulai dilakukan.
Yaitu dengan membantu siswa memahami isi film dengan
penjelasan guru melalui membaca bibir (lip reading). Artikulasi
guru harus jelas disertai dengan ekspresi yang sesuai agar
pemahaman siswa meningkat.
(6) Peneliti melakukan penekanan penjelasan yaitu dengan klik
tombol pause (berhenti sementara waktu) pada bagian-bagian
yang penting guna menjelaskan secara lebih mendalam.
(7) Peneliti memberikan pertanyaan lisan kepada siswa
Pertanyaan lisan ini dilakukan untuk mengetahui secara cepat
bagaimana pemahaman siswa pasca mendapat tindakan. Dengan
pertanyaan lisan diharapkan akan memperkecil kemungkinan
siswa dalam melihat jawaban teman lain, seperti jika tes dilakukan
secara tertulis. Jadi, kemampuan siswa sebenarnya dapat diukur.
lxxx
(8) Peneliti memberikan soal tertulis kepada siswa
(9) Setelah selesai, peneliti meminta anak untuk menceritakan
kembali isi bacaan ke depan kelas secara bergantian dengan
memberikan reward kepada siswa yang berani maju tanpa
paksaan.
4) Peneliti menyiapkan sarana yang dipakai saat pembelajaran yaitu laptop, LCD, kamera digital, lembar observasi, dan alat tulis.
b. Tindakan
Pelaksanaan tindakan siklus 3 adalah pada tanggal 18 Februari 2010. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pelaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total. Peneliti berkolaborasi dengan guru, sehingga antara peneliti dan guru memiliki tugas masing-masing.
Peneliti melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total dikelas. Peneliti juga melakukan observasi terhadap keaktifan siswa saat pembelajaran berlangsung. Guru berperan dalam melakukan observasi terhadap kemampuan peneliti dalam menjelaskan dan mengelola kelas.
Pada tahap pertama peneliti menayangkan film animasi yang
berjudul Berangkat Sekolah, yang terdiri dari 18 kalimat dengan 4 tokoh
yang berperan di dalamnya. Sengaja judul bacaan dan film yang
digunakan sama dengan bacaan pada saat siklus 2, karena judul bacaan
tersebut dirasa sudah sangat dekat dengan kegiatan sehari-hari siswa.
Hanya saja pertanyaannya dirubah agar kemampuan siswa dalam
membaca pemahaman benar-benar dapat terlihat peningkatannya.
Kemudian dibagikan kepada siswa teks narasi dari film tersebut. Langkah
selanjutnya barulah siswa diberikan soal tertulis siklus 3. Setelah selesai
mengerjakan, siswa bersiap untuk maju ke depan kelas untuk
menceritakan kembali isi bacaan tersebut.
c. Pengamatan
lxxxi
Tahap pengamatan siklus 3 dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan yaitu pada tanggal 18 Februari 2010. Pada saat pembelajaran Bahasa Indonesia berlangsung peneliti sebagai partisipan aktif. Mengamati kegiatan belajar mengajar dari awal sampai akhir dan mencatat hasil siklus 3 di dalam kelas. Dikatakan partisipasi aktif, karena peneliti terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan oleh anak dalam kegiatan belajar mengajar sebagai guru.
Pertemuan siklus 3 ini dilaksanakan pada hari Kamis, 18 Februari 2010 dan berlangsung selama 2x45 menit. Peneliti mengawali pembelajaran dengan melakukan apersepsi terhadap siswa, mengabsen siswa, dan memberikan pertanyaan pancingan yang mengarah ke pelajaran.
Peneliti berkolaborasi dengan guru, sehingga antara peneliti dan guru memiliki tugas masing-masing. Peneliti melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman dengan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total dikelas. Peneliti juga melakukan observasi terhadap keaktifan siswa saat pembelajaran berlangsung. Guru berperan dalam melakukan observasi terhadap kemampuan peneliti dalam menjelaskan dan mengelola kelas.
d. Refleksi
Pada tahap refleksi ini, peneliti bersama dengan guru kelas mengadakan diskusi terkait pelaksanaan tindakan 3 untuk melakukan proses analisis. Analisis yang dimaksud adalah terhadap hasil observasi, serta hasil pekerjaan siswa. Menurut pendapat guru, kekurangan pada 2 siklus sebelumnya sudah tidak terjadi pada siklus ke 3. Terbukti juga dengan adanya peningkatan pada semua aspek penilaian.
B. Hasil Penelitian
a. Deskripsi Kondisi Awal
Kondisi awal siswa kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta yang akan
dideskripsikan adalah pada kemampuan membaca pemahaman dan
keaktifan siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada Kompetensi
Dasar menjawab pertanyaan tentang isi cerita. Dari hasil wawancara,
observasi, dan analisis dokumen yang berupa nilai ulangan harian Bahasa
lxxxii
Indonesia aspek membaca pemahaman siswa, terlihat bahwa siswa kelas
Dasar V SLB B YRTRW Surakarta mengalami kesulitan dalam membaca
pemahaman.
Penelitian yang telah dilakukan tidak memakai (pretest) tes sebelum
tindakan. Nilai yang dipakai sebagai acuan adalah nilai yang diperoleh
peneliti dari guru kelas pada saat mengadakan observasi awal. Data ini
berupa daftar nilai ulangan harian Bahasa Indonesia aspek membaca
pemahaman siswa kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009
/ 2010 Semester Genap.
Tabel. 6.Kemampuan Awal Membaca Pemahaman Siswa Kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009 / 2010 Semester Genap.
Nama Siswa
Nilai Tes Tertulis
Nilai Tes Perbuatan
Nilai akhir
Ri 55 45 50
And 40 40 40
Dn 55 45 50 Fr 45 35 40
Anj 50 50 50
As 65 45 50
Nr 40 40 40 Nilai dalam tabel 6 tersebut, diperoleh dari hasil ulangan harian yang
dilaksanakan oleh guru bersamaan dengan observasi awal peneliti. Guru menuliskan bacaan di papan tulis, yang merupakan hasil dari tindak lanjut apersepsi guru. Saat itu ada yang tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Dibuatlah tema ini menjadi judul bacaan yaitu Tidak Berangkat Sekolah. Kemudian guru memberikan 10 pertanyaan tertulis yang akan mengungkap tingkat kemampuan membaca pemahaman siswa. Setelah semua pertanyaan telah selesai dijawab, secara bergantian siswa maju ke depan kelas untuk menceritakan kembali isi bacaan.
Dari tabel 6 tersebut, terlihat ada 3 siswa dari 7 siswa secara keseluruhan yang mendapat nilai 40 atau sebesar 42,85% dan 4 siswa yang lain mendapat nilai 50 atau sebesar 57,14%. Bila dianalisis dengan meninjau KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang telah ditetapkan untuk Bahasa Indonesia yaitu ≥ 60, belum ada dari ke 7 siswa tersebut yang mencapai ketuntasan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal siswa dalam membaca pemahaman adalah 0%.
Observasi awal penelitian ini selain meninjau nilai siswa, peneliti juga melakukan observasi terhadap keaktifan siswa. Dalam tahap observasi ini,
lxxxiii
peneliti menggunakan sistem observasi non partisipan. Peneliti tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan belajar mengajar serta mengusahakan sebisa mungkin untuk tidak mempengaruhi proses alami dari kegiatan belajar mengajar pada hari itu. Adapun hasil observasi terhadap keaktifan siswa seperti tertuang dalam tabel berikut:
Tabel. 7. Hasil Observasi Kondisi Awal Keaktifan Siswa
Dari hasil observasi
terhadap keaktifan siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada tanggal 12 Januari 2010, terdapat 2 siswa dalam kategori aktif atau sebesar 28,57%, 4 siswa cukup aktif atau sebesar 57,14%, dan 1 siswa kurang aktif atau sebesar 14,28%. Adapun aspek observasi terhadap keaktifan siswa tersebut, secara garis besar mencakup perhatian terhadap penjelasan dan perintah guru serta perhatian terhadap teman saat bercerita di depan kelas. Jadi observasi terhadap siswa ini, harus mulai dipantau sejak pelajaran dimulai sampai tes terakhir yaitu menceritakan kembali selesai.
b. Siklus I
1) Hasil Tes Membaca Pemahaman Siklus 1 Dari tes yang mengungkap kemampuan membaca pemahaman
siswa, yang terdiri dari dua tes yaitu tes tertulis dan tes perbuatan, hasilnya tertuang dalam tabel 8 berikut:
Tabel. 8. Hasil Tes Membaca Pemahaman Siklus 1
P
ada tabel 8 di atas menunjukkan bahwa siswa dengan kategori baik dalam
Nama Kondisi awal
Kategori
Dn 34 Aktif
As 33 Aktif
And 24 Cukup aktif
Nr 25 Cukup aktif
Fe 19 Kurang aktif
Ri 25 Cukup aktif
Anj 30 Cukup aktif
Nama Nilai Tes Tertulis
Nilai Tes Perbuata
n
Nilai Akhir
Kategori Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) Dn 65 70 67,5 Cukup Tuntas
As 65 75 70 Baik Tuntas
And 60 45 52,5 Kurang Belum
Nr 60 50 55 Cukup Belum
Ri 55 55 55 Cukup Belum
Fe 25 70 47,5 Kurang Belum
Anj 40 75 57,5 Cukup Belum Persentase tuntas 28,57%
lxxxiv
membaca pemahaman hanya 1 siswa dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 14,28%, siswa dalam kategori cukup ada 4 siswa atau sebesar 57,14%, dan siswa dalam kategori kurang ada 2 siswa atau sebesar 28,57%. Jika meninjau dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), siswa yang mencapai nilai ≥ 60 atau tuntas dari KKM ada 2 siswa atau sebesar 28, 57%, sedangkan 5 siswa yang lain belum tuntas atau sebesar 71,42%. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada pelaksanaan tindakan siklus 1 ini, terjadi peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa dari kondisi awal yaitu sebesar 28,57%.
2) Hasil Observasi Keaktifan Siswa Berdasarkan observasi peneliti pada pelaksanaan tindakan siklus
1, dengan pengamatan terhadap keaktifan siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia melalui lembar observasi diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel. 9. Hasil Observasi Keaktifan Siswa Siklus 1
Pada tabel 9
di atas, menunjukkan
bahwa siswa dengan
kategori aktif dalam pembelajaran Bahasa Indonesia sebanyak 3
siswa dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 42,85%, sedangkan 4
siswa yang lain dalam kategori cukup aktif atau sebesar 57,14%.
Mulai ada peningkatan keaktifan pada pelaksanaan tindakan pada
siklus 1 ini jika dibandingkan dengan kondisi awal yang baru
mencapai 2 siswa dari keseluruhan 7 siswa dalam kategori aktif atau
sebesar 28,57%. Jadi ada peningkatan 14,28% dibandingkan dari
kondisi awal.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap proses belajar mengajar Bahasa Indonesia pada tindakan 1, diperoleh hasil sebagai berikut: a) Siswa yang aktif selama kegiatan belajar mengajar berjumlah 3
siswa dari 7 siswa secara keseluruhan
Nama Siklus 1 Kategori Dn 36 Aktif
As 35 Aktif
And 26 Cukup aktif
Nr 27 Cukup aktif
Fe 21 Cukup aktif
Ri 28 Cukup aktif
Anj 32 Aktif
lxxxv
b) Siswa yang cukup aktif dalam kegiatan belajar mengajar
berjumlah 3 siswa dari 7 siswa secara keseluruhan.
c) Siswa yang kurang aktif dalam kegiatan belajar mengajar
berjumlah 1 siswa dari 7 siswa secara keseluruhan.
d) Peneliti sebagai guru dalam kemampuan menjelaskan mendapat
kategori baik dengan skor 38 dari skor maksimal 48.
e) Peneliti sebagai guru dalam kemampuan mengelola kelas
mendapat kategori baik dengan skor 76 dari skor maksimal 80.
Berdasarkan hasil tes membaca pemahaman pada siklus 1, siswa yang mencapai ketuntasan minimal ada 2 siswa dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 28, 57%. Siswa yang aktif dalam pembelajaran ada 3 siswa dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 42,85%. Jadi, jika ditinjau dari indikator ketercapaian yang telah ditentukan yaitu 5 dari 7 siswa mendapat nilai ≥ 60 dan 5 dari 7 siswa aktif dalam pembelajaran, maka pada siklus 1 ini belum berhasil mencapai indikator ketercapaian, maka akan diadakan siklus 2.
c. Siklus II
1) Hasil Tes Membaca Pemahaman Siklus 2 Dari tes yang mengungkap kemampuan membaca pemahaman
siswa, yang terdiri dari dua tes yaitu tes tertulis dan tes perbuatan, hasilnya tertuang dalam tabel 10 berikut:
Tabel. 10. Hasil Tes Membaca Pemahaman Siklus 2
P
ada tabel 10 di atas menunjukkan bahwa siswa dengan kategori baik dalam membaca pemahaman ada 2 siswa dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 28,57%, siswa dalam kategori cukup ada 4 siswa atau sebesar 57,14%, dan siswa dalam kategori kurang ada 1 siswa atau sebesar 14,28%. Jika meninjau dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), siswa yang mencapai nilai ≥ 60 atau tuntas dari KKM ada 4 siswa atau sebesar 57,14%, sedangkan 3 siswa yang lain belum tuntas atau sebesar
Nama Nilai Tes Tertulis
Nilai Tes Perbuata
n
Nilai Akhir
Kategori Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) Dn 75 67 71 Baik Tuntas
As 90 60 75 Baik Tuntas
And 80 29 57,5 Cukup Belum
Nr 70 43 56,5 Cukup Belum
Ri 80 50 65 Cukup Tuntas
Fe 70 36 53 Kurang Belum
Anj 75 50 62,5 Cukup Tuntas Persentase tuntas 57,14%
lxxxvi
42,85%. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada pelaksanaan tindakan siklus 2 ini, terjadi peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa dari siklus 1 yaitu sebesar 28,57%.
2) Hasil Observasi Keaktifan Siswa
Berdasarkan observasi peneliti pada pelaksanaan tindakan siklus 2, dengan pengamatan terhadap keaktifan siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia melalui lembar observasi diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel. 11. Hasil Observasi Keaktifan Siswa Siklus 2
Pada tabel 11 di atas,
menunjukkan
bahwa siswa dengan
kategori aktif dalam pembelajaran Bahasa Indonesia sebanyak 5 siswa
dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 71,42%, sedangkan 2 siswa yang
lain dalam kategori cukup aktif atau sebesar 28,57%. Terlihat lagi adanya
peningkatan keaktifan pada pelaksanaan tindakan pada siklus 2 ini jika
dibandingkan dengan siklus 1 yang mencapai 3 siswa dari keseluruhan 7
siswa atau sebesar 42,85%. Jadi pada siklus 2 ini ada peningkatan
28,57% dibandingkan dari siklus 1.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap proses belajar mengajar Bahasa Indonesia pada tindakan 2, diperoleh hasil sebagai berikut:
a) Siswa yang aktif selama kegiatan belajar mengajar berjumlah 5 siswa dari 7 siswa secara keseluruhan
b) Siswa yang cukup aktif dalam kegiatan belajar mengajar berjumlah 2 siswa dari 7 siswa secara keseluruhan.
c) Siswa yang kurang aktif tidak ada. d)Peneliti sebagai guru dalam kemampuan menjelaskan mendapat kategori
baik dengan skor 46 dari skor maksimal 48. e) Peneliti sebagai guru dalam kemampuan mengelola kelas mendapat
kategori baik dengan skor 79 dari skor maksimal 80. Berdasarkan hasil tes membaca pemahaman pada siklus 2, siswa
yang mencapai ketuntasan minimal ada 4 siswa dari keseluruhan 7 siswa
Nama Siklus 2 Kategori Dn 37 Aktif
As 37 Aktif
And 33 Aktif
Nr 32 Aktif
Fe 28 Cukup aktif
Ri 29 Cukup aktif
Anj 34 aktif
lxxxvii
atau sebesar 57,14%, sedangkan 3 siswa yang lain belum tuntas atau sebesar
42,85%. Siswa yang aktif dalam pembelajaran ada 5 siswa dari keseluruhan 7
siswa atau sebesar 71,42%. Jadi, jika ditinjau dari indikator ketercapaian
yang telah ditentukan yaitu 5 dari 7 siswa mendapat nilai ≥ 60 dan 5 dari 7
siswa aktif dalam pembelajaran, maka pada siklus 2 ini belum berhasil
mencapai indikator ketercapaian, maka akan diadakan siklus 3.
d. Siklus III
1) Hasil Tes Membaca Pemahaman Siklus 3 Dari tes yang mengungkap kemampuan membaca pemahaman
siswa, yang terdiri dari dua tes yaitu tes tertulis dan tes perbuatan, hasilnya tertuang dalam tabel 12 berikut:
Tabel. 12. Hasil Tes Membaca Pemahaman Siklus 3
P
ada tabel 12 di atas menunjukkan bahwa siswa dengan kategori baik dalam membaca pemahaman ada 4 siswa dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 57,14%, sisanya siswa dalam kategori istimewa ada 3 siswa atau sebesar 42,85%. Jika meninjau dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), siswa yang mencapai nilai ≥ 60 atau tuntas dari KKM semua siswa telah mencapai KKM atau 100%. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada pelaksanaan tindakan siklus 3 ini, terjadi peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa dari siklus 2 yaitu sebesar 42,86%.
2) Hasil Observasi Keaktifan Siswa Berdasarkan observasi peneliti pada pelaksanaan tindakan siklus 3,
dengan pengamatan terhadap keaktifan siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia melalui lembar observasi diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel. 13. Hasil Observasi Keaktifan Siswa Siklus 3
Nama Nilai Tes Tertulis
Nilai Tes Perbuata
n
Nilai Akhir
Kategori Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM)
Dn 80 88 84 Baik Tuntas
As 90 100 95 Sempurna Tuntas
And 80 60 70 Baik Tuntas
Nr 70 100 85 Sempurna Tuntas
Ri 80 100 90 Sempurna Tuntas
Fe 70 88 79 Baik Tuntas
Anj 80 86 84 Baik Tuntas Persentase tuntas 100%
Nama Siklus 3 Kategori Dn 38 Aktif
As 38 Aktif
lxxxviii
Pada tabel 13 di atas, menunjukkan bahwa siswa dengan
kategori aktif dalam pembelajaran Bahasa Indonesia sebanyak 7 siswa
dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 100%. Terlihat lagi adanya
peningkatan keaktifan pada pelaksanaan tindakan pada siklus 3 ini jika
dibandingkan dengan siklus 3 yang mencapai 7 siswa dari keseluruhan 7
siswa atau sebesar 100% Jadi pada siklus 3 ini ada peningkatan 57,15%
dibandingkan dari siklus 2.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap proses belajar mengajar Bahasa Indonesia pada tindakan 3, diperoleh hasil sebagai berikut:
a) Semua siswa aktif dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. b) Peneliti sebagai guru dalam kemampuan menjelaskan mendapat
kategori baik dengan skor 47 dari skor maksimal 48. c) Peneliti sebagai guru dalam kemampuan mengelola kelas mendapat
kategori baik dengan skor 80 dari skor maksimal 80. Berdasarkan hasil tes membaca pemahaman pada siklus 3, siswa yang mencapai ketuntasan minimal ada 7 siswa dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 100%, sedangkan siswa yang aktif dalam pembelajaran ada 7 siswa dari keseluruhan 7 siswa atau sebesar 100%. Jadi, jika ditinjau dari indikator ketercapaian yang telah ditentukan yaitu 5 dari 7 siswa mendapat nilai ≥ 60 dan 5 dari 7 siswa aktif dalam pembelajaran, maka pada siklus 3 ini telah berhasil mencapai indikator ketercapaian.
Penyajian data hasil penelitian akan lebih jelas peningkatannya bila
menampilkan hasil tes dan observasi pada tiap siklusnya baik dalam bentuk tabel
maupun grafik . Peningkatan keterampilan siswa dalam membaca pemahaman
dengan media animasi berbasis komunikasi total pada tiap siklusnya dapat dilihat
pada tabel 14 dan disajikan dalam bentuk grafik 1 berikut ini:
Tabel 14. Peningkatan Nilai Tes Membaca Pemahaman Tiap Siklus
And 35 Aktif
Nr 34 Aktif
Fe 31 Aktif
Ri 32 Aktif
Anj 36 Aktif
Nama Kemampuan awal
Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3 Keterangan
lxxxix
D
ata
pada tabel 14 di atas merupakan rekapitulasi hasil tes membaca
pemahaman dimulai dari kemampuan awal siswa, siklus 1, siklus 2, dan
siklus 3. Pada tabel tersebut terlihat adanya peningkatan sejak diadakan
siklus 1, siklus 2 dan siklus 3. Dari daftar nilai guru yang digunakan sebagai
acuan dalam penentuan kemampuan awal, terlihat bahwa dari semua siswa
belum ada yang mencapai ketuntasan atau ketuntasan baru mencapai 0%.
Pada hasil tes siklus 1, persentase tuntas mencapai 28,57%, atau terjadi
peningkatan 28,57% bila dibandingkan dengan kemampuan awal. Pada hasil
tes siklus 2, persentase tuntas sebesar 57,14%, atau terjadi peningkatan
28,57% bila dibandingkan dengan hasil tes siklus 1. Bila membandingkan
hasil siklus 2 dengan kemampuan awal, maka peningkatan hasil adalah
sebesar 57,14%. Pada hasil tes siklus 3, persentase tuntas adalah sebesar
100%, atau terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan hasil tes siklus 2
sebesar 42,86%. Bila membandingkan hasil siklus 3 dengan kemampuan
awal, maka peningkatan hasil adalah sebesar 100%.
Grafik 1 berikut juga akan menggambarkan adanya peningkatan
nilai tes membaca pemahaman siswa kelasa Dasar V, sebagai berikut :
Dn 50 67,5 71 84 Meningkat
As 50 70 75 95 Meningkat
And 40 52,5 57,5 70 Meningkat
Nr 40 55 56,5 85 Meningkat
Ri 50 55 65 90 Meningkat
Fe 40 47,5 53 79 Meningkat
Anj 50 57,5 62,5 84 Meningkat
% Tuntas 0% 28,57% 57,14% 100% Meningkat
% Peningkatan 28,57% 28,57% 42,86%
xc
Grafik 1. Tabulasi Nilai Membaca Pemahaman
Grafik 1 di atas merupakan bentuk penyajian lain dari tabel 14.
Hanya saja dengan grafik, diharapkan peningkatan hasil tes dapat terlihat
secara jelas. Pada hasil tes siklus 1, persentase tuntas mencapai 28,57%.
Pada hasil tes siklus 2, persentase tuntas sebesar 57,14%. Pada hasil tes
siklus 3, persentase tuntas adalah sebesar 100%.
Peningkatan keaktifan siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia
dengan media animasi berbasis komunikasi total dapat dilihat pada tabel 15
dan disajikan dalam bentuk grafik 2 berikut ini:
Tabel 15. Peningkatan Keaktifan Siswa Kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta
Tahun Ajaran 2009/2010 Tiap Siklus
Nama Kondisi
Awal
Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3 Keterangan
Dn 34 36 37 38 Meningkat
As 33 35 37 38 Meningkat
And 24 26 33 35 Meningkat
Nr 25 27 32 34 Meningkat
Ri 19 21 28 31 Meningkat
0%
28,57%
57,14%
100%
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
Kemampuan awal
Post Test I Post Test II Post Test III
100%%
xci
Data pada tabel 15 di atas merupakan rekapitulasi observasi
keaktifan siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia, dimulai dari
kemampuan awal siswa, siklus 1, siklus 2, dan siklus 3. Pada tabel tersebut
terlihat adanya peningkatan sejak diadakan siklus 1, siklus 2 dan siklus 3.
Pada hasil observasi kondisi awal, persentase keaktifan adalah sebesar
28,57%. Pada hasil observasi siklus 1, persentase keaktifan mencapai
42,85%, atau terjadi peningkatan 14,28% bila dibandingkan dengan kondisi
awal. Pada hasil observasi siklus 2, persentase keaktifan sebesar 57,14%, atau
terjadi peningkatan 14,29% bila dibandingkan dengan hasil observasi siklus 1.
Bila membandingkan hasil observasi siklus 2 dengan kemampuan awal, maka
peningkatan hasil adalah sebesar 28,57%. Pada hasil observasi siklus 3,
persentase aktif adalah sebesar 100%, atau terjadi peningkatan bila
dibandingkan dengan hasil tes siklus 2 sebesar 42,86%. Bila membandingkan
hasil siklus 3 dengan kemampuan awal, maka peningkatan hasil adalah
sebesar 71,43%.
Grafik 2 berikut juga akan menggambarkan adanya peningkatan
nilai tes membaca pemahaman siswa kelasa Dasar V, sebagai berikut :
Fe 25 28 29 32 Meningkat
Anj 31 32 34 36 Meningkat
% Aktif 28,57% 42,85% 57,14% 100% Meningkat
% Peningkatan 14,28% 14,29% 42,86%
xcii
Grafik 2. Tabulasi Keaktifan Siswa
Grafik 2 di atas merupakan bentuk penyajian lain dari tabel 15. Hanya
saja dengan grafik, diharapkan peningkatan hasil observasi dapat terlihat
secara jelas. Pada kondisi awal, tercatat persentase siswa yang aktif sebesar
28,57%. Pada hasil observasi siklus 1, persentase keaktifan mencapai
42,85%. Pada hasil observasi siklus 2, persentase keaktifan sebesar 71,14%.
Pada hasil observasi siklus 3, persentase keaktifan adalah sebesar 100%.
Bila ditinjau dari hasil observasi terhadap kemampuan peneliti sebagai guru dalam kemampuan menjelaskan dalam siklus 1 mendapat kategori baik dengan skor 38 dari skor maksimal 48. Peneliti sebagai guru dalam kemampuan mengelola kelas pada siklus 1 mendapat kategori baik dengan skor 76 dari skor maksimal 80. Pada siklus 2 peneliti sebagai guru dalam kemampuan menjelaskan mendapat kategori baik dengan skor 46 dari skor maksimal 48. Peneliti sebagai guru dalam kemampuan mengelola kelas mendapat kategori baik dengan skor 79 dari skor maksimal 80. Pada siklus 3 peneliti sebagai guru dalam kemampuan menjelaskan mendapat kategori baik dengan skor 47 dari skor maksimal 48. Peneliti sebagai guru dalam kemampuan mengelola kelas mendapat kategori baik dengan skor 80 dari skor maksimal 80.
Berdasarkan paparan hasil penelitian di atas, terlihat bahwa nilai tes
membaca pemahaman dari kondisi awal, kemudian dalam pelaksanaan tiap-
tiap siklus mangalami peningkatan. Begitu pula dengan keaktifan siswa,
terlihat pula adanya peningkatan dari kondisi awal sampai pelaksanaan
28,57%
42,85%
71,14%
100%
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
Kondisi awal Post Test I Post Test II Post Test III
100%%
xciii
siklus 3. Peran guru dalam keterampilan mengelola kelas dan menjelaskan
juga sangat membantu tercapainya peningkatan kemampuan membaca
pemahaman siswa. Dari beberapa pernyataan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa, “Penggunaan media animasi berbasis komunikasi total dapat
meningkatkan kemampuan membaca pemahaman pada siswa kelas Dasar V
SLB B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2009/2010.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan dalam skripsi ini meliputi penjabaran mengenai
peningkatan keterampilan membaca pemahaman bacaan serta peningkatan
keaktifan siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan media
animasi berbasis pendekatan komunikasi total pada siswa kelas Dasar V SLB B
YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010. Melalui penguraikan lebih lanjut
berdasarkan data hasil penelitian yang dikuatkan dengan teori yang relevan.
Disertai pembahasan tentang kendala-kendala yang dihadapi dalam peningkatan
kemampuan membaca pemahaman dengan penggunaan media animasi berbasis
komunikasi total.
1. Peningkatan Keterampilan Membaca Pemahaman Siswa Kelas Dasar V
SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010
xciv
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan siswa kelas Dasar
V dalam membaca pemahaman mengalami peningkatan setelah mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan media animasi berbasis komunikasi
total.
Dari tabel 14 dan grafik 4 di atas, merupakan bukti konkret adanya
peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas Dasar V SLB B
YRTRW Surakarta setelah mendapat perlakuan yaitu dengan menggunakan
media animasi berbasis pendekatan komunikasi total. Hasil tersebut relevan
dengan pendapat Azhar Arsyad, (2005 : 15) yang menyatakan bahwa,
”Dalam suatu proses belajar mengajar, ada dua unsur yang amat penting
adalah metode mengajar dan media pembelajaran”. Dari kedua unsur
tersebut, yang akan dikaji lebih lanjut yaitu pada media pembelajaran, sesuai
dengan variabel penelitian skripsi ini. Media dikatakan sangat penting dalam
suatu proses belajar mengajar karena media dalam penelitian ini menjadi
alat bantu yang akan mempermudah siswa dalam memahami bacaan.
Terlebih bagi siswa tunarungu, mereka memiliki keterbatasan dalam
penerimaan informasi auditif. Keterbatasan ini, membuat proses belajar
mereka akan terhambat pula. Media akan membantu mereka dalam
pembelajaran. Dengan media, semua informasi yang seharusnya
tersampaikan dalam bentuk audio dapat disajikan dalam bentuk lain yang
tentu saja lebih efektif. Lebih lanjut dijelaskan pula fungsi utama media
pembelajaran, yang dikemukakan oleh Kemp & Dayton (1985:28), bahwa
fungsi utama media pembelajaran ada tiga, yaitu: 1) Memotivasi minat atau
tindakan, 2) Menyajikan informasi, 3) Memberi instruksi.
Fungsi memotivasi minat atau tindakan merupakan fungsi yang
pertama. Mengandung arti bahwa media dalam pembelajaran dapat
meningkatkan semangat dan antusias siswa dalam belajar. Dalam penelitian
ini fungsi tersebut terbukti dengan meningkatnya keaktifan siswa saat
pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan media animasi. Film animasi
xcv
sebagai media pembelajaran sangat menarik perhatian siswa. Mereka
seolah-olah melihat serial kartun yang biasa mereka lihat di rumah. Masa
usia mereka memang masih sangat tertarik kepada media visual yang
terkesan tidak kaku dan tidak memberatkan. Suasana ini tentulah membuat
proses belajar menjadi lebih bersemangat dalam menerima penjelasan dari
guru.
