Upload
others
View
27
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGGUNAAN WEWENANG OLEH PEJABAT ADMINISTRASI NEGARA
DALAM PEMBERIAN IJIN PEMANFAATAN HUTAN KEPADA KORPORASI DI
WILAYAH HUTAN KONSERVASI
Paulus Wisnu Yudoprakoso
Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Abstract
Indonesia is a state of law as stated in the Constitution, the 1945 Constitution. The logical
consequence of this is that all citizens, including government officials, must submit to and
comply with the positive laws in force in Indonesia. The existence of state power that gives
authority to state administration officials is a tangible form of the effort to carry out the
concept of the rule of law itself. State officials in this case have the authority to grant permits
related to forest use by corporations both for the forestry and non-forestry industries.
Weaknesses in the system, structure and state apparatus related to the issuance of licenses
which ultimately lead to corruption and forest destruction are certainly things that need to be
overcome. Considering the commitment of the state to preserve the environment as seen in
the legislation and the Constitution, it is necessary to look back at the real legal function.
Where in this case the State Administrative Law should have a dominant role related to the
authority of state administrators. This research uses the normative-juridical method, which
looks at the existing laws and regulations related to the discussion, then uses existing
principles and theories as a knife of analysis to try to provide answers to existing problems.
Keywords: Licensing, Authority, Corporation
Abstrak
Indonesia merupakan negara hukum hal tersebut sebagaimana yang termaktub di dalam
Konstitusi yaitu UUDNRI tahun 1945. Konsekuensi logis daripada hal tersebut adalah bahwa
semua warga negara termasuk dalam hal ini adalah pejabat adminsitrasi negara harus tunduk
dan taat pada hukum positif yang berlaku di Indonesia. Adanya kekuasaan negara yang
memberikan wewenang kepada pejabat administrasi negara adalah bentuk nyata dari adanya
upaya menjalankan konsep negara hukum itu sendiri. Pejabat negara dalam hal ini memiliki
kewenangan untuk memberikan ijin terkait pemanfaatan hutan oleh korporasi baik untuk
industri kehutanan maupun non kehutanan. Adanya kelemahan pada sistem, struktur dan
aparat negara terkait pemberian suatu perijinan yang pada akhirnya berujung pada korupsi
dan kerusakan hutan tentu saja menjadi hal yang perlu diatasi. Mengingat adanya komitmen
negara untuk melestarikan lingkungan hidup sebagaiamana terlihat pada peraturan
2
perundang-undangan dan pada Konstitusi, maka perlu melihat kembali fungsi kewenagan
yang sesungguhnya. Dimana dalam hal ini Hukum Administrasi Negara seharusnya memilki
peran yang dominan terkait adanya kewenangan penyelenggara negara. Penelitian ini
menggunakan metode normatif-yuridis, dimana melihat pada peraturan perundangan-undagan
yang ada terkait dengan pembahasan, kemudian menggunakan asas dan teori yang ada
sebagai pisau analisis untuk mencoba memberikan jawaban atas permasalahan yang ada.
Kata Kunci: Perijinan, Kewenangan, Korporasi.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum (rechstaat),
berdasar pada hal itu maka segala
sesuatu perbuatan yang dilakukan
oleh setiap warga negara harus
tunduk dan taat pada hukum yang
berlaku. Hukum merupakan suatu
instrumen yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, karena norma
hukum berguna untuk mengatur
tata perilaku manusia guna
mencapai kesejahteraan. Gustav
Radbruch menyatakan bahwa
hukum ada untuk mencapai tiga (3)
tujuan, yaitu: kepastian, keadilan
dan kemanfaatan.1 Berdasarkan hal
itu norma hukum perlu dibentuk
untuk menciptakan keteraturan
dalam masyarakat.
Pembentukan hukum, dalam
hal ini hukum tertulis atau undang-
undang pada dasarnya merupakan
1 Soedikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum, Yogayakarta: Penerbit Atmajaya, 1999,
hlm.65.
suatu kebijakan politik negara yang
dibentuk oleh dewan perwakilan
rakyat dan presiden. Kebijakan
tersebut merupakan kesepakatan
formal antara dewan perwakilan
rakyat dan pemerintah, dalam hal
ini presiden untuk mengatur
seluruh kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dalam
hal ini termasuk suatu kebijakan
politik negara adalah pada saat
dewan perwakilan rakyat dan
presiden menentukan suatu
perbuatan yang dapat dikenakan
sanksi atau tidak (sanksi pidana,
administratif dan perdata). Dalam
hal ini peraturan perundang-
undangan baik itu undang-undang
maupun dibawah undang-undang
serta yang merupakan kebijakan
dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan
atau suatu pengaturan prosedur
dalam rangka pelayanan publik.2
2 Laporan Kompendium Bidang Hukum
Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI Badan Pembinaan Hukum
Nasional Pusat Penelitian dan Pengembangan
3
Sebagaimana diketahui
bahwa konstitusi kita Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD NRI 1945), sebagai
dasar negara yang merupakan
landasan peraturan perundang-
undangan yang berlaku telah
memberikan pedoman terkait
dengan pengelolaan sumber daya
alam. Pada Pasal 33 ayat (3) UUD
NRI 1945 menyebutkan bahwa :
“bumi,air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”. Sumber daya
alam tersebut, berdasarkan
penjelasan dari UUD NRI 1945
adalah pokok-pokok kemakmuran
rakyat dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
Adanya peran pemerintah
tersebut di atas menunjukkan
bahwa Indonesia menganut konsep
Negara Kesejahteraan (welfare
state). Peran pemerintah tersebut
diberi bentuk hukum agar segala
sesuatunya tidak terarah serta
memberikan kepastian hukum dan
Sistem Hukum Nasional 2008, Jakarta,
http://www.bphn.go.id/data/documents/kompendiu
m_perundang2an.pdf, diakses 26 Maret 2018.
tidak menimbulkan keragu-raguan
pada semua pihak yang terlibat.
Bukti bahwa hukum atau peraturan
telah berfungsi baik dalam sebuah
negara umumnya tercermin dalam
sikap, perilaku, tindakan bahkan
keputusan politik dan atau putusan
hukum dari penyelenggara negara
(penguasa) yang senantiasa
berpihak pada keadilan masyarakat
banyak. Dalam konteks ini
sebagaimana kita ketahui fungsi
atau peranan hukum dalam sebuah
negara secara umum antara lain:3
a. Menciptakan keadilan yang
merata bagi seluruh rakyat;
b. Menjaga ketertiban dan
kedamaian serta ketenangan di
tengah anggota masyarakat;
c. Mencegah main hakim sendiri
dari anggota masyarakat;
d. Melindungi dan mengayomi
masyarakat baik terhadap harta
bendanya, jiwanya maupun
kehormatannya;
e. Mendorong lahirnya kesadaran
untuk melaksanakan hak dan
kewajiban secara seimbang;
f. Menjadikan hukum sebagai alat
rekayasa sosial mewujudkan
stabilitas masyarakat.
3 Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi
Negara, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2016, hlm.1.
4
Terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam di atas dimana
diperkirakan sampai dengan satu
dekade ke depan perekonomian
Indonesia masih akan tergantung
pada sektor sumber daya alam,
masih banyak terdapat
permasalahan-permasalahan.
