Upload
vankien
View
243
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
i
PERBANDINGAN AKUNTANSI ASET BIOLOJIK
SEBAGAI PERSEDIAAN MENURUT
IAS 41 DAN PSAK 14
Oleh:
CITRA ANGGITA WARDANTI
NIM: 232010201
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan-persyaratan untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi
FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
ii
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Jalan Diponegoro 52-60
Telp: (0298) 321212, 311881
Telex 22364 uksw
Salatiga 50711 – Indonesia
Fax. (0298) – 21433
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Citra Anggita Wardanti
NIM : 232010201
Program Studi : AKUNTANSI
Fakultas Ekonomika Dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi
Judul : Perbandingan Akuntansi Aset Biolojik sebagai Persediaan
menurut IAS 41 dan PSAK 14
Pembimbing : Supatmi, SE., M.Ak., Akt
Tanggal Diuji : 24 Januari 2014
adalah benar hasil karya saya.
Di dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain
yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau
symbol yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan
pada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan
orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi sesuai
peraturan yang berlaku di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga, termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Salatiga, 8 Januari 2014
Yang memberi pernyataan,
CITRA ANGGITA WARDANTI
iii
PERBANDINGAN AKUNTANSI ASET BIOLOJIK
SEBAGAI PERSEDIAAN MENURUT
IAS 41 DAN PSAK 14
Oleh:
CITRA ANGGITA WARDANTI
NIM: 232010201
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan-persyaratan untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi
FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : AKUNTANSI
Disetujui oleh:
Supatmi, SE., M.Ak., Akt
Pembimbing
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya tulis skripsi ini kepada :
Ibuku tercinta Nurwanti
Ayahku tercinta Wardi
Adikku tersayang Yusuf Nur Arifin
Seluruh keluarga besarku yang selalu mendukung
Orang terkasih yang sangat berperan dalam perjalanan hidupku
Sahabatku Timotius Agung dan Garry Christ yang telah
memberikan pengalaman belajar luar biasa
Teman-teman yang senantiasa membantu, memberikan semangat,
& mendoakan
v
MOTTO
Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(QS. Al-Baqarah: 286)
The difference between a successful person and others is not a lack of strength, not a lack
of knowledge, but rather a lack of will.
(Vince Lombardi)
You become what you believe.
(Oprah Winfrey)
vi
ABSTRACT
Indonesia has been under full adoption of international accounting standards named
IFRS (International Financial Accounting Standards). One standard of IFRS is IAS
41 which deals with agricultural activity, until research is done has not been adopted
by the IAI (Indonesian Institute of Accountants). Indonesia is an agricultural country
and many companies in Indonesia are engaged in agriculture. The purpose of this
research is to compare the accounting treatment of biological assets as inventory
based on IAS 41: Agriculture with PSAK 14 on Inventory includes definition of
biological assets, recognition, measurement and disclosure. The data obtained by the
study of literature and case studies on a cattle farm. The results of this study indicate
that biological assets as inventories (Consumable Biological Assets) is more
appropiate to put in the scope of IAS 41 compared with PSAK 14, so the Indonesian
accounting regulators should adopt these standards. However, if IAS 41 are not
adopted, PSAK 14 have been able to organize the biological assets as inventories
with addition of an explanation on the definition, recogniton, measurement, and
disclosure on inventory.
Keywords: Consumable Biological Assets, IAS 41, PSAK 14
vii
SARIPATI
Indonesia telah berada dalam tahap adopsi penuh standar akuntansi internasional
IFRS (International Financial Accounting Standard). Salah satu standar IFRS adalah
IAS 41 yang membahas tentang aktivitas agrikultur, sampai penelitian ini dilakukan
belum diadopsi oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia). Indonesia merupakan negara
agraris dan banyak perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang agrikultur.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan perlakuan akuntansi aset
biolojik sebagai persediaan berdasarkan IAS 41: Agriculture dengan PSAK 14
tentang Persediaan meliputi definisi aset biolojik, pengakuan, pengukuran, dan
pengungkapannya. Data diperoleh dengan cara studi literatur serta studi kasus di
suatu peternakan sapi. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa aset biolojik
sebagai persediaan (Consumeable Biological Asset) lebih baik diatur oleh IAS 41
dibandingkan PSAK 14, sehingga sebaiknya regulator akuntansi Indonesia
mengadopsi standar tersebut. Namun apabila standar tersebut tidak diadopsi, PSAK
14 tentang Persediaan sudah mampu mengatur aset biolojik sebagai persediaan
dengan penambahan penjelasan pada definisi, pengakuan dan pengukuran, serta
pengungkapan persediaan.
Kata kunci: Persediaan, Aset Biolojik, IAS 41, PSAK 14
viii
KATA PENGANTAR
Akuntansi merupakan alat yang bisa digunakan suatu perusahaan untuk
melaporkan seluruh aktivitasnya. Adanya standar pelaporan akuntansi internasional
yaitu IFRS mengakibatkan Laporan Keuangan semua perusahaan bisa dibandingkan
dengan perusahaan lainnya yang bertujuan untuk menarik investor. Pengadopsian
standar tersebut pasti tidak mudah bagi semua negara dikarenakan masing-masing
negara memiliki budaya yang berbeda-beda.
Indonesia pun masih dalam tahap konvergensi standar IFRS dan salah satu
standar yang belum diadopsi yaitu IAS 41 tentang aktivitas agrikultur. Padahal
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan sumber daya alam. Begitu juga
negara yang menjadikan aktivitas agrikultur sebagai ujung tombak
perekonomiaannya tentunya perlu untuk mengadopsi IAS 41. Penelitian ini
bertujuan untuk membandingkan perlakuan akuntansi sebagai persediaan menurut
IAS 41 sebagai standar akuntansi keuangan internasional dan PSAK 14 sebagai
standar akuntansi keuangan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan
pertimbangan regulator akuntansi untuk mengadopsi IAS 41 dan memberikan
manfaat oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Tiada orang yang memiliki kesempurnaan. Penulis pun menyadari bahwa di
dalam penelitian ini terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu
penulis akan selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun dari
pembaca.
Salatiga, Januari 2014
Penulis
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dan terima kasih kepada Allah SWT karena senantiasa
melimpahkan rahmatNya untuk memberikan motivasi, ide, inspirasi, dan
bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi berjudul
“Perbandingan Akuntansi Aset Biolojik sebagai Persediaan menurut IAS 41 dan
PSAK 14” ini dengan baik.
Terima kasih yang tulus kepada Ayahku Wardi, Ibuku Nurwanti, Adikku
Yusuf Nur Arifin yang selalu mendukung, memotivasi, dan memberikan kekuatan.
Terima kasih kepada Bapak Hari Sunarto, SE., MBA. PhD selaku Dekan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana. Bapak Usil Sis
Sucahyo, SE., MBA. selaku Ketua Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan
Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana. Ibu Supatmi, SE., M.Ak., Akt selaku
pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan
masukan, bimbingan dan saran maupun kritik yang bermanfaat bagi penulis. Ibu
Yeterina Widi Nugrahanti, SE., M.Acc, Akt selaku wali studi yang membimbing
selama menempuh studi.
Terima kasih Seluruh staf pengajar FEB-UKSW yang telah memberikan ilmu
dan pengetahuan kepada penulis selama menempuh studi. Seluruh staf TU FEB-
UKSW yang telah membantu penulis dalam pengurusan administrasi. Untuk dosen-
dosen pembimbing lomba akuntansi Mbak Ery, Ko Paskah, Ko Ari, Mbak Gustin,
Mbak Pat, Mas Yus yang telah mendukung penulis dalam persiapan mengikuti
perlombaan.
x
Terima kasih Bapak Drs. Agna Sulis Krave, M.Sc, Ph.D yang telah
memberikan informasi berharga tentang peternakan miliknya “Neo Farming” untuk
mendukung penulisan skripsi ini.
Sahabat luar biasa Timotius Agung, Garry Christ, Susanah yang memberikan
pengalaman berharga mengikuti perlombaan akuntansi.
Terima kasih untuk kebersamaannya dan dukungannya sahabat baik dan
senasib seperjuangan seangkatan, Noveni Christi, Dimas Cimol, Kenneth Abhimata,
Yonathan Kusuma, Marcellinus, Kristaka, Diana Novita, Joko, Armarion, Venza,
Momod, Adi Tunggul, Karina, Luluk, Wahyu, Rara, Munk.
Terima kasih teman-teman Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis
periode 2012-2013, Wika, Shidqi, Arron, Tori, Navika, Titin, Gita, Bara, Lio,
Yulius, Yudha, Ronald yang memberikan pengalaman organisasi yang
menyenangkan. Terima kasih kepada teman-teman Korps Asisten Fakultas
Ekonomika dan Bisnis.
Terima kasih banyak untuk Orang terkasih yang mencurahkan dukungannya,
waktunya, tenaganya tanpa henti.
Semua teman yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu tetap semangat
dan terima kasih atas bantuannya selama kuliah, kepanitian, dan kegiatan di fakultas
maupun universitas. Untuk semua sahabat, saudara, dan teman semoga Allah SWT
senantiasa selalu melimpahkan karunia serta rahmatNya kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Salatiga, Januari 2014
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................. i
Surat Pernyataan Keaslian Skripsi .................................................................. ii
Halaman Persetujuan ........................................................................................ iii
Halaman Persembahan . ................................................................................... iv
Halaman Motto ................................................................................................ v
Abstract . .......................................................................................................... vi
Saripati . ........................................................................................................... vii
Kata Pengantar . ............................................................................................... viii
Ucapan Terima Kasih . ..................................................................................... ix
Daftar Isi .......................................................................................................... xi
Daftar Tabel . ................................................................................................... xiii
Daftar Gambar . ................................................................................................ xiv
Daftar Lampiran . ............................................................................................. xv
1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
2. METODE PENELITIAN ......................................................................... 6
Teknik Analisis ....................................................................................... 7
Sistematika Penulisan ............................................................................. 8
3. ASET BIOLOJIK ...................................................................................... 8
4. INTERNATIONAL ACCOUNTING STANDARD (IAS) 41:
AGRICULTURE ASSETS ....................................................................... 16
Consumable Biological Assets (CBA) .................................................... 20
xii
5. STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN (SAK) DI INDONESIA
TERKAIT PERSEDIAAN ASET BIOLOJIK ....................................... 22
6. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ........................................................... 34
Tujuan, Skopa, dan Definisi (Objectives, Scope, and Definition) .......... 50
Pengakuan dan Pengukuran (Recognition and Measurement) ............... 52
Pengungkapan (Disclosure) .................................................................... 72
7. KESIMPULAN .......................................................................................... 74
Saran ....................................................................................................... 76
Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 77
Daftar Pustaka .................................................................................................... 79
Lampiran-lampiran ........................................................................................... 82
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Aset Biolojik, Produk Agrikultur, dan Hasil Pengolahan setelah Panen .. 3
Tabel 2 Perbandingan Perlakuan Akuntansi Aset Biolojik sebagai Persediaan
menurut IAS 41 dan PSAK 14 .................................................................. 28
Tabel 3 Perbedaan Perlakuan Akuntansi Aset Biolojik sebagai Persediaan menurut
IAS 41 dan PSAK 14 ................................................................................ 33
.....
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Pengukuran Persediaan Aset Biolojik .................................................. 59
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Pertanyaan Wawancara....................................................... 76
Lampiran 2 Daftar Riwayat Hidup.................................................................... 78
1
1. PENDAHULUAN
Konvergensi IFRS (International Financial Reporting Standard) di Indonesia
pada tahun 2012 menyebabkan perusahaan go public di Indonesia seharusnya
mengadopsi standar akuntansi keuangan internasional tersebut. Salah satunya adalah
IAS (International Accounting Standard) 41 tentang Agriculture yang merupakan
salah satu standar yang paling kontroversial mulai periode akuntansi 1 Januari 2003
(Bhakir, 2010). IFRS bertujuan agar laporan keuangan tahunan perusahaan
menghasilkan informasi handal bagi penggunanya yaitu informasi dimana: (1) Dapat
diperbandingkan selama periode yang disajikan dan memiliki transparansi untuk
penggunanya, (2) Menghasilkan titik pertama yang memadai untuk akuntansi
berbasis IFRS, (3) Mengandung manfaat yang lebih banyak untuk pengguna dengan
biaya yang lebih rendah (Gamayuni, 2009). Ini merupakan alasan beberapa pihak
yang setuju dengan pengadopsian penuh IFRS di Indonesia, termasuk standar IAS 41.
Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memiliki berbagai sumber
daya alam dengan lahan agrikultur mencapai 31.000.000 hektar (Departemen
Pertanian, 2011). Berdasarkan data statistik tahun 2001 sebanyak 45% penduduk
Indonesia bermata pencaharian sebagai petani atau bekerja di bidang agrikultur.
Pertanian Indonesia menghasilkan berbagai komoditi ekspor seperti padi, jagung,
kedelai, sayur-sayuran, cabai, ubi, dan singkong. Selain itu Indonesia juga dikenal
dengan hasil pekebunannya, seperti kelapa sawit, karet, tembakau, dan kapas. Usaha
agrikultur yang banyak dilakukan investor di Indonesia adalah usaha perkebunan,
2
dengan banyaknya perusahaan perkebunan yang berada di Indonesia. Luas lahan
perkebunan pun menurut Badan Pusat Statistik (2012) mengalami peningkatan dari
tahun 2009 – 2011.
Sebagian besar perusahaan di Indonesia bergerak di bidang pertanian maupun
perkebunan, sehingga sebagian besar asetnya merupakan aset biolojik. Aset biolojik
adalah aset yang unik, karena mengalami transformasi pertumbuhan bahkan setelah
aset biolojik menghasilkan output. Dalam praktiknya, karena karakteristiknya yang
unik, perusahaan yang bergerak di bidang agrikultur mempunyai kemungkinan untuk
menyampaikan informasi yang lebih bias dan manipulatif karena menggunakan fair
value dalam pengukuran asetnya, sebab terdapat banyak penilaian subjektif,
dibandingkan dengan perusahaan yang bergerak di bidang lain yang asetnya memiliki
historical cost (Elad dan Herbohn, 2011).
Aset biolojik dapat menghasilkan aset baru yang terwujud dalam agricultural
produce atau berupa tambahan aset biolojik dalam kelas yang sama. Karena
mengalami transformasi biolojik maka diperlukan pengukuran yang dapat
menunjukkan nilai dari aset tersebut secara wajar sesuai dengan kontribusinya dalam
menghasilkan aliran keuntungan ekonomis bagi perusahaan.
Menurut IAS 41, aset biolojik dibedakan menjadi dua, yaitu diperlakukan
sebagai aset tetap, sebagai misal, sapi perah yang diambil susunya, maka sapi perah
ini dikategorikan sebagai aset tetap. Kedua, aset biolojik bisa dianggap sebagai
3
persediaan apabila dengan menggunakan contoh diatas, sapi tersebut yang
diperjualbelikan adalah dagingnya, jadi sapi pedaging tersebut bisa dianggap sebagai
persediaan aset biolojik.
Di bawah ini merupakan contoh dari aset biolojik sebagai persediaan, hasil
agrikultur, dan produk setelah pengolahan, menurut IAS 41 paragraf 4 (2009):
Tabel 1
Aset Biolojik, Produk Agrikultur, dan Hasil Pengolahan setelah Panen
Aset Biolojik Produk Agrikultur Hasil Pengolahan setelah
Panen
Domba Daging Domba Sosis
Pohon di Perkebunan Kayu yang ditebang Kayu Gelondongan, Mebel
Tanaman Tebu Tebu yang dipanen Gula
Sapi Pedaging Daging Sapi Sosis Sapi
Babi Daging Babi Sosis, Daging Ham Kering
Tanaman Teh Daun Teh Teh Kering
Ayam Pedaging Daging Sosis Ayam, Nugget
Sumber: IAS 41
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa aset biolojik merupakan aset yang bisa
bertumbuh dan berkembang seperti makhluk hidup. Seperti yang dijelaskan pada
paragraf 6 IAS 41, yang membedakan aset biolojik dengan aset lainnya adalah
kemampuan untuk berubah melalui transformasi biolojik, manajemen yang
menfasilitasi perubahan ini, serta pengukuran untuk perubahan biolojik secara
kualitas dan kuantitasnya.
4
Di Indonesia, perlakuan akuntansi aset biolojik sebagai aset tetap tertuang dalam
PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) 16 dan perlakuan akuntansi aset
biolojik sebagai persediaan telah diakomodir oleh PSAK 14. Khususnya untuk aset
biolojik sebagai persediaan yang ada di PSAK 14 di Indonesia, akan ditelusur lebih
lanjut apakah PSAK 14 sudah mengakomodir persediaan untuk aset biolojik. Lain
halnya dengan pedoman internasional, IAS 41, yang dikhususkan untuk aset biolojik,
baik aset biolojik sebagai aset tetap maupun sebagai persediaan. Di dalam IAS 41
telah mengakomodir perlakuan akuntansi aset biolojik baik sebagai aset tetap ataupun
persediaan, akan tetapi jika diterapkan di Indonesia, apakah IAS 41 ini akan
melengkapi ataukah akan berseberangan dengan PSAK 14, masih menjadi
perdebatan.
IAS 41 sebenarnya merupakan ganjalan bagi Indonesia, Malaysia, dan India
dalam mengadopsi penuh IFRS (www.iaiglobal.or.id, 2013). Saat ini standar IAS 41
sedang ditelaah ulang oleh IASB sebab ada beberapa peraturan yang sulit
diaplikasikan oleh industri perkebunan. Malaysia bersikeras bahwa revisi IAS 41:
Agriculture yang sedang digodok oleh IASB sangat sulit diaplikasikan di industri
perkebunan. Pihak kontra mengatakan bahwa penerapan yang sulit dilakukan adalah
penggunaan fair value untuk mengukur aset biolojik yang belum dipanen. Misalkan
untuk kelapa sawit, dalam 2000 hektar kebun kelapa sawit bisa memiliki umur pohon
yang berbeda-beda dan jenis genetik pohonnya juga berbeda, sehingga sulit untuk
melakukan pengukuran aset secara keseluruhan.
