12
Penguatan Kode Etik Organisasi dalam Mewujudkan Netralitas ASN - Tri Wahyuni - Ricky Noor Permadi | 151 PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM MEWUJUDKAN NETRALITAS ASN Strengthening of Organisation Ethic Code in Realizing Neutrality of Civil Servant Tri Wahyuni Ricky Noor Permadi PKP2A III Lembaga Administrasi Negara Jl. H. M. Ardan (Ringroad III) Samarinda E-Mail : [email protected] Naskah diterima tanggal 2 November 2018, Naskah direvisi 5 November 2018, Naskah disetujui 10 Desember 2018 Abstrak Netralitas merupakan modal penting bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) selaku penyelenggara pemerin- tahan. Namun demikian, tidak mudah mewujudkan asas yang bernama netralitas. Ada beberapa faktor yang meyebabkan para ASN susah untuk bersikap netral. Pertama, jumlah ASN yang masif. Kedua, pemahaman ASN yang baik atas kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, adanya kewenangan yang dimiliki oleh ASN. Berbagai peraturan mengenai netralitas ASN sudah ditetapkan. Dengan berbagai regulasi yang telah diterbitkan, seharusnya dapat mereduksi berbagai potensi perilaku ASN yang tidak netral dalam menjalankan perannya. Namun sayangnya, Pilkada serentak di tahun 2015 yang merupakan momentum pilkada serentak pertama kali memberikan bukti bahwa pelanggaran atas netralitas ASN banyak ditemukan. Berlanjut hingga di pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2018. Fungsi kontrol organisasi dalam persoalan netralitas sangat diperlukan. Untuk mewujudkannya dapat dilakukan melalui penyusunan instrumen regulasi organisasi bernama kode etik. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Temuan-temuan dalam penelitian ini adalah beberapa pelanggaran atas netralitas serta kebijakan terkait pelaksanaan kode etik di beberapa organisasi pemerintah. Sementara Pengambilan data dilakukan dengan studi kepustakaan terhadap berbagai peraturan perundangan, dokumen kerja pemerintahan daerah, serta tulisan dari media massa. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini mencoba memberikan gambaran atas hasil Analisis terhadap upaya mewujudkan netralitas ASN melalui upaya penguatan kode etik. Kata Kunci : Aparatur, Kode Etik, Netralitas Abstract Neutrality is an important asset for the civil servant (ASN) as the administration of government. However, it is not easy to actualize a principle called neutrality. There are several factors that the civil servants are difficult to be neutral, First, the massive number of civil servants or ASN, Second, the good understanding of ASN on the policy of government administration, Third, the possessed authority by ASN. Various regu- lations regarding the neutrality of ASN have been published. Having been issued various regulations, it should be able to reduce various potential ASN behaviors that are not neutral in carrying out their roles. Unfortunately, the simultaneous elections in 2015 which were the momentum of the simultaneous local elections first provided evidence that violations of the neutrality of ASN were found. It has been continued until the implementation of the 2018 Simultaneous Regional Election. The function of organizational control in case of neutrality is very necessary. To realize this, it can be done through the preparation of an organizational regulation instrument called the ethic code. The method used in this study is qualitative research. The findings in this study are some violations of neutrality and policies related to the implementation of the ethics code in several government organizations. While data collection is carried out with literature studies on various laws and regulations, local government work documents, as well as news from the mass media. By using a qualitative approach, this study tries to provide an overview of the results of the analysis on attempting to realize the neutrality of ASN through strengthen the ethics code . Keywords: Apparatus, Ethics Code, Neutrality PENDAHULUAN N etralitas merupakan modal penting bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) selaku penye- lenggara pemerintahan. Dengan tidak ber- pihak pada kepentingan politik manapun dalam men- jalankan tugasnya, akan membuat ASN dapat bekerja dengan lebih tenang, fokus, dan profesional. Profesio- nalisme yang tinggi perlu dikembangkan bukan hanya untuk meningkatkan kompetensi birokrasi dalam melayani masyarakat, tetapi juga meningkatkan kemandirian birokrasi dalam menghadapi tekanan dan intervensi politik. (Dwiyanto, 2015). Netralitas harus menjadi sebuah kesepakatan, baik bagi para birokrat

PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

Penguatan Kode Etik Organisasi dalam Mewujudkan Netralitas ASN - Tri Wahyuni - Ricky Noor Permadi | 151

PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASIDALAM MEWUJUDKAN NETRALITAS ASN

Strengthening of Organisation Ethic Code in Realizing Neutrality of Civil Servant

Tri WahyuniRicky Noor Permadi

PKP2A III Lembaga Administrasi NegaraJl. H. M. Ardan (Ringroad III) Samarinda

E-Mail : [email protected] diterima tanggal 2 November 2018, Naskah direvisi 5 November 2018, Naskah disetujui 10 Desember 2018

Abstrak

Netralitas merupakan modal penting bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) selaku penyelenggara pemerin-tahan. Namun demikian, tidak mudah mewujudkan asas yang bernama netralitas. Ada beberapa faktoryang meyebabkan para ASN susah untuk bersikap netral. Pertama, jumlah ASN yang masif. Kedua,pemahaman ASN yang baik atas kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, adanya kewenanganyang dimiliki oleh ASN. Berbagai peraturan mengenai netralitas ASN sudah ditetapkan. Dengan berbagairegulasi yang telah diterbitkan, seharusnya dapat mereduksi berbagai potensi perilaku ASN yang tidaknetral dalam menjalankan perannya. Namun sayangnya, Pilkada serentak di tahun 2015 yang merupakanmomentum pilkada serentak pertama kali memberikan bukti bahwa pelanggaran atas netralitas ASNbanyak ditemukan. Berlanjut hingga di pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2018.Fungsi kontrol organisasi dalam persoalan netralitas sangat diperlukan. Untuk mewujudkannya dapatdilakukan melalui penyusunan instrumen regulasi organisasi bernama kode etik. Adapun metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Temuan-temuan dalam penelitian ini adalahbeberapa pelanggaran atas netralitas serta kebijakan terkait pelaksanaan kode etik di beberapa organisasipemerintah. Sementara Pengambilan data dilakukan dengan studi kepustakaan terhadap berbagaiperaturan perundangan, dokumen kerja pemerintahan daerah, serta tulisan dari media massa. Denganmenggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini mencoba memberikan gambaran atas hasil Analisisterhadap upaya mewujudkan netralitas ASN melalui upaya penguatan kode etik.

Kata Kunci : Aparatur, Kode Etik, Netralitas

Abstract

Neutrality is an important asset for the civil servant (ASN) as the administration of government. However,it is not easy to actualize a principle called neutrality. There are several factors that the civil servants aredifficult to be neutral, First, the massive number of civil servants or ASN, Second, the good understandingof ASN on the policy of government administration, Third, the possessed authority by ASN. Various regu-lations regarding the neutrality of ASN have been published. Having been issued various regulations, itshould be able to reduce various potential ASN behaviors that are not neutral in carrying out their roles.Unfortunately, the simultaneous elections in 2015 which were the momentum of the simultaneous localelections first provided evidence that violations of the neutrality of ASN were found. It has been continueduntil the implementation of the 2018 Simultaneous Regional Election.The function of organizational control in case of neutrality is very necessary. To realize this, it can be donethrough the preparation of an organizational regulation instrument called the ethic code. The method usedin this study is qualitative research. The findings in this study are some violations of neutrality and policiesrelated to the implementation of the ethics code in several government organizations. While data collectionis carried out with literature studies on various laws and regulations, local government work documents, aswell as news from the mass media. By using a qualitative approach, this study tries to provide an overview ofthe results of the analysis on attempting to realize the neutrality of ASN through strengthen the ethics code .

Keywords: Apparatus, Ethics Code, Neutrality

PENDAHULUAN

N etralitas merupakan modal penting bagiAparatur Sipil Negara (ASN) selaku penye-lenggara pemerintahan. Dengan tidak ber-

pihak pada kepentingan politik manapun dalam men-jalankan tugasnya, akan membuat ASN dapat bekerja

dengan lebih tenang, fokus, dan profesional. Profesio-nalisme yang tinggi perlu dikembangkan bukan hanyauntuk meningkatkan kompetensi birokrasi dalammelayani masyarakat, tetapi juga meningkatkankemandirian birokrasi dalam menghadapi tekanan danintervensi politik. (Dwiyanto, 2015). Netralitas harusmenjadi sebuah kesepakatan, baik bagi para birokrat

Page 2: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

152 | Jurnal “Administrasi Publik” Volume XIV Nomor 2 Desember 2018

sendiri, maupun bagi para lembaga apapun di luar birok-rat. Harus ada komitmen dan kesadaran untuk salingmenjaga birokrat dalam zona netral dalam kondisi po-litik sepelik apapun. Netralitas politik merupakan nilaiyang harus dihormati karena memegang peran sentraldalam hubungan antara pejabat publik dan politisi(David Good dalam Haryatmoko 2013).

Namun demikian, tidak mudah mewujudkan asasyang bernama netralitas. Kehadirannya telah menjadiisu yang tidak pernah lekang oleh jaman dalam pera-daban penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Diera Orde Baru, netralitas merupakan sesuatu yang ber-sifat utopis, karena keberpihakan PNS sangat kentaldan kentara pada satu golongan yang notabene meru-pakan partai penguasa. Pasca era orde baru, dalam per-jalanan 5 (lima) kepala negara, netralitas ‘bergerak’menuju ke bentuk yang idealnya. Namun sayangnya,mewujudkan netralitas bukanlah hal yang mudah dancepat. Tarik menarik kepentingan antara yang inginmeletakkan netralitas pada khittah-nya dan yang inginnetralitas dalam posisi mengambang demi sebuah kepen-tingan, membuat perjalanan netralitas ASN berliku.

Ada beberapa faktor yang meyebabkan para ASNsusah untuk mencapai kenetralannya dan menjadi targetkeberpihakan pada salah satu calon. Pertama, dari sisikuantitas, dengan jumlahnya yang masif, ASN dapatmenjadi sumber perolehan suara dalam pesta demokrasipemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, maupunpemilihan presiden. Kedua, pemahaman yang baik paraASN atas kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dapatjuga dijadikan sumber untuk mendapatkan bahan materipolitik. Ketiga, adanya kewenangan para ASN pemangkujabatan strategis yang diharapkan dapat membantu paracalon untuk mendapatkan kemudahan akses atau sumberdaya sapras selama proses kampanye berlangsung.Ketiga, ‘nilai jual’ para ASN tersebut, sering membuatpara calon pemilihan menjadi ‘gelap mata’ untuk terusberusaha menarik, mengajak, mempengaruhi, mengimingi,atau bahkan mengancam agar para ASN dapat terlibatdan berpartisipasi pada pemenangan mereka, walaupunpengaturan tentang netralitas ASN sudah mereka ketahui.Berbagai upaya akan terus dilakukan untuk mewujudkanketerlibatan para ASN tersebut dalam kepentingan politikmereka, baik yang diinisiasi oleh para tim suksesnyaataupun para calon sendiri.

Berbagai peraturan mengenai netralitas ASNsudah ditetapkan, berisikan kualifikasi berikut sanksiyang akan diberikan kepada para pelanggar. Bentukregulasinya sudah komplit, mulai dari yang berbentukundang-undang, peraturan pemerintah, hingga SuratEdaran Menteri. Berikut gambar pemetaan regulasiterkait netralitas ASN sebagaimana di bawah ini:

Gambar 1.Irisan Peraturan Perundangan Kewajiban Netralitas

Sumber : Peraturan Perundangan

Dengan berbagai regulasi yang telah diterbitkandan diterapkan, ‘seyogyanya’ dapat mereduksi berbagaipotensi perilaku ASN yang tidak netral dalam menja-lankan perannya sebagai pelaksana kebijakan, pemer-satu bangsa sekaligus pelaksana pelayanan publik ditengah pesta demokrasi yang bernama pileg, pilkada,maupun pilpres. Namun dalam kenyataannya, sepertipameo ‘hukum dibuat untuk dilanggar’, Pilkada seren-tak di tahun 2015 yang merupakan momentum pilkadaserentak pertama kali, pelanggaran atas implementasinetralitas ASN banyak ditemukan. Berlangsung di 269wilayah, Kementerian Pendayagunaan AparaturNegara, dan Reformasi Birokrasi memproses penetapanhukuman terhadap 56 pegawai negeri sipil (PNS) yangdiduga melakukan pelanggaran dalam Pilkada Serentak2015 (Kompas, 2016). Berlanjut di pelaksanaan PilkadaSerentak Tahun 2018, jumlah pelanggaran semakinmeningkat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telahmenindaklanjuti sekitar 500 pelanggaran aparatur sipilnegara (ASN) di Pilkada serentak 2018. Dari pelang-garan ASN tersebut, ada yang sudah dipidanakan(Detik.com, 2018).

Banyaknya pengaturan netralitas ASN yang masihbelum linier dengan minimya kasus pelanggarannya,melatar belakangi lahirnya kebijakan yang bersifatasimetris terhadap penerapan peraturan netralitas yangtelah ditetapkan, seperti apa yang disampaikan DirekturJenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) KementerianDalam Negeri Sumarsono yang menuturkan bahwasaat ini proses pengawasan terkait netralitas aparatursipil negara (ASN) pada Pilkada 2018 semakin diper-ketat. Menurut Sumarsono, proses pemberian sanksiterhadap ASN yang terbukti tidak netral dipersingkat.Selain itu ASN yang bersangkutan juga akan langsungdiberhentikan sementara. (Kompas, 2018). Dari state-ment tersebut kita dapat simpulkan bahwa, penerapansanksi atas pelanggaran netralitas ASN yang selama

Page 3: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

Penguatan Kode Etik Organisasi dalam Mewujudkan Netralitas ASN - Tri Wahyuni - Ricky Noor Permadi | 153

ini mengacu kepada PP. No. 53 Tahun 2010 TentangDisiplin PNS yang prosesnya cenderung panjang, akandipangkas sedemikian rupa, sehingga para pelanggarakan lebih cepat mendapatkan kepastian hukum atasstatus pelanggaran yang telah dilakukan

Masih banyak dimensi yang harus diekspolorasiatas penyebab masih maraknya pelanggaran asasnetralitas. Dimensi organisasi/instansi sebagai tempatbernaung para ASN perlu juga untuk ‘diaudit gunamenentukan apakah sudah/belum efektif dalam melak-sanakan fungsi kontrolnya dalam mewujudkan tinda-kan/pengetahuan yang bersifat preventif terhadap paraSDM-nya berkaitan dengan permasalahan netralitas.Salah satu indikator bahwa fungsi kontrol organisasisudah berjalan dalam persoalan netralitas, terwujuddalam kemampuan organisasi menjadi sumber penge-tahuan regulasi bagi para SDM-nya. Oleh karenanya,perlu dipastikan, apakah kegiatan ‘membumikan’ per-aturan netralitas dalam wujud yang lebih ‘konkrit’dalam lingkungan organisasi sudah dilakukan, sehinggaakan lebih mudah untuk diketahui, dipahami dan dija-lankan.Upaya membumikan tersebut dapat diwujudkanmelalui penyusunan instrumen regulasi organisasibernama kode etik.Kode etik adalah pernyataan for-mal tertulis mengenai nilai-nilai, kepercayaan, filsafatorganisasi, apa yang diharapkan, dan apa yang harusdihindari, serta apa yang boleh dilakukan, dan apa yangdilarang dilakukan oleh angggota organisasi (Wirawan2007).

Besarnya harapan atas peran kode etik dalamupaya memitigasi pelanggaran atas netralitas ASN,tidak terlepas dari pentingnya sebuah kode etik bagipara ASN, sebagaimana tersebut di dalam Pasal 3huruf b UU ASN No. 5/2014 : ASN sebagai profesiberlandaskan pada prinsip kode etik dan kode perilaku,karena kode etik semata-mata bertujuan untuk men-jaga martabat dan kehormatan ASN sebagaimanatersebut di dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 5/2014. Disu-sunnya instrumen kode etik diharapkan dapat dijadikan‘basic reminder’ atas perilaku netralitas di masing-masing organisasi. Dengan adanya regulasi yang si-fatnya sampai tataran teknis, diharapkan dapat menjadifungsi kontrol yang melekat karena telah didesain untukmudah dipahami, sehingga proses sosialisasinya jugaakan lebih mudah.

Tulisan ini mencoba untuk melakukan analisisterhadap upaya mewujudkan netralitas ASN melaluiupaya penguatan kode etiksebagaimana gambar alurpikir penelitian sebagaimana gambar di bawah ini:

Gambar 2.Alur Pikir Penelitian

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif.Strauss dan Corbin (2003:4) mendefinisikan metodepenelitian kualitatif sebagai ‘jenis penelitian yangtemuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedurstatistik atau bentuk hitungan lainnya” (Afrizal 2015).Temuan-temuan dalam penelitian ini adalah beberapapelanggaran atas netralitas serta kebijakan terkaitpelaksanaan kode etik di beberapa organisasi peme-rintah. Sementara Pengambilan data dilakukan denganstudi kepustakaan terhadap berbagai peraturan per-undangan, dokumen kerja pemerintahan daerah, sertatulisan dari media massa, sebagaimana disebutkan olehAfrizal bahwa Peneliti yang memakai metode kualitatifmenganalisis data berupa kata-kata dan perbuatan-perbuatan manusia tanpa upaya mengkuantifikasi-kannya. Data tersebut terdiri dari pembicaraan-pem-bicaraan orang atau data lisan, tulisan (tulisan di me-dia, surat menyurat, kebijakan pemerintah, notulenrapat, dan lain-lain) (Afrizal 2015). Adapun fokus daripenelitian ini adalah Analisis teori terhadap upaya pe-nguatan netralitas melalui kode etik.

KERANGKA KONSEP

Profesionalisme merupakan sebuah tuntutan bagiPNS. Profesionalisme yang tinggi perlu dikembangkanuntuk meningkatkan kompetensi birokrasi dalam melayanimasyarakat, juga untuk meningkatkan kemandirianbirokrasi dalam menghadapi tekanan dan intervensi politik(Dwiyanto 2015). Profesionalisme sebagai sebuah nilaijuga dapat menjadi sumber inspirasi bagi aparatur birokrasiuntuk selalu menempatkan kepentingan publik di ataskepentingan lainnya (Dwiyanto 2015).

Etika, Netralitas, dan Kode Etik ASN

Etika merupakan pokok permasalahan dalamdisiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. (Solomon

Page 4: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

154 | Jurnal “Administrasi Publik” Volume XIV Nomor 2 Desember 2018

dalam Kumorotomo 2015). Etika merupakan roh peng-gerak penyelenggaraan pemerintahan dan urusanpublik. Dalam rangka perwujudan good governance,kapasitas etika para PNS perlu juga dibangun disamping atau bersamaan dengan kapasitas teknis pro-fesional lainnya (Lele, 2010). Dengan kemampuanrefleksi yang bagus dalam beretika, para aparaturdiharapkan akan lebih bijak dan lapang dalam menem-patkan dirinya sebagai pelayan publik, hal ini karenaetika dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral.Jadi, etika lebih merupakan wacana normatif (tidakselalu harus berupa perintah yang mewajibkan, karenabisa juga kemungkinan bertindak) yang membahastentang baik/jahat. Etika lebih dipandang sebagai senihidup yang mengarahkan kekebahagiaan dan kebijak-sanaan (Haryatmoko 2013).

Dalam pelaksanaan etika, pendekatan kulturalyang hanya mengandalkan pada kehendak seorangPNS perlu ditopang atau dikondisikan dengan pengem-bangan kebijakan, regulasi serta sistem hukum yangdapat memaksa seorang PNS untuk beretika, mem-berikan hukuman makala pelanggaran, serta mem-berikan penghargaan jika etika ditegakkan (Lele 2010).Pada akhirnya, pemahaman yang baik akan etika diha-rapkan dapat menghasilkan sebuah kompetensi. Kom-petensi etika yang dimaksud terdiri atas: manajemennilai, kemampuan penalaran moral, moralitas pribadidan moralitas publik, etika organisasional, dan evaluasi.Berikut gambar segitiga kompetensi profesionalismepelayanan publik menurut Bowman:

Gambar 1.3Segi Tiga Kompetensi Pelayanan Publik

Sumber: Bowman

Dalam usaha peningkatan Pengembangan etikaPNS dan etika publik dapat dilakukan melalui pendi-dikan, pelatihan, studi banding dalam rangka benc-hmarking, hingga langkah-langkah indoktrinasi dapatditempuh (Lele 2010). Salah satu etika yang saat inibanyak mendapatkan sorotan adalah terkait netralitas.Hal ini tidak terlepas dari Tekanan untuk melibatkanbirokrasi dan aparaturnya dalam kegiatan kampanyedan politik praktis semakin lebih besar. Akibatnya,

transaksi politik antara politisi dan pejabat karir sulitdihindari dan dapat merusak kridibilitas birokrasi peme-rintah (Dwiyanto 2015).Padahal netralitas merupakansebuah keharusan bagi ASN/PNS. Netral berarti ope-rator pelayanannnya tidak memihak. Jadi, arahnya men-dorong untuk memperhitungkan pluralisme opini dansudut pandang (Haryatmoko 2013). Netralitas politikmerupakan nilai yang harus dihormati karena meme-gang peran sentral dalam hubungan antara pejabatpublik dan politisi (David Good dalam Haryatmoko2013).

Disamping ditunjang oleh karakteristik para pega-wainya, sebuah organisasi dikatakan efektif biasanyadiukur oleh 3 indikator kinerja yaitu kontrol, inovasi,dan efisien dalam mencapai sasaran yang ditargetkan(Santoso dan Rasman, 2015). Organisasidikatakanakan berhasil jika pegawai memiliki inisiatif-inisiatifyang baik, teliti, jujur, dan memiliki loyalitas tinggi. Kua-litas-kualitas seperti inilah yang hendak dicapai melaluiperumusan dan pelaksanaan kode etik. (Kumorotomo,2015). Menurut beberapa definisi, kode etik dan kodeperilaku merupakan dua hal yang berbeda. Kodeperilaku berasal dari pengertian perilaku, yakni tentangbagaimana anda bertindak (how you act), dan bukantentang apa atau siapa Anda (what you are and whoyou are) (Wibowo 2013). Ketika sebuah pedomanperilaku dibuat, maka pedoman perilaku tidak dapatmenguraikan semua undang- undang, peraturan, ataukebijakan atau pada situasi tertentu. Pedoman Perilakumenciptakan kerangka kerja standar etika yang harusdipatuhi semua karyawan dalam menjalankan bisnis.Standar-standar itu sering kali lebih tinggi daripadakewajiban hukum minimum (Kimberly Clarck).

Sementara Kode etik memiliki fungsi sebagai pe-doman perilaku bagi anggota organisasi. Perilaku setiapanggota organisasi harus etis, yaitu perilaku yang diang-gap baik dan benar dalam kaitan kode etik organisasi,(Wirawan 2007). Pengendalian yang baik membantumemperlancar hubungan antar manusia (Terry 2016).Di dalam Laporan Kinerja KASN Tahun 2016 dise-butkan bahwa pada tahun 2018 diharapkan terdapat75 K/L, 19 Provinsi dan 275 Kab/Kota telah mulaimenyusun dan menetapkan nilai dasar, kode etik dankode perilaku dengan mengacu pada UU-ASN danperaturan pelaksanaannya (KASN, 2017). Ditargetkanpada tahun 2019, semua instansi pemerintah telahmemiliki dan melaksanakan internalisasi nilai dasar,kode etik dan kode perilaku. Pada tahun 2020 diharap-kan telah terwujud gerakan nasional internalisasi nilaidasar, kode etik dan kode perilaku yang selanjutnyamenjadi pondasi utama terwujudnya ASN kelas duniadan pemerintahan berbasis pada Dinamic Govern-

Page 5: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

Penguatan Kode Etik Organisasi dalam Mewujudkan Netralitas ASN - Tri Wahyuni - Ricky Noor Permadi | 155

ment sejalan dengan tujuan Road Map ReformasiBirokrasi (KASN, 2017).

Menurut KASN, dalam melaksanakan nilai dasar,kode etik dan kode perilaku ASN secara efektif,setidak-tidaknya ada 2 (dua) hal yang perlu dilakukanoleh pemerintah yakni:

1. Menyusun pedoman operasionalisasi nilai dasar,kode etik dan kode perilaku dan melakukan sosia-lisasi pedoman tersebut agar lebih dipahami danditaati ASN.

2. Meningkatkan penegakan hukum dan memper-baiki proses penanganan pelanggaran terhadap nilaidasar, kode etik dan kode perilaku ASN. Upayalain yang dapat dilakukan agar kode etik dapatdilaksanakan sebagaimana yang telah dilakukanoleh organisasi mapan dalam penerapan kode etik,antara lain:

1. Pelatihan kode etik. Program pelatihan kodeetik untuk para manajer dan karyawannya.

2. Komisi kode etik. Tugasnya menyusun kon-sep kebijakan etik, memberi nasehat menge-nai isu kode etik, masalah pelanggaran kodeetik, dan mengevaluasi pelatihan kode etik.

3. Penasehat etik. Unit yang menangani pelang-garan kode etik, memeriksa, dan memberikansanksi kepada yang melanggar. Memberikannasehat juga bagi yang menghadapi kasuskode etik.

4. Ethics hotlines. Hotlines ini akan berguna se-bagai jalur aduan seperti jalur hotlines yangselama banyak digunakan sebagai jalur peng-aduan bagi para pelanggan.

5. Audit etika. Setiap manajer fungsional mem-buat laporan mengenai pelaksanaan kode etikdi unitnya (Wirawan 2007). Kegiatan auditmerupakan

Terhadap kode etik yang telah tersusun, namunbelum tersebut konten netralitas, maka perlu dilakukanreview. Review mengandung makna meninjau kembaliatas segala sesuatu yang telah dilakukan sebelumnya,baik yang menyangkut kebijakan, strategi, peren-canaan, maupun pelaksanaan. Review yang efektifmerupakan inti keberhasilan manajemen (Wibowo2013). Agar lebih efektif dalam penyusunan kode etik,maka perlu digali juga nilai organisasi, karena nilaimerupakan satu komponen dalam pembentukan budayaorganisasi yang menunjukkan kebutuhan perilakumanusia yang diharapkan dalam pencapaian sasaranorganisasi (Santoso dan Rasman 2015).

Studi Peraturan Perundangan atas pengaturan kodeetik dan netralitas

Regulasi terstruktur yang mengakomodasi peng-aturan kode etik bagi PNS diawali dengan lahirnya PPNo 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa KORPSdan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Di dalam Pasal7 dijelaskan tentang mengapa kode etik itu penting.Disebutkan di dalamnya bahwa dalam pelaksanaantugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiappegawai negeri sipil wajib bersikap dan berpedomanpada etika dalam bernegara, dalam penyelenggaraanpemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasya-rakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama pegawainegeri sipil yang di atur dalam peraturan pemerintahini. Dalam kaitannya dengan netralitas PNS, beberapapasal dalam peraturan pemerintah ini sudah mem-berikan gambaran tentang bagaimana bersikap netral,sehingga dapat dijadikan acuan dalampenerapannetralitas dalam menyusun sebuah kode etik. Pasal-pasal tersebut antara lain : Pasal 10 huruf ctentangetikadalam bermasyarakat yang meliputi: memberikanpelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil sertatidakdiskriminatif, Pasal 11 huruf c terkaitEtika terhadapdiri sendiri yang meliputi: menghindari konflikkepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.

Dalam penyusunan kode etik netralitas yangmerupakan bagian dari kode etik organisasi, pentingjuga untuk mengetahui tentang siapa yang dapat mene-tapkan kode etik. Di dalam Pasal 13 ayat (1) huruf adisebutkan bahwa Berdasarkan ketentuan kode etiksebagaimana diatur dalam PeraturanPemerintah ini:Pejabat Pembina Kepegawaian masing-masing ins-tansi menetapkan kodeetik instansi. Dalam penyusunankode etik, hal lain yang juga perlu mendapat perhatianadalah terkait kontennya yang mesti disusun ber-dasarkan karakteristik organisasi sebagaimana di aturdi dalam Pasal 13 ayat (2) yang berbunyi: Kode etiksebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkanberdasarkan karakteristik masing-masing instansi danorganisasi profesi.

Disamping kualifikasi dan penetapan, persoalansanksi juga harus mendapatkan porsi dalam penyusnankode etik organisasi. Hal ini untuk memudahkanpemberian sanksi jikaterjadi pelanggaran kode etik.Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa: PegawaiNegeri Sipil yang melakukan pelanggaran Kode Etikdikenakansanksi moral. Sekilas sanksi ini sangat ringandan jauh dari makna sanksi sebagai sebuah unsur hu-kuman. Akan tetapi jika berlanjut ke pasal selanjutnya,masih terdapat celah bahwa PNS yang melanggar kodeetik bisa mendapatkan hukuman bukan moral saja, tapi

Page 6: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

156 | Jurnal “Administrasi Publik” Volume XIV Nomor 2 Desember 2018

lebih daripada itu, yakni sanksi administrasi sebagai-mana tersebut di dalam pasal 16: Pegawai Negeri Sipilyang melakukan pelanggaran kode etik selaindikenakan sanksi moral sebagaimana dimaksud dalamPasal 15 ayat (3), dapat dikenakan tindakan adminis-tratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan,atas rekomendasi Majelis Kode Etik.

Siapa dan bagaimana kode etik, tersebut di dalamPasal 17 dan Pasal 18. Pasal 17 (1) menyebutkan bahwaUntuk menegakkan kode etik, pada setiap instansidibentuk Mejelis KodeEtik. Sementara ayat (2) dari pasaltersebut berbunyi: Pembentukan Majelis Kode Etiksebagaimana dimaksud dalam ayat (1)ditetapkan olehPejabat Pembina Kepegawaian yang bersangkutan.

Adapun Pasal 18 memberikan petunjuk tentangbagaimana keanggotaan kode etik. Disebutkan bahwakeanggotaan Majelis Kode Etik sebagaimana dimaksuddalam Pasal 17, terdiri dari: 1 (satu) orang Ketua merang-kap Anggota, 1 (satu) orang Sekretaris merangkap ang-gota; dan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggota.

Setelah sepuluh tahun berjalannya PP No. 42/2004, tepatnya di Tahun 2014, lahirlah UU ASN, (PNSbertranformasi menjadi ASN plus penambahannyadengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kon-trak). Dalam undang-undang ini, semangat kode etikmasih dianggap realistis untuk membentuk karakterASN berdasarkan fungsinya. Di dalam Pasal 3 hurufb UU ASN NO.5/2014 disebutkan bahwa ASN sebagaiprofesi berlandaskan pada prinsip pada kode etik dankode perilaku. Lebih tegas tentang fungsi kode etik, didalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa Kode Etikdan kode perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal3 huruf b bertujuan untuk menjaga martabat dan kehor-matan ASN. Selanjutnya berkaitan dengan penerapannetralitas, beberapa pengaturan perilaku yang relevankontennya di antaranya yang tersebut di dalam ayat (2)huruf a dan h. Disebutkan bahwa Kode etik dan kodeperilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisipengaturan perilaku agar Pegawai ASN dapat: melaksa-nakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, danberintegritas tinggi, serta menjaga agar tidak terjadikonflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya.

Sementara, di dalam PP No. 53/2010 tentangDisiplin PNS, berkaitan dengan asas netralitas, walau-pun tidak tersirat langsung kata netralitas, akan tetapiindikator perilakunya telah diatur di dalamnya, terutamadi dalam Pasal 4 angka 12, 13, 14, dan 15. Pasal 4menyebutkan larangan terhadap PNS. Pelaranganyang tersebut di dalam angka 12 berkaitan untuk tidakmemberikan dukungan kepada calon Presiden/WakilPresiden, Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Per-

wakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan RakyatDaerah dengan indikator perilaku sebagaimana tersebutdi dalam huruf a, b, c, dan d. Angka 13 terkait pela-rangan untuk tidak memberikan dukungan kepada calonPresiden/Wakil Presiden dengan indikator perilakusebagaimana tersebut di dalam huruf a dan b. Adapunangka 14 pelarangan terkait pelarangan untuk tidakmemberikan dukungan kepada calon anggota DewanPerwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/WakilKepala Daerah dengan cara memberikan surat duku-ngan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau SuratKeterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perun-dang-undangan; dan angka 15, terkait pelarangan untuktidak memberikan dukungan kepada calon KepalaDaerah/Wakil Kepala Daerah, dengan indikator perilakusebagaimana tersebut di dalam huruf a, b, c, dan d.

Potensi tidak netralnya ASN yang dapat menjadipersoalan penyelenggaraan pemerintahan juga menjadiperhatian khusus Kementrian Pendayagunaan Apara-tur Negara dan Komisi Aparatur sipil Negara. Hal inidibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Edaran MenpanNo.: B/71/M.SM.00.00/2017 tanggal 27 Desember 2017dan SE KASN No. B-2900/KASN/II/2017.

Kajian Empiris

Beberapa publikasi hasil dari penelitian menun-jukkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara etikaprofesi dengan kemandirian profesi, profesionalisme,komitmen dan eksistensi organisasi. Hasil penelitianterhadap profesi Akuntan Publik dalam kaitannyadengan pengamalan nilai-nilai luhur dan kemandirianmenunjukkan bahwa eksistensi dari Akuntan PublikIndonesia, semestinya tercermin di dalam prinsip dasaretika profesinya, yang kemudian mewarnai aktifitasprofesional para akuntan publik dan Kantor AkuntanPublik (Koerniawan,2013)

Menurut Djatmiko dan Rizkina, disamping profe-sionalisme, kualitas audit juga ditentukan oleh etikaprofesi, hasil penelitian yang dilakukan mereka jugamenunjukkan bahwa Semakin tinggi Etika Profesimaka semakin baik pula kualitas audit yang dihasilkan(Djatmiko dan Rizkina, 2014). Hasil yang sama jugaterbukti dalam hasil penelitian Kurniawanda yangmenyebutkan bahwa hasil pengujian hipotesis menun-jukkan bahwa variabel etika profesi yang dimasukkandalam regresi berpengaruh terhadap tingkat materia-litas. (Kurniawanda, 2013).

Sementara, adanya pelanggaran terhadap netra-litas, tidak terlepas dari kuatnya arus politik di di dalamtubuh birokrasi. Hasil penelitian Nurprojo menyebutkanbahwa Bentuk riil politisasi birokrasi dapat dilihat padalaporan penelitian yang dilakukan LIPI (2006). Hasil

Page 7: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

Penguatan Kode Etik Organisasi dalam Mewujudkan Netralitas ASN - Tri Wahyuni - Ricky Noor Permadi | 157

penelitian tersebut menjelaskan bahwa ada sejumlahfaktor yang mempengaruhi birokrasi berpolitik, yaitu:kuatnya ketokohan (personality) menamamkan peng-aruh terhadap PNS, vested interest PNS untuk mobilitaskarier secara cepat, lemahnya sosialisasi institusi,manipulasi tafsir regulasi, kuatnya hubungan patron-client, dan peran shadow bureaucracy (Nurprojo,2014). Dengan penegakan kode etik diharapkan dapatmembantu terbentuknya sistem kepegawaian yang baikdan kuat, karena Sistem kepegawaian yang lemah akanmenghambat perwujudan etika aparatur seperti terkaitetika netralitas. Dalam sistem kepegawaian yangrapuh, ASN yang berusaha netral tidak mendapatkanperlindungan hukum maupun pembelaan ketikakarirnya di habisi oleh kekuatan politik sehingga harusmempertaruhkan integritasnya sebagai pejabatbirokrasi (Saragih dan Ginting, 2017).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan

Tantangan profesionalisme aparatur telah mengalamipergeseran, jika sebelumnya profesionalisme ditunjukkanmelalui pemenuhan kinerja yang sesuai dengan harapan/target organisasi, maka profesionalisme saat ini bertambahbentuknya melalui sikap independen, tidak memihakterhadap kepentingan apapun, termasuk kepentinganpolitik, baik yang tersamar maupun nyata ketika aparaturmenjalankan tugas pemerintahan yang menjadi tanggungjawabnya. Profesionalisme yang tinggi perlu dikem-bangkan untuk meningkatkan kompetensi birokrasi dalammelayani masyarakat, juga untuk meningkatkankemandirian birokrasi dalam menghadapi tekanan danintervensi politik (Dwiyanto 2015). Dengan bersikapprofesional, melakukan apa yang harus dilakukan sesuaidengan fungsinya, terus meningkatkan kapasitas untukmelejitkan citra unggul dirinya sebagai penyelenggaranegara, dapat membuat aparatur yakin atas apa yangharus dilakukan, tanpa harus merasa khawatir akan po-sisi/jabatan yang harus diperoleh melalui cara lobi/pendekatan informal kepada para calon kepala daerah.Profesionalisme sebagai sebuah nilai juga dapat menjadisumber inspirasi bagi aparatur birokrasi untuk selalumenempatkan kepentingan publik di atas kepentinganlainnya (Dwiyanto 2015).

Menjadi ASN/PNS yang profesional menuntutpemenuhan hard skill dan soft skill (kemampuan ber-etika) secara linier. sebaik apapun pengetahuan atauketrampilan para aparatur, tanpa diimbangi denganpenguatan etika, hanya akan melahirkan sosok aparaturyang lemah dari sisi moralitas. Hal tersebut tentu akanmenghambat dalam pembentukan karakter dirinyasebagai pelayan publik. Etika merupakan roh penggerak

penyelenggaraan pemerintahan dan urusan publik.Dalam rangka perwujudan good governance, kapa-sitas etika para PNS perlu juga dibangun disamping ataubersamaan dengan kapasitas teknis profesional lainnya(Lele 2010). Dengan kemampuan refleksi yang bagusdalam beretika, para aparatur diharapkan akan lebihbijak dan lapang dalam menempatkan dirinya sebagaipelayan publik, hal ini karena etika dimengerti sebagairefleksi filosofis tentang moral. Jadi, etika lebih meru-pakan wacana normatif (tidak selalu harus berupaperintah yang mewajibkan, karena bisa juga kemung-kinan bertindak) yang membahastentangbaik/jahat. Etikalebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarahkankekebahagiaan dan kebijaksanaan (Haryatmoko 2013).

Agar dapat lebih berdampak dalam pembentukansikap, maka etika dapat bersifat normatif dan mengikat,karena etika merupakan pokok permasalahan dalamdisiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. (Solomondalam Kumorotomo 2015). Dengan adanya nilai hukumyang membingkai etika, penerapannya diharapkan lebihefektif karena terdapat pengaturannya. Dengan adanyaunsur hukum yang mengatur penegakan etika melaluisebuah kode etik, maka etika ASN akan lebih terimple-mentasi, lebih jelas, dan lebih berfungsi dibandingkanhanya mengenakan sanksi yang bersifat moral, hal inisejalan dengan apa yang disampaikan Lele bahwa Pen-dekatan kultural yang hanya mengandalkan padakehendak seorang PNS perlu ditopang atau dikondi-sikan dengan pengembangan kebijakan, regulasi sertasistem hukum yang dapat memaksa seorang PNSuntuk beretika, memberikan hukuman makalapelanggaran, serta memberikan penghargaan jika etikaditegakkan (Lele 2010).

Besarnya peran etika dalam membentuk profesio-nalisme ASN sebagai pelayan publik, J.S Bowmanmenyebutkan sebagai sebuah kompetensi yang harusdimiliki, disamping kompetensi teknis dan kompetensileadeship. Kompetensi etika yang dimaksud terdiri atas:manajemen nilai, kemampuan penalaran moral, moralitaspribadi dan moralitas publik, etika organisasional, danevaluasi. Berikut gambar segitiga kompetensi profesio-nalisme pelayanan publik menurut Bowman:

Page 8: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

158 | Jurnal “Administrasi Publik” Volume XIV Nomor 2 Desember 2018

Menyadari pentingnya menjaga etika bagi PNS,maka pemerintah menetapkan PP No. 42 Tahun 2004tantang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PegawaiNegeri Sipil. Di dalam PP tersebut, terhadap pelanggarankode etik, pengenaan sanksi-nya terkesan ‘soft’, hal inidapat kita lihat pada ketentuan Pasal 15 (1) yang ‘men-dahulukan’ pengenaan sanksi bersifat moral, daripadapengenaan sanksi yang bersifat administratif sebagai-mana yang tersebut di dalam Pasal 16, padahal sanksiadministrasi dalam analisa penulis lebih konkrit denganadanya sanksi yang dapat langsung dirasakan.

Agar etika terimplementasikan dengan baik,pengembangan etika sangat diperlukan, namun sayang-nya proses ini banyak dilupakan. Selama ini organisasibiasanya hanya fokus kepada penyusunan kode etik.Padahal tahap pengembangan akan sangat membantuetika tersebut dapat berjalan dengan lebih baik danmenginternalisasi ke dalam sanubari masing-masingpersonil aparatur. Dalam usaha peningkatan Pengem-bangan etika PNS dan etika publik dapat dilakukanmelalui pendidikan, pelatihan, studi banding dalamrangka benchmarking, hingga langkah-langkah indok-trinasi dapat ditempuh (Lele 2010). Studi bandingmungkin hal yang jarang dilakukan dalam upayapengembangan etika, karena bisa jadi tidak terpikirkansebelumnya. Menurut analisa penulis, studi bandingmerupakan langkah yang efektif, karena kita bisa me-lihat langsung bagaimana organisasi yang sukses dalammenjalankan dan mengembangkan etikanya dalambekerja.

Momen pilkada serentak yang dimulai pada tahun2015 membawa atsmosfir baru dalam perjalanan birok-rasi di Indonesia. Persaingan antar calon menyebabkanmereka melakukan berbagai cara untuk dapat mendu-lang suara terbanyak, termasuk ‘mempengaruhi’ parabirokrat agar menunjukkan keberpihakannya kepadamereka. Dalam kondisi tersebut, kembali etika seorangASN dipertaruhkan. Tekanan untuk melibatkan birokrasidan aparaturnya dalam kegiatan kampanye dan politikpraktis semakin lebih besar. Akibatnya, transaksi politikantara politisi dan pejabat karir sulit dihindari dan dapatmerusak kridibilitas birokrasi pemerintah (Dwiyanto2015).

Bersikap netral merupakan tuntutan yang harusdilaksanakan oleh ASN. Netralitas menempatkan diripada ketidak berpihakan. Sebagai penyedia layanan,para aparatur diharapkan tidak ‘menjual’ jabatannyakepada para calon yang sedang mengikuti pestademokrasi. Netral berarti operator pelayanannnya tidakmemihak. Jadi arahnya mendorong untuk memper-hitungkan pluralisme opini dan sudut pandang

(Haryatmoko 2013). Netralitas merupakan harga matipara aparatur yang harus diperjuangkan oleh semuapihak. Netralitas politik merupakan nilai yang harusdihormati karena memegang peran sentral dalamhubungan antara pejabat publik dan politisi (David Gooddalam Haryatmoko 2013).

Di dalam UU No. 5/2014, penyebutan kode etikselalu diiringi dengan kode perilaku. Kata dan diantarakode etik dan kode perilaku dapat dimaknai sebagaiadanya dua pengertian yang berbeda. Namun demikian,tidak terdapat penjelasan di dalam UU No.5/2014 ten-tang perbedaan kode etik dan kode perilaku , sehinggakeduanya seperti bersifat kumulatif (sebagai satupengertian). Menurut beberapa definisi, kode etik dankode perilaku merupakan dua hal yang berbeda. Kodeperilaku berasal dari pengertian Perilaku, yakni tentangbagaimana anda bertindak (how you act), dan bukantentang apa atau siapa anda (what you are and whoyou are) (Wibowo 2013). Ketika sebuah pedomanperilaku dibuat, maka pedoman perilaku tidak dapatmenguraikan semua undang- undang, peraturan, ataukebijakan atau pada situasi tertentu. Pedoman Perilakumenciptakan kerangka kerja standar etika yang harusdipatuhi semua karyawan dalam menjalankan bisnis.Standar-standar itu sering kali lebih tinggi daripadakewajiban hukum minimum (Kimberly Clarck). Semen-tara Kode etik memiliki fungsi sebagai pedomanperilaku bagi anggota organisasi. Perilaku setiap ang-gota organisasi harus etis, yaitu perilaku yang dianggapbaik dan benar dalam kaitan kode etik organisasi,(Wirawan 2007).

Disamping ditunjang oleh karakteristik parapegawainya, sebuah organisasi dikatakan efektif bia-sanya diukur oleh 3 indikator kinerja yaitu kontrol,inovasi, dan efisien dalam mencapai sasaran yang ditar-getkan (Santoso dan Rasman 2015). Netralitas sebagaisebuah persoalan yang banyak menimbulkan permas-alahan akhir-akhir ini, harus segera ditindaklanjuti dalammereduksinya. Melalui fungsi kontrolnya, organisasiharus peka untuk menyusun sebuah kode etik organi-sasi dengan mengakomodasi unsur netralitas di dalam-nya. Di dalam penyusunan kode etik, berbagai inisiatifdan perilaku mulia para ASN harus bisa ‘dibahasakan’dengan baik, mudah dipahami, didasarkan pada pende-katan karakrakteristik SDM organisasi serta dapatdisinergikan dengan berbagai peraturan ASN lainnyayang mengatur tentang hak dan kewajiban ASN, tidakterkecuali peraturan tentang netralitas, yang merupakanperwujudan loyalitas ASN sebagai pemersatu bangsa,keberadaannya harus terakomodasi di dalam kode etikorganisasi pemerintah. Hal ini selaras dengan yangdisampaikan oleh Kumorotomo bahwa organisasi

Page 9: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

Penguatan Kode Etik Organisasi dalam Mewujudkan Netralitas ASN - Tri Wahyuni - Ricky Noor Permadi | 159

dikatakan akan berhasil jika pegawai memiliki inisiatif-inisiatif yang baik, teliti, jujur, dan memiliki loyalitastinggi. Kualitas-kualitas seperti inilah yang hendakdicapai melalui perumusan dan pelaksanaan kode etik.(Kumorotomo 2015).

Disamping fungsi kontrol, perlu dilakukan jugaupaya pengendalian dalam penyusunan kode etikberunsur netralitas. Hal ini sebagai upaya untuk meme-nuhi tuntutan pengetahuan regulasi terhadap para apa-raturnya. Dengan memahami regulasi terkait netralitasdengan segala konsekwensi hukumnya, diharapkandapat membantu terciptanya hubungan kerja yangsehat antar sesama aparatur dalam menjalankan tugas.Hal ini sesuai apa yang disefinisikan terry bahwaPengendalian yang baik membantu memperlancarhubungan antar manusia (Terry 2016:170). Begitupentingnya kode etik, UU No.5/2014 mengakomo-dasinya di dalam Pasal 5 UU No. 5/2014 yang menye-butkan bahwa: dalam menjalankan tugasnya sebagaipelayan publik, ASN sebagai profesi berlandaskan padakode etik dan kode perilaku. Kode etik dan kode peri-laku diperlukan dengan tujuan untuk menjaga martabatdan kehormatan para pegawai ASN. Bahkan dalampengaturan terbaru tentang manajemen ASN, fungsikode etik sudah ‘naik kelas’. Di dalam PP No. 11 tahun2017 tentang manajemen ASN,Pasal 134 ayat (1), (2)huruf f, menyebutkan bahwa pengisian JPT secaraterbuka dan kompetitif dapat dikecualikan pada instansiyang telah menerapkan merit sistem, dimana salah satukriteria merit sistem tersebut adalah penerapan kodeetik dan kode perilaku Pegawai ASN.

Di dalam Laporan Kinerja KASN Tahun 2016disebutkan bahwa pada tahun 2018 diharapkanterdapat 75 K/L, 19 Provinsi dan 275 Kab/Kota telahmulai menyusun dan menetapkan nilai dasar, kode etikdan kode perilaku dengan mengacu pada UU-ASNdan peraturan pelaksanaannya (KASN, 2017). Jika75 K/L, 19 Provinsi dan 275 Kab/Kota tersebut telahberhasil menyusun nilai dasar, kode etik, dan kode peri-laku dengan berdasar pada UU ASN, peraturan perun-dangan lain serta berbagai peraturan pelaksana lainnya,maka kode etik K/L/Prov/Kab tersebut dapat dijadikansebagai contoh bagi K/L/Prov/Kab lainnya (organisasiyang lain hanya perlu menambah beberapa hal, sepertiterkait karakteristik organisasi). Dengan adanya contohdasar,diharapkan tidak akan ada gap secara nasionalterkait substansi kode etik ASN.

Pentingnya contoh kode etik yang ‘benar’, tidakterlepas dari masih banyaknya konten kode etik peme-rintah yang jauh dari fungsinya. Dalam pengamatanPenulis ketika melakukan evaluasi Sistem Informasi

Pelayanan Publik di 1 (satu) Kota dan 2 (dua) Kabu-paten, sebagian besar kode etik OPD (organisasiperangkat daerah) hanya berisikan hak dan kewajibansederhana tanpa ada konten lainnya yang merupakanperwujudan sinergitas dari berbagai peraturan etiklainnya, terlebih mengatur tentang bagaimana sanksiakan diberikan jika terjadi sebuah pelanggaran. Begitu-pun ketika Penulis melakukan studi pustaka secaraonline, hanya sebagian kecil kode etik yang lengkapkontennya dan berfungsi sebagai sebuah pedoman etik,termasuk telah mengakomodasi substansi netralitas,hal tersebut dapat dilihat melalui gambar di bawah ini:

Sumber : Data diolah dari berbagai peraturan

Dalam empat peraturan kode etik tersebut, etikaterkait netralitas sudah terakomodasi. Hanya saja net-ralitas yang tersebut di dalamnya belum secara jelasmemaparkan makna konkrit, kategori dan implikasihukumnya. Seharusnya sebagai sebuah kode etik, netra-litas di dalamnya sudah mampu menyampaikan kontennetralitas yang bersumber dari berbagai peraturan net-ralitas yang tersebar hingga tataran operasionalnya,sehingga kode etik tersebut dapat dimengerti dan mudahuntuk dilaksanakan oleh para aparaturnya.

Ditargetkan pada tahun 2019, semua instansi Pe-merintah telah memiliki dan melaksanakan internalisasinilai dasar, kode etik dan kode perilaku. Pada tahun2020 diharapkan telah terwujud gerakan nasional inter-nalisasi nilai dasar, kode etik dan kode perilaku yangselanjutnya menjadi pondasi utama terwujudnya ASNkelas dunia dan pemerintahan berbasis pada DinamicGovernment sejalan dengan tujuan Road Map Refor-masi Birokrasi (KASN, 2017). Berdasarkan kondisi saatini, menjadi pertanyaan selanjutnya, sudahkah KASNmelakukan monitoring secara berkala tentang berapaK/L/Kab/Kota yang telah menyusun kode etik di tahun2017? serta seberapa banyak K/L/Kab/Kota yang telahmenyusun kode etik dan kode perilaku yang sudah sesuaidengan standar sebuah kode etik? Menurut KASN,

Page 10: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

160 | Jurnal “Administrasi Publik” Volume XIV Nomor 2 Desember 2018

dalam melaksanakan nilai dasar, kode etik dan kodeperilaku ASN secara efektif, setidak-tidaknya ada 2(dua) hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah yakni:

1. Menyusun pedoman operasionalisasi nilai dasar,kode etik dan kode perilaku dan melakukan sosia-lisasi pedoman tersebut agar lebih dipahami danditaati ASN. Selama ini penyusunan kode etikbanyak dilakukan secara sepihak, tanpa melibat-kan semua unsur organisasi. Sehingga kode etikyang sudah ada di suatu organisasi, tidak jarangtidak diketahui keberadaannya oleh para SDM(aparatur) lainnya. Idealnya, kode etik dalam penyu-sunannya melibatkan semua unsur organisasi,sehingga akan lebih mudah dipahami dan ditaatikarena terdapat konsesnsus di dalamnya yang di-bangun berdasarkan karakteristik masing-masingindividunya.

2. Meningkatkan penegakan hukum dan memper-baiki proses penanganan pelanggaran terhadap nilaidasar, kode etik dan kode perilaku ASN. Tidak dapatdipungkiri, bahwa kode etik selama ini hanya di-jadikan sebagai ‘peraturan pajangan’. Adanyasanksi moral tidak membuat takut para pelang-garnya, sehingga, kode etik yang disusun saat inimasih banyak yang belum berfungsi sebagai regu-lasi yang baik. Dengan pengaturan sanksi yang lebihtegas (termasuk terkait netralitas), diharapkan kodeetik organisasi dapat berfungsi sebagai penegakanhukum yang efektif.

Upaya lain yang dapat dilakukan agar kode etikdapat dilaksanakan sebagaimana yang telah dilakukanoleh organisasi mapan dalam penerapan kode etik,antara lain:

1. Pelatihan kode etik. Program pelatihan kode etikuntuk para manajer dan karyawannya. Denganadanya pelatihan,disamping sebagai kegiatan men-sosialisasikan kode etik, kegiatan tersebut dapatmemecah kebekuan antara para manajer dan kar-yawan yang selama ini jarang berkomunikasi danbertemu karena kesibukan dalam menjalankanrutinitas kerja. Tentu akan sangat berbeda situa-sinya, jika kode etik hanya diperkenalkan sebagaisebuah dokumen yang harus dibaca masing-masing dibandingkan dengan mengenalkan kodeetik secara lebih komunal dalam susasana yangsantai.

2. Komisi kode etik. Tugasnya menyusun konsepkebijakan etik, memberi nasehat mengenai isukode etik, masalah pelanggaran kode etik, danmengevaluasi pelatihan kode etik. Dalam penyu-sunan kode etik organisasi, komisi kode etik harus

mampu merumuskan dengan baik substansi/kontendi dalam kode etik sesuai dengan kekuatan dankarakteristik SDM organisasi. Isu-isu terbarutentang etika penyelenggara negara (seperti per-soalan netralitas) yang tersebar di berbagaiperaturan harus mampu terintegrasikan ke dalamkode etik organisasi.

3. Penasehat etik. Unit yang menangani pelanggarankode etik, memeriksa, dan memberikan sanksikepada yang melanggar. Memberikan nasehat jugabagi yang menghadapi kasus kode etik. Agarberdaya guna, para anggotanya harus terdiri dariorang yang memahami peraturan dan mempunyaipengetahuan manajemen SDM yang baik, sehinggadapat menjalankan fungsinya dengan baik. Bukandipilih seperti kebiasaan selama ini, yakni ber-dasarkan pada senioritas atau kepangkatan semata.

4. Ethics hotlines. Hotlines ini akan berguna sebagaijalur aduan seperti jalur hotlines yang selamabanyak digunakan sebagai jalur pengaduan bagipara pelanggan. Media ini sangat efektif sebagaimedia aduan disamping proses pengaduan secaraperson to person yang terkadang penuh dengandilematis (terlebih terkait pelaporan pelanggarannetralitas). Hanya saja yang perlu untuk dipikirkankembali adalah bagaimana menentukan mekanismepengelolaan ethics online, mulai dari proses pene-rimaannya hingga ke proses pemberian sanksinya.

5. Audit etika. Setiap manajer fungsional membuatlaporan mengenai pelaksanaan kode etik di unitnya(Wirawan 2007). Kegiatan audit merupakan tahapyang penting untuk dilakukan. Selama ini, auditdiidentikkan dengan adanya masalah, padahal adaatau tidak adanya pelanggaran, kegiatan audit harusdilaksanakan secara berkala. Karena dari laporanaudit yang dibuat akan dapat terlihat berbagaipotensi terhadap pelaksanaan dan pelanggaran etik.Berbagai upaya preventif dapat dipetakan berdasarpada hasil audit pelaksanaan kode etik.

Dalam upaya menjawab efektivitas implementasikode etik, Perlu dilakukan review atas kode etikorganisasi yang sudah ada. Review kode etik dilakukandengan ‘memastikan’ bahwa berbagai ketentuan etikyang tersebar di berbagai peraturan perundangan sudahterakomodasi (seperti konten netralitas), mulai dariperaturan perundangan yang tertinggi hingga yangterendah, seperti tampak dalam gambar irisan per-aturan di bawah ini:

Page 11: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

Penguatan Kode Etik Organisasi dalam Mewujudkan Netralitas ASN - Tri Wahyuni - Ricky Noor Permadi | 161

Review mengandung makna meninjau kembaliatas segala sesuatu yang telah dilakukan sebelumnya,baik yang menyangkut kebijakan, strategi, peren-canaan, maupun pelaksanaan. Review yang efektifmerupakan inti keberhasilan manajemen (Wibowo2013). Akan lebih baik, jika dalam penyusunan kodeetik, suatu organisasi sudah mempunyai nilai yangmerupakan hasil ekstraksi dari citra diri masing-masingaparatur-nya yang kemudian dilejitkan sebagai nilaiorganisasi. Nilai sangat penting peranannya dalamsebuah organisasi, karena nilai merupakan satukomponen dalam pembentukan budaya organisasi yangmenunjukkan kebutuhan perilaku manusia yangdiharapkan dalam pencapaian sasaran organisasi(Santoso dan Rasman 2015).

PENUTUP

Kesimpulan

Pelanggaran netralitas banyak terjadi akhir-akhirini, oleh karenanya harus segera dilakukan upaya gunamemitigasikannya. Salah satu upaya yang dapat dila-kukan adalah melalui kontrol organisasi dengan me-nyusun sebuah kode etik yang mengakomodasi unsurnetralitas yang merupakan perwujudan loyalitas ASN.Kode etik selama ini cenderung hanya dijadikan sebagai‘peraturan pajangan’. Sanksi moral tidak membuattakut para pelanggarnya, sehingga, kode etik yangdisusun saat ini masih banyak yang belum berfungsisebagai regulasi yang baik.

Banyak organisasi pemerintah yang telah me-nyusun kode etik, hanya saja kontennya masih jauhdari fungsi seharusnya. Sebagian besar kode etik OPD(organisasi perangkat daerah) hanya berisikan hak dankewajiban sederhana tanpa disertai konten lainnyasebagai sinergitas dari berbagai peraturan. Salah satuetika yang masih belum banyak ditemui dalampenyusunan kode etik adalah etika untuk bersikap netralyang dikenal dengan asas netralitas.

Dalam upaya menjawab efektivitas implementasikode etik, Perlu dilakukan review atas kode etik orga-

nisasi yang belum sempurna. Review kode etikdilakukan dengan ‘memastikan’ bahwa berbagai keten-tuan etik yang tersebar di berbagai peraturan perun-dangan sudah terakomodasi (seperti konten netralitas),mulai dari peraturan perundangan yang tertinggi hinggayang terendah.

Saran

1. Agar kode etik dapat berfungsi dengan baik, makadiperlukan peraturan berisipedoman dasar yangakanmenjadi panduan bagi K/L/Pemda dalam me-nyusun kode etik di masing-masing unit kerjanya.Ruang lingkup peraturan dapat berupa Peraturanmenteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

2. Perlu dilakukan pelatihan etik yang dimotori olehK/L yang mempunyai kewenangan yang dianggaprelevan. Contoh konkrit, jika konten kode etik yangakan diberikan pelatihan terkait netralitas, makaK/L yang dapat terlibat di dalamnya antara lain:KASN sebagai komisi pengawas ASN/PNS, LANsebagai pelaksana/penyusun instrumen diklat, sertaBawaslu sebagai lembaga yang sangat memahamipersoalan netralitas dari berbagai sisi regulasi.Kegiatan pelatihan ini penting untuk dilakukan gunamengimbangi PP No.42/2004 tentang kode etik yangkontennya belum berubah dan jauh dari kebutuhanjaman saat ini.

Daftar Pustaka

Afrizal, 2015, Metode Penelitian Kualitatif (SebuahUpaya Mendukung Penggunaan PenelitianKualitatif Dalam Berbagai Disiplin Ilmu),Cetakan kedua, PT. RajaGrafindo Persada,Jakarta

Terry.R. George, 2016, Prinsip-Prinsip Manajemen,Cetakan keempat belas, PT. Bumi Aksara,Jakarta.

Lele, Gabriel, 2010, Reformasi Aparatur NegaraDitinjau Kembali, Gava Media Yogyakarta,

Wahyudi, Kumorotomo, 2015. Etika AdministrasiNegara, Cetakan ketiga belas, Radja GrafindoPersada, Jakarta.

Wibowo, 2013, Manajemen Kinerja, Cetakan ketujuh,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Dwiyanto, Agus, 2015, Reformasi BirokrasiKontekstual, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Page 12: PENGUATAN KODE ETIK ORGANISASI DALAM …

162 | Jurnal “Administrasi Publik” Volume XIV Nomor 2 Desember 2018

Santoso, Yussy dan Rasman.R. Ronnie, 2015, Orga-nization Design and Job Analysis, CetakanKedua (Revisi), PT. Alex Media Komputindo,Jakarta.

Haryatmoko, 2013, Etika Publik, Cetakan kedua, PT.Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

Wirawan, 2007, Budaya dan Iklim Organisasi, TeoriAplikasi dan Penelitian, Salemba Empat,Jakarta.

Koerniawan, Adji. Koenta, 2013, Etika Profesi DalamProblematika di Era Competitif Menurut SisiPandang Akuntan Publik , Modernisasi,volume 9, Nomor 50 1, Februari 2013.

Djatmiko, M. Budi dan Rizkina, Hadi Zulfa. M, 2014,Etika Profesi, Profesionalisme, Dan KualitasAudit, STAR – Study & Accounting ResearchVol XI, No. 2 – 2014.

Nurprojo, Setyo, Indaru, 2014, Merit System danPolitik Birokrasi di Era Otonomi Daerah,Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL.8, No.1, Juni 2014.

Kurniawanda, A.M, 2013, Pengaruh ProfesionalismeAuditor dan Etika Profesi Terhadap Pertim-bangan Tingkat Materialitas, e-Jurnal BinarAkuntansi, Volume 2 No.1 Januari 2013.

Saragih, Anwar dan Ginting, Calvin, Barry, 2017,Proyeksi Mewujudkan Pemilu BerintegritasLewat Netralitas Aparatur Sipil Negara diPilkada Serentak 2018, Jurnal Bawaslu ISSN2443-2539, Vol.3 No. 3 2017, Hal. 351-362.

https://www.kasn.go.id/kasn.go.id/administrator/index.php? option = com_k 2&view = item & task= download & id = 6_367dc3a 2b97715c3248e9247a14dddc3.

http://ntb.polri.go.id/wp-content/uploads/2018/02/10.-perkap-14-tahun-2011.pdf.

http://www.cms.kimberly clark.com/umbracoimages/UmbracoFileMedia/code_of_conduct_fileUpload.pdf.

https://nasional.kompas.com/read/2016/04/20/13545701/Kementerian.PAN-RB. Proses. 56.PNS. yang. Diduga. Tak. Netral. dalam. Pilkada.2015. Kementerian PAN-RB Proses 56 PNSyang Diduga Tak Netral dalam Pilkada 2015...diunduh tanggal 14 Oktober 2018.

https://news.detik.com/berita/4082355/bawaslu-tindak-500-pelanggaran-asn-di-pilkada-2018.

Bawaslu Tindak 500 Pelanggaran ASN di Pilkada2018. Senin 25 Juni 2018, 16:40 WIB..di down-load, 14 Oktober 2018.

https://nasional.kompas.com/read/2018/01/08/18155501/pilkada-2018-asn-terbukti-tak-netral-langsung-diberhentikan-sementara. Pilkada2018, ASN Terbukti Tak Netral Langsung Diber-hentikan Sementara.di download, 14 Oktober2018.