Upload
lekhanh
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PENELITIAN
PENGUJIAN POTENSI JAMUR ENTOMOPATOGEN
Paecylomices fumoso roseus Baoner
TERHADAP ULAT DAUN KUBIS Plutella xylostella L
(Lepidoptera; Yponomeutidae)
Oleh
Nenet Susniahti, Ir., MS Sudarjat, Ir., MP
M. Suhunan Sianipar, Drs., MS
Dibiayai oleh Dana DIK Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2002
Berdasarkan DIP No. 139/JO6.14/LP/PL/20005 Tanggal 14 Maret 2005
LEMBAGA PENELITIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2005
ABSTRAK Nenet Susniahti, Sudarjat, M . Suhuran Sianipar. 2002. Pengujian Jamur Entomopatogen
Paecylornices fumoso roseus Bainer Terhadap Ulat daun Kubis Plutella xylostella L.
(Lepidoptera; Yponomeutidae).
Pengendalian hayati hama ulat daun kubis, Plulella xylostella L. adalah salah satu
cara alternatif untuk mengurangi dampak negatif dan ketergantungan terhadap penggunaan
insektisida kimia. Jamur Paecylomiees fumoso roseus. Bainer adalah agen hayati yang berpotensi
dalam pengendalian hama di perkebunan teh dan kina. Pada percobaan ini jamur tersebut
diuji kemampuannya untuk mengendalikan hama ulat dawn kubis.
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi dan Rumah Raca Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dari bulan Januari
2002 sampai dengan Agustus 2002. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode
eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok pola faktorial. Perlakuan yang dicobakan
terdiri atas dua faktor yaitu faktor waktu aplikasi dan faktor kerapatan konidia. Faktor waktu
aplikasi memiliki dua taraf faktor, yaitu aplikasi sebelum infestasi larva dan setelah infestasi
larva. Faktor kerapatan konidia memiliki lima taraf faktor yaitu suspensi konidia jamur P.
fuinoso roseus pada kerapatan 106 konidia/ml, 108 konidialml, 1010 kanidia/ml, Bacillus
thruringiensis dan kontrol.
Hasil pengujian rnenunjukkan bahwa dari seluruh kombinasi perlakuan jamur P.
fuinoso roseus yang diuji tidak terdapat hasil yang efektif terhadap mortalitas larva P. xyloslella
(mortalitas larva P. xylostella yang tertinggi diakibatkan oleh aplikasi jamur P. fuinoso roseus
pada kerapatan konidia 108 dan 1010 setelah infestasi larva dengan persentase mortalitas larva P.
xylostella sebesar 46,67% dan 50,00%).
ABSTRACT
Nenet Susniahti Sudarjat, M . Suhuran Sianipar. 2002. The Potential Evaluation of
Entomopatogen Paecylomices fumoso roseus Bather Against on Diamond Back Moth, Plutella
xylastella L. (Lepidoptera; Yponomeutidae).
Biological control of diamond back moth, PIutella xylostella L., is one of the alternative
ways to decrease the negative effects of and the dependency on chemical insecticides, Paecylomices
flumoso roseus. Bather is a biological agent which is potential controlling pst in tea and quinine
plantation. In this experiment, the ability of the fungus in controlling diamond back math was tested.
The experiment was carried out in the Phytapatology Laboratory and green house of the
Department of hint Pest and Diseases, Faculty of Agriculture, Padjadjaran University from January
2002 to August 2002. The experiment was arranged in the Randomized Block Design, factorial
pattern. There were two treatments which have ben applied, time of application factor and conidial
density factor. Time of application factor had two factor levels, they were the application before and
aver larvae investment. Conidial density factor had five factor levels; they were conidia suspension
of P. flumoso roseus at 106 conidia/ml, 108 conidia/ml, 1010 conidia/ml, Bacillus thuringiensis.
The experiment results showed that all the treatment combinations of the P. fumoso roeus
application were not effective in causing the P. xylostella larvae mortality (the highest mortality of
P. xyloslella was 46,67% and 50,00%, caused by the application of P. fumoso roseus fungus at 108
and 1010 conidial density after larva investment.
DAFTAR ISI
Bab Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................................... i
ABSTRACT............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL............................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................... vi
I PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................... 3
2.1 Plutella xylostella L . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
2.2 PaecyIomicesfumoso roseus Bainer.................................................................. 6
III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ....................................................................... 10
3.1 Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 10
3.2 Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 10
IV BAHAN DAN METODE PENELITIAN............................................................................. 11
4.1 Tempat dan Waktu Percobaan........................................................................................ 11
4.2 Bahan dan Alat Percobaan ............................................................................................. 11
4.3 Metode Penelitian.......................................................................................................... 12
4.4 Persiapan Percobaan...................................................................................................... 14
4.5 Pelaksanaan Percobaan.................................................................................................. 16
4.6 Pengamatan................................................................................................................... 18
V HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................... 20
5. l Pengaruh Interaksi antara Factor Kerapatan Konidia dengan FaktorWaktu Aplikasi........... 20
5.2 Pengaruh Kerapatan Konidia dan Waktu Aplikasi Jamur P. fumoso roseus Terhadap Laju Persentase Mortalitas Larva P. xylosteIla .....................................
21
VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 30
6. 1 Kesimpulan ....................................................................................................... 33
6.2 Saran ................................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 34
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Mortalitas Larva P. xylostella oleh berbagai Perlakuan ....................................................... 21
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Grafik Laju Persentase Mortalitas Larva P. xyIostella Oleh Berbagai Perlakuan.................. 30
PENDAHULUAN
Ulat daun kubis P. xylostella L. adalah salah satu hama penting pada tanaman kubis-
kubisan dan bersifat kosmopolitan. Serangan yang berat oleh hama ini dapat mengakibatkan
tanaman kubis tidak dapat membentuk krop. Dari hail penelitian Sastrosiswojo (1986) yang
dilakukan di Laboratorium, menunjukkan bahwa ulat P. xylostella instar tiga dan empat adalah yang
paling merusak. Untuk mengatasi hama kubis, pada umumnya petani masih mengandalkan pada
pengendalian secara kimiawi. penggunaan Insektisida oleh petani kubis di dataran tinggi sudah
sangat intensif, dengan penyemprotan dilakukan secara terjadwal dan dosis yang tinggi.
Aplikasi insektisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak negatii yang tidak
diinginkan seperti resistensi, resurgensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya jasad bukan
sasaran, residu pestisida, dan pencemaran lingkungan. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut
berbagai upaya telah ditempuh, dan salah satunya adalah usaha mengkaji peranan agen musuh alami
hama yang berupa parasitoid, predator dan patogen.
Pemanfaatan jamur entomopatogen pada pengendalan hama bersifat ramah terhadap
penggunaan pestisida kimia. Menurut Widayat dan Rayati (1993) ada beberapa alasan dipilihnya
jamur entomopatogen dalam pengendalian hama, antara lain : kapasitas reproduksi ynag tinggi,
siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang bertahan lama di alam dan dalam kondisi
yang tidak menguntungkan.
Jamur P. Fumoso roseus isolat asli Indonesia telah ditemukan oleh Pusat Penelitian Teh
dan Kina, Gambung. Jamur entomopatogen ini dapat menginfeksi jenis-jenis serangga hama
Lepidoptera. Hash penelitian di Laboratorium oleh Widayat dkk. (1996), jamur ini dapat
menyebabkan kematian hama teh dan kina sebesar 75 - 100 %. Menurut Rayati, dkk., (1997), dilihat
dari poternsi dan kisaran inangnya, jamur P. fumoso roseus mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk
dikembangkan menjadi insektisida mikroba.
Dalam kaitannya dengan aplikasi jamur entomopatogen, banyaknya inokolum adalah salah
satu faktor penting yang menentukan keberhasilan infeksi jamur pada serangga inangnya. Unit
inifektif dari jamur adalah spora/konidia, maka populasi patogen atau banyaknya inokolum
dinyatakan sebagai banyaknya spora / konidia per satuan luas atau banyaknya spora / konidla per
satuan volume larutan yang dikenal dengan kerapatan spora/konidia. Selain itu menurut
Rohhmawana (1998), waktu aplikasi berperan dalam menyebabkan kematian Serangga Hama.
waktu aplikasi jamur tersebut ada yang dilakukan pada tanaman sebelum infestasi larva (racun
perut), atau secara langsung pada hama sasaran sesudah infestasi larva (racun kontak). Berdasarkan
hal tersebut, diduga jamur entomopatogen P. Fumoso roseus mempunyai potensi untuk
mengendalikan ulat daun kubis (P. Xylostella) dan tingkat efikasinya akan dipengaruhi oleh
kerapatan spora yang digunakan dan waktu aplikasi jamur yang digunakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Plutella xylostella L.
