28
Peran Memori terhadap Fenotipe Perilaku pada Sindroma Down DARLYNNE A. DEVENNY Institute for Basic Research in Developmental Disabilities, New York, USA RINGKASAN Memori pada remaja dan dewasa muda dengan Sindroma Down (DS) menunjukkan suatul profil khas. Memori implisit (memori untuk prosedur dan untuk ingatan yang tak memerlukan proses kognitif yang sulit atau berat) dan memori semantic (memor untuk makna katan dan untuk pengetahuan) lebih menunjukkan kesesuaian dengan tingkat fungsinya. Memori kerja (pengelolaan dan manipulasi informasi sementara) menunjukkan kerusakan berat pada unsur auditori-verbal dibandingkan dengan unsur visuospasial. Memori episodik (memori untuk kejadian yang terlokalisir pada waktu dan tempat yang spesifik) menghabiskan durasi yang lebih lama dibandingkan dengan memori kerja dan mengalami kerusakan baik pada domain verbal maupun spasial. Kekuatan dan kelemahan pada memori ini adalah khas dari suatu fenotipe DS, walalupun basis biologis untuk profil ini masih tak jelas saat ini. Secara keseluruhan, kemampuan memori terkait dengan perubahan karena perkembangan dan karena pengalaman pada sistem saraf dan sensitif terhadap tingkat dan karakteristik

Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

Peran Memori terhadap Fenotipe Perilaku pada Sindroma Down

DARLYNNE A. DEVENNYInstitute for Basic Research in Developmental Disabilities, New York, USA

RINGKASANMemori pada remaja dan dewasa muda dengan Sindroma Down (DS)

menunjukkan suatul profil khas. Memori implisit (memori untuk prosedur dan

untuk ingatan yang tak memerlukan proses kognitif yang sulit atau berat) dan

memori semantic (memor untuk makna katan dan untuk pengetahuan) lebih

menunjukkan kesesuaian dengan tingkat fungsinya. Memori kerja (pengelolaan

dan manipulasi informasi sementara) menunjukkan kerusakan berat pada unsur

auditori-verbal dibandingkan dengan unsur visuospasial. Memori episodik

(memori untuk kejadian yang terlokalisir pada waktu dan tempat yang spesifik)

menghabiskan durasi yang lebih lama dibandingkan dengan memori kerja dan

mengalami kerusakan baik pada domain verbal maupun spasial.

Kekuatan dan kelemahan pada memori ini adalah khas dari suatu fenotipe

DS, walalupun basis biologis untuk profil ini masih tak jelas saat ini. Secara

keseluruhan, kemampuan memori terkait dengan perubahan karena perkembangan

dan karena pengalaman pada sistem saraf dan sensitif terhadap tingkat dan

karakteristik perkembangan pada domain lain (seperti bahasa dan kognisi). Profil

dari memori yang dikaitkan dengan DS, kemudian, akan disesuaikan sepanjang

masa kehidupan, bergantung pada interaksi dari berbagai proses perkembangan

dan pengalaman hidup, beberapa yang mana khas pada sindroma ini. Sebagai

tambahan untuk perubahan perkembangan sistematik, dalam grup individual

dengan DS manapun terdapat variabilitas dalam performa memori dan tugas

kognitif lain yang dapat menjadi pertimbangan, membuatnya menjadi sulit untuk

memprediksi kapabilitas performa dan perkembangan dan arah perkembangan

pada setiap individu spesifik. Memahami sumber dari variabilitas ini akan penting

dalam mengungkap hubungan antara proses memori dan kognisi pada individu

dengan DS.

Page 2: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

Memori memiliki sifat tanggap terhadap pengalaman hidup, jadi dalam sistem

ini terdapat kemungkinan untuk modifikasi melalui intervensi. Adalah penting

bahwa riset terhadap hal dasar terkait proses fundamental memori pada individu

dengan DS dan interaksinya dengan komponen lain dari kognisi dan kemudian

membangun program pemulihan untuk memfasilitasi kompensasi terhadap area

yang mengalami defisit

PENDAHULUAN

Apa guna memori? Pada pengetahuan yang paling umum, memori adalah

riwayat dari seorang individu yang tak sempurna dan unik. Cetakan dari

pengalaman masa lalu kita terdapat dalam memori, termasuk apa yang telah kita

lakukan, orang-orang dan tempat-tempat yang telah dipelajari, ide-ide yang telah

diterima dari perhatian kita, hal-hal yang telah dipelajari, perasaan yang telah kita

rasakan. Pengalamn yang terekam ini tersusun rapi, baik dari perspektif riwayat

personal dan sebagai penunjuk jalan yang membimbing tindakan dan pemikiran

masa depan kita. Memori juga berperan dalam berpikir aktif. Ide atau unsur yang

dibawa dalam kewaspadaan dari informasi yang disimpan dan secara aktif pula

memproses dan memanipulasi untuk menghasilkan perencanaan indakan,

pandangan atau ide baru.

