Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
21 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
PENGGUNAAN METODE ISTISHLAHI/MAQOSHIDI DALAM
ISTIMBATH HUKUM FIQH
Abd Wahid
STAI Syaichona Moh Cholil Bangkalan
JL. KH. Mohammad Cholil, No. 6, Demangan Barat, Demangan, Kec.
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur 69115
Astrack : This research tries to answer various problems in
making sharia law ’in Islam. Islamic sharia is intended to
realize the benefit (mashlahah) of human beings born and
inwardly, the world and the hereafter. From this study the
authors conclude that maqashid al shari'ah cannot be
separated from nushush al shari'ah, because maqashid al
shari'ah cannot be realized without nushush al shari'ah. On
the other hand nushush al shari'ah in its interpretation and
explanation the meaning must pay attention to maqashid al
shari'ah, so that the legal provisions which are extracted
from it are not only textual, but also contextual. Maqashid
al shari'ah is not only important to pay attention to in
interpreting texts, but it is also very necessary to explore
the shariah law that does not have a direct reference to the
text. Istimbath methods such as istihsan, mashlahah
musrsalah and ‘urf basically refer to maqashid al shari’ah
Keywods; Methode, syaria law
A. Pendahuluan
Para ‘ulama’ sepakat, bahwa tindakan manusia baik berupa
perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah maupun mu’amalah,
berupa tindakan pidana ataupun perdata telah terdapat segala
hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia itu.
Hukum-hukum itu ada kalanya disebutkan secara jelas serta tegas
dan ada kalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
22 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum yang
disebutkan pertama tidak diperlukan proses ijtihad (istimbath),
tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya , karena
memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah SWT melalui
wahyu murni ) النصوص المقد سة ).
Adapun untuk mengetahui hukum islam dalam bentuk kedua
diperlukan upaya sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk
menggali( الاستنباط ) hukum yang terdapat dalam nash melalui
pengkajian yang mendalam berdasarkan metode istimbat yang
relevan .1
Kebutuhan bagi tersedianya metode istimbath hukum sederhana
dan yang siap pakai adalah cukup mendesak. Hal ini karena
banyaknya kasus-kasus fiqh baru yang tidak mudah ditemukan
jawabannya dalam kitab-kitab fiqh keislaman klasik. Untuk
menangani kasus-kasus baru tersebut dikalangan masyarakat,
seperti pada organisasi-organisasi keagamaan Islam atau di
Pondok-pondok Pesantren yang kerap menyelenggarakan kajian
masalah-masalah keislaman ( bahtsul masail diniyah) biasanya
telah memiliki patokan/pedoman.
Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam
kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur
Ilhaq al masail binadhoiriha ( mempersamakan masalah-masalah
yang tengah dibahas dengan persamaannya yang terdapat dalam
kitab) yang dilakukan secara jama’i (kolektif), dilakukan dengan
mempertimbangkan , mulhiq, mulhaq dan mulhaq bih.
Namun jika kasus fiqh tersebut tidak bisa dilakukan dengan
prosedur ilhaq karena tidak adanya mulhiq, mulhaq dan mulhaq
bih sama sekali didalam kitab , maka dilakukan istimbath secara
jama’i. Metode yang biasa dipergunakan dalam melakukan
1 H. Aliddin Koto, MA.Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar).Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2004, hal 1.
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
23 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
istimbat jama’i adalah; Metode Bayani, metode Qiyasi dan metode
istishlahi/maqosidi.2
Tulisan ini akan mencoba membahas dan mengkaji penggunaan
salah satu dari metode tersebut, yaitu khususnya metode Istishlahi
atau yang juga dikenal metode maqosidi.
A. Sumber-sumber hukum Islam ( Dalil-dalil Syar’i)
Berdasarkan kesepakatan Jumhur al ‘ulama’, bahwa dalil syara’
yang menjadi dasar pengambilan hukum yang berhubungan
dengan perbuatan manusia itu ada empat, antara lain ; al Qur’an,
kedua al Sunnah, ketiga al Ijma’ dan keempat al Qiyas.
Bukti penggunaan empat dalil tersebut adalah firman Allah surat
an-Nisa’ :59 :
ئ فردوه يها الدين امنوا اطيع الله اواطيع الرسول واولى امرمنكم فان تنزعتم فى شيياا
إلى الله والرسول
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah dan ta’atilah
Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah ( Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), (An Nisa’ : 59).
