Upload
hoangcong
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO
DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
(Analisis Yuridis Putusan Nomor: 085/Pdt.G/2010/
Pengadilan Agama Jakarta Barat)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUCHAMAD ARIFIN
Nim: 207044100271
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO
DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
(Analisis Yuridis Putusan Nomor: 085/Pdt.G/2010/
Pengadilan Agama Jakarta Barat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUCHAMAD ARIFIN
Nim: 207044100271
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing:
Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi
NIP: 194008051962021001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Skripsi berjudul PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODE DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA BARAT (Analisis Yuridis Putusan Nomor: 085/Pdt.G/2010/ Pengadilan Agama
Jakarta Barat) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Juni 2011. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi
Ahwal Syakhshiyah .
Jakarta, 20 Juni 2011
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syari`ah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP. 1955051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. Ahmad Yani, MA
NIP. 19640121994031004
2. Sekertaris : Moch. Syafii, S.EI
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi
NIP.194008051962021001
4. Penguji I : Drs. H. Ahmad Yani, MA
NIP. 19640121994031004
5. Penguji II : Drs. H. Zaenal Arifin, M.Pd.I
NIP. 195911101991031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu pernyataan memperoleh gelar starata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Juni 2011
Muchamad Arifin
i
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم
Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberi rahmat dan karuniaNya sehinga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam ditunjukan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah berhasil memerankan fugsi-fungsi kekhalifahan dengan baik
dipentas peradaban dunia sehingga beliau dipilih oleh Allah SWT sebagai uswatun
hasanah bagi seluruh manusia.
Penulisan skripsi ini ditunjukan untuk memenuhi persyaratan akademis dalam
menyelesaikan pendidikan Program Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan baik berupa moril, materil, pemikiran serta tenaga dari berbagai pihak.
Olehsebab itu penulis ingin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah
Jakarta.
ii
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, MA., Ketua Program Studi Ahwal
Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., Sekertaris Program Studi Ahwal
Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. H. A. Sutarmadi, dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu dan pikiran untuk menuntun penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
5. Pimpinan Perpustakaan Fakultas dan juga Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan dan mencari
bahan rujukan di perpustakaan.
6. Lembaga Pengadilan Agama Jakarta Barat tempat penulis mengadakan
penelitian dan memperoleh informasi, khususnya kepada bapak Drs. H.
Muhiddin, SH., M.H., Sebagai Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan
Bapak Adri Syafruddin Sulaiman, SH., Sebagai Panitera Muda Hukum di
Pengadilan Agama Jakarta Barat.
7. Ayahanda dan Ibunda tersayang Bapak Maskuri dan Ibu Mardiyatun doa yang
tak pernah henti dipanjatkan dan kasih sayang yang tak pernah lelah
diberikan, yang selalu memotivasi dan mendukung peneliti baik secara moril
maupun materil, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini.
iii
8. kepada seluruh sahabatku dirumah dan kawan-kawan seperjuanganku di kelas
Peradilan Agama Periode 2007, Muhidin, Haris, Deni H. Syarif dan semua
teman yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu, yang selalu menjadi
teman belajar, diskusi dan bertukar pikiran, baik di dalam maupun di luar
kelas hingga selesainya penelitian skripsi ini. Semoga tali silaturrahim kita
selalu terjalin.
9. Adik-adikku Inganatul Muslikha dan nurlatifah atas motivasi dan
dukungannya dalam penyusunan skripsi ini.
10. Seluruh rekan-rekan yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, yang
telah memberikan kontribusi yang cukup besar sehingga peneliti dapat
menjalani perkuliahan di UIN hingga akhir.
Akhir kata hanya kepada Allah jualah peneliti memanjatkan doa, semoga
Allah memberikan balasan berupa amal yang berlipat kepada mereka, atas dorongan,
dukungan dan kontribusi mereka, peneliti hanyalah hamba yang dhaif. Kiranya
skripsi ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran sangat diharapkan dan semoga
skripsi ini dapat bermanfaat serta memberikan kontribusi bagi orang banyak. Amin
Jakarta, 20 Juni 2011 M
Muchamad Arifin.
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah ......................................................................... 8
C. Perumusan Masalah .......................................................................... 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10
1. Tujuan Penelitian .......................................................................... 10
2. Manfaat Penelitian ........................................................................ 11
E. Tinjauan kajian terdahulu .................................................................. 11
F. Metode Penelitian .............................................................................. 12
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 17
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PRODEO
A. Pengertian dan Prosedur Perkara Prodeo Aspek Teoritis ................ 19
B. Prodeo Dalam Sejarah Singkat Peradilan Islam ................................ 22
C. Katagori Biaya Perkara di Pengadilan Agama .................................. 27
D. Masalah Yang Muncul Dalam Prodeo .............................................. 29
E. Prosedur Pengajuan Penyelesaian Perkara Prodeo ........................... 31
v
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN AGAMA
JAKARTA BARAT
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Barat ........................................... 39
B. Wewenang dan Susunan Peradilan Agama ....................................... 45
C. Pengertian dan Sejarah Singkat Hukum Acara di Peradilan Agama 56
D. Sumber-Sumber dan Asas Hukum Acara Perdata dan Hukum
Acara Peradilan Agama ..................................................................... 64
BAB IV PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
A. Faktor-Faktor Penyebab Dan Kendala-Kendala Berperkara
Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat ...................................... 72
B. Penyelesaian Pekara Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta
Barat .................................................................................................. 77
C. Tingkat Frekwensi Masyarakat Yang Berperkara Prodeo ............... 89
D. Analisis Penulis ................................................................................. 91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 94
B. Saran .................................................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 98
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan salah satu sarana dalam kehidupan bermasyarakat yang
bertujuan untuk mencptakan keadilan, ketertiban dan ketentraman dalam
masyarakat dimana hukum itu berada.1kebutuhan akan keadilan merupakan salah
satu kebutuhan pokok dalam dalam kehidupan masyarakat, disamping itu
keadilan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh Konstitusi
Negara Republik Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam Pancasila sila kelima
yaitu: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Dan Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 yang menyatakan "Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintah itu dengan ada kecualinya.2
Pasal diatas tidak membedakan antara warga negara yang satu dengan yang
lain, semua sama dihadapan hukum dan berhak memperoleh perlinungan hukum
termasuk fakir miskin.3 karena fakir miskin ini pun telah diatur dalam pasal 34
1 Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Cet. IV, (Bandung,
Penerbit alumni, 1997), h. 20.
2 Undang-undang Dasar 1945, Pembukaan dan Pasal 27 ayat 1
3 Binziad Kadafi, dkk., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi : Studi Tentang Tanggung
Jawab Profesi Hukum Indonesia, Cet. III (Jakarta, Pusat Studi Hukum dan kebijakan Indonesia, 2002),
h. 167
2
terlantar terpelihara oleh negara”.4 Tetapi negara tidak menjamin
keberlangsungan hidup mereka semua, realitanya masih banyak rakyat Indonesia
yang berada dibawah garis kemiskinan. Apalagi rakyat miskin hampir semuanya
buta hukum dan pada umumnya mereka tidak tahu hak-hak dan kewajiban serta
tidak tahu sebagaimana menghadapi dan menyelesaikan perkara sendiri. Peraturan
hukum tersebut bukan sekedar barang yang mati, akan tetapi peraturan hukum ini
hidup di ruang pengadilan dan diwujudkan dalam perbuatan. Pengadilan
merupakan salah satu simbol dari kekuasaan Islam.5
Hukum adalah keseluruhan peraturan sosial yang mewajibkan perbuatan
lahir yang mempunyai sifat keadilan serta dapat dibenarkan.6 Negara Hukum
Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
(UUD-NRI-1945) yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Sayangnya UUD-NRI-1945 ini tidak menjelaskan lebih lanjut perihal apa
dan bagaimana sosok negara hukum yang dikehendaki oleh negara hukum
Indonesia ini.7
Memperhatikan fungsi hukum dalam masyarakat yang memungkinkan
terjadinya komunikasi yang efektif diantara sesama anggota masyarakat, kiranya
4 Undang-undang 1945, Op.Cit., pasal 34 ayat 1
5 Daniel S. Tev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Cet. II (Jakarta: PT, Inter Masa, 1986),
h. 18
6 R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet VI (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.31
7 M. Amin Suma, Kedudukan dan Peran hukum Islam di Negara Hukum Indonesia, 2009, h.
10
3
sulit bagi kita untuk memikirkan suatu masyarakat yang dapat berjalan tanpa
menerima pelayanan hukum.8
Ketentuan tentang Peradilan Agama khususnya hukum acara dilingkungan
Peradilan Agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkan Undang-undang
No 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian pada tanggal 28 februari
2006 telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 3 Th. 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
mengemukakan bahwa, Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam Undang-undang ini.
Undang-undang No. 3 Th. 2006 tentang perubahan atas Undang-undang
No. 7. Th. 1989 tentang Peradilan Agama seperti diketahui bersama, tidaklah
dalam kerangka pemberian dasar-dasar dan aturan-aturan bagi sebuah instusi yang
belum eksis. Karena peradilan Agama telah berfungsi dan bangsa kitapun telah
menerima manfaat dari penyelenggaraan fungsinya itu dalam rentang waktu yang
sangat panjang. Problemnya, pada waktu itu peradilan agama belum dilengkapi
persyaratan fundamental, yaitu undang-undang, yang kemudian pada aspek
organisasi, kekuasaan, dan acara, mengakibatkannya menyandang sebagai
8 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cet. 10 (Bandung: Ankasa Ofset, 1980) , h.11
4
kekurangan. Sebagai contoh, hidupnya sebuah opini mengenai perbedaan status
hakim Peradilan Agama dengan hakim-hakim dari lingkungan peradilan lainnya.9
Kehadiran Undang-undang Peradilan Agama, dengan demikian tidak lain
adalah dalam kerangka pembaharuan Peradilan Agama sebagai pelaksanaan
Kekuasaan Kehakiman. Pembaharuan ini adalah bentuk peneguhan dan
penegasan eksistensi, penyempurnaan dan pemantapan organisasi, serta
penyempurnaan dan unifikasi kekuasaan dan acara dari Peradilan Agama.
Pembaruan ini membawa Peradilan Agama pada kedudukannya, sehingga ia
mampu menyelenggarakan tugas dengan baik dan mandiri yang memungkinkan
terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.10
Kesimpulan sementara, pihak yang menyatakan keahlian aparat Peradilan
Agama Pra Undang-undang ini dibawah standar. Tentulah tidak relevan, Mereka
telah berpengalaman menyelesaikan tugas sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku ketika itu. Karena Undang-undang membawa pembaruan,
mengharuskan aparat Peradilan Agama untuk baik secara mental maupun fisik,
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru itu.11
Dari penjelasan diatas, terlihat begitu peliknya peraturan-peraturan hukum
itu dibuat. Karena peraturan merupakan satu sarana dalam kehidupan
bermasyarakat. Tetapi ia bukanlah rumus yang harus dihafalkan luar kepala oleh
9 Muhammad Tolchah Hasan, “Beberapa Catatan Sekitar 10 Tahun Undang-Undang
Peradilan Agama” :Ditbinbapera Islam, Fakultas UI & Pusat Pengkajian Hukum Islam dan
Masyarakat. 2 Desember 1999, (Jakarta:Chasindo, 1999), h 16
10 Ibid., h. 16
11 Ibid., h. 16-17
5
masyarakat maupun ahli hukum untuk dipakai dalam acara di suatu pengadilan,
melainkan ia adalah peraturan-peraturan hidup yang oleh tiap-tiap orang-orang
diwujudkan dalam hidup sehari-hari. 12
Tugas bagi pemerintah adalah bersosialisasi Undang-undang ini secara
intensif, sehingga Undang-undang ini bukan saja secara formal merupakan hukum
yang berlaku (positive law) tetapi secara faktual juga merupakan hukum hidup (
living law). Dengan intensifnya upaya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah,
diharapkan kesadaran hukum masyarakat akan fungsi dan peranan Peradilan
Agama menjadi lebih meningkat.13
Kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap Peradilan Agama, juga
akan mendorong para hakim Peradilan Agama untuk lebih berhati-hati, obyektif
dan dinamis dalam menentukan putusannya.
Hal ini berarti bahwa negara berkewajiban melindungi fakir miskin sebagai
bagian dari warga negaranya. Akan tetapi negara belum menjamin
keberlangsungan hidup mereka semua. Realitanya masih banyak rakyat miskin
hampir semua buta hukum dan pada umumnya mereka tidak tahu bagaimana
menghadapi dan menyelesaikan perkara-perkara dalam kehidupan yang mereka
alami, terutama menyangkut masalah perdata mereka.14
12
Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, h. 5
13 Muhammad Tolchah Hasan, “Beberapa Catatan Sekitar 10 Tahun Undang-Undang
Peradilan Agama”, h. 17
14 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Bulletin Berkala Hukum &
Peradilan (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 2002), h. 42
6
Menghadapi situasi sosial seperti ini, maka perlu adanya perombakan
strategi pembangunan hukum. Karena hukum juga harus bersentuhan dengan
kebutuhan rakyat kurang mampu, dalam arti bukan membebaskan mereka dari
aturan hukum, tapi justru memperkuat rakyat yang menentukan masa depan
mereka. Perlu kembali diefektifkan agara masalah-masalah yang muncul
belakangan ini memndapat penyelesaian. Sebab bila semua itu tidak ditindak
lanjuti dalam bentuk nyata, maka konsep-konsep tersebut meminjam istilah
Soerjono Soekanto hanya akan menjadi huruf mati yang sama sekali tidak punya
efektifitas.15
Pada dasarnya hukum acara di Pengadilan dalam perkara perdata dikenakan
biaya. Artinya suatu perkara perdata baru dapat didaftar di kepanitraan setelah
pemohon atau penggugat membayar sejumlah biaya perkara yang lazimnya
disebut panjar atau vreschot. Namun biaya tersebut harus juga seringan mungkin
sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Khususnya masyarakat yang
berekonomi lemah. Karena hal merupakan salah satu asas hukum acara, yaitu asas
sederhana, cepat dan biaya ringan. 16
Namun demikian bagi anggota masyarakat yang tergolong tidak mampu
membayar biaya perkara, juga harus mendapatkan pelayanan hukum yang sama.
Sesuai dengan amanat pasal 28 D ayat 1 UUD 1945, golongan masyarakat yang
tidak mampu ini tetap berhak mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan
15
Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Hukum, Cet. 1, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h.
10
16 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Buletin Berkala Hukum & Peradilan, h. 39
7
kepastian hukum yang adil, serta perlakuan atau pelayanan hukum yang sama
dihadapan hukum dengan warga negara Indonesia yang lainnya, termasuk pula
dalam hal beracara didalam pengadilan. Bahkan golongan masyarakat seperti ini
sudah sepatutnya pula mendapat bantuan hukum untuk beracara, salah satu bentuk
bantuan hukum yang dapat diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu
dalam beracara perdata adalah : Diperbolehkannya untuk mengajukan perkara
perdata tanpa biaya perkara (Prodeo).17
Secara teoritis, melalui aturan yang telah ada, baik dalam Herzine Inland
Reglemen (HIR) / Reglemen Buiten Govesten (RBg), maupun dalam literatur
hukum acara, telah dibuktikan bahwa peradilan di Indonesia peduli terhadap
masyarakat berekonomi lemah yang juga ingin mendapatkan dan merasakan
perlidungan serta pengayoman, dalam memperoleh hak perdata mereka yaitu
dengan diberlakukannya Undang-undang pasal 237 sampai pasal 245 HIR\ pasal
273 sampai pasal 281 RBG yang bunyinya antara lain "Barang siapa hendak
berperkara, baik sebagai penggugat maupun tergugat, tetapi tidak mampu
membayar ongkos perkara, dapat mengajukan perkara dengan ijin tidak
membayar ongkos". Selain itu juga telah ditegaskan dalam petunjuk pelaksanaan
penyelenggaraan administrasi perkara dilingkungan peradilan umum, bagian
kesatu, pada butir 39 tentang perkara prodeo.
17
Sudikno Mertokusumo, "Hukum Acara Perdata Indonesia", Yogyakarta: LIBERTY, hal 16
8
Umumnya para praktisi hukum berpendapat bahwa seluruh biaya perkara
dibebaskan dari pemohon prodeo. Bahkan menurut Abdul Manan, pengadilan
tidak boleh memungut biaya dari bentuk apapun dari pemohon prodeo.18
Dengan berbagai latar belakang masalah tersebut, penulis ingin mengenal
lebih jauh tentang pelaksanaan dan penyelesaian suatu perkara prodeo
dlingkungan Peradilan Agama. Yaitu dimaksudkan sebagai eksplorasi mengenai
mekanisme dan sejumlah persyaratan praktis dan teknis yang ada dalam acara
pengadilan, namun absen dalam sejumlah literatur berkenaan dengan prodeo itu.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk dapat
mengadakan penelitian dengan judul:
“PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA BARAT.” (ANALISIS YURIDIS PUTUSAN NOMOR:
085/PDT.G/2010/ PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT)
B. Pembatasan Masalah
Dalam berperkara di Pengadilan banyak kendala-kendala yang ada seperti
membayar perkara di Pengadilan namun di negara Indonesia, belum banyak
rakyat miskin yang tidak mampu membayar perkara di Pengadilan dan
kebanyakan rakyat miskin hampir semuanya buta hukum dan pada umumnya
mereka tidak tahu hak-hak dan kewajiban serta tidak tahu bagaimana menghadapi
18
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Al-Hikmah, 2000), h. 40
9
dan menyelesaikan perkara sendiri, maka diperlukan bantuan kaitannya hukum
maupun pembiyayaan oleh karena adanya bantuan hukum secara prodeo (Cuma-
Cuma) akan memberikan dampak positif oleh orang yang berperkara di
Pengadilan Agama.
Penulis membatasi permasalahan dalam penyusunan skripsi agar data-data
yang diperoleh dan diperlukan lebih sistematis, sehingga sesuai dengan arah dan
tujuan penulisan.
Pembatasan masalah yang dikemukakan penulis adalah mengenai
pemeriksaan pemeriksaan “Penyelesaian perkara Secara Prodeo yang terjadi di
Pengadilan Agama Jakarta Barat”, dimana perkaranya mempunyai kekuatan
hukum tetap.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta pembatasan masalah yang telah
diuraikan diatas, maka berperkara dengan prodeo akan berimplikasi dan perlu
penyelesaian di Pengadilan Agama Jakarta Barat, permasalahan di Pengadilan
Agama Jakarta Barat yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
“Penyelesaian Perkara Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat”
dalam Proses Berperkara “Bila dibuat pertanyaan dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana proses melakukan prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
10
2. Faktor-faktor penyebab dan kendala-kendala berperkara prodeo di Pengadilan
Agama Jakarta Barat.
3. Berapa banyak kasus yang memakai jalur prodeo di Pengadilan Agama
Jakarta Barat.
4. Apakah ada perlakuan penyelesaian dari hakim Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan kasus antara prodeo dan tidak prodeo di Pengadilan Agama
Jakarta Barat.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Memberikan gambaran kongrit mengenai mekanisme berperkara prodeo di
Pengadilan Agama kepada masyarakat.
b. Mengetahui frekwensi masyarakat yang mengetahui dan tidaknya tentang
prodeo di lingkungan Pengadilan Agama. Sehingga dapat terlihat
perbandingan antara keduanya.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perkara prodeo di Pengadilan
Agama dan memberikan solusinya bagi pihak yang ingin berperkara.
d. Membandingkan antara teori dan praktek di pengadilan mengenai prodeo,
tentang penyimpangan-penyimpangan yang ada di pengadilan dengan
aturan-aturan yang Berlaku.
11
2. Manfaat Penelitian
Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi
pengetahuan kepada masyarakat umum, khususnya kepada masyarakat yang
berekonomi lemah dan tidak mampu membayar biaya dalam perkara di
pengadilan, bahwa hukum acara membuka kemungkinan utuk berperkara
secara Cuma-Cuma (prodeo). Sehingga dengan adanya penelitian ini, mereka
mendapat keadilan, merasakan perlindungan dengan pengayoman dalam
memperoleh hak perdata mereka.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu.
Pada dasarnya, terdapat sebuah skripsi yang ditulis oleh Sapenah
berkenaan dengan kasus prodeo, yaitu skripsi yang berjudul: Kontribusi advokat
dalam penyelesaian kasus prodeo. (Studi Kasus di Pengadilan Agama Bekasi),
sehingga secara spesifik, penulis tidak menemukan kajian ilmiah berkenaan
dengan prodeo yang serupa dengan tema penulis angkat ini.
Selain itu, penulis juga telah melakukan studi pendahuluan pada literatur-
literatur yang berkenaan dengan hukum prodeo secara khusus ataupun berkenaan
dengan hukum acara pada umumnya. Misalnya, M. Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata: Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, tak satupun
literatur itu mengkaji secara mendalam tentang Mekanisme serta sejumlah
persyaratan yang nyatanya ada dalam praktik penyelesaian kasus prodeo di
pengadilan. Sementara itu penulis menilai, bahwa kekosongan ini dapat
12
berdampak pada persepsi masyarakat, lebih-lebih kalangan ekonomi menengah
kebawah, dalam upaya penyelesaian kasus perdata mereka. Dalam skripsi
Sapenah yang berjudul Kontribusi advokat dalam penyelesaian kasus prodeo
Cuma mengkaji seputar bagaimana kinerja advokal dalam kontribusi kasus
prodeo sedangkan judul yang saya angkat Penyelesaian Perkara Secara Prodeo di
Pengadilan Agama Jakarta Barat meneliti tentang bagaimana mekanisme dan
frekewensi masyarakat dari tahun ke tahun serta kendala-kendala dalam prodeo.
Maka disinilah, penulis akan mengkaji tentang mekanisme prodeo, yang
bertujuan untuk menjawab atas celah kajian akademik dalam persoalan terkait,
yaitu dengan mengkomparasikan antara penyelesaian perkara secara prodeo di
pengadilan agama jakarta barat secara teoritis dengan aspek praktiknya dan
frekwensi masyarakat dalam menggunakan prodeo apakah tiap tahun meningkat
atau mengalami penurunan.
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian, membutuhkan data-data yang dapat
memberikan kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan. Dimana peneliti itu sendiri
mempunyai pengertian:” Suatu usaha untuk mengembangkan, menemukan dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan metode-
metode ilmiah.19
19
Sutrisno Hadi, Metodologi Resarch I, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), h. 4.
13
Metode-metode tersebut sangatlah penting untuk menunjang hasil yang
nantinya diperoleh dari penelitian yang dilakukan, sehingga mendapatkan data
dengan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang diteliti.
Pemilihan metode juga menjadi salah satu penentuan dari
kesempurnaan suatu penelitian ini, metode-metode yang digunakan oleh peneliti
adalah sebagai berikut:
1. Obyek Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil lokasi disesuaikan
dengan judul skripsi :“PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT.” (Analisis Yuridis Putusan
Nomor: 085/Pdt.G/2010/ Pengadilan Agama Jakarta Barat)
Sehingga berdasarkan skripsi ini, maka lokasi penelitian adalah Di
Pengadilan Agama Jakarta Barat
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari segi sifatnya, penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
merupakan penelitian yang bersifat Deskriptif.
Penelitian Deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia atau gejala-gejala
lainnya.20
Penelitian ini menuturkan dan menafsirkan data yang ada, yaitu
mengenai proses “Penyelesaian Perkara Secara Prodeo Di Pengadilan Agama
20
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI, 1986), h. 10
14
Jakarta Barat”, hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaannya beserta
jalan keluar untuk mengatasinya. Dalam menutur dan menafsir data-data
tersebut, di dasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
3. Tempat Penelitian
Adapun tempat penelitiannya adalah di Pengadilan Agama Jakarta
Barat yang berlokasi di Jln. Flamboyan II No.2 Kelurahan Cengkareng Barat,
Kecamatan Cengkareng Kota Jakarta Barat, No. Telp: 021-55951554, No. Fax:
021-55963233, Emal Kantor : [email protected], Email Pengaduan :
[email protected], Email Admin Website:[email protected]
4. Metode Pendekatan
Penelitian ini dilakukan dan ditunjukan pada praktek pelaksanaan
hukum (law in action) terhadap peraturan perundang-undangan tertulis serta
prakteknya dan dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia (law in
books), maka metode pendekatannya adalah bersifat surving.
5. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan 2 sumber data, yaitu:
a. Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara
langsung dari keterangan dan penjelasan dari pihak yang berwenang di
obyek penelitian.
Yaitu: Hakim ketua Majlis dan Hakim anggota yang menangani
proses pemeriksaan perkara Prodeo Di Pengadilan Agama Jakarta Barat
15
selain itu juga bagian administrasi dari Pengadilan Agama Jakarta Barat
yang menjadi lokasi penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang tidak secara langsung
diperoleh dari lokasi penelitian, melainkan diperoleh dari suatu
kepustakaan, buku dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini. Sehingga sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah
merupakan sumber data yang secara tidak langsung memberikan
keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Sumber data
sekunder dalam penelitian ini adalah berkas-berkas perkara, buku-buku,
Dokumen-dokumen, HIR\ RBg, KUH perdata dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dalam
penelitian ini.
6. Tehnik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data diatas, maka metode pengumpulan data yaitu:
a. Studi Lapangan
1) Observasi (pengamatan)
Adalah suatu penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap obyek
atau masalah yang akan diteliti.tehnik ini digunakan untuk
mendapatkan fakta-fakta empirik yang tampak oleh kasat mata.21
21
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian: Skripsi, Tesis, dan Desirtasi, Cet. II,
(Jakarta: Yayasan Klopak dan Makna Scrip, 2004), h. 50
16
2) Wawancara (Interviw)
Dengan tehnik ini peneliti menggunakan tanya jawab secara lisan dan
berpedoman pada daftar pertanyaan dengan Drs. H. Muhiddin,
S.H.,M.H. selaku Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat. Tehnik
wawancara yang digunakan adalah Wawancara bebas terpimpin yaitu
perpaduan antara wawancara terpimpin dengan wawancara tidak
terpimpin dimana wawancara tersebut dilakukan secara terarah dengan
pendekatan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman.
b. Studi Kepustakaan
Penelitian dilakukan dengan cara pengumpulan data melaui studi
kepustakaan. Dalam hal ini peneliti membaca, mengkaji, dengan
mempelajari literature dan Dokumen yang erat kaitannya dengan masalah-
masalah yang diteliti.
7. Tehnik Analisa Data
Menurut Bogdan menyatakan bahwa" Data analysis is the process of
systematically searching and arranging the interview transcripts, fildnotes,
and other materials that you accumulate to increase your own understanding
of them and of enable you to present what you have discovered to others.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis data
17
kualitatif yang bersifat induktif, yaitu suatu analisis data dimana penulis
menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.
G. Sistematika Penulisan.
Sistematika penulisan berisis tentang deskripsi daftar isi karya tulis bab
per bab. Uraian yang dibuat dalam bentuk esai yang menggambarkan alur logis
dan struktur dari bangun bahasan skripsi.22
Agar skripsi ini dapat dipahami dan dimengerti secara jelas maka disusun
secara sistematis. Berikut uraian yang dibagi dalam beberapa bab dan masing-
masing dibagi dalam beberapa sub sub:
BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II. Tinjauan Teoritis Tentang Prodeo, Tentang Prosedur Teoritis
Tentang Prodeo, katagori biaya prodeo di Pengadilan Agama, masalah yang
muncul dalam prodeo, dan prodeo dalam sejarah singkat peradilan Islam,
Prosedur Pengajuan dan Penyelesaian Perkara Prodeo.
BAB III. Tinjauan Umum Tentang Peradilan Agama, Tentang Profil
Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat, Daftar Wilayah Yuridiksi, wewenang
dan Susunan Peradilan Agama, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara
22
Djawahir Hejazziey, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum, Cet.
1, (Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah jakarta Fakultas Syariah Dan Hukum
2007), h.. 30
18
Peradilan Agama, serta Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara
Peradilan Agama, Kemudian Asas-Asas Hukum Acara Perdata
BAB IV Penyelesaian Perkara Secara Prodeo di Pengadilan Agama
Jakarta Barat, membahas tentang Faktor-Faktor Penyebab Dan Kendala-Kendala
Berperkara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat, Penyelesaian Perkara
Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat, Tingkat Frekwensi
Masyarakat Yang Berperkara Prodeo, analisis penulis.
BAB V Penutup yang berisi penyelesaian masalah, kesimpulan dan saran-
saran dari hasil penelitian.
19
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PRODEO
A. Pengertian dan Prosedur Perkara Prodeo Aspek Teoritis
Prodeo adalah karena Allah, Cuma-Cuma, Gratis.1 Salah satu asas hukum
acara perdata yaitu pengenaan biaya saat beracara. Biaya perkara ini meliputi
biaya kepanitraan dan biaya untuk panggilan pemberitahuan para pihak serta
biaya materai. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membyar biaya perkara,
dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (Prodeo) dengan mendapatkan izin
untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara.2 Hal ini dijelaskan dalam pasal
237 HIR dan 273 RBg yang berbunyi:” Penggugat atau tergugat yang tidak
mampu membayar biaya perkara dapat dizinkan untuk berperkara tanpa biaya”.
Tetapi ada diantara biaya yang tidak dibebaskan yaitu biaya administrasi
kepaniteraan dan pembayaran upah juru sita.3
Pada pasal 238 HIR /274 RBg ayat 1-3 dijelaskan bahwa, apabila
penggugat menghendaki izin prodeo, maka ia mengajukan permintaan untuk itu
pada waktu memasukan gugatan surat atau pada waktu ia mengajukan
gugatannya dengan lisan. Tetapi apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cet. I, (Jakarta:Balai Pustaka, 1988)
2Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. II, (Yogyakarta: Liberti
Yogyakarta, 1999), , h. 16
3 M. Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama “ UU No. 7
Tahun 1989”, Cet. III, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 81
20
itu diminta pada waktu ia memasukan jawabannya. Permintaan dalam kedua hal
itu harus disertai surat keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh kepala polisi
pada tempat diam peminta, yang berisi keteranagan bahwa ia benar-benar
dinyatakan tidak mampu. Kemudian pada ayat 4 pasal 274 RBg dijelaskan, jika
terbukti tertulis tidak dapat diajukan, maka pengadilan bebas untuk meyakinkan
diri tentang kemiskinan pemohon yang bersangkutan dengan jalan keterangan-
keterangan lisan atau dengan cara lain.4
Kemudian pada waktu menghadap ke muka penggadilan, pertama kali
diputuskan oleh pengadilan adalah putusan sela yang berisi tentang dikabulkan
atau tidak permohonan prodeonya. Hal ini dijelaskan dalam pasal 239 HIR/275
RBg.5
Pada pasal 240 HIR /276 RBg ayat 1 dan 2 dijelaskan mengenai, balai
harta peninggalan dan balai budel, tanpa mengajukan tanda surat keterangan tidak
mampu baik ia sebagai penggugat atau tergugat, dan ia diperbolehkan berberkara
tanpa biaya jikalau budel yang diurusnya atau kekayaan orang yang diwakilinya
pada waktu perkara dijalankan, diperkirakan tidak akan mencukupi untuk
membayar biaya perkara. Kemudian mereka pada waktu itu mengajukan
4 Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan
Peradilan Agama, h. 44.
5 Ibid., h 44
21
permohonan untuk berperkara tanpa biaya secara singkat memperlihatkan
keadaan kekayaan itu kepada hakim.6
Pasal 242 HIR/278 RBg ayat 1-4 menjelaskan permohonan untuk
berperkara dalam tingkat banding tanpa biaya harus disertai pernyataan tidak
mampu dalam pasal 274 RBg ayat 3, secara lisan atau tertulis disampaikan kepada
panitera pengadilan negeri yang memutus pada tingkat pertama, oleh pihak yang
naik banding dalam waktu empat belas hari setelah keputusan dijatuhkan atau
sesudah diberitahukan, oleh pihak lawan disampaikan adanya permohonan
banding atau sesudah diberitahukan menurut ayat terakhir pasal ini.7
Kemudian jika pemohon bertempat tinggal atau berdiam diluar wilayah,
jaksa ditempat kedudukan pengadilan negeri atau panitera pengadilan negeri tidak
ada ditempat itu, maka ia dapat minta agar permohonnannya dicatat oleh jaksa
ditempat tinggalnya atau tempat ia berdiam. Setelah permohonan itu dicatat, ketua
memerintahkan agar permohonan itu dalam waktu empat belas hari sesudah
catatan itu, diberitahukan kepada pihak lawan dan memerintahkan agar para pihak
dipanggil untuk menghadap di hadapannya.8
6 Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan
Peradilan Agama, h. 44.
7 Ibid., h 44.
8 Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan
Peradilan Agama, h. 45.
22
Pada pasal 243 HIR/ 279 RBg ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa, jika
pemohon tidak datang menghadap pada hari yang telah ditentukan, maka ketua
mendengar pemohon dan lawannya.9
Pada pasal 244 HIR/280 RBg menjelaskan, berita acara persidangan dan
surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut, satu turunan resmi surat
keputusan pengadilan dan ringkasan catatan yang ada di dalam daftar tentang
permohonan untuk berperkara tanpa biaya, dikirimkan oleh panitera pengadilan
negeri kepada raad van justitie yang akan memeriksa permohonan banding itu.
Akan tetapi, raad van justitie memutus tanpa memeriksa para pihak, hanya
berdasarkan surat-surat. Dengan suatu alasan seperti tersebut dalam pasal 275,
juga karena jabatannya raad justitie dapat menolak permohonan itu dan panitera
raad van justitie secepat mungkin mengirimkan turunan resmi putusan raaf van
justitie tersebut dengan disertai surat-surat seperti tersebut dalam pasal yang lalu
kepada ketua pengadilan negeri yang kemudian memberitahukannya kepada para
pihak. Hal ini dijelaskan pada ayat (1) dan (2) pasal 245 HIR/ 281 RBg.10
Secara teoritis telah dijelaskan mengenai prosedur dalam mengajukan
perkara secara prodeo dimuka pengadilan sampai ketingkat banding.
B. Prodeo Dalam Sejarah Singkat Peradilan Islam
Setelah tiga belas tahun Rasulullah Saw menegakan ajaran Allah di tengah
masyarakat Arab di negeri Mekah. Kemudian beliau berhijrah ke Madinah untuk
9 Ibid., h. 46
10 Ibid., h. 47.
23
meluruskan langkah tugasnya. Begitu pula beliau ditugaskan memutuskan hukum
dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi diantara masyarakat.
Di masa Rasul memegang tampuk pemerintahan, sedikit sekali perkara
yang diajukan kepadanya. Kebanyakan umat Islam dewasa itu, memintakan fatwa
saja. Setelah mereka memperoleh fatwa, lalu mereka selesaikan sendiri
perkaranya. Demikian pula perkara-perkara yang diputus Nabi dengan segera
mereka jalankan. Tak perlu lagi Nabi campur tangan dalam urusan mereka karena
mereka sangat patuh kepada segala putusan Rasul.
Dikala dunia Islam telah mulai berangsur luas dan telah banyak kota-kota
Islam yang membutuhkan majlis-majlis peradilan, barulah Rasul mengutus
beberapa wali negeri (Gubernur) ke daerah itu. Para wali negeri itu bertindak
sebagai pemangku urusan umum rakyat dan bertindak pula sebagai qadli (hakim)
dalam wilayahnya. Wali-wali tersebut mempunyai wewenang untuk memutus
segala macam perkara. Negeri Yaman.
Pada waktu itu Nabi mengangkat Mu`az bin jabal menjadi Gubernur di
Negeri Yaman dan Attab ibn Asied menjadi Gubernur di negeri Mekkah.
Demikian keadaan hakim di masa Nabi dan begitu pula keadaannya di
zaman Abu Bakar Ashiddiqy. Di Madinah Abu Bakar sendiri yang memimpin
pengadilan dan bertindak sebagai hakim. Sedangkan di kota-kota Islam yang jauh
dari madinah, pengadilan dikendalikan oleh wali-wali negeri (gubernur) yang
diangkat mewilayahi daerah itu.
24
Peradilan Islam mengalami perkembangan pasang surut sejalan dengan
perkembangan masyarakat Islam diberbagai kawasan dan negara. Dalam hal ini
masyarakat Islam menjadi basis utama dalam melakukan artikulasi dan perumusan
politik hukum di kawasan negara itu.
Peradilan Islam pada masa Rasul bersifat sederhana, baik dalam
pengorganisasiannya, maupun prosedurnya, sedangkan ketika masyarakat Islam
tersebut di berbagai kawasan, yakni pada masa khalifah Umar ibnu Khattab,
pengorganisasiannya dikembangkan. Peradilan sebagai wewenang yudikatif mulai
di pisahkan dari kekuasaan pemerintah atau eksekutif.
Para hakim (qadli) diberi pedoman tentang pelaksanaan tugas mereka,
yang tercermin dalam Risalat al-qadla. Umar ibnu Khattab telah membuat suatu
dustur yang harus dipegang dan dijadikan dasar oleh para hakim. Dustur umar ini
merupakan asasi bagi Peradilan Islam. Dustur itu oleh Umar dikirim kepada Abu
Musa Al-Asy`ari sebagai hakim di Kuffah dan hakim-hakim yang lain:
Dalam risalah tersebut Umar berkata:
1. Amma ba`du, sesungguhnya qadha adalah fardu yang dikukuhkan dan
sunnah yang harus diikuti.
2. Maka apabila diajukan kepadamu suatu perkara, dan putuslah apabila
telah jelas duduk permasalahannya, karena sebenarnya tidaklah ada
artinya bicara soal keadilan tanpa adanya pelaksanaannya.
3. Samakanlah manusia (pihak-pihak yang berperkara) dalam majlismu,
dalam pandanganmu, dan dalam keputusanmu, sehingga orang yang
berpangkat tidak akan mengharapkan penyelewenganmu dan orang
yang lemah tidak sampai putus asa mendambakan keadilanmu.
4. Bukti itu wajib atas penggugat (penuduh) sedang sumpah itu wajib atas
pihak yang menolak gugatan (tuduhan).
25
5. Dan boleh mengadakan perdamaian diantara kaum muslimin, kecuali
perdamaian yang menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang
halal.
6. Dan barang siapa mendakwakan suatu hak yang tidak ada di
tempatnya atau suatu bukti, maka berilah tempo kepadanya sampai ia
dapat membuktikan hak itu. Akan tetapi, jika ia tidak mampu
membuktikannya, maka ia tidak berhak dikalahkan karena yang
demikian lebih mantap lagi keuzurannya dan lebih menampakan
barang yang tersembunyi.
7. Dan janganlah sekali-kali suatu keputusan yang telah kamu jatuhkan
hari ini menghalangimu untuk melakuan peninjauan kembali, dimana
kamu memperoleh petunjuk untuk kembali kepada kebenaran. Karena
sesungguhnya kebenaran itu qadim (harus didahulukan) dan tidak
dapat dibatalkan oleh apapun. Maka, kembali kepada kebenaran itu
lebih baik dari pada terus bergelimang dalam kebatilan.
8. Orang-orang Islam itu ( dianggap) adil sebagian mereka terhadap
sebagian yang lain, kecuali orang telah memberikan kesaksian palsu,
atau orang yang pernah dijatuhi hukuman had, atau orang yang asal-
usulnya. Karena sesungguhnya Allah yang mengetahui rahasia-rahasia
manusia dan menghindarkan hukuman atas mereka, kecuali dengan
adanya bukti-bukti atau sumpah.
9. Kemudian pahamilah dengan sungguh-sungguh perkara yang diajukan
kepadamu, yang terdapat pula didalam sunnah nabi, kemudian
bandingkanlah perkara-perkara itu dan dan perhatikanlah perkara
yang serupa hukumnya dengan perkara-perkara itu, lalu pegangilah
hukum menurut pendapatmu lebih diridhoi Allah dan lebih mendekati
kebenaran, hindarkanlah dirimu dari marah, pikiran yang kacau
(goyah), rasa jemu, mengamati orang yang berperkara dan bersikap
keras pad waktu menghadapi mereka, karena memutus perkara yang di
tempat yang benar termasuk pekerjaan yang dipahalai oleh Allah dan
membawa nama baik. Maka barang siapa murnikan niatnya demi
mencari kebenaran walaupun merugikan diri sendirimaka Allah akan
memberinya kecukupan. Dan barang siapa berlagak memiliki keahlian
yang tidak ada pada dirinya, maka Allah akan membuka rahasia
kejelekannya itu, karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima
amal dari hamba Nya kecuali amal yang didasari dengan ikhlas, lalu
bagaimanakah persangkaanmu tentang pahala dari Allah, baik yang
akan segera diberikan maupun yang berada dalam pembendaharaan
rahmat Nya. Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarokatuh.11
11
Hasby Asyhiddieqy T.M, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h.28.
26
Dalam kedudukannya sebagai khalifah, Umar dikenal sangat adil dalam
menjalankan pemerintahannya. Ia tidak membedakan antara tuan dan budak, kaya
dan miskin, atau penguasa dan rakyat jelata. Semua mendapat perlakuan yang
sama, yang salah dihukum dan yang benar dibela.
Selain itu Umar membangun dewan pembendaharaan negara(Baitul Mal)
dan membentuk bermacam-macam dewan pemerintahan Islam, serta menentukan
gaji pegawai, diantaranya gaji qadli. Dan pada waktu itu pula bagi masyarakat
yang ingin menyelesaikan perkaranya di pengadilan, mereka tidak dikenakan
biaya atau dalam dalam istilah sekarang disebut prodeo.12
Begitu pula dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib, beliau memberikan gaji
kepada seorang qadhi dengan jumlah yang cukup besar, yaitu agar qadli tersebut
memperoleh kesejahteraan rumah tangga. Padahal Khalifah Ali hanya mengambil
untuk dirinya dari Baitul Mal hanya untuk sepiring nasi setiap harinya.
Namun dalam beberapa kitab diterangkan, bahwasannya para qadli di
Mesir pernah diminta membayar sejumlah uang yang ditentukan besarnya,
menurut kitab Muhadlaratul Awail, bahwa yang mula-mula memerintah qadli
membayar kepada pemerintah uang iltizam, ialah Mu`izzud Daulah ibn Buwaih
ketika dia mengangkat Abdullah ibnu Al Husain ibn Abi Syawarih menjadi qadli.
Para qadli diharuskan membayar kepadanya pada tiap tahun 20.000 dirham. Oleh
sebab itu, yang pada mulanya masyarakat berperkara secara gratis (prodeo), maka
12
Ibid., h. 25
27
saat itubanyaklah qadli pada masa itu yang memungut bayaran dari masyarakat
yang berperkara di pengadilan.13
Dalam risalat Al-Qadla, bila dicermati mengandung beberapa pokok
pikiran yang berkaitan dengan prinsip peradilan yang juga dianut untuk sistem
peradilan modern. Pokok-pokok pikiran yang termuat dalam surat itu antara lain
adalah keharusan adanya lembaga peradilan, tugas pokok peradilan, asas
persamaan di muka umum, pembebanan alat bukti, perdamaian antara pihak-pihak
yang bersengketa, hal peninjauan kembali dan sikap serta pribadi hakim. Asas-
asas hukum yang Risalat Al Qadla, ternyata relevan dengan asas hukum yang
terdalam dalam acara Peradilan Agama di Indonesia.
C. Kategori Biaya Perkara Di Pengadilan Agama
Pada dasarnya berperkara di Pengadilan dalam perdata, dikenakan biaya
sesuai ketentuan pasal 4 ayat (2), pasal 5 ayat (2) undang-undang No. 14 Tahun
1970 dan pasal 1082, pasal 121 ayat (4) HIR, kemudian dalam pasal 192-194
RBg. Artinya suatu perkara perdata di Pengadilan baru dapat didaftar di
kepaniteraan setelah pihak termohon atau penggugat membayar sejumlah biaya
perkara yang lazimnya disebut panjar atau verschot.14
Berdasarkan surat dari mahkamah agung RI Nomor: 43/ TUADA/AG/III-
UM/XI/1992 yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan ketua
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, menjelaskan bahwa yang dimaksud
13
Ibid., h. 74
14 Direktorat Pembinaan peradilan Agama, Buletin Berkala Hukum dan Peradilan, (Jakarta:
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 2002), h. 39.
28
dengan biaya perkara menurut pasal 121 ayat (4) HIR/ pasal 145 ayat (4) RBg
meliputi biaya kepaniteraan (yustisi costen) dan biaya proses (process costen).15
Kemudian dalam suratnya MA/KUMDIL/214/XII/K/1992, tanggal 21
desember 1992 perihal pola keuangan perkara dilingkungan Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI merinci biaya kepaniteraan yang kemudian dikenal dengan
istilah Hak-Hak Kepaniteraan (HHK) yang terdiri dari:16
1. Biaya pendaftaran perkara pertama
2. Biaya redaksi
3. Biaya pencatatan permohonan Banding
4. Biaya pencatatan permohonan Kasasi
5. Biaya pencatatan permohonan PK
6. Biaya pencatatan permohonan sita Konservation
7. Biaya permohonan sita Refindikatoir
8. Biaya pencatatan permohonan pencabutan sita
9. Biaya pencatatan pelaksanaan lelang.
Dengan kata lain, biaya kepaniteraan adalah pungutan-pungutan sebagai
pelayanan pengadilan. Biaya-biaya inilah yang harus disetorkan ke Kas Negara.
Sebagai biaya proses merupakan biaya-biaya pelaksanaan Peradilan dalam rangka
menyelesaikan suatu perkara. Dalam pasal 90 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989
15
Ibid., h. 40
16 Ibid., 41.
29
tentang Peradilan Agama secara tegas telah ditentukan bahwa biaya proses
tersebut meliputi:17
1. Biaya pemanggilan para pihak dan pemberitahuan
2. Biaya untuk saksi/ saksi ahli dan penerjemah
3. Biaya pengambilan sumpah
4. Biaya penyitaan
5. Biaya eksekusi
6. Biaya pemeriksaan setempat
7. Biaya-biaya lain atas perintah Ketua Pengadilan.
Dengan memperhatikan kedua surat Mahkamah Agung RI dan pasal 90
ayat (1) diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Biaya perkara
adalah biaya yang meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses yang merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Katagori biaya perkara sesuai tingkat
dan kepentingan pemeriksaan perkara inilah yang merupakan biaya yang harus
dibayar sebagai panjar.
D. Masalah Yang Muncul Dalam Prodeo
Mengenai penyelesaian perkara prodeo terdapat anggapan masyarakat
bahwa, dalam prakteknya pembebasan biaya perkara dari pemohon prodeo di
Pengadilan Agama hanya dibebaskan untuk biaya kepanitraan saja, sedangkan
biaya prooses masih tetap menjadi tanggungan pemohon prodeo. Namun ada juga
yang membebaskan keseluruhan biaya kecuali biaya materai. Tetapi umumnya
17
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan
Dalam Lingkungan Peradilan Agama, h. 280.
30
para praktisi hukum berpendapat bahwa keseluruhan biaya perkara dibebaskan
dari pemohon prodeo.18
Namun pada kenyataannya, masih ada lembaga Peradilan Agama yang
melakukan pemungutan biaya dari para pemohon prodeo. Alasanya adalah selain
belum ada petunjuk yang jelas mengenai sumber dana untuk penyelesaian perkara
prodeo, juga masalah pemanggilan pihak yang berperkara tempat tinggalnya
terlampau jauh sehingga sulit dujangkau, selain itu juga membutuhkan
transportasi yang besar. Sebelum tahun 2008, masalah-masalah diatas memang
yang menjadi kendala dalam proses penanganan perkara prodeo. Tetapi di tahun
2008 ini masalah tersebut sudah ada pemecahan masalahnya. Yaitu dengan
adanya Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang sudah disetujui oleh
pemerintah. Mengenai prosedur mendapatkan biaya dari DIPA yaitu, pengadilan
mengumpulkan perkara-perkara prodeo yang sudah diselesaikan terlebih dahulu,
dengan mencatat seluruh biaya yang dikeluarkan, kemudian dilaporkan ke
Bendahara DIPA. Berdasarkan laporan tersebut DIPA akan menggantikan
seluruh biaya yang telah dikeluarkan pengadilan dalam penyelesaian prodeo.19
18
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Buletin Berkala Hukum dan
Peradilan, h. 41
19 Wawancara Pribadi dengan. Muhiddin, Jakarta 7 Maret 2011
31
Setelah pemohon/ penggugat mengajukan syarat-syarat berupa surat
keterangan miskin dari lurah yang dilampirkan pada gugatan, maka pada saat
itulah peranan dari negara (DIPA) dalam membiayai perkara prodeo.20
Setelah dilaksanakan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), maka
tidak ada lagi biaya yang harus dibebankan kepada para pemohon prodeo kecuali
biaya materai. Seseorang yang melakukan prodeo dalam panjar biaya perkara di
tulis NIHIL yakni semua biaya perkara gratis kecuali biaya materai. Selain itu
masalah-masalah yang terjadi dalam penanganan prodeo di Pengadilan Agama
dapat terselesaikan dengan baik.21
E. Prosedur Pengajuan dan Penyelesaian Perkara Prodeo
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seseorang yang
kurang mampu untuk berperkara secara prodeo (Cuma-Cuma) sama saja dengan
yang membayar biaya perkara, hanya ada syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi baik ditingkat pertama atau banding bahkan kasasi, bagi pihak
penggugat/pemohon ataupun tergugat/ termohon, berikut proses dan prosedurnya:
1. Proses Perkara Prodeo Pada Tingkat Pertama
Pada pengadilan tingkat pertama, maka terdapat beberapa tahapan
acara persidangan yang harus dilaksanakan dalam perkara yang kaitannya
20
Taufik Hasan Ngadi, “Perbedaan Persepsi Terhadap prosedur Beracara Cuma-Cuma
Kaitanya dengan DIPA pada Peradilan Agama”, artikel diakses pada 30 Maret dari
www.badilag.net/data/artikel/tulisan %20taufik%20nadi pdf.
21 Wawancara pribadi dengan. Muhiddin, Jakarta, 7 Maret 2011
32
dengan para pihak, Majlis Hakim, Panitera/ Sekertaris dan Bendahara
Pengeluaran yaitu:
a. Mekanisme beracara bagi pihak penggugat/ pemohon yang
mengajukan perkara prodeo.
1) Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan Kepada Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syriah.22
2) Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama, dengan
ketentuan:
a) Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat,23
b) Bila peggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah
disepakati bersama tanpa ijin tergugat, maka gugatan diajukan
kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat.24
c) Bila penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negeri,
maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat diberlangsungkan perkawinannya atau
ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 25
22
Lihat HIR Pasal 118 dan R.Bg. Pasal 142 jo UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama Pasal 66.
23 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang 2006
Pengadilan Agama, Pasal 73 Ayat (1)
24 Ibid., Pasal 73 Ayat (2).
25 Ibid., Pasal 73 Ayat (3).
33
3) Gugatan tersebut memuat:
a) Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman penggugat
dan tergugat,
b) Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).
c) Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).26
4) Pihak penggugat/ pemohon yang hendak mengajukan perkara dengan
prodeo, maka harus mengajukan permohonan perkara prodeo kepada
Majelis Hakim dengan ketentuan: 27
a) Permohona perkara secara prodeo ditulis menjadi satu dalam surat
gugatan/ permohonan.
b) Dalam permohonan tersebut disebutkan alasan-alasan untuk
berperkara secara prodeo (dalam posita),
c) Memberi izin kepada Penggugat/ pemohon untuk berperkara
secara Cuma-Cuma (dalam petitum).
d) Membebaskan penggugat / pemohon dari segala biaya perkara.
5) Penggugat/ pemohon mengajukan gugatan/ permohonan ke Pengadilan
melalui meja 1, kemudian kasir Pengadilan Tingkat Pertama akan
mengeluarkan kwitansi SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar)
sebesar Rp. 0,00 (nol rupiah/ nihil).
26 Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, Prosedur dan Proses
Berperkara di Pengadilan Agama, Tahun 2007.
27 Ibid., 43.
34
b. Mekanisme bagi pihak tergugat yang mengajukan perkara prodeo
Bagi pihak tergugat yang hendak mengajukan perkara secara
prodeo, maka terdapat mekanisme beracara sebagai berikut:
1) Apabila pihak tergugat dalam persidangan, memohon beracara secara
prodeo, kesempatan hanya ada pada waktu menjawab gugatan
penggugat/ pemohon permohonannya disampaikan satu dengan
jawabannya.
2) Apabila permohonan beracara secara Cuma-Cuma oleh tergugat
dikabulkan dan dalam perkara tersebut tergugat dikalahkan, maka
tergugat dibebaskan dari membayar biaya perkara.
3) Biaya perkara dibebankan kepada negara dengan cara menyerahkan
salinan amar putusan oleh Majlis Hakim kepada Kuasa Pengguna
Anggaran dan diteruskan kepada kasir.
4) Kasir mengembalikan sejumlah uang yang disetor Penggugat/
Pemohon kepadanya dan menerimakan uang perkara yang disetor
Kuasa pengguna Anggaran sebagai gantinya. Semuanya dicatat di
dalam buku-buku keungan.
2. Proses Perkara Prodeo Pada Tingkat Banding
Dalam proses beracara perkara secara prodeo pada Pengadilan Tingkat
Banding, maka terdapat beberapa tahapan yang dapat dilakukan yang tahapan
35
tersebut tidak dipisahkan dengan Pengadilan Agama tingkat pertama yaitu
sebagai berikut:
a. Permohonan beracara secara Cuma-Cuma pada tingkat banding dapat
diajukan secara tertulis atau secara lisan melalui panitra Pengadilan Agama
tingkat pertama.28
b. Setelah permohona pembanding untuk beracara secara prodeo diterima,
Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majlis Hakim untuk bersidang
memeriksa permohonan tersebut.
c. Hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam berita Acara persidangan
yang ditanda tangani oleh ketua majlis dan panitra yang mengikuti
jalannya persidangan. 29
d. Panitera pengadilan Agama Mengirim Berita Acara Pemeriksaan
permohonan tersebut bersama bundel A dan salinan putusan Pengadilan
Agama yang bersangkutan ke Pengadilan Tinggi Agama.
e. Terhadap budel B dapat dikrim bundel A dan salina putusan atau dikirim
setelah diterimakan Penetapan Pengadilan Tinggi Agama tentang izin
beracara secara prodeo kepada pihak yang memohon izin tersebut.
f. Pengadilan Tinggi Agama mengeluarkan penetapan yang isinya menerima
atau menolak permohonan izin prodeo tersebut.
28
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), h. 120.
29 Abdul manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. III,
(Jakarta:Pranada Media, 2005), , h.64
36
g. Apabila permohona izin beracara secara Cuma-Cuma ditolak pengadilan
Tinggi Agama, pembanding diberi waktu 14 hari untuk membayar biaya
perkara penetapan Pengadilan Tinggi Agama tersebut diterima
Pembanding.
h. Apabila permohona dikabulkan, salinan amar putusan penetapan
Pengadilan Tinggi Agama tersebut diserahkan kepada Kuasa Pengguna
Anggaran (pansek) Pengadilan Tinggi Agama untuk seterusnya
memerintahkan Bendahara mengeluarkan sejumlah uang guna pembayaran
panjar perkara di Pengadilan Agama.
i. Setelah perkara dibayar, Pengadilan Agama dalam waktu segera mengirim
bundel B ke Pengadilan Tinggi Agama, bilamana belum dikirim
sebelumnya untuk selanjutnya diproses sebagaimana mestinya. 30
j. Kasir wajib mengembalikan kelebihan biaya perkara kepada kas negara
instrumen biaya prodeo
k. Apabila biaya perkara kurang, Majlis Hakim dapat memerintahkan kepada
Kuasa Pengguna Anggaran pada Pengadilan Tinggi Agama Untuk
mengeluarkan biaya perkara yang diperlukan dengan mengeluarkan
instrumen.
Dalam kasasipun perkara dengan Cuma-Cuma ada dan prosedurnya
sama dengan proses prodeo pada tingkat banding.
30
Ibid., h. 65.
37
Proses beracara dan mekanisme perkara prodeo pada tingkat pertama,
maka terdapat beberapa tahapan acara persidangan yang harus dilaksanakan
dalam perkara prodeo yang berkaitan dengan para pihak, majlis Hakim, Panitra
/ Sekertaris dan Bendahara.
Pihak Penggugat / Pemohon yang hendak mengajukan perkara dengan
prodeo, maka harus mengajukan permohonan perkara prodeo kepada Majelis
Hakim dengan ketentuan :31
a. Permohonan perkara secara prodeo ditulis menjadi satu dalam surat
gugatan/permohonan;
b. Dalam permohonan tersebut disebutkan alasan-alasan untuk berperkara
secara prodeo;
c. Dalam petitum mencantumkan salah satunya dengan memberi izin kepada
penggugat/pemohon untuk berperkara secara cuma-cuma dan
membebaskan penggugat / pemohon dari segala biaya perkata.
d. Penggugat/Pemohon mengajukan gugatan/permohonan ke Pengadilan
melalui Meja I, kemudian Kasir Pengadilan Tingkat Pertama akan
mengeluarkan kwitansi SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) sebesar
Rp. 0,00 (nol rupiah)
31
PA Sukabumi,”Proses Beracara Secara Cuma-Cuma”, artikel diakses 30 Maret 2011dari
http:pasukabumi/pta-bandung.net/indexs2.phpoption=com_conten&-pdf.
38
e. Setelah berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Agama, maka
Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majlis Hakim untuk menangani
perkara tersebut (PMH).
f. Majelis Hakim enetapkan Hari sidang ( PHS) dan memerintahkan jurusita
untu memanggil Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon.
g. Majelis Hakim memerintahkan kepada Kuasa Pengguna Anggara ( Pansek)
agar mengeluarkan biaya panggilan masing-masing satu kali biaya
panggilan untuk Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon dalam
bentuk sebuah instrumen, yang selanjutnya pula Kuasa Pengguna
Anggaran/Pansek mengeluarkan perintah kepada bendahara pengeluaran
juga dalam bentuk sebuah instrumen.
h. Petugas buku induk keuangan perkara (PBIKP) , petugas/pemegang buku
jurnal keuangan perakara (PBJKP), dan petugas/pemegang Buku Kas
Pembantu (PBKP), mencatat penerimaan tersebut di dalam buku-buku
mereka sebagai penerimaan panjar pertama.Pada hari sidang yang telah
ditentukan, Majelis Hakim sebelum memeriksa pokok perkara, terlebih
dahulu memeriksa permohonanberacara secara cuma-cuma tersebut di
dalam persidangan.
39
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN
AGAMA JAKARTA BARAT
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Barat
Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat yang dibangun pada tahun 1994
dan selesai pada tahun 1997 adalah milik PEMDA DKI Jakarta. Kemudian
olehnya di serah terimakan kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat pada
tanggal 19 Mei 1997 untuk dipergunakan sebagai tempat kegiatan Pengadilan
Agama Jakarta Barat dalam melaksanakan tugas penegakan Hukum dan
Keadilan. Pada saat ini kondisinya sebagai berikut:
a. Luas Tanah Luas Tanah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat
seluruhnya adalah seluas 3.056 M2 yang seluruhnya berupa tanah darat.
b. Luas Bangunan. Luas Bangunan Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat
seluruhnya adalah 2.400 M2.
Bangunan Pos Satpam adalah seluas 2 x 2 M2 dengan kondisi rusak tanpa
kaca jendela dan pintu. Bangunan Gardu Listrik Bangunan Gardu Listrik
adalah seluas 6 x 12 M2 dengan kondisi pintu gulung (roling dor) rusak dan
berkarat. Bangunan Tangki Air Minum Bangunan tangki Air Minum adalah
seluas 4 x 5 M2 kondisi rusak dan terjadi kebocoran dinding sehingga air
kotor dari luar masuk ke dalam serta tidak bisa dipakai.
40
Fasilitas Pendukung lainnya Halaman tempat parkir kendaraan cukup
memadai akan tetapi halamannya terlalu rendah dari jalan raya, sehingga pada
waktu musim hujan, halaman selalu digenang air setinggi lebih kurang 30 cm.
pada tahun anggaran 2004 sekitar 700 M2 (sebagian halaman) telah
ditinggikan dengan proyek (DIP Pengadilan Agama Jakarta Barat tahun 2006)
yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Jakarta Barat. · Lokasi Kantor
Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Lokasi Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat terletak dijalan
Flamboyan II No. 2 Cengkarenag Barat Jakarta Barat. Tergolong kurang
strategis karena tidak dilewati kendaraan umum atau jarak ± 1500 m. dari
jalan Kamal Raya dan berdampingan dengan Rumah Susun Cengkareng.1
2. Wilayah Yuridiksi
Wilayah yuridiksi pada pembahasan ini bermuara pada istilah
kewenangan memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara bagi
Pengadilan. Dalam istilah “kewenangan”. Adapun yang dimaksud dengan
kewenangan dan kekuasaan atau pada HIR dikenal pula dengan istilah
kompetensi. Adapun pembahasan kompetensi ini terbagi kepada 2 (dua) aspek
yaitu:
1. Kompetensi Absolut, yaitu kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikansuatu perkara bagi pengadilan yang
1 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010, h. 1
41
menyangkut pokok perkara itu sendiri. 2 Pada Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama disebut pada Bab III yang berjudul
Kekuasaan Peradilan Agama Pasal 49 Ayat (1) yang berbunyi: “Pengadilan
Agama Bertugas dan berwenang, memeriksa, memutuskan dan
menyelesaika perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang:3
a. Perkawinan
b. Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan Shadaqoh
d. Ekonomi Syariah
2. Kompetensi Relatif, yaitu kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa,
memutuskan atau menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan yang
berhubungan dengan wilayah atau domisili pihak atau para pihak pencari
keadilan. 4
3. Daftar Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Barat
Wilayah Hukum Pengadilan Agma Jakarta Barat meliputi 8 (delapan )
kecamatan dengan 56 (lima puluh enam ) kelurahan yaitu:
2 Royhan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. VI, (Jakarta:PT Grafindo Persada,
1998), , h.25
3 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang
Pengadilan Agama Pasal 49 ayat (1)
4 Royhan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 26
42
a. Kecamatan Kebun Jeruk mewilayahi tujuh kelurahan yaitu:
1) Duri Kepa
2) Kedoya Selatan,
3) Kedoya Utara
4) Kebon Jeruk
5) Sukabumi Utara
6) Kelapa Dua
7) Sukabumi Selatan
b. Kecamatan Cengkareng mewilayahi enam kelurahan yaitu:
1) Kelurahan Cengkareng Timur
2) Kelurahan Cengkareng Barat
3) Kelurahan Kapuk.
4) Kelurahan Rawa Buaya.
5) Kelurahan Duri Kosambi.
6) Kelurahan Kedaung Kali Angke
c. Kecamatan Grogol Petamburan mewilayahi tujuh kelutahan yaitu:
1) Kelurahan Grogol
2) Kelurahan Tanjung Duren Utara.
3) Kelurahan Tanjung Duren Selatan
4) Kelurahan Tomang.
5) Kelurahan Jelambar.
6) Kelurahan Jelambar Baru.
7) Kelurahan Wijaya Kusuma.
43
d. Kecamatan Tambora mewilayahi sebelas kelurahan yaitu:
1) Kelurahan Tambora
2) Kelurahan Tanah Sereal.
3) Kelurahan Duri Utara.
4) Kelurahan Duri Selatan.
5) Kelurahan Angke.
6) Kelurahan Roa Malaka.
7) Kelurahan Pekojan.
8) Kelurahan Jembatan Besi.
9) Kelurahan Jembatan Lima.
10) Kelurahan Kali Anyar.
11) Kelurahan Krendang.
e. Kecamatan Taman Sari mewilayahi delapan kelurahan yaitu:
1) Kelurahan Taman Sari
2) Kelurahan Glodok.
3) Kelurahan Keagungan.
4) Kelurahan Krukut.
5) Kelurahan Tangki.
6) Kelurahan Maphar.
7) Kelurahan Mangga Besar.
8) Kelurahan Pinangsia.
44
f. Kecamatan Palmerah mewilayahi enam kelurahan yaitu:
1) Kelurahan Palmerah
2) Kelurahan Kota Bambu Utara.
3) Kelurahan Kota Bambu Selatan.
4) Kelurahan Kemanggisan.
5) Kelurahan Jati Pulo.
6) Kelurahan Slipi.
g. Kecamatan Kembangan mewilayahi enam kelurahan yaitu:
1) Kelurahan Kembangan Selatan.
2) Kelurahan Kembangan Utara.
3) Kelurahan Meruya Utara.
4) Kelurahan Meruya Selatan.
5) Kelurahan Srengseng.
6) Kelurahan Joglo.
h. Kecamatan Kalideres mewilayahi lima kelurahan yaitu:
1) Kelurahan Kalideres
2) Kelurahan Tegal Alur.
3) Kelurahan Kamal.
4) Kelurahan Semanan.
5) Kelurahan Pegadungan5
5 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010
45
B. Wewenang dan Susunan Peradilan Agama
1. Wewenang Peradilan Agama
Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per”
dan dengan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari “qadha”,
yang berarti “memutuskan”, “melaksanakan”, menyelesaikan”.6 Dalam
literature-literatur fikih Islam, “Peradilan” disebut “qadha”, artinya
“menyelesaikan” seperti firman Allah SWT surat al-Ahzab ayat 37:
(37: األحزاب)
Artinya: .manakala zaid telah menyelesaikan keperluannya dari
zainab”
Dan ada juga yang berarti “menunaikan” seperti dalam firman Allah
surat al-Jumu’ah ayat 10:
(1.: الجمعة)
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kepelosok
bumi”
Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang lebih
signifikan dari peradilan yaitu ”menetapkan suatu ketetapan”. Dimana makna
hukum disini pada asalnya berarti “ menghalangi” atau “mencegah”,
karenanya qodhi dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk
menghalangi orang zalim dari penganiayaan. Oleh karena itu apabila
6 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 1.
mengutip dari Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia Al Munawwir, Cet. I, (Jakarta: TP,
1996), h. 1215
46
seseorang mengatakan “ hakim telah menghukum seperti ini” artinya hakim
telah meletakan suatu hak untuk mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya
yang berhak.7
Kata “peradilan” menurut Istilah fikih adalah berarti:
a. Lembaga Hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan)
b. Perkataan yang harus dituruti dan diucapkan oleh seorang yang
mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar
harus mengikutinya.
Dari pengertian tersebut membawa kita kepada kesimpulan bahwa
tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan
menetapkan suatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal
yang dihadapi hakim.bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan
hukum umum, dimana hukum Islam (syari`at) itu, telah ada sebelum manusia
ada. Sedangkan hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan
hakim dalam hal ini hanya menetapkan hukum yang sudah ada itu dalam
kehidupan, bukan menetapkan suatu yang belum ada. 8
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia. Sebab dari
jenis-jenis perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara
menurut Agama Islam. 9
7 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 2. mengutip dari Hasbi Ash-Shiddieqy,
Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta: PT. Ma`arif, 1994), h. 29
8 Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.2
9 Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta, 2007, h. 5
47
Pada umumnya dikenal pembagian peradilan menjadi peradilan umum
dan peradilan khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada
umumnya, baik yang menyangkut perkara perdata maupun maupun pidana.
Sedangkan peradilan khusus mengadili perkara atau golongan rakyat
tertentu.10
Bertitik tolak pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang 1945 dan
untuk mewujudkan cita-cita Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang kemudian diubah
dengan Undang-Undang No. 35 tahun 1999, terakhir diganti dengan Undang-
undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, pada pasal 10 ayat 1
dikatakan: “kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Maksud dari badan peradilan yang berada dibawahnya ialah
pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara11
10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. II, (Yogyakarta:Liberti
Yogyakarta, 1999), h. 20
11
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 th. 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)
(Surabaya: karya Anda), h.5
48
Peradilan Agama merupakan salah satu institusi yang sangat urgen
dalam tata kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Secara filosofis, ia
dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi ketentuan penegakan hukum
dan keadilan Allah dalam pergaulan hidup masyarakat. Secara yuridis, ia
merupakan salah satu mata rantai peradilan Islamyang berkembang sejak masa
Rasululah Saw. Sedangkan secara sosioligis, ia lahir atas dukungan dan usaha
masyarakat yang merupakan bagian dari instansi kebudayaan Islam dalam
kehidupan masyarakat bangsa indonesia yang sangat majemuk.12
Pengakuan Peradilan Agama secara resmi oleh pemerintah melalui
Undang-undang No. 7 th. 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29
Desember 1989, untuk mempertegas keberadaan Peradilan Agama. Undang-
undang No. 7 tahun 1989 pasal 2 menjelaskan bahwa:
Pasal 2
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-
undang ini.13
Setelah diamandemen dengan undang-undang No. 3 tahun. 2006
tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan
Agama, bunyi pasal 2 berubah menjadi:
12
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dan Alokasi Kekuasaan di Indonesia, (Jakarta: al-
Hikmah, 1997), h. 66.
13 Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, BAB I,
Pasal 2, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Depag), h. 258
49
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
Maksud pasal diatas adalah bahwa Peradilan Agama dalam
menyelesaikan perkara hanya terbatas bagi orang-orang yang beragama Islam.
Sedangkan maksud dari perkara perdata tertentu adalah sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 pasal 49 ayat 1 yang
menyatakan bahwa:
pasal 49 ayat 1
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
Perkawinan, kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak,
Shadaqah,dan Ekonomi Syari`ah. 14
Hukum perdata dibagi dalam hukum perdata materiil, yaitu mengatur
kepentingan-kepentingan perdata dan hukum formil, yaitu mengatur tentang
pertikaian hukum mengenai kepentingan-kepentingan perdata atau cara
mempertahankan peraturan-peraturan hukum perdata materiil dengan
pertolongan hakim.15
Undang-undang No. 3 Th. 2006 tentang perubahan atas Undang-
undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagian besar mengatur
14
Ibid, h. 271.
15 L. J. Van Apeldoorn, , Pengantar Ilmu Hukum Cet. Ke XXVIII, (Jakarta:Pradnya Paramita,
2000), h. 220
50
mengenai penghakiman dan hukum acara. Dalam tahap penghakiman, para
hakim agama merupakan ujung tombak yang menentukan eksistensi dan
dinamika Pradilan Agama secara aktual.
Seperti telah dikemukakan di atas, karena dalam Undang-undang No.
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan
Undang-undang No 3 tahun 2006 tidak diatur hukum materiil yang berlaku di
Peradilan Agama, maka sebagai pedoman bagi hakim, pemerintah dengan
Inpres No. I Th. 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, telah berhasil
menyusun Kompilasi Hukum Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan.
Walaupun hasil karya para ulama sebagaimana tertuang dalam
Kompilasi Hukum Islam itu boleh dilatakan merupakan karya monumental,
tetapi masih merupakan garis besar, sehingga tidak mungkin lengkap dalam
memutus setiap perkara yang dihadapi. Oleh karena itumenjadi kewajiban
para hakim Peradilan Agama untuk mendalami hukum Islam lebih jauh, baik
yang terdapat dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah, maupun dalam kitab fiqih
hasil karya para mujtahid.16
Pengetahuan ini diperlukan, karena sesui dengan
penjelasan umum dari Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kehakiman. Bahwa, Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam
16
Muhamad Tolehan Hasan, Beberapa Cacatan Sekitar 10 Tahun undang-Undang Peradilan
Agama, h. 18
51
masyarakat. Telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dari penetapan
hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar.
Singkat kata, hakim agama bukan saja harus mampu berperan sebagai
penghakim Undang-undang, tetapi dengan daya kreasinya juga mampu
berperan sebagai pencipta hukum. Hal ini penting mengingat pembuatan
peraturan perundang-undangan biasanya berjalan lambat, padahal kita sering
dihadapkan kepada kebutuhan hukum yang mendesak untuk menghakimi
masalah tertentu dengan segera. Oleh sebab itu dengan adanya kreatifitas
hakim agama, maka diharapkan tidak sampai terjadi kekosongan di bidang
hukum.17
Selain penguasaan hukum materiil hakim agamapun harus menguasai
hukum formil (hukum acara).sebagaimana tersurut dalam pasal 54 undang-
undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut:
Pasal 54
Hukum acara yang berlaku pada peradilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adlah hukum acara perdata yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang.18
Pada dasarnya hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri
adalah Herzine Indonesiscde Reglement (HIR) Stb 1941 No. 44. Selain
17
Ibid., h. 18
18 Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama,
2001), h 272
52
menggunakan HIR sebagai pedoman, dalam praktek Pengadilan Negeri
kadang-kadang menggunakan pranata hukukum yang terdapat dalam
Burgelijke Rechtsvordering (BRv).19
Sementara itu kebutuhan hukum dalam praktek, telah melahirkan
yurisprudensi-yurisprudensi sebagai pengisi kekosongan (lijmten) perundang-
undangan. Dengan demikian, para hakim Peradilan Agama tidak cukup hanya
menguasai hukum acara yang terdapat dalam Undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dan HIR saja, tetapi juga harus menguasai
BRv dan kebiasaan-kebiasaan yang tercipta di Pengadilan,
Aspek kementrian berkaitan dengan kemandirian dan kemerdekaan
hakim dalam menjatuhkan putusan.berlainan dengan aparat penegak hukum
lainnya, misalnya kejaksaan dengan semboyanya”een en ondeelbar”atau “satu
dan tak terpisahkan” dalam menetapkan putusan hakim mandiri dan merdeka.
Dalam posisinya itu hakim tidak mempunyai atasan yang dapat mengarahkan
atau merekayasa putusan yang akan dijatuhkannya. Kemerdekaan dan
kemandirian hakim ini sangat asasi untuk menjamin putusan yang benar-benar
obyektif.20
Namun disamping kebaikan yang diharapkan, kemandirian dan
kemerdekaan hakim itu dapat pula melahirkan hal-hal yang negatif yang tidak
19
Muhamad Tolchah Hasan, Beberapa Catatan Sekitar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan
Agama, h. 19
20
Ibid., h. 19
53
diinginkan. Sering terjadi untuk suatu perkara yang hampir sama, putusan
hakim yang satu berbeda dengan putusan hakim yang lain.21
Perbedaan itu sah saja terjadi, karena dengan dengan pengalaman yang
berbeda setiap hakim bisa mempunyai persepsi dan interprestasi yang berbeda
pula tentang bunyi undang-undang. Tetapi perbedaan yang kadang-kadang
terlalu mencolok dan begitu sering terjadi, akan mengikis para kepercayaan
para pencari keadilan terhadap hakim dan mengikis kepercayaan para pencari
keadilan terhadap hakim dan mengikis kepercayaan para pencari keadilan
akan memilih cara sendiri untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya
melalui jalan pintas atau selau menggunakan upaya hukum dalam bentuk
banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK),
Unsur kemerdekaan hakim tidak boleh terlepas dari unsur “ tanggung
jawab”. Dengan kata lain kemerdekaan itu berpadanan dengan tanggung
jawab. Kemerdekaan hakim bukanlah kemerdekaan yang mutlak dan tanpa
batas, yang cenderung menjurus kepada kesewenag-wenangan.22
Kemerdekaan hakim adalah kemerdekaan yang dibatasi oleh tanggung
jawabnya terhadap tuhan dan masyarakat.tanggung jawab hakim agama
terhadap tuhan adalah spesifik karena sebelum memangku jabatannya hakim
agama hanya boleh bersumpah, tidak dibuka kemungkinan untuk berjanji.
21
Ibid., h. 20
22
Ibid., h. 20
54
sumpah ini mengandung makna bahwa kemerdekaan para hakim akan
diimbangi dengan penghisaban di akhirat kelak. Oleh karena itu pada setian
penjatuhkan putusan di relung hati para hakim agama hendaknya selalu
terpatri sabda Rasulullah SAW, bahwa “dua dari tiga kelompok hakim itu
akan menjadi penghuni neraka”. Dalam sabda Rasulullah itu terkandung pesan
agar setiap hakim memiliki mengetahuan hukum yang memadai dan akhlak
yang mulia agar terhindar dari api neraka. 23
Tanggung jawab terhadap masyarakat berkaitan dengan keterbukaan
dan obkjektifitas putusan hakim. Putusan hakim agama hendaknya tidak
bertolak belakang dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyrakat.
Putusan hakim yang aneh dan tidak sejalan dengan akal sehat, akan
menimbulkan kecurigaan seolah-olah ada “mafia pengadilan” yang
merekayasa putusan itu. Namun demikian, bukan berarti seorang hakim harus
terbawa arus opini masyarakat yang tidak terkendali. Hakim harus tetap
berpendirian teguh dalam memutus perkara berdasarkan hukum yang
diyakininya.
2. Susunan Pengadilan Agama
Mengenai susunan Pengadilan Agama secara horizontal. Pengadilan
Agama berkedudukan di Kotamadya atau di ibu kota Kabupaten, dan daerah
hukumnya Meliputi wilayah Kotamadya atau kabupaten. Sedangkan
23
Ibid., h. 21
55
Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota Propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah profinsi.24
Mengenai susunan hirarki Pengadilan Agama secara internasional,
terdiri dari dua tingkat yaitu:25
Pengadilan Agama, yang merupakan
pengadilan tingkat pertama : Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan
Pengadilan Tingkat Banding.
Maka Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama adalah
pengadilan yang bertindak menerima, memaksa, memutus, dan menyelesaikan
setiap permohonan atau gugatan pada tingkat awal dan paling bawah.
Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dilarang
menolak untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan
kepadanya dengan daih apapun.26
Menurut ketentuan pasal 9 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama bahwa:
Pasal 9
1) Susunan Pengadilan Agama Terdiri dari Pimpinan,
Hakim Anggota, Panitera, Sekertaris dan Juru Sita.
2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama tetrdiri dari
Pimpinan, Hakim Agama, Panitera dan Sekertaris.
24
Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, h. 3.
25 Ibid., BAB II, Pasal 6, h. 259.
26 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama ( undang-
Undang No. 7 Th. 1989), Ed. II, Cet. V, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 112
56
Berdasarkan bunyi pasal tersebut menunjukan unsur-unsur Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama hampir seluruhnya sama, kecuali Juru
sita yang hanya terdapat pada Pengadilan Agama.