5
Pada penelitian sebelumnya oleh Klaas (2013) yang membandingkan perlakuan
akuntansi aset biolojik menurut IAS 41 dan PSAK 16 tentang Aset Tetap diketahui
bahwa aset biolojik sebagai aset atau Bearer Biological Asset (BBA) lebih cocok
apabila dinaungi IAS 16 Property, Plant, Equipment yang telah diadopsi dalam
PSAK 16 tentang Aset Tetap di Indonesia. Sedangkan IAS 41 lebih relevan
diterapkan untuk kelompok aset biolojik sebagai persediaan atau Consumable
Biological Asset (CBA). Maka dari itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui lebih khusus perlakuan persediaan aset biolojik menurut IAS 41, sebagai
standar akuntansi keuangan internasional, dan PSAK 14, sebagai standar yang
digunakan di Indonesia. Selain hal itu, tujuan penelitian ini untuk mengetahui
perbandingan antara perlakuan persediaan aset biolojik berdasarkan IAS 41 dengan
PSAK 14 tentang Persediaan meliputi definisi aset biolojik, pengakuan, pengukuran,
dan pengungkapannya. Selanjutnya melalui penelitian ini bisa diketahui apakah
standar akuntansi keuangan internasional IAS 41 tentang Agriculture layak untuk
diadopsi oleh DSAK-IAI (Dewan Standar Akuntansi Keuangan-Ikatan Akuntan
Indonesia) ke dalam standar akuntansi keuangan PSAK 14 tentang persediaan di
Indonesia. Namun apabila DSAK-IAI tidak mengadopsi IAS 41 maka akan diusulkan
hal-hal yang perlu ditambahkan pada PSAK 14 tentang Persediaan supaya bisa
mengakomodir perlakuan akuntansi untuk aset biolojik sebagai persediaan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak,
antara lain kepada DSAK selaku penyusun standar akuntansi di Indonesia, sebagai
6
bahan masukan bagi DSAK apakah perlu menerapkan IAS 41 dalam PSAK di
Indonesia. Selanjutnya bagi perusahaan agrikultur di Indonesia, penelitian diharapkan
bisa menjadi bahan pertimbangan dalam penilaian persediaan aset biolojik di masa
yang akan datang apabila DSAK menerapkan IAS 41 di Indonesia. Sementara bagi
bidang akademik, melalui hasil penelitian ini nantinya akan memperkaya kajian
literatur mengenai persediaan aset biolojik.
2. METODE PENELITIAN
Untuk mendapatkan data-data sehubungan dengan penelitian ini, maka penelitian
ini menggunakan metode studi literatur atau penelitian kepustakaan (library
research). Studi literatur adalah dokumentasi dari tinjauan menyeluruh terhadap
karya publikasi dan nonpublikasi dari sumber sekunder dalam bidang minat khusus
bagi peneliti (Sekaran, 2006: 82). Penelitian ini menggunakan studi literatur dengan
cara memahami dengan baik teori yang menyangkut pokok permasalahan yang
diteliti dengan cara mengkaji dan menelaah standar akuntansi keuangan internasional
yaitu IAS 41: Agriculture, standar di Indonesia yaitu PSAK 14 tentang Persediaan,
jurnal penelitian terkait isu IAS 41, buku-buku akuntansi seperti buku Intermediate
Accounting (Kieso et al. 2011) serta artikel-artikel yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian yang berasal dari website Ikatan Akuntan Indonesia
(www.iaiglobal.or.id).
7
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan data sekunder, yaitu data yang
diperoleh melalui dokumen-dokumen atau artikel-artikel yang berkaitan dengan
penulisan berupa laporan keuangan serta catatan-catatan mengenai pengakuan dan
pengukuran aset biolojik. Data yang dimaksud berasal dari International Accounting
Standard yang berlaku internasional, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku di Indonesia, jurnal penelitian, serta data dari diskusi-diskusi di website
Ikatan Akuntan Indonesia (www.iaiglobal.or.id). Penelitian ini juga melakukan studi
kasus pada suatu peternakan sapi bernama “Neo Farming” yang terletak di Getasan,
Kabupaten Semarang sebagai gambaran praktik perlakuan akuntansi untuk aset
biolojik. Data yang didapat merupakan data primer yang diperoleh langsung melalui
wawancara kepada pemilik. Wawancara tersebut meliputi aspek pengakuan dan
pengukuran aset biolojik sebagai persediaan yaitu sapi.
Teknik Analisis
Untuk menjawab rumusan masalah, maka metode analisis yang digunakan adalah
metode analisis deskriptif kualitatif. Dengan metode analisis deskriptif kualitatif, data
yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan mengkaji, memaparkan,
menelaah, dan menjelaskan data-data yang diperoleh dari berbagai artikel ilmiah
untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang proses perlakuan
akuntansi persediaan aset biolojik berdasarkan IAS 41 dan PSAK 14. Langkah
analisisnya yaitu mengkomparasikan definisi, proses pengakuan, pengukuran, serta
pengungkapan persediaan aset biolojik berdasarkan IAS 41 dan PSAK 14.
8
Selanjutnya akan dilakukan analisis perlakuan akuntansi menurut IAS 41 pada suatu
contoh soal tentang persediaan aset biolojik. Kemudian dilakukan penjabaran praktik
akuntansi aset biolojik sebagai persediaan di peternakan sapi “Neo Farming” di
Getasan, Kabupaten Semarang.
Sistematika Penulisan
Di bagian pertama penelitian ini akan dijelaskan mengenai fenomena tentang
IAS 41 pada IFRS, pengadopsian IAS 41 di Indonesia, serta belum adanya standar
khusus di Indonesia untuk aset biolojik sebagai persediaan. Kemudian bagian kedua
dijabarkan juga untuk metode penulisan, teknik penulisan, dan sistematika penulisan
dalam penelitian ini.
Di bagian ketiga terdapat penjabaran aset biolojik secara keseluruhan. Di bagian
keempat akan membahas perlakuan persediaan aset biolojik menurut IAS 41. Pada
bagian kelima akan dijelaskan perlakuan persediaan aset biolojik menurut PSAK 14
di Indonesia. Selanjutnya di bagian keenam terdapat analisis dan pembahasan
perlakuan akuntansi menurut IAS 41 dan PSAK 14. Sebagai penutup di bagian
ketujuh berisi kesimpulan dan hambatan penelitian.
3. ASET BIOLOJIK
Definisi aset dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan paragraf 49 (2009) yang berlaku di Indonesia disebutkan bahwa, aset
9
adalah sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari peristiwa masa
lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh
perusahaan. IASB mendefinisikan aset dalam Framework for the Preparation and
Presentation of Financial Statements paragraf 49, adalah an asset is a resource
controlled by the entity as a result of past event and from which future economic
benefits are expected to flow to an entity.
Aset dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, seperti aset berwujud
dan tidak berwujud, aset tetap dan tidak tetap. Secara umum klasifikasi aset pada
neraca dikelompokkan menjadi aset lancar (current assets) dan aset tidak lancar
(noncurrent assets) (IAS 1, par. 60, 2011).
Pada IAS 1 paragraf 66 (2011) aset lancar (current assets) merupakan aset yang
berupa kas dan aset lainnya yang dapat diharapkan akan dapat dikonversi menjadi
kas, atau dikonsumsi dalam satu tahun atau dalam satu siklus operasi, tergantung
mana yang paling lama. Aset yang termasuk aset lancar seperti kas, persediaan,
investasi jangka pendek, piutang, beban dibayar di muka, dan lain sebagainya.
Sedangkan aset tidak lancar (noncurrent assets) merupakan aset yang tidak mudah
untuk dikonversi menjadi kas atau tidak diharapkan untuk dapat menjadi kas dalam
jangka waktu satu tahun atau satu siklus produksi (IAS 1: 66). Aset yang termasuk
aset tidak lancar seperti investasi jangka panjang, aset tetap, aset tak berwujud
(intangible assets) dan aset lain-lain.
10
Aset biolojik merupakan jenis aset berupa hewan dan tumbuhan hidup, seperti
yang didefinisikan dalam IAS 41: “Biological asset is a living animal or plant”,
dengan kata lain aset biolojik adalah tanaman pertanian atau hewan ternak yang
dimiliki oleh perusahaan yang diperoleh dari kegiatan masa lalu. Karakteristik khusus
yang membedakan aset biolojik dengan aset lainnya yaitu bahwa aset biolojik
mengalami transformasi biolojik. Tranformasi biolojik merupakan proses
pertumbuhan, degenerasi, produksi, dan prokreasi yang disebabkan perubahan
kualitatif dan kuantitatif pada makhluk hidup dan menghasilkan aset baru dalam
bentuk produk agrikultur atau aset biolojik tambahan pada jenis yang sama.
Dalam IAS 41 paragraf 5 (2009) tansformasi biolojik dijelaskan sebagai berikut
Biological transformation comprises the processes or growth, degeneration,
production, and procreation that cause qualitative or quantitative changes in a
biological asset. Berdasarkan jangka waktu transformasi biolojiknya, aset biolojik
dapat dikelompokkan menjadi dua jenis (Sedláček, 2010), yaitu:
a. Aset biolojik jangka pendek (short term biological assets). Aset biolojik yang
memiliki masa manfaat/masa transformasi biolojik kurang dari atau sampai 1
(satu) tahun.
b. Aset biolojik jangka panjang (long term biological assets). Aset biolojik yang
memiliki masa manfaat/masa tranformasi biolojik lebih dari 1 (satu) tahun.
11
Berdasarkan jenis aset biolojik tersebut, Sedláček (2010) menjelaskan aset
biolojik dalam laporan keuangan diklasifikasikan ke dalam aset lancar (current
assets) ataupun aset tidak lancar (noncurrent assets) tergantung dari masa
transformasi biolojik yang dimiliki oleh aset biolojik atau jangka waktu yang
diperlukan dari aset biolojik untuk siap dijual. Aset biolojik yang mempunyai masa
transformasi atau siap untuk dijual dalam waktu kurang dari atau sampai 1 (satu)
tahun, maka aset biolojik tersebut diklasifikasikan ke dalam aset lancar, biasanya
digolongkan ke dalam perkiraan persediaan atau aset lancar lainnya. Sedangkan, aset
biolojik yang mempunyai masa transformasi biolojik lebih dari 1 (satu) tahun
diklasifikasikan ke dalam aset tidak lancar, biasanya digolongkan ke dalam perkiraan
aset lain.
Makna pengakuan (recognition) pada Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan (par. 82, 2009) merupakan proses pembentukan suatu
pos yang memenuhi definisi unsur serta kriteria pengakuan dalam neraca atau laporan
laba rugi. Pengakuan dilakukan dengan menyatakan pos tersebut baik dalam kata-kata
maupun dalam jumlah uang dan mencantumkannya ke dalam neraca atau laporan laba
rugi. Pos yang memenuhi kriteria tersebut harus diakui dalam neraca atau laporan
laba rugi. Kelalaian untuk mengakui pos semacam itu tidak dapat diralat melalui
pengungkapan kebijakan akuntansi yang digunakan maupun melalui catatan atau
materi penjelasan.
12
Pos yang memenuhi definisi suatu aset harus diakui jika (Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, par. 83, 2009):
a. Ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang berkaitan dengan pos
tersebut akan mengalir dari atau ke dalam perusahaan; dan
b. Pos tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal.
Aset diakui dalam neraca kalau besar kemungkinan bahwa manfaat ekonominya
di masa depan diperoleh perusahaan dan aset tersebut mempunyai nilai atau biaya
yang dapat diukur secara andal (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan, par. 89, 2009). Sebaliknya, seperti tertuang dalam Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (par. 90, 2009), aset tidak diakui
dalam neraca kalau pengeluaran telah terjadi dan manfaat ekonominya dipandang
tidak mungkin mengalir ke dalam perusahaan setelah periode akuntansi berjalan.
Sebagai alternatif transaksi semacam ini menimbulkan pengakuan beban dalam
laporan laba rugi. Implikasi dari transaksi tersebut bahwa tingkat kepastian dari
manfaat-manfaat yang diterima perusahaan setelah periode akuntansi berjalan tidak
mencukupi untuk membenarkan pengakuan aset.
Pengukuran adalah proses penetapan jumlah uang untuk mengakui dan
memasukkan setiap unsur laporan keuangan dalam neraca dan laporan laba rugi serta
proses ini menyangkut pemilihan dasar pengukuran tertentu (Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, par. 99, 2009). Sejumlah dasar
13
pengukuran yang berbeda digunakan dalam derajat dan kombinasi yang berbeda
dalam laporan keuangan. Maka berbagai dasar pengukuran tersebut yang tertuang
dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (par. 100,
2009) adalah sebagai berikut:
a. Biaya historis. Aset dicatat sebesar pengeluaran kas (atau setara kas) yang
dibayar atau sebesar nilai wajar dari imbalan (consideration) yang diberikan
untuk memperoleh aset tersebut pada saat perolehan. Kewajiban dicatat
sebesar jumlah yang diterima sebagai penukaran dari kewajiban (obligation),
atau dalam keadaan tertentu (misalnya, pajak penghasilan), dalam jumlah kas
(atau setara kas) yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi
kewajiban dalam pelaksanaan usaha yang normal.
b. Biaya kini (current cost). Aset dinilai dalam jumlah kas (atau setara kas) yang
seharusnya dibayar bila aset yang sama atau setara aset diperoleh sekarang.
Kewajiban dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara kas) yang tidak
didiskontokan (undiscounted) yang mungkin akan diperlukan untuk
menyelesaikan kewajiban (obligation) sekarang.
c. Nilai realisasi/penyelesaian (realizable/settlement value). Aset dinyatakan
dalam jumlah kas (atau setara kas) yang dapat diperoleh sekarang dengan
menjual aset dalam pelepasan normal (orderly disposal). Kewajiban
dinyatakan sebesar nilai penyelesaian; yaitu, jumlah kas (atau setara kas) yang
14
tidak didiskontokan yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi
kewajiban dalam pelaksanaan usaha normal.
d. Nilai sekarang (present value). Aset dinyatakan sebesar arus kas masuk bersih
di masa depan yang didiskontokan ke nilai sekarang dari pos yang diharapkan
dapat memberikan hasil dalam pelaksanaan usaha normal. Kewajiban
dinyatakan sebesar arus kas keluar bersih di masa depan yang didiskontokan
ke nilai sekarang yang diharapkan akan diperlukan untuk menyelesaikan
kewajiban dalam pelaksanaan usaha normal.
e. Nilai wajar (fair value). Nilai aset dan kewajiban yang dapat berubah sesuai
kewajarannya pada pasar saat transaksi dilakukan atau neraca disiapkan.
Laporan keuangan harus mengungkapkan: (a) Kebijakan akuntansi yang
digunakan dalam pengukuran persediaan, termasuk rumus biaya yang dipakai; (b)
Total jumlah tercatat persediaan dan jumlah nilai tercatat menurut klasifikasi yang
sesuai bagi perusahaan; (c) Jumlah tercatat persediaan yang dicatat sebesar nilai
realisasi bersih (d) Jumlah dari setiap pemulihan dari setiap penurunan nilai yang
diakui sebagai penghasilan selama periode sebagaimana dijelaskan pada paragraf 28;
(e) Kondisi atau peristiwa penyebab terjadinya pemulihan nilai persediaan yang
diturunkan sebagaimana dijelaskan pada paragraf 28; dan (f) Nilai tercatat persediaan
yang diperuntukkan sebagai jaminan kewajiban.
15
Karakteristik kualitatif merupakan ciri khas yang membuat informasi dalam
laporan keuangan berguna bagi pengguna. Terdapat empat karakteristik kualitatif
pokok seperti yang dinyatakan dalam PSAK dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan (par. 24, 2009) yaitu: dapat dipahami, relevan,
keandalan, dan dapat diperbandingkan.
1. Dapat Dipahami
Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah
kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pengguna (Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, par. 25, 2009).
2. Relevan
Agar bermanfaat, informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan
pengguna dalam proses pengambilan keputusan (Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan, par. 26, 2009).
3. Keandalan
Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang
menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pengguna sebagai penyajian
yang tulus atau jujur (faithful representation) dan yang seharusnya atau yang secara
wajar diharapkan dapat disajikan (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
Laporan Keuangan, par. 31, 2009).
16
4. Dapat Dibandingkan
Pengguna harus dapat memperbandingkan laporan keuangan perusahaan antar
periode untuk mengidentifikasi kecenderungan (trend) posisi dan kinerja keuangan.
Pengguna juga harus dapat memperbandingkan laporan keuangan antar perusahaan
untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan secara
relatif (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, par. 39,
2009).
4. INTERNATIONAL ACCOUNTING STANDARD (IAS) 41:
AGRICULTURE ASSETS
IAS 41 adalah salah satu bagian standar IFRS yang mulai diberlakukan IASB
pada tanggal 1 Januari 2003. IAS 41 mengatur perlakuan akuntansi dari pengakuan,
pengukuran dan pengungkapan aset biolojik dan produk hasil agrikuktur pada saat
panen yang masih berkaitan dengan kegiatan agrikultur.
Standar sebelum IAS 41 tidak ada yang mengatur secara spesifik bagaimana
perlakuan akuntansi untuk aset biolojik. Sebagai contoh persediaan yang diatur oleh
IAS 2 tidak mengatur tentang produsen untuk hewan ternak yang dijual, hasil hutan,
serta aktivitas berkaitan dengan agrikultur. Kemudian IAS 16 tentang Property, Plant
and Equipment dan IAS 40 Investment Property tidak mengatur untuk aset biolojik
yang mengalami pertumbuhan seperti pohon. IAS 18 yaitu Revenue tidak terdapat
17
cara untuk mengakui pendapatan akibat dari pertumbuhan aset biolojik, misalnya sapi
dari kecil lalu menjadi besar dan menghasilkan susu.
Menurut paragraf 1 IAS 41, standar ini hanya mencakup pada tiga aktivitas
pertanian yaitu aset biolojik (biological assets), produk agrikultur pada saat
pemanenan (agricultural produce at the point of harvest), serta hibah pemerintah
(government grants) untuk kegiatan agrikultur. Sedangkan tanah untuk kegiatan
pertanian tidak tercakup dalam IAS 41, tetapi menggunakan IAS 16 Property, Plant
and Equipment and IAS 40 Investment Property, begitu juga dengan aset tak
berwujud yang terkait kegiatan pertanian merupakan cakupan dari IAS 38 Intangible
Assets.
IAS 41 di paragraf 5 mendefinisikan aset biolojik (biological asset) merupakan
tanaman dan hewan hidup. Sedangkan aktivitas agrikultur (agricultural activity)
adalah aktivitas manajemen suatu entitas untuk mengolah dari transformasi biolojik
dan panen aset biolojik sampai bisa dijual atau konversi aset biolojik ke produk
agrikultur atau menjadi aset biolojik bernilai tambah. Produk agrikultur (agricultural
produce) adalah produk hasil panen dari aset biolojik. Tranformasi biolojik
(biological transformation) diartikan sebagai proses perubahan dari aset biolojik
sampai bisa dipanen, yaitu proses pertumbuhan, degenerasi, produksi, dan prokreasi
yang menyebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif aset biolojik. Setelah
mengalami transformasi biolojik, aset biolojik akan menghasilkan produk agrikultur
18
yang terpisah dari aset biolojik sebagai bagian dari proses hidupnya yang dinamakan
panen (harvest).
Terdapat berbagai macam aset biolojik, akan tetapi tidak semua aset tersebut bisa
diakui sebagai aset biolojik. Berdasarkan IAS 41 paragraf 10, suatu entitas bisa
mengakui aset biolojik dan produk agrikultur apabila telah memenuhi syarat-syarat
berikut:
a) Entitas mengendalikan aset tersebut yang disebabkan oleh kejadian di masa
lalu;
b) Dimungkinkan adanya manfaat ekonomi di masa depan yang berhubungan
aset akan ada aliran kas ke entitas tersebut;
c) Nilai wajar (fair value) atau harga perolehan (cost) dari aset bisa diukur secara
handal.
Pada poin (a) disebutkan bahwa boleh ada pengakuan bila entitas mempunyai
control untuk aset biolojik. Pada aktivitas agrikultur, control bisa ditunjukkan dengan
bukti tertentu, misalnya surat kepemilikan untuk sapi, merk dagang, atau bukti lain
yang menunjukkan saat sapi dibeli, lahir, atau berhenti menyusu pada induknya (IAS
41: 11). Sedangkan untuk poin (b) yaitu manfaat ekonomi di masa depan, biasanya
diperkirakan dengan mengukur atribut-atribut fisik yang penting dari aset biolojik.
Pengukuran aset biolojik sebaiknya diukur pada pengakuan pertama serta pada setiap
akhir periode, dengan menggunakan fair value dikurangi biaya penjualan, kecuali
19
untuk kasus tertentu yang dijelaskan di paragraf 30 dimana fair value tidak bisa
diukur dengan handal. Jika nilai wajar tidak bisa diukur dengan handal maka
pengukuran produk agrikultur yang dipanen dari aset biolojik, diukur dengan cost
(biaya perolehan) dikurangi biaya penjualan waktu panen (point of harvest), seperti
pengukuran persediaan pada IAS 2 Inventories.
Menurut paragraf 17 IAS 41, nilai wajar dari aset biolojik dan produk agrikultur
diukur pada keadaan active market. Pasar aktif (active market) adalah pasar dimana
terdapat kondisi berikut (IAS 41: 8):
(a) Jenis barang yang diperdagangkan di pasar bersifat homogen (homogeneous);
(b) Pembeli dan penjual yang berminat bisa ditemukan kapan saja;
(c) Harga tersedia untuk umum.
Apabila active market tidak ada, maka entitas menggunakan salah satu cara di
bawah ini untuk menentukan nilai wajar (IAS 41: 18):
(a) Harga terbaru transaksi pasar, asalkan tidak ada perubahan signifikan
keadaan ekonomi antara tanggal transaksi dan periode akhir pelaporan;
(b) Harga pasar untuk aset sejenis dengan penyesuaian bila ada perbedaan;
(c) Pembandingan dengan sektor sejenis, misalnya nilai sapi dinyatakan dengan
harga per kilogram daging dan nilai perkebunan buah dinyatakan dalam
hektar.
20
Nilai wajar juga bisa diukur dengan harga perolehan (cost) aset biolojik ketika
hanya sedikit transformasi biolojik yang terjadi sejak awal dan imbas dari nilai
transformasi biolojik tidak material.
Keuntungan (gain) atau kerugian (loss) yang terjadi pada pengakuan awal aset
biolojik adalah selisih dari nilai wajar dan biaya penjualan atau dari perubahan nilai
wajar dikurangi biaya penjualan. Keuntungan atau kerugian ini harus diakui pada saat
periode terjadinya (IAS 41: 26) begitu juga untuk produk agrikultur (IAS 41: 28).
IAS 41 juga mengatur tentang hibah pemerintah (government grant) yang
berhubungan dengan aset biolojik di paragraf 31. Hibah pemerintah digolongkan
menjadi dua yaitu tanpa syarat dan bersyarat. Jika hibah tanpa syarat, diukur dengan
nilai wajarnya dikurangi biaya penjualan diakui sebagai keuntungan atau kerugian
hanya jika hibah pemerintah dapat diterima dan dicatat sebagai piutang. Jika hibah
tersebut bersyarat, pengukuran dengan nilai wajar dikurangi biaya penjualan
termasuk saat pemerintah meminta entitas tidak melakukan aktivitas tertentu, entitas
mengakui hibah pemerintah sebagai keuntungan atau kerugian hanya jika kondisi
yang disyaratkan bisa terpenuhi.
Consumable Biological Assets (CBA)
IAS 41 paragraf 44 mendefinisikan Consumable Biological Assets (CBA) adalah
aset biolojik yang akan dipanen sebagai agrikultur produk atau dijual sebagai aset
biolojik. Misalkan peternakan penghasil daging, hasil ternak untuk dijual, ikan di
21
peternakan, dan tanaman kayu yang langsung diambil manfaatnya. Sedangkan Bearer
Biological Assets (BBA) selain dari Consumable Biological Assets, bukan merupakan
produk agrikulturnya tetapi cenderung kepada self-regenerating. Sebagai contoh sapi
perah yang menghasilkan susu, ayam petelur yang telurnya dijual, dan tanaman
anggur yang diambil anggurnya.
Kadangkala Bearer Biological Assets bisa menjadi Consumable Biological
Assets. Contoh kasusnya, Pak Topan memiliki perusahaan yang memproduksi susu
bubuk. Dia mempunyai sapi perah yang menghasilkan susu yang nantinya akan
diproses menjadi susu bubuk. Sapi perah tersebut awalnya merupakan Bearer
Biological Assets karena dia bersifat seperti aset perusahaan tersebut. Suatu hari susu
bubuk produksi Pak Topan ternyata telah terkontaminasi, penjualan susu menurun
karena kepercayaan masyarakat berkurang. Kemudian Pak Topan berniat menjual
beberapa sapi perahnya untuk menutup kerugian. Pada saat sapi perah ini akan dijual,
sapi dianggap seperti persediaan berarti termasuk dalam Consumable Biological
Assets.
Selain pengklasifikasian di atas, IAS 41 menyarankan entitas untuk
mengklasifikan aset biolojik dibagi menjadi mature biological assets atau tanaman
yang sudah menghasilkan (Consumable Biological Assets) dan immature biological
assets yaitu tanaman yang belum menghasilkan (Bearer Biological Assets). Tujuan
pengklasifikasian ini untuk membantu entitas menilai berapa lama aliran kas di masa
mendatang.
22
5. STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN (SAK) DI INDONESIA TERKAIT
PERSEDIAAN ASET BIOLOJIK
PSAK 14 revisi 2008 mulai diterapkan untuk laporan keuangan pada tanggal 1
Januari 2009. PSAK 14 mengadopsi seluruh peraturan dalam IAS 2 (2003)
Inventories yang tertuang dalam Ruang Lingkup PSAK 14 Revisi 2008, akan tetapi
ada pengecualian untuk beberapa paragraf berikut:
1. IAS 2 paragraf 2(c) yang kemudian menjadi ED PSAK 14 paragraf 2(c)
karena IAS 41: Agriculture belum diadopsi.
2. IAS 2 paragraf 3(a) dihilangkan karena IAS 41: Agriculture belum diadopsi.
3. IAS 2 paragraf 4 dihilangkan karena IAS 41: Agriculture belum diadopsi.
4. IAS 2 paragraf 20 dihilangkan karena IAS 41: Agriculture belum diadopsi.
5. IAS 2 paragraf 40 yang menjadi ED PSAK 14 paragraf 39 mengenai tanggal
efektif.
6. IAS 2 paragraf 42 dihilangkan karena SIC-1: Consistency—Different Cost
Formulas for Inventories belum diadopsi.
Dari penjelasan pengecualian di atas ada keterangan bahwa IAS 41 belum
diadopsi jadi dapat diketahui bahwa PSAK 14 belum mengatur adanya aset biolojik
sebagai persediaan secara khusus.
Selain hal di atas, ruang lingkup dari Prinsip Standar Akuntansi Keuangan 14
(revisi 2008) yang menjadi pengecualian adalah:
23
(a) Pekerjaan dalam proses yang timbul dalam kontrak konstruksi, termasuk
kontrak jasa yang terkait langsung (lihat PSAK 34: Akuntansi Kontrak
Konstruksi);
(b) Persediaan yang terkait dengan real estat (lihat PSAK 44: Akuntansi
Aktivitas Perkembangan Real Estat);
(c) Instrumen keuangan (lihat PSAK 50: Instrumen Keuangan: Penyajian dan
Pengungkapan dan PSAK Instrumen Keuangan: Pengakuan dan
Pengukuran);
(d) Aset biolojik terkait dengan aktivitas agrikultur dan produk agrikultur
pada saat panen;
(e) Aset biolojik terkait dengan hasil hutan (lihat PSAK 32: Akuntansi
Kehutanan); dan
(f) Hasil tambang umum dan hasil tambang minyak dan gas bumi (lihat PSAK
33: Akuntansi Pertambangan Umum dan PSAK 29: Akuntansi Minyak dan
Gas Bumi).
Pada poin d telah dijelaskan bahwa persediaan aset biolojik belum diatur di
PSAK 14, jadi bisa dikatakan bahwa di dalam IAS 41 belum dijelaskan secara
spesifik bagaimana perlakuan aset biolojik sebagai persediaan.
Berdasarkan PSAK 14 paragraf 5 (2008), Persediaan adalah aset:
(a) Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa;
24
(b) Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut; atau
(c) Dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses
produksi atau pemberian jasa.
PSAK 14 mengharuskan pengukuran persediaan harus berdasarkan biaya atau
nilai realisasi bersih, mana yang lebih rendah (the lower of cost and net realizable
value). Nilai realisasi bersih adalah taksiran harga penjualan dalam kegiatan usaha
normal dikurangi taksiran biaya penyelesaian dan taksiran biaya yang diperlukan
untuk melaksanakan penjualan. Biaya persediaan harus meliputi semua biaya
pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada
dalam kondisi dan lokasi saat ini. Menurut PSAK 14 paragraf 9 (2008) biaya
persediaan ini meliputi:
1. Biaya Pembelian
Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya
(kecuali yang kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas
pajak), biaya pengangkutan, biaya penanganan, dan biaya lainnya yang secara
langsung dapat diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan, dan jasa.
Diskon dagang, rabat dan hal lain yang serupa dikurangkan dalam
menentukan biaya pembelian.
2. Biaya Konversi
25
Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait dengan
unit yang diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung. Termasuk juga
alokasi sistematis overhead produksi tetap dan variabel yang timbul dalam
mengonversi bahan menjadi barang jadi. Overhead produksi tetap adalah
biaya produksi tidak langsung yang relatif konstan, tanpa memerhatikan
volume produksi yang dihasilkan, seperti penyusutan dan pemeliharaan
bangunan dan peralatan pabrik, dan biaya manajemen dan administrasi pabrik.
Overhead produksi variabel adalah biaya produksi tidak langsung yang
berubah secara langsung, atau hampir secara langsung, mengikuti perubahan
volume produksi, seperti bahan tidak langsung dan biaya tenaga kerja tidak
langsung.
4. Biaya Lain-Lain
Biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang biaya
tersebut timbul agar persediaan berada dalam kondisi dan tempat yang siap
untuk dijual atau dipakai. Misalnya, dalam keadaan tertentu diperkenankan
untuk membebankan biaya overhead non produksi atau biaya perancangan
produk untuk pelanggan khusus sebagai biaya persediaan.
5. Biaya Persediaan Pemberian Jasa
Biaya persediaan perusahaan jasa terutama meliputi upah dan biaya personalia
lainnya yang secara langsung menangani pemberian jasa, termasuk tenaga
penyelia, dan overhead yang diatribusikan. Upah dan biaya lainnya yang
26
menyangkut personalia penjualan serta administrasi umum tidak termasuk
sebagai biaya persediaan, tapi diakui sebagai beban pada periode terjadinya.
Biaya persediaan mungkin tidak bisa diukur apabila barang rusak, seluruh atau
sebagian barang telah usang atau bila harga penjualan menurun, estimasi biaya
penyelesaian atau estimasi biaya penjualan meningkat, maka dari itu digunakan
penilaian dengan Nilai Realisasi Bersih (NRV).
Estimasi nilai realisasi bersih didasarkan pada bukti paling andal yang tersedia
pada saat estimasi dilakukan terhadap jumlah persediaan yang diharapkan dapat
direalisasi. Estimasi ini mempertimbangkan fluktuasi harga atau biaya yang langsung
terkait dengan peristiwa yang terjadi setelah akhir periode sepanjang peristiwa
tersebut menegaskan (confirm) kondisi yang ada pada akhir periode (PSAK 14, par.
28, 2008). Estimasi nilai realisasi bersih juga mempertimbangkan tujuan pengadaan
persediaan yang bersangkutan (PSAK 14, par. 29, 2008).
Teknik pengukuran biaya persediaan (PSAK 14, par. 19, 2008), seperti metode
biaya standar atau metode eceran (retail method), demi kemudahan, dapat digunakan
bila hasilnya mendekati biaya historis. Biaya standar memperhitungkan tingkat
normal penggunaan bahan dan perlengkapan, upah, efisiensi dan pemanfaatan
kapasitas. Metode eceran sering kali digunakan dalam perdagangan eceran untuk
menilai persediaan sejumlah besar barang yang berubah dengan cepat, dan memiliki
margin yang tidak jauh berbeda sehingga tidak praktis kalau digunakan metode
27
penetapan biaya lainnya. Biaya persediaan ditentukan dengan mengurangi harga jual
persediaan dengan persentase marjin bruto yang sesuai (PSAK 14, par. 20, 2008).
Metode penghitungan biaya persediaan ada dua yaitu metode masuk pertama
keluar pertama (MPKP) dan rata-rata tertimbang (PSAK 14, par. 23, 2008). Rumus
MPKP (First in First Out) mengasumsikan item persediaan yang pertama dibeli akan
dijual atau digunakan terlebih dahulu sehingga item yang tertinggal dalam persediaan
akhir adalah yang dibeli atau diproduksi kemudian. Dalam rumus biaya rata-rata
tertimbang (Weighted Average Method), biaya setiap item ditentukan berdasarkan
biaya rata-rata tertimbang dari item yang serupa pada awal periode dan biaya item
yang serupa yang dibeli atau diproduksi selama suatu periode (PSAK 14, par. 25,
2008).
Jika barang dalam persediaan dijual, berdasarkan PSAK paragraf 32 (2008),
maka nilai tercatat persediaan tersebut harus diakui sebagai beban pada periode
diakuinya pendapatan atas penjualan tersebut. Setiap penurunan nilai persediaan di
bawah biaya menjadi nilai realisasi bersih dan seluruh kerugian persediaan harus
diakui sebagai beban pada periode terjadinya penurunan atau kerugian tersebut.
Setelah adanya pengakuan dan pengukuran persediaan, laporan keuangan untuk
penyajian persediaan menurut PSAK 14 harus mengungkapkan (PSAK 14, par. 34,
2008):
28
(1) Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam pengukuran persediaan, termasuk
rumus biaya yang dipakai;
(2) Total jumlah tercatat persediaan dan jumlah nilai tercatat menurut klasifikasi
yang sesuai bagi perusahaan;
(3) Jumlah tercatat persediaan yang dicatat sebesar nilai realisasi bersih;
(4) Jumlah dari setiap pemulihan dari setiap penurunan nilai yang diakui sebagai
penghasilan selama periode sebagaimana dijelaskan pada paragraf 28;
(5) Kondisi atau peristiwa penyebab terjadinya pemulihan nilai persediaan yang
diturunkan sebagaimana dijelaskan pada paragraf 28; dan
(6) Nilai tercatat persediaan yang diperuntukkan sebagai jaminan kewajiban.
Untuk mengetahui bagaimana perlakuan akuntansi secara umum untuk aset
biolojik sebagai persediaan, di bawah ini terdapat tabel sederhana untuk
membandingkan IAS 41 dan PSAK 14:
Tabel 2
Perbandingan Perlakuan Akuntansi Aset Biolojik sebagai Persediaan menurut
IAS 41 dan PSAK 14
No. Komponen IAS 41 PSAK 14
1 Definisi Pada IAS 41, aset biolojik
sebagai persediaan disebut
Consumable Biological
Assets (CBA) yaitu aset
biolojik yang akan dipanen
sebagai agrikultur produk
atau dijual sebagai aset
biolojik (IAS 41: 44).
Misalkan peternakan
penghasil daging, hasil
ternak untuk dijual, ikan di
Persediaan adalah aset
(PSAK 14, par. 5):
(a) tersedia untuk dijual
dalam kegiatan usaha
biasa;
(b) dalam proses produksi
untuk penjualan
tersebut; atau
(c) dalam bentuk bahan
atau perlengkapan
untuk digunakan dalam
29
No. Komponen IAS 41 PSAK 14
peternakan, dan tanaman
kayu yang langsung diambil
manfaatnya .
proses produksi atau
pemberian jasa.
2 Pengakuan Syarat pengakuan aset
biolojik berdasarkan IAS 41
paragraf 10:
(a) Entitas mengendalikan
aset tersebut yang
disebabkan oleh
kejadian di masa lalu;
(b) Dimungkinkan adanya
manfaat ekonomi di
masa depan yang
berhubungan aset akan
ada aliran kas ke entitas
tersebut;
(c) Nilai wajar (fair value)
atau harga perolehan
(cost) dari aset bisa
diukur secara handal.
Persediaan merupakan
bagian dari aset, aset diakui
apabila (Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian
Laporan Keuangan, par. 89,
2009):
(a) Kemungkinan besar
entitas akan
memperoleh manfaat
ekonomik masa depan
dari aset tersebut; dan
(b) Biaya perolehan aset
dapat diukur secara
andal.
3 Pengukuran Menurut paragraf 17 IAS 41,
nilai wajar dari aset biolojik
dan produk agrikultur diukur
pada keadaan active market.
Pasar aktif (active market)
adalah pasar dimana terdapat
kondisi berikut (IAS 41: 8):
(a) Jenis barang yang
diperdagangkan di pasar
bersifat homogen
(homogeneous);
(b) Pembeli dan penjual
yang berminat bisa
ditemukan kapan saja;
(c) Harga tersedia untuk
umum.
Apabila active market tidak
ada, maka entitas
menggunakan salah satu cara
di bawah ini untuk
menentukan nilai wajar (IAS
41: 18):
(a) Harga terbaru transaksi
pasar, asalkan tidak ada
perubahan signifikan
Persediaan harus diukur
berdasarkan biaya atau nilai
realisasi neto, mana yang
lebih rendah (PSAK 14: 8).
20. Biaya persediaan harus
meliputi semua biaya
pembelian, biaya konversi,
dan biaya lain yang timbul
sampai persediaan berada
dalam kondisi dan lokasi
saat ini.
28. Biaya persediaan
ditentukan dengan
mengurangi nilai jual
persediaan dengan
persentase marjin bruto
yang sesuai. Persentase
tersebut digunakan dengan
memerhatikan persediaan
yang telah diturunkan
nilainya di bawah harga
jual normal. Persentasi rata-
rata sering digunakan untuk
30
No. Komponen IAS 41 PSAK 14
keadaan ekonomi antara
tanggal transaksi dan
periode akhir pelaporan;
(b) Harga pasar untuk aset
sejenis dengan
penyesuaian bila ada
perbedaan;
(c) Pembandingan dengan
sektor sejenis, misalnya
nilai sapi dinyatakan
dengan harga per
kilogram daging dan
nilai perkebunan buah
dinyatakan dalam hektar.
Nilai wajar juga bisa diukur
dengan harga perolehan
(cost) aset biolojik ketika
hanya sedikit transformasi
biolojik yang terjadi sejak
awal dan imbas dari nilai
transformasi biolojik tidak
material.
Pengukuran aset biolojik
sebaiknya diukur pada
pengakuan pertama serta
pada setiap akhir periode,
dengan menggunakan fair
value dikurangi biaya
penjualan. Apabila fair
value tidak bisa diukur
dengan handal maka
pengukuran produk
agrikultur yang dipanen dari
aset biolojik entitas, diukur
dengan cost dikurangi
biaya penjualan waktu
panen (point of harvest), seperti pengukuran
persediaan pada IAS 2
Inventories.
setiap departemen eceran.
Estimasi nilai realisasi
neto didasarkan pada bukti
paling andal yang tersedia
pada saat estimasi
dilakukan terhadap jumlah
persediaan yang diharapkan
dapat direalisasi. Estimasi
ini memertimbangkan
fluktuasi harga atau biaya
yang langsung terkait
dengan peristiwa yang
terjadi setelah akhir periode
sepanjang peristiwa
tersebut menegaskan
kondisi yang ada pada akhir
periode.
4 Gain atau Loss Keuntungan (gain) atau
kerugian (loss) yang terjadi
pada pengakuan awal aset
biolojik adalah selisih dari
Pengakuan sebagai Beban
32. Jika persediaan dijual,
maka nilai tercatat
persediaan tersebut harus
31
No. Komponen IAS 41 PSAK 14
nilai wajar dan biaya
penjualan atau dari
perubahan nilai wajar
dikurangi biaya penjualan.
Keuntungan atau kerugian
ini harus diakui pada saat
periode terjadinya (IAS 41:
26) begitu juga untuk produk
agrikultur (IAS 41: 28).
diakui sebagai beban pada
periode diakuinya
pendapatan atas penjualan
tersebut.
Setiap penurunan nilai
persediaan di bawah biaya
menjadi nilai realisasi neto
dan seluruh kerugian
persediaan harus diakui
sebagai beban pada periode
terjadinya penurunan atau
kerugian tersebut. Setiap
pemulihan kembali
penurunan nilai persediaan
karena peningkatan kembali
nilai realisasi neto, harus
diakui sebagai pengurangan
terhadap jumlah beban
persediaan pada periode
terjadinya pemulihan
tersebut.
5 Hibah Pemerintah
yang Berhubungan
dengan Aset Biolojik
Jika hibah tanpa syarat,
diukur dengan nilai wajarnya
dikurangi biaya penjualan
diakui sebagai keuntungan
atau kerugian hanya jika
hibah pemerintah dapat
diterima dan dicatat sebagai
piutang (IAS 41: 34).
Jika hibah tersebut bersyarat,
pengukuran dengan nilai
wajar dikurangi biaya
penjualan termasuk saat
pemerintah meminta entitas
tidak melakukan aktivitas
tertentu, entitas mengakui
hibah pemerintah sebagai
keuntungan atau kerugian
hanya jika kondisi yang
disyaratkan bisa terpenuhi
(IAS 41: 35).
Tidak diatur.
6 Pengungkapan (IAS 41: 49) An entity shall
disclose:
(a) the existence and
Laporan keuangan harus
mengungkapkan (PSAK 14:
34):
32
No. Komponen IAS 41 PSAK 14
carrying amounts of
biological assets whose title
is restricted, and the
carrying amounts of
biological assets pledged as
security for liabilities;
(b) the amount of
commitments for the
development or acquisition
of biological assets; and
(c) financial risk
management strategies
related to agricultural
activity.
(IAS 41: 50) An entity shall
present a reconciliation of
changes in the carrying
amount of biological assets
between the beginning and
the end of the current
period. The reconciliation
shall include:
(a) the gain or loss arising
from changes in fair value
less costs to sell;
(b) increases due to
purchases;
(c) decreases attributable to
sales and biological assets
classified as held for sale (or
included in a disposal group
that is classified as held for
sale) in accordance with
IFRS 5;
(d) decreases due to harvest;
(e) increases resulting from
business combinations;
(f) net exchange differences
arising on the translation of
financial statements into a
different
presentation currency, and
on the translation of a
foreign operation into the
presentation
(a) kebijakan akuntansi
yang digunakan dalam
pengukuran persediaan,
termasuk rumus biaya yang
digunakan;
(b) total jumlah tercatat
persediaan dan jumlah nilai
tercatat menurut klasifikasi
yang sesuai bagi entitas;
(c) jumlah tercatat
persediaan yang dicatat
dengan nilai wajar
dikurangi biaya untuk
menjual;
(d) jumlah persediaan yang
diakui sebagai beban
selama periode berjalan;
(e) jumlah setiap penurunan
nilai yang diakui sebagai
pengurang jumlah
persediaan yang diakui
sebagai beban dalam
periode berjalan
sebagaimana dijelaskan
pada paragraf 32;
(f) jumlah dari setiap
pemulihan dari setiap
penurunan nilai yang diakui
sebagai pengurang jumlah
persediaan yang diakui
sebagai beban dalam
periode berjalan
sebagaimana dijelaskan
pada paragraf 32;
(g) kondisi atau peristiwa
penyebab terjadinya
pemulihan nilai persediaan
yang diturunkan
sebagaimana
dijelaskan pada paragraf
32; dan
(h) nilai tercatat persediaan
yang diperuntukkan sebagai
jaminan kewajiban.
33
No. Komponen IAS 41 PSAK 14
currency of the reporting
entity; and
(g) other changes.
Sumber: IAS 41dan PSAK 14
34
6. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Di dalam bagian keempat dan kelima telah dijabarkan perlakuan aset biolojik sebagai persediaan menurut IAS 41
dan PSAK 14. Sebelum analisis dan pembahasan pada bagian keenam ini, maka akan disajikan terlebih dahulu
perbandingan secara umum perlakuan akuntansi aset biolojik sebagai persediaan menurut IAS 41 dan PSAK 14 pada tabel
berikut ini:
Tabel 3
Perbedaan Perlakuan Akuntansi Aset Biolojik sebagai Persediaan menurut IAS 41 dan PSAK 14
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN
Objective:
The objective of this Standard is to
prescribe the accounting treatment and
disclosures related to agricultural
activity.
TUJUAN
01. Tujuan Pernyataan ini adalah mengatur
perlakuan akuntansi untuk persediaan.
Permasalahan pokok dalam akuntansi
persediaan adalah penentuan jumlah biaya
yang diakui sebagai aset dan perlakuan
akuntansi selanjutnya atas aset tersebut
sampai pendapatan terkait diakui.
Pernyataan ini menyediakan panduan
dalam menentukan biaya dan pengakuan
selanjutnya sebagai beban, termasuk setiap
penurunan menjadi nilai realisasi neto.
Tujuan dari IAS 41 adalah berfokus pada
perlakuan akuntansi dan pengungkapan
aset biolojik yang berkaitan dengan
aktivitas agrikultur saja. Lain halnya
dengan PSAK 14 yang mengatur
persediaan secara keseluruhan, cenderung
persediaan benda mati.
35
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN
Pernyataan ini juga memberikan panduan
rumus biaya yang digunakan untuk
menentukan biaya persediaan.
Scope:
1 This Standard shall be applied to
account for the following when they relate
to agricultural activity:
(a) biological assets;
(b) agricultural produce at the point of
harvest; and
(c) government grants covered by
paragraphs 34–35.
RUANG LINGKUP
02. Pernyataan ini diterapkan untuk semua
persediaan, kecuali:
(a) pekerjaan dalam proses yang timbul
dalam kontrak konstruksi, termasuk
kontrak jasa yang terkait langsung (lihat
PSAK 34: Akuntansi Kontrak Konstruksi);
(b) persediaan yang terkait dengan real
estat (lihat PSAK 44: Akuntansi Aktivitas
Perkembangan Real Estat);
(c) instrumen keuangan (lihat PSAK 50:
Instrumen Keuangan: Penyajian dan
Pengungkapan dan PSAK Instrumen
Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran);
(d) aset biolojik terkait dengan aktivitas
agrikultur dan produk agrikultur pada saat
panen;
(e) aset biolojik terkait dengan hasil hutan
(lihat PSAK 32: Akuntansi Kehutanan);
dan
(f) hasil tambang umum dan hasil tambang
minyak dan gas bumi (lihat PSAK 33:
Akuntansi Pertambangan Umum dan
PSAK 29: Akuntansi Minyak dan Gas
Bumi).
IAS 41 diterapkan untuk segala hal yang
berhubungan dengan aktivitas agrikultur
yaitu aset biolojik, produk agrikultur saat
pemanenan, serta hibah pemerintah yang
berkaitan dengan aset biolojik.
PSAK 14 (2008) tentang Persediaan
mengadopsi seluruh peraturan dalam IAS
2 (2003): Inventories, tetapi untuk
beberapa paragraf yang tentang aktivitas
agrikultur dihilangkan, karena IAI belum
mengadopsi IAS 41: Agriculture. Maka
dari itu PSAK 14 ini lebih cenderung
mengatur untuk persediaan benda mati,
sebab aset biolojik memang dikecualikan.
Definition:
5 The following terms are used in this
Standard with the meanings specified:
DEFINISI
Persediaan adalah aset: (par. 5)
(a) tersedia untuk dijual dalam kegiatan
IAS 41 mendefinisikan aset biolojik
sebagai hewan atau tumbuhan hidup yang
mengalami transformasi biolojik dan
36
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN
Agricultural activity is the management by
an entity of the biological transformation
and harvest of biological assets for sale or
for conversion into agricultural produce
or into additional biological assets.
Agricultural produce is the harvested
product of the entity’s biological assets.
A biological asset is a living animal or
plant.
Biological transformation comprises the
processes of growth, degeneration,
production, and procreation that cause
qualitative or quantitative changes in a
biological asset.
usaha biasa;
(b) dalam proses produksi untuk penjualan
tersebut; atau
(c) dalam bentuk bahan atau perlengkapan
untuk digunakan dalam proses produksi
atau pemberian jasa.
terdapat aktivitas biolojik di dalamnya.
Sedangkan PSAK 14 mendefinisikan
persediaan merupakan aset tersedia untuk
dijual, dalam proses produksi untuk
penjualan tersebut, dan dalam bentuk
bahan atau perlengkapan. Pada kedua
definisi ini mempunyai persamaan bahwa
persediaan nantinya untuk dijual, tetapi
pada PSAK 14 persediaan merupakan
proses produksi secara manual, berbeda
dengan IAS 41 proses terjadinya
persediaan karena bertumbuh karena
proses alami. Sehingga pada PSAK 14
bisa ditambahkan penjelasan untuk
proses produksi yang alami pada aset
biolojik sebagai persediaan.
Recognition and Measurement:
10 An entity shall recognise a biological
asset or agricultural produce when, and
only when:
(a) the entity controls the asset as a result
of past events;
(b) it is probable that future economic
benefits associated with the asset will flow
to the entity; and
(c) the fair value or cost of the asset can
be measured reliably.
12 A biological asset shall be measured
on initial recognition and at the end of
PENGAKUAN DAN
PENGUKURAN
Persediaan merupakan bagian dari aset,
aset diakui apabila (Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan, par. 89, 2009):
(a) Kemungkinan besar entitas akan
memperoleh manfaat ekonomik
masa depan dari aset tersebut; dan
(b) Biaya perolehan aset dapat diukur
secara andal.
Perbedaan pengakuan kedua standar ini
adalah di IAS 41 diakui apabila fair
value aset biolojik bisa diukur dengan
handal, di PSAK 14 persediaan diakui
jika biaya perolehannya terukur secara
handal. Pengungkapan keduanya
memiliki persamaan bahwa apabila
nilai persediaan bisa diukur dengan
handal.
Nilai aset biolojik sebagai persediaan
menurut IAS 41 diukur dari nilai
wajarnya dikurangi biaya penjualan.
37
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN each reporting period at its fair value less
costs to sell, except for the case described
in paragraph 30 where the fair value
cannot be measured reliably.
13. Agricultural produce harvested from
an entity’s biological assets shall be
measured at its fair value less costs to sell
at the point of harvest. Such measurement
is the cost at that date when applying IAS
2 Inventories or another applicable
Standard.
8. Fair value is the amount for which an
asset could be exchanged, or a liability
settled, between knowledgeable, willing
parties in an arm’s length transaction.
5. Costs to sell are the incremental costs
directly attributable to the disposal of an
asset, excluding finance costs and income
taxes.
08. Persediaan harus diukur
berdasarkan biaya atau nilai realisasi
neto, mana yang lebih rendah.
Biaya Persediaan 09. Biaya persediaan harus meliputi
semua biaya pembelian, biaya konversi,
dan biaya lain yang timbul sampai
persediaan berada dalam kondisi dan
lokasi saat ini.
Biaya Pembelian
10. Biaya pembelian persediaan
meliputi harga beli, bea impor, pajak
lainnya (kecuali yang kemudian dapat
ditagih kembali oleh entitas kepada
otoritas pajak), biaya pengangkutan,
biaya penanganan, dan biaya lainnya
yang secara langsung dapat
diatribusikan pada perolehan barang
jadi, bahan, dan jasa. Diskon dagang,
rabat dan hal lain yang serupa
dikurangkan dalam menentukan biaya
pembelian.
Biaya Konversi
11. Biaya konversi persediaan meliputi
biaya yang secara langsung terkait
dengan unit yang diproduksi, misalnya
biaya tenaga kerja langsung. Termasuk
juga alokasi sistematis overhead
Berbeda dengan IAS 41, menurut
PSAK 14 persediaan diukur
berdasarkan nilai mana yang lebih
rendah antara Biaya Persediaan atau
Nilai Realisasi Neto. Biaya persediaan
meliputi biaya pembelian, biaya
konversi, biaya lain yang timbul
sampai persediaan berada dalam
kondisi dan lokasi saat ini, dan biaya
persediaan pemberi jasa. Padahal
menurut Kieso et al. (2011) nilai
realiasi neto ini didapatkan dari nilai
wajar (fair value) dikurangi biaya
untuk menjual (cost to sell). Jadi untuk
pengukuran persediaan pada PSAK 14
sebenarnya sama dengan pengukuran
aset biolojik sebagai persediaan
menurut IAS 41.
38
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN produksi tetap dan variabel yang timbul
dalam mengonversi bahan menjadi
barang jadi. Overhead produksi tetap
adalah biaya produksi tidak langsung
yang relatif konstan, tanpa
memerhatikan volume produksi yang
dihasilkan, seperti penyusutan dan
pemeliharaan bangunan dan peralatan
pabrik, dan biaya manajemen dan
administrasi pabrik. Overhead produksi
variabel adalah biaya produksi tidak
langsung yang berubah secara
langsung, atau hampir secara langsung,
mengikuti perubahan volume produksi,
seperti bahan tidak langsung dan biaya
tenaga kerja tidak langsung.
Biaya-biaya Lain
14. Biaya-biaya lain hanya dibebankan
sebagai biaya persediaan sepanjang
biaya tersebut timbul agar persediaan
berada dalam kondisi dan lokasi saat
ini. Misalnya, dalam keadaan tertentu
diperkenankan untuk memasukkan
overhead nonproduksi atau biaya
perancangan produk untuk pelanggan
tertentu sebagai biaya persediaan.
15. Contoh biaya-biaya yang
dikeluarkan dari biaya persediaan dan
39
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN diakui sebagai beban dalam periode
terjadinya adalah:
(a) jumlah pemborosan bahan,
tenaga kerja, atau biaya produksi
lainnya yang tidak normal;
(b) biaya penyimpanan, kecuali biaya
tersebut diperlukan dalam proses
produksi sebelum dilanjutkan pada
tahap produksi berikutnya;
(c) biaya administrasi dan umum yang
tidak memberikan kontribusi untuk
membuat persediaan berada dalam
kondisi dan lokasi saat ini; dan
(d) biaya penjualan.
Biaya Persediaan Pemberi Jasa
18. Sepanjang pemberi jasa memiliki
persediaan, mereka mengukur
persediaan tersebut pada biaya
produksinya. Biaya
persediaan tersebut terutama meliputi
biaya tenaga kerja dan biaya personalia
lainnya yang secara langsung
menangani pemberian jasa, termasuk
personalia penyelia, dan overhead yang
dapat diatribusikan. Biaya tenaga kerja
dan biaya lainnya yang terkait dengan
personalia penjualan dan administrasi
umum tidak termasuk sebagai biaya
40
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN
persediaan tetapi diakui sebagai beban
pada periode terjadinya. Biaya
persediaan pemberi jasa tidak termasuk
marjin laba atau overhead yang tidak
dapat diatribusikan yang sering
merupakan faktor pembebanan harga
oleh pemberi jasa.
Nilai Realisasi Neto
26. Biaya persediaan mungkin tidak
akan diperoleh kembali jika persediaan
rusak, seluruh atau sebagian persediaan
telah usang, atau harga jualnya telah
menurun. Biaya persediaan juga tidak
akan diperoleh kembali jika estimasi
biaya penyelesaian atau estimasi biaya
untuk membuat penjualan telah
meningkat. Praktek penurunan nilai
persediaan di bawah biaya menjadi nilai
realisasi neto konsisten dengan
pandangan bahwa aset seharusnya tidak
dinyatakan melebihi perkiraan jumlah
yang dapat direalisasi dari penjualan
atau penggunaannya.
27. Nilai persediaan biasanya
diturunkan ke nilai realisasi neto secara
terpisah untuk setiap item dalam
persediaan.
41
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN
28. Estimasi nilai realisasi neto
didasarkan pada bukti paling andal
yang tersedia pada saat estimasi
dilakukan terhadap jumlah persediaan
yang diharapkan dapat direalisasi.
29. Estimasi nilai realisasi neto juga
mempertimbangkan tujuan pengadaan
persediaan yang dimiliki.
30. Bahan dan perlengkapan lain yang
dimiliki untuk digunakan dalam
memroduksi persediaan tidak diturun
nilainya di bawah biaya jika produk
jadi yang dihasilkan diharapkan dapat
dijual sebesar atau di atas biayanya.
31. Pengujian yang baru dilakukan atas
nilai realisasi neto pada setiap periode
berikutnya.
Disclosure:
40. An entity shall disclose the aggregate
gain or loss arising during the current
period on initial recognition of biological
assets and agricultural produce and from
the change in fair value less costs to sell
of biological assets.
41. An entity shall provide a description
of each group of biological assets.
42. The disclosure required by paragraph
41 may take the form of a narrative or
quantified description.
PENGUNGKAPAN
34. Laporan keuangan harus
mengungkapkan:
(a) kebijakan akuntansi yang digunakan
dalam pengukuran persediaan,
termasuk rumus biaya yang digunakan;
(b) total jumlah tercatat persediaan dan
jumlah nilai tercatat menurut klasifikasi
yang sesuai bagi entitas;
(c) jumlah tercatat persediaan yang
dicatat dengan nilai wajar dikurangi
IAS 41 lebih mengkhususkan pada
pengungkapan aset biolojik sebagai
benda hidup sehingga laporan yang
dihasilkan sesuai untuk perusahaan
agrikultur baik untuk istilah-istilahnya
serta cara mengakui dan mengukur aset
biolojik sebagai persediaan.
Pada PSAK 14 memperlakukan
persediaan sebagai benda mati, jadi
pengungkapannya tidak relevan dengan
42
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN 43. An entity is encouraged to provide a
quantified description of each group of
biological assets, distinguishing between
consumable and bearer biological assets
or between mature and immature
biological assets, as appropriate. For
example, an entity may disclose the
carrying amounts of consumable
biological assets and bearer biological
assets by group. An entity may further
divide those carrying amounts between
mature and immature assets. These
distinctions provide information that may
be helpful in assessing the timing of future
cash flows. An entity discloses the basis
for making any such distinctions.
44 Consumable biological assets are
those that are to be harvested as
agricultural produce or sold as biological
assets. Examples of consumable
biological assets are livestock intended
for the production of meat, livestock
held for sale, fish in farms, crops such as
maize and wheat, and trees being grown
for lumber. Bearer biological assets are
those other than consumable biological
assets; for example, livestock from which
milk is produced, grape vines, fruit trees,
and trees from which firewood is
harvested while the tree remains. Bearer
biological assets are not agricultural
biaya untuk menjual; (d) jumlah persediaan yang diakui
sebagai beban selama periode berjalan;
(e) jumlah setiap penurunan nilai yang
diakui sebagai pengurang jumlah
persediaan yang diakui sebagai beban
dalam periode berjalan sebagaimana
dijelaskan pada paragraf 32;
(f) jumlah dari setiap pemulihan dari
setiap penurunan nilai yang diakui
sebagai pengurang jumlah persediaan
yang diakui sebagai beban dalam
periode berjalan sebagaimana
dijelaskan pada paragraf 32;
(g) kondisi atau peristiwa penyebab
terjadinya pemulihan nilai persediaan
yang diturunkan sebagaimana
dijelaskan pada paragraf 32; dan
(h) nilai tercatat persediaan yang
diperuntukkan sebagai jaminan
kewajiban.
persediaan aset biolojik, sebagai
contoh pengungkapan penurunan nilai
persediaan padahal aset biolojik tidak
ada penurunan nilai. Akan tetapi
sebenarnya pada pengungkapan
persediaan di PSAK 14 sudah terdapat
adanya penurunan nilai yang artinya
terjadi pergerakan nilai persediaan,
sama seperti pergerakan nilai aset
biolojik sebagai persediaan pada IAS
41, sehingga PSAK 14 bisa
menambahkan pengungkapan untuk
pertumbuhan secara alami aset biolojik
sebagai persediaan. Baik pada PSAK
14 dan IAS 41 juga sama-sama
mengungkapkan nilai persediaan yang
diukur dengan menggunakan nilai
wajar dikurangi biaya untuk menjual.
43
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN produce but, rather, are self-regenerating.
45 Biological assets may be classified
either as mature biological assets or
immature biological assets. Mature
biological assets are those that have
attained harvestable specifications (for
consumable biological assets) or are able
to sustain regular harvests (for bearer
biological assets).
46 If not disclosed elsewhere in
information published with the financial
statements, an entity shall describe:
(a) the nature of its activities involving
each group of biological assets; and
(b) non-financial measures or estimates of
the physical quantities of:
(i) each group of the entity’s biological
assets at the end of the period; and
(ii) output of agricultural produce
during the period.
47 An entity shall disclose the methods
and significant assumptions applied in
determining the fair value of each group
of agricultural produce at the point of
harvest and each group of biological
assets.
48 An entity shall disclose the fair value
less costs to sell of agricultural produce
harvested during the period, determined
at the point of harvest.
49. An entity shall disclose:
44
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN (a) the existence and carrying amounts of
biological assets whose title is restricted,
and the carrying amounts of biological
assets pledged as security for liabilities;
(b) the amount of commitments for the
development or acquisition of biological
assets; and
(c) financial risk management strategies
related to agricultural activity.
50. An entity shall present a reconciliation
of changes in the carrying amount of
biological assets between the beginning
and the end of the current period. The
reconciliation shall include:
(a) the gain or loss arising from changes
in fair value less costs to sell;
(b) increases due to purchases;
(c) decreases attributable to sales and
biological assets classified as held for
sale (or included in a disposal group that
is classified as held for sale) in
accordance with IFRS 5;
(d) decreases due to harvest;
(e) increases resulting from business
combinations;
(f) net exchange differences arising on the
translation of financial statements into a
different presentation currency, and on
the translation of a foreign operation into
the presentation currency of the reporting
entity; and
45
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN (g) other changes.
51 The fair value less costs to sell of a
biological asset can change due to both
physical changes and price changes in the
market. Separate disclosure of physical
and price changes is useful in appraising
current period performance and future
prospects, particularly when there is a
production cycle of more than one year.
In such cases, an entity is encouraged to
disclose, by group or otherwise, the
amount of change in fair value less costs
to sell included in profit or loss due to
physical changes and due to price
changes. This information is generally
less useful when the production cycle is
less than one year (for example, when
raising chickens or growing cereal crops).
52 Biological transformation results in a
number of types of physical change—
growth, degeneration, production, and
procreation, each of which is observable
and measurable. Each of those physical
changes has a direct relationship to future
economic benefits. A change in fair value
of a biological asset due to harvesting is
also a physical change.
53 Agricultural activity is often exposed to
climatic, disease and other natural risks.
46
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN If an event occurs that gives rise to a
material item of income or expense, the
nature and amount of that item are
disclosed in accordance with IAS 1
Presentation of Financial Statements.
Examples of such an event include an
outbreak of a virulent disease, a flood, a
severe drought or frost, and a plague of
insects.
Additional disclosures for biological
assets where fair value cannot be
measured reliably.
54. If an entity measures biological assets
at their cost less any accumulated
depreciation and any accumulated
impairment losses (see paragraph 30) at
the end of the period, the entity shall
disclose for such biological assets:
(a) a description of the biological assets;
(b) an explanation of why fair value
cannot be measured reliably;
(c) if possible, the range of estimates
within which fair value is highly likely to
lie;
(d) the depreciation method used;
(e) the useful lives or the depreciation
rates used; and
(f) the gross carrying amount and the
accumulated depreciation (aggregated
with accumulated impairment losses) at
the beginning and end of the period.
47
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN 55 If, during the current period, an entity
measures biological assets at their cost
less any accumulated depreciation and
any accumulated impairment losses (see
paragraph 30), an entity shall disclose
any gain or loss recognised on disposal of
such biological assets and the
reconciliation required by paragraph 50
shall disclose amounts related to such
biological assets separately. In addition,
the reconciliation shall include the
following amounts included in profit or
loss related to those biological
assets:
(a) impairment losses;
(b) reversals of impairment losses; and
(c) depreciation.
56 If the fair value of biological assets
previously measured at their cost less any
accumulated depreciation and any
accumulated impairment losses becomes
reliably measurable during the current
period, an entity shall disclose for those
biological assets:
(a) a description of the biological assets;
(b) an explanation of why fair value has
become reliably measurable; and
(c) the effect of the change.
48
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN Gain atau Loss
26 A gain or loss arising on initial
recognition of a biological asset at fair
value less costs to sell and from a change
in fair value less costs to sell of a
biological asset shall be included in profit
or loss for the period in which it arises.
27 A loss may arise on initial recognition
of a biological asset, because costs to sell
are deducted in determining fair value
less costs to sell of a biological asset. A
gain may arise on initial recognition of a
biological asset, such as when a calf is
born.
28 A gain or loss arising on initial
recognition of agricultural produce at fair
value less costs to sell shall be included in
profit or loss for the period in which it
arises.
29 A gain or loss may arise on initial
recognition of agricultural produce as a
result of harvesting.
Pengakuan sebagai Beban
32. Jika persediaan dijual, maka nilai
tercatat persediaan tersebut harus diakui
sebagai beban pada periode diakuinya
pendapatan atas penjualan tersebut.
Setiap penurunan nilai persediaan di
bawah biaya menjadi nilai realisasi neto
dan seluruh kerugian persediaan harus
diakui sebagai beban pada periode
terjadinya penurunan atau kerugian
tersebut. Setiap pemulihan kembali
penurunan nilai persediaan karena
peningkatan kembali nilai realisasi
neto, harus diakui sebagai pengurangan
terhadap jumlah beban persediaan pada
periode terjadinya pemulihan tersebut.
Baik di dalam IAS 41 dan PSAK 14
mengakui adanya keuntungan atau
kerugian di periode terjadinya.IAS 41
mengakui adanya kerugian atau
keuntungan yaitu merupakan selisih
dari nilai wajar dan biaya penjualan
aset biolojik.
Sedangkan pada PSAK 14 tidak
dijelaskan secara mendalam bagaimana
kerugian atau keuntungan penjualan
persediaan. PSAK 14 hanya
menjelaskan apabila ada kerugian,
maka kerugian persediaan tersebut
diakui sebagai beban.
Government Grant:
34 An unconditional government grant
related to a biological asset measured at
its fair value less costs to sell shall be
recognised in profit or loss when, and
only when, the government grant becomes
receivable.
35 If a government grant related to a
Hibah Pemerintah Yang Berhubungan
Dengan Aset Biolojik
Tidak diatur.
IAS 41 mengakui hibah dari
pemerintah yang berhubungan dengan
aset biolojik sebagai piutang,
sedangkan pada PSAK 14 tidak
mengatur secara khusus adanya hibah
pemerintah berupa persediaan.
49
IAS 41 PSAK 14 PERBEDAAN biological asset measured at its fair value
less costs to sell is conditional, including
when a government grant requires an
entity not to engage in specified
agricultural activity, an entity shall
recognise the government grant in profit
or loss when, and only when, the
conditions attaching to the government
grant are met.
Jika hibah tanpa syarat, diukur dengan
nilai wajarnya dikurangi biaya penjualan
diakui sebagai keuntungan atau kerugian
hanya jika hibah pemerintah dapat
diterima dan dicatat sebagai piutang (IAS
41: 34).
Jika hibah tersebut bersyarat, pengukuran
dengan nilai wajar dikurangi biaya
penjualan termasuk saat pemerintah
meminta entitas tidak melakukan aktivitas
tertentu, entitas mengakui hibah
pemerintah sebagai keuntungan atau
kerugian hanya jika kondisi yang
disyaratkan bisa terpenuhi (IAS 41: 35).
Sumber: IAS 41 dan PSAK 14
50
Tujuan, Skopa, dan Definisi (Objectives, Scope, and Definition)
Pada tabel di atas diketahui bahwa standar IAS 41 bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana perlakuan akuntansi dan pengungkapan yang berhubungan dengan
aktivitas agrikultur. Aktivitas agrikultur yaitu pengelolaan suatu entitas atas
transformasi biolojik dan pemanenan aset biolojik untuk dijual atau dikonversi
menjadi produk agrikultur atau aset biolojik tambahan.
IAS 41 mencakup perlakuan akuntansi untuk seluruh kegiatan yang berhubungan
dengan aktivitas agrikultur yaitu aset biolojik, produk agrikultur pada waktu panen,
dan hibah dari pemerintah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada bagian ketiga,
aset biolojik terdiri dari dua macam yaitu Bearer Biological Assets (BBA) dan
Consumable Biological Assets (CBA), akan tetapi standar IAS 41 menerapkan
perlakuan yang sama pada keduanya. Padahal BBA adalah aset biolojik yang akan
dipertahankan untuk aliran ekonomi di masa mendatang, cenderung seperti aset tetap,
sedangkan CBA adalah aset biolojik yang akan dipanen sebagai agrikultur produk
atau dijual yaitu memiliki sifat mirip seperti persediaan. Oleh karena itu perlakuan
akuntansi keduanya seharusnya berbeda karena memiliki tujuan penggunaan yang
berbeda. Jadi dua sifat aset biolojik yang berbeda tetapi memiliki perlakuan
akuntansinya sama pada IAS 41.
PSAK 14 bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi untuk persediaan.
Perlakuan akuntansi tersebut yaitu menentukan jumlah biaya yang diakui sebagai aset
51
dan perlakuan akuntansi selanjutnya atas aset tersebut sampai pendapatan terkait aset
tersebut diakui. Standar ini juga menyediakan panduan dalam menentuan biaya dan
pengakuan selanjutnya sebagai beban, termasuk setiap penurunan yang menjadi nilai
realisasi neto serta memberikan panduan rumus biaya untuk menentukan besarnya
biaya persediaan. Pada PSAK 14 tidak menyinggung sama sekali aktivitas agrikultur,
sedangkan pada tujuan IAS 41 dikhususkan untuk segala hal yang berhubungan
dengan aktivitas agrikultur.
Persediaan yang dimaksud PSAK 14 adalah aset tersedia untuk dijual dalam
kegiatan usaha biasa, dalam proses produksi untuk penjualan tersebut; atau dalam
bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau
pemberian jasa. Jadi persediaan ini ditujukan untuk diperjualbelikan, bukan untuk
dipertahankan untuk aliran ekonomi perusahaan di masa mendatang. Berdasarkan
definisi persediaan menurut PSAK 14 mirip dengan definisi CBA pada IAS 41 yang
sama-sama untuk diperjualbelikan. Kemudian pada definisi persediaan di PSAK 14
sebaiknya ditambahkan untuk aset biolojik sebagai persediaan yang mengalami
proses produksi secara alami yaitu proses yang disebut dengan transformasi biolojik.
Dilihat dari definisinya yang hampir sama, aset biolojik sebagai persediaan dinilai
relevan mengacu pada PSAK 14, dengan penambahan informasi yang telah
disebutkan sebelumnya.
PSAK 14 diterapkan untuk semua persediaan, kecuali untuk hal tertentu, salah
satunya yang berkaitan dengan IAS 41 yaitu poin d PSAK 14 “aset biolojik terkait
52
dengan aktivitas agrikultur dan produk agrikultur pada saat panen”. Terlihat bahwa
PSAK 14 memang belum mengadopsi IAS 41 karena aset biolojik dikecualikan dari
ruang lingkup PSAK 14. Begitu juga dengan PSAK di Indonesia yang lainnya belum
ada yang mengakomodir aset biolojik. Standar yang sedikit menyinggung tentang
tanaman hidup adalah PSAK 32 tentang Kehutanan akan tetapi tidak mengatur
tentang aset biolojik. Bertolak belakang dengan IAS 41 yang membahas tentang aset
biolojik, PSAK 14 lebih mengarah sebagai persediaan bukan aset biolojik. Sehingga
agar kedua standar ini bisa saling melengkapi, sebaiknya IAS 41 ikut diadopsi pada
PSAK 14 supaya perlakuan akuntansi aset biolojik sebagai persediaan bisa
disinkronisasi ke dalam standar PSAK 14 di Indonesia.
Pengakuan dan Pengukuran (Recognition and Measurement)
Pengakuan aset biolojik sebagai persediaan menurut IAS 41 dan PSAK 14
memiliki persamaan yaitu ketika kemungkinan besar entitas akan memperoleh
manfaat ekonomik masa depan dari aset tersebut. Artinya, tanaman atau hewan hidup
sebagai aset biolojik berpotensial mendatangkan aliran kas masuk atau ekuivalen kas
kepada perusahaan (Godfrey et al. 2010). Godfrey et al. melanjutkan bahwa aliran kas
tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung mendatangkan profit bagi
perusahaan. Sejalan dengan Anthony et al. (2007) bahwa sumber daya yang
menghasilkan manfaat ekonomik di masa depan berupa, (1) Kas atau setara kas, (2)
Barang yang diharapkan akan dijual dan kas penerimaan kasnya, dan (3) Item
tersebut diharapkan untuk digunakan di aktivitas masa depan akan menghasilkan
53
aliran kas masuk. CBA merupakan aset biolojik yang nantinya akan dijual sebagai
persediaan sehingga tentu akan menghasilkan aliran ekonomik di masa mendatang
apabila persediaan tersebut telah dijual. Sebagai contoh, sapi apabila sudah cukup
umur maka akan dijual, dan penjual mendapatkan uang sebagai manfaat ekonomi
bagi entitas tersebut.
Perbedaan pertama pengakuan antara IAS 41 dan PSAK 14 adalah perusahaan
memiliki kendali atas aset. Penguasaan atas suatu aset berarti entitas mampu untuk
mendapatkan, memelihara/menahan, menukarkan, menggunakan manfaat ekonomik
dan mencegah akses pihak lain terhadap manfaaat tersebut (Suwardjono, 2006).
Begitu juga menurut Anthony et al. (2007) penguasaan atas suatu aset tidak sama
dengan konsep kepemilikan secara legal. Sebagai misal aktivitas menangkap ikan di
lautan bukanlah sebuah aktivitas agrikultur sebab sumber daya di laut tidak ada yang
mengelola, akan tetapi ikan hasil tangkapan bisa dikategorikan sebagai persediaan
namun tidak bisa dianggap sebagai persediaan aset biolojik (PricewaterhouseCoopers,
2009). Lain halnya apabila entitas mengelola sendiri peternakan ikan dari benih ikan
sampai ikan bisa dipanen, di dalamnya terdapat proses pertumbuhan biolojik ikan,
aset ikan pun juga dikuasai oleh entitas tersebut. Dari sisi pengakuan sebenarnya
tidak ada perbedaan yang mencolok karena PSAK merupakan adopsi dari IAS, maka
pada dasarnya untuk mengakui sebuah aset tentulah tidak jauh berbeda.
Metode pengukuran menurut IAS 41 dan PSAK 14 memiliki perbedaan yang
signifikan. Pengukuran aset biolojik menurut IAS 41 pada pengukuran pertama serta
54
pada setiap akhir periode, menggunakan fair value dikurangi biaya penjualan. IAS 41
mengasumsikan bahwa metode fair value ini selalu bisa diukur dengan handal.
Apabila fair value tidak bisa diukur dengan handal maka pengukuran harga perolehan
(cost) dikurangi dengan akumulasi depresiasi dan kerugian akibat penurunan nilai.
Perhitungan harga perolehan, akumulasi depresiasi, dan kerugian penurunan nilai
berdasarkan aturan IAS 2 Inventories, IAS 16 Property, Plant and Equipment and
IAS 36 Impairment of Assets yang diadopsi di Indonesia menjadi PSAK 14
Persediaan, PSAK 16 Aset Tetap, PSAK 48 Penurunan Nilai Aset (IAS 41, par. 33,
2011).
Standar IAS 41 mengharuskan bahwa aset biolojik diukur untuk masing-masing
tanggal neraca dengan menggunakan fair value. Menurut Wiley (2007) penilaian
utama untuk fair value adalah market value (nilai pasar). Selain itu aset biolojik bisa
diukur dengan “farm gate” yaitu nilai aset tersebut saat di lokasi. Apabila tidak
terdapat “farm gate”, pengukuran fair value menggunakan Net Market Value yaitu
harga pasaran dikurangi biaya transaksi dan biaya transportasi. Jika tidak ada Net
Market Value maka pakai harga pasar terakhir (last market), harga pasar aset sejenis,
perbandingan sektor sejenis, net present value dari aliran kas masa depan dikurangi
tingkat kelas risiko, net realizable value, atau historical cost untuk aset dengan
transformasi biolojik sedikit. Kenaikan nilai karena perubahan harga lain dan
pertumbuhan aset, akan diakui sebagai pendapatan sekarang (current income),
dimana biaya produksinya akan cocok dengan pendapatan tersebut sehingga
55
menghasilkan hasil bersih dari periode operasi. Jadi pada saat pengakuan pertama fair
value menggunakan harga masukan (entry price) sedangkan pada waktu dijual, fair
value mengunakan harga keluaran (exit price).
Menurut AASB 13 par. 9, 2011 definisi dari fair value adalah harga yang akan
diterima saat penjualan sebuah aset atau dibayar saat melunasi liabilitas dalam
transaksi normal antara pihak di pasar pada tanggal pengukuran. Berdasarkan AASB
par. 24, 2007 fair value diukur pada saat kondisi pasar sekarang, contohnya exit price,
tanpa memperhatikan apakah harga tersebut diobservasi secara langsung atau
diestimasi menggunakan teknik penilaian lainnya. Definisi Fair Value menurut
AASB ini sama dengan IFRS 13 tentang Fair Value Measurement, mulai efektif
berlaku tanggal 1 Januari 2013, yaitu the price that would be received to sell an asset or
paid to transfer a liability (exit price) in an orderly transaction (not a forced sale) between
market participants (market-based view) at the measurement date (current price).
Sedangkan menurut IAS 41, par. 8, 2009 definisi fair value adalah the amount for
which an asset could be exchanged, or a liability settled, between knowledgeable, willing
parties in an arm’s length transaction.
Definisi lama fair value memiliki kelemahan (ECCB, 2012) yaitu kata
“exchanged” tidak spesifik antara entitas yang ingin membeli atau menjual aset, kata
“settled” tidak jelas arti dari membayar atau melunasi ini karena tidak mengarah ke
kreditor, kata “knowledgeable” tidak jelas apakah market-based atau bukan, dan kata
“willing parties” tidak menjelaskan secara eksplisit dimana tempat pertukaran aset
56
atau pelunasan liabilitas. Sehingga definisi fair value menurut IAS 41 kurang pas
bagi penilaian aset biolojik, tetapi dengan adanya peraturan baru yang sama-sama
dikeluarkan oleh IASB yaitu IAS 13 diharapkan bisa saling melengkapi dengan IAS
41.
Menurut PSAK 14 metode pengukuran untuk persediaan adalah membandingkan
antara biaya untuk menghasilkan persediaan dan nilai realisasi neto. Biaya persediaan
meliputi biaya pembelian persediaan, biaya konversi, biaya lain yang timbul sampai
persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini, dan biaya persediaan pemberi
jasa. Contoh pada perusahaan dagang, biaya pembelian yaitu semua biaya yang
dikeluarkan pembeliaan persediaan barang entitas tersebut seperti harga beli ditambah
dengan biaya pengiriman. Kemudian Biaya Konversi meliputi biaya yang secara
langsung terkait dengan unit yang diproduksi, misalnya Biaya Tenaga Kerja Langsung, serta
termasuk Biaya Overhead (PSAK 14, par. 11, 2008). Biaya persediaan cenderung untuk
persediaan yang mengalami proses produksi oleh perusahaan. Padahal CBA tumbuh
dan berkembang tidak hanya tergantung oleh perawatan yang diberikan. Sebenarnya
biaya persediaan bisa diterapkan pada CBA, akan tetapi biaya persediaan tidak
mencakup perubahan biolojik tanaman dan hewan hidup sehingga saat pengakuan
CBA nilai nya akan dibawah harga riilnya.
Metode kedua untuk menilai persediaan menurut PSAK 14 adalah nilai realisasi
neto. Nilai realisasi neto yaitu estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa
dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk
57
membuat penjualan (PSAK 14, par. 5, 2008). Konsep realisasi neto lebih
diperuntukkan untuk persediaan benda mati yang bisa mengalami kerusakan,
keusangan, harga jual menurun dan bila biaya persediaannya melebihi harga jual
yang dapat terealisasi. Sedangkan CBA yang mengalami proses transformasi biolojik
cenderung bertumbuh dan berkembang apabila akan dijual. Praktek penurunan nilai
persediaan di bawah biaya menjadi nilai realisasi neto konsisten dengan pandangan
bahwa aset seharusnya tidak dinyatakan melebihi perkiraan jumlah yang dapat
direalisasi dari penjualan atau penggunaannya (PSAK 14, par. 26, 2008). CBA
merupakan aset biolojik untuk dijual, maka dari itu nilainya tergantung pada harga
pengakuan di pasar, bukan menurut penilaian entitas itu sendiri.
Di dalam PSAK 14 paragraf 5 (2008) menjelaskan definisi nilai wajar adalah
jumlah di mana suatu aset dipertukarkan, atau kewajiban diselesaikan, antara pihak
yang berpengetahuan dan berkeinginan dalam suatu transaksi yang wajar. Sedangkan
nilai realisasi neto mengacu kepada jumlah neto yang entitas berharap untuk
direalisasi dari penjualan persediaan dalam kegiatan usaha biasa. Nilai wajar
mencerminkan suatu jumlah di mana persediaan yang sama dapat dipertukarkan
antara pembeli dan penjual yang berpengetahuan dan berkeinginan di pasar. Nilai
realisasi neto adalah nilai khusus entitas sedangkan nilai wajar tidak tergantung pada
nilai khusus entitas. Nilai realisasi neto untuk persediaan bisa tidak sama dengan nilai
wajar dikurangi biaya untuk menjual. Definisi nilai wajar pada PSAK 14 sejalan
dengan nilai wajar yang diungkapkan oleh IAS 41, nilai wajar dipandang tidak sama
58
dengan nilai realisasi neto. Nilai realisasi neto ditentukan oleh internal perusahaan,
sedangkan nilai wajar berasal dari eksternal perusahaan. Jika CBA dianggap akan
dijual keluar entitas, sebenarnya yang berhak menentukan harga adalah pembeli yang
berasal dari luar perusahaan, sehingga CBA lebih relevan jika diukur pada nilai
wajarnya.
Di sisi lain menurut Kieso et al. (2011) persediaan untuk aset biolojik diukur
dengan menggunakan net realizable value. Perlakuan akuntansi untuk aset tersebut
adalah aset biolojik diukur pada saat pengakuan pertama dan di akhir masing-masing
periode pada fair value dikurangi cost to sell atau disebut dengan net realizable value.
Perusahaan mencatat gain atau loss karena perubahan net realizable value. Gain
mungkin muncul saat pertama kali pengakuan aset biolojik, seperti saat sapi yang
melahirkan. Gain dan loss ini muncul akibat produk agrikultur dipanen. Losses
mungkin muncul saat pengakuan pertama kali ketika cost to sell yang lebih tinggi
dibandingkan fair value nya. Sehingga sebenarnya nilai wajar merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari nilai realisasi neto. Jadi pengukuran persediaan pada
PSAK 14 juga bisa digunakan untuk mengukur aset biolojik sebagai persediaan yaitu
dengan menggunakan nilai realisasi neto.
Menurut Godfrey et al. 2010 terdapat tiga metode pengukuran akuntansi yaitu
historical cost accounting, current cost accounting, exit price accounting. Pertama,
metode historical cost yaitu sistem tradisional akuntansi berdasarkan double entry
bookkeeping (pembukuan ganda) dan pelaporan transaksi menggunakan harga riil
59
yang dibayar oleh entitas saat memperoleh sesuatu (Godfrey et al. 2010). Pengakuan
keuntungan dan kerugian dicatat apabila sudah benar-benar direalisasikan. Metode
pengukuran historical cost tidak mengakui perubahan suatu aset, sampai aset tersebut
dijual atau dihapus. Meskipun historical cost memiliki bukti transaksi yang handal,
CBA ditujukan untuk dijual sehingga kurang relevan jika menggunakan historical
cost. Selain itu aset biolojik juga akan mengalami transformasi biolojik dari waktu ke
waktu sehingga pasti akan mengalami perubahan. Misalnya seekor anak sapi dibeli
dengan harga Rp 5.000.000, setelah beberapa tahun kemudian sapi tersebut tumbuh
dua kali lebih besar, berat badannya pun bertambah, sehingga pasti harganya akan
naik, jadi tidak pas apabila dinilai dengan harga belinya Rp 5.000.000, walaupun
ditambah dengan biaya pemeliharaannya.
Metode pengukuran kedua adalah current cost accounting yaitu sistem akuntansi
di mana aset dinyatakan sebesar harga beli pasar saat ini dan pengakuan laba
ditentukan oleh alokasi berdasarkan biaya saat ini (Godfrey et al. 2010). Pengukuran
current cost menggunakan harga sekarang yang mau dibeli oleh entitas untuk suatu
aset. Menurut Suwardjono (2006) current cost merupakan jumlah rupiah harga
pertukaran atau kesepakatan yang diperlukan sekarang oleh suatu entitas untuk
mendapatkan aset yang sama kondisi dan jenisnya atau pengganti yang setara.
Current cost lebih menekankan harga masukan untuk aset, bukan harga ketika aset
biolojik sebagai persediaan dikeluarkan atau dijual. Sama halnya dengan pendapat
Whittington (1994), current cost adalah nilai terendah antara harga pengganti
60
(replacement cost) atau biaya pemulihan (recoverable amount). Harga pengganti
diartikan sebagai pengganti terendah yang mungkin menggunakan setara aset
modern, sedangkan biaya pemulihan adalah biaya tertinggi nilai penghapusan bersih
atau nilai sekarang (present value). Berdasarkan definisi tersebut CBA sebenarnya
bisa diukur dengan current cost, sebab apabila memiliki kondisi dan jenis yang sama,
CBA bisa dibandingkan dengan mudah, tetapi yang menjadi masalah apabila tidak
diketemukan CBA yang sejenis sehingga tidak bisa diukur berapa nilainya.
Exit Price Accounting merupakan sistem akuntansi yang menggunakan harga
jual pasar untuk mengukur posisi keuangan perusahaan dan kinerja keuangan
(Godfrey et al. 2010). Pengukuran dengan exit price menggambarkan realitas dari
nilai sebuah aset biolojik ketika dijual. Pada akhir periode juga diakui apabila ada
penambahan nilai aset tersebut. Dengan adanya informasi yang relevan dan handal
hasil dari pengukuran exit price maka pengalokasian biaya dan pengukuran CBA bisa
dinilai lebih objektif (Godfrey et al. 2010). Dari ketiga metode tersebut, yang paling
cocok untuk mengukur aset biolojik sebagai persediaan adalah exit price, karena aset
biolojik sebagai persediaan merupakan aset untuk dijual, jadi merupakan harga saat
penjualan.
Dari berbagai penjelasan di atas metode pengukuran untuk aset biolojik sebagai
persediaan dapat digambarkan oleh gambar berikut ini:
61
Gambar 1
Pengukuran Persediaan Aset Biolojik
Di negara lainnya yang sudah mengadopsi IAS 41 yaitu adalah Australia.
Australia mulai mengadopsi IAS 41 pada Juli 2004. IAS 41 diadopsi oleh Australia
dalam Australian Accounting Standards Board (AASB) 141. Pengukuran fair value
diasumsikan bisa diukur dengan handal untuk sebagian besar aset biolojik. Jika fair
value tidak bisa ditentukan, maka aset biolojik diukur dengan biaya perolehan (cost)
dikurangi akumulasi depresiasi dan atau akumulasi penurunan nilai menurut AASB
102 Inventories, AASB 116 Property, Plant and Equipment dan AASB 136
Impairment of Assets. Hongkong mengadopsi IAS 41 pada Hongkong Accounting
Standard 41 Agriculture. Di Hongkong, pengakuan (recognition) aset biolojik sama
dengan pengakuan aset biolojik menurut IAS 41. Aset biolojik pada pengukuran awal
dan di akhir periode pelaporan diukur dari fair value dikurangi biaya untuk menjual
(cost to sell), kecuali bila fair value tidak bisa diukur dengan handal. Lain halnya di
Republik Ceko pada penelitian Sedláček (2010) untuk menilai aset biolojik
menggunakan historical cost (cost model). Pada awal pembelian, aset biolojik dinilai
dengan harga belinya ditambah dengan biaya yang timbul terkait pembelian. Pada
Historical Cost
Fair Value
Exit Price
Current Cost Measurement of
Inventory
Net Realizable Value
62
akhir periode aset biolojik diukur dengan biaya-biaya yang timbul untuk merawat aset
biolojik tersebut.
Selanjutnya di bawah ini disajikan contoh kasus yang berhubungan dengan
pengukuran aset biolojik sebagai persediaan:
Sebuah perusahaan PT Citra memiliki 500 peternakan dan memiliki persediaan
320.000 ekor sapi dan 125.000 anak sapi. Pada tanggal 31 Oktober 20X4, ternak
adalah:
320,000 sapi (3 tahun), semua dibeli pada 1 November 20X3
82.500 anak sapi, rata-rata usia 1,5 tahun, dibeli pada tanggal 1 April 20X4
42.500 anak sapi, usia rata-rata 2 tahun, dibeli pada tanggal 1 November 20X3
Tidak ada hewan lahir atau dijual pada tahun tersebut. Harga wajar per unit
dikurangi dengan estimasi biaya point-of-sale adalah:
Hewan yang berumur 1 tahun pada tanggal 31 Oktober 20X4 : Rp 3.200.000
Hewan yang berumur 2 tahun pada tanggal 31 Oktober 20X4 : Rp 4.500.000
Hewan yang berumur 1,5 tahun pada tanggal 31 Oktober 20X4 : Rp 3.600.000
Hewan yang berumur 3 tahun pada tanggal 31 Oktober 20X4 : Rp 5.000.000
Hewan yang berumur 1 tahun di 1 November 20X3 dan 1 April 20X4 : Rp
3.000.000
Hewan yang berumur 2 tahun di 1 November 20X3: Rp 4.000.000
63
Biaya persediaan meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan yang berkaitan dengan
sapi, termasuk harga beli, biaya angkut pembelian sapi, biaya perawatan, serta biaya
administrasi dan umum yang dibebankan kepada sapi adalah:
Hewan yang berumur 3 tahun bernilai Rp 4.750.000
Hewan yang berumur 1,5 tahun bernilai Rp 2.500.000
Hewan yang berumur 2 tahun bernilai Rp 3.750.000
Setelah dilakukan penilaian, nilai realisasi bersih pada tanggal pelaporan adalah
sebagai berikut:
Hewan yang berumur 3 tahun bernilai Rp 4.600.000
Hewan yang berumur 1,5 tahun bernilai Rp 2.100.000
Hewan yang berumur 2 tahun bernilai Rp 3.600.000
Perusahaan ini memiliki permasalahan selama setahun belakangan ini yaitu
daging yang dijual ke pelanggan terkontaminasi. Akibatnya, konsumsi daging
mengalami penurunan. Pemerintah memutuskan untuk mengkompensasi petani akibat
adanya potensi kerugian pendapatan dari penjualan daging. Hal ini diumumkan oleh
pemerintah pada tanggal 1 September 20X4. PT Citra menerima surat resmi pada
tanggal 4 Oktober 20X4, pemerintah menyatakan akan mengkompensasi sebesar Rp
750.000.000.000 dan akan dibayar pada tanggal 2 Januari 20X5. Perusahaan
memperkirakan bahwa diskon pendapatan arus kas masa depan dari ternak di wilayah
yang terkena kontaminasi sebesar Rp 300.000.000.000. Perusahaan tidak dapat
mengukur nilai wajar sapi di wilayah ini karena adanya kontaminasi. Terdapat 85.000
64
sapi dan 35.000 anak sapi di wilayah tersebut. Semua hewan tersebut dibeli pada
tanggal 1 November 20X3. Sebuah perusahaan saingan, PT Anggi, telah menawarkan
PT Citra Rp 400.000.000.000 untuk hewan-hewan setelah biaya point- of-sale dan
selanjutnya menawarkan Rp 750.000.000.000 untuk harga peternakan di wilayah
tersebut. Akan tetapi untuk sekarang ini PT Citra tidak berniat untuk menjual
peternakan. Perusahaan telah menerapkan IAS 41 sejak 1 November 20X3. (Sumber:
IAF 14 Universitas Indonesia, 2013)
Berdasarkan informasi tersebut maka perlakuan akuntansi aset biolojik sapi
tersebut menurut IAS 41 adalah:
1. Bantuan pemerintah (Government Grant) sebesar Rp 750.000.000.000 akan
dicatat sebagai sebagai Piutang/Receivable (IAS 41, par.34, 2009).
2. A biological asset shall be measured on initial recognition and at the end of
each reporting period at its fair value less costs to sell, except for the case
described in paragraph 30 where the fair value cannot be measured reliably
(IAS 41, par.12, 2009).
Pada pengakuan pertama dan saat akhir pelaporan, pengukuran menggunakan
nilai wajar dikurangi estimasi biaya point-of-sale:
320,000 sapi x Rp 5.000.000 = Rp 1.600.000.000.000
82,500 anak sapi x Rp 3.000.000 = Rp 247.500.000.000
42,500 anak sapi x Rp 4.000.000 = Rp 170.000.000.000
65
Total Rp 2.017.500.000.000
3. Setelah terkontaminasi, sapi akan dijual, tapi tidak bisa menemukan pasar
aktif akibat kontaminasi, maka pengukuran fair value sesuai dengan peraturan
IAS 41, par. 18, 2009 sebagai berikut:
If an active market does not exist, an entity uses one or more of the following,
when available, in determining fair value:
a. the most recent market transaction price, provided that there has not been a
significant change in economic circumstances between the date of that
transaction and the end of the reporting period;
b. market prices for similar assets with adjustment to reflect differences; and
c. sector benchmarks such as the value of an orchard expressed per export tray,
bushel, or hectare, and the value of cattle expressed per kilogram of meat.
Menurut kondisi di atas karena PT Anggi menawarkan kepada PT Citra
Rp 400.000.000.000 setelah biaya point-of-sale untuk hewan yang sudah
terkontaminasi, jadi nilai wajar menggunakan nilai tersebut. Tetapi apabila
nilai tersebut tidak tersedia karena PT Anggi tidak melakukan penawaran,
maka PT Citra mengakui sebesar Rp 300.000.000.000 yaitu estimated future
discounted cash flow income, sesuai dengan aturan berikut:
In some circumstances, market-determined prices or values may not be
available for a biological asset in its present condition. In these circumstances, an
entity uses the present value of expected net cash flows from the asset discounted at
a current market-determined rate in determining fair value (IAS 41, par. 20, 2009).
66
Implikasi pada Laporan Keuangan
Neraca
Consumable Biological Assets nilainya akan berkurang karena ada
penjualan sapi yang telah terkontaminasi. Misalnya pada saat awal pengakuan
nilai sapi secara keseluruhan adalah Rp 2.017.500.000.000 kemudian
dikurangi dengan sapi yang telah terjual yaitu pada nilai bukunya 85,000 sapi
x Rp 5.000.000 dan 35,000 anak sapi x Rp 4.000.000, total Rp
565.000.000.000, jadi sisanya. Rp 1.452.500.000.000 (Rp 2.017.500.000.000 -
Rp 565.000.000.000) tercatat di Neraca.
Laporan Laba Rugi
Adanya kerugian perubahan harga sapi karena terkontaminasi harus diakui
pada periode ini juga.
Nilai buku:
85,000 sapi x Rp 5.000.000 = Rp 425.000.000.000
35,000 anak sapi x Rp 4.000.000 = Rp 140.000.000.000
Total Rp 565.000.000.000
Fair value Rp (400.000.000.000)
Kerugian Rp 165.000.000.000
67
Kerugian tersebut akan ditambahkan pada Laporan Laba Rugi perusahaan.
Pengungkapan
Menambahkan informasi perubahan fair value saat penjualan sapi (aset
biolojik) akibat terkontaminasi.
Sedangkan informasi di atas jika berdasarkan PSAK 14 maka perlakuan
akuntansi aset biolojik sapi tersebut adalah:
1. Bantuan pemerintah sebesar Rp 750.000.000.000 tidak diatur dalam PSAK
14, jadi pengakuan pendapatan ini mengacu pada PSAK 23 tentang
Pendapatan (PSAK 14, par. 7, 2008).
2. Berdasarkan pada pernyataan PSAK 14 paragraf 8 (2008) bahwa persediaan
harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang lebih
rendah maka aset biolojik tersebut diukur dengan biaya persediaan yaitu:
320,000 sapi x Rp 4.750.000 = Rp 1.520.000.000.000
82,500 anak sapi x Rp 2.500.000 = Rp 206.250.000.000
42,500 anak sapi x Rp 3.750.000 = Rp 159.375.000.000
Total Rp 1.885.625.000.000
Nilai persediaan di atas akan dicatat pada neraca perusahaan. Akan tetapi pada
saat tanggal pelaporan ternyata sapi tersebut memiliki nilai realisasi neto lebih
rendah daripada biaya persediaan, perhitungan nilai realisasi neto sebagai
berikut:
68
320,000 sapi x Rp 4.600.000 = Rp 1.472.000.000.000
82,500 anak sapi x Rp 2.100.000 = Rp 173.250.000.000
42,500 anak sapi x Rp 3.600.000 = Rp 153.000.000.000
Total Rp 1.798.250.000.000
Nilai realisasi neto lebih rendah dari nilai biaya persediaan jadi nilai
persediaan yang seharusnya dilaporkan di Neraca adalah sebesar nilai realisasi
neto, sehingga perusahaan pada akhir periode akuntansi perlu menyesuaikan
nilai persediaan sesuai dengan nilai realisasi neto persediaan aset biolojik
tersebut. Jika nilai realisasi neto lebih tinggi maka tidak ada penyesuaian atas
nilai Persediaan.
3. Akibat dari kontaminasi, biaya persediaan mungkin tidak akan diperoleh
kembali jika persediaan rusak, seluruh atau sebagian persediaan telah usang,
atau harga jualnya telah menurun (PSAK 14, par. 26, 2008). Oleh karena itu
perusahaan mengestimasi nilai realisasi neto untuk semua persediaan sapi
sebesar Rp 1.798.250.000.000 di bawah nilai biaya persediaannya. Padahal
sapi yang terkontaminasi 85.000 sapi dan 35.000 anak sapi memiliki nilai
realisasi neto yang diestimasi perusahaan adalah Rp 517.000.000.000 (85.000
sapi x Rp 4.600.000 ditambah 35.000 anak sapi x Rp 3.600.000).
Kemudian PT Anggi menawarkan kepada PT Citra Rp 400.000.000.000
setelah biaya point-of-sale untuk hewan yang sudah terkontaminasi, jadi nilai
ini merupakan nilai wajar untuk hewan yang sudah terkontaminasi. Nilai ini
lebih rendah daripadi nilai realisasi neto yang diestimasikan oleh perusahaan,
69
sehingga terdapat kerugian untuk persediaan hewan yang sudah
terkontaminasi ini.
Implikasi pada Laporan Keuangan
Neraca
Aset biolojik sebagai persediaan pada awalnya dicatat dengan nilai biaya
persediaannya, ternyata pada akhir periode akuntansi nilai realisasi netonya
lebih rendah daripada biaya persediaanya, maka di Neraca nilai persediaan
aset biolojik akan disesuaikan menurut nilai realisasi neto yang lebih rendah
yaitu dari Rp 1.885.625.000.000 menjadi Rp 1.798.250.000.000. Selanjutnya
nilai persediaan akan berkurang karena ada penjualan sapi yang telah
terkontaminasi. Persediaan memiliki nilai realisasi neto sebesar Rp
1.798.250.000.000 kemudian dikurangi dengan sapi yang telah terjual yaitu
pada nilai realisasi neto sebesar 85,000 sapi x Rp 4.600.000 and 35,000 anak
sapi x Rp 3.600.000, total Rp 517.000.000.000 jadi sisanya. Rp
1.281.250.000.000 (1.798.250.000.000 - Rp 517.000.000.000) tercatat di
Neraca.
Laporan Laba Rugi
Selisih antara biaya persediaan dengan nilai realisasi neto dicatat sebagai
kerugian akibat revaluasi persediaan di Laporan Laba Rugi yaitu sebesar Rp
87.375.000.000 (Rp 1.885.625.000.000 dikurangi Rp 1.798.250.000.000).
70
Adanya kerugian perubahan harga sapi karena terkontaminasi harus diakui
pada periode ini juga, yaitu sebesar:
Nilai realisasi bersih:
85,000 sapi x Rp 4.600.000 = Rp 391.000.000.000
35,000 anak sapi x Rp 3.600.000 = Rp 126.000.000.000
Total Rp 517.000.000.000
Fair value Rp (400.000.000.000)
Kerugian Rp 117.000.000.000
Kerugian tersebut akan ditambahkan pada Laporan Laba Rugi perusahaan.
Pengungkapan
Menambahkan informasi tentang jumlah setiap penurunan nilai yang
diakui sebagai pengurang jumlah persediaan yang diakui sebagai beban dalam
periode berjalan (PSAK 14, par. 34, 2008) untuk kasus ini adalah
pengungkapan tambahan karena kontaminasi.
Pada contoh di atas telah dijelaskan bagaimana mensimulasikan peraturan IAS
41 apabila diterapkan untuk persediaan aset biolojik sekaligus perlakuan
akuntansinya ketika terkena wabah penyakit. Kemudian dalam kenyataannya pada
peternakan sapi “Neo Farming”, pengukuran aset biolojik, yaitu sapi, mirip dengan
71
standar IAS 41. Pada saat menentukan harga perolehan, peternak menggunakan harga
yang ada di pasar, serta mempertimbangkan kualitas sapi, perkiraan biaya
operasional, perkiraan harga jual, dan keuntungan pada waktu penjualan. Biaya
operasional meliputi biaya angkut, biaya perawatan sapi, biaya pangan, serta biaya
administrasi dan umum.
Pada saat pelaporan di neraca, baik sapi perah yang merupakan BBA dan sapi
pedaging yaitu CBA dijadikan dalam satu akun persediaan sapi, karena diasumsikan
sapi perah bisa suatu saat dijual dan sapi yang diambil dagingnya juga bisa diperah
susunya. Peternakan ini mengembangbiakkan sapinya sendiri, sehingga pada saat sapi
betina melahirkan, anak sapi diukur dengan memperhitungkan biaya untuk proses
kelahiran, seperti biaya dokter, obat-obatan, dan bonus pegawai. Setelah sapi
pedaging dibesarkan sapi kemudian dijual, harga jualnya diukur berdasarkan harga
pasar. Harga pasar diterima peternak apabila minimum berada pada harga perolehan
ditambah biaya operasional serta keuntungan yang diinginkan. Dalam penentuan
harga pasar ini peternak tidak menemui kendala yang berarti karena berpatokan juga
dengan harga daging yang berada di pasaran. Sebagai misal harga daging di pasaran
Rp 100.000/kg, harga sapi 45% x Rp 100.000/kg = Rp 45.000/kg, karena 55%
diasumsikan merupakan bagian tubuh sapi selain daging.
Harga jual sapi juga bisa mengalami penurunan yang mengakibatkan peternak
rugi. Penurunan tidak disebabkan oleh isu penyakit pada hewan melainkan keadaan
fisik sapi itu sendiri yaitu sapi kakinya cacat akibat terjatuh sehingga risiko
72
kematiannya meningkat. Hal ini diantisipasi penjual dengan langsung segera
menjualnya. Harga jualnya tentu lebih kecil dengan sapi normal, yaitu hanya bisa
dijual dengan harga 30% dari harga perolehan sapi tersebut. Kemudian apabila sapi
terinfeksi oleh penyakit maka sapi tersebut akan dimusnahkan sehingga akan
mengurangi persediaan sapi di Neraca dan diakui sebagai kerugian.
Di tahun belakangan banyak sapi impor yang masuk ke Indonesia. Sapi impor ini
digunakan pada industri pengolahan daging sapi, sedangkan menurut peternak, sapi
lokal belum mampu menembus industri. Sehingga sapi impor bisa merusak harga sapi
lokal, dikarenakan supply (penawaran) lebih banyak daripada demand (permintaan)
mengakibatkan harga sapi jadi turun.
Pengungkapan (Disclosure)
Pengungkapan menurut kedua standar ini tidak jauh berbeda. Keduanya memiliki
kemiripan dalam pengungkapan kemungkinan karena IAS 41 Agriculture dan PSAK
14 Persediaan (hasil adopsi IAS 2 Inventories) dikeluarkan oleh International
Accounting Standard Board (IASB). IAS 41 mencakup semua hal yang perlu
diungkapkan mengenai aset biolojik sebagai persediaan. CBA juga dijelaskan secara
rinci bagaimana cara pengungkapannya dan bagaimana pengklasifikasiannya. Secara
umum, kedua standar mewajibkan entitas untuk mengungkapkan tentang penjelasan
dari aset yang dimiliki entitas, kebijakan akuntansi yang digunakan, perubahan
berkaitan dengan aset yang dimiliki, risiko untuk aset, dan cara yang dihadapi untuk
menyelesaikan risiko tersebut.
73
Perbedaaan pengungkapan kedua standar ini ialah pada metode pengukuran yang
berbeda. IAS 41 lebih menekankan pengungkapan dalam pengukuran menggunakan
nilai wajar, sedangkan pada PSAK 14 lebih cenderung untuk mengungkapkan biaya-
biaya yang terkait dengan persediaan. Tetapi antara IAS 41 dan PSAK 14 sama-sama
mengharuskan untuk mengungkapkan jumlah tercatat persediaan dengan nilai wajar
dikurangi biaya untuk menjual. Keduanya juga mewajibkan pengungkapan jika ada
penurunan nilai dari aset. Oleh karena itu PSAK 14 mampu mengakomodir
pengungkapan aset biolojik sebagai persediaan karena adanya persamaan tersebut,
juga pada PSAK 14 perlu ditambahkan pengungkapan untuk nilai akibat
pertumbuhan alami aset biolojik sebagai persediaan, tidak hanya penurunan nilainya
saja.
Beberapa perusahaan di China, sudah mengungkapkan (disclose) Consumable
Biological Asset (CBA) di dalam akun persediaan (Tang et al. 2013). Penelitian ini
memiliki objek dari laporan keuangan semi-annual tahun 2012 dari 45 perusahaan
agrikultur yang terdaftar (listed). Dari 45 perusahaan tersebut, 28 perusahaan
mengungkapkan CBA pada akun persediaan dan hanya 1 perusahaan
mengungkapkannya pada akun non current asset.
Penelitian Tang et al. (2013) tersebut juga memaparkan kendala yang dihadapi
perusahaan dalam mengungkapkan informasi berkaitan dengan aset biolojik yaitu
ketidakjelasan pengungkapan kegiatan pertanian tertentu, sebagian besar informasi
rahasia dari aset biolojik dan produk pertanian tidak terdaftar, informasi aset biolojik
74
diungkapkan tidak memadai, informasi mengenai aset biolojik perusahaan yang tidak
bisa diperbandingkan, dorongan dari risiko bisnis pertanian tidak memadai, dan
kurangnya pengungkapan kebijakan akuntansi dan estimasi akuntansi tentang aset
biolojik. Penemuan selanjutnya masalah tersebut disebabkan karena akuntansi yang
belum memadai, tingginya biaya keterbukaan informasi, kebutuhan untuk
mempertahankan atau menaikkan harga saham, dan pengawasan pasar yang tidak
memadai. Sehingga Tang et al. menyarankan untuk menambah persyaratan
pengungkapan dalam standar akuntansi atas aset biolojik, memperkuat pengawasan
pasar surat berharga, memberikan wewenang penuh terhadap fungsi regulasi dari
audit sosial, meningkatkan tata kelola internal perusahaan yang terdaftar.
7. KESIMPULAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih khusus perlakuan
persediaan aset biolojik menurut IAS 41 tentang Agriculture, sebagai standar
akuntansi keuangan internasional, dan PSAK 14 tentang persediaan, sebagai standar
akuntansi keuangan yang digunakan di Indonesia dengan cara membandingkan
perlakuan persediaan aset biolojik berdasarkan IAS 41 dengan PSAK 14 meliputi 1)
Tujuan, skopa dan definisi, 2) Pengakuan dan pengukuran, serta 3) Pengungkapan.
Tujuan, skopa, dan definisi dari IAS 41 lebih dikhususkan untuk aset biolojik,
baik BBA maupun CBA. Di dalam IAS 41 juga terdapat definisi penting untuk
75
istilah-istilah aktivitas agrikultur yang lebih lengkap daripada PSAK 14. Dalam hal
pengakuan, antara IAS 41 dan PSAK 14 tidak ada perbedaan yang signifikan karena
PSAK 14 merupakan hasil adopsi standar buatan IASB (International Accounting
Standar Board).
Perbedaan yang signifikan terdapat pada pengukuran aset biolojik sebagai
persediaan. IAS 41 mengukur CBA dengan menggunakan fair value. Sedangkan
PSAK 14 menggunakan metode biaya dan nilai realisasi bersih. Akan tetapi
sebenarnya nilai realisasi bersih didapatkan dari nilai wajar dikurangi dengan biaya
untuk menjual. Pengukuran CBA di lapangan juga diukur dengan nilai wajar untuk
menentukan harga jualnya. Dari segi pengungkapan, kedua standar ini tidaklah jauh
berbeda, karena IAS 41 dikhususkan untuk aktivitas agrikultur maka dari itu panduan
pengungkapan untuk aset biolojik sebagai persediaan lebih lengkap jika dibandingkan
PSAK 14.
Berdasarkan kesimpulan di atas maka PSAK 14 sudah mencakup CBA (aset
biolojik sebagai persediaan) dengan penambahan beberapa informasi pada definisi,
pengakuan dan pengukuran, serta pengungkapan persediaan menurut PSAK 14.
Informasi tersebut adalah pada definisi persediaan ditambahkan untuk proses
produksi secara alami oleh aset biolojik sebagai persediaan. Selanjutnya pada
pengakuan dan pengukuran ditambahkan bahwa nilai realisasi neto sama dengan nilai
wajar dikurangi biaya untuk menjual seperti pada pengukuran CBA di IAS 41.
Pengungkapan di PSAK 14 tentang persediaan juga ditambahkan pengungkapan
76
untuk pertumbuhan alami aset biolojik sebagai persediaan yaitu transformasi
biolojiknya.
Saran
Penelitian ditujukan untuk memberikan pertimbangan kepada pihak penyusun
standar akuntansi internasional IASB (International Accounting Standard Board)
secara umum, secara khusus untuk regulator akuntansi di Indonesia yaitu DSAK
(Dewan Standar Akuntansi Keuangan). Bagi IASB sebaiknya membedakan perlakuan
akuntansi antara BBA dan CBA baik dari segi pengukuran dan pengungkapannya.
Standar IAS 41 ini lebih baik hanya diterapkan untuk CBA saja, sebab perlakuan
akuntansinya mayoritas diperuntukkan untuk CBA.
Bagi DSAK sebaiknya mengadopsi IAS 41 untuk membuat standar akuntansi
bagi CBA karena standar IAS 41 cukup relevan jika diterapkan untuk CBAPerlakuan
aset biolojik yang dimasukkan sebagai persediaan di lapangan juga sudah
menggunakan pengukuran yang mirip dengan peraturan pengukuran di IAS 41.
Sehingga tidaklah sulit bagi perusahaan yang memiliki CBA apabila menerapkan
standar IAS 41. Istilah-istilah dan pengungkapannya saja yang mungkin perlu
disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Apabila DSAK tidak mengadopsi penuh
IAS 41 tentang Agriculture, sebenarnya PSAK 14 tentang Persediaan sudah
mengakomodir perlakuan akuntansi bagi CBA dengan beberapa tambahan penjelasan
baik di definisi, pengakuan dan pengukuran, serta pengungkapannya, seperti yang
telah dijelaskan pada kesimpulan di atas.
77
Keterbatasan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagian besar dengan
mengumpulkan informasi secara konseptual saja untuk menjawab masalah yang ada,
baik dari standar akuntansi keuangan dan penelitian terdahulu. Peneliti juga hanya
mengambil objek satu perusahaan dan perusahaan ini belum berbadan usaha serta
tidak go public, sehingga penelitian ini belum bisa mewakili perlakuan akuntansi
perusahaan di Indonesia dan bagaimana permasalahan aktual yang terjadi secara
global. Selain itu peneliti berfokus pada perlakuan akuntansi aset biolojik sebagai
persediaan yang dijual dan dibeli di dalam negeri, tidak membahas perlakuan
akuntansi apabila aset biolojik sebagai persediaan diekspor maupun diimpor.
Acuan penelitian sebelumnya mayoritas berasal dari luar Indonesia yang
negaranya sudah menerapkan IAS 41. Penelitian tentang aset biolojik sebagai
persediaan di Indonesia belum banyak dilakukan, kemungkinan karena Indonesia
memang belum mengadopsi IAS 41. Keadaan negara lain yang sudah menerapkan
IAS 41 pun juga berbeda dengan negara Indonesia dari segi iklim maupun aset
biolojik yang diukur, jadi tidak bisa dijadikan tolak ukur secara mutlak. Pada
penelitian selanjutnya sebaiknya lebih banyak beracuan pada penelitian yang sudah
dilakukan di Indonesia sehingga bisa memberikan masukan yang lebih relevan untuk
Dewan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia. Selanjutnya penelitian mendatang
sebaiknya lebih memfokuskan kepada praktik akuntansi aset biolojik di suatu
perusahaan sehingga bisa diketahui pencatatan akuntansi yang tepat untuk aset
78
biolojik. Selain itu sebaiknya juga dilakukan pembahasan perlakuan akuntansi aset
biolojik di perusahaan yang melakukan ekspor dan impor aset biolojik karena akan
mempengaruhi pengukuran nilai wajar pada aset biolojik.
79
DAFTAR PUSTAKA
AASB 141 Agriculture, ACT AIFRS Policy Summary AASB 141.
Anthony, Robert N., David F. Hawkins, Kenneth A. Merchant, 2007, Accounting:
Text & Cases Twelfth Edition, McGraw-Hill.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian
Indonesia. Kementerian Pertanian-Republik Indonesia.www.litbang.deptan.go.id.
2 April 2013.
Badan Pusat Statistik, 2012, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Berita Resmi Statistik
No. 13/02/Th. XV.
Bhakir, Mohamed Iskandar Thurrun, 2010, “Applying IAS 41 in Malaysia”,
Accountants Today March, hal. 32.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan, 2009, Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan, DSAK- IAI, Jakarta.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan, 2008, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
14 tentang Persediaan, DSAK- IAI, Jakarta.
ECCB, “Fair Value Measurement for Assets”, Joint World Bank and IFRS
Foundation „Train The Trainers‟, workshop hosted by the 30 April to 4 May
2012.
Elad, Charles, Kathleen Herbohn, 2011, “Implementing Fair Value Accounting In
The Agricultural Sector”, The Institute of Chartered Accountants of Scotland,
Edinburgh.
Gamayuni, Rindu Rika, 2009, “Perkembangan Standar Akuntansi Keuangan
Indonesia Menuju International Financial Reporting Standards”, Jurnal
Akuntansi dan Keuangan, Vol. 14 No. 2 Juli 2009.
80
Godfrey, Jayne, Allan Hodgson, Ann Tarca, Jane Hamilton, Scott Holmes, 2010,
Accounting Theory 7th Editon, John Wiley & Sons Australia, Ltd.
Hongkong Accounting Standard 41 Agriculture, HKAS 41 Revised June 2010.
Indonesia Accounting Fair 14, 2012, Universitas Indonesia, Indonesia.
International Accounting Standard Committe, 2009, International Accounting
Standart 41: Agriculture Assets, IASCF.
Kieso, Donald E., Jerry J.Weygandt, Terry D. Warfield Ph. D, 2011, Intermediate
Accounting Vol. 1, John Wiley & Sons, United Stated of America.
Klaas, Ferry Sayosky, 2013, Komparasi Akuntansi untuk Aset Biolojik menurut IAS
41 dan PSAK 16. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana (tidak dipublikasikan).
Pricewaterhousecoopers (PWC). 2009. A Practical Guide to Accounting for
Agricultural Assets.
Sedláček, Jaroslav, 2010, “The Methods of Valuation in Agricultural Accounting”,
Agric. Econ. – Czech, 56, hal. 59–66, Czech Republic: Masaryk University.
Sekaran, Uma, 2006, Metodologi Penelitian untuk Bisnis Edisi 4, Salemba Empat,
Jakarta.
Suwardjono, 2006, Teori Akuntansi dan Perekayasaan Laporan Keuangan, BPFE
Yogyakarta.
Tang, Qing-wan, Peng Gao, Gang Fu, 2013, “Research on Information Disclosure of
Biological Assets of Agricultural Listed Company in China”, Interdisciplinary
Journal of Contemporary Research in Business, Institute of Interdisciplinary
Business Research March 2013 Vol. 4, No. 11.
81
Whittington, Geoffrey, 1994, “Current Cost Accounting: Its Role in Regulated
Utilities”, Fiscal Studies vol. 15, no. 4, pp. 88-101.
www.iaiglobal.or.id, 2013. Laporan dari London - Malaysia: Revisi IAS 41 Susah
Diaplikasikan. http://www.iaiglobal.or.id/v02/berita/detail.php?catid=&id=574.
Tanggal akses 15 Oktober 2013.
82
LAMPIRAN 1
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
IDENTITAS PERUSAHAAN
1. Nama Perusahaan 2. Tahun berdiri:
3. Alamat – Jalan 4. Telp:
5. Desa/Kelurahan 6. RT/RW:
7. Kecamatan
8. Pemilik Perusahaan 9. 10. Usia: 11. Pendid:
12. Pimpinan Perusahaan 13. 14. Usia:
15. Pendid:
16. Hubungan Pemilik-
Pemimpin Perusahaan
1. Sama 2. Suami/istri 3. Ortu/anak
4. Kel dekat 5. Kel jauh 6. Orang lain
17. Produk Utama
18. Produk Lain 1. 2.
3. 4.
19. Jangkauan Pasar 1. Dalam Negeri:
2. Luar Negeri: Negara ….……………..
Pengakuan dan Pengukuran
1. Sapi diambil susunya atau dagingnya?
2. Peternakan ini mengembangbiakkan sendiri atau beli langsung jual?
3. Pelaporan keuangannya sudah pembukuan atau masih pencatatan?
4. Sapi dicatat sebagai apa di laporan keuangan?
5. Sistem perdagangannya bagaimana? Memakai modal sendiri semua yaitu profitnya
untuk diri sendiri, atau bagi hasil dengan petani sapi?
6. Beli cara menentukan harga beli (harga perolehan) bagaimana?
83
7. Ternak sendiri, saat menentukan harga waktu pertama kali lahir menurut apa?
8. Waktu dijual, cara menentukan harga jual bagaimana? Apakah berdasarkan harga
sapi, harga daging di pasaran? Atau berdasarkan harga beli ditambah biaya yang
sudah dikeluarkan selama perawatan dari beli atau lahir sapi tersebut?
9. Waktu ada wabah penyakit, apakah pernah sapi terkena serangan penyakit tersebut?
Kalau terkena apakah tetap dijual atau dibunuh atau bagaimana? Tentu harganya di
pasaran akan turun.
Dijual, pengukuran harga berdasarkan apa? Tetap harga beli ditambah biaya atau
harga yang mau dibeli oleh pasar?
Dibunuh, pengakuan kerugian bagaimana?
Perlakuan yang lainnya?
Bagaimana menentukan nilai dari sapi tersebut apabila terkena penyakit?
10. Waktu ada isu penyakit saja bagaimana dampak dari harga sapi? Apakah harga
langsung menurun? Tapi apabila menurun, apakah harga jual tersebut tetap lebih
tinggi dari harga beli ditambah biaya yang dikeluarkan?
11. Kendala apa yang dialami saat mengukur atau menentukan nilai/harga sapi?
12. Apakah pernah menerima bantuan dana dari pemerintah? Diakui sebagai apa?
13. Apakah sapi tersebut harganya setiap tahun bertambah, menurun, atau cenderung
stabil? (perubahan harga)
14. Kalau misalnya harga beli ditambah biaya yang dikeluarkan lebih besar dari harga
jual, bagaimana? Atau pasti harga jual di pasar lebih besar dari harga beli ditambah
biaya yang dikeluarkan?
15. Harga daging sapi di pasar akhir-akhir ini cenderung mengalami kenaikan terus-
menerus, karena apa? Dampak dari peternakan lokal? Apakah karena harga belinya
ditambah biayanya juga naik? Permintaan banyak tapi supply nya sedikit? Sapi susah
untuk dikembangbiakkan?
16. Di era globalisasi, ada produk sapi impor yang harga nya lebih murah dari produk
lokal, bagaimana cara mensiasati supaya produk lokal tidak kalah bersaing?
Harganya diturunkan?
84
LAMPIRAN 2
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Citra Anggita Wardanti
Alamat : Jl. Janoko 1, Ngemplak, Dukuh, Salatiga 50722.
Tempat, tanggal lahir : Salatiga, 31 Agustus 1992
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No. telepon : 085728784602
Email : [email protected] / [email protected]
Latar Belakang Pendidikan :
1. SD Negeri Mangunsari 5 Salatiga (1998 - 2004)
2. SMP Negeri 1 Salatiga (2004 – 2007)
3. SMA Negeri 1 Salatiga (2007 - 2010)
4. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Progdi Akuntansi, Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga (2010-2014)
Pengalaman Organisasi :
1. Panitia (Sie. Sekretariat) “E-GOAL” Makrab Fakultas Ekonomika dan Bisnis
UKSW (2011).
2. Panitia (Sie. Wali) Social Evening “LEGEND” Fakultas Ekonomika dan
Bisnis UKSW (2012).
3. Fungsionaris Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW (2012-
2013).
Workshop & Seminar :
1. Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 tentang Otoritas Jasa Keuangan, 23
April 2012.
85
2. Seminar Nasional “Peran Akuntansi dalam Perekonomian Global dan
Borderless Economy”, 4-5 April 2012.
3. Seminar Nasional “Penyusunan Laporan Keuangan Berbasis SAK 2010 dan
SAK ETAP”, 5-6 April 2011.
4. Seminar Nasional Kewirausahaan “Inspire, Instruct, Improve: Other Side of
Business”, 7 Maret 2012.
5. Seminar Nasional “Green Accounting, Wujud Kepedulian Akuntan dalam
Pembangunan Indonesia yang Berkelanjutan”, 24 November 2012.
Pengalaman Bekerja :
1. Asisten Dosen Pengantar Statistika Fakultas Ekonomika dan Bisnis (Semester
Gasal 2012-2013).
2. Asisten Dosen Akuntansi Keuangan Menengah 2 dan Akuntansi Keuangan
Lanjutan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (Semester Genap 2012-2013).
3. Asisten Dosen Lab. Akuntansi Biaya Fakultas Ekonomika dan Bisnis
(Semester Antara 2012-2013).
Prestasi :
1. Juara III Lomba Akuntansi Beregu tingkat Nasional di Universitas Sebelas
Maret Surakarta tahun 2012.
2. Juara II Lomba Akuntansi Beregu tingkat Nasional di Universitas Sebelas
Maret Surakarta tahun 2013.
.