Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275
259
PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
Rifqi Ridlo Phahlevy1, Maghfiroh2 1,2Prodi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Email : [email protected]
ABSTRACT The regulation of narcotics in Indonesia began in the New Order era with the enactment of Law No. 22/1997 concerning Narcotics. However, in the reform era, there were revisions to the narcotics law with the enactment of the new narcotics law, which was Law No. 35/2009 concerning narcotics. This study applies a normative method based on the statutory approach and conceptual approach. This study aims to understand the shift in the concept of narcotics in Indonesia after the enactment of law 35/2009 and the concept of narcotics in Islamic law. After the enactment of law No. 35/2009 concerning narcotics, there was a shift in the concept of narcotics, which are substantial and essential in the form of changes and additions to the law No 35/2009 concerning narcotics. The amendment is related to several definitions that exist in the narcotics law, along with the addition of existing definitions in general provisions such as the definition of narcotics precursors and the definition of narcotics abuse. The concept of narcotics in Indonesia has an essential closeness to the concept of narcotics in Islamic law because narcotics and chemistry have similarities in terms of illat (legal reasons). Keywords: Narcotics, Shariah Perspectives, Shifting concepts. A. Latar Belakang Masalah
Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di indonesia sudah sangat memprihatinkan.
Penggunaan narkotika yang sejatinya hanya untuk tujuan pengobatan, kemudian bergeser
menjadi konsumsi umum. Kejahatan yang terkait dengan penyalahgunaan hingga pengedaran
narkotika sudah menjadi musuh bangsa, karena menjadi biang bagi berbagai kejahatan dan
permasalahan sosial lainnya.1 Massivenya peredaran narkotika di Indonesia tidak terlepas dari
perkembangan ragam narkotika yang hadir dari luar melalui penyelundupan, maupun dari proses
produksi di dalam negeri.2 Imbas dari itu semua, penyalahgunaan narkotika sendiri saat ini tidak
hanya di kalangan remaja, melainkan juga pada kalangan orang tua dan anak-anak.3 Dengan
populasi penduduk yang besar, Indonesia merupakan pasar potensial bagi peredaran narkotika,
1 Rico Januar Sitorus dan Merry Natalia, “Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika,” Kesmas: Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional 9, no. 4 (2015): 348–52, https://doi.org/10.21109/kesmas.v9i4.748. 2 Fakta ini diungkap oleh Bagian Humas BNN dalam: Ilham Pratama Putra “Indonesia Jadi Negara Produsen
Narkoba”, https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/xkE33YeN-indonesia-jadi-negara-produsen-narkoba, diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.
33 Data persebaran korban penyalahgunaan narkotika dapat dibaca pada: Puslidatin, “Penggunaan Narkotika di Kalangan Remaja Meningkat”, https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-meningkat/, diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.
RES JUDICATA ISSN : 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
260
dan seiring berjalannya waktu indonesia mulai bertransformasi menjadi pasar dan lahan
produksi narkotika. .4
Kampanye bahaya narkotika sejatinya telah begitu massif dilakukan, tapi disisi lain korban
dan intensitas peredaran juga tidak pernah berkurang. Perkembangan narkotika terhitung sangat
dinamis, hal ini terlihat dari berbagai jenis dan turunannya yang beredar sesuai dengan
segmentasi pasarnya. Fenomena maraknya penyalahgunaan narkotika hingga perubahan status
Indonesia menjadi pasar dan produsen narkotika tersebut sangat menarik. Hal ini jika dikaitkan
dengan fleksibilitas kebijakan dan produk hukum Indonesia dalam mengikuti dan mengantisipasi
dinamika perkembangan narkotika. Fleksibilitas ini dibutuhkan sebagai kerangka perlindungan
hukum bagi setiap warganegara.
Indonesia sejatinya telah punya instrument hukum untuk mengatur peredaran dan
penggunaan narkotika dalam undang-undang No 22 tahun 1997 tentang narkotik, yang direvisi
melalui undang-undang No 39 tahun 2009 tentang narkotika. Keberadaan kedua undang-undang
tersebut selama ini menjadi payung aturan bagi penataan pemanfaatan narkotika, termasuk pula
di dalamnya sebagai kerangka bagi penegakan hukum atas penyalahgunaan narkotika dan
perlindungan atas dampak yang timbulkan dari potensi penyalahgunaan narkotika. Maraknya
permasalahan narkotika di indonesia selama ini tidak hanya terbatas pada problem di tingkat hilir
berupa penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat, tetapi juga di ruang konseptualnya.
Permasalahan konseptual ini tidak terlepas dari perkembangan wacana internasional
terkait narkotika, yang kemudian mempengarhi ruang lingkup pemahaman dan jenis narkotika itu
sendiri. Contoh sederhana adalah perkembangan pengaturan terkait pembolehan konsumsi
ganja (mariyuana) di beberapa negara semisal australia, dari yang awalnya melarang dengan
alasan melanggar hukum, namun setelah di sah kannya undang-undang yang di sebut dengan
“Acces To Medicinal Cannabis” pada awal tahun 2017, undang-undang ini jelas memberikan
kerangka hukum bagi pembuatan obat serta menciptakan sebuah produk yang berbahan
ganja.5.
Melihat perkembangan konsep dan regulasi narkotika di beberapa negara tersebut,
pengkajian atas konsep narkotika di indonesia perlu untuk dilakukan secara mendalam, karena
4Elrick Sanger, “penegakan hukum terhadap peredaran narkoba di kalangan generasi muda,” Lex Crimen 2, no. 4
(2013): 5–13, https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/3083/2627. hlm. 5 5Pascal S Bin Saju, “Australia melegalkan budidaya tanaman ganja”,
https://internasional.kompas.com/read/2016/10/30/19082561/australia.melegalkan.budidaya.tanaman.ganja?page=all, diakses pada tanggal 14 Agustus 2019
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275
261
hal ini secara sistemis dan sistematis berimplikasi pada banyak aspek, tidak hanya pada aspek
legalitas suatu barang untuk diproduksi dan dikonsumsi, juga berkaitan dengan aspek kehalalan
suatu produk. Bagi bangsa indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Aspek
kehalalan menjadi bagian dari aspek kepercayaan dan ajaran agama yang harus dilindungi, dan
menjadi bagian dari instrumen dalam aspek perlindungan konsumen.6
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statue approache) yang di kasud adalah mengkaji undang-
undang atau aturan hukum yang berlaku berkenaan dengan peraturan mengenai narkotika, serta
Menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach) Pendekatan konseptual digunakan
untuk melacak akar konsepsi yang dibangun dan mendasari lahirnya rumusan norma dalam
undang-undang. Adapun pendekatan perundang-undangan digunakan untuk melihat secara
menyeluruh rumusan dan lingkup konsepsi normatif yang terbentuk dalam perundang-undangan
yang ada
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Istilah narkotika merupakan saduran dari kata narcotics dalam bahasa inggris narcose
atau narcosis yang artinyamenidurkan. Narkotika sendiri berasal dari bahasa yunani yaitu “narke”
atau “narkam” yang mempunyai arti terbius. Dalam KBBI (kamus besar bahasa indonesia),
Narkotika adalah sebuah obat untuk menenagkan saraf, menghilangkan rasa sakit, serta
menimbulkan rasa ngantuk,atau merangsang seperti opium dan ganja. Menurut istilah
kedokteran sendiri yang di sebut narkotika adalah sebuah obat yang dapat menghilangkan rasa
nyeri dan sakit yang asalnya tumbuh dari alat-alat rongga dada beserta perut,
sertadapatmenimbulkanefek kecanduan yang dapat menyebabkan ketergantungan bagi
penggunanya.
Di dalam konteks kajian hukum, pengertian dapat merujuk pada kamus Blacks Law
Dictionary yang disusun oleh Bryan A. Garner, dalam kamus tersebut, narkotika di definisikan
sebagai ”Narcotic Is An Addictive Drug Ep An Piate That dulls The Senses And Induces Sleep.
Drug That Is Controlled Or Prohibited By Law (cases: controlled substance)”. Berdasarkan
6 Muntaha, “Aspek yuridis Narkotika di kalangan remaja,” Mimbar Hukum 23, no. 1 (2011): 210–20,
https://doaj.org/article/49195ac81af34bccb931303390082657. hlm. 211
RES JUDICATA ISSN : 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
262
pengertian tersebut narkotika yang berarti obat adiktif, sebuah candu, yang menumpulkan indra
dan menyebabkan seseorang kehilangan kesadarannya. Narkotika dalam konteks hukum adalah
jenis obat-obatan yang dilarang penggunaannya atau sekurang-kurangnya membutuhkan
pengawasan dan ijin khusus untuk penggunaannya. Sedangkan menurut soedjonodirjosisworo
narkotika adalah sejenis zat yang di gunakan atau dimasukkan kedalam tubuh yang dapat
berpengaruh terhadap tubuh si pengguna, pengaruh tersebut seperti menenangkan, dan dapat
menimbulkan khayalan ataupun halusinasi.
Adapun dalam ajaran Islam, narkotika di samakan dengan khamer, khamer sendiri
mempunyai arti minuman yang memabukkan. Khamer dalam bahasa arab dipahami sebagai
sebuah minuman, jika dimunum dapat membuat para peminum khamer mengalami mabuk serta
gangguan kesadaran. Dalam surat AL-baqarah ayat 219 Allah SWT sudah menegaskan larangan
khamer ini, Pertama di tegaskan bahwa khamer tersebut mengandung dosa besar (itsnun kabir)
padahal sesuatu yang di anggap dosa adalah haram. Namun, sebagian para jumhur ulamak
menyetujui bahwa khamer dinyatakan haram setelah turunnya ayat 90-91 surat Al-Maidah
setelah perang uhud. Dalam kedua ayat tersebut, status keharaman khamer mendapatkan
pengukuhan dari Allah dengan berbagai kondisi berikut: Pertama, “Khamer” itu termasuk najis
yang menandai keberadaannya sebagai keburukan dan kejelekan. Kedua, Allah mensejajarkan
khamer dengan perbuatan syirik dan mengundi nasib, serta mengidentifikasinya sebagai
perbuatan setan. Ketiga, secara tegas Allah memerintahkan untuk menjauhinya, karena akibat
ataupun efek yang di timbulkannya yaitu timbulnya permusuhan, kebencian dan dapat melalaikan
manusia dari semua yang di perintahkan oleh allah. Adapun menurut majelis tarjih muhamadiyah
suatu makanan atau minuman yang jika di makan ataupun di minum dalam jumlah tertentu itu
bisa memabukkan si peminum, seperti khamer, ganja, alkohol, maka hukumnya adalah haram.
Sifat keharaman dari khamer adalah mutlak, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Maidah
ayat 90-91. Dengan adanya perintah allah Melalui ayat-ayatnya maka majelis tarjih pimpinan
pusat muhamadiyah telah berdiskusi kepada para ahli dalam bidangnya masing-masing yang tak
lain para ahli farmasi dan para dokter, dari hasil diskusi tersebut terdapat kesimpulan
bahwasannya suatu makanan ataupun minuman yang kadar alkoholnya mencapai 5% ke atas
maka hukumnya haram untuk di konsumsi. Dalam konteks ini, Majelis Tarjih meletakkan khamer
dalam perspektif kondisi suatu zat, yang karena kandungannya potensial memabukkan dan
berdampak lain sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an.
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275
263
Adapun perkembangan konsep narkotika dalam sistem hukum Indonesia dapat difahami
dalam uraian dibawah ini.
1. Konsep Narkotika Di Indonesia Sebelum Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
Konsep narkotika di bumi Indonesia pertama kali dikenal pada era Hindia-Belanda
melalui Verdoovende Middelen Ordonnate (Staatsblad 1927 No 287 jo.536). Ketentuan
dalam Verdoovende Middelen Ordonnatie tersebut mendefinisikan narkotika sebagai obat
bius dan candu. Dalam Verdoovende Middelen Ordonnatie juga berkaitann dengan
perkembangan lalu lintas dan pengangkutan moderen yang dapat menyebabkan
terlaksananya penyebaran narkotika ke indonesia. Serta terdapat pula penambahan
kemajuan yang dicapai dalam bentuk pembuatan obat-obatan.
Konsep dalam staatsblad tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan
narkotika moderen yang di mulai pada tahun 1805. Ketika itu seorang dokter yang bernama
Fridrech Wilhen telah menemukan sebuah senyawa opium amoniak yang di beri nama
morfin.7 Morfin tersebut diperkenalkan sebagai ganti dari opimium yang di sebut dengan
candu mentah, yang di kenalkan oleh Alexsander pada tahun 330 SM. Pada masa tersebut
candu di gunakan sebagai tambahan bumbu-bumbu pada masakan. Pada tahun 1898
narkotika baru di produksi di jerman dan menjadi obat ternama guna untuk menghilangkan
rasa sakit, dan pada saat itulah narkotika di gunakan dalam dunia medis sebagai obat
penghilang rasa sakit.8
Seiring dengan lahirnya konvensi tentang narkotika pada tahun 1961, pengaturan
narkotika dalam Verdoovende Middelen Ordonnatie dianggap tidak lagi memadahi, sehingga
diperbaharui dengan undang-undang No 9 tahun 1976 tentang narkotika. Hal ini didasarkan
atas kegagalan staatsblad tersebut dalam menghentikan laju peredaran dan
penyalahgunaan narkotika. Pertimbangan lain adalah tidak komprehensifnya staatsblad
tersebut dalam mengatur perihal narkotika, terutama terkait konsepsi narkotika dan skema
penegakan hukumnya yang dianggap tidak lagi memadahi. Dalam staatsblad tersebut belum
7Tri Septio N, “Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di
Indonesia”, https://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarah-narkoba-dan-pemberantasannya-di-indonesia. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.
8 Supriyadi Widodo Edyyono et al., “memperkuat revisi undang-undang narkotika di indonesia” (Jakarta Selatan, 2017), http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2017/11/Memperkuat-Revisi-UU-Narkotika.pdf. Hlm. 7
RES JUDICATA ISSN : 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
264
terdapat aturan mengenai korban penyalahgunaan narkotika yang membutuhkan terapi,
serta belum adanya peraturan mengenai badan atau lembaga yang diberi kewenangan
dalam menangani penanggulangan narkotika.
Di dalam undang-undang No 9 tahun 1976, konsep narkotika dituangkan dalam
ketentuan Pasal 1 yang menyatakan bahwa narkotika adalah bahan-bahan yang apabila
disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan yang bisa merugikan seperti Morfina,
Kokaina dan bahan-bahan yang di sebutkan di bawah ini :
1. Tanaman papaver yaitu tanaman papaver somniverum L, sudah termasuk biji dan
buah serta jeraminya;
2. Opium mentah adalah getah yang dapat membeku sendiri,di peroleh dari tanaman
buah papaver L yang dapat mengalami pengolahan;
3. Opium Masak adalah:
a. Candu, yaitu hasil dari opium mentah ;
b. Jicing, yaitu sisa-sisa dari candu yang sudah di isap;
c. Jicingko, yaitu hasil dari pengolahan Jicing
4. Opium obat yaitu opium yang masih mentah yang telah di olah sehingga menjadi
obat;
5. Kokaina mentah yaitu hasil yang di peroleh dari daun koka;
6. Tanaman ganja yaitu semua tanaman yang berbentuk Genus Canabis;
7. Damar ganja yaitu tanaman yang di ambil dari tanaman ganja, yang menggunakan
damar sebagai bahan dasarnya.
Beranjank dari definisi Pasal 1 tersebut, konsep narkotika menurut undang-undang No.
9 Tahun 1976 adalah garam-garam atau turunan-turunan dari morfina, kokaina dan bahan
lainnya yang menyebabkan ketergantungan dan berpotensi merugikan. Zat tersebut dapat
bersifat alamiah, sintesis maupun semi sintesis, yang penggunaannya dibatasi hanya untuk
kebutuhan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam undang-undang
Nomor 9 Tahun 1976 ini juga membahas terkait penegakan dan perlindungan hukum
terhadap penyalahgunaan narkotika. Undang-undang ini memposisikan pengguna narkotika
juga sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Terhadap mereka upaya penegakan hukum
beriringan dengan upaya perlindungan hukum. Perlakuan atas mereka dalam bentuk
pengobatan, rehabilitasi korban, serta upaya pencegahannya. Dalam undang-undang ini
juga diatur tentang peraturan tentang pemberian ganjaran (premi) yang bersangkutan
dengan narkotika seperti pananaman, produksi, perdagangan, serta pengangkutan
penggunaan narkotika, serta mengatur mengenai peyidikan dan pengaturan khusus, dan
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275
265
yang terakhir ketentuan lain yang berhubungan dengan kerjasama internasional dalam
penanggulanga narkotika.Pengaturan narkotika di Indonesia mengalami perubahan pada
tahun 1997, yakni dengan lahirnya undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
narkotika. Undang-undang ini menjadi cikal bakal lahirnya BNN sebagai lembaga negara
yang khusus menangani Narkotika. BNN yang dibentuk melalui Peraturan Keputusan
Presiden Nomor 17 tahun 2002, bertanggungjawab hampir atas keseluruhan aspek
penegakan hukum terhadap perredaran dan penggunaan narkotika. Adapun pergeseran
konsep narkotika dalam UU No. 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam rumusan pasal 1 angka
1, yang menyatakan bahwa “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dapat menimbulkan ketergantungan, yang di bedakan kedalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.”
Dari rumusan tersebut, terjadi perluasan makna narkotika dalam UU No 22 tahun 1997
jika dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya (Lihat Tabel 1). Perluasan itu terlihat
dari fleksibilitas dan keleluasaan melihat asal-muasal narkotika. Bahwa narkotika tidak lagi
terpaku pada zat atau obat yang berasal dari unsur garam-garaman, morfina, dan kokaina.
Hal ini tentunya menyesuaikan dengan perkembangan ragam sumber bahan narkotika yang
pada masa itu ditemukan. Dalam konsep Pasal 1 undang-undang No 22 tahun 1997
tersebut, juga terdapat perluasan makna terkait dengan ruang lingkup penyalahgunaan
narkotika, yakni dengan tidak dibatasinya keberadaan narkotika sebagai zat, bahan atau
obat obatan yang peruntukannya untuk kebutuhan medis dan penelitian ilmiah saja, tapi
juga terhadap beberapa zat yang bisa jadi digunakan untuk peruntukan lainnya. Perluasan
konsep yang lain juga terllihat dari penegasan dan perluasan dampak dari penyalahgunaan
narkotika, yang tidak hanya memenuhi unsur menyebabkan ketergantungan dan berpotensi
merugikan, tetapi juga menyebabkan perubahan kesadaran, hilangnya rasa dan
menghilangkan rasa nyeri.
RES JUDICATA ISSN : 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
266
Tabel 1 Pergeseran konsep terkait definisi Narkotika
UU No 9 tahun 1976 UU No 22 tahun 1997
Narkotika adalah garam-garam ataupun turunan dari sebuah morfina, kokaina serta bahan lainnya yang menyebabkan ketergantungan dan berpotensi merugikan, baik yang bersifat alamiah, sintesis maupun semi sintesis yang penggunaannya dapat di batasi guna untuk kebutuhan pengibatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Narkotika adalah sebuah zat yang berasal dari tanaman atupun bukan tanaman yang dapat menyebabkan penurunan kasadaran, hilangnya rasa, serta mengurangi dan menghilangkan rasa sakit yang dapat menyebabkan ketergantungan, serta di bedakan dalam beberapa golongan.
Perluasan konsep narkotika juga dapat dilihat dari bobot ancaman pidananya yang di
perberat hingga kemungkinan adanya ancaman pidana penjara seumur hidup. Dari sini
dapat lihat bahwa narkotika dalam kedudukannya adalah bahan berbahaya.
Penyalahgunaan atas narkotika dikategorikan sebagai tindak pidana berat (serious crime).
Dari aspek ruang lingkup zatnya, UU No. 22 Tahun 1997 menggolongkan narkotika kedalam
tiga golongan. Penggolongan ini menjadikan kategorisasi narkotika dalam undang-undang
ini lebih jelas dan operasional disbandingkan undang-undang sebelumnya. Dalam UU No 22
Tahun 1997 penggolongan narkotika di bagi menjadi tiga golongan, yang detail ketentuan
mengenai golongan-golongan itu diatur dalam keputusan menteri kesehatan.
Di dalam UU No. 22 tahun 1997, Narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengumbangan ilmu pengetahuan dan tidak di perbolehkan di gunakan untuk
pelayaan kesehatan. Narkotika golongan II hanya berkhasiat untuk pengobatan, hanya
boleh digunakan dalam terapi (pengobatan) dan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahun. Karena sifatnya, narkotika jenis ini berpotensi mengakibat ketergantungan bagi
penggunanya. 9 Adapun narkotika golongan III mempunyai potensi ringan yang dapat
menyebabkan keturgantungan. Dalam perkembangannya narkotika golongan III banyak di
gunakan dalam terapi dan pengobatan karena memiliki ringan efek yang ditimbulkan. Dari
ketiga jenis tersebut, yang paling banyak dikonsumsi secara salah adalah narkotika
golongan I.
9 Uripah Nurfatimah, Retty Filliani, dan Karsih, “Profil Resiliensi Mantan Pecandu Narkoba (Studi Kasus di Balai
Besar Rehabilitasi Narkoba, BNN, Lido),” Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 4, no. 2 (2016): 110–16, https://doi.org/10.21009/INSIGHT.042.19.
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275
267
2. Konsep Narkotika Di Indonesia Setelah Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Bergulirnya reformasi 1998 secara fundamental merubah konstruksi hukum dan
ketatangeraan di Indonesia. Disamping perubahan positif berupa demokratisasi sistem
hukum dan pemerintahan, reformasi juga berdampak pada perluasan pasar dan produksi
narkotika di Indonesia.10 Di indonesia, permasalah serius yang dihadirkan dari peredaran
narkotika ada pada ranah kesehatan, khususnya penyebaran HIV/AIDS. 11 Melihat
permasalahan tersebut MPR RI pada tahun 2002 memberi rekomendasi kepada Presiden RI
dan Pimpinan DPR untuk merevisi UU No 22 tahun 1997. MPR menilai bahwa undang-
undang tersebut tidak cukup mampu mengimbangi dinamika peredaran gelap narkotika di
indonesia. Apalagi peredaran narkotika sudah menyasar pada kalangan anak-anak, remaja
dan generasi muda indonesia.12
Kebutuhan perubahan juga didasarkan kebutuhan penguatan bidang kelembagaan
dalam pemberantasan serta peredaran gelap narkotika yang ada di Indonesia. Perubahan
itu tertuang dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dinyatakan sah berlaku
pada tanggal 12 oktober 2009.13 Dalam undang-undang tersebut, definisi narkotika masih
sama dengan undang-undang sebelumnya. Kendati demikian, secara konseptual terjadi
perubahan konstruksi pengaturan dalam UU No 35 tahun 2009. Perubahan tersebut terkait
dengan definisi penyalahgunaan narkotika, ketergantungan narkotika, pemufakatan jahat,
pengadaan narkotika, kewajiban pelaporan, serta mengenai pencegahan dan
pemberantasan narkotika. Perubahan pada beberapa definisi tersebut secara esensial
mempengaruhi ruang lingkup pemahaman tentang narkotika itu sendiri.
Beberapa substansi penting dalam UU No. 35 Tahun 2009 yang tidak ada pada UU No.
22 tahun 1997 secara garis besar dapat dilihat dalam ketentuan umum. Disana terdapat
dicantumkan tentang definisi prekursor narkotika dan korban penyelahgunaan narkotika.
Prekursor narkotika adalah “zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat di gunakan
dalam pembuatan narkotika”. Sedangkan definisi dari korban penyalahgunan narkotika
10 Heyder Affan, “Mengapa 'banjir' narkoba di Indonesia terus meningkat?”,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43198966, diakses pada 25 Agustus 2019. 11 Rico Januar Sitorus, “Komorbiditas Pecandu Narkotika,” Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 8, no. 7
(2014): 301–5, https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v0i0.369. 12 Edyyono et al., “memperkuat revisi undang-undang narkotika di indonesia.” Op.cit. hlm 11-12 13Ibid.
RES JUDICATA ISSN : 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
268
adalah “orang yang tidak sengaja memakai narkotika karna di bujuk, di perdaya, di tipu, di
paksa dan atau untuk di ancam menggunakan narkotika”.14 Selebihnya beberapa perubahan
dan perbandingan substansi diantara kedua undang-undang tersbut dapat dipaparkan
dalam tabel 2 berikut:
Tabel 2 Pergeseran Konsep Terkait Perubahan Definisi Dalam Undang-Undang Narkotika
Unsur (uu no 22 tahun 1997) Unsur (uu no 35 tahun 2009)
Penyalahguna adalah Setiap orang yang memakai narkotika tanpa se izin dan sepengetahuan dokter
Penyalahguna adalah Orang yang memakainarkotika tanpa hakatau melawan hukum.
Ketergantungan narkotika, Sebuah gejala yang mendapatkan dorongan agar menggunakan narkotika secara terus menerus tanpa toleeransi apabila penggunaannya di hentikan
Ketergantungan narkotika, Suatu keadaan yang di tandai sebuh dorongan untuk mrnggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang sangat tinggi, dan apabila penggunaannya di hentikan maka akan menimbulkan suatu gejala fisik dan psikis yang khas
Pemufakatan jahat adalahPerbuatan yang di lakukan 2 orang atau lebiih yang bersepakat untuk melakukan kejahatan tindak pidana narkotika
Pemufakatan jahat adalahPerbuatan yang di lakukan 2 orang atau lebih yang bersepakat untuk melaksanakan serta membantu dan menfasilitasi kejahatan suatu tindak pidana narkotika.
Pengadaan Narkotika yaitu mentri kesehatanmengupayakantersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau untuk pengembanganilmu pengetahuan
Pengadaan Narkotika yaitu Mentri sudah menjamin adanya kesediaan narkotika guna untuk kepentingan kesehatan atau untuk pengembangan ilmu pengetahunan dan teknologi
Kewajiban pelaporan yaitu bagi para orang tua ataupun wali dari pemakai narkotika yang masih di bawah umur harus melaporkan anaknya kepada pejabat yang sudah di tunjuk oleh pemerintahan agar mendapatkan pengobatan serta perawatan
Kewajiban pelaporan yaitudi wajibkan bagi orang tua maupun wali dari pemakai narkotika untuk melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, seperti rumah sakitb ataupun tempat rehabiliasi sosial yang sudah di tunjuk oleh pemerintah
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung kepada presiden
dalam rangka pencegahan serta pemberantasan penyelahgunaan beserta peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dengan undang-undang No 35 tahun 2009 di bentuk Badan Narkotika Nasional yang di sebut sebagai BNN
UU No 35 tahun 2009 memberi penegasan atas lingkup penyalahgunaan narkotika,
meliputi setiap penggunaan narkotika tanpa hak dan melawan hukum yang dilakukan secara
rutin. Hal ini memperluas pengertian sebelumnya, yang terbatas pada penggunaan tanpa
sepengetahuan dan sepengawasan dokter. Penyalahgunaan juga meliputi penggunaan
obat-obatan yang berakibat pada penyimpangan perilaku dan gangguan fisik di lingkup
14 Rido Triawan et al., “Membongkar Kebijakan Narkotika (Catatan Kritis Terhadap Beberapa Ketentuan Dalam UU
No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Beserta Tinjauan Konstitusionalitasnya)” (Jakarta, 2010), http://rumahcemara.or.id/rumahcemara.or.id/perpustakaan/20. 2010 Membongkar Kebijakan Narkotika.pdf. hlm. 13-14.
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275
269
sosial. Dengan pengertian baru itu, penyalahgunaan harusnya tidak hanya dilihat dari aspek
metode dan bahannya, melainkan juga pada aspek dampak yang ditimbulkannya. Dari sini,
konsep narkotika bisa diperluas tidak hanya pada zat dan bahan tertentu, tapi setiap zat dan
bahan obat-obatan yang memiliki potensi berdampak sama.
Redaksional permufakatan jahat dalam UU No. 35 Tahun 2009 juga diperluas.
Permufakatan jahat difahami sebagai persekongkolan untuk melaksanakan, melakukan,
menyuruh, membantu, menganjurkan, menfasilitasi, memberi konsultasi, serta banyak lagi
yang di rencanakan oleh anggota kejahatan organisasi narkotika.15 Dalam pengertian ini,
konsep permufakan tidak hanya terkait atas kesepakatan dua orang atau lebih, yang
biasanya dikaitkan dengan praktek jual beli narkotika. Hal ini membuka ruang bagi
perluasan para pihak yang bisa dikenai hukuman oleh undang-undang ini.
Tekait ketentuan pengadaan dan penyaluran zat dan bahan narkotika untuk kesehatan,
UU No. 35 Tahun 2009 juga melakukan pengaturan secara lebih rinci. Pada pengadaan
kebutuhan tahunan, Kementerian kesehatan diminta membuat prosedur audit yang bersifat
konprehensif, guna mencatat dan melaporkan produksi tahunan narkotika. Produksi
narkotika tidak lagi diserahkan pada pabrik-pabrik obat. Produksi secara khusus dilakukan
oleh lembaga farmasi yang mendapat izin dari BPPOM. BPPOM dalam pelaksanaan
tugasnya bekerjasama dengan bea cukai, khususnya dalam mengawasi pelaksanaan ijin
importir. Kerjasama juga dilakukan dalam rangka pendaftaran narkotika yang dimasukkan
dalam produksi obat-obatan.16
Penggunaan narkotika untuk kebutuhan proses rehabilitasi pecandu juga dibatasi. UU
No. 35 Tahun 2009 mensyaratkan adanya ijin dan pengawasan dokter untuk dapat
menyimpan, memiliki, dan membawa narkotika secara terbatas. Skemanya adalah dengan
menjadi pasien dokter terlebih dahulu. Jenis narkotika yang diperbolehkan juga dibatasi
pada narkotika golongan II dan III. Pengguna juga diberi kewajiban pelaporan, yang bisa
diwakilkan oleh orang tua dari pengguna narkotika, baik ke rumah sakit, Puskesmas
ataupun lebaga sosial yang ditunjuk.17
Melalui UU No 35 tahun 2009 membentuk BNN sebagai lembaga negara yang khusus
menangani persoalan narkotika. BNN bertanggung jawab melakukan pencegahan,
15 Edyyono et al., “memperkuat revisi undang-undang narkotika di indonesia.” Op.cit. hlm. 13 16Ibid. 17Ibid. hlm. 14.
RES JUDICATA ISSN : 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
270
penyebaran, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika. BNN juga bertanggung jawab
dalam penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika beserta prekursor narkotika.
BNN diberi kewenangan dalam proses penyelidikan dan penyidikan, yang di lakukan oleh
anggota penyidik BNN. Undang-undang narkotika ini juga memberi kewenangan pada
penyidik pegawai negri sipil untuk malaksanakan penyidikan perkara narkotika. Dalam
melakukan penyidikannya, BNN berwenang melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap
narkotika serta prekursor narkotika di seluruh wilayah negara. Interdiksi sendiri adalah
mengejar atau menghentikan seseorang atau kelompok yang berada dalam pesawat
terbang, kapal, serta kendaran yang diduga membawa narkotika beserta prekursor
narkotika.
Perkembangan konseptual narkotika juga dapat dilihat dari kedudukan tindakan
penyalahgunaan narkotika sebagai kejahatan luar biasa. Hal ini dapat ditelusuri dari berat
sanksi yang dikenakan pada pihak yang memproduksi, mengedarkan, dan
menyalahgunakan serta precursor naskotika. UU No 35 tahun 2009 untuk beberapa kategori
kejahatan mengenakan hukuman maksimal berupa penjara seumur hidup dan hukuman
mati.18 Hal ini terutama terkait produksi, peredaran dan penyalahgunaan narkotika golongan
1. Kategorisasi tindakan yang masuk lingkup pengenaan hukuman juga ditetapkan secara
rinci. Dalam konteks penormaan, hal ini tentunya lebih bisa menjamin adanya kepastian
hukum dan kemudahan dalam penegakan hukum.
Terlepas dari kemajuan pengaturan narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009. Pembuat
undang-undang lupa memasukkan beberapa substansi yang sejatinya telah menjadi issue
internasional, yakni perihal doping. Padahal narkotika merupakan salah satu bahan utama
dalam pengembangan obat-obatan doping. Berdasarkan riset yang ada, beberapa obat
doping yang menggunakan narkotika sebagai bahan bakunya adalah buprenorfin,
dextromoramide, heroin, dan petedin analgesik.19
Tidak diaturnya Doping dalam UU No. 35 Tahun 2009 cukup disayangkan, mengingat
dampak luas dari obat-obatan doping dalam dunia olah raga yang begitu menghawatirkan.
Secara medis, obat-obatan doping bisa membahayakan keselamatan layaknya narkotika.
18 Darda Syahrizal, Undang-undang narkotika dan aplikasinya, ed. oleh Abdul Latif, 1 ed. (Jakarta: Laskar Aksara,
2013). Hlm. 114-115. 19 Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi, “penyalahgunaan zat terlarang (doping dan napza) sebagai upaya peningkatan
stamina dalam olahraga,” JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN REKREASI 1, no. 1 (2015): 15–19, https://ojs.ikippgribali.ac.id/index.php/jpkr/article/view/3/2. Hlm. 16-17
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275
271
Bagi para atlet pengguna doping, dia akan mengalami habitutiation atau kebiasaan serta
Addiction atau ketagihan dan Drugs abuse atau ketergantungan obat yang membahayakan
jiwa.20 Di Indonesia sendiri, regulasi, struktur dan prosedur penegakan hukum untuk doping
ini masih belum jelas.
3. Konsep Narkotika dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Perspektif Hukum Islam.
Islam memandang narkotika serta obat-obatan terlarang lainya sebagai mukhaddirat
yang berarti (mematikan rasa), dan Mufattirot (membuat lemah). Hukum dari mengkonsumsi
benda-benda tersebut dalam bentuk apapun telah di sepakati keharamannya. Para ulama
mengharamkan narkotika karena telah di qiyaskan dengan haramnya khamer, karena
khamer dan narkotika mempunyai kesamaan illat (alasan hukum), yaitu sama-sama
memabukkan dan dapat menghilangkan akal pikiran.21 Haramnya narkotika juga dapat di
dasarkan pada kaidah fiqih tentang bahaya (dharar), bahwa hukum asal dari benda yang
berbahaya adalah haram. Menggunakan kaidah tersebut, keberadaan narkotika sebagai
benda yang berbahaya, hukum asal penggunannya adalah haram.22 Menurut majelis tarjih
muhamadiyah, sifat keharaman khamar adalah mutlak (li dzati), sehingga konsumsi khamar
sedikit ataupun banyak adalah haram.23 Padangan ini didasarkan atas sabda Rasulullah
yang berarti“ setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap khamer adalah haram”
(HR Muslim).
Terkait dengan narkotika sebagai sebuah benda, maka konstruksi hukumnya lebih
tepat digali dari sabda Rasulullah yang diriwayatkan A’isyah r.a. yang artinya: “setiap yang
memabukkan haram dan apa yang haram jika banyak maka setelapak tangan pun ia
haram”. Dari hadis yang di kemukakan tersebut dapat di lihat bahwa sesuatu yang
berkenaan dengan benda-benda yang dapat merusak akal dan memabukkan tanpa
membedakan jenisnya maka hukumnya haram untuk di konsumsi. 24 Istilah narkotika di
20 Ibid. 21 Lateefah Kasamasu et al., “Analisis Dalil Pengharaman Narkoba Dalam Karya-karya Kajian Islam Kontemporer,”
Wardah 8, no. 1 (2017): 42–55, https://doi.org/https://doi.org/10.19109/wardah.v18i1.1431. hlm 46-47. 22 Hasan Hamzah, “Ancaman pidana islam terhadap penyalahgunaan narkoba,” Al-Daulah 1, no. 1 (2012): 149–55,
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/1467/1415. Hlm. 150. 23 Majelis Tarjih Muhammadiyah, “Khamr dan Alkohol”,
http;///directory.umm.ac.id/suara_muhamadiyah/SM_14_04/252025_khamr2520-dan2520alkohoh diakses pada tanggal 25 Agustus 2019
24 Kasamasu et al., “Analisis Dalil Pengharaman Narkoba Dalam Karya-karya Kajian Islam Kontemporer.” Op.cit. hlm. 49
RES JUDICATA ISSN : 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
272
zaman rasulullah mungkin tidak ditemui karena muncul belakangan, tetapi Rasulullah telah
menetapkan satu landasan yang secara jelas dan tegas dapat digunakan untuk menentukan
hukum dari narkotika dan zat-zat turunan lainnya. Disinilah letak kemutakhiran hukum Islam,
yang dapat diterapkan untuk semua zaman.
Beranjak dari perspektif islam tersebut, maka konsep yang dikembangkan di Indonesia
tidak sepenuhnya sama. Jika merujuk pada definisi narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009,
kesamaan konseptual yang telihat ada pada penetapan sifat dan dampak yang melekat
pada zat dan penggunaannya. Keduanya sama-sama mempunyai sifat memabukkan dan
dapat menghilangkan akal fikiran. Selain dari segi sifatnya yang mempunyai persamaan
terdapat pula persamaan akibat yang di timbulkan oleh pengguna narkotika maupun
pengguna khamer. Perbedaan sudut pandang muncul dari kedua konstruksi hukum
tersebut. UU Narkotika dalam konstruksi hukum positif yang bersifat dikotomis, kurang
memiliki fleksibilitas dalam berhukum dibanding hukum Islam. Hukum Islam dengan konsep
khamar, memberi landasan berhukum terhadap berbagai benda atau bahan konsumtif atau
non konsumtif. Dalam Islam, keharaman atas suatu benda atau bahan didasarkan atas sifat
dan dampaknya. Apapun jenis, bentuk, zat dan nama benda atau bahan selama memenuhi
kualifikasi sifat dan dampak dari khamar, hukumnya adalah haram. Adapun dalam hukum
positif, kriteria yang dibuat tidak hanya didasarkan pada sifat dan dampak yang potensial
dihasilkan. Ada identifikasi jenis dan bahan yang dituangkan dalam bentuk penggolongan
narkotika. Permasalahan yang muncul ada pada rendahnya fleksibilitas keberlakuan UU No.
35 tahun 2009, ketika dihadapkan pada potensi bahan dan zat baru.
Perbedaan juga dapat ditemukan pada perlakuan terhadap penyalahguna narkotika.
Didalam Islam, konteks keharaman Khamar sejak munculnya larangan, ada pada dimensi
pidana. Secara tegas hukuman asalnya adalah berupa cambukan dan tidak teranggapnya
amal ubudiah selama 100 hari. Namun jika dianalisa berdasarkan maqoshid al-syari’ah,
menghukumi narkotika pada sebatas akibat memabukkan dan hilangnya akal dianggap tidak
tepat.25 Hal ini didasarkan atas realitas bahwa penyalahgunaan narkotika telah menyalahi
lima tujuan syari’ah.26 Berdasarkan maqoshid itulah, disusun berat timbangan hukuman bagi
penyalah guna narkotika. Dalam konteks ini, maka berat hukuman tidak dibuat secara tegas,
25 Muhammad al-Tahir Ibn-Ashur, Ibnu Ashur Treatise on Maqasid al-Shariah, ed. oleh Mohamed El-Tahir El-
Mesawi, 1 ed. (London: The International Institute Of Islamic Thought, 2006). hlm. 7-12. 26 Ibid, hlm. 52-53.
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275
273
melainkan dibuat landasan prinsipilnya, dimana keputusan final ada pada pengadilan. 27
Adapun dalam konteks UU No. 35 Tahun 2009, penetapan hukuman dibuat secara
definitive, dengan membuka kemungkinan pada ragam tindakan. Masalahnya, tidak semua
klasifikasi perbuatan itu dipertautkan dengan akibat perbuatan, contohnya dalam klausul
Pasal 120. Seseorang tukang ojek online yang diminta mengantar paket narkotika, bisa
dijerat dengan hukuman kurungan dan denda. Padahal perbuatan mengantar paket itu tidak
dimaksudkan untuk melakukan transaksi narkotika.
Merujuk pada analisis tersebut, seudah semestinya beberapa substansi dalam UU No.
35 Tahun 2009 itu diperbaiki. Terlebih yang berkaitan dengan konsepsi dan konstruksi
penegakan hukumnya. Secara eksplisit hukuman mati untuk penyalahguna narkotika juga
tidak diatur oleh Islam, namun bukan berarti tidak dapat dihukumi demikian. Perlu ada
pengkajian mendalam terkait pengenaan hukuman yang berujung pada penghilangan
nyawa. Perlu ada illat yang jelas dan rigid untuk hukuman semacam itu.
D. Kesimpulan
Berlakunya undang-undang No 35 tahun 2009 tentang narkotika menimbulkan pergeseran
konsep narkotika. Pergeseran itu secara substansial memang tidak pada rumusan narkotika,
namun secara esensial merubah ruang lingkup makna dari narkotika dan penyalahgunaan
narkotika. Dalam konteks pemidanaan, UU No. 35 Tahun 2009 telah meletakkan
penyalahgunaan narkotika sebagai salah satu kejahatan luar biasa di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari berat sanksi yang dapat mengarah pada hukuman mati.
Bahwa konsep narkotika di Indonesia memiliki beberapa poin kesamaan dan keselarasan
dengan konsepsi narkotika dalam hukum islam. Di lihat dari definisi serta dampak ataupun akibat
yang di timbulkan oleh pengguna narkotika maupun pengguna khamer. Selain dari segi dampak
ataupun akibat yang di timbulkan narkotika memiliki kedekatan esensial dengan konsep khamer
dari segi illatnya (alasan hukumnya). Namun melihat dampak luas dari penyalahgunaan
narkotika, menghukumi narkotika dengan hanya berdasar pada konteks dampak
memabukkannya, adalah satu yang tidak tepat.
27 Ibid.
RES JUDICATA ISSN : 2621-1602
Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index
274
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal.
Dewi, Ida Ayu Kade Arisanthi. “penyalahgunaan zat terlarang (doping dan napza) sebagai upaya peningkatan stamina dalam olahraga.” JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN REKREASI 1, no. 1 (2015): 15–19. https://ojs.ikippgribali.ac.id/index.php/jpkr/article/view/3/2.
Edyyono, Supriyadi Widodo, Erasmus Napitupulu, Subhan Panjaitan, Anggara, Ardhany Suryadarma, dan Totok Yulianto. “memperkuat revisi undang-undang narkotika di indonesia.” Jakarta Selatan, 2017. http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2017/11/Memperkuat-Revisi-UU-Narkotika.pdf.
Hamzah, Hasan. “Ancaman pidana islam terhadap penyalahgunaan narkoba.” Al-Daulah 1, no. 1 (2012): 149–55. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/1467/1415.
Ibn-Ashur, Muhammad al-Tahir. Ibnu Ashur Treatise on Maqasid al-Shariah. Diedit oleh Mohamed El-Tahir El-Mesawi. 1 ed. London: The International Institute Of Islamic Thought, 2006.
Kasamasu, Lateefah, Ahmadzakee Mahama, Wan Mohd Yusof Bin Wan Chik, Syed Mohd Azmi bin Syed Ab Rahman, Abdul Wahab Md. Ali, dan Norizan Abd Ghani. “Analisis Dalil Pengharaman Narkoba Dalam Karya-karya Kajian Islam Kontemporer.” Wardah 8, no. 1 (2017): 42–55. https://doi.org/https://doi.org/10.19109/wardah.v18i1.1431.
Muntaha. “Aspek yuridis Narkotika di kalangan remaja.” Mimbar Hukum 23, no. 1 (2011): 210–20. https://doaj.org/article/49195ac81af34bccb931303390082657.
Nurfatimah, Uripah, Retty Filliani, dan Karsih. “Profil Resiliensi Mantan Pecandu Narkoba (Studi Kasus di Balai Besar Rehabilitasi Narkoba, BNN, Lido).” Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 4, no. 2 (2016): 110–16. https://doi.org/10.21009/INSIGHT.042.19.
Sanger, Elrick. “penegakan hukum terhadap peredaran narkoba di kalangan generasi muda.” Lex Crimen 2, no. 4 (2013): 5–13. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/3083/2627.
Sitorus, Rico Januar. “Komorbiditas Pecandu Narkotika.” Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 8, no. 7 (2014): 301–5. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v0i0.369.
Sitorus, Rico Januar, dan Merry Natalia. “Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika.” Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 9, no. 4 (2015): 348–52. https://doi.org/10.21109/kesmas.v9i4.748.
Syahrizal, Darda. Undang-undang narkotika dan aplikasinya. Diedit oleh Abdul Latif. 1 ed. Jakarta: Laskar Aksara, 2013.
Triawan, Rido, Supriyadi Widodo Eddyono, Virza Roy Hizzal, Totok Yuliyanto, Patri Handoyo, dan Simplexius Asa. “Membongkar Kebijakan Narkotika (Catatan Kritis Terhadap Beberapa Ketentuan Dalam UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Beserta Tinjauan Konstitusionalitasnya).” Jakarta, 2010. http://rumahcemara.or.id/rumahcemara.or.id/perpustakaan/20. 2010 Membongkar Kebijakan Narkotika.pdf.
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275
275
Internet
http;///directory.umm.ac.id/suara_muhamadiyah/SM_14_04/252025_khamr2520-dan2520alkohoh. Diakses pada tanggal 3 desember 2015
Heyder Affan, “Mengapa 'banjir' narkoba di Indonesia terus meningkat?”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43198966, diakses pada 25 Agustus 2019.
Ilham Pratama Putra “Indonesia Jadi Negara Produsen Narkoba”, https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/xkE33YeN-indonesia-jadi-negara-produsen-narkoba. diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.
Puslidatin, “Penggunaan Narkotika di Kalangan Remaja Meningkat”, https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-meningkat/ diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.
Pascal S Bin Saju, “Australia melegalkan budidaya tanaman ganja”, https://internasional.kompas.com/read/2016/10/30/19082561/australia.melegalkan.budidaya.tanaman.ganja?page=all, diakses pada tanggal 14 Agustus 2019
Tri Septio N, “Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di Indonesia”, https://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarah-narkoba-dan-pemberantasannya-di-indonesia. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika