Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Peningkatan Kerjasama Rusia – Asean
Atantyo Wiadji Adigapa
071411233013
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang meningkat dan meluasnya fokus arah kebijakan luar negeri
Rusia dari barat ke ASEAN. Bahasan ini cukup menarik karena sejak era Uni Soviet dahulu
sukar menemukan sejarah kerjasama antara Rusia-ASEAN yang level kerjasamanya termasuk
signifikan dan serius, sehingga muncul pertanyaan mengapa saat ini Rusia memutuskan untuk
memperluas fokus kebijakan luar negeri ke ASEAN. Penelitian ini menggunakan kerangka
teori LoA Individu dan Sistem Internasional untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jangkauan
penelitian di dalam skripsi ini ada di antara tahun 2005-2018. Meningkat dan meluasnya fokus
kebijakan luar negeri Rusia dari barat ke ASEAN disebabkan oleh dua hal, yaitu adanya
pengaruh yang cukup signifikan dari Presiden Rusia, Vladimir Putin dan sikap aliansi barat
yang kurang serius terhadap keberadaan Rusia di sana, juga terlalu banyaknya pertimbangan
yang dilakukan oleh Barat terhadap usulan-usulan Rusia sehingga Rusia merasa tidak
dianggap penting. Oleh karena itu Putin mengeluarkan kebijakan turn to the east. ASEAN
masuk di dalam kebijakan luar negeri Rusia tersebut karena mereka melihat potensi di ASEAN
yang dapat mereka manfaatkan menjadi alat untuk menyaingi negara-negara dengan power
besar di dunia dan juga Rusia masih menganggap dirinya sebagai negara Agung yang patut
dihormati dan disegani. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mencari apa alasan utama
Rusia mengubah fokus kebijakan luar negerinya dari Barat ke Timur khususnya ASEAN. Untuk
mendapatkan alasan tersebut di dalam penelitian ini akan meruntut kerjasama apa saja yang
dijalin oleh Rusia-ASEAN dari berbagai bidang dan menakar signifikansi dari masing-masing
kerjasama tersebut.
2
Kata kunci: ASEAN, Rusia, Putin, Kerjasama, Barat, Timur.
Rusia merupakan negara yang secara de facto berada di Eropa. Ibukotanya pun secara
geografis lebih dekat ke wilayah Eropa. Dibanyak even besar yang diikuti oleh negara
Eropa, Rusia juga ada di dalamnya. Hal ini secara langsung menegaskan bahwa Rusia
adalah negara Eropa. Namun jika kita melihat kepada kebijakan luar negeri Rusia
akhir-akhir ini mereka lebih condong ke arah Timur atau lebih jelasnya kepada negara-
negara yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan ASEAN nya. Yang membuat hal
ini menarik adalah sebelum hubungan antara Rusia dan ASEAN terjalin, Rusia atau
ketika masih menjadi Uni Soviet sangat jarang menjalin hubungan dengan entitas
ASEAN maupun negara di Asia Tenggara lainnya. Selain itu negara-negara pecahan
Uni Soviet yang masih masuk ke dalam regional Eropa juga masih bisa dimanfaatkan
lebih jauh oleh Rusia di dalam kebijakan luar negerinya. Oleh karena itu di dalam
pembahasan ini penulis mencoba untuk mencari tahu alasan Rusia di balik kebijakan
luar negerinya yang sekarang lebih condong ke arah Timur atau dengan kata lain
wilayah Asia Tenggara.
Kebijakan Luar Negeri Secara General
Kebijakan luar negeri suatu negara merupakan hal yang cukup signifikan dan penting
di dalam dinamika negara itu sendiri, sehingga proses yang terjadi di dalam kebijakan
luar negeri suatu negara tentu cukup menarik untuk dilihat. Seperti hal yang beberapa
hal di dalam ilmu hubungan internasional lainnya, arah kebijakan luar negeri ini juga
bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor tertentu. Rosenau dalam Dugis (2007)
memahami kebijakan luar negeri sebagai tindakan otoritas pemerintah yang dilakukan
untuk mempertahankan hal yang diinginkan atau mengubah hal yang tidak diinginkan
dari lingkungan internasional, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan luar negeri
berorientasi pada tujuan nasional yang mampu mempengaruhi suatu masyarakat dalam
3
jangka waktu tertentu entah melalui respon secara resmi maupun tidak resmi. Dari
pernyataan di atas dapat dilihat ada salah satu faktor utama dari penentuan arah
kebijakan luar negeri suatu negara yaitu kepentingan nasional. Selain faktor utama
tersebut masih banyak faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri
suatu negara dan hal tersebut menunjukan bahwa di dalam menentukan kebijakan luar
negeri ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, sehingga hal-hal tersebut dapat
juga mempengaruhi arah kebijakan luar negeri suatu negara.
Namun di balik semua itu ada beberapa variabel lainnya yang penting untuk dilihat
pengaruhnya yaitu identitas, struktur internasional, dan interest. Tiga variabel ini
mempunyai keterkaitan satu sama lain di dalam penentuan kebijakan luar negeri suatu
negara. Identitas dan interest merupakan sesuatu yang di konstruksi, bukan given,
akibat adanya proses intersubjektivitas antaraktor (Viotti dan Kauppi, 2010). Di dalam
konteks hubungan antar negara pun struktur internasional mempengaruhi identitas dan
interest aktor. Sedangkan di sisi lain, struktur internasional tidak akan ada jika tidak
adanya aktor-aktor dengan identitas dan interest tertentu yang mendinamisasi (Reus-
Smit, 2005). Dalam hal kaitannya dengan pengaruh identitas di dalam membentuk
action dan interest suatu negara penulis melihat dari konsep yang di kemukakan oleh
Kuniko Ashizawa menggunakan Value Action Framework (VAF) yang berdasar
kepada Foreign Policy Analysis (FPA) dalam menjelaskan mengenai hubungan antara
identitas, interest, dan action. Menurut Ashizawa (2008) identitas akan memunculkan
values tertentu, dimana values ini kalau dilihat dalam struktur internasional biasanya
adalah elit politik suatu negara. Dari values yang muncul tersebut akan muncul satu
atau lebih value yang dominan. Value yang dominan ini kemudian mengakomodasi
beberapa value lainnya dan akhirnya kelompok tersebutlah yang memunculkan
kebijakan. Jika dilihat dari sudut pandang kebijakan luar negeri dapat diartikan bahwa
kekuatan politik yang berkuasa di suatu negara dapat mempengaruhi kebijakan negara
tersebut dengan cukup signifikan.
