39
Pengertian Perilaku kekerasan / Agresifitas adalah perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik atau psikologis (Berowitz dalam Soetjiningsih, 2004). WHO (1999) mengemukakan bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan untuk diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Perilaku kekerasan adalah tindakan menciderai orang lain, diri sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan ancaman secara verbal (Keliat, 2003). Perilaku agresif adalah suatu fenomena komplek yang dapat terjadi pada klien dengan skizoprenia, gangguan mood, gangguan kepribadian borderline, gangguan perilaku, dan ketergantungan obat (Fontain, 2003). Putri (2010) menyimpulkan bahwa, perilaku kekerasan atau agresifitas dapat didefinisikan sebagai perilaku melukai diri sendiri, orang lain/sekelompok orang dan lingkungan, baik secara verbal, fisik, dan psikologis yang dapat mengakibatkan trauma, perampasan hak, kerugian psikologis, dan bahkan kematian. Sedangkan menurut Kusumawati dan Hartono (2010) perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol. Kekerasan itu sendiri adalah kekuatan fisik yang digunakan untuk menyerang atau merusak orang lain (Isaacs,

Perilaku Kekerasan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

MENTAL HEALTH NURSING

Citation preview

Pengertian

Perilaku kekerasan / Agresifitas adalah perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik atau psikologis (Berowitz dalam Soetjiningsih, 2004). WHO (1999) mengemukakan bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan untuk diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Perilaku kekerasan adalah tindakan menciderai orang lain, diri sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan ancaman secara verbal (Keliat, 2003). Perilaku agresif adalah suatu fenomena komplek yang dapat terjadi pada klien dengan skizoprenia, gangguan mood, gangguan kepribadian borderline, gangguan perilaku, dan ketergantungan obat (Fontain, 2003). Putri (2010) menyimpulkan bahwa, perilaku kekerasan atau agresifitas dapat didefinisikan sebagai perilaku melukai diri sendiri, orang lain/sekelompok orang dan lingkungan, baik secara verbal, fisik, dan psikologis yang dapat mengakibatkan trauma, perampasan hak, kerugian psikologis, dan bahkan kematian.

Sedangkan menurut Kusumawati dan Hartono (2010) perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol. Kekerasan itu sendiri adalah kekuatan fisik yang digunakan untuk menyerang atau merusak orang lain (Isaacs, 2004). Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan merupakan suatu perilaku atau tindakan yang dapat melukai atau membahyakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan baik secara verbal, fisik, dan psikologis yangdisertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol sehingga dapat mengakibatkan trauma, perampasan hak, kerugian psikologis atau bahkan kematian.

Teori Perilaku KekerasanPerilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori, antara lain:

1) Teori Belajar Sosial

Menurut Bandura yang dikutip Bem, perilaku individu pada umumnya dipelajari secara observasional melalui pemodelan, yaitu mengamati bagaimana suatu perilaku baru dibentuk dan kemudian menjadi informasi penting dalam mengarahkan perilaku. Sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atas perilaku yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model. Contoh: kegiatan demonstrasi yang dilanjutkan dengan tindakan anarkhis (membakar ban di tengah jalan, merobohkan pintu gerbang, bentrok dengan aparat keamanan, dan sebagainya) di suatu tempat dapat menjadi model perilaku kekerasan bagi para demonstran di tempat lain.

2) Teori Insting

Teori Freud mengenai insting kerap mengundang kontroversi. Teori ini menegaskan bahwa timbulnya perilaku kekerasan adalah karena insting, yaitu perwujudan psikologis dari suatu sumber rangsangan actor dalam yang dibawa sejak lahir, Dengan teori ini diasumsikan semua orang mempunyai kecenderungan untuk melakukan kekerasan. Semula Freud mengemukakan bahwa perilaku kekerasan itu berkaitan erat dengan energi libidoseksual, Jika insting seksual ini mengalami hambatan maka timbullah perilaku kekerasan. Selanjutnya Freud mengemukakan dikotomi energi positif dan energi destruktif yang keduanya diduga memiliki dasar biologistik yang harus terwujud dalam perilaku nyata. Jika energi destruktif mengarah ke pihak luar maka menjadi pemicu perilaku kekerasan terhadap orang lain, sedangkan jika mengarah ke diri sendiri maka dapat mendorong keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau perilaku bunuh diri.

3) Teori Kepribadian

Sifat-sifat kepribadian sebagai sifat internal berkorelasi dengan perilaku kekerasan termasuk emosi. Anak yang mengalami gangguan seperti cepat marah dan mudah menyerang cenderung mengembangkan pola perilaku kekerasan pada usia selanjutnya. Dengan demikian aktor temperamen yang merupakan bagian dari komponen kepribadian berkaitan dengan perilaku kekerasan.

4) Teori Kognitif

Konsep dasar teori kognitif mengacu pada kegiatan mental yang tidak dapat diubah begitu saja dalam menjelaskan perilaku actor dengan postulat yang sesungguhnya seperti persepsi, pikiran, intensi, perencanaan, keterampilan, dan perasaan. Teori kognitif actor menekankan pentingnya interaksi resiprokal actor-faktor individu sebagai penentu perilaku kekerasan.

5) Teori Frustasi-Agresi

Terjadinya frustasi adalah jika seseorang tidak dapat memiliki sesuatu yang diinginkan pada waktu orang tersebut benar-benar memerlukannya. Schacter, menyatakan setiap tindakan agresi dan kekerasan pada akhirnya dapat dilacak penyebabnya dalam kaitannya dengan frustasi. (Hakim, 2010)

Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan

A. Faktor psikologis

1. Psychoanalytical theory

Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instincual drives. (Yosep 2010, h.146) berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting, pertama insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas dan kedua insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas

2. Frustation aggresion theory

Teori yang dikembangkan oleh pengikut freud ini berawal dari asumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada giliranya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkab frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.

B. Faktor sosial budaya

Social learning theory yang dikembang kan oleh Bandura dalam (Yosep 2010, h. 14) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap kebangkitan emosioalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya.

Contoh internal : orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut.

Contoh eksternal : seorang anak menunjukan perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.

C. Faktor biologis

Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris

ringan pada hipotalamus (yang berada ditengah sistem limbik) binatang ternyata

menimbulkan perilaku agresif. Faktor-faktor yang mendukung antara lain :

1) Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan

2) Sering mengalami kegagalan

3) Kehidupan yang penuh tindakan agresif

4) Lingkungan yang tidak kondusif

D. Faktor prespitasi

Fitria ( 2009, h.144 ) mengemukakan, faktor-faktor prespitasi dapat dibedakan

menjadi faktor internal dan eksternal.

1) Internal adalah semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunya percaya diri , rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.

2) Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis dan lain-lain. (Perwiranti, 2013)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:

1. Teori Biologik

Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap

perilaku:

a. Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya

gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.

Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.

b. Biokimia

Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.

c. Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.

d. Gangguan Otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

2. Teori Psikologik

a. Teori Psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

b. Teori Pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa

3. Teori Sosiokultural

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

Faktor Penyebab Perilaku Kekerasan

Faktor Predisposisi

Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perilaku kekerasan adalah :

a. Faktor biologis

1. Intinctual drive theory (teori dorongan naluri)

Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.

2. Psycomatic theory (teori psikomatik)

Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem limbik berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.

b. Faktor psikologis

1. Frustasion aggresion theory ( teori argesif frustasi)

Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.

2. Behavioral theory (teori perilaku)

Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah. Semua aspek ini menstimulai individu mengadopsi perilaku kekerasan.

3. Existential theory (teori eksistensi)

Bertindak sesuai perilaku adalah kebutuhan yaitu kebutuhan dasar manusia apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui perilaku konstruktif maka individu akan memenuhi kebutuhannya melalui perilaku destruktif.

c. Faktor sosio kultural

1. Social enviroment theory ( teori lingkungan )

Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.

2. Social learning theory ( teori belajar sosial )

Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialisasi.

Faktor Presipitasi

Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat buruk. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dalam. Contoh stressor yang berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian, krisis dan lain-lain. Sedangkan dari dalam adalah putus hubungan dengan seseorang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik, hilang kontrol, menurunnya percaya diri dan lain-lain.Selain itu lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan. (Riyadi dan Purwanto,2009 )

Tanda dan Gejalaa. Fisik

Mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah

memerah dan tegang serta postur tubuh kaku

b. Verbal

Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus

c. Emosi

Emosi tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut

d. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme

e. Spiritual

Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan kreativitas terhambat

f. Social

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran

g. Perhatian

Bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual. (Perwiranti, 2013)

Observasi: Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat.

Sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas makanan, memukul jika

tidak senang.

Wawancara: diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah

yang dirasakan klien

Tanda dan Gejala menurut (Yosep dalam Damaiyanti dan Iskandar, 2012) Muka marah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, postur tubuh kaku, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar-mandir.

(Puspitasari, 2013)

Proses Terjadinya Perilaku KekerasanMenurut Yosep ( 2007 ) kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau eksterna. Stressor internal seperti penyakit, hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem individu (Disruption and loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal meaning).

Bila seseorang memberi makna positif, misalnya : macet adalah waktu untuk istirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih persyarafan telinga maka ia akan dapat melakukan kegiatan secara positif (compensatory act) dan tercapai perasaan lega (resolution). Bila ia gagal dalam memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai ancaman dan tidak mampu melakukan kegiatan positif (olah raga, menyapu atau baca puisi saat ia marah dan sebagainya) maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara (helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger). Kemarahan yang diekspresikan keluar (ekspressed outward) dengan kegiatan yang kontruktif dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang diekspresikan dengan kegiatan destruktif dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal (guilt). Kemarahan yang dipendam akan menimbulkan gejala psikomatis (painfull symptom).

Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu :

1. Mengungkapkan secara verbal.

2. Menekan.

3. Menantang.

Dari ketiga cara ini yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi psikosomatik atau agresif dan mengamuk (Beck, dkk 1986, hal. 447 dikutip oleh Keliat, 1994).

Proses Terjadi Perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah. Marah adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekarangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustrasi (Chaplin, 2002 dalam Triantoro, 2009). Dyer menyatakan marah sebagai suatu reaksi terhadap frustrasi yang teralih dimana seseorang berbuat dengan cara-cara yang sesungguhnya ia tidak menginginkannya. Seseorang yang sangat marah tidak dapat mengendalikan perbuatannya. Orang yang tidak Dapat mengontrol perbuatannya adalah orang yang menderita gangguan kejiwaan (Purwanto & Mulyono, 2006). Perilaku kekerasan adalah akibat dari kemarahan yang ekstrim atau kecemasan (panik). Alasan spesifik dari perilaku agresif berbeda-beda untuk setiap orang (Stuart & Laraia, 2005).

Model Stress Adaptasi Stuart dari keperawatan jiwa memandang perilaku manusia dalam perspektif yang holistik terdiri atas biologis, psikologis dan sosiokultural, dan aspek- aspek tersebut saling berintegrasi dalam perawatan. Komponen biospikososial dari model tersebut termasuk dalam faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme koping (Stuart & Laraia, 2005).

1. Faktor Biologi

Faktor biologis secara alami dapat menjadi salah satu faktor penyebab (predisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi) terjadinya perilaku kekerasan pada individu. Faktor predisposisi yang berasal dari biologis dapat dilihat sebagai suatu keadaan atau faktor resiko yang dapat mempengaruhi peran manusia dalam menghadapi stressor. Adapun yang termasuk dalam faktor biologis ini adalah struktur otak. Struktur otak yang berhubungan dengan perilaku agresif adalah sistem lymbik, lobus frontal, dan hypothalamus. Ketidakseimbangan neurotransmitter juga mendorong munculnya perilaku kekerasan (Niehoff, 2002; Hoptman, 2003 dalam Stuart & Laraia, 2005).

Sistem limbik berkaitan dengan mediasi dorongan dasar (basic drive) dan ekspresi emosi serta tingkah laku manusia seperti: makan, agresi dan respon sexual, termasuk proses informasi dan memori. Sintesa informasi ke dan dari area lain di otak mempengaruhi emosi dan perilaku. Perubahan dalam system limbic berakibat pada peningkatan atau penurunan perilaku agresif, amuk dan takut (Vacarolis, 2003).

Lobus frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku yang berarti dan pikiran yang rasional. Lobus ini merupakan bagian dimana pikiran dan emosi berinteraksi. Kerusakan pada lobus frontal berakibat gangguan pertimbangan, perubahan kepribadian, masalah pengambilan keputusan, ketidaksesuaian dalam berhubungan dan luapan agresif.

