Upload
buikhanh
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
1 Bank Indonesia
PENJELASAN GUBERNUR BANK INDONESIA
PADA RAPAT KERJA KOMISI IX DPR RI
TANGGAL 11 OKTOBER 2000
Masa Persidangan : II
Tahun Sidang : 2000 - 2001
Anggota Dewan yang terhormat,
Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Komisi IX DPR RI beserta seluruh Anggota Komisi yang telah mengundang kami pada Rapat
Kerja hari ini. Bagi kami, pertemuan dengan Anggota Dewan yang terhormat seperti ini mempunyai arti yang sangat penting untuk menyampaikan informasi mengenai
pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang telah diamanatkan oleh Dewan. Pertemuan ini juga penting sekaligus untuk mendengarkan masukan Anggota Dewan kepada
kami dalam mengupayakan berbagai perbaikan dalam perumusan dan pelaksanaan
tugas Bank Indonesia ke depan.
Sebagaimana Anggota Dewan telah maklumi bersama, Rapat Kerja rutin
terakhir yang kami hadiri adalah pada tanggal 19 Juni 2000. Dalam pertemuan tersebut kami telah menjelaskan mengenai perkembangan ekonomi dan moneter serta
langkah-langkah kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia hingga periode Juni 2000. Selanjutnya kami juga telah menghadiri beberapa pertemuan dan Rapat Kerja
dengan Anggota Dewan untuk membahas hal-hal khusus dimana yang terakhir diadakan kemarin hari Selasa 10 Oktober 2000 untuk membahas mengenai
permasalahan BLBI. Pada kesempatan Rapat Kerja hari ini, perkenankanlah kami menyampaikan perkembangan terakhir atas langkah-langkah kebijakan yang telah
ditempuh Bank Indonesia selama triwulan III/2000.
Anggota Dewan yang terhormat,
Secara umum, beberapa indikator penting ekonomi makro sampai dengan akhir triwulan III/2000 menunjukkan proses pemulihan ekonomi kita terus
berlangsung. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III/2000 diperkirakan pada kisaran 4%-5%, setelah mencatat 4,13% pada triwulan sebelumnya. Peningkatan
kegiatan investasi dan ekspor yang terjadi pada dua triwulan sebelumnya diperkirakan akan terus berlanjut, sedangkan konsumsi diperkirakan masih mengalami
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
2 Bank Indonesia
pertumbuhan positif meskipun semakin melambat. Secara sektoral, peningkatan
kegiatan ekonomi terutama ditunjang oleh sektor industri pengolahan, perdagangan,
bangunan dan pengangkutan. Terus membaiknya perekonomian juga didukung oleh mulai berlangsungnya penyaluran kredit baru oleh perbankan meskipun masih dalam
jumlah yang relatif kecil.
Sementara itu, nilai tukar Rupiah dalam triwulan III/2000 cenderung melemah dan rata-rata mencapai Rp 8.737,- atau terdepresiasi sebesar 5,8%
dibandingkan triwulan sebelumnya. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut adalah
sebagai akibat dari perkembangan beberapa faktor seperti meningkatnya permintaan
valuta asing khususnya untuk membiayai impor dan melunasi utang luar negeri yang jatuh tempo, terbatasnya penawaran valuta asing terutama karena relatif kecilnya
devisa ekspor yang masuk ke dalam negeri dan masih negatifnya lalu lintas modal swasta bersih, serta kurang kondusifnya faktor-faktor sentimen pasar terhadap
perkembangan sosial-politik dalam negeri.
Di sisi lain, tekanan terhadap harga yang terjadi sejak triwulan I dan II/ 2000 masih berlanjut hingga triwulan III/2000. Laju inflasi IHK selama triwulan III-2000
meningkat sebesar 1,74%, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 1,91%. Dengan perkembangan ini, secara kumulatif untuk periode Januari hingga
September 2000 laju inflasi IHK telah mencapai 4,65%. Angka ini berarti mendekati batas bawah dari kisaran sasaran inflasi dengan memperhitungkan kebijakan
Pemerintah di bidang harga dan pendapatan yang ditetapkan pada awal tahun 2000 sebesar 5-7%.
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya inflasi sampai dengan triwulan
III/2000 adalah terkait dengan dampak dari kebijakan Pemerintah di bidang harga
dan pendapatan. Sebagaimana Anggota Dewan maklumi, Pemerintah mulai April telah melakukan penyesuaian harga pada beberapa sektor ekonomi seperti kenaikan
gaji PNS, harga BBM, TDL, cukai rokok serta terakhir kenaikan tarif angkutan pada tanggal 1 September 2000. Pada awal tahun 2000, berdasarkan informasi yang
tersedia waktu itu, kebijakan tersebut diperkirakan akan berdampak pada kenaikan inflasi sebesar 2%. Akan tetapi, hingga September 2000 kebijakan tersebut telah
memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap inflasi
sebesar 1,73%. Dengan perhitungan tersebut, laju inflasi IHK kumulatif 9 bulan
pertama tahun 2000 di luar dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan telah mencapai 2,85%, atau telah mendekati batas bawah dari kisaran
sasaran inflasi 3%-5% yang ditetapkan pada awal tahun 2000.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
3 Bank Indonesia
Inflasi pada triwulan laporan juga dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar
rupiah. Kecenderungan depresiasi nilai tukar rupiah telah meningkatkan harga
barang-barang yang dapat diperdagangkan secara internasional (traded goods). Inflasi kelompok traded goods pada triwulan III-2000 mencapai 0,86% atau lebih rendah
dari triwulan sebelumnya sebesar 1,87%. Hal ini didorong oleh lebih rendahnya depresiasi rupiah pada triwulan ini dan bahkan cenderung menguat setelah melemah
bulan Juli 2000. Untuk kelompok non-traded goods, inflasi pada triwulan III-2000 mencapai 3,40% atau lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 1,84%.
Anggota Dewan yang terhormat,
Untuk triwulan IV/2000 ini kami perkirakan tekanan terhadap inflasi masih
akan cukup besar. Hal ini terutama berkaitan dengan dampak kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2000, kenaikan tahap II gaji PNS, TNI dan POLRI dan pengaruh
inflasi musiman di akhir tahun sehubungan dengan Hari Raya, Natal, Tahun Baru yang akan datang secara bersamaan. Di samping itu, pengeluaran pemerintah dalam
jumlah besar menjelang tutup tahun anggaran diperkirakan juga akan berdampak
pada tekanan laju inflasi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, laju inflasi
IHK laju inflasi hingga akhir tahun 2000 diprakirakan akan melampaui sasaran yang telah ditetapkan di awal tahun, yaitu sekitar 1% di atas sasaran.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka perkenankan kami dalam kesempatan ini
menjelaskan mengenai beberapa faktor yang menurut hemat kami berpotensi menyebabkan tidak tercapainya sasaran inflasi pada tahun ini.
Pertama, dampak kenaikan harga dan pendapatan yang dikendalikan
Pemerintah untuk keseluruhan tahun 2000 yang sebelumnya diproyeksikan sebesar
2% diprakirakan akan terlampaui. Hal ini terutama karena sulitnya untuk memperkirakan dengan tepat, kapan dan besarnya implementasi kenaikan berbagai
harga dan pendapatan yang dikendalikan oleh Pemerintah, meskipun Bank Indonesia telah melakukan koordinasi dengan Pemerintah sebelum sasaran inflasi ditetapkan.
Sebagai contoh, penundaan kenaikan harga BBM selain Premix dan Super dari April menjadi Oktober, misalnya, tidak diperhitungkan dalam perkiraan awal. Meski
kenaikannya ditunda, harga-harga telah sempat naik pada awal April. Demikian pula
persentasi kenaikan harga yang terjadi tidak seluruhnya sama dengan asumsi yang
digunakan dalam perkiraan awal, antara lain kenaikan UMR Jabotabek yang diasumsikan naik satu kali sebesar 25% dalam realisasinya naik dua kali sebesar total
45%. Hal lain yang diprakirakan berpotensi mendorong laju inflasi dari sisi fiskal
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
4 Bank Indonesia
adalah kemungkinan pengeluaran pemerintah dalam jumlah besar yang akan
dilakukan menjelang berakhirnya tahun anggaran pada bulan Desember tahun 2000.
Kedua, nilai tukar Rupiah rata-rata yang sebelumnya diperkirakan dapat
mencapai Rp7.000 per USD, sampai bulan September 2000 sudah mencapai Rp8.125 per USD. Secara umum, melesetnya perkiraan asumsi ini disebabkan karena
lebih sensitifnya perkembangan nilai tukar rupiah terhadap sentimen negatif pasar terhadap faktor nonekonomi dibandingkan sensitivitas sentimen positif pasar terhadap
membaiknya faktor ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut selanjutnya
akan meningkatkan laju inflasi melalui kenaikan harga barang-barang yang
diperdagangkan di pasar internasional.
Ketiga, beberapa perkembangan di sisi penawaran sampai kuartal III/2000, baik berupa dampak positif atau negatif terhadap pencapaian sasaran inflasi, juga
sangat sulit untuk diperkirakan dengan baik. Membanjirnya beras impor dibarengi musim panen kedua dalam bulan September 2000 telah memberikan dampak positif
berupa deflasi, sedangkan kelangkaan BBM dan terganggunya saluran distribusi BBM pada bulan Juli 2000 memberikan dampak negatif berupa inflasi.
Keempat, pertumbuhan PDB tahun 2000 diprakirakan akan melampui
asumsi proyeksi pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam inflasi sebesar 3% - 4%. Meningkatnya kegiatan ekonomi yang lebih cepat dari yang diprakirakan
sebelumnya menyebabkan kelebihan kapasitas perekonomian yang ada saat ini mulai berkurang serta jumlah base money riil dan M1 riil meningkat. Dapat diinformasikan,
sampai bulan Agustus 2000 rata-rata M1 riil mengalami pertumbuhan sebesar 19,7%, jauh lebih tinggi dibandingkan negatif 8,8% pada Desember 1999. Meningkatnya
kegiatan ekonomi tersebut juga sejalan dengan kenaikan laju inflasi dari sisi
permintaan (core inflation) yang telah terjadi sejak akhir triwulan I/2000.
Anggota Dewan yang terhormat,
Menghadapi besarnya tekanan terhadap tingginya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias) diterapkan
dengan mengupayakan pencapaian sasaran base money yang ditetapkan pada awal tahun 2000. Akan tetapi lebih tingginya kegiatan ekonomi dibandingkan dengan
asumsi semula menyebabkan sasaran base money tersebut terlalu ketat untuk dipergunakan sebagai patokan dalam menyerap besarnya ekses likuiditas perbankan.
Selain itu, penerapan kebijakan moneter yang terlalu ketat akan menyebabkan suku bunga SBI meningkat tinggi dan dikhawatirkan dapat mengancam pemulihan
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
5 Bank Indonesia
ekonomi. Dengan kondisi demikian, meskipun diupayakan untuk dikendalikan, posisi
base money dalam triwulan III-2000 masih di atas target indikatifnya. Sementara
performance criteria berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi base money, yaitu Net Domestic Asset (NDA) dan Net International Reserve (NIR), masih dalam batas
yang ditetapkan.
Pertumbuhan base money baik nominal maupun riil terus menunjukan trend kenaikan seiring dengan peningkatan kegiatan ekonomi. Dalam triwulan III-2000,
pertumbuhan rata-rata base money riil sebesar 14,9.% (yoy) lebih tinggi dibandingkan
triwulan sebelumnya sebesar 12,3%. Perkembangan base money ini terutama
disebabkan oleh tingginya permintaan uang kartal untuk memenuhi kegiatan ekonomi. Hal ini diperlihatkan meningkatnya currency to deposit ratio (C/D) sejak
bulan April 2000 dari 0,65 menjadi 0,69 pada bulan Agustus 2000, walaupun sudah agak sedikit menurun dibandingkan bulan sebelumnya (Juli 2000). Tanda mulai
menurunnya C/D tersebut sejalan dengan meningkatnya penggunaan uang giral untuk memenuhi kebutuhan kegiatan investasi.
Penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat telah mendorong suku
bunga bergerak naik. Hal ini ditandai mulai meningkatnya suku bunga rata-rata SBI 1 bulan dari 11,7% pada akhir bulan Juni menjadi 13,62% bulan September 2000.
Kenaikan suku bunga SBI tersebut tidak segera diikuti dengan kenaikan suku bunga deposito perbankan karena besarnya ekses likuiditas perbankan dan relatif kecilnya
spread suku bunga penjaminan, yaitu 100 basis point di atas JIBOR. Suku bunga rata-rata deposito 1 bulan mulai meningkat sejak bulan Juli dari 9,7% menjadi 10,5%
pada bulan September 2000 setelah spread suku bunga penjaminan tesebut dinaikkan menjadi 200 basis point di atas JIBOR. Sementara itu, suku bunga riil (dihitung secara
annualized) SBI 1 bulan masih positif sekitar 7%, sedangkan rata-rata suku bunga
deposito 1 bulan sekitar 3,7%.
Anggota Dewan yang terhormat,
Selanjutnya, perkenankanlah kami menjelaskan perkembangan dan langkah kebijakan di bidang perbankan. Secara umum, telah kami kemukakan bahwa telah
dicapai perbaikan-perbaikan pada kinerja perbankan sebagaimana terlihat pada
adanya kenaikan modal, menurunnya Non Performing Loans (NPLs), meningkatnya Net
Interest Margin (NIM) pada semua kelompok bank, meningkatnya perolehan laba yang menunjukkan peningkatan serta kredit yang mulai menunjukkan peningkatan.
Perbaikan yang dicapai ini merupakan buah yang berkaitan erat dengan
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
6 Bank Indonesia
berlangsungnya program restrukturisasi perbankan yang telah kita lakukan sejak awal
tahun 1998.
Berkaitan dengan perkembangan program restrukturisasi perbankan, dapat
kami sampaikan bahwa sampai dengan triwulan III/2000 Pemerintah telah menerbitkan obligasi dalam rangka program rekapitalisasi untuk 26 bank yang terdiri
dari 4 bank BUMN, 7 Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) peserta program rekapitalisasi, 3 Bank Take Over (BTO) dan 12 Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Obligasi Pemerintah untuk BRI dan BTN diterbitkan dalam dua tahap, tahap
pertama telah dilaksanakan pada bulan Juli 2000 dan tahap berikutnya akan
dilaksanakan pada bulan Oktober 2000 bersama-sama dengan rencana rekapitalisasi Bank Bali. Apabila penerbitan obligasi tersebut telah dilakukan, maka program
rekapitalisasi bank-bank telah selesai dilakukan sesuai dengan rencana.
Sementara itu berkaitan dengan program penjaminan, sebagaimana Anggota Dewan maklumi, sejak November 1999 program penjaminan bank umum
sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPPN. Namun untuk memelihara kepercayaan internasional, Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah masih melaksanakan
program penjaminan yang terkait dengan perdagangan internasional (trade finance arrears) dan program pertukaran utang luar negeri perbankan (interbank debt exchange
offer). Sehubungan dengan pelaksanaan penjaminan tersebut, selama triwulan III/2000 telah dilakukan pembayaran pokok dan bunga atas interbank debt exchange offer
sebesar USD236,69 juta, sehingga akumulasi pembayaran sampai dengan triwulan III/2000 sebesar USD473,94 juta. Sementara itu untuk trade finance tidak terjadi
pembayaran hingga triwulan III/2000.
Anggota Dewan yang terhormat,
Berkaitan dengan upaya menerapkan good corporate governance untuk
meningkatkan pemantapan ketahanan sistem perbankan, sampai dengan triwulan III/2000 telah diselesaikan penilaian fit and proper bagi pemilik dan pengurus,
wawancara terhadap calon pemilik dan pengurus (new entry), serta persetujuan penunjukkan direktur kepatuhan (compliance director) pada beberapa bank umum.
Sementara itu dalam hal penyempurnaan ketentuan perbankan, selama triwulan
III/2000 Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang
mengatur tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum dan
Laporan Bulanan Bank Umum. Disamping itu dikeluarkan pula Surat Edaran (SE) Bank Indonesia yang mengatur tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0003,
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
7 Bank Indonesia
FR0004 dan FR0005 Untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder dan tentang
Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan
Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan.
Dalam rangka lebih memantapkan fungsi pengawasan bank, pelaksanaan pengawasan bank tidak hanya difokuskan pada compliance supervision tetapi juga
diarahkan pada risk based supervision dan forward looking. Dalam kaitan tersebut, Bank Indonesia telah menempatkan tenaga on-site permanent supervision (OSP) pada beberapa
bank yang dinilai sebagai systemic bank. Hingga saat ini telah ditempatkan beberapa
tenaga OSP pada 4 bank BUMN dan 5 bank BUSN. Selanjutnya dalam rangka
meningkatkan pemenuhan 25 Basel Core Principles tentang peningkatan pengawasan sebagaimana tercantum dalam Letter of Intent (LoI) September 2000, Bank Indonesia
telah merumuskan Action Plan untuk 2 tahun ke depan (sampai dengan tahun 2002). Action plan tersebut antara lain meliputi : (i) persyaratan/ketentuan dalam licensing
untuk pendirian bank, pemilik dan pengurus bank; (ii) koordinasi antar otoritas pengawas pada sektor keuangan; (iii) perluasan cakupan pemeriksaan bukan hanya
pada segi operasional bank tetapi juga meliputi kebijakan, prosedur dan internal
kontrol; dan (iv) pengawasan yang berdasarkan pada risk based dan consolidated
supervision.
Anggota Dewan yang terhormat,
Perkenankanlah kami dalam kesempatan ini menginformasikan perkembangan penyaluran kredit perbankan. Meskipun masih dalam jumlah yang relatif kecil
beberapa bank telah mulai menyalurkan kredit-kredit baru ke sektor-sektor usaha. Meskipun masih ada pengalihan kredit ke BPPN berkaitan dengan program
rekapitalisasi, khususnya untuk bank BUMN, penyaluran kredit baru tersebut
menunjukkan bahwa proses pemulihan fungsi intermediasi bank mulai berlangsung.
Kami menyadari bahwa belum tuntasnya pelaksanaan restrukturisasi perbankan dan lambatnya penyelesaian proses restrukturisasi perusahaan (corporate)
selama ini mengakibatkan fungsi intermediasi perbankan belum secepat dan sebesar yang kita harapkan, meskipun kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sudah
pulih. Untuk itu kami berkeyakinan bahwa penyelesaian kredit bermasalah
merupakan agenda yang krusial untuk segera diselesaikan mengingat kredit
bermasalah menjadi beban bagi perbankan dan penyelesaiannya dapat mempengaruhi keberhasilan program penyehatan perbankan secara keseluruhan.
Restrukturisasi kredit pada dasarnya bertujuan untuk menormalisasi fungsi bisnis
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
8 Bank Indonesia
debitur sehingga mampu kembali memenuhi kewajibannya kepada bank, serta
meningkatkan kualitas portofolio kredit bank.
Selanjutnya dapat kami sampaikan kepada anggota Dewan yang terhormat
bahwa sampai dengan Agustus 2000 penyelesaian kredit bermasalah melalui program restrukturisasi kredit yang difasilitasi oleh Tim Satgas Restrukturisasi Kredit Bank
Indonesia maupun yang dilakukan oleh bank sendiri menunjukkan peningkatan. Total kredit yang telah direstrukturisasi sampai dengan Agustus 2000 meningkat sebesar
Rp3,4 triliun menjadi Rp54,1 triliun dengan jumlah debitur meningkat sebanyak
1.754 debitur menjadi 16.996 debitur dibandingkan posisi bulan Juni 2000. Hasil
tersebut mencerminkan bahwa restrukturisasi kredit mampu memberikan kontribusi yang memadai bagi proses penurunan NPLs dan sekaligus meningkatkan kualitas
kredit. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, kami terus berupaya untuk mempercepat penyelesaian restrukturisasi kredit antara lain dengan meningkatkan
peran aktif di dalam restrukturisasi kredit melalui Tim Satgas Restrukturisasi Kredit yang menangani kredit bank-bank di luar BPPN serta meningkatkan koordinasi
dengan instansi terkait antara lain Prakarsa Jakarta, BPPN dan INDRA.
Anggota Dewan yang terhormat,
Sebagaimana anggota Dewan ketahui, kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran adalah diarahkan kepada pengembangan sistem pembayaran
yang cepat, efisien, handal dan aman untuk mengurangi risiko pembayaran yang dapat mengganggu kestabilan moneter serta mendukung pengembangan sistem
pembayaran yang sehat.
Di bidang pengedaran uang, selain menyediakan uang dalam jumlah cukup,
Bank Indonesia juga senantiasa menjaga agar kualitas uang yang dipegang masyarakat selalu terjaga kualitasnya dengan cara melakukan kebijakan pemusnahan
uang yang sudah tidak layak edar atau Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) serta mengganti uang yang dimusnahkan tersebut.
Berkaitan dengan upaya menanggulangi peredaran uang palsu, salah satu
upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah dengan mencabut dan menarik jenis uang kertas yang banyak dipalsukan. Sejak triwulan III/2000, Bank Indonesia
akan terus melanjutkan upaya penarikan dari peredaran uang kertas pecahan Rp10.000 tahun emisi 1992, Rp20.000 tahun emisi 1992/1995 dan Rp50.000 tahun
emisi 1993/1995.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
9 Bank Indonesia
Di bidang lalu lintas pembayaran, kebijakan yang diambil selama triwulan
III/2000 adalah melanjutkan kebijakan yang telah diambil pada triwulan sebelumnya
yaitu meneruskan langkah-langkah pengembangan sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) yang pada saat ini telah mencapai tahap akhir untuk diimplementasikan pada
akhir Desember 2000.
Anggota Dewan yang terhormat,
Pada akhir pengantar ini, ijinkanlah kami menyampaikan pandangan kami
mengenai prospek ekonomi dan arah kebijakan ke depan. Mencermati perkembangan
beberapa indikator penting ekonomi sampai dengan triwulan III/2000, kami memandang bahwa prospek ekonomi Indonesia ke depan, khususnya dalam triwulan
IV/2000 masih terus menunjukkan berlangsungnya proses pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV/2000 diperkirakan akan lebih tinggi dari
triwulan sebelumnya. Sumber pertumbuhan berasal dari terus meningkatnya investasi, ekspor dan konsumsi, serta maraknya kegiatan ekonomi di akhir tahun
sehubungan dengan Natal, Idul Fitri dan Tahun Baru. Investasi diperkirakan akan
terus meningkat walaupun tidak setinggi kuartal sebelumnya. Konsumsi akan tetap
tumbuh positif namun dengan kecepatan melambat. Dari sisi penawaran, sektor industri pengolahan, perdagangan dan pengangkutan merupakan penggerak utama
perekonomian. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 diperkirakan tumbuh pada kisaran 4%-5%.
Namun demikian, perkembangan tersebut dibayangi oleh tingginya tekanan
terhadap laju inflasi pada akhir tahun sebagai dampak dari kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan, serta adanya faktor musiman yaitu hari raya
keagamaan yang akan terjadi bersamaan di akhir tahun 2000. Kebijakan Pemerintah
menaikkan harga dan pendapatan yaitu kenaikan harga BBM, rencana kenaikan tahap II gaji PNS/TNI/Polri, peningkatan penggunaan dan meningkatnya ekspektasi
inflasi pada triwulan IV/2000, diperkirakan akan mendorong meningkatnya laju inflasi. Seperti telah kami sampaikn sebelumnya, kami memprakirakan laju inflasi
tahun 2000 akan mencapai sekitar 1% di atas sasaran yang telah ditetapkan.
Dengan memperhatikan besarnya tekanan inflasi di satu sisi dan peningkatan
kegiatan perekonomian di sisi lain, maka kami memandang bahwa arah kebijakan
moneter ke depan akan dilakukan secara berhati-hati. Kebijakan ini juga dilakukan mengingat masih rentannya proses pemulihan ekonomi dengan masih berlangsungnya
proses restrukturisasi utang perusahaan dan perbankan. Dalam kondisi seperti sekarang ini, kondisi moneter perlu tetap diarahkan untuk meredam besarnya tekanan
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
10 Bank Indonesia
inflasi dengan tetap menyediakan likuiditas yang cukup untuk mendukung proses
pemulihan ekonomi. Dalam konteks ini, Bank Indonesia saat ini tengah melakukan
kajian untuk merubah sasaran base money tahun 2000 agar lebih realistis dengan perkembangan kegiatan ekonomi saat ini.
Di bidang perbankan, arah kebijakan perbankan ke depan akan ditempuh
dengan mempertimbangkan (i) upaya-upaya untuk mendorong pemulihan fungsi intermediasi perbankan, (ii) tindak lanjut terhadap bank-bank yang masuk ke dalam
pengawasan khusus (Special Surveillance), (iii) pelaksanaan Master Plan sesuai jadwal yang
ditetapkan dalam rangka peningkatan efektifitas pengawasan dan pengaturan
perbankan, serta (v) tindak lanjut action plan terhadap pemenuhan 25 Basel Core Principles terutama yang berkaitan dengan risk based supervision, kajian untuk persiapan
pelaksanaan consolidated supervision serta cakupan pemeriksaan.
Anggota Dewan yang terhormat,
Untuk selanjutnya ijinkanlah kami untuk memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan tertulis yang sebelumnya telah Anggota Dewan sampaikan
kepada kami.
Pertanyaan :
1. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah instrumen untuk menarik likuiditas dari masyarakan, berapa besar beban per bulannya, berapa uang yang masuk
digunakan untuk operasional, dan dari mana sumber penerimaan untuk bunga SBI dimaksud?
Jawaban :
Anggota Dewan yang terhormat,
SBI adalah surat berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan hutang jangka pendek (1 bulan dan 3 bulan) yang digunakan sebagai instrumen moneter. Pada saat penerbitan, SBI berfungsi sebagai alat kontraksi
moneter untuk menyerap kelebihan likuiditas rupiah di pasar uang dan pada saat pelunasan/jatuh waktu SBI terjadi ekspansi moneter secara otomatis. Oleh karena itu,
pelaksanaan lelang SBI perlu dilakukan secara berkesinambungan sehingga di satu sisi dapat menetralisir dampak ekspansi moneter dari SBI yang jatuh waktu dan di sisi
lain dapat menyerap kelebihan likuiditas rupiah yang ada di pasar uang.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
11 Bank Indonesia
Berdasarkan Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) tahun 2000, beban
diskonto transaksi SBI untuk tahun 2000 dianggarkan sebesar Rp10,25 triliun atau
Rp0,85 triliun per bulan. Sampai dengan bulan Agustus 2000, realisasi beban diskonto yang sudah dikeluarkan untuk transaksi SBI adalah sebesar Rp7,80 triliun
atau Rp0,98 triliun per bulan.
Meningkatnya realisasi dimaksud (dibandingkan anggarannya) terutama disebabkan oleh relatif tingginya suku bunga SBI tahun 2000 dibandingkan perkiraan
semula dalam menyusun anggaran yaitu hanya 11,0%. Sebagai diketahui, pada awal
tahun 2000, suku bunga rata-rata SBI 1 bulan adalah 11,64% dan turun sampai
menjadi 10,88% (terendah dalam tahun 2000) pada akhir April dan awal Mei 2000. Sejak itu, suku bunga rata-rata SBI 1 bulan terus mengalami kenaikan dan sejak
minggu ke dua Juli 2000 levelnya sudah di atas 13,00%. Terakhir, per tanggal 4 Oktober 2000, suku bunga rata-rata SBI 1 bulan adalah sebesar 13,63%.
Sumber pendanaan dalam membayar diskonto SBI terutama berasal dari
pengelolaan cadangan devisa yang dikuasai BI yang ditanamkan dalam bentuk giro, deposito, surat-surat berharga dan transaksi forex lainnya. Sebagaimana diketahui,
berdasarkan ATBI BI tahun 2000, penerimaan dari pengelolaan devisa diperkirakan sebesar Rp14,77 triliun atau Rp1,23 triliun per bulan. Sampai dengan bulan Agustus
2000, realisasi dari pengelolaan devisa sudah mencapai Rp22,37 triliun atau Rp2,80 triliun per bulan.
Pertanyaan :
2. Apa dan bagaimana tanggung jawab Bank Indonesia dalam menindaklanjuti
bank-bank pasca rekapitalisasi?
Jawaban:
Anggota Dewan yang terhormat,
Sebagaimana diketahui, program rekapitalisasi bertujuan untuk memperbaiki struktur permodalan perbankan khususnya bank-bank yang mempunyai prospek untuk hidup dan terus berkembang (viable banks). Upaya untuk memperbaiki struktur permodalan tersebut dilakukan melalui setoran modal oleh pemilik dan penyertaan oleh pemerintah. Penyertaan oleh pemerintah telah dilakukan melalui penerbitan Obligasi yang sampai saat ini mencapai Rp. 412,16 triliun. Upaya perbaikan struktur permodalan bank ini diikuti pula dengan perbaikan kualitas aktiva melalui restruktrusasi kredit dan pengalihan kredit bermasalah kepada BPPN. Dengan
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
12 Bank Indonesia
kualitas aktiva dan permodalan yang lebih baik diharapkan kinerja bank-bank akan meningkat dan pada gilirannya sistem perbankan akan sehat.
Sebagai langkah lanjut dari penyehatan perbankan nasional, Bank Indonesia juga melakukan serangkaian upaya pemantapan ketahanan sistem perbankan melalui pengembangan infrastruktur perbankan, penerapan good corporate governance serta penyempurnaan ketentuan dan peningkatan pengawasan. Berkaitan dengan pengembangan infrastruktur, telah dikembangkan bank yang melakukan kegiatan dengan prinsip syariah dan Bank Perkreditan Rakyat.
Penerapan good corporate governance dilakukan melalui pelaksanaan fit and proper test terhadap pengurus dan pemilik bank, wawancara terhadap calon pengurus dan pemilik, mewajibkan bank untuk menunjuk compliance director serta pendirian Unit Khusus Investigasi Perbankan di Bank Indonesia.
Upaya penyempurnaan ketentuan dan pemantapan pengawasan yang dilakukan dengan mengacu kepada standar internasional. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan ditempuh berbagai upaya meliputi :
• Monitoring terhadap realisasi rencana kerja (business plan) bank-bank, dimana pengawas secara dini meminta kepada pemilik dan pengurus bank untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan, misalnya menambah modal dan mempercepat penyelesaian kredit bermasalah.
• Kerja sama dengan Kantor Akuntan Publik dalam melakukan pemeriksaan bank.
• Penerapan On-site Supervisory Presence melalui penempatan pengawas pada bank-bank yang dianggap memiliki pangsa yang besar terhadap perbankan nasional.
• Penempatan dalam status pengawasan khusus (special surveillance) bagi bank-bank yang tidak memenuhi ketentuan kehati-hatian perbankan.
• Pelaksanaan enforcement atas ketentuan exit policy bagi bank-bank yang tidak dapat dipertahankan lagi berada dalam sistem perbankan.
Pertanyaan :
3. Bagaimana pelaksanaan Program Restrukturisasi atau Rescheduling Hutang Luar
Negeri, baik hutang luar negeri Pemerintah maupun hutang luar negeri swasta?
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
13 Bank Indonesia
Jawaban:
Anggota Dewan yang terhormat,
Sebagaimana diketahui, upaya restrukturisasi hutang Pemerintah dilakukan melalui dua mekanisme yakni Paris Club dan London Club, masing-masing untuk
restrukturisasi pinjaman bilateral dan pinjaman komersiil Pemerintah Indonesia. Upaya restrukturisasi kewajiban tersebut dilakukan Pemerintah dalam kerangka
mengurangi tekanan defisit atas fiskal maupun tekanan terhadap Neraca Pembayaran Indonesia.
Program ini secara implisit juga telah memperoleh persetujuan DPR
sebagaimana tercermin pada persetujuan Sidang Dewan atas RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah. Program restrukturisasi tercermin pada pos pengeluaran
pembayaran angsuran pokok pinjaman pada RAPBN dimaksud.
Pelaksanaan program melalui masing-masing mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Paris Club I:
Negosiasi dengan 17 negara anggota Paris Club intensif dilakukan sejak Agustus
1998. Pemerintah mengupayakan restrukturisasi atas pinjaman bilateral yang
jatuh tempo selama FY. 1998 dan 1999. Persyaratan pinjaman yang direstrukturisasi merujuk pada perjanjian asal. Pinjaman-pinjaman tersebut
umumnya berjangka waktu antara 20 s.d 24 tahun untuk ODA dan 10 sampai 15 tahun untuk Non-ODA. Kesepakatan restrukturisasi dengan kreditur tertuang
dalam MOU yang ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 23 September 1998, dengan pokok-pokok kesepakatan:
(pertama) restrukturisasi atas kewajiban pembayaran pokok pinjaman bilateral
jatuh tempo antara tgl.06/08/98 s.d 31/03/00 senilai USD4,2 milyar.
(kedua) Pinjaman ODA direstrukturisasi untuk jangka waktu 20 tahun
termasuk 5 tahun masa tenggang, dan pinjaman Non –ODA direstrukturisasi untuk jangka waktu 11 tahun termasuk 3 tahun masa
tenggang.
(ketiga) Pemerintah Indonesia wajib melakukan comparable treatment atas kewajiban pembayaran pinjaman bilateral lainnya (diluar anggota PC)
dan kewajiban atas pinjaman komersiil yang diterima oleh Pemerintah.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
14 Bank Indonesia
Sebagai implementasi kesepakatan MOU tersebut, Pemerintah mengajukan
permintaan restrukturisasi secara bilateral kepada masing-masing kreditur yang
bersangkutan. Total pinjaman yang direstrukturisasi adalah USD4,66 milyar. Jumlah ini termasuk kewajiban pinjaman sindikasi senilai USD210 juta yang
dilakukan melalui mekanisme London Club.
Sebagai implementasi MOU PC I, Pemerintah telah menandatangani perjanjian restrukturisasi kewajiban pembayaran angsuran pokok kepada 17 negara donor
anggota PC, senilai USD4,38 milyar pada akhir Maret 2000. Dapat
diinformasikan bahwa perbedaan jumlah ini dengan nilai yang terdapat dalam
MOU semata disebabkan oleh perubahan nilai tukar. Disamping itu Pemerintah juga telah menandatangani perjanjian restrukturisasi kewajiban kepada 2 negara
bukan anggota (Saudi Arabia dan Brunei) dan 5 bank komersiil, senilai USD70,85 juta.
Upaya penyelesaian negosiasi masih terus dilakukan terhadap 3 negara non-
anggota PC (Taiwan, Kuwait dan China) dengan total kewajiban senilai USD18 juta. Keterlambatan penyelesaian restrukturisasi ini tidaklah menghambat atau
menggagalkan pelaksanaan program secara keseluruhan. Hal ini terutama dilandasi pertimbangan bahwa kesepakatan MOU Paris Club tersebut bersifat non-
binding bagi kreditur non-anggota PC. Walaupun demikian, Pemerintah tetap mengupayakan restrukturisasi kewajiban kepada negara non-anggota tersebut.
2. Paris Club II:
Mempertimbangkan masih dirasakan beratnya tekanan defisit fiskal dan Neraca Pembayaran; Pemerintah melakukan upaya restrukturisasi tahap II.
Restrukturisasi diajukan untuk kewajiban yang jatuh tempo dalam FY 2000 dan
FY. 2001 (periode pemulihan ekonomi), dan dengan persyaratan merujuk pada perjanjian asal. Negosiasi instensif dilakukan pada bulan Maret/April 2000, dan
kesepakatan restrukturisasi dengan 17 negara anggota Paris Club dituangkan padam MOU tanggal 13 April 2000.
Adapun pokok-pokok kesepakatan MOU tersebut adalah:
(pertama) restrukturisasi atas kewajiban pembayaran pokok pinjaman bilateral
jatuh tempo antara tgl.01/04/00 s.d 31/03/02 senilai USD5,8 milyar.
(kedua) Pinjaman ODA direstrukturisasi untuk jangka 20 tahun termasuk 7 tahun masa tenggang dan pinjaman Non –ODA direstrukturisasi untuk
jangka waktu 15 tahun termasuk 3 tahun masa tenggang.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
15 Bank Indonesia
(ketiga) Pemerintah Indonesia wajib melakukan comparable treatment atas
kewajiban pembayaran pinjaman bilateral lainnya (diluar anggota PC)
dan kewajiban atas pinjaman komersiil yang diterima oleh Pemerintah.
Dalam MOU juga disepakati batas penyelenggaraan negosiasi adalah akhir November 2000. Sebagai implementasi MOU PC II, Pemerintah telah
mengajukan proposal restrukturisasi kepada kreditur dengan total kewajiban senilai USD5,86 milyar yang terdiri atas USD5,8 milyar kewajiban kepada 17
negara donor anggota PC dan sebesar USD425 juta adalah kewajiban kepada 5
negara bukan anggota dan pinjaman komersiil diluar pinjaman sindikasi.
Sampai dengan posisi tanggal 10 Oktober 2000, Pemerintah baru
menandatangani perjanjian restrukturisasi dengan Saudi Arabia senilai USD19,8 juta. Pemerintah telah menerima dan mengevaluai draft perjanjian yang diajukan
oleh 15 negara anggota PC dengan total nilai USD2, 84 milyar. Perlu kami kemukakan bahwa ke-15 negara yang telah menyampaikan draft perjanjian
restrukturisasi tersebut belum termasuk Jepang. Kewajiban kepada Jepang yang akan direstrukturisasi merujuk pada PC II adalah USD3 milyar. Pembahasan
dengan Jepang masih intensif dilakukan baik melalui korespondensi maupun langsung dalam kerangka kunjungan Delegasi JBIC (institusi sebagai hasil merger
antara JEXIM dan OECF) ke Indonesia.
3. London Club I: Sebagai implementasi kesepakatan comparable treatment yang tertuang dalam MOU Paris Club; Bank Indonesia sebagai debitur atas nama
Pemerintah RI mengupayakan restrukturisasi kewajiban pinjaman sindikasi yang jatuh tempo selama periode 06/08/98 sampai dengan 31/03/00 senilai USD210
juta. Negosiasi dilakukan dengan Steering Committee yang terdiri atas Bank of
Tokyo Mitsubishi selaku syndicate agent bank dan 5 bank sebagai perwakilan kreditur. Negosiasi mulai intensif dilakukan pada bulan Januari/Februari 1999. Bank
Indonesia mengajukan proposal restrukturisasi dengan merujuk pada persyaratan restrukturisasi sebagaimana tertuang dalam MOU PC tanggal 23 September 1998.
Kesepakatan restrukturisasi kewajiban pinjaman senilai USD210 juta yang jatuh tempo dalam periode 06/08/98 s.d 31/03/00 menjadi kewajiban berjangka waktu
10,5 tahun, dituangkan dalam Term-sheet MOU London Club, Februari 1999.
Penandatanganan perjanjian restrukturisasi kewajiban tersebut dilaksanakan pada
tanggal 28 Maret 1999.
4. London Club II: Sebagai pelaksanaan atas kesepakatan comparable treatment yang dituntut kreditur untuk pelaksanaan program restrukturisasi PC II; Bank Indonesia
mengupayakan restrukturisasi atas kewajiban 2 pinjaman sindikasi senilai USD340
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
16 Bank Indonesia
juta yang jatuh tempo antara 01/04/00 s.d 31/03/02. Proposal restrukturisasi
merujuk pada MOU Paris Club II untuk pinjaman Non-ODA. Pembahasan
intensif dengan Steering Committee mulai dilaksanakan pada bulan Mei 2000 yang menghasilkan kesepakatan restrukturisasi untuk jangka waktu 12,5 tahun
termasuk masa tenggang 3 tahun
Penandatanganan perjanjian restrukturisasi pinjaman sindikasi ini dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari seluruh kreditur. Penandatanganan naskah
dilaksanakan pada tanggal 28 September 2000 lalu. Dengan keberhasilan ini,
Standard & Poors –salah satu lembaga rating internasional berkedudukan di
London, telah menaikkan peringkat sovereign rating Indonesia dari SD/Selective Default menjadi B- pada tanggal 2 Oktober 2000 lalu.
Disamping Paris Club sebagai upaya restrukturisasi hutang Pemerintah; dalam
kerangka mengurangi tekanan atas neraca pembayaran nasional, Pemerintah mendukung upaya restrukturisasi hutang swasta. Upaya ini dituangkan dalam bentuk
siaran pers/release bersama kesepakatan Frankfurt pada tanggal 4 Juni 1998 oleh Indonesia dengan perwakilan kreditur. Kesepakatan tersebut mencakup dua hal
yakni Exchange Offer untuk restrukturisasi hutang sektor perbankan nasional dan INDRA untuk restrukturisasi hutang sektor korporasi Indonesia. Adapun
implementasi masing-masing program dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Restrukturisasi hutang sektor perbankan:
Dilakukan melalui pelaksanaan Program Exchange Offer. Program diselenggarakan disamping dalam kerangka mengurangi tekanan atas neraca
pembayaran, juga memperhatikan kesulitan likuiditas valas yang dialami perbankan nasional. Program dilakukan dalam dua tahap sebagai berikut:
a. Exchange Offer I: Program ditandai dengan penandatanganan Master Loan Agreement oleh Bank Indonesia atas nama perbankan nasional sebagai debitur
dengan kreditur bank pada tanggal 18 Agustus 1998. Pokok-pokok kesepakatan adalah:
(pertama) merestrukturisasi kewajiban angsuran pokok pinjaman perbankan
nasional kepada perbankan asing yang jatuh tempo sampai dengan 31 maret 1999.
(kedua) Kewajiban direstrukturisasi untuk jangka waktu 4 tahun dengan
pembayaran angsuran pokok dilakukan secara tahunan terhitung sejak 25 Agustus 1999.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
17 Bank Indonesia
Sebagai implementasi program, senilai USD3 milyar kewajiban perbankan
nasional kepada perbankan asing telah direstrukturisasi. Adapun posisi
outstanding pinjaman yang direstrukturisasi per 10 Oktober 2000 adalah USD1,45 milyar. Senilai USD1,56 milyar telah diselesaikan sebagai kewajiban
angsuran pokok yang jatuh pada tanggal 25 Agustus 1999 dan 25 Agustus 2000 lalu serta prepayment yang dilakukan 4 bank yakni BCA, Danamon, Lippo
Bank dan BPD Jateng.
b. Exchange Offer II: Program diajukan dengan memperhatikan kesulitan likuiditas
yang masih dihadapi oleh perbankan nasional dan upaya terus menekan
kesulitan dalam neraca pembayaran yang diperlukan untuk menunjang program pemulihan ekonomi. Negosiasi mulai intensif dilakukan pada bulan
Februari/Maret 2000 dengan Steering Committee. Pokok-pokok kesepakatan tersebut adalah:
(pertama) merestrukturisasi kewajiban angsuran pokok pinjaman perbankan
nasional kepada perbankan asing yang jatuh tempo antara 01/04/99 sampai dengan 31/03/02.
(kedua) Kewajiban direstrukturisasi untuk jangka waktu 4 tahun dengan
pembayaran angsuran pokok pertama jatuh pada bulan Juni 2002.
Kesepakatan kemudian dituangkan dalam bentuk penandatanganan Master Loan Agreement pada tanggal 25 Mei 1999 oleh Bank Indonesia sebagai
debitur atas nama perbankan nasional dengan kreditur bank yang berpartisipasi dalam program. Program berhasil merestrukturisasi kewajiban
senilai USD3,3 milyar menjadi kewajiban dengan jangka waktu 4 tahun.
2. Restrukturisasi hutang sektor swasta non-bank
Berbeda dengan program Exchange Offer yang berhasil; implementasi program
INDRA hanya dapat menarik kesepakatan restrukturisasi 1 debitur swasta yakni PT. Danareksa senilai USD96 juta. Pemerintah telah menutup masa pendaftaran
program INDRA ini terhitung sejak tanggal 1Juni lalu. Dengan demikian harapan dan upaya restrukturisasi hutang swasta sepenuhnya kini terletak pada
keberhasilan pelaksanaan program-program Prakarsa Jakarta.
Berdasarkan informasi dari Prakarsa Jakarta, sampai saat ini senilai USD5,3
milyar pinjaman sektor swasta telah direstrukturisasi melalui program JITF.
Menurut JITF, restrukturisasi tahun 2000 ditargetkan mencapai USD10 milyar.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
18 Bank Indonesia
Pertanyaan :
4. Berapa perkiraan cadangan devisa sampai akhir tahun 2000?
Jawaban :
Anggota Dewan yang terhormat,
Posisi cadangan devisa kotor (Gross Reserves) pada awal bulan Oktober adalah sebesar USD 28.094,20 juta. Selama triwulan mendatang yang dimulai bulan
Oktober, maka jumlah tersebut akan meningkat sebesar USD 1.363,80 juta sehingga
pada akhir triwulan ke empat tahun 2000, jumlah cadangan devisa kotor akan
menjadi sebesar USD 29.458,00 juta. Adapun pertambahan jumlah cadangan devisa tersebut disebabkan terutama adanya perkiraan penerimaan hasil ekspor minyak dan
gas, perkiraan penarikan pinjaman luar negeri. Sedangkan pertambahan jumlah cadangan devisa tersebut telah pula memperhitungkan pembayaran kewajiban luar
negeri pemerintah.
Perkiraan penerimaan hasil ekspor migas yang disebutkan diatas, dilakukan dengan menggunakan asumsi harga minyak di pasaran dunia yang masih membaik,
yaitu meningkat dari harga rata-rata per tahun selama tahun tahun 1999 sebesar USD17,40 per barrel menjadi rata-rata per tahun selama tahun 2000 sebesar
USD26,90 per barrel.
Sedangkan pemenuhan kewajiban luar negeri pemerintah dalam penyusunan perkiraan cadangan devisa tersebut diatas, telah memperhitungkan penjadwalan
hutang luar negeri dalam rangka Paris Club I dan II. Perkiraan pembayaran kewajiban luar negeri tersebut antara lain kepada lembaga-lembaga multilateral
seperti IBRD, ADB dan IDB; serta pembayaran kewajiban luar negeri Indonesia
secara bilateral. Sedangkan pembayaran kewajiban kepada IMF baru akan dilakukan mulai tahun 2001 mendatang, dan untuk pembayaran bunganya telah dimasukkan
dalam perkiraan perhitungan cadangan devisa diatas.
Sebagai informasi, penjadualan hutang pemerintah dalam rangka London Club II, tanggal 28 September 2000 telah berhasil menjadualkan kembali hutang
pemerintah sebesar USD 340 juta untuk jangka waktu 12,5 tahun termasuk grace period 3 tahun. Sehingga pembayaran hutang dalam ranka London Club ini baru
akan dilakukan mulai tahun 2003 mendatang.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
19 Bank Indonesia
Asumsi yang digunakan dalam perhitungan tersebut diatas sejalan dengan
perkiraan yang digunakan dalam menyusun APBN tahun 2001.Dengan perkiraan
cadangan devisa kotor (gross reserves) seperti diatas, dengan menggunakan nilai tukar tetap; maka cadangan devisa bersih atau Net International Reserve (NIR) Indonesia
pada akhir tahun 2000 diperkirakan akan menjadi sebesar USD 18,1 milyar. Apabila dibandingkan dengan performance criteria dari IMF dalam Letter of Intent
tanggal 31 Juli 2000, dimana performance criteria untuk NIR ditetapkan sebesar USD 15,7 milyar; maka angka ini masih memenuhi target minimum batas aman
cadangan devisa yang disepakati bersama IMF.
Pertanyaan :
5. Upaya apa yang dilakukan Bank Indonesia agar Pemerintah secepatnya terbebas dari Program Penjaminan.
(dalam juta USD)Posisi awal Oktober 2000 (aktual) 28,094.20
Proyeksi Inflow (Oktober s.d. Desember 2000)- Penarikan Pinjaman Luar Negeri 964.00 - Penerimaan Migas 1,500.80 - Inkaso WEB 483.00 - Penerimaan bunga/kupon 162.00
Total Inflows 3,109.80 Proyeksi Outflow (Oktober s.d. Desember 2000)- Pembayaran pokok dan bunga pinjaman luar negeri (1,431.00) - Penjualan USD dalam rangka ONH (249.00) - Pengeluaran Lainnya (66.00)
Total Outflows (1,746.00)
Mutasi 1,363.80
Perkiraan Posisi Cadangan Devisa 31 Desember 2000 29,458.00
Sumber: Data SDDS-IMF (diolah)
Perkiraan Cadangan Devisa Posisi 31 Desember 2000 (Current Rate)
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
20 Bank Indonesia
Jawaban:
Anggota Dewan yang terhormat,
Sesuai dengan SK Menteri Keuangan No. 179/KMK.017/2000 tanggal 26 Mei 2000 tentang Syarat, Tata cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah
terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, maka saat ini pelaksanaan Program Penjaminan terhadap bank umum sepenuhnya dilakukan oleh Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN). Dengan adanya Keputusan Menteri Keuangan tersebut, maka Bank Indonesia tidak lagi terlibat langsung dalam Program Penjaminan.
Mengingat besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan program
tersebut, yakni hingga bulan September 2000 telah mencapai Rp53,8 trilyun, maka perlu dipertimbangkan upaya-upaya untuk mengurangi beban potensial yang akan
ditanggung oleh Pemerintah.
Dari sisi Bank Indonesia, berbagai langkah telah dan akan dilakukan untuk mengurangi beban Pemerintah tersebut antara lain melalui :
a. Mengupayakan terciptanya perbankan nasional yang sehat, sebagai industri
maupun individual bank, sehingga dapat menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap bank yang pada gilirannya akan dapat mengurangi beban biaya
penjaminan;
b. Melakukan kajian atas skim-skim penjaminan sebagai upaya mengurangi beban yang harus ditanggung oleh Pemerintah. Hasil kajian akan disampaikan kepada
Pemerintah sebagai masukan untuk meninjau kembali cakupan program penjaminan yang saat ini tampak terlalu luas.
c. Sementara menunggu pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sesuai
Letter of Intent ditargetkan paling lambat tahun 2004, Bank Indonesia
mempertimbangkan untuk memberikan masukan-masukan kepada Pemerintah agar dapat melakukan upaya pengurangan secara bertahap cakupan penjaminan.
d. Kajian mengenai LPS yang menyangkut berbagai aspek yang meliputi
kelembagaan, pendanaan, hak dan kewenangan serta organisasi. Hasil kajian tersebut sebagai masukan kepada Pemerintah akan disampaikan melalui working
group pembentukan LPS yang diketuai oleh Menteri Keuangan.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
21 Bank Indonesia
Pertanyaan :
6. Berapa proyeksi inflasi akhir Tahun Anggaran 2000 dan upaya apa yang dilakukan Bank Indonesia untuk menekan inflasi tersebut?
Jawaban :
Anggota Dewan yang terhormat,
Sebagaimana diketahui, laju inflasi IHK kumulatif bulan Januari hingga
September 2000 telah mencapai 4,65%, atau semakin mendekati batas bawah dari
kisaran sasaran laju inflasi secara keseluruhan tahun sebesar 5%-7%. Kebijakan
Pemerintah di bidang harga dan pendapatan (administered price and income policy) seperti kenaikan harga BBM, tarif angkutan, tarif dasar listrik, cukai rokok, gaji PNS
dan UMR merupakan penyebab utama dari tingginya laju inflasi hingga September 2000. Dari keseluruhan laju inflasi IHK tersebut, sekitar 1,73% berasal dari dampak
kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan, baik dampak langsung maupun tidak langsung. Dengan perhitungan tersebut, laju inflasi IHK kumulatif 9
bulan pertama tahun 2000 di luar dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan telah mencapai 2,85%, atau telah mendekati batas bawah dari kisaran
inflasi 3%-5% yang menjadi sasaran Bank Indonesia.
Tekanan inflasi ini diperkirakan masih akan berlangsung pada triwulan keempat tahun 2000. Kebijakan pemerintah di bidang tarif angkutan dan kenaikan
harga BBM diperkirakan akan menimbulkan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap inflasi bulan Oktober dan November mendatang. Selain itu
adanya faktor musiman yaitu hari raya keagamaan yang akan terjadi bersamaan (Lebaran, Natal dan Tahun Baru) di akhir tahun 2000 diperkirakan akan
meningkatkan harga-harga pada bulan Desember mendatang. Tekanan-tekanan
harga tersebut diperkirakan akan mendorong laju inflasi IHK pada triwulan IV sekitar 3%-4% (q-t-q). Melihat perkembangan tersebut di atas, maka laju inflasi
selama tahun 2000 diperkirakan akan berada sekitar 1% di atas sasaran. Dalam perkiraan IHK tersebut telah pula memperhitungkan dampak kebijakan pemerintah
di bidang harga dan pendapatan terhadap IHK yang diperkirakan di atas proyeksi semula sebesar 2%.
Meningkatnya tekanan terhadap inflasi dan kurs rupiah mengharuskan Bank
Indonesia untuk menempuh kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight-bias) dengan mengupayakan sasaran uang primer yang ditetapkan. Beberapa faktor
dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan moneter yang cenderung ketat
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
22 Bank Indonesia
tersebut. Pertama, perlu disadari bahwa melemahnya kurs rupiah (dan dampaknya
secara langsung terhadap inflasi) lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor non-
ekonomi. Ini terutama tercermin dari meningkatnya premi resiko, diukur dengan premi swap atau yield spread antara Yankee Bond Indonesia dengan T-bills, yang
cenderung meningkat untuk semua tenor sejak April 2000. Kedua, meningkatnya tekanan terhadap inflasi banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan (tarfi listrik, harga premix, tarif angkutan, gaji PNS dan UMR). Ketiga, ekses likuiditas pada perbankan selama ini didorong oleh belum pulihnya
sektor riil khususnya karena proses restrukturisasi utang dan perusahaan yang masih berlangsung. Dalam kondisi demikian, portofolio aset perbankan lebih banyak pada
SBI dan obligasi pemerintah. Keempat, pertumbuhan uang primer yang cukup tinggi lebih banyak didorong oleh peningkatan permintaan uang kartal oleh masyarakat baik
untuk kebutuhan transaksi maupun untuk berjaga-jaga. Kegiatan ekonomi yang lebih cepat dari asumsi-asumsi semula menyebabkan sasaran uang primer yang ditetapkan
akhir tahun 1999 menjadi terlalu ketat. Pada waktu itu pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kurs rupiah untuk tahun 2000 diasumsikan masing-masing sebesar 2,50 persen, 5
persen, dan Rp7000 per US dollar.
Dengan kondisi seperti di atas, tidaklah rasional apabila upaya stabilisasi makro melalui kebijakan moneter dilakukan secara berlebihan. Stabilisasi kurs rupiah dan
pengendalian inflasi dengan pengetatan kebijakan moneter secara drastis akan menyebabkan suku bunga melambung tinggi dan mengancam proses pemulihan
ekonomi. Dalam hubungan ini, pengetatan moneter tetap perlu dilakukan dengan kerangka pencapaian sasaran uang primer, dengan mempertimbangkan lebih
tingginya pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan asumsi semula, sebagai
patokan kerja. Strategi ini dibarengi dengan langkah-langkah yang secara langsung meminimalkan volatilitas kurs rupiah, khususnya yang berasal dari spekulasi, dengan
penegakan ketentuan yang lebih tegas atas aturan-aturan prudensial di bidang devisa (antara lain posisi devisa neto dan pembatasan transaksi forward jual kepada non-
residen). Dengan kata lain, kebijakan moneter yang cenderung ketat tersebut perlu dipandang sebagai upaya temporer untuk meningkatkan kepercayaan pasar. Setelah
kepercayaan kembali normal dan premi resiko mulai menurun, ruang gerak untuk
penurunan suku bunga diharapkan dapat lebih longgar untuk mendorong pemulihan
ekonomi.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
23 Bank Indonesia
Pertanyaan :
7. Dalam rangka meningkatkan kegiatan sektor riil, perlu pengucuran kredit perbankan baik untuk restrukturisasi usaha maupuan untuk modal investasi
usaha-usaha baru. Permasalahannya apakah bank-bank mempunyai dana untuk keperluan itu? Harap diberikan gambaran dana masyarakat yang ada di
perbankan dan penyalurannya dalam penggunaan dana tersebut.
Pertanyaan :
9. Mengapa terjadi peningkatan yang masih besar atas Penyimpanan Dana Ketiga (PDK) pada bank-bank BUMN? Apakah bank swasta sangat likuid karena telah
berani mengucurkan kredit? Berapa proyeksi bunga SBI pada akhir Tahun Anggaran 2000?
Jawaban :
Anggota Dewan yang terhormat,
Mengingat pertanyaan nomor 7 dan 9 saling berkaitan, perkenankanlah kami
menjawabnya sekaligus,
Sejalan dengan semakin membaiknya kepercayaan masyarakat kepada perbankan dana pihak ketiga yang dihimpun bank umum terus menunjukkan
peningkatan. Sampai dengan akhir Agustus 2000, dana pihak ketiga rupiah yang berhasil dihimpun bank umum dari masyarakat telah mencapai Rp 525,40 triliun,
atau meningkat sebesar Rp 32,53 triliun bila dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun 1999. Peningkatan DPK rupiah tersebut bersumber dari peningkatan giro Rp
22,36 triliun dan tabungan Rp 25,09 triliun. Sementara itu, deposito yang berhasil
dikumpulkan bank umum mengalami penurunan sebesar Rp 14,92 triliun. Dilihat dari kelompok bank, peningkatan DPK rupiah perbankan terjadi pada semua
kelompok kecuali bank asing. Peningkatan DPK rupiah terbesar dialami oleh kelompok bank persero yang naik sebesar Rp 22,72 triliun. Peningkatan yang tinggi
dari DPK bank persero kemungkinan disebabkan masih tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kelompok bank persero.
Pesatnya penghimpunan dana tidak diikuti oleh penyaluran dalam bentuk
kredit oleh perbankan. Total kredit yang telah disalurkan bank umum sampai dengan Agustus 2000 baru mencapai Rp 267,61 triliun. Jumlah tersebut masihlah sangat
rendah jika dibandingkan dengan penghimpunan dana yang dilakukan. Kondisi ini
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
24 Bank Indonesia
menunjukkan penyaluran dana yang dihimpun perbankan belum dilakukan secara
optimal yang juga tercermin dari sangat rendahnya rasio loan to deposit (LDR). Nilai
LDR perbankan menurun dari 78,31% pada Desember 1996 menjadi 32,24 pada Agustus 2000. Dilihat dari jenis bank, peningkatan penyaluran kredit tertinggi dimiliki
oleh kelompok bank swasta yang mencapai Rp11,50 triliun. Di sisi lain, peningkatan penyaluran kredit oleh bank persero mengalami penurunan terbesar yaitu sebesar Rp
10,59 triliun.
Lebih tingginya kredit yang disalurkan oleh bank swasta dibanding bank
persero antara lain berkaitan dengan proses rekapitalisasi terhadap bank swasta yang
dilakukan lebih dulu dibandingkan terhadap bank persero. Hal ini terlihat dari CAR bank swasta yang lebih tinggi dibanding bank persero. Pada Agustus 2000, CAR dari
kelompok bank swasta sebesar 8,25% sementara CAR bank persero sebesar 4,25%.
Dapat kami kemukakan bahwa masih rendahnya penyaluran kredit perbankan disebabkan baik oleh sisi eksternal maupun internal perbankan. Di sisi eksternal,
khususnya sektor riil, krisis yang terjadi menyebabkan kualitas finansial dunia usaha menjadi sangat rendah. Hal ini membuat perbankan enggan untuk menyalurkan
danany dalam bentuk kredit, meskipun disinyalir terdapat permintaan kredit oleh sektor riil. Di sisi internal, keengganan perbankan utuk menyalurkan kredit
dipengaruhi oleh proses penyesuaian terhadap pemenuhan modal minimum (CAR). Perkembangan tersebut dapat dikatakan memberi indikasi terjadinya credit crunch.
Kecenderungan terjadinya credit crunch diperkuat dengan nilai LDR yang semakin menurun dan adanya penyesuaian portofolio yang dilakukan oleh perbankan ke
dalam penanaman lain seperti surat berharga, pasar uang antar bank, dan SBI.
Guna mendorong penyaluran kredit, pemerintah dan Bank Indonesia telah
melakukan upaya untuk memulihkan kondisi perbankan dari krisis melalui rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan yang menurut rencana akan selesai pada
bulan Oktober 2000. Selain itu, Bank Indonesia juga telah melakukan penyempurnaan ketentuan dan peningkatan pemantapan pengawasan bank, antara
lain melalui pengaturan kembali ketentuan (relaksasi) masing-masing tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), penilaian Aktiva Produktif dalam
penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR), dan kriteria penyertaan
modal yang harus ditarik kembali.
Perkembangan penyaluran kredit bank umum yang lebih kecil dari
penghimpunan dananya menyebabkan terjadinya kelebihan likuiditas di sisi perbankan.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
25 Bank Indonesia
Dalam rangka mengendalikan kelebihan likuiditas perbankan tersebut agar
kestabilan nilai tukar rupiah dan perekonomian makro tetap dapat terkendali, Bank
Indonesia melakukan sterilisasi melalui penjualan instrumen SBI. Kondisi dimana perbankan masih mengalami kelebihan likuiditas, sementara risiko usaha di sektor riil
masih tinggi menyebabkan portofolio SBI dalam aset bank umum mengalami peningkatan. Sampai dengan akhir Agustus 2000, penanaman dana bank umum di
dalam SBI telah mencapai Rp 79,52 triliun atau meningkat sebesar Rp 7,28 triliun dibanding akhir tahun 1999. Dilihat per kelompok bank, selain bank asing
penanaman dalam SBI seluruh kelompok bank mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar dimiliki oleh kelompok bank persero yang meningkat sebesar Rp 5,91 triliun,
sementara bank asing menurun sebesar Rp 5,53 triliun.
Berkaitan dengan perkembangan suku bunga SBI dapat dikemukakan bahwa penentuannya dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mempertimbangkan target
uang primer (base money). Dengan memperhatikan kondisi ekonomi makro khususnya perkembangan harga yang diperkirakan masih akan cenderung mningkat
menjelang akhir tahun, bank Indonesia berpandangan bahwa suku bunga SBI yang
saat ini berkisar antara 13% – 14% masih perlu dipertahankan.
Pertanyaan :
8. Berapa perkiraan posisi kas Bank Indonesia pada akhir Tahun Anggaran 2000?
Harap diberikan penjelasan asumsi-asumsinya.
Jawaban :
Anggota Dewan yang terhormat,
Untuk melihat perkiraan Posisi Kas di Bank Indonesia pada akhir tahun 2000 dapat dilihat pada tabel berikut :
No. KETERANGAN Milyar Rp
1. Posisi Kas akhir Juli 2000 58.684
2. Penerimaan HCS Agustus - Desember 2000 15.267
3. Perkiraan Outflow Agustus - Desember 2000 61.789
4. Perkiraan Inflow Agustus - Desember 2000 52.210
5. Perkiraan PTTB Agustus - Desember 2000 19.379
6. Perkiraan Posisi Kas 31 Desember 2000 44.992
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
26 Bank Indonesia
Perkiraan tersebut dibuat dengan asumsi-asumsi sebagai berikut :
a. Terjadi net outflow sebesar Rp9,58 triliun sehubungan dengan :
a.i. Pertumbuhan uang kartal 2,75%, GDP sebesar 3,95% dan tingkat inflasi sebesar 7,67% perkiraan Uang Yang Diedarkan (UYD) akhir Desember 2000 adalah sebesar Rp74,56 triliun.
a.ii. Peningkatan outflow karena penggantian terhadap Uang Kertas yang dicabut dari peredaran (pecahan Rp50.000 seri Soeharto, Rp20.000,- seri Cendrawasih dan Rp10.000,- seri Sri Sultan Hamengkubuwono)
a.iii. Peningkatan outflow karena Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru yang berdekatan.
b. Peningkatan PTTB yang disebabkan oleh adanya penarikan dan pencabutan dari peredaran Uang Kertas sebagaimana pada angka a.ii.
c. Rencana penerimaan Hasil Cetak Sempurna (HCS) sampai dengan akhir Desember sebesar Rp15,3 triliun.
Pertanyaan :
10. Berapa proyeksi peningkatan kredit perbankan sampai akhir tahun 2000 pada
a. Bank BUMN
b. Bank Rekap Swasta c. Bank Swasta
Harap dijelaskan faktor dominan yang mempengaruhi tingkat perkembangan tersebut.
Jawaban :
Anggota Dewan yang terhormat,
Atas dasar data sejak bulan Juli 1999 diperkirakan angka proyeksi kredit
perbankan sampai dengan bulan Desember 2000 adalah sebagai berikut:
- Bank BUMN Rp. 162.639 triliun
- Bank Peserta Program Rekapitalisasi Rp. 43.359 triliun
- Bank Swasta (tidak termasuk bank asing) Rp. 48.288 triliun
- Jumlah Rp. 254.286 triliun
Beberapa faktor dominan yang mempengaruhi tingkat perkembangan kredit
yang diberikan oleh bank kepada nasabah akan tergantung beberapa faktor, yakni :
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
27 Bank Indonesia
(1) Permintaan Kredit
Apabila dilihat data dalam tabel pada pertanyaan nomor 7, jumlah kredit pada bulan Desember 1998 sebesar Rp. 545 triliun turun menjadi Rp. 277 triliun pada
bulan Desember 1999. Penurunan ini sebagai akibat pengalihan kredit kategori macet ke BPPN sebagai salah satu syarat bagi bank untuk ikut program
rekapitalisasi. Permintaan kredit di masa yang akan datang diperkirakan akan berasal dari alternatif sebagai berikut:
- Pemberian kredit kepada nasabah baru,
- Pemberian tambahan kredit untuk debitur lama dalam rangka expansi usaha,
- Pemberian kredit tambahan kepada nasabah yang sudah direstrukturisasi oleh
BPPN.
Kredit untuk nasabah baru sudah dilakukan oleh bank-bank, namun sebagian besar adalah kredit konsumsi dan kredit usaha kecil serta menengah dimana
pengaruhnya terhadap portfolio kredit secara keseluruhan masih relatif kecil. Permintaan tambahan kredit dari debitur yang sudah menjadi nasabah bank juga
belum begitu meningkat karena daya serap pasar masih relatif rendah.
Permintaan tambahan kredit untuk nasabah yang sudah direstrukturisasi masih
relatif kecil mengingat proses restrukturisasi bank belum seluruhnya selesai dan adanya kendala intern di bank karena kredit yang direstruktur tidak dapat
langsung dikategorikan menjadi Lancar (maksimum Kurang Lancar) sehingga bank perlu membentuk Cadangan Penghapusan Piutang yang dapat membebani
CAR bank.
(2) Risiko Tidak Terbayarnya Kredit (default risk)
Sebagian besar bank beranggapan bahwa risiko tidak terbayarnya kredit masih
relatif tinggi mengingat kondisi ekonomi belum pulih karena berbagai faktor (politik dan keamanan). Hal ini terutama untuk nasabah-nasabah korporasi yang
belum dikenal baik oleh bank. Meskipun kredit dapat diberikan namun bank mengenakan risk premium yang lebih tinggi yang akan memberatkan debitur.
(3) Alternatif Penanaman Dana
Masih terdapat alternatif penanaman dana bank dalam bentuk SBI dimana default
risk tidak ada dan tidak diharuskan untuk membentuk cadangan serta tidak masuk
dalam perhitungan risiko dalam CAR. Dalam kondisi default risk relatif tinggi
maka SBI merupakan alternatif penanaman sementara yang paling aman meskipun bank tidak memperoleh margin yang cukup besar.
Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 11 Oktober 2000
28 Bank Indonesia
(4) Kendala Intern (CAR, BMPK, dan tersedianya likuiditas yang memadai)
Masih terdapat beberapa bank yang mempunyai CAR terbatas untuk mencapai 8% tahun 2001 sehingga bank menghadapi kendala CAR dalam meningkatkan
portofolio kreditnya berkaitan dengan rencana pencapaian CAR 8% pada tahun 2001. Disamping itu masih terdapat beberapa bank yang siap mengucurkan kredit
kepada eks nasabah yang telah direstrukturisasi oleh BPPN namun menghadapi kendala yang berkaitan dengan pelanggaran BMPK. Juga terdapat beberapa
bank yang mengalami kesulitan likuiditas sehingga belum dapat meningkatkan
portofolio kreditnya.
Pertanyaan :
11. Berapa persen non performing loan (NPL) yang ada di bank akhir bulan Agustus
2000.
Jawaban :
Anggota Dewan yang terhormat,
Sebagaimana diketahui secara umum kualitas kredit digolong dalam 5 golongan yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan
Macet. Sementara itu kredit bermasalah yang dikenal sebagai Non Performing Loans (NPLs) adalah kredit yang tergolong Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
Perkembangan NPLs bank terus membaik seiring dengan pelaksanaan program rekapitalisasi yang diikuti dengan pengalihan kredit bermasalah ke BPPN dan
pelaksanaan restrukturisasi kredit. Perkembangan NPLs bank secara nominal dan berdasarkan rasio (NPLs/Total Kredit) terlihat pada tabel berikut.
Des 98 Des 99 Ags 00
Rasio (%) 48.6 32.8 27.9
Nominal (Triliun Rp) 264.8 91.1 78.4
Jakarta, 11 Oktober 2000
BANK INDONESIA