Upload
buikien
View
251
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN
KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAIKATION ANION BERBEDA
DEDEN SUDRAJAT
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN
KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAIKATION ANION BERBEDA
DEDEN SUDRAJAT
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN
KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAIKATION ANION BERBEDA
DEDEN SUDRAJAT
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DANSUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Performa Produksi dan
Reproduksi Domba Garut yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kromium,
Kalsium dan Bernilai Kation Anion Berbeda adalah karya saya sendiri dengan
arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir setiap topik disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Deden Sudrajat
NIM D162070011
ABSTRACT
DEDEN SUDRAJAT. Production and Reproduction Performances of GarutSheep Fed with Different Levels of Chromium, Calcium and Cation-AnionBalance. Supervised by TOTO TOHARMAT, ARIEF BOEDIONO, IDAT G.PERMANA, and R. IIS ARIFIANTINI.
Chromium (Cr) is an essential mineral for ruminants. Its metabolism andinteractions with other minerals has not been widely known. Besides thatchromium mineral and cation-anion balance in ration affects acid-base balanceand mineral metabolism in body liquid. Changes in the acidity of body liquidindirectly affect the characteristics of animal production and reproduction. Twoexperiments were conducted to assess the production and reproductionperformance of Garut sheep offered rations with different dietary cation anionbalance (DCAB) and supplemented with chromium (Cr) and calcium (Ca). In thefirst experiment four dietary treatments, namely: R0 (basal diet); R1 (R0+Cr 3ppm), R3 (R0+ Ca); R3 (R2+ Cr 3 ppm), were allocated in twenty four of 1.5-2years old Garut grade rams in a randomized block design. Albumin separationmethod was used to separated X and Y spermatozoa of Garut sheep. In the secondexperiment, treatments consisted of combinations of mating patterns and pre-gestating rations, namely: Ram R3 (Cr + DCAB 0) x Ewe R0 (DCAB +14)(RJA); Ram R1 (Cr+ DCAB+14) x Ewe R2 (Cr + DCAB-10) (RBA); Ram R0(DCAB+14) x Ewe R0 (DCAB+14) (RJBB). In the first experiment, the resultsshowed that Cr supplementation in rations containing different levels of Ca didnot affect feed intake, body weight gain, and dry matter digestibility, but reducedthe absorption of Cr and also the absorption of Ca of the low Ca diet. Theincreased of Cr intake decreased the absorption of Cr. Supplementation of Cr hadno effect on Cr, Ca, Zn, and Mg status in blood and semen of the rams. Intake ofCr and Ca were not related to the semen Cr and Ca levels. However Level of Crintake tended to correlate negatively with the Cr absorption and correlatepositively with blood Cr levels. There was a positive relationship between thelevel of Ca intake with the Ca and Mg absorption and blood Ca and Zn levels. Theresults showed that Cr supplementation in the ration with different level of Caand dietary cation anion balance (DCAB) not affect the rectal temperature as wellas in respiration rate of Garut rams. Supplementation of Cr in the ration does notaffect semen quality of Garut rams either macroscopically or microscopically.Supplementation of Cr in ration containing acid DCAB reduced semen pH andmembrane integrity the lower fraction spermatozoa on day 49. In the secondexperiment, results showed that there was a close relationship between gestationalperiods and body weight gain of gestating ewes. Cr supplementation and DCABreduction in ram and ewe pre-gestating rations did not affect gestational periods.Lambs number of the same birth from Cr and DCAB10-supplemented ewes matedwith Cr-supplemented rams tended to increase. Sex ratio of offspring from ewesmated with Cr and DCAB 0-supplemented rams tended to decrease.
Key words: Chromium, dietary cation-anion balance, sex ratio of offspring
RINGKASAN
DEDEN SUDRAJAT. Performa Produksi dan Reproduksi Domba Garut yangMendapat Ransum Bersuplemen Kromium, Kalsium dan Bernilai Kation AnionBerbeda. Dibawah bimbingan TOTO TOHARMAT, ARIEF BOEDIONO, IDATG. PERMANA, and R. IIS ARIFIANTINI.
Kromium (Cr) adalah mineral penting bagi ternak ruminansia. Metabolismedan interaksi mineral Cr belum banyak diketahui. Namun demikian beberapalaporan menunjukkan peranannya dalam metabolisme karbohidrat, protein danlemak. Suplementasi garam mineral kromium dan mineral makro lainnya dapatmempengaruhi keseimbangan kation dan anion cairan tubuh, yang pada akhirnyaakan mempengaruhi keseimbangan asam basa cairan tubuh. Suplementasi garammineral Cr juga akan mempengaruhi metabolisme mineral lainnya. Keseimbangankation anion dalam tubuh dapat dipengaruhi melalui pengaturan kadar natrium(Na), kalium (K), khlor (Cl), dan sulfur (S) ransum yang disebut neraca kationanion ransum (NKAR).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji manfaat suplementasi Cr padaransum dengan nilai NKAR dan berkadar Ca berbeda. Domba Garut yang prolifikdigunakan sebagai model untuk mengkaji performa produksi dan reproduksisebagai respon terhadap suplementasi Cr pada ransum dengan nilai NKAR dan Caberbeda. Penelitian ini terdiri atas dua tahap percobaan. Percobaan pertama adalahmengkaji performa produksi, metabolisme mineral dan kualitas semen dombaGarut. Percobaan menggunakan 24 ekor domba Garut Jantan berasal dariSumedang berumur ± 1.5 tahun dengan bobot badan 32.02±3.71 kg. Ransumperlakuan terdiri atas: R0 (ransum basal); R1 (R0+Cr 3 ppm); R2 (R0+Ca); R3(R2+Cr 3 ppm), menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Mineral Cryang digunakan adalah Cr yang terinkorporasi dalam kacang kedele selama prosesfermentasi tempe oleh ragi (ragi kaya Cr). Separasi spermatozoa menggunakanmetoda separasi albumin telur. Percobaan kedua adalah mengkaji pola kelahirananak domba Garut. Sebanyak 17 ekor domba betina umur 20-30 bulan denganbobot badan awal 30.3±1.98 kg digunakan untuk percobaan ini. Setiap ekordomba betina dikawinkan dengan salah satu dari 3 pejantan yang telah diberiransum perlakuan selama 49 hari dari percobaan pertama. Perlakuan padapenelitian ini adalah pola perkawinan berdasarkan perbedaan jenis ransum yangdiberikan kepada jantan dan betina sebelum bunting. Pola perkawinan dombatersebut adalah sebagai berikut: (1) Perkawinan RJA: Domba Jantan R3(Cr+NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); (2) Perkawinan RBA: DombaJantan R1 (Cr+NKAR +14) x Domba betina R2 (Cr+NKAR -10); (3) PerkawinanRJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14).
Hasil penelitian pada percobaan pertama menunjukkan bahwa suplementasiCr dalam ransum yang mengandung Ca berbeda tidak mempengaruhi konsumsiransum, pertambahan bobot badan, dan kecernaan bahan kering ransum, tetapimenurunkan penyerapan Cr dan juga menurunkan penyerapan Ca pada ransumrendah Ca. Peningkatan konsumsi Cr menurunkan penyerapan Ca. SuplementasiCr tidak berpengaruh pada status Cr, Ca, Zn dan Mg dalam darah dan semen.
Konsumsi Cr dan Ca tidak berhubungan dengan kadar Cr dan Ca semen. Namundemikian, tingkat konsumsi Cr cenderung berhubungan negatif dengan tingkatpenyerapan Cr dan berhubungan positif dengan kadar Cr darah. Terdapathubungan positif antara konsumsi Ca dengan tingkat penyerapan Ca dan Mg jugadengan kadar Ca dan Zn darah. Hasil penelitian menunjukkan suplementasi Crdalam ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi suhu rektaldan laju respirasi domba Garut jantan. Suplementasi Cr dalam ransum tidakmempengaruhi kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupunmikroskopis. Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asammenurunkan pH semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang sangat erat antaraumur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting. Suplementasi Crdan penurunan NKAR pada ransum domba jantan dan betina sebelum dikawinkantidak mempengaruhi lama kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran pada anakdomba hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dengan betinayang disuplementasi Cr dan NKAR -10 cenderung meningkat. Rasio jeniskelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan yangdisuplementasi Cr dan NKAR 0 cenderung menurun.
Kata kunci: kromium, neraca kation-anion ransum, ratio jenis kelamin anak
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkanatau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atautinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentinganyang wajar IPBDilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN
KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAIKATION ANION BERBEDA
DEDEN SUDRAJAT
DisertasiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor padaMayor Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Asep Sudarman, M.RurSc
2. Dr. Ir. Didid Diapari, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof (R). Dr. drh. Herdis, M.Si
2. Dr. Ir. Jajat Jachja, M.Agr
Judul Disertasi : Performa Produksi dan Reproduksi Domba Garut yangMendapat Ransum Bersuplemen Kromium, Kalsiumdan Bernilai Kation Anion Berbeda
Nama Mahasiswa : Deden SudrajatNIM : D162070011Program Studi/Mayor : Ilmu Nutrisi dan Pakan (INP)
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. Prof. Dr. drh. Arief BoedionoKetua Anggota
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Agr.Sc. Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.SiAnggota Anggota
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi Dekan Sekolah Pascasarjana IPBdan Teknologi Pakan
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Agr.Sc. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal ujian: 19 Januari 2012 Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan pada jenjang S3
Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan di Sekolah Pascasarjana IPB serta dapat
menyelesaikan penelitian disertasi ini dengan baik. Disertasi ini bertujuan untuk
mengkaji suplementasi mineral kromium, kalsium dan neraca kation-anion
ransum terhadap performa produksi dan reproduksi domba Garut. selain itu
mengkaji pengaruhnya terhadap nilai rasio kelamin anak domba yang dilahirkan.
Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah Media
Peternakan No. 34(3) tahun 2011, dengan judul Mineral Utilization in Rams Fed
Ration Supplemented with Different Levels of Chromium, Calcium, and Cation-
Anion Balance.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan menyampaikan
penghargaan yang tinggi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.
sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. drh. Arief Boediono, Bapak
Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc. dan Ibu Prof. Dr. Dra. R.Iis Arifiantini, M.Si.
masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, nasehat,
perhatian dan bimbingannya sejak pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian
sampai pada penulisan disertasi, sehingga dapat menambah wawasan dan
pengalaman penulis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan karya ilmiah.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Rektor
Universitas Djuanda, Bapak Koordinator Kopertis Wilayah IV Bandung, dan Ibu
Dekan Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan, Kajur Jurusan Peternakan dan
rekan-rekan dosen atas izin, dorongan semangat, dan doanya sehingga penulis
dapat melanjutkan sekolah pascasarjana. Demikian pula tak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada Rektor Insitut Pertanian Bogor, Dekan dan
staf Sekolah Pasca sarjana IPB, Dekan Fakultas Peternakan IPB, Koordinator
Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan beserta staf dosen, laboran dan staf administrasi
atas penerimaan dan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti pendidikan
program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada tim manajemen Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS)
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Hibah
Penelitian Tim Pascasarjana dan Hibah Penelitian Doktor, atas beasiswa dan dana
penelitian yang diberikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Laboratorium
Nutrisi Ternak Perah, Kepala Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja
Fakultas Peternakan IPB dan Kepala Laboratorium Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi buatan, Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik Reproduksi
dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas izin penggunaan sarana dan
fasilitas laboratorium selama penelitian berlangsung. Tidak lupa penulis ucapakan
terima kasih kepada Mas Bondan, Mbak Dian, dan Amir atas bantuan selama
penelitian berlangsung. Penulis ucapkan pula terima kasih kepada Fahmul, Rimba
dan Edo atas bantuan dan kerjasamanya. Kepada rekan sesama mahasiswa
program doktor Pak Dede Kardaya, Bu Fauzia Agustin, Mas Iwan dan Bu Sri
Suharti, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan diskusinya selama
penulis mengikuti pendidikan dan penelitian di Sekolah Pascasarjana IPB.
Terima kasih setinggi-tingginya dan penulis persembahkan karya ini
kepada Mamah, Bapak, Istri dan Anak-anak penulis sayangi serta kakak dan adik-
adik penulis atas segala kasih sayang, pengertian, doa dan bantuan moril maupun
meteril sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan pendidikan
dengan baik.
Akhir kata, semoga disertasi ini bermanfaat dan Alloh SWT senantiasa
meridoi, memberi hidayah, taufik dan inayah kepada kita semua.
Bogor, Januari 2012
Deden Sudrajat
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di DKI Jakarta, pada tanggal 4 September 1965. Penulis
adalah anak kedua dari enam bersaudara dari bapak yang bernama Ading
Supriyatna dan Ibu Hj. Tating Fatimah. Pada tahun 1979 penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Silih Asuh II, Cirebon. Kemudian
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri III, Cirebon dan lulus pada
tahun 1982. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri Cibadak,
Sukabumi, mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus tahun 1985.
Pada tahun 1985, penulis diterima sebagai mahasiswa S1 Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 1991. Sejak tahun 1992
sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar Kopertis IV Bandung
diperbantukan di Jurusan Peternakan Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan,
Unversitas Djuanda Bogor. Pada tahun 1996 sambil tetap bekerja, penulis
melanjutkan pendidikan jenjang S2 pada Program Studi Ilmu Ternak Subprogram
Nutrisi Ternak, Program Pascasarjana IPB Bogor dan lulus tahun 2000. Sejak
tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program doktor pada Mayor Ilmu
Nutrisi dan Pakan, Sekolah Pascasarjana, IPB.
Penulis menikah dengan Lia Sobarliah, S.Pd pada tanggal 28 Pebruari
1998 dan dikaruniai tiga orang putra-putri yaitu Nisrina Alya Sudrajat (13 tahun),
Denia Rizki Sudrajat (10 tahun), dan Fadhlan Fawaz Sudrajat (18 bulan).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xviii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix
PENDAHULUAN...................................................................................................1
Latar Belakang ....................................................................................................1
Tujuan Penelitian.................................................................................................4
Manfaat Penelitian...............................................................................................5
Hipotesis Penelitian.............................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................7
Deskripsi Domba Garut.......................................................................................7
Neraca Kation Anion Ransum.............................................................................8
Mineral Kromium................................................................................................9
Kromium sebagai Nutrien ...................................................................... 9Metabolisme Kromium......................................................................... 10Interaksi Mineral Cr dengan Mineral Lain ........................................... 11Fungsi dan Keuntungan Bentuk Cr-Organik ....................................... 11Suplementasi Kromium dalam Ransum ............................................... 12
Fisiologi Semen Domba ....................................................................................13
Semen Domba ...................................................................................... 13Spermatogenesis ................................................................................... 14
Rasio Kelamin Anak yang Dilahirkan...............................................................17
UTILISASI MINERAL PADA DOMBA JANTAN DENGANRANSUMBERSUPLEMEN KROMIUM, KALSIUM DAN KATION-
ANION BERBEDA ..............................................................................................18
ABSTRAK ........................................................................................................18
PENDAHULUAN.............................................................................................20
MATERI DAN METODE ................................................................................21
Pakan Percobaan................................................................................... 21Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya................................................ 21
xvi
Pengambilan Sampel dan Analisis........................................................ 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 23
Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Jantan......... 23Absorpsi Mineral Ransum pada Domba Garut Jantan.......................... 25Status Mineral Semen dan Darah Domba Garut Jantan........................ 28Kecernaan Nutrien Ransum Perlakuan ................................................. 30
SIMPULAN ...................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 31
KONDISI FISIOLOGIS DAN KUALITAS SEMEN DOMBA GARUTYANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM, KALSIUMDAN NERACA KATION ANION BERBEDA ................................................ 35
ABSTRAK........................................................................................................ 35
PENDAHULUAN ............................................................................................ 37
BAHAN DAN METODE................................................................................ 39
Tempat dan waktu................................................................................. 39Pakan Percobaan ................................................................................... 39Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya ................................................ 40Pengambilan Sampel dan Analisis........................................................ 40
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 41
Suhu dan Kelembaban Kandang........................................................... 41Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Garut Jantan.......................... 42Profil Hematologi Darah Domba Garut Jantan.................................... 44Kualitas Semen Domba Garut .............................................................. 45Motilitas dan MPU Spermatozoa Hasil Separasi .................................. 49
SIMPULAN ...................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 53
POLA KELAHIRAN ANAK DARI INDUK DOMBA GARUT YANGMENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA
KATION ANION BERBEDA ............................................................................ 57
ABSTRAK........................................................................................................ 57
PENDAHULUAN ............................................................................................ 59
BAHAN DAN METODE................................................................................. 61
Bahan Penelitian ................................................................................... 61Rancangan Percobaan ........................................................................... 63Pelaksanaan Penelitian.......................................................................... 63Peubah yang Diamati ............................................................................ 64
xvii
xvii
HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................64
Konsumsi BK Ransum, Nutrien dan Bobot Badan Domba BetinaBunting .......................................................................................... 64
Jumlah Anak, Rasio Jenis Kelamin, Bobot Lahir Anak dan LamaKebuntingan Domba Garut............................................................ 67
SIMPULAN.......................................................................................................70
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................70
PEMBAHASAN UMUM .....................................................................................73
SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................79
Simpulan Umum................................................................................................79
Saran Umum......................................................................................................80
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................81
LAMPIRAN..........................................................................................................85
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan...................................... 22
2 Konsumsi bahan kering (BK), Cr, Ca, Zn, Mg dan pertambahan bobotbadan harian (PBBH) domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasiCr dan Ca .......................................................................................................... 24
3 Absorpsi mineral Cr, Ca, Zn dan Mg ransum domba Garut jantan yangransumnya disuplementasi Cr dan Ca............................................................... 26
4 Korelasi dan regresi konsumsi mineral dengan absorpsi dan status mineraldalam semen dan darah domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasiCr dan Ca .......................................................................................................... 27
5 Status Cr, Ca, Zn dan Mg (ppm) dalam semen dan darah domba Garut yangransumnya disuplementasi Cr dan Ca............................................................... 29
6 Kecernaan nutrien dan energi dapat dicerna (DE) ransum domba Garut yangransumnya disuplementasi Cr dan Ca............................................................... 30
7 Suhu rektal dan laju respirasi domba Garut yang ransumnya disuplementasiCr dan Ca .......................................................................................................... 43
8 Profil hematologi darah domba Garut jantan yang ransumnyadisuplementasi dengan Cr dan Ca..................................................................... 45
9 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr danCa pada H0 ........................................................................................................ 47
10 Kualitas semen domba Garut jantan uang ransumnya disuplementasi Cr danCa pada H21 ....................................................................................................... 48
11 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr danCa pada H49...................................................................................................... 48
12 Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah (%) hasil separasialbumin semen domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca....... 50
13 Komposisi dan kandungan nutrien ransum domba Garut jantan dan betinapra-bunting........................................................................................................ 62
14 Konsumsi nutrien pada domba Garut bunting (g) ............................................ 66
15 Rataan bobot badan domba Garut betina selama kebuntingan (kg) ................. 66
16 Jumlah anak sekelahiran, rasio jenis kelamin, lama kebuntingan dan bobotlahir anak domba Garut..................................................................................... 68
xix
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bagan alir penelitian .………………………………………………………… 5
2 Domba Garut jantan .……………………………………………………….… 8
3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis ............................................... 15
4 Konsumsi bahan kering ransum domba Garut jantan ………………………. 23
5 Pertambahan bobot badan domba Garut jantan .............................................. 24
6 konsumsi ransum domba Garut betina bunting (g BK) ................................. 65
7 Pertambahan bobot badan domba Garut betina bunting (kg) ......................... 67
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komponen medium Brackett-Oliphant (BO) .................................................. 86
2 Alur proses separasi spermatozoa dengan media albumin (Saili, 1999) .........87
3 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Cr ....................................................88
4 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Ca ....................................................88
5 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Cr .......................... .............................89
6 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Ca .......................................................90
7 Analisis ragam dan uji Tukey MPU spermatozoa fraksi bawah ......................90
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Performa produksi suatu ternak tidak hanya dilihat dari sifat
pertumbuhannya. Selain itu karakteristik reproduksi ternak merupakan bagian
yang penting juga dalam proses produksi. Ternak domba yang menghasilkan
banyak anak (prolifik) sangat menguntungkan bagi peternak, dan untuk
menghasilkan produksi ternak yang tinggi dibutuhkan induk sebagai penghasil
bakalan anak domba. Oleh karena itu kebutuhan ternak domba betina sangat
penting bagi proses produksi ternak. Pada ternak perah (kambing dan sapi perah)
peningkatan kelahiran anak betina sangat penting bagi produksi susu.
Cunningham (1975) menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat meningkatkan
efsiensi produksi susu sampai 30% jika pada saat inseminasi buatan dapat
diseleksi kelahiran anak betina. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penentuan
jenis kelamin anak sebelum dilahirkan. Menurut Johnson (2000) praseleksi jenis
kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting
untuk meningkatkan efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia.
Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang
generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi
semakin diperlukan.
Domba Garut adalah ternak domba asal Jawa Barat yang merupakan plasma
nutfah penting untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak domba
mengalami peningkatan dari tahun 2004 (8.075.000 ekor) sampai 2009
(10.199.000 ekor), sedangkan jumlah produksi daging pada tahun 2009 dari sapi
potong dan kerbau 443.9 ribu ton; kambing dan domba 128.1 ribu ton (Direktorat
Jenderal Peternakan 2010). Domba Garut memiliki tingkat kesuburan tinggi
(prolifik), memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber
daging dan dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah. Domba ini
banyak dipelihara sebagai domba aduan (tipe tangkas) dan sebagai sumber
pedaging (tipe pedaging) (Mansjoer et al. 2007). Usaha yang dilakukan untuk
mengembangkan dan melestarikan domba Garut dapat dilakukan melalui
optimalisasi dan aplikasi teknologi reproduksi bantuan pada domba Garut
2
(Boediono et al. 2007). Selain itu pelestarian dan pengembangan domba Garut
banyak pula dilakukan melalui perbaikan, manipulasi nutrisi dan pemberian
pakan.
Usaha menggeser rasio jenis kelamin telah dilakukan. Sebagian penelitian
yang dilakukan adalah pemisahan secara langsung spermatozoa X dan Y dari
ejakulat dengan menggunakan berbagai metode. Beberapa metode pemisahan
spermatozoa X dan Y telah dilakukan dengan teknik Motilty and electrophoretic
separation, Iso electric focusing dan sephadex column (Hafez 1987). Penggunaan
larutan 6% BSA (Bovine Serum Albumin) untuk memisahkan spermatozoa X
dan Y menghasilkan rasio jantan 22.2% dan betina 77.8% (Hendri 1992). Saili
(1999) melakukan separasi spermatozoa dengan menggunakan albumin telur
sebagai medium separasi menghasilkan 71.43% spermatozoa betina pada bagian
lapisan atas.
Selain daripada itu upaya lain dilakukan untuk tujuan tersebut dengan
melakukan manipulasi nutrisi baik itu nutrien makro maupun nutrien mikro dan
mineral. Makanan dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin anak, khususnya
kalori tinggi dalam ransum secara nutrisi lengkap mempengaruhi jenis kelamin
anak (Rosenfeld et al. 2003: Rosenfeld & Robert 2004). Suplementasi mineral
tertentu juga dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin, terutama mineral yang
mempengaruhi keasaman cairan tubuh. Ketidakseimbangan Na, K, dan Ca dalam
ransum dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin (Stolkowski & Lorrain 1980;
Celik et al. 2003). Pengaturan mineral ransum menghasilkan perubahan neraca
kation anion ransum (NKAR). Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar
terhadap proses metabolisme dalam tubuh. Kation Na dan K, serta anion Cl dan S
adalah ion utama yang dapat mempengaruhi status asam-basa dalam tubuh (Chan
et al. 2005; Fathul et al. 2008).
Nutrien penting bagi pertumbuhan dan proses reproduksi ternak. Kecukupan
nutrien makro, harus disertai pula dengan terpenuhinya akan kebutuhan nutrien
mikro, untuk meningkatkan proses metabolisme dalam tubuh. Kebutuhan akan
akan nutrien makro dan mikro telah didefinisikan dengan baik (NRC 2007).
Pentingnya Cr telah diketahui namun sampai saat ini kebutuhannya belum dapat
dinyatakan dengan tepat (Suttle 2010). Mineral Cr dalam bentuk glucose
3
tolerance factor (GTF) dalam aliran darah diketahui berperan meningkatkan
masuknya glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin
(NRC 2001), yang dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan sintesis protein
(Pollard et al. 2001; Suttle 2010), berpartisipasi menjaga stabilitas struktur protein
dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi untuk pertumbuhan dan
perkembangan fetus (Lindemann et al. 2004; Pechova & Pavlata 2007).
Defisiensi Cr dapat menekan sintesis asam nukleat dan menurunkan jumlah
spermatozoa serta fertilitas pada rodensia (Anderson & Polansky 1981). Kadar
Cr yang tinggi merugikan dalam produksi spermatozoa (Skandhan et al. 2005),
mengubah kualitas semen dan hormon reproduksi serta menurunkan jumlah dan
morfologi spermatozoa yang normal (Kumar 2008).
Penelitian mengenai Cr masih sedikit demikian juga rekomendasi kebutuhan
mineral maupun ketersediannya dalam pakan masih terbatas (NRC 1997).
Kebutuhan nutrisi untuk Cr tidak didefinisikan, tetapi akan meningkat pada
kondisi seperti aktivitas gerak, tranportasi, dan infeksi ketika kehilangan Cr dalam
urin meningkat (NRC 2007) dan pada kondisi cekaman panas (Alsaiady 2004).
Beberapa peneliti memberikan Cr dalam pakan untuk memenuhi kebutuhan akan
Cr. Usaha untuk menentukan kebutuhan konsentrasi Cr serta ketersediaannya
dalam pakan dan suplemen untuk diberikan pada ternak ruminan terus dilakukan
oleh beberapa peneliti. Suplemen Cr meliputi CrNic, CrCl3, CrPic, Cr-khelat dan
jamur kaya Cr. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh
positif tetapi hasilnya tidak konsisten (NRC 1997).
Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengkaji pengaruh perubahan
NKAR terhadap performa produksi dan reproduksi. Fathul et al (2008)
melaporkan rasio jenis kelamin tidak dipengaruhi oleh nilai NKAR dalam ransum
domba Garut betina tetapi berhubungan pH cairan vagina dan pada NKAR
ekstrim akan menurunkan performa produksi. Di sisi lain penurunan NKAR pada
domba Garut jantan akan menurunkan pH semen dan diduga domba betina yang
dikawinkan dengan pejantan yang diberi ransum dengan NKAR asam akan
melahirkan anak betina lebih besar daripada jantan (Hidayat et al. 2009). Hasil
tersebut menunjukkan masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi rasio jenis
kelamin anak yang dilahirkan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis
4
tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh suplementasi Cr dan Ca dalam
ransum dengan nilai NKAR berbeda terhadap rasio jenis kelamin anak yang
dilahirkan tanpa mengganggu performa produksi dan reproduksi domba Garut
betina dan jantan.
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap percobaan (Gambar 1). Perobaan
pertama dilakukan untuk mengkaji performa produksi, metabolisme mineral dan
kualitas semen domba Garut jantan yang mendapat suplementasi Cr pada ransum
dengan kadar Ca dan NKAR berbeda. Ransum yang memberikan respon positif
terhadap kualitas semen dan karakteristik spermatozoa, digunakan pada percobaan
kedua. Percobaan kedua dilakukan untuk mengkaji pola kelahiran anak domba
Garut dari induk domba yang mendapat ransum bersuplemen Cr dan Ca dengan
NKAR berbeda. Pada penelitian tahap kedua, khususnya akan diperoleh ransum
percobaan yang dapat menggeser ratio jenis kelamin anak dari domba Garut.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji performa produksi dan reproduksi
domba Garut jantan yang diberi ransum bersuplemen Cr dan Ca dalam ransum
dengan neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda. Tujuan khusus penelitian
ini adalah:
1. Mempelajari pengaruh suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan
neraca kation anion berbeda pada performa produksi yaitu utilisasi mineral
dan pertambahan bobot badan domba Garut jantan.
2. Mempelajari pengaruh suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan
neraca kation anion berbeda pada performa reproduksi yaitu kualitas
semen dan karakteristik spermatozoa fraksi atas dan bawah hasil separasi
albumin semen domba Garut.
3. Mengkaji efektivitas neraca kation anion ransum dan Cr dalam
mempengaruhi pola kelahiran anak khususnya rasio kelamin anak domba
yang dilahirkan.
5
Gambar 1. Bagan alir penelitian
Ransum yang disuplementasi Cr, Ca, pada NKAR Berbeda
Domba Garut Jantan Domba Garut Betina
Pertumbuhandan UtilisasiMineral Ca, Ca,Zn dan Mgdomba GarutJantan
Kualitas SemenSegar danSemen HasilSeparasiAlbumin
Pola kelahiran Anak:Rasio jenis kelaminJumlah kelahiranBobot badan
Pemberian ransumperlakuan dan
pengamatan selama 49hari
Pemberian ransumperlakuan selama 49 hari
Dikawinkan
6
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat khususnya peternak mengenai:
1. Suplementasi Cr dan Ca pada ransum dengan nilai NKAR berbeda pada
ternak ruminansia, khususnya domba.
2. Pola interaksi mineral yang terjadi karena suplementasi Cr dan Ca dalam
ransum.
3. Pola kelahiran anak domba Garut khususnya rasio jenis kelamin akibat
suplementasi Cr dan perubahan nilai NKAR.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan NKAR 0 akan
mempengaruhi konsumsi, pertumbuhan, status mineral semen dan darah,
dan absorpsi mineral ransum domba Garut.
2. Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan NKAR 0 akan
mempengaruhi kualitas makroskopis dan mikroskopis semen serta dan
mempengaruhi karakteristik spermatozoa fraksi atas dan bawah semen
domba Garut hasil separasi albumin.
3. Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan NKAR 0 akan
menurunkan rasio jenis kelamin anak domba Garut yang dilahirkan.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Domba Garut
Domba Priangan atau domba Garut adalah hasil persilangan antara tiga
bangsa domba yaitu domba lokal, merino dan ekor gemuk dari Afrika Selatan.
Ciri-ciri domba priangan adalah berbadan besar dan lebar serta leher kuat
sehingga dapat digunakan sebagai domba aduan. Bobot domba jantan mencapai
60 – 80 kg dan domba betina 30 – 40 kg. Domba jantan bertanduk besar dan
melengkung ke belakang berbentuk spiral (Gambar 2). Bagian pangkal tanduk
kanan dan kiri hampir bersatu. Domba betina tidak bertanduk. Warna bulu
beragam ada yang putih hitam dan coklat atau warna campuran tetapi umumnya
berwarna dasar putih dan berbulu lurus. Ciri khas domba ini ialah mempunyai
daun telinga yang kecil kuat dan agak runcing, atau ada yang tidak mempunyai
daun telinga sama sekali. Domba Garut memiliki tingkat kesuburan tinggi
(prolifik), potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dan
dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah. Domba ini banyak dipelihara
sebagai domba aduan (tipe tangkas) dan sebagai sumber pedaging (tipe pedaging).
Sesuai dengan namanya domba Priangan berasal dari daerah Priangan di Jawa
Barat dan berpusat di Kabupaten Garut, khususnya domba Garut tipe pedaging
banyak tersebar di Kecamatan Wanaraja dan Sukawening (Mansjoer et al. 2007;
Riwantoro 2005; Sudarmono & Sugeng 2008).
Domba Garut pedaging jantan maupun betina memiliki ciri-ciri garis muka
lurus, bentuk mata normal, bentuk telinga hiris dan rubak, garis punggung lurus,
bentuk bulu lurus dengan warna dasar dominan putih, jantan bertanduk dan betina
kebanyakan tidak bertanduk (Riwantoro 2005). Sedangkan tubuh domba Garut
tipe tangkas, yaitu bergaris muka cembung, telinga rumpung atau kecil, jantan
memiliki tanduk yang kokoh dan kuat, bergaris punggung cekung, pundak lebih
tinggi dari bagian belakang dan panggul lebih rapat dengan dada berukuran besar,
ekor bertipe sedang sampai gemuk, sedangkan betina bertanduk kecil, garis
punggung lurus, bagian dada tidak tampak mengembang seperti halnya pada
jantan dan ekornya bertipe sedang (Mulliadi 1996).
8
Gambar 2 Domba Garut jantan
Neraca Kation Anion Ransum
Dietary cation-anion balance (DCAB) atau neraca kation anion ransum
(NKAR), adalah perbedaan miliequivalen antara kation dan anion tertentu dalam
ransum dengan cara mengurangi miliequivalen anion dari miliequivalen kation
dalam seluruh ransum. Pada umumnya, mineral yang sering digunakan dalam
perhitungan NKA, yaitu dua macam kation (Na+ dan K+) dan dua macam anion
(Cl- dan S-2). Perhitungan nilai NKAR yang digunakan oleh Harris dan Beede
(1993), Moore et al. (2000), Roche et al. (2003), Borucki-Castro et al. (2004),
dan Chan et al. (2005) adalah seperti berikut :
NKAR = ( Na + K ) – ( Cl + S ) (meq/100 g BK ransum).
Stewart (1983) menyatakan bahwa keseimbangan ion-ion stabil seperti
natrium (Na+), kalium (K+) dan klorida (Cl-) berperan utama sebagai penentu
keseimbangan asam basa dalam cairan biologis. Selain itu ion sulfur (S-2) juga
mempengaruhi keseimbangan cairan biologis, walaupun S-2 tidak termasuk ion
9
stabil. Ion SO4-2 secara langsung bersifat asam terhadap cairan biologis dan dapat
mengubah keseimbangan asam-basa jika ditambahkan ke dalam ransum
konsentrasi tinggi .
Penelitian mengenai keseimbangan kation-anion telah banyak dilakukan,
tetapi sebagian besar pada sapi perah. Harris dan Beede (1993) menyatakan
bahwa ransum dengan keseimbangan kation-anion positif diberikan pada sapi
perah selama laktasi dapat meningkatkan produksi susu. Sebaliknya, pemberian
ransum dengan keseimbangan kation-anion negatif lebih baik diberikan pada sapi-
sapi perah pada waktu kering kandang sebelum beranak untuk mengurangi resiko
milk fever dan mencegah parturient paresis, melalui mekanisme homeostasis
metabolisme kalsium (Hu & Murphy 2004; Ramberg et al. 2009).
Mineral Kromium
Kromium sebagai Nutrien
Kromium (Cr) adalah unsur logam transisi yang terdapat umumnya pada
kondisi oksidasi 0, 2+, 3+, dan 6+. Mineral ini paling stabil pada valensi 3.
Chromium berasal dari bijih, chromite (FeOCr2O3). Sebagian besar bijih Cr
digunakan pada produksi baja stainless. Unsur Cr telah digunakan sebagai
marker untuk laju makanan dan nutrien dalam saluran pencernaan. Unsur ini
tersebar di air, tanah dan materi hidup. Bervariasi besar antara konsentrasi
mungkin karena perbedaan prosedur analisis, standar dan lokasi geografis.
Teknologi sekarang dapat mengukur konsentrasi Cr yang sangat kecil (sampai
sekecil 1 ppb) namun sayangnya, sampel dapat mudah terkontaminasi bahkan
oleh peralatan baja stainless dan Cr organik glucose tolerance factor (GTF)
mudah hilang pada temperatur pengabuan yang tinggi (McDowell 1992).
Mineral Cr bervalensi 3 merupakan bentuk nutrien dan juga terdapat dalam
bentuk alami, tidak beracun dalam bentuk anorganik dan sebagian besar dalam
bentuk kompleks organik. Pada sisi lain Cr digunakan secara ekstensif pada
industri kimia dan metalurgi untuk baja stainless, pelapisan chrome, detergen,
penyamakan kulit dan lain-lain. Pada proses tersebut Cr dapat berubah menjadi
bentuk valensi 6 yang beracun dan karsinogen, oleh karena itu menjadi perhatian
pemerhati lingkungan. Pada ekskreta dari ternak yang diberi Cr sebagai nutrien,
10
limbah Cr sangat sedikit dibandingkan limbah dari penggunaan industri. Di
samping itu Cr ekskreta dari ternak dalam bentuk valensi 3 yang tidak beracun
sedangkan limbah industri mengandung Cr valensi 6 (Mowat 2008).
Unsur Cr merupakan nutrien penting untuk manusia dan hewan. Peranan
utamanya adalah meningkatkan aksi insulin sebagai bagian dari glucose tolerance
factor (GTF); suatu senyawa organometalik yang terdiri atas Cr+3, asam nikotinat,
glisin dan sistein. Koefisien cerna bentuk Cr anorganik pada ruminansia belum
diketahui, tetapi berkisar antara 0,5 – 2% pada manusia dan hewan laboratorium
(NRC 1997). Efisiensi penyerapan dipengaruhi oleh banyak faktor, oleh karena itu
kandungan Cr total dalam ransum sangat tidak berhubungan dengan ketersediaan
Cr dalam makanan. Bentuk Cr organik lebih tersedia dibandingkan bentuk
anorganik. Terdapat beberapa Cr organik yang menjadi perhatian dalam
suplementasi bentuk organik Cr ke ternak, diantaranya adalah Cr-pikolinat, Cr-
nikotinat, dan khamir berkadar tinggi Cr (NRC 1997)
Metabolisme Kromium
Dalam larutan asam Cr ditemukan di lambung, Cr3+ terlarut dan membentuk
kompleks dengan ligan. Kromium diserap di seluruh saluran pencernaan terutama
jejenum. Meskipun model penyerapan belum jelas diketahui, namun diduga
diserap secara difusi dan melalui carrier-mediated tranporter. Sekitar 0,4 – 2,5%
Cr yang dikonsumsi diserap masuk ke sel usus.
Dalam darah Cr3+ anorganik berikatan secara kompetisi dengan tranferin
dan diangkut bersama dengan Fe . Jika tranferin site tidak tersedia bagi Cr maka
albumin diduga dapat mengangkut Cr. Tubuh mengandung sekitar 4 – 6 mg Cr.
Jaringan yang mengandung Cr tinggi adalah ginjal, hati, otot, limpa, jantung,
pankreas dan tulang. Kadar Cr jaringan menurun sesuai dengan umur. Unsur Cr
diduga disimpan dalam jaringan bersama dengan besi dalam bentuk ferri (Fe3+)
karena diangkut oleh tranferin (Gropper et al. 2009).
Peningkatan penyerapan Cr dipengaruhi oleh: adanya asam amino dan ligan
lain dapat membentuk chelat dengan Cr dalam lambung. Asam amino seperti
phenylalanin, methionin dan histidin, dapat berperan sebagai ligan untuk
memperbaiki penyerapan Cr. Pikolinat dapat berperan sebagai ligan Cr.
Chelating tersebut membantuk Cr tetap larut dan mencegah proses olasi
11
pada pH alkalin di usus halus. Senyawa lipophilic seperti pikolinat juga
bermanfaat meningkatkan penyerapan melalui membran sel lipid. Vitamin C juga
meningkatkan penyerapan Cr. Mengkonsumsi 1 mg Cr (CrCl2) bersama dengan
100 mg ascorbate akan meningkatkan kadar Cr plasma dibandingkan tanpa
minum askorbat.
Terdapat inhibitor yang mempengaruhi penyerapaan Cr. Kromium
anorganik dalam lingkungan netral atau basa bereaksi dengan hidroksil (OH-),
yang akan segera berpolimerisasi membentuk senyawa dengan bobot molekul
tinggi dalam proses yang disebut olasi. Reaksi ini mengkibatkan presipitasi
(pengendapan) Cr sehingga menurunkan penyerapan. Antacid dan phytat
menurunkan penyerapan Cr secara nyata (Gropper et al. 2009; Solomon 1988;
Luseba 2005).
Interaksi Mineral Cr dengan Mineral Lain
Mineral mikro dapat berinteraksi dengan mineral lain, yang berpotensi
menyebabkan gejala keracunan ataupun defisiensi (Luseba 2005). Interaksi
mineral dengan mineral lainnya dapat terjadi dalam makanan, pada jaringan
tertentu dan selama proses transpor dan ekskresi mineral. Namun yang paling
utama adalah interaksi yang terjadi dalam saluran pencernaan. Interaksi mineral
dengan mineral lainnya terjadi melalui mekanisme kompetisi atau coadaptation
yang berhubungan dengan bentuk yaitu kemiripan mineral secara kimia (Solomon
1988). Konsumsi Cr yang tinggi akan menurunkan retensi mineral lain seperti
Co, Fe, dan Mn (Luseba 2005). Dalam darah Cr3+ anorganik berikatan secara
kompetisi dengan tranferin yang diangkut bersama dengan Fe (Gropper et al.
2009).
Fungsi dan Keuntungan Bentuk Cr-Organik
Peranan fisiologis utama dari Kromium adalah bagian integral dari Cr aktif
biologis atau Glucose Tolerance Factor (GTF) yang berpotensi penting pada
hormon insulin. Insulin tidak akan berfungsi secara efisien jika ransum defisien
Cr. Mineral Cr juga dibutuhkan untuk fungsi normal dari sel-sel β dalam
pankreas, yang mencegah hyperresponsif sekresi insulin terhadap stimulasi
glukosa (Striffler et al. 1995). Kromium (III) dibutuhkan untuk penggunaan
12
glukosa dalam jaringan perifer, yang berperan bersama dengan insulin. Secara
biologis bentuk-bentuk aktif kromium adalah disebut glucose tolerance factor
(GTF). Suatu molekul organik kecil yang mengandung asam nikotinat, glisin,
asam glutamat, sistein dan kromium, tetapi struktur tepatnya belum diketahui
(Vincent 2000).
Kromium dalam tanaman berada dalam bentuk organik dengan konsentrasi
sekitar 30 – 50 ppb. Konsentrasi kromium total yang tinggi dalam makanan
mungkin disebabkan oleh kontaminasi (tanah, debu, baja stainless) dalam pakan,
terutama hijauan, atau kontaminasi dalam suplemen mineral. Analisis kromium
terbatas dan membutuhkan spesialisasi tinggi. Kromium anorganik sangat buruk
diserap, juga kromium anorganik ini harus diubah menjadi komplek organik,
seperti GTF agar dapat berfungsi secara fisiologis. Pengubahan kromium
anorganik (misalnya kromium klorida) dalam hati dan ginjal menjadi bentuk aktif
rendah, bahkan sangat kurang, pada yang tua. Suplementasi bentuk komplek
kromium organik meningkatkan penyerapan, menurunkan variabilitas respon dan
meniadakan kebutuhan untuk kecukupan prekursor makanan (yaitu asam
nikotinat, asam amino tertentu) untuk membantu penyerapan kromium anorganik
dan mengubahnya menjadi bentuk bioaktif (Mowat 2008).
Defisiensi Cr mempunyai kemampuan untuk menekan sintesis asam
nukleat. Tikus yang diberi pakan rendah Cr secara nyata lebih rendah jumlah
sperma dan menurunkan fertilitasnya dibandingkan kontrol yang disuplementansi
Cr. Kromium penting untuk menjaga stabilitas struktural protein dan asam
nukleat dan penelitian pada hewan menunjukkan bahwa unsur ini sangat penting
bagi pertumbuhan dan perkembangan fetus (Anderson & Polansky 1981).
Sedangkan Cr bervalensi 6 dapat mengganggu spermatogenesis dengan
merangsang terbentuknya racun radikal bebas, dan suplementasi vitamin
antioksidan dapat bermanfaat terhadap ternak yang dipengaruhinya (Aruldhas
2005)
Suplementasi Kromium dalam Ransum
Ketersediaan kromium yang terkandung dalam ransum komersial untuk
ternak ruminansia masih belum diketahui. Usaha terus dilakukan untuk
menentukan kebutuhan konsentrasi kromium dan ketersediaannya dalam pakan
13
dan suplemen untuk diberikan ke ternak ruminan. Suplemen kromium meliputi
CrNic, CrCl3, CrPic, kromium khelat, dan jamur berkromium tinggi. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh positif tetapi hasilnya
tidak konsisten (NRC 1997).
Kromium meningkatkan (P<0.08) jumlah eristrosit domba yang diberi
pakan tinggi protein dan suplemen 400 ppb Cr-pic. Pada penelitian ini
menunjukkan suplementasi Cr pengaruhnya tidak konsisten terhadap produksi
dan karakter metabolik domba (Gentry et al. 1999). Penelitian Kichalong et al.
(1995) pada domba Suffolk juga menunjukkan suplementasi Cr-pic tidak
berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan dan
imbangan nitrogen. Sebaliknya pada penelitian Kornegay et al (1997)
menunjukkan bahwa suplementasi Cr-picolinat sebanyak 200 ppb dapat
memperbesar otot longissimus dan suplementasi ini juga memperbaiki absorpsi N
dan kecernaan bahan kering. Suplementasi Cr menurunkan plasma NEFA (Non
Esterified Fatty Acid) dan 15% kolesterol selama pemberian 2 minggu. Di
samping itu Cr-pic menurunkan 18% lemak rusuk ke-10 pada domba dan babi
(Kichalong et al. 1995; Van de Lig et al. 2002).
Suplementasi Cr-pic pada ransum ternak babi meningkatkan jumlah anak
hidup yang dilahirkan tetapi menurunkan bobot lahir anak. Kadar Cr di kelenjar
adrenal, ginjal dan hati meningkat secara linier oleh peningkatan suplementasi Cr-
pic (Lindemann et al. 2004). Sapi jantan kastrasi yang diberi Cr nikotinat
memiliki insulin serum yang lebih tinggi 15 dan 30 menit setelah infusi daripada
yang disuplementasi dengan CrCl3 dan khamir ber-Cr tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa kompleks Cr nikotinat khamir ber-Cr tinggi dapat mempengaruhi respon
imun, dan kompleks Cr nikotinat mempengaruhi fungsi-fungsi yang berhubungan
dengan insulin (Kegley & Spears 1995). Cara kerjanya, adalah dengan
meningkatkan laju keluarnya glukosa setelah infusi insulin dan meningkatkan
respon insulin pada sapi pedet yang diberi Cr-L methionin (Kegley et al. 2000).
Fisiologi Semen Domba
Semen Domba
Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara normal diejakulasikan ke
14
dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi, tetapi dapat pula ditampung
dengan berbagai cara untuk keperluan inseminasi buatan. Semen terdiri atas dua
bagian yaitu spermatozoa atau sel-sel kelamin jantan yang bersuspensi di dalam
suatu cairan atau medium semi-gelatinous yang disebut plasma semen.
Spermatozoa dihasilkan di dalam testes sedangkan plasma semen adalah
campuran sekresi yang dibuat oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar kelamin
pelengkap yaitu vesikularis dan prostata (Toelihere 1985).
Komposisi kimia plasma semen domba dalam 100 ml semen adalah:
protein 5000 mg, fruktosa 250 mg, asam sitrat 110-260 mg, natrium 178 mg,
kalium 155 mg, kalsium 6 mg, magnesium 6 mg, dan klorida 86 mg (Garner &
Hafez 2000). Sedangkan pada domba Garut, komposisi kimia plasma semen
dalam 100 ml semen adalah: lemak 220 mg, protein 4.140 mg, karbohidrat 800
mg, fruktosa 180 mg, glukosa 5.6 mg, manosa 2.8 mg, maltotriosa 40 mg, vitamin
C 3.2 mg, vitamin E 24 mg, natrium 180 mg, kalium 117 mg, kalsium 9 mg,
magnesium 6.12 mg, fosfat 60 mg, klorida 14 mg dan mangan 5 mg (Rizal et al.
2003)
Spermatogenesis
Spermatozoa dibentuk di dalam testes melalui proses yang disebut
spermatogenesis, tetapi mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididymis
dimana spermatozoa disimpan sampai ejakulasi. Spermatogenesis meliputi
spermatocytogenesis dan spermiogenesis. Proses pembentukan spermatozoa
meliputi 4 fase yaitu; Fase I (15 – 17 hari), pembelahan mitotik spermatogonia
menjadi dua anak sel yaitu satu spermatogenium dormant yang menjamin
kontinuitas spermatogonia dan satu spermatogonium aktif yang membagi diri 4
kali sehingga akhirnya membentuk 16 spermatocyt primer (2n); Fase 2 (kurang
lebih 15 hari). Pembelahan meiotik dari spermatocyt primer (2n) menjadi
spermatocyt sekunder (n); Fase III (beberapa jam), pembelahan spermatocyt
sekunder menjadi spermatid; Fase IV (kurang lebih 15 hari), metamorphosis
spermatid menjadi spermatozoa tanpa pembelahan (Toelihere 1985). Hasil
pembentukan spermatozoa dilepaskan dengan proses yang disebut spermiasi dari
sel-sel sertoli dan memasuki lumen tubuli seminiferi menuju rete testis. Pada
domba, Seluruh proses spermatogenesis berlangsung antara 46-49 hari (Toelihere
15
1985; Senger 2005; Bearden & Fuquay, 2000).
Gambar 3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis
Spermatogenesis diatur oleh hormon, yaitu pada spermatocytogenesis
dikendalikan oleh follicle stimulating hormone (FSH) dan spermiogenesis berada
di bawah pengaruh luteinizing hormone (LH), suatu hormon gonadotrophin yang
dihasilkan oleh adenohypophysa dan testesteron (Toelihere 1985). Pengaturan
hormonal dimulai dari disekresikannya gonadotrophin releasing hormone
(GnRH) oleh hipothalamus yang akan mempengaruhi hipofisa anterior
menghasilkan hormon FSH dan LH yang akan mengatur sel-sel Leydig dan
Sertoli (Gambar 3). Testosteron dihasilkan sebagai akibat dari aksi LH terhadap
sel-sel Leydig yang bekerja pada reseptor-reseptor yang terletak pada sel-sel
Sertoli dan sel peritubular. Pengaruhnya terhadap sel-sel gamet hasil dari kerja
hormon pada sel-sel sertoli dan selanjutnya sekresi faktor-faktor paracrine dari sel
15
1985; Senger 2005; Bearden & Fuquay, 2000).
Gambar 3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis
Spermatogenesis diatur oleh hormon, yaitu pada spermatocytogenesis
dikendalikan oleh follicle stimulating hormone (FSH) dan spermiogenesis berada
di bawah pengaruh luteinizing hormone (LH), suatu hormon gonadotrophin yang
dihasilkan oleh adenohypophysa dan testesteron (Toelihere 1985). Pengaturan
hormonal dimulai dari disekresikannya gonadotrophin releasing hormone
(GnRH) oleh hipothalamus yang akan mempengaruhi hipofisa anterior
menghasilkan hormon FSH dan LH yang akan mengatur sel-sel Leydig dan
Sertoli (Gambar 3). Testosteron dihasilkan sebagai akibat dari aksi LH terhadap
sel-sel Leydig yang bekerja pada reseptor-reseptor yang terletak pada sel-sel
Sertoli dan sel peritubular. Pengaruhnya terhadap sel-sel gamet hasil dari kerja
hormon pada sel-sel sertoli dan selanjutnya sekresi faktor-faktor paracrine dari sel
15
1985; Senger 2005; Bearden & Fuquay, 2000).
Gambar 3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis
Spermatogenesis diatur oleh hormon, yaitu pada spermatocytogenesis
dikendalikan oleh follicle stimulating hormone (FSH) dan spermiogenesis berada
di bawah pengaruh luteinizing hormone (LH), suatu hormon gonadotrophin yang
dihasilkan oleh adenohypophysa dan testesteron (Toelihere 1985). Pengaturan
hormonal dimulai dari disekresikannya gonadotrophin releasing hormone
(GnRH) oleh hipothalamus yang akan mempengaruhi hipofisa anterior
menghasilkan hormon FSH dan LH yang akan mengatur sel-sel Leydig dan
Sertoli (Gambar 3). Testosteron dihasilkan sebagai akibat dari aksi LH terhadap
sel-sel Leydig yang bekerja pada reseptor-reseptor yang terletak pada sel-sel
Sertoli dan sel peritubular. Pengaruhnya terhadap sel-sel gamet hasil dari kerja
hormon pada sel-sel sertoli dan selanjutnya sekresi faktor-faktor paracrine dari sel
16
Sertoli. Umpan balik terhadap pituitary terjadi melalui testosteron dan inhibin.
Sel sertoli dibutuhkan untuk perkembangan sel-sel gamet (Griswold 1995).
Sel-sel Sertoli dan epitelium epididymis mensekresikan cairan nutrien yang
ejakulasikan bersama dengan spermatozoa. Cairan ini mengandung hormon
(testosteron dan estrogen, enzim dan nutrien tertentu yang penting untuk maturasi
spermatozoa. Selanjutnya dalam perjalanan melalui vas deferens, plasma semen
berasal dari ampula, kelenjar prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar
bulbourethralis (Cowper gland’s). Kelenjar vesikularis mensekresikan bahan-
bahan mucoid yang mengandung banyak fruktosa, asam sitrat dan nutrien lain.
Kelenjar prostat menghasilkan kalsium, ion klorida, ion sitrat, posfat, dan enzim.
Sifat alkalin dari prostar penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum karena cairan
vas deferens relatif asam karena adanya asam sitrat dan produk akhir metabolik
dari sperma dan tentunya akan membantu meningkatkan fertilitas spermatozoa
(Senger 2005; Guyton & Hall 2006).
Spermatozoa memetabolisme molekul sederhana terutama gula-gula dan
turunannya (yaitu fruktosa, glukosa, mannosa dan piruvat) melalui jalur aerobik
dan anaerobik, untuk menghasilkan energi untuk motilitas dan menjaga gradien
ion melewati membran (Noakes et al. 2001). Di samping fruktosa, semen terdiri
atas banyak Ca, Mg dan Cu. Mineral ini dalam bentuk ionik mempengaruhi
spermatogensis, berhubungan dengan produksi spermatozoa, maturasi, motilitas
dan kapasitasi fertilisasi (Guyton & Hall 2006). Seng berperan dalam sistem
reproduksi jantan, salah satunya adalah dalam partisipasi aktivitas ribonuklease
yang sangat aktif selama mitosis spermatogonia dan meiosis spermatocyt. Seng
juga membantu menstabilkan khromatin dan membran spermatozoa dan
meningkatkan sifat mekanis dari spermatozoa seperti flagela normal,
pembentukan midpiece dan motilitas spermatozoa. Mineral Se dalam bentuk
Gpx4 secara efisien melindungi membran sel dari radikal bebas dan terutama
ditemukan dalam sel-sel germinal. Disamping faktor-faktor dari plasma
epididymis caudal, induksi motilitas selanjutnya membutuhkan juga peningkatan
kadar cyclic AMP dan ion Ca. Selama transit epididymal, kadar cAMP
intraspermatozoa dan aktivitas ATPase meningkat dimana zat tersebut penting
untuk induksi motilitas spermatozoa (Cheah & Yang 2011)
17
Rasio Kelamin Anak yang Dilahirkan
Prapenentuan jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan
dan sangat penting untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplai
pangan dunia. Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan
sepanjang generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem
produksi menjadi semakin diperlukan (Johnson 2000). Aplikasi teknologi
tersebut mengakibatkan perubahan jenis kelamin ternak yang dilahirkan.
Rasio jenis kelamin didefinisikan sebagai proporsi jantan terhadap betina
pada suatu populasi yang hidup dan biasanya dinyatakan sebagai jumlah jantan
per 100 betina. Cara untuk menyebutkan rasio kelamin dengan angka yang
dibatasi oleh titik dua (misalnya 1.05:1) atau dengan satu nilai misalnya 1.05
(Hylan 2007). Fathul et al. (2008) menyatakan rasio kelamin anak dengan
membagi jumlah anak jantan dengan jumlah total anak sekelahiran dalam persen.
Proses separasi jenis kelamin pada saat ini berdasarkan perbedaan jumlah
DNA dalam kromosom X dan Y, kromosom X manusia mengandung sekitar 2.8%
lebih banyak DNA dibandingkan kromosom Y, sedangkan pada mamalia lain
berkisar 3-5% (Geldhill 1988). Meskipun sekarang metoda pemisahan
spermatozoa yang mengandung kromosom X dan Y sudah efisien, namun semua
laju fertilitas sperma yang dipisahkannya tidak bagus (Grant & Chamley 2007),
dan viabilitasnya rendah (Ollero et al. 2000).
Saat ini penelitian mengenai kemungkinan nutrisi dapat mengubah rasio
jenis kelamin telah mulai yang dilakukan. Hasil penelitian Celik et al. (2003)
menunjukkan bahwa tikus yang diberi pakan kaya Ca cenderung akan
menghasilkan keturunan berjenis kelamin betina. Sedangkan Rosenfeld dan
Robert (2004) melaporkan jenis kelamin tikus dapat dipengaruhi oleh pakan yang
diberikan. Tikus yang diberi pakan yang mengandung zat lemak (60 kkal%) >
karbohidrat (20 kkal%), peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71% .
Sebaliknya jika diberi pakan mengandung karbohidrat (70 kkal% > lemak (10
kkal%), maka peluang untuk mendapatkan anak betina < sekitar 35 – 48%.
18
UTILISASI MINERAL PADA DOMBA JANTAN DENGANRANSUM BERSUPLEMEN KROMIUM, KALSIUM DAN
KATION-ANION BERBEDA
ABSTRAK
Kromium (Cr) adalah mineral penting bagi ternak ruminansia.
Metabolisme dan interaksi mineral Cr belum banyak diketahui. Penelitian ini
dilakukan untuk mengkaji utilisasi mineral dan pertumbuhan domba Garut yang
diberi mineral Cr, Ca dan neraca kation anion berbeda. Perlakuan ransum adalah
R0 (ransum basal, NKAR+14); R1 (R0+Cr 3ppm, NKAR+14 ), R2 (R0+ Ca,
NKAR 0); R3 (R2+ Cr 3 ppm, NKAR 0). Rancangan penelitian menggunakan
Rancangan Kelompok dengan menggunakan 24 ekor domba Garut jantan
berumur 1.5-2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi Cr dalam
ransum yang mengandung Ca berbeda tidak mempengaruhi konsumsi ransum,
pertambahan bobot badan, dan kecernaan bahan kering ransum, tetapi
menurunkan penyerapan Cr dan juga menurunkan penyerapan Ca pada ransum
rendah Ca. Suplementasi Cr tidak berpengaruh pada status Cr, Ca, Zn dan Mg
dalam darah dan semen. Tingkat konsumsi Cr cenderung berhubungan negatif
dengan tingkat penyerapan Cr dan berhubungan positif kadar Cr darah. Terdapat
hubungan positif antara konsumsi Ca dengan tingkat penyerapan Ca dan Mg juga
dengan kadar Ca dan Zn darah. Konsumsi Cr dan Ca tidak berhubungan dengan
kadar Cr dan Ca semen.
Kata kunci: kromium, kalsium, neraca kation anion, domba Garut
19
MINERAL UTILIZATION IN RAM FED RATIONSUPLEMENTED WITH DIFFERENT LEVELS OFCHROMIUM, CALCIUM AND CATION-ANION
ABSTRACT
Chromium (Cr) is an essential mineral for ruminants. Its metabolism and
interactions with other minerals has not been widely known. This experiment was
designed to evaluate the utilization of minerals and growth of Garut ram fed
ration suplemented with different level of Cr, Ca and Dietary Cation Anion
Balances (DCAB). Dietary treatments, namely: R0 (basal diet, DCAB+14); R1
(R0+Cr 3ppm, DCAB+14 ), R2 (R0+ Ca, DCAB 0); R3 (R2+ Cr 3 ppm, DCAB
0), were alloted in twenty four of 1.5-2 years old Garut rams in a randomized
block design. The results showed that Cr supplementation in rations containing
different levels of Ca did not affect feed intake, body weight gain, and dry matter
digestibility, but reduced the absorption of Cr as well as the absorption of Ca of
the low Ca diet. Supplementation of Cr had no effect on Cr, Ca, Zn, and Mg
status in blood and semen of the rams. Level of Cr intake had tend to negative
correlation with the Cr absorption and tend to positive correlation with blood Cr
levels. There is a positive relationship between the level of Ca intake with the Ca
and Mg absorption and blood Ca and Zn levels. Intake of Cr and Ca were not
related to the semen Cr and Ca levels.
Key words: chromium, calcium, dietary cation anion balance, Garut ram
20
PENDAHULUAN
Mineral kromium (Cr) adalah mineral penting bagi ternak. Manfaat Cr telah
diketahui 40 tahun lalu, sejak itu mulai banyak dilakukan penelitian mengenai
peranan Cr dalam tubuh (NRC 1997). Mineral Cr dalam bentuk glucose
tolerance factor (GTF) dalam aliran darah diketahui berperan meningkatkan
masuknya glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin
(NRC 2001), yang dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan sintesis protein
(Pollard et al. 2001; Suttle 2010). Peran tersebut memungkinkan Cr berpartisipasi
dalam menjaga stabilitas struktur protein dan asam nukleat dan berperan dalam
proses reproduksi karena diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus
(Lindemann et al. 2004; Pechova & Pavlata 2007).
Defisiensi Cr dapat menekan sintesis asam nukleat dan menurunkan jumlah
spermatozoa serta fertilitas pada rodensia (Anderson & Polansky, 1981). Kadar
Cr yang tinggi merugikan dalam produksi spermatozoa (Skandhan et al. 2005),
mengubah kualitas semen dan hormon reproduksi serta menurunkan jumlah dan
morfologi spermatozoa yang normal (Kumar, 2008).
Mineral dapat berinteraksi satu dengan lainnya, yang berpotensi
menyebabkan keracunan ataupun defisiensi. Tingkat nutrien yang berlebihan
dapat didiagnosis dan dicegah, sebaliknya defisiensi seringkali sukar dikendalikan
dan diantisipasi karena suatu unsur memiliki berbagai peranan fungsional.
Interaksi mineral terjadi di dalam saluran pencernaan, sehingga konsumsi mineral
secara bersamaan mengakibatkan kompetisi dalam penyerapannya. Konsumsi Cr
yang tinggi menurunkan retensi Co, Fe, dan Mn (Gropper et al. 2009; Luseba
2005). Sebaliknya penurunan penyerapan Cr dapat terjadi jika Ca diberikan
dalam bentuk kalsium karbonat dan antasida (Mateljan 2010) dan ransum
disuplementasi dengan Zn, V dan Fe (Krejpcio 2001). Selain itu asam fitat dalam
pakan secara signifikan mengurangi penyerapan Cr (Krejpcio 2001; Mateljan
2010).
Kation (Na+ dan K+) dan anion (Cl- dan SO4-2) memiliki pengaruh besar
terhadap proses metabolisme dalam tubuh dan nilai asam basa. Kadar kation
anion tersebut dinyatakan dengan dietary anion cation balance (neraca kation
anion ransum/NKAR) (Chan et al. 2005). Nilai NKAR mempengaruhi konsumsi
21
ransum, metabolisme Ca (Tauriainen 2001), kadar Mg dalam plasma dan semen
(Hidayat et al. 2009) dan metabolisme asam amino (Mowat 2008).
Mengingat pentingnya Cr dalam metabolisme nutrien, penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji utilisasi mineral dan penampilan domba Garut jantan
yang diberi ransum bersuplemen Cr dengan kadar Ca dan NKAR berbeda.
MATERI DAN METODE
Pakan Percobaan
Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning, dedak
halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan urea.
Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4
untuk semua ransum dan 9.7 g CaSO4 untuk ransum R2 dan R3 (NKAR 0)
Unsur Cr yang disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media
kacang kedelai berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al. 2006).
Ransum disusun secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985)
(Tabel 1).
Perlakuan dalam percobaan ini adalah suplementasi Cr pada tingkat Ca dan
neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda. Ransum percobaan adalah sebagai
berikut: R0 (Ransum Ransum basal, NKAR +14); R1 (Ransum basal +Cr,
NKAR+14); R2(Ransum basal+Ca, NKAR 0); R3 (Ransum basal+ Ca + Cr,
NKAR 0). Ransum perlakuan dialokasikan pada 24 ekor domba Garut jantan
dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan 6 kelompok sebagai
ulangan.
Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya
Domba jantan berumur ±1.5 tahun dengan bobot badan 32.02±3.71 kg
digunakan pada percobaan ini. Domba dikelompokkan sesuai dengan bobot
badannya. Domba dipelihara selama tiga bulan pada kandang individu bertempat
di kandang Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pada 21 hari pertama, domba diadaptasikan pada kondisi manajemen,
lingkungan perkandangan dan bahan pakan. Selanjutnya pada hari ke 22 hingga
22
hari ke 96 domba diberi pakan komplit perlakuan sebanyak ±3% dari bobot
badan. Selama percobaan pakan domba diberikan sekitar pukul 7:00 dan 14:00.
Air minum disediakan ad libitum.
Tabel 1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan
Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal (R01)Komposisi
PakanKadar(% BK)
Nutrien Kadar
Hijauan jagung 35 Bahan kering (%) 90.31
Dedak halus 21.5 Abu (%) 7.4
Jagung kuning 19.65 Protein kasar (%) 13.5
Bungkil kedelai 13.6 Lemak kasar (%) 7.5
Bungkil kelapa 8 Serat kasar (%) 17.5
Urea 0.25 BETN (%) 44.4Minyak jagung 2 TDN (%) 67.8
Jumlah 100 Energi Bruto(Kkal/kg)
3263
Zn (ppm) 139.12
Mg (%) 1.46
Ransum PerlakuanSuplemen R02 R1 R2 R3
Cr (ppm) 5.59 8.59 5.59 8.59
Ca (%) 0.21 0.21 0.42 0.42
NKAR (meq) 14 14 0 0Keterangan:R0 = Ransum basal, R1 = R0 + Cr, R2 = R0 + Ca, R3 = R2 + Cr (penambahan mineral pada R1,R2, dan R3 melalui perhitungan).1Hasil analisis proksimat Lab Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, 20092Hasil analisis mineral Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fapet, IPB dan Laboratorium PakanBalitnak, 2009
Pengambilan Sampel dan Analisis
Pada hari ke 35 hingga hari ke 42 dilakukan koleksi feses total untuk
mengukur nilai kecernaan nutrien dan absorpsi mineral. Feses yang dikoleksi
diambil sampelnya sebanyak 10% untuk dianalisis kadar mineralnya. Konsumsi
ransum setiap ekor domba diukur setiap hari dan domba ditimbang setiap minggu.
Pengukuran dan pengamatan peubah mulai dilakukan pukul 07.00.
23
Pemberian pakan perlakuan diteruskan selama 49 hari (satu periode
spermatogenesis). Pada hari ke 50 dilakukan koleksi semen pada setiap domba,
kemudian kadar mineral semen dianalisis. Koleksi semen dilaksanakan pada pagi
hari. Pada hari ke 53 dilakukan pengambilan sampel darah untuk mengetahui
status mineral darah. Pengambilan sampel darah dilaksanakan 2 jam setelah
pemberian pakan.
Analisis kadar bahan kering dan nutrien sampel pakan dan feses
menggunakan metode proksimat (AOAC 2005). Analisis mineral (Cr, Mg, Zn,
dan Ca) sampel pakan, feses, darah dan semen domba diawali dengan pengabuan
basah dan diukur dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS) Spectra
AA220 series Varian (Carry & Allaway 1971).
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk
mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Jantan
Konsumsi ransum merupakan indikator dasar dalam menilai performans
ternak maupun kualitas pakan. Pertambahan bobot badan ternak dipengaruhi oleh
konsumsi, demikian pula dengan nilai kecernaan nutrien suatu pakan erat
hubungannya dengan konsumsi.
Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum tidak mempengaruhi konsumsi
bahan kering (BK) total, konsumsi BK mingguan dan pertambahan bobot badan
harian (PBBH) domba Garut jantan (Tabel 2 dan Gambar 4). Namun cenderung
konsumsi BK domba yang diberi ransum R3 lebih tinggi (Gambar 3). Hasil
tersebut berbeda dengan yang dilaporkan oleh Kraidees et al. (2009) bahwa
suplementasi Cr sebanyak 0.3 ppm meningkatkan konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan pada domba yang mengalami cekaman. Sedangkan
pada penelitian Mathius et al. (2005) suplementasi Cr 4 ppm pada ransum ternak
domba tidak mempengaruhi konsumsi dan pertambahan bobot badan. Kadar Cr
ransum percobaan diduga telah cukup dan masih dalam kisaran aman sehingga
24
tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan pertumbuhan. Kebutuhan Cr akan
meningkat pada kondisi seperti aktivitas gerak atau stres, transportasi, dan infeksi
ketika kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 1987).
Gambar 4 Konsumsi bahan kering ransum domba Garut jantan
Tabel 2 Konsumsi bahan kering (BK), Cr, Ca, Zn, Mg dan pertambahanbobot badan harian (PBBH) domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi
Cr dan Ca
PeubahPerlakuan
R0 R1 R2 R3
Konsumsi:BK (g/h) 873±176 865±145 922±167 1088±167BK (%BB) 2.64±0.40 2.63±0.45 2.83±0.29 3.02±0.59Cr (mg) 4.16±0.80a 6.63±1.18b 4.56±0.80a 7.97±1.50b
Ca (g) 1.57±0.30a 1.63±0.29a 3.46±0.61b 3.93±0.74b
Zn (mg) 103.61±19.86 107.5±19.21 113.48±19.95 129.12±22.33Mg (g) 10.84±2.08 11.25±2.01 11.88±2.09 13.52±2.55
PBBH (g) 114±70 102±32 116±25 109±64Keterangan: superksrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05).R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)
600
700
800
900
1000
1100
1200
1 2 3 4 5 6 7
R0
R1
R2
R3
Minggu
Kons
umsi
(g)
25
Gambar 5 Pertambahan bobot badan domba Garut jantan
Absorpsi Mineral Ransum pada Domba Garut Jantan
Suplementasi Cr dalam ransum domba nyata menurunkan persen absorpsi
Cr. Suplementasi Cr menurunkan jumlah Cr yang diabsorpsi pada ransum rendah
Ca (R1) namun tidak berpengaruh terhadap ransum cukup Ca (R3) (Tabel 3).
Ransum R1 dan R3 yang disuplementasi Cr 3 ppm persen absorpsinya menjadi
turun yaitu 19.25% dan 30.01% dibandingkan ransum yang tanpa disuplementasi
Cr. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Anderson et al. (2004) bahwa
dengan suplementasi Cr-histidinate memperbaiki absorpsi kromium. Perbedaan
tersebut diduga karena kebutuhan mineral Cr domba Garut telah tercukupi.
Menurut Anderson et al. (2004), respon terhadap suplementasi Cr akan tampak pada
ternak yang mengalami defisiensi atau marginal Cr. Selain itu konsumsi Cr yang
lebih tinggi menyebabkan absorpsi Cr menjadi lebih rendah dibandingkan
konsumsi Cr yang rendah (Anderson & Kozlovsky 1985). Hal tersebut diperkuat
hasil persamaan regresi dan korelasi antara konsumsi Cr dengan penurunan
absorpsi Cr (R=0.58) (Tabel 4).
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
I II III IV V VI VII
R0
R1
R2
R3
Pert
amba
han
Bobo
t Bad
an (k
g)
Minggu
26
Tabel 3 Absorpsi mineral Cr, Ca, Zn dan Mg ransum domba Garut jantan yangransumnya disuplementasi Cr dan Ca
PeubahPerlakuan
R0 R1 R2 R3
Cr (%) 68.52a ±9.86 19.25b ±7.72 58.03a ±12.34 30.01b ±16.31(mg) 2.88b ±0.79 1.22a ±0.34 2.71b ±1.01 2.99b ±1.22
Ca (%) 78.11a ±5.93 70.10b ±10.24 82.53a ±8.09 84.16a ±5.54(g) 10.71a ±2.03 11.01a ±1.89 23.97b ±4.24 26.73b ±5.18
Zn (%) 32.47 ±15.44 30.21 ±8.37 35.58 ±7.65 31.17 ±9.84(mg) 31.92 ±11.14 31.69 ±7.49 40.98 ±14.81 41.56 ±19.02
Mg (%) 73.05 ±7.95 71.25 ±11.89 65.82 ±5.44 61.75 ±6.59(g) 73.28 ±14.11 75.75 ±12.76 79.56 ±14.06 79.68 ±17.56
Keterangan: superksrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05).R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)
Suplementasi Cr dalam ransum domba Garut menurunkan absorpsi Ca pada
ransum R1 yang rendah Ca. Hal ini berarti bahwa suplementasi Cr pada ransum
rendah Ca memperburuk absorpsi Ca. Pada ransum R2 dan R3 yang mengandung
cukup Ca, suplementasi Cr tidak mempengaruhi absorpsi Ca. Absorpsi Ca dalam
saluran pencernaan memerlukan Calbindin yaitu suatu Ca-binding protein
(CaBP) untuk masuk ke dalam membran saluran pencernaan. Molekul CaBP
memiliki afinitas yang tinggi terhadap Ca (Georgievskii et a1 1982). Namun
afinitas yang lebih tinggi pada mineral lain mempengaruhi ikatan antara Ca dan
Calbindin dalam usus (Suttle 2010). Berdasarkan perioda pada tabel periodik
unsur, afinitas Cr lebih besar dibandingkan Ca, sehingga Cr lebih mudah
berikatan dengan senyawa protein seperti CaBP. Selain itu terdapat kemiripan
mekanisme kerja dan struktur antara Calbindin dan low molecular-weight
chromium binding substance (LMWCr) (Vincent 1999) akan menyebabkan
kompetisi antara mineral (Lehninger et al. 2004). Oleh karena itu rendahnya
absorpsi Ca pada R1 diduga disebabkan oleh adanya kompetisi diantara kedua
mineral tersebut untuk berikatan dengan CaBP.
Rataan absorpsi Ca ransum R2 dan R3 lebih tinggi daripada absorpsi
ransum R0 dan R1 juga disebabkan oleh perbedaan NKAR. Rendahnya NKAR
pada R2 dan R3 merangsang peningkatan penyerapan Ca dari usus. Menurut
Ramberg et al. (2009), penurunan nilai NKAR meningkatkan produksi 1,25-
27
(OH)2D3 dalam ginjal, sehingga meningkatkan efisiensi absorpsi Ca dan
mobilisasi Ca dari tulang.
Absorpsi Zn tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr pada tingkat Ca ransum
berbeda. Nilai absorpsi Zn ransum domba perlakuan berada dalam kisaran cukup
sempit yaitu antara 30.21 – 35.58 ppm. Nilai absorpsi mineral Mg dalam ransum
domba tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr pada tingkat Ca berbeda. Namun
terdapat hubungan negatif antara konsumsi Ca dengan nilai absorpsi Mg (R=0.43,
P<0.05). Tingkat konsumsi Ca yang tinggi dapat mengurangi absorpsi Mg dalam
saluran pencernaan (Gropper et al. 2009).
Tabel 4 Korelasi dan regresi konsumsi mineral dengan absorpsi dan statusmineral dalam semen dan darah domba Garut jantan yang ransumnya
disuplementasi Cr dan Ca
Peubah R Signifikansi Regresi
Konsumsi Cr – Absorpsi Cr -0.58 0.08 Y= 84.691-6.390XKonsumsi Cr – Cr darah 0.42 0.067 Y=0.022+0.016XKonsumsi Ca – Absorpsi Ca 0.48 0.02 Y=69.46+3.58XKonsumsi Ca – Absorpsi Mg -0.45 0.03 Y=77.01-3.41X
Konsumsi Ca – Ca darah 0.56 0.005 Y=30.30+2.84XKonsumsi Ca – Zn darah 0.46 0.024 Y=4.65+0.221XKonsumsi Zn – Zn darah 0.52 0.009 Y=3.695+0.14XKonsumsi Mg – Ca darah 0.43 0.043 Y=24.87+1.101XKonsumsi Mg – Zn darah 0.52 0.009 Y=3.696+0.13X
Nilai absorpsi mineral Cr (Tabel 4) memiliki hubungan negatif dengan
konsumsi Cr (R=0.58). Semakin tinggi konsumsi Cr menurunkan absorpsi Cr.
Setiap peningkatan satu satuan konsumsi Cr maka menurunkan absorpsi Cr
sebesar 6.4%. Nilai Cr darah juga memiliki hubungan positif dengan konsumsi
Cr, semakin tinggi konsumsi Cr maka Cr darah meningkat. Persamaan regresi
berganda yang dilakukan pada hubungan peubah konsumsi Cr dan Ca terhadap
absorpsi Cr menunjukkan hubungan yang nyata (P<0.05), dengan persamaan
regresi Y=0.682Ca – 0.257Cr + 2.035 (R=0.57). Hal tersebut terjadi karena
absorpsi Cr juga dipengaruhi oleh kadar Ca ransum (Tabel 3). Konsumsi Cr
tidak berhubungan dengan kadar Cr dalam semen. Pada kondisi ransum defisien
atau marginal Ca, nilai absorpsi Ca berhubungan dengan konsumsi Ca. Semakin
28
tinggi konsumsi Ca maka terjadi peningkatan absorpsi Ca. Sementara itu
konsumsi Ca berhubungan negatif dengan aborbsi Mg karena adanya kompetisi
dalam saluran pencernaan. Sehingga konsumsi Ca yang tinggi akan menurunkan
absorpsi Mg. Nilai status Ca dan Zn darah berhubungan dengan konsumsi Ca.
Semakin tinggi Konsumsi Ca, meningkatkan nilai Ca dan Zn darah tetapi tidak
diikuti dengan nilai Ca dalam semen. Dengan demikian status Cr dan Ca darah
dapat dijadikan indikator kecukupan Cr dan Ca dalam ransum sedangkan Cr dan
Ca dalam semen tidak menunjukkan informasi Cr maupun Ca dalam ransum.
Status Mineral Semen dan Darah Domba Garut Jantan
Suplementasi Cr pada tingkat Ca berbeda tidak mempengaruhi status Cr
semen dan darah. Namun pada kondisi ransum dengan Ca cukup (R3), rataan
kadar Cr semen cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan ransum rendah Ca
(R1). Kadar Cr darah domba perlakuan berkisar antara 0.13 dan 0.22 ppm. Status
Cr tersebut berada dalam kisaran kadar normal yaitu 0.01 – 0.3 ppm (NRC 1997).
Nilai Cr semen tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr dalam ransum dan tidak
juga mempunyai korelasi dengan konsumsi Cr. Hal ini berarti bahwa status Cr
plasma semen lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lain seperti antagonisme
mineral, hormon, vitamin, penyakit, stres (NRC 1997; Watts 1989)
Status Ca dalam semen menunjukkan nilai yang sangat bervariasi 30.15 –
90.53 ppm. Hal ini menunjukkan pengaturan imbangan Ca semen tidak ketat
seperti pada homeostasis mineral darah. Namun tampak bahwa suplementasi Cr
cenderung menurunkan kadar Ca dalam semen (Tabel 5). Suplementasi Cr dan
penurunan NKAR 0 tidak mempengaruhi status Ca darah domba. Kadar Ca darah
berada dalam kisaran 32.19 – 42.05 ppm, yang berarti bahwa status Ca domba
dalam kondisi marjinal. Kisaran Ca darah yang normal adalah 40 – 60 ppm
(Georgievskii et al. 1982). Walaupun konsentrasi Ca darah dijaga dalam batas
yang sempit oleh calcitonin dan parathyroid hormon (Suttle 2010), kadar Ca
darah dapat mencapai nilai 112.5 – 118.1 ppm (Ratchford et al. 2001 ; Stojkovic
2009). Respon domba Garut terhadap suplementasi Cr dalam kondisi Ca tinggi
diperkirakan akan lebih positif dibandingkan dengan kondisi rendah Ca.
Suplementasi Cr dalam ransum domba Garut tidak mempengaruhi Zn
darah. Konsentrasi Zn darah domba percobaan berkisar antara 5 – 5.45 ppm, tetapi
29
masih dalam batas normal 4 – 6 ppm (Suttle 2010). Walaupun kadar Zn ransum
domba penelitian cukup tinggi mencapai 139.12 ppm. Kadar Zn darah domba
Garut lebih rendah dibandingkan kadar Zn plasma darah domba hasil penelitian
Ratchford et al. (2001) yaitu berkisar 9.1 ppm. Rendahnya kadar Zn darah
domba Garut dapat menggambarkan adanya faktor-faktor yang membatasi
penyerapan Zn. Faktor yang membatasi penyerapan Zn dan status Zn dalam darah
adalah interaksi mineral, kecukupan Zn dalam ransum, vitamin, and chelating
agent (Gropper 2009)
Tabel 5 Status Cr, Ca, Zn dan Mg (ppm) dalam semen dan darah domba Garutyang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca
PeubahPerlakuan
R0 R1 R2 R3
Semen:Cr 0.22±0.02 0.37±0.14 0.42±0.28 0.52±0.36Ca 70.51±107.45 30.15±31.01 92.53±74.44 50.57±60.59Zn 32.87±6.23 37.26±6.23 36.77±6.23 33.15±6.83Mg 225±71 263±68 233±131 186±61
Darah:Cr 0.13±0.06 0.14±0.06 0.18±0.07 0.22±0.06Ca 37.43±5.07 32.19±5.39 39.96±4.79 42.05±4.87
Zn 5.00±0.23 5.15±0.66 5.45±0.55 5.35±0.57Mg 74.21±9.27 83.96±13.62 66.31±8.45 78.06±40.05
Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)
Suplementasi Cr pada Ca ransum rendah dan cukup tidak mempengaruhi
status Mg darah. Kadar Mg dalam darah domba Garut jantan berkisar antara
66.31 – 83.96 ppm. Nilai kadar Mg darah domba Garut percobaan dapat
dikatagorikan tinggi, karena kadar Mg normal darah domba berkisar antara 22.5
sampai 26.1 ppm (Ratchford et al. 2001; Stojkovic 2009). Kadar Mg yang
tinggi dalam darah disebabkan kadar Mg ransum percobaan yang tinggi (Tabel 1).
Menurut Georgievskii (1982) kadar Mg darah merupakan fungsi dari kadar Mg
dalam ransum, semakin tinggi kadar Mg ransum maka kadar Mg darah akan
meningkat. Hal ini berarti bahwa dalam kondisi status Mg yang baik, kadar Mg
darah tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr.
30
Kecernaan Nutrien Ransum Perlakuan
Kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, lemak dan serat kasar tidak
dipengaruhi oleh suplementasi Cr dalam ransum domba (Tabel 6). Suplementasi
Cr tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik
(KCBO) ransum. Penambahan Cr tidak mempengaruhi pencernaan dalam rumen
maupun pasca rumen. Hasil ini sama dengan laporan Kitchalong et al. (1995)
bahwa suplementasi Cr pikolinat 250 ppb pada ransum domba Suffolk tidak
mempengaruhi pertambahan bobot badan dan imbangan nitrogen. Namun hasil
ini berbeda dengan percobaan pada babi, dimana pemberian Cr pikolinat 200 ppb
meningkatkan kecernaan bahan kering dan retensi nitrogen (Kornegay et al.
1997). Mackie et al. (2002), menyatakan bahwa aktivitas mikroba dalam saluran
pencernaan sangat mempengaruhi kecernaan. Pemberian Cr kecil pengaruhnya
terhadap fungsi rumen (Besong et al. 2001). Hal ini berarti bahwa suplementasi
Cr ransum tidak mempengaruhi aktivitas mikroba rumen.
Tabel 6 Kecernaan nutrien dan energi dapat dicerna (DE) ransum domba Garutyang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca
PeubahPerlakuan
R0 R1 R2 R3
KCBK (%) 63.24±5.70 61.22±3.30 63.61±4.62 60.16±6.42
KCBO (%) 65.2±2.77 64.75±3.00 66.91±4.29 65.15±4.07
Protein Kasar (%) 60.08±3.1 59.43±1.86 61.48±4.79 59.78±5.19
Lemak Kasar (%) 96.5±1.53 94.5±2.30 94.35±2.68 93.04±1.22
Serat Kasar (%) 32.78±3.87 30.7±8.14 34.68±11.19 31.48±15.19
DE (Kkal/kg) 1263±247 1432±268 1518±419 1704±462Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)
SIMPULAN
Suplementasi Cr pada tingkat Ca dan NKAR berbeda dalam ransum domba
Garut jantan tidak mempengaruhi konsumsi pakan, kecernaan nutrien ransum dan
pertambahan bobot badan. Suplementasi Cr menurunkan absorpsi Cr dan Ca pada
ransum rendah Ca. Suplementasi Cr tidak mempengaruhi status Cr, Ca, Zn, dan
Mg darah dan semen domba Garut. Konsumsi Cr cenderung berkorelasi negatif
31
dengan absorpsi Cr dan berkorelasi positif dengan kadar Cr dalam darah.
Terdapat hubungan positif antara konsumsi Ca dengan absorpsi Ca dan Mg serta
kadar Ca dan Zn dalam darah. Tingkat konsumsi Cr dan Ca tidak berhubungan
dengan kadar Cr dan Ca semen.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson RA, Kozlovsky AS. 1985. Chromium intake, absorption and excretionof subjects consuming self-selected diets. Ame J Clin Nutr 41(6): 1177-1183.
Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect onsperm count and fertility in rats. Biol Trace Element Res. 3:1-5.
Anderson RA, Polansky MM, Bryden NA. 2004. Stability and absorption ofchromium and absorption of chromium histidinate complexes by humans.Biol Trace Element Res 101(3):211-218
[AOAC] Association of Official of Analytical Chemist. 2005. Official Methods ofAnalysis of The Association of Analytical Chemist. 18th Ed. Assoc Off AnalChem, Arlington.
Astuti WD, Sutardi T, Evvyernie D, Toharmat T. 2006. Inkorporasi kromiumpada khamir dan kapang dengan substrat singkong yang diberi kromiumanorganik. Med Pet 29: 83-88.
Besong S, Jackson JA, Trammell DS, Akay V. 2001. Influence of supplementalchromium on concentrations of liver triglyceride, blood metabolites andrumen VFA profile in steers fed a moderately high fat diet. J Dairy Sci84(7):1679-85.
Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of dietary cation-anion difference on intake , milk yield, and blood components of the earlylactation cow. J Dairy Sci. 88: 4384-4392.
Carry EE, Allaway WH. 1971. Determination of chromium (III) in yeast. FoodTechnol Biotechnol 4: 291-297.
Georgievskii VI, Annenkov BN, Samokhin VT. 1982. Mineral Nutrition ofAnimals. Butterworth English.
Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and HumanMetabolism, Fifth edition. Wadsworth Cengage Learning, Belmont USA.Hal.513-516
Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisifisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anionransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut. JITV 14(1): 25-35.
32
Kitchalong L, Fernandez JM, Bunting LD, Southern LL, Bidner TD. 1995.Influence of Chromium Tripicolinate on Glucose Metabolism and NutrientPartitioning in Growing Lambs. J Anim Sci 73: 2694-2705.
Kraidees MS et al. 2009. Effect of supplemental chromium levels onperformance, digestibility and carcass characteristic of transport-stressedlambs. Asian-Aus. J Anim Sci 22(8):1124-1132.
Kumar S. 2008. Is environmental exposure associated with reproductive healthimpairments? (Review). J Turkish-German Gynecol Assoc 9(1): 60-69.
Kornegay ET, Wang Z, Wood CM, Lindemann MD. 1997. Supplementalchromium picolinate influences nitrogen balance, dry matter digestibility,and carcass traits in growing-finishing pigs. J Anim Sci 75: 1319-1323.
Krejpcio Z. 2001. Essentiality of Chromium for Human Nutrition and Health.Polish J Environ Studies 10: 399-404.
Lehninger AL, Nelson, David L, Cox MM. 2004. Principles of Biochemistry 4thedition. WH. Freeman, USA.
Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinatesupplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972-2977.
Luseba D. 2005. The effect of selenium and chromium on stress level, growthperformance selected carcass characteristic and mineral status of feedlotcattle [Thesis]. Universitiy of Pretoria Etd.
Mackie RI, McSweeney CS, Klieve AV. 2002. Microbial ecology of the ovinerumen. Dalam: M. Freer dan H. Dove (Ed). Sheep Nutrition. CSIRO PlantIndustry. Canberra Australia. hlm.73-80.
Mathius IW, Yulistiani M, Puastuti, Martawidjaya. 2005. Pemanfaatan mineralkromium dalam ransum untuk induk domba bunting dan laktasi (Utilizationof Organic Chromium in The Diet for Pregnant and Lactating Local Ewes).Seminar Peternakan dan Veteriner. hlm. 422-429.
Mateljan, G. 2010. Chromium. The World’s Healthy Food.http://www.whfood.org. [27 Okt 2010].
Mowat DN. 2008. Supplemental organic chromium for beef and dairy cattle.University of Guelph, Canada. www.ksu.edu.sa/sites/Colleges/FoodsAndAgriculture/AnimalProduction/Documents/alhaidary%20i.pdf. [20Maret 2009]
[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th
Revised Ed. Washington DC: National Academic Press.
[NRC] National Research Council. 1997. The Role of Chromium in AnimalNutrition. Washington DC: National Academic Press.
[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle. 7th
revised edition. Washington DC: National Academic Press.
Pechova A, Pavlata L, 2007. Chromium as an essential nutrient : a review.Veterinarni Medicina 52(1):1-18.
33
Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis andglucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266.
Ramberg CF, Ferguson JD, Galligan DT. 2009. Metabolic Basis of the CationAnion Difference Concept DCAD. Center for Animal Health andProductivity University of Pennsylvania. http://130.91.88.59/pc96/cationanion.html [2 Maret 2009]
Ratchford WA, Milliken, Coffey KP,Kegley EB, Galloway DL. 2001. Apparentmagnesium absorption and retention and serum mineral concentrations inlambs fed different sources of magnesium. The professional Anim Scientist17:267–273.
Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International,Wallingford. Hlm.453.
Skandhan KP, Makada MT, Amit S. 2005. Levels of cadmium, chromium, nickel,manganese and lead in normal and pathological human seminal plasma.Urologia 72: 461-464.
Stojkovic J. 2009. The contents of some mineral elements in the blood serum ofsheep in different Physiological cycles and with the Different level ofminerals in a meal. Biotechnol Anim Husbandry 25 (5-6): 979-984.
Tauriainen S. 2001. Dietary cation-anion balance and calcium and magnesiumintake of the dry cow [Dissertation]. Helsinki: University Of Helsinki, Dept.of Animal Science.
Vincent JB. 1999. Mechanisms of Chromium Action : Low-Molecular-WeightChromium-Binding Substance. J Ame College Nutr 18:6 -12.
Watts DL. 1989. The Nutritional Relationships of Chromium. J OrthomolecularMedicine 4(1):17-23.
35
KONDISI FISIOLOGIS DAN KUALITAS SEMEN DOMBAGARUT YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADARKROMIUM, KALSIUM DAN NERACA KATION ANION
BERBEDA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi fisiologis dan kualitas
semen domba Garut yang mendapat ransum dengan kadar Cr, Ca dan neraca
kation anion yang berbeda. Sebanyak 24 ekor domba Garut jantan berumur 1.5-2
tahun ditempatkan ke dalam rancangan acak kelompok. Perlakuan ransum adalah
R0 (ransum basal, NKAR+14); R1 (R0+Cr 3ppm, NKAR+14 ), R2 (R0+ Ca,
NKAR 0); R3 (R2+ Cr 3 ppm, NKAR 0). Metode separasi albumin digunakan
untuk memisahkan fraksi bawah yang banyak mengandung spermatozoa Y dan
fraksi atas yang banyak mengandung spermatozoa X. Hasil penelitian
menunjukkan suplementasi Cr dalam ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak
mempengaruhi suhu rektal dan laju respirasi domba Garut jantan tetapi kenaikan
laju respirasi dipengaruhi oleh suhu panas lingkungan pada siang hari.
Suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi profil hematologi darah,
kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupun mikroskopis.
Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asam menurunkan pH
semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.
Kata kunci: kondisi fisiologis, semen, kromium, neraca kation anion ransum(NKAR), domba Garut
36
PHYSIOLOGICAL CONDITION AND QUALITY OF SEMENGARUT RAM FED WITH DIFFERENT LEVELS OF
CHROMIUM, CALCIUM AND DIETARY CATION ANIONBALANCE
ABSTRACT
The study was conducted to assess the physiological condition and quality
of semen Garut ram fed with different levels of Chromium (Cr), Calcium (Ca)
and dietary cation anion balance (DCAB). Twenty four of male lambs 1.5-2 year
old male was alloted into a randomized block design. Ration treatment, namely:
R0 (basal ration, DCAB +14); R1 (R0 + Cr 3ppm, DCAB +14), R2 (R0 + Ca,
DCAB 0); R3 (R2 + 3 ppm Cr, DCAB 0). Albumin separation method used to
separate the lower fraction bearing spermatozoa Y and the upper fraction bearing
spermatozoa X. The results showed that Cr supplementation in the ration with
different level of Ca and dietary cation anion balance (DCAB) not affect the
rectal temperature and respiration rate of Garut ram, but the increased rate of
respiration is influenced by environmental temperatures during the day.
Supplementation of Cr in the ration did not affect hematology profile, semen
quality of Garut sheep either macroscopically or microscopically.
Supplementation of Cr in ration containing acid DCAB decreased semen pH and
hypoosmotic swelling test of the lower fraction spermatozoa on day 49.
Key words: physiological condition, semen, Garut ram, chromium, calcium,dietary cation anion balance (DCAB)
37
PENDAHULUAN
Nutrisi mineral telah dipelajari lebih dari 100 tahun oleh peneliti untuk
memperbaiki penampilan ternak, keuntungan dan penerimaan konsumen melalui
rekomendasi nutrisi. Sampai saat ini telah ditetapkan kebutuhan akan semua
makro mineral dan mikro mineral untuk ternak ruminansia (NRC 1996).
Mineral penting lainnya yaitu kromium (Cr) baru ditemukan setelah 50 tahun
kemudian. Manfaat Cr telah diketahui namun sampai saat ini kebutuhannya
belum belum dapat dinyatakan dengan tepat (Suttle 2010).
Mineral Cr dalam bentuk glucose tolerance factor (GTF) dalam aliran darah
diketahui berperan meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel melalui
peningkatan potensi aktivitas insulin (NRC 2001), yang dibutuhkan dalam
metabolisme lemak dan sintesis protein (Pollard et al. 2001; Suttle 2010). Peran
tersebut memungkinkan Cr berpartisipasi dalam menjaga stabilitas struktur
protein dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan
untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Lindemann et al. 2004; Pechova &
Pavlata 2007). Defisiensi Cr dapat menekan sintesis asam nukleat dan
menurunkan jumlah spermatozoa serta fertilitas pada rodensia (Anderson &
Polansky 1981). Sebaliknya kadar Cr yang tinggi merugikan dalam produksi
spermatozoa (Skandhan et al. 2005), mengubah kualitas semen, hormon
reproduksi dan menurunkan jumlah dan morfologi spermatozoa normal (Kumar
2008).
Nutrien penting bagi proses reproduksi ternak, karena berguna untuk
pembentukan sel-sel benih (gamet) memelihara kelenjar assesoris, kelenjar
hormon, sel-sel dan zat-zat yang diperlukan dalam proses spermatogenesis dan
pembentukan plasma semen. Pemberian kalori yang tinggi dalam ransum dengan
nutrisi lengkap mempengaruhi jenis kelamin pada tikus (Rosenfeld et al. 2003).
Spermatozoa banyak mengandung asam lemak jamak tidak jenuh (PUFA), yang
mudah rusak oleh radikal oksigen bebas. Namun di dalam plasma semen
mengandung antioksidan superoxide dismutase (SOD) yang dapat menangkal
radikal-radikal bebas dan menjaga dari kerusakan oksidatif (Khosrowbeygi &
Zarghami 2007). Enzim SOD berperan dalam motilitas sperma. Aktivitas SOD
pada spermatozoa manusia berkorelasi dengan jumlah spermatozoa motil
38
(Kobayashi et al. 1991). Sedangkan penelitian pada domba Mouflon
menunjukkan bahwa penambahan SOD dalam media biakan meningkatkan daya
hidup dan integritas akrosom spermatozoa (Berlinguer et al. 2003). Enzim SOD
ini dilaporkan mengandung mineral Zn, Cu dan Mn (Murray et al. 2003;
Ozgocmen et al. 2003). Suplementasi mineral Cr memperbaiki fertilitas dan
menurunkan kehilangan berat pada sapi bunting (Stahlhut et al. 2006) dan
mengurangi pengaruh buruk cekaman panas serta meningkatkan kekebalan tubuh
(Al-Muffarej et al. 2008).
Hasil penelitian mengenai Cr masih sangat sedikit demikian juga
rekomendasi kebutuhan mineral maupun ketersediannya dalam pakan masih
terbatas (NRC 1997). Kebutuhan nutrisi untuk Cr tidak didefinisikan, tetapi akan
meningkat pada kondisi seperti aktivitas gerak, tranportasi, dan infeksi ketika
kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 2007) dan pada kondisi cekaman
panas (Alsaiady et al. 2004). Beberapa peneliti memberikan Cr dalam pakan
untuk memenuhi kebutuhan akan Cr. Ketersediaan Cr yang terkandung dalam
ransum komersial untuk ternak ruminansia masih belum banyak diketahui. Usaha
untuk menentukan kebutuhan konsentrasi Cr serta ketersediaannya dalam pakan
dan suplemen untuk diberikan pada ternak ruminan terus dilakukan oleh beberapa
peneliti. Suplemen Cr meliputi CrNic, CrCl3, CrPic, Cr khelat dan jamur
berkromium tinggi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
pengaruh positif tetapi hasilnya tidak konsisten (NRC 1997).
Pengaturan mineral ransum menghasilkan perubahan neraca kation anion
ransum (NKAR). Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar terhadap
proses metabolisme dalam tubuh. Khususnya, kation natrium dan kalium, dan
anion khlorida dan belerang adalah ion utama mempengaruhi status asam-basa
dalam tubuh (Chan et al. 2005). Keasaman vagina berperan dalam pengaturan
rasio spermatozoa X atau Y sebelum fertilisasi. Spermatozoa Y tidak tahan pada
kondisi asam, kemungkinan spermatozoa X yang akan membuahi gamet X pada
sel telur sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak
betina. Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan
kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk
zigot XY dan menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987). Kemungkinan
39
karakteristik yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila
keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa. Hasil penelitian Hidayat
et al. (2009) menunjukkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma
semen domba Garut. Sedangkan pada domba betina nilai NKAR tidak
mempengaruhi pH cairan vagina (Fathul et al. 2008).
Mengingat masih terbatasnya informasi Cr dalam ransum domba Garut,
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon kondisi fisiologis dan kualitas
semen domba Garut jantan yang mendapat ransum dengan kadar Cr, Ca dan
NKAR yang berbeda.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan
Kerja, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan dan di Laboratorium Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi buatan, Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik Reproduksi
dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan
penelitian dimulai bulan Juli 2008 sampai dengan Nopember 2008.
Pakan Percobaan
Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning, dedak
halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan urea.
Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4
untuk semua ransum dan 9.7 g CaSO4 untuk ransum R2 dan R3(NKAR 0).
Unsur Cr yang disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media
kacang kedelai berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al 2006).
Ransum disusun secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985)
(Tabel 1).
Perlakuan dalam percobaan ini adalah suplementasi Cr pada tingkat Ca dan
neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda. Ransum percobaan adalah sebagai
berikut: R0 (Ransum Ransum basal, NKAR +14); R1 (Ransum basal +Cr,
NKAR+14); R2(Ransum basal+Ca, NKAR 0); R3 (Ransum basal + Ca + Cr,
40
NKAR 0). Ransum perlakuan dialokasikan pada 24 ekor domba Garut jantan
dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan 6 kelompok sebagai
ulangan.
Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya
Domba berumur ± 1.5 tahun dengan bobot badan 32.02±3.71 kg digunakan
pada percobaan ini. Sebelum percobaan terlebih dahulu dilakukan penimbangan
bobot badan dan pengujian awal kualitas semen. Pengelompokan berdasarkan
motilitas spermatozoa awal percobaan dilakukan untuk menganalisis peubah
kualitas semen domba. Pengelompokan berdasarkan motilitas spermatozoa terdiri
atas 2 kelompok yaitu kelompok A dengan motilitas diatas 70% dan kelompok B
dibawah 70%. Setiap satuan ternak kelompok motilitas ini disebar dalam
kelompok bobot badan. Domba dipelihara selama 3 bulan pada kandang individu.
Pada 21 hari pertama, domba diadaptasikan pada kondisi manajemen,
lingkungan perkandangan dan bahan pakan. Selanjutnya pada hari ke 22 hingga
hari ke 96 domba diberi pakan perlakuan sebanyak ±3% dari bobot badan.
Selama percobaan pakan domba diberikan sekitar pukul 7:00 dan 14:00. Air
minum disediakan ad libitum.
Pengambilan Sampel dan Analisis
Pemberian pakan perlakuan diteruskan selama 49 hari (satu periode
spermatogenesis). Konsumsi ransum setiap ekor domba diukur setiap hari dan
domba ditimbang setiap minggu. Analisis kadar bahan kering dan nutrien sampel
pakan menggunakan metode proksimat (AOAC 2005). Analisis mineral (Cr, Mg,
Zn, dan Ca) sampel pakan, feses, darah dan semen domba diawali dengan
pengabuan basah dan diukur dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS)
Spectra AA220 series Varian (Carry & Allaway 1971).
Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan setiap hari selama
penelitian yaitu pada pukul 06.30 WIB dan 14.00 WIB dengan menggunakan
termometer dan higrometer digital. Suhu rektal diukur menggunakan termometer
digital Omron Model MC-270. Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap minggu
selama penelitian pada pagi hari jam 06.30 WIB dan siang hari jam 14.30 WIB.
Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan cara memasukan termometer ke dalam
41
rektum domba, kemudian lakukan pembacaan angka yang terdapat pada
termometer setelah berbunyi.
Pengukuran laju respirasi dilakukan setiap minggu selama penelitian pada
pagi hari pukul 06.00 WIB dan siang hari pukul 14.00 WIB. Laju respirasi diukur
dengan cara menghitung kembang kempis perut domba selama satu menit, dengan
menggunakan stopwatch dan alat penghitung.
Koleksi semen dilakukan pada hari ke-21 (pengamatan H0), hari ke-42
(pengamatan H21), dan ke-80 (pengamatan H49). Semen domba diuji kualitas dan
kuantitasnya secara makroskopis dan mikroskopis (Arifiantini et al. 2004).
Termasuk pengujian keutuhan membran membran plasma (MPU) menggunakan
prosedur hypoosmotic swelling (HOS) Test (Fukui et al. 2004). Pengujian
Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah hasil separasi proporsi
spermatozoa X dan Y menggunakan metode albumin (Saili 1999).
Pengambilan sampel darah domba dilakukan (pada hari ke-81) dengan
menggunakan venoject berheparin di bagian vena jugularis. Tabung venoject
berisi sampel darah disimpan dalam wadah berisi batu es. Sampel darah tersebut
kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis di Lab Patologi Klinik,
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi FKH, IPB. Kadar glukosa plasma
darah dihitung dengan metode GOD-PAP dengan menggunakan alat
Spectrofotometer Hitachi U-2001.
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk
mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu dan Kelembaban Kandang
Suhu dan kelembaban lingkungan kandang sangat berpengaruh terhadap
penampilan produksi maupun reproduksi seekor ternak. Ternak yang dipelihara di
lingkungan suhu dan kelembaban yang tepat akan menampilkan produksi secara
maksimal. Yousef (1985) menyatakan bahwa daerah Thermoneutral Zone (TNZ)
untuk domba berkisar antara 22-31 oC. Apabila terjadi peningkatan suhu
42
lingkungan hingga mencapai 35 oC atau lebih akan mengakibatkan
ketidakmampuan dalam mempertahankan keseimbangan panas pada tubuh
sehingga mengganggu pertumbuhan serta kondisi reproduksi terutama proses
spermatogenesis. Cuaca panas akan meningkatkan spermatozoa abnormal pada
ternak domba (Rege et al. 2000).
Suhu lingkungan kandang domba penelitian adalah minimum 24±1 oC dan
maksimum 33±1 oC dan kelembaban pada pagi hari 93±3% dan siang hari
68±9%. Suhu maksimum lingkungan kandang penelitian dua derajat di atas suhu
TNZ. Tingginya suhu lingkungan akan menyebabkan cekaman panas. Namun
respon setiap ternak berbeda terhadap suhu lingkungan tinggi. Faktor yang
mempengaruhi cekaman panas adalah daya adaptasi dan aklimasi individu ternak,
bangsa ternak, umur, dan jenis kelamin (Yousef 1985; Stockman 2006).
Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Garut Jantan
Suhu rektal dan laju respirasi dapat digunakan sebagai indikator kondisi
fisiologis domba terhadap perubahan lingkungan maupun makanan. Jika suhu
lingkungan meningkat akan diikuti peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan serta
laju denyut jantung sebagai respon utama pada ternak, sedangkan respon kedua
ialah proses metabolik, perubahan hormonal dan enzimatik, kemudian terjadi
penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air minum (Smith &
Mangkoewidjojo 1988; Stockman 2006). Peningkatan suhu lingkungan kandang
dari suhu yang rendah pada pagi hari menjadi suhu panas pada siang hari dapat
menyebabkan cekaman panas. Peningkatan frekuensi respirasi dan suhu tubuh
merupakan respon ternak terhadap cekaman panas. Penyaluran beban panas
terutama melalui pernafasan membutuhkan metabolisme yang cepat berupa
percepatan sirkulasi darah yang akan menghantarkan beban panas tersebut
sehingga meningkatkan daya pompa jantung (Yousef 1985; Robinson 2002).
Pada penelitian ini suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi
suhu rektal domba percobaan. Nilai rataan suhu rektal domba seluruh perlakuan
pada pagi hari berkisar antara 38.74 hingga 38.95 oC dan pada siang hari berkisar
antara 38.09-39.14 oC . Nilai tersebut masih dalam kisaran normal karena suhu
tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu berkisar antara 38.2-40 oC
(Smith & Mangkowidjojo 1988; Robinson 2002). Kelembaban siang hari yang
43
cukup rendah selama penelitian berlangsung memungkinkan domba garut tersebut
untuk beradaptasi terhadap lingkungan dengan cara melepaskan panas melalui
evaporasi, sehingga dapat mengurangi cekaman yang biasanya dialami ternak
pada siang hari.
Tabel 7 Suhu rektal dan laju respirasi domba Garut yang ransumnyadisuplementasi Cr dan Ca
Peubah WaktuRansum perlakuan
R0 R1 R2 R3Suhu Rektal
(oC)
Pagi 38.74±0.14 38.70±0.30 38.76±0.27 38.95±0,41
Siang 39.00±0.19 38.88±0.20 38.09±0.28 39.14±0,36
FrekuensiRespirasi(nafas/menit)
Pagi 28.00±4.40 29.00±6.59 37.00±12.28 35.00±12.21
Siang 65.00±7.07 70.00±20.94 76.00±17.68 88.00±16.29
Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)
Suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi (P>0.05) laju respirasi
domba garut jantan. Suhu rektal dan laju respirasi domba garut jantan yang
ransumnya disuplementasi dengan Cr dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rataan laju
respirasi domba Garut jantan selama penelitian menunjukkan nilai di atas rata-rata
frekuensi pernafasan ternak domba yang normal yaitu 15 – 25 nafas/menit (Smith
& Mangkowidjojo 1988). Namun sesuai dengan hasil penelitian Hernaman
(2001), bahwa kisaran frekuensi respirasi domba yang disuplementasi Zn pra
cekaman sebesar 40 kali/menit dan pasca cekaman 104 kali/menit. Menurut
Silanokove (2000), frekuensi respirasi dapat dijadikan indikasi cekaman panas,
yaitu adalah 40-60 nafas/menit (cekaman ringan), 60-80 nafas/menit (cekaman
sedang), dan 80-120 nafas/menit (cekaman berat). Pada perlakuan ransum R3,
laju respirasi cenderung tinggi karena suplementasi Cr dan nilai NKAR 0 akan
mempengaruhi keasaman cairan tubuh. Rendahnya pH darah akan menyebabkan
penurunan HCO3-, akibatnya akan meningkatkan laju pernafasan (Robinson
2002).
44
Profil Hematologi Darah Domba Garut Jantan
Kadar hemoglobin plasma darah domba dengan ransum R0 (11.30 g%),
R1(11.50g%) , dan R3 (11.20g%) dalam keadaan normal, kecuali domba yang
mendapat ransum R2 (12.70g%) menunjukkan nilai hemoglobin sedikit di atas
normal (Frandson 1992). Namun menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988) nilai
kadar hemoglobin tersebut masih dalam batas normal yaitu 9 – 15 g%. Nilai
rataan kadar hematokrit dan leukosit berada pada kisaran normal yaitu 11%
menurut Frandson (1992) dan 29 – 35% menurut Smith dan Mangkowidjojo
(1988). Rataan kadar eritrosit sedikit di bawah batas normal yaitu 11 juta/ml
menurut Frandson (1992) tetapi masih dalam batasan normal yaitu 4.0 – 12.0
juta/ml menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988). Suplementasi Cr dalam
ransum (R2 dan R3) cenderung menurunkan kadar eritrosit darah domba.
Kekebalan tubuh ternak selalu melibatkan sel darah putih yang berfungsi
menjaga tubuh dari agen penyakit dan bakteri. Nilai rataan diferensiasi lekosit
darah domba garut perlakuan menunjukkan nilai kadar netrofil yang lebih besar
dibandingkan kisaran normal, sedangkan nilai kadar limfosit darah domba lebih
kecil dari kisaran normal. Peningkatan nilai netrofil mencapai dua kali dari
keadaan normal, hal ini mengindikasikan adanya cekaman panas terhadap ternak
domba garut jantan percobaan. Pengukuran netrofil dan limfosit ini merupakan
indikator cekaman panas yang biasa digunakan pada hewan ternak (Sugito et al.
2007). Nilai kadar netrofil darah domba yang disuplementasi dengan Cr (R1 dan
R3) cenderung menurunkan nilai netrofil dibandingkan dengan kadar netrofil
darah domba kontrol. Akan tetapi penelitian Chang et al. (1996) menunjukkan
bahwa suplementasi Cr tidak mempengaruhi aktivitas fagositosit neutrofil.
Eosinofil merupakan sel pertahanan tubuh yang berguna jika terjadi infeksi
parasit, terutama parasit cacing dan sel ini akan menelan dan menghancurkan
cacing yang masuk ke dalam tubuh hewan melalui proses fagositosis. Nilai rataan
kadar eosinofil yang berada diatas kadar normal menggambarkan terjadinya alergi
pada ternak (Frandson 1992). Kadar eosinofil darah domba yang disuplementasi
Cr (R1 dan R3) cenderung lebih rendah dibandingkan kadar eosinofil darah
domba kontrol.
Pemberian Cr, Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi kadar glukosa
45
plasma darah domba. Kisaran nilai rataan kadar glukosa plasma darah domba
Garut jantan adalah 42.76 – 46.73 mg/dl. Hasil ini sama dengan penelitian Sano
et al. (2000) bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba pada suhu TNZ tidak
mempengaruhi kadar glukosa darah, dan kadar glukosanya berkisar 50 – 54 mg/dl.
Nilai rataan kadar glukosa darah domba setelah 1.5 - 3 jam setelah makan adalah
45.25 – 65.63 mg/dl (Poli 1998).
Tabel 8 Profil hematologi darah domba Garut jantan yang ransumnyadisuplementasi dengan Cr dan Ca
PeubahRansum Perlakuan Nilai Normal
R0 R1 R2 R3 Frand* Smith**
Hemoglobin(g%) 11.30±1.03 11.50±0.84 12.70±1.21 11.20±1.72 11 9 – 15Hematokrit(%) 31.83±4.58 33.67±2.88 34.00±2.83 30.00±5.55 32 29 – 45Eritrosit(juta/ml) 9.57±2.12 8.85±2.20 10.61±1.73 8.31±2.11 11
4.0 –12.0
Leukosit(ribu/ml) 7.73±2.25 8.63±2.54 9.26±1.14 9.02±3.09 7 – 10 9.0 -15Glukosa(mg/dl) 45.05±7.42 49.62±7.15 42.76±8.35 46.73±9.80Differensiasi leukosit:
Netrofil (%) 62.00±10.39 51.67±11.50 53.83±16.15 55.17±4.67 25-30 17.5- 50
Limfosit (%) 24.17±6.55 35.83±13.27 32.33±12.08 31.17±6.74 60-65 50 – 75Monosit (%) 4.83±1.33 4.17±1.47 4.67±0.82 5.17±2.23 5 0 – 6Eosinofil (%) 9.00±4.56 7.83±4.02 9.17±3.97 8.50±4.85 2 – 5 0 – 8Basofil (%) 0 0.33±0.52 0 0.08±0.28Netrofil/Lim-fosit 3.12±0.82 2.00±1.11 2.30±1.16 2.09±0.63 25/60*Nilai normal berdasarkan Frandson (1992).**Nilai normal berdasarkan Smith dan Mangkowidjojo (1988)Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2+ Cr (NKAR 0)
Meskipun terdapat perbedaan nilai dari profil darah yang diuji tetapi secara
statistik suplementasi Cr, Ca dan NKAR berbeda dalam ransum tidak
mempengaruhi (P>0.05) profil darah domba penelitian (Tabel 8).
Kualitas Semen Domba Garut
Peranan nutrien makro dan mikro sangat penting dalam keberhasilan
46
reproduksi ternak. Spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa di
tubuli seminiferi. Terdiri atas spermatositogenesis dan spermiogenesis. Selama
spermiogenesis, potensi motilitas terjadi pada saat spermatozoa melalui
epididymis, sedangkan kapasitas spermatozoa diperoleh di beberapa bagian organ
reproduksi (Cheah & Yang 2011). Ketidakseimbangan mikro mineral dalam
ransum dapat mempengaruhi spermatogenesis pada produksi, maturasi, motilitas
dan kapasitas fertilisasi spermatozoa (Yakuub et al. 2009).
Pengujian kualitas semen dari seekor ternak dapat dilakukan secara
makroskopis (tanpa mikroskop) dan mikroskopis dengan bantuan mikroskop.
Secara makroskopis yang terdiri atas volume, pH, warna, dan konsistensi,
ternyata suplementasi Cr pada Ca dan NKAR berbeda yang diberikan pada
domba garut tidak mempengaruhi nilai peubah kualitas makroskopis semen
domba Garut pada pengujian hari ke-0 (H0). Demikian pula pada pengujian hari
ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada Ca dan NKAR berbeda tidak
mempengaruhi kualitas makroskopis semen domba Garut. Volume rataan semen
pada hari ke-0 pengamatan (H0) berkisar antara 0.56 ml sampai dengan 0.71 ml,
nilai rataan pH semen berkisar antara 6.25 sampai dengan 6.58 sedangkan peubah
kualitas semen lainnya disajikan pada Tabel 9 untuk pengamatan H0, Tabel 10
untuk pengamatan H21 dan Tabel 11 untuk pengamatan H49.
Uji kualitas secara mikroskopis terdiri atas gerakan massa, motilitas
spermatozoa, ratio spermatozoa hidup dan mati, morfologi spermatozoa normal
dan konsentrasi spermatozoa per ml. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan
pada hari ke-0, ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada ransum Ca dan NKAR
berbeda tidak mempengaruhi kualitas mikroskopis semen segar domba Garut. Hal
ini menunjukkan suplementasi Cr dan Ca pada NKAR berbeda tidak
mempengaruhi spermatogenesis pada domba Garut.
Proses fertilisasi melibatkan proses fisiologis dan biokimia kompleks yang
tidak hanya dapat diukur melalui evaluasi semen rutin. Salah satu yang berperan
adalah adanya enzim yang berfungsi untuk fertilisasi yang terdapat dalam
akrosom. Karena akrosom terdapat dalam kepala spermatozoa dan karena
permukaan spermatozoa dikelilingi oleh membran plasma maka keutuhan dari
membran plasma perlu diuji. Salah satu cara pengujian membran plasma adalah
47
menggunakan larutan hipoosmotik yang dikenal dengan hypoosmotic swelling
(HOS) test (Hafez 1993; Nur et al. 2005). Pengujian membran plasma utuh
(MPU) dari spermatozoa dengan menggunakan hypoosmotic swelling test (HOS
Test) telah terbukti baik digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi keutuhan
membran spermatozoa berbagai ternak seperti, kuda, sapi, dan kambing (Fonseca
2005).
Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata nilai MPU pada domba garut tidak
dipengaruhi pemberian Cr pada Ca dan NKAR berbeda. Nilai kisaran MPU
spermatozoa domba Garut adalah 62.33 – 70.07%. Nilai MPU ini lebih baik
dibandingkan nilai MPU pada kambing Saanen yaitu 53.7% (Nur et al. 2005) dan
domba merino 47.2% (Fukui et al. 2004). Integritas membran plasma ditentukan
oleh komposisi membran plasma spermatozoa. Membran plasma spermatozoa
mengandung fosfolipid dan plasmalogen yang terdiri atas polyunsaturated fatty
acid (PUFA). Rantai panjang asam lemak dari posfolipid membran plasma berasal
dari metabolisme asam lemak linoleat (C18:2 n-6) dan α-asam lemak linolenat
(C18:3 n-3) (Lenzi et al. 1996). Nilai MPU yang baik ini diduga karena ransum
percobaan mengandung minyak jagung yang kaya PUFA terutama asam lemak
linoleat. Kadar asam lemak tertinggi pada minyak jagung adalah asam linoleat
sebanyak 60.4% (NRC 1985).
Tabel 9 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Crdan Ca pada H0
PeubahPerlakuan
R0 R1 R2 R3Volume (ml) 0.56 ±0.15 0.60 ±0.26 0.66 ±0.21 0.71 ±0.33pH 6.58 ±0.55 6.40 ±0.33 6.45 ±0.36 6.25 ±0.15Warna 1.33 ±0.52 1.00 ±0 1.50 ±0.55 1.50 ±0.55Konsistensi 1.83 ±0.98 1.83 ±0.41 2.33 ±0.82 2.33 ±0.83Gerakan Massa 2.42 ±1.20 3.00 ±0 3.00 ±0 3.00 ±0Motilitas (%) 71.67 ±5.77 71.67 ±2.58 70.00 ±5 65.00 ±10.80Sperma Hidup %) 80.53 ±11.76 84.95 ±1.88 83.95 ±5.11 77.61 ±3.22Konsentrasi (jutaspz/ml) 2637 ±1476 2741 ±933 2754 ±654 3504 ±312Morfologi SpzNormal (%) 92.10 ±1.27 92.92 ±2.80 93.38 ±2.09 93.37 ±1.85
MPU (%) 70.07 ±13.25 68.70 ±12.05 62.33 ±3.78 66.27 ±9.09Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 +Cr (NKAR 0)H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49
48
Tabel 10 Kualitas semen domba Garut jantan uang ransumnya disupelementasiCr dan Ca pada H21
PeubahPerlakuan
R0 R1 R2 R3Volume (ml) 0.80 ±0.41 0.78 ±0.25 0.59 ±0.32 0.77 ±0.28pH 6.35 ±0.23 6.33 ±0.35 6.32 ±0.24 6.35 ±0.23Warna 1.33 ±0.52 1.00 ±0 1.17 ±0.41 1.00 ±0Konsistensi 2.33 ±0.52 2.17 ±0.41 2.00 ±0.63 2.00 ±0Gerakan Massa 3.00 ±0 3.00 ±0 3.00 ±0 3.00 ±0Motilitas (%) 67.50 ±2.89 74.00 ±2.24 71.67 ±5.77 74.00 ±8.22Sperma Hidup (%) 81.08 ±5.64 87.43 ±4.70 85.07 ±5.67 85.62 ±10.71Konsentrasi (jutaspz/ml) 2741 ±721 2712 ±566 2591 ±746 2637 ±550Morfologi Spz
Normal (%) 88.77 ±9.90 93.80 ±1.03 91.61 ±2.38 89.16 ±12.43MPU (%) 55.79 ±8.73 56.61 ±6.30 54.88 ±6.24 52.89 ±13.93Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 +Cr (NKAR 0)H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49Nilai konsistensi:1= encer, 2=sedang, 3=kentalNilai warna: 1= putih susu, 2= kream
Tabel 11 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasiCr dan Ca pada H49
PeubahPerlakuan
R0 R1 R2 R3Volume (ml) 0.57±0.42 0.61±0.20 0.68±0.42 0.76±0.26pH 6.37b±0.34 6.17b±0.08 6.48a±0.42 6.22b±0.04Warna 1.67±0.52 2.00±0 2.00±0 2.00±0Konsistensi 2.17±0.75 2.33±0.52 2.67±0.52 2.50±0.55Gerakan Massa 2.92±0.20 2.67±0.26 3.00±0 2.92±0.20Motilitas (%) 74.00±4.18 73.00±4.47 72.50±6.45 73.75±4.79Sperma Hidup (%) 83.70±6.47 83.77±5.57 83.04±6.22 86.04±3.25Konsentrasi (juta spz/ml) 2850±74 3100±473 3000±851 3258±778Morfologi Spz
Normal (%) 93.04±1.85 94.16±2.94 93.99±1.93 94.00±1.43MPU (%) 64.34±4.97 61.63±8.84 58.20±5.57 57.13±6.24Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 +Cr (NKAR 0)H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49Nilai konsistensi:1= encer, 2=sedang, 3=kentalNilai warna: 1= putih susu, 2= kream
49
Nilai motilitas spermatozoa pada pengamatan H0, H21 dan H49 cenderung
menunjukkan kenaikkan (65.00 – 71.60% pada H0; 67.50 – 71,67 pada H21;
72.50 – 74.00 pada H49). Terutama nilai motilitas spermatozoa pada perlakuan
R3 terjadi peningkatan cukup tinggi yaitu dari 65.005 sampai 74.00%. Hal
tersebut mengindikasikan adanya pengaruh pemberian pakan pada semua
perlakuan yang telah memenuhi kecukupan nutrisi bagi ternak domba jantan.
Jumlah Ca yang mencukupi pada ransum R3 diduga mempengaruhi peningkatan
motilitas spermatozoa. Hal ini sejalan dengan Kanyinji dan Maeda (2010) dan
Cheah dan Yang (2011) bahwa pemberian Ca dalam ransum dapat meingkatkan
motilitas spermatozoa. Motilitas tertinggi terjadi pada H49 diduga karena lama
proses spermatogenesis pada domba berlangsung antara 46-49 hari (Senger 2005;
Bearden & Fuquay 2000). Menurut Robinson et al. (2006) lama
spermatogenesis pada domba adalah 47 hari, oleh karena itu untuk memenuhi
kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan dilakukan 2 bulan
sebelum dikawinkan. Sehingga semua spermatozoa pada H49 merupakan
spermatozoa yang telah dipengaruhi oleh nutrisi ransum perlakuan.
Motilitas dan MPU Spermatozoa Hasil Separasi
Sebelum dapat mengetahui perbedaan karakteristik spermatozoa X dan Y
domba, spermatozoa dalam semen domba harus dilakukan separasi spermatozoa.
Teknik separasi yang digunakan adalah separasi dengan kolom albumin. Menurut
Saili (1999) teknik ini sederhana dan cukup baik untuk digunakan dan pada ternak
sapi menghasilkan menghasilkan 73.5% spermatozoa Y pada fraksi bawah dan
71% spermatozoa X pada fraksi atas.
Hasil pengujian kualitas spermatozoa fraksi atas dan bawah semen domba
Garut hasil separasi menggunakan metoda albumin disajikan pada Tabel 12.
Motilitas spermatozoa hasil separasi tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr
dalam ransum domba pada koleksi hari ke-0, 21 ataupun ke 49. Nilai rataan
motilitas spermatozoa setelah separasi lebih rendah (5.00 – 23.33% spermatozoa
fraksi atas dan 20.00 – 32.50 spermatozoa fraksi bawah pada H0; 18.33 – 35.83%
spermatozoa fraksi atas dan 22.50 – 48.33% spermatozoa fraksi bawah pada H21;
17.50 – 31.67% spermatozoa fraksi atas dan 23.33 – 30.00% spermatozoa fraksi
bawah pada H49) bila dibandingkan dengan motilitas spermatozoa sebelum
50
dilakukan separasi (65.00 – 71.60% pada H0; 67.50 – 71.67 pada H21; 72.50 –
74.00 pada H49). Hal ini disebabkan oleh perlakuan pada saat separasi yaitu
sentrifugasi dan penggunaan media yang mengandung bahan kimia, yang
akhirnya akan mempengaruhi viabilitas spermatozoa dengan terbukti dengan
menurunnya nilai MPU dan nilai motilitas spermatozoa.
Tabel 12 Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah (%) hasilseparasi albumin semen domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca
PeubahPerlakuan
R0 R1 R2 R3Hari ke-0:Fraksi AtasMotilitas 11.67 ±11.25 15.83 ±17.44 23.33 ±18.89 5.00 ±4.47MPU 45.60 ±5.92 37.83 ±6.37 46.60 ±15.44 34.86 ±12.50
Fraksi BawahMotilitas 23.33 ±27.51 20.00 ±22.80 32.50 ±29.62 27.50 ±31.10MPU 41.11 ±4.47 35.41 ±12.41 45.42 ±6.33 37.61 ±18.35
Hari ke-21Fraksi AtasMotilitas 23.33 ±18.89 35.83 ±23.96 18.33 ±25.43 25.00 ±24.08MPU 49.13 ±14.4 38.98 ±8.67 36.47 ±13.42 42.77 ±8.66
Fraksi BawahMotilitas 44.17 ±15.94 48.33 ±20.66 22.50 ±24.03 46.67 ±16.33MPU 46.48 ±9.81 46.90 ±6.97 47.40 ±12.11 42.91 ±17.58
Hari ke-49Fraksi AtasMotilitas 28.33±14.38 31.67±14.38 17.50±21.15 31.67 ±17.51MPU 39.45±10.70 39.54±9.60 35.38±11.72 31.62 ±6.97
Fraksi BawahMotilitas 30.00±10.49 29.17±15.30 23.33±16.63 28.33 ±9.83MPU 47.46±16.96a 36.61±13.08b 36.84±10.66b 28.36 ±1.36b
Keterangan: Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P <0.05)R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 +Cr (NKAR 0)
Motilitas spermatozoa fraksi bawah cenderung lebih tinggi daripada
motilitas spermatozoa fraksi atas, baik itu pada pengamatan H0, H21 dan H49.
Hal ini dapat diduga karena fraksi bawah adalah fraksi yang terdiri atas sebagian
besar spermatozoa Y daripada spermatozoa X. Kandungan DNA spermatozoa Y
lebih rendah 2.78% daripada spermatozoa X; kepala spermatozoa Y lebih kecil
51
dan lebih ringan daripada spermatozoa X; panjang kromosom Y lebih pendek 2.35
kali daripada kromosom X (Shettles 1970). Oleh karena itu, gerakan spermatozoa
Y lebih cepat daripada spermatozoa X (Ericsson & Glass 1982).
Suplementasi Cr dalam ransum domba tidak berpengaruh terhadap nilai
MPU spermatozoa fraksi bawah maupun fraksi atas pada pengujian hari ke-0 dan
21. Nilai MPU pada spermatozoa yang dikoleksi pada hari ke-0 dan ke-21 tidak
dipengaruhi oleh Cr yang diberikan dengan nilai MPU masing-masing 34.86 –
46.60% pada fraksi atas dan 35.41 – 45.42% pada fraksi bawah (H0) dan 36.47 –
49.13% pada fraksi atas dan 42.91 – 47.40 pada fraksi bawah (H21). Pada hari
pengujian hari ke-49, terlihat bahwa suplementasi Cr pada R3 menurunkan nilai
MPU spermatozoa fraksi bawah (28.36%). Spermatozoa pada fraksi bawah
sebagian besar adalah spermatozoa Y yaitu 73.5% (Saili 1999). Penurunan MPU
spermatozoa fraksi bawah diduga karena perlakuan suplementasi Cr dalam
ransum berpengaruh menurunkan kualitas membran spermatozoa fraksi bawah.
Hal ini diduga karena adanya penurunan kadar Ca dalam plasma semen akibat
suplementasi Cr dalam ransum. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba Garut akan menurunkan kadar Ca
semen (Tabel 3). Fungsi Ca dalam semen adalah meningkatkan motilitas
spermatozoa (Cheah & Yang 2011), sehingga rendahnya kadar Ca dalam semen
akan menurunkan motilitas spermatozoa.
Pada H49 nilai MPU ternyata berbeda antar ransum yang diberikan.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Cr yang diberikan sudah mempengaruhi
kualitas semen. Diduga kadar Cr dalam semen berpengaruh buruk terhadap
integritas membran spermatozoa terutama pada spermatozoa fraksi bawah. Seperti
diketahui proses spermatogenesis pada domba berlangsung antara 46-49 hari
(Senger 2005; Bearden & Fuquay 2000) sehingga dapat dipahami jika perbedaan
nilai MPU baru terlihat pada spermatozoa yang prosesnya sudah dipengaruhi oleh
Cr yang diberikan. Hal in sejalan dengan pendapat Robinson et al. (2006) bahwa
untuk memenuhi kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan
dilakukan 2 bulan (satu periode spermatogenesis) sebelum domba dikawinkan.
Sehingga respon reproduksi karena pemberian nutrien akan terlihat. Tidak
berpengaruhnya suplementasi Cr pada H0 atau H21 karena semen yang
52
diejakulasikan adalah hasil spermatogenesis satu bulan sebelumnya.
Spermatozoa Y tidak tahan pada kondisi asam, sebaliknya sperma X oleh
karena itu pada kondisi asam yang akan membuahi sel telur adalah spermatozoa
X, sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak
betina. Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan
kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk
zigot XY sehingga menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987). Kemungkinan
karakteristik yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila
keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa. Hidayat (2009)
melaporkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma semen domba
dan perubahan mulai terjadi pada hari ke-28, dimana pH plasma berkisar antar 5.9
sampai 7.3. Karakteristik spermatozoa seperti itu mungkin terjadi pula pada
spermatozoa domba jantan yang diberi perlakuan R3. Hal itu terjadi karena
ransum R3 mengandung Cr lebih banyak dan memiliki NKAR 0 atau lebih asam
dibandingkan ransum R0, R1 dan R2.
Hasil uji MPU yang rendah pada fraksi bawah semen domba Garut dapat
diartikan bahwa kemampuan fertilisasi spermatozoa fraksi bawah yang sebagian
besar adalah spermatozoa Y adalah rendah. Sehingga diduga bila semen domba
Garut hasil separasi pada perlakuan R3 jika diinseminasikan pada domba betina
maka kemampuan spermatozoa Y untuk membuahi sel telur akan rendah
dibandingkan spermatozoa X. Sehingga kemungkinan rasio anak yang lahir lebih
banyak anak betina dibandingkan anak jantan.
SIMPULAN
1. Profil hematologi darah domba tidak dipengaruhi suplementasi Cr pada ransum
dengan Ca dan NKAR berbeda, namun ada kecederungan memperbaiki kadar
netrofil.
2. Suplementasi Cr pada ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak
mempengaruhi kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupun
mikroskopis.
3. Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asam menurunkan
pH semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.
53
DAFTAR PUSTAKA
Alsaiady M. et al. 2004. Effect of chelated chromium supplementation onlactation performance and blood parameters of Holstein cows under heatstress. Anim Feed Sci Technol. 117(3-4): 223-233.
Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect onsperm count and fertility in rats. Biol Trace Element Res 3:1-5
Al-Muffarej SI, Al-haidary IA, Al-Kraidees MS, Hussein M. 2008. Effect ofchromium dietary supplemention on the immune response and some bloodbiochemical parameters of tranport-stressed lambs. Asian-Aus J Anim Sci21(5):671-676.
[AOAC] Association of Official of Analytical Chemist. 2005. Official Methods ofAnalysis of The Association of Analytical Chemist. 18th Ed. Assoc. Off.Anal. Chem., Arlington
Arifiantini RI, Yusuf TL,Toelihere MR. 2004. Proses Produksi Semen BekuKerbau dengan Sistem Minitub. Laboratorium Fisiologi Reproduksi danInseminasi Buatan. Departemen Reproduksi dan Kebidanan, FKH IPB.
Astuti WD, Sutardi T, Evvyernie D, Toharmat T. 2006. Inkorporasi kromiumpada khamir dan kapang dengan substrat singkong yang diberi kromiumanorganik. Med Pet 29: 83-88.
Bearden HJ, Fuquay JW. 2000. Applied Animal Reproduction. Missisisipi StateUniversity.
Berlinguer F et al. 2003. Superoxide dismutase affects the viability of thawedEuropean mouflon (Ovis g. musimon) semen and the heterologousfertilization using both IVF and intracytoplasmatic sperm injection. ReprFertility and Development 15: 19–25
Carry EE, Allaway WH. 1971. Determination of chromium (III) in yeast. FoodTechnol Biotechnol 4: 291-297.
Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary Cation-Anion Difference on Intake, Milk Yield , and Blood Components of theEarly Lactation Cow. J Dairy Sci 88: 4384-4392.
Chang X, Mallard BA, Mowat DN. 1996. Effects of chromium on health status,blood neutrophil phagocytosis and in vitro lymphocyte blastogenesis ofdairy cows. Veterinary Immunology and Immunopathology. 52:37-52
Cheah Y, Yang W. 2011. Functions of essential nutrition for high qualityspermatogenesis. Advance in Biosci Biotechnol 2:182-197.
Ericsson RJ, Glass RH. 1982. Functional Differences Between Sperm Bearing TheX Or Y Chromosome. In Amann RP, Seidel Jr GE , Editor. Prospects forSexing Mammalian Sperm. USA: Colorado Associated University Press.
54
Fathul F, Toharmat T, Permana IG, Boediono A . 2008. Keasaman Cairan Tubuhdan Rasio Kelamin Anak Domba Garut (Ovis aries) yang Diberi Kation-Anion Ransum yang Berbeda. Med Pet 31(2):87-98
Fonseca JF et al. 2005. The hypoosmotic swelling test in fresh goat spermatozoa.Anim Repr Sci 2(2):139-144.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University Press.Yogyakarta
Fukui Y et al. 2004. Validation of the Sperm Quality Analyzer and the Hypo-osmotic Swelling Test for Frozen-thawed Ram and Minke Whale(Balaenoptera bonarensis ) Spermatozoa. Repr 50(1): 147-154
Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea Febiger,Philadelphia
Hernaman I. 2001. Metabolit dan Respons Antibodi Pasca Cekaman Transportasipada Domba dengan Ransum yang Disuplementasi Seng dan Minyak Ikan[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisifisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anionransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut. JITV 14(1): 25-35.
Kanyinji F., Maeda T. 2010. Additional dietary calcium fed to Barred PlymouthRock roosters reduces blood cholesterol, elevates seminal calcium, andenhances sperm motility, thermo-tolerance and cryosurvivability. Anim reprsci 120:158-165.
Khosrowbeygi A, Zarghami N. 2007. Levels of oxidative stress biomarkers inseminal plasma and their relationship with seminal parameters. BMCClinical Pathology 7:6
Kobayashi T, Miyazaki T, Natori M, Nozawa S. 1991. Protective role ofsuperoxide dismutase in human sperm motility: superoxide dismutaseactivity and lipid peroxide in human seminal plasma and spermatozoa. HumRepr 6(7):987-991.
Kumar S. 2008. Is Environmental Exposure Associated With ReproductiveHealth Impairments? (Review). J. Turkish-German Gynecol Assoc . 9(1):60-69
Lenzi A, Picardo M, Gandini L, Dondero F. 1996. Lipids of the sperm plasmamembrane : from polyunsaturated fatty acids considered as markers ofsperm function to possible scavenger therapy. Hum Repr Update 2(3):246-256.
Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinatesupplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972-2977.
Murray RK, Graner DK, Mayes PA, Rodwel VW. 2003. Harper’s IllustratedBiochemistry, 26th edition. McGraw-Hill Companies, Inc. United States ofAmerica.
55
[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th
Revised Ed. Washington DC: National Academic Press.
[NRC] National Research Council. 1996. Nutrient requirements of beef cattle. 7th
edition. Washington DC: National Academic Press.
[NRC] National Research Council. 1997. Nutrient requirements of SmallRuminant. Washington DC: National Academic Press.
[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle.7th revised edition. Washington DC: National Academic Press.
[NRC] National Research Council. 2007. The Role of Chromium in AnimalNutrition. Washington DC: National Academic Press.
Nur Z, Dogan I, Gunayand U, Soylu K. 2005. Relationships Between SpermMembrane Integrity And Other Semen Quality Characteristics Of TheSemen Of Saanen Goat Bucks. Bull Vet Inst. Pulawy 49: 183-187.
Ozgocmen S, Sogut S, Fadillioglu E, Ardicoglu A, Ardicoglu O. 2003.Antioxidant status and lipid peroxidation in seminal plasma andspermatozoa of patients with ankylosing spondylitis. Rheumatology 42:805-807
Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient : a review.Veterinarni Medicina 52(1):1-18.
Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis andglucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266.
Poli Z. 1998. Kebutuhan Pakan dan Mrtabolit Darah Domba Laktasi PertamaBerdasarkan Kualitas Pakan dan Jumlah Anak [Tesis]. Bogor: SekolahPascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pratt NC, Huck UW, Lisk RD. 1987. Offspring sex ratio in hamsters is correlatedwith vaginal pH at certain times of mating. Behav Neural Biol 48:310-316.
Rege J et al. 2000. Reproductive characteristics of Ethiopian highland sheep. II.Genetic parameters of semen characteristics and their relationships withtesticular measurements in ram lambs. J the International Goat Assoc37(3):173-187.
Robinson JJ et al. 2006. Nutrition and fertility in ruminant livestock. Anim FeedSci Technol 126:259-276.
Robinson NE. 2002. Hemostasis. In Textbook of veterinary physiology. Secondedition, ed. J. G. Cunningham. St Louis: W. B. Saunders Company. p516 -544.
Rosenfeld CS et al. 2003. Striking variation in the sex ratio of pups born to miceaccording to whether maternal diet is high in fat or carbohydrate. PNAS. Vol10(8):4628–4632. www.pnas.org_cgi_doi_10.1073_pnas.0330808100 [21Agusts 2009]
Saili T. 1999. Efektivitas Penggunaan Albumen Sebagai Medium Separasi dalamUpaya Mengubah Rasio alamiah Spermatozoa Pembawa Kromosom X danY pada Sapi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
56
Sano H, Konno S, Shiga A. 2000. Chromium supplementation does not influenceglucose metabolism or insulin action in response to cold exposure in maturesheep. J Anim Sci 78:2950–295
Shettles LB. 1970. Use of chromosome in pre-natal sex determinatioan. Nature(230): 52 - 54
Skandhan KP, Makada MT, Amit S. 2005. Levels of cadmium, chromium, nickel,manganese and lead in normal and pathological human seminal plasma.Urologia 72: 461-4
Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Second Revised Ed.Cadmus Proffesional Communication, USA. Hlm 203.
Silanikove N. 2000. Effects of heat stress on the welfare of extensively manageddomestic ruminants. Livestock Prod Sci 67: 1-18
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan PenggunaanHewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta
Stahlhut HS, Whisnant CS, Spears JW. 2006. Effect of chromiumsupplementation and copper status on performance and reproduction of beefcows. Anim Feed Sci Technol 128: 266-275.
Stockman CA. 2006. The Physiological and Behavioural Responses of SheepExposed to Heat Load within Intensive Sheep Industries [Thesis]. WesternAustralia: Murdoch University.
Sugito, Manalu W, Astuti DA, Handharyani E, Cherul. 2007. Efek CekamanPanas dan Pemberian Ekstrak Heksan Tanaman Jaloh (Salix TetraspermaRoxb) Terhadap Kadar Kortisol, Trioditironin dan Profil Hematologi AyamBroiler. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/jitv/jitv123-2.pdf.[20-03-09]
Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International,Wallingford. Hlm. 453.
Yaakub, H. et al. 2009. The effects of palm kernel cake based diet onspermatogenesis in Malin x Santa-Ines rams. Anim Repr Sci 115(1-4):182-188
Yousef MK. 1985. Stress Physiology in Livestock. Vol. I. CRC Press Inc. BocaRaton. Florida
57
POLA KELAHIRAN ANAK DARI INDUK DOMBA GARUTYANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM
DAN NERACA KATION ANION BERBEDA
ABSTRAK
Mineral kromium dan neraca kation anion ransum mempengaruhi
keseimbangan asam basa dalam cairan tubuh. Perubahan keasaman cairan tubuh
secara tidak langsung mempengaruhi karakteristik reproduksi ternak. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui pola kelahiran anak dari induk domba garut yang
mendapat ransum dengan kadar kromium, kalsium dan neraca kation anion
berbeda. Perlakuan adalah pola perkawinan domba yang mendapat ransum
perlakuan pra-bunting, yaitu RJA: Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba
betina R0 (NKAR +14); RBA: Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Domba
betina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba
betina R0 (NKAR +14). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang
sangat erat antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting.
Suplementasi Cr dan NKAR 0 pada ransum domba jantan dan betina sebelum
dikawinkan tidak mempengaruhi lama kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran
pada anak domba hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dengan
betina yang disuplementasi Cr dan NKAR -10 cenderung meningkat. Rasio jenis
kelamin anak meningkat dari rasio alamiah pada domba betina yang diberi ransum
basa. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba
jantan yang disuplementasi Cr dan NKAR 0 cenderung menurun.
Kata kunci: rasio jenis kelamin, kromium, neraca kation anion ransum, dombaGarut.
58
LAMBING PATTERN OF GARUT SHEEP FED RATIONWITH DIFFERENT LEVELS OF CHROMIUM AND CATION-
ANION BALANCE
ABSTRACT
Chromium mineral and cation-anion balance in ration affects acid-base
balance in body liquid. Changes in the acidity of body liquid indirectly affect the
characteristics of animal reproduction. This study was done to assess lambing
pattern of Garut ewes fed ration with different levels of chromium, calcium, and
cation-anion balances. Treatments consisted of combinations of mating patterns
and pre-gestating rations, namely: Rams R3 (Cr + DCAB 0) x Ewes R0 (DCAB
+14) (RJA); Rams R1 (Cr+ DCAB+14) x Ewes R2 (Cr + DCAB-10) (RBA);
Rams R0 (DCAB +14) x Ewes R0 (DCAB +14) (RJBB). Results showed that
there was a close relationship between gestational age and body weight gain of
gestating ewes. Cr supplementation and DCAB 0 in rams and ewes pre-mating
rations did not affect gestational length. Number of lambs of the same birth from
Cr and DCAB10-supplemented ewes mated with Cr-supplemented rams tended
to increase. Sex ratio of offspring from ewes fed base ration containing high
unsaturated fatty acid was higher than the natural ratio. Sex ratio of offspring
from ewes mated with Cr and DCAB 0-supplemented rams tended to decrease.
Keywords: sex ratio of offspring, chromium, ration anion-cation balance, Garutsheep.
59
PENDAHULUAN
Performa produksi suatu ternak tidak hanya dilihat dari sifat
pertumbuhannya. Reproduksi ternak merupakan bagian yang penting dalam
proses produksi. Ternak domba yang menghasilkan banyak anak (prolifik) sangat
menguntungkan bagi peternak. Lebih jauh lagi untuk menghasilkan produksi
ternak yang tinggi dibutuhkan induk-induk sebagai penghasil bakalan anak
domba. Oleh karena itu kebutuhan ternak domba betina sangat penting bagi
proses produksi ternak. Pada ternak perah (kambing dan sapi perah) peningkatan
kelahiran anak betina sangat penting bagi produksi susu. Cunningham (1975)
menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat meningkatkan efsiensi produksi susu
sampai 30% jika pada saat inseminasi buatan dapat diseleksi kelahiran anak
betina. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penentuan jenis kelamin anak
sebelum dilahirkan. Menurut Johnson (2000) prapenentuan jenis kelamin ternak
yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting untuk memberikan
efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia. Bersama dengan perubahan
yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang generasi terakhir, aplikasi
praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi semakin diperlukan.
Hewan mamalia mempunyai sepasang kromosom yang menentukan jenis
kelamin dari hewan tersebut. Berdasarkan kromosom kelamin yang
dikandungnya, spermatozoa pada mamalia dapat dibedakan atas spermatozoa
yang mengandung kromosom X (spermatozoa X) dan spermatozoa yang
mengandung kromosom Y (spermatozoa Y). Secara alamiah rasio jenis
spermatozoa X dan Y berkisar 50%:50%, seperti hasil penelitian Garner et al.
(1983) melaporkan bahwa rata-rata kandungan spermatozoa X dan Y dalam
semen sapi adalah 49.5% dan 50.5%.
Usaha menggeser rasio jenis kelamin telah dilakukan baik secara in vitro
maupun in vivo. Sebagian penelitian in vitro yang dilakukan adalah pemisahan
secara langsung spermatozoa X dan Y dengan menggunakan berbagai metode
teknologi reproduksi. Beberapa metode pemisahan spermatozoa dengan teknik
Motilty and electrophoretic separation, Iso electric focusing dan sephadex column
(Hafez, 1987). Penggunaan larutan 6% BSA (Bovine Serum Albumin) telah
60
digunakan Hendri (1992) untuk memisahkan spermatozoa X dan Y menghasilkan
rasio jantan 22.2% dan betina 77.8% pada fraksi semen bagian tengah. Sedangkan
Saili (1999) dengan menggunakan albumin telur sebagai medium separasi
menghasilkan 71.43% spermatozoa betina pada bagian lapisan atas. Selain
daripada itu upaya lain dilakukan untuk tujuan tersebut dengan melakukan
manipulasi nutrisi baik itu nutrien makro maupun nutrien mikro dan mineral.
Nutrien penting bagi proses reproduksi ternak, yang digunakan untuk
pembentukan sel-sel benih (gamet), kelenjar assesoris, kelenjar hormon, dan sel-
sel dan zat-zat yang diperlukan dalam proses spermatogenesis dan pembentukan
plasma semen. Pemberian kalori tinggi dalam ransum secara nutrisi lengkap
mempengaruhi jenis kelamin pada tikus (Rosenfeld et al. 2003). Spermatozoa
banyak mengandung asam lemak jamak tidak jenuh (PUFA), yang dapat mudah
rusak oleh radikal oksigen bebas. Namun spermatozoa juga mengandung
antioksidan superoxide dismutase (SOD) yang dapat menangkal radikal-radikal
bebas menjaga dari kerusakan oksidatif (Khosrowbeygi & Zarghami 2007).
Enzim SOD berperan dalam motilitas sperma. Aktivitas superoksida dismutase
(SOD) pada spermatozoa manusia berkorelasi dengan jumlah spermatozoa yang
motil (Kobayashi et al. 1991). Sedangkan penelitian pada domba Mouflon
menunjukkan bahwa penambahan SOD dalam media biakan meningkatkan daya
hidup dan integritas akrosom spermatozoa (Berlinguer et al. 2003). Enzim ini
mengandung mineral Zn, Cu dan Mn (Brown 1990; Murray et al. 2003;
Ozgocmen 2003).
Mineral Cr dalam bentuk glucose tolerance factor (GTF) dalam aliran darah
diketahui berperan meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel melalui
peningkatan potensi aktivitas insulin (NRC 2001), yang dibutuhkan dalam
metabolisme lemak dan sintesis protein (Pollard et al. 2001; Suttle 2010). Peran
tersebut memungkinkan Cr berpartisipasi dalam menjaga stabilitas struktur
protein dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan
untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Lindemann 2004; Pechova &
Pavlata 2007).
Ketidakseimbangan Na, K, dan Ca dalam ransum dapat mempengaruhi rasio
jenis kelamin (Stolkowski & Lorrain 1980; Celik et al. 2003). Pengaturan
61
mineral ransum menghasilkan perubahan neraca kation anion ransum (NKAR).
Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar terhadap proses metabolik
dalam tubuh. Khususnya, kation natrium dan kalium, dan anion khlorida dan
belerang adalah ion utama mempengaruhi status asam-basa dalam tubuh (Chan et
al. 2005). Keasaman cairan vagina berperan dalam pengaturan rasio spermatozoa
X atau Y sebelum fertilisasi. Spermatozoa Y tidak tahan pada kondisi asam,
kemungkinan spermatozoa X yang akan membuahi gamet X pada sel telur
sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak betina.
Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan
kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk
zigot XY dan menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987). Kemungkinan
karakteristik yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila
keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa. Hasil penelitian Hidayat
et al. (2009) menunjukkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma
semen domba Garut. Sedangkan pada domba betina nilai NKAR tidak
mempengaruhi pH cairan vagina (Fathul et al. 2008).
Penelitian ini mengkaji pengaruh suplementasi Cr pada ransum dengan Ca
dan neraca katian anion ransum (NKAR) berbeda pada pola kelahiran anak
domba Garut.
BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak
Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Nutrisi
dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Desember 2008 sampai dengan Juli 2009.
Penelitian ini akan menggunakan domba betina sebanyak 17 ekor umur ±
20-30 bulan dengan bobot badan awal 30.3±1.98 kg. Setiap ekor betina
dikawinkan dengan salah satu dari 3 pejantan yang telah diberi ransum perlakuan
selama 49 hari. Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning,
dedak halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan urea.
Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4
62
untuk semua ransum, 9.7 g CaSO4 + 5.5 g CaCl2 untuk ransum R2 (NKAR-10)
dan 9.7 g CaSO4 untuk ransum R3 (NKAR 0). Unsur Cr yang
disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media kacang kedelai
berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al 2006). Ransum disusun
secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985) (Tabel 13).
Selama dalam proses perkawinan, pakan yang digunakan adalah pakan pada
ransum percobaan (Tabel 13). Setelah domba betina bunting, pakan yang
diberikan adalah ransum komersil untuk ternak ruminansia dan rumput lapang
(Brachiaria humidicola) diberikan ad libitum.
Tabel 13 Komposisi dan kandungan nutrien ransum domba Garut jantan danbetina pra-bunting
Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal (R01)Komposisi
PakanKadar(% BK)
Nutrien Kadar
Hijauan jagung 35 Bahan kering (%) 90.31
Dedak halus 21.5 Abu (%) 7.4
Jagung kuning 19.65 Protein kasar (%) 13.5
Bungkil kedelai 13.6 Lemak kasar (%) 7.5
Bungkil kelapa 8 Serat kasar (%) 17.5
Urea 0.25 BETN (%) 44.4Minyak jagung 2 TDN (%) 67.8
Jumlah 100 Energi Bruto(Kkal/kg)
3263
Zn (ppm) 139.12
Mg (%) 1.46
Ransum PerlakuanSuplemen R02 R1 R2 R3
Cr (ppm) 5.59 8.59 5.59 8.59
Ca (%) 0.21 0.21 0.62 0.42
NKAR (meq) 14 (Basa) 14 (Basa) -10 (Asam) 0 (Asam)Keterangan:R0 = Ransum basal (NKAR +14), R1 = R0+Cr (NKAR+14), R2 = R0+Cr+ Ca (NKAR-10), R3 =R0+ Cr+Ca (NKAR0), penambahan mineral pada R1, R2, dan R3 melalui perhitungan.1Hasil analisis proksimat Lab Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, 20092Hasil analisis mineral Lab. Nutrisi Ternak Perah Fapet, IPB dan Laboratorium Pakan Balitnak,2009
63
Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah kandang betina
individu, kandang domba pejantan dan pengusik, wadah pakan, wadah minum,
timbangan 100 kg dengan ketelitian 0.5 kg, timbangan 5 kg dengan ketelitian 20
gram, dan timbangan O Haus 500 gram dengan ketelitian 0.1 gram, apron,
Ultrasonography (USG) Aloka SSD 500 Japan.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan ulangan tidak seimbang. Perlakuan adalah pola perkawinan berdasarkan
perbedaan jenis ransum yang diberikan kepada domba jantan dan betina sebelum
dikawinkan. Pola perkawinannya adalah pola perkawinan berdasarkan jenis
ransum perlakuan yang berikan kepada domba jantan dan betina dengan ulangan
masing-masing 8, 5 dan 4 ulangan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
(percobaan kualitas semen pada ternak domba Garut jantan), maka perlakuan pola
perkawinannya adalah sebagai berikut:
RJA : Domba Jantan x Domba betinaR3 (Cr + Asam 0) R0 (Basa)
RBA: Domba Jantan x Domba betinaR1 (Cr+ Basa) R2 (Cr + Asam -10)
RJBB: Domba Jantan x Domba betinaR0 (Basa) R0 (Basa)
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk
mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan.
Pelaksanaan Penelitian
Domba-domba betina dikandangkan sesuai dengan perlakuan perkawinan
yang akan dilakukan. Setelah diistirahatkan satu hari, mulai esok hari dilakukan
pengamatan tanda-tanda birahi pada setiap domba betina. Pengamatan domba
birahi dilakukan oleh domba jantan pengusik. Pengamatan ini dilakukan setiap
hari pada pagi dan sore hari. Bila ada domba yang birahi, domba betina langsung
64
dikeluarkan dan dimasukan ke kandang pejantan sesuai dengan perlakuan
perkawinan kemudian dikawinkan. Perkawinan dilakukan selama domba betina
masih birahi atau selama 2 hari Hal ini dilakukan sampai semua domba betina
sudah dikawinkan. Kemudian untuk mengetahui keberhasilan perkawinan
(domba bunting), dilakukan pengamatan kebuntingan setelah 3 minggu dengan
menggunakan USG. Bila ada domba betina yang belum bunting, maka akan
dikawinkan kembali pada siklus estrus berikutnya, sehingga semua domba betina
menjadi bunting. Pengamatan konsumsi dilakukan setelah domba betina
dinyatakan bunting (umur 3 minggu kebuntingan) karena setelah domba menjadi
bunting, ransum perlakuan diganti menjadi ransum pemeliharaan sampai domba
beranak.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati pada pada percobaan ini adalah:
1. Konsumsi ransum harian bahan kering (BK), protein, TDN, lemak kasar,
serat kasar dan BETN (g/hari) domba betina bunting. Jumlah konsumsi
harian (g/hari) diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang
diberikan (g) dengan jumlah sisa ransum keesokan harinya (g).
2. Pertambahan bobot badan domba betina bunting (kg/2 minggu).
Pertambahan bobot badan harian dihitung setiap 2 minggu dengan cara
menghitung selisih bobot badan setiap 2 minggu pengamatan.
3. Jumlah anak yang dilahirkan.
4. Rasio jenis kelamin anak, dihitung dengan cara membagi jumlah anak
jantan dengan jumlah total anak sekelahiran pada setiap pola perkawinan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi BK Ransum, Nutrien dan Bobot Badan Domba Betina Bunting
Ternak membutuhkan nutrien ransum untuk memenuhi kebutuhan akan
nutrien bagi hidup pokok, aktivitas dan produksi maupun reproduksi. Pada setiap
fase pertumbuhan, kebutuhan akan nutrien berbeda. Pada ternak betina yang
sedang bunting kebutuhan akan nutrien meningkat karena terjadi pertumbuhan
65
fetus yang juga membutuhkan nutrien terutama protein, TDN, lemak kasar, dan
BETN. Seiring dengan peningkatan umur dan bobot badan kebuntingan maka
konsumsi nutrien ransum domba bunting meningkat (Tabel 14).
Rataan konsumi ransum domba betina bunting antara perlakuan pada setiap
minggu tidak jauh berbeda (Gambar 6). Konsumsi ransum pada domba betina
tidak berbeda karena setelah kebuntingan, domba memperoleh ransum dengan
komposisi dan susunan ransum sama. Di samping itu bobot awal sebelum bunting
diantara domba betina relatif sama. Sejalan dengan peningkatan umur
kebuntingan, konsumsi ransum domba meningkat mulai umur kebuntingan 5
minggu sampai mencapai puncak umur kebuntingan 15 minggu. Hal tersebut
dapat terjadi karena pada umur-umur 6 minggu terjadi peningkatan bobot badan
yang terjadi karena pertumbuhan fetus yang mulai membesar. Setelah itu
konsumsi konstan dan sedikit ada penurunan yang disebabkan oleh desakan perut
domba karena pertumbuhan uterus dan fetus domba yang sudah besar akan
menurunkan konsumsi.
Gambar 6 konsumsi bahan kering ransum domba Garut betina bunting (g BK)
400
500
600
700
800
900
1000
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
RJA
RBA
RJBB
Umur Kebuntingan (minggu)
Kon
sum
si B
ahan
Ker
ing
(g)
66
Tabel 14 Konsumsi nutrien pada domba Garut bunting (g)
Umur Kebuntingan(minggu)
PK TDN SK LK BETN
3 34.3 ±0.5 232.4 ±4.5 104.2 ±2.3 12.7 ±0.2 207.9±4.24 34.6 ±1.2 235.4 ±12.0 105.6 ±6.0 12.9 ±0.6 210.6±11.15 37.0 ±0.3 258.6 ±2.5 117.2 ±1.3 14.1 ±0.1 232.1±2.46 49.3 ±1.6 382.2 ±16.4 178.8 ±8.2 20.5 ±0.9 346.6±15.27 51.3 ±0.2 402.3 ±2.4 188.8 ±1.2 21.6 ±0.1 365.1±2.38 55.6 ±1.0 445.2 ±9.9 210.2 ±4.9 23.8 ±0.5 404.9±9.29 54.6 ±1.2 435.4 ±11.6 205.3 ±5.8 23.3 ±0.6 395.8±10.810 60.0 ±0.9 471.0 ±8.6 221.2 ±4.3 25.3 ±0.5 427.6±8.011 63.0 ±0.9 481.7 ±8.6 224.5 ±4.3 25.9 ±0.5 436.2±8.012 62.1 ±0.3 473.5 ±2.5 220.4 ±1.3 25.5 ±0.1 428.6±2.413 63.0 ±0.9 481.7 ±8.8 224.5 ±4.4 25.9 ±0.5 436.2±8.214 66.1 ±1.6 476.1 ±16.3 217.8 ±8.1 25.8 ±0.9 428.7±15.115 68.6 ±1.2 501.2 ±11.9 230.3 ±5.9 27.1 ±0.6 451.8±11.016 69.3 ±1.6 507.7 ±16.3 233.6 ±8.2 27.5 ±0.9 457.8±15.117 69.9 ±1.7 513.9 ±17.0 236.7 ±8.5 27.8 ±0.9 463.6±15.718 63.7 ±0.8 489.2 ±7.7 228.3 ±3.8 26.3 ±0.4 443.2±7.119 59.2 ±2.0 444.1 ±19.8 205.8 ±9.9 24.0 ±1.0 401.4±18.3
Tabel 15 Rataan bobot badan domba garut Betina selama kebuntingan (kg)
Umur Kebuntingan(minggu)
Perlakuan
RJA RBA RJBB
0 31.2 28.8 30.16 32.6 30.8 33.48 32.8 33.3 33.910 35.6 34.4 33.512 34.9 34.9 34.314 35.0 35.8 34.516 36.1 35.8 36.5
Keterangan: RJA : Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba betinaR0 (NKAR +14); RBA: Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Dombabetina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) xDomba betina R0 (NKAR +14)
Pada Tabel 15 disajikan rataan bobot badan domba Garut sejak awal
kebuntingan sampai umur kebuntingan 16 minggu. Pada tabel tersebut tampak
bahwa mulai minggu ke-6 umur kebuntingan, bobot badan domba garut bunting
meningkat pesat. Hal ini sejalan dengan peningkatan konsumsi yang terjadi pada
67
minggu-minggu tersebut. Pertambahan bobot badan ini terjadi sebagian besar
karena pertumbuhan fetus.
Pertambahan bobot badan selama kebuntingan berhubungan sangat erat
dengan umur kebuntingan dengan R sebesar 95.6% (Gambar 7). Persamaan
antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan selama kebuntingan
merupakan persamaan regresi, dengan persamaan Y= 0.704+0.369X (R2=0.91, P
<0.01). Peningkatan umur kebuntingan satu minggu akan meningkatkan bobot
badan betina bunting sebesar 0.369 kg. Pertambahan bobot badan betina bunting
dipengaruhi oleh umur kebuntingan sebesar 91%, sedangkan 9% dipengaruhi oleh
faktor lain.
Gambar 6 Pertambahan bobot badan domba Garut betina bunting (kg)
Jumlah Anak, Rasio Jenis Kelamin, Bobot Lahir Anak dan LamaKebuntingan Domba Garut
Praseleksi jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan
dan sangat penting untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplay
pangan dunia. Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan
sepanjang generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
6 8 10 12 14 16
RJA
RBA
RJBB
Umur Kebuntingan (minggu)
Per
tam
han
Bob
ot B
adan
(kg/
ekor
)
68
produksi menjadi semakin diperlukan (Johnson 2000). Aplikasi teknologi
tersebut mengakibatkan bergesernya rasio jenis kelamin ternak yang dilahirkan
sesuai dengan yang diharapkan.
Pengaruh ransum perlakuan terhadap jumlah anak sekelahiran, rasio jenis
kelamin, lama kebuntingan dan bobot lahir anak domba Garut disajikan pada
Tabel 16. Pada perlakuan RBA, jumlah anak sekelahiran lebih banyak
dibandingkan perlakan RJA dan RJBB. Sedangkan lama kebuntingan domba
Garut dengan perlakuan RJA lebih lama 3 hari dibandingan pada domba garut
dengan perlakuan RBA dan RJBB. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan
domba dengan ransum perlakuan dipengaruhi oleh ransum perlakuan (Tabel 16).
Pada perlakuan RJA yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA yaitu
pejantan dengan ransum nilai NKAR 0 lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan RBA dan RJBB. Artinya anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA
lebih banyak betina dibandingkan dengan anak dari perkawinan RBA dan RJBB.
Pengaruh ransum asam pada domba jantan mempengaruhi proses pembentukan
dan viabilitas spermatozoa dalam saluran reproduksinya, dimana spermatozoa Y
tidak tahan terhadap pengaruh asam dibandingkan spermatozoa X. Sehingga
spermatozoa yang diejakulasikan pada saat kopulasi, spermatozoa X yang
memiliki daya fertilitas dan viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
spermatozoa Y.
Tabel 16 Jumlah anak sekelahiran, rasio jenis kelamin, lama kebuntingan danbobot lahir anak domba Garut
PeubahPerlakuan
RJA RBA RJBB
Jumlah anak sekelahiran (ekor/induk) 2.00±0.76 3.00±1.41 2.25±0.84Rasio kelamin anak (%) 50.00±43.14 75.00±30.00 77.48±44.72Lama kebuntingan (hari) 150±3.04 147±3.40 147±2.70Bobot Lahir (kg):
Anak Satu 1.92±0.03 - 2.00±0Anak Dua 1.92±0.25 1.58±0.75 1.77±0.59Anak Tiga 1.33±0.39 1.47±0.21 1.08±0.44Anak Empat - - -Anak Lima - 1.22±0.26 -
Keterangan: RJA : Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); RBA:Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Domba betina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba JantanR0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14)
69
Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan anak hasil perkawinan RBA dan
RJBB lebih tinggi dibandingkan perkawinan RJA dan lebih tinggi dari rasio
alamiah. Hal ini diduga pengaruh dari ransum basal yang diberikan pada domba
Garut betina. Ransum basa pada ransum perlakuan mengandung minyak jagung,
yang mengandung banyak asam linoleat. Kadar asam lemak tertinggi pada
minyak jagung adalah asam linoleat sebanyak 60,4% (NRC, 1994). Hasil
penelitian Rosenfeld dan Robert (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin
dipengaruhi oleh makanan dan jika diberi makanan yang mengandung zat lemak )
> karbohidrat maka peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71%
(pada tikus). Selain itu menurut Green et al (2008) menyatakan bahwa pemberian
ransum dengan asam lemak tidak jenuh terproteksi pada ransum induk domba
betina dapat menggeser rasio jenis kelamin ke arah jantan. Di samping itu ransum
basa yang diberikan pada domba jantan RBA dan RJBB berpengaruh terhadap
viabilitas spermatozoa, dimana spermatozoa Y lebih tahan pada kondisi basa.
Penggunaan ransum basa domba Garut betina yang mengandung minyak jagung
dapat meningkatkan rasio jenis kelamin ke arah jantan, tetapi pada perlakuan RJA
yang ransum domba jantannya mengandung NKAR 0, dapat melawan atau
menekan pengaruh tersebut.
Namun demikian, rasio jenis kelamin pada perlakuan RJA menurun
dibandingkan perlakuan RBA dan RJBB. Hal tersebut menunjukkan adanya
pengaruh perlakuan ransum NKAR 0 pada ransum domba jantan terhadap
penurunan rasio jenis kelamin anak domba yang dilahirkan. Berdasarkan hal
tersebut, pengaruh penurunan NKAR pada ransum domba jantan dapat
menggeser rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan. Diduga bahwa penurunan
NKAR berpengaruh terhadap penurunan viabilitas spermatozoa Y selama
transportasi spermatozoa dalam epididymis dan vas deferens menjadi ejakulat.
Selama transportasi spermatozoa, terjadi interaksi antara spermatozoa dan makro
nutrien dan mikronutrien yang dihasilkan oleh kelenjar vesikularis, ampula dan
bulbourethralis yang akan mempengaruhi maturasi dan viabilitas spermatozoa
(Senger 2005; Guyton & Hall 2006; Cheah & Yang 2011).
70
SIMPULAN
Penelitian ini menghasilkan simpulan bahwa hubungan yang sangat erat
antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting yang
disuplementasi Cr dan penurunan NKAR. Suplementasi Cr dan penurunan
NKAR pada ransum domba jantan dan betina tidak mempengaruhi lama
kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran pada anak domba hasil perkawinan domba
jantan yang disuplementasi Cr dengan betina yang disuplementasi Cr dan
penurunan NKAR -10 cenderung meningkat.
Rasio jenis kelamin meningkat dari rasio alamiah pada anak hasil
perkawian domba jantan yang diberi ransum basa. Rasio jenis kelamin anak yang
dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dan NKAR
0 cenderung menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Alsaiady M. et al. 2004. Effect of chelated chromium supplementation onlactation performance and blood parameters of Holstein cows under heatstress. Anim Feed Sci Technol. 117(3-4): 223-233.
Berlinguer F et al. 2003. Superoxide dismutase affects the viability of thawedEuropean mouflon (Ovis g. musimon) semen and the heterologousfertilization using both IVF and intracytoplasmatic sperm injection. CSIRORepr Fertility Dev 15:19–25
Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik Peternakan 2010. KementerianPertanian Republik Indonesia. ISBN. 979-628-010-8. Jakarta.
Celik K, Serbest S, Vurur S, Pala A, Daglioglu K. 2003. Experiments toInvestigate the Factors That Affect the Rate of Sex Constitution. Pakistan JNutr 2 (4): 238-241
Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary Cation-Anion Difference on Intake, Milk Yield , and Blood Components of theEarly Lactation Cow. J Dairy Sci 88: 4384-4392.
Cunningham EP. 1975. The effect of changing the sex ratio on the efficiency ofcattle breeding operations. Livestock Prod Sci 2:29-38.
Garner DL et al. 1983. Quantification of the X and Y chromosome bearingspermatozoa of domestic animal by flowcytometry. J Biol Repr 28:312-321
Fathul F, Toharmat T, Permana IG, Boediono A. 2008. Keasaman Cairan Tubuhdan Rasio Kelamin Anak Domba Garut (Ovis aries) yang Diberi Kation-Anion Ransum yang Berbeda. Med. Pet. 31(2):87-98
71
Green MP et al. 2008. Nutritional skewing of conceptus sex in sheep: effects ofa maternal diet enriched in rumen-protected polyunsaturated fatty acids(PUFA). Repr Biol Endocr 6:21
Hafez ESE. 1987. Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea Febiger,Philadelphia.
Hendri. 1992. Usaha mengubah rasio sperma X dan Y dengan metode kolommenggunakan larutan Bovine Serum Albumin (BSA) dan penilaian angkakebuntingan serta perbandingan jenis kelamin anak pada kambing [Tesis].Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisifisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anionransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut. JITV 14(1): 25-35.
Johnson LA. 2000. Sexing mammalian sperm for production of offspring: thestate-of-the-art. Anim Repr Sci 60-61:93-107.
Khosrowbeygi A, Zarghami N. 2007. Levels of oxidative stress biomarkers inseminal plasma and their relationship with seminal parameters. BMCClinical Pathology 7:6
Kobayashi T, Miyazaki T, Natori M, Nozawa S. 1991. Protective role ofsuperoxide dismutase in human sperm motility: superoxide dismutaseactivity and lipid peroxide in human seminal plasma and spermatozoa. HumRepr 6(7):987-991. [17 September 2008]
Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinatesupplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972-2977.
Murray RK, Graner DK, Mayes PA, Rodwel VW. 2003. Harper’s IllustratedBiochemistry, 26th edition. McGraw-Hill Companies, Inc. United States ofAmerica.
[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th
Revised Ed. Washington DC: National Academic Press.
[NRC] National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th
Revised Edition. Washington DC: National Academy Press.
[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle.7th revised edition. Washington DC: National Academic Press.
Ozgocmen S, Sogut S, Fadillioglu E, Ardicoglu A, Ardicoglu O. 2003.Antioxidant status and lipid peroxidation in seminal plasma andspermatozoa of patients with ankylosing spondylitis. Rheumatology 42:805-807
Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient : a review.Veterinarni Medicina 52(1):1-18.
Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis andglucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266.
72
Rosenfeld CS, Robert RM. 2004. Maternal diet and other factors affectingoffspring sex ratio : A Review. Biol Reprod 71:1063−1070.
Rosenfeld CS. et al. 2003. Striking variation in the sex ratio of pups born to miceaccording to whether maternal diet is high in fat or carbohydrate. PNAS10(8):4628–4632.
Saili T. 1999. Efektivitas penggunaan albumen sebagai medium separasi dalamupaya mengubah rasio alamiah spermatozoa pembawa kromosom X dan Ypada sapi [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International,Wallingford. Hlm.453.
73
PEMBAHASAN UMUM
Keberhasilan peningkatan produksi ternak respon sinergis dari bibit ternak,
manajemen pemeliharaan dan pakan ternak, dan efisiensi reproduksi ternak yang
baik. Pemberian nutrisi tidak hanya memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan
tetapi juga mendukung efisiensi reproduksi yang baik. Reproduksi ternak adalah
bagian yang penting dalam proses produksi. Ternak domba yang menghasilkan
banyak anak (prolifik) sangat menguntungkan bagi peternak. Lebih jauh lagi
untuk menghasilkan produksi ternak yang tinggi dibutuhkan induk sebagai
penghasil bakalan anak domba. Pada ternak perah (kambing dan sapi perah)
peningkatan kelahiran anak betina sangat penting bagi produksi susu.
Cunningham (1975) menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat meningkatkan
efsiensi produksi susu sampai 30% jika pada saat inseminasi buatan dapat
diseleksi kelahiran anak betina. Hal tersebut dapat dilakukan melalui seleksi
jenis kelamin anak sebelum dilahirkan. Menurut Johnson (2000) prapenentuan
jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting
untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia. Bersama
dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang generasi
terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi semakin
diperlukan.
Usaha yang dilakukan untuk mengembangkan dan melestarikan domba
Garut dapat dilakukan melalui optimalisasi dan aplikasi teknologi reproduksi
bantuan pada domba Garut (Boediono et al. 2007). Selain itu pelestarian dan
pengembangan domba Garut banyak pula dilakukan melalui perbaikan,
manipulasi nutrisi dan pemberian pakan sehingga akan memperbaiki performa
produksi maupun efisiensi reproduksi domba Garut..
Penelitian ini mengkaji pengaruh suplementasi kromium dalam ransum
yang mengandung kalsium dan neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda
pada respon produksi dan reproduksi domba Garut. Suplementasi Cr dalam
ransum ternak dibutuhkan untuk metabolisme karbohidrat, lemak, protein, asam
nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan untuk
pertumbuhan, perkembangan fetus, fertilitas dan produksi spermatozoa (Anderson
& Polansky 1981; NRC 2001; Pollard et al. 2001; Suttle 2010; Lindemann 2004;
74
Pechova & Pavlata 2007). Sedangkan nilai NKAR akan mempengaruhi
keseimbangan asam basa, khususnya pH darah dan semen, dan metabolisme
mineral khususnya kalsium, serta rasio jenis kelamin ternak yang dilahirkan
(Pratt et al. 1987; Stolkowski & Lorrain 1980; Celik et al. 2003; Chan et al.
2005; Hidayat et al. 2009).
Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum tidak mempengaruhi konsumsi
bahan kering (BK) total, konsumsi BK mingguan dan pertambahan bobot badan
harian (PBBH) domba Garut jantan (Tabel 2 dan Gambar 3). Namun cenderung
konsumsi BK domba yang diberi ransum R3 lebih tinggi (Gambar 3). Hasil
tersebut berbeda dengan yang dilaporkan oleh Kraidees et al. (2009) bahwa
suplementasi Cr sebanyak 0.3 ppm meningkatkan konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan pada domba yang mengalami cekaman. Sedangkan
pada penelitian Mathius et al. (2005) suplementasi Cr 4 ppm pada ransum ternak
domba tidak mempengaruhi konsumsi dan pertambahan bobot badan. Kadar Cr
ransum percobaan diduga telah cukup dan masih dalam kisaran aman sehingga
tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan pertumbuhan. Kebutuhan Cr akan
meningkat pada kondisi seperti aktivitas gerak atau stres, transportasi, dan infeksi
ketika kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 1987).
Suplementasi Cr dalam ransum domba nyata menurunkan persen absorpsi
Cr. Suplementasi Cr menurunkan jumlah Cr yang diabsorpsi pada ransum rendah
Ca (R1) namun tidak berpengaruh terhadap ransum cukup Ca (R3) (Tabel 3).
Ransum R1 dan R3 yang disuplementasi Cr 3 ppm persen absorpsinya menjadi
turun yaitu 19.25% dan 30.01% dibandingkan ransum yang tanpa disuplementasi
Cr. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Anderson et al. (2004) bahwa
dengan suplementasi Cr-histidinate memperbaiki absorpsi kromium. Perbedaan
tersebut diduga karena kebutuhan mineral Cr domba Garut telah tercukupi.
Menurut Anderson et al. (2004), respon terhadap suplementasi Cr akan tampak pada
ternak yang mengalami defisiensi atau marginal Cr. Selain itu konsumsi Cr yang
lebih tinggi menyebabkan absorpsi Cr menjadi lebih rendah dibandingkan
konsumsi Cr yang rendah (Anderson & Kozlovsky 1985). Hal tersebut diperkuat
hasil persamaan regresi dan korelasi antara konsumsi Cr dengan penurunan
absorpsi Cr (R=0.58) (Tabel 4).
75
Suplementasi Cr dalam ransum domba Garut menurunkan absorpsi Ca pada
ransum R1 yang rendah Ca. Hal ini berarti bahwa suplementasi Cr pada ransum
rendah Ca memperburuk absorpsi Ca. Pada ransum R2 dan R3 yang mengandung
cukup Ca, suplementasi Cr tidak mempengaruhi absorpsi Ca. Absorpsi Ca dalam
saluran pencernaan memerlukan Calbindin yaitu suatu Ca-binding protein
(CaBP) untuk masuk ke dalam membran saluran pencernaan. Molekul CaBP
memiliki afinitas yang tinggi terhadap Ca (Georgievskii et a1 1982). Namun
afinitas yang lebih tinggi pada mineral lain mempengaruhi ikatan antara Ca dan
Calbindin dalam usus (Suttle 2010). Berdasarkan perioda pada tabel periodik
unsur, afinitas Cr lebih besar dibandingkan Ca, sehingga Cr lebih mudah
berikatan dengan senyawa protein seperti CaBP. Selain itu terdapat kemiripan
mekanisme kerja dan struktur antara Calbindin dan low molecular-weight
chromium binding substance (LMWCr) (Vincent 1999) akan menyebabkan
kompetisi antara mineral (Lehninger et al. 2004). Oleh karena itu rendahnya
absorpsi Ca pada R1 diduga disebabkan oleh adanya kompetisi diantara kedua
mineral tersebut untuk berikatan dengan CaBP.
Rataan absorpsi Ca ransum R2 dan R3 lebih tinggi daripada ransum R1 dan
R2 juga disebabkan oleh perbedaan NKAR. Rendahnya NKAR pada R2 dan R3
merangsang peningkatan penyerapan Ca dari usus. Menurut Ramberg et al.
(2009), penurunan nilai NKAR meningkatkan produksi 1,25-(OH)2D3 dalam
ginjal, sehingga meningkatkan efisiensi absorpsi Ca dan mobilisasi Ca dari tulang.
Suplementasi Cr dalam ransum dengan kadar Ca dan NKAR berbeda tidak
mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Nilai rataan suhu rektal domba
seluruh perlakuan pada pagi hari berkisar antara 38.74 hingga 38.95 oC dan pada
siang hari berkisar antara 38.09-39.14 oC . Nilai tersebut masih dalam kisaran
normal karena suhu tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu berkisar
antara 38.2-40 oC (Smith & Mangkowidjojo 1988; Robinson 2002). Kelembaban
siang hari yang cukup rendah selama penelitian berlangsung memungkinkan
domba Garut tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungan dengan cara
melepaskan panas melalui evaporasi, sehingga dapat mengurangi cekaman yang
biasanya dialami ternak pada siang hari.
Meskipun terdapat perbedaan nilai dari profil darah yang diuji tetapi secara
76
statistik suplementasi Cr, Ca dan NKAR berbeda dalam ransum tidak
mempengaruhi (P>0.05) profil darah domba penelitian (Tabel 8). Hal ini
menunjukkan ketatnya homeostasis metabolisme mineral dalam tubuh (Hidayat et
al. 2009).
Uji kualitas secara mikroskopis terdiri atas gerakan massa, motilitas
spermatozoa, ratio spermatozoa hidup dan mati, morfologi spermatozoa normal
dan konsentrasi spermatozoa per ml. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan
pada hari ke-0, ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada ransum Ca dan NKAR
berbeda tidak mempengaruhi kualitas makroskopis dan makroskopis semen
domba Garut (Tabel 9, 10, 11). Hal ini menunjukkan suplementasi Cr dan Ca
pada NKAR berbeda tidak mempengaruhi spermatogenesis pada domba Garut.
Suplementasi Cr dalam ransum domba tidak berpengaruh terhadap nilai
MPU spermatozoa fraksi bawah maupun fraksi atas pada pengujian hari ke-0 dan
21. Nilai MPU pada spermatozoa yang dikoleksi pada hari ke-0 dan ke-21 tidak
dipengaruhi oleh Cr yang diberikan dengan nilai MPU masing-masing 34.86 –
46.60% pada fraksi atas dan 35.41 – 45.42% pada fraksi bawah (H0) dan 36.47 –
49.13% pada fraksi atas dan 42.91 – 47.40 pada fraksi bawah (H21). Pada hari
pengujian hari ke-49, terlihat bahwa suplementasi Cr pada R3 menurunkan nilai
MPU spermatozoa fraksi bawah (28.36%). Spermatozoa pada fraksi bawah
sebagian besar adalah spermatozoa Y yaitu 73.5% (Saili 1999). Penurunan MPU
spermatozoa fraksi bawah diduga karena perlakuan suplementasi Cr dan NKAR0
dalam ransum berpengaruh menurunkan kualitas membran spermatozoa fraksi
bawah. Hal ini diduga karena adanya penurunan kadar Ca dalam plasma semen
akibat suplementasi Cr dalam ransum. Hasil penelitian sebelumnya mennjukkan
bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba Garut akan menurunkan kadar Ca
semen (Tabel 3). Fungsi Ca dalam semen adalah meningkatkan motilitas
spermatozoa (Cheah & Yang 2011), sehingga rendahnya kadar Ca dalam semen
akan menurunkan motilitas spermatozoa.
Pada H49 nilai MPU ternyata berbeda antar ransum yang diberikan.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Cr yang diberikan sudah mempengaruhi
kualitas semen. Seperti diketahui proses spermatogenesis pada domba lama proses
spermatogenesis berlangsung antara 46-49 hari (Senger 2005; Bearden & Fuquay
77
2000) sehingga dapat dipahami jika perbedaan nilai MPU baru terlihat pada
spermatozoa yang prosesnya sudah dipengaruhi oleh Cr yang diberikan. Hal in
sejalan dengan pendapat Robinson et al. (2006) bahwa untuk memenuhi
kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan dilakukan 2 bulan
(satu periode spermatogenesis) sebelum domba dikawinkan. Sehingga respon
reproduksi karena pemberian nutrien akan terlihat. Tidak berpengaruhnya
suplementasi Cr pada H0 atau H 21 karena semen yang diejakulasikan adalah
hasil spermatogenesis satu bulan sebelumnya.
Hasil uji MPU yang rendah pada fraksi bawah semen domba Garut
mengindikasikan bahwa kemampuan fertilisasi spermatozoa fraksi bawah yang
sebagian besar adalah spermatozoa Y adalah rendah. Sehingga diduga bila semen
domba Garut hasil separasi pada perlakuan R3 jika diinseminasikan pada domba
betina maka kemampuan spermatozoa Y untuk membuahi sel telur akan rendah
dibandingkan spermatozoa X. Sehingga kemungkinan rasio anak yang lahir lebih
banyak anak betina dibandingkan anak jantan.
Hasil penelitian perkawinan induk dan pejantan domba Garut yang telah
diberi ransum perlakuan menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin anak yang
dilahirkan domba dengan ransum perlakuan dipengaruhi oleh ransum perlakuan
(Tabel 16). Hasil tersebut sejalan dengan pendugaan rasio jenis kelamin anak
berdasarkan nilai MPU spermatozoa hasil separasi kolom albumin (Tabel 12).
Pada perlakuan RJA yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA yaitu
pejantan dengan ransum nilai NKAR 0 lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan RBA dan RJBB. Artinya anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA
lebih banyak betina dibandingkan dengan anak dari perkawinan RBA dan RJBB.
Pengaruh ransum asam pada domba jantan mempengaruhi proses pembentukan
dan viabilitas spermatozoa dalam saluran reproduksinya, dimana spermatozoa Y
tidak tahan terhadap pengaruh asam dibandingkan spermatozoa X. Sehingga
spermatozoa yang diejakulasikan pada saat kopulasi, spermatozoa X yang
memiliki daya fertilitas dan viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
spermatozoa Y.
Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan anak hasil perkawinan RBA dan
RJBB lebih tinggi dibandingkan perkawinan RJA dan lebih tinggi dari rasio
78
alamiah. Hal ini diduga pengaruh dari ransum basa yang diberikan pada domba
Garut betina. Ransum basa pada ransum perlakuan mengandung minyak jagung,
yang mengandung banyak asam linoleat. Kadar asam lemak tertinggi pada
minyak jagung adalah asam linoleat sebanyak 60,4% (NRC, 1994). Hasil
penelitian Rosenfeld dan Robert (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin
dipengaruhi oleh makanan dan jika diberi makanan yang mengandung zat lemak )
> karbohidrat maka peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71%
(pada tikus). Selain itu menurut Green et al (2008) menyatakan bahwa pemberian
ransum dengan asam lemak tidak jenuh terproteksi pada ransum induk domba
betina dapat menggeser rasio jenis kelamin ke arah jantan. Penggunaan ransum
basa domba Garut betina yang mengandung minyak jagung dapat meningkatkan
rasio jenis kelamin ke arah jantan, tetapi pada perlakuan RJA yang ransum domba
jantannya mengandung NKAR 0, dapat melawan atau menekan pengaruh tersebut.
Namun demikian, rasio jenis kelamin pada perlakuan RJA menunjukkan
adanya penurunan dibandingkan pada perlakuan RBA dan RJBB. Hal tersebut
menunjukkan adanya pengaruh perlakuan ransum NKAR 0 pada ransum domba
jantan terhadap penurunan rasio jenis kelamin anak domba yang dilahirkan.
Berdasarkan hal tersebut, pengaruh penurunan NKAR pada ransum domba jantan
dapat menggeser rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan. Diduga bahwa
penurunan NKAR berpengaruh terhadap penurunan viabilitas spermatozoa Y
selama transportasi dan maturasi spermatozoa dalam epididymis dan vas deferens
menjadi ejakulat. Selama transportasi spermatozoa, terjadi interaksi antara
spermatozoa dan makro nutrien dan mikronutrien yang dihasilkan oleh kelenjar
vesikularis, ampula dan bulbourethralis yang akan mempengaruhi maturasi dan
viabilitas spermatozoa (Senger 2005; Guyton & Hall 2006; Cheah & Yang 2011).
Implikasi teoritis dan praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk
meningkatkan produksi dan efisiensi reproduksi suatu usaha peternakan. Pada
peternakan yang bertujuan untuk menghasilkan ternak pedaging, dibutuhkan
ternak jantan yang diketahui pertumbuhannya lebih baik dari ternak betina. Pada
peternakan ini pemberian pakan pada ternak bibit dengan tujuan untuk
menghasilkan rasio jenis kelamin yang tinggi sehingga akan diperoleh lebih
banyak anak jantan. Di pihak lain, pada peternakan ternak perah yang bertujuan
79
menghasilkan susu atau ternak betina sebagai bibit, maka dibutuhkan lebih banyak
ternak betina. Pada peternakan ini pemberian pakan juga dengan tujuan
menghasilkan rasio jenis kelamin anak yang lebih rendah. Program pelestarian
dan pengembangan ternak domba Garut pada khususnya dan ternak ruminansia
lainnya pada umumnya dapat menggunakan ransum ini. Namun diperlukan
pengujian dalam skala populasi di lapangan yang lebih besar untuk konfirmasi
hasil penelitian ini.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Umum
Berdasarkan serangkaian penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Suplementasi Cr menurunkan absorpsi Cr dan absorpsi Ca pada ransum
rendah Ca. Suplementasi Cr tidak mempengaruhi status Cr, Ca, Zn, dan Mg
darah dan semen domba Garut.
2. Konsumsi Cr berkorelasi negatif dengan absorpsi Cr dan berkorelasi positif
dengan kadar Cr dalam darah. Terdapat hubungan positif antara konsumsi Ca
dengan absorpsi Ca dan Mg serta kadar Ca dan Zn dalam darah.
3. Profil hematologi darah domba tidak dipengaruhi suplementasi Cr pada kadar
Ca dan NKAR berbeda, namun ada kecederungan memperbaiki kadar netrofil.
4. Suplementasi Cr tidak mempengaruhi kualitas semen domba Garut secara
makroskopis ataupun mikroskopis.
5. Suplementasi Cr yang mengandung NKAR asam menurunkan pH semen dan
nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.
6. Rasio jenis kelamin meningkat dari rasio alamiah pada domba betina yang
diberi ransum basa.
7. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan
yang disuplementasi ransum NKAR asam dan Cr menurun dibandingkan
ransum basa.
80
Saran Umum
Saran yang dapat dikemukakan berdasarkan simpulan penelitian di atas
adalah:
1. Pemeliharaan domba Garut memerlukan suhu lingkungan yang nyaman dan
sirkulasi udara yang baik.
2. Pemberian mineral sebagai suplemen harus memperhatikan sumbangan
mineral tersebut terhadap nilai NKAR.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjut pengaruh Cr dan NKAR pada kualitas
semen dalam epididymis dan rasio jenis kelamin anak dari hasil separasi
spermatozoa.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hassan DA. 2005. Separation Techniques for X And Y ChromosomeBearing Human Spermatozoa [Dissertation]. Department of BiomedicalSciences Faculty of Health Sciences Tshwane University of Technology.
Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect onsperm count and fertility in rats. Biol Trace Element Res 3:1-5
Aruldhas M et al. 2005. Chronic chromium exposure-induced changes intesticular histoarchitecture are associated with oxidative stress: study in anon-human primate (Macaca radiata Geoffroy). Hum Repr 20(10):2801–2813
Bearden HJ, Fuquay JW. 2000. Applied Animal Reproduction. Mississipi StateUniversity.
Boediono A, Setiadi MA, Agungpriyono S. 2007. Pelestarian plasma nutfahdalam pembentukan bank genom melalui optimalisasi sistem reproduksi danaplikasi teknologi reproduksi bantuan pada domba Garut. LaporanPenelitian. Institut Pertanian Bogor.
Borucki-Castro SI, Phillip LE, Girard V, Tremblay A. 2004. Altering dietarycation-anion difference in lactating dairy cows to reduce phosphorusexcretion to the environment. J. Dairy Sci. 87:1751-1757.
Celik K, Serbest S, Vurur S, Pala A, Daglioglu K. 2003. Experiments toInvestigate the Factors That Affect the Rate of Sex Constitution. Pakistan JNutr 2 (4): 238-241
Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary Cation-Anion Difference on Intake , Milk Yield , and Blood Components of theEarly Lactation Cow. J Dairy Sci 88: 4384-4392.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan. DepartemenPertanian RI. ISBN. 979-628-010-8. Jakarta.
Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa And Seminal Plasma. In: Hafez ESE,B Hafez. 2000. Reproduction In Farm Animals. Ed ke-7 Baltimore:Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia. p.106-112
Gentry LR et al. 1999. Dietary Protein and Chromium Tripicolinate in SuffolkWether Lambs: Effects on Production Characteristics, Metabolic andHormonal Responses, and Immune Status. J Anim Sci 77:1284–1294
Grant VJ, Chamley LW. 2007. Sex-Sorted Sperm and Fertility: An AlternativeView. Biol Repr 76:184–188.
Gledhill BL. 1988. Selection and separation of X- and Y-chromosome-bearingmammalian sperm. Gamete Res 20:377–395.
Griswold MD. 1995. Interactions between Germ Cells and Sertoli Cells in theTestis. Biol Repr 52: 211-216
82
Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and HumanMetabolism, Fifth edition. Wadsworth Cengage Learning, Belmont USA.Hal. 513-516
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of medical physiology. 11th Edition.Saunders Elsevier, Pennsylvania
Harris Jr B, Beede DK. 1993. Dietary Cation-Anion Balancing of Rations in thePrepartum or Late Dry Period. In DS86 seri of the Animal ScienceDepartment Florida Cooperative Extension Service. Institute of Food andAgricultural Sciences. University of Florida. http://www.edis.ifas.ufl.edu[14 Pebruari 2009].
Hendri. 1992. Usaha mengubah rasio sperma X dan Y dengan metode kolommenggunakan larutan Bovine Serum Albumin (BSA) dan penilaian angkakebuntingan serta perbandingan jenis kelamin anak pada kambing [Tesis].Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hu W, Murphy MR. 2004. Dietary cation-anion difference effects on performanceand acid-base status of lactating dairy cows : A meta-analysis. J Dairy Sci87(7):2222-2229.
Hylan DA. 2007. In Utero And in Vitro Sex Ratio Of Bovine Embryos andCalves Originating From The Left And Right Ovaries [Dissertation].Louisiana State University.
Johnson LA. 2000. Sexing mammalian sperm for production of offspring: thestate-of-the-art. Anim Repr Sci 60-61:93-107.
Kegley EB, Spears JW. 1995. Immune Response, Glucose Metabolism, andPerformance of Stressed Feeder Calves Fed Inorganic or OrganicChromium. J Anim Sci 73:2721-2726
Kegley EB, Galloway DL, Fakler TM. 2000. Effect of dietary chromium-L-methionine on glucose metabolism of beef steers. J Anim Sci 78:3177–3183
Kitchalong L, Fernandez JM, Bunting LD, Southern LL, Bidner TD. 1995.Influence of Chromium Tripicolinate on Glucose Metabolism and NutrientPartitioning in Growing Lambs. J Anim Sci 73:2694-2705
Kornegay ET, Wang Z, Wood CM, Lindemann MD. 1997. SupplementalChromium Picolinate Influences Nitrogen Balance, Dry Matter Digestibility,and Carcass Traits in Growing-Finishing Pigs. J Anim Sci 75:1319–1323.
Kumar S. 2008. Is environmental exposure associated with reproductive healthimpairments? (Review). J. Turkish-German Gynecol Assoc.. 9(1): 60-69.
Luseba D. 2005. The effect of selenium and chromium on stress level, growthperformance selected carcass characteristic and mineral status of feedlotcattle [Thesis]. Universitiy of Pretoria Etd.
Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinatesupplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972-2977
83
Mansjoer SS, Kertanugraha T, Sumantri C. 2007. Estimasi Jarak Genetik antarDomba Garut Tipe Tangkas dengan Tipe Pedaging. Med Pet 30(2): 129-138
McDowell LR. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. AcademicPress, Inc. San Diego California.
Moore SJ et al. 2000. Effects of altering dietary cation-anion difference oncalcium and energy metabolism in peripartum cow. J Dairy Sci 83 : 2095-2104.
Mowat DN. 2008. Supplemental organic chromium for beef and dairy cattle.University of Guelph, Canada. www.ksu.edu.sa/sites/Colleges/FoodsAndAgriculture/AnimalProduction/Documents/alhaidary%20i.pdf. [20Maret 2009]
Mulliadi, D. 1996. Sifat fenotipe domba Priangan di Kabupaten Pandeglang danGarut [Disertasi]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Noakes DE, Parkinson TJ and England GCW. 2001. Arthur's VeterinaryReproduction and Obstetrics. Saunders An imprint of Elsevier Limited.
[NRC] National Research Council. 1997. The Role of Chromium in AnimalNutrition. National Academy Press. Washington, D. C.
Ollero O et al. 2000. Separation of Ram Spermatozoa Bearing X and YChromosome by Centrifugal Countercurrent Distribution in an AqueousTwo-phase System. J Andrology, Vol. 21, No. 6
Pechova A, Pavlata L, 2007. Chromium as an essential nutrient : a review.Veterinarni Medicina 52(1):1-18.
Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis andglucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266.
Ramberg CF, Ferguson JD, Galligan DT. 2009. Metabolic Basis of the CationAnion Difference Concept DCAD. Center for Animal Health andProductivity University of Pennsylvania. http://130.91.88.59/pc96/cationanion.html [2 Maret 2009]
Rizal M, Toelihere MR, Yusuy TL, Purwantara B, Situmorang P. 2003.Karakteristik penampilan reproduksi pejantan domba garut. JITV 8(2): 134-140
Riwantoro. 2005. Konservasi plasma nutfah domba Garut dan strategipengembangannya secara berkelanjutan [Disertasi]. Bogor: ProgramPascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Roche JR et al. 2003. Dietary cation-anion difference and the health andproduction of pasture-fed dairy cows. Dairy cows in early lactation. JDairy Sci 86:970-978.
Rosenfeld CS, Robert RM. 2004. Maternal diet and other factors affectingoffspring sex ratio : A Review. Biol Repr 71:1063−1070.
Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Second Revised Ed.Cadmus Proffesional Communication, USA. Hlm 203.
84
Solomon NW. 1988. Physiological Interaction of Mineral. In: Bodwell CE,Erdman JW, editor. Nutrient Interaction. Marcel Dekker, Inc.
Skandhan KP, Makada MT, Amit S. 2005. Levels of cadmium, chromium, nickel,manganese and lead in normal and pathological human seminal plasma.Urologia 72: 461-464.
Stolkowski J, Lorrain J. 1980. Preconceptional Selection of Fetal Sex. Int. J.Gynaecol. Obstet 18(6): 440-3.
Striffler JS, Law JS, Polansky MM, Bhathena SJ, AndersonRA. 1995. Chromiumimproves insulin response to glucose in rats. Metabolism. 44(10):1314-20.
Sudarmono AS, Sugeng B. 2008. Beternak Domba. Edisi Rev. Cetakan ke-19.Penebar Swadaya, Jakarta.
Stewart PA. 1983. Modern _ansom_ative acid-base chemistry. Can. J. Physiol.Pharmacol. 61:1444-1461
Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International,Wallingford. Hlm.453.
Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Cetakan ke-2. PenerbitAngkasa Bandung.
Van de Ligt CPA, Lindemann MD, Cromwell GL. 2002. Assessment ofchromium tripicolinate supplementation and dietary protein level on growth,carcass, and blood criteria in growing pigs. J Anim Sci 80:2412–2419
Vincent JB. 2000. Recent Advances in Nutritional Sciences : TheBiochemistry of Chromium. J Nutr 130: 715–718.
86
Lampiran 1 Komponen medium Brackett-Oliphant (BO)
Komponen JumlahMedium A (500 ml)
1. NaCl (Merck)2. KCl (Merck)3. CaCl2.2H2O (Merck)4. NaH2PO4. 2H2O (Merck)5. MgCl2.6H2O (Merck)6. Phenol Red 0,5% (Sigma)7. Distilled water
Medium B (200 ml)1. NaHCO3 (Merck)2. Phenol Red 0,5% (Merck)3. Distilled water
Medium BO (100 ml)1. Medium A2. Medium B3. Glukosa4. Sodium pyruvat (Sigma)5. Penisilin (Sigma)6. Streptomisin (Sigma)
4,3092 g0,1974 g0,2171 g0,0840 g0,0697 g0,1 ml500 ml
2,5873 g0,04 ml200 ml
76,0 ml24,0 ml0,15 g0,0137 g100 IU/ml0,005 gr/100 ml
87
Lampiran 2 Alur proses separasi spermatozoa dengan media albumin (Saili,1999)
+
Fraksi Bawah
Semen Domba
Sentrifugasi2500 rpm 10 menit
Endapan Spermatozoa + BO
Konsentrasi Spermatozoa150 Juta/ml
1 ml sampel spermatozoa
Tabung kolom pemisahFraksi Atas 10% (2,5 ml albumin + 22,5 ml BOFraksi Bawah 50%(7,5 ml albumin + 7,5 ml BO
Biarkan mengendap 1 jam suhu 28oC
Fraksi Atas
Sentrifus 2500 rpm 10menit
Sentrifus 2500 rpm 10menit
Sampel Spermatozoa X Sampel Spermatozoa Y
+ BO
88
Lampiran 3 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Cr
Dependent Variable: KONS_Cr
SourceType III Sumof Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 67.900(a) 11 6.173 5.074 .005Intercept 816.667 1 816.667 671.270 .000PERL 57.803 3 19.268 15.837 .000BLOK 7.956 2 3.978 3.270 .074PERL * BLOK 2.141 6 .357 .293 .929Error 14.599 12 1.217Total 899.166 24Corrected Total 82.499 23
a R Squared = .823 (Adjusted R Squared = .661)
Tukey HSD konsumsi Cr
PERL
N Subset
1 2 1R0 6 4.1650R2 6 4.5583R1 6 6.6367R3 6 7.9733Sig. .924 .208
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 1.217.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.b Alpha = .05.
Lampiran 4 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Ca
Dependent Variable: KONS_Ca
SourceType III Sumof Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 29.495(a) 11 2.681 11.085 .000Intercept 168.487 1 168.487 696.527 .000PERL 26.912 3 8.971 37.085 .000BLOK 1.900 2 .950 3.927 .049PERL * BLOK .683 6 .114 .470 .818Error 2.903 12 .242Total 200.884 24Corrected Total 32.397 23
a R Squared = .910 (Adjusted R Squared = .828)
89
Tukey HSD konsumsi Ca
PERL
N Subset
1 2 1R0 6 1.5750R1 6 1.6333R2 6 3.4583R3 6 3.9317Sig. .997 .381
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .242.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.b Alpha = .05.
Lampiran 5 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Cr
Dependent Variable: ABS_Cr
SourceType III Sumof Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 8698.163(a) 10 869.816 8.840 .002Intercept 36381.991 1 36381.991 369.773 .000PERL 5473.964 3 1824.655 18.545 .000BLOK 60.618 2 30.309 .308 .742PERL * BLOK 1394.116 5 278.823 2.834 .083Error 885.511 9 98.390Total 56345.860 20Corrected Total 9583.674 19
a R Squared = .908 (Adjusted R Squared = .805)
ABS_Cr
Tukey HSD
PERL
N Subset
1 2 1R1 3 19.2533R3 5 30.0080R2 6 58.0267R0 6 68.5200Sig. .402 .421
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 98.390.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.615.b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levelsare not guaranteed.c Alpha = .05.
90
Lampiran 6 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Ca
Dependent Variable: ABS_Ca
SourceType III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1488.623(a) 11 135.329 5.133 .004Intercept 149589.723 1 149589.723 5673.938 .000PERL 623.535 3 207.845 7.884 .004BLOK 131.595 2 65.798 2.496 .124PERL * BLOK 733.492 6 122.249 4.637 .012Error 316.372 12 26.364Total 151394.718 24Corrected Total 1804.995 23
a R Squared = .825 (Adjusted R Squared = .664)
ABS_Ca
Tukey HSD
PERL
N Subset
1 2 1R1 6 70.9950R0 6 78.1117 78.1117R2 6 82.5317R3 6 84.1567Sig. .130 .228
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 26.364.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.b Alpha = .05.
Lampiran 7 Analisis ragam dan uji Tukey MPU spermatozoa fraksi bawah
Dependent Variable: MPU_B
SourceType III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
Model 36655.436(a) 12 3054.620 49.452 .000RANSUM 1103.293 3 367.764 5.954 .010KBB 1129.522 2 564.761 9.143 .004RANSUM * KBB 1001.068 6 166.845 2.701 .067Error 741.234 12 61.769Total 37396.670 24
a R Squared = .980 (Adjusted R Squared = .960)
91
MPU_B
Tukey HSD
RANSUM
N Subset
1 2 1R3 6 28.3617R1 6 36.6050 36.6050R2 6 36.8383 36.8383R0 6 47.4633Sig. .291 .131
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 61.769.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.b Alpha = .050.