Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERBANDINGAN PEMIKIRAN AHMAD SYAFI’I MA’ARIF
DAN AMIEN RAIS TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN
NEGARA DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
M. Marfirozi
1112112000010
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul
Perbandingan Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais Tentang
Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
1. Merupakana karya asli saya yang diajukan untuk mengetahui salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata sarjana 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian terbukti karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiblakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah.
Ciputat, 23 April 2019
M. Marfirozi
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini pembimbing skripsi menyatakan bahwa mahasiswa
Nama : M. Marfirozi
NIM : 1112112000010
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
Perbandingan Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais Tentang
Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
dan telah diuji pada Hari/tanggal Rabu 8 Mei 2019.
Ciputat, 8 Mei 2019
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Iding Rosyidin, M.Si
NIP: 19701013200501100
Dr. Sirojuddin Aly, M.A
NIP: 195406052001121001
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
iii
SKRIPSI
PERBANDINGAN PEMIKIRAN AHMAD SYAFI’I MA’ARIF DAN
AMIEN RAIS TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI
INDONESIA
Oleh:
M. Marfirozi
1112112000010
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8 May
2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Iding Rosyidin, M.Si Suryani, M.Si
NIP. 197010132005011003 NIP.197704242007102003
Pengguji I, Penguji II,
Dr. A. Bakir Ihsan, M.Si Dr. Shobahussurur, MA
NIP. 197204122003121000 NIP. 196411301988031001
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 8 Mey 2019.
Ketua Program Studi Ilmu Politik
Dr. Iding Rosyidin M.Si
NIP. 197010132005011003
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana pemikiran Ahmad Syafi’i
Ma’arif dan Amien Rais dalam melihat hubungan antara Islam dan negara di
Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untukmengetahui perbedaan dan
persamaan dalam pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais tentang
hubungan Islam dan negara di Indonesia. Teori yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teori politik Islam dan teori hubungan Islam dan negara. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, diman tehnik
pengambilan datanya menggunakan studi pustaka dengan cara mempelajari dan
menganalisis sumber-sumber yang terkait dengan masalah penelitian, dan
diperkuat dengan wawancara. Hasil dari penelitian ini menujukkan bahwa
meskipun sulit untuk membedakan pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien
Rais tentang hubungan Islam dan Negara di Indonesia, namun ada beberapa hal
yang membedakannya seperti dalam hal melihat partai politik di Idnonesia Ahmad
Syafi’i Ma’arif memebrikan kritikan terhadap penggunaan Islam sebagai ideologi
partai, sementara Amien Rais berannggapan bahwa hal tesebut tidak menjadi
masalah. Kemudian Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam politik Islam nilai etik adalah
hal yang paling utama untuk diperjuangkan, sementara Amien Rais beranggapan
bahwa justru nilai politik Islamnya yang harus diperjuangkan. Sementara itu
Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais memiliki pemahaman yang sama bahwa
Pancasila merupakan keputusan akhir sebagai dasar negara yang sejalan dengan
nilai-nilai Islam.
Kata Kunci: Politik Islam, Negara, Hubungan Islam dan politik
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, yang telah
memberikan segala rahmatnya kepada umatnya dan semesta. Serta salam dan
shalawat kucurahkan kepada baginda besar junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, sang membawa pencerahan dari kegelapan menuju alam terang benderang
bagi umat manusia sebagai tauladan terbaik dalam mengarungi kehidupan, baik
itu dalam beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Penulis menyadari jika penulisan skripsi ini jauh dari sempurna dan tidak
selesai tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun
materil. Oleh karena itu dengan tulus penulis mengucapkan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua beserta teman-teman Ilmu Politik.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak. Peneliti juga ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf dan jajarannya
2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
3. Dr. Iding Rosyidin, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Suryani, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
5. Dosen pembimbing Dr. Sirojuddin Aly, M.A. Terimakasih telah
membimbing dengan sabar dan ikhlas, beserta bersedia meluangkan
waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan beserta nasehat dan
motivasi selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.
6. Segenap dosen Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta yang
tidak bisa saya sebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat
penulis kepada beliau.
7. Kepada kedua orang tua tercinta Ichwandi dan Novia Yeni yang telah
memberikan doa dan dukungan selama menyusun skripsi ini.
8. Segenap sahabat seperjuangan di kampus Fakultas Imu Sosial dan
Ilmu Politik terkhusus sahabat seperjuangan Ilmu Politik Angkatan
2012 yang tidak pernah lelah memberikan masukan, dialog dan juga
pengalamannya sehingga skripsi ini terselesaikan.
9. Segenap senior sebagai rekan seperjuangan yang tidak bisa disebutkan
satu persatu yang telah memberikan spirit dan masukan sehingga
penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan
pemikiran untuk semua khususnya penulis sendiri.
Ciputat, 23 April 2019
M. Marfirozi
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME...............................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI...........................................................ii
ABSTRAK......................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR...................................................................................................v
DAFTAR ISI................................................................................................................vii
DAFTAR TABEL................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................
A. Pernyataan Masalah..................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................7
D. Tinjauan Pustaka.............................................................................8
E. Metode Penelitian...................................................................................9
a. Jenis Penelitian.........................................................................10
b. Teknik Pengumpulan Data.......................................................10
c. Teknik Analisis Data...............................................................11
F. Sistematika Penulisan....................................................................11
BAB II KERANGKA TEORETIS DAN KONSEPTUAL .....................................
A. Politik Islam..................................................................................14
1. Pengertian politik Islam..........................................................15
2. Tipologi Politik Islam.............................................................17
B. Hubungan Islam dan Negara.........................................................20
1. Pengertian Negara...................................................................20
2. Negara dalam Pandangan Islam. ............................................21
3. Relasi Antara Agama dan Negara ................................................ 23
BAB III BIOGRAFI AHMAD SYAFI'I MA'ARIF DAN AMIEN RAIS..................
A. Biografi Ahmad Syafi'i Ma'arif...............................................................26
1. Riwayat Hidup........................................................................26
2. Pendidikan...............................................................................29
3. Karya-karya.............................................................................31
B. Biografi Amien Rais.......................................................................32
1. Riwayat Hidup..........................................................................32
viii
2. Pendidikan ....................................................................................... 34
3. Karya-Karya .................................................................................... 35
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN AHMAD SYAFI'I MA'ARIF DAN AMIEN RAIS
TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI
INDONESIA.............................................................................................
A. Pemikiran Ahmad Syafi'i Ma'arif .................................................. 39
1. Pemikiran Keislaman Ahmad Syafi'i Ma'arif.....................................39
2. Pandangan Ahmad Syafi'i Ma'arif Tentang Dasar Negara.................43
3. Pandangan Tentang Hubungan Islam dan Negara..............................44
B. Pemikiran Amien Rais ................................................................... 51
1. Paradigma Pemahaman Keagamaan Amien Rais .................... 51
2. Pandangan Amien Rais tentang Konsep Negara ..................... 53
3. Hubungan antara Islam dan Negara ......................................... 55
C. Analisis Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Ahmad Syafi'i .........
Ma'arif dan Amien Rais.................................................................58
1. Persamaan Pemikiran Ahmad Syafi'i Ma'arif dan Amien Rais
Tentang Hubungan Islam dan Negara di Indonesia..........................59
2. Perbedaan Pemikiran Ahmad Syafi'i Ma'arif dan Amien Rais
Tentang Hubungan Islam dan Negara di Indonesia..........................60
BAB V PENUTUP ............................................................................................................
A. Kesimpulan .......................................................................................... 63
B. Saran ...................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 65
ix
DAFTAR TABEL
Tabel IV.C.1 Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan
Amien Rais.....................................................................................62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Islam dan politik adalah dua kata yang menjadi perbincangan dalam
khasanah intelektual muslim sebagai ide Islam dan keyataan sepanjang sejarah1.
Islam melalui sumber primernya Al-Quran dan Sunah telah memberikan patokan
dasar moral serta hukum bagi kaum muslim dalam mengekspresikan pikiran dan
perilaku bagi kehidupan bermasyarakat. Perbedaan tentang bentuk negara dan
mekanisme pemerintah dalam negara yang berdasarkan sunnah Rasul dan doktrin
kitab suci Al-Quran sangat membutuhkan waktu dan penyesuaian dengan kondisi
negara yang didasarkan atas landasan teritorial, geografis dan kultur masing-
masing sehingga ekspresi atau perwujudan wajah dari politik Islam saat ini sangat
berbeda antara Negara Muslim yang satu dengan yang lainnya.2
Persoalan ini semakin menjadi bahan diskusi publik yang berkepanjangan
sejak wafatnya Nabi Saw hingga masa sekarang. Perdebatan ini terasa semakin
seru ketika kaum muslimin memasuki periode modern, apalagi ketika ideologi
besar di dunia seperti kapitalisme dan sosialisme menanamkan pengaruhnya di
dunia Islam. Salah satu dari topik diskusi adalah apakah agama harus bersatu
dengan negara atau dipisahkan.3 Persoalan antara Islam dan negara dalam masa
modern ialah salah satu subjek penting yang belum terpecahkan secara tuntas dan
1 John L Esposito, Islam dan Politik, terj. H. M. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang,
1990), h. 39 2 Sigit Prayitno, Skripsi: “Pemikiran Amin Rais Tentang Politik Islam” (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2008), h. 2 3 Yusril Ihza Mahendra, Harun Nasution Tentang Islam dan Masalah Kenegaraan
(Jakarta: LP3ES, 1999), h. 219
2
barangkali akan terus menjadi bahan bahasan dan ranah diskusi sepanjang hidup
manusia. Diskusi tentang hal itu belakangan semakin hangat tatkala kebangkita
Islam melanda hampir seluruh dunia Islam. Pengalaman masyarakat Muslim di
berbagai belahan dunia khususnya sejak perang dunia II mengisyaratkan adanya
hubungan yang canggung antara Islam dan negara, berbagai eksperimen dilakukan
untuk menyelaraskan antara Islam dengan konsep dan kultur politik masyarakat
Muslim. Eksperimen ini dalam banyak hal beragam, tingkat penetrasi Islam ke
dalam negara dan politik juga berbeda-beda.4 Kesenjangan antara Islam dan
negara sejalan dengan keragaman sosial, kultur dan politik yang mereka hadapi.
Hal ini selain mengandung arti bahwa konsepsi tersebut sangat dipengaruhi oleh
budaya masyarakat juga mengandung arti bahwa konsepsi tersebut lahir dalam
konstelasi politik tertentu, karena memiliki tujuan dan motif politik.5
Dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia memakai konsep
demokrasi dalam perjalanan politiknya. Berbagai persoalan muncul mengenai
hubungan antara negara dengan agama di Indonesia. Bahtiar Effendi
mengemukakan adanya tiga periode mengenai hubungan Islam dan Negara di
Indonesia. Pertama periode pra kemerdekaan atau disebut kesatuan Islam dan
Negara. Ketika itu terjadi perseteruan antara kubu Islam yang diwakili M.Natsir
dan Agus Salim yang menginginkan ditetapkannya cita-cita politik Islam dengan
Soekarno yang berfahan nasionalis sekuler yang meyakini bahwa penyatuan
antara Islam dan negara hanya berakibat kemunduran dan politisasi Islam. Kedua
periode pasca revolusi yang berintikan seruan perjuangan Islam sebagai dasar
4 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme, Modernisasi hingga
Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 1 5
M. Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Dalam Sejarah Pemikiran Politik
Islam,”Jurnal Ulumul Quran vol iv, 1993, h. 5
3
ideologi negara. Ketika itu Masyumi sebagai partai pemenang pemilu 1955,
berusaha menggolkan cita-cita politik Islam di Majlis Konstituante, namun karena
tidak ada satupun yang berhasil meperoleh 2/3 untuk menggolkan frekuensinya,
kemudian Presiden Soekarno memutuskan untuk kembali ke UUD 1945 yang
yang berintikan Pancasila sebagai dasar Negara. Ketiga masa Orde Baru yang
berintikan pengayoman idealisme dan aktivitas politik Islam. Pemerintah Orde
Baru curiga terhadap artikulasi politik umat Islam, legalistik dan formalistik
seperti tuntunan Islam agar Piagam Jakarta dilegalkan kembali pada sidang MPRS
1986.6
Sampai saat ini pemikiran-pemikiran mengenai hubungan antara Islam dan
negara terus berkembang. Banyak para tokoh dan akademisi di Indonesia
menuangkan berbagai pikirannya mengenai hubungan Islam dan negara dalam
bentuk buku dan bebagai karya ilmiah lainnya. Ada dua tokoh yang akan
dianalisis dalam hal ini.
Pertama pemikiran Amien Rais tentang hubungan Islam dan negara di
Indonesia. Dalam gagasannya yang dimuat di majalah Panji Masyarakat dengan
tema “Tidak Ada Negara Islam”, Amien Rais berpendapat bahwa Negara Islam
tidak ada dalam Al-quran maupun dalam Sunnah.7 Bagi Amien Rais dalam
Kehidupan politik yang Islami tidak memberikan ruang bagi sekularisasi, politik
yang didasarkan kepada paham sekularisasionisme merupakan politik yang tidak
berdasarkan kepada dasar-dasar nilai agama. Oleh karena itu politik seperti ini
akan searing bertabrakan dengan tujuan dakwah baik secara potensial maupun
6 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara,Trasformasi Pemikiran dan Praktek PolitikIslam di
Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 62 7 M. Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, cet. IV (Bandung: Mizan,
1993), h. 30
4
aktual. Maka politik Islam merupakan hal yang tidak mengenal istilah pemisahan
antara urusan negara dengan urusan akhirat. Diantara keduanya itu bersifat
terpadu dan berkelanjutan, sekularisasi dalam bentuk apapun merupakan bagian
dari sekularisme.8
Amien melihat ideologi sebagai sesuatu yang serba mencakup (integral)
atas seluruh kehidupan manusia, termasuk dalam bernegara (politik). Sebagai
sesuatu yang serba mencakup, ideologi dalam pandangan Amien kemudian
diidentikkan dengan Islam. Dalam konteks ini Islam kemudian diposisikan
sebagai ideologi, dalam pandangannya, Syariah merupakan suatu sistem hukum
yang lengkap dan terpadu serta telah meletakkan dasar-dasar tidak hanya sebagai
hukum kostitusional, tapi juga hukum administrasi, pidana, perdata dan bahkan
hukum internasional.9
Dalam pandangan Amien negara yang berlandaskan Pancasila saja sah,
selama Pancasila dimengerti secara wajar dan benar, nilai yang terdapat dalam
Pancasila tidak satupun yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu
negara dengan model ini justru bisa bernilai lebih Islami jika prinsip-prinsip Islam
termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.10
Kedua adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif sebagai salah satu tokoh yang
menuangkan pemikirannya tentang hubungan antara negara dan agama yang lebih
spesifik merujuak kepada hubungan antara Islam dan Ideologi Pancasila di
Indonesia. Menurut Syafii Maarif sebutan negara Islam tidak diperlukan lagi,
tetapi bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas adalah sebuah
8
M. Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, cet. IV (Bandung:
Mizan,1993), h. 29 9 M. Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Vol. IV h. 29
10 Sigit Prayitno, Pemikiran Amien Rais Tentang Politik Islam, (Yogyakarta:
Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008),h. 5
5
keniscayaan jika memang Indonesia ingin menjadi sebuah negara yang adil dan
makmur.11
Pandangan Syafii Maarif tentang pola hubungan antara negara dan agama
secara garis besar bukan sekedar pola hubungan dikotomis yang saling
meniadakan, pola hubungan Islan dan negara adalah dimana Islam bukan semata-
mata sebagai ritual peribadatan hamba kepada tuhannya saja, tetapi lebih dari itu
Islam menyangkut hal-hal tentang bagaimana kaedah-kaedah, batas-batas dalam
muamalah dan bersosial dalam masyarakat. Selanjutnya Syafi’i Ma’arif juga
menolak pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah negara dan agama,
dalam pandangannya negara adalah sesuatu yang mutable (berubah) sesuai dengan
tuntunan ruang dan waktu, sedangkan agama merupakan sesuatu yang immutable
(tetap) tidak lekang oleh ruang dan waktu.12
Pada dasarnya Syafi’i Ma’arif melihat bahwa nilai-nilai Islam itu sejalan
dengan Pancasila, dalam artian bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
sejalan dengan syariat Islam itu sendiri. Maka Ideologi Pancasila harus bisa
diamalkan oleh masyarakat Indonesia agar tercapai kehidupan yang rukun dan
damai.
Pemikiran mengenai hubungan antara Islam dan Negara ini terus
berkembang dan menagalami dinamika di Indonesia. Walaupun Pancasila sudah
final menjadi ideologi bangsa Indonesia namun masih ada pihak-pihak tertentu
yang tidak bisa menerima kenyataan tersebut, sehingga gejolak perbedaan
pandangan tersebut terus menjadi isu yang tidak pernah tuntas untuk di bahas.
11
Lia Hilyah, Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif (Tinjauan Terhadap
Ideologi Negara), (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta, 2009), h. 18 12
Ahmad Sholikin, “Pemikiran Politik Negara Dan Agama Ahmad Syafii Maarif, Jurnal
Politi Muda, Vol 2 No 1, (Januari-Maret 2012), h. 196
6
Melalui pemikiran kedua tokoh di atas Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien
Rais penulis dapat menganalisa lebih mendalam terkait pemikiran hubungan Islam
dan negara di Indonesia. Walaupun secara garis besar kedua tokoh ini memiliki
pemikiran yang tidak jauh berbeda, bahwa pada intinya Islam tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan bernegara, dan Pancasila merupakan ideologi yang
sejalan dengan nilai-nilai Syariat Islam itu sendiri.
Ada perbedaan mendasar yang terdapat pada pemikiran Ahmad Syafi’i
Ma’arif dan Amien Rais dalam melihat hubungan Islam dan negara, perbedaan
tersebut terlihat pada praktek atau implementasi dari ajaran Islam terhapad
kehidupan politik. Ahmad Syafi’i Ma’arif cenderung cenderung tidaksetuju
dengan penerapan Islam sebagai ideologi dalam hal apapun baik sebagai negara
mapun sebagai partai politik, karena dalam pandangan Syafi’i Ma’arif Islam
merupakan ajaran yang memiliki nilai tinggi yang tidak bisa dijadikan sebagai
simbol-simbol tertentu. Sementara Amien Rais perpendapat lain bahwa, nilai-nilai
Isla harus dipraktekkan dalam kehidupan politik, karena politik pada dasarnya
adalah dakwah. Untuk menemukan lebih dalam lagi mengenai persamaan dan
perbedaan pemikiran Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais, penulis akan mencoba
membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut untuk menemukan karakteristik
pemikiran masing-masing kedua tokoh.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang disampaikan dalam pernyataan masalah di atas,
maka penulis membatasi masalah penelitian ini pada pemikiran yang dapat
dibandingkan antara satu dengan yang lainnya mengenai hubungan antara Islam
dan negara di Indonesia.
7
Dari batasan masalah tersebut, penulis merumuskan masalah penelitian ke
dalam pertanyan berikut:
1. Bagaimana pemikiran politik Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais
tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia?
2. Apa perbedaan dan persamaan pemikiran politik Ahmad Syafi’i Ma’arif
dan Amien Rais tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Pertama, menjelaskan pandangan Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais
tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia. Penulis akan mendeskripsikan
pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais dalam melihat hubungan antara
Islam dan politik di Indonesia.
Kedua, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mencari
persamaan serta perbedaan antara pemikiran politik Ahmad Syafi’i Ma’arif
dengan Amien Rais tentang hubungan antara Islam dan negara di Indonesia.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Menambah pengetahuan penulis tentang pemikiran politik Islam, terutama
mengenai pokok-pokok pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais
tentang hubungan Islam dan Politik di Indonesia.
b. Menambah referensi pengetahuan pada bidang ilmu sosial dan politik
tentang hubungan yang berkembang antara Islam dan negara di Indonesia.
8
c. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pengetahuan dan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan secara umum dan studi ilmu sosial secara khusus.
d. Memberikan tambahan referensi tentang topik yang berhubungan dengan
hubungan Islam dan negara di Indonesia terutama terkait perbedaan
pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa sumber referensi
terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian sebagai acuan dalam
memudahkan penelitian.
Pertama, skripsi dari Sigit Prayitno mahasiswa jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, dengan tema “Pemikiran Amien Rais Tentang Politik Islam”. Dalam
sikripsi Sigit Prayitno secara umum menjelaskan tentang bagaimana awal
munculnya pemikiran Amien Rais tentang politik Islam di Indonesia samapai
kepada peran pemikran Amien Rais tentang politik Islam terhadap perkembangan
politik di Indonesia.
Kedua, skripsi dari Lia Hilyah mahasiswa jurusan Jinayah Siyasah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Isalam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, dengan tema: “Dinamika Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif (Tinjauan
Terhadap Ideologi Negara)”. Dalam skripsi Lia Hilyah ini menjelaskan bagaimana
perjalanan pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif tentang Islam dan Pancasila sebagai
ideologi negara sebelum dan pasca kuliah di Chicago.
9
Ketiga, buku Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Sebuah Refleksi Sejarah, dalam buku ini dijelaskan bagaimana pemikiran Ahmad
Syafi’i Ma’arif dalam melihat perkembangan dan perjalanan Islam sebagai agama
mayoritas penduduk Nusantara mulai dari awal kemunculan Islam di Indonesia
sampai kepada Islam Indonesia yang mampu memberikan solusi terhadapat
masalah-masalah bangsa yang dilihat dalam sebuah refleksi sejarah.13
Keempat, jurnal yang ditulis oleh Ahmad Sholikin dengan judul Pemikiran
Politik Negara dan Agama Ahmad Safi’i Ma’arif, jurnal ini menjelaskan
pemikiran politik Negara dan Agama Ahmad Safi’i Ma’arif serta latar belakang
pemikiran tersebut dengan menggunakan teori politik Islam Al-Maududi dan teori
sosiologi Karl Manheim dalam menganalisis pemikiran politik dan latar belakang
pemikiran Ahmad Safi’i Ma’arif.14
Dari tinjauan pustaka di atas tidak terdapat kesamaan pembahasan yang
akan dibahas dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis akan mencoba
membandingkan dan menganalisis pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien
Rais tentang hubungan antara Islam dan negara di Indonesia.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian sosial adalah cara sistematik yang digunakan peneliti
dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam proses identifikasi dan
penjelasan fenomena sosial yang tengah diteliti.15
Metodologi penelitian berguna
13 Ahmad Safii Maarif, Islam Dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusiaan Sebuah
Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2009).
14
Ahmad Sholikin, “Pemikiran Politik Negara Dan Agama Ahmad Syafii Maarif, Jurnal
Politik Muda, Vol 2 No 1, (Januari-Maret 2012). 15
Gumilar Rusliwa Somantri, “Memahami Metode Kualitatif,” Makara, Sosial
Humaniora, Vol. 9, No. 2, h. 57.
10
untuk membantu penulis dalam melakukan penelitian secara sistematis sehingga
dapat membantu dalam mendekati permasalahan yang diteliti dan mencari
jawaban yang diharapkan.
a. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Metode
kualitatif dipengaruhi oleh paradigma naturalistik-interpretatif Weberian, yang
membuat penelitian ini berusaha untuk mengkonstruksi realitas dan memahami
maknanya. Sehingga penelitian kualitatif sangat memperhatikan proses, peristiwa
dan otentitas yang diteliti.16
Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, dengan maksud untuk
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai perbandingan pemikiran
Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais tentang hubungan Islam dan negara di
Indonesia. Selain itu penelitian ini menggunakan tipe deskriptif-analitis yaitu
analisis yang dilakukan dengan dengan mencari informasi terhadap sumber yang
berasal dari karya-karya ilmiah yang ditulis secara lansuang oleh kedua tokoh.
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
studi dokumenter, yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari sumber-sumber
informasi milik obyek yang ditulis secara lansung tanpa perantara penulis lainnya.
Untuk memperoleh data penulis menggunakan metode pengumpulan data
sebagai berikut:
16
Gumilar Rusliwa Somantri, “Memahami Metode Kualitatif,” Makara, Sosial
Humaniora, h. 57.
11
Pertama; Data Primer, yaitu sumber utama yang diperoleh secara lansung
dari objek yang diteliti. Seperti buku-buku,atau karya tulis yang ditulis oleh
Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais yang terkait dengan permasalahan yang
diteliti, wawancara dengan Abd. Rohim Ghazali yang memiliki kopetensi
dibidang permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.
Kedua; Data Sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak
lansung, yang berkaitan dengan pembahasan penulis, yaitu berupa artikel, jurnal,
majalah, surat kabar yang ditulis oleh penulis lainnya yang memiliki keterkaitan
dengan masalah yang diteliti. Wawancara dengan akademisi yang memiliki
konsen dengan tema penelitian, dengan tujuan untuk menambah data yang dapat
meperkuat hasil penelitian.
c. Teknik Analisis Data
Dalam melakukan analisis data penulis menggunakan analisis deskriptif
komparatif, yaitu dengan mendeskripsikan dan membandingkan bagaimana
perkembangan pemikiran antara kedua tokoh dengan menggunakan teori politik
Islam dan teori hubungan Islam dan Negara sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam kerangka teoretis. Mulai dari menggambarkan secara garis besar tentang
pemikiran, kemudian melihat latar belakang dan faktor yang mempengaruhi
pemikiran. Setelah itu baru mengkomparasikan kedua pemikiran tokoh tersebut
sehingga diperoleh persamaan dan perbedan dari pemikiran kedua tokoh tersebut
tentang hubungan Islam dan Negara di Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika yang dirangka dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
12
Bab I Pendahuluan. Berisi tentang pernyataan masalah yang akan dibahas
dalam penelitian, rumusan masalah yang digunakan dalam penelitian, tujuan dan
manfaat dari penelitian, tinjauan pustaka, dan metodelogi yang digunakan dalam
penelitian.
Bab II Kerangka Teoretis. Bab ini berisi tentang teori yang digunakan
dalam menganalisis pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais tentang
hubungan Islam dan negara di Indonesia, yaitu terdiri dari teori politik Islam dan
teori Hubungan Islam dan negara.
Bab III Biografi Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais. Bab ini berisi
tentang bagaimana riwayat hidup, pendidikan dan pengalaman serta karya-karya
Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais.
Bab IV Analisis Terhadap Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien
Rais tentang Hubungan Islam dan negara di Indonesia. Bab ini memuat tentang
analisis komparatif tentang pemikiran kedua tokoh mengenai hubungan Islam dan
negara di Indonesia. Diantaranya adalah pemikiran politik Ahmad Syafi’i Ma’arif
tentang Islam dan Negara di Indonesia, pemikiran politik Amien Rais tentang
hubungan Islam dan negara di Indonesia, analisis perbandingan pemikiran Ahmad
Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia,
dan perbedaan serta persamaan pemikiran politik Ahmad Syafi’i Ma’arif dan
Amien Rais tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia.
Bab V Penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan
dari keseluruhan pembahasan dan hasil penelitian tentang perbandingan pemikiran
Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais tentang hubungan Islam dan negara di
13
Indonesia. Dan saran-saran yang berguna bagi perbaikan terhadap kekurangan-
kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini.
14
BAB II
KERANGKA TEORETIS DAN KONSEPTUAL
A. Politik Islam
Politik tidak bisa terlepas dari kajian-kajian historis perkembangan
ilmu politik itu sendiri. Begitu juga kaitannya dengan ajaran Islam, politik
merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam itu
sendiri. Dilihat dari sisi sejarah, Islam memiliki perkembangan politik
yang sangat luar biasa dimulai dari sejak zaman Nabi, khalifah, kerajaan-
kerajaan Islam sampai kemunduran kekuasaan Islam itu sendiri.
Perkembangan politik Islam itu sendiri terus menjadi pembahasan yang
tidak pernah selesai dalam kajian-kajian ilmu politik.
Islam terus berkembang sebagai gerakan keagamaan dan politik
dimana agama menjadi satu dengan masyarakatnya, namun tetap
menjadikan Al-Quran dan Sunah sebagai pedoman hidup yang tidak bisa
dibantah. Hal tersebut tergambar melalu sejarah kehidupan politik umat
Islam itu sendiri.17
Dalam mempelajari politik Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek
historis yang memiliki beragam penafsiran dari kalangan tokoh pemikiran
politik Islam itu sendiri. Di satu sisi umat Islam percaya bahwa pentingnya
prinsip-prinsip Islam dalam pelaksanaan politik dan penagturan sebuah
negara. Dengan adanya sifat yang multiinterpretatif terhadap Islam, maka
tidak ada pandangan yang tunggal mengenai bagaimana Islam dan politik
17 John L Esposito, Islam dan Politik, terj. H. M. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang,
1990), h. 1
15
dapat dikaitkan secara pas. Oleh karena itu melahirkan berbagai
pandangan dalam memahami bagaimana Islam mengaajarkan cara-cara
mengelola suatu negara dan pemerintahannya.18
1. Pengertian Politik Islam
Dalam bahasa latin politik diartikan sebagai politicus, atau dalam
bahasa Yunani disebut politicos yang berasal dari kata polis yang berarti
kota. Politik diartikan sebagai cara mengurus dan mengatur sebuah negara
yang mencakup berbagai kegiatan dalam sebuah sistem untuk mengatur
warga negaranya.19
Menurut pandangan Miriam Budiarjo politik diartikan sebagai
suatu cara yang digunakan dalam suatu sistem atau negara yang
menyangkut proses penenentuan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan
tersebut.20
Smentara itu Deliar Noer berpendapat bahwa politik adalah
semua aktifitas yang berhubungan dengan kukuasaan dalam kehidupan
bermasyarakat.21
Dari kedua pandangan di atas dapat dilihat bahwa politik tidak
hanya berbicara tentang kekuasaan saja, Deliar Noer memiliki pandangan
yang lebih luas bahwa politik juga dapat dilihat dari perspektif
18 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Trasformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, terj.Ihsan Ali Fauzi dan Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
2009), h.26.
19
Fauzan Naufal, “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam di
Indonesia (Analisi Pemikiran Politik Bahtiar Effendy)”, Skripsi (Lampung: UIN Raden Intan
Lampung, 2017), h. 13.
20
Jubair Situmorang, Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2014), h. 20.
21
Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 61.
16
kesejarahan, yaitu bagaimana sejarah bangsa Indonesia sejak zaman
sebelum kemerdekaan sampai masa Orde Baru.22
Politik secara umum dapat diartikan sebagai semua kegiatan yang
menyangkut cara mengatur suatu negara atau masyarakatnya untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah disepakati. Sperti misalnya
pengelolahan pemerintahan, distribusi kekuasaan, pemilihan presiden dan
wakil rakyat dan pembuatan Undang-Undang, semua itu dapat disebut
sebagai kegiatan politik.
Smentara itu dalam bahasa Arab politik berasal dari kata siyasah
yang memiliki makna mengatur, mengurus, dan memerintah.23
Pada
dasarnya siyasah berkaitan dengan cara untuk mengatur dan mengurus
kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara dengan tujuan
untuk membawa kepada kebaikan dan menjauhakan dari keburukan.24
Dalam politik Islam dikenal istilah siyasah shar’iyyah yang
memiliki makna ketentuan kebijakan-kebijakan dalam pengurusan suatu
negara yang didasarkan kepada syariat Islam. Hal-hal yang masuk
kedalam ketentuan dan tata cara pengelolaan suatu masyarakat atau negara
yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan suatu bangsa dan
menjauhkannya dari hal-hal buruk yang tidak diinginkan disebut sebagai
siyasah shar’iyyah.25
22 Fauzan Naufal, “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam di
Indonesia (Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Effendy)”, Skripsi (Lampung: UIN Raden intan
Lampung, 2017), h. 13.
23
Ahmad Ilyas Hidayat, “Kekuasaan Perspektif Politik Islam”, Skripsi (Makassar: UIN
Alauddin Makassar, 2012), h. 32.
24
Ahmad Ilyas Hidayat, “Kekuasaan Perspektif Politik Islam”, Skripsi, h. 33.
25
Rif’at, “Pemikiran Politik Islam Fachry Ali”, Skripsi (Jakarta: UIN Jakarta, 2011), h.
10.
17
Munawir Sjadzali mendefenisikan politik Islam kedalam dua
bagian, yaitu Islam substantif dan Islam fundamental. Aliran pemikiran
Islam substantif berpendapat bahwa pentingnya nilai-nilai politik Islam
diterapkan dalam pengelolaan suatu negara walaupun negara tersebut tidak
berasaskan Islam. Sedangkan aliran fundamental berpandangan bahwa
nilai serta keseluruhan ajaran Islam harus diterapkan dalam pengelolaan
suatu negara.26
Banyak yang beranggapan bahwa politik Islam dengan Islam
politik memeliki makna yang sama, akan tetapi pada dasarnya politik
Islam dalam pandangan Syafi’i Ma’arif merupakan sebuah upaya untuk
menjadikan prinsip-prinsip dasar dalam Islam sebagai pedoman dalam
membuat suatu kebijakan.27
Sementara Islam politik dapat diartikan
sebagai bagian dari peristiwa politik yang dilakukan oleh seseorang atau
komunitas Muslim tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.28
Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa politik
Islam merupakan suatu cara dalam penentuan kebijakan-kebijakan untuk
mengatur kehidupan suatu negara atau masyarakat berdasarkan nilai-nilai
yang terkandung dalam ajaran Islam.
2. Tipologi Politik Islam
Dalam pembahasan politik Islam banyak melahirkan berbagai
pandangan tentang bagaimana cara seorang muslim dalam menyikapi
26 Rif’at, “Pemikiran Politik Islam Fachry Ali”, Skripsi (Jakarta: UIN Jakarta, 2011), h.
8.
27
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Upaya Membingkai Peradaban, (Cirebon:
Pustaka Dinamika, 1999), h. 70.
28
Rif’at, “Pemikiran Politik Islam Fachry Ali”, Skripsi (Jakarta: UIN Jakarta, 2011), h.
8-9.
18
politik. Karena pada dasarnya Islam dan politik adalah dua hal yang saling
memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketika ada pembahasan mengenai
sejarah peradaban Islam itu sendiri maka kajiannya tidak terlepas dari
kegiatan-kegiatan yang terkait dengan politik.
Dalam pandangan A. Djazuli yang dikutip oleh Rif’at dalam
skripsinya yang bejudul Pemikiran Politik Islam Fachry Ali, politik Islam
dikelompokkan ke dalam tiga tipe berdasarkan karakteristiknya. Pertama,
liberal (sekuler) yaitu negara menolak hukum Islam secara penuh. Kedua,
fundamental yaitu negara melaksanakan hukum Islam secara penuh.
Ketiga, moderat yaitu negara yang tidak menjadikan Islam sebagai suatu
kekuatan struktural.29
Tetapi mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam
dalam kehidupan masyarakat dan negara.
a. Tipologi Liberal
Liberal dapat diartikan sebagai kebebasan secara harfiah. Ketika
dikaitkan dengan suatu kelompok masyarakat maka masyarakat liberal
dapat diartikan masyarakat yang memiliki kebebasan untuk berpedapat,
kebebasan memeluk agama dan kebebasan atas terpenuhinya Hak-Hak
Asasi (HAM).
Tipologi liberal ini beranggapan bahwa Islam memiliki kesamaan
dengan agama-agama lainnya dalam memandang suatu negara dan
kekuasaan. Dimana Islam tidak mengajarkan secara terperinci mengenai
pengaturan kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Kelompok ini
beranggapan bahwa agama merupakan sesuatu yang sifatnya universal
29 Rif’at, “Pemikiran Politik Islam Fachry Ali”, Skripsi (Jakarta: UIN Jakarta, 2011), h.
11.
19
sementara negara adalah sesuatu yang bersifat partikular (individu). Jadi
diantara keduanya tidak dapat disatukan karena memiliki ranah pemikiran
yang berbeda. Dalam arti spesifik dapat dikatakan bahwa tipologi liberal
adalah negara dalam berbagai kebijakan telah melepaskan diri dari ajaran
agama manapun.
b. Tipologi Fundamental
Secara umum fundamental dapat diartikan sebagai sesuatu yang
mendasar, yang biasanya ditujukan kepada sikap politik yang ekstrim,
fanatik dan keras kepala. Kelompok fundamental ini berpandangan bahwa
Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, termasuk di dalamnya tata cara mengelola suatu
negara dan masyarakatnya.30
Dalam ajaran Islam diatur tentang aspek-aspek kehidupan
bernegara. Hal tersebut merujuk kepada adanya pandangan dan tuntunan
yang diberikan Nabi ketika memimpin kota Madinah. Kepemimpinan
Nabi tersebut dianggap sebagai pedoman dalam mengatur dan mengurus
masyarakat dalam suatu Negara. Jadi dapat dikatakan bahwa pendirian
negara Islam adalah hal yang mutlak bagi penganut tipologi fundamental
ini.
c. Tipologi Moderat
Tipologi ini berpandangan bahwa dalam Islam tidak ada aturan
yang pasti mengenai masalah-masalah politik dan tata negara, namun ada
prinsip-prinsip tertentu dalam ajaran Islam yang harus diterapkan dalam
30 Ahmad Ilyas Hidayat, “Kekuasaan Perspektif Politik Islam”, Skripsi (Makassar: UIN
Alauddin Makassar, 2012), h. 38.
20
kehidupan politik suatu negara. dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral
atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya umat
Islam bebas memilih sistem manapun yang terbaik.31
Tipologi ini tentunya menolak klaim pada tipologi pertama yaitu
Islam tidak bisa disatukan dengan urusan politik dan negara. dan juga
meolak klaim tipologi kedua yaitu Islam merupakan agama yang lengkap
yang mengatur kehidupan umat manusia termasuk mengenai politik dan
pemerintahan.
B. Hubungan Islam dan Negara
1. Pengertian Negara
Ditinjau dari pengertian secara bahasa negara diterjemahkan
sebagai (staat) dalam bahasa Belanda, (state) dalam bahasa Inggris, (e’tat)
dalam bahasa Prancis yang semuanya memiliki arti negara. Dalam bahasa
latin negara disebut status atau statum artinya menempatkan, membuat
berdiri. Smentara itu secara terminologi negara diartikan sebagai
organisasi tertinggi dalam suatu kelompok masyarakat yang memiliki cita-
cita untuk bersatu, dan terdapat pemerintahan yang berdaulat.32
Dalam pandangan Roger H. Soltau negara dapat diartikan sebagai
agen atau kewenangan yang mengatur dan menegndalikan persoalan-
persoalan bersama atas nama masyarakat.33
Sementara itu Max Weber
beranggapan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
31Ahmad Ilyas Hidayat, “Kekuasaan Perspektif Politik Islam”, Skripsi h. 46
32
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, Pancasila,
Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 119.
33
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2013), h. 49
21
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah.34
Dalam pandangan tokoh-tokoh Islam seperti misalnya Al-Mawardi
dan Ibnu Khaldun, keduanya memandang negara sebagai suatu misi
kelanjutan Nabi untuk melindungi agama dan menagatur peradaban
dunia.35
Di Indonesia sendiri juga banyak pandangan-pandangan para tokoh
terkait pembahasan mengenai negara. Menurut pandangan Miriam
Budiardjo negara diartikan sebagai sebuah organisasi yang terdapat dalam
suatu teritori atau kawasan dimana nantinya organisasi tersebut mampu
mewujudkan kekuasaannya secara legal terhadap kekuasaan lain yang ada
dalam wilayah tersebut, dan mampu menetapkan tujuan yang ingin dicapai
dari proses kehidupan bersama.36
Secara umum dari berbagai pandangan para ahli diatas dapat
diartikan bahwa negara merupakan suatu bentuk organisasi yang terdiri
dari masyarakat yang memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai secara
bersama yang berada dalam sebuah kedaulatan wilayah.
2. Negara Dalam Pandangan Islam
Agama sebagai sumber etika dan moral memiliki peran yang
sangat penting dalam perjalanan sebuah negara. dalam hal ini agama dapat
dijadikan sebagai alat ukur dari suatu kebenaran, karena agama dapat
34 M. Fauzan Naufal, “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam di
Indonesia: Analisis Pemikiran PolitikBahtiarEffendy”, Skripsi, (Lampung: UIN Raden Intan
Lampung, 2017), h. 22
35
M. Fauzan Naufal, “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam di
Indonesia: Analisis Pemikiran PolitikBahtiarEffendy”, Skripsi, (Lampung: UIN Raden Intan
Lampung, 2017), h. 22
36
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2013), h. 49
22
menjadi pedoman bagi tingkah laku bagi masyarakat dalam suatu negara
untuk menjalani proses kehidupan.
Parsudi Suparlan memandang agama sebagai sitem keyakinan yang
dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau
masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa
yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang ghaib dan suci.37
Islam
diartikan sebagai ketundukan dan kepatuhan terhadap segala hal yang di
sampaikan dan diajarka oleh Rasulullah.38
Suatu negara adalah kebutuhan bagi setiap masyarakat atau bangsa,
hal itu dikarenakan setiap individu merasa memiliki hak untuk berbuat
sesuatu menurut kehendaknya tanpa memperhatikan hak orang lain, oleh
karena itu untuk terwujudnya ketentraman dan kesejahteraan hidup
manusia negara harus dibentuk.39
Ibnu Kaldun berpendapat bahwa sebagai
manusia keliru bahwa menegakkan kepemimpinan tidak wajib baik secara
akal maupun hukum, sebagaimana dikatan oleh golongan Mu’tazilah dan
Khawarij, menurut mereka yang wajib bagi umat manusia adalah
menyampaikan informasi tentang hukum, apabila manusia telah sadar
akan keadilan pelaksanaan hukum, maka figur seorang pemimpin tidak
dibutuhkan lagi.40
Sedangkan dalam pandangan Ibnu Taimiyah, negara dan agama
saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya kekuasaan
37Mamun Murad Al- Brebesy, Menyikap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais
Tentang Negara (Jakarta:Raja Grafindo,1999), h. 30
38
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 40
39
Sigit Prayitno, Pemikiran Amien Rais Tentang Politik Islam, (Yogyakarta:
Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 9
40
Dawan Raharjo, Ensiklopedia Alquran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, cet.1 (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 357.
23
negara yang sifatnya memaksa, maka agama berada dalam bahaya,
sebaliknya tanpa adanya disiplin hukum wahyu, maka negara pasti akan
menjadi sebuah organisasi yang tirani.41
3. Relasi Antara Agama dan Negara
Perbincangan mengenai hubungan agama dan negara merupakan
persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan yang terus berlangsung
dikalangan para ahli. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan
pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau
negara merupakan bagian dari dogma agama.42
Dalam teori Islam klasik tujuan dibentuknya suatu negara tidak
hanya untuk pemenuhan kebutuhan lahiriyah manusia saja, akan tetapi
juga terdapat kebutuhan ruhaniyah. Untuk kepentingan ini agama
dijadikan sebagai landasan kehidupan bernegara. Dari pengertian ini
mucul istilah al-Islam huwa al-din wa al-daulah (Islam adalah agama dan
negara). Sementara itu disisi lain kaum sekuler berpandangan bahwa
negara merupakan urusan kepentingan bersama sementara agama
mencakup pemahaman yang sifatnya pribadi, jadi anatara agama dan
negara tidak dapat dipersatukan.43
41 M. Fauzan Naufal, “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam di
Indonesia: Analisis Pemikiran PolitikBahtiarEffendy”, Skripsi, (Lampung: UIN Raden Intan
Lampung, 2017), h.30
42
Muhammad Jawahir, “Analisi Pemikiran Nurcholis Majid tentang Politik Islam”,
Skripsi, (Semarang: UIN Walisongo Semarang, 2016), h. 29
43
M. Fauzan Naufal, “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam di
Indonesia: Analisis Pemikiran PolitikBahtiarEffendy”, Skripsi, (Lampung: UIN Raden Intan
Lampung, 2017), h. 31
24
Secara garis besar perbedaan pendapat tentang bentuk negara dan
hubungannya dengan agama dikalangan para pemikir politik Islam dapat
dikelompokkan menjadi tiga aliran:44
a. Paradigma Integralistik
Paradigma Integralistik, kelompok ini berpendirian bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat yaitu hanya
menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam
adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan peraturan bagi segala
aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, sehingga agama
dan negara merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Oleh
karena itu disamping sebagai institusi politik, negara juga sebagai institusi
agama. Diantara tokoh-tokoh politik Islam yang berpandangan seperti ini
adalah Hasan Al Bana, Sayyid Qutub, Rasyid Ridha, dan yang paling
vokal adalah Abu A’la Al-Maududi. 45
b. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik, menurut kelompok ini negara adalah
lembaga politik yang terpisah dari agama, oleh karena itu, kepala negara
hanya mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan, sebagaimana
dalam pengertian Barat. Dalam pengertian mereka Nabi Muhammad SAW
hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-Rasul sebelumnya
dengan tugas mengajar manusia kembali kepada kehidupan yang mulia
dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, Nabi SAW tidak pernah
44
Din Samsudin, Etika Agama Dalam Mebangun Masyarakat Madani, ( Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2002), h. 45-46.
45
Munawir Sadjali, Islam dan Tatanegara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, edisi. 5
(Jakarta: universitas Indonesia Press, 1993), h. 1-2.
25
memaksudkan untuk mendirikan negara dan dan memimpin suatu negara.
pandangan ini dikemukakan oleh Ali Abdul Raziq, Thaha Husein, Ahmad
Lutfi Sayyid (yang menyebutnya sebagai Islam modernis). 46
c. Paradigma Simbiotik
Paradigma Simbiotik. Memandang agama dan negara memiliki
hubungan timbal balik dan saling ketergantungan antara satu sama lain,
dalam hal ini negara membutuhkan agama sebagai pedoman moral bagi
kehidupan masyarakat, sebaliknya agama membutuhkan negara sebagai
alam untuk mengontrol kekuasaan agar tidak terbentuk negara tirani.
Kelompok ini menyadari bahwa tidak terdapat aturan secara
menyeluruh dalam hal mengatur sebuah negara dalam ajaran Islam.
Meskipun terdapat ungkapan dalam Al-Quran yang merujuk kepada
kekusaan, politik dan pemerintahan, tetapi ungkapan ini hanya bersifat
insidental dan tidak ada kaitannya terhadapa teori-teori dalm politik.47
Al-Mawardi adalah salah satu tokoh Islam yang medukung
pandangan paradigma ini. al- Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan
negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian,
memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan
pengaturan dunia adalah dua hal yang berbeda, tetapi keduanya memiliki
hubungan yang bersifat simbiotik.48
46Munawir Sadjali, Islam dan Tatanegara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Edisi. V, h. 2-
3.
47
Din Samsudin, Etika Agama Dalam Mebangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2002), h. 60
48
Fauzan Naufal, “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik Islam di
Indonesia: Analisis Pemikiran PolitikBahtiarEffendy”, Skripsi, (Lampung: UIN Raden Intan
Lampung, 2017), h. 35.
26
BAB III
BIOGRAFI AHMAD SYAFI’I MA’ARIF DAN AMIEN RAIS
A. Biografi Ahmad Syafi’i Ma’arif
1. Riwayat Hidup Ahmad Syafi’i Ma’arif
Ahmad Syafi’i Ma’arif terkenal dengan panggilan “buya” oleh
orang-orang disekitarnya, panggilan ini di dapat karena taat dalam
beribadah serta sebagai tenaga pendidik dan cendekiawan muslim yang
memeliki intelektual yang sangat tinggi, tetapi sosok Ahmad Syafi’i
Ma’arif sendiri menyarankan kepada semunya untuk memanggilnya
dengan sebutan nama saja tidak dengan sebutan “buya”.49
Ahmad Syafi’i Ma’arif lahir pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di Bumi
Calau Sumpur Kudus “Makkah Darat”, Sumatera Barat dari pasangan
Ma’rifah dan Fathiyah. Dalam bahasa Minang Smpur Kudus “ Makkah
Darat” sering disebut dengan (Makkah Darek) ungkapan ini selalu disebut
oleh setiap kalangan elit maupun rakyat biasa di Minang.50
Sewaktu kecil pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif hanyalah sebatas
nagari Sumpur Kudus saja. Hari-hari yang di jalani dalam kehidupan
bersama teman-teman hanya untuk mengadu sapi, mengadu ayam,
menjala, menembak burung dengan senapan angin serta memancing di
sungai. Tidak adanya pengaruh yang masuk dari perkotaan ke nagari
49
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay (editor), Refleksi 60 Tahun Ahmad
Syafii Maarif Cermin Untuk Semua, (Jakarta : Maarif Institute, 2005), h. 37
50
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, (Yogyakarta : Ombak, 2006),
h. 3
27
Sumpur Kudus dan tidak adanya media televisi mengakibatkan anak-anak
yang bertempat tinggal di nagari Sumpur kudus tidak memiliki cita-cita
agar bisa melebihi orang-orang lain di kampungnya.51
Ma’rifah ayah dari Ahmad Syafi’i Ma’arif lahir pada tahun 1900,
sebelum diangkat sebagai kepala nagari tahun 1936 Ma’rifah merupakan
seorang saudagar gambir yang terpandang di daerahnya, serta sebagai
kepala suku melayu yang bergelarkan Datuk Rajo Malayu yang di sandang
sampai wafat. Ayah Syafi’i Ma’arif merupakan seseorang yang cerdas dan
termasuk dalam kategori elit, Ma’rifah merupakan tempat mengadu
masyakat baik dalam masalah ekonomi maupun masalah adat yang terjadi
di nagari tersebut, setiap masyarakat yang datang pasti dengan rasa hormat
dan sopan karena kepribadian Ma’rifah yang baik.52
Fathiyah ibu dari Ahmad Syafi’i Ma’arif lahir pada tahun 1905 di
Tepi Balai dan meninggal dunia pada tahun 1937 pada usia 32 tahun
ketika Ahmad Syafi’i Ma’arif baru berusia 18 bulan. Ahmad Syafi’i
Ma’arif tidak mengenal sedikit pun tentang ibundanya, bagaimana
senyumnya , seperti apa Ahmad Syafi’i Ma’arif di gendong dan di susui
selama 2 tahun, semuanya tidak terbayangkan karna tidak ada foto atau
kenangan yang bisa dilihat, walaupun semua orang mengatakan ibundanya
adalah sosok wanita yang cukup cantik dan selalu menunggangi kuda
51Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, (Yogyakarta : Ombak, 2006),
h. 82.
52
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, (Yogyakarta : Ombak, 2006),
h. 66.
28
untuk bepergian jauh.53
Setelah ditinggal ibundanya Ahmad Syafi’i
Ma’arif tingggal bersama Bainah (yang dipanggil etek) yang berjarak
sekitar 500 meter dari tempat kelahiranya.
Ahmad Syafi’i Ma’arif menikah ketika berumur 30 tahun dengan
seorang gadis bernama Nurkhalifah dari kawasan Mandahiling pada 5
Februari 1965. Dari pernikahanya Ahmad Syafi’i Ma’arif memiliki 3
orang anak. Anak pertama lahir di Yogyakarta pada tahun 1966 yang
diberi nama Salman, akan tetapi Salaman menghembuskan nafas terakhir
ketika umur kurang sedikit dari 20 bulan setelah lama sakit di Padang,
keadaan ini membuat Ahmad Syafi’i Ma’arif sangat terpukul seperti kata-
kata yang keluar dari mulut Ahmad Syafi’i Ma’arif “sungguh nak,
kepergianmu menyebabkan batin ayah sangat terguncang, tetapi inilah
kenyataan pahit dan perih yang harus dilalui. Hanya iman saja yang dapat
menolong agar tidak terus berlarut dalam suasana ketidak stabilan jiwa”.54
Pada November tahun 1968 Nurkhalifah melahirkan anak kedua
yang diberi nama Iwan dan wafat pada Oktober 1973. Pada 25 Maret 1974
Nurkhalifah melahirkan anak ketiganya dengan berat badan 2.20 kg yang
di beri nama Mohammad Hafiz. Mohammad hafiz adalah anak satu
satunya dari Ahmad Syafi’i Ma’arif yang hidup hingga dewasa. Mereka
hidup bersama dengan penuh suka dan duka dan hanya denga rasa syukur
53Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, (Yogyakarta : Ombak, 2006),
h. 73
54
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, (Yogyakarta : Ombak, 2006),
h. 186
29
yang tidak terlupakan sebagai perekat rumah tangga yang terdiri dari tiga
orang anggota keluarga.
2. Pendidikan
Masa kecil Ahmad Syafi’i Ma’arif dihabiskan di kampung
halamannya. pendidikan pertama yang diterima adalah di Sekolah Rakyat
(SR) Sumpur Kudus. Selanjutnya di sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah
lulus Ahmad Syafi’i Ma’arif melanjutkan sekolahnya di Madrasah
Mu’allimin Muhammadiya di Balai Tangah Lintau hingga selesai pada
tahun1953. Ahmad Syafi’i Ma’arif tidak hanya menamatkan
pendidikannya di Madrasah Mu’allimin Lintau tetapi juga di Madrasah
Mu’allimin Yogyakarta. Setelah pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan
pendidikan semuanya tidak seperti yang dibayangkan, karna kualitas
pendidikan di Mu’alimin lain dan di Yogyakarta sangat berbeda yang
mengakibatkan Ahmad Syafi’i Ma’arif akan mengalami kesulitan jika
tetap melanjutkan ke kelas 4, serta bangku kelas 4 yang telah penuh
menjadi halangan bagi Ahmad Syafi’i Ma’arif untuk Melanjutkan
Pendidikannyan. Pada akhirnya Ahmad Syafi’i Ma’arif tidak bisa berbuat
apa-apa dan harus mengulang pendidikan pada kuartal terakhir kelas 3.55
Yang akhirnya menamatkan pendidikan pada tahun 1956.56
Setelah menyelesaikan pendidikan di Madrasah Mua’alimin
Yogyakarta, Ahmad Syafi’i Ma’arif melanjutkan pendidikan di Surakarta
55Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, (Yogyakarta : Ombak, 2006),
h. 106
56
Suara Karya, Ketua Umum ; Muhammadiyah tetap sebagai organisasi sosial, (Jakarta :
10 Juli 2000)
30
tepatnya di Universitas Cokroaminoto Surakarta Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) atas bantuan saudaranya. Ahmad Syafi’i Ma’arif
hanya menjalankan perkuliahan selama satu tahun dikarenakan jalur pulau
Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan PRRI/Permesta.
Karena hubungan yang trerputus akhirnya Ahmad Syafi’i Ma’arif
memutuskan untuk mengajar di desa Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah.57
Sambil menjadi tenaga pendidik, Ahmad Syafi’i Ma’arif melanjutkan
kuliahnya dan hanya tamat Sarjana Muda (BA) pada tahun 1964. Dengan
motivasi belajar yang sangat tinggi akhirnya pada Agustus 1968 Ahmad
Syafi’i Ma’arif memperoleh gelar sarjana (Drs) dari FKIS IKIP
Yogyakarta dengan skripsi yang berjudul “Gerakan Komunis Vietnam
()1930-1954 dibawah bimbingan dosen sejarah Asia Tenggara yaitu
Dharmono Hardjowidjono58
”
Tahun 1973 dan 1980 Ahmad Syafi’i Ma’arif melanjutkan
perkuliahannya di Nothern Illionis University dan Ohio State University
Amerika Serikat sampai menerima gelar MA dengan tesis “Islamic
Politics Under Guided Democracy in Indonesia”(1959-1965) dibawah
bimbingan Prof. William H. Frederick, Ph.D. Disana Ahmad Syafi’i
Ma’arif tinggal dengan teman-teman yang berasal dari Malaysia dan juga
ativis (Muslim Student’s Associantion).59
Pada Desember 1983 ketika
Ahmad Syafi’i Ma’arif berumur 47 tahun dia mencapai puncak prestasi
57Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah di Tengah PergumulanPemikiran
Islam dan Politik, (Jakarta : Cidesindo, 2000). h. 172
58
Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah di Tengah PergumulanPemikiran
Islam dan Politik , (Jakarta : Cidesindo, 2000). h. 172-173
59
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, (Yogyakarta : Ombak, 2006),
h. 209
31
akademiknya dengan mencapai gelar, Ph.D (Doctor Of Philosophy) dari
Negara yang menyebut dirinya adalah bapak Demokrasi tepatnya di
University Of Chicago, Amerika Serikat.
3. Karya-Karya
Ahmad Syafi’i Ma’arif merupakan salah satu penulis yang banyak
menghsilkan karya-karya baru, sebagian karangan Ahmad Syafi’i Ma’arif
adalah mengenai Islam, ia mulai menulis semenjak belajar di Mu’alimin
Yogyakarta hingga usianya mencapai setengah abad. Diantara karya-
karyanya adalah :
a. Islam dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusiaan ( Bandung;
MIzan, 2009)
b. Menerobos Kemelut Refleksi Cendikiawan Muslim (2006)
c. Titi-Titik Kisar di Perjalanan KU (Yogyakarta: Ombak 2006)
d. Menggugah Nurani Bangsa (2005)
e. Mencari Autentitas dalam kegalauan ( Jakarta : Psap, 2004)
f. Independensi Muhammadiyah ;di Tengah PergumulanPemikiran Islam
dan Politik (Jakarta : Cidesindo, 2000).
g. Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999)
h. Islam kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997)
i. Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (Yogyakarta : Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, 1997)
j. Islam dan Politik ; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin
(Jakarta:Gema Insani Press, 1995)
32
k. Muhammadiya dalam Konteks Intelektual Muslim (Bandung : Mizan,
1995)
l. Membumikan Islam (1995)
m. Percik-Percik Pemikiran Iqbal (Yogyakarta, Salahuddin Press, 1994)
n. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Jakarta : Mizan, 1994)
o. Islam dan Politik di Indonesia (1988)
p. Al-Quran, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Bandung:Pustaka,1985)
q. Islam dan Masalah Kenegaraan ; Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985)
r. Dinamika Islam (Yogyakarta, Shalahuddin Press,1984)
s. Islam, Mengapa Tidak? (Yogyakarta, Shalahuddin Pres,1983)
t. Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam
Indonesia (Jakarta : LEPPENAS,1983)
u. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (Yogyakarta:
Yayasan FKIS IKIP Yogyakarta, 1975)
Dalam tulisan-tulisanya, Ahmad Syafi’i Ma’arif memeiliki tujuan
akan tampilnya Islam sebagai agama yang memiliki transformasi bagi
kehidupan ummat, walaupun tujuan tersebut masih jauh.60
B. Biografi Amin Rais
1. Riwayat Hidup Amien Rais
Amien Rais adalah putra kedua dari enam bersaudara dari H.
Syuhud Rais dan HJ. Sudalmiyah lahir pada 22 April 1944 di Solo.
60Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Pertaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif, h. 20
33
Semenjak kecil Amien Rais telah di tanamkan pendidikan keagamaan
yang dipengaruhi oleh berbagai tradisi Muhammadiyah. Ibu Sudalmiah
selalu mengatakan bahwa segala sesutau yang dikerjakan adalah ibadah.
Syuhud Rais ayah dari Amien Rais berasal dari keluarga Umar
Rais yang dibesarkan di Purbalingga, Jawa Tengah. Syuhud Rais dalah
Guru Agama dan kepala kantor Depag di Solo, selain itu ia juga sebagai
pengurus pendidikan Muhammadiayah cabang Surakarta. Sedangkan
Sudalmiyah berasal dari keluarga Priyayi. Ayahnya Sudalmiyah Wiryo
Sudarmono dari Gombong yang bernama kecil Sukiman salah seorang
putra nyonya Rakilah, sesorang yang sangat disegani di masanya.61
Sudalmiyah adalah aktifis Aisyah di Surakarta sekligus sebagai guru
agama di SGKP (Sekolah Guru Kependidikan Putri) dan SPK (Sekolah
Perawat Kesehatan) di Aisyah Surakarta.62
Pada tahun 1966 Amien Rais menikahi seorang gadis yang
bernama Kusniarti Sri Rahayu. Mereka dikaruniai 5 orang anak, tiga putra
dan dua orang putri, yaitu Ahmad Hanafi, Hanum Salsabila, Ahmad
Mumtaz, Taznim Fauzia, dan Ahmad Baihaqi. Mereka membekali semua
anaknya dengan kepandain seperti dengan mengikuti les matematika,
bahasa ingris, piano ,gitar dan sebagainya.63
61 Zaim Uchrowi, Muhammad AMien Rais Memimpin Dengan Nurani; in Authorized
Biography, (Jakarta : Teraju Mizan,2004),h.18-19
62
M. Amie Rais, Membangaun Politik Adiluhung, Membumikan Tauhid Sosial,
Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Idy Subandy Ibrahim,(ed), (Bandung:Zaman Wacana
Mulia), h. 46-47
63
M. Amien Rais, Membangaun Politik Adiluhung, Membumikan Tauhid Sosial,
Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Idy Subandy Ibrahim,(ed), (Bandung:Zaman Wacana
Mulia), h. 48-49
34
2. Pendidikan
Semenjak Amien Rais menginjak usia memasuki fase pendidikan
formal, Amien Rais menghabiskan pendidikan dari TK hingga SMA di
sekolah Muhammadiayah. Bahkan jikalau sewaktu itu telah ada kampus
Muhammadiayah maka sang ibu akan mamasukan Amien Rais ke kampus
Muhammadiyah.64
Pada tahun 1959 Amien Rais mulai memasuki jenjang pendidikan
awal di sekolah dasar Hukum Muhammadiayah dilanjutkan Sekolah
Menengah Pertama 1959 dan Sekolah Menegah Atas tahun 1962, selain
itu ia juga mengikuti pendidikan agama di Mambaul Ulum dekat masjid
Agung Surakarta yang kemudian pindah ke madrasah Al-Islam. Pada masa
itu sistem pengajaran yang di pakai sekolah swasta masih berinduk kepada
pemerintah.65
Setelah tamat di SMA Amien Rais diterima di fakultas FISIPOL
karena berniat untuk menjadi diplomat, tetapai di lain sisi Amien Rais
Juga mendaftar di fakultas Ilmu Tarbiyah di IAIN Sunan Kalijaga demi
menyenangakn hati ibunya dan di terima hingga mencapai sarjana muda
karena adanya larangan pemerintah untuk studi ganda, dan Amien Rais
meninggalkan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1967.
Amien Rais menyelesaikan sarjananya pada tahun 1968 dengan
skripsi yang berjudul “Mengapa Politik Luar Negri Israel Berorientasi Pro
Barat” yang mengantarnya untuk melanjutkan studi di University of Notre
64M. Amien Rais, Membangaun Politik Adiluhung, Membumikan Tauhid Sosial,
Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Idy Subandy Ibrahim,(ed), (Bandung:Zaman Wacana
Mulia), h. 51-52
65
Firdaus Syam, Amien Rais Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang Shaleh, (Jakarta:
Al-Kautsar, 2003),h.260-261
35
Dame di Amerika, yang selesai pada tahun 1974 dengan tesis “ Politik
Luar Negeri Mesir di Bawah Anwar Sadat dengan Moscow” . setelah itu ia
mendapat sertifikat untuk studi tentang Soviet dan Negara Eropa Timur.66
3. Karya-Karya
Amien Rais merupakan didikan Muhammadiyah yang pada
akhirnya Amien Rais bergabung dan aktif di perserikatan, karena
kecerdasan intelektual yang dimiliki, dia lansung menduduki posisi-posisi
penting di Muhammadiyah. Sebagai seorang cendekiawan dan akademisi
Amien Rais telah banyak menghasilkan karya-karya yang dituangkan
dalam bentuk artikel dan sebagainya seperti:
a. Prospek Perdamaian Timur Tengah 1980 (Jakarta: Litbang
Deplu,1980)
b. Perubahan Politik Eropa TImur (Litbang Deplu Kerjasama Teknologi
Negara-negara Berkembanga,1980)
c. Zionis : Arti dan Fungsi (Yogyakarta: Fisipol UGM,1989)
d. Kepentingan Nasional Indonesia dan Perkembangan Timur Tengah
1990 (Litbang Deplu, Jakarta, 1981)
e. Politik dan Pemerintah TImur Tengah (PAU-UGM,1980)
f. Orientalisme dan Humanise Sekuler (Yogyakarta : Shahaludin
Press,1983)
g. Cakrawala Islam Antara Fakta dan Cita (Bandung: Mizan,1987)
h. Politik Internasional Dewasa Ini (Usaha Nasional Surabaya, 1989)
i. Timur Tengah dan Krisis Teluk (Surabaya: Amre Press, 1990)
66M. Najib dan Kuat, Amien Rais, h. 18-19
36
j. Keajaiban Kekuasan (Yogyakarta : Banteng PPSK,1994)
k. Moralitas Politik Muhammadiyah (Yogyakarta : Dinamika, 1995)
l. Tangan Kecil (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Press,1995)
m. Puasa dan Keunggulan Kehidupan Rohani (Yogyakarta: PT. Mitra
Pena Cendekia,1996
n. Tugas cendikiawan Muslim (Yogyakarta: Sholahuddin Press,1985)
o. Demi kepentingan bangsa (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1997)
p. Visi dan Misi Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997)
q. Amien Rais Menuntut Perubahan (Yogyakarta: PT. Mitra Pena
Cendikia, 1998)
r. Melangkah Karena Dipaksa Sejarah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998)
s. Refleksi Amien dari Persoalan Semut hingga Gajah (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997)
t. Demi Politik Saya Siap Jadi Presiden (Yogyakarta: Tirani,1997)
u. Suksesi Keajaiban Kekuasaan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,1997)
v. Amien Berjuang Menuntut Perubahan (Yogyakarta: PT. Mitra Pena
Cendikia, 1998)
w. Membangun Politik Adiluhung Membumikan Tauhid Sosial,
Menegakkan Amar Maruf Nahi Munkar (Bandung: Mizan, 1998)
x. Islam Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (Jakarta: Rajawali, 1986)
y. Golkar dan Demokratisasi di Indonesia (Yogyakarta: Pengantar PPSK,
1993)
37
z. ICMI Antar Status Quo dan Demokratisasi (Bandung Artikel,
Mizsn,1995)
Sementara skripsinya berjudul “Mengapa Politik Luar negeri
Berorientasi Pro Barat”. Sedangkan tesisnya berjudul “Politik Luar
Negeri di Bawah Anwar Sadat yang dekat dengan Moscow” dan
terkhir desertasinya adalah “The Muslim Brotherhod in Egypt, it’s
Rise, Demise and Resurgence” tahun 1981.67
67http://www.Biografi.Tokoh.com/ensiklopedia/a/amien-rais/Index/2.shtml
38
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN AHMAD SYAFI’I MA’ARIF DAN AMIEN RAIS
TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA
Perkembangan politik Islam di Indonesia dewasa ini cenderung lebih
mengedepankan pendekatan yang lebih inklusif atau integratif. Generasi baru
kaum intelektual dan aktivis Muslim Indonesia dewasa ini lebih berusaha
merumuskan aspirasi-aspirasi politik Islam dalam arah yang inklusif. Hal tersebut
dapat terlihat dari cara mereka mengekspresikan gagasan sosial politik mereka
dan bagaimana mereka berupaya merealisasikan tujuan-tujuan sosial-politik
Islam.68
Generasi baru intelektual dan aktivis Muslim Indonesia seperti Nurcholish
Majid, Abdurrahman Wahid, M. Dawan Rahardjo, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan M.
Amien Rais, mereka lebih tertarik kepada masalah-masalah yang memiliki
dampak yang lebih nyata bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Pandangan-pandangan mereka dapat disimpulkan bahwa gagasan
mengenai baldah thayyibah wa rabb gafur dan al-amr bi al ma’ruf wa al nahy’an
al-munkar dalam politik Islam di Indonesia tidak diartikan lagi sebagai konteks
subjektivisme ideologis dan simbolis. Sebaliknya gagasan itu lebih diartikan
68 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Trasformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, terj.Ihsan Ali Fauzi dan Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
2009), h. 230-231.
39
sebagai agenda yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat Indonesia
secara keseluruhan.69
Dalam melihat konteks Indonesia mengenai permasalahan hubungan Islam
dan negara pertanyaan yang harus dimunculkan adalah jenis Islam yang mana atau
gagasan-gagasan dan praktek politik Islam yang manakah yang dapat menjamin
terbentuknya hubungan yang besifat membangun kearah kebaikan antara
hubungan Islam dan negara di Indonesia?.70
Dalam hal ini penulis lebih menitik beratkan kepada pandangan Syafi’i
Ma’arif dan Amien Rais dalam melihat hubungan Islam dan negara, keduanya
merupakan tokoh Muhammadiyah yang memiki peran besar terhadap
perkembangan politik di Indonesia.
A. Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif Tentang Hubungan Islam dan
Negara di Indonesia
1. Pemikiran Keislaman Ahmad Syafi’i Ma’arif
Islam merupakan ajaran yang bersumber kepada Al-Quran. Al-
Quran membicarakan tentang Tuhan, manusia dan alam, ketiga tema yang
berulang-ulang disebutkan dalam Al-Quran ini jika dipahami dengan baik
dan benar serta dilaksanakan, maka akan ada harapan besar bahwa suatu
peradaban yang ramah dan bermartabat dapat diwujudkan sebagai
69 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Trasformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, terj.Ihsan Ali Fauzi dan Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
2009), h. 232.
70
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Trasformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, terj.Ihsan Ali Fauzi dan Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
2009), h. 16.
40
pengganti dari peradaban yang rakus dan kurang menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan.71
Pendapat Dr. Imad al-Din Khalil yang dikutip Syafi’i Ma’arif
dalam bukunya Membumukan Islam mengatakan bahwa, “manusia dengan
posisinya sebagai khalifah Allah di muka bumi diberikan kekuasaan
(quddira lahu) untuk menciptakan peristiwa-peristiwa sejarahnya dengan
kemauan dan ikhtiarnya, untuk tujuan negatif ataupun positif”.72
Maka
tergantung kepada manusia itu sendiri untuk menempuh jalan negatif
ataupun jalan yang positif. Dari penjelasan di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa Islam pada dasarnya merupakan agama yang
mengandung nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi umat manusia
dalam menjalankan kehidupannya di buma bumi.
Al- Quran membutuhkan umat Islam yang cerdas dan mempunyai
wawasan Islam yang luas, oleh karena itu maruah umat Islam sangat
tergantung kepada ada atau tidaknya nilai-nilai ini dalam kehidupan
kolektif manusia. Al-Quran diturunkan untuk seluruh umat manusia
seluruhnya, bukan untuk golongan elit saja, maka wawasan Islam yang
luas sudah tentu menjadi milik semua umat Islam, namun ada perbedaan
tingkatan-tingkatan wawasan tersebut, hal tersebut tergantung kepada
tingkat sensitivitas jiwa umat Islam dalam menangkap sinyal-sinyal
kebenaran.73
71 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta,
1995), h. 3.
72
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta,
1995), h. 19
73 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta,
1995), h. 31
41
Ahmad Syafi’i Ma’arif berpendapat bahwa dakwa dalam Islam
merupakan kewajiban bagi seluruh umat. Dalam bukunya yang berjudul
Membumikan Islam Ahmad Syafi’i Ma’arif menulis sebagai berikut.
“Ahmad Syafi’i Ma’arif berpandangan bahwa kerja dakwah adalah
kerja yang menggarami kehidupan umat manusia dengan nilai-nilai
iman, Islam dan taqwa demi kebahagiaan umat Islam. Selama
denyut nadi kegiatan duniawi manusia masih berlansung, selama
itu pula umat Islam berkewajiban menyampaikan pesan risalah
kenabian dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun coraknya.
Komunitas Muslim adalah suatu komunitas yang ditegakkan atas
sendi-sendi moral iman, Islam dan taqwa yang dipahami secara
padu, utuh dan benar, ini adalah suatu komunitas yang tidak
eksklusif karena ia berfungsi sebgai komunitas teladan di tengah-
tengah arus kehidupan yang penuh dinamika, tantangan dan
pilihan-pilihan yang kadang sangat dilematis, maka hanya dengan
ketajaman iman dan kecerdasan sajalah umat Islam dapat
menetapkan pilihan yang tepat dalam mengahapi perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, dan sekaligus memberi arah moral
kepada perubahan itu”.74
Dari kutipan tulisan Ahmad Syafi’i Ma’arif di atas dapat
disimpulkan bahwa dakwah Islam adalah dakwah yang mengajak kepada
kebaikan, tujuan dakwah adalah untuk menegakkan sendi-sendi keimanan,
Islam dan taqwa dalam komunitas umat Muslim, dengan tujuan untuk
mencapai kebenaran dan kebajikan.
Ahmad Syafi’i Maarif mengkritik pemahaman kaum Islam radikal,
kritikan tersebut terbagi ke dalam tiga unsur.75
Pertama, kelompok Islam
radikal hanya memahami syariat Islam secara kaku. Syariat Islam
dipahami hanya sebagai hukum dan fiqih saja, misalnya saja hukum rajam
dan potong tangan dalam Islam. Hal ini merupakan pemahaman yang
74 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta,
1995), h. 101
75 Syafii Anwar, “Syafii Maarif, Bung Hatta dan Deformalisasi Syariat”, dalam Lia
Hilyah, Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara),
(Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta, 2009), h.175-176.
42
membawa implikasi negatif terhadap Islam itu sendiri, karena orang akan
memandang bahwa Islam adalah agama yang menakutkan.
Kedua, Syafi’iMa’arif mengkritik pemahaman Islam radikal yang
memandang syariah semata-mata disandarkan pada pendekatan hukum
(fiqih) serta pengamatan parsial (hitam-putih) saja. Mereka tidak melihat
ariti pengalaman historis dan membandingkan penerapan syariat Islam di
negara-negara Islam yang ada di dunia. Kebanyakan negara Islam seperti
Sudan dan Pakistan sampai saat sekarang tetap dirundung berbagai macam
persoalan. Kelompok Islam radikal tidak pernah mengambil pembelajaran
dari pengalaman kelompok, golongan dan partai-partai Islam di masa lalu
yang selalu gagal dalam memperoleh dukungan mayoritas.
Ketiga, Syafi’i Ma’arif mrngingatkan bahwa masalah terbesar umat
Islam Indonesia adalah bagaimana cara mengatasi masalah sosial,
ekonomi dan politik. Kelompok ini hanya ingin menerapkan syariat Islam
secara total tanpa memperhatikan realitas permasalahan bangsa secara
kritis.
Dari kritikan di atas sangat jelas bahwa Syafi’i Ma’arif menolak
fomalisasi syariat, karena tuntutan tersebut tidak realistis dan tidak
memiliki pondasi intelektual yang kuat. Menurutnya Islam bukan hanya
cita-cita moral dan nasehat keagamaan saja, tetapi Islam perlu sarana
untuk mewujudakan cita-cita moralnya yang meliputi seluruh aspek
kehidupan, karena itulah diperlukan kehadiran negara. Pandangan politik
Syafi’i Ma’arif lebih setetuju pada nilai-nilai substantif Islam seperti
43
persamaan, keadilan, kesejahteraan dan kebebasan. Negara dan segala
kepentingannya bukan hal yang sangat fundamental dalam Islam. 76
2. Pandangan Ahmad Syafi’i Ma’arif Tentang Dasar Negara
Dalam pembahasan mengenai dasar negara Ahmad Syafi’i Ma’arif
mempunyai beberapa pandangan:
Syafi’i Ma’arif menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
pernah membuat pengakuan bahwa dia adalah kepala negara. Fakta ini
memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana,
sebagai alat bagi agama, dan bahkan sebagai sebuah perwujudan (suatu
eksistensi) dari agama itu sendiri. Apalagi fakta bahwa Sunnah Nabi
maupun realitas Al-Quran memang tidak memberikan pola teori
kenegaraan secara baku, karena Al-Quran lebih merupakan petunjuk etik
bagi manusia., bukan sebuah kitab politik. Umat Islam diberi kebebasan
untuk membangun sistem politiknya sendiri sesuai dengan tantangan
zaman dan tuntutan masyarakat. Tujuan terpenting dalam Al-Quran lebih
terarah kepada upaya agar nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan
bersifat mengikat atas berbagai kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural
uamat Islam. Maka atas dasar nilai-nilai etik Al-Quran itu bangunan
politik Islam dan bangunan sosio-kultural wajib ditegakkan.77
Dalam hal ini Syafi’i Ma’arif memberikan kritikan terhadap
gagasan negara Islam itu sendiri. Menurutnya, negara Islam tidak memiliki
76 Ahmad Sholikin, “Pemikiran Politik Negara Dan Agama Ahmad Syafii Maarif, Jurnal
Politik Muda, Vol 2 No 1, (Januari-Maret 2012), h.198-200.
77
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pancasila dan
Konstituante, h. 16-18, dikutip dalam Lia Hilyah, Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i
Ma’arif (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara), (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta, 2009),
h. 172.
44
basis religio-intelektual yang kuat, tidak ditemukannya sepanjang sejarah
Islam klasik tentang bagaimana bentuk dan sistem yang harus dimiliki
oleh suatu negara, termasuk dalam Piagam Madinah itu sendiri, karena di
dalam Piagam tersebut tidak menyebutkan bahwa Islam adalah sebuah
negara. Meskipun demikian Islam tetap sangat membutuhkan sebuah
negara untuk mewujudkan cita-cita dan ajaran moral kepada
masyarakatnya sesai dengan panduan yang telah disyariatkan dalam Al-
Quran dan Sunnah.78
Menurut Syafi’i Ma’arif dari zaman pasca
kemerdekaan belum ada satupun cendikiawan dan tokoh-tokoh Muslim di
Indonesia yang mampu menulis secara sistematis dan ilmiah tentang
bagaimana bentuk suatu negara Islam yang bisa diterapkan di Indonesia.79
Kritikan tersebut dapat diartikan bahwa Islam tidak mesti harus
dijadikan sebagai landasan suatu negara, karena pada dasarnya Islam
merupakan ajaran yang sifatnya universal yang mengandung nilai-nilai
moral terkait dengan masalah kebaikan terhadap umat manusia.
3. Pandangan Tentang Hubungan Islam dan Negara
Perdebatan mengenai masalah hubungan Islam dan Politik terus
beralangsung samapai saat sekarang, seakan tidak ada titik temu yang pas
untuk mempersatukan keduanya. Bahkan di Indonesia sendiri perdebatan
ini terus mengalami pasang surut pada setiap masanya. Sejak abad ke-20
setelah berakhirnya kolonialisme yang dilakukan Barat, negara-negara
muslim seperti (Turki, Pakistan, Mesir, Sudan, Aljazair) justru mengalami
78 Ahmad Asroni, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Negara dan Syariat Islam di
Indonesia, Millah, Vol. 10, No.2Maarif da (Februari 2011), 361.
79
Ahamd Syafi’i Ma’arif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan dalam Kostituante, ( Bandung: Mizan, 2017 ), h. 127.
45
kesulitan dalam menjalankan nilai-nilai Islam dalam sistem
pemerintahannya. Meskipun masyarakatnya didominasi oleh kaum
Muslim tetapi sering terjadi peartikaian-pertikaian tajam ditengah-tengah
masyarakat muslim dengan pemerintahan yang berkuasa pada saat itu.80
Memasuki zaman modern ini hubungan Islam dan politik kembali
menguat dan terus menjadi perdebatan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari munculnya berbagai macam organisasi-organisasi Islam yang terus
menunjukkan eksistensinya di perjalanan politik Indonesia. Diskusi
mengenai Islam dan politik di Indonesia lebih kepada perdebatan
mengenai ideologi negara. Meskipun Pancasila sudah menjadi kesepakatan
bersama sebagai ideologi bangsa, namun keingian-keinginan untuk
menjadikan Islam sebagai dasar negara terus diupayakan. Keberadaan
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia justru tidak menjadi jaminan
hadirnya Islam sebagi ideologi negara.
Upaya untuk menjadikan Islam sebagai ideologi seakan menemui
jalan buntu, mulai sejak zaman Presiden Soekarno samapai Presiden
Soeharto. Rezim yang berkuasa pada saat itu memandang bahwa
kehadiran kelompok-kelompok Islam yang tergabung ke dalam berbagai
partai yang belandasakn Islam sebagai ancaman besar terhadap Ideologi
bangsa. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah
berupaya untuk melemahkan kekuatan-kekuatan kelompok Islam tersebut.
Ahmad Syafi’i Ma’arif merupakan salah satu tokoh cedekiawan
Muslim yang memberikan perhatian lebih terhadapat hubungan Islam dan
80 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Trasformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, terj.Ihsan Ali Fauzi dan Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
2009), h. 2.
46
negara di Indonesia. Syafi’i Ma’arif beranggapan, secara doktrinal dalam
Islam tidak ada penetapan dan penegasan mengenai bentuk negara, baik
dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang rinci
mengenai bentuk negara dan tata kelola suatu negara.81
Perjalanan pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif terjadi dalam dua
fase. Pertama fase sebelum kuliah di Universitas Chicago. Pada saat masih
menempuh pendidikan di Madrasah Mu’alimin Jogjakarta sampai saat
belajar di Universitas Ohio di Athens AS, Syafi’i Maarif mempunyai
ambisi besar agar bisa terwujudnya negara Islam di Indonesia sebagai cita-
cita politiknya. Pemikiran Syafi’i Ma’arif masih merujuk kepada
pemahaman Al-Maududi tentang negara Islam. Menurut pandangan
Syafi’i Ma’arif yang menjadi cita-cita bagi umat Islam Indonesia adalah
dibentuknya negara nasional Islam agar terjamin dan terlaksananya ajaran-
ajaran Islam secara kolektif bagi masyarakat.82
Setelah menempuh pendidikan di Universitas Chicago pemikiran
Ahmad Syafi’i Ma’arif mengalami perubahan drastis. Syafi’i Ma’arif
mengalami kebangkitan spiritual dan intelektual yang baru. Hal tersebut
terjadi karena pola pemikiran Islam di Barat jauh lebih berkembang dan
maju dibandingkan di Timur Tengah. Peran Fazlur Rahman sebagi
gurunya membawa perubahan pada corak pemikirannya. Setelah melalui
pergolakan pemikiran yang intensif dan mendasar Syafi’i Ma’arif sampai
kepada pemahaman bahwa bagaimana mensinergikan antara nilai-nilai
81 Ahmad Asroni, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Negara dan Syariat Islam di
Indonesia, Millah, Vol. 10, No.2Maarif da (Februari 2011), 361.
82
Lia Hilyah, “Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif (Tinjauan Terhadap
Ideologi Negara”), skripsi (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta, 2009), h. 172
47
Islam ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa harus
menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Pandangan Syafi’i Ma’arif terhadap hubungan Islam dan negara
bukan sekedar hanya pola hubungan dikotomis yang saling meniadakan.
Pola hubungan Islam dengan negara memberikan penjelasan bahwa Islam
bukan hanya sekedar ritual rohani manusia kepada Tuhannya saja, namus
Islam juga mengajarkan tentang pola hubungan muamalah dan
bersosialisasi dalam masyarakat. Supaya pola dan patokan-patokan dalam
bermuamalah tersebut dapat terjaga dan berjalan dengan baik, maka
diperlukan negara atau kekuasaan politik yang melindunginya.83
Dalam konteks Indonesia rekaman sejarah perjalan Islam di
Indonesia ada sebagian kalangan yang ingin menjadikan Islam sebagai
dasar negara. hal tersebut berasal dari asumsi bahwa mayoritas penduduk
Indonesia adalah muslim. Salah satu tokoh yang sangat mendukung
pemahaman tersebut adalah M. Natsir. Dalam pidatonya di depan Majelis
Kostituante, Natsir menyampaikan pandangan bahwa hanya ada dua
kemungkinan pilihan ideologi bagi dasar negara yaitu sekularisme (la
Diniyyah) dan Islam (din). Dalam pandangan Natsir negara sebagai
kekuatan dunia adalah sesuatu yang mutalk dalam Al-Quran dan hanya
melalui kekuasaan negara aturan-aturan dan ajaran-ajaran Islam dapat
diaplikasiakan dalam kehidupan bermasyarakat.84
83 Ahmad Sholikin, “Pemikiran Politik Negara Dan Agama Ahmad Syafii Maarif, Jurnal
Politik Muda, Vol 2 No 1, (Januari-Maret 2012), h. 198.
84
Ahmad Sholikin, “Pemikiran Politik Negara Dan Agama Ahmad Syafii Maarif, Jurnal
Politik Muda, Vol 2 No 1, (Januari-Maret 2012), h.200
48
Syafi’i Ma’arif mrngkritik pandangan-pandangan tokoh terdahulu
mengenai penerapan Islam sebagai ideologi negara. menurutnya Islam
tidak mempermasalahkan apapun nama dan bentuk pemerintahan yang
dipakai oleh pemimpin Islam, hal terpenting adalah bagaiman moral dan
etika dapat berjalan dengan baik di negara tersebut. Tujuan terpenting Al-
Quran dan Islam adalah bagaiman nilai-nilai dan perintah etiknya dapat
dijunjung tinggi serta dapat mengikat terhadap kegiatan sosio-politik umat
Islam. Agar dapat terwujudnya syariat Islam tersebut maka diperlukan
negara sebagai penyokong agama. Akan tetapi bagi Syafi’i Ma’arif negara
hanya sebagai alat untuk keberlansungan beragama, dan melolak secara
tegas menjadikan Islam sebagai dasar negara.85
Hal tersebut menjadi dasar bagi Syafi’i Ma’arif dan tokoh-tokoh
Islam lainnya sperti KH. Hasyim Muzadi dan Nurcholis Majid menolak
tuntutan pembahasan kembali Piagam Jakarta pada tahun 2001 dan upaya
menformalisasikan syariat yang disuarakan oleh kelompok-kelompok
radikal dan partai-partai Islam lainnya, yang pada akhirnya sebagian dari
kelompok Muhammadiyah dan ormas Islam dari kelompok modernis
revivalis mengecap Syafi’i Ma’arif sebagai tokoh Islam yang anti syariat.86
Dalam pandangan Syafi’i Ma’rif tidak ada alasan yang kuat untuk
menolak penerapan sistem demokrasi di Indonesia, meskipun demokrasi
itu sendiri berasal dari Barat. Bagi Syafi’i Ma’arif tidak ada penyebutan
negara Islam, yang ada hanyalah moral Islam yang mampu menyinari
85 Ahmad Sholikin, “Pemikiran Politik Negara Dan Agama Ahmad Syafii Maarif, Jurnal
Politik Muda, Vol 2 No 1, (Januari-Maret 2012), h.200.
86
Abd. Rohim Ghazali dan Shaleh Pataonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif,(Jakarta: Maarif Istitut, 2005), h.35.
49
seluruh masyarakat Indonesia, perangakat-perangkat hukum dapat
disinergikan dengan nilai-nilai Islam dalam demokratisasi. Yang
terpenting adalah prinsip moral Islam terhadap tegaknya keadilan tetap
dijunjung tinggi di dalam demokrasi.87
Di Indonesia doktrin etika moral
yang terdapat dalam Al-Quran lebih menonjol dalam retorika dan bahkan
dimanfaatkan untuk kepentingan politik para politisi, sementara doktrin
syariat sebagai pedoman hidup sehari-hari justru sering terabaikan. Dalam
hal isi Safi’i Maarif mengutip perkataan Bung Hatta, “Janganlah gunakan
filsafat gincu, tampak tapi tak terasa, pakailah filsafat garam, tak tampak
tapi terasa”.88
Maksudnya adalah dalam prakteknya Islam jangan hanya
fokus terhadap seremoni dan simbol, tetapi lupa akan substansi dari Islam
itu sendiri. Syafi’i Ma’arif menginginkan bahwa nilai-nilai Islam
seharusnya dapat dicerminkan dalam moral dan etika masyarakat
Indonesia itu sendiri.
Sementara itu dalam hal melihat hubungan Islam dan Pancasila
Syafi’i Ma’arif berpendapat bahwa setelah diteliti lebih jauah ternyata
belum ada konsep lain yang dipandang lebih tepat dan rasional dapat
mengukuhkan persatuan bangsa selain Pancasila. Kelima sila yang
terdapat dalam Pancasila diyakini Syafi’i Ma’arif sebgai dasar dan pijakan
yang tepat bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kostitusinya.
Syafi’i Ma’arif selalu mengajak masyarakat Indonesia untuk terus
mendukung nation-state karena menurutnya Pancasila merupakan tujuan
87 Lia Hilyah, “Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif (Tinjauan Terhadap
Ideologi Negara”), skripsi (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta, 2009), h. 178.
88
Z. Yasni, Bung Hatta Menjawab, (Jakarta: Gunung Agung, 1979), h. 179, dikutip
dalam Lia Hilyah, “Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif (Tinjauan Terhadap
Ideologi Negara)”, skripsi (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta, 2009), h. 179
50
akhir yang hendak dicapai oleh seluruh masyarakat di Tanah air. Alasan
mendasarnya adalah, pertama, Negara Indonesia tidak hanya menjamin
kebebasan uamat Islam menjalankan syariat Islam, akan tetapi negara juga
menyediakan fasilitas. Kedua, konstitusi negara tidak bertentangan dengan
syariat Islam, bahkan hingga pada taraf-taraf tertentu merefleksikan
ajaran-ajaran tauhid Islam.89
Ahmad Syafi’i Ma’arif berpendapat bahwa Pancasila dapat
disebandingakan meski tidak persis sama dengan Piagam Madinah.
Alasannya. Pertama, secara subsatntif Pancasila maupun Piagam madinah
sama-sama mengakui adanya kaitan antara nilai-nilai agama dan masalah-
msalah kenegaraan. Kedua, secara fungsional Pancasila dan Piagam
Madinah mencerminkan titik temu (cammon platform), yang menjadi
prinsip-prinsip yang mengatur sebuah masyarakat politik yang memiliki
latar belakang sosial keagamaan yang beragam.90
Dalam pandangan Syafi’i Ma’arif Pancasila sebagai dasar negara
di Indonesia pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan Islam.
Lebih khusu pada sila pertama yang memiliki nilai-nilai monoteisme
Tuhan, hal ini sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran
Islam.
Pada akhirnya Syafi’i Ma’arif berkeyakinan bahwa Islam di
Indonesia diharapkan memberikan dasar-dasar spiritual, etis dan moral
bagi pembangunan nasional, karena Islam dimengerti sebagai ruh dan
89 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Msalah Kenegaraan: Studi TentangPercaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 144, dikutip dalam Maarif Istitut dan Serambi, Muazin
Bangsa dari Makkah Darat, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015), h. 88.
90
Bahtiar effendy, Islam dan Negara Trasformasi Pemikiran dan Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 243.
51
spirit yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Pancasila
bahkan ideologi yang mencerminkan nilai-nilai Islam seperti monoteisme,
prinsip keadilan, prinsip syura, prinsip kebebasan bersuara dan
berpendapat, prinsip persamaan dan pertanggung jawaban pemimpin.
Dengan ungkapan lain, Islamyang harus ditawarkan adalah sebuah Islam
yang bersedia bergandengan tangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
beradap.91
B. Pemikiran Amien Rais Tentang Hubungan Islam dan Negara di
Indonesia
1. Paradigma Pemahaman Keagamaan Amien Rais
Tauhid sebagai sumber dasar bagi penegakan keadilan. Menurut
pemahaman Amien Rais ada dua jenis tauhid, yaitu tauhid akidah dan
tauhid sosial. Tauhid akidah merupakan tauhid yang mengandung
nilai-nilai dasar keislaman yaitu terdiri dari tauhid uluhiyya dan tauhid
rububiyyah. Sementara itu tauhid sosial mengandung makna tauhid
yang telah tercantum dalam ibadah mahdah seperti misalnya shalat,
zakat, puasa dan haji.92
Konsep tauhid secara sosio-kultural memiliki misi untuk
membangun peradaban masyarakat yang egaliter dan memiliki
kesamaan derajat. Maka tujuan inti dari tauhid sosial adalah
terwujudnya masyarakat yang adil dan mendapatkan ridha dari Tuhan.
Dalam pandangan Amien Rais keadilan adalah hal utama yang
91 Maarif Istitut dan Serambi, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, (Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2015), h. 88-89.
92
Sigit Prayitno, “Pemikiran Amien Rais Tentang Politik Islam”, skripsi (Yogyakarta:
Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 43.
52
menjadi dasar ajaran Islam. Maka dari itu tindakan-tindakan yang
diskriminasi terhadap suku, ras, agama bahasa dan etnis tidak
dibenarkan dalam ajaran Islam.93
Implementasi dari tauhid sosial adalah penegakan keadilan. Dalam
penegakan keadilan ini dapat dilakukan dengan dua cara dalam
pandangan Amien Rais. Pertama, bersifat jangka pendek (sementara),
yaitu dengan cara menyantuni orang-orang yang serba kekurangan.
Kedua, uapaya jangka panjang, yaitu menyelesaikan persoalan dengan
cara melakukan pengamanan mendasar tentang persoalan yang
menjadi sumber terjadinya ketidak adilan sosial tersebut.94
Dengan adanya tauhid sebagai titik sentral kehidupan, maka umat
Islam dapat menarik dan mendeduksi nilai-nilai etik, moral dan norma-
norma pokok dalam ajaran Islam sebagai landasan dasar bagi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pemikiran yang berpusat
pada tauhid melahirkan teori-teori yang bertumpu pada syariah.
Sedangkan syariah merupakan prinsip dasar atau aturan yang bersifat
universal. Dengan demikina umat Islam tidak mungkin mengambil
sistem di luar syariah. Dalam pemahaman Amien Rais, Syariah
memiliki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat dan hasil
pewahyuan Al-Quran dan Sunnah, Syariah ungkapnya adalah
kehendak Allah yang harus dijadikan sumber hukum dalam
93 Solihin, “Pandangan Amien Rais tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Hubungan
Islam dan Negara Periode 1985-2000)”, Executive Summary, (Bandung: Lembanga Penelitian
UIN SGD Bandung, 2007), h. 8.
94
Solihin, “Pandangan Amien Rais tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Hubungan
Islam dan Negara Periode 1985-2000)”, Executive Summary, (Bandung: Lembanga Penelitian
UIN SGD Bandung, 2007), h. 8.
53
masyarakat Islam. Syariah bagi Amin Rais merupakan sistem hukum
yang lengkap dan terpadu. Yang telah meletakkan dasar-dasar
(fundamental), tidak hanya bagi hukum kostitusional, tetapi juga
hukum administratatif, pidana, perdata, bahkan hukum Internasional.95
2. Pandangan Amien Rais Tentang Konsep Negara
Terdapat pandangan yang mejadi pembeda kekuasaan yang
bernuansa politis dan yang tidak. Kekuasaan dalam konsep politis
berarti merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk
berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang
mempengaruhinya. Sementara kekuasaan yang tidak bernuansa politis
dapat dilihat misalnya kemampuan Kiyai atau Pendeta dalam hal
mempengaruhi jama’ah agar melaksanakan ajaran agama. Dalam hal
ini, kekuasaan tidak menyangkut kewenangan pemerintah, melainkan
menyangkut lingkungan masyarakat yang lebih terbatas.96
Amien Rais dalam bukunya Cakrawala Islam antara Cita dan
Fakta meberi gambaran apa yang dimaksud hubungan kekuasaaan dan
politik.
“Politik dapat didefenisikan dengan berbagai cara, tetapi
bagaimanapun ia didefenisikan satu hal yang sudah pasti bahwa
politik menyangkut kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan. Di
samping itu, dalam pengertian sehari-hari politik juga berhubungan
dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara.
Oleh karena itu politik merupakan salah satu kegiatan penting,
mengingat bahwa suatu masyarakat hanya bisa hidup secara teratur
95 Solihin, “Pandangan Amien Rais tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Hubungan
Islam dan Negara Periode 1985-2000)”, Executive Summary, (Bandung: Lembanga Penelitian
UIN SGD Bandung, 2007), h. 8-9.
96
Ramalan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo Jakarta, 1997), Cet.
IV, h. 6, Dikutip dalam 96
Solihin, “Pandangan Amien Rais tentang Politik Islam Indonesia
(Telaah Hubungan Islam dan Negara Periode 1985-2000)”, Executive Summary, (Bandung:
Lembanga Penelitian UIN SGD Bandung, 2007), h.10-11
54
kalau ia hidup dan tinggal dalam sebuah negara dengan segala
perangkat kekuasaannya. Sedemikian pentingnya peran politik
masyarakat modern, sehingga banyak orang berpendapat bahwa
politik adalah panglima, artinya politik sangat menentukan corak
sosial, ekonomi, budaya, hukum dan berbagai aspek kehidupan
lainnya”.97
Dalam pandangan di atas dapat di simpulkan bahwa dalam
Islam politik sangat penting, karena pada dasarnya politik berbicara
tentang kekuasaan dan cara-cara mempertahankannya. Kekuasaan
tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran
Islam.
Menurut Amien Rais Islam dapat menerima sistem pemerintahan
republik, selama kehendak rakyat masih selaras dengan ajaran Al-
Quran. Akan tetapi apabila ada perbedaan anatra sistem pemerintahan
dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, maka harus dilawan dan ditolak.
Oleh karena itu Islam bisa menerima konsep musyawarah, demokrasi
dan republik. Persoalan politik mesti mencakup sember otoritas. Pada
wilayah ini sering terjadi perdebatan antara aliran politik. Dalam
politik Islam menurut Amien Rais sumber utama legitimasi kekuasaan
adalah Allah, segala legitimasi kekuasaan semuanya harus
dikembalikan kepada Allah. Sementara itu dalam politik sekuler
kekuasaan dikembalikan kepada rakyat.98
Hal lain yang menjadi prinsip dasar negara adalah keterbukaan.
Menurut Amien Rais keterbukaan adalah tuntutan yang mutalak harus
dipenuhi dalam pengelolaan negara. Pertanggung jawaban penguasa
97 Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1993), h. 27.
98
Solihin, “Pandangan Amien Rais tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Hubungan
Islam dan Negara Periode 1985-2000)”, Executive Summary, (Bandung: Lembanga Penelitian
UIN SGD Bandung, 2007), h. 10.
55
terhadap rakyat merupakan prinsip dasar yang terakhir yang harus
dimiliki negara. Penyelenggaraan negara harus terbuka bersifat
trasparan terhadap rakyat dan Allah. Maka dari itu penguasa yang
mengabaikan prisip pertanggung jawaban terhadap rakyat dan Allah
ini harus dilawan dan ditolak.
3. Hubungan antara Islam dan Negara
Menurut pandangan Amien Rais Islam adalah agama wahyu yang
meberikan pandangan etika bagi pangelolaan seluruh kehidupan
manusia. Termasuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Pemikiran mengenai tidak ada negara Islam tencantum dalam
wawancara antara Amien Rais dan majalah Panji Masyarakat, dalam
wawancara tersebut Amien Rais berpendapat bahwa konsep negara
Islam tidak tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah, oleh sebab itu
tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Yang paling penting
dari sebuah negara adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan
menegakkan keadilan bagi seluruh masyarakat. 99
Amien Rais sangat menolak adanya sekularisasi terhadapa Islam,
sekularisasi dalam jenis apapun jelas bertentangan dengan syariat
Islam. Hal tersebut disampaikan dalam bukunya Cakrawala Islam
antara Cita dan Fakta, sebagai berikut:
“Dalam sebuah kesempatan saya pernah mengatakan bahwa
Al-Quran dan Sunnah tidak ada perintah yang menyatakan:
“Dirikanlah negara Islam”. Bila pernyataan ini dilepaskan sama
sekali dari konteks ajaran Islamyang luas, maka pernyataan ini
memang merupakan pernyataan seorang sekularis yang
menganggap bahwa Islam adalah agama yang mengurus soal-soal
99 Sigit Prayitno, “Pemikiran Amien Rais Tentang Politik Islam”, skripsi (Yogyakarta:
Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 68.
56
keakhiratan melulu, dan impoten dalam memecah masalah-
masalah manusia di bidang kenegaraan, keadilan sosial, keadilan
ekonomi, hubungan internasional, kebudayaan dan sebagainya.
Tetapi saya bukanlah seorang sekularis, pernyataan tersebut segera
saya ikuti dengan pernyataan berikut, antara lain bahwa Islam
sebagai agama wahyu memberikan etik yang terlalu jelas bagi
pengelolaan seluruh kehidupan manusia, termasuk kehidupan
bernegara dan berpemerintahan. Kehidupan seorang Muslim
adalah utuh (integrated), tidaak ada keretakan dan keterpecahan
(split)”.100
Amien Rais tidak berbicara mengenai Islam secara formalistik,
akan tetapi lebih mementingakan fungsi ajaran Islam dalam
pengelolaan negara. Justru keabadian wahyu Allah terletak pada tidak
adanya penerapan negara Islam, karena menurut pandangannya apabila
ada pemaksaan terhadap pendirian negara Islam, maka negara tersebut
tidak akan mampu bertahan lama, karena Islam merupakan ajaran yang
bersifat universal sementara negara berada pada bagiat kecil yang
bekaitan dengan urusan duniawi manusia.
Bagi Amien Rais politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
muslim, sangat heran jika ada kaum muslim yang bersikap menjauhi
atau menutup diri dari kehidupan politik. Kehidupan politik harus
direbut dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran-ajaran Tuhan.
Dalam melihat hubungan Islam dan negara Amien Rais
mendasarkan pemikirannya kepada konsep tauhid. Dalam pemahaman
Amien Rais semangat pembebasan dan trasformasi merupakan sesuatu
yang inhern dalam rumusan tauhid, dalam artian Islam membawa
watak revolusioner sejak kelahirannya. Dalam pandangan Amin Rais
100 Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1993), h. 41-
42
57
revolusi bukan sesuatu yang tidak terelakkan, revolusi dapat dihindari
dengan cara mendukung terealisasinya nilai-nilai demokrasi. Prisip-
pinsip dakwah dalam politik sangat penting, karena pada dasarnya
politik dan dakwah mempunyai hubungan yang bersifat integral,
kegiatan politik tidak berdiri sendiri, dengan kata lain terdapat
hubungan organik yang sangat erat antara dakwah dan politik. Politik
harus berkaitan dengan moralitas agama, jika moralitas agama
ditegakkan dalam politik maka tidak ada lagi pandangan-pandangan
buruk terhadap politik itu sendiri.101
Setelah menolak gagasan mengenai negara Islam, Amien Rais
mendukung sepenuhnya praktek demokrasi dalam suatu negara. Amien
Rais tetap mendasarkan pemikirannya pada Syariah, bentuk negara
demokrasi yang diinginkan Amien Rais yaitu: Pertama, negara harus
dibangun atas dasar keadilan seluas-luasnya. Bukan hanya keadilan
secara hukum saja, namun juga keadilan dibidang ekonomi dan sosial.
Kedua, negara harus dibangun dengan mekanisme musyawarah.
Ketiga, negara harus menegakkan prinsip persamaan, yang di
dalamnya terkandung prinsip persaudaraan.102
Ada tiga alasan mengapa Amien Rais menerima demokrasi.
Pertama, demokrasi tidak hanya bentuk vital dan sebagai
pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga doktrin luhur yang
akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua, demokrasi
101 Solihin, “Pandangan Amien Rais tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Hubungan
Islam dan Negara Periode 1985-2000)”, Executive Summary, (Bandung: Lembanga Penelitian
UIN SGD Bandung, 2007), h.16-19.
102
Haryanto Kurniawan, “Studi Pemikiran M. Amien Rais Tentang Relasi islam dan
Negara”, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010), h. 83-84.
58
sebagai sistem plitik dan pemerintahan mempunyai akar sejarah yang
panjang sampai ke Yunani Kuno, sehingga ia tahan banting dan dapat
menjamin keberlansungan suatu lingkungan politik stabil. Ketiga,
demokrasi merupakan sistem yang paling alami dan manusiawi,
sehingga semua rakyat dibelahan negara manapun akan memilih
demokrasi bila ia diberi kebebasan untuk memilih.103
Pada intinya Amien Rais dalam memandang hubungan Islam
dengan negara lebih menekankan aspek substansial dibandingkan
bentuk. Apapun bentuk suatu negara selama syariat Islam dapat masih
digunakan sebagai pedoman moral bagi kehidupan masyarakatnya
maka tidak akan menjadi masalah. Aspek substansi ini berkaitan
dengan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam syariat Islam, seperti
prinsip keadilan dan kesamaan hak. Ini menjadi hal yang paling utama
yang menjadi dasar dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan
suatu negara.
C. Analisis Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif
dan Amien Rais
Dari paparan tentang masing-masing padangan Ahmad Syafi’i
Ma’arif dan Amien Rais dalam melihat hubungan Islam dan Negara di
Idnonesia penulis menganalisa beberapa perbedaan dan persamaan dari
kedua pemikiran tokoh tersebut.
Secara umum sulit untuk menemukan pebedaan antara pemikran
Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais dalam melihat hubungan Islam dan
103 Sigit Prayitno, “Pemikiran Amien Rais Tentang Politik Islam”, skripsi (Yogyakarta:
Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 69-70.
59
Negara di Indonesia. Kedua tokoh tersebut memiliki persamaan dan
perbedaan pemikiran dalam melihat hubungan Islam dan Negara.
1. Persamaan Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais
Tentang Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Faktor kedekatan dan persahabatan antara Syafi’i Ma’arif
dan Amien Rais menjadi titik yang membuat kecenderungan tidak
adanya perbedaan pemikiran keduanya dalam melihat hubungan
Islam dan negara. Ada beberapa hal yang menjadi titik persamaan
pemikiran Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais. Pertama, dalam
melihat hubungan antara Islam dan Negara Syafi’i Ma’arif dan
Amien Rais memiliki pandangan yang cederung sama bahwa tidak
adanya konsep yang utuh dan ilmiah dalam Al-Quran dan Sunnah
yang menjelaskan bagaimana bentuk sebuah negara. Maka
pendirian negara Islam bukan menjadi hal yang mutlak bagi
mereka.
Kedua, dilihat dari pemikiran Syafi’i Ma’arif dan Amien
Rais tentang hubungan Isalm dan negara, mereka tergolong
kelompok moderat (simbiotik) dimana dalam pandangannya Islam
tidak harus dijadikan sebagai dasar negara, karena pada dasarnya
Islam bersifat universal yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia. Nilai-nilai Islam dijadikan sebagai etika moral dalam
tuntunan perilaku masyarakat suatu negara.
Ketiga, memiliki pandangan yang sama dalam demokrasi,
dalam hal hubungan Islam dan negara di Indonesia Syafi’i Ma’arif
60
dan Amien Rais memiliki pandangan bahwa Pancasila sebagai
dasar negara merupakan keputusan final dan tidak perlu
diperdebatkan lagi. Karena pada dsarnya nilai-nilai Pancasila itu
sendiri sejalan dengan nilai-nilai Islam.
2. Perbedaan Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais
tentang Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais merupakan tokoh
yang memiliki latar belakang keorganisasian yang sama, yaitu
sama-sama berasal organisasi Islam Muhammadiyah. Dan sama-
sama pernah menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah
Indonesia. Persahabatan kedua tokoh ini sedikit banyaknya
membawa pengaruh terhadap arah pemikiran politiknya.
Dalam hal perbedaan pemikiran antara kedua tokoh
tersebut, penulis dapat mengidentifikasi adanya beberapa celah
yang bisa dilihat untuk membedakan antara keduanya. Perbedaan
tersebut lebih menonjol pada praktek atau implementasi dari
pemikiran masing-masing tokoh. Jalan politik yang ditempuh oleh
Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais memiliki sedikit perbedaan.
Berdasakan hasil wawancara penulis dengan Abd. Rohim Ghazali
sebagi akademisi yang banyak meneliti pemikiran kedua tokoh
tersebut dapat dilihat beberapa perbedaan:
Pertama, Syafi’i Ma’arif mengedepankan bahwa dalam
politik Islam yang paling utama harus diperjuangkan adalah nilai-
nilai etiknya, bukan politik Islamnya. Sementara Amien Rais
61
berpandangan bahwa justru politik Islam tersebut harus
diperjuangkan, karena bagi Amien Rais politik merupakan bagian
dari dakwah. Jadi pada dasaarnya perbedaannya terletak pada
perjunagan simbolik dan perjuangan substantantif.
“Dalam politik Islam Amien Rais ada kecenderungan
pemahaman bahwa politik Islam itu harus diperjuangkan.
Sedangkan dalam pandangan Syafi’i Ma’arif bukan politik
Islam yang harus diperjuangkan, nilai-nilai etiknya yang
harus diperjuangkan, nilai etik tersebut adalah nilai etik
yang bersifat universal bukan hanya terbatas pada simbol-
simbol Islamnya saja. Oleh karena itu menur Syafi’i
Ma’arif nilai-nilai etik ini punya hak untuk diperjuankan
oleh siapa saja, termasuk oleh partai-partai politik yang
sekuler sekalipun.”104
Kedua, jika dihubungkan dengan landasan teori yang
membagi hubungan Islam dan negara kedalam tiga paradigma
seperti yang dijelaskan dalam bab dua. Meskipun secara umum
Syafi’i Ma’arif pemikirannya berada pada tataran moderat
(simbiotik) dalam melihat hubungan Islam dan negara, namun
Syafi’i Ma’arif ada kecenderungan pemikirannya pada pemahaman
sekularisme, karena adanya kritikan Syafi’i Ma’arif bahwa Islam
itu bukan dalam bentuk partai Islam maupun negara Islam, tetapi
berada dalam bentuk nilai-nilai yang menjadi landasan etika dalam
kehidupan berbangsan dan bernegara. Sedangkan Amien Rais
beranggapan bahwa tidak ada masalah dengan penerapan ideologi
Islam dalam partai politik.105
104 Wawancara dengan Abd. Rohim Ghazali, Jakarta 15 April 2019 di kantor KSP.
105
Wawancara dengan Abd. Rohim Ghazali, Jakarta 15 April 2019 di kantor KSP.
62
Tabel IV.C.1. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif
dan Amien Rais
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PEMIKIRAN AHMAD SYAFI’I MA’ARIF DAN AMIEN RAIS
TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA
NO. PERSAMAAN PERBEDAAN
1. Dalam melihat hubungan antara Islam dan Negara
Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais memiliki
pandangan yang cederung sama bahwa tidak
adanya konsep yang utuh dan ilmiah dalam Al-
Quran dan Sunnah yang menjelaskan bagaimana
bentuk sebuah negara.
Syafi’i Ma’arif mengedepankan bahwa dalam politik
Islam yang paling utama harus diperjuangkan adalah
nilai-nilai etiknya, bukan politik Islamnya. Sementara
Amien Rais berpandangan bahwa justru politik Islam
tersebut harus diperjuangkan, karena bagi Amien
Rais politik merupakan bagian dari dakwah. Jadi
pada dasaarnya perbedaannya terletak pada
perjunagan simbolik dan perjuangan substantantif.
2. Dari pemikiran Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais
tentang hubungan Islam dan negara, mereka
tergolong kelompok moderat (simbiotik) dimana
dalam pandangannya Islam tidak harus dijadikan
sebagai dasar negara, karena pada dasarnya Islam
bersifat universal yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia. Nilai-nilai Islam dijadikan
sebagai etika moral dalam tuntunan perilaku
masyarakat suatu negara.
Syafi’i Ma’arif ada kecenderungan pemikirannya
pada pemahaman sekularisme, karena adanya
kritikan Syafi’i Ma’arif bahwa Islam itu bukan
dalam bentuk partai Islam maupun negara Islam,
tetapi berada dalam bentuk nilai-nilai yang menjadi
landasan etika dalam kehidupan berbangsan dan
bernegara. Sedangkan Amien Rais beranggapan
bahwa tidak ada masalah dengan penerapan ideologi
Islam dalam partai politik.
3. Memiliki pandangan yang sama dalam demokrasi,
dalam hal hubungan Islam dan negara di Indonesia
Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais memiliki
pandangan bahwa Pancasila sebagai dasar negara
merupakan keputusan final dan tidak perlu
diperdebatkan lagi. Karena pada dsarnya nilai-
nilai Pancasila itu sendiri sejalan dengan nilai-
nilai Islam.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menegnai pemikiran
politik Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais tentang hubungan Islam
dan negara di Indonesia, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Menurut pandangan Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais Hubungan
Islam dan negara di Indonesia memiliki hubungan yang
simbiotik. Pembentukan negara Islam bukan hal yang mutlak,
karena pada dasarnya Islam merupakan ajaran yang bersifat
universal yang sudah mengatur kehidupan manusia. Dalam
politik perdebatan Islam dan negara sudah final dengan adanya
Pancasila sebagai dasar negara. Karena tidak ada pertentangan
nilai-nilai Pancasila dengan nilai-nilai Islam.
2. Secara umum dapat diidentifikasi adanya perbedaan pemikiran
Ahmad Syafi’i Ma’arif dengan Amien Rais dalam melihat
hubungan Islam dan negara di Indonesia. Syafi’i Ma’arif
memandang bahwa dalam politik Islam yang paling utama
dipejuangkan adalah nilai-nilai etikanya, bukan politik.
Sementara menurut Amien Rais justru politik Islamlah yang
paling utama untuk diperjuangkan. Kemudian dalam hal
pembentukan partai politik, Syafi’i Ma’arif cenderung
mengkritik penerapan nilai-nilai Islam sebagai ideologi partai,
64
sementara Amien Rais beranggapan bahwa tidak ada masalah
dengan penerapan Islam sebagai ideologi partai. Sedangkan
persamaan pemikiran Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais adalah
sama-sama menolak pembentukan negara Islam di Indonesia,
dan mendukung Pancasila sebagai ideologi bangsa serta
penerapan sistem demokrasi di Indonesia.
B. Saran
Kajian dan penelitian tentang hubungan Islam dan Negara di
Indonesia harusnya tidak membuat terjadinya perpecahan antar umat
beragama di Indonesia. Penerimaan pancasila sebagi dasar negara harus
diterima dan diamalkan oleh semua rakyat Indonesia sehingga masalah-
masalah yang menyangkut masalah perbedaan suku, ras, etnik agama, dan
pandangan polik dapat teratasi serta keadilan dan kesejahteraan yang
merata dapat terpenuhi bagi masyarakat Indonesia.
Dengaan adanya penelitian terkait masalalah ini mudah-mudahan
dapat membangkitkan semangat bagi para akademisi dan kaum terpelajar
untuk terus mengupayakan penyelesaian berbagai masalah sosial yang
terjadi di Indonesia hari ini.
Penulis menyadari keterbatasan dan begitu banyak kekurangan
pada penelitian ini, namun dari kekurangan tersebut diharapkan ada
perbaikan dan pengembangan yang lebih baik lagi dari penelitian-
penelitian berikutnya terkait dengan hubungan Islam dan negara di
Indonesia.
65
DAFTAR PUSTAKA
Al Brebesi, Mamun Murad. Menyikap Pemikiran Politik Gus dur dan
Amien Rais Tentang Negara. Jakarta: Raja Grafindo, 1999.
Asroni Ahmad, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Negara dan
Syariat Islam di Indonesia, Millah, Vol. 10, No.2, Februari 2011.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme,
Modernisasi hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2000.
Efendi, Bahtiar. Islam dan Negara, trasformasi Pemikiran dan Praktek
Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998
Esposito, John L. Islam dan Politik (Terjemahan H.M. Joesoef Sou’yb.
Jakarta:Bulan Bintang, 1990.
Ghazali, Abd. Rohim dan Saleh Partaonan Daulay (editor). Refleksi 60
Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin Untuk Semua. Jakarta :
Maarif Institute, 2005.
Ghazali, Abd Rohim dan Saleh Pertaonan Daulay, Muhammadiyah dan
Politik Islam Inklusif. Jakarta: Ma’arif Institut, 2005.
Hidayat, Ahmad Ilyas. “Kekuasaan Perspektif Politik Islam”, Skripsi.
Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2012.
Hilyah, Lia. Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Safii Maarif(Tinjauaan
Terhadap Ideologi Negara. Jakarta: Perpustakaan Utama UIN
Jakarta, 2000.
66
http://www.Biografi.Tokoh.com/ensiklopedia/a/amien-rais/Index/2.shtml.
Istitut, Ma’arif dan Serambi. Muazin Bangsa dari Makkah Darat. Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015.
Jawahir, Muhammad. “Analisi Pemikiran Nurcholis Majid tentang Politik
Islam”, Skripsi. Semarang: UIN Walisongo Semarang, 2016.
Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah.
Jakarta: Gramedia, 1993.
Karya, Suara. Ketua Umum ; Muhammadiyah tetap sebagai organisasi
sosial. Jakarta : 10 Juli 2000.
Kurniawan, Haryanto. “Studi Pemikiran M. Amien Rais Tentang Relasi
islam dan Negara”, Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2010.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Keislaman Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan,2009.
Ma’arif Ahmad Syafi’i. Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku. Yogyakarta :
Ombak, 2006.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Independensi Muhammadiyah; di Tengah
PergumulanPemikiran Islam dan Politik. Jakarta : Cidesindo,
2000.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Politik: Upaya Membingkai
Peradaban. Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999.
67
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Msalah Kenegaraan: Studi
TentangPercaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1985.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza. Harun Nasution Tentang Islam dan Masalah
Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1999.
Naufal, Fauzan. “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik
Islam di Indonesia (Analisi Pemikiran Politik Bahtiar Effendy)”,
Skripsi. Lampung: UIN Raden Intan Lampung, 2017.
Prayitno, Sigit. Pemikiran Amien Rais Tentang Politik Islam. Yogyakarta:
Perpustakaan Digitan UIN Jogja, 2008.
Raharjo, Dawan. Ensiklopedia Alquran: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Rais, Amien. Cakrawala Islam, Antara Cinta dan Fakta. Bandung: Mizan,
1993.
Rais, M. Amien. Membangaun Politik Adiluhung, Membumikan Tauhid
Sosial, Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar,Idy Subandy
Ibrahim,(ed). Bandung:Zaman Wacana Mulia
Rif’at. “Pemikiran Politik Islam Fachry Ali”, Skripsi . Jakarta: UIN
Jakarta, 2011.
Sadjali, Munawir. Islam dan Tatanegara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.
Situmorang, Jubair. Model Pemikiran dan Penelitian Politik Islam.
Bandung: Pustaka Setia, 2014.
68
Sholikin, Ahmad. “Pemikiran Politik Negara danAgama Ahmad Syafii
Maarif.” Politik Muda Vol.02 No.01, 2012.
Solihin. “Pandangan Amien Rais tentang Politik Islam Indonesia (Telaah
Hubungan Islam dan Negara Periode 1985-2000)”, Executive
Summary. Bandung: Lembanga Penelitian UIN SGD Bandung,
2007.
Somantri, Gumilar Rusliwa. “Memahami Metode Kualitatif.” Makara,
Sosial Humaniora 09:02-57
Syam, Firdaus. Amien Rais Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang
Shaleh. Jakarta: Al-Kautsar, 2003.
Syamsudin, M. Din. Etika Agama Dalam Mebangun Masyarakat Madani.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Syamsudin. M. Din. Usaha Pencarian Konsep dalam Sejarah Pemikiran
Politik Islam. Ulumul Quran Vol. IV, 1993.
Ubaedillah, A dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewarganegaraan,
Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Edisi
Revisi. Jakarta: Kencana, 2012.
Uchrowi, Zaim. Muhammad AMien Rais Memimpin Dengan Nurani; in
Authorized Biography. Jakarta : Teraju Mizan,2004.