Hipotalamus juga berperan dalam mempengaruhi terjadinya perilaku agresif /kekerasan, dimana kondisi stress akan meningkatkan level hormon steroid, yang disekresi kelenjar adrenal. Reseptor saraf untuk hormon ini menjadi kurang sensitif dalam mengkompensasi, sehingga hipotalamus yang berada pada dasar otak dan berfungsi sebagai system alarm otak merangsang kelenjar pituitary untuk menghasilkan lebih banyak steroid. Setelah stimulasi berulang system berespon lebih kuat terhadap provokasi. Respon inilah yang menyebabkan stress traumatik pada anak bersifat permanen sehingga beresiko memiliki perilaku kekerasan. Lobus temporal dari otak terbagi beberapa struktur dengan sistem limbik. Memori adalah integrasi dari pikiran, memori sebelumnya adalah penting untuk penilaian kognitif dalam menghadapi stimulus baru, lobus ini dapat meningkatkan perilaku agresif (Vacarolis, 2003).

Neurotransmitter di otak meningkat/menurun dapat mempengaruhi perilaku. Gangguan keseimbangannya akan merangsang atau menghambat perilaku agresif. Lesch dan Mersdorf (2000) menyebutkan bahwa perilaku agresif dipengaruhi oleh gen serotonergik (Kneisl; Wilson & Trigoboff, 2004). Rendahnya neurotransmitter serotonin meningkatkan irritabilitas, hipersensitivitas terhadap provokasi, dan perilaku amuk. Individu dengan impulsive, bunuh diri, dan membunuh, mempunyai lebih rendah serotonin daripada level 5-HIAA.

Penelitian ini telah menunjukkan adanya hubungan antara agresif impulsive dengan rendahnya level neurotransmitter serotonin. Suatu gangguan genetik pada fungsi serotonin merupakan predisposisi terjadinya perilaku agresif impulsif (Kavoussi. et al., dalam Vacarolis, 2003). Neurotransmitter lain yang berkaitan dengan perilaku agresif adalah dopamine, norepinephrine, dan acetylcholine serta asam amino Gamma-aminobutyric acid (GABA). Korteks prefrontal juga berperan penting dalam menghambat perilaku agresif. Area spesifik pada korteks prefrontal adalah region orbitofrontal. Stimulasi pada area ini mencegah marah dan agresif. Lesi pada area ini menyebabkan perilaku impulsif (Stuart & Laraia, 2005).

Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan perilaku kekerasan adalah riwayat penggunaan obat NAPZA dan frekuensi di rawat. Penggunaan NAPZA akan mempengaruhi fungsi otak, mempengaruhi terapi dan perawatan yang diberikan (Dyah, 2009). Frekuensi dirawat menunjukkan seberapa sering individu dengan perilaku kekerasan mengalami ke kambuhan. Perilaku kekerasan pada skizoprenia sering terjadi karena penyakit yang tidak terkontrol, putus obat, kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan sesuatu atau situasi yang menciptakan perilaku kekerasan (Stuart & Laraia, 2005).

Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi perilaku kekerasan dari faktor biologi dapat disebabkan oleh gangguan feedback di otak dalam proses informasi. Stimuli penglihatan dan pendengaran pada awalnya di saring oleh hipotalamus dan dikirim untuk diproses oleh lobus frontal dan bila informasi yang sampaikan terlalu banyak maka akan di kirim ke ganglia basal dan di ingatkan lagi hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal.

Penurunan fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada proses feedback dalam penyampaian informasi (Stuart & Laraia, 2005). Proses elektrik yang melibatkan elektolit juga mempengaruhi, penurunan proses ini ditunjukkan dengan ketidakmampuan individu dalam memilih stimuli (Perry et al., 1999 dalam vacarolis, 2003). Faktor biologis lainnya yang merupakan predisposisi dapat menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor, baik internal atau lingkungan eksternal individu. Waktu dan frekuensi terjadinya stressor perilaku kekerasan penting untuk dikaji (Stuart & Laraia, 2005).