2.1.1. Tanaman Inang dan Daerah Pencaran
Plutella xylostella (Lepidopera ; Plutellidae) adalah serangga yang bersifat oligophagus
dan akan hidup pada tumbuhan yang mengandung mustard glucocidcs yang banyak terdapat pada
famili Crucifera (Torsteinson, 1953 dalam Ooi, 1996). Menurut Sastrosiswojo (1987), tanaman
inang P. xylostella yang mempunyai arti ekonomi penting adalah dari genus Brassica Spp.,
diantaranya : Brassica olerceae var. Capitata L. (kubis), B. Oleraceae var. Botrytis L (kubis bunga), B.
Chinensis L. (pak choy), B. junca L. (sawi), dll.
Penyebarannya dapat terjadi tanpa disadari melalui praktek budidaya tanaman. Penyebaran P.
Xylostella di Indonesia diduga ketika kubis mulai dibudidayakan di dataran tinggi oleh orang-orang Belanda
yang membawa masuk hama ini dari benua Eropa (Vos, 1953 dalam Sastrwijoyo, 1987). Saat ini P.xylostella
diduga telah terpencar luas di seluruh Nusantara.
2.1.2. Morfologi dan Biologi
Pada umumnya, larva P. Xylostella menyerang tanaman kubis yang muda atau sebelum membentuk
krop. Gejala serangannya tanaman kubis sangat khas tergantung pada instar larva yang menyerang. Gejala
serangan oleh larva instar pertama, akan terlihat adanya liang korokan berwarna transparan pada bagian luar
daun. Serangan larva instar kedua sampai instar keempat, menimbulkan gejala berupa ”jendela-jendela”
transparan pada daun dan gejala seperti ini adalah ciri khas dari serangan P. xylostella (Sastrosiswojo, 1987).
Menurut Kalshoven (1981), ’jendela - jendela" tersebut lambat laun menjadi lubang-lubang dengan ukuran
lebihl dari 5 mm. Serangan yang hebat dari hama ini akan mengakibatkan daun hanya tinggal tulang¬tulang
daunnya saja.
Telur P. Xylostella berbentuk oval, berwarna kekuning-kuningan. Ngengat betina meletakan telurnya
secara tunggal atau dalam kelompok kecil Sekitar 2 - 4 butir. Telurnya diletakkan di sekitar tulang daun pada
permukaan daun bagian bawah (Bhalla dan Bubey, 19Sb). Telur diletakkan pada malam hari yaitu di atas
pukul 18.00 (Chelliah pan Srirlwasan (1986). Menurut Salinas (1986), jumiah telur yang dihasilkan pada suhu
260C berturut – turut sekitar 139,246 butir, dan 162 butir. Masa inkubasinya menurut Ho (1965) dalam Ooi
(1986) sekitar 3 hari di dataran rendah, sedangkan di datarn tinggi berlangsung selama ± 6 hari.
Larva-larva berbentuk silindris, relatif tidak berbuka dan mempunyai lima padang proleg (Harcourt,
1954 dalam Sastrosisojo, 1987). Larva yang sudah dewasa berwarna kehijau-hijauan dan akan terlihat berbeda
dengan kedua kubis-kubisan lainnya yakni tidak memiliki garis-garis longitudinal pada tubuhnya. Menurut Ooi
(1986), panjang tubuh larva di dataran rendah ± 8 mm sedangkan di dataran tinggi dapat mencapai lebih dari 8
mm.
Salah satu karakter dari larva P. Xylostella adalah jika ada gangguan, maka larva akan menggeliat ke
belakang dengan cepat atau menjatuhkan diri lalu gergelantungan dengan benang-benang sutra pada
permukaan daun. Selanjutnya, larva tersebut akan kembali le permukaan daun melalui benang-benang tersebut.
Pupa P. Xylostella berada dalam kokon yang tebal dari benang-benang halus berwarna yang
dikeluarkan pada mase fase prepupa (Chelliah dan Srinivasan 1986). Papa mulanya pupa berwarna
kuning kehijauan, setelah satu atau dua hari warnanya berangsur-angsur berubah menjadi
kecoklatan sampai coklat gelap (Bhalla dan Dubey, 1986). Menurut Koshihara {1986),
lamanya hidup pupa dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu, maka masa pupa akan
semakin singkat.
Imago. Ngengat P. xylostelIa berwarna coklat keabu-abuan dengan panjang rentang
sayap ngengat jantan ± 1,97 mm dan yang betina ± 13,6 mm (Bhalla dan Dubey, 1986).
Menurut Hill (1975), pada sayap depannya terdapat tiga bentuk indulasi yang memanjang di
bagian tepi sayapnya. Dalam keadaan istirahat, toga bentuk indulasi tersebut akan membentuk
pola yang menyerupai berlian, sehingga dengan adanya ciri-ciri ini maka P. xylostella dinamakan
Diamond Back Moth.
Ngengat aktif pada senja atau malam hari. Kopulasi terjadi pada petting atau pagi hari
(Salinas, 1986). Nisbah kelamin keturunanya adalah 1 : 1 (Ho, 1965 dalam Sastrosiswojo, 1987).
Menurut Salinas (1986), fekunditas P. xyloslella dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi pada fase
larva, kondisi lingkungan, tanaman inang, perkawinan, dan adanya inang sebagai tempat
meletakkan telurnya. Cheliah dan Srinivasan (1986), berpendapat fekuditas akan meningkat sejalan
dengan meningkatnya fotoferiod. Hasil penelitia awal (1955) dalam Chelliah dan Srinivasan
(1986), menunjukan bahwa jumlah telur yang dihasilkan lebih banyak pada suhu 70C – 240C
dibandingkan pada suhu 280C – 350C. Hasil pengamatan Jayarathman (1977) dalam Chelliah dan
Srinivasan (1986), ngengat P. xylostelIa dapat bertahan hidup tanpa pakan selama ± 3 hari,
sedangkan bila tersedia pakan maka dapat hidup selama 11 – 16 hari.
2.2. Paecilomyces fumoso roseus Bainer
2.2.1. Morfologi Jamur P fumoso roseus
Paccilomyces furnoso roseus Bainer (Monihales Moniliaceae) memiliki konidiofor yang
lurus dalam bentuk tunggal atau bercabang. Pada ujung konidiofor akan terlihat phialid dalam
bentuk tunggal, pasangan atau berkelompok. Bagian pangkai phialid membulat dan akan semakin
meruncing pada Bagian ujungnya. Konidia dibentuk pada ujung phialid membentuk suatu rantai
konidia yang terdiri atas satu set, berwarna hialin atau hialin agak gelap. bentuknya bulat sampai
lonjong derlgan ukuran ± 8 mikron (Malioch, 1997)
2.2.2. Mekanisme Penyerangan Jamur Entomapatngen
Menurut Tanada dan Kaya (1993), serangan jamur entomopatogen pada tubuh sehingga
dapat dibagi dalam 3 tahapan, yaitu '
a. Pelekatan dan perkecambahan konidia pada integmen serangga. Proses pelekatan ini
merupakan suatu mekanisme pasip yang melibatkan berbagai maca zat pada
permukaan inang dan struktur permukaan konidia. Pelekatan konidia pada
permukaan inang dipengaruhi oleh keadaan air di permukaan tubuh inang.
b. Penetrasi jamur entompatogen melalui inteumen, kemudian masuk ke dalam
hemocall serangga. Pada proses ini melibatkan kerja secara fisik dan kimiawi.
Kombinas kerja dari kedua cara tersebut mengakibatkan jamur entomopatogen dapat
masuk ke dalam jaringan hemocall serangga. Menurut Robert dan Yendol (1971),
kerja secara fisik dibantu oleh adanya infection peg pada bagian tepi apresorium
yang membantu penghancuran lapisan tersebut. Kerja secara kimiawi menurut
Ratault dan vey (1977) dalam Tanada dan Kaya (1993) terjadi pada saat jamur
entomopatogen menmbus kutikula serangga. Jamur mengeluarkan enzim protlase,
lipase aminopeptidase, esterase dan N-acetyl-glukosamidase (Khitinase) untuk
menguraikan kompanen penyusun kutikula serangga.
c. Perkembangan jamur entomopatogen papa tubuh inang sehingga menyebabkan
kematian inangnya.Kematian inang diawali dari pertumbuhan hifa dan membentuk
miselium yang menyebar ke segala arah dalam hemocall serangga (Robert dan
Yendol, 1971). Menurut Tanada dan Kaya (1993), terjadinya penyebaran misellium
dalam hemocall serangga mengakibatkan kerusakan jaringan atau organ dalam
hemocall secara mekanis pada saluran pencernaan, otot, sistem syaraf dan sistem
pernafasan. Kerapkali jamur mengeluarkan toksin sehingga terjadi kenaikan pH
darah, penggumpalan darah dan erhentinya peredaran darah. Selanjutnya, jamur
akan tumbuh secara sapropit dalam hemocall membentuk massa hifa. Hifa-hifa dal
tubuh serangga terus berkembang akibatnya serangga mengalami ”mumifikasi”.
Menurut Robert dan Yendol (1971), tahap pertumbuhan Saprofit berakhir dengan
pembentukan organ reproduksi. Mycelium akan menerobos keluar tubuh serangga
dan membantu spora tahan diluar tubuh inang. Berdasarkan keadaan ini, maka kita
dapat memanfaatkan jamur entomopatogen sebagai agen pengendali serangga hama.
2.2.3. Gejala serangan Jamur P. Fumoso roseus
Tanda-tanda terjadinya infeksi pada inang dapat diperlihatkan dengan adanya
kelainan pada morfologi dan struktur tubuh serangga, perubahan warna, malformasi
integumen, dll. Inang yang terinfeksi mengeksoresikan adanya gerakan yang abnormal,
kurang peka terhadap rangsangan, gangguan pencernaan, dll. (Tannada dan Kaya, 1993).
Menurut Widayat, dkk (1996), serangga jamur P. fumoso roseus menunjukkan gejala gerak
yang lamban, aktifitas makan berkurang dan akhirnya tidak mau makan, kemudian mati.
Tubuhnya mengeras dan pada kondisi lembab permukaan tubuh serangga akan diselimuti
oleh pertumbuhan jamur berwarna putih dan tampak seperti bertepung yaitu kenampakan
dan massa konidia yang terbentuk.
2.2.4. Faktar-faktor yang Mernpengaruhi Pertumhuhan Jamur Entomopatogen
Pertumbuhan jamur entomopatogen dipengaruhi oleh faktor lingkungannya, antara
lain suhu udara, kelembaban udara, radiasi sinar matahari, pH dan senyawa kimia seperti
nutrisi dan pestisida (Muller dan Kogler, 1967 dalam Robert dan Yendol, (1971). Tanada
(1959) dalam Hill (1973) berpendapat, suhu dan kelembaban udara berpengaruh terhadap
ketahanan hidup jamur entomopatogen, kemampuan menginfeksi, kerentanan inang, infeksi
laten, serta mempengarurli interaksi antara jamur dengan inangnya. Menurut Robert dan
Yendol, (1971), batas suhu ekstrim untuk pertumbuhan jamur entomopatogen, antara 50C -
350C. Sedangkan suhu optimum untuk pertumbuhan, patognisitas dan ketahanan hidupnya,
menurut Mc Coy, et.al. (1988) dalam Tanada dan Kaya (1993) sekitar 200C - 300C.
Kelembaban udara berpengaruh terhadap perkecambahan dan pembentukan jamur
pada tubuh inang yang telah mati (Robert dan Yendol (1971)). Menurut Tanada dan Kaya
(1993), kelembaban udara yang diperlukan bagi perkecambahan konodia dan sporulasi
adalah 90% atau lebih. Robert dan Yendol, (1971)berpendapat, bahwa kelembaban tersebut,
dapat berasal dari tubuh inang, embun, atau hujan.
Cahaya memengaruhi masa hidup konidia dan sporulasi jamur entomopatogen pada
inang yang telah mati. Konidia jamur yang terkena langsung sinar matahari dengan periode
yang cukup lama, umumnya akan mai karma radiasi oleh sinar ultra violet (Tanada dan
Kaya, 1993). Oki Robert dan Yendol ( 1993) berpendapat aplikasi jamur entomopatogen
sebaiknya dilakukan pada sore hari untuk menghindari radiasi sinar ultra violet. Demikian
pula nutrisi yang ada disekitar jamur, akan berpengaruh terhadap perkecambahan konidia.
Samson et.al. (1988) dalam Tanada dan Kaya (1993) menuliskan bahwa rendahnya kuantitas
dan kualitas nutrisi akan mengurangi jumlah konidia yang berkecambah.
Mc Coy et.al (1988) dalam Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan bahwa dalam
kondisi yang tidak menguntungkan, yaitu kelembaban, dan suhu udara yang rendah, maka
jamur akan membentuk unit resisten untuk menjaga kelangsungan hidupnya dalam bentuk
struktur tahan yakni khlamidospora. Struktur tahan ini dapat berada pada media udara,
tanah, air, daun, dan inang.
2.2.6. Epizootik
Fenomena penyakit serangga yang disebabkan oleh jamur entomopatogen berjalan
lamban dan terjadi secara konstan (Enzootik) atau dapat berkembang menjadi ledakan
penyakit yang menimpa sebagian besar populasi inang (Epizootik). Hall (1973) berpendapat
bahwa suatu populasi serangga dapat ditekan oleh jamur entomopatogen jika dapat
diciptakan epizootik pada populasi tersebut.
Menurut Tanada dan Kaya (1993), faktor utama yang mempengaruhi epizootik yaitu
inang (kepadatan populasi inang, kerentanan inang dan kebiasaan mang), jamur
entomopatogen (virulensi, jumlah inokulum, kemampuan pencaran, dan viabilitas),
penularan (horizona, lvertikal, transstadial) dan lingkungan (suhu, kelembaban, sinar
matahari).
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan waktu aplikasi dan kerapatan konidia dari
jamur P. fumoso roseus yang efektif terhadap mortalitas ulat daun kubis (P. xylostella) di rumah
kaca.
3.2. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan pemanfaatan
jamur P. fumoso roseus sebagai agen pengendali hayati pada larva P. Xylostella
BAB IV
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi dan rumah kaca Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran dan bulan Januari 2002 sampai bulan
Agustus 2002. Lokasi percobaan memiliki ketinggian tempat ± 700 m dpl.
4.2. Bahan dan A1at Percobaan
Bahan - bahan yang digunahan dalam percobaan yaitu biakan murni jamur P. furnoso roseus
isolat asal Gambung, larva P. xylostella instar III isolat asal Lembang, tanaman kubis, aquadest,
deterjen 0,1% dan tepung kanji 1% sebagai perata dan perekat, biji jagung pecah sebagai bahan
perbanyakan massal jamur P. fumoso roseus, made 10 % sebagai pakan imago P. xylostella
dan Dipel 10 WP yang berbahan ak-tif Bacillus thuringiensis sebagai insektisida pembanding.
Alat - alat yang digunakan dalam percobaan yaitu autoclaf, timbangan, gelas ukur,
beaker glass, labu erlenmeyer, pipet, magnetic stirer, kain saring, haemositometer, mikroskop,
laminer flow dan inkubator. Kurungan kasa berukuran 40 x 40 x 40 cm sebagai tempat imago P.
xylostella bertelur dan pemeliharaan larvanya. Polybag untuk tiap tanaman, garu untuk mengolah
tanah, alat penyiram tanaman dan hand sprayer untuk aplikasi percobaan.
4.3. Metode Penelitian
Metode peneiitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan P.ancangan Acak
Kelompok (RAK) pola falrtorial yang terdiri atas dua faktor. Kedua faktor tersebut yaitu
Faktor 1 adalah waktu aplikasi yang terdiri atas Z taraf, yaitu
A1 = aplikasi sebelum infestasi larva
A2 = aplikasi setelah infestasi larva
Faktor 2 adalah suspensi konidia jamur P. fumoso roseus pada berbagai tingkat kerapatan
konidia, insektisida pembanding dan kontrol, terdiri atas 5 taraf, yaitu
B1 = suspensi konidia jamur P. fumoso roseus dengan kerapatan 106 konidia/ml
B2 = suspensi konidia jamur P. fumoso roseus dengan kerapatan 108 konidia/ml
B3 = suspensi konidia jamur P. fumoso roseus dengan kerapaian 1010 konidia/ml
B4 = insektisida pembanding Dipel 10 WP (berbahan aktif B. thuringiensis)
B5 = kontrol (air)
Variasi perlakuan dapat disajikan sebagai berikut:
Waktu aplikasi Suspensi konidia jamur P. fumoso roseus Sebelum infestasi larva (A1) Setelah infestasi larva (A2)
Kerapatan konidia 106 / ml (B1 ) A1B1 A2B1
Kerapatan konidia 108 / ml (B2 ) A1B2 A2B2
Kerapatan konidia 1010 / ml (B3) A1B3 A2B3
Pembanding (B4) A1B4 A2B4
Kontrol (B5) A1B5 A2B5
Seluruh perlakuan tersebut diulang sebanvak tiga kali dan masing - masing perlakuan
terdiri atas 10 ekor larva P. xylostella instar III .
Model linear untuk percobaan faktorial yang terdiri atas dua faktor dengan menggunakan
rancangan dasar RAK (Gasperz, 1994) adalah:
Yij = µ + RI + Ai + Bj + (AB)ij + εij ; i = 1,2
j = 1,...,5
I = 1,2,3
dimana
Yij = nilai pengamatan (respon) dan kelompok ke-1, yang memperoleh taraf ke-i dari
faktor A, taraf ke j dari faktor B.
µ = nilai rata - rata mortalitas yang sesungguhnya
RI = pengaruh aditif dan kelompok ke-1
Ai = pengaruh aditif dan taraf ke-i faktor A
Bj = pengaruh aditif dari taraf ke j fakrtor B
(AB)ij = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke j faktor B
εij = pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-1 yang memperoleh
taraf ke-i faktor A, taraf ke j faktor B
Berdasarkan model linier tersebut maka disusun tabel analisis ragam untuk
rancangan di atas yaitu:
Tabel Analisis Ragam
Sumber Ragam ! DB JK KT
Kelompok r -1 JKK KTK Perlakuan
A ab -1 a-1
JKP JK(A)
KTP KT (A)
B b-1 JK(B) KT (B) AB (a - 1) (b - 1) JK (AB) KT (AB)
Galat (r – 1 )(ab - 1 ) JKG KTG Total Rab -1 ~ JKT
Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan antar perlakuan yang diuji,
digunahan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
4.4. Persiapan Percobaan
4.4.1. Penyediaan tanaman inang
Tanaman inang yang digunakan pada percobaan ini adalah tanaman kubis. Mula-mula
benih kubis disemaikan ke dalam wadah plastik berukuran 30 x 20 x 5 cm yang berisi sekam. Benih
yang telah tumbuh menjadi tanaman kemudian dibumbun untuk dijadikan bibit. Setelah berumur 2 -
3 minggu dari pembumbunan, bibit kubis dipindah tanam ke polybag ukuran 2,5 liter yang telah
berisi campuran tanah dan pupuk kandang steril dengan perbandingan 2 : 1. Dalam pemeliharaannya
tanaman kubis disiram air sesuai kebutuhan. Setelah tanaman kubis berumur ± 6 minggu sejak
pindah tanam ke polybag, tanaman kubis siap untuk diberi perlakuan. Pada saat perlakuan, pada
tanaman kubis dilakukan penyungkupan.
4.4.2. Perbanyakan massal jamur P. fumoso roseus
Tahapan pertama dalam perbanyakan massal jamur P. fumoso roseus yaitu melakukan
pembuatan media jagung. Proses yang dilakukan untuk mendapatkan media jagung yaitu mula-mula
mengukus biji jagung pecah yang telah dibersihkan dari kotaran selama ± ½ jam. Jagung yang telah
dikukus kemudian dibungkus dalam plastik tahan papas dengan berat tiap bungkusan kira-kira l00 g.
Selanjutnya media jagung tersebut disterilisasi dalam autoclaf dengan tekanan 1 atm. Media jagung
yang telah disterilisasi siap digunal:an untuk media perbanyakan jamur P. futnoso roseus.
Tahapan proses selanjutnya yaitu rnelakukan inokulasi biakan murni jamur P. fumoso
roseus ke dalam media jagung yang telah disterilisasi. Untuk mempercepat proses pertumbuhan
jamur P. fumoso roseus, media jagung tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 250C – 300C.
Setelah masa inkubasi sekitar satu minggu, jamur P. fumoso roseus akan tumbuh dan menyebar
dalam media jagung.
4.4.3 . Perbanyakan serangga uji
Perbanyakan larva P. xylostella dilakukan di rumah kaca. Tempat perbanyakan berupa
kurungan kain kasa berukuran 40 x 40 x 40 cm. Larva-larva yang diambil dari lapangan
diinfestasikan pada tanaman kubis yang ditanam pada polybag. Setelah larva P. xylostella
membentuk pupa, tanaman kubis tersebut kemudian dimasukan ke dalam kurungan kain kasa.
Sebelum imago P. xylostella muncul, terlebih dahulu disediakan pakannya yaitu cairan madu 10%.
Cairan madu tersebut lalu dioleskan pada kapas dan menggantungkannya pada atap kurungan kain
kasa. Selanjutnya, memasukkan tanaman kubis yang baru ke dalam kurungan kain kasa sebagai
tempat imago bertelur dan sebagai pakan untuk larva P xylosrella yang nanti akan menetas dari
telurnya. Larva - larva pada tanaman kubis dipelihara seperti cara sebelumnya sampai mendapatkan
larva uji yang seragam dan dalam jumlah yang diperlukan.
4.5. Pelaksanaan Percobaan
4.5.1. Pembuatan suspensi konidia jamur Po fumoso roseus
Biakan murni jamur P. fumoso roseus dalam media jagung disuspensikan dengan
menambahkan aquadest kemudian dihotnogenkan dengan menggunakan magnetic stirer. Suspensi
tersebut kemudian disaring dengan kain saring. Kerapatan konidia dalam suspensi tersebut dihitung
dengan bantuan mikroskop dan haemositometer. Perhitungan kerapatan konidia dilakukan sesuai
dengan perlakuan yang akan diuji. Suspensi jamur P. fumoso roseus sebagai bahan uji yang siap
digunakan sebelumnya ditambahkan dulu deterjen 0,l% dan tepung kanji 1% untuk perata dan
perekat (Rayati, 1994).
4.5.2. Aplikasi suspensi konidia jamur P. fumoso roseus pada larva P. xylostella
Urtuk mengetahui pengaruh waktu apiikasi dan kerapatan konidia dari jamur P. fumoso
roseus terhadap mortalitas larva P. xylostella, dilakukan aplikasi sebagai benkut
1. Penyemprotan suspensi konidia jamur P. fumoso roseus sebelum infestasi larva pada
kerapatan konidia yang diuji
Tanaman kubis bebas insektisida yang ditanam pada polybag disiapkan untuk tiap - tiap
perlakuan. Pada tanaman kubis tersebut lalu disemprotkan suspensi konidia jamur P.
fumoso roseus pada kerapatan konidia yang diuji sebanyak 25 ml. Penyemprotan dilakukan
pada kedua sisi daun dengan menggunakan hand sprayer. Daun kubis tersebut lalu dikering
anginkan. Larva P. xylostella yang akan diinfestasikan pada tanaman kubis, sebelumnya
dipuasakan dulu selama ± 4 jam. Larva P. xylostella yang diinfestaslkan yaitu larva instar
III sebanyak 10 ekor dengan menempatkannya di permukaan daun bagian bawah. Untuk
perlakuan kontrol, bahan yang disemprotkan yaitu aquadest. Untuk perlakuan pembanding,
bahan yang disemprotkan yaitu insektisida pembanding.
2. Penyemprotan suspensi konidia jamur P. fumoso roseus setelah infestasi larva pada
kerapatan konidia yang diuji.
Tanaman kubis bebas insektisida yang ditanam path polybag disiapkan untuk tiap - tiap
perlakuan. Pada setiap tanaman yang akan diberi perlakuan, terlebih dahulu diinfestasikan
larva P. xylostella instar III sebanyak 10 ekor pada permukaan daun kubis. Larva-larva
tersebut lalu disemprot dengan suspensi konidia jamur P. fumoso roseus pada kerapatan
konidia yang diuji sebanyak 25 ml dengan menggunakan hand sprayer. Untuk perlakuan
kontrol, bahan yang disemprotkan yaitu aquadest. Untuk perlakuan pembanding, bahan
yang disemprotkan yaitu insektisida pembanding.
4.6. Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap hari dan dimulai sehari seteiah perlakuan. Lama waktu
pengamatan yaitu 7 hari.
4.6.1. Pengamatan utama
Pengamatan utama yang dilakukan pada percobaan ini yaitu mengamati mortalitas larva P.
xylostella selama 7 hari. Untuk mendapatkan data mortalitas larva P. xylostella yang diberi
perlakuan maka dilakukan perhitungan persentase mortalitas larva P. xylostella yang dihitung
dengan rumus :
Dimana : a = Jumlah larva P. xylostella yang mati (ekor)
b = Jumlah larva P. xylostella yang diuji (ekor)
Apabila terdapat larva P. xyloslella yang mati pada perlakuan kontrol dengan syarat kurang
dari 20%, maka data mortalitas larva P. xylostella dikoreksi dengan menggunakan rumus Abbot
(Finney, 1952 dalam Busvine, 1971), sebagai berikut:
Dimana : Pt = % banyaknya larva mati setelah dikoreksi
Po = % banyaknya larva mati setelah perlakuan
Pc = % banyaknya larva mati pada kontrol
4.6.2. Pengamatan pen unjang
Pengamatan penunjang yang dilakukan pada percobaan ini yaitu mengamati kelembaban
udara dan suhu udara pada saat berlangsungnya percobaan.
a % mortalitas = x 100 % b
Po - Pc Pt = x 100 % 100 - Pc
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan persentase mortalitas larva P. xylostella oleh jamur P. fumoso roseus selama 7
hari berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dalam waktu 3 - 4 hari, jamur P. fumoso roseus
yang diaplikasikan setelah infestasi larva sudah mampu mengakibatkan mortalitas larva P.
xylostella, sedangkan aplikasi jamur P. fumoso roseus sebelum infestasi larva memerlukan waktu 4 -
5 hari untuk mengakibatkan mortalitas larva P. xylostella. Menurut Widayat, dkk., (1996) proses
infeksi jamur P. fumoso roseus sampai terjadinya kematian serangga sasaran berlangsung sekitar 4 -
10 hari.
Data menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva P. xylostella yang diakibatkan oleh
jamur P. fumoso roseus relatif rendah dan tidak menampakan laju mortalitas yang tinggi. Lain
halnya dengan aplikasi insektisida pembanding, tingginya persentase mortalitas larva P. xylostella
sudah terlihat sejak awal pengamatan dan mencapai puncaknya pada hari ke - 5 setelah aplikasi
yaitu sebesar 100%.
Sebelum terjadinya kematian, pada tubuh larva P. xylostella terdapat beberapa bercak putih
pada lokasi serangan. Larva P. xylostella yang terinfeksi jamur P. fumoso roseus masih terlihat
melakukan aktivitas tetapi daya makannya berkurang dan gerakannya menjadi tidak aktif.
5.1. Pengaruh Interaksi antara Faktor Kerapatan Konidia dengan Faktor Wakiu Aplikasi
Dan hasil analisis perhitungan statistik didapatkan tabel sidik ragam (Tabel 2) yang
menunjukkan terdapatnya interaksi pada taraf 5% antara Faktor kerapatan konidia dengan faktor
wakrtu aplikasi. Dengan demikian diperlukan pengujian pengaruh interaksi antara faktor kerapatan
konidia dengan faktor waktu aplikasi .
Persentase mortalitas larva P. xylostella yang diakibatkan oleh interaksi antara faktor
kerapatan konidia dengan faktor waktu aplikasi dari jarnur P. fumoso roseus disajikan pada Tabel l .
Tabel 1. Persentase mortalitas larva P. xylostella oleh berbagai perlakuan
Mortalitas larva P. xylostella (%) pada aplikasi Suspensi konidia jamur
P. fumoso roseus Sebelum infestasi larva (A1)
Setelah infestasi larva (A2)
Kerapatan konidia 106 / ml (B1)
6,67 b
C 16,67 a
C
Kerapatan konidia 108 / ml (B2)
30,00 b
B 46,67 a
B
Kerapatan konidia 1010 / ml (B3)
30,00 b
B 50,00 a
B
Insektisida pembanding (B4)
100,00 a
A 100,00 a
A
Kontrol (Air) 0,00 D 0,00 D
(Bs) a a Keterangan : - angka yang diikuti huruf kapitai yang same berdasarkan kolom tidak menunjukkan adanya
perbedaan menurut uji Berganda Duncan 5% - angka yang diikuti huruf kecii yang same oerdasarkan bans tidak menunjuk:an adanya
perbedaan menurut uji Berganda Duncan 5%
Tabel I menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva P. xylostella oleh jamur P. fumoso
roseus pada kerapatan 106 108, 1010 mencapai 6,67%, 30,00% 30,00% untuk aplikasi sebelum infestasi
larva dan 16,67%, 46,67%, 50,00% untuk aplikasi setelah infestasi larva. Data menunjukkan bahwa
peningkatan kerapatan konidia pada masing-masing waktu aplikasi mengakibatkan mortalitas larva P.
xylostella yang semakin tinggi. Keadaan ini menunj ukkan bahwa kerapatan konidia mempengaruhi tiap
waktu aplikasi untuk mengakibatkan perbedaan mortalitas larva P. xylostella. Pada aplikasi sebelum
infestasi larva, lama P. xylostella memakan sejumlah unit infektif yang berbeda pada tiap-tiap perlakuan
kerapatan konidia sehingga mengakibatkan mortalitas larva P. xylostella yang berbeda-beda. Begitu
pula halnya pada waktu aplikasi setelah infestasi larva, jumlah unit infektif yang kontak dengan tubuh
dan yang termakan oleh larva P. xylostella berbeda-beda pada tiap-tiap perlakuan kerapatan konidia
sehingga mengakibatkan mortalitas larva P. xylostella yang berbeda-beda. Menurut Robert dan Yendol
(1971), jumlah inokulum yang digunakan akan menentukan kematian serangga sasaran.
Dan Tabel 1 jugs terlihat bahwa persentase mortalitas larva P. xylostella oleh jamur P. fumoso
roseus yang diaplikasikan sebelum infestasi larva dan setelah infestasi larva pada kerapatan konidia 106,
108 dan 1010 masing-masing mencapai 6,67% dan 16,67%; 30,00% dan 46,67%; 30,00% dan 50,00%.
Data ini menunjukkan bahwa waktu aplikasi mempengaruhi tiap kerapatan konidia untuk
mengakibatkan perbedaan mortalitas larva P. xylostella. Jamur P. fumoso roseus yang diaplikasikan
setelah infestasi larva ternyata mampu mengakibatkan mortalitas larva P. xylostella yang lebih tinggi
daripada jamur P. fumoso roseus yang diaplikasikan sebelum infestasi larva pada tiap kerapatan konidia
yang diuji. Hal tersebut teriadi karena pada aplikasi setelah infestasi larva, sejumlah konidia jamur P.
fumoso roseus yang mengenai tubuh larva P. xylostella dapat secara langsung menginfeksi tubuh larva
P. xylostella. Fuxa dan Tanada (1987) mengemukakan bahwa salah satu cara infeksi jamur
entomopatogen pada tubuh serangga yaitu dengan cara menembus integumen serangga dan cara ini
adalah kebanyakan cara dari jamur entomopatogen. Di samping itu aplikasi suspensi konidia setelah
infestasi larva juga sekaligus membantu dalam proses infeksi jamur karena pada saat itu kelembaban
udara di sekitar tubuh larva akan meningkat sehingga mendukung perkecambahan konidia. Menurut
Robert dan Yendol (1971 ), pada umumnya konidia jamur entomopatogen akan berkecambah pada
kelembaban 90% atau lebih. Pada aplikasi sebelum infestasi larva, konidia jamur P. fumoso roseus
hanya mengenai daun sebagai pakan larva. Keadaan ini mengakibatkan jamur P. fumoso roseus tidak
dapat melakukan infeksi secara langsung melaiui integumen. Larva P. xylostella harus memakan
sejumlah unit infektif jamur P. fumoso roseus pada daun untuk mengakibatkan kematiannya. Menunut
Fuxa dan Tanada (1987), serangga sasaran harus memakan unit infektif dalam jumlah yang cukup
sehingga mengakibatkan kematiannya.
Data Tabel 1 menunjukkan bahwa aplikasi insektisida pembanding yang dilakukan pada
aplikasi sebelum infestasi larva dan setelah infestasi larva tidak mengakibatkan perbedaan tingkat
mortalitas larva P. xylostella. Insektisida pembanding yang diaplikasikan sebelum infestasi larva dan
setelah infestasi larva
bahwa jamur P. fumoso roseus pads kerapatan konidia l0g sudah mampu mengakibatkan tingkat
mortalitas yang sama dengan kerapatan konidia 1010 Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
jamur entomopatogen maka kerapatan konidia yang digunakan yaitu 108. Menurut Tanada dan Kaya
(1993), jamur entomopatogen dalam mengakibatkan kematian serangga sasaran memerlukan jumlah
konidia yang cukup. Data Tabel 1 juga menunjukkan bahwa jamur P. fumoso roseus yang
diaplikasikan setelah infestasi larva ternyata mengakibatkan persentase mortaiitas larva P. xylostella
yang lebih tinggi daripada aplikasi sebelum infestasi larva. Jadi pada percobaan ini, suspensi konidia
jamur P. fumoso roseus pada kerapatan konidia 108 yang diaplikasikan setelah infestasi larva adalah
perlakuan yang lebih balk jika dibandingkan dengan perlakuan suspensi konidia jamur P. fumoso
roseus lainnya.
Berdasarkan hasil pengamatan, persentase mortalitas larva P. xylostella yang diakibatkan
oleh jamur P. fumoso roseus pada percobaan ini masih jauh dari hasil yang diharapkan jika
dibandingkan dengan perlakuan pembanding. Hall (1973) berpendapat bahwa kematian serangga
oleh jamur entomopatogen dapat menimpa sebagian besar populasinya jika terjadi epizootik. Pada
percobaan ini terdapat heberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak terjadinya epizootik pada
larva P. xylostella oleh jamur P. fumoso roseus. Robert dan Yendol (1971) mengemukakan bahwa
terjadinya epizootik dipengaruri oleh tiga faktor utama yang •berinteraksi secara kompleks. Ketiga
faktor tersebut yaitu jamur entomopatogen, inang dan keadaan lingkungan. Beberapa aspek yang
mempengaruhi epizootik pada faktor jamur entomopatogen yaitu viabilitas konidia, virulensi,
kemampuan memencar konidia dan jumlah inokulum. Pada faktor inang yaitu populasi inang dan
kerentanan inang sedangkan pada faktor lingkungan yaitu terutama kelembaban udara, suhu udara
dan sinar matahari.
P. fumoso roseus sebagai faktor jamur entomopatogen dapat mempengaruhi tingkat
mortalitas larva P. xylostella. Pada percobaan ini jamur P. fumoso roseus yang digunakan diduga
telah mengalami penurunan virulensi. Tanada dan Kaya (1993) menuturkan bahwa virulensi jamur
entomopatogen adalah faktor variabel yang Pada saat tertentu ia dapat meningkat atau menurun.
Proses menurunnya virulensi disebut attenuation. Virulensi jamur entomopatogen dapat dipengaruhi
olel: metode perbanyakan (Method of cultivation), penyimpanan (storage), formulasi dan keadaan
lingkungan. Umumnva, menurunnya virulensi disebabkan jamur entomopatogen dikulturkan pada
media buatan secara terus menerus.
Dengan kondisi seperti itu, daya bunuh jamur P. fumoso roseus terhadap larva P. xylostella
tentunya akan berkurang baik pada saat aplikasi setelah infestasi larva maupun sebelum infestasi
larva. Pada saat aplikasi setelah infestasi larva, infeksi jarnur P. fumoso roseus secara kontak
melalui integumen larva P. xylostella akan menurun. Hal ini berdasarkan pendapat yang
dikemukakan oleh Paris dan Ferron (1979) dalam Tanada dan Kaya (1993), yaitu jamur
entomopatogenn yang memiliki virulensi yang rendah akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang
sedikit. Enzim ekstraseluler yang dihasilkan jamur entomopatogen berperan dalam menguraikan
lapisan kutikula serangga. Hal yang sama juga terjadi pada saat aplikasi sebelum infestasi larva, unit
infektif jamur P. fumoso roseus yang masuk ke dalam saluran pencernaan lama P. xylostella tidak
memiliki daya bunuh yang tinggi terhadap larva P. xylostella. Menurut Tanada dan Kaya (1993),
jamur entomopatogen yang memiliki virulensi yang rendah akan memiliki daya infeksi yang lemah
(lack of infection) sehingga mengakibatkan ketidakmampuan jamur tersebut untuk bertahan hidup
dan memperbanyak diri dalam tubuh inang walaupun jamur tersebut telah memasuki daerah
hemocoel serangga.
Kemungkinan aspek lainnya dari faktor jamur entomopatogen yang mempengaruhi
berkurangnya daya bunuh jamur P. fumoso roseus terhadap larva P. xylostella yaitu spesifikasi
inang. Inang ashi dari jamur P. fumoso roseus yaitu ulat jengkal. Hasil penelitian laboratorium yang
dilakukan di PPTK Gambung menunjukkan bahwa jamur P. fumoso roseus dapat menginfeksi
empat spesies ulat jengkal dengan persentase mortalitas mencapai l00% (Widayat, dkk., 1996).
sedangkan persentase mortalitas jarnur P. fumoso roseus terhadap P. xylostella pada percobaan ini
mencapai basil jauh di bawah 100%. Menurut Hall (1973). jamur entomopatogen memiliki derajat
virulensi yang berbeda untuk spesies serangga yang berbeda. Ada kemungkinan pada saat terjadinya
infeksi, beberapa kebutuhan jamur P. fumoso roseus tidak dapat disediakan oleh P. xylostella. Hal
ini diperkuat oleh pendapat Tanada dan Kaya (1993) yaitu bahwa hal yang berhubungan dengan
spesifikasi inang diantaranya kandungan nutrisi strukrtur integumen inang yang diperlukan jamur
entomopatogen, sistem fisiologi inang dan ketahanan seluler inang.
Mortalitas larva P. xylostella oleh jamur P. fumoso roseus juga dipengaruhi oleh larva P.
xylostella sebagai faktor inang. Robert dan Yendol (1971) mengemukakan bahwa faktor inang yang
mempengaruhi daya bunuh jamur entomopatogen yaitu populasi inang dan kerentanan inang. Pada
saat percobaan, jumlah larva P. xylostella yang diinfestasikan untuk setiap tanaman kubis adalah 10
ekor. Larva-larva tersebut lalu akan menyebar pada tanaman kubis yang memiliki 3 - 4 helai daun.
Keadaan tersebut mengakibatkan P. .xylostella dapat bergerak dengan leluusa pada daun dan tidak
banyak bersinggungan dengan larva P. xylostella lainnya. Kondisi ini tidak mendukung
perkembangan penyakit pada serangga yang diakibatkan oleh jamur entomopatogen. Hal ini
sehubungan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hall (1973) yaitu kematian serangga oleh
jamur entomopatogen adalah faktor bergantung kepadatan, yang berarti serangga yang hidup pada
populasi tinggi akan rentan terhadap epizootik daripada serangga yang hidup pada populasi rendah.
Selain itu ruang gerak larva P. xylostella yang leluasa dapat mengakibatkan kondisi larva menjadi
tidak stess sehingga lebih tahan terhadap serangan penyakit. Tanada dan Kaya (1993)
mengemukakan bahwa stress pada serangga akan meningkatkan kerentanan serangga terhadap
serangan penyakit.
Faktor lain yang sangat mempengaruhi jamur entomopatogen dalam mengakibatkan
kematian seranggga sasaran di lapangan yaitu faktor lingkungan. Kondisi lingkungan yang
mempengaruhi infeksi jamur entomopatogen yaitu terutama kelembaban udara, suhu udara, dan
intensitas cahaya (Mac Leod et al. 1966 dalam Tanada dan Kaya,1993).
Untuk melakukan infeksi pada serangga, konidia jamur entomopatogen yang melekat pada
tubuh serangga harus berkecambah dulu agar dapat menembus lapisan kutikula. Perkecambahan
konidia jamur entomopatogen sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara pada iklim mikro di
sekitar inang. Menurut Robert dan Yendol (1971 ), kelembaban udara yang diperlukan untuk
perkecambahan konidia pada selang periode infeksi yaitu 90% atau lebih. Pada saat percobaaan,
diperkirakan kelembaban udara iklim mikro di sekitar inang tidak mencukupi secara optimal untuk
terjadinya perkecambahan konidia. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, rata-rata kelembaban
ruangan percobaan yaitu sekitar 75%. pada kondisi tersebut berarti perkecambahan konidia jamur
entomopatogen akan terhambat sehingga mengakibatkan berkurangnya infeksi. Hall (1973)
mengemukakan bahwa kondisi kelembaban udara yang rendah (lack of adequate humidity) dapat
menghambat perkecambahan konidia jarnur saat akan melakukan infeksi walaupun keadaan inang
sangat rentan.
Kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi viabilitas konidia jamur entomopatogen.
Menurut Rayati dan Widayat (1990), jamur entomopatogen hares memiliki viabilitas yang tinggi
sampai terjadinya infeksi. Kondisi pada saat berlangsungnya percobaan, umumnya cuaca dalam
keadaan cerah dan cahaya matahari bersinar dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi. Hal ini
dapat mengakibatkan rendahnya viabilitas konidia jamur P. fumoso roseus. walaupun telah .
dilakukan penyungkupan pada tanaman uji namun konidia jamur P. fumoso roseus yang berada pada
daun diduga semakin banyak yang mati Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan bahwa konidia
jamur entomopatogen yang terkena sinar ultra violet pada siang hari dalam jangka waktu yang
relatif lama umumnya akan mati.
5.2. Pengaruh Kerapatan Konidia dan Waktu Aplikasi Jamur P. fumoso roseus terhadap laju
Persentase Mortalitas larva P. xylostella
05
101520253035404550556065707580859095
100105110
1 2 3 4 5 6 7
HARI
MORTALITAS (%)
A1B1A1B2A1B3A1B4A1B5A2B1A2B2A2B3A2B4A2B5
Gambar 1. Grafik laju persentase mortalitas larva P. xylostella oleh berbagai perlakuan
Gambar 8 menunjukkan bahwa insektisida pembanding yang diaplikasikan pads musing
musing waktu aplikasi mengakibatkan laju persentase mortalitas larva P. xylostella paling cepat
dibandingkan perlakuan lainnya. Aplikasi insektisida pembanding pads masing-musing waktu
aplikasi telah mengakibatkan mortalitas larva P. xylostella sampai l00% pada hari ke - 5 setelah
perlakuan. Bahkan pada hari ke - 1 setelah perlakuan telah mengakibatkan mortalitas larva P.
xylostella sebesar 10% - 20%, yang berarti dari 10 ekor hewan uji terdapat 1 - 2 ekor hewan uji yang
mati. Menurut Hall (1973), penggunaan B. thuringlensis pada beberapa inang yang rentan dapat
mengakibatkan kematian dalam waktu satu hari setelah aplikasi.
Dan Gambar 8 terlihat bahwa laju persentase mortalitas larva P. xylostella oleh jamur P.
fumoso roseus pada berbagai kerapatan konidia dan waktu aplikasi menunjukkan hasil yang
berbeda. Gambar 8 menunjukkan bahwa jamur P. fumoso roseus yang diaplikasikan setelah infestasi
larva mengakibatkan laju persentase mortaiitas larva P. xylostella yang lebih tinggi daripada aplikasi
sebelum intestasi larva pada tingkat kerapatan konidia yang sama. Hal tersebut terjadi karena pada
waktu aplikasi setelah infestasi larva, jamur P. fumoso roseus memiliki kemungkinan untuk
melakukan infeksi secara langsung terhadap larva P. xylostella melalui cara kontak dan melalui
saluran pencerriaan secara bersamaan sehingga tingkat infeksi yang diakibatkannya akan lebih
tinggi daripada ketika diapiikasikan pada waktu aplikasi sebelum infestasi larva. Menurut Widayat ,
dkk. , (1996), Jamur P. fumoso roseus adalah jamur entomopatogen yang dapat menginfeksi
serangga sasaran secara kontak dengan menembus integumen atau melalui saluran pencernaan.
Gambar 8 menunjukkan bahwa aplikasi jamur P. fumoso rosues pada kerapatan konidia 106
mengakibatkan laju persentase mortalitas larva P. xylostella yang lebih lambat daripada apiikasi
jamur P. fumoso roseus pada kerapatan konidia 108 dan l010 untuk masing-masing waktu aplikasi.
Keadaan ini menunjukkan bahwa rendahnya jumlah unit infektif yang digunakan akan
mengakibatkan lemahnva daya bunuh jamur pada masing-masing waktu aplikasi. Menurut Robert
dan Yendol (1971), jumlah konidia yang sedikit akan menyebabkan berkurangnya daya bunuh
jamur entomopatogen.
Dari gambar 8 juga terlihat bahwa jarnur P. fumoso roseues yang diaplikasikan sebelum
infestasi larva dan setelah infestasi larva pada kerapatan konidia 106, 108 dan 1010 mengakibatkan
laju persentase mortalitas larva P. xylostella yang lebih lambat jika dibandirgkan aplikasi insektisida
pembamding. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keadaan tersebut yaitu interaksi antara
jamur entomopatogen dan inang. Hal ini berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Hall (1973)
yaitu bahwa beberapa jamur entomopatogen memiliki waktu inkubasi sampai kematian yang
berbeda-beda. Beberapa entomopatogen yang menyerang spesifik inang hanya memerlukan waktu
inkubasi sampai kematian yang dapat dicapai dalam waktu satu hari, sedangkan entomopatogen
yang menyerang non spesifik inang memerlukan waktu inkubasi yang lebih lama untuk
mengakibatkan kematian.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan
1. Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara waktu aplikasi dengan kerapatan konidia
dari jamur P. fumoso roseues Bainer terhadap mortalitas larva P. xylostella di rumah kaca.
2. Dari seluruh kombinasi perlakuan jarnur P. fumoso roseues yang diuji tidak terdapat hasil yang
efektif terhadap mortalitas larva P. xylostella (mortalitas larva P. xylostella yang tertinggi
diakibatkan oleh aplikasi jamur P. fumoso roseues pada kerapatan konidia 108 dan 1010 setelah
infestasi larva dengan persentase mortalitas larva P. xylostella sebesar 46,67% dan 50,00%)
6.2. Saran
Keadaan lingkungan yang mempengaruhi infeksi jamur entomopatogen terhadap serangga
sasaran yaitu kelembaban udara. Umumnya, kelembaban udara yang diperlukan yaitu 90% atau
lebih. Pada saat pengujian, rata-rata kelembaban udara rumah kaca yang berlokasi di Jatinangor ( ±
700 m dpl ) yaitu sebesar 75%. Kondisi ini mengakibatkan kelembaban udara yang diperlukan oleh
jamur P. fumoso roseues tidak terpenuhi secara optimal. Oleh karena itu perlu dicoba pengujian di
lokasi yang memiliki ketinggian tempat yang iebih tinggi, misalnya di Lembang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Luas Panen, Rata - rata Hasil dan Produksi Hortikultura (Sayuran dan Buah - buahan). Tahun 1998 (Angka Tetap). Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura, Direktorat Bina Program; Jakarta. 20 hal.
Bhalla, O.P. and J.K. Dubey.1986. Bionomics of the Diamond Back Moth in the Northwestern Himalaya. In Proceedings of the First International Workshop, Tainan, Taiwan 11 - 15 March 1985. Diamond Back Moth Management. The Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua, Taiwan. Pp. 55 - 61.
Busvine, JAR. 1971. Critical Techniques . for Testing insecticides. Commonwealth Agricultural, Bureau, London.
Chelliah S. and K. Srinivasan.l986. Bioecology and Management of DBM in India. In Proceedings of the First international Workshop, Tainan, Taiwan 11 - 15 March 1985. Diamond Back Moth Management. The Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua, Taiwan. Pp. 63-76.
Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico, Bandung. 472 hal.
Hall, I.M. 1973. Use of Micro-organisms in Biological Control. In P. De Bach (ed.) Biological Control of Insect Pest and Weeds. Chapman and Hall Ltd., London. Pp. 610-620.
Harcourt, D.G. 1986. Population Dynamics of the Diamond Back Moth in Southern Ontario. In Proceedings of the First International Workshop, Tainan, Taiwan 11- 15 March 1985. Diamond Back Moth Management. The Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua, Taiwan. Pp. 3 -15.
Hilman, Y.; W. Setiawati, W. Adiyoga. 1995. Aplikasi Efective Microorganisms (EM4 ) dalam Menunjang Pengendalian Hama Terpadu pada Kubis. Laporan Hasil Penelitian Teknik Perbanyakan Cepat Bibit kentang Var. Tahan / Toleran Penyakit Busuk Daun (Phytopthora infestans) dan Aplikasi Teknalogi EM4 dalam Menunjang PHT Sayuran Kubis di Indonesia. Balitsa, Puslitbangnort, Balitbanghort, Program nasional PHT, Proyek PHT, Lembang, Bandung. Hal. 10 - 33.
Hill, D. 1975. Agricultural Insect Pest of the Tropics and Their Control. Department of Zoology, University of Hongkong. Cambridge University Press. Cambridge . London - New York - Melbourne. Pp. 239 - 247.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crop in Indonesia. Revised by P.A. Van der Lawn. PT Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta., Indonesia. Hal. 197 - 209.
Keller, M. 2001. Diamonback or Cabbage Moth. Department of Crop Protection., University of Adelaide. WWW-Staff.Mcs.uts.edu.au
Koshihara, T.1986. DBM and Its Control in Japan. In Proceedings of the First International Workshop, Tainan, Taiwan 11 - 15 March 1985. Diamondback Moth Management. The Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua, Taiwan. Pp. 43 - 5 3 .
Maddox, J. V. 1975. Use Of Disease in Pest Management. In R. L Metcalf and W.H. Luckman (ed.) Introduction to insect Pest Management. A Wiley - Interscience Publication, John Wile;' & Sons, New york, London, Sydney, To: onto. Pp. 189 -227.
Malloch, D.1997. Mould isolation, Cultivation, Identlficutloll. Department of Botany, University of Toronto. WWW.botany.utoronto.ca
Ooi, P.A.C. 1986. Diamond Back Moth in Malaysia. In Proceedings of the First International Workshop, Taiwan, Taiwan ll - I5 March 1985. Diamond Buck Moth Management. The Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua, Taiwan. Pp. 25 - 34.
Rayati, D.J. dan W. Widayat. 1990. Potensi Jamur Entomopatogeit dar_ Strategi Pengemhangannya dalam Pengendalian Biologi Hama Ulat pada Tanaman Teh. Simposium Teh V, Bandung 27 Februari -1 Maret 1990, Kumpulan Makalah Utama. Pusat Penelitian Perkebunan Gambung. 10 hal.
Rayati, D.J. 1994. Pengaruh Bahan Tambahan terhada.p Viabilitas Jamur Entomopatogenik Paecilomyces fumoso roseus. Buletin Penelitian Teh c3an Kina voi.8 (1/2). Hal. 59 - 68.
Rayati, D.J., W. Widayat, M. Martosupona, LS. Arifin. 1997. Pengujian Efehrtivitas dan Daya Simpan Insektisida Mikrobia Paecilomyces fumoso roseus Formulas: WP Untuk Pengendalian Hama . pada Tanaman Teh. Laporan iiasil Penelitian APBN 199611997, PPTK Gambung. Hal. 123 -133.
Robert, D.W. and G.W. Yendol. 1971. Use of Fungi for Microbial Control of Insect. In H.D. Burger and N. W. Hussey (ed.) Microbial Control of Insect and Mites. Academic Press, New York. Pp. 125 - 145.
Rohmawana, E. 1998. Seleksi Media Perbanyakan Massal Jamur Entomopatogen Isolat Adal Ulat Penggulung Daun Pisang (Erionota thrax L.) dan Uji Patogenisitasnya terhadap Spodoptera exigua Hubn. (Lepidoptera; Noctuidae) di Rumah Kaca. Skripsi. Faperta, UNPAD, Bandung. 60 hal.
Salinas, P.J. 1986. Studies on Diamond Back in Venezuela With Reference to Other Latinamericans Countries. In Proceedings of the First International Workshop, Tainan, Taiwan 11 - 15 March 1985. Diamond Back Moth Management. The Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua, Taiwan. Pp. 17 - 24.
Sastrodihardjo, S. 1986. DBM in Indonesia. In Proceedings of the First International Workshop, Taiwan, Taiwan 11 - 15 March 1985. Diamond Back Moth Management. The Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua, Taiwan. Pp. 35 - 41.
Sastrosiswoyo, S. 1975. Hubungan antara Wak-tu Tanam Kubis dengan Dinamika Populasi Plutella maculipennis Curt. dan Crvcidolomia binotalis Zell. Buletin Penelitian Hortikultura, Vol. III, no. 4. Hal. 3 -4.
Sastrosiswoyo, S. 1986. Hubungan antara Instar Larva Flutella xylostella dan Penggunaan Insektisida Mikroba, Bacillus thuringiensis, terhadap Kerusakan Daun pada Tanaman Kubis. Buletin Penelitian Hortikuitura, Vol. VIII, no. 3. Hal. 51- 57.
Sastrosiswoyo, S. 1987. Perpaduan Pengendalian Secara Hayati dan Kimiawi Hama Ulat Daun Kubis (Plutella xylostella L. Lepidoptera; Yponomeutidae) pada Tanaman Kubis. Tesis. UNPAD, Bandung. Hal. l I 4 0 .
Sastrosiswoyo, S. 1991. Pengendalian Hayati Ulat Daun Kubis, Flute/la xylostella L.,Menggunakan Parasitoid telur, Larva dan Pupa. Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional (P4N). Pengendalian T'erpadu llama dan Penyakit Kentang, Kubis, Cabai dan Bawang Merah. Laporan Hasil Penelitian, Tahun Kedua, Tahun Anggaran 1990/1991. Balithort, Puslitbanghort, Balitbanghort, Lembang, Bandung. HaI. I61-165 .
Tanada, Y. and H. Kaya .1993. Insect Pathology. Academic Press Inc., San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto. 366 P.
Ulpah. S. 1995. Kepekaan Flutella xylostella L. (Lepidoptera; Yponomeutidae) dan Potensinya Untuk Menjadi Resisten terhadap Bacillus thuringiensis Var. Kurstaki di Bawah Tekanan Seleksi. Jurnal Penelitian Pertanian, Vol. 14, no. 2 . Hal . 63-68.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 273 hal.
Vandenberg, J.D. and J.A. Altre. 2001. Paecilomyces furnoso roseus is a Fungal Pathogen that Kills a Wide Variety of Insects. Journal of Invertebrate Pathology. Vol. 78, No. 2. Pp. 81- 86.
Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1991. Daya Bunuh Spora Jamur Entomopatogenik terhadap Ulat Jengkal (Boarmia bhurmitra) Tanaman Kina in Vitro. Prosiding Kongres Nasional XI dan Seminar Ilmiah PFI, Ujung Pandang, 24 - 26 September 1991. Hal. 147 -150 .
Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993a . Dava Bunuh Jamur Entomopatogenik terhadap beberapa Instar Ulat Api (Setora nltens) pada Tanaman Teh. Buletin Penelitian Teh dan Kina, vol. 7, no. 314 . Hal. 81- 91 .
Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993b . Hasil Penelitian Jamur Entomopatogenik Lokal dan Prospek Penggunaannya Sebagai Insektisida Rayati. Prosiding Makalah. Simposium Patologi Serangga I (Yogya, 12 - 13 Oktober 1993). PEI Cabang Yogya, Faperta UGM, Program Nasional PHT / Bappenas, Yogyakarta. Hal. 61- 74
Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1493c . Pengaruh Frekuensi Penyemprotan Jamur Entomopatogenik terhadap Ulat Jengkal (Ectropis bhurmitra) di Perkebunan. Teh. Prosiding Makalah. Simposium Patologi Serangga I (Yogya, 12 - 13 Oktober 1993). PEI Cabang Yogya, Faperta UGM.; Program Nasionai PHT / Bappenas, Yogyakarta. Hal. 91-103 .
Widayat, W., D.J. Rayati, M. Martosupono. 1996. Penggunaan Jamur Paecilomyces fumoso roseus (PFR) Sebagai Teknologi Alternatif Pengendallan Hama Non Kimiawi pada Tanaman Teh. Seminar Sehari Alternatif Pengendalian Hama Teh Secara Hayati, Gambung, 5 December 1996. Hal. 1-13.
Lampiran 1. PERSONALIA PENELATIAN
1. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Nenet Susniahti, Ir, MS
b. Pangkat/Gol/N1P : Penata /III-c /131565333
c. Jabatan fungsional : Lektor
d. Jabatan struktural : -
e. Fakultas/Program Studi : Pertanian/Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan
f. Perguruan Tinggi : Universitas Padjadjaran
g. Bidang Keahlian : Ilmu Hama Tanaman
h. Waktu untuk penelitian ini : 18 jam / minggu
2. Anggota Peneliti I
a. Nama Lengkap : Sudarjat, Ir., MP
b. Pangkat/Gol/N1P : Pembina /IV-a /131631138
c. Jabatan fungsional : Lektor Kepala
d. Jabatan struktural : -
e. Fakultas/Program Studi : Pertanian/Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan
f. Perguruan Tinggi : Universitas Padjadjaran
g. Bidang Keahlian : Ilmu Hama Tanaman
h. Waktu untuk penelitian ini : 12 jam / minggu
3. Anggota Peneliti II
a. Nama Lengkap : M. Suhunan Sianipar, Drs., MS
b. Pangkat/Gol/N1P : Pembina /IV-a /131652093
c. Jabatan fungsional : Lektor Kepala
d. Jabatan struktural : -
e. Fakultas/Program Studi : Pertanian/Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan
f. Perguruan Tinggi : Universitas Padjadjaran
g. Bidang Keahlian : Ilmu Hama Tanaman
h. Waktu untuk penelitian ini : 12 jam / minggu