32
12 2.1.7. Pengobatan Kusta 1. Dapson (DDS) DDS diberikan sebagai dosis tunggal 50-100 mg/hari untuk dewasa dan 2 mg/hari untuk anak-anak. (Soebono, 2003) 2. Rifampisin Pemberian dosis tunggal 600/mg hari atau 5-15 mg/kgBB. (Soebono, 2003) 3. Klofazimin Dosisnya 50 mg setiap hari atau 100 mg tiga kali seminggu, dan untuk anak 1 mg/kg BB/hari. (Soebono, 2003) Tabel 2.3. Standar pengobatan kusta Standart Pemakaian MB PB Dewasa Rifampisin: 600 mg sampai 1 bulan Klofazimin: 300 mg Sekali dlm sebulan, dan 50 mg sehari DDS: 100 mg sehari Durasi: 12bulan. Rifampisi n: 600 mg sebulan sekali DDS: 100 mg sehari Durasi: 6 bulan. Anak Rifampicin: 450 sampai 1 bulan Klofazimine: 150 sekali dalam 1 bulan dan 50 mg sehari DDS: 50 mg sehari Durasi: 12 bulan Rifampisin: 450 mg sebulan sekali DDS: 50 mg sehari Durasi: 6 bulan. Catatan: Anak di bawah 10

Pengobatan Kusta- Bab 3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengobatan Kusta- Bab 3

12

2.1.7. Pengobatan Kusta

1. Dapson (DDS)

DDS diberikan sebagai dosis tunggal 50-100 mg/hari untuk dewasa dan 2

mg/hari untuk anak-anak. (Soebono, 2003)

2. Rifampisin

Pemberian dosis tunggal 600/mg hari atau 5-15 mg/kgBB. (Soebono,

2003)

3. Klofazimin

Dosisnya 50 mg setiap hari atau 100 mg tiga kali seminggu, dan untuk

anak 1 mg/kg BB/hari. (Soebono, 2003)

Tabel 2.3. Standar pengobatan kusta

Standart Pemakaian

MB PB

Dewasa Rifampisin: 600 mg sampai 1 bulan Klofazimin: 300 mg Sekali dlm sebulan, dan 50 mg sehari DDS: 100 mg sehari Durasi: 12bulan.

Rifampisin: 600 mg sebulan sekali

DDS: 100 mg sehari

Durasi: 6 bulan.Anak Rifampicin: 450 sampai 1 bulan

Klofazimine: 150 sekali dalam 1 bulan dan 50 mg sehari

DDS: 50 mg sehariDurasi: 12 bulan

Rifampisin: 450 mg sebulan sekali

DDS: 50 mg sehari

Durasi: 6 bulan.

Catatan: Anak di bawah 10 tahun harus menerima tepat mengurangi dosis obat-obatan, seperti

Rifampisin: 10 mg / kg berat badan sebulan sekali

DDS: 2 mg / kg berat badan per hari Klofazimin: 1 mg / kg berat badan

diberikan pada hari alternatif,tergantung pada dosis.

Sumber : WHO Expert on Leprosy, 2012

Page 2: Pengobatan Kusta- Bab 3

13

2.1.8. Kecacatan Kusta

A. Batasan Istilah

Kecacatan kusta adalah keadaan abnormal dari fisik, fisiologis tubuh dan

hilangnya beberapa struktur fungsi tubuh.

Menurut WHO (1980) batasan istilah kecacatan kusta adalah:

1. Impairment. Abnormalitas struktur dan fungsi yang bersifat

psikologik, fisiologik, atau anatomik.

2. Disability. Segala keterbatasan (akibat impairment) untuk melakukan

kegiatan yang normal bagi manusia.

3. Handicap. Kemunduran pada individu (akibat impairment atau

disability)

4. Deformity. Kelainan struktur anatomis.

5. Dehabilitation. Proses pasien kusta (handicap) kehilangan status

sosial, sehingga terisolasi dari masyarakat.

6. Destitution. Proses isolasi menyeluruh dari masyarakat. (Wisnu,

2003).

B. Derajat Kecacatan Kusta

Mengingat bahwa organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari

adalah mata, tangan dan kaki, maka WHO (1988) membagi kecacatan kusta

menjadi tiga tingkat, yaitu :

1. Kecacatan pada tangan dan kaki

a) Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis

b) Tingkat 1 : ada anestesi, tanpa kelainan anatomis

c) Tingkat 2: terdapat kelainan anatomis. (Wisnu, 2003).

2. Kecacatan pada mata

a) Tingkat 0   : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus).

b) Tingkat 1   : ada kelainan pada mata tetapi tidak terlihat.

c) Tingkat 2  : ada lagoftalmus dan visus sangat terganggu (visus

6/60; dapat menghitung jari pada jarak 6 meter. (Wisnu, 2003).

Page 3: Pengobatan Kusta- Bab 3

14

Gambar 2.3 Kecacatan kusta pada mata, kaki dan tangan.

Sumber : Rea, 2008

C. Jenis Cacat Kusta

Jenis kecacatan kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:

(Kosasih, 2007)

1. Kecacatan primer : Adalah kelompok kecacatan yang disebabkan

langsung aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap

M. leprae. Yang termasuk kedalam kecacatan primer adalah :

a) Kecacatan pada fungsi saraf.

Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi

Fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wist drop, fot drop,

clow tes, lagoftalmus

Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan

elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.

b) Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit

berkerut dan berlipat-lipat.

Page 4: Pengobatan Kusta- Bab 3

15

c) Kecacatan pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi

pada tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.

2. Kecacatan sekunder

Kecacatan ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf

sensorik, motorik, dan otonom.

a) Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan

berjalan dan mudah terjadinya luka.

b) Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan

terjadinya keratitis.

c) Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan elastisitas

berkurang mengakibatkan kulit mudah retak dan terjadi infeksi sekunder.

2.1.9. Faktor Risiko Tingkat Kecacatan Kusta

Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kecacatan kusta, antara lain :

1. Usia Kecacatan Kusta

Hasil penelitian menyatakan bahwa semakin tinggi usia maka semakin

tinggi angka kecacatan, tingkat kecacatan tertinggi terjadi pada usia > 60 tahun

(50%), kemudian umur 46 – 60 tahun (43,6%), dan paling rendah pada umur 0 –

15 tahun (8,3%). (Muhammed. dkk, 2004).

2. Jenis Kelamin

Menurut Peter dan Eshiet (2002) menyatakan bahwa kecacatan kusta lebih

sering pada laki-laki dibandingkan perempuan karena laki-laki berkaitan dengan

aktivitas yang dilakukan setiap hari seperti: pekerjaan, kebiasaan keluar rumah

dan merokok.

3. Tingkat Pendidikan

Hasil penelitian menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah dapat

mengakibatkan lambatnya pengobatan, hal ini dapat memperparah kecacatan

pasien kusta (Peter dan Eshiet, 2002), dan menurut penelitian Iyor (2005),

diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan kecacatan pasien

kusta (p = 0,00; r = 0,6).

Page 5: Pengobatan Kusta- Bab 3

16

4. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan merupakan seluruh kempampuan individu untuk berpikir

secara terarah dan efektif, sehingga orang yang mempunyai pengetahuan tinggi

akan mudah menyerap informasi, saran, dan nasihat (Notoadmodjo, 2007).

Menurut Iyor (2005), pengetahuan rendah tentang kusta mengakibatkan

pasien kusta tidak mengetahui akibat buruk yang ditimbulkan kusta. Kecacatan

kusta lebih banyak terjadi pada pasien dengan pengetahuan rendah tentang kusta

(p=0,00).

5. Reaksi Kusta

Merurut Kurnianto (2002), pasien yang pernah mengalami reaksi, baik

pada kecacatan tingkat 1 dan 2 terlihat lebih tinggi tingkat kecacatannya daripada

pasien yang tidak pernah mengalami reaksi kusta. Risiko kecacatan tingkat 1 atau

2 pada pasien yang pernah mengalami reaksi 5 kali lebih besar dibandingkan

pasien yang tidak pernah mengalami reaksi.

Pengobatan MDT akan meningkatkan kejadian reaksi kusta yang

mengakibatkan kecacatan. Riwayat reaksi I (Reaksi Reversal) akan menyebabkan

neuritis yang berakibat kecacatan. Dan juga reaksi tipe II (ENL) tidak hanya

menyebabkan neuritis tetapi efek sistemik, dan dengan serangan berulang-ulang

dapat menyebabkan kecacatan pada pasien. Selain itu penanganan yang tidak tepat

pada reaksi kusta juga akan memperberat kecacatan yang sudah ada atau

kecacatan yang baru. (Kosasih,2007))

Hasil penelitian menyatakan bahwa dari 892 pasien kusta yang mendapat

pengobatan MDT-WHO terdapat kasus reaksi sebesar 21% dari pasien. Reaksi

kusta dapat mengakibatkan kerusakan syaraf pasien kusta, sehingga kejadian

reaksi yang lama dan dapat menimbulkan kecacatan. (Ganapati, 2003). Menurut

Ishii (2005), reaksi pada pasien kusta dapat mengakibatkan kerusakan saraf dan

kecacatan. Diagnosis dini terhadap reaksi kusta dapat mengurangi kerusakan

saraf. Reaksi kusta lebih sering terjadi pada tipe kusta MB.

Page 6: Pengobatan Kusta- Bab 3

17

6. Tipe Kusta

Menurut Richardus (2003), kecacatan tipe LL lebih tinggi daripada tipe

TT. Penelitian lain juga mendapatkan angka yang lebih tinggi pada MB yaitu

81,2% dibandingkan dengan PB.

Risiko kecacatan lebih tinggi pada pasien kusta tipe LL daripada tipe TT.

Pada tipe LL didapatkan angka 25,5% sedangkan tipe TT hanya 16,4% (Smith,

1992). Hasil penelitian melaporkan bahwa kecacatan pada tipe LL lebih banyak

dari tipe TT. Peneliti lain juga mendapatkan angka yang lebih tinggi pada MB

(81,2%) dibandingkan PB. (Smith, 1992)

7. Perawatan Diri

Penelitian Kurnianto (2002), menyatakan bahwa kecacatan pada pasien

yang tidak melaksanakan perawatan diri lebih tinggi dibandingkan pasien dengan

perawatan diri. Masih banyak pasien yang tidak melakukan perawatan diri

kemungkinan disebabkan pasien belum memahami pentingnya perawatan diri dan

petugas belum memberikan edukasi tentang cara perawatan diri kepada pasien.

Menurut penelitian yang dilakukan terhadap 454 pasien kusta, diperoleh

hasil setelah 4 tahun terdeteksi kusta dengan perawatan diri yang baik dapat

membantu memperbaiki kecacatan lebih dari 50%. Kurangnya perawatan diri

dapat mengakibatkan kerusakan semakin berat. (Ganapati, 2003)

8. Kepatuhan Pengobatan

Pada pasien PB yang berobat secara teratur akan cepat sembuh tanpa

menimbulkan kecacatan. Apabila pasien kusta tidak minum obat secara teratur,

maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala baru pada

kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Ogbeiwi, 2005).

2.1.10. Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut perjalanan kronis kusta yang

merupakan suatu kekebalan dengan peradangan pada kulit, saraf tepi dan organ

tubuh yang lain. Satu karakteristik dari kusta yang menjadi penyebab kecacatan

adalah peradangan yang mengenai saraf (neuritis).

Page 7: Pengobatan Kusta- Bab 3

18

Reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe, yaitu :

A. Reaksi Kusta Tipe 1

Reaksi kusta 1 merupakan reaksi hipersensitifitas seluler dan perubahan

sistem imun seluler. Reaksi tipe 1 terjadi pada pasien tipe borderline (BL, BB,

BT) dengan sistem imun tak stabil. (Rea, 2008). Reaksi tipe 1 diartikan dengan

reaksi reversal atau reaksi yang sering dijumpai pada kasus yang mendapat

pengobatan dan secara teoritis reaksi tipe 1 dapat terjadi pada semua bentuk kusta

yang subpolar. (Martodihardjo, 2003)

Gambar 2.4 Reaksi kusta 1

Sumber: Rea, 2008

Tabel 2.5. Manisfestasi reaksi tipe 1

Organ yang diserang

Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Lesi kulit yang telah ada menjadi eritematosa

Lesi yang telah ada menjadi eritematosa. Timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai panas dan malaise

Saraf Membesar, tidaknyeri,fungsi tidakterganggu. (kurang 6 minggu)

Membesar, nyeri fungsi terganggu, Berlangsung lebih dari 6 minggu

Kulit dan saraf bersama-sama

Lesi yang telah ada menjadi eritematosa, nyeri pada saraf berlangsung kurang dari 6 minggu