C. Pengertian dan Sejarah Singkat Hukum Acara di Peradilan Agama
1. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hubungan hukum adalah obyek hukum yang diatur dan diberi akibat
oleh hukum. Karena terjadi antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain,
maka hubungan itu disebut hubungan hukum perdata (verbentenis).27
Hukum perdata mengatur hak dan kewajiban orang-orang yang
mengadakan hubungan hukum. Misalnya BWm WvK, Undang-undang
perkawinan, dan peraturan tidak tertulis berupa hukum adat dan kebiasaan
yang hidup dalam masyarakat. Semua peraturan hukum yang memuat hak dan
kewajiban disebut hukum material (subtantiv law). Hukum material yang
mengatur tentang hubungan hukum antara pribadi yang satu dengan pribadi
yang lain disebut dengan hukum perdata materiil.28
Pelaksanaan hukum perdata materiil, dapatlah berlangsung secara
diam-diam diantara para pihak yang bersangkutan tanpa melalui pejabat atau
instansi resmi. Akan tetapi sering terjadi, bahwa hukum materiil perdata itu
dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan
27
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (bandung: PT. Citra Aditya
bakti, 2000),Cet. VII, h. 14
28 Ibid., h. 14
57
keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Dalam hal ini maka, hukum
materiil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan atau
ditegakan.29
Sedangkan untuk melaksanakan hukum materiil perdata terutama
dalam hal pelanggaran atau mempertahankan tuntutan hak, diperlukan
rangkaian peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum materiil perdata
itu sendiri. Peraturan inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara
perdata. 30
Kata “acara” disini berarti proses penyelesaian perkara melalui
pengadilan (hakim). Tujuannya adalah untuk memulihkan hak seseorang yang
terganggu atau dirugikan oleh pihak lain, mengembalikan keadaan seperti
semula sebelum terjadi gangguan atau kerugian, agar peraturan hukum perdata
dipatuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Secara teologis dapat
dirumuskan bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata. Karena
penyelesaian perkara dimintakan melalui pengadilan (hakim), hukum acara
perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan
gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.31
29
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 1
30 Ibid., h. 1-2
31 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 15
58
Hukum acara perdata dikenal pula dengan nama process recht atau
formeel rech. Hukum acara perdata bersifat privaatrecht yaitu tergantung pada
perseorangan. Di dalam hukum acara perdata, tidak kita jumpai ketentuan yang
tegas melarang tindakan menghakimi sendiri. Larangan Eigenn”chting terdapat
dalam putusan Mahkamah Agung 10 Desember 1973 No. 366 k/ip/1973,
kecuali bahwa tindakan menghakimi sendiri itu merupakan perbuatan melawan
hukum, juga dapat dihukum.32
Tuntutan hak seperti yang telah diuraikan di atas sebagai tindakan
yang bertujuan memperoleh perundangan hukum yang diberikan oleh
pengadilan untuk mencegah “Eigenn”chting”,ada dua macam yaitutuntutan hak
yang mengandung sengketa, yang disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-
kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang
disebut permohonan, di mana hanya terdapat satu pihak saja.33
Lazimnya peradilan dibagi menjadi peradilan volunter (volun taire
jurisdictie), yang sering juga disebut” peradilan yang tidak sesungguhnya” dan
peradilan contentieus (contentie use jurisdictie) atau peradilan “sesungguhnya”.
Tuntutan hak yang merupakan permohonan yang tidak mengandung sengketa
termasuk dalam peradilan volunter, sedangkan gugatan termasuk peradilan
32 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 2
33 Ibid., h. 2
59
contentieus, sering tidak mudah dibedakan antara peradilan volunter dan
contentieus.34
Pada umumnya orang berpendapat bahwa yang termasuk peradilan
volunter ialah semua perkara yang telah UUD tentukan harus diajukan dengan
permohonan, sedangkan selebihnya termasuk peradilan contentius.35
Mengenai pengertian hukum acara perdata itu sendiri maka dalam hal
ini seorang ahli hukum Prof. Wirjono Prodjodikoro merumuskan, hukum acara
perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana pengadilan itu harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan-peraturan
hukum perdata. 36
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata
adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana menjamin ditaatinya
hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang
menentukan bagaimana cara menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.37
Dari berbagai pendapat dan pandangan para ahli hukum, dapat diambil
sebuah kesimpulan pengertian dari Hukum Acara Perdata, yaitu mengatur
34
Ibid., h. 3
35
Ibid., h. 3
36
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (bandung:PT, Citra Adtya
Bakti, 2000), h. 16
37 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 2
60
tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya.
Karena ada peraturan hukum acara perdata, orang dapat memulihkan
haknya yang telah dirugikan atau terganggu melalui pengadilan atau berusaha
menghindarkan diri dari tindakan menghakimi sendiri. Dengan melalui
pengadilan orang mendapat kepastian tentang haknya yang harus dihormati
oleh setiap orang, misalnya hak sebagai ahli waris, hak sebagai pemilik barang
atau hak-hak lainnya.
Sedangkan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama yaitu peraturan
hukum yang mengatur bagaimana cara mentaati hukum materiil atau cara
bagaimana bertindak di muka Peradilan Agama dan bagaimana cara hakim
bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.38
Mengenai Hukum Acara Peradilan Agama yang berlaku, seperti yang
telah diketahui dalam pasal 54 Undang-undang no. 3 Th. 2006 tentang
perubahan atas Undang-undang No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama,
yang berbunyi,
Pasal 54
Hukum Acara yang berlaku pada peradilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara perdata yang berlaku
pada peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Dalam ketentuan UU No. 3 tahun 2006 pasal 54 dijelaskan bahwa,
baik hukum acara perdata maupun hukum acara Peradilan Agama tidak
berbeda. Kecuali, ada hal-hal khusus yang diatur hukum acara pada masing-
masing badan Peradilan.
38
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 9
61
2. Sejarah Hukum Acara Perdata39
Untuk memahami keadaan Hukum Acara Perdata yang berlaku di
Indonesia, perlu ditinjau lebih dahulu sejarah pembentukan dan
perkembangannya secara selayang pandang. Dahulu pemerintah Hindia
Belanda belum mempunyai peraturan hukum acara perdata yang lengkap bagi
pengadilan gubernemen yang memeriksa dan memutus perkara perdat untuk
golongan bumi peutra. Sementara itu, di beberapa kota besar di Jawa,
pengadilan gubernemen yang memeriksa perkara perdata untuk golongan
bumiputra menggunakan peraturan hukum acara perdata yang berlaku bagi
golongan Eropa tanpa berdasarkan perintah undang-undang. Akan tetapi ketua
hooggerechtshof (Mahkamah agung) Hindia Belanda di batavia Mr. H. L.
Wichers tidak membenarkan praktik pengadilan yang memeriksa dan memutus
perkara perdata untuk golongan bumiputra menggunakan hukum acara perdata
yang diperuntukan bagi golongan Eropa tanpa dilandasi Undang-undang. Oleh
karena itu, pada tanggal 5 Desember 1946 Gubernur Jendral J. J. Ronchussen
menugaskan Mr. H. L. Wiches untuk merancang sebuah Reglemen tentang
administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan bimiputra.
Hanya dalam waktu 8 bulan Mr. H. L. Wichers sesuai dengan rancangannya
serta peraturan penjelasnya.
Namun dengan rancangan Wichers tersebut tidak luput dari koreksi dan
kecaman. Ada yang beranggapan bahwa rancangan tersebut terlalu sederhana
39
Ibid, h. 7-14
62
dan pula ditambah dengan lembaga-lembaga: penggabungan, penjaminan,
intervensi, dan rekes sipil seperti yang terdapat di dalam Reglemen op de
Burgerlijke Rechtsvordering (Acara Perdata untuk golongan Eropa).
Menanggapi kritik-kritik tersebut Wichers mengajukan beberapa alasan:
1. Kalau ditambah dengan lembaga-lembaga seperti yang terdapat didalam Rv
itu, tentu saja namanya bukan sederhana lagi.
2. Kalau ingin lengkap Rv sajalah yang diberlakukan.
Akan tetapi untuk menyalurkan kecaman-kecaman itu Wichers
menempuh jalan dengan menambahkan suatu ketentuan penutupyang bersifat
umum. Setelah diubah dan ditambahkan kini menjadi pasal 393 HIR termuat
dalam bab ke 15 yang mengatur tentang rupa-rupa peraturan. Ayat (2) pasal ini
menetapkan bahwa HIR lah yang berlaku akan tetapi apabila benar-benar
dibutuhkan dalam perkara perdata dapat dipergunakan peraturan lain yang lebih
sesuai, yaitu yang mirip dengan peraturan yang terdapat dalam Rv.
Rancangan Wicher tersebut diterima oleh Gubernur Jendral Rochussen
dan kemudian diumumkan pada tanggal 5 april 1848 dengan srbl. no.16 tahun
1848. Kemudian dikenal het Inlands Reglement (IR) yang berarti Reglemen
Bumiputra, mulai berlaku 1 Mei 1848. Dikemudian hari, IR tersebut mengalami
beberapa kali perubahan yang mendalam dengan dibentuknya lembaga
kejaksaan sebagai penuntut umum. Lembaga ini tidak lagi ditempatkan dibawah
Pamong Praja melainkan dibawah Kejaksaan Agung. IR tersebut selanjutnya
disebut Het Herziene Indonesisch Reglemen disingkat HIR karena adanya
63
perubahan yang mendalam (dalam bahasa Belanda disebut “herziene”).
Ditetapkan dalam stbl no. 44 tahun 1941. HIR disebut pula dengan sebuah
Reglemen Indonesia Baru disingkat RIB.
Dengan diundangkannya undang-undang No 1 Darurat tahun 1951 pada
tanggal 14 januari 1951 membuat HIR semakin mendapat tempat yang utama
berhubung adanya perubahan mengenai susunan kehakiman, pengadilan negeri
yang berdasarkan pasal 5 (3) dinyatakan sebagai pengadilan sehari-hari biasa
untuk segala perkara perdata dan pidana.
Dengan demikian lenyaplah dualisme dalam pengadilan. Memang
diundangkannya UU No. 1 Darurat tahun 1951 adalah untuk menciptakan
univiksi susunan kekuasaan dan acara segala macam pengadilan di Indonesia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UU No 1 Darurat 1951 adalah
tindakan sementara (darurat) yang diambil untuk menyelenggarakan kesatuan
susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil di Indonesia.
Menurut ketentuan pasal 5 UU darurat no 1 tahun 1951, acara pada
pengadilan negeri dilakukan dengan mengindahkan peraturan-peraturan
Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri.
Selanjutnya, dalam pasal 6 ayat 1 UU darurat no 1 tahun 1951 ditetukan bahwa
HIR seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara
perdana sipil. Sedangkan untuk perkara perdata tidak disinggung.
Ini berarti untuk perkara perdata HIR dan RBg bukan hanya sebagai
pedoman, melainkan sebagai peraturan hukum acara perdata yang harus diikuti
64
dan diindahkan. Selain dari HIR dan RBg peraturan Hukum acara perdata juga
diperkaya pula dengan yurisprudensi mahkamah Agung Indonesia. Yang
ditunggu selanjutnya untuk masa mendatang adalah hukum perdata nasional
ciptaan sendiri sebagai kodifikasi hukum yang akan menggantikan hukum acara
perdata warisan kolonial belanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku.
D. Sumber-sumber dan Asas Hukum Acara perdata dan Hukum Acara
Peradilan Agama
1. Suber-Sumber Hukum Acara Dan Acara Peradilan Agama
Sumber-sumber hukum acara perdata, diantaranya:40
a. Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) yang berasal dari Inlanche Reglemen
(IR) yaitu, Reglemen Indonesia yang diperbaharui stb. 1941 No. 44,
dimuat dalam lembaran Negara No. 16 jo 57/1848. Judul lengkapnya
adalah Reglemen op de uit oefening ven de politie, de Burgelijke
rechtspeging en de Stravfordering onder de Inlanders en de Vremde
Ooterlingen op Java en Madura (reglemen tentang melakukan tugas
kepolisisn mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara pidana
terhadap golongan Bumiputra dan Timur Asing di Jawa dan Madura)
b. Reglemen Voor de Buitengewesten (RBg) yaitu Reglemen Daerah
Seberang Stb, No. 227 Tahun 1627. RBg adalah pengganti sebagai
40
Sapenah, “Kontribusi Advokat dalam Penanganan Perkara Prodeo, “ (Skripsi SI Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 36-37
65
peraturan yang berupa reglemen bagi daerah Ambon, Aceh, Sumatera
Barat, Palembang, Kalimantan, Minahasa dan lain-lain.
c. Mengenai Reglemen op de Burgelijke Rechtsvordering (Rv), yaitu
reglemen yang berisi ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang
berlaku khusus untuk golongan Eropa. Soepono berpendapat, dengan
dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoogerechtschof, maka Rv sudah
tidak berlaku lagi.41
Namun dalam kenyataannya, ada bentuk-bentuk atau
kegiaatan tertentu yang masih tentang arbitrase tidak diatur dalam
HIR/RBg, melainkan diatur dalam Rv.42
d. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
e. Undang-undang No. 20 Tahun 1947 untuk Jawa dan Madura, tetapi
kemudian oleh Yurisprudensi dianggap berlaku untuk seluruh indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan dalam HIR/RBg
tentang banding tidak berlaku lagi.
f. Undang-undang No. 14 Tahun tentang Mahkamah Agung
g. Yurisprudensi atau putusan-putusan hakim yang berkembang di
lingkungan pengadilan dan sudah pernah diputus di pengadilan.
h. Adat kebiasaan43
41
Moh.Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Cet. I, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004), h. 13
42 Ibid, h., 13
43 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 8
66
i. doktrin44
j. intruksi dan surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia.
k. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Perkawinan.
Sedangkan sumber-sumber Hukum Acara Peradilan Agama juga
berpedoman pada sumber-sumber Hukum Acara Perdata pada umumnya. Hanya
saja Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata pada umumnya. Hanya saja sumber-
sumber dalam Hukum Acara Peradilan Agama ditambahkan seperti:45
1. Undang-undang NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diamandemen dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan
atas undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Inpres Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
3. Peraturan Menteri Agama.
4. Kitab-kitab fiqh Islam dan sumber-sumber hukum yang tidak tertulis.
Hukum materiil (terapan) peradilan Agama, menurut pasal 49 Undang-
undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang No. 7 Tahun
1989 ialah mengenai Penngadilan Agama yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
44
Ibid., h. 9
45
Sapenah, “Kontribusi Advokat dalam Penanganan Perkara Prodeo, “ (Skripsi SI fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h.37
67
wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Sumber hukum terapan
tersebut ialah Undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta
peraturan pelaksanaannya.46
Dan sesuai dengan penegasan pasal 54 Undang-undang No. 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas undang-undang No. 7 Tahun. 1989 tentang Peradilan
Agama menyatakan bahwa:
Pasal 54
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini.
2. Asas-asas hukum Acara peradilan Agama
Implementasi dari hukum acara perdata didasarkan atas prinsip atau asas-
asas hukum acara perdata yang dikenal luas dikalangan peradilan perdata, sebagai
berikut:47
a. Hakim bersifat menunggu
Prinsip hukum ini bermakna bahwa inisiatif atau maju kepengadilan
bukan dari hakim. Tetapi sepenuhnya harus berasal dari para pihak yang
bersengketa. Bahkan jika para pihak sudah berada di depan meja hijau pun,
diteruskan atau dihentikannya perkara mereka, inisiatif sepenuhnya tetap
menjadi hak para pihak yang bersengketa. Oleh karenanya menjadi kewajiban
46
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasonal, Cet., Ke II (Jakarta: Logos, 1999), h. 113
47 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indinesia, Cet. Ke. II (Yogyakarta: Liberty,
1999), h. 10
68
hakim pada saat sidang pertama, menawarkan perdamaian bagi para pihak.
Artinya, para pihak pada kesempatan pertama harus diberikan secara
kekeluargaan di luar pengadilan. Prinsip hukum ini dikenal dengan pepatah
“tidak ada tuntutan hak, tidak ada hakim “. Hal ini tercantum dalam pasal 118
RIB dan Pasal 142 RBg yang berisi sebagai berikut: 48
1) Inisiatif pengajuan perkara ada oleh para pihak:
2) Asas Point de Intertet, Poin De Action (Jika tidak ada kepentingan, maka
tidak ada perkara):
3) Asas Nemo Judex Sine Actore (Jika tidak ada perkara, maka tidak ada
hakim):
4) Asas judek ne Procedar ex Offico (hakim bersifat menunggu datangnya
tuntutan hak yang diajukan kepadanya).
b. Hakim tidak boleh menolak perkara
Prinsip hukum ini bermakna apabila perkara sudah masuk
(didaftarkan) ke pengadilan, maka tidak ada alasan bagi hakim untuk
menolaknya dengan tidak ada hukum aturannya. Prinsip ini mewajibkan para
hakim menggali hukum atau menciptakan hukum yang baru sesuai kebutuhan
para pihak. Prinsip ini tercantum dalam pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang berisi:
48
Ibid., h. 10
69
Pasal 14
1) Pengadilan tidak boleh memeriksa untuk mengadili
sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
2) Ketentuan dalam (1) tidak menutup kemungkinan untuk
usaha penyesaian perkara perdata secara perdamaian.
c. Hakim bersifat pasif menyangkut pokok perkara
Maksudnya hakim bersifat pasif adalah ruang lingkup pokok perkara
ditentukan oleh para pihak yang berperkara, maka:
1) Hakim tidak boleh mengurangi atau menambahkan hal-hal yang ada pada
para pihak yang berperkara:
2) Pembuktian merupakan beban para pihak, bukan beban hakim;
3) Perdamaian atau pencabutan gugatan merupakan hak absolute para pihak
(130 HIR/ 154 RBg):
4) Banding atau tidak merupakan hak para pihak, bukan kepentingan hakim
(pasal 6 UU 1947 no. 20/199 RBg). 49
d. Hakim aktif menyangkut proses beracara
Prinsip hukum ini menekankan apabila para pihak telah bersepakat,
jalur pengadilan adalah jalur yang dipilih, maka hakim harus membantu para
pencari keadilan serta berusaha keras untuk menemukan hukum yang seadil-
adilnya dengan mengesampingkan hambatan dan rintangan untuk mencapai
49
Ibid., h.12
70
derajat pengadilan yang cepat, murah dan bersahaja (sederhana). Hal ini
terdapat pada pada pasal 4ayat 2 UU No. 14 tahun 1970, yang berisi:
pasal 4 ayat 2
peradilan dilakukan dengan sederhana,cepat dan biaya ringan
e. Persidangan terbuka untuk umum
Prinsip ini berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan
mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan asas ini adalah untuk
memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan
serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan mempertanggung
jawabkan pemeriksaan secara jujur, tidak memihak serta putusan yang adil
kepada masyarakat. Secara umum asas ini membuka kesempatan untuk
“sosial Kontrol” asas terbentuknya persidangan tidak mempunyai arti bagi
acara yang berlangsung secara tertulis, kecuali ada ketentuan lain. Setiap
persidangan harus dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu
sebelum dinyatakan tertutup. 50
f. Beracara Dikenakan Biaya
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk
panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Di samping itu
apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan
biaya. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat
50
Ibid., h.13
71
mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Prodeo) dengan mendapat izin
untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara.51
g. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Dalam HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada
orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung
terhadap para pihak yang berlangsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak
dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakiya. Dengan
demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya,
meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. Dan wewenang
untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.52
51
Ibid., h. 16.
52 Ibid., h. 16-17
72
BAB IV
PENYELESAIAN PERKARA SECARA PRODEO DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA BARAT
A. Faktor-Faktor Penyebab Dan Kendala-Kendala Berperkara Prodeo di
Pengadilan Agama Jakarta Barat
Faktor penyebab perkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat
adalah karena dua sebab, pertama karena adanya keterangan khusus yang
mengaturnya dalam pasal 237 HIR dan 273 R.Bg yang berbunyi: Penggugat atau
tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkaradapat diizinkan untuk
berperkara tanpa biaya.1 dan kedua karena adanya masyarakat kurang mampu
yang membutuhkan bantuan hukum dalam menyelesaikan masalahnya, yang
mana kebutuhan akan keadilan merupakan hak asasi manusia yang harus
dilindungi oleh konstitusi negara Republik Indonesia sebagaimana termaktub
dalam pancasila sila ke-5 yang berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
“ dan didukung oleh UUD Negara Repuublik Indonesia Tahun 1945 pasal 27ayat
(1) yang menyatakan:
pasal 27 ayat (1)
Setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.2
1 Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
2 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pembukaan dan Pasal 29 Ayat 1
73
Dalam ketentuan UUD Negara Repuublik Indonesia Tahun 1945 pasal 29
ayat (1), negara tidak membeda-bedakan antara warga negara yang satu dengan
yang lain, semua sama dihadapan hukum dan berhak memperoleh perlindungan
hukum termasuk masyarakat yang kurang mampu.
Pasca satu atap yang mana Peradilan yang ada di Indonesia berada
dibawah naungan mahkamah Agung, dalam realitanya banyak hal-hal yang
signifikan termasuk bagi masyarakat pencari keadilan khususnya dalam hal biaya
perkara bagi yang tidak mampu, dimana mulai tahun 2007 tentang biaya perkara
bagi orang yang tidak mampu telah masuk dan diatur dalam DIPA (Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran). Setiap Pengadilan Agama dalam arti pihak-pihak tidak
dibebani untuk membayar biaya perkara karena sudah disediakan oleh negara.
Berdasarkan masalah uang, apalagi uang kepunyaan negara sudah barang
tentu tidak bisa dipergunakan semuanya, melainkan harus jelas pengaturan dan
pertanggung jawabannya. Pengadilan Tinggi Agama selaku kawal depan
Mahkamah Agung juga Mahkamah Agung itu sendiri selaku bapak semua
peradilan sampai saat ini rasa-rasanya belum mengeluarkan suatu petunjuk
tentang harus bagaimana mekanisme pelaksanaan pembayaran biaya perkara bagi
yang tidak mampu yang dibebankan kepada negara, sehingga dalam
kenyataannya antara Pengadilan Agama yang satu dengan pengadilan agama yang
lainnya terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya.
Berangkat dari hal tersebut, penulis mencoba menulis skripsi sederhana ini
dengan suatu harapan para pembaca yang berkepentingan dapat melengkapinya
74
yang pada tahapan berikutnya diharapkan dapat menjadi stimulan bagi Pengadilan
Tinggi Agama untuk mengeluarkan suatu petunjuk sehingga dalam
pelaksanaannya tidak terdapat perbedaan lagi dan dapat mempermudah para
masyarakat yang kurang mampu untuk mencari keadilan.
Mekanisme pelaksanaan dari bendahara DIPA kepada jurusita pada
perkara prodeo pada kebanyakan dilakukan manakala perkara tersebut telah
selesai terputus, hal ini berdasarkan kepada suatu anggapan klasik dimana negara
bukanlah sebagai pihak yang berkepentingan. Selain itu juga, selama ini pihak
KPPN dapat mengeluarkan uang manakala disertai dengan bukti tandatangan
seorang jurusita mendapatkan biaya panggilan tersebut. Andaikan biya panggilan
tersebut menggunakan uang kantor, maka atas dasar apa hal tersebut dapat
dilakukan. Padahal apabila kita melihat ketentuan dimana yang berhak
memerintahkan bendahara untuk mengeluarkan uang untuk panggilan adalah
hanya Majlis Hakim yang ditunjukan Kepada Kuasa Pengguna Anggaran/ Pansek,
yang selanjutnya pansek memerintahkan kepada bendahara.
Penyelesaian perkara prodeo yang dilakukan oleh Pengadilan Agama
Jakarta Barat, dalam aplikasinya hanya sedikit perkara prodeo yang masuk dan
diselesaikan selama dua tahun dari tahun 2009-2010 hanya terdapat 47 kasus
prodeo. Pada tahun 2009 perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta
Barat sejumlah 1.527 perkara, perkara yang diterima prodeo pada tahun 2009
sebanyak 23 perkara. perkara yang diselesaikan pada tahun 2009 sebanyak 1.360
perkara. Sedangkan jumlah perkara yang diterma pada tahun 2010 di Pengadilan
75
Agama Jakarta Barat sejumlah 1.605 perkara yang diterima prodeo pada tahun
2010 sebanyak 24 perkara. perkara yang telah diselesaikan pda tahun 2010
sebanyak 1.494 perkara.
Penulis dapat menarik kesimpulan ternyata terdapat beberapa kendala
sehingga perkara prodeo hanya terdapat sedikit diantarannya karena tidak adanya
aturan baku yang jelas yang dibuat Pengadilan Agama secara tertulis dan tidak
semua anggota masyarakat apa dan bagaimana beracara di Pengadilan Agama.
Termasuk masyarakat kurang mampu sebenarnya memiliki masalah hukum yang
kaitannya dengan kewenangan Pengadilan Agama, banyak yang tidak mengetahui
bahwa Pengadilan Agama melayani proses beracara secara Cuma-Cuma tanpa
biaya (prodeo).
Menurut hemat penulis bahwa hal ini dikarenakan karena kurannya
sosialisasi pemerintah tentang adanya biaya perkara secara Cuma-Cuma.
Sehingga warga negara yang kurang mampu merasa takut untuk mengajukan
perkara kepada Pengadilan Agama, hal ini sesuai hasil riset yang dilakukan
penulis bahwa 50% dari mereka buta tentang beracara secara Prodeo (Cuma-
Cuma). Dan 15% merasa sungkan atau gengsi untuk mengakui bahwa dirinya
tidak mampu karena mereka buta hukum dan relatif tak punya modal uang
membayar biaya perkara apalagi menyewa pengacara ternama. Bagi mereka,
datang ke pengadilan Agama sama dengan menjual kemiskinan itu sendiri
Menurut penulis seharusnya pemerintah memberikan pemahaman bahwa
bantuan hukum adalah hak orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar pro
76
bono publico (utuk kepentingan publik) sebagai penjabaran persamaan hak
dihadapan hukum dan prodeo sebagai keseimbangan pelayanan hukum dimana
hukum dan keadilan tidak hanya memihak kepada orang kaya yang mempunyai
uang saja, tapi kepada orang miskin.
Pengadilan Agama ditunjukan kepada semua orang yang memiliki
hubungan erat dengan equality before the law (persamaan sebelum hukum) dan
semua orang harus punya akses terhadap pembelaan yang menjamin justice for all
(keadilan untuk semua orang). Oleh karena itu, bantuan hukum selain merupakan
hak asasi juga mempunyai gerakan konstitusional. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa prodeo merupakan hak setiap warga masyarakat tanpa
terkecuali, sehingga bagaimanapun dengan dipuaskannya orang miskin secara
hukum tetap dibela walaupun mereka tidak mempunyai uang sehingga akan
meredam disparitas sosial ekonomi sehingga orang yang miskin merasa dibela
dan diperhatikan.
Praktek ini secara yuridis terdukung oleh ketentuan-ketentuan universal
yang berkaitan dengan menegakan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga dapat
dikatakan bahwa pemberian bantuan hukum Cuma-Cuma berupa prodeo bagi
masyarakat miskin sebagai penegakan HAM dan belas kasihan semata, sehingga
tidak akan terjadi lagi rasa minder dan gengsi untuk berperkara secara prodeo.
Wajah peradilan yang baik sebagaimana yang kita cita-citakan bersama
tentu saja tidak akan dapat terwujud bila mana tidak ditunjang dengan mekanisme
administrasi yang baik dan tertur. Selain itu pula proses beracara yang benar dan
77
sesuai dengan hukum acara yang berlaku, menjadi suatu keharusan yang tidak
bisa ditawar lagi. Pola penyelenggaraan administrasi yang baik dan hukum acara
yang dilaksanakan dengan benar tersebut meliputi segala bidang dan perkara yang
menjadi kompetensi Peradilan Agama tak terkecuali dalam perkara prodeo baik
ditingkat pertama maupun banding. Hal yang telah diuraikan diatas dapat menjadi
suatu pola penyeragaman dan pelaksanaan mekanisme perkara prodeo sehingga
dapat memberikan pedoman dalam penyelenggaraan peradilan khususnya bidang
perkara prodeo. Adanya ketentuan yang jelas dapat menunjang penyelenggaraan
peradilan yang murah, cepat dan sederhana.
B. Penyelesaian Perkara Secara Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat
Apabila permohonan beracara secara prodeo terbukti dan permohonan
tersebut dikabulkan, maka majlis hakim menjatuhkan putusan sela yang dimuat
secara lengkap di dalam berita Acara persidangan. Salinan putusan sela tersebut
diserahkan oleh Majlis Hakim kepada Kuasa pengguna Anggaran (Pansek) guna
pembayaran perkara oleh negara. Kemudian pansek menyerahkan salinan amar
putusan itu kepada Bendahara Rutin dengan perintah agar mengeluarkan sejumlah
uang panjar sekian dan dikurangi jumlah uang yang sudah dikeluarkan sebagai
biaya panggilan pertama.3
Dengan diterimanya uang panjar dari Bendahara Rutin, kasir
mengeluarkan kwitansi SKUM sejumlah uang yang diterima, Petugas Buku Induk
3 PA Sukabumi,”Proses Beracara Secara Cuma-Cuma”, artikel diakses pada 30 Maret 2011
dari http://pasukabumi/pta-bandung.net/index2php?option=comconten&do-pdf.
78
Keuangan perkara, petugas/ pemegang buku Jurnal Keuangan Perkara, dan
petugas/ pemegang Buku Kas Pembantu mencatat penerimaan tersebut, di dalam
buku-buku mereka sebagai penerima panjar kedua.4
Apabila permohona prodeo tdak terbukti, Majlis Hakim menjatuhkan
putusan sela yang berisi memerintahkan Penggugat/ Pemohon untuk membayar
biaya perkara sesuai yang ditaksir oleh Meja Pertama, jeda waktu pembayaran
diberikan selama satu bulan.5
Apabila Penggugat/Pemohon membayar biaya perkara sesuai perintah
dalam putusan sela pengadilan, kasir wajib mengembalikan uang negara tersebut
ke negara. Setelah putusan akhir dibacakan, apabila terjadi kelebihan biaya
perkara, kasir wajib mengembalikan kelebihan biaya perkara tersebut kepada kas
negara. Namun apabila biaya perkara ternyata kurang, Majlis Hakim
memerintahkan kepada Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengeluarkan biaya
perkara yang tambahan yang diperlukan dengan menggunakan instrumen, dan
seluruh biaya perkara yang tercantum dalam putusan pengadilan, harus sama
dengan biaya yang dikeluarkan negara melalui DIPA Pengadilan Agama.6
Kemudian persyaratan yang harus dilengkapi para pemohon prodeo,
diantaranya:7
4 Ibid., hal. 3
5 Ibid., hal. 3
6 Ibid., hal. 3
7 Wawancara Pribadi Dengan Muhiddin, Jakarta 7 Maret 2011
79
1. Melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dikeluarkan oleh kelurahan
yang diligalisir oleh camat tempat ia tinggal.
2. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP)
3. Foto Copy Kartu Gakin
4. Membuat surat gugatan Yang diajukan ke Kantor Pengadilan Agama Jakarta
Barat
5. Mendaftarkan Gugatanya ke Pengadilan Agama Jakarta barat
6. Pihak pengadilan Agama menyelidiki terlebih dahulu kebenarannya apakah
pemohon terbukti tidak mampu atau tidak, kemudian diputuskan di
persidangan.
7. Adapun dalam pemeriksaan di dalam persidangan, prosesnya sama dengan
pemeriksaan perkara pada umumnya saja, hanya saja sebelum pemeriksaan
pihak perkara, tertulis dahulu di pemeriksa tentang prodeo dari pemohon /
penggugat tersebut dan ditanyakan kepada termohon / tergugat apakah
keberatan ataukah tidak.
8. Di periksa bukti-bukti, saksi-saksi tentang ketidak mampuan pemohon /
penggugat sebelum penggugat/ pemohon itu bener-benar miskin, baru
dijatuhkan putusan sela untuk mengabulkan atau menolak prodeonya tersebut,
jika dikabulkan maka penggugat/ pemohon diberikan izin oleh majlis hakim
untuk beracara secara secara Cuma-Cuma dan pemeriksaan dilanjutkan
dengan pemeriksaan pihak perkara.
9. Dengan memeriksa gugatan/ permohonan, jawaban replik, duplik (jika ada)
keterangan saksi-saksi kemudian putusan.
80
Dalam proses berperkara secara prodeo di Pengadila Agama Jakarta Barat
menurut Adri Syafruddin Sulaiman sebagai Panitra Muda Hukum Pengadilan
Agama Jakarta Barat adalah:
1. Surat keterangan tidak mampu dari kelurahan
2. Foto Copy KTP dan aslinya
3. Foto copy buku nikah dan aslinya
4. Sebelum didaftarkan perkanya dia harus membuat surat gugatan terlebih
dahulu
5. Setelah memmbuat surat gugatan kemudian mendaftarkan gugatannya
dibagian pendaftaran.
6. Setelah itu datang ke kantor kantor PA untuk mendaftarkan perkara
7. Tinggal menunggu panggilan persidangan yang di tentukan oleh majlisnya.
8. Pemanggilan para pihak orang yang berperkara yang dilakukan oleh jurusita
9. Setelah dipanggil penggugat/ pemohon prodeo melaksanakan sidang pertama
10. Proses pemeriksaan prodeonya Apakah benar-benar miskin atau tidak
11. Menghadirkan 2 orang saksi untuk membuktikan apakah benar-benar miskin
atau tidak. Didatangkannya dua orang saksi ini untuk memperkuat
pembuktian hakim terhadap pemohon prodeo, bahwa ia benar-benar tidak
mampu.
12. Proses Sidang pertama Majlis hakim mengeluarkan “Putusan Sela. Apakah
diterima dia melakukan prodeo atau tidak, jika izin permohonan prodeonya
dikabulkan maka pengadilan akan menjatuhkan "Putusan Sela (putusan yang
81
dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk
memungkinkan atau memperudah kelanjutan pemeriksaan perkara)”8 dalam
sidang insidentil, dengan mengizinkan pemohon prodeo untuk berperkara
secara Cuma-Cuma (prodeo) dan melanjutkan para pihak untuk melanjutkan
perkaranya.
13. Berlanjut ke proses selanjutnya tergantung putusan sela tersebut apabila
diterima prodeonya berlanjut ke sidang selanjutnya dan apabila ditolak
prodeonya maka pemohon / penggugat harus membayar panjar biaya perkara
seperti sedia kala.9
Dalam hal pihak penggugat atau tergugat tidak mampu membayar biaya
perkara, maka berdasarkan pasal 237 RBg maka ia dapat memohon kepada ketua
pengadilan untuk berperkara secara Cuma-Cuma. Permintaan berperkara ini
harus dimintakan sebelum perkara pokok diperiksa oleh pengadilan. Permintaan
ini harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari instansi yang
berwenang, dewasa ini dikeluarkan oleh kepala desa dan diketahui oleh camat.
Menurut pasal 238 HIR dan 274 RBg keterangan tidak mampu harus dikeluarkan
oleh aparat kepolisian ditempat tinggal orang yang meminta gugatan secara
Cuma-Cuma.10
8 Kama Rusdiana, Hukum Perdata Islam (Jakarta:Fakultas Syariah UIN Jakarta, 2006) h.
112.
9 Wawancara Pribadi Dengan Adri Syafruddin Sulaiman . Jakarta 7 Maret 2011
10
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarata: Pranada Media, 2005), Cet ke 3, hal 63.
82
Dalam pemeriksaan terhadap permohonan perkara prodeo baik yang
diajukan oleh penggugat/pemohon tergugat atau termohon, harus diajukan alat
bukti berupa surat keterangan miskin. Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam
HIR Pasal 238. Adapun, apabila surat itu tidak didapatkan, maka pemohon
perkara prodeo dapat membuktikannya dengan mendengarkan saksi-saksi atau
lainnya. Dalam RBg. Pasal 274 ayat (4) menyebutkan:
Pasal 274 ayat (4)
Jika bukti tertulis tidak dapat diajukan, maka pengadilan bebas
untuk meyakinkan diri tentang miskinnya pemohon dengan
memperhatikan keterangan-keterangan lisan atau dengan
lainnya.”.
jika ia tidak mendapatkan surat keterangan miskin dari instansi yang
berwenang maka untuk membuktikan ketidak mampuannya itu harus dilakukan
dengan jalan mendengar keterangan saksi atau keterangan lainnya seperti melihat
pekerjaan, cara berpakaian, status sosial dan lainnya.11
Selain surat keterangan tidak mampu dari Lurah yang diketahii oleh
Camat, masyarakat juga dapat beracara secara Cuma-Cuma dengan mengajukan
kartu keluarga miskin (Gakin) namun demikian, dengan beracara secara Cuma-
Cuma, bukan berarti berperkara tanpa biaya, namun biaya ditanggung oleh
negara. Pihak pengadilan akan mengajukan klaim pembiyayaan kepada negara,
setelah diputuskan oleh Majlis Hakim melalui putusan sela, bahwa yang
bersangkutan dapat beracara atau berperkara Cuma-Cuma.
11
Ibid., Abdul Manan, h. 64
83
Gugatan atau permohonan yang diajukan dengan cara prodeo selalu
diperiksa oleh hakim ditingkat pertama tntang ketidak mampuannya, kemudian
hasil pemeriksaan diputuska dengan putusan sela12
, untuk itu apabila ada
permohonan prodeo, petugas satu harus membuatkan SKUM (Surat Kuasa Untuk
Membayar) dengan jumlah pembayaran nihil (nol). Setelah melalui prosedur
yang dilalui diatas maka selanjutnya masuk kedalam tahap pemeriksaan dan
penyelesaiannnya yaitu:13
1. Setelah berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Agama, maka Ketua
Pengadilan Agama menunjuk Majlis Hakim untuk menangani perkara
tersebut ( PMH ).
2. Majelis Hakim menetapkan Hari sidang ( PHS) dan memerintahkan jurusita
untuk memanggil Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon.
3. Majelis Hakim memerintahkan kepada Kuasa Pengguna Anggara ( Pansek )
agar mengeluarkan biaya panggilan masing-masing satu kali biaya panggilan
untuk Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon dalam bentuk sebuah
instrumen, yang selanjutnya pula Kuasa Pengguna Anggaran/Pansek
mengeluarkan perintah kepada bendahara pengeluaran juga dalam bentuk
sebuah instrumen.
4. Majelis Hakim memerintahkan kepada Kuasa Pengguna Anggara ( Pansek )
agar mengeluarkan biaya panggilan masing-masing satu kali biaya panggilan
12
Putusan Sela (Sementara) adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang
diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
13 Ibid.,
84
untuk Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon dalam bentuk sebuah
instrumen, yang selanjutnya pula Kuasa Pengguna Anggaran/Pansek
mengeluarkan perintah kepada bendahara pengeluaran juga dalam bentuk
sebuah instrumen.
5. Petugas Buku Induk Keuangan Perkara, petugas/pemegang buku Jurnal
Keuangan Perakara, dan petugas/pemegang Buku Kas Pembantu mencatat
penerimaan tersebut di dalam buku-buku mereka sebagai penerimaan panjar
pertama.Pada hari sidang yang telah ditentukan, Majelis Hakim sebelum
memeriksa pokok perkara, terlebih dahulu memeriksa permohonan beracara
secara cuma-cuma tersebut di dalam persidangan.
6. Apabila permohonan beracara secara prodeo terbukti dan permohonan
tersebut dikabulkan, maka Majelis Hakim menjatuhkan putusan sela yang
dimuat secara lengkap di dalam Berita Acara Persidangan.
7. Salinan amar putusan sela tersebut diserahkan oleh Majelis Hakim kepada
Kuasa Pengguna Anggaran (Pasnek) guna pembayaran perkara oleh negara.
8. Pansek menyerahkan salinan amar putusan itu kepada Bendahara Rutin
dengan perintah agar mengeluarkan sejumlah uang panjar sebesar Rp.