Dalam keadaan ekonomi yang
belum stabil, ditambah dengan
banyaknya praktik korupsi, kolusi
dan pelanggaran hukum yang
banyak dilakukan oleh pejabat
administrasi negara, tentu saja
merupakan ancaman bagi bangsa
ini dan sudah barang tentu bagi
kelestarian sumber daya alam serta
lingkungan hidup.
Salah satu permasalahan
dalam pengelolaan sumber daya
alam saat ini adalah cara pandang
terhadap sumber daya alam yang
terkotak-kotak dan tidak integratif
sehingga melahirkan kebijakan
yang sektoral, ini merupakan
ancaman yang serius bagi
berlangsung ekosistem dan
masyarakat sekitar. Sudah sejak
lama kawasan-kawasan hutan
lindung dan konservasi di
Indonesia banyak menyimpan
bahan tambang yang menjadi
incaran para investor.4 Hal ini
sejalan dengan data yang
dikeluarkan oleh Direktorat
Penelitian dan Pengembangan
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), yang menerima data bahwa
sekitar 4,9 juta hektar hutan
lindung dan 1,3 juta hektare hektar
hutan konservasi, digunakan untuk
pertambangan.5 Selama beberapa
dekade terakhir, deforestasi hutan
Indonesia tercatat sangat
memprihatinkan. Sejak 1985-1997
terjadi penyusutan hutan Indonesia
sekitar 1,8 juta hektar per tahun
atau setara dengan luas negara
Fiji.6 Hal itu belum sebanding
dengan yang terjadi pada tahun
1997-2000, kerusakan yang terjadi
bahkan lebih parah, selama periode
itu hutan Indonesia mengalami
penggundulan setara Solomon
Islands atau sekitar 2,8 juta hektar
per tahun. Sejak tahun 2000 hingga
sekarang, penyusutan hutan
memang mengalami penurunan,
hanya sekitar 1 juta hektar per
4
http://www.bphn.go.id/data/documents/k1_13.pdf.
Diakses pada 27 Maret 2018. 5https://nasional.kompas.com/read/2016/0
8/30/19502681/6.2.juta.hektare.hutan.disalahgunak
an.untuk.pertambangan. Diakses Pada 27 Maret
2018. 6http://kpk.go.id/id/berita/publik-
bicara/102-opini/3991-korupsi-dan-politik-yang-
merusak-hutan. Diakses pada 27 Maret 2018.
5
tahun atau setara dengan luas
negara Lebanon. Namun hal
tersebut bukan semata-mata
lantaran lenyapnya berbagai
praktik kecurangan di sektor ini.7
Sebaliknya, keadaan tersebut
terjadi, karena hutan Indonesia
yang hampir habis tergerus.
Merosotnya luas hutan dari tahun
ke tahun yang salah satunya
sebagai akibat dari adanya
pemberian ijin penambangan di
hutan lindung dan konservasi, tentu
akan memberikan dampak negatif
baik dari sisi ekonomi, sosial dan
berdampak pula terhadap
ketahanan nasional.
Larangan terhadap kegiatan
pertambangan di wilayah hutan
lindung sudah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (UU
Kehutanan), pada Pasal 38 ayat (4),
yang isinnya: “Pada kawasan
hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola
pertambangan terbuka” disertai
dengan ancaman sanksi pidana bagi
barangsiapa yang melanggarnya
yaitu pada Pasal 78 ayat (6), yang
isinya: “Barangsiapa dengan
sengaja melanggar ketentuan
7 Ibid.
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50
ayat (3) huruf g, diancam dengan
pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 5.000.000.000 (lima
milyar rupiah).” Terlihat bahwa
pertambangan terbuka di kawasan
hutan lindung tidak diijinkan,
selain melanggar UU Kehutanan,
juga mengingat pentingnya
kawasan lindung dan kawasan
konservasi sebagi sistem
penyangga kehidupan. Kerusakan
hutan lindung dan konservasi
sudah barang tentu akan
berdampak luas.
Berdasar latar belakang
masalah yang sudah dipaparkan di
atas memperlihatkan bahwa
kebijakan pemerintah untuk
mengizinkan penambangan di
kawasan-kawasan hutan lindung
dan konservasi hanya mengejar
keuntungan ekonomi dan tidak
memperhatikan kelanjutan
keseimbangan ekologis yang ada.
2. Permasalahan
Melihat pada paparan
masalah di atas maka disini penulis
memandang perlu untuk melakukan
analisa dan kajian tentang
penggunaan wewenang oleh
6
pejabat administrasi negara dalam
pemberian ijin pertambangan
terhadap korporasi di wilayah
hutan lindung, dengan rumusan
masalah sebagai berikut:
“Bagaimana bentuk wewenang
pejabat administrasi negara dalam
pemberian izin pemanfaatan hutan
kepada korporasi di wilayah hutan
konservasi ?.”
3. Tinjauan Pustaka
a. Tinjauan Umum Tentang
Wewenang
Sejak dahulu untuk
mengatur dan mengurus rumah
tangga setiap negara
membutuhkan Hukum
Administrasi Negara. Hal ini
membuktikan bahwa Hukum
Administrasi Negara memiliki
peran penting dalam
pengelolaan suatu negara dan
kehadirannya memang
diperlukan di setiap negara
manapun di dunia ini.8
Berkaitan dengan kegiatan
mengatur pengelolaan suatu
negara, dalam hal ini
dilaksanakan oleh pejabat
administrasi negara, dimana
8 Safri Nugraha, et.all., Hukum
Administrasi Negara Edisi Revisi, Depok: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2007, hlm.1.
pejabat administrasi negara di
dalam melaksanakan tugasnya
memiliki wewenang.
Wewenang merupakan
bagian yang sangat penting dan
bagian awal dari hukum
administrasi, karena
pemerintahan (administrasi)
baru dapat menjalankan
fungsinya adalah atas dasar
wewenang yang diperolehnya,
artinya keabsahan tindak
pemerintahan atas dasar
wewenang yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan
(legalitiet beginselen).9 Menurut
S.F. Marbun dalam Nomensen
Sinamo10 wewenang
mengandung arti kemampuan
untuk melakukan suatu tindakan
hukum publik atau secara
yuridis adalah kemampuan
bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku
untuk melakukan hubungan-
hubungan hukum.
Wewenang merupakan
konsep inti dalam hukum tata
negara dan hukum administrasi
negara, sebab di dalam
wewenang tersebut mengandung
hak dan kewajiaban, bahkan di
9 Op. cit. Nomensen Sinamo, hlm. 97. 10 Ibid.
7
dalam hukum tata negara
wewenang dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum
(rechtskracht), artinya hanya
tindakan yang sah (berdasarkan
wewenang) yang mendapat
kekuasaan hukum
(rechtskracht).11
Dalam hukum positif,
istilah wewenang dapat
ditemukan antara lain dalam UU
No. 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara,
yaitu pada Pasal 1 angka 6 dan
Pasal 53 ayat (2) huruf C. Dalam
kepustakaan hukum administrasi
Belanda, soal wewenang selalu
menjadi bagian penting dan
bagian awal dari hukum
administrasi karena obyek
hukum administrasi adalah
wewenang pemerintahan
(bestuurs bevoegdheid).12
b. Tinjauan Umum Pejabat
Administrasi Negara
Negara merupakan
lembaga hukum publik yang
terdiri dari jabatan administrasi
negara, dimana pejabat
11 Ibid. hlm. 98. 12 Phillipus M Hadjon, et.all., Hukum
Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
hlm.10.
administrasi negara menjalankan
urusan pemerintahan. Dapat
dikatakan bahwa yang
menjalankan pemerintahan
adalah orang atau organ yang
diberikan wewenang untuk
menjalankannya, dalam hal ini
orang atau organ tersebut adalah
pejabat administrasi negara.
Bagir Manan membagi
menjadi tiga (3) kategori
lembaga negara yang dilihat
berdasarkan fungsinya:13
1) Lembaga negara yang
menjalankan fungsi negara
secara langsung atau
bertindak untuk dan atas
nama negara, seperti
Lembaga Kepresidenan,
DPR dan Lembaga
Kekuasaan Kehakiman.
Lembaga-lembaga ini
disebut alat kelengkapan
negara.
2) Lembaga negara yang
menjalankan fungsi
administrasi negara dan
tidak bertindak untuk dan
atas nama negara. Artinya,
lembaga ini hanya
menjalankan tugas
13http://www.hukumonline.com/klinik/det
ail/lt52f38f89a7720/pejabat-negara-dan-pejabat-
pemerintahan. Diakses pada 1 April 2018.
8
administratif yang tidak
bersifat ketatanegaraan.
Lembaga yang menjalankan
fungsi ini disebut sebagai
lembaga administratif.
3) Lembaga negara penunjang
atau badan yang berfungsi
untuk menunjang fungsi alat
kelengkapan negara.
Lembaga ini disebut sebagai
auxiliary organ/agency.
Dalam hukum
administrasi negara, hubungan
hukum yang terjadi adalah
antara penguasa sebagai subyek
yang memerintah dan warga
masyarakat sebagai subyek yang
diperintah. Penguasa dalam hal
ini pemerintah, melaksanakan
bestuurzorg, yaitu
menyelenggarakan kepentingan
umum yang dijalankan oleh
penguasa administrasi negara.14
Dalam kaitannya dengan hukum
tata negara dan hukum
administrasi negara istilah
pejabat administrasi negara
memiliki makna yang sama
(similar) dengan istilah pejabat
tata usaha negara atau pejabat
publik.
14 Op. cit.Safri Nugraha,et.all. hlm. 27.
Berkaitan dengan hal
tersebut di atas perlu dilihat
lebih dalam lagi tentang pejabat
administrasi negara dalam hal
ini pejabat tata usaha negara,
perlu dikemukakan bagaimana
Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 jo. Undang-undang Nomor
9 Tahun 2004 jo. Undang-
undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (selanjutan disebut UU
PTUN), memberikan definisi
mengenai hal tersebut di atas,
yaitu pada Pasal 1 angka 8 UU
PTUN Nomor 51 Tahun 2009,
menyatakan: “Badan atau
pejabat tata usaha negara
adalah badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
c. Tinjauan Umum Tentang
Perizinan
Dalam menjalankan
fungsinya hukum memerlukan
berbagai perangkat dengan
tujuan agar hukum memiliki
kinerja yang baik.15 Dalam
menjalankan fungsinya hukum
perlu untuk dapat
15 Op. cit. Nomensen Sinamo, hlm. 86.
9
mengendalikan dan mengatur
kehidupan warga negara baik
perorangan maupun secara
kolektif yang bersifat preventif,
hal itu dapat dilakukan melalui
izin, yang memiliki kesamaan
seperti dispensasi, izin, konsesi.
Perizinan pada mulanya dikenal
pada saat individu maupun
korporasi akan melakukan
usahanya, baik untuk kegiatan
tertentu maupun kegiatan-
kegiatan usaha lainnya. Izin
dalam hal ini dimaksudkan
sebagai yang bisa memberikan
kontribusi positif terhadap
aktivitas ekonomi terutama
dalam upaya menggali
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan mendorong laju investasi.
Menurut Prof. Van Der
Pot yang dimaksud dengan izin
adalah bilamana pembuat
peraturan tidak umumnya
melarang suatu perbuatan, tetapi
masih juga memperkenankannya
asal saja diadakan secara yang
ditentukan untuk masing-masing
hal konkrit (sikap pembuat
peraturan “indifferent”), maka
keputusan administrasi negara
yang memperkenankan
perbuatan tersebut bersifat suatu
izin (vergunning).16
Menurut Prajudi
Atmosoedirjo, izin atau
vergunning adalah dispensasi
dari suatu larangan, rumusan
yang demikian menumbuhkan
dispensasi dengan “izin”.
Dispensasi beranjak dari
ketentuan yang pada dasarnya
“melarang” suatu perbuatan,
sebaliknya “izin” beranjak dari
ketentuan yang pada dasarnya
tidak melarang suatu perbuatan
tetapi untuk dapat
melakukannya disyaratkan
prosedur tertentu harus dilalui.
17Dengan sendirinya maka
terlihat bahwa izin, dispensasi,
konsesi, terkhusus dalam hal ini
adalah izin, merupakan suatu
KTUN yang dikeluarkan oleh
orang atau badan pejabat
administrasi negara. Hal ini
tentu saja sejalan dengan
pendapat W.F. Prins18 yang
menyatakan bahwa:
16 E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang,
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,
Jakarta: Ichtiar Baru, 1990, hlm.114. 17 Philipus M. Hadjon,et.all, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1994, hlm. 143. 18 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum
Administrasi Negara Indonesia, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001, ,hlm.78.
10
“Dalam hukum
administrasi negara yang
modern, diantaranya
ketetapan-ketetapan yang
menguntungkan yang
banyak terjadi adalah, izin
dan izin ini merupakan
ketetapan yang
menguntungkan dimana
dapat mengenai berbagai
hal”.
d. Tinjauan Umum Tentang
Korporasi
Korporasi sudah dikenal
dalam dunia bisnis sejak
beberapa abad yang lalu. Pada
awalnya, korporasi hanya
merupakan suatu wadah
kerjasama dari beberapa orang
yang mempunyai modal, untuk
mendapatkan keuntungan
bersama, dan belum terlalu
eksklusif seperti korporasi
dewasa ini. Munculnya revolusi
industri telah mendorong
semakin berkembangnya
korporasi sebagai badan hukum
dan badan ekonomi.
