Upload
theofilus-ardy
View
30
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Peran Memori terhadap Fenotipe Perilaku pada Sindroma Down
DARLYNNE A. DEVENNYInstitute for Basic Research in Developmental Disabilities, New York, USA
RINGKASANMemori pada remaja dan dewasa muda dengan Sindroma Down (DS)
menunjukkan suatul profil khas. Memori implisit (memori untuk prosedur dan
untuk ingatan yang tak memerlukan proses kognitif yang sulit atau berat) dan
memori semantic (memor untuk makna katan dan untuk pengetahuan) lebih
menunjukkan kesesuaian dengan tingkat fungsinya. Memori kerja (pengelolaan
dan manipulasi informasi sementara) menunjukkan kerusakan berat pada unsur
auditori-verbal dibandingkan dengan unsur visuospasial. Memori episodik
(memori untuk kejadian yang terlokalisir pada waktu dan tempat yang spesifik)
menghabiskan durasi yang lebih lama dibandingkan dengan memori kerja dan
mengalami kerusakan baik pada domain verbal maupun spasial.
Kekuatan dan kelemahan pada memori ini adalah khas dari suatu fenotipe
DS, walalupun basis biologis untuk profil ini masih tak jelas saat ini. Secara
keseluruhan, kemampuan memori terkait dengan perubahan karena perkembangan
dan karena pengalaman pada sistem saraf dan sensitif terhadap tingkat dan
karakteristik perkembangan pada domain lain (seperti bahasa dan kognisi). Profil
dari memori yang dikaitkan dengan DS, kemudian, akan disesuaikan sepanjang
masa kehidupan, bergantung pada interaksi dari berbagai proses perkembangan
dan pengalaman hidup, beberapa yang mana khas pada sindroma ini. Sebagai
tambahan untuk perubahan perkembangan sistematik, dalam grup individual
dengan DS manapun terdapat variabilitas dalam performa memori dan tugas
kognitif lain yang dapat menjadi pertimbangan, membuatnya menjadi sulit untuk
memprediksi kapabilitas performa dan perkembangan dan arah perkembangan
pada setiap individu spesifik. Memahami sumber dari variabilitas ini akan penting
dalam mengungkap hubungan antara proses memori dan kognisi pada individu
dengan DS.
Memori memiliki sifat tanggap terhadap pengalaman hidup, jadi dalam sistem
ini terdapat kemungkinan untuk modifikasi melalui intervensi. Adalah penting
bahwa riset terhadap hal dasar terkait proses fundamental memori pada individu
dengan DS dan interaksinya dengan komponen lain dari kognisi dan kemudian
membangun program pemulihan untuk memfasilitasi kompensasi terhadap area
yang mengalami defisit
PENDAHULUAN
Apa guna memori? Pada pengetahuan yang paling umum, memori adalah
riwayat dari seorang individu yang tak sempurna dan unik. Cetakan dari
pengalaman masa lalu kita terdapat dalam memori, termasuk apa yang telah kita
lakukan, orang-orang dan tempat-tempat yang telah dipelajari, ide-ide yang telah
diterima dari perhatian kita, hal-hal yang telah dipelajari, perasaan yang telah kita
rasakan. Pengalamn yang terekam ini tersusun rapi, baik dari perspektif riwayat
personal dan sebagai penunjuk jalan yang membimbing tindakan dan pemikiran
masa depan kita. Memori juga berperan dalam berpikir aktif. Ide atau unsur yang
dibawa dalam kewaspadaan dari informasi yang disimpan dan secara aktif pula
memproses dan memanipulasi untuk menghasilkan perencanaan indakan,
pandangan atau ide baru.
Neurofisiologi kontemporer telah menunjukkan manfaat dari penggunaan
pendekatan sistem terhadap penelitian pada memori (Squire 1987; Schacter &
Tulving 1994), walaupun diketahui bahwa batas antara memori dan komponen
sistem tidaklah selalu jelas terbatasi. Pemahaman bahwa proses memori individu
dengan retardasi mental (MR) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam suatu
jalur unik terkait etiologi dari disabilitas perkembangannya, meski begitu
taksonomi dari sistem memori dapat secara luas diterapkan pada individu dengan
atau tanpa MR. Dlaam taksonomi sistem memori, satu pembedanya terdapat di
antara memori eksplisit, yakni memori yang bertujuan dan penuh usaha, dan
memori implisit, yakni memori yang relatif tak bertujuan dan otomatis. (Istilah
lainnya adalah memori deklaratif dan non-deklaratif, secara berurutan).
Beberapa komponen telah didiskripsikan dalam bagian memori eksplisit,
setiap bagian berkaitan degnan proses yang relatif berbeda yang memiliki baik
sifat structural maupun fungsional. Komponen pertama, memori kerja, adalah
diskripsi yang diberikan pada proses yang mengambil informasi dari lingkungan
atau dari pengetahuan personal dan dipertahankan sementara pada kesadaran
sehingga dapat dimanipulasi melalui proses pemahaman, pembelajaran dan
pembentukan sebab-akibat. Memori kerja dihubungkan dengan kewaspadaan
sadar akan kejadian spontan yang terjadi. Menahan suatu pemikiran, lokasi, atau
fakta dalam kewaspadaan sementara mendapati dan mengintegrasikan informasi
lanjutan yang datang adalah diperlukan untuk tindakan koheren pada situasi
harian.
Terdapat tiga komponen pada model dari memori kerja yang secara orisinil
digagas oleh Baddeley dan rekan-rekan (1986). Penyimpanan sementara dengan
kapasitas yang terbatas dihasilkan oleh dua sistem di bawahnya:(1) loop
auditorik/fonologik memilik akses prioritas pada pemrosesan informasi fonologik
dan secara singkat menahan informasi verbal ini pada buffer/penahan hingga
informasi ini digunakan; (2) sketsa visuospasial adalah komponen pembanding
yang secara singkat menahan informasi spasial dan visual. Komponen ketiga dari
model ini, (3) pusat pengaturan eksekutif, menjalankan kontrol terhadap
pemrosesan informasi dan mengendalikan perhatian terhadap informasi yang
datang. Baru-baru ini komponen keempat, (4) buffer episodik, yang mampun
mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber, termasuk informasi dari
penyimpanan memori jangka panjang yang relevan dengan tugas pada tangan,
ditambahkan dalam model (Baddeley 2000, 2001).
Komponen kedua dari memori eksplisit, yakni memori episodik, merupakan
perincian informasi yang diidentifikasikan dengan suatu waktu dan tempat
spesifik (Tulving 1983) walaupun bergantung pada dasar pengetahuan dari makna
dan situasi yang sebelumnya telah dipelajari. Memori episodik berlangsung pada
kerangka waktu menit hingga tahunan, dibandingkan dengan memori kerja, yang
memiliki strategi kerangka waktu detik digunakan untuk memperpanjang umur
memori. Konsolidasi jangka panjang dari tipe memori ini bergantung pada
integritas dari hippocampus dan hubungan timbal baliknya pada lobus frontalis.
Fungsi yang lebih luas dari memori episodik berkaitan langsung dengan memori
otobiografik. Pengenalan terhadap diri kita dibentuk, pada bagian besarnya, dari
akumulasi dari pengalaman unik yang kita ingat dan efek-efeknya terhadap fungsi
emosional dan kognitif.
Memori semantik, yang merupakan komponen lain memori eksplisit,
dikaitkan dengan penyusunan pengetahuan umum kita terhadap dunia dan juga
makna, konsep dan symbol kata (Tulving 1983). Komponen memori dicirikan
dengan retensi jangka sangat panjang dan kapasitasnya yang nyaris tak terbatas.
Sedangkan memori episodik berhubungan dengan pengalaman personal, memori
semantik berhubungan dengan transmisi budaya dan pengetahuan yang
terkumpul.
Akhirnya, tipe-tipe memori di atas adalah tipe memori di mana pengetahuan
dan ketrampilan diperoleh melalui suatu paparan yang rutin, praktis dan telah
dilalui, tipe memori yang kita dapat gunakan tanap usaha sadar. Memori implisit
merujuk pada pengaruh atau fasilitasi dari suatu pengalaman spesifik pada
memori tanpa dukungan proses pelaksanaan yang sadar dan sengaja (Graf &
Scacter 1985; Schacter 1987). Memori implisit mendukung sebagian besar dari
fungsi harian rutin seperti memori yang terlibat pada gerakan mengendarai
sepeda. Memori implisit juga memiliki beberapa subkomponen termasuk
pengkondisian klasik dan operant (tambahan/instrumental), pengetahuan
prosedural (urutan gerakan yang penting untuk menghasilkan suatu pola yang
teratur) dan priming (fasilitasi yang berdasarkan paparan sebelumnya).
Memori-memori tersebut jelas bukan merupakan kesatuan tunggal. Memori
tersebut mewakili integrasi dari subkomponen yang telah didiskripsikan dalam
sistem dinamis dan interdependen dengan komponen lain dari kognisi (seperti
perhatian dan penyusunan sebab-akibat) dan bahasa. Jelas, sebagian besar memori
ini dikodekan dengan bahasa. Aturan bahasa menandai unsur waktu yang
menunjukkan memori di masa lalu dan cara membedakannya dengan masa kini.
Memori membuat kita berpikir mengenai masa depan dan menyesuaikan dengan
harapan masa depan karena kita memiliki kewaspadaan dari pengalaman yang kita
alami di masa lalui (Tulving 2002).