Perintah menta’ati Allah dan Rasul Nya, yaitu perintah mengikuti a
Qur’an dan al Sunnah. Perintah mengikuti ulil amri (pemimpin)
diantara umat Islam ialah perintah mengikuti hukum yang telah
disepakati oleh para mujtahid,’. Sedangkan perintah
mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada Allah dan
Rasul Nya ialah perintah mengikuti kiyas ( selama masalah itu
tidak terdapat nash atau kesepakatan diantara mujtahid.3
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa banyak juga
ulama’ yang menemui kesulitan untuk menetapkan hukum jika
hanya merujuk kepada empat sumber. Oleh karenanya mereka
2 Ishomuddin, ahmad. Materi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah.Jakarta, 2015, hal 52-61. 3 Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh, Dar al Qolam. Mesir: Cet. 12, 1978, hal 21.
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
24 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
meneliti kembali nash-nash syari’at dan dari sana merumuskan lagi
kaidah atau teori-teori lain. Dengan cara ini lahirlah metode
istimbath hukum selain empat sumber yang disebut diatas, dan
sumber-sumber inilah kemudian yang disebut sebagai dalil hukum
syar’i (metode istimbath hukum syar’i) yang diperselisihkan,
seperti Istihsan, Istishlah, Urf, Syar’u man Qoblana, Sadz al
dzari’ah, dan Qoul al Shohabah.4
B. Metode istishlahi /Maqoshidi sebagai metode istimbath
Maqoshid al syari’ah ( tujuan dari pensyari’atan hukum islam ),
ialah, makna dan tujuan-tujuan yang menjadi perhatian syara’
didalam semua hukum-hukumnya, atau pada sebagian besar
hukum-hukumnya atau tujuan akhir dari pensyari’atan hukum dan
rahasia-rahasianya yang terkandung dalam setiap penetapan
hukum.
Mengetahui maqoshid al syari’ah merupakan suatu keniscayaan.
Bagi seorang mujtahid diperlukan ketika melakukan istimbath dan
upaya memahami nash, dan diperlukan bagi selain mujtahid agar
dapat mengetahui rahasia-rahasia pensyari’atan hukum.5
Berdasarkan hasil penelitian terhadap nash-nash tasyri’ ( al qur’an
dan al sunnah ), hukum-hukum syar’i, alat-alat dan hikmahnya
para fuqoha’ menyimpulkan, bahwa tujuan umum dari syari’at
islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, lahir dan
batin, dunia dan akhirat.6
Syekh Wahbah Zuhaili juga menulis, bahwa tujuan umum dari
pensyaria’tan hukum islam ialah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia dalam kehidupannya dengan menarik manfa’at terhadap
mereka dan menolak bahaya bagi mereka.7. Karena itu maqoshid al
syari’ah tidak bisa dipisahkan dari nushus al syari’ah, bahkan
maqoshid al syari’ah tidak terwujud tanpa nusus al syari’ah.
Dipihak lain nushus al syari’ah dalam penafsiran dan penjelasan
maknanya harus memperhatikan maqoshid al syari’ah sehingga
4 Koto, Alaiddin,Op.cit hal 60 5 Al-zuhaili,Wahbah.Al wajiz fii ushul al-fiqh.Damaskus, Hal. 217 6 Ishomuddin, ahmad. Materi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah.Jakarta, 2015,hal. 61 7 Al-zuhali,Wahbah,Op.cit, hal 217
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
25 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
ketentuan hukum yang digali dari padanya tidak hanya bersifat
tekstual, tetapi juga kontekstual.
Maqoshid al syari’ah tidak hanya penting diperhatikan dalam
menafsirkan nash, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk menggali
hukum syar’i yang tidak memiliki acuan nash secara langsung.8
C. Dalil-dalil yang merujuk pada maqoshid al syari’ah
Beberapa dalil skunder ( yang statusnya diperselisihkan ulama’)
yang pada hakekatnya merujuk pada maqoshid al syari’ah, anatara
lain : Istihsan, Mashlahah Mursalah dan al ‘Urf. Jadi
penggunaan istihsan, mashlahah mursalah dan ‘urf tidak bisa
terlepas dari maqoshid al syari’ah. Metode tersebut dalam
pengetrapannya harus memperhatikan maqoshid al syari’ah.