Secara umum hukum tidak
hanya mengatur orang (manusia
alamiah) sebagai subjek hukum,
akan tetapi selain orang
perseorangan dikenal pula
subjek hukum yang lain, yaitu
badan hukum yang padanya
melekat hak dan kewajiban
hukum layaknya orang
perseorangan sebagai subjek
hukum.19
Dalam perkembangan
hukum di Indonesia,
penggunaan istilah “korporasi”
merupakan sebutan yang lazim
dipergunakan dalam kalangan
pakar hukum pidana untuk
menyebutkan apa yang biasa
digunakan dalam bidang hukum
lain, khususnya dalam bidang
hukum perdata yang disebut
dengan “badan hukum”
(rechtpersoon) atau yang dalam
bahasa Inggris disebut dengan
legal entities atau corporation,
bahasa Jerman disebut
korporation dan bahasa Belanda
disebut corporatie yang berasal
dai kata corporation dalam
bahasa Latin.20
Dalam sistem hukum
perdata Belanda yang sampai
saat ini masih dianut oleh sistem
hukum Indonesia, yaitu dikenal
sebagai subjek hukum terjadi
menjadi dua bentuk, yaitu
pertama: 21manusia (persoon)
19Kristian, Hukum Pidana Korporasi:
Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia, 2014, hlm. 50. 20 Edi Yunara, Korupsi dan
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi: Berikut
Studi Kasus, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012,
hlm. 25. 21 Ibid.
11
dan kedua, badan hukum
(rechtpersoon). Badan hukum
(rechtpersoon) merupakan
subjek hukum yang memiliki
hak dan kewajiban sendiri
sekalipun bukan manusia
(persoon) dalam hal ini
berbentuk sebagai badan hukum,
badan atau organisasi yang
terdiri atas sekumpulan orang
yang bergabung untuk suatu
tujuan tertentu serta memiliki
kekayaan tertentu.22
Apabila suatu hukum
memungkinkan perbuatan
manusia untuk menjadikan
badan itu disamping manusia,
dengan manusia disamakan,
maka itu berarti bahwa
kepentingan masyarakat
membutuhkannya, yakni untuk
mencapai sesuatu yang oleh para
individu tidak dapat dicapai atau
amat susah untuk dicapai.23
Berdasarkan uraian di atas
Satjipto Raharjo menyatakan
bahwa:24
“Korporasi adalah suatu
badan hasil ciptaan hukum.
Badan yang diciptakannya
itu terdiri dari “corpus”,
22 Ibid. hlm. 26. 23 Dwidja Priyatno, , Kebijakan
LegilslasiTentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung:
CV.Utomo, 2009, hlm. 12. 24 Ibid.hlm. 13.
yaitu srtuktur fisiknya dan ke
dalamnya hukum
memasukkan unsur-unsur
“animus” yang membuat
badan itu mempunyai
kepribadian. Oleh karena
badan hukum itu merupakan
ciptaan hukum maka kecuali
penciptaannya,
kematiannyapun juga
ditentukan oleh hukum.”
Apabila dilihat dari
etimologinya (asal kata)
korporasi yang berasal dari kata
corporation dalam bahasa latin,
Muladi dan Dwidja Priyatno:25
“Seperti halnya dengan
kata lain yang berakhiran
dengan “tio” maka
“corporatio” dianggap sebagai
kata benda (substantivum) yang
berasal dari kata kerja
“corporare” yang banyak
dipakai orang pada zaman abad
pertengahan atau sesudah itu.
“Corporare” itu sendiri berasal
dari kata “corpus” yang dalam
bahasa Indonesia berarti
“badan”. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa
corporation dapat diartikan
sebagai proses memberikan
badan atau proses
membadankan. Dengan
demikian, maka akhirnya
25 Kristian, Loc. cit.
12
“corporatio” itu berarti hasil
pekerjaan membadankan atau
dengan perkataan lain, korporasi
merupakan badan yang
dijadikan orang, badan yang
diperoleh dengan perbuatan
manusia sebagai lawan terhadap
badan manusia yang terjadi
menurut alam”.
e. Tinjauan Umum Tentang
Kawasan Hutan Konservasi
Dalam konsiderans
Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan,
(UU Kehutanan) dikatakan :
1) Bahwa hutan, sebagai
karunia dan amanah Tuhan
Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada
bangsa Indonesia,
merupakan kekayaan yang
dikuasai oleh negara,
memberikan manfaat
serbaguna bagi umat
manusia, karenanya wajib
disyukuri, diurus dan
dimanfaatkan secara
optimal, serta dijaga
kelestariannya untuk
sebesar-besar kemakmuran
rakyat, bagi generasi
sekarang maupun generasi
mendatang;
2) Bahwa hutan, sebagai salah
satu penentu sistem
penyangga kehidupan dan
sumber kemakmuran rakyat,
cenderung menurun
kondisinya, oleh akrena itu
keberadaannya harus
dipertahankan secara
optimal, dijaga daya
dukungnya secara lestari
dan diurus dengan akhlak
mulia, adil, arif, bijaksana,
terbuka, profesional, serta
bertanggung-gugat;
3) Bahwa pengurusan hutan
yang berkelanjutan dan
berwawasan mendunia,
harus menampung
dinamika aspirasi dan
peran serta masyarakat,
adat dan budaya, serta tata
nilai masyarakat yang
berdasarkan pada norma
hukum nasional.
Secara yuridis normatif,
menurut UU Kehutanan pada
Pasal 1 huruf b, hutan diartikan
sebagai suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya, yang satu
13
dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Dalam UU
Kehutanan pada Pasal 4 ayat (1)
disebutkan bahwa semua hutan
dalam wilayah Republik
Indonesia, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di
dalamnya, dikuasai oleh negara,
dalam ayat (2) disebutkan
bahwa hak menguasai dari
negara yang tersebut pada ayat
(1) diatur dengan memberi
wewenang kepada pemerintah
untuk:
1) Menetapkan dan mengatur
perencanaan, peruntukkan,
penyediaan dan penggunaan
hutan sesuai dengan
fungsinya dalam
memberikan manfaat
kepada rakyat dan negara;
2) Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum
antara orang atau badan
hukum dengan hutan dan
mengatur perbuatan-
perbuatan hukum mengenai
hutan.
Berdasarkan ketentuan UU
Kehutanan ini, pemerintah dapat
mengatur pemberian hak-hak
atas hutan kepada subyek
hukum baik perorangan maupun
badan hukum. Hutan memiliki
tiga (3) fungsi, yaitu:26
1) Fungsi konservasi;
2) Fungsi lindung;
3) Fungsi produksi.
Pemerintah menetapkan
hutan berdasarkan fungsi pokok
sebagai berikut:27
1) Hutan konservasi, terdiri
atas:
a) Hutan suaka alam, yang
terdiri dari Cagar Alam
dan Suaka Margasatwa;
b) Hutan Pelestarian
Alam, terdiri dari
Taman Nasional,
Taman Hutan Raya
dana Taman Wisata
Alam;
c) Taman Buru.
2) Hutan lindung;
3) Hutan produksi, yang
terdiri atas:
a) Hutan Produksi
Terbatas (HTP);
b) Hutan Produksi Biasa;
c) Hutan Produksi yang
dapat dikonversi
(HPK).
26 Bambang Eko Supriyadi, Hukum
Agraria Kehutanan (Aspek Hukum Pertanahan
Dalam Pengelolaan Hutan Negara), Jakarta:
Rajawali Pers, 2013, hlm. 73. 27 Ibid, hlm.73-74.
14
Mengenai hutan lindung
dan hutan konservasi dapat
ditemui artinya secara yuridis
pada UU Kehutanan, Pasal 1
huruf h, yaitu:
“hutan lindung adalah
kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan
sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi,
mencegah intusi air laut
dan memelihara
kesuburan tanah”, Pasal 1
huruf i, yaitu: “hutan
konservasi adalah
kawasan hutan dengan
ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok
pengawetan
keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.”
B. Pembahasan
1. Analisis Hasil
Dalam prakteknya pemegang
kekuasaan dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat atau
kekuasaan administrasi berada di
tangan para aparat pemerintahan.
Pada penerapan peraturan
perundangan-undangan dalam
kehidupan sehari-hari, aparatur
pemerintahan diberikan
kewenangan untuk melaksanakan
maksud undang-undang dalam
bentuk keputusan pemerintah, yang
bersifat tertulis, konkret, individual
dan final, tidak jarang juga timbul
adanya diskresi.
Diskresi itu sendiri
bersumber dari freisermessen, yang
pada hakikatnya adalah kebebasan
bertindak bagi administrasi negara
untuk menjalankan fungsinya
secara dinamis guna menyelesaikan
persoalan-persoalan penting yang
mendesak, dimana aturan untuk itu
belum ada.28 Adanya kewenangan
yang dapat dilakukan dengan
diskresi tersebut tentu saja menjadi
resiko dan keuntungan tersendiri di
dalam penyelenggaraan
pemerintahan, terkhusus dalam hal
ini adalah pemberian ijin dalam
pemanfaatan hutan. Perlu diingat
dan diketahui pula bahwasannya
penggunaan freisermessen dalam
negara hukum seperti Indonesia
tetap ada batasannya, yang paling
utama adalah tidak boleh
bertentangan dengan hukum positif
yang berlaku.
Data Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) menyebutkan
392 Kepala Pemerintah Daerah
(KDH) 313 terlibat kasus korupsi,
sedangkan data dari KPK
28 H. Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi
Dalam Perspektif HAN, Jakarta: Sinar Grafika,
2013, hlm.92.
15
menyebutkan dari tahun 2004 –
2017 sebanyak 78 orang terlibat
korupsi dengan kasus terbesar
berupa penyuapan, survei
Transparansi Internasional
Indonesia (TII) tahun 2017
menunjukan 17% pelaku usaha
pernah gagal dalam mendapatkan
keuntungan karena pesaing
memberikan suap, kasus korupsi
yang paling rawan terjadi terdapat
pada sektor penyusunan anggaran,
pajak dan retribusi, pengadaan
barang dan jasa, hibah dan bansos.
Hal ini berdampak pada
melambatnya pembangunan
daerah.
Pengawasan internal yang
tidak berjalan dengan efektif dapat
dilihat dari kapabilitas dari Aparat
Pengawas Intern Pemerintah
(APIP) yang mengacu pada
Peraturan Kepala Badan
Pengawasan Keuangan Dan
Pembangunan Nomor : PER –
1633 /K/Jf/2011, berdasarkan hasil
penilaian kapailitas pada 474 APIP
Kementerian, Lembaga, dan
Pemerintah Daerah per 31
Desember 2014 sebanyak 404 atau
85,23% berada di level 1 : Initial
(APIP belum dapat memberikan
jaminan atas proses tata kelola
sesuai peraturan dan belum dapat
mencegah korupsi), 69 atau
14,56% berada pada lebel 2 :
Infrastructure (APIP mampu
menjamin proses tata kelola sesuai
dengan peraturan dan mampu
mendeteksi terjadinya korupsi), 1
atau 0,21% berada pada level 3 :
Integrated (APIP mampu menilai
efisiensi, efektivitas, ekonomis
suatu kegiatan dan mampu
memberikan konsultasi pada tata
kelola, manajemen risiko, dan
pengendalian intern).29 Dengan
sumber daya manusia tersebut
dapat dilihat yaitu dalam :
a. Perencanaan dan Anggaran
Daerah
1) Sebanyak 17,07% program
yang terdapat dalam
RPJMD tidak dijabarkan
dalam RKPD;
2) sebanyak 25,03%
inkonsistensi antara
dokumen RKPD dengan
P.P.A.S;
3) Dokumen perencanaan
belum bersih dari intervensi
kepentingan individu atau
pihak-pihak tertentu,
sehingga mengarah pada hal
29
http://www.bpkp.go.id/konten/2338/rakorn diakses
pada 17/6/2018
16
yang diinginkan bukan yang
dibutuhkan;
4) Tingkat ketaatan penetapan
APBD tepat waktu, baru
diangka 78,2%;
5) Struktur Belanja Tidak
Langung yaitu 59,61%,
masih lebih besar
dibandingkan Belanja
Langsung yang hanya
40,39%;
6) Derajat otonomi fiskal atau
tingkat kemandirian
anggaran daerah masih
relative rendah, yaitu rata-
rata 33,85%;
7) Proporsi Belanja Modal
masih kecil yaitu hanya
18,13% dari total belanja.
8) Opini WTP sejumlah 375
daerah atau 70%, 139 opini
WDP (26%) dan 23 daerah
memperoleh opini TMP
(4%).
b. Permasalahan Perizinan di
Daerah
1) Peraturan Daerah terkait
Perizinan tidak sesuai
dengan ketentuan
perundang-undangan;
2) Prosedur pemberian izin
tidak mempedomani
ketentuan dan terdapat
persyaratan tambahan diluar
yang ditetapkan;
3) Besaran perhitungan nilai
jaminan yang harus disetor
ke kas daerah belum
didasari atas Peraturan
Daerah; dan
4) Bisnis proses dan standar
operasional pelayanan di
PTSP yang belum memadai.
Terkait fungsi hukum dalam
hal perijinan, maka hukum harus
bisa memberikan kepastian baik
bagi yang memberikan ijin maupun
yang mendapat ijin yaitu
masyarakat dan pengusaha. Aspek
yuridis dalam hal ini menjadi
penting apabila terjadi perbedaan
dan atau perselisihan kepentingan
antara pemerintah. Tentu saja
terkait hal ini asas legalitas menjadi
hal yang penting dan tidak dapat
dipisahkan terkait perijinan yang
mana merupakan bersumber
daripada kewenangan pejabat
negara. Maka dari itu pula untuk
mencegah terjadinya penyelinapan
hukum terkait perijinan ini, sangat
diperlukan adanya pengawasan
serta penegakan HAN (Hukum
Administrasi Negara). Penegakan
HAN dalam hal ini tentu saja juga
disertai pengawasan, Paulus E.
Lotulung mengemukakan beberapa
17
macam pengawasan dalam HAN,
ditinjau dari segi kedudukan badan
atau organ yang melaksanakan
kontrol terhadap badan atau organ
yang dikontrol dapatlah dibedakan
anatara jenis kontrol intern dan
kontrol ekstern.30
Dalam suatu negara hukum
pengawasan terhadap tindakan
pemerintah dimaksudkan agar
pemerintah dalam menjalankan
aktivitasnya sesuai dengan norma-
norma hukum, sebagai suatu upaya
preventif dan juga dimaksudkan
untuk mengembalikan pada situasi
sebelum terjadinya pelanggaran
norma-norma hukum sebagai
upaya represif.
Dalam melakukan
pencegahan terhadap terjadinya
penyalahgunaan wewenang oleh
pejabat negara kementerian dalam
negeri telah melakukan beberapa
upaya yaitu :31
a. Surat Mendagri tanggal 10
Oktober 2016 agar pemerintah
daerah menerapkan aplikasi e-
planning dalam perencanaan
pembangunan;
b. Surat mendagri tanggal 21 juni
2017, penekanan agar DPRD
30 Op. cit. H.Jawade Hafidz. hlm. 220. 3103_Mendagri_Tjahjo-
Kumolo_Penegasan-Komitmen-dan-Integritas-
Penyelenggara-Pemerintah-Daerah
benar-benar memahami esensi
fungsi DPRD;
c. Menyusun revisi Peraturan
Presiden Nomor 55 Tahun
2012 tentang Stranas
Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi serta
Pembentukan Tim Nasional
Anti Korupsi;
d. Koordinasi dan supervisi
pencegahan korupsi di 22
provinsi dan 300
kabupaten/kota;
e. Koordinasi APIP dan APH
dalam pembangunan daerah
sesuai MoU tanggal 30
November 2017.
2. Penguatan Integritas Partai
Politik
Terkait dengan APIP terdapat
3 area penguatan APIP sesuai
dengan rekomendasi dari KPK
yaitu :32
a. Aspek kelembagaan untuk
memperkuat independensi para
APIP;
b. Aspek anggaran untuk
menjamin kecukupan anggaran
bagi pelaksanaan kegiatan
pengawasan;
32Ibid.
18
c. Aspek sumber daya manusia
baik jumlah maupun kompetensi
teknis.
Rendahnya indikator APIP
pada pejabat administrasi negara
menyebabkan tingkat korupsi yang
tinggi, data dari KPK per tanggal
31 Mei 2018, dari tahun 2004
sampai dengan tahun 2018
menyebutkan bahwa sebanyak 198
orang dari swasta, 188 orang
Eselon I / II / III, 205 anggota DPR
dan DPRD menjadi pelaku korupsi
yang ditangani oleh KPK.33 Hal
tersebut belum termasuk dalam
korporasi yang melakukan korupsi.
Mengacu pada hal-hal di atas
terkait dengan Pengawasan intern
yang dilakukan dalam hal ini
adalah APIP itu sendiri,
menunjukkan bahwa masih adanya
kelemahan dalam beberapa hal
sehingga dirasa perlu untuk
diberikan penguatan tersendiri.
Pentingnya pengawasan disini
adalah dalam rangka untuk
menekan dan mencegah
pelanggaran dan kesalahan baik
yang disengaja maupun yang tidak
33 Aida Ratna Zulaiha, Direktorat
Penelitian dan Pengembangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Pencegahan
Korupsi pada Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah, Dalam Acara Internastional Business
Integrity Conference (IBIC) 2017, Jakarta 11 – 12
Desember 2017, Diunduh pada 19 Maret 2018.
disengaja oleh aparaur pejabat
negara, dalam hal ini adalah yang
sangat terkait dengan perijinan.
Apabila pembiaran terhadap
penyakit administrasi tersebut di
atas terus dibiarkan, maka sudah
barang tentu kerusakan-kerusakan
yang terjadi terhadap sumber daya
alam dalam hal ini secara khusus
adalah hutan akan terus terjadi dan
berulang. Penyakit administrasi
inilah yang pada ujungnya akan
melahirkan budaya korup, yang
lama kelamaan tentu saja akan
sangat sulit untuk diatasi apabila
dibiarkan. Adanya korupsi dalam
hal perijinan pemanfaatan hutan
terutama hutan konservasi adalah
adanya kelemahan pada sistem
birokrasi perijinan yang ada saat ini
terutama pada tingkat-tingkat
daerah. Hal ini senada dengan apa
yang disampaikan oleh Douglas34
bahwa jenis-jenis kebijakan
pemerintah rentan terhadap
penyelewengan administratif
adalah:
a. Kebijakan pemerintah yang
membiarkan kontrak-kontrak
besar berisi syarat-syarat yang
dapat menguntungkan para
kontraktor;
34 Op.cit.. H. Jawade Hafidz. hlm. 245.
19
b. Ketika pemerintah memungut
pajak yang sangat tinggi
sehingga mendorong para
pengusaha untuk menyuap
aparat perpajakan sebagai
imbalan pengurangan pajak;
c. Penetapan tarif untuk industri
tertentu seperti kereta api, listrik
dan telepon juga harga
komoditas tertentu. Ini
mendorong perusahaan besar
untuk mencoba mengendalikan
harga;
d. Jika pemerintah menggunakan
kekuasaan untuk memilih pihak
yang boleh memasuki suatu
industri, semisal pertambangan
dan peleburan logam;
e. Tatkala pemerintah memberikan
pinjaman atau pembebasan
pajak untuk pabrik dalam jangka
pendek;
f. Apabila bagian-bagian tertentu
dari birokrasi pemerintah
memiliki kekuasaan untuk
mengalokasikan bahan-bahan
mentah;
g. Pada saat subsidi pemerintah
diabayarkan untuk proyek-
proyek umum, baik secara
terbuka maupun secara diam-
diam.
Apa yang dikemukakan
Douglas diatas menunjukkan
bahwa aparat birokrasi kita telah
disusupi oleh kepentingan-
kepentingan pribadi birokrat itu
sendiri, sehingga yang terjadi
adalah timbulnya penyelewengan-
penyelewengan di dalam fungsi
aparat birokrasi negara itu sendiri.
Dimana seharusnya perijinan
dalam hali ini pemberian ijin itu
sendiri aparat administrasi negara
bertindak sebagai pengawas dan
pengendali terhadap ijin-ijin yang
telah diberikan kepada masyarakat.
Sumber :
https://acch.kpk.go.id/id/statistik/ti
ndak-pidana-korupsi/tpk-
berdasarkan-profesi-jabatan
0
50
100
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
20
15
20
16
20
17
20
18
Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Profesi/Jabatan
DPR & DPRDSwasta
Perilaku korupsi dapat dilakukan
dalam berbagai area atau bidang salah
satunya adalah korupsi Sumber Daya
Alam (TPK SDA).35 Bentuk dari TPK
SDA adalah alih fungsi hutan menjadi
perkebunan secara ilegal karena adanya
konspirasi pemegang kekuasaan dan
pengelola sumber daya alam yang
berujung pada korupsi untuk ekspansi
perkebunan kelapa sawit.36 Contoh lain
adalah penyediaan biaya tambahan (fee) 10
– 20 persen dari nilai proyek yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam, menjanjikan hadiah atau
memberikan kemudahan izin dalam
pengelolaan sumber daya alam secara
illegal dan sejenisnya yang termasuk
gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU PTPK).
Salah satu pengelolaan sumber daya
alam secara illegal adalah kegiatan hutan
yang secara illegal termasuk seluruh
kegitan illegal yang berhubungan dengan
35 Tim Penyusun Laporan Kinerja KPK.
(2015). Laporan akuntabilitas kinerja KPK tahun
2014. Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam :
https://acch.kpk.go.id/id/component/content/article
?id=213:kinerja-penanganan-tindak-pidana-
korupsi-sda 9-10-18. 36 Tarigan, A. (2013). Peran korporasi
dalam kejahatan kehutanan. In Indonesia
Corruption Watch (Ed). Climate Change :
Pertanggungjawaban Korporasi di Sektor
Kehutanan (pp.9-24). Jakarta : Indonesia
Corruption Watch Dalam :
https://acch.kpk.go.id/id/component/content/article
?id=213:kinerja-penanganan-tindak-pidana-
korupsi-sda 9-10-18.
ekosistem hutan, industri hutan, produksi
kayu maupun bukan kayu yang terdapat
dalam hutan, termasuk didalamnya
kegiatan yang berhubungan dengan
penggunaan lahan hutan dan kegiatan
korupsi untuk dapat menggunakan lahan
hutan yang tidak seharusnya. Bank dunia
memperkirakan kehilangan pendapatan
karena kegiatan pengelolaan hutan yang
secara illegal diseluruh dunia sebesar
US$5 milyar setiap tahun. Kegiatan ini
sering terjadi pada hutan tropis, subtropis
dan boreal. Kegiatan hutan yang secara
illegal sudah terjadi di berbagai negara
contohnya adalah di Indonesia 50.000.000
m³ kayu diperkirakan telah ditebang secara
illegal setiap tahunnya, seperlima dari
panen kayu tahunan Rusia diambil secara
ilegal, dan panen illegal dapat mencapai
sebanyak 50 persen dari total di Asia
timur. Di Kamboja pada tahun 1997,
volume kayu yang dipanen secara ilegal
adalah sepuluh kali lipat dari panen legal.
Di Kamerun dan Mozambik, sekitar
separuh dari total penebangan tahunan
adalah ilegal. Di Brasil, diperkirakan 80
persen kayu yang diekstraksi setiap tahun
di Amazon dihapus secara ilegal.37
Beberapa permasalahan yang
menjadi penyebab kerentanan korupsi
berkaitan sumber daya alam utamanya
37 CIFOR
https://www.cifor.org/publications/Corporate/FactS
heet/illegal_logging.htm.
21
ketidapastian hukum dan perizinan, kurang
memadainya sistem akuntabilitas,
lemahnya pengawasan, dan kelemahan
sistem pengendalian manajemen.38 Sebagai
contoh terjadinya korupsi di sektor
kehutanan dan perkebunan disebabkan
ketidakpastian hukum dalam perencanaan
kawasan hutan. Selain itu adanya
kerentananan perizinan sektor kehutanan
dan perkebunan terhadap korupsi.
Berdasarkan Kajian Kerentanan Korupsi di
Sistem Perizinan Sektor Kehutanan
menunjukkan potensi suap mencapai 22
milyar rupiah per izin per tahun.39
TPK SDA memiliki dampak yang
dapat dikelompokkan menjadi dampak
ekonomi, sosial dan kemiskinan
masyarakat, runtuhnya otoritas
pemerintah, politik dan demokrasi,
penegakan hukum, serta kerusakan
lingkungan. Dampak ekonomi meliputi
lesunya pertumbuhan ekonomi karena
pengelolaan sumber daya alam hanya
dikuasai pihak-pihak tertentu terutama
yang dekat dengan penguasa dan
menurunnya pendapatan negara dari sektor
38 Utari, I. S. (2011). Faktor penyebab
korupsi. In N. T. Puspito, M. Elwina, I. S. Utari, &
Y. Kurniadi (Eds.). Pendidikan Anti-Korupsi untuk
Perguruan Tinggi (pp. 37-51). Jakarta :
Kemendikbud. Dalam :
https://acch.kpk.go.id/id/component/content/article
?id=213:kinerja-penanganan-tindak-pidana-
korupsi-sda 9-10-18 39 Komisi Pemberantasan Korupsi. (2014).
Kajian kerentana korupsi di sistem perizinan sektor
kehutanan. Jakarta : Komisi Pemberantasan
Korupsi.
pajak. Dampak sosial dan kemiskinan
masyarakat antara lain mahalnya harga
jasa dan pelayanan publik, pengentasan
kemiskinan berjalan lambat karena aset
daerah tidak merata pemanfaatannya,
demoralisasi. Dampak runtuhnya otoritas
pemerintah meliputi matinya etika sosial
dan politik, peraturan dan perundangan
tidak efektif, birokrasi tidak efisien.
Dampak terhadap politik dan demokrasi
meliputi kurang adanya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah,
munculnya pemimpin yang korup.
Dampak terhadap penegakan hukum
misalnya fungsi pemerintahan yang
mandul, hilangnya kepercayaan rakyat
terhadap penegakan hukum. Dampak
kerusakan lingkungan antara lain
menurunnya kualitas lingkungan dan
menurunnya kualitas hidup.40
Dari banyaknya kasus korupsi yang
terjadi penanganan terhadap kasus – kasus
korupsi yang terjadi dalam bidang Sumber
Daya Alam (SDA) sangat minim, hal ini
dapat dilihat dari laju deforestasi, pada
tahun tahun 2013 – 2016 telah terjadi
deforestasi seluas 718 ribu Ha di 3
provinsi yaitu Sumatera Utara, Kalimantan
40 Kurniadi, Y. (2011). Dampak masif
korupsi. In N. T. Puspito, M. Elwina, I. S. Utari, &
Y. Kurniadi (Eds.). Pendidikan Anti-Korupsi untuk
Perguruan Tinggi (pp. 55-71). Jakarta :
Kemendikbud. Dalam :
https://acch.kpk.go.id/id/component/content/article
?id=213:kinerja-penanganan-tindak-pidana-
korupsi-sda 9-10-18
22
Timur dan Maluku Utara. 61% Luas
deforestasi di Sumatera Utara, Kalimantan
Timur dan Maluku utara terjadi di dalam
Kawasan hutan dengan rincian :41
Tabel 1.
Deforestasi Seluas 718 Ribu Ha di 3
Provinsi
yaitu Sumatera Utara, Kalimantan
Timur dan Maluku Utara
Sumber : FWI, 2018.
Grafik 1.
Hutan Alam di Dalam dan di Luar
Kawasan Hutan
Sumber : FWI, 2018.
41 deforestasi_tanpa_henti_2013-
2016_lowress.
Grafik 2.
Deforestasi di Dalam dan di Luar
Kawasan Hutan
Sumber : FWI, 2018.
Berdasarkan paparan Tim
Kerja Koordinasi Supervisi antara
KPK dan Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara Kementerian
ESDM, ada 38,89 juta hektar lahan
hutan yang dijadikan area
pertambangan. Luas itu merupakan
hasil elaborasi peta Izin Usaha
Pertambangan (IUP), kontrak
karya, perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batu
bara dengan peta kawasan hutan,
dan izin pinjam pakai kawasan
hutan nasional.42
Selain itu, terdapat 3.982 IUP
yang berstatus NonClear & Clear
hingga April tahun ini dari total
10.348 IUP. Masih tingginya IUP
yang berstatus Non-Clear & Clear
itu dapat berdampak pada rusaknya
42
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830
201339-12-154971/lsm-63-juta-hektare-kawasan-
hutan-lindung-jadi-area-tambang
0%
10%
20%
30%
40%
50%
KalimantanTimur
MalukuUtara
SumateraUtara
Deforestasi Di Dalam dan Di Luar Kawasan Hutan
Hutan KoservasiHutan Produksi TerbatasHutan Produksi KonservasiHutan ProduksiHutan Lindung
1%
12%
23%
39%
29%
19%
1%
11% 10%
20%
16%
1%
28% 28%
39%
11%
4%
8%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
Kalimantan Timur Maluku Utara Sumatera Utara
Hutan Alam Di Dalam dan Di Luar Kawasan Hutan
Hutan Koservasi Hutan Produksi TerbatasHutan Produksi Konservasi Hutan ProduksiHutan Lindung Bukan Kawasan Hutan (APL)
23
kondisi alam dan hilangnya
pemasukan negara.43
Dalam hal ini apabila kita
lihat kembali bahwasannya
perijinan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari kegiatan
pemerintahan suatu negara,
sebagaimana diuraikan di atas,
maka kegiatan perekonomian suatu
negara pada umumnya digerakkan
oleh pemerintah di negara tersebut.
Pada tahapan ini perijinan memiliki
fungsi:44
a. Penggerak Perekonomian Suatu
Negara
Fungsi ini, perijinan diatur dan
ditugaskan untuk menggerakkan
perekonomian negara, dengan
pemberian ijin, berarti telah
ditimbulkan suatu kegiatan
dalam perekonomian di negara
tersebut.
b. Pengawasan dan Pengendalian
Kegiatan Usaha
Fungsi ini, perijinan diberikan
oleh pemerintah dengan
memberikan syarat-syarat tegas
dan juga diikuti oleh pemberian
hak dan kewajiban kepada
pemegang suatu ijin.
43
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160830
201339-12-154971/lsm-63-juta-hektare-kawasan-
hutan-lindung-jadi-area-tambang 44 Op. cit., Safri Nugraha, et.all., hlm. 129.
c. Moneter
Fungsi Moneter ini mempunyai
fungsi untuk memberikan
kontribusi kepada negara berupa
penerimaan kepada negara,
misalnya dengan membebankan
biaya perijinan kepada para
pemohon atau dalam bentuk
pajak yang diberikan setelah
penerima ijin melakukan
kegiatannya.
d. Hukum
Fungsi hukum dari perijinan
sangat terkait dengan fungsi
pengawasan dan pengendalian
seperti telah dibicarakan
terdahulu, dalam fungsi ini pula
terdapat beberapa hal yang dapat
diuraikan lebih lanjut yaitu
bahwasannya pemerintah dalam
memberikan ijin kepada
masyarakat atau pengusaha
mendasarkan tindakannya
tersebut kepada peraturan
perundang-undangan yang
berlaku di negara tersebut.
Kemudian pemerintah berhak
dan berkewajiban untuk
menegakkan peraturan dan
ketentuan yang berlaku dalam
prosedur perijinan yang ada,
maka dari itu penegakan hukum
dalam perijinan menjadi
24
wewenang sepenuhnya dari
pemerintah.
C. Penutup
Komitmen Negara untuk
melestarikan lingkungan hidup dalam
hal ini terkhusus adalah kehutanan,
terlihat pada instumen peraturan
perundang-undangan yang ada.
Terlihat mulai dari Pasal 28H
UUDNRI 1945, Pasal 3 ayat 3
UUDNRI 1945, Pasal 33 ayat 4
UUDNRI 1945 serta UU No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 18 Tahun
2013 tetang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, yang
mana kesemuanya itu menunjukkan
adanya komitmen dan tindakan negara
dalam melestarikan lingkungan hidup.
Besarnya pengaruh korporasi
dalam pemanfaatan kawasan hutan
konservasi di Indonesia baik untuk
industri kehutanan maupun non
kehutanan tentu menjadi kenyataan
yang tidak dapat dihindarkan.
Lemahnya aparat birokrasi serta
struktur perijinan di negara menjadi
salah satu faktor peluang terjadinya
korupsi. Proses perijinan yang lambat
tentu akan mendorong korporasi untuk
melakukan suap, rawannya
penyelewengan kekuasaan aparat
negara yang berlindung di dalam
kewenangannya menambah faktor
pendorong terjadinya korupsi di dalam
perijinan. Sejatinya berdasarkan teori
kewenangan, aparat negara dalam
bertindak harus dilandasi wewenang
yang sah dimana di negara kita berasal
dari peraturan perundang-undangan,
karena secara umum wewenang
merupakan kekuasaan untuk
melakukan semua tindakan hukum
publik.
Dalam hal ini korupsi pada
umumnya dilakukan oleh orang yang
memiliki kekuasaan dalam suatu
jabatan, sehingga karakteristik
kejahatan korupsi selalu berkaitan
dengan penyalahgunaan kekuasaan
yang dimiliki oleh aparat negara. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat H.A.
Brasz45 yang menyatakan bahwa
korupsi memang dapat dikategorikan
sebagai kekuasaan tanpa aturan
hukum.
45 Op. cit., H. Jawade Hafidz, hlm. 291.
25
D. Daftar Pustaka
Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum
Administrasi Negara Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Supriyadi, Bambang Eko, Hukum Agraria
Kehutanan (Aspek Hukum
Pertanahan Dalam Pengelolaan
Hutan Negara), Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum
Dalam Praktek, Jakarta: Sinar
Grafika, 2002.
Priyatno, Dwidja, Kebijakan
LegilslasiTentang Sistem
Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia, Bandung:
CV.Utomo, 2009.
Utrecht, E. /Moh. Saleh Djindang,
Pengantar Hukum Administrasi
Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar
Baru, 1990.
Yunara, Edi, , Korupsi dan
Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi: Berikut Studi Kasus,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Indonesia, Undang-Undang. Nomor 5.
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Kristian, Hukum Pidana Korporasi:
Kebijakan Integral (Integral Policy)
Formulasi Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia,
Bandung: Nuansa Aulia, 2014.
Laporan Kompendium Bidang Hukum
Perundang-undangan, Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Badan Pembinaan Hukum Nasional
Pusat Penelitian dan Pengembangan.
Sinamo, Nomensen, Hukum Administrasi
Negara, Jakarta: Jala Permata
Aksara, 2016.
Hadjon, Philipus M., et.all., Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1994.
Hadjon, Phillipus M, et.all., Hukum
Administrasi dan Tindak Pidana
Korupsi, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2011.
Nugraha, Safri, et.all., Hukum
Administrasi Negara Edisi Revisi,
Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2007
Mertokusumo, Soedikno, Mengenal
Hukum, Yogayakarta: Penerbit
Atmajaya, 1999.
SistemHukumNasional2008,Jakarta,http://
www.bphn.go.id/data/documents/ko
mpendium_perundang2an.pdf,
diakses 26 Maret 2018.
http://www.bphn.go.id/data/documents/k1
_13.pdf. Diakses pada 27 Maret
2018.
https://nasional.kompas.com/read/2016/08/
30/19502681/6.2.juta.hektare.hutan.
disalahgunakan.untuk.pertambangan.
Diakses Pada 27 Maret 2018.
http://kpk.go.id/id/berita/publik-
bicara/102-opini/3991-korupsi-dan-
politik-yang-merusak-hutan. Diakses
pada 27 Maret 2018.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail
/lt52f38f89a7720/pejabat-negara-
dan-pejabat-pemerintahan. Diakses
pada 1 April 2018.
26