6
Pengutuk Anarki: Thomas Hobbes (1588-1679) Orang berkenalan dengan arti adil dan tak adil baru di dalam negara” –Hobbes Thomas Hobbes hidup dalam suasana malapetaka perang saudara di Inggris abad ke-17 antara kubu Charles I dan kubu parlemen yang akhirnya dimenangkan kubu parlemen. Charles I akhirnya dihukum gantung, lalu berdirilah republic yang dipimpin oleh Cromwell. Pengalaman bahaya-bahaya perang itu memberinya kesan yang mendalam dalam hidupnya bahwa anarki adalah sebuah bencana kemanusiaan yang paling tragis dan kehidupan bermasyarakat adalah sebuah usaha yang sangat rapuh. Atas dasar pengalam sejarah macam ini, Hobbes sangat meminati masalah-masalah sosial. Dia kuliah di Universitas Oxford, dan pada usia muda sudah menjadi dosen pribadi keluarga bangsawan Cavendish. Sejak muda juga Hobbes meminati karya-karya klasik, sebuah minat yang khas dimiliki pada zaman Renaisans. Dia malah sempat menerjemahkan karya-karya Thucydides, dan juga puisi Iliad dan Odyssey karya penyair termasyhur zaman Yunani, Homerus. Selain itu, dia juga sangat terpesona dengan metode matematika, khususnya geometri, sehingga dalam filsafatnya dia cenderung menggunakan metode ini. Dia sempat berkontak dengan Galileo dan menjadi sekretaris dari Francis Bacon. Biografi: 1588: Tanggal 5 April lahir di Malmesbury/Westport. 1603: Studi di Oxford 1607: Merah gelar BA (Baccalaureus Artium) 1608: Tutor putra Baron Cavendish 1610-1613:Studi tour ke kota-kota di Eropa 1629: Menerjemahkan karya Thukydides 1655: Terbit Elementa philoshiae: de corpore 1658: Terbit De Homine 1642: Terbit De Cive 1640: Melarikan diri ke Prancis selama 10 tahun. Dituduh ateis 1651: Terbit Leviathan. 1660: Melanjutkan studi ilmu alam dan sastra 1679: Meninggal di Hardwick 1

Pengutuk Anarki - Thomas Hobbes 2015

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fil

Citation preview

Page 1: Pengutuk Anarki - Thomas Hobbes 2015

Pengutuk Anarki: Thomas Hobbes (1588-1679)

“Orang berkenalan dengan arti adil dan tak adil baru di dalam negara” –Hobbes

Thomas Hobbes hidup dalam suasana malapetaka perang saudara di Inggris abad ke-17 antara kubu Charles I dan kubu parlemen yang akhirnya dimenangkan kubu parlemen. Charles I akhirnya dihukum gantung, lalu berdirilah republic yang dipimpin oleh Cromwell. Pengalaman bahaya-bahaya perang itu memberinya kesan yang mendalam dalam hidupnya bahwa anarki adalah sebuah bencana kemanusiaan yang paling tragis dan kehidupan bermasyarakat adalah sebuah usaha yang sangat rapuh. Atas dasar pengalam sejarah macam ini, Hobbes sangat meminati masalah-masalah sosial. Dia kuliah di Universitas Oxford, dan pada usia muda sudah menjadi dosen pribadi keluarga bangsawan Cavendish. Sejak muda juga Hobbes meminati karya-karya klasik, sebuah minat yang khas dimiliki pada zaman Renaisans. Dia malah sempat menerjemahkan karya-karya Thucydides, dan juga puisi Iliad dan Odyssey karya penyair termasyhur zaman Yunani, Homerus. Selain itu, dia juga sangat terpesona dengan metode matematika, khususnya geometri, sehingga dalam filsafatnya dia cenderung menggunakan metode ini. Dia sempat berkontak dengan Galileo dan menjadi sekretaris dari Francis Bacon.

Biografi:

1588: Tanggal 5 April lahir di Malmesbury/Westport.1603: Studi di Oxford1607: Merah gelar BA (Baccalaureus Artium)1608: Tutor putra Baron Cavendish1610-1613:Studi tour ke kota-kota di Eropa1629: Menerjemahkan karya Thukydides1655: Terbit Elementa philoshiae: de corpore1658: Terbit De Homine1642: Terbit De Cive1640: Melarikan diri ke Prancis selama 10 tahun. Dituduh ateis1651: Terbit Leviathan.1660: Melanjutkan studi ilmu alam dan sastra1679: Meninggal di Hardwick

Hobbes dianugerahi umur panjang. Dia mencapai usia 91 tahun. Hampir separuh hidupnya dihabiskan di dalam tugasnya di pengadilan James I, dan dia juga sempat dibuang karena pikiran-pikirannya. Hampir sepanjang hidupnya dia berusaha memecahkan masalah kodrat sosial manusia yang menurutnya sangat rapuh untuk kehidupan sosial. Dia menulis sebuah buku yang sangat termasyhur dalam filsafat politik, berjudul Leviathan. Dia juga menulis Element of Law dan sebuah proyek raksasa untuk membahas manusia, alam, dan masyarakat, berturut-turut: De Homine, De Carpore, dan De Cive. Karena karya-karyanya, khususnya Leviathan, Hobbes dianggap sebagai ateis yang jahat.Dia dimusuhi semua golongan agama pada zamannya: Kaum Kalvinis, Anglikan, maupun Katolik. Di kalangan rakyat kebanyakan pemikirannya juga dianggap immoral dan namanya dikaitkan dengan sikap membelot. Meskipun demikian, yang sangat berbudi bahasa, toleran, dan mengabdikan

1

Page 2: Pengutuk Anarki - Thomas Hobbes 2015

seluruh hidupnya demi kemajuan ilmu pengetahuan. Di kemudian hari pun orang sangat menghargai karya-karyanya.

Kemandirian Filsafat

Hobbes dikenal sebagai salah seorang perintis kemandirian filsafat. Dia berpendapat bahwa sejak lama filsafat disusupi banyak gagasan religius. Bahkan pada zaman Renaisans, banyak filsuf yang sulit membedakan filsafat dari teologi. Hobbes lalu menegaskan bahwa filsafat tidak berurusan dengan ajaran-ajaran teologis. Yang menjadi objek penelitian filsafat adalah objek-objek lahiriah yang bergerak berserta ciri-cirinya, atau dengan kata lain, objek-objek yang dapat dialami dengan tubuh kita. Kalau ada suatu substansi yang tak berubah-ubah, yaitu Allah, dan juga substansi yang tak bisa diraba (malaikat, roh, dan seterusnya), substansi-substansi macam itu harus disingkirkan dari refleksi filosofis. Atas dasar anggapan ini juga astrologi bukanlah bidang filsafat. Menurut Hobbes, filsafat harus berpikir ketat dengan membatasi diri pada masalah-masalah control atas alam. Jadi, sepert Bacon, Hobbes lalu mengandaikan bahwa pengetahuan harus menjadi kekuasaaan manusia untuk menaklukkan alam kodrat.

Berdasarkan pengandaian bahwa filsafat harus rigorus, Hobbes hanya mengesahkan empat bidang dalam filsafat. Yang pertama adalah geometri, yaotu refleksi atas benda-benda dalam ruang. Yang kedua adalah fisika, yaitu refleksi atas hubungan timbal-balik benda-benda dan gerak mereka. Yang ketiga adalah etika, yang dewasa ini kita sebuat ‘psikologi’, yaitu refleksi atas hasrat-hasrat dan perasaan-perasaan manusia dan gerak-gerak mentalnya. Yang terakhir adalah politik, misalnya, dianggap berhubungan dengan kehidupan mental yang pada gilirannya berkaitan dengan kehidupan fisik manusia. Masyarakat dan manusia, menurutnya, bisa dikembalikan pada gerak dan materi dalam fisika.

Perintis Materialisme Modern

Meskipun Hobbes berusaha menghancurkan metafisika tradisional, dia secara ironis masih bermetafisika. Hobbes mengandaikan bahwa kenyataan terkahir adalah kenyataan indrawi, yaotu kenyataan material yang bisa dialami, dan dengan pengandaian ini dia menjadi seorang perintis materialism modern. Cara Hobbes bermetafisika lain dari cara para filsuf Abad Pertengahan. Yang terkahir ini mulai dengan konsep Allah sebagai penyebab pertama kenyataan, sedangkan Hobbes memandang bahwa yang menjadi asas pertama kenyataan adalah materi dan gerak. Dengan konsep materi dan gerak ini, Hobbes ingin menegaskan bahwa konsep-konsep spiritual tidak relevan bagi filsafat, sebab tidak terdapat dalam pengalaman kita.

Berdasarkan asusmsi itu, Hobbes lalu berpendapat bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengalaman dan observasi. Terhadap dunia alamiah, kita menarik hubungan sebab-akibat tidak secara apriori, melainkan berdasarkan pengamatan kita tentang perubahan gerak dalam materi. Jadi, Hobbes meyangkal adanya hubungan kausal sebagai kenyataan asasi. Terhadap dunia batiniah, perasaan-perasan kita, kita bisa melakukan observasi dalam bentuk intropeksi. Berdasarkan intropeksi dan observasi inilag Hobbes menjabarkan pandangan materialistisnya tentang manusia dan masyarakat.

Teori Pengetahuan sebagai Teori Bahasa

2

Page 3: Pengutuk Anarki - Thomas Hobbes 2015

Dalam filsafat Hobbes, empirisme sudah muncul sebagai teori bahasa. Hobbes berpendapat bahwa kata-kata memperoleh maknanya dengan melukiskan ‘pikiran’. Karena dasar dari semua pikiran adalah pengalaman, kata-kata pun harus diuji dengan pengalaman. Atas dasar itu bisa dikatakan bahwa kata-kata abstrak tidak memiliki acuannya pada pengalaman, maka kata-kata tidak mengacu pada hakikat universal, melainkan pada hal-hal yang partikular saja. Kata-kata, menurut pandangan Hobbes ini, hanya ‘ditempelkan’ pada benda-benda sebagai sebutan saja, kata tak punya kenyataan pada dirinya. Dengan anggapan ini, Hobbes sejalan dengan para nominalis Abad Pertengahan, dan anggapan ini juga menolak padangan Descarates bahwa kesadaran (yang kemudian terungkap dalam kata-kata) adalah kenyataan pada dirinya.

Manusia sebagai Mesin Antisosial

Dalam filsafat Hobbes, konsep “jiwa” kehilangan ciri metafisisnya, sebab “jiwa” tidak lagi dipahami sebagai sebuah kenyataan yang melampaui pengalaman, melainkan hasil dari pengindraan-pengindraan. Jiwa dapat dikembalikan pada materi dan gerak. Dalam De Homine, Hobbes melukiskan manusia sebagai sebuah mesin yang antisosial. Perasaan-perasaaan dalam diri manusia adalah masukan-masukan dari luar melalui pancaindranya yang menghasilkan reaksi-reaksi mendekati atau menjauhi objek. Kalau mendekati, reaksi itu disebut “nafsu”, misalnya rasa nikmat, gembira, cinta, dan seterusnya. Kalau menjauhi, reaksi itu disebut “pengelakan”; misalnya benci, kesedihan, rasa takut, dan seterusnya. Kedua macam reaksi itu bersaing dalam diri manusia, dan kemenangan atau kekalahan salah satu menghasilkan apa yang kita sebut ‘kehendak’. Dalam arti ini pula, bagai Hobbes tak ada yang pada dasarnya alamiah. Pandangan ini disebut “determinisme psikologis”.

Berdasarkan pandangan tentang manusia seperti itu, lalu Hobbes menyimpulkan ajaran-ajaran etisnya. Dia berpendapat bahwa konsep “baik” bisa dikenakan kepada objek nafsu, sedangkan konsep “buruk” pada objek pengelakan. Manusia, menurutnya, adalah makhluk yang pada dasarnya ingin memuaskan kepentingannya sendiri, yaitu untuk memelihara dan mempertahankan dirinya sendiri dengan mencari kenikmatan dan mengelak dari rasa sakit. Karena itu manusia yang bijaksana adalah manusia yang mampu memaksimalkisasi pemenuhan keinginan-keinginannya untuk kesejahteraan individualnya. Padangan etis tentang pemeliharaan diri ini disebut egoism, dan sejauh pemeliharaan diri disamakan dengan pencarian kenikmatan padangan itu disebut hedonisme.

Manusia dilukiskan oleh Hobbes sebagai makhluk yang antisosial karena pemeliharaan diri itu pada gilirannya akan bertabrakan dengan hasrat pemeliharaan diri yang dimiliki orang-orang lain. Dalam perasaingan itu, manusia harus saling memperebutkan sumber-sumber yang langka, mempertahankan apa yang sudah dikuasainya, dan bahkan menundukkan orang-orang lain. Hobbes menganggap kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan pemeliharaan diri. Karena manusia pada dasarnya mau menguasai yang lain, yang terjadi dalam kehidupan sosial tak kurang dari bellum omnes contra omnia atau perang semua mewalan semua. Dalam perang itu, manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus.

Negara sebagai ‘Leviathan’

3

Page 4: Pengutuk Anarki - Thomas Hobbes 2015

Berdasarkan konsepnya tntang kodrat egoistis dan antisosial dari manusia itu Hobbes mengemukaakan ajarannya tentang negara dalam Leviathan. Kalau manusia pada dasarnya egois, bagaimana kehidupan bermasyarakat itu menjadi mungkin di antara makhluk-makhluk yang keji, bengis, dan buas ini? Hobbes menjawab bahwa karena pemeliharaan diri menjadi kepentingan asasi setiap individu, saling menerkam menjadi tidak rasional, sebab berlawanan dengan kepentingan asasi itu. Karena itu, Hobbes membayangkan sebuah “keadaan asali” (the state of nature), saat manusia-manusia mengadakan kontrak sosial, semacam perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial. Akan tetapi karena perjanjian macam ini rapuh, mereka menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodrati mereka semua kepada sebuah lembaga yang disebut negara. Katanya, perjanjian tanpa pedang adalah omongan saja, dan tak ada kekuatan yang mengamankan manusia. Karena itu manusia butuh negara yang memonopoli penggunaan kekerasan. Negara ini hanya memiliki hak atas rakyat untuk memaksakan norma-norma dan ketertibannya, dan tidak memiliki kewajiban, maka bersifat absolut. Dengan istilah ‘Leviathan’ dilukiskan bahwa negara seperti monster raksasa purbakala yang hidup di lautan. Namun daam gambar sampul buku itu dilukiskan bukan sebagai monster purba ala Kitab Suci, melainkan sebagai manusia raksasa yang terdiri atas banyak manusia-manusia kecil. Ini mengingatkan kita akan macroanthropos (manusia besar) dalam buku Plato Politeia.

Apakah peranan agama dalam kehidupan sosial? Hobbes berpendapat bahwa agama turut berperan sebagai sarana control sosial yang juga mencakup tipu muslihat dan angan-angan yang menyesatkan dalam rupa rangsangan terhadap rasa takut atau takhayul. Agama bersumber dari rasa takut manusia, maka bisa berfungsi memperbesar rasa takut itu untuk menciptakan ketertiban. Dengan fungsi ini, agama harus ortodoks, dan menurut Hobbes mengajarakan sebuah ajaran bidaah adalah sebuah kejahataan, sebab akan memunculkan anarki. Bersama Machiavelli, dia setuju bahwa agama dapat dipakai sebagai instrument politik.

Ajaran sosial Hobbes tentang absolutisme negara dan peran instrumental agama ini mendukung monarkisme. Hobbes mendukung bahwa raja harus memiliki kekuasaan mutlak atas rakyatnya. Baginya, demokrasi itu lemah, keropos, dan hanya bisa dilakukan di negara-negara kecil. Dalam negara yang besar pemerintahan haruslah absolut agar tidak terjadi kekacauan dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seoarang yang kuat dan memaksakan kehendak-kehendaknya secara efektif. Dewasa ini, secara sia-sia orang mengecam teori absolutisme Hobbes itu. Banyak negara menggembar-gemborkan demokrasi dan menolak absolutisme, tetapi dalam praktik diam-diam atau secara kasar malah mewujudkan teori Hobbes itu di berbagai bidang kehidupan sosial.

Sumber: Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzcsche. Jakarta: Gramedia.

4