Upload
vominh
View
221
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGGUNAAN SIMBOL-SIMBOL DALAM MENGKRITISI UU ANTIPORNOGRAFI MELALUI PEMENTASAN TEATER
(Analisis Semiologi Penggunaan Simbol-Simbol dalam Mengkritisi UU Antipornografi melalui Pementasan ”Sidang Susila” oleh Teater Sopo UNS)
JURNAL Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi Non-Regular
Disusun oleh : WURY FEBRIANINGRUM SUYONO
D1210082
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2013
2
PENGGUNAAN SIMBOL-SIMBOL DALAM MENGKRITISI UU
ANTIPORNOGRAFI MELALUI PEMENTASAN TEATER
(Analisis Semiologi Penggunaan Simbol-Simbol dalam Mengkritisi UU
Antipornografi melalui Pementasan ”Sidang Susila” oleh Teater Sopo UNS)
Wury Febrianingrum Suyono
Andrik Purwasito
Surisno Satriyo Utomo
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract The performance of “Sidang Susila” (created by Ayu Utami dan Agus
Noor) was replay by Sopo Teater FISIP UNS in 2011 because it is considered to have relevancy with the theme about the Act of Anti-Pornography which is officially legalize. The objective of the study is to know how the use of symbols in criticizing the Act of Anti-Pornography through performance of “Sidang Susila” by Sopo Theatre. By analyzing several scenes and dialogues of the performance which become research corpus of documentary video, research subject, literature or document related to pornography on the data obtained from books, magazines, encyclopedia, journals, dictionary, articles, photos, performance video, and other sources related to the research, observation and interview. Based on the research result, it can be conclude that in the performance ”Sidang Susila” by Sopo Theatre which is decided by six aspects of critic for the act of anti-pornography. 1) There is police of moral which should maintain the discipline of moral but acts immoral instead. 2) Critic for ambiguity of the act of pornography that is about the boundaries of anti-pornography categorization so that there are many oddities in the implementation. 3) Critic for moral repression of the act of anti-pornography. 4) How the officers treat prisoners that excessively broke the act of anti-pornography. 5) Description of the verdict process of the act of anti-pornography. And the last aspect is critic for the master mind of the act of anti-pornography that deemed to give a flaw Bhineka Tunggal Ika. Therefore it must be solutions to overcome the different view and pro-contra related to the act of anti-pornography that has been legalized since 2008. Keyword: Anti-Pornography, symbols, theatre, performance, semiology
3
Pendahuluan
Selain sebagai karya seni, teater juga merupakan salah satu media
komunikasi yang menyampaikan pesan-pesannya melalui simbol-simbol dan
tanda-tanda yang perlu di-interpretasikan lebih mendalam. Lakon Sidang Susila
(karya Ayu Utami dan Agus Noor) dipentaskan kembali oleh Teater Sopo FISIP
UNS pada tahun 2011 lantaran dianggap (masih) memiliki relevansi dengan tema
seputar Undang-Undang Antipornografi yang telah resmi disahkan. Didalam
pementasan tersebut akan menampilkan pengaplikasian hal-hal yang dianggap
porno dan dianggap melanggar Undang-Undang Asusila. Hadirnya tokoh-tokoh
penegak hukum tata susila yang mengalami kelainan seksual, dan lain sebagainya.
Semuanya akan diteliti melalui analisis semiologi sebagai metode untuk
menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang pesan
atau teks1.
Rumusan Masalah
Memahami latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka dapat
dirumuskan permasalahan terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimana penggunaan simbol-simbol dalam mengkritisi UU Antipornografi
melalui pementasan “Sidang Susila” oleh Teater Sopo UNS?”
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
penggunaan simbol-simbol dalam mengkritisi UU Antipornografi melalui
pementasan “Sidang Susila” oleh Teater Sopo UNS.
