Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA
PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN KETAMIN 0,1 MG/KGBB/JAM DENGAN PARASETAMOL 1 GR/8 JAM
DAN PETIDIN 0,1 MG/KGBB/JAM SEBAGAI MULTIMODAL ANALGESIA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA
COMBINATION EFFECT COMPARISON BETWEEN PARACETAMOL AND KETAMINE WITH PARACETAMOL
AND PETHIDINE AS A MULTIMODAL ANALGESIA ON POST-CAESAREAN SECTION SURGERY
FAISAL
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
2
PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA
PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN KETAMIN 0,1 MG/KGBB/JAM DENGAN PARASETAMOL 1 GR/8 JAM
DAN PETIDIN 0,1 MG/KGBB/JAM SEBAGAI MULTIMODAL ANALGESIA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Biomedik
Disusun dan Diajukan Oleh
FAISAL
kepada
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
3
PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN KETAMIN 0,1
MG/KGBB/JAM DENGAN PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN PETIDIN 0,1 MG/KGBB/JAM SEBAGAI MULTIMODAL
ANALGESIA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Biomedik
Disusun dan Diajukan Oleh
FAISAL
kepada
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
4
TESIS
PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI ANTARA PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN KETAMIN 0,1
MG/KGBB/JAM DENGAN PARASETAMOL 1 GR/8 JAM DAN PETIDIN 0,1 MG/KGBB/JAM SEBAGAI MULTIMODAL
ANALGESIA PASCABEDAH SEKSIO SESARIA
Disusun dan diajukan oleh :
FAISAL
Nomor Pokok: P1507210169
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 28 Februari 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat,
Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD, SpAn Dr. dr. Muh. Ramli A, SpAn-KAP-KMN Ketua Anggota
Ketua Program Studi Biomedik Direktur Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin
Prof. dr. Rosdiana Natzir, Ph.D Prof. Dr. Ir. Mursalim
5
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Faisal
No.Stambuk : P1507210169
Program Studi : Biomedik / PPDS Terpadu ( Combined
Degree) Degree) Fakultas Kedokteran UNHAS
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 28 Februari 2013
Yang menyatakan
Faisal
6
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan dan
merupakan karya akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis pada
Program Pendidikan Spesialis I (PPDSI) dibagian Anestesiologi, Unit
Perawatan Instensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran dan
Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree)
Program Studi Biomedik, Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
Makassar.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini tidak akan
terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya pada
kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih pada
Bapak Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD, SpAn-KIC-KMN, dan Bapak
Dr. dr. Muh Ramli Ahmad, SpAn-KAP-KMN selaku pembimbing tesis yang
telah banyak membimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran,
senantiasa memberikan dorongan kepada penulis sejak awal penyusunan
hingga penelitian ini rampung.
Ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya juga kepada
Bapak Dr. dr. Syafri K Arif, SpAn-KIC-KAKV, dr. Syafruddin Gaus, PhD,
SpAN-KMN dan Dr. dr. Burhanuddin Bahar, Ms ditengah kesibukannya
masih menyempatkan diri membantu penulis.
7
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ketua Bagian, Ketua Program Studi, dan seluruh staff pengajar
di Bagian Anestesiologi, Unit Perawatan Intensif dan Manajemen
Nyeri FK UNHAS. Rasa hormat dan penghargaan setinggi-
tingginya penulis haturkan atas bantuan dan bimbingan yang
telah diberikan selama ini, kiranya dapat menjadi bekal hidup
dalam mengabdikan ilmu saya di kemudian hari.
2. Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi Biomedik, beserta
seluruh staff pengajar pada Konsentrasi Pendidikan Dokter
Spesialis Terpadu (Combined degree) Program Biomedik Pasca
Sarjana Universitas Hasanuddin atas bimbingannya selama
penulis menjalani pendidikan.
3. Direktur dan staf RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
atas segala bantuan fasilitas dan kerjasama yang diberikan
selama penulis mengikuti pendidikan.
4. Semua Teman sejawat peserta Combined Degree dan Teman
sejawat PPDS-1 Anestesiologi, Unit Perawatan Intensif dan
Manajemen Nyeri FK UNHAS atas bantuan dan kerja samanya
selama ini.
5. Para penata anestesi dan perawat ICU serta semua paramedis
di Bagian Anestesiologi, Unit Perawatan Intensif dan Manajemen
Nyeri atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti
pendidikan.
8
6. Istri saya tercinta dr. Amirah M dan ananda Naura AR Faisal
yang selalu dengan penuh kesabaran dan pengertian
mendampingi saya dalam mengikuti pendidikan.
7. Ibunda tercinta Hj. Nurmin yang tidak henti-hentinya selalu
mendoakan dan memberi dukungan, tanpanya penulis tak akan
mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik.
8. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu
yang telah banyak membantu penulis secara langsung maupun
tidak dalam menyelesiakan tesis ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna bagi
perkembangan Ilmu anestesi dimasa yang akan datang. Tidak lupa
penulis juga mohon maaf bilamana ada hal-hal yang kurang berkenan
dalam penulisan tesis ini, karena penulis menyadari sepenuhnya tesis ini
masih jauh dari kesempurnaan.
Makassar, 28 Februari 2013
Faisal
9
DAFTAR ISI
PRAKATA iv
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
DAFTAR SINGKATAN xii
ABSTRAK xiv
ABSTRACT xv
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 8
1.3. Tujuan Penelitian 8
1.4. Hipotesis 9
1.5. Manfaat Penelitian 10
II. Tinjauan Pustaka 11
2.1. Nyeri Pascabedah 11
2.1.1. Mekanisme Nyeri Akut Pascabedah 14
2.1.2. Sensitisasi Perifer 19
2.1.3. Sensitisasi Sentral 22
2.2. Multimodal Analgesia 23
2.3. Farmakologi 26
2.3.1. Parasetamol 26
2.3.2. Ketamin 30
2.3.3. Petidin 32
2.3.4. Morfin 36
2.4. Numerical Rating Scale 37
III. Kerangka Konsep 41
IV. Metodologi Penelitian 42
10
4.1. Desain Penelitian 42
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 42
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 43
4.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 43
4.5. Perkiraan Besar Sampel 43
4.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 44
4.7. Izin Penelitian dan Etical Clearence 45
4.8. Cara Kerja 45
4.8.1. Alokasi Subyek 45
4.8.2. Cara Penelitian 46
4.9. Alur Penelitian 49
4.10.Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Penelitian 51
4.11.Definisi Operasional 52
4.12.Kriteria Obyektif 54
V. Hasil Penelitian 58
5.1. Analisis Karakteristik Sampel 58
5.2. Analisis Intensitas Nyeri Pascabedah 60
5.3. Analisis Perubahan Tekanan Arteri Rerata, Laju jantung 63
5.4. Analisis Kebutuhan Analgetik Tambahan (morfin) 66
5.5.Analisis Efek Samping 69
VI. Pembahasan 70
VII. Kesimpulan dan Saran 75
Daftar Pustaka 77
11
DAFTAR TABEL
nomor Halaman
1. Karakteristik sampel 59
2. Intesitas nyeri pascabedah 61
3. Perubahan tekanan arteri rerata 64
4. Perubahan laju jantung 65
5. Perubahan laju napas 66
6. Jumlah analgetik tambahan morfin 24 jam 67
7. Jumlah Penderita yang mengalami efek samping 69
12
DAFTAR GAMBAR
nomor Halaman
1. Inflamatory soup 20
2. Sensitisasi Perifer 21
3. Sensitisasi Sentral 23
4. Nosiseptif dan Multimodal Analgesia 26
5. Reseptor NMDA 32
6. Mekanisme penghambatan opioid terhadap pelepasan neurotran
Mittter 35
7. Lokasi dari reseptor opioid pada tiga level pain pathway 37
8. Numerical Rating Scale 38
9. Kerangka Teori 40
10. Kerangka Konsep 41
11. Alur Penelitian 49
12. Grafik insetitas nyeri istirahat 62
13. Grafik intesitas nyeri bergerak 63
14. Grafik perubahan tekanan arteri rerata 64
15. Grafik perubahan laju jantung 65
16. Grafik perubahan laju napas 66
17. Grafik proporsi pasien yang mendapat rescue analgesia 68
13
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1. Persetujuan mengikuti penelitian 81
2. Lembar pengamatan 82
3. Advers event form 84
4. Contoh surat ke dokter primer 85
5. Ethical Clearance 86
14
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/singkatan Arti dan keterangan
ATP
AINS
AMPA
ASA PS
BB
Ca+
COX-2
Da
DOP
µg, mg, kg
G
GCPR
Glu
H+
5 HT
K+
KOP
IM
IV
IASP
LLD
MOP
Adenosin Tri Phosfat Anti Inflamasi Non Steroid α-amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-isoxazole-propionate American Society Anestesiologist Phisical Status Berat Badan Calcium Cyclooxygenase- 2 Dalton Delta Opioid Receptor Microgram, milligram, kilogram Gauge Guanine (G) Protein-Coupled Receptor Glutamate Hidrogen 5-hydroxytriptamine Kalium Kappa Opioid Receptor Intra Muskular Intra Vena International Association for the Study of Pain Left Lateral decubitus Mu Opioid Receptor
15
Na+
NK
NMDA
NSAIDs
NOP
AINS
NS
NRS
ORL1
PONV
PACU
PCA
PG
PGE2
PGE2EP1
RSIA
S.C.
SC.
WDR
Natrium Neurokinin N-methyl-D-Aspartic Acid Non Steroid Anti Inflamasi Drugs Nociceptin Opioid Receptor NonSteroidAnti InflamasiDrugs Normal Salin/ Neuron specific Numeric Rating Scale Orphan Opioid Like Reseptor Post Operatif Nausea and Vomiting Post anesthesia Care Unit Patient Control analgesia Prostaglandin Prostaglandin E2 Prostaglandin E2 subtype EP1 Rumah Sakit Ibu dan Anak Seksio Caesaria Sub Cutaneus Wide Dinamic Range
16
Abstrak
Nyeri pascabedah seksio sessaria masih menjadi masalah oleh
karena masih tingginya angka nyeri sedang-berat dan akan berpengaruh
terhadap ibu dan pengasuhan bayi. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan efek ketamin 0,1mg/kgBB/jam dengan petidin 0,1
mg/kgBB/jam sebagai kombinasi terhadap parasetamol 1gr/8 jam sebagai
multimodal analgesia pascabedah seksio sesaria. Dilakukan penelitian
eksperimental secara acak tersamar tunggal terhadap 60 pasien hamil
dengan status fisik (ASA PS) I-II yang akan menjalani persalinan seksio
sessaria dengan anestesi spinal. Subyek penelitian dibagi dalam dua
kelompok perlakuan yang masing-masing ketamin 0,1 mg/kgBB/jam
perinfus (n=30) atau petidin 0,1 mg/kgBB/ jam perinfus (n=30) sebagai
analgesia pascabedah yang dikombinasikan dengan parasetamol tablet
oral 1 gr/8 jam peroral. Penilaian terhadap nyeri dengan NRS selama 24
jam pengamatan. Perubahan tekanan arteri rerata, laju jantung, efek
samping dan kebutuhan analgesia tambahan dicatat. Data diolah dan
dianalisa dengan uji statistik menggunakan uji t dan chi-square dengan
derajat kemaknaan p<0,05. Hasil penelitian menunjukkan sebaran nyeri
sedang-berat pada saat istirahat hanya sekitar 10% dengan kebutuhan
analgesia tambahan (morfin) yang cukup rendah. Perubahan tekanan
arteri rerata dan laju jantung dan efek samping minimal. Secara statistik
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari kedua kelompok
perlakuan. Disimpulkan bahwa tidak perbedaan efek dari pemberian
kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan ketamin 0,1
mg/kgBB/jam dengan kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan
petidin 0,1 mg/kgBB/jam, serta memiliki efek yang baik dalam
menurunkan nyeri pascabedah seksio sesaria
Kata kunci : Parasetamol, ketamin, petidin, seksio sesaria, nyeri
pascabedah
17
Abstract:
Pain after cesarean still a problem because of the high number of
moderate to severe pain and will affect maternal and infant care. This
research aimed to compare the effects of ketamine 0.1 mg/kgBW/hr and
pethidine 0.1 mg/kgBW/ hr as the combination of the acetaminophen 1
gr/8 hrs as the multimodal analgesia of the post section cesarean surgery.
This was an experimental study single-blind random sampling on 60
pregnant patients with the physical status of I-II who underwent the
cesarean section with the spinal anesthesia. The research subjects were
divided into two treatment groups, i.e. ketamine 0.1 mg/kgBW/hr per
infusion (n = 30) or pethidine 0.1 mg / kg / hr per infusion (n = 30) as the
post surgery analgesia which was combined with tablet oral paracetamol 1
gram/8 hours per oral. The assessment of pain with NRS was carried out
for 24 hours of observation. The change in mean arterial pressure and
heart rate, side effects and additional analgesic necessity (morphine) were
recorded. The data were processed and analyzed by the statistic test
using t-test and chi-square test with the significance level of p <0.05. The
research results indicates that the number of moderate and severe pain at
rest about 10%, and additional analgesic necessity is minimal. The
changes of the blood pressure, the heart rate, and side effects are minimal
or absent. Statistically they are not significantly different (p> 0.05). The
conclusion is there‟s no difference from the combination of tablet oral
paracetamol 1 gr/8 hrs with ketamine infusion0,1mgkgbw/hr and
paracetamo tablet oral 1gr/8 hrs with pethidine 0,1 mg/kgbw/hr and they
has a good effect in reducing postoperative pain cesarean section
Keywords: Paracetamol, ketamine, pethidine, cesarean section,
postoperative pain
18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Penangan nyeri pascabedah seksio sesaria memerlukan perhatian
tersendiri oleh karena harus mempertimbangkan dua faktor, yakni ibu dan
bayinya. Penanganan nyeri akut yang efektif akan memperbaiki mobilitas
ibu sehingga mengurangi resiko tromboemboli yang meningkat selama
kehamilan, juga memungkinkan ibu menyusui dan merawat bayinya.
Nyeri akut akibat pembedahan akan memberi dampak luas pada pasien
seperti gangguan kardiovaskuler, respirasi, sistem endokrin, keterbatasan
dalam merawat bayi yang penting di masa awal persalinan, bahkan dapat
berkembang menjadi nyeri kronik yang juga berdampak terhadap
gangguan fungsi sosial. Penanganan nyeri akut pascabedah yang efektif
diperlukan agar dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas,
memperpendek lama tinggal di rumah sakit dan masa penyembuhan
pasien pascabedah, dan memperbaiki fungsi sosial ibu terutama dalam
merawat bayinya serta mencegah terjadinya nyeri kronik (Voscopous &
Lema, 2010).
Meskipun pengetahuan tentang penanganan nyeri akut
pascabedah mengalami kemajuan yang sangat pesat, tetapi dari hasil
penelitian Apfelbaum dkk (2003) pada 250 pasien di Amerika Serikat yang
19
menjalani pembedahan, terdapat sekitar 80% pasien mengalami nyeri
akut pascabedah. Beauregard dkk melaporkan bahwa 40% pasien
mengalami nyeri sedang hingga berat selama 24 jam pertama setelah
operasi (Apfelbaun et al., 2003).
Hal yang sama dilaporkan oleh Sommers dkk (2008), bahwa
prevalensi nyeri pascabedah di University Hospital Maastrict Belanda
pada 1490 pasien pascabedah yang menerima penatalaksanaan nyeri
sesuai standar protokol, hasilnya adalah 41% mengalami nyeri sedang
dan berat pada hari 1-4. Prevalensi nyeri pascabedah abdominal
kelompok nyeri sedang dan berat pada hari 0-1 adalah 30-55%.
Prevalensi nyeri pascabedah ekstremitas kelompok nyeri sedang dan
berat pada hari 1-4 adalah 20-71% dan 30-64% pada operasi tulang
belakang (Sommers et al., 2008).
Penelitian untuk mendapatkan obat analgesik yang ideal masih
terus berlanjut, dimana diharapkan adanya obat atau kombinasi obat yang
mempunyai analgesia kuat dengan efikasi yang tinggi dan efek samping
yang sedikit. Konsep multimodal analgesia telah diperkenalkan lebih dari
satu dekade yang lalu, untuk mencapai analgesia yang adekuat dengan
menggunakan beberapa jenis analgetik yang berbeda, sehingga
kebutuhan penambahan dosis analgetik dan efek samping menurun.
Sekarang ini the American Society of Anesthesiology Task Force on Acute
Pain Management dan the Agency for Health Care research and Quality
20
menganjurkan penggunaan pendekatan multimodal analgesia dalam
penangan nyeri akut (Ashburn et al., 2004).
Parasetamol merupakan obat analgesik antipiretik yang bekerja
secara sentral, bukan golongan opioid ataupun AINS, dapat diberikan
peroral, intravena, maupun rektal. Dalam beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian paracetamol sebagai analgesia pasca
bedah, baik diberikan secara tunggal ataupun kombinasi memperlihatkan
efek yang sangat baik dengan efek samping yang sangat minimal.
Parasetamol atau sering disebut acetaminophen merupakan obat yang
sangat murah, terdapat diseluruh wilayah Indonesia dengan rentang dosis
yang sangat besar dan efek samping yang hampir tidak ada. Dengan
demikian parasetamol menjadi salah satu agen terpilih penatalaksanaan
nyeri pasca bedah (Smith, 2009). Hal yang sama dengan Christopher dkk
(1997) mendapatkan bahwa parsetamol lebih efektif dalam manajemen
nyeri pasca bedah setelah membandingkan antara parasetamol dengan
kodein dan ibuprofen pada operasi tonsilektomi usia muda. Sejalan
dengan Varrassi dkk (1999) mendapatkan efikasi analgesia yang sama
antara proparasetamol 2 gram dengan ketorolac 30 mg yang dikombinasi
morfin PCA pada pasien pasca operasi gynekologik. Demikian pula
dengan Koppert dkk (2006) memperlihatkan bahwa tidak perbedaan yang
bermakna terhadap fungsi ginjal setelah membandingkan efek
parasetamol dan parecoxib dengan kontrol plasebo terhadap fungsi ginjal
pada pasien geriatrik yang menjalani pembadahan ortopedik. Dan
21
diperkuat oleh Maund dkk (2011) dengan mixed treatment comparison
(MTC) analysis, tidak ada perbedaan dalam penurunan komsumsi morfin
antara parasetamol, COX selektif dan AINS yang diberikan sebagai ajuvan
PCA morfin sebagai multimodal analgesia pasca operasi mayor.
Ketamin merupakan turunan dari phencyclidine, mulai ditemukan
pada tahun 1965 dan digunakan pertama kali dalam praktek klinik pada
tahun 1970. Penggunaan sebagai analgesia pasca bedah dengan dosis
rendah atau subanestesik dose (0,1-0,3 mg/kgBB) juga mulai popular
dalam beberapa tahun terakhir, baik digunakan secara tunggal
(konsentrasi dalam darah 150 ng/ml) ataupun sebagai kombinasi dengan
opioid atau agen lainnya. Saat ini telah diketahui bahwa mekanisme kerja
ketamin adalah pada reseptor µ spinal, jalur inhibisi desenden, dan yang
utama sebagai antagonis reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA)
berikatan secara spesifik terhadap tempat fensiklidin pada saluran ion
reseptor NMDA. Reseptor NMDA memainkan peranan penting dalam
hipersensitifitas medula spinalis akibat cedera, termasuk akibat
pembedahan. sensitisasi sistem saraf sentral ini yang berperan dalam
mekanisme nyeri akut ataupun kronik akibat trauma pascabedah (Craven,
2007; Suzuki, 2009).
Suzuki dkk (2006) memperlihatkan bahwa infus dosis rendah
ketamin pasca bedah menurunkan secara signifikan nyeri akut pada
pasien thorakotomi yang mendapatkan epidural analgesia ropivacain dan
morfin. Gurnani dkk (1996) infus dosis rendah ketamin memberikan
22
analgesia yang lebih bagus dibandingkan intermitten morfin pada trauma
muskuloskeletal akut, Bell dkk (2006) infus kontinyus ketamin dosis
rendah sampai 48 jam pasca bedah abdomen memberbaiki nyeri dan
menurunkan kebutuhan morfin PCA dan menurunkan efek samping mual
muntah.demikian pula Zakina dkk (2008) memperlihatkan penurunan skor
nyeri, kebutuhan morfin PCA dan efek samping mual muntah dengan
penambahan ketamin dosis rendah dibanding plasebo. Sebaliknya
Galinski dkk (2007) memperlihatkan adanya sparing efect antara ketamin
dan morfin pada nyeri trauma yang hebat, namun tidak ada perubahan
dalam skor nyeri, Michelet dkk (2007) mendapatkan bahwa penambahan
ketamin terhadap morfin PCA pada pasien pasca thorakotomi gagal
memperbaiki analgesia, namun mempelihatkan parameter respirasi yang
lebih baik pada kelompok ketamin (Macintyre, 2010).
Beberapa penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa blokade
reseptor NMDA sebelum atau selama cedera dapat mencegah atau
menurunkan perkembangan sensitisasi sentral, blokade reseptor NMDA
setelah cedera juga dapat menurunkan atau menghilangkan sensitisasi
sentral. Dengan demikian ketamin sebagai antagonis reseptor NMDA
dapat digunakan sebagai analgetik untuk nyeri akut atau pun pencegahan
terjadinya nyeri kronik. Penggunaan antagonis reseptor NMDA sebagai
balans analgesia, memiliki efek potensiasi dengan analgetik yang lain
seperti opioid, anestetik lokal, parasetamol atau AINS yang memberi
23
keuntungan dalam penatalaksanaan nyeri (Suzuki, 2009; macintyre,
2010).
Petidin merupakan salah satu opiod yang umum digunakan
sebagai balans analgesia yang cukup efektif pada penanganan nyeri
pembedahan ataupun pascabedah, dengan mekanisme penghambatan
nyeri melalui ikatan terhadap reseptor opiat pada presynaps dan post-
synaps, ataupun melalui mekanisme anti-reuptake serotonin pada
presynaps. Oleh karena petidin merupakan obat yang relatif murah dan
tersedia banyak di Indonesia, sehingga merupakan agen balans analgesia
lazim digunakan dalam penanganan nyeri pascabedah.
Penggunaan opioid tunggal secara sistemik dalam
penatalaksanaan nyeri saat ini mulai banyak ditinggalkan oleh karena
samping yang kurang menyenangkan seperti depresi napas, mual
muntah dan konstipasi yang cenderung membuat dokter jadi takut
menggunakannya apabila tidak dalam pengawasan yang ketat. Sehingga
pendekatan dengan metode multimodal dalam penanganan nyeri
pascabedah adalah cara yang efektif dalam mengurangi efek samping
yang timbul dengan efek analgesia yang optimal (Ashburn et al., 2004).
Kula A (dkk) interaksi antara petidin, ketamin dan parasetamol
memberikan keuntungan dengan penurunan dosis dan efek samping pada
percobaan tail-flick test pada hewan coba tikus, sehingga kombinasi dari
ketiga obat tersebut diharapkan menjadi pilihan antinosiseptik pada nyeri
24
akut pada peneitian hewan coba dan uji klinis selanjutnya (Kula et al.,
2009).
Untuk alasan tersebut, maka pada penelitian ini, peneliti ingin
mendapatkan kombinasi multimodal analgesia yang memiliki efek yang
baik dalam penatalaksanaan nyeri pascabedah dengan cara
membandingkan efek antara kombinasi Paracetamol tablet oral 1 gr/8 jam
IV dan ketamin dosis 0,1 mg/kgBB/jam terhadap kombinasi Parasetamol
tablet oral 1 gr/8 jam dan Petidin 0,1 mg/kgBB/jam sebagai multimodal
analgesia dalam pengelolaan nyeri pascabedah seksio sesaria.
Berdasarkan sifat-sifat dari obat-obat tersebut diatas, maka dapat
diasumsikan dengan mengkombinasi dua obat yang berbeda jenis dan
fungsi akan memberikan sinergisme yang baik dalam penatalaksanaan
nyeri yang lebih baik dan efesien. Parasetamol yang bekerja secara
sentral dan ketamin mampu mencegah baik sensitisasi sentral maupun
sensitisasi perifer serta dapat meredam respon inflamasi yang terjadi
setelah trauma jaringan akibat pembedahan. Dengan pemilihan dosis
parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan ketamin 0,1 mg/kgBB/jam
diharapkan akan menghasilkan analgesia yang efektif, aman dan murah.
Penelitian ini memenuhi syarat kelayakan karena bersifat wajar,
menarik dan memungkinkan untuk dilakukan. Data mengenai penanganan
nyeri pascabedah dengan menggunakan kombinasi parasetamol tablet
oral dan ketamin infus masih kurang.
25
1.2. Rumusan Masalah
Apakah efek kombinasi paracetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan
ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam lebih baik dari pada kombinasi
paracetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1 mg/kgBB/jam
sebagai multimodal analgesia pada pascabedah seksio sesaria?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Membandingkan efek kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/ 8 jam
dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kombinasi parasetamol tablet
oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1 mg/kgBB/jam sebagai multimodal
analgesia pada pasien pascabedah seksio sesaria.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Membandingkan intesitas nyeri dengan Numerical Rating Scalea
(NRS) antara kelompok kombinasi paracetamol tablet oral 1 gr/8
jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kelompok
kombinasi paracetamol tablet oral 1gr/ 8 jam dan Petidin infus 0,1
mg/kgBB/jam dari pasien - pasien pascabedah seksio sesaria.
2. Membandingkan perubahan hemodinamik laju nadi dan tekanan
arteri rerata antara kelompok kombinasi parasetamol tablet oral 1
gram/8 jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kelompok
26
kombinasi parasetamol tablet oral 1 gram/8 jam dan petidin infus
0,1 mg/kgBB/jam dari pasien - pasien pascabedah seksio sesaria.
3. Membandingkan kejadian efek samping (mual, muntah, pruritus
dan halusinasi) antara kelompok kombinasi parasetamol tablet oral
1 gr/8 jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kelompok
parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1
mg/kgBB/jam dari pasien-pasien pascabedah seksio sesaria.
4. Membandingkan jumlah kebutuhan analgetik tambahan (morfin)
antara kelompok kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan
ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dengan kelompok kombinasi
parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1
mg/kgBB/jam pada pasien pascabedah seksio sesaria.
1.4. Hipotesis
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa
kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan ketamin infus dosis 0,1
mg/kgBB/jam, memiliki efek yang lebih baik dibandingkan dengan
kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dan petidin infus 0,1
mg/kgBB/jam sebagai multimodal analgesia pada pengelolaan nyeri
pascabedah seksio sesaria.
27
1.5. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh kombinasi
parasetamol-ketamin dan kombinasi parasetamol-petidin dalam
pengelolaan nyeri akut pascabedah.
2. Dapat menjadi alternatif dalam pengelolaan nyeri akut pascabedah
khususnya operasi seksio sesaria untuk mencegah morbiditas,
mortalitas dan terjadinya nyeri kronik.
3. Dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya sehubungan
dengan multi modal analgesia pada penanganan nyeri akut
pascabedah.
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nyeri Pascabedah
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP),
nyeri didefinisikan sebagai “ suatu pengalaman sensoris dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan
yang nyata atau berpotensi rusak atau tergambar sebagai adanya
kerusakan itu. Dengan demikian nyeri merupakan pengalaman subyektif
yang melibatkan faktor-faktor sensoris, emosional, dan tingkah laku yang
berhubungan dengan cedera jaringan yang nyata atau berpotensi untuk
itu (Ashburn et al., 2001).
Trauma jaringan akibat pembedahan dan nyeri yang
ditimbulkannya menyebabkan respon endokrin yang kemudian berlanjut
dengan peningkatan sekresi kortisol, katekolamin, prostaglandin dan
hormon stress lainnya. Peningkatan hormon stress tersebut akan memacu
timbulnya respon simpatis berupa takikardi, hipertensi, penurunan aliran
darah regional, penurunan respon imunitas, hiperglikemi, lipolisis dan
negative nitrogen balance dapat terjadi sebagai akibat respon ini dan juga
akan disertai dengan perubahan metabolik. Respon stres memegang
peranan penting dalam morbiditas dan mortalitas pascabedah (Ashburn et
al., 2001).
29
Segera setelah terjadi kerusakan jaringan, ujung saraf sensorik
seketika terpapar oleh sejumlah produk kerusakan sel dan mediator
inflamasi yang memicu aktivasi nosiseptif. Inflammatory soup ini
mencakup prostaglandin (PG), proton H, serotonin, histamin, bradikinin,
purin, sitokin, eicosanoids, dan neuropeptida yang bekerja pada reseptor
spesifik pada saraf sensorik dan juga memiliki interaksi yang penting
dalam proses nosiseptif. Pada awal inflamasi, terjadi sensitasi serabut
saraf C dan A- oleh produk-produk inflammatory soup menyebabkan
terjadinya sensitisasi, peningkatan aktivitas nosiseptor yang normalnya
“tenang” dan perubahan aktivitas ion channels dan reseptor membran.
Jika inflamasi tidak berkepanjangan, fungsi saraf akan segera kembali
normal. Peningkatan intensitas dan durasi, menyebabkan pelepasan
growth factors dan sitokin oleh sel-sel setempat, monosit, dan sel-sel
vaskuler dan akan memasuki badan sel sensorik secara transport aksonal
retrograde. Hal ini kemudian menimbulkan banyak perubahan pada fungsi
neuronal yang teridentifikasi pada tiap subgrup akson perifer. Selain itu
pelepasan neurotransmitter prostaglandin akibat trauma jaringan selama
pembedahan juga menyebabkan pelepasan substansi P (SP) oleh
serabut A-β yang normalnya sangat sedikit bahkan tidak ada, serta
peningkatan ekspresi reseptor α2-adrenergik akibat pelepasan
norepinefrin (NE) melalui jalur simpatis (Byres & Bonica, 2001).
Pembedahan merupakan suatu peristiwa yang bersifat bifasik
terhadap tubuh yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri. Pertama,
30
selama pembedahan berlangsung, terjadi kerusakan jaringan tubuh yang
menghasilkan suatu stimulus noksius akibat pelepasan ion H, K dan
prostaglandin serta pelepasan Bradikinin akibat kerusakan pembulu
darah. Kedua, pascabedah, terjadi respon inflamasi pada jaringan
tersebut yang bertanggung jawab terhadap munculnya stimulus noksius.
Kedua proses yang terjadi ini, selama dan pascabedah akan
mengakibatkan sensitisasi susunan saraf sensorik. Pada tingkat perifer,
terjadi penurunan nilai ambang reseptor nyeri (nosiseptor) yang disebut
sebagai sensitasi perifer, sedangkan pada tingkat sentral terjadi
peningkatan eksitabilitas neuron spinal yang terlihat dalam transmisi nyeri
atau sering disebut sebagai sensitasi sentral. Akibat perubahan sensitisasi
ini, secara patofisiologi nyeri pascabedah ditandai dengan gejala
hiperalgesia artinya suatu stimulus noksius lemah yang normal
menyebabkan nyeri ringan namun kini dirasakan sebagai nyeri hebat,
allodinia artinya suatu stimulus lemah yang normal tidak menyebabkan
nyeri kini terasa nyeri dan prolonged pain artinya nyeri menetap walaupun
stimulus sudah dihentikan. Sehingga untuk mengatasi nyeri dengan baik,
harus dicegah terjadinya sensitisasi perifer maupun sensitisasi sentral
(Cousins, 2005).
Sensitisasi nyeri pascabedah selain akan membuat penderitaan
akibat nyeri yang dirasakan oleh penderita juga merupakan sumber stress
pascabedah akibat aktifasi saraf otonom simpatis dengan segala akibat
yang ditimbulkan pada gilirannya akan meningkatkan morbiditas dan
31
mortalitas. Oleh karena itu pengelolaan nyeri pascabedah ditujukan pada
pencegahan atau meminimalkan terjadinya kedua proses tersebut (Byers
& Bonica, 2001; Cousins, 2005).
2.1.1. Mekanisme Nyeri Akut Pascabedah
Nyeri akut pascabedah adalah terjadi akibat kerusakan jaringan
yang nyata (actual tissue damage) akibat trauma pembedahan. Antara
mulainya stimulus noksius sampai dengan adanya proses persepsi nyeri
di thalamus, Terdapat 4 rangkaian proses elektrofisiologis (Morgan et al.,
2006):
1. Proses transduksi, merupakan proses pengubahan rangsang nyeri
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung saraf.
Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan), suhu, atau
kimia. Sebagai mediator noksious perifer di sini bisa karena bahan
yang dilepaskan dari sel-sel yang rusak selama perlukaan, ataupun
sebagai akibat reaksi humoral dan neural karena perlukaan.
Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang dan ligamentum
mengakibatkan dilepasnya ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta
asam arakidonat (AA) sebagai akibat lisis dari membrane sel.
Penumpukan asam arakidonat memicu pengeluaran enzim COX-2
yang akan mengubah asam arakidonat menjadi PGE2, PGG2, dan
PGH2. PGE2 dan mediator yang lain ini akan menyebabkan
sensitisasi saraf perifer (Kleinman & Mikhail, 2006).
32
2. Proses transmisi, merupakan penyaluran isyarat listrik yang terjadi
pada proses transduksi melalui serabut A-δ bermielin dan serabut
C tak bermielin dari perifer ke medulla spinalis. Proses ini dapat
dihambat oleh anestetik lokal (Kleinman & Mikhail, 2006; Vadivelu
et al., 2009).
Saraf sensorik aferen primer dikelompokkan menurut
karakteristik anatomi dan elektrofisiologi. Serabut Aβ, merupakan
serabut bermielin, berdiameter besar, dengan konduksi yang cepat.
Saraf ini secara khusus mengirimkan informasi non nosisepsi.
Nosiseptor aferen primer adalah cabang terminal serabut A delta
dan C di mana badan sel bertempat di ganglia dorsalis. Pada
proses transmisi impuls noksious dari nosiseptor primer diteruskan
ke sel di dalam kornu dorsalis medulla spinalis. Serabut saraf A
delta dan serabut saraf C memiliki proyeksi di distal yang dikenal
sebagai ujung nosiseptif, sedangkan ujung proksimalnya akan
masuk ke dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan bersinaps
dengan second-order neuron yang berlokasi dominan dalam lamina
II (substansia gelatinosa) dan dalam lamina V (nucleus proprius)
(Morgan et al., 2006).
Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang
merupakan akhir dari serabut aferen pertama (presinaptik) dan
second order neuron yang menerima rangsang dari neuron
pertama (pascasinaptik). Proses modulasi nyeri diperankan oleh
33
second order neuron ini, yang memfasilitasi atau menghambat
masuknya suatu rangsang noksious. Second-order neuron terdiri
atas dua jenis, yaitu (Morgan et al., 2006):
a. Nociceptive-specific neuron (NS) yang berlokasi dalam
lamina I dan bereaksi terhadap rangsang dari serabut saraf
A delta dan serabut saraf C.
b. Wide-dynamic range neuron (WDR) yang berlokasi dalam
lamina V dan bereaksi terhadap rangsang noksious ataupun
rangsang non noksious, dan yang menyebabkan
menurunnya respon threshold serta meningkatnya receptive
field, sehingga terjadi peningkatan sinyal transmisi ke otak
dan terjadi persepsi nyeri. Perubahan ini terjadi karena
perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan
jaringan serta proses inflamasi, dan disebut sensitisasi
sentral.
Sensitisasi sentral ini akan menyebabkan neuron-neuron
menjadi lebih sensitive terhadap rangsang lain dan menimbulkan
gejala-gejala hiperalgesia dan alodinia (Kleinman et al., 2006).
Hal ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bersifat
kaku, tetapi bersifat seperti plastik (plastisitas) yang dapat berubah
sifatnya karena ada kerusakan jaringan atau inflamasi. Stimulus
dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi dari neuron wide
Dynamic Range (WDR) berupa transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi
34
stimulus dengan frekuensi yang lebih tinggi akan menghasilkan
transmisi sensoris nyeri. Neuron WDR ini dihambat oleh sel inhibisi
lokal di substansia gelatinosa dan dari sinaptik desendens. Sintesis
protein pada fase akut bersama dengan meningkatnya PGE dan
NO intra dan ekstraselular berperan pada sensitisasi sentral dan
plastisitas neural serta melakukan fasilitasi transmisi nyeri (Morgan
et al., 2006).
3. Proses Modulasi, adalah proses interaksi antara sistem analgetik
endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan isyarat nyeri yang
masuk di medulla spinalis. Analgetik endogen (enkefalin, endorfin,
serotonin) dapat menahan impuls nyeri pada kornu posterior
medulla spinalis. Kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan
tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen
tersebut. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh pendidikan,
motivasi, status emosional dan kultur seseorang (Kleinman &
Mikhail, 2006).
Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
menjadi sangat subyektif orang per orang dan sangat ditentukan
oleh makna atau arti suatu impuls nyeri (Morgan et al., 2006).
Proses modulasi dinyatakan sebagai mekanisme hambatan
(inhibisi) terhadap nyeri di dalam kornu dorsalis medulla spinalis
dan di tingkat lebih tinggi di brain stem dan mid brain. Di medulla
spinalis mekanisme inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi pada
35
sinaps pertama antara aferen noksious primer dan sel-sel WDR
dan NS dari second order, dengan demikian mengurangi
penghantaran spinotalamus dari impuls noksious. Modulasi spinal
dimediasi oleh kerja inhibisi dari senyawa endogen yang
mempunyai efek analgetik, yang dilepaskan dari interneuron spinal
dan dari ujung terminal akson yang mempunyai sifat inhibisi yang
turun (desendens) dari central gray locus ceruleus dan dari
supraspinal yang lain. Analgesik endogen itu adalah enkephalin
(ENK), norepinephrine (NE), dan gamma aminobutyric acid
(GABA). Analgesik endogen ini akan mengaktifkan reseptor opioid,
alfa adrenergik, dan reseptor yang lain, yang bekerja melakukan
inhibisi terhadap pelepasan glutamate dari aferen nosiseptif primer
atau mengurangi reaksi pasca sinaptik dari neuron second order
NS atau WDR. Proses modulasi adalah proses interaksi antara
mediator yang menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari
analgesik endogen (Kleinman & Mikhail, 2006).
4. Persepsi, hasil akhir dari interaksi yang komplek dari proses
transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya
menghasilkan suatu proses subyektif yang dikenal sebagai
persepsi nyeri. Serabut aferen nosisepsi dari second order neuron
mempunyai badan sel pada kornu dorsalis dari medulla spinalis,
yang berfungsi memproyeksi axon ke susunan saraf pusat yang
lebih tinggi dan bertanggung jawab terhadap proses informasi
36
nosisepsi. Seperti yang disebutkan sebelumnya terbanyak serabut
asending menyilang sebelum berjalan kearah kranial pada traktus
spinotalamikus. Umumnya saraf pada traktus spinotalamikus
adalah wide dinamic range atau saraf high threshold, berjalan
melewati pons, medulla dan otak tengah ke daerah spesifik di
thalamus. Dari thalamus informasi aferen dibawa ke korteks
somatosensorik. Traktus spinotalamik juga mengirimkan cabang
kolateral ke formasio retikular. Impuls yang ditransmisikan melalui
traktus ini berperan terhadap perbedaan nyeri dan respon emosi
yang ditimbulkan. Formasio retikularis mungkin berperan terhadap
peningkatan aspek emosional dari nyeri seperti refleks somatik dan
otonomik. Aktivasi dari struktur supraspinal diperantarai oleh EAAs,
tapi neurotransmitter-neurotransmiter yang terlibat dalam proses
sentral dari informasi nosisepsi masih belum dapat dijelaskan
(Katzet & Clarke, 2008; Cousins, 2005).
2.1.2. Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akut akibat suatu pembedahan akan
menyebabkan rangkaian reaksi-reaksi neurohumoral dideskripsikan oleh
Lewis dan disebut “Triple Response”. Respon klasik tersebut ditandai
dengan peningkatan aliran darah (kemerahan), edema jaringan (wheal)
dan sensitisasi nosiseptor. Lisis sel akibat kerusakan jaringan tadi
ditandai dengan terlepasnya potassium intraselluler, ion-ion hidrogen dan
pembentukan/pelepasan prostaglandin, bradikinan, glutamat, ATP dan
37
adenosin. Terlepasnya zat-zat tersebut akan menyebabkan pelepasan
subtansi P dari ujung presinaptik yang akan menginduksi pelepasan
mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Mediator kimia
seperti IL-1β, NGF, Bradikinin, histamin, PGE2, serotonin yang disebut
sebagai inflamatory soup yang akan mensensitasi nosiceptor presinaptik
sehingga terjadi depolarisasi ditingkat saraf afferen primer yang disebut
sebagai first order neuron (Asburn et al., 2001; Katz & Clark, 2008; Maund
et al., 2011).
Gambar 1. Inflamatory soup. Coniam S, Mendham J. Principle of pain
management.New York. Oxford University Press. 2006.
Akibat dari sensitisasi ini menyebabkan rangsang pada serabu C
dan Aδ yang akan meneruskan inpuls ke cornu dorsalis dan
menyebabkan modulasi yang disebut sebagai second order neuron.
Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan
38
meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah
jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh
adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak
maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer
ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya
demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-
steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase dan
penggunaan opiat karena reseptor opiat juga terdapat pada presinaptik
(Ashburn et al., 2001; Katz & Clark, 2008).
Gambar 2. Sensitisasi Perifer (Raja SN, Dougherty PM. Anatomy and physiology
of somatosensory and pain processing. In Benzon HT, Raja SN, Liu
SS, Fisman SM, Cohen SP, Hurley RW et all. Essensial of pain
medicine 3rd edition. Philadelpia. Saunders;2011.p.12
39
2.1.3. Sensitisasi Sentral
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis
medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama
dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan
sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus
noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang
merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron
sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah
yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau
menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di
kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific
neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut
Aδ dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron
(WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus
non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta
meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal
transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri. Perubahan-
perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu
dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini
disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat
menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap
stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan
40
bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired”
yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat berubah sifatnya akibat
adanya kerusakan jaringan atau inflamasi (Ashburnet al., 2001; Katz &
Clark, 2008).
Gambar 3. Sensitisasi Sentral. Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS. Pain
Pathways and Acute pain processing. In: Sinatra RS, Casasola OA,
Ginsberg B, Viscusi ER editors. Acute Pain Management.
Cambridge. Cambridge University Press; 2009.p.23
2.2. Multi Modal Analgesia
Nyeri pascabedah harus mendapatkan pengelolaan nyeri yang
optimal untuk memberikan kenyamanan subjektif terhadap penderita,
mencegah transmisi aferen nyeri yang dipicu oleh trauma, menumpulkan
refleks otonomik dan somatik terhadap nyeri. Dengan demikian, maka
pasien dapat dengan mudah untuk bernafas, batuk, dan bergerak
sehingga proses pemulihan fungsi meningkat. Yang selanjutnya, efek-efek
tersebut meningkatkan luaran pascabedah secara keseluruhan. Atas
dasar teori perjalanan nyeri tersebut maka prinsip dasar penatalaksanaan
41
nyeri pascabedah (akut) harus ditujukan untuk mencegah terjadinya
sensitisasi perifer dan sentral melalui keempat proses perjalanan nyeri
tersebut (Buvanendran & Kroin, 2009).
Konsep multimodal analgesia telah diperkenalkan lebih dari satu
dekade yang lalu sebagai suatu tekhnik untuk meningkatkan efek
analgesia dan mengurangi insiden yang tidak diharapkan terkait dengan
penggunaan opioid. Strategi ini menitik beratkan tercapainya analgesia
yang optimal dengan cara penggunaan secara simultan kelas atau mode
analgesia yang berbeda pada jalur dan reseptor nyeri untuk memberikan
kontrol nyeri yang optimal. Hal ini menyebabkan dosis obat individual
berkurang dan menurunnya efek yang tidak diharapkan dari obat tertentu
yang digunakan pada perioperatif. Penggunaan multimodal analgesia
memberi berbagai keuntungan terhadap pasien-pasien post operasi.
Pertama, penggunaan agen obat-obatan dengan mekanisme analgesia
yang berbeda akan memberikan sinergisme efek yang menghasilkan
efikasi yang besar. Kedua, sinergisme antara obat-obat tersebut
menyebabkan pemberian dosis yang lebih rendah dari masing-masing
obat, sehingga mencegah efek samping yang berkaitan dengan dosis,
serta menurunkan penggunaan dosis opioid. Telah banyak penelitian yang
menunjukan dengan penggunaan multimodal analgesia dapat
menurunkan insiden yang tidak diharapkan dari obat, mempercepat waktu
pemulihan dan waktu rawat inap rumah sakit, serta mengurangi biaya
kesehatan. Saat ini American Society of Anesthesiologist Task Force on
42
Acute Pain Management menganjurkan pengguanaan analgesia multi
modal ini (Buvanendran & Kroin, 2009).
Teristimewa pada pasien pascaoperasi seksio sesaria,
penanganan nyeri sangatlah penting, dimana bebas nyeri pada pasien
pasca operasi seksio sesaria akan meningkatkan mobilisasi dan
rehabilitasi pasien yang lebih dini dan mengurangi resiko tromboemboli
yang resikonya meningkat pada saat kehamilan, mempercepat masa
rawat, dan akhirnya mengurangi biaya perawatan. Bebas dari rasa nyeri
dapat memperbaiki kemampuan dan interaksi ibu untuk memperhatikan
bayinya dengan optimal segera pada periode postpartum, serta
membantu memperbaiki kondisi bayi oleh karena kemampuan ibu untuk
menyusui lebih efektif (Buvanendran & Kroin, 2009).
Multimodal analgesia modern terdiri dari teknik analgesia ataupun
penggunaan agen farmakologi yang bekerja dengan potensi analgesia
lebih dari satu terhadap mekanisme penghantaran nyeri, misalnya
epidural analgesia dengan kombinasi parasetamol atau COX2.
Keuntungan dari multimodal analgesia adalah analgesia yang optimal
dengan dosis yang minimal sehingga mengurangai efek samping darai
dari obat yang yang digunakan, seperti penurunan resiko perdarahan,
penurunan resiko mual muntah akibat dosis opiat dll. Pemberian opioid
secara sistemik, baik intramuskuler maupun intravena dapat mengontrol
nyeri pasien, namun terhambat dengan efek samping yang sering muncul
akibat pemberian opioid sistemik, demikian pula dengan penggunaan
43
AINS jangka panjang membuat penerapan multi modal anestesia menjadi
pilihan. Modalitas yang sering digunakan adalah parasetamol, NMDA
reseptor antagonis, anestesi lokal, alfa 2 agonis dll (Wee et al., 2005).
Gambar 4. Nociception and Multimodal Analgesia. Durkin B, Glass P. The future
of acute pain management. In: Sinatra RS, Casasola OA,
Ginsberg B, Viscusi ER editors. Acute Pain Management.
Cambridge. Cambridge University Press; 2009.p.672.
2.3. Farmakologi
2.3.1. Parasetamol
Parasetamol dikenal juga sebagai acetaminofen dan telah
digunakan sebagai obat analgesia lebih dari 30 tahun. Penggunaan yang
luas dikarenakan oleh karena rentang dosis yang aman dengan efek
samping yang sangat minimal. Tahun 2000 oleh the Committee on Safety
of Medicine, mempublikasikan bahwa paracetamol adalah obat yang
aman digunakan sebagai analgetik termasuk pada pasien asma yang
44
sebelumnya dianggap bahwa parasetamol kurang efektif. Pemakaian
parasetamol pada binatang percobaan dianggap menurunkan level
glutation pada jaringan paru, namun tidak tidak terjadi pada manusia, oleh
karena itu aman digunakan termasuk pada pasien asma (Smith, 2009).
Sebagaimana obat yang lain, efektifitas parasetamol telah terbukti
namun mekanisme kerja yang belum diketahui, tidak seperti opiat dan
AINS, parasetamol tidak memiliki binding sites endogen dan tidak
menghambat aktivitas siklooksigenasi perifer secara bermakna. Ada
peningkatan bukti efek antinosiseptif sentral, dan mekanisme potensial
untuk hal ini meliputi inhibisi COX-2 sistem saraf sentral, inhibisi terhadap
dugaan siklooksigenasi sentral „COX-3‟ yang selektif rentan terhadap
parasetamol, modulasi dari aktivasi canabinoid sistem dan jalur
serotonergik descending. Parasetamol juga menurunkan hiperalgesia
yang dimediasi oleh substans P, dan menghambat pembentukan nitric
oxide yang merupakan akibat dari aktivasi substans P dan stimulasi
reseptor N-methyl D-aspartate. selain itu parasetamol juga menghambat
produksi prostaglandin pada level transkpsi seluler, sehingga memiliki efek
siklooksigenasi perifer (Smith, 2009; Davis & Graham, 2005).
Potensi analgesik parasetamol relatif rendah dan kerjanya terkait
dengan dosisnya (dose-related); terdapat efek „ceiling‟ dimana tidak ada
penambahan efek analgesia ataupun antipiretik meskipun dosis
ditingkatkan. Dari sifatnya ini, parasetamol dapat digunakan untuk
mengobati dan mencegah kebanyakan dari nyeri ringan dan beberapa
45
nyeri sedang. Pada kombinasi dengan AINS atau opiat lemah seperti
kodein, parasetamol dapat dipakai untuk mengobati atau mencegah
kebanyakan dari nyeri sedang (Davis & Graham, 2005; Varrassi et
al.,1999).
Interaksi dengan sistem neurotransmiter-neurotransmiter, dapat
menjelaskan efek analgesik dari parasetamol, meliputi sistem
serotonergik, opioidergik, noradrenergik, kolinergik, sistem sintesa nitric
acid. Parasetamol dapat mengganggu nosisepsi berkaitan dengan aktivasi
reseptor NMDA spinal. Efek ini dapat menyebabkan suatu aksi inhibisi
pada mekanisme nitric acid. Peranan parasetamol dalam menimbulkan
antinosisepsi tampaknya diperoleh dari sinergisme antara tingkat perifer,
spinal, dan supraspinal. Komponen supraspinal memberikan mekanisme
analgesik dari parasetamol yang meliputi opioid-like dan serotonergi
(Smith, 2009).
Parasetamol tersedia dalam berbagai formulasi seperti tetes, sirup,
tablet, suppositoria, dan intravena. Ketersediaan dari parasetamol i.v.
akan meningkatkan dan memperluas penggunaan obat ini sebagai
komponen dasar dari analgesia multimodal setelah pembedahan. Sediaan
intravena memiliki keuntungan dan keamanan dibanding sediaan oral,
karena lebih dapat diprediksi konsentrasinya dalam plasma pada periode
dini pascabedah. Formulasi intravena pro-paracetamol dipecah oleh
plasma esterase untuk menghasilkan setengah massa dari obat aktif.
Penggunaan parasetamol intravena memberikan beberapa keuntungan
46
dimana konsentrasi effect site yang lebih tinggi yang dicapai di otak dalam
waktu singkat yakni sekitar 5 – 1- menit setelah pemberian intravena dan
memberikan menghasilkan potensi analgesik yang lebih besar, dimana
puncak efek analgesia dicapai dalam waktu 1 jam denga durasi 4 – 6 jam
(Davis & Graham, 2005; Varrassi et al., 1999).
Parasetamol Intravena tersedia dalam bentuk cair 10 mg/mL (50
mL dan 100 mL untuk infus selama 15 menit) yang mengandung manitol,
natrium fosfat, dibasic dihydrate, cysteine hydrochloride 25 mg per 100mL.
Parasetamol IV dikontraindikasikan pada kasus-kasus insufisiensi
hepatoselluler berat dan gagal hati, dan hati-hati diberikan pada pasien-
pasien dengan klirens kreatinin < 30ml/menit, alkoholisme kronik,
malnutrisi kronik (cadangan glutation hepatic rendah) dan dehidrasi. The
British National Formula (BNF) menganjurkan bahwa dosis maksimum
untuk pasien dengan insufisiensi hepatoseluler, kronik malnutrisi, kronik
alkoholisme atau dehidrasi adalah maksimal 3 gram per 24 jam. Efek
analgesia parsetamol intravena tercapai dengan cepat antara 5–10 menit
setelah pemberian dengan efek puncak analgesia dicapai dalam 1 jam
dan durasi mencapai 4 - 6 jam. Sedangkan parasetamol oral juga
memiliki bioavailabilitas yang baik (63–89%) meski beberapa kasus
plasma konsentrasi subterapeutik. Level minimal konsentrasi plasma
untuk analgetik dan antipiretik dari parasetamol sekitar 10 mcg/ml atau 66
mmol/L) sehingga level terapeutik umumnya tercapai antara 10 – 20
47
mcg/ml, sehingga dibutuhkan dosis besar untuk mendapatkan efek
analgesia yag optimal (Davis & Graham, 2005).
Sebuah studi kecil membandingkan bioavailabitas antara
pemberian parasetamol intravena dengan oral pada 35 pasien yang
menjalani operasi, diberikan 1–2 gr parasetamol tablet oral atau 1–2 gr
parasetamol bikarbonat tablet atau 2 gram proparasetamol,
memperlihatkan bahwa konsentrasi plasma parasetamol oral lebih lambat
dicapai, sekitar 40 menit efek analgesia kesemuanya memperlihatkan efek
yang tidak jauh berbeda. Sehingga parasetamol intravena
direkomendasikan diberikan pada kondisi dimana jalur oral
tidakmemungkin akibat pembedahan atau puasa, atau dibutuhkan onset
yang cepat (Blanshard,2010).
Pemberian parasetamol pada wanita hamil dan menyusui aman
menurut FDA, bahwa tidak ada bukti yang membahayakan terhadap
perkembangan janin selama kehamilan atau selama masa menyususi
(kategori B), dan terlihat adanya peningkatan total parasetamol klerens
pada saat persalinan oleh karena peningkatan disproporsi klerens
glukoronidasi dan peningkatan proporsi klerens dari parasetamol yang
tidak berubah dan klerens oksidatif yang memungkinkan peningkatan limit
dosis pada pasien tersebut (Kulo et al., 2012; Briggs et al., 1994).
2.3.2. Ketamin
Ketamin merupakan derivat fensiklidin yang diketemukan pada
tahun 1965 dan digunakan untuk pertama kalinya dalam praktek klinik
48
pada tahun 1970. Ketamin bekerja dengan mengikat secara nonkompetitif
pada reseptor NMDA. Ketamin menghambat aktivasi reseptor NMDA
melalui glutamat sehingga menurunkan pelepasan glutamat presinaptik
yang menyebabkan potensiasi efek neurotransmitter inhibitoris GABA.
Ketamin juga berefek pada reseptor opioid mu (µ) dan kappa, dapat
menekan produksi neutrofil dan meningkatkan aliran darah serta secara
langsung menghambat sitokin sehingga menghasilkan efek analgesik.
Ketamin dapat diberikan dalam berbagai rute pemberian oleh karena
kelarutan terhadap air dan lemak. Intravena, intramuskuler, oral, rektal,
subkutaneus, epidural, transnasal merupakan rute pemberian ketamin
yang umum dilakukan (Craven, 2007).
Bioavailabilitas ketamin intravena dapat mencapai 90% dengan
efek puncak dicapai dalam 1–5 menit, sedang pada rute oral
bioavailabilitas hanya 16 % dengan efek puncak dicapai dalam 15–30
menit. Analgesia kuat dapat dicapai dengan dosis subanestetik, yaitu 0,1-
0,5 mg/kgBB intravena. Analgesia diyakini lebih kuat untuk nyeri somatik
dibanding nyeri viseral. Efek analgesik ketamin utamanya pada
aktivitasnya di talamus dan sistem limbik, yang bertanggung jawab pada
interpretasi sinyal nyeri. Sensitisasi medulla spinalis (reseptor NMDA pada
kornu posterior) bertanggung jawab terhadap nyeri yang berhubungan
dengan sentuhan atau gerakan pada bagian tubuh yang cedera (Byers &
Bonica, 2001; Wee et al., 2005).
49
.
Gambar 5. Reseptor NMDA. In: Freye E. Opioid in medicines. A comprehensive
review on the mode of action and the use of analgetics in different
clinical pain stases. Netherland. Springer: 2008. p.41.
2.3.3. Petidin/meperidin
Petidin adalah sintetik opiod pertama yang ditemukan sejak 1932,
analgesic petidin bekerja pada reseptor opioid (mirip morfin), yang
bekerja secara sentral pada reseptor opiod, dapat diberikan peroral,
intravena, maupun intramuskular. Dibandingkan dengan morfin, petidin
lebih efektif pada penanganan kolik biliar dan ginjal dengan efek adiktisi
yang lebih kecil, disamping sering digunakan juga sebagai anti shivering.
Diberbagai negara, seperti Australia, penggunaan petidin mulai dibatasi,
namun diIndonesia petidin masih merupakan opiat yang umum digunakan
sebagai balans analgesia (Morgan et al., 2006).
50
Petidin merupakan senyawa piperidine yang mempunyai beberapa
sifat yang sama dengan morfin dan opioid sintetik, struktur meperidin
sama dengan atropin dan mempunyai sifat anti spasmodik seperti atropin.
Potensinya 1/8 sampai 1/10 morfin dengan rumus kimia etil 1metil 4 fenil
piperidin 4 karboksilat.
Sifat fisikokimia sama dengan obat anestesi lokal dengan berat molekul
247, pKa 8,5 dan koefisien partisi 38,8. Kekuatan analgesia 1/10 morfin,
dengan pemberian intramuskuler(im) 100 mg ekuivalent dengan10 mg
morfin. Durasi analgesia sekitar 2-4 jam, dengan onset lebih cepat
dibanding morfin 15-30 menit setelah injeksi im dan efek puncak terjadi
dalam 45-90 menit, menimbulkan efek analgesia, sedasi dan euforia serta
menyebabkan depresi pusat nafas. Efek analgesia menonjol dan pada
dosis 50-75 mg im dapat meningkatkan ambang nyeri sampai 50%
(Morgan et al., 2006).
Metabolisme petidin di hati dan kira-kira 90% obat mengalami
dimetilasi menjadi normeperidine dan hidrolisa menjadi asam meperidin
yang merupakan bentuk metabolit yang non aktif dan mengalami
konjugasi serta eliminasi di urine kurang dari 5%. Normoperidin eliminasi
half life 15-40 jam dan dapat dideteksi dalam urin untuk waktu yang
panjang yaitu 3 hari setelah pemberian pethidin. Normeperidine
mempunyai efek toksik dengan manifestasi mioklonus dan kejang untuk
pemberian meperidin yang lama khususnya pada pasien dengan
gangguan ginjal. Pada pasien yang menyusui, pemberian petidin pasca
51
persalinan akan terlihat pada air susu sekitar 1,7%-3,5% dari dosis ibu,
yang juga dapat berefek pada bayi sehingga membutuhkan monitoring
ketat. Efek samping yang mungkin muncul adalah sedasi, sianotik,
bradikardia, dan kejang. Karenanya pemberian petidin selama persalinan
dan masa menyusui harus hati-hati atau dihindari (Montgomery & Hale,
2006).
Efek samping depresi pernafasan sebanding dengan besarnya
dosis obat yang diberikan. Efek utamanya menurunkan ventilasi semenit
dan volume tidal dan menurunkan laju pernafasan. Pada dosis yang besar
dapat menyebabkan apnea, pasien tetap sadar dan dapat bernafas jika
diperintah. Petidin menyebabkan stimulasi pelepasan histamin dan
menyebabkan hipotensi orthostatik karena hilangnya refleks sistem saraf
simpatis kompensatorik. Laju jantung dapat meningkat, petidin dosis tinggi
dapat menurunkan kontraktilitas jantung, volume sekuncup dan
peningkatan tekanan pengisian jantung. Efek penggunaan petidin pada
gastrointestinal menyebabkan timbulnya mual dan muntah karena efek
petidin pada sentral dan perifer. Motilitas usus berkurang dan
menimbulkan konstipasi, menurunkan tonus dan amplitude kontraksi
ureter dan dapat mengurangi spasme bronkus. Peningkatan tonus otot
sphincter oddi akan menyebabkan peningkatan tekanan intra biliaris yang
menyebabkan nyeri (Morgan et al., 2006).
Mekanisme kerja opioid termasuk petidin pada reseptor opioid
berikatan dengan reseptor G-protein dan bekerja sebagai regulator positif
52
maupun negatif dari transmisi sinaps melalui G-protein yang mengaktivasi
protein efektor. Ikatan dengan opioid menstimulasi perubahan GTP
menjadi GDP pada kompleks G-protein. Karena sistem efektor adalah
adenylate cyclase dan cAMP terletak pada permukaan dalam membrane
plasma, opioid akan menurunkan cAMP intraseluler dengan menginhibisi
adenylat cyclase. Kemudian, terjadi inhibisi pelepasan neurotransmitter
nosiseptif seperti substansi P, GABA, dopamine, asetilkolin, dan
noradrenalin. Opioid juga menginhibisi pelepasan vasopressin,
somatostatin, insulin dan glukagon. Opioid menutup saluran kalsium tipe-
N yang dipengaruhi oleh voltage (OP2-reseptor agonis) dan membuka
saluran kalium yang dependen kalsium di bagian dalam (OP3 dan OP1
reseptor agonis). Hal ini menimbulkan hiperpolariasi dan penurunan
eksitabilitas neuronal (Morgan et al., 2006; Peng & Sandler, 1999).
Gambar 6. Mekanisme penghambatan opioid terhadap pelepasan Neurotransmitter. In: Freye E. Opioid in medicines. A comprehensive review on the mode of action and the use of analgetics in different clinical pain stases. Netherland. Springer: 2008. p.106.
53
2.3.4. Morfin
Morfin merupaka obat opioid yang lazim digunakan sebagai analgesia
pascabedah termasuk seksio sesaria, baik sebagai obat tunggal maupun
bersama dengan penggunaan obat adjuvan. Istilah opioid berhubungan
dengan suatu bagian senyawa yang berasal dari opium. Senyawa ini
diklasifikasikan sbb: (1) natural (misalnya: morfin), (2) semisintetis
(misalnya: dihydromorphone), (3) sintetis (misalnya: fentanyl). Hanya ada
tiga opioid natural yang bermakna secara klinis yaitu morfin, codein dan
papaverine. Substansi ini berasal dari tanaman poppy dikenal sebagai
Papaver somniferum (Morgan et al., 2006).
Opioid merupakan analgesik yang efektif terutama untuk nyeri
sedang sampai nyeri berat pascabedah. Efek opioid terhadap
penghataran nyeri dimediasi oleh reseptor opioid pada susunan saraf
pusat dengan menghambat signal yang berhubungan nyeri. Demikian
pula dengan reseptor opioid perifer juga akan memberikan efek analgesia
pada pada manusia. Potensi analgesia dari opioid berkorelasi langsung
dengan affinitas terhadap reseptor opioid terhadap masing-masing
individu. Persepsi nyeri adalah suatu kompleks transmisi nosisepsi yang
berasal dari stimulasi saraf sensoris diperifer, menghasilkan aksi potensial
di medulla spinalis dan transmisi sinaps ke daerah supraspinal lainnya.
Pemberian sistemik opioid dosis besar menghasilkan aktivasi multiple baik
reseptor sentral dan perifer untuk menghasilkan analgesia, tetapi dengan
efek samping yang tidak diinginkan (Morgan et al., 2006).
54
Gambar 7. Lokasi dari reseptor opiod pada tiga level pain pathway. Suatu densitas tinggi reseptor opioid terdapat pada hypothalamus, periaquaductal gray, locus coeruleus, kornu dorsalis medulla spinalis, dorsal root ganglia dan peripheral nerve endings saraf sensoris. (Dikutip dari: Schafer M. Essential drugs in anesthetic practice : mechanisme of action of opioids. In: Evers AS, Maze M, Kharasch ED, editors. Anesthetic Pharmacology. Cambridge: Cambridge University Press; 2011. p. 493-508)
2.4. Numeric Rating Scale
Skor nyeri sering digunakan untuk menilai adekuasi analgesia pada
kajian penelitian. Berdasarkan perubahan pada skor nyeri atau skor nyeri
akhir, seorang peneliti dapat menentukan bahwa suatu medikasi atau
pengobatan dengan analgetik lebih superior dibandingkan dengan yang
lain. Numeric rating scale (NRS) adalah salah satu contoh skala nyeri
yang digunakan pada kajian penelitian. NRS diberikan dengan
menanyakan perkiraan intensitas nyeri kepada pasien secara verbal pada
skala 0 sampai 10, dengan angka 0 menunjukkan nyeri tidak dirasakan
55
dan 10 menunjukkan nyeri paling berat yang dibayangkan (Gambar 5).
Pada uji klinis dari pasien dengan arthritis rheumatoid atau kanker,
menunjukkan bahwa penilaian nyeri dengan NRS adalah realistis, mudah
bagi pasien untuk dimengerti, dan mudah bagi peneliti untuk menilai.
Dibandingkan dengan VAS, NRS memiliki keuntungan secara klinis
sehubungan dengan validitas dan kesederhanaan, dimana VAS
membutuhkan peralatan khusus dan ketepatan dalam pengukuran.
Sementara itu hasil pengukuran tidak menunjukkan kemaknaan secara
klinis (Beillin et al., 2003).
Digunakan pada dewasa dan anak-anak (>9 tahun) pada semua
kondisi dimana pasien yang dirawat mampu menggunakan angka dalam
menilai intensitas nyeri (Beillin et al., 2003; Fletcher et al., 2008).
Gambar 5. Numeric Rating Scale dikutip dari : Beillin Y, Hossain S, Bodian CA. Numeric rating scale and labor epidural analgesia. Anesth Analg. Fig. 3. Numeric Rating Scale.2003.p;945
Instruksi:
1. Pasien diajukan pertanyaan berikut:
a. Angka berapa yang akan anda berikan untuk menilai nyeri
anda sekarang?
b. Angka berapa pada skala diantara 0 sampai 10 yang akan
anda berikan?
56
c. Pada angka berapa nyeri tersebut berada pada kondisi yang
dapat anda terima?
2. Jika penjelasan pada poin pertama tidak cukup untuk pasien,
umumnya sangat membantu untuk lebih jauh menjelaskan atau
mengajukan konsep NRS dengan urutan sebagai berikut:
a. 0 = Tidak nyeri
b. 1 - 3 = Nyeri ringan
c. 4 - 6 = Nyeri sedang
d. 7 - 10 = Nyeri berat
3. Tim yang bersifat interdisipliner dengan bekerja sama dengan
pasien/keluarga (jika dibutuhkan), dapat menentukan intervensi
yang sesuai sebagai respon dari hasil penilaian dengan NRS.
57
KERANGKA TEORI
NYERI
TRANSDUKSI
TRANSMISI (serabut saraf aferent &
Eferant: Aα, C, Aδ)
MODULASI Sensitasi Sentral
PERSEPSI Korteks Serebri
TRAUMA
BEDAH
PARASETAMOL
PETIDIN
Direct & indirect inhibition:
Central COX, Aktivation of the
canabinoid syst & spinal
serotonergic pathways
Prevent Pg production at
the celuller transcription
level
KETAMINE
Anti sensitasi sentral dan
inhibisi interpretasi sinyal
pada Thalamus dan Limbik
Binding to opioid receptors:
Inhibits the presynaptic release
and postsynaptic respon to
excitatory neurotransmitters
58
BAB III
KERANGKA KONSEP
VARIABEL ANTARA
TRAUMA PEMBEDAHAN
Persepsi
Modulasi
Transmisi
Transduksi
VARIABEL KENDALI
PS ASA
BMI Lama Operasi
Umur
VARIABEL BEBAS
PARASETAMOL +
KETAMIN
PARASETAMOL
+
PETIDIN
PEMBEDAHAN
SEKSIO SESARIA
VARIABEL TERGANTUNG
NRS TD, HR
Efek samping
Keb. Analgetik tambahan
59
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental yang
bersifat uji klinis, single blind. dimana subyek yang memenuhi kriteria
inklusi dibagi menjadi
2 grup, masing-masing 30 orang secara acak, yakni pasien pascabedah
seksio sesaria dengan anestesi subarakhnoid blok (SAB).
Penderita dibagi menjadi 2 grup yaitu :
Grup A : Diberikan paracetamol tablet oral 1 gr/8 jam dalam 24 jam
dan ketamin bolus 0,3 mg/kgBB i.v, dilanjutkan ketamin
perinfus 0,1 mg/kgBB/jam dalam 24 jam.
Grup B : Diberikan parasetamol tablet oral 1 gr/8jam selam 24 jam dan
petidin 0,5 mg/kgBB i.v dilanjutkan petidin perinfus 0,1
mg/kgBB/jam dalam 24 jam.
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP Wahidin Sudirohusodo makassar
dan rumah sakit jejaringnya, mulai November - Desember 2012.
60
4.3. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah pasien yang akan menjalani bedah
seksio sesaria, berumur 18 sampai 45 tahun, yang dilakukan di ruang
bedah RSUP Wahidin Sudirohusodo dan atau rumah sakit jejaringnya
selama masa penelitian.
4.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
4.4.1. Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian populasi yang memenuhi kriteria
penelitian dan telah menandatangani surat persetujuan terlibat dalam
penelitian.
4.4.2. Cara Pengambilan Sample
Sampel diambil dengan cara consecutive sampling, dimana
subjek yang datang dan memenuhiu kriteria inklusi dimasukkan
dalam penelitian sampai jumlah sampel penelitian terpenuhi. Sampel
kemudian dibagi dalam dua kelompok yang dilakukan dengan
random berdasarkan nomor urut kedatangan ke kamar operasi.
4.5. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus :
n1=n2= [(Zα x √2PQ) + (Zβ x √P1Q1+P2Q2)]2
(P1-P2)2
n1=n2= [(1,96 x √2(0,25)(0,75)) + (0,842 x √0,4(0,6) + 0,1(0,9))]2
(0,4-0,1)2
n1=n2= [(1,96 x 0,612) + (0,842 x 0,574)]2
(0,4-0,1)2
n1=n2= 31,5 (besar sampel masing-masing kelompok)
61
Keterangan:
P1 = Proporsi efek standar (diambil dari data pustaka).
Pada penelitian ini didapatkan P1=0,4
P2 = Proporsi efek dari obat yang diteliti, yang ditentukan berdasarkan
beda hasil klinis terkecil yang dianggap penting, didasarkan pada
clinical judgment peneliti (sebaiknya tidak diambil dari data pustaka).
Pada penelitian ini ditetapkan P2=0,1
Zα = Tingkat kemaknaan (ditetapkan oleh peneliti).
Pada penelitian ini ditetapkan tingkat kemaknaan 5% sehingga
Zα=1,96
Zβ = Power (ditetapkan oleh peneliti).
Pada penelitian ini ditetapkan sebesar 80%
P = ½(P1+P2)
Q = 1 - P
n1 = Besar sampel kelompok 1
n2 = Besar sampel kelompok 2
4.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.6.1. Kriteria Inklusi
a. Telah menandatangani persetujuan terlibat dalam penelitian.
b. Umur 18-45 tahun.
c. BMI 18 - 30.
d. PS ASA I-II.
e. Anestesi subarakhnoid blok.
f. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawat.
62
4.6.2. Kriteria Eksklusi
a. Tidak kooperatif.
b. Alergi terhadap anestesi lokal, paracetamol, ketamin, petidin atau
fentanil.
c. Menderita penyakit kardiovaskuler, gangguan ginjal, gangguan hati,
asma bronkial, diabetes mellitus dan atau rinitis alergi.
d. Preeklampsia atau eklampsia.
4.7. Izin Penelitian dan Ethical Clearance
Penelitian ini telah mendapatkan rekomendasi persetujuan etik
(ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada manusia
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.sesuai dengan nomor
register UH12110341.
Semua penderita yang memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan secara
lisan dan menandatangani lembar persetujuan untuk ikut dalam penelitian
secara sukarela. Bila karena suatu alasan penderita berhak
mengundurkan diri dari penelitian ini.
4.8. Cara Kerja
4.8.1. Alokasi Subjek
Penelitian dilakukan pada semua pasien yang memenuhi kriteria
inklusi dan telah menandatangani persetujuan tindakan penelitian, dan
dibagi dalam dua kelompok:
63
a. Kelompok PCT-Ketamin adalah kelompok yang sebelum
pembedahan seksio sesaria yang mendapatkan parasetamol 1
gram i.v dan dilanjutkan pasca bedah mendapatkan parasetamol
tablet oral 1gram/8 jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam.
b. Kelompok PCT-Petidin adalah kelompok yang sebelum
pembedahan seksio sesaria yang mendapatkan parasetamol 1
gram i.v dan dilanjutkan pasca bedah mendapatkan parasetamol
tablet oral 1 gram/8 jam dan petidin infus 0,1 mg/kgBB/jam.
4.8.2. Cara Penelitian
4.8.2.1. Pencatatan
Melakukan pendataan identitas subjek yang akan menjalani
pembedahan seksio sesaria dan masuk kriteria inklusi, memberikan
penjelasan dan informed consent yang jelas tentang tindakan yang akan
diberikan dan subjek yang setuju akan mengisi dan manandatangani
informed consent.
Pencatatan terhadap perubahan nyeri dalam NRS, perubahan TAR, laju
jantung dan laju napas, serta adanya efek samping mual muntah dan
halusinasi pada jam 1, 4, 8, 24.
64
4.8.2.2. Pengukuran
Melakukan pemeriksaan tekanan darah, laju jantung, frekuensi
napas dan derajat intensitas nyeri dengan NRS (numerical rating scale)
pada waktu-waktu yang telah ditentukan selam 24 jam pengamatan.
4.8.2.2.1. Prosedur
Pengambilan sampel dengan cara random dikelompokkan menjadi
grup PCT-Ketamin dan PCT-Petidin. Kedua kelompok sebelum
pembedahan mendapatkan parasetamol infus 1 gram selama 15 menit,
senjutnya anestesi dengan subarakhnoid blok menggunakan bupivakain
0,5% 10 mg+clonidin 30 mcg, setelah pembedahan selesai, kedua grup
tetap mendapatkan paracetamol tablet oral 1 gr/8jam, kemudian grup
PCT-Ketamin diberikan bolus ketamin 0,3 mg/kgBB i.v, dilanjutkan
ketamin perinfus 0,1 mg/kgBB/jam dalam 24 jam. sedangkan grup PCT-
Petidin diberikan petidin bolus 0,5 mg/kgBB i.v, dilanjutkan petidin
perinfus 0,1 mg/kgBB/jam dalam 24 jam.
Nyeri pascabedah yang dirasakan oleh subyek dinilai dengan
menggunakan skor NRS (Numerical Rating Scale) yaitu sebuah garis
skala numerik 0-10 dari kiri ke kanan. Pada ujung kiri (angka 0) diberi
tanda TIDAK NYERI, dan pada ujung kanan (angka 10) diberi tanda
NYERI BERAT. Penderita diinstruksikan untuk menilai sendiri tingkatan
nyeri yang dirasakan dengan menunjuk angka yang tertera pada skala
numerik. Nilai NRS 0-3 sesuai untuk keadaan tidak nyeri sampai nyeri
65
ringan, NRS 4-7 sesuai untuk keadaan nyeri sedang, dan NRS 8-10
sesuai untuk keadaan nyeri hebat sekali atau nyeri tak tertahankan.
Perubahan hemodinamik (tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik,
tekanan darah rerata dan laju jantung), efek samping obat (depresi napas,
mual muntah, dan halusinasi),
4.8.2.3. Intervensi
Subjek yang mengalami nyeri dengan nilai NRS >4, akan diberikan
bolus morfin 0,05mg/kgBB sebagai rescue analgesia. Kebutuhan analgetik
tambahan (morfin) diamati dan dicatat dalam lembar pengamatan selama
24 jam.
66
4.9. ALUR PENELITIAN
PASIEN YANG MEMENUHI KRITERIA PENELITIAN
SUBARAKHNOID BLOK
BUPIVAKAIN 0,5%
10mg+clonidin 30 mcg
PEMBEDAHAN
SEKSIO CESARIA
KELOMPOK A&B
Parasetamol i.v 1 gram
sebelum operasi dan
dilanjutkan 1 gram /8 jam p.o
OPERASI SELESAI
KELOMPOK B
petidin 0,5 mg/kgBB i.v
dilanjutkan kontinyu 0,1
mg/kgBB/jam dalam 24
am.
KELOMPOK A
Ketamin 0,3 mg/kgBB i.v
dilanjutkan kontinyu 0,1
mg/kgBB/jam dalam 24 jam.
ANALISA DATA &
PELAPORAN
PENGAMATAN &
PENGUMPULAN DATA
KESIMPULAN
67
4.10. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Penelitian
4.10.1. Identifikasi variabe
a. Parasetamol 1 gram / 8 jam + Ketamin 0,1 mg/kgBB/jam
b. Parasetamol 1 gram / 8 jam + Petidin 0,1 mg/kgBB/jam
c. PS ASA
d. Usia
e. Indeks Massa Tubuh (IMT)
f. Lama operasi
g. NRS
h. Kebutuhan analgetik tambahan
i. Efek pada sistem kardiovaskuler (tekanan darah sistolik,
tekanan darah diastolik, tekanan darah rerata dan laju
jantung)
g. Efek samping yang ditimbulkan (mual muntah, pruritus dan
halusinasi)
68
4.10.2. Klasifikasi variabel
4.10.2.1. Berdasarkan jenis data dan skala pengukurannya
1). Variabel kategorikal
a. Variabel nominal
1. Parasetamol 1 gram/ 8 jam + ketamin 0,1 mg/kgBB/jam
2. Parasetamol 1 gram/ 8 jam + petidin 0,1 mg/kgBB/jam
b. Variabel ordinal
PS ASA, NRS, Status Pendidikan
2). Variabel numerik
a. Variabel rasio
Umur, berat badan, lama operasi, kebutuhan analgesia tambahan
4.10.2.2. Berdasarkan jenis data dan skala pengukurannya
1. Variabel bebas
a. Parasetamol-Ketamin
b. Parasetamol-Petidin
2. Variabel antara
a. Transduksi c. Modulasi
b. Transmisi d. Persepsi
3. Variabel Kontrol
a. lama pembedahan b. IMT
c. PS ASA d. Umur
69
4. Variabel tergantung
a. Intensitas nyeri pascabedah
b. Efek pada sistem kardiovaskuler (tekanan darah
sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan darah rerata
dan laju jantung)
c. Efek samping yang ditimbulkan (depresi napas, mual
muntah dan halusinasi)
4.11. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif
4.11.1. Kelompok PCT-Ketamin
Kelompok yang mendapat Parasetamol infus 1 gram sebelum
pembedahan dan dilanjutkan pasca bedah parasetamol tablet oral
1 gram/8 jam dan ketamin bolus 0,3 mg/kgBB dilanjutkan ketamin
infus 0,1 mg/kgBB/jam selama 24 jam.
4.11.2. Kelompok PCT-Petidin
Kelompok yang mendapat parasetamol infus 1 gram sebelum
pembedahan dan dilanjutkan pasca bedah parasetamol tablet oral
1 gram/8 jam dan petidin bolus 0,5 mg/kgBB dan dilanjutkan
petidin infus 0,1 mg/kgBB perjam selama 24 jam.
4.11.3. Numerical Rating Scale (NRS)
Penilaian nyeri pascabedah saat istirahat dan bergerak selama
24 jam di ruang pemulihan dan ruang perawatan pada jam ke-1,
4, 8, dan 24. NRS dinilai dengan skala nyeri berdasarkan nomor,
70
menanyakan pada penderita berapa nilai rasa nyeri yang dialami.
Diberikan nilai 0 sampai 10, angka 0 = tidak nyeri sama sekali
sampai 10 = nyeri sangat hebat. NRS dikonfirmasi dengan skala
nyeri ekspresi wajah yang dinilai oleh perawat atau bagi pasien
yang tidak bisa menilai angka.
4.11.4. Tekanan darah sistolik dan diastolik
Diukur dengan cara manual dengan tensimeter air raksa merek
reister pada waktu yang sama dilakukan pemeriksaan NRS.
4.11.5. Laju jantung
Dihitung dengan cara manual dengan bantuan stopwatch pada
waktu yang sama dilakukan pemeriksaan NRS.
4.11.6. IMT
Dihitung berdasarkan berat badandan tinggi badan subyek
penelitian.
4.11.7. Umur
Dihitung berdasarkan tahun kelahiran yang tercantum dalam
status penderita dan dikonfirmasi kembali dengan penderita.
4.11.8. Lama operasi
Mulai dilakukan insisi kulit sampai jahitan terakhir kulit.
71
4.11.9. Analgetik tambahan
Obat analgetik lain (Morfin) yang diberikan ketika pasien
merasakan intensitas nyeri yang mulai mengganggu (NRS ≥ 4).
Fentanil diberikan 1 mcg/kgBB secara intravena dengan interval
15 menit hingga NRS < 4.
4.11.10. Efek samping obat
Efek lain yang tidak diinginkan dari pemberian obat berupa
depresi napas, mual muntah dan halusinasi.
4.11.11. Jam ke-1
Waktu awal mulai dilakukan pemberian obat dan observasi,
segera setelah operasi selesai.
4.11.12. Efek Kombinasi lebih baik
Nilai NRS dari hasil pengamatan lebih rendah, efek samping lebih
sedikit, jumlah analgetik tambahan yang lebih sedikit dan harga
obat lebih murah.
4.12. Kriteria Obyektif
4.12.1. Skala nyeri berdasarkan NRS
a. 0-3 :sesuai untuk keadaan tidak nyeri sampai nyeri ringan.
b. 4-7 :sesuai untuk keadaan nyeri sedang.
c. 8-10 :sesuai untuk keadaan nyeri berat atau tidak tertahankan.
72
4.12.2. Skor nausea
a. 0 : tidak ada mual dan muntah
b. 1 : mual
c. 2 : muntah
4.12.3. Tekanan darah sistolik
a. Hipertensi >140 mmHg
b. Normotensi 100-139 mmHg
c. Hipotensi < 100
4.12.4. Tekanan darah diastolik
a. Hipertensi > 95 mmHg
b. Normotensi 60-95 mmHg
c. Hipotensi < 60 mmHg
4.12.5. Laju jantung
a. Takikardi > 100 kali/menit
b. Normal 60-100 kali/menit
c. Bradikardi < 60 kali/menit
4.12.6. IMT
Menggunakan satuan angka
4.12.7. Lama operasi
Menggunakan satuan menit
73
4.12.8. Halusinasi
a. 0 : tidak ada gangguan halusinasi
b. 1: gangguan halusinasi ringan
c. 2: gangguan halusinasi berat sampai mimpi buruk
4.12.9. Pruritus/urtikaria
a. 0: Tidak ada urtikaria
b. 1: Urtikaria ringan.
c. 2: Urtikaria sedang, urtikaria hampir separuh badan dan tidak ada
gangguan sistemik .
d. 3: Urtikarial berat, urtikaria lebih dari separuh bagian tubuh dan
atau ada gangguan sistemik.
4.12.10. Sedasi
Menggunakan skor sedasi dari Ramsay
a. 1: Cemas, tidak kooperatif
b. 2: Kooperatif
c. 3: Respon terhadap perintah
d. 4: respon terhadap stimulus ringan
e. 5: respon terhadap stimulus kuat
f. 6: tidak berespon terhadap stimulus
74
4.13. Pelaporan dan Analisa Data
Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk
narasi, tabel atau grafik. Analisis statistik menggunakan piranti lunak
statistik yakni sebagai berikut :
a. Nilai NRS, Analgetik tambahan dan efek samping dengan uji
Pearson Chi-Square test.
b. Perubahan hemodinamik, TAR dan laju nadi, diuji dengan
Levene‟s test dan dilanjutkan dengan uji T Independent,
75
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, dari bulan Desember 2012
sampai dengan Januari 2013 di RSIA. St. Fatimah Makassar. Dilakukan
terhadap 60 pasien wanita hamil yang akan menjalani persalinan dengan
operasi seksio sesaria, bersedia mengikuti penelitian dan memenuhi
kriteria inklusi. Enam puluh pasien dibagi ke dalam 2 kelompok secara
acak agar variasi individu terbagi secara merata pada kedua kelompok.
Semua pasien ibu hamil yang akan menjalani operasi seksio sesarea
dengan prosedur spinal anestesi blok, dimana sebelumnya diberikan
infus parasetamol 1 gram selama 15 menit sebelum dilakukan anestesi
spinal. Selanjutnya pasca bedah kedua kelompok yang mendapatkan
parasetamol 1 gr/ 8 jam peroral (p.o). Kelompok yang mendapatkan bolus
ketamin 0,3 mg dan dilanjutkan ketamin infus 0,1mg/kgBB/jam i.v disebut
Kelompok PCT-Ketamin dan kelompok yang menerima bolus petidin 0,5
mg/kgBB dan dilanjutkan petidin infus 0,1 mg/kgBB/jam i.v disebut
Kelompok PCT-Petidin.
5.1. Analisis Karakteristik Sampel
Karakterikstik sampel kedua kelompok berupa umur, BMI, dan
durasi operasi diuji homogenitas dengan Independent T Test, sedang
ASA PS, paritas dan pendidikan diuji homogenitas dengan Pearson Chi-
76
Square Test. Hasil uji homogenitas antara kedua kelompok dapat dilihat
dari Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Karakteristik sampel
Variabel
Kelompok A
PCT-Ketamin
(n=30)
Kelompok B
PCT-Petidin
(n=30)
Kemaknaan
(nilai p)
Mean±SD Mean ±SD.
Umur (tahun) 27,3± 5,1 29,3± 6,2 0,204
IMT (kg/m2) 24,7± 3,5 24,0± 3,1 0,488
Durasi Operasi
(menit) 63± 9 64± 8 0,201
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata/mean (standar deviasi) kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan Independent T Test, p<0,05 dinyatakan
signifikan.
Tabel 2. Karakteristik status fisik, paritas dan pendidikan
Variabel Kelompok A
PCT-Ketamin
(n=30)
Kelompok B
PCT-Petidin
(n=30)
Kemaknaan
(nilai p)
n % n %
PS ASA 1 1 3,3 2 6,7
0,554 2 29 96 28 93,3
Paritas
I 12 40,0 8 26,7
0,278
II 13 43,3 11 36,7
III 4 13,3 4 13,3
IV 0 0 4 13,3
V 1 3,3 2 6,7
VI 0 0 1 3,3
Pendidikan
SLTP 3 10.0 4 13,3
0,735 SLTA 17 56,6 14 46,7
Dipl/Sarjana 10 33,3 12 40.0
Data disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase subjek kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan Pearson Chi-SquareTest, dinyatakan signifikan
bila nilai p<0,05.
77
Dari Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa tidak didapatkan
perbedaan bermakna dari data demografi pada kedua kelompok
penelitian. Sehingga karakteristik dari 60 sampel penelitian tersebut
dinyatakan homogen.
5.2. Analisis Intensitas Nyeri Pascabedah
Untuk menilai perbedaan intesitas nyeri terhadap kedua kelompok,
dilakukan pengukuran skor nyeri (NRS) secara berkala, yaitu menilai skor
nyeri istirahat dan nyeri saat bergerak pada saat akhir pembedaan (jam
pertama), 4 jam, 8 jam, 12 jam dan 24 jam pascabedah. Hasil
pengukuran skor nyeri dengan NRS kemudian diinterpretasikan sebagai
berikut:
a. Tidak nyeri = nilai NRS 0
b. Nyeri ringan = nilai NRS 1 - 3
c. Nyeri sedang = nilai NRS 4 - 6
d. Nyeri berat = nilai NRS 7 - 10
Bila dalam rentang pengamatan didapatkan nilai NRS > 4, maka akan
diberikan analgesia tambahan morfin 0,05mg/kgBB intravena.
Hasil analisis insitas nyeri pada kedua kelompok dapat dilihat pada
Tabel 3, dimana terlihat intensitas nyeri ringan, sedang dan berat, baik
istirahat maupun bergerak pada setiap jam observasi tidak berbeda
bermakna dengan hasil uji Pearson Chi-Square, nilai p >0,05.
Dari tabel intensitas bergerak (tabel 3) dari kelompok A terdapat 5 subyek
yang menderita nyeri berat, 5 dari 30 (16,7%). Sedang dari kelompok B
78
terdapat 3 dari 30 subyek (10%) yang menderita nyeri berat. Secara
distribusi biologis bermakna namun secara statistik tidak berbeda
bermakna.
Tabel 3. Intensitas nyeri pascabedah
Nyeri
Kelompok PCT-Ketamin (A)
(n=30)
Kelompok B PCT-Petidin (B)
(n=30)
p T R S B T R S B
N % n % N % N % n % N % n % n %
Isti
rah
at
1Jam 29 96,7 1 3,3 0 0 0 0 30 100 0 0 0 0 0 0 0,313
4 jam 2 6,7 15 50
13 43,3 0 0 1 3,3 19 63,3 10 33,3 0 0 0,550
8 jam 2 6,7 16 53 12 40 0 0 0 0 21 70 9 30
0 0 0,212
12jam 4 13,3 23 76,7 3 10 0 0 1 3,3 28 93,3 1 3,3
0 0 0,193
24jam 2 6,7 28 93,3 0 0 0 0 1 3,3 29 96,7 0 0
0 0 0,554
Be
rge
rak
1jam 25 83,3 4 13,3 1 3,3 0 0 27 90 3 10 0 0 0 0 0,543
4jam 4 13,3 24 80 2 6,7 0 0 5 16,7 22 73,3 3
10 0 0 0,820
8jam 0 0 0 0 27 90 3 10 0 0 3 10 24
80 3 10 0,204
12jam 0 0 7 23,3 21 70 2 6,7 0 0 11 36,7 19
63,3 0 0 0,224
24jam 0 0 14 46,7 16 53,3 0 0 0 0 15 50 15
50 0 0 0,796
Ket : T: Tidak nyeri, R : Nyeri ringan, S: Nyeri sedang, B: Nyeri berat. Data disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase subyek yang mengalami nyeri dan nilai p diuji dengan Pearson Chi-Square Test, dinyatakan signifikan jika p<0,05.
Grafik 1 menunjukkan intesitas nyeri istirahat pada kedua kelompok
mulai dari 1 jam hingga 24 jam pascabedah. Terlihat sebaran intesitas
nyeri tertinggi pada 4 jam – 8 jam pascabedah. Pada kelompok A terdapat
nyeri sedang pada 4 jam pascabedah 13 dari 30 subyek (43%) dan pada
8 jam pascabedah terdapat 12 dari 30 subjek (40%) lebih tinggi bila
dibandingkan kelompok B 10 dari 30 subjek (33,3%) dan 9 dari 30 subjek
(30%) masing-masing pada 4 jam dan 8 jam pascabedah, ada perbedaan
79
namun tidak berbeda secara statistik. Uji Pearson Chi-Square, nilai
p>0,05.
Grafik 1. Intensitas nyeri istirahat dari kedua kelompok
Grafik 2 menunjukkan sebaran instensitas nyeri saat bergerak pada
kedua kelompok selama pengamatan 24 jam dan puncak nyeri terjadi
pada 8 jam sampai dengan 24 jam pascabedah. Pada kelompok PCT-
Ketamin terdapat subyek dengan nyeri intensitas sedang sebanyak 27
dari 30 subjek (90%) pada 8 jam pascabedah, pada 12 jam pascabedah
terdapat 21 dari 30 subjek (70%) dan 16 dari 30 subjek (53%) pada 24
jam pascabedah lebih tinggi dibanding sebaran nyeri intesitas sedang
pada kelompok PCT-Petidin, sekitar 24 dari 30 subjek (80%), 19 dari 30
(63,3%) dan 15 dari 30 (50%) masing-masing dari 8 jam, 12 jam dan 24
jam pascabedah. Ada perbedaan, namun tidak bermakna secara statistik
dari kedua kelompok perlakuan. Uji Pearson Chi-Square, nilai p>0,05.
80
Tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat
Grafik 2. Intensitas nyeri bergerak selama 24 jam pengamatan.
5.3. Analisis Perubahan Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan
Laju Napas
Berdasarkan data perubahan tekanan arteri rerata (TAR), laju
jantung dan laju napas dari masing-masing kelompok selanjutnya akan
dinilai pergerakan arah dan besarnya dinamika atau velocity dari waktu ke
waktu yang diuji dengan uji Levene‟s dan dilanjutkan dengan uji T
Independent. Hasil uji dianggap bermakna bila probabilitas p <0,05.
Tabel 4 menggambarkan perubahan / velocity TAR, kedua
kelompok selama pengamatan. Hasil uji Levene‟s test dan Independent T
tes memperlihatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok perlakuan, dimana nilai p>0,05.
Grafik 3 memperlihatkan perubahan hemodinamik tekanan arteri rerata
selama pengamatan dari kedua kelompok pelakuan, meskipun terlihat
perbedaan darigrafik, namun tidak ada perbedaan bermakna secara
statistik, nilai p>0,05.
81
Tabel 4. Perubahan tekanan arteri rerata (TAR)
Kelompok
PCT-Ketamin
Kelompok
PCT-Petidin
Nilai p
Perubahan Mean ±SD Mean ±SD
jam 0–jam 1 -2,5±11,3 -3,5±5,8 0,616
jam 0-jam 4 0,1±11,3 -2,3±3,9 0,285
Jam 0-jam 8 -4,3±11,5 -2,3±11,5 0,483
Jam 0-jam12 -4,9±11,3 -5,3±9,8 0,904
Jam 0-jam24 -5,6±8,8 -5,9±9,6 0,917
Data disajikan dalam bentuk velocity TAR selama pengamatan. Velocity diukur
dengan Levene‟s Test dan dilanjutkan dengan Independent Sample Test, Nilai
p<0,05 dinyatakan bermakna.
Grafik 3. Gambaran perubahan Tekanan Arteri Rerata (TAR)
Tabel 5 memperlihatkan perubahan atau velocity laju jantung dari
kedua kelompok perlakuan, dan tidak ada perbedaan yang bermakna
p>0,05. Grafik 4 memperlihatkan gambaran perubahan laju jantung dari
kedua kelompok perlakuan selama pengamatan, gambaran Perubahan
laju jantung kelompok PCT-ketamin lebih stabil dinadingkan kelompok
PCT-petidin, namun tidak berbeda bermakna secara statistik.
-14
-12
-10
-8
-6
-4
-2
0
2
0-1 0-4 0-8 0-12 0-24
VelocityTAR
Jam
PCT-Pet
PCT-Ket
0-1 0-4 0-8 0-12 0-24
82
Tabel 5. Perubahan laju jantung Kelompok
PCT-Ketamin
Kelompok
PCT-Petidin
Nilai p
Perubahan Mean ±SD Mean ±SD
jam 0–jam 1 -13,6±9,8 -11,9±9,8 0,898
jam 0-jam 4 -10,4±9,9 -9,9±11,7 0,440
Jam 0-jam 8 -12,7±10,9 -11,7±10,4 0,967
Jam 0-jam12 -12,7±10,9 -15,3±8,2 0,281
Jam 0-jam24 -12,1±7,6 -14,5±8,7 0,359
Data disajikan dalam bentuk velocity Laju Jantung selama pengamatan. Velocity diukur dengan Levene‟s Test dan dilanjutkan dengan Independent Sample Test, Nilai p<0,05 dinyatakan bermakna.
Grafik 4. Gambaran perubahan laju jantung
Dari hasil uji perubahan laju napas dengan uji Levene‟s yang
dilanjutkan dengan uji independent (tabel 6), didapatkan bahwa tidak ada
perbedaan dari kedua kelompok perlakuan dimana nilai p>0,05. Grafik 5
menggambarkan perubahan laju napas dari kedua kelompok perlakuan,
terlihat perubahan laju napas dari kelompok PCT-ketamin lebih stabil
dibandingkan dengan kelompok PCT-petidin, namun secara statistik tidak
berbeda bermakna p>0,05.
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
0-1 0-4 0-8 0-12 0-24
VelocityNadi
Jam
PCT-Pet
PCT-Ket
0-1 0-4 0-8 0-12 0-24
Jam
83
Tabel 6. Perubahan laju napas Kelompok
PCT-Ketamin
Kelompok
PCT-Petidin
Nilai p
Perubahan Mean ±SD Mean ±SD
jam 0–jam 1 7,1±12,9 0,9±10,0 0,075
jam 0-jam 4 7,5±10,8 2,7±12,1 0,396
Jam 0-jam 8 5,8±10,7 4,6±10,4 0,802
Jam 0-jam12 2,5±7,6 -0,1±11,2 0,269
Jam 0-jam24 3,6±9,8 -3,9±8,9 0,769
Data disajikan dalam bentuk velocity laju Napas selama pengamatan. Velocity diukur dengan Levene‟s Test dan dilanjutkan dengan Independent Sample Test, Nilai p<0,05 dinyatakan bermakna.
Grafik 5. Gambaran perubahan laju napas.
5.4. Analisis Kebutuhan Analgetik Tambahan (morfin)
Kebutuhan konsumsi analgetik tambahan pada penelitian ini
dijelaskan dalam jumlah konsumsi analgetik tambahan morfin selama 24
jam, jumlah proporsi pasien yang mendapatkan rescue dalam 24 jam
pada masing-masing kelompok.
Tabel 7 menunjukkan jumlah kebutuhan konsumsi analgesia
tambahan morfin dalam waktu 24 jam pascabedah. Terlihat bahwa
-2
0
2
4
6
8
10
12
0-1 0-4 0-8 0-12 0-24
Velocitylaju napas
Jam
PCT-Pet
PCT-Ket
84
kebutuhan analgetik tambahan pada kedua kelompok sangat kecil dimana
pada Kelompok PCT-Ketamin konsumsi analgesia hanya morfin 3,18 ±
2,62 mg dan Kelompok PCT-Petidin 2,33 ± 2,81 mg dan kedua kelompok
tidak berbeda secara signifikan (p=0,231).
Tabel 7. Jumlah analgetik tambahan morfin dalam 24 jam pascabedah
Kelompok PCT-Ketamin Kelompok PCT-Petidin P
Mean±SD Mean±SD
3,18 ± 2,62 2,33 ± 2,81 0,231
Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan simpangan deviasi, nilai p diuji dengan Independent sample T Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.
Dari tabel 8 memperlihatkan proporsi subjek yang mendapatkan
analgetik tambahan dalam 24 jam pascabedah. Uji Pearson Chi-Square
tidak berbeda bermakna dimana nilai p=0,078.
Tabel 8. Proporsi subjek yang mendapat analgetik tambahan
Pemberian analgetik tambahan (rescue)
Kemaknaan Kelompok PCT-Ketamin Kelompok PCT-Ketamin
Dapat Rescue Tidak Dapat Dapat Rescue Tidak Dapat
n % n % n % n %
20 66,7 10 33,3 17 56,7 13 43,3 p=0,078
Data disajikan dalam bentuk jumlah dan presentase subyek mendapatkan rescue dan tidak mendapatkan rescue, nilai p diuji dengan Pearson Chi-Square Test, p<0,05 dinyatakan signifikan
Grafik 6 adalah proporsi pasien yang mendapatkan analgetik
tambahan pada Kelompok A sedang grafik 7 menunjukkan proporsi
pasien pada Kelompok B yang mendapatkan analgesia tambahan, dimana
85
jumlah pasien kelompokPCT-ketamin yang mendapat rescue analgesia
morfin sekitar 67%, sedang pada kelompok PCT-petidn sekitar 57%,
namun secara statistik keduanya tidak berbeda bermakna.
Grafik 6. Proporsi pasien yang mendapatkan rescue pada Kelompok PCT- Ketamin.
Grafik 7. Proporsi pasien yang mendapatkan rescue pada Kelompok PCT-Petidin.
33%
67%
Tidak Dapat Rescue
43%
57%
Rescue Tidak Dapat
86
5.5. Analisis Efek Samping
Efek samping dari penggunaan obat pada penelitian ini adalah efek
samping pada pemakaian petidin, yaitu urtikaria. Insiden urtikaria yang
terjadi hanya pada 3 orang dari 30 orang yang menggunakan obat petidin
yaitu 10%. Dengan pearson Chi-Square tidak ada perbedaan bermakna
secara statistik p=0,076, namun bermakna secara klinis.
Tabel 9. Jumlah penderita yang mengalami efek samping pruritus dalam 24 jam pascabedah
Kelompok A
(n=30)
Kelompok B
(n=30)
Kemaknaan
N % n %
Pruritus 0 0% 3 10 p=0,076
Data disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase kejadian. Nilai p diuji dengan Pearson Chi-SquareTest. Nilai p<0,05 dinyatakan signifikan.
87
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan efek kombinasi parasetamol oral 1 gr/8
jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam memiliki efek yang sama baiknya
dengan kombinasi parasetamol oral 1 gram/8 jam dengan petidindi infus
0,1 mg/kgBB/jam dalam penatalaksanaan nyeri pascabedah seksio
sesaria. Secara statistik tidak ditemukanan perbedaan secara bermakna
dari derajat intensitas nyeri istirahat maupun bergerak, kebutuhan
anlagetik tambahan (morfin) dan pengaruh terhadap hemodinamik serta
kejadian efek samping dari kedua kelompok perlakuan.
Dari data terlihat bahwa sebaran intesitas nyeri sedang-berat pada
kedua kelompok setelah 12 jam pascabedah hanya berisar 10% dengan
analgetik tambahan minimal hanya 3,18±2,62 pada kelompok PCT-
ketamin dan 2,33±2,81 pada kelompok PCT-petidin, tidak ditemukan
perbedaan bermakna secara statistik, dimana p>0,05. Hal ini
membuktikan bahwa dengan dosis ketamin 0,1 mg/kgBB/jam atau petidin
0,1 mg/kgBB/jam yang dikombinasikan dengan parasetamol tablet oral 1
gr/8 jam cukup efektif untuk nyeri saat istirahat, namum masih
memerlukan dosis tambahan untuk mengatasi nyeri pada saat bergerak.
Demikian pula halnya dengan efek terhadap perubahan hemodinaki,
kedua kelompok tidak memperlihatkan pengaruh buruk terhadap tekanan
88
arteri rerat dan laju jantung, bahkan maupun efek samping dari kedua
kelompok sangat kecil, bahkan tidak ada.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa kedua kombinasi dari
penelitian ini memiliki efek yang baik dalam penanganan nyeri
pascabedah seksio sesaria. Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Varrassi dkk (1999) yang mendapatkan efikasi analgesik yang sama
antara proparasetamol dengan ketorolac yang dikombinasi morfin PCA
pada pasien pasca operasi gynekologik. Demikian pula dengan
penelitian Maund dkk (2011) yang meneliti tentang mixed treatment
comparison (MTC) analysis dan mendapatkan tidak ada perbedaan dalam
penurunan konsumsi morfin antara parasetamol, COX selektif dan AINS
yang diberikan sebagai adjuvant PCA morfin sebagai multimodal
analgesia pasca operasi mayor. Bell dkk (2006) menyimpulkan bahwa
pemberian infus kontinyu ketamin dosis rendah sampai 48 jam pasca
bedah abdomen memberbaiki nyeri dan menurunkan kebutuhan morfin
PCA serta menurunkan efek samping mual muntah. Hal ini memberikan
bukti bahwa penggunaan analgetik parasetamol dan ketamin pascabedah
memiliki efek yang baik dalam menurunkan nyeri pascabedah, meski
belum didapatkan publikasi tentang kombinasi keduanya.
Parasetamol merupakan antinosiseptif sentral yang menghambat
nosisepsi melalu jalur modulasi dengan mengaktivasi canabinoid sistem
dan jalur serotonergik descending serta menurunkan hiperalgesia dengan
menghambat pembentukan nitric oxide akibat aktivasi substans P dan
89
stimulasi reseptor N-methyl D-aspartate. Ada peningkatan bukti bahwa
parasetamol memiliki efek antinosiseptif sentral, dan mekanisme potensial
untuk inhibisi COX-2 sistem saraf sentral, inhibisi terhadap dugaan
siklooksigenasi sentral „COX-3‟ yang selektif terhadap parasetamol,
sehingga sangat baik digunakan sebagai analgesia pascabedah, baik
secara diberikan secara tunggal ataupun secara kombinasi (Christopher et
all., 1997; Davis, 2005; Varassi et al.,1999).
Ketamin merupakan turunan dari phencyclidin, mulai ditemukan pada
tahun 1965 dan digunakan pertama kali dalam praktek klinik pada tahun
1970. Penggunaan sebagai analgesia pasca bedah dengan dosis rendah
atau subanestesik dose (0,1-0,3 mg/kgBB) juga mulai popular dalam
beberapa tahun terakhir, baik digunakan secara tunggal (konsentrasi
dalam darah 150 ng/ml) ataupun sebagai kombinasi dengan opioid atau
agen lainnya (Suzuki., 2009). Saat ini telah diketahui bahwa mekanisme
kerja ketamin adalah pada reseptor µ spinal, jalur inhibisi desenden, dan
yang utama sebagai antagonis reseptor NMDA berikatan secara spesifik
terhadap tempat fensiklidin pada saluran ion reseptor N-Metil-D-Aspartat
(NMDA). Reseptor NMDA memainkan peranan penting dalam
hipersensitifitas medula spinalis akibat cedera, termasuk akibat
pembedahan. sensitisasi sistem saraf sentral ini yang berperan dalam
mekanisme nyeri akut ataupun kronik akibat trauma pascabedah (Craven,
2007).
90
Multimodal analgesia sebagai suatu tekhnik untuk meningkatkan efek
analgesia dan mengurangi insiden yang tidak diharapkan terkait dengan
penggunaan opioid. Strategi ini menitik beratkan tercapainya analgesia
yang optimal dengan cara penambahan analgetik yang bekerja sinergis
dari kelas analgetik yang berbeda dan mekanisme yang berbeda. Hal ini
menyebabkan dosis obat individual berkurang dan menurunnya efek yang
tidak diharapkan dari obat tertentu yang digunakan pada perioperatif
(Ashburn et al., 2004).
Oleh karena itu, kombinasi antara parasetamol dengan ketamin ataupun
parasetamol dengan petidin mempunyai efek potensiasi sehingga dapat
digunakan sebagai multimodal analgesia pascabedah yang sama baiknya.
Pada penelitian ini juga didapatkan efek terhadap hemodinamik
tekanan arteri rerata dan laju jantung serta laju napas tidak berbeda pada
kedua kelompok. Hal ini terlihat dari velocity tekanan arteri rerata, laju
jantung dan laju napas pada kedua kelompok perlakuan tidak berbeda
bermakna, p>0,05. Hal ini sejalan dengan penelitian Park dkk, (2007)
bahwa penggunaan ketamin dosis subanestetik 0,1 mg/kgBB sebagai
adjuvan pada anestesi umum tidak memberikan efek perubahan
hemodinamik pada pasien ortopedik yang menjalani operasi dengan
tourniquet. Meskipun secara umum pemberian ketamin akan memberikan
efek kardiovaskuler seperti takikardi, peningkatan tekanan darah dan
cardiak output akibat pengaruh simpatis respon, namun efek terhadap
91
kardiovaskuler dapat dihilangkan dengan pemberian dosis rendah , infus
kontinyu dan pemberian diazepam. (Pai & Heining,. 2007).
Sebagaimana obat-obat yang lain, maka parasetamol, ketamin, petidin
juga memiliki efek samping. Keterbatasan penggunaan obat tersebut oleh
karena efek samping seperti mimpi buruk, halusinasi, urtikaria dll. Pada
penelitian ini, efek samping yang muncul hanya muncul pada PCT-
ketamin petidin, yaitu urtikaria. Insiden urtikaria yang terjadi hanya pada 3
orang dari 30 orang yang menggunakan obat petidin yaitu 10%, tidak ada
perbedaan bermakna secara statistik dimana nilai p=0,076, namun
bermakna secara klinis. Hal serupa juga dijelas pada sebuah penelitian
acak tersamar ganda yang mendapatkan frekuensi pruritus pada
kelompok petidin sekitar 5 dari 16 subyek yang dibandingkan dengan 1
dari 10 subyek pada kelompok morfin dan tidak ada kejadian pruritus pada
kelompok fentanyl oleh Davis & Graham (2004). Hal ini dapat dijelaskan
bahwa kejadian pruritus pada kelompok petidin disebabkan oleh efek
histamine release yang terjadi oleh karena reaksi hipersensitif atau reaksi
alergi akibat respon immun dari antibodi Ig E, limfosit atau keduanya,
pelepasan histamin dari sel mast terjadi melalui mekanisme tersebut
(Davis & Graham, 2004).
Analisis secara umum pada penelitian ini adalah bahwa kombinasi
parasetamol dan ketamin memberikan efek yang baik pada pembedahan
seksio sesaria dengan menurunkan intesitas nyeri tanpa efek samping
dan pengaruh terhadap hemodinamik.
92
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
6.1.1. Tidak ada perbedaan efek dari kombinasi parasetamol tablet oral
1 gr/8 jam dan ketamin infus 0,1 mg/kgBB/jam dibandingkan
kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8jam dan petidin infus 0,1
mg/kgBB/jam. Baik dari derajat intensitas nyeri, kebutuhan
analgestik tambahan dan efek samping.
6.1.2. Kombinasi parasetamol tablet oral 1 gr/8 jam dengan ketamin infus
0,1mg/kgBB/jam atau petidin infus 0,1mg/kgBB/jam, memiliki efek
yang baik sebagai multimodal analgesia pascabedah seksio
sessaria.
6.2. Saran
6.2.1. Saran akademik
a. Perlu adanya penelitian lanjutan pada penggunaan
kombinasi parasetamol dan ketamin pada jenis operasi lain
yang dominan nyeri somatik.
b. Perlu pemeriksaan biomarker seperti kadar prostaglandin
dan mediator proinflamasi seperti IL-1B, dan IL-6 untuk
mengetahui efek kombinasi tersebut secara biomolekuler.
93
6.2.2. Saran klinik
a. Menggunakan kombinasi parasetamol dengan ketamin dosis
rendah sebagai multimodal analgesia pada jenis operasi lain
dengan intesitas nyeri setara dengan seksio sesaria.
b. Menggunakan kombinasi parasetamol-ketamin dosis rendah atau
kombinasi parasetamol-petidin atau kombinasi ketiganya sebagai
analgesia preventif pada penanganan nyeri pascabedah.
94
DAFTAR PUSTAKA
Apfelbaum, J.L., Chen, C., Mehta, S.S. & Gan, T.J. 2003. Postoperatif pain experience: result from a national survey suggest postoperatif continues to be undermanage. Anesth Analg, 97,534-540.
Ashburn, M.A., Caplan, R.A. & Carr, D.B. 2004. Practice guidelines for acute pain management in the perioperative setting: an updated reported by the American Society of Anesthesiologiest task force on acute pain management. Anesthesiology,100,1573-81.
Ashburn, M.A. & Ready, L.B. 2001. Postoperative pain. In: Loeser, J.D., Butler, S.H., Chapman, C.R. & Truck, D.C. (eds.) Bonica‟s Management of pain. 3rd ed. New York: Lippincot Williams & Wilkins.
Beillin, Y., Hossain, S. & Bodian, C.A. 2003. Numeric rating scale and labor epidural analgesia. Anesth Analg,109, 943-950.
Bell, R.F., Dahl, J.B.,Moore, R.A. & Kalso, E. 2006. Perioperative ketamin for acute postoperative pain. Cochrane Database Syst Rev.
Blanshard, H. 2010. What is the evidence to support the use of IV paracetamol for the treatment of pain? Prepared by UK Medicines Information (UKMi) pharmacists for NHS healthcare professionals.
Briggs, G., Freeman, R.K. & Yaffe, S.J. 1994. A reference guide to fetal
and neonatal risk. Drug in Pregnanancy and Lactation. 4th ed. Baltimore: Williams & Wilkins.
Buvanendran, A. & Kroin, J.S. 2009. Multimodal analgesia for controlling acute postoperative pain. Curr Opin Anaesthesiol, 22, 588-593.
Byers, M.R. & Bonica, J.J. 2001. Peripheral pain mechanism and nociceptor plasticity. In: Loeser, J.D., Butler, S.H., Caplan, R.A. & Truck, D.C. (eds.) Bonica‟s management of pain. 3rd ed. New York: Lippincot Williams & Wilkins.
Christopher, S.T., Matt, B. & Hamilton, M.1997. A comparison of ibuprofen versus acetaminophen with codein in the young tonsillectomy patient. Otolaryngol Head Neck Surg,117, 76-82.
Cousins, M.J. 2005. Acute pain management : scientific evidence. 2nd ed. Melbourne: Australian and New Zealand College of Anesthetics and Faculty of Pain Medicine.
95
Craven, R. 2007. Ketamine: review. Anaesthesia, 62,48-53. Davis, S. & Graham, G. 2005. IV paracetamol- where does it sit in hospital
practice?. NSW Therapeutic Advisory Group. Curr Opin Anaesthesiol, 1-6.
Fletcher, D., Fermanian, C., Mardaye, A. & Aegerter, P. 2008. Patient-
based national survey on postoperative pain management in France reveals significant achievements and persistent challenges. Pain,137,441-451.
Freye, E. 2008. Opioid in medicines. A comprehensive review on the
mode of action and the use of analgetics in different clinical pain
stases. Netherland: Springer.
Galinski, M., Dolveck, F., Combes, X. et al. 2007. Management of severe acute pain in emergency settings: ketamin reduces morphine consumption. Am J Emerg Med, 25, 385-390.
Gurnani, A., Sharma, P.K., Routella, R.S. & Bhattacharya A. 1996. Analgesia for acute musculoskeletal trauma: low dose subcutaneus infusion of ketamin. Anaes and intesive care, 24, 32-36.
Katz, J. & Clarke, H. 2008. Preventive analgesia and beyond: current status. evidence, and future directions. In: Rice, A.S., Justins, D., Newton, T., Howard, R.F. & Miaskowski, C.A. (eds.) Clinical pain management. 2nd ed. London: Hodder Arnold.
Kleinman, W. & Mikhail, M. 2006. Regional anesthesia & pain management. In: Morgan, G.E., Mikhail, M.S. & Murray, M.J. (eds.) Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill.
Koppert, W., Katrin, F., Huzurudin, N. & Schmieder, R. 2006. The efects of paracetamol and parecoxib on kidney function inelderly patiens undergoing orthopedic surgery. Anesth Analg, 103,1170-1176.
Kula, A., Durmus, N. & Altum, A. 2009. Analysis of the antinociceptive
effect of pethidine combination with ketamine or paracetamol in tail-flick test in mice. Cumhuriyet Med J, 31, 1-7.
Kulo, A., Peeters, M. & Allegaert, K. 2012. Pharmakokinetics of paracetamol and its metabolites in women at delivery and post partum (abstract). Br J Clin Pharmacol.
96
Macintyre, P.E. 2010. Acute pain management : scientific evidence. 3th ed. Melbourne: Australian and New Zealand College of Anesthetics and Faculty of Pain Medicine.
Maund, E., Rice, S., Wright, K. & Woolacott, N. 2011. Paracetamol and selective and non-selective non steroidal anti-inflamatory drug for the reduction in morphine-related side-efects after major surgery: a systemic review. Br J Anaesth,106, 292-7.
Michelet, P., Guervilly, C., Helaine, A., et al. 2007. Adding ketamin to
morphine for patient-controlled analgesia after thoracic surgery: influenceon morphine consumption, respiratory function, and nocturnal desaturation. Br J Anaesth, 99, 396-403.
Montgomery, A. & Hale, T.W. 2006. Analgesia and anesthesia for the breastfeeding mother. Breastfeeding Med,1, 271-277.
Morgan, E.M., Mikhail, M.S. & Murray, M.J. 2006. Nonvolatille anesthetic
agents. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill.
Morgan, E.M., Mikhail, M.S. & Murray, M.J. 2006. Pain management. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill.
Pai, A. & Heining, M. 2007. Ketamine. Continuing Educationin Anesthesia, Critical Care & Pain, 7, 59-63.
Park, J.W., Kim, D.H. & Lee, W.K. 2007. The efficacy of low-dose ketamine added to postoperative patient-controlled analgesia. Korean J Anesthesiol, 83, 657-662.
Peng, P. & Sandler, A. 1999. A review of the use of fentanyl analgesia in the management of acute pain in adults. Anesthesiology, 90, 576-599.
Smith, H.S. 2009. Potential Analgesic Mechanism of Acetaminophen. Pain
Physician, 12, 269-280.
Sommers, M., Rijkea, J.M., Kleefa, M., Kesselsa, A.G.H., Petersa, M.L., Geurtsa, J. et al. 2008. The prevalence of postoperative pain in a sample of 1490 surgical inpatients. Eur J Anaesthesiol, 25, 267-74.
Suzuki, M. 2009. Perioperative ketamine for better postoperative pain
outcome. In: Sinatra, R., Oscar, A., Ginsberg, B. & Viscusi, E. (eds.) Acute pain management. New York: Cambridge University Press.
97
Vadivelu, N., Whitney, C.J. & Sinatra, R.S. 2009. Pain pathway and acute pain processing. In: Sinatra, R.S., Leon-casasola, O., Ginsberg, B. & Viscusi, E.R. (eds.) Acute pain management. New York: Cambridge University Press.
Varrassi, G., Marinamgeli, F., Agro, F. & Luigi, A. 1999. Adouble-blinded evaluation of proparacetamol versus ketorolac in combination with patient-control analgesia morphine: analgesic efficacy and tolerability after gynecologic surgery. Anesth Analg, 88, 611-616.
Voscopous, C. & Lema, M. 2010. When does acute pain became chronic?. Br J Anaesth, 105, 169-185.
Wee, M.Y.K., Brown, H. & Reynolds, F. 2005. The National Insdtitute of Clinical Excellence (NICE) guidelines for caesarean sections: implications for the anaesthetist. Int J Obstet Anesth, 14, 147-158.
98
LAMPIRAN 1
PERSETUJUAN SEBELUM PERSIAPAN DIMULAI
EFEK KOMBINASI PARASETAMOL-KETAMIN VS PARASETAMOL PETIDIN SEBAGAI BALANS ANALGESIA POST SEKSIO SESSARIA
Yang bertandatangan dibawah ini : Nama/Umur : A l a m a t : No. Rekam Medis : MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA BAHWA SAYA TELAH
MENDAPATKAN PENJELASAN DAN KESEMPATAN BERTANYA HAL-HAL YANG
BELUM SAYA MENGERTI TENTANG PENELITIAN INI. PENJELASAN TERSEBUT
MELIPUTI MANFAAT DAN KEUNTUNGAN SERTA EFEK SAMPING DARI
KOMBINASI PARASETAMOL-KETAMIN ATAU PARASETAMOL-PETIDIN SERTA
TEKNIK ANESTESI SPINAL YANG AKAN SAYA DAPATKAN SELAMA PENELITIAN
INI.
Setelah mendapat penjelasan tersebut, dengan ini saya menyatakan secara sukarela ikut serta dalam penelitian ini dan saya berhak mengundurkan diri bila ada alasan sehubungan dengan kesehatan saya. Demikian pula jika terjadi perselisihan saya akan melakukan musyawarah dengan peneliti untuk mencari jalan keluar yang terbaik tentang perselisihan tersebut. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
Makassar, November 2012
Saksi, Tanda Tangan Yang Menyatakan, 1. ………………………... ……………….. 2. ………………………… ……………….. (……………………….) Penanggung Jawab Medik, Penanggung Jawab Penelitian, Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD-SpAn dr. Faisal Hertasning B3 no. 7 Makassar Telp.081355771298/(0411) 5469447
. Hartaco Indah 1Y no 7 Makassar
99
Lampiran 2. Lembar Pengamatan
LEMBAR PENGUMPUL DATA
I. Identitas Pasien
Nama : Umur : thn Pendidikan : BB : kg Alamat : TB : cm Pekerjaan : BMI : kg/m2 No. Rekam Medis:
II. Data Klinis 1. Diagnosis MRS : 2. ASA PS : 3. Tanda Vital : TD = mmHg N = x/mnt P = x/mnt S = ºC VAS = 4. Mulai SAB : 5. Mulai Operasi : 6. Selesai Operasi : ` 7. Ketinggian Blok Maksimal :
- Blok Sensorik “pinprick” :
- Blok Sensorik Dingin :
1. Jenis operasi :
LEMBAR PENGAMATAN
PENGAMATAN JAM 1 4 8 12 24
TDS
TDD
N
Tanggal : RM :
No. Urut :
100
P
NRSI
NRS2
ANALGETIK TAMBAHAN ( RESCUE ) FENTANIL 1 μgr/kgBB
JAM
EFEK SAMPING
JAM
MUAL
MUNTAH
Keterangan :
TDS : Tekanan darah Sistolik
TDD : Tekanan Darah Diastolik
N : Nadi
P : Pernafasan
NRSI : Numerical Rating Scale Istirahat.
NRS2 : Numerical Rating Scale Bergerak
101
LAMPIRAN 3. ADVERSE EVENT FORM
Identitas
Nama (Inisial) / Umur :
No. MR :
Diagnosis :
Adverse event
No. Gejala Berat Ringan Tidak Ada
1 sedasi
2 Halusinasi
3 Mual
4 Muntah 5 pruritus
Penanganan adverse event
No. Gejala Penanganan
1 Sedasi Hentikan infus ketamin atau petidin 2 Halusinasi Hentikan infus ketamin
3 Mual Ondansetron 4 mg/iv
4 Muntah Ondansetron 4mg.iv
5 Pruritus Dexametason 4 mg iv
Peneliti,
dr. Faisal
102
LAMPIRAN 4. Contoh Surat
Kepada Yang Terhormat
Teman Sejawat Dokter Obstetri dan Gynecology
Di -
Tempat
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Sehubungan dengan akan dilakukan penelitian yang berjudul
PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI PARASETAMOL-KETAMIN DENGAN
PARASETAMOL-PETIDIN SEBAGAI BALANS ANALGESIA POST SEKSIO SESSARIA.
Penelitian ini bertujuan untuk Melihat perbandingan efek kombinasi
parasetamol-ketamin dengan parasetamol-petidin sebagai balans analgesia post
seksio sesaria. Tugas ini dijalankan sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan di bagian Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif dan
Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran UNHAS.
Dengan ini kami meminta persetujuan untuk melakukan penelitian pada
pasien yang dokter rawat.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Makassar, Juni 2011
Peneliti,
dr. Faisal