Upload
truongphuc
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PERCERAIAN PASANGAN PERNIKAHAN DINI
(Studi Kasus di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang
Tahun 2016-2017)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Halimatul Sabrina
NIM : 21113046
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
ii
i
PERCERAIAN PASANGAN PERNIKAHAN DINI
(Studi Kasus di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang
Tahun 2016-2017)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Halimatul Sabrina
NIM : 21113046
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
ii
iii
iv
v
MOTTO
”Bahagia di Dunia dan Bahagia di Akherat”
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya kecil ini:
Untuk kedua orang tuaku Bapak Mustofa dan Ibu Tasriyah yang selalu
melimpahkan doa dan kasih sayang untuk anak-anaknya,
Untuk Kakaku Arini Purwanti S. Pdi., dan Adiku Tri Antini yang selalu
memberikan support dan kekompakan dalam keluarga,
Untuk keponakan-keponakanku yang lucu Ika Khoerunnisa, Muhammad
hanan Al Ghofur dan dedek bayi yang baru lahir yang akan menjadi kebanggaan
dalam keluarga besar,
Rahan Andres Ozawerdana seseorang yang sangat spesial dalam hidup saya dan
selalu mendukung saya,
Lia wardah Nadhifah best friend yang berjuang bersama selama skripsi,
Futmasepta fanya U, Iva Farida R, Novita Purnita S dan seluruh
Mahasiswa AS/HKI angkatan 2013 semoga silaturahim akan selalu ada
dan Semoga kesuksesan menjadi milik kita semua,
Ibu dosen pembimbing Skripsi dan seluruh Dosen IAIN Salatiga terimakasih
ilmu dan jasanya,
Dan tak lupa teman-teman lain yang selalu menanyakan “sampai bab berapa?”
terimakasih motivasinya untuku.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi robbil‟alamin, segala puji syukur yang pantas terucap atas
segala ni‟mat dan karunia-Nya yang tak terhitung dan tak terhingga, sehingga
karya skripsi yang berjudul Perceraian Pasangan Pernikahan Dini Studi Kasus di
Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang Tahun 2016-2017) ini bisa terselesaikan.
Syalawat dan salam semoga selalu terhaturkan kepada junjungan umat, Nabi
Muhammad S.A.W, keluarga, para sahabat, serta orang-orang yang mengikutinya
hingga akhir zaman.
Skripsi ini berawal dari keprihatinan peneliti terhadap insan akademik
mengenai fenomena pernikahan dini yang ada di Kota Salatiga dan Kabupaten
Semarang yang dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan yang
signifikan. Peneliti dengan sepenuh hati menyadari bahwa skripsi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan, walaupun dalam menyelesaikannya peneliti sudah
bersusah payah dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada. Untuk itu
peneliti berharap akan adanya masukan, baik berupa kritik atau saran yang
sifatnya membangun untuk dilakukan perbaikan.
Atas segala bantuan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada peneliti
dalam penulisan skripsi ini, peneliti menyampaikan terima kasih dan rasa hormat
kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si. selaku Jurusan Hukum Keluarga Islam.
4. Ibu Heni Satar Nurhaida M. Si., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bantuan, arahan, dan bimbingan kepada peneliti dengan penuh
kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
viii
5. Para dosen Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang telah membekali peneliti
dengan berbagai ilmu pengetahuan selama menempuh pendidikan di IAIN
Salatiga.
6. Seluruh staf tata usaha dan karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang
membantu melancarkan penelitian.
7. Mba Milla Khususnya dan seluruh staf kepegawaian di Pengadilan Agama
Salatiga yang telah memberikan informasi dan telah membantu dalam mecari
data-data valid dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Bapak Drs. Salim M.H, Bapak Imam Talmisani S. Ag., dan Bapak
Muhammad Sukri S. Ag., selaku mediator yang telah memberikan wawasan
keilmuan tentang hukum, terutama dalam perkara pernikahan, perceraian dan
dispensasi yang berkaitan dengan skripsi.
9. Seluruh informan yang turut berperan dalam kelancaran dan bersedia
memberikan informasi kepada peneliti.
Demikian ucapan hormat peneliti, semoga jasa dan budi baik mereka
menjadi amal dan diterima oleh allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT peneliti memohon ampunan dan
petunjuk dari segala kesalahan. Selebihnya harapan dan do‟a agar karya ini
bermanfaat adanya, terutama kepada peneliti dan pembaca. Amin.
Salatiga, 05 Maret 2018
Halimatul Sabrina
ix
ABSTRAK
Sabrina, Halimatul. 2018. Perceraian Pasangan Pernikahan Dini (Studi Kasus di
Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang Tahun 2016-2017). Fakultas
Syari‟ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nurhaida M. Si.,
Kata Kunci: Perceraian, Pernikahan Dini.
Pernikahan dini adalah sebuah fenomena yang tidak asing lagi bagi
masyarakat diwilayah Indonesia karena sebenarnya sudah terjadi sejak lama,
bahkan setelah diberlakukanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) fenomena tersebut masih juga
terjadi dan berlangsung hingga saat ini. Dari waktu kewaktu fenomena pernikahan
dini selalu menarik untuk dibahas dan diteliti. Dari hasil yang ada, peneliti tertarik
untuk meneliti perceraian pasangan pernikahan dini yang ada di Kota Salatiga dan
Kabupaten Semarang. Dipilihnya Pengadilan Agama Salatiga untuk mencari data
karena Tempat dimana pernah dilaksanakan PLL oleh peneliti dan peneliti pernah
terjun langsung dalam menyaksikan dispensasi dan perceraian yang dilakukan
oleh masyarakat kota salatiga dan beberapa kecamatan yang ada di kabupaten
semarang.
Dalam penelitian, peneliti mencari jawaban dari pokok permasalahan yang
telah dirumuskan yaitu: pertama, mengapa pasangan pernikahan dini lebih
cenderung melakukan perceraian, dan kedua, bagaimana tinjauan Fiqh Islam
terhadap praktek pernikahan dini di kota salatiga dan kabupaten semarang.
Jenis penelitian ini adalah lapangan dengan pendekatan sosiologis hukum.
Sumber data berasal dari data primer dan sekunder. Untuk mengumpulkan data
yang diteliti menggunakan wawancara dan dokumentasi. Dan dalam penelitian ini,
menggunakan analisa kualitatif.
Pada akhirnya, penelitian ini menghasilkan kesimpulan, pertama,
kecenderungan perceraian pada pasangan pernikahan dini melakukan percerain
dikarenakan dua faktor yaitu faktor internal yang meliputi ekonomi, pedidikan
rendah, kekerasan dan faktor eksternal yang meliputi keluarga, sosial budaya,
masyarakat. Kedua, dari praktek-praktek pernikahan dini yang ada sebenarnya
tidak dihukumi secara mutlak, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh ataupun
haram. Hukum dari pernikahan dini bergantung kepada tujuan dari pernikahan
tersebut. Namun, perkawinan anak usia dini harus dihindari karena lebih
mendekati kemadharatan yaitu rentan terhadap perceraian dan sebagaimana hadits
bahwa perceraian sangat dibenci oleh Allah SWT. Melihat pernikahan dini yang
sangat rentan terhadap perceraian maka sudah selayaknya praktek-praktek
pernikahan dini lebih di persempit aturannya atau bahkan dilarang. Para Hakim,
Kepala KUA, dan Pemerintah dapat segera mengurangi pernikahan dini guna
masa depan anak yang lebih baik.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING ................................................................................. ii
PENGESAHAN ............................................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...................................................... iv
MOTTO.......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ......................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. vii
ABSTRAK .................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 3
D. Kegunaan Penelitian ................................................................... 3
E. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 4
F. Penegasan Istilah ........................................................................ 9
G. Metode Penelitian ...................................................................... 10
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan .......................................... 10
2. Lokasi Penelitian ................................................................ 10
3. Sumber Data ........................................................................ 10
4. Metode Pengumpulan Data ................................................. 11
5. Analisis Data ........................................................................ 13
H. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II : TINJAUAN UMUM ...................................................................... 15
A. Pernikahan .................................................................................. 15
xi
1. Pengertian Pernikahan ......................................................... 15
2. Hukum Pernikahan dalam Islam .......................................... 17
3. Rukun dan Syarat Pernikahan .............................................. 18
4. Tujuan dan Hikmah Pernikahan .......................................... 23
5. Hak dan Kewajiban dalam Pernikahan ................................ 25
B. Pernikahan Dini .......................................................................... 42
1. Pengertian Pernikahan Dini ................................................. 42
2. Hukum Pernikahan Dini ...................................................... 48
3. Sebab Pernikahan Dini ........................................................ 51
4. Dampak Pernikahan Dini ..................................................... 52
C. Perceraian ................................................................................... 55
1. Pengertian Perceraian .......................................................... 55
2. Dasar Hukum Perceraian .................................................... 58
3. Rukun dan Syarat Perceraian ............................................... 60
4. Macam dan Bentuk Perceraian ........................................... 61
5. Alasan Perceraian ................................................................ 64
BAB III : HASIL PENELITIAN .................................................................. 66
A. Gambaran Umum Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang ...... 66
1. Kota Salatiga ....................................................................... 66
2. Kabupaten Semarang ........................................................... 67
B. Profil Pelaku Perceraian Pasangan Nikah Dini di Wilayah
Hukum Pengadilan Agama Salatiga ........................................... 68
1. APL bin MR ........................................................................ 69
2. FNA binti SN ....................................................................... 72
3. SH binti SYM ...................................................................... 76
4. DAL binti AA ...................................................................... 79
C. Pernikahan Dini menurut HAKIM dan Kepala KUA ................ 83
BAB IV: ANALISIS
A. Perceraian Pasangan Pernikah Dini .................................................. 98
B. Tinjauan Fiqh Islam Mengenai Pernikahan Dini terhadap praktek
pernikahan dini di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang ............. 106
xii
BAB V : PENUTUP .................................................................................... 113
A. Kesimpulan................................................................................. 113
B. Saran .......................................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 118
LAMPIRAN ................................................................................................... 122
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama Salatiga ........ 85
Tabel 3.2 Jumlah Penikahan Dini Di KUA Tingkir ................................... 89
Tabel 3.1 Jumlah Penikahan Dini Di KUA Argomulyo ............................ 94
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II Daftar Nilai SKK
Lampiran III Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran IV Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran V Lembar Kosultasi Skripsi
Lampiran VI Daftar Pertanyaan Wawancara
Lampiran VII Akta Cerai Narasumber
Lampiran VIII Kartu Keluarga Narasumber
Lampiran IX Foto Wawancara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan atau perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Perkawinan bukan hanya erat kaitanya dengan lahir atau jasmani
tetapi juga memiliki kaitan yang erat dengan agama dan kerohanian
(Soedarsono: 2005: 9).
Setiap agama juga mengakui bahwa pernikahan sebagai suatu
perbuatan yang suci, oleh karena itu setiap agama mengatur dan menjunjung
tinggi hukum perkawinan. Hidup berpasang-pasangan merupakan pembawaan
naluriah manusia dan makhluk hidup lainnya, bahkan segala sesuatu di dunia
ini diciptakan oleh allah berpasang-pasangan. Sebagaimana firmanNya dalam
Qs. Adzariyaat ayat 49:
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Indonesia juga mengatur hukum perkawinan dalam No.1 tahun 1974
yang diantaranya meliputi syarat perkawinan. Dijelaskan pada pasal 7 ayat 1
bahwa “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
2
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”. Meskipun ketika ada
hal lain pengadilan akan memberikan dispensasi nikah bagi mereka yang
belum cukup umur sebagaimana dijelaskan dalam pasal 7 ayat 2.
Hal tersebut berbeda dengan hukum Islam. Dimana hukum Islam tidak
menjelaskan batas usia kesiapan untuk nikah, dalam islam hanya menjelaskan
bahwa pernikahan boleh dilakukan oleh seseorang ketika seorang laki-laki
dan seorang perempuan tersebut telah baligh dan telah siap lahir maupun
bathin untuk menikah agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang
dari sisi fisik, psikis dan mental.
Walaupun hukum islam memberikan batas usia pernikahan dengan
baligh dan berakal, akan tetapi hal tersebut tidak menentukan kematangan
atau kedewasaan seseorang. Tetapi, bagaimana pun suatu pernikahan yang
sukses tidak dapat diharapkan dari mereka yang mentah baik fisik maupun
mental emosional, pernikahan perlu adanya kedewasaan dan tanggung jawab
dalam pelaksanaanya. Oleh karena itu, pernikahan yang dilakukan pada
pasangan dibawah umur rentan pada penceraian serta hubungan kekeluargaan
yang kurang sehat.
Faktanya saat ini banyak terjadi pernikahan dini dan berakhir pada
perceraian. Hal ini terbukti, dari beberapa kasus perceraian yang diajukan
oleh pasangan pernikah dini yang perkaranya di Putus di Pengadilan Agama
Salatiga.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk
mengadakan penelitian dengan judul PERCERAIAN PASANGAN
3
PERNIKAH DINI (Studi Kasus di Kota Salatiga dan Kabupaten
Semarang Tahun 2016-2017).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Mengapa pasangan pernikahan dini lebih cenderung melakukan
perceraian?
2. Bagaimana tinjauan Fiqh Islam terhadap praktek pernikahan dini di Kota
Salatiga dan Kabupaten Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian disini adalah:
1. Untuk mengetahui mengapa pasangan pernikahan dini lebih cenderung
melakukan perceraian.
2. Untuk mengetahui tinjauan Fiqh Islam terhadap praktek pernikahan dini
di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.
D. Keguanaan Penelitian
Adapun Kegunaan dari penelitian yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan mampu
memperdalam dan menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya
4
sebagai tambahan wacana dibidang ilmu hukum perdata dan sebagai
literatur dalam hukum perkawinan islam.
2. Manfaat Praktis
Dalam penelitian ini, adapun manfaat praktis yang di harapkan
adalah:
a. Menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berfikir serta
pemenuhan pra-syarat dalam menyelesaikan pembelajaran ilmu
hukum islam dalam bidang hukum keluarga islam.
b. Berguna sebagai pedoman untuk menyelesaikan masalah dan
menghindarkan masalah yang timbul, agar tidak menjadi lebih parah
dalam kehidupan masyarakat.
c. Memberikan masukan bagi para pihak yang berkompeten terhadap
masalah-masalah Perceraian. Serta dapat dijadikan kontribusi
pemikiran bagi pengembangan dan penegakan hukum di Indonesia
yang memiliki nilai keadilan dan kepastian.
E. Tinjauan Pustaka
Setelah diadakan penelusuran, ternyata banyak penelitian dan karya
ilmiah yang membahas mengenai masalah Perceraian yang ada disekitar
masyarakat diantaranya:
1. Skripsi berjudul “Faktor Faktor Penyebab Perceraian (Studi Terhadap
Perceraian Di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang).”
yang ditulis oleh Nurul Fadhlilah Tahun 2013.
5
Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Namun,
suatu perkawinan yang seharusnya merupakan tempat kebahagiaan dan
kedamaian pasangan hidup pada kenyataannya tidak dapat menjamin
kelanggengan rumah tangga. Karena dalam keadaan tertentu terdapat
factor-faktor yang menghendaki putusnya perkawinan. Jika suami istri
dalam rumah tangga tersebut tidak mampu untuk menyikapi atau
mengendalikan diri masing-masing tidak menutup kemungkinan akan
terjadi percecokan dan keretakan dalam rumah tangga yang apabila tidak
mungkin didamaikan, maka jalan terakhir adalah perceraian. Adapun
tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah
mengetahui faktor-faktor penyebab perceraian dan dari faktor-faktor
tersebut faktor dominan apa yang menyebaban perceraian di Desa Batur
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Penelitian ini merupakan studi
kasus dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian
dimana peneliti menjelaskan kenyataan yang didapatkan dari kasus-kasus
di lapangan sekaligus berusaha untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak
nampak dari luar agar khalayak dapat mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Hasil penelitian yang dieroleh adalah pertama, faktor-faktor
penyebab perceraian di Desa Batur yaitu faktor ekonomi, perselisihan,
meninggalkan, gangguan pihak lain atau perselingkuhan, dan perjodohan.
Kedua, dari faktor-faktor tersebut yang menjadi faktor dominan penyebab
perceraian di Desa Batur adalah ekonomi dan perselisihan. Kedaan
ekonomi yang tergolong dalam menengah kebawah dapat disebabkan
6
karenya rendahnya tingkat pendidikan yang menjadikan mereka hanya
berprofesi sebagai petani dan buruh. Responden yang bercerai rata-rata
hanya berpendidikan tingkat SD. Sehingga sekilas dapat dikatakan bahwa
tingkat pendidikan terkait dengan tingkat perceraian. Ekonomi yang
kurang menyebabkan perselisihan yang terus menerus terjadi dan tidak
lagi dapat terhindarkan. Dengan latar belakang ekonomi menengah ke
bawah maka keluarga tersebut mengalami goncangan atau kesulitan
ekonomi.
2. Skripsi berjudul “Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi
Putusan di Pengadilan Agama Salatiga).” yang ditulis oleh Nastangin
Tahun 2012.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan
perceraian di Pengdilan Agama Salatiga. Pertanyaan utama yang akan
dijawab melalui penelitian ini adalah (1) apa pertimbangan dan dasar
huku hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak
murtad? (2) apa akibat hukum perceraian karena salah satu pihak
murtad?. Penulis dalam penelitian ini mendasarkan pada penelitian
hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Penelitian
pendeatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu
ketentuan huku dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan.
Dalam penelitian ini yang akan di cari perihal tentang perkara perceraian
karena salah satu pihak murtad. Jenis penelitian ini secara spesifik lebih
bersifat yurisprudensi, metode ini di maksudkan untuk memperoleh
7
gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin
tentang objek yang diteliti dalam hal ini untuk menggambarkan proses
penyelesaian perceraian karena salah satu pihak murtad. Dari penelitian
ini dihasilkan bahwa pertimbangan hakim dalam memutus perkara
perceraian karena salah satu pihak murtad yaitu kelurga penggugat dan
tergugat tidak harmonis karena tergugat keluar dari agama Islam dan
sebelumnya mediasi telah dilakukan akan tetapi hasilnya gagal kemudian
dasar hukum hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena salah satu
pihak murtad ialah Pasal 116 KHI pada huruf h dan mengambil pendapat
ahli yang dijadikan pendapat sendiri yang termuat dalam kitab At-Thalaq
hal 39 bahwa akibat hukum perceraian secara umum, yakni
menjadikannya putus tali perkawinan, masih berlaku masa iddah dipenuhi
setelah terjadinya perceraian diantaranya: masih menanggung hadhanah,
memberi nafkah kepada anak sampai usia dewasa (usia 21 tahun).
3. Skripsi berjudul “Pertengkaran Sebagai Alasan Perceraian (Studi Putusan
di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010-2012).” yang ditulis oleh
Husnul Robiah Tahun 2001.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan
perceraian di Pengadilan Agama Salatiga. Pernyataan utama yang ingin
dijawab melalui penelitian ini adalah (1) factor apa yang mendorong
terjadinya pertengkaran? (2) bagaimana hasil putusan hakim terhadap
perkara pertengkaran sebagai alasan perceraian? (3) apakah dasar
pertimbangan hakim dalam memutus perkara pertengkaran sebagai alasan
8
perceraian?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka peneliti
melakukan penelitian dengan terjun langsung di lapangan yakni di
Pengadilan Agama Salatiga. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
menurut hukum Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal, akan
tetapi merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Menurut para
fuqoha perceraian itu ada kalanya wajib, sunah, dan haram yang
didasarkan dengan alasan-alasan yang tepat, sehingga perceraian tidak
dipandang sebagai sesuatu hal yang mudah. Faktor penyebab terjadinya
perceraian secara umum antara lain disebabkan karena terus berselisih
atau pertengkaran dengan alasan antara lain karena cacat biologis,
poligami tidak sehat, cemburu, kawin paksa, ekonomi, kawin dibawah
umur, politis, tidak ada keharmonisan, gangguan pihak ke-3. Dan dari
beberapa faktor tersebut, diantara faktor yang menyebabkan pertengkaran
atau perselisihan dari hasil penelitian yakni karena ekonomi dan kawin
paksa. Untuk hasil putusan dari perkara pertengkaran sebagaialasan
perceraian semuanya dikabulkan oleh Majlis Hakim setelah mendengar
keterangan-keterangan dari saksi maupun keterangan lainnya yang berupa
alasan-alasan yang digunakan dalam permohonan atau gugatan
perceraian, bukti surat dan alat bukti lain yang digunakan sebagai dasar
Majlis Hakim memberikan putusan. Dasar petimbangan hakim dalam
memutus perkara perteng karan dari hasil penelitian sudah cukup jelas,
yakni mulai dari tahap persidangan, pemanggilan serta perdamaian.
Hakim melihat alasan-alasan atau dalil-dalil yang diajukan permohonan,
9
alat bukti, keterangan dari beberapa saksi serta fakta hukum yang
ditemukan di dalam persidangan, bahwa dalam perkara cerai thalak dasar
pertimbangannya yakin: istri telah pergi dari rumah tanpa ijin dan tidak
diketahui keberadaanya hingga sekarang, maka suami mempunyai
kekuasaan untuk menceraikannya. Dan untuk perkara cerai gugat, bahwa
ada pelanggaran taklik thalak oleh suami isteri. Hal tersebut yang
menjadikan dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan pekara
tersebut.
Berdasarkan penelitian-penelitian diatas yang telah dilakukan, belum
ada penelitian yang membahas secara terperinci dan mendetail tentang
Perceraian Pasangan Pernikah Dini yang ada di Kota Salatiga dan Kabupaten
Semarang
F. Penegasan Istilah
Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu adanya pendefinisi judul
secara terperinci, dengan maksud dapat diketahui secara jelas. Maka penulis
perlu memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah dalam judul
ini yaitu sebagai berikut:
1. Perceraian adalah berpisah (poerwadarminto, 2006: 231). Thalaq adalah
putusanya ikatan perkawinan (Rasjid, 1954: 379).
2. Pernikahan Dini atau perkawinan dibawah umur adalah perkawinan yang
dilaksanakan oleh seorang anak yang belum mencapai usia nikah yang
telah ditetapkan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
10
yaitu 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun
untuk wanita.
G. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian, metode mutlak diperlukan karena merupakan
cara yang teratur dan berfikir secara kritis untuk mecapai suatu tujuan yang
dimaksud. Metode ini di perlukan guna mencapai tujuan yang sesuai dan
memperoleh hasil yang optimal.
1. Jenis penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian ini adalah lapangan dengan pendekatan sosiologis
hukum yaitu pendekatan yang melihat suatu kenyataan hukum di dalam
masyarakat. Pendekatan sosiologis hukum merupakan pendekatan yang
digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di
dalam masyarakat. Pendekatan berfungsi sebagai penunjang untuk
mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi
keperluan penelitian hukum (Ali, 2009:175).
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang
dimana banyak data kasus Perceraian Pasangan Pernikahan Dini.
3. Sumber Data
Berdasarkan sumbernya, jenis data dibagi menjadi dua yaitu data
primer dan data sekunder (Suratman, 2014: 106).
11
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
penelitian di lapangan. Data primer pada penelitian ini diperoleh dari
hasil wawancara pada pasangan yang melakukan perceraian pasangan
nikah dini yang ada di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
penulis dari penelitian kepustakaan. Adapun data sekunder dalam
penelitian ini diperoleh dari studi pustaka, arsip data di Pengadilan
Agama Kota Salatiga, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
arsip-arsip lain yang berhubungan dengan pokok masalah.
4. Metode Pengumpulan Data
Ada tiga jenis metode pengumpulan data yaitu:
a. Observasi
Observasi merupakan suatu proses pengamatan dan pencatatan
yang dilakukan oleh seorang peneliti (Sugiyono, 2010:204).
Observasi atau pengamatan adalah perhatian yang terfokus terhadap
kejadian, gejala, atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya,
mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya dan menemukan kaidah-
kaidah yang mengaturnya. Observasi dibedakan menjadi dua yaitu
Observasi Partisipan dan Observasi Non-Partisipan. Observasi
Partisipan adalah observasi yang dilakukan di mana sambil
12
melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan
oleh sumber data, dan ikut merasakan kejadiannya. Sedangkan
Observasi Non-Partisipan adalah observasi yang dilakukan dimana
peneliti tidak terlibat secara langsung dengan sumber data, akan tetapi
hanya sebagai pengamat independen (Sugiyono. 2010:204).
b. Wawancara (interview)
Wawancara adalah pengumpulan informasi secara lisan
dengan tujuan menghimpun data berupa tanggapan, pendapat,
keyakinan, perasaan, motivasi, dan keinginan seseorang yang
dilakukan terhadap objek orang, sumber atau instansi yang
bersangkutan (Nawawi, 1994:50).
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu dengan melakukan pencatatan atau mengcopy
terhadap data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dan buku-
buku referensi lain (Nawawi, 1994:73). Dokumentasi artinya barang-
batang tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan-peraturan,
notulen rapat, catatan harian dan sebagainya (Arikunto, 2010:201).
Dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan Wawancara
yaitu untuk mengetahui perceraian pada pasangan pernikah dini dan juga
menggunakan metode Dokumentasi guna mengumpulkan data yang akan
digunakan sebagai modal dalam melakukan penelitian.
13
5. Analisis Data
Analisis data adalah suatu cara yang dipakai untuk menganalisa
(data analysis) dan mengolah data yang sudah terkumpul, sehingga dapat
diambil suatu kesimpulan yang konkret tentang permasalahan yang
diteliti dan dibahas (Arokunto. 2010:278). Dalam penelitian ini,
digunakan analisa kualitatif yaitu analisis untuk meneliti kasus setelah
terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk uraian (Moleong, 2010:288).
Setelah data terkumpul, kemudian data tersebut akan dianalisis seperlunya
agar diperoleh data yang matang dan akurat.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan kejelasan kepada para pambaca dalam menyusun
Skripsi ini. Maka, penulis menyusun sistematika penulisan penelitian yang
terdiri atas 5 bab yaitu:
BABI Pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan
pustaka, penegasan istilah, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II Kajian Pustaka yang mengulas beberapa teori yang berhubungan
dengan penelitian yang dilakukan, yaitu pernikahan yang
membahas tentang pengertian pernikahan, hukum pernikahan
dalam islam, rukun dan syarat pernikahan, tujuan dan hikmah
pernikahan, hak dan kewajiban dalam pernikahan, membahas
14
tentang pengertian pernikahan dini, hukum pernikahan dini,
sebab pernikahan dini, dampak pernikahan dini. Selanjutnya
adalah perceraian yang menguraikan tentang pengertian
perceraian, dasar hukum perceraian, rukun dan syarat
perceraian, macam dan bentuk perceraian, alasan perceraian.
BAB III Hasil Penelitian yang membahas tentang gambaran umum Kota
Salatiga dan Kabupaten Semarang, hasil wawancara terdahap
pelaku perceraian pasangan nikah dini dan hasil wawancara
terhadap Hakim dan Kelapa KUA mengenai perceraian dan
penikahan dini.
BAB IV Analisi Data yang membahas tentang perceraian pasangan nikah
dini yg meliputi kecenderungan terjadinya perceraian pada
pasangan nikah dini, tinjauan Fiqh Islam terhadap praktek
pernikahan dini di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.
BAB V Bab ini merupakan bab penutup. Dalam bab ini penulis akan
mengemukakan semua kesimpulan dari seluruh hasil penelitian
dan saran.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM
PERCERAIAN PASANGAN PERNIKAHAN DINI
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan dalam Al-Qur‟an dan Hadis disebut dengan dua kata,
yaitu nikah نكاح() dan zawaj (زواج) . Kedua kata ini yang terpakai dalam
kehidupan sehari-hari oleh orang Arab. Kata na-ka-ha banyak terdapat
dalam Al-Qur‟an dengan arti kawin (summa, 2005:42).
seperti dalam surat an-Nisa‟ ayat 3:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap
anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan
berlaku adil, cukup satu orang.
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur‟an
dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:
16
Artinya: dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang
yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan
bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam
hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada
manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan diasupaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-
anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi.
Tetapi dalam Al-Qur‟an terdapat pula kata nikah dengan arti Akad,
seperti tersebut dalam firman Allah surat an-Nisa‟ ayat 22:
Artinya: dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Dari beberapa pengertian pernikahan dalam Al-Qur‟an tersebut
menimbulkan beberapa perbedaan pendapat di kalangan Ulama‟. Ulama‟
Syafi‟iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki wati.
Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan
kesenangan dari pasangannya (Abidin, 1999:10).
17
Pernikahan adalah akad yang berfaedah kepada kepemilikan untuk
bersenang-senang dengan sengaja. Jadi, Imam Hanafi menganggap bahwa
pernikahan itu mengandung makna hakiki untuk melakukan hubungan
suami isteri. Sedangkan menurut Imam Maliki, nikah adalah akad yang
semata-mata untuk kenikmatan dan kesenangan seksual belaka. Berbeda
dengan itu, menurut Imam Hambali pernikahan adalah akad yang
dimaksudkan untuk mendapatkan kesenangan seksual dengan
menggunkan lafad inkah atau tazwij (Maskur, 2014:46).
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dari beberapa pengertian pernikahan diatas dapat disimpulkan
bahwa pernikahan merupakan sunnatullah yang berupa kebutuhan naluri
manusia sebagai sarana untuk membentuk suatu tatanan masyarakat dari
populasi terkecil yaitu keluarga, untuk membentuk rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan warohmah dengan cara yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT dan juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
2. Hukum Pernikahan dalam Islam
Hukum Perkawinan dibagi menjadi lima hukum taklifi yaitu
sebagai berikut (Depag, 1984:59-62):
18
a. Wajib bagi orang yang sudah mampu menikah, sedangkan nafsunya
telah mendesak untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan
akan terjerumus dalam praktek perzinahan.
b. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah
lahir dan batin kepada calon isterinya, sedangkan nafsunya belum
mendesak.
c. Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai
kemampuan untuk nikah, tetapi ia masih dapat menahan diri dari
berbuat haram.
d. Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu
memberi belanja calon isterinya.
e. Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan
segera nikah atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk
nikah.
3. Rukun dan Syarat Pernikahan
Pernikahan dalam pelaksanaanya harus sesuai dengan ketentuan
hukum dan memenuhi beberapa unsur yang menurut istilah hukumnya
disebut rukun nikah.
Adapun rukun nikah dalam islam terdiri dari (Depag, 1984:49-55):
a. Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai
laki-laki dan mempelai perempuan.
b. Adanya wali.
19
c. Adanya dua orang saksi.
d. Dilakukan dengan tertentu.
Undang-undang Perkawinan hanya menjelaskan syarat-syarat
perkawinan tanpa menjelaskan rukunnya, syarat-syarat tersebut bisa
dibilang syarat formal untuk melakukan perkawinan atau pernikahan di
Indonesia. Sedangkan rukun dan syarat perkawinan dijelaskan lebih rinci
di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 14 yang menyebutkan
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami;
b. Calon isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Kemudian Kompilasi Hukum Islam dalam bab yang sama pada
bagian-bagian selanjutnya menjelaskan syarat-syarat dari rukun yang
sudah dijelaskan pada pasal 14 tersebut.
Adapun syarat yang harus dipenuhi dari masing-masing rukun
adalah sebagai berikut (Maskur, 2014:52):
a. Syarat-syarat calon suami:
1) Beragama Islam.
2) Jelas laki-lakinya.
3) Jelas atau orangnya diketahui.
20
4) Calon laki-laki kenal dan tahu betul bahwa calon isterinya halal
dinikahi baginya.
5) Tidak dipaksa tetapi harus ikhtiar (kemauan sendiri).
6) Tidak sedang berikhrom haji atau umroh.
7) Bukan mahromnya.
8) Tidak mempunyai istri yang haram di madu.
9) Tidak dalam keadaan beristri empat.
b. Syarat-syarat calon istri:
1) Beragama Islam.
2) Jelas perempuannya.
3) Wanita itu tentu orangnya.
4) Sepertujuan dirinya/tidak dipaksa.
5) Tidak bersuami atau dalam iddah orang lain.
6) Bukan mahromnya.
7) Belum perah di li‟an.
8) Tidak sedang berikhrom haji atau umroh.
c. Syarat-syarat wali:
1) Laki-laki.
2) Beragama Islam.
3) Baligh.
4) Berakal sehat.
5) Adil.
d. Syarat-syarat saksi:
21
1) Beragama Islam.
2) Baligh.
3) Berakal sehat.
4) Merdeka/bukan budak.
5) Kedua orang saksi itu bisa mendengar/tidak tuna rungu.
e. Syarat-syarat sighot (ijab dan qobul):
Sighot dan ijab mempunyai syarat-syarat masing-masing.
Syarat-syarat ijab adalah sebagai berikut:
1) Dengan perikatan shorih dapat dipahami oleh mempelai laki-laki,
wali dan dua orang saksi.
2) Harus dengan shighot yang mutlak (tidak muqoyyad atau terikat)
tidak ditakwilkan atau dikaitkan dengan suatu syarat atau dengan
batas waktu.
3) Shighot yang digunakan dalam akad itu mengandung pengertian
relanya orang yang mencakup sejak berlangsungnya akad. Sighot
yang dipakai adalah fiil madhi.
Sedangkan syarat-syarat qobul adalah sebagai berikut
(Maskur, 2014:52):
1) Dengan kata-kata yang mengandung arti menerima, setuju atau
dengan perkawinan tersebut.
2) Harus dengan sighot yang mutlak.
22
3) Shighot yang digunakan dalam akad (qobul) itu mengandung arti
rela diri orang yang mengucapkan sejak berlangsungnya akad
perkawinan. Sighot yang dipakai adalah fiil madhi.
Rukun dan syarat pernikahan tidak hanya sebatas mengenai
ketentuan hukum islam, akan tetapi ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam ketentuaanya. Sebagaimana diatas, maka hendaknya
memerhatikan beberapa faktor biologis maupun faktor psikologis.
Menurut UNICEF (dalam hanafi, 2011: 80) tidak seorang gadispun
boleh hamil sebelum usia 18 tahun, karena secara fisik dan mental ia
belum siap untuk melahirkan anak. Ibu muda beresiko melahirkan bayi
prematur dengan berat badan dibawah rata-rata. Dalam hal ini, sangatlah
berbahaya bagi bayi yang dilahirkan tersebut, karena meningkatkan resiko
kerusakan otak dan organ-organ tubuh lainnya. Bayi yang lahir dengan
berat kurang dari normal mempunyai resiko kematian 20 kali lebih besar
pada tahun pertamanya dibanding bayi normal. Selain itu, ibu kecil antara
10-14 tahun beresiko meninggal dalam proses persalinan 5 kali lebih
besar dari wanita dewasa.
Ketentuan faktor psikologis menurut yusuf hanafi (2011:90) yaitu
gadis kecil yang melahirkan bayi merupakan suatu hal yang telah lama
dihindari oleh dunia kedokteran. Situasi ini sangat traumatik bagi sang ibu
muda, karena mencabut masa kanak-kanaknya. Sebelum ia belajar
mengenai hidup dan bereaksi secara tepat terhadap dirinya sendiri, ia
23
harus mengasuh dan membesarkan bayi. Artinya, anak disegerakan untuk
menjadi dewasa secara tidak wajar dan instan.
4. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Tujuan pernikahan menurut agama islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis
sejahtera dan bahagia. Aturan pernikahan juga menurut agama islam
merupakan tuntutan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga
tujuan melangsungkan pernikahan hendaknya ditunjuk untuk memenuhi
petunjuk agama (Depag, 1984: 62).
Menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 1 menjelaskan bahwa tujuan perkawinan ialah” Membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Tujuan yang telah dijelaskan dalam Undang-undang
perkawinan ini tidaklah bertentangan dengan hukum Islam, Allah swt
telah menjelaskannya dalam Qur‟an Surat Ar-Rum ayat 21 yang
berbunyi:
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran-Nya) ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar
kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir.”
24
Ayat di atas menjelaskan bahwa sebuah pernikahan antara laki-laki
dan perempuan akan menjadikan ketentraman diantara mereka dan kasih
sayang yang akan selalu tumbuh diantara mereka. Ketentraman dan kasih
sayang sangat perlu untuk membina sebuah keluarga yang didambakan
seluruh keluarga atau yang sering disebut keluarga sakinah, mawaddah,
dan warohmah.
Tujuan pernikahan lebih rinci dijelaskan dalam lima hal ialah
sebagai berikut (Depag, 1984: 64):
a. Mendapat dan melangsungkan keturunannya.
b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh
harta kekayaan yang halal.
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Berbagai pandangan mengenai tujuan pernikahan yang ada, baik
menurut Undang-undang maupun menurut hukum islam, dapat
memberikan pemahaman bahwa pernikahan mengandung tanggung jawab
hukum bagi suami istri berupa hak dan kewajiban, dan tujuan suci dari
25
perkawinan menurut islam adalah terwujudnya keselamatan serta
kebahagiaan di dunia dan akherat (Koro, 2012: 50).
5. Hak dan Kewajiban dalam Pernikahan
Jika akad nikah antara suami istri telah sah, maka akan
menimbulkan akibat hokum dan hak kewajiban juga akan menimbulkan
hak dan kewajiban dalam kapasitasnya sebagai suami istri. Adapun hak
dan kewajiban suami istri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Hak dan kewajiban Suami-Istri berdasarkan Fiqh Islam
1) Hak Suami-Istri
Hak suami istri dikualifikasikan menjadi 3 macam yaitu
hak suami atas istri, hak istri atas suami, dan hak bersama suami
istri.
a) Hak suami atas istri
Menurut fiqh Islam, ada 2 macam hak suami atas istri
yaitu sebagai berikut:
(1) Suami ditaati oleh istri
Istri wajib mentaati suami selama dalam hal-hal
yan baik yang tidak maksiat. Istri menjaga dirinya sendiri
dan juga harta suaminya, menjauhi diri dari sesuatu yang
dapat menyusahkan suaminya. Tidak cemberut
dihadapan suami dan tidak menunjukan keadaan tidak
disenangi oleh suaminya (sabiq, 1997: 134). Istri
26
hendaknya taat kepada suaminya dalam melaksanakan
urusan rumah tangganya selama suami menjalankan
ketentuan-ketentuan berumah tangga. Sebagaimana
firman Allah swt dalam Qs. AN-Nisa ayat 3.
Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.
Yang dimaksud taat dalam ayat ini ialah patuh
kepada Allah SWT dan kepada suaminya. Perkataan
“taat” biasanya hanya digunkan oleh Alah SWT. Tetapi
dalam ayat ini digunkan untuk suami juga, hal ini
menggambarkan bagaimana sikap istri yang baik
terhadap suaminya. Allah menerangkan istri harus
berlaku demikian karena suami itu telah memelihara
istrinya dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan
suami istri (depag, 2001: 163).
27
yang dimaksud menjaga dirinya di belakang
suaminya adalah menjaga dirinya diwaktu suaminya
tidak ada, tanpa berbuat khianat kepadanya baik
mengenai diri atau harta bendanya (sabiq, 1997: 134).
Seorang istri harus mentaati serta berbakti dan mengikuti
segala yang diminta dan dikehendaki suaminya asalakan
tidak merupakan suatu hal yang berupa kemaksiyatan.
(2) Istri tidak memasukan lelaki lain maupun orang yang
dibenci oleh suaminya kedalam rumahnya kecuali
dengan izin suaminya
Istri wajib memelihara dari di balik
pembelakangan suaminya, terutama apabila suami
bepergian, jangan sekali-kali istri melakukan perbutan
yang dapat menimbulkan kecurigaan suami, sehingga
suami tidak merasa tenteram pikirannya dalam bepergian.
Melakukan perbuatan terlarang tidak hanya akan
menghancurkan rumah tangga tetapi juga akan mendapat
siksa yang sangat berat dari Allah SWT.
b) Hak istri atas suami
(1) Mahar
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan
seorang calon suami kepada calon istrinya dalam bentuk
28
apapun bak berupa uang maupun barang (Rasjid,
2007:365). Sebagaimana dalam surat an-nisa ayat 4.
Artinya: berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Kualitas mahar tidak ditentukan oleh syari‟at
islam akan tetapi hanya menurut kemampuan suami yang
disertai kerelaan dari sang istri. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan status social ekonomi masyarakat,
lapang dan sempitnya rezeki, itulah sebabnya islam
menyerahkan masalah kualitas mahar itu sesuai denga
status sosial ekonomi masyarakat berdasarkan
kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan
stadisi keluarganya (Rasjid, 2007: 365).
(2) Nafkah
Para ulama sepakat bahwa diantara hak istri
terhadap suami adalah nafkah (Tahido, 1999:80). Hal ini
berdasarkan firman allah dalam surat Al-Baqarah ayat
233.
29
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya
dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa
atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan.
Nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan
tempat tinggal, jika rumah tangga tersebut memiliki
pembantu termasuk nafkah dan juga pengobatan istri
masuk dalam nafkah. Hal ini dikarenakan seorang
30
perempuan yang menjadi istri bagi seorang suami
mempergunakan segala waktunya untuk kepentingan
suaminya dan kepentingan rumah tangga (Sabiq, 1997:
126).
Nafkah didalam rumah tangga merupakan hal
yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang
sejahtera, sehingga kebutuhan pokok manusia terpenuhi.
Adapun kuantitas nafkah yang diberikan suami kepada
istrinya adalah sesuai kemampuan suami. Allah
berfirman dalam Qs. At-Thalaq: 6.
Artinya: tempatkanlah mereka (para isteri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang
hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka
31
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.
Nafkah diberikan suami kepada istri dalam sebuah
ikatan pernikahan yang sah, yang masih berlangsung dan
istri tidak nusyuz (durhaka) atau karena hal-hal lain yang
menghalangi istri menerima belanja (nafkah).
(3) Memperlakukan dan menjaga istri dengan baik
Suami wajib menghormati, menghargai, bergaul
dan memperlakukan istrinya dengan baik dan juga
bersabar dalam menghadapinya (Sabiq, 1997: 65).
Bergaul dengan baik menurut Abdul Aziz
(1990:65) berarti menjadikan suasana pergaulan selalu
indah dan selalu diwarnai dengan kegembiraan yang
timbul dari hati kehati sehingga rumah tangga tetap
terjaga dan terkendali. Sebagaimana dalam surat An-
Nissa, ayat 9.
Artinya: dan hendaklah takut kepada Allah orang-
orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar.
32
Bergaul dengan cara yang baik berarti
memperlakukan dan menghormati dengan cara yang
wajar, memperhatikan kebutuhan istrinya, menahan diri
dari sikap yang tidak menyenangkan istri dan tidak boleh
berlaku kasar terhadap istrinya (Tahido, 1999:82).
Seorang suami tidak boleh memarahi istri,
meskipun sang istri memiliki kekurangan-kekurangan,
suami juga tidak boleh mengungkit-ngungkit apa yang
menjadi kelemahan istrinya karena dibalik kekurangan-
kekurangan yang ada pada istrinya terdapat kelebihan-
kelebihan yang dipunyai oleh istrinya. Di samping itu
totalitas waktu istri tercurahkan oleh ketaatan kepada
suami.
c) Hak Bersama suami-istri
(1) Halalnya pergaulan
Suami istri sama-sama mempunyai hak untuk
menggauli sebagai pasangan suami-istri dan memperoleh
kesempatan saling menikmati atas dasar memerlukan.
Hal ini tidak dapat dilakukan secara sepihak saja. Allah
SWT telah berfirman Qs. Al-baqarah 178.
33
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat
suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat)
kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik
(pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih.
(2) Hak saling memperoleh harta waris
Sebagai salah satu dampak dari pernikahan yang
sah bila salah seorang meninggal dunia, suami sebagai
pemimpin yang bertanggung jawab dan mencukupi
nafkah serta keperluan hidup istrinya maka bila istrinya
mati dengan meninggalkan harta pusaka, sang suami
berhak mendapatkan harta warisan. Demikian pula istri
sebagai kawan hidup sama-sama merasakan suka duka
hidup berumah tangga dan berkorban membantu
34
suaminya, maka adillah kiranya bila istri diberi bagian
yang pasti dari harta peninggalan suami (Sabiq, 1997:
148). Sebagaimana firman Allah swt dalam surat An-
Nisa‟ ayat 12.
...........
Artinya: dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya......
(3) Hak timbal balik
Dalam kehidupan berumah tangga, salah satu
kriteria ideal untuk mencapai keluarga yang sakinah,
mwadah dan warahmah adalah suami sebagai pemimpin
bagi keluarganya memimpn istrinya untuk mendidik dan
memperlakukan istrinya secara proposional sebagai
perintah syari‟at bahwa Allah SWT telah menyebut laki-
laki merupakan sosok pemimpin bagi perempuan (Sabiq,
1997: 168). Sebagaimana firman Allah SWT Qs. An-
Nisa‟ ayat 34.
35
Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar.
Sebagai pemimpin bagi istri dan keluarganya
maka suami wajib memberikan bimbingan daan
Pendidikan kepada istrinya dan keluarganya agar tidak
terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan dan kehinaan.
Hal ini telah jelas diterangkan oleh allah dalam surat At-
Tahrim ayat 6.
36
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.
Sedangkan istri sebagai seorang yang dipimpin
oleh suaminya hendaklah taat dan patuh terhadap
perintah suaminya (selama perintah suaminya tidak
dalam hal kemaksiyatan), istri hendaknya mengerjakan
perintah suami dengan sabar dan tenang.
2) Kewajiban Suami-Istri
a) Kewajiban Suami
Adapun kewajiban suami dalam berumah tangga
adalah sebagai berikut:
(1) Melindungi dan menjaga istri dengan baik.
(2) Memberi nafkah lahir dan bathin.
(3) Memelihara, memimpin, dan membimbing keluarga.
37
(4) Membantu tugas-tugas istri terutama dalam hal
memelihara dan mendidik anak dengan penuh rasa
tanggung jawab.
(5) Menjaga dan bertanggung jawab atas keselamatan dan
kesejahteraan keluarga.
(6) Memberi kebebasan berpikir dan bertindak kepada istri
sesuai dengan ajaran agama.
(7) Tidak berbuat sewenang-wenang.
b) Kewajiban istri
Tidak hanya suami, istri juga memiliki kewajiban
dalam berumah tangga, adapun kewajiban istri adalah sebagai
berikut:
(1) Hormat dan patuh kepada suami dalam batas yang
ditentuka oleh norma agama dan Susila.
(2) Mengatur dan mengurus rumah tangga serta keselamatan
dan mewujudkan kesejahteraan keluarga.
(3) Memelihara dan mendidik anak sebagai titipan allah.
(4) Menerima dan menghormati pemberian suami atas
nafkah yang diberikan dengan baik, hemat dan bijaksana.
(5) Memelihara serta menjaga kehormatan dan melindungi
harta benda keluarga.
38
c) Kewajiban Bersama suami-istri
Kewajiban bersama antara suami dan istri harus ada di
dalam rumah tangga, agar rumah tangga dapat berjalan
dengan baik tanpa adanya hal-hal yang memberdakan
kebersamaan dan dalam membangun sebuah rumah tangga.
Karena dalam berumah tangga tidak hanya satu pihak saja
yang memiliki kewajiban, tetapi semua memiliki tanggung
jawab. Adapun kewajibannya adalah sebagai berikut:
(1) Saling mecintai menghormati, mengasihi, setia, dan
memberi bantuan lahir bathin antar suami.
(2) Mengasuh dan memelihara anak.
(3) Memelihara kehormatan Bersama.
(4) Saling menghormati orang tua dan keluarga kedua belah
pihak.
(5) Matang dalam berbuat dan berpikir serta tidak bersikap
emosional dalam persoalan yang dihadapi.
(6) Memelihara kepercayaan dan tidak saling membuka
rahasia pribadi.
(7) Sabar dan rela atas kekurangan dan kelemahan masing-
masing.
39
b. Hak dan Kewajiban Suami-Istri berdasarkan Undang-Undang
Hak dan Kewajiban Suami Istri di atur dalam Undang Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Dalam Pasal 30 menyatakan bahwa suami istri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi dasar dari susunan masyarakat. Dalam Pasal 31
menyatakan bahwa:
1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup Bersama dalam masyarakat.
2) Masing-masing pihak berhak unatuk melakukan perbuatan
hokum.
3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Dalam Pasal 33 menyatakan bahwa suami-istri wajib saling
cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir bathin yang satu kepada yang lain. Dalam pasal 34
menyatakan:
1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Mengenai rumah tangga sebagai tempat kediaman suami
istri dijelaskan dalam pasal 32 sebagai berikut:
1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah tangga kediaman yang di maksud ayat (1) pasal ini di
tentukan oleh suami istri Bersama.
c. Hak dan Kewajiban Suami-Istri Berdasarkan KHI
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur secara jelas mengenai
hak dan kewajiban suami istri. Hal tersebut sebagaimana terdapat
dalam pasal 77 sampai 81.
1) KHI pasal 77 menyatakan:
a) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
40
rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan
masyarakat;
b) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin
yang satui kepada yang lain;
c) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan
pendidikan agamanya;
d) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
e) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Agama.
2) Dalam padal 78 menyatakan:
a) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang
tetap.
b) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1),
ditentukan oleh suami isteri bersama.
3) Kedudukan suami istri dalam Pasal 79 yaitu:
a) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah
tangga.
b) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
c) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
4) Kewajiban Suami Istri
a) Kewajiban suami diatur dalam Pasal 80:
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah
tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah
tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri
bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada
isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan
bangsa.
41
(4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung: (a)
nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; (b) biaya
rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan
bagi isteri dan anak; dan (c) biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur
apabila isteri nusyuz.
b) Kewajiban Istri diatur dalam Pasal 83:
(1) Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir
dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh
hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
5) Mengenai tempat kediaman diatur dalam Pasal 81:
a) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri
dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam
iddah.
b) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk
istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah
talak atau iddah wafat.
c) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan
anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka
merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga
berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,
sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah
tangga.
d) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan
lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.
42
B. Pernikahan Dini
1. Pengertian Pernikahan Dini
Mengenai pengertian Pernikahan dini atau perkawinan dibawah
umur, hal yang harus diperhatikan adalah batas usia perkawinan. Terjadi
perbedaan pendapat antara para ahli mengenai hal tersebut karena tidak
ditemukannya hukum yang secara pasti membatasi perkawinan dengan
usia, melainkan dengan sifat kedewasaan seseorang. Penentuan
kedewasaan terjadi secara variatif karena terdapat perbedaan sudut
pandang hukum terhadap problema masyarakat dalam semua tingkatan
sosial.
Secara tersurat, dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan ayat yang
berkaitan dengan batas usia perkawinan, namun Al-Qur‟an memiliki
beberapa ayat yang berhubungan dengan usia baligh seperti pada Surat
An-Nur ayat 32.
(:23النور)
Artinya: “dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.”(QS. An-Nur ayat 32)
Dalam tafsir Al-Maraghi (1993:186), kata washshalihin ( والصلحيي)
dimaknai sebagai laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikah
43
dan melakukan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, memiliki
harta, dan lain-lain. Sedangkan menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-
Misbah (2012 c:536) menafsirkan washshalihin sebagai seseorang yang
mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga.
Menurutnya, kata tersebut bukan dalam arti yang taat beragama, karena
fungsi perkawinan memerlukan persiapan, tidak hanya materi, tetapi juga
kesiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon suami maupun calon
istri. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa indikator kesehatan mental
seseorang itu sangat berkaitan dengan usia seseorang. Hal tersebut
dikuatkan dengan pandangan Dedi Supriyadi (2011:60), bahwa secara
umum orang yang sehat mental dan dewasa adalah orang yang usianya
lebih dari anak-anak, atau dapat dikatakan matang secara kejiwaan dan
pemikiran.
Kata shalihin sebagaimana tersebut di atas merupakan cikal bakal
dalam proses penetapan usia baligh pada sebuah pernikahan. Kata
tersebut memberikan petunjuk bahwa pernikahan dalam Islam memiliki
syarat, meskipun masih bersifat umum. Adapun syarat yang ditonjolkan
dalam hal ini adalah kedewasaan dan kematangan yang identik dengan
usia seseorang. Dalam hadits dijelaskan:
نائم عن عائشة عن النب صلى اهلل عليو وسلم قال: رفع القلم عن ثلث عن ال
جنػون حت يػعقل او يفيق )رواه حت يستػيقظ وعن الصغي حت يكبػر وعن امل
امحد و االربعة اال الرتمذى(
44
Artinya: “dari Aisyah r.a. dari Nabi SAW, bersabda: Terangkat
qalam (pertanggungjawabanmu) dari tiga hal, orang yang tidur hingga
ia bangun, anak kecil hingga ia mimpi, dan orang gila hingga ia
siuman (sembuh) dan sadar. (H.R. Ahmad dan empat imam, kecuali
Tirmidzi).
Makna esensial hadits di atas secara tersurat tidak mengisyaratkan
usia baligh, namun menjelaskan tanda-tanda baligh. Dalam hal ini,
biasanya baligh untuk laki-laki disebut mimpi basah pada usia 15 tahun
dan untuk perempuan biasanya disebut menstruasi pada usia 9 tahun. Jika
ditentukan dengan tahun maka pernikahan dini merupakan pernikahan
antara laki-laki dan perempuan yang belum berusia 16 tahun, menurut
mayoritas ulama fiqh dan 17 atau 18 tahun menurut pendapat Abu
Hanifah (Arifin, 2014: 38).
Menurut Yusuf hanafi (2011: 12) tolak ukur kebolehan anak untuk
digauli adalah kesiapannya untuk melakukan aktifitas seksual (wath‟iy)
berikut segala konsekuensinya seperti hamil, melahirkan, dan menyusui
yang ditandai dengan tibanya masa pubertas atau dalam ungkapan yang
lebih santun meminjam istilah al-Qarari:
فػهو بػلوغ البنت الصغيػرة الكمال السدي Artinya: hingga si gadis kecil mencapai kesempurnaan dan
kematangan fisik.
Tetapi dalam hal ini mereka berpandangan bahwa baligh bagi
seseorang itu belum tentu menunjukkan kedewasaannya, dengan alasan
sebagai berikut (Supriyadi, 2011:62-63):
45
a. Ketentuan baligh maupun dewasa bukan persoalan yang dijadikan
pertimbangan boleh tidaknya seseorang melaksanakan perkawinan,
sebagaimana Imam Maliki, Imam Syafi‟I, dan Imam Hambali yang
berpendapat bahwa ayah boleh menikahkan anak perempuan kecilnya
yang masih perawan (belum baligh), demikian juga kakeknya apabila
ayah tersebut tidak ada.
b. Adanya fakta sejarah yang menyatakan bahwa batasan usia
perkawinan sebagaimana dicontohkan Nabi SAW dengan Aisyah
yang berusia 9 tahun. Selain itu, Rasul SAW membolehkan Ibnu
Umar mengikuti perang Khandaq ketika ia sudah berusia 15 tahun.
Menurut Yusuf Hanafi (2012:74), pada prinsipnya agama Islam
membenarkan perkawinan yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak
di bawah umur tidak dapat melakukan suatu ikatan. Kementrian Agama
juga sudah melarang perawinan anak usia dini. Hal tersebut tertuang
dalam Surat Edaran tanggal 21 Oktober 2009 No. A/VII/142 yang
memberikan intruksi supaya pegawai Kemenag tidak memberikan
bantuan untuk perkawinan anak-anak.
Batasan usia kedewasaan seorang anak di Indonesia dapat
ditemukan pada beberapa Undang undang. Adapun Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 mengatur ketentuan usia kedewasaan seseorang
untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana berikut:
a. Izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan
apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2).
46
b. Umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu
pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 1).
c. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin,
berada di dalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1).
d. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya,
berada di bawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).
Isi pasal 50 ayat (1) Undang undang Perkawinan tersebut secara
jelas menunjukkan ketentuan usia perkawinan yang belum mencerminkan
kedewasaan seseorang. Menanggapi berbagai ketentuan batas usia
kedewasaan yang ditentukan pada Undang undang Perkawinan nomor 1
tahun 1974, penulis sependapat dengan Ahmad Rofiq (dalam Supriyadi,
2011:94) yang menyatakan bahwa batasan usia perkawinan dalam
Undang undang Perkawinan tidak konsisten.
Undang-undang lain juga mengatur batas usia kedewasaan anak
secara berbeda. Perbedaan batasan yang diberikan berkaitan erat dengan
pokok persoalan yang diatur. Pembatasan usia anak-anak merupakan cara
negara melindungi warganya yang belum mampu mengemukakan
pendapat dengan benar dan belum menyadari konsekuensi dari
perbuatannya (Musfiroh, 2016:66-67). Secara yuridis, pengaturan yang
berbeda dalam berbagai undang-undang tentang batas usia seseorang
disebut sebagai anak-anak juga menambah polemik pernikahan dini
di Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
47
menyatakan bahwa batas usia perkawinan adalah 16 tahun untuk
perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa
belum ada sinkronisasi tentang batas usia.
Adapun pengertian dari perkawinan anak usia dini atau sering
disebut sebagai perkawinan anak di bawah umur dapat kita ambil dari
berbagai sumber. Undang undang nomor 1 tahun 1974 menjelaskan
bahwa perkawinan boleh dilakukan ketika anak laki-laki sudah berusia 18
tahun dan perempuan 16 tahun. Ketentuan tersebut dapat dijadikan
pengertian perkawinan anak usia dini yaitu perkawinan yang dilakukan
oleh seseorang yang belum mencapai batas umur tersebut. Menurut
Husein Muhammad (2007:90) perkawinan anak usia dini adalah
perkawinan usia muda (belia) atau perkawinan yang dilakukan oleh laki-
laki atau perempuan yang belum baligh.
Berdasarkan pengertian Pernikahan Dini menurut Undang-undang
Perkawinan dan Hukum Islam, pernikahan Dini terbagi menjadi dua
kategori (Jannah, 2012:86):
a. pernikahan dini asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar
murni dilaksanakan oleh kedua belah pihak untuk menghindarkan diri
dari dosa tanpa adanya maksud semata-mata hanya untuk menutupi
perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua mempelai.
b. pernikahan dini palsu yaitu pernikahan di bawah umur yang pada
hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari moralitas yang kurang
etis dari kedua mempelai. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk
48
menutupi perzinaan yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai dan
berakibat adanya kehamilan. Ketika terjadi fenomena pernikahan
seperti ini, tampaknya antara anak dan kedua orang tua bersama-sama
melakukan semacam “manipulasi” dengan cara melangsungkan
pernikahan yang mulia dengan maksud untuk menutupi aib yang telah
dilakukan oleh anaknya.
2. Hukum Penikahan Dini
Pernikahan dini memiliki beberapa hukum dan ketentuan yang
berbeda, dalam hal ini beberapa ketentuan dijelaskan dalam undang
undang dan hukum islam.
a. Menurut Undang undang Perkawinan dan KHI
Menurut Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974
Pasal 6 ayat (2) menyebutkan, “untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin
kedua orang tuanya”. Sedangkan pasal 7 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah berumur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun, jika terjadi penyimpangan dalam hal ini dapat
meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Hal
yang sama disebutkan dalam Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang menyatakan bahwa “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
49
tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974”. Maka dapat disimpulkan bahwa KHI dan
Undang undang memperbolehkan dengan catatan mendapatkan
Dispensasi Nikah bagi laki-laki yang belum mencapai 19 tahun dan
perempuan yang belum mencapai 16 tahun serta mendapatkan ijin
orang tua bagi kedua belak pihak yang belum mencapai umur 21
tahun.
b. Menurut Hukum Islam
Hukum islam sendiri memiliki beberapa prinsip yaitu
perlindungan pada agama, harta, jiwa, keturunan dan akal. Pernikahan
Dini menurut islam sendiri tidak melarang adanya sebuah pernikahan
asalkan sudah baligh dan sudah sanggup memberikan nafkah jasmani
serta rohani. Istilah pernikahan dini sendiri merupakan istilah
kontemporer yang dikaitkan dengan awal waktu tertentu. Untuk
msyarakat yang hidup pada era awal abad ke-20an dan sebelumnya,
pernikahan wanita di usia 13 atau 14 tahun dan juga pria pada usia 17
atau 19 tahun menjadi hal yang biasa untuk dilakukan. Namun pada
masyarakat sekarang ini, pernikahan dini menjadi hal yang aneh dan
wanita berusia dibawah ketentuan Undang undang yaitu 16 tahun
bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki.
Menurut pendapat Imam Muhammad Syirazi dan juga
Asadullah Dastani Benisi, budaya pernikahan dini dibenarkan dalam
50
islam dan ini sudah menjadi norma muslim sejak mulai awal islam.
Pernikahan dini menjadi kebutuhan vital khususnya akan memberikan
kemudahan dan tidak dibutuhkan studi terlalu mendalam untuk
melakukanya.
Ibnu syubromah (dalam Supriyadi, 2011: 58) mengaggap
bahwa nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologi
dan melanggengkan keturunan, dan kedua hal ini tidak terdapat pada
anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok
pernikahan. Oleh karena itu, untuk menyikapi pernikahan yang
dilakukan Nabi SAW dengan Aisyah yang saat itu masih berumur 16
tahun dan ia menganggap jika hal ini adalah ketentuan khusus untuk
Nabi SAW yang tidak dapat ditiru oleh umat islam. Akan tetapi,
menurut pakar mayoritas hukum islam memperbolehkan pernikahan
dini dan menjadi hal yang lumrah dikalangan para sahabat. Bahkan
sebagian ulama melumrahkan hal tersebut yang merupakan hasil
berfikir dari surat At-thalaq ayat 4.
Artinya dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-
ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
51
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -
siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.
3. Sebab Pernikahan Dini
Sebab atau latar belakang yang mendasari pernikahan dini seperti
ekonomi, pendidikan,budaya (adat), maupun akibat dari pergaulan bebas.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa faktor lemahnya ekonomi dan faktor
budaya merupakan faktor yang dominan. Jika anak yang putus sekolah
dikalangan keluarga ekonomi lemah, umumnya disebabkan oleh faktor
biaya (ekonomi) dan jiwa anak yang putus sekolah, dorongan “cepat
kawin” semakin kuat (Koro, 2012: 111).
Dilain pihak, pergaulan bebas juga mendorong para orang tua
untuk mengawinkan anaknya di usia muda. Pengaruh kemajuan teknologi
khususnya dibidang media elektronika menyebabkan semakin sulitnya
para orang tua untuk menunda perkawinan anaknya, salah satu faktor
yang melatar belakangi pernikahan dini yang sangat sulit untuk dihindari
adalah akibat pergaulan bebas yang mengakibatkan hamil diluar nikah
(Koro, 2012: 113).
Sebab-sebab utama terjadinya pernikahan dini adalah:
a. Adanya keinginan orang tua untuk segera mendapatkan tambahan
anggota keluarga.
b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu
muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
52
c. Adanya sifat kolot orang Jawa yang tidak mau menyimpang dari
ketentuan adat kebanyakan orang desa, yang mengatakan bahwa
mereka mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti
adat kebiasaan saja (Jannah, 2012:89).
Dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaanya, pernikahan dini
terdapat beberapa perbedaan yang melatar belakangi pada setiap pasangan
yang melangsungkannya. Hal tersebut juga akan mempengaruhi
perjalanan rumah tangga bagi pasangan yang melakukan pernikahan dini.
4. Dampak Pernikahan Dini
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya Pernikahan Dini.
Namun, faktor yang melatarbelakangi pernikahan dini juga diiringi
dengan akibat yang akan ditimbulkan oleh pernikahan dini tersebut.
Hukum dari suatu pernikahan bahkan dapat menjaring sampai
kepada sanak kedua keluarga belah pihak yang lebih jauh. Sebab
pernikahan itu tidak hanya menyangkut pria dan wania sebagai calon
suami isteri, tetapi juga orang tua kedua belah pihak. Sehingga akibat
hukum pernikahan dini dikaitkan dengan hak dan kewajiban antara orang
tua dengan anak dalam memelihara, mendidik dan membiayai adalah
suatu kewajiban hukum yang menjadi tanggung jawab bagi kedua orang
tua. Kemampuan fisik dan kematangan berpikir (kematangan jiwa)
merupakan potensi manusia yang sebaiknya tumbuh secara seimbang,
karena keduanya saling memengaruhi (Koro, 2012:136).
53
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa kematangan usia
berhubungan dengan kemampuan secara fisik dan jiwa dalam
menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami dan isteri. Ketika usia
yang belum matang tersebut dihadapkan pada tugas-tugas atau kewajiban
dalam rumah tangga tentunya akan berimbas kepada pola kehidupan
berkeluarga yang cenderung tidak stabil dan berdampak buruk kepada
anak yang dihasilkan dalam pernikahan tersebut.
Berbagai dampak pernikahan dini dapat dikemukakan sebagai
berikut (Khilmiah, 2014:11):
a. Dampak Biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam
proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil
kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma,
perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ
reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan
apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam
hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual
dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
b. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan belum mengerti
tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis
berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan
54
murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada pernikahan yang
dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan
pernikahan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh
pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu
luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
c. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya
dalam masyarakat patriakhi yang bias gender, yang menempatkan
perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap
seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran
agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati
perempuan. Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki
yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap
perempuan.
d. Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang
gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan
istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal
(menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan
seakan-akan menjadi legal karena secara tidak langsung dalam
prakteknya ada dispensasi nikah.
e. Dampak terhadap kesehatan reproduksi
55
Pernikahan dini melanggar hak anak, terutama anak
perempuan. Anak perempuan, sebagai pihak yang paling rentan
menjadi korban dalam kasus pernikahan dini, juga mengalami
sejumlah dampak buruk. Perniahan dini berdampak pada kesehatan
reproduksi anak perempuan. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat,
tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan
proses persalinan. Perkawinan dalam usia muda merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan keganasan mulut rahim. Akibat dari
perkawinan dibawah umur sangatlah banyak, hal tersebut terjadi
apabila perkawinan tersebut dilakukan tanpa adanya persiapan yang
matang. Pendidikan pra-nikah sangat diperlukan untuk meminimalisir
akibat-akibat dari perkawinan dibawah umur tersebut. Walaupun
tidak secara keseluruhan akibat dari perkawinan dibawah umur dapat
dihandarkan, akan tetapi dapat dicegah dan tidak terlalu berakibat
fatal.
C. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari
kata “cerai” yang berarti perpisahan, perihal bercerai (antara suami dan
istri), perpecahan, perbuatan menceraikan.
Undang undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 mengatur tentang
putusnya perkawinan, sebagai berikut:
56
a. Dalam pasal 38, Undang-Undang Perkawinan menyatakan
Perkawinan dapat putus karena:
1) Kematian;
2) perceraian; dan
3) atas keputusan pengadilan;
b. Dalam pasal 39, menyatakan:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami
isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersebut.
c. Dalam pasal 40, menyatakan:
1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini
diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur putusnya hubungan
perkawinan, sebagai berikuat:
a. Pasal 113, KHI menyatakan Perkawinan dapat putus karena :
1) Kematian,
2) Perceraian, dan
3) Atas putusan Pengadilan.
b. Pasal 114, menyatakan bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian.
57
c. Pasal 115, menyatakan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Sedangkan Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut talak yang
berarti melepas atau mengurangi tali pengikat. Furqah berarti bercerai
lawan dari usyrah yang berarti berkumpul. Kemudian kedua perkataan ini
dijadikan istilah oleh ahli fiqh yang berarti perceraian antara suami istri
(Depag, 1984: 226).
Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk
perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim,
maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena
meninggalnya seorang suami, atau talak dalam arti yang khusus ialah
perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami (Soemiyato: 103).
Dari definisi talak diatas, maka jelas bahwa talak merupakan
sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan
pernikahan. Dengan demikian ikatan pernikahan sebenarnya dapat putus
dan tatacaranya telah diatur baik dalam fiqh maupun di dalam Undang-
Undang Perkawinan.
Karena itu, perceraian merupakan suatu hal yang sedapat mungkin
untuk dihindari, kecuali dalam keadaan terpaksa. Oleh karena perceraian
bukan hanya menyangkut kepentingan suami istri yang bersangkutan,
melainkan juga menyangkut kepentingan seluruh kepentingan anggota
keluarga, maka perceraian merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh.
58
Islam menetapkan hak talak itu ada di tangan suami sampai tiga kali.
Namun demikian, hak talak itu tidak dapat dipergunakan begitu saja
dengan semena-mena.
Dari uraian diatas dapatlah diketahui bahwa perceraian itu
hendaknya hanya dilakukan sebagai alternatif terakhir setelah ikhtiar dan
segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan kehidupan
perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali dengan jalan
perceraian antara suami istri. Atau dengan perkataan lain bahwa
perceraian itu adalah sebagai jalan keluar dan pintu darurat bagi suami
istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah terjadinya
perceraian itu.
2. Dasar Hukum Perceraian
Ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dasar hukum
perceraian (talaq) diantaranya,
a. Surat Al-Baqarah ayat 227.
Artinya: “dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak,
Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
b. Surat Al-Baqarah ayat 229.
59
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
c. Surat Al-Thalaq ayat 1.
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-
isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan
60
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru.”
d. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun dan syarat perceraian (talaq) ialah unsur pokok yang harus
ada dalam talaq dan terwujudnya talaq tergantung ada dan lengkapnya
unsur-unsur yang tersebut. Adapun rukun talaq adalah sebagai berikut
(Depag, 1984:234):
1) Suami
Suami adalah yang memiliki hak talaq dan yang berhak
menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh
karena talaq bersifat menghilangkan ikatan pernikahan maka talaq
tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad
perkawinan yang syah.
Adapun syarat sahnya suami dalam menjatuhkan talaq yaitu:
a) Berakal.
b) Baligh.
c) Atas kemauan sendiri.
2) Istri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talaq
terhadap istrinya sendiri, tidak dipandang jatuh talaq yang dijatuhkan
terhadap istri orang lain.
61
Untuk sahnya talaq, pada istri yang di talaq disyaratkan adalah
sebagai berikut:
a) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami.
b) Kedudukan istri yang di talaq harus berdasarkan atas akad
perkawinan yang sah.
3) Sighat talaq
Sighat talaq adalah kata-kata yang diucapkan oleh suami
terhadap istirnya yang menunjukkan talaq, baik yang sharih (jelas)
maupun yang kinayah (sindiran), baik yang berupa ucapan lisan,
tulisan isyarat bagi suami tuna wicara, ataupun dengan suruhan orang
lain.
4) Qashdu (kesengajaan)
Qashdu rtinya bahwa dengan ucapan talaq itu memang
dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talaq, bukan untuk
maksud lain.
e. Macam dan Bentuk Perceraian
1) Macam-macam Perceraian
Perceraian ditinjau dari segi keadaan istri pada waktu talak itu
diucapkan oleh suami, ada tiga macam yaitu (Depag, 1984:227-228):
a) Talak Sunni yaitu talak dimana suami pada saat menjatuhkan
talak kepada istrinya, istri tidak dalam keadaan haid dan dalam
masa itu belum pernah dicampuri oleh istrinya.
62
b) Talak Bid'i ialah talak dimana suami menjatuhkan talak kepada
istrinya yang dalam keadaan istri sedang dalam keadaan haid atau
dalam masa suci namun dalam waktu itu telah dicampuri oleh
suaminya.
c) Talaq La sunni wala bid‟i yaitu talaq yang tidak termasuk
kategori talaq sunni dan tidak pula termasuk talaq bid‟i, yaitu:
(1) Talaq yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
dikumpuli.
(2) Talaq yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
berhaidh, atau istri yang lepas haidh.
(3) Talaq yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Perceraian ditinjau dari segi jelas tidaknya lafad talak dibagi
menjadi dua macam, yaitu (Depag, 1984:28-29):
a) Talak Sharih, ialah talak yang di ucapkan dengan lafadh yang
jelas maknanya tentang perceraian.
b) Talak Kinayah, ialah talak yang diucapkan dengan lafadh tidak
jelas atau dengan melalui sindiran.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa talak itu terjadi dengan segala
sesuatu yang menunjukkan atas putusnya hubungan suami istri baik
lafadh maupun tulisan yang ditujukan pada istri, dengan isyarat bagi
orang bisu atau dengan mengutus utusan.
Sedangkan perceraian yang ditinjau dari segi akibat
menjatuhkannya dibagi menjadi dua macam, yaitu:
63
a) Talak Raj'i
Yaitu talak yang suami memiliki hak untuk kembali
kepada istrinya tanpa melalui akad nikah baru, selama istrinya
masih dalam masa iddah.
b) Talak Ba‟in
Yaitu Talak yang tidak dapat dirujuk kembali, kecuali
dengan pernikahan baru walaupun dalam masa iddah, seperti
Talak yang belum di senggamai. Selanjutnya Talak ba‟in juga
dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a) Talak ba‟in sughra
Talak yang telah dijatuhkan oleh suami kepada
istrinya yang tidak dapat dirujuk kembali kecuali dengan
pernikahan baru.
b) Talak ba‟in kubra
Talak yang berakibat hilangnya hak bekas suami
untuk merujuk atau dengan akad nikah baru baik dalam masa
iddah maupun sesudah masa iddah habis. Namun seorang
suami yang mentalak bain istrinya boleh mengawini istrinya
kembali jika memenuhi syarat-syarat yaitu:
(1) Istri telah kawin dengan laki-laki lain.
(2) Istri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
(3) Istri telah dicerai oleh suaminya yang baru.
(4) Telah habis masa iddahnya.
64
2) Bentuk-bentuk perceraian
Ditinjau dari segi tata cara beracara di pengadilan agama,
maka bentuk perceraian dibedakan dua macam, yaitu (syarifudin,
2014:197):
a) Cerai Talak ialah putusnya perkawinan dengan alasan tertentu
dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu yang
dikehendaki suami.
b) Cerai Gugat ialah putusnya perkawinan dengan gugatan
perceraian yang dilakukan oleh istri.
f. Alasan Perceraian
Dalam Undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dalam pasal 39 ayat 2 dijelaskan bahwa untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami istri tidak akan hidup
rukun lagi sebagai suami istri. Adapun hal-hal yang dapat dipakai sebagai
gugatan perceraian.
Terhadap ketentuan yang termuat didalam pasal tersebut diatas,
khususnya ayat 2 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan
dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
65
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat
yang membahayakan pihak yang lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Kompilasi Hukum Islam Nomor 1 Tahun 1991 menambah 2 point
alasan disamping 6 alasan sebagaimana telah disebutkan diatas. 2 point
alasan tersebut dalam Pasal 116 adalah:
1) Suami melanggar taklik Talak
2) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
66
BAB IV
HASIL PENELITIAN
PERCERAIAN PADA PASANGAN PERNIKAHAN DINI
A. Gambaran Umum Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang
1. Kota Salatiga
Kota Salatiga terletak antara 1100.27'.56,81" - 1100.32'.4,64" BT
dan 0070.17'. - 0070.17'.23" LS. merupakan kota kecil yag berada di
propinsi Jawa Tengah, mempunyai luas wilayah ± 56,78 km²,
berpenduduk ±176.795 jiwa. Terletak pada jalur regional Jawa Tengah
yang menghubungkan kota Semarang dan Surakarta, mempunyai
ketinggan 450-800 meter dari permukaan laut dan berhawa sejuk serta
dikelilingi oleh keindahan alam berupa gunung (Merbabu, Telomoyo,
Gajah Mungkur).
Kota salatiga dapat dibagi dalam 3 bagian daerah menurut struktur
daerah, yaitu:
a. Daerah Bergelombang 65%: Kelurahan Dukuh, Ledok,
Kutowinangun, Salatiga, Sidorejo Lor, Bugel, Kumpulrejo, dan
Kauman Kidul.
b. Daerah Miring 25%: Kelurahan Tegalrejo, Mengunsari, Sidorejo Lor,
Sidorejo Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir
Tengah, dan Cebongan.
67
c. Daerah Datar 10%: Kelurahan Kalicacing, Noborejo, Kalibening, dan
blotongan.
Pada awalnya Kota Salatiga hanya terdiri dari satu kecamatan saja,
yaitu Kecamatan Salatiga. Seiring dengan adanya pemekaran wilayah,
Kota Salatiga mendapatkan beberapa tambahan daerah yang berasal dari
Kabupaten Semarang. Hingga sekarang, secara administratif kota Salatiga
terdiri dari 4 Kecamatan dan 22 Kelurahan. Kecamatan dan kelurahan
yang dijadikan objek penelitian adalah kecamatan sidomukti yaitu dari
kelurahan kecandran.
2. Kabupaten Semarang
Kabupaten Semarang terletak pada posisi 1100 14' 54,74" - 110
0
39' 3" Bujur Timur dan 70 3‟ 57” - 7
0 30‟0” Lintang Selatan. Luas
keseluruhan wilayah Kabupaten Semarang adalah 95.020,674 Ha atau
sekitar 2,92% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Secara administratif
Kabupaten Semarang terbagi menjadi 19 Kecamatan, 27 Kelurahan dan
208 desa. Ketinggian wilayah Kabupaten Semarang berkisar pada 500 -
2000m diatas permukaan laut (dpl), dengan ketinggian terendah terletak
di desa Candirejo Kecamatan Pringapus dan tertinggi di desa Batur
Kecamatan Getasan. Rata-rata curah hujan 1.979 mm dengan banyaknya
hari hujan adalah 104. Kondisi tersebut terutama dipengaruhi oleh letak
geografis Kabupaten Semarang yang dikelilingi oleh pegunungan dan
68
sungai. Keadaan Topografi wilayah Kabupaten Semarang dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kelompok, yaitu ;
a. wilayah datar dengan tingkat kemiringan kisaran 0 - 2% seluas 6.169
Ha.
b. wilayah bergelombang dengan tingkat kemiringan kisaran 2 - 15%
seluas 57.659 Ha.
c. wilayah curam dengan tingkat kemiringan kisaran 15 - 40% seluas
21.725 Ha.
d. wilayah sangat curam dengan tingkat kemiringan >40% seluas
9.467,674 Ha.
Wilayah Kabupaten Semarang yang dijadikan objek penelitian
yaitu dari:
a. Kecamatan pabelan: desa kamuan lor.
b. Kecamatan tuntang: desa delik dan kalibeji.
B. Profil Pelaku Perceraian Pasangan Nikah Dini di Wilayah Hukum
Pengadilan Agama Salatiga
Dari sejumlah perceraian yang terjadi pada pasangan pernikahan dini
di wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga, maka peneliti telah memilih
dan mengambil beberapa kasus yang relevan. Berikut ini adalah profil serta
dinamika pasangan pernikahan dini yang akhirnya bercerai pada tahun 2016-
2017.
69
1. APL bin MR.
APL adalah Seorang laki-laki yang saat ini berusia 23 tahun, lahir
pada tanggal 21 Mei 1994. Saat ini APL tinggal di Dusun Banyuurip
Rt.03/01 Desa Delik Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. APL
merupakan anak laki-laki pertama dari pasangan MR dan KT di Usia 16
tahun APL tidak melanjutkan sekolah, APL sehari-hari hanya bermain
tanpa memperdulikan masa depan. Saat itu, APL mengenal seorang
wanita bernama SA. Setiap hari APL dan SA selalu bertemu, SA yang
masih duduk di bangku sekolah SMP, ketika selesai sekolah selalu di
jemput oleh APL dan diajak kerumahnya. Hal tersebut membuat pihak
keluarga SA mengetahui. Karna di khawatirkan akan terjadi sesuatu yang
tidak di inginkan, maka APL diminta untuk segera menikah dengan SA.
Tanpa berpikir panjang APL setuju dan memutuskan untuk menikah
dengan SA. APL yang masih berumur 18 tahun menurut Undang-Undang
perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, umur tersebut belum sesuai dengan
peraturan yaitu batasnya adalah 19 tahun untuk laki-laki. Maka hal
tersebut mewajibkan APL untuk meminta Dispensasi nikah dari
Pengadilan Agama Salatiga. Ayah dari APL datang ke Pengadilan Agama
Salatiga untuk meminta Dispensasi nikah pada tanggal 19 juni 2012.
Dalam proses dispensasi di Pengadilan, proses yang cukup cepat dengan
membawa beberapa saksi. Meskipun cepat, sebenarnya dari pihak
pengadilan masih memberi kesempatan untuk menunda pernikahan 1
tahun, tetapi dari kedua belah pihak tidak bisa menunggu lagi dengan
70
alasan takut mendekati hal yang tidak di inginkan yaitu melanggar aturan
ketentuan Islam karena dari pihak APL sudah meminang SH sejak
tanggal 9 juni 2012. Akhirnya Surat Dispensasi Nikah dengan Nomor
Putusan 0045/Pdt.P/2012/PA.Sal dikabulkan oleh Pengadilan Agama
Salatiga kepada APL.
Tanggal 13 September 2012 APL dan SA melangsungkan
Penikahan yang dicatat oleh Pengawai Pencatat Nikah KUA kecamatan
sidorejo kota salatiga dengan kutipan akta nikah 0206/11/IX/2012.
Setelah menikah, APL dan SA tinggal dirumah APL. Namun masih
sering berkunjung kerumah SA beberapa kali. Selama pernikahan, APL
dan SA hidup rukun dan harmonis sebagaimana layaknya suami istri. 6
bulan setelah pernikahan, APL yang hanya bekerja serabutan dan istri
yang tidak bekerja dalam kehidupanya baik baik saja. Jika terjadi percek-
cokan kecil, mereka dalam menangani masalah dapat menyelesaikannya
dengan baik. APL di ajak oleh pamanya untuk bekerja di sebuah bengkel
yang berada di surabaya, saat itu pernikahan mereka baru 1 tahun. SA
terpaksa tidak di ajak ke Surabaya karna biaya hidup mahal. Sekitar
setengah tahun bekerja disurabaya, APL dan SA sering bertengkar lewat
HP, dengan alasan SA yang sering pergi tanpa pamit kepadan APL lewat
Telepon maupun pamit kepada orang tua APL, padahal SA tinggal
dirumah APL. APL yang hanya berpenghasilan sedikit dan jarang
memberikan nafkah secara layak, membuat SA sering pulang kerumah
orang tuanya untuk meminta uang. Meskipun bekerja di surabaya APL
71
juga sering pulang 2 minggu sekali untuk bertemu SA istrinya. Namun,
saat APL dengan SA dirumah, mereka selalu bertengkar tanpa adanya
penyelesaian yang baik, APL yang sering ringan tanganpun membuat SA
tidak betah dirumah APL. Puncaknya bulan februari 2014, saat itu APL
masih berada disurabaya hari jum‟at SA dijemput neneknya dan dipaksa
pulang kerumah orang tuannya. Orang tua APL kaget dengan keputusan
tersebut karna tidak mengetahui alasan yang jelas. 1 bulan kemudian APL
pulang untuk menemui SA, APL dan orang tuanya berkungjung kerumah
SA untuk menjemputnya. Namun, dari pihak SA tidak mau menjelaskan
alasan SA pulang dan akhirnya SA tidak mau kembali kerumah APL.
Mulai saat itu APL dan SA telah berpisah dan hidup di rumah masing-
masing. Puncaknya tanggal 5 januari 2016 SA yang saat itu masih berusia
20 tahun dan belum memiliki anak menggugat cerai APL yang masih
berusia 21 tahun di Pengadilan Agama Salatiga sesuai dengan Nomor
50/Pdt.G/2016/PA.Sal dalam usia pernikahan baru menginjak 4 tahun
lamanya.
Proses perceraian dilakukan sekitar 2 bulan, dalam isi gugatanya
dijelaskan bahwa SA dilakukan secara tidak layak sebagai seorang istri
karena tidak dinafkahi oleh APL, APL berselingkuh terhadap SA dan
APL juga melakukan Kekerasan Dalam Rumah tangga. Namun saat
proses perceraian, APL tidak menghadiri sidang ketika di panggil dengan
alasan bahwa mungkin perceraian merupakan jalan yang terbaik untuk
kedua pasangan tersebut. Sesuai dengan Putusan dengan Nomor
72
50/Pdt.G/2016/PA.Sal Pengadilan Agama Salatiga mengabulkan gugatan
dan menjatuhkan talak satu khul‟i tergugat APL bin MR terhadap
Penggugat SA binti DM dengan iwadl Rp.10.000 dengan akta cerai
nomor 0283/AC/2016/PA.Sal yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Salatiga pada tanggal 11 Maret 2016.
APL dan SA saat ini hidup dengan pasangan masing-masing. APL
yang tak lama bercerai akhirnya menikah lagi dan sudah memiliki
seorang anak laki-laki berusia 1 tahun dan SA juga sudah menikah lagi
dan memiliki seorang anak perempuan berusia 1,5 tahun. Meskipun hidup
masing-masing tetapi keluarga mereka masih berkomunikasi dengan baik
dan tidak adanya dendam keduanya.
2. FNA binti SN.
FNA adalah seorang wanita yang lahir Pada Tanggal 8 Agustus
2000 yang sekarang berusia 17 tahun. FNA merupakan anak kedua dari
pasangan Alm. SN dan Alm. EB. FNA saat ini tinggal di Dusun Winong
RT 02 Rw 01 Kelurahan Kecandran, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga
yang kini menjadi rumahnya sendiri karena bapak ibu telah meninggal.
FNA saat masih sekolah kelas 2 SMP mengenal seorang laki-laki
bernama LH lewat temannya, FNA dan LH sering bertemu ketika FNA
pulang sekolah dan tak lama mengenal akhirnya mereka berdua
berpacaran. FNA ketika pulang sekolah juga selalu di jemput oleh LH, hal
ini membuat LH tidak pernah pulang kerumah karena selalu dirumah
73
FNA. Akhirnya berjalanya waktu, orang tua LH mengetahui hal tersebut
dan berencana untuk menikahkan mereka, meskipun FNA belum lulus
dari SMP. Keluarga LH berkungjung kerumah FNA untuk melamarnya,
FNA dan orang tuanya juga tidak keberatan dengan lamaran tersebut
karena menurutnya niat baik tidak boleh ditolak dan mereka akhirnya
memutuskan untuk menikah. FNA yang sebenarnya saat itu berusia 15
Tahun dan harus berhenti dari sekolahnya, sedangkan LH saat itu berusia
19 tahun. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan usia tersebut belum sesuai dengan yang di tentukan yaitu
untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 18 tahun. Maka, dalam hal
ini FNA dan LH beserta walinya harus mengajukan permohonan
dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 25 agustus
2015 untuk mendapatkan Dispensasi Nikah dengan isi dari gugatanya
adalah bahwa pihak keluarga LH sudah meminang FNA sejak tanggal 25
Agustus 2015 dan hubungan keduanya sudah sedemikian eratnya
sehingga sangat khawatir akan terjadi perbuatan yang dilarang oleh
ketentuan Hukum islam apabila tidak segera dinikahkan. Setelah
Dispensasi nikah dari Pengadilan Agama disetujui dengan surat putusan
nomor 0048/Pdt.P/PA.Sal. Tanggal 22 oktober 2015 FNA dan LH
melangsungkan pernikahan di rumah FNA yang kemudian di catat oleh
Pegawai Pencatat Nikah dengan kutipan akta nikah nomor
0192/18/X/2015 di KUA Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.
74
Pernikahan antara FNA dan LH berjalan dengan lancar dan rukun
sebagaimana layaknya suami istri. FNA berpendidikan SD dan LH
berpendidikan SMP, tetapi tidak membuat mereka tidak memiliki
pekerjaan. FNA bekerja sebagai karyawan di sebuah Toko Laris yang
berada di ambarawa dan LH bekerja serabutan. Dalam berumah tangga,
LH hidup bersama dengan FN dirumah FN. Ketika terjadi masalah
mereka dapat mengatasinya dengan baik.
Memasuki bulan ke 11 kehidupan rumah tangga FNA dan LH
mulai terjadi masalah yang cukup pelik. LH hanya bekerja serabutan dan
FNA terpaksa keluar dari pekerjaanya karena setiap kali FNA lembur dan
pulang malam diantar lelaki rekan kerjanya membuat LH cemburu dan
melarang FNA bekerja lagi. Penghasilan LH tidak cukup untuk kebutuhan
rumah tangga mereka dan ditambah ibu FN menderita penyakit yang
membutuhkan biaya cukup besar untuk berobat membuat FNA harus
merawat ibunya dirumah dan waktu untuk LH menjadi kurang. Mulai
sejak bulan juni 2016 FNA yang merupakan tanggung jawab dari LH
tidak pernah mendapatkan nafkah yang layak meskipun LH masih
memiliki pekerjaan, hal ini membuat FNA merasa kecewa dan merasai di
abaikan LH. Kurang lebih satu tahun usia pernikahan mereka, tepatnya
tanggal 6 desember 2016 ibu dari FNA meninggal dunia membuat FNA
merasa sedih dan sangat kehilangan sosok ibu. Saat itu juga rumah tangga
FNA dan LH dalam keadaan tidak baik, LH yang hampir 3 bulan pergi
meninggalkan FNA tanpa maksud dan alasan yang jelas. FNA berusaha
75
mencari informasi dari orang tua LH tetapi orang tua LH tidak meberikan
jawaban mengenai anaknya dan membuat FNA merasa semakin kecewa.
Tanggal 14 Desember 2016 akhirnya FNA memutuskan untuk
mengajukan surat gugatan perceraian berdasarkan nomor
1378/Pdt.G/PA.Sal Kepada LH di Pengadilan Agama Salatiga. Dalam
gugatanya FNA sudah tidak mendapatkan nafkah dari LH dan sudah
meninggalkannya 3 bulan berturut-turut tanpa adanya alasan yang jelas.
Proses perceraian berjalan selama 2 bulan, karena selama panggilan
tanggal 19 Desember 2016 dan 4 januari 2017 LH tidak pernah hadir
dalam panggilan sidang dan membuat proses cepat. Maka sidang tersebut
dinyatakan Verstek oleh Pengadilan Agama Salatiga. Sesuai dengan
nomor putusan 1378/Pdt.G/PA.Sal Pengadilan Agama Salatiga
mengabulkan gugatan FN terhadap LH dengan putusan Verstek dan
menjatuhkan talak ba‟in sughro tergugat LH bin Ms terhadap penggugat
FNA binti Alm. SN dengan akta cerai nomor 0149/AC/2017/PA.Sal yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 14 februari
2017.
FNA saat ini sudah menikah lagi dengan seorang laki-laki berinisal
BS. FNA menikah tanggal 28 September 2017 yang dicatat oleh KUA
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga, sebelumnya FNA sudah menikah
siri dengan BS saat FNA dalam masa iddah dari LH yaitu pada bulan
Februari 2016 karena FNA sudah terlanjur dalam keadaan hamil. FNA
76
dan BS saat sudah dikaruniani seorang anak perempuan yang kini berusia
sekitar 2 bulan berinisial ABV yang lahir pada tanggal 1 November 2016.
FNA sampai sekarang sudah tidak pernah berkomunikasi lagi
dengan LH beserta keluarganya. Kedua orang tua FN yang sudah
meninggal membuat FN hanya fokus terhadap anak kandung dan
suaminya saja.
3. SH binti SYM.
SH merupakan seorang wanita yang kini berusia 21 tahun lahir
pada tanggal 17 Agustus 1996 tinggal di dusun Kebrok RT 1/RW 5 Desa
Kalibeji Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.
SH yang masih dibawah umur dan hanya lulus SD tidak
melanjutkan pedidikan, mengenal seorang lelaki benama AF. AF dan SH
sebenarnya terpaut umur yang cukup jauh sekitar 4 tahun, tetapi tidak
menghalangi mereka untuk berkenalan. Karena sama-sama sudah tidak
berpendidikan mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan yang
serius. Karena keduanya melampaui batas, akhirnya SH hamil diluar
nikah. Saat itu usia AF adalah 20 tahun, sebagaimana peraturan Undang
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah
memenuhi syarat. Namun, berbeda dengan SH yang masih berusia
dibawah umur yaitu masih berumur 15 tahun. Dalam hal ini SH yang
masih dibawah umur dan belum memiliki KTP harus melakukan
Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Salatiga. Namun, Keluarga SH
77
tidak melakukan hal tersebut lantaran SH yang telah hamil dulu dan
terpaksa memanipulasi data yaitu menambah 2 tahun usia SH dengan
melihat Kartu Keluarga dan Dispensasi dari Camat Tuntang tanggal lahir
SH terpaut 2 tahun lamanya.
Akhirnya pada tanggal 25 Juli 2011 SH dan AF melangsungkan
pernikahan yang kemudian dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA
kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang dengan kutipan akta nikah
Nomor 0367/57/VII/2011 tanggal 25 Juli 2011.
Kehidupan pernikahan mereka cukup baik dalam 1 tahun
pernikahan, SH dan AF telah dikaruniai seorang anak perempuan
bernama RAA yang lahir pada tanggal 29 Maret 2012. Mereka berdua
tinggal dirumah orang tua SH karena belum memiliki rumah sendiri. AF
bekerja serabutan dan SH tidak bekerja dan harus mengurus anaknya.
Tetapi kebutuhan rumah tangga mereka tercukupi dari hasil yang
diperoleh AF. Mereka berdua hidup rukun dan bahagia sebagaimana
layaknya suami istri.
Sejalan dengan bertambahnya usia anak kebutuhan rumah tangga
yang semakin meningkat, hasil yang diperoleh dari pekerjaan AF tidak
dapat menutup kebutuhan sehari-hari. Hal ini yang menjadikan rumah
tangga AF dan SH mulai goyah dan SH merasa nafkah yang diberikan AF
kurang. Semakin hari mereka berdua sering meributkan uang untuk
kebutuhan rumah tangga juga untuk membeli kebutuhan anak. Hal
tersebut membuat AF kerap kali bertindak kasar kepada SH dan berani
78
bermain tangga di depan anaknya meskipun anak mereka masih kecil.
Tak lama kemudian sekitar kurang lebih 1 tahun 9 bulan, AF kabur dari
rumah SH. AF kabur sekitar bulan Maret 2013 lantaran AF keluar dari
kerjaan dan dia tidak bisa memberikan nafkah kepada SH. SH akhirnya
memutuskan untuk mencari pekerjaan dan menitipkan anaknya kepada
orang tuanya dirumah setiap SH kerja. Seiring berjalanya waktu, AF
sudah tidak memberikan nafkah wajib kepada SH dan anaknya karena
telah pergi dari rumah SH. SH sebenarnya kadang mengetahui kabar AF,
tetapi kabar tersebut dari teman-teman AF. Mereka mengetahui bahwa
AF telah kembali kerumah orang tuanya tetapi AF juga sering mabuk-
mabukan dan tidak memiliki pekerjaan. Hal tersebut membuat SH tidak
berinisiatif mengunjunginya dan membiarkan AF melakukan apa yang dia
inginkan.
Tanggal 13 Maret 2017 SH memutuskan untuk menceraikan AF di
Pengadilan Agama Salatiga. Dengan nomor perkara Nomor
300/Pdt.G/2017/PA.Sal. SH menggugat cerai AF lantaran AF sudah tidak
memberikan nafkah lagi kepada SH dan anaknya. Saat mediasi tanggal 4
Februari 2016 dan sidang pada tanggal 7 April 2017 dan 9 Mei 2017 AF
tidak mengahadiri selama 3 kali panggilan, membuat gugatan Verstek
kepada AF dan mengabulkan gugatan SH di depan Hakim Pengadilan
Agama Salatiga dan menjatuhkan talak bain sugro tergugat AF bin NG
terhadap Penggugat SH binti SY dengan akta cerai nomor
79
0574/AC/2017/PA.Sal yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Salatiga
pada tanggal 22 juni 2017.
SH saat ini statusnya berubah menjadi janda anak satu tidak
membuatnya merasa malu dan minder, SH juga saat ini telah bekerja di
sebuah toko dan merasa cukup bahagia hidup dengan orang tuanya. SH
saat ini berjuang sendiri tanpa anaknya, karena Hak Asuh anak berada di
tangan AF. Sesekali SH menghubungi AF untuk menanyakan kabar
anaknya tetapi dia tidak akan menuntut nafkah kepada AF karena SH
sudah tidak ingin kembali kepada AF. Sebenarnya SH sering kali
mengajak rujuk SH, tetapi tidak bersedia lantaran SH sudah merasa
kecewa. SH merasa cukup senang dan bersyukur hidup sendiri karena AF
tidak memutuskan tali antara SH dan anaknya bagaimanapun SH
merupakan ibu kandung RAA.
4. DAL binti AA
DAL binti Alm. AA lahir pada tanggal 6 Agustus 1999, saat ini
DAL berusia 18 tahun. Saat DAL berusia 3 bulan, ibunya meninggal
karena mengalami sakit. 3 tahun setelah ibunya meninggal ayahnya
menikah lagi dengan seorang wanita palembang dan tinggal dipalembang.
DAL terpaksa di titipkan dengan neneknya dan sampe sekarang hidup
bersama neneknya di Dusun Kauman Lor Rt 02 Rw 01 Desa Kamuan Lor
Kecamatan Pabelan Kabupaten semarang. Meskipun sang ayah sering
memberikan kabar, sang ayah tidak pernah pulang ke kampung halaman
80
karena telah memiliki seorang anak dan istri baru. DAL saat masih
sekolah SMP mengenal seorang lelaki bernama SA, hampir setiap hari
saat DAL pulang sekolah selalu di jemput oleh SA. Akhirnya merekapun
memutuskan untuk berpacaran. Sang nenek yang melihat DAL sering
membolos sekolah dan hampir setiap hari pergi tanpa jelas dengan SA
akhirnya menawarkar SA untuk menikahi DAL. Hal tersebut dilakukan
karena nenek dari DAL merasa malu dengan tetangga karena mereka
hidup diwilayah pedesaan dan juga menghindari hal yang tidak
diinginkan. SA menerima keputusan dari neneknya DAL dan berencara
menikah dengan DAL. Saat itu, SA berusia 21 tahun dan DAL masih
berusia 15 tahun. Hal tersebut membuat DAL dengan walinya harus
melakukan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Salatiga. Ayahnya
yang jauh, membuat ayahnya tidak bisa mengurus dispensasni di
Pengadilan Agama pulang. Akhirnya pada tanggal 16 desember 2013
nenek dari DAL bermana KTYH mengajukan dispensasi dengan isi dari
permohonan adalah bahwa cucunya bernama DAL binti AA telah
melakukan hubungan layaknya suami istri dengan SA. Sesuai dengan
Nomor Putusan 0083/Pdt.P/2014/PA.Sal maka Pengadilan Agama
Salatiga mengabulkan Dispensasi untuk DAL binti AA.
Tanggal 7 februari 2014 DAL melangsungkah pernikahanya
dengan SA yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah KUA kecamatan
Pabelan Kabupaten Semarang dengan kutipan akta nikah nomor
0038/09/II/2014.
81
DAL dan SA setelah menikah kehidupan mereka baik dan rukun
sebagaimana suami istri. SA yang kerja di Konter HP dapat memberikan
nafkah kepada DAL. DAL karena tidak diijinkan bekerja hanya dirumah
bersama orang tua SA. Tak lama setelah menikah, ayah DAL yang jauh di
perantauan meninggal dunia karena sakit membuat DAL sedih dan
merasa kehilangan. DAL dan SA Meskipun mereka belum dikaruniai
seorang anak, mereka selalu rukun dalam berumah tangga. Ketika terjadi
masalah kecil sesekali orang tua dari SA selalu berusaha melerai SA dan
DAL karena usia mereka masih terlalu muda untuk berumah tangga.
Semakin hari kebutuhan semakin banyak, 1 tahun setelah menikah
SA keluar dari pekerjaanya. DAL yang merasa tidak mendapatkan nafkah
yang layak berusaha bekerja. Sebenarnya DAL diberi nafkah tetapi selalu
diminta kembali, misalnya saja DAL diberi uang oleh SA Rp. 50.000;
untuk satu bulan, tetapi hari berikutnya uang tersebut diminta lagi untuk
membeli SA rokok, jika DAL tidak memberikan uang tersebut, terkadang
SA belaku kasar dan berani memukul DAL di depan orang tua SA sendiri.
SA juga merasa tidak terima karena DAL yang sering pulang malam dan
pulang kerumah neneknya tanpa pamit dengan SA. DAL juga sering
meminta uang neneknya dan di ketahui oleh SA. Rumah tangga semakin
hari tidak harmonis. SA yang kini menjadi pengguran dan semakin kasar
kepada DAL. Membuat DAL memutuskan untuk pergi dari rumah SA
dan kembali kerumah neneknya.
82
Puncaknya SA dan DAL yang sudah pisah ranjang hampir 2 tahun
sejak bulan maret 2016 membuat DAL bekerja di sebuah pabrik karena
DAL sudah tidak diberikan nafkah lagi oleh SA. Dengan pekerjaan yang
esekali lembur dan sering pulang malam, DAL yang tidak sengaja pulang
bersama rekan kerjanya laki-laki di pergoki oleh suaminya dirumah
neneknya. Awalnya SA datang untuk menjemput DAL kembali
kerumahnya, namun setelah melihat hal tersebut SA merasa kecewa dan
memukul DAL didepan nenek DAL dan teman kerjanya. SA dengan rasa
marah dan kecewa meninggalkan DAL, padahal DAL belum menjelaskan
sebenarnya.
Tepantya Tanggal 25 Oktober 2017 SA mengajukan Permohonan
cerai talak kepada DAL di Pengadilan Agama Salatiga dengan Nomor
1114/Pdt.G/2017/PA.Sal. Dalam hal ini, sesuai isi gugatan SA bahwa
DAL telah berselingkuh dengan seseorang yang tidak diketahui namanya
beralamat di kecandran. DAL merasa kecewa karena dituduh
berselingkuh dan SA sudah melakukan tindak Kekerasan Dalam Rumah
Tangga juga tidak memberi nafkah lagi, tidak membuat DAL melakukan
perlawanan ataupun menolak permohonan cerai talak dari SA. Selama
proses perceraian berlangsung tangaal 30 Oktober 2017 dan 20 November
2017 DAL tidak hadir dalam persidangan. Sesuai dengan surat gugatan
1114/Pdt.G/2017/PA.Sal. Pengadilan Agama Salatiga mengabulkan
Permohonan SA untuk melakukan cerai talak terhadap DAL dengan
Verstek dan memberikan ijin kepada pemohon SA bin JD untuk
83
menjatuhkan talak satu roj‟i kepada termohon DAL binti AA di depan
Pengadilan Agama Salatiga dengan akta cerai nomor
0044/AC/2018/PA.Sal yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Salatiga
pada tanggal 9 januari 2018.
DAL dan SA saat ini sudah resmi bercerai, DAL sekarang bekerja
disebuah toko untuk kehidupannya sendiri. Meskipun DAL dan SA saat
menikah belum memiliki anak, DAL masih sering berkomunikasi dengan
SA lewat sosial media. Terkadang SA sampai saat ini juga masih sering
mengajak rujuk kepada DAL, namun DAL menolak karena trauma
terhadap Kekerasan Rumah Tangga yang pernah dilakukan oleh SA
terhadapnya.
C. Pernikahan Dini menurut Hakim dan Kepala KUA
Menurut Bapak Drs. H. Salim, M.H., yang saat ini menjabat sebagai
Hakim Pengadilan Agama Salatiga sejak 1 Februari 2016 lalu, hal yang
mengenai Pernikahan sudah diatur dalam Undang undang perkawinan nomor
1 tahun 1974 jadi selama sudah memenuhi Usia yang telah di tentukan maka
KUA boleh menikahkan dan tidak ada larangan mengenai hal tersebut. Hal
yang berkaitan mengenai usia yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang
undang yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan maka
diwajibkan untuk meminta dispensasi nikah di Pengadilan Agama.
Mengenai putusan dispensasi juga sudah diatur dalam Pasal 7 ayat 2
tentang batas usia perkawinan. Hakim dalam memutus perkara dispensasi
84
nikah juga menggunakan pertimbangan khusus karena dalam Undang undang
sendiri tidak menentukan bagaimana dispensasi bisa dikabulkan atau tidak.
Adapun beberapa pertimbangan hakim yaitu:
1. Kemaslahatan adalah kebaikan yang meliputi faktor psikis dan fisik.
Faktor psikis adalah apakah anak yang belum mencukupi umur sudah siap
secara mental untuk melangsungkan pernikahan dengan menanggung
akibat-akibat hukum dari pernikahan. Sedangkan faktor fisik adalah
kemampuan yang dimiliki oleh kedua calon mempelai untuk mencukupi
kehidupan rumah tangga dari segi penghasilan maupun kesiapan fisik
untuk mengandung serta melahirkan di usia dini bagi calon mempelai
wanita.
2. Kepastian yaitu apabila calon mempelai yang akan melangsungkan
pernikahan belum mempunyai penghasilan yang cukup untuk membina
sebuah rumah tangga maka orang tua calon mempelai dapat memastikan
bahwa mereka sanggup untuk menanggung semua biaya-biaya rumah
tangga hingga calon mempelai memiliki penghasilan sendiri.
3. Kemanfaatan adalah apabila calon mempelai sudah menjalin hubungan
yang erat dan untuk menghindari fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan
maka hakim mempertimbangkan untuk mengabulkan permohonan
dispensasi nikah.
Dalam KHI pasal 53 juga telah dijelaskan ayat 1 bahwa “seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat di kawinkan dengan pria yang
menghamilinya” dalam hal ini juga akan digunakan sebagai petimbangan
85
hakim ketika terjadi dispensasi meskipun dilakukan dalam pasangan dibawah
umur. Pengadilan agama salatiga sendiri banyak permohonan dispensasi yang
diajukan yaitu:
No Tahun Jumlah Putusan Dispensasi
Nikah
1 2017 70
2 2016 51
Sumber Pengadilan Agama Salatiga
Dari data yang ada di Pengadilan Agama yang diajukan berkaitan
dengan permohonananya tidak hanya mengenai masalah hamil diluar nikah
tetapi ada juga dengan dalih bahwa tidak ingin melanggar aturan dalam
ketentuan agama sekalipun biasanya yang melakukan dispensasi sudah dalam
keadaan hamil diluar nikah.
Pernikahan sebaiknya membutuhakan kesiapan fisik mental dan
material, faktanya pasangan yang menikah dini meskipun material sudah bisa
mencukupi namun mental untuk menjadi orang tua sangat kurang untuk
berumah tangga. Maka, biasanya pernikahan dini yang dilakukan sangat
rentan terjadinya perceraian. Misalnya saja ada pasangan yang baru menikah
1 tahun sudah melakukan percerain. Banyak pertimbangan yang harus
diberikan karena bukan sekedar memutus perkara, hakim sendiri juga melihat
filosifi pembuatan undang undang perkawinan dan peradilan yang pada
hakekatnya mempersulit perceraian, tetapi tidak berarti tidak boleh bercerai.
Dengan adanya alasan-alasan perceraian yang sudah ditentukan dalam undang
undang PP 975 Pasal 16 hurufnya a sampai f masyarakat malah biasanya
menjadi berkembang dengan alasan yang lain dan kemudian di akomodir oleh
86
KHI mulai pasal 116 itu dari huruf pasal 16 PP 975 di KHI ada tambahan
hufur g yaitu dengan perlanggaran taqlik talaq dan dalam buku nikah juga ada
sighot taqlik talaq dan huruf g yang menjelaskan bahwa beralihnya agama
bagi salah satu pihak yang menimbulkan ketidakharmonisan bagi keluarga.
Dalam hal ini hakim dalam memutus perkara sudah mempertimbangkan
beberapa hal dan lebih lanjut perkembangan yaitu untuk saat ini sudah ada
yurispudensi dalam rumah tangga akan dilihat masih dapat dipertahankan lagi
atau tidak, istilah bahasanya untuk saat ini adalah “married break down”
apakah pernikahan bagi pasangan baik yang dini atau tidak sudah pecah atau
belum, misalnya suami istri yang sudah berselisih dan berpisah tanpa adanya
komunikasi karena rumah tangga hal yang terpenting adalah komunikasi. Itu
juga menjadi pertimbangan majlis, tapi dalam hal ini bisa juga pasangan
tersebut dapat bersatu kembali. Jadi, disamping adanya alasan-alasan yang
ada hakim juga dalam memutus perkara percerain mempertimbangkan hal
lain.
Pernikahan dini dalam pandangan hakim sendiri tidak melarang atau
membolehkan, selama mengikuti aturan undang undang dan tidak melarang
aturan dari syariat islam boleh dilaksanakan, namun bukan berarti aturan
tersebut sepenuhnya boleh dilaksanakan. Dalam undang undang juga telah
dijelaskan bahwa Pernikahan dini harus memperhatikan beberapa hal dan
beberapa aspek. Misalnya saja dalam bukunya Andi Samsul Alam bahwa
pernikahan yang ideal adalah dalam usia 25 tahun karena harus
mempertimbangan beberapa aspek seperti kesehatan reproduksi, kematangan
87
jiwa dan kematangan perekonomian. Dalam islam sudah dijelaskan bahwa
“Dar‟ul mafasid muqaddamun „ala jalbil mashalih” bahwa mencegah
kemudharatan lebih prioritas dibanding menarik kemanfaatan. Meskipun
islam tidak menjelaskan secara rinci, namun segala hal dan dampak harus
diperhatikan dalam pasangan yang melakukan pernikahan dini.
Menurut beliau, mengenai batas usia pernikahan harus diminimalisir
dengan melihat beberapa aspek dan dampak yang akan terjadi setelah
pernikahan. Meskipun hakim tidak memiliki kewenangan, namun hakim
masih memiliki peluang untuk memberikan masukan ketika ada perkara yang
maju dalam permohonan dispensasi yang masuk di Pengadilan Agama.
Perlunya sosialisasi bagi masyarakarat remaja dan khususnya orang tua
sebagai tanggung jawab kepada anaknya. Dalam hal ini bagi pasangan yang
telah melakukan pernikahan dini untuk menghindari perceraian dan bagi
pasangan yang telah melakukan perceraian sebaiknya jangan sampai salah
untuk kedua kali dan dalam memilih pasangan untuk mempertimbangkan
beberapa hal.
Menurut Bapak Imam Talmisani S.Ag yang saat ini menjabat sebagai
Kepala KUA Kecamatan Tingkir sejak 2014. Pernikahan dini itu dalam
kacamata Pegawai Pencatat Nikah ada 2 macam yaitu yaitu:
1. Pernikahan dini yang usianya kurang dari 21 tahun. Dalam undang
undang menjelaskan bahwa laki-laki atau perempuan yang umurnya
dibawah 21 tahun boleh menikah selama ada ijin dari orang tua dan tidak
memerlukan dispensasi dari Pengadilan Agama. Pertimbangan yang akan
88
diberikan kepada orang tua yang memberikan ijin kepada anak jika akan
menikah di bawah 21tahun adalah dengan segala resiko orang tua
bertanggung jawab dalam segala hal dirumah tangga anak tersebut dan
ada proses kontroling dari pemerintah yang diberikan kepada orang tua
untuk anaknya.
2. Pernikahan dini yang dilakukan oleh laki-laki kurang dari 19 dan
perempuan 16 tahun harus mendapatkan ijin dari orang tua dan juga
dispensasi dari pengadilan Agama.
Jumlah pernikahan di KUA Argomulyo tahun 2016 adalah 266 dan
tahun 2017 adalah 305, dari data tersebut jumlah pernikahan dini yang terjadi
adalah sebagai berikut:
No Tahun Laki-Laki Perempuan
<19 <21 <16 <21
1 2016 4 13 x 33
2 2017 1 18 1 54
Sumber KUA Tingkir
Menurut beliau, faktor penyebab pernikahan dini yang paling utama
yaitu. Pertama, hamil diluar nikahiasanya terjadi karena tidak adanya kotrol
sosial dari masyarakat yang memicu anak melakukan pergaulan bebas karena
aat ini banyak sekali masyarkat yang primisif atau masyarakat yang
melakukan pembiaran terhadap pasangan yang melakukan sesuatu yang di
tidak inginkan. Hal itu yang akan menimbulkan dampak yang seharusnya
tidak dilakukan bagi para anak-anak dibawah umur. Kedua, kehawatiran
orang tua karena anak memiliki hubungan yang sedemikian dengan
pasangannya. Jika alasanya karena orang tua yang merasa malu anaknya
89
selalu bersama dengan pasangannya maka perlu adanya peran pemerintah
untuk pendekatan langsung kepada orang tuanya agar orang tua mengerti
peran penting dalam mendidik anak. Pernikahan bukan hanya sekedar
pencatatan nikah saja, pernikahan adalah kedepannya setelah Ijab Qabul dan
orang tua juga masih memiliki tanggung jawab terhadap anaknya meskipun
sudah menikah.
Dalam kasus pemalsuan usia dalam pernikahan dini yang ada di KUA
Kecamatan Tingkir, dari Pegawai Pencatat Nikah biasanya diketahui.
Misalnya, usia pernikahan dini pasangan yang hamil diluar nikah dan tidak
melakukan dispensasi di Pengadilan Agama dari KUA tidak hanya meminta
ktp, surat dari kelurahan ataupun surat lain dan akan di cocokan semua data,
jika ada pemalsuan maka akan tidak akan dilaksanakan pernikahan. KUA
Tingkir sendiri belum pernah ada keteledoran dalam Pencatatan Nikah.
KUA di setiap kecamatan sebenarnya tidak memiliki kewajiban atau
tidak ada ranah untuk melakukan sosialisasi mengenai pernikahan dini, KUA
sendiri hanya bertugas dalam administrasi pernikahan saja. Jika pasangan
yang sudah sampai ke KUA maka tugas KUA menikahkan. Tugas KUA yang
berkaitan dengan pencegahan ada namanya Kursus Pranikah dari Humas
Islam. Humas Islam dari KUA biasanya dalam 1 tahun dilaksanakan 2 kali
dengan mengundang orang-orang yang sudah menikah atau orang- yang
sudah mendaftar nikah tetapi belum menikah dalam rangka membekali untuk
berumah tangga kelak dan juga termasuk salah satunya mengenai kesehatan
reproduksi bagi pasangan meskipun efeknya belum mengenang. Pencegahan
90
yang berkaitan dengan umur yang masih dini, tidak bisa dilakukan karena
yang memiliki kontrol pencegahan tersebut berasal dari keluarahan, tokoh
agama, dan masyarakat itu sendiri.
Menurut beliau, pernikahan usia dini yang menyebabkan perceraian
biasanya terjadi karena tidak adanya kematangan emosional dan belum
matang tingkat kedewasaanya. Dalam berumah tangga, pasti banyak
persoalan dan persoalan biasanya terselesaikan jika kematangan dalam
pasangan untuk berfikir ada. Jika umur belum cukup maka mental dalam
kedewasaan belum ada dan akan lebih rawan untuk melakukan perceraian dari
pada pasangan yang lebih matang, meskipun dalam hal ini umur yang lebih
muda tidak lebih matang. KUA sendiri biasanya mendapati orang-orang yang
melakukan perceraian untuk meminta solusi dan datang ke KUA. KUA hanya
memberi penasehatan BP4, meskipun sebenarnya tidak ada program akuratif
untuk program perceraian karena dalam prakteknya KUA hanya ada progam
preventif dalam pembimbingan mualaf.
Negara memiliki fungsi untuk membangun kepastian hukum, konteks
dewasa secara hukum islam atau Undang undang hukum positif berbeda.
Dewasa sesuai usia kependudukan adalah usia 17 tahun, usia dewasa akan
menikah adalah 19 dan 16 sesuai Undang Undang Perkawinan nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan usia dewasa 21 tahun yang akan menikah harus
mendapat ijin dari orang tua, sesuai yang telah dijelaskan di atas. Dalam
islam, usia nikah adalah baligh di tandai untuk wanita adalah menstruasi dan
laki-laki adalah mimpi basah. Dalam hal biologis dalam konteks dewasa,
91
orang menikah lebih kepada faktor keturunan, jika seseorang menikah dan
sudah layak maka siap untuk memiliki keturunan.
Masa Nabi dimana jika diterapkan pada saat ini adalah bagaimana
rumah tangga orang tua baik laki-laki atau perempuan mengharapkan
keturunan yang berkualitas, yaitu tidak hanya dari kematangan bilologis,
sosial, intelektual dan kesehatan ekonomi. Jaman nabi berbeda karena negara
berbeda, komunitas masyarakat berbeda dan ditarik konteks kekinian tidak
seusia. Untuk ini usia 12 tahun dalam entelektual, ekomoni belum matang dan
secara biologis meskipun dapat hamil karena telah menstruasi akan tetapi
tetap belom sepenuhnya baik karena kehamilan pada usia dibawah 21 tahun
rentan terhadap kesehatan reproduksi.
Praktek pernikahan dini yang dilakukan sekarang menurut hukum
islam sebenarnya tidak menjelaskan setuju atau tidak. Hukum yang secara
umum tidak bisa di samakan mengenai hukum islam dan hukum positif,
karena sebenarnya hukum islam dan hukum positif saling melengkapi selama
hukum positif tidak bertentangan dengan hukum islam. Misal indonesia ada
hukum fiqh munakahat, ditarik keatas menjadi KHI dan tidak hanya
perkawinan, tetapi mengenai waris. Hal ini juga bisa menjadi hukum negara
dan tidak bertentanga dengan undang undang yang telah ada. Kemudian jika
ada seseorang yang akan menikah hanya mengandalkan hukum islam maka
tidak perlu datang ke KUA untuk mencatat pernikahan cukup sesuai syarat
dalam islam saja. Artinya, jika menjadi warga negara indonesia yang baik
harus taat negara hukum dan mengikuti aturan hukum positif. Maka dalam hal
92
ini hukum positif dan hukum islam tidak boleh di dudukan secara berhadapan
tetapi saling melengkapi. Dari pandangan hukum islam tidak melarang atau
membolehkan tetapi harus sesuai ketentuan yang ada sesuai syarat yang sudah
di tetapkan.
Pernikahan dini menurutnya, dalam konteks kekinian bisa setuju dan
ada tidak. Setujunya jika lebih mudah untuk menikah, dalam usia masih
muda, mampu bekerja dan mampu membagi waktu untuk keluarga kecil dari
sejak masih muda misalnya saja usai 16 tahun bagi wanita untuk menikah
maka tenaga dan pikiran untuk membagi jadi lebih mudah. Berbeda Jika umur
yang terlanjur tua waktu untuk membagi pikiran dan tenaga lebih sedikit,
misalnya ada usia 21 menikah dan punya anak, membagi waktu dan tenaga
berbeda karena usia sudah dalam kematangan dan akan lebih fokus mengejar
karir. Tidak setujunya, ketika sudah berkeluarga dan setiap rumah tangga
pasti akan ada konflik, akan rawan bagi pasangan yang melakukan pernikahan
dini, kecuali 2 keluarga tersebut yang menikah mereka bersedia membantu
untuk menyelesaikanya tetapi jika ada pembiaran maka akan lebih mendekati
pada perceraian bagi pasangan tersebut.
Masukan dari Bapak Imam Talmisani S.Ag mengenai pernikahan dini,
konteks kedepan adalah lebih untuk mencegah, memberikan pemahaman dan
kesadaran bahwa pernikahan bukan hanya mengenai pencatatan nikah, bukan
hanya melangsungkan keturunan tetapi bagaimana membangun rumah tangga
yang betul-betul berkualitas dan memberikan kesadaran bahwa usia nikah
kematangannya sesuai dengan aturan yang ada, karna aturan dibuat dengan
93
sebaik-baiknya. Peran pemerintah juga sangat penting, guna peyuluhan untuk
membentuk keluarga yang sejahtera, bahagia dan kekal. Dalam rangka
menuju kesana lembaga BKKBN yang bertugas untuk penyuluhan kepada
masyarakat harus lebih aktif dan mengenai usia nikah yang baik adalah sesuai
dengan undang undang karena KUA tidak terkait dengan peran di lokal
pemerintah hanya lembaga vertikal yang langsung ke pusat mengenai
pernikahan.
Hal serupa juga di utarakan oleh Bapak Muhammad Sukri, S.Ag
selaku kepala KUA Argomulyo mengenai pernikahan dini. Beliau menjabat
dari tahun 2014, pernikahan dini menurutnya tidak ada hak untuk melarang
dan membiarkan karena pernikahan adalah hak asasi. Dalam hal ini mengenai
pernikahan hanya memberikan beberapa solusi untuk pencegahan yang
meliputi:
1. Pembinaan untuk masyarakat yang mengenai dampak dan bahaya anak
menikah pada usia dini dan membinanaan bagi pasangan yang telah
menikah dini untuk mengurangi perceraian.
2. Menyebar pamflet. Biasanya dilakukan agar masyarakat yang tidak
mengikuti pembinaan dapat membaca mengenai resiko nikah dini dan
perceraian bagi pasangan-pasangan khususnya yang menikah dini.
3. Bekerja sama dengan Guru-guru, Masjil taklim, Kiyai. Sebagai tokoh
masyarakat dan merupakan peran sangat penting, KUA memberikan
pendektan secara langsung terhadap orang-orang tersebut yang akan terjun
94
langsung dimasyarakat guna mensosialisasikan mengenai bahaya
pernikahan dini.
Jumlah pernikahan di KUA Argomulyo tahun 2016 adalah 263 dan
tahun 2017 adalah 234, dari data tersebut jumlah pernikahan dini yang terjadi
adalah sebagai berikut:
No Tahun Laki-Laki Perempuan
<19 <21 <16 <21
1 2016 3 14 1 46
2 2017 2 17 1 43
Sumber KUA Argomulyo
Selama menjabat di KUA Argomulyo, beliau pernah menangai kasus
pernikahan dini salah satunya yaitu dari murid pesantren, dari orang tua
mengetahui bahwa anaknya pacaran, karena malu akhirnya dinikahkan dan
dalam hal ini menikah dikarenakan kehendak orang tua menjaga kehawatiran
dan bukan paksaan tetapi sebelum dispensasi dilakukan dari KUA
menyarankan ke orang tuanya untuk menunda pernikahan hingga usia yang
siap tetapi karena orang tua tidak bisa menunggu maka KUA tidak memiliki
kewajiban untuk melarang dan kasus yang selanjutnya yaitu menikah karena
hamil diluar nikah, dari KUA sendiri untuk mengenai hamil diluar nikah
untuk segera menyiapkan N8 dan N9 agar segera mendapatkan dispen
dipengadilan untuk menjaga aib.
Menurut beliau, bukan masalah setuju atau tidak mengenai nikah dini.
Seseorang yang sudah memiliki hasrat dan niat nikah dini kita tidak boleh
menghalang-halangi karena menurut Undang undang juga diperbolehken
tetapi dengan dispensasi dari pengadilan Agama. Ketika seseorang yang akan
95
menikah sudah meliki keinginan dan sudah mampu dia sampai berbuat dosa
maka yang menghambatpun berdosa. Dari KUA, hanya bertugas melayani
bukan menghambat ataupun menyuruh. KUA bertugas dalam penasehatan
atau pembinaan. Jika seseorang yang masih dini akan menikah dan
persyaratan sudah melengkapi maka KUA hanya bertugas intuk
menyelesaikan administrasi dan segera menikahkan pasangan tersebut.
KUA argomulyo selama beliuan menjabat di tahun 2016 dan 2017
belum mendapati kecerobohan dalam pemalsuan data pernikahan.
Menurutnya “Lebih baik kalah waktu dari pada kalah mencuri waktu”.
Misalnya saja ada anak dibawah umur telah hamil dahulu dan dari pihak
perempuan tidak mau meminta dispen dengan alasan tidak mau mengurus,
KUA tidak bisa menerima alasan tersebut.
Mengenai pernikahan yang menyebabkan perceraian bagi pasangan
dini jelas sangat rentan karena dari segi fisik dan ekonomi belum siap dalam
membangun rumah tangga untuk kedepannya. Pernikahan dini dalam hal ini
untuk menghindari perceraian adalah bukan setelah menikah tetapi proses
awal sebelum melaksanakan nikah yaitu: pertama, mengenai niat dari ijab-
qabul harus dibenarkan terlebih dahulu. Ketika sudah terlanjur menikah dan
keliru dalam niat dan ucapan secara tidak langsung akan mempengaruhi
rumah tangga. Misalnya saja ucapan “saya terima nikanya....” dan dalam hal
ini pernikahan saja yang diterima maka perjalan hidup suami istri akan selalu
bermasalah apalagi di dalam ranjang. Jika akad nikah benar maka kehidupan
rumah tanggapun akan berjalan baik. Kedua, disadarkan bukan hanya sekedar
96
nafsu, diawali dengan niat untuk ibadah dilaksanakan dengan ikhlas,
selanjutnya diakhiri dengan bersyuku maka dalam berumah tangga sakinah
mawadah warohmah akan tercipta.
Hukum islam tidak ada yang namanya pernikahan dini, di islam hanya
menetukan usia baligh dan tidak menjelaskan mengenai pernikahan dini.
Tetapi menurut beliau, tidak ada yang dinamakan pernikahan setelah baligh.
Karena pada masa Rasulullah, Rasulullah menikahi aisyah pada usia 9 tahun
dimana aisyah belum baligh dan rasulullah kumpul dengan aisyah sejak sudah
baligh. Dalam hal ini bisa dijelaskan batas usia nikah menurut islam tidak
harus baligh. Menurut bapak Sukrin yang pendapatnya sedikit berbeda dengan
bapak Imam, jaman Rasulullah bisa di ikuti pada jaman sekarang. Contohnya
Rasulullah memiliki 9 istri, tetapi rasulullah menikah bukan berdasarkan
nafsu, beliau menikah berdasakan hati. Rasulullah hanya melihat anak yatim,
jika Rasulullah membantu orang tua aisyah tanpa dinikahi akan menimbulkan
fitnah. Tetapi untuk era saat ini menikah bukan karena untuk membantu orang
tua tetapi karena melihat anaknya dengan nafsu. Nikah jaman rasulullah bisa
di contohkan untuk saat ini dengan syarat bisa di terapkan tetapi sesui dengan
ketetapan rasulullah dan niat untuk membantu bukan berdasarkan nafsu.
Peran Pemerintah sebenarnya ada, tetapi hal tersebut belum terasa
kehadiranya. Setiap penyuluhan yang dilakukan KUA, selalu mendapati
ketika ada pasangan yang akan menikah mereka selalu menyerahkan
sepenuhnya kepada KUA. Dalam pernikahan dini di sini ada upaya akuratif
atau mengobati dalam pernikahan dini, misalnya ada paguyuban ada
97
penyuluhan majelis taklim pra nikah dan ba‟da nikah. Tetapi tidak bisa
seekfektif sebelum nikah. Masukan dari Bapak Muhammad Sukri, S.Ag
sebaiknya pemerintah dalam menangai masalah pernikahan Dini untuk lebih
ditindak lanjuti, karena dijaman yang serba modern segala hal akan terjadi,
dan bagi masyarakat juga agar lebih peka terhadap lingkungan yang ada
disekitar kita agar terhindar dari perbuatan yang bertentangan dengan agama
maupun negara.
98
BAB IV
ANALISIS PERCERAIAN PADA PASANGAN PERNIKAHAN DINI
A. Perceraian Pasangan Pernikahan Dini
Seperti yang telah dikemukakan bab sebelumnya bahwa perceraian
yang terjadi dibeberapa wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga begitu
kompleks dan beragam. komplesitas ini terlihat dari maraknya kasus
perceraian yang diakibatkan oleh pernikahan di usia dini dan sangat sulit
untuk mencegah terjadinya fenomena perceraian tersebut, sebab perilaku ini
telah menyatu pada masyarat tersebut.
Berdasarkan penelusuran dilapangan, dari beberapa kecamatan yang di
teliti, sebagian besar remaja yang tinggal di daerah tersebut menikah pada
usia muda. Bahkan kebanyakan pernikahan usia muda telah menjadi
kebiasaan mereka. Ini sebagaimana beberapa dari data yang ada di Pengadilan
Agama Salatiga banyak masyarakat tersebut mendaftarkan Dispensasi Nikah
di Pengadilan tersebut dalam peridoe tahun 2016 sampai 2017 yatu 121 kasus
yang melakukan dispensasi nikah dan hampir sepenuhnya dikabulkan. Tidak
hanya itu, perceraian pada masyaratkat yang melakukan pernikahan dini
tersebut dikarenakan banyaknya remaja usia muda yang didorong oleh orang
tuanya untuk menikah. Dalam pandangan para orang tua di wilayah tersebut
bahwa jika anak-anak mereka sudah menikah maka kewajiban dan
tanggungjawab sebagai orang tua mengurang terutama dalam hal pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Begitu juga soal perceraian, bahwa kasus
99
perceraian didaerah tersebut bisa dikatakan berbanding lurus dengan
pernikahan. Masalah ini kerap terjadi tidak lama setelah pernikahan sebelum
mereka memperoleh anak ataupun baru mendapatkan anak banyak pasangan
yang menikah dini melakukan perceraian
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, pada dasarnya
kecenderungan yang memicu sebagian besar masyarakat diwilayah hukum
Pengadilan Agama Salatiga terhadap pasangan nikah dini yang melakukan
perceraian dibagi mejadi dua faktor yaitu faktor internal adalah faktor yang
berasal dari dalam diri pasangan masing-masing dan faktor eksternal yang
berasal dari luar pasangan tersebut. Berikut ini akan dipaparkan mengenai
faktor internal dan faktor eksternal yang ada.
1. Faktor Internal
Adapun faktor internal yang membuat pasangan penikahan dini
cenderung melakukan perceraian adalah:
a. Ekonomi
Ekonomi adalah alasan yang paling banyak dari jawaban
narasumber, pasalnya dari keempat narasumber yang diteliti
semuanya menjawab bahwa mereka tidak diberikan nafkah yang
layak dan tidak tercukupi karena suami tidak memiliki pekerjaan
yang tetap dan bahkan ada yang menjadi pengangguran. Hal ini jelas
bertentangan dengan kewajiban suami mecari nafkah untuk istrinya.
Nafkah (nafaqah) merupakan suatu kewajiban suami terhadap
istrinya dalam bentuk materi. Hukum membayar nafkah untuk istri,
100
baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu
bukan karena istri membutuhkanya bagi kehidupan rumah tangga,
tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada
keadaan istri. (Yarifuddin, 166: 2014)
Dasar kewajiban suami memberi nafkah juga terdapat dalam
Al-Qur‟an surat At-Thalaq ayat 7
Artinya: hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Dalam hal ini sudah jelas bahwa suami yang harus
memberikan nafkah kepada anak dan istrinya. Apabila seorang suami
tidak bekerja maka kewajiban suami untuk mencari nafkah tersebut
terlimpahkan kepada istirnya atau seorang istri harus mengganti peran
menjadi pencari nafkah dalam keluarganya. Hal tersebut akan
menimbulkan perselisihan dan menunjukkan bahwa tujuan hidup
berumah tangga sudah tidak sejalan lagi. Maka, mereka menganggap
bahwa rumah tangga tidak bisa disatukan lagi dan jalan satu-satunya
yaitu bercerai.
101
b. Pendidikan Rendah
Dilihat dari pendidikan, pasangan nikah dini rata-rata
berpendidikan menengah ke bawah. Hal ini membuat masyarakat
setempat kurang memahami arti penting dan sakralnya sebuah
perkawinan. Begitu pula halnya dengan pemahaman mereka tentang
perceraian juga rendah, mereka jarang memikirkan dampak yang
ditimbulkan perceraian. Rendahnya tingkat pendidikan tidak jarang
memicu sebagian besar masyarakat bercerai. Berdasarkan hasil
penelusuran dilapangan menentukan bahwa pernikahan yang
dilakukan pada pasangan dini mereka hanya lulusan SD saja, ada
yang melanjutkan sekolah SMP namun belum lulus akhirnya mereka
memutuskan untuk menikah.
c. Kekerasan
Dalam kehidupan berumah tangga, tidak akan selalu berjalan
mulus, akan terdapat masalah-masalah, tinggal bagaimana pasangan
tersebut menyikapi sehala permasalahan yang ada, apalagi pasangan
muda yang akan rentan terhadap sifat yang masih kekanak-kanakan
dan mudah terpengaruh dengan perkembangan yang ada. Seperti yang
dialami beberapa responden bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga
bisa terjadi karena hal-hal kecil misalnya kesalahpahaman dan
kurangnya komunikasi membuat KDRT. Sebenarnya hal tersebut
dapat dihindarkan dengan adanya komunikasi yang baik dan
102
penjelasan terlebih dahulu sebelum melakukan KDRT. Ketika dalam
rumah tangga sering diwarnai pertengkaran dan sudah merasa tidak
cocok lagi, maka hal tersebut sering dijadikan alasan untuk
melakukan perceraian karena ereka menganggap bahwa itu
merupakan solusi yang paling tepat.
Dari hasil wawancara dengan responden, perselisihan yang
terjadi dikarenakan kurangnya komunikasi atara suami dan istri dan
tidak mengerti maksud dan tujuan satu dengan yang lainnya membuat
salah satu pihak menjadi ringan tangan dan mudah melakukan
kekerasan karena sifat yang mudah emosi dengan umur yang masih
sangat muda.
Pada dasarnya agama islam pun memberikan ijin pihak ketiga
dalam menyelesaikan masalah rumah tangga yang mengalami
masalah dengan mendatangkan hakim atau orang yang mampu
menjadi penengah dari keluarga yang sedang berselisih.
Sebagaimana firman allah dalam Al-Qur‟an surat An-Nissa‟
ayat 35.
Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua
orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
103
Meskipun pada dasarnya surat tersebut menjelaskan bahwa
hakim dapat menjadi pihak ketiga, bukan berati pasangan yang
menikah dini ketika terjadi perselisihan langsung berunjung pada
percerain di depan hakim, tetapi peran orang tua atau keluarga besar
juga termasuk orang ketiga yang mungkin dapat membantu
menyelesaikan perselisihan yang ada.
d. Kecemburuan dari pihak ketiga
Faktor penyebab yang selanjutnya adalah kecemburuan,
karena kurangnya akhlaq yang baik. kecemburuan tersebut juga dapat
menyebabkan pasangan tersebut bercerai. Dalam kehidupan berumah
tangga terlebih bagi pasangan yang melakukan pernikahan dini
mereka belum mengetahui sepenuhnya arti pernikahan, kebanyak
mereka menggapkan bahwa pernikahan hanyalah sebuah ikatan
rumah tangga saja, tidak mengetahui hal apa yang terjadi pada
kedepanya. Dari penelitian yang ada, pasangan yang menggugat di
pengadilan kebanyakan karena salah satu pihak berselingkuh.
2. Faktor eksternal
Adapun faktor internal yang mebuat pasangan penikahan dini
cenderung melakukan perceraian adalah:
104
a. Sosial Budaya
Kebiasaan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat
pada umumnya sebagian besar pasangan suami istri melakukan
perceraian. Menurut pendapat bapak salim selaku hakim juga
menjelaskan bahwa pasangan yang menikah dini bercerai karena
kebiasan masyarakat di desa bahwa ketika terjadi perselisihan yang
tidak ada jalan keluarnya mereka lebih membawa masalah tersebut di
hadapan hakim untuk disidangkan dan pada akhirnya putusan
perceraian yang akan muncul. Kebiasan tersebut membuat pasangan
yang menikah usia dini menyepelekan rumah tangga dan ketika terjadi
masalah mereka lebih memilih pengadilan yang akan
menyelesaikannya dan setelah selesaipun kebanyakan dari mereka
menikah lagi tanpa mempertimbangkan masalalunya.
b. Keluarga
Keluarga dalam hal ini adalah orang tua yang berkewajiban
untuk menafkahi dan mendidik anak hingga dewasai terkadang orang
tua justru melalaikan tanggung jawabnya. Karena pendidikan dan
perhatian yang inten terhadap anak berasalah dari orang tua.
Meskipun salah satu orang tua sudah tidak ada atau sudah berpisah
bukan berarti anak diabaikan dan tidak di urus. Mereka masih menjadi
tanggung jawab orang tua, jika dalam hal ini kedua orang tua telah
tiada maka wali yang memiliki tanggung jawab, meskipun wali tidak
sepenuhnya memiliki tanggung jawab bukan berarti wali membiarkan
105
anak tersebut bebas dalam bertidak, wali tetap memiki kewajiban
hingga anak tersebut dewasa dan menikah.dalam wawancara,
narasumber yang diwawancarai kebanyak sudah tidak memiliki orang
tua dan kebanyakan walinya kurang memiliki rasa tanggung jawab
terhadap anak tersebut dan pada akhirnya wali tersebut menikahkan
anak yang masih dini agar mereka merasa lepas dari kewajibanya.
c. Media masa
Dijaman serba modern seperti ini, media masa telah
berpengaruh kuat terhadap kehidupan manusia, salah satunya adalah
kehidupan rumah tangga seseorang, gencarnya media masa terutama
elektronik dalam mengekspose perceraian bagi kalangan para arti
dalam hal ini sebagai public figure menyebabkan pasangan suami istri
pada saat ini banyak apalagi bagi pasangan muda yang menikah,
karena dengan usia yang sangat dini sangat mudah terpengaruh
dengan hal yang ada di depannya, tidak bisa dipungkiri di Pengadilan
Agama Salatiga banyak kasus perceraian bagi padangan muda
padahal dulu mereka juga melakukan dispensasi untuk melakukan
pernikahan tetapi tidak lama juga mereka melakukan percerain di
pengadilan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam wawancara oleh
Bapak Salim M.H yang merupakan Hakim Pengadilan Agama
Salatiga.
106
B. Tinjauan Fiqh Islam terhadap praktek pernikahan dini di Kota Salatiga
dan Kabupaten Semarang
Perkawinan sebagai jalan yang dapat ditempuh oleh manusia untuk
meneruskan keturunan sehingga dapat membentuk suatu keluarga sekaligus
sebagai sebuah ibadah yang dapat mendatangkan pahala bagi pelakunya
(Depag, 1983:55-56). Sebagaimana firman Allah SWT.
...
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak… (Q.S. An-Nisa‟:1).
Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah,
disamping ada sunnah, wajib, makruh, dan haram. Hukum perkawinan dapat
berubah dilihat dari kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan
melaksanakannya. Menurut Abdul Rahman Ghozali (2012:18-21) hukum
pernikahan dalam Islam adalah sebagai berikut.
Hukum Mubah, jika seseorang memiliki kemampuan untuk
melakukan perkawinan, namun bila tidak melakukannya tidak
dikhawatirkan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan
menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan
untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum
Sunnah, untuk orang yang telah memiliki kemauan dan kemampuan
untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina. Hukum Wajib, bagi orang yang
telah memiliki kemauan dan kemampuan untuk menikah dan
dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak
kawin. Hukum makruh, untuk orang yang mempunyai kemampuan
untuk melakukan perkawinan dan memiliki kemampuan untuk
107
menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir
berbuat zina apabila tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak
mempunyai kenginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban
suami istri dengan baik. Hukum haram, bagi orang yang tidak
mempunyai keinginan dan kemampuan untuk serta tanggung jawab
untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga
sehingga jika melangsungkan perkawinan akan terlatar dirinya dan
istrinya.
Hukum Islam mengatur perkawinan dengan rukun dan syarat tertentu.
Berhubungan dengan syarat perkawinan adalah perempuan maupun laki-laki
yang tertentu (Ghozali, 2012:50). Dalam menjelaskan ketentuan tersebut, Al-
qur‟an secara konkrit tidak menentukannya dengan batasan usia bagi
seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Batasan hanya diberikan
berdasarkan kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam
surat An-Nisa‟ ayat 6:
...
Artinya: “dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin...”
Menurut Quraish Shihab (2012 b:420) tafsir dari potongan ayat بلغىا
yaitu mencapai umur yang menjadikan seseorang mampu memasuki الكاح
gerbang pernikahan. Hal tersebut terjadi ketika seseorang telah dewasa,
memiliki kemampuan, serta kecerdasan (Shihab, 2012 a:169). Selain ayat Al-
Qur‟an tersebut, terdapat hadits nabi yang juga secara tersirat memberikan
aturan tentang pembatasan usia nikah, yaitu hadits riwayat Imam Bukhari,
Rasulullah saw bersabda:
فانو أغض للبصر وأحصن [يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فػليتػزوج, ومن ل يستطع فػعليو بالصوم فانو لو وجاء. ]فرج لل
108
Artinya: wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah
memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah (maka
ssungguhnya ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan).
Dan barang siapa yang tidak memiliki kemampuan untuk itu, maka
hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa adalah benteng (Hadits
Nomor 2040) (Al Albani, 2013:752).
Menurut Amir Syarifuddin (2014:67) hadits di atas adalah dalil tentang
adanya persyaratan dalam melangsungkan pernikahan, yaitu kemampuan dan
persiapan untuk nikah. Sementara kemampuan dan persiapan untuk menikah
hanya terdapat pada seseorang yang telah dewasa.
Guna kemaslahatan umat ditetapkanlah usia minimal kesiapan untuk
melaksanakan perkawinan. Ditemukan berbagai batas usia kedewasaan
seorang anak baik dalam hukum Islam maupun hukum Indonesia. Namun
batas usia melangsungkan perkawinan sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan adalah “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah
mencapai usia 19 tahun dan pihak pria sudah mencapai usia 16 tahun”.
Menanggapi pernikahan Rasulullah SAW dengan „Aisyah ra, hal
tersebut tidak dapat diterapkan pada konteks perkawinan anak usia dini pada
saat ini. Perkawinan Rasul SAW dengan „Aisyah merupakan suatu hal yang
khusus karena pernikahan tersebut penuh dengan tujuan agung (Supriyadi,
2011:58). Diantara hikmah pernikahan tersebut yaitu:
1. Rasulullah SAW menyiapkan istrinya sebagai da‟iyah, muballighoh, dan
murabbiyah yang membantu kesuksesan dakwah dan penyampaian
risalah. „Aisyah ra memiliki kecerdasan yang tinggi dan umur beliau yang
masih muda adalah masa yang tepat untuk belajar karena hafalan lebih
109
kokoh dan kemampuan merekam pelajaran lebih mantap. Di samping
sebagai pendamping hidup Rasulullah SAW, „Aisyah adalah murid
spesial dalam madrasah kenabian. Nabi SAW mengajarkan „Aisyah ra
secara khusus berbagai permasalahan agama terutama berkaitan dengan
urusan privat rumah tangga dan fiqh kewanitaan. Peran „Aisyah ra
kemudian adalah menjadi juru bicara Nabi SAW yang menjelaskan hal
tersebut kepada para sahabat serta para tabi‟in yang belajar kepada beliau.
„Aisyah ra mewariskan sunnah Rasulullah SAW dengan meriwayatkan
hadits sebanyak 2210.
2. Memperkuat hubungan kekerabatan dan kedekatan keluarga antar beliau
dengan sahabat Rasulullah SAW yang paling utama, yaitu Abu Bakar As-
Shiddiq ra.
Selain beberapa hal tersebut di atas, sebagaimana pemikiran
Mayadina Rohmi Musfiroh (2016:72) dalam kasus perkawinan anak usia
dini terdapat benturan antara pemeliharaan atas jiwa (hifz al-nafs),
pemeliharaan atas akal (hifz al-„aql), dan pemeliharaan atas kehormatan
dan nasab/keturunan (hifz al-nasl). Dimana usia anak masih sangat
beresiko untuk melakukan hubungan seksual apalagi kesiapan organ
reproduksinya. Selain itu usia anak lebih tepat dipergunakan untuk masa
pengembangan fungsi akal dan pendidikan daripada untuk reproduksi
dengan menikah dan memiliki keturunan. Sehingga mendahulukan
keselamatan jiwa anak dari resiko yang ditimbulkan akibat pernikahan
dan pengembangan fungsi akal lebih didahulukan daripada hifdz al-nasl.
110
Sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya hak anak, maka anak
harus dilindungi dari pelaksanaan perkawinan pada usia dini. Hal ini
sesuai dengan Qur‟an Surat An-Nisa‟ ayat 9.
Artinya: dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar.
Dalam ayat tersebut, Allah SWT berfirman hendaklah takut
kepada-Nya bagi orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak dan ahli waris yang lemah. Janganlah sampai membuat
wasiat yang akan membawa madzarat dan mengganggu kesejahteraan
mereka yang ditinggalkan. Berdasarkan keterangan tersebut maka dapat
diketahui pesan lain dalam QS. An-Nisa‟ ayat 9 yaitu perintah untuk
melindungi anak dan cucu bahkan anak yang belum lahir sekalipun jauh-
jauh hari jangan sampai nanti ia lahir dalam keadaan tidak baik dan dalam
keadaan kurang (Zaki, 2014:9).
Perkawinan anak usia dini juga dianggap tidak sejalan dengan
salah satu maqasid al-nikah (tujuan nikah) yaitu membangun keluarga
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Maksudnya, diharapkan pasangan
suami istri yang telah membina rumah tangga melalui akad nikah bersifat
langgeng, terjalin keharmonisan diantara suami istri yang saling
mengasihi dan menyayangi sehingga masing-masing pihak merasa damai
111
dalam rumah tangganya. Hal itulah yang kemudian menjadi ukuran,
dimana psikologi anak belum memahami semua itu. Oleh karena itu,
untuk memenuhi hak anak diperlukan adanya kepastian bahwa anak tidak
akan menikah ketika dia masih anak-anak (Musfiroh, 2016:72). Pendapat
serupa disampaikan oleh Kepala KUA Kecamatan Argomulyo, bahwa
perkawinan harus dilihat secara integral dan holistik. Bukan hanya aspek
legalitas formal yang bersifat normatif yaitu sah dan tidaknya suatu
perkawinan, namun harus melihat hakikat dan tujuan dari suatu
perkawinan.
Selain itu, Hakim Pengadilan Agama Salatiga menyatakan bahwa
lebih utama seorang wali untuk tidak menikahkan anak gadisnya yang
masih kecil kecuali jika terdapat maslahat yang jelas dan pasti dari
pernikahan tersebut. Pernyataan tersebut sesuai dengan kaidah Fiqh.
م على جلب الوصالح درؤ الوفاسذ هقذ
Artinya: “Mencegah terjadinya kerusakan diutamakan dari pada
usaha mendatangkan kemaslahatan” (Zaenudin, 2010:16).
Adapun maksud dari kaidah di atas yaitu jika berhadapan
kemafsadatan dan kemaslahatan maka dikedepankan mencegah
kemafsadatan, karena penekanan syara‟ terhadap pencegahan lebih
ditekankan dari pada penekanan perintah. Hal tersebut sebagaimana sabda
Rasulullah SAW.
ها استطعتن وإرا هيتكن عي شيء فاجتبى إرا أهرتكن بأهر فأتىا ه
)رو الشيخاى(
112
Artinya: Apabila aku memerintah kamu sekalian atas sesuatu maka
kerjakanlah sebatas kemampuanmu, dan jika aku melarang kamu sekalian
atas sesuatu maka hindarilah (tanpa bisa ditawar).
Berdasarkan beberapa keterangan di atas dapat diketahui bahwa
pernikahan dini sebenarnya tidak dihukumi secara mutlak, apakah wajib,
sunnah, mubah, makruh ataupun haram. Hukum dari pernikahan dini
bergantung kepada tujuan dari pernikahan tersebut. Namun, jika melihat
pada praktik pernikahan dini yang terjadi di Kota Salatiga dan Kabupaten
Semarang, maka menurut hukum Islam perkawinan anak usia dini harus
dihindari karena sangat rentan terhadap perceraian. Hal tersebut sesuai
dengan hadits:
ابغض الحلل الى هللا تعالى الطلق
Artinya: perkara halal yang dibenci Allah Ta‟ala adalah talak.
113
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan oleh penyusun dalam bab-bab
sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari
pokok masalah yaitu
1. Kecenderungan pasangan yang menikah dini melakukan perceraian dari
pasangan tersebut berasal dari 2 faktor yaitu:
a. Faktor Internal. Faktor internal yang berasal dari pasangan tersebut
seperti ekonomi yang kurang dan tidak ada membuat pasangan
tersebut mudah bercerai dan memilih jalan hidup masing-masing,
ekonomi yang tidak ada juga berasal dari pendidikan yang rendah,
pasangan yang melakukan pernikahan dini kebanyak tidak sekolah dan
tidak memiliki ijasah jadi sangat sulit untuk mencari pekerjaan apalagi
dengan pengahasilan yang tetap. Tidak hanya itu, pendidikan rendah
juga mempengaruhi pola pikir, yang menjadikan mereka dalam
berpikir tidak jauh kedepan dalam melangsungkan pernikahan, tidak
lebih karena pola pikir yang minim mebuat rumah tangga rawan
terjadi kerasan karena tindakan yang mereka lakukan hanya berasal
dari nafsu tanpa adanya pertimbangan lain karena terkadang
kecemburuan pihak ketiga muncul ketika rumah tangga dalam
keadaan goyah.
114
b. Faktor eksternal yaitu berasal dari keluarga, sosial budaya dan media
masa. Keluarga yang dalam hal ini merupakan peran penting seperti
otang tua terkadang mereka menggang bahwa pernikahan merupakan
jalan bahagia bagi anaknya, membuat anak yang baru mengenal lelaki
dan baru mulai tumbuh dewasa dinikahkan saja tanpa
mempertimbangkan hal lain, orang tua yang memiliki kewajiban
memendidik dan memberikan nafkah menikahkan karena kebanyakan
dari mereka menganggap menikahkan anak adalah upaya untuk
membebaskan kewajiban tersebut. Tidak hanya keluarga, masyarakat
juga mengenai budaya pernikahan dini yang berunjung perceraian
biasanya merupakan sesuatu hal yang biasa untuk saat ini dan
kurangnya sikap peduli terhadap tentangga mengenai pernikahan dini
dan perceraian. Kehidupan yang semakin maju juga sangat
mempengaruhi, anak yang masih kecil sudah menggunakan sosial
media yang seharusnya mereka hanya mementingkan pendidikan
malah di racuni dengan gagjed yang sangat canggih, membuat muda
mudi juga rentan melakukan hal yang sangat konyol yang mebuat
pasangan tersebut melampaui batas dan membuat pasangan tersebut
menikah pada usai dini.
2. Pandangan hukum islam mengenai praktek pernikahan dini
Pernikahan dini sebenarnya tidak dihukumi secara mutlak, apakah wajib,
sunnah, mubah, makruh ataupun haram. Hukum dari pernikahan dini
bergantung kepada tujuan dari pernikahan tersebut. Namun, jika melihat
115
pada praktik pernikahan dini yang terjadi di Kota Salatiga dan Kabupaten
Semarang, maka menurut hukum Islam perkawinan anak usia dini harus
dihindari karena lebih mendekati kemadharatan yaitu rentan terhadap
perceraian dan sebagaimana hadits bahwa perceraian sangat dibenci oleh
Allah SWT.
B. Saran
Sebagai penutup dari skripsi ini, penyusun ingin memberikan beberapa saran
yang sifatnya membangun terhadap permasalahan-permasalahan yang telah
dibahas.
1. Pasangan yang telah menikah baik yang dini ataupun tidak sebaikya
dalam membangun rumah tangga tidak hanya didasari dengan cinta, tetapi
hal lain harus diperhatikan seperti masalah ekonomi dan agama. Ekonomi
yang merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi sehari-hari apalagi
ekonomi merupakan kewajiban dari suami sebaiknya sebagai tulang
punggung harus mengerti akan pentingnya hal tersebut, dengan melihat
pernikahan dini banyak yang tidak mengerti akan pentingnya kebutuhan
sehari-hari dan hal itu harus dimulai sejak saat ini untuk merubah cara
berfikir dan segera melakukan tindakan yang lebih baik, dan tidak lupa
dalam berumah tangga agama merupakan hal yang sangat penting sebagai
pegangan hidup pasangan yang melakukan nikah dini meskipun usia
belum cukup, tetapi ketika agama dijadikan patokan maka percerainpun
tidak akan terjadi, dalam berumah tangga saling ikhlas dan saling
116
mengerti dengan mempelajari hukum-hukum perkawinan dalam islam
maka kehidupan rumah tangga yang terjadi akan berjalan sesuai syariat
yang ada dan sakinah mawadah warohmah yang akan dihasilkan.
2. Keluarga dalam hal ini adalah orang tua yang berkewajiban untuk
menfafkahi dan mendidik anak hingga dewasa jangan sampai orang tua
melalaikan tanggung jawabnya. Karena pendidikan dan perhatian yang
inten terhadap anak berasalah dari orang tua. Meskipun salah satu orang
tua sudah tidak ada atau sudah berpisah bukan berarti anak diabaikan dan
tidak di urus. Mereka masih menjadi tanggung jawab orang tua, jika
dalam hal ini kedua orang tua telah tiada maka wali yang memiliki
tanggung jawab, meskipun wali tidak sepenuhnya memiliki tanggung
jawab bukan berarti wali membiarkan anak tersebut bebas dalam bertidak,
wali tetap memiki kewajiban hingga anak tersebut dewasa dan menikah.
Fenomena pernikahan dini yang ada sebagian besar karena orang tua yang
sudah tidak lengkap, sehingga anak tersebut kurang memdapat perhatian
dan menjadikan anak tersebut mudah terpengaruh oleh lingkungan yang
ada disekitarnya.
3. Pemerintahan hakim kua dan tokoh masyarakat yang dalam hal ini juga
berperan sebaiknya lebih memperhatikan masyarakat yang ada disekitar.
Misalnya KUA yang disini berperan sebagai tempat yang menikahkan
alangkah baiknya dalam pasangan yang melakukan pernikahan dini
meskipun tidak memiliki hak harus lebih banyak memberikan penyuluhan
terhadap masyarakat kecil mengenai pernikahan. Dan Hakim sendiri yang
117
memiliki hak untuk memutus dispensasi dan juga perceraian harus
mempertimbangkan 3 asas yaitu kemanfaatan, keadilan dan kepastian
hukum, jika memmang keadaan sangat tidak mendesak untuk lebih
mempertimbangkan lagi dalam setiap keputusan. Karena dalam hal ini
kita dapat menciptakan generasi yang lebih matang untuk menikah.
Dengan lebih mempersulit ijin, meskipun sudah dijelaskan dalam aturan
yang ada tetapi hakim lebih tegas dalam pelaksanaanya. Pemerintah juga
sebaiknya lebih memperhatikan mengenai batas pernikahan usia dini,
meskipun sudah dijelaskan tetapi pemerintah juga memiliki kewajiban
memberikan kejelasan bahwa usia tersebut tidak sepenuhnya merupakan
batas maksimal karena pernikahan dalam usia yang lebih baik diatasnya
maka kesiapan dalam kegala hal akan lebih matang dan itu juga akan
sangat baik dalam membangun sebuah rumah tangga.
118
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz, Dahlan. 1990. Ensiklopedia Hukum Islam Jilid 4. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Abidin, Slamet dan H. Aminudin. Fiqh Munakahat. 1999. Bandung : CV Pustaka
Setia.
Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Tanpa tahun. Ringkasan Shahih Bukhari IV.
Terjemahan oleh Rahmatullah, Fudhail Rahman, dan M. Mansur Huda.
2013. Jakarta: Pustaka Azzam.
Arifin, Syamsul. Studi Komparatif Pemikiran Husein Muhammad Dan Siti
Musdah Mulia Tentang Pernikahan Dini. 2014. PhD Thesis. UIN Sunan
Ampel Surabaya.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Fadhlilah, Nurul. 2013. Factor Factor Penyebab Perceraian (Studi Terhadap
Perceraian Di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang).
Skripsi Jurusan Syariah. Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah. Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.
Fatah, Rohadi Abdul. 2010. Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam.
Jakarta: PT bumi aksara.
Ghozali, Abdul Rahman. 2012. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Hanafi, Yusuf. 2011. Kotroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur (child
Marriage. Bandung: Mandar Maju.
Jannah, Umi Sumbulah Faridatul. 2012. Pernikahan Dini dan Implikasinya
Terhadap Kehidupan Keluarga Pada Masyarakat Madura (Perspektif
Hukum dan Gender). Egalaita.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Kementrian Agama Republik Indonesia. 2012. Al-Qur‟an Qordoba. Jakarta: PT
Qordoba Internasional Indonesia.
119
Khilmiyah, Akif. "Pandangan Remaja dan Orang Tua Terhadap Pernikahan Dini
Dalam Membangun Keluarga di Kabupaten Bantul." (2014). LP2M
Universitas Muhammdiyah Yogyakarta.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia. 2012. Bandung: Citra Umbara.
Koro, Abdi. Perlindungan Anak Dibawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda
dan Perkawinan Siri. 2012. Bandung: PT Alumni.
Musfiroh, Mayadina Rohmi. 2016. Pernikahan Dini dan Upaya Perlindungan
Anak di Indonesia. De Jure: Jurnal Hukum dan Syari‟ah, 8(2):64-73.
(Online) http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/syariah (Diakses
pada 10 Agustus 2017).
Moleong, Leksi J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Muhammad, Husein. Perempuan, Islam, dan Negara. 2016. Yogyakarta: Qalam
Nusantara.
Munti, Ratna Batara dan Hindun Anisa. Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam
di Indonesia. 2005. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Nastangin. 2012. Percerian karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi Putusan di
Pengadilan Agama Salatiga). Skripsi. Skripsi Jurusan Syariah. Program
Studi Ahwal Al-Syakhshiyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.
Nawawi, Hadadi, Mimi Martin. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Poerwadarminta. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Proyek pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN. 1984.
Ilmu Fiqh II. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama.
Rasjid, Sulaiman. 1976. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah.
. 2007. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Robiah, Husnul. 2011. Pertengkaran Sebagai Alasan Perceraian (Studi Putusan
Di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010-2011), Skripsi. Jurusan
Syari‟ah. Program Studiahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Salatiga.
120
Sabiq, Sayid.1981. Fiqih Sunnah 6. Terjemahan oleh Moh Thalib. Bandung:Al-
Ma‟arif.
. 1997. Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Publishing.
Shihab, M. Quraish. 2012 a. Tafsir Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari
Surah-Surah Al-Qur‟an. Buku 1. Tangerang: Lentera Hati.
_______________ 2012 b. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al
Qur‟an. Vol 2. Jakarta: Lentera Hati.
Soedarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Soemiyato, Hukum Perkawainan Islam dan Undang-undang Perkawinan.
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif,
dan R&D). Bandung: ALFABETA.
Summa, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga di Dunia Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Supriyadi, Dedi. 2011. Fiqh Munakahat Perbandingan (dari tekstualitas sampai
legislasi). Bandung: Pustaka setia.
Suratman dan Philips Dillah. 2014. Metode Penelitian Hukum. Bandung:
ALFABETA.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. 2014. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Tahido Yanggo, Huzaimah. 1999. Fikh Perempuan Kontemporer. Yogyakarta:
Ghalia Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2015. Bandung:
Citra Umbara.
Zaenudin, Ahmad. 2010. Konsep Dasar Kehidupan Beragama. Buku pegangan
siswa. Surakarta: SMA Al-Muayyad.
Zaki, Muhammad. 2014. Perlindungan Anak Dalam Perspektif Islam. ASAS:
Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam IAIN Raden Intan, 6(2)1-15. (Online)
http://www.neliti.com (Diakses pada 10 Agustus 2017)
http://digilib.uinsuka.ac.id/5265/1/BAB2012DAFTAR20PUSTAKA.pdf (diakses
pada hari rabu, tanggal 3 januari 2018)
121
http://adab.radenfatah.ac.id/hubunganpernikahandinidenganperceraian.pdf
(diakses pada hari rabu, tanggal 22 januari 2018)
https://journal.unnes.ac.id/artikel_nju/komunitas/2412 (diakses pada hari rabu,
tanggal 16 februari 2018)
Wawancara dengan Bapak Drs. H. Salim, S.H.,M.H., Hakim Pengadilan Agama
Salatiga. Kamis, 15 Februari 2018 di PA Salatiga.
Wawancara dengan Bapak Imam Talmisani, S.Ag., Kepala KUA Kecamatan
Tingkir. Selasa, 30 Januari 2018 di KUA Kecamatan Tingkir.
Wawancara dengan Bapak Muhammad Syukri, S.Ag., Kepala KUA Kecamatan
Argomulyo. Senin, 29 Januari 2018 di KUA Kecamatan Argomulyo.
Wawancara dengan APL. Senin, 15 Januari 2018 di Kecamatan Tuntang.
Wawancara dengan FNA. Selasa, 16 Januari 2018 di Kecamatan Sidomukti.
Wawancara dengan SH, Rabu, 17 Januari 2018 di Kecamatan Tuntang.
Wawancara dengan DAL, Kamis, 18 Januari 2018 di Kecamatan Pabelan.
122
LAMPIRAN
1
Lampiran I
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
Nama : Halimatul Sabrina
Tempat/Tgl Lahir : Banjarnegara, 11 April 1995
Nama Ayah : Mustofa
Nama Ibu : Tasriyah
Alamat Rumah : Desa Beji Rt 01/01 Kec. Banjarmangu
Kab. Banjarnegara
KodePos : 53452
E-Mail : [email protected]
No. Hp : 082225261162
Motto : Bahagia di Dunia dan Akherat
B. Riwayat Pendidikan
SD N Beji tahun lulus 2007
SMP N 2 Banjarmangu tahun lulus 2010
MAN 2 Banjarnegara tahun lulus 2013
Salatiga, 05 Maret 2018
(Halimatul Sabrina)
1
Lampiran II
DAFTAR NILAI SKK
Nama : HALIMATUL SABRINA
NIM : 211-13-046
JURUSAN : HukumKeluarga Islam (HKI)
DosenP.A : Heni Satar Nurhaida, M.Si.
No Nama Kegiatan Pelaksanaan Keterangan Poin
1 SEKOLAH KADER KOPRI (SKK)
oleh PMII KOTA SALATIGA
(Perempuan Sebagai Ujung Tombak
Perubahan Sosial di Era Global)
21-23
November 2014
Peserta
3
2 MAPABA oleh PMII KOTA
SALATIGA (Menemukan Jati Diri
Menuju Mahasiswa yang Peka dan
Peduli)
4-6 Oktober
2013
Peserta
3
3 LIBRARY USER EDUCATION
oleh UPT PERPUSTAKAAN
STAIN SALATIGA
16 September
2013
Peserta
3
4 TRAINING OF TRAINER (TOT)
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
oleh HMJ SYARIAH STAIN
SALATIGA (Selamatkan Bumi
Pertiwi dari Belenggu Korupsi)
Desember 2013 Peserta
3
5 OPAK oleh STAIN SALATIGA
(Rekontruksi Paradigma Mahasiswa
yang Cerdas, Peka dan Peduli)
26-27 Agustus
2013
Peserta
3
6 OPAK oleh FAKULTAS
SYARIAH STAIN SALATIGA
(Revitalisasi Intelektualitas dan
Spiritualitas Mahasiswa Menuju
Kemajuan Indonesia)
29 Agustus 2013 Peserta
3
7 SEMINAR NASIONAL oleh HMPS
AS FAKULTAS SYARIAH STAIN
SALATIGA (Perlindungan Hukum
Terhadap Usaha Mikro Menghadapi
Pasar Bebas Asean)
Desember 2014 Panitia
6
8 SEMINAR NASIONAL oleh
DEMA FAKULTAS SYARIAH
IAIN SALATIGA ( Peran
27 Juni 2015 Peserta
8
2
Mahasiswa Syariah dan Hukum
Dalam Pembangunan Bangsa)
9 WORKSHOP oleh HMJ AS IAIN
SALATIGA (Pelatihan Naib dalam
Mengawali Bahtera Mahligai Rumah
Tangga)
Mei 2015 Peserta
3
10 WORKSHOP PELATIHAN
ADVOKASI oleh DEMA
FAKULTAS SYARIAH IAIN
SALATIGA (Advokasi Wujud Tri
Darma Perguruan Tinggai Ketiga
Sebagai Upaya untuk Mencapai
Kemaslahatan)
3 November
2015
Peserta
3
11 SEMINAR NASIONAL oleh
DEMA FAKULTAS SYARIAH
IAIN SALATIGA (Membentuk
Hakim Progresif dan Profesional
Demi Terciptanya Keadilan)
19 Desember
2015
Peserta
8
12 IAIN SALATIGA
BERSHOLAWAT DAN ORASI
KEBANGSAAN oleh DEMA IAIN
SALATIGA (Menyemai Nilai-Nilai
Islam Indonesia untuk
Memperkokoh Nkri dalam
Mewujudkan Baldatul Toyyibatun
Warobbun Ghofur)
6 November
2015
Peserta
2
13 SEMINAR NASIONAL OLEH
HMJ AS IAIN SALATIGA (Hak
Gender Kaum Difabel dalam
Perspektif Sosiologi dan Hukum
Islam HMJ AS)
24 Desember
2015
Peserta
8
14 WORKSHOP LEGAL DRAFTING
oleh SEMA FAKULTAS
SYARIAH IAIN SALATIGA
(Pembentukan Pemuda Sebagai
Agen Pengawal)
17 November
2015
Peserta
3
15 MAPABA oleh PMII KOTA
SALATIGA (Rekontruksi Mental
Mahasiswa dalam Kerangka
Pergerakan)
17-19 Oktober
2014
Panitia
3
16 KULIAH UMUM FAKULTAS
SYARIAH IAIN SALATIGA
(Gerakan Revivalis Islam Modern
dan Perkembangan Hukum di
Indonesia)
2 Juni 2016 Peserta
2
17 SEMINAR NASIONAL oleh 2 Juni 2016 Peserta 8
3
DEMA FAKULTAS SYARIAH
IAIN SALATIGA (Analisis Metode
Imsakiyah yang Berkembang Di
Indonesia)
18 SEMINAR NASIONAL oleh HMJ
AS FAKULTAS SYARIAH IAIN
SALATIGA (Rekontruksi Ideal
Sistem Peradilan di Indonesia)
22 September
2016
Peserta
8
19 DIALOG NASIONAL oleh DEMA
IAIN SALATIGA (Peningkatan
Konsep Hablum Minannas Melalui
Ramadhan)
19 Juni 2016 Peserta
6
20 SEMINAR NASIONAL oleh HMJ
SKI IAIN SALATIGA (Sejarah dan
Revitalisasi Identitas Bangsa)
8 November
2016
Peserta
6
21 HAFLAH ATTASYAKKUR LIL
IKHTITAM (Pengajian) oleh
MAHASISWA KKN IAIN
SALATIGA
24 Februari
2017
Panitia
2
22 KULIAH UMUM oleh HES IAIN
SALATIGA (Kontribusi Fatwa-
Fatwa DSN MUI terhadap
Perkembangan Hukum Ekonomi
Syari‟ah di Indonesia)
8 Mei 2017 Peserta
2
23 DIALOG INTERAKTIF oleh
SEMA dan DEMA IAIN
SALATIGA (Peneguhan Kaum
Intelektual dalam Menolak Paham
Radikalisme dan Intoleransi)
31 Oktober 2016 Peserta
2
24 PENYERAPAN ASPIRASI
MASYRAKAT oleh MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT (MPR) RI bekerja sama
dengan PENGURUS DAERAH
TUNAS INDONESIA RAYA
JAWA TENGAH (Memperkuat
Peran Pemuda dalam Bingkai
Kebhinnekaan)
5 Agustus 2017 Peserta
6
25 SEMINAR NASIONAL oleh HMJ-
PMI (mengembangkan Layanan
Kemanusiaan Berbasis Kearifan
Lokal Komunitas)
17 Desember
2016
Peserta
6
26 TRAINING OF TRAINER oleh
KOPMA “FATAWA” IAIN
SALATIGA (Memahami
Kepribadian Kepemimpinan yang
10-11 Oktober
2015
Peserta
3
4
1
Lampiran III
PENUNJUKAN PEMBIMBING SKRIPSI
1
Lampiran IV
PERMOHONAN IJIN PENELITIAN
2
3
4
5
6
7
1
Lampiran V
LEMBAR KOSULTASI SKRIPSI
2
1
Lampiran VI
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
A. PASANGAN MENIKAH
1. Siapa nama lengkap anda dan nama orang tua anda?
2. Alamat dan tempat tanggal lahir sodara/sodari kapan? Beserta pasangan.
3. usia berapa sekarang?
4. Apakah seorang yang bermana……merupakan istri/suami anda?
5. Sejak kapan anda menikah?
6. Sejak umur berapa anda menikah?
7. Apakah sudah memiliki keturunan?
8. Apakah kedua orang tua dari masing-masing pasangan mengetahui dan
menyetujui?
9. Apakah mendapatkan Dispensasi dari Pengadilan Agama?
10. Apakah pernikahan anda sudah dicatat di KUA?
11. Apa yang melatarbelakangi anda melakukan pernikahan dini?
12. Bagaimana kehidupan rumah tangga anda setelah menikah?
13. Ketika terjadi masalah dalam rumah tangga hal pertama apa yang anda
lakukan?
14. Berapa lama anda mempertahankan hubungan pernikahan?
15. Mengapa anda bercerai?
16. Apa saja faktor terjadinya perceraian pada rumah tangga anda?
17. Mengapa anda cenderung melakukan perceraian?
18. Mengapa tidak berusaha mempertahankan tali pernikahan anda?
19. Apakah perceraian anda dilakukan di Pengadilan Agama? Tanggal
berapa?
20. Siapa yang mengajukan gugatan perceraian?
21. Berapa bulan proses perceraian?
22. Apakah dalam dispensasi tidak berhasil dilakukan?
23. Apakah ada niatan untuk rujuk kembali?
24. Apakah masih ada komunikasi?
B. HAKIM
1. Kapan Bapak mulai menjabat sebagai hakim di Kota Salatiga?
2. Bagaimana pendapat Hakim tentang pernikahan dini di wilayah Hukum
Pengadilan Agama Salatiga?
3. Apakah Hakim setuju dengan adanya pernikahan dini? Jelaskan
alasannya!
4. Bagaimana jika jaman pernikahan Rasullulah dimasukan dalam
kehidupan sekarang? Sesuai atau tidak?
5. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah?
2
6. Apa faktor penyebab diajukannya dispensasi?
7. Apakah bapak mengetahui bahwa salah satu dampak pernikahan dini
adalah beresiko pada perceraian?
8. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian
pasangan nikah dini? apakah sama dengan perceraian pada umumnya?
9. Bagaimana menurut bapak mengenai perceraian tersebut?
10. perlukah peran pemerintah atau tokoh masyarakat mengenai pernikahan
dini agar terhindar dari perceraian?
11. Bagaimana masukan atau soslusi bapak mengenai pasangan yang telah
melakukan pernikahan dini dan yang telah bercerai diusia dini?
C. KEPALA KUA
1. Kapan Bapak mulai bekerja di KUA?
2. Sejak Kapan Bapak menjadi Kepala KUA di Kota Salatiga?
3. Bagaimana pendapat Kepala KUA tentang pernikahan dini?
4. Apakah Kepala KUA setuju dengan pernikahan dini? Jelaskan!
5. Bagaimana jika jaman pernikahan Rasullulah dimasukan dalam kehidupan
sekarang? Sesuai atau tidak?
6. Apak faktor penyebab perkawinan anak usia dini di KUA?
7. Apakah kepala KUA memiliki peran untuk pencegaha terhadap
pernikahan dini?
8. Ketika dispensasi tidak dilakukan dan ada pemalsuan data apakah dari
KUA mengetahui?
9. Apakah KUA memiliki hak untuk menolak pernikahan yang dilakukan
oleh pasangan usia dini?
10. Bagaimana saran atau sousi mengenai pernikahan dini yang ada untuk
saat ini?
1
Lampiran VIII
KARTU KELUARGA APL
2
SURAT KETERANGAN PINDAH APL
3
KARTU KELUARGA FNA
4
KARTU KELUARGA SH
5
SURAT DISPENSASI DARI KECAMATAN
UNTUK AF DAN SH
1
Lampiran IX
FOTO BERSAMA HAKIM PENGADILAN AGAMA SALATIGA
FOTO BERSAMA KEPALA KUA TINGKIR
FOTO BERSAMA KEPALA KUA ARGOMULYO
2