4
Dari sini dapat dilihat bahwa kebijakan luar negeri di suatu negara tidak bersifat statis
melainkan dinamis mengikuti national interest negara tersebut dan perubahan
lingkungan internasional di dalam memenuhi kepentingan tersebut. Modelski (1962
dalam Dugis, 2008) menyatakan ada beberapa konsep dasar dari sebuah kebijakan luar
negeri yaitu pembuat kebijakan, tujuan, prinsip, power untuk mengimplementasikan
dan memperkirakan konteks keadaan dimana kebijakan tersebut akan direalisasikan.
Power menjadi penting karena biasanya jika ada negara dengan power yang tidak
begitu besar ingin menerapkan kebijakan luar negeri atau melakukan kerjasama dengan
negara yang power nya jauh di atas, negara dengan power besar tersebut bisa saja tidak
menanggapi secara serius kerjasama tersebut. Hal tersebut didasari oleh pendapat
Rosenau (1976, dalam Dugis 2008: 102) bahwa kebijakan luar negeri terdiri dari
orientasi, komitmen untuk merencanakan aksi dan tingkah laku. Disini dapat dilihat
bahwa komitmen cukup berkaitan dengan power karena seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya perbedaan power yang besar bisa mempengaruhi komitmen.
Dengan adanya elemen dan faktor yang sudah disebutkan tentunya kebijakan luar
negeri suatu negara dapat berubah sesuai dengan kondisi yang ada dari negara yang
bersangkutan. Menurut Dugis (2008) perubahan kebijakan luar negeri dibagi menjadi
dua yaitu perubahan yang dipengaruhi oleh rezim atau perubahan akibat keputusan
pemerintah yang sengaja ingin mengubah arah kebijakan luar negeri negara tersebut.
Pertama, perubahan kebijakan luar negeri akibat perubahan rezim kerap berhubungan
dengan perubahan sistem politik yang dianut suatu negara. Hal tersebut tentu akan
mengubah arah kebijakan luar negeri negara tersebut, namun perubahan arah kebijakan
juga dapat terjadi sebagai self-correcting (Herman, 1990 dalam Dugis, 2008).
Ada beberapa penulis yang juga mengkaitkan identitas dengan kebijakan luar negeri
suatu negara. Contohnya Renner dan Horelt (2008) dalam artikelnya yang berjudul
Competing Identity – Constructions in Post War Croatia. Di dalam artikelnya Renner
dan Horelt mengkaitkan konsep identitas ke dalam perubahan arah kebijakan luar
negeri Kroasia. Renner dan Horelt (2008) menghubungkan identitas Kroasia sebagai
5
negara Balkan dan negara Eropa dengan kebijakan dilematis mereka terhadap
International Crime Tribune for Yugoslavia (ICTY). Dalam analisanya, Renner &
Horelt (2008) berpendapat bahwa interaksi baru kroasia dengan Uni Eropa
menimbulkan identitas baru Kroasia sebagai bangsa Eropa. Hal tersebut memicu sifat
dilematis dalam kebijakan mereka, terutama jika dikaitkan dengan identitas lama
mereka sebagai bangsa balkan, dengan kata lain solidaritas etnis Balkan. Dua identitas
Kroasia tersebut saling berkompetisi dan mempengaruhi sifat dilematis kebijakan luar
negeri mereka. Di dalam contoh lainnya Ashizawa (2008) juga menganalisis kebijakan
luar negeri Jepang terhadap negara Asia Tenggara setelah perang dingin terutama
dalam kasus APEC dan ARF. Kebijakan luar negeri ini dijelaskan oleh Ashizawa
(2008) dengan adanya konstruksi identitas baru bangsa Jepang sebagai partner yang
pasif. Dengan identitas baru tersebut, Kepentingan utama Jepang adalah berusaha
meraih kembali kepercayaan dari bangsa – bangsa Asia Tenggara yang juga merupakan
bekas jajahan Jepang. Kepentingan inilah yang menurut Ashizawa mendasari tindakan
Jepang untuk bergabung dalam APEC dan ARF.
Sikap Aliansi Barat Kepada Rusia
Seperti yang sudah penulis katakan diawal bahwa salah satu pemicu utama mengapa
Rusia mulai memperluas kebijakan luar negerinya ke timur, dalam hal ini ASEAN,
karena adanya pidato dari putin yang kurang lebih menyatakan bahwa Rusia seperti
kurang dianggap sebagai mitra yang sejajar di Barat. Rusia di era ketika Vladimir Putin
menjabat sebagai petinggi negara (baik sebagai PM ataupun Presiden) telah memulai
usaha supaya Rusia tetap dianggap sejajar oleh Barat dalam hal ini Uni Eropa. Rusia
bersama Perancis dan Jerman telah memulai KTT Perancis – Jerman – Rusia decara
rutin sejak 1997. Pertemuan Troika tersebut ditujukan untuk memungkinkan kemitraan
strategis dengan Rusia pada ekonomi Eropa dan masalah keamanan pada saat negara-
negara Eropa lain masih belum siap. Dari sisi Rusia kemitraan itu diharapkan dapat
6
membuat Moskow merasa bahwa meskipun bukan anggota Uni Eropa atau NATO,
mereka tidak dikecualikan dari pengambilan keputusan di Eropa.
Dalam hal ini, Rusia telah melakukan beberapa upaya untuk mengintegrasikan dirinya
ke dalam tatanan Eropa yang baru. Pada Oktober 1999 KTT Uni Eropa diselenggarakan
di Helsinki, Finlandia dan saat itu Perdana Menteri Vladimir Putin mengusulkan untuk
meningkatkan kerjasama strategis antara Uni Eropa dan Rusia. Putin kemudian mulai
kepresidenannya dengan usulan kongkret menggabungkan Rusia dalam arsitektur
ekonomi dan keamanan Eropa abad ke-20. Ketika Gerhard Schroeder menjadi Kanselir
Jerman, ia memulai sebuah dialog energi luas yang hampir berkembang menjadi aliansi
energi strategis antara Uni Eropa dan Rusia pada tahun 2005. Dalam pidatonya di
Reichstag pada September 2001, Putin mengusulkan penggabungan sumber daya besar
energi Siberia dengan teknologi lebih Uni Eropa. Pada tahun 2002 ia mengusulkan
penghapusan rezim visa antara Rusia dan Uni Eropa (Ciptowiyono, 2015).
Uni Eropa menanggapi dengan hati-hati penawaran Putin dan merumuskan pendekatan
secara perlahan melalui kerjasama dalam empat bidang yaitu luar negeri, ekonomi,
keamanan domestik, dan isu-isu budaya, tapi hanya sedikit kemajuan nyata yang telah
dicapai. Selama Perang Dingin, Uni Eropa berambisi untuk melakukan penyatuan
ekonomi yang terdiri dari negara-negara yang berbagi tujuan atas kepentingan
komunitas yang sama. Khawatir bahwa mereka bisa menjadi sasaran pemerasan
geopolitik, orang Eropa telah memutuskan untuk melakukan diversifikasi
ketergantungan mereka pada ekspor energi dari Rusia. Pada gilirannya, pihak
berwenang di Rusia telah mengancam untuk mengalihkan kerjasama energi mereka ke
Asia jika Uni Eropa menolak kesepakatan Rusia. Sikap keras ini menunjukkan
keinginan Moskow untuk menantang status quo politik energi Eropa (Ciptowiyono,
2015).
Hubungan antara Rusia dengan barat semakin memburuk ketika terjadi konflik di
Krimea pada 2014. Ketika terjadi krisis di Krimea, Rusia memanfaatkan situasi
7
tersebut dengan intervensi ke dalam krisis yang terjadi di Krimea tersebut. Hal ini
dilakukan oleh Rusia karena Rusia menganggap mayoritas warga Krimea masih ingin
menjadi bagian dari Rusia, karena seperti yang sudah diketahui bahwa Di tahun 1954,
Nikita Khruschev, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet menyerahkan Krimea sebagai
kado simbolis kepada Ukraina ketika Moskow masih berkuasa. Setelah runtuhnya Uni
Soviet di tahun 1991 dan merdekanya Ukraina dari Uni Soviet maka sejak itu Krimea
selalu menjadi sumber ketegangan antara Rusia dan Ukraina (Amdjad, 2014).
Di sisi lain karena sikap Rusia ini, Uni Eropa dan AS sangat mengecam sikap Rusia ini
karena merupakan pelanggaran kedaulatan Ukraina. Akibatnya saat itu Uni Eropa
mengumumkan penundaan pembicaraan bilateral dengan Rusia mengenai masalah visa
dan mengancam akan membekukan aset Rusia serta membatalkan KTT Uni Eropa-
Rusia. Namun karena Rusia tidak juga mengubah sikapnya akhirnya aliansi barat
menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Sanksi yang dijatuhkan lumayan beragam, seperti
sanksi pertama yang dijatuhkan adalah penangguhan kerjasama militer dan kerjasama
luar angkasa (Lossan, 2014).
Sanksi terhadap Rusia telah memicu derasnya aliran modal keluar dari negara tersebut.
Pada akhir 2014, menurut Departemen Keuangan, aliran keluar ini mencapai 70-80
miliar dollar AS. Selama kuartal pertama 2014, sektor swasta telah menarik 50,6 miliar
dollar AS keluar dari Rusia. Sebagai perbandingan, tahun lalu sektor swasta hanya
menarik 27,5 miliar dollar AS. Untuk tetap menjada perekonomian Rusia tetap stabil,
Putin menghimbau beberapa perusahaan Rusia terdaftar di luar negeri untuk mengejar
pajak yang lebih rendah dan mengambil jarak dari pemerintahan di Kremlin, sehingga
Presiden Vladimir Putin mengimbau pada para pengusaha Rusia agar kembali ke
negaranya dan melakukan investasi di dalam negeri (www.dw.com, 2014).
Rusia tentu tidak tinggal diam atas deretan sanksi yang dilancarkan oleh barat. Rusia
langsung memberlakukan embargo impor pangan dari Uni Eropa hingga sebesar 10
persen dan dianggap berpotensi menimbulkan krisis. Meski embargo ini juga
8
merugikan Rusia karena kekurangan pasokan bahan pangan segar, namun di sisi lain
membuat banyak eksportir harus mencari pasar baru dan kemungkinan kehilangan
pasar dari negara-negara berkembang. Rusia mengimpor 35 persen makanan untuk
konsumsi warganya. Sekitar 10 persen impor bahan pangannya yang bernilai hingga
16 miliar dollar setahun berasal dari Uni Eropa. Di antara 18 negara anggota Uni Eropa,
Jerman dan Belanda adalah dua negara pemasok bahan pangan terbesar ke Rusia.
Selain itu Rusia juga memberlakukan embargo untuk bahan makanan dari AS yang
membuat AS kehilangan 310 juta dollar dari ekspor daging ayam, 170 juta dollar dari
penjualan kacang, 157 juta dollar dari kedelai dan hewan ternak bernilai 149 juta dollar
(https://internasional.kompas.com, 2014).
Puncaknya di tahun 2014 ketika Putin pada upacara penandatanganan perjanjian
dengan Krimea dan Sevastopol, dia mengeluarkan pidato yang cukup kontroversial.
Dia berkata :
“Kami sudah ditipu berulang kali. Mereka membuat keputusan di belakang punggung
kami dan menempatkannya di hadapan kami sebagai fait accompli (kejadian memaksa
yang tidak dapat dihindari dan harus dihadapi” (RBTH, 2014).
Dalam pidatonya di hadapan Dewan Federasi, Putin menjelaskan bahwa peristiwa-
peristiwa tahun 2014 mengingatkannya pada pristiwa di tahun 1941–1942, ketika Uni
Soviet menerima pukulan telak dari Nazi Jerman dan nyaris kalah. Dalam analogi ini,
periode kemunduran saat ini harus diikuti dengan sesuatu yang mirip dengan
kemenangan besar di Stalingrad, pertempuran tank Kursk, atau dimulainya arak-arakan
Tentara Soviet ke Barat pada 1943 yang berbuah kemenangan. Putin menantikan
peristiwa semacam itu untuk membalikkan keadaan pada 2015.
9
Jalinan Kerjasama Rusia-ASEAN
Pasca Perang Dunia II, dua kekuatan besar di dunia kala itu, yaitu Amerika Serikat dan
Uni Soviet saling berlomba untuk menyebarkan ideologi mereka masing-masing ke
negara di dunia, biasanya ke wilayah Asia Pasifik. Slogan Rusia "turn to the east"
adalah keputusan logis dari pemerintah Rusia karena Moskow bertujuan untuk
mendiversifikasi ikatan kebijakan luar negerinya dan mengembangkan wilayah Siberia
dan wilayah Timur Jauh Rusia. Setelah KTT APEC di Vladivostok yang telah
diselenggarakan pada tahun 2012, Rusia mulai lebih memperhatikan tidak hanya
hubungan dengan mitra-mitra utamanya di Asia (China, Korea Selatan dan Jepang),
tetapi juga untuk lembaga-lembaga yang berlokasi di Asia. Misalnya pada tahun 2016
Federasi Rusia dan ASEAN mengadopsi Deklarasi Sochi yang pada saat itu topik
pertemuannya adalah ''to establish a strategic partnership and achieve regional peace,
stability and prosperity''. Selain itu, Rusia mulai meningkatkan kehadirannya di Asia-
Pasifik dengan meningkatkan jumlah latihan militer dan penempatan fasilitas militer di
Kepulauan Kuril yang tidak ditujukan terhadap musuh tertentu, tetapi dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa Rusia sekarang berada di wilayah tersebut (Ignatev, 2016).
Rusia memiliki tujuan utama sendiri di Asia. Pertama, Moskow ingin memperkuat
kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara. Kedua, Rusia mencoba untuk
mencapai kemitraan strategis dengan ASEAN sebagai sekelompok negara di sebuah
kawasan. Ketiga, Moskow berusaha untuk lebih terlibat dalam platform dan institusi
dialog multilateral Asia. Dan akhirnya, Rusia lebih memilih untuk memiliki hubungan
bilateral tidak hanya dengan China, tetapi dengan negara-negara lain di kawasan ini.
Hal ini dilakukan Rusia karna Amerika Serikat pada saat itu juga mulai menaruh
perhatian di wilayah tersebut karena pada saat itu salah satu tujuan kebijakan AS di
Asia-Pasifik adalah untuk menyeimbangkan kebijakan di Asia Timur Laut dan Asia
Tenggara yang didasarkan pada diversifikasi geografis dan pengakuan peran penting
dari negara di wilayah samudra hindia dan asia tenggara.
10
1. Keamanan
Jika bicara tentang persaingan AS dan Rusia tentu tidak pas jika tidak
membicarakan era perang dingin. Pada era tersebut kawasan Asia Tenggara
juga menjadi salah satu wilayah “perang” antara dua negara ini. Perang ideologi
antara keduanya cukup terasa di wilayah ini. Awalnya pengaruh komunis cukup
besar di wilayah ini, sebagai contohnya dari apa yang terjadi di Vietnam, oleh
karena itu Amerika Serikat kala itu juga mengeluarkan kebijakan “contaiment
policy” dimana Amerika mempropagandakan adanya ‘keamanan bersama’
bagi Asia Tenggara sebagai bentuk perlawanan terhadap komunis. Di era yang
memasuki perang dingin saat itu, isu keamanan menjadi yang utama terutama
di wilayah-wilayah yang terdapat “perang” ideologi antara AS dan Uni Soviet.
Khusus bagi ASEAN, pasca perang dingin isu keamanan yang menjadi fokus
adalah keamanan lingkungan dan keamanan ekonomi yang merujuk pada akses
sumber daya, keuangan, pasar, serta upaya memelihara dan meningkatkan
tingkat kesejahteraan dan kemakmuran. Karena itu, ASEAN melakukan
kerjasama baik dengan Amerika Serikat, China, Rusia, Jepang, dan lain-lain
sebagai kekuatan besar di Asia Tenggara.
Salah satu tujuan utama Vladimir Putin sejak awal ia berkuasa adalah untuk
mengembalikan kedigdyaan Rusia di dunia seperti saat era Uni Soviet dulu.
Salah satu kunci utama untuk membangkitkannya kembali adalah dengan
merevitalisasi angkatan bersenjata mereka. Pada tahun 2010, Putin
mengumumkan program senilai 650 miliar dollar AS selama sepuluh tahun
untuk memodernisasi militer Rusia. Hal itu dilakukan untuk menanamkan
power mereka ke wilayah yang strategis, salah satu yang utama adalah di
wilayah Asia Pasifik. Pintu masuk ke wilayah tersebut yang paling
memungkinkan bagi Rusia adalah melalui ASEAN dengan aggotanya. Selama
ini di bidang militer yang paling intens kerjasama dengan Rusia adalah Vietnam
yang terus menunjukkan grafik meningkat, seperti perdagangan dua arah antara
11
Moskow dan Hanoi mencapai 5,2 milliar dollar AS meningkat 29 persen
(matamatapolitik.com). Rusia juga telah berkomitmen untuk menetapkan FTA
EAEU-Singapura. Perdagangan bilateral juga telah meningkat dari 1,38 milliar
Dollar AS menjadi 5,38 milliar Dollar AS selama sedekade terakhir.
Secara komprehensif kerjasama Rusia-ASEAN dimulai pada tahun 2005 di
Rusia-ASEAN Summit yang pertama pada bulan Desember di Kuala Lumpur.
Dimana saat itu Rusia ASEAN dan Rusia menandatangani Deklarasi Bersama
Kepala Negara / Pemerintahan Negara-negara Anggota ASEAN dan Rusia.
Deklarasi tersebut bertujuan untuk mempromosikan dan memperkuat
kemitraan ASEAN-Rusia dalam berbagai bidang termasuk politik dan
keamanan, dan ekonomi dan pembangunan. ASEAN dan Rusia juga
mengadopsi Program Komprehensif Aksi 2005-2015 untuk mewujudkan
tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam Joint Statement. ASEAN-Rusia
kerjasama dilakukan di bawah kerangka Comprehensive Programme of
Actions (CPA) untuk mempromosikan kerjasama ASEAN dan Federasi Rusia
2005-2015 (ASEAN, 2016).
2. Politik
Di bidang politik sejatinya secara resmi kerjasama Rusia-ASEAN dimulai pada
tahun 1996 ketika Rusia secara resmi menjadi Miitra Wicara ASEAN pada
AMM/PMC ke -29 di Jakarta. Dasar pertimbangan untuk membentuk
kemitraan tersebut adalah status Rusia sebagai anggota tetap Dewan Keamanan
PBB, yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ASEAN.
Disamping itu besarnya pasar ekonomi Rusia serta sumber daya alam yang
dimilikinya juga merupakan peluang bagi ASEAN untuk lebih meningkatkan
hubungan dengan Rusia dibidang-bidang pembangunan, Ilmu pengetahuan dan
Teknologi, Perdagangan, Sumber Daya Manusia, Investasi dan Ekonomi,
12
Lingkungan hidup, Pariwisata, Kebudayaan serta peningkatan people-to-people
contact (kemlu.go.id, 2016).
Secara komprehensif kerjasama Rusia-ASEAN terjalin di tahun 2005 tepatnya
pada KTT Rusia-ASEAN pertama di Kuala Lumpur, Malaysia. KTT ini
kemudian menjadi agenda yang cukup rutin dilaksanakan, yang mana KTT
kedua dilaksanakan pada tahun 2010 dimana salah satu bahasan utamanya
adalah persiapan menuju Asia-Pacific Economic Cooperation atau biasa
disebut APEC (asean.org, 2010). Kemudian secara signifikan peningkatan
terjadi ketika KTT ketiga yang dilaksanan pada 14 November 2018 ketika
Rusia dan ASEAN yaitu ketika meningkatkan hubungan dialog Rusia-ASEAN
menjadi Kemitraan Strategis.
Pada tahun 2013 Perdana Menteri Rusia saat itu, Dmitry Medvedev
mengeluarkan Konsep Kebijakan Luar Negeri baru dimana Medvedev
menyatakan bahwa konsep tersebut menekankan perubahan arah kebijakan luar
negeri Rusia dari Eropa dan Amerika ke arah Timur yang meliputi Asia Timur,
Afrika dan Amerika Latin (Anon, 2017). Untuk lebih mempertegas hal tersebut,
pada tahun 2015 di pagelaran KTT Asia-Pasific Economic Cooperation
(APEC) di Manila dan Konferensi Asia Timur di Malaysia juga dihadiri oleh
PM Rusia Dmitry Medvedev dapat diartikan bahwa Rusia memang mulai
memfokuskan kebijakan luar negerinya ke arah Asia Tenggara (Mikheev dan
Strokan, 2015). Lalu di tahun 2016 terbentuk Sochi Declaration yang
ditandatangani pada KTT Rusia-ASEAN, yang sekaligus menandai 20 tahun
terjalinnya kemitraan dialog antara Rusia-ASEAN. Pada deklarasi tersebut
disebutkan bahwa dalam jangka waktu 20 tahun tersebut Rusia dan ASEAN
telah menjalin kerjasama di berbagai bidang seperti politik, keamanan,
perdagangan dan ekonomi, budaya, people to people exchange dan kerja sama
pembangunan. Dimana mereka menyebut bahwa kerjasama tersebut juga
13
memperkuat dan meningkatan perdamaian, stabilitas dan kemakmuran regional
(Anon, 2016).
3. Ekonomi
Konsultasi Pertama antara Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) dan Menteri
Ekonomi Rusia diadakan pada Agustus 2010 di Da Nang, Vietnam, yang
menciptakan momentum untuk membawa hubungan perdagangan dan ekonomi
ke tahap baru. Para Menteri mengeksplorasi cara-cara untuk meningkatkan arus
perdagangan dan investasi serta kerja sama ekonomi antara ASEAN dan Rusia,
termasuk fasilitasi perdagangan, standar dan kesesuaian, energi, pengembangan
UKM, ketahanan pangan, pariwisata, layanan transportasi udara dan energi
terbarukan. Selanjutnya, Konsultasi ke-2 AEM-Rusia yang diselenggarakan
pada 21 Agustus 2013 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam,
mengesahkan Program Kerja untuk Roadmap Perdagangan dan Investasi
ASEAN-Rusia, yang mencakup bidang-bidang berikut: fasilitasi perdagangan
dan investasi dan liberalisasi, energi , pengembangan rantai logistik,
pengembangan sumber daya manusia, pariwisata, pengembangan UKM,
inovasi dan modernisasi dan penciptaan kekayaan intelektual, dan dialog bisnis
(Anon, 2016).
Pada 1 November 2017 Delegasi bisnis Rusia, Leader Club dan Business for
Strategy Initiative Rusia yang dipimpin oleh Olga Ivanova, melakukan
kunjungan ke gedung Small Medium Enterprise Cooperative (SMESCO) yang
tidak lain adalah tempat perdagangan UKM, guna menjajaki peluang dan
kerjasama dagang (TEMPO, 2017). Walaupun kunjungan ini sebenarnya tujuan
utamanya hanya untuk sharing knowledge saja, namun yang patut diperhatikan
adalah negara seperti Rusia yang orientasi KLN nya sebenarnya bukan di
softpower, bersedia melakukan perjanjian kerjasama dengan ASEAN di bidang
tersebut. Menurut penulis ini menunjukkan bahwa Rusia benar-benar ingin
14
“membangun” kekuatan lain untuk menyaingi entitas-entitas lain yang disebut
Putin telah meremehkan Rusia.
Di bidang ekonomi ini peningkatan signifikan yang terjadi ada pada tahun
2014, dimana Rusia adalah mitra perdagangan terbesar ke-14 ASEAN dengan
nilai perdagangan dua arah mencapai 22,5 miliar dollar AS. Angka tersebut
menunjukkan peningkatan 13 persen dari jumlah pada tahun 2013 (19,95 miliar
dollar AS).
4. Sosial Budaya
Sejumlah kegiatan bersama telah dilakukan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, energi, UKM, pariwisata dan pengembangan sumber daya manusia.
Proyek kerjasama kerjasama Rusia-ASEAN didanai oleh Dana Kemitraan
Dialog Kemitraan ASEAN-Federasi Rusia atau ASEAN-Russian Federation
Dialogue Partnership Financial Fund (DPFF) yang dibentuk pada Juni 2007
dengan kontribusi awal sebesar 500.000 dollar AS. Selain itu Rusia juga
melakukan usaha lain dalam rangka pendekatan yang lebih indvidu antar
masyarakat Rusia dan ASEAN yaitu dengan didirikannya ASEAN Center di
Moskow pada 15 Juni 2010 di Moscow State University of International
Relations (MGIMO). Pendekatan individu yang dimaksud dalam hal ini adalah
Untuk lebih mempromosikan kontak people to people contacts, memfasilitasi
studi dan memberikan informasi tentang ASEAN dan Rusia, serta
mempromosikan perdagangan, pariwisata diantara keduanya (Anon, 2016).
Tidak cukup sampai disitu, Rusia dan ASEAN juga menjalin kerjasama di
bidang yang lebih jauh dari hard politics yaitu budaya. Dalam kerjasama di
bidang budaya ini Rusia dan ASEAN menandatangani ASEAN-Russia
Agreement on Cultural Cooperation di sela-sela perhelatan KTT ASEAN-
Rusia Kedua pada bulan Oktober 2010 di Ha Noi. Perjanjian ini bertujuan untuk
mempromosikan dan mengembangkan kerjasama dan pertukaran di bidang
15
musik, teater, arsip, perpustakaan, museum, warisan budaya, tari, seni visual,
film, hak cipta, kerajinan rakyat, seni dekoratif dan terapan, sirkus dan bentuk
artistik lainnya. Beberapa kegiatan yang sudah terselenggara akibat adanya
perjanjian ini adalah Orkestra Simfoni Pemuda ASEAN-Rusia, yang berhasil
diselenggarakan di Bali pada November 2011, Phnom Penh pada November
2012 dan di Bandar Seri Begawan pada September 2013. Sebagai bagian
peringatan HUT ke-20 Hubungan Dialog ASEAN-Rusia, ASEAN dan Rusia
telah menetapkan tahun 2016 sebagai Tahun Kebudayaan ASEAN-Rusia dan
untuk melakukan kegiatan budaya peringatan sepanjang 2016 (Anon, 2016).
Dapat dilihat jika kerjasama antara dua entitas sudah meliputi hal yang sifatnya
jauh dari hard politics, bisa diartikan bahwa kerjasama tersebut terjalin dengan
cukup ”intim”. Dalam konteks Rusia dan ASEAN hal ini cukup menarik,
karena biasanya kerjasama model seperti ini terjalin dengan salah satu entitas
merupakan big power yang sudah disegani di dunia. Sedangkan dalam
konstelasi seperti sekarang Rusia masih dibawah Amerikas Serikat, Tiongkok
dan bahkan negara-negara Eropa yang tergabung di dalam Uni Eropa.
Efektifitas Kerjasama
Secara retorik, Rusia telah menganggap ASEAN sebagai mitra yang penting. Namun,
hubungan Rusia dengan ASEAN masih terhitung biasa saja. Hubungan ekonomi Rusia-
ASEAN sejatinya tidak terlalu intens, sedangkan di dalam hubungan internasional
bidang ekonomi adalah bidang utama yang dapat menentukan bagaimana status
hubungan antara dua entitas. Rusia memang telah menjadi anggota forum keamanan
yang dipimpin ASEAN selama lebih dari dua dekade, tetapi tidak pernah menjadi
anggota yang proaktif. Contohnya seperti di EAS, meskipun Rusia menjadi anggota
pada tahun 2011, Presiden Putin belum pernah sekalipun menghadiri pertemuan
puncak. Menteri luar negeri Putin, Sergey Lavrov, mewakili Rusia di EAS dari tahun
16
2011 hingga 2013, sementara Perdana Menteri Medvedev menghadiri KTT 2014 dan
2015. Sebaliknya, Presiden Obama telah menghadiri empat pertemuan puncak EAS
(http://www.cadenagramonte.cu, 2015).
1. Ekonomi
Dalam hal keterlibatan ekonomi dengan Asia Tenggara, Rusia adalah pemain
yang sangat kecil. Ekspor utama Rusia ke wilayah tersebut terdiri dari sumber
daya alam, terutama minyak dan gas. Oleh karena itu awalnya negara-negara di
Asia Tenggara tidak menganggap serius keterlibatan Rusia ini. Setelah Putin
mengeluarkan pernyataan “turn to east” sebagai bagian dari poros Asia-nya,
Rusia telah mencoba untuk meningkatkan ekspor ke wilayah tersebut, terutama
di daerah-daerah dimana ia unggul seperti sistem persenjataan dan teknologi
nuklir (Storey, 2015). Karena awalnya Vietnam adalah negara yang sudah
terlebih dahulu menjalin kerjasama dengan Rusia, maka Rusia menawarkan
komoditas ekspor mereka kepada mereka terlebih dahulu. Pada tahun 2012,
Perusahaan Rosatom State Atomic Energy Corporation milik Rusia
memenangkan tender untuk memasok Vietnam dengan dua pembangkit listrik
tenaga nuklir (yang pertama di negara Vietnam) dan ditargetkan akan selesai
pada 2023-2024. Di sisi lain Rusia juga menawarkan kepada Myanmar,
Indonesia bahkan Kamboja untuk menyediakan teknologi nuklir mutakhir
(usatoday.com, 2013).
Namun diluar dari usaha-usaha Rusia dalam menjalin dan menawarkan
kerjasama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara di bidang teknologi
dan persenjataan, tampaknya hanya ada sedikit ruang untuk memperluas
kerjasama perdagangan antara Rusia-ASEAN. Data statistik menyoroti
hubungan ekonomi yang lemah antara Rusia dan ASEAN. Pada tahun 2014,
Rusia adalah mitra perdagangan terbesar ke-14 ASEAN dengan nilai
perdagangan dua arah mencapai 22,5 miliar dollar AS. Angka tersebut memang
17
menunjukkan peningkatan 13 persen dari jumlah pada tahun 2013 (19,95 miliar
dollar AS) tetapi tetap hanya 0,9 persen dari total jumlah nilai kerjasama dengan
negara di peringkat sepuluh besar kerjasama dengan ASEAN (ASEAN.org,
2014). Jika hanya dilihat dari nominal angka jumlah tersebut memang besar,
namun kalau dibandingkan dengan negara lain yang bekerjasana dengan
ASEAN jumlah tersebut terbilang minim, apalagi dengan negara yang power
nya sebesar Rusia. Sebagai perbandingan, Perdagangan ASEAN dengan China
sebesar 366,5 miliar dollar AS (14,5 persen), Uni Eropa 248 miliar dollar
AS(9,8 persen), Jepang 229 miliar dollar AS (9,1 persen), Amerika Serikat 212
miliar dollar AS (8,4 persen) dan bahkan India masih lebih besar yaitu 67,7
milyar dollar AS (2,7 persen) (Storey, 2015).
2. Militer dan Keamanan
Salah satu tujuan utama Vladimir Putin sejak awal ia berkuasa adalah untuk
mengembalikan kedigdyaan Rusia di dunia seperti saat era Uni Soviet dulu.
Salah satu kunci utama untuk membangkitkannya kembali adalah dengan
merevitalisasi angkatan bersenjata mereka. Peningkatan alat-alat pertahanan
dan platform senjata terbaru telah memungkinkan militer Rusia untuk lebih
meningkatkan jatidiri dan eksistensi mereka secara global sebagai great power,
termasuk di Asia-Pasifik. The Pacific Fleet, yang berkantor pusat di
Vladivostok, telah menugaskan kapal-kapal baru mereka termasuk kapal selam
balistik bertenaga nuklir, meskipun secara keseluruhan jika dibandingkan
dengan era Sovet terdahulu ini masih terhitung kecil (Gady, 2015).
Untuk lebih mempermudah memasok persenjataan ke pangkalan militer
mereka di asia pasifik Rusia kembali memanfaatkan kedekatan mereka dengan
salah satu negara di Asia Tenggara yang juga anggota ASEAN. Pada November
2014 Moskow menandatangani perjanjian dengan Hanoi yang memberikan
akses reguler angkatan laut Rusia dan angkatan udara ke fasilitas di Pelabuhan
18
Cam Ranh. Dengan adanya perjanjian ini Rusia dapat memasok peralatan
militer mereka khususnya yang berbasis nuklir dengan lebih mudah seperti
meriam nuklir TU-95. Tujuan Putin untuk lebih menunjukkan eksistensi Rusia
sebagai great power kepada dunia global mulai berhasil ketika Washington
menegur Hanoi pada Januari 2015 karena mengizinkan Rusia menggunakan
Cam Ranh Bay yang berdampak meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut
(Lee dan Collin, 2015).
Kesimpulan
Dari semua penjelasan penulis di atas, sesuai hipotesis penulis di mana dapat dilihat
bahwa Rusia mengeluarkan slogan turn to the east karena Putin merasa keberadaan
Rusia di aliansi Barat tidak dianggap serius. Putin tidak menyukai hal ini karena ia
merasa Rusia masih merupakan kekuatan Agung seperti era Uni Soviet terdahulu dan
ingin membangkitkan kejayaan tersebut dan bersaing kembali secara neck to neck
dengan rival utama mereka sejak era perang dingin yang sampai sekarang masih
menjadi negara dengan power terbesar dan mendominasi, yaitu Amerika Serikat.
Keinginan Rusia dalam slogan turn to the east nya sejatinya adalah untuk mencari
partner yang sekiranya dapat menjadi “alat” bagi Rusia dalam rangka menjadikan
Rusia negara yang benar-benar kuat seperti apa yang sudah dilakukan Soviet di era
perang dingin. Karena hal ini juga yang membuat para pengamat dan berdasar fakta
yang ada masih meragukan keseriusan Rusia dalam menjalin hubungan kerjasama
dengan ASEAN.
Dapat dikatakan bentuk-bentuk kerjasama yang terjalin antara Rusia-ASEAN
merupakan masa “percobaan” Rusia untuk mendapatkan “alat” untuk bersaing dengan
negara power besar lainnya seperti China dan Amerika Serikat. Rusia memilih ASEAN
power negara-negara ASEAN masih dibawah Rusia, sehingga Rusia dapat
19
menggunakan ASEAN sebagai “alat”. Dari semua kerjasama yang terjalin antara
Rusia-ASEAN kerjasama di bidang militer dan keamanan menurut penulis menjadi
fokus utama Rusia kedepannya, karena perdagangan senjata dengan ASEAN juga
sejalan dengan tujuan kebijakan luar negeri Putin, dimana ia ingin kekuatan global lain
memandang Rusia dengan serius sebagai negara adikuasa. Putin menjual senjata untuk
menyaingi negara lain di Laut China Selatan. Ini memberi Rusia sedikit pengaruh
sekaligus menempatkan Rusia sebagai negara yang diperhitungkan di wilayah Laut
China Selatan. Dari sinilah menurut penulis Putin menjadi yang terdepan di dalam
krisis internasional.
20
Daftar Pustaka
Aec.com. 2016. “Moving Towards a Strategic Partnership for Mutual Benefit”. [Pdf]
http://www.aec.com.mm/download/Sochi_Declaration_ENG.pdf (diakses
pada 5 Oktober 2018)
Al-Rasyid, Fauzan. 2016. “Rusia Usulkan Kerja Sama Ekonomi Antara UEE, ASEAN,
dan SCO”. [online] http://indonesia.rbth.com/news/2016/05/20/rusia-
usulkan-kerja-sama-ekonomi-antara-uee-ASEAN-dan-sco_594687 (diakses
pada 16 Maret 2017).
Amdjad, Mudzakir. 2014. “Krimea, Untung Rugi Bagi Rusia”. [Online]
https://www.merdeka.com/khas/krimea-untung-rugi-bagi-rusia-kolom-
dunia.html (diakses pada 14 Oktober 2018).
Amrebayev, Aidar. 2016. “Eurasia’s Economic Union and ASEAN: Why Interaction Is
Important”. [Pdf] https://www.rsis.edu.sg/wp-
content/uploads/2016/09/CO16233.pdf (diakses pada 1 Oktober 2018).
ASEANtoday. 2018. “Putin uses arms sales to ASEAN to increase Russian standing in
Southeast Asia”. [Online] https://www.ASEANtoday.com/2018/03/putin-
uses-arms-sales-to-ASEAN-to-increase-russian-standing-in-southeast-asia/
(diakses pada 2 November 2018).
ASEANtoday. 2018. “Strengthened ASEAN-Russian military links are a signal Russia
is serious about its pivot to Asia”. [Online]
https://www.ASEANtoday.com/2018/05/strengthened-ASEAN-russian-
military-links-are-a-signal-russia-is-serious-about-its-pivot-to-asia/ (diakses
pada 2 Oktober 2018).
ASEAN.org. 2016. “ASEAN-Russia Dialogue Partnership”. [Pdf]
http://www.ASEAN.org/storage/2016/01/4Jan/Overview-ASEAN-Russia-
January-2016-cl.pdf (diakses pada 5 Oktober 2018).
ASEAN.org. 2016. “Comprehensive Plan of Action to Promote Cooperation Between
The Association of Southeast Asian Nations and The Russian Federation”.
[Pdf] http://www.ASEAN.org/wp-content/uploads/2016/05/ASEAN-
Russia-CPA-2016-2020-Final1.pdf (diakses pada 5 Oktober 2018).
ASEAN.org. 2016. “Agreement between the Governments of the Member Countries of
the Association of Southeast Asian Nations and the Government of the
21
Russian Federation on Economic and Development Cooperation”. [Pdf]
https://ASEAN.org/?static_post=agreement-between-the-governments-of-
the-member-countries-of-the-association-of-southeast-asian-nations-and-
the-government-of-the-russian-federation-on-economic-and-development-
cooperation-kuala-lumpu (diakses pada 5 Oktober 2018).
ASEAN.org. 2017. “Statement of ASEAN and Russia Ministers of Foreign Affairs on
Joint Efforts to Counter International Terrorism”. [Pdf]
http://ASEAN.org/wp-content/uploads/2017/08/Statement-of-ASEAN-and-
Russia-Ministers-of-Foreign-Affairs-on-Joint-Eff....pdf (diakses pada 3
Oktober 2018).
BBC. 2014. “Uni Eropa Menambahkan Sanksi Krimea”. [Online]
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/03/140321_krimea_eu (diakses
pada 20 Oktober 2018).
Ciptowiyono, Isharyanto. 2015. “Jerman-Rusia, Hubungan Pragmatis diantara Banyak
Kekhawatiran”. [Online]
https://www.kompasiana.com/isharyanto/552e370e6ea834ce238b4568/jer
man-rusia-hubungan-pragmatis-diantara-banyak-kekhawatiran (diakses
pada 11 Oktober 2018).
Collin, Koh Swee Lean dan Nhina Le. 2015. “Vietnam and Great Power Rivalries”.
[Online] https://thediplomat.com/2015/03/vietnam-and-great-power-
rivalries/ (diakses pada 28 Oktober 2018).
Dija. 2016. “Larangan Impor Makanan dari Negara Barat Terus Berlanjut”. [Online]
https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2016/11/23/106019
/putin-justru-menguntungkan-rusia-larangan-impor-makanan-dari-negara-
barat-terus-berlanjut.html (diakses pada 20 Oktober 2018).
DW. 2014. “Sanksi Terhadap Rusia Mulai Tunjukkan Dampak”. [Online]
https://www.dw.com/id/sanksi-terhadap-rusia-mulai-tunjukkan-dampak/a-
17512631 (diakses pada 20 Oktober 2018).
DW. 2007. “Suasana Hubungan Rusia dengan Uni Eropa”. [Online]
https://www.dw.com/id/suasana-hubungan-rusia-dengan-uni-eropa/a-
2933446 (diakses pada 11 Oktober 2018).
Eyal, Jonathan. 2014. “The ‘Illogic’ behind Russia ‘s Asia Strategy”. [Online]
https://www.straitstimes.com/opinion/the-illogic-behind-russias-asia-
strategy (diakses pada 28 Oktober 2018).
Gady, Franz-Stefan. 2015. “What to Expect From Russia's Pacific Fleet in 2015”.
[Online] https://thediplomat.com/2015/03/what-to-expect-from-russias-
pacific-fleet-in-2015/ (diakses pada 23 Oktober 2018).
22
Glazyev, Sergei. 2015. “Russia and the Eurasian Union”, dalam Piotr Dutkiewicz and
Richard Sakwa (Eds), Eurasian Integration - The View From Within. Oxford
: Routledge.
Goncharoff, Paul. 2018. “EEU and ASEAN – The Bridges Between East and West”.
[Online] http://theduran.com/eeu-and-ASEAN-the-bridges-between-east-
and-west/ (diakses pada 25 Oktober 2018).
Hardoko, Ervan. 2014. “Rusia Terapkan Embargo Impor Pangan, Uni Eropa Paling
Merugi”. [Online]
https://internasional.kompas.com/read/2014/08/07/21514351/Rusia.Terapk
an.Embargo.Impor.Pangan.Uni.Eropa.Paling.Merugi (diakses pada 20
Oktober 2018).
Harrison, John. 2018. “Possible Trade Agreement between EEU and ASEAN”. [Online]
https://sputniknews.com/radio-pivot-to-asia/201809061067801471-
possible-trade-agreement-between-eeu-ASEAN/ (diakses pada 2 November
2018).
Hermann, M., 2008. Content Analysis. Dalam A. Klotz dan D. Prakash , eds. 2008.
Qualitative Methods in International Relations: A Pluralist Guide.
Hampshire: Palgrave MacMillan. pp. 151-167.
Ignatev, Sergei. n.d. “Challenges and opportunities for cooperation between Russia
and the US in the Asia-Pacific region”. [Pdf]
http://harriman.columbia.edu/files/harriman/content/policy%20memo_Sergei
%20Ignatev_0.pdf (diakses pada 3 Oktober 2018).
Lavrov, Sergei. 2010. “Russia and ASEAN Can Achieve A Great Deal Together”.
[online] https://interaffairs.ru/i/pdf_ASEAN/2.pdf
Levy, Jack S. 2002. “Qualitative Methods in International Relations”, in Frank P.
Harvey and Michael Brecher (ed.), Evaluating Methodology in
International Studies. Ann Harbor: the University of Michigan Press, pp.
116-130
Lossan, Alexey. 2014. “Seberapa Besar Pengaruh Sanksi Barat Terhadap Rusia?”.
[Online]
https://id.rbth.com/economics/2014/05/11/seberapa_besar_pengaruh_sanks
i_barat_terhadap_rusia_23769 (diakses pada 9 Oktober 2018).
Lo, Bobo. 2015. “Russia and the New World Disorder”. Washington : Brookings
Institution Press.
Martynova, S. Elena . 2014. “Strengthening of Cooperation Between Russia and
ASEAN: Rhetoric or Reality?”. Moscow : Wiley Periodicals Inc.
23
Maletin, Nikolai Pavlovich, et. Al. 2014. “Particularities of Relationship Between
Russia and ASEAN”. Moscow : Moscow State Institute of International
Relations.
Mirzayan, Gevorg. 2014. “Era Baru Kebijakan Luar Negeri Rusia Setelah Perang
Dingin”. [Online]
http://indonesia.rbth.com/politics/2014/04/03/era_baru_kebijakan_luar_neg
eri_rusia_setelah_perang_dingin_23511 (diakses pada 16 Maret 2017).
Parameswaran, Prashanth. 2016. “ASEAN and the EEU : Close to Free Trade Zone”.
[Online] https://thediplomat.com/2016/08/ASEAN-and-the-eeu-close-to-
free-trade-zone/ (diakses pada 30 Oktober 2018).
RBTH. 2014. “Era Baru Kebijakan Luar Negeri Rusia Setelah Perang Dingin”.
[Online]
https://id.rbth.com/politics/2014/04/03/era_baru_kebijakan_luar_negeri_ru
sia_setelah_perang_dingin_23511 (diakses pada 2 November 2018).
Roth, Andrew. 2015. “Russian Premier Says Annexation of Crimea Was Worth
Sanctions Fallout”. [Online]
https://www.nytimes.com/2015/04/22/world/europe/crimea-russia-sanctions-
medvedev.html (diakses pada 28 Oktober 2018).
Rusman. 2016. “ Menelaah Kembali Kepentingan Rusia Bidang Energi di Kawasan
Asia Tenggara”. [Online] http://www.theglobal-
review.com/content_detail.php?lang=id&id=19019&type=4#.WMqR6PlTKp
p (diakses pada 16 Maret 2017).
Sumsky, Victor dan Evgeny Kanaev. 2014. “Russia’s Progress in Southeast Asia:
Modest but Steady”. [online]
http://www.css.ethz.ch/content/dam/ethz/special-interest/gess/cis/center-for-
securities-studies/pdfs/RAD-145.pdf
Sokmen, Askin Inci. 2015. “Eurasian Economic Union’s Effect on Global Politics and
the World Economic System”. Istanbul : Istanbul Arel University.
Storey, Ian. 2015. “What Russia ‘Turn to The East’ Means for Southeast Asia”. [Pdf]
https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2015_67.pdf
(diakses pada 3 Oktober 2018).
Strokan, Sergey dan Vladimir Mikheev. “Moskow Ubah Fokus Ke Asia Tenggara”.
[Online] http://indonesia.rbth.com/politics/2015/11/30/moskow-ubah-fokus-
ke-asia-tenggara_545811 (diakses pada 16 Maret 2017).
The Ministry of Foreign Affairs. 2018. “Press Realease of the Russia-ASEAN
Meeting”. [Online] http://www.mid.ru/en/foreign_policy/news/-
24
/asset_publisher/cKNonkJE02Bw/content/id/3314185 (diakses pada 25
Oktober 2018).
The Moscow Times. 2015. “Vietnam Signs Free Trade Agreement With Russian-Led
Economic Union”. [Online] https://themoscowtimes.com/articles/vietnam-
signs-free-trade-agreement-with-russian-led-economic-union-46976
(diakses pada 22 Oktober 2018).
The Moscow Times. 2015. “Russia Expands 'Pivot' East Beyond China to Vietnam and
Thailand”. [Online] https://themoscowtimes.com/articles/russia-expands-
pivot-east-beyond-china-to-vietnam-and-thailand-45638 (diakses pada 22
Oktober 2018).
Tsvetkov, Ivan. 2014. “Eksperimen Besar Putin Atas Kebijakan Luar Negeri Rusia,
Bandingkan Persepsi dan Realita”. [Online]
https://id.rbth.com/politics/2014/12/26/eksperimen_besar_putin_atas_kebija
kan_luar_negeri_rusia_bandingkan_p_26407 (diakses pada 2 November
2018).
USATODAY. 2013. “Russian president visits Vietnam to boost ties”. [Online]
https://www.usatoday.com/story/news/world/2013/11/11/putin-hanoi-
visit/3502857/ (diakses pada 22 Oktober 2018).