Observasi anecdotal individu dengan DS menunjukkan adanya perbedaan
pada kemampuan dari setiap domain memori. Oster (1953, melaporkan dalam
Gibson 1978) mengomentari kemampuan individu DS dalam mengingat orang
dan situasi saat terdapat kesulitan menangkap suatu pesan yang singkat. Di luar
observasi riwayat seperti ini, studi memori khusus untuk sindroma ini baru
dilakukan akhir-akhir ini. Walaupun banyak studi terhadap individu MR terdahulu
yang memang juga melibatkan individu dengan DS, sayangnya kemampuan
individu DS dari setiap grup subjek tidaklah dibedakan (contohnya Belmont 1996;
Ellis 1970; Ellis et al. 1970; Bruscia 1981). Dari penelitian-penelitian, yang
dimulai pada awal 1980an, berfokus pada kemampuan spesifik pada inidividu DS,
ditemukan suatu defisit auditori sebagaimana dibandingkan dengan memori visual
jangka pendek (Marcell & Armstrong 1982; Varnhagen et al. 1987). Dari
penelitian yang lebih baru pada subkomponen memori lain, suatu pola kekuatan
dan kekurangan terkait DS mulai muncul. Seperti halnya juga aspek performa
lain, pola ini bisa disebut menunjukkan variabilitas individual yang sebagian
dapat dirujuk pada proses perkembangan yang berkaitan dengan memori pada
berbagai tahap perkembangan. Untuk memahami sepenuhnya, penting untuk
memahami memori sebagai suatu sistem dinamis bukannya sebagai sifat
kemampuan statis, yang berkembang pada perpaduan sistem-sistem kognitif dan
sosial.
MEMORI KERJA
LOOP AUDITORI FONOLOGIS
Terdapat konsensus dari penelitian-penelitian sejak awal 1980an bahwa
individu dengan DS memiliki suatu defisit spesifik pada subkomponen loop
auditori/fonologis dari memori kerja, berakibat rendahnya skor dibandingkan baik
dengan individu yang memiliki tingkat perkembangan yang setingkat ataupun
dengan kemampuan mereka sendiri pada berbagai tugas kognitif lain. Memori
auditori fonologis telah sering diukur dengan berbagai jenis tugas seperti sejumlah
angka (Jarrold et al. 2002; Kay-Raining Bird & Chapman 1994; Seung &
Chapman 2000; Wang & Bellugi 1994), sejumlah kata (Hulme & Mackenzie
1992) dan pengulangan bukan kata (Cairns & Jarrold, in press). Pada panjang
tugas, angka-angka (dipilih secara acak 1 sampai 9) atau kata-kata yang diberikan,
diawali dengan satu urutan pendek (biasanya dua kata) dan panjang urutan
ditingkatkan dengan satu item setelah pengulangan yang sukses dari urutan ini
hingga kriteria kegagalan tercapai.
Sepertinya tak hanya terdapat faktor tunggal untuk menjelaskan suatu defisit
memori kerja auditori tapi terdapat beberapa faktor yang mungkin berperan secara
sinergis untuk keluaran akhirnya. Tingkat artikulasi telah diamati sebagai
pembeda potensial dari performa tugas memori kerja auditori. Pada model dari
memori kerja yang diusulkan oleh Baddeley (1986) informasi auditori secara
cepat hilang kecuali penyimpanan pada loop fonologik disegarkan kembali oleh
pengulangan (rehearsal) subvokal. Walaupun rehearsal dapat terjadi diam-diam
dan secara internal, kerusakan jejak memori terjadi secara time-dependent
sehingga jumlah informasi yang disimpan ditentukan oleh tingkat rehearsal dan
sebaliknya rehearsal sebagian ditentukan oleh tingkat artikulasi. Individu dengan
DS diketahui memiliki masalah pada organisasi motor, termasuk juga pada
artikulator, dan, maka dari itu, dapat menjadi kurang efisien dalam rehearsal
subvokal. Walau begitu, penelitian mengenai hal ini telah diketahui lemah atau tak
ada hubungan antara tingkat artikulasi pada remaja sertadalam dewasa muda
dengan DS dan performa dalam tugas verbal span (Jarrold et al. 2002; Kanno &
Ikeda 2002; Seung & Chapman 2000). Hal yang berhubungan dengan masalah
rehearsal subvokal adalah permasalahan mengenai efisiensi proses rehearsal itu
sendiri. Penelitian-penelitian telah menyimpulkan bahwa individu dengan
kelainan mental menunjukkan sedikiti atau bahkan tak ada bukti rehearsal (Hulme
& Mackenzie 1992; Jarrold et al. 1999; Vicari et al. 2004). Ini dapat berhubungan
dengan tingkat perkembangan keseluruhan, seperti umumnya perkembangan pada
anak-anak tidak menunjukkan penggunaan rehearsal spontan sampai usia tujuh
tahun (Gathercole 1998)
Sejumlah kecil penelitian telah meneliti permasalaha terkait dari peranan
akses semantic dan lexical serta, secara tak langsung, peranan dari buffer episodik
sebagai pendukung memori auditori. Ketika kata degnan frekuensi tinggi dan
rendah diberikan pada tugas span kata, remaja dengan DS memberikan span lebih
panjang pada kata-kata frekuensi tinggi, seperti halnya anak-anak pada umumnya
yang setara usia mentalnya (mental age/MA) (Vicari et al. 2004),
mengindikasikan suatu pengaruh paralel pada sistem semantik pada memori
auditori. Sebaliknya, beberapa temuan menunjukkan bahwa DS dapat
berhubungan dengan kesulitan pada kontrol eksekutif pada material verbal. Kanno
& Ikeda (2002) mengamati bahwa suatu kata yang secara semantik berhubungan,
dengan segera, menggantikan muatan memori yang sebelumnya ada ketika
recall/mengingat kembali pada grup dengan DS, menunjukkan kesulitan dalam
mengakses muatan ingatan temporer. Ketika daftar kata-kata yang mengandung
muatan semantik yang mirip diberik, ditemukan bahwa dewasa usia pertengahan
dengan DS membuat lebih banyak eror dibanding grup lain dengan MR etiologi
tak spesifik (Kittler et al. 2004) menunjukkan suseptibilitas untuk mengganggu
dan memperburuk kontrol eksekutif pada memori kerja verbal. Pada sebuah
penelitian longitudinal selama 5 tahun yang ditentukan pada awal penelitian
untuk memprediksi skor repetisi non kata dan kemudian skor kosa kata, dapat
diinterpretasikan bahwa memori fonologis yang memiliki peran penting dalam
penyusunan kosa kata (Laws & Gunn 2004). Walau demikian, pada analisis
terhadap data yang sama, kosa kata reseptif yang diprediksi lebih awal baru
kemudian skor repetisi non kata, malah menujukkan efek resiprokal
Kemampuan bahasa mungkin merupakan faktor kontributif dalam performa
tugas panjang memori auditori, khususnya ketika stimuli berupa kalimat. Panjang
kalimat (yang diukur menurut suku kata) lebih panjang daripada panjang angka
baik untuk remaja dengan DS dan MA yang sesuai terkontrol diperkirakan karena
memori didukung oleh familiaritas dengan sintaks (Seung & Chapman 2004).
Peneliti telah mengukur kontribusi dan pendengaran periferal untuk performa
tugas memori auditori. Banyak orang dengan DS memiliki kekurangan
pendenganra sepanjang hidupnya yang bisa jadi tak terdeteksi atau tak ditangani
karena berupa suatu pengurangan pendengaran ringan yang berfluktuasi yang
mungkin berhubungan dengan infeksi telinga tengah (Davies 1988). Dalam
rangka menentukan jika keluaran stimuli auditori menunjukkan kesulitan yang tak
biasa untuk orang-orang dengan DS, prosedur pengujian disusun untuk melihat
gangguan auditori periferal (Marcell & Weeks 1988; Jarrold et al. 2002). Temuan
menunjukkan bahwa walau tingkat pendengaran dapat memberi beberapa
pengaruh pada performa, hal ini tidak sendirian bertanggung jawab terhadap
defisit memori auditori berkaitan dengan DS. (Peran potensial dari persepsi
penghasilan suara dan penangkapan suara dalam penggunaan loop fonologis
adalah kompleks. Lihat Marcell 1995 dan Jarrold et al. 2002 untuk diskusi lebih
jauh mengenai topik ini)
SKETSA VISUOSPASIAL
Berbeda dengan kesulitan mereka dengan memori auditori verbal, performa
pada tugas visuospasial konsisten dengan ukuran umumnya pada level
penggunaannya pada remaja dan dewasa dengan DS. Tugas panjang Corsi
seringkali dipakai untuk menilai sistem visual dan untuk memberikan
perbandingan dengan tugas panjang angka. Pada tugas panjang Corsi, sembilan
blok ditempatkan pada suatu urutan acak pada suatu papan dan partisipan diminta
untuk mengulang urutan gambar yang sama seperti halnya dilakukan oleh penguji
(Milner 1971) Tugas ini kemudian, memerlukan kemampuan temporal dan
sekuensial spasial.
Umumnya, remaja dengan DS menunjukkan performa mirip pada tugas
panjang Corsi pada kelompok individu lain dengan MR beretiologi tak spesifik
(Jarrold et al. 1999) dan juga dengan umumnya perkembangan anak-anak dengan
MA ekuivalen (Jarrold & Baddeley 1997).
Ketika span tugas verbal dn noverbal dibandingkan, individu dari populasi
umum dan individu dengan MR etiologi tak spesifik menunjukkan efek modalitas
di mana span auditori lebih panjang dibanding dengan span visuospasial (Jarrold
dan Baddeley 1997). Walau begitu, pada remaja dengan DS, span dari dua
modalittas lebih sering setara, atau span visuospasial sedikit lebih panjang (Wang
& Bellugi 1994). Meski demikian hubungan antara kedua modalitas ini, dapat
tidak terjadi sepanjang masa dewasa. Data pendahuluan dari penelitian 73 dewasa
sehat dengan DS yang tak diduga menderita demensia dan berdistribusi antara
usia 16 hingga 65 tahun menunjukkan bahwa performa span Corsi menunjukkan
suatu penurunan lebih cepat yang berhubungan dengan usia dibandingkan dengan
span angka. Perbedaan tingkat perubaha pada dua domain yang menghasilkan
suatu perubaha pada hubungan seperti tersebut di atas, pada usia lebih tua, orang
dewasa dengan DS menunjukkan modalitas efek (Gambar 6.1). Lebih penting
lagi, orang dewasa dengan DS menunjukkan penurunan lebih cepat pada usia
remaja dan dewasa muda pad area fungsional yang relatif kuat (Devenny, data tak
dipublikasikan).