2. Faktor Psikologis

Faktor psikologis merupakan salah satu predisposisi atau presipitasi dalam proses terjadinya perilaku agresif/kekerasan. Menurut Stuart dan Laraia (2005) yang termasuk dalam faktor psikologis diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan psikologi. Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif menyatakan bahwa pentingnya faktor perkembangan atau pengalaman hidup dalam membatasi kemampuan individu untuk memilih koping mekanisme yang bukan perilaku kekerasan. Teori Pembelajaran sosial mengemukakan Bahwa perilaku agresif dipelajari melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran internal dan eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu mendapat reinforcement ketika melakukan perilaku agresif. Pembelajaran eksternal terjadi selama observasi model peran seperti peran sebagai orang tua, kelompok, saudara, olah raga dan figure dari entertainmen (Stuart & Laraia, 2005).

Faktor perkembangan atau pengalaman hidup yang membatasi mekanisme koping nonviolence menurut Stuart dan Laraia (2009) sebagai berikut :

a Gangguan otak organik, mental retardasi, ketidakmampuan belajar yang mengganggu kapasitas bertindak secara efektif terhadap frustasi

b Deprivasi emosional yang berat atau penolakan terhadap anak, orang tua penggoda berkontribusi pada kurang rasa percaya dan harga diri

c Mengalami kekerasan, korban child abuse atau sering melihat kekerasan dalam keluarga dapat menanamkan pola penggunaan kekerasaan sebagai cara menyelesaikan masalah. Menurut Kneisl; Wilson & Trigoboff, (2004) Perilaku agresif dipelajari dari: menjadi saksi tindak kekerasan, menonton perilaku kekerasan pada anak-anak dari media, seperti: TV, film, musik, video games. The American Academy of Pediatrics (2001) paparan media yang menampilkan kekerasan mempunyai pengaruh bermakna pada kesehatan anak-anak & remaja. Media kekerasan berkontribusi pada perilaku agresif dan desensitisasi untuk kekerasan. COC (2001) menjadi saksi tindak kekerasan berakibat pada perkembangan anak-anak.

Menurut Boyd dan Nihart (1998) terjadinya perilaku agresif atau perilaku kekerasan secara psikologis adalah dorongan naluri, adanya gangguan atau hambatan dalam mencapai tujuan, stimulus internal dan eksternal yang dirasa sebagai suatu yang berbahaya, emosi negatif yang membawa pada perilaku irrasional dan gaya interaksi yang memaksa. Faktor psikologis lain dapat berupa kegagalan, kegagalan dapat berakibat frustrasi (Stuart & Laraia, 2005).

Kegagalan sering diartikan oleh individu dengan ketidakmampuan, respon yang muncul pada saat individu mengalami kegagalan dapat berupa penyalahan terhadap diri sendiri, atau orang lain yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan (Dyah, 2009). Stresor dari faktor psikologis ini dapat menjadi pencetus (presipitasi) yaitu apabila stimulus merubah atau menekan sehingga memunculkan gejala saat ini. Selanjutnya perlu dikaji asal stressor psikologis itu apakah dari internal individu ataupun lingkungan ekternalnya, waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005). Dengan demikian faktor psikologis ini bisa menjadi penyebab sekaligus pencetus terjadinya masalah perilaku kekerasan.

3. Sosial Budaya dan Spiritual

Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan pada individu. Karakteristik yang termasuk pada sosial budaya seperti: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, peran sosial, latar belakang budaya, agama dan kayakinan individu (Stuart & Laraia, 2005), riwayat perilaku kekerasan di masa lalu (American Psychiatric Assosiations, 2000; steinert, Wiebe, & Gebhardt, 1999 dalam Fauziah, 2009). Sedangkan pendapat ahli lainya menyatakan faktor sosial adalah aspek yang dimiliki individu yang terdiri dari konsep diri, hubungan interpersonal, peran budaya lingkungan dan keluarga sehingga dapat menjalankan fungsinya dalam masyarakat (Wiliam Rawlin & Beck, 1993).

Berdasarkan pendapat diatas disampaikan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu karakteristik sosial budaya. Jenis kelamin adalah ciri fisik, karakter dan sifat yang berbeda. Laki-laki lebih sering melakukan perilaku agresif (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan hasil penelitian dinyatakan bahwa karakteristik jenis kelamin berhubungan dengan kejadian perilaku kekerasan verbal (p value 0,001) dan klien laki-laki dua kali lipat lebih banyak dari klien perempuan, serta usia yang paling banyak 30 tahun ke bawah (Keliat, 2003).

