Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
10
TESIS
PERBANDINGAN EKSKRESI PROTEIN URIN
ANTARA ANAK TERINFEKSI VIRUS DENGUE
DENGAN RENJATAN DAN TANPA RENJATAN
NI MADE DWIYATHI UTAMI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
i
10
TESIS
PERBANDINGAN EKSKRESI PROTEIN URIN
ANTARA ANAK TERINFEKSI VIRUS DENGUE
DENGAN RENJATAN DAN TANPA RENJATAN
NI MADE DWIYATHI UTAMI
NIM 1114018208
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
PERBANDINGAN EKSKRESI PROTEIN URIN
ANTARA ANAK TERINFEKSI VIRUS DENGUE
DENGAN RENJATAN DAN TANPA RENJATAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
NI MADE DWIYATHI UTAMI
NIM 1114018208
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL,16 MEI 2017
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. BNP Arhana, SpA(K) Dr. dr. Made Kardana, SpA(K)
NIP. 19540504 198311 1 001 NIP. 19680915 200501 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Dekan Fakultas Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes.
NIP.195805211985031002 NIP. 195902151985102001
iv
Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal, 16 Mei 2017
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No: 40.5/UN14.2.2/PD/2017
Tanggal : 5 Mei 2017
Ketua : dr. Bagus Ngurah Putu Arhana, SpA(K)
Sekretaris : Dr. dr. Made Kardana, SpA(K)
Anggota :
1. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH
2. Dr. dr. I Gusti Lanang Sidiartha, SpA(K)
3. dr. I Putu Gede Karyana, SpA(K)
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul
“Perbandingan ekskresi protein urin antara anak terinfeksi virus dengue dengan
atau tanpa renjatan” dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran,
dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak,
tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Putu Astawa. SpOT, M.Kes yang telah
memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti program
Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ketua Program Studi
Ilmu Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK. yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Fakultas
Kedokteran, Program Studi IIlmu Biiomedik (combined degree).
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah
Denpasar, dr. Wayan Sudana, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Sanglah Denpasar.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr.
Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K) selaku pembimbing pertama yang telah
banyak memberikan bimbingan, masukan, dorongan, serta meluangkan waktu dan
pemikiran selama penyusunan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Beliau selalu bersedia memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program
vii
pendidikan dokter spesialis I di bagian/SMF Ilmu kesehatan Anak FK
UNUD/RSUP Sanglah.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada dr. Ketut Suarta, Sp.A(K)
selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-1)
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.Bagi penulis merupakan orangtua yang
luar biasa selama pendidikan, bersedia selalu memberikan masukan, arahan, dan
bimbingan dalam segala aspek selama proses pendidikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
Penulis juga tidak hentinya menyampaikan terima kasih kepada Dr. dr. IGA
Trisna Windiani, Sp.A(K) selaku pembimbing akademik penulis yang selalu
bersedia dengan senanghati menaungi penulis, memberikan solusi terhadap
permasalahan penulis dalam menjalani program studi ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. dr. Made
Kardana, Sp.A(K) selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan
bimbingan, masukan, dorongan, serta meluangkan waktu dan pemikiran selama
penyusunan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada tim penguji: Dr. dr. I Gusti
Lanang Sidiartha, Sp.A(K), dr. Putu Gede Karyana, Sp.A(K), dan Prof. Dr. dr. I
Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH yang telah banyak memberikan bimbingan,
masukan, dorongan, dalam penyusunan dan penulisan tesis ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh supervisor
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan yang diberikan selama penulis
menempuh pendidikan. Rekan sejawat PPDS I Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, atas pengertian, bantuan dan kerjasama yang
baik selama masa pendidikan dan penyusunan tesis penulus.
Pada akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga, kepada
orangtua: Alm Ir. I Made Arnatha, MT dan Dra. Ni Luh Putu Ardani, suami
tercinta dr. I Made Bayu Indratama, kedua mertua yang luar biasa dukungannya
Ir. I Made Supartha, dan Made Nuriani yang telah memberikan dukungan
finansial, material, mental dan selalu memberikan semangat untuk penulis selama
viii
menempuh proses pendidikan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan
baik.Terima kasih pada semua pihak, sahabat, rekan paramedik dan non
paramedik yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh
dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani program
pendidikan PPDS I IKA.Tidak lupa juga penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang mendalam kepada subyek penelitian dan orangtua subyek atas
pengertian dan kerja sama yang baik sehingga penelitian ini berjalan dengan baik
sesuai potokol penelitian.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan
segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam
penulisan tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan
supaya hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran
dan pelayanan kesehatan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Denpasar, 16 Mei 2017
dr. Ni Made Dwiyathi Utami
ix
ABSTRAK
PERBANDINGAN EKSKRESI PROTEIN URIN PADA ANAK
TERINFEKSI VIRUS DENGUE DENGAN ATAU TANPA RENJATAN
Virus dengue sebagai penyebab demam berdarah dengue dengan angka
kejadian di Denpasar tahun 2015 adalah 178,7 per 100.000 penduduk. Angka
kematian meningkat 5% bila terjadi sindrom renjatan dengue. Penilaian yang
akurat terhadap risiko renjatan merupakan kunci penting mencegah terjadi
renjatan pada pasien demam berdarah dengue. Perubahan parameter hematologi
seperti peningkatan hematokrit, dan penurunan trombosit sudah lama dikenal
sebagai faktor prognosis terjadinya renjatan. Kelainan pada urin dapat menjadi
parameter praktis dari beratnya infeksi virus dengue. Penelitian mengenai
proteinuria masih bersifat kontroversi. Penelitian pada pasien dewasa proteinuria
didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan demam berdarah dengue
dibandingkan pasien dengan infeksi virus dengue. Penelitian pada anak sifatnya
terbatas. Proteinuria tipe nefrotik dapat terjadi pada infeksi virus dengue dengan
renjatan yang dapat menjadi gagal ginjal akut dengan mortalitas mencapai 60%.
Kondisi ini akan mempengaruhi tatacara pemberian cairan pada pasien infeksi
dengue dengan renjatan.
Penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan menggunakan metode
consequtive sampling. Sampel adalah anak usia 6 bulan sampai dengan 12 tahun
yang dirawat dengan infeksi virus dengue dengan atau tanpa renjatan dan tidak
mengalami kelainan ginjal sebelumnya.
Dari hasil penelitian didapatkan karakteristik subyek tidak berbeda bermakna
baik jenis kelamin, satus gizi, berat badan, tinggi badan, luas permukaan tubuh.
Perbedaan didapatkan pada kondisi demam sebelum masuk rumah sakit, diuresis
yang menurun, dan adanya peningkatan hematokrit. Nilai median rasio protein
berbanding kreatinin urin pada kondisi renjatan lebih tinggi 0,3 (IQR=-0,12 s.d.
0,72) dibandingkan dengan tanpa renjatan 0,18 (IQR=0,02 s.d. 0,34), p=0,01.
Proteinuria tipe nefrotik seluruhnya dialami oleh pasien yang mengalami renjatan
OR=3,52; 95%IK (1,58 s.d. 7,85); p=0,002. Pengaruh status renjatan terhadap
proteinuria setelah memperhitungkan kadar albumin dan gula darah serum, luas
permukaan tubuh, dan status gizi pasien didapatkan kadar albumin memiliki
pengaruh signifikan menimbulkan proteinuria dibandingkan kondisi renjatan
dengan F=4,22; p=0,042; R2=0,04.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan ekskresi protein urin lebih
tinggi pada infeksi virus dengue dengan renjatan dibandingkan tanpa renjatan, dan
kondisi renjatan cenderung menimbulkan proteinuria tipe nefrotik. Hipoalbumin
lebih signifikan menimbulkan proteinuria dibandingkan kondisi renjatan. Hal ini
menggambarkan mekanisme proteinuria yang terjadi pada infeksi virus dengue
lebih besar oleh karena adanya viral nefropati akibat reaksi antigen NS1 pada
glikokaliks endotel ginjal.
Kata kunci: infeksi virus dengue, renjatan, proteinuria
x
ABSTRACT
COMPARISON OF URINE PROTEIN EXCRETION IN CHILDREN
WITH DENGUE VIRUS INFECTION WITH OR WITHOUT SHOCK
Dengue virus as the cause of dengue fever with the incidence rate in
Denpasar on 2015 was 178.7 per 100.000 populations. Mortality rate increased
5% in case of dengue shock syndrome. An accurate assessment of the risk of
shock is an important key to prevent of shock in patients with dengue
hemorrhagic fever. Hematological parameters such as increased hematocrit, and
platelet decline has long been known as a prognostic factor of the shock. Urine
abnormality can be a parameter of the severity of dengue infection. Research on
proteinuria is still a controversy. Research in adult said that proteinuria higher in
patients with dengue hemorrhagic fever than patients with dengue infection.
Researches are limited in pediatric field. Nephrotic range proteinuria that can
occured in dengue virus infection with a shock that could become acute renal
failure with mortality reached 60%. This condition will affect the procedure for
administration of fluids in dengue shock syndrome.
This study was a cross sectional study using consequtive sampling method.
Samples are children aged 6 month to 12 years who were treated with dengue
virus infection with less or without shock and no renal abnormalities.
From the results, subjects were not different in characteristics of both
genders, satus nutrition, weight, height, body surface area. The difference was
found in a state of fever before admission, diuresis decreased, and an increase in
hematocrit. The median value of urine creatinine ratio of protein versus the higher
shock condition 0.3 (IQR=-0.12 to 0.72) compared with those without shock 0.18
(IQR=0.02 to 0.34), p=0.01. Nephrotic type proteinuria entirely experienced by
patients who experienced shock of OR=3.52; 95%CI (1.58 to 7.85); p=0.002.
Albumin level had significant effect on proteinuria rather than shock in dengue
infection with F=4.22; p=0.042; R2=0.04.
Based on the results of this study conclude urine protein excretion were
higher in dengue virus infection with shock rather than without shock, and shock
conditions tend to cause nephrotic type of proteinuria. Hipoalbumin more
significant cause proteinuria compared than shock conditions. It describes the
mechanism of proteinuria occurring in dengue viral infection is greater because of
viral nephropathy due to NS1 antigen reactions in renal endothelial glycocalix.
Keywords: dengue virus infection, shock, proteinuria
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM………………………………………………………… i
PRASYARAT GELAR……………………………………………………. ii
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………….. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI……………………………………….. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT…………………………….. v
UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………. vi
ABSTRAK………………………………………………………………… ix
ABSTRACT……………………………………………………………….. x
DAFTAR ISI………………………………………………………………. xi
DAFTAR TABEL………………………………………………………… xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… xv
DAFTAR ARTI SINGKATAN DAN LAMBANG.................……………. xvi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….. xx
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang …………………………………………… 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………… 7
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………… 7
1.4. Manfaat Penelitian ………………………………………… 8
1.5. Keaslian Penelitian …………………………………………9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 10
2.1. Demam Dengue ………………………………………….. 10
2.2 Sindrom renjatan dengue………………………………… 10
2.2.1 Etiologi ……………………………………………. 10
xii
2.2.2 Patogenesis ………….……………………………… 11
2.2.3 Manifestasi klinis …………………………………… 12
2.2.4 Faktor prognostik terjadinya sindrom renjatan
dengue………………………………………………. 13
2.2.5 Laboratorium ………………..……………………… 15
2.3 Proteinuria………………………………………………… 18
2.3.1 Etiologi dan faktor yang memperberat proteinuria… 19
2.3.2 Mekanisme terjadinya proteinuria………………….. 21
2.3.3 Pemeriksaan penunjang…………………………….. 26
2.4 Mekanisme terjadinya proteinuria pada sindrom renjatan
dengue…………………………………………………….. 27
2.5 Mekanisme proteinuria menimbulkan gagal ginjal
akut………………………………………………………... 31
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
PENELITIAN………………………………………………………..……. 34
3.1. Kerangka berpikir ………………………………………… 34
3.2. Kerangka konsep Penelitian ……………………...……… 37
3.3. Hipotesis Penelitian ………………………………………. 38
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………… 39
4.1. Rancangan Penelitian ……………………………………… 39
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………… 39
4.3. Penentuan Sumber Data …………………………………… 40
4.3.1. Populasi penelitian ……………………………….. 40
4.3.2. Penentuan sampel ………………………………… 40
4.3.3. Besar sampel penelitian …………………………… 41
4.4. Variabel Penelitian ……………………………………….. 42
4.4.1. Variabel penelitian ………………………………… 42
4.4.2. Batasan Operasional variabel ……………………… 43
4.5. Bahan Penelitian………….……………………………… 48
4.5.1Bahan untuk pengambilan darah dan
urin…………….…………………………………… 48
xiii
4.5.2 Bahan dan reagen untuk pemeriksaan
darah……………………..…………………………. 48
4.6. Instrumen Penelitian……………………………………….. 49
4.7. Prosedur Pemeriksaan……………………………………… 50
4.7.1 Albumin serum……………………………………… 50
4.7.2. Gula Darah Serum…………………………………. 50
4..7.3 Immunoglobulin dengue…………………………… 51
4.7.4 Protein berbanding kreatinin urin sewaktu………… 51
4.7.5 Cara pengukuran berat badan sampel penelitian…... 52
4.7.6 Cara pengukuran tinggi badan sampel penelitian…. 52
4.8. Alur Penelitian…………………………………………… 52
4.9. Etika Penelitian…………………………………………… 54
4.10. Analisis Data………………………….……………………. 54
BAB V HASIL PENELITIAN……………………………………………. 57
BAB VI PEMBAHASAN……………………………………………..…. 62
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………….. 70
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 74
LAMPIRAN – LAMPIRAN ……………………………………………… 80
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Penelitian terdahulu tentang peningkatan rasio protein dan
kreatinin urin terhadap kejadian sindrom
renjatan dengue…………………………………….………….. 9
Tabel 2.1 Manifestasi klinis demam berdarah dengue…………………… 12
Tabel 2.2. Perbandingan nilai normal proteinuria melalui
beberapa metode pemeriksaan ………………………………… 19
Tabel 2. 3. Etiologi dan klasifikasi proteinuria…………………………… 20
Tabel 2.4 Karakteristik kelainan yang bersumber dari glomerulus
maupun nonglomerulus………………………………………… 24
Tabel 5.1 Karakteristik subyek penelitian………………………………… 58
Tabel 5.2 Karakteristik nilai rasio protein berbanding kreatinin urin
(UPCR) pada kondisi renjatan maupun tidak………………….. 59
Tabel 5.3 Hasil analisis multivariate kejadian renjatan terhadap terjadinya
proteinuria……………………………………………………… 61
Tabel 5.4 Perbandingan protein tipe nefrotik berdasarkan status renjatan... 61
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.Prinsip cara kerja metode MAC-ELISA
sumber : WHO 2011…………………………………………. 16
Gambar 2.2.Perkiraan waktu munculnya infeksi virus dengue primer
atau sekunder, adapted from WHO 2009 Diagnosis,
tatalaksana, pencegahan dan control…………….…….…….. 17
Gambar 2.3 Lapisan dari membran glomerulus…………………………… 23
Gambar 2.4 Kerusakan tubulointerstitium oleh gangguan glomerulus…… 26
Gambar 2.5. Mekanisme pengaktifan TRPC 6 oleh angiotensin II ……… 29
Gambar 2.6 Mekanisme peradangan dan jalur fibrogenik pada sel tubulus
proksimal akibat beban protein berlebihan…………………. 33
Gambar 3.1 Kerangka berpikir…………………………………………… 36
Gambar 3.2 Kerangka konsep penelitian………………………………… 37
Gambar 4.1Skema dasar penelitian ……………………………………… 39
Gambar 4.2 Skema alur penelitian ………………………..……………… 56
Gambar 6.2 Mekanisme ekskresi protein urin berkaitan
dengan viral nefropati ………………………………………. 69
xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ACE : Angiotensin Converting Enzyme
ALT : Alanine Transaminase
AST : Aspartate Transaminase
ATR1 : Angiotensin Receptor 1
BMG : Basal Membran Glomerulus
BSA : Body Surface Area
CF : Complement Fixation
C3 : Complement 3
Da : Dalton
DBD : Demam Berdarah Dengue
DCSIGN : Dendritic Cell Specific I CAM 3-Grabbing non integrin Receptor
DENV : Dengue Virus
dL : Desiliter
ELISA : Enzyme-linked Immunosorbent Assay
ET-1 : Ebdothelin-1
GAG : Glikosaminoglikan
HCT : Hematokrit
HI : Haemagglutination-Inhibition
HLA : Human Leucocyte Antigen
ICAM 3 : Intercellular Adhesion Molecule 3
IgG : Imunoglobulin G
xvii
IgM : Imunoglobulin M
IK : Interval Kepercayaan
IQR : Interquartile Range
KDOQI : Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
Kg : Kilogram
MAC ELISA : Immunoglobulin Antibody Capture Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay
mg : Miligram
MW : Molecular Weight
mL : Mili Liter
m2 : Meter Persegi
m3 : Meter Kubik
mm3 : Milimeter Kubik
NFKB : Nuclear Factor Kappa B
NS-1 : Nonstruktural 1 antigen
NSAID : Non Steroid Antiinflammatory Drug
NT : Neutralization Test
OVI : Other viral infection
PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1
PDGF : Platelet derived growth factor
pH : Potential of Hydrogen
PICU : Pediatric Intensive Care Unit
PRIFLE : Pediatric Risk, Injury, Failure, Loss, End Stage Renal Desease
xviii
RANTES : Regulated on Activation, Normal T Cell Expressed and Secreted
RBC : Red blood cell
RNA : Ribonucleic Acid
ROS : Reactive Oxygen Species
RT PCR : Reverse Transcriptase Polimerase Chain Receptor
s.d : sampai dengan
SSD : Sindrom Syok Dengue
TGF-β : Transforming Growth Factor-β
TRPC6 : Transient Receptor Potential Cation 6
UACR : Urine Albumin Creatinine Ratio
UPCR : Urine Protein Creatinine Ratio
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
WBC : White Blood Cell
WHO : World Heart Organization
DAFTAR LAMBANG
< : kurang dari
< : kurang dari sama dengan
> : lebih dari sama dengan
> : lebih dari
% : perseratus
+ : positif
- : negatif
xix
µL : mikro liter
® : registered merk atau merek terdaftar
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil Penelitian Pendahuluan………………………………………… 81
2. Persetujuan Setelah Penjelasan………………………………………. 82
3. Kuesioner………………………………………………………………. 86
4. Surat Keterangan Kelaikan Etik……………………………………….. 90
5. Surat Ijin Penelitian……………………………………………………..91
6. Hasil Analisis Data SPSS…………………………………………….. 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi virus dengue yang berat sering menyebabkan terjadi proteinuria
melalui beberapa mekanisme. Kebocoran protein plasma pada kondisi infeksi
virus dengue berat dalam hal ini renjatan menyebabkan protein yang difiltrasi di
ginjal semakin tinggi dan menimbulkan proteinuria. Kondisi proteinuria pada
pasien sindrom renjatan dengue akan mempengaruhi tatalaksana, prognosis dan
mortalitas pasien dengan infeksi virus dengue (Wills dkk., 2004).
Virus dengue sebagai penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD),
merupakan anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Penularannya
melalui perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus dengue
diklasifikasikan menjadi DENV 1,2,3,4 (Guzman dkk., 2010). Indonesia sendiri
merupakan salah satu daerah endemis DBD, dengan angka kejadian 0,008 per
100.000 penduduk pada tahun 1968 dan meningkat menjadi 35,2 pada tahun 1998
(Soedarmo dkk., 2002). Angka kejadian di Denpasar tahun 2015 adalah 178,7 per
100.000 penduduk, dengan angka kematian tertinggi 1,7% pada tahun yang sama.
Risiko kematian meningkat 5% bila terjadi sindrom renjatan dengue (Karyana
dkk., 2005; Dinkes., 2015).
Penyebab utama kematian pada pasien DBD adalah renjatan karena
kebocoran plasma. Keberhasilan pengobatan ditentukan dari penanganan yang
tepat dan sedini mungkin terhadap pasien prerenjatan dan renjatan. Penilaian yang
akurat terhadap risiko renjatan merupakan kunci penting mencegah terjadi
3
10
renjatan pada pasien demam berdarah dengue (Vasanwala dkk., 2011).
Manifestasi klinis demam berdarah dengue bervariasi. Patogenesis yang kompleks
dan perbedaan serotipe virus pada daerah yang berbeda, membuat sulit
memprediksi pasien akan menjadi renjatan atau renjatan berulang. Indikator yang
dapat memprediksi terjadinya renjatan diperlukan pada pasien demam berdarah
dengue (Raihan dkk.,2010).
Terdapatnya hepatomegali dan perdarahan gastrointestinal meningkatkan
risiko terjadinya sindrom renjatan dengue (Raihan dkk., 2010). Peningkatan enzim
liver juga sebagai faktor prognosis (Wichman dkk., 2004). Perubahan pola
transmisi sakit dari penyebaran di rumah menjadi sekolah, kedatangan pasien
yang terlambat dan kejadian renjatan lebih banyak pada anak lebih
mudamerupakan penyulit klinisi mengetahui risiko awal renjatan. Hal ini dapat
dicegah dengan menemukan metode yang lebih sederhana dan praktis untuk
mengetahui faktor risiko pasien infeksi virus dengue yang berisiko jatuh pada
kondisi renjatan (Lumpaopong dkk., 2010).
Gangguan elektrolit serum seperti hiponatremia ringan dapat membedakan
derajat keparahan infeksi virus dengue (Mekmullica dkk., 2005; Lumpaopong
dkk., 2010). Melalui penanda enzim yang disekeresi oleh liver dari rerata kadar
enzim aspartate transaminase (AST) dan alanine transaminase (ALT)
menunjukkan perbedaan bermakna antara DBD derajat II dibandingkan DBD
derajat IV (Saniathy dkk., 2009). Selain kita melihat penanda praktis dari kelainan
di serum kita juga dapat melihat perbedaan yang terjadi pada urin pada pasien
2
4
1
terinfeksi virus dengue, karena ginjal sedemikian halnya mengalami cedera ringan
pada infeksi virus dengue ini (Oliveira dan Broadman., 2015).
Banyak kelainan pada urin yang berhubungan dengan infeksi virus dengue
yang dapat menjadi parameter praktis dari beratnya infeksi virus dengue tersebut.
Hal ini sesuai dengan yang telah dikemukan oleh Lumpaopong dkk., 2010,
dimana terdapat 15% kejadian proteinuria pada infeksi virus dengue dibandingkan
dengan 27% kejadian proteinuria pada demam berdarah dengue. Penelitian
mengenai proteinuria pada infeksi virus dengue masih bersifat kontroversi.
Prevalensi kejadian proteinuria maupun hematuria tidak menunjukkan perbedaan
bermakna pada pasien dengan demam berdarah dengue dengan atau tanpa renjatan
pada penelitian lain. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan Vasanwala
dkk, 2014 pada pasien dewasa, yang menyimpulkan pasien dengan demam
berdarah dengue memiliki peningkatan kadar protein urin yang signifikan
dibandingkan pasien dengan infeksi virus dengue. Rata-rata peningkatan
proteinuria dialami pasien pada 2 hari sebelum maupun 3 hari setelah demam
turun (fase convalescens) (Vasanwala dkk., 2014).
Pasien dengan sindrom renjatan dengue mengekskresikan protein yang
berukuran lebih kecil yang ditunjukkan dengan ekskresi dari heparan sulfat yang
meningkat pada pasien demam dengue yang disertai renjatan (Wills dkk., 2004).
Proteinuria dan hematuria yang terjadi pada pasien infeksi virus dengue
terjadi akibat proses cedera ginjal atau kerusakan yang terjadi pada glomerulus
3
4
ginjal. Kerusakan ini terjadi akibat proses sekunder dari sistem kompleks imun
yang terdeposisi dengan antigen virus, terjadi proliferasi mesangial, deposisi dari
IgG, IgM, C3 dan penebalan membran glomerulus oleh deposit partikel bentuk
speris. Reaksi kompleks imun tersebut biasanya diekskresi melalui urin karena
besar partikelnya lebih kecil dari diameter glomerulus ginjal (Wills dkk., 2004).
Manifestasi ginjal pada pasien dengan demam berdarah dengue biasanya ringan.
Terdapat pula kemungkinan terjadinya keadaan yang cedera ginjal berat seperti:
proteinuria, nekrosis tubuler akut, glomerulonefritis, gagal ginjal dan sindrom
hemolitik uremik apabila terdapat faktor predisposisi seperti renjatan, hemolisis
dan rabdomiolisis disamping terjadinya peristiwa kompleks imun tersebut
(Acharya dkk., 2010; Bhagat dkk., 2012).
Penelitian pada orang dewasa oleh Vasanwala tahun 2014, proteinuria pada
demam berdarah dengue terjadi karena proses glomerulonefritis oleh kompleks
imun pada pembuluh darah yang menyebabkan vaskulitis. Kadar puncak
proteinuria terjadi karena proses autoimun dimana virus dengue mengaktifkan
sistem retikuloendotelial di glomerulus sehingga memunculkan kebocoran oleh
karena peradangan. Kerusakan pada glikosaminoglikan yakni heparan sulfat oleh
karena aktivasi enzim heparanase menyebabkan kerusakan pada glikokaliks
sehingga molekul yang muatan negatif dengan berat molekul yang besar dapat
menembus membran basal glomerulus (Germi dkk., 2002; Garsen dkk., 2014).
Kondisi proteinuria pada pasien dengan infeksi dengue dapat terjadi melalui
kondisi renal maupun prerenal. Kondisi renal jarang dilakukan penelitian.
Penelitian ini ingin membuktikan kelainan renal pada infeksi dengue melalui
5
mekanisme reaksi NS1 pada glikokaliks. Protein Non Struktural I dengue
langsung berikatan dengan heparan sulphate (HS) dan mendegradasinya sehingga
terjadi kebocoran oleh karena berkurangnya HS pada sel vero (Germi dkk., 2002).
Proses ini akan membaik seiring dengan perbaikan yang dialami oleh pasien.
Hanya saja penelitian mengenai proteinuria yang dinilai dengan rasio protein
dengan kreatinin pada urin dapat menjadi prediktor komplikasi infeksi virus
dengue menjadi lebih berat terbatas pada pasien dewasa sifatnya masih terbatas
(Bhagat dkk., 2012).
Penting untuk mengetahui kondisi proteinuria yang dapat berakhir pada gagal
ginjal akut. Incomplete renal recovery dapat terjadi pada kondisi infeksi dengue
yang merupakan awal munculnya kelainan kardiovaskuler (Aronow dkk., 2000;
Freda dkk., 2002).
Proteinuria tipe nefrotik dalam perjalanannya dapat menyebabkan gagal
ginjal akut yang merupakan kondisi akhir dari infeksi virus dengue pada ginjal
menyumbangkan nilai mortalitas sampai dengan 60 % jika kelainan ini menyertai
kondisi sindrom rejatan dengue. Kondisi ini akan mempengaruhi tatacara
pemberian cairan, monitoring kondisi cairan tubuh dan keseimbangan elektrolit
(Lee dkk., 2009). Gagal ginjal pada infeksi virus dengue yang berat terjadi proses
glomerulonefritis oleh tersumbatnya kompleks antigen dan antibodi pada
membran basal glomerulus (Wills dkk., 2004).
Penelitian mengenai proteinuria ini penting untuk dilakukan karena akan
dapat menentukan jenis cairan koloid yang digunakan bila kita mampu
mengetahui ukuran jenis dari protein yang diekskresi (Bethell dkk., 2001).
6
Kondisi proteinuria dalam rentang nefrotik dengan perbandingan protein dan
kreatinin> 2 mg/mg dapat merusak fungsi ginjal dan memperburuk outcome
pasien dengan infeksi virus dengue. Kondisi proteinuria persisten dapat
memperparah kerusakan ginjal (Alam dkk., 2010). Sangat diperlukan pengaturan
jumlah cairan pada kondisi ini untuk memperbaiki kondisi pasien.
Pada kondisi sindrom renjatan dengue, konsentrasi protein plasma dalam
berbagai ukuran kadarnya berkurang akibat kebocoran plasma. Persentase filtrasi
protein dalam urin meningkat pada penurunan kadar antitrombin plasma.
Penelitian pada pasien anak di Vietnam mencerminkan bahwa proses kebocoran
di ginjal mencerminkan kondisi pada pembuluh darah sistemik (Wills dkk., 2004).
Di Indonesia sendiri penelitian yang menilai hubungan proteinuria terhadap
sindrom renjatan dengue masih terbatas. Penelitian yang mengkaji mengenai
proteinuria yang muncul akibat proses glomerulus maupun tubulus ginjal yang
digambarkan dengan perbandingan urin protein dan kreatinin jumlahnya masih
terbatas pada anak (Raihan dkk., 2010).
Penelitian yang telah ada sebelumnya mengukur kadar albumin dalam urin
pada pasien dengan demam dengue lebih tinggi dibanding dengan demam akut
lainnya. Penelitian ini belum dapat menjelaskan protein dengan berat molekul
yang lebih rendah di urin selain albumin (Nguyen dkk., 2013).
Penelitian ini ingin mengetahui mekanisme terjadinya proteinuria pada anak
yang terinfeksi virus dengue. Poteinuria yang diteliti merupakan protein secara
menyeluruh, baik yang memiliki berat molekul yang besar maupun yang kecil.
Hal ini didapat melalui pengukuran rasio protein total berbanding dengan
7
kreatinin urin. Protein yang bocor dapat memiliki berat molekul besar seperti
albumin dan berat molekul rendah seperti heparan sulfat, karena proses kebocoran
plasma pada ginjal dapat melibatkan gangguan tubulus maupun glomerulus
sehingga kebocoran protein ini dapat dinilai dengan tepat (Nguyen dkk., 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah ekskresi protein urin pada anak terinfeksi virus dengue dengan renjatan
lebih tinggi dibandingkan tanpa renjatan?
2. Apakah proteinuria tipe nefrotik pada anak terinfeksi virus dengue dengan
renjatan lebih tinggi dibandingkan tanpa renjatan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui terjadinya proteinuria pada
pasien anak yang terinfeksi virus dengue dengan atau tanpa disertai renjatan.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui apakah ekskresi protein urin pada anak terinfeksi virus
dengue dengan renjatan lebih tinggi dibandingkan tanpa renjatan.
2. Untuk mengetahui apakah proteinuria tipe nefrotik pada anak terinfeksi virus
dengue dengan renjatan lebih tinggi dibandingkan tanpa renjatan.
8
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademik
Dapat memberikan bukti yang lebih lengkap mengenai terjadinya proteinuria
serta dampak terjadinya renjatan karena pengukuran proteinuria pada penelitian
ini tidak hanya menilai kerusakan glomerulus saja melainkan kerusakan pada
tubulus renalis.
1.4.2. Manfaat praktis
Diketahuinya perbandingan proteinuria sebagai alternatif pemeriksaan
noninvasif pada sindrom renjatan dengue.
1.5 Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian tentang hubungan peningkatan rasio protein dan
kreatinin urin terhadap kejadian sindrom renjatan dengue, namun penelitian pada
anak masih terbatas dan masih bersifat kontroversial. Laporan mengenai
proteinuria pada infeksi virus dengue dengan atau tanpa disertai renjatan hanya
didapatkan 3 jurnal. Hasil penelitian yang ada konsisten menyatakan proteinuria
lebih sering terjadi pada kondisi infeksi virus dengue berat, dan proteinuria oleh
karena infeksi virus dengue lebih tinggi dibandingkan dengan demam oleh
penyebab lainnya. Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dilihat dari tabel 1.1 di
bawah ini.
9
Tabel 1.1
Penelitian terdahulu tentang peningkatan rasio protein dan kreatinin urin terhadap
kejadian sindrom renjatan dengue
Peneliti Tahun Subyek Desain Hasil
Lumpao
pong
2010 5,67 –
12,91
tahun
Deskriptif
cross-
sectional
Prevalensi proteinuria pada pasien demam
dengue sebesar 15 % dan 27 % pada pasien
demam berdarah dengue, namun tidak
didapatkan perbedaan bermakna prevalensi
proteinuria antara demam berdarah dengue
derajat ringan, sedang maupun berat.
Vasanwa
la
2011 22-46
tahun
Cohort
prospektif
Pasien demam berdarah dengue memiki median
proteinuria tertinggi dibandingkan dengan pasien
demam dengue yakni 0,56 dibandingkan 0,08
gram/ hari dengan nilai p < 0,001. Pada pasien
demam berdarah dengue nilai median
munculnya proteinuria -2 sampai dengan +3 hari
setelah defervescence
Nguyen 2013 5-15
tahun
Deskriptif
prospektif
Terdapat peningkatan rasio albumin dan
kreatinin urin (UACR) meningkat pada pasien
demam dengue dibandingkan pasien demam akut
lainnya nilai median 16,5 mg/gram dibandingkan
13,6 mg/gram (nilai p <0,0001). Terdapat
korelasi negatif dimana peningkatan 2 % UACR
terdapat penurunan trombosit 10.000 sel/ mm3
dan tidak terdapat hubungan bermakna antara
UACR dengan nilai hematokrit.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Dengue
Demam dengue merupakan infeksi virus dengue yang memiliki masa
inkubasi 4-6 hari dengan rata-rata masa inkubasi 3-14 hari. Gejala demam dengue
tidak spesifik meliputi gejala konstitusional, nyeri kepala, nyeri punggung, nyeri
retroorbital, nyeri pada tulang dan otot. Hasil laboratorium yang menunjang
demam dengue meliputi jumlah sel darah putih yang rendah maupun normal,
jumlah trombosit yang rendah kurang dari 100.000 sel/mm3. Gejala laboratorium
yang dapat terjadi adalah peningkatan enzin transaminase (WHO, 2011).
2.2 Sindrom Renjatan Dengue
Sindrom renjatan dengue merupakan kondisi kegagalan sirkulasi akibat
infeksi virus dengue yang ditandai gejala nadi lemah, takikardia, tekanan nadi
yang menyempit, hipotensi (DBD derajat III) dan kondisi renjatan berat
(profound shock) dimana didapatkan nadi dan tekanan darah tidak dapat diukur
(DBD derajat IV). Kondisi renjatan terjadi saat penuruanan suhu (time of
deverfescence) terkait dengan viral load yang tinggi (Vaughn dkk., 2000; WHO,
2011).
2.2.1 Etiologi
Infeksi virus dengue disebabkan oleh 4 tipe virus RNA yang berbeda yaitu
DENV 1,2,3,4. Keempat jenis serotipe virus dengue ini termasuk kelompok B
arthropod borne virus dan dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
Selama fase akut virus yang menginfeksi akan membentuk protein Non Struktural
11
1 (NS-1), peningkatan level viremia maupun NS-1 dikaitkan dengan manifestasi
kinis yang lebih parah (Simmons dkk., 2012).
2.2.2 Patogenesis
Patofisiologi, hemodinamika dan biokimiawi DBD belum diketahui secara
pasti. Sebagian besar patofisiologi masih berpegangan kepada the secondary
heterologous infection hypothesis, yakni infeksi demam berdarah dengue dapat
terjadi jika seseorang terinfeksi virus dengue pertama kali dan mendapatkan
infeksi kedua dengan virus dengue serotipe berbeda dalam jarak waktu 6 bulan
sampai dengan 5 tahun. Infeksi virus dengue diawali oleh gigitan nyamuk pada
kulit manusia, dimana virus memiliki interaksi dengan sel dendritik yang dikenal
dengan sel Langerhaens, yang dikatakan lebih berperan terhadap munculnya
infeksi virus dengue dibandingkan dengan sel monosit atau makrofag (Fink dkk.,
2006). Sel ini mengekspresikan Dendritic cell specific ICAM3-grabbing non-
integrin receptor (DC-SIGN) yang berfungsi untuk berikatan pada glikoprotein 4
serotipe virus dengue (Fink dkk., 2006).
Infeksi dengue yang lebih berat dapat terjadi, bila pasien kembali terinfeksi
strain virus yang berbeda, fenomena ini dikenal dengan istilah antibody-
dependent enhancement, dimana antibodi yang awalnya terbentuk oleh infeksi
primer bereaksi dengan antigen virus yang lain sehingga membentuk kompleks
yang berikatan di reseptor sel yang menyebabkan virus menginfeksi sel. Banyak
faktor risiko yang menyebabkan keparahan infeksi virus dengue sendiri dimana
tidak hanya semata-mata terjadi oleh karena infeksi sekunder saja melainkan
banyak faktor yang terkait menimbulkan keparahan dari infeksi virus dengue,
12
yakni status gizi, jenis kelamin, umur, serotipe virus, tingkat keganasan strain
virus, status imun dan penyakit kronis yang diderita serta faktor genetik
(Hernandez dan Smith., 2005; Fink dkk., 2006)
2.2.3 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue menurut WHO 2011 dibagi menjadi 4
kelompok, yakni demam berdarah dengue, demam dengue, sindrom virus, dan
expanded dengue syndrome. Demam berdarah dengue dibagi menjadi 2, yakni
dengan renjatan dan tanpa renjatan. Demam dengue dibagi menjadi dengan
perdarahan atau tanpa perdarahan. Pasien yang tergolong demam berdarah dengue
dengan renjatan, yakni pasien dengan demam berdarah dengue tingkat III dan
tingkat IV. Tabel 2.1 berikut merupakan manifestasi klinis demam berdarah
dengue :
Tabel 2.1
Manifestasi klinis demam berdarah dengue
Demam
dengue/DBD
Tingkat Tanda dan gejala Hasil Laboratorium
Demam dengue Demam dengan disertai 2 gejala berikut
1. Nyeri kepala
2. Nyeri retroorbital
3. Myalgia
4. Nyeri tulang/Arthralgia
5. Rash
6. Perdarahan
7. Tidak terdapat kebocoran plasma
Leukopenia
(wbc<5000 sel/mm3)
Trombositopenia
(Plt<150.000
sel/mm3)
Peningkatan
hematokrit 5%-10%
Tidak ada
Demam berdarah
dengue
I Demam, uji tourniquet +, terdapat bukti
kebocoran plasma
Tromboositopenia
<100.000 sel/mm3,
HCT> 20%
Demam berdarah
dengue
II Tingkat I dengan perdarahan spontan Tromboositopenia
<100.000 sel/mm3,
HCT> 20%
Demam berdarah
dengue
III/SSD Tingkat I dan II dengan tanda kegagalan
sirkulasi (nadi lemah, tekanan nadi
menyempit, hipotensi dan lemah)
Tromboositopenia
<100.000 sel/mm3,
HCT> 20%
Demam berdarah
dengue
IV/SSD Tingkat III dengan profound renjatan,
nadi tidak teraba, tekanan darah tidak
terukur
Tromboositopenia
<100.000 sel/mm3,
HCT> 20%
Dikutip dari : Guideline WHO 2011
13
2.2.4 Faktor prognostik terjadinya sindrom renjatan dengue
Virulensi virus dengue tergantung pada virion apakah mengandung antigenic
determinant yang kuat yang dapat menghancurkan sel target. Semakin kuat sifat
antigenic determinant suatu epitop virus, semakin mudah terjadi perlekatan
sehingga semakin banyak virus yang melekat pada reseptor membran sel. Hal itu
menyebabkan virus dengue menjadi lebih virulen (Lee dkk., 2009; Martina dkk.,
2009).
Host adalah manusia dan nyamuk yang peka terhadap infeksi virus dengue.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepekaan : a). Usia, merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue. Usia
terbanyak untuk terjadi demam berdarah dengue adalah usia 10 – 14 tahun (37 %),
usia 4 – 9 tahun (36 %) dan usia 15 – 24 tahun 15 % (Nguyen dkk., 2013). Jika
terjadi infeksi sekunder pada anak-anak memiliki risiko 87% untuk menjadi
demam berdarah dengue jika dibandingkan dengan dewasa (Raihan dkk., 2010)
b). Jenis kelamin, dimana pada umumnya anak laki-laki dan perempuan memiliki
perbandingan yang sama untuk terjadinya demam berdarah dengue, dimana risiko
terjadinya demam berdarah dengue pada anak laki-laki dibanding perempuan
adalah 0,96 berbanding 1,0. Pada bayi laki-laki dibanding perempuan mempunyai
risiko demam berdarah dengue 1,29:1, sedangkan risiko infeksi virus dengue
dengan renjatan 1,73:1. Untuk renjatan berat, perdarahan gastrointestinal,
kegagalan respirasi, dan ensefalopati tidak ada perbedaan bermakna menurut jenis
kelamin (Raihan dkk., 2010). c). Status gizi, Pengaruh status gizi terhadap
beratnya infeksi virus dengue masih kontroversial. Pengaruh status gizi terhadap
14
beratnya penyakit berhubungan dengan teori imunologi, yaitu pada gizi baik akan
meningkatkan respon antibodi dan karena ada reaksi antigen antibodi yang
berlebihan menyebabkan infeksi virus dengue lebih berat (Raihan dkk., 2010).
Kondisi malnutrisi mengakibatkan infeksi yang berat dan status gizi lebih
memiliki 2,77 kali kemungkinan untuk menjadi infeksi virus dengue berat
dibandingkan gizi normal (Raihan dkk., 2010). Anak gizi kurang memiliki risiko
tinggi (37,8% ) untuk menjadi renjatan dibanding gizi normal (29,9%) dan
obesitas (30,2%) (Halsted dkk., 2007; Saniathy dkk., 2009). Hubungan antara
infeksi virus dengue dengan atau tanpa renjatan dan sistem histokompatibilitas
atau HLA, HLA-A1, HLA-B blank, HLA-CW1 dan HLA-A29 lebih bermakna
terjadi demam berdarah dengue (Kalayanarooj dkk., 1997). Suatu korelasi yang
positif terjadi antara infeksi virus dengue yang mengalami renjatan dengan HLA-
A2 serta risiko terjadinya sindrom renjatan dengue meningkat oleh infeksi virus
dengue serotipe 2 dibandingkan dengan serotipe lain di daerah Asia Tenggara dan
Amerika (Prommalikit dan Thisyakorn, 2015).
Curah hujan yang tinggi akan menguntungkan nyamuk untuk berkembang
biak ditambah lagi di daerah pedesaan masih banyak tempat untuk berkembang
biak nyamuk misalnya rumpun bambu, lubang di pohon. Di perkotaan dengan
tersedianya bahan sekali pakai tanpa diimbangi dengan perilaku membuang bahan
bekas pada tempat semestinya sehingga kalau terisi air akan menjadi tempat hidup
nyamuk (Lee dkk., 2013).
15
2.2.5 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan untuk skrining penderita yang
mengalami demam dengue adalah melalui pemeriksaan hemoglobin, kadar
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
gambaran limfosit plasma biru (WHO, 2011).
1. Leukosit umumnya normal atau didominasi neutrofil pada awal demam
dan semakin menurun sampai titik rendahnya pada waktu defervescence.
Rasio neutrofil berbanding limfosit (neutrofil < limfosit) menggambarkan
fase kritis dari kebocoran plasma. Kondisi tersebut mengawali
trombositopenia dan peningkatan hematokrit (WHO, 2011).
2. Deteksi asam nukleat RNA virus dengue menggunakan reverse
transcription polymerase chain reaction (RT PCR) melalui metode
ekstraksi asam nukleat, amplifikasi dan deteksi dari produk yang
diamplifikasi. Nested RT-PCR yang mendeteksi genome virus region
C/prM. One-step multiplex RT-PCR identifikasi virus dengue melalui
ukuran dari pita asam nukleatnya. Metode lainnya meliputi Real-time RT-
PCR dan Isothermal amplification method. Hasil positif bila target
amplifikasi terekam sebanyak 40 siklus (Jessie dkk., 2004; Alm dkk.,
2015).
3. Mendeteksi antigen virus seperti antigen NS-1 yang merupakan
glikoprotein yang diproduksi oleh flavivirus. Protein ini disekresikan oleh
mamalia bukan oleh serangga muncul pada hari 1 dan jumlahnya menurun
pada hari 5-6. Metode yang digunakan berupa ELISA atau metode dot blot
16
maupun kit komersial NS-1 yang sudah beredar saat ini. Hasil dinyatakan
positif bila terdeteksinya antigen NS-1 pada satu pemeriksaan (Vasanwala
dkk., 2014).
4. Respon imunologi atau tes serologi, lima pemeriksaan serologi dasar untuk
diagnosis infeksi virus dengue menggunakan haemagglutination-ihibition
(HI), complement fixation (CF), neutralization test (NT), IgM capture
enzim-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA) dan indirek IgG
ELISA, terdapatnya peningkatan titer antibodi sampai dengan 4 kali pada
fase akut dibandingkan pada fase convalescence (WHO., 2011).
1. Immunoglobulin M antibody capture enzyme linked immunosorbent
assay (MAC-ELISA) merupakan pemeriksaan IgM dengue yang
muncul sedikit lebih awal dari IgG dengue yakni setelah hari ke 5
demam, titer antibodi pada infeksi primer lebih tinggi dari infeksi
sekunder.
Gambar 2.1.
Prinsip cara kerja metode MAC-ELISA, sumber : WHO 2011
Gambar diatas menjelaskan mengenai prosedur MAC-ELISA dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap infeksi virus dengue.
Pemeriksaan ini kurang sensitif dibandingkan dengan HI, namun
17
memiliki kelebihan tidak perlu mengambil sampel pasien 2 kali
(WHO., 2011).
2. Immunoglobulin G Enzyme Linked Immunosorbent Assay (IgG-
ELISA). Tes ini dapat membedakan infeksi primer maupun sekunder
namun tidak spesifik karena dapat terjadi reaktivasi silang antara
anggota flavivirus seperti HI tes dan tidak dapat mendeteksi jenis
serotipe dengue. Tes ini harus dikombinasikan untuk diagnosis infeksi
virus dengue. Seperti pada gambar dibawah ini menjelaskan bahwa,
antibodi IgM terdeteksi dalam 3-5 hari setelah gejala awal demam
meningkat dengan cepat selama 2 minggudan menurun sampai tidak
terdeteksi setelah 2-3 bulan. Sedangkan antibodi IgG terdeteksi rendah
pada akhir minggu pertama kemudian semakin meningkat dan menetap
sampai dengan tahunan. Penjelasan mengenai perkiraan waktu
munculnya infeksi virus primer maupun sekunder tersebut dapat
disimpulkan dalam gambar di bawah ini (WHO, 2011).
Gambar 2.2
Perkiraan waktu munculnya infeksi virus dengue primer atau
sekunder, sumber : WHO 2011
18
3. Rapid diagnostic test, merupakan tes untuk mendeteksi secara cepat
antibody IgM dan IgG dengue dalam waktu 15 menit, namun akurasi
dari tes ini masih belum pasti. Teknik pemeriksaan ini dapat
menghasilkan hasil positif palsu karena dapat terjadi reaksi silang
dengan flavivirus lain, parasit malaria, leptospira dan kelainan sistem
imun seperti rheumatoid dan lupus (WHO, 2011).
2.3 Proteinuria
Proteinuria merupakan terdeteksinya protein didalam urin dengan kadar 15-
20 mg/dL (Utsch dan Klaus, 2014). Proteinuria pada anak terjadi dengan
prevalensi 1-10 %. Kondisi ini berkaitan dengan disfungsi tubulus maupun
glomerulus ginjal, bila didapatkan persisten sedimen protein, hematuria,
hipertensi, dan insufisiensi ginjal. Pada anak usia lebih dari 2 tahun kadar protein
pada urin normalnya <20-25 mg protein/mmol kreatinin atau <4 mg/m2/jam.
Proteinuria fisiologis pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun <50
mg/mmol. Bila didapatkan rentang proteinuria >40 mg/m2/jam atau rasio protein
kreatinin 200-250 mg/mmol dapat dicurigai proteinuria mengarah kelainan
nefrotik (Leung dan Wong, 2010).
Proteinuria dikatakan signifikan pada anak berumur lebih dari atau sama
dengan 2 tahun yakni didapatkan perbandingan protein dan kreatinin >0,2 mg/mg
dan bernilai lebih dari 0,5 mg/mg pada anak yang berusia 6 bulan sampai dengan
2 tahun. Dari pemeriksaan albumin berbanding kreatinin urin didapatkan >30
mg/mg pada urin pagi. Proteinuria tipe nefrotik yakni lebih dari 1 gram per
m2/hari atau perbandingan protein berbanding kreatinin urin lebih dari 2 dan
19
biasanya terdapat edema, hipoalbumin <25 gram/ L. Pada proteinuria tipe nefrotik
ini penatalaksanaan cairan lebih hati-hati karena dapat menimbulkan overload
cairan, sedangkan pada proteinuria transien akan terjadi perbaikan seiring
hilangnya efek etiologi (Hogg dkk., 2003).
Tabel 2.2
Perbandingan nilai normal proteinuria melalui beberapa metode pemeriksaan
Kondisi
Proteinuria
Pemeriksaan urin 24
jam
Perbandingan protein
dan kreatinin urin
Perbandingan
albumin dan kreatinin
urin
Fisiologis <4 gram/m2 BSA/jam
(< 100mg/m2
BSA/hari)
< 0.2 mg/mg (anak
usia 2 tahun atau
lebih) dan < 0,5
mg/mg) (usia 6 bulan-
2 tahun)
< 30 mg/gram
Proteinuria >4 mg/m2 BSA/jam
(>100
mg/m2BSA/hari)
>0,2 mg/mg anak usia
2 tahun atau lebih,
>0,5 mg/mg anak usia
6 bulan sampai
dengan 2 tahun
30-299 mg/gram
mikroalbuminuria
Proteinuria
berat
>40 mg/m2 BSA/jam
(>1 gram/m2
BSA/hari)
>2 mg/mg >300 mg/gram,
mikroalbuminuria
BSA : Body Surface Area, Dikutip dari : (Utsch dan Klaus, 2014)
2.3.1 Etiologi dan faktor yang memperberat proteinuria
Proteinuria diklasifikasikan menjadi proteinuria transien, proteinuria
ortostatik, dan proteinuria persisten. Proteinuria transien merupakan terdeteksinya
protein dalam urin secara temporer dan menghilang bila faktor pencetusnya
membaik. Hal ini terjadi pada kondisi demam, hipertermi, aktivitas fisik, stres
emosional, gagal jantung kongestif, kejang, hipertiroidism. Faktor-faktor tersebut
diatas menimbulkan proteinuria karena menimbulkan perubahan hemodinamik
pada aliran darah glomerulus (Leung dan Wong dkk, 2010).
20
Proteinuria ortostatik merupakan kondisi proteinuria pada saat anak berdiri
paling tidak 4-6 jam dan didapatkan hasil dipstik positif atau rasio protein
berbanding kreatinin urin lebih dari 0,2. Penyebab dari kondisi ini belum banyak
diketahui namun dicurigai penekanan vena renalis kanan secara anatomi sebagai
salah satu penyebab kondisi ini (Leung dan Wong, 2010). Informasi tersebut
dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini.
Tabel 2.3
Etiologi dan klasifikasi proteinuria
Klasifikasi
proteinuria
Etiologi
Transient/proteinuria
fungsional
Idiopatik
Proteinuria ortostatik Terkait kondisi medis (demam, kejang, dll)
Tidak terkait kondisi medis (latihan, stress, dehidrasi, paparan
dingin)
Proteinuria persisten Glomerular (hiperfiltrasi karena kehilangan nefron: refluks
nefropati)
Sindrom Alport
Penyakit kolagen/vascular : Henoch Schonlein Purpura, Sistemik
Lupus Eritematosus
Diabetes mellitus
Glomerulopati : minimal change glomerulopati, focal segmental
glomerulosklerosis, mesangial proliferative glomerulonefritis
,sindrom nefrotik congenital, nefropati immunoglobulin A,
membranoproliferatif glomerulonefritis
Infeksi : infeksi Streptokokus Beta-hemolitik grup A, infeksi
virus : hepatitis B, hepatitis C, Human Immunodeficiency Virus,
infeksi mononucleosis, malaria, sifilis, dll
Keganasan : Limfoma, tumor padat, Toksin : merkuri
Tubulointersitial Tubuler nekrosis akut : aminoglikosida, cisplatin, amfoterisin B,
NSAIDs, radiokontras
Nefritis Tubulointerstitial Akut : NSAIDs, penicillin,
chepalosporin, quinolon, sulfonamide, cimetidin, allopurinol
Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus renal proksimal : sindrom fanconi, cistinosis,
sindrom lowe, galaktosemia, penyakit Wilson
Pyelonefritis
Toksin (logam, tembaga, merkuri)
Dikutip dari : (Leung dan Wong, 2010)
21
Proteinuria persisten atau yang dapat disebut sebagai proteinuria glomerular
bila terjadi proteinuria < 3,5 gram/24 jam dan secara terus menerus. Kondisi ini
dapat terjadi akibat kelainan glomerulus maupun tubulus. Kelainan pada
glomerulus lebih umum menjadi penyebab daripada kelainan pada tubulus yang
ditandai dengan terdeteksinya albumin dan immunoglobulin G di urin. Tipe
glomerulus dapat bersifat nefrotik maupun nefritik. Tipe tubulus bila pada urin
terdeteksi protein dengan berat molekul yang rendah (Carmody, 2011).
Proteinuria yang positif palsu dapat terjadi pada pH urin lebih dari 8, urin
yang lebih pekat (berat jenis urin >1030), hematuria massif, pyuria, bakteriuria,
teknik pemeriksaan yang salah, terdapat kandungan quaternary ammonium dan
phenozopyridinedalam urin. Hasil negatif palsu didapatkan pada urin asam dengan
pH urin kurang dari 4,5 dan berat jenis kurang dari 1.010 (Leung dan Wong,
2010).
Kadar proteinuria juga dapat dipengaruhi konsentrasi kreatinin urin tinggi
seperti pada pasien dengan massa otot yang besar (kadar >2,5 gram/L) atau lebih
rendah <0,2 gram/L pada pasien yang mengalami distrofi otot. Kadar proteinuria
jumlahnya bervariasi tergantung usia dan jenis kelamin. Pemeriksaan urin selama
24 jam diperlukan untuk mengantisipasi pengaruh dari fluktuasi sirkadian dan
perubahan posisi tubuh selama 24 jam dapat dihilangkan (Utsch dan Klaus, 2014).
22
2.3.2 Mekanisme terjadinya proteinuria
Glomerulus memiliki 3 lapisan yakni endothelium, membran basal dan sel
podosit yang selektif terhadap ukuran molekul dan muatan molekul. Molekul
yang bermuatan negatif sulit melewati glomerulus karena terdapat lapisan
sialoprotein dan proteoglikan pada endotel yang bermuatan negatif. Molekul yang
berukuran lebih dari 100 kDa sulit difiltrasi oleh glomerus (seperti protein,
immunoglobulin G dan M). Molekul yang bermuatan kurang dari 40 kDa seperti
transferin, mikroglobulin dan albumin ukuran intermediet dapat bebas melewati
glomerulus. Semua molekul protein yang difiltrasi glomerulus hampir 96 %
kembali diserap pada proksimal tubulus melalui endositosis (Tien dkk., 2013;
Utsch dan Klaus, 2014).
Lapisan endotel glomerulus memiliki lapisan permukaan yang dinamakan
glikokaliks yang berfungsi mencegah kebocoran protein (Dalrymple dan Mackow,
2011). Lapisan ini juga banyak mengandung vascular endothelial growth factor
(VEGF) yang dihasilkan oleh sel podosit pada lapisan visceral (Bates dkk., 2002).
VEGF sendiri merupakan protein penghubung pada lapisan ini (Toblii dkk.,
2012).
Lapisan basal membran glomerulus (BMG) banyak mengandung kolagen tipe
4 yang dihasilkan oleh sel endotel. Selain itu BMG mengandung protein laminin,
nidogen, proteoglikan sulfat, perlecan, agrin. Inti dari proteoglikan berikatan
dengan rantai Glikosaminoglikan (GAG) yang mengandung heparin sulfat pada
rantai cabangnya. Heparan sulfat ini berfungsi menghambat molekul bermuatan
negatif lolos ke urin (Toblii dkk., 2012).
23
Pada lapisan sel visceral terdapat sel podosit yang merupakan sel terbesar
pada membran glomerulus. Podosit diselimuti oleh glikokaliks yang memiliki
muatan negatif. Terdapat penghubung antara sel podosif yang disebut dengan slit
diafragma. Perubahan tahanan penghubung ini terjadi karena paparan
makromolekul atau albumin yang bocor menimbulkan proses glikasi dan nitrasi
yang mengubah struktur dari slit diafragma. Hal ini menyebabkan parahnya
proteinuria disamping dari peranan Angiotensin II mengaktifkan transient
receptor potential cation (TRPC6) yang merusak synaptopodyn pada slit
diafragma. Podosit dikatakan mampu meningkatkan ekspresi reseptor angiotensin
I dan dapat menghasilkan hormon angiotensin II (Tojo dan Kinugasa., 2012 dan
Toblii dkk., 2012).
Gambar 2.3
Lapisan dari membran glomerulus, sumber : (Garsen dkk., 2013)
Terdapat 4 mekanisme terjadinya proteinuria, yakni tipe glomerular terjadi
karena rusaknya integritas filtrasi glomerulus dan terjadi penurunan fungsi nefron.
24
Tipe tubular terjadi karena kegagalan penyerapan protein pada tubulus proksimal
sehingga ekskresi protein meningkat. Tipe sekretori terjadi oversekresi dari
protein pada tubulus karena konsentrasi protein dengan berat molekul rendah di
plasma melebihi kapasitas tubulus untuk absorbsi dan filtrasi protein. Bila
kapasitas protein berat molekul rendah melebihi kapasitas penyerapan tubulus
seperti pada hemoglobinuria pada hemolisis intravaskular disebut proteinuria tipe
overflow (Leung dan Wong, 2010). Peningkatan sekresi kreatinin menyebabkan
rasio protein kreatinin menjadi lebih rendah (Leung dan Wong, 2010).
Karakteristik yang digunakan untuk membedakan asal dari proteinuria dapat
disimpulkan dalam tabel 2.3 dibawah ini :
Tabel 2.4
Karakteristik kelainan yang bersumber dari glomerulus maupun non glomerulus
Dikutip dari : (Utsch dan Klaus, 2014)
Pada infeksi virus dengue terjadi perubahan fungsi filtrasi dari glycocalyx
yang merupakan bagian dari lapisan endotelial yang merupakan matrix
proteoglikan pada lapisan lumen pembuluh darah yang menghubungkan membran
plasma dengan sel endotel. Lapisan Glycocalyx ini membentuk pertahanan
elektrostatik yang menahan protein bermuatan negatif masuk ke dalam lumen
(Singh dkk., 2007). Pada kondisi hipoalbuminemia dan proteinuria terjadi
kerusakan pada lapisan ini oleh karena virus dengue sendiri atau salah satu
protein struktural dari virus dengue tersebut berlekatan dengan bagian dari
Parameter urin Non glomerular Glomerular
Morfologi eritrosit Normal/eumorfik Dismorfik
Silinder eritrosit Tidak ada Banyak
Proteinuria <500 mg/hari
<300 mg/m2
>500 mg/hari
>300 mg/m2/hari
Warna Merah cerah Coklat gelap
Clot darah Bisa ada Tidak ada
25
glycocalyx yakni heparan sulfat dan langsung merusak serat matriks (Halstead,
2007).
Respon dari tubulointerstitium terhadap kebocoran protein melalui
glomerulus dapat terjadi melalui mekanisme 1. Obstruksi dari penampungan urin,
2. Terjadi proteinuria karena overload dalam tubulus proksimal, 3. Hipoksia
kronis, 4. Inflamasi yang mencetuskan feedback glomerulotubular (Rademacher
dan Sinaoko, 2009; Tojo dan Kinugasa, 2012).
Albumin yang terfiltrasi berikatan dengan megallin cubilin complex pada sel
tubulus proksimal. Albumin tersebut mengalami proses internalisasi, degradasi
dan dikeluarkan kembali ke dalam darah dalam bentuk asam amino. Substrat
seperti vitamin akan digunakan kembali. Pada kondisi cedera dari glomerulus,
filtrasi dari protein dengan berat molekul rendah meningkat dan protein berat
molekul besar dapat ikut bocor. Sel pada tubulus proksimal terpapar lebih banyak
dan protein baru sehingga terjadi overload reseptor disana dan muncul
proteinuria.
Kondisi ini diperberat kegagalan fungsi lisosom dalam degradasi protein
sehingga menimbulkan sumbatan protein pada lisosom. Proteinuria yang terjadi
akibat kegagalan fungsi tubulus merupakan protein berat molekul yang rendah
dan tidak terdeteksi pada pemeriksaan dipstick urin (Ohlson dkk., 2001; Utsch
dan Klaus, 2014).
Beberapa protein spesifik menstimulasi produksi sitokin, kemoatraktan, dan
matriks protein seperti major histocompatibility complex, intercellular adhesion
molecule I, monocyte chemotactic protein-1, tumor necrosis factor-alpha,
26
fibroblast growth factor, transforming growth factor beta I, platelet derived
growth factor, endothelin, RANTES oleh sel epitel tubulus yang menimbulkan
inflamasi interstitial dan scarring. Proses kerusakan tubulointerstitial akibat
kerusakan glomerulus dapat dilhat dalam gambar 2.4 di bawah.
Gambar 2.4
Kerusakan tubulointerstitium oleh gangguan glomerulus (Sumber Toblii dkk.,
2012)
2.3.3 Pemeriksaan penunjang proteinuria
Pemeriksaan proteinuria secara kualitatif dikerjakan dengan dipstik
menggunakan metode kalorimetri tetrabromophenol biru. Metode ini mendeteksi
perubahan warna yang terkait dengan kandungan protein dalam urin, tidak
bernilai dengan kandungan proteinuria 10 mg/dL, bernilai +1 bila kandungan
proteinuria 30 mg/dL, +2 kandungan 100 mg/dL, +3 bila kandungan 300 mg/dL,
27
+4 bila kandungan lebih atau sama dengan 1000 mg/dL (Leung dan Wong.,
2010). Pemeriksaan ini untuk mendeteksi albumin dalam urin, namun tidak
sensitif untuk protein yang lain. Pemeriksaan urin dipstik memiliki sensitivitas
sebesar 70% dan spesifisitas sebesar 68%. Predictive positive value dipstick +3-4
untuk prediksi proteinuria >1 gram/m2/hari yakni 89%, dan negative predictive
value dipstick 0 untuk memprediksi kandungan proteinuria <0,1gram/m2/hari
yakni 60% (Hogg, 2003).
Metode pemeriksaan urin qualitatif yang lain menggunakan metode asam
sulfosalisilat atau turbidimetri dan mendeteksi semua jenis protein dalam urin.
Pemeriksaan ini digunakan bila dicurigai terdapat protein dengan berat molekul
rendah dalam urin dengan jumlahnya dinyatakan dalam nilai 0-4 (Utsch dan
Klaus, 2014).
Pengukuran protein secara kuantitatif dengan mencari perbandingan protein
dengan kreatinin urin sewaktu, jumlah total protein didapatkan setelah dikali 0,63
(Leung dan Wong., 2010). Pada penelitian ini metode pemeriksaan protein dalam
urin menggunakan metode kuantitatif urin sewaktu dengan membandingkan kadar
proteinuria sewaktu dibandingkan dengan kadar kreatinin dalam urin. Hasil
pemeriksaan proteinuria dikelompokkan menjadi proteinuria yang signifkan bila
didapatkan rasio > 0,5 mg/mg pada rentang umur 6 bulan – 2 tahun dan > 0,2
mg/mg pada umur > 2 tahun. Tidak terdapat proteinuria bila kadar proteinuria <
0,5 mg/mg pada rentang umur 6 bulan – 2 tahun dan < 0,2 mg/mg pada usia > 2
tahun. Pemeriksaan protein dan kreatinin urin sewaktu dilakukan di laboratorium
28
Prodia Denpasar dengan menggunakan alat advia 1800 dengan metode kalorimetri
(Siemens healthcare diagnostics., 2011).
2.4 Mekanisme Terjadinya Proteinuria pada Sindrom Renjatan Dengue
Pada anak-anak dengan sindrom renjatan dengue konsentrasi protein dalam
ukuran yang berbeda jumlahnya menurun pada plasma, penurunan ini berkaitan
dengan derajat keparahan dari sindrom renjatan dengue tersebut (Wills, 2004).
Protein yang berukuran lebih kecil (MW 59.000-79.000 Da) lebih terpengaruh
dibandingkan dengan molekul protein yang lebih besar (MW 150.000 Da).
Perubahan dari glycocalyx pada lapisan endotel merupakan penyebab dari
kebocoran protein ini, termasuk kebocoran protein albumin yang biasanya susah
keluar lumen vaskuler karena muatannya yang negatif dan juga protein transferrin
yang kuat berikatan satu sama lainnya. Pengenalan kebocoran protein melalui urin
memberikan gambaran tentang fungsi sistem kapiler. Awal munculnya maupun
tingkat keparahan dari kebocoran protein urin dapat merupakan sebagai prediktor
perkembangan Demam Berdarah Dengue maupun sindrom renjatan dengue.
Pengetahuan mengenai karakteristik molekul protein yang bocor memberikan
informasi tentang pemilihan terapi cairan untuk penangan renjatan pada pasien
sindrom renjatan dengue (Wills dkk., 2004).
Proteinuria yang terjadi lebih tinggi pada sindrom renjatan dengue 27 %
dibandingkan pada infeksi virus dengue 15%. Proteinuria yang terjadi karena
cedera ginjal dimana jejas dari glomerulus terjadi oleh karena proses deposisi
kompleks imun antigen dengue (Lumpaopong dkk., 2010). Pada pasien DBD
terjadi proliferasi ringan sel mesangial, terjadi deposisi dari IgG, IgM, komplemen
29
C3 dan penebalan basal membran oleh deposisi partikel speris, cedera ginjal ini
selain dapat disebabkan oleh deposisi kompleks imun dapat dipredisposisi oleh
keadaan hemolisis dan rhabdomyolisis yang menimbulkan proteinuria (Hilgaard
dan Stockert, 2000; Lumpaopong dkk., 2010).
Mekanisme lain yang dapat menjelaskan proteinuria pada kasus demam
berdarah dengue disertai renjatan karena kondisi hipotensi atau renjatan
menyebabkan aktifnya renin angiotensin aldosterone, mekanisme untuk
meningkatkan tekanan darah. Angiotensin II yang banyak terbentuk ini dapat
meningkatkan ekspresi gen TRPC 6 yang merupakan protein pada slit diafragma
antar podosit untuk mempertahankan barier filtrasi glomerulus dan menyebabkan
influx kalsium yang mengaktifkan substrat nuclear faktor activated T cell
sehingga meningkatkan ekspresi calcineurin yang dapat mendegradasi atau
defosforilasi actin binding protein synaptopodin pada lapisan podosit slit
diafragma (Avirutnan dkk., 2007; Nijenhuis dkk., 2011).
Gambar 2.5
Mekanisme pengaktifan TRPC 6 oleh angiotensin II (sumber : Nijenhuis dkk.,
2011)
30
Makin banyak jumlah sel yang terinfeksi menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein fase akut, sitokin, dan kemokin, pembentukan kompleks imun
dan penggunaan komplemen dan menghasilkan produk sisa. Proses ini lebih
sering terjadi pada waktu defervescence dikaitkan karena viremia lebih banyak
masih terjadi pada pasien demam berdarah dengue dan mekanisme pembersihan
berlangsung lama (Wang dkk., 2002). Sel T limfosit memori yang mengenali
perubahan ligan peptida muncul akibat aktivasi, proliferasi, dan sekresi sitokin
pada jaringan ini. Interaksi yang terjadi antara protein nonstruktural 1 (NS-1) dan
permukaan lapisan glikokaliks menyebabkan lepasnya lapisan heparan sulfat ke
sirkulasi, sehingga mengubah lapisan penyaringan dan menyebabkan kebocoran
protein. Hilangnya protein koagulasi ini menimbulkan proses koagulopati yang
bermanifestasi dengan peningkatan waktu parsial tromboplastin dan penurunan
fibrinogen serta hilangnya heparan sulfat sebagai antikoagulan menimbulkan
proses koagulopati (Simmons dkk., 2012).
Menurut Vasanwala, 2011 menyebutkan pasien infeksi virus dengue tanpa
komplikasi tidak memiliki gejala proteinuria, sedangkan 96 % pasien yang
terdiagnosis sindrom renjatan dengue memiliki gejala proteinuria, dimana jumlah
ekskresi maksimalnya terjadi pada saat mendekati fase defervescence yang
berkaitan dengan jumlah trombosit terendah dan demam yang mulai turun.
Semakin berat keadaan trombositopenia maka akan terjadi proteinuria yang
semakin berat dan berkaitan dengan derajat keparahan infeksi virus dengue. Hasil
biopsi ginjal pada pasien DBD menunjukkan adanya IgA nefropati yang
kemungkinan menggambarkan penyakit kompleks imun dimana terjadi deposisi
31
kompleks antigen dan antibodi pada jaringan glomerulus ginjal dan ada pula yang
menyebutkan bahwa proteinuria terjadi oleh karena infeksi virus dengue yang
mencetuskan terjadinya glomerulonefritis sekunder (Chen dkk., 1997; Avirutnan
dkk., 2007). Adanya kompleks imun dalam darah mengindikasikan terjadinya
deposit kompleks imun tersebut pada pembuluh darah yang nantinya akan
menyebabkan terjadinya vaskulitis dan glomerulonefritis yang menyebabkan
munculnya gejala proteinuria (Lizarraga dan Nayer., 2014). Jumlah proteinuria
yang paling besar merupakan mekanisme dari virus yang merangsang sistem
limpho-retikular menyebabkan glomerulonefritis yakni kebocoran protein pada
membran glomerulus (Vasanwala dkk., 2011).
Kondisi sepsis atau infeksi sekunder yang dapat menyertai renjatan pada
demam berdarah dengue dapat menyebabkan tubuler proteinuria pada tikus
percobaan berkaitan dengan penurunan protein non Glikosaminoglikan yakni
hyaluronan dan asam sialic pada sel tubulus. Protein tersebut memiliki fungsi
sama dengan Gikosaminoglikan protein heparan sulfat yang menjaga pertahanan
filtrasi glomerulus, normalnya manusia memiliki perbandingan 1 : 4 hyaluronan
berbanding heparan sulfat (Koomans dkk., 1986; Hilgard dan Stockert, 2000;
Adembri dkk., 2011).
Proteinuria dapat disebabkan oleh kadar glukosa yang tinggi. Kadar glukosa
darah yang tinggi dapat merubah biosintesa dari protein glikosaminoglikan
heparan sulfat, dan terjadi peningkatan ROS, aldosteron dan angiotensin 2
sehingga meningkatkan ekspresi heparanase oleh podosit dan sel endotel
32
glomerular yang meningkatkan degradasi heparan sulfat (Germi dkk., 2002;
Garsen dkk., 2013).
2.5 Mekanisme Proteinuria Menimbulkan Gagal Ginjal Akut
Proteinuria dapat memperberat kerusakan ginjal dan mempercepat terjadinya
gagal ginjal terminal. Beban protein plasma pada sel di tubulus proksimal
(albumin, immunoglobulin dan transferrin) merangsang pembentukan endothelin-
1 yang merupakan vasokonstriktor yang dapat menarik monosit, dan berperan
dalam pembentukan produksi matriks ekstrasel. Albumin meningkatkan ekspresi
monocyte chemoatractant protein-1 (MCP-1) dan RANTES pada sel tubulus
proksimal dan meningkatkan produksi IL-8 yang memiliki efek kemotaksis
terhadap limfosit dan neutrofil. Beban protein yang berlebih di tubulus proksimal
meningkatkan produksi dari oksidan reactive oxygen species (ROS) dan memicu
aktivasi NF-kB. Kandungan yang berikatan dengan albumin seperti asam lemak
bebas merupakan penyebab dari jejas sel tubulus proksimal dan aktivasi sel
proinflamasi. Arici dkk., (2002) menemukan asam lemak oleic dan linoleic yang
memiliki toksisitas dan efek profibrogenik paling tinggi.
Aktivasi komplemen intrrenal terjadi akibat cedera pada tubulointerstitial
ginjal. Sel tubulus proksimal mengaktifkan komplemen C3 dan C5b-9 melalui
jalur alternatif, aktivasi ini mengakibatkan perubahan citoskeletal, produksi
oksidan (hydrogen peroxide), dan sitokin (IL-6 dan TNF-α). Pemberian
angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor mencegah beban berlebihan dari
protein dan aktivasi komplemen C3 sehingga mengurangi mekanisme injury
(Abbate dkk., 2006). Hal tersebut disimpulkan pada gambar 2.6 di bawah ini.
33
Sel tubulus juga mengaktifkan makrofag yang memiliki efek fibrosis
interstitial melalui peningkatan pelepasan faktor pertumbuhan seperti TGF-β dan
PDGF, ET 1, dan PAI-1. TGF-β menstimulasi perubahan dari interstitial sel
menjadi myofibroblas dan interstitial fibroblast meiliki efek paracrine
mengeluarkan TGF-β. Penggunaan angiotensin converting enzyme (ACE)
inhibitor mengurangi beban protein dan ekspresi TGF-β sehingga menghambat
pembentukan myofibroblast. Albumin yang lolos dari filtrasi glomerulus
menyebabkan apoptosis menurut dosis dan durasi dari paparan. Paparan albumin
yang terikat asam lemak dengan berat molekul 100-440 kD berperanan dalam
apoptosis karena meningkatkan ekspresi Fas dan ligan Fas melalu jalur Fass-
FADD-caspase 8 dan aktivasi peroksisom proliferator reseptor gamma (Abbate
dkk., 2006).
Gambar 2.6
Mekanisme peradangan dan jalur fibrogenik pada sel tubulus proksimal akibat
beban protein berlebihan (Abbate dkk., 2006)
34
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Proteinuria pada infeksi virus dengue dapat terjadi melalui kondisi renjatan
maupun kondisi nonrenjatan. Proteinuria pada kondisi renjatan terjadi oleh karena
tekanan darah yang turun pada kondisi renjatan merangsang peningkatan reseptor
1 angiotensin (ATR 1) yang menyebabkan peningkatan angiotensin II.
Angiotensin II menyebabkan influx kalsium meningkat yang mengaktifkan TRPC
6. Transient Receptor Potential Channel C6 mengaktifkan calcineurin yang
berfungsi pada proses defosforilasi synaptopodyn yang pada akhirnya
menimbulkan kerusakan visceral sel epitel (podosit).
Kondisi infeksi virus dengue yang tidak disertai dengan renjatan dapat
menimbuklan proteinuria karena kerusakan dari lapisan endotel karena aktivitas
heparanase yang merangsang pelepasan heparan sulfat oleh infeksi antigen NS-1
pada lapisan glikokaliks. Kondisi glomerulonefritis sekunder dapat terjadi oleh
karena pembentukan kompleks antigen antibodi pada ginjal. Proteinuria yang
terjadi akibat kerusakan dari glomerulus tersebut menimbulkan kerusakan dari
tubulointerstitium karena jumlah reseptor megallin complex pada tubulus menjadi
jenuh akibat protein yang banyak dalam tubulus. Oleh karena proses tersebut,
molekul protein berat rendah gagal diserap kembali di tubulus memperberat
terjadinya proteinuria.
34
35
Kondisi sepsis maupun infeksi sekunder menyebabkan kerusakan dari lapisan
glikokaliks pada tubulus proksimal sehingga menimbulkan gangguan reabsorbsi
kembali protein sehingga menimbulkan proteinuria.
Hiperglikemi menyebabkan kerusakan lapisan glikokaliks pada tubulus
proksimal. Kondisi ini juga menyebabkan perubahan sintesis glikosaminoglikan
yang merupakan matriks lapisaan endothelium selain menyebabkan peningkatan
produksi ROS (Reactive Oxygen Species), aldosteron, dan angiotensin II.
Akumulasi proses tersebut menyebabkan heparan sulfat sebagai bagian matriks
endotel mengalami kerusakan sehingga filtrasi protein terganggu dan bocornya
protein ke urin.
Gangguan proses filtrasi protein di glomerulus dan ditambah gangguan
absorbsi di tubulointerstitium menyebabkan terjadinya kondisi proteinuria.
Kondisi proteinuria dengan berat molekul besar dan durasi yang lama dapat
meningkatkan aktivasi monocyte chemoatractant protein-1 (MCP-1) dan
RANTES pada sel tubulus proksimal dan meningkatkan produksi IL-8 yang
memiliki efek kemotaksis terhadap limfosit dan neutrofil.Kebocoran protein pada
sel tubulus dapat meningkatkan ekspresi TGF-β dan PDGF, ET 1, dan PAI-1.
TGF-β menstimulasi perubahan dari interstitial sel menjadi myofibroblas yang
meningkatkan risiko terjadinya kerusakan ginjal tahap lanjut.
Hematuria dapat menyebabkan terdeteksinya protein di dalam urin karena
pemecahan heme dan globin pada sel darah merah. Tingkat keasaman urin yang
>8 dapat menimbulkan kesan proteinuria. Analisis urin dengan didapatkan
36
peningkatan berat jenis urin dapat memberikan gamabaran proteinuria yang
positif palsu. Anak dengan massa otot yang lebih besar melalui gambaran status
gizi dan luas permukaan tubuh dapat mempengaruhi kadar kreatinin dan
memberikan gambaran ekskresi protein urin yang lebih besar. Kelainan otot yang
menyebabkan pemecahan protein seperti rhabdomyolisis memberikan gambaran
protein akibat pemecahan protein dari otot. Kerusakan glomerulus akibat
timbunan immunoglobulin A dapat menimbulkan kondisi proteinuria melalui
mekanisme proteinuria glomerular dan demikian halnya oleh karena
glomerulonefritis sekunder seperti halnya akibat infeksi yang dapat mencederai
glomerulus.
37
PROTEINURIA GLOMERULAR
PROTEINURIA TUBULUS
Infeksi virus dengue
tanpa renjatan
Tekanan darah yang turun
Peningkatan reseptor I
angiotensin (ATR I)
Influx kalsium
Mengaktifkan Transient
Receptor Potential
Channel C6
Defosforilasi synaptopodyn
kerusakan sel epitel/podosit
Sepsis/infeksi
sekunder
Kerusakan
glikokaliks
Proteinuria tipe nefrotik/berat
Hiperglikemia
Perubahan sistesis
glikosaminoglikan
Peningkatan ROS,
Aldosteron dan
Angiotensin II
Kerusakan heparan
sulfat
Infeksi langsung
antigen NS 1
Merangsang
heparanase
pelepasan heparin
sulfat
Rusaknya lapisan
glikokaliks
HIPOALBUMIN
Aktivasi monosit
kemoatraktan protein
1, RANTES, IL 8
Meningkatkan ekspresi
TGF-B, PDGF, ET-1,
PAI-1
Perubahan sel
interstitial menjadi
myofibroblas
GLOMERULONEFRI
TIS SEKUNDER
Gambar 3.1
Kerangka berpikir
Peningkatan
permeabilitas vaskular Infeksi virus dengue
dengan renjatan
38
3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel kendali yang dikontrol dengan analisis
Variabel kendali yang dikontrol dengan desain
Gambar 3.2
Kerangka konsep penelitian
Infeksi virus dengue
(dengan atau tanpa
renjatan)
(variabel bebas)
Ekskresi protein urin
(variabel tergantung)
Luas permukaan tubuh
Kadar gula darah serum
Satus gizi
Kadar albumin serum
(Variabel kendali)
Hematuria
Gambaran pH urin
Berat jenis Urin
Rhabdomyolisis
IgA nefropati
Glomerulonefritis sekunder
(Variabel kendali)
39
3. 3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Ekskresi protein urin pada anak yang terinfeksi virus dengue dengan
renjatan lebih tinggi dibandingkan tanpa renjatan.
2. Proteinuria tipe nefrotik pada anak yang terinfeksi virus dengue dengan
renjatan lebih tinggi dibandingkan tanpa renjatan.
39
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Desain penelitian adalah cross sectional, dimana penentuan pasien dengan
sindrom renjatan dengue maupun pasien yang tidak mengalami renjatan
bersamaan dengan pengambilan sampel urin sewaktu. Pengambilan sampel urin
satu waktu bersamaan dilakukan dengan pemeriksaan serologi dengue. Berikut
merupakan skema dasar penelitian :
Gambar 4.1
Skema dasar penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di rumah sakit umum pusat Sanglah Denpasar pada anak
di triage anak, bangsal anak (ruang cempaka III, unit perawatan intensif anak
(UPIA), dan ruang Intermediate. Pemeriksaan sampel protein dan kreatinin urin
dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar. Pemeriksaan sampel darah untuk
Demam berdarah
dengue
Demam berdarah
dengue dengan
renjatan
Demam berdarah
dengue tanpa
renjatan
Ekskresi protein urin (+)
Ekskresi protein urin (+)
Ekskresi protein urin (-)
Ekskresi protein urin (-)
40
41
glukosa dan albumin serum dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUP
Sanglah Denpasar. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan dari bulan April
sampai September 2016.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi penelitian
4.3.1.1 Populasi target
Populasi target pada penelitin ini adalah seluruh pasien anak-anak usia 6
bulan sampai dengan 12 tahun yang terinfeksi virus dengue dengan atau tanpa
renjatan.
4.3.1.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah seluruh pasien anak-anak dari usia 6 bulan sampai
dengan 12 tahun yang terinfeksi virus dengue dengan atau tanpa renjatan dirawat
di bangsal anak RSUP Sanglah Denpasar selama periode penelitian.
4.3.1.3 Sampel (Intended Sample)
Sampel dipilih dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Subyek yang benar-benar diteliti (actual study subject) adalah sampel
yang benar-benar bersedia ikut dalam penelitian.
4.3.2 Penentuan sampel
a). Kriteria Inklusi :
1) Anak usia 6 bulan sampai dengan 12 tahun yang dirawat di RSUP
Sanglah dengan diagnosis demam dengue, demam berdarah dengue dan
sindrom renjatan dengue berdasarkan kriteria WHO 2011.
42
b). Kriteria Eksklusi :
1) Diketahui memiliki riwayat penyakit ginjal sebelumnya atau penyakit lain
yang dapat menyebabkan proteinuria melalui anamnesis, seperti IgA
nefropati, glomerulonefritis sekunder, kondisi yang menyebabkan
hematuria, berat jenis urin meningkat, kondisi pH urin meningkat >8, serta
kondisi yang menyebabkan terjadinya rhabdomyolisis.
2) Pasien yang memiliki status gizi buruk.
4.3.3 Besar Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah anak yang dirawat di RSUP Sanglah dengan
kecurigaan infeksi virus dengue yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Cara pengambilan sampel adalah dengan cara consequtive sampling. Perhitungan
besar sampel bertujuan untuk mengetahui besar sampel minimal penelitian. Pada
penelitian ini dilakukan analisis skala variabel kontinyu. Oleh karena hal tersebut
dipergunakan rumus perhitungan besar sampel penelitian, yakni:
Perhitungan uji hipotesis 2 rerata independen dengan variabel numerik tidak
berpasangan digunakan rumus sebagai berikut:
n1=n2=2{(𝑍𝛼+𝑍𝛽)𝑆
𝑋1−𝑋2}2
n = jumlah sampel
X1 = nilai rerata pada kasus
X2 = nilai rerata pada kontrol
Zα = nilai sudah ditetapkan 1,96
Zβ = nilai sudah ditetapkan 0,84
S = simpang baku
43
Pada penelitian-penelitian sebelumnya tidak didapatkan kepustakaan tentang
simpang baku gabungan rasio protein berbanding dengan kreatinin urin, oleh
sebab itu peneliti mengadakan penelitian pendahuluan untuk mencari simpang
baku rasio protein berbanding kreatinin urin sehingga besar sampel untuk
penelitian ini didapatkan.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, didapatkan kadar rerata rasio
protein berbanding kreatinin urin pada pasien infeksi virus dengue dengan atau
tanpa renjatan, serta standar deviasi seperti tercantum pada Lampiran 1. Pada
penelitian ini, nilai X1= rerata rasio protein berbanding kreatinin urin pada pasien
infeksi virus dengue dengan disertai renjatan 0,5570, sedangkan nilai X2= rerata
rasio protein berbanding kreatinin urin pada pasien infeksi virus dengue tanpa
disertai renjatan 0,3657. Beda rerata adalah X1-X2 = 0,194; standar deviasi atau
S=0,36.
n1=n2=2{(1,96+0,84)0,36
0,194}2
Dari perhitungan rumus tersebut di atas didapatkan jumlah sampel 54 subyek
penelitian untuk setiap kelompok. Jumlah sampel total yang diperlukan adalah
108 sampel.
4.4 Variabel dan Batasan Operasional Variabel
4.4.1 Variabel penelitian
Variabel bebas : infeksi virus dengue dengan disertai sindrom renjatan dengue,
Infeksi virus dengue tanpa disertai renjatan (data nominal).
Variabel tergantung : ekskresi protein urin (data numerik).
44
Variabel kendali : luas permukaan tubuh, kadar serum albumin, kadar gula
darah serum, status gizi
4.4.2 Batasan operasional variabel
1. Infeksi virus dengue dengan disertai renjatan adalah kondisi demam
berdarah dengue grade III dan grade IV dimana terjadi tanda kegagalan
sirkulasi seperti nadi lemah, tekanan nadi menyempit < 20 mmHg,
hipotensi dan lemah, maupun telah terjadi profound renjatan dimana
tekanan darah dan nadi tidak dapat diukur (grade IV) (WHO, 2011) (skala
pengukuran kategorik nominal).
2. Infeksi virus dengue tanpa disertai renjatan adalah infeksi virus dengue
yang ditandai oleh 2 gejala (demam mendadadak 2-7 hari, hepatomegali,
tanda perdarahan spontan atau provokasi, tanda gagal sirkulasi) dan gejala
laboratorium trombositopenia (<150.000/µL). Demam berdarah dengue
derajat 1 adalah demam 2-7 hari dengan rumple leed test positif dan
demam berdarah dengue derajat II yakni gejala demam berdarah dengue
derajat I disertai dengan perdarahan spontan (WHO, 2011). Diagnosis
infeksi virus dengue ditegakkan dengan pemeriksaan serologi anti dengue
(skala pengukuran kategorik nominal).
3. Ekskresi protein urin yakni kadar protein di dalam urin yang dapat
dinyatakan dalam rasio protein berbanding kreatinin urin pengukuran
quantitative urin sewaktu saat demam hari ke 6 (Hogg dkk., 2003; WHO,
2011) (skala pengukuran numerik).
45
4. Status gizi ditentukan berdasarkan berat badan terhadap tinggi
badan/panjang badan menurut Kurva pertumbuhan WHO untuk pasien
usia ≤ 5 tahun dan CDC 2000 untuk usia > 5 tahun. Kriteria Status Gizi
berdasarkan Waterlow dengan Gizi buruk : < 70%, Gizi kurang : ≥ 70 –
<90%; Gizi Baik : 90- 110%; Gizi lebih : >110-120%; Obesitas : ≥ 120%
dan superobesitas dengan waterlow >140.
Berat badan diukur saat penderita datang ke rumah sakit dengan
menggunakan timbangan peneliti tanpa mengenakan pakaian atau
mengenakan pakaian seminimal mungkin dinyatakan dalam kilogram.
Tinggi badan diukur dengan meteran dengan posisi tidur terlentang yang
diukur dari vertek sampai tumit pada anak usia ≤ 2 tahun dan posisi berdiri
pada anak usia ˃ 2 tahun. Dinyatakan dalam sentimeter (skala pengukuran
kategorik nominal).
5. Luas permukaan tubuh merupakan area dari permukaan tubuh yang
disampaikan dalam (m2). Ukuran ini digunakan untuk penghitungan
metabolik, elektrolit, kebutuhan nutrisi, dosis obat dan pengukuran
perkiraan fungsi paru. Dalam penelitian ini ukuran yang digunakan untuk
menggambarkan jumlah protein yang diekskresikan dan didapatkan
melalui penghitungan luas permukaan tubuh= { √𝑇𝐵(𝑐𝑚)𝑥 𝐵𝐵 (𝑘𝑔)} ÷
3600 (Farlex, 2012) (Skala pengukuran numerik).
6. Kadar serum albumin didapatkan dari pengukuran albumin serum
dinyatakan dalam ukuran miligram/L.Disebut sebagai hipoalbumin bila
didapatkan kadar kurang dari 2,5 mg/L. Pemeriksaan kadar albumin serum
46
dilakukan dengan teknik immunoturbidimetrik (Roche, 2005; Falcao dkk.,
2010) (skala pengukuran numerik).
7. Hematuria merupakan kondisi ekskresi yang abnormal darah atau erotrosit
dalam urin, diklasifikasikan menjadi eritrosituria dan hemoglobinuria.
Mikrohematuria didiagnosis melalui tes dipstick 1 atau 2 dengan korelasi
nilai >5-10 RBC/µL sel darah merah dan disebut sebagai makrohematuria
bila didapatkan >1000 RBC/µL dan tampak kemerahan nyata pada urin
(Utsch dan Klaus, 2014) (skala pengukuran kategorik nominal).
8. Tingkat keasaman (pH) urin merupakan tingkat keasaman urin yang
didapatkan melalui pemeriksaan analisis urin rentangan 4,8-7,5, dimana
nilai normal pH urin 7-7,5. Disebut sedikit asam bila kadar pH 6,5-7 dan
sedikit basa bila didapatkan kadar pH 7,5-8. Pada penelitian ini tidak
dilakukan analisis urin (Utsch dan Klaus, 2014) (skala pengukuran
numerik).
9. Berat jenis urin merupakan perbandingan relative antara massa jenis
sebuah zat dengan massa jenis air murni, yang dinyatakan dalan kg/m3.
Semakin besar diuresis makin rendah berat jenis urinnya dan berat jenis
berkaitan dengan pekatnya urin , kondisi glukosuria akan meningkatkan
berat jenis urin. Nilai normal berat jenis urin 1,002-1,035. Pada penelitian
ini tidak dilakukan analisis urin (Radhemacer dkk., 2009) (skala
pengukuran numerik).
10. Rhabdomyolisis adalah terdeteksinya enzim kreatinin kinase, enzim
glutamic oxalocetic transaminase, lactate dehidroginase, aldolase, haeme
47
pigment myoglobin serta elektrolit seperti kalium, posfat dan purin.
Kejadian rhabdomyolisis berkaitan dengan trauma, pengobatan, toksin,
cedera. Diagnosis melalui peningkatan enzim kreatinin kinase dalam
darah, myoglobinuria dan gagal ginjal akut. Pada penelitian ini tidak
dilakukan pemeriksaan tersebut (Khan, 2009; Repizo dkk., 2014) (skala
pengukuran kategorik nominal).
11. Glomerulonefritis sekunder merupakan peradangan pada glomerulus yang
muncul akibat infeksi dari sistemik (demam berdarah dengue, diabetes
mellitus, lupus eritematosus sistemik, multiple myeloma dan amilloidosis)
ditandai dengan penurunan komplemen di serum. Pada penelitian ini tidak
dilakukan pemeriksaan komplemen. (Mansfield dkk., 2011) (skala
pengukuran kategorik nominal).
12. IgA Nefropati merupakan gangguan ginjal akibat pengendapan
immunoglobulin A pada glomerulus ginjal, umumnya penyakit ini terkait
dengan Henoch Schonlein Purpura. Pada penelitian ini tidak dilakukan
analisis urin untuk deteksi pengendapan immunoglobulin A. (Upadhaya,
2010) (skala pengukuran kategorik nominal).
13. Kadar gula darah serum merupakan kondisi glukosa darah yang
dinyatakan dalam mg/dL. Kadar yang berlebih >150 mg/dL atau >8,3
mmol/L. Pemeriksaan kadar gula darah serum dilakukan dengan teknik
enzimatik menggunakan hexokinase (Roche, 2005; Garsen dkk.,
2014)(skala pengukuran numerik).
48
4.5 Bahan Penelitian
4.5.1. Bahan untuk pengambilan darah dan urin
Bahan-bahan yang digunakan untuk mengambil darah adalah :
1. Kapas steril
2. Disposible spuit 3 cc
3. Alkohol 70%
4. Botol plastik volume 600 ml yang kering dan bersih
4.5.2 Bahan dan reagen untuk pemeriksaan darah
Bahan-bahan dan reagen yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan
darah adalah :
1. Alat test rapid pan bio test
2. Larutan Buffer
3. Alat dropper spesimen
4. Timer
5. Alat sentrifugasi
6. Kontainer spesimen
7. Anti-albumin T antiserum (kelinci) spesifik untuk albumin manusia, pada
larutan buffer posfat
8. NaCl 0,9%
9. Cairan sebagai kofaktor
10. Cairan hemolisis 1000 mL Cat No 10750689
11. Reagen dengan komponen pyrogallol merah (konsentrasi 79,8 umol/L),
sodium molybdate (konsentrasi 91 umol/L), buffer, surfaktan, preservatif.
49
12. Larutan (R1) TAPS buffer (N-Tris(hydroxymethyl-3-
aminopropanesulfonic acid): 30 mmol/L, pH 8,1; creatinase
(mikroorganisme): > 332ukal/L; sarcosine oxidase (mikroorganisme): >
132 ukal/L; ascorbate oxidase (mikroorganisme): > 33ukal/L; katalase
(mikroorganisme): > 1,67 ukal/L; HTIB: 1,2 g/L; deterjen dan preservatif.
13. Larutan (R3) TAPS buffer: 50 mmol/L, pH 8,0; kreatininase
(mikroorganisme): > 498 ukal/L; peroxidase (horseradish): > 16,6 ukal/L;
4-aminophenazone: 0,5 g/L; potassium hexacyanoferrate (II): 60 mg/L;
deterjen dan preservatif.
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar persetujuan
setelah penjelasan (PSP), lembar kuesioner untuk mengumpulkan data subyek, kit
rapid panbio test IgG/IgM®, cobas integra abumin turbidimetric Cat No.
20737674 322®, cobas integra glucose HK Cat No. 20767131322®, total
protein_2 (Urine) (UPRO_2) Advia 1800 Siemens healthcare diagnostics inc®,
cobas c 311/501 analyzer®.
4.7 Prosedur Pemeriksaan
4.7.1 Albumin serum
Pemeriksaan kadar albumin serum dilakukan dengan teknik
immunoturbidimetrik, dikerjakan di Laboratorium Patologi Klinik RSUP
Sanglah.Hasil disampaikan dalam bentuk mg/dL.
50
Prosedur kerja
1. Serum segera dipisahkan dengan clot
2. Sampel dan kontrol secara otomatis dilarutkan dengan NaCl 0,9% 1:100
3. Sentrifugasi sampel
4. Sampel sebanyak 2 mikroliter dilarutkan dengan 7 mikroliter H2O
5. Reagen anti albumin T antiserum 100 mikroliter dilarutkan dengan H2O 13
mikroliter
6. Sampel yang telah dilarutkan tersebut dicampurkan dengan reagen
7. Konsentrasi tersebut dianalisis otomatis oleh cobas integra.
4.7.2 Gula darah serum
Pemeriksaan kadar gula darah serum dilakukan dengan teknik enzimatik
menggunakan hexokinase, pemeriksaan tersebut dilakukan di Laboratorium
Patologi Klinik RSUP Sanglah. Hasil disampaikan dalam bentuk mg/dL.
Prosedur kerja
1. Sampel segera dilakukan hemolisis segera setelah bahan terambil
2. Cairan untuk hemolisis diseimbangkan pada temperatur ruangan sebelum
digunakan
3. Masukkan sebanyak 1 ml dari cairan hemolisis pada tabung tes
4. Tambahkan 20 mikroliter darah kapiler dan tutup rapat tabung
5. Kocok perlahan hingga tercampur dengan baik
6. Diamkan selama 5 menit pada temperatur ruangan untuk penentuan
glukosa jangan disentrifugasi.
51
4.7.3 Immunoglobulin dengue
Pemeriksaan serologi antidengue dilakukan dengan teknik immunoassay
kromatografi cepat untuk mendeteksi antibodi (immunoglobulin G dan
immunoglobulin M) virus dengue di serum atau plasma, pemeriksaan ini
dilakukkan oleh Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah.
Prosedur kerja
1. Ambil bahan spesimen darah menggunakan prosedur laboratorium standar
2. Tes sebaiknya dilakukan segera setelah spesimen diambil, jangan biarkan
spesimen berada dalam jangka waktu yang lama pada temperatur ruangan.
Untuk penyimpanan jangka panjang, spesimen darah sebaiknya disimpan
dibawah -200C
3. Sebelum dilakukan tes, spesimen diletakkan pada temperature ruangan dan
jangan dibekukan
4. Buka alat pemeriksaan pada temperature ruangan
5. Masukkan 1 drop dari spesimen kurang lebih 10 mikroliter dan 2 drop
cairan buffer kurang lebih 70 mikroliter pada alat tes
6. Tunggu selama 15 menit sampai dengan hasil terbaca, jangan membaca
hasil lebih dari 20 menit.
Hasil positif bila didapatkan 2 garis (tes dan kontrol) setelah menunggu 15-20
menit.
52
4.7.4 Protein dan kreatinin urin sewaktu
Pemeriksaan protein urin dilakukan dengan metode kalorimetri dan
penghitungan kreatinin dalam urin dengan mempergunakan metode enzimatik
automatis dengan alat cobas.
Prosedur kerja
1. Sebelum menggunakan reagen, putar perlahan untuk mencegah timbulnya
gelembung, bila muncul gelembung lakukan aspirasi dari reagen tersebut.
Peningkatan penyerapan yang terjadi karena ikatan yang dibentuk
pyrogallol red-molybdate complex berikatan dengan kelompok sam amino
proporsional dengan jumlah konsentrasi protein sampel.
2. Pemeriksaan kandungan kreatinin dalam urin dengan mengumpulkan
bahan urin tanpa menggunakan zat aditif, bila urin harus dikumpulkan
menggunakan preservative dengan asam hidroklorikdan asam boraks.
3. Sentrifugasi bahan spesimen sebelum melakukan pemeriksaan.
4. Campurkan reagen R1 77 uL dan R3 38 uL pada 15 uL volume sampel
yang telah dilarutkan dengan NaCl 135 uL.
5. Penghitungan secara automatis untuk mengetahui konsentrasi tiap sampel.
Hasil dinyatakan dalam jumlah mg/dL, normalnya didapatkan total proteinuri 24
jam 1-14 mg/dL (10-140 mg/L) atau saat istirahat didapatkan 50-80 mg/hari.
4.7.5 Cara pengukuran berat badan sampel penelitian
Berat badan adalah indikator berat per orang, cara pengukuran menggunakan
timbangan dengan satuan kilogram (kg). Anak umur 6-24 bulan ditimbang dengan
53
menggunakan timbangan bayi. Anak usia diatas 24 bulan ditimbang menggunakan
timbangan anak berdiri dengan ketelitian 0,5 kg.
4.7.6 Cara pengukuran tinggi badan sampel penelitian
Tinggi badan adalah indikator untuk menentukan tinggi badan seseorang.
Pengukuran menggunakan meteran dengan satuan sentimeter (cm). Pengukuran
panjang badan anak umur 6-24 bulan dilakukan oleh 2 orang sehingga kepala bayi
menyentuh papan penahan kepala dalam posisi datar Frankort. Pengukuran tinggi
badan anak diatas 24 bulan dilakukan dengan posisi berdiri tanpa alas kaki
menggunakan stadiometer. Saat pengukuran tinggi badan, anak harus berdiri
tegak dengan kedua paha bersentuhan berdampingan, tumit, bokong dan kepala
bagian belakang menyentuh stadiometer
4.8 Alur Penelitian
Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap awal pengurusan
kelaikan etika penelitian ke Komite Etika Penelitian Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana untuk mendapatkan laik etik (ethical clearance), dan ijin
penelitian ke Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Tahap selanjutnya adalah dilakukan
pelatihan pada semua tim peneliti yang terdiri dari dokter, paramedis, petugas
laboratorium, petugas administrasi, dan koordinator penelitian. Pelatihan
bertujuan menyamakan persepsi, pengetahuan, serta ketrampilan mengenai
prosedur penelitian.
Penentuan subyek penelitian dilakukan oleh dokter penelitian di lapangan.
Subyek penelitian adalah pasien anak usia 6 bulan sampai dengan 12 tahun yang
dirawat dengan kecurigaan infeksi virus dengue di bangsal anak, ruang intensif,
54
ruang intermediate and ruang triage/UGD anak RSUP Sanglah. Satu orang dokter
yang sedang bertugas di subbagian pediatri gawat darurat maupun poliklinik dan
telah dilatih untuk melakukan penelitian ini akan menyeleksi pasien sesuai dengan
kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi melalui alloanamnesa, heteroanamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Apabila orangtua pasien setuju
untuk mengikuti penelitian maka akan diminta untuk menandatangani formulir
persetujuan (informed consent). Seorang dokter yang bertugas di subbagian
infeksi dan penyakit tropis dan telah terlatih untuk melaksanakan penelitian akan
memantau pasien selama dirawat. Pemeriksaan rasio protein berbanding kreatinin
urin, albumin serum, dan glukosa serumdiambil saat pasien dalam kondisi dengan
renjatan maupun tidak pada saat hari ke 6 dan dilakukan pemeriksaan IgG dan
IgM anti dengue oleh bagian patologi klinik RSUP Sanglah Denpasar. Pasien
diamati sampai dengan hasil serologi keluar pada saat hari ke enam demam.
Penentuan terdapatnya proteinuria dan penentuan sindrom renjatan dengue
dilakukan dalam satu waktu, yakni pada hari ke enam. Pemantauan yang
dilakukan sesuai dengan standar pelayanan medis untuk pasien yang dirawat
dengan infeksi virus dengue yaitu dilakukan pemeriksaan darah rutin serial.
Pemeriksaan protein dan kreatinin urin sewaktu dilakukan di Laboratorium
Prodia Denpasar dengan menggunakan alat advia 1800 dengan metode
kalorimetri. Pemeriksaan serologi demam berdarah dengue memakai Rapid
Panbio® dari PT Sekar Dewata dan Vicare dari PT Barlindo. Derajat infeksi virus
dengue ditentukan oleh dokter yang merawat berdasarkan kriteria WHO tahun
2011. Pemeriksaan albumin dan glukosa serum dilakukan di laboratorium
55
Patologi Klinik RSUP sanglah Denpasar. Pemulangan pasien dilakukan oleh
dokter yang merawat berdasarkan standar pelayanan perawatan pasien infeksi
virus dengue. Subyek yang menolak melanjutkan penelitian dianggap drop out.
4.9 Etika Penelitian
Ethical clearance dari badan Penelitian dan Pengembangan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah dengan nomer ethical clearance
no : 354/UN.14.2/KEP/2016.
4.10 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan komputer dibagi menjadi 2 bagian
sebagai berikut:
1. Bagian Deskriptif
Data disajikan dalam bentuk naratif dan tabel. Data kategorikal disajikan
dalam persen dan data numerik disajikan dalam bentuk nilai median dan
interquartile range.
2. Bagian Analitik
Uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan distribusi data numerik dengan
sebaran yang tidak normal (p<0,05). Data rasio protein berbanding dengan
kreatinin urin dianalisis pada pasien infeksi virus dengue dengan atau
tanpa renjatan denganUji analisis menggunakan uji mann whitney test
karena sebaran data tidak berdistribusi normal. Perbedaan median
dinyatakan signifikan nilai p < 0,05. Pada penelitian ini juga dibandingkan
jumlah pasien dengan renjatan yang mengalami proteinuria dalam rentang
nefrotik. Analisis multivariat bertujuan untuk menilai hubungan murni
56
renjatan dengan terjadinya proteinuria pada pasien anak dengan infeksi
virus dengue dengan memperhitungkan variabel perancu. Analisis
multivariate dengan analisis ANCOVA dengan general linear model dan
ukuran colinearity yang didapat dari analisis ini adalah adjusted RR.
Perbedaan varian antara kedua atau beberapa kelompok dinyatakan dengan
nilai F. Kemaknaan secara statistik menggunakan 95% interval
kepercayaan dan nilai P.
57
Skema Alur Penelitian
Gambar 4.2
Skema alur penelitian
Pasien anak dengan Infeksi dengue di RSUP Sanglah Denpasar
periode April 2016-Sepetember 2016 (hasil IgM +)
Sampel yang benar diteliti
(Eligible subjects)
Sindrom renjatan dengue (+)
(Serologi IgG dan IgM dengue +)
hari ke-6
Sindrom renjatan dengue (-)
(Serologi IgG dan IgM dengue +)
hari ke-6
Ekskresi protein urin
Analisis data
Hasil
Informed consent
kriteria eksklusi
Pemeriksaan gula darah dan albumin serum, pemeriksaan rasio protein dan kreatinin urin hari ke-6
59
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan selama 5 bulan, yaitu dari bulan April 2016 sampai
bulan September 2016. Selama periode tersebut dirawat sebanyak 1394 anak,
yang memenuhi criteria inklusi sebanyak 116 anak. Sebanyak 6 anak yang
tereksklusi karena 2 subyek mengalami hematuria, 4 subyek tidak dapat
ditampung urinnya dan 2 subyek menolak ikut dalam penelitian. Selama periode
penelitian didapatkan 108 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan kesklusi.
Jumlah sampel yang ikut dalam penelitian didapatkan sebanyak 108 sampel.
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Seratus delapan pasien dengan infeksi virus dengue memenuhi kriteria
penelitian, terdiri dari 61 (56,5%) disertai dengan renjatan dan 47 (43,5%) tidak
disertai dengan renjatan. Anak laki-laki 53 (49,1%) dan 55 (50,9%) merupakan
perempuan. Median umur pada pasien dengan renjatan 7 tahun, umur terendah 6
bulan dan tertinggi 11,8 tahun. Pasien yang tidak disertai renjatan memiliki
median umur 7,5 tahun, umur terendah 3,15 tahun dan tertinggi umur 11,9 tahun.
Jumlah pasien terinfeksi virus dengue gizi kurang 22 orang (20,4%), gizi baik 55
orang (50,9%), gizi lebih 6 orang (5,6%), obesitas 15 orang (13,8%), dan
superobesitas sebanyak 8 oran (7,4%). Pasien yang mengalami renjatan cenderung
tidak menunjukkan perburukan saat suhu tubuh reda.
Nilai median berat badan pada pasien dengan renjatan 25 kg dan 26 kg pada
pasien tanpa renjatan. Luas permukaan tubuh pada pasien dengan renjatan 0,92 m2
tidak jauh berbeda dari pasien tanpa disertai renjatan 0,95m2. Sebanyak 43 orang
58
59
(70,5%) pasien renjatan mengalami proteinuria dan hanya 19 pasien tanpa
renjatan mengalami proteinuria.
Tabel 5.1
Karakteristik data subjek penelitian
Variabel Renjatan
Ya (n=61) Tidak (n=47)
Jenis kelamin
Laki-laki, n (%)
Perempuan, n (%)
33 (54,1)
28 (45,9)
20 (42,6)
27 (57,4)
Berat badan (kg), median (interquartile range) 25 (7,5 s.d. 42,5) 26 (10 s.d. 42)
Tinggi badan (cm), mean (SD) 120,2 (22,3) 125,3 (16,9)
Luas permukaan tubuh (m2), mean (SD) 0,94 (0,31) 0,97 (0,26)
Umur saat masuk rumah sakit (bulan), median
(interquartile range)
84 (30,8 s.d. 137,2) 89,9 (28,7 s.d.
145,2)
Status gizi
Gizi kurang, n (%)
Gizi baik, n (%)
Gizi lebih, n (%)
Obesitas, n (%)
Super Obesitas, n (%)
11 (18)
26 (42,6)
5 (8,2)
12 (19,2)
7 (11,5)
11 (23,4)
29 (61,7)
1 (2,1)
3 (6,4)
3 (6,4)
Status rujukan
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
41 (67,2)
20 (32,8)
12 (25,5)
35 (74,5)
Demam saat masuk rumah sakit
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
10 (16,4)
51 (83,6)
18 (38,3)
29 (61,7)
Perburukan saat suhu reda
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
25 (41)
36 (59)
4 (8,5)
43 (91,5)
Diuresis menurun 4-6 jam sebelum masuk rumah
sakit
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
17 (27,9)
44 (72,1)
5 (10,6)
42 (89,4)
Organomegali
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
15 (24,6)
46 (75,4)
5 (10,6)
42 (89,4)
Peningkatan hematokrit
Ya, n (%)
Tidak, n (%)
54 (88,5)
7 (11,5)
23 (48,9)
24 (51,1)
Kadar albumin serum (mg/dL), median
(interquartile range)
2,6 (1,9 s.d. 3,3) 3,2 (2,6 s.d. 3,8)
Kadar glukosa serum (mg/dL), median
(interquartile range)
97 (32,8 s.d. 161,3) 92 (76 s.d. 108)
60
6.2 Perbandingan Nilai Rasio Protein Berbanding Kreatinin Urin (UPCR)
pada Kondisi Renjatan maupun Tidak
Gambaran nilai median ekskresi protein urin pada kondisi renjatan 0,3,
interquartile range (IQR=-0,12 s.d. 0,72) dan 0,18 (IQR=0,02 s.d. 0,34) pada
pasien tanpa renjatan dengan nilai p=0,01. Data mengenai hal tersebut dapat
dilihat pada tabel 5.2 di bawah.
Tabel 5.2
Karakteristik nilai eksresi protein urin
Variabel Ekskresi protein urin
Median (interquartile range)
p
Renjatan
Ya (n=61)
Tidak (n=47)
0,3 (-0,12 s.d. 0,72)
0,18 (0,02 s.d. 0,34)
0,01
Uji Mann Whitney
6.3 Perbandingan Protein dan Kreatinin Urine Berdasarkan Status
Renjatan
Setelah dilakukan analisis bivariat proteinuria berdasarkan status renjatan,
didapatkan dari keseluruhan pasien yang mengalami proteinuria sebanyak 43
pasien (69,4%) yang mengalami renjatan. Pasien yang tidak mengalami
proteinuria sebanyak 18 pasien (39,1%) tidak mengalami renjatan. Pasien yang
mengalami proteinuria sebanyak 19 (30,6%) tidak mengalami renjatan.
Pengaruh status renjatan terhadap proteinuria setelah memperhitungkan kadar
albumin serum, gula darah serum, luas permukaan tubuh, dan status gizi pasien
diperhitungkan dengan analisis ANCOVA dengan menggunakan general linear
model. Melalui perhitungan tersebut didapatkan kondisi proteinuria yang lebih
61
banyak terjadi pada renjatan pada infeksi virus dengue dipengaruhi oleh beberapa
variabel perancu seperti kadar albumin. Kadar albumin serum memiliki pengaruh
signifikan pada kondisi proteinuria dibandingkan dengan kondisi renjatan dengan
perbedaan varians 4,22 nilai p=0,042 dan koefisien eta 4%. Hal tersebut disajikan
dalam tabel 5.3.
Tabel 5.3
Hasil analisis multivariat kejadian renjatan terhadap terjadinya proteinuria
Variabel F 95% IK Nilai p R2
Renjatan dengue 0,612 (-0,205) s.d. 0,473 0,436 0,006
Status gizi 0,099 (-0,125) s.d. 0,090 0,754 0,001
Luas permukaan tubuh 0,276 (-0,747) s.d. 0,434 0,600 0,003
Kadar albumin serum 4,222 (-0,569) s.d. (-0,010) 0,042 0,04
Kadar gula darah serum 2,710 0,00 s.d. 0,007 0,103 0,026
F: perbedaan varians, IK: interval kepercayaan, R2: koefisien eta
6.4 Proteinuria Tipe Nefrotik Berdasarkan Status Renjatan
Dari keseluruhan pasien yang mengalami proteinuria berat, seluruhnya
(100%) mengalami renjatan. Tidak satu pun pasien yang tidak mengalami
renjatan mengalami proteinuria berat. Kondisi renjatan meningkatkan terjadinya
proteinuria tipe nefrotik dengan 3,54 kali lebih besar dibandingkan dengan infeksi
virus dengue tanpa renjatan, dengan nilai OR=3,52; (95%IK=1,58 s.d. 7,85)
dengan nilai p=0,002. Secara klinis terdapat hubungan antara status renjatan dan
proteinuria tipe nefrotik karena didapatkan selisih proporsi>20%. Terdapat
hubungan antara status renjatan dengan proteinuria tipe nefrotik secara statistik
dengan nilai p<0,05. Nilai proteinuria rentang nefrotik bila didapatkan rasio
62
protein berbanding kreatinin urin>2mg/mg yang dapat dicurigai mengalami gejala
nefrotik. Informasi tersebut dapat dilihat pada tabel 5.4
Tabel 5.4
Perbandingan proteinuria tipe nefrotik berdasarkan status renjatan
Variabel Proteinuria nefrotik OR 95% IK P
Ya
n (%)
Tidak
n (%)
Status renjatan
Ya, (n=61)
Tidak, (n=47)
6 (100%)
0 (0%)
55 (53,9%)
47 (46,1%)
3,52
1,58 s.d. 7,85
0,002*
*= chi square test, OR: Odd Rasio
63
BAB VI
PEMBAHASAN
Angka kejadian demam berdarah dengue di Denpasar tahun 2015 adalah
178,7 per 100.000 penduduk. Insiden infeksi virus dengue dengan renjatan
menurut Ganda dan Bombang pada 1157 pasien infeksi virus dengue dari bulan
Januari 1998 sampai dengan Desember 2005 didapatkan sebesar 40%. Angka
kejadian infeksi virus dengue dengan renjatan pada penelitian ini 56,5% lebih
besar dari penelitian Raihan, dkk 2010 menyampaikan angka kejadian renjatan
37,3%. Penelitian lain melaporkan nilai yang lebih rendah, Gayatri 1997 di
Jakarta, 37,6%, Kan 2004 di Manado, 47%. Dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh Dewi dkk., (2006) di RSCM, 58%, angka kejadian syok pada penelitian
kami lebih rendah.
Angka kejadian renjatan pada penelitian ini lebih tinggi mungkin dapat
disebabkan oleh karena penelitian dilakukan di rumah sakit umum pusat sanglah
(RSUP) yang merupakan rumah sakit pusat rujukan di Denpasar, sehingga pasien
yang datang lebih banyak pada kondisi renjatan atau memerlukan penanganan
lebih lanjut dari rumah sakit sebelumnya.
6.1 Karakteristik Subyek
Kelompok usia 5-10 tahun lebih sering mengalami renjatan dengan median
usia 7 tahun dengan usia paling muda 6 bulan. Hal ini sesuai dengan penelitian
oleh Saniathy dkk., (2009) di Bali dengan rerata kelompok usia 7,5 tahun.
Penelitian Hartoyo dkk., (2008) di Banjarmasin menyampaikan rerata umur yang
64
sama 5-10 tahun demikian juga Raihan dkk., (2010) dengan kelompok usia 5-10
tahun. Terdapatnya usia paling muda pada pasien dengan renjatan kemungkinan
disebabkan karena pada anak yang lebih muda lebih mudah terjadi peningkatan
permeabilitas karena pelepasan sitokin. Selain itu dikarenakan gejala renjatan
pada usia muda lebh sulit dikenali.
Pengenalan kasus kegawatan pada pasien demam berdarah dengue mampu
menurunkan case fatality rate dari 41% pada tahun 1968 menjadi 0,73% pada
tahun 2013 (Karyanti dkk., 2014). Faktor-faktor yang dapat memprediksi tingkat
keparahan infeksi virus dengue seperti obesitas, terdapatnya perdarahan
gastrointestinal dan peningkatan hematokrit telah dilakukan penelitian
sebelumnya. Keadaan proteinuria yang terjadi pada kondisi renjatan disebutkan
beberapa penelitian dewasa Vasanwala dkk., (2011) di Singapura, didapatkan
96% pasien dewasa demam berdarah dengue mengalami proteinuria dan tidak ada
pasien demam dengue yang mengalami proteinuria. Penelitian ini juga
menghitung nilai median puncak rasio protein berbanding kreatinin urin (UPCR)
pada pasien demam berdarah dengue lebih tinggi 0.56 gram/mg dibandingkan
dengan 0,08 gram/mg pada pasien dengan infeksi virus dengue, nilai p=0,0005.
Demikian halnya dengan penelitian oleh Lumpaopong dkk., (2010) di Thailand,
kejadian proteinuria lebih tinggi pada demam berdarah dengue 27% dibandingkan
dengan demam dengue 15%, nilai p=0,072. Pada penelitian ini juga didapatkan
hal serupa dimana 70,5% pasien demam dengue dengan renjatan mengalami
proteinuria dan sebanyak 40,4% pasien tanpa renjatan mengalami proteinuria.
Penelitian lain dilakukan oleh Nguyen dkk., (2013) di Singapura, menyampaikan
65
perbandingan albumin dan kreatinin urin namun penelitian ini hanya membedakan
antara kondisi demam dengue dan other viral infection.
Beberapa penelitian menyimpulkan, kondisi proteinuria yang terjadi akibat
perubahan dari glikokaliks pada lapisan endotel pembuluh darah baik vaskular
sistemik maupun renal yang menyebabkan kebocoran protein baik yang berukuran
kecil (MW 59.000-79.000 Da) maupun yang berukuran besar (MW 150.000 Da)
termasuk albumin dan transferin yang biasanya susah keluar dari lumen vascular
(Wills dkk., 2004). Proteinuria yang terdapat pada pasien yang tidak mengalami
renjatan dapat dijelaskan oleh karena beberapa faktor yang dapat menimbulkan
kondisi proteinuria seperti demam yang lebih banyak dialami pada pasien tanpa
renjatan 38,3% dibandingkan pasien yang mengalami renjatan (16,4%). Hal yang
sama disampaikan dalam penelitian Marks dkk., 1970 di Montreal, didapatkan
proteinuria terjadi pada 5-6% pasien dengan demam yang dialami lebih dari
38,40C..
Hipotensi pada kondisi renjatan menyebabkan aktifnya sistem renin
angiotensin dan aldosteron untuk meningkatkan tekanan darah. Angiotensin II
yang banyak terbentuk ini dapat meningkatkan ekspresi gen transient receptor
potential channel C6. Protein ini berfungsi mempertahankan barier filtrasi
glomerulus berada pada slit diafragma antar sel podosit. Namun TRPC 6 ini juga
meningkatkan influx dari kalsium yang mengaktifkan substrat nuclear factor
activated T cell yand dapat meningkatkan ekspresi calcineurin yang dapat
mendegradasi atau defosforilasi actin binding protein synaptopodin pada lapisan
slit diafragma sehingga menyebabkan kebocoran endotel vaskular bertambah
66
berat (Darwis, 2003; Avirutnam dkk., 2007). Hal yang sama juga disampaikan
oleh Simmons dkk., 2012, perubahan glikokaliks terjadi oleh karena terjadi
interaksi antara protein nonstruktural (NS1) pada permukaan glikokaliks,
menyebabkan lepasnya lapisan heparin sulfat ke sirkulasi. Lepasnya heparin sulfat
ini mengubah struktur dari endotel memudahkan protein untuk bocor dari lumen
vaskular. Kebocoran heparan sulfat yang merupakan protein koagulasi dapat
terjadi sehingga menimbulkan proses koagulopati yang meningkatkan waktu
parsial tromboplastin dam penurunan fibrinogen, akumulasi hal tersebut akan
memperparah kondisi renjatan.
Glomerulonefritis sekunder akibat infeksi virus dengue dapat menimbulkan
kondisi proteinuria ataupun karena proses imunologi yang dibuktikan dengan
hasil biopsi ginjal pada pasien demam berdarah dengue menunjukkan adanya IgA
nefropati dan deposisi kompleks antigen dan antibodi pada jaringan glomerulus
(Chen dkk., 1997; Avirutnan dkk., 2007; Lizarraga dkk., 2014).
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kadar
proteinuria seperti kondisi demam, aktivitas, massa otot, kadar albumin serum,
dan kadar glukosa serum. Dalam penelitian ini didapatkan kondisi renjatan
berpengaruh terhadap munculnya proteinuria namun setelah memperhitungkan
variabel perancu tersebut, didapatkan kadar albumin serum memiliki pengaruh
yang signifikan dibandingkan dengan kondisi renjatan pada pasien dengan
perbedaan varians 4,22 nilai P 0,042 dan koefisien eta 4%. Hal ini sesuai dengan
penelitian Wills dkk., (2004). Hipoalbuminemia yang terjadi pada infeksi virus
dengue dengan renjatan dikarenakan karena kebocoran intravaskular maupun di
67
glomerulus. Pada penelitian ini kondisi hipoalbuminemia yang lebih berat
ditemukan pada pasien dengan proteinuria dimana nilai median albumin 2,6
gram/liter dan pada 3,3 gram /liter pada kondisi tidak terjadi proteinuria. Hal ini
menggambarkan mekanisme proteinuria yang terjadi pada anak infeksi virus
dengue dengan renjatan lebih besar dipengaruhi oleh mekanisme hipotensi
melalui peningkatan reseptor ATR 1 yang menyebabkan kerusakan podosit
melalui aktivasi TRPC 6 disamping adanya mekanisme renal melalui reaksi
antigen NS1 pada glikokaliks. Hipoalbumin yang terjadi menggambarkan
kebocoran yang terjadi di sistemik disamping terdapapat kebocoran yang
disebabkan oleh kondisi renal yang belum dpat dijelaskan.
Kondisi hipoalbumin pada pasien yang mengalami proteinuria selain oleh
karena kebocoran sistemik dapat melalui proses katabolisme protein pada kondisi
pasien kritis. Perbandingan kadar gula darah serum yang tinggi dapat
mencerminkan adanya kondisi kritis pada pasien melalui peningkatan aktivitas
kortisol yang meningkatkan proses glukoneogenesis di hati. Pasien dengan
proteinuria memiliki nilai gula darah serum lebih tinggi dengan nilai median 102
gram/dL dibandingkan dengan yang tidak mengalami proteinuria.
Infeksi sekunder yang dapat menyertai renjatan pada demam berdarah dengue
dapat menyebabkan proteinuria tipe tubuler pada tikus percobaan yang
menyebabkan turunnya protein non glikosaminoglikan yakni hyaluronan dan
asam sialic pada sel tubulus memiliki fungsi sama dengan protein
glikosaminoglikan heparin silfat sebagai barier filtrasi glomerulus (Adembri dkk.,
2011; Koomans dkk.,1986). Pada penelitian ini tidak terdapat kondisi infeksi
68
sekunder yang menyertai seluruh pasien sampel penelitian, sehingga pengaruh
terjadinya adanya infeksi sekunder pada penelitian ini didapatkan tidak bermakna.
Menurut penelitian Germi dkk., (2002) dan Garsen dkk., (2013)
menyebutkan hiperglikemia dapat terjadi pada kondisi renjatan terjadi oleh karena
kadar glukosa yang tinggi merubah biosintesis dari protein glikosaminoglikan
heparin sulfat sehingga terjadi peningkatas reactive oxygen species (ROS).
Kondisi pasien sakit kritis sekitar 49-72% pasien memiliki kadar gula darah>150
mg/dl dan nilai puncak dari kadar gula darah pada pasien kritis memiliki rentang
172 + 78 mg/dl (Srinivasan, 2012). Hiperglikemia terjadi melalui peningkatan
glukoneogenesis dan terjadinya resistensi insulin, hal tersebut dimediasi karena
peningkatan hormon counterregulatory seperti epinefrin, norepinefrin, glucagon,
kortisol, growth hormone, dan sitokin proinflamasi (Srinivasan, 2012).
Peningkatan ROS, aldosteron, dan angiotensin II meningkatkan ekspresi
heparanase oleh podosit dan sel endotel glomerular, akibatnya meningkatkan
degradasi dari heparan sulfat sehingga memudahkan terjadi proteinuria. Demikian
halnya pada penelitian Miltenyi dkk., (1983) proteinuria akibat kondisi
hiperglikemia terjadi insufisiensi tubulointerstitial ginjal secara transient, dan
akan membaik bila gula darah terkontrol. Pada penelitian ini tidak terdapat
perbedaan bermakna pada kadar gula darah serum pada pasien dengan renjatan
dengan nilai median 97 (IQR=32,75 s.d 161,25) dan pasien tanpa renjatan dengan
nilai median 92 (IQR=76-108), nilai P=0,384. Sesuai pada penelitian ini yang
didapatkan kadar gula darah serum dengan nilai median 102 mg/dl (IQR=34,25
69
s.d 169,75) pada pasien dengan proteinuria dibandingkan 89 mg/dl (IQR=68,87-
109,13).
Masa otot berdasarkan literatur memiliki pengaruh terhadap kejadian
proteinuria, karena masa otot yang lebih besar (obesitas) akan menyebabkan
ekskresi kreatinin urin meningkat sehingga proteinuria dapat pada kondisi ini
menjadi negatif palsu. Pada penelitian ini sebagian besar sampel penelitian
memilki gizi baik 42,6% pada pasien dengan renjatan dan 61,7% pada pasien
tanpa renjatan dan tidak terdapat perbedaan bermakna pada nilai kreatinin pasien
dengan atau tanpa renjatan. Hal serupa disampaikan oleh Nguyen dkk., (2013)
bahwa nilai UACR tidak dipengaruhi oleh berat badan.
6.2 Perbandingan Nilai Proteinuria pada Pasien Terinfeksi Virus Dengue
dengan dan Tanpa Renjatan
Hasil uji mann wthitney untuk mengetahui perbandingan nilai rasio UPCR
pada pasien infeksi virus dengue dengan atau tanpa renjatan didapatkan perbedaan
nilai median UPCR pada pasien dengan renjatan 0,3 (IQR=-0,12 s.d. 0,72) dan
nilai median UPCR pada kondisi tanpa renjatan 0,18 (IQR=0,02 s.d. 0,34) dengan
nilai p=0,01. Nilai median UPCR pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan
penelitian pada dewasa oleh Vasanwala dkk., (2011) di Singapura, dimana bila
dibandingkan dengan pasien demam dengue, pasien dengan demam berdarah
dengue memiliki nilai median UPCR yang signifikan lebih tinggi (0,56 gram/mg
dibandingkan 0,08 gram/mg) dengan nilai P<0,001dengan waktu terjadinya
proteinuria yang lebih singkat pada pasien dengan renjatan (2 hari sebelum dan 3
hari sesudah suhu tubuh turun). Penelitian oleh Nguyen, dkk (2013)
70
membandingkan nilai rasio albumin berbanding kreatinin urin (UACR) yang tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna antara demam dengue maupun other viral
infection (OVI). Perbedaan nilai UPCR pada penelitian Vasanwala dkk., (2011)
mungkin dikarenakan sampel merupakan pasien dewasa dengan massa otot yang
lebih besar.
Konsentrasi proteinuria berfluktuasi tiap harinya tergantung dari aktivitas,
status dehidrasi sehingga penghitungan protein dipstik memiliki hasil yang kurang
akurat. Penelitian Kristiani dkk., (2009) di Yogyakarta menyimpulkan rasio
ptotein dan kreatinin urin merupakan indikator yang dapat dipercaya karena
memiliki asosiasi linear dengan pemeriksaan urin 24 jam. Penelitian tersebut
menyampaikan nilai potong >0,4 memiliki sensitivitas dan spesifisitas 87% untuk
memprediksi proteinuria patologis dan nilai potong 2,3 memiliki sensitivitas 88%
dan spesifisits 91% untuk memprediksi proteinuria berat. Terdapat perbedaan
dengan penelitian Abitbol et al., 2003 mendapatkan nilai potong yang berbeda 0,1
dan 1 untuk memprediksi proteinuria patologik dan massif. Penelitian ini
menggunakan KDOQI (2003) dengan nilai potong 0,2 dan 2 dalam memprediksi
proteinuria patologik.
Protein yang bocor dalam pembuluh darah menyebabkan kondisi
hipoalbumin pada serum disamping kondisi tersebut terjadi oleh karena
penggunaan protein yang meningkat pada pasien kondisi kritis. Penelitian ini
memberikan kesimpulan kondisi hipoalbumin memiliki pengaruh yang lebih kuat
terhadap terjadinya proteinuri, dibandingkan kondisi renjatan. Hilangnya protein
di plasma pada penelitian kami justru meningkatkan jumlah ekskresi protein urin,
71
sehingga kondisi proteinuria pada penelitian ini lebih berkaitan dengan proses
hilangnya albumin akibat proses viral nefropati yang dijelskan melalui teori
terjadinya ikatan antigen NS1 pada glikokaliks endotel di ginjal. Hal tersebut
dijelaskan dalam bagan di atas.
Gambar 6.1
Mekanisme ekskresi protein urin berkaitan dengan viral nefropati
6.3 Proteinuria Berat pada Pasien Anak Terinfeksi Virus Dengue yang
Disertai Renjatan
Kondisi proteinuria dalam rentang nefrotik dengan nilai UPCR>2 mg/mg
kejadiannya jarang pada anak baru dilaporkan 2 kasus, 1 kasus dilaporkan di
Republik Dominika laki-laki usia 8 tahun menderita demam dengue dengan
renjatan, 1 kasus dilaporkan di Thailand perempuan usia 9 tahun dengan demam
berdarah dengue (Hebbal dkk., 2016).Terdapat perbedaan pada penelitian ini
vaskulopati
systemic leakage
proteinuria hipoalbuminemia
sindrom nefrotik
infeksi dengue
viral nefropati
hipovolemia
renjatan
72
proteinuria pada rentang nefrotik didapatkan 6 pasien yang mana semuanya
mengalami renjatan, pasien tersebut berumur 8 bulan, 7 tahun, 9 tahun, dan 11
tahun. Proteinuria tipe nefrotik yang dialami oleh bayi 8 bulan pada penelitian
kami terkait dengan manifestasi demam berdarah dengue yang lebih berat pada
usia muda. Kondisi infeksi virus dengue dengan renjatan meningkatkan kejadian
proteinuria tipe nefrotik sebanyak 3,52 kali dibandingkan dengan kondisi tanpa
renjatan.
Abbate dkk., (2006); Varrier., (2015) menyampaikan, kondisi proteinuria
dapat memperburuk kelainan ginjal bahkan dapat berkembang menjadi gagal
ginjal terminal. Hal ini terjadi karena beban protein berlebih yang difiltrasi pada
sel tubulus proksimal meningkatkan aktivavasi NF-kB sehingga meningkatkan
ekspresi chemokine tubular dan aktivasi komplemen yang menyebabkan infiltrasi
sel radang ke dalam interstitium dan terjadi fibrogenesis dan dapat berkembang
menjadi kondisi gagal ginjal akut. Kondisi proteinuria menurut Starr, (1998); Hu
dkk., (2012) di Cina lebih akurat mengetahui kondisi gagal ginjal akut, proteinuria
yang terjadi merupakan proteinuria tubuler karena kegagalan absorbsi pada
tubulus. Hu dkk., (2012) menyampaikan pula proteinuria berkaitan dengan
kondisi gagal ginjal akut hanya saja penelitian terbatas pada pasien dewasa yang
mengalami luka bakar. Pada penelitain ini tidak dilakukan evaluasi laju filtrasi
glomerulus.
Kondisi proteinuria massif dengan UPCR>2 mg/mg dapat mengarah ke
gagal ginjal akut, diperlukan monitoring ketat bila kadar UPCR>2 mg/mg sudah
dipertimbangkan risiko terjadinya kelainan nefrotik. Diperlukan tatalaksana lebih
73
lanjut seperti pemeriksaan kolesterol untuk menurunkan risiko kematian demam
berdarah dengue yang disertai gagal ginjal akut (Lizarraga dkk., 2014; Oliveira
dkk., 2015). Kematian akibat gagal ginjal akut pada pasien demam berdarah
dengue di Thailand mencapai 33,3% (Nair dkk., 2005; Rydha dkk., 2014).
6.4 Temuan Baru Penelitian
Penelitian tentang proteinuria pada anak terinfeksi virus dengue dengan atau
tanpa disertai renjatan dengan menggunakan metode rasio protein berbanding
kreatinin belum pernah dilakukan.
Temuan baru pada penelitian ini adalah proteinuria tipe nefrotik seluruhnya
terjadi pada kondisi dengan renjatan. Infeksi virus dengue yang disertai renjatan
meningkatkan terjadinya proteinuria tipe nefrotik 3,52 kali lebih tinggi
dibandingkan kondisi tanpa renjatan. Hal ini dapat menyimpulkan mekanisme
terjadinya proteinuria pada anak dengan infeksi virus dengue lebih pada
mekanisme viral nefropati karena reaksi antigen NS1 pada lapisan glikokaliks di
endotel ginjal. Kondisi hipoalbumin yang lebih berat dikarenakan oleh hilangnya
albumin di ginjal melalui mekanisme tersebut.
6.5 Kelemahan Penelitian
Penelitian ini tidak dapat menjelaskan apakah proteinuria merupakan
prediktor terjadinya kondisi renjatan serta penelitian ini belum dapat
menyimpulkan mekanisme terjadinya proteinuria pada kondisi tanpa renjatan
karena pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan analisis urin. Pada kondisi
renjatan terjadi kebocoran plasma pada pembuluh darah di seluruh tubuh.
74
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
7.1.1 Jumlah ekskresi protein urin didapatkan lebih tinggi pada anak yang
terinfeksi virus dengue yang disertai renjatan 0,3 gram/gram (IQR=-0,12-
0,72) dibandingkan tanpa disertai renjatan sebesar 0,18 gram/gram
(IQR=0,02-0,34).
7.1.2 Proteinuria tipe nefrotik seluruhnya terjadi pada anak terinfeksi virus
dengue yang disertai renjatan.
7.1.3 Kondisi hipoalbumin memiliki hubungan yang bermakna terhadap
terjadinya proteinuria dibandingkan dengan kondisi renjatan pada infeksi
virus dengue. Hal ini dapat menyimpulkan mekanisme terjadinya
proteinuria pada anak dengan infeksi virus dengue lebih pada mekanisme
viral nefropati karena reaksi antigen NS1 pada lapisan glikokaliks di
endotel ginjal. Kondisi hipoalbumin yang lebih berat dikarenakan oleh
hilangnya albumin di ginjal melalui mekanisme tersebut.
7.2 Saran
Penelitian lebih lanjut analisis berpasangan perlu dilakukan untuk
membandingkan nilai UPCR pada beberapa titik pemeriksaan untuk mengetahui
perbaikan kondisi proteinuria pada pasien dengan renjatan sehingga dapat
74
75
digunakan sebagai prediktor kondisi renjatan serta untuk pemahaman patofisiologi
dari proteinuria, sindrom nefrotik dan glomerulonefritis pada infeksi virus dengue.
76
DAFTAR PUSTAKA
Abbate, M., Zoja, C., Remuzzi, G. 2006. How does Proteinuria cause Progressive
Renal Damage. J. Am. Soc. Nephrol; 17: 2974-84.
Acharya, S., Shukla, S., Kahajan, S.N., Diwan, S.K.2010. Acute Dengue Myositis
with Rhabdomyolysis and Acute Renal Failure. Ann Indian Acad
Neurol;13:221-12.
Adembri, C., Vitalli, L., Selmi, V., Tani, A., Sgambali, E., Caldini, AL. 2011.
Tubular Proteinuria during Experimental Sepsis is Associated with
Changes in Hyaluronan and Sialic Acids Expression. Crit Care; 15:R277.
Alam, K., Sulaiman, S.A.S., Shafie, A.A., Yusuf, E. 2010.Clinical Manifestation
and Laboratory Profile of Dengue Fever among Patient’s General
HospitalPenang. Archives of Pharmacy Practice; 1:25-29.
Alm, E., Lindegren, G., Falk, K.I. 2015. One Stop Real Time RT PCR for
Serotyping Dengue Virus in Clinical Samples. BMC Infectious Diseases;
15: 1-7.
Arici, M., Brown, J., Williams, M., Harris, K.P., Walls, J., Brunskill, N.J. Fatty
2002. Acids Carried on Albumin Modulate Proximal Tubular Cell
Fibronectin Production: A Role fo Protein Kinase C. Nephrol Dial
Transplant; 17: 1751-7.
Aronow, W.S., Ahn, C., Mercando, A.D., Epstein, S. 2000. Prevalence of
Coronary Artery Disease, Complex Ventricular Arrhythmias, and Silent
Myocardial Ischemia and Incidence of New Coronary Events in Older
Persons with Chronic Renal Insufficiency and with Normal Renal
Function. The American Journal of Cardiology; 86:1142-43.
Avirutnan, P., Zang, L., Punyadee, N., Manuyakorn, A., Puttikhunt, C., Kasinrerk
W., Malasit, P., Atkinson, J.P., Diamond, M.S. 2007. Secreted NS 1 of
Dengue Virus Attaches to the Surface of Cells via Interactions with
Heparin Sulfate and Chondroitin Sulfate. PLOS Pathogens; 3:1798-812.
Bhagat, M., Zaki, S.A., Sharma, S., Manglani, M.V. 2012. Acute
Glomerulonephritis in Demam Berdarah Dengue in the Absence of Shock,
Sepsis, Hemolysis and Rhabdomyolisis. Pediatric and International Child
Health; 32:161-3.
Bates, D.O., Hillman, N.J., Williams, B., Neal, C.R., Pocock, T.M., 2002.
Regulation of Microvascular Permeability by Vascular Endothelial
Growth Factors. J. Anat; 200:581-97.
Bethell, D.B., Gamble, J., Dung, N.M., Chau, T.T.H., Loan, H.T., Thuy, T.T.N.,
Tam, D.T.H., Gartside, I.B., White, N.J., Day, N.P.J. 2001. Noninvasive
Measurement of Microvascular Leakage in Patients with Demam Berdarah
Dengue. Clinical Infectious Diseases; 32:243-53.
Carmody, J.B. 2011. Urin electrolytes. Pediatrics in Review; 32:65-8.
Chen, Y., Maguire, T., Hileman, R.E., Fromm, J.R., Esko, J.D., Linhardt, R.J.,
Marks, R.M. 1997. Dengue Virus Infectivity Depends on Envelope Protein
Binding to Target Cell Heparin Sulfate. Nature Medicine; 3:866-71.
77
Dalrymple. N., Mackow, E.R. 2011. Productive Dengue Virus Infection of
Human Endothelial Cell is Directed by Heparin Sulfate-Containing
Proteoglycan Receptors. Journal of virology; 85:9478-85.
Darwis, D. 2003. Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada Anak. Sari Pediatri;
4: 156-62.
Dellinger, R.P., Levi, M.M., Rhodes, A., Ammane, D., Gerlach, H., Opal, S.M., et
all. 2012. Surviving Sepsis Campaign International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Critical Care Medicine
and Intensive Care Medicine; 4:1-61.
Dewi, R., Tumbelaka, A.R., Syarif, D.R. Clinical Features of Dengue
Hemorrhagic Fever and Risk Factors of Shock Event. Pediatr Indones;
46:144-8.
Dinas Kesehatan Kota Denpasar. 2015. Profil Dinas Kesehatan Kota Denpasar
Tahun 2015. Denpasar: Dinas Kesehatan Kota Denpasar.
Falcao, H., Miguel, A., Japiassu. 2010. Albumin in Critically Ill Patients :
Controversies and Recommendations. 23:87-95.
Farlex. 2012. Partner Medical Dictionary Body Surface Area. Available from :
URL:http:/www.medical dictionary.thefreedictionary.cm
Fink, J., Gu, F., Vasudevan, S.C. 2006. Role of T cells, Cytokines and Antibody
in Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever. Rev. Med. Virol;
16:263-75.
Freda, B.J., Tang, W.H.W., Lente, F.V.,Peacock, W.F., Francis, G.S.2002.
Cardiac Troponins in Renal Insufficiency: Review and Clinical
Implications. Journal of the American College of Cardiology; 40:2065-71.
Gayatri. 1997. “Faktor-Faktor Prognosis pada Demam Berdarah Dengue” (tesis).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Guzman, M.G., Halstead, S.B., Artsob, H., Buchy, P., Farrar, J., Gubler, C.J.,
Hunsperger, E., Kroeger, A., Margolis, H.S., Martinez, E., Nathan, M.B.,
Pelegrino, J.L., Simmons, C, Yoksan S, Peeling RW. 2010. Dengue : an
continuing global threat. Nature Reviews Microbiology; 10:57-67.
Germi, R., Crance, J.M., Garin, D., Gulmet, J., Jacob, H.L., Ruigrok, R.W.H.,
Zarski, J.P., Drouet, W. 2002. Heparan Sulphate-Mediated Binding of
Infectious Dengue Virus Type 2 and Yellow Fever Virus. Virology;
292:162-8.
Garsen, M., Rops, A.L.W.M.M., Rabelink, T.J., Berden, J.H.M., Vlag, J.V.D.
2014. The Role of Heparanase and Endothelial Glycocalyx in the
Development of Proteinuria. Nephrol. Dial. Transplant; 29:49-55.
Halstead, S.B. 2007. Dengue. The Lancet; 379:p1644-52.
Hartoyo, E. 2008. Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada Anak. Sari
Pediatri; 10(3): 145-50.
Hebbal, P., Darwich, Y., Fong, J., Haggmann, S.H.F. 2016. Nephrotic-range
Proteinuria in an Eight Year old Traveler with Severe Dengue: Case report
and Review of the Literature. Travel Medicine and Infectious Disease; 14:
45-8.
Hernandez, A.C., Smith, D.R. 2005. Mammalian Dengue Virus Receptors.
Dengue Bulletin; 29:119-35.
78
Hilgard, P., Stockert, R. 2000. Heparan Sulphate Proteoglycans Initiate Dengue
Virus Infection of Hepatocytes. Hepatology; 3:1069-77.
Hogg, R.J., Furth, S., Lemley, K.V., Portman, R., Schwartz, G.J., Coresh, J., Balk,
E., Lau, J., Levin, A., Kausz, A.T., Eknoyan, G., Levey, A.S. 2003.
National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative, Clinical Practice Guidelines for Chonic Kidney Disease in
Children and Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification.
Pediatrics; 111:1416-21.
Hu, J.Y., Meng, X.C., Han, J., Xiang, F., Fang, Y.D., Wu, J., Peng, Y.Z., Wu,
YZ., Huang, Y.S., Luo, Q.Z. 2012. Relation between Proteinuria and
Acute Kidney Injury in Patients with Severe Burns. Critical Care; 16: 1-9.
Hungu. 2007. Pengertian jenis kelamin. Repository.usu.ac.id.
Jessie, K., Fong, M.Y., Devi, S., Lam, S.K., Wong, K. T. 2004. Localization of
Dengue Virus in Naturally Infected Human Tissues, by
Immunohistochemistry and In Situ Hybridization. The Journal of
Infectious Diseases; 198:1411-8.
Kalayanarooj, S., Vaughn, D.W., Nimannitya, S., Green, S., Suntayakorn, S.,
Kunentrasai, N., Viramitrachai, W., Ratanachu, S., Kiatpolpoj, S., Innis,
B.L., Rothman, A.L., Nisalak, A., Ennis, F.A. 1997. Early Clinical and
Laboratory Indicators of Acute Dengue Illness. The Journal of Infectious
Diseases; 176:313-21.
Kan, E.F., Rampengan, T.H. 2004. Factors Associated with Shock in Children
with Dengue Hemorrhagic Fever. Pediatr Indones; 44:171-5.
Karyana, I.P.G. 2005. Uji Diagnostik rasio IgG:IgM untuk menentukan tipe
infeksi dengue dan kadar IgG sebagai prediktor terjadinya sindrom syok
dengue akhir sebagai persyaratan untuk mendapatkan tanda keahlian
dibidang ilmu kesehatan anak (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Karyanti, M.R., Uiterwal, C.S.P.M., Kusriastuti, R., Hadinegoro, S.R., Rovers,
M.M., Heesterbeek, H., Hoes, A.W., Verhagen, P.B. 2014. The Changing
Incidence of Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia: 45-Year Registry-
Based Analysis. BMC Infectious Diseases; 14(412): 1-7.
Khan, F.Y. 2009. Rhabdomyolysis: a review of literature. 67: 272-283.
Koomans, H.A., Braam, B., Geers, A.B., Roos, J.C., Mees, E.J.D., 1986. The
Importance of Plasma Protein for Blood Volume and Blood Pressure
Homeostasis. Kidney International; 30: 730-5.
Kristiani, D., Kusuma, P.A., Suryantoro, P. 2009. Diagnostic Accuracy of Single-
Voided Urine Protein/Creatinin Ratio for Proteinuria Assesment in
Children with Nephrotic Syndrome. Paediatr. Indones; 49: 355-8.
Lizarraga, K.J., Nayer, A. 2014. Dengue-Associated Kidney Disease. J
Nephropathol; 3:57-62.
Lee, I.K., Liu, J.W., Yang, K.D. 2009. Clinical Characteristics, Risk Factors, and
Outcomes in Adults Experiencing Dengue Hemorrhagic Fever
Complicated with Acute Renal Failure. Am. J. Trop. Med. Hyg; 80:651-5.
Lee, S.H., Nam, K.W., Jeong, J.Y., Yoo, S.J., Koh, Y.S., Lee, S., Heo, S.T.,
Seong, S.Y., Lee, K.H. 2013. The Effects of Climate Change and
79
Globalization on Mosquito (Aedes Albopictus) Influxes and Survival from
Vietnam rather than Japan. Plos One; 8:1-11.
Leung, A.K.C., Wong, A.H.C. 2010. Proteinuria in children. Am Fam Physician;
82:645-51.
Lumpaopong, A., Kaewplang, P., Watanaveeradej, V., Thirakhupt, P.,
Chamnanvanakij, S., Srisuwan, K., Pongwilairat, N., Chilamokha, Y.
2010. Electyrolytes Disturbance and Abnormal Urin Analysis in Children
with Dengue Infection. Southeast Asian Journal Of Tropical Medicine and
Public Health; 41:72-6.
Marks, MI., Mclaine, P.N., Drummond, K.N. 1970. Proteinuria in Children with
Febrile Illnesses. Archives of Disease in Childhood; 45: 250-3.
Martina, B.E.E., Koraka, P., Osterhaus, A.D.M.E. 2009. Dengue Virus
Pathogenesis: an Integrated view. Microbiology Reviews; 22:564-81.
Mansfield.,Mathew, A.J., George, J. 2011. Acute kidney injury in the tropics. Ann
Saudi Med; 31:451-456.
Mekmullica, J., Suwanphatra, A., Harutai, T., Chansongsakul, T., Cherdkiatkul,
T., Pancharoen, C., Thisyakorn, U. 2005. Serum and Urin Sodium Levels
in Dengue Patients. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and
Puvblic Health; 36:197-201.
Miltenyi, M., Komer, A., Dobos, M., Tichy, M. 1983. Reversible Tubular
Proteinuria Associated with Hyperglycemic Ketoacidosis in Type 1
Diabetes Mellitus. The international Journal of Pediatric Nephrology;
4(4): 247-50.
Nair., Ramachandran, V., Dilip, U., Satish, B., Sahadulla, M.I. 2005. Acute Renal
Failure in Dengue Fever in the Absence of Bleeding Manifestations od
shock. Infectious Diseases in Clinical Practice; 13:42-3.
Nguyen, T.H.T., Lam, P.K., Duyen, H.T.L., Ngoc, T.V., Ha, P.T.T., Nguyen,
T.T.K., Simmons, C., Wolbers, M., Wills, B. 2013. Urine Albumin
Creatinin Ratio (UACR) Values. Plos One; 22:1-10.
Nijenhuis, T., Sloan, A.J., Hoenderop., Flesche, J., Goor, H.V., Kistler, A.D.,
Bakker, M., Bindels, R.J.M., Boer, R.A., Moller, C.C., Haming, M.I.,
Navis, G., Wetzels., Berden, J.H.M., Reiser, J., Faul, C., Vlag, J.V.D.
2011. Angiotensin II Contributes to Podocyte Injury by Increasing TRPC6
Expression via an NFAT-Mediated Positive Feedback Signaling Pathway.
The American Journal of Pathology; 179:1719-32.
Oliveira, J.F.P., Burdmann, E.A. 2015. Dengue-Associated Acute Kidney Injury.
Clinical Kidney Journal; 8:681-5.
Ohlson, M., Sorensson, J., Lindstrom, K., Blom, A.M., Fries, E., Haraldsson, B.
2001. Effect of Filtration Rate on the Glomerular Barrier and Clearance of
Four Differently Shaped Molecules. The Journal of Infectious Diseases;
181:2-9.
Prommalikit, O., Thisyakorn, U. 2015. Dengue Virus Virulence and Diseases
Severity. Southeast Asian J Trop Med Public Health; 46(1): 35-42.
Rademacher, E.R., Sinaiko, A.R. 2009. Albuminuria in Children. Current Opinion
in Nephrology and Hypertension; 18:246-51.
80
Raihan, Hadinegoro, S.R.S., Tumbelaka, AR. 2010.Faktor Prognosis Terjadinya
Renjatan pada Demam Berdarah Dengue. Sari Pediatri; 12:47-52.
Repizo, L.P., Malheiros, D.M., Yu, L., Barror, R.T., Burdmann, E.A. 2014.
Biopsy Proven Acute Tubular Necrosis due to Rhabdomyolisis in a
Dengue Fever {Patient: a Case Report and Review of Literature. Rev. Inst.
Med. Trop. Sao Paulo; 56:85-8.
Roche. 2005. Diagnostics Albumin Turbidimetric serum application.Cobas
Integra; V: 1-3.
Rydha, H.A., Rauf, S., Daud, D. 2014. Gangguan Ginjal Akut pada Demam
Berdarah Dengue. Sari Pediatri;15(5):307-12.
Saniathy, E., Arhana, B.N.P., Suandi, I.K.G., Sidiartha, I.G.L. 2009. Obesitas
Sebagai Faktor Risiko Sindrom Renjatan Dengue. Sari Pediatri; 11:328-
43.
Siemens healthcare diagnostics. 2011. Instruction for Use Total Protein 2 Urine
(UPRO 2). Advia chemistry system, 01: 1-17.
Simmons, C.P., Farrar, J.J., Chau, N.V.V., Wills, B. 2012. Current Concepts
Dengue.The New England Journal of Medicine. 366:1423-32.
Singh, A., Satchell, S.C., Neal, C.R., McKenzie, E.A., Tooke, J.E., Mathhieson.
2007. Glomerular Endothelial Glycocalyx Constitutes a Barrier to Protein
Permeability. J Am Soc Nephrol; 18:2885-93.
Soedarmo,S.S., Garna, H., Hadinegoro, S.R. 2002. Infeksi Virus Dengue. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.h.176-207.
Srinivasan, V. 2012. Stress Hyperglycemia in Pediatric Critical Illness: The
Intensive Care Unit Adds to the Stress. Journal of Diabetes Science and
Technology; 6:37-47.
Starr, R.A. 1998. Treatment of Acute Renal Failure. Kidney Int; 54:1817-31.
Tien, N.T.H., Lam, P.K., Duyen, H.T., Ngoc, T.V., Ha, P.T.T, Kieu, N.T.T.,
Simmons, C., Wolbers, M., Wills, B. 2013. Assesment of
Microalbuminuria for Early Diagnosis and Risk Prediction in Dengue
Infection; 8:1-9.
Toblii, J.E., Bevione, P., Gennaro, F.D., Madalena, L., Cao, G., Angerosa, M.
2012. Understanding the Mechanisms of Proteinuria: Therapeutic
Implications. International Journl of Nephrology; 2012:1-13.
Tojo, A., Kinugasa, S. 2012. Mechanisms of Glomerular Albumin Filtration and
Tubular Reabsorption. International Journal of Nephrology; 2012:1-9.
Utsch, B., Klaus, G. 2014. Urinalysis in Children and Adolescents : Continuing
Medical Education. Deutsches Arzteblatt International; 111:617-26.
Upadhaya, B.K., Sharma, A., Khaira, A., Dinda, A.K., Agarwal, S.K., Tiwari,
S.C. 2010. Transient IgA Nephropathy with Acute Kidney Injury in
Patient with Dengue Fever. Saudi JJ Kidney Dis Transpl; 21:521-5.
Vasanwala, F.F., Puvanendran, R., Chong, S.F., Meng, J., Suhail, S.M., Lee, K.H.
2011. Could Peak Proteinuria Determine Wether Patient with Dengue
Fever Develop Dengue Dengue Shock Syndrome? a Prospective Cohort
Study. BMC Infectious Disease, 11:212-217.
81
Vasanwala, F.F., Thein, T.L., Leo, Y.S., Gan, V.C., Hao, Y., Lee, L.K., Lye, D.C.
2014. Predictive Value of Proteinuria in Adult Dengue Severity. Plos
Neglected Tropical Diseases; 8:1-6.
Varrier, M., Fomi, L.G., Ostermann, M. 2015. Long-term Sequuelae from Acute
Kidney Injury: potential mechanism for the observed poor renal outcomes.
Critical Care; 19(102): 1-7.
Vaughn, D.W., Green, S., Kalayanarooj, S., Innis, B.L., Nimmammitya, S.,
Suntayakorn, S., Endy, T.P., Raengsakulrach, B., Rothman, A.L., Ennis,
F.A., Nisalak, A. 2000. Dengue Viremia Titer, Antibody Respons Pattern,
and Virus Serotype Correlate with Disease Severity. The Journal of
Infectious Disease; 181:2-9.
Wang, W.K., Chao, D.Y., Kao, C.L., Wu, H.C., Liu, Y.C., Li, C.M., Lin, S.C.,
Ho, S.T., Huang, J.H., King, C.C. 2002. High Levels of Plasma Dengue
Viral Load during Defervescence in Patients with Dengue Hemorrhagic
Fever: Implications for Pathogenesis. Virology; 305:330-8.
Wills, B.A., Oragui, E.E., Dung, N.M., Loan, H.T., Chau, N.V., Farrar, J.J.,
Levin, M. 2004.Size and Charge Characteristics of Protein Leak in Dngue
Shock Syndrome. JID; 190:810-818.
Wichmann, O., Hongsiriwon, S., Bowonwatanuwong, C., Chotivanich, K.,
Sukthana., Pukrittayakamee, S. 2004. Risk Factors and Clinical Features
Associated with Severe Dengue Infection in Adults and Children during
the 2001 epidemic in Chonburi, Thailand.Tropical Medicine and
International Health; 9:1022-1029.
World Health Organization Regional Office for South East Asia. 2011.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Hemorrhagic Fever : Revised and Expanded edition; 1-195.
82
Lampiran 1. Hasil Penelitian Pendahuluan
No Nama Umur Jenis
kelamin
Berat
badan
Tinggi
badan
LPT Status gizi Diagnosis
akhir
Kadar albumin Kadar gula
darah serum
UPCR
1 Kadek
Anggita
Rahayu
77.47 2.0 28.0 122.0 0.97 5.0 2.0 3.2 56.0 0.173
2 Kadek Joni
dwipa
85.0 1.0 30.0 134.0 1.06 2.0 1.0 3.4 89.0 0.15
3 Arya Julianto
Brawijaya
73.1 1.0 20.0 118.0 0.81 2.0 4.0 2.61 74.0 0.087
4 Ratna Dwi
Kusuma
112.13 2.0 26.0 144.0 1.02 1.0 4.0 3.3 239.0 1.253
5 Ni Nyoman
Ayu Trisna
129.33 2.0 50.0 148.0 1.0 5.0 2.0 2.5 160.0 0.756
6 Mohammad
Agus
Ramdani
80.6 1.0 20.0 114.0 0.79 2.0 1.0 3.7 97.0 0.137
7 Nuri Sani
padillah
128.3 2.0 40.0 145.0 1.27 2.0 1.0 2.96 200.0 0.639
8 Rizky
Budiana
Komang
97.93 1.0 35.0 126.0 1.11 5.0 5.0 1.7 189.0 0.388
9 Legiawan 37.8 1.0 13.5 109.0 0.64 2.0 2.0 3.3 90.0 0.339
10 Kadek Sathya
Abhinawa
132.17 1.0 45.0 150.0 1.37 3.0 4.0 3.15 87.0 0.5
Rerata 95.383 30.75 131 1.004 2.982 128.1 0.4422
SD beda
rerata
0.36
Jumlah
Subyek
10
83
Lampiran 2. PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
Kami meminta Bapak/ Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian. Kepesertaan
dari penelitian ini bersifat sukarela. Mohon agar dibaca penjelasan dibawah dan
silakan bertanya bila ada pertanyaan/ bila ada hal hal yang kurang jelas.
Perbandingan proteinuria pada anak terinfeksi dengue dengan atau tanpa
renjatan
Peneliti Utama Dr. Ni Made Dwiyathi Utami
Prodi/ Fakultas/
Univ/ Departmen/
Instansi
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
Peneliti Lain Dr. BNP Arhana, SpA(K), Dr. Made Kardana, SpA(K)
Lokasi Penelitian RSUP Sanglah Denpasar
Sponsor/
Sumber pendanaan
Swadana
Semakin tingginya angka kematian pasien anak dengan demam berdarah
dengue yang berat, diperlukan upaya pengenalan gejala yang mengarah pada kegawatan tersebut. Pengenalan kondisi kegawatan selain melalui gejala pasien saat datang, dapat diketahui melalui hasil laboratorium darah maupun urin. Penelitian ini untuk mengetahui perbandingan protein dalam urin pasien anak yang menderita demam berdarah dengue dengan atau tanpa disertai oleh syok. Dengan diketahuinya kecenderungan yang terjadi dapat memberikan informasi akan kecenderungan anak tersebut untuk mengalami syok oleh karena infeksi dengue. Peserta penelitian merupakan anak-anak yang berusia 1 bulan sampai dengan 12 tahun yang dirawat dengan kecurigaan infeksi dengue dengan atau tanpa disertai dengan syok. Peserta yang diikutkan di dalam penelitian ini sebanyak 108 pasien. Orangtua atau Wali dari peserta penelitian diminta untuk mengisi kuisioner yang memerlukan waktu kurang lebih 15 menit. Kemudian urin dari peserta penelitian akan ditampung pada hari ke 6 sejak awal demam sewaktu untuk dilakukan pemeriksaan mengenai kandungan protein dalam urin tersebut. Pasien dilakukan juga pemeriksaan darah, dimana sampel darah diambil bersamaan dengan pemeriksaan darah serial.
RSUP SANGLAH DENPASAR RM.1.14.1/IC/2016
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)
SEBAGAI PESERTA PENELITIAN
84
Manfaat yang didapat oleh peserta penelitian
Mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai derajat kaparahan renjatan dengan peyulit. Sehingga bagi penderita mendapatkan penatalaksanaan yang lebih baik kondisi yang berpotensi menjadi proteinuria yaitu keadaan dimana terdeteksinya protein di dalam urin. Ketidaknyamanan dan resiko/ kerugian yang mungkin akan dialami oleh peserta penelitian
Anak anda tidak akan menerima risiko apapun dengan berpartisipasi dalam penelitian ini. Karena pada penelitian ini tidak dilakukan tindakan medis kepada pasien.
Alternatif tindakan/ pengobatan
Pada penelitian ini tidak dilakukan tindakan atau pengobatan.
Kompensasi, Biaya Pemeriksaan/ Tindakan dan ketersediaan perawatan
medis bila terjadi akibat yang tidak diinginkan
Tidak ada kompensasi finansial atas kepesertaan anda dalam penelitian ini.
Peneliti menanggung biaya pemeriksaanurin dan kreatinin dalam 24 jam pada
penelitian ini. Prosedur medis yang dilakukan pada penelitian ini adalah prosedur
standar yang beresiko rendah. Tetapi bila terjadi dampak medis sebagai akibat
langsung dari prosedur penelitian, peneliti akan menanggung biaya
pengobatannya sesuai dengan standar pengobatan yang berlaku.
Kerahasiaan Data Peserta Penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Kepesertaan pada penelitian ini adalah sukarela.
Kepesertaan Bapak/ Ibu pada penelitian ini bersifat sukarela. Bapak/ Ibu dapat
menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada penelitian atau
menghentikan kepesertaan dari penelitian kapan saja tanpa ada sanksi.
Keputusan Bapak/ Ibu untuk berhenti sebagai peserta peneltian tidak akan
mempengaruhi mutu dan akses/ kelanjutan pengobatan ke RSUP Sanglah.
JIKA SETUJU UNTUK MENJADI PESERTA PENELITIAN
Jika setuju untuk menjadi peserta peneltian ini, Bapak/ Ibu diminta untuk
menandatangani formulir ‘Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Sebagai *Peserta Penelitian/ *Wali’ setelah Bapak/ Ibu benar benar memahami
tentang penelitian ini. Bapak/ Ibu akan diberi Salinan persetujuan yang sudah
ditanda tangani ini.
85
Bila selama berlangsungnya penelitian terdapat perkembangan baru yang dapat
mempengaruhi keputusan Bapak/ Ibu untuk kelanjutan kepesertaan dalam
penelitian, peneliti akan menyampaikan hal ini kepada Bapak/ Ibu.
Bila ada pertanyaan yang perlu disampaikan kepada peneliti, silakan
hubungi dr. Ni Made Dwiyathi Utami
(081246386244/081339625452/[email protected])
Tanda tangan Bapak/ Ibu dibawah ini menunjukkan bahwa Bapak/ Ibu telah
membaca, telah memahami dan telah mendapat kesempatan untuk bertanya
kepada peneliti tentang penelitian ini dan menyetujui untuk menjadi peserta
penelitian.
Peserta/ Subyek Penelitian, Wali,
__________________________________
__________________________________ Tanda Tangan dan Nama Tanda Tangan dan Nama
Tanggal (wajib diisi): / / Tanggal (wajib diisi): /
/
Hubungan dengan Peserta/
Subyek Penelitian:
_________________________________________
Peneliti
__________________________________ __________________ Tanda Tangan dan Nama Tanggal
86
Tanda tangan saksi diperlukan pada formulir Consent ini hanya bila (Diisi
oleh peneliti)
Peserta Penelitian memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, tetapi tidak
dapat membaca/ tidak dapat bicara atau buta
Wali dari peserta penelitian tidak dapat membaca/ tidak dapat bicara atau buta
Komisi Etik secara spesifik mengharuskan tanda tangan saksi pada penelitian ini
(misalnya untuk penelitian resiko tinggi dan atau prosedur penelitian invasif)
Catatan:
Saksi harus merupakan keluarga peserta penelitian, tidak boleh anggota tim penelitian.
Saksi:
Saya menyatakan bahwa informasi pada formulir penjelasan telah dijelaskan
dengan benar dan dimengerti oleh peserta penelitian atau walinya dan
persetujuan untuk menjadi peserta penelitian diberikan secara sukarela.
___________________________________________________
__________________
Nama dan Tanda tangan saksi
Tanggal
(Jika tidak diperlukan tanda tangan saksi, bagian tanda tangan saksi ini dibiarkan
kosong)
87
Lampiran 3. KUISIONER
KUISIONER PERTANYAAN PENELITIAN
Rumah Sakit : _____________________________
Tanggal Masuk RS : _________________________
Jam Masuk RS : ____________________________
A. Identitas Responden
1. Nama : _____________________________________
2. Tanggal Lahir : ___/___/___ (tgl/bulan/tahun)
3. Umur Saat masuk RS : _____Tahun____Bulan____Hari
4. Jenis Kelamin : L / P
5. Berat badan saat masuk RS : _______Kg
6. Panjang Badan/Tinggi Badan : _______cm
7. Status Gizi : Kurang/Baik/Buruk
B. Anamnesis
1. Apakah pasien mengalami demam?________________________
2. Demam sudah dialami berapa hari ?________________________
3. Ada keluhan nyeri belakang mata ?________________________
4. Ada keluhan nyeri sendi ?________________________________
5. Ada keluhan Mimisan ?_________________________________
6. Ada keluhan perdarahan Gusi ?___________________________
7. Ada keluhan kaki dan tangan dingin ?______________________
8. Ada keluhan nyeri kepala ?_______________________________
9. Ada keluhan mual dan muntah ?___________________________
10. Ada Muntah persisten ?_________________________________
11. Ada keluhan nyeri perut hebat ?___________________________
12. Letargi ?_____________________________________________
13. Ada tanda perdarahan spontan ?___________________________
14. Ada perburukan klinis saat suhu reda ?______________________
15. Ada dieresis menurun dalam 4-6 ?_________________________
16. Peningkatan jumlah hematokrit ? ________bila Ya sebutkan ____
17. Penuruna jumlah trombosit?____________bila Ya sebutkan ____
18. Keluhan lain, bila ada mohon disebutkan ___________________
19. Apakah pasien pernah berobat sebelumnya untuk keluhan ini ?__
20. Bila ya, obat apa yang pernah diberikan?___________________
21. Apakah pasien pernah menderita demam berdarah sebelumnya ?_
22. Bila ya, kapan? ________________________________________
23. Apakah pasien pernah mendapatkan vaksin demam berdarah ?___
24. Apakah pasien pernah menderita penyakit ginjal sebelumnya ?__
25. Bila ya, kapan ? _______________________________________
26. Musim ?______________________________________________
88
27. Curah Hujan ?_________________________________________
28. Suhu udara ?__________________________________________
29. Kepadatan penduduk ?__________________________________
30. Golongan Darah pasien ?________________________________
C. Pemeriksaan Fisik
1. Tanggal pemeriksaan : ______________________________
2. Jam Pemeriksaan :__________________
3. Tanda Utama : Suhu : __________, Nadi : _________, Temp : __
4. Kesadaran : ______________________________________
5. Tekanan darah : ______________________________________
6. Rumple leed test : __________________________________
7. Tanda perdarahan : ___________________________________
8. Akrat hangat/ dingin : ________________________________
9. Akral (waktu pengisian kapiler ) :_______________________
10. Organomegali :_____________________________________
D. Diagnosis Masuk
_________________________________________________________
1. Derajat DHF : I / II / III / IV
2. Diagnosis lain :
E. Resume (Rekam Medik)
1. Diagnosis masuk : ____________________________________
2. Berat badan saat MRS : _________________________________
3. Berat Badan saat pulang : ________________________________
4. Awal mula Sakit : ____________
5. Waktu defervescence (Hari 0): __________
6. Waktu awal terjadinya proteinuria dari Hari 0 : ____________
7. Waktu terjadinya trombosit paling rendah dari Hari 0 :________
8. Lama Demam : ________
9. Waktu terjadinya peningkatan hematokrit paling tinggi dari hari 0
10. Waktu terjadi penurunan hematokrit paling rendah dari hari 0 :_
11. Lama Perawatan : _________
12. Terapi renjatan : _________________________
13. Obat yang diberikan : _____________________
14. Tanggal keluar RS : _______________________
15. Kondisi saat keluar RS : ___________________
F. Diagnosis keluar
_________________________________________________________
G. Pengambilan Spesimen
1. Berhasil dilakukan : Ya /Tidak
2. Rapid serologi DHF : (+) / (-)
3. Proteinuria (+) / (-) : ____________________________
89
-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
Temperatur tubuh
Klinis
Jumlah Platelet
Jumlah Hematocrit
Jumlah leukosit
Jumlah Neutrofil
Jumlah Limfosit
Jumlah hemoglobin
Renjatan / Tidak
Renjatan
Rapid Serologi
Dengue
Kadar protein urin
Kadar kreatinin urin
Rasio protein dan
kreatinin urin
90
INFORMED CONSENT
(Formulir Persetujuan Tertulis Setelah Penjelasan)
Nomor Sampel : ______________
Tanggal : _____________
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ______________________________________________
Alamat : ______________________________________________
No Telpon/HP : ______________________________________________
Sebagai orangtua/wali*:
Nama anak : _______________________________________________
Umur : _______________________________________________
Alamat : _______________________________________________
Bersedia secara sukarela anak saya berpartisipasi dalam penelitian yang
berjudul“Perbandingan Ekskresi Protein Urin pada Anak terinfeksi Dengue
dengan atau tanpa Renjatan”. Setelah mendengarkan penjelasan mengenai
kegiatan yang akan dilakukan dan memahami prosedur dan manfaat dari
penelitian. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa
tekanan dari pihak manapun.
Denpasar, ______________
Mengetahui saksi-saksi : Yang membuat pernyataan
1. ___________________________
2. ___________________________
__________________
Tanda tangan dan nama terang
91
Lampiran 4. KETERANGAN KELAIKAN ETIK
92
Lampiran 5. SURAT IJIN PENELITIAN
93
Lampiran 6. SURAT AMANDEMEN PERUBAHAN JUDUL PENELITIAN
94
Lampiran 7. HASIL ANALISIS DATA SPSS
DSS atau
tidak N Mean Rank Sum of Ranks
Kadar albumin pada hari ke-
6 sejak onset
Syok 61 40.00 2440.00
Tidak syok 47 73.32 3446.00
Total 108
Kadar gula darah serum hari
ke-6 sejak onset
Syok 61 56.80 3465.00
Tidak syok 47 51.51 2421.00
Total 108
Kadar kreatinin urin 24 jam
(mg/24 jam)
Syok 61 52.66 3212.50
Tidak syok 47 56.88 2673.50
Total 108
rasio proteinurian 24 jam
(gram/24jam)
Syok 61 60.84 3711.00
Tidak syok 47 46.28 2175.00
Total 108
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Kadar albumin pada hari ke-
6 sejak onset 108 2.9076 .60498 1.37 4.10
Kadar gula darah serum hari
ke-6 sejak onset 108 1.0483E2 36.55748 53.00 239.00
Kadar kreatinin urin 24 jam
(mg/24 jam) 108 4.3897E2 311.69388 1.00 2002.00
rasio proteinurian 24 jam
(gram/24jam) 108 .2093 .34749 .01 2.02
DSS atau tidak 108 1.44 .498 1 2
94
95
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
Apakah terdapat proteinuria
atau tidak
Ya Count 43 19 62
% within DSS atau tidak 70.5% 40.4% 57.4%
Tidak Count 18 28 46
% within DSS atau tidak 29.5% 59.6% 42.6%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 9.814a 1 .002
Continuity Correctionb 8.623 1 .003
Likelihood Ratio 9.909 1 .002
Fisher's Exact Test .003 .002
Linear-by-Linear Association 9.723 1 .002
N of Valid Casesb 108
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.02.
b. Computed only for a 2x2 table
Kadar albumin
pada hari ke-6
sejak onset
Kadar gula
darah serum hari
ke-6 sejak onset
Kadar kreatinin
urin 24 jam
(mg/24 jam)
rasio
proteinurian 24
jam
(gram/24jam)
Mann-Whitney U 549.000 1293.000 1321.500 1047.000
Wilcoxon W 2440.000 2421.000 3212.500 2175.000
Z -5.485 -.871 -.694 -2.396
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .384 .488 .017
a. Grouping Variable: DSS atau tidak
96
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Apakah
terdapat proteinuria atau
tidak (Ya / Tidak)
3.520 1.580 7.845
For cohort DSS atau tidak =
Syok 1.772 1.192 2.635
For cohort DSS atau tidak =
Tidak syok .503 .324 .782
N of Valid Cases 108
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardiz
ed
Coefficient
s
T Sig.
95% Confidence
Interval for B
Collinearity
Statistics
B Std. Error Beta
Lower
Bound
Upper
Bound
Toleranc
e VIF
1 (Constant) -.329 .598 -.549 .584 -1.515 .858
Stsyokbr .342 .184 .225 1.859 .066 -.023 .706 .601 1.663
Luas
permukaan
tubuh pasien
-.321 .309 -.122 -1.041 .300 -.934 .291 .637 1.570
Apakah demam
saat MRS .003 .172 .002 .016 .987 -.339 .345 .874 1.144
97
Apakah
terdapat
diuresis
menurun dalam
4-6 jam
.126 .215 .068 .587 .558 -.301 .554 .663 1.508
Apakah
terdapat
perburukan saat
suhu reda
.199 .206 .117 .965 .337 -.210 .608 .598 1.673
Apakah
terdapat
peningkatan hct
-.130 .186 -.078 -.701 .485 -.499 .239 .705 1.418
Kadar gula
darah serum
hari ke-6 sejak
onset
.004 .002 .191 1.931 .056 .000 .008 .897 1.115
Kadar kreatinin
urin 24 jam
(mg/24 jam)
.000 .000 .082 .689 .492 .000 .001 .623 1.606
2 (Constant) -.325 .554 -.587 .559 -1.424 .774
Stsyokbr .342 .174 .225 1.968 .052 -.003 .688 .663 1.507
Luas
permukaan
tubuh pasien
-.321 .306 -.122 -1.048 .297 -.928 .286 .641 1.560
Apakah
terdapat
diuresis
menurun dalam
4-6 jam
.126 .214 .067 .590 .556 -.298 .551 .666 1.502
Apakah
terdapat
perburukan saat
suhu reda
.199 .205 .117 .972 .333 -.207 .606 .599 1.669
Apakah
terdapat
peningkatan hct
-.130 .180 -.078 -.722 .472 -.486 .227 .748 1.337
98
Kadar gula
darah serum
hari ke-6 sejak
onset
.004 .002 .191 1.942 .055 .000 .008 .899 1.112
Kadar kreatinin
urin 24 jam
(mg/24 jam)
.000 .000 .082 .694 .489 .000 .001 .628 1.592
3 (Constant) -.245 .535 -.458 .648 -1.308 .817
Stsyokbr .353 .173 .232 2.048 .043 .011 .695 .671 1.491
Luas
permukaan
tubuh pasien
-.301 .303 -.115 -.994 .323 -.903 .300 .648 1.542
Apakah
terdapat
perburukan saat
suhu reda
.261 .176 .153 1.486 .140 -.087 .609 .811 1.234
Apakah
terdapat
peningkatan hct
-.104 .174 -.063 -.600 .550 -.449 .241 .793 1.261
Kadar gula
darah serum
hari ke-6 sejak
onset
.004 .002 .184 1.889 .062 .000 .008 .914 1.094
Kadar kreatinin
urin 24 jam
(mg/24 jam)
.000 .000 .081 .687 .493 .000 .001 .628 1.591
4 (Constant) -.429 .438 -.979 .330 -1.298 .440
Stsyokbr .393 .159 .259 2.479 .015 .079 .708 .789 1.268
Luas
permukaan
tubuh pasien
-.282 .301 -.107 -.937 .351 -.878 .315 .656 1.524
Apakah
terdapat
perburukan saat
suhu reda
.260 .175 .153 1.486 .140 -.087 .607 .811 1.233
99
Kadar gula
darah serum
hari ke-6 sejak
onset
.004 .002 .189 1.953 .054 .000 .008 .921 1.086
Kadar kreatinin
urin 24 jam
(mg/24 jam)
.000 .000 .079 .677 .500 .000 .001 .629 1.591
5 (Constant) -.422 .437 -.966 .336 -1.289 .444
Stsyokbr .374 .156 .246 2.404 .018 .065 .683 .814 1.228
Luas
permukaan
tubuh pasien
-.164 .244 -.062 -.670 .504 -.649 .321 .987 1.013
Apakah
terdapat
perburukan saat
suhu reda
.239 .172 .140 1.391 .167 -.102 .579 .837 1.194
Kadar gula
darah serum
hari ke-6 sejak
onset
.004 .002 .195 2.029 .045 .000 .008 .928 1.077
6 (Constant) -.583 .364 -1.600 .113 -1.305 .140
Stsyokbr .383 .155 .252 2.478 .015 .076 .690 .820 1.219
Apakah
terdapat
perburukan saat
suhu reda
.246 .171 .145 1.439 .153 -.093 .585 .841 1.190
Kadar gula
darah serum
hari ke-6 sejak
onset
.004 .002 .189 1.981 .050 .000 .008 .936 1.068
7 (Constant) -.161 .217 -.741 .460 -.592 .270
Stsyokbr .297 .143 .195 2.071 .041 .013 .581 .967 1.034
Kadar gula
darah serum
hari ke-6 sejak
onset
.004 .002 .213 2.262 .026 .001 .008 .967 1.034
100
a. Dependent Variable: Rasio protein berbanding kreatinin
urin 24 jam (mg/mg)
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
Jenis kelamin pasien Laki-laki Count 33 20 53
% within DSS atau tidak 54.1% 42.6% 49.1%
Perempuan Count 28 27 55
% within DSS atau tidak 45.9% 57.4% 50.9%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
Status gizi waterlow gizi kurang Count 11 11 22
% within DSS atau tidak 18.0% 23.4% 20.4%
gizi baik Count 26 29 55
% within DSS atau tidak 42.6% 61.7% 50.9%
gizi lebih Count 5 1 6
% within DSS atau tidak 8.2% 2.1% 5.6%
Obesitas Count 12 3 15
% within DSS atau tidak 19.7% 6.4% 13.9%
super obesitas Count 7 3 10
% within DSS atau tidak 11.5% 6.4% 9.3%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
101
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
Apakah pasien merupakan
rujukan
Ya Count 41 12 53
% within DSS atau tidak 67.2% 25.5% 49.1%
Tidak Count 20 35 55
% within DSS atau tidak 32.8% 74.5% 50.9%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
Apakah demam saat MRS Ya Count 10 18 28
% within DSS atau tidak 16.4% 38.3% 25.9%
Tidak Count 51 29 80
% within DSS atau tidak 83.6% 61.7% 74.1%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
Apakah terdapat diuresis
menurun dalam 4-6 jam
Ya Count 17 5 22
% within DSS atau tidak 27.9% 10.6% 20.4%
102
Tidak Count 44 42 86
% within DSS atau tidak 72.1% 89.4% 79.6%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
Apakah terdapat
peningkatan hct
Ya Count 54 23 77
% within DSS atau tidak 88.5% 48.9% 71.3%
Tidak Count 7 24 31
% within DSS atau tidak 11.5% 51.1% 28.7%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
Apakah terdapat perburukan
saat suhu reda
Ya Count 25 4 29
% within DSS atau tidak 41.0% 8.5% 26.9%
Tidak Count 36 43 79
% within DSS atau tidak 59.0% 91.5% 73.1%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
Apakah terdapat
organomegali atau tidak
Ya Count 15 5 20
% within DSS atau tidak 24.6% 10.6% 18.5%
Tidak Count 46 42 88
% within DSS atau tidak 75.4% 89.4% 81.5%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
103
Descriptives
DSS atau tidak Statistic Std. Error
Kadar albumin pada hari ke-6 sejak onset
Syok Mean 2.6300 .07382
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
2.4823
Upper Bound
2.7777
5% Trimmed Mean 2.6303
Median 2.6200
Variance .332
Std. Deviation .57658
Minimum 1.37
Maximum 3.91
Range 2.54
Interquartile Range .70
Skewness .026 .306
Kurtosis -.109 .604
Tidak syok
Mean 3.2679 .06239
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
3.1423
Upper Bound
3.3935
5% Trimmed Mean 3.2771
Median 3.2000
Variance .183
Std. Deviation .42770
Minimum 2.20
Maximum 4.10
Range 1.90
Interquartile Range .60
Skewness -.358 .347
Kurtosis -.098 .681
Kadar gula darah serum hari ke-6 sejak onset
Syok Mean 1.1065E2 5.44493
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
99.7562
Upper Bound
1.2154E2
5% Trimmed Mean 1.0807E2
Median 97.0000
Variance 1.808E3
Std. Deviation 4.25263E1
Minimum 53.00
Maximum 239.00
Range 186.00
Interquartile Range 64.25
104
Skewness 1.063 .306
Kurtosis .350 .604
Tidak syok
Mean 97.2840 3.70951
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 89.8172
Upper Bound 1.0475E2
5% Trimmed Mean 94.8286
Median 92.0000
Variance 646.743
Std. Deviation 2.54311E1
Minimum 56.00
Maximum 200.00
Range 144.00
Interquartile Range 16.00
Skewness 2.031 .347
Kurtosis 5.624 .681
Kadar kreatinin urin 24 jam (mg/24 jam)
Syok Mean 4.0682E2 33.50272
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
3.3980E2
Upper Bound
4.7384E2
5% Trimmed Mean 3.8983E2
Median 3.9200E2
Variance 6.847E4
Std. Deviation 2.61665E2
Minimum 1.00
Maximum 1299.00
Range 1298.00
Interquartile Range 316.50
Skewness .969 .306
Kurtosis 1.686 .604
Tidak syok
Mean 4.8070E2 53.30159
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
3.7341E2
Upper Bound
5.8799E2
5% Trimmed Mean 4.4138E2
Median 3.9800E2
Variance 1.335E5
Std. Deviation 3.65417E2
Minimum 91.00
Maximum 2002.00
Range 1911.00
Interquartile Range 366.00
Skewness 2.052 .347
Kurtosis 5.731 .681
rasio proteinurian 24 jam
Syok Mean .2574 .05305
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
.1513
105
(gram/24jam)
Upper Bound
.3635
5% Trimmed Mean .1857
Median .1000
Variance .172
Std. Deviation .41433
Minimum .01
Maximum 2.02
Range 2.01
Interquartile Range .22
Skewness 3.210 .306
Kurtosis 10.603 .604
Tidak syok
Mean .1469 .03259
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
.0813
Upper Bound
.2125
5% Trimmed Mean .1119
Median .0700
Variance .050
Std. Deviation .22342
Minimum .01
Maximum 1.19
Range 1.18
Interquartile Range .09
Skewness 3.071 .347
Kurtosis 10.560 .681
Volume urin 24 jam (ml)
Syok Mean 1.1711E3 73.87435
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
1.0233E3
Upper Bound
1.3188E3
5% Trimmed Mean 1.1400E3
Median 1.0000E3
Variance 3.329E5
Std. Deviation 5.76977E2
Minimum 300.00
Maximum 2850.00
Range 2550.00
Interquartile Range 700.00
Skewness .897 .306
Kurtosis .517 .604
Tidak syok
Mean 1.1426E3 82.49939
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
9.7649E2
Upper Bound
1.3086E3
5% Trimmed Mean 1.1235E3
Median 1.0000E3
Variance 3.199E5
106
Std. Deviation 5.65587E2
Minimum 350.00
Maximum 2250.00
Range 1900.00
Interquartile Range 950.00
Skewness .524 .347
Kurtosis -1.001 .681
Rasio protein berbanding kreatinin urin 24 jam (mg/mg)
Syok Mean .62400 .122679
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
.37861
Upper Bound
.86939
5% Trimmed Mean .47113
Median .30500
Variance .918
Std. Deviation .958152
Minimum .054
Maximum 6.000
Range 5.946
Interquartile Range .424
Skewness 3.742 .306
Kurtosis 16.947 .604
Tidak syok
Mean .26838 .036545
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
.19482
Upper Bound
.34194
5% Trimmed Mean .23521
Median .18200
Variance .063
Std. Deviation .250537
Minimum .056
Maximum 1.480
Range 1.424
Interquartile Range .158
Skewness 2.946 .347
Kurtosis 11.289 .681
Luas permukaan tubuh pasien
Syok Mean .9384 .03962
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
.8592
Upper Bound
1.0177
5% Trimmed Mean .9388
Median .9200
Variance .096
Std. Deviation .30946
Minimum .34
Maximum 1.54
Range 1.20
Interquartile Range .44
107
Skewness .179 .306
Kurtosis -.572 .604
Tidak syok
Mean .9698 .03793
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
.8934
Upper Bound
1.0461
5% Trimmed Mean .9616
Median .9500
Variance .068
Std. Deviation .26001
Minimum .53
Maximum 1.65
Range 1.12
Interquartile Range .42
Skewness .388 .347
Kurtosis -.389 .681
Umur saat MRS
Syok Mean 83.3282 4.59609
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
74.1347
Upper Bound
92.5217
5% Trimmed Mean 84.4848
Median 84.0000
Variance 1.289E3
Std. Deviation 3.58966E1
Minimum 6.20
Maximum 141.57
Range 135.37
Interquartile Range 53.21
Skewness -.283 .306
Kurtosis -.644 .604
Tidak syok
Mean 95.7717 4.65611
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
86.3994
Upper Bound
1.0514E2
5% Trimmed Mean 96.2488
Median 89.9300
Variance 1.019E3
Std. Deviation 3.19207E1
Minimum 37.80
Maximum 142.83
Range 105.03
Interquartile Range 55.30
Skewness -.077 .347
Kurtosis -1.250 .681
Berat badan (Kg)
Syok Mean 27.2082 1.69291
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
23.8219
108
Upper Bound
30.5945
5% Trimmed Mean 26.7738
Median 25.0000
Variance 174.823
Std. Deviation 1.32221E1
Minimum 6.50
Maximum 56.00
Range 49.50
Interquartile Range 17.50
Skewness .592 .306
Kurtosis -.427 .604
Tidak syok
Mean 28.3872 1.83774
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
24.6881
Upper Bound
32.0864
5% Trimmed Mean 27.4976
Median 26.0000
Variance 158.732
Std. Deviation 1.25989E1
Minimum 11.00
Maximum 72.00
Range 61.00
Interquartile Range 16.00
Skewness 1.136 .347
Kurtosis 1.816 .681
Tinggi badan (cm)
Syok Mean 120.17 2.851
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
114.47
Upper Bound
125.88
5% Trimmed Mean 121.04
Median 120.00
Variance 495.974
Std. Deviation 22.270
Minimum 63
Maximum 159
Range 96
Interquartile Range 31
Skewness -.472 .306
Kurtosis .108 .604
Tidak syok
Mean 125.32 2.462
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 120.36
Upper Bound 130.27
5% Trimmed Mean 125.57
Median 127.00
Variance 284.874
Std. Deviation 16.878
Minimum 93
109
Maximum 156
Range 63
Interquartile Range 28
Skewness -.172 .347
Kurtosis -1.037 .681
Tests of Normality
DSS atau tidak
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kadar albumin pada hari ke-6
sejak onset
Syok .122 61 .025 .978 61 .336
Tidak syok .097 47 .200* .980 47 .596
Kadar gula darah serum hari
ke-6 sejak onset
Syok .191 61 .000 .885 61 .000
Tidak syok .250 47 .000 .812 47 .000
Kadar kreatinin urin 24 jam
(mg/24 jam)
Syok .081 61 .200* .942 61 .006
Tidak syok .185 47 .000 .816 47 .000
rasio proteinurian 24 jam
(gram/24jam)
Syok .275 61 .000 .547 61 .000
Tidak syok .340 47 .000 .563 47 .000
Volume urin 24 jam (ml) Syok .158 61 .001 .931 61 .002
Tidak syok .153 47 .007 .917 47 .003
Rasio protein berbanding
kreatinin urin 24 jam (mg/mg)
Syok .306 61 .000 .534 61 .000
Tidak syok .259 47 .000 .671 47 .000
Luas permukaan tubuh
pasien
Syok .078 61 .200* .972 61 .178
Tidak syok .096 47 .200* .976 47 .428
Umur saat MRS Syok .083 61 .200* .961 61 .048
Tidak syok .114 47 .157 .941 47 .019
Berat badan (Kg) Syok .117 61 .037 .947 61 .010
Tidak syok .130 47 .045 .920 47 .003
Tinggi badan (cm) Syok .101 61 .200* .963 61 .060
Tidak syok .098 47 .200* .958 47 .089
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
110
111
112
Test Statisticsa
Kadar albumin
pada hari ke-6
sejak onset
Kadar kreatinin
urin 24 jam
(mg/24 jam)
Kadar gula darah
serum hari ke-6
sejak onset
rasio proteinurian
24 jam
(gram/24jam)
Rasio protein
berbanding
kreatinin urin 24
jam (mg/mg)
Luas permukaan
tubuh pasien
Mann-Whitney U 549.000 1321.500 1293.000 1047.000 908.000 1344.000
Wilcoxon W 2440.000 3212.500 2421.000 2175.000 2036.000 3235.000
Z -5.485 -.694 -.871 -2.396 -3.256 -.555
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .488 .384 .017 .001 .579
a. Grouping Variable: DSS atau tidak
113
Crosstab
DSS atau tidak
Total Syok Tidak syok
patologik nefrotik proteinuria tidak Count 55 47 102
% within DSS atau tidak 90.2% 100.0% 94.4%
ya Count 6 0 6
% within DSS atau tidak 9.8% .0% 5.6%
Total Count 61 47 108
% within DSS atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.895a 1 .027
Continuity Correctionb 3.200 1 .074
Likelihood Ratio 7.126 1 .008
Fisher's Exact Test .035 .029
Linear-by-Linear Association 4.850 1 .028
N of Valid Casesb 108
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.61.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort DSS atau tidak =
Syok .539 .451 .645
N of Valid Cases 108
114
DSS atau tidak * Apakah terdapat proteinuria atau tidak Crosstabulation
Apakah terdapat proteinuria atau
tidak
Total Ya Tidak
DSS atau
Syok Count 43 18 61
% within Apakah terdapat
proteinuria atau tidak 69.4% 39.1% 56.5%
Tidak syok Count 19 28 47
% within Apakah terdapat
proteinuria atau tidak 30.6% 60.9% 43.5%
Total Count 62 46 108
% within Apakah terdapat
proteinuria atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 9.814a 1 .002
Continuity Correctionb 8.623 1 .003
Likelihood Ratio 9.909 1 .002
Fisher's Exact Test .003 .002
Linear-by-Linear Association 9.723 1 .002
N of Valid Casesb 108
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.02.
b. Computed only for a 2x2 table
115
Analisis ANCOVA linear regression model
Between-Subjects Factors
Value Label N
DSS atau tidak 1 Syok 61
2 Tidak syok 47
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Rasio protein berbanding kreatinin
urin 24 jam (mg/mg)
DSS atau
tidak Mean Std. Deviation N
Syok .62400 .958152 61
Tidak syok .26838 .250537 47
Total .46924 .757071 108
Levene's Test of Equality of Error Variancesa
Dependent Variable:Rasio protein berbanding
kreatinin urin 24 jam (mg/mg)
F df1 df2 Sig.
9.633 1 106 .002
Tests the null hypothesis that the error variance
of the dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + Status_gizi + LPT +
Kadar_albumin + Kadar_GDS + syok
116
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Rasio protein berbanding kreatinin urin 24 jam (mg/mg)
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Partial Eta
Squared
Corrected Model 8.579a 5 1.716 3.318 .008 .140
Intercept 2.078 1 2.078 4.019 .048 .038
Status_gizi .051 1 .051 .099 .754 .001
LPT .143 1 .143 .276 .600 .003
Kadar_albumin 2.184 1 2.184 4.222 .042 .040
Kadar_GDS 1.402 1 1.402 2.710 .103 .026
Syok .317 1 .317 .612 .436 .006
Error 52.749 102 .517
Total 85.108 108
Corrected Total 61.328 107
a. R Squared = .140 (Adjusted R Squared = .098)
Parameter Estimates
Dependent Variable:Rasio protein berbanding kreatinin urin 24 jam (mg/mg)
Parameter B Std. Error t Sig.
95% Confidence Interval Partial Eta
Squared Lower Bound Upper Bound
Intercept 1.080 .610 1.768 .080 -.131 2.290 .030
Status_gizi -.017 .054 -.314 .754 -.125 .090 .001
LPT -.157 .298 -.526 .600 -.747 .434 .003
Kadar_albumin -.289 .141 -2.055 .042 -.569 -.010 .040
Kadar_GDS .003 .002 1.646 .103 .000 .007 .026
[syok=1] .134 .171 .783 .436 -.205 .473 .006
[syok=2] 0a . . . . . .
117
Levene's Test of Equality of Error Variancesa
Dependent Variable:Rasio protein berbanding
kreatinin urin 24 jam (mg/mg)
F df1 df2 Sig.
9.633 1 106 .002
Tests the null hypothesis that the error variance
of the dependent variable is equal across groups.
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
118
Penelitian pendahuluan tesis Descriptives
Syok Statistic Std. Error
UPCR Syok Mean .5570 .24785
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -.2318
Upper Bound 1.3458
5% Trimmed Mean .5444
Median .4440
Variance .246
Std. Deviation .49569
Minimum .09
Maximum 1.25
Range 1.17
Interquartile Range .90
Skewness 1.250 1.014
Kurtosis 2.196 2.619
Tidak syok
Mean .3657 .11011
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
.0826
Upper Bound
.6487
5% Trimmed Mean .3567
Median .2560
Variance .073
Std. Deviation .26970
Minimum .14
Maximum .76
Range .62
Interquartile Range .52
Skewness .776 .845
Kurtosis -1.610 1.741
119
Descriptives
Apakah terdapat proteinuria atau tidak Statistic Std. Error
Kadar albumin pada hari ke-
6 sejak onset
Ya Mean 2.6505 .07482
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 2.5009
Upper Bound 2.8001
5% Trimmed Mean 2.6464
Median 2.6000
Variance .347
Std. Deviation .58917
Minimum 1.37
Maximum 4.10
Range 2.73
Interquartile Range .81
Skewness .047 .304
Kurtosis -.032 .599
Tidak Mean 3.2541 .06357
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 3.1261
Upper Bound 3.3822
5% Trimmed Mean 3.2659
Median 3.2500
Variance .186
Std. Deviation .43117
Minimum 2.20
Maximum 4.00
Range 1.80
Interquartile Range .65
Skewness -.397 .350
Kurtosis -.532 .688
120
DSS atau tidak * Apakah terdapat proteinuria atau tidak Crosstabulation
Apakah terdapat proteinuria atau
tidak
Total Ya Tidak
DSS atau tidak Syok Count 43 18 61
% within Apakah terdapat
proteinuria atau tidak 69.4% 39.1% 56.5%
Tidak syok Count 19 28 47
% within Apakah terdapat
proteinuria atau tidak 30.6% 60.9% 43.5%
Total Count 62 46 108
% within Apakah terdapat
proteinuria atau tidak 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Point
Probability
Pearson Chi-
Square 9.814a 1 .002 .003 .002
Continuity
Correctionb 8.623 1 .003
Likelihood Ratio 9.909 1 .002 .003 .002
Fisher's Exact
Test
.003 .002
Linear-by-Linear
Association 9.723c 1 .002 .003 .002 .001
N of Valid Cases 108
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 20.02.
121
DSS atau tidak * Apakah terdapat proteinuria atau tidak Crosstabulation
Apakah terdapat proteinuria atau
tidak
Total Ya Tidak
DSS atau tidak Syok Count 43 18 61
% within Apakah terdapat
proteinuria atau tidak 69.4% 39.1% 56.5%
Tidak syok Count 19 28 47
% within Apakah terdapat
proteinuria atau tidak 30.6% 60.9% 43.5%
Total Count 62 46 108
b. Computed only for a 2x2
table
c. The standardized statistic is 3.118.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for DSS atau
tidak (Syok / Tidak syok) 3.520 1.580 7.845
For cohort Apakah terdapat
proteinuria atau tidak = Ya 1.744 1.189 2.558
For cohort Apakah terdapat
proteinuria atau tidak = Tidak .495 .315 .780
N of Valid Cases 108
122
Descriptives
Apakah terdapat proteinuria atau tidak Statistic Std. Error
Kadar gula darah serum hari
ke-6 sejak onset
Ya Mean 1.1627E2 5.39734
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 1.0548E2
Upper Bound 1.2707E2
5% Trimmed Mean 1.1427E2
Median 1.0250E2
Variance 1.806E3
Std. Deviation 4.24987E1
Minimum 53.00
Maximum 239.00
Range 186.00
Interquartile Range 67.75
Skewness .882 .304
Kurtosis .028 .599
Tidak Mean 89.4098 2.57891
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 84.2156
Upper Bound 94.6040
5% Trimmed Mean 87.9481
Median 89.0000
Variance 305.935
Std. Deviation 1.74910E1
Minimum 56.00
Maximum 150.00
Range 94.00
Interquartile Range 20.13
Skewness 1.575 .350
Kurtosis 3.849 .688
123
Test Statisticsa
Kadar gula
darah serum hari
ke-6 sejak onset
Mann-Whitney U 829.500
Wilcoxon W 1910.500
Z -3.708
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: Apakah terdapat
proteinuria atau tidak