Berkenaan dengan penelitian ini, media animasi berfungsi dalam
menyajikan informasi. Untuk tujuan informasi, media pembelajaran dapat
digunakan dalam rangka penyampaian informasi di hadapan sekelompok
siswa. Penyajian informasi yaitu berupa gambar bergerak atau animasi, yang
mengilustrasikan bacaan yang nantinya akan dipahami siswa. Terlebih
karena siswa yang menjadi subyek penelitian ini adalah anak tunarungu.
Ketunarunguan membuat informasi dalam bentuk audio kurang dapat
dimanfaatkan siswa, terutama pada anak tunarungu total.
Fungsi utama media dalam pembelajaran yang ketiga adalah untuk
memberi instruksi. Media memegang peran yang penting dalam proses
pemberian tugas atau beberapa perintah dari guru. Aplikasi dalam penelitian
ini adalah pada penggunaan media animasi berbasis komunikasi total dalam
pemberian istruksi. Komunikasi total menerapkan prinsip kejelasan artikulasi
dalam penyampaian informasi. Bahasa oral dan artikulasi yang jelas
membuat komunikasi dengan anak tunarungu menjadi lebih efektif.
Kemampuan siswa dalam menerima instruksipun semakin meningkat
karenanya. Dengan demikian pembelajaran menjadi lebih efektif.
Jensema (dalam Mohammad Efendi 2006 :80) mencatat bahwa anak
tunarungu yang memasuki periode usia 10 tahun dari usia 8-10 tahun, rata-
rata yang memasuki periode usia 10 tahun dari usia 8-10 tahun, rata-rata
yang mengalami penambahan kosakata sebanyak pada murid-murid yang
normal pendengarannya antara permulaan taman kanak-kanak hingga akhir
kelas II. Ditambah pula, kemampuan membaca anak tunarungu usia 14
xcvi
tahun setingkat dengan anak kelas III. Jadi, menurut penulis, media yang
paling efektif bagi anak tunarungu adalah media visual yang dimodifikasi
dengan pendekatan komunikasi total. Penjelasan ini didukung dengan
pendapat Akhmad Sudrajat yang menggambarkan hubungan media dengan
tujuan belajar dalam tabel berikut:
Tabel.16. Hubungan Media dengan Tujuan Belajar
Jenis Media 1 2 3 4 5 6
Gambar Diam S T S S R R
Gambar Hidup S T T T S S
Televisi S S T S R S
Obyek Tiga Dimensi R T R R R R
Rekaman Audio S R R S R S
Programmed Instruction
S S S T R S
Demonstrasi R S R T S S
Buku teks tercetak S R S S R S
Keterangan : R = Rendah , S = Sedang , T= Tinggi
1 = Belajar Informasi faktual
2 = Belajar pengenalan visual
3 = Belajar prinsip, konsep dan aturan
4 = Prosedur belajar
5 = Penyampaian keterampilan persepsi motorik
6 = Mengembangkan sikap, opini dan motivasi
Dari tabel 15 di atas, yaitu tentang hubungan media dengan tujuan
belajar dapat terlihat bahwa media yang dipakai peneliti merupakan media
yang paling banyak kategori tingginya. Media animasi dapat disejajarkan
dengan gambar hidup, yang memiliki kategori tinggi pada 3 aspek yaitu (2)
belajar pengenalan visual, (3) belajar prinsip, konsep dan aturan, serta (4)
prosedur belajar. Aspek pemahaman merupakan wujud dari aspek nomor 3
yaitu belajar prinsip, konsep dan aturan. Dengan media animasi, pemahaman
siswa akan lebih mudah untuk diwujudkan. Pendapat ini tentu saja semakin
xcvii
menguatkan hasil penelitian yaitu penggunaan media animasi dapat
meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa.
Pendapat Ruddell seperti dikutip oleh Hargrove dan Poteet (1984:
195) telah mengembangkan kerangka kerja tentang bermacam-macam
keterampilan membaca pemahaman. Kerangka kerja tersebut
mengkonseptualitaskan pemahaman sebagai suatu kontinum dari taraf
faktual, taraf interpretasi, hingga taraf aplikatif. Untuk sampai pada taraf
faktual, anak harus mengidentifikasi dengan mengingat data atau informasi
yang ada dalam bacaan. Untuk memilih pemahaman pada taraf interpretatif,
anak harus melakukan analisis, rekonstruksi atau pengujian, dan untuk sampai
pada taraf aplikatif, anak harus menggunakan atau mengaplikasikan data pada
situasi baru. Teori inilah yang digunakan penulis sebagai acuan dalam
pembuatan instrumen tes membaca pemahaman. Dari ketiga taraf di atas
harus terpenuhi untuk dapat mendapat kategori baik dalam membaca
pemahaman.
Taraf faktual teraplikasikan dalam beberapa pertanyaan pada
instumen tes membaca pemahaman setelah dilakukan tindakan. Pertnyaan ini
mengungkap beberapa informasi yang jawabannya berisi tentang fakta-fakta
yang terdapat dalam bacaan. Taraf ini belum melibatkan kedalaman
pemahaman, mengingat jawaban dari pertanyaan ini tersurat dengan jelas di
dalam bacaan. Contoh pertanyaan dari taraf ini adalah yang menggunakan
kata tanya siapa, kapan, di mana, dan apa. Semua kata tanya tersebut
mengungkap pemahaman siswa dalam taraf faktual.
Taraf interpretatif dalam instrumen penelitian ini teraplikasikan pada
beberapa pertanyaan yang dapat mengungkap kemampuan analisis dan
mengingat kembali informasi yang belum tentu tersurat dalam bacaan. Taraf
ini akan memerlukan pemahaman siswa yang lebih mendalam bila
dibandingkan dengan taraf pemahaman faktual. Informasi yang tidak tersurat
dalam bacaan membuat siswa berfikir dan menganalisis isi bacaan guna
xcviii
mencari jawaban yang relevan dari pertanyaan yang ditentukan. Contoh
pertanyaan yang mengungkap pemahaman taraf interpretatif ini adalah
penggunaan kata tanya bagaimana dan mengapa. Dua kata tanya ini
membutuhkan penjelasan dan penguraian yang lebih rumit.
Taraf pemahaman aplikatif terlihat dalam beberapa pertanyaan yang
membuat anak harus menggunakan atau mengaplikasikan informasi dari
bacaan pada situasi baru. Taraf ini merupakan yang tertinggi dalam
pemahaman. Kemampuan siswa dalam taraf ini dapat tercapai jika
pemahaman sudah mendalam dan luas mengarah pada kehidupan sehari-hari
siswa. Penguasaan kosakata yang baik juga sangat mempengaruhi
pemahaman taraf ini. Mengingat banyak redaksi kata yang tidak tersurat
dalam bacaan, dan memerlukan kekayaan kosakata dalam menjawab
pertanyaan taraf ini.
Penggunaan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total ini,
merupakan hasil modifikasi yang sangat menunjang bagi pembelajaran Bahasa
Indonesia terutama dalam keterampilan membaca pemahaman. Komunikasi
total memang sangat kompleks, seperti yang dikemukakan oleh Andreas
Dwijosumarto (1996: 167) merangkum beberapa definisi tentang komtal telah
dikemukakan oleh para ahli yang masing-masing memberi penekanan yang
berbeda, antara lain : Denton (1970) sebagai tokoh Komtal merupakan
keseluruhan spektrum dari modus bahasa yakni isyarat yang dibuat anak,
bahasa isyarat baku, bicara, membaca ujaran, menulis dan sisa pendengaran.
Brill (1986) dalam seminar di London mengemukakan “ Komtal meliputi
penggunaan salah satu modus atau semua cara komunikasi yaitu
menggunakan sistem isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran, amplifikasi, gesti,
pantomimik, menggambar, menulis serta pemanfaatan sisa pendengaran
sesuai kebutuhan dan kemampuan perorangan.
Dalam penelitian ini wujud komunikasi total ini terlihat pada
penjelasan guru yang mengandalkan media animasi, membaca bibir (lip
xcix
reading), teks cerita, dan baca ujaran. Kolaborasi semua cara komunikasi ini,
akan membuat siswa mudah memahami bacaan yang disajikan. Agar siswa
lebih memahami isi bacaan dengan mudah, diusahakan dalam menjelaskan
dilakukan penekanan yaitu dengan klik tombol pause (berhenti sementara
waktu) pada bagian-bagian yang penting guna menjelaskan secara lebih
mendalam.
Mohammad Efendi (2006: 78) mengemukakan bahwa, ”Sejak tahun
1960an mulai diperkenalkan kombinasi pendekatan oral dan isyarat”.
Beberapa penelitian diketahui, bahwa pemakaian kombinasi metode dapat
meningkatkan pencapaian pendidikan umum ( Stevenson, 1964) kemampuan
membaca ujaran (Stuckless dan Birch, 1966), dan kemampuan bahasa tulis
dan kematangan sosial (Meadow, 1968). Penguasaan kemampuan
memperoleh kosakata anak tunarungu serta kemampuan mengungkapkan
dalam berbicara dengan menggunakan metode kombinasi isyarat dan oral
rata-rata mencapai 66%. ( Mulyana, 1993). Hal ini menguatkan hasil
penelitian skripsi ini, dengan bukti peningkatan nilai membaca pemahaman
seperti yang telah dijelaskan di atas.
Komtal meliputi penggunaan salah satu modus atau semua cara
komunikasi yaitu menggunakan sistem isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran,
amplifikasi, gesti, pantomimik, menggambar, menulis serta pemanfaatan sisa
pendengaran sesuai kebutuhan dan kemampuan perorangan. Dalam
penelitian ini aplikasi komunikasi total adalah pada pemanfaatan baca ujaran,
gesti, sistem isyarat, ejaan jari dan pemanfaatan sisa pendengaran.
2. Peningkatan Keaktifan Siswa saat Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa
Kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keaktifan siswa kelas Dasar V
saat pembelajaran Bahasa Indonesia mengalami peningkatan setelah
c
mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media animasi berbasis
komunikasi total.
Adanya peningkatan nilai membaca pemahaman dan keaktifan siswa pada setiap siklus ini, tidak terlepas dari keterampilan guru dalam mengelola kelas dan dalam menjelaskan.
a. Keterampilan menjelaskan
Keterampilan menjelaskan dalam pengajaran adalah keterampilan menyajikan informasi secara lisan yang diorganisasi secara sistematis untuk menunjukkan adanya hubungan satu bagian dengan yang lain, misalnya antara sebab dan akibat, definisi dengan contoh atau dengan sesuatu yang belum diketahui. Penyajian informasi yang terencana dengan baik dan disajikan dengan urutan yang cocok merupakan ciri utama kegiatan menjelaskan.
Keterampilan guru dalam menjelaskan sebagai hasil observasi awal, menunjukkan bahwa guru kelas menunjukkan kategori baik dalam menjelaskan. Guru terlihat sangat luwes dan santai dalam menjelaskan, karena dengan cara yang demikian siswa dapat lebih nyaman dalam pembelajaran. Guru sangat cermat dalam mencari alternatif metode dan media pembelajaran.
Pada pelaksanaan siklus 1, dimana peneliti yang berperan sebagai guru, juga terlihat bahwa kemampuan peneliti dalam menjelaskan yang dinilai dari hasil observasi guru kelas mendapat kategori baik. Peneliti dalam menjelaskan menekankan pada komunikasi total. Komunikasi total merupakan keseluruhan spektrum dari modus bahasa yakni isyarat yang dibuat anak, bahasa isyarat baku, bicara, membaca ujaran, menulis dan sisa pendengaran. Peneliti memanfaatkan kejelasan artikulasi agar siswa dalam proses lip reading (membaca bibir) dapat menangkap penjelasan guru dengan mudah. Teks cerita juga digunakan oleh peneliti, selain itu dimanfaatkan pula media animasi yang memvisualkan apa yang terdapat pada teks bacaan.
Tujuan dari keterampilan menjelaskan memang sangat kompleks,
namun yang menjadi tujauan utama adalah untuk meningkatkan kualitas dari
kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terlepas dari
tujuan utama tersebut, Parwoto (tt : 55) menyatakan bahwa, keterampilan
menjelaskan juga digunakan sebagai upaya membimbing murid memahami
materi yang dipelajari. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, memang aspek
yang menjadi tujuan adalah pada peningkatan membaca pemahaman siswa.
Parwoto (tt : 55) menambahkan bahwa, melibatkan murid untuk berfikir
dengan memecahkan masalah atau pertanyaan juga menjadi tujuan dari
keterampilan menjelaskan.
ci
Komponen-komponen dalam ketarampilan menjelaskan terdiri dari
perencanaan dan penyajian suatu penjelasan. Pada tahap perencanaan
penjelasan yang diberikan oleh guru perlu direncanakan dengan baik,
terutama yang berkenaan dengan isi pesan dan penerima pesan. Berkenaan
dengan isi pesan atau materi meliputi penganalisisan masalah secara
keseluruhan, penentun jenis hubungan yang ada diantara unsur-unsur yang
dikaitkan dan penggunaan hukum, rumus, atau generalisasi yang sesuai
dengan hubungan yang telah ditentukan. Mengenai yang berhubungan
dengan penerima pesan, dalam hal ini adalah siswa hendaknya diperhatikan
hal-hal atau perbedaan-perbedaan sesuai dengan kemampuan siswa.
Perencanaan pada penelitian ini, yang menjadi titik utama dalam
keterampilan menjelaskan adalah pada proses pause saat animasi telah
berjalan. Dapat pula diartikan, proses pause ini adalah pemenggalan terhadap
bagian-bagian yang penting untuk mendapat waktu yang lebih lama dalam
menjelaskan. Pembagian pemenggalan inilah yang harus direncanakan
dengan baik, agar pemahaman siswa terhadap cerita benar-benar dapat
meningkat.
Komponen kedua dalam keterampilan menjelaskan adalah penyajian
suatu penjelasan. Penyajian suatu penjelasan dapat ditingkatkan hasilnya
dengan memperhatikan kejelasan, penggunaan contoh dan ilustrasi,
pemberian tekanan, dan penggunaan balikan. Komponen tersebutlah yang
menjadi dasar penilaian pada guru dan peneliti dalam observasi kemampuan
menjelaskan.
1) Kejelasan
Kejelasan merupakan komponen yang paling penting dalam menjelaskan
kepada siswa tunarungu. Mengingat keterbatasan mereka dalam
pendengaran, pengoptimalan dapat dilakukan dengan memanfaatkan
kejelasan artikulasi. Peneliti memanfaatkan kejelasan artikulasi agar siswa
dalam proses lip reading (membaca bibir) dapat menangkap penjelasan
cii
guru dengan mudah. Bagi anak tunarungu, perlu dihindari gerak isyarat
ataupun gerak bibir yang tidak berarti, karena semua gerak isyarat dan
gerak bibir akan diterjemahkan siswa. Jangan sampai siswa salah dalam
menerjemahkan hanya karena gerak isyarat ataupun gerak bibir yang
tidak berarti.
2) Penggunaan contoh dan ilustrasi
Penggunaan contoh dan ilustrasi sangat penting pula dalam
menunjang keterampilan menjelaskan. Dalam memberikan penjelasan
sebaiknya menggunakan contoh-contoh yang memang relevan dan ada
hubungannya dengan sesuatu yang dapat ditemui oleh siswa dalam
kehidupan sehari-hari siswa. Hal ini diwujudkan peneliti dengan memilih
tema bacaan yang akan menjadi bahan ajar yang memang dekat dengan
siswa.
3) Pemberian tekanan
Komponen pemberian tekanan pada penjelasan merupakan upaya lain
dalam peningkatan pemahaman siswa saat guru menjelaskan. Pada
penelitian ini, yang penerapan pemberian tekanan terlihat pada proses
pause saat animasi telah berjalan. Dapat pula diartikan, proses pause ini
adalah penekanan terhadap bagian-bagian yang penting untuk mendapat
waktu yang lebih lama dalam menjelaskan.
4) Penggunaan balikan
Proses pemberian balikan ialah memberi kesempatan kepada siswa untuk
menunjukkan pemahaman, keraguan, atau ketidakmengertian siswa
ketika penjelasan itu diberikan. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengajukan beberapa pertanyaan lisan yang harus langsung dijawab oleh
siswa. Peneliti pada saat pelaksanaan tindakan juga sudah melaksanakan
hal ini, guna mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman siswa.
b. Keterampilan Mengelola Kelas
ciii
Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan dan
memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila terjadi
gangguan dalam proses belajar mengajar. Dengan kata lain keterampilan
mengelola kelas adalah kegiatan-kegiatan untuk menciptakan dan
mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar
mengajar. Adapun komponen-komponen yang digunakan sebagai acuan
dalam observasi terhadap kemampuan pengelolaan kelas antara lain:
(1) Menunjukkan sikap tanggap
Tanggap terhadap perhatian, keterlibatan, dan ketidakterlibatan
siswa dalam tugas-tugas di kelas. Siswa merasa bahwa guru hadir
bersama mereka dan tahu apa yang mereka perbuat. Kesan
ketanggapan ini dapat ditunjukkan dengan berbagai cara seperti berikut:
(a) Memandang secara seksama
Memandang secara seksama dapat mengundang dan melibatkan
siswa dalam kontak pandang serta interaksi antap pribadi yang
dapat ditampakkan dalam pendekatan guru untuk bercakap-cakap,
bekerjasama dan menunjukkan rasa persahabatan. Guru dan
peneliti sudah menerapkan hal ini. Terlihat saat observasi awal,
guru sangat memperhatikan siswa dengan penuh persahabatan.
(b) Gerak mendekati
Gerak mendekati dalam posisi mendekati kelompok kecil atau
individu menandakan kesiagaan, minatdan perhatian guru yang
diberikan terhadap tugas serta aktifitas siswa. Gerak mendekati
hendaknya dilakukan secara wajar, bukan untuk menakut-nakuti,
mengancam, atau memberi kritikan dan hukuman. Pengaplikasian
komponen ini dalam penelitian ditunjang dengan jumlah siswa yang
hanya berjumlah 7 dan ruangan kelas yang kecil.
(c) Teguran
civ
Pada pelaksanaannya, guru dan peneliti juga menerapkan hal
tersebut. Hanya saja, teguran kepada siswa tunarungu tidak efektif
jika secara verbal. Teguran diberikan dengan sentuhan disertai
penjelasan dengan bahasa isyarat ataupun membaca bibir (lip
reading).
(2) Membagi perhatian
Pengelolaan kelas yang efektif terjadi bila guru mampu membagi
perhatiannya kepada beberapa kegiatan yang berlangsung dalam waktu
yang sama. Membagi perhatian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
b. Visual
Mengalihkan pandangan dari satu kegiatan kepada kegiatan yang
lain dengan kontak pandang terhadap kelompok siswa atau
seorang siswa secara individual.
c. Verbal
Guru dapat memberikan komentar, penjelasan, pertanyaan dan
sebagainya terhadap aktifitas seorang siswa sambil memimpin
kegiatan siswa yang lain.
(3) Memusatkan perhatian kelompok
Kegiatan siswa dalam kelompok belajar dapat dipertahankan apabila
dari waktu ke waktu guru mampu memusatkan perhatian terhadap
tugas-tugas yang diberikan. Dalam pelaksanaan tindakan, peneliti selalu
berusaha memusatkan perhatian, agar tidak terjadi ketidakefektifan
pembelajaran.
(4) Memberikan petunjuk yang jelas
Hal ini berhubungan dengan cara guru dalam memberikan petunjuk agar
jelas dan singkat dalam memberikan pelajaran sehingga tidak terjadi
kebingungan pada diri siswa. Petunjuk hendaknya disampaikan dengan
bahasa komunikasi siswa. Pada hal ini, peneliti memanfaatkan kejelasan
artikulasi agar siswa dalam proses lip reading (membaca bibir) dapat
cv
menangkap penjelasan guru dengan mudah. Teks cerita juga digunakan
oleh peneliti, selain itu dimanfaatkan pula media animasi yang
memvisualkan apa yang terdapat pada teks bacaan.
(5) Menegur
Apabila terjadi tingkah laku siswa yang mengganggu kelas atau
kelompok dalam kelas, hendaknya guru menegur. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pemberian teguran, antara lain: tegas
dan jelas tertuju kepada siswa yang mengganggu serta tingkah lakunya
menyimpang, menghindari peringatan yang kasar dan menyakitkan atau
yang mengandung penghinaan, serta menghindari ejekan yang
berlebihan. Pada pelaksanaannya, guru dan peneliti juga menerapkan
hal tersebut. Hanya saja, teguran kepada siswa tunarungu tidak efektif
jika secara verbal. Teguran diberikan dengan sentuhan disertai
penjelasan dengan bahasa isyarat ataupun membaca bibir (lip reading).
(6) Memberi penguatan
Dalam hal ini guru dapat menggunakan penguatan non verbal
mengingat keterbatasan siswa. Guru dan peneliti menggunakan acungan
jempol, belaian, tepuk tangan dan sesekali memberikan hadiah kepada
siswa.
3. Kendala-Kendala yang Dihadapi dalam Peningkatan Kemampuan Membaca
Pemahaman dengan Penggunaan Media Animasi Berbasis Komunikasi Total
Dalam proses belajar mengajar sering terjadi kendala yang dapat
menghambat keberjalannya dalam mencapai tujuan pembelajaran. Kendala
ini bisa bersumber dari guru, siswa, maupun faktor-faktor lain yang tentu
saja berbeda antara sekolah satu dengan sekolah yang lain. Adapun kendala
yang dihadapi peneliti dalam peningkatan kemampuan membaca
pemahaman dengan penggunaan media animasi berbasis komunikasi total di
kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta antara lain:
cvi
a. Sarana penunjang penggunaan media animasi berbasis komunikasi total
yang berupa komputer/laptop, LCD dan layar LCD yang belum
dimanfaatkan dengan maksimal di sekolah tersebut. Sebenarnya sarana
tersebut sudah dimiliki oleh yayasan, tetapi penggunaannya baru sebatas
saat acara-acara tertentu saja, belum dipergunakan dalam kegiatan
belajar mengajar.
b. Guru belum terbiasa menggunakan media animasi dalam pembelajaran.
Jadi dalam pelaksanaannya, peneliti harus memberikan pengarahan dan
penyamaan konsep terlebih dahulu kepada guru tentang penggunaan
media tersebut agar menjadi alternatif pemecahan masalah yaitu
kurangnya kemampuan siswa dalam membaca pemahaman.
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa,
penggunaan media animasi berbasis pendekatan komunikasi total dalam
pembelajaran Bahasa Indonsia dapat meningkatkan kemampuan membaca
pemahaman pada anak tunarungu kelas Dasar V SLB B YRTRW Surakarta tahun
ajaran 2009/2010.
B. Implikasi
Penelitian ini memberikan gambaran bahwa dalam pembelajaran,
sangatlah diperlukan adanya pemikiran yang kreatif dalam memecahkan suatu
masalah. Bukan hanya masalah pada membaca pemahaman saja, namun begitu
pula pada permasalahan lain yang sering terjadi dalam proses belajar mengajar.
Salah satu wujud pemikiran kreatif tersebut dapat berupa penggunaan media
dalam pembelajaran. Media terbukti efektif dalam menunjang pembalajaran.
cvii
Baik pembelajaran eksak, seperti matematika dan IPA, ataupun pembelajaran
non eksak seperti Bahasa Indonesia dan IPS.
Berkaitan dengan pemilihan media pembelajaran yang diharapkan
mampu meningkatkan prestasi siswa, upaya yang dilakukan dengan media
animasi berbasis pendekatan komunikasi total membuktikan terjadinya
peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas Dasar V SLB B
YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010 sehingga hal tersebut mempengaruhi
kualitas proses dan hasil pembelajaran. Penggunaan media animasi berbasis
pendekatan komunikasi total dalam penelitian ini merupakan salah satu upaya
yang dilakukan untuk menghadirkan media pembelajaran yang baru dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga media ini dapat dijadikan
pertimbangan bagi guru yang ingin menyampaikan materi pelajaran Bahasa
Indonesia. Media ini juga dapat digunakan sebagai suatu cara alternatif untuk
meningkatkan keaktifan siswa tunarungu dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
karena media ini secara tampilan fisik saja sangat menarik, serta sesuai dengan
perkembangan anak yang sedang gemar melihat media yang bersifat menghibur.
Untuk itu media animasi berbasis pendekatan komunikasi total perlu diterapkan
terutama pada Kompetensi Dasar menjawab pertanyaan tentang isi cerita.
C. Saran
Berkaitan dengan simpulan di atas, maka peneliti dapat mengajukan
saran-saran sebagai berikut :
1. Saran kepada Kepala Sekolah:
a. Dalam upaya pengembangan media pembelajaran yang efektif dan
menunjang proses belajar mengajar, hendaknya diadakan sosialisasi dan
pembekalan rutin kepada guru.
b. Pihak sekolah sebaiknya menambah fasilitas dalam kelas, misalnya LCD,
Laptop, serta VCD pembelajaran yang akan sangat menunjang
cviii
peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah, khususnya bagi siswa
tunarungu.
2. Saran kepada Guru:
a. Guru sebaiknya lebih berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan dan menarik sehingga siswa merasa nyaman dan aktif
dalam mengikuti pembelajaran.
b. Untuk lebih mengefektifkan pembelajaran Bahasa Indonesia, guru
hendaknya senantiasa berupaya mengoptimalkan kemampuan
menjelaskan dan mengelola kelas.
c. Guru sebaiknya selalu berfikir kreatif dalam menciptakan media
pembelajaran, sejalan dengan perkembangan IPTEK yang semakin pesat.
3. Saran kepada siswa:
a. Siswa hendaknya selalu terlibat secara aktif saat kegiatan belajar
mengajar, sehingga siswa akan terbiasa terlibat aktif saat proses kegiatan
belajar mengajar.
b. Siswa sebaiknya mampu mengekspresikan dirinya dengan berani dengan
ikut berpartisipasi dalam kegiatan belajar mengajar yang diadakan oleh
guru.
4. Saran kepada Peneliti selanjutnya:
Diharapkan ada penelitian lanjutan yang membahas tentang kaitan media animasi berbasis komunikasi total dengan kemampuan membaca pemahaman di sekolah yang berbeda.
cix
DAFTAR PUSTAKA Andreas Dwijosumarto. 2006. Ortopedagogik Anak Tunarungu. Jakarta : Dirjen DIKTI Andyarto Surjana. 2002. Efektivitas Pengelolaan Kelas. Jurnal Pendidikan
Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002. http://www.bpkpenabur.or.id/id/jurnal
Azhar Arsyad. 2005. Media Pembelajaran. Raja Grafindo Persada: Jakarta Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar Sekolah Luar Biasa Tunarungu (SDLB-B). Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
Basuki Wibawa , Farida Mukti. 2001. Media Pengajaran. Maulana : Bandung Cartono dan Toto Sutarto G. Utari. 2006. Penilaian Hasil Belajar Berbasis Standar.
Prisma Press: Bandung Daryanto. 1997. Evaluasi Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta Dendi Sugono. 2003. Buku Pedoman Praktis Bahasa Indonesia 2 .Jakarta. Pusat
Bahasa Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai
Pustaka : Jakarta Diginnovac, dkk. 2002. Menggambar dan Menganimasi Menggunakan Flash.
Jakarta : Gramedia.
cx
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Ela. 2009. Pengertian Dan Klasifikasi Gangguan Pendengaran. http://ela4019.blogspot.com/2009/06/pengrtian-dan-klasifikasi-gangguan.html.
Gail Meyer Rolka.2005. Biografi Helen Keller (1880--1968) http://biokristi.sabda.org/biografi_helen_keller.
Gene L. Wilkinson. 1984. Media dalam Pembelajaran. Rajawali : Jakarta Hapsari, Dyah Mareta . 2009. Pembelajaran Membaca Pemahaman di Kelas VII
SMP Negeri I Kedungwaru Tulungagung.http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Pembelajaran-Membaca-Pemahaman-di-Kls-7-SMPN-I-Kedungwaru-Tulungagung-Dyah-Mareta-2006s.pdf
Henry Guntur Tarigan. 2008.Membaca. Bandung : Angkasa I Dewa Putu Wijana. 2004. KARTUN Studi Tentang Permainan Bahasa.
Jogjakarta : Ombak IGAK Wardani. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Universitas Terbuka Igk. Masidjo. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah. Kanisius :
Yogyakarta Iim Imandala. 2009. Remedial Membaca Dengan Metode Fernald Bagi
Anak Disleksia. http://pendidikankhusus.wordpress.com/2009/05/19/remedial-membaca-dengan-metode-fernald-bagi-anak-disleksia/.
Jamila K. A Muhammad. 2008. Special Aducation for Special Children. Jakarta:
Hikmah Johnson LouAnne. 2008. Pengajaran yang Kreatif dan Menarik. Jakarta:Macanan
Jaya Cemerlang Mohammad Efendi. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:
Bumi Aksara M. Cem Girgin, 2008. Speech Rates Of Turkish Prelingually Hearing-Impaired
Children. International Journal Of Special Education Vol 23 No 2. www.internationaljournalofspecialeducation.com
cxi
Muhammad Rohmadi, dkk. 2008. Teori dan Aplikasi bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Surakarta. UNS Press.
Mulyono Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta
: Rineka Cipta. Noor Aini Wulandari . 2007. Peningkatan Keterampilan Membaca Pemahaman
Bacaan Berbahasa Jawa Dengan Strategi DRTA (Directed Reading Thingking Activity) Pada Siswa Kelas V SD N Wonorejo 01 Karanganyar Demak.
Parwoto. tt. Pedoman Pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan (PPL)
Program Studi PGPLB. Jakarta: Depdikbud Pusat Bahasa Departemen Nasional. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 2.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Nasional Sardiman A.M. 2001. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:
RajaGrafindo persada. Sarwiji Suwandi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya
Ilmiah. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: Bumi Aksara Sutjihati Somantri. 1996. Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Dirjen DIKTI Thomas Wibowo Agung Sutjiono. 2005. Pendayagunaan Media Pembelajaran.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005. http://www.bpkpenabur.or.id/id/jurnal
Victoria Zascavage. 2009. Definition, Literacy, And The Student With Severe Speech And Physical
Disabilities (SSPD). International Journal Of Special Education Vol 24 No 2. www.internationaljournalofspecialeducation.com