1. Istihsan
Istihsan merupakan salah satu dalil syara’ skunder yang
mengacu pada maqoshid al syari’ah. Istihsan dalam pengertian
sederhana ialah kebijakan mujtahid yang menyimpang dari
ketentuan al qiyas yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum
umum.9
Abdul Wahhab Khallaf mendifinisikan istihsan, ialah ;
Beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias yang
nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada
perkecualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian
memenangkan perpindahan itu.10
Jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua dalil kiyas, yang
satu jali dan yang lain khofi, maka pada dasranya mujtahid
harus berpegang pada dalil yang rajih, yaitu kiyas jali. Namun
atas pertimbangan-pertimbangan (dalil ) tertentu, mujtahid bisa
meninggalkan kiyas jali yang rajih dengan mengambil kiyas
8 Ishomuddin, ahmad Op.cit ,hal. 62 9 Ishomuddin, ahmad. Materi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah.Jakarta, 2015, hal 62 10 Wahhab Khallaf,Abdul.Ilmu Ushul Fiqh, Dar al Qolam. Kairo Mesir. 1979, hal 79.
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
26 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
khafi yang marjuh. Cara kerja inilah yang dikenal dengan
istihsan.
Begitu juga jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua
ketentuan hukum , yang satu hukum kulli dan yang lain hukum
juz’i-istitsna’i, kemudian mujtahid mengambil hukum yang
juz’i- istitsna’i dan meninggalkan hukum kulli atas dasar
pertimbangan kebutuhan (dlarurah atau hajah), ini juga disebut
istihsan. Contoh, dalam hukum(ketentuan) umum ditetapkan,
bahwa obyek transaksi ( ma’qud ‘alaih) harus berupa sesuatu
yang telah nyata ada. Akan tetapi dari ketentuan hukum ini ada
beberapa transaksi yang dikecualikan atas dasar kebutuhan
masyarakat , seperti; ijarah, salam, istishna’, dan lain-lain.
Imam Abu al hasan al karkhi mengemukakan definisi yang
lebih luas, bahwa Istihsan ialah : Penetapan hukum dari
seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang
dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah
yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.11
Definisi itu memberikan gambaran, bahwa istihsan apapun
bentuk maupun macamnya, terbatas pada masalah juz’iyah.
Dengan kata lain, seorang ahli fiqh dalam memecahkan
masalah juziyah itu terpaksa menggunakan dalil istihsan agar
tidak terjadi pemakaian kaidah kiyas secara berlebihan
(melampaui batas) hingga terjauh dari ruh dan makna syara’.
1.1. Kedudukan Istihsan
Kedudukan istihsan sebagai salah satu pertimbangan penetapan
hukum merupakan masalah khilafiyah (kontroversial), sebagian
menerima dan sebagian yang lain menolak. Imam madzhab
yang mengambil istihsan sebagai bagian dari metode istimbath
hukum yaitu Imam Hanafi dan Imam Malik. Bahkan imam
11 Abu Zahrah,Muhammad.Ushul Fiqh(Terjemah) Saefullah Ma’shum dkk.Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 2011, cet. Ke 15,hal. 401.
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
27 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
Malik menilai, bahwa pemakaian istihsan itu merambah 90 %
dari seluruh ilmu (fiqh).
Sementara, Imam Syafi’i merupakan salah seorang mujtahid
yang menolak istihsan, beliau mengungkapkan :
من استحسن فقد شرع
( barang siapa yang menggunakan istihsan sebagai dalil,
berarti ia telah membuat-buat syari’at baru).
Disatu sisi murid-murid Abu Hanifah, seperti diceritakan imam
Muhammad bin Hasan tidak sejalan dengan gurunya( Imam
Abu Hanifah ). Istihsan dipandang tidak jelas kreterianya. Pada
dasarnya Imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil
kiyas, selama masih dipandang tepat. Namun jika pemakaian
dalil itu pada situasi tertentu dinilai kurang pas maka ia beralih
kepada dalil istihsan.12
Jumhur Ulama menerima dalil istihsan sebagai hujjah
syar’iyah, sementara golongan Syafi’iyah, Syi’ah dan golongan
dhohiriyah tidak mau menjadikan istihsan sebagai hujjah
syar’iyah.13 Walaupun demikian, istihsan dengan pengertian
diatas sesungguhnya secara defacto diamalkan oleh hampir
semua fuqoha’, termasuk Imam Syafi’i sendiri. Sedangkan
istihsan yang ditolak al Syafi’i adalah istihsan yang didasarkan
atas keinginan subyektif seseorang tanpa pijakan dalil yang
dapat dipertanggung jawakan. Sesungguhnya istihsan itu
mempunyai pijakan dalil yang muaranya tak lain untuk
memelihara kepentingan dan kemaslahatan umat manusia
sesuai dengan maqoshid al syar’i, sehingga dalam berbagai
kasus hukum penggunaan istihsan tidak dapat dihindari.14
Disinilah sebenarnya relevansi hubungan istihsan dengan
maqoshid al syar’i.
1.2. Pembagian istihsan
Ibnu al “Arobi membagi istihsan menjadi empat
macam, yaitu :
1. Meninggalkan dalil karena Urf;
12 Ibid, hal 401 13 Al-zuhaili,Wahbah.Al wajiz fii ushul al-fiqh.Damaskus, Hal. 90 14 Ishomuddin, ahmad. Materi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah.Jakarta, 2015, hal 63
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
28 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
2. Meninggalkan dalil karena Ijma’;
3. Meninggalkan dalil karena mashlahat dan
4. Meninggalkan dalil karena untuk merinankan dan
menghindarkan masyaqqat.15
Wahbah Zuhaily dalam al Wajiz membagi istihsan
menjadi enam bagian, yaitu : Al Nash, Al Ijma’, Al
Dlarurah, Al Qiyas Khofi, Al ‘Urf, dan Al Mashlahah 16
2. Mashlahah Mursalah
Berdasarkan penelitian empiris dan nash-nash al qur’an
maupun al Sunnah diketahui bahwa hukum-hukum syari’at
Islam mencakup diantaranya pertimbangan kemaslahatan
manusia.17 Allah SWT berfirman :
وماارسلناك الارحمة للعا لمين
Artinya : Dan tiadalah kami mengutus kamu , melainkan
untuk( menjadi) rahmat bagi semesta alam, (Al ambiya : 107).
2.1. Pengertian Mashlahah Mursalah
Mashlahah berarti setiap hal yang baik dan bermanfa’at.
Mashlahah juga diartikan sebagai tindakan yang membawa
manfa’at. Seperti menuntut ilmu adalah maslahah, karena dapat
mendatangkan manfa’at. Sedangkan dalam terminologi ushuk
fiqh, maslahah adalah setiap hal yang menjamin terwujud dan
terpeliharanya maksud tujuan syari’ ( maqoshid al syari’ah),
yaitu menjaga keselamatan keyakinan agama, keselamatan
jiwa, keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan
dan keselamatan harta benda.18
Dalam definisi yang lain, Mashlahah mursalah ialah,
mashlahah-mashlahah yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan
syari’at Islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang
khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan mashlah
tersebut.19
15 Abu Zahrah,Muhammad.Ushul Fiqh(Terjemah) Saefullah Ma’shum dkk.Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 2011, cet. Ke 15,hal. 402 16 Al-zuhaili,Wahbah.Al wajiz fii ushul al-fiqh.Damaskus, Hal. 86 17 Abu Zahrah,Muhammad, Op.cit Hal. 423 18 Wahhab Khallaf,Abdul.Ilmu Ushul Fiqh, Dar al Qolam. Kairo Mesir. 1979, hal 197-205 19 Al-zuhaili,Wahbah, Op.cit hal 92.
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
29 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
Para ulama’ membagi mashlahah kedalam tiga bagian, yaitu :
Pertama, adalah mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah yang
diapresiasi syari’ melalui nash al qur’an atau Sunnah, seperti
diharamkannya setiap minuman yang memabukkan. Kedua,
adalah mashlahah Mulgha, yaitu mashlahah yang dinafikan
oleh syari’ melalui nash al qur’an atau al Sunnah, seperti
penyamaan pembagian harta waris antara anak laki-laki dan
anak perempuan yang dianggap sebagai mashlahah. Ketia,
adalah mashlahah Mursalah, yaitu mashlahah yang tidak
memiliki acuan nash, baik nash yang mengakui ataupun yang
menafikannya seperti penulisan dan penyatuan al qur’an dalam
satu mushhaf dan pencatatan pernikahan dan lain-lain.20
2.2. Syarat-syarat mashlahah Mursalah
Wahbah Zuhaily menetapkan syarat-syarat bagi mashlahah
Mursalah , yaitu :
1. Mashlah itu harus berkesuaian dengan yang menjadi
tujuan dari pembuat syari’ah
2. Memaslahatannya harus rasional
3. Harus berua mashlahah umum, bukan kemashlahatan
perorangan.21
2.3. Kedudukan/kehujjahan Mashlahah Mursalah
Para ulama’ berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah
dengan mashlahah mursalah. Golongan Syafi’iyyah, Syi’ah
dan Dhohiriyah menolak berhujjah dengan mashlahah
mursalah. Sedangkan yang membolehkan berhujjah dengan
mashlahah mursalah yaitu, antara lain golongan Malikiyah,
Hanafiyah dan Hanabilah.Ulama’ sepakat bahwa
Mashlahah Mursalah tidak dapat dijadikan hukum dalam
wilayah ibadah, sebab ibadah berbasis pada ketundukan
dan kepasrahan secara total, karena nilai mashlahahnya
tidak dapat di nalar akal pikiran manusia.
Sedangkan dalam wilyah mu’amalah, ulama berbeda
pendapat tentang kehujahan Maslahah Mursalah.22
20 Ishomuddin, ahmad. Materi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah.Jakarta, 2015, hal 64 21 Al-zuhaili,Wahbah, Op.cit hal 96
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
30 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
3. Al ‘Urf
Salah satu metode istimbath ( dalil syara’ skunder ) yang
merujuk pada maqoshid al syari’ah ( tujuan pensyari’atan
hukum ) adalah al ‘Urf.
‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi
tradisinya; baik ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan,
dan disebut juga adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada
perbedaan antara al ‘Urf dan adat. Adat perbuatan, seperti
kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar
secara langsung tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan,
seperti kebiasaan manusia menyebut al walad secara mutlak
berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan.23
3.1. Pembagian ‘Urf
Para ulama’ membagi ‘urf dari segi wilayah berlakunya
kedalam dua bagian.
a. ‘urf ‘amm, yaitu urf yang berlaku pada seluruh atau
mayoritas umat manusia pada masa tertentu.
b. ‘Urf khashsh, yaitu urf yang berlaku pada masyarakat,
komunitas atau daerah tertentu pada masa tertentu.
Sementara dari segi kesesuaiannya dengan nash dan
prinsip-prinsip syari’at , urf dibagi menjadi dua
macam;
a. ‘Urf shoheh, yaitu urf yang tidak bertenangan
dengan nash al qur’an atau al Sunnah dan tidak
menghalalkan sesuatu yang haram atau
mengharamkan yang halal.
b. ‘urf fasid , yaitu urf yang bertentangan dengan nash
shorekh al qur’an atau Sunnah, menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal.
3.2. Kehujjahan Urf
Ulama’ sepakat bahwa ‘urf fasid tidak dapat dijadikan
acuan dalam penetapan hukum . Sedangkan ‘urf shoheh
diperselisihkan dikalangan mereka. Aimmah al madzahib al
22 Ishomuddin, ahmad. Materi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah.Jakarta, 2015, hal 64 23 Wahhab Khallaf,Abdul.Op.cit hal 89
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
31 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
arba’ah menjadikan ‘urf shahih sebagai acuan penetapan
hukum, tapi dengan kadar berbeda. Imam Madzhab yang
terkenal paling banyak menggunakan ‘urf adalah Imam Abu
Hanifah, Imam Malik , Imam Ahmad bin Hambal dan Imam
Syafi’i.24
Ada beberapa kaidah terkait dengan peranan ‘urf sebagai acuan
hukum, diantaranya :
المعروف عرفا كالمشروط شرطا25
Artinya : Sesuatu yang telah dikenal sebagai suatu kebiasaan,
sama halnya dengan sesuatu yang dianggap sebagai syarat.
الثابت بالعرف كا لثابت بالنص26
Artinya : Sesuatu yang telah ditetapkan oleh ‘urf sama halnya
dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh nash
Disamping sebagai acuaan hukum, ‘urf juga dapat dijadikan
sebagai pertimbangan dalam menjabarkan ( tafsir ) ketentuan-
ketentuan hukum yang bersifat ijmali dan tidak memiliki
standar praktis. Dalam kitab al asbah wa al Nadhoir dikatakan
:
كل ما وردبه الشرع مطلقا, ولا صنا بطله فيه, ولا فى الغة, يرجع فيه الاالعرف27,
Artinya : Setiap sesuatu yang datang dari syari’ secara mutlaq
dan tidak ada batasan baginya, baik dalam syari’at maupun
dalam kebahasaan, maka sesuatu tersebut dikembalikan
kepada ‘urf.
Dengan menjadikan ‘urf sebagai saah satu acuan hukum, maka
hukum islam menjadi sangat dinamis. Sebab hukum dapat
24 Ibid, hal 90 25 Bin Muhammad al-Zarqa’,Ahmad.Syarh al Qowaid al-fiqhiyah.Damaskus: Dar al-Qolam,1989, hal 237 26 Aziz Muhammad Azzam,Abdul.Al Qowaid Al-Fiqhiyyah.Kairo:Dar Al-Hadist, 2005, hal 196 27 Al-Suyuthi.al-Asybah wa al-Nadhair(Qowait wafuru’ al fiqh al syafi’yah).Bairut:Dar al Fiqri,2009, hal 130.
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
32 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
berubah karena berubahnya ‘urf. Dalam kaidah ushul fiqh
dikatakan :
الاحكام المبنية على العرف تتفير بتفيره زمانا ومكانا28
Artinya : Hukum-hukum yang didasarkan pada tradisi bisa
berubah sebab perubahan waktu dan tempat keberadaan
tradisi tersebut.
Atas dasar uraian di atas, maka istimbat hukum berdasarkan
metode ‘urf masuk dalam lingkup ijtihad istishlahi. Ini artinya
menjadikan maslahah sebagai tujuan syari’at berkonsekwensi
logis pada keharusan memperhatikan ‘urf manusia, selama
tidak bertentanan dengan syari’at.29
D. Kesimpuln
Ijtihad dengan metode istishlahi ialah, ijtihad yang mengacu
pada maqoshid al syari’ah, yaitu tujuan umum dari
pensyari’atan hukum islam. Karena itu ia juga bisa disebut
ijtihad maqashidi. Bahwa syari’at Islam dimaksudakan untuk
mewujudkan untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah)
manusia lahir dan batin, dunia dan akhirat. Maqashid al syari’ah
tidak bisa dipisahkan dari nushush al syari’ah, karena maqashid
al syari’ah tidak terwujud tanpa nushush al syari’ah. Dipihak
lain nushush al syari’ah dalam penafsiran dan penjelasan
maknanya harus memperhatikan maqashid al syari’ah, sehingga
ketentuan hukum yang digali dari padanya tidak tidak hanya
bersifat tekstual, tetapi juga kontekstua. Maqashid al syari’ah
tidak hanya penting diperhatikan dalam menafsirkan nash, tetapi
juga sangat dibutuhkan untuk menggali hukum syar’i yang tidak
memiliki acuan nash secara langsung. Metode istimbath
semacam istihsan, mashlahah musrsalah dan ‘urf pada
hakikatnya merujuk pada maqashid al syari’ah. Dengan
demikian tanpa maqashid al syari’ah metode-metode istimbath
tersebut tidak bisa berfungsi secara maksimal. Istimbath hukum
28 Wahab khallaf,Abdul,Op.Cit hal 91. 29 Ahmad Ishomuddin. Materi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah.Jakarta, 2015, hal 66
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
33 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
berdasarkan ‘urf masuk dalam lingkup ijtihad istishlahi, ya’ni
menjadikan mashlahah sebagai tujuan syari’at berkonsekwensi
logis pada keharusan memperhatikan ‘urf manusia, selama tidak
bertentangan dengan syari’at.
Abd Wahid Penggunaan Metode Istishlah…..
34 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman
Volume 3 Nomer 1 Marer 2020 e-ISSN 2620-5122
Daftar Pustaka
Abu Zahrah,Muhammad.2011.Ushul Fiqh(Terjemah) Saefullah Ma’shum
dkk.Jakarta:PT. Pustaka Firdaus
Al-Suyuthi.2009.al-Asybah wa al-Nadhair(Qowait wafuru’ al fiqh al
syafi’yah).Bairut:Dar al Fiqri
Al-zuhaili,Wahbah.Al wajiz fii ushul al-fiqh.Damaskus
Aziz Muhammad Azzam,Abdul.2005.Al Qowaid Al-Fiqhiyyah.Kairo:Dar
Al-Hadist
Bin Muhammad al-Zarqa’,Ahmad.1989.Syarh al Qowaid al-
fiqhiyah.Damaskus: Dar al-Qolam
H. Aliddin Koto, MA.2004.Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah
pengantar).Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada
Ishomuddin, Ahmad.2015.Materi Komisi Bahtsul Masail Diniyah
Maudlu’iyah(Muktamarke-33 Nahdlatul Ulama).Jakarta
Wahab Khallaf,Abdul.1978.Ilmu Ushul Fiqh, Dar al Qolam. Mesir: Cet.
12
Wahab Khallaf,Abdul.1979.Ilmu Ushul Fiqh, Dar al Qolam. Kairo Mesir