1 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta:LKIS Yogyakarta,2007),hal.155
4
Telaah Pustaka
a. Komunikasi
Astrid Susanto merumuskan komunikasi sebagai berikut : “Suatu
kegiatan pengoperan lambang-lambang yang mengandung arti atau makna yang
perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terkait dalam suatu kegiatan.”2
Masih berkaitan dengan pernyataan Onong U.Effendy bahwa komunikasi
adalah sebuah proses penyampaian pesan, yang di dalamnya terlibat elemen-
elemen komunikasi yakni sumber (source), media (channel), penerima (receiver),
dan respon (feedback). Agar sebuah proses komunikasi lebih efektif, maka
gagasan, ide, dan opini akan di-encode atau diterjemahkan menjadi pesan yang
mudah diterima (decode) oleh penerima. Dalam sebuah proses komunikasi, pesan
adalah hal yang utama.3
Didukung oleh Lasswell (dalam Effendy, 1993: 3), komunikasi adalah
proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media
yang menimbulkan efek tertentu.4
Model komunikasi Lasswell sebagai berikut :
Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect
Keterangan :
a. Who : Siapa (Komunikator/sender)
b. Says What : Mengatakan apa (Pesan/message: idea, informasi,
opini, dsb)
c. In Which Channel : Melalui saluran apa (Media/channel)
d. To Whom : Kepada Siapa (komunikan/receiver: audien)
e. With what effect : Dengan efek apa (efek/pengaruh kegiatan
komunikasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan.)
Dari skema diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan
suatu proses yang diawali dengan adanya sebuah pesan (message) yang dibawa
2 Susanto, Astrid, Komunikasi dalam Teori dan Praktek Jilid I, (Bina Cipta: Bandung, 1996),hal.31. 3 Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hal.13. 4 Onong U.Effendy, Televisi Siaran Teori & Praktek, (Bandung: Mandar Maju,1993), hal.3.
5
atau disampaikan oleh komunikator (sender) kepada komunikan (receiver)
melalui sebuah media atau saluran (channel) dengan maksud dan tujuan untuk
mendapatkan efek dari proses tersebut.
b. Channel / Saluran Komunikasi sebagai Komponen Komunikasi
Harold Lasswell dengan teori model komunikasi yang dikutip Deddy
Mulyana tentang cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan “Who Says What In Which Channel To
Whom With What Effect?”. Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut,
komunikasi adalah proses penyampaian pesan/informasi oleh komunikator
kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Pada
komponen komunikasi poin ketiga, yaitu channel (saluran atau media), adalah
alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya
kepada penerima.5
c. Teater sebagai Bentuk Komunikasi Kelompok
Dalam salah satu teori pengalaman estetis, pengalaman yang dialami
seniman sebelum mencipta karya seni, disebutkan bahwa lahirnya karya seni
karena seniman melihat adanya kesenjangan antara kehidupan nyata dengan
kehidupan yang seharusnya ada, yang ada dalam benak seniman. Untuk
menjembatani kesenjangan itu kemudian seniman menciptakan karya seni sebagai
sebuah ‘dunia alternatif’ yang ditawarkan kepada masyarakat, sehingga kehidupan
bersama diharapkan lebih baik (Dimyati,1986:14-16). Ini kiranya menjadi jelas,
bahwa teater sebetulnya juga berada dalam wilayah komunikasi.6 Didalam
komunikasi, setidaknya melibatkan tiga unsur, yaitu: sumber, pesan dan sasaran.
Sedangkan didalam teater, yang menjadi sumber itu para teatrawan, pesannya
berupa nilai-nilai yang berada dibalik pertunjukkan (channel) dan sasarannya
adalah para penonton yang menyaksikan pertunjukkan teater tersebut.7
5 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2005), hal.62-63 6 Ipit S.Dimyati, Komunikasi Teater Indonesia (Bandung:Penerbit Kelir, 2010), hal.2 7 Ibid
6
Ada beberapa unsur pembentuk komunikasi, jika komunikasi melibatkan
sudah lebih dari dua orang, kita bisa menyebutnya sebagai satu kelompok sesuai
dengan prinsip: tres faciunt collegium, yaitu tiga orang sudah bisa disebut satu
kelompok.8 Sehingga dalam hal ini, teater termasuk ke dalam komunikasi
kelompok.
d. Pornografi dalam Penelitian
Dalam menjelaskan mengenai makna pornografi, masih banyak masalah
rumit yang belum bisa disajikan secara ilmiah sebagai suatu landasan teori.
Banyak yang perlu dipertimbangkan dalam konteks sejarah maupun budaya dalam
mengkaji dari isu-isu mengenai kecabulan, pornografi dan peraturan perundang-
undangan. Ditinjau dari sudut pandang Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna
porno disamaartikan dengan:
“Cabul, kemudian pornografi menjadi 1.penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi:mereka mengumandangkan argumennya bahwa – merendahkan kaum wanita; 2.bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks”.9 Disisi yang lain ada lagi artikel yang menyebutkan bahwa,
”Jika kita mendengar istilah pornografi yang terlintas dipikiran adalah film-film yang menggambarkan kehidupan seks, gambar-gambar yang selalu memperlihatkan, mengeksploitasi tubuh wanita dengan gaya bahasa yang sengaja dibuat erotis dengan tujuan membangkitkan nafsu birahi dan juga dapat menimbulkan sebuah rangsangan dan kepuasan seksual dengan tampilan bentuk, pose, posisi, sikap dan ekspresi.”10 Seperti halnya yang telah dikemukakan pada bagian-bagian terdahulu,
bahwa negara Repubik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 serta Perubahannya, terdiri dari berbagai macam penduduk
dan masyarakat, serta berbagai agama yang diakui keberlakuannya. Karena itu,
8 Franz Josef Eilers, Communicating In Community An Introduction To Social Communication;Berkomunikasi dalam Masyarakat, terj.Frans Obon,Eduard Jebarus, (Semarang:Nusa Indah, 2001), hal.218 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).hal.696 10 Lihat Artikel yang di tulis oleh Mudji Sutrisno, ”Pornografi”, Tempo, 12 Februari 2006,hal.70
7
pengertian pornografi (dan pornoaksi) di Indonesia dapat dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi sebagai berikut :
1) Pembagian penduduk berdasarkan tempat tinggal : perkotaan, dan pedesaan;
2) Pembagian penduduk berdasarkan agama yang dianut di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Budha, juga Kong Hu Cu.
3) Pembagian penduduk berdasarkan masyarakat adat di Indonesia, dari Aceh sampai Irian (Papua), masing-masing masyarakat adat memiliki ragam budaya dan hukum adat yang berbeda antara satu dan lainnya.11
Sedangkan pada pasal 1 UU AP No.44/2008 menyebutkan bahwa:
“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”12 Berbagai definisi di atas agak dipertanyakan bila sudah menyangkut
masalah representasi mental, atau bila terkait dengan obyek fisik (pakaian dalam
dan perlengkapan obyek seksual) atau obyek abstrak yang terungkap dalam
budaya atau masyarakat tertentu. Namun, isi representasi publik ini bagaimanapun
tidak bisa dikatakan relatif. Persepsi dan kategori yang dipakai oleh komunitas
tertentu tidak sepenuhnya relativis. Ada acuan pada konsepsi umum tentang seni,
misalnya maksud pengarang atau seniman dalam penentuan karya, hakikat
universal apresiasi karya seni yang bisa dipertanggungjawabkan, dan konsepsi
moral (menolak dehumanisasi dan pengobyekkan). Untuk memahami
kecenderungan argumen otoritas, logika pornografi lebih jernih dipahami bila
dianalisis melalui mekanisme kajian semiologi komunikasi sebagai analisis pesan
dalam komunikasi. Ikon atau simbol yang digunakan merupakan tanda yang mirip
dengan apa yang digambarkannya. Ikon dapat berupa seperti aslinya atau yang
diacunya (foto atau gambar), bahkan bisa lebih dari sekedar aslinya
(hiperrealitas). 11 Neng Djubaedah,. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam (rev.ed.;Jakarta: Kencana, 2009), hal.143-144 12 UU Antipornografi
8
e. Semiologi sebagai Analisis Pesan Dalam Komunikasi
Semiotika atau semiologi sendiri berasal dari bahasa Yunani Semion,
yang berarti tanda. Kemudian diartikan kedalam bahasa Inggris menjadi
Semiotics. Dalam Bahasa Indonesia, semiotika atau semiologi diartikan sebagai
ilmu tentang tanda dengan kata lain semiologi adalah ilmu yang digunakan untuk
interpretasi terhadap pesan (tanda) yang dipertukarkan dalam proses
komunikasi.13
Semiologi sebagai ilmu simbol dalam komunikasi termasuk dalam memaknai
simbol-simbol dalam sebuah pementasan teater yang merupakan salah satu media
komunikasi. Pementasan teater sebagai salah satu dari media komunikasi
mengandung pesan yang berbentuk tampilan secara audio visual di atas panggung.
Semiologi disisi lain melihat bahwa pesan merupakan kontruksi tanda-
tanda, yang saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi makna.
Sebagai sebuah hasil kontruksi, berita/pesan/informasi merupakan produksi
konvensi seperangkat aturan informal dan subyektif yang menuntut pengambilan
keputusan dari siapa yang mengumpulkan, memproduksi, dan mengirim pesan.
Media memiliki kekuasaan simbolik, yang merupakan “kemampuan
menggunakan bentuk-bentuk simbolik untuk mencampuri dan mempengaruhi
jalannya aksi maupun peristiwa”.14
Metodologi
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Dimana penelitian kualitatif memiliki beberapa karakteristik.15
Penelitian dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh, dengan
fokus penelitian pada ’proses’ dan bukan pada ’hasil’. Dijelaskan lebih lanjut,
13 Andrik Purwasito,Analisis Semiologi sebagai Tafsir Pesan, Jurnal Komunikasi Massa, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2007 14 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis semiotika dan Analisis Framing (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2004) , hal.117. 15 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 4-8.
9
seperti dinyatakan oleh Creswell, bahwa penelitian kualitatif menekankan pada
proses yang diikuti dengan pemaknaan dan pemahaman atas suatu gejala.16
Penelitian komunikasi kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala
komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi tetapi lebih dimaksudkan untuk
mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai
bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.17
Adapun subyek penelitian terdapat 3 unsur, yaitu video dokumentasi
pementasan “Sidang Susila” oleh Teater Sopo, yang kedua adalah komunikator,
yaitu orang-orang yang tergabung dalam tim produksi dan pementasan, yang
ketiga adalah literatur atau kepustakaan yang terkait dengan penggunaan simbol-
simbol untuk mengkritisi UU Antipornografi secara keseluruhan beserta
persoalannya maupun yang spesifik membahas tentang pementasan teater “Sidang
Susila”.
Untuk teknik analisis data, adalah sebuah penyederhanaan ke dalam
bentuk yang lebih ringkas dan sistematis sehingga dapat di interpretasikan. Sesuai
dengan sifat penelitian ini, maka dalam menganalisis data, penulis menggunakan
metode deskriptif yaitu langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif tentang
fenomena sosial yang terdapat dalam permasalahan yang diteliti. Data yang
disajikan dalam bentuk kata verbal perlu diolah terlebih dahulu kemudian mulai
menuliskan hasil observasi, wawancara, dan kajian dokumentasi menggunakan
analisis semiologi yang nantinya akan memberikan pemaknaan terhadap simbol-
simbol yang terdapat dalam pementasan kemudian menyajikannya. Analisis data
dilakukan guna mempermudah peneliti dalam mengambil kesimpulan.
Sedangkan tekhnik pertama yang digunakan untuk menganalisis data
menggunakan data kualitatif deskripstif, yaitu berupa pesan-pesan verbal maupun
non verbal dengan yang terdapat dalam setiap tanda yang termuat dalam
pementasan “Sidang Susila”, kemudian dianalisis menggunakan teori semiologi.
16 John W. Creswell, Reseach Design : Quantitative and Qualitative Approaches, London, Sage Publications, 1994, hal. 145. 17 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta:Lkis, 2007), hal. 35.
10
Sajian dan Analisis Data
Didalam pementasan “Sidang Susila” terdapat 16 simbol sebagai hasil
kritisi UU Antipornografi dan digolongkan menjadi 6 aspek, antara lain kritisi
mengenai:
1. Adanya Polisi Moral yang seharusnya menegakkan hukum tentang moral dan
tata susila negara tetapi justru bersikap amoral dan asusila. Hal ini ditunjukkan
dengan simbol:
a. Korpus 1:
adegan intro para polisi moral yang berpantun mengenai seksualitas dan
pornografi dengan menggunakan senjata dan pakaian dinas lengkap ketika
bertugas.
b. Korpus 8:
adegan seorang Hakim yang melakukan praktek pelecehan seksual pada
seorang tersangka yang akan diadili di persidangan dengan dalih
pemeriksaan kesehatan.
11
c. Korpus 13:
adegan ketika Hakim bersekongkol dengan Petugas Kepala dalam mengurus
Susila.
d. Korpus 14:
adegan ketika Hakim membeberkan masa lalu Pembela. Ternyata Pembela
pun tidak benar-benar bersih susila, Pembela bahkan punya hubungan gelap
dengan sesama jenis dan menulis novel porno.
e. Korpus 15:
adegan yang menunjukkan bahwa Hakim dan Jaksa pun ternyata tidak
bersih susila, bahkan jelas-jelas melanggar susila dan berbuat asusila
ditempat mereka bekerja.
2. Kritik mengenai ambiguitas UU Antipornografi mengenai batasan pengecualian
kategori pornografi, sehingga banyak keanehan dalam penerapannya. Hal ini
disimbolkan melalui:
12
a. Korpus 2:
digambarkan dimana ada polisi moral yang sedang berpatroli kemudian
menangkap orang yang sedang ngibing merayakan pesta dangdut beramai-
ramai. Termasuk Susila yang selain terlibat dalam pesta dangdutan, ia juga
dengan sengaja memperlihatkan puting susunya didepan umum.
b. Korpus 11:
adegan dimana Susila yang merupakan seorang penjual balon ditangkap
karena melanggar Undang-Undang Antipornografi. Dua buah balon
berbentuk bundar ketika diletakkan didepan dada akan membuat orang lain
berimajinasi dan memikirkan bentuk payudara perempuan.
3. Kritik mengenai represi moral UU Antipornografi. Hal ini disimbolkan melalui:
a. Korpus 3:
adegan wawancara Jaksa dengan wartawan mengenai kasus pertama
pornografi yang akan disidangkan. Saat wartawan bertanya kepada Jaksa
13
bahwa UU Susila ini adalah bentuk dari represi terhadap susila itu sendiri,
namun Jaksa mengelak.
4. Bagaimana aparat memperlakukan tahanan yang diduga telah melanggar UU
Antipornografi secara berlebihan. Pada poin ini ditunjukkan dengan simbol:
a. Korpus 4:
adegan ketika Petugas Kepala memberi himbauan kepada Petugas 1 dan 2
untuk berhati-hati dan waspada terhadap tahanan Susila dan segera
menyemprotkan antiseptik untuk berjaga-jaga jika bersentuhan atau
bersenggolan secara langsung dengan tahanan Susila.
b. Korpus 9:
adegan ketika Susila dipanggil kedalam ruang sidang dengan sebutan
“pesakitan”. Keadaan tangannya yang diikat, mulut dan kepalanya ditutup
kain hitam dengan dikawal dua orang petugas bersenjata. Teroris saja bila
memasuki ruang sidang tak sampai seperti itu, namun ‘pesakitan’ moral
dianggap sangat berbahaya dan mengancam.
5. Gambaran mengenai carut marutnya proses hukum UU Antipornografi.
Ditunjukkan dengan simbol:
14
a. Korpus 5:
adegan ketika Susila diintrogasi mengenai banyak hal, mulai dari namanya
sampai dengan pekerjaannya. Namun anehnya, petugas selalu menyudutkan
Susila dan menuduhnya yang tidak sesuai dengan fakta.
b. Korpus 6:
adegan ketika Pembela berbicara 4 mata dengan Susila di ruang penjara,
ternyata Pembela memiliki hubungan darah dengan tersangka Susila.
c. Korpus 10:
digambarkan mengenai keadaan sidang yang kacau, seperti Hakim yang
memanggil Jaksa dan Pembela dan berkata bahwa mereka harus
bekerjasama, seharusnya hukum tak boleh seperti itu. Kemudian
digambarkan pula keadaan yang kacau saat persidangan hanya karena
‘burung’ pesakitan yang sakit, sehingga pembela meminta sidang ditunda.
15
Kenyataannya dalam kehidupan nyata, banyak persidangan yang selalu
diundur dengan alasan tersangka atau terdakwa sedang sakit.
d. Korpus 12:
adegan ketika didalam persidangan, seluruh peserta sidang berjoget dangdut
bersama kecuali Pembela. Jaksa dan tersangka Susila juga menyanyikan
dakwaan dengan bergoyang dangdut. Hal ini menjadi simbol betapa aneh
dan carut marutnya proses persidangan hingga persidangan yang seharusnya
terstruktur formal menjadi ajang pesta dangdutan rakyat.
e. Korpus 16:
digambarkan mengenai sidang terakhir terhadap ‘pesakitan’ Susila, namun
Susila tidak hadir dalam persidangan dan Hakim tetap meminta sidang
dimulai. Dalam persidangan Pembela yang awalnya benar-benar membela
‘pesakitan’, kini berbalik malah menghujat ‘pesakitan’. Lalu tersangka yang
belum tentu salah malah terus dihujat dan dikatakan bersalah.
6. Kritik mengenai penggagas UU Antipornografi yang dianggap telah menciderai
Bhineka Tunggal Ika. Hal ini disimbolkan dengan:
16
a. Korpus 7:
adegan demonstran yang berorasi dalam syair, bahwa yang seharusnya
dipenjarakan adalah pikiran dan kemesuman. Terdapat paradoks dalam syair
diatas, sebagai akibat dari sisi legal drafting RUU APP yang melanggar UU
NO.10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Undang-Undang.
Penyusunannya tidak memenuhi standar ilmiah karena beberapa pengertian
tidak didefinisikan secara jelas. Seolah-olah kebenaran menjadi monopoli
segelintir orang saja.
Kesimpulan dan Saran
a. Dari penelitian yang sudah dilakukan mengenai penggunaan simbol-simbol
dalam mengkritisi UU Antipornografi melalui pementasan teater dengan
analisis semiologi, ada baiknya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat
dalam memperbaiki sistem perundangan negara misalnya dengan mengkaji
ulang Undang-Undang yang masih menimbulkan pro dan kontra. Sehingga
proses peradilan negara benar-benar berlaku secara demokrasi. Misalnya bagi
aparat penegak hukum yakni dengan lahirnya UU AP sebagai sarana bagi
aparat penegak hukum untuk menerapkan sanksi hukum terkait dengan
pelanggaran terhadap undang-undang ini. Jangan sampai UU ini tidak
difungsikan secara maksimal.
b. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya agar lebih cerdas dalam
mempelajari lahirnya sebuah UU, dan tidak mudah terhasut oleh pendapat-
pendapat dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
c. Perlu adanya penambahan literatur dan referensi mengenai kajian semiologi
komunikasi dalam teater maupun seni pertunjukkan yang lainnya, dan acuan
17
yang lebih luas mengenai pembahasan pementasan teater dari perspektif kajian
komunikasi.
d. Dan harapan penulis, semoga perspektif teoritis yang singkat mengenai analisis
semiologi sebagai satu pendekatan memahami makna pesan komunikasi dalam
sebuah pementasan teater ini dapat membantu pemahaman para pencinta kajian
dan penelitian komunikasi kedepan. Saran, kritik, diskusi dan masukan yang
membangun sangat penulis harapkan untuk progres dan kemajuan penelitian
selanjutnya menjadi lebih baik.
Daftar Pustaka
Creswell, John W. (1994) Reseach Design : Quantitative and Qualitative Approaches. London: Sage Publications.
Dimyati, Ipit S. (2010). Komunikasi Teater Indonesia. Bandung: Penerbit Kelir. Djubaedah, Neng. (2009). Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam
rev.ed. Jakarta: Kencana. Effendy, Onong U. (1993). Televisi Siaran Teori & Praktek. Bandung: Mandar
Maju. Effendy, Onong U. (1995). Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. Eilers, Franz Josef. (2001) Communicating In Community An Introduction To
Social Communication;Berkomunikasi dalam Masyarakat, terj.Frans Obon,Eduard Jebarus. Semarang: Nusa Indah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1989). Jakarta: Balai Pustaka. Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. Purwasito, Andrik. (2007). Jurnal Komunikasi Massa: Analisis Semiologi sebagai
Tafsir Pesan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sobur, Alex. (2004). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis semiotika dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Susanto; Astrid. (1996). Komunikasi dalam Teori dan Praktek Jilid I. Bandung: Bina Cipta.
Sutrisno, Mudji. ”Pornografi”, Tempo, 12 Februari 2006 UU Antipornografi No.44 Th.2008