Upload
hanga
View
236
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI
KOMBINASI SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10%
DENGAN SALEP 3-6 TUNGGAL PADA
PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN
UMMUL QURA
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Oleh :
Hana Qonita
NIM: 1112103000054
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H/2015
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI
KOMBINASI SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10%
DENGAN SALEP 3-6 TUNGGAL PADA
PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN
UMMUL QURA
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Oleh :
Hana Qonita
NIM: 1112103000054
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H/2015 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 11 September 2015
Hana Qonita
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI KOMBINASI
SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10% DENGAN SALEP 3-6
TUNGGAL PADA PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK
PESANTREN UMMUL QURA
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Hana Qonita
NIM: 1112103000054
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Meizi Fachrizal Achmad, M.Biomed dr. Rahmatina, Sp.KK
NIP. 19790526 200501 2 005
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H/2015 M
iv
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI
KOMBINASI SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10% DENGAN SALEP 3-6
TUNGGAL PADA PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN
UMMUL QURA yang diajukan oleh Hana Qonita (NIM: 1112103000054), telah
diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 11
September 2015. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelas Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Pendidikan
Dokter.
Ciputat, 11 September 2015
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman.
Penulisan skripsi dengan judul “Efektivitas Terapi Kombinasi Salep 3-6
dan Sabun Sulfur 10% Dibandingkan Salep 3-6 Tunggal Pada Pengobatan Skabies
di Pondok Pesantren Ummul Qura” ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan
ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Achmad Zaki, Sp.OT selaku ketua Program Studi Pendidikan
Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah
membantu dan segenap dosen yang telah memberikan ilmu
pengetahuan yang sangat berguna bagi saya.
3. dr. Nouval Shahab, Sp.U, Ph.D, FICS, FACS dan dr. Flori Ratna Sari,
Ph.D selaku penanggung jawab modul riset angkatan 2012 Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah yang telah
membimbing saya dan teman sejawat PSPD 2012 dalam penyusunan
skripsi ini.
4. dr. Raendi Rayendra, Sp.KK, M.Kes dan dr. Lucky Briliantina,
M.Biomed selaku penguji sidang skripsi, yang telah memberikan kritik
dan saran serta perbaikan penulisan yang membangun penyusunan
skripsi ini.
5. dr. Meizi Fachrizal Achmad, M.Biomed dan dr. Rahmatina, Sp.KK
selaku pembimbing penelitian, yang telah memberikan perhatian,
vi
bimbingan, nasihat, pengarahan dan masukan yang berharga salam
penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Uswatun Chasanah selaku Pimpinan Pondok Pesantren Ummul
Qura beserta seluruh peserta penelitian atas kerja sama dan ketekunan
selama menjalani pemeriksaan sesuai jadwal sehingga penelitian ini
terlaksana dengan baik.
7. Kedua orang tua saya yaitu Ir. Arlin Salim dan Dr. Nursanita Nasution,
S.E, M.Ak serta saudara kandung saya yaitu Faris Faruqi, S.E, Hadi
Sabila Rosyad, S.E, Muhammad Yasin, S.Kom, Zaid Robbany, S.Si,
Umair Nasrullah dan Fathia Zahra yang telah memberikan dukungan,
doa, nasihat, dan bimbingan seumur hidup saya serta kerja keras dan
kasih sayangnya yang selalu menjadi alasan saya untuk terus berkarya.
8. Alfriyadi Rafles, Firda Fakhrena, Irwana Arif, Atina Nabila dan teman
sejawat PSPD UIN 2012 yang telah membantu, memberikan bantuan,
semangat, masukan serta berjuang bersama untuk menyelesaikan
skripsi ini.
Semoga segala keikhlasan dan kebaikan yang saya terima selama ini
mendapat balasan dan karunia yang tiada henti dari-Nya.
Akhir kata, harapan saya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca dan dengan kebesaran hati saya menerima kritik dan saran.
Ciputat, 11September 2015
vii
ABSTRAK
Hana Qonita. Pendidikan Dokter. Perbandingan Efektivitas Terapi Kombinasi
Salep 3-6 dan Sabun Sulfur 10% Dengan Salep 3-6 Tunggal Sebagai Pengobatan
Skabies. 2012.
Latar Belakang: Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei. Prevalensi skabies di
Indonesia sebesar 4,60%-12,95% termasuk peringkat ketiga dari 12 penyakit kulit
lain. Angka kesembuhan pada penelitian Irma Binarso (1991) di panti asuhan
Semarang mencapai 69,05% dengan menggunakan salep 2-4. Sedangkan
kombinasi salep sulfur dan sabun non sulfur pada uji klinis oleh Alebiosu dkk di
Nigeria (2003) sebesar 100 %. Tujuan: Mengetahui efektivitas terapi kombinasi
salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dibandingkan salep 3-6 tunggal dalam
kesembuhan klinis. Metode: Penelitian ini adalah penelitian uji klinis yang
dilakukan di Pondok Pesantren Ummul Qura, Tangerang Selatan selama 3 minggu.
Salep sulfur digunakan selama 3 hari dan sabun sulfur 10% digunakan 2 kali sehari
selama 3 minggu. Follow up dilakukan pada hari ke-7, 14, dan 21. Hasil: Angka
kesembuhan kelompok kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dibandingkan
salep 3-6 tunggal pada follow up 1 84,6% dan 100% (p=0,283), follow up 2 100%
dan 100%, dan follow up 3 83,3% dan 75% (p=0,585). Kesimpulan: Tidak ada
perbedaan kesembuhan klinis skabies antara kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur
10% dengan salep 3-6 tunggal.
Kata Kunci: Skabies, Salep 3-6, Salep Sulfur 6%, Sabun Sulfur 10%,
Kesembuhan Klinis.
ABSTRACT
Hana Qonita. Medical Education Program. The Effectiveness of Combination
Therapy of Sulphur Ointment 3-6 and Sulphur Soap 10% Versus Ointment 3-6
Only For Scabies Treatment.
Background: Scabies is a skin diseasae caused by the infection and
infestation by Sarcoptes scabiei. The prevalence of scabies in Indonesia is about
4,60%-12,95% in percentage. It is the third most common case among the other 12
of skin disease in the country. The clinical cure of clinical trial study of ointment
product by Alebiosu et.al.in Nigeria (2003) using the combination of sulphur
benzoyl peroxide ointment and non sulphur soap is 100% in percentage.
Objective: To determine the effectiveness comparasion of clinical cure by
applying the combination of ointment 3-6 and sulphur soap 10% versus ointment
3-6 only against scabies disease. Method: This study is clinical study at Ummul
Qura Boarding School in South Tangerang done in 3 weeks. Sulphur ointment is
used for 3 days and sulphur soap 10% is used twice a day for 3 weeks. Follow-ups
are done on day 7, 14 and 21. Result: The percentage of clinical cure with
combination therapy of ointment 3-6 and sulphur soap 10% versus ointment 3-6
only are during follow up 1 84,6% and 100% (p=0,283), follow up 2 100% and
100% and follow up 3 83,3% and 75%. Conclusions: There were no difference of
viii
clinical cure between the combination therapy of ointment 3-6 and sulphur soap
10% versus ointment 3-6 only in the treatment of scabies.
Keywords: Scabies, Ointment 3-6, Sulphur Ointment 6%, Sulphur Soap 10%,
Clinical Cure.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................................. vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3
1.3 Hipotesis ......................................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 3
1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
2.1 Skabies ............................................................................................................ 5
2.1.1 Definisi .................................................................................................... 5
2.1.2 Etiologi .................................................................................................... 5
2.1.2.1 Siklus Hidup ..................................................................................... 5
2.1.2.2 Transmisi .......................................................................................... 7
2.1.3 Faktor risiko ............................................................................................. 8
2.1.4 Patogenesis .............................................................................................. 8
2.1.5 Gejala klinis ........................................................................................... 10
2.1.6 Diagnosis ............................................................................................... 12
2.1.7 Tatalaksana ............................................................................................ 13
2.1.7.1 Obat Topikal ................................................................................... 14
a. Permetrin .................................................................................... 14
b. Lindane ...................................................................................... 14 c. Benzyl Benzoate ......................................................................... 15
d. Crotamiton ................................................................................. 15
e. Malation ..................................................................................... 16
f. Sulfur ......................................................................................... 16
2.1.7.2 Obat oral ......................................................................................... 17
a. Ivermectin .................................................................................. 17
2.1.8 Komplikasi............................................................................................. 19
2.1.9 Pencegahan ............................................................................................ 20
2.1.10 Prognosis ............................................................................................... 20
2.2 Salep 3-6 ....................................................................................................... 21
2.2.1 Asam Salisilat ........................................................................................ 21
x
2.2.2 Sulfur ..................................................................................................... 22
2.3 Kerangka teori .............................................................................................. 24
2.4 Kerangka konsep .......................................................................................... 24
2.5 Definisi Operasional ..................................................................................... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 27
3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ......................................................... 27
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 27
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................... 27
3.3.1 Jumlah Sampel ....................................................................................... 27
3.3.2 Cara Pengambilan Sampel ..................................................................... 28
3.3.3 Kriteria Sampel ...................................................................................... 28
3.3.3.1 Kriteria Inklusi ................................................................................ 28
3.3.3.2 Kriteria Ekslusi ............................................................................... 28
3.3.3.3 Kriteria Drop Out (DO) .................................................................. 29
3.4 Variabel ........................................................................................................ 29
3.4.1 Variabel Bebas ....................................................................................... 29
3.4.2 Variabel terikat ...................................................................................... 29
3.5 Alat dan Bahan ............................................................................................. 29
3.5.1 Alat ........................................................................................................ 29
3.5.2 Bahan ..................................................................................................... 29
3.6 Cara Kerja Penelitian .................................................................................... 29
3.7 Alur Penelitian .............................................................................................. 31
3.8 Manajemen Data ........................................................................................... 32
3.8.1 Pengumpulan Data ................................................................................. 32
3.8.2 Pengolahan Data .................................................................................... 32
3.8.3 Analisa Data .......................................................................................... 32
3.8.4 Rencana Penyajian Data ........................................................................ 32
3.9 Etika Penelitian ............................................................................................. 32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 33
4.1 Prevalensi Skabies di pondok pesantren. ...................................................... 34
4.2 Karakteristik penderita.................................................................................. 35
4.2.1 Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin ..................................... 35
4.2.2 Distribusi penderita berdasarkan usia .................................................... 36
4.2.3 Distribusi penderita berdasarkan tingkat pendidikan ............................ 37
4.3 Hasil Uji Klinis ............................................................................................. 38
4.4 Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 42
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 43
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 43
5.2 Saran ............................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45
LAMPIRAN .......................................................................................................... 49
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. 61
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis tungau Sarcoptes scabiei. ............................. 5
Gambar 2.2 Siklus hidup Sarcoptes scabiei. ........................................................... 7
Gambar 2.3 Patogenesis hipersensitivitas tipe 4. .................................................. 10
Gambar 2.4 Predileksi skabies. ............................................................................. 11
Gambar 2.5 Gambaran umum lesi skabies dan terowongan pada sela-sela jari
dan buku-buku jari. .......................................................................... 12
Gambar 2.6 Gambaran tungau betina gravid, telur, dan skibala tungau pada
pemeriksaan mikroskopik dari kerokan kulit. .................................. 13
Gambar 2.7 Alur penatalaksanaan skabies............................................................ 19
Gambar 2.8 Struktur kimia asam salisilat. ............................................................ 21
Gambar 4.1 Perbandingan proporsi angka kesembuhan klinis pada kelompok
kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur dengan kelompok salep 3-6
tunggal pada follow up 3 minggu. .................................................... 40
Gambar 4.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap
obat.. ................................................................................................. 41
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pengobatan untuk Skabies ..................................................................... 18
Tabel 4.1 Prevalensi skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura .......................... 34
Tabel 4.2 Distribusi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin. ....................... 35
Tabel 4.3 Distribusi penderita skabies berdasarkan usia ....................................... 36
Tabel 4.4 Distribusi penderita skabies berdasarkan tingkat pendidikan ................ 37
Tabel 4.5 Uji beda kesembuhan pada kedua kelompok penelitian. ....................... 38
xiii
DAFTAR SINGKATAN
CDC : Center for Disease Control and Prevention
CD : Cluster of Differentiation
CD4+ : Helper T Cells
CD8+ : Killer T Cells
APC : Antigen Presenting Cells
IFN : Interferon
IL : Interleukin
NK : Natural Killer
PCR : Polymerase Chain Reaction
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia berada di garis katulistiwa pada belahan dunia bagian timur,
tepatnya pada koordinat 06°LU-11°LS dan 94°-141°BT. Oleh karena itu Indonesia
beriklim tropis serta memiliki kelembaban yang tinggi, yaitu diatas 60%
berdasarkan data Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Sebagai negara yang beriklim tropis dan kelembaban yang tinggi, salah
satu penyakit yang memiliki prevalensi tinggi di Indonesia adalah penyakit
parasitik. Hal ini disebabkan karena kelembaban tersebut menunjang organisme
parasit untuk hidup. Salah satu penyakit parasitik yang menjadi masalah kesehatan
di Indonesia adalah skabies atau biasa dikenal kudis atau gudik.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI)
pada tahun 1986, skabies merupakan penyakit kulit tersering peringkat ketiga dari
12 penyakit kulit lain dengan prevalensi sebesar 4,60%-12,95%.1 Survei yang
dilakukan di sebuah Rumah Tahanan Negara, Medan menunjukkan prevalensi
skabies tahun 2009-2011 sebesar 42,9%.2 Berdasarkan data dari 9 rumah sakit di 7
kota besar di Indonesia pada tahun 2001, Jakarta merupakan daerah dengan
prevalensi skabies tertinggi yaitu 335 kasus di tiga rumah sakit menurut Kelompok
Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI).3 Di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusomo (RSCM) tahun 1988, dari 704 kasus skabies didapatkan 5,77%
kasus baru.4 Sementara, prevalensi skabies pada tahun 1989 sebesar 6% dan tahun
1990 sebesar 3,9%.4 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari
dan Saleha Sungkar di sebuah pondok pesantren X, Jakarta Timur pada tahun 2014
didapatkan prevalensi skabies sebesar 51,60% dengan kepadatan hunian tinggi.5
Dari prevalensi di atas, skabies umumnya ditemukan di daerah yang padat
penduduk dan diderita oleh sekelompok orang yang tinggal bersama yaitu seperti
asrama, pondok pesantren, panti, rumah tahanan, dan lain-lain.
2
Pengobatan skabies yang sering dipakai di Indonesia yaitu krim permetrin
5 % dan salep sulfur. Permetrin merupakan obat lini pertama karena efektif dalam
membunuh semua stadium skabies dan memiliki efek toksik yang rendah. Tetapi
harga obat krim permetrin di Indonesia tergolong mahal. Salep 3-6 adalah obat
salep yang mengandung asam salisilat dan sulfur dengan perbandingan 1:2.
European Guideline Scabies tahun 2010 merekomendasikan regimen sulfur 6-33%
sebagai antiscabicid dan tersedia dalam sediaan yang bervariasi.13
Salep Sulfur
merupakan obat yang dapat membentuk hydrogen sulfida dan asam pentationat
pada jaringan hidup yang bersifat toksik terhadap tungau.32
Salep Sulfur 6% lebih
dipilih dan direkomendasikan sebagai terapi skabies.16
Sulfur tidak efektif terhadap
stadium telur sehingga dalam pemakaian obat ini harus digunakan lebih dari 3 hari
berturut-turut.12,13,16,25,26
Kekurangan dari obat salep sulfur adalah berbau,
mengotori pakaian dan kadang menimbulkan iritasi.16,37
Tetapi harga salep sulfur
lebih terjangkau dan lebih mudah didapat serta merupakan pilihan untuk terapi
massal.16
Dari penelitian yang dilakukan Moh. Amer dkk (1981), angka
kesembuhan mencapai 81,8% dengan menggunakan salep sulfur 5% dan angka
kesembuhan pada penelitian Irma Binarso di panti asuhan Semarang mencapai
69,05% dengan menggunakan salep 2-4 dan gameksan 1%.6
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Alebiosu dkk tentang uji klinis
produk salep yang mengandung Sulfur Benzoyl Peroksida (Sulfur BP) di Nigeria
tahun 2003 melaporkan sebanyak 41 (87,2%) dari 47 penderita skabies sembuh
dengan aplikasi salep selama 5 minggu.7 Dalam uji klinis tersebut juga
mengaplikasikan kombinasi salep yang mengandung Sulfur BP dengan sabun non
sulfur pada penderita skabies selama 6 minggu.7 Sebanyak 12 (100%) penderita
yang diberikan terapi kombinasi tersebut semuanya sembuh.7 Pada tahun 1940,
dilaporkan kasus skabies yang diterapi menggunakan sabun sulfur 18% dalam
sabun.8 Dalam 18 bulan sebanyak lebih dari 400 kasus skabies telah diterapi oleh
klinik dermatologi Rumah Sakit Ventura Country menggunakan sulfur
presipitatum 18% dalam sabun.8
Di Indonesia belum pernah dilaporkan penggunaan sabun sulfur untuk
terapi skabies baik hanya sabun sulfur maupun kombinasi salep sulfur dan sabun
3
sulfur. Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, maka penelitian ini dilakukan
dengan observasi dan studi eksperimental untuk mengetahui perbandingan
efektivitas terapi kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dengan salep 3-6
tunggal pada pengobatan skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terapi kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% lebih efektif
dibandingkan salep sulfur 3-6 tunggal pada pengobatan skabies di Pondok
Pesantren Ummul Qura?
1.3 Hipotesis
Terapi kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% lebih efektif
dibandingkan salep sulfur 3-6 tunggal pada pengobatan skabies di Pondok
Pesantren Ummul Qura.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan efektivitas terapi kombinasi salep 3-6 dan
sabun sulfur 10% dengan salep 3-6 tunggal pada pengobatan skabies di Pondok
Pesantren Ummul Qura.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi penyakit skabies di Pondok Pesantren Ummul
Qura.
2. Mengetahui distribusi penyakit skabies berdasarkan jenis kelamin di
Pondok Pesantren Ummul Qura.
3. Mengetahui distribusi penyakit skabies berdasarkan usia di Pondok
Pesantren Ummul Qura.
4. Mengetahui distribusi penyakit skabies berdasarkan tingkat pendidikan di
Pondok Pesantren Ummul Qura.
5. Mengetahui perbandingan efektivitas kombinasi salep 3-6 dan sabun
sulfur 10% dibandingkan dengan salep 3-6 tunggal pada pengobatan
skabies di Pondok Pesanten Ummul Qura
4
1.5 Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi dan edukasi kesehatan terutama warga Pondok
Pesantren Ummul Qura dan masyarakat sekitar.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal bagi penelitian
selanjutnya mengenai skabies terutama di lingkungan Pondok Pesantren
Ummul Qura.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skabies
2.1.1 Definisi
Skabies atau penyakit kudis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varietas hominis.9,10,14,17
2.1.2 Etiologi
Sarcoptes scabiei adalah arthropoda yang termasuk kelas Arachnida,
subclass Acari, ordo Astigmata, family Sarcoptida.14
Tungau ini merupakan parasit
obligat yang seluruh siklus hidupnya ada di manusia.9
Arthropoda ini adalah
organisme yang bertelur dan ukuran tungau betina dewasa sekitar 0,3-0,45 mm x
0,25-0,35 mm sedangkan tungau jantan dewasa berukuran lebih kecil yaitu sedikit
lebih besar dari setengah ukuran tungau betina.14
Tungau dewasa berbentuk oval
seperti mutiara, transparan, putih, dan tanpa mata.14,38
Bentuk larva dan nimpa
menyerupai tungau dewasa tetapi ukurannya lebih kecil.14
Tungau dewasa
memiliki 4 pasang kaki yang pendek sedangkan larva memiliki 3 pasang kaki.14,38
Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis tungau Sarcoptes scabiei. Sumber: CDC,
2010. Diakses dari: http://www.cdc.gov/parasites/scabies/index.html.
2.1.2.1 Siklus Hidup
Siklus hidup Sarcoptes scabiei seumur hidup pada kulit manusia.38
Siklus
hidup tungau terdiri dari 4 stadium yaitu telur, larva, nimpa dan tungau dewasa.10
1. Tungau betina dewasa membuat terowongan dengan mengunyah dan
menggerakkan tubuhnya di stratum korneum sampai batas stratum
6
2. granulosum kemudian meletakkan telur-telurnya pada 1cm panjang
terowongan sekitar 2-3 telur setiap hari.10,38
Bentuk telur oval dengan
panjang 0,10 – 0,15 mm. Telur menetas dalam 3 sampai 4 hari.10
3. Setelah telur menetas, larva bermigrasi ke permukaan kulit dan menggali
terowongan pendek ke dalam stratum korneum yang disebut molting
pouches.10
Larva hanya mempunyai 3 pasang kaki. Stadium larva
berlangsung selama 3 sampai 4 hari, kemudian mengalami pergantian
kulit.10
4. Setelah berganti kulit, larva berubah menjadi nimpa dengan 4 pasang
kaki.10
Larva dan nimpa dapat ditemukan di molting pouches atau di
folikel rambut dan terlihat seperti tungau dewasa tetapi lebih kecil.10
5. Tungau dewasa melakukan perkawinan di molting pouches.10
Tungau
jantan dewasa masuk ke molting pouches yang dibuat oleh tungau betina
kemudian meninggalkan tungau betina.10
Kemudian tungau betina yang
telah dibuahi meninggalkan molting pouches dan menggembara di
permukaan kulit sampai menemukan tempat yang cocok untuk menggali
terowongan yang permanen.10
Setelah tungau betina dewasa menemukan
tempat yang cocok, tungau tersebut menggali terowongan yang berkelok-
kelok kemudian meletakkan telur-telurnya sepanjang hidupnya selama 1-2
bulan.10
Sekitar 10% dari telur-telur tersebut berkembang menjadi tungau
dewasa.10
Tungau jantan hidup di permukaan kulit dan memasuki
terowongan untuk melakukan perkawinan.38
Tungau jantan membuat
lubang dangkal di kulit sampai menemukan terowongan tungau betina.10
Tungau-tungau jantan ini jarang terlihat.10
7
Gambar 2.2 Siklus hidup Sarcoptes scabiei. Sumber: CDC, 2010. Diakses dari:
http://www.cdc.gov/parasites/scabies/biology.html.
Masa inkubasi sebelum timbul gejala klinis pada penderita skabies adalah
3 sampai 6 minggu untuk infestasi yang pertama kali.9 Tetapi mungkin bisa
sesingkat 1-2 hari pada kasus infestasi berulang.17
2.1.2.2 Transmisi
Tungau ini tidak dapat terbang atau lompat tetapi merayap sejauh 2,5 cm
per menit di atas permukaan kulit yang kering.14
Tungau dapat bertahan hidup
selama 24 sampai 36 jam pada suhu ruangan dan kelembaban rerata.14
Cara
penularan tungau ini dapat secara langsung yaitu kontak langsung antara kulit
dengan kulit, kontak seksual atau tidak langsung melalui benda yaitu pakaian,
seprai dan lain-lain.14,17
Tranmisi secara tidak langsung melalui benda mati terjadi
paling nyata pada crusted scabies.38
Kondisi ini sangat menular dan siapapun
yang berada di sekitar penderita berisiko terinfestasi tungau.38
Sekitar 6000
tungau/g per debris dari setiap seprai, lantai, gorden, kursi telah terdeteksi.38
Pada
sebuah penelitian menunjukkan bahwa tungau betina yang baru fertilisasi adalah
yang paling utama pada transmisi karena tungau betina dewasa jarang
meninggalkan terowongan.17
Transmisi utama adalah perpindahan tungau betina
yang telah dibuahi.14
Lebih dari 90% tungau yang imatur mati sebelum mencapai
tahap tungau dewasa.17
Pada infestasi pertama kali, peningkatan jumlah Sacroptes scabiei terjadi
selama lebih dari 4 minggu telah dilaporkan, biasanya 10-15 tungau (sekitar 3-50)
yang hidup di host.17,21
Sebaliknya, pada kasus yang lebih parah yaitu crusted
scabies, jumlah tungau sangat banyak sekitar ratusan sampai jutaan tungau yang
8
berinfestasi dan terjadi penebalan kulit pada penderita dikarenakan gangguan
imun atau respon sensorik.17,21,38
Transmisi langsung dapat terjadi selama 15-20 menit dengan kontak
dekat. Pada iklim tropis dengan suhu 30oC dan kelembaban relatif 75%, tungau
betina dapat bertahan hidup selama 55-67 jam diluar host.17
Dengan demikian,
tungau betina berpontensi untuk bertransmisi secara tidak langsung.17
Telur
Sarcoptes scabiei dapat bertahan hidup pada suhu yang rendah lebih dari 10 hari
diluar host.17
Hal ini juga memungkinan telur berpotensi sebagai sumber
transmisi.17
2.1.3 Faktor risiko
Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian skabies adalah usia, jenis
kelamin, ras, hunian padat, higienitas, dan iklim.17
Semua kelompok umur dapat
terkena skabies, karena penularan dapat terjadi melalui transimisi langsung dan
tidak langsung.33
Pada penelitian Nanda (2014) terdapat hubungan antara umur
dengan kejadian skabies, bahwa semakin umur mendekati remaja mempunyai
risiko terkena skabies (OR=2,263).20
Beberapa faktor dapat membantu
penyebarannya adalah kemiskinan, hygiene yang jelek, seksual promiskuitas,
diagnosis yang salah, demografi, ekologi dan derajat sensitisasi individual.34
Tingkat pendidikan juga mempengaruhi prevalensi penyakit di komunitas.5
Individu dengan tingkat pendidikan rendah lebih berisiko tertular penyakit
skabies.18
2.1.4 Patogenesis
Tungau, telur, skibala atau feses tungau berperan sebagai iritan yang akan
merangsang sistem imun tubuh untuk mengerahkan komponen-
komponennya.17,21,35
Selama 3-4 minggu pertama setelah infestasi pertama
biasanya asimptomatik. Tetapi pada infestasi berulang, gejala klinis mungkin
muncul lebih cepat sekitar 1-2 hari.17
Dalam beberapa hari pertama, antibodi dan sistem imun spesifik lainnya
belum memberikan respon.22
Namun, terjadi perlawanan dari tubuh oleh sistem
imun nonspesifik yaitu inflamasi.22
Tanda inflamasi adalah kemerahan pada kulit,
panas, nyeri, bengkak dan fungsio laesa.22,23,24
Hal ini disebabkan karena
pengaruh amin vasoaktif seperti histamine, triptamin, dan mediator lainnya yang
9
berasal dari mastosit.22,24
Mediator-mediator ini menyebabkankan gatal pada
kulit.22
Mediator-mediator lain yang juga berperan adalah prostaglandin, kinin
dan faktor kemotaktik seperti C5a, histamine, leukotrien.22,24
Faktor kemotaktik
akan menarik fagosit ke tempat inflamasi.22,24
Prostaglandin dan kinin
meningkatkan permeabilitas endotel sehingga fagosit seperti neutrofil dan
monosit akan menghancurkan antigen.22,24
Bila proses inflamasi oleh sistem imun non spesifik belum dapat
mengatasi infestasi tungau, maka imunitas spesifik akan terangsang.36
Sistem
imun spesifik yang berperan adalah reaksi delayed type hypersensitivity
(Hipersensitivitas tipe lambat) atau Hipersensitivitas tipe 4.17,21
Pada reaksi hipersensitivitas tipe 4, ketika pertama kali terekspos terhadap
antigen protein dari Sarcoptes scabiei.17,21
Hasil scabies gene discovery project
didapatkan bahwa alergen Sarcoptes scabiei homolog dengan tungau debu
rumah.17
Sel CD4+ mengenali antigen dan terkait dengan molekul kelas II pada
permukaan APC kemudian berdiferensiasi dari sel T CD4+ menjadi sel
Th1.22,23,24
Pada skabies respon imun didominasi oleh sel Th1 dengan sel T
CD4+, sedangkan pada crusted scabies respon imun yang mendominasi adalah
sel Th2 dan sel efektor predominan di kulit kemungkinan sel T CD8+.17
Beberapa
sel Th1 masuk ke sirkulasi dan berada pada pool memori sel T untuk waktu yang
lama.22,23,24
Sel-sel Th1 ini akan menyekresikan sitokin terutama IFN-γ, yang
bertanggung jawab terhadap ekspresi hipersensitivitas tipe lambat.22,23,24
Pada
analisis level sitokin, rasio IFN-γ/IL-4 tinggi pada skabies dan menstimulasi
peripheral blood mononuclear cells (PBMCs).17
Sedangkan pada crusted scabies,
kadar IL-5 dan IL-3 tinggi dan menstimulasi PBMCs.17
Ekspresi hipersensitivitas
tipe lambat ini bergantung pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel
Th1.22,23,24
Sitokin-sitokin yang dihasilkan dan efek yang ditimbulkan adalah sebagai
berikut.22,23,24
IFN-γ mengaktivasi makrofag. Paling penting sebagai aktivator makrofag
yang kuat. Makrofag yang teraktivasi berperan dalam mengeliminasi
antigen yang menyerang. IFN-γ juga akan memperbanyak diferensiasi sel
Th1.
10
IL-12 adalah sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik. Sekresi
sitokin ini menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. IL-12
juga merupakan inducer poten dari sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK.
Il-2 menyebabkan proliferasi parakrin dan autokrin dari sel T.
TNF dan limfotoksin akan meningkatkan sekresi dari prostasiklin, yang
meningkatkan aliran darah dan menyebabkan vasodilatasi lokal. Selain
itu, terjadi peningkatan ekspresi P-E-Selektin, molekul adhesi yang
mempromosikan penempelan limfosit dan monosit. Efek lain yang
ditimbulkan adalah induksi dan sekresi kemokin seoerti IL-8.
Kemokin diproduksi oleh sel T dan makrofag. Kemokin ini akan merekrut
lebih banyak lagi leukosit.
Gambar 2.3 Patogenesis hipersensitivitas tipe 4. Sumber: Goldys RA et al.
Immunology 5th
Ed, 2003, p 384.
Pada sebuah ekperimen menunjukkan bahwa tungau skabies dapat
menurunkan regulasi dari ekspresi banyak sitokin dan molekul adhesi dari sel
keratinosit epidermis kulit, fibroblast dermis, dan sel endotel mikrovaskular
dermis.17
2.1.5 Gejala klinis
Gejala klinis yang timbul disebabkan oleh reaksi imun host terhadap
tunggau betina yang menggali lubang ke dalam kulit dan produk dari tungau.11
Gejala klinis pada skabies adalah sebagai berikut.
1. Gatal hebat terutama saat malam hari.11,12,17, 25
11
2. Gatal dapat timbul lebih dari 6 minggu setelah infeksi.9,17,25.
3. Pada individu dengan immune compromised, gatal mungkin tidak
ada.17,25
4. Lesi yang paling sering timbul adalah papula kecil.25
Lesi yang timbul
adalah papul, vesikel, pustul dan nodul.11
5. Lokasi papul dan terowongan yang disebabkan oleh tungau ini dapat
ditemukan di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, lipat
ketiak bagian depan, siku, bokong, genitalia eksterna, lipat
payudara.12,25,38
Pada anak yang masih muda, sebagian bayi dan lansia,
infestasi terdapat terjadi di leher , kepala, telapak kaki, dan telapak
tangan.25,38
Gambar 2.4 Predileksi skabies. Sumber: CDC, 2010. Diakses dari:
http://www.cdc.gov/parasites/scabies/biology.html
6. Ambang gatal pada setiap individu berbeda. Mungkin pada beberapa
individu tidak ada gatal.25
Individu seperti ini disebut sebagai karier.38
7. Luka pada kulit diakibatkan oleh garukan yang berpotensi untuk infeksi
bakteri. Hal ini merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.25
12
Gambar 2.5 Gambaran umum lesi skabies dan terowongan pada sela-sela jari dan
buku-buku jari. Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2012.
2.1.6 Diagnosis
Terdapat 4 tanda kardinal untuk menegakkan diagnosis yaitu sebagai
berikut.12
1. Pruritus nokturna, aktivitas tungau lebih tinggi pada malam
hari.12,25,26
2. Menyerang manusia secara kelompok, misalnya tinggal di asrama,
panti asuhan dan sebagainya.12
3. Adanya terowongan (kunikulus) berwarna putih atau keabu-abuan,
garis lurus atau berkelok, panjang sekitar 1 cm, pada ujung
terowongan terdapat papul atau vesikel.12
Bentuk terowongan yang
pendek, lurus atau kadang berkelok-kelok biasanya sulit ditemukan
pada tahap awal penyakit atau penderita memiliki eksoriasis pada
lesi.26,38
4. Menemukan tungau pada stadium hidup tungau ini.12,17,25
Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal
tersebut.12
Pada komunitas di iklim tropis, skabies normal kemungkinan sulit
untuk di diagnosis di setiap pasien. Oleh karena itu dibedakan dari penyebab gatal
dan bentuk papul.17
Untuk mengkonfirmasi diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan langsung
dengan menemukan tungau dewasa atau imatur, telur atau feses tungau yang
13
diambil pada terowongan kulit dengan cara dikorek.17,25,38
Kemudian diberi
potassium hydroxide dan dilihat di bawah mikroskop.17,25,38
Pemeriksaan
penunjang seperti dermatoskop, PCR atau serodiagnosis untuk menegakkan
diagnosis tidak digunakan di lingkungan tropis.17
Gambar 2.6 Gambaran tungau betina gravid, telur, dan skibala tungau pada
pemeriksaan mikroskopik dari kerokan kulit. Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine,2012.
Di kebanyakan daerah tropis, diagnosis bergantung pada gejala dan tanda
klinis.17
Simple clinically based diagnostic algorithm merupakan pendekatan
kombinasi dari gejala dan tanda klinis dan dapat digunakan untuk mendukung
diagnosis komunitas.17
2.1.7 Tatalaksana
Setelah diagnosis skabies ditegakkan, terapi yang dapat diberikan adalah
terapi spesifik yaitu antiskabies dan nonspesifik yaitu manajemen keluhan
sekunder akibat gatal, eczema dan kemungkinan pioderma.26
Pengobatan harus diberikan pada seluruh orang yang kontak dengan
penderita khususnya penderita karier, anggota keluarga dan kerabat dekat untuk
pencegahan dan menahan penyebaran.17,38
Seluruh pakaian, sarung bantal, seprai
dan handuk harus dicuci menggunakan air panas dan dikeringkan pada suhu yang
panas selama penderita mendapat pengobatan.38
Bahan atau barang yang tidak
dapat dicuci harus di dry-cleaning, disetrika, diletakkan di pengering tanpa dicuci,
14
atau disimpan dalam kantong plastik tertutup pada tempat yang hangat selama 2
minggu.38
2.1.7.1 Obat Topikal
Obat topikal memiliki efektivitas yang tinggi.17
Prinsip pemilihan obat
berdasarkan efektivitas obat dan potensi toksik.26
Obat topikal harus diaplikasikan
mulai dari leher ke seluruh tubuh khususnya lipatan pada tangan dan kaki,
belahan bokong, umbilikus, di bawah kuku jari tangan dan kuku jari kaki, kecuali
mata, mulut dan kulit yang terluka.17,25,26,38
Digunakan selama periode spesifik
dan kemudian dibersihkan dari kulit.17
Semua terapi insektisida, aplikasi kedua
biasanya setelah 1 minggu terapi awal untuk mengurangi potensi reinfestasi.38
Absorpsi obat salep lebih tinggi pada bayi dan anak-anak dan agen topikal tidak
boleh diaplikasikan pada kulit yang hangat atau kulit yang basah setelah mandi.17
Pada negara berkembang, harga obat yang murah seperti sulfur dan benzyl
benzoate, lebih sering digunakan.17
a. Permetrin
Permetrin adalah piretroid, sintesis insektisida.16,26
Permetrin merupakan
pilihan pertama sebagai pengobatan skabies karena efek toksik yang rendah dan
efektif untuk semua stadium hidup tunggau.11,16,17
Permetrin digunakan selama 8-
12 jam.11
Pada bayi diaplikasikan kurang dari 6 jam.25
Permetrin tidak
direkomendasikan untuk bayi dibawah 2 bulan.26
Wanita hamil, menyusui dan
anak dibawah usia 2 tahun pemakaian permetrin dibatasi selama 2 jam pada 2 kali
aplikasi dengan jarak 1 minggu.38
Dosis per aplikasi untuk anak usia dibawah 1 tahun 4 g, anak usia 1-4
tahun 8 g, anak usia 5-11 tahun 15 g, anak usia diatas 12 tahun sampai dewasa 30
g, dan dewasa dengan ukuran tubuh besar mungkin membutuhkan lebih dari 60
g.25
b. Lindane
Lindane adalah gamma benzene hexacloride yang termasuk sebagai
insektisida.16
Krim atau lotion lindane adalah pengobatan alternatif jika tidak ada
permethrin.11
Efektivitas lindane sama dengan permetrin tetapi lindane dapat
menjadi toksik pada susunan saraf pusat.26
Gejala keracunan yang timbul setelah
15
pemakaian lindane antara lain pusing, sakit kepala, mual, muntah, gelisah, tremor,
disorientasi, lemah, kelopak mata berkedut, kejang, gagal nafas, koma, bahkan
kematian.16
Terdapat beberapa bukti bahwa lindane mungkin berpengaruh pada
gangguan hematologi seperti anemia aplastic, trombositopenia dan pansitopenia.16
Lindane tidak di rekomendasikan bagi bayi atau anak-anak yang masih
kecil.16,25,26
Lindane diaplikasikan selama 12-24 jam dengan dosis untuk anak usia
diatas 12 tahun dan dewasa 200 ml untuk setiap pemakaian.25
c. Benzyl Benzoate
Benzyl Benzoate adalah ester dari asam bezoat dan benzyl alcohol yang
neurotoksik bagi tungau.16
Benzyl Benzoate dalam lotion diaplikasikan 3 kali
dalam 24 jam tanpa mandi.16,17
Iritasi kulit sementara dan rasa terbakar setelah
pemakaian biasanya terjadi pada lotion 25%.17
Tidak direkomendasikan untuk ibu
hamil atau menyusui, bayi serta anak-anak dibawah 12 tahun karena sering
menimbulkan iritasi.16,25
Untuk mengurangi iritas, benzyl benzoate dicairkan
sampai 12,5% untuk anak-anak dan 6,25% untuk bayi tetapi efektivitasnya
berkurang.17
Dapat menimbulkan dermatitis iritan pada wajah dan skrotum.16
Benzyl Benzoate sangat efektif jika digunakan dengan benar tetapi dapat
menimbulkan komplikasi gangguan saraf jika disalahgunakan.16,17
Dosis yang digunakan untuk anak usia diatas 12 tahun dan dewasa adalah
200 ml setiap pemakaian.25
d. Crotamiton
Crotamiton dalam 10 % cream atau lotion digunakan 2 kali sehari selama 5
sampai 7 hari setelah mandi dan berganti pakaian.16,26
Penggunaan crotamiton
dapat diulang 3 sampai 5 hari.17
Efek samping yang dapat ditimbulkan dari
pemaikan crotamiton adalah iritasi kulit.16
Crotamiton tidak direkomendasikan
karena kurang efektif dan toksik, tetapi efektif sebagai antipruritus.16,26
Direkomendasikan sebagai pilihan alternatif bagi bayi dan aman bagi ibu hamil
maupun menyusui.17
Crotamiton paling tidak efektif dibandingkan terapi lain.38
16
e. Malation
Malation adalah insektisida golongan organofosfat yang bekerja dengan
cara memblokade enzim kolinesterase secara irreversibel.16
Malation 0,5%
diaplikasikan pada kulit selama 24 jam dan diulang setelah 3 sampai 4 hari.17,25
Dosis setiap aplikasi untuk anak usia diatas 1 tahun 20 ml, anak usia 1
sampai 4 tahun 40 ml, anak usia 5 sampai 11 tahun 100 ml, dan anak usia diatas
12 tahun sampai dewasa 200 ml.25
Namun saat ini Malation tidak digunakan lagi
karena berpotensi menimbulkan efek samping yang parah.16
f. Sulfur
Sulfur dalam bentuk salep lebih berguna dibandingkan dengan preparat
lain.16
. Salep Sulfur merupakan obat yang dapat membentuk hidrogen sulfida dan
asam pentationat pada jaringan hidup yang bersifat toksik terhadap tungau.32
Sulfur 2-10% dalam bentuk salep dan biasanya 6% lebih sering dipilih, efektif
terhadap stadium larva, nimfa dan dewasa tetapi tidak dapat membunuh telur.12,16
Oleh karena itu, pengobatan dengan sulfur presipitatum ini minimal digunakan
selama 3 hari agar larva menetas dari telurnya dan dapat dimatikan.12,16,25,26
Sulfur digunakan jika penderita tidak dapat mentolerasi lindane, permetrin atau
ivermectin dan direkomendasikan bagi bayi, anak-anak dan ibu hamil.16
Kekurangan dari sulfur ini adalah kurang efektif, menodai pakaian, berbau dan
pada keadaan yang panas atau lembab dapat menyebabkan dermatitis iritan.11,26
Sedangkan kelebihan dari sulfur diantaranya murah dan merupakan pilihan
sebagai terapi massal.16
Pemakaian sulfur dapat diulang setelah 10 hari jika
dibutuhkan.25
Efek samping yang dapat ditimbulkan dari penggunaan salep sulfur
adalah kulit kering dan iritasi.27
Kontraindikasi bagi penderita yang memiliki
alergi sulfonamide.27
Dosis yang digunakan untuk setiap pemakaian untuk anak usia kurang
dari 1 tahun 8 g, anak usia 1-4 tahun 12 g, anak usia 5-11 tahun 25 g, anak usia 12
tahun sampai dewasa 50 g.25
Ruam dan gatal mungkin masih menetap sampai lebih dari 2 minggu
sampai 4 minggu setelah pengobatan lengkap obat topikal.17,38
Gatal selama
periode ini umumnya menunjukkan “gatal pasca skabies”.38
17
2.1.7.2 Obat oral
Obat topikal merupakan pilihan pertama, sedangkan oral ivermectin
diberikan untuk kasus recurrent, tidak sembuh dengan obat topikal, atau pasien
crusted scabies.17
a. Ivermectin
Ivermectin hampir sama dengan makrolit tertapi tidak memiliki efek
antimikroba.16
Ivermectin adalah substrat bagi jalur sitokrom P450 3A4 sehingga
perlu diperhatikan jika sedang mengkonsumsi obat yang dapat meningkatkan atau
menghambat kerja obat ivermectin.17
Ivermectin menstimulasi asam gamma
amino butirat pada ujung saraf presinaps dan meningkatkan ikatan di reseptor
postsinaps sehingga menekan konduksi dari impuls saraf pada sinaps saraf-otot
tungau.16
Efek samping ivermectin antara lain sakit kepala, gatal, nyeri sendi,
nyeri otot, demam, ruam makulopapular, dan limfadenopati.16
Kontraindikasi
bagi ibu hamil maupun menyusui, anak usia dibawah 5 tahun atau 15 kg serta
pasien yang alergi terhadap ivermectin dan gangguan sistem saraf pusat.16,38
Dosis ivermectin 0,2 mg/kgBB dalam dosis tunggal.16,17
Pengobatan dapat
diulang setelah 1-2 minggu.17
18
Tabel 2.1 Pengobatan untuk Skabies
Obat Dosis Komentar
Krim permetrin 5% Pakai selama 8 jam,
diulang pada hari ke-7
Pengobatan yang paling
umum saat ini, kategori B
untuk wanita hamil,
toleransi sudah mulai
berkembang.
Lotion lindane 1% Pakai selama 8 jam,
diulang pada hari ke-7
US Food and Drug
Administration saat ini
memberlakukan
peringatan a“black blox”,
Dilarang di California.
Krim crotamiton 10% Pakai selama 8 jam pada
hari ke-1,2,3 dan 8
Memiliki antipruritus
yang baik, efektivitas
marginal.
Sulfur presipitatum 5-
10%
Pakai selama 8 jam pada
hari ke-1,2 dan 3
Dianggap aman pada
neonatus dan wanita
hamil. Data efikasi
terbatas, murah.
Lotion benzyl benzoate
10% Pakai selama 24 jam
Tidak tersedia di
Amerika Serikat
Ivermectin 200µg/kg Diminum pada hari ke-1
dan 8
Sangat efektif dan aman,
tidak direkomendasikan
untuk anak dibawah 15
kg, wanita hamil dan
menyusui.
aBlack box melarang digunakan pada bayi prematur dan individu dengan
gangguan kejang tidak dikontrol, serta perlu diperhatikan penggunaan pada bayi,
anak-anak, dan individu dengan kondisi kulit lain, seperti dermatitis dan
psoriasis, dan orang-orang dengan berat kurang dari 50 kg karena mereka
mungkin berisiko neurotoksisitas serius.
Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2012.
19
Alur penatalaksanaan skabies
Gambar 2.7 Alur penatalaksanaan skabies. Sumber: Panduan Pelayanan Medis
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin (PERDOSKI). 2011.
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang timbul adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh
garukan.17
Bakteri yang menginfeksi jejas pada kulit diantaranya Streptococcus
pyogenes, dapat berkembang menjadi glomerulonefritis.17,38
Pada bayi telah dilaporkan di Gambia, kemungkinan adanya hubungan
skabies dengan bakterial sepsis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus
20
tetapi untuk saat ini belum dapat dibuktikan lebih lanjut.17
Infeksi bakteri
sekunder harus diobati dengan antibiotik.16
Limfangitis dan septikemis telah dilaporkan pada crusted scabies.38
Infestasi skabies juga dapat memicu terjadi pemfigoid bulosa.38
2.1.9 Pencegahan
Untuk memutus rantai transmisi skabies, media yang dapat menjadi
transmisi tidak langsung seperti pakaian, seprai, dan lain-lain harus dicuci
menggunakan air panas diatas 50oC selama 10 menit.
17,27
Jika tidak dapat dilakukan, maka pakaian, seprai dan lain-lain serta bahan
yang tidak dapat dicuci seperti kasur ditempatkan pada suhu yang panas selama
20 menit atau dimasukkan kedalam plastik selama 5-7 hari minggu.27
2.1.10 Prognosis
Syarat keberhasilan untuk pengobatan skabies adalah sebagai berikut.11
1. Diagnosis yang tepat.
2. Eliminasi tungau menggunakan anti-skabies dengan aplikasi yang tepat.
3. Pengobatan untuk gejala klinis.
4. Pengobatan untuk infeksi sekunder jika ada.
Penyebab pengobatan gagal diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Aplikasi obat topikal tidak sesuai yang dianjurkan.16
Kesalahan yang
sering terjadi adalah pengaplikasian obat topikal hanya pada daerah
yang terkena saja tidak dari leher ke seluruh tubuh.16
2. Aplikasi yang tidak adekuat.16
3. Reinfestasi skabies.16
Infestasi kembali skabies ini sering terjadi,
kemungkinan disebabkan oleh aplikasi obat topikal kurang, tidak semua
penderita skabies teridentifikasi, pengobatan pada seluruh kasus skabies
termasuk pasien, tenaga medis, keluarga, dan lainnya gagal, masih
terpapar atau kontak dengan individu yang skabies dan penggunaan obat
steroid selama masa pengobatan.27
4. Resisten telah dilaporkan pada penggunaan obat lindane, permetrin dan
crotamiton.16
21
Serta menghilangkan faktor predisposisi, prognosis dari penyakit ini
adalah baik.11
2.2 Salep 3-6
Salep 3-6 terdiri atas campuran asam salisilat 3% dan sulfur 6%. Obat ini
telah dipakai sejak dahulu untuk mengobati skabies.16
2.2.1 Asam Salisilat
Gambar 2. 8 Struktur kimia asam salisilat. Sumber: PubChem. Diakses dari:
http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov.
Nama kimia 2-Hydroxybenzoic acid, dengan rumus kimia C7H6O3
merupakan senyawa yang diperoleh dari kulit pohon willow putih dan daun dari
tanaman wintergreen. Asam salisilat dapat berbentuk bubuk kering, cairan dan
butiran kristal berwarna putih dan tidak berbau.
Asam salisilat bersifat bakteriostatik, fungisida, dan keratolitik.31
Sebagai
obat, asam salisilat digunakan secara topikal sebagai anti infeksi, antifungal dan
keratolitik dan dapat digunakan bersama dengan bahan lain seperti asam benzoat,
tar, resorsin dan sulfur.31
Bila dikombinasikan dengan sulfur, efeknya sinergik.39
Pada konsentrasi 2% bersifat keratoplastik, dalam salap digunakan untuk
merangsang epitel pada ulkus yang telah bersih.39
Pada konsentrasi 3%-20%
bersifat keratolitik, digunakan untuk dermatosis yang hiperkeratolitik.39
Asam
salisilat 3%-5% juga bersifat mempertinggi absorbs perkutan bahan-bahan aktif.39
Pada konsentrasi tinggi 30%-60% bersifat destruktif digunakan sebagai
22
pengobatan halus dan veruka.39
Asam salisilat tidak digunakan untuk sistemik
karena dapat menyebabkan efek iritasi yang parah pada mukosa saluran cerna dan
jaringan lain.28
Konsentrasi yang tinggi yaitu diatas 20% dapat memberikan efek
terbakar pada kulit sehingga penggunaan obat yang berlebihan dapat
menyebabkan nekrosis pada jaringan normal.28
Asam salisilat diabsorpsi secara cepat pada kulit, khususnya jika
diaplikasikan dalam bentuk salep.29
Efek samping dari asam salisilat adalah iritasi
ringan dan dermatitis kontak, sedangkan pemakaian luas dapat mengakibatkan
gejala seperti keracunan asam salisilat sistemik.30
Gejala keracunan asam salisilat
diantaranya mual, muntah, rasa tidak enak di epigastrium, tinnitus, gangguan
pendengaran, berkeringat, vasodilatasi perifer, takipneu dan hiperpneu.31
2.2.2 Sulfur
Sulfur atau Belerang adalah unsur kimia yang berbentuk zat padat kristal
kuning.30
Di alam, belerang ditemukan sebagai unsur murni atau mineral sulfida
dan sulfat.30
Belerang dapat berbentuk serbuk kering, cairan, kristal, padatan dan
gas.30
Sulfur murni tidak berbau, tetapi dalam bentuk hidrogen sulfida bau seperti
telur busuk.30
Yang digunakan ialah sulfur yang terhalus, yaitu sulfur
presipitatum (belerang endap) berupa bubuk kuning kehijauan.39
Sulfur bersifat antiseboroik, antiakne, antiskabies, antibakteri positif-
Gram, dan anti jamur.39
Biasanya dipakai dalam konsentrasi 4%-20%.39
Sulfur
topikal 5-10% dalam bentuk salep digunakan sebagai pengobatan skabies.32
Mekanisme kerja sulfur topikal dengan cara membentuk hidrogen sulfida
dan/atau asam polithionik yang mendesak aktivitas germisida (zat pembunuh
mikroorganisme) dan toksik bagi Sarcoptes scabiei.32
Sulfur presipitatum dalam sabun terkandung sulfur 10% dan dapat
dikombinasikan dengan asam salisilat dengan kandungan sulfur 10%, asam
salisilat 3%.30
Sabun sulfur digosokkan dengan lembut pada seluruh tubuh
terutama yang terdapat lesi sampai berbusa selama 3-5 menit.37
Kemudian bilas
secara menyeluruh menggunakan air hangat.37
Pemakaian sabun diulang kembali
dan bilas.37
Sabun sulfur 10% digunakan 2 kali sehari setiap mandi.37
Pada
sebuah penelitian uji klinis produk salep oleh Alebiosu dkk di Nigeria (2003),
observasi dilakukan pada minggu ke-6 setelah diberikan pengobatan kombinasi
23
salep sulfur dan sabun non sulfur.7 Sabun sulfur disimpan pada suhu antara 15
o-
30oC.
37 Salep sulfur dikombinasikan dengan asam salisilat dengan perbandingan
1:2. Salep 3-6 terdiri dari 3% asam salisilat dan 6% sulfur, lebih dipilih.12,16
Sebelum memakai salep, bersihkan seluruh tubuh dengan sabun dan air dan
keringkan.37
Salep sulfur dioleskan secara lembut di seluruh tubuh mulai dari
leher kebawah sebelum tidur selama 3 hari.12,16,25,26,37
Salep sulfur dihapus dengan
mandi setelah 24 jam pemakaian salep terkahir, kemudian salep dioleskan
kembali.25,37
Penyimpanan salep sulfur pada keadaan tertutup dengan suhu 15o-
30oC dan hindari terjadi pembekuan.
37
Pada penelitian Moh.Amer (1981) terhadap 22 bayi yang diberi
pengobatan salep sulfur 5% didapatkan angka kesembuhan klinis sebanyak 15
orang (68,2%) pada follow up 1 dan 18 orang (81,8%) pada follow up 2.6
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Eka (2004) terhadap 16 santri
dari 3 pondok pesantren di wilayah Kabupaten Kendal menggunakan salep sulfur
2-4, didapatkan angka kesembuhan klinis sebanyak 2 orang (12,5%) pada follow
up 1, 11 orang (68,8%) pada follow up 2, dan 14 orang (87,5%) pada follow up
3.15
24
2.3 Kerangka teori
2.4 Kerangka konsep
25
2.5 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Salep 3-6 Salep 3-6
merupakan salep
yang mengandung
zat aktif asam
salisiliat 3% dan
sulfur 6% yang
efektif untuk
mengobati
penyakit
skabies.39
Aplikasikan salep
3-6 seluruh tubuh
mulai dari leher ke
bawah selama 8
jam 3 hari
berturut-turut.38
Salep 3-6
diaplikasikan ulang
setelah wudhu
pada bagian salep
yang terhapus oleh
air.
Catatan harian
pemakaian salep
3-6
1. Ya
2. Tidak
Kriteria :
1. Ya :
Salep 3-6 telah
diaplikasikan sesuai
arahan
2. Tidak :
Salep 3-6 tidak atau
kurang lengkap
diaplikasikannya
Nominal
Sabun sulfur
10%
Sabun sulfur 10%
merupakan terapi
topikal dalam
sediaan sabun
yang mengandung
10% sulfur.37
Aplikasikan sabun
sulfur tiap mandi
pagi dan sore 3-5
menit selama 6
minggu.7,37
Catatan harian
pemakaian
sabun sulfur
1. Ya
2. Tidak
Kriteria :
1. Ya :
Sabun sulfur
diaplikasikan sesuai
arahan
2. Tidak :
Sabun sulfur tidak
atau kurang lengkap
diaplikasikannya
Nominal
26
Kesembuhan
klinis
skabies
Kesembuhan
klinis skabies
ditandai dengan
tidak ada lesi baru
dalam dua
minggu, papul,
dan vesikel
meenghilang
80%.40
Anamnesis dan
pemeriksaan fisik
setelah
pengobatan di
minggu pertama,
minggu kedua dan
minggu ketiga
Catatan kontrol
minggu
pertama,
minggu kedua
dan
minggu ketiga
1. Sembuh
2. Tidak Sembuh
Kriteria:
1. Sembuh : Tidak
ada lesi baru
dalam dua
minggu, papul
dan vesikel
menghi lang
80%.4 0
2.Tidak Sembuh:
Terdapat lesi baru
pada kontrol 1
minggu kemudian.40
Nominal
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian uji klinis untuk mengetahui kecepatan
sembuh penyakit skabies dengan terapi kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10%
dibandingkan salep 3-6 tunggal.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Ummul Qura, Pondok Cabe
selama 3 minggu dimulai dari tanggal 21 Maret 2015 sampai 11 April 2015.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah santri dari Pondok Pesantren Ummul Qura yang
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Sampel penelitian yang diambil
sebanyak jumlah perhitungan sampel.
3.3.1 Jumlah Sampel
Penelitian ini menggunakan rumus besar sampel penelitian analitik
kategorik tidak berpasangan sebagai berikut.
√ √
√ √
Keterangan
n = jumlah sampel tiap kelompok
Zα = derivat baku alfa 1-arah 5% = 1,64
28
Zβ = derivat baku beta 20%= 0,84
P2 = proporsi kesembuhan salep standar menurut pustaka = 0,69
Q2 = 1-P2= 1-0,69= 0,31
P1-P2 = selisih proporsi minimal= 0,20
P1 = proporsi kesembuhan obat yang diuji = P2+0,20 = 0,69+0,20= 0,89
Q1 = 1-P1= 1-0,89 = 0,11
P =
Q = 1- P = 1- 0,79 = 0,21
Berdasarkan rumus tersebut, dibutuhkan minimal 26 orang untuk setiap
kelompok perlakuan sehingga jumlah sampel 52 orang.
3.3.2 Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara consecutive
sampling. Semua santri yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi
termasuk sebagai sampel penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.
Sebagai parameter evaluasi kesembuhan klinis skabies digunakan kontrol
positif dan kontrol negatif dengan jumlah kontrol masing-masing 1 orang yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.3.3 Kriteria Sampel
3.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Santri dengan gejala klinis skabies dan memenuhi kriteria diagnosis
skabies.
2. Santri yang belum mendapatkan pengobatan skabies.
3. Santri Pondok Pesantren Ummul Qura yang bersedia menjadi sampel
peneilitian.
4. Santri yang tinggal serta menginap di Pondok Pesantren Ummul Qura.
3.3.3.2 Kriteria Ekslusi
1. Santri dengan komplikasi skabies seperti penyakit infeksi sekunder.
2. Santri dengan riwayat hipersensitivitas terhadap obat sulfur.
29
3.3.3.3 Kriteria Drop Out (DO)
1. Santri yang tidak mengikuti pengobatan sesuai anjuran sebagai sampel
penelitian.
2. Santri yang mengundurkan diri dari sampel penelitian.
3.4 Variabel
3.4.1 Variabel Bebas
Salep 3-6 dan sabun sulfur 10%
Salep 3-6
3.4.2 Variabel terikat
Kesembuhan skabies
3.5 Alat dan Bahan
3.5.1 Alat
Hand schoen
Kaca pembesar
Senter
Kamera
Catatan harian pemakaian obat
3.5.2 Bahan
Salep 3-6
Sabun sulfur 10% yaitu Sabun JF Sulfur®
Sabun non-sulfur dan non-antiseptik yaitu Sabun Giv®
3.6 Cara Kerja Penelitian
1. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis
skabies kepada seluruh santri.
2. Sampel diambil secara consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi.
3. Pengisian Informed Consent oleh santri yang bersedia mengikuti
penelitian.
30
4. Sampel yang terkumpul dibagi menjadi dua kelompok dengan alokasi
sampel secara randomisasi sederhana (simple randomization).
5. Kelompok I diberi pengobatan kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10%
dan Kelompok II diberi pengobatan salep 3-6 dan sabun non sulfur
maupun nonantiseptik.
6. Aplikasi salep 3-6 sebelum tidur selama 8 jam 3 hari berturut-turut,
dioleskan seluruh tubuh mulai dari leher sampai kaki. Sabun sulfur 10%
dipakai setiap mandi 2x per hari selama 6 minggu.
7. Observasi pemakaian obat dan dikontrol oleh pengawas pemakai obat
dengan catatan harian pemakaian obat masing-masing santri.
8. Setelah 1 minggu dari hari pertama pemakaian obat dilakukan evaluasi
klinis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik kembali untuk menilai
kesembuhan penyakit skabies.
9. Jika tidak terdapat kesembuhan klinis skabies maka pengobatan diulang
kembali pada hari ke 7.
10. Observasi dilakukan dalam kurun waktu 3 minggu kemudian data yang
diperoleh diolah.
31
3.7 Alur Penelitian
32
3.8 Manajemen Data
3.8.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik
untuk menegakkan diagnosis kerja skabies dan menentukan kesembuhan klinis
skabies.
3.8.2 Pengolahan Data
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan SPSS versi 21.
3.8.3 Analisa Data
Analisa perbedaan efektivitas obat dilakukan dengan menggunakan uji
Fisher’s Exact.
3.8.4 Rencana Penyajian Data
Data hasil penelitian secara deskriptif dan analitik dalam bentuk tabel,
grafik dan gambar.
3.9 Etika Penelitian
a. Mendapat persetujuan untuk melakukan penelitian dari Kaprodi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Mendapat persetujuan untuk melakukan penelitian dari Komite Etik
Penelitian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
c. Mendapat persetujuan untuk melakukan penelitian dari pihak Pondok
Pesantren Ummul Qura.
d. Semua subjek penelitian akan diberikan penjelasan secara lisan dan
tertulis mengenai tujuan dan cara penelitian.
e. Penelitian ini akan dijalankan setalah mendapatkan persetujuan secara
sukarela (informed consent) dari sampel.
f. Subjek yang akan diteliti berhak menolak untuk tidak mengikuti
penelitian.
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik kulit pada
240 santri Pondok Pesantren Ummul Qura, didapatkan 44 santri skabies dengan 20
santri skabies dengan infeksi sekunder dan 24 santri skabies tanpa infeksi
sekunder. Berdasarkan pengambilan sampel dengan consecutive sampling serta
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan 24 santri memenuhi kriteria
tersebut sebagai sampel penelitian. Jumlah sampel tidak sesuai dengan perhitungan
besar sampel yaitu 52 orang. Hal ini dikarenakan kurangnya waktu penelitian dan
kejadian skabies saat pengambilan sampel di Pondok Pesantren Ummul Qura
sedikit.
Dari 24 santri sampel penelitian dilakukan alokasi sampel menggunakan
random sampling sehingga didapatkan 13 santri diberikan pengobatan kombinasi
salep 3-6 dan sabun sulfur dan 11 santri diberikan pengobatan salep 3-6 tunggal.
Sebagai parameter kesembuhan klinis digunakan kontrol positif dan
kontrol negatif dengan jumlah kontrol masing-masing 1 orang yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Kontrol positif diberikan pengobatan dengan obat
standar yaitu permetrin 5% dan di evaluasi 1 minggu berikutnya. Hasil evaluasi
pengobatan permetrin 5% didapatkan hasil sesuai panduan praktik klinik
departemen penyakit kulit dan kelamin RSCM tahun 2012 yaitu tidak terdapat lesi
baru, papul dan vesikel menghilang >80%. Sedangkan kontrol negatif tidak
diberikan pengobatan skabies apapun dan didapatkan hasil tidak ada perbaikan
rasa gatal dan lesi kulit setelah evaluasi 1 minggu berikutnya.
34
4.1 Prevalensi Skabies di pondok pesantren.
Prevalensi Skabies di Pondok Pesanten Ummul Qura dapat dilihat pada
tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.12Prevalensi skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura
Kejadian Frekuensi Persentase (%)
Skabies Dengan Infeksi
Sekuder 20 8,3%
18,3% Tanpa Infeksi
Sekunder 24 10%
Tidak Skabies 196 81,7 %
Jumlah 240 100,0 %
Pondok pesantren tempat dilakukan penelitian ini adalah pondok pesantren
Ummul Qura di Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan. Dari 240 santri yang
diperiksa didapatkan 44 santri (18,3%) yang menderita skabies. Skabies dengan
infeksi sekunder sejumlah 20 santri (8,3%) dan skabies tanpa infeksi sekunder
sejumlah 24 santri (10%). Prevalensi skabies ini termasuk rendah sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Eka (2004), prevalensi skabies di 3 pondok
pesantren wilayah Kendal sebesar 18,1 %.15
Pada penelitian ini, prevalensi skabies yang rendah kemungkinan
disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut.
1. Fluktuasi kejadian skabies berhubungan dengan perubahan musim. Penelitian
ini dilakukan pada bulan maret akhir sampai april awal saat musim kemarau.
Variasi prevalensi skabies di berbagai tempat kemungkinan disebabkan oleh
faktor usia, jenis kelamin, ras, kepadatan hunian, higienitas, dan musim.17
Berdasarkan data BMKG, daerah tropis memiliki suhu hangat biasanya diatas
22oC. Sedangkan pada musim kemarau, suhu udara tinggi yaitu >30
oC dan
kelembaban udara rendah mencapai 55%. Kondisi ini tidak mendukung
kelangsungan hidup tungau Sarcoptes scabiei. Pada iklim tropis dengan suhu
30oC dan kelembaban relatif 75%, tungau betina dapat bertahan hidup selama
55-67 jam diluar host.17
35
2. Berdasarkan observasi, santri tidak tidur menggunakan kasur tetapi tidur di
lantai. Peneliti menduga transmisi skabies secara tidak langsung seperti
melalui kasur, seprai, dan selimut kejadiannya rendah sehingga transmisi
skabies secara langsung lebih berperan yaitu kontak langsung antara kulit
dengan kulit pada santri di Pondok Pesantren Ummul Qura.
4.2 Karakteristik penderita
4.2.1 Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin
Distribusi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin di Pondok Pesantren
Ummul Qura dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.23Distribusi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-Laki 30 68,2 %
Perempuan 14 31,8 %
Jumlah 44 100,0 %
Dari 44 santri yang menderita skabies, penderita santri laki-laki adalah 30
santri (68,2%), lebih banyak dibandingkan dengan santri perempuan 14 santri
(31,8%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Eka (2004), jumlah
penderita skabies laki-laki 27 santri (84,4%) dan perempuan 5 santri (15,4%).15
Penelitian Suci dkk (2013) juga menunjukkan hasil yang sama yaitu sebagian
besar laki-laki 76 orang (55,1%) dibandingkan perempuan 62 orang (44,9%).18
Penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari dan Saleha Sungkar (2014) menunjukkan
prevalensi skabies berhubungan dengan jenis kelamin (p=0,048) prevalensi
skabies santri laki-laki 66 (57,4%) sedangkan prevalensi skabies santri perempuan
33 (42,9%).5
Penyebab hal ini diduga karena higienitas personal laki-laki kurang.
Perempuan lebih cenderung menjaga kebersihan dan penampilan diri sedangkan
laki-laki tidak memperhatikan penampilan diri sehingga berpengaruh terhadap
perawatan kebersihan diri.18
Higienitas dan penampilan diri antara lain seperti
perilaku saling meminjam pakaian dan handuk, kebiasaan mandi, dan kebiasaan
mengganti pakaian, kebiasaan memakai selimut bersama, dan kebiasaan mencuci
36
pakaian bersama berhubungan dengan kejadian skabies.19
Pada penelitian Suci dkk
(2013) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara kejadian skabies dengan
personal hygiene (p<0,05).18
4.2.2 Distribusi penderita berdasarkan usia
Menurut Depkes RI (2009), kategori usia adalah sebagai berikut.
1. Masa balita : 0-5 tahun
2. Masa kanak-kanak : 5-11 tahun
3. Masa remaja awal : 12-16 tahun
4. Masa remaja akhir : 17-25 tahun
5. Masa dewasa awal : 26-35 tahun
6. Masa dewasa akhir : 46-55 tahun
7. Masa lansia awal : 56-65 tahun
8. Masa lansia akhir : 65-sampai atas.
Berdasarkan kategori usia diatas maka distribusi penderita skabies
berdasarkan usia di Pondok Pesantren Ummul Qura dapat dilihat pada tabel 4.3
berikut ini.
Tabel 4.34 Distribusi penderita skabies berdasarkan usia
Kelompok usia Frekuensi Persentase
≤ 11 tahun 3 6,8 %
12 - 16 tahun 39 88,6 %
> 16 tahun 2 4,5 %
Jumlah 44 100,0 %
Pada tabel diatas, hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penderita
skabies lebih banyak pada kelompok usia 12-16 tahun yaitu sebanyak 39 santri
(88,6%), sedangkan kelompok usia ≤ 11 tahun sebanyak 3 santri (6,8%), dan
kelompok usia >16 tahun sebanyak 2 santri (4,5%). Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian Eka (2004) didapatkan hasil pada kelompok usia 11-15 tahun
sebanyak 21 orang (66%).15
Penelitian Riris (2010) menunjukkan bahwa kelompok
umur 12-14 tahun lebih banyak menderita skabies yaitu sebanyak 53 orang
(55,79%) dibandingkan kelompok umur 15-17 tahun sebanyak 30 orang
(31,58%).19
Pada penelitian Suci dkk (2013), santri yang skabies paling banyak
37
berusia 13 tahun sebesar 26,8% diikuti usia 16 tahun sebesar 20,3% , usia 14 tahun
18,1% dan usia 15 tahun 13,8%.18
Penelitian yang dilakukan oleh Nanda (2014)
terdapat hubungan antara umur dengan kejadian skabies. Penelitian tersebut
menunjukkan semakin umur responden mendekati remaja mempunyai risiko
terkena skabies (OR=2,263).20
Hasil ini sesuai dengan teori prevalensi skabies tertinggi adalah anak-anak
sampai remaja, kemudian menurun pada kelompok dewasa muda, dan meningkat
kembali pada lansia.17
4.2.3 Distribusi penderita berdasarkan tingkat pendidikan
Distribusi penderita skabies berdasarkan tingkat pendidikan di Pondok
Pesantren Ummul Qura dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini.
Tabel 4.45 Distribusi penderita skabies berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase (%)
MTS/SMP 38 86,4 %
MA/SMA 6 13,6 %
Jumlah 44 100,0 %
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah penderita skabies lebih banyak
pada tingkat pendidikan MTS/SMP yaitu sebanyak 38 santri (86,4%)
dibandingkan dengan santri MA/SMA sebanyak 6 santri (13,6%). Hasil penelitian
ini sesuai dengaan penelitian Ratnasari dan Saleha Sungkar (2014), terdapat
perbedaan bermakna (p=0,023) prevalensi skabies pada santri MTS/SMP (58,1%)
lebih tinggi dibandingkan santri MA/SMA (41,3%).5
Pada penelitian Suci dkk
(2013), kejadian skabies paling banyak pada tingkat pendidikan Wustha/SMP
yaitu sebanyak 110 orang (79,7%).18
Tingkat pendidikan seseorang dapat meningkatkan pengetahuan termasuk
pengetahuan tentang kesehatan.5 Umumnya tingkat pendidikan mempengaruhi
prevalensi penyakit di komunitas.5 Hal ini dikarenakan orang dengan tingkat
pendidikan rendah memiliki kesadaran yang rendah mengenai pentingnya higiene
pribadi dan tidak mengetahui bahwa higiene buruk berperan penting dalam
penularan penyakit.5 Responden dengan tingkat pendidikan rendah lebih berisiko
38
tertular penyakit skabies.18
Semakin tinggi pendidikan sesorang semakin banyak
mendapatkan pelajaran bagaimana cara pencegahan penyakit menular.18
4.3 Hasil Uji Klinis
Uji klinis yang dilakukan hanya pada 24 santri yang skabies dikarenakan
20 santri skabies yang lain sudah mengalami infeksi sekunder. Jumlah responden
dengan alokasi random sampling adalah kelompok I yang diberikan pengobatan
kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% sebanyak 13 santri dan kelompok II
yang diberikan pengobatan salep 3-6 tunggal sebanyak 11 santri.
Penentuan uji klinis sembuh dan tidak sembuh pada santri yang skabies
berdasarkan parameter kontrol positif dan kontrol negatif yang diberikan
pengobatan obat standar yaitu permetrin. Hasil uji klinis penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Tabel 4.56 Uji beda kesembuhan pada kedua kelompok penelitian.
Follow up Kelompok
Perlakuaan
Sembuh Tidak Sembuh
P Frekuensi
Presentase
(%) Frekuensi
Presentase
(%)
Follow up
1
Salep 3-6 dan
sabun sulfur 11 84,6% 2 15,4%
0,283
Salep 3-6
saja 11 100% 0 0,0%
Follow up
2
Salep 3-6 dan
sabun sulfur 13 100% 0 0,0%
-
Salep 3-6
saja 11 100% 0 0,0%
Follow up
3
Salep 3-6 dan
sabun sulfur 10 83,3% 3 16,7%
0,585
Salep 3-6
saja 9 75,0% 2 25,0%
Berdasarkan parameter kontrol positif dan kontrol negatif yang mengacu
pada kriteria sembuh panduan praktik klinik RSCM tahun 2012 yaitu kesembuhan
klinis adalah tidak ada lesi baru dalam dua minggu, papul dan vesikel menghilang
39
80%.40
Hasil angka kesembuhan klinis pada penelitian ini didapatkan kelompok
dengan perlakuan kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% pada follow up 1
sebanyak 11 santri (84,6%), follow up 2 sebanyak 13 santri (100%), dan follow up
3 sebanyak 10 santri (83,3%).
Angka kesembuhan klinis kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur pada
penelitian ini termasuk tinggi pada setiap follow up sesuai dengan uji klinis produk
salep di Nigeria (2003) oleh Alebiosu dkk pada 12 penderita skabies
mengaplikasikan kombinasi salep Sulfur BP dengan sabun non sulfur selama 6
minggu, didapatkan hasil sebanyak 100% penderita sembuh.7
Hasil angka kesembuhan klinis kelompok dengan perlakuan salep 3-6
tunggal pada penelitian ini menunjukkan pada follow up 1 sebanyak 11 santri
(100%), follow up 2 sebanyak 11 santri (100%) dan follow up 3 sebanyak 9 santri
(75,0%). Angka kesembuhan klinis salep 3-6 tunggal juga termasuk tinggi.
Sedangkan pada penelitian Moh.Amer (1981) terhadap 22 bayi yang diberi
pengobatan salep sulfur 5% didapatkan angka kesembuhan klinis sebanyak 15
orang (68,2%) pada follow up 1 dan 18 orang (81,8%) pada follow up 2.6 Pada
penelitian yang dilakukan oleh Eka (2004) terhadap 16 santri dari 3 pondok
pesantren di wilayah Kabupaten Kendal menggunakan salep sulfur 2-4 selama 3
hari berturut-turut dengan observasi selama 3 minggu, didapatkan angka
kesembuhan klinis sebanyak 2 orang (12,5%) pada follow up 1, 11 orang (68,8%)
pada follow up 2, dan 14 orang (87,5%) pada follow up 3.15
Selisih perbedaan kesembuhan pada kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur
10% dengan salep 3-6 tunggal yang kecil kemungkinan disebabkan oleh beberapa
hal sebagai berikut.
1. Jumlah sampel sedikit dan waktu penelitian yang kurang sehingga
hasil perbandingan proporsi kesembuhan antar kedua kelompok
menjadi tidak bermakna secara statistik (p>0,05).
2 Efektivitas sabun sulfur baru dapat dinilai dengan waktu observasi
yang lebih lama. Pada sebuah penelitian uji klinis produk salep oleh
Alebiosu dkk di Nigeria (2003), observasi dilakukan pada minggu ke-
6 setelah diberikan pengobatan kombinasi salep sulfur dan sabun non
40
sulfur.7 Pada penelitian ini sabun sulfur digunakan selama 3 minggu,
sehingga efektivitas sabun tidak dapat dinilai.
Gambar 4.19Perbandingan proporsi angka kesembuhan klinis pada kelompok
kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur dengan kelompok salep 3-6 tunggal pada
follow up 3 minggu.
Dari uji Fisher’s Exact antara kelompok kombinasi salep 3-6 dan sabun
sulfur dengan kelompok salep 3-6 tunggal didapatkan pada follow up 1 nilai
p=0,283 dan follow up 3 nilai p=0,585 yang berarti tidak terdapat perbedaan
bermakna proporsi kesembuhan antar kelompok serta pada follow up 2 proporsi
kesembuhan antar kelompok konstan 100% sehingga uji statistik tidak dapat
dilakukan. Hal ini juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan.
Berdasarkan jumlah santri yang sembuh pada follow up 1, kelompok
kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% sebesar 84,6% sedangkan kelompok
salep 3-6 tunggal sebesar 100%. Demikian juga pada follow up 2, jumlah santri
yang sembuh pada kelompok kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% sebesar
100% dan kelompok salep 3-6 tunggal sebanyak 100%. Sedangkan pada follow up
3, kelompok kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% sebesar 83,3% dan
kelompok salep 3-6 tunggal sebesar 75%. Hal ini menunjukkan bahwa baik
kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% maupun salep 3-6 tunggal efektif dalam
mengobati skabies karena tidak terdapat perbedaan efektivitas pengobatan yang
84,6
100
83,3
100 100
75
0
20
40
60
80
100
120
Follow up 1 Follow up 2 Follow up 3
Per
sen
tase
(%
)
Follow up minggu ke-
Perbandingan Proporsi Kesembuhan Klinis
salep 3-6 dan sabun sulfur
salep 3-6
p=0,585
p=0,283
41
signifikan di setiap follow up antar kedua kelompok berdasarkan jumlah santri
yang sembuh.
Pada follow up 1 didapatkan angka kesembuhan klinis kombinasi salep 3-6
dan sabun sulfur sebesar 84,6 % dan salep 3-6 tunggal sebesar 100%. Hal
disebabkan oleh berbagai respons pasien yang berbeda terhadap obat. Berbagai
faktor yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap obat diantaranya sebagai
berikut.41
Gambar 4.210Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap
obat. Sumber: Farmakologi dan Terapi, FKUI,2007.
Pada follow up 3 penelitian ini didapatkan 4 orang mengalami reinfestasi
skabies, hal ini kemungkinan disebabkan oleh transmisi dari lingkungan sekitar
dan tatalaksana non farmakologi seperti merendam pakaian pada suhu >50oC
selama 10 menit atau menyimpan pakaian dalam plastik selama 5-7 hari dan
menjemur kasur pada suhu yang panas selama 20 menit tidak dilakukan.
42
4.4 Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Jumlah sampel penelitian tidak memenuhi perhitungan besar
sampel. Hal ini dikarenakan waktu penelitian yang kurang dan
kejadian skabies saat pengambilan sampel di Pondok Pesantren
Ummul Qura sedikit.
2. Penelitian ini hanya melakukan tatalaksana farmakologi berupa
pengobatan menggunakan salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dan
tidak melakukan tatalaksana non farmakologi seperti memutus
rantai transmisi skabies dengan cara merendam pakaian pada suhu
>50oC selama 10 menit atau menyimpan pakaian dalam plastik
selama 5-7 hari dan menjemur kasur pada suhu yang panas selama
20 menit tidak dilakukan.
43
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang
telah dibahas sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Prevalensi penyakit skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura sebesar
18,3%.
2. Distribusi penyakit skabies berdasarkan jenis kelamin di Pondok
Pesantren Ummul Qura, lebih banyak pada laki-laki yaitu sebesar
68,2% dibandingkan perempuan 31,8%.
3. Distribusi penyakit skabies berdasarkan usia di Pondok Pesantren
Ummul Qura, lebih banyak pada kelompok usia 12-16 tahun yaitu
sebesar 88,6%.
4. Distribusi penyakit skabies berdasarkan tingkat pendidikan di Pondok
Pesantren Ummul Qura, lebih banyak pada tingkat pendidikan
MTS/SMP yaitu sebesar 86,4%.
5. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan
efektivitas kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dengan salep 3-6
tunggal dalam pengobatan skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura.
Angka kesembuhan klinis kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10%
pada follow up 1 sebesar 84,6%, follow up 2 sebesar 100%, dan follow
up 3 sebesar 83,3%, sedangkan angka kesembuhan klinis salep 3-6
tunggal pada follow up 1 sebanyak 11 santri (100%), follow up 2
sebanyak 11 santri (100%) dan follow up 3 sebanyak 9 santri (75,0%).
6. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi
kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% tidak lebih efektif
dibandingkan salep 3-6 tunggal pada pengobatan skabies di Pondok
Pesantren Ummul Qura.
44
5.2 Saran
1. Dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan jumlah sampel
lebih banyak sesuai rumus penelitian analitik. Dilakukan penelitian
lanjutan dengan menggunakan waktu yang lebih lama untuk observasi.
2. Dilakukan penelitian lanjutan untuk menilai efek samping dari obat
salep sulfur 6%.
3. Pihak Pondok Pesantren Ummul Qura menyelenggarakan penyuluhan
dan edukasi mengenai higienitas personal untuk meminimalisir dan
mengubah perilaku saling pinjam pakaian dan handuk, serta
mengurangi kepadatan hunian ruang tidur.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan RI.
Jakarta;1987.
2. Kristina RS. Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene
Terhadap Kejadian Penyakit Skabies Pada Warga Binaan Pemasyarakatan
Yang Berobat Ke Klinik Di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan[Tesis].
Medan: Universitas Sumatera Utara; 2012.
3. Tabri F. Skabies Pada Bayi dan Anak. Dalam : Boediardja SA, Sugito TL,
Kurniati DD, Elandari, editor. Infeksi Kulit Pada Bayi dan Anak. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2003. h. 62-80
4. Saleha S. Skabies. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia;
1995. h. 4-9.
5. Amajida FR, Saleha S. Prevalensi Skabies dan Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Di Pesantren X, Jakarta Timur. eJKI. Vol. 2, No.1, April
2014. Diperoleh tanggal 25 Februari 2015 dari http://www.journal.ui.ac.id.
6. Binarso I. Skabies di panti asuhan se Kota Madya Semarang Hasil
perbandingan pengobatan salep 2-4 dan gameksan 1%. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Bagian Kulit dan Kelamin;1991.
7. CO Alebiosu, A Ogunledun, DS Ogunleye. A Report of Clinical Trial
Conducted on Toto Ointment and Soap Products. J Natl Med Assoc. 2003
Jan; 95(1): 95–105.
8. Harold PT. Scabies: Its Treatment With a Special Sulfur Soap. Cal West
Med. 1940 Dec; 53(6): 271–272.
9. Olivier C. Scabies. N Engl J Med 2006; 354(16):1718-27.
10. Saleha S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Ed 4. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2008.
11. Graham J, Mike S. Scabies: diagnosis and treatment. BMJ 2005; 331:619-
622.
46
12. Ronny PH. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar H, Siti A, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010.
13. GR Scott. European Guideline for The Magement of Scabies. Int J STD
AIDS. 2011 Jun;22(6):301-3.
14. CDC. Scabies. 2010. Available from: http://www.cdc.gov.
15. Eka NC. Uji Banding Efektifitas Krim Permetrin 5% dan Salep 2-4 Pada
Pengobatan Skabies[Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2004.
16. K Karthikeyan. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgrad Med J
2005;81:7-11.
17. RJ Hay, AC Steer, D Engelman, S Walton. Scabies In The Developing
World – Its Prevalence, Complications, And Management. Clin Microbiol
Infect 2012; 18:313-23.
18. Suci CA, Rima S, Gayatri. Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian
Skabies Di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum, Palarik Air Pecah,
Kecamatan Koto Tangah Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan
Andalas,2013;2(3):164-7. Diakses pada tanggal 6 Juni 2015 dari
http://www.jurnal.fk.unand.ac.id.
19. Riris NR. Hubungan Antara Faktor Pengetahuan dan Perilaku dengan
Kejadian Skabies Di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta[Skripsi].
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2010.
20. Nanda IWH. Hubungan Karakteristik, Faktor Lingkungan dan Perilaku
Dengan Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Darul Amanah Desa
Kabunan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal. 2014. Diakses pada
tanggal 6 Juni 2015 dari http://www.eprints.dinus.ac.id.
21. Megan B. Scabies. Medscape. Diakses pada tanggal 19 Juni 2015 dari
http://www.medscape.com.
22. Karnen GB. Imunologi Dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2010.
h.380-95.
23. Kumar, Abbas, Fausto. Robins and Cotran: Pathologic Basis of Disease.
Ed.7. China: Elsevier Saunders;2005.
24. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology. Ed. 3. Elsevier
Saunders;2009. h.201-7.
47
25. The International Foundation For Dermatology. Management of Scabies.
2015. Diakses pada tanggal 19 Juni 2015 dari http://www.ifd.org.
26. WA Dodd. Itching Skin in Children. BCMJ, Vol. 46, No.10, December
2004. h.510-515.
27. Michigan Departement of Community Health. Scabies Prevention and
Control Manual. May 2005.
28. American Society of Health-System Pharmacists. American Hospital
Formulary Service: Drug Information. GK McEvoy(ed.). 2007. h.3545
29. JG Hardman, LE Limbird. Goodman and Gilman’s The Pharmacological
Basis of Therapeutics. Edisi 10. New York, NY: McGraw-Hill;2001. h.700
30. Martindale. Dermatological Agents. Dalam: Martindale The Extra
Pharmacooeia. Edisi 29. London: The Pharmaceutical Press; 1989:931-33.
31. International Programme on Chemical Safety. Poisons Information
Monograph: Salicylic Acid (PIM 642). 1998. Diakses pada tanggal 21 Juni
2015 dari http://www.inchem.org.
32. American Society of Health-System Pharmacists. American Hospital
Formulary Service:Drug Information. Bethesda, MD. 2011.
33. Brown RG, Bruns T. Lecture Notes Dermatology. Edisi 8. Jakarta:Penerbit
Erlangga;2002. h.42-47.
34. Marwali H. Penyakit Kulit. Jakarta: Gramedia;2008. h.100.
35. Thomas PH. Clinical Dermatology. China: Mosby;2003. h.497-505.
36. Siti BK. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;2007. h:182
37. Anonymous. Sulfur (Topikal). Drugs. 1993. Diakses pada tanggal 23 Juni
2015 dari http://www.drugs.com.
38. Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, Klaus W.
Skabies. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Ed 8. Mc Graw
Hill;2012. h. 2569-72.
39. Adhi D. Pengobatan topikal dalam bidang dermatologi. Jakarta: Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia;1994.
40. Anonymous. Skabies. Panduan Praktik Klinik Departemen Penyakit Kulit
dan Kelamin. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo; 2012.
48
41. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan Terapi.
Ed 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2007.
49
Lampiran 1
Surat Permohonan EthicalApproval Penelitian
50
Lampiran 2
Tanda terima Permohonan Ethical Approval Penelitian
51
Lampiran 3
Surat Permohonan Izin Penelitian
52
Lampiran 4
Pemberian Informasi Penelitian
53
Lampiran 5
Informed Consent
54
(lanjutan)
55
(lanjutan)
56
Lampiran 6
Dokumentasi Follow Up
Pemeriksaan Fisik Follow Up 1 Follow Up 2 Follow Up 3
Kontrol Positif
Kontrol Negatif
57
(Lanjutan)
Pemeriksaan Fisik Follow Up 1 Follow Up 2 Follow Up 3
Sampel 1
Sampel 2
58
Lampiran 7
Hasil Uji Statistik
KELOMPOK PERLAKUAN * FOLLOW UP 1 Crosstabulation
FOLLOW UP 1 Total
Sembuh Tidak
Sembuh
KELOMPOK
PERLAKUAN
Salep 3-6 dan
sabun sulfur
Count 11 2 13
% within KELOMPOK
PERLAKUAN 84.6% 15.4% 100.0%
Salep 3-6
tunggal
Count 11 0 11
% within KELOMPOK
PERLAKUAN 100.0% 0.0% 100.0%
Total
Count 22 2 24
% within KELOMPOK
PERLAKUAN 91.7% 8.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.846a 1 .174
Continuity Correctionb .381 1 .537
Likelihood Ratio 2.606 1 .106
Fisher's Exact Test .482 .283
Linear-by-Linear
Association 1.769 1 .183
N of Valid Cases 24
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .92.
b. Computed only for a 2x2 table
59
(lanjutan)
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square .a
N of Valid Cases 24
a. No statistics are computed
because FOLLOW UP 2 is a
constant.
KELOMPOK PERLAKUAN * FOLLOW UP 3 Crosstabulation
FOLLOW UP 3 Total
Sembuh Tidak
Sembuh
KELOMPOK
PERLAKUAN
Salep 3-6 dan
sabun sulfur
Count 10 3 13
% within KELOMPOK
PERLAKUAN 76.9% 23.1% 100.0%
Salep 3-6
tunggal
Count 9 2 11
% within KELOMPOK
PERLAKUAN 81.8% 18.2% 100.0%
Total
Count 19 5 24
% within KELOMPOK
PERLAKUAN 79.2% 20.8% 100.0%
KELOMPOK PERLAKUAN * FOLLOW UP 2 Crosstabulation
FOLLOW UP 2 Total
Sembuh
KELOMPOK
PERLAKUAN
Salep 3-6 dan
sabun sulfur
Count 13 13
% within KELOMPOK
PERLAKUAN 100.0% 100.0%
Salep 3-6 tunggal
Count 11 11
% within KELOMPOK
PERLAKUAN 100.0% 100.0%
Total
Count 24 24
% within KELOMPOK
PERLAKUAN 100.0% 100.0%
60
(lanjutan)
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .087a 1 .769
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .087 1 .768
Fisher's Exact Test 1.000 .585
Linear-by-Linear
Association .083 1 .773
N of Valid Cases 24
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.29.
b. Computed only for a 2x2 table
61
Lampiran 8
Riwayat Hidup Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PERSONAL DATA
Nama : Hana Qonita
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 31 Mei 1995
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat :Jl. Raya Muchtar Telaga Golf CXII No.12,
Sawangan, Depok.
No. Telepon/HP : 0896-6446-3130
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1998-2000 : TK Nur Al-Hidayah Tebet Barat, Jakarta
2000-2003 : SD Negeri 06 Petang Tebet Barat, Jakarta
2003-2005 : SD Negeri 01 Pagi Menteng Atas, Jakarta
2005-2006 : SD Negeri 07 Pagi Pengadegan, Jakarta
2006-2009 : SMP Islam Nurul Fikri Boarding School Serang, Banten
2009-2010 : SMA Islam Nurul Fikri Boarding School Serang, Banten
2010-2012 : SMA Negeri 06 Depok
2012-sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta