Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAW'ASAN TERHADAP TERPOJANA YANG DIJATUHI PIDANA
BERSYARAT
SKRIPSI
Diajukan sebagai saiah satu syarat Untuk mempcrolch Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Umu Hukum
Oleh:
Muhammad Ilham Romadboa 502012025
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG FAKULTAS HUKUM
2016
i
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG FAKULTAS HUKUM
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
\
Judul Skripsi PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAWASAN TERHADAP TERPIDANA YANG DUATUHI PIDANA BERSYARAT
Nama : Muhammad Ilham Romadhon Nim : 50 2012 025 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Huknm Pidana
Pembimbing,
Dra. Hj. Lilies Anbah, SIL, MH.
Palembang, April 2016
PERSETUJUAN O L E H T I M PENGUJI:
Ketua : H. Syamsuddin, SH^ MH
Anggota : 1. Mulyadi TanzlU, S I L , MH
2. Rusniati, S E . , S H . , M H
D I S A H K A N O L E H DEKAN FAKULTAS HUKUM
P E N D A F T A R A N U J I A N S K R I P S I
Pendaftaran Skripsi Sarjana Pakiiltas Hiikum Universitas Muhammadiyah Palembang Strata 1 bagi :
Nama
NIM
Program Studi
Prug. Kekhususan
Judul Skripsi
Muhammad Ilham Romadhon
502012025
Ilmu Hukum
Hukum Pidana
P E R A N A N K E J A K S A A N P E N ( ; A W A S A N I K R H A D A P
M E L A K U K A N TERPIDANA
YAN(; DIJATUHI PIDANA BERSYARA1
Dengan diterinianya skripsi ini. sesudah lulus dari Ujian Komprehensif. penuiis bcrhak memakai gelar
SARJANA HUKUM
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Yang bcrtanda tangan di bawah ini :
Nama : Muhammad Ilham Romadhon
NIM :502012025
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Pidana
Menyatakan bahwa karya ilmiah / skripsi saya yang beijudul:
PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAWASAN T E R H A D A P
TERPIDANA YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT
Adalah bukan merupakan karya tulis orang lain, baik sebagian maupun
keseiuruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah kami sebutkan sumbernya.
Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya dan
apabila
pemyataan ini tidak benar, kami bersedia mendapatkan sanksi akademis.
Palembang, ' Maret 2016
Muhammad Ilham Romadhon
iv
MOTTO:
''Hoi ofmng-orang beriman, taasttah ALLAH dan taoHlah Rasul (Nya), dan UUl Amri diantara kamu, Kemudian Jika kamu berlainan pendapat teniang sesuatu, maka kembaiika/Uak ia (sunndknya), jika kamu benar-benar beriman kepada ALLAH dan kari kemudian, Yang demikian itu lebih baik aldbatnya**,
(QS, An-Nisa'ayai 59}
Kupersembakkan untuk :
> EEDVA ORANG TVAKV yang setaiu memberikan do*a dan dukungan serta do'ayang tutus demi masa depanku,
> Seluruk keluarga besarku yang tidak btsa km sebtOkan satu persaiu, terima kasih untuk dukungannya,
> KEKASIH TERCINTA KHiYAROTVL ANASIH yang telah mendukung dan seialu mendampingtku,
> Aimamaterku,
A B S T R A K
P E R A N A N K E J A K S A A N M E L A K U K A N P E N G A W A S A N T E R H A D A P T E R P I D A N A Y A N G D I J A T U H I PIDANA
B E R S Y A R A T
Oleh
Muhammad Ilham Romadhon
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui dan mendapatkan pengetahuan yang jelas tentang peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat. Permasalahan yang dibahas adalah Bagaimana peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat dan apakah hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuiii pidana bersyarat.
Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian hukum yang dipandang dari sudut tujuan penelitian hukum yaitu penelitian hukum sosiologis, yang bersifat deskriptif atau menggambarkan, Setelah dilakukan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa ; Peran Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat, setelah hakim menjatuhkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang letap (in kracht), kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan setelah selesai dibuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan, kemudian pemberitahuan pemidanaan bersyarat. Bahwasanya hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat, yaitu : Belum melembaganya pola-pola pengawasan yang dilakukan dan sistem kerjasama di dalam pengawasan, Tidak berkembangnya lembaga-lembaga rekiasering swasta, yang justru merupakan sarana yang sangat penting dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan narapidana bersyarat, Pasal 280 ayat (4) KUHAP yang mengatur peranan hakim pengawas dan pengamat dalam pelaksanaan pidana bersyarat belum berftingsi sebagaimana mestinya, berhubungan belum adanya peraturan peiaksana yang diatur dalam pasal KUHAP tersebut
Kata Kunci: Kejaksaan, Terpidana, Pidana Bersyarat
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu^alaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT, serta
sholawat dan salam kepada nabi Muhammad Saw., karena atas rahmat dan nikmat
Nya jualah skripsi dengan judul : PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N
PENGAWASAN TERHADAP TERPIDANA YANG DIJATUHI PIDANA
BERSYARAT.
Dengan segala kerendahan hati diakui bahwa skripsi ini masih banyak
mengandung kelemahan dan kekurangan. semua itu adalah disebabkan masih
kurangnya pengetahuan dan pengalaman penuiis, karenanya mohon dimaklumi.
Kesempatan yang baik ini penuiis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan, khususnya terhadap:
1. Bapak Dr. Abid Djazuli, SE., MM., Rektor Universitas Muhammadiyah
Palembang beserta jajarannya;
2. Ibu Dr. Hj. Sri Suatmiati, SH., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Palembang beserta stafhya;
3. Bapak/Ibu Wakil Dekan I , I I , I I I dan IV, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Palembang;
4. Bapak Mulyadi Tanzili, SH., MH selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang;
vii
5. Ibu Dra. Hj. Lilies Anisah, SH.. MH.. selaku Pembimbing daiam penulisan
skripsi ini;
6. Ibu Hj YuliarKomariah. SH., MH., Pembimbing Akademik Penuiis;
7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Palembang;
8. Kedua orang tuaku tercinta dan saudara-saudaraku terkasih.
Semoga segala bantuan materil dan moril yang telah menjadikan skripsi
ini dapat selesai dengan baik sebagai salah satu persyaratan untuk menempuh
ujian skripsi. semoga kiranya Allah Swt., melimpahkan pahaia dan rahmat kepada
mereka.
Wassalamu^alaikum wr.wb.
Palembang, Maret 2016
Penuiis,
Muhammad Ilham Romadhon
viii
BAB I I I : PEMBAHASAN
A. Peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap
terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat 34
B. Hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan
pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana
bersyarat 42
BAB I V : PENUTUP
A. Kesimpulan 48
B. Saran-saran 49
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
X
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI Hi
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN v
ABSTRAK vi
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI X
BAB I rPENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan 6
C. Ruang Lingkup dan Tujuan 6
D. Defenisi Operasional 7
E. Metode Penelitian 7
F. Sistematika Penulisan 10
BAB I I : TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana I I
B. Pertanggungjawaban Pidana 16
C. Jenis-jenis Putusan Pidana 22
D. Pengertian Pidana Bersyarat 28
E. Kewenangan Kejak.saa.'; 30
ix
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya
beijalan dengan yang diharapkan,. manusia selalu dihadapkan pada masalah-
masalah atau pertenlangan antar sesamanya, dalam keadaan demikian ini
hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban masyarakat.
Istilah hukum berasal dari kata "straf yang merupakan istilah yang sering digunakan dalam sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang tuas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi cukup luas. Oleh karena itu pidana merupakan istilah lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri dan sifatnya yang khas.'
Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan
pendapat dari beberapa sarjana sebagai berikut ; Menurut Sudarto, "Pidana
adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang, yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Hukum Pidana, sengaja agar
dirasakan sebagai nestapa".'̂
Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada
seorang pelanggar ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar
orang itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam
mempertahankan norma yang diakui dalam hukum Sanksi yang tajam dalam
' Moelyatno, 2003, Hukum Pidana, Citra Bakti, Bandung, him. 6
^ Sudarto, 2002, Kapital selekta Hukum Pidana, Alunuii, Bandung, him. 109
1
2
hukun pidana inilah yang memhedakannya dengan bidang hukum lain seperti ;
bidang hukum perdata, maupun bidang administrasi negara.
Suatu pemidanaan pada hakekatnya merupakan sutau pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
Oleh karena itu pelaksanaan pidana tidak boleh melebihi keadaan yang secara
limitative dilarang oleh sanksi tertentu. Dengan kata Iain pemidanaan
merupakan suatu sanksi yang bersifat subside yaitu baru dan akan ditetapkan
apabila sanksi lain dapat manangguiangi keadaan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia jenis pidana
yang mengancam terhadap pelakunya diatur dalam ketentuan pasal 10 KUH
Pidana yaitu :
a. Pidan Pokok terdiri dari :
a) Pidana Mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan'pidana denda
b. pidana tambahan, meliputi :
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
Dari jenis-jenis pidana pokok yang diancamkan terhadap pelaku tindak
pidana, yang paling tidak disukai adalah pidana pencabutan atau perampasan
kemerdekaan yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. Banyak kritik yang
ditujukan pada jenis pidana ini, baik dilihat dari keberadaannya maupun akibat-
3
akibat lain yang menyertainya atau berhubungan dengan dirampasnya
kemerdekaan seseorang. Meskipun demikian banyak kritik yang ditujukan
pada pidana pencabutan kemerdekaan seseorang yang paling banyak
direncanakan.
Tujuan alasan pembenar dari pidana pencabutan kemerdekaan adalah
untuk melindungi masyarakat. Tujuan ini hanya dapat dicapai bila selama masa
hilangnya kemerdekaan itu diarahkan sebanyak mungkin agar terpidana dapat
kembaii kepada masyarakat. Pelaksanaan pembinaan tersebut memakan waktu
yang cukup lama, demikian pula metode dan pembinaan akan tergantung pada
waktu yang tersedia, yang pada akhimya akan mempengaruhi hasil dari
pembinaan. Dengan mengesampingkan keadaan dalam factor-faktor lain,
waktu yang singkat dalam pidana penjara atau pidana kurungan akan
menghambat tercapainya tujuan tersebut.
Pidana penjara atau pidana kurungan yang singkat banyak memiliki
kelemahan yang utama adalah dengan penjatuhan pidana penjara atau pidana
kurungan yang singkat, kesempatan untuk melakukan pembinaan belum
dianggap memadai. Selain itu dengan dijatuhkan pidana penjara atau kurungan
yang singkat hanya akan memberikan kesempatan kepada terpidana selama
dilembaga untuk belajar pada penjahat professional dan setelah menjalani
pidana justru bertambahlah jahat.
Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, maka
tindakan yang akan diambil adalah mencari serta merumuskan dengan teliti
alternative pidana pencabutan dan perampasan kemerdekaan dan salah satimya
4
adalah mengefektifkan pidana denda pada pelaku tindak pidana pelanggaran
sebagai alternative dalam memberikan balasan atau memulihkan keadaan,
disamping pidana badan tetap dipertahankan keberadaannya, apabila pelaku
tindak pidana pelanggaran tidak mau atau tidak mampu membayamya.
Pemberian pidana bersyarat adalah merupakan jalan keluar untuk
mengatasi kejahatan ringan agar jangan sampai terpidana bercampur dengan
narapidana berat guna menghindari sifat jahatnya. Jadi pidana bersyarat itu
merupakan altematif pcnghindaran ketularan tersebut karena terpidana berada
di luar lingkungan penjara, walaupun ada altematif pidana lainnya selain
pidana bersyarat. Hal ini didasarkan atas dasar pemikiran bahwa tidaklah
semua penjahat harus dimasukkan ke dalam penjara, akan tetapi khususnya
terhadap pelanggar pertama kali demi mencegah pengamh negatif dari
lingkungan masyarakat penjara. Roeslan Saleh pemah menyatakan bahwa :
"Tujuan pidana bersyarat adalah negatif yaitu meninggalkan pidana penjara
yang pendek waktunya, ini diadakan karena dirasakan bahwa pidana-pidana
demikian lebih banyak jeleknya dari pada baiknya (hilangnya pekerjaan,
ketularan kelakuan jelek, dan lain sebagainya).""*
Di dalam hukum positif, pidana bersyarat diatur pada Pasal 14 a ayat
(1), yang menyatakan bahwa :
Dalam hal dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kumngan sebagai pengganti denda, hakim dapat memerintahkan agar pidana tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali jika kemudian dengan suatu putusan ditentukan lain atas dasar bahwa terpidana sebelum berakhimya masa percobaan yang ditentukan sesuai dengan perintah, telah melakukan suatu tindak pidana
' Roeslan Saleh, 2008, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, him. 28.
5
atau selama masa percobaan tidak mentaati sesuai syarat khusus yang mungkin telah ditetapkan di dalam perintah.''
Lebih lanjut dikatakan Muladi, bahwa penjatuhan pidana bersyarat
hanya dapat diberikan pada terpidana apabila penjatuhan pidana bersyarat
tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara asal lamanya tidak
lebih dari satu tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan
dalam hubungan dengan pidana penjara, dengan syarat hakim tidak ingin
menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun. Yang menentukan bukaniah
pidana yang diancam atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi pidana
yang akan dijatuhkan.
2. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan,
dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda.
Mengenai pidana kurungan ini tidak akan diadakan pembatasan, sebab
maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun.
3. Dalam hal ini menyangkut denda maka pidana bersyarat dapat
dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran
denda betul-betul dirasakan berat oleh terdakwa.
Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan kepada si terpidana yang dijatuhi pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda, walaupun banyak kesimpang siuran pendapat tentang keberadaan pidana bersyarat itu sendiri. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat bahwa putusan pidana bersyarat sinonim dengan putusan bebas {vrijspraak) karena terpidana bebas di luar penjara.^
'' Muladi, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, him . 6
' Andi Hamzah, 2006, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, him. 66.
6
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penuiis tertarik untuk
mengkaji dan menganalisis hal yang bersangkut paut dengan peranan
Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana
bersyarat, untuk maksud tersebut selanjutnya dirumuskan dalam skripsi ini
yang berjudul PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N
PENGAWASAN TERHADAP TERPIDANA YANG DIJATUHI
PIDANA BERSYARAT.
B. Permasalahan
Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana
yang dijatuhi pidana bersyarat ?
2. Apakah hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan pengawasan
terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat ?
C. Ruang Lingkup dan Tujuan
Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis, sehingga sejalan
dengan permasalahan yang dibahas, maka yang menjadi titik berat pembahasan
dalam penelitian ini yang bersangkut paut dengan peranan Kejaksaan
melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat .
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui dan mendapatkan
pengetahuan yang jelas tentang :
7
1. Peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang
dijatuhi pidana bersyarat
2. Hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap
terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat
D. Defenisi Operasional
1. Pengawasan adalah sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian
apakah suatu pelaksanaan pekerjaan/kegiatan itu dilaksanakan sesuai
dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan.
2. Kejaksaan adalah lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan Negara
dibidang penuntutan dan penyidikan pidana khusus berdasarkan KUHP.
3. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
4. Pidana Bersyarat, yaitu menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi
pidana itu tidak usah dijalani kecuali dikemudian hari temyata terpidana
sebelum habis masa percobaan melakukan tindak pidana lagi atau
melanggar perjanjian yang diberikan oleh hakim. Jadi putusan pidana tetap
ada hanya pelaksanaan pidana itu ditangguhkan.
E . Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian
hukum yang dipandang dari sudut tujuan penelitian hukum yaitu penelitian
hukum sosiologis, yang bersifat deskriptif atau uienggamoarkan.
8
2. Jenis dan Sumber data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang terdapat dalam kepustakaan, yang berupa peraturan
perundang-undangan yang terkait, jumal, hasil penelitian, artikel dan
buku-buku lainnya
Data yang berasal dari bahan-bahan hukum sebagai data utama yang
diperoleh dari pustaka, antara lain :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang mempunyai otoritas {authoritatif) yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan. antara lain. Undang-undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasilnya dari kalangan hukum, dan setemsnya.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelesan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya
Sedangkan, Data Primer diperoleh melalui wawancara pada pihak
Kejaksaan Tinggi Palembang Palembang.
9
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum ini teknik pengumpulan data yang digunakan
yaitu melalui studi kepustakaan (library research) yaitu penelitian untuk
mendapatkan data sekunder yang diperoleh dengan mengkaji dan
menelusuri sumber-sumber kepustakaan, seperti literatur, hasil penelitian
serta mempelajari bahan-bahan tertulis yang ada kaitannya dengan
permasalahannya yang akan dibahas, buku-buku ilmiah, surat kabar,
perundang-undangan, serta dokumen-dokumen yang terkait daiam
penulisan skripsi ini.
4. Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh dari sumber hukum yang dikumpuikan
diklasitikasikan, baru kemudian dianalisis secara kualitatif, artinya
menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,
sistematis, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan
interprestasi data dan pemahaman hasil analisis. Selanjutnya hasil dari
sumber hukum tersebut dikonstruksikan berupa kesimpulan dengan
menggunakan logika beipikir induktif, yakni penalaran yang berlaku
khusus pada masalah tertentu dan konkrit yang dihadapi. Oleh karena itu
hal-hal yang dirumuskan secara khusus diterapkan pada keadaan umum,
sehingga hasil analisis tersebut dapat menjawab permasalahan dalam
penelitian.
F . Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari empat bab dengan sistemauka seoagai berikut:
10
Bab I , merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
Permasalahan, Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian, Defenisi Operasional,
Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
Bab I I , merupakan linjauan pustaka yang berisikan landasan teori yang
erat kaitannya dengan obyek penelitian, yaitu : Pengertian Pemidanaan,
Pertanggungjawaban Pidana Jenis-jenis Putusan Pidana, Pengertian Pidana
Bersyarat, Kewenangan Kejaksaan
Bab I I I , merupakan pembahasan yang berkaitan dengan Peranan
Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana
bersyarat dan Hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan pengawasan
terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat
Bab IV berisikan Kesimpulan dan saran
BAB TI
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana
Istilah hukum pidana mengandung beberapa arti atau lebih tepat jika
dikatakan, bahwa Hukum Pidana itu dapat dipandang dari beberapa sudut,
yaitu pertama dari sudut Hukum Pidana dalam arti objektif dan Hukum Pidana
dalam arti subjektif.
Moeljatno menyatakan Hukum Pidana adalah bagian dari keseiuruhan
hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa, yang melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.*
d.
Kata "Tindak Pidana" merupakan terjemahan dari ""Strafbaarfeif\
Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana dan beliau tidak setuju dengan
istilah "Tindak pidana" karena menurutnya tindak lebih pendek dari pada
"perbuatan" tapi tindak, tidak menunjukan kepada hal yang abstrak seperti
perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkret.^
^ Pipin Syarifin, 2004, //wAwm P/tiflrta/ncfortes/a, Pustaka Setia, Bandung, him. 13
^ Laden Marpaung, 2003, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.8
11
12
M.H.Tirta Amidjaya memakai istilah "Pelanggaran Pidana". Mr. E.
Litracht memakai istilah "Pristiwa Pidana", umumnya tindak pidana di
sinonimkan dengan Delik yang berasal dari bahasa latin yakni kata Delictum,
dalam kamus besar bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: Delik
pemberatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap Undang - undang tindak pidana".
Mengenai definisi "Delik" (Strafbaar feit) dapat dibandingkan pendapat
para pakar, antara lain:
VOS :Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh
undang - undang
VanHamel :Delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap
hak - hak orang lain.
Simons :Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas
tindakannya dan oleh Undang - undang telah dinyatakan
^ sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat di hukum.
Berdasarkan rumusan Simons maka delik (Straftbaar feit) memuat
beberapa unsur yakni:
a. Suatu perbuatan manusia b. Perbuatan itu dilarang dan di ancam dengan hukuman oleh undang -
undang, c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung
jawabkan.^
^ Ibid, hlm.9.
^ Loc.Cit
14
ada dasamya yang mana dasar tersebut lebih dikenal sebagai asas legalitas
(principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa : "tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika tidak di tentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan - (pasal 1 ayat 1 KUHPid) yang
lebih di kenal dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nula poena sine
provia lege "
Hukum pidana dikenal beberapa kategorisasi tindak pidana atau
macam-macam tindak pidana seperti yang akan dijelaskan dibawah ini.
1. Tindak Pidana Menurut Doktrin
a. Dolus dan Culpa
Dolus yang berarti sengaja; delik dolus adalah merupakan perbuatan
sengaja yang dilarang dan diancam dengan pidana. Contoh : Pasal 338
menghilangkan nyawa orang KUH Pidana. Sedangkan Culpa berarti alpa
atau lalai ''culpose delicten'^ yang artinya perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja, hanya
karena kealpaan (ketidak hati-hatian) saja. Contoh Pasal 188 KUHP
karena salahnya terjadi kebakaran.
b. Komisionis, Omisionis dan Komisionis Per Omisionis
Tindak pidana Komisionis yaitu tindak pidana yang terjadi dengan cara
berbuat sehingga perbuatan itu melanggar larangan. Seperti mencuri Pasal
362 dan membunuh Pasal 338 KUH Pidana, sedangkan omisionis delik
yang terjadi karena seseorang melaiaikan suruhan (tidak berbuat), biasanya
delik formil seperti Pasal 164 dan 165 KUH Pidana, Komisionis Per
15
Omisionis yakni delik yang pada umumnya dilakukan dengan perbuatan,
tetapi mungkin terjadi pula bila orang tidak berbuat (berbuat tapi yang
- tampak tidak berbuat) seperti Pasal 338 KUH Pidana seorang ibu yang
hendak membunuh bayinya berbuat dengan tidak memberikan susu kepada
bayinya, jadi tidak berbuat.
c. Materil dan formil
Katagorisasi ini di dasarkan pada perumusan tindak pidana. Delik materil
yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang
dan diancam dengan pidana dan undang-undang. Sedangkan delik formil
yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang
dilarang dan di ancam dengan pidana oleh undang-undang
d. Without Victim dan With Victim
Without Victim delik yang dilakukan dengan tidak ada korban sedangkan
With Victim delik yang dilakukan dengan ada Korbannya beberapa atau
seorang tertentu.
2. Tindak Pidana Menurut KUH Pidana
Di dalam KUH Pidana yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 di kenal
tiga jenis tindak pidana yaitu :
a. Kejahatan (Crimes)
b. Perbuatan buruk (Delits)
c. Pelanggaran (contraventions)
16
Menurut KUH Pidana yang berlaku sekarang, tindak pidana itu ada
dalam dua jenis saja yaitu kejahatan dan pelanggaran. KUH Pidana tidak
memberikan ketentuan atau syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan
pelanggaran. KUH Pidana hanya menentukan semua ketentuan yang di muat
dalam buku I I adalah kejahatan sedangkan semua yang terdapat dalam buku I I I
adalah pelanggaran.
Kedua jenis tindak pidana tersebut bukan berdasarkan perbedaan
prinsipil, melainkan hanya perbedaan graduel saja. Kejahatan pada umumnya
diancam dengan pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran. Selain itu
terdapat beberapa ketentuan yang termuat dalam buku I yang membedakan
antara kejahatan dan pelanggaran seperti:
1. Percobaan (poeging) atau membantu (mcdeplictigheid) untuk pelanggaran
tidak dipidana pasal 54 dan 60 KUH Pidana.
2. Daluwarsa (verjaring) bagi kejahatan lebih lama dari pada bagi
• pelanggaran pasal 78 dan 84 KUH Pidana.
3. Pengaduan (klacht) hanya ada terhadap beberapa kejahatan dan tidak ada
pada pelanggaran
4. Peraturan pada perbarengan (samenloop) adalah berlainan untuk kejahatan
dan pelanggaran.
>. Pertanggungjawaban Pidana
AJaran kemampuan bertanggung]awab ini mengenai keadaan jiwa atau
batin seseorang yang normal atau sehat ketika melakukan tindak pidana. Arti
17
kemampuan bertanggung)awab dalam M.v.T, diterangkan secara negative,
bahwa tidak mampu bertanggung) awab dari pembuat adalah :
1. dalam hal pembuat tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang.
2. dalam hal pembuat ada di dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat mengisyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hokum dan tidak mengerti akibat perbuatannya.''
Keterangan secara negative kemampuan bertanggung-jawab dalam
M.v.T tersebut, temyatalah bahwa pembentuk undang-imdang mengambil
sebagai pokok pangkal bahwa pada umumnya orang-orang mempunyai
jiwa/batin yang normal/sehat, sehingga mampu bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Hanyalah apabila ada keragu-raguan tentang kemampuan bertanggung
jawab ini pada terdakwa, maka kemampuan bertanggung jawab ini harus
dibuktikan.
Menurut Van Hamel, orang mampu bertanggung-jawab itu harus
memenuhi tiga syarat, yaitu;
1. mampu untuk menginsyafi makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatannya sendiri;
2. mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat;
3. mampu untuk menentukan kehendakanya dalam melakukan perbuatan.'̂ ^"^
" SoQan Sastrawidjaja,2003, Hukum Pidana Asas Pidana sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana, Armico, Bandung, him. 181.
^^Ibid., him. 182. lbid.,\i\m. 182.
18
Menurut Simons, mampu bertanggung-jawab adalah mampu untuk
menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan
itu mampu untuk menentukan kehendaknya.
Meniuoit Moeljatno, dengan menyimpulkan ucapan-ucapan sarjana
menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan
itu mampu untuk menentukan kehendaknya.
1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.'"*
Yang pertama merupakan faktor akal, yaitu dapat membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dengan yang tidak. Yang kedua merupakan
faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak boleh.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa orang yang tidak mampu I
bertanggung jawab adalah orang yang keadaan jiwa/batin tidak seperti apa
yang dirumuskan di atas. Keadaan jiwa/batin tidak normal/sehat itu, yang
menurut pasal 44 KUHP disebabkan karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit. Tidak mampu bertanggung
jawab ini dapat dikatakan merupakan alasan peniadaan kesalahan (alasan
pemaaf), yang dapat dibedakan dengan alasan pemaaf-alasan pemaaf yang
lainnya, seperti yang diatur dalam pasal-pasal: 48 KUHP (daya paksa): 49 ayat
(2) KUHP (bela paksa lampau batas); 51 ayat (2) KUHP (perintah jabatan tidak
^^Ibid, him. 183.
19
sah). Kalau dalam tidak mampu bertanggung jawab fungsi jiwa^ati^^ya itu
disebabkan karena memang organ jiwa/batin tidak normal, sedangkan dalam
pemaaf-alasan pemaaf yang lainnya fungsi jiwa/batinnya tidak normal itu
disebabkan karena keadaan dari luar organ jiwa/batinnya adalah normal.
Cara untuk menentukan ketidak mampuan bertanggung jawab terhadap
seseorang, sehingga ia tidak dapat dipidana ada 3 sistem yaitu:
1. Sistem deskriptif (menyatakan), yaitu dengan cara menentukan dalam perumusannya yaitu sebab-sebabnya tidak mampu bertangung jawab. Menurut sistem ini, jika psikiater telah menyatakan seseorang sakit jiwa, maka dengan sendirinya ia tidak dapat dipidana.
2. Sistem normatif (menilal), yaitu dengan cara hanya menyebutkan akibatknya yakni tidak mampu bertanggung jawab tanpa menentukan sebab-sebabnya, yang penting di sini adalah apakah orang itu mampu bertanggung jwab atau tidak? Jika dipandang tidak mampu bertanggung jawab, maka apa yang menjadi sebabnya tidak perlu dipikirkan lagi.
3. Sistem deskriptif-normatif, yaitu dengan cara gabungan dari cara butir 1 dan 2 tersebut, yakni menyebutkan sebab-sebabnya tidak mampu bertangung jawab. Dan hal ini harus sedemikian rupa akibatnya hingga dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab.''*
Sistem butir 3 inilah yang dianut oleh KUHP kita. Dengan cara
gabungan ini maka untuk dapat menentukan bahwa terdakwa tidak mampu
bertanggung jawab, dalam praktik diperlukan adanya kerja sama antara
psikiater dengan hakim. Psikiater yang menentukan ada atau tidak adanya
sebab-sebab yang ditentukan dalam undang-undang sedangkan hakim yang
menilai apakah karena sebab-sebab itu terdakwa mampu bertanggung jawab
atau tidak.
''' R. Achmad Soema DiParadja, 2003, Asas-asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlra. 14
20
Daiam hal pasal 44 KUHP, psikiater yang menentukan adanya jiwa
cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, sedangkan
hakim yang menilai bahwa karena sebab-sebab itu terdakwa dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
Hakim memerlukan pendapat dari seorang psikiater, tetapi pendapat
dari seorang psikiater ini tidak mengikat keputusan hakim. Hakim bebas untuk
menentukan pendapatnya sendiri, meskipun dalam praktik pada umumnya
hakim mengikuti pendapat dari seorang psikiater itu. Mungkin pula daiam hal
ini seorang psikiater memberikan pendapatnya mengenai apakah terdakwa
yang dalam keadaan jiwa sedemikian itu dapat atau tidak dapat dipertanggung
jawabkan terhadap perbuatannya, yang sesungguhnya merupakan tugas hakim
untuk menentukannya. Akan tetapi mungkin juga pendapat tersebut tidak
diberikan oleh seorang psikiater, karena ia merasa tidak berwenang.
Keadaan jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya dalam pasal 44 KUHP
itu ialah disebabkan karena dungu atau pandir. Kemabukan tidak termasuk
golongan ini, kecuali apabila kemabukan itu ditimbulkan oleh penyakit jiwa.
Demikian pula kebutaaksaraan tidak termasuk dalam golongan ini, kecuali
kebutaaksaraan itu disebabkan oleh karena pertumbuhan jiwa yang cacat itu.
Seseorang yang membawa dirinya dalam keadaan tidak sadar, dengan
maksud agar ia dalam ketidaksadaran itu menjadi berani melakukan suatu
tindak pidana dengan minum-minuman keras atau memabukkan diri,
menggunakan narkotika, dan sebagainya, kehendak imtuk melakukan tindak
pidana itu telah ada padanya sebelum membawa dirinya dalam keadaan tidak
21
sadar, sehingga kepadanya dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana
yang telah dilakukannya itu. Demikian pula seseorang yang membawa dirinya
dalam keadaan tidak sadar, karena minum-minuman keras, menggimakan
narkotika, dan sebagainya, harus dapat mengira bahwa daiam ketidaksadaran
itu besar kemungkinan ia bisa melakukan suatu tindak pidana, sehingga
kepadanya dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang telah
dilakukannya itu.
Di dalam praktik dijumpai bebrapa macam keadaan jiwa yang hanya
sebagian dihinggapi penyakit jiwa, yang disebut dengan tidak dapat
dipertanggung jawabkan sebagaian. Orang yang dihinggapi penyakit jiwa ini
disebut dengan psychopaten. Macam dari penyakit jiwa ini seperti:
1. KJeptomanie, yaitu penyakit jiwa yang berupa kesukaan untuk mengambil sesuatu jenis barang tertentu kepunyaan orang lain tanpa disadarinya atau di luar kehendaknya. Misalnya kesukaan untuk mengambil pulpen, sedangkan jenis barang lainnya tidak. Jadi apabila ia melihat pulpen tanpa disadarinya lalu diambilnya dan terus pergi. Daiam perbuatan-perbuatan lainnyajiwanya normal.
2. Pyromanie, yaitu penyakit yang berupa kesukaan untuk melakukan pembakaran tanpa alasan sama sekali dan di luar kehendaknya. Akan tetapi untuk perbuatan-perbuatan lainnyajiwanya normal.
3. Nymphomanie, yaitu penyakit jiwa pada seorang laki-laki jika bertemu dengan seorang wanita maka berbuat yang tidak senonoh, untuk perbuatan-perbuatannya lainnyajiwanya normal.'^
Pertanggungjawaban dari si pembuat atas perbuatan Pidana yang telah
dilakukan, dan perbuatan itu tercela dan dengan kesalahan itu bisa sengaja
atau kelalaian.'*
.him. 24.
" SoQan Sastrawidjaja, Op.Cil, him. 186.
Bambang Pumomo, 2001, asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
22
Subjek Hukum Pidana adalah manusia dalam kualifikasi tertentu, antara
lain :
1. Penanggung jawab peristiwa Pidana; 2. Polisi yang melakukan penyidikan; 3. Jaksa yang melakukan penuntutan; 4. Pengacara; 5. Hakim yang mengadili; 6. Petugas lembaga permasyarakatan yang melaksanakan eksekusi
putusan Hakim.
C. Jenis-jenis Putusan Pidana
Proses peradilan akan berakhir dengan suatu putusan akhir. Dalam
putusan pengadilan, maka hakim akan menyatakan pendapatnya tentang apa
yang telah dipertimbangkannya sebelum menjatuhkan keputusan. Dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Pasal 1 ayat 11 bahwa "Putusan pengadilan
adalah pemyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka
yang dapat bempa pemidanaan atau bebas dari segala tuntutan hukum serta
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang."
Mengenai putusan hakim di antara sarjana hukum Indonesia tidak
sama dalam pemakaiannya. Ada yang memakai dengan macam keputusan, ada
yang menggunakan unsur keputusan hakim dan ada juga yang menggunakan isi
keputusan hakim. Perbedaan itu bukaniah suatu hal yang mendasar hanya saja
mungkin para sarjana tersebut menggunakan istilahnya hanya karena faktor
kebiasaan belaka. Perbedaan dalam penggunaan istilah tersebut pada dasamya
mempunyai makna yang sama, dan dalam pengertian ini yang digunakan istilah
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, 1988, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, him.30
23
putusan hakim. Putusan hakim itu diikhtiarkan dari hasii pemeriksaan, yang
didapat dari saksi-saksi, alat bukti terdakwa dipersidangan yang ada
relevansinya dengan dakwaan.
Mengenai jenis-jenis putusan hakim diatur dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 191 KUHAP yang berbunyi:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukiun.
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 191 ayat (1 dan 2) di atas
maka dapat diketahui adanya putusan berupa pembebasan terdakwa, apabila
menurut hasil pemeriksaan pengadilan, temyata kesalahan yang dituduhkan
kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan Pasal 191 ayat (1)
sedangkan pada Pasal 191 ayat (2) putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
hal ini Jika menurut hasil pemeriksaan di sidang pengadilan perbuatan
terdakwa terbukti tapi temyata tidak merupakan tindakan pidana, jadi dari
uraian di atas ada dua jenis putusan hakim, yakni: putusan bebas dan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum.
Selain dari ketentuan tersebut diatas maka keputusan hakim ini ada
lagi ketentuan yang mengatumya seperti yang terdapat dalam Pasal 193 ayat
(1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: "Jika pengadilan berpendapat
24
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana".
Dari pasal tersebut di atas, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana
jika berdasarkan hasil pemeriksaan, terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang dituduhkan kepadanya. Jadi dari dua hal tersebut di atas, yaitu
pasal 191 dan pasal 193 KUHAP maka berarti ada tiga jenis keputusan hakim
dalam arti vonis, yaitu :
1. Putusan bebas
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
3. Putusan berupa pidana
Menurut Andi Hamzah, setiap putusan hakim merupakan salah satu di
antara tiga kemungkinan, di atas yaitu :
1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana atau tata tertib
2. Putusan bebas
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hakim.
Selain itu menurut Hedrastanto Yudowidagdo, ia membedakan jenis
keputusan hakim dengan menemukakan unsur keputusan itu, yakni:
1. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa
2. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan
hukum
3. Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa.
Andi Hamzah, Op.CiL. hlm.23.
25
Dari uraian di atas, maka para sarjana sependapat bahwa ada tiga
keputusan hakim, berikut ini akan dijelaskan mengenai masing-masing putusan
hakim.
1. Putusan Bebas
Putusan bebas akan djatuhkan oleh hakim jika pengadilan berpendapat
bawa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas kesalahan yang
didakwakan kepadanya secara sah dan menyakinkan tidak terbukti, maka
terdakwa diputus bebas.
Dakwaan tidak terbukti bahwa apa yang telah diisyarakatkan oleh
pasal 183 KUHAP tidak terpenuhi, yakni :
a. Bahwa alat bukti yang dianut dalam sistem pembuktian adalah
sistem negatif menurut undang-undang.
b. Bahwa sistem negatif menurut undang-undang menghendakinya
alat-alat bukti yang sah yang dapat menjadi pedoman dalam
mengambil putusan hakim.
Apabilal hakim memutus bebas, maka terdakwa yang berada dalam
tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga, kecuali ada alasan
lain yang sah menurut hakim untuk menyatakan bahwa setiap terdakwa tetap
berada dalam tahanan.
Jaksa penuntut umum segera melaksanakan keputusan hakim terhadap
terdakwa untuk segera dibebaskan dari tahanan seketika itu, sedangkan
terhadap barang bukti yang disita dalam perkara di pengadilan menetapkan
Prodjohamidjojo, 2004, Putusan Pengadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hhm. 13
26
bahwa barang sitaan diserahkan kepada yang paling berhak yang namanya
tercantum dalam putusan itu kecuali barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan Negara atau dimusnahkan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
2. Putusan Lepas Dari Tuntutan Hukum
Menurut pasal 191 ayat (2) KUHAP, dinyatakan bahwa jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
tersebut terbukti secara sah dan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak
pidana, atau karena adanya hal-hal >'ang dapat menghapus pidana tuntutan
hukum.
^ Keputusan ini dapat terjadi bilamana tuduhan jaksa terhadap terdakwa
terbukti, perbuatan terdakwa itu bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran,
atau karena semuanya hal-hal penghapusan pidana seperti keadaan mendesak
atau terpaksa atau dalam melaksanakan tugas.
Dalam kaitannya dengan keputusan lepas dari segala tuntutan hukum
Soedirjo mengemukakan bahwa:
Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut diri perbuatannya sendiri maupun menyangkut diri pelaku perbuatan itu sebagaimana terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUH Pidana. Hal-hal yang menghapus pidana dalam pasal-pasal ini bersifat umum, disamping itu terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara khusus, misaJ pasal 166 dan 316 KUH Pidana.̂ ^
Kemungkinan-kemungkinan yang Iain diputus lepasnya terdakwa dari
segala tuntutan hukum yakni, berkenaan dengan keadaan terdakwa sendiri,
Soedirjo, 2003, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Jakarta, Akademika Presindo, him. 58.
27
sebagaimana diatur dalam pasal 44 KUH Pidana yakni: "Barang siapa
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung] awabkan kepadanya,
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau karena penyakit
(Ziekelijke Stroring), tidak dapat dipidana.
Pasal 48 KUH Pidana berbunyi: "Barang siapa melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana". Pasal 49 KUH Pidana berbunyi:
"Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk melakukan pembelaan
karena ada serangan atau ancaman seketika itu yang melawan hukum, terhadap
diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (Een baarheid)
atau harta benda sendiri maupun orang lain tidak dipidana". Pasal 50 KUH
Pidana berbunyi: "Barang siapa melakukan perbuatan imtuk melaksanakan
perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak
dipidana".
Ketentuan dalam KUH Pidana tersebut dapat diketahui bahwa, jika
seseorang terdakwa yang didakwakan oleh penuntut umum telah melakukan
tindak pidana tertentu, namun pada diri pribadi terdapat unsur-unsur pasal-
pasal tersebut di atas, maka hakim akan memutuskan terdakwa dengan
keputusan lepas dari segala tuntutan hukum hal yang demikian dalam
hukuman pidana disebut alasan pemaaf.
Keputusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan
hukum, maka akan berlangsung seperti peristiwa pada pembebasan, yaitu
mengenai status tahanan orang yang salah tangkap, juga mengenai barang bukti
yang disita. Pada putusan yang mengandung pembebasan terdakwa tidak dapat
28
dimintakan banding selain dari pada itu juga sebagaimana yang diatur dalam
pasal 67 KUHAP juga tidak dapat dimintakan banding dengan alasan-alasan
"Bebas mumi dan bebas berselubung", namun dalam sistem KUH Pidana hal
tersebut tidak dapat dimintakan lagi.
3. Putusan Berupa Pemidanaan
Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :"Jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana". Dari ketentuan
tersebut diatas berarti bahwa putusan yang berupa pemidanaan akan dijatuhkan
apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.
I. Pengertian Pidana Bersyarat
Lembaga yang dimaksudkan di dalam tulisan ini bukaniah lembaga
dimana para tahanan harus menjalankan pidana mereka atau yang dikenal
dengan lembaga pemasyarakatan, melainkan lembaga hukum yang
disebutkan di dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungarmya
dengan pemidanaan-pemidanaan yang dilakukan oleh hakim, dan di sini
termasuk pula Lembaga Pemasyarakatan (LP).
Secara umum yang dikatakan bahwa pidana bersyarat adalah suatu
sistem pidana dimana terhadap terpidana dijatuhkan pidana penjara, akan
tetapi pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani olehnya, apabila pada
29
masa percobaan yang telah ditentukan ia tidak melakukan suatu
pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan.
Jadi kalau dipandang sepintas lalu, putusan pidana bersyarat tersebut
seolah-olah ringan, namun dalam kenyataannya justru jenis pidana ini
merupakan beban atau psikologis yang dirasakan oleh pelanggar/pelaku
kejahatan itu.
Apabila dipandang dari segi kemasyarakatan (pandangan
masyarakat), maka beban mental tersebut akan bertambah, sebab
masyarakat sering memberi "cap" bahwa seseorang yang pemah
tersangkut dalam suatu perkara dianggap telah mempunyai kesalahan
besar, sehingga sering kali dijauhi dalam pergaulan sehari-hari oleh
masyarakat lingkungannya, seperti yang dikemukakan oleh Djoko
Prakoso, yaitu tindak pidana tidak hanya tidak enak dirasa pada waktu
dijalani tetapi sesudah itu orang yang dikenai pidana masih merasakan
akibatnya berupa "cap" oleh masyarakat bahwa ia pemah berbuat jahat,
"cap" ini disebut stigma.^'
Adapun mengenai syarat-syarat yang dimaksud dalam penjatuhan
pidana bersyarat menurut Pasal 14a ayat (4) KUHP yaitu :
Perintah itu tidak diberikan, melainkan jika hakim dapat berkeyakinan, sesudah dilakukan pemeriksaan yang teliti. bahwa dapat dilakukan pengawasan terhadap orang yang dihukum itu dalam hal memenuhi perjanjian umum, bahwa ia tidak akan melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan dalam hal memenuhi perjanjian istimewa, jika sekiranya janji itu diadakan juga.
'̂ Djoko Prakoso, 2004, Masalah Pemberian Pidana Dalam Bentuk Praktek Peradilan, Ghalia, Jakarta, him. 4
30
Menurut R. Soesilo berdasarkan isi ketentuan Pasal 14a ayat (4) di
atas persyaratan dibagi atas 2 (dua) yaitu : Pertama, syarat umum yaitu di
mana si terpidana tidak melakukan suatu perbuatan pidana lagi, dan syarat
ini mutlak ada dalam menjatuhkan pidana bersyarat.
Kedua, syarat khusus/istimewa yaitu syarat-syarat yang menyertai
syarat umum dan syarat ini dapt ditentukan oleh hakim. Sedangkan
undang-undang sendiri telah tidak memberikan penjelasan tentang syarat-
syarat khusus, keciiali hanya mengatakan bahwa syarat-syarat khusus itu I
tidak boleh membatasi kebebasan terpidana untuk beragama dan tidak
boleh membatasi terpidana untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sah
menurut ketatanegaraan (Pasal 14c ayat (3) KUHP).
Untuk lebih jelasnya mengenai syarat-syarat khusus dalam
penjatuhan pidana bersyarat ini, maka penuiis mencantumkan contoh
keputusan Mahkamah Agung yaitu : Mahkamah Agung Republik
Indonesia dalam putusan kasasinya tanggal 25 Februari 1975 No.
66.K/Kr/1974 dapat membenarkan syarat khusus yang telah ditetapkan
oleh Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa tertuduh harus
mengembalikan tanah tersebut kepada saksi.
E. Kewenangan Kejaksaan
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan, merupakan salah satu sub sistem
Soesilo, 2009, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, him. 41.
A.F. Lamintang, 2006, Hukum Penintensicr Indonesia, Armico, Bandung, him. 142
32
5. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Tugas dan kewenangan kejaksaan juga di pertegas juga di dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang mana
posisi kejaksaan sebagai lembaga penuntutan di dalam sistem peradilan pidana,
mempunyai kewenangan:
1. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
pembantu;
2. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempumaan penyidikan dari
penyidik;
3. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
4. membuat surat dakwaan;
5. melimpahkan perkara ke pengadilan;
6. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupim kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
7. melakukan penuntutan;
33
8. menutup perkara demi kepentingan umum;
9. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
10. melaksanakan penetapan hakim.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tugas dan kewenangan
kejaksaan adalah penuntutan umum, penyidikan tindak pidana tertentu,
mewakiii negara atau pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara
serta memberikan pertimbangan hukum kepada istansi pemerintah dan
mewakiii kepentingan umum.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang
dijatuhi pidana bersyarat
Pemikiran dasar yang melandasi sanksi pidana bersyarat sebenamya
sangat sederhana. Pidana ini secara keseiuruhan bertujuan untuk menghindari
terjadinya tindak pidana lebih lanjut, dengan cara menolong terpidana agar
belajar hidup produktif di dalam masyarakat yang telah dirugikan olehnya.
Cara yang terbaik untuk mencapai tujuan ini adalah dengan cara
mengarahkan sanksi pidana ke dalam masyarakat, daripada menginginkan ke
lingkungan yang bersifat buatan dan tidak normal, dalam bentuk perampasan
kemerdekaan. Hal ini tidak berarti bahwa sanksi pidana bersyarat harus
digunakan untuk kasus, atau akan selalu menghasilkan sesuatu yang lebih
baik daripada sanksi pidana pencabutan kemerdekaan.
Sanksi pidana bersyarat harus dapat menjadi suatu lembaga hukum
yang lebih baik dari pada sekedar merupakan suatu kebijakan atau
kelonggaran atau kemurahan hati sebagaimana dihayati oleh sebagian
masyarakat dewasa ini, dan menjadi sarana koreksi yang bermanfaat bagi
masyarakat."̂ ^
Sampai saat ini ada anggapan bahwa jenis pidana yang paling baik di
dalam sistem peradilan pidana adalah pidana perampasan kemerdekaan,
Wawancara Dengan Bapak Rusidi, Jaksa Fungsional, pada Kejaksaan Tingi Sumatera Selatan, Palembang Tanggal 9 maret 2016
34
35
kecuali terdapat hal-hal tertentu yang meringankan pemidanaan. Sebaiknya
dirubah menjadi tanggapan bahwa kejahatan yang utama adalah sanksi pidana
bersyarat atau pidana-pidana lainnya yang bersifat non-institusional, kecuali
ada faktor-faktor yang memberatkan di dalam kasus-kasus tertentu.
Di dalam konteks ini pemanfaatan sanksi pidana bersyarat akan
meningkatkan daya pencegahan hukum pidana dengan segala keuntungan-
keuntungan bila dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan.
Untuk mencapai kondisi sosial yang baik tidaklah mudah, sebab adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan pidana bersyarat, diantaranya
adalah :
1. Faktor Perangkat Hukum (Perundang-undangan);
Menyangkut perundang-undangan yang mendasari sanksi pidana
bersyarat, maka yang menjadi permasalahan utama adalah belum adanya
kesatuan pandangan tentang pedoman penerapan pidana bersyarat yang
meliputi hakekat, tujuan yang hendak dicapai, serta ukuran-ukuran di
dalam penjatuhan pidana bersyarat.
Pedoman yang diberikan oleh KUHP (Pasal 14a) sangat sederhana,
kebijaksanaannya adalah untuk menerapkan sanksi pidana bersyarat
diserahkan pada hakim yang mengadili perkara.
Syarat yang tercantum dalam KUHP adalah sebagai berikut:
1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak
lebih dari 1 (satu) lahim (Pasal 14a ayat 1);
2. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana kurungan (Pasal 14 ayat 1).;
36
3. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana denda, pidana bersyarat dapat
dijatuhkan dengan batasan hakim harus yakin bahwa pembayaran denda
betul-betul akan dirasakan berat oleh terpidana (Pasal 14a ayat 2).
Perangkat hukum adalah dasar legalitas dari penerapan pidana,
karena perundang-undangan khususnya KUHP tidak membatasi penerapan
pidana penjara jangka pendek, maka dari itu tidak ada larangan bagi hakim
maupun jaksa untuk menerapkan pidana tersebut."̂ ^̂ ^
Apabila kita mengkaji KUHP yang diberlakukan saat ini dapat
ditemukan sejumlah ketentuan yang memberi peluang bagi diterapkannya
penjara jangka pendek, karena :
t. Sistem perumusan KUHP lebih besar menganut sistem perumusan
tunggal dengan pidana penjara sebagai ancamannya. Sistem ini lebih
cenderung menghasilkan putusan berupa pidana penjara semata.
2. KUHP juga menganut sistem altematif, namun altematif dari pidana
penjara berupa pidana kurungan dan pidana denda atau denda saja.
Sebagaimana diketahui bahwa pidana kurungan pada dasamya juga
tidak berbeda dengan pidana penjara, sehingga bukaniah altematif yang
baik untuk pidana penjara. Sementara itu pidana denda seperti yang
dirumuskan dalam KUHP jumlahnya sangat kecil dan tidak sesuai lagi
dengan nilai uang pada saat sekarang ini. Karena itulah jaksa maupun
hakim pada akhimya memilih pidana penjara walaupun terhadap
perbuatan yang ringan sifatnya.
Muladi, 2003, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, him. 181
37
3. Dalam KUHP terdapat ketentuan yang meringankan pidana, seperti
dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 153 ayat (2) KUHP.
Pasal 47 aya t ( l ) :
Jika hakim menghukum si tersalah, maka maksimum hukuman utama,
yang ditetapkan atas perbuatan yang patut di hukum itu dikurangi
dengan sepertiganya.
Pasal 153 ayat (2) :
Pada waktu menjatuhkan hukuman karena kejahatan yang diterangkan
dengan salah satu pasal-pasal 147 - 152. dapat dijatuhkan hukuman
mencabut hak yang tersebut dalam Pasal 35 No. 3.
4. Dalam batas maksimal minimal ancaman pidana KUHP belum
menganut batas minimal khusus, sementara ini KUHP baru menganut
batas maksimum umum dan batas minimum umum yang lamanya 1
(satu) hari. Dalam sistem hukum pidana kita belum adanya ketentuan
secara khusus pedoman pemberian pidana, oleh karena luasnya limit
waktu batas maksimal dan minimal, maka membuka peluang
dijatuhkannya pidana yang berbeda-beda secara menyolok dari yang
berjangka panjang sampai yang berjangka pendek.
5. Dalam kenyataannya, adanya kebijaksanaan penahanan yang tidak
selektif yang dilakukan oleh penyidik pada tingkat penyidikan,
penahanan dilanjutkan oleh jaksa pada tingkat penuntutan, kemudian
penahanan oleh hakim pada tingkat pemeriksaan pengadilan. Adanya
kebijakan penahanan yang kurang selektif ini mengakibatkan
38
penjatuhan pidana bersyarat kurang dirasakan manfaatnya oleh
terpidana.
Dengan dilakukannya penahanan yang cukup lama pada tingkat
pemeriksaan terutama pada tahap penyidikan dan penuntutan, bagi
terpidana sudah merupakan suatu hukuman yang dirasakan oleh terpidana.
Untuk mengantisipasi banyaknya penerapan pidana jangka pendek dan
sekaligus mengurangi disparitas pidana diperlukan altematif, baik yang
menyangkut jenis pidana maupun dalam pelaksanaan pidana penjara.
Termasuk yang pertama dapat berupa pidana denda, pidana kerja sosial,
pidana ganti rugi atau reslitusi, dan pelaksanaan kewajiban adat
menyangkut pelaksanaan pidana penjara dapat diwujudkan dalam bentuk
pidana bersyarat, pelepasan bersyarat dan pelaksanaan pidana penjara pada
masa luang sebagaimana pemah direkomendasikan oleh Straffmuster pada
tahun 1991.
2. Faktor Perbuatannya.
a. Tindak pidana yang bersangkutan dengan ancaman pidana kurungan;
b. Terhadap tindak pidana tertentu misalnya penggelapan, ada
kesanggupan si pembuat, dengan itikad baik untuk mengembalikan
uang atau barang yang digelapkan;
c. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga;
d. Tindak pidana terjadi karena kealpaan;
e. Kemgian yang ditimbulkan tidak besar.
39
3. Faktor Yang Menyangkut Si Pembuat (Dader).
Pelaku tindak pidana merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
dan menentukan dalam penerapan pidana bersyarat. Pengaruh tersebut
menyangkut dua hal yaitu perbuatan atau akibat (faktor objektif) dan
melekat pada faktor orangnya (faktor subjektif). Berhubungan dengan
faktor objektif, berat ringannya perbuatan atau akibatnya akan menjadi
pertimbangan hakim dan jaksa dalam menentukan berat ringannya suatu
hukuman pidana bersyarat tersebut, disamping pertimbangan dari faktor-
faktor di bawah i n i :
a. Umiu" yang masih muda;
b. Umiu* yang sangat luas;
c. Pembuat adalah pelajar, mahasiswa atau pegawai negeri;
d. Belum pemah dihukum;
e. Menunjukkan tanda-tanda insyaf, menyesal dan bersikap baik di dalam
persidangan;
f. Keadaan keluarga misalnya anak banyak atau keluarga baik-baik;
g. Cacat badan;
h. Ada harapan untuk diperbaiki;
i . Martabat, misalnya mempunyai kedudukan sosial yang baik di dalam
masyarakat;
J. Khusus untuk pelaku di bawah umur, jaksa atau hakim yakin terhadap
kemampuan orang tua untuk mendidik;
k. Melakukan tindak pidana karena terpaksa.
40
4. Faktor Korban Tindak Pidana.
Pada setiap tindak pidana pasti ada korban dari tindak pidana
kejahatan tersebut. Secara normatif faktor korban dapat berpengaruh pada
memperberat maupun memperingan hukuman, tergantung bagaimana
hubungan pelaku dan korban setelah terjadinya tindak pidana.
Telah terbukti bahwa apabila suatu perdamaian antara pelaku
dengan korban kejahatan akan menjadi pertimbangan khusus bagi hakim
untuk menjatuhkan pidana, kemungkinan dapat dipertimbangkan
pemberian pidana bersyarat, karena dengan adanya perdamaian tersebut
mencerminkan adanya unsur pemaaf bagi korban terhadap pelaku
kejahatan.
5. Faktor Yang Menyangkut Pandangan Jaksa atau Hakim Terhadap Pidana
Bersyarat.
a. Untuk membimbing atau memberi peringatan;
b. Untuk pendidikan agar sadar;
c. Keyakinan untuk memperbaiki terdakwa.
Dari data tersebut di atas tampak bahwa para penegak hukum (jaksa,
polisi, dan hakim) mengharapkan agar sanksi pidana bersyarat tidak hanya
sekedar dianggap sebagai kemurahan hati, melainkan tindakan positif dalam
pembinaan narapidana. Hal ini terjadi karena sampai saat ini belum ada
pedoman yang jelas bagi penegak hukum, kapan dapat menjatuhkan sanksi
pidana bersyarat. Adanya pedoman ini sangat penting sebab apa yang
41
dinamakan sanksi pidana bersyarat serta bentuk-bentuk non-institusional yang
lain, hakekatnya merupakan perkembangan atas kemajuan yang besar di
'dalam administrasi peradilan pidana yang membutuhkan ketelitian serta
kepastian di dalam penerapannya.
Dalam rangka ini maka pengaturan yang dibuat-buat dan pembatasan
yang kurang mantap terhadap penentuan kapan seseorang dapat dikenai
sanksi pidana bersyarat. Hambatan yang sungguh-sungguh terhadap realisasi
sepenuhnya daripada pidana bersyarat.
Analisa terhadap keputusan hakim pengadilan mengungkap data yang
memperkuat kesimpulan, bahwa pedoman pemberian pidana bersyarat sangat
dibutuhkan. Pada pertimbangan hakim dalam pemberian pidana bersyarat
sangat bervariatif. Ada yang berorientasi pada faktor-faktor objektif yang
menyangkut perbuatannya, ada pula yang mengacu pada faktor-faktor
subjektif yang menyangkut si pelaku tindak pidana. Ada pula yang tidak
memberikan pertimbangan mengapa dijatuhkan pidana bersyarat.
Yang menarik adalah adanya pertimbangan hakim yang berorientasi
kepada faktor-faktor psikologis, misalnya bersikap sopan di persidangan,
mengaku terus terang, selalu hadir di persidangan, dan sebagainya, yang
sebenamya tidak tepat kalau hanya itu yang dijadikan alasan pemidanaan.
Penjatuhan pidana bersyarat sebaiknya berorientasi kepada hal-hal yang
bersifat normatif objektif.
Persyaratan penjatuhan pidana bersyarat berdasarkan pada Pasal 14a
ayat (4) KUHP yang dijadikan landasan oleh jaksa maupun hakim
42
berdasarkan pada rasa keadilan yang mereka miliki serta melihat per kasus
maupun terdakwanya sendiri. Jadi di sini penjatuhan pidana bersyarat tidak
mutlak dari undang-undang melainkan penilaian jaksa maupun hakim
terhadap terdakwa dan rasa keadilan yang mereka miliki, kecuali ada
keputusan lain akibat dari tidak terpenuhinya persyaratan oleh terdakwa
yang melanggar persyaratan yang ditentukan dalam keputusan tersebut,
yaitu apabila terpidana melakukan perbuatan melawan hukum kembaii.
maka ia harus menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya, tetapi
pada kenyataannya terpidana yang telah menerima hukuman pidana
bersyarat merasa dirinya bebas dari hukuman.
Dengan demikian, peranan Kejaksaan melakukan pengawasan
terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat, setelah hakim
menjatuhkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(in kracht), kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Pelaksanaan Putusan
Pengadilan dan setelah selesai dibuat berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan, kemudian pemberitahuan pemidanaan bersyarat.
Hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap
terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat
Dalam pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat
dilakukan oleh lembaga yang berwenang yaitu dilakukan oleh pihak
kejaksaan atau pimpinan lembaga yang berbentuk badan hukum, atau pejabat
tertentu (Pasal 14d KUHP). Pengawasan umum bersifat imperatif (harus
43
dilakukan), sedangkan pengawasan khusus bersifat fakultatif. Istilah
•pengawasan tidak secara eksplisit disebutkan dalam KUHP, melainkan dalam
bentuk istilah "memberi pertolongan dan bantuan kepada terpidana dalam
memenuhi syarat-syarat khusus".
Menurut Pompe hal ini dimaksudkan untuk mencegah resiko
didasarkan pengawasan yang bukan-bukan. Pasal 5 ayat (2) Ordonansi
pelaksanan pidana bersyarat (S.1926-487) dinyatakan bahwa pelaksanaan
pengawasan terhadap terpidana bersyarat yang disertai syarat-syarat khusus
haruslah dicegah hal-hal yang tidak perlu yang dapat mengurangi kebebasan
terpidana itu atau yang dapat menimbulkan atau mengurangi kebebasan
terpidana yang dapat menimbulkan akibat pada masyarakat.
Pengawasan pidana bersyarat dalam prakteknya dikemukakan bahwa
setelah hakim menjatuhkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap (in kracht), kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Pelaksanaan
Putusan Pengadilan dan setelah selesai dibuat berita acara pelaksanaan
putusan pengadilan, kemudian pemberitahuan pemidanaan bersyarat. Dasar
hukum dibuatnya pemberitahuan pemidanaan bersyarat ini adalah ordonansi
tanggal 6 Nopember 1929, Stbl 1926 No. 487 Jo Pasal 14a dan 14c KUHP.
Mengenai mekanisme pengawasan terpidana yang dijatuhi bersyarat
adalah dengan cara wajib lapor yang dilakukan seminggu sekali dan
selanjutnya dapat dilakukan sebulan sekali sampai habis masa percobaan. Hal
ini tidak dilaksanakan oleh terpidana, namun terpidana yang telah diputus
pidana bersyarat merasakan dirinya bebas tanpa kurungan. Tugas pengawasan
44
terhadap pidana bersyarat dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat
yang memang telah ditunjuk untuk melakukan pengawasan atas terpidana
yang menjalani hukuman pidana bersyarat.
Mengenai hakim pengawas telah diatur dalam Pasal 277 KUHP yang
menyatakan:
1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas untuk membantu
ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan
pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan;
2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 yang disebut pengawas dan
pengamat, ditunjuk oleh Ketua Pengadilan paling lama 2 (dua) tahun, dan
dihubungkan dengan Pasal 280 ayat 4 KUHP bahwa pengawas, pengamat
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 277 KUHP berlaku pula bagi
pemidanaan bersyarat.
Namun kadangkala dalam prakteknya hakim pengawas dan pengamat
belum berfungsi sebagaimana diharapkan. Hakim dan Jaksa sebagai
eksekutor tidak menjalankannya dengan berbagai alasan. Hakim pengawas
dan pengamat hanya memonitor saja dari kejaksaan yang diterima enam
bulan sekali, ini dikarenakan belum berfungsinya hakim pengawas akibat dari
belum adanya aturan pelaksanaan yang mengatur pengawasan tersebut.
Kenyataan bahwa proses pengawasan terhadap terpidana yang
diberikan putusan pidana bersyarat tidak ada sama sekali pengawasan dan
atau pengamatan yang dilakukan baik dari Pengadilan maupun dari Kejaksaan
45
'.sendiri sebagai penanggung jawab atas pelaksanaan putusan pidana bersyarat
tersebut.
Sehingga terpidana merasakan kebebasan hakiki tanpa beban dan
tidak pemah merasakan adanya panggilan, laporan ke Kejaksaan, atau tidak
pemali adanya hambatan dan merasakan kebebasan atas putusan pidana
bersyarat tersebut.
Menurut Muladi, dari gambaran di atas tercermin bahwa dalam sistem
pengawasan pihak Kejaksaan dan Pengadilan mendapat kesulitan dalam
penerapaimya dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. Belum melembaganya pola-pola pengawasan yang dilakukan dan sistem
kerjasama di dalam pengawasan.
2. Tidak berkembangnya lembaga-lembaga rekiasering swasta, yang justru
merupakan sarana yang sangat penting dalam pelaksanaan pengawasan
dan pembinaan narapidana bersyarat;
3. Pasal 280 ayat (4) KUHAP yang mengatur peranan hakim pengawas dan
pengamat dalam pelaksanaan pidana bersyarat belum berfungsi
sebagaimana mestinya, berhubungan belum adanya peraturan peiaksana
yang diatur dalam pasal KUHAP tersebut.
Untuk menjamin adanya sistem pengawasan yang memadai maka
beban pengawasan tidak boleh berlebihan, karena beban pengawasan untuk
tiap-tiap kasus ini akan mencakup pemahaman variabel-variabel yang
beraneka ragam tergantung pada tipe-tipe pelaku tindak pidana serta tugas-
46
tugas yang dibebankan kepada terpidana bersyarat yang diharapkan dapat
meningkatkan manfaat pengawasan.
Di dalam kasus-kasus tertentu, maka sistem pengawasan dan
pembinaan kadang-kadang harus diiengkapi oleh bimbingan-bimbingan yang
bersifat kelompok dan program-program pengobatan.
Untuk menunjang sistem pengawasan yang efektif, seringkali di
dalam kasus-kasus tertentu harus diiengkapi oleh bimbingan-bimbingan yang
bersifat kelompok dan program-program pengobatan.
Untuk menunjang sistem pengawasan yang efektif, seringkali di
dalam kasus-kasus tertentu dibutuhkan fasilitas-fasiiitas jasa yang tersedia di
masyarakat. Petugas pembinaan bilamana perlu harus selalu meiibatkan diri
dalam fasilitas-fasiiitas ini demi kepentingan yang diawasi dan dibina.
Untuk dapat meningkatkan daya guna pengawasan khusus dalam
rangka resosiatisasi terpidana bersyarat secara optimal. Pemerintah harus
memberikan subsidi untuk menunjang perkembangan lembaga-lembaga
rekiasering swasta. Selanjutnya untuk menunjang keberhasilan pengawasan
diperlukan keseragaman baik di dalam pola pengawasan maupun sistem
kerjasama di antara pihak-pihak yang terlibat di dalam pengawasan tersebut,
dalam batas kewenangan masing-masing.
47
Berdasarkan wawancara penuiis, bahwasanya hambatan pihak
Kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi
pidana bersyarat, yaitu :
1. Belum melembaganya pola-pola pengawasan yang dilakukan dan sistem
kerjasama di dalam pengawasan.
2. Tidak berkembangnya lembaga-lembaga rekiasering swasta, yang justru
merupakan sarana yang sangat penting dalam pelaksanaan pengawasan
dan pembinaan narapidana bersyarat;
3. Pasal 280 ayat (4) KUHAP yang mengatur peranan hakim pengawas dan
pengamat dalam pelaksanaan pidana bersyarat belum berfungsi
sebagaimana mestinya, berhubungan belum adanya peraturan peiaksana
yang diatur dalam pasal KUHAP tersebut.
Wawancara Dengan Bapak Rusidi, Jaksa Fungsional, pada Kejaksaan Tingi Sumatera Selatan, Palembang Tanggal 9 maret 2016
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Peran Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi
pidana bersyarat, setelah hakim menjatuhkan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht), kejaksaan
mengeluarkan Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan setelah
selesai dibuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan, kemudian
pemberitahuan pemidanaan bersyarat.
2. Bahwasanya hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan pengawasan
terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat, yaitu :
a. Belum melembaganya pola-pola pengawasan yang dilakukan dan
sistem kerjasama di dalam pengawasan.
b. Tidak berkembangnya lembaga-lembaga rekiasering swasta, yang justru
merupakan sarana yang sangat penting dalam pelaksanaan pengawasan
dan pembinaan narapidana bersyarat;
c. Pasal 280 ayat (4) KUHAP yang mengatur peranan hakim pengawas
dan pengamat dalam pelaksanaan pidana bersyarat belum berfungsi
sebagaimana mestinya, berhubungan belum adanya peraturan peiaksana
yang diatur dalam pasal KUHAP tersebut.
48
49
Saran
1. Daiam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim yang menyimpang, Komisi Yudisial yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 harus proaktif
dalam mengusut tuntas adanya dugaan atau indikasi hakim yang telah
melakukan jual beli perkara, dengan melakukan investigasi langsung dan
menelaah putusan yang dijatuhkan kepada terpidana.
2. Para penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi) adaiah badan yudisial yang
harus terintegrasi dalam menjalankan tugas dan wewenang masing-masing
secara profesional dan tanpa pamrih (tidak mengharapkan apa-apa) dari
suatu kasus/perkara yang ditugaskan terhadapnya sehingga rasa keadilan
hakiki yang merupakan harapan rakyat dapat terwujud.
50
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Achmad Soema DiParadja R, 2003, Asas-asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Andi Hamzah, 2006, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Bambang Pumomo, 200\, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Djoko Prakoso, 2004, Masalah Pemberian Pidana Dalam Bentuk Praktek Peradilan, Ghalia, Jakarta.
^ 2005, Asas - Teori - Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta.
Lamintang, A.F. , 2006, Hukum Penintensier Indonesia, Armico, Bandung
Marpaung Laden, 2003, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta.
Moelyatno, 2003, Hukum Pidana, Citra Bakti, Bandung.
Muladi, 2003, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.
, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, 1988, Intisari Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Pipin Syarifin, 2004, Hukum Pidana Indonesia, Pustaka Setia, Bandung.
Prodjohamidjojo, 2004, Putusan Pengadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Roeslan Saleh, 2008, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta.
Soedirjo, 2003, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Jakarta, Akademika Presindo.
Soesilo, 2009, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor.
So§an Sastrawidjaja, 2003, Hukum Pidana Asas Pidana sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana, Armico, Bandung.
Sudarto, 2002, Kapital Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Perundang-UDdangaD:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG F A K U L T A S HUKUM
Palembang, Nopember 2015
Prihal
Kepada
I
: Mohon Untuk dilaksanakan Seminar Proposal Penelitian Skripsi
: Yth. Ketua Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UMP Di Palembang
Assalamu'alaikurn wr. wb.
Dengan hormat, dengan ini disampaikan bahwa : Nama : Muhammad Ilham Romadhon
Bahwa yang bersangkutan telah layak untuk mengikuti, seminar proposal rencara penelitian Skripsi, dengan judul:
PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAWASAN TERHADAP TERPIDANA YANG DIJATUHI PIDANA B E R S Y A R A T
Mohon kiranya yang bersangkutan untuk dijadwalkan mengikuti seminar Proposal usul Penelitian Skripsi.
Demikianlah disampaikan untuk dipertimbangkan. Wassalam
NIM :502012025 : Ilmu Hukum : Hukum Pidana
Program Studi Program Kekhususan
Pembimbing SkrifBi
Dra. Hj. Lilies Anisah, SH., MH.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG FAKULTAS HUKUM
HALAMAN PERSETUJUAN UNTUK MENGIKUTI SEMINAR PROPOSAL
Nama : Muhammad Ilham Romadhon
N I M ; 502012025
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Pidana
Judul Penelitian : PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAWASAN TERHADAP TERPIDANA YANG DIJATUHI PIDANA B E R S Y A R A T
Palembang, Nopember 2015
Disetujui oleh :
Pembimbirig Skripsi, Ketua Prodi I lmu Hukum,
Dra. Hj. Lilies Anisah, SH., MH. Mulyadi' Tanzili, SH., M H .
UNIVERSITAS MUHAMMADIVAH PALEMBANG FAKULTAS HUKUM
REKOMENDASI DAN PEMBIMBINGAN SKRIPSI
Nama : Muhammad Ilham Romadhon NIM : 502012025 Program Studi ; Ilmu Hukum Program Kekhususan : Hukum Pidana Xudul : PERANAN KEJAKSAAN MELAKUKAN
PENGAWASAN TERHADAP TERPTOANA YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT
I . Rekomendasi Ketua Prodi Ilmu Hukum FH UMP
a. Rekomendasi :
b. Usui Pembimbing : i . M:.#?.-./<//i?(..^ JH-Alt/
Palembang, Nopember 2015 Pit Ketua Prodi Ilmu Hukum,
Mulyadi Tanzili, SH., MH.
I I . Penetapan Pembimbing Skripsi oleh 1 Dekan
f ^ ^ ^ ^ t ^ ^ /) Nopember 2015
uatmiati, SH. , M.Hum.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG FAKULTAS HUKLM
Lampiran Prihal Kepada
: Outline Skripsi : Penulisan Skripsi : Yth. Ketua Prodi Ilmu Hukum Fak. Hukum UMP
Di Palembang
Assalamu'alaikum wr. wb.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Muhammad Ilham Romadhon
Pada semester ganjil tahun kuliah 2015 - 2016 sudah menyelesaikan beban studi yang meliputi MPK, MKK, MKB, MPB, MBB(145 SKS).
Dengan ini mengajukan permohonan untuk Penulisan Skripsi denganjudul: PERANAN KEJAKSAAN MELAKUKAN PENGAWASAN TERHADAP TERPIDANA YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT.
Demikianlah atas perkenan Bapak diucapkan terima kasih. Wassalam
NIM :502012025 : Ilmu Hukum : Hukum Pidana
Program Studi Program Kekhususan
Palembang, K Nopember 2015 Pemohon, |
Muhammad ifham Romadhon
Rekomendasi P.A. Ybs:
limbing Akademik
JUDUL SKRIPSI : PERANAN KEJAKSAAN MELAKUKAN PENGAWASAN TERHADAP TERPIDANA YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT
PERMASALAHAN : 1. Bagaimana peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana
yang dijatuhi pidana bersyarat ?
2. Apakah hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat ?
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Ruang Lingkup dan Tujuan D. Defenisi Operasional E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana B. Pertanggungjawaban Pidana C. Jenis-jenis Putusan Pidana D. Pengertian Pidana Bersyarat E. Kewenangan Kejaksaan
BAB III : PEMBAHASAN A. Peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap
terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat B. Hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan pengawasan
terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat
BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
U M V E R S I T A S M U H A M I M A D I V A H P A L E M B A N G F A K U L T A S H U K U M
P K ( K ; R \ M S.I
S T A T l S D I S A M A K A N D! D K P A R I K M E N D I K B l D / T t . R A K R E D I T A S I SK.NO 329 ' DIKTI; KEP 1992TGL 11 AGUSTUS 1992 - NO 20 DIKTI KEP M993 TGL 21 JANUARM993
TERAKREOITAS! BAN SK BAN • PT NC 013 ' BAN-PI AKRED ' S I 2015
Alamat:JI Jenderal A Yam 13 Ulu Telp 0711-512266 Fax 0711-513514 Palembang 30263
Nomor : £-5/ /FH.UMP/II/2016 22 Februari 2016 Lampiran : -Prihal : Izin Mengadakan Penelitian
dan Wawancara.
Kepada : Yth. Ketua Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Palembang d i -
Tempat
Assalamu'alaikum Wr.Wb. Dengan hormat, bersama ini kami mohon kepada Ketua/Kepala/Pimpinan /Direktur kiranya Berkenan memberikan izin Penelitian dan Wawancara kepada mahasiswa kami atas; Nama ; Muhammad Ilham Romadhon NIM .-502012025 Program Studi : ilmu Hukum Program Kekhususan : Hukum Pidana
Untuk mengadakan Penelitian dan Wawancara di: - Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Palembang
guna mengumpulkan data dalam rangka penyusunan skripsi yang berjudul: "Peranan Kejaksaan Melakukan Pengawasan Terhadap Terpidana Yang Dijatuhi Pidana Bersyarat."
Adapun data yang diperoleh semata-mata akan dipergunakan untuk bahan penulisan karya Ilmiah/Skripsi dan tidak untuk dipublikasikan di luar kampus.
Demikianlah atas perhatian dan kerjasamanya yang baik diucapkan terima kasih. Wabillahit taufiq walhidayah. Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA SELATAN P A L E M B A N G
Jomor ;ifat >ampiran *erihal
B- % T /N.6.2/Cp.2/03/2016 Segera
Izin Mengadakan Penelitian dan Wawancara
Palembang, os Maret 2016
K E P A D A Y T H .
D E K A N F A K U L T A S H U K U M
U N I V E R S I T A S M U H A M M A D I Y A H
P A L E M B A N G
D I -
P A L E M B A N G
Sehubungan dengan Surat Saudara Nomor : E-5/ 242/ FH.UMP/II/ 2016
tanggal 22 Pebruari 2016 perihal tersebut pada pokok surat di atas, bersama ini
disampaikan bahwa mahasiswa An. M. ILHAM ROMADHON, NIM : 50 2012 025,
Program Studi Ilmu Hukum dan Program Kekhususan Hukum Pidana pada prinsipnya
kami memberikan izin kepada Mahasiswa yang tercantum dalam surat tersebut untuk
mengadakan penelitian dan wawancara dalam rangka penyusunan Skripsi di Kejaksaan
Tinggi Sumatera Selatan, pada Pelaksanaan Penelitian tersebut agar mengikuti
peraturan yang berlaku di Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan
Demikian untuk menjadi maklum.
A N . K E P A L A K E J A K S A A N Y I N G G I Si iMAJERA ^ L A T A I
A ^ f f f c E W i ^ ^ N c Y E M B l V m AFRIN.S.HiM.H
AJiRAT^AMA" iNaR.%959b0723 198703 1 002
TEMBIJSAN : 1. YTH. KEPALA KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA SELATAN; 2. YTH. ASISTEN BIDANG PEMBINAAN KEJATI SUMSEL; 3. YTH. ASISTEN BIDANG PENGAWASAN KEJATI SUMSEL;
(1 s/d 3 sebagai laporan) 4. A R S 1 P.
U N l V t K M I A S M U l t A M M A D I Y A l l I 'Al I MM A FAKULTAS HUKUM
K A R T U A K T I V H AS B I M B I N G A N S K K I P S I
NAMA MAHASISWA Muhammad Ilham Romadhon
PEMBIMBING Dra. Hj. Lilies Anisah, SIL,
NOMOR INDUK MAHASISWA 502012025
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROG.KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA
JUDUL SKRIPSI : PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAWASAN TERHADAP TERPIDANA VANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT.
NO TANGGAL KONSULTASI
MATERl YANG DIBIMBING TAN DA TANGAN
PEMBIMBING
KET
1.
T
T
% - ' C
if
MA r i :K I \AN(i D IHIMIUNG I ANDA l A N G A N
PrAJBIMBlNG
CATAI'AN MOHON DIBtRl WAKTU MENYHLESAIKAN SKRIPSI BLJLAN SEJAK TANCKJAL DIKELUARKAN Di rETAPKAN
DIKELUARKAN DI PALEMBANG PADA TANGGAL: ^ O ' J - ^ ^ KLTUAPRODl ILMU HUKUM,