531.000.000,- (lima ratus tiga puluh satu ribu rupiah) dikurangi jumlah uang
yang sudah dikeluarkan sebagai biaya panggilan pertama.
9. Dengan diterimanya uang panjar dari Bendahara Rutin, Kasir mengeluarkan
kwitansi SKUM sejumlah uang yang diterima
85
10. .Petugas Buku Induk Keuangan Perkara, petugas/pemegang buku Jurnal
Keuangan Perkara, dan petugas/pemegang Buku Kas Pembantu mencatat
penerimaan tersebut di dalam buku-buku mereka sebagai penerimaan panjar
kedua.
11. Apabila permohonan prodeo tidak terbukti, Majelis Hakim menjatuhkan
putusan sela yang berisi memerintahkan Penggugat/Pemohon untuk
membayar biaya perkara sesuai yang ditaksir oleh Meja Pertama, jeda waktu
pembayaran diberikan selama satu bulan.14
12. Apabila Penggugat/Pemohon membayar biaya perkara sesuai perintah dalam
putusan sela Pengadilan, Kasir wajib mengembalikan uang negara tersebut ke
negara. Setelah putusan akhir dibacakan, apabila terjadi kelebihan biaya
perkara, Kasir wajib mengembalikan kelebihan biaya perkara tersebut kepada
kas negara.
13. Setelah putusan akhir dibacakan, apabila biaya perkara ternyata kurang,
Majelis Hakim dapat memerintahkan kepada Kuasa Pengguna Anggaran
untuk mengeluarkan biaya perkara tambahan yang diperlukan dengan
menggunakan instrumen.
14. Seluruh biaya perkara yang tercantum dalam putusan pengadilan, harus sama
dengan biaya yang dikeluarkan negara melalui DIPA (Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran) Pengadilan Agama.
14
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet.
III, (Jakarata: Pranada Media, 2005), h. 63.
86
Pengajuan prodeo dapat dibantah pahak lawan (tergugat/ pemohon)
karena menurut tergugat bahwa pengajuan perkara secara prodeo tersebut adalah
tidak beralasan sama sekali ataupun menyatakan bahwa pemohon prodeo
sesungguhnya mampu untuk membayar ongkos perkara dan sesuai pasal 239 ayat
(2) dan pasal 275 ayat (2) RB.g tentang bantahan pihak lawan tentang
permohonan gugatan secara Cuma-Cuma,15
dengan beberapa pertimbangan
berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam sidang insidentil, maka hakim
karena jabatannya dapat menolak permohonan pengajuan perkara secara Cuma-
Cuma tersebut, Keputusan Pengadilan tingkat pertama yang menolak
permohonan perkara secara prodeo ( Cuma-Cuma)adalah tidak dapat dimintakan
banding oleh pihak pemohon. Apabila isi putusan sela menolak maka
diperintahkan membayar biya perkara sebagai uang panjar yang berdasarkan
SKUM dari meja satu, jika tidak bisa membayar maka perkara dicoret
(dikeluarkan) dari register perkara setelah empat belas hari dari putusan tersebut
diucapkan. Jika permohona tersebut ikabulkan maka proses perkaranya
dilanjutkan dengan pemeriksaan materi perkara.
Sedangkam mekanisme dalam persidangan, pengadilan tidak
membedakan antara penyelesaian perkara secara prodeo dengan penyelesaian
perkara pada umumnya, hanya terlebih dahulu adanya putusan sela. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor
085/Pdt.G2010/PAJB tentang duduk perkaranya mengenai kasus cerai gugat oleh
15
Ibid., h. 65
87
A. Umur 38 Tahun pekerjaan ibu rumah tangga (sebagai Pengggat) dengan B.
Umur 38 Tahun, Pekerjaan tidak bekerja.( Sebagai Tergugat)16
Dalam berkas tersebut penggugat telah mengajukan permohonan prodeo
dengan sejumlah syarat yang ditetapkan oleh pengadilan. berdasarkan putusan
sela tersebut, pihak pengadilan mengabulkan permohonan penggugat dan
mengizinkan penggugat untuk berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) dalam
kasus perceraian. Dengan menimbang bahwa penggugat dalam positanya
menyatakan dirinya tidak mampu untuk memebayar biaya perkara karena dalam
keadaan miskin dan tergugat tidak keberatan atas permohonan penggugat
tersebut.17
kemudian diperkuat dengan dalil-dalilnya berupa Surat keterangan
dari Kelurahan Palmerah yang ditanda tangani oleh Lurah Palmerah yang
menyatakan bahwa penggugat tidak mampu selanjutnya diberi tanda P-1.,
kemudian disamping bukti surat, penggugat juga mengajukan saksi-saksi yaitu:
Saksi A. Umur, 45 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta. Bertempat
tinggal dijalan Villa bintaro indah blok B XI /15 Rt. 002 Rw.011 Tangerang
dengan dibawah sumpahnya memberikan keterangan sebagai berikut :
- Bahwa saksi tahu dan kenal dengan penggugat karena penggugat adalah
kakak penggugat dan saksi kenal kepada tergugat sebagai suami penggugat.
16
Berkas Pribadi pengadilan Agama Jakarta Barat, Tentang Putusan Sela Cerai Gugat, Ketua
Majlis Abu Thalib Zisma, Tanggal 8 Februari 2010 17
Ibid., h.3
88
- Bahwa saksi tahu penggugat tidak mampu membayar biaya perkara karena
penghasilan sebagai ibu rumah tangga dan penggugat tidak diberi nafkah
oleh tergugat dan saat ini tergugat tidak bekerja dan tidak dapat mencukupi
kebutuhan sehari-hari.18
- Bahwa saksi tahu penggugat telah dikaruniai 3 orang anak yang dua sudah
besar dan yang satu sudah kecil.
Bahwa penggugat telah menyampaikan kesimpulan secara secara lisan
yang pokoknya mohon agar dapat beracara secara Cuma-Cuma
Menimbang bahwa karena penggugat dinyatakan tidak mampu
membayar biaya perkara, dan dalam DIPA pengadilan Agama Jakarta barat
tersedia anggaran bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu, maka
biaya perkara dibebankan kepada Negara melalui DIPA Pengadilan Agama
Jakarta Barat.
Mengadili
Sebelum memberikan putusan akhir, terlebih dahulu menjatuhkan putusan
sela sebagai berikut:
1. Menyatakan, Penggugat tidak mampu untuk membayar biaya perkara
2. Membebankan biaya perkara kepada Negara Republik Indonesia
melalui DIPA Pengadilan Agama jakarta Barat
3. Menangguhkan perhitungan biaya perkara bersama putusan akhir.
18
Berkas Pribadi pengadilan Agama Jakarta Barat, Tentang Putusan Sela Cerai Gugat, Ketua
Majlis Abu Thalib Zisma, Tanggal 8 Februari 2010.
89
C. Tingkat Frekwensi Masyarakat Yang Berperkara Prodeo
Berdasarkan keterangan Adri Syrifudin sebagai Panitra Muda Hukum di
pengadilan Agama Jakarta Barat. Frekwensi masyarakat yang berperkara prodeo
dari tahun 2009-2010 masyarakat yang berperkara prodeo meningkat dikarenakan
faktor ekonomi masyarakat karena banyaknya penduduk masyarakat Jakarta Barat
faktor ekonominya kurang baik, dikarenakan banyaknya pengangguran dan
kebutuhan mereka pas-pasan untuk biaya hidup.19
Pada tahun 2009 dari 1.360 perkara yang diselesaikan di Pengadilan
Agama Jakarta Barat hanya sebanyak 23 perkara yang menggunakan jalur prodeo.
Sedangkan Pada Tahun 2010 perkara yang telah diselesaikan sebanyak 1.494
perkara di Pengadilan Agama Jakarta Barat hanya sebanyak 24 perkara yang
menngunakan jalur prodeo.
Sedangkan menurut H. Muhiddin Selaku hakim Pengadilan Agama
Jakarta Barat beliau berpendapat perkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta
Barat dari Tahun 2009 terdapat 23 perkara, tahun 2010 sebanyak 24 perkara,
Terdapat perkembangan yang tidak begitu signifikan atas realitas yang diberikan
negara. Karena hanya dalam kurun waktu dua tahun terdapat selisih 1 perkara.
Hal tersebut kemungkinan ada beberapa faktor, faktor-faktor nya diantaranya
dalah:
1. Pendidikan rendah sehingga banyak masyarakat yang masih awam untuk
berperkara secara prodeo.
19
Wawancara Pribadi Dengan Adri Syafruddin Sulaiman . Jakarta 7 Maret 2011
90
2. Faktor informasi kemungkinan besar adanya fasilitas prodeo (berperkara
secara Cuma-Cuma) tidak sampai masyrakat kalangan bawah20
Berdasarkan hasil wawancara di atas, terbukti bahwa alasan mengenai
minimnya frekwensi masyarakat yang berperkara secara prodeo, bukan hanya dari
faktor ekonomi masyarakat yang cukup baik, tetapi juga karena Pendidikan
rendah sehingga banyak masyarakat yang masih awam tentang hukum,
banyaknya pengangguran dan kebutuhan mereka pas-pasan dan kurannya sosialisi
sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang adanya prodeo di
Pengadilan.
Menurut Muhiddin sebagai Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Barat,
tidak ada perbedaan antara perkara prodeo dengan yang tidak prodeo, hakim
menangani dan menyelesaikan perkara sama saja. Karena tugas hakim adalah
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara, kalau dia sudah memenuhi
prosedur beracara secara prodeo maka diperiksa dan di selesaikan.21
Semua jenis perkara di pengadilan Agama seperti, masalah dalam
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, dapat diselesaikan dengan biaya Cuma-
Cuma (Prodeo) dengan syarat-syarat yang ditetapkan dari pengadilan. tetapi
pengadilan memberi gambaran, bahwa jenis perkara yang sering terjadi dalam
penyelesaian perkara secara prodeo di pengadilan Agama Jakarta Barat Yaitu
perkara perceraian.22
20
Wawancara Pribadi Dengan Muhiddin. Jakarta 7 Maret 2011
21 Wawancara Pribadi Dengan Muhiddin. Jakarta 7 Maret 2011
22 Wawancara Pribadi Dengan H. Muhiddin. Jakarta 7 Maret 2011
91
D. Analisiss Penulis
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menganalisa tentang
teori perbandingan antara teori dan praktek penyelesaian perkara prodeo di
Pengadilan Agama Jakarta Barat. Menurut penulis perbandingan penyelesaian
perkara prodeo dalam tataran teoritis tidak jauh berbeda dengan praktek di
Pengadilan. Hanya saja dalam prosedur awal dalam dalam pengajuan prodeo yaitu
dengan foto copy kartu tanda penduduk (KTP), foto copy buku nikah.
Namun di dalam pasal-pasal tentang prodeo hanya disyaratkan dengan
melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kepolisian. Sedangkan
pengadilan hanya mengharuskan membawa surat keterangan tidak mampu dari
kelurahan di tempat ia tinggal. Menurut penulis syarat-syarat yang tersebut diatas
wajar sekali dilakukan bagi para pemohon, karena berguna untuk menguatkan
pembuktian mereka di depan pengadilan.
Secara umum, bagi pemohon prodeo yang tidak mempunyai surat
keterangan, maka persidanagan akan tetap dilaksanakan secara insidentil, karena
surat ketengan tersebut hanya untuk meyakinkan hakim yang dimuat dalam
putusan sela sebagai bukti dan kebenaran pihak yang miskin sebagai salah satu
dokumen pertanggung jawaban keuangan.22
Kemudian pengadilan mensyaratkan bagi para pemohon prodeo membawa
2 (dua) orang saksi untuk menguatkan pembuktian bahwa ia benar-benar
22
Taufik Hasan Ngadi, “Perbedaan Persepsi Terhadap prosedur Beracara Cuma-
Cuma”Kaitannya dengan DIPA Pada Pengadilan Agama, Artikel Ini diakses 30 Maret 2011 dari
WWW.badilag.Net/data/artikel/tilisan%20Taufil%20Ngadi Pdf.,
92
dinytakan tidak mampu. Dalam hal ini Undang-undang tidak mensyaratkan
didatangkannya dua orang saksi. Berarti hal tersebut tidak sesuai dengan prosedur
yang yang ditetapkan di dalam aturan-aturan tentang prodeoyang berlaku. Selain
itu penulis dengan disyaratkan dua orang saksi tersebut tidak berpengaruh
terhadap kebenaran seorang pemohon prodeo atas ketidak mampuannya, karena
bisa saja dua orang saksi tersebut memalsukan kesaksiannya.
Tetapi menurut penulis, pengadilan mensyaratkan hal itu berdasarkan
kepada aturan-aturan yang ada, yaitu aturan-aturan yang berlaku secara umum
tentang pembuktian. Pendapat penulis bersumber pada pasal 283 RBg/163 HIR
yang menjelaskan, “Barang siapa mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk
menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang lain, harus membuktikan hak
atau keadaan itu”.23
Alat-alat bukti tersebut dapat terdiri dari bukti tertulis, bukti dengan saksi-
saksi, perangkaan, pengakuan dan sumpah. Maka pengadilan menggunakan bukti
dengan saksi-saksi yang berjumlah dua orang.
Kemudian mengenai biaya perkara yang masih harus dibayar oleh
pemohon prodeo, bagi penulis, pengadilan sudah mengambil jalan yang terbaik
dengan mengurangi beban para pemohon untuk membayar semua biaya perkara.
karena memang pada waktu sebelum diadakannya DIPA (Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran) belum ada kejelasan mengenai alokasi anggaran dalam
23
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan
Peradilan Agama, h., 47.
93
penyelesaian prodeo. Pada waktu itu pengadilan tidak mampu membiyayai semua
biaya perkarayang dikeluarkan seperti biaya pemanggilan, biaya untuk para saksi,
biaya penyitaan dan biaya-biaya lain atas perintah Ketua Pengadilan.24
Namun setelah diadakannya DIPA mulai tahun 2007 tidak ada lagi
kendala pada biaya, yaitu pengadilan harus tetap menyelesaikan perkara prodeo
seperti menyelesaikan perkara pada umumnya. Setelah seluruh biaya yang di
keluarkan dalam penyelesaian prodeo dilaporkan ke DIPA, maka DIPA akan
memberikan ganti biaya yang sudah dikeluarkan berdasarkan laporan. Setelah
diberlakukannya DIPA lah seluruh biaya dibebaskan bagi para pemohon prodeo.
Mengenai frekuensi masyarakat yang berperkara prodeo di Pengadilan
Agama Jakarta Barat, yaitu berdasarkan hasil wawancara penulis dengan hakim di
Pengadilan Agama Jakarta Barat dan berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Panitra Muda Hukum Pengadilan Agama Jakarta Barat, penulis
berpendapat bahwa frekuensi masyarakat yang berperkara secara prodeo sedikit
bukan hanya dikarenakan yang berekonomi baik tetapi juga dikarenakan
masyarakat tidak mengetahui tentang prodeo di Pengadilan Agama. Demikianlah
analisis penulis tentang Penyelesaian Perkara Prodeo di Pengadilan Agama
Jakarta Barat.
24
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, (Himpunan Berkala Hukum
&Peradilan), h., 42
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bab kelima ini merupakan bab penutup, yang didalamnya berisi
kesimpulan dan saran-saran sebagai kristalisasi dari literatur-literatur dan uraian
pembahasan bab terdahulu serta hasil penelitian di lapangan, maka kesimpulan
yang dapat penulis ambil adalah sebagai berikut:
1. Mekanisme penanganan perkara prodeo, tidak jauh berbeda dengan
penanganan pada umumnya. Bedanya hanya prosedur administrasi
pengajuannya saja. Adapun prosedur prosedur pengajuan penyelesaian
perkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat yang harus dipersiapkan
oleh para pihak yang ingin berperkara secara prodeo atau Cuma-Cuma adalah
sebagai berikut:
a. Datang langsung ke Pengadilan Agama Jakarata Barat dan kemukakan
keinginannya.
b. Memenuhi beberapa syarat antara lain, melampirkan surat keterangan
tidak mampu dari kelurahan setempat yang diketahui oleh camat, foto
copy kartu tanda penduduk (KTP), foto copy akta nikah, membuat
permohonan untuk berperkara secara prodeo (Cuma-Cuma) yang
ditunjukan ke ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat.
95
c. Setelah memenuhi persyaratan tersebut lalu pihak Pengadilan Agama Lalu
pihak Pengadilan Agama Jakarta Barat menempuh terlebih dahulu
kebenaran ketidak mampuannya kemudian diputuskan di Persidangan.
d. Persyaratan bagi pemohon prodeo yaitu harus mendatangkan dua orang
saksi. Menurut penulis ini merupakan penyimpangan mengenai proses
perkara prodeo di pengadilan dengan aturan yang ada pada undang-
undang. Namun walaupun tidak dijelaskan dalam undang-undang secara
teoritis, hal tersebut mempunyai alasan yaitu sebagai bukti bahwa
pemohon prodeo tersebut benar-benar tidak mampu. Hal tersebut
berdasarkan pasal 283 RBg/163HIR tentang pembuktian.
2. Faktor penyebab perkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat adalah
karena dua sebab, pertama karena adanya keterangan khusus yang
mengaturnya dalam pasal 237 HIR dan 273 R.Bg yang berbunyi: Penggugat
atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkaradapat diizinkan
untuk berperkara tanpa biaya”dan kedua karena adanya masyarakat kurang
mampu yang membutuhkan bantuan hukum dalam menyelesaikan masalahnya
yang kebutuhan akan keadilan merupakan hak asasi manusia yang harus
dilindungi, dengan tidak membedakan antara warga negara yang satu dengan
dengan yang lain semua sama dihadapan hukum dan berhak meperoleh
perlindungan hukum termasuk fakir miskin.
3. Penyelesaian perkara prodeo yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Jakarta
Barat, dalam aplikasinya hanya terdapat sedikit perkara prodeo yang masuk
96
dan diselesaikan dibandingkan dengan kasus lain yang tidak memakai jalur
prodeo dan diselesaikan oleh Pengadilan Agama Jakarta Barat. Hal ini
disebabkan oleh beberapa kendala diantaranya:
a. Adanya rasa malu atau gengsi masyarakat untuk berperkara secara Cuma-
Cuma karena untuk mengakui bahwa dirinya kurang mampu.
b. Kurangnya informasi dan publikasi yang dilakukan oleh Pengadilan
Agama Jakarta Barat tentang sosialisasi berperkara secara Cuma-Cuma.
c. Rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap bantuan hukum Cuma-
Cuma (prodeo) di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
4. Tidak ada perbedaan antara perkara prodeo dengan yang tidak prodeo, hakim
menangani dan menyelesaikan perkara sama saja. Karena tugas hakim adalah
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara, kalau dia sudah memenuhi
prosedur beracara secara prodeo maka diperiksa dan di selesaikan.
B. Saran-Saran
Setelah menelaah kesimpulan diatas, penulis ingin memberikan beberapa
saran yang dapat dijadikan pertimbangan untuk prosepek Pengadilan Agama
kedepan yaitu:
1. Perlu dilakukan sosialisasi tentang prodeo oleh beberapa pihak, baik pihak
pengadilan maupun tokoh masyarakat setempat juga melalui berbagai media
cetak elektronik serta forum-forum kajian masyarakat, seperti khotbah jum`at,
kuliah subuh, majlis ta`lim dan forum-forum lainnya.
97
2. Diharapkan hakim bersikap sama baik kepada orang yang berperkara prodeo
dan tidak prodeo.
3. Adanya jaminan terhadap masyarkat untuk mendapat mendapatkan
pendidikan hukum sebagai wujud bantuan hukum secara Cuma-Cuma
(prodeo). Selain itu, dapat juga hal prodeo dimasukan ke dalam bab kurikulum
fiqih di Madrasah-madrasah tsanawiyah atau Aliyah.
4. Menghilangkan sikap kepada masyarakat agar tidak bersikap rendah diri
dalam berperkara secara prodeo bila ternyata dia tidak mampu.
98
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoorn, L. J. Van. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke XXVIII. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2000.
Arto, A. Mukti. Praktek PerkaraPerdata Pada peradilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta: PT. Ma`arif,
1994.
______________. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasonal, Cet.II. Jakarta: Logos, 1999.
______________. Peradilan Agama dan Alokasi Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: al-
Hikmah, 1997.
______________. Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000.
______________. Peradilan Islam di Indonesia, Jil.I. Bandung: Ulul Albab Press,
1997.
______________. Perkembangan Peradilan Islam dalam Kemajemukan Masyarakat
Indonesia dalam Bunga Rampai Peradilan Islam, Cet.I. Bandung: Ulil al Bab
Press, 1997.
99
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama. Bulletin Berkala
Hukum & Peradilan. Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Departemen Agama, 2002.
______________. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan
Peradilan Agama. Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Departemen Agama, 2001.
______________. Peradilan Agama di Indonesia :Sejarah Perkembangan Lembaga
dan Proses Pembentukan Undang-undangnya. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 1999.
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum
Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang
Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam
Aceh. Jakarta: Kencana, 2006.
______________. Peradilan Islam. Jakarta: T.tp, 2007.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Resarch I. Yogyakarta: Andi Offset, 1989.
Halim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonesia, dari Otoritas
Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif. Jakarta: Raja
Grafindo, 2000.
______________. Politik Hukum Islam di Indonesia, Cet. I. Jakarta: Ciputat Press,
2005.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama “ UU
No. 7 Tahun 1989”, Cet . II. Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.
100
Hadi, Taufik Hasan. “Perbedaan Persepsi Terhadap prosedur Beracara Cuma-Cuma
Kaitanya dengan DIPA pada Peradilan Agama”, artikel diakses pada 30 Maret
2011 dari www.badilag.net/data/artikel/tulisan %20taufik%20nadi pdf.
Kadafi, Binziad. dkk. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi : Studi Tentang
Tanggung Jawab Profesi Hukum Indonesia, Cet. III. Jakarta: Pusat Studi
Hukum dan kebijakan Indonesia, 2002.
Kamarusdiana. Hukum Perdata Islam. Jakarta: T.Tp., 2006.
Lev, Daniel S. Peradilan Agama di Indonesia, Suatu Studi Tentang Landasan Politik
Lembaga-Lembaga Hukum, Cet. II. Alih Bahasa: Zaini Ahmad Noeh. Jakarta:
PT. Intermasa, 1986.
Makarao, Moh.Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Cet. I. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2004.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Cet I. Jakarta: Al-Hikmah, 2000.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet II. Yogyakarta:
Liberti, 1999.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. VII. Bandung: PT.
Citra Aditya bakti, 2000 .
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia Al Munawwir, Cet. 1. Jakarta:
T.Tp, 1996.
101
Nuruddin, Amiur dan Taringan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2004.
PA Sukabumi,”Proses Beracara Secara Cuma-Cuma”, artikel diakses 30 Maret
2011darihttp:pasukabumi/ptabandung.net/indexs2.phpoption=com_conten&-
pdf.
Purbacaraka , Purnadi dan Soekanto, Soejono. Perihal Kaidah Hukum, Cet. IV.
Bandung: Penerbit alumni, 1997.
Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. II. Jakarta: CV. Rajawali,
1991.
Soekanto, Soerjono. Pendekatan Sosioligi Hukum, Cet. 1, Jakarta: Bina Aksara, 1988.
______________. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI, 1986.
Soepomo, R. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia ke II. Jakarta:
Pradya Pramita, 1972.
Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum, Cet VI. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Suma, M. Amin. Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum
Indonesia. Jakarta: T.tp., 2009.
Syazali, Munawir. Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka
Menentukan Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1998.
Tev, Daniel S. Peradilan Agama Islam di Indonesia, Cet. II. Jakarta: PT, Inter Masa,
1986.
102
Tolchah Hasan, Muhammad. “Beberapa Catatan Sekitar 10 Tahun Undang-Undang
Peradilan Agama” :Ditbinbapera Islam, Fakultas UI & Pusat Pengkajian
Hukum Islam dan Masyarakat. 2 Desember 1999. Jakarta: Chasindo, 1999.
Tresna, R. Komentar HIR. Jakarta: Pradya Pramita, 1989.
______________. Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Cet. III. Jakarta:
Pradnya Pramitra, 1978.
Waluyo, Bambang. Implementasi Kekuasaan Kehakiman di Republik Indonesia.
Jakarta: Senat Grafika, 1992.
Wawancara Pribadi dengan Adri Syafruddin Sulaiman . Jakarta. 7 Maret 2011.
Wawancara Pribadi Dengan Muhiddin. Jakarta. 7 Maret 2011.
Widodo. Cerdik Menyusun Proposal Penelitian: Skripsi, Tesis, dan Desirtasi, Cet. II.
Jakarta: Yayasan Klopak dan Makna Scrip, 2004.
Pedoman Wawancara
1. Bagaimana mekanisme penanganan perkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta
Barat?
- Prosedurnya
2. Apa hambatan dalam proses melakukan atau melaksanakan prodeo di Pengadilan
Agama Jakarta Barat?
- Apa landasan hakim dalam menentukan sejumlah prosedur dan persyaratan yang
ada? diatur oleh Undang-undang atau interpretasi hukum?
- Bagaimana pandangan hakim tentang tidak diaturnya persyaratan itu dalam UU?
Perlukah kemudian diundangkan?
3. Adakah kendala-kendala yang terjadi dalam praktek perkara secara prodeo di
Pengadilan Agama Jakarta Barat? Jika ada apa solusi pemecahan masalah tersebut?
4. Apakah ada peraturan yang jelas secara tertulis yang di buat oleh Pengadilan Agama
Jakarta Barat dan ketentuan tidak mampunya seperti apa?
5. Perkara apa saja yang bisa ditangani dengan prodeo di Pengadilan Agama Jakarta
Barat?
6. Apakah benar-benar gratis 100% atau hanya mendapat potongan setengah harga
sesorang yang melakukan prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat?
- Apakah seluruh biaya perkara dibebaskan bagi di bebaskan bagi pemohon prodeo?
- Minta klarifikasi dan klasifikasi kasus prodeo
7. Dari mana dana untuk prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan di bebankan
kesiapa dana tersebut?
8. Berapa banyak frekuensi masyarakat yang berperkara secara prodeo di Pengadilan
Agama Jakarta Barat?
- Buat klasifikasi dan prosentase frekuensi itu.
9. Apakah ada dari para pemohon prodeo yang ditolak permohonannya? Jika ada, apa
yang menyebabkan tersebut ditolak?
- Apa kebijakan Pengadilan Agama Jakarta Barat kepada pemohon prodeo yang
ditolak permohonannya? prodeo?
10. Apakah ada perbedaan penyelesaian kasus antara perkara secara prodeo dan tidak
prodeo?
Wawancara
Hari /Tnggal : 7 Maret 2011
Hakim ; Drs. H. Muhiddin, SH,. MH.
Hasil Wawancara
1. Bagaimana prosedur pengajuan berperkara secara prodeo di Pengadilan Agama
Jakarta Barat?
Jawab : Mekanisme penanganan perkara prodeo, tidak jauh berbeda dengan
penanganan pada umumnya. Bedanya hanya prosedur pengajuannya saja. Pada
perkara prodeo, pemohon harus mengajukan gugatan atau permohonan yang
dilengkapi dengan keterangan tidak mampu /miskin atau dengan dilengkapi foto copy
kartu Gakin. untuk berperkara prodeo surat keterangan tidak mampu tersebut
dikeluarkan oleh kelurahan yang diligalisir oleh camat tempat ia tinggal.
Adapun dalam pemeriksaan di dalam persidangan, prosesnya sama dengan
pemeriksaan perkara pada umumnya saja, hanya saja sebelum pemeriksaan pihak
perkara, tertulis dahulu di pemeriksa tentang prodeo dari pemohon / penggugat
tersebut dan ditanyakan kepada termohon / tergugat apakah keberatan ataukah tidak.
Di periksa bukti-bukti, saksi-saksi tentang ketidak mampuan pemohon / penggugat
sebelum penggugat/ pemohon itu bener-benar miskin, baru dijatuhkan putusan sela
untuk mengabulkan atau menolak prodeonya tersebut, jika dikabulkan maka
penggugat/ pemohon diberikan izin oleh majlis hakim untuk beracara secara secara
Cuma-Cuma dan pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan pihak perkara.
Dengan memeriksa gugatan/ permohonan, jawaban replik, duplik (jika ada)
keterangan saksi-saksi kemudian putusan.
2. Apa hambatan dalam proses melakukan atau melaksanakan prodeo di Pengadilan
Agama Jakarta Barat?
Jawab: sama seperti perkara biasa hanya saja dalam pemanggilanya tidak dikenakan
biaya adapun tentang materai harus membeli materai sendiri.
- Apa landasan hakim dalam menentukan sejumlah prosedur dan persyaratan yang
ada? diatur oleh Undang-undang atau interpretasi hukum? Jawab: landasanya
adalah HIR diatur dalam pasal 237 sampai 245 HIR
TENTANG IZIN UNTUK BERPERKARA DENGAN TAK BERBIAYA
Pasal 237
Orang-orang yang demikian, yang sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak
berperkara akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara dapat diberikan izin
untuk berperkara dengan tak berbiaya.
Penjelasan:
Pasal 237 sampai dengan pasal 245 mengatur tentang kemungkinan untuk berperkara
dengan tidak membayar biaya bagi orang yang tidak mampu, syarat-syarat dan cara-
caranya berperkara itu. Adapun mereka yang tidak mampu diberi izin untuk
berperkara dengan tidak membayar biaya itu sebabnya yaitu oleh karena dalam suatu
negara yang beradab harus juga diberikan kesempatan kepada mereka itu untuk dapat
mencari keadilan pada hakim. Sebagai akibat dari izin berperkara dengan cuma-cuma
itu ialah tidak diminta biaya administrasi kepaniteraan dan juga tidak akan ditarik
pembayaran upah juru sita. Apabila yang meminta izin itu penggugat, maka
permohonan itu harus diajukan pada waktu ia memasukkan surat gugatannya atau
pada waktu ia mengajukan gugatannya dengan lisan, sedangkan apabila yang
memohon untuk diperkenankan berperkara dengan cuma-cuma itu orang yang
digugat, maka permintaan itu harus diajukan pada waktu ia menjawab gugatan itu.
Dalam ke dua hal permohonan itu harus disertai surat keterangan tidak mampu yang
diberikan oleh kepala polisi tempat tinggal pemohon itu yang harus berisi suatu
keterangan bahwa kepala polisi setelah menyelidiki mengetahui bahwa pemohon itu
sama sekali tidak mampu (pasal 238). Pada hari persidangan yang pertama
pemeriksaan dan keputusan tentang berperkara dengan tidak membayar biaya itu
diselenggarakan terlebih dahulu sebelum pokok perkara itu diperiksa. Pada sidang
pemeriksaan itu pihak lawan orang yang meminta berperkara dengan Cuma-Cuma itu
dapat menentang permohonan izin itu, baik dengan menyatakan bahwa tuntutannya
itu atau pembelaan pemohon tidak beralasan ataupun dengan membuktikan bahwa ia
mampu untuk membayar ongkos perkara. Selain dari itu hakim sendiri karena
jabatannya, atas sesuatu alasan, juga dapat menolak permohonan itu (pasal 239).
Keputusan tentang izin berperkara tanpa biaya itu tidak dapat dibanding atau
dimintakan kasasi (pasal 241). Izin berperkara dengan cuma-cuma hanya berlaku
untuk pemeriksaan tingkat pertama, dan izin berperkara tanpa bayaran pada tingkat
banding harus diperoleh
dengan baru dari hakim tingkat banding (pasal 242,244,245 dan pasal 12 U.U No.
20/1947). Apabila pihak yang mendapat izin berperkara tanpa bayaran itu menang
perkaranya, maka pihak lawan dihukum membayar ongkos perkara itu seolah-olah
pihak yang lain tidak berperkara dengan percuma.
Pasal 238
Apabila penggugat menghendaki izin itu, maka ia memajukan permintaan untuk itu
pada waktu memasukkan surat gugatan, atau pada waktu ia memajukan gugatannya
dengan lisan, sebagaimana diatur pada pasal 118 dan 120. Apabila izin dikehendaki
oleh tergugat, maka izin itu diminta pada waktu itu memasukkan jawabnya yang
dimaksudkan pada pasal 121. Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai surat
keterangan tidak mampu, yang diberikan oleh kepala polisi pada tempat diam
peminta, yang berisi keterangan dari pegawai tadi, bahwa padanya nyata benar
sesudah diadakan pemeriksaan, bahwa orang itu tidak mampu membayar.
Pasal 239
Pada hari menghadap ke muka pengadilan negeri, maka pertama sekali diputuskan oleh
pengadilan negeri apakah permintaan akan berperkara dengan tak berbiaya dapat
dikabulkan atau tidak. Lawan orang yang memajukan permintaan itu dapat memajukan
perlawanan atas permintaan itu, baik dengan mula-mula menyatakan, bahwa gugatan
atau perlawanan peminta itu tidak beralasan sama sekali, maupun dengan menyatakan
bahwa ia mampu juga akan membayar biaya perkara itu. Pengadilan Negeri juga dapat
menolak permintaan yang beralasan salah satu alasan itu karena jabatannya.
Pasal 240
Balai harta peninggalan dapat diizinkan juga dengan cara serupa di atas untuk
berperkara dengan tak berbiaya, baik sebagai penggugat, maupun sebagai tergugat,
dengan tidak usah menunjukkan surat tidak mampu, jika harta benda yang
dipertahankannya itu atau harta benda orang yang di wakilinya itu pada waktu
berperkara tidak mencukupi akan membayar biaya perkara, yang ditaksir dan akan
dibayar itu.
Pasal 241
Keputusan pengadilan negeri tentang izin akan berperkara dengan tak berbiaya, tidak
dapat dibanding, dan tidak dapat ditundukkan dengan aturan yang lain.
Pasal 242
1. Permintaan supaya berperkara dengan tak berbiaya di dalam bandingan, harus
dimajukan dengan memberikan keterangan tidak mampu dengan lisan atau tulisan,
sebagai dimaksud di dalam ayat tiga dari pasal 238, kepada panitera pengadilan negeri
yang memutuskan perkara itu pada tingkat pertama oleh orang yang hendak
membanding dalam tempo 14 hari sesudah tanggal keputusan atau sesudah
diberitahukan, menurut pasal 179; oleh fihak yang lain dalam tempo 14 hari sesudah
diberitahukan tentang bandingan ataupun sesudah pemberitahuan pada ayat terakhir
yang dimaksud dalam pasal ini.
2. Permintaan itu dicatat oleh panitera dalam daftar yang tersebut pada pasal 191.
3. Ketua menyuruh memberitahukan permintaan itu, dalam tempo empat belas hari
sesudah dituliskan, pada fihak lawan dan menyuruh memanggil kedua belah fihak
supaya datang menghadapnya.
Pasal 243
(1) Jika orang yang meminta itu tidak menghadap, maka permintaan itu dipandang gugur.
(2) Pada hari yang ditentukan itu, maka orang yang memajukan permintaan itu dan
lawannya, diperiksa oleh ketua jika ia datang.
Pasal 244
Pemberitaan pemeriksaan serta segala surat-surat tentang perkara itu, pemberitaan
persidangan, salinan yang syah dari keputusan dan petikan dari catatan yang diperbuat
dalam daftar tentang permintaan akan berperkara dengan tak berbiaya dikirim oleh
paniteran pengadilan negeri pada pengadilan tinggi
Pasal 245
1. Pengadilan tinggi memberikan keputusan dengan tidak beracara atau dengan jalan
hukum, dan hanya atas surat itu saja. Dengan salah situ alasan-alasan yang tersebut
pada ayat kedua pasal 239, maka pengadilan tinggi karena jabatannya menolak
permintaan itu.
2. Panitera pengadilan tinggi dengan segera mengirim salinan yang syah dari
keputusan pengadilan itu bersama-sama dengari segala surat yang tersebut pada
pasal di atas pada ketua pengadilan negeri, yang menyuruh memberitahukan
keputusan itu pada kedua belah fihak menurut cara yang tersebut pada pasal 194.
-
3. Adakah kendala-kendala yang terjadi dalam praktek perkara secara prodeo di
Pengadilan Agama Jakarta Barat? Jika ada apa solusi pemecahan masalah tersebut?
jawab: secara prinsip tidak ada. Karena sudah diatur oleh undang-undang,
walaupun tidak ada biaya panggilan, tapi juru sita tetap diperintahkan untuk
melakukan panggilan secara Cuma-Cuma tanpa ada biaya panggilan. Kalaupun ada
panggilan prodeo dimana suami yang bersangkutan diluar wilayah yang besangkutan
katakanlah di luar wilayah pengadilan Agama Jakarta Barat dikirim kesana prodeo
pasti merekapun mengerti bahwa ini adalah perkara prodeo krena gugatan
dilampirkan dan pasti dilaksanakan juga karena itu perintah undang-undang.
4. Apakah ada peraturan yang jelas secara tertulis yang di buat oleh Pengadilan Agama
Jakarta Barat dan ketentuan tidak mampunya seperti apa?
Jawab: tidak perlu dibuat oleh Undang-undang karena sudah diatur oleh HIR pasal
237 sampai 245 HIR
5. Perkara apa saja yang bisa ditangani dengan prodeo di Pengadilan Agama Jakarta
Barat?
Jawab: banyak sekali diantaranya perkara perceraian
6. Apakah benar-benar gratis 100% atau hanya mendapat potongan setengah harga
sesorang yang melakukan prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat?
Jawab: jadi yang dinamakan prodeo adalah bebas biaya proses prosedur
berperkara akan tetapi tentang biaya legalisir materai dimana bukti yang harus
dinilai di persidangan yang sah dan formil itukan bermaterai materainya beli sendiri.
benar-benar gratis 100% karena dalam panjar biaya perkara prodeo di kwitansinya
di tulis NIHIL
7. Dari mana dana untuk prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan di bebankan
kesiapa dana tersebut?
Jawab: dari DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) negara akan menanggung
setoran tanpa pajak.
8. Berapa banyak masyarakat yang berperkara secara prodeo dalam setahun di
Pengadilan Agama Jakarta Barat?
- Pada tahun 2009 perkara diterima yang prodeo sebanyak 23 perkara.
- Pada tahun 2010 perkara yang diterima yang prodeo sebanyak 24 perkara dan
penyerapan anggaran RP. 12. 684.000,-
9. Apakah ada dari para pemohon prodeo yang ditolak permohonannya? Jika ada, apa
yang menyebabkan tersebut ditolak?
Jawab:bisa saja terjadi prodeo ditolak hal tersebut karena tidak mampu
membuktikan untuk beracara prodeo misalnya orang yang mengajukan prodeo
ternyata hartanya banyak, punya kontrakan banyak dan sebagainya, tapi untuk
pengadilan Agama Jakarta Barat sepengetahuan saya belum pernah terjadi.
10. Apakah ada perbedaan penyelesaian kasus antara perkara secara prodeo dan tidak
prodeo?
Jawab: tidak ada perbedaan antara perkara prodeo dengan yang tidak prodeo, hakim
menangani dan menyelesaikan perkara sama saja. Karena tugas hakim adalah
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara, kalau dia sudah memenuhi
prosedur beracara secara prodeo maka diperiksa dan di selesaikan.
Jakarta, 7 Maret 2011
Pewawancara Yang Diwawancara
Muchamad Arifin Drs. H. Muhiddin, SH,. MH.
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat