6
PERANAN HEPATOPROTEKTOR PADA PENYAKIT HATI KRONIK Dr. H. Syafruddin A.R. Lelosutan, Sp.PD-KGEH, MARS Sub SMF Gastroentero-Hepatologi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto – Jakarta PENDAHULUAN Dewasa ini banyak beredar obat-obat yang mengklaim-diri mampu menyembuhkan dan memperbaiki keradangan pada hati akibat penyakit jenis apapun di hati. Obat-obat ini dalam berbagai bentuk dan kemasan umumnya dalam dunia farmasi dikenal sebagai obat herbal (bahan biologi) dan bahan nutrisi farmaka (nutraceuticals). Herbalism (botanical medicine) dan nutraceuticals (nutrition pharmaceuticals) berfungsi sebagai pengobatan – suplemen – non-kausal dan non-antiviral pada penyakit hati kronik (PHK) atau hepatoprotektor, dikenal juga dengan sebutan complementary and alternative medicine (CAM). Penggunaan CAM, khususnya hepatoprotektor merupakan warisan budaya dunia yang sekarang telah dikembangkan berdampingan dengan pengobatan farmakologi modern – disebut pula sebagai pengobatan konvensional – dalam uji EBM (evidence-based medicine), standardisasi produk maupun uji klinik yang terus-menerus. Secara farmakope, obat herbal (herbalism) dikelompokkan dalam empat jenis tanaman, yaitu sylibum marianum, glycirrhiza glabra, picorrhiza kuroa dan pyllanthus amarus;1 sedangkan obat nutraseutika (nutraceuticals) dikelompokkan atas jenis ornitin aspartat, asam amino rantai cabang, trace element zinc dan vitamin, asam lemak tak jenuh , serta fosfatidilkholin atau esensial fosfolipid.2 CAM yang beredar dan diakui memiliki khasiat terapeutik pada keradangan hati

Peranan Hepatoprotektor Pada Penyakit Hati Kronik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Peranan Hepatoprotektor Pada Penyakit Hati Kronik

PERANAN HEPATOPROTEKTOR PADA PENYAKIT HATI KRONIK

Dr. H. Syafruddin A.R. Lelosutan, Sp.PD-KGEH, MARS

Sub SMF Gastroentero-Hepatologi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto – Jakarta

PENDAHULUAN

Dewasa ini banyak beredar obat-obat yang mengklaim-diri mampu menyembuhkan dan memperbaiki keradangan pada hati akibat penyakit jenis apapun di hati. Obat-obat ini dalam berbagai bentuk dan kemasan umumnya dalam dunia farmasi dikenal sebagai obat herbal (bahan biologi) dan bahan nutrisi farmaka (nutraceuticals). Herbalism (botanical medicine) dan nutraceuticals (nutrition pharmaceuticals) berfungsi sebagai pengobatan – suplemen – non-kausal dan non-antiviral pada penyakit hati kronik (PHK) atau hepatoprotektor, dikenal juga dengan sebutan complementary and alternative medicine (CAM). Penggunaan CAM, khususnya hepatoprotektor merupakan warisan budaya dunia yang sekarang telah dikembangkan berdampingan dengan pengobatan farmakologi modern – disebut pula sebagai pengobatan konvensional – dalam uji EBM (evidence-based medicine), standardisasi produk maupun uji klinik yang terus-menerus.

Secara farmakope, obat herbal (herbalism) dikelompokkan dalam empat jenis tanaman, yaitu sylibum marianum, glycirrhiza glabra, picorrhiza kuroa dan pyllanthus amarus;1 sedangkan obat nutraseutika (nutraceuticals) dikelompokkan atas jenis ornitin aspartat, asam amino rantai cabang, trace element zinc dan vitamin, asam lemak tak jenuh , serta fosfatidilkholin atau esensial fosfolipid.2 CAM yang beredar dan diakui memiliki khasiat terapeutik pada keradangan hati didasarkan kepada patogenesis sebagai anti oksidan, anti lipid-peroksidasi, anti nekro-inflamasi, anti fibrotik dan anti blood-stasis, imunomodulator-imunostimulansia, agen regenerasi sel hati, sekresi empedu dan hipokolesteremik. Juga sebagian mengklaim mampu sebagai sinergi dengan interferon.1,2

Pada makalah ini diutarakan patogenesis keradangan hati pada penyakit hati kronik (PHK) dan peranan CAM dalam usaha mengatasi masalah PHK.

Page 2: Peranan Hepatoprotektor Pada Penyakit Hati Kronik

*/ Dibacakan pada Temu Ilmiah Penyakit Dalam (TIPD) Selasa, 14 Agustus 2007.

*/ Kasub SMF Gastroentero-Hepatologi / Kadep (lakhar) Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto – Jakarta.

PATOGENESIS KERADANGAN HATI KRONIK

Keradangan hati dapat secara akut muncul akibat peristiwa perlukaan parenkhim hati oleh berbagai keadaan etio-patologik, seperti: Infeksi -infeksi parasit (malaria, amoeba), bakteri (tbc, banal), jamur, viral (hepatitis A, B, C, D, E, F, TT, CMV, EBV); Kerusakan hati akibat alkohol, obat-obat (asetaminofen, allopurinol, amiodaron, halothane, metildopa, INH, fenitoin, parasetamol, valproat, CPZ, amiodaron, TMP-SMZ, eritromisin); Bahan beracun (ec. Amanita phalloides); Autoimun; Fibrosis kistik; Sindroma Reye; Sindroma Budd-Chiari, serta Penyakit Wilson akibat deposit Cu berlebihan dalam hati. Kronisitas penyakit hati ditunjukkan oleh keadaan persistensi keradangan melewati rentang waktu 24 minggu karena berbagai keadaan yang menghambat perbaikan/resolusi inflamasi maupun regenerasi sel parenkhim hati, terutama karena terjadinya ekstraksi fosfolipid membrane sel serta gangguan metabolism lemak pada hati. Pada kondisi ini akan terlihat berbagai tingkatan kerusakan parenkhim, mulai dari nekro-inflamasi, fibrosis sampai sirrhosis-nya jaringan parenkhim hati.3 (Lihat gambar 1).

Pada keradangan hati kronik, terjadi aktivasi berlebihan hepatic stellate cell (HSC) sebagai sumber utama extracellular matrix (ECM). Pada tingkat nekro-inflamasi, ECM masih dapat secara seimbang didegradasi dengan regenerasi/sintesis sel-sel mesenkhimal. Gambaran klinis nekro-inflamasi ditunjukkan oleh peningkatan enzim-enzim transaminase yang persisten. (lihat gambar 2).

Gambar 2.

Pada tingkat fibrosis hati, sebagai hasil dari nekrosis, kollaps dan formasi jejas/parut (scar) terjadi ketidak-setimbangan (imbalance) sintesis sel-sel mesenkhimal dan degradasi matriks. Fibrosis adalah respons parenkim hati, berupa wound healing terhadap perlukaan (injury) akut / kronik; akumulasi matriks ekstraselular baru menggantikan matriks lama, membentuk parut (scar), menyelimuti daerah perlukaan (injury). Fibrogenesis hati dimulai dengan proses aktivasi (transdiferensiasi) sel-sel stellata hati (HSC = hepatic stellate cells) melalui tiga tahap, yakni: inisiasi, perpetuasi dan resolusi. Deposisi

Page 3: Peranan Hepatoprotektor Pada Penyakit Hati Kronik

berlebihan matriks ekstraseluler (ECM = extracellular matrix) pada parenkhim akibat laju transdiferensiasi, akan memacu kekacauan (derangement) arsitektur parenkhim dengan teraktivasinya berbagai faktor yang berhubungan dengan reaksi imunitas dan respons keradangan (khemotaksis dan sitokin) yang menyebabkan terjepitnya sistim portal dan menimbulkan hipertensi portal dan sirrhosis hati atau berakhir dengan hepatoma.4 (Lihat gambar 3.a, 3.b dan 3.c).

Teori dan eksperimen antisipatif terhadap proses fibrosis parenkhim hati telah banyak dilakukan dan menghasilkan berbagai kesimpulan termasuk efek-efek antifibrotik berbagai macam CAM. Diagnosis pasti fibrosis ditunjukkan oleh hasil biopsi hati dengan nilai Skor Metavir. Sampai sekarang biopsi hati masih merupakan standar baku meskipun kurang nyaman, berisiko dan ada kesalahan interpretasi sampai 30% pada sirosis hati. Klasifikasi skor Metavir F0,F1,F2,F3,F4 (sirosis) dewasa ini sering digunakan untuk menilai derajat fibrosis. Ada sejumlah tes non-invasif seperti pencitraan (CT-scan), fibrotest dan fibroscan / scintigraphy yang menjanjikan tetapi masih memerlukan validasi.5

Poernomo BS (2005) menyimpulkan bahwa: Fibrosis dihasilkan oleh keadaan keradangan kronik, tidak pernah karena perlukaan akut pada parenkhim hati, sehingga penghambatan terhadap hepatic stellate cell (HSC inhibition) adalah paling penting.6 Lesmana (2005), menyebutkan bahwa: selama proses penyembuhan dari peradangan hati jumlah HSC yang teraktivasi berkurang (degradasi) melalui proses apoptosis atau reversi dari HSC. Akan tetapi kegagalan degradasi dari akumulasi scar matrix ( Extra Cellular Matrix = ECM) merupakan penyebab utama mengapa fibrosis berkembang menjadi sirosis. Sementara itu, belum jelas apakah fibrosis hati memerlukan terapi terus menerus atau intermiten.5 Jia (2006), mengatakan bahwa dalam ilmu kedokteran tradisional China, fibrosis hati disebabkan oleh adanya stasis darah pada parenkhim dengan manifestasi munculnya hepato-splenomegali dan palmar eritem.4

Oleh karena itu, obat-obat yang mampu menghambat HSC dan atau merangsang sirkulasi mencegah terjadinya blood stasis akan efektif mengobati penyakit pada berbagai gangguan parenkhim tersebut.4-6

PERANAN COMPLEMENTARY ALTERNATIVE MEDICINE (CAM)

Pengobatan dengan obat-obat herbal dan nutraseutika (CAM) adalah segala macam bentuk pengobatan di luar terapi konvensional. Alasan pemakaian CAM menurut Irsan Hasan (2005), bisa bermacam-

Page 4: Peranan Hepatoprotektor Pada Penyakit Hati Kronik

macam, antara lain adalah karena terapi konvensional gagal, atau karena terapi konvensional tidak bisa diberikan oleh berbagai sebab.7 Namun pemberian obat-obat kategori ini – bagaimanapun – masih banyak kontroversi.

Rock (2001), menyebutkan untuk CAM, bahwa: “….Medical intervention not taught widely at medical school or generally available at hospitals. Not be tested with rigorous scientific methodologies followed by critical review and replication. Diagnostic procedures and treatments not based on current pathophysiology of disease and basic biological sciences …..”8 Secara bebas dapat dipahami bahwa, CAM tidak bisa dibicarakan luas di pendidikan kedokteran dan dipakai di rumah sakit. Metodologi keilmuannya tidak diikuti oleh tinjauan kritis dan replikatif. Prosedur diagnostik dan pengobatan tidak didasari atas patofisiologi dan ilmu biologi dasar penyakit.

Di Indonesia, penggunaan CAM cukup luas namun belum ada data akurat yang menunjukkan persentase penggunaan CAM. Sebagai perbandingan, hingga dewasa ini di USA, National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) sejak 1998 telah mencatat penggunaan CAM oleh 41% pasien penyakit hati kronik dengan obat-obat herbal pada 12 – 50 % kasus memakai Silymarin, Glycirrhyzin dan Ginseng.8

Gambar 4.

Penggolongan dan penggunaan CAM (lihat gambar 4) seperti yang diungkap dalam pendahuluan tulisan ini, memacu perhatian dan usaha masyarakat kedokteran untuk lebih memperhatikan CAM. Manfaat yang dapat dipertanggung-jawabkan antara-lain adalah sebagai: anti inflamasi, anti fibrotik, anti oksidan, mencegah deplesi glutation dan aktifitas imunomodulator.1,2,7 Secara umum hal-hal demikian dapat disebutkan sebagai efek proteksi terhadap parenkhim hati, sehingga disebut sebagai hepatoprotektor. Sedangkan efek sebagai anti kanker, antibiotik atau antiviral belum terbukti.

PENUTUP

Demikian uraian tentang pathogenesis keradangan kronik hati dan peranan hepatoprotektor pada penyakit hati kronik (PHK).

Page 5: Peranan Hepatoprotektor Pada Penyakit Hati Kronik

Semoga bermanfaat.