Upload
hakiet
View
312
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
i
PERANAN SENIMAN PRIBUMI KEIMIN BUNKA SHIDOSO PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG DI JAKARTA
1943 - 1945
Disusun oleh
RIZQY NOOR PRATAMAC0511025
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAHFAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARETSURAKARTA
2016
ii
iii
iv
v
MOTTO
Bekerjalah bagai tak butuh uang. Mencintailah bagai tak pernah disakiti. Menarilah bagai tak seorang pun sedang menonton.
(Mark Twain)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dengan hormat dan tulus penulis persembahkan kepada :
1. Orang tua penulis yang terkasih
2. Keluarga besar Jarry Achmad
3. Sahabat-sahabat penulis
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT,
yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya kepada
penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan
judul “PERANAN SENIMAN PRIBUMI KEIMIN BUNKA SHIDOSO
PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG DI JAKARTA 1943 - 1945”.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral, material maupun
spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan
selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada :
1. Prof. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S. M.Hum selaku Kepala Prodi Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya.
3. Waskito Widi Wardojo, S.S., M.A. selaku Pembimbing Skripsi yang
memberikan banyak dorongan, masukan dan kritik yang membangun
dalam proses penulisan skripsi ini.
4. Drs. Sri Agus, M.Pd selaku dosen pembimbing akademik, terima kasih
untuk bimbingannya.
viii
5. Segenap dosen pengajar di Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu
dan wacana pengetahuan.
6. Segenap petugas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Arsip
Nasional, terima kasih atas kerjasama dan waktu yang diluangkan untuk
penulis selama pencarian data dan referensi.
7. Orangtua yang telah merawat penulis sampai sekarang dengan segala
kasih yang telah mereka berikan dan membuat penulis selalu ingin
membanggakan mereka.
8. Komunitas Reptzone, terima kasih untuk kebersamaan dan nasihatnya
selama ini
9. Dito, Danang, Beni, Jony, Fitri, Alfriza, Ari, terima kasih untuk nasihat
dan dukungan yang sangat berarti bagi penulis.
10. Lasera, Triyanto, Ajhi, Fuad, Gandi, Dimas, terima kasih untuk bantuan,
semangat, dorongan, dan kebersamaan kepada penulis.
11. Seluruh teman-teman Prodi Ilmu Sejarah angkatan 2011, Theo, Annisa,
Anik, Vety, Putri, Natisya, Anastasia, Endah, Atika, Ajhi,Usman, Ustman,
Baharudin, Adenata, Triyanto, Gandi, Seno, Aswab, Pramudya, Viky,
Sholeh, Dimas, Dhimas, Fuad, Ghazian, Purnomo, Pandu, Adit, Fahad,
terima kasih untuk 4 tahun yang luar biasa.
12. Keluarga KKN Desa Sirnoboyo Pacitan, Bayu, Fandy, Reiza, Retha, Ika,
Nisita, Desti . Terima kasih untuk kesempatan saling berbagi meski
terbatas waktu. Semoga kita dipertemukan lagi dengan keadaan yang lebih
baik.
ix
13. Segenap Karyawan Benteng Vredeburg Yogyakarta, terimakasih telah
membimbing penulis dan teman-teman yang magang di Vredeburg dengan
sabar dan ikhlas.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak lepas dari
kekurangan dan kekeliruan, serta masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penulis sangat menghargai adanya saran dan kritik yangbersifat membangun guna
menyempurnakan penulisan-penulisan serupa di masa yang akan datang.
Akhinya penulis berharap bahwa hasil skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca sekalian. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Surakarta, 23 Juni 2016
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vi
KATA PENGANTAR............................................................................... vii
DAFTAR ISI.............................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR................................................................................. xii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ............................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xv
ABSTRAK ................................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 6
C. Tujuan Penelitian................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian............................................................... 7
E. Kajian Pustaka..................................................................... .7
F. Metode Penelitian................................................................ 10
G. Sistematika Penulisan.......................................................... 14
BAB II AWAL MULA PENJAJAHAN JEPANG DI INDONESIA
A. Masuknya Jepang Di Indonesia .......................................... 15
B. Berdirinya Pemerintahan Jepang Di Indonesia................... 22
1. Awal Berdirinya Pemerintahan Jepang Di Indonesia....22
2. Sistem Pemerintahan Jepang Di Indonesia....................24
xi
C. Propaganda Jepang Di Indonesia........................................28
1. Arti Propaganda............................................................28
2. Sistim Propaganda Jepang.............................................31
BAB III PERKEMBANGAN KEIMIN BUNKA SHIDOSHO DI JAKARTA
A. Berdirinya Keimin Bunka Shidosho ................................... 36
B. Perkembangan Pergerakan Keimin Bunka Shidosho ......... 45
1. Bagian Kasusasteraan ................................................... 46
2. Bagian Seni Lukis ......................................................... 53
3. Bagian Seni Musik........................................................ 58
4. Bagian Sandiwara dan Tari........................................... 61
5. Bagian Film....................................................................65
C. Pembubaran Keimin Bunka Shidosho.................................68
BAB IV PENGARUH KARYA PARA SENIMAN KEIMIN BUNKA
SHIDOSHO DALAM MEMBANGUN NASIONALISME MASYARAKAT
INDONESIA.
A. Dualisme dari Karya Seniman Keimin Bunka Shidosho.... 76
1. Pengertian Dualisme ..................................................... 76
2. Unsur dualisme dari karya para seniman Keimin Bunka
Shidosho........................................................................ 77
B. Penyelewengan yang dilakukan oleh Keimin Bunka
Shidosho.............................................................................. 85
C. Pengaruh Karya Para Seniman Pribumi Bunka Shidodho Terhadap
Nasionalisme Masyarakat Indonesia....................................93
BAB V KESIMPULAN......................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 108
LAMPIRAN............................................................................................... 111
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Poster “Boeng Ajo Boeng” ....................................................
Gambar 2 Foto Grafiti “Freedom For All Nation” .................................
Gambar 3 Foto Grafiti “Freedom is the Glory Of Any Nation. Indonesia for Indonesians! ..........................................................................
Gambar 4 Foto Grafiti “Merdeka Atoe Mati” ........................................
100
23
35
37
xiii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
1. ISTILAH
Brigade :Satuan Militer yang terdiri dari 3.000 sampai 5.000 orang.
Bu :Departemen.
Djawa Hookoo Kai :Himpunan Kebaktian Jawa.
Djawa Tai Iku Kai : Badan keolahragaan Asia Timur Raya.
Gunshiereikan : Panglima Tentara Jepang.
Gunseikan : Kepala Pemerintahan Militer.
Gunseinbu : Koordinator Pemerintahan Militer Setempat.
Hinomaru : Bendera Jepang.
Indonesia Goseibi Iinkai :Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia.
Jakarta Ika Daigaku :Sekolah Tabib Tinggi.
Kaigun : Angkatan Laut.
Keimin Bunka Shidosho :Badan Pusat Kebudayaan.
Kentyo : Bupati pada masa Jepang.
Kimigayo : Lagu Kebangsaan Jepang.
Kotsubu :Departemen Lalu Lintas.
Naimubu-bunkyoku :Biro Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Dalam Negeri.
Nirom : Radio pada masa Belanda.
Rikugun : Angkatan Darat Jepang.
Saiko Syikikan : Panglima Tertinggi Balatentara Jepang.
Sanyo : Penasihat.
Sendenbu : Departemen Propaganda.
Shihobu : Departemen Kehakiman.
xiv
Somubu :Departemen Urusan Umum.
Sumera :Tahun Jepang.
Syu :Karisidenan.
Tencosetsu :Hari lahirnya Kaisar Hirohito. :
Tonarigumi :Rukun Tetangga.
2. SINGKATAN
ABDACOM :America, British, Dutch, and Australia Command.
KNIL :Koninklijke Nederlandsch Indische Leger.
ISI :Ikatan Sport Indonesia.
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Oendang-oendang No. 1 Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon.. 112
2. Oendang-oendang No. 2 Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon.. 113
3. Poesat Keboedajaan..........................................................................114
4. Poesat Keboedajaan Melangkah.......................................................115
5. Rapat-rapat Istimewa Pertemoean Besar Kesenian..........................117
6. Doea Tahoen Masa Pembangunan di Asia.......................................118
7. Warta-warta Keboedajaan I............................................................. 120
8. Warta-warta Keboedajaan II ........................................................... 124
9. Warta-warta Keboedajaan III.......................................................... 127
10. Pertoendjoekan Loekisan di Djawa................................................. 131
11. Osamu Serei No. 6 Pengawasan Penerbitan ................................... 133
12. Peraturan Dasar Gerakan Djawa Hookookai jang Baroe................ 136
13. Kumpulan Puisi Tahun 1944........................................................... 138
xvi
ABSTRAK
Rizqy Noor Pratama. C. 0511025. 2016. PERANAN SENIMAN PRIBUMI KEIMIN BUNKA SHIDOSO PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG DI INDONESIA1943 - 1945. Skripsi: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui latar belakang didirikannya Keimin Bunka Shidosho (KBS) di Jakarta pada tahun 1943-1945 dan perkembangannya. 2) Mengetahui cara para seniman pribumi Keimin Bunka Shidosho dalam membangun semangat nasionalisme masyarakat di Jakarta pada tahun 1943-1945.
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah menggunakan metode sejarah meliputi empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data melalui studi dokumen, sumber-sumber utama atau data yang digunakan berupa koran-koran yang terbit pada masa penjajahan Jepang seperti Asia Raja, Tjahaja,dan Sin Po, majalah yang terbit pada masa penjajahan Jepang, buku berkala yang berjudul Keboedajaan Timoer karya Keimin Bunka Shidosho dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Teknik analisis data yang digunakan bersifat deskriptif, menghasilkan penelitian yang bersifat deskriptif analistis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa organisasi Keimin Bunka Shidosho awal mulanya terbentuk karena kebutuhan propaganda Jepang dalam bidang kebudayaan. Keimin Bunka Shidosho dalam perkembangannya mengelompokkan para seniman dalam lima bidang yaitu : bidang kasusasteraan, bidang seni lukis, bidang seni musik, bidang sandiwara dan tari, dan bidang film.Pada masa awal para seniman Keimin Bunka Shidosho memang membantu Jepang dalam menyampaikan propagandanya. Para seniman melihat bagaimana kemiskinan semakin merajalela di negeri ini, sehingga tercipta karya-karya yang memiliki sifat dualisme. Sifat dualisme pada karya itu berarti, jika dilihat dari pandangan bangsa Jepang, karya tersebut terlihat seperti membantu Jepang tetapi jika dilihat dari pandangan bangsa Indonesia karya ini memang benar-benar tercipta untuk membela bangsa Indonesia.
Dari analisis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa organisasi Keimin Bunka Shidosho berdiri karena kepentingan propaganda Jepang yang menghimpun para Seniman Indonesia di dalamnya untuk menarik simpati masyarakat agar mereka dapat membantu pada perang Asia Timur Raya. Seniman pribumi yang pada awalnya membantu Jepang pada akhirnya berubah menjadi melawan Jepang dengan karya yang bersifat dualisme. Para seniman pribumi menyisipkan pesan berbau nasionalis pada karya mereka agar dapat mengajak masyarakat dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Cara mereka dalam membangun nasionalisme Indonesia berhasil dengan poster “Boeng Ajo Boeng” yaitu bentuk simbolis dari Indonesia merdeka dengan gambar anak muda yang mengibarkan bendera Indonesia dengan kedua tangan terlepas dari rantai.
Kata kunci: Seniman, Budaya, Keimin Bunka Shidoso.
xvii
ABSTRACT
Rizqy Noor Pratama. C. 0511025. 2016. PERANAN SENIMAN PRIBUMI KEIMIN BUNKA SHIDOSO PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG DI INDONESIA1943 - 1945. Skripsi: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta
This research have purpose to : 1) Knowing the establishment background of Keimin Bunka Shidoso (KBS) in Jakarta in 1943 – 1945 and their development. 2) To know how Keimin Bunka Shidoso (KBS) indigene artist rise people’s nationalism spirit in Jakarta in 1943 – 1945.
This study is history research which using history methode include four steps of Heuristics, Critics of source both internal and external, Interpretation, and Historiograph. Data collection techniques through the study of documents, Primary Sources or data used either newspapers published during the occupation of Japan such as Asia Raja, Tjahaja,dan Sin Po, Magazine published during the occupation of Japan, The Regular book entitled Keboedajaan Timoer karya Keimin Bunka Shidosho and study of the literature. From collecting of data, then the data analyzed and interpreted based on the chronology. Technique data used are descriptive, generate descriptive analytical research.
The result of this research indicate that the beginning of Keimin Bunka Shidoso Organization was formed because of Japan's propaganda necessity in the field of cultural. In its development, Keimin Bunka Shidoso grouped the artists in five areas i.e. literary, painting, music, skits and dance, and film. At the beginning of Keimin Bunka Shidoso's artist does help Japan in conveying their propaganda. The artists look at how proverty is getting rampant in this country, so that they created works which have dualism traits. Dualism traits in their works means, if seen from Japan's view, these works look like help japan, but if seen from indonesian's view these work does really was created to defending Indonesia. From this analysis it can be concluded that the organization Keimin Bunka Shidosho stand for the interests of the Japanese propaganda that brought together Indonesian artists in it to attract public sympathy so that they can help in the Greater East Asia War. Indigenous artists who initially helped Japan in the end turn out to be against Japan with the work that is dualism. The indigenous artists insert smelled nationalist messages in their work in order to engage the community in the struggle to uphold the independence of Indonesia. The way they build nationalism in Indonesia managed by poster "Boeng Boeng Ajo" is a symbolic form of Indonesia's independence with the image of young people who raise the Indonesian flag with both hands regardless of the chain.
Key word: Artist, Culture, Keimin Bunka Shidoso.
1
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 9 Maret 1942 Belanda mengakhiri penjajahannya terhadap
Indonesia, dan diumumkan melalui radio Nirom yaitu sebuah radio resmi
Pemerintahan Hindia Belanda. Belanda menyerah kepada Jepang tanpa syarat
melalui perjanjian yang dilangsungkan di Kalijati, dari Delegasi Belanda yang
datang adalah Ter Poorten, Van Starkenborgh, Pessman dan beberapa perwira
staff Belanda. Jepang memilih diadakan perjanjian di Kalijati dengan maksud
memperlihatkan pesawat-pesawat mereka yang siap membumihanguskan
Bandung, karena waktu itu posisi pihak Kolonial Belanda terdesak di Bandung,
sehingga mereka menyerah tanpa syarat kepada Jepang.1 Setelah terjadinya
penyerahan ini secara otomatis Indonesia berada di bawah pemerintahan Jepang.
Usaha-usaha Jepang dalam rangka menarik simpati rakyat Indonesia
dilakukan menggunakan berbagai propaganda yang cukup menarik, seperti
“Jepang Saudara Tua dan Asia Untuk Asia” dan juga slogannya yang terkenal
yaitu Tiga A (Jepang adalah Pemimpin Asia, Pelindung Asia, dan Cahaya Asia).2
Namun, dalam kenyataan propaganda-propaganda tersebut hanyalah slogan
semata karena semua kepentingan hanya digunakan untuk kepentingan Bangsa
Jepang sendiri. Sumber-sumber ekonomi dieksploitasi dan diangkut ke Jepang.
Hal ini dikarenakan pada saat itu setelah penyerangan Pearl Harbour pada hari
1 Capt. R. P. Suryono., Seks Dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial,
(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm. 225-226.2 M. C. Ricklefs., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2011), hlm. 302.
2
2
Senin tanggal 7 Desember 1941 waktu setempat di Hawaii, bangsa Eropa
memblokade ekonomi Jepang, sehingga Jepang mencari sumber-sumber lainnya
guna tujuannya untuk mencapai Asia Timur Raya. Selain itu, pengawasan
terhadap penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang diperketat. Semua
harta benda dan perusahaan penting seperti pertambangan, listrik, telekomunikasi,
dan transportasi langsung dikuasai oleh Pemerintah Jepang.
Pada awal kedatangannya, Jepang bersikap lembut terhadap orang–orang
Indonesia. Mereka berpura–pura mendukung cita-cita bangsa Indonesia untuk
merdeka pada awal pemerintahannya. Tokoh–tokoh nasionalis Indonesia sendiri
seperti Ir. Soekarno dan Muh. Hatta juga menyambut dengan baik kedatangan
Jepang ini. Jika pada masa Belanda mereka bersikap non-kooperatif atau tidak
ingin bekerja sama dengan pemerintah, maka pada masa Jepang ini mereka
bersikap kooperatif atau bersedia bekerja sama dengan pemerintah. Hal ini
dikarenakan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah kebangkitan bangsa-
bangsa Timur. Faktor lainnya adalah Ramalan Joyoboyo yang hidup di kalangan
rakyat. Diramalkan bahwa akan datang orang-orang kate yang akan menguasai
Indonesia selama umur jagung dan sesudahnya kemerdekaan akan tercapai. Juga
ada faktor diperkenalkannya pendidikan Barat kepada orang -orang pribumi yang
dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda pada masa jajahannya guna mengisi
kekurangan tenaga-tenaga terlatih dan terdidik. Faktor luar yang mempengaruhi
adalah kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905. Perjanjian perdamaian di
Portsmouth pada tahun itu telah membawa Jepang kepada suatu posisi yang
3
3
setingkat dengan negara-negara Barat.3 Orang Timur memandang kemenangan
Jepang sebagai suatu kemenangan Asia atas Eropa yang turut membakar semangat
nasionalisme dan kemerdekaan mereka. Hal tersebut membuat bangsa Asia
berjuang untuk mendapatkan kemerdekaannya.
Orang Indonesia sangat membenci orang–orang Eropa dikarenakan
mereka memperlakukan orang Indonesia dengan sangat keji. Kondisi ini
dimanfaatkan Jepang untuk mengkompori orang Indonesia agar membantu Jepang
melawan Eropa dalam Perang Dunia II. Dalam menjajah, Jepang berbaik hati
terhadap orang-orang Indonesia. Mereka menaikkan derajat kaum pribumi dari
sistem stratifikasi yang ada pada masa Belanda, sehingga orang Indonesia pun
suka terhadap Jepang dan bersedia untuk membantu Jepang dalam Perang Dunia
II. Tetapi kelembutan Jepang hanya berlangsung singkat, ternyata mereka lebih
kejam daripada Belanda. Mereka menyuruh pemuda-pemuda desa ikut dalam
kerja rodi atau romusha4 dan melakukan pelecehan-pelecehan seksual terhadap
wanita Indonesia, serta mengeksploitasi besar-besaran hasil bumi Indonesia.
Ternyata dalam melakukan aksi propagandanya Jepang juga mengambil
hati orang-orang Indonesia melalui budaya dan pendidikan. Untuk itu, Jepang
mendekati golongan pemuda, cendekiawan, dan seniman Indonesia agar dapat
mengubah mentalitas dan cara berfikir orang–orang Indonesia dan
mengalihkannya ke alam pikiran Nippon. Jepang pun membuat wadah-wadah
untuk mereka agar dapat menampung aspirasi yang mereka miliki. Namun tidak
3 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., Sejarah
Nasional Indonesia VI, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 1993), hlm. 14-15.
4 Capt. R. P. Suyono, op.cit, hlm. 290-300.
4
4
semua aspirasi disetujui oleh Jepang untuk disebarluaskan ataupun diterbitkan.
Hanya yang mendukung aksi propaganda Jepang-lah yang boleh terbit pada saat
itu. Karya-karya yang berbau nasionalis maupun kebarat-baratan dilarang. Jika
berani melanggar, maka seniman tersebut bisa dipenjara bahkan dibunuh oleh
Kenpetai (Polisi Jepang).5
Wadah para seniman pada waktu itu adalah Keimin Bunka Shidosho
(KBS) yang didirikan pada tanggal 1 April 2603 tahun Jepang atau 1943 tahun
Masehi di Jakarta. Pada waktu peresmian berdirinya Keimin Bunka Shidosho
disebutkan bahwa badan ini bertugas memimpin dan menilik budaya umum untuk
meningkatkan derajat (mutu) budaya rakyat asli. Akan tetapi, semua itu tidak
lepas dari kepentingan Jepang, karena disebutkan bahwa maksud dan tujuan
utama badan ini , adalah menanamkan dan menyebarkan seni Jepang untuk rakyat
di Indonesia.6 Keimin Bunka Shidosho mempunyai bagian-bagian, antara lain
bagian musik, bagian sandiwara, bagian seni-tari, dan bagian seni lukis.7
KBS merupakan wadah bagi seniman-seniman sehingga banyak seniman
yang kemudian bergabung. Pada masa Belanda seni tidak terlalu diperhatikan
berbeda dengan masa kependudukan Jepang, mereka mendapat perhatian sebagai
alat propaganda Jepang. Pada awal berdirinya tentu saja para seniman KBS
menuruti keinginan Jepang untuk membuat karya-karya yang mengandung unsur
propaganda agar mengubah mentalitas masyarakat Indonesia menjadi mentalitas
5 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., op. cit., hlm.
64.6 Prof. Dr. A. Teeuw, Pokok dan Tokoh Dalam Kesusastraan Indonesia
Baru, (Yogyakarta: Yayasan Pembangunan, 1990), hlm. 93.7 Ibid., hlm. 8-10.
5
5
Nippon, maka para seniman tersebut kemudian sadar dan jengkel terhadap
ketatnya pengawasan Jepang terhadap karya-karya mereka. Oleh sebab itu, para
seniman tersebut membuat karya-karya yang mempunyai sifat seperti pedang
bermata dua yang penuh arti bagi bangsa Indonesia, seperti drama Usmar Ismail
“Api dan Tjitra”, yang mengambil tema kecintaan dan pengabdian kepada tanah
air serta karya El Hakim (dr. Abu Hanifah) yang menciptakan “Taufan di atas
Asia” , “Intelek Istimewa”, dan “Dewi Rini”.8
Adanya peranan dari para seniman yang khususnya tergabung dalam
organisasi bentukan Jepang yaitu Keimin Bunka Shidosho dalam mempengaruhi
semangat nasionalisme bangsa Indonesia tentunya menarik untuk dikaji. Biasanya
karya-karya yang dibuat seniman hanya dipandang sebagai alat pemuas indra saja,
tetapi ternyata di sini dapat dilihat bahwa karya – karya seni dapat mengubah pola
pikir bangsa atau bisa disebut juga sebagai perang pikiran. Perang pikiran terjadi
karena karya seni pada masa Jepang bertujuan mempropaganda bangsa Indonesia
tetapi seniman Indonesia menyisipkan maksud- maksud tersembunyi untuk
meningkatkan rasa nasionalisme di dalam karya yang bertujuan membantu
Jepang, sehingga terjadi perang pikiran antara pemikiran Jepang dan seniman
Indonesia. tersebut Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa perjuangan
dalam membela suatu bangsa dari penguasa asing tidak hanya dapat dilakukan
melalui senjata dan diplomasi, tetapi perjuangan dapat juga dilakukan melalui
kebudayaan. Dalam hal ini ialah karya-karya seni yang dapat membakar semangat
8 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., op. cit., hlm.
64.
6
6
juang suatu bangsa, sehingga mendapatkan semangat kebebasan dari belenggu
penguasa asing.
Harapan diangkatnya judul skripsi “PERANAN SENIMAN PRIBUMI
KEIMIN BUNKA SHIDOSO PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG DI
JAKARTA 1943 - 1945” ini adalah dapat memberi sumbangan yang bermanfaat
bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan, khususnya berkaitan dengan
perjuangan bangsa Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Selain itu diharapkan
juga skripsi ini dapat menjadi acuan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang
peran seniman di masa penjajahan Jepang. Keunikan dari judul skripsi ini adalah
peranan seniman pribumi pada masa penjajahan Jepang berhasil menghasilkan
karya-karya yang bersifat membangun bangsa Indonesia di dalam organisasi
bentukan Jepang “Keimin Bunka Shidoso”.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang permasalahan tersebut akan dirumuskan
beberapa pokok kajian yang nantinya akan dikembangkan dalam penelitian ini,
yakni sebagai berikut:
1. Apa latar belakang berdirinya organisasi kebudayaan Keimin Bunka
Shidosho di Jakarta pada tahun 1943-1945 dan bagaimana
perkembangannya?
2. Bagaimanakah cara para seniman pribumi Keimin Bunka Shidoso
dalam membangun semangat nasionalisme di Jakarta pada tahun 1943-
1945?
7
7
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui latar belakang didirikannya Keimin Bunka Shidosho
(KBS) di Jakarta pada tahun 1943-1945 dan perkembangannya.
2. Untuk mengetahui cara para seniman pribumi Keimin Bunka Shidosho dalam
membangun semangat nasionalisme masyarakat di Jakarta pada tahun 1943-
1945.
D. Manfaat Penelitian
Dalam setiap lapangan penelitian ilmiah sudah barang tentu harus
memiliki kegunaan penelitian secara jelas. Semikian pula dengan penelitian
proposal skripsi ini diharapkan akan memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan peranan organisasi
sosial pada masa pendudukan Jepang.
2. Manfaat Pragmatis.
Manfaat pragmatis yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini ialah
untuk menambah keilmuan tentang sejarah sosial-budaya pada masa
pendudukan Jepang.
E. Kajian Pustaka
Pada penelitian ini, untuk menunjang tema yang dikaji digunakan
beberapa literatur dan referensi yang relevan. Literatur tersebut akan dijadikan
bahan acuan untuk mengkaji, menelusuri, dan mengungkapkan pokok
permasalahan.
8
8
Buku Sejarah Nasional Indonesia VI terbitan dari Balai Pustaka Jakarta
yang terbit pada tahun 1993. Buku karya Marwati Djoened Poesponegoro, dkk ini
dapat menjelaskan mengenai masuknya Jepang hingga Indonesia Merdeka
sehingga terlihat bagaimana kondisi Indonesia saat masuknya Jepang ke Indonesia
sampai Indonesia Merdeka. Selain itu buku ini juga membantu penulis dalam
melihat berbagai hal yang diperbuat Jepang untuk Indonesia dan sebaliknya,
sehingga terlihat peranan-peranan yang dimainkan oleh pemerintah Jepang.
Selanjutnya buku karya A. Teeuw yang berjudul Pokok dan Tokoh dalam
Kesusastraan Indonesia Baru yang terbit pada tahun 1990. Buku ini berisi tentang
kondisi Kesusasteraan Indonesia Baru. Yang dimaksud baru di sini adalah pada
masa selepas penjajahan Belanda, awal penjajahan Jepang hingga Indonesia
Merdeka. Dalam buku ini dijelaskan pula mengenai pembentukan Keimin Budho
Shidosho dan yang tidak kalah penting lagi dibuku ini juga dijelaskan mengenai
para tokoh yang mempengaruhi bentuk Kesusteraan Indonesia Baru. Namun Buku
ini belum membahas tentang pengaruh mengenai kesusteraan tersebut. Buku ini
membantu penulis dalam memahami bentuk Kesusteraan Indonesia pada masa
penjajahan Jepang.
Buku karya H. B. Jassin yang berjudul Kesusasteraan Indonesia Masa
Jepang yang terbit pada tahun 1985. Buku ini membantu penulis dalam
memahami kondisi pada zaman Jepang dalam hal kesusasteraan Indonesia. Dalam
buku ini juga digambarkan kekejaman Jepang yang menghukum seniman karena
menyebarkan karyanya yang mengolok-olok Jepang.
9
9
Buku yang berjudul Sandiwara Dan Perang: Politisasi Terhadap Aktivitas
Sandiwara Modern Masa Jepang karya Fandy Hutari yang terbit pada tahun
2009. Dalam buku ini dijelaskan mengenai sandiwara yang awalnya dipergunakan
Jepang untuk kepentingan propagandanya, kemudian berubah menjadi alat untuk
membangun rasa nasionalisme bangsa. Dalam buku ini juga dijelaskan sesuai
dengan judul bukunya sandiwara dan perang yang dimaksudkan adalah sandiwara
sebagai alat perang, bukan perang fisik namun perang pikiran. Buku ini
membantu penulis dalam memahami peranan dari sandiwara terhadap politik pada
masa penjajahan Jepang.
Buku yang berjudul Mobilisasi Dan Kontrol Studi Tentang Perubahan
Sosial Di Perdesaan Jawa 1942-1945 karya Aiko Kurasawa yang terbit pada
tahun 1993. Dalam buku ini diterangkan bahwa kebijakan Jepang itu merupakan
perpaduan antara kontrol dan mobilisasi, sehingga masyarakat mengalami
kegoncangan yang tidak pernah dialami sebelumnya. Selain itu dalam buku ini
diterangkan bahwa Keimin Bunka Shidoso merupakan agen propaganda Jepang
yang bergerak di bawah perintah Sedenbu. Buku ini membantu penulis dalam
memahami mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat pada waktu itu dan juga
Keimin Bunka Shidoso sebagai agen propaganda Jepang.
Skripsi yang berjudul Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) di
Jawa pada masa pendudukan Jepang 1942-1945 yang merupakan karya
mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya yang
bernama Agus Syamsudin. Skripsi ini selesai dibuat pada tahun 1994. Dalam
skripsi ini Agus Syamsudin menerangkan tentang bagaimana berdirinya pusat
10
10
kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) pada masa Jepang dan kegiatan yang
dilakukan oleh organisasi tersebut. Selain itu skripsi ini juga menjelaskan
mengenai ketatnya penyensoran terhadap karya para seniman dan sastrawan
Indonesia yang boleh disebarluaskan. Skripsi ini membantu penulis dalam
memahami aktivitas Keimin Bunka Shidoso di Jawa khususnya di Jakarta,
sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam menulis mengenai pergerakan
para seniman Keimin Bunka Shidoso. Selain itu penulis juga terbantu dalam
melihat perkembangan Keimin Bunka Shidoso dari Jakarta hingga keseluruh
Jawa.
F. Metode Penelitian
Suatu penelitian ilmiah didukung dengan metode yang matang. Peranan
sebuah metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting, karena berhasil
tidaknya yang hendak dicapai tergantung dari metode yang digunakan. Suatu
metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaian obyek yang diteliti. Terkait
dengan hal ini Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa dalam arti yang
sesungguhnya metode adalah jalan atau cara. Sehubungan dengan upaya ilmiah,
maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara berpikir untuk dapat
memahami sasaran ilmu yang bersangkutan.9 Sesuai dengan masalah yang akan
diteliti, maka penelitian yang mengaplikasikan metode pemecahan ilmiah dari
9 Koentjaranigrat., Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta:
Gramedia, 1983), hlm. 7.
11
11
prespektif sejarah. Secara operasional metode ini meliputi empat kegiatan pokok,
yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.10
1. Heuristik
Heuristik merupakan tahapan pertama dalam aktivitas pengumpulan sumber
atau data sejarah, baik itu sumber primer maupun sumber sekunder.11
Pengumpulan sumber ini sangat penting untuk memperoleh data-data yang
dibutuhkan untuk menyusun sebuah tulisan sejarah. Data-data tersebut dapat
terdiri dari data tertulis maupun data lisan. Studi pustaka dilakukan sebagai unit
kerja dalam proses pengumpulan sumber-sumber primer dan sekunder.
Adapun teknik pengumpulan data tersebut yaitu :
a. Studi Dokumen
Studi dokumen dimaksudkan untuk mendapatkan sejumlah data dan informasi
sebagai bahan utama penelitian sejarah. Dokumen yang menjadi dasar penelitian
ini atau sumber primer dari penelitian ini adalah koran-koran dan majalah-
majalah yang terbit pada masa pendudukan Jepang, dikarenakan kurangnya
dokumen tertulis pada masa kependudukan Jepang karena kebanyakan dari
dokumen tersebut dibakar pada masa kemerdekaan. Ada juga artikel-artikel dari
majalah Djawa Baroe yang berisi tentang kegiatan Keimin Bunka Shidoso selaku
pusat kebudayaan pada masa itu. Selain itu juga karya-karya dari para seniman
pada masa Jepang seperti syair “Siap Sedia” dari Chairil Anwar, syair “Manusia
10 Louis Gottschalk., Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho
Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 32.11 Kuntowijoyo., Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1995), hlm. 94-97.
12
12
Baru” karya Rosihan Anwar, dan Poster “Boeng Ajo Boeng” karya S. Sudjojono
bersama Ir. Soekarno, Affandi, dan Chairil Anwar.
b. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data dengan cara mempelajari
buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan sehingga memudahkan dalam
menarik kesimpulan. Studi pustaka dilakukan untuk membuat kerangka pikir
penulisan, pengujian teori, dan konsep. Selain buku-buku, tulisan yang dimuat
dalam majalah, dan surat kabar pada masa penjajahan Jepang juga merupakan
bagian dari studi pustaka.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber adalah tahapan kedua dalam metode sejarah yang dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh data-data yang otentik dan kredibel. Kritik
sumber penting bagi peneliti agar dapat menyaring kembali informasi yang
diperoleh selama proses pengumpulan data agar tulisannya dapat
dipertanggungjawabkan. Kritik sumber terbagi menjadi dua, yaitu: kritik sumber
ekstern yang merupakan kritik yang dilakukan untuk mengetahui otentisitas
(keaslian) suatu dokumen, dan kritik sumber intern, yang dilakukan untuk
menguji kebenaran suatu dokumen, sehingga didapatkan data yang proporsional
tentang informasi yang ingin disampaikan.12
12 Sartono Kartodirdjo., Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992).
13
13
3. Interpretasi
Interpretasi merupakan tahap ketiga dari metode sejarah sebelum historiografi.
Tujuan dilakukannya tahap ini adalah untuk membuat hubungan antara fakta yang
sama dan sejenis, dan juga untuk menafsirkan dan membandingkan fakta yang
sudah terklarifikasi untuk diceritakan kembali. Dalam melakukan interpretasi,
imajinasi mempunyai peran yang sangat besar, karena imajinasi membantu
sejarawan dalam mengaitkan fakta-fakta yang telah disertakan dan kemudian
diinterpretasikan dalam bentuk kata dan kalimat, sehingga dapat dimengerti.
Tahap ini menuntut daya imajinasi peneliti dalam menggambarkan suatu kejadian
masa lalu, tentunya dengan tetap disiplin dengan jejak-jejak (traces) yang ada.
4. Historiografi.
Tahap terakhir dari metode sejarah adalah historiografi yaitu tahap penulisan
sejarah. Setelah sumber sejarah melewati tahap-tahap sebelumnya, maka siaplah
mereka untuk dirangkai menjadi sebuah karya tulis yang ilmiah. Apabila semua
tahap dijalankan dengan benar maka akan menghasilkan suatu karya sejarah yang
diharapkan, yaitu sebuah tulisan sejarah yang deskriptif-analitis dengan
mengedepankan aspek keilmiahan yang tinggi serta aplikatif.
14
14
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberi gambaran utuh dan menyeluruh tentang pembahasan dalam
penulisan ini, maka penulis telah mempersiapkan rancangan sistematika penulisan
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, bab ini terdiri dari: latar belakang masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan
analisa data.
Bab II, dalam bab ini menguraikan tentang proses masuknya Jepang di
Indonesia, proses pembentukan Pemerintahan Militer Jepang dan propaganda
Jepang.
Bab III, dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang pembentukan
Keimin Bunka Shidosho, perkembangan Keimin Bunka Shidosho dan
pembubaran Keimin Bunka Shidosho
Bab IV, dalam bab ini akan dijelaskan mengenai dualisme karya seniman
Keimin Bunka Shidosho, penyelewengan yang dilakukan seniman Keimin Bunka
Shidosho, dan pengaruh karya seniman Keimin Bunka Shidosho dalam
membangun nasionalisme di masyarakat
Bab V Penutup, bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan
dan merupakan jawaban atas pertanyaan dalam rumusan masalah yang
dikemukakan dalam penelitian.
15
BAB II
AWAL MULA PENJAJAHAN JEPANG DI INDONESIA
A. Masuknya Jepang Di Indonesia.
Masuknya Jepang di Indonesia ini didasari oleh persediaan minyak bumi
Jepang yang semakin menipis untuk berperang melawan Cina. Menipisnya
persediaan minyak bumi yang dimiliki Jepang ditambah lagi dengan tekanan dari
Amerika yang melarang ekspor minyak bumi ke Jepang membuat Jepang untuk
mencari sumber minyak buminya sendiri dan tentu saja sasaran Jepang untuk
mendapatkan sumber minyak bumi adalah Hindia Belanda atau Indonesia.1
Sedangkan untuk mengamankan hubungan antara sumber – sumber minyak di
kepulauan – kepulauan, Jepang berusaha menduduki terlebih dahulu Singapura,
Philipina, Guam dan Wake yang rencananya akan diduduki pada bulan Desember
1941. Namun karena cuaca di bulan Desember 1941 kurang mendukung Jepang
memajukan jadwalnya sehingga serangan dipercepat pada akhir bulan Oktober
1941 penyerangan harus sudah selesai termasuk penyerangan pada Pearl Harbour
yang diharapkan dapat menghancurkan armada Amerika Serikat, sehingga operasi
penyerangan Jepang ke arah selatan tidak mengalami gangguan.
Rencana penyerangan terhadap Pearl Harbour diputuskan pada tanggal 7
November 1941, di mana hari penyerangan itu ditetapkan pada hari senin tanggal
8 Desember 1941, atau sama dengan hari minggu tanggal 7 Desember 1941 pada
waktu setempat di Hawaii. Dipilih hari tersebut karena biasanya armada Amerika
1 Ken’ichi Goto., Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm. 4-3.
16
berada di pelabuhan. Di samping itu akan dilaksanakan invasi ke Malaka dan
Philipina. Pada malam hari tanggal 7 Desember menjelang 8 Desember 1941,
pukul 01:15 waktu Tokyo, Jepang mendarat di Kotabaru, sebelah utara Malaka.
Satu jam kemudian sampai di Patani, sebelah barat daya Thailand. Dalam waktu
yang hampir bersamaan Jepang menyerang konsesi bangsa barat di Shanghai.
Empat puluh menit kemudian terjadilah serangan ke Pearl Harbour, tepatnya
pada hari minggu 7 Desember 1941, pukul 07:55 waktu setempat. Ternyata lebih
cepat lima menit dari waktu yang diperkirakan oleh Markas Besar Ketentaraan
Jepang di Tokyo.2 Dalam beberapa Jam kemudian Jepang melancarkan serangan
udara yang pertama ke Singapura yang merupakan daerah jajahan Inggris.
Pasukan Jepang juga mendarat di pulau Batan di sebelah utara Philipina. Selain
itu Jepang juga meluncurkan serangan udara pertama ke Guam, Hongkong dan
Wake. Pagi hari berikutnya, Kaisar Jepang menandatangani pernyataan perang
terhadap Amerika dan Inggris. Pada tanggal 1 Desember 1941 sudah dibicarakan
juga mengenai perang terhadap Belanda tetapi karena ada perhitungan strategis
serangan ke Hindia Belanda diundur.
Pada tanggal 12 Januari 1942 Pemerintah Jepang baru menyatakan bahwa
terhitung mulai tanggal 11 Januari 1941 telah berlangsung permusuhan terhadap
tentara Belanda. Adapun alasannya adalah karena pemerintah Belanda pada
tanggal 8 Desember 1941 telah menyatakan perang terhadap Jepang. Pada tanggal
27 Desember 1941 Jepang telah menduduki bagian dari wilayah Hindia Belanda
yaitu Kepulauan Tanimbar yang terletak antara Singapura dan Kalimantan. Tetapi
2 Capt. R. P. Suryono., Seks Dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial,
(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm. 202-203.
17
alasan Belanda memusuhi Jepang bukan karena Jepang telah memasuki wilayah
kekuasaannya di Hindia Belanda, melainkan karena Jepang telah menyatakan
perang terbuka terhadap Amerika dan Inggris yang merupakan sekutu dari
Belanda. Kelanjutan dari sikap permusuhan Belanda terhadap Jepang tersebut
tercermin dari perbuatan Belanda dengan mengasingkan orang – orang Jepang
yang tinggal di Hindia Belanda.
Belanda berusaha keras agar Indonesia tidak sampai jatuh ke tangan
Jepang, sehingga Gubernur Jendral Indonesia Dr. H. J. van Mook berpidato di
radio yang intinya meminta agar segenap rakyat Indonesia ikut membantu dalam
mempertahankan Indonesia. Menurut Dr. H. J. van Mook Indonesia merupakan
suatu wilayah yang sangat penting karena kedudukannya yang strategis,
menurutnya Indonesia merupakan penghubung antara Samudra Pasific dan
Samudra Hindia, sehingga jika jatuh ke tangan Jepang akan mengakibatkan
tertutupnya jalan ke Burma dan bisa mengancam hubungan dengan negara-negara
timur tengah dan Rusia melalui teluk Persia dan laut merah. Selain itu Jatuhnya
Indonesia ketangan Jepang dapat memotong perhubungan dengan Australia
sekaligus hilangnya pangkalan paling baik untuk melakukan serangan balasan. Dr.
van Mook untuk itu meminta bantuan kepada sekutu untuk mengirimkan
pasukannya ke Indonesia. Permintaan dari Dr. van Mook ini dibalas Presiden
Amerika pada waktu itu Theodore Roosevelt. Pada tanggal 20 Januari 1942
Roosevelt membicarakan perihal tentang pengiriman bala bantuan ke Indonesia
pada Dr. H. J. van Mook. Selain itu juga Princess Juliana dari Inggris pada hari
18
yang sama menghimbau kepada Belanda agar mempertahankan Indonesia dengan
segenap tenaga karena Indonesia merupakan pangkalan perang yang penting.3
Pada tanggal 24 Januari 1942, Brigade Sakaguchi mendarat di Balikpapan.
Di sana ia membunuh semua orang Eropa yang ditemukan dalam perjalanan, hal
ini dilakukan sebagai hukuman terhadap warga Eropa karena mereka telah
merusak terminal – terminal minyak yang ada di Balikpapan. Pada tanggal 10
Februari 1942 pasukan Jepang mulai memasuki Banjarmasin dan sebagian
pasukan berangkat ke arah utara untuk menduduki bagian barat pulau Kalimantan.
Sementara itu pasukan Jepang telah berhasil menduduki Makassar pada tanggal 9
Februari 1942, Jepang melakukan penyerangan yang sengit sehingga seluruh
pasukan Belanda yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Gortmans pada
tanggal 27 Maret 1942 telah menyerah kepada Jepang di Enrekang. Di Sulawesi
Utara perlawanan dari tentara Belanda masih berlangsung hingga bulan Agustus
1942, tetapi akhirnya mereka pun kalah dan para serdadu Jepang memenggal
kepala mereka. Pada permulaan bulan Februari 1942 dapat dikatakan bahwa
Jepang telah menguasai sebagaian besar pulau Kalimantan dan Sulawesi. Pada
akhir Januari, sebuah armada Jepang datang ke Ambon dan menduduki pulau itu,
dua puluh hari kemudian armada Jepang berhasil menduduki pulau Timor yang
termasuk daerah kekuasaan Belanda dan Portugis. Akibat kemenangan Jepang
yang berhasil menduduki daerah-daerah tersebut dapat dikatakan bahwa pulau
3 “Indonesia Tembok Antara Pacific dan Indische Ocean! Tida Boleh
Dibiarken Djato Dalem Tangan Moesoe!”, Sin Po, 21 Januari 1942.
19
Jawa yang merupakan pusat kekuasaan Belanda berhasil dikepung dari sebelah
utara dan sebelah timur.4
Selain pengepungan pulau Jawa dari sebelah utara dan timur ternyata
direncanakan pula pengepungan dari sebelah barat. Hal ini terbukti dengan adanya
laporan dari kapal terbang sekutu pada tanggal 12 Januari 1942, yakni tentang
adanya armada Jepang di sebelah selatan kepulauan Anambas. Kemudian pada
tanggal 13 Januari menuju 14 Januari tengah malam armada tersebut berlayar
menuju Sumatera Selatan dan mendaratkan pasukan di pulau Bangka. Setelah itu
mereka bergerak menuju Palembang yang merupakan lapangan minyak yang
sebelumnya telah diamankan oleh pasukan terjun payung jepang. Baru pada
tanggal 15 Februari 1942 Palembang jatuh ke tangan Jepang. Angkatan perang
Jepang yang menduduki Sumatera Selatan ini dipimpin oleh Letnan Jendral
Hitoshi Imamura, ia bertugas sebagai pemimpin dalam operasi penyerangan pulau
Jawa. Sumatera Utara dan pulau-pulau kecil di sekitarnya untuk sementara tidak
dijamah oleh Jepang karena mereka lebih memprioritaskan untuk menduduki
pulau Jawa terlebih dahulu.
Selama masa perang sekutu melawan Jepang ini kekuatan perang Jepang
baik darat, laut dan udara sangat kuat sehingga membuat pihak sekutu kewalahan
menghadapi angkatan perang Jepang. Karena hal tersebut pihak sekutu
memutuskan untuk menggabungkan kekuatan mereka ke dalam satu komando
yang diberi nama ABDACOM yang merupakan singkatan dari America
(amerika), British (Inggris), Dutch (Belanda), Australian (Australia) Command.
4 Capt. R. P. Suryono., op. Cit., hlm 205-207.
20
Sebenarnya rencana penggabungan kekuatan ini telah direncanakan pada tanggal
7 Desember 1941 setelah penyerangan Jepang terhadap Pearl Harbour tetapi
baru terealisasi pada tanggal 3 Januari 1942. Tujuan dari pembentukan
ABDACOM ini adalah untuk bekerjasama dalam melindungi wilayah kekuasaan
Amerika, Inggris, Belanda, dan Australia yang berada di Asia Tenggara yaitu
Philipina, Malaka, Hindia Belanda, dan Australia.5
ABDACOM dipimpin oleh seorang Marsekal Inggris yang bernama Sir
Archibald Wavel6 yang ditunjuk secara resmi oleh pemerintah sekutu pada tanggal
1 Januari 1942. Pada akhir Februari 1942 saat sebagian besar wilayah
ABDACOM jatuh ditangan Jepang, ABDACOM dibubarkan. Penyebab
kegagalan ABDACOM dalam melindungi wilayah kekuasaannya adalah
kesulitan mengkoordinasikan tindakan antar angkatan 4 bangsa yang
menggunakan peralatan yang berbeda dan tak dilatih bersama, dan prioritas yang
berbeda atas pemerintah nasional. Pemimpin Inggris terutama tertarik
mempertahankan kendali atas Singapura, kapasitas militer Hindia Belanda telah
banyak menderita akibat kekalahan Belanda pada tahun 1940, dan pemerintah
Belanda berfokus untuk mempertahankan Pulau Jawa, pemerintah Australia amat
cenderung kepada perang di Afrika Utara dan Eropa, dan sumber daya militernya
yang siap jangkau sedikit, dan AS mengikat perhatian pada Filipina, yang saat itu
merupakan daerah Persemakmuran AS.
5 Ibid., hlm 208.6 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., Sejarah
Nasional Indonesia VI, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 1993), hlm. 2.
21
Pemboman Jepang pertama di Jawa dilakukan pada hari Selasa, 3 Februari
1942, mereka menyerang Surabaya, Malang, Madiun dan Magetan. Penyerangan
di Surabaya terjadi pada pukul 10.15 dengan menggunakan serangan udara, bom-
bom yang diluncurkan Jepang jatuh di pusat kota menghancurkan pertokoan yang
ada di jalan tersebut. Hanya sedikit korban yang jatuh pada penyerangan itu, hal
ini karenakan sudah dibunyikannya alaram tanda bahaya pada pukul 10.05.
Sementara itu kota Madiun, Malang, dan Magetan tidak berhasil dibom oleh
Jepang karena sudah ada persiapan sebelumnya setelah adanya insiden di
Surabaya. Bahkan di kota Madiun dan Malang berhasil menembak jatuh
sedikitnya satu pesawat musuh.7 Serangan Jepang yang pertama pada pulau Jawa
ini memang mengalami kegagalan tetapi mereka telah menanamkan teror kepada
musuh mereka. Selanjutnya mereka berhasil masuk ke kota-kota di Jawa yang
akhirnya dapat mengepung kota Bandung yang merupakan komando pusat
angkatan perang Belanda.
Pada tanggal 7 Maret 1942 pihak Belanda mengajak Jepang untuk
berunding. dalam perundingan tersebut Jendral Imamura memerintah Shoji untuk
mengatakan kepada Ter Poorten yang merupakan panglima KNIL, bahwa dalam
perundingan tersebut bukan hanya Ter Poorten saja yang harus hadir tetapi
Jendral Imamura juga meminta hadirnya Gubernur Jendral Tjarda van
Starkenborgh. Awalnya pihak Belanda menginginkan perundingan tersebut
dilaksanakan di hotel Isola, Bandung akan tetapi permintaan ini di tolak oleh
Jendral Imamura, ia menginginkan perundingan ini dilaksanakan di Kalijati agar
7 “Bombardement Djepang Pertama Pada Java”, Sin Po, 4 Februari 1942.
22
delegasi Belanda dapat melihat langsung pesawat-pesawat Jepang yang telah siap
untuk mengebom Bandung. Perundingan tersebut dilaksanakan pada tanggal 8
Maret 1942 pada pukul 16:30. Perundingan tersebut berjalan cukup alot sehingga
Jendral Imamura sedikit menekan Ter Poorten untuk penyerahan total, dan jika
permintaannya tidak dipenuhi maka perang akan dilanjutkan sampai KNIL benar-
benar habis seutuhnya. Akhirnya pada pukul 18:20 berlangsung penandatanganan
perjanjian penyerahan oleh Belanda terhadap Jepang. Pada tanggal 9 Maret 1942
penyerahan oleh Belanda terhadap Jepang8 ini diumumkan melalui Radio Nirom
yang merupakan sebuah radio resmi Pemerintah Hindia Belanda, dengan ini
berakhirlah penjajahan Belanda di Indonesia.
B. Berdirinya Pemerintahan Jepang di Indonesia.
1. Awal Berdirinya Pemerintahan Jepang di Indonesia.
Setelah penyerahan total atas Indonesia dari pemerintahan Belanda ke
Jepang yang dilakukan oleh Letnan Jendral H. Ter Poorten yang merupakan
Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda kepada Letnan Jendral Hithoshi
Imamura pada tanggal 8 Maret 1942 yang dikenal dengan kapitulasi Kalijati.
Setelah tersebarnya kabar tersebut dari radio Nirom yang merupakan radio resmi
milik Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 9 Maret 1942 Indonesia memasuki
babak baru dalam sejarahnya yaitu masa pemerintahan militer Jepang. Sehari
sebelum kapitulasi Kalijati dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1942, Panglima
Tentara Ke-16 mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 pasal 1. Osamu Seirei
8 “Doea Tahoen Masa Pembangoenan di Asia”, Thahaja, 9 Desember
1943.
23
Nomor 1 pasal 1 yang menjadi pokok dari berbagai peraturan tata negara pada
waktu pendudukan Jepang. Undang- undang tersebut antara lain memuat hal-hal
sebagai berikut:9
Pasal 1: Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara
waktu di daerah-daerah yang ditempatinya agar mendatangkan
keamanan yang sentosa dengan segera.
Pasal 2: Pembesar balatentara Nippon memegang kekuasaan pemerintah militer
yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu berada di tangan
gubernur jenderal.
Pasal 3: Semua badan pemerintahan, kekuasaan hukum, dan undang-undang
dari pemerintahan terdahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu
asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer.
Pasal 4: Balatentara Nippon akan menghormati kedudukan dan kekuasaan
pegawai-pegawai yang setia kepada Nippon.
Pemerintahan militer Jepang di Indonesia membagi wilayah administratif
Indonesia atas tiga daerah militer yang masing-masing dipegang oleh Angkatan
Darat (Rikugun) Dan Angkatan Laut (Kaigun). Ketiga daerah tersebut adalah:
o Daerah Jawa Dan Madura dengan pusatnya di Batavia berada
dibawah kendali Angkatan Darat Jepang (Tentara Keenambelas).
9 Dai Nippon Gunseibu, Oendang-Oendang Dari Pembesar Balatentara
Dai Nippon No. 1, Betawi, Juni 1942. hlm. 1.
24
o Daerah Sumatra Dan Semenanjung Tanah Melayu dengan
pusatnya Di Singapura yang berada dibawah kendali Angkatan
Darat Jepang (Tentara Keduapuluh Lima).
o Daerah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua
yang berada dibawah kendali Angkatan Laut Jepang (Armada
Selatan Kedua).10
Ketiga wilayah militer Jepang di Indonesia ini berada di bawah komando
panglima besar tentara Jepang untuk wilayah Asia Tenggara yang berkedudukan
di Saigon, Vietnam.
2. Sistem Pemerintahan Jepang di Indonesia.
Jepang melakukan beberapa langkah untuk memperkuat posisinya di
Indonesia. Di antaranya, menyangkut beberapa tokoh politik Indonesia. Dalam
struktur pemerinthan Jepang di Indonesia seperti Husein Djajadiningrat, Sutardjo
Kartohadikoesoemo, R.M Soerjo, Dan Prof. Soepomo. Pengangkatan ini
dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat Indonesia bagi kepentingan
perang Jepang serta untuk membantu kebutuhannya akan pegawai.
Jepang kala itu sudah menetapkan susunan pemerintahan, Susunan
Pemerintahan Jepang kala itu, yaitu:11
Gunshiereikan (panglima tentara Jepang) dijabat oleh Hitoshi Imamura.
Gunseikan (kepala pemerintahan militer) dijabat oleh Seizaburo Okasaki.
10 G. Moedjanto., Indonesia Abad Ke-20 1 Dari Kebangkitan Nasional
Sampai Linggajati, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 73.
11 Panji Pustaka, No. 26, 3 Oktober 1942, hlm 933.
25
Gunseinbu (koordinator pemerintahan militer setempat) dijabat oleh
semacam gubernur.
Pada setiap gunseibu ditempatkan beberapa komandan militer. Mereka mendapat
tugas untuk memulihkan ketertiban dan keamanan, menanam kekuasaan, dan
membentuk pemerintahan setempat.
Pada masa itu sebenarnya Jepang kekurangan tenaga pemerintahan yang
ada, sebenarnya mereka telah dikirimkan tenaga pemerintahan untuk melengkapi
para pejabatnya di Jawa tetapi ditengah perjalanan kapal yang ditumpangi oleh
tenaga tambahan ini diserang oleh tentara sekutu sehingga mereka perlu mencari
sumber tenaga lainnya. Dalam hal ini pemerintah Jepang terpaksa mengangkat
pegawai-pegawai dari kaum pribumi atau bangsa Indonesia. Hal itu tentunya
menguntungkan pihak Indonesia karena memperoleh pengalaman dalam bidang
pemerintahan. Di Jawa Barat, pembesar militer Jepang menyelenggarakan
pertemuan dengan para anggota Dewan Pemerintahan Daerah dengan tujuan
untuk menciptakan suasana kerjasama yang baik. Gubernur Jawa Barat, Kolonel
Matsui, didampingi oleh R. Pandu Suradiningrat sebagai wakil gubernur,
sedangkan Atik Suardi diangkat sebagai pembantu wakil gubernur.Pada tanggal
19 April 1942, diangkat residen-residen berikut ini :
Ø R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat di Banten (Serang)
Ø R.A.A Surjadjajanegara di Bogor
Ø R.A.A Wiranatakusuma di Priangan (Bandung)
Ø Pangeran Ario Suriadi di Cirebon
Ø R.A.A Surjo di Pekalongan
26
Ø R.A.A Sudjiman Martadiredja Gandasubrata di Banyumas.12
Di kota Batavia, sebelum namanya diubah menjadi Jakarta, H. Dahlan
Abdullah diangkat sebagai kepala pemerintahan daerah kotapraja, sedangkan
jabatan kepala polisi diserahkan kepada Mas Sutandoko. Jepang juga
mengeluarkan berbagai aturan. Dalam undang-undang No. 4 ditetapkan hanya
bendera Jepang, Hinomaru saja yang boleh dipasang pada hari-hari besar dan
hanya lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo saja yang boleh diperdengarkan.
Selanjutnya mulai tanggal 1 April 1942 ditetapkan harus menggunakan waktu
(jam) Jepang. Mulai tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa kalender yang
dipakai adalah kalender Jepang yang bernama Sumera. Tahun 1942, kalender
Masehi sama dengan tahun 2602 Sumera. Demikian juga setiap tahun rakyat
Indonesia diwajibkan untuk merayakan hari raya Tencosetsu¸ yaitu hari lahirnya
Kaisar Hirohito. Pada bulan Agustus 1942 pemerintahan militer Jepang
meningkatkan penataan pemerintahan. Hal itu tampak dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 27 tentang aturan pemerintahan daerah dan Undang-Undang
No. 28 tentang aturan pemerintahan syu dan tokubutsu syi. Didepan Sidang
Istimewa ke-82 Parlemen di Tokyo, Perdana Menteri Tojo pada tanggal 16 Juni
1943 memutuskan bahwa pemerintah pendudukan Jepang memberikan
kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam
pemerintahan.
12 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. op. cit.,
hlm. 8.
27
Selanjutnya, pada tanggal 1 Agustus 1943 keluar pengumuman Saiko
Syikikan tentang garis-garis besar rencana mengikut sertakan orang-orang
Indonesia dalam pemerintahan negara. Pengikut sertaan bangsa Indonesia tersebut
dimulai dengan pengangkatan Prof.Dr. Hoesein Djajadiningrat sebagai Kepala
Departemen Urusan Agama pada tanggal 1 Oktober 1943. Pada tanggal 10
November 1943, Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A Surio masing-
masing diangkat sebagai residen (syucokan) di Jakarta dan Bojonegoro.
Selanjutnya, pengangkatan 7 penasehat bangsa Indonesia dilakukan pada
pertengahan bulan September 1943. Mereka disebut sanyo dan dipilih untuk enam
macam departemen (bu), yaitu berikut ini:
o Ir. Soekarno untuk Somubu (Departemen Urusan Umum).
o Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid untuk Naimubu-bunkyoku
(Biro Pendidikan danKebudayaan Departemen Dalam Negeri).
o Prof. Dr. Mr. Supomo untuk Shihobu (Departemen Kehakiman).
o Mochtar bin Prabu Mangkunegoro untuk Kotsubu (Departemen
Lalu Lintas).
o Mr. Muh. Yamin untuk Sendenbu (Departemen Propaganda).13
Masuknya tentara Jepang ke Indonesia awalnya mendapat sambutan yang
baik dari masyarakat Indonesia. Bahkan tokoh-tokoh nasionalis Indonesia seperti
Ir. Soekarno dan Drs. Hatta bersedia melakukan kerjasama dengan pihak
pemerintah pendudukan Jepang, padahal sebelumnya pada masa pemerintahan
Hindia Belanda mereka bersikap non-kooperatif. Sebagian bangsa Indonesia
13 Ibid., hlm. 7.
28
memang tertarik oleh propaganda Jepang baik yang dengan kata-kata maupun
perbuatan. Jepang mengumumkan kepada bangsa Indonesia bahwa mereka datang
dengan maksud membebaskan Indonesia dari belenggu penguasa asing.
Disamping itu mereka juga menerangkan bahwa setelah Belanda diusir dari
Indonesia mereka berniat untuk memajukan bangsa Indonesia hingga bangsa
Indonesia setaraf dengan bangsa-bangsa yang sudah maju. Selain itu adanya
ramalan Joyoboyo yang hidup di kalangan masyarakat juga mempengaruhi
terbukanya bangsa Indonesia dengan kedatangan Jepang. Dalam ramalan itu
dijelaskan bahwa akan datang orang-orang kate yang akan menguasai Indonesia
selama umur jagung (3,5 tahun) dan sesudahnya kemerdekaan akan tercapai.
Selain itu juga ada faktor diperkenalkannya pendidikan barat kepada orang-orang
pribumi yang dibutuhkan Pemerintahan Jepang untuk mengisi kekurangan tenaga-
tenaga terlatih dan terdidik dalam pemerintahan. Selain ini ada juga faktor luar
mengapa bangsa Indonesia sangat mempercayai Jepang yaitu kemenangan Jepang
atas Rusia pada tahun 1905, hal ini telah membuat semangat bangsa-bangsa di
Asia untuk memerdekan diri mereka sendiri muncul.14
C. Propaganda Jepang di Indonesia.
1. Arti Propaganda.
Propaganda secara etimologis berasal dari bahasa Latin “propagare” yang
berarti cara tukang kebun menyemaikan tunas suatu tanaman ke sebuah lahan
untuk memproduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri. Dengan kata
14 Nugroho Notosusanto., Tentara Peta pada jaman Pendudukan Jepang
di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979).
29
lain juga berarti mengembangkan atau memekarkan tunas. Secara harfiah
propaganda berarti adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi
pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak
menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang
dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya.
Propaganda kadang menyampaikan pesan yang benar, namun seringkali
menyesatkan dimana umumnya isi propaganda hanya menyampaikan fakta-fakta
pilihan yang dapat menghasilkan pengaruh tertentu, atau lebih menghasilkan
reaksi emosional daripada reaksi rasional. Tujuannya adalah untuk mengubah
pikiran kognitif narasi subjek dalam kelompok sasaran untuk kepentingan
tertentu.
Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk
membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan memengaruhi
langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku
propaganda. Sebagai komunikasi satu ke banyak orang, propaganda memisahkan
komunikator dari komunikannya. Namun menurut Ellul, komunikator dalam
propaganda sebenarnya merupakan wakil dari organisasi yang berusaha
melakukan pengontrolan terhadap masyarakat komunikannya. Sehingga dapat
disimpulkan, komunikator dalam propaganda adalah seorang yang ahli dalam
teknik penguasaan atau kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap
30
penguasa negara atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara harus
mempergunakan propaganda sebagai suatu mekanisme alat kontrol sosial. 15
Propaganda sebagai kata istilah tercatat digunakan pertama kali oleh
Gereja Katolik Roma. Pada 1622, Paus Gregorius XV membentuk The Roman
Catholic Sacred Congregation for the Propagation of the Faith (Sacra
Congregatio Christiano Nomini Propagando atau singkatnya Propaganda Fide,
diindonesiakan jadi Majelis Suci untuk Propaganda Agama). Propaganda Fide
dibentuk untuk menyebarkan misi agama sekaligus mengawasi kegiatan
misionaris agama Katolik Roma di Italia maupun di negara-negara lain.
Alasannya, masyarakat yang tidak mengenal ajaran Katolik tidak akan pernah
memeluk agama tersebut. Maka dari itu harus ada usaha yang terorganisasi dari
luar untuk memperkenalkan agama itu kepada masyarakat. 16 Karena tujuannya
untuk penyebaran agama, maka propaganda dinilai berkonotasi positif.
Pada zaman dahulu retorika adalah satu-satunya media propaganda.
Propaganda dilakukan dengan hanya bermodalkan kemampuan olah kata dengan
diksi yang hebat, nada dan intonasi yang tepat, gestur dan gestikulasi yang
memikat hanya dengan demikian seorang orator dapat mempengaruhi khalayak
dengan cepat. Keadaan mulai berubah setelah terjadinya Revolusi Industri di
Inggris, terutama dengan keberadaan mesin cetak. Keberadaan mesin cetak
membuat propagandis mampu menulis dan memperbanyak pesan-pesan
propaganda ke dalam media cetak seperti koran, poster dan lain sebagainya.
15 Altheide, David L. & Johnson, John M., Bureaucratic Propaganda,
(Boston: Allyn and Bacon, Inc.,1980), hlm 4-5.16 Santoso Sastropoetro., Propaganda : salah satu bentuk komunikasi
massa, (Bandung: Alumni, 1991).
31
Tenyata tidak berhenti sampai di situ saja semakinnya teknologi informasi
memudahkan para propagandis menyebarluaskan pesan-pesannya baik melalui
media cetak maupun media elektronik.
2. Sistem Propaganda Jepang.
Jepang berhasil menguasai Indonesia pada bulan Maret 1942 akibat
diadakannya kapitulasi Kalijati antara Belanda dan Jepang yang berisi penyerahan
total tanpa syarat. Karena berhasil merebut Hindia Belanda dari tangan Belanda
otomatis Jepang harus memikirkan cara agar untuk mendapat simpati rakyat
Hindia Belanda pada saat itu. Jepang beranggapan bahwa perlu memobilisasikan
seluruh masyarakat dan membawa sepenuhnya mentalitas rakyat Indonesia
menuju kesesuaian dengan ideologi Jepang tentang Lingkungan Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya.17 Sebenarnya Jepang udah mendapat nilai lebih untuk
medapatkan simpati rakyat. Sebab pertama Jepang mendapat nilai lebih adalah
keberhasilan Jepang dalam memenangkan perang melawan Rusia pada tahun
1905, hal ini sangat luar biasa di mata rakyat Indonesia karena kemenangan
Jepang atas Rusia merupakan bukti konkrit kemenangan bangsa timur melawan
bangsa barat sehingga Jepang menginspirasi negara-negara timur untuk melawan
bangsa barat yang selama ini menjajah mereka. Sebab kedua ialah kemenangan
Jepang atas Belanda yang membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda
selama 3,5 Abad, hal ini membuat Jepang sebagai sosok dewa penolong mereka
17 Aiko Kurosawa., Mobilisasi dan Kontrol Studi Tentang Perubahan
Sosial di Perdesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta: Grasindo, 1993), hlm. 229.
32
dari belenggu bangsa barat. Poin-poin tersebutlah yang memudahkan Jepang
untuk menarik simpati bangsa Indonesia pada awalnya.
1. Propaganda Jepang di Bidang Politik.
Jepang pada awalnya menggunakan politik sebagai alat propaganda mereka.
Pada masa awal pendudukan, Jepang menyebarkan propaganda yang menarik.
Sikap Jepang pada awalnya menunjukkan kelunakan, misalnya: mengizinkan
bendera Merah Putih dikibarkan disamping bendera Jepang, mengizinkan
penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dan mengizinkan
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tetapi kelunakan tersebut tidak berlangsung
lama. Jenderal Imamura mengubah semua kebijakannya. Kegiatan politik dilarang
dan semua organisasi politik yang ada dibubarkan.18 Sebagai gantinya Jepang
membentuk organisasi-organisasi yang dapat dikontrol oleh Jepang.
Organisasi politik bentukan Jepang yang pertama adalah Gerakan 3A yang
dibentuk pada tanggal 29 April 1942. Organisasi ini mempunyai semboyan 3A
yaitu Nippon cahaya asia, Nippon pelindung asia dan Nippon pemimpin Asia.
Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk menghimpun tenaga rakyat
Indonesia yang dapat digunakan untuk Perang Asia Timur Raya. Namun gerakan
3A ini dalam realisasinya tidak berhasil sehingga organisasi ini dibubarkan.19
Organisasi politik bentukan Jepang berikutnya adalah Putera (Pusat
Tenaga Rakyat), organisasi ini didirikan pada bulan Maret 1943 sebagai pengganti
18 Dai Nippon Gunseibu, Oendang-Oendang Dari Pembesar Balatentara
Dai Nippon No. 2, Betawi, Juni 1942, hlm. 7-8.19 Prof. Dr. Slamet Muryana.,Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme
Sampai Kemerdekaan Jilid II,(Yogyakarta: LkiS, 2008), hlm. 8.
33
gerakan 3A yang dinilai gagal dalam mendapat dukungan massa. Putera diketuai
oleh empat serangkai, yaitu: Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K. H.
Mansyur yang merupakan tokoh nasionalis yang terkemuka pada saat itu.
Organisasi ini berhasil dalam mendapatkan simpati rakyat, tetapi mereka
melakukannya bukan untuk kepentingan Jepang melainkan untuk kepentingan
bangsa Indonesia sendiri sehingga oraganisasi ini dibubarkan pada bulan Maret
1944.
Djawa Hoo Koo Kai atau Gerakan Kebaktian Jawa adalah salah satu
organisasi politik bentukan Jepang yang berdiri pada tanggal 1 Maret 1944.
Organisasi ini dipimpin langsung oleh kepala pemerintahan Jepang (Gunseikan)
sehingga dapat dikatakan Jepang tidak ingin melakukan kesalahan yang terjadi
pada Putera. Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam Jawa Hokokai ini sebenarnya
sama dengan tokoh-tokoh pada Putera dengan kata lain oraganisasi ini hanya
berganti nama saja dan langsung diawasi oleh pemerintah Jepang.20
Jepang rupanya juga membentuk organisasi politik yang berbau agamis
yaitu Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Masyumi dibentuk Jepang
pada bulan November 1943. Organisasi ini dibentuk Jepang berdasarkan
pengamatan Jepang mengenai agama Islam di Indonesia yang sangatlah kuat.
Rata-rata penduduk di Indonesia beragama islam sehingga Jepang membentuk
organisasi ini untuk memanfaatkan kekuatan Islam yang berada di Indonesia.
20 “Peraturan Dasar Gerakan Djawa Hookookai jang Baroe”, Asia Raja, 2
Februari 1945.
34
2. Propaganda Jepang di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan.
Propaganda Jepang di bidang pendidikan dan kebudayaan tidak kalah
pentingnya dengan propaganda Jepang di bidang politik. Tujuan Jepang
melakukan propaganda di bidang pendidikan dan kebudayaan adalah untuk
mengubah mentalitas berfikir orang-orang Indonesia dan mengalihkannya ke alam
pikiran Nippon. Jepang melakukan propaganda dalam bidang ini dengan cara
mendekati golongan muda, cendikiawan dan seniman Indonesia agar dapat
menjadi kader-kader yang kemudian disebarluaskan kedalam masyarakatnya.
Pusat-pusat indoktrinasi ditujukan pada sekolah-sekolah yang dibuka kembali
pada bulan Juni 1942. Khusus untuk bahasa selain dilakukan di sekolah-sekolah
Jepang juga menyediakan kursus-kursus. Selain itu Jepang juga meningkatkan
dominasi budayanya di beberapa sekolah tinggi di Jakarta, seperti Jakarta Ika
Daigaku (Sekolah Tabib Tinggi) dan Sekolah Tinggi Hukum.21
Pada bidang olahraga Jepang bergerak pada cabang olahraga beladiri.
Tradisi Jepang di cabang olahraga beladiri ini memang sangat menonjol. Dengan
olahraga ini Jepang hendak menanamkan semangat Dai Nippon kepada orang-
orang Indonesia. Dalam hal olahraga ini Jepang mendapat dukungan dari Ikatan
Sport Indonesia (ISI) sejak bulan April 1942. Pernyataan tersebut diumumkan
dalam rapat ISI yang dihadiri Mr. Syamsuddin selaku ketua Gerakan 3A, bersama
seorang pembesar Jepang. Bahkan pada tanggal 21 Agustus 1942, ISI di
21 Penerbitan Sejarah Lisan, No. 4. Di Bawah Pendudukan Jepang
Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya, tahun 1988, Koleksi Arsip Nasional Indonesia, hlm. 71.
35
persatukan ke dalam Djawa Tai Iku Kai yang merupakan suatu badan
keolahragaan yang meliputi segala bangsa Asia Timur Raya di pulau Jawa.
Jepang juga mendekati kalangan cendekiawan, dengan cara antara lain
mengusahakan penyempurnaan bahasa Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1942
atas usul Kolonel Mori, kepala kantor pengajaran, dibentuklah Indonesia Goseibi
Iinkai (Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia) yang diketuai olehItjiki, Mr.
Soewandi dan St. Takdir Alisyahbana. Hasilnya antara lain merumuskan garis-
garis besar bahasa Indonesia, mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah
kesusasteraan dan mengumpulkan sedikitnya 5.000 istilah mengenai kedokteran,
teknik, kehakiman dan sebagainya.22
Jepang juga mendekati golongan seniman melalui badan-badan ciptaannya
antara lain: Badan Persiapan Pusat Kesenian Indonesia yang dibentuk pada
tanggal 1 Agustus 1942 dan Keimin Bunka Shidosho (Badan Pusat Kebudayaan)
yang dibentuk pada tangal 1 April 194323. Melalui kedua badan ini penguasa
Jepang merangkul demikian banyak seniman Indonesia yang bersama-sama
dengan seniman Jepang mencoba membentuk model kebudayaan Asia Timur
Raya seperti yang dicita-citakannya.
22 Ibid., hlm. 72.23Aiko Kurosawa., op. cit., hlm 231.
36
BAB III
PERKEMBANGAN KEIMIN BUNKA SHIDOSHO DI
JAKARTA
A. Berdirinya Keimin Bunka Shidosho.
Tentara Jepang berhasil menguasai seluruh Indonesia pada tanggal 8
Maret 1942. Pemerintah pendudukan Jepang bercita-cita menyatukan seluruh Asia
dalam satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Jepang. Selain itu, mereka
menginginkan agar masyarakat Asia mendukung peperangan yang sedang
dijalankan melawan tentara Sekutu. Eksploitasi hasil bumi serta mobilisasi
manusia adalah wujud dari cita-cita Jepang tersebut. Tujuannya untuk
memperlancar pelaksanaan kebijakan mereka tentang kemakmuran bersama Asia
Timur Raya di bawah pimpinan Jepang, pemerintahan militer Jepang memberikan
perhatian besar untuk mengambil hati rakyat dan bagaimana mengindoktrinasi
mereka.1 Indoktrinasi yang dilakukan Jepang tentunya tidak melalui jalan politik
saja, tetapi mereka juga melakukannya pada bidang kebudayaan.
Alhasil dari keinginan Jepang untuk mengindoktrinasi rakyat Indonesia
melalui bidang kebudayaan, Jepang mendirikan suatu lembaga pusat kebudayaan
yang diberi nama Keimin Bunka Shidosho. Keimin Bunka Shidosho ini didirikan
oleh Jepang pada tanggal 1 April 1943 (2603 dalam kalender Jepang), lembaga ini
berada di bawah Sedenbu (Departemen Propaganda)2. Jepang berhasil
1 Penerbitan Sejarah Lisan, No. 4. Di Bawah Pendudukan Jepang
Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya, tahun 1988, Koleksi Arsip Nasional Indonesia, hlm 2-8.
2 Aiko Kurasawa, Mobilisasi Dan Kontrol Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta: Grassindo), 1993. hlm 229.
37
mempersatukan banyak seniman untuk bekerja pada lembaga tersebut karena para
seniman beranggapan lembaga ini dapat menjadi kendaraan dalam menumpahkan
ekspresi. Lembaga seperti ini merupakan lembaga baru bagi mereka tidak seperti
pada masa penjajahan Belanda yang tidak memberikan wadah, pemerintah Jepang
memberikan ruang bagi para seniman ini walaupun tujuannya untuk membantu
pemerintah Jepang dalam memenangkan hati rakyat Indonesia agar mereka mau
membantu pemerintah Jepang dalam perang Asia Timur Raya.
Badan pusat kebudayaan ini sebenarnya telah terencana pada tahun 1942
setelah terbentuknya “Badan Pusat Kesenian Indonesia” dalam rapat yang
diadakan di rumah Bung Karno pada tanggal 6 Oktober 19423. Alhasil Badan
Pusat Kebudayaan ini baru terbentuk pada tanggal 1 April 1942. Badan ini
dibentuk sebagai suatu alat untuk membangunkan dan memimpin kebudayaan di
tanah Jawa. Alamat kantor dari badan ini berada di Noordjiwk no 39, Jakarta.
Badan Pusat Kebudayaan ini terbagi menjadi lima bagian, yaitu: kesusastraan,
kesenian, lukisan dan ukiran, musik, dan sandiwara dan film. Tiap-tiap bagian
mempunyai ketua orang Indonesia. Adapun usaha Badan Pusat Kebudayaan ini
adalah memimpin dan menilik kebudayaan umum yang maksudnya untuk
meninggikan derajat penduduk, terutama berusaha memelihara kesenian klasik
dan kesenian-kesenian asli Indonesia, dan di samping itu badan ini akan berusaha
pula menanam dan menyebarluaskan kesenian dan kebudayaan Nippon. Hal ini
dimaksudkan untuk mendidik dan melatih para ahli kesenian disegala lapangan,
serta menghargai dan menghadiahi pekerjaan ahli kesenian yang utama.
3 “Badan Poesat Keboedajaan”, Asia Raja, 7 oktober 1942 , hlm. 3.
38
Pada tanggal 2 April 1943 untuk pertama kalinya orang-orang dari Badan
Pusat Kebudayaan saling bertatap muka. Mereka dikumpulkan di kantor mereka
dengan tujuan untuk memberikan mereka pengarahan mengenai perbaikan
kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh ketua masing-masing bagian. Esok
harinya pada tanggal 3 April 1943, Gunseikan P. T. Letnan Jendral S. Okazaki
telah menetapkan susunan anggota pengurus Keimin Bunka Shidoso atau Badan
Pusat Kebudayaan.4 Susunan pengurus dari Badan Pusat Kebudayaan ini sebagian
besar merupakan orang-orang Indonesia sendiri. Hal ini dikarenakan Jepang selain
kekurangan tenaga ahli juga ingin terlihat seperti benar-benar membantu bangsa
Indonesia dengan menjadikan orang-orang Indonesia sebagai pengurus. Dalam
pengurusan tersebut terdapat orang-orang Jepang yang berada pada posisi-posisi
penting dan posisi tersebut jika diperhatikan lebih tinggi daripada yang dapat
dijabat oleh orang Indonesia. Hal ini adalah cara Jepang untuk mengontrol dan
mengantisipasi jika nantinya terdapat pembelotan dalam organisasi tersebut.
Keimin Bunka Shidosho memang mulai bekerja pada tanggal 1 April 1943
walaupun demikian pembukaan resmi lembaga ini dilaksanakan pada tanggal 18
April 1943 yang dibuka oleh Hithosi Shimizu yang merupakan Sendenbu
Sendenkaco (kepala urusan rumah tangga Sendenbu) setelah dilangsungkan
upacara telebih dahulu. Acara pembukaan ini bertempat di kantor Badan Pusat
Kebudayaan yang bertempat di Noordjiwk no. 39, Jakarta. Pembukaan ini dihadiri
oleh banyak orang mulai dari para anggota Keimin Bunka Shidosho sampai
kalangan petinggi dari pemerintahan Balatentara Jepang pun hadir. Acara ini juga
4 “Poesat Keboedajaan”, Thahaja, 6 April 1943, hlm 7.
39
dihadiri oleh tokoh-tokoh petinggi dalam negeri diataranya dari empat serangkai,
K. H. Mas Mansoer dan Ki Hajar Dewantara, kemudian juga hadir Prof. Husein
Djajadiningrat, Mr. Soedjono, yang merupakan kentyo5 Jakarta, W.
Wondoamiseno dari MIAI, M. Soetardjo dan beberapa pemuka dari Bandung.
Dalam acara tersebut beberapa petinggi pemerintahan Jepang ini pun menyambut
acara tersebut dengan berpidato, para petinggi tersebut yaitu J. M. Gunseikan
Seizaburo Okasaki yang merupakan Somubuco (kepala pemerintahan umum) dan
P. T. Yamamoto yang merupakan Sendenbuco (ketua Sendenbu). Pidato tersebut
berbunyi:6
Pidato J. M. Gunseikan Seizaburo Okasaki :
“Kantor Poesat Keboedajaan jang soedah sekian lamanja diharap-harapkan berdirinja oleh segenap pihak, telah dapat diboeka dengan resmi dan penoeh kegembiraan. Keadaan ini sangat menggirangkan hati kami. Keboedajaan itoe djiwa bangsa, pengaroeh keboedajaan pada segenap lapangan dalam masjarakat besar dan loeas: madjoe atau moendoernja masjarakat itoe bergantoeng pada keboedajaan. Oleh karena itoe berkembang soeboer atau tidaknja benih keboedajaan itoe adalah soeatoe soal jang maha penting sekali.
Teristimewa poela sebagian besar benoea Asia dimana Indonesia termasoek poela dalam lingkoengan itoe, jang selama ini dibawah tindasan bangsa Barat, terpaksa menerima keboedajaan jang hampa belaka, keboedajaan jang meroesak binasakan Keboedajaan Timoer Asli dan ada poela jang hidoepnja seoempama kerakap toemboeh dibatoe. Hidoep segan mati tak maoe. Hal itoe sangat mengecewakan hati kita sekali.
Akan tetapi peperangan Asia Timoer Raja dewasa ini telah menjadarkan bangsa Asia jang tidoer njejak jang berdjoemlah l.k. 1000 djoeta itoe. Peperangan Asia Timoer Raja seolah-olah telah mendjadi api oenggoen jang membangoenkan kembali Keboedajaan Timoer jang diaoeh lebih tinggi dari Kebudajaan Barat dan jang telah mempoenjai tradisi 5000 tahoen lamanja.
5 Kentyo adalah sebutan bagi Bupati pada masa Jepang. Lihat
http://nurkasim49.blogspot.com/2011/12/iv.html, di akses 16 April 2016 pukul 21.00.
6 “Pemboekaan resmi kantor kebudayaan”, Tjahaja, 19 April 1943, hlm 8
40
Toean-toean sekalian. Renoengkanlah kedjadian itoe sedalam-dalamnja, teroetama insaf dan mengerti akan kewadjiban ahli kesenian dan keboedajaan dimasa peperangan. Hendaklah senantiasa bergiat soenggoeh-soenggoeh mentjapai maksoed dan toedjoean jang toean tjita-tjitakan. Demikian pengharapan kami kepada toean.”
Pidato P. T. Yamamoto:
“Atas oesaha bersama antara pegawai-pegawai Sendenbu dengan toean-toean dari kalangan Indonesia jang diboelatkan dengan soenggoeh-soenggoeh, pada hari ini telah dapat diadakan pemboekaan Kantor Poesat Kebodajaan. Hal itoe sangat menggirangkan hati kami. Ta’ perloe lagi kiranja diseboet, bahwa toedjoean peperangan pada dewasa ini ialah mentjiptakan soeatoe soerga-loka bagi 1000 djoeta bangsa Asia. Toedjoean jang didasarkan kepada faham zaman, jang senantiasa mengingat Kebenaran. Selandjoetnja faham itoe kelak disebarkan keseloeroeh doenia boeat mentjiptakan Soesoenan Baroe, soepaja mendatangkan Kema’moeran dan Kesentosaan jang kekal bagi oemat manoesia didoenia ini. Itoelah maksoed terachir dalam peperangan ini. Maka teranglah perdjoeangan pada dewasa ini boekan bermaksoed hendak mengoebah roman peta boemi atau mengganti kekoeasaan-kekoeasaan jang ada dalam soeatoe negara, melainkan adalah perdjoeangan jang berazas kemanoesiaan jang moelia ini menoedjoe kearah pembaharoean dalam segala lapangan politik, perekonomian dan keboedajaan.
Oleh karena itoe soedah selajaknja segenap oemat manoesia haroes mempersatoekan dan mentjorahkan tenaganja goena mentjapai oesaha soetji moerni itoe dengan tidak membeda-bedakan bangsa, pangkat atau pekerdjaan. Dalam pada itoe hendaknja djangan seorangpoen jang tinggal mendjadi penonton sadja.Renoengkanlah!
Pengaroeh keboedajaan Barat jang soedah berabad-abad lamanja meradjalela di Asia ini mengakibatkan kita bangsa Asia, lantaran dinina bobokan, soedah tidoer njenjak, hingga kita hampir-hampir sadja menghadapi kebinasaan. Djika pada sa’at ini kita tidak sadar dan bangkit, bilamanakah kita akan melihat sinar matahari lagi? Disitoelah, kami dapat membajangkan, terletaknja kewadjiban toean-toean, ahli dikalangan kesenian dan soko-goeroe peradaban, jang berarti membimbing dan menoentoen ra’jat kewadjiban jang penting. Berhoeboengan dengan kami jang barangkali djoega tidak memadai, disoeroeh mendjabat Pemimpin Besar dari Kantor Poesat Keboedajaan jang pada waktoe ini akan mengambil langkah pertama, maka disinilah kami hendak berdjandji tegoeh dengan toean-toean dari 3 fasal:
41
1. Menghapoeskan keboedajaan Barat serta paham: Kesenian oentoek Kesenian! jang sekali-kali tidak tjojok dengan sifat ketimoeran. Amerika, Inggris dan Belanda jang mentjiptakan keboedajaan Barat jang didasarkan demokrasi mendjadi moesoeh kita. Sekali-kali kita ta’ senang mendjoendjoeng danmenjembah keboedajaan mereka, walau satoe hari sekalipoen.
2. Mengenal dan mengakoei Keboedajaan Timoer asli jang mempoenjai tradisi selama 5000 tahoen jang toeroen temoeroen diwarisi dari nenek mojang kita dan beroesaha membangoean, mengebang, menjebarkan keboedajaan itoe. Keboedajaan jang sehat-tegoeh, menjebabkan kemadjoean poela bagi bangsa jang sehat tegoeh. Oleh karena itoe kami berpendapat, bahwa membangoenkan keboedajaan Timoer itoe mendjadi pokok oentoek memandjoekan bangsa Asia Timoer Raja.
3. Perdjandjian penghabisan pada masa jang penting sekali ini ialah oentoek menetapkan bangoen robohnja sesoeatoe bangsa. Hendaknja segala pembawaan dan ketjakapan toean-toean ditoempahkan kepada satoe sadja, jaitoe mentjapai Kemenangan terachir dalam peperangan ini. Ta’ perloe diterangkan rasanja, bahwa dalam perang totaliter ini semoea orang dipandang sebagai serdadoe jang mengalirkan darah dimedan perang, baik petani jang memegang patjoel diladang, maoepoen pekerdja jang mengajoenkan toekoel dipabrik.
Ketahoeilah tiap-tiap karangan lagoe atau tiap-tiap goebahan jang toean-toean tjipta ada kalanja dapat menggerakkan djiwa orang, hingga sanggoep menginsafkan orang jang seolah-olah telah mati djiwanja dan kadang-kadang malah sebaliknja meroentoehkan sesoeatoe negeri dan moengkin poela membasikan hati manoesia.Sangat pengharapan kami, soepaja toean-toean terlebih doeloe insaf akan arti peperangan soetji ini dan soepaja toen-toean mengenal rol masing-masing dimasa peperangan, soepaja didjalankan kewadjiban toean-toean sebaik-baiknja dilapangan masing-masing.”
Pidato dari petinggi pemerintahan militer ini disambut dengan tepuk
tangan meriah dari berbagai kalangan yang hadir pada saat acara itu. K. H.
Dewantara yang merupakan perwakilan dari Poetra pun menyatakan kegembiraan
rakyat atas berdirinya Pusat Kebudayaan. Ki Hajar mengemukakan bahwa dengan
terbentuknya Pusat Kebudayaan yang dipimpin oleh Pemerintah sendiri, sudah
menjadi suatu jaminan bahwa rakyat Indonesia dapat bekerja di lapangan
42
kebudayaan dengan seluas-luasnya. Ki Hajar menegaskan bahwa Nippon adalah
suatu bangsa yang sungguh-sungguh memperhatikan kebudayaan dan apabila
orang Indonesia sebagai bangsa Asia diberi kesempatan untuk mengembangkan
kebudayaannya sudah tentu akan dapat memberikan sumbangan kepada
kebudayaan Asia, kemudian tercapai Asia Mulia. Acara kemudian dilanjutkan
dengan sumpah dari Kepala Bagian Umum Pusat Kebudayaan yaitu Tuan Sanusi
Pane. Ki Hajar menyatakan, bahwa berdirinya Kantor Pusat Kebudayaan itu
menandakan tinggi pengetahuan balatentara Nippon dalam soal pembentukan
masyarakat baru di lingkungan Asia Timur Raya. Sangat berlainan sekali jika
dibandingkan dengan zaman Belanda. Ki Hajar bersumpah hendak berjuang terus-
menerus sampai mencapai kemenangan yang terakhir sesudah menyatakan betapa
pentingnya dan tingginya kebudayaan itu. Sumpah tersebut dinyatakan oleh Tuan
Sanusi Pane dan acara tersebut ditutup oleh H. Shimizu dengan kalimat penutup
yang intinya adalah ajakan untuk bekerja sama antara Nippon dan Indonesia untuk
mencapai kemenangan yang terakhir. Pada akhir acara tersebut para hadirin diajak
menuju ruangan Hotel Des Indes untuk mendengarkan dan menyaksian lagu-lagu
dan tari-tarian dari bangsa Indonesia angkatan muda.7
Acara resmi pembukaan Kantor Pusat Kebudayaan ini disambut meriah
dari berbagai kalangan masyarakat terutama kalangan seniman yang ikut berjuang
di dalam kantor tersebut. Acara tersebut merupakan langkah awal para seniman
untuk ikut serta dalam pemerintahan militer Jepang dan sekaligus merupakan
babak baru dari sejarah seni Indonesia pada masa Jepang. Pada acara tersebut para
7 Ibid, hlm 8.
43
pemimpin Jepang menyampaikan pidato yang isinya adalah untuk menyelamati
berdirinya Kantor Pusat Kebudayaan ini, akan tetapi isi pidato tersebut kedua
pemimpin Jepang tersebut menjelek-jelekkan kebudayaan Barat yang selama ini
dianggap merusak kebudayaan timur asli. Hal ini merupakan salah satu
propaganda Jepang yang disampaikan pada masyarakat agar masyarakat
membenci bangsa barat sampai ke akar budayanya. Jepang juga mendirikan
Kantor Pusat Kebudayaan untuk Indonesia agar seolah-olah Jepang ingin
membantu bangsa Indonesia dalam menggapai kebudayaannya kembali sehingga
bangsa Indonesia pun merasa berhutang budi kepada Jepang dan membantu
mereka dalam Perang Asia Timur Raya untuk mencapai kemenangan Jepang,
pidato tersebut disebut sebagai kemenangan terakhir.
Siasat propaganda Jepang ini dapat dianggap berhasil dalam menggapai
hati rakyat Indonesia, sebagai contohnya adalah ucapan selamat atas berdirinya
Kantor Pusat Kebudayaan oleh Ki Hajar Dewantara yang merupakan salah satu
tokoh penting di indonesia pada waktu itu dan juga sumpah setia terhadap Jepang
yang dilakukan oleh Sanusi Pane yang merupakan ketua umum dalam lembaga
tersebut. Keberhasilan Jepang ini tentunya turut menggapai hati para seniman
dalam negeri untuk turut berpartisipasi di Kantor Pusat Kebudayaan. Mereka turut
meramaikan lembaga ini dengan karya-karya mereka yang mereka kira untuk
bangsa mereka sendiri tetapi secara tidak langsung mereka berkarya untuk
kepentingan Jepang.
Pada masa awal berdirinya Keimin Bunka Shidoso, mereka lebih banyak
melakukan pertemuan-pertemuan dari berbagai divisi untuk membicarakan
44
mengenai pokok kebudayaan timur yang akan dibangun.8 Hal ini dilakukan
Jepang untuk mengubah alam pemikiran seniman Indonesia ke alam kebudayaan
Nippon dan menjatuhkan kebudayaan Barat. Setelah pertemuan-pertemuan ini
barulah seniman-seniman Indonesia itu membuat suatu karya untuk
dipertunjukkan di masyarakat luas agar masyarakat pun alam pemikirannya
berubah ke alam pemikiran Nippon. Strategi Nippon ini dimaksudkan agar
segenap masyarakat dapat membantu Nippon dengan sukarela, seperti pekerja
pabrik agar mereka dapat bekerja dengan giat di pabrik, petani agar mereka dapat
dengan rajin ke sawah atau perkebunan yang nanti hasilnya untuk kepentingan
perang Asia Timur Raya dan lain sebagainya. Pertunjukan yang dilakukan Keimin
Bunka Shidoso ini tidak hanya dilakukan di Jakarta sebagai kantor pusat badan
tersebut dan pusat pemerintahan Jepang, akan tetapi pertunjukan semacam ini
juga dilakukan di daerah-daerah di pulau Jawa sehingga masyarakat pedalaman
pun dapat terkena efek dari pertunjukan tersebut. Pertunjukan semacam ini juga
bukan hanya dilakukan untuk mengubah alam pemikiran masyarakat saja tetapi
juga dilakukan untuk menghibur tentara Nippon.9
Pertemuan dan pertunjukan tentunya bukanlah satu-satunya yang
dilakukan oleh Keimin Bunka Shidoso di masa awal pembentukannya. Mereka
juga mengadakan lomba-lomba di tingkat umum maupun di tingkat pelajar, hasil
dari lomba tersebut akan diperlihatkan kepada pemerintah Jepang dan yang
memenangkan lomba akan diberikan hadiah. Selain itu pemerintah Jepang juga
8 “Gaja Hidoep Menoedjoe ke-Timoer”, Asia Raja, 24 Juli 1943.9 Agus Syamsuddin, Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) di Jawa
Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993), hlm 43-47.
45
memberikan sertifikat dan hadiah kepada para seniman. Hal ini dilakukan untuk
mengapresiasi para seniman untuk terus berkarya untuk kepentingan Jepang.
Keimin Bunka Shidoso sendiri pada bulan ke-enam tahun 1943 mulai
melakukan pendirian cabang-cabang di wilayah Jawa seperti Semarang,
Priyangan10 dan Surabaya. Tujuannya untuk mengukuhkan keberadaan Keimin
Bunka Shidoso di pulau Jawa sendiri dan juga pemerintah Jepang dapat dengan
mudah memperhatikan seniman-seniman di daerah, hal ini berguna untuk
menyebarkan alam pemikiran Nippon di wilayah tersebut.
B. Perkembangan Pergerakan Keimin Bunka Shidoso.
Keimin Bunka Shidoso telah resmi berdiri sejak tanggal 18 April 1943,
walaupun sebenarnya sejak tanggal 1 April 1943 mereka sudah mulai bekerja.
Pada saat awal mengemban tugas para seniman menuruti apa saja perintah Jepang.
Meskipun pada saat itu mereka diberi wadah untuk berkreasi, tetapi berkreasi
sebebas-bebasnya yang merupakan jiwa seniman ternyata hanya mimpi belaka.
Karya-karya yang menguntungkan Jepanglah yang dapat dipublikasi, sementara
karya-karya yang melawan Jepang atau mendukung Barat dapat membahayakan
nyawa seniman karena pada masa itu siapapun yang menghina Jepang akan
berhadapan dengan Kenpetai. Tetapi para seniman Keimin Bunka Shidoso ini
mempunyai cara sendiri untuk memasukkan jiwa mereka kedalam karya-karya
mereka. Keimin Bunka Shidosho membagi divisi mereka menjadi lima bagian
yaitu, Kasusasteraan, Seni Rupa, Seni Musik, Sandiwara dan Film.
10 “Pelantikan Poesat Keboedajaan Tjabang Priangan”, Tjahaja, 26
Oktober 1943.
46
1. Bagian Kasusasteraan.
Bagian kasusasteraan ini diketuai oleh Armin Pane yang merupakan salah
satu Sastrawan handal Indonesia yang dikenal dengan novelnya yang berjudul
“Belenggu”11. Pada bagaian kasusastraan ini salah satu pemimpinnya yaitu
Rintaro Takeda menulis pidato yang berjudul “Pengharapan Kami Kepada
Sastrawan Moeda” pada buku berkala milik Keimin Bunka Shidoso “Keboedjaan
Timoer”. Dalam pidatonya Rintaro Takeda mengemukakan bahwa rencana bagian
kasusastraan dari Keimin Bunka Shidosho, hendaknya lebih mengutamakan para
sastrawan muda dengan alasan bahwa para sastrawan muda ini mempunyai
semangat baru dan kesadaran pada perang Asia Timur Raya yang merupakan
gerbang menuju kelahiran Asia yang baru. Rintaro juga menyatakan bahwa
sastrawan muda tidak terpengaruh oleh paham zaman lama sehingga mereka dapat
membangun kesustraan baru yang tidak terpengaruh dengan kebudayaan Belanda
terdahulu12. Pidato Rintaro Takeda ini dapat diambil kesimpulan bahwa Jepang
menuntut kesadaran sastrawan muda dalam membuat suatu karya yang tidak ada
hubungannya dengan zaman Hindia Belanda terdahulu, dengan kata lain Jepang
ingin membuat zaman baru dalam kasusasteraan Indonesia dengan menggunakan
sastrawan muda. Sastrawan muda dipilih oleh Jepang karena jiwa masih dapat
dibentuk dengan mudah.
H.B. Jassin dibukunya yang berjudul “Kasusasteraan Indonesia Pada Masa
Jepang” berpendapat bahwa ukuran kesusasteraan semasa Jepang dalam perang
11 https://id.wikipedia.org/wiki/Armijn_Pane, diakses pada Rabu, 27
Januari 2016, pukul 20.15.12 Keimin Bunka Shidosho, Keboedajaan Timoer, (Jakarta: Keimin Bunka
Shidosho, 1943), hlm 11.
47
mati-matian yang lalu itu, sudah dengan sendirinya harus lain dari di masa damai.
Diminta sajak-sajak yang berisi, artinya yang ada mengandung cita-cita yang
menimbulkan cinta kepada tanah air, yang mengobarkan semangat kepahlawanan,
yang menganjurkan semangat bekerja. Karya-karya yang mengandung unsur
percintaan, kesedihan dan emosi untuk diri sendiri lebih baik disimpan untuk diri
sendiri karena tidak menguntungkan dalam perang Asia Timur Raya.13 Jadi pada
masa awal pendudukan Jepang para seniman membuat karya yang mengandung
unsur-unsur nasionalisme, kepahlawaan dan semangat bekerja agar dapat
membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada bagian kasusasteraan
Keimin Bunka Shidosho awalnya karya-karya sastrawan Indonesia juga berisi
tema-tema yang disebutkan, sebagai contoh adalah sajak yang ditulis oleh
Boejoeng Saleh yang berjudul Hasrat.14
Hasrat.
Laksana rina di Timoer RajaBerderang terang tjerlang-gemilang
Seperti itoe didjiwa sajaTerbitlah riang oentoek berdjoeang !
Oentoek Mendjoendjoeng Tanah AsiaDan Toempah darah poesaka Pojang
Goena itoe relalah sajaBerdjoeang hingga njawa melayang
Saja berhasrat hendak mendjadiPerdjoerit Bangsa pembela Noesa
Gagah perkasa setiap masa
Saja berhasrat hendak mengabdiKepada tjita-tjita bersama
13 H. B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia di Masa Jepang, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1948), hlm. 18. 14 Op. Cit. Hlm. 14
48
Menoedjoe ma’moer kita bersama
Boejoeng Saleh menceritakan tentang hasratnya untuk mengabdi kepada nusa dan
bangsa untuk menuju kemakmuran bersama. Pada bait pertama Boejoeng Saleh
menyatakan bahwa jiwanya seperti siang di Timur Raya yang terang-benderang
siap untuk berjuang. Kedua menyatakan demi membela tanah Asia dan tanah
airnya ia rela mengorbankan nyawanya. Bait ketiga menerangkan mengenai hasrat
beliau untuk menjadi prajurit bangasa untuk membela nusa di setiap masa. Bait
terakhir menceritakan hasrat beliau untuk mengabdi kepada cita-cita bersama
untuk menuju kemakmuran bersama. Jadi sajak ini tentunya mengandung unsur
yang menimbulkan cinta terhadap tanah air dan juga mengobarkan semangat
kepahlawanan sehingga sajak ini dapat dipublikasikan pada media masa.
Cerita pendek yang berjudul “Tangan Mentjentjang Bahoe Memikoel”
karya M. Diyanti. Cerita pendek ini mengisahkan tentang kehidupan Tuan
Wongso pada masa Belanda di Surakarta. Tuan Wongso adalah seorang korban
dari lintah darat karena perbuatannya sendiri yaitu suka main perempuan. Bahkan
untuk menyalurkan hobinya itu ia rela memfitnah iparnya sendiri agar dapat
menikmati warisan adiknya. Tetapi adik dari Tuan Wongso ini mempunyai anak
yang bernama Joesoef, ia ingin membalaskan dendam ibunya kepada Tuan
Wongso. Joesoef mengganti namanya menjadi Soemarno untuk tinggal dan
menyelinap ke rumah pamannya itu. Kehidupan Tuan Wongso yang makin lama
porak-poranda karena tidak bisa melunasi utang kepada lintah darat akhirnya
mempunyai ide dengan mengawinkan anak perempuannya Mardani dengan
Soemarno sehingga ia dapat memeras uang menantunya itu. Selain Mardani, Tuan
49
Wongso mempunyai anak laki-laki yang sehari-hari biasa dipanggil John dengan
nama asli Mardjono. Mardjono bekerja sebagai serdadu untuk mempertahankan
Pemerintahan Hindia-Belanda. Sementara itu bala tentara Nippon semakin dekat
ke Solo. Tuan Wongso terus-menerus diganggu dan diancam oleh lintah darat
untuk melunasi utangnya dan juga istri-istri Tuan Wongso yang tidak sah terus-
menerus meminta uang belanja, hal ini menjadikan Tuan Wongso jatuh sakit.
Terjadi pertentangan dalam Batin Soemarno yang hendak menuntut balas
atas perilaku pamannya itu tetapi pamannya telah jatuh sakit sehingga ia
mengurungkan niatnya untuk membalas dendam. Pada saat pertempuran di Solo,
Mardjono terkena tembak oleh Belanda sendiri kemudian ia lari kerumah ibunya
dan meninggal dunia, sehingga ibunya mengalami kesedihan yang mendalam dan
akhirnya ikut menyusul anaknya. Tuan Wongso tiba-tiba menjadi gila setelah
kejadian yang dialaminya dan Soemarno yang mengaku siapa ia sebenarnya.
Tinggal sekarang Mardani dan Joesoef saudara sepupunya. Joesoef menyerahkan
Mardani kepada temannya yang benar-benar mencintainya, dan berpesan agar
bersama-sama hidup dan bekerja untuk pembangunan masyarakat baru.
Kerakusan yang luar biasa terhadap uang yang menyebabkan perbuatan
mendurhaka dan menjerumuskan keluarganya sendiri.15 Cerita pendek ini seakan
menerangkan bahwa kehidupan pada masa Hindia Belanda diidentikkan dengan
sifat kebarat-baratan yang haus akan uang seperti yang dialami Tuan Wongso dan
tentunya sifat seperti ini menjerumuskan kehidupan para pelakunya sehingga
harus dibuang pada masa baru yang akan dijalani oleh Joesoef dan Mardani. Hal
15 Keimin Bunka Shidosho, Keboedajaan Timoer, (Jakarta: Keimin Bunka
Shidosho,1943), hlm 75-93.
50
ini merupakan kiasan yang mengambarkan sifat kebarat-baratan yang harus
ditinggalkan pada masa yang baru yaitu masa Jepang.
Sajak yang berjudul “Hasrat” karya Boejoeng Saleh dan cerpen yang
berjudul “Tangan Mentjentjang Bahoe Memikoel” karya M.Diyanti adalah contoh
dari karya-karya para sastrawan Indonesia pada saat awal berdirinya Keimin
Bunka Shidoso. Karya tersebut tercipta berdasarkan pemikiran-pemikiran yang
ditanamkan Jepang kedalam jiwa-jiwa seniman pada waktu itu seperti semboyan-
semboyan kemakmuran bersama, Asia untuk bangsa Asia, Hakko Ichu (Seluruh
Dunia Satu Rumah Tangga) dan lain sebagainya. karya-karya seperti ini tidaklah
hanya bertahan sampai pada awal tahun 1944 walaupun karya-karya selanjutnya
masih berbalut dengan tema-tema yang sama. Hal ini dilakukan agar karya-karya
para sastrawan dapat dimunculkan di media massa pada waktu itu.
Perubahan dari karya-karya sastrawan Indonesia ini dipicu oleh perbuatan
dari Jepang sendiri yang menyiksa masyarakat Indonesia. Pada masa itu
masyarakat Indonesia dipaksa untuk menanam tanaman yang berguna dalam
perang Asia Timur Raya, masyarakat Indonesia dipaksa bekerja di pabrik dengan
upah yang minim sehingga kalaparan dan kemiskinan merajalela di Indonesia. Hal
ini ditambah lagi dengan diadakannya Romusha sejak bulan Oktober tahun 1943.
Kejadian-kejadian pada lapangan ini tentunya menimbulkan pertentangan jiwa
para sastrawan Indonesia. Mereka merasa diperalat oleh Jepang, janji-janji manis
tentang kebebasan yang diberikan dahulu diberikan Jepang ternyata hanya celoteh
belaka. Hal ini membuat para sastrawan melakukan perubahan terhadap karya
mereka.
51
Karya yang timbul atas faktor ketidakpuasan pada masa Jepang adalah
karya H. B. Jassin yang berjudul “Darah Laoet”. Karya ini menceritakan tentang
Apipoedin seorang yang suka melihat keindahan alam. Pada sore hari saat
Apipoedin bersantai di pinggir pantai, ia melihat sesosok anak kecil yang tertidur
di batu karang. Apipoedin mengawasi anak itu sambil bertanya dalam hatinya
siapakah anak itu sebenarnya. Apipoedin merasa kasihan dengan anak itu,
dimasukkannya uang satu rupiah kedalam sakunya. Matahari mulai terbenam dan
Apipoedin ingin kembali kerumahnya, tetapi di tengah perjalanan ia teringat
dengan anak kecil tadi. Apipoedin memutuskan untuk menjaga anak itu sampai
bangun dari tidurnya. Beberapa waktu menunggu bangunlah anak kecil itu, ia
mengaku bernama Amat berasal dari Medan. Amat datang ke tempat itu dengan
cara mengikuti kapal pelaut, tetapi ia tertinggal. Apipoedin keheranan dengan
cerita Amat, anak sekecil itu sudah berani melaut dan jauh dari orang tuanya.
Percakapan antara Apipoedin dan Amat berhenti. Amat melihat ke arah lautan,
Apipoedin mengikuti arah pandangan Amat. Apipoedin merasa kagum atas apa
yang ia lihat, garis pantai dan samudra luas yang terbentang di depan mata.
Apipoedin tiba-tiba adar akan bayangan keabadian, keindahan dan kekayaan
Tuhan. Apipoedin merasakan hasrat Amat, dorongan dari dalam diri Amat untuk
menjelajah Negeri-Negeri seperti nenek moyangnya. Amat bertahan hidup dengan
cara membantu orang seperti memotong kayu dan menambatkan perahu nelayan
yang habis melaut. Amat menunggu kesempatan untuk berlayar lagi. Hari mulai
gelap Apipoedin mengajak Amat untuk makan malam, amat hanya berdiri dan
tidak menjawab sambil merogoh kantong baju baju dilihatnya uang satu rupiah
52
kemudian dimasukkanya lagi. Apipoedin melihat Amat tidak seperti anak kecil
pada umumnya, Amat terliha seperti orang dewasa yang percaya diri sendiri dan
tidak membutuhkan orang lain. Perasaan kasihan dan iba yang dirasakan
Apipoedin lenyap berganti dengan rasa heran dan kagum akan keberanian dan
kepercayaan Amat kepada diri sendiri. Malulah Apipoedin terhadap dirinya
sendiri yang mengharapkan ucapan terima kasih. 16
Cerita yang berjudul “Darah Laoet” ini mempunyai pesan yang unik di
dalam ceritanya. Cerita ini mengukapkan keagungan Tuhan yang disisipkan dalam
pujian-pujian pada laut yang mengungkapkan kekayaan alam ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa. Rasa nasionalisme juga terdapat pada karya ini, dari judulnya “Darah
Laoet” berarti menceritakan keturunan seorang pelaut. Jika ditinjau dari lagu
ciptaan Ibu Sud pada tahun 1940 “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”17, “Darah
Laoet” ini menceritakan tentang orang Indonesia yang digambarkan dalam sosok
Amat. Sisi lain dari cerita ini dapat dikatakan menyindir Jepang secara halus.
Sindiran itu terlihat jika mengibaratkan Amat sebagai bangsa Indonesia,
sedangkan Apipoedin sebagai bangsa Jepang. Apipoedin di cerita ini terlihat ingin
membantu Amat, tetapi Apipoedin dalam hatinya mengharapkan imbalan yaitu
ucapan terima kasih si Amat kepadanya. Amat tidak mengucapkan terima kasih
kepada Apipoedin. Amat bersikap acuh tak acuh merasa ia tidak butuh dikasihani.
Hal ini membuat Apipoedin malu karena ia mengharapkan sesuatu dalam
menolong si Amat yang ternyata bersikap mandiri dan tidak perlu pertolongan
16 Majalah Djawa Baroe, 1943, hlm. 27-29.17http://www.krjogja.com/web/news/read/259554/serukan_kejayaan_marit
im_melalui_teater, diakses pada Rabu, 27 Januari 2016, pukul 21.08.
53
siapapun. Seperti halnya Indonesia yang ditolong oleh Jepang dan Jepang
mengharapkan bantuan Indonesia dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya
tetapi Indonesia ingin menjadi negara yang mandiri.
Kasusastraaan pada masa Jepang di Indonesia berjalan sesuai dengan
pandangan masing-masing sastrawan pada waktu itu di Keimin Bunka Shidosho.
Awalnya mereka memang percaya bahwa Jepang memang berkeinginan untuk
membantu Indonesia, mereka pun larut kedalam alam pemikiran Jepang dan
slogan-slogan Jepang. Tetapi lambat laun mereka pun tersadar akan adanya niat
busuk Jepang dalam sikap baik mereka terhadap bangsa Indonesia. Mereka pun
sadar dan berniat untuk memanfaatkan wadah yang disediakan oleh Jepang untuk
kepentingan bangsa Indonesia yang ditunjukkan dengan karya-karya mereka.
Sastrawan Keimin Bunka Shidosho juga mengadakan pertemuan-pertemuan guna
mengasah pikiran mereka untuk membuat sebuah karya. Mereka juga
mengadakan perlombaan-perlombaan untuk memunculkan minat kepada para
sastarawan muda. Para sastrawan ini oleh Jepang juga dikirim ke dalam latihan
calon Opsir PETA dengan maksud agar pengarang dan penyair tidak hanya
melihat suatu peristiwa dari sudut mata saja.
2. Bagian Seni Lukis.
Kantor Pusat Kebudayaan mempercayakan bagian seni lukisnya pada
pelukis Agoes Djajasoeminta dengan rencana kerja sebagai berikut : pertama,
menyediakan ruangan untuk latihan melukis bersama. Kedua, menyediakan ruang
pameran untuk pameran bersama. Ketiga memberikan biaya untuk pameran
54
keliling di kota-kota besar se-Indonesia dengan memberi hadiah atau penghargaan
terhadap karya-karya yang dipandang baik. Terakhir, menyelenggarakan kursus
menggambar secara teknis yang diasuh Basoeki Abdullah.18
Keimin Bunka Shidosho selain sebagai tempat bertemunya para seniman,
juga merupakan tempat latihan yang terbuka untuk segala kegiatan para seniman
Indonesia. Para pelukis bekerja siang dan malam di Keimin Bunka Shidoso ini
tanpa bisa membawa alat-alat dan bahan keluar dalam gedung tersebut, mereka
tidak boleh berkesenian selain di gedung tersebut. Sebagai seniman bebas tanpa
ikut Keimin Bunka Shidosho hampir tidak mungkin, karena pada waktu itu
peralatan sukar dicari dan bahan juga mahal harganya. Kebutuhan para seniman
tersebut tersedia baik alat maupun bahan tanpa membayar uang sepeser pun di
Keimin Bunka Shidosho, bahkan mereka pun digaji dari hasil keseniannya.
Mereka pun mendapat bimbingan dari para senior mereka yang telah dianggap
berpengalaman dalam bidangnya dan juga mereka dapat bertukar pikiran dengan
para seniman Jepang yang sengaja didatangkan oleh Keimin Bunka Shidosho.
Bantuan materiil Jepang lewat Keimin Bunka Shidoso membawa keberuntungan
bagi pelukis-pelukis nasional yang awalnya tidak dikenal oleh masyarakat,
mereka mendapatkan kesempatan untuk mengadakan pameran dengan cara ini
mereka dapat dikenal oleh masyarakat.
Nama-nama pelukis yang pada waktu itu mulai dikenal di lingkungan
masyarakat adalah S. Soedjojono, Affandi, Agoes Djajasoeminta, Otto
Djajasoeminta, Hendra, Basoeki Resobowo, Emiria Soenasa, Henk Ngantoeng,
18 Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Zaman Sejarah Hingga Masa
Kini, Panitia Pameran Kias, 1990-1991, hlm. 84-85.
55
Mochtar Apin, Soendoro, Trubus, Kerton, Baharudin,dan Soedarso. Pada masa
penjajahan Belanda atau masa sebelum pecah perang Asia Timur Raya tidak ada
satu pun dari para pelukis ini yang saling mengenal satu sama lainnya. Pada masa
Jepang mereka di beri wadah untuk berkarya bertemulah mereka di dalam Keimin
Bunka Shidosho dan bersama mengembangkan Seni Rupa pada masa Jepang.
Citra yang dibangun oleh Keimin Bunka Shidoso melalui pendekatan
artistik dan terbukanya tata pergaulan sehari-hari di dalam mencetuskan ide
kesenian serta mengembangkan bakat dan tehnik, tidak terlepas dari peranan tim
penasihat dari Sendenbu yang mendatangkan para pelukis Jepang ke Indonesia.
yang dipimpin oleh Takashi Kono, seorang ahli desain Poster modern, di samping
itu juga dibantu oleh Ken Yoshioka, seorang impresionis, Yamamoto seorang
ekspresionis dan Saseo Ono seorang karikaturis.19
Seni Rupa pada masa Jepang ini dibagi menjadi empat bagian yaitu :
1. Seni Rupa Sejati : seni lukis, seni arca, seni bangunan dan
lain-lain
2. Seni Rupa Propaganda : pelakat, karikatur, reklame, poster, dan
lain-lain.
3. Seni Rupa kerajinan : Batik, barang-barang gerabah dan gelasiran
seperti piring, cangkir, barang-barang ukiran emas, perak, gading, tulang,
tenun dan lain-lain
4. Seni Rupa Penghidupan : yakni Seni yang harus memberi sifat
keindahan, kepraktisan dan kesederhanaan pada saegala benda yang
19 Ibid. hlm. 85.
56
dipergunakan untuk kehidupan sehari-hari, misalnya pakaian, kendaraan
dan lain-lain.20
Seni Rupa diharapkan berbeda dari masa sebelumnya yakni masa penjajahan
Belanda. Seniman Indonesia diharapkan oleh Jepang untuk mencari corak
ketimuran dalam seni rupa Indonesia. sehingga dibutuhkan pertukaran pemikiran
antar para seniman agar corak timur dapat tercipta. Menurut Jepang watak dan
corak timur hanya terdapat pada jiwa seniman timur yang penuh dengan rasa cinta
pada bangsanya dan tanah airnya.
Pemerintah Jepang gembira melihat perkembangan seni rupa pada saat itu
dengan harapan bertambahnya seniman Indonesia di Keimin Bunka Shidosho.
Bahkan pemerintah Jepang juga mengadakan perlombaan-perlombaan yang
dihadiahi uang untuk para seniman yang berhasil memenangkan lomba bahkan
mereka mendapatkan penghargaan dari Gunseikan secara langsung seperti pada
perlombaan yang berlangsung pada tanggal 29 April-2 Mei 1943. Penghargaan
dari Saiko Shiki Kan diberikan kepada Emiria Soenassa atas lukisan yang
berjudul “Pasar”, penghargaan dari P.J.M. Gunseikan meletakkan pujian pada
lukisan Agoes Djajasoeminta yang berjudul “Dipinggir Jalan” dan Lukisan Henk
Ngantoeng yang berjudul “Bidoean Djalanan” , pujian dari P.T. Sendenbutcho
diberikan pada lukisan Soedjojono yang berjudul “Njonja S.P.” dan lukisan
Basoeki Abdullah yang berjudul “Sembahjang”. Keimin Bunka Shidosho juga
memberikan pujian terhadap lukisan karya Katono Joedokoesoemo yang berjudul
“Ibuku” dan pihak Djawa Shibun Kai juga menaruh penghargaan kepada lukisan
20 Majalah Djawa Baroe, 1943,. hlm. 136-137.
57
Emiria Soenassa yang berjudul “Angkloeng”. Perhatian besar juga dilimpahkan
kepada patung-patung ciptaan Nji Tri Tjokrosoeharto dan Moehbroto.21
Keimin Bunka Shidosho bagian seni rupa ini sering kali mengadakan
lomba-lomba maupun pemeran-pameran kesenian. Lomba-lomba dan pameran-
pameran kesenian tersebut ternyata tidak hanya untuk diikuti oleh para orang
dewasa, mereka juga mendakan pertunjukkan kerajinan anak-anak. Pertunjukkan
ini digelar dalam rangka memeriahkan hari Angkatan Laut Nippon pada tanggal
28 Mei 1943. Pertunjukkan pekerjaan tangan ini diikuti dari oleh murid-murid
sekolah di seluruh Jawa. Umumnya yang dikirimkan berupa barang permainan,
gambar-gambar, barang-barang keperluan rumah dan sekolah. Semuanya dibuat
sendiri oleh anak-anak sekolah dari umur 6 tahun sampai 18 tahun dengan alat-
alat yang sederhana. Pertunjukkan ini ditutup pada tanggal 31 Mei 1943 dan
setelahnya kerajinan anak-anak ini akan dikirimkan ke Jepang untuk pertunjukkan
disana guna mempererat hubungan Jepang dan Indonesia.22
Jika dalam perang orang-orang Jepang adalah manusia-manusia yang
keras, sebaliknya dalam seni rupa mereka aliran penganut kebebasan. Melukis
dengan gaya apapun diperbolehkan asalkan tidak berbau anti penguasa seperti
pada lukisan karya Affandi yang berjudul “Pengemis” yang menggambarkan
romusha berbadan kurus kering bagaikan pengemis yang sedang sekarat, dan
21 “Lukisan-Lukisan Yang Dapat Penghargaan Istimewa”, Thahaja, 5 Mei
1943, hlm 35.22 “Pertunjukkan Kerajinan Anak-Anak”, Asia Raja, 29 Mei 1943, hlm 23.
58
akhirnya diketahui oleh Kenpetai. Affandi juga harus merasakan kerasnya
tendangan sepatu dan sumpah serapah.23
Keimin Bunka Shidosho bagian Seni Rupa ini memberikan banyak
keuntungan bagi para seniman-seniman Indonesia. Mereka tidak perlu
kebingungan akan alat dan bahan serta pemikiran karena mereka disini diarahkan
oleh seniman-seniman yang lebih berpengalaman dari mereka untuk berkarya.
Kebebasan berkarya diperbolehkan selama tidak menganggu stabilitas pemerintah
Jepang di Indonesia.
3. Bagian Seni Musik.
Lagu merupakan sarana propaganda lainnya untuk menyebarkan gagasan
Jepang kepada rakyat Indonesia serta untuk meningkatkan moral. Pada masa
pendudukan Jepang, lagu-lagu militer dan kepahlawanan Jepang berulang-ulang
diajarkan di sekolah-sekolah, kursus latihan, dan rapat-rapat Seinendan, Fujinkai,
dan organisasi masa lainnya. Ada dua Jenis lagu yang di promosikan selama masa
pendudukan: lagu-lagu Jepang yang diimpor ke Jawa dan lagu-lagu propaganda
yang digubah di Indonesia.24 Jepang memanfaatkan organisasi buatannya yaitu
Keimin Bunka Shidosho yang merupakan organisasi pusat kebudayaan untuk
mengubah lagu di Indonesia.
Pada tanggal 21 Mei 1943 malam pukul 8.30 WIB Keimin Bunka
Shidosho bagian seni musik mengadakan silahturahmi dalam rangka
23 Siti adiyati, “Seni Lukis Indonesia Pada Masa Jepang”, Jakarta,
Simposium Sejarah Indonesia Modern, 1992, Hal. 4.24Loc. Cit. Aiko Kurasawa, hlm 253.
59
mengumpulkan para pencipta lagu dan pemimpin-pemimpin perkumpulan seni
suara di Jakarta. Ketua dari bagian seni musik Tuan Nobu Iida menyampaikan
pidato yang intinya adalah bahwa para pencipta lagu harus memperhatikan
beberapa hal dalam menciptakan lagu, yakni :
1. Melenyapkan pengaruh Inggris dan Amerika.
2. Menghilangkan kecenderungan kepada lagu-lagu tersebut.
3. Mengusahakan sungguh-sungguh yang bersifat timur.
Untuk mencapai tujuan tersebut Tuan Nobu Iida bersedia untuk membantu usaha
para hadirin yang datang pada malam hari itu. Sanusi Pane sebagai ketua Keimin
Bunka Shidosho pun menyampaikan bahwa Keimin Bunka Shidoso bersedia
untuk memudahkan kemajuan dilapangan seni musik.25 Pertemuan tersebut
bertujuan untuk menyebarkan faham anti barat dan juga pencarian anggota dalam
bagian musik Keimin Bunka Shidosho.
Bagian musik pada masa awalnya di tahun 1943 banyak menciptakan
lagu-lagu yang bertemakan propaganda baik oleh musisi Indonesia maupun
musisi Jepang. Lagu-lagu ini dimuat dalam majalah Djawa Baroe mulai bulan
Oktober 1943. Contoh salah satu lagunya adalah lagu ciptaan Koesbini dan syair
Hinatu Eitaro yang berjudul “Kirikomi No Uta”, lagu ini berisikan tentang ajakan
bangsa Indonesia bersama Nippon dalam melawan Inggris dan Amerika guna
kemenangan bersama. Pada tahun 1943 banyak tercipta lagu-lagu seperti ini
tercipta. Kebanyakan lagu ini digubah oleh staf Keimin Bunka Shidosho:
musiknya oleh staf seksi musik, sementara syairnya ditulis oleh staff seksi
25 “Pertemuan Silahturahmi Seni Suara”, Asia Raja, 22 Mei 1943.
60
Kesusastraan. Syair lagu berisi tema-tema propaganda yang garis besarnya dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori yang bertujuan:
1. Meningkatkan semangat kerja.
2. Meningkatkan semangat pertempuran.
3. Meningkatkan kecintaan kepada tanah air sebagai anggota Asia Timur
Raya.
4. Tema-tema lain.26
Buah pekerjaan dari Keimin Bunka Shidosho bagian musik ini juga
sempat dipamerkan lewat acara Malam-Moesik di Keimin Bunka Shidosho yang
digelar pada tanggal 30 Juli 1943. Terlihat pada acara tersebut bagusnya
kerjasama antara para penyair dan komposer untuk membuat sebuah lagu. Dalam
pameran tersebut lagu karya Koesbini yang berjudul “Loekisan Zaman” dan lagu
karya Sinsoe yang berjudul “Soerja Wisesa” menjadi primadona dalam acara
tersebut, bahkan karya ini dinyatakan sebagai saat penting dalam sejarah musik
Indonesia. Selain itu lagu karangan Brodjo yang berjudul “Bersatoe” juga
mendapatkan sorotan publik, karena lagu tersebut bersifat barat, bercorak Eropa
lama tetapi pengaruh barat yang menyelubunginya adalah pengaruh yang baik
tidak seperti musik barat yang berkembang pada saat itu seperti musik Jazz, Hot,
dan Swing yang bersifat erotik sehingga dapat merusak moral suatu bangsa.27
Acara ini merupakan suatu upaya Keimin Bunka Shidosho dalam mengenalkan
26 Op. Cit. hlm 254.27 “Malam Musik di Keimin Bunka Shidosho”, Asia Raja, 31 Juli 1943,
hlm. 2.
61
pada masyarakat lagu-lagu gubahan mereka dan sekaligus memperlihatkan pada
pemerintah Jepang sampai dimana kerja keras mereka.
Lagu-lagu gubahan komposer dari Keimin Bunka Shidoso pada masa
pemerintahan Jepang memiliki fungsi yang berbeda-beda tetapi intinya lagu-lagu
yang diciptakan memiliki unsur untuk menggugah semangat rakyat Indonesia.
Seperti pada lagu “Ke Pabrik” dan “Di Keboen Kapas” berfungsi untuk
menyemangati para buruh yang bekerja dipabrik dan para petani yang bekerja di
kebun kapas agar semangat dalam mengerjakan pekerjaannya untuk kepentingan
perang Asia Timur Raya. Kemudian ada juga lagu-lagu yang diciptakan untuk
menyemangati organisasi buatan Jepang yang terjun ke medan peperangan seperti
“Tentara Pembela” dan “Poedji Kepada Heiho” yang menyemangati dan memuji
para anggota organisasi semi-militer maupun militer tersebut.
4. Bagian Sandiwara dan Tari.
Bidang Sandiwara dan Tari Keimin Bunka Shidosho dipimpin oleh K.
Jasoeda dan didampingi oleh Winarno. Bagian sandiwara dan tari kedudukannya
sebagai markas besar, atas perumusan kebijakan dasar pemanfaatan seni
sandiwara demi propaganda politik, dan bertanggung jawab atas pendorongan,
pelatihan tuntutan serta kontrol segala jenis kegiatan sandiwara.28 Bagian
sandiwara dan tari ini memutuskan jenis cerita apa yang dapat dipertunjukkan dan
tema apa yang harus ditekankan.
28 Op. Cit. hlm 247.
62
Pemimpin bagian sandiwara dan tari Keimin Bunka Shidosho K. Jasoeda
mengutarakan maksudnya dalam membentuk sandiwara di Indonesia lewat sebuah
pidato yang dimuat dalam buku berkala Keboedajaan Timoer yang berjudul
“Langkah Baroe Dalam Doenia Sandiwara”. K. Jasoeda memaparkan
keinginannya untuk menghentikan peminjaman pemain antar gerombolan
sandiwara yang dinilainya tidak etis dan dapat mengganggu dunia sandiwara
kedepannya. Peminjaman pemain pada masa itu memang sudah biasa dilakukan
oleh rombongan sandiwara. K. Jasoeda juga mengajak para pemain sandiwara
untuk mengadakan sekolah latihan pemain yang utamanya ditujukan kepada para
pemain baru dan juga memberikan pelatihan baru kepada para pemain sandiwara
yang sudah cakap dibidangnya itu dengan tujuan untuk membersihkan para
pemain tersebut dari pengaruh Inggris dan Amerika sehingga dapat tercipta
sandiwara yang asli. Menurut pendapat K. Jasoeda para pemain sandiwara
Indonesia terlalu kekurangan teori dan kebiasaan yang tidak baik diteruskan
sampai masa tersebut. K. Jasoeda juga mengajak rombongan sandiwara untuk
membangun sandiwara baru yaitu sandiwara yang sehat dan memuaskan tidak
seperti sandiwara pada masa lampau yang tidak menghiraukan kemajuan
sandiwara tetapi hanya mementingkan keuntungan belaka.29
Bagian sandiwara ini juga menyelenggarakan sayembara berhadiah
penulisan naskah cerita dan naskah cerita yang menang dimuat ke dalam buku
berkala Keboedajaan Timoer. Bagian ini juga bekerja mempersiapkan naskah,
dengan menarik penulis-penulis hebat dari Indonesia maupun Jepang. Mereka
29 Loc. Cit. Keimin Bunka Shidosho, hlm 16-17.
63
juga mempergunakan novelis untuk menulis naskah cerita sandiwara, hal ini
merupakan upaya untuk memadukan kesusastraan murni dengan hiburan pop serta
meningkatkan kualitas tersebut. Naskah-naskah yang mereka tulis berisikan topik-
topik yang menjadi perhatian utama pihak pemerintah Jepang, seperti
kegotongroyongan, tonarigumi, pertahanan tanah air, tentara sukarela, romusha,
dan kebrutalan Belanda. Naskah-naskah ciptaan mereka kemudian disebarkan
kepada kelompok-kelompok sandiwara atau teater untuk kemudian di mainkan
dan sebagian dari naskah-naskah tersebut dimuat ke dalam buku berkala
Keboedajaan Timoer.
Sandiwara yang terbit pada buku berkala Keboedajaan Timoer adalah
sandiwara dalam lima babak yang berjudul “Pandoe Partiwi” yang diciptakan oleh
Merayu Sukma dan mendapatkan juara pertama dalam sayembara Asia Raja
Djawa Shinbun. Tokoh dalam sandiwara tersebut antara lain: Dainip Djaja
sebagai pahlawan budiman, Pandoe Setiawan sebagai teman Dainip Djaja, Partiwi
sebagai pembantu Dainip Djaja, Nadarlan sebagai orang kaya yang kejam,
Priajiwati sebagai bekas tunangan Pandoe Setiawan dan istri Nadarlan, dua orang
polisi dan beberapa orang tetangga. Cerita sandiwara ini menceritakan mengenai
keputusasaan Pandoe Setiawan dalam mengahadapi hidupnya karena ia dikhianati
oleh tunangannya Priajiwati dan berujung pada tindakan bunuh diri, tetapi hal ini
dicegah oleh Dainip Djaja. Di dalam rumahnya Dainip Djaja mempunyai seorang
pembantu yang bernama Pratiwi, Pratiwi menyembunyikan perempuan
dikamarnya karena ia kasihan terhadap perempuan tersebut yang hampir terjebak
dilembah kemaksiatan menjadi seorang pekerja seks. Tenyata perempuan itu
64
adalah Priajiwati, ia ditinggal suaminya Nadarlan karena Nadarlan menikahi gadis
lain yang lebih cantik darinya. Awal mula konflik pada sandiwara ini terletak
pada saat Nadarlan mendatangi Priajiwati untuk meminta maaf, tetapi Priajiwati
menolak dan akhirnya ia dibunuh oleh Nadarlan. Partiwi menemukan Priajiwati
tergeletak dihalaman rumah tuannya tetapi ia dituduh telah membunuh perempuan
malang tersebut karena ada bercak darah ditangannya sehingga ia pun di
masukkan kedalam penjara. Pandoe Setiawan meragukan bahwa pembunuh
Priajiwati adalah Partiwi, tenyata dugaan Pandu benar dan Partiwi sudah dua hari
dilepaskan dari kantor polisi tetapi tidak pualng kerumah Dainip Djaja. Pada saat
Pandoe Setiawan merenung diteras rumah ia didatangi oleh Nadarlan yang hendak
membunuhnya karena merasa bahwa pikiran Priajiwati diracuni oleh Pandoe
Setiawan. Pada saat itu datanglah Dainip Djaja, ia melawan Nadarlan, karena
Dainip Djaja menguasai bela diri ia berhasil menang melawan Nadarlan dan
Nadarlan pun dibawa polisi untuk dipenjara. Setelah itu datanglah Partiwi dengan
pakaian mewah, ia datang kembali untuk menyatakan cintanya terhadap Pandoe
Setiawan. Akhirnya Pandoe Setiawan dan Pratiwi memutuskan untuk menjalin
rumah tangga, Dainip Djaja pun berjanji akan selalu melindungi mereka.30
Tema-tema sandiwara yang muncul pada tahun 1943 adalah tentang
gagasan lingkungan bersama di Asia Timur Raya, pengerahan Romusha, dan
hiburan untuk prajurit-prajurit Jepang semata. Tetapi dari tahun 1944 sampi tahun
1945 tema-tema sandiwara lebih ditekankan pada masalah pembelaan tanah air,
peningkatan produksi pertanian, pengerahan rosmusha, semangat perang dan janji
30 Ibid. hlm 24-50
65
kemerdekaan.31 Tema tersebut berubah sesuai dengan kebutuhan perang Jepang,
memang pada tahun 1943 sampai tahun 1944 awal mereka lebih memfokuskan
untuk memberikan tema sandiwara yang dapat menghibur masyarakat dan para
prajurit karena pada perang Asia Timur Raya mereka masih unggul tetapi pada
pertengahan tahun 1944 sampai 1945 tema-tema ini diganti dengan tema yang
mereka butuhkan seperti yang sudah ditulis di atas karena pada tahun-tahun ini
mereka mulai terdesak oleh pihak sekutu sebelum akhirnya kalah perang.
5. Bagian Film.
Pada bagian Film di Keimin Bunka Shidoso diserahkan kepada Jawa Eiga
Kosha (Perusahaan Film Jawa) yang berganti nama pada tahun 1943 menjadi
Nippon Eiga Sha (Perusahaan Film Jepang) yang digabungkan dengan Persatuan
Ahli Film Indonesia (Persafi). Bidang ini awalnya dipimpin oleh S. Oya, B.
Kurata, dan T. Ishimoto dan dibantu oleh S. Soetarto sebagai wakilnya. S. Oya
dalam sambutannya terhadap berdirinya Keimin Bunka Shidosho menyampaikan
bahwa setelah film-film Barat dilarang beredar di Indonesia, bioskop semakin di
penuhi oleh penonton-penonton Indonesia sedangkan para penonton dari Belanda,
Tionghoa, dan Indo-Belanda menjadi berkurang. Hal ini menjadi tolak ukur S.
Oya bahwa antusias masyarakat Indonesia terutama di Jawa sangatlah besar.
Kemudian ia menyinggung mengenai tempat pembuatan film di Jawa dengan
alasan :
31 Fandy Hutari, Sandiwara Dan Perang: Politisasi Terhadap Aktivitas
Sandiwara Modern Masa Jepang di Jakarta, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm 43-44.
66
1. Bahwa disini agak Lengkap bangunan-bangunan dan alat-alat mesin
pembikinan film, walaupun belum sempurna.
2. Tradisi kebudayaan Indonesia ialah misalnya musik asli atau tari asli,
kesenian rupa, agama dsb, yang menjadi sifat khusus bangsa itu masih
terpelihara.
3. Pemandangan alam, hawa d.l.l pendek kata segala syarat-syarat alam
betul-betul cocok dengan pembikinan film.
4. Oleh karena rakyat disini percaya sepenuh-penuhnya kepada Nippon
dan orang Nippon mudah sekali diperoleh tenaga extra guna seseatu
fim.32
Bunjin Kurata sebagai salah satu pemimpin bagian film juga menuangkan
harapannya terhadap perfilman Indonesia dalam bentuk tulisan yang dimuat
dalam buku berkala Keboedajaan Timoer. Ia sedang mengusahakan pembuatan
film cerita atau drama yang disutradarai dan dimainkan ole orang Indonesia
sendiri demi memajukan dunia perfilman Indonesia, karena pada waktu itu
Nippon Eiga Sha hanya membuat film pekabaran dan film dokumentasi saja. B.
Kurata menyampaikan bahwa yang terpenting dalam pembuatan sebuah film
adalah pertama, kebagusan cerita, kedua, kejelasan sifat film. Terakhir kecakapan
para pemainnya. Menurut pendapatnya dalam dunia film Indonesia
kekurangannya terdapat pada skenario, skenario perfilman Indonesia pada masa
itu sama halnya dengan sebuah drama yang difilmkan. B. Kurata menerangkan
betapa pentingya Montage (guntingan dan rangkaian) dalam dunia perfilman oleh
32 “Balai Kebudayaan Melangkah.”, Djawa Baroe, April 1943.
67
sebab itu mengunting dan merangkai scene harus diperhatikan. Ia juga memuji
bahwa para pemain film Indonesia sudah memiliki dasar-dasar kecakapan yang
cukup untuk membuat suatu film.33
Harapan dari B. Kurata akhirnya terjawab, mulai tanggal 1 September
1943 Nippon Eiga Sha mulai mengerjakan film cerita yang diberi Judul
“Berdjoang” dan kemudian muncul dua film lagi yaitu “Keris Poesaka” dan
“Gelombang”34, namun pemroduksian film Indonesia ini berhenti pada akhir
tahun 1944 yang dikarenakan segala kegiatan bangsa Indonesia di pusatkan pada
perang Asia Timur Raya. Film “Berdjuang” adalah suatu film yang melukiskan
semangat Heiho, yang menjadi semboyannya ialah “Kita pemuda zaman baru
hendaknya hidup yang berarti untuk membela tanah air, di sudut manapun juga,
menurut pembawaan dan keadaan sekitar diri masing-masing!”. Keris Poesaka
merupakan film yang mengingatkan tentang bangsa-bangsa Asia yang dahulu
menyembah Matahari, pesan yang terkandung dalam film ini adalah hendaknya
bangsa Asia menghendaki persatuan, mengembalikan dan membangun Asia
dengan Nippon yang merupakan negeri matahari sebagai pusatnya. Film
“Gelombang” menampilkan gelombang sejarah bangsa Indonesia pada zaman
dahulu, kemudian dijajah bangsa barat sampai dengan munculnya perang Asia
Timur Raya, Film ini adalah suatu cerita perlambang yang berisi tarian dan
nyanyian. Itulah film-film cerita Indonesia yang dapat dibuat pada masa Jepang,
para pemain dan naratornya adalah orang-orang Indonesia sendiri tetapi para
33 Loc. Cit. Keimin Bunka Shidosho, hlm 18. 34 “Melangkahnya Film Indonesia baru”, Djawa Baroe, Desember 1944,
hlm 32-33.
68
pekerja tehnik seperti kameraman dan pengambil suara masih menggunakan
orang-orang Cina.
C. Pembubaran Keimin Bunka Shidosho.
Pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1944 mulai mengalami
kegoyahan yang dikarenakan oleh tekanan dari luar negeri dan didalam negeri.
Tekanan dari luar negeri semakin memanasnya perang Asia Timur raya, bahkan
beberapa pusat pertahanan Jepang termasuk Pulau Saipan jatuh ketangan tentara
sekutu. Dalam negeri rakyat merasa tidak puas terhadap kepemimpinan Jepang
karena kekejamannya, mereka akhirnya melakukan pemberontakan di daerah-
daerah. Contohnya adalah pada kasus yang terjadi di Desa Sukamanah Kecamatan
Singaparna di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Perlawanan di
Sukamanah ini dipimpin oleh K.H. Zaenal Mustafa. Ketika menghadiri sebuah
upacara dilapangan kota Singaparna. K. H. Zaenal Mustafa menolak untuk
melakukan Seikerei (memberi hormat kepada kaisar Jepang Tenno Heika) dengan
cara membungkukkan badan serta menundukkan kepala ke arah istana Kaisar
Jepang. Seikerei dianggap perbuatan syirik karena dalam ajaran Islam tak ada
yang pantas disembah kecuali Allah S.W.T. Bersama pengikutnya beliau
meninggalkan lapangan tersebut. Tindakan tersebut menyebab-kan ketegangan di
antara kedua belah pihak. Pada tanggal 25 Februari 1944 terjadilah pertempuran.
Akibat kekuatan yang tidak seimbang K.H. Zaenal Mustafa dapat ditangkap dan
dipenjara di Cipinang (Jakarta). Pada tanggal 25 Oktober 1944 beliau dan
pengikutnya dieksekusi tentara Jepang.
69
Pemberontakan semacam ini turut membuat seniman untuk membuat
karya-karya yang berbau pemberontakan, seperti lukisan Affandi yang diberi
judul “Pengemis”. Affandi menggambar seorang pengemis berbadan kurus
dengan keadaan sekarat yang menggambarkan keadaan romusha pada saat itu.
Karya lain yang berbau pemberontakan yaitu puisi Chairil Anwar yang berjudul
“Siap Sedia”35. Puisi ini sebenarnya telah lulus sensor dan Kenpetai tapi kemudian
digugat Gunseireibu, instansi yang paling tinggi dan lebih tinggi dari
Gunseikanbu, Kenpeitai dan sebagainya. Gugatan yang dilancarkan Gunsereibu
tidak lain karena Jepang mencium aroma pemberontakan dalam puisi Chairil
tersebut, terutama pada kata Dunia Terang yang ditafsirkan sebagai Jepang. Apa
yang diserukan Chairil melalui puisi bukan untuk mendukung Jepang dalam
peperangan, melainkan untuk menggelorakan semangat kemerdekaan bangsa
Indonesia dari penjajahan Jepang yang diselubungi propaganda-propaganda
manis.
Karya-karya yang berbau pemberontakan tentunya akan menyulitkan
posisi Jepang di Indonesia. Sehingga untuk menanggulangi kejadian yang tidak
diinginkan pada tanggal 1 Februari 1944 Jepang mengeluarkan Osamu Serei No. 6
tentang pengawasan penerbitan.36 Peraturan ini terdiri dari 16 pasal yang
berkaitan dengan penerbitan surat kabar, majalah, lukisan, sandiwara, buku, puisi,
film dan lain sebagainya. Surat-surat, majalah dan sebagainya itu yang dapat
menggangu, ketentraman, keamanan dan ketertiban umum, dan juga yang
menghalangi usaha pemerintahan Balatentara Nippon tidak boleh disiarkan ke
35 Loc. Cit. H.B. Jassin, hlm. 106-107.36 “Osamu Serei No. 6”, Tjahaja, 3 Februari 1944.
70
khalayak umum atau disebarkan oleh sebab itu penerbit atau pembuat karya harus
meminta izin kepada badan sensor Jepang dan kenpetai. Jika mereka bersikeras
ingin menyebarkan karya-karya telarang itu maka akan diberi hukuman seperti
yang terdapat pada pasal 14 sampai pasal 16. Hukuman terberat adalah hukuman
bagi pelukis, jika mereka melanggar aturan ini mereka dapat dihukum mati atau
dipenjara seumur hidup dengan denda sebesar lima puluh ribu rupiah. Pada
peraturan ini juga ditunjukkan contoh formulir permintaan izin kepada badan
sensor Jepang.
Pihak Gunseikanbu juga menjelaskan bahwa Osamu Serei No. 6 ini dibuat
untuk menggantikan undang-undang no. 16 tahun 1942 tentang pengawasan
badan-badan pengumuman dan penerangan, dan pemilik pengumuman dan
penerangan. Hal ini dikarenakan dengan keadaan pengarang yang semakin lama
semakin banyak dan selaras dengan cita-cita menuju kesempurnaan. Tetapi jika
ditilik kembali pembuatan Osamu Serei No. 6 ini memang digunakan untuk
mengontrol penerbitan dan mengekang karya-karya yang sifatnya memberontak
kepada Jepang karena janji-janji manis dan sifat baik terhadap Jepang telah
ternodai dengan adanya romusha dan kekejian lainnya yang dilakukan oleh
Jepang terhadap rakyat Indonesia.
Perang semakin mendesak Jepang, Jepang berusaha menjadikan seluruh
daerah yang didudukinya sebagai rangkaian pertahanan yang kompak, dimana
seluruh penduduk dengan bahan yang ada di daerahnya dikerahkan. Pengerahan
penduduk itu tidak hanya terdiri dari penduduk asli, tetapi juga berlaku untuk
semua golongan yang diikutsertakan. Maka dari itu pada tanggal 18 Januari 1944
71
Jepang memperkenalkan sistim baru yang disebut tonarigumi (rukun tetangga).
Tonarigumi adalah suatu sistim yang dimaksudkan untuk memperketat
pengendalian terhadap penduduk. Kegiatan dari tonarigumi ini antara lain adalah,
mengadakan latihan bersama-sama tentang pecegahan bahaya udara, kebakaran,
pemberantasan mata-mata musuh, dan penyampaian ikhtiar pemerintah militer
kepada penduduk, menganjurkan penambahan hasil bumi dan berbakti kepada
pemerintah militer pada bidang lain.37
Pemerintah militer Jepang kemudian membentuk suatu organisasi yang
meliputi semua usaha tonarigumi. Organisasi itu diberi nama “Djawa Hokokai”
yang diresmikan pada tanggal 1 Maret 1944 dengan Gunseikan sebagai pemimpin
tertinggi dan Ir. Soekarno menjabat sebagai Komon(Penasihat).38 Djawa Hokokai
berarti himpunan kebaktian rakyat Jawa, sesuai dengan arti yang ditonjolkan dari
organisasi ini adalah sifat berbakti kepada rakyat. Maka dari itu semua organisasi
yang termasuk dalam kebaktian kepada rakyat dilebur kedalam Jawa Hookoo
Kai39
Pada permusyawaratan yang pertama (Renraku Kaigi I) antara Jawa
Hokokai dengan badan-badan lainnya di kantor besar Jawa Hokokai pada tanggal
15 Desember 2015. Rapat tersebut dihadiri oleh wakil-wakil dari masing-masing
organisasi untuk menyampaikan pendapat agar terciptanya suatu tujuan yang
mufakat. Setelah mendengar keterangan-keterangan dan usul-usul dari masing-
37 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., Sejarah
Nasional Indonesia VI, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 1993), hlm. 14-15.38 Ibid. hlm 1539 “Peraturan Dasar Gerakan Djawa Hookookai jang Baroe”, Sinar
Matahari, 2 Februari 1945.
72
masing wakil organisasi dan dengan dasar keterangan dari Gunseikan pada
tanggal 8 Januari 1944, tentang hal mendirikan Jawa Hookoo Kai, yaitu bahwa
“perlulah kita mengadakan Jawa Hookoo kai yang selalu siap untuk menjalankan
perang matia-matian yaitu dengan jalan mengabungkan balatentara, pemerintah,
rakyat dan segala bangsa penduduk sehingga menjadi satu” maka di ambil
keputusan dalam musyawarah tersebut, sebagai berikut:
1. Membentuk Badan Perhubungan di Pusat (Jakarta) dan di daerah-
daerah yang memusatkan segala usaha dari badan-badan dan
perhimpunan-perhimpunan kebaktian tersebut.
2. Menyelenggarakan usaha-usaha bersama yang ditujukan kepada
pembelaan tanah air dan tercapainya Indonesia merdeka.
3. Mengandurkan dan melaksanakan “Panca Dharma”.
Selain itu untuk mengatasi keadaan pada masa itu, dalam rapat itu juga diputuskan
hal-hal untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak diinginkan, maka diambil
keputusan sebagai berikut:
1. Selekas mungkin dibentuk badang perhubungan, baik dipusat (Jakarta)
maupun di daerah-daerah yang akan memusatkan segala tenaga dan usaha
dari perhimpunan-perhumpunan dan badan-badan kebaktian itu. Pada
badan perhubungan itu akan duduk wakil-wakil dari masing-masing
perhimpunan dan badan tersebut. Badan perhubungan itu tidak saja akan
terdapat pemusatan usaha, tetapi juga koordinasi dari usaha perhimpunan-
perhimpunan dan badan-badan itu sehingga tidak akan ada lagi tenaga dan
waktu yang terbuang sia-sia.
73
2. Berkaitan dengan usaha-usaha yang dapat dikerjakan sekarang (sebelum
terbentuknya badan perhubungan) oleh semua badan dan perhimpunan
tersebut. Hendaknya badan dan perhimpunan tersebut berusaha pada hal-
hal tentang pembelaan tanah air dan tercapainya kemerdekaan Indonesia.40
Keputusan-keputusan pada rapat pertama Jawa Hokokai tentunya
mempengaruhi Keimin Bunka Shidosho yang menjadi bagian organisasi tersebut.
Maka dari itu para seniman Keimin Bunka Shidoso memfokuskan karya-karya
mereka terhadap tema-tema seperti tonarigumi, gotong-royong, membela negara,
kemerdekaan, tentara dan lain sebagainya. Karya-karya tersebut dimuat dalam
buku “Keboedajaan Timoer III” yang di terbitkan pada tahun 1945. Salah satu
contohnya adalah “Bingkisan Dari Kasatrian” karya Otto Djajasoentara yang
menampilkan karikatur-karikatur dari kegiatan PETA dan Heiho sebagai pasukan
pembela negara, karikatur ini menggambarkan keseharian PETA dan Heiho yang
ia anggap sebagai kesatria yang gagah berani dalam membela negara.41 Selain itu
mereka juga mengadakan pameran lukisan dengan tema membela negara,
pameran ini berbeda dengan pameran-pameran yang biasanya dilakukan oleh
Keimin Bunka Shidoso. Dalam pameran ini lukisan terbaik akan disebarkan
kepada seluruh masyarakat dengan cara:
1. Pameran serentak dibeberapa tempat (didalam ruang pameran atau
disepanjang jalan raya),
2. Dicetak sebagai poster dan disebarkan di jalan-jalan.
40 Kepoetoesan Permoesjawaratan Djawa Hookoo Kai”, Asia Raja, 18
Desember 1944.41 Keimin Bunka Shidosho, Keboedajaan Timoer III, (Jakarta: Keimin
Bunka Shidosho, 1945), hlm 123-130.
74
3. Dimuat dalam surat kabar dan majalah-majalah. Pameran ini juga
mempunyai semboyan “Dari Masyarakat Indonesia Untuk Masyarakat
Indonesia”.42
Pameran ini diselenggarakan oleh Keimin Bunka Shidosho untuk melakukan
propaganda dalam hal membela negara. Mereka bertujuan untuk mengobarkan
semangat nasionalis kepada khalayak masyarakat. Hal ini terlihat dari penyebaran
lukisan terbaik dalam pameran ini, dengan tujuan mereka yang melihat lukisan ini
dapat tepengaruh dan turut membela negara.
Akhir kependudukan Jepang di Indonesia berawal dari dibomnya 2 kota
besar di Jepang, yakni Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus
1945 yang mengakibatkan konsentrasi Jepang terhadap Indonesia goyah dan
Jepang pun mengalihkan perhatiannya ke negaranya sendiri. Hal ini tentunya
dimanfaatkan oleh orang-orang Indonesia untuk memperoleh kemerdekaannya.
Tetapi terdapat perbedaan pendapat antara golongan tua (Soekarno dan Hatta) dan
golongan muda (kelompok Menteng 31) pada waktu itu karena Jepang
menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Maka
golongan tua menuruti akan janji Jepang tersebut. Sedangkan golongan muda
sudah tidak percaya dengan omongan Jepang dan ingin memanfaatkan situasi
terpuruknya Jepang. Karena perbedaan pendapat yang sangat keras itu maka
golongan muda memutuskan menculik Ir. Soekarno dan Muh. Hatta ke
Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 untuk kemudian didesak agar
mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan
42 “Seteleng Lukisan Dengan Memakai Pokok (Motief) Membela Negara”,
Asia Raja, 12 Juni 1945.
75
terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta
serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda. Dari kesepakatan itu
akhirnya tercapai kesepakatan bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus
1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik. Setelah Indonesia
merdeka, pada tanggal Pada 22 Agustus 1945 Jepang mengumumkan mereka
menyerah di depan umum di Jakarta. Jepang melucuti senjata mereka dan
membubarkan organisasi-organisasi bentukan mereka termasuk Keimin Bunka
Shidoso sebagai Badan Pusat Kebudayaan.
76
BAB IV
PENGARUH KARYA PARA SENIMAN PRIBUMI KEIMIN
BUNKA SHIDOSHO DALAM MEMBANGUN
NASIONALISME MASYARAKAT INDONESIA.
A. Dualisme dari Karya Seniman Keimin Bunka Shidosho.
1. Pengertian Dualisme.
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi.
Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim
bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa
dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan
dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan
kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa
"kecerdasan" seseorang (bagian dari budi atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau
dijelaskan dengan fisik. Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan
oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa budi adalah substansi
nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan
jelas budi dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat
kecerdasan. Dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam
bentuknya yang ada sekarang. Dualisme bertentangan dengan berbagai
jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme
bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat
77
dianggap sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan
materialisme non-emergent.1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dualisme adalah paham bahwa
dalam kehidupan ini ada dua prinsip yang saling bertentangan (seperti ada
kebaikan ada pula kejahatan, ada terang ada gelap) dan keadaan bermuka dua,
yaitu satu sama lain saling bertentangan atau tidak sejalan. Dalam teori linguistik
terdapat dualisme sematis yaitu semantik2 yang menganggap adanya hubungan
timbal balik antara lambang (unsur bahasa) dan objek atau konsep yang
ditunjuknya. Jadi ada bermacam-macam pengertian dualisme disini menurut
filsafat, KBBI dan teori linguistik, tetapi dualisme yang akan dibahas kali ini
adalah dualisme dari karya-karya para seniman Keimin Bunkas Shidosho
sehingga pengertian dualisme dari teori linguistiklah yang paling cocok
mendeskripsikannya.
2. Unsur dualisme dari karya para seniman Keimin Bunka Shidosho.
Para seniman Keimin Bunkas Shidosho yang pada waktu itu ingin
berkarya sesuai dengan keinginan dan cita-citanya yang sebenarnya tentunya
enggan menuruti perintah Pemerintah Jepang dalam mempropaganda negerinya
sendiri. Untuk itu mereka mencari-cari jalan baru untuk mewujudkannya dengan
cara yang tidak berbahaya. Sehingga lahirlah unsur dualisme dalam karya-karya
1 https://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme, diakses pada Sabtu 30 Januari
2016 pukul 21.38.2 Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang
terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain.
78
seniman ini. Unsur dualisme yang lahir dalam karya-karya seniman ini adalah
seolah-olah karya mereka mendukung Jepang tetapi maksud sebenarnya adalah
untuk kepentingan bangsa Indonesia sendiri. H.B. Jassin dalam bukunya yang
berjudul Kasusastraan Indonesia di Masa Jepang, menganalogikan seniman pada
saat itu seperti seekor bunglon. Bunglon walaupun warnanya bertukar-tukar,
tidaklah akan berubah menjadi kayu atau daun atau apa saja yang warnanya
dipinjamnya, demikian pula orang Indonesia tidak akan bisa seratus persen jadi
orang Jepang yang dalam segala tingkah laku dan cita-citanya menjadi Jepang.
Sebab bunglon-bunglon itu mungkin akan mempunyai tenaga yang lihai dalam
perlawanan menghadapi musuhnya yang dihadapi dengan membunglon.3 Dalam
hasil karya mereka memang kelihatan seperti itu.
Para seniman harus pandai dalam menyiasati karya-karya mereka agar
dapat berbau nasionalis terhadap kaumnya sendiri. Karena jika tidak mereka dapat
disiksa, dipenjara, maupun dihukum mati oleh tentara Jepang. Seniman Indonesia
yang secara vokal menentang Jepang adalah cak Durasim seniman ludruk asal
Jombang, Jawa Timur. Pada saat cak Durasim melakukan pementasan pada tahun
1942, ia di Keputran Kejambon Surabaya ia melantunkan kidungan yang sangat
populer yang berbunyi: "Pegupoan omahe doro, urip melu Nippon tambah
sengsoro". Akibat sebaris kalimat itulah ia ditangkap, disiksa oleh tentara Jepang
dan akhirnya mereka menyeretnya ke penjara. Ia meninggal dunia setahun
kemudian, dan dimakamkan di Makam Islam Tembok. Berkat keberanian itu,
3 H. B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia di Masa Jepang, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1948), hlm 12
79
namanya dikenang sepanjang masa sebagai seniman serta pahlawan.4 Perlawanan-
perlawanan seniman seperti yang dilakukan cak Durasim pada masa Jepang
amatlah berbahaya, sehingga para seniman pribumi berfikir ada cara lain untuk
merealisasikan perlawanan terhadap Jepang dalam suatu karya yang disebut oleh
H.B. Jassin sebagai dualisme karya dalam bukunya yang berjudul “Kesusasteraan
Indonesia di Masa Jepang”.5
Rosihan Anwar dalam karyanya memiliki sifat dualisme. Rosihan Anwar
merupakan salah satu penyair muda pada masa Jepang yang tidak terbuai dengan
pil-pil propaganda Jepang karena praktek dan teori yang dilihatnya terlalu
berlainan. Salah satu karyanya yang memiliki sifat dualisme adalah sajak yang
berjudul “Manusia Baru” :6
Manusia Baru
Hatiku gembira tidak terkiraKuhisap udara langkah nikmat
Kulayangkan pandang sekitar rataNampaklah perubahan pada masyarakat
Di dalam orang bertaiso giat Berolah raga memeras keringat Berempakan baris di jalan rayaGemuruh bunyi kuat gembiraBerduyun pemua jadi prajurit Berdengung semboyan ayo ke lautSemakin dalam dibenamkan paculSemakin sungguh diayunkan tukul,
4 http://www.transsurabaya.com/2010/12/gedung-cak-durasim-taman-
budaya/ diakses pada tanggal 27 Mei 2016.5 Op. Cit, hlm 12.6 “Manusia Baru”, Djawa Baroe, 15 Januari 1945.
80
Di kamar sunyi duduk bertekunMengumpul ilmu lebih sempurna. . . .
Semua bekerjaSemua berusaha
Semua gembira !
Di dalam segala kulihat tandaYa . . . manusia baru pasti menjelmaBangsa baru tengah ditempa !
Mari saudara se Nusa se Bangsa Kita berjalan di jalan Tuhan
Mari berjuang runtuhkan lawan Terus ke arah kemenangan kita !
Sajak tersebut mengambarkan pandangan Rosihan Anwar pada masa itu, ia
melihat suatu perubahan yang akan terjadi di dalam tubuh bangsa Indonesia,
dalam konteks ini adalah kemerdekaan, sehingga ia menggambarkan rakyat
Indonesia itu dengan sebutan “Manusia Baru” yang sedang dibuat kala itu. Orang-
orang Jepang yang membaca karya ini tentu akan berfikir bahwa karya ini
membantu mereka dalam menjalankan propaganda, hal ini terlihat jelas dalam bait
ketiga yang berbunyi “semua bekerja, semua berusaha, semua gembira!” kata-kata
ini dianggap Jepang untuk membakar semangat rakyat agar giat bekerja, ditambah
lagi dengan bait kelima dalam sajak tersebut yang mengajak orang Indonesia
untuk berjuang demi mencapai kemenangan. Namun, jika dilihat lebih dalam lagi
sajak ini ditujukan kepada bangsa Indonesia, dari judulnya sudah telihat yaitu
“Manusia Baru”. Kata baru berarti tidak sama dengan yang lama sehingga makna
dari kata manusia baru adalah manusia yang tidak sama dengan manusia
sebelumnya bahkan lebih baik. Rosihan Anwar juga menyematkan kata “Mari
berjuang runtuhkan lawan, terus ke arah kemenangan kita:” yang mempunyai
81
maksud meruntuhkan Jepang untuk menuju arah kemenangan bangsa Indonesia.
Karya Rosihan Anwar ini telah lolos dari sensor Jepang maupun Kenpetai dan
dimuat kedalam majalah-majalah dan koran-koran pada waktu itu. Karya Rosihan
Anwar yang memiliki sifat dualisme tidak hanya “Manusia Baru” saja tetapi ada
juga “Kisah Di Waktu Pagi” dan “Lukisan”.
Chairil Anwar yang merupakan penyair terkenal Indonesia memulai
karirnya pada masa Jepang dengan syair-syair yang berapi-api.7 Pada masa Jepang
ini Chairil Anwar juga menyumbangkan karya yang bersifat dualisme dengan
judul “Siap Sedia”:8
Siap Sedia
Kepada AngkatankuTanganmu nanti tegang kaku,Jantungmu nanti berdebar berhenti,Tubuhmu nanti mengeras batu,Tapi kami sederap mengganti,Terus memahat ini Tugu.
Matamu nanti kaca saja, Mulutmu nanti habis bicara, Darahmu nanti mengalir berhenti,Tapi kami sederap mengganti,Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.
Suaramu nanti diam ditekan, Namamu nanti terbang hilang,Langkahmu nanti enggan ke depan,Tapi kami sederap mengganti,
7 A. Teeuw, Pokok Dan Tokoh Dalam Kesusasteraan Indonesia Baru,
(Jakarta: Jajasan Pembangunan, 1952), hlm 1828 “Siap Sedia”, Asia Raja, 23 Februari 1944.
82
Bersatu maju, ke Kemenangan.
Darah kami panas selama,Badan kami tertempa baja,Jiwa kami gagah perkasa,Kami akan mewarna di angkasa,Kami pembawa Bahagia nyata.
Kawan, kawanMenepis segar angin terasaLalu menderu menyapu awanTerus menembus surya cahayaMemancar pencar ke penjuru segalaRiang menggelombang sawah dan hutan.
Segala menyala-nyala !Segala menyala-nyala !
Kawan, kawanDan kita bangkit dengan kesadaran Mencucuk menerang hingga belulang.Kawan, kawanKita mengayun pedang ke Dunia Terang !
Sajak ini berisi pesan dari Chairil Anwar kepada angkatannya untuk selalu siap
sedia dalam mencapai suatu kejayaan walaupun dalam usaha itu membutuhkan
suatu pengorbanan yang besar seperti yang dituliskan Chairil Anwar pada bait
pertama sampai bait ke-empat dengan masing-masing kalimat akhir sebagai
tujuannya. Bait ke-lima dalam sajak ini menjelaskan bagaimana setelah mencapai
tujuan tersebut, sedangkan bait ke-enam yang sangat singkat menggambarkan
totalitas dari usaha untuk mencapainya. Bait terakhir dari sajak ini menjelaskan
kerasnya usaha yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Sajak ini
dalam kacamata Jepang, Chairil Anwar menghimbau kepada angkatannya untuk
berjuang dalam mencapai kemerdekaan dan juga menanamkan rasa nasionalis ke
dalam jiwa para sastrawan yang membacanya sehingga dinilai membantu
83
propaganda Jepang. Dalam bait ke-enam dengan kalimat “segala menyala ! segala
menyala !” menyimbolkan semangat yang berapi-api, sehingga sajak ini sangat
cocok dalam tema-tema yang dianjurkan oleh Jepang pada masa itu. Jika dilihat
dari kacamata Indonesia sajak ini mengandung pesan tersembunyi. Pertama,
Chairil Anwar menujukan sajak ini untuk angkatannya sehingga yang dapat
mengerti maksud yang sebenarnya dari sajak ini hanya para seniman saja. Kedua,
pada kalimat akhir dari sajak ini “Kita mengayun pedang ke Dunia Terang !”
makna dari kata “kita mengayun pedang” berarti melawan sedangkan “Dunia
Terang” berarti Jepang, karena sebutan Jepang adalah negeri matahari terbit,
selain itu orang-orang Jepang juga menyembah matahari. Sajak ini pada awalnya
telah lulus sensor dari Kenpetai dan Gunseikanbu sehingga dapat diterbitkan
dalam surat kabar tetapi sajak ini kemudian diketahui oleh Gunsereibu dan
dianggap berbau pemberontakkan karena kata “Dunia Terang” dianggap sebagai
Jepang.
Nursjamsu adalah seorang penyair putri dengan sajak-sajak yang bersifat
keseorangan, mengharukan karena kejujurannya yang putih bersih.9 Nursjamsu
pada masa Jepang turut menyumbangkan karya yang bersifat dualisme pada
karyanya yang berjudul “Membayar Utang”.10
Membayar Utang
Begini betullah pedihnya cinta,
9 H. B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia di Masa Jepang, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1948), hlm 20-21.
10 “Membayar Utang”, Asia Raja, 14 Juli 1944.
84
Darah meleleh ! Hangus jantung !Menyambar membakar dada.Halilintar sabung menyabung.
Berapa, ku tak tahu.Ah, bukan seorang !Mempermainkan cinta seorang bujang . . . .Dahulu pernah aku
Masih terbayang di mata, ketikaKau ‘kan menghembuskan nafas penghabisanMeminta air seteguk, kuberi tuba,Mayat terbujur, kuinja dengan tertawa ejekan.
Sekarang bangkit kau semua dari kubur, Gemuruh galakmu menagih utang, Mengepung semua membalaskan dendam,Menjelma menjadi satu . . . Kekasihku.
Kunamakan kau “kekasihku”Kupandang kau penuh cinta berahi,Sebenarnya kubenci padamu,Benci yang tak terselami,
Karena,Lakumu bak kucing mempermainkan mangsa, Kau cakar, kau lepas, kau cakar lagi,Kau tampar, kau belai, kau tampar lagi.
Sungguh Ganas kau kekasihku !Mengapa tak kau terkam sekali?Mengapa tak kau renggutkan jantungku,Parut, ramas, sampah, campakkan sekali ?
Dan aku takkan menjeritSungguhpun peluh di kening membesit,Bibir kugigit, ku takkan memekik,Air mata takan ke luar setitik.
Sungguhpun mengamuk remuk di dalamBerdarah, penuh cakar,Di luar takkan berkesan,Senyum takkan bertukar
85
...............................................................
Bagaimanapun,Utangku, kubayar !
Sajak Nursjamsu ini menceritakan penderitaan cinta. Pada bait pertama
Nursjamsu menuliskan penyesalan dalam percintaan. Bait kedua sampai ketujuh
adalah perjalanan pahitnya cinta yang dialami tanpa bisa membalas. Bait
kedelapan berisi perasaan sebenarnya dan bait terakhir merupakan keinginan
untuk membalas cinta tersebut. Jepang melihat karya Nursjamsu ini merupakan
pengalaman pahit penulis di dalam percintaan. Karya jenis ini biasanya tidak
disiarkan pada media masa. Jika dilihat dengan pandangan Indonesia, Nursjamsu
membungkus dengan rapi karya yang menentang Jepang ke dalam tema
percintaan. Terlihat pada bait kelima bahwa kekasih Nursjamsu bertingkah seperti
Jepang terhadap Indonesia, mereka mempermainkan Indonesia. pada bait ketujuh
menggambarkan kekesalan seorang kekasih yang ingin menuntut balas tetapi
tidak bisa, seperti halnya yang dirasakan Indonesia terhadap Jepang.
B. Penyelewengan yang dilakukan oleh Keimin Bunka
Shidosho.
Pada masa Jepang organisasi-organisasi bentukan Jepang dinilai sangat
ketat karena Jepang dikenal dengan kedisiplinannya, sehingga sangat sulit sekali
bagi para pegawainya untuk melakukan penyelewengan, tidak seperti organisasi-
organisasi bentukan Belanda yang terkenal korup. Menurut Anhar Gonggong
86
yang merupakan salah satu pakar sejarah Indonesia, “Penjelasannya sederhana,
yang tidak mendukung Jepang, Mati” dan menurutnya tidak ada ruang untuk
semua golongan pada waktu itu, tetapi Jepang memberikan ruang gerak tersendiri
pada masing-masing golongan.11 Jika melihat penjelasan dari Anhar Gonggong
dapat dibayangkan pada masa itu sangat sulit sekali memberontak kepada Jepang,
yang memberontak otomatis dibunuh tetapi masih ada ruang lain yang diberikan
Jepang untuk bisa melawan.
Pada awal pendudukan Jepang di Indonesia rakyat Indonesia dengan
sukarela membantu mewujudkan cita-cita Jepang. Mereka membantu Jepang
karena Jepang telah membebaskan mereka dari kungkungan penderitaan selama
tiga setengah abad dijajah Belanda. Tetapi rakyat Indonesia salah, ternyata Jepang
jauh lebih kejam daripada Belanda. Dibalik kekejamannya itu Jepang mendirikan
organisasi-organisasi yang digunakan untuk kepentingan propaganda Jepang,
salah satunya lembaga pusat kebudayaan, Keimin Bunka Shidosho. Lembaga ini
didirikan Jepang untuk menghimpun para seniman agar mereka berkarya dan
karya mereka digunakan untuk kepentingan propaganda.
Para seniman awalnya menuruti apa yang diperintahkan Jepang tersebut.
Mereka membuat karya-karya agar masyarakat bersimpati kepada Jepang dan
membantu Jepang untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Tetapi lambat
laun mereka pun sadar bahwa jiwa-jiwa mereka telah dimanfaatkan untuk
kepentingan Jepang saja. Akhirnya mereka pun menyelewengkan organisasi
bentukan Jepang itu untuk tujuan-tujuan bangsa sendiri, hal ini dilakukan tanpa
11 https://www.youtube.com/watch?v=bjrMSPtEN9Q, diakses pada Kamis
29 Januari 2016 pukul 22.43.
87
sepengetahuan Jepang tentunya. Ada dua macam penyelewengan yang dilakukan
oleh para seniman ini yaitu penyelewengan secara langsung dan penyelewengan
secara tidak langsung. Penyelewengan secara langsung hampir tidak pernah
dilakukan oleh para seniman, karena jika ketahuan oleh Jepang terjadi
penyelewengan maka nyawa mereka dapat terancam. Tetapi ada juga seniman-
seniman yang melakukan penyelewengan ini seperti Affandi dalam lukisannya
yang berjudul “Pengemis”, alhasil ia disiksa oleh Kenpetai.12 Para seniman
nampaknya banyak yang melakukan penyelewengan dalam bentuk tidak
langsung, seperti yang dilakukan S. Sudjojono, untuk mengajari pelukis-pelukis
muda agar tidak dijadikan alat propaganda bagi Jepang.
Informasi mengenai diselewengkannya Keimin Bunka Shidoso untuk
kepentingan bangsa Indonesia ini didapatkan dari wawancara dengan narasumber
yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Arsip Nasional Indonesia dengan
judul “Di Bawah Pendudukan Jepang, Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang
Mengalaminya”. Dalam buku tersebut terdapat wawancara dengan narasumber
yang bekerja di Keimin Bunka Shidosho. Para narasumber itu adalah Ny.
Lasmidjah Hardi, R.M. Soetarto, dan S.Sudjojono.13
Ny. Lasmidjah Hardi, lahir di Purwerejo, Jawa Tengah pada 14 April 1916
merupakan narasumber Arsip Nasional Indonesia dalam buku yang berjudul
“Penerbitan Sejarah Lisan, No. 4. Di Bawah Pendudukan Jepang Kenangan
12 Loc. Cit. H.B. Jassin, hlm. 106-10713 Penerbitan Sejarah Lisan, No. 4. Di Bawah Pendudukan Jepang
Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya, tahun 1988, Koleksi Arsip Nasional Indonesia, hlm 76.
88
Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya” . Ny. Lasmidjah Hardi merupakan
istri dari Hardi seorang tokoh PNI dan mantan duta besar Indonesia untuk
Vietnam. Sejak masih belia dikenal sebagai aktivis, dan ikut mendirikan berbagai
organisasi sosial dan politik seperti Partai Indonesia Cabang Trenggalek, Dewan
Daerah Partindo Madiun, serta mengajar di beberapa sekolah dasar di Madiun dan
Jakarta. Pada masa Jepang karirnya dimulai dari pertemuannya dengan wartawan
Jepang yang bernama Wonohito. Wartawan tersebut menawarkan Ny. Lasmidjah
untuk bekerja di Kodohan (badan sensor), Ny. Lasmidjah menerima tawaran
wartawan tersebut. Setelah bekerja di Kodohan Ny. Lasmidjah merasa tidak
betah, karena ia disuruh menyensor pidato-pidato dan tulisan-tulisan rekan
seperjuangannya sendiri seperti Adam Malik, Chairul Shaleh dan lain sebagainya.
Akhirnya Ny. Lasmidjah minta dipindah ke Keimin Bunka Shidosho yang baru
dibuka pada waktu itu, di Keimin Bunka Shidosho beliau merasa senang, karena
tempat itu dijadikan segala macam latihan kesenian, ia juga senang dapat
berkenalan dan bergaul dengan para artis yang tenar pada saat itu seperti Kartini
Radjasa, Darjono, Sanusi Pane, Fifi Young, Asmara, Raden Ismail, Raden
Soekarno, dan lain-lain. Di sana Ny. Lasmidjah bertugas untuk mengatur kegiatan
para seniman. Menurutnya orang-orang Jepang di Keimin Bunka Shidoso jarang
datang ke kantor tersebut sehingga tempat itu tidak begitu ketat penjagaannya.
Menurut keterangan Ny. Lasmidjah tidak hanya para seniman saja yang datang
kesitu, tetapi juga tokoh-tokoh nasionalis Indonesia sering datang ketempat itu
seperti Muh. Yamin, Muh. Hatta, dan banyak lagi ahli politik, banyak yang
menguraikan ide-ide nasionalismenya di Keimin Bunka Shidosho. Ny. Lasmidjah
89
juga menceritakan bahwa teman-temannya yang merupakan orang-orang politik
sering mempergunakan Ny. Lasmidjah untuk masuk dan berbicara mengenai
nasionalisme di Keimin Bunka Shidosho. Ketika Keimin Bunka Shidosho
mengadakan panel diskusi mengenai kebudayaan yang diadakan rutin setiap tiga
minggu sekali, itu tidak sepenuhnya berbicara tentang kebudayaan. Tetapi juga
digunakan oleh para tokoh politik untuk membicarakan tentang hal-hal yang
berkenaan dengan pergerakan nasionalis Indonesia. Contohnya adalah Moh.
Yamin, jika diberi kesempatan untuk berbicara, ia akan memperbincangkan soal
politik nasionalisme dan sebagainya yang bersifat menentang penguasa pada saat
itu. Para pendengar pidato orang-orang politik ini tentu di pilih oleh Ny.
Lasmidjah sebagai sekertaris. Kegiatan politik di Keimin Bunka Shidosho
semakin marak ketika masa akhir Jepang pada tahun-tahun 1945, bahkan kantor
ini menjadi ajangnya Sukarni, Adam Malik dan yang lainnya untuk menyiapkan
proklamasi 17 Agustus 1945.14
Menurut keterangan yang diperoleh dari Ny. Lasmidjah Hardi ini
penyelewengan dapat terjadi karena kurangnya pengawasan Jepang terhadap
Keimin Bunka Shidosho. Orang-orang Jepang yang dipekerjakan oleh Jepang di
lembaga ini jarang datang ke kantor sehingga dapat dimanfaatkan oleh tokoh-
tokoh politik untuk membicarakan hal-hal yang berbau anti penguasa disana.
Bahkan dapat dikatakan bahwa Keimin Bunka Shidosho pada waktu itu menjadi
panggung bagi para tokoh politik Indonesia untuk menyampaikan aspirasinya,
lebih-lebih ketika menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Ny. Lasmidjah juga
14 Ibid, hlm 76-78.
90
membantu mengatur adanya kegiatan tersebut karena pada dasarnya ia juga
merupakan orang politik pada masa penjajahan Belanda.
Narasumber kedua dari buku Arsip Nasional Indonesia adalah R.M.
Soetarto yang merupakan anak dari Raden Mas Asmo Koesoemo dan masih
keturunan Keraton kasunanan Surakarta. R. M. Soetarto lahir di Solo, Jawa
Tengah pada 27 April 1914. Pada masa Belanda ia bekerja sebagai wartawan
lepas di beberapa surat kabar dan majalah dalam dan luar negeri. Pada tahun 1940
ia bekerja sebagai wartawan Surabajaasch Handelsblad merangkap freelance art
photographer. Menjelang Jepang masuk ke Indonesia, R. M. Soetarto ditarik oleh
Multi Film, sebuah perusahaan perfilman hasil fusi antara N. V. Multi Film
Harlem dan ANIF, yang dipimpin oleh C. Mol. Ia dianggap sudah berpengalaman
oelh perusahaan ini setelah sukses membuat film “De Solosche Cultuur” untuk
Universal Film Corporation, Amerika Serikat. Di Multi Film, ia menjadi satu-
satunya sineas Indonesia yang mampu bekerjasama dengan sineas-sineas Belanda
seperti C. Mol, Steffens dan beberapa juru kamera lepas. Selain itu R. M. Soetarto
ini juga merupakan anggota Parindra pada masa Belanda. Pada masa Jepang R.
M. Soetarto ditawari bekerja bersama Jepang, R. M. Soetarto pun mengiyakan
untuk bekerja dengan Jepang. Di masa Jepang beliau berprinsip untuk mencari
pengetahuan dan ingin belajar. R. M. Soetarto mengakui ia telah belajar dari
Jepang seperti editing, processing film dan lain sebagainya. Menurutnya para
pembuat film Jepang walaupun hebat, tetapi hanya memiliki satu keahlian
dibidangnya. Sedangkan R. M. Soetarto bisa semuanya dari proses pencucian,
pencetakan, film, menggunakan filter dan lain sebagainya. Menurut R. M.
91
Soetarto sebetulnya ada keuntungan dari penjajahan Jepang itu. Karena keuletan
dan kecerdasannya pada masa Jepang ia diangkat menjadi Production Leader
dalam dunia perfilman Jepang, maka bidang perfilman pada waktu itu lebih bebas
bergerak dan berkarya.15
Menurut keterangan yang diperoleh dari R. M. Soetarto ini bentuk
penyelewenganya berbeda dengan Ny. Lasmidjah. Pada kasus R. M. Soetarto
penyelewengan yang ia lakukan adalah memanfaatkan ilmu yang diberikan oleh
Jepang. Karena keinginan belajarnya itu beliau diangkat menjadi Production
Leader yang mengatur tentang produksi film pada masa Jepang. Sehingga ia
berhak menentukan film yang akan diproduksi, tentunya beliau membebaskan
teman-temannya untuk berkarya pada waktu itu. Keimin Bunka Shidoso yang
notobene ditujukan untuk propaganda menjadi bebas berkarya.
Narasumber terakhir dari buku Arsip Nasional Indonesia adalah S.
Sudjojono, dilahirkan di Sumatera Utara pada 1923 dari keluarga Jawa yang
dipekerjakan di perkebunan besar milik swasta oleh Belanda di daerah itu. Pada
masa penjajahan Belanda, S. Sudjojono dikenal sebagai seorang pelukis, guru, dan
organisator. Di masa akhir kekuasaan Belanda karikatur yang dibuatnya
dipublikasikan lewat majalah pikiran rakyat, dengan Bung Karno sebagai
pemimpin redaksinya. Ia juga anggota Gerakan Indonesia (Gerindo) bersama-
sama Adam Malik, Sumanang, dan sebagainya. Pada masa kependudukan Jepang
S. Sudjojono berusaha mencegah dipakainya pelukis-pelukis Indonesia oleh
Jepang sehingga ia menerima tawaran untuk bekerjasama dengan Jepang.
15 Ibid. hlm 78-81.
92
Kerjasama tersebut yang memungkinkan beliau bisa mengatur dari dalam, atau
berusaha membelokkan kebijakan dan perintah-perintah penguasa untuk
kepentingan Indonesia. Ini sangat penting baginya, karena sebagai bekas anggota
Gerindo, dan pelukis yang memiliki hubungan yang cukup luas di kalangan
pergerakan nasional, ide-ide, dan gagasannya mudah diterima, khususnya di
kalangan seniman pelukis. Menurutnya semua seniman di Keimin Bunka
Shidosho yang kelihatannya membantu Jepang sebenarnya mempunyai maksud
untuk kesenian Indonesia saja. S. Sudjojono memperjelas dengan memberi contoh
di dalam tonil, Anjar Asmara, Koesbini, Martosiswojo dan lain-lain lebih
memperjelas bahwa gerakan itu memang ditujukan untuk kesenian Indonesia.
Mereka menggunakan Jepang dalam keseniannya sebab jika tidak menggunakan
Jepang maka mereka tidak diberi ongkos. S. Sudjojono ini juga menerangkan
bahwa para seniman Jepang yang dikirim ke Indonesia itu menurutnya memang
merupakan seniman, mereka dipaksa oleh pemerintahnya untuk datang ke
Indonesia, sehingga mereka cenderung membiarkan seniman Indonesia untuk
berkarya dijalannya masing-masing. Dalam wawancara tersebut beliau berterima
kasih kepada Jepang, karena dengan fasilitas yang mereka berikan ia bisa
mendidik pelukis-pelukis muda pada waktu itu. Beliau juga bercerita pada waktu
proklamasi, ia dan Cornel Simanjuntak pergi ke kantor Keimin Bunka Shidoso
dan merampok uang Keimin Bunka Shidosho yang ada pada waktu itu dan
tentunya uang itu digunakan untuk perjuangan Indonesia.16
16 Ibid. hlm 81-83.
93
Keterangan dari S. Sudjojono memperjelas mengapa di tubuh Keimin
Bunka Shidosho dapat terjadi tindak penyelewengan. Tenyata Seniman Jepang
yang dikirim dari Jepang tersebut dipaksa untuk datang ke Indonesia, jadi mereka
memang benar-benar seniman. Karena itu S. Sudjojono juga berhasil
membelokkan kebijakan dan perintah-perintah Jepang untuk kepentingan bangsa
Indonesia. Gagasan dan ide-idenya pun diterima oleh seniman-seniman Jepang
tersebut. Karena itu ia berhasil menyelewengkan fasilitas-fasilitas yang diberikan
Jepang untuk kepentingan bangsa Indonesia.
C. Pengaruh Karya Para Seniman Bunka Shidodho Terhadap
Nasionalisme Masyarakat Indonesia.
Pada masa awal berdirinya tanggal 18 April 1943, Keimin Bunka
Shidosho didirikan dengan tujuan untuk menghimpun dukungan rakyat Indonesia
dengan jalan kebudayaan. Para seniman Indonesia diberi fasilitas yang memadai
demi terlaksananya kegiatan propaganda tersebut. Pada awalnya mereka dengan
senang hati membantu Jepang. Mereka terpesona akan kegagahan Jepang
melawan prajurit Belanda. Slogan Hakko Ichiu17 Jepang juga membuat mereka
terpana. Jepang pun mengatakan bahwa ini untuk kepentingan bersama demi
mencapai kemenangan bersama. Akhirnya mereka membantu Jepang dalam
mewujudkan propaganda tersebut dengan cara menciptakan karya-karya yang
mendukung Jepang seperti poster-poster propaganda yang berbunyi Asia untuk
17 Hakko Ichiu adalah slogan persaudaraan universal yang digunakan
Jepang untuk menciptakan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam Perang Dunia II, yang berarti delapan penjuru dunia dibawah satu atap.
94
Asia, mari kita menderita bersama Nippon, dan lain sebagainya. Tetapi dengan
berjalannya waktu para seniman itu sadar bahwa yang mereka lakukan adalah
hanya untuk kepentingan Jepang semata.
Para seniman tersadar bahwa mereka telah diperdaya oleh Jepang. Janji
Jepang untuk kepentingan bersama ternyata hanya kepalsuan belaka.
Kemakmuran yang mereka janjikan juga cuma janji-janji palsu, rakyat semakin
menderita pada masa itu, kemiskinan dan kelaparan terjadi dimana-mana,
kematian sudah menjadi hal yang biasa. Para seniman juga berpikir keras
bagaimana caranya agar dimata Jepang mereka terlihat seperti membantu Jepang
tetapi mereka juga bekerja untuk kepentingan bangsa sendiri. Akhirnya mereka
pun mendapatkan jalan untuk memecahkan karya mereka itu dengan cara
menyisipkan pesan-pesan nasionalis kedalam karya-karya mereka.
Pengertian Nasionalisme adalah adalah kecintaan alamiah terhadap tanah
air, kesadaran yang mendorong untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan
untuk membentuk negara berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan
sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan dan
ekonomi.18 Para seniman pribumi dalam Keimin Bunka Shidosho berusaha
memasukkan paham nasionalisme kedalam karya-karyanya agar mereka dapat
menanamkan semangat kebangsaan kedalam masyarakat Indonesia. Penanaman
nasionalisme pada masyarakat ini akan berakibat terciptanya masyarakat yang
bersatu padu dalam membela negaranya.
18 Steven Grosby, Sejarah Nasionalisme Asal Usul Bangsa Dan Tanah Air,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 10.
95
Pada tanggal 18 Januari 1944 di Indonesia Jepang menjalankan
tonarigumi19 yang berguna untuk memperketat pengendalian terhadap penduduk.
Setelah tonarigumi ini berjalan mereka lanjutkan dengan membentuk organisasi
Djawa Hokoo Kai, organisasi ini bertujan untuk menghimpun organisasi-
organisasi Jepang yang bersifat kebaktian pada masa itu. Keimin Bunka Shidosho
yang termasuk organisasi kebaktian pada masyarakat pada waktu itu juga
dimasukkan ke dalam Djawa Hoo koo Kai, pada tahun-tahun ini mereka membuat
karya-karya yang bertemakan bela negara karena tuntutan Jepang pada masa itu.
Tentunya dengan adanya tema-tema tersebut seniman Indonesia lebih bebas dalam
menyisipkan pesan-pesan yang berbau nasionalis. Seperti pada puisi Chairil
Anwar yang berjudul “Siap Sedia”, puisi tersebut bertema bela negara tetapi ia
menyisipkan pesan-pesan nasionalis dan juga anti penguasa.
Pada tanggal 7 September 1944 di dalam sidang istimewa Teikoku Gikai
(Parlemen Jepang) ke-85 di Tokyo, Perdana Menteri Koiso (pengganti Perdana
Mentri Tojo) mengumumkan tentang pendirian pemerintah Kemaharajaan Jepang,
bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka kelak
dikemudian hari.20 Janji akan kemerdekaan yang diberikan Jepang pada Indonesia
memberi kebahagiaan di seluruh golongan masyarakat pada waktu itu termasuk
para seniman Keimin Bunka Shidoso. Alhasil dari tindakan Jepang itu para
seniman mulai membuat karya-karya yang bertemakan tentang kemerdekaan.
19 Tonarigumi adalah sistem pertahahan sipil buatan Jepang yang bertugas
mengawasi penduduk, di kemudian hari dikenal dengan istilah “rumah tangga” atau RT, tonarigumi merupakan kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 10-20 rumah tangga.
20 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 1993), hlm 15.
96
Contoh karya-karya mereka termuat dalam majalah Djawa Baroe yang terbit pada
tanggal 1 Oktober 1944 halaman 34, diantaranya adalah “Bintang Merdeka” karya
Armin Pane, “Merah-Poetih” karya Usmar Ismail, “Waspada” karya S.D. Arifin,
dan “Pasti Berkibar” karya Armin Pane.21 Keempat karya itu merupakan salah
satu contoh jenis karya-karya yang akan terus bermunculan sampai Indonesia
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Karya-karya seniman yang tergabung dalam Bunka Shidosho
menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat Indonesia. Mereka sebagai agen
propaganda Jepang yang bergerak dibidang kebudayaan berhasil menghimpun
masyarakat dengan karya-karyanya seperti poster-poster propaganda yang
berbunyi “Jepang adalah saudara tua Indonesia”22. Tetapi dari data yang
didapatkan ternyata dari masing-masing bagian kesenian di Keimin Bunka
Shidosho tidak semuanya efektif untuk sekadar menghimpun masa maupun
membangkitkan rasa nasionalis. Sebabnya karya-karya mereka tidak semuanya
dapat dimengerti oleh semua golongan masyarakat. Menurut Fandy Hutari dalam
bukunya “Sandiwara dan Perang, Politisasi Terhadap Sandiwara Modern Pada
Masa Jepang” keadaan ekonomi dan pendidikan mempunyai pengaruh besar
dalam hal penerimaan pesan propaganda.23 Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa hal-hal tersebut menjadi faktor penentu mengenai penerimaan pesan
propaganda. Keadaan ekonomi pada masa Jepang sangatlah memprihatinkan,
21 “Penerbit Djawa Shimbun Sha”, Djawa Baroe, 1 Oktober 1944, hlm 34.22 “Poster Jepang adalah saudara tua Indonesia”, Asia Raja, 19 Juli 1942.23 Fandy Hutari, Sandiwara Dan Perang: Politisasi Terhadap Aktivitas
Sandiwara Modern Masa Jepang di Jakarta, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm 123.
97
kemiskinan merajalela karena mereka bekerja dengan gaji yang rendah. Begitu
pun keadaan di bidang pendidikan, jumlah sekolah menurun drastis daripada masa
Belanda dan buta huruf semakin merajalela.
Karya-karya seni yang diciptakan oleh para seniman di bidang
kasusastraan dan bidang lukisan tentunya hanya dapat dipahami oleh orang-orang
yang berpendidikan tinggi, karena memang karya sastra dan lukisan merupakan
suatu hal yang sulit untuk dipahami maksudnya, hanya golongan-golongan
terpelajar sajalah yang mengerti arti dari karya-karya tersebut. Karya-karya seni
yang diciptakan oleh bidang sandiwara dan bidang film tentunya hanya dapat
dinikmati oleh kalangan dengan ekonomi menengah keatas saja, karena untuk
membuat suatu karya dalam bidang-bidang tersebut dibutuhkan biaya yang besar
sehingga harga tiket juga hanya terjangkau pada kalangan menengah keatas saja.
Aiko Kurasawa juga berpendapat bahwa kalangan terpelajar kota, yang umumnya
lebih akrab dengan pertunjukkan sandiwara tidak begitu tertarik untuk
menyaksikan sandiwara propaganda, sedangkan kalangan yang kurang terpelajar,
cenderung lebih mengikuti saja pertunjukan sandiwara propaganda. Ini
disebabkan karena keterbatasan informasi pada kalangan yang kurang terpelajar.
Bagi generasi muda himbauan Jepang relatif diterima dengan baik. Generasi muda
mempunyai kesempatan untuk menikmati jenis hiburan ini, karena sering
dipertunjukkan di sekolah dan rapat-rapat lokal.24 Pada karya-karya seniman
bidang musik tenyata dapat diterima oleh semua golongan, hal ini terbukti dari
keterangan informan Aiko Kurosawa, mereka menyatakan sangat tergugah kalau
24 Aiko Kurasawa, Mobilisasi Dan Kontrol Studi Tentang Perubahan
Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta: Grassindo), 1993. Hlm 264.
98
mereka menyanyikan lagu-lagu propaganda Jepang, bahkan para orang-orang tua
saat ini yang pernah mengalami zaman penjajahan Jepang, masih hafal lagu-lagu
propaganda Jepang tersebut. Memang pada masa ini sulit untuk mengartikan
maksud dari seniman untuk disampaikan kepada masyarakat karena mereka
cenderung menyisipkan pesan-pesan mereka dalam bentuk tersirat, dan walaupun
masyarakat mengerti akan maksud seniman tersebut mereka tidak bisa berbuat
apa-apa pada masa ini.
Peranan seniman Keimin Bunka Shidosho dalam menimbulkan pengaruh
terhadap nasionalisme rakyat Indonesia dimulai pada masa awal Proklamasi 17
Agustus 1945. Para mantan seniman Keimin Bunka Shidosho ini membuat suatu
karya yang memunculkan semangat nasionalisme dari seluruh anggota masyarakat
di Indonesia pada waktu itu. Karya itu adalah poster “Bung Ayo Bung!”. Ide
membuat poster ini datang dari Bung Karno, pada waktu itu Bung Karno
mempunyai ide untuk membuat poster seorang pemuda yang memutuskan rantai
belenggunya. Ide ini direalisasikan oleh beberapa seniman yang sebelumnya
tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho, yaitu Affandi sebagai pembuat
gambar, Dullah sebagai model, S.Sudjono membuat lay-out, dan Chairil Anwar
yang membuat slogan “Bung Ayo Bung”. Poster itu bertujuan untuk mengajak
setiap orang Indonesia, tua-muda, bergabung bersama, untuk mengusir penguasa
asing.25
25 Loc. Cit. Arsip Nasional Republik Indonesia, hlm 81.
99
Sumber: Koleksi Museum Vredenburg Yogyakarta.
Poster yang berjudul “Boeng Ajo Boeng” ini menjadi suatu dobrakan baru
dalam pembangunan rasa nasionalisme melalui sebuah karya. Poster yang
menggambarkan seorang pemuda memegang bendera merah putih dengan rantai
yang terlepas di kedua tangannya ditambah dengan tulisan “Boeng Ajo Boeng” di
bagian bawah poster merupakan suatu karya yang pada waktu itu mampu
membangun nasionalisme bangsa Indonesia. gambar seorang pemuda merupakan
lambang dari orang Indonesia, gambar rantai yang terlepas di kedua tangannya
merupakan tanda bahwa ia telah terbebas dari belenggu penguasa asing, gambar
bendera Indonesia melambangkan negara Indonesia, dan tulisan “Boeng Ajo
Boeng” merupakan kalimat yang mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk
Gambar. 1
Poster “Boeang Ajo Boeng”
100
merdeka.26 Poster ini mengugah rasa nasionalisme rakyat Indonesia sehingga
mereka berani melawan penguasa Jepang pada saat itu, dan poster ini juga
menjadi perintis dari poster-poster lainnya yang bernada nasionalis pada saat itu.
Pada tahun 1946 di era kemerdekaan dan Revolusi fisik, para pemimpin
perjuangan pada waktu itu memiliki kesadaran bahwa seni lukis dapat berperan
dalam mendukung dan mendokumentasikan perjuangan. Hal itu ditunjukkan oleh
hijrahnya sejumlah pelukis bersama jajaran pemerintahan pusat dari Jakarta ke
Yogyakarta. Pada tahun 1946 itu pula, Affandi, Rusli, Hendra, dan Harijadi
membentuk Perkumpulan Seni Rupa Masyarakat. Kemudian mereka bergabung
dengan Sudjojono untuk mendirikan organisasi Seniman Indonesia Muda ( SIM )
pada tahun 1947. Menurut keterangan dari Daoed Joesoef yang diwawancarai
metro tv dalam acara melawan lupa dengan topik seni untuk perang pada tanggal
7 Juni 2015, beliau menceritakan bahwa SIM pusatnya berada di Surakarta yang
dipimpin oleh S. Sudjojono, kemudian cabang Madiun diketuai oleh Basuki
Resobowo, dan cabang Yogyakarta diketuai oleh Daoed Joesoef sendiri. Menurut
pengakuan beliau para seniman yang tergabung dalam SIM mendapat pesanan
dari Departemen Pemuda yang waktu itu diketuai oleh Wikana. Mereka membuat
poster-poster untuk menghentikan Pemerintah Belanda yang ingin mengambil alih
Indonesia. Daoed Joesoef sendiri mengakui ia juga membuat tulisan di Malioboro
yaitu “Mateni Rampok Londo Mlebu Swargo” yang berarti membunuh perampok
26 http://dgi-indonesia.com/posters-1940-1949/ diakses pada minggu 30
Mei 2016 pukul 17.38
101
Belanda.27 Aksi para seniman pada masa revolusi ini tentunya sangat penting pada
masa itu, poster-poster buatan mereka telah mempengaruhi masyarakat untuk ikut
melawan menentang pengambil alihan kekuasaan. Para seniman itu dapat
mengerti dan mengetahui bahwa karya-karya mereka dapat mempengaruhi
masyarakat tentunya dari karya anggota pribumi Keimin Bunka Shidosho.
Pada era ini tidak hanya poster-poster yang berperan dalam perlawanan
mengehentikan Belanda untuk menguasai Indonesia. Para seniman Indonesia turut
membuat grafiti di tembok-tembok kota pada waktu itu yang mengajak
masyarakat untuk bersatu padu dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Mereka meniru cara yang dilakukan oleh anggota pribumi Keimin Bunka Shidoso
dalam mendukung kemerdekaan Indonesia dengan membuat poster “Boeng Ajo
Boeng” yang pada masa itu berhasil menggerakkan masyarakat Indonesia untuk
turut mendukung proklamasi kemerdekaan. Seniman-seniman pada masa revolusi
fisik ini menuliskan aspirasi mereka di gedung-gedung maupun tembok-tembok
kota bahkan gerbong kereta api28. Tulisan yang mereka bubuhkan antara lain
adalah “Freedom For All Nation (kemerdekaan untuk seluruh bangsa), Freedom is
The Glory of Any Nation. Indonesia for Indonesians ! (kemerdekaan adalah
kemuliaan segala bangsa. Indonesia untuk Indonesia !, dan Merdeka Atoe Mati.
Sebagian tulisan tersebut dibuat kedalam bahasa Inggris agar masyarakat dunia
dapat mengerti bagaimana perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya.
27 https://www.youtube.com/watch?v=OHVA3jA79L8, diakses pada
Kamis 29 Januari 2016 pukul 22.53.
28 Seniman Indonesia Muda”, Kedaulatan Rakjat, 20 Juli 1947.
102
Sumber: Koleksi koran Kedaulatan Rakjat.
Sumber: Koleksi Museum Vredenburg Yogyakarta.
Gambar.2
Foto Grafiti “Freedom For All Nation”
Gambar.3
Foto Grafiti “Freedom is the Glory Of Any Nation. Indonesia for Indonesians!
103
Sumber: Koleksi Museum Vredenburg Yogyakarta.
Gambar.4
Foto Grafiti “Merdeka Atoe Mati”
104
BAB V
KESIMPULAN
Jepang berhasil menduduki Indonesia setelah berperang dengan Belanda
pada tanggal 8 Maret 1942. Mereka mengakhiri masa penjajahan Belanda selama
350 tahun di Indonesia. Jepang menduduki Indonesia karena mereka
membutuhkan sumber daya dalam menjalankan perang Asia Timur Raya. Dalam
menguasai Indonesia, awalnya Jepang memberikan kebebasan kepada bangsa
Indonesia, bahkan mereka memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh rakyat
Indonesia. Jepang menyuntikkan pesan-pesan propaganda pada bangsa Indonesia
agar mereka dengan sukarela turut membantu Jepang dalam perang Asia Timur
Raya. Dalam mempropaganda bangsa Indonesia, Jepang tidak hanya bergerak di
bidang politik saja tetapi juga bidang kebudayaan. Hal ini dikarenakan selain
untuk menghimpun masa Jepang juga ingin merubah cara berfikir orang Indonesia
ke alam kesadaran Nippon.
Jepang melakukan propaganda dalam bidang kebudayaan dengan cara
mendekati golongan muda, cendekiawan dan seniman Indonesia agar dapat
menjadi kader-kader yang kemudian disebarluaskan kedalam masyarakatnya.
Demi mendapatkan simpati dari golongan ini Jepang mendirikan organisasi-
organisasi untuk menghimpun para golongan tersebut. Golongan seniman dan
sastrawan dihimpun oleh Jepang pada suatu lembaga yang diberi nama “Keimin
Bunka Shidosho” yang berarti Pusat Kebudayaan. Latar belakang didirikannya
Keimin Bunka Shidosho ini adalah untuk menghimpun para seniman Indonesia
105
dalam suatu wadah agar mereka menciptakan karya-karya propaganda untuk
membantu Jepang dalam perang Asia Timur Raya.
Keimin Bunka Shidhoso berdiri pada tanggal 1 April 1943 di Jakarta,
lembaga ini berada di bawah Sedenbu (Departemen Propaganda). Jepang berhasil
mempersatukan banyak seniman untuk bekerja pada lembaga tersebut karena para
seniman beranggapan lembaga ini dapat menjadi kendaraan dalam menumpahkan
ekspresi. Lembaga seperti ini merupakan lembaga baru bagi mereka tidak seperti
pada masa penjajahan Belanda yang tidak memberikan wadah, pemerintah Jepang
memberikan ruang bagi para seniman ini walaupun tujuannya untuk membantu
pemerintah Jepang. Walaupun sudah didirikan pada tanggal 1 April 1943, Keimin
Bunka Shidosho baru diresmikan pada tanggal 18 April 1943 yang didatangi oleh
para pejabat pemerintahan masa Jepang dan juga para seniman anggota Keimin
Bunka Shidosho sendiri. Pada awal masa pendiriannya banyak para seniman
terutama seniman golongan muda yang belum matang, berniat membantu Jepang
dengan karya-karyanya karena memang mereka sudah termakan oleh propaganda
Jepang.
Keimin Bunka Shidosho dalam perkembangannya mengelompokkan para
seniman dalam lima bidang yaitu : bidang kasusasteraan, bidang seni lukis, bidang
seni musik, bidang sandiwara dan tari, dan bidang film. Dalam setiap bagian
Jepang menempatkan para ahli yang langsung didatangkan dari Jepang untuk
membantu dan mengawasi para seniman Indonesia ini. Pada masa awal para
seniman Keimin Bunka Shidosho memang membantu Jepang dalam
menyampaikan propagandanya melalui karya seniman dengan tema-tema
106
perjuangan, gotong royong, anti-barat dan lain sebagainya. Tetapi lambat laun
para seniman ini pun sadar bahwa kebaikan Jepang di Indonesia adalah kedok
untuk menjajah bangsa Indonesia dengan mudah. Para seniman melihat
bagaimana kemiskinan semakin merajalela di negeri ini, sehingga tercipta karya-
karya yang memiliki sifat dualisme. Sifat dualisme pada karya itu berarti, jika
dilihat dari pandangan bangsa Jepang, karya tersebut terlihat seperti membantu
Jepang tetapi jika dilihat dari pandangan bangsa Indonesia karya ini memang
benar-benar tercipta untuk membela bangsa Indonesia.
Sifat dualisme yang dibenamkan oleh para seniman pribumi Keimin
Bunka Shidosho ke dalam karyanya tidak langsung dapat diterima oleh
masyarakat. Hal ini dikarenakan untuk membaca pesan tersembunyi di dalam
suatu karya tentu membutuhkan tingkat akademi yang tinggi, padahal pada masa
penjajahan Jepang rakyat Indonesia masih banyak yang buta huruf dan tidak
bersekolah dikarenakan mereka tidak difokuskan untuk belajar, tetapi lebih ke
bekerja untuk mencukupi kebutuhan perang Jepang.
Pada tahun 1945 barulah tercipta suatu karya poster yang berjudul “Boeng
Ajo Boeng” yang merupakan pembangkit nasionalime masyarakat menjelang
pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno-Hatta. Poster ini dibuat oleh anggota
pribumi Keimin Bunka Shidosho dari ide Soekarno. Affandi sebagai pembuat
gambar, Dullah sebagai model, S. Sudjono membuat lay-out, dan Chairil Anwar
yang membuat slogan “Boeng Ajoe Boeng”. Poster tersebut diperbanyak dan di
sebarluaskan dalam masyarakat, mereka terpengaruh oleh poster tersebut dan
muncullah nasionalisme dalam diri masing-masing untuk melepaskan diri dari
107
penguasa asing. Hal ini terbukti dari antusias masyarakat pada saat proklamasi
kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir. Soekarno. Penyebaran poster-poster
berbau nasionalis seperti poster “Boeng Ajoe Boeng” semakin marak setelah
proklamasi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Memasuki tahun 1946 di era kemerdekaan dan revolusi fisik, pengaruh
dari mantan seniman pribumi Keimin Bunka Shidosho ini semakin terlihat.
Karena mereka belajar dari Keimin Bunka Shidosho mempergunakan karya
mereka untuk mempropaganda atau menghimpun massa, dalam konteks pada
waktu itu hal ini berguna untuk mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia. Poster-poster kemerdekaan dan tulisan-tulisan anti pemerintah asing
seperti “Freedom For All Nation”, “Mateni Londo Mlebu Swargo” dan “Merdeka
Ataoe Mati” menghiasi jalanan Indonesia yang bertujuan untuk mengajak
masyarakat bersama dalam menegakkan kemerdekaan. Tidak hanya dalam bentuk
karya yang mereka sumbangkan bahkan para seniman ini pun turut mengangkat
senjata. Tidak dapat dipungkiri bahwa cara seniman untuk mempertahankan
Indonesia ini merupakan warisan yang mereka dapatkan pada saat bergabung di
Keimin Bunka Shidosho.
108
DAFTAR PUSTAKA
A. Arsip:
Dai Nippon Gunseibu, Oendang-Oendang Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon No. 1, Betawi, Juni 1942.
Dai Nippon Gunseibu, Oendang-Oendang Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon No. 2, Betawi, Juni 1942.
B. Buku:
Aiko Kurasawa. 1993. Mobilisasi Dan Kontrol Studi Tentang Perubahan Sosial Di Perdesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo.
Altheide, David L. & Johnson, John M. 1980. Bureaucratic Propaganda. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Fandy Hutari. 2009. Sandiwara Dan Perang: Politisasi Terhadap Aktivitas Sandiwara Modern Masa Jepang. Yogyakarta: Ombak.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press.
G. Moedjanto. 1988. Indonesia Abad Ke-20 1 Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggajati. Yogyakarta: Kanisius.
H. B. Jassin. 1985. Kesusasteraan Indonesia Masa Jepang. Jakarta: PT Balai Pustaka.
Keimin Bunka Shidosho. 1943. Keboedajaan Timoer. Jakarta: Keimin Bunka Shidosho.
Keimin Bunka Shidosho. 1944. Keboedajaan Timoer II. Jakarta: Keimin Bunka Shidosho.
Keimin Bunka Shidosho. 1945. Keboedajaan Timoer III. Jakarta: Keimin Bunka Shidosho.
Ken’ichi Goto. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Nugroho Notosusanto. 1979. Tentara Peta pada jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Penerbitan Sejarah Lisan, No. 4. Di Bawah Pendudukan Jepang Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya, tahun 1988, Koleksi Arsip Nasional Indonesia.
Panitia Pameran Kias. 1990. Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Zaman Sejarah Hingga Masa Kini, Jakarta: Panitia Pameran Kias.
109
Poesponegoro Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: PT Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Santoso Sastropoetro. 1991. Propaganda : Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa. Bandung: Alumni.
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Siti adiyati. 1992. Seni Lukis Indonesia Pada Masa Jepang. Jakarta: Simposium Sejarah Indonesia Modern.
Prof. Dr. Slamet Muryana. 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid II. Yogyakarta.
Capt. R. P. Suyono. 2005. Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Teeuw, Prof. Dr. A. 1990. Pokok dan Tokoh Dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Yogyakarta: Yayasan Pembangunan.
C. Skripsi:
Agus Syamsuddin. 1994. Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) di Jawa pada masa pendudukan Jepang 1942-1945. Jakarta: Universitas IndonesiaFakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
D. Surat Kabar Harian / Majalah Sezaman:
Asia Raja. 7 oktober 1942.
Asia Raja. 24 Juli 1943.
Asia Raja. 18 Desember 1944.
Asia Raja. 31 Juli 1943.
Asia Raja. 14 Juli 1944.
Asia Raja. 2 Februari 1945.
Asia Raja. 22 Mei 1943.
Asia Raja. 29 Mei 1943.
Asia Raja. 23 Februari 1944.
Asia Raja. 12 Juni 1945.
Djawa Baroe. 15 April 1943.
Djawa Baroe. 15 Januari 1945.
110
Djawa Baroe. 12 Desember 1944.
Djawa Baroe. 1 Oktober 1944.
Djawa Baroe. 1 Januari 1943.
Panji Pustaka. 3 Oktober 1942.
Sinar Matahari. 2 Februari 1945.
Sin Po. 4 Februari 1942.
Sin Po. 21 Januari 1942.
Thahaja. 9 Desember 1943.
Thahaja. 5 Mei 1943.
Tjahaja. 3 Februari 1944.
Tjahaja. 26 Oktober 1943.
Tjahaja. 19 April 1943.
Thahaja. 6 April 1943.
E. Website.
http://nurkasim49.blogspot.com/2011/12/iv.html (diakses pada tanggal 16 April 2016).
https://id.wikipedia.org/wiki/Armijn_Pane (diakses pada tanggal 27 Januari 2016).
http://www.krjogja.com/web/news/read/259554/serukan_kejayaan_maritim_melalui_teater (diakses pada tanggal 27 Januari 2016).
https://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme (diakses pada tanggal 30 Januari 2016).https://www.youtube.com/watch?v=bjrMSPtEN9Q (diakses pada tanggal 29
Januari 2016).https://www.youtube.com/watch?v=OHVA3jA79L8 (diakses pada tanggal 29
Januari 2016).
LAMPIRAN
112
Lampiran 1
Oendang-oendang No. 1 Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon.
Sumber : Dai Nippon Gunseibu, Oendang-Oendang Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon No. 1, Betawi, Juni 1942 koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
113
Lampiran 2
Oendang-oendang No. 2 Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon.
Sumber : Dai Nippon Gunseibu, Oendang-Oendang Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon No. 2, Betawi, Juni 1942, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
114
Lampiran 3
Poesat Keboedajaan.
Sumber :Koran “Tjahaja” Selasa, 6 April 1943, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
115
Lampiran 4
Poesat Keboedajaan Melangkah.
116
Sumber :Majalah “Djawa Baroe” 15 April 1943, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
117
Lampiran 5
Rapat-rapat Istimewa Pertemoean Besar Kesenian.
Sumber :Koran “Asia Raja” 11 Maret 1943, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
118
Lampiran 6
Doea Tahoen Masa Pembangunan di Asia.
119
Sumber :Koran “Tjahaja” 2 Desember 1943, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
120
Lampiran 7
Warta-warta Keboedajaan I
121
122
123
Sumber :Buku “Keboedajaan Timoer I” koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
124
Lampiran 8
Warta-warta Keboedajaan II
125
126
Sumber :Buku “Keboedajaan Timoer II” koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
127
Lampiran 9
Warta-warta Keboedajaan III
128
129
130
Sumber :Buku “Keboedajaan Timoer III” koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
131
Lampiran 10
Pertoendjoekan Loekisan di Djawa
132
Sumber :Majalah “Djawa Baroe” 1 Mei 1943, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
133
Lampiran 11
Osamu Serei No. 6 Pengawasan Penerbitan
134
135
Sumber :Koran “Tjahaja” 3 Februari 1944, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
136
Lampiran 12
Peraturan Dasar Gerakan Djawa Hookookai jang Baroe
137
Sumber :Koran “Sinar Matahari” 2 Februari 1945, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.
138
Lampiran 13
Kumpulan Puisi Tahun 1944
Sumber :Majalah “Djawa Baroe” 1 Oktober 1944, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia.