85
1 PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR INTRINSIK DONGENG DENGAN METODE JIGSAW PADA SISWA KELAS V SDN BANDARDAWUNG 03 TAWANGMANGU TAHUN AJARAN 2009/2010 SKRIPSI Oleh: Asih Sulastri K.1206013 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 BAB I

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR …...METODE JIGSAW PADA SISWA KELAS V SDN BANDARDAWUNG 03 TAWANGMANGU TAHUN AJARAN 2009/2010 SKRIPSI ... menunjang pembentukan watak

Embed Size (px)

Citation preview

1

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI

UNSUR-UNSUR INTRINSIK DONGENG DENGAN

METODE JIGSAW PADA SISWA KELAS V SDN

BANDARDAWUNG 03 TAWANGMANGU

TAHUN AJARAN 2009/2010

SKRIPSI

Oleh:

Asih Sulastri

K.1206013

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

BAB I

2

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran sastra merupakan salah satu pembelajaran yang urgen.

Sastra turut memberikan kontribusi yang besar dalam usaha membina mental serta

memperkaya kehidupan rohani manusia. Sastra dapat memberi pengaruh yang

besar terhadap cara berpikir seseorang mengenai cara hidup diri sendiri dan suatu

bangsa. Sastra bukan merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan, tetapi

menampilkannya. Pendek kata, pembelajaran sastra merupakan satu kebutuhan

dalam rangka pembentukan moral bangsa.

Rahmanto (1998: 16) mengungkapkan empat manfaat pembelajaran

sastra, yaitu: (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan

pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta dan rasa, (4) menunjang

pembentukan watak. Sebuah karya sastra dapat membangkitkan daya kreativitas

serta imajinasi siswa. Rangsangan dari sebuah karya sastra mengedepankan

sebuah kesadaran kreatif sekaligus kesadaran kritis di dalam diri siswa yang akan

dibutuhkan oleh cabang ilmu apa pun yang dikehendaki.

Kajian dan identifikasi dongeng dapat memberi beberapa manfaat bagi

peserta didik, tetapi ada kekhawatiran yang muncul di kalangan pendidik (guru) di

SDN Bandardawung 03. Kekhawatiran ini disebabkan menurunnya minat dan

daya apresiasi siswa terhadap dongeng itu sendiri. Dalam perkembangannya,

dongeng semakin tergeser oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

(IPTEK). Padahal, di dalam dongeng dapat ditemukan sejumlah falsafah

kehidupan dan nilai-nilai positif yang sangat relevan dengan kehidupan siswa.

Mengacu pada survei awal yang telah peneliti lakukan, kemampuan

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa selama ini rendah. Hal ini

ditandai dengan nilai mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa yang

masih di bawah standar ketuntasan yang telah ditetapkan di SDN Bandardawung

03 yaitu 60. Siswa yang belum mencapai batas ketuntasan sebanyak 17 siswa. Hal

ini dapat dilihat dari hasil pretes kegiatan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

1

3

dongeng siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu berikut ini:

rentang nilai 31-40 diperoleh 5 siswa, rentang nilai 41-50 diperoleh 9 siswa,

rentang nilai 51-60 diperoleh 5 siswa, rentang nilai 61-70 diperoleh 5 siswa,

rentang nilai 71-80 diperoleh 3 siswa, rentang nilai 81-90 diperoleh 1 siswa.

Mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas pembelajaran (proses

belajar mengajar) yang dilaksanakna guru di kelas. Apabila terjadi penurunan

mutu pendidikan yang pertama kali harus dikaji adalah kualitas pembelajaran

(proses belajar mengajar) tersebut (Soedijarto, 1993: 102). Mengacu pada

pandangan Soedijarto tersebut, maka dapat dikatakan kondisi pembelajaran sastra

yang selama ini dilaksanakan di kelas V SDN Bandardawung 03 belum dapat

dikatakan baik, yakni pembelajaran masih berkiblat pada guru, guru yang lebih

aktif, sementara itu peran aktif siswa belum maksimal.

Konteks pembelajaran sastra yang terjadi di SDN Bandardawung 03

pada umumnya sangat bersifat teoretis, mononton, dan menjemukan. Guru lebih

banyak menekankan materi sastra (dongeng) dari sisi pengetahuan (ingatan)

semata dengan metode ceramah sebagai andalannya. Sehingga siswa-siswa tidak

tertarik dengan materi dongeng. Hal ini merupakan salah satu faktor

kekurangberhasilan pembelajaran dongeng yang terjadi pada siswa kelas V di

SDN Bandardawung 03.

Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang

berlangsung selama ini pun masih jauh dari harapan untuk mewujudkan

pembelajaran yang bermakna yang mampu meningkatkan kemampuan

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa. Pembelajaran yang ditemui

adalah pembelajaran yang masih memfokuskan pembelajaran pada penyampaian

materi, sehingga pembelajaran masih terpusat pada guru. Siswa hanya sebagai

objek dan bukan sebagai subjek dalam kegiatan belajar mengajar.

Kekurangberhasilan tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Berdasarkan

wawancara yang dilakukan dengan siswa diperoleh penjelasan bahwa siswa tidak

begitu menyukai pembelajaran dongeng, alasannya menurut mereka pembelajaran

dongeng membosankan. Terkait dengan kemampuan mengidentifikasi unsur-

unsur intrinsik dongeng yang pernah mereka terima, siswa menuturkan bahwa

4

pembelajaran yang sering dilaksanakan guru adalah dengan metode ceramah. Hal

tersebut menyebabkan siswa kurang memiliki andil yang besar terhadap

pembelajaran dan membuat siswa menjadi pasif. Hal senada diungkapkan oleh

guru, beliau menuturkan bahwa rata-rata siswa mempunyai kemampuan

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang masih rendah, hal itu

disebabkan ketidakmampuan siswanya dalam memahami secara baik dongeng.

Guru menilai para siswa pada umumnya belum mampu menentukan unsur-unsur

intrinsik dongeng.

Masalah tersebut dapat disikapi dengan suatu metode pembelajaran yang

dapat meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar mengajar

sehingga kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa

meningkat. Diharapkan dengan peningkatan kualitas proses pembelajaran, hasil

pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dapat meningkat.

Berdasarkan kesepakatan antara guru dan peneliti metode pembelajaran yang

digunakan adalah metode Jigsaw. Metode Jigsaw ini sangat tepat untuk

meningkatkan kemampuan identifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa kelas

V SDN Bandardawung 03, sebab dengan metode Jigsaw siswa bisa berperan aktif

dalam proses belajar mengajar, selain itu siswa bisa saling berpendapat untuk

menentukan unsur-unsur intrinsik di dalam sebuah dongeng.

Cole (dalam Sriyono, 2007: 6) menjelaskan metode Jigsaw merupakan

pembelajaran yang mengutamakan sifat kerja sama (gotong royong) antar siswa

(peserta didik) yang tersusun dalam suatu tim untuk mencapai tujuan bersama.

Tujuannya adalah untuk membangkitkan interaksi personal di dalam kelompok

melalui diskusi. Dalam hal ini aktivitas pembelajaran berpusat pada siswa.

Mereka mendengarkan penjelasan guru, mempelajari materi ajar, berdiskusi,

melaporkan, bertanya jawab dan memberikan simpulan materi yang didiskusikan.

Metode Jigsaw mempunyai kelebihan yaitu antara lain: (1) lebih efisien

dalam hal penyampaian materi, (2) membangun pengetahuan secara mendalam,

(3) memahami pendapat orang lain dan memecahkan kesalah pahaman mengeai

sutu topik, (4) membangun pemahaman konsep mengenai sesuatu hal yang harus

mereka pecahkan, dan (5) mengembangkan kelompok kerja dan kerjasama serta

5

kemampuan tim. Sementara itu, metode Jigsaw juga ada kelemahannya yaitu

antara lain: (1) dalam kelompok yang berpengalaman lebih, waktu tidak

seimbang, (2) siswa harus dilatih dalam metode Jigsaw, (3) memerlukan jumlah

yang sama pada kelompok-kelompok, dan (4) pengaturan kelas bisa menjadi

sebuah masalah (Slavin, 2008: 85).

Implikasi dari uraian di atas dalam kaitannya dengan penelitian ini

adalah perlu diterapkannya metode Jigsaw sebagai upaya meningkatkan

kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V

SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Penelitian yang digunakan adalah bentuk

Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti merumuskan

masalah sebagai berikut.

1. Apakah metode Jigsaw dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu?

2. Apakah metode Jigsaw dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti memiliki tujuan

sebagai berikut.

1. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu.

2. Meningkatkan kualitas hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SD

Bandardawung 03 Tawangmangu.

6

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoretis dan praktis, yaitu.

1. Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi khasanah teori yang terkait

dengan langkah-langkah penerapaan metode Jigsaw dalam pembelajaran sastra,

khususnya mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng serta dapat

mengantisipasi hambatan-hambatan yang muncul.

2. Praktis

a. Manfaat bagi siswa

1) Meningkatkan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng siswa dengan metode Jigsaw.

2) Meningkatkan motivasi belajar siswa.

3) Meningkatnya rasa kebersamaan siswa dalam bekerja kelompok.

b. Manfaat bagi guru

1) Meningkatnya kemampuan guru dalam mengajar identifikasi unsur-

unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw.

2) Meningkatkan kerjasama antara guru dan siswa, dan antar guru.

c. Manfaat bagi peneliti

1) Mengembangkan wawasan dan pengalaman peneliti.

2) Pengaplikasian teori yang telah diperoleh.

d. Manfaat bagi peneliti lain

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi maupun

bahan pijakan peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih

mendalam.

2) Sebagai acuan untuk melakukan penelitian berikutnya.

7

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra di SD

a. Pembelajaran Apresiasi Sastra di SD

Pembelajaran apresiasi dongeng diarahkan pada proses pemerolehan

pengalaman apresiasi dongeng agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan

karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan

kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, hal itu

berdasarkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bahasa Indonesia SD

khususnya pembelajaran apresiasi sastra. Agar dongeng dapat memenuhi tuntutan

kurikulum tersebut, diharapkan siswa mampu mengapresiasi dongeng tersebut

melalui unsur-unsur intrinsiknya. Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng

merupakan salah satu materi pembelajaran, sehingga untuk mencapai standar

kompetensi yang diharapkan perlu disampiakan dengan metode yang tepat.

Standar kompetensi yang hendak dicapai yaitu memahami penjelasan narasumber

dan cerita rakyat secara lisan, dengan kompetensi dasar mengidentifikasi unsur

cerita tentang cerita rakyat yang didengarnya. Pada dasarnya, pembelajaran bukan

sekedar kegiatan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Dalam

pembelajaran, konteks diciptakan secara nyata sehingga siswa tidak hanya

memperoleh pengetahuan tetapi pengalaman dan keterampilan.

Hasibuan (dalam Gino dkk, 2002: 32) memberikan batasan

pembelajaran, yaitu usaha sadar guru untuk membuat siswa belajar dengan

mengaktifkan faktor intern dan ekstern dalam belajar. Faktor intern yang

dimaksud di sini meliputi minat, perhatian, motivasi, dan lain-lain. Faktor ekstern

yang berpengaruh meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat.

Pembelajaran juga dapat diartikan pemerolehan pengetahuan tentang

suatu hal atau keterampilan melalui belajar pengalaman (Brown dalam Sri Rahayu

6

8

Mulyaningsih, 2007: 31). Menurut Moh. Uzer Usman (dalam Sri Rahayu

Mulyaningsih 2007: 32) pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung

serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang

berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Imain

Machfudz dan Wahyudi Siswanto (1997) menyatakan bahwa pembelajaran adalah

suatu proses sistematis yang tiap komponennya penting sekali bagi keberhasilan

pembelajaran. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembelajaran hanya berlangsung

manakala usaha tertentu dibuat untuk mengubah sedemikian rupa, sehingga suatu

hasil belajar tertentu bisa dicapai.

Mengacu pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran pada

hakikatnya adalah proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya. Interaksi

tersebut yang difasilitasi oleh guru yang menyebabkan terjadi perubahan perilaku

ke arah yang lebih baik sehingga dapat mencapai tujuan tertentu yang telah

ditetapkan sebelumnya. Perubahan yang terjadi karena proses pembelajaran.

Interaksi antar komponen merupakan faktor penting dalam keberhasilan

suatu proses belajar mengajar. Oleh karena itu, kerjasama antara guru dan siswa

sangat diperlukan demi kelancaran kegiatan belajar mengajar. Selain itu,

kesesuain metode dalam proses belajar pembelajaran juga sangat berpengaruh

dalam menentukan tercapai atau tidaknya tujuan belajar pembelajaran yang

dilakukan di dalam kelas.

Apresiasi berasal dari kata appreciation yang artinya pemahaman dan

pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang

memberikan penilaian (AS Hornby dalam Sumito A.Sayuti, 2002: 195). Dari

bahasa Latin, istilah apresiasi berasal dari kata apreciatio yang berarti

mengindahkan atau menghargai. Dalam arti yang lebih luas dikatakan Gove

(dalam Aminuddin, 1987: 34) Apresiasi mengandung makna: (1) pengenalan

melalui perasaan atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan

terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh penyair.

Sastra itu sendiri sulit untuk didefinisikan. Secara entimologi sastra

berasal dari bahasa Sansekerta akar kata Sas- artinya mengarahkan, mengajar,

memberi petunjuk/instruksi dan tra- menunjuk alat atau sarana. Dengan demikian

9

sastra berarti alat untuk mengajar (Teeuw, 1984: 23). Sastra adalah suatu bentuk

sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Sastra hadir untuk dibaca dan

dinikmati serta dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Selain

itu dikatakan oleh Teeuw (1984: 49-51) bahwa Teks sastra mengandung tiga

aspek utama yaitu decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectore

(memberikan kenikmatan melalui unsur estetik, dan movere (mampu

menggerakkan kreativitas pembaca).

Apresiasi sastra adalah pengenalan dan pemahan yang tepat terhadap

nilai sastra dan kegairahan kepadanya serta kenikmatan yang timbul sebagai

akibat dari semua itu. Effendi (2004: 6) mengartikan apresiasi sastra sebagai

menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga timbul pengertian,

penghargaan, kepekaan, pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap

cipta sastra. Suminto A.Sayuti (2002: 3) menyatakan bahwa apresiasi satra adalah

upaya memahami karya sastra, yaitu upaya agar dapat mengerti sebuah karya

sastra yang dibaca, baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang

internasional maupun yang aktual dan mengerti seluk beluk strukturnya.

Sementara Herman J. Waluyo (2002: 44) mendefinisikan apresiasi sastra sebagai

penghargaan atas karya sastra hasil pengenalan, memahaman, penafsiran,

pengahayatan, penikmatan atas kaya sastra tersebut yang didukung atas kepekaan

batin terhadap nilai yang terkandung dalam karya tersebut.

Hakikat pembelajaran sastra, menurut Robert E. Probst, haruslah

memampukan siswa menemukan hubungan antara pengalaman dengan cipta

sastra yang bersangkutan (Rizanur Gani, 1988: 14). Dalam hal ini siswa

diharapkan mampu menemukan hubungan antara pengalaman batinnya dengan

esensi cipta sastra yang dipalajari. Oleh karena itu, siswa belajar sastra harus

dihadapkan pada karya sastra yang bersangkutan agar siswa dapat berkomunikasi,

bergaul langsung dengan karya sastra tersebut. Kegiatan yang demikian itu

dinamakan kegiatan mengapresiasi sastra.

Sastra harus dapat memberikan sumbangan untuk pendidikan secara utuh

hal tersebut sesuai dengan tujuan karya sastra kepada pembaca. Sumbangan

tersebut dapat secara utuh jika mencangkup empat manfaat, yaitu untuk

10

menunjang keterampilan berbahasa (skill), meningkatkan pengetahuan sosial

budaya (knowledge), mengembangkan rasa karsa (development), membentuk

watak (character) (Moody dalam Sriyono, 2007: 45). Mengikutsertakan

pembelajaran sastra dalam kurikulum berarti membekali siswa untuk berlatih

menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis. Dengan membaca maupun

menyimak karya sastra dapat menambah pengetahuan sosial budaya karena di

dalam karya sastra mengandung ajaran tentang berbagai ilmu pengetahuan. Hal ini

sesuai dengan tugas pembelajaran sastra utama, yaitu memperkenalkan anak didik

dengan sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak

kebanggaan terhadap kebudayaannya sendiri. Dongeng merupakan salah satu

kebudayaan bangsa yang wajib kita lestarikan. Implikasi dalam pembelajaran

sastra demi kelestarian budaya bangsa adalah dengan adanya kompetensi dasar

yang berada pada silabus kelas V SD yaitu mengidentifikasi unsur cerita tentang

cerita rakyat yang didengarnya. Kompetensi dasar tersebut merupakan bentuk

partisipasi dunia pendidikan sehubungan dengan pelestarian budaya bangsa.

Selain untuk kelestarian budaya, pembelajaran sastra juga mampu

mengembangkan kecakapan peserta didik. Kecakapan yang dikembangkan dalam

pembelajaran sastra adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat

pemahaman, yang bersifat afektif dan sosial, serta religius. Yang berhubungan

dengan watak ada dua tuntutan alam pembelajaran sastra, yaitu pembelajaran

sastra hendaknya dapat memberikan perasaan yang lebih tajam dan pengajaran

sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan

berbagai kualitas kepribadian siswa seperti: tekun, pandai, pangimajinasian, dan

penciptaan.

Apresiasi sastra yang dilakukan dalam pembelajaran sastra di SD

merupakan bentuk apresiasi sastra anak. Bahan ajar harus sesuai dengan anak

didik sehingga pertimbangan usia anak didik menjadi pilihan utama.

Keberagaman tema, keberagaman pengarang, dan bobot atau mutu karya sastra

yang akan dijadikan bahan ajar juga menjadi pertimbangan yang matang.

Menentukan metode harus disesuaikan dengan kemampuan guru dan kebutuhan

serta kesesuaian dengan keadaan siswa. Menuliskan persiapan mengajar harian

11

merupakan salah satu bentuk keprofesionalan seorang guru. Penulisan PMH itu

juga menunjukkan bahwa guru siap secara lahir batin hendak menyampaikan

pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar.

Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar dapat

dimulai dari kegiatan pra-KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hingga KBM di

kelas. Kegiatan pra-KBM dapat dilakukan dengan memberi salinan atau kopi teks

sastra, diberi tugas membaca, menghafalkan, meringkas atau mencatat dan

menemukan arti kata-kata sukar yang terdapat dalam teks sastra. KBM di kelas

dapat dilakukan dengan memberi tugas membaca sajak, membaca cerita,

berdeklamasi atau mendongeng di depan kelas. Setelah itu baru diadakan tanya

jawab, menuliskan pendapat, dan berdiskusi bersama merumuskan isi, tema, dan

amanat.

Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga

komponen dasar evaluasi, yaitu: (a) kognisi, (b) afeksi, dan (c) keterampilan. Pada

umumnya dikenal dua bentuk penilaian, yaitu: (a) penilaian prosedur, yang

meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar, dan (b) instrumen

atau alat penilaian, yang meliputi tanya jawab, penugasan, tes esai dan pilihan

ganda.

b. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Proses Pembelajaran Apresiasi

Sastra

Suatu proses pembelajaran dikatan berhasil apabila tujuan yang telah

ditentukan dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan telah dapat dicapai

(Gino, dkk, 2002: 36-39). Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran tersebut

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu motivasi belajar, minat belajar, bahan ajar,

media belajar, suasana belajar, kondisi subjek yang belajar, kemampuan guru, dan

metode pembelajaran.

1) Motivasi Belajar

Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan yang timbul pada diri

seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan sesuatu tindakan untuk

mencapai tujuan tertentu. Untuk meningkatkan motivasi siswa dalam mengikuti

pembelajaran, guru dapat menempuh jalan sebagai berikut: (1) menghadapkan

12

siswa pada hal-hal yang menentang, misalnya dengan jalan mengadakan

penelitian, penyelidikan, percobaan, membuat sesuatu, dan kegiatan yang lain

yang sekiranya dapat memotivasi siswa; (2) membantu siswa yang kurang pandai

dalam pembelajaran, mendorongnya agar bisa lebih maju dan mau berusaha untuk

bisa mengikuti perkembangan teman-temannya yang lain yang memiliki

pengalaman lebih. Sementara itu, siswa yang sudah dapat mengikuti pembelajaran

dengan baik, guru harus bisa memotivasinya agar mau berusaha untuk lebih baik

lagi dan mau membantu temannya yang kurang mampu dalam pembelajaran.

2) Minat Belajar

Minat, artinya kecenderungan yang menetap, dimana si subjek merasa

tertarik dan senang dalam kegiatan suatu bidang. Untuk menarik minat siswa

mengikuti pembelajaran, hendaknya guru memilih media dan metode

pembelajaran yang sekiranya menarik bagi siswa misalnya, dengan mengajak

siswa belajar di luar kelas. Minat siswa mempengaruhi prestasi belajar.

3) Bahan Belajar

Bahan belajar merupakan isi dalam pembelajaran. Bahan atau materi

yang digunakan dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan yang akan

dicapai oleh siswa dan harus sesuai dengan karakteristik siswa agar diminati oleh

siswa. Pemilihan materi pembelajaran yang dilakukan secara teliti dan digunakan

secara bijaksana, akan memunculkan suatu motivasi bagi siswa untuk merespon

pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

4) Media Belajar

Media dalam belajar merupakan alat yang dapat membantu siswa untuk

mencapai tujuaan belajar, misalnya media cetak (buku-buku, surat kabar, majalah)

dan media elektronik (radio, televisi, komputer, tape recorder dan lain-lain). Alat

bantu belajar adalah semua alat yang digunakan dalam kegiaran belajar-mengajar,

dengan maksud untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari sumber belajar

(guru) kepada penerima (siswa). Media yang digunakan harus sesuai dengan

tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, sesuai dengan tingkat perkembangan

siswa, sesuai dengan kurikulum yang berlaku serta dapat menarik minat, perhatian

dan motivasi siswa untuk ikut dalam proses pembelajaran yang berlangsung.

13

5) Suasana Belajar

Suasana belajar merupakan situasi dan kondisi yang ada dalam

lingkungan tempat proses pembelajaran yang berlangsung. Suasana yang dapat

mendukung kegiatan pembelajaran, yakni.

a) Suasana kekeluargaan yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang

lancar antara guru dan siswa, sehingga dapat memperlancar kegiatan belajar

mengajar yang terjadi. Dengan hubungan yang akrab, maka siswa akan

berani untuk mengungkapkan pendapatnya dalam setiap kegiatan

pembelajaran yang terjadi.

b) Suasana sekolah yang nyaman, tenang serta menyenangkan untuk

melaksanakan pembelajaran.

c) Kelas diatur secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan siswa yang belajar,

sehingga suasana bebas tetapi tetap disertai dengan pengawasan dari guru.

d) Jumlah siswa dalam kelas tidak terlalu banyak sehingga memungkinkan

bagi guru untuk memberi perhatian yang cukup merata pada seluruh siswa.

e) Siswa belajar secara bervariasi, misalnya dengan berdiskusi, discovery,

mengadakan eksperimen, atau dengan mengadakan study tour untuk

menghindari kejenuhan dalam belajar.

6) Kondisi Siswa yang Belajar

Kondisi siswa adalah keadaan siswa pada saat kegiatan belajar-mengajar

belangsung. Kondisi yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya keadaan fisik

siswa, melainkan juga keadaan psikis siswa. Apabila siswa sedang sakit, maka

secara otomatis siswa tidak akan dapat mengikuti pembelajaran secara maksimal.

Begitu juga apabila siswa dalam keadaan jiwa yang tertekan, atau sedang

mempunyai masalah, siswa juga tidak akan dapat belajar dengan baik. Selain itu,

guru juga harus memperhatikan kondisi kemampuan siswa dalam mengikuti dan

menerima materi dalam kegiatan belajar-mengajar. Apabila kemampuan siswa

kurang, maka guru harus berusaha untuk membantu siswa tersebut untuk

memahami materi yang diberikan. Namun apabila siswa memiliki kemampuan

yang lebih, maka guru harus bisa mengajar dengan baik agar tidak membosankan.

14

7) Kemampuan Guru

Kemampuan guru yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan guru

dalam menyampaikan materi, dalam mengelola kelas, serta dalam mengatasi

berbagai masalah yang mungkin terjadi selama proses belajar-mengajar

berlangsung. Guru harus bisa menyampaikan materi dengan cara yang tepat dan

tidak membosankan, namun tidak terkesan mempengaruhi. Selain itu, dalam

menyampaikan materi guru harus bisa memilih metode dan cara yang tepat agar

dapat menarik minat siswa untuk mengikuti pembelajaran. Guru harus bisa

mengelola kelas dengan baik, misalnya dengan memberikan perhatian yang

merata pada seluruh siswa yang ada di kelas tersebut, baik yang di depan maupun

yang di belakang. Guru harus mampu memotivasi siswa agar mau aktif dalam

kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung. Guru harus bisa membuat siswa

manaruh perhatian penuh pada kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung.

Seorang guru harus bisa mengatasi masalah yang mungkin saja muncul

di kelas tempatnya mangajar. Misalnya saja ada siswa yang tidak mau

memperhatikan pembelajaran yang diberikan. Ia justru membuat kekacauan di

dalam kelas. Maka guru harus bisa mengambil tindakan yang dapat membuat anak

tersebut jera, dan tidak mengulang perbuatan tersebut dengan cara menegurnya.

Apabila cara tesebut tidak berhasil, guru dapat memberikan suatu punishment

pada siswa tersebut agar dia menjadi jera.

8) Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran merupakan aspek penting dalam kemajuan

pendidikan di sekolah. Apalagi saat ini, Indonesia mulai berbenah diri dalam

pelaksanaan pendidikan bagi warganya melalui diversifikasi (penganekaragaman)

kurikulum yang dapat melayani kemampuan sumber daya manusia, kemampuan

siswa, sarana pembelajaran, dan budaya di daerah. Diversifikasi kurikulim

tersebut pada akhirnya dapat menjamin hasil pendidikan bermutu yang dapat

membentuk masyarakat Indonesia yang damai/sejahtera, demokratis, dan budaya

saing untuk maju

Nana Sujana (2002: 76) mengemukakan bahwa metode pembelajaran

adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa

15

pada saat berlangsungnya pengajaran. Muhibbin Syah (1995) menjelaskan bahwa

metode pembelajaran merupakan cara yang bersifat prosedur untuk melaksanakan

kegiatan pendidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada

siswa. Metode pembelajaran adalah bagian dari seperangkat alat dan cara dalam

melaksanakan suatu srategi pembelajaran.

Mengacu pada beberapa ahli di atas, dapat dikemukakan bahwa metode

pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan guru dalam memberdayakan

komponen-komponen pembelajaran terkait secara optimal sehingga pencapaian

tujuan pembelajaran dapat terwujud sesuai dengan target dan kriteria yang telah

ditentukan. Sehingga tujuan proses belajar pembelajaran dapat tercapai dengan

baik dan sesuai dengan indikator ketercapaian.

Keefektifan penggunaan suatu metode tergantung pada seorang guru,

karena guru sebagai pelaku dalam menggunakan metode tersebut. Suatu metode

hasilnya baik untuk seorang guru dalam mengajarkan sastra, belum tentu hasilnya

sama jika metode tersebut digunakan oleh guru yang lain. Dalam pembelajaran

sastra, keaktifan guru dan siswa secara bersama-sama merupakan syarat mutlak

untuk mencapai tujuan pembelajaran sastra yang apresiatif. Pembelajaran sastra

selama ini menggunakan metode ceramah yang sebenarnya kurang efektif apabila

diterapkan. Proses belajar pembelajaran dengan metode ceramah, guru cenderung

dominan menguasai kelas, sehingga peran aktif siswa dalam proses belajar

pembelajaran sangat kurang. Hal ini merupakan salah satu faktor

kekurangberhasilan pembelajaran sastra. Dibutuhkan suatu metode pembelajaran

agar apresiasi sastra berhasil dengan hasil yang memuaskan yaitu siswa mampu

mengulas sastra yang mereka dengar dengan baik dan benar.

2. Hakikat Dongeng

a. Pengertian Dongeng

Indonesia mempunyai kekayaan tradisi berupa budaya tulis (kitab, nota-

perjanjian, stempel) dan budaya tutur (pantun, puisi tradisional, dongeng).

Penikmat budaya tulis dan tutur secara umum dapat dibedakan dari segi umur,

gender, tingkat lapisan masyarakat maupun suku bangsanya. Budaya tutur

16

merupakan budaya yang bersifat nir-literatur dan budaya tulis bersifat literatur,

oleh karena itu keduanya mempunyai keunikan dan kelebihan sendiri. Sedangkan

dongeng merupakan salah satu jenis kebudayaan tutur yang disamapikan dari lisan

ke lisan secara turun temurun.

Dongeng adalah cerita sederhana yang tidak benar-benar terjadi,

misalnya kejadian-kejadian aneh di jaman dahulu. Dongeng berfungsi

menyampaikan ajaran moral dan juga menghibur. Dongeng termasuk cerita

tradisional. Cerita tradisional adalah cerita yang disampaikan secara turun

temurun. Suatu cerita tradisional dapat disebarkan secara luas ke berbagai tempat.

Kemudian, cerita itu disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.

James Danandjaja (1991: 22) menyatakan bahwa dongeng adalah cerita

rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan

dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Dongeng diceritakan terutama

untuk hiburan, walaupun banyak juga dongeng yang melukiskan kebenaran, berisi

ajaran moral, bahkan sindiran. Karena dongeng merupakan cerita sederhana dan

tradisional, dongeng mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan karya sastra lain.

Apabila karya sastra modern dibuat berdasarkan isi hati dan kemampuan

pengarang. Suatu dongeng tidak diketahui secara pasti pengarang ataupun sumber

cerita awal berasal darimana, sebab dongeng disamapaikan secara turun temurun

dalam jangka waktu yang lama. Adapun ciri-ciri dongeng, yaitu: (1) alur

sederhana; (2) singkat; (3) tokoh tidak diurai secara rinci; (4) penceritaan secara

lisan; (5) pesan dan tema ditulis dalam cerita; (6) pendahuluan singkat dan

langsung.

Dongeng mempunyai kalimat pembuka dan penutup yang bersifat klise,

contoh: pada zaman dahulu, hiduplah seorang raja dan mereka hidup bahagia

selama-lamanya; alkisah, pada suatu hari, …dan mereka hidup dengan rukun dan

bahagia, dan sebagainya. Dalam sebuah dongeng tema sangat penting karena tema

merupakan unsur pokok yang harus terpenuhi dalam sebuah karya. Biasanya,

suatu dongeng mempunyai tema antara lain.

1) Moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan.

2) Kejadian yang terjadi di masa lampau, di suatu tempat yang jauh sekali

17

3) Tugas yang tak mungkin dilaksanakan.

4) Mantra ajaib, misalnya mantra untuk mengubah orang menjadi binatang.

5) Daya tarik yang timbul melalui kebaikan dan cinta.

6) Pertolongan yang diberikan kepada orang baik oleh makhluk dengan kekuatan

ajaib.

7) keberhasilan anak ketiga atau anak bungsu ketika sang kakak gagal.

8) Kecantikan dan keluhuran anak ketiga atau anak bungsu.

9) Kecemburuan saudara kandung yang lebih tua.

10) Kejahatan ibu tiri.

Indonesia mempunyai ribuan budaya tutur yang tersebar di seluruh

penjuru Nusantara. Budaya tutur merupakan ajaran tersirat menyangkut

pembelajaran moral, seperti yang disampaikan di dalam pantun, lagu tradisional,

fabel, legenda, epik maupun cerita rakyat lainnya. Pembelajaran moral yang

tersirat ini merupakan metode efektif, khususnya dalam mendidik anak-anak lewat

penceritaan dongeng. Menurut Anti Arne dan Stith Thompson (2008) dongeng

dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu : (1) dongeng binatang; (2) dongeng

biasa; (3) lelucon atau anekdot; (4) dongeng berumus.

1) Dongeng binatang (fabel)

Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi oleh binatang

peliharaan atau binatang liar. Binatang dalam cerita jenis ini dapat berbicara atau

berakal budi seperti manusia. Di Negara-negara Eropa binatang yang sering

muncul menjadi tokoh adalah rubah, di Amerika Serikat binatang itu adalah

kelinci, di Indonesia binatang itu Kancil dan di Filipina binatang itu kera. Semua

tokoh biasanya mempunyai sifat cerdik, licik dan jenaka.

2) Dongeng biasa

Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia atau

biasanya adalah kisah suka duka seseorang, misalnya dongeng Ande-Ande Lumut,

Joko Kendil, Joko Tarub, Sang Kuriang serta Bawang Putih dan Bawang Merah.

Dalam dongeng ini biasanya terdapat dua jenis tokoh. Tokoh yang berlawanan

digambarkan dalam bentuk yang berlawanan juga.

18

3) Lelucon atau anekdot

Lelucon atau anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan tawa

bagi yang mendengarnya maupun yang menceritakannya. Meski demikian, bagi

masyarakat atau orang menjadi sasaran, dongeng itu dapat menimbulkan rasa sakit

hati. Rasa sakit timbul karena mereka merasa tersindir.

4) Dongeng Berumus

Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari

pengulangan. Dongeng ini ada tiga macam, yaitu dongeng bertimbun banyak

(cumulative tales), dongeng untuk mempermainkan orang (catch tales), dan

dongeng yang tidak mempunyai akhir (endless tales). Dongeng berumus jarang

kita temui.

Pelaku atau tokoh dalam sebuah dongeng, bukanlah manusia biasa

seperti dalam sebuah karya sastra modern, karena dongeng bersifat istana sentris

atau hidup di sekitar istana dan terjadi pada masa lalu. Pelaku atau tokoh antara

lain seperti: (1) dewa dan dewi, ibu dan saudara tiri yang jahat, raja dan ratu,

pangeran dan putri, ahli nujum; (2) peri, wanita penyihir, raksasa, orang kerdil,

putri duyung, monster; (3) binatang, misalnya ikan ajaib dan kancil; (4) kastil,

hutan yang memikat, negeri ajaib; (5) benda ajaib, misalnya lampu ajaib, cincin,

permadani, dan cermin. Sedangkan tokoh dalam sastra modern bersifat umum.

Mengacu pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dongeng adalah

cerita prosa rakyat yang berupa cerita rekaan. Dongeng disampaikan secara turun

temurun sebagai penghibur sekaligus petuah bagi pendengarnya. Penceritaan

dongeng diawali dan diakhiri dengan kalimat klise dan selalu berakhir bahagia.

b. Pengertian Unsur-unsur Intrinsik Dongeng

Cerita dibentuk oleh dua bagian besar unsur yaitu unsur intrinsik dan

unsur ekstrinsik dimana unsur intrinsik disebut sebagai unsur dalam yang

membentuk suatu cerita sedangkan unsur ekstrinsik disebut unsur luar yaitu

unsur-unsur pendukung terciptanya suatu cerita. Semi, (1988: 35) menyatakan,

struktur fiksi itu secara garis besar dibagi alas dua bagian, yaitu: (1) Struktur luar

ekstrinsik dan (2) struktur dalam (instrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) segala

macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi

19

kehadiran sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan,

faktor sosiol politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Struktur

dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut

seperti: penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengesahan, latar,

gaya bahasa dan amanat.

Agus Suyoto (2009) menyatakan bahwa unsur-unsur intrinsik adalah

unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya

sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba

memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat

ditemukan di dalam karya sastra itu atau secara eksplisit terdapat dalam karya

sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan

dunianya sendiri yang berberda dari dunia nyata.

Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi

yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya

sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara

eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Pada umumnya para ahli sepakat bahwa

unsur intrinsik terdiri dari: tokoh, penokohan/perwatakan tokoh, tema, amanat,

latar, alur, sudut pandang/gaya penceritaan.

a) Tema

Prosa fiksi harus mempunyai tema atau dasar, karena tema inilah yang

paling penting dari keseluruhan cerita. Tema adalah pikiran pokok yang

mendasari suatu cerita. Tema tersebut kemudian dikembangkan menjadi jalinan

cerita yang disampaikan melalui tokoh, setting, dan suasananya. Untuk

mengetahui tema, ketika membaca karya sastra Anda dapat bertanya “Masalah

apakah yang dibahas dalam cerita di atas?” jawaban dari pertanyaan itu adalah

tema. Sebuah cerita rekaan yang tanpa tema sama sekali adalah cerita rekaan yang

tidak mempunyai tujuan apa-apa, sehingga dapat saja dianggap sebagai sastra

yang tak berguna atau tak berfungsi (S.Tasrif, dalam Mido, 1994).

Tema (theme), menurut Stanton (1965: 88) dan Kenny (1966: 20), adalah

makna yang terkandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita (dalam Burhan

Nurgiantoro, 2002: 67). Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial

20

budaya, perjuangan, teknologi, dan tradisi yang terkait erat dengan masalah

kehidupan. Henry Guntur Tarigan (1993: 160) menyatakan bahwa tema adalah

gagasan utama atau pikiran pokok, dalam karya sastra imajinatif merupakan

pikiran yang akan ditemui oleh pembaca yang cermat sebagai akibat dari

membaca karya sastra tersebut. Tema sering disebut juga sebagai dasar cerita,

yakni pokok permasalahan yang mendominasi karya sastra. Tema juga dapat

dikatakan sebagai permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam

menyusun cerita atau karya sastra, sekaligus maupakan pernasalahan yang ingin

dipecahkan dalam karya tersebut.

b) Tokoh dan Penokohan

Prosa fiksi sudah pasti terdiri dari sejumlah peristiwa atau kejadian yang

dialami oleh para tokoh cerita yang beraksi atau bereaksi. Mungkin konflik yang

terjadi antara tokoh dengan tokoh, antar tokoh dengan lingkungan, antar tokoh

dengan alam sekitar, bahkan dapat saja antara tokoh dengan dirinya sendiri,

dengan nasibnya, dan dengan kekuatan adikodrati. Jelasnya, tanpa tokoh mustahil

ada cerita dan tanpa cerita tak ada karya sastra. Tokoh cerita biasa dibedakan

berdasarkan peranannya dan berdasarkan perwatakkannya. Berdasarkan

peranannya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi menjadi tokoh utama, tokoh

pembantu dan tokoh tambahan (Mido, 1994). Berdasarkan perwatakannya, tokoh

cerita dapat dibedakan menjadi empat yaitu tokoh statis, tokoh dinamis, tokoh

datar dan tokoh bulat (Mido, 1994). Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 178),

tokoh cerita dapat pula dibedakan berdasarkan fungsi penampilannya, yakni tokoh

protagonis dan tokoh antagonis.

Agus Suyoto (2009) menjelaskan bahwa tokoh adalah individu

ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau pelaku dalam

berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula

berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Berdasarkan fungsi tokoh dalam

cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan.

Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita

Melani Budianta (2002) menyatakan bahwa tokoh dalam karya sastra

adalah individu rekaan yang hanya diungkapkan satu segi wataknya yang

21

mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.