Penelitian mengenai kemampuan yang bergantung pada sketsa visuospaisal
baru-baru ini telah diperluas melibatkan tugas lebih kompleks.Pada penelitian
terkini (Vicari et al., pada pers), recall segera terhadapa lokasi dibandingkan
dengan recall ciri persepsi bentuk geometri pada anak dan remaja dengan DS dan
MA berkesesuainan dengan kelompok 5,2 tahun. Performa secara keseluruhan
dari grup dengan DS lebih rendah pada kedua kerja visuospasial tapi perbedaan
antara grup ini tidak signifikan lagi ketika skor diubah untuk abilitas perseptual,
menunjukkan bahwa dasar untuk performa yang relatif lebih buruk pada
kelompok dengan DS sebagian adalah karena kerusakan persepsi daripada
kerusakan dengan memori.
Penelitian terkini memberikan lima tugas visuospasial yang memiliki
kesulitan bertingkat, memerlukan peningkatan kendali dari memori kerja.
Ditemukan bahwa ketika grup remaja dengan DS memiliki performa yang setara
degnan grup sesuai dengan MA untuk dua kerja paling sederhana, dan menjadi
sangat lebih buruk pada dua kerja paling sulit (Lanfranci et al. 2004). Penelitian
ini menyoroti kontribusi kompleks pada komponen eksekutif sentral pada memori
kerja untuk performa tugas dan sangat jelas mendorong pada suatu kesimpulan
mengenai kekuatan dan kelemah relatif dalam dan sepanjang domain. Konsensus
menunjukkan bahwa orang dengan DS memiliki kemampuan memori kerja
visuospasial lebih baik dibandingkan dengan kemampuan memori kerja fonologis
auditori dan tak ada satu faktor, seperti tingkat artikulasi, bahasa atau pendengaran
dapat secara penuh bertanggung jawab terhadap ketidaksesuaian ini.
MEMORI EPISODIK
Tugas yang seringkali dipakai untuk menguji memori episodik meliputi
pembelajaran daftar kata dan pembelajran hubungan terpasangkan di mana jumlah
unsur melebihi span memori kerja dan seorang diberikan beberapa kesempatan
untuk mempelajari item-item tersebut. Walaupun makna dari kata-kata yang
dipakai pada daftar bergantung pada memori semantik, pemilihan dan penempatan
kata bersifat unik pada setiap situasi pengujian spesifik dan, maka dari itu,
memberikan keadaan nyaris sama dengan pembelajaran mengenai waktu dan
tempat spesifik.
Dibandingkan dengan banyak penelitian mengenai memori kerja, terdapat
lebih sedikit penelitian yang menujukan pada permasalahan terkait memori
episodik khususnya pada DS ketika topiknya bukan pemeriksaan penuaan lanjut.
Satu penelitian yang membandingkan remaja dengan DS (rerata usia 16,7 tahun;
rerata MA 9,1 tahun) dengan peer group dengan MR dengan etiologi tak spesifik
dan pada kelompok anak tumbuh pada umumnya dari MA yang sesuai,
menemukan bahwa grup dengan DS lebih buruk dibandingkan dengan grup lain
(Carlesimo et al. 1997). Walau demikian, ketika benda uji diberikan dengan cara
pengenalan, grup DS memiliki performa setara dengan kelompok dengan MR tak
spesifik, menunjukkan pada para peneliti ini bahwa DS dapat berkaitan dengan
defisit pada performa pengambilan kembali informasi yang tersimpan sebelumnya
secara sengaja.
Seperti disebut sebelumnya, konsolidasi memori episodik berhubungan
dengan fungsional hippocampus. Sebuah penelitian yang membandingkan 28
remaja dengan DS (usia 11 hingga 19 tahun) dengan anak yang tumbuh normal
yang cocok keadaan MA (usia 5 tahun) dilakukan empat tes yang diketahui
memiliki ketergantungan primer pada fungsional hippocampus. Pennington et al.
(2003) menemukan bahwa performa remaja dengan DS selalu konsisten lebih
buruk daripada grup kontrol pada setiap pengukuran ini tapi hal yang sama tak
terjadi pada pengukuran fungsi eksekutif yang bergantung pada fungsional lobus
prefrontalis. Temuan mereka menunjukkan bahwa DS berhubungan dengan defisit
kemampuan spesifik yang bergantung pada hippocampus. Menarik bahwa tugas
hippocampus terkait visual dan juga verbal diketahui lebih buruk pada kelompok
dengan DS, sebuah temuan yang kontras dengan penelitian mengenai memori
kerja. Sebuah temuan mirip akan performa yang lebih buruk oleh remaja yang
lebih tua dan dewasa muda dengan DS baik pada tugas visual dan verbal juga
ditemukan oleh Vicari et al. (2000).
Memori episodik juga telah diuji melalui pengulangan cerita. Setelah
pemaparan cerita, seseorang diminta mengulang cerita. Penilaian umumnya
adalah jumlah gagasan dari cerita asli yag berhasil diceritaulangkan. Jelas sekali,
kemampuan untuk melakukan yang terbaik pada tugas ini berhubungan dengan
kompetensi bahasa sebagai tambahan terhadap kemampuan memori. Setelah
melihat film bisu 6 menit, The Pear Story, anak dengan DS diminta mengingat
kembali kejadian yan telah mereka lihat (oudreau & Chapman 2000). Anak-anak
dengan DS lebih baik untuk mengulang struktur kejadian dibandingkan grup
pembanding yakni anak dengan tingkat ekspresi bahasa yang setara (dengan
diukur dengan rerata panjang ucapan) dan nyaris sama dengan anak tumbuh
normal dengan tingkat pemahaman setara. Sebaliknya, ketika cerita pendek
diberikan secara auditori, pengulangan sangat lebih buruk pada individu DS (skor
= 0.6, skor maksimal yang mungkin dicapai = 8) dibandingkan dengan mereka
dengan MR tak spesifik (3.4) atau anak tumbuh normal (5.2) (Carlisimo et al.
1997). Memori episodi rawan terhadap perubahan yang berhubungan dengan
proses penuaan norml dan penurunannya adalah salah satu tanda paling awal dari
demensia jenis Alzheimer (Dementia of the Alzheimer Type/DAT). Bahkan efek
penuaan terhadap sistem memori membebankan pada organisasi yang memiliki
sejarah perkembangan atipik pada orang dewasa dengan DS, temuan
menunjukkan pola performa yang mirip dengan yang terlihat pada populasi
umum. Penurunan kecil yang berkaitan dengan usia pada memori episodik telah
ditunjukkan pada penelitian longitudinal terhadap orang-orang dewasa sehat yang
lebih tua dengan DS tapi penurunan ini terjadi lebih cepat, hampir 20 tahun lebih
awal dibandingkan dengan populasi umum (Haxby & Schapiro, 1992; Devenny et
al. 1996, 2002; Oliver et al. 1998; Krinsky-McHale et al. 2002)
Peredaan antara penurunan memori terkait penuaan normal dengan keadaan
terkait dengan DAT sangatlah penting pada dewasa dengan DS karena mereka
secara unik rentan terhadap Alzheimer. Sebenarnya semua orang dewasa dengan
DS memiliki penanda neuropatologis mengenai penyakit ini (penyusutan
neurofibriler, plak amyloid, dan kematian sel neuron) dengan deposisi amyloid
dimulai pada dekade ketiga kehidupan (Hof et al. 1995; Hyman et al. 1995; lihat
Mann 1993 untuk review). Bagaimanapun juga, hanya beberapa orang memiliki
gejala demensia dan, umumnya, tidak hingga 20 tahun kemudian. Suatu
penurunan memori episodik adalah penanda awal terkait DAT pada individu
dengan DS (dan pada populasi umum) dan dibedakan dengan penurunan berkaitan
dengan penuaan normal oleh derajat dan jenis kelainan memori (Devenny et al.
2002; Krinsky-McHale et al. 2002). Pada suatu penelitian kami meminta orang
dewasa dengan DS untuk mempelajari daftar berisi 12 kata yang tak berhubungan
bersama dengan suatu penanda kategori unik. Untuk mereka yang sehat,
pemberian penanda kategori telah memberikan peningkatan substansial
pengulangan terhadap benda-benda uji. Untuk para orang dewasa yang secara
bertahap membentuk demensia pada tahun-tahun berikut dari penelitian, penanda
kategori menjadi lebih tak efektif dalam membantu pengulangan kembali
(Devenny et al. 2002).
Orang dengan DS dapat memilii kesulitan lebih saat diberi tugas memori
episodik dibandingkan dengan kelompok pembanding dengan MR dari etiologi
lain atau umumnya pada anak-anak dengan MA sebanding. Tak seperti memori
kerja, orang dengan DS menunjukkan kerusakan relatif pada kerja visuospasial
seperti halnya memori episodik verbal.
MEMORI SEMANTIK
Kemampuan untuk memperoleh dan mempertahankan kosa kata baru
merefleksikan integritas dari memori semantic. Secara umum, anak-anak, remaja
dan dewasa dengan DS memiliki pemahaman kosa kata sebanding dengan tingkat
fungsional kesuluruhan dan kosa kata dipertahankan atau bahkan ditingkatkan
melalui kehidupan dewasa nantinya sebagai hasil paparan terhadap aktivitas baru.
Orang dengan DS sensitive terhadap kategori semantik yang diperlihatkan oleh
kemampuan mereka untuk menggunakan penanda kategori untuk meningkatkan
pengulangan daftar kata (Devenny et al. 2002). Pada Tes Pengingatan Selektf
versi kami, suatu tugas daftar pembelajaran di mana semua item berasal dari
kategori tunggal semantik (hewan atau makanan), kami telah mengamati bahwa
ketika pengacauan dengan kata yang tak ada di daftar, paling sering mereka
berasal dari kategori semantik yang sama. Pada penelitian lain, bagaimanapun
juga, bahkan dengan fasilitas dengan kategori semantik, remaja dengan DS, tak
membuat efektif pemakaian kategori informasi dalam rangka mendukung
pengingatan bebas (Carlesimo et al. 997).
MEMORI IMPLISIT
Telah sangat sedikit penelitian mengenai pemeriksaan memori implicit
khsusnya pada seseorang dengan DS, dan hanya satu dalam subkomponen
multipel dari memori implisit yang diuji dalam penelitian yang sama (Vican et al.
2000). Perfomra remaja dan dewasa muda diperbandingkan dengan pada
umumnya anak tumbuh yang sesuai dengan MA (usia 6,3 tahun) dengan dua tugas
pembelajaran prosedural: the Tower of London dan Tes Waktu Reaksi Serial, dan
dua pengulangan tugas priming, Tes Gambar Terurai dan Pelengkapan Batang.
Performa dari kelompok sebanding pada tugas pemahaman procedural dan kedua
kelompok memberikan bukti priming. Sebaliknya, pada pengukuran memori
eksplisit pada penelitian ini, kelompok dengan DS menunjukkan performa yang
lebih buruk.
Sati sofat dari memori implisit adalah insensitifitasnya terhadap usia dan IQ
relatif terhadapa memori eskplisit. Pada suatu penelitian terkini pada orang usia
pertengahan dan dewasa dengan DS (rerata usia=44,4+6 tahun; rerata IQ=59+6,8)
dibandingkan dengan dewasa dengan sindroma William dan dengan orang dewasa
dengan MR dari etiologi tak spesifik pada usia dan level fungsional yang nyaris
mirip (Krinsky-McHale et al., 2005). Memori implisit diukur dengan Tugas
Gambar Terurai sedang memori eskplisit diukur dengan Tes Pengingatan Selektif.
Suatu perbandingan langsung tentang performa pada pengukuran-pengukuran ini
mengindikasikan penurunan berkaitan dengan usia pada memori eksplisit saja
pada kelompok dengan DS dan sindroma Williams: tak ada penurunan pada
memori implisit untuk tiga kelompok lain yang ditemukan.
Memori implisit pada individu dengan DS muncul konsisten dengan tingkat
fungsionalnya dan bersifat relatif resisten terhadap perubahan berkaitan dengan
usia.
PERBANDINGAN DENGAN KELOMPOK ETIOLOGI LAIN
Saat ini masih tak pasti apakah pola dari kekuatan dan kelemahan dari
kemampuan memori yang tergambarkan pada penelitian terhadap individu dengan
DS adalah unik untuk sindrom ini. Dengan perkecualian yang mungkin terhadap
sindroma Williams, tak terdapat informasi yang cukup lengkap mengenai
kemampuan melintasi semua komponen memori untuk menggambarkan profil
untuk genetic lain yang menyebabkan MR. Juga, dengan beberapa perkecualian
(contohnya, Wang & Bellugi 1994; Klein & Mervis 1999; Munir et al. 2000;
Jarrold et al. 2004; Vicari et al, pada pers), penelitian-penelitian umumnya
memeriksa performa pada satu sindroma saja dan sering hanya satu komponen
memori, dapat membuat segalanya sulit untuk melibatkan pola kemampuan yang
lebih luas. Diberikan trajektori pertumbuhan yang berbeda berkaitan dengan
berbagai sindroma genetik, tampaknya sepertinya bahwa banyak sindroma ini
akan akhirnya dihubungkan dengan fenotipe tingkah laku spesifik.
Pemahaman kami tentgan pola kekuatan dan kelemahan berkaitan dengan
sindroma Williams sedang mengalami perubahan, karena riset terkini telah
menunjukkan suatu sifat kemampuan kompleks. Secara umum, memori kerja
visuospasial mereka, khususnya ketika melakukan proses melibatkan memori
lokasi spasial, relatif buruk (Vicari 2001: lihat Farran & Jarrold 2003 untuk
review) ketika dibaningkan dengan memori kerja verbal mereka. Kelemahan pada
pemrosesan visual juga ditemukan pada memori jangka panjang visual yang
bergantung pada kerja, yang lagi-lagi, memori lokasi spasial lebih buruk dibandig
dengan memori untuk memori visual untuk rincian dari objek (Vicari et al. 2005).
Bukti sebelumnya mengenai penurunan yang berhubungan dengan usia pada
memori episodic mengindikasikan penuaan prematur yang mirip dengan DS juga
ditemukan pada suatu kelompok kecil orang dewasa dengan WS (Devenny et al.
2004; Krinsky-McHale et al., 2005). Dengan memandang ke memori implisit,
priming tampak konsisten dengan tingkat fungsional keseluruhan (Vicari 2001)
dan tak diganggu oleh proses penuaan (Krinsky-McHale et al., dalam pers)
sedangkan pembelajaran prosedural tampak lebih buruk pada remaja dan dewasa
dengan sindroma Williams dibandingkan dengan orang yang tumbuh umumnya
(Vicari 2001; Don et al. 2003)
Umumnya, kekuatan dan kelemahan kemampuan memori pada DS dan pada
sindroma Williams merefleksikan pola yang lebih luas tentang kemampuan
kognitif. Individu dengan DS diketahui memiliki kesulitan dengan kemampuan
verbal dan ekspresi bahasa khususnya (Chapman & Hesketh 2000). Untuk
individu dengan sindroma William, kemampuan verbal adalah area yang relatif
kuat tapi kemampuan visuospasial terganggu (Farran & Jarrold 2003). Adalah
mungkin bahwa penelitian di masa depan dari interaksi memori dengan
kemampuan kognitif lain akan menguak bahwa arah pengaruh memori akan
bergantung dengan usia perkembangan seseorang. Sebagai contoh, dimana
kemampuan auditori dan fonologis mungkin merupakan suatu kekuatan kuat pada
kosa kata awal dan perkembangan bahasa pada anak-anak yang sangat muda
(Gathercole 1998), untuk anak-anak lebih tua dan remaja kemampuan bahasa
mungkin menentukan kemampuan memori verbal.
KESIMPULAN
Kemampuan memori pada individu dengan DS memiliki pola karakteristik
kekuatan dan kelemahan sepanjang berbagai sub komponen dari sistem memori.
Memori kerja auditor tampak secara selektif terganggu selama usia anak, remaja,
dan ketika dewasa muda, seperti pada memori episodic. Memori yang berdasar
pada pengetahuan semantik dan pembelajaran implisit, bagaimanapun juga,
konsisten dengan tingkat keseluruhan fungsional individual. Adalah pola dari
kemampuan yang dapat spesifik dengan DS, bukan kemampuan terkait
subkomponen memori mana pun. Walau demikian, untuk beberapa tingkat, pola
kemampuan memori ditentukan oleh rancangan penelitian riset dan sangat kuat
dipengaruhi oleh komposisi dan usia dari grup pembanding. (Untuk diskusi
pengaruh variabel pencocok pada performa keluaran lintas kelompok
perbandingan lihat Jarrold & Baddeley 1997; Chapman & Hesketh 2000; Vicari &
Carlesimo 2002; Farran & Jarrold 2003).
Walaupun suatu pola kekuatan dan kelemaha berkaitan dengan DS sepertinya
eksis, terdapat juga variabilitas individual yang perlu dipertimbangkan.
Menyatakan bahwa suatu pola khusus kemampuan memori adalah keluaran
perilaku yang terkait dengan DS tidaklah menujukan etiologi dari pola tertentu.
Dengan memperhitungkan dari sejumlah penelitian yang sangat sedikit dari bayi
dengan DS, kemampuan memori awal tidak sesuai dengan fenotipe tingkah laku
yang diamati pada kehidupan pada masa lebih lanjut (Peterson et al. 1999). Ini
menunjukkan bahwa pola kemampuan memori yang dijelaskan untuk remaja dan
dewasa muda mungkin adalah fenomena yang muncul, yang mungkin berkaitan,
dengan tingkat diferensial dan trajektori dari perkembangan dalam subkomponen
sistem memori. Jika fenotipe tingkah laku untuk proses memori berkaitan dengan
DS muncul, ini ada karena durasi yang terbatas karena proses penuaan dan
merubah kemampuan memori spesifik bermula dari awal usia dewasa di populasi
ini.
Memori adalah proses fundamental yang berkontribusi pada perkembangan
domain lain seperti kognisi, bahasa, kemampuan sosial dan mempengaruhi, persis
sepertinya yang dipengaruhi oleh seluruh proses lain yang terbentuk bersamaan
dengannya. Akan menolong sekali jika penelitian masa depan memasukkan
memori dalam konteks pengalaman harian, seperti memori bola lampu (flashbulb
memory) (memori untuk kejadian yang secara emosional dan langka), memori
persaksian mata, memori palsu, memori prospektif (memori untuk tindakan yang
akan diambil di masa depan), memori wajah dan memori autobiografik (seleksi,
retensi, dan manipulasi memori dari kejadian dalam hidup). Sejauh ini, penelitian
tentang memori telah hamper secara eksklusif terbatasi dalam modalitas visual
dan auditorik. Penelitian masa depan berkaitan dengan fungsi sensori lain,
termasuk penciuman, taktil dan kinestesi, akan mendorong pemahaman yang lebih
lengkap mengenai memori pada populasi ini.
Walaupun perkembangan yang penting telah dibuat sejak pertengahan 1980an
dalam hal penjelasan proses memori berkaitan dengan DS, walaupun kita belum
memahami faktor mana yang berhubungan dengan kemampuan memori yang
paling dapat diterima untuk intervensi, pada usia berapa intervensi harus terjadi
atau apakah intervensi ini diberikan secara umum atau ditargetkan secara spesifik.
Dan bagaimana intervensi di domain lain, seperti bahasa, akan mempengaruhi
perkembangan memori masihlah harus dipastikan. Kami paham, walau
bagaimanapun, bahwa memori sensitive untuk perkembangan dan ini
menunjukkan bahwa intervensi yang mendorong perkembangan yang berhasil
sepertinya akan memiliki dampak signifikan pada memori.
UCAPAN TERIMA KASIH
Riset ini didukung oleh pendanaan dari Kantor Retardasi Mental dan
Kecacatan Perkembangan New York dan oleh pendanaan RO1 AG 14771 untuk
A. Devenny dan PO1 HD35897 untuk W. Silverman. Penulis juga berterima kasih
untuk S. J. Krinsky-McHale, P. Kittler dan C. Marino untuk banyak kontribusi
penting pada riset yang dilakukan dengan Laboratorium Pengembangan Masa
Hidup dan W. Silverman untuk dukungan berkelanjutannya.