31

Click here to load reader

PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK,

FORMULASI DAN UJI EFEKTIVITASNYA SEBAGAI BIOINSEKTISIDA

UNTUK PENGENDALIAN HAMA Spodoptera exigua HUBNER

(LEPIDOPTERA:NOCTUIDAE)

Rusdi Rusli dan Trizelia1)

1) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unand, Kampus Limau Manis Padang 25163

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat Beauveria bassiana yang virulen terhadap larva Spodoptera exigua dan jenis substrat terbaik untuk perbanyakan massal B. bassiana. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unand dari bulan Mei sampai dengan November 2008 B. bassiana diisolasi dari serangga dan tanah kemudian dibiakkan dalam medium SDAY. Penelitian ini menggunakan 11 isolat dan 4 taraf konsentrasi konidia (106-109 konidia/ml). Isolat yang virulen kemudian diperbanyak pada berbagai jenis substrat. Cendawan entomopatogen diinokulasikan langsung pada larva S. exigua instar III. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi 108 konidia/ml, isolat BbHhKA12memiliki virulensi yang tertinggi dengan mortalitas larva instar III 100.00% dan nilai LT50 1.85 hari. Mortalitas larva S. exigua instar III sangat dipengaruhi oleh jenis isolat dan konsentrasi konidia. Jenis media perbanyakan sangat berpengaruh nyata terhadap sporulasi B. bassiana. B. bassiana yang diperbanyak pada beras menghasilkan jumlah konidia tertinggi yaitu 7.10 x 109

konidia/g substrat dan berbeda nyata dengan B. bassiana yang diperbanyak pada substrat lain. B. bassiana yang diperbanyak pada kulit kentang menghasilkan jumlah konidia yang sedikit hanya 1.05 x 109 konidia/g substrat.

Kata kunci: Beauveria bassiana, virulen, isolat, Spodoptera exigua, sporulasi

PENDAHULUAN

Di Indonesia, Spodoptera exigua Hubner merupakan salah satu hama yang

paling merusak pada tanaman keluarga bawang-bawangan seperti bawang merah

dan bawang daun (Kalshoven 1981). Hama S. exigua dapat menyerang tanaman

bawang sejak awal pertumbuhan dan mengakibatkan kehilangan hasil yang tidak

sedikit. Larva menimbulkan kerusakan dengan cara memakan daun tanaman.

Page 2: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

Menurut Sastrosiswojo (1994) kehilangan hasil akibat serangan larva S. exigua

dapat mencapai 57%. Pada serangan berat dapat menyebabkan kehilangan hasil

sampai 100%, karena daun yang ada habis dimakan oleh larva sehingga kegagalan

panen tidak bisa dihindari. Serangan berat ini biasanya terjadi pada musim

kemarau yang mengakibatkan produksi tanaman menurun (Shepard et al. 1997;

Utami 1997).

Sampai saat ini untuk mengendalikan hama S. exigua para petani masih

mengandalkan insektisida kimia karena mereka menganggap insektisida

merupakan jaminan untuk keberhasilan usaha taninya. Aplikasi penggunaan

insektisida kimia dilakukan dalam selang waktu 2-3 hari sekali dan bahan kimia

yang disemprotkan merupakan campuran dari berbagai jenis insektisida (Utami

1997). Hal ini sangat disayangkan mengingat Indonesia sedang menuju era

pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan, sehingga penggunaan

insektisida kimia sintetis harus digunakan seminimal mungkin.

Salah satu cara pengendalian hama S. exigua yang ramah lingkungan

adalah dengan menggunakan musuh alami serangga hama baik berupa predator,

parasitoid maupun patogen. Salah satu jenis patogen serangga yang banyak

terdapat di alam dan dapat digunakan untuk pengendalian serangga hama secara

hayati adalah cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.

(Deuteromycotina: Hyphomycetes).

B. bassiana merupakan salah satu spesies cendawan patogen pada

serangga yang telah memperoleh perhatian besar dan telah dimanfaatkan untuk

pengendalian serangga hama pada berbagai komoditas tanaman, karena cendawan

ini mempunyai daya bunuh yang tinggi terhadap berbagai jenis serangga hama,

mudah diperbanyak dan tidak bersifat toksik terhadap vertebrata (Wraight et al.

2000).

Berbagai informasi tentang penggunaan cendawan B. bassiana untuk

pengendalian hama telah banyak dilaporkan. Penggunaan B. bassiana dapat

menurunkan populasi larva Leptinotarsa decemlineata (Say) (Coleoptera:

Chrysomelidae) sampai 76.6% pada pertanaman kentang (Poprowski et al. 1997),

pada Bemisia argentifolii Bellows & Perring (Homoptera: Aleyrodidae)

mematikan nimfa rata-rata 77% (Wraight et al. 2000), dan pada Melanoplus

2

Page 3: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

sanguinipes Fabricius (Orthoptera: Acrididae) menyebabkan mortalitas nimfa

sampai di atas 80% (Inglis et al. 1999). Di Indonesia B. bassiana telah

digunakan secara luas untuk pengendalian hama penggerek buah kopi,

Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae) yang telah digunakan di

hampir semua propinsi penghasil kopi (Haryono et al. 1993). Hasil penelitian

Trizelia (2005) menunjukkan bahwa B. bassiana dapat dimanfaatkan untuk

pengendalian hama kubis Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae).

Hasil penelitian Yurham (2008) menunjukkan bahwa aplikasi cendawan B.

bassiana pada larva S. exigua instar III dengan konsentrasi 106 konidia/ml

menghasilkan mortalitas larva sebesar 35 % dan pada konsentrasi 109 konidia/ml

mortalitas larva mencapai 80%.

Salah satu keuntungan penggunaan cendawan B. bassiana sebagai

bioinsektisida adalah cendawan ini relatif mudah diperbanyak (diproduksi) pada

berbagai jenis media (substrat). Beberapa jenis media (substrat) yang telah

digunakan untuk perbanyakan konidia B. bassiana antara lain beras, jagung,

gandum, kedelai, dan kentang. Hasil penelitian Wahyunendo (2002)

menunjukkan bahwa pada media beras jumlah konidia B. bassiana yang

dihasilkan dapat mencapai 2.4 x 109 konidia/gr substrat setelah diinkubasikan

selama 28 hari.

Sampai saat ini media buatan (substrat) yang umum digunakan sekarang

ini untuk perbanyakan massal B. bassiana, adalah beras dan jagung. Kedua media

ini mampu menghasilkan konidia yang tinggi. Dengan meningkatnya harga beras

dan jagung dan dalam rangka pemanfaatan limbah organik, maka perlu dicari

media (substrat) alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan

cendawan dengan kemampuan sporulasi yang masih tinggi. Substrat alternatif

tersebut dapat dengan memanfaatkan limbah organik seperti kulit kentang, kulit

kopi, ampas tebu dan kulit ubi jalar. Indonesia yang merupakan negara agraris

mempunyai potensi menghasilkan limbah organik yang sangat besar seperti

limbah kelapa sawit, kopi, tebu,padi, jagung dan lain-lain. Namun usaha

pemanfaatannya masih belum dilakukan secara maksimal.

Penumpukan limbah organik dalam jumlah yang besar apabila tidak

ditangani akan merupakan sumber pencemaran lingkungan. Selama ini limbah

3

Page 4: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

organik lebih banyak digunakan sebagai kompos untuk meningkatkan kesuburan

tanah, sedangkan pemanfaatannya sebagai substrat perbanyakan agens hayati B.

bassiana belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu informasi tentang

penggunaan limbah organik lain sebagai media perbanyakan agens hayati B.

bassiana sangat diperlukan dalam rangka pemanfaatan limbah organik sebagai

media perbanyakan bioinsektisida yang murah dan bisa dilakukan oleh petani.

Disamping bisa diperbanyak, konidia yang dihasilkan diharapkan juga bersifat

virulen terhadap serangga hama dan mampu disimpan lama.

Dalam jangka panjang, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan paket

teknologi baru berupa bioinsektisida yang berbahan aktif cendawan

entomopatogen B. bassiana isolat lokal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan dan aplikasi isolat B.

bassiana yang tepat dan efektif untuk pengendalian hama S. exigua di lapangan.

METODE PENELITIAN

Koleksi dan Perbanyakan Isolat

Isolat B. bassiana yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi

Laboratorium Entomologi Jurusan HPT Faperta Unand, Laboratorium Patologi

Serangga Jurusan HPT IPB, dan koleksi langsung dari serangga yang terinfeksi

di lapangan dan dari tanah dari lokasi yang berbeda. Seluruh isolat ditumbuhkan

pada medium Sabouraud dextrose agar dengan yeast extract (SDAY) (dekstrosa

40 g, pepton 10 g, ekstrak khamir 2.5 g, agar 15 g, kloramfenikol 0.5 g dan

akuades 1 l)

Isolasi B. bassiana dari tanah dilakukan dengan mengambil tanah sekitar

perakaran tanaman. Pengambilan tanah dilakukan dengan cara penggalian tanah

pada kedalaman 10-15 cm dengan menggunakan sekop tangan kecil. Contoh

tanah dimasukkan kedalam kantong plastik dan dibawa ke laboratorium untuk

diproses. Sebelum prosesing, contoh tanah diayak terlebih dahulu dengan

menggunakan ayakan yang berukuran 0.4 mm.

Isolasi B. bassiana dari tanah dilakukan dengan menggunakan medium

selektif DOC2 (Bactopeptone 3 g, CuCl2 0.2 g, kristal violet 2 mg, agar 15 g, air

1000 ml) (Shimazu et al., 2002). Dari masing-masing sampel tanah tersebut

4

Page 5: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

diambil sebanyak 10g, dilarutkan dalam 90 ml akuades steril yang telah diberi

0.05% Tween 80 dan divorteks selama 2 menit. Suspensi tanah diencerkan

sampai 3 kali dan 0.1 ml suspensi dimasukkan dalam cawan Petri yang telah berisi

medium DOC2 untuk isolasi B. bassiana. Cawan Petri diinkubasikan selama 8

hari dan koloni B. bassiana yang ada diisolasi kembali kembali dan dimurnikan

pada media SDAY.

Seluruh isolat B. bassiana hasil isolasi dari serangga yang terinfeksi dan dari

tanah (Tabel 1 ) ditumbuhkan pada medium Sabouraud dextrose agar dengan

yeast extract (SDAY).

Tabel 1. Isolat B. bassiana dan daerah asal

Isolat Sumber inang Lokasi BbTPL1 Tanah Cabai Padang Luar (Agam)BbLoBr1 Leptocorisa oratorius (F.) (Hemiptera:

Coreidae)Bogor

BbHhTK1 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)

Teluk Kecimbung (Sarolangun)

BbHhTK9 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)

Teluk Kecimbung (Sarolangun)

BbHhKA2 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)

Kayu Aro (Solok)

BbHhKA12 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)

Kayu Aro (Solok)

BbTKS Tanah Kakao SolokBbLoDk1 Leptocorisa oratorius (F.) (Hemiptera:

Coreidae)Duku

BbHhM2 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)

Matur (Agam)

BbTMB1 Tanah kopi Matur (Agam)BbTMA2 Tanah kopi Matur (Agam)

Identifikasi dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Kunci

identifikasi yang digunakan adalah kunci Barnett dan Hunter (1972) dan Poinar

dan Thomas (1984).

Penyediaan tanaman bawang daun

Tanaman bawang daun yang digunakan sebagai pakan larva S. exigua di

tanaman dalam polibeg. Bibit tanaman bawang daun diperoleh dari petani dan

ditanaman dalam polibeg yang telah berisi campuran tanah dan pupuk kandang.

5

Page 6: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

Tanaman dipupuk dan pupuk NPK (200kg/ha Urea, 200 kg/ha TSP, 100 kg/ha

KCl) dan tanaman tidak disemprot dengan pestisida.

Perbanyakan larva S. exigua

Larva S. exigua dikumpulkan dari pertanaman bawang daun di lapangan dan

kemudian dipelihara dalam kotak plastik dan diberi makanan berupa daun bawang

yang masih segar. Makanan larva diganti setelah habis atau sudah tidak segar

lagi.

Larva-larva tersebut dipelihara sampai membentuk pupa dan imago.

Selanjutnya imago-imago yang diperoleh dimasukkan ke dalam kurungan

serangga yang telah berisi tanaman bawang daun sebagai tempat peletakkan telur.

Sebagai makanan imago digunakan madu dengan konsentrasi 10%. Kelompok

telur yang diletakkan dipindahkan ke kotak plastik lain dan dipelihara sampai

menetas.

Penyiapan Suspensi Konidia

Seluruh isolat diperbanyak pada media SDAY dalam cawan petri pada

suhu 25o C selama 15 hari. Konidia cendawan dipanen dengan cara

menambahkan 5 ml akuades steril dan 0.05% Tween 80 sebagai bahan perata ke

dalam cawan Petri dan konidia dilepas dari media dengan kuas halus. Suspensi

disaring dan konsentrasi konidia dihitung dengan menggunakan hemositometer.

Skrining isolat B. bassiana

Instar larva S. exigua yang diuji adalah larva instar III yang berumur satu

hari. Konsentrasi konidia dari masing-masing isolat yang digunakan adalah108

konidia/ml. Inokulasi cendawan dilaksanakan dengan cara menyemprotkan

suspensi konidia pada bagian dorsal tubuh larva dengan menggunakan

handsprayer. Kemudian larva diberi makan dengan daun kubis segar. Percobaan

diulang empat kali dan setiap satuan percobaan terdiri dari 10 ekor larva.

Mortalitas larva diamati setiap hari hingga tujuh hari setelah aplikasi cendawan.

Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dan data hasil

percobaan diolah dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan pengujian nilai

tengah menggunakan uji DNMRT pada taraf nyata 5%.

6

Page 7: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

Uji Pengaruh Berbagai Konsentrasi Konidia B. bassiana.

Uji dilakukan menggunakan larva S. exigua instar III. Konsentrasi konidia

dari isolat virulen yang digunakan adalah 109, 108, 107, 106 konidia/ml dan 0

(kontrol). Aplikasi konidia pada larva dilakukan dengan cara meneteskan suspensi

konidia pada bagian dorsal tubuh larva. Kemudian larva diberi makan dengan

daun bawang segar. Uji diulang empat kali dan setiap satuan percobaan terdiri

dari 10 ekor larva. Mortalitas larva diamati setiap hari hingga tujuh hari setelah

aplikasi B. bassiana.

Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 taraf

konsentrasi konidia. Data hasil percobaan diolah dengan sidik ragam dan

dilanjutkan dengan pengujian nilai tengah menggunakan uji Duncan (DNMRT)

pada taraf nyata 5%.

.

Perbanyakan massal B. bassiana

Substrat yang digunakan untuk perbanyakan massal cendawan

entomopatogen B. bassiana terpilih adalah substrat padat berupa beras, jagung,

dan limbah organik (kulit kentang, kulit ubi jalar, jerami dan ampas tebu).

Perbanyakan cendawan entomopatogen pada berbagai substrat dilakukan

dengan cara mengukus substrat selama 10 menit kemudian substrat yang sudah

lunak tersebut dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml sebanyak 50 g dan

disterilkan dengan autoklaf selama 30 menit. Ke dalam labu Erlenmeyer

diinokulasikan potongan koloni cendawan entomopatogen dengan diameter 0.8

mm dari biakan murni yang tumbuh dalam media SDAY dan diinkubasikan

selama 3 minggu. Untuk menghitung kepadatan konidia dari masing-masing

substrat dilakukan dengan cara mengambil 1 g dari masing-masing substrat dan

ditambah dengan 10 ml akuades steril dan Tween 80 (0.05%), kemudian divorteks

selama 10 menit agar konidia terlepas. Suspensi kemudian disaring dan

penghitungan jumlah konidia dilakukan dengan menggunakan hemositometer.

Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Data yang diperoleh

diolah dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan (DNMRT) pada

taraf nyata 5%. Hal-hal yang diamati pada percobaan ini adalah jumlah konidia

yang dihasilkan oleh masing-masing substrat.

7

Page 8: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

HASIL DAN PEMBAHASAN

Skrining isolat B. bassiana

Penelitian ini bertujuan untuk memilih isolat B. bassiana yang virulen

terhadap larva S. exigua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat B. bassiana

yang berasal dari geografi dan sumber yang berbeda mempunyai virulensi yang

berbeda nyata terhadap larva S. exigua instar III. Isolat BbHhKA12, BbLoDk1,

BbLoBr1, BbTPL1merupakan isolat yang paling virulen dengan rata-rata

mortalitas larva S. exigua tertinggi yaitu 95.0 – 100.0% pada pengamatan hari

ketujuh setelah aplikasi konidia. Isolat BbTMA2merupakan isolat yang

mempunyai kategori virulensi sangat rendah dengan mortalitas 52.5% (Tabel 2).

Adanya perbedaan virulensi antar isolat merupakan hal yang sudah umum terjadi

pada cendawan entomopatogen.

Tabel 2. Mortalitas larva S. exigua instar III tujuh hari setelah aplikasi 11 isolat B. bassiana pada konsentrasi 108 konidia/ml.

Isolat Mortalitas (%) ± SDBbHhKA12 100.0 ± 0.00 aBbLoDk1 100.0 ± 0.00 aBbLoBr1 97.5 ± 5.00 aBbTPL1 95.0 ± 5.77 aBbTMB1 92.5 ± 15.00 abBbHhTK9 90.0± 8.16 abBbTKS 87.5 ± 5.00 abBbHhTK1 82.5 ± 9.57 abBbHhKA2 65.0 ± 5.77 cBbHhM2 57.5 ± 9.57 cdBbTMA2 52.5 ± 9.57 dKontrol 15.0 ± 5.77 e

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata menurut uji Duncan (DNMRT) pada taraf nyata 5%.

Dari Tabel 2 terlihat bahwa untuk mendapatkan isolat B. bassiana yang

virulen bisa didapatkan dari serangga yang bukan serangga inang uji dan dari

daerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa isolat B. bassiana yang digunakan tidak

bersifat spesifik dan isolat yang virulen terhadap S. exigua bisa diperoleh dari

8

Page 9: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

sumber lain. Hasil penelitian beberapa peneliti sebelumnya juga menunjukkan

bahwa cendawan entomopatogen B. bassiana yang berasal dari serangga yang

sama dengan serangga uji tidak selalu mempunyai patogenisitas yang lebih tinggi

terhadap serangga uji, sehingga perlu dilakukan pengujian isolat yang lebih

banyak untuk mendapatkan isolat yang lebih virulen (Kreutz et al. 2004). Oleh

karena itu dalam program pengendalian hama secara hayati, pemilihan isolat yang

akan digunakan harus dilakukan secara hati-hati.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang kuat

antara virulensi dengan sumber isolat. Daoust dan Roberts (1982) juga

melaporkan bahwa tidak ada korelasi antara asal inang dan geografi dari isolat

dengan virulensi isolat M. anisopliae terhadap larva Culex pipiens pipiens Linn.

(Diptera: Culicidae). Selanjutnya Wang et al. (2004) juga melaporkan hal yang

sama dimana virulensi strain V. lecanii tidak berkaitan dengan asal isolat.

Adanya perbedaan virulensi dari 11 isolat B. bassiana yang diuji diduga

disebabkan karena adanya perbedaan karakter genetik dan fisiologi antar isolat.

Hasil penelitian Trizelia (2005) menunjukkan bahwa perbedaan virulensi antar

isolat B. bassiana terhadap larva C. pavonana disebabkan oleh adanya perbedaan

karakter fisiologi dan genetik dari isolat.

Perbedaan virulensi antar isolat B. bassiana terhadap larva S. exigua

diduga disebabkan oleh adanya perbedaan karakter fisiologi seperti daya

kecambah konidia. Pada umumnya isolat yang virulen mempunyai daya

kecambah konidia yang lebih tinggi. Daoust dan Roberts (1982) mengemukakan

bahwa adanya perbedaan virulensi antar isolat Metarhizium anisopliae

(Metschnikoff) Sorokin terhadap larva Culex pipiens pipiens Linn. (Diptera:

Culicidae) disebabkan oleh adanya perbedaan daya kecambah konidia dari

masing-masing isolat. Isolat yang virulen memiliki daya kecambah konidia yang

lebih tinggi daripada isolat yang avirulen. Selanjutnya Geden et al. (1995) juga

mengemukakan bahwa adanya perbedaan virulensi isolat B. bassiana terhadap

Musca domestica Linn. (Diptera: Muscidae) disebabkan oleh adanya perbedaan

kemampuan daya kecambah konidia dari masing-masing isolat dan daya

kecambah konidia merupakan salah satu faktor penentu virulensi.

9

Page 10: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

Selain faktor daya kecambah konidia, kemampuan sporulasi juga dapat

digunakan sebagai indikator isolat. Isolat yang virulen memiliki kemampuan

sporulasi yang lebih baik dibandingkan dengan isolat yang avirulen. Hasil

penelitian yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti lain menunjukkan bahwa

isolat yang virulen mempunyai kemampuan sporulasi yang lebih tinggi daripada

isolat yang avirulen (Devi et al. 2003)

Perbedaan virulensi antar isolat juga dapat disebabkan oleh adanya

perbedaan karakteristik pertumbuhan isolat. Isolat yang virulen memiliki

pertumbuhan yang lebih padat, lebih tebal dan menghasilkan konidia yang lebih

banyak sehingga lebih mudah dipanen dari permukaan media. Geden et al.

(1995) mengemukakan bahwa isolat B. bassiana yang virulen terhadap Musca

domestica memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, miselianya lebih padat dan

konidia yang dihasilkan lebih tinggi. Isolat yang avirulen tumbuh lebih lambat,

sering terkontaminasi oleh bakteri, pertumbuhan miselia lebih tipis dan jumlah

konidia yang dihasilkan lebih rendah. Junianto dan Sulystiowati (1994) juga

melaporkan bahwa isolat B. bassiana yang memiliki patogenisitas yang tinggi

terhadap imago Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae) memiliki

pertumbuhan yang terbaik.

Ukuran konidia juga berhubungan dengan virulensi cendawan

entomopatogen terhadap serangga. Hasil penelitian Altre dan Vanderberg

(2001b) menunjukkan bahwa virulensi berbagai isolat Paecilomyces

fumosoroseus (Wize) Brown and Smith terhadap larva Plutella xylostella L.

(Lepidoptera: Plutellidae) dipengaruhi oleh ukuran konidia. Isolat yang

mempunyai ukuran konidia lebih kecil, kurang virulen dibandingkan dengan

isolat yang ukuran konidianya yang lebih besar. Moslim et al. (1999) juga

mengemukakan bahwa spora M. anisopliae yang berukuran lebih panjang (12-14

m) lebih virulen terhadap larva Oryctes rhinoceros Linn. (Coleoptera:

Scarabaeidae) dibandingkan dengan spora yang berukuran lebih pendek (6-8 m).

Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan bahwa adanya perbedaan

virulensi antar isolat disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan

menghasilkan enzim dan mikotoksin selama berjalannya proses infeksi pada

serangga seperti pada saat kontak dengan kutikula dan di dalam hemosoel. Isolat

10

Page 11: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

yang virulen memiliki aktivitas enzim yang lebih tinggi dibandingkan dengan

isolat yang avirulen.

Berdasarkan nilai LT50 terlihat ada perbedaan antar isolat (Tabel 3) dan

perbedaan nilai LT50 berkaitan dengan virulensi isolat. Neves dan Alves (2004)

mengemukakan bahwa waktu kematian serangga dipengaruhi oleh dosis aplikasi

dan virulensi dari isolat. Nilai LT50 B. bassiana berkisar antara 1.85 hari – 7.28

hari. Isolat BbHhKA12memiliki nilai LT50 tersingkat dibandingkan dengan isolat

lain (1.85 hari) dan hal ini berarti bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mematikan

50% larva S. exigua instar III lebih singkat dibandingkan dengan isolat lain.

Tabel 3. Nilai LT50 berbagai isolat B. bassiana.

Isolat LT50 (SK 95%) (hari)BbHhKA12 1.85 (1.46-2.17)BbLoDk1 2.19 (1.73-2.51)BbLoBr1 2.57 (2.22-2.87)BbTPL1 4.28 (3.70-4.83)BbTMB1 3.59 (2.40-4.54)BbHhTK9 5.53 (5.10-5.88)BbTKS 4.59 (4.06-5.14)BbHhTK1 3.47 (2.94-4.00)BbHhKA2 6.66 (6.07-8.01)BbHhM2 6.25 (5.22-8.40)BbTMA2 7.28 (5.95-11.29)

Adanya perbedaan nilai LT50 antar isolat B. bassiana juga dilaporkan oleh

Junianto dan Sulistyowati (1994) yang mengemukakan isolat B. bassiana yang

virulen terhadap H. hampei (Bb-704) lebih cepat mematikan imago dengan nilai

LT50 yang lebih pendek yaitu 4.6 hari daripada isolat yang avirulen (Bb-706) yang

memiliki nilai LT50 7.1 hari. Beberapa peneliti lainnya juga melaporkan bahwa

isolat B. bassiana yang virulen mempunyai nilai LT50 yang lebih singkat

dibandingkan dengan isolat yang avirulen (Cottrell dan Shapiro-Ilan 2003;

Samuels dan Coracini 2004).

Mortalitas larva S. exigua instar III akibat infeksi B. bassiana untuk

sebagian besar isolat mulai terjadi pada hari kedua setelah perlakuan dan

11

Page 12: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

peningkatan mortalitas larva terjadi setelah tiga hari Hal ini mengindikasikan

bahwa B. bassiana memiliki cara kerja yang lambat dalam mematikan larva.

Lebih lamanya waktu kematian serangga S. exigua instar III akibat infeksi

B. bassiana disebabkan oleh cendawan B. bassiana membutuhkan proses

beberapa tahap untuk sampai menginfeksi dan mematikan serangga, yaitu

penempelan konidia pada tubuh serangga, perkecambahan, penetrasi, invasi dan

kolonisasi dalam hemosul, jaringan dan organ. Waktu untuk masing-masing

tahap ini bervariasi tergantung pada jenis cendawan, inang dan lingkungan (Alves

1998. diacu dalam Neves dan Alves 2004). Selanjutnya Neves dan Alves (2004)

menambahkan bahwa waktu dari infeksi sampai kematian serangga dipengaruhi

oleh dosis aplikasi dan virulensi dari isolat.

Hasil penelitian Neves dan Alves (2004) menunjukkan bahwa penempelan

konidia B. bassiana pada kutikula Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera:

Termitidae) terjadi sampai 6 jam setelah aplikasi dan perkecambahan mulai terjadi

antara 6 – 12 jam setelah aplikasi. Penetrasi terjadi 12 – 24 jam setelah inokulasi

dan kematian serangga terjadi antara 48 – 72 jam setelah inokulasi. Hashim

(2000) melaporkan bahwa penempelan dan perkecambahan konidia B. bassiana

pada kutikula larva Crocidolomia binotalis Zell. mulai terjadi 4 – 6 jam setelah

aplikasi dan kematian larva terjadi antara 24 – 48 jam setelah inokulasi.

Larva S. exigua instar III yang mati akibat infeksi B. bassiana ditandai

dengan adanya miselia atau konidia yang berwarna putih pada permukaan tubuh

larva Satu hari setelah serangga mati, miselia yang berwarna putih mulai

menembus kutikula keluar dari tubuh serangga, kemudian berkembang terus dan

pada akhirnya menutupi seluruh tubuh larva.

Adanya variasi antara isolat B. bassiana dalam kecepatan mematikan

serangga juga dilaporkan oleh Kassa et al. (2002) yang mengemukakan bahwa

isolat B. bassiana yang berbeda mempunyai kecepatan mematikan yang berbeda

terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae). Untuk isolat

PPRC-HH, kematian awal mulai terjadi pada hari kedua dan pada hari keempat

kematian serangga uji telah mencapai 100% sehingga nilai MSTnya (Median

Survival Time) lebih pendek. Untuk isolat lain, mortalitas S. zeamais mulai

terjadi pada hari keempat.

12

Page 13: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

Selain dari faktor isolat, adanya variasi waktu kematian serangga juga

tergantung pada jenis serangga. Pada imago H. hampei, kematian akibat infeksi

B. bassiana mulai terjadi pada hari keempat setelah aplikasi dan laju mortalitas

meningkat nyata pada hari ke-4 – 8 setelah inokulasi (Junianto dan Sulistyowati

1994), sedangkan pada imago Helopeltis antonii Sign. (Hemiptera: Miridae) yang

telah diaplikasi dengan B. bassiana pada konsentrasi 108, kematian mulai terjadi

pada hari ke-4 dan pada hari ke-5 seluruh imago telah mati (Sudarmadji dan

Gunawan 1994). Akan tetapi hasil penelitian Yoon et al. (1999) menunjukkan

bahwa kematian larva P. xylostella akibat infeksi B. bassiana sudah mulai terjadi

satu hari setelah aplikasi dan mortalitas meningkat nyata pada hari kedua dan

setelah tiga hari tidak terjadi peningkatan mortalitas yang nyata.

Uji Pengaruh Berbagai Konsentrasi Konidia B. bassiana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi konidia B.bassiana

berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. exigua instar III. Ada korelasi

yang kuat (R2 = 0.7913) antara tingkat kerapatan konidia dengan mortalitas

Mortalitas larva S. exigua meningkat dengan meningkatnya konsentrasi konidia

B.bassiana (Gambar 4). Pada konsentrasi 106 konidia/ml hanya menghasilkan

mortalitas larva sebesar 42.5%, dan mortalitas larva meningkat menjadi 100%

pada konsentrasi 108 dan 109 konidia/ml. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi

jumlah konidia, memberi peluang yang lebih baik bagi konidia untuk menempel,

berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh serangga sehingga hama sasaran

terinfeksi atau mati semakin besar. Roberts dan Yendol (1971) mengemukakan

bahwa salah satu faktor untuk bisa terjadinya infeksi cendawan entomopatogen

pada serangga adalah jumlah inokulum.

13

Page 14: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

y = 9.1x + 9.4R2 = 0.7913

0102030405060708090

100

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kerapatan konidia (log)

Mor

talit

as (%

)

Gambar 1. Rata-rata mortalitas larva S. exigua instar III tujuh hari setelah aplikasi beberapa konsentrasi konidia B. bassiana

Yoon et al. (1999) mengemukakan bahwa peningkatan mortalitas larva P.

xylostella akibat infeksi B. bassiana dengan meningkatnya konsentrasi konidia

disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah konidia yang menempel pada tubuh

larva dengan meningkatnya konsentrasi. Pada konsentrasi 107 konidia/ml. jumlah

konidia yang menempel pada tubuh larva sekitar 1813.89 konidia sedangkan pada

konsentrasi 108 konidia/ml jumlah konidia yang menempel pada tubuh larva

adalah 9861.11 konidia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian beberapa peneliti

sebelumnya. Ada korelasi positif antara konsentrasi konidia B. bassiana dengan

mortalitas serangga uji. Korelasi positif ini mengindikasikan bahwa dengan

meningkatnya kerapatan konidia cendawan dapat meningkatkan dan mempercepat

terjadinya kematian larva. Makin tinggi konsentrasi konidia maka mortalitas

serangga juga semakin tinggi (Eken et al, 2006). Hasil penelitian Willoughby et

al. (1998) juga menunjukkan bahwa mortalitas larva Sitona lepidus Gyllenhall

(Coleoptera: Curculionidae) setelah aplikasi B. bassiana tergantung pada jenis

isolat, konsentrasi konidia dan metode aplikasi.

14

Page 15: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

Perbanyakan massal B. bassiana pada berbagai substrat

Hasil analisis sidik ragam terhadap sporulasi atau jumlah konidia B.

bassiana pada masing-masing substrat menunjukkan bahwa jenis substrat

berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah konidia B. bassiana yang dihasilkan

(F=79.01; db=6, 21; P<0.0001) (Tabel 4).

Tabel 4. Jumlah konidia B. bassiana yang dihasilkan pada beberapa jenis substrat

Substrat Jumlah konidia/g substrat (x109) SD

Beras 7.10 ± 0.86a

Ampas tebu + kulit kentang 2.89± 0.70b

Ubi jalar + ampas tebu 2.40 ± 0.43bc

Jerami + kulit kentang 2.12 ± 0.23cd

Jagung 1.52 ± 0.15de

Ubi jalar 1.21 ± 0.15e

Kulit kentang 1.05 ± 0.18e

KK=17.97

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa jenis media perbanyakan sangat

berpengaruh nyata terhadap sporulasi B. bassiana. B. bassiana yang diperbanyak

pada media beras menghasilkan jumlah konidia tertinggi yaitu 7.10 x 109

konidia/g substrat dan berbeda nyata dengan B. bassiana yang diperbanyak pada

substrat lain. B. bassiana yang diperbanyak pada kulit kentang menghasilkan

jumlah konidia yang sedikit hanya 1.05 x 109 konidia/g substrat. Hasil penelitian

Wahyunendo (2002) menunjukkan bahwa pada media beras jumlah konidia B.

bassiana yang dihasilkan dapat mencapai 2.4 x 109 konidia/gr substrat setelah

diinkubasikan selama 28 hari.

Substrat yang akan dipilih sebagai media perbanyakan cendawan

entomopatogen harus memiliki kemampuan menghasilkan konidia yang tinggi,

karena konidia sangat penting untuk infeksi dan pemencaran cendawan. Bidochka

et al. (2000) mengemukakan bahwa cendawan entomopatogen B. bassiana yang

15

Page 16: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

ditumbuhkan pada medium kompleks seperti PDA akan mampu menghasilkan

konidia lebih dari 109 konidia/cawan Petri.

Adanya perbedaan sporulasi atau jumlah konidia yang dihasilkan oleh

masing-masing substrat terkait dengan banyak atau sedikitnya kandungan nutrisi

yang terdapat pada substrat. Beras memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kulit kentang, ampas tebu, kulit ubi jalar atau jerami

sehingga mampu menginduksi terjadinya sporulasi. Rayati et al (2001)

mengemukakan bahwa perbedaan nutrisi pada substrat sangat mempengaruhi

jumlah konidia yang terbentuk.

Hasil penelitian peneliti lain juga menunjukkan bahwa jenis substrat yang

digunakan untuk perbanyakan B. bassiana sangat berpengaruh terhadap jumlah

konidia yang dihasilkan. Hasil penelitian Nuraida (2007) menunjukkan bahwa B.

bassiana yang diperbanyak pada substrat beras menghasilkan jumlah konidia

tertinggi (2.75 x 1010 konidia/g) dibandingkan dengan B. bassiana yang

diperbanyak pada substrat jagung (1.65 x 1010 konidia/g). Hasil penelitian Santa

et al (2005) juga menunjukkan bahwa pada substrat campuran kulit kentang dan

ampas tebu (50-50%) mampu menghasilkan konidia B. bassiana sebanyak 3.8 x

109 konidia/gr substrat, lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kulit

kentang saja atau campuran kulit kentang dengan kulit kopi. Menurut Santa et

al (2005) kulit kentang merupakan sumber karbon untuk fermentasi sedangkan

ampas tebu mengandung karbohidrat, protein, garam-garam mineral dan vitamin

yang dibutuhkan untuk perkembangan cendawan entomopatogen. Menurut

Tanada dan Kaya (1993) pembentukan konidia cendawan B. bassiana

membutuhkan sumber karbon seperti glukosa, khitin, glukosamin dan zat tepung

sedangkan sumber nitrogen diperlukan untuk perkembangan hifa.

Kemampuan cendawan B. bassiana untuk membentuk konidia mempunyai

arti yang penting karena konidia merupakan propagul cendawan entomopatogen

yang berperan utama untuk pemencaran dan infeksi (Wraight et al. 2001).

Apabila sporulasi sedikit, maka pemencaran B. bassiana akan terbatas dan

kemampuannya sebagai agens pengendali hayati juga akan berkurang (Junianto

dan Sukamto 1995). Menurut Jenkins et al. (1998) jumlah konidia yang

dihasilkan pergram substrat oleh cendawan entomopatogen merupakan informasi

16

Page 17: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

yang utama yang sangat dibutuhkan untuk perbanyakan massal cendawan yang

akan diproduksi sebagai bioinsektisida.

KESIMPULAN

Patogenisitas atau virulensi isolat cendawan entomopatogen B. bassiana

terhadap larva S. exigua sangat bervariasi tergantung pada sumber isolat serta

konsentrasi konidia. Isolat BbHhKA12merupakan isolat yang paling virulen,

menghasilkan mortalitas larva 100% dengan nilai LT50 yang singkat hanya 1.85

hari dibandingkan dengan isolat lain. Secara umum untuk mendapatkan isolat B.

bassiana yang virulen bisa didapatkan dari serangga yang bukan serangga inang

uji dan dari daerah lain. Semakin tinggi konsentrasi konidia, semakin tinggi

mortalitas larva S. exigua. Oleh karena itu dalam pengendalian S. exigua dengan

B. bassiana kedua faktor ini (isolat dan konsentrasi konidia) harus

dipertimbangkan.

Jumlah konidia yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis substrat.

Beras merupakan substrat yang terbaik untuk perbanyakan massal B. bassiana.

Diantara berbagai jenis limbah organik yang digunakan, campuran ampas tebu

dan kulit kentang merupakan substrat yang terbaik untuk perbanyakan B.

bassiana dibandingkan dengan jenis limbah lain.

SARAN

Untuk pengembangan B. bassiana sebagai bioinsektisida perlu kajian

lebih lanjut tentang formulasi dan uji efektivitasnya pada pertanaman bawang di

lapangan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima

kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan

Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Penelitian

Nomor120/H.16/PL/HB.PSN/IV/2009 tanggal 16 April 2009 yang telah

membantu pendanaan penelitian ini sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan

lancar.

17

Page 18: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

DAFTAR PUSTAKA

Altre JA, Vandenberg JD. 2001. Penetration of cuticle and proliferation in hemolymph by Paecilomyces fumosoroseus isolates that differ in virulence against Lepidopteran larvae. J Invertebr Pathol 78:81-86

Barnett HL, Hunter BB. 1972. Illustrated genera of imperfect fungi. Third Edition. Minneapolis: Burges Publishing Company.

Bidochka MJ, Kamp AM, de Croos JNA. 2000. Insect pathogenic fungi: from genes to populations. Di dalam: Kronstad JW, editor. Fungal Pathology. Netherlands; Kluwer Academic Publishers. Hlm 171-193.

Cottrell TE, Shapiro-Ilan DI. 2003. Susceptibility of a native and an exotic lady beetle (Coleoptera: Coccinellidae) to Beauveria bassiana. J Invertebr Pathol 84:137-144.

Daoust RA, Roberts DW. 1982. Virulence of natural and insect-passaged strains of Metarhizium anisopliae to mosquito larvae. J Invertebr Pathol 40:107-117.

Devi PSV, Prasad YG, Chowdary DA, Rao LM, Balakrishnan K. 2003. Identification of virulent isolates of the entomopathogenic fungus Nomuraea rileyi (F) Samson for management of Helicoverpa armigera and Spodoptera litura. Mycopathologia 156:365-373

Eken C, G Tozlu, E Dane, S Coruh, E Demirci. 2006. Pathogenicity of Beauveria bassiana (deuteromycotina:Hyphomycetes) to larvae of the small poplar longhorn beetle, Saperda populnea (Coleoptera:Cerambycidae). Mycopathologia 162: 69-71.

Geden CJ, Rutz DA, Steinkraus DC. 1995. Virulence of different isolates and formulations of Beauveria bassiana for house flies and the parasitoid Muscidifurax raptor. Biol Contr 5:615-621.

Haryono H, Nuraini S, Riyatno. 1993. Prospek penggunaan Beauveria bassiana untuk pengendalian hama tanaman perkebunan. Di dalam: Simposium Patologi Serangga I. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12-13 Oktober 1993. Yogyakarta; Persatuan Entomologi Indonesia. hlm. 75-81.

Inglis GD,Duke GM, Kawchuk LM, Goettel MS. 1999. Inluence of oscillating temperatures on the competitive infection and colonization of the migratory grasshopper by Beauveria bassiana and Metarrhizium flavoviridae. Biol Contr 14:111-120.

Jenkins NE, Heviefo G, Langewald J, Cherry AJ, Lomer CJ. 1998. Development of mass production technology for aerial conidia for use as mycopesticides. Biocontr News & Inform 19(1):21N-31N.

JuniantoYD, Sulistyowati E. 1994. Virulence of several Beauveria bassiana Bals. Vuill. isolates on coffee berry borer (Hypothenemus hampei Ferr.) under various relative humidities. Pelita Perkebunan 10(2):81-86.

JuniantoYD, Sukamto S. 1995. Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap perkecambahan, pertumbuhan dan sporulasi beberapa isolat B. bassiana. Pelita Perkebunan 11(2):64-75.

18

Page 19: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der. penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Revisi dari : De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Kassa A, Zimmermann G, Stephan D, Vidal S. 2002. Susceptibility of Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae) and Prostephanus truncates (Horn) (Coleoptera: Bostrichidae) to entomopathogenic fungi from Ethiopia. Biocontr Sci & Technol 12:727-736.

Kreutz J, Vaupel O, Zimmerman G. 2004. Efficacy of Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. against the spruce bark beetle, Ips typographus L. in the laboratory under various conditions. JEN 128(6) doi:10.1111/j.1439-0418.2004.00813. 384-389.

Neves PMOJ, Alves SB. 2004. External events related to the infection process of Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae. Neotropical Entomology 33(1):051-056.

Poinar Jr GO dan Thomas GM. 1984. Laboratory Guide to Insect Pathogens and Parasites. New York: Plenum Press. 392 hlm.

Poprowski TJ, Caruthers RI, Speese J, Vacek DC, Wendel LE. 1997. Early-season applications of the fungus Beauveria bassiana and introduction of the Hemipteran predator Perillus bioculatus for control of colorado potato beetle. Biol Contr 10:48-57.

Roberts DW, Yendol WG. 1971. Use of fungi for microbial control of insects. Di dalam: Burges HD dan Hussey NW. Editor. Microbial Control of Insects and Mites. New York: Academic Press. hlm. 125-149.

Samuels RI, Coracini DLA. 2004. Selection of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae isolates for the control of Blissus antillus (Hemiptera: Lygaeidae). Sci Agric (Piracicaba. Braz) 61(3):271-275.

Santa HSD, Santa ORD, Brand D, Vandenberghe LPS dan Soccol CR. 2005. Spore production of Beauveria bassiana from agro-industrial residues. Braz Arch Biol Technol 48:1-10

Sastrosiswojo S. 1994. Development and implementation of Integrated Pest management in Some Vegetable Crops. Lembang Horticultural Research Institute. 22 hlm.

Shepard M et al. 1997. Prospect for IPM in secondary food crops. Makalah disajikan pada Kongres V dan Simposium Entomologi, Perhimpunan Entomologi Indonesia, Bandung, 24-26 Juni 1997. Bandung. 31 hlm.

Shimazu M, Maehara N, Sato H. 2002. Density dynamics of the entomopathogenic fungus, Beauveria bassiana Vuillemin (Deuteromycotuna: Hyphomycetes) introduced into forest soil, and its influence on other soil microorganisms. Appl Entomol Zool 37(2):263-269.

Sudarmadji D, Gunawan S. 1994. Patogenisitas fungi entomopatogen Beauveria bassiana terhadap Helopeltis antonii. Menara Perkebunan 62(1):1-5.

Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. San Diego: Academic Press, INC. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher.

19

Page 20: PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK

Trizelia. 2005. Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes): Keragaman Genetik, Karakterisasi Fisiologi, dan Virulensinya terhadap Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Utami KP. 1997. Virus SENPV atasi ulat grayak pada bawang merah. Trubus 337-TH XXVIII-Desember :74-76.

Wahyunendo YD. 2002. Sporulasi cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. pada berbagai media alami dan viabilitasnya di bawah pengaruh suhu dan sinar matahari. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Wang L, Huang J, You M, Liu B. 2004. Time-dose-mortality modeling and virulence indices for six strains of Verticillium lecanii against sweetpotato whitefly. Bemisia tabaci (Gennadius). JEN 128(7) doi:10.1111/j.1439-0418.2004.00879. 494-500.

Willoughby BE, Glare TR, Kettlewell FJ, Nelson TL. 1998. Beauveria bassiana as a potential biocontrol agent against the clover root weevil. Sitona lepidus. Di dalam: Proceeding 51 st New Zealand Plant Protection Conference New Zealand: hlm. 9-15.

Wraight SP et al. 2000. Evaluation of the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Paecilomyces fumosoroseus for microbial control of the silverleaf whitefly, Bemisia argentifolii. Biol Contr 17:203-21.

Wraight SP, Jackson MA, de Kock SL. 2001. Production, stabilization and formulation of fungal biocontrol agents. Di dalam: Butt TM, Jackson C dan Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents. United Kingdom: CABI Publishing. hlm. 253-287.

Yoon CS, Sung GH, Park HS, Lee SG, Lee JO. 1999. Potential of the entomopathogenic fungus. Beauveria bassiana strain CS-1 as a biological control agent of Plutella xylostella (Lep: Yponomeutidae). J Appl Ent 123:423-425.

20