Lesi kulit yang eritematosa disertasi ulserasi atau edema pada tangan/kaki. Saraf membesar, nyeri, dan fungsinya terganggu. Berlangsung sampai 6 minggu

Sumber : Martodihardjo, 2003

Page 8: Pengobatan Kusta- Bab 3

19

B. Reaksi Kusta Tipe 2

Reaksi tipe 2 dikenal dengan sebutan ENL. Reaksi tipe 2 dipicu oleh

infeksi rekuren, stres psikologi atau fisik, konsumsi alkohol. (Rea, 2008). Reaksi

tipe 2 merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks

imun, terutama terjadi pada bentuk LL dan BL (Martodihardjo, 2003)

Gambar 2.5 Reaksi kusta 2

Sumber : Rea, 2008

Tabel 2.6. Manisfestasi Reaksi Tipe 2

Organ yang terserang

Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Nodus sedikit, dapat berulserasi, demam ringan

Nodus banyak, nyeri berulserasi, demam tinggi dan maleise

Saraf Saraf membesar, tidak nyeri dan fungsi tidak terganggu

Saraf membesar, nyeri dan fungsinya terganggu

Mata Lunak tidak nyeri Nyeri, penurunan visus dan merah sekitar limbus

Testis Lunak, nyeri dan membesar

Sumber : Martodihardjo, 2003

Fenomena Lucio sering terjadi sebelum pengobatan. Mula-mula timbul

purpura yang bentuknya tak beraturan, terasa sangat nyeri, dan biasanya terjadi di

daerah ekstremitas.

Page 9: Pengobatan Kusta- Bab 3

20

Purpura ini kemudian mengalami ulserasi dan menjadi nekrotik dan

meninggalkan jaringan parut yang hiperpigmentasi bila sembuh, atau membentuk

bula dan nekrosis sehingga meninggalkan ulkus yang dalam dan lambat sembuh.

Gangguan sistemik yang terjadi dapat sangat berat dan mengakibatkan kematian.

(Rea, 2008)

Gambar2.6 Fenomena Lucio

Sumber : Rea, 2008

2.1.11. Perawatan Diri

Walaupun keberhasilan besar telah diraih dalam eliminasi kusta, namun

kecacatan dan kesulitan sosial-ekonomi masih membebani banyak pasien kusta.

Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi kecacatan adalah dengan

membentuk kelompok perawatan diri (KPD), yang telah terbukti berhasil

dilaksanakan di beberapa negara. (Depkes, 2006). Dengan dibentuknya KPD yaitu

suatu kelompok yang beranggotakan orang yang menderita kusta, yang berkumpul

untuk saling memberi dukungan satu sama lain. Terutama dalam usaha mencegah,

mengurangi kecacatan dan mencari solusi untuk persoalan yang mereka hadapi.

Tujuan umum dari KPD adalah mencegah bertambahnya atau mengurangi

kecacatan pada pasien kusta. (Depkes 2006). Pemeriksaan pada KPD biasanya ada

dua macam :

1) Mengontrol keadaan kulit, kaki dan tangan terhadap kemungkinan luka

serta kondisi mata dari infeksi. Ini merupakan pemeriksaan standar.

Page 10: Pengobatan Kusta- Bab 3

21

2) Jika pasien difasilitasi oleh petugas kusta, pemeriksaan yang lebih lengkap

dapat dilakukan tes fungsi motorik (VMT) dan tes fungsi sensorik (ST), akan

tetapi tidak merupakan pemeriksaan standar.

Dalam KPD ada program perawatan diri pokok maupun khusus. antara lain :

1) Program Perawatan Diri Pokok

Kegiatan merendam kaki/tangan selama sekitar 20 menit dengan air

garam/air sabun, menggosok kulit tebal, dan kemudian membasuh kulit

yang masih basah dengan minyak. Kegiatan ini sangat efektif untuk pasien

dengan kecacatan tingkat 1 atau 2 pada kaki dan tangan.

2) Program Perawatan Diri Khusus

Program ini meliputi latihan untuk tangan, kaki atau mata. Latihan ini

tidak sama untuk semua orang, tetapi tergantung jenis kecacatan. Misalnya

pasien dengan kaki lunglai yang lumpuh perlu melakukan pelatihan yang

berbeda dengan pasien yang menderita kaki lunglai yang lemah.

Rehabilitasi Kecacatan Kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi

penyesuaian diri secara maksimal atas suatu usaha untuk mempersiapkan pasien

kecacatan secara fisik, mental dan sosial untuk suatu kehidupan yang penuh,

sesuai dengan kemampuan yang ada. (Depkes, 1977). Maxwell Jones, Leonardi

Mayo, dan Hinsi dan Campbell memberi pengertian rehabilitasi sebagai berikut:

1. Rehabilitasi ditujukan bagi pasien dengan kecacatan dan yang mempunyai

keterbatasan atau handicap.

2. Rehabilitasi adalah pertolongan yang berdasarkan pada pemberian hak

azasi.

3. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan individu menjadi manusia

normal, mandiri dan berguna.

4. Rehabilitasi merupakan upaya yang terpadu dan terkordinasi meliputi

berbagai aspek yang dijalankan menurut sistem dan metode tertentu secara

bertahap (Depkes, 2006).

Page 11: Pengobatan Kusta- Bab 3

22

Pasien dengan kecacatan kusta perlu mendapat berbagai macam rehabilitasi

melalui pendekatan paripurna yaitu:

1. Rehabilitasi bidang medis:

a. Perawatan yang dikerjakan bersamaan dengan program pencegahan

kecacatan, KPD atau Self Care Group.

b. Rehabilitasi fisik dan mental yang dikerjakan melalui berbagai tindakan pelayanan

medis dan konseling medik (Soewono, 1997).

2. Rehabilitasi bidang sosial-ekonomi

Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengurangi masalah psikologis dan

stigma sosial agar pasien dapat berintegrasi sosial, seperti: konseling,

advokasi, penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan rehabilitasi ekonomi

ditujukan untuk perbaikan ekonomi dan kualitas hidup meliputi

keterampilan kerja (vocational training), fasilitas kredit kecil untuk usaha

sendiri, (Soewono, 1997).

Pencegahan Kecacatan pada Pasien Kusta

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of

disabilities (POD) adalah melaksanakan diagnosis dini, pemberian MDT yang

cepat dan tepat. Selanjutnya mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai

gangguan  saraf. Bila terdapat gangguan sensibilitas, pasien diberi petunjuk

sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki, memakai sarung

tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata

untuk melindungi mata. Selain itu diajarkan cara perawatan kulit sehari-hari. Hal

ini dimulai dengan memeriksa memar, luka atau ulkus. Tangan dan kaki

direndam, disikat dan diberi minyak agar tidak kering dan pecah. (Depkes, 2006).

Adapun upaya dalam pencegahan kecacatan terdiri atas:

1. Upaya pencegahan kecacatan primer

a) Diagnosis dini

b) Pengobatan secara teratur dan adekuat

c) Diagnosis dini dan penatalaksaan neuritis dan reaksi.

d) Pemeriksaan fungsi sensorik, motorik, otonom. (Wisnu, 2003).

Page 12: Pengobatan Kusta- Bab 3

23

2. Upaya pencegahan kecacatan sekunder

a) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka, perawatan mata,

tangan, atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.

b) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk

mencegah terjadinya kontraktur.

c) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami

kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.

d) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.

e) Terapi okupasi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan

normal terbatas pada tangan.

f) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita

cacat. (Wisnu, 2003).

Page 13: Pengobatan Kusta- Bab 3

24

2.2. Kerangka teori

Keterangan : : diteliti

-------> : Tidak diteliti

Mycobacterium leprae

Kusta

Tipe kusta

Tanpa cacat Cacat kusta

Pengobatan

Pencegahan cacat

Rehabilitasi mental

Rehabilitasi sosial

1. Reaksi kusta 2. Perawatan

diri

Tingkat cacat

Mata, Tangan dan Kaki

Primer Sekunder

Pengobatan

Pencegahan cacat

Rehabilitasi mental

Rehabilitasi sosial

Faktor lainnya :1. Usia 2. Faktor Sosial

Ekonomi3. Lama Menderita

Kusta4. Lama Bekerja5. Diagnosis dini. 6. Tipe kusta

Page 14: Pengobatan Kusta- Bab 3

25

2.3. Hipotesis

H1: Ada hubungan antara reaksi kusta terhadap kecacatan pasien kusta di

Instalasi Rawat Inap RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang pada tahun 2012

H2: Ada hubungan antara perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di

Instalasi Rawat Inap RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang pada tahun 2012

Page 15: Pengobatan Kusta- Bab 3

26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan studi survei analitik dengan rancangan

penelitian potong lintang

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan November 2012 – Desember 2012

3.2.2. Tempat Penelitian

RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien kusta di Instalasi Rawat Inap

RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi penelitian yang memenuhi

kriteria inklusi

3.3.3. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

A. Kriteria Inklusi

1. Pasien yang menjalani rawat inap saat penelitian

2. Pasien yang dapat berkomunikasi dengan baik saat penelitian.

Page 16: Pengobatan Kusta- Bab 3

27

B. Kriteria Eksklusi

1. Kecacatan bukan karena kusta

2. Pasien yang tidak bersedia dan menolak untuk berpartisipasi dalam

penelitian.

3.3.4. Teknik Sampling

Mengingat jumlah populasi yang tidak terlalu banyak, maka tehnik

pengambilan sampel yang digunakan adalah semua populasi. Semua populasi

diambil sebagai sampel. Hal ini berpatokan berdasarkan pendapat Arikunto (1993)

bahwa apabila subjeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua.

Jumlah seluruh pasien kusta di Instalasi Rawat Inap RSK. Dr. Rivai

Abdullah Palembang adalah 50 pasien.

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel Dependen :

Kecacatan kusta

3.4.2. Variabel Independen :

a) Reaksi kusta

b) Perawatan diri

3.5 Kerangka Konsep

Kecacatan Pasien Kusta

Faktor Risikoa) Reaksi kustab) Perawatan diri

Kusta

Kecacatan Kusta

Pengobatan

Pencegahan cacat

Rehabilitasi mental

Rehabilitasi sosial

Page 17: Pengobatan Kusta- Bab 3

28

3.6. Definisi Operasional

1.Kecacatan Kusta

Definisi : Keadaan kelainan kulit/ syaraf yang terjadi pada mata, kaki

dan tangan pasien kusta.

Alat Ukur : Hasil rekam medik

Cara Ukur : Hasil rekam medik

Hasil ukur : 1. Ada kecacatan kusta

2. Tanpa kecacatan kusta

Skala : Nominal

2.Reaksi kusta

Definisi : Suatu episode akut perjalanan kronis kusta yang ditandai

dengan peradangan pada kulit, saraf tepi dan organ tubuh yang lain.

(Depkes,2007)

Alat ukur : Hasil rekam medik

Cara ukur : Hasil rekam medik

Hasil ukur : 1. Ada reaksi kusta

2. Tidak ada reaksi kusta

Skala : Nominal

3. Perawatan diri

Definisi : Perawatan diri adalah tindakan merawat diri pasien yang

meliputi perawatan mata, tangan dan kaki.

Alat ukur : Kuesioner

Cara ukur : Wawancara

Hasil ukur: 1. Merawat diri

2. Tidak merawat diri

Skala : Nominal

Page 18: Pengobatan Kusta- Bab 3

29

3.7. Cara Pengumpulan Data Dan Instrumen Penelitian

3.7.1. Cara Pengumpulan Data

a. Data Primer

Pengumpulan data untuk mengetahui hubungan antara reaksi kusta dan

perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta dilakukan secara langsung dengan

melakukan pengisian kuesioner oleh pasien.

Kuesioner ini digunakan untuk memperoleh informasi mengenai beberapa

hal yaitu identitas pasien (nama, usia) serta data yang terkait faktor terjadinya

kecacatan pada kusta yaitu perawatan diri.

b. Data Sekunder

Data sekunder diambil berdasarkan informasi dari dokumen hasil rekam

medik untuk mengetahui data data yang ingin diperoleh.

3.7.2. Instrumen Penelitian

Menggunakan daftar pertanyaan berupa kuesioner perawatan diri yang

dirancang peneliti merujuk dari penelitian sebelumnya dan dilakukan perubahan

seperlunya dengan pertimbangan agar bahasa penulisan lebih dimengerti pasien.

Dan juga dengan melihat hasil rekam medis untuk melihat reaksi kusta.

Kuesioner perawatan diri berupa 18 pertanyaan mengenai perawatan diri.

Setiap pertanyaan benar diberi skor 1. Tindakan merawat diri pada pasien yang

meliputi perawatan mata, tangan dan kaki. Merawat adalah skor nilai perawatan

diatas nilai rata-rata dari kuesioner sedangkan tidak merawat jika nilai perawatan

dibawah atau sama dengan rata-rata dari hasil kuesioner.

Reaksi kusta dilihat dari hasil rekam medic dengan kategori “Ada Reaksi

dan Tidak Ada Reaksi” dan diberikan skor 1 dan 2.

Page 19: Pengobatan Kusta- Bab 3

30

3.8. Pengolahan Data dan Analisis Data

3.8.1. Pengolahan Data

Langkah dalam pengolahan data :

1. Editing, adalah setiap lembar kuesioner diperiksa untuk memastikan bahwa setiap pertanyaan yang terdapat dalam daftar kuesioner telah terisi semua

2. Coding, adalah pemberian kode pada setiap jawaban yang terkumpul dalam kuesioner untuk memudahkan proses pengolahan data

3. Processing, adalah melakukan pemindahan atau memasukkan data dari kuesioner ke dalam komputer untuk diproses menggunakan software statistik.

4. Cleaning, adalah proses yang dilakukan setelah data masuk ke komputer, dan akan diperiksa apakah ada kesalahan atau tidak.

5. Tabulating, pada tahap ini jawaban pasien yang sama dikelompokkan dangan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan kemudian ditampilkan dalam bentuk variabel.

3.9. Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner.

Sebelum dilakukan penelitian kepada pasien kusta, terlebih dahulu dilakukan

uji validitas dan reabilitas kuesioner kepada 6 pasien kusta rawat jalan di RSK

Dr.Rivai Abdullah Palembang.

Uji validitas kuesioner dilakukan dengan nilai r tabel dengan nilai r hasil. Bila

r hasil > r tabel, maka pertanyaan tersebut valid dan bila r alpha > r tabel maka

pertanyaan tersebut reabilitas.

Page 20: Pengobatan Kusta- Bab 3

31

Tabel 3.1 Hasil Perhitungan Validitas dan Reabilitas Kuesioner.

Variabel R tabel R hasil Alpha KeteranganPerawatan Diri

P1 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

P2 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

P3 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

P4 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas

P5 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas

P6 0,468 0,627 0,964 Valid dan Reabilitas

P7 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas

P8 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

P9 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

P10 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

P11 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

P12 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas

P13 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

P14 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas

P15 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas

P16 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas

P17 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

P18 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas

Dari tabel 3.1 diatas terlihat bahwa semua pertanyaan nilai r hasil lebih

besar dari pada r tabel demikian juga alpha lebih besar dari r tabel, dengan

demikian kuesioner yang digunakan untuk penelitian mengenai hubungan antara

Page 21: Pengobatan Kusta- Bab 3

32

reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan kusta pada pasien kusta di

Instalasi Rawat Inap RSK Dr.Rivai Abdullah Palembang tahun 2012 valid dan

reablitas.

3.10 Alur Penelitian

Populasi

Pasien kusta yang di rawat inap di RSK dr Rivai Abdullah

Sampel

seluruh populasi penelitian yang

memenuhi kriteria inklusi

Pelaksanaan Penelitian dan pengambilan data

Membagikan kuesioner pada sampel yang telah dipilih dan melihat hasil rekam medik

Kriteria inklusi

Pengolahan data dan analisis data

Informed Consent

Page 22: Pengobatan Kusta- Bab 3

33

3.11. Rencana / Jadwal kegiatan

Tabel.3.8 Rencana/Jadwal Kegiatan

September Oktober November Desember Januari Februari

Menyele-saikan BAB I

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Menyele-saikan BAB II

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Menyele-saikan BAB III

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Mengum-pulkan sampel

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Membuat BAB IV

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Membuat BAB V

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

3.12 Anggaran

Hasil dan kesimpulan

Page 23: Pengobatan Kusta- Bab 3

34

Tabel. 3.9 Anggaran

No Nama Barang Harga Satuan Jumlah Total1 Kertas HVS 70 gr Rp. 35.000,00 3 rim Rp. 95.000,002 Tinta Printer Hitam Rp. 25.000,00 2 Rp. 50.000,003 Tinta Printer Warna Rp. 30.000,00 2 Rp. 60.000,004 Transportasi Rp. 200.000,00 Rp. 200.000,005 Lain-lain Rp. 200.000,00 Rp. 200.000,00Total Rp. 605.000,00