Ditambahkan oleh Burhan Nurgiantoro (2002: 165) bahwa istilah tokoh menunjuk

pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran

yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Cerita rakyat pasti memiliki tokoh. Kehadiran tokoh dalam cerita sangat

penting. Melalui tokoh cerita, suatu jalinan konflik dapat dibangun sehingga

menjadi sebuah cerita yang utuh. Tokoh akan menggambarkan makna sesuai

dengan alur cerita secara keseluruhan dan mengarah pada tujuan yang hendak

dicapai. Sementara itu, penokohan adalah perihal proses penempatan tokoh-tokoh

di dalam cerita. Penokohan dalam cerita biasanya direalisasikan melalui tokoh

atau pelaku cerita.

Tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh

bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam

cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) tokoh sentral protagonis,

yaitu tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai

positif; (2) tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan

yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu

tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) tokoh andalan.

Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral

(baik protagonis ataupun antagonis); (2) tokoh tambahan. Tokoh tambahan

adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa sebuah cerita;

(3) tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi

sebagai latar cerita saja.

Penokohan berkenaan dengan cara pengarang menampilkan watak

tokoh-tokohnya dan bagaimana watak masing-masing tokoh tersebut. Ada

beberapa cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokohnya

yaitu, dengan cara menjelaskan karakter tokoh secara eksplisit, menampilkan

dialog dengan tokoh lain, melukiskan tempat atau lingkungan tokoh, memberi

penjelasan melalui tokoh lain, dan melukiskan tingkah laku, cara berpakaian, dan

22

reaksi tokoh terhadap suatu kejadian. Ada dua metode penyajian watak tokoh,

yaitu.

1) Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara

memaparkan watak tokoh secara langsung.

2) Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui

pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan

dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau

tempat tokoh.

Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988: 52), ada lima cara

menyajikan watak tokoh, yaitu: (1) melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-

tindakannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis; (2) melalui

ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut

orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus; (3) melalui

penggambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran-pikirannya; (5) melalui penerangan

langsung. Jadi tokoh dapat disajikan menurut keadaan.

c) Alur/ Plot

Plot adalah kejadian yang sengaja diciptakan penulis. Kilas balik atau

flashback (atau bahkan kejadian di masa depan) dapat digunakan sama efektifnya

dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa

dalam cerita rekaan. Burhan Nurgiantoro (2002: 110) menyatakan bahwa plot

merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang

menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.

Sedangkan Luxemburg (1992: 149) memberikan batasan bahwa plot atau alur

adalah konstruksi yang dibuat pembaca melalui sebuah deretan peristiwa yang

secara logis dan kronologis saling berkaitan, yang diakibatkan atau dialami oleh

para pelaku. Plot atau alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian cerita

yang terdapat dalam cerita. Plot juga dapat diartikan sebagai bagian rangkaian

perjalanan cerita yang tidak tampak.

Plot atau alur juga dapat diartikan sebagai jalan cerita yang berupa

peristiwa. Peristiwa yang disusun satu persatu dan berkaitan menurut hukum

sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Secara tradisional, ada lima tahapan

23

alur, yaitu: (1) perkenalan (pengarang mengenalkan cerita, tokoh-tokoh dan

wataknya, dan setting yang mendasari cerita itu); (2) pertikaian (pengarang mulai

menampilkan pertikaian yang dialami tokoh baik dengan tokoh lain maupun

dengan lingkungannya.); (3) perumitan (pertikaian mulai memuncak); (4) klimaks

(pertikaian mencapai puncak); (5) peleraian (penyelesaian pertikaian dengan

berbagai cara).

Alur mempunyai beberapa jenis, yaitu: (1) alur rapat dan alur renggang.

Alur rapat adalah alur yang terbentuk apabila alur pembantu mendukung alur

pokoknya. Alur renggang sebaliknya; (2) alur tunggal dan alur ganda. Alur

tunggal adalah alur yang hanya terjadi pada sebuah cerita yang memiliki satu jalan

cerita saja, biasanya terjadi pada cerpen. Sebaliknya, alur ganda adalah alur yang

terjadi pada sebuah cerita yang memiliki jalan cerita lebih dari satu, biasanya ada

pada novel; (3) alur maju dan alur mundur. Alur maju adalah dan alur terbuka

yang jalan ceritanya dimulai dari peristiwa pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya

sampai cerita itu berakhir. Sebaliknya, alur mundur adalah alur yang jalan

ceritanya dimulai dari peristiwa akhir kemudian kembali ke peristiwa pertama,

kedua, dan seterusnya sampai kembali ke peristiwa yang terakhir tadi.

d) Latar (Setting)

Kita cenderung berfikir bahwa latar hanyalah sekedar ruang dan waktu

tempat cerita berlangsung. Kejadian harus berlangsung di suatu tempat dan dalam

kurun waktu tertentu (hari, musim, tahun). Latar bisa memperkaya suasana dan

atmosfer cerita, yang akan mempengaruhi apa yang diserap pembaca. Latar bisa

bersifat simbolik. Misalnya cerita tentang perjalanan seorang tokoh di tengah

gurun pasir mencari oasis, bisa disimbolkan sebagai perjalanan dari neraka ke

surga. Latar juga mencerminkan perjalanan emosional tokoh. Latar pun bertindak

sebagai sebuah karakter, mempengaruhi pilihan karakter-karakter lain, dan

mempengaruhi plot.

Latar atau biasa disebut dengan setting merujuk pada pengertian tempat,

hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa dalam cerita.

Latar memberikan kesan realistis kepada pembaca. Latar dibedakan menjadi tiga

unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Latar tempat merujuk pada lokasi

24

terjadinya peristiwa, latar waktu berhubungan dengan masalah kapan peristiwa

terjadi dan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat dalam cerita.

Latar juga dapat diartikan sebagai gambaran tempat, waktu, dan segala

situasi di tempat terjadinya peristiwa. Unsur waktu dapat dibedakan menjadi

waktu kini, masa lalu, masa depan, dan waktu tak tentu. Unsur tempat dapat

dibedakan menjadi tiga, yaitu tempat yang dikenal, tempat yang tidak dikenal, dan

tempat khayalan. Unsur suasana juga mempunyai tiga kemungkinan, yaitu

suasana alamiah, suasana sosio kultural, dan suasana batiniah. Suasana alamiah

adalah suasana yang berhubungan dengan alam, misalnya suasana desa, kota, dan

lain-lain. Suasana sosiokultural adalah suasana yang berkaitan dengan tatacara

hidup, adat istiadat, keyakinan, dan lain-lain. Suasana batiniah adalah suasana

sebagai akibat pengaruh interaksi antar tokoh, atau antar tokoh dengan

lingkungannya.

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan

dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar

dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok: (1) latar tempat, mengacu pada lokasi

terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (2) latar waktu,

berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang

berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan

dalam karya fiksi. Latar sosial bisa mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat,

tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta status sosial.

e) Amanat

Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh

pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit dan

eksplisit. Implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam

tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu

dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan yang

berhubungan dengan gagasan utama cerita.

25

Amanat juga dapat diartikan pesan moral yang ada pada sebuah cerita.

Ketika membaca sebuah cerita. Amanah disampaikan melalui tema, jalinan cerita,

peristiwa, dan tokoh-tokohnya. Amanah tidak disampaikan secara eksplisit.

Pembaca sendirilah yang menyimpulkannya.

3. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra dengan Metode Jigsaw

a. Hakikat Metode Jigsaw

Metode Jigsaw sering dapakai dalam dunia pendidikan sebagai alternatif

yang menarik. Berdasarkan penelitian terdahulu metode jigsaw telah mampu

menciptakan situasi yang kondusif bagi proses pendewasaan dan pengembangan

kepribadian siswa tanpa mengorbankan aspek kognif. Ada satu prinsip yang perlu

diingat dalam kehidupan bermasyarakat, dunia pekerja maupun dalam

pembelajaran di kelas yaitu kemampuan bersinergi merupakan kunci keberhasilan.

Penataan ruang kelas dalam metode Jigsaw, perlu memerhatikan prinsip-

prinsip tertentu (Anita Lie, 2005:57). Bangku perlu ditata sedemikian rupa

sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas, bisa

melihat rekan-rekan kelompokknya dengan baik, dan berada dalam jangkauan

kelompoknya dengan merata. Kelompok bisa dekat satu sama lain, tetapi tidak

mengganggu kelompok yang lain dan guru bisa menyediakan sedikit ruang

kosong di salah satu bagian kelas untuk kegiatan lain.

Jigsaw merupakan salah satu jenis pembelajaran kooperatif dalam pendekatan CTL (Contextual Teaching ang Learning). Teknik ini digunakan untuk mengembangkan kemampuan membaca, memahami, mendengarkan, memecahkan masalah dan mempresentasikan sekaligus mengembangkan kerjasama (Anita Lie, 2005: 69).

Siswa dalam metode pembelajaran Jigsaw ini, belajar di dalam

kelompok heterogen dan beranggotakan 4 sampai 6 orang yang disebut kelompok

asal. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas penguasaan bagian dari

materi belajar yang ditugaskan kepadanya, kemudian mengajarkan bagian tersebut

kepada anggota kelompoknya. Masing-masing anggota kelompok yang mendapat

tugas penguasaan bagian materi itu disebut ahli. Anggota dari kelompok yang

berbeda bertemu untuk berdiskusi “antarahli”. Mereka dapat saling membantu

26

satu sama lain tentang topik yang ditugaskan, serta mendiskusikannya. Setelah itu

siswa pada “kelompok ahli” kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan

materi tersebut kepada anggota yang lainnya tentang apa yang dibahas/dipelajari

dalam “kelompok ahli” (Arend Richard dalam Sriyono, 2007: 65).

Pengertian Jigsaw dalam pembelajaran kooperatif adalah satu tipe

pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok

yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu

mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arend

Richard dalam Sriyono, 2007: 67). Jigsaw menggabungkan konsep pengajaran

pada teman sekelompok atau teman sebaya dalam usaha membantu belajar.

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab untuk pembelajarannya

sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Penn State (2007) mengemukakan

pendapatnya mengenai metode Jigsaw sebagai berikut.

The jigsaw process encourages listening, engagement, and empathy by giving each member of the group an essential part to play in the academic activity. Group members must work together as a team to accomplish a common goal; each person depends on all the others. No student can succeed completely unless everyone works well together as a team. This "cooperation by design" facilitates interaction among all students in the class, leading them to value each other as contributors to their common task (Penn State: 2007). Metode Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan menyimak dan rasa

empati dengan memberi setiap anggota kelompok sebuah peran penting untuk

berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Anggota kelompok harus bekerja

bersama-sama sebagai satu tim untuk mencapai tujuan bersama; tiap anggota

tergantung pada anggota yang lain. Tidak ada siswa yang bisa berhasil jika setiap

siswa tidak bekerja sama dengan baik sebagai satu tim. “disain kooperatif” ini

membangkitkan interaksi antar semua siswa dalam kelas, menuntun mereka untuk

menilai satu sama lain sebagai kontributor untuk tugas bersama mereka.

Slavin (2008: 122) menjelaskan bahwa dalam Jigsaw, siswa bekerja

dalam kelompok heterogen. Siswa diberikan bab atau unit-unit lain untuk dibaca,

dan juga diberikan ‘lembaran ahli’ yang berisi topik-topik untuk setiap anggota

kelompok yang harus diperhatikan ketika membaca. Setelah semua siswa selesai

27

membaca, siswa dari kelompok yang berbeda dengan topik yang sama berkumpul

di kelompok ahli untuk membicarakan topik mereka selama kurang lebih tiga

puluh menit. Para ahli kemudian kembali pada kelompoknya masing-masing dan

mengambil alih peran, yaitu mengajarkan pada teman sekelompoknya tentang

topik tersebut. Akhirnya siswa diberi ulangan atau penugasan yang meliputi

semua topik, nilai ulangan menjadi nilai kelompok. Skor atau nilai yang

disumbangkan siswa pada kelompokknya berdasarkan pada sistem penilaian

perkembangan atau kemajuan individual, dan siswa yang mempunyai skor

kelompok tinggi dapat menerima penghargaan. Oleh karena itu, siswa termotivasi

untuk mempelajari materi dengan baik dan bekerja keras dalam kelompok ahlinya

sehingga mereka apat membantu teman sekelompoknya dengan baik. Kunci dari

Jigsaw adalah ketergantungan: setiap siswa mengandalkan teman sekelompoknya

untuk memberikan informasi agar dapat mengerjakan tes dengan baik.

Metode Jigsaw melibatkan partisipasi aktif individu dan kerjasama

kelompok. Dengan peyususnan pelajaran sedemikian rupa sehingga setiap anggota

kelompok memiliki informasi yang unik dan pengaruh tertentu. Hasil kelompok

tidak lengkap bila tanpa masing-masing kelompok melakukan bagiannya. Hal

tersebut diibaratkan sebagai Jigsaw Puzzel yang tidak lengkap tanpa setiap

kepingan digabungkan (Brophy dalam Sri Rahayu Mulyaningsih, 2007: 37).

Anita Lie (2005: 69) mengatakan bahwa Jigsaw dapat digunakan dalam

beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,

matematika, agama dan bahasa. Dalam Jigsaw ini, siswa bekerja dengan sesama

siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk

mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan informasi. Pembelajaran

dengan metode Jigsaw terdiri dari siklus kegiatan-kegiatan instruksional yang

tetap. Seperti yang dinyatakan oleh Slavin (2008: 124).

Siklus-siklus pembelajaran Jigsaw adalah sebagai berikut: (1) membaca: siswa menerima topik-topik dan membaca materi yang diberikan untuk menemukan informasi; (2) diskusi kelompok ahli atau pakar: siswa yang membahas topik yang sama bertemu untuk membahasnya dalam kelompok ahli; (3) laporan kelompok: para ahli kembali ke kelompoknya masing-masing dan menjelaskan topik mereka pada anggota

28

kelompokknya; (4) tes: siswa mengerjakan tes individu yang berisi semua topik; (5) penghargaan kelompok: skor kelompok dihitung. Penghargaan kelompok diberikan kepada kelompok yang berhasil

memeroleh rata-rata nilai kelompok (rata-rata nilai quis) di atas batas tuntas.

Kelompok yang memeroleh nilai rata-rata tertinggi adalah kelompok yang berhak

mendapat predikat superteam. Peringkat kedua mendapat predikat gretteam.

Peringkat ketiga mendapat predikat goodteam, dan peringkat keempat mendapat

predikat dreamteam (Slavin, 2008: 80).

b. Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Metode Jigsaw

Langkah-langkah yang diambil ketika pembelajran Jigsaw akan

dilakukan, Aronson (1978) merekomendasikan sebagai berikut:

1) membagi siswa kedalam kelompok-kelompok, tiap kelompok beranggotakan

4-6 siswa. setiap kelompok diusahakan heterogen dalam hal jenis kelamin,

suku dan yang paling penting adalah kemampuan;

2) menunjuk salah satu siswa dalam setiap kelompok sebagai ketua kelompok.

Pilihan ini didasarkan pada kriteria kedewasaan siswa dalam kelompok;

3) membagi materi ke dalam empat atau lima bagian;

4) menugaskan siswa dalam kelompok untuk mengupas satu bagian dari materi

yang telah dibagi. Arahkan siswa agar mereka hanya mendapat satu bagian

dan mempelajari bagian mereka sendiri;

5) memberikan waktu kepada siswa untuk membaca bagiannya sehingga mereka

mengatahui apa yang harus mereka lakukan. Siswa tidak perlu menghafal

materi, tetapi harus mengetahui bagian mana yang harus mereka pahami;

6) membentuk kelompok ahli, yang diambil dari setiap kelompok dengan bagian

yang sama, berkelompok untuk mendiskusikan masalahnya;

7) siswa kembali ke kelompok semula;

8) memberikan waktu kepada setiap siswa untuk menjelaskan apa yang sudah

mereka dapatkan dalam kelompok ahli kepada teman kelompokknya semula.

Teman kelompok diberikan kesempatan bertanya dan meminta penjelasan;

9) pada akhir sesi, diberikan sebuah tes materi agar siswa benar-benar mengerti

dari realisasi bahwa pada setiap sesi tidak hanya kesenangan tetapi keseriusan.

29

c. Pengelompokan Metode Jigsaw

Guru atau pimpinan sekolah sering membagi siswa dalam kelompok-

kelompok homogen berdasarkan prestasi belajar mereka. Praktik ini dikenal

dengan istilah ability grouping. Ability grouping adalah praktik memasukkan

beberapa siswa dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama.

Dibalik segala manfaatnya, pengelompokan homogen ternyata mempunyai

banyak dampak negatif. Dampak negatifnya antar lain bertentangan dengam misi

pendidikan, bisa menghilangkan kesempatan anggota kelompok untuk

memperluas wawasan dan memperkaya diri.

Pengelompokan heterogenitas merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam

metode Jigsaw. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan

keanekaragaman gender, latar belakang agama, sosial-ekonomi, dan etnik, dan

kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran

Jigsaw biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang

berkemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis

kurang.

Pengelompokan heterogen mempunyai beberapa kelebihan. Pertama,

kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer

tutoring) dan saling mendukung. Kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan

interaksi antarras, agama, etnik, dan gender. Ketiga, kelompok heterogen

memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang

berkemampuan akademis tinggi, guru mendapat satu asisten untuk setiap tiga

orang. Salah satu kendala yang mungkin dihadapi guru dalam hal pengelompokan

heterogen adalah keberatan dari pihak siswa yang berkemampuan akademis tinggi

(atau orang tua mereka pada tingkat sekolah dasar). Siswa dari kelompok ini

merasa rugi dan dimanfaatkan tanpa bisa mengambil manfaat apa-apa dalam

kegiatan belajar. Jumlah anggota setiap kelompok bervariasi mulai dari 4 samapi

6 siswa, menurut kepentingan tugas. Tentu saja masing-masing mempunyai

kelebihan dan kekurangan.

30

d. Penataan Ruang Metode Jigsaw

Falsafah dan metode pembelajaran yang dipakai di kelas memengaruhi

penataan ruang kelas. Penataan ruang yang klasikal dengan semua bangku

menghadap ke satu arah (guru dan papan tulis) sangat sesuai dengan metode

ceramah. Dalam metode ini, guru berperan sebagai narasumber yang utama, atau

mungkin juga satu-satunya. Metode ceramah dan penataan ruang kelas klasikal

bukan satu-satunya model yang bisa dipakai di kelas.

Siswa bisa belajar dari sesama teman dalam metode Jigsaw. Guru lebih

berperan sebagai fasilitator. Tentu saja, ruang kelas juga perlu ditata sedemikian

rupa sehingga menunjang pembelajaran dengan metode Jigsaw. Keputusan guru

dalam penataan ruang kelas harus disesuaikan dengan kondisi situasi ruang kelas

dan sekolah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah: (a) ukuran

ruang kelas, (b) jumlah siswa, (c) tingkat kedewasaan siswa, (d) toleransi guru dan

kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalu-lalangnya siswa lain, (e) toleransi

siswa terhadap kegaduhan dan lalu-lalangnya siswa lain, (f) pengalaman guru

dalam melaksanakan metode pembelajaran dengan metode Jigsaw.

Hubungan yang terjadi antarkelompok asal dengan kelompok ahli

digambarkan oleh Arend Richard (dalam Sriyono, 2007: 70) sebagai berikut:

A

B

Gambar 1. Hubungan Kelompok Asal dan Kelompok Ahli dalam Jigsaw

Keterangan: A : Kelompok asal

B : Kelompok ahli

@ : Ahli topik A kelompok 1, 2, 3, 4

& : Ahli topik C kelompok 1, 2, 3, 4

$ : Ahli topik B kelompok 1, 2, 3, 4

# : Ahli topik D kelompok 1, 2, 3, 4

@ # 1

$ &

@ @ @ @

# # # #

$ $ $ $

& & & &

@ # 2

$ &

@ # 3

$ &

@ # 4

$ &

31

e. Penilaian Metode Jigsaw

Guru akan melakukan evaluasi terhadap siswa setelah melakukan

kegiatan belajar mengajar, hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana

penguasaan siswa terhadap materi yang diberikan. Penilaian dalam metode Jigsaw

berbeda dengan metode pembelajaran lain. Dalam penilaian, siswa mendapat nilai

pribadi dan nilai kelompok. Penilaian pribadi didapatkan dari hasil tes yang

diberikan guru, sedangkan penilaian kelompok bisa dibentuk dengan beberapa

cara. Pertama, nilai kelompok bisa diambil dari nilai terendah yang didapat oleh

siswa dalam kelompok. Kedua, nilai kelompok bisa diambil dari rata-rata nilai

semua anggota kelompok, dari sumbangan setiap anggota (Anita Lie, 2005: 88).

Proses selanjutnya setelah evaluasi dilaksanakan, adalah perhitungan

skor perkembangan individu dan skor kelompok. Skor individu setiap kelompok

memberi sumbangan pada skor kelompok berdasarkan rentang skor yang

diperoleh pada evaluasi sebelumnya dengan skor akhir. Untuk menetukan tingkat

penghargaan yang diberikan kepada kelompok, sebagaimana dijelaskan oleh

Aronson (1978) berikut ini.

Tabel 1. Tingkat Penghargaan Kelompok

Rata-rata kelompok Penghargaan

15 Good Team (tim yang bagus)

20 Great Team (tim yang hebat)

25 Super Team (tim yang super)

(adaptasi dari Aronson: 1978)

f. Kelebihan dan Kekurangan Metode Jigsaw

Jill Parker (2003) menjelaskan kekurangan serta kelebihan metode

Jigsaw sebagai berikut.

The Advantage of Jigsaw method (1) It is an efficient way to learn the material; (2) Builds a depth of knowledge; (3) Discloses a student's own understanding and resolves misunderstanding; (4) Builds on conceptual understanding; (5) Develops teamwork and cooperative working skills. Disadvantage (1) Uneven time in expert groups; (2) Students must be trained in this method of learning; (3) Requires an equal number of

32

groups; (4) Classroom management can become a problem. (Jill Parker: 2003). Keuntungan metode Jigsaw: (1) metode Jigsaw adalah cara efisien untuk

mengajarkan materi; (2) membangun sebuah pengetahuan yang mendalam

mengenai sebuah topik; (3) pemahaman dan mengatasi ketidak pahaman siswa;

(4) membangun pemahaman konseptual; (5) mengembangkan kerja tim dan

kemampuan kerja sama. Kekurangan: (1) waktu untuk kelompok ahli tidak dapat

diperhitungkan; (2) siswa harus dilatih dalam metode Jigsaw ; (3) mengharuskan

jumlah yang sama dalam setiap kelompok; (4) pengelolaan kelas bisa menjadi

sebuah masalah.

Pembelajaran dengan metode Jigsaw juga memiliki kelebihan dan

kelemahan. Aronson (1978) menyatakan kelebihan dan kelemahan metode Jigsaw

adalah sebagai berikut.

1) Kelebihan metode Jigsaw

a) banyak pengajar yang mengatakan bahwa Jigsaw mudah dipelajari;

b) banyak pengajar yang menyukai pembelajaran Jigsaw;

c) Jigsaw dapat digunakan dan dimodifikasi dengan metode yang lain;

d) Jigsaw efektif bahkan jika hanya dilakukan satu jam perhari;

e) Jigsaw mudah dilakukan.

2) Kelemahan metode Jigsaw

a) kecenderungan adanya siswa yang mendominasi;

b) masalah siswa yang lambat berpikir sehingga merasa bosan belajar;

c) masalah siswa yang pandai yang merasa tidak sabar dengan proses yang

berlangsung dan pada akhirnya merasa bosan;

d) masalah siswa yang biasa bersaing.

Langkah-langkah untuk mengurangi berbagai kelemahan itu antara lain.

a) Dominasi siswa, permasalahan ini diselesaikan dengan menunjuk secara acak

salah satu siswa dalam mempresentasikan suatu bagian materi.

b) Siswa yang lambat berpikir, permasalah ini dapat diatasi oleh kelompok ahli.

Bahwa sebelum siswa menampilkan laporannya, siswa sudah berdiskusi

dahulu dengan kelompok ahli. Siswa akan saling bertanya dan menampilkan

33

masalah yang belum dia ketahui untuk selanjutnya didiskusikan. Sementara itu

siswa mencatat berbagai hal yang mereka diskusikan dan memodifikasi

semuanya menurut kesimpulan diskusi kelompok ahli.

c) Siswa yang pandai, mengubah siswa yang pandai yang merasa bosan menjadi

merasa bergairah belajar apabila ia berperan sebagai guru. Jika siswa dapat

mengembangkan pikiran sebagai “guru”, belajar dapat mengubah suasana

yang membosankan menjadi kegairahan tantangan.

d) Siswa yang sudah terbiasa bersaing, dapat dilakukan dengan mengalihkan

kepada presentasi hasil. Bagaimanapun juga presentasi hasil merupakan salah

satu cara unjuk kebolehan, dan bagi siswa yang terbiasa bersaing keadaan

seperti ini sangat menguntugkan karena dari mereka akan timbul banyak

permasalahan yang dapat didiskusikan.

Sedangkan menurut Slavin (2008: 85) metode Jigsaw mempunyai

kelebihan: (1) mengembangkan kelompok kerja dan kerjasama serta kemampuan

tim, (2) membangun pengetahuan secara mendalam, (3) memahami pendapat

orang lain dan memecahkan kesalah pahaman, (4) membangun pemahaman

konsep mengenai sesuatu hal, (5) lebih efisien dalam hal penyampaian materi, dan

(6) meningkatkan rasa kerja sama di dalam kelas. Sementara itu, metode Jigsaw

juga ada kelemahannya yaitu antara lain: (1) dalam kelompok yang

berpengalaman lebih, waktu tidak seimbang, (2) siswa harus dilatih dalam

pembelajaran Jigsaw, (3) memerlukan jumlah yang sama pada kelompok-

kelompok, dan (4) pengaturan kelas bisa menjadi sebuah masalah (5) terkadang

timbul kesenjangan dalam sebuah kelompok.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Munjaenah dengan judul “Upaya

Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rakyat dengan Metode Jigsaw

pada Sswa Kelas VII F SMP 03 Jekulo Kudus”. Penelitian tindakan kelas ini

bertujuan untuk ; (1) mendeskripsikan proses pembelajaran apresiasi cerita rakyat

dengan penerapan metode Jigsaw dan (2) meningkatkan kemampuan apresiasi

cerita rakyat siswa pada siswa kelas VII F SMP 03 Jekulo.

34

Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui penerapan metode Jigsaw

mampu meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita rakyat pada siswa kelas

VII F SMP 03 Jekulo Kudus. Hasil ini dapat dilihat pada hasil pretes dan postes

selama tiga siklus. Pada uji pratindakan jumlah siswa yang memperoleh nilia di

atas KKM 8 siswa (20%), nilai rata-rata 58. Pada siklus I dilakukan perbaikan

pembelajaran melalui metode Jigsaw dengan menayangkan VCD cerita rakyat

dari Kudus “Pisang Becici Pantang Dimakan”. Hasilnya siswa yang memperoleh

nilai di atas KKM meningkat menjadi 20 siswa (50%) terjadi kenaikan sebesar

30%, dengan nilai rata-rata 63,00, karena belum mencapai KKM maka

pelaksanaan tindakan kelas dilanjutkan pada siklus II. Pada siklus II diberikan

pembelajaran dengan menayangkan VCD cerita rakyat dari Kudus “Dongeng

Bulus Sumber”. Hasilnya siswa yang memperoleh nilai di atas KKM meningkat

menjadi 25 siswa (62,5%) terjadi kenaikan sebesar 12,5% dengan nilai rata-rata

66,38. Peningkatan tersebut belum mencapai 75% sehingga apresiasi cerita rakyat

dilanjutkan pada siklus III. Setelah dilaksanakan uji kompetensi siklus III dengan

menayangkan VCD cerita rakyat dari Kudus “Kisah Cinta Nawangsih dan

Rinangku”. Hasilnya siswa yang mencapai KKM meningkat menjadi 31 siswa

(77,5%) dengan nilai rata-rata 67,625 Pada siklus III pencapaian ketuntasan

klasikal sudah lebih dari 75% dan ketuntasan kriteria minimal 62. Kesimpulannya

bahwa melalui metode Jigsaw dalam pembelajaran apresiasi cerita rakyat dapat

meningkatkan pembelajaran dan kemampuan mengapresiasi cerita rakyat.

Penelitian yang dilakukan oleh Titiek Maryuni pada tahun 2006 yang

berjudul “Peningkatan Keberanian Berbicara dengan Metode Jigsaw pada Siswa

SMP Negeri 03 Nguter”, yang bertujuan untuk mengetahui secara pasti apakah

metode Jigsaw benar-benar secara efektif dapat meningkatkan keberanian siswa

kelas VIII B di SMP Negeri 03 Nguter. Ternyata simpulan tersebut membuktikan

bahwa (1) penbelajaran berbicara dengan metode Jigsaw dapat meningkatkan

keberanian berbicara pada siswa kelas VIII B SMP Negeri 03 Nguter; (2)

pembelajaran dengan metode Jigsaw dapat meningkatkan keberanian berbicara

mulai dari berani bertanya, menjawab, berani menjelaskan kepada temannya di

kelompok ahli, di kelompok asal, maupun berbicara di depan kelas.

35

C. Kerangka Berpikir

Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng adalah upaya menyerap,

menangkap informasi yang terkandung dalam dongeng. Upaya mengidentifikasi

dikatakan berhasil apabila siswa mampu menentukan unsur-unsur intrinsik

dongeng yaitu: tema, tokoh dan penokohan, alur/plot, latar (setting), dan amanat.

Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng tidaklah mudah, diperlukan

persyaratan yaitu, mampu membedakan antar unsur-unsur intrinsik agar tidak

terjadi kekeliruan dalam menentukan unsur-unsur intrinsik dongeng.

Penerapan metode Jigsaw, dapat menjalin suasana belajar yang

mengutamakan kerjasama, saling menunjang, menyenangkan, tidak

membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran dengan terintegrasi,

menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, saling bertukar pendapat dengan

teman, dan siswa kritis guru aktif. Siswa dapat merefleksi terhadap apa yang

dipelajarinya sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar kemampuan siswa

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Kerangka berpikir dalam

penelitian ini dapat dilihat dengan jelas pada gambar 2 berikut ini.

36

D. Hipotesis Tindakan

Mengacu pada latar belakang masalah, kajian teoretis, dan kerangka

berpikir di atas, maka dapat dibuat hipotesis tindakan bahwa metode Jigsaw dapat

meningkatkan kemampuan dan kualitas proses mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu

Karanganyar.

Kondisi Awal Sebelum Tindakan

Pembelajaran mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng

dengan Metode Jigsaw

Kondisi Akhir Setelah Tindakan · Siswa aktif · Pembelajaran tidak terpusat pada guru · Siswa tertarik menyimak dongeng yang dibaca · Kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng siswa meningkat

SISWA · Kemampuan mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng siswa rendah

· Siswa kurang tertarik pada pembelajaran sastra

· Siswa pasif

KUALITAS PEMBELAJARAN · Pembelajaran terpusat pada guru · Guru lebih aktif · Pembelajaran bersifat teoretis,

monoton dan menjemukan · Guru menggunaka metode

ceramah sebagai andalan

37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SDN Bandardawung 03 tang beralamat di

Dusun pelas, Desa Bandardawung, Kecamatan Tawangmangu Kabupaten

Karanganyar kode pos 57792. Kelas yang digunakan untuk pelaksanaan penelitian

tindakan kelas ini adalah kelas V. Alasan dipilihnya kelas V sebagai tempat

penelitian karena: (1) Kompetensi Dasar “Mengidentifikasi unsur cerita tentang

cerita rakyat yang didengarnya” terdapat di kelas V; (2) di kelas tersebut terdapat

permasalahan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

Adapun dipilihnya sekolah ini sebagai lokasi penelitian adalah karena: (1) peneliti

sudah memiliki hubungan baik dengan sekolah; (2) lokasi penelitian dekat dengan

tempat tinggal peneliti. Adapun. Penelitian yang dilakukan terhadap kelas V ini

diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Deskripsi ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu adalah

sebagai berikut: ruang kelas berukuran 5 x 6 meter. Di dalam ruang kelas terdapat

satu buah papan tulis hitam, satu pasang meja dan kursi guru, 15 meja dan 15

kursi untuk siswa, di dinding kelas tertempel jam dinding, satu gambar Burung

Garuda, Presiden dan Wakil Presiden, satu kalender. Ruang kelas dengan cat

warna cerah sehingga kelas keliatan terang.

Peneliti membutuhkan waktu 6 bulan untuk melakukan penelitian ini.

Penelitian ini dimulai bulan Desember sampai dengan bulan Mei 2010 yang

terbagi menjadi beberapa tahap. Tahapan tersebut yaitu persiapan, pelaksanaan,

dan penyusunan laporan. Berikut ini adalah rincian waktu dan kegiatan penelitian.

36

38

Tabel 2. Rincian Kegiatan dan Waktu Penelitian

Bulan No Nama Kegiatan

Des Jan Feb Mar Apr Mei

1 Survei awal sampai penyususnan proposal

2 Seleksi Informan, penyiapan instrument dan media

3 Pengajuan surat izin penelitian ke sekolah

4 Pengumpulan data

5 Analisis data

6 Penyususnan laporan

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah siswa kelas V SDN Bandardawung 03 yang

terdiri dari 11 siswa putra dan 17 siswa putri. Selain siswa, subjek penelitian

adalah guru kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu yaitu Ibu Wahyu

Priyanti, S. Pd. Sebagian besar siswa adalah anak petani dengan penghasilan

menengah kebawah. Mereka bermain di lingkungan pertanian namun ada

beberapa siswa yang sudah memepunyai tugas dari orang tua mereka untuk

memebantu. Sedangkan Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. bukan warga asli

Tawangmangu, beliau berasal dari Boyolali.

C. Sumber Data

Tiga sumber data penting yang dijadikan sebagai sasaran penggalian dan

pengumpulan data serta informasi dalam penelitian ini. Sumber data tersebut

meliputi:

1. Peristiwa, yakni proses belajar pembelajaran di dalam kelas V SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu; penyusunan RPP antara peneliti dan guru;

wawancara antara peneliti dan guru; wawancara antara peneliti dengan siswa.

39

2. Informan dalam penelitian ini meliputi: (1) guru kelas V yaitu Ibu Wahyu

Priyanti, S. Pd. beliau yang mengetahui kegiatan belajar mengajar

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng serta mengatahui alasan

penetapan KKM di kelas V; (2) siswa kelas V SD Negeri Bandardawung 03

yaitu Anggi Ayu Purnamasari, Indri Rosita Sari, Rosyid Prasetyo. Anggi Ayu

Purnamasari, dijadikan sebagai informan sebab ia merupakan siswa yang

pandai dan selalu aktif ketika proses belajar pembelajaran berlangsung. Rosyid

Prasetyo dijadikan informan sebab dia siswa yang tidak begitu pandai dan

sering tidak memperhatikan pembelajaran, sedangkan Indri Rosita Sari

dijadikan informan sebab dia salah satu siswa yang kelihatan bosan ketika

pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng berlangsung.

3. Dokumen meliputi: (1) foto kegiatan pembelajaran mengidentifikasi unsur-

unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang terjadi di kelas V SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu; (2) hasil tes siswa kelas V SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu untuk mengetahui tingkat keberhasilan

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada

setiap siklus; (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dibuat oleh guru dan

peneliti untuk pembelajaran setiap pelaksanaan siklus; (4) silabus yang

ditentukan oleh pihak SDN Bandardawung 03 Tawangmangu; (5) catatan

lapangan hasil observasi pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng; (6) serta catatan hasil wawancara yang telah ditranskrip yaitu

wawancara dengan guru kelas V Ibu Wahyu Priyanti, S.Pd. dan 3 siswa kelas V

SD Negeri Bandardawung 03 yaitu Anggi Ayu Purnamasari, Indri Rosita Sari,

Rosyid Prasetyo.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk

memperoleh data yang berkualitas dalam suatu penelitian. Adapun dalam

pengumpulan data digunakan metode, cara atau teknik tertentu. Metode atau

teknik yang dipilih harus sesuai dengan sifat data. Penggunaan metode

sepenuhnya tergantung pada objek, sasaran dan tujuan penelitian dilaksanakan.

40

Sesuai dengan tujuan, metode, dan jenis sumber data yang digunakan, maka

teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi: observasi, wawancara, tes

atau pemberian tugas.

1. Observasi

Observasi digunakan untuk mendapatkan data-data pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang

dilakukan oleh guru maupun siswa. Teknik ini dilakukan sejak sebelum tindakan

diberikan, saat tindakan diberikan hingga akhir tindakan. Dalam observasi ini,

peneliti bertindak sebagai partisipan pasif. Peneliti tidak melakukan tindakan yang

dapat mempengaruhi pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng dengan metode Jigsaw yang sedang berlangsung. Peneliti hanya

mengamati proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun siswa serta

mencatat segala sesuatu yang terjadi selama proses pembelajaran mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum menggunakan metode Jigsaw dan ketika

menggunakan metode Jigsaw. Peneliti mengambil posisi di tempat duduk paling

belakang.

Hasil observasi didiskusikan peneliti bersama guru kelas V SDN

Bandardawung 03 yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. Dari hasil diskusi ini, Ibu

Wahyu Priyanti, S. Pd mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada dalam proses

pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah

dilakukan kemudian diupayakan solusinya. Solusi yang dapat digunakan pada

pelaksanaan siklus berikutnya. Observasi terhadap guru difokuskan pada

kemampuan guru dalam mengelola kelas serta dalam memancing keaktifan siswa

dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang sedang

berlangsung. Sementara itu, observasi terhadap siswa difokuskan pada keaktifan

siswa pada saat apersepsi, keaktifan siswa dalam pembelajaran, minat siswa

dalam menyimak dongeng yang disampaikan, dan keaktifan siswa dalam diskusi

kelompok ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng

berlangsung baik sebelum maupaun sesudah mengunakan metode Jigsaw.

41

2. Wawancara

Teknik ini digunakan untuk memperoleh data dari informan tentang

pelaksanaan pembelajaran di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu.

Berbagai informasi mengenai kesulitan yang dialami Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd

dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, faktor-faktor

penyebabnya, serta solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang

mucul. Melakukan wawancara dengan 3 siswa kelas V SDN Bandardawung 03

yaitu Anggi Ayu Purnamasari, Indri Rosita Sari, Rosyid Prasetyo, untuk

mengetahui metode dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng yang diterapkan oleh guru dan untuk mengetahui tanggapan siswa

terhadap cara mengajar yang digunakan oleh guru serta untuk mengetahui tingkat

kemamapuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

3. Tes/pemberian tugas

Usaha yang dilakukan oleh guru dalam rangka untuk mengetahui hasil

kegiatan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa kelas

V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu sebelum dan sesudah pelaksanaan

penelitian. Dalam penelitian ini, guru melakukan dua kali tes yakni pretes

digunakan untuk mengetahui keterampilan awal siswa dalam mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng dan postes untuk mengetahui kemampuan siswa

setelah mengikuti pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng

dengan metode Jigsaw. Tes yang dilaksanakan berupa esay jawaban singkat

sebanyak lima belas soal.

E. Uji Validitas Data

Untuk mendapatkan data yang valid, perlu dilakukan teknik-teknik

sebagai berikut.

1. Trianggulasi metode, teknik ini digunakan untuk membandingkan data yang

sudah diperoleh dari hasil observasi dengan data yang diperoleh dari hasil

wawancara. Data yang diperoleh dari hasil observasi pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum maupun sesudah

42

menggunakan metode Jigsaw dibandingkan dengan hasil wawancara dengan

Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. apakah ada kesesuian atau tidak.

2. Trianggulasi sumber data yaitu cara memperoleh satu data yang sama dari dua

sumber berbeda. Trianggulasi sumber digunakan untuk menguji kebenaran data

yang diperoleh dari satu informan dengan informan lain.

3. Review informan, teknik ini digunakan untuk menanyakan informan, apakah

data yang diperoleh dari hasil wawancara sudah valid atau belum, sudah sesuai

dengan kesepakatan atau belum. Peneliti mengadakan review informan setelah

peneliti menulis semua hasil wawancara dengan Ibu Wahyu Priyanti S. Pd.

mengenai pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di

kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis interaktif (interaktif model of analysis) oleh Sutopo (2002: 96). Teknik

tersebut mencangkup kegiatan untuk mengungkapkan kelemahan serta kelebihan

kinerja guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Hasil analisisnya dijadikan

dasar dalam penyusunan perencanaan tindakan untuk tahap berikutnya. Dalam hal

ini peneliti mengungkapkan kelemahan serta kelebihan kinerja guru dan siswa

ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum

maupun sesudah menggunakan metode Jigsaw yang berlangsung di SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu. Kemudian hasil analisis, peneliti dijadikan

dasar dalam menyusun perencanaan tindakan untuk tahap berikutnya. Analisis

model interaktif ini merupakan interaksi dari empat komponen, yaitu antara lain:

(1) rencana tindakan (tahap display data); (2) pelaksanaan tindakan (tahap

pengumpulan data); (3) pemantauan dan evaluasi tindakan (tahap pengumpulan

data dan reduksi data); (4) analisis dan refleksi tindakan (tahap reduksi data,

display data, serta penarikan kesimpulan.

43

1. Rencana tindakan (tahap display data)

Berdasarkan hasil pengidentifikasian dan penetapan masalah, peneliti

kemudian mengajukan suatu solusi yang berupa metode Jigsaw yang dapat

diterapkan oleh guru untuk dipergunakan sebagai metode dalam pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di kelas V SDN Bandardawung

03 Tawangmangu dan penyusuanan RPP dengan metode Jigsaw.

2. Pelaksanaan tindakan (tahap pengumpulan data)

Keseluruhan tindakan dilaksanakan dalam penelitian ini bertujuan

untuk mengadakan perbaikan terhadap proses pembelajaran mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng yang selama ini dirasa kurang memadai.

Tindakan dalam penelitian ini berupa penerapan metode Jigsaw agar dapat

menarik minat siswa dalam mengikuti pembelajaran mengidentifikasi unsur-

unsur intrinsik dongeng di kelas. Setiap kegiatan yang dilakukan tersebut selalu

diikuti dengan kegiatan pemantauan dan evaluasi serta analisis dan refleksi

yang dilakukan oleh peneliti.

Tahap ini peneliti melakukan observasi untuk mengetahui apakah

tindakan yang dilakukan telah dapat mengatasi permasalahan yang ada atau

belum. Selain itu, peneliti juga melaksanakan observasi untuk mengumpulkan

data-data yang akan diolah untuk mengetahui segala kelemahan yang mungkin

muncul ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng

berlangsung. Data-data yang telah dikumpulkan tersebut diolah untuk

menentukan tindakan penelitian berikutnya dilaksanakan lagi atau tidak.

3. Pemantauan dan evaluasi tindakan (tahap pengumpulan data dan reduksi data)

Kegiatan pemantauan yang dilakukan untuk memonitor tindakan yang

terjadi di dalam kelas. Dalam tahap ini, peneliti mengadakan observasi sebagai

partisipan pasif, dimana peneliti berada di dalam lokasi penelitian yaitu di

dalam ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu namun tidak

berperan aktif dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Peneliti hanya

mengamati jalannya proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng sebelum maupun sesudah menggunakan metode Jigsaw yang

terjadi di dalam kelas dipandu oleh guru sambil mencatat segala sesuatu yang

44

terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Setelah itu, peneliti

mengadakan sharing ide yang bersangkutan mengenai hasil pengamatan

peneliti. Dalam forum sharing tersebut, diungkapkan kelemahan dan kelebihan

proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah

berlangsung dengan memfokuskan pada penampilan guru di kelas dan respon

siswa terhadap stimulan dari guru.

Tahap ini peneliti juga bertindak sebagai partisipan pasif yang

mengamati jalannya pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng yang terjadi, dalam hal ini yaitu peristiwa kegiatan pembelajaran di

kelas. Setelah data terkumpul, kemudian peneliti mengolah data tersebut

hingga dapat disajikan pada guru yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. agar dapat

dicari solusi untuk berbagai permasalahan yang muncul.

4. Analisis dan refleksi tindakan (tahap reduksi data, display data, serta penarikan

kesimpulan

Hasil evaluasi kemudian dianalisis untuk menentukan langkah-langkah

perbaikan yang dapat ditempuh, sehinga didapatkan suatu solusi untuk semua

permasalahan yang dialami oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran

megidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

Tahap ini peneliti menganalisa atau mengolah data yang telah

dikumpulkan yaitu proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng, kemudian menyajikan dalam pertemuan dengan Ibu Wahyu Priyanti,

S. Pd. Setelah dilakukan diskusi dan sharing ide dengan Ibu Wahyu Priyanti, S.

Pd., kemudian diambil suatu kesimpulan yang berupa hasil pelaksanaan

penelitian. Dari hasil penarikan kesimpulan ini, dapat diketahui apakah ini

berhasil atau tidak, sehingga dapat detentukan langkah selanjutnya. Teknik

analisis interaktif dari Sutopo (2002: 96) digambarkan sebagai berikut:

45

Sutopo (2002: 96)

Gambar 3. Analisis Model Interaktif

G. Indikator Keberhasilan Tindakan

Secara garis besar indikator yang ingin dicapai dalam penelitian ini

adalah meningkatnya kualitas proses dan hasil pembelajaran mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw siswa kelas V SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu. Keberhasilan kualitas proses ditandai dengan

keberhasilan tercapainya semua indikator yang telah ditetapkan, sehingga apabila

semua indikator tersebut sudah tercapai siklus akan dihentikan. Keberhasilan

kualitas hasil ditandai dengan nilai hasil mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng siswa harus di atas KKM yang telah ditentukan oleh pihak sekolah yaitu

60. Penetapan KKM yang hanya 60 didasari oleh beberapa faktor, yaitu: (1) letak

sekolah yang jauh dari kota, sehingga kemampuan siswa terbatas; (2) apabila

KKM di atas 60 banyak siswa yang tidak tuntas; (3) sarana prasarana sekolah

yang terbatas, sehingga guru kesulitan untuk mengembangkan kemampuan siswa.

Pengumpulan

Reduksi Sajian

Penarikan Kesimpulan

46

Tabel 3. Indikator Ketercapaian Belajar Siswa

Aspek Presentase

pencapaian

Cara mengukur

minat siswa dalam

menyimak dongeng yang

disampaiakan

75 % Diamati saat pembelajaran

dengan lembar observasi

dihitung jumlah siswa yang

menyimak pembacaan dongeng

dengan sungguh-sungguh

keaktifan siswa dalam

diskusi kelompok

75% Diamati saat pembelajaran

dengan lembar observasi

dihitung jumlah siswa yang

menyampaikan pendapatnya

saat diskusi berlangsung

ketuntasan belajar 75 % Dihitung jumlah siswa yang

mendapatkan nilai di atas 60

(enam puluh)

(adaptasi dari E. Mulyasa 2007: 255)

H. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan rangkaian tahapan penelitian dari awal

hingga akhir penelitian. Penelitian ini adalah proses pengkajian sistem berdaur

sebagaimana kerangka berpikir. Prosedur dalam Penelitian Tindakan Kelas ini

mencangkup langkah-langkah sebagai berikut: (1) persiapan, (2) studi/survey

awal, (3) pelaksanaan siklus, dan (4) penyusunan laporan. Pelaksanaan siklus

meliputi: (a) perencanaan tindakan (planning), (b) pelaksanaan tindakan (acting),

(c) pengamatan (observing), (d) refleksi (reflecting). Berikut ini adalah bagan

prosedur Penelitan Tindakan Kelas yang dipaparkan oleh Suharsimi Arikunto,

Suhardjono, dan Supardi (2008: 74).

47

Siklus I

Siklus II

Gambar 4. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas

(Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi, 2008: 74)

Penjelasan secara garis besar mengenai masing-masing langkah tersebut diuraikan

sebagai berikut.

1. Persiapan

Pada tahap persiapan ini peneliti menemui Kepala SDN Bandardawung

03 Tawangmangu untuk memberitahukan sekaligus meminta izin untuk

melakukan penelitian. Peneliti mengajukan surat izin penelitian yang dikeluarkan

oleh dekanat disertai proposal penelitian. Setelah peneliti mendapatkan ijin dari

kepala sekolah, peneliti menemui guru kelas V untuk mempersiapan survei awal.

2. Studi/survei awal

Untuk mengetahui kondisi awal proses belajar pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, peneliti melakukan survei awal di

kelas yang telah ditentukan sebelumnya yaitu kelas V. Pada tahap ini peneliti

berusaha mengenali kemampuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng serta situasi dan kondisi pembelajaran mengidentifikasi unsur-

Permasalahan

Permasalahan baru hasil refleksi

Apabila permasalahan belum

terselesaikan

Perencanaan Tindakan I Pelaksanaan Tindakan I

Pengamatan/ pengumpulan data I Refleksi I

Perencanaan Tindakan II

Pelaksanaan Tindakan II

Pengamatan/ pengumpulan data II

Refleksi II

Dilanjutkan ke siklus berikutnya

48

unsur intrinsik dongeng. Pengenalan tersebut dilakukan dengan mengamati proses

pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, memeriksa hasil

pekerjaan siswa berupa jawaban atas soal-soal yang guru berikan mengenai unsur-

unsur intrinsik dongeng yang siswa dengar. Pada tahap ini, peneliti juga

melakukan wawancara pada guru kelas V yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. dan 3

siswa kelas V SDN Bandardawung 03 mengenai pembelajaran mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng yang terjadi selama ini.

3. Pelaksanaan siklus

Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatnya

kualitas proses dan hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03

Tawangmangu Karangnayar. Setiap tindakan menunjukkan peningkatan indikator

tersebut yang dirancang dalam suatu siklus. Masing-masing siklus terdiri dari

empat tahap yaitu: (a) perencanaan tindakan (planning), (b) pelaksanaan tindakan

(acting), (c) pengamatan (observing), (d) refleksi (reflecting) untuk perencanaan

siklus berikutnya. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus. Adapun empat

tahap pelaksanaan siklus diuraikan sebagai berikut:

a) perencanaan tindakan (planning)

Berdasarkan hasil identifikasi serta penetapan masalah dari kegiatan

observasi survei awal dan wawancara, peneliti mengajukan alternatif pemecahan

masalah dengan menerapkan metode pembelajaran Jigsaw dalam pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Pada tahap ini, peneliti beserta

guru menyusun skenario pembelajaran yang menerapkan metode Jigsaw. Di

samping itu, peneliti menyiapkan perangkat yang diperlukan selama pembelajaran

seperti kertas HVS, lembar jawab serta perangkat yang diperlukan untuk observasi

seperti lembar observasi dan dokumentasi.

b) pelaksanaan tindakan (acting)

Tindakan yang telah direncanakan serta disepakati oleh peneliti dan guru

diimplementasikan oleh guru dalam bentuk pembelajaran mengidentifikasi unsur-

unsur intrinsik dongeng yang menerapkan metode pembelajaran Jigsaw.

Pelaksanaan tindakan diwujudkan dalam langkah-langkah pembelajaran yang

49

sistematis. Secara garis besar, sebelum siswa mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng yang didengar, guru tetap memberikan materi melalui apersepsi

dengan cara tanya jawab dengan siswa mencangkup pengertian dongeng dan

unsur-unsur intrinsik pembangun dongeng. Setelah itu, siswa dibentuk kelompok

kemudian salah satu siswa ditugasi untuk membacakan sebuah dongeng di depan

kelas, siswa yang lain mendengarkan, kemudian guru menugasi siswa

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang mereka dengar dalam

kelompok ahli. Setelah diskusi di kelompok ahli selesai siswa kembali ke

kelompok asal kemudian menyamapaikan hasil diskusi ke anggota kelompok asal

secara bergantian, kemudian siswa kembali ke tempat duduk masing-masing

kemudian guru memberikan tes. Selanjutnya, guru menilai hasil kerja siswa

berdasarkan minat siswa saat menyimak dongeng yang disampaikan, keaktifan

saat diskusi, serta kemampuan menjawab soal-soal yang diberikan guru. Guru

juga memberikan memberikan masukan mengenai proses diskusi yang telah

dilaksanakan oleh siswa.

c) pengamatan (observing)

Peneliti melakukan observasi saat pembelajaran mengidentifikasi unsur-

unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang berlangsung. Observasi

berupa kegiatan pemantauan, pencatatan, serta pendokumentasian segala kegiatan

selama pelaksanaan pembelajaran. Data yang diperoleh dari kegiatan observasi

kemudian diinterpretasi guna mengetahui kelebihan dan kekurangan dari tindakan

yang dilakukan.

d) analisis dan refleksi (reflecting)

Peneliti menganalisis data yang telah terkumpul dari hasil observasi

pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode

Jigsaw kemudian menyajikannya pada guru kelas V SDN Bandardawung 03

Tawangmangu yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. Peneliti dan guru berdiskusi

untuk menentukan langkah-langkah perbaikan yang akan dilakukan pada siklus

berikutnya berdasarkan hasil analisis berupa kelemahan-kelemahan dalam

pembelajaran. Dalam tahapan ini dapat diketahui berhasil tidaknya tindakan yang

telah diberikan.

50

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sebelum hasil penelitian dipaparkan, pada bab ini diuraikan terlebih

dahulu mengenai kondisi awal (pratindakan) pembelajaran mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng di SDN Bandardawung 03 Tawangmangu

Karanganyar. Dengan demikian pada bab ini akan dikemukakan: (a) kondisi awal

proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu Karanganyar, (b) pelaksanaan tindakan dan

hasil penelitian, dan (c) pembahasan hasil penelitian. Penelitian tindakan

dilakukan dalam tiga siklus meliputi: perencanaan, pelaksanaan tindakan,

observasi, serta evaluasi dan refleksi.

A. Kondisi Awal

Peneliti melakukan survei awal sebelum melaksanakan penelitian. Survei

awal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng dan mengetahui kemampuan awal siswa dalam

memahami unsur-unsur intrinsik dongeng. Kondisi awal ini menjadi acuan untuk

menentukan tindakan yang akan dilakukan pada pembelajaran dalam siklus

selanjutnya. Survei awal dilakukan pada hari Jumat, 26 Februari 2010.

Peneliti mengambil posisi tempat duduk paling belakang di kelas ketika

melakukan survei awal. Peneliti melakukan kegiatan pengamatan selama proses

belajar mengajar berlangsung. Segala kejadian yang berlangsung pada hari itu

peneliti amati dalam lembar observasi. Selanjutnya, peneliti melakukan

wawancara dengan guru kelas V dan wawancara kepada siswa siswi untuk

mengetahui sejauh mana respon siswa terhadap pembelajaran mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah berlangsung.

Deskripsi hasil survei awal yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut.

Pada saat pratindakan, guru memulai proses pembelajaran dengan mengucapkan

salam dan mengecek kehadiran siswa. Peneliti menempatkan diri sebagai

partisipan pasif dengan berada di tempat duduk bagian belakang, sehingga peneliti

49

51

dapat mengamati jalannya kegiatan belajar mengajar dengan leluasa tanpa

mengganggu pelajaran yang sedang berlangsung. Di kelas V guru menjelaskan

mengenai materi cerita rakyat, guru lebih mengutamakn materi tentang dongeng

dan unsur-unsur intrinsik dongeng. Guru menjelaskan dengan sesekali

memberikan pertanyaan kepada siswa, kemudian meminta siswa untuk menjawab

dengan mengacungkan jari. Akantetapi, tidak ada satu siswa pun yang menjawab

pertanyaan dengan tegas dan lantang, sebagian siswa hanya bergumam tidak mau

menjawab dengan berani.

Ketika guru mulai masuk ke materi ada beberapa siswa yang gaduh

berbicara sendiri dengan temannya, ada yang melamun sepertinya ngantuk

sehingga ketika guru memberikan pertanyaan siswa tersebut tidak bisa menjawab

pertanyaan dengan baik. Kemudian guru menunjuk siswa lain untuk menjawab

pertanyaan tersebut. Siswa dapat menjawab dengan baik dan benar sesuai dengan

yang diinginkan guru.

Guru kemudian menuliskan materi yang akan dicatat oleh siswa di papan

tulis, kemudian siswa disuruh mencatat di buku catatan mereka masing-masing.

Guru memeriksa catatan siswa dengan berputar mengelilingi kelas serta

mengontrol siswa agar tetap kondusif mengikuti kegiatan belajar mengajar. Guru

memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang materi yang belum

dipahami dengan benar namun tidak ada siswa yang bertanya. Setelah itu guru

menugasi siswa membacakan dongeng yang berada pada buku di depan kelas.

Banyak siswa yang tidak mau mendengar, mereka bercerita sendiri dengan teman

ada juga yang mengantuk meletakkan kepalanya di atas meja. Hanya sebagian

siswa yang mendengarkan dongeng yang dibaca.

Setelah dongeng dibacakan, guru menugasi siswa megidentifikasi unsur-

unsur intrinsik dongeng yang mereka dengar. Saat mendengar tugas dari guru,

semua siswa sangat gaduh. Karena mereka tidak menyimak dengan baik dongeng

yang dibaca. Selain itu, mereka juga belum begitu paham mengenai unsur-unsur

intrinsik dongeng yang harus diidentifikasi. Tugas dikumpulkan setelah bel

berbunyi.

52

Dari kenyataan yang ada, pembelajaran tersebut masih bersifat

konvensional. Pembelajaran masih berpusat pada guru (teacer centered) meskipun

siswa diberi kesempatan untuk bertanya. Metode yang diterapkan pun kurang

bervariasi. Guru masih menggunakan metode ceramah sebagai andalannya dalam

menyampaikan materi. Penugasan digunakan guru sebagai evaluasi pembelajaran.

Hasil tugas yang diberikan guru menunjukkan bahwa masih cukup banyak siswa

yang kurang memperhatikan penjelasan guru serta menangkap materi yang

disampaikan oleh guru terlihat masih banyaknya fakta hasil identifikasi yang

siswa lakukan masih banyak kesalahannya. Hal itu menunjukkan bahwa metode

ceramah belum efektif untuk menyampaikan materi dongeng.

Dari hasil wawancara dengan guru, beliau mengemukakan bahwa rata-

rata siswa mepunyai kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng

yang masih rendah, hal itu disebabkan ketidakmampuan siswanya dalam

memahami secara baik dongeng. Guru menilai para siswa pada umumnya belum

mampu menentukan unsur-unsur intrinsik dongeng. Guru juga menyatakan belum

menemukan metode yang tepat untuk menyampaikan materi dongeng agar

prestasi belajar siswa maksimal. Selama ini masih banyak potensi siswa yang bisa

digali agar siswa lebih aktif dalam pembelajaran namun belum bisa dilaksanakan

untuk semua materi pelajaran. Guru mempunyai asumsi bahwa keaktifan siswa

pada saat pembelajaran dongeng jauh bisa ditingkatkan sehingga kualitas proses

dan hasil pembelajaran dongeng juga meningkat namun perlu metode yang tepat.

Guru menyadari bahwa selama ini beliau hanya mengajar secara

konvensional tanpa pernah mencoba metode-metode pembelajaran yang baru.

Melihat kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika siswa tampak tidak aktif

selama proses pembelajaran. Metode yang konvensional, membuat siswa cepat

merasa jenuh dalam mengikuti pembelajaran dongeng.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan siswa diperoleh

penjelasan bahwa siswa tidak begitu menyukai pembelajaran dongeng, alasannya

menurut mereka pembelajaran dongeng membosankan. Terkait dengan

kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang pernah mereka

terima, siswa menuturkan bahwa pembelajaran yang sering dilaksanakan guru

53

adalah dengan metode ceramah. Hal tersebut menyebabkan siswa kurang

memiliki andil yang besar terhadap pembelajaran dan membuat siswa menjadi

pasif. Selain itu, mereka juga mengeluhkan cepat bosan dengan metode yang guru

gunakan.

Dari pengamatan saat pratindakan pada survei awal diketahui bahwa

partisipasi aktif dan kemampuan siswa memahami unsur-unsur intrinsik dongeng

masih rendah. Rendahnya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran dongeng

tampak dalam hal berikut.

1. Lemahnya kemampuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng;

Dari hasil jawaban siswa diketahui bahwa siswa belum mampu

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan baik. Tema belum

sepenuhnya dipahami oleh siswa, latar peristiwa masih saja ada yang salah.

Selain itu dalam menentukan tokoh dan penokohan ada yang terbalik. Amanat

yang dituliskan pun belum sesuai dengan isi dongeng yang ada.

2. Masih banyak siswa yang belum mempunyai minat menyimak dongeng yang

dibacakan;

Pada saat dongeng dibaca, masih banyak siswa yang tidak menyimak

dongeng dengan baik. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa siswa yang

menyimak dongeng dengan baik sebanyak 11 siswa (40%).

3. Masih banyak siswa yang belum aktif ketika diskusi kelompok berlangsung;

Pada saat diskusi kelompok, masih banyak siswa yang tidak berperan

aktif ketika diskusi berlangsung, hanya tampak beberapa siswa saja yang

selalu berperan aktif ketika berdiskusi. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa

siswa yang aktif ketika diskusi 11 siswa (40%).

4. Masih banyak siswa yang belum mengalami ketuntasan belajar.

54

Tabel 4. Perolehan Nilai Pretes Mengidentifikasi Unsur-unsu Intrinsik Dongeng

No NIS Nama Nilai 1 767 Gilang Permana 50 2 776 Rohmat Bayu A. S 35 3 790 Diana Mita Sari 70 4 791 Santi Tiara Bakti 50 5 798 Kevin Pratama Putra 40 6 803 Sriyanto 45 7 814 Salsa Dinisa Nur 75 8 815 Devi Kharisma Angzali 90 9 816 Indri Rosita Sari 60 10 818 Ratih Dwi Anggraeni 80 11 819 Candra Sih Maulana 65 12 820 Riski Setiawan 55 13 821 Lina Imroatun 65 14 822 Achmad Fadyanto 55 15 823 Fahrian Sinta Dewi 40 16 824 Desi Wahyu Sulistya N 50 17 825 Puput Lestari 45 18 827 Ivan Febri Bimantara 50 19 828 Anggi Ayu Purnamasari 80 20 830 Ayu Wibeseno 50 21 831 Ulfiani Resti Utami 70 22 834 Indah Puspitasari 55 23 838 Iliyana Diningtyas Ratri 70 24 839 Pinky Yulia Rahmawati 50 25 848 Rosyid Prasetyo 60 26 873 Nadila Putri Hapsari 35 27 896 Ira Widiyastuti 50 28 898 Yusroni Aruda F. 40

rata-rata: 52.85

Mengacu pada analisis di atas, dapat dikemukakan tiga hal pokok yang

perlu diatasi, yaitu pembelajaran dongeng yang konvensional, rendahnya

partisipasi aktif siswa dalam mengikuti pembelajaran serta menumbuhkan minat

menyimak dongeng siswa. Implikasinya, tindakan perlu dilakukan untuk

mengatasi dua hal tersebut. Untuk itu peneliti berdiskusi dengan guru untuk

merencanakan langkah selanjutnya pada hari Sabtu, 27 Februari 2010.

55

B. Pelaksanaan Tindakan dan Hasil Penelitian

1. Siklus I

a. Perencanaan Tindakan

Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan ditemukan beberapa

permasalahan, kemudian dilaksanakanlah siklus I sebagai tindakan pertama untuk

mengatasi permasalahan yang muncul. Tahap pertama dari siklus I adalah

perencanaan tindakan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 27

Februari 2010 di ruang guru SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Peneliti dan

guru melakukan diskusi, yaitu :(1) peneliti menyamakan presepsi dengan guru

mengenai penelitian yang akan dilakukan; (2) peneliti memberikan usul

menerapkan metode Jigsaw pada pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng; (3) peneliti dan guru bersama-sama menyususn RPP untuk

siklus I; (4) peneliti dan guru menentukan indikator pencapaian tujuan; (5) guru

dan peneliti membuat lembar penilaian tes dan nontes. Instrumen tes dinilai

berdasarkan hasil pekerjaan siswa. Intrumen nontes dinilai berdasarkan pedoman

observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati keaktifan dan sikap

siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung; (6) menentukan jadwal

penelitian berikutnya.

Urutan tindakan yang direncanakan dalam siklus I adalah sebagai

berikut:

1. guru memberikan apersepsi awal mengenai pengetahuan awal siswa terhadap

dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng;

2. guru membagi siswa menjadi 7 kelompok;

3. guru membagi topik permasalahan yang harus siswa pecahkan;

4. guru menunjuk salah satu siswa membacakan dongeng di depan kelas;

5. guru menugasi siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah

yang telah ditugaskan guru kepada mereka;

6. guru menugasi kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan

materi yang telah mereka diskusikan dalam kelompok ahli;

7. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;

8. guru menutup pelajaran.

56

Urutan kegiatan tersebut merupakan urutan proses pembelajaran yang

dilaksanakan oleh guru dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng tindakan penelitian siklus I. Pelaksanaan siklus I disepakati hari

Senin, 1 Maret 2010 pukul 07.15-08.25.

b. Pelaksanaan Tindakan

Tindakan pada siklus I dilaksanakan pada hari Senin tanggal 1 Maret

2010 di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Siklus I berlangsung

selama 2 x 35 menit, yaitu mulai pukul 07.15-08.25. Langkah-langkah yang

dilakukan guru dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng adalah sebagai berikut:

1. guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan

presensi;

2. guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan

menyuruh mengeluarkan buku LKS serta buku paket;

3. guru mengadakan apersepsi dengan cara bertanya jawab mengenai dongeng

dan unsur-unsur intrinsik dongeng;

4. Guru dan siswa merangkum materi hasil apersepsi;

5. guru membentuk kelompok, yaitu dengan membagi siswa ke dalam 7

kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4 siswa dengan 1 siswa

berkemampuan tinggi (pintar), 2 siswa berkemampuan sedang, dan 1 siswa

berkamampuan rendah. Pembagian kelompok ini berdasarkan nilai siswa serta

keaktifan siswa ketika mengikuti kegiatan belajar-mengajar sehari-hari.

Sekaligus membagi topik untuk setiap siswa;

6. guru menugasi salah satu siswa membacakan dongeng di depan kelas;

7. siswa berdiskusi di kelompok asal mengenai tugas serta tanggung jawab

mereka masing-masing;

8. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah

ditugaskan guru kepada mereka dengan cara saling bertukar pendapat

kemudian menyamakan pendapat tersebut dalam sebuah kesimpulan;

9. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah

mereka diskusikan dalam kelompok ahli;

57

10. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;

11. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;

12. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;

13. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng;

14. guru menutup pelajaran.

Pada pelaksanaan siklus ini peneliti bertindak sebagai partisipan pasif

memposisiskan diri di tempat duduk paling belakang dengan melakukan

pengamatan sambil sesekali mengambil gambar.

c. Observasi

Observasi dilaksanakan dengan mengamati secara seksama pelaksanaan

pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng baik pada aktivitas

guru maupun siswa. Peneliti yang duduk di belakang sebagai pertisipan pasif.

Berdasarkan pengamatan yang telah peneliti lakukan didapat hasil

sebagai berikut. Di awal pembelajaran sebagaimana yang telah direncanakan guru

membuka pelajaran dengan memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa

dengan melakukan presensi. Siswa tampaknya menilai hal itu sebagai sebuah

kewajaran. Setelah itu guru melakukan pengondisian kelas dengan menyuruh

siswa mempersiapkan dengan membuka buku LKS serta buku paket Bahasa

Indonesia. Kemudian guru mengadakan apersepsi yaitu mengenai pengertian

dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng. Rata-rata siswa mengeluh saat guru

memberitahukan bahwa pelajaran ini adalah mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng, mungkin telah tergambar bagaimana sulitnya dan pasti

membosankan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

Langkah selanjutnya guru berupaya untuk mendapatkan keterangan dari

siswa terkait dengan pengalaman siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng. Rata-rata siswa hanya terdiam dan tertunduk walaupaun sebenarnya

guru sudah memancing dengan sedemikian rupa. Walaupun demikian usah itu

bukanlah usaha yang sia-sia tampak beberapa siswa mulai antusias mengikuti

pembelajaran. Berdasarkan kegiatan tanya jawab tersebut diketahui bahwasannya

siswa tidak menyimak dongeng yang di bacakan teman mereka, sebagian mereka

58

merasa bosan sehingga mereka kesulitan mengidentifikasi serta membedakan tiap

unsur-unsur intrinsik dongeng, selain itu mereka merasa bosan dengan metode

yang diterapkan oleh guru.

Setelah merasa siswa masuk pada konteks pembelajaran yang

diharapkan, langkah berikutnya guru merangkum materi hasil apersepasi. Tak

dapat dipungkiri ceramah pada awal pembelajarn itu sungguh membosankan dan

mengakibatkan siswa tidak terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Reaksi yang

sering muncul adalah beberapa siswa mulai tampak bosan dan beraktivitas sendiri.

Guru sesekali harus menegur siswa yang tidak memerhatikan pembelajaran agar

kembali fokus pada pembelajaran. Pelaksanaan tersebut tidak sesuai dengan RPP

yang telah disepakati dengan peneliti.

Setelah kegiatan apersepsi selesai, guru pun meminta siswa membentuk

kelompok dengan anggota tiap kelompok sejumlah 4 orang siswa dan sekaligus

guru membagi topik yang harus mereka pecahkan dalam kelompok ahli.

Kemudian guru menugasi salah satu siswa yaitu Santi untuk membacakan

dongeng di depan kelas. Ketika Santi membacakan dongeng di depan kelas, tidak

semua siswa mendengarkan dengan antusias. Kebanyakan mereka malah kelihatan

sangat bosan dengan aktivitas tersebut. Setelah Santi selesai membacakan

dongeng, guru menugasi kelompok ahli untuk memecakan topik yang telah guru

berikan. Setelah itu selesai, kelompok ahli kembali ke kelolmpok asal kemudian

kelompok ahli bertugas menjelaskan ke kelompok asal. Kemudian guru

memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Akan tetapi tidak ada satu

siswa pun yang mau bertanya, padahal nampak jika mereka masih bingung

dengan pembelajaran hari ini. Karena siswa tidak ada yang mau bertanya

kemudian guru memberikan lembar soal untuk dikerjakan sebagai alat ukur untuk

mengetahui keberhasilan pembelajaran hari ini. Setelah selesi mengerjakan soal,

lembar jawaban siswa dikumpulkan lima menit sebelum bel berbunyi. Sebagai

refleksi guru bertanya kepada siswa terkait dengan kesulitan yang masih

ditemukan saat pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

Beberapa siswa mengungkapkan bahwa mereka kurang berminat menyimak

dongeng karena pembacaannya membosankan, siswa masih kesulitan memahami

59

unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah disampaikan oleh teman mereka serta

masih bingung dengan penerapan metode yang diterapkan.

Tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran berdasarkan

hasil observasi pada siklus I, dapat disajikan sebagai berikut: 1) siswa yang

berminat dalam menyimak dongeng yang disampaiakan 12 siswa (42 %) ;4) siswa

yang aktif saat diskusi 13 siswa (46 %); 5) siswa mengalami ketuntasan belajar 15

siswa (56 %).

d. Analisis Refleksi

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti kemampuan

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dilakukan analisis dan refleksi

sebagai berikut.

1 ) Selama pembelajaran siswa terlihat kurang aktif baik pada kegiatan apersepsi

maupun selama proses pembelajaran. Hal itu tampak dari pertanyaan-

pertanyaan guru yang tidak sepenuhnya ditanggapi oleh siswa.

2 ) Pengelolaan kelas yang telah guru laksanakan kurang optimal, hal itu terbukti

dengan proses pembelajaran masih bersifat satu arah yakni guru yang lebih

mendominasi pembelajaran.

3 ) Beberapa siswa tampak kurang berminat menyimak dongeng yang dibaca.

Tampak siswa sibuk melakukan aktivitas sendiri, seperti berbicara dengan

teman sebangku bahkan ada menyandarkan kepala mereka di atas meja selain

itu siswa juga tampak bosan. Sebab pembacaan dongeng yang dilakukan siswa

masih datar, intonasi, lafal, jeda dan ekspresi belum diterapkan Hal ini

berdasarkan observasi evaluasi yang dilakukan oleh guru.

4 ) Penentuan kelompok perlu diulang, karena ada beberapa siswa yang

mempunyai kemampuan kurang berada dalam satu kelompok.

5 ) Diskusi kelompok belum berfungsi secara optimal. Selain itu waktu yang

dibutuhkan cukup lama sehingga waktu banyak terbuang.

6 ) Siswa belum paham dengan langkah-langkah yang telah dijelaskan guru, hal

itu terlihat dari banyaknya siswa yang masih kebingungan saat diminta segera

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

60

7 ) Balikan dan penguatan yang diberikan guru kurang optimal sehingga siswa

belum mengetahui dengan jelas mengenai kelemahan yang ia lakukan pada

saat mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

Berdasarkan analisis tersebut, berikut ini dikemukakan refleksi terhadap

kekurangan yang ditemukan pada pelaksanaan pembelajaran siklus I.

1. Guru lebih banyak berinteraksi dengan siswa; posisi guru tidak hanya di depan

kelas karena untuk mengontrol dan mengondisikan siswa guru harus lebih

dekat dengan siswa. Hal ini dimaksudkan juga untuk mendorong siswa lebih

aktif dalam berdiskusi serta mendorong siswa agar berani berpendapat dalam

diskusi.

2. Guru mengulang pembagian kelompok, karena karena ada beberapa siswa

yang mempunyai kemampuan kurang berada dalam satu kelompok.

3. Dongeng dibacakan oleh guru, supaya siswa lebih fokus dalam menyimak dan

tidak bosan. Sebab pembacaan dongeng yang dilakukan siswa masih datar,

intonasi, lafal, jeda dan ekspresi belum diterapkan. Sehingga siswa yang

menyimak kurang antusias, hal ini berdasarkan observasi evaluasi yang

dilaksanakn guru.

4. Guru memberikan kiat-kiat berdiskusi yang baik dalam satu kelompok.

5. Guru menjelaskan kembali penerapan metode yang dilaksanakan ketika

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

61

Tabel 5. Perolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng pada

Siklus I

No NIS Nama Nilai 1 767 Gilang Permana 53 2 776 Rohmat Bayu A. S 40 3 790 Diana Mita Sari 73 4 791 Santi Tiara Bakti 60 5 798 Kevin Pratama Putra 53 6 803 Sriyanto 47 7 814 Salsa Dinisa Nur 80 8 815 Devi Kharisma Angzali 80 9 816 Indri Rosita Sari 73 10 818 Ratih Dwi Anggraeni 73 11 819 Candra Sih Maulana 73 12 820 Riski Setiawan 47 13 821 Lina Imroatun 67 14 822 Achmad Fadyanto 40 15 823 Fahrian Sinta Dewi 47 16 824 Desi Wahyu Sulistya N 60 17 825 Puput Lestari 53 18 827 Ivan Febri Bimantara 47 19 828 Anggi Ayu Purnamasari 80 20 830 Ayu Wibeseno 53 21 831 Ulfiani Resti Utami 73 22 834 Indah Puspitasari 60 23 838 Iliyana Diningtyas Ratri 60 24 839 Pinky Yulia Rahmawati 53 25 848 Rosyid Prasetyo 60 26 873 Nadila Putri Hapsari 47 27 896 Ira Widiyastuti 60 28 898 Yusroni Aruda F. 40

rata-rata: 59

2. Siklus II

a. Perencanaan Tindakan

Bertolak dari refleksi yang telah dilakukan terhadap siklus I maka

peneliti dan guru sepakat bahwa siklus II perlu dilakukan. Persiapan dan

perencanaan tindakan dilakukan pada hari Rabu 3 Maret 2010 di ruang guru SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu. Dalam kesempatan ini, peneliti

menyamapaikan kembali hasil observasi dan refleksi pembelajaran

62

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siklus I. Pada kesempatan ini

pula peneliti menyamapaikan kelemahan dan kelebihan siklus I sekaligus

merencanakan tindakan selanjutnya pada siklus II.

Setelah berdiskusi sekian lama akhirnya peneliti dan guru sepakat untuk

memperbaiki beberapa hal yang dirasa memerlukan perbaikan sebagaimana yang

telah terdapat pada refleksi siklus I. Langkah-langkah perbaikan yang dimaksud

antara lain.

1. Guru lebih banyak berinteraksi dengan siswa; posisi guru tidak hanya di depan

kelas karena untuk mengontrol dan mengondisikan siswa guru harus lebih

dekat dengan siswa. Hal ini dimaksudkan juga untuk mendorong siswa lebih

aktif dalam berdiskusi serta mendorong siswa agar berani berpendapat dalam

diskusi.

2. Guru mengulang pembagian kelompok, karena karena ada beberapa siswa

yang mempunyai kemampuan kurang berada dalam satu kelompok.

3. Dongeng dibacakan oleh guru, supaya siswa lebih fokus dalam menyimak dan

tidak bosan. Sebab pembacaan dongeng yang dilakukan siswa masih datar,

intonasi, lafal, jeda dan ekspresi belum diterapkan. Sehingga siswa yang

menyimak kurang antusias, hal ini berdasarkan observasi evaluasi yang

dilaksanakan guru.

4. Guru memberikan kiat-kiat berdiskusi yang baik dalam satu kelompok.

5. Guru menjelaskan kembali penerapan metode yang dilaksanakan ketika

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

Setelah merasa cukup dengan perbaikan yang akan dilaksanakan pada

siklus II, peneliti dan guru kemudian menyusun RPP. Dalam diskusi penyusunan

RPP tersebut guru dan peneliti merinci langkah-langkah yang akan dilaksanakan

dalam pembelajaran.

Di samping itu, disepakati pula bahwa guru tidak hanya berada di depan

kelas namun keliling untuk mengontrol dan mengondisikan diskusi kelompok

siswa. Guru juga yang akan membacakan dongeng yang disimak siswa supaya

siswa lebih bisa berkonsentrasi dengan baik. Selain itu guru juga akan lebih

mengaktifkan siswa dengan lebih menekankan pada proses menemukan sendiri

63

pada tahapan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Sebagaimana

tindakan siklus I, tindakan siklus II akan dilaksanakan pada Kamis 4 Maret 2010

di ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu.

Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di siklus II

ini rencananya akan dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:

1. guru membuka pelajaran dengan memberi salam dan menanyakan kehadiran

siswa;

2. guru mengadakan apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsiknya

seperti pada siklus I ;

3. guru membentuk kelompok;

4. guru membacakan dongeng di depan kelas;

5. siswa berdiskusi di kelompok asal;

6. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah

ditugaskan guru kepada mereka;

7. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah

mereka diskusikan dalam kelompok ahli;

8. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;

9. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;

10. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;

11. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng;

12. Guru menutup pelajaran.

b. Pelaksanaan Tindakan

Seperti yang telah direncanakan, tindakan siklus II dilaksanakan dalam

satu kali pertemuan, yaitu pada hari Kamis 4 Maret 2010 bertempat di kelas V

SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Pertemuan berlangsung 2 x 35 menit.

Pada tahap ini, guru bertindak sebagai pemimpin jalannya kegiatan belajar

pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di dalam kelas,

sedangkan peneliti hanya bertindak sebagai partisipan pasif. Adapun langkah-

langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran mengdentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng pada tindakan siklus II adalah sebagai berikut:

64

1) guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan

presensi;

2) guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan

menyuruh mengeluarkan buku LKS serta buku paket;

3) guru mengadakan apersepsi dengan cara berataya jawab mengenai dongeng

dan unsur-unsur intrinsik dongeng;

4) guru dan siswa merangkum materi hasil apersepsi;

5) guru membentuk kelompok

6) guru membacakan dongeng di depan kelas;

7) siswa berdiskusi di kelompok asal mengenai tugas serta tanggung jawab

mereka masing-masing;

8) siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah

ditugaskan guru kepada mereka dengan cara saling bertukar pendapat

kemudian menyamakan pendapat tersebut dalam sebuah kesimpulan;

9) kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah

mereka diskusikan dalam kelompok ahli;

10) guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;

11) guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;

12) guru beserta siswa membahas soal-soal ulangan yang telah siswa kerjakan

supaya siswa mengetahui letak kesalahannya;

13) guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;

14) guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng;

15) guru menutup pelajaran.

c. Observasi

Pelaksanaan tindakan siklus II ini dilaksanakan dalam satu kali

pertemuan yaitu pada hari Kamis 4 Maret 2010, selama 2 x 35 menit di ruang

kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Peneliti mengamati guru yang

sedang mengajar siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu dengan

menempatkan diri di tempat duduk paling belakang. Kegiatan observasi ini

65

dimaksudkan untuk mendeskripsikan apakah kekurangan proses belajar

pembelajaran pada siklus I sudah bisa teratasi belum.

Berdasarkan pengamatan yang telah peneliti lakukan didapat hasil

sebagai berikut. Semua siswa pada saat itu masuk, kelas tampak rapi tetapi sedikit

silau karena panas matahari, siswa tampak siap menghadapi pelajaran pada saat

itu. Sama halnya dengan pembelajaran pada siklus I, kali ini pembelajaran juga

menggunakan metode Jigsaw untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng.

Di awal pembelajaran, sebagaimana yang telah direncanakan, guru

membuka pelajaran dengan salam dan mengadakan presensi kehadiran siswa.

Setelah itu guru mengondisikan siswa supaya siap menerima pelajaran dengan

menugasi siswa membuka buku paket kemudian mengadakan apersepsi terhadap

pengalaman siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada

siklus I dan kemampuan mereka saat mengerjakan soal-soal yang telah guru

berikan. Dalam apersepasi guru menekankan sangat menariknya isi dongeng-

dongeng di Indonesia dan banyak sekali manfaat yang dapat kita petik dari isi

cerita dongeng yang ada di Indonesia. Selain itu, guru juga menjelaskan tentang

pelaksanaan pembelajaran yang akan mereka laksanakan, supaya siswa tidak

bingung seperti pada saat siklus I yang dilaksanakan kemarin.

Langkah selanjutnya yang dilakukan guru adalah berupaya untuk

mengorek keterangan dari siswa terkait dengan hal-hal yang dirasa sulit ketika

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng minggu yang lalu. Beberapa siswa

mulai aktif mengajukan pertanyaan, mungkin karena mereka telah mengalami

pembelajaran pada siklus I sehingga mengetahui kesulitan apa yang telah mereka

alami pada silus I. Rata-rata siswa mengungkapkan bahwa mereka merasa bosan

menyimak dongeng yang dibaca karena pembacaan yang monoton, siswa masih

merasa bingung dengan langkah-langkah yang diterapakan dan mereka juga tidak

mampu mengingat-ingat isi dongeng yang telah dibacakan.

Tahap apersepasi yang dilakaukan guru pada siklus II tampak lebih lama

jika dibandingkan dengan palaksanaan apersepsi pada siklus I. Setelah tahap

apersepasi dirasa cukup, langah berikutnya menjelaskan metode yang akan

66

digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng adalah metode

seperti yang digunakan pada pertemuan minggu lalu.

Pada awalnya siswa mengeluh kepada guru, karena para siswa merasa

berat untuk mengingat-ingat dongeng yang mereka dengar. Namun guru

memberikan cara supaya mereka mudah mengingat dan tidak kesulitan dalam

menyimak yaitu dengan cara berkonsentrasi ketika dongeng di baca serta

membuat cacatan-cacatan kecil mengenai dongeng yang mereka dengar. Setelah

memberikan penjelasan singkat kepada siswa, guru meminta siswa untuk duduk

berkelompok berdasarkan anggota kelompok yang baru. Setelah siswa siap,

kemudian guru membacakan dongeng.

Ketika guru membacakan dongeng tampak suasan kelas hening dan

sebagian besar siswa mendengar dengan baik. Sebagian besar siswa melaksanakan

saran dari guru yaitu dengan membuat catatan-catatan kecil, namun beberapa

siswa ketika pertengahan dongeng dibaca mereka tampak bosan mendengar isi

dongeng tesebut. Setelah guru selesai membaca dongeng, guru menugasi siswa

berdiskusi di kelompk ahli untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng

yang telah mereka simak dengan topik yang telah guru bagi.

Selama pembelajaran berlangsung guru sesekali berkeliling untuk

memberikan tutorial kepada siswa yang masih mengalami kesulitan dalam

memecahkan topik yang menjadi tanggung jawab mereka. Hal ini cukup

memberikan andil besar terhadap pemahaman siswa karena siswa telah

mengetahui apa yang mereka tidak bisa dan mereka menanyakan kepada guru.

Setelah kegiatan berdiskusi di kelompok ahli selesai, guru menugasi

siswa kembali kekelompok asal kemudian guru menugasi siswa kelompok ahli

untuk menjelaskan masing-masing topik yang telah mereka diskusikan di

kelompok ahli. Setelah semua kelompok ahli selesai menjelaskan dan siswa sudah

paham mengenai unsur-unsur intrinsik dongeng yang mereka simak, guru

menugasi siswa kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Suasan tampak

gaduh saat itu, hal ini wajar karena siswa berpindah dari suatu kelompok ke

tempat duduk mereka dengan merapikan tempat duduk mereka seperti saat awal

67

pelajaran di mulai. Guru mengondisikan siswa kemudian memberikan

kesemapatan kepada siswa untuk bertanya.

Setelah Tanya jawab usai, guru membagikan soal untuk menguji

pemahaman siswa mengenai pembelajaran hari ini. Karena jumlah soal hanya

lima belas, guru membatasi waktu untuk mengerjakan soal yaitu lima belas menit.

Sebagai refleksi guru bertanya kepada siswa terkait dengan kesulitan yang masih

ditemukan saat mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Beberapa siswa

mengungkapakan bahwa mereka masih kesulitan mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng sehingga penyampaian di kelompok asal belum maksimal serta

masih merasa bosan menyimak dongeng karena pembacaan guru yang masih

datar. Selain itu, guru juga bertanya mengenai pembagian kelompok apakah masih

ada kekurangan atau tidak, siswa menjawab sudah sesuai. Mengenai penerapan

metode, siswa merasa senang dengan metode yang digunakan ketika pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik donging berlangsung, siswa tidak bosan

karena mereka mempunyai tanggung jawab, sehingga mereka harus bisa

memecahkan topik yang telah diberikan guru. Guru pun memberikan simpulan

pada pembelajaran hari ini dan menutup pembelajaran dengan ucapan salam.

Tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran berdasarkan

hasil observasi pada siklus II, dapat disajikan sebagai berikut: 1) siswa yang

berminat dalam menyimak dongeng yang disampaiakan 15 siswa (56 %) ;4) siswa

yang aktif saat diskusi 15 siswa (56 %); 5) siswa mengalami ketuntasan belajar 22

siswa (78 %).

d. Analisis Refleksi

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada tindakan siklus II, dapat

dikemukakan beberapa hal, yaitu:

1) minat siswa dalam menyimak dongeng mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan siklus sebelumya, yakni sebesar 14 %. Pada siklus II

siswa yang menyimak dongeng dengan baik sebanyak 15 siswa atau sebesar

56 % dari jumlah siswa;

2) kegiatan diskusi yang dilakukan juga lebih efektif jika dibandingkan dengan

pelaksanaan pada siklus I. Keaktifan siswa meningkat 10 % bila dibandingkan

68

dengan siklus sebelumnya. Pada siklus II siswa yang aktif dalam diskusi

sebanyak 15 siswa atau 56 % dari jumlah siswa. Akan tetapi masih ada

beberapa siswa yang belum aktif ketika diskusi berlangsung. Sehingga

keaktifan guru untuk mengamati siswanya sangat diperlukan. Guru harus

selalu berkeliling untuk mengamati kerja kelompok siswa;

3) pengelolaan kelas yang dilakukan guru lebih baik daripada pengelolaan pada

siklus sebelumnya. Pada siklus ini pembelajaran lebih hidup;

Dari analisis serta refleksi di atas, dapat diungkapakan bahwa kualitas

proses pembelajaran sudah mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan

siklus I. Kekurangan hanya ditemui pada sikap siswa yang terkadang kelihatan

agak bosan ketika dongeng di bacakan. Untuk itu pembacaan yang guru lakukan

perlu diperbaiki yaitu dengan cara membacakan dongeng sesuai dengan karakter

masing-masing tokoh serta dengan intonasi, jeda, lafal dan ekspresi yang tepat.

Adapun dari kegiatan diskusi siswa, guru harus selalu berkeliling supaya diskusi

dalam kelompok ahli lebih intensif dan hasil yang akan disampaikan kepada

kelompok asal lebih maksimal supaya hasilnya optimal. Berikut ini data perolehan

nilai identifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa pada siklus II.

69

Tabel 6. Pemerolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng

pada Siklus II

No NIS Nama Nilai 1 767 Gilang Permana 60 2 776 Rohmat Bayu A. S 53 3 790 Diana Mita Sari 80 4 791 Santi Tiara Bakti 67 5 798 Kevin Pratama Putra 53 6 803 Sriyanto 60 7 814 Salsa Dinisa Nur 73 8 815 Devi Kharisma Angzali 93 9 816 Indri Rosita Sari 93 10 818 Ratih Dwi Anggraeni 80 11 819 Candra Sih Maulana 67 12 820 Riski Setiawan 53 13 821 Lina Imroatun 80 14 822 Achmad Fadyanto 67 15 823 Fahrian Sinta Dewi 47 16 824 Desi Wahyu Sulistya N 53 17 825 Puput Lestari 73 18 827 Ivan Febri Bimantara 67 19 828 Anggi Ayu Purnamasari 73 20 830 Ayu Wibeseno 60 21 831 Ulfiani Resti Utami 80 22 834 Indah Puspitasari 73 23 838 Iliyana Diningtyas Ratri 67 24 839 Pinky Yulia Rahmawati 74 25 848 Rosyid Prasetyo 53 26 873 Nadila Putri Hapsari 67 27 896 Ira Widiyastuti 60 28 898 Yusroni Aruda F. 60

rata-rata: 67.32

3. Siklus III

a. Perencanaan Tindakan

Berdasarkn hasil refleksi pada siklus II, guru dan peneliti sepakat bahwa

siklus III perlu dilaksanakan. Perencanaan siklus III ini dilaksanakan di ruang

guru SDN Bandardawung 03 Tawangmangu pada hari Sabtu tanggal 6 Maret

2010. Dalam diskusi tersebut disampaikan dan dibahas mengenai kelebihan dan

kekurangan dari pelaksanaan siklus II. Terdapat beberapa hal yang menjadi

permasalahan pada pembelajaran yang dilaksanakan pada siklus II sehingga

70

palaksanaan siklus III perlu dilaksanakan untuk meningkatkan proses

pembelajaran dan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

Penambahan yang disepakati untuk dilaksanakan pada siklus III adalah

sebagai berikut.

1. Guru membacakan dongeng dengan intonasi, lafal, jeda serta ekspresi yang

tepat, supaya siswa mudah dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng.

2. Guru selalu berkeliling ketika siswa berdiskusi supaya kerja mereka terkontrol

dan ketika menyampaikan ke tim asal hasilnya maksimal.

Setelah membahas hal-hal yang perlu dilakukan pada siklus III peneliti

dan guru kemudian menyusun RPP mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng dengan metode Jigsaw. Langkah-lankah pembelajaran mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng akan dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:

1. guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa;

2. guru mengadakan apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsiknya

seperti pada siklus II ;

3. guru menugasi siswa duduk berkelompok;

4. guru membacakan dongeng di depan kelas dengan intonasi, lafal, jeda serta

ekspresi yang tepat;

5. guru menugasi siswa berdiskusi di kelompok ahli dengan pembegian topik

seperti pada siklus II;

6. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah

ditugaskan guru kepada mereka;

7. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah

mereka diskusikan dalam kelompok ahli;

8. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;

9. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;

10. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;

11. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng;

12. guru menutup pelajaran.

71

Pada akhir diskusi disepakati bahwa siklus III akan dilaksanakan pada

hari Senin tanggal 8 Maret 2010.

b. Pelaksanaan Tindakan

Sebagaimana perencanaan yang telah disusun, tindakan siklus III

dilaksanakan pada hari Senin, 8 Maret 2010. Pertemuan berlangsung salama 2 x

35 menit di ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Langkah-

langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng pada tindakan siklus III adalah sebagai berikut:

1. guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan

presensi;

2. guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan

menyuruh siswa mengeluarkan buku LKS serta buku paket;

3. guru mengadakan apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsik

dongeng yang telah mereka terima pada siklus I dan siklus II;

4. guru menugasi siswa duduk berkelompok;

5. guru membacakan dongeng di depan kelas, dengan intonasi, lafal, jeda serta

ekspresi yang tepat supaya siswa mudah mengingat;

6. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah

ditugaskan guru kepada mereka dengan cara saling bertukar pendapat

kemudian menyamakan pendapat tersebut dalam sebuah kesimpulan;

7. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah

mereka diskusikan dalam kelompok ahli;

8. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;

9. guru memberi ulanagan untuk menguji kemampuan siswa;

10. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;

11. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik dongeng;

12. guru menutup pelajaran.

72

Pada pelaksanaan tindakan ini, sebagaimana siklus I dan siklus II

peneliti bertindak sebagai partisipan pasif yang mengamatai jalannya

pembelajaran dari belakang. Peneliti memilih di belakang karena posisi ini

memungkinkan peneliti mengamati seluruh proses pembelajaran tanpa

mengganggu jalannya pembelajaran.

c. Observasi

Sesuai dengan rencana, pelaksanaan siklus III dilaksanakan pada hari

Senin 8 Maret 2010 . Sama halnya dengan yang peneliti lakukan pada siklus I dan

II peneliti bertindak sebagai partisipan pasif pada pelaksanaan tindakan tersebut.

Walauapun demikian peneliti terkadang berkeliling untuk ikut mengamati

kegiatan diskusi siswa dan mengambil gambar sebagai bukti tindakan. Observasi

difokuskan pada situasi pelaksanaan pembelajaran, kegiatan yang dilaksanakan

guru serta aktivitas diskusi.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan penelliti diperoleh hasil

sebagai berikut. Pembelajaran dalam tindakan ini merupakan solusi atas

permasalahan yang muncul pada siklus II sehingga dalam kegiatana ini, guru

mengaplikasikan solusi yang telah disepakati dengan peneliti untuk mengatasi

permasalahan pada siklus II. Pembelajaran diawali guru dengan mengucapkan

salam menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan presensi, kemudian guru

mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan menyuruh

membuka buku LKS serta buku paket. Pada kegiatan awal ini siswa terlihat lebih

semangat tampaknya mereka sudah tidak sabar untuk menyimak dongeng yang

akan mereka simak serta berdiskusi untuk mengidentifkasi unsur-unsur intrinsik

dongeng yang kemudian mereka menyampiakannya kepada teman dalam kelmpok

asal mereka. Langkah selanjutnya, guru memberikan sedikit apersepsi mengenai

dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng. Guru memberikan kesempatan

kepada siswa untuk bertanya bagian mana yang siswa belum paham. Pada saat

sesi tanya jawab ini sebagian besar siswa sudah paham mengenai perbedaan yang

mendasar setiap unsur intrtinsik dongeng. Kemudian guru menugasi siswa untuk

duduk berkelompok dengan kelompok asal mereka, secara cepat siswa duduk

berkelompok. Setelah siswa terkondisi, guru membacakan dongeng yang lelah

73

peneliti dan guru siapkan ketika perencanaan tidakan siklus III. Ketika guru

membacakan dongeng, semua siswa nampak antusias menyimak dongeng,

terlebih karena guru membacakan sesuai dengan intonasi, lafal, jeda serta ekspresi

yang tepat dalam dongeng, sehingga dalam proses penceritaan tidak terkesan

monoton dan menjemuhkan. Dongeng nampak menarik dan siswa sangan senang

menyimaknya. Walaupan mereka menyimak dongeng dengan baik, tidak lupa

mereka membuat catatan-catatan kecil untuk mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik yang nantinya akan mereka pecahkan di kelompok ahli. Setelah guru

selesai membacakan, guru menugasi siswa ke kelompk ahli untuk memecahkan

topik yang yang telah guru tugaskan seperti pada siklus I maupun siklus II. Secara

cepat siswa ke kelompok ahli untuk berdiskusi topik yang harus mereka pecahkan.

Kegiatan diskusi sangat hidup pada kegiatan pemebelajaran ini, siswa-

siswa sudah tidak kelihatan bingung dengan metode yang diterapakan. Siswa

nampaknya sudah nyaman dengan metode Jigsaw yang guru dan peneliti

terapkan. Guru selalu berkeliling untuk mengamati dan membantu permasalahan

yang terjadi ketika kelompok ahli berdiskusi, supaya ketika menyampaikan atau

menjelaskan ke kelompok asal hasilnya bisa maksimal sehingga semua anggota

kelompok paham dengan penjelasan kelompok ahli. Setelah kelompok ahli selesai

berdiskusi, guru menugasi siswa kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan

materi yang telah mereka pecahkan. Dengan antusias setiap kelompok ahli

menyampaikan topik mereka masing-masing. Anggota kelompok asal sangat

serius meperhatikan ketika kelompok ahli menjelaskan topik yang telah mereka

pecahkan dengan bertanya apabila diantara mereka ada yang kurang jelas dengan

penjelasan kelompok ahli. Guru selalu berkeliling mengamati jalannya diskusi.

Langkah selanjutnya, guru menugasi siswa duduk di tempat duduk

mereka masing-masing kemudian guru memberi kesempatan kepada siswa untuk

bertanya bagian mana yang mereka belum paham. Semua siswa sudah paham

dengan penjelasan kelompok ahli. Kemudian guru memberikan ulangan, semua

siswa mengerjakan ulangan dengan baik.

Setelah selesai mengerjakan soal ulangan, kemudian guru merefleksi

kegiatan pembelajaran yang telah dilalui kemudian bertanya apakah senang

74

dengan dongeng serta metode yang guru terapkan dalam pembelajaran dongeng

ini, secara serentak siswa menjawab senang. Guru menjeaskan bahwa dalam

pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa harus aktif

dalam bertanya jawab agar mendapatkan jawaban atas hal-hal yang belum

dipahami dan diharapkan mampu bekerja secara aktif dalam kelompok karena

meningkatkan nilai keaktifan dalam belajar. Guru dan siswa menyimpulkan

materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Bel

berbunyi guru menutup pelajaran.

Pelaksanaan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng pada siklus III berjalan dengan baik sehingga memuaskan guru. Sebagian

besar siswa aktif dalam diskusi setelah mereka selesai menyimak dongeng yang

telah guru bacakan dengan pembacaan yang menarik. Peningkatan yang signifikan

dalam hal kuantitas siswa yang aktif dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-

unsur intrinsik dongeng dan juga peningkatan kualitas proses pembelajaran

identifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

d. Analisis Refleksi

Dari hasil pengamatan peneliti pada tindakan siklus III dapat

dikemukakan bahwa kualitas pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari tercapainya sejumlah

indikator yang telah ditetapkan, seperti meningkatnya keaktifan siswa ketika

diskusi berlangsung, meningkatnya perhatian serta konsentrasi siswa ketika

dongeng dibacakan. Di samping itu, kekurangan-kekurangan yang ditemui dalam

siklis II telah dapat diatasi dengan baik oleh guru pada siklus III.

Tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran berdasarkan

hasil observasi pada siklus III, dapat disajikan sebagai berikut: 1) siswa yang

berminat dalam menyimak dongeng yang disampaiakan 25 siswa (89 %) ;4) siswa

yang aktif saat diskusi 22 siswa (78 %); 5) siswa mengalami ketuntasan belajar 28

siswa (100 %).

75

Tabel 7. Pemerolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng

pada Siklus III

No NIS Nama Nilai 1 767 Gilang Permana 73 2 776 Rohmat Bayu A. S 67 3 790 Diana Mita Sari 80 4 791 Santi Tiara Bakti 67 5 798 Kevin Pratama Putra 73 6 803 Sriyanto 80 7 814 Salsa Dinisa Nur 80 8 815 Devi Kharisma Angzali 100 9 816 Indri Rosita Sari 80 10 818 Ratih Dwi Anggraeni 80 11 819 Candra Sih Maulana 87 12 820 Riski Setiawan 73 13 821 Lina Imroatun 73 14 822 Achmad Fadyanto 87 15 823 Fahrian Sinta Dewi 73 16 824 Desi Wahyu Sulistya N 80 17 825 Puput Lestari 73 18 827 Ivan Febri Bimantara 80 19 828 Anggi Ayu Purnamasari 100 20 830 Ayu Wibeseno 87 21 831 Ulfiani Resti Utami 93 22 834 Indah Puspitasari 87 23 838 Iliyana Diningtyas Ratri 73 24 839 Pinky Yulia Rahmawati 93 25 848 Rosyid Prasetyo 67 26 873 Nadila Putri Hapsari 67 27 896 Ira Widiyastuti 73 28 898 Yusroni Aruda F. 80

rata-rata: 79.5

Berdasarkan hasil analisis dan refleksi di atas, tindakan pada siklus III

dikatakan berhasil. Peningkatan terjadi pada beberapa indikator dibandingkan

siklus sebelunya, Nilai rata-rata kelas sudah jauh melebihi batas ketuntasan serta

ketuntasan siswa mencapai 100%.

76

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan tindakan I, II, dan III dinyatakan bahwa

terjadi peningkatan baik dari segi proses maupun hasil pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa

kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu Karanganyar. Hal ini dapat

diliahat pada indikator-indikator sebagai berikut:

1. Peningkatan Kualitas Proses dapat dilihat dari indikator-indikator berikut ini:

a. Minat siswa dalam menyimak dongeng

Sebelum tindakan penelitian ini dilakukan, siswa kurang tertarik dalam

menyimak dongeng. Hal ini terjadi karena pembacaan yang datar serta belum

adanya ekspresi ketika membaca dongeng. Siswa terlihat bosan, ngantuk serta

beraktivitas sendiri ketika dongeng dibacakan.

Setelah dilakukan tindakan yaitu dengan pemodelan ketika pembacaan

dongeng (dongeng dibaca dengan nada, intonasi, lafal, jeda serta ekspresi yang

tapat) siswa terlihat antusias menyimak. Terlihat pada diri siswa kesediaan

untuk meyimak dongeng hal ini nampak pada suasana hening dengan

konsentrasi penuh ketika dongeng di baca.

b. Keaktifan siswa dalam diskusi kelompok

Dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng

dengan metode Jigsaw keaktifan siswa ketika diskusi berlangsung meningkat.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti keaktifan siswa pada siklus I mencapai

46%, siklus II mencapai 56% sedangkan pada siklus III menjadi 78% dari

jumlah siswa. Siswa nampak antusias setiap kali berdiskusi.

c. Kemampuan guru dalam mengelola kelas

Kemampuan guru dalam mengelola kelas sangat mempengaruhi

keberhasilan proses belajar-mengajar. Pengelolaan kelas yang dilakukan guru

yaitu berupa tindakan memotivasi siswa untuk bisa mengeluarkan pendapat

ketika diskusi berlangsung. Selain itu guru tidak hanya duduk di depan dalam

mengajar tapi bisa lebih berinteraksi dengan siswa dengan cara berkeliling.

77

d. Kemampuan guru dalam menggunakan metode Jigsaw

Sebelum adanya penelitian ini, guru mengaku bahwa belum pernah

menerapkan metode Jigsaw pada pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng. Selama ini guru mengajar hanya dengan metode ceramah

yang monoton kemudian memberikan tugas kepada siswa untuk

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Pembelajaran terpusat pada

guru, siswa bukan sebagai subjek akan tetapi sebagai objek dalam

pembelajaran sehingga siswa cenderung pasif .

Setelah diadakan penelitian ini, guru jadi tertarik dalam melaksanakan

pembelajaran dengan menerapkan metode Jigsaw. Hal ini terbukti dengan

penerapan metode Jigsaw guru lebih mudah dalam menyampaikan materi

serta siswa lebih aktif, siswa tidak lagi sebagai objek akan tetapi sebagai

subjek dalam pembelajaran. Berdasarkan penerapan metode Jigsaw ternyata

dapat membantu siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng ketika

proses belajar pembelajaran berlangsung.

2. Peningkatan kualitas hasil dapat dilihat dari indikator-indikator berikut ini:

Peningkatan proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik

dongeng juga sangat mempengaruhi hasil siswa mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng. Berdasarkan perolehan nilai sebelum tindakan yang

dilakukan pada saat survei awal, diketahui bahwa kemampuan

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa masih tergolong rendah.

Pada kegiatan sebelum tindakan diketahui hanya 9 siswa yang mencapai batas

minimal ketuntasan belajar (60). Pada siklus I diketahui terjadi peningkatan

yaitu dari 9 siswa menjadi 15 siswa yang berhasil mencapai batas ketuntasan

belajar. Begitu juga pada siklus II terjadi peningkatan yaitu hanya 8 siswa dari

28 siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar. Pada siklus III,

peningkatan nilai siswa sangat signifikan. Semua siswa berhasil mencapai

ketuntasan belajar dengan kisaran nilai 67-100. Peningkatan skor ini

menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng siswa. Berikut ini peningkatan skor siswa dari siklus I

sampai siklus III.

78

Tabel 8. Perolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng Survei

Awal sampai dengan Siklus III

No Nama Survei awal

Siklus I

Siklus II

Siklus III

1 Gilang Permana 50 53 60 73 2 Rohmat Bayu A. S 35 40 53 67 3 Diana Mita Sari 70 73 80 80 4 Santi Tiara Bakti 50 60 67 67 5 Kevin Pratama Putra 40 53 53 73 6 Sriyanto 45 47 60 80 7 Salsa Dinisa Nur 75 80 73 80 8 Devi Kharisma Angzali 90 80 93 100 9 Indri Rosita Sari 60 73 93 80 10 Ratih Dwi Anggraeni 80 80 80 80 11 Candra Sih Maulana 65 73 67 87 12 Riski Setiawan 55 47 53 73 13 Lina Imroatun 65 67 80 73 14 Achmad Fadyanto 55 47 67 87 15 Fahrian Sinta Dewi 40 47 47 73 16 Desi Wahyu Sulistya N 50 60 53 80 17 Puput Lestari 45 53 73 73 18 Ivan Febri Bimantara 50 47 67 80 19 Anggi Ayu Purnamasari 80 80 73 100 20 Ayu Wibeseno 50 53 60 87 21 Ulfiani Resti Utami 70 73 80 93 22 Indah Puspitasari 55 60 73 87 23 Iliyana Diningtyas Ratri 70 73 67 73 24 Pinky Yulia Rahmawati 50 53 74 93 25 Rosyid Prasetyo 60 60 53 67 26 Nadila Putri Hapsari 35 47 67 67 27 Ira Widiyastuti 50 60 60 73 28 Yusroni Aruda F. 40 40 60 80

Berdasarkan tabel 7 tersebut bahwa pemerolehan nilai siswa dari survei

awal sampai siklus terakhir terjadi peningkatan. Siswa yang nilainya belum

mencapai batas ketuntasan minimal (60) setelah diadakan tindakan dapat

meningkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan metode Jigsaw dapat

meningkatkan prestasi belajar siwa.

79

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan di kelas V SDN

Bandardawung 03 Tawangmangu ini dilaksanakan 3 siklus. Setiap siklus meliputi:

1) tahap perencanaan tindakan; 2) tahap pelaksanaan tindakan; 3) tahap observasi;

4) tahap analisis dan refleksi.

Simpulan dari penelitian yang telah peneliti laksanakan berupa

peningkatan kualitas proses dan kemampuan pada pembelajaran mengidentifikasi

unsur-unsur inrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN Bandawdawung 03

Tawangmangu sebagai berikut:

1. Peningkatan kualitas proses pembelajaran

Peningkatan kualitas proses antara lain ditandai dengan peningkatan

indikator-indikator sebagai berikut.

a. Minat siswa dalam menyimak dongeng yang disampaiakan mengalami

peningkatan sebesar 14% dibandingkan dengan siklus sebelumnya. Jika minat

siswa dalam menyimak dongeng yang disampaiakan pada siklus I hanya 42%

atau sebesar 12 siswa maka pada silkus II minat siswa dalam menyimak

dongeng yang disampaiakan sebesar 56% atau sebanyak 15 siswa. Pada siklus

III peningkatan kembali terjadi sebesar 33%, yaitu sebesar 78% atau sebanyak

22 siswa.

b. Aktivitas diskusi siswa dalam diskusi kelompok juga mengalami peningkatan.

berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada silkus II aktivitas berdiskusi

yang dilakukan siswa mengalami peningkatan sebesar 14%. Jika pada siklus I

siswa yang melaksanakan diskusi dengan baik sebanyak 12 orang atau sebesar

42% maka pada siklus II diketahui 15 siswa atau 56% dari keseluruhan siswa

melaksanakan diskusi dengan baik. Pada siklus III peningkatan terjadi sebesar

23%, yakni 78% atau sebanyak 22 siswa.

78

80

2. Peningkatan kualitas hasil pembelajaran

Peningkatan kualitas hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng ditandai dengan peningkatan jumlah siswa yang mencapai batas

ketuntasan hasil belajar dalam pembelajaran menulis cerpen sebagai berikut.

a. Berdasarkan hasil tes yang telah dilaksanakan pada siklus I diketahui rerata

sebesar 59.96. Dari tes tersebut terdapat 13 siswa yang belum mencapai

ketuntasan sedangkan 15 siswa lainnya telah mampu mencapai ketuntasan

minimal dengan nilai sama dengan 60 atau lebih. Ketuntasan klasikal pada

siklus I juga baru 56%.

b. Berdasarkan hasil tes yang telah dilaksanakan pada siklus II diketahui rerata

kelas 67.32 dari tes tersebut terdapat 6 siswa yang belum mencapai ketuntasan

sedangkan 22 siswa lainnya telah mampu mencapai ketuntasan minimal

dengan nilai sama dengan 60 atau lebih. Ketuntasan klasikal pada siklus II

mencapai 78%.

c. Berdasarkan hasil tes yang telah dilaksanakan pada siklus III diketahui rerata

kelas 79.5. Dari tes tersebut seluruh siswa telah mencapai ketuntasan minimal

dengan nilai sama dengan 60 atau lebih. Ketuntasan klasikal yang mampu

dicapai pada siklus III mencapai 100%.

B. Implikasi

Implikasi yang diperoleh dari penelitian ini meliputi: 1) implikasi

teoretis; 2) imlikasi paedagogis; 3) implikasi praktis. Penjelasan untuk masing-

masing implikasi adalah sebagai berikut.

1. Implikasi Teoretis

Penggunaan metode Jigsaw terbukti dapat meningkatkan kualitas proses

dan hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.

Peningkatan kualitas proses ditunjukkan dengan keaktifan siswa pada saat

apersepasi, keaktifan siswa ketika pembelajaran berlangsung, keaktifan siswa

selama diskusi dan minat siswa selama menyimak dongeng. Kualitas hasil dapat

dilihat dari nilai semua siswa yang seratus persen mencapai batas ketuntasan

belajar. Temuan ini memperkuat teori yang telah ada, yaitu bahwa penggunaan

81

metode yang tepat dapat meningkatkan kualitas pembelajaran terutama membantu

peningkatan prestasi belajar siswa.

Penelitian ini memberikan gambaran yang jelas bahwa keberhasilan

proses dan peningkatan hasil pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Faktor keberhasilan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng

selain penggunaan metode Jigsaw juga dipengaruhi oleh guru dan siswa sebagai

subjek pembelajaran itu sendiri. Faktor guru meliputi kemampuan untuk

mengelola kelas dan menerapkan metode yang sesuai. Faktor dari siswa berupa

keaktifan, minat menyimak dongeng. Faktor dari guru dan siswa saling

mendukung dan melengkapi demi tercapainya peningkatan proses dan hasil

pembelajaran.

2. Implikasi Paedagogis

Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang

dilaksanakan selama ini membuat siswa cepat bosan karena guru belum

menggunakan metode pembelajaran yang tepat, metode yang diterapkan masih

konvensional yaitu pembelajaran masih terpusat pada guru. Siswa lebih mudah

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan menggunakan metode

Jigsaw yaitu dengan cara berdiskusi dengan kelompok ahli kemudian

menyampiakan hasil diskusi ke kelompok asal dari pada sebelum menggunakan

metode Jigsaw. Penelitian dengan metode Jigsaw pada pembelajaran

mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng terbukti dapat meningkatkan

kualitas proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut metode Jigsaw

dapat digunakan guru sebagai metode untuk pembelajaran mengidentifikasi unsur-

unsur intrinsik dongeng.

3. Implikasi Praktis

Metode pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu variasi metode

pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Selain itu

kerjasama yang baik antara guru dan siswa juga merupakan penunjang

keberhasilan pelaksanaan pembelajaran itu sendiri. Penggunaan metode yang tepat

dan kerjasama guru dengan siswa menciptakan suasana pembelajaran yang

kondusif sehingga tujuan pembelajaran akan mudah dicapai.

82

C. Saran

Berdasarkan simpulan dan implikasi di atas, peneliti apat mengajukan

saran sebagai berikut.

1. Bagi Guru

a. Guru hendaknya mengarahkan siswa agar bekerja sama selama kegiatan

diskusi.

b. Guru hendaknya memotivasi siswa agar aktif selama proses pembelajaran.

c. Guru hendaknya mengubah pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur

intrinsik dongeng yang teacher centered menjadi student centered dengan

menerapkan metode Jigsaw.

2. Bagi Siswa

a. Siswa diharapkan banyak membaca maupun menyimak dongeng yang ada

di Nusantara.

b. Siswa diharapkan dapat bekerjasama selama kegiatan diskusi berlangsung

untuk memecahkan sebuah topik.

c. Siswa hendaknya giat berlatih untuk menyimak kemudian

mengidentifikasi unsur-unsur intrisnsik dongeng.

3. Bagi Sekolah

a. Hendaknya sekolah berupaya untuk selalu menciptakan iklim kinerja yang

kondusif melalui suasana yang harmonis dan komunikasi yang terbuka.

b. Hendaknya pihak sekolah selalu memberi motivasi kepada guru dengan

jalan antara lain memberi penghargaan kepada guru yang menunjukkan

kinerjanya dengan baik.

4. Bagi Peneliti

a. Metode Jigsaw dapat diterapkan di kelas lain maupun di sekolah lain,

karena inti dari pembelajaran ini adalah berdiskusi dalam suatu tim ahli

untuk memecahkan sebuah topik dan tentunya mampu diterapkan di

tempat lain.

83

DAFTAR PUSTAKA

Agus Suyoto. 2009. “Dongeng dalam Pembelajaran”. dalam http://www.agsuyoto. wordpres.com/2009/01/07/dongeng-pembelajaran/html diunduh pada tanggal 19 Oktober 2009.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. YA 3 Malang dan Bandung: Sinar Baru.

Anita Lie. 2005. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Anti Arne dan Stith Thompson. 2008. “Dongeng Anak”. dalam http://www. baim54ndy.blog.com/2008/04/29/dongeng-anak/html diunduh pada tanggal 19 Oktober 2009.

Aronson. 1978. “The Jigsaw Classroom”. dalam http://www.Jigsaw.org.com/1978 /04/ 08/The-Jigsaw-Classroom.html diunduh pada tanggal 11 Oktober 2009.

Burhan Nurgiantoro. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Effendi, S. 2004. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

E. Mulyasa. 2007. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Gino, H. J. dkk. 2002. Belajar Pembelajaran. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Imain Machfudz dan Wahyudi Siswanto. 1997. “Hakikat Pembelajaran”. dalam http://www.idonbiu.com/1997/07/09/hakikat-pembelajaran.html diunduh pada tanggal 1 Desember 2009.

Jakob, Sumardjo, dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

James Danandjaja. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.

84

Jill Parker. 2003. “Jigsaw Strategi”. Nomor 12, Volume 1, 2003. (http://www. broward.k12.fl.us/ci/strategies_and_such/strategies/jigsaw.html.) diunduh pada tanggal 18 Juli 2010.

Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Melani Budianta. 2002. “Kesusastraan Indonesia”. dalam http://blog.unnes. ac.id/2002/12/11/kesusastraan-Indonesia/html diunduh pada tanggal 5 Maret 2010.

Mido. 1994. “Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen”. dalam http://www.kalimantanpost. com/opini/1994/03/02/-sekilas-mengenal-unsur-intrinsik-cerpen-roman-dan-novel.html diunduh pada tanggal 1 Desember 2009.

Muhibbin Syah. 1995. “Metode Pembelajaran”. dalam http://karyailmiah.um. ac.id/index.php/1995/09/01/metode-pembelajaran/html diunduh pada tanggal 30 Januari 2010.

Nana Sujana. 2002. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Penn State. 2007. “Jigsaw Strategy”. Nomor 35, Volume 3, 2007. (http://www. schreyerinstitute.psu.edu) diunduh pada tanggal 18 Juli 2010.

Semi, M. Atar. 1988. Rencana Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Soedijarto. 1993. Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sri Rahayu Mulyaningsih. 2007. Thesis. “Pengaruh Pengajaran dengan Menggunakan Metode Jigsaw dan Metode Ceramah Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Ditinjau dari Kreativitas”. Surakarta. Pascasarjana UNS (2007) tidak diterbitkan.

Sriyono. 2007. Thesis. “Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rakyat dengan Strategi Cooparative Learning”. Surakarta. Pascasarjana UNS (2007) tidak diterbitkan.

Suharsimi Arikunto, Suhardjono dan Supardi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara

Sumito A. Sayuti. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.

85

Sutopo. H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Rahmanto, B. 1998. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Rizanur Gani. 1988. Pengajaran Sastra Respon dan Analisis. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPLPTK.

Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

84