Neurofisiologi kontemporer telah menunjukkan manfaat dari penggunaan

pendekatan sistem terhadap penelitian pada memori (Squire 1987; Schacter &

Tulving 1994), walaupun diketahui bahwa batas antara memori dan komponen

sistem tidaklah selalu jelas terbatasi. Pemahaman bahwa proses memori individu

dengan retardasi mental (MR) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam suatu

jalur unik terkait etiologi dari disabilitas perkembangannya, meski begitu

taksonomi dari sistem memori dapat secara luas diterapkan pada individu dengan

atau tanpa MR. Dlaam taksonomi sistem memori, satu pembedanya terdapat di

antara memori eksplisit, yakni memori yang bertujuan dan penuh usaha, dan

memori implisit, yakni memori yang relatif tak bertujuan dan otomatis. (Istilah

lainnya adalah memori deklaratif dan non-deklaratif, secara berurutan).

Page 3: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

Beberapa komponen telah didiskripsikan dalam bagian memori eksplisit,

setiap bagian berkaitan degnan proses yang relatif berbeda yang memiliki baik

sifat structural maupun fungsional. Komponen pertama, memori kerja, adalah

diskripsi yang diberikan pada proses yang mengambil informasi dari lingkungan

atau dari pengetahuan personal dan dipertahankan sementara pada kesadaran

sehingga dapat dimanipulasi melalui proses pemahaman, pembelajaran dan

pembentukan sebab-akibat. Memori kerja dihubungkan dengan kewaspadaan

sadar akan kejadian spontan yang terjadi. Menahan suatu pemikiran, lokasi, atau

fakta dalam kewaspadaan sementara mendapati dan mengintegrasikan informasi

lanjutan yang datang adalah diperlukan untuk tindakan koheren pada situasi

harian.

Terdapat tiga komponen pada model dari memori kerja yang secara orisinil

digagas oleh Baddeley dan rekan-rekan (1986). Penyimpanan sementara dengan

kapasitas yang terbatas dihasilkan oleh dua sistem di bawahnya:(1) loop

auditorik/fonologik memilik akses prioritas pada pemrosesan informasi fonologik

dan secara singkat menahan informasi verbal ini pada buffer/penahan hingga

informasi ini digunakan; (2) sketsa visuospasial adalah komponen pembanding

yang secara singkat menahan informasi spasial dan visual. Komponen ketiga dari

model ini, (3) pusat pengaturan eksekutif, menjalankan kontrol terhadap

pemrosesan informasi dan mengendalikan perhatian terhadap informasi yang

datang. Baru-baru ini komponen keempat, (4) buffer episodik, yang mampun

mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber, termasuk informasi dari

penyimpanan memori jangka panjang yang relevan dengan tugas pada tangan,

ditambahkan dalam model (Baddeley 2000, 2001).

Komponen kedua dari memori eksplisit, yakni memori episodik, merupakan

perincian informasi yang diidentifikasikan dengan suatu waktu dan tempat

spesifik (Tulving 1983) walaupun bergantung pada dasar pengetahuan dari makna

dan situasi yang sebelumnya telah dipelajari. Memori episodik berlangsung pada

kerangka waktu menit hingga tahunan, dibandingkan dengan memori kerja, yang

memiliki strategi kerangka waktu detik digunakan untuk memperpanjang umur

memori. Konsolidasi jangka panjang dari tipe memori ini bergantung pada

Page 4: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

integritas dari hippocampus dan hubungan timbal baliknya pada lobus frontalis.

Fungsi yang lebih luas dari memori episodik berkaitan langsung dengan memori

otobiografik. Pengenalan terhadap diri kita dibentuk, pada bagian besarnya, dari

akumulasi dari pengalaman unik yang kita ingat dan efek-efeknya terhadap fungsi

emosional dan kognitif.

Memori semantik, yang merupakan komponen lain memori eksplisit,

dikaitkan dengan penyusunan pengetahuan umum kita terhadap dunia dan juga

makna, konsep dan symbol kata (Tulving 1983). Komponen memori dicirikan

dengan retensi jangka sangat panjang dan kapasitasnya yang nyaris tak terbatas.

Sedangkan memori episodik berhubungan dengan pengalaman personal, memori

semantik berhubungan dengan transmisi budaya dan pengetahuan yang

terkumpul.

Akhirnya, tipe-tipe memori di atas adalah tipe memori di mana pengetahuan

dan ketrampilan diperoleh melalui suatu paparan yang rutin, praktis dan telah

dilalui, tipe memori yang kita dapat gunakan tanap usaha sadar. Memori implisit

merujuk pada pengaruh atau fasilitasi dari suatu pengalaman spesifik pada

memori tanpa dukungan proses pelaksanaan yang sadar dan sengaja (Graf &

Scacter 1985; Schacter 1987). Memori implisit mendukung sebagian besar dari

fungsi harian rutin seperti memori yang terlibat pada gerakan mengendarai

sepeda. Memori implisit juga memiliki beberapa subkomponen termasuk

pengkondisian klasik dan operant (tambahan/instrumental), pengetahuan

prosedural (urutan gerakan yang penting untuk menghasilkan suatu pola yang

teratur) dan priming (fasilitasi yang berdasarkan paparan sebelumnya).

Memori-memori tersebut jelas bukan merupakan kesatuan tunggal. Memori

tersebut mewakili integrasi dari subkomponen yang telah didiskripsikan dalam

sistem dinamis dan interdependen dengan komponen lain dari kognisi (seperti

perhatian dan penyusunan sebab-akibat) dan bahasa. Jelas, sebagian besar memori

ini dikodekan dengan bahasa. Aturan bahasa menandai unsur waktu yang

menunjukkan memori di masa lalu dan cara membedakannya dengan masa kini.

Memori membuat kita berpikir mengenai masa depan dan menyesuaikan dengan

Page 5: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

harapan masa depan karena kita memiliki kewaspadaan dari pengalaman yang kita

alami di masa lalui (Tulving 2002).

Observasi anecdotal individu dengan DS menunjukkan adanya perbedaan

pada kemampuan dari setiap domain memori. Oster (1953, melaporkan dalam

Gibson 1978) mengomentari kemampuan individu DS dalam mengingat orang

dan situasi saat terdapat kesulitan menangkap suatu pesan yang singkat. Di luar

observasi riwayat seperti ini, studi memori khusus untuk sindroma ini baru

dilakukan akhir-akhir ini. Walaupun banyak studi terhadap individu MR terdahulu

yang memang juga melibatkan individu dengan DS, sayangnya kemampuan

individu DS dari setiap grup subjek tidaklah dibedakan (contohnya Belmont 1996;

Ellis 1970; Ellis et al. 1970; Bruscia 1981). Dari penelitian-penelitian, yang

dimulai pada awal 1980an, berfokus pada kemampuan spesifik pada inidividu DS,

ditemukan suatu defisit auditori sebagaimana dibandingkan dengan memori visual

jangka pendek (Marcell & Armstrong 1982; Varnhagen et al. 1987). Dari

penelitian yang lebih baru pada subkomponen memori lain, suatu pola kekuatan

dan kekurangan terkait DS mulai muncul. Seperti halnya juga aspek performa

lain, pola ini bisa disebut menunjukkan variabilitas individual yang sebagian

dapat dirujuk pada proses perkembangan yang berkaitan dengan memori pada

berbagai tahap perkembangan. Untuk memahami sepenuhnya, penting untuk

memahami memori sebagai suatu sistem dinamis bukannya sebagai sifat

kemampuan statis, yang berkembang pada perpaduan sistem-sistem kognitif dan

sosial.

MEMORI KERJA

LOOP AUDITORI FONOLOGIS

Terdapat konsensus dari penelitian-penelitian sejak awal 1980an bahwa

individu dengan DS memiliki suatu defisit spesifik pada subkomponen loop

auditori/fonologis dari memori kerja, berakibat rendahnya skor dibandingkan baik

dengan individu yang memiliki tingkat perkembangan yang setingkat ataupun

dengan kemampuan mereka sendiri pada berbagai tugas kognitif lain. Memori

auditori fonologis telah sering diukur dengan berbagai jenis tugas seperti sejumlah

Page 6: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

angka (Jarrold et al. 2002; Kay-Raining Bird & Chapman 1994; Seung &

Chapman 2000; Wang & Bellugi 1994), sejumlah kata (Hulme & Mackenzie

1992) dan pengulangan bukan kata (Cairns & Jarrold, in press). Pada panjang

tugas, angka-angka (dipilih secara acak 1 sampai 9) atau kata-kata yang diberikan,

diawali dengan satu urutan pendek (biasanya dua kata) dan panjang urutan

ditingkatkan dengan satu item setelah pengulangan yang sukses dari urutan ini

hingga kriteria kegagalan tercapai.

Sepertinya tak hanya terdapat faktor tunggal untuk menjelaskan suatu defisit

memori kerja auditori tapi terdapat beberapa faktor yang mungkin berperan secara

sinergis untuk keluaran akhirnya. Tingkat artikulasi telah diamati sebagai

pembeda potensial dari performa tugas memori kerja auditori. Pada model dari

memori kerja yang diusulkan oleh Baddeley (1986) informasi auditori secara

cepat hilang kecuali penyimpanan pada loop fonologik disegarkan kembali oleh

pengulangan (rehearsal) subvokal. Walaupun rehearsal dapat terjadi diam-diam

dan secara internal, kerusakan jejak memori terjadi secara time-dependent

sehingga jumlah informasi yang disimpan ditentukan oleh tingkat rehearsal dan

sebaliknya rehearsal sebagian ditentukan oleh tingkat artikulasi. Individu dengan

DS diketahui memiliki masalah pada organisasi motor, termasuk juga pada

artikulator, dan, maka dari itu, dapat menjadi kurang efisien dalam rehearsal

subvokal. Walau begitu, penelitian mengenai hal ini telah diketahui lemah atau tak

ada hubungan antara tingkat artikulasi pada remaja sertadalam dewasa muda

dengan DS dan performa dalam tugas verbal span (Jarrold et al. 2002; Kanno &

Ikeda 2002; Seung & Chapman 2000). Hal yang berhubungan dengan masalah

rehearsal subvokal adalah permasalahan mengenai efisiensi proses rehearsal itu

sendiri. Penelitian-penelitian telah menyimpulkan bahwa individu dengan

kelainan mental menunjukkan sedikiti atau bahkan tak ada bukti rehearsal (Hulme

& Mackenzie 1992; Jarrold et al. 1999; Vicari et al. 2004). Ini dapat berhubungan

dengan tingkat perkembangan keseluruhan, seperti umumnya perkembangan pada

anak-anak tidak menunjukkan penggunaan rehearsal spontan sampai usia tujuh

tahun (Gathercole 1998)

Page 7: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

Sejumlah kecil penelitian telah meneliti permasalaha terkait dari peranan

akses semantic dan lexical serta, secara tak langsung, peranan dari buffer episodik

sebagai pendukung memori auditori. Ketika kata degnan frekuensi tinggi dan

rendah diberikan pada tugas span kata, remaja dengan DS memberikan span lebih

panjang pada kata-kata frekuensi tinggi, seperti halnya anak-anak pada umumnya

yang setara usia mentalnya (mental age/MA) (Vicari et al. 2004),

mengindikasikan suatu pengaruh paralel pada sistem semantik pada memori

auditori. Sebaliknya, beberapa temuan menunjukkan bahwa DS dapat

berhubungan dengan kesulitan pada kontrol eksekutif pada material verbal. Kanno

& Ikeda (2002) mengamati bahwa suatu kata yang secara semantik berhubungan,

dengan segera, menggantikan muatan memori yang sebelumnya ada ketika

recall/mengingat kembali pada grup dengan DS, menunjukkan kesulitan dalam

mengakses muatan ingatan temporer. Ketika daftar kata-kata yang mengandung

muatan semantik yang mirip diberik, ditemukan bahwa dewasa usia pertengahan

dengan DS membuat lebih banyak eror dibanding grup lain dengan MR etiologi

tak spesifik (Kittler et al. 2004) menunjukkan suseptibilitas untuk mengganggu

dan memperburuk kontrol eksekutif pada memori kerja verbal. Pada sebuah

penelitian longitudinal selama 5 tahun yang ditentukan pada awal penelitian

untuk memprediksi skor repetisi non kata dan kemudian skor kosa kata, dapat

diinterpretasikan bahwa memori fonologis yang memiliki peran penting dalam

penyusunan kosa kata (Laws & Gunn 2004). Walau demikian, pada analisis

terhadap data yang sama, kosa kata reseptif yang diprediksi lebih awal baru

kemudian skor repetisi non kata, malah menujukkan efek resiprokal

Kemampuan bahasa mungkin merupakan faktor kontributif dalam performa

tugas panjang memori auditori, khususnya ketika stimuli berupa kalimat. Panjang

kalimat (yang diukur menurut suku kata) lebih panjang daripada panjang angka

baik untuk remaja dengan DS dan MA yang sesuai terkontrol diperkirakan karena

memori didukung oleh familiaritas dengan sintaks (Seung & Chapman 2004).

Peneliti telah mengukur kontribusi dan pendengaran periferal untuk performa

tugas memori auditori. Banyak orang dengan DS memiliki kekurangan

pendenganra sepanjang hidupnya yang bisa jadi tak terdeteksi atau tak ditangani

Page 8: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

karena berupa suatu pengurangan pendengaran ringan yang berfluktuasi yang

mungkin berhubungan dengan infeksi telinga tengah (Davies 1988). Dalam

rangka menentukan jika keluaran stimuli auditori menunjukkan kesulitan yang tak

biasa untuk orang-orang dengan DS, prosedur pengujian disusun untuk melihat

gangguan auditori periferal (Marcell & Weeks 1988; Jarrold et al. 2002). Temuan

menunjukkan bahwa walau tingkat pendengaran dapat memberi beberapa

pengaruh pada performa, hal ini tidak sendirian bertanggung jawab terhadap

defisit memori auditori berkaitan dengan DS. (Peran potensial dari persepsi

penghasilan suara dan penangkapan suara dalam penggunaan loop fonologis

adalah kompleks. Lihat Marcell 1995 dan Jarrold et al. 2002 untuk diskusi lebih

jauh mengenai topik ini)

SKETSA VISUOSPASIAL

Berbeda dengan kesulitan mereka dengan memori auditori verbal, performa

pada tugas visuospasial konsisten dengan ukuran umumnya pada level

penggunaannya pada remaja dan dewasa dengan DS. Tugas panjang Corsi

seringkali dipakai untuk menilai sistem visual dan untuk memberikan

perbandingan dengan tugas panjang angka. Pada tugas panjang Corsi, sembilan

blok ditempatkan pada suatu urutan acak pada suatu papan dan partisipan diminta

untuk mengulang urutan gambar yang sama seperti halnya dilakukan oleh penguji

(Milner 1971) Tugas ini kemudian, memerlukan kemampuan temporal dan

sekuensial spasial.

Umumnya, remaja dengan DS menunjukkan performa mirip pada tugas

panjang Corsi pada kelompok individu lain dengan MR beretiologi tak spesifik

(Jarrold et al. 1999) dan juga dengan umumnya perkembangan anak-anak dengan

MA ekuivalen (Jarrold & Baddeley 1997).

Ketika span tugas verbal dn noverbal dibandingkan, individu dari populasi

umum dan individu dengan MR etiologi tak spesifik menunjukkan efek modalitas

di mana span auditori lebih panjang dibanding dengan span visuospasial (Jarrold

dan Baddeley 1997). Walau begitu, pada remaja dengan DS, span dari dua

modalittas lebih sering setara, atau span visuospasial sedikit lebih panjang (Wang

Page 9: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

& Bellugi 1994). Meski demikian hubungan antara kedua modalitas ini, dapat

tidak terjadi sepanjang masa dewasa. Data pendahuluan dari penelitian 73 dewasa

sehat dengan DS yang tak diduga menderita demensia dan berdistribusi antara

usia 16 hingga 65 tahun menunjukkan bahwa performa span Corsi menunjukkan

suatu penurunan lebih cepat yang berhubungan dengan usia dibandingkan dengan

span angka. Perbedaan tingkat perubaha pada dua domain yang menghasilkan

suatu perubaha pada hubungan seperti tersebut di atas, pada usia lebih tua, orang

dewasa dengan DS menunjukkan modalitas efek (Gambar 6.1). Lebih penting

lagi, orang dewasa dengan DS menunjukkan penurunan lebih cepat pada usia

remaja dan dewasa muda pad area fungsional yang relatif kuat (Devenny, data tak

dipublikasikan).

Penelitian mengenai kemampuan yang bergantung pada sketsa visuospaisal

baru-baru ini telah diperluas melibatkan tugas lebih kompleks.Pada penelitian

terkini (Vicari et al., pada pers), recall segera terhadapa lokasi dibandingkan

dengan recall ciri persepsi bentuk geometri pada anak dan remaja dengan DS dan

MA berkesesuainan dengan kelompok 5,2 tahun. Performa secara keseluruhan

dari grup dengan DS lebih rendah pada kedua kerja visuospasial tapi perbedaan

antara grup ini tidak signifikan lagi ketika skor diubah untuk abilitas perseptual,

menunjukkan bahwa dasar untuk performa yang relatif lebih buruk pada

kelompok dengan DS sebagian adalah karena kerusakan persepsi daripada

kerusakan dengan memori.

Penelitian terkini memberikan lima tugas visuospasial yang memiliki

kesulitan bertingkat, memerlukan peningkatan kendali dari memori kerja.

Ditemukan bahwa ketika grup remaja dengan DS memiliki performa yang setara

degnan grup sesuai dengan MA untuk dua kerja paling sederhana, dan menjadi

sangat lebih buruk pada dua kerja paling sulit (Lanfranci et al. 2004). Penelitian

ini menyoroti kontribusi kompleks pada komponen eksekutif sentral pada memori

kerja untuk performa tugas dan sangat jelas mendorong pada suatu kesimpulan

mengenai kekuatan dan kelemah relatif dalam dan sepanjang domain. Konsensus

menunjukkan bahwa orang dengan DS memiliki kemampuan memori kerja

visuospasial lebih baik dibandingkan dengan kemampuan memori kerja fonologis

Page 10: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

auditori dan tak ada satu faktor, seperti tingkat artikulasi, bahasa atau pendengaran

dapat secara penuh bertanggung jawab terhadap ketidaksesuaian ini.

MEMORI EPISODIK

Tugas yang seringkali dipakai untuk menguji memori episodik meliputi

pembelajaran daftar kata dan pembelajran hubungan terpasangkan di mana jumlah

unsur melebihi span memori kerja dan seorang diberikan beberapa kesempatan

untuk mempelajari item-item tersebut. Walaupun makna dari kata-kata yang

dipakai pada daftar bergantung pada memori semantik, pemilihan dan penempatan

kata bersifat unik pada setiap situasi pengujian spesifik dan, maka dari itu,

memberikan keadaan nyaris sama dengan pembelajaran mengenai waktu dan

tempat spesifik.

Dibandingkan dengan banyak penelitian mengenai memori kerja, terdapat

lebih sedikit penelitian yang menujukan pada permasalahan terkait memori

episodik khususnya pada DS ketika topiknya bukan pemeriksaan penuaan lanjut.

Satu penelitian yang membandingkan remaja dengan DS (rerata usia 16,7 tahun;

rerata MA 9,1 tahun) dengan peer group dengan MR dengan etiologi tak spesifik

dan pada kelompok anak tumbuh pada umumnya dari MA yang sesuai,

menemukan bahwa grup dengan DS lebih buruk dibandingkan dengan grup lain

(Carlesimo et al. 1997). Walau demikian, ketika benda uji diberikan dengan cara

pengenalan, grup DS memiliki performa setara dengan kelompok dengan MR tak

spesifik, menunjukkan pada para peneliti ini bahwa DS dapat berkaitan dengan

defisit pada performa pengambilan kembali informasi yang tersimpan sebelumnya

secara sengaja.

Seperti disebut sebelumnya, konsolidasi memori episodik berhubungan

dengan fungsional hippocampus. Sebuah penelitian yang membandingkan 28

remaja dengan DS (usia 11 hingga 19 tahun) dengan anak yang tumbuh normal

yang cocok keadaan MA (usia 5 tahun) dilakukan empat tes yang diketahui

memiliki ketergantungan primer pada fungsional hippocampus. Pennington et al.

(2003) menemukan bahwa performa remaja dengan DS selalu konsisten lebih

buruk daripada grup kontrol pada setiap pengukuran ini tapi hal yang sama tak

Page 11: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

terjadi pada pengukuran fungsi eksekutif yang bergantung pada fungsional lobus

prefrontalis. Temuan mereka menunjukkan bahwa DS berhubungan dengan defisit

kemampuan spesifik yang bergantung pada hippocampus. Menarik bahwa tugas

hippocampus terkait visual dan juga verbal diketahui lebih buruk pada kelompok

dengan DS, sebuah temuan yang kontras dengan penelitian mengenai memori

kerja. Sebuah temuan mirip akan performa yang lebih buruk oleh remaja yang

lebih tua dan dewasa muda dengan DS baik pada tugas visual dan verbal juga

ditemukan oleh Vicari et al. (2000).

Memori episodik juga telah diuji melalui pengulangan cerita. Setelah

pemaparan cerita, seseorang diminta mengulang cerita. Penilaian umumnya

adalah jumlah gagasan dari cerita asli yag berhasil diceritaulangkan. Jelas sekali,

kemampuan untuk melakukan yang terbaik pada tugas ini berhubungan dengan

kompetensi bahasa sebagai tambahan terhadap kemampuan memori. Setelah

melihat film bisu 6 menit, The Pear Story, anak dengan DS diminta mengingat

kembali kejadian yan telah mereka lihat (oudreau & Chapman 2000). Anak-anak

dengan DS lebih baik untuk mengulang struktur kejadian dibandingkan grup

pembanding yakni anak dengan tingkat ekspresi bahasa yang setara (dengan

diukur dengan rerata panjang ucapan) dan nyaris sama dengan anak tumbuh

normal dengan tingkat pemahaman setara. Sebaliknya, ketika cerita pendek

diberikan secara auditori, pengulangan sangat lebih buruk pada individu DS (skor

= 0.6, skor maksimal yang mungkin dicapai = 8) dibandingkan dengan mereka

dengan MR tak spesifik (3.4) atau anak tumbuh normal (5.2) (Carlisimo et al.

1997). Memori episodi rawan terhadap perubahan yang berhubungan dengan

proses penuaan norml dan penurunannya adalah salah satu tanda paling awal dari

demensia jenis Alzheimer (Dementia of the Alzheimer Type/DAT). Bahkan efek

penuaan terhadap sistem memori membebankan pada organisasi yang memiliki

sejarah perkembangan atipik pada orang dewasa dengan DS, temuan

menunjukkan pola performa yang mirip dengan yang terlihat pada populasi

umum. Penurunan kecil yang berkaitan dengan usia pada memori episodik telah

ditunjukkan pada penelitian longitudinal terhadap orang-orang dewasa sehat yang

lebih tua dengan DS tapi penurunan ini terjadi lebih cepat, hampir 20 tahun lebih

Page 12: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

awal dibandingkan dengan populasi umum (Haxby & Schapiro, 1992; Devenny et

al. 1996, 2002; Oliver et al. 1998; Krinsky-McHale et al. 2002)

Peredaan antara penurunan memori terkait penuaan normal dengan keadaan

terkait dengan DAT sangatlah penting pada dewasa dengan DS karena mereka

secara unik rentan terhadap Alzheimer. Sebenarnya semua orang dewasa dengan

DS memiliki penanda neuropatologis mengenai penyakit ini (penyusutan

neurofibriler, plak amyloid, dan kematian sel neuron) dengan deposisi amyloid

dimulai pada dekade ketiga kehidupan (Hof et al. 1995; Hyman et al. 1995; lihat

Mann 1993 untuk review). Bagaimanapun juga, hanya beberapa orang memiliki

gejala demensia dan, umumnya, tidak hingga 20 tahun kemudian. Suatu

penurunan memori episodik adalah penanda awal terkait DAT pada individu

dengan DS (dan pada populasi umum) dan dibedakan dengan penurunan berkaitan

dengan penuaan normal oleh derajat dan jenis kelainan memori (Devenny et al.

2002; Krinsky-McHale et al. 2002). Pada suatu penelitian kami meminta orang

dewasa dengan DS untuk mempelajari daftar berisi 12 kata yang tak berhubungan

bersama dengan suatu penanda kategori unik. Untuk mereka yang sehat,

pemberian penanda kategori telah memberikan peningkatan substansial

pengulangan terhadap benda-benda uji. Untuk para orang dewasa yang secara

bertahap membentuk demensia pada tahun-tahun berikut dari penelitian, penanda

kategori menjadi lebih tak efektif dalam membantu pengulangan kembali

(Devenny et al. 2002).

Orang dengan DS dapat memilii kesulitan lebih saat diberi tugas memori

episodik dibandingkan dengan kelompok pembanding dengan MR dari etiologi

lain atau umumnya pada anak-anak dengan MA sebanding. Tak seperti memori

kerja, orang dengan DS menunjukkan kerusakan relatif pada kerja visuospasial

seperti halnya memori episodik verbal.

MEMORI SEMANTIK

Kemampuan untuk memperoleh dan mempertahankan kosa kata baru

merefleksikan integritas dari memori semantic. Secara umum, anak-anak, remaja

dan dewasa dengan DS memiliki pemahaman kosa kata sebanding dengan tingkat

Page 13: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

fungsional kesuluruhan dan kosa kata dipertahankan atau bahkan ditingkatkan

melalui kehidupan dewasa nantinya sebagai hasil paparan terhadap aktivitas baru.

Orang dengan DS sensitive terhadap kategori semantik yang diperlihatkan oleh

kemampuan mereka untuk menggunakan penanda kategori untuk meningkatkan

pengulangan daftar kata (Devenny et al. 2002). Pada Tes Pengingatan Selektf

versi kami, suatu tugas daftar pembelajaran di mana semua item berasal dari

kategori tunggal semantik (hewan atau makanan), kami telah mengamati bahwa

ketika pengacauan dengan kata yang tak ada di daftar, paling sering mereka

berasal dari kategori semantik yang sama. Pada penelitian lain, bagaimanapun

juga, bahkan dengan fasilitas dengan kategori semantik, remaja dengan DS, tak

membuat efektif pemakaian kategori informasi dalam rangka mendukung

pengingatan bebas (Carlesimo et al. 997).

MEMORI IMPLISIT

Telah sangat sedikit penelitian mengenai pemeriksaan memori implicit

khsusnya pada seseorang dengan DS, dan hanya satu dalam subkomponen

multipel dari memori implisit yang diuji dalam penelitian yang sama (Vican et al.

2000). Perfomra remaja dan dewasa muda diperbandingkan dengan pada

umumnya anak tumbuh yang sesuai dengan MA (usia 6,3 tahun) dengan dua tugas

pembelajaran prosedural: the Tower of London dan Tes Waktu Reaksi Serial, dan

dua pengulangan tugas priming, Tes Gambar Terurai dan Pelengkapan Batang.

Performa dari kelompok sebanding pada tugas pemahaman procedural dan kedua

kelompok memberikan bukti priming. Sebaliknya, pada pengukuran memori

eksplisit pada penelitian ini, kelompok dengan DS menunjukkan performa yang

lebih buruk.

Sati sofat dari memori implisit adalah insensitifitasnya terhadap usia dan IQ

relatif terhadapa memori eskplisit. Pada suatu penelitian terkini pada orang usia

pertengahan dan dewasa dengan DS (rerata usia=44,4+6 tahun; rerata IQ=59+6,8)

dibandingkan dengan dewasa dengan sindroma William dan dengan orang dewasa

dengan MR dari etiologi tak spesifik pada usia dan level fungsional yang nyaris

mirip (Krinsky-McHale et al., 2005). Memori implisit diukur dengan Tugas

Page 14: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

Gambar Terurai sedang memori eskplisit diukur dengan Tes Pengingatan Selektif.

Suatu perbandingan langsung tentang performa pada pengukuran-pengukuran ini

mengindikasikan penurunan berkaitan dengan usia pada memori eksplisit saja

pada kelompok dengan DS dan sindroma Williams: tak ada penurunan pada

memori implisit untuk tiga kelompok lain yang ditemukan.

Memori implisit pada individu dengan DS muncul konsisten dengan tingkat

fungsionalnya dan bersifat relatif resisten terhadap perubahan berkaitan dengan

usia.

PERBANDINGAN DENGAN KELOMPOK ETIOLOGI LAIN

Saat ini masih tak pasti apakah pola dari kekuatan dan kelemahan dari

kemampuan memori yang tergambarkan pada penelitian terhadap individu dengan

DS adalah unik untuk sindrom ini. Dengan perkecualian yang mungkin terhadap

sindroma Williams, tak terdapat informasi yang cukup lengkap mengenai

kemampuan melintasi semua komponen memori untuk menggambarkan profil

untuk genetic lain yang menyebabkan MR. Juga, dengan beberapa perkecualian

(contohnya, Wang & Bellugi 1994; Klein & Mervis 1999; Munir et al. 2000;

Jarrold et al. 2004; Vicari et al, pada pers), penelitian-penelitian umumnya

memeriksa performa pada satu sindroma saja dan sering hanya satu komponen

memori, dapat membuat segalanya sulit untuk melibatkan pola kemampuan yang

lebih luas. Diberikan trajektori pertumbuhan yang berbeda berkaitan dengan

berbagai sindroma genetik, tampaknya sepertinya bahwa banyak sindroma ini

akan akhirnya dihubungkan dengan fenotipe tingkah laku spesifik.

Pemahaman kami tentgan pola kekuatan dan kelemahan berkaitan dengan

sindroma Williams sedang mengalami perubahan, karena riset terkini telah

menunjukkan suatu sifat kemampuan kompleks. Secara umum, memori kerja

visuospasial mereka, khususnya ketika melakukan proses melibatkan memori

lokasi spasial, relatif buruk (Vicari 2001: lihat Farran & Jarrold 2003 untuk

review) ketika dibaningkan dengan memori kerja verbal mereka. Kelemahan pada

pemrosesan visual juga ditemukan pada memori jangka panjang visual yang

bergantung pada kerja, yang lagi-lagi, memori lokasi spasial lebih buruk dibandig

Page 15: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

dengan memori untuk memori visual untuk rincian dari objek (Vicari et al. 2005).

Bukti sebelumnya mengenai penurunan yang berhubungan dengan usia pada

memori episodic mengindikasikan penuaan prematur yang mirip dengan DS juga

ditemukan pada suatu kelompok kecil orang dewasa dengan WS (Devenny et al.

2004; Krinsky-McHale et al., 2005). Dengan memandang ke memori implisit,

priming tampak konsisten dengan tingkat fungsional keseluruhan (Vicari 2001)

dan tak diganggu oleh proses penuaan (Krinsky-McHale et al., dalam pers)

sedangkan pembelajaran prosedural tampak lebih buruk pada remaja dan dewasa

dengan sindroma Williams dibandingkan dengan orang yang tumbuh umumnya

(Vicari 2001; Don et al. 2003)

Umumnya, kekuatan dan kelemahan kemampuan memori pada DS dan pada

sindroma Williams merefleksikan pola yang lebih luas tentang kemampuan

kognitif. Individu dengan DS diketahui memiliki kesulitan dengan kemampuan

verbal dan ekspresi bahasa khususnya (Chapman & Hesketh 2000). Untuk

individu dengan sindroma William, kemampuan verbal adalah area yang relatif

kuat tapi kemampuan visuospasial terganggu (Farran & Jarrold 2003). Adalah

mungkin bahwa penelitian di masa depan dari interaksi memori dengan

kemampuan kognitif lain akan menguak bahwa arah pengaruh memori akan

bergantung dengan usia perkembangan seseorang. Sebagai contoh, dimana

kemampuan auditori dan fonologis mungkin merupakan suatu kekuatan kuat pada

kosa kata awal dan perkembangan bahasa pada anak-anak yang sangat muda

(Gathercole 1998), untuk anak-anak lebih tua dan remaja kemampuan bahasa

mungkin menentukan kemampuan memori verbal.

KESIMPULAN

Kemampuan memori pada individu dengan DS memiliki pola karakteristik

kekuatan dan kelemahan sepanjang berbagai sub komponen dari sistem memori.

Memori kerja auditor tampak secara selektif terganggu selama usia anak, remaja,

dan ketika dewasa muda, seperti pada memori episodic. Memori yang berdasar

pada pengetahuan semantik dan pembelajaran implisit, bagaimanapun juga,

konsisten dengan tingkat keseluruhan fungsional individual. Adalah pola dari

Page 16: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

kemampuan yang dapat spesifik dengan DS, bukan kemampuan terkait

subkomponen memori mana pun. Walau demikian, untuk beberapa tingkat, pola

kemampuan memori ditentukan oleh rancangan penelitian riset dan sangat kuat

dipengaruhi oleh komposisi dan usia dari grup pembanding. (Untuk diskusi

pengaruh variabel pencocok pada performa keluaran lintas kelompok

perbandingan lihat Jarrold & Baddeley 1997; Chapman & Hesketh 2000; Vicari &

Carlesimo 2002; Farran & Jarrold 2003).

Walaupun suatu pola kekuatan dan kelemaha berkaitan dengan DS sepertinya

eksis, terdapat juga variabilitas individual yang perlu dipertimbangkan.

Menyatakan bahwa suatu pola khusus kemampuan memori adalah keluaran

perilaku yang terkait dengan DS tidaklah menujukan etiologi dari pola tertentu.

Dengan memperhitungkan dari sejumlah penelitian yang sangat sedikit dari bayi

dengan DS, kemampuan memori awal tidak sesuai dengan fenotipe tingkah laku

yang diamati pada kehidupan pada masa lebih lanjut (Peterson et al. 1999). Ini

menunjukkan bahwa pola kemampuan memori yang dijelaskan untuk remaja dan

dewasa muda mungkin adalah fenomena yang muncul, yang mungkin berkaitan,

dengan tingkat diferensial dan trajektori dari perkembangan dalam subkomponen

sistem memori. Jika fenotipe tingkah laku untuk proses memori berkaitan dengan

DS muncul, ini ada karena durasi yang terbatas karena proses penuaan dan

merubah kemampuan memori spesifik bermula dari awal usia dewasa di populasi

ini.

Memori adalah proses fundamental yang berkontribusi pada perkembangan

domain lain seperti kognisi, bahasa, kemampuan sosial dan mempengaruhi, persis

sepertinya yang dipengaruhi oleh seluruh proses lain yang terbentuk bersamaan

dengannya. Akan menolong sekali jika penelitian masa depan memasukkan

memori dalam konteks pengalaman harian, seperti memori bola lampu (flashbulb

memory) (memori untuk kejadian yang secara emosional dan langka), memori

persaksian mata, memori palsu, memori prospektif (memori untuk tindakan yang

akan diambil di masa depan), memori wajah dan memori autobiografik (seleksi,

retensi, dan manipulasi memori dari kejadian dalam hidup). Sejauh ini, penelitian

tentang memori telah hamper secara eksklusif terbatasi dalam modalitas visual

Page 17: Peran Memori Terhadap Fenotipe Perilaku Pada Sindroma Down

dan auditorik. Penelitian masa depan berkaitan dengan fungsi sensori lain,

termasuk penciuman, taktil dan kinestesi, akan mendorong pemahaman yang lebih

lengkap mengenai memori pada populasi ini.

Walaupun perkembangan yang penting telah dibuat sejak pertengahan 1980an

dalam hal penjelasan proses memori berkaitan dengan DS, walaupun kita belum

memahami faktor mana yang berhubungan dengan kemampuan memori yang

paling dapat diterima untuk intervensi, pada usia berapa intervensi harus terjadi

atau apakah intervensi ini diberikan secara umum atau ditargetkan secara spesifik.

Dan bagaimana intervensi di domain lain, seperti bahasa, akan mempengaruhi

perkembangan memori masihlah harus dipastikan. Kami paham, walau

bagaimanapun, bahwa memori sensitive untuk perkembangan dan ini

menunjukkan bahwa intervensi yang mendorong perkembangan yang berhasil

sepertinya akan memiliki dampak signifikan pada memori.

UCAPAN TERIMA KASIH

Riset ini didukung oleh pendanaan dari Kantor Retardasi Mental dan

Kecacatan Perkembangan New York dan oleh pendanaan RO1 AG 14771 untuk

A. Devenny dan PO1 HD35897 untuk W. Silverman. Penulis juga berterima kasih

untuk S. J. Krinsky-McHale, P. Kittler dan C. Marino untuk banyak kontribusi

penting pada riset yang dilakukan dengan Laboratorium Pengembangan Masa

Hidup dan W. Silverman untuk dukungan berkelanjutannya.