Namun berdasarkan penelitian Kelliat dkk, (2008) pada penelitian karakteristik klien yang dirawat di bangsal MPKP menyebutkan ada 63,9% berjenis kelamin laki-laki, 82,5% terdapat pada golongan umur dewasa yaitu umur 33 tahun sampai 55 tahun. Selain itu penelitian yang dilakukan Keliat (2003) menyebutkan karakeristik pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan mempengaruhi dalam kejadian perilaku kekerasan, dimana sebahagian besar berpendidikan menengah dan rendah, tidak bekerja, tidak kawin dan dirawat untuk pertama kali di rumah sakit.

Faktor sosiokultural lainya adalah norma budaya yang dapat membantu mengartikan makna ekspresi marah dan dapat mendorong untuk mengekspresikan marah secara asertif sehingga membantu menjaga kesehatan diri. Hukuman diterapkan terhadap perilaku kekerasan melalui norma hukum atau adanya kontrol sosial. Norma yang mereinforcement perilaku kekerasan akan berakibat ekspresi marah dengan cara destruktif. Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan seperti : kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup, masalah perkawinan, keluarga single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan tali persaudaraan, struktur keluarga, dan kontrol sosial ( Stuart & Laraia, 2005).

Kepercayaan (spiritual), nilai dan moral mempengaruhi ungkapan marah individu (Kelliat & Sinaga, 1991). Keyakinan akan membantu individu dalam memilih ekspresi kemarahan yang diperbolehkan. Aspek spiritual adalah komponen kehidupan individu yang terkait dengan falsafah hidup, nilai, keyakinan dan religi (Rawlins, et. Al, 1993 dalam keliat, 2003). Secara umum seseorang menuntut kebutuhannya dari orang lain atau lingkungan sehingga timbul frustrasi apabila tidak terpenuhi dan selanjutnya timbul marah sehingga mempengaruhi kualitas spiritual seseorang.

Stresor dari faktor sosiokultural ini dapat juga menjadi presipitasi yaitu apabila stimulus merubah atau menekan sehingga memunculkan gejala saat ini. Selanjutnya perlu dikaji asal stressor sosiokultural, waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005). Dengan demikian banyak sekali stresor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab ataupun pencetus perilaku kekerasan.

(dalam Putri, dewi Eka, 2010)

TahapanTriggering intcidens

Fase ini ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa factor yang mungkin menjadi pemicu agresi meliputi : provokasi , respon terhadap kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi yang menyebabkan frustasi, pelanggaran batas terhadap jarak personal, dan harapan yang tidak terpenuhi.

Pada fase ini petugas kesehatan perlu memahami berbagai macam , pemicu yang menjadi faktor bagi klien untuk melakukan agresi, dan melakukan upaya meminimalkan faktor pemicu tersebut. Keterangan selengkapnya mengenai faktor pemicu dan bagaimana agar petugas kesehatan tidak menjadi pemicu bagi perilaku agresi.

Ascalation phase

Fase in di tandai dengan kondisi kebangkitan fisik dan emosional,dapat disetarakan dengan respon flight or flight karena kondisi ini ada kondisi sebelum tejadinya kekerasana maka diagnose keperawatan yang tepat pada fase in adalah risk for other directed violence (nanda 2007) atau violence/aggressive behaviore risk (ICNP,2005)

Pada saat in kemarahan klien meningkat dan tujuan utama petugas kesehatan fase in adalah untuk menurunkan kemarahan dan kecemasan orang yang berada di escalation phase. Pada klien dengan gangguan psikiatrik, pemicu dari perilaku agresif lebih berfariasi misalnya karena adanya halusinasi, gangguan kognitiv, gangguan penurunan zat, kerusakan neurologi, kognitif, bunuh diri, koping tidak efektif, pengenalan petugas kesehatan terhadap penyebab dari perilaku kekerasan diperlukan untuk memberikan penanganan yang tepat sesuai penyebab dari perilaku kekerasan.

Crisis point

Fase in merupakan fase lanjutan dari escalation phase apabila negosiasi dan teknik descalation gagal mencapai tujuan. Emosi menonjol yang dutunjukan oleh klien adalah bermusuhan. Karena kondisi pada saat in klien sedang melakukan perilaku kekerasan maka diagnosa yang tepat untuk mengambarkan situasi saat itu adalah diagnosa violence /aggressive behavior actual ICNP,2005). Sayangnya tidak terdapat reverensi yang tepat dari nanda untuk mengganbarkan kondisi klien pada saat ini. tujuan utama penangganan pada fase in adalah petugas melindungi diri sendiri dan orang lain termasuk klien.Disinilah aktifitas petugas berkaitan dengan physical atau chemical restraint tepat dilakukan pada klien.

Setting phase

Fase in adalah fase dimana klien yang melakukan perilaku kekerasan telah melepaskan energy marahnya.Meskipun begitu,klien mungkin masih merasa cemas atau marah dan mempunyai resiko kembali ke masa awal.Kondisi in merupakan situasi yang digambarkan dalam diagnosa sebagaiRisk for other directed violence(NANDA,2007) atauviolence/Aggressive behavior Risk karena memungkinkan 90 menit setelah insidan,hormone adrenalin bisa kembali terpicu dan klien kembali ke fase cricis point.

Petugas kesehatan perlu berhati-hati untuk tidak mencetuskan perilaku agresif kembali dengan berhati-hati terhadap faktor yang memicu klien untuk berperilaku agresif.Fase ini juga ditandai dengan pelepasan restraint yang dilakukan secara berangsur dan pemenuhan kebutuhan klien setelah dilakukan restraint yang dilakukan untuk membina hubungan saling percaya.

Post crisis depression

Dalam fase in klien mungkin mengalami kecemasan,depresi dan berfokuspada kemarahan dan kelelahan.Pada saat in,intervensipetugas kesehatan berfokus pada debriefing/memperoleh informasi dari klien.Karena itu diagnosa keperawatan yang mungkin tepa pada fase in adalah knowledge deficit (Specify) (NANDA,2007) atau Lack of knowledge (ICPN,2007). Kesempatan untuk meningkatkan insight seseorang terhadap perlakunya tepat dilakukan pada fase in.Meskipun begitu,apabila penyebab perilaku kekerasan adalah karenamasalah psikiatrik yang lain,mungkin diagnosa keperawatan akan menyesuaikan dengan kondisi yang lain.

Return to normal functional

Ini adalah fase dimana klien telah kembali kepada keseimbangan normal,dari perasaan cemas,depresi dan kelelahan.Fase in merupakan kesempatan yang sangat baik bagi klien untuk melatih kemampuan kognitif,fisik,dan emosi jika suatu saat klien terpicu untuk menjadi agresif.

Penatalaksanaan

1. Medis Obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien dengan marah atau perilaku kekerasan adalah :

a. Antianxiety dan sedative hipnotics. Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepine seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk simptom depresi.

b. Buspirone obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.

c. Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan Trazodone, menghilangkan agresifitas yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.

d. Lithium efektif untuk agresif karena manik.

e. Antipsychotic dipergunakan untuk perawatan perilaku kekerasan.

2. Keperawatan Perawat dapat mengimplementasikan berbagai cara untuk mencegah dan mengelola perilaku agresif melaui rentang intervensi keperawatan.

a. Strategi preventif

Kesadaran diri

Perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya dan melakukan supervisi dengan memisahkan antara masalah pribadi dan masalah klien.

Pendidikan klien

Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikasi dan cara mengekspresikan marah yang tepat.

Latihan asertif

Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki meliputi :

- Berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang.

- Mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak beralasan.

- Sanggup melakukan komplain.

- Mengekspresikan penghargaan dengan tepat.

b. Strategi antisipatif

Komunikasi

Strategi berkomunikasi dengan klien perilaku agresif : bersikap tenang, bicara lembut, bicara tidak dengan cara mengahakimi, bicara netral dan dengan cara konkrit, tunjukkan rasa hormat, hindari intensitas kontak mata langsung, demonstrasikan cara mengontrol situasi, fasilitasi pembicaraan klien dan dengarkan klien, jangan terburu-buru menginterpretasikan dan jangan buat janji yang tidak bisa ditepati.

Perubahan lingkungan

Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti : membaca, grup program yang dapat mengurangi perilaku klien yang tidak sesuai dan meningkatkan adaptasi sosialnya.

Tindakan perilaku

Pada dasarnya membuat kontrak dengan klien mengenai perilaku yang dapat diterina dan tidak dapat diterima serta konsekuensi yang didapat bila kontrak dilanggar.

c. Strategi pengurungan

Managemen krisis

Seclusion merupakan tindakan keperawatan yang terakhir dengan menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak dapat keluar atas kemauannya sendiri dan dipisahkan dengan pasien lain.

Restrains adalah pengekangan fisik dengan menggunakan alat manual untuk membatasi gerakan fisik pasien menggunakan manset, sprei pengekang (Yosep, 2007)

Asuhan Keperawatan Pasien dengan Resiko Perilaku kekerasan

Pengkajian

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikolog. Berdasarkan definisi ini maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan.

Data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui observasi atau wawancara tentang perilaku berikut ini:

Muka merah dan tegang

Pandangan tajam

Mengatupkan rahang dengan kuat

Mengepalkan tangan

Jalan mondar mandir

Bicara kasar

Suara tinggi, menjerit atau berteriak

Mengancam secara verbal atau fisik

Melempar atau memukul benda/orang lain

Merusak benda

Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah/ mengontrolperilaku kekerasan

Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan ditetapkan sesuai dengan data yang didapat, dan saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan tetapi pernah melakukan perilaku kekerasan dan belum mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol perilaku kekerasan tersebut. Diagnosis yang berlaku pada gangguan ini adalah: Resiko Perilaku Kekerasan

Tindakan Keperawatan

Tindakan Keperawatan untuk Pasien

Tujuan:

Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan

Pasien dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku kekerasan

Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya

Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya

Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/ mengontrol perilaku kekerasannya

Pasien dapat mencegah/ mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.

Tindakan keperawatan:

Bina hubungan saling percaya, dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan anda. Tindakan yang harus anda lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah:

a. Mengucapkan salam terapeutik

b. Berjabat tangan

c. Menjelaskan tujuan interaksi

d. Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.

Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu

Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan

a. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.

b. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.

c. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial

d. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual

e. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.

Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah yaitu secara verbal terhadap:

a. Orang lain

b. Diri sendiri

c. Lingkungan

Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya

Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:

a. Fisik: pukul kasur atau bantal, tarik nafas dalam

b. Obat

c. Sosial/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya

d. Spiritual: kegiatan ibadah sesuai keyakinan pasien

Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik:

a. Latihan nafas dalam dan pukul kasur-bantal

b. Susun jadwal latihan nafas dalam dan pukul kasur-bantal

Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/ verbal:

a. Latih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik.

b. Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.

Latih mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual:

a. Diskusikan kegiatan ibadah yang pernah dilakukan pasien

b. Latih mengontrol marah dengan melakukan kegiatan ibadah yang biasa dilakukan pasien

c. Buat jadwal latihan kegiatan ibadah.

Latih mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat:

a. Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat, benar dosis obat) disertai penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat.

Susun jadwal minum obat secara teratur

Ikut-sertakan pasien dalam Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi mengontrol perilaku kekerasan.

Daftar Pustaka

Fontaine, K.L. (2003). Mental Health Nursing. New Jersey. Pearson Education. Inc.

Isaacs, Ann. (2004). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik, edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan Klien dan Keluarga dalam Perawatan Klien Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta : FKM UI.

Putri, Dewi E. (2010). Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy Terhadap Klien Perilaku Kekerasan di Ruang Rawat Inap RSMM Bogor tahun 2010. Manuskrip Penelitian. Jakarta : FIK UI.

Soetjiningsih. (2004). Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.

Hakim, Bashori A. 2010. Pandangan Masyarakat Terhadap Tindak Kekerasan Atas Nama Agama. Kementerian Agama RI Jakarta.

Perwiranti, D. G. 2013. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Sesi 2 Terhadap Kemampuan Mengontrol Emosi Pada Klien Perilaku Kekerasan Di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Pekajangan.

Puspitasari, P. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Ny.S Dengan Gangguan Perilaku Kekerasan Di Ruang Sumbadra Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Program Studi Diploma Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Riyadi, sujono, Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha Ilmu

Yosep, 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama