Upload
truonganh
View
245
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
PERILAKU MASYARAKAT URBAN DALAM DRAMA
MEGA,MEGA KARYA ARIFIN C. NOER DAN IMPLIKASINYA
PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Yunia Ria Rahayu
1110013000078
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
ABSTRAK
Yunia Ria Rahayu, 1110013000078, “Perilaku Masyarakat Urban dalam
Drama Mega,mega Karya Arifin C.Noer Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di
SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing:
Rosida Erowati, M.Hum.
Drama Mega,mega karya Arifin C.Noer merupakan salah satu drama yang
menggambarkan perilaku yang terjadi pada masyarakat urban. Penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan perilaku masyarakat urban dalam drama Mega,mega
karya Arifin C.Noer dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan
pendekatan antar disiplin ilmu, yakni sosiologi dan sastra yang memfokuskan
penelitiannya pada hubungan manusia dengan semesta.
Perilaku masyarakat urban pada tahun 1966 dapat digambarkan melalui
masyarakat dalam drama Mega,mega berdasarkan perilaku yang dihadirkan para
tokoh. Analisis drama Mega,mega ini dapat memenuhi kompetensi dasar dalam
pemebelajaran sastra yakni untuk mendeskripsikan perilaku manusia melalui dialog
naskah drama. Melalui pembelajaran ini siswa diharapkan dapat saling menghargai
antar sesama dan mau berusaha untuk mencapai impian.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukan
bahwa kemiskinan sangat berpengaruh terhadap prilaku masyarakat urban.
Kemiskinan tersebut disebabkan dari berbagai unsur antara lain: kemiskinan yang
disebabkan aspek badaniah atau mental seseorang, kemiskinan yang disebabkan oleh
bencana alam dan kemiskinan buatan serta kemiskinan struktural. Akibat kemiskinan
tersebut maka muncullah perilaku-perilaku negatif masyarakat urban disebabkan
tekanan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka, akan tetapi kesempatan untuk
mendapat pekerjaan tidak ada. Perilaku negatif tersebut antara lain: menjadi
pengemis, mencuri dan menjadi wanita tunasusila.
Kata kunci: Perilaku masyarakat urban, kemiskinan, Drama Mega,mega
ii
ABSTRACT
Yunia Ria Rahayu, 1110013000078 “Behavior Urban Society in Drama
Mega,mega Work of Arifin C.Noer and its Implications on Learning Literature in
SMA ” Majors Language Education and Indonesian Literature, Science Faculty
Tarbiyah and Teacher Training, Jakarta Islamic State University. Advisor Rosida
Erowati, M.Hum.
Drama Mega,mega work of Arifin C.Noer is one of the drama depicting the
behavior occurs in urban society. This study aims to describe behavior of urban
society in the drama Mega,mega work of Arifin C.Noer and its implications in the
lessons literature in high school. The method used in this research is descriptive
qualitative approach between disciplines, which is Sociology and Literature focused
research on human relationships end the universe.
Behavior urban society in 1966 can be described though the community in the
drama Mega,mega-based on the behavior presented by figures. Analysis of drama
Mega,mega this can meet basic competence in learning literature that is to describe
human behavior through dialog plays. Through this learning students are expected to
respect between fellow and want to seek to reach the dream.
Based on analysis has been done, these result showed that poverty very effect
on the behavior of urban society. Poverty the resulting from various elements include:
poverty caused aspects of physical or mental, poverty caused natural disasters and
poverty made as well as structural poverty. As a result of poverty is then came the
bahaviors negative urban society due to pressure to meet the needs of their lives, but
the opportunity to get a job does not exist. Behavior negative include: a beggar,
thieves and become prostitutes.
Keywords: Behavior urban society, Poverty, Drama Mega, mega
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil „alamin segala puji bagi Allah atas segala yang ada di
semesta jagad raya dan telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah
limpahkan untuk Nabi besar Muhammad S.A.W, keluarga, para sahabat, dan
umatnya.
Penulis menyusun penelitian ini guna memenuhi salah satu syarat
mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan penelitian ini
penulis banyak mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, dan semangat dari
berbagai pihak. Semua itu tak lain untuk menjadikan penulis menjadi pribadi yang
lebih baik dan kaya informasi, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Dr. Nurlena Rifa‟i, M.A.,Ph.D., dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah.
2. Mohamad Komarudin dan Sumirah selaku orang tua penulis dan adik tercinta
Ahmad Ahzam Rozaq yang senantiasa memberikan kasih sayang, dorongan
moral dan moril, serta mendoakan penulis sehingga dapat menyelesaikan
penelitian ini.
3. Rosida Erowati, M.Hum., dosen pembimbing skripsi yang telah memberi
bimbingan, semangat, motivasi, dan ilmu kesabaran serta memberi izin
meminjam buku pribadinya guna menunjang selesainya penulisan penelitian
ini.
4. Dosen-dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
membagi ilmunya selama masa perkuliahan.
5. Embi C.Noer yang telah berkenan meluangkan waktu untuk diwawancarai
penulis, guna memberikan informasi sebagai data penunjang penelitian ini.
iv
6. Keluarga besar POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah) yang telah banyak
memberikan inspirasi, bertukar ilmu dan berbagi semangat serta tempat
menuangkan keluh kesah dalam kegelisahan hidup melalui kesenian.
7. Keluarga kecil tercinta LST (Lingkar Sastra Tarbiyah) yang telah banyak
memberi penulis pelajaran untuk menjadi pribadi lebih baik dan berbagi keluh
kesah.
8. Teman-teman PBSI seperjuangan angkatan 2010, khususnya kelas B yang
senantiasa memberi kebahagiaan selama masa-masa kuliah, memberi
informasi dan semangat dalam menyelesaikan penellitian.
9. Teman-teman kosan Dwina Agustin dan Ade Fauziah yang telah merelakan
kosannya menjadi tempat bernaung kami. Serta teman-teman penyemangat
diantaranya: Mabrurroh, Aisatul Fitriah, Kurnia Dewi N, Aulia Herdiana, Fitri
Khoiriani, Mawaddah, Tazka Adiati, Risqia Auliani, Ade Rufaida, Nurul
Innayah, yang telah memberi pengalaman dan berbagi semangat untuk
menyelesaikan penelitian.
10. Salman Abdurrahman yang senantiasa memberi semangat penulis dari
kejauhan dan mengajari ilmu sabar dalam menyelesaikan penelitian.
11. Teman alumni MAN 1 Pekalongan yang telah menginspirasi dan memberi
semangat penulis untuk dapat segera menyelesaikan penelitian.
Terimakasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah membalas kebaikan kalian
semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian
ini dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.
Jakarta, Oktober 2014
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 5
C. Batasan Masalah.................................................................................... 6
D. Rumusan Masalah ................................................................................. 6
E. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6
F. Manfaat Peneliian.................................................................................. 6
G. Metode Penelitian.................................................................................. 7
1. Objek Penelitian .............................................................................. 7
2. Data dan Sumber Data Penelitian ................................................... 7
3. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 8
4. Teknik Analisis Data ....................................................................... 9
BAB II KAJIAN TEORI ...................................................................................... 10
A. Teori Perilaku ........................................................................................ 10
1. Paradigma Perilaku ......................................................................... 10
B. Hakikat Masyarakat .............................................................................. 13
1. Pengertian Masyarakat ................................................................... 13
2. Manusia Sebagai Makhluk Sosial dan Makhluk Individu ............. 15
C. Urbanisasi .............................................................................................. 17
1. Penyebab Terjadinya Urbanisasi ..................................................... 17
vi
2. Akibat Urbanisasi ............................................................................ 18
D. Teori Kemiskinan .................................................................................. 19
E. Hakikat Drama ...................................................................................... 21
1. Pengertian Drama ............................................................................ 21
F. Unsur Intrinsik Drama........................................................................... 22
G. Hakikat Sosiologi Sastra ....................................................................... 27
1. Pengertian Sosiologi Sastra ........................................................ 27
2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat ............................................ 28
H. Pembelajaran Sastra ............................................................................. 29
I. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................. 30
BAB III PROFIL ARIFIN C. NOER .................................................................. 33
A. Biografi Arifin C. Noer ......................................................................... 33
B. Karya Arifin C.Noer.............................................................................. 36
C. Pemikiran Arifin C.Noer ....................................................................... 38
BAB IVANALISIS DAN PEMBAHASAN DRAMA MEGA,MEGA ............... 41
A. Deskripsi Data ....................................................................................... 41
1. Unsur Intrinsik Drama Mega,mega Karya Arifin C.Noer............... 41
B. Perilaku Masyarakat Urban ................................................................... 83
C. Masyarakat Miskin ................................................................................ 94
D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ............................ 102
BAB V PENUTUP105
A. Simpulan ............................................................................................... 104
B. Saran ...................................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 107
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra adalah artefak; adalah benda mati, baru mempunyai makna
dan menjadi objek estetik bila diberi arti oleh manusia sebagai pembaca
sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi
makna oleh arkeolog. 1 Drama merupakan salah satu cabang karya sastra yang di
dalamnya menggambarkan kehidupan yang terjadi di masyarakat lewat dialog
oleh para tokohnya. Drama juga dapat digunakan sebagai sarana untuk
berkomunikasi dengan masyarakat, baik dalam bentuk pertunjukan maupun teks.
Drama merupakan salah satu hasil pengarang dalam berkarya menggunakan
imajinasinya. Namun, meskipun menggunakan unsur imajinatif dalam proses
kreatifnya isi yang terkandung dalam drama bukan hanya sekedar khayali, tetapi
dapat berlandaskan kehidupan yang sebenarnya.
Pada tahun 1968 kompleks kesenian Jakarta yang pembangunannya
diprakarsai oleh Gubernur DKI Ali Sadikin memiliki peran dan fungsi yang
sangat penting dalam perkembangan kesenian di Indonesia.2 Pembangunan
kompleks tersebut digunakan sebagai wadah untuk menuangkan kegelisahan
kehidupan melalui pertunjukan. Pada tahun tersebut merupakan tahun pemerintah
Orde Baru memiliki wewenang mutlak untuk mengatur kehidupan
masyarakatnya.
Perhatian kepada rakyat kecilpun ditunjukan Arifin C. Noer dalam drama
Mega,mega. Arifin menggambarkan sambil memberikan komentar atas apa yang
digambarkan sendiri; dan cara memberi komentar itulah yang lebih penting dari
1 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, metode kritik dan penerapannya,
(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 106. 2 Sapardi Djoko Damono, Drama Indonesia, (Ciputat: Editum, 2010), h. 70
2
yang digambarkannya.3 Melalui dialog dan adegan yang susul-menyusul dengan
tangkas tidak mudah dipahami apabila tidak diselenggarakan dengan
pementasan. Arifin tidak lagi menghadirkan drama hanya sebagai tontonan
melainkan gambaran peristiwa yang terjadi sesuai zamannnya.
Pada kenyataannya drama merupakan alat yang digunakan pengarang
untuk menggambarkan apa yang terjadi dalam masyarakat pada masa tertentu.
Termasuk drama karya Arifin yang sering dianggap sebagai kritik sosial dengan
melihat apa yang terjadi pada masyarakat golongan “cilik” di Indonesia. Hal
tersebut dapat terlihat dari sampul depan naskah drama Arifin Mega,mega yang
bertuliskan “salah satu naskah penting karya Arifin C.Noer”, sedangkan tahun
kemunculan drama Mega,mega yaitu tahun 1966 yang merupakan tahun
terjadinya pergolakan politik di Indonesia. Dari situlah dapat terlihat bahwa
drama Mega,mega merupakan cara yang digunakan Arifin untuk
menggambarkan situasi dan keadaan masyarakat pada tahun 1966 tersebut
terutama kaum urban golongan miskin yang tinggal di Yogyakarta. Pada masa itu
merupakan masa terjadinya transmigrasi penduduk, dengan tujuan dapat
memanfaatkan lahan-lahan kosong yang belum berpenghuni untuk mengurangi
kepadatan penduduk di wilayah Jawa. Selain itu, pada masa 60-an sedang terjadi
perkembangan industrialisasi secara besar-besaran menjadi salah satu faktor
pendorong terjadinya urbanisasi, sebab masyarakat menginginkan ekonomi yang
mereka miliki dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Perilaku yang terbentuk
dalam masyarakat urban juga dapat menjadi salah satu faktor pendorong keadaan
sosial mereka dalam bertahan hidup.
Teknik Arifin membuat Mega,mega digunakan sebagai usahanya
menggambarkan nasib manusia terutama menyangkut orang kecil. Seperti dalam
drama Mega,mega yang meggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat urban
yang tergolong miskin menopangkan nasibnya dengan bekerja serabutan, namun
3 Sapardi Djoko Damono, Op.Cit., h. 71.
3
hasil yang mereka dapatkan jauh dari cukup. Melalui drama Mega,mega Arifin
menumpahkan simpatinya terhadap kaum miskin serta menggambarkan adanya
ketimpangan sosial. Mega,mega menyodorkan kehidupan sekelompok
“gelandangan” yang tidak tau lagi apa yang harus dikerjakan untuk bertahan
hidup. Mega,mega menciptakan suasana dan pandangan yang tidak memisahkan
mimpi dari kenyataan. Masalah utama yang terdapat dalam Mega,mega adalah
masalah uang. Lewat Mega,mega Arifin juga menyuguhkan bagaimana tataran
masyarakat urban yang miskin mencoba bertahan hidup di tengah keterbatasan
ekonomi dan memiliki impian-impian yang ingin mereka wujudkan.
Menengok kembali terhadap dampak revolusi kemerdekaan bisa berbagai
macam bentuknya; pandangan negatif terhadap politisi, kemunafikan, dan
ketimpangan sosial. Dalam hal ini, Arfiin menuangkan gagasannya terhadap
kehidupan masyarakat urban miskin yang mengalami ketimpangan sosial
digambarkan melalui Mega,mega yang berlatar tempat di Yogyakarta. Melalui
drama ini digambarkan bagaimana kehidupan masyarakat urban tahun 1960-an
khususnya di Yogyakarta yang mengalami kemiskinan, yakni kemiskinan
finansial maupun mental. Yogyakarta-yang pasca kemerdekaan-pernah menjadi
Ibu kota Republik Indonesia dan simbol gelora nasionalisme yang sangat
penting, menumbuhkan asumsi masyarakat bahwa kota tersebut akan
menumbuhkan mobilitas ekonomi yang menjanjikan di masa depan. Awal masa
Orde Baru pada pertengahan tahun 1960-an banyak pekerja yang menumpukan
nasibnya di Yogyakarta dan mencari nafkah di sana. Para pekerja kebanyakan
berasal dari daerah dekat Yogya seperti Solo, mereka berangkat dan pulang
dengan mengendarai sepeda secara ramai-ramai saat berangkat maupun usai
kerja. Sehingga pada tahun itu Yogya dikenal dengan kota sepeda, hal tersebut
dikarenakan pada masa itu sepeda adalah alat transportasi utama bagi hampir
4
semua orang, mulai pegawai kantor, Guru, pedagang, Dosen, dan pelajar.4
Melaui aktivitas tersebut dapat terlihat bagaimana kota Yogya merupakan salah
satu kota yang sangat menggiurkan untuk masyarakat urban.
Fenomena tersebut merupakan salah satu bentuk manusia sebagai makluk
sosial, tujuan terjadinya fenomena di Yogyakarta saat itu juga merupakan salah
satu fungsi perlunnya sebuah dukungan sosial. Dukungan sosial juga berfungsi
untuk mencegah terjadinya konflik sosial. Bahkan semakin tinggi nilai sumber
yang diperebutkan dan kondisinya terbatas, maka konflik sosial yang terjadi akan
semakin intensif dan keras. Dalam situasi demikian, dampak konflik secara
psikologis sangat mencekam masyarakat dan secara sosial-ekonomi
memberatkan masa depan kehidupan mereka yang terlibat konflik. Seperti
Tukijan yang merasa perlu mengubah nasibnya sehingga merantau ke Sumatera.
Terwujudnya masyarakat urban dapat disebabkan subtansi berdemokrasi belum
memberikan keuntungan bagi rakyat dan kebijakan-kebijakan publik yang di
hasilkan oleh negara juga belum memihak pada kepentingan rakyat.5 Sehingga
beban kehidupan rakyat semakin berat khususnya untuk memenuhi kebutuhan
primernya.
Terjadinya urbanisasi ini juga dianggap menjanjikan bagi masyarakat untuk
dapat memiliki hidup yang lebih baik daripada tetap tinggal di daerah asalnya,
akan tetapi dalam kenyataannya tidak semua orang dapat berhasil di daerah
perantauan. Masyarakat yang tergolong berhasil menjadi manusia urban ialah
mereka yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya lebih dari cukup. Sedangkan
masyarakat miskin sangat jauh dari hidup berkecukupan. Dari perbedaan status
sosial itu pula yang nantinya dapat mempengaruhi perilaku masyarakat urban.
Selain itu, kemiskinan mental dan moral yang menggerogoti masyarakat urban
juga bisa berpengaruh terhadap perilaku yang terbentuk. Perilaku yang terbentuk
4 Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman, “Laporan penelitian Existing Documentation dalam
Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta periode 1950-1990 Kepingan Riwayat Teater
Kontemporer”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 104. 5 Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 135.
5
pada masyarakat urban dalam drama Mega,mega merupakan gambaran
bagaimana besarnya pengaruh kemiskinan terhadap perilaku yang terbentuk. Di
tengah ekonomi yang melilit para tokoh, mereka harus tetap mencari uang untuk
memenuhi kebutuhan hidup sedangkan pekerjaan serabutan yang mereka lakukan
belum cukup menutupi kebutuhan sehari-hari, di sisi lain kemiskinan mental dan
moral juga berpengaruh terhadap perilaku yang terbentuk sehingga muncullah
perilaku-perilaku negatif.
Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraian di atas, peneliti
tertarik untuk meneliti masyarakat dalam drama Mega,mega karya Arifin C.Noer
yang menggambarkan kondisi masyarakat urban golongan miskin dengan
mengambil judul “Perilaku Masyarakat Urban dalam Drama Mega,mega karya
Arifn C.Noer dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA.” Melalui
penelitian ini peneliti akan mencari tahu bagaimana kehidupan masyarakat urban
pada tahun 1966 ke atas yang nantinya dapat berpengaruh terhadap perilaku
mereka dalam menjalani hidup di kota perantauan. Drama ini juga dinilai sebagai
potret masyarakat Indonesia di masa tahun 1966, sehingga diharapkan dapat
memberikan pembelajaran berkenaan dengan masyarakat sosial, unsur intrinsik
dan unsur ekstrinsik dalam drama.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang menjadi pembahasan mencakup seluruh variabel
sastra yang memungkinkan untuk diteliti, meliputi:
1. Drama dapat dijadikan objek untuk mengetahui keadaan masyarakat pada
tahun 1966.
2. Keadaan sosial masyarakat urban pada tahun 1966 dalam drama Mega,mega
karya Arifin C.Noer.
3. Pengaruh kemiskinan terhadap perilaku masyarakat urban dalam drama
Mega,mega karya Arifin C.Noer.
4. Naskah drama Mega,mega karya Arifin C.Noer dapat dijadikan bahan pada
pembelajaran sastra di SMA.
6
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, agar ruang lingkup
pembatasan lebih terkonsentrasi maka penulis merasa perlu untuk membatasi
masalah dengan lebih difokuskan kepada “Pengaruh kemiskinan terhadap
perilaku yang terbentuk pada masyarakat urban dalam drama Mega,mega karya
Arifin C.Noer”.
D. Rumusan Masalah
Agar penelitian lebih terfokus dan terarah maka penulis merumuskan
masalah dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perilaku masyarakat urban dalam drama Mega,mega karya Arifin
C.Noer?
2. Bagaimana implikasi pembahasan perilaku masyarakat urban dalam drama
Mega,mega karya Arifn C.Noer pada pembelajaran sastra di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan perilaku masyarakat urban dalam drama Mega,mega Karya
Arifn C. Noer.
2. Mendeskripsikan implikasi pembahasan perilaku masyarakat urban dalam
drama Mega,mega karya Arifn C.Noer pada pembelajaran sastra di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat, baik manfaat dari segi
teori maupun praktik. Manfaat teori dari penelitin ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan memperkaya wawasan terkait sastra Indonesia,
khususnya pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran terkait peneltian lintas ilmu yakni Sosiologi
sastra serta memberi sumbangan dalam mengkaji drama Mega,mega karya Arifin
C.Noer.
7
Sedangkan manfaat secara praktik, diharapakan penelitian ini dapat
membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam drama Mega,mega
karya Arifin C.Noer terutama menguraikan cara pandang pengarang yang
terdapat dalam karya terkait prilaku masyarakat dengan menggunakan lintas
disiplin ilmu, yaitu sastra dan sosiologi.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yakni
penelitian akan menjelaskan secara deskriptif terhadap objek penelitian tanpa
menggunakan angka-angka. Penelitian kualitatif bertujuan membangun persepsi
alamiah sebuah objek, jadi peneliti mendekatkan diri kepada objek secara utuh.6
Penelitian kualitatif juga cenderung menekankan pada kontekstual, penelitian ini
mengandung keseksamaan dan kesungguhan, dilakukan secara terus menerus dan
berkepanjangan, yang kemudian membuat seseorang memiliki ciri-ciri perilaku
tertentu sebagai bagian dari sebuah kelompok akademisi:
1. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini yaitu naskah drama Mega,mega karya Arifin
C.Noer dengan mengkaji “Perilaku Masyarakat Urban dalam Drama
Mega,mega Karya Arifin C.Noer dan Implikasinya pada Pembelajaran
Sastra di SMA.”
2. Data dan Sumber Data Penelitian
a. Data
Data ialah bahan mentah yang perlu diolah sehingga menghasilkan
informasi atau keterangan.7 Data merupakan keterangan yang telah
dikumpulkan oleh peneliti guna mempermudah proses analisis. Data
penelitian ini berupa kutipan kata, kalimat serta dialog yang terdapat
dalam drama Mega,mega karya Arifin C.Noer.
6 Rachmat Djoko Pradopo, dkk, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya, 2002), h. 32. 7 Riduwan. Metode dan Teknik Manyusun Tesis. (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 106.
8
b. Sumber Data
Sumber data penelitian terbagi menjadi dua, yakni sumber data primer
dan sumber data sekunder.
1) Sumber data primer
Sumber data primer penelitian ini adalah naskah drama Mega,mega
karya Arifin C.Noer yang diterbitkan oleh Pustaka Firdausi
bekerjasama dengan yayasan ADIKARYA IKAPI dan THE FORD
FOUNDATION.
2) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder penelitian ini yaitu buku maupun artikel yang
berkaitan dengan penelitian dan karya-karya Arifin C.Noer serta
wawancara dengan Embi C.Noer mengenai naskah drama
Mega,mega.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk pengumpulan data
dari drama Mega,mega karya Arifin C.Noer yaitu:
a. Membaca secara cermat naskah drama Mega,mega karya Arifin C.Noer
b. Menandai bagian kalimat yang menggambarkan perilaku masyarakat
urban dalam drama Mega,mega karya Arifin C.Noer
c. Hasil dari poin b digunakan sebagai data untuk analisis perilaku
masyarakat urban dalam Mega,mega karya Arifin C.Noer
d. Hasil dari poin c digunakan sebagai data untuk mengimplementasikan
perilaku masyarakat urban dalam Mega,mega karya Arifin C.Noer pada
pemebelajaran sastra.
9
4. Teknik Analisis Data
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data adalah:
a. Menganalisis data yakni drama Mega,mega karya Arifin C.Noer
berdasarkan struktur naskah meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur,
latar cerita, dan gaya bahasa.
b. Analisis dalam penelitian ini menggunakan tinjauan ilmu sosiologi
sastra. Analisis ini dilakukan dengan membaca dan memahami buku
yang berkaitan dengan penelitian dan mengumpulkan berbagai teks dan
wawancara berkaitan dengan perilaku masyarakat urban kemudian
menganalisisnya sesuai rumusan yakni perilaku masyarakat urban dalam
Mega,mega karya Arifin C.Noer.
c. Mengimplikasikan drama Mega,mega karya Arifin C.Noer dalam
pembelajaran sastra di SMA dilakukan dengan cara menghubungkannya
dengan materi pembelajaran sastra di sekolah.
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Teori Perilaku
1. Paradigma Perilaku
Arti perilaku dalam KBBI (kamus besar bahasa indonesia) adalah
wujud yang mantap dari suatu rangkaian perilaku manusia atau segolongan
orang sehingga tampak dan dapat dideskripsi. Sedangkan perilaku sosial
adalah segala rangkaian berbagai unsur tertentu yang sudah mantap yang
terdapat dalam suatu gejala masyarakat.1 Sedangkan menurut Kusmiati secara
umum perilaku manusia pada hakikatnya adalah proses interaksi individu
dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati diri bahwa dia adalah
makhluk Hidup.
Paradigma ini memusatkan perhatian kepada tingkah laku individu
yang berlangsung dalam lingkungan yang menimbulkan akibat atau
perubahan terhadap tingkah laku berikutnya.2 Bagi paradigma perilaku sosial
ini tingkah laku manusia itulah yang penting. Karena tindakan yang terjadi
oleh perilaku seseorang diwujudkan melalui tingkah lakunya dalam
lingkungan.
Peran diwujudkan dalam perilaku oleh aktor. Berbeda dengan norma,
wujud perilaku ini adalah nyata, bukan sekedar harapan. Berbeda pula dari
norma, perilaku yang nyata ini bervariasi, berbeda-beda dari satu aktor ke
aktor yang lain.3 Lingkungannya terdiri atas berbagai macam-macam objek
sosial dan objek non sosial. Teori yang termasuk dalam paradigma sosial ini
1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 1198. 2 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 92. 3 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, ( Jakarta; Rajawali, 1984), h. 237.
11
adalah teori sosiologi perilaku (behavioral sosiologi), dan teori pertukaran
(exchange theory). Teori perilaku sosial menitikberatkan pada hubungan
antara tingkah laku aktor dengan tingkah laku lingkungannya.
Adapun asumsi-asumsi yang mendasari teori tingkah laku sosial antara
lain:
a. Manusia pada dasarnya tidak mencari keuntungan maksimum, tetapi
mereka senantiasa ingin mendapatkan keuntungan dari adanya interaksi
yang mereka lakukan dengan manusia lain.
b. Manusia tidak bertindak secara rasional sepenuhnya, tetapi dalam setiap
hubungan dengan manusia lain mereka senantiasa berpikir untung rugi.
c. Manusia tidak memiliki informasi yang mencakup semua hal sebagai dasar
untuk mengembangkan elternatif, tetapi mereka ini paling tidak memiliki
informasi meski terbatas yang bisa untuk mengembangkan alternatif guna
memperhitungkan untung rugi tersebut.
d. Manusia senantiasa berada pada serba keterbatasan, tetapi mereka ini tetap
berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan dalam transaksi dengan
manusia lain.
e. Meski manusia senantiasa berusaha mendapatkan keuntungan dari hasil
interaksi dengan manusia lain, tetapi mereka dibatasi oleh sumber-sumber
yang tersedia.
f. Manusia berusaha memperoleh hasil dalam ujud material, tetapi mereka
juga akan melibatkan dan menghasilkan sesuatu yang bersifat non-material,
misalnya emosi, perasaan suka dan sentimen.4
Adapun bentuk-bentuk perilaku sosial menurut para pakar dalam teori
paradigma perilaku sosial ini antara lain:
a. Proposisi keberhasilan
4 Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 66.
12
Dalam segala hal yang dilakukan oleh seseorang, semakin sering sesuatu
tindakan mendapatkan ganjaran(mendatangkan respon yang positif dari
orang lain), maka akan semakin sering pula tindakan dilakukan oleh orang
yang bersangkutan.
b. Proposisi stimulus
Jika suatu stimulus tertentu telah merupakan kondisi di mana tindakan
seseorang mendapatkan ganjaran, maka semakin serupa stimulus yang ada
dengan stimulus tersebut akan semakin besar kemungkinannya bagi orang
itu untuk mengulang tindakannya seperti yang ia lakukan pada waktu yang
lalu.
c. Proposisi nilai
Semakin bermanfaat hasil tindakan seseorang bagi dirinya maka akan
semakin besar kemungkinan tindakan tersebut diulangi. Proposisi
rasionalitas yang merupakan kombinasi tiga proposisi yang ada
menyatakan bahwa di dalam memilih suatu tindakan di antara alternatif
tindakan yang mungkin dilaksanakan, maka seorang akan memilih
tindakan yang paling menguntungkan, dilihat dari segi waktu, nilai hasil,
dan perkembangan berdasar berbagai kemungkinan pencapaian hasil.
d. Proposisi kejenuhan-kerugian
Semakin sering seseorang menerima ganjaran yang istimewa maka
ganjaran tersebut akan menjadi kurang bermakna.
e. Proposisi persetujuan-perlawanan
1) Jika seseorang tidak mendapat ganjaran seperti yang ia inginkan, atau
mendapat hukuman yang tidak diharapkan, ia akan menjadi marah dan
akan semakin besar kemungkinan bagi orang tersebut untuk
mengadakan perlawanan atau menentang, dan hasil dari tingkah laku
semacam ini akan menjadi lebih berharga dari dirinya.
2) Bila tindakan seseorang mendatangkan ganjaran seperti yang ia
harapkan bahkan berlebihan, atau tindakan tersebut tidak
13
mendatangkan hukuman seperti keinginannya, maka ia akan merasa
senang dan akan semakin besar kemungkinannya bagi orang tersebut
untuk menunjukan tingkah laku persetujuan terhadap tingkah laku
yang dilakukan, dan hasil tingkah laku semacam ini akan menjadi
semakin berharga dari dirinya.5
B. Hakikat Masyrakat
1. Pengertian Masyarakat
R. Linton berpendapat dalam Ahmadi, masyarakat adalah setiap
kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga
mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya
sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.6 Sedangkan menurut
Hassan Shadily dalam Ahmadi, ia menyebutkan bahwa masyarakat adalah
golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan atau karena
sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu
sama lain.7
Dipandang dari cara terbentuknya, masyarakat dapat dibagi dalam:
a. Masyarakat paksaan misalnya, negara dan masyarakat tawanan
b. Masyarakat merdeka, yang terbagi pula dalam:
1) Masyarakat nature, yaitu masyarakat yang terjadi dengan sendirinya,
seperti gerombolan(horde), suku(stam), yang bertalian karena
hubungan darah atau keturunan. Dan biasanya masih sederhana sekali
kebudayaannya.
2) Masyarakat kultur, yaitu masyarakat yang terjadi karena kepentingan
keduniaan atau kepercayaan, misalnya: koprasi, kongsi perekonomian,
gereja.8
5 Ibid., h. 67.
6 Abu Ahmadi, Pengantar Sosiologi, (Solo: Ramadhani), h. 35.
7 Ibid., h. 36
8 Ibid.,
14
Faktor-faktor yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat
karena adanya dorongan atau hasrat yang merupakan unsur kerohanian, unsur
kejiwaan atau faktor yang mempengaruhi hidup manusia dalam pergaulan
dengan manusia lainnya dalam hidup bermasyarakat. Hasrat yang
mempengaruhi tingkah laku dan perbuatan tersebut antara lain:
a. Hasrat sosial, yaitu hasrat yang menghubungkan individu lainnya
dengan kelompok.
b. Hasrat untuk mempertahankan diri, yaitu hasrat untuk mempertahankan
diri dari pengaruh luar yang mungkin datang kepadanya. Hasrat ini
merupakan hasrat organik yang timbul bila ada bahaya dari luar.
c. Hasrat berjuang, hasrat ini dapat terlihat pada saat ada persaingan,
keinginan membantah pendapat orang lain, saling kejar mengejar guna
memperoleh kemenangan.
d. Hasrat harga diri, merupakan hasrat pada seseorang untuk menganggap
atau bertindak atas dirinya sendiri lebih tinggi daripada orang lain.
Hasrat ini terlihat pada manusia saat situasi seseorang ingin mendapat
penghargaan dari orang lain, pujian atau kehormatan dari masyarakat.
hasrat inilah yang menimbulkan rasa congkak dan sombong pada
manusia.
e. Hasrat meniru, yaitu hasrat untuk menyatakan secara diam-diam atau
terang-terangan sebagian dari salah satu gejala atau tindakan. Hasrat
meniru ini mempunyai dua arti penting yaitu:
1) Dapat menghemat tenaga atau waktu, misalnya bagaimana pakaian
yang pantas kita pakai, bentuk rumah masa kini, memecahkan
masalah yang sama seperti masalah yang pernah dialami
sebelumnya.
15
2) Dapat mempertahankan bentuk-bentuk kebudayaan atau adat
istiadat dari satu generasi kepada generasi berikutnya secara
perlahan sehingga tidak terasa.
f. Hasrat bergaul, yaitu hasrat untuk bergabung dengan orang-orang
tertentu, kelompok tertentu atau dengan masa tertentu.
g. Hasrat untuk mendapatkan kebebasan, hasrat ini akan terlihat pada saat
tindakan-tindakan manusia bila mendapat kekangan atau pembatasan.
Misalnya, pelanggaran terhadap peraturan hidup, terhadap norma
agama, dan norma masyarakat.
h. Hasrat untuk memberitahukan, yaitu hasrat untuk menyampaikan
perasaan-perasaan kepada orang lain; biasanya disampaikan dengan
suara atau isyarat dan lambang-lambang tertentu. Misalnya, dengan
bintang jasa, pakaian tanda berkabung, dan cincin pertunangan.
i. Hasrat tolong-menolong dan simpasi. Simpasi adalah kesanggupan
untuk dengan langsung turut merasakan barang sesuatu dengan orang
lain. Simpasi merupakan pembawaan dari lahir, bersifat murni, karena
perasaan yang tidak sadar yang berkuasa. Misalnya, orang yang hendak
menolong seseorang. 9
2. Manusia Sebagai Makhluk Sosial dan Makhluk Individu
Manusia sebagai makhluk sosial itu ada yang menitikberatkan pada
pengaruh masyarakat yang berkuasa kepada individu. Yakni memiliki unsur
keharusan biologis, yang terdiri dari:
a. Dorongan untuk makan
b. Dorongan untuk mempertahankan diri
c. Dorongan untuk melangsungkan hubungan beda jenis.10
9 Ibid., h. 41-45
10 Rusmin Tumanggor,dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), h. 55.
16
Selain faktor biologis banyak faktor yang mendorong manusia secara
individual membutuhkan dirinya sebagai makhluk sosial sehingga terbentuk
interaksi sosial manusia satu dengan manusia lainnya. Secara garis besar
faktor-faktor personal yang mempengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga
hal, yakni:
a. Tekanan emosional. Kondisi psikologis seseorang sangat mempengaruhi
bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain, apakah sedang bahagia,
senang atau sebaliknya sedih, berduka, dan seterusnya.
b. Harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi
yang direndahkan, maka ia akan memiliki hasrat yang tinggi untuk
berhubungan dengan orang lain. Karena ketika seseorang merasa
direndahkan dengan secara spontan ia membutuhkan kasih sayang dari lain
pihak atau dukungan moral untuk membentuk kondisi psikologis kembali
seperti semula.
c. Isolasi sosial. Orang yang merasa atau dengan sengaja terisolasi oleh
komunitasnya atau pihak-pihak tertentu, maka ia akan berupaya melakukan
interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar terbentuk
sebuah interaksi yang harmonis.11
Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan
etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat,
yaitu ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa, dan teori.
a. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan objektif identitas benda-
benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi
pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam
proses penilaian atas alam sekitar.
11
Ibid., h.57.
17
b. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan
hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa
maju disebut aspek progresif dari kebudayaan.
c. Isolasi sosial. Orang yang merasa atau sengaja terisolasi oleh
komunitasnya atau pihak-pihak tertentu, maka ia akan berupaya
melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar
terbentuk sebuah interaksi yang harmonis.12
C. Urbanisasi
Urbanisasi adalah suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau
dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat
perkotaan.13
Urbanisasi juga dapat dikatakan proses perpindahan keramaian dari
desa ke kota. Proses urbanisasi terjadi pada negara-negara yang sudah maju
industrinya maupun yang secara relatif belum memiliki industri. Urbaniasai
memiliki akibat negaif terutama di negara agraris seperti Indonesia, hal ini
disebabkan karena pada umumnya produksi pertanian sangat rendah apabila
dibandingkan dengan jumlah manusia yang dipergunakan dalam produksi tersebut.
1) Penyebab terjadinya Urbanisasi
Sehubungan dengan proses tersebut, maka ada beberapa sebab yang
melibatkan suatu daerah tempat tinggal mempunyai penduduk yang banyak
dikarenakan daerah tersebut memiliki daya tarik. Sebab tersebut antara lain
adalah:
Daerah yang termasuk menjadi pusat pemerintahan atau menjadi ibu kota
Tempat tinggal tersebut letaknya sangat strategis sekali untuk usaha-usaha
perdagangan/perniagaan, seperti misalnya sebuah kota pelabuhan atau
12
Ibid., h. 57. 13
Hartomo dan Arnicun, Ilmu Sosiologi Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). h, 248.
18
sebuah kota yang letaknya sangat dekat dengan sumber-sumber bahan
mentah
Timbulnya industri di daerah itu, yang memproduksikan barang-barang
maupun jasa-jasa.14
2) Akibat Urbanisasi
Proses urbanisasi akan menimbulkan akibat lebih jauh lagi, antara lain:
Terbentuknya suburb, tempat-tempat pemukiman baru di pinggiran kota,
yang terjadi akibat perluasan kota karena pusat kota tidak mampu lagi
menampung arus perpindahan penduduk desa yang begitu banyak.
Makin meningkatnya tuna karya, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai
pekerjaan tetap. Tuna karya ini terdiri dari orang desa yang tidak segera
memperoleh pekerjaan di kota, ataupun orang kota sendiri tidak berhasil
dalam persaingan memperebutkan kesempatan kerja yang sangat terbatas.
Persoalan tuna karya ini akan menimbulakn berbagai kerawanan sosial,
misalnya saja makin tajamnya perbedaan antara golongan kaya-miskin (yang
tidak begitu terasakan di desa) meningkatnya pelacuran dan kriminalitas.
Kriminalitas semua timbul karena dorongan rasa lapar, kemudian berubah
menjadi pekerjaan tetap karena dianggap sebagai cara yang mudah untuk
menumpuk kekayaan dalam waktu yang singkat.
Pertambahan penduduk kota yang pesat menimbulkan masalah perumahan.
Orang terpaksa tinggal dalam rumah-rumah yang sempit dan tidak
memenuhi persyaratan kesehatan. Hal ini akan menimbulkan masalah yang
lebih jauh lagi, yaitu kerusakan lingkungan hidup karena kota dipaksa untuk
menampung penduduk yang melebihi daya tampungnya.
Lingkungan hidup yang tidak sehat, apalagi ditambah dengan adanya
berbagai kerawanan sosial memberi pengaruh yang negatif terhadap
pendidikan generasi muda.15
14
Ibid.,
19
D. Teori Kemiskinan
Pengertian dasar mengenai kemiskinan adalah tidak tercukupinya
kebutuhan mendasar seperti pangan, sandang, dan papan. Suparlan dalam
Tumanggor menyatakan kemiskinan adalah sebagai suatu standar tingkat hidup
yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku
dalam masyarakat bersangkutan.16
Standar kehidupan yang rendah ini secara
langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan
moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Klasifikasi atau penggolongan seseorang atau masyarakat itu dikatakan
miskin, ditetapkan dengan manggunakan tolok ukur yang umumnya dipakai adalah
sebagai berikut:
a. Tingkat pendapatan
b. Kebutuhan relatif
Di Indonesia, tingkat pendapatan digunakan untuk waktu kerja sebulan.
Dengan adanya tolok ukur ini, maka jumlah dari siapa yang tergolong sebagai
orang miskin dapat diketahui. Tolok ukur yang dibuat dan digunakan untuk
menentukan besarnya jumlah orang miskin ialah batasan tingkat pendapatan per
waktu kerja (Rp30.000 perbulan atau lebih rendah) yang dibuat pada tahun
1976/1977; di samping itu juga tolok ukur yang dibuat berdasarkan atas batas
minimal jumlah yang dikonsumsi yang diambil bersamaannya dalam beras, di
mana dinyatakan batas minimal kemiskinan adalah mereka yang makan di warung
kurang dari 320kg beras di desa dan 420kg di kota pertahunnya.
Tolok ukur yang lain ialah yang dinamakan tolok ukur kebutuhan relatif
per keluarga, yang batasan-batasannya dibuat berdasarkan atas kebutuhan minimal
yang harus dipenuhi guna sebuah keluarga dapat melangsungkan kehidupannya
15
Abu Ahmadi, Op.cit., h. 248. 16
Ibid., h. 309.
20
secara sederhana tapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak.
Tercukupinya tolok ukur ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang berkenaan dengan
biaya sewa rumah dan mengisi rumah dengan peralatan rumah tangga yang
sederhana tapi memadai, biaya untuk memelihara kesehatan dan untuk
pengobatan, biaya untuk menyekolahkan anak-anak, biaya untuk sandang dan
pangan sederhana tapi mencukupi dan memadai.
Kemiskinan menurut pendapat umum dapat dikategorikan dalam tiga
unsur, yaitu:
a. Kemiskinan yang disebabkan aspek badaniah atau mental seseorang.
b. Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam.
c. Kemiskinan buatan.
Kemiskinan disebabkan aspek badaniah biasanya orang tersebut tidak bisa
berbuat maksimal sebagaimana manusia lainnya yang sehat jasmaniah. Karena
cacat badaniah misalnya, dia lantas berbuat atau bekerja secara tidak wajar,
seperti: menjadi pengemis atau meminta-minta. Menurut ukuran produktifitas
kerja, maka tidak bisa menghasilkan sesuatu yang maksimal malah lebih bersifat
konsumtif, sedangkan yang menyangkut aspek mental, biasanya mereka disifati
oleh sifat malas bekerja secara wajar, sebagaimana manusia lainnya.
Kemiskinan yang disebabkan karena bencana, apabila tidak segera diatasi
sama saja halnya dengan menimbulkan beban bagi masyarakat umum lainnya.
Mereka yang kena bencana alam, umumnya tidak memiliki tempat tinggal bahkan
sumber-sumber daya alam yang mereka miliki sebelumnya habis oleh pengikisan
bencana alam, biasanya pihak pemerintah mengambil atau menempuh dua cara,
pertama sebagai pertolongan sementara diberikan bantuan secukupnya dan
tindakan berikutnya mentransmigrasikan mereka ke tempat-tempat lain yang lebih
aman dan memungkinkan mereka bisa hidup layak.
Kemiskinan buatan disebut juga kemiskinan struktural, ialah kemiskinan
yang ditimbulkan oleh dan dari struktur-struktur ekonomi, ekonomi dan kultur
21
serta politik. Kemiskinan struktur ini selain ditimbulkan oleh struktur penenangan
atau nrimo memandang kemiskinan sebagai nasib, malahan sebagai takdir
Tuhan.17
Kemiskinan juga di antaranya dapat disebabkan oleh struktur ekonomi,
yakni realisasi hubungan antara suatu objek dan objek, dan antara subyek-subyek
komponen-komponen yang merupakan bagian dan suatu sistem.18
E. Hakikat Drama
1. Pengertian Drama
Drama atau sandiwara adalah seni yang mengungkapkan pikiran atau
perasaan orang dengan mempergunakan laku jasmani, dan ucapan kata-kata.19
Pendapat mengenai pengertian drama di atas sejalan dengan pendapat
Sidjiman dalam Siswanto yang menuliskan drama adalah karya sastra yang
bertujuan menggambarkan kehiduapan dengan mengemukakan tikaian dan
emosi lewat lakuan dan dialog.20
Melalui dialog itulah yang membedakan
antara drama dengan karya sastra lainnya, sebab pada karya sastra lain seperti
novel dan cerpen bentuk yang digunakan adalah menggunakan narasi.
Kata drama berasal dari bahasa Yunani dram yang berarti gerak.
Sedangkan dari segi etimologisnya, drama mengutamakan perbuatan, gerak,
yang merupakan inti hakikat setiap karangan yang bersifat drama.21
Jadi,
drama berarti perbuatan atau tindakan. Sedangkan menurut Moulton dalam
Karmini drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak.22
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia drama adalah komposisi syair
atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak
melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan; cerita atau kisah,
terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang khusus disusun untuk
pertunjukan teater. Jika dalam novel, watak maupun konflik dipaparkan
17
Ibid., h. 312. 18
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 313. 19
Rendra, Seni Drama untuk Remaja, (Jakarta: Burungmerak Press) h. 73 20
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008) h. 163 21
NI Nyoman Karmini, Op.cit., h. 142. 22
Ibid.,
22
melalui narasi yang dibuat oleh pengarang, maka dalam drama-watak maupun
konflik dijelaskan melalui dialog-dialog para tokoh.
Meskipun berbentuk dialog, dilihat dari kemungkinan untuk
dipentaskan ada naskah yang dapat dan akan menarik perhatian orang jika
dipentaskan yang disebut sebagai drama pentas atau drama saja, dan banyak
pula yang tidak memberikan kemungkinan untuk dipentaskan dan disebut
sebagai drama baca.23
Drama dikelompokan kedalam karya sastra karena
media yang digunakan untuk menyampaikan gagasannya atau pikiran
pengarangnya adalah bahasa. Sehingga dengan mudah dapat dijumpai adanya
karya drama yang sarat dengan dialek, bahasa sehari-hari, atau bahasa formal.
Dipakainya ragam bahasa tersebut tentu berdasarkan sejumlah alasan yang
secara sosiologis dapat mejelaskan banyak hal.24
Misalnya pengarang ingin
menunjukan latar tempat yang digunakan dalam drama adalah di daerah Jawa
maka bahasa yang ia gunakan pada dialog tokohnya tentunya menggunakan
bahasa Jawa.
F. Unsur Intrinsik Drama
Unsur yang membangun seni drama sebagai pertunjukan berbeda dengan
teks drama.25
Unsur drama sebagai seni pertunjukan adalah plot, karakterisasi,
dialog, tata artistik, dan gerak. Sedangkan unsur-unsur teks drama hampir sama
dengan prosa rekaan yakni:
a. Tema
Tema adalah gagasan sentral yang menjadi dasar tolak penyusunan dan
yang sekaligus menjadi sasaran atau tujuan karangan itu.26
Dalam tema, boleh
dikatakan belum terlihat kecenderungan pengarang untuk memihak. Oleh
23
Melani Budianta,dkk, Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi, (Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 112. 24
Ibid., 25
Wahyudi Siswanto, Op.Cit., h. 163. 26
NI Nyoman Karmini, Op.cit., h. 45.
23
karena itu, masalah apa saja dapat dijadikan tema dalam cerita atau karya
sastra.27
Kategori tema berdasarkan tingkat keutamaannya, yaitu ada tema utama
dan tema tambahan.28
Sebuah karya (drama) memungkinkan memiliki tema
lebih dari satu atau lebih dari satu interpretasi. Menentukan tema pokok
merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai, di antara
sejumlah makna yang ditafsirkan ada dalam karya sastra bersangkutan.
Makna cerita pada bagian tertentu dapat dikatakan sebagai makna bagian
atau makna tambahan. Makna-makna tambahan inilah yang disebut sebagai
tema tambahan atau tema minor. Tema tambahan ini merupakan tema yang
medukung dan mempertegas eksistensi makna utama sebuah cerita atau tema
utama merangkum berbagai makna tambahan dalam sebuah cerita.29
Seperti
dalam drama Mega,mega karya Arifin memiliki tema utama dan tambahan,
yang akan dijelaskan lebih rinci dalam bab analisis.
b. Tokoh dan penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan
sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh disebut penokohan.30
Menurut definisinya, tokoh adalah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai
peristiwa dalam cerita.31
Berdasarkan peran dan pentingnya seorang tokoh dalam cerita fiksi secara
keseluruhan, dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan.32
Tokoh
utama adalah tokoh yang diutamakan dalam penceritaannya. Ia merupakan
tokoh yang paling banyak diceritakan. Baik sebagai pelaku kejadian maupun
27
Wahyudi Soswanto, Op.Cit., h. 169. 28
NI Nyoman Karmini, Op.Cit., h. 51. 29
Ibid 30
Wahyudi Sisiwanto, Op.cit., h. 143. 31
Melani Budianta,dkk, Op.cit., h. 83. 32
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2013) h. 258
24
yang dikenai kejadian, sedangkan tokoh yang dianggap tidak mendominasi
namun masih memiliki andil yang besar dalam jalannya cerita disebut tokoh
tambahan. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi karena kadar keutamaan tokoh-
tokoh itu bertingkat: tokoh utama (yang) utama, tokoh utama tambahan, tokoh
tambahan (pariferal) utama, dan tokoh tambahan (yang memang) tambahan.33
c. Alur(Plot)
Abrams dalam Melani Budianta mengatakan alur ialah rangkaian cerita
yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita
yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. 34
Alur adalah sambung
sinambung peristiwa berdasarkan sebab akibat. Alur tidak hanya
mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah menjelaskan
mengapa hal itu terjadi sedangkan menurut Karmini dalam bukunya
mengatakan plot merupakan cerminan, bahkan berupa perjalanan tingkah laku
para tokoh dalam bertindak, berfikir, berasa, dalam bersikap menghadapi
berbagai masalah kehidupan.35
Jadi, dapat dikatakan bahwa alur merupakan
serangkaian peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita.
Tasrif dalam Nurgiantoro mengklasifikasikan tahapan plot menjadi lima
bagian. Kelima tahapan itu antara lain:
a. Tahap Situation: tahap penyituasian, yaitu pengarang mulai melukiskan
suatu keadaan, berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh
cerita. Tahap ini merupakan tahap pemberian informasi awal, dan lainnya
terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita.
b. Tahap Generation cicumstances: tahap pemunculan konflik. Masalah-
masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai
dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan
33
Ibid., h.260 34
Melani Budianta. Op. Cit., h.159. 35
NI Nyoman Karmini, Op.cit., h. 53.
25
konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c. Rising action: tahap peningkatan konflik. Konflik yang telah dimunculkan
pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar
intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita
semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi,
internal, eksternal, atau keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-
benturan antar kepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks
semakin tidak dapat dihindari.
d. Climax: tahap klimaks. Konflik dan pertentangan yang terjadi, yang
dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik
intensitas puncak. Klimaks cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama
yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik utama. Sebuah
fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.
e. Tahap Denoument: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai
klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Adapun jika dijadikan bagan
akan terlihat seperti gambar di bawah ini.36
Klimaks
Inciting Forces Denouement,
Pelarian
d. Latar cerita
Abrams dalam Nurgiantoro menyebutkan bahwa latar atau setting atau
yang disebut juga dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat,
36
Burhan Nurgiantoro, Op.Cit., h. 209-210
26
hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan.37
Latar memberikan pijakan secara jelas. Hal ini
penting untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan
suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.38
Unsur
latar dalam Nurgiantoro dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu,
dan sosial.
Latar tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin
berupa nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama
jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah
mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan
keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Latar sosial-budaya
Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi.39
e. Gaya bahasa
Bahasa adalah bahan mentah sastrawan.40
Persoalan gaya bahasa sastra
bukanlah tentang efisiensi dan efektifitas penggunaan bahasa, melainkan
tentang cara penggunaan bahasa untuk menghasilkan efek tertentu. Gaya
bahasa sastra tidak saja dalam arti keindahan, melainkan juga dalam arti
kemantapan pengungkapan. Efektivitas dan efisiensi berkaitan dengan tata
37 Ibid., 302
38 Ibid., h. 303
39 Ibid., h. 314-322
40 Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 217
27
bahasa. Dalam analisis sastra, unsur fonetik bahasa tidak dapat dipisahkan dari
makna.41
Sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, mendialogkan
sesuatu, dan sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana
bahasa. 42
G. Hakikat Sosiologi Sastra
1. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.43
Dari segi
etimologi, sosiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata „sosio‟ (Socius
berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) yang bermakna masyarakat dan
„logi‟ atau logos yang artinya ilmu.44
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa
sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial.45
Jadi, sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang kehidupan masyarakat.
Sastra dari akar kata „sas’ (Sanskerta) berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran „tra’ berarti alat, sarana. Sastra
dapat dikatakan kumpulan alat untuk mengajar atau buku petunjuk. Maka
kesusastraan artinya kumpulan hasil karya yang baik.
Sesungguhnya antara sosiologi dan sastra merupakan dua ilmu yang
memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat.46
Hakikat
sosiologi adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra adalah
objektivitas dan kreativitas sesuai dengan pandangan masing-masing
pengarang. Jadi, dasar pemikiran yang mengitari konsep sosiologi sastra
adalah keterkaitan sastra dengan masyarakat.
41
Ibid., h.220 42
NI Nyoman Karmini, Op.cit., h. 72. 43
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) h. 1. 44
Ekarini Saraswati, Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal, (Malang: UMM Press) h. 2. 45
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979) h. 7 46
Nyoman Kutha Ratna, Op.cit., h. 2.
28
Munculnya sebuah karya sastra merupakan gambaran dari masyarakat
itu sendiri, sebab sastra merupakan refleksi hubungan seseorang dengan orang
lain atau dengan masyarakat.47
Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu
yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan
situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.48
Untuk meneliti sebuah karya sastra dalam penelitian ini khususnya
drama sangat berkaitan dengan masyarakat, sehingga untuk mendeskripsikan
sosial yang terjadi dalam masyarakat dibutuhkan ilmu sosial. Lagi pula sastra
“menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia
subjektif manusia. 49
Dengan demikian, penelitian sosiologi sastra, baik dalam
bentuk penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan cara
mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra
dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi di
sekitarnya.50
2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping
itu, karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak
terlepas dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Maka semua
itu tercermin dalam karya sastranya. Oleh karena itu, seluruh situasi yang
berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan dalam konkretisasi
atau pemaknaan karya sastra.
Hill dalam Pradopo menyebutkan karya sastra adalah sebuah struktur
yang kompleks, oleh karena itu untuk memahaminya haruslah karya sastra
47
Rachmat Djoko Pradopo, dkk, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya, 2002), h. 151. 48
Ibid., 49
Wellek dan Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 109. 50
Nyoman Kutha Ratna, Op.cit., h. 25.
29
dianalisis.51
Sedangkan Goldman dalam Faruk mengemukakan dua pendapat
mengenai karya sastra pada umumnya yaitu, (1) bahwa karya sastra
merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dan (2) bahwa dalam
usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan
semesta tokoh, objektif, dan relasi secara imajiner.52
Konsep tersebut menandai bahwa sosiologi sastra akan meneliti sastra
sebagai (1) ungkapan historis, ekspresi suatu waktu, sebagai sebuah cermin,
(2) karya sastra memuat aspek sosial budaya, yang memiliki fungsi siosial
berharga. Aspek fungsi sosial sastra berkaitan dengan cara manusia hidup
bermasyarakat.
H. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra dapat diterapkan disemua jenjang sekolah mulai dari
SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi yang tentunya harus disesuaikan dengan
kompetensi yang hendak dicapai. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang
mencoba mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses
kreatif sastra.53
Dalam pembelajaran sastra peserta didik dapat diajak untuk
terlibat langsung dalam proses pembelajaran seperti, membaca, memahami,
menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung. Sastra sesungguhnya
dapat memperhalus perasaan dan jiwa para siswa. Lewat sastra, mereka akan
mengenal hidup, toleran, dan anti kekerasan.54
“Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan
mengapresiasi sastra berkaitan erat dengan latihan mempertajam
perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap
masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Siswa diharapkan
mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan
51
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,
(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 108. 52
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 71. 53
Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 168. 54
Taufik Ismail, “Pelajaran Bahasa Indonesia Harus Tekankan Apresiasi Sastra”,
(Kompas,2001) h. 9
30
karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa”.55
Ketepatan dalam pengajaran sastra tersebut dapat membantu pendidikan
secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan
cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.56
I. Penelitian yang Relevan
Penelitian relevan digunakan untuk menghindari adanya praktik
plagiarisme. Untuk menghindari hal tersebut penulis akan paparkan beberapa
penelitian sebelumnya untuk dijadikan perbandingan dan penelitian relevan.
Penelitian relevan tersebut antara lain:
Skripsi berjudul “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama
Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C.Noer dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, ini karya Yunita Mahasiswa Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia pada tahun 2014. Penelitian tersebut mendeskripsikan pandangan hidup
seorang tokoh dalam drama Umang-umang atawa Orkes Madun II Karya Arifin
C.Noer. Hasil penelitian tersebut meliputi: pertama, ia menganggap bahwa di
dunia ini tidak lagi diperlukan cinta kasih, semua hal itu malah akan membuat
lemah dan tidak bergairah dalam hidup. Kedua, pandangannya tentang penderitaan
berubah, menurutnya, penderitaan adalah ketika ia menikah dan memiliki
keluarga. Ketiga, pandangan Waska tentang tanggung jawab yang bagianya itu
kekokohan hidup, tanggung jawab yang ia miliki adalah tanggung jawab terhadap
waktu jika ingin menjadi orang besar. Keempat, adalah pandangan hidupnya
tentang harapan. Harapan baginya adalah omong kosong, berharap sama saja
55
Martono, “Pembelajaran Sastra Sebagai Media Pendidikan Multikultural”; Sastra dan Budaya
Urban dalam Kajian Lintas Media; Prosiding Konferensi Internasional Kesusastraan XXI Himpunan
Sarjana Kesusatraan Indonesia(Surabaya: Unair, 2010), h. 458. 56
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, ( Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.
31
menjatuhkan diri ke dalam lubang ketakutan.57
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh Yunita dan dibandingkan dengan penelitian yang penulis lakukan
memiliki perbedaan dari segi objek yang dikaji.
Selanjutnya penelitian dari skripsi berjudul “Nilai Akhlak Karimah dalam
Naskah Drama Telah Pergi Ia Telah Kembali Ia Karya Arifin C.Noer dan
Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA”, karya Nandya Ratna
Prihatiningsih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2013. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi nilai akhlak
karimah yang ada dalam naskah drama Telah Pergi Ia Telah Kembali Ia karya
Arifin C. Noer yang diharapkan digunakan sebagai bahan pembelajaran di sekolah
nantinya. Hasil dari penelitian tersebut meliputi: 1) akhlak terhadap Allah,
meliputi: cinta dan rida, tawakal, dan bertaubat. 2) akhlak terhadap Rasulullah
Saw, meliputi: mengucapkan salawat dan salam, mencintai dan memuliakan rasul,
dan mengikuti dan mentaati rasul. 3) akhlak terhadap manusia, meliputi: jujur,
tawaduk, sabar, penolong, berani, sederhana, dermawan, dan istikamah. 4) akhlak
bernegara, meliputi: musyawarah, adil, dan hubungan pemimpin dan yang
dipimpin.58
Penelitian ini juga memiliki berbedaan dari penelitian yang penulis
lakukan yakni, memiliki objek yang berbeda dalam analis.
Penelitian ketiga yang dijadikan sebagai penelitian relevan berjudul “Watak
dan Perilaku Tokoh Jumena Martawangsa dalam Naskah Drama Sumur Tanpa
Dasar Karya Arifin C.Noer” karya Muhammad Imam Turmudzi. Tujuan
penelitian ini untuk mendeskrripsikan watak dan perilaku tokoh Jumena yang
menjadi pematik konflik, faktor yang mempengaruhi perilaku tokoh Jumena fungsi
tokoh sebagai pematik konflik. Hasil penelitian menunjukan berbagai macam
57
Yunita, Skripsi berjudul; “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-
umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C.Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di
SMA, 2014, h. i. 58
Nandya Ratna Prihatiningsih, skripsi berjudul “Nilai Akhlak Karimah dalam Naskah Drama
Telah Pergi Ia Telah Kembali Ia Karya Arifin C.Noer dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di
SMA”, 2013, h. i.
32
watak dan perilaku tokoh Jumena yang menjadi pematik konflik, faktor yang
mempengaruhi perilaku tokoh Jumena, dan fungsi Jumena sebagai pematik konflik
dalam naskah drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C.Noer.59
Meskipun
memiliki kesamaan dalam objek, akan tetapi sumber data yang digunakan berbeda.
Berdasarkan beberapa penelitian relevan tersebut dapat diketahui adanya
perbedaan dan kesamaan dari hasil analisis yang telah dilakukan dari masing-
masing penulis. Perbedaan terletak pada masing-masing objek yang dianalisis oleh
para penulis dan sumber data yang digunakan. Sedangkan persamaannya yaitu
para penulis menganalisis karya sastra dari pengarang yang sama yakni drama
karya Arifin C.Noer.
59
Muhammad Imam Turmudzi, Jurnal Sastra Indonesia vol. 2 no. 1 “Watak dan perilaku tokoh
Jumena Martawangsa dalam Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar Karya Arifin C.Noer”
33
BAB III
PROFIL ARIFIN C. NOER
A. Biografi Arifin C. Noer
Arifin memiliki nama lengkap Arifin Chairin Noer, lahir di Cirebon Jawa
Barat 10 Maret 1941.1 Ia meninggal di Jakarta, pada 28 Mei 1995 diusia yang ke
54 tahun. Ayahnya merupakan seseorang yang berprofesi sebagai tukang sate dan
gulai, meskipun terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, akan tetapi ia
memiliki semangat yang tinggi untuk menimba ilmu.
Pendidikan pertama yang ditempuhnya di sekolah SD Taman Siswa,
Cirebon, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Muhammadiyah, Cirebon.
Tak lama setelah lulus dari SMP ia melanjutkan ke sekolah tingkat atas di SMA
Negeri Cirebon, meskipun tidak diselesaikan. Lalu mencoba melanjutkan
kembali pendidikannya di Sekolah Jurnalistik, Solo. Setelah lulus, pada tahun
1967 masuk ke perguruan tinggi dan mengambil pendidikan di Fakultas Sosial
Politik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta. Serta International Writing
Program, Universitas Iowa, AS pada tahun 1972.2
Sejak SLP Arifin sudah giat bermain sandiwara, karyanya yang pertama
kali berjudul Dunia Yang Retak, ia menulis sekaligus menyutradarai pementasan
tersebut.3 Saat masih sekolah di Solo, ia bergabung dengan Himpunan Peminat
Sastra Surakarta(HPSS) sambil mencanangkan hari puisi.4 Pada tahun 1960-an
Arifin menikah dengan Nurul Aini dan tinggal di Yogyakarta. Semenjak pindah
ke Yogyakarta pada tahun 1960-an ini kreativitasnya dibidang penulisan puisi
1 Hardo S, “Arifin C.Noer, Sineas Lengkap”, Jakarta: Suara Karya Minggu, no. 1073, Minggu
ketiga Agustus 1992, h.3 2 Puji Sentosa.“Biografi Arifin C.Noer”, http://pujies pujies.blogspot.com/2010/01/arifin-c-
noer.html. Diunduh Senin, 27-1-2014 3 Hardo S, Op.Cit.,
4 Ibid.,
34
dan drama semakin berkembang.5 Sebelum akhirnya Arifin menekuni dunia
Tetaer, pertama kali ia bergabung dengan sebuah teater bernama "Teater
Muslim" pimpinan Mohammad Diponegoro kemudian bergabung dengan
"Bengkel Teater" pimpinan W.S. Rendra. Pada tahun 1968 dengan modal
kreativitasnya yang tinggi dalam dunia teater kemudian pindah ke Jakarta dan
mendirikan sebuah teater yang diberi nama “Teater Kecil”, teater ini pun
dijadikan sebagai wadah untuk mengekspresikan kreatifitas seni khususnya teater
di Indonesia.6 Melalui teater kecil ini Arifin memiliki harapan agar kesenian di
Indonesia dapat dikembangkan agar memiliki kualitas yang lebih baik.
Semenjak memiliki “Teter Kecil” ia mulai memikirkan kebutuhan finansial
untuk dapat menujang proses kreatifitas teaternya dalam berkesenian agar
kehidupan berteater dapat berjalan terus, kemudian ia mulai bekerja sebagai
manajer pengelola Balai Bimbingan dan Latihan Kerja di Kawasan Industri
Pulogadung, Jakarta Timur. Namun karena merasa kreativitas seninya tidak
terasah saat bekerja sebagai Manager, ia pun memilih untuk berhenti dan
menjabat menjadi Ketua Dewan Kesenia Jakarta. Ia juga pernah diundang ke
sebuah akademi teater di Amerika Serikat untuk menjadi dosen tamu di sana.
Selain itu Arifin juga pernah menjabat sebagai kepala humas majalah Sarinah.
Merasa tidak dapat mengembangkan kreativitasnya dibidang seni, pada akhirnya
untuk kesekian kalinya Arifin keluar dari pekerjaannya untuk menekuni dunia
perfilman dan teater.
Arifin mulai terjun ke dunia film pada tahun 1971. Berkat kegigihannya
dan konsistensinya dalam dunia seni, lewat film karyanya berjudul Pemberang,
ia dapat menyabet piala The Golden Harvest pada Festival Film Asia (1972),
film berjudul Melawan Badai pun tak luput mendapat penghargaan sebagai
sekenario terbaik, film Suci Sang Primadona juga menjadi film terbaik dalam
Festival Film Indonesia (1973, 1974, 1990), pada tahun 1982 film Serangan
5 Ibid.,
6 Puji Sentosa, Op.Cit.,
35
Fajar menyabet 5 piala Citra, dan film yang dibintangi oleh Meriam Bellina
dengan Rano Karno berjudul Taksi menjadi film terbaik dalam Festival Film
Indonesia pada tahun 1990 dan meraih 7 piala citra, selain itu Arifin juga
mendapat piala Vidia dalam Festival Sinetron Indonesia (1995). Lebih hebatnya
lagi melalui film hasil garapannya yang mendapat penghargaan terbesar selama
pemerintahan Orde Baru adalah film "Pengkhianatan G.30.S/PKI" yang
dibintangi Umar Kayam, keberhasilan kembali diraihnya dengan gelar sebagai
penulis sekenario terbaik. Film ini selalu diputar setiap tahun melalui TVRI
dalam memperingati "Hari Kesaktian Pancasila" dan baru diberhentikan setelah
pemerintahan Orde Baru tumbang.
Selain film-film karyanya, beberapa naskah drama Arifin pun tak luput dari
kemenangan, karya drama tersebut yaitu: drama Mega,Mega, menjadi pemenang
kedua sayembara naskah drama Badan Pembinaan Teater Nasional
Indonesia(BPTNI) tahun 1967, naskah drama Kapai-kapai memenangkan Hadiah
I sayembara penulisan lakon DKJ. Sebagai sastrawan yang unggul dan kreatif, ia
juga sering mendapat hadiah sastra, antara lain, Pemenang Sayembara Penulisan
Naskah Lakon dari Teater Muslim, Yogyakarta (1963) atas karyanya "Matahari
di Sebuah Djalan Ketjil" dan "Nenek Tertjinta", Anugerah Seni dari Pemerintah
Republik Indonesia (1972) atas jasanya dalam mengembangkan kesenian di
Indonesia, Hadiah Sastra ASEAN dari Putra Mahkota Thailand (1990) atas
karyanya Ozon, dan Hadiah Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa (1990). Dramanya Kapai-Kapai diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
oleh Harry Aveling dengan judul Moths dan diterbitkan di Kuala Lumpur,
Malaysia.7
7 Ibid.,
36
B. Karya Arifin C.Noer
Arifin digolongkan oleh Abdul Hadi WM sebagai sastrawan besar untuk
bidang teater sebagai tokoh angkatan 70-an yang lakon sandiwaranya bernada
surealis.8 Sastrawan yang disebut sebagai Sineas Lengkap dalam sebuah Majalah
Suara Karya Minggu ini telah banyak melahirkan karya, dikatakan sebagai
Sineas Lengkap sebab ia bukan hanya menyutradari, tetapi juga menulis cerita
dan skenario. Dengan menulis sendiri cerita dan skenario kemudian
menyutradarinya, maka apa yang ingin disampaikan kepada penonton bisa utuh.9
Kelancaran bertutur dan penyelesaian konflik yang tidak bertele-tele menjadi ciri
khas dan sekaligus kekuatan film-film Arifin. Namun untuk menikmati hasil film
garapan Arifin juga tidak mudah, sebab diperlukan sebuah kecermatan mengikuti
alur cerita dan membedah dialog-dialognya.10
Seperti Film karya Arifin yang
berjudul Bibir Mer, film ini dapat dikatakan sebagai refleksi kegelisahan
terhadap kehidupan sosial dan perilaku umum yang sudah demikian absurd.
Menurut Arifin dalam sebuah wawancaranya kepada sebuah surat kabar Suara
Karya Minggu mengatakan “Pokoknya film ini bercerita tentang bibir di
Indonesia”. Berdasrkan hasil wawancara tersebut, Arifin menjelaskan bahwa inti
isi dari film Bibir Mer tersebut adalah tentang cara bersikap masyarakat
Indonesia.
Menurut kritisi sastra dan drama menilai Arifin sebagai salah satu
pembaharu dunia drama di Indonesia. Karya-karya drama dan puisinya
mempunyai jalinan yang kuat dramatik, sedangkan drama-dramanya puitis
sekali. Kritikus Film Dr. Salim Said juga menuliskan pendapatnya tentang karya
Arifin,“sebuah skenario yang plastis dan memberi kesempatan sebesar-basarnya
kepada penonton. Tanpa perlu menceritakan semuanya, penonton bisa tahu jalan
cerita…dengan sedikit menggunakan sedikit pikiran dan perasaannya”.
8 Anonim, Arifin C.Noer: “Sutradara Boleh Mati”, Mengapa Teater Koma Laris?, (Jakarta:
Mingguan Pikiran Rakyat, edisi Minggu 8 April 1990), h. 6. 9 Hardo S, Op.Cit.,
10 Ibid.,
37
Sedangkan menurut penilaian Rendra, Arifin merupakan orang yang serius
menggulati teater, sehingga bisa kita lihat bagaimana karya-karya Arifin
meninggalkan gema yang panjang untuk disimak.11
Selain menulis sajak dan naskah lakon, Arifin berhasil menulis banyak
skenario film dan sinetron serta kritik dan esai drama dan seni pentas yang lain.12
Adapun buku kumpulan sajak karyanya adalah: Nurul Aini (1963), Siti Aisah
(1964), Puisi-Puisi yang Kehilangan Puisi (1967), Selamat Pagi, Jajang (1979),
dan Nyanyian Sepi (1995). Buku dramanya adalah Lampu Neon (1960),
Matahari di Sebuah Djalan Ketjil (1963), Nenek Tertjinta (1963), Prita Istri Kita
(1967), Mega,mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970),
Sumur Tanpa Dasar (1971), Kasir Kita (1972), Tengul (1973), Orkes Madun I
atawa Madekur dan Tarkeni (1974), Umang-Umang (1976), Sondek, Pemuda
Pekerja (1979), Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I (1984), Ari-Ari
atawa Interograsi II (1986), dan Ozon atawa Orkes Madun IV (1989).
Selain itu, ia juga menyutradarai banyak film dan sinetron serta menulis
skenarionya, antara lain, "Pemberang" (1972), "Rio Anakku" (1973), "Melawan
Badai" (1974), "Petualang-Petualang" (1974), "Suci Sang Primadona" (1978),
"Harmoniku" (1979), "Lingkaran-Lingkaran" (1980), "Serangan Fajar"
(1981),"Pengkhianatan G.30 S/PKI" (1983), "Matahari-Matahari" (1985),
"Sumur Tanpa Dasar" (1989), "Taksi" (1990), dan "Keris" (1995).
11
Anonim, Op.Cit., 12
Puji Sentosa, Biografi Arifin C.Noer. http://pujies-pujies.blogspot.com/2010/01/arifin-c-
noer.html.diunduh di Perpustakaan Utama UIN Senin, 27-1-2014
38
C. Pemikiran Arifin C.Noer
Arifin C.Noer merupakan salah satu sastrawan yang karyanya banyak
mencerminkan atau berkaca melalui kehidupan yang terjadi di Indonesia. Baik
dalam karya filmnya maupun drama ia lebih condong mengangkat permasalahan
di Indonesia, sehingga seluruh karyanya dapat dirasakan sebagai karya
keIndonesiaan. Menurut Arifin, sastra merupakan hasil karya seni yang
cenderung angkuh karena mau mengungkapkan segalanya secara utuh. Namun
tanpa membaca sastra manusia tidak bisa berkaca diri untuk mengungkapkan
kenyataan.13
Sebuah karya sastra bukanlah semata-mata produk khyalan, tetapi
juga hasil produk pengalaman dan berpikir. Semua pengarang harus mampu
menangkap segala pengalaman yang ada pada dirinya, kemudian pengarang pula
yang menuangkan kedalam bentuk karya sastra untuk menghadirkan kenyataan
yang ada melalui keindahan penggunaan bahasa.14
Berdasarkan pengalaman pribadi yang dialami langsung oleh Arifin, bekal
yang ia bawa bukanlah hanya kemauan untuk melahirkan imajinasi melalui
bahasa, tetapi yang sangat penting juga adalah bekal pengalaman sebagai seorang
manusia. Pengalaman tersebut diperoleh dari yang pernah dirasakan, dilihat,
didengar, diketahui pada sepanjang perjalanan hidup sebagai seorang manusia.
“Pengalaman tersebut adalah pertemuan saya dengan realitas atau
seluruh kenyataan yang dapat disentuh, diindrai dengan kesadaran saya
atau katakanlah bekal pengalaman itu merupakan potret jiwa saya atas
segala sesuatu yang saya alami ketika bersentuhan dengan peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini. Persepsi yang saya peroleh
dari pengelam itu sangat mewarnai tulisan-tulisan saya”.15
Dari pengalaman itulah, Arifin merasa menemukan atau mendapatkan
banyak nilai kehidupan. Lewat drama „Mega,mega’-nya, Arifin C.Noer berbicara
mengenai kehidupan masyarakat glandangan atau kaum masyarakat urban yang
13
Sardjono Maria A, “Tanpa Seni Manusia Tak Dapat Berkaca Diri”, (Jakarta: Media
Indonesia, 1990). h. 1. 14
Ibid., 15
Ibid.,
39
miskin. Cerita yang berlatar belakang kehidupan senin kamis ini, banyak
mengungkap optimisme yang timbul dari suatu keputusasaan.
Sedangkan dari segi penilaian masyarakat terhadap seni, menurut Arifin
perhatian masyarakat terhadap seni akting tercermin diberbagai macam tulisan
koran maupun majalah. Sedangkan dari segi kualitas teater sesungguhnya dapat
terlihat dari aktornya, seperti diketahui melalui wawancara Arifin dengan sebuah
surat kabar tahun 90-an Mingguan Pikiran Rakyat, Arifin mengemukakan
pernyataan “Sutradara boleh mati, tapi aktor tidak, maksud dari pernyataannya
tersebut ialah bahwa dalam sebuah seni pertujukan atau akting bahwa yang harus
benar-benar hidup adalah aktor sebab jika aktor tersebut mati, maka teaterpun
akan ikut mati. Sedangkan kalau aktor mati niscaya masyarakat akan kesepian
dan menjadi gila. Dan jika masyarakat menjadi gila, teater palsu akan merajalela.
Akibatnya yang paling parah adalah semua warga masyarakat akan ramai-ramai
bermain teater. Para ilmuan bermain teater dan lupa dengan ilmunya. Sehingga
nantinya dapat bermunculan teater ilmu, Teater Agama, Teater Politik dan
sejumlah teater palsu lainnya, sementara itu teater sejati menjadi mati. Jika
situasi tersebut terjadi maka masyrakat akan bingung membedakan mana pemain
dan penonton.16
Menurut Arifin seni akting sebagai bahan telaah, baik dari segi kesenian
maupun dari segi sosiologi ataupun dari segi lainnya sungguh sangat kaya dan
sangat menantang, terlebih lagi di Indonesia sebab akan membawa seseorang ke
dalam hutan pengetahuan yang wilayahnya banyak bersampiran dengan wilayah
ilmu-ilmu sosial yang selalu bikin penasaran. Sebab seni akting itu lahir tidak
sendirian, ia berdampingan dengan berbagai macam ragam pengetahuan,
terutama psikologi.
16
Anonim, Op.Cit.,
40
Setiap pembuatan karyanya Arifin selalu menangkap realitas yang ada di
sekitar, menurutnya dengan cara tersebut ia dapat mendekatkan masyarakat
Indonesia dengan realitas di sekitarnya. Meskipun begitu, ia juga menemui
banyak kesulitan dalam menemukan karya yang memiliki identitasnya sendiri,
tidak kebarat-baratan maupun tidak terlalu ketimuran akan tetapi tetap
mencerminkan keIndonesiaan itu sendiri. Hal lain yang tidak kalah penting yang
diperlukan dalam menciptakan sebuah karya adalah menanamkan budaya
Planning, tidak dapat dipungkiri pula budaya planning tersebut dapat
mencerminkan bagaimana sikap manusia Indonesia menghadapi masa depan dan
mengurus dirinya. Sikap yang-apa boleh buat-merupakan sikap yang
mencemaskan, karena masa depan kemudian menjadi hal yang sulit diramalkan.
Gencarnya arus informasi yang dihasilkan teknologi komunikasi, antara lain ikut
mempersulit ketepatan prediksi manusia.
41
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1) Unsur Instrinsik Drama
a. Tema
Setiap karya sastra selalu memiliki tema yang merupakan pangkal
dari isi cerita yang dipaparkan. Tema adalah ide yang mendasari suatu
cerita-gagasan penulis melalui karya. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang
disebut tema yaitu pangkal atau inti dari seluruh isi cerita dalam suatu karya
sastra.
Tema utama yang diangkat dalam drama Mega,mega karya Arifin
C.Noer menggambarkan kehidupan masyarakat urban yang miskin.
Masyarakat urban merupakan segolongan orang yang telah merantau ke
suatu daerah tertentu dan menetap di kota perantauan tersebut. Masyarakat
urban yang terdapat dalam drama Mega,mega merupakan segolongan orang
yang merantau dari berbagai daerah di pulau Jawa yang datang dan tinggal
di Yogyakarta. Banyaknya masyarakat yang datang dari luar provinsi
disebabkan letak Yogyakarta yang berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah
yang berpenduduk sangat padat.1 Yogyakarta juga merupakan salah satu
pusat kota yang sudah maju di Indonesia dan pernah menjadi Ibu Kota
negara Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut tidak diragukan lagi banyak
pendatang dari berbagai daerah untuk mengadukan nasibnya dengan tujuan
agar keadaan ekonomi mereka lebih baik dari sebelumnya, sehingga mereka
mencari pencaharian di kota tersebut.
1 Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru, (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Penerangan Ekonomi Sosial, 1990) h. 392
42
Akan tetapi konsekuensi yang sulit dihindarkan akibat terjadinya
urbanisasi adalah munculnya pemukiman baru di pinggirian kota akibat
perluasaan kota karena pusat kota tidak mampu lagi menampung arus
perpindahan penduduk dari desa ke kota.2 Selain itu muncullah orang-orang
tuna karya yang merupakan orang desa yang tidak segera mendapat
pekerjaan maupun orang kota itu sendiri yang tidak berhasil dalam bersaing
memperebutkan pekerjaan. Munculnya tuna karya inilah yang dapat
menyebabkan timbulnya kerawanan sosial seperti kriminalitas dan pelacuran
sehingga dapat berpengaruh terhadap perilaku yang terbentuk dalam
masyarakat. Seperti pada kutipan berikut ini,
Panut:Itu sudah cukup. Namanya berhasil Mae. Besok pagi saya
akan mulai.
Mae:Mulai apa?
Panut:Ngemis. Pura-pura bisu.
Mae:Astaga.
Panut:Apa salah?
Mae :Kalau kau anak saya, kupingmu saya jewer. Urat uratmu
masih keras dan bulat. Tubuhmu masih utuh. Kau akan meminta-
minta serupa si tua bangka yang tersia sebatang kara. Panut,
Panut. Astaga. Dagingmu akan busuk kalau tak kau manfaatkan
dengan kerja.
Panut:Ngemis juga kerja, „kan? Dikiranya ngemis itu enteng? Kan
makan tenaga dan perasaan juga? Soalnya bukan itu. soalnya sial
saya ini. Dan lagi soal makan, bukan soal perasaan.
Mae :ya, tapi kau masih kuat untuk bekerja. Bekerja baik-baik
maksud mae. Tidak mencelakakan. Nguli misalnya. Kau bisa seperti
tukijan. Begitu rajin dia bekerja di pasar. Tapi dasar orang suka
2 Abu Ahmadi, Pengantar Sosiologi, (Solo: Ramadhani), h. 248
43
bekerja. Ia malah mengimpikan tanah. Dia berani dan rajin. Tadi
pagi-pagi benar ia pergi ke Sumatrah.3
Dari dialog tersebut dapat terlihat bagaimana kehidupan Mae dan
Panut bersama tokoh lain yang tinggal di tengah kota Yogyakarta dengan
segala kekurangan yang mereka miliki. Mereka merupakan sebagian kecil
masyarakat yang dapat dikatakan “gagal” menuai sukses di kota perantauan.
Hal tersebut dapat diakibatkan karena bertambahnya jumlah penduduk dan
semakin menyempitnya lapangan pekerjaan. Selain itu perilaku yang
terbentuk merupakan akibat dari kerawanan sosial dan kemalasan untuk
mencari pekerjaan yang layak, sehingga mereka sulit lepas dari kemiskinan.
Sedangkan Panut merupakan salah satu dari bagian tuna karya yang
belum mendapatkan kesempatan bekerja, sehingga dapat dikatakan ia
sebagai pengangguran bahkan disebutkan secara terang-terangan sebagai
gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal dan kerjanya tidak
menentu.
Pada drama Mega,mega karya Arifin ini menceritakan bagaimana
keadaan sosial golongan masyarakat urban yang termasuk “gagal”
memperjuangkan hidupnya di kota besar. Drama ini juga menceritakan
bagaimana perjuangan segolongan masyarakat urban tersebut yang
mempertaruhkan hidupnya untuk dapat bertahan hidup di tengah-tengah
keadaan kota besar yang keras. Namun tidak dibarengi dengan usaha untuk
mendapat pekerjaan layak. Keadaan sosial dalam drama ini bisa dilihat dari
segi penghasilan ekonomi yang berdampak terhadap status sosial masyarakat
serta pergaulannya, yakni sebagai gelandangan di kota besar yang bergaul
dengan sesama gelandangan pula hingga membentuk sebuah komunitas
tersendiri dan menganggap satu sama lain sebagai keluarga meskipun
mereka sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan sedarah.
3 Arifin C.Noer, Mega,mega, ( Pustaka Firdausi, Jakarta: 1999), h.9
44
Mae : tidak kalah dibanding srimulat. Tambahan dia cantik. Seperti
aku! Percis. (diam) cantik dan tersia. (tiba-tiba seperti mencari
sesuatu di sekelilingnya, tapi ia pun tersenyum apabila sadar yang
dicarinya itu sebenarnya tidak ada. lalu ia berseru keras) Retno!
Suaramu merdu!.4
Pada dialog Mae terdapat kata „cantik dan tersia‟ memiliki makna
bahwa seorang yang selalu dikagumi pun pada akhirnya akan tersia, seperti
pernyataan Embie C. Noer yang mengatakan:
“Cantik dan tersia diibaratkan seperti gadis cantik yang dipuja
tetapi disia-siakan. Mengisahkan orang kecil(miskin) yang disia-
siakan. Hal ini terjadi akibat empasis budaya politik yang
menggeliat dan dipicu oleh kondisi ekonomi yang sangat kering
pada pertengahan tahun ‟60-an.”5
Mengacu kepada pernyataan Embie C.Noer tersebut dapat
dikatakan bahwa pada pemaparan awal drama Mega,mega sudah mulai
terlihat apa yang ingin Arifin sampaikan dan kisahkan melalui Mega,mega
yakni mengenai ketimpangan sosial dalam masyarakat antara yang miskin
dan yang kaya. Di sini disebutkan bahwa masyarakat miskin pada tahun
1960-an meskipun sering elu-elukan sebagai masyarakat yang harus
diperjuangkan oleh pemerintah pada akhirnya mereka juga disia-siakan
guna kepentingan berbagai pihak. Seperti itulah gambaran dari dialog yang
diucapkan Mae.
Selain memiliki tema utama yang membicarakan kehidupan
masyarakat urban yang miskin, akibat kehidupan yang “gagal” di kota besar.
Drama Mega,mega ini juga menggambarkan bagaimana status sosial
golongan bawah dalam masyarakat dapat mempererat ikatan kekeluargaan
satu sama lain yang menganggap diri mereka sebagai satu seperjuangan
ditanah perantauan. Hal tersebut dapat digambarkan lewat tokoh Mae yang
4 Ibid.,h.1
5 Wawancara pada Embie C. Noer tentang drama Mega,mega karya Arifin C.Noer. bertempat di
depan Auditorium Harun Nasution UIN Jakarta tanggal 31 Mei 2014.
45
menggambarkan sebagai sosok orang tua yang memiliki perhatian dan kasih
sayang serta mengasuh anak-anaknya dan mengayomi mereka. Ia selalu
menasehati tokoh-tokoh lain untuk tidak melakukan sesuatu yang buruk atau
merugikan diri mereka sendiri meskipun sesungguhnya mereka bukan anak
kandung Mae, namun sosok Mae selalu memberikan nasehat dan kasih
sayangnya terhadap tokoh-tokoh lain selayaknya ibu kandung.
Retno : (memotong) Mae
Mae : Retno, Mae sayang sekali padamu. pada Hamung, pada
Tukijan, pada Koyal, pada Panut, dan pada siapa saja yang
menganggap Mae sebagai ibunya. Seperti juga Mae sangat sayang
pada Mas Ronggo. (diam) ia kena lahar. (diam) Retno, diam-diam
perasaan Mae remuk waktu Tukijan Pamit tadi pagi. Tambah lagi
Hamung dan Panut.
Retno : sudahlah Mae.
Hamung : ya, Mae. Retno akan tinggal di sini dan akan selalu
bersama Mae.
Mae : keinginan Mae memang begitu juga, tapi sebaliknya bagi
Retno…
Hamung :setidak-tidaknya dia tidak akan melupakan
Mae.(menguap)
Retno : Percayalah, Mae. Kami tak akan begitu saja melupakan
Mae. Kami juga menganggap diri kami sebagai putra-putri Mae
yang nakal-nakal. Bukan saja Panut dan Koyal yang nakal tapi
kami semua juga nakal-nakal. (tersenyum menghibur)dan
kenakalan kami tidak mengurangi cinta kami pada Mae.6
Pada kutipan tersebut, dapat terlihat bagaimana sosok Mae yang
menyayangi semua tokoh dan menganggap mereka anaknya sendiri. Hal ini
terlihat dari dialog Mae yang menyamakan sayangnya terhadap para tokoh
dengan suaminya yang telah meninggal. Selain itu, rasa sayang kepada Mae
juga ditunjukkan tokoh Hamung dan Retno yang mencoba mengalihkan
kesedihan Mae.
6 Ibid.,h.6
46
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa
terkadang apa yang dapat dikatakan sebagai keluarga belum tentu mereka
yang memiliki hubungan darah, akan tetapi intensitas pertemuan yang lebih
intim, hubungan batin serta adanya timbal balik juga dapat dikatakan sebagai
kumpulan keluarga, selain itu hal yang lebih penting lagi adalah kesepakatan
masing-masing anggota yang menganggap satu sama lain sebagai saudara
atau keluarga. Hal tersebutlah yang dapat terlihat dalam kondisi masyarakat
drama Mega,mega karya Arifin ini.
b. Plot/ Alur
Cerita drama Mega,mega karya Arifin C.Noer sangat singkat, yakni
peristiwa terjadi hanya dalam kurun waktu satu malam saja akan tetapi alur
yang digunakan dalam drama Mega,mega karya Arifin C. Noer
menggunakan alur maju. Rangkaian peristiwa cerita yang ditampilkan
dimulai dari percakapan antara Mae dengan Retno di malam hari kemudian
ditutup dengan waktu fajar saat Mae mulai tertidur di bawah pohon beringin.
Tahapan alur tersebut akan dipaparkan sesuai pendapat Tasrif
dalam Nurgiantoro yang terbagi menjadi lima tahapan. Kelima tahapan alur
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahap Situation
Tahap yang memberi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan
tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita dan
pemberian informasi awal yang berfungsi melandastumpui cerita yang
dikisahkan pada tahap berikutnya.
Tahap situasi dalam drama Mega,mega karya Arifin C.Noer ini
dimulai dari pembukaan bagian pertama. Pada tahap awal ini dibuka
dengan menceritakan dua tokoh wanita yang dimunculkan pertama kali,
yakni tokoh Mae dan Retno.
47
Di Bawah Mega
Beberapa saat sebelum layar disingkapkan, kedengaran seorang
perempuan muda menyanyikan sebuah tembang jawa. Kemudian
penonton akan menyaksikan perempuan muda itu menyanyi
dengan gairah sekali. Ia berdiri dan bersandar pada batang
beringin yang tua berkeriput itu. Di antara jemari tangannya
terselip sebatang rokok kretek. Ia biasa dipanggil kawan-
kawannya dengan panggilan Retno.
Sementara itu di sebelahnya seorang perempuan tua bersandar.
Ia adalah seorang perempuan tua dengan bentuk bibir yang
selalu nampak tersenyum dan dengan kelopak matanya yang
biru. Senyum itu rupanya ditujukan pada suatu harapan yang
telah lama dinantikannya; tak kunjung tiba. Adapun malam yang
selalu ia isi dengan perhatian itu agaknya hanya memberikan
warna gelap pada sekeliling matanya. Ia biasa dipanggil Mae.7
Kutipan tersebut menggambarkan perbedaan yang terjadi di
antara dua tokoh wanita yang diceritakan, yaitu Retno dan Mae. Retno
digambarkan sebagai wanita muda yang masih bergairah, sedangkan Mae
merupakan sosok orang tua yang sedang menantikan sesuatu yang tak
kunjung datang. Situasi pun dimulai dari percakapan antara Mae dan
Retno yang membicarakan tentang mbarang dengan tidak saling
memandang satu sama lain.
Situasi selanjutnya terjadi saat kemunculan Panut. Ia datang
dengan berpura-pura bisu hingga membuat Mae panik. Akan tetapi
seketika Mae kesal setelah tahu ia dibohongi oleh Panut. Pada tahap
situasi ini beberapa tokoh mulai muncul, baik melalui dialog disertai
kemunculannya maupun melalui perantara dialog tokoh lain terlebih
dahulu. Seperti tokoh Tukijan dan Koyal, diketahui ada tokoh yang
bernama Tukijan dan Koyal melalui dialog tokoh Panut, Hamung, Retno
dan Mae yang membicarakan mereka sebelum kemunculannya.
7 Ibid., h.1
48
2) Tahap Generation cicumstances
Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik kemudian
konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap selanjutnya. Tahap pemunculan konflik yang
terjadi dalam drama Mega,mega karya Arifin adalah saat satu per satu
tokoh mulai mengetahui Tukijan menunda keberangkatannya ke
Sumatera.
Panut : siapa?
Mae : Tukijan. Pagi tadi ia naik kereta api ke Jakarta. Dari sana
nanti ia menyebrang ke Sumatrah.
Panut : mulut rusak! Baru saja saya lihat dia sedang nongkrong
dekat bioskop indra.
Mae : siapa?
Panut : Tukijan.
Mae : kau salah lihat pasti. Bukan Tukijan yang kudisan.
Tukijan yang bersih ganteng.
Panut : ya, Tukijan yang gandrung pada si Retno kemayu itu.
Mae : kau sngguh-sungguh?
Panut : Biar buta mata saya kalau saya bohong. Kemaren
Tukijan memang bilang begitu pada semua orang. Tadi saya
lihat sendiri ia sedang nongkrong dekat bioskop indra.8
Konflik mulai terlihat saat membicarakan Tukijan yang menunda
kepergiannya. Melalui kutipan di atas dapat terlihat kekecewaan Mae saat
mengetahui Tukijan tidak jadi pergi hari itu. Pada saat itu mulai
berjalannya program pemerintah yang menganjurkan warganya untuk
membuka lahan yang masih kosong di pulau-pulau tertentu salah satunya
Sumatera, untuk menanggulangi masalah padat penduduk. Selain itu
dengan program membuka lahan diharapkan masyarakat dapat
memanfaatkan lahan tersebut sehingga dapat memberikan pemenuhan
kehidupan yang lebih baik. Sama halnya dengan keinginan Mae, maka
kekecewaan Mae muncul karena Mae menginginkan agar Tukijan jadi
8 Ibid., h.9
49
pergi dan memulai kehidupan yang lebih baik di tempat lain dan dapat
mengatasi kemiskinan yang sedang dialami.
Pada tahap ini pemunculan konflik juga ditunjukan melalui
dialog Hamung yang membicarakan Tukijan. Pada dialog ini Hamung
seolah meluapkan kekesalannya dengan Tukijan yang menunda
keberangkatan ke Sumatera.
Hamung : maunya kita sama-sama, tapi si Tukijan itu plintat-
plintut seperti orang banci. Saya kira dia sudah sedang tidur di
Senen dan niat saya pagi nanti akan menyusulnya. Setidaknya
saya tidak langsung ke Sumatera. Saya memang belum berniat
kesana. E, tahu-tahu, baru saja keluar dari Stasiun Tugu sore
tadi, keluar dengan karcis di tangan, nyelonong hidungnya.
Retno : hidung siapa?
Hamung : Tukijan.
Mae : betul, Retno. Panut juga bilang begitu.9
Keberangkatan Tukijan dianggap menjadi titik tolak di mana
akan dimulainya kehidupan untuk memperbaiki kemiskinan yang mereka
alami. Pemikiran Tukijan yang realistis serta kegigihannya mencoba
berjuang melawan kemiskinan merupakan salah satu contoh agar tokoh
lain mau melakukan hal yang sama dengan Tukijan. Begitupun Hamung
yang juga berniat akan pergi menyusul Tukijan demi mencari penghasilan
yang lebih baik.
3) Rising action
Tahap ini merupakan tahap peningkatan konflik di mana
peristiwa yang muncul sebelumnya semakin berkembang intensitasnya.
Cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik yang terjadi bisa
9 Ibid., h.19
50
dari segi eksternal, internal maupun keduanya hingga mengarah ke
klimaks.
Peningkatan konflik terlihat setelah membicarakan Tukijan yang
menunda keberangkatannya. Hal tersebut terlihat melalui dialog Mae
dengan Retno, saat Mae mulai mencurahkan isi hatinya kepada Retno.
Retno : Mae tak usah khawatir. Saya tak akan meninggalkan
Mae.
Mae : semua akan meninggalkan Mae pada akhirnya. Suamiku
yang pertama pun berkata begitu dulu tapi akhirnya ia pun
mengusirku juga. Dan kemudian suamiku yang bernama Sutar
meninggalkan aku. Malah suamiku yang paling setia dan paling
tua pergi juga, dimakan gunung Merapi.
Retno : tidak, Mae. Saya juga sebatang kara saya juga tersia.
Sebab itu saya lebih senang dengan Mae. Berkumpul sangat
membantu mengurangi kesusahan.
Mae : tidak. Kau tidak tersia, kau masih muda. Belum masanya
kau berputus asa. Sekiranya kau menurut nasehat Mae dan tak
usah menjadi…10
Kutipan tersebut menunjukan tahap situasi mulai terasa rumit,
baik dari segi keadaan maupun perasaan yang sedang dirasakan tiap
tokoh. Masing-masing tokoh mulai dihadapkan dengan situasi yang
mengharuskan mereka menerima keadaan yang tidak mereka inginkan.
Mereka harus rela jauh dengan orang-orang yang mereka sayangi demi
mencari kehidupan yang lebih baik agar dapat keluar dari kemiskinan.
Selain itu, Mae juga berusaha memberi nasehat pada Retno bahwa orang
yang lebih muda sudah seharusnya bisa mendapatkan kebahagiaan yang
selayaknya. Orang muda juga sudah seharusnya menggunakan
kemampuannya untuk mewujudkan impian-impiannya agar mendapatkan
kehidupan yang lebih baik.
10
Ibid., h.25-26
51
4) Climax
Pada tahap ini konflik yang telah terjadi pada tokoh cerita
mencapai titik intensitas puncaknya. Klimaks sebuah cerita akan dialami
oleh totoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita
terjadinya konflik utama.
Mae yang merupakan tokoh utama yang utama, pada tahapan ini
sedang mengalami konflik batin dengan keadaan yang harus ia hadapi.
Gejolak perubahan sikap Mae pun terlihat di sini.
Mae : Ya, saya harap begitu. Saya harus merebutnya. Oh, saya
tiba-tiba takut sekali. Hamung sebentar lagi pergi. Sebentar lagi.
Semuanya akan kembali sepi. Kenapa jantung saya? Saya
gemetar sekali.
Pluit kereta api sayup-sayup
Mae : (sekonyong-konyong menubruk dan memeluk Tukijan)
Jan!(dalam isak) Jan. kenapa sama sekali kau tak punya rasa
terimakasih?...Kau tak melihat saya dalam memandang saya.
Sebab itu kau gampang saja akan tinggalkan ibumu sendiri di
alun-alun ini, di tanah bebas yang tak bebas ini.(melepaskan diri
dari Tukijan dan duduk menunduk) kalau saya muda pasti saya
tak akan mengucapkan kata-kata ini.
Hamung, sekalipun cintamu samar-samar tapi pasti
kepergianmu nanti akan melengkapi kesepian saya. (setelah
mengosongkan dirinya) tapi sebagai orang tua, sebagai seorang
ibu yang tabah tentu saja saya harus melepaskan kalian berdua
dengan doa restu, dan saya akan menyertai kepergian kalian
dengan keprihatinan saya.11
Kesedihan Mae yang merupakan sosok wanita tua tidak
terbendung lagi ditahapan ini. Satu sisi Mae merasa sedih karena akan
ditinggalkan anak-anaknya, namun di sisi lain Mae harus mencoba
menerima apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Hal yang ditunggu-
tunggu Mae di masa tuanya yaitu mengharapkan orang-orang yang ia
11
Ibid., h.103
52
kasihi dapat berkumpul dan dapat menemaninya. Ia tidak lagi
menginginkan hidup sendirian dan tentunya saat anak-anaknya pergi ia
akan merindukan sikap menghargai para tokoh terhadap dirinya sebagai
lambang bahwa ia merupakan sosok yang dituakan dalam keluarga
tersebut.
5) Tahap Denouement
Pada tahap ini konflik yang telah mancapai klimaks diberi jalan
keluar dan cerita diakhiri. Mae yang sejak awal tidak siap ditinggal
sendirian oleh anak-anaknya, kini mulai melepaskan egonya dan
memberikan izin Retno untuk pergi bersama Tukijan.
Mae : kau memang anak perempuan saya. Kau cantik dan baik
budi. Itulah yang sebenarnya. Sayang, kau sendiri tak tahu.
(diam) sekarang sebagai anak yang baik turutlah apa kata Mae:
pergilah dengan Tukijan.
Retno : (menangis dan memeluk) Tidak, Mae. Saya tidak bisa.
Mae : tentu kau tidak bisa. Dan siapa ynag suka akan ajal?Tidak
ada. Tapi siapa yang bisa menolaknya? Juga tidak ada. Dan
apakah kau mengira Mae mengharap kau pergi meninggalkan
Mae? (Retno menggeleng-geleng kepala) tidak, bukan? Mae
juga tidak mau kau tinggalkan…tapi apakah kau berpikir Mae
juga ingin mempertahankan kau tetap di sini terus menjual
diri?.12
Pada tahap sebelumnya Mae mengalami kegelisahan dengan
dirinya sendiri untuk menahan Retno agar tidak pergi, namun dilain sisi
Mae harus merelakan kepergian Retno demi masa depannya. Pada tahap
inilah sikap Mae terlihat mulai mengosongkan dirinya untuk dapat
kembali berpikir realistis bahwa suatu saat orang yang datang pasti
dikemudian hari akan pergi juga, seperti halnya kehidupan manusia yang
suatu saat akan mati.
12
Ibid., h.119
53
c. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan dua unsur yang saling
berkaitan, sebab melalui dua unsur tersebut dapat diketahui bagaimana
peranan tiap tokoh dalam setiap cerita. Tokoh biasanya ditandai dengan
nama sedangkan penokohan atau karakter biasanya ditandai dengan sikap
dan watak. Terdapat enam tokoh dalam cerita drama Mega,mega karya
Arifin C. Noer ini yaitu: Mae, Retno, Panut, Hamung, Koyal, Tukijan
serta beberapa tokoh yang hanya disebutkan namanya saja oleh keenam
tokoh tersebut, akan tetapi tidak ditampilkan bagaimana karakter mereka
dalam tiap cerita. Tokoh tersebut diantaranya adalah Pemuda, Abah toko
Kim Sin, Penjaga warung, pemilik bioskop Indra, penjual jeruk dan
penyewa kuda.
Keenam tokoh pada kelompok pertama merupakan tokoh yang
mempengaruhi jalannya cerita dalam drama Mega,mega. Masing-masing
tokoh dari keenam tokoh tersebut memiliki peranan yang berbeda serta
karakter yang kuat dalam setiap cerita yang ditampilkan. Selain itu,
karakter dari masing-masing tokoh merupakan salah satu hal yang
memperkuat jalannya cerita disetiap babaknya. Inilah yang membuat
drama Mega,mega karya Arifin menarik.
Berdasarkan peran dan pentingnya seorang tokoh dalam cerita
secara keseluruhan, tokoh dibedakan ke dalam tokoh utama; tokoh utama
yang utama dan tokoh utama tambahan serta tokoh tambahan; tokoh
tambahan utama dan tokoh tambahan yang tambahan.
1) Mae
Dilihat dari awal kemunculannya tokoh Mae masuk ke dalam
tokoh utama yang utama. Sebab tema-tema yang ingin disampaikan
banyak terlihat melalui dialog Mae pada setiap peristiwa. Selain itu
peristiwa yang dialami Mae disampaikan secara tuntas. Dimulai dari
54
pengenalan dirinya secara narasi diawal cerita sekaligus sebagai pembuka
cerita, hingga peristiwa-peristiwa yang dialami Mae menciptakan
pergolakan batin kemudian cerita ditutup dengan peristiwa yang dialami
tokoh Mae.
Makna kata “Mae” berasal dari bahasa Jawa memiliki makna
sebagai seorang ibu. Berdasarkan makna tersebut karakter tokoh Mae
dalam drama Mega,mega karya Arifin memiliki sifat mengayomi,
penyayang, dan pasrah atau nrimo (konsep masyarakat Jawa untuk
menerima dengan lapang dada menghadapi apa yang terjadi). Namun
dilain sisi tokoh Mae memiliki sebuah harapan dalam menjalani sisa
hidupnya sebagai orang tua. Harapan-harapan tersebut ingin ia dapatkan
melalui para tokoh yang sudah ia anggap sebagai anaknya.
Tokoh Mae merupakan representasi sosok ibu (orang tua) yang
merawat dan mengasuh anak-anaknya. Mulai dari tokoh Retno, Koyal,
Panut, Hamung hingga Tukijan, Mae selalu mengajarkan mengenai baik
dan buruk. Selai itu melalui keberadaan para tokoh yang sudah Mae
anggap sebagai anak, Mae pun memiliki harapan-harapan dan ia berharap
anak-anaknya dapat mewujudkannya.
Mae : apa kata Mae? Nguli saja, nguli saja. kau nekat coba-
coba nyopet. Nguli lebih baik dari apapun yang dapat kau
lakukan. Mae juga ingin nguli saja kalau ada orang yang
suka…percayalah Panut. Kalau nguli kau bisa merasa senang.
Panut : saya tidak akan mencopet lagi.
Mae : nah, itu baik sekali. Mae percaya kau memang anak yang
baik…13
Memiliki kesamaan nasib sebagai orang-orang yang tinggal di
perantauan dalam keadaan ekonomi yang tergolong rendah membuat
13
Ibid., h.7
55
mereka dekat satu sama lain. Melalui dialog di atas menggambarkan
tokoh Mae yang menginginkan Panut untuk melakukan pekerjaan yang
lebih baik daripada mencopet. Layaknya seorang ibu, Mae menganggap
anaknya orang-orang yang baik. Hal tersebut terlihat pada dialog Mae
yang mengatakan “Mae percaya kau memang anak yang baik”.14
Secara
psikologis jika seseorang dikatakan sebagai orang baik maka otaknya
akan merespon bahwa dirinya memang orang baik sehingga tingkah laku
yang dilakukan cenderung ke hal yang baik-baik begitupun sebaliknya.
Tujuan dari upacan Mae tidak lain agar Panut mau melalukan pekerjaan
yang baik sehingga ia akan senang dan mendapat kepuasan tersendiri saat
mendapatkan hasilnya.
Mae: (makin reda tangisnya) Saya kesepian. Saya sungguh-
sungguh kesepian sebagai perempuan. Tidak itu saja. bahkan
saya sangat kesepian sebagai manusia. Sampai-sampai saya
sangsi pada diri saya sendiri. sampai-sampai saya tidak tahu
lagi di mana saya ini berada. Betul-betul seperti mimpi. Mimpi
yang sangat buruk. Kalau sampai pada temapt itu alangkah
ngerinya. Saya tidak lagi dapat melihat apa-apa. Saya mulai
menyangsikan semuanya. Saya sangsi apakah saya ada atau
tidak ada…segala yang hidup disibuki oleh tugas kewajibannya
masing-masing. Tapi saya…perempuan kertas yang dipinjami
nyawa Cuma. Tersia dan disingkirkan.15
Melalui dialog ini sisi sensitif Mae sebagai seorang perempuan
mulai terlihat. Mae yang tidak memiliki anak dan keluarga merasa
kesepian, ia menganggap bahwa dirinya tidak memiliki arti apa-apa
dalam kehidupannya sendiri. Seorang wanita normal akan merasa lebih
berharga sebagai seorang wanita jika ia bisa melahirkan seorang anak
dalam menjalani sebuah kehidupan berkeluarga, akan tetapi sosok Mae
yang mandul menganggap dirinya tidak memiliki makna karena tidak
14
Ibid., 15
Ibid., h.19
56
dapat melahirkan anak hingga masa tua. Meskipun ia menganggap para
tokoh adalah anaknya namun, pada kenyataannya yang melahirkan
mereka bukan Mae.
Mae :(sekonyong-kongong) menubruk dan memeluk Tukijan.
Jan!(dalam isak) Jan. (dalam isak)kenapa sama sekali kau tak
punya rasa terimakasih ? tapi siapa yang memilikinya? Tapi kau
anakku…sebab itu kau gampang saja kau tinggalkan ibumu
sendiri di alun-alun ini, di tanah bebas yang tidak bebas
ini…kalau saya muda pasti saya tak akan mengucapkan kata-
kata itu…16
Pada dialog ini semakin terlihat bagaimana sikap Mae di tengah
keberadaan para tokoh. Mae merupakan sosok orang tua yang mengayomi
para tokoh yang lebih muda, seolah-olah mulai ingin memetik buahnya.
Mae yang tidak bisa memiliki anak dan menganggap mereka anaknya
mulai menunjukan rasa ingin dihormati oleh para tokoh. Meskipun Mae
mengasuh mereka dengan kasih sayang yang ia berikan, namun tidak
dipungkiri sebagai seorang ibu(orang tua) ia tetap menginginkan rasa
hormat para tokoh terhadapnya seperti halnya seorang anak yang
mengormati ibunya.
Mae : tentu kau tidak bisa. Dan siapa yang suka akan ajal? tidak
ada. Tapi siapa yang bisa menolaknya? Juga tidak ada. Dan
apakah kau mengira Mae mengharap kau pergi meninggalkan
Mae? (Retno menggelang kepala) Tidak, bukan? Mae juga tidak
mau kau tinggalkan. Mae sangat mencintai kau lantaran kau
anak perempuanku satu-satunya. Kalau kau pergi Mae tidak
akan pernah mempunyai nak secantik dan sebaik kau lagi. Tapi
apakah kau berpikir Mae akan mempertahankanmu tetap di sini
dan terus menjual diri?.17
Pada tahapan peristiwa ini Mae mulai mencoba untuk bisa
bersikap menerima apa yang terjadi, meskipun yang terjadi itu sesuatu
16
Ibid., h.103 17
Ibid., h. 119-120
57
yang tidak ia inginkan. Pada peristiwa ini terlihat bagaimana sikap Mae
yang mulai kembali menginginkan Retno untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik. Meskipun sebelumnya Mae pernah merasa ketakutan
akan ditinggalkan, namun ditahapan ini Mae mulai menghilangkan
egonya. Secara tidak langsung Mae juga mengajarkan Retno untuk dapat
berbuat sesuatu yang lebih baik meskipun pada awalnya itu sulit. Seperti
halnya berhenti menjadi seorang pelacur.
Mae : Gusti pangeran. (anaknya bangun) Kau bangun, sayang.
Kau tertawa, sayang. (memainkan anak itu) Nah, cah bagus.
Kita tak pernah mendapatkan tapi selalu merasa kehilangan.
(memejamkan mata) tak ada. Sama saja.—Gustiku Cuma kita
berdua.18
Tahapan terakhir ini adalah peristiwa di mana Mae benar-benar
sudah sendirian. Hamung, Tukijan dan Retno pergi ke perantauan, Panut
pergi, dan Koyal semakin menggila. Peristiwa ini merupakan penutup
cerita yang menggambarkan kesendirian tokoh Mae. Hingga tahap akhir
ini sosok Mae digambarkan seolah-olah masih mengharapkan sesuatu,
namun harapan itu tetap menjadi harapan yang belum terwujud.
2) Koyal
Koyal adalah salah satu tokoh yang memiliki kebiasaan
berkhayal serta memiliki ambisi untuk mendapatkan uang banyak. Di
antara keenam tokoh hanya Koyal yang merupakan tokoh gila. Ia tidak
lagi berpikir rasional, melainkan dengan khayalan-khayalan untuk
memenuhi kepuasan keinginannya. Tokoh Koyal dalam drama
Mega,mega merupakan representasi orang yang mengukur segala
sesuatunya dengan uang. Ia memiliki ambisi untuk menjadi kaya raya
secara instan. Koyal sama sekali tidak memikirkan bagaimana proses
untuk mencapai sebuah keberhasilan.
18
Ibid., h.123
58
Tokoh Koyal dalam drama Mega,mega merupakan tokoh utama
tambahan dalam peristiwa ditiap bagian, terutama dibabak kedua tokoh
Koyal memegang peranan penting dalam menjalankan seluruh peristiwa
dan kejadian. Koyal dapat mengendalikan seluruh kegiatan para tokoh
lain untuk mengikuti apa yang ia kehendaki. Pada babak kedua juga ia
menjadi poros dan mengontrol terlaksananya seluruh aktifitas para tokoh
untuk ikut dalam permainan yang seolah-olah nyata.
Meskipun seluruh tokoh memiliki andil yang cukup besar dalam
berlangsungnya setiap peristiwa, akan tetapi tokoh Koyal menjadi fokus
cerita setelah tokoh Mae. Dalam drama, Koyal merupakan tokoh yang
dominan karena tahapan peristiwa yang dialami Koyal diceritakan secara
tuntas. Berawal dari dialog para tokoh yang membicarakan kegilaan
Koyal untuk mendapatkan uang, lalu Koyal datang dengan membawa
sobekan koran yang terpasang dimuka gedung Agung dan lembaran lotre
yang telah ia beli hingga seluruh tokoh masuk dan turut andil dalam
khayalan Koyal yang memenangkan lotre. Klimaksnya saat Koyal
dipukul Tukijan karena cemburu dan diakhiri dengan kegilaan Koyal
yang merasa kepalanya dipukul beberapa orang hingga berdarah.
Selain rangkaian peristiwa yang dialami Koyal disampaikan
secara tuntas. Koyal juga menjadi tokoh yang menggambarkan isi dari
judul Mega,mega itu sendiri, yakni uang menjadi sesuatu yang samar-
samar dan sulit digapai. Penyampaian tersebut terlihat melalui dialog
Koyal maupun sifat yang dimiliki Koyal. Tahapan-tahapan peristiwa yang
dialami Koyal dapat dilihat melalui kutipan dialog berikut ini:
Mae : memang. Biasanya Koyal terus saja nyelonong kalau kita
sedang asyik-asyikmya ngobrol.
Hamung : yakin saya. Dia bisa gila. setengah mati ia ingin jadi
orang kaya.
Panut : impiannya selangit.
59
Hamung : lucunya dia cuma ingin punya uang bertumpuk. Tapi
sintingnya sedikit pun ia tidak mau bekerja. Ia Cuma ngemis.19
Melalui dialog tersebut dapat kita ketahui karakter tokoh Koyal
terlebih dahulu sebelum ia dimunculkan sosoknya. Pada kutipan tersebut
juga terlihat bagaimana respon para tokoh terhadap keinginan Koyal
untuk menjadi orang kaya.
Koyal : Betul! Malam berkah melimpah. (tertawa menang)
Lihatlah kedua tanganku. Ditangan kiri: lembaran lotre.
Ditangan kanan sobekan koran! Kalian tahu? Aku telah
menyobek koran yang terpasang di muka gedung Agung. Aku
terlalu girang. Aku sobek saja koran itu tak peduli!(tertawa).
Retno dan Hamung : (hampir bersamaan)kau menang?
Koyal : (tersenyum bangga)Hampir!
Retno : Ha?.20
Pada tahapan ini, peristiwa yang dialami Koyal berawal dari
kedatangan Koyal ke warung Mae yang merupakan tempat berkumpulnya
para tokoh. Pada dialog tersebut menggambarkan bahwa tokoh Koyal
tidak dapat mengontrol luapan emosinya saat mengetahui dirinya hampir
menang lotre hingga menyobek koran yang terpasang di gedung Agung.
Peristiwa yang terjadi melalui dialog tersebut tentunya membuat Hamung
dan Retno merasa heran dengan kelakuan Koyal dan dianggap mereka
semakin menggila. Melalui dialog di atas juga dapat terlihat bagaimana
sikap Koyal yang masa bodoh terhadap anggapan orang-orang sekitar
terhadap kegilaannya.
Kutipan selanjutnya adalah menceritakan percapakan Koyal
bersama Hamung yang menceritakan bahwa Koyal „hampir‟ menang
lotre. Meskipun baru hampir menang, akan tetapi kegilaan Koyal semakin
19
Ibid., h.23 20
Ibid., h. 28
60
bertambah hingga datang ke ahli nujum dan mempercayai bahwa sebentar
lagi dirinya akan menang lotre.
Koyal : Kau lihat, Mung. Pada koran ini tertulis: “Hadiah
seratus juta jatuh pada nomer 432480, Solo”, sedangkan
punyaku 432488. Ha, beda satu,‟kan? (tertawa senang) Hampir
aku menang. Betul tidak?...
Koyal : tak ambil pusing aku. Yang terang aku hampir
menang. Artinya tak lama lagi aku pasti menang. Kau
lihat, Mung. (menunjukan lot yang lain)Nih, aku sudah
beli lagi. Tidak cuma itu malah. Barusan aku tanya pada
tukang nujum. Burung gladik yang cerdik itupun
menjajikan kemenangan itu. satu kartu dengan gambar
bunga mawar, satu kartu dengan gambar sapi, satu kartu
dengan gambar rumah. Kau mesti tidak percaya?.21
Kutipan dialog Koyal pada drama Mega,mega di atas
menunjukan sifat Koyal yang beranggapan untuk menjadi kaya
atau berhasil hanya membutuhkan angan-angan yang tinggi dan
jalan pintas dengan meyakini ahli nujum yang belum tentu
kebenarannya. Sifat Koyal yang seperti itu dapat dikatakan tidak
meggunakan rasionalitas dalam bertindak, sebab Koyal merupakan
tokoh yang sudah gila. Suatu tindakan dikatakan rasional apabila
tindakan itu dimaksudkan secara sadar untuk mencapai tujuan
tertentu dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya tujuan-
tujuan yang lain dan alat atau cara yang dianggap paling efisien
dan efektif untuk mencapai tujuan.22
Sedangkan tindakan Koyal
dianggap tidak rasional sebab tidak ada pertimbangan tentang
kemungkinan yang akan ia hadapi bahwa ia sebenarnya belum
menang lotre.
21
Ibid., h. 28 22
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 31.
61
Kutipan selanjutnya adalah percakapan Koyal yang
menceritakan khayalannya kepada Hamung jika ia menang lotre.
Dalam percakapan ini Koyal menjadi bahan lelucon Hamung
bersama Retno saat mendengarkan percakapan Koyal yang tidak
masuk akal, akan tetapi Koyal tidak menghiraukannya dan semakin
tenggelam dalam khayalannya sendiri.
Koyal : (tidak peduli) Lalu saya pikir saya harus punya
banyak uang dulu. Malah akhir-akhir saya mencintai
uang. Mengapa tidak? Saya telah melihat rumah yang
bagus-bagus. Saya telah melihat mobil yang bagus-bagus.
Saya telah melihat segala apa saja yang hanya didapat
dengan uang. Lalu
Hamung :…….ngemis (tertawa bersama Retno)
Koyal : lalu saya mengumpulkan uang. Tapi pasti terlalu lama.
Lalu saya belikan lotre. Dan baru saja saya hampir menang.
(tertawa) tandanya tidak lama lagi saya akan menang. Dan
kalau saya menang dan menang…..dan menang lagi…oh uang
saya bertumpuk setinggi merapi…..23
Berdasarkan kutipan dialog di atas terlihat bahwa tokoh Koyal
beranggapan untuk menjadi sukses hanya dibutuhkan jalan pintas tanpa
mementingkan proses. Berdasarkan dialog di atas juga dapat
menggambarkan bahwa Koyal merupakan seorang yang malas untuk
berusaha keras. Ia hanya mengkhayalkan lotre yang sebenarnya hanya
membohongi dirinya sendiri. Ia selalu berkhayal bahwa dirinya
memenangkan lotre dan ia menjadi orang yang disegani padahal pada
kenyataannya ia belum memenangkan lotre. Kemalasannya untuk
mencari pekerjaan yang layak dan tidak mau berpikir maju itulah yang
menyebabkan ia tidak dapat bangkit dari kemiskinan.
23
Arifin C.Noer, Op.Cit., h.35
62
Jika dilihat dari segi bahasa Jawa, makna kata Koyal
disandingkan dengan kata Royal memiliki arti orang yang suka
bermegah-megahan atau berhura-hura, menyukai sesuatu yang lebih
besar dari hal lain. Mengacu pada makna tersebut, maka dapat dikatakan
makna nama Koyal sendiri mencerminkan orang yang royal atau suka
berlebih-lebihan, serta mengukur segala sesuatunya dengan uang. Ia
beranggapan bahwa bahagia itu dengan menjadi orang kaya, akan tetapi
khayalan yang ia lakukan sudah di luar batas kewajaran dan tentunya
tidak sesuai dengan realitas kehidupan Koyal sendiri yang merupakan
seorang pengemis, malas bekerja, dan gila.
Dilihat dari cara Koyal menyikapi kehidupan juga tidak terlepas
dari latar belakang sosial pendidikan. Ia yang tidak mengecam bangku
sekolah sehingga tidak dapat berpikir sebagaimana mestinya untuk dapat
bertahan hidup dengan layak, tentunya dengan pekerjaan yang lebih baik
daripada seorang pengemis. Serta dapat dikatakan pula Koyal adalah
salah satu korban dari meningkatnya jumlah penduduk yang
mengakibatkan bertambahnya masyarakat tuna karya yang menyebabkan
kerawanan sosial salah satunya menjadi pengemis.
Mae : (setelah meraba) Tidak ada.
Koyal : Tadi ada. (tiba-tiba) Mae! Mereka mengejar
saya!mereka mengejar saya!
Mae : mana mereka? Mana?
Koyal : Mereka!Mereka datang!mereka!Mae!Masing-masing
membawa kayu sangat besar. Tolong, Mae. Tolong! Kayu itu
sangat besar!.24
Pada tahapan akhir, perilaku Koyal yang meggambarkan sebagai
orang gila tidak berubah. Ia tetap menjadi orang gila yang
24
Ibid., h. 123
63
mengkhayalkan uang dengan mengatakan bahwa ia akan diberi upah jika
ia menyobek koran di mading gedung. Akan tetapi Koyal malah
mengatakan pada Mae ia dipukul oleh orang yang menyuruhnya. Padahal
pada peristiwa sebelumnya saat Tukijan menyobek lot lotre Koyal,
Tukijan mengharapkan agar Koyal dapat sembuh. Berdasarkan jalannya
peristiwa tersebut menunjukan bahwa tokoh Koyal merupakan tokoh
yang tidak bisa disembuhkan dari kegilaannya terhadap uang.
3) Tukijan
Arifin menempatkan tokoh Tukijan dalam drama Mega,mega
sangat berbeda dengan Koyal. Berdasarkan rangkaian peristiwa yang
terjadi dalam drama ini Tukijan masuk ke dalam tokoh tambahan yang
utama, sebab kehadiran Tukijan disetiap peristiwa berpengaruh terhadap
tokoh-tokoh utama, yakni Mae dan Koyal. Bersama tokoh Mae, Tukijan
merupakan salah satu tokoh yang bisa membuat pergolakan batin pada
tokoh Mae, sedangkan dengan Koyal ia merupakan tokoh yang sangat
bertolak belakang dengan sifat Koyal.
Tukijan merupakan tokoh yang memiliki pemikiran realistis
dalam menyikapi hidup dan optimis menjalaninya. Ia lebih percaya
bahwa kesuksesan dapat diraih dengan cara bekerja keras. Peristiwa yang
menggambarkan watak Tukijan tersebut dapat dilihat dalam kutipan
dialognya bersama Retno di bawah ini:
Tukijan : impian itu meski diwujudkan,barulah ada artinya.
Retno : (Cuma memandang laki-laki itu. itupun Cuma beberapa
saat)
Tukijan :Saya juga tidak suka menjanjikan apa-apa. Semua
masih bakal. Yang saya miliki hanya kemauan. Dan lagi kita
hanya mendengar bahwa tanah di seberang penuh kekayaan
yang masih terpendam. Sangat luas. Segalanya masih
64
terpendam. Segalanya. Di dalam tanah dan di dalam diri kita.
Kalau kita sungguh-sungguh menghendaki, kita harus
mengangkatnya kepermukaan hidup kita. Saya kira begitu.25
Dari dialog tersebut terlihat bagaimana pemikiran Tukijan
menilai sebuah kehiduapan yang penuh dengan impian. Akan tetapi
impian tersebut tidak akan memiliki arti apabila tidak dapat
merealisasikannya. Sedangkan impian Tukijan adalah ingin memiliki
tanah, namun di sisi lain ia juga ingin memperistri Retno maka iapun
mencoba membujuk Retno melalui dialog di atas. Selain itu Tukijan juga
mempercayai bahwa baik harta maupun kesuksesan dalam bentuk lain
dapat dicapai oleh siapapun, asalkan orang tersebut mau untuk berusaha
keras dan percaya bahwa apa yang menjadi impian semua orang dapat
diwujudkan melalui proses yang tidak singkat.
Tokoh Tukijan merupakan tokoh yang sangat bertolak belakang
(berlawanan) dengan tokoh utama tambahan, yakni Koyal. Setiap tahapan
peristiwa yang dialami tokoh Tukijan sering terlihat bahwa ia tidak suka
dengan kegilaan Koyal. Tahapan peristiwa yang menunjukan adanya
pertentangan antara keduanya dapat terlihat melalui kutipan dialog di
bawah ini:
Koyal : Jan.
Tukijan : (sekonyong meletus) Diam anjing!
Koyal : Tentu aku akan diam nanti setelah kau bilang aku
menang.
Koyal : Jan, tolong. Tolonglah. Katakan aku menang lotre.
Tukijan : diam tidak?.26
Dari kelima tokoh hanya Tukijan yang menolak untuk
mengucapkan bahwa Koyal menang lotre, maka dapat terlihat bagaimana
Tukijan menanggapi khayalan Koyal dengan sinis. Ia ingin meyadarkan
25
Ibid., h. 41 26
Ibid., h. 46
65
Koyal, akan tetapi Koyal sudah masuk terlalu dalam kedalam
kegilaannya untuk berkhayal.
Tukijan : kalau begitu mari ramai-ramai kita bakar saja
kerajaan ini
Koyal : (murka) mau berontak?
Mae : (semangat) pemberontakan?
Hamung : pemberontakan?
Retno : pemberontakan?
Tukijan : (meledak) cape! Kita nanti jadi sinting semua!.27
Pada babak dua meskipun tokoh Koyal berperan sebagai sentral
yang mengendalikan cerita, akan tetapi dengan kehadiran Tukijan semua
yang dikhayalkan Koyal terganggu oleh pendapatnya. Tukijan tidak
mudah masuk ke dalam khayalan yang Koyal ciptakan seperti halnya
tokoh lain. Berbeda dengan babak kedua, peritiwa yang terjadi pada awal
babak ketiga ini adalah perkelahian Koyal dengan Tujikan saat Koyal
ingin memegang betis Retno.
Peristiwa selanjutnya yang menunjukan bahwa Tukijan sangat
bertentangan dengan Koyal yaitu saat Tukijan menyobek seluruh lot lotre
milik Koyal. Peristiwa tersebut dapat terlihat dalam kutipan berikut:
Tukijan : kau ingin menang?
Koyal : yang banyak.
Tukijan : kau bisa mendapatkannya lebih banyak tanpa kertas
ini.
Koyal : kali ini saya pasti menang.
Tukijan : saya kira kau akan sembuh kalau saya berani
melakukan sesuatu. betul kau ingin uang banyak?
Koyal : betul.
27
Ibid., h. 85
66
Tukijan : pasti suatu ketika kau akan menjadi orang kaya, kaya
harta dan kaya segalanya. (disobeknya lot itu).
Koyal : (jangan) Mae, dia menyobek uang saya.28
Kutipan dialog di atas adalah percakapan Tukijan dengan Koyal
setelah peristiwa pemukulan Koyal oleh Tukijan. Pada peristiwa ini
Tukijan mencoba menasehati Koyal agar tidak hidup dalam khayalan
yang menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam sesuatu yang tidak nyata.
Pada tahapan peristiwa ini Tukijan mencoba menyadarkan Koyal dari
kegilaannya terhadap uang. Tukijan menginginkan agar Koyal dapat
berpikir realistis bahwa untuk mendaptkan uang dibutuhkan usaha yang
besar.
Berdasarkan rangkaian peristiwa pada tokoh Tukijan, maka
sangat terlihat bahwa tokoh yang bertolak belakang dengan pemikiran
tokoh Koyal yaitu Tukijan. Sedangkan berdasarkan nama Jawa yang
digunakan pada nama Tukijan terdiri dari dua suku kata yakni tuk dan jan
yang mendapat sisipan fonem i. Tuk memiliki makna „sumber atau mata
air‟, dan jan memiliki makna „(walah-walah bermakna kagum) di luar
pemikiran awal atau di luar kewajaran pada umumnya‟. Mengacu pada
makna tersebut tokoh Tukijan memiliki arti seseorang yang memiliki
sumber pemikiran yang positif terhadap kehidupan yang ia jalani. Selain
rangkaian peristiwa yang terjadi pada Tokoh Tukijan, makna nama
Tukijan pula sangat berpengaruh terhadap karakter yang dihadirkan pada
tokoh Tukijan.
Tukijan merupakan salah satu gambaran masyarakat urban
miskin namun memiliki tekad kuat untuk bekerja. Watak keras dan ulet
yang dimiliki Tukijan pula yang mendorong keinginannya untuk dapat
hidup lebih baik dan layak. Ia salah satu orang yang tidak mengenal kata
28
Ibid., h. 98
67
menyerah dalam mewujudkan impiannya. Keinginan Tukijan adalah bisa
memiliki sebidang tanah dan mendapatkan Retno sebagai seorang istri.
Hingga tahapan akhir cerita tetap memperlihatkan konsistensi
sikap Tukijan sebagai tokoh yang teguh pendirinya terhadap apa yang dia
inginkan sejak awal. Pada akhirnya sikap konsisten Tukijan pun dapat
menghantarkan kepada terwujudnya impian-impian yang telah ia susun
sejak awal, meskipun dalam pencapaian tersebut tidak berjalan mulus.
Tokoh Tukijan juga dihadirkan Arifin untuk tetap menjadi tokoh yang
konsisten dalam menjalani hidup secara realistis dari awal cerita hingga
akhir.
4) Retno
Berbeda dengan tokoh Mae yang keibuan dan pasrah. Retno
cenderung lebih sinis dalam menghadapi hidup. Sikap sinisnya terlihat
melalui setiap peristiwa yang ia hadapi. Retno cenderung menunjukan
amarahnya disetiap peristiwa. Hal tersebut disebabkan oleh
kekecewaannya terhadap masa lalunya. Ia memiliki kenangan buruk
terhadap rumah tangganya dan itu yang membuat hidupnya penuh dengan
rasa penyesalan akan kematian anaknya yang masih kecil. Hingga
akhirnya ia memilih untuk menjalani hidupnya sebagai seorang pelacur.
Berdasarkan peristiwa yang terjadi, tokoh Retno masuk ke dalam
tokoh tambahan yang utama. Retno merupakan salah satu tokoh yang
memiliki pengaruh terhadap rangkaian peristiwa yang terjadi kepada
Mae, sebab mereka memiliki kedekatan karena sama-sama seorang
perempuan yang hidup sendiri dan harus berjuang untuk menghidupi
dirinya.
Retno : Banci sinting, banci sinting, banci sinting! Uuuuu!
(meludah) pasti mahasiswa dia. Nafsu melimpah uang serupiah.
68
Panut : ngaku santri lagi.
Retno : tahu saya. Kita sering lihat dia lewat. Rumahnya pasti
dekat rumah Haji Bilal. Kalau saya sedang mencuci ia selalu
lewat. Kalau siang ia buang mukanya jauh-jauh dari
saya(meludah). Tapi kalau malam naik turun nafsunya melihat
kecantikan saya. (tertawa) besok malam saya peluk dia dari
belakang (meludah) pura-pura.29
Dialog tersebut menunjukan bagaimana Retno bersikap tiap
harinya. Pekerjaannya sebagai seorang pelacur membuatnya bicara secara
blak-blakan meski ia seorang perempuan. Selain itu Retno cenderung
terlihat lebih menggunakan emosi dalam setiap peristiwa yang terjadi.
Retno :sejak gadis dulu aku mengidamkan dapat melahirkan
anak laki-laki. Anak itu laki-laki dengan mata yang teduh seperti
kolam. Hatiku selalu bergetaran menyanyi setiap kali bertemu
dengan mata itu. tapi makin lama mata itu makin kering sembab
bapaknya tidak pernah melakukan apa-apa. Suatu ketika aku
sakit. (lama diam) Anak itu sakit. Kelaparan. Ia mati. Sejak itu
aku hampir gila oleh perasan kecewa dan sesal. (diam) suatu
hari suamiku pulang setelah menuntaskan bergelas-gelas arak.
Bukan main aku marah. Dan sekonyong nasib turut campur.
Rumah itu terbakar. (gerahamnya merapat ketat) Setan!
Setan!.30
Kehadiran tokoh Retno dalam drama Mega,mega
merepresentasikan sosok wanita yang sinis, ia cenderung menggunakan
emosi dan mudah meluapkan perasaannya menanggapi peristiwa yang
terjadi baik pada dirinya sendiri maupun di lingkungannya. Namun di sisi
lain Retno merupakan tokoh yang mewakili sosok wanita yang tegar dan
tangguh menghadapi kehidupannya yang serba kekurangan dan berusaha
untuk dapat menyenangkan dirinya sendiri. Ia juga menggambarkan
wanita urban miskin yang cacat moral, pekerjaannya merupakan cara
29
Ibid., h. 12 30
Ibid., h. 17
69
untuk bertahan hidup akan tetapi usahanya untuk bertahan hidup
melanggar norma masyarakat.
Retno : (bangkit marah)Apa kau pikir kau juga mencintai saya?
Omong kosong!kau Cuma mencintai dirimu sendiri. saya akui
yang paling saya cintai tentu diri saya sendiri, sebab tak ada
orang yang mencintai orang lain lebih daripada mencintai
dirinya sendiri.
Tukijan : kenapa kau jadi marah-marah begitu?
Retno : (marah) siapa yang mulai?
Tukijan : saya marah karena kau berubah sikap lagi.
Retno : saya marah karena aku marah. Belum apa-apa sudah
berani marah-marah. Akan kau jadikan apa saya di tanah
seberang sana? Jadi babu? Seenaknya saja. apa kau pikir saya
akan mati kelaparan kalau tetap tinggal di sini?(tiba-tiba
menangis) saya jadi bingung.31
Melalui dialog yang dihadirkan, Retno juga mencoba melawan
apa yang akan terjadi. Ia mewakili sebagian wanita yang tetap
memperjuangkan kebahagiaan dirinya dengan caranya sendiri. Meskipun
sensitivitasnya sebagai seorang wanita terkadang muncul, akan tetapi ia
selalu memiliki cara sendiri untuk keluar dari masalah yang sedang ia
hadapi.
Retno : saya bingung karena terlampau banyak orang yang saya
cintai. Dan, O Gusti, saya tidak bisa melupakannya. Saya sangat
mencintai perempuan tua itu.32
Retno yang memiliki kedekatan dengan Mae karena sama-sama
sebagai seorang perempuan yang hidup dan berjuang untuk dirinya
sendiri merasa tidak tega meninggalkan Mae. Sisi sensitifnya sebagai
seorang perempuan sekaligus sebagai anak muncul disaat-saat
31
Ibid., h. 117 32
Ibid.,
70
kepergiannya bersama Tukijan. Berdasarkan tahapan peristiwa yang
dialami Retno sejak awal kemunculannya, Retno merupakan tokoh yang
tidak berubah. Ia tetap mudah meluapkan emosi yang ia rasakan saat itu
juga disetiap peristiwa yang sedang ia alami.
5) Hamung
Berdasarkan jenisnya, Hamung masuk ke dalam tokoh tambahan
(yang memang) tambahan. Nama Hamung diambil dari dua kata yakni
„ha‟ dan „mung‟. „Ha‟ dalam bahasa Jawa seolah tidak memiliki makna
dan biasanya dijadikan bahasa umpatan sedangkan kata „mung‟ memiliki
makna „hanya/cuma‟ sehingga jika digabungkan kata „Hamung‟ memiliki
makna „ah hanya/Cuma‟. Dalam bahasa Jawa kata Hamung jika
dilafalkan menjadi Ha-mung ini biasanya digabungkan dengan kata
„ngono‟ sehingga menjadi kalimat „ha mung ngono‟ memiliki makna
„Cuma/hanya seperti itu, jadi jangan diambil pusing‟. Hal tersebut sesuai
dengan watak Hamung yang tidak mengambil pusing perihal hidupnya.
Hamung : kau sendiri percaya?
Koyal : tentu saja. sudah bayar.
Hamung : ya. Sudah. Sama saja.
Koyal : apanya yang sama?
Hamung : ya, kalau kau sendiri percaya pada tukang nujum itu
saya ya turut-turut percaya. Biar kau senang. Kau „kan selalu
ingin senang?
Koyal : (tertawa) bagaimana kau ini. Senang itu „kan tujuan
semua orang?.33
33
Ibid., h. 29
71
Meskipun Hamung merupakan salah satu tokoh yang terlihat
tidak cocok dengan pemikiran Koyal, akan tetapi ia berbeda dengan
Tukijan yang secara terang-terangan menyakiti Koyal dengan
tindakannya menyobek lot lotre. Di sini Hamung mencoba masuk ke
dalam pemikiran Koyal dan terlihat mengikuti kemana arah pembicaraan
mereka tanpa adanya perlawanan pemikiran yang terang-terangan
menolak Koyal dan membuatnya sakit hati. Bahkan dalam rangkaian
peristiwa yang terjadi hingga babak terakhir Hamung masih terlihat
menahan diri untuk tidak menyakiti Koyal karena khayalannya yang
mustahil.
Tokoh Hamung merupakan tokoh yang sudah memiliki
pemikiran sebagai seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut pula yang dapat
menjadikan Hamung tidak terlihat membenci atau menentang tokoh
Koyal. Ia merupakan salah satu tokoh yang dapat menahan egonya
terhadap orang lain. Ia juga memiliki sisi kebapakan. Hamung yang
mengajarkan Panut untuk dapat menjadi laki-laki dewasa dan tidak
cengeng menghadapi kehidupan mereka yang keras dan serba terbatas,
meski mereka berada dalam kemiskinan.
Hamung :barangkali saya akan nguli di sana. Atau kembali ke
pekerjaan lama; becak. Tapi saya akan berusaha jadi calo. Kau
harus membesarkan otot di Sumatra. Musuhmu bukan saja
binatang tapi batang pohon raksasa. Kau pernah dengar cerita
mbah Wirjo tentang sebuah keluarga yang habis musnah karena
didatangi seekor ular? Saya tidak punya apa-apa tapi saya ingin
punya apa-apa kalau sudah lama saya tinggal di Jakarta. Saya
kira saya harus banyak belajar pada orang-orang Batak…Saya
harus seprti mereka. Kalau ukuran meraka mati saya pun harus
demikian…”.34
34
Ibid., h. 104
72
Selain Tukijan, Hamung juga tokoh yang memiliki rasa optimis
terhadap masa depan. Ia menjalani hidup dengan realita yang ada di
sekelilingnya serta mau mencoba belajar dari lingkungan yang ia tinggali.
Rangkaian peristiwa yang dialami Hamung menunjukan bahwa ia
konsisten terhadap sikapnya yang selalu memiliki tekad kuat untuk
bekerja demi kehidupannya yang lebih baik. Tokoh Hamung juga
merupakan salah satu tokoh yang mampu mengendalikan egonya
menyikapi setiap peristiwa yang terjadi.
6) Panut
Tokoh Panut masuk ke dalam tokoh tambahan (yang memang)
tambahan. Meskipun ia berperan sebagai tokoh tambahan, akan tetapi
Panut memiliki andil yang besar terhadap tema yang ingin disampaikan
mengenai kemiskinan pada masyarakat urban. Tokoh Panut dikatakan
sebagai tokoh yang lugu dikarenakan terlihat dari bagaimana cara Panut
mengikuti orang disekitarnya untuk dapat bertahan dalam kehidupan
sosial kalangan bawah. Rangkaian peristiwa yang menunjukan bagaimana
peran dan watak Panut dapat terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Panut : soal baik tidaknya saya tidak peduli. Soalnya tangan ini.
Sial. Setengah tahun sudah latihan tapi sekalipun tak pernah
saya berhasil. Bagaimana saya tidak jengkel?
Mae : jengkel pada siapa?
Panut : pada diri saya sendiri. coba di pasar pringharjo. Jelas
laki-laki itu orang yang ceroboh. Artinya kalau saya pinter dan
cekat tentu vulpennya sudah saya dapatkan. Tapi kaki saya
gemetar. Karena gemetar rusak segalanya. Vulpen itu sudah di
tangan, tapi kaki sukar dilangkahkan. Terpaksa saya berikan
lagi vulpen itu ketika mata laki-laki itu melotot dan segera saya
menghilang.35
Pada dialog ini menjelaskan bagaimana pekerjaan Panut yang
tidak menentu dan tidak jelas. Ia hanya mengikuti apa yang dilakukan
35
Ibid., h. 30
73
oleh orang terdekatnya agar dapat uang untuk makan dan bertahan hidup.
Ia tidak lagi memikirkan bagaimana bekerja yang baik dan buruk sebab
yang ia pikirkan bukan soal menaikkan statusnya dari miskin ke kaya
akan tetapi yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mendapat uang untuk
makan. Ia juga cenderung malas untuk mencari pekerjaan lain yang lebih
layak untuk bertahan hidup.
Tokoh Panut dihadirkan sebagai representasi karakter orang yang
lugu dan suka mengikuti orang terdekatnya, hal tersebut terlihat saat
Panut menjawab pertanyaan dari Mae mengenai Tuhan.
Mae : Nah, itu baik sekali. Mae percaya kau memang anak yang
baik. Kau pernah dengar suara adzan tidak?
Panut : setiap kali saya dengar.
Mae : maksudku kau percaya Tuhan tidak?
Panut : seperti setiap orang. Tapi mas Woto bilang Tuhan itu
tidak ada. Tuhan itu racun. Tuhan itu arak. Candu. Tuhan itu
asap rokok. Kata mas Marwoto.
Mae : itu tidak perlu. Kau sendiri percaya tidak?kalau kau
percaya memang tak layak kau mencopeti barang milik orang
lain.36
Dialog Panut dengan Mae menggambarkan bagaimana cara
Panut bertingkah laku dalam kesehariannya dan cara pandang panut
mengenai sesuatu. Tanggapan Panut terhadap pertanyaan Mae
menggambarkan bagaimana pemikiran Panut tentang Tuhan yang ia
ketahui melalui pendapat Mas Woto. Ia hanya mengikuti apa yang biasa
orang sekelilingnya lakukan tanpa memikirkannya kembali dan
cenderung tidak memiliki pendirian sendiri terhadap kehidupannya.
Panut : tapi kau seharusnya menerangkan semua itu. saya ingin
menjadi laki-laki yang jantan.
Hamung : betul?
36
Ibid., h. 7
74
Panut : betul. Bagaimana?
Hamung : itu gampang.
Panut : bagaimana?
Hamung : kalau saya berangkat nanti, tepat sewaktu saya
melangkah kaki ke sana kau harus membenci saya. Setidak-
tidaknya kau boleh menyimpan perasaan apapun karena
peristiwa itu. Sekalipun kita sudah lama sekali bergaul.37
Pada peristiwa keberangkatan Hamung yang diantar oleh Panut,
Hamung mengajarkan kepada Panut agar menjadi laki-laki jantan. Pada
saat itu juga setelah kepergian Hamung, Panut menuruti apa yang telah
Hamung ajarkan kepada dirinya. Melihat peristiwa ini menujukan bahwa
tokoh Panut tetap menjadi tokoh yang belum bisa melakukan sesuatu
sesuai dengan keyakinannya sendiri ia masih mudah menuruti orang lain,
meskipun di sisi lain keinginan Panut menuruti Hamung adalah agar ia
bisa menjadi laki-laki dewasa.
d. Latar
Latar merupakan lingkungan. Latar berkaitan dengan penokohan
dan alur. Latar harus saling menunjang dengan alur dan penokohan dalam
membangun permasalahan dan konflik. Latar cerita adalah tempat umum
(general locale), waktu kesejarahan (historical time ), dan kebiasaan
masyarakat (social circuntances) dalam setiap episode atau bagian-bagian
tempat.
Latar Tempat
Secara garis besar latar tempat yang digunakan dalam drama
Mega,mega adalah di kota Yogyakarta. Meskipun pada babak kedua
terdapat beberapa tempat yang dikunjungi para tokoh, akan tetapi tempat
37
Ibid., h. 111
75
tersebut hanya merupakan hasil dari khayalan Koyal semata dan bukan
tempat sesungguhnya. Tempat-tempat khayalan Koyal tersebut antara
lain: Gedung Bank, Tawangmangu, Rumah makan, Toko pakaian, dan
Kerajaan. Adapun tempat yang bukan merupakan hasil khayalan Koyal
dan merupakan tempat yang dijadikan mereka untuk tinggal adalah
sebagai berikut:
Yogyakarta
Retno : lama-lama aku jadi ingin pergi dari Yogya ini
Mae : kemana?
Retno : kemana saja. (tiba-tiba) Aduuuuuh!
Mae : kalau kau bilang begitu pada Tu….
Retno : diam! Si banci itu lewat lagi.38
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa tokoh Retno
sebebnarnya menginginkan untuk pergi dari Yogya. Pada tahun 1960-
an, kota Yogyakarta merupakan salah satu pusat kota di Indonesia
yang ramai didatangi oleh pendatang dari luar daerah Yogya. Tujuan
mereka tentu saja untuk mengadu nasib di kota tersebut dan mencari
kerja agar memiliki penghasilan yang memadai bagi kehidupan
mereka. Seperti halnya Mae, setelah ia ditinggal meninggal suaminya,
ia datang dari Tegal ke Yogyakarta untuk mengadu nasib menjadi
penjual nasi. Akan tetapi berbanding terbalik dengan Mae yang
berjuang dengan cara jualan makanan demi memenuhi kehidupannya,
tokoh Retno yang tidak memiliki jenjang pendidikan tinggi disertai
tidak memiliki keterampilan untuk mencari pekerjaan ia malah
memilih pekerjaan sebagai wanita tunasusila di kota tersebut.
Berdasarkan kutipan dialog di atas terlihat bagaimana Retno
mulai jenuh tinggal di kota Yogya. Kota yang semakin padat penduduk
38
Ibid., h. 11
76
dan belum dapat menjamin kehidupannya menjadi lebih baik. Akan
tetapi keinginan Retno yang mengatakan ingin pergi seperti berlalu
begitu saja saat kemunculan pemuda yang menarik perhatiannya.
Di bawah tiang listrik
Mae, Retno, dan Hamung sudah nyenyak tidur. Tukijan
terbaring gelisah setengah tidur di atas tikar. Sedangkan
Koyal asyik masyuk di tengah impian-impiannya dengan
serulingnya duduk di bawah tiang listrik.39
Latar tempat di tiang listrik ini sering digunakan untuk
menggambarkan tokoh Koyal saat ia semakin gila dengan
khayalannya. Jika dilihat melalui peristiwa yang berlangsung, maka
tempat tiang listrik ini merupakan tempat yang biasa Koyal gunakan
untuk menumpahkan segala keinginan dan tempat berkhayalnya.
Di bawah tiang listrik Koyal berjongkok membelakangi
penonton. Ia menangis.
Koyal : Semua tahu kalau Koyal menang lotre. Kau juga
sudah tahu. Kelalawar juga sudah tahu, saya telah menjadi
orang yang terkaya. Kau juga, rumput. Kau juga maklum,
beringin tua. Lebih-lebih kau bulan….40
Di bawah tiang listrik juga digunakan Koyal sebagai tempat
untuk menumpahkan segala yang sedang ia rasakan. Tidak hanya saat
ia girang karena Hampir menang lotre, tetapi tiang listrik ia jadikan
tempat untuk mengadu.
Alun-alun
Mae : Tidak baik. Apalagi untuk malam ini. Aku bilang
senang. Malam ini malam terang bulan. Sangat
menyenangkan tidur di alun-alun ini. Di muka pegelaran.
39
Ibid., h. 43 40
Ibid., h. 84
77
Berkat. Sinuwun itu sakti. Alangkah segarnya. Kita boleh
melamun dengan sempurna di sini.
Panut : Tidak bau air kencing seperti di Musium.41
Alun-alun merupakan tempat yang dijadikan untuk berkumpul
orang-orang atau hanya sekedar ngobrol. Sedangkan dalam drama
Mega,mega karya Arifin ini latar tempat utama yang digunakan yaitu
alun-alun, sebab lokasi warung Mae yang menjadi tempat
berkumpulnya semua tokoh adalah di tempat ini. Alun-alun juga dapat
menggambarkan bagaimana keadaan dan situasi orang-orang yang
bertahan hidup di tempat tersebut, sebab emperan alun-alun
merupakan tempat mereka untuk tidur dan bertahan hidup.
Latar waktu
Latar waktu yang terdapat dalam drama Mega,mega merupakan
latar waktu yang sangat singkat, sebab seluruh peristiwa hanya
berlangsung dalam satu malam saja. Latar waktu yang terjadi dalam
drama ini hanya dua, yakni malam hari dan subuh.
Malam hari
Koyal :(berhenti bermain suling) Uuuuu.Uuuu!Uuuuu!!
(melepas nafas kepada beringin) Selamat malam, beringin
tua. (kepada bulan) Selamat malam, bulan gendut. (kepada
rumputan) Selamat malam, rumput. (memandang keliling)
selamat malam semuanya. Huh malam!...42
Latar dan peristiwa yang terjadi dalam dialog di atas yaitu
malam hari saat Koyal akan memulai khayalannya. Malam hari
merupakan waktu yang sering digunakan manusia untuk bermimpi,
dan Koyal pun memanfaatkan waktu tersebut dengan baik, yakni
41
Ibid., h. 13 42
Ibid., h. 43
78
bermimpi melalui khayalan. Ia sedang menikamti kemenangan
lotrenya dan ingin mengajak semua menikmati kemenangannya, tak
terkecuali malam hari saat bulan masih menunjukan bentuknya.
Jika manusia umumnya akan melakukan segala aktivitasnya
pada siang hari untuk memenuhi kebutuhannya, maka Koyal
melakukannya pada malam hari. Dalam drama Mega,mega ini Arifin
menampilan bagaimana proses Koyal menikmati khayalannya pada
malam ini. Hal tersebut dapat diartikan bahwa khayalan Koyal
merupakan representasi dari mimpi-mimpi setiap orang di malam hari
dan memiliki arti bahwa khayalan Koyal adalah peristiwa yang
absurd(tidak nyata).
Subuh
Azan subuh berkumandang di udara di sela-sela garis cahaya
fajar yang lembut. Lalu Mae muncul lagi.
Mae : Gusti pangeran. (anaknya bangun) Kau bangun,
sayang. Kau tertawa, sayang. (memainkan anak itu) Nah, cah
bagus. Kita tak pernah mendapatkan tapi selalu merasa
kehilangan. (memejamkan mata) Tak ada. Sama saja—
Gustiku, Cuma kita berdua.43
Waktu subuh di sini merepresentasikan bahwa waktu subuh
merupakan awal manusia untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Melalui dialog ini juga menggambarkan selesainya kegiatan bermimpi
manusia saat terlelap tidur malam dan kembali bangun untuk
melanjutkan kehidupan yang sebenarnya.
Latar sosial-budaya
Latar sosial budaya menunjuk pada hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat. Latar sosial yang terdapat
dalam Mega,mega menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa yang
43
Ibid., h. 123
79
hidup di kota Yogyakarta. Hal tersebut dapat terlihat melalui penggunaan
nama-nama tokoh serta bahasa yang digunakan.
Mae : Sinuwun! Sinuwun! Malam lagi! Ini malam syura.
Malam syura! Apa? (menggeleng-geleng dengan sedih. Ia
menangis tapi ia sudah capek)…
Mae : Gustiku. Gusti Pangeran. Kenapa? Gusti. Kenapa kau
jadi bisu.44
Dari diaog di atas terlihat bagaimana penggunaan nama tokoh
mencerminkan sosok orang Jawa. Seperti nama Mae merupakan nama
panggilan masyarakat Jawa yang digunakan untuk memanggil seorang
ibu. Seperti tokoh Tukijan, Koyal, Retno, Hamung, dan Panut merupakan
nama-nama yang diambil dari nama Jawa. Sedangkan kata „Sinuwun‟ dan
„Gusti‟ merupakan ungkapan yang biasa digunakan masyarakat Jawa
untuk menyebut atau memanggil Tuhan dengan rasa kepasrahan diri. Hal
lain yang menunjukan bahwa drama ini merupakan gambaran masyarakat
Jawa adalah terlihat melalui keadaan lingkungan.
Samar-samar dari kejauhan kedengaran orkes jalanan sedang
memainkan kroncong langgam Jawa tema cinta.45
Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana suasana yang
terjadi dalam drama yang bertempat di alun-alun Yogyakarta yang
merupakan tempat keramaian di kota tersebut sangat bernuansa
keJawaan. Hal tersebut terlihat melalui lagu yang dinyayikan orkes
jalanan digunakan sebagai back sound cerita.
d. Gaya bahasa
Terdapat beberapa gaya bahasa yang digunakan dalam
Mega,mega antara lain: metafora, pars prototo, simile, antonomasia.
44
Ibid., h. 4 45
Ibid., h. 40
80
Metafora
Majas ini berfungsi untuk menggambarkan suasana kejiwaan
tokoh, yakni saat Hamung meluapkan kekesalannya terhadap Tukijan.
Majas metafora ini terdapat pada bagian pertama yakni dalam dialog
Hamung yang tiba-tiba datang dan mengajak berbicara dengan Retno,
Panut dan Mae.
Hamung : Maunya kita sama-sama, tapi si Tukijan itu plintat-
plintut seperti orang banci…46
Berdasarkan kutipan tersebut terlihat bagaimana warga yang
tinggal di Yogya mulai jenuh dengan kondisi ekonomi di tempat tersebut.
Keadaan ini digambarkan melalui dua tokoh yaitu Tukijan dan Hamung.
Mereka pada awalnya beranggapan bahwa Yogyakarta merupakan kota
besar yang dapat mengubah nasib menjadi lebih baik. Tapi pada
kenyataannya penghasilan yang mereka dapatkan tidak dapat memenuhi
kebutuhan mereka, sehingga munculah kekecewaan dan merekapun ingin
mengubah hidupnya di tempat lain yang lebih menjanjikan yakni
Sumatera, yang pada saat itu masih besar kemungkinan untuk
mensejahterakan kehidupan dengan kekayaan alamnya.
Pars prototo
Dalam drama Mega,mega juga terdapat majas pars prototo yang
terdapat dalam dialog Hamung. Majas ini digunakan untuk
menggambarkan suasana hati tokoh Hamung terhadap tokoh Tukijan.
Dialog tersebut adalah sebagai berikut:
Hamung : …E, tau-tau, baru saja keluar dari stasiun Tugu
sore tadi, keluar dengan karcis di tangan, nyelonong
hidungnya.
46
Ibid., h. 19
81
Retno: hidung siapa?
Hamung : Tukijan.47
Dialog di atas menggambarkan bagaimana kekesalan Hamung
terhadap Tukijan yang menunda keberangkatannya ke Sumatera tanpa
alasan yang ia ketahui. Pada dialog di atas Hamung menggunakan majas
pars prototo tersebut untuk menyebut tokoh Tukijan.
Simile
Majas simile terdapat pada dialog Hamung saat sedang mengejek
Panut dan menyamakan kegilaan Panut dengan Koyal. Berikut
kutipannya,
Hamung : habis kau seperti orang yang kehilangan kepala.
Kalau terus begitu kau bisa sinting. Tapi ya bagus juga.
Kalau kamu miring, si Koyal ada kawannya. Ya, tentu ada
bedanya. Kalau Koyal ke sana kemari pamer bahwa dia anak
kumico dan bangga akan badannya yang jangkung seperti
opsir Belanda, sebaliknya tentu kamu gembar gembor bilang
masih keturunan Jepang.(tertawa).48
Berdasarkan kutipan di atas terlihat bagaimana perilaku
masyarakat berpengaruh terhadap cara hidup mereka. Tokoh Hamung
menggambarkan bagaimana cara guyonan orang pinggiran yang
ditanggapi dengan santai oleh Panut dan tokoh lain. Hamung mengatakan
bahwa Panut sinting karena kelakuannya yang berpura-pura menjadi bisu
dan Panut melakukan bisu-bisuan itu untuk mengemis. Perilaku Panut
sendiri tentunya yang menyebabkan keadaan sosial ekonominya tidak
berubah. Keterampilan yang ia miliki sangat terbatas akan tetapi
kebutuhan ekonomi menuntutnya untuk terus dapat bertahan hidup
sehingga berbagai cara ia lakukan untuk mendapat uang, salah satunya
47
Ibid., 48
Ibid., h. 22
82
dengan mengemis. Perilaku Panut tersebut merupakan gambaran akibat
dari terjadinnya tuna karya yang tidak dapat bersaing untuk mendapatkan
pekerjaan disertai sikap malas untuk berusaha menjadi pekerjaan yang
lebih baik.
Antonomasia
Majas ini digunakan sebagai penghargaan kepada tokoh Koyal
yang menjadi Raja dalam kerajaan khayalannya. Majas antonomasia
terdapat dalam bagian kedua, yakni dalam dialog Tukijan saat memanggil
Koyal sebagai Rajanya.
Tukijan : ampuni hamba, Sinuwun Gusti. Sehubungan dengan
kuwajiban hamba, perkenankanlah hamba bertanya bukankah
tatkala paduka berkenaan belanja di toko Kim sin paduka
telah hilap, maksud hamba paduka belum bayar.49
Pada masyarakat Jawa, khususnya keluarga kerajaan panggilan
seorang raja merupakan salah satu hal yang sangat penting. Melalui nama
yang digunakan akan terlihat tingkat strata sosial seseorang. Selain itu
tentunya panggilan tersebut berpengaruh terhadap perlakuan istimewa
masyarakat kepada orang yang memiliki gelar tersebut. Sama seperti
halnya nama panggilan yang akan Koyal gunakan merupakan tanda
kedudukannya dalam kerajaan khayalannya.
e. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya atau pendengar.50
Setiap pengarang memiliki tujuan atau pesan tersendiri yang ingin
49
Ibid., h. 84 50
Wahyudi Sisiwanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT.Grasindo, 2008). h. 162.
83
disampaikan kepada para pembacanya melalui karya yang mereka buat,
baik dalam bentuk pertunjukan maupun naskah drama.
Pertunjukan maupun naskah drama selalu berisi pesan yang
disampaikan melalui dialog-dialog tiap tokoh, sehingga diharapkan pesan
yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pembaca maupun
penonton. Begitupun Arifin C. Noer dengan drama Mega,mega-nya.
Berkaitan dengan situasi atau keadaan sosial yang terjadi dalam
masyarakat, banyak pesan yang dapat diambil melalui drama tersebut.
Seperti drama Mega,mega yang menghadirkan cara masyarakat urban di
tengah kemiskinan. Dengan demikian dapat diambil kesimmpulan bahwa
amanat dari drama Mega,mega yaitu menyikapi hidup di tengah kondisi
ekonomi miskin.
B. Perilaku Masyarakat Urban
Analsis perilaku dapat diketahui melalui analisis intrinsik yang telah
dilakukan, yakni analisis mengenai tokoh dan penokohan. Analisis tersebut telah
menjelaskan bagaimana perilaku tiap tokoh dalam menyikapi hidup mereka
sehingga berpengaruh terhadap kemiskinan yang mereka alami. Sedangkan
analisis selanjutnya menekankan pada perilaku yang terbentuk dalam masyarakat
urban menggunakan teori paradigma perilaku dalam buku Zamroni, berikut
bentuk-bentuk perilaku masyarakat urban dalam drama Mega,mega.
1. Proposisi keberhasilan
Semakin sering suatu tindakan mendapatkan ganjaran, maka akan
semakin sering pula tindakan dilakukan oleh orang yang bersangkutan.
Mengacu pada teori tersebut maka yang masuk ke dalam proposisi ini adalah
Koyal. Meskipun Koyal dikenal sebagai orang yang gila dan cenderung
disepelekan, akan tetapi apa yang dilakukan oleh Koyal juga sering mendapat
respon positif dari orang sekitarnya. Respon positif yang selalu diberikan
84
adalah dari Mae. Mae selalu memanjakan Koyal dan memberi perhatian lebih
pada Koyal. Hal tersebut terlihat melalui kutipan berikut,
Retno & Hamung: (hampir bersamaan) Kau menang?
Koyal : (tersenyum bangga) hampir!
Retno : ha?
Koyal : (tersenyum bangga) Hampir! Cuma beda sedikit. Beda satu
(tertawa).
Retno : edan.
Hamung : Biasa. Kepala penjol otaknya ya penjol.
Mae : (riang) anakku dapat lotre!
Koyal : (bangga) hampir Mae.
Mae : Syukur. Syukurlah. Hampir.51
Berdasarkan kutipan tersebut dapat terlihat bagaimana respon yang
diberikan Mae sangat berbeda dengan lainnya. Hamung dan Retno cenderung
menganggap Koyal benar-benar sudah edan karena uang. Sehingga semua
yang dilakukan Koyal berpusat kepada uang untuk menjadi kaya akan tetapi
usahanya mustahil menjadikannya kaya, sedangkan Mae cenderung
mendukung apapun yang Koyal lakukan. Respon dari Mae ini dapat
menyebabkan tindakan Koyal kembali diulang, sebab ia merasa bahwa yang
ia lakukan bukanlah tindakan yang salah, justru ia merasa bahwa tindakannya
ini merupakan cara yang tepat untuk dapat menjadi kaya secara cepat.
Panut : Makan pun tak mau ia urunan seperti kita-kita ini. Dia cuma
makan. Bayar tidak mau.
Retno : (tertawa) Dan edannya uang hasil minta-mintanya ia belikan
lotre. Entah sudah berapa puluh lembar lotre dibelinya. Satu kalipun
belum pernah ia menang.
Mae : biarkan ia tidak urunan. Ini permintaan Mae. Mae bilang, kalau
kalian semua yang Mae masakkan boleh Mae anggap sebagai anak-
anak Mae…52
Sikap Mae yang selalu memanjakan Koyal merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan Koyal semakin malas untuk bekerja. Selain itu
51
Arifin, Op.Cit., h. 28 52
Ibid., h. 23
85
respon yang sering Mae tunjukan kepada tindakan Koyal yang selalu
memimpikan uang menunjukan bahwa apa yang Koyal lakukan merupakan
hal yang wajar. Mae juga justru cenderung mengingatkan yang lainnya agar
sama-sama menghargai apa yang Koyal lakukan, meski pada kenyataannya
Koyal merupakan orang yang gila.
Perilaku yang terjadi pada Koyal ini merupakan bentuk perilaku
negatif dari masyarakat urban yang tidak mau berusaha untuk mengubah
hidupnya melalui cara bersaing dengan lainnya untuk mendapat pekerjaan.
Perilaku Koyal juga cenderung dilakukan secara berulang untuk mencapai
kepuasaan bagi dirinya sendiri.
2. Proposisi stimulus
Proposisi ini menekankan jika stimulus tertentu merupakan kondisi di
mana tindakan mendapat ganjaran, maka jika muncul stimulus yang serupa
makin besar kemungkinannya untuk mengulang tindakan seperti sebelumnya.
Perilaku ini digambarkan oleh Retno, ia merupakan seorang wanita yang
bekerja sebagai wanita tunasusila. Tindakan bekerja sebagai wanita tunasusila
tidak akan diulangi jika ia tidak mendapat respon yang menguntungkan
dirinya, yakni mendapat respon dari laki-laki dan ganjaran berupa uang atas
apa yang telah dilakukan.
Retno : (tertawa lalu meludah). Hanya orang banci saja yang lewat
sini tanpa sekerlingpun melihat pinggang saya.
Mae : Memang kau cantik.
Retno : Tidak Cuma itu. montok. (tertawa lalu meludah). Kadang-
kadang saya ingin berpodato di alun-alun ini. pidato di hadapan
berjuta-juta laki-laki. Telanjang. Kalau tidak-sebentar! Pemuda itu
berdiri saja di pojok di jalan itu. (membetulkan letak kutangnya)
rejeki tidak boleh terbang percuma begitu saja. (pergi menyusup
gelap).53
Meskipun tindakan yang dilakukan sering mendapat stimulus respon
yang menguntungkan baginya, akan tetapi perilaku Retno ini dapat dikatakan
53
Ibid., h. 3
86
sebagai perilaku negatif, sebab melanggar norma yang berlaku dalam
masyarakat secara umum. Perilaku Retno juga dapat dikatakan sebagai
perilaku yang cacat moral.
Pekerjaan yang Retno lakukan pada dasarnya untuk mendapatkan uang
demi mencukupi kehidupannya, akan tetapi perilaku yang terbentuk tidak
dapat mendorong perubahan ekonominya menjadi lebih baik. Ia juga tidak
memiliki pemikiran untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan
dirinya dan mendapat penghasilan lebih baik dan banyak.
Perilaku Retno ini menggambarkan bagaimana kemiskinan moral dan
mental seseorang dapat membentuk perilaku negatif. Selain itu rendahnya
pendidikan yang didapat dan minimnya keterampilan juga menyebabkan
sulitnya seseorang bersaing dalam masyarakat untuk memperoleh pekerjaan.
3. Proposisi nilai
Menurut proposisi ini jika seseorang dihadapkan pada alternatif
beberapa pilihan, maka seseorang akan memilih tindakan yang paling
menguntungkan, dilihat dari segi waktu, nilai hasil, dan berdasar berbagai
kemungkinan pencapaian hasil. Seperti halnya yang dipikirkan Tukijan dan
Hamung, kemudian merekapun dihadapkan pada pilihan untuk tetap tinggal di
Yogyakarta dengan kemiskinan yang terus melilitnya atau pergi ke Sumatera
yang menjajikann lahan untuk dapat mereka olah guna mendapat penghasilan.
Meskipun Tukijan mengambil pilihan untuk menunda keberangkatan ke
Sumatera dengan alasan untuk membujuk Retno, tetapi Tukijan tetap pada
pilihan awalnya untuk pergi ke Sumatera bersama Retno.
Tukijan : Saya juga tidak suka menjanjikan apa-apa. Semuanya masih
bakal. Yang saya miliki hanya kemauan. Dan lagi kita hanya
mendengar bahwa tanah di seberang penuh kekayaan yang masih
terpendam. Sangat luas. Segalanya masih terpendam. Segalanya. Di
dalam tanah dan di dalam diri kita. Kalau kita sungguh-sungguh
87
menghendaki, kita harus mengangkatnya ke permukaan hidup kita.
Saya kira begitu.54
Dari kutipan tersebut Tukijan mengatakan bahwa apa yang benar-
benar kita yakini kelak sesuatu itu akan terwujud melalui tekad dan kerja
keras. Tukijan merasa usahanya hidup di Yogyakarta belum dapat memenuhi
kebutuhan, maka iapun harus berpikir kembali bagaimana caranya agar ia bisa
mendapat kehidupan yang layak. Jalan yang harus ia tempuh untuk
mewujudkannya adalah dengan cara merantau ke tempat lain. Ia berharap
dengan bekal tekad yang dimiliki dan kesungguhan untuk ingin berusaha
mengubah hidupnya, maka semua dapat terwujud.
Hamung : barangkali saya akan nguli di sana. Atau kembali ke
pekerjaan lama. Lama. Tapi saya akan berusaha jadi calo. Kau harus
membesarkan otot di Sumatera. Musuhmu bukan saja binatang tapi
juga batang pohon raksasa…saya tak punya apa-apa tapi saya ingin
punya apa-apa kalau sudah lama saya tinggal di Jakarta. Saya kira
saya harus banyak belajar pada orang-orang batak…Saya pikir
begitu. Saya harus seperti mereka. Kalau ukuran mereka mati saya
pun harus demikian. Saya tidak punya apa-apa.55
Sama halnya dengan Tukijan yang merasa perlu mengubah hidupnya
dengan pergi ke daerah lain untuk mendapat penghasilan yang lebih dari
cukup. Hamung juga memiliki pemikiran demikian. Jika dengan bekerja
apapun bisa menguntungkan dan dapat memenuhi kebutuhanya, maka
Hamung akan bekerja semampunya untuk bisa mendapat apa-apa yang ia
inginkan. Keuntungan yang dihasilkan dari kerja serabutannya di Yogya
belum di rasa cukup untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga ia merasa perlu
mencari pilihan lain supaya dapat memberikannya keuntungan yang lebih
besar, salah satunya dengan merantau ke Jakarta.
Perilaku yang ditunjukan Hamung dan Tukijan merupakan salah satu
wujud semangat dan tekad untuk dapat memanfaatkan sesuatu yang ada.
54
Ibid., h. 41 55
Ibid., h. 104
88
Hamung yang selalu berusaha mencari pekerjaan apapun untuk memenuhi
hidupnya agar bisa mendapatkan apa-apa yang ia inginkan selama ini meski
dengan kondisi fisik yang cacat. Dan Tukijan merupakan salah satu gambaran
dari masyarakat tuna karya yang memiliki keyakinan bahwa apabila kita ingin
mendapatkan sesuatu untuk kebutuhan hidup yang lebih baik, dapat dengan
cara memanfaatkan alam yang ada dengan sebaik-baiknya.
4. Proposisi kejenuhan-kerugian
Semakin sering seseorang menerima ganjaran yang istimewa maka
ganjaran tersebut akan menjadi kurang bermakna.
Tukijan : Saya mengerti. Bukan kau saja yang mencintainya. Banyak
orang mencintainya. Kita semua berhutang budi kepada Mae. Dengan
sayang ia mengurus kita. Paling tidak saya tidak bisa melupakan
masakannya. Kita selalu tidak percaya bahwa dengan bahan-bahan
yang kacau kita dapat menikmati makanan yang luar biasa
lezatnya…tapi apa kau pikir demikian picik Mae sehingga Mae
mengharapkan balasan dari setiap yang dilakukannya untuk kita?
Mae orang tua. Orang tua tidak pernah mengharapkan apa-apa.
Mereka Cuma mengharapkan anak-anaknya senang dan bahagia.
Jauh lebih senang daripada dirinya.
Tukijan: betul-betul kau tidak punya kepala. Apa kau akan makan
tanah karena perempuan tua bangka itu?.56
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa ganjaran istimewa yang
sering kita dapatkan akan menjadi kurang bermakna jika ganjaran tersebut
sering diberikan. Seperti sikap Tukijan yang merasa bahwa tindakan Mae
menyayangi dan mengurus mereka merupakan tindakan wajar yang sudah
seharusnya dilakukan orang tua terhadap anaknya. Padahal pada kenyataannya
Tukijan dan yang lain bukan anak kandung Mae, akan tetapi Mae mengurus
mereka dengan kasih sayang bagai anaknya sendiri. Dalam hal ini dapat
terlihat bagaimana Tukijan menganggap bahwa tindakan Mae bukanlah
sesuatu yang istimewa lagi, sebab tindakan istimewa Mae sering diberikan
kepada mereka yang Mae anggap anaknya, termasuk Tukijan.
56
Ibid., h. 118
89
Mae : (sekonyong-konyong menubruk dan memeluk Tukijan)Jan!
(dalam isak) Jan! (dalam isak) kenapa sama sekali kau tudak punya
rasa terima kasih? Tapi siapa yang memilikinya? Tapi kau anakku.
Kalau sama sekali kau tak punya apa-apa namun paling sedikit kau
harus punya rasa terima kasih. Sekarang kau diam saja serupa
patung-patung di musium. Kau tak melihat saya dalam memandang
saya. Sebab itu gampang kau tinggalkan ibumu sendiri di alun-alun
ini.57
Sesuatu yang menambah rasa sedih Mae adalah karena Tukijan tidak
memperlihatkan kasih sayangnya kepada Mae, meskipun itu hanya
diwujudkan lewat ucapan terima kasih. Pada akhirnya kekecewaan Mae ia
sembunyikan melalui caranya sendiri dengan mengucapkan kalimat “kalau
saya muda pasti saya tak akan mengucapkan kata-kata itu”58
Perilaku tersebut menandakan bahwa hubungan kasih sayang antara
anak dan orang tua tidak hanya diwujudkan lewat tindakan saja, akan tetapi
ucapan singkat pun dapat menunjukan bentuk perhatihan seseorang kepada
orang lain. Seperti halnya ucapan terima kasih yang Mae tunggu dari Tukijan.
Gambaran kasih sayang Mae dengan Tukijan dan Tukijan kepada Mae
tersebut seolah-olah menunjukan bahwa kualitas hubungan berkomunikasi
dalam sebuah keluarga dan ajaran yang diberikan dapat membentuk perilaku
seseorang.
Mae : kalau kau anak say, kuping mu saya jewer. Urat-uratmu masih
keras dan bulat. Tubuh masih utuh. Kau akan meminta-minta serupa
si tua-bangka yang tersia sebatang kara. Panut, Panut. Astaga.
Dagingmu akan busuk kalau tak kau manfaatkan dengan kerja.
Panut : ngemis juga kerja kan? Dikiranya ngemis itu enteng? Kan
makan tenaga juga? Soalnya bukan itu. soalnya sial saya ini. dan lagi
soal makan, bukan soal perasaan.59
Sedangkan kutipan di atas menunjukan ajaran dalam keluarga dapat
berpengaruh dalam pembetukan perilaku seseorang. Mae mencoba
memberikan nasehat kepada Panut, akan tetapi dalam pikiran Panut telah
57
Ibid., h. 103 58
Ibid., h. 103 59
Ibid., h. 8-9
90
tertanam bahwa Mae bukanlah orang tua yang melahirkannya, sehingga ia
merasa tidak punya kuwajiban untuk menuruti nasehatnya. Seperti terlihat
pada kutipan berikut,
Panut : Mae juga saya beri
Mae : jangan.
Panut : ini uang saya. Uang saya sendiri
Mae : tapi kau anak saya
Panut : tapi kau bukan ibu saya.60
Dalam kutipan tersebut dapat dilihat bagaimana Panut sangat tidak
menghormati kehadiran Mae yang telah mengurus dan memberinya makan.
Paling tidak, meskipun ia tidak dilahirkan dari rahim Mae sendiri tapi Panut
juga harus menjaga perasaan Mae dan menghormati Mae sebagai orang tua
yang telah mengurusnya. Dari perilaku Panut tersebut menunjukan rendahnya
kualitas moral yang ia miliki dikarenakan kurangnya pendidikan dari keluarga
inti yang ia dapatkan dan rendahnya pendidikan formal yang bisa memberikan
pelajaran dalam bersikap.
5. Proposisi persetujuan-perlawanan
Apabila tindakan seseorang mendatangkan ganjaran yang ia inginkan,
maka ia akan merasa senang dan menimbulkan persetujuan terhadap sikap
tersebut Namun, jika seseorang tidak mendapat ganjaran seperti yang ia
inginkan, maka besar kemungkinan ia akan menjadi marah dan menimbulkan
perlawanan.
Sikap yang muncul pada Retno merupakan bentuk persetujuan yang ia
terima dari permohonan Tukijan untuk mengajaknya merantau dan
memperistrinya. Persetujuan sikap Retno ini juga dilatarbelangi oleh
dorongan Mae yang mengizinkannya pergi bersama Tukijan. Selain itu
munculnya asumsi dari Mae yang mengatakan bahwa ia akan dapat
memperbaiki hidup dengan cara menjadi istri Tukijan dan berhenti menjadi
60
Ibid., h. 113
91
wanita tunasusila menyebabkan munculnya keputusan untuk menerima ajakan
Tukijan. Sebagai wanita urban yang termasuk dalam golongan tuna karya
karena wujud dari kerawanan sosial sehingga ia memilih bekerja sebagai
wanita tunasusila, maka Retno merasa perlu kualitas hidupnya harus berubah
dengan cara yang menurutnya tidak akan merugikannya, yakni menjadi istri
Tukijan.
Tukijan : Kau telah menghina saya, Yal. Kamu telah mengejek saya.
Berapa kali telah saya katakan tentang ini semua? Kamu boleh, boleh,
boleh melakukan apa saja dengan dia. Siapa bisa melarang? Memang
dia lonte. Saya tahu, Yal. Dia lonte. Karena itu tidak ada yang bisa
melarang kau berbuat apa saja dengan dia. Tidak peduli kau tidak
waras. Tapi jangan di depan muka saya. Berapa kali telah saya
katakan? Jangan di muka saya. Semua kawan mengerti. Tapi diam-
diam rupanya kamu memancing-mancing amarah saya.61
Dari kutipan di atas terlihat adanya perlawanan dari Tukijan melihat
tindakan Koyal yang ia anggap sebagai bentuk penghinaan Koyal terhadap
dirinya. Bentuk perlawanan tersebut ditunjukan Tukijan melalui ucapan dan
tindakan. Ia memarahi Koyal karena Koyal berusaha melampiaskan nafsunya
kepada Retno meski tanpa sepengetahuan Retno. Tukijan juga menempeleng
Koyal hingga menyebabkan Koyal meraung kesakitan. Bentuk perlawanan
yang ditunjukan Tukijan merupakan gambaran seseorang yang tidak bisa
mengontrol pikirannya untuk menerima setiap tindakan yang tidak ia sukai.
Tukijan : Jangan menangis. Kau bukan anak kecil. Kalau kau tetap
menangis kau tak akan pernah mendapatkan uang yang banyak itu
kecuali angka-angka.
Koyal :Kau jahat. (bangkit takut-takut mengancam Tukijan).62
Meskipun ia terlihat keras dalam menyikapi segala sesuatu yang
terjadi, tetapi Tukijan merupakan seseorang yang sangat realistis dalam
menjalani kehidupan. Bentuk perlawanan sikap Tukijan terhadap Koyal ini
61
Ibid., h. 93 62
Ibid., h. 98
92
seolah ingin menunjukan bahwa ia ingin mengubah pemikiran Koyal, bahwa
untuk mendapatkan uang dan kekayaan bukan dengan cara membeli angka-
angka akan tetapi diwujudkan dengan kerja keras dari diri sendiri.
Pemikirannya realistis yang bertentangan dengan Koyal inilah yang terkadang
menimbulkan persepsi orang lain bahwa tindakannya terlihat keras dan kasar.
Tukijan : Kenapa kau jadi marah-marah?
Retno : (marah) siapa yang mulai?
Tukijan : Saya marah karena kau berubah sikap lagi.
Retno : Saya marah karena saya ingin marah. Belum apa-apa sudah
berani marah-marah. Akan kau jadikan apa aku ini di tanah seberang
sana jadi babu? Seenaknya saja. Apa kau pikir saya akan mati
kelaparan kalau tetap tinggal di sini? (tiba-tiba menangis) Saya jadi
bingung.
Tukijan : Tentu saja kau bingung. Sudah saya bilang yang harus kau
lakukan sekarang adalah berpikir bukan merasakan.63
Tukijan cenderung mudah menunjukan bentuk sikapnya terhadap
sesuatu yang bersangkutan dengan dirinya. Hal tersebut terlihat salah satunya
saat ia menyuruh Retno untuk memikirkan apa yang seharusnya ia pikirkan
untuk langkah hidupnya ke depan. Menurut Tukijan dalam menghadapi
kehidupan yang penuh dengan pertimbangan, yang harus dilakukan adalah
berpikir untuk menemukan pilihan sebagai jalan keluar, bukan sekedar
menghayati melalui perasaan-perasaan yang tidak menghasilkan keputusan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat diketahui
perilaku yang muncul dari masyarakat urban dalam Mega,mega. Perilaku
tersebut antara lain ditunjukkan oleh Koyal, yakni melalui proposisi
keberhasilan, perilaku negatif Koyal bermain lotre dan menjadi pengemis
cenderung tidak berubah. Hal tersebut salah satunya dikarenakan respon dari
Mae yang cenderung membiarkan perilaku Koyal tersebut sebagai bentuk
kasih sayangnya terhadap Koyal. Selain itu tidak adanya usaha Koyal untuk
63
Ibid., h. 117
93
berpikir agar ia bisa keluar dari kemiskinannya melalui bekerja dengan
memanfaatkan kemampuan dirinya.
Perilaku lain ditunjukan oleh Retno yang bekerja sebagai wanita
tunasusila. Ia mendapatkan stimulus respon dari orang lain yang menurutnya
dapat menguntungkan bagi dirinya. Akan tetapi pada kenyataannya dari
respon yang ia dapatkan tidak bisa mengubah keadaan ekonomi Retno. Faktor
lain yang menyebabkan Retno masih hidup dengan kemiskinan adalah
kualitas moral yang rendah dan tidak adanya usaha Retno untuk berpikir
mencari kerja yang lebih menjanjikan demi mendapat kualitas hidup yang
lebih baik.
Berdasarkan proposisi nilai dapat terlihat melalui Hamung dan
Tukijan. Mereka sama-sama memiliki pandangan hidup yang realistis
sehingga muncullah rasa ingin yang kuat untuk dapat memiliki apa-apa untuk
pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Keinginan kuat tersebut mendorong
adanya pilihan alternatif untuk pergi merantau ke daerah lain.
Secara garis besar perilaku yang muncul dalam masyarakat
Mega,mega adalah perilaku negatif, yaitu menjadi pengemis, pencuri, dan
wanita tunasusila. Munculnya perilaku tersebut diakibatkan oleh beberapa
faktor diantaranya: akibat dari urbanisasi itu sendiri yang memunculkan
masyarakat tuna karya akibat gagalnya mereka dalam bersaing untuk
mendapatkan pekerjaan di kota, sehingga muncullah kerawanan sosial yakni
kesenjangan sosial sebagai masyarakat miskin. Faktor lain yaitu tidak adanya
tekad mereka yang kuat guna memperbaiki kualitas hidup dengan cara
menghasilkan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Selain itu rendahnya kualitas moral akibat kurangnya pendidikan
yang didapat baik pendidikan dalam keluarga maupun pendidikan formal,
sehingga mereka tidak memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi
persaingan hidup yang keras.
94
C. Masyarakat Miskin
Masyarakat miskin merupakan masyarakat yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya baik dari segi sandang, pangan, dan papan sesuai standar. Jika
elemen wajib yang harus dipenuhi untuk kebutuhan hidup manusia tersebut
terpenuhi dengan standar rendah maka dapat berpengaruh terhadap kesehatan,
moral, dan rasa harga diri mereka.
a. Klasifikasi atau penggolongan seseorang maupun masyarakat dikatakan
miskin dengan dua tolok ukur, yakni:
Tingkat pendapatan
Tingkat pendapatan ini dihitung melalui pendapatan per waktu kerja
dalam sebulan. Dalam drama Mega,mega karya Arifin ini masalah tingkat
pendapatan tampak pada ciri sosial tokoh, yaitu tidak ada yang memiliki
pekerjaan tetap dan kehidupan mereka jauh dari kata cukup. Semua tokoh
tidak memiliki pekerjaan yang dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Pekerjaan yang mereka geluti merupakan pekerjaan serabutan
yang tidak tentu pendapatan dan jenis pekerjaannya.
Seperti halnya Panut, ia tidak memiliki pekerjaan seperti orang-
orang pada umumnya. Ia bekerja sebagai pencopet dan juga ingin menjadi
pengemis agar dapat membeli makan. Menurut Panut menjadi seorang
pengemis juga merupakan sebuah pekerjaan.
Mae :…Kau akan meminta-minta serupa si tua bangka yang
tersia sebatang kara. Panut, Panut. Astaga. Dagingmu akan
busuk kalau tak kau manfaatkan dengan kerja.
Panut : Ngemis juga kerja „kan? Dikiranya ngemis itu
enteng? Kan makan tenaga dan perasaan juga? Soalnya bukan
itu. soalnya sial saya ini. Dan lagi soal makan, bukan soal
perasaan.64
Untuk bisa makan dan bertahan hidup, Panut menghalalkan
segala cara untuk bisa mendapatkan uang. Tidak hanya Panut, Koyal juga
64
Ibid., h. 9
95
demikian ia melakukan segala cara untuk mendapatkan uang. Sama seperti
Panut, Koyal juga menjadi seorang pengemis. Diketahui pekerjaan yang
Koyal lakukan terlihat melalui dialog Hamung dengan Panut.
Hamung: Lucunya dia(Koyal) Cuma ingin punya uang
setumpuk. Tapi sintingnya sedikitpun ia tidak mau bekerja. Ia
Cuma ngemis.
Panut: makanpun tak mau ia urunan seperti kita-kita ini. Dia
Cuma makan. Bayar tak mau.65
Pendapatan Koyal dari hasil mengemis jauh dari cukup untuk
menutupi kebutuhannya dalam sebulan meskipun untuk kehidupan
sederhana yang layak. Uang yang ia hasilkan tidak menentu dan kalaupun
mendapat uang dalam kerjanya sebagai pengemis, Koyal menggunakannya
untuk membeli lotre. Karena kegemarannya membeli lotre yang belum
tentu kemenangannya, ia juga harus merelakan untuk tidak membeli
makan.
Dari pekerjaan sebagai seorang pengemis tersebut mereka tidak
memiliki penghasilan tetap tiap harinya. Mereka hanya mengandalkan
pendapatan yang didapat hari itu untuk membeli makan hari itu saja tanpa
memikirkan kebutuhan dihari berikutnya.
- Kebutuhan relatif
Kebutuhan relatif merupakan kebutuhan minimal yang harus
dipenuhi untuk melangsungkan kehidupan secara sederhana tetapi
memadai sebagai masyarakat yang layak. Kebutuhan yang harus dipenuhi
berupa tempat tinggal sederhana namun kelengkapan memadai, biaya
untuk sandang panganpun sederhana tapi memadai.
65
Ibid., h. 23
96
Pada drama Mega,mega karya Arifin C.Noer tampak pada ciri
sosial tokoh, yaitu tidak ada yang memiliki rumah atau tempat tinggal yang
layak disebut sebagai tempat tinggal. Mereka tidur bersama dalam satu
tempat yakni di pinggiran alun-alun dengan beralaskan tikar.
Bersamaan dengan makin terangnya cahaya pentas, terdengar
suara seruling Koyal yang sumbang itu menyusup di sela-sela
angin malam yang bergemuruh. Mae, Retno, dan Hamung sudah
nyenyak tidur. Tukijan terbaring gelisah setengah tidur di atas
tikar. Sedangkan Koyal masih asyik masyuk di tengah impian-
impiannya dengan serulingnya duduk di bawah tiang listrik.66
Meskipun mereka menganggap satu sama lain sebagai anggota
keluarga ekstensi (keluarga yang tidak memiliki ikatan darah), tetapi
mereka tidak memiliki peralatan rumah tangga yang layak yang seharusnya
dimiliki oleh anggota keluarga pada umumnya untuk keperluan dan
kebutuhan keluarganya, seperti kasur, tempat tidur dan peralatan makan.
Satu-satunya barang yang mereka miliki dan sering mereka gunakan untuk
tidur adalah tikar.
Lama-lama Mae tertidur bersandar pada batang beringin.
Warna fajar. Lalu beragam warna waktu berputar.67
Tidak hanya barang rumah tangga yang tidak mereka miliki,
rumah untuk dijadikan tempat tinggal pun mereka tak punya. Mereka
hanya mengandalkan kawasan pinggiran alun-alun untuk tempat mereka
berkumpul dan berteduh.
Berdasarkan perhitungan tingkat pendapatan dan kebutuhan
relatif tersebut, maka dapat dikatakan pendapatan yang mereka peroleh
disertai dengan kebutuhan minimal rumah tangga yang harus dimiliki guna
66
Ibid., h. 43 67
Ibid., h. 123
97
kelangsungan hidup sederhana dan layak tidak memenuhi kriteria sehingga
mereka dikatakan miskin.
b. Kemiskinan menurut pendapat umum dapat dikategorikan dalam tiga unsur,
yaitu:
- Kemiskinan yang disebabkan aspek badaniah atau mental seseorang yakni
kemiskinan yang disebabkan seseorang memiliki anggota tubuh cacat
sehingga harus bekerja sebagai pengemis selain itu bisa juga karena malas.
Yang termasuk miskin karena aspek ini yaitu tokoh Koyal, Hamung, dan
Panut.
Panut : Soalnya memang tangan ini. Sial. Tapi nanti dulu.
Mae tadi mengira betul-betul bisu „kan?.
Mae : Hampir Mae tidak bisa bernafas tadi. Kaget bukan
kepalang. Tiba-tiba kau bisu padahal kau adalah anak yang
palinng cerewet dan suka…
Panut : itu sudah cukup. Namanya berhasil Mae besok pagi
saya akan mulai.
Mae : mulai apa?
Panut :ngemis. Pura-pura bisu.68
Dalam kutipan tersebut, Panut yang sehat jasmaninya menjadi
pura-pura bisu untuk menjadi pengemis. Aksinya ini dilarang oleh Mae
namun Panut tetap menjalankan aksinya sebagai pengemis dengan alasan
agar bisa mendapatkan uang untuk makan. Sedangkan Koyal menjadi
pengemis dengan tujuan agar bisa menjadi kaya, namun uang yang ia
peroleh dari kegiatan mengemisnya selalu ia gunakan untuk membeli lotre,
sehingga ia tak bisa menikmati uangnya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Koyal: (tidak peduli) lalu saya berpikir saya harus punya banyak
uang dulu. Malah akhir-akhirnya saya mencintai uang…saya
telah melihat segala apa saja yang hanya didapat dengan uang.
Lalu
68
Ibid., h. 8
98
Hamung : ….ngemis (tertawa bersama Retno)
Koyal: … lalu saya mulai mengumpulkan uang, tapi pasti terlalu
lama. Lalu saya belikan lotre. Dan baru saja saya hampir
menang (tertawa). Tandanya tidak lama lagi saya akan
menang….apa yang saya perbuat.
Hamung : ngemis (tertawa bersama Retno).69
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Koyal tidak mau
mengandalkan kemampuan badannya yang masih sehat untuk bekerja. Ia
hanya mengandalkan lotre untuk dijadikan panutan menjadi orang kaya.
Koyal menjadi malas bekerja namun memiliki keingingan yang tinggi
terhadap kekayaan. Meskipun ingin menjadi kaya akan tetapi ia hanya
mengandalkan badannya menjadi seorang pengemis untuk mencapai
kekayaan tersebut tanpa bekerja seperti orang-orang pada umumnya dan
mendapat upah yang layak sehingga dapat mencukupi kebutuhan hidup.
Kegilaan Koyal pula yang menyebabkan ia hanya bisa berangan-angan
menjadi orang kaya tanpa berpikir bagaimana mendapatkan pekerjaan
untuk mencukupi hidupnya.
Berbeda dengan Koyal dan Panut yang mengandalkan badan
sehatnya menjadi seorang pengemis, Hamung seorang yang kakinya cacat
tetapi ia masih mau bekerja, meskipun pekerjaan serabutan. Ia juga pernah
menjadi tukang becak dan niatnya ia pergi ke Jakarta untuk menjadi calo
atau kuli. Pekerjaan-pekerjaan tersebut ia jalani dengan tujuan agar dapat
mengubah hidupnya menjadi lebih baik lagi.
Hamung : barangkali saya akan nguli di sana. Atau kembali
kepekerjaan lama; becak. Tapi saya akan berusaha menjadi
calo…70
69
Ibid., h. 35 70
Ibid., h. 104
99
Berbanding terbalik dengan Koyal dan Panut, Hamung yang
memiliki cacat fisik namun masih sangat bersemangat untuk mencari
pekerjaan yang dapat mensejahterakan hidupnya. Ia lebih realistis
ketimbang dua tokoh sebelumnya yang malas dan gila. Hamung cenderung
memiliki pendapat bahwa untuk menjadi orang yang memiliki hidup yang
layak, dibutuhkan kerja keras meskipun dalam keterbatasan sekalipun.
- Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam.
Bencana merupakan sesuatu yang menyebabkan kesusahan,
kerugian atau penderitaan. 71
Yang termasuk dalam golongan ini adalah
tokoh Mae. Suami Mae meninggal karena terkena lahar gunung merapi
dan sekarang ia hanya hidup seorang diri hingga pada akhirnya bertemu
dengan yang lainnya.
Mae: semua meninggalkan Mae pada akhirnya. Suamiku yang
pertamapun berkata begitu dulu tapi akhirnya ia mengusirku
juga. Dan kemudian suamiku yang bernama Sutar
meninggalkan aku. Malah suamiku yang paling setia dan
paling tua pergi juga, dimakan gunung merapi.72
Kepergian suami-suami Mae juga berpengaruh terhadap
kemiskinan yang dialami Mae. Mae kini hanya hidup sendiri dan tanpa
ditemani seorang suami. Padahal seyogyanya seorang suami dalam
keluarga berperan sebagai pencari nafkah untuk kebutuhan keluarga,
akan tetapi disebabkan Mae tidak memiliki suami lagi sehingga ia harus
banting tulang menafkahi dirinya sendiri. Selain itu faktor usia dan
minimnya keterampilan yang dimiliki membuat Mae tidak bisa
mendapat pekerjaan yang lebih baik.
71
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pusat Bahasa.2008),
h. 171. 72
Arifin, Op.Cit., h. 25
100
Kesendirian dalam kemiskinan yang dialami Mae juga
berpengaruh terhadap pola pikir Mae. Ia menjadi sensitif setiap
menemui permasalahan yang muncul. Ia juga cenderung ingin selalu
memiliki teman untuk menemaninya di masa tua.
- Kemiskinan buatan
Kemiskinan buatan disebut juga kemiskinan struktural.
Kemiskinan yang ditimbulkan oleh dan dari struktur-struktur ekonomi,
dan kultur serta politik. Kemiskinan struktur ini selain ditimbulkan oleh
struktur penenangan atau nrimo memandang kemiskinan sebagai nasib,
malahan menganggap yang terjadi sebagai takdir Tuhan.
Tokoh yang digolongkan miskin dalam kriteria “nrimo” adalah
Mae. Mae merupakan orang yang paling tua dan dituakan di antara
anggota lainnya. Mae juga berusaha menyikapi kemiskinan dengan
sabar selain karena sudah tua, ia menganggap semua yang terjadi karena
takdir.
Mae : …Hamung, meskipun cintamu samar-samar tapi pasti
kepergianmu nanti akan melengkapi kesepian saya. (setelah
mengosongkan dirinya) tapi sebagai orang tua, sebagai
seorang ibu yang tabah tentu saja saya harus melepaskan
kalian berdua dengan doa restu, dan saya akan menyertai
kalian berdua dengan doa restu, dan saya akan menyertai
kalian dengan keprihatinan saya. Ikhtiar. (tersenyum
sementara air mata itu masih kemerlap pada bulu matanya
yang kelabu itu ) Nah, beginilah memang kesudahannya.73
Dalam kutipan di atas menggambarkan sikap Mae yang tidak
hanya menerima nasibnya sebagai seorang wanita miskin dan ditinggal
mati suaminya, tetapi ia mencoba sabar menerima segala sesuatu yang
menimpa dirinya. Termasuk berusaha sabar menerima kenyataan bahwa
73
Ibid., h. 103
101
orang-orang yang ia sayangi juga akan meninggalkannya demi
mendapatkan hidup yang lebih baik lagi di tempat lain.
Mae: Tentu kau tidak bisa. Dan siapa yang suka akan
ajal?tidak ada. Tapi siapa yang bisa menolaknya? Juga tidak
ada. Dan apakah kau mengira Mae mengharap kau pergi
meninggalkan Mae?(Retno menggeleng kepalanya) tidak,
bukan?Mae juga tidak mau kau tinggalkan. Mae sangat
mencintai kau lantaran kau anak perempuanku satu-satunya.
Kalau kau pergi Mae tidak akan pernah mempunyai anak
secantik dan sebaik kau lagi. Tapi apakah kau berpikir Mae
juga ingin mempertahankan kau tetap di sini dan terus menjual
diri?74
Berdasarkan kutipan di atas juga dapat menggambarkan
bagaimana sikap Mae yang selalu berusaha menerima setiap kejadian
yang menimpa dirinya. Faktor usia yang sudah tua juga berpengaruh
terhadap caranya menyikapi sesuatu, selain itu juga keadaan dan
lingkungan di sekitarnya yang memaksa Mae harus selalu bisa
menerima dengan sabar terhadap setiap peristiwa yang terjadi baik
untuk dirinya maupun untuk orang-orang di sekelilingnya.
Kemiskinan buatan ini tidak hanya kemiskinan atas dasar sikap
“nrimo”, akan tetapi kemiskinan yang disebabkan oleh struktur
ekonomi, kultur, dan politik. Kemiskinan buatan dapat terlihat dari
sektor ekonomi. Tokoh dalam drama Mega,mega ini merupakan
sekelompok orang yang mengalami kemiskinan struktural. Kemiskinan
yang mereka alami merupakan efek dari struktur sistem yang kurang
bekerja dengan efisien. Salah satunya dari sektor ekonomi dan lapangan
pekerjaan yang kurang memberikan ruang terhadap masyarakat tuna
karya.
Mae : berapa kali Mae bilang? Tidak usah kau belajar
mencopet. Tidak baik.
74
Ibid., h. 119
102
Panut : soal baik-tidaknya saya tidak peduli. Soalnya tangan
ini. Sial. Setengah tahun sudah latihan tapi sekalipun tak
pernah saya berhasil. Bagaimana saya tidak jengkel.75
Akibat penanganan yang kurang serius terhadap masyarakat
tuna karya ini menyebabkan mereka mengambil pilihan untuk
melakukan apapun demi mendapatkan uang. Tokoh Panut
menggambarkan sebagian kecil masyarakat yang memiliki pemikiran
tersebut. Ia tidak memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk
pekerjaan dibidang industri, sekaligus kurangnya kepedulian pemerintah
untuk memberikan bekal keterampilan kepada masyarakat seperti
dirinya.
Interaksi antara pemimpin unit ekonomi sektor negara
dengan golongan menengah disektor swasta dan
kolaborasi terbentuk oleh kedua belah pihak telah
menjadi penyebab mengalirnya sumber-sumber ekonomi
nasional ke arah tujuan yang bukan menjadi kepentingan
rakyat. Sumber-sumber kembali dikelola secara
menyimpang dari arah kepentingan nasional.76
Hal tersebut menyebabkan kemiskinan digolongan
bawah yang semakin bertambah karena tidak terpenuhinya hak-
hak mereka. Sedangkan golongan menengah semakin meroketkan
pendapatan dari hasil-hasil yang tidak seharusnya miliki. Tanpa
disadari tindakan korupsi menjadi salah satu bentuk bukti
terjadinya kemiskinan secara struktural.
D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Analisis Perilaku Masyarakat Urban dalam drama Mega,mega karya
Arifin C.Noer, dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah yaitu
melalui materi unsur intrinsik dan ekstrinsik drama serta materi menulis drama.
75
Ibid., h. 6 76
Sritua Arif, Etika dan Moral Bisnis(1) Perilaku Golongan Menengah di Indonesia, (Jawa
Pos, 2 May 2000), h. 4.
103
Dengan mempelajari unsur-unsur tersebut maka siswa akan mempelajari apa saja
yang terdapat di dalam drama.
Pembelajaran sastra dengan mengapresiasikan karya sastra dapat
mengembangkan kompetensi siswa untuk memahami setiap unsur dalam karya
sastra. Dengan menghargai keindahan yang tercermin dalam setiap unsur drama,
seperti unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya siswa akan mengetahui apa pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang. Siswa juga tidak hanya diajak untuk
membaca dan menganalisis karya sastra saja, akan tetapi siswa diajak untuk
menanamkan sikap positif terhadap karya sastra sehingga dapat mengembangkan
kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan siswa.
Melalui pembelajaran sastra, siswa akan belajar percaya diri untuk
tampil di depan publik dan mengasah kemampuan dari berbagai aspek, baik dari
segi kognitif, afektif maupun psikomotoriknya. Guru juga dapat memposisikan
dirinya sebagai guru bahasa Indonesia yang dapat mentransfer ilmu melalui
pengalaman dan pendekatan yang menyenangkan terhadap siswa. Selain itu dapat
membantu siswa untuk menggali potensi yang dimiliki. Sehingga siswa dapat
lebih bijaksana menghargai dirinya sendiri dan lingkungan. Selain itu siswa dapat
menanamkan nilai-nilai positif dalam hubungan bermasyarakat dan menjadi insan
yang saling menghargai serta memiliki semangat untuk memperjuangkan hidup
sejahtera.
Jika dikaitkan dengan kompetensi dasar, drama Mega,mega karya
dapat dijadikan bahan untuk mengetahui perilaku manusia melalui dialog yang
dihadirkan tiap tokoh. Selain itu, drama Mega,mega karya Arifin ini juga
menceritakan masyarakat golongan miskin, sehingga diharapkan siswa dapat
saling membantu dan menolong sesama yang masih kekurangan. Siswa juga dapat
belajar agar bekerja keras terlebih dahulu untuk mendapatkan sesuatu, agar tidak
hanya memimpikan sesuatu tanpa adanya usaha dan tekad yang kuat.
Guru juga harus dapat menggunakan metode pembelajaran bervariatif
agar siswa tidak merasa bosan disetiap pertemuan. Dengan adanya variasi metode
104
ini diharapkan siswa dapat lebih nyaman dan antusias dalam menerima pelajaran,
sehingga pesan yang disampaikan oleh guru dalam pembelajaran dapat ditangkap
dengan baik oleh siswa. Selain itu diharapkan siswa akan lebih menghayati di
setiap proses pembelajaran.
Selain unsur ekstrinsik dan intrinsik drama, jika naskah drama
Mega,mega karya Arifin ini dijadikan sebagai buku sumber untuk pembelajaran
drama di SMA kelas XI maka guru dapat menggunakannya untuk
mendeskripsikan perilaku tokoh. Materi tersebut terdapat dalam pembahasan unsur
intrinsik. Guru dapat mengajarkan bagaimana perilaku masyarakat urban dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Guru juga dapat mengajarkan kepada peserta didik
bahwa dalam hidup bermasyarakat di kota besar tidaklah mudah, banyak terjadi
kesenjangan sosial. Maka sebagai seorang guru sudah seharusnya memberi
semangat siswa untuk terus berusaha mewujudkan setiap mimpi yang telah
ditentukan, agar dapat menuai sukses di tengah kota yang ganas. Melalui naskah
drama Mega,mega ini guru dapat menceritakan bagaimana keadaan masyarakat di
kota Yogyakarta pada tahun „60an khususnya perilaku masyarakat urban.
105
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Setelah melakukan analisis terhadap naskah drama Mega,mega karya
Arifin C.Noer maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perilaku negatif yang terbentuk pada masyarakat urban dalam drama
Mega,mega merupakan akibat dari kemiskinan. Bentuk kemiskinan
tersebut meliputi kemiskinan finansial dan kemiskinan mental serta moral
akibat rendahnya pendidikan yang didapat. Perilaku yang terjadi akibat
kemiskinan ini dapat terlihat melalui beberapa tokoh yang dihadirkan
dalam Mega,mega seperti Mae, Panut, Hamung, Koyal, Tukijan, dan
Retno. Perilaku negatif tersebut antara lain menjadi pencuri, pengemis, dan
wanita tunasusila. Selain itu, Mega,mega juga menggambarkan
kebimbangan sikap hidup masyarakat urban dalam kemiskinan di kota
perantauan, sehingga perilaku yang muncul akibat kemiskinan berpengaruh
terhadap cara mereka untuk bertahan hidup sebagai masyarakat urban.
2. Implikasi pembelajaran sastra di sekolah melalui drama Mega,mega karya
Arifin berkaitan dengan kompetensi dasar untuk mendeskripsikan perilaku
manusia melalui dialog naskah drama. Melalui Mega,mega siswa dapat
mengetahui bagaimana perilaku yang terjadi pada masyarakat urban yang
ikut dipengaruhi oleh kemiskinan. Selain dapat menulis teks drama sesuai
kompetensi dasar yang harus terpenuhi, siswa juga dapat mengetahui
unsur-unsur drama. Melalui drama Mega,mega siswa diharapkan dapat
menghargai sesama yang masih kekurangan tanpa memandang sebelah
mata. Selain itu, siswa dapat diajarkan untuk tidak bermalas-malasan dalam
106
mencapai impiannya serta mampu menggali, mengembangkan dan
memanfaatkan potensi yang dimiliki.
B. Saran
1. Naskah drama Mega,mega dapat digunakan sebagai bahan untuk
pembelajaran sastra di sekolah oleh guru, baik dalam pembelajaran
menulis maupun pementasan drama.
2. Melalui pembelajaran sastra, siswa dapat menanamkan sikap positif
terhadap karya sastra sehingga dapat mengembangkan kemampuan
berpikir, sikap, dan keterampilan siswa.
3. Melalui pembelajaran perilaku masyarakat urban yang telah didapat
melalui drama Mega,mega diharapakan peserta didik dapat belajar untuk
dapat berperilaku baik dalam keseharian dengan tetap menanamkan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
107
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bina Aksara.1988
----------------. Pengantar Sosiologi. Solo: Ramadhani. 1975
Anonim. Arifin C.Noer:“Sutradara Boleh Mati”, Mengapa Teater Koma Laris?.
Bandung: Mingguan Pikiran Rakyat. Edisi Minggu 8 April 1990
Arief, Sritua. Etika Moral Bisnis (1) Perilaku Golongan Menengah di Indonesia.
Jawa Pos. 2 Mei 2000
Bayan, Saiful. Arifin C.Noer: Sutradara Kita Sering Remehkan Perencanaan.
Semarang: Suara Merdeka. Edisi Sabtu 28 November 1992
Berita Resmi Statistik. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2014. No. 52/07/Th.XVII, 1
Juli Badan Pusat Statistik. 2014
Booth, Anne dan Peter Mc.Cawley. Ekonomi Orde Baru. Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial. 1990
Budianta, Melani dkk. Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera. 2006
Damono, Sapardi Djoko. Drama Indonesia. Ciputat: Editum. 2010
----------------------------. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. 1979
Dokumentasi Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 1961-1968
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013
Hartomo dan Aziz, Arnicun. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. 2008
Ismail, Taufiq. Pelajaran Bahasa Indonesia Harus Tekankan Apresiasi Sastra.
Jakarta: Kompas. Edisi 3 April 2001
108
Karmini, Ni Nyoman. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama. Bali: Pustaka
Larasan.2011
Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2007
----------------------------. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya. 2002
Maria A, Sardjono. “Tanpa Seni Manusia Tak Dapat Berkaca Diri”. Jakarta: Media
Indonesia. 12 Oktober 1990
Martono, “Pembelajaran Sastra Sebagai Media Pendidikan Multikultural”; Sastra dan
Budaya Urban dalam Kajian Lintas Media; Prosiding Konferensi Internasional
Kesusastraan XXI Himpunan Sarjana Kesusatraan Indonesia. Surabaya: Unair.
2010
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.2013
Prihatiningsih, Nandya Ratna. Skripsi berjudul “Nilai Akhlak Karimah dalam Naskah
Drama Telah Pergi Ia Telah Kembali Ia Karya Arifin C.Noer dan Implikasinya
dalam Pembelajaran Sastra di SMA”. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2013
Ratna, Nyoman Kutha Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013
Rendra, W.S. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta: Burungmerak Press. 2009
Riduwan. Metode dan Teknik Manyusun Tesis. Bandung: Alfabeta. 2010
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
PT.Grafindo Persada. 2004
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988
Saraswati, Ekarini. Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UMM Press
109
Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali. 1984
S, Hardo. “Arifin C.Noer Sineas Lengkap”. Jakarta: Suara Karya Minggu. Edisi
Minggu ketiga Agustus 1992
Sentosa,Puji.“BiografiArifinC.Noer”.http://pujies pujies.blogspot.com/2010/01/arifin-
c-noer.html. Di unduh Senin, 27-1-2014
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT.Grasindo. 2008
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta:Pustaka Jaya.1984
Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman. “Laporan penelitian Existing Documentation
dalam Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta periode 1950-1990
Kepingan Riwayat Teater Kontemporer”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000
Tumanggor, Rusmin, dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.2012
Turmudzi, Muhammad Imam. Jurnal Sastra Indonesia vol 2. No 1: “Watak dan
perilaku tokoh Jumena Martawangsa dalam Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar
Karya Arifin C.Noer”.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 1993
W.S, Hasannudin. Drama Dua Dimensi. Bandung: Angkasa. 2009
Yoganingrum, Ambar, dkk. Merajut Makna: Penelitian Kualitatif Bidang
Perpustakaan dan Informasi. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri. 2009
Yunita. Skripsi berjudul; “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama
Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C.Noer dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Zamroni. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga.
1992
Lampiran 1
Sinopsis drama Mega-mega karya Arifin C.Noer
Cerita drama Mega,mega karya Arifin C. Noer diawali dari bagian
pertama. Narator menceritakan seorang tokoh perempuan sedang
menyanyikan lagu jawa dengan gairah yang bersandar dibawah pohon sambil
menikmati sebatang rokok, ia dipanggil Retno. Selanjutnya narator
menceritakan tokoh kedua yang biasa di panggil dengan sebutan Mae. Mereka
sedang membicarakan suara Retno yang merdu kemudian Mae menyuruh
Retno untuk mbarang, tetapi Retno menolaknya. Retno pun membanggakan
kelebihan dirinya yang dibilang montok, seketika ia pergi menyusul pemuda
yang lewat didepannya. Mae dicekam sepi. Tak selang berapa lama muncul
tokoh Panut yang berlaga seperti orang bisu. Mae yang panik mengira Panut
benar-benar bisu hingga akhirnya ia pun menangis. Tetapi Panut malah
tertawa melihatnya. Mae pun kesal dibohongi Panut lalu Mae memarahi
Panut dengan megacung-acungkan kayu mengiringi kepergian Panut.
Percakapan kembali terjadi antara Panut dengan Mae membicarakan
pekerjaan Panut sebagai seorang pengemis. Mae yang tidak suka dengan
pekerjaan itu pun menasehati Panut agar mencari pekerjaan lain, tetapi Panut
tidak pernah mengindahkan larangan Mae itu. Ia tetap kekeh akan melakukan
pekerjaan sebagai pengemis untuk mendapatkan uang. Pembicaran berganti
topik saat Retno kembali datang dan mereka membicarakan kehamilan. Mae
yang tidak bisa melahirkan anak marah dan kecewa saat Retno mengatakan
Mae mandul. Mae kecewa kepada Retno yang mengatakan secara terang-
terangan Mae mandul dihadapan Mae. Retno yang merasa bersalah pun
akhirnya meminta maaf kepada Mae. Retno kemudian menceritakan
bagaimana peristiwa yang ia alami pada saat kematian anaknya, Mae
memarahi Retno karena menganggap Retno tidak bisa mengurus anak dengan
biak, lalu Retno menjelaskan bahwa saat itu ia sedang bertengkar dengan
suaminya yang suka mabuk. Mendengarkan cerita Retno, Mae kembali
merasa sedih karena dirinya tidak bisa melahirkan anak ditambah lagi ia hidup
sendiriam sekarang, merasa tersia dan tersingkirkan. Saat Retno mencoba
menenangkan Mae, Hamung datang dengan ngedumel. Hamung kesal
lantaran Tukijan mengundur keberangkatannya ke Sumatera karena alasan
yang tak jelas menurutnya. Mae yang mendengar kabar tersebut kaget dan tak
mengira bahwa Tukijan akan mengundur keberangkatannya, sebab pagi tadi
Tukijan telah pamit dengan Mae. Hamung, Panut, Retno, dan Mae pun
membicarakan Tukijan, namun tiba-tiba Koyal datang dengan berteriak-teriak
mengatakan bahwa ia menang lotre(padahal sebenernya belum menang, baru
hampir menang). Berbeda dengan Mae yang menyambut kedatangan Koyal
dengan senang, tokoh lain malah mengolok-mengolok Koyal yang semakin
gila karena ingin menang lotre agar menjadi orang kaya. Koyal mengatakan
pada semua tokoh bahwa lot yang ia beli cuma beda satu angka, sehingga
dapat dikatakan bahwa ia hampir menang meskipun belum menang.
Obrolannya dengan Hamung juga semakin ngawur, Koyal lalu menceritakan
impian-impiannya menjadi orang kaya namun ceritanya hanya menjadi
ledekan Retno dengan Hamung. Koyal pun diajak Panut untuk ikut
dengannya, tapi Koyal menolak, kemudian datanglah Tukijan. Melihat
kedatangan Tukijan Koyal menjadi panik dan ikut pergi bersama Hamung.
Tukijan kemudian menceritakan maksud kedatangannya. Pada bagian pertama
ini, cerita ditutup dengan dialog Tukijan bersama Retno dan Mae yang
mengatakan alasannya menunda keberangkatannya dan membujuk Retno agar
mau ikut ke Sumatera dengannya.
Pada bagian kedua merupakan puncak kegilaan Koyal. Koyal melihat
angka pada lot yang ia beli memiliki angka yang sama dengan lot yang
terpasang di gedung(padahal angka di lot masih berbeda) sehingga ia merasa
bahwa ia telah memenangkan lotre. Ia pun mengajak semua tokoh untuk turut
andil menikmati khayalannya menjadi orang kaya karena menang lotre dan
mau mengakui bahwa ia menang lotre. Lot lotre yang sudah dibeli kemudian
akan ditukar dengan uang di bank, akan tetapi menurut petugas bank mereka
hanya perlu menunjukan lot untuk bisa membeli apapun. Mereka pun
gembira. Selain pergi ke bank, Koyal mengajak semua tokoh untuk makan,
belanja, dan jalan-jalan. Semua itu mereka bayar hanya dengan menunjukan
lot lotre. Setelah selesai jalan-jalan mereka seolah-olah beradegan layaknya
keluarga kerajaan dan Koyal menjadi Rajanya. Tukijan yang tidak suka
dengan kegilaan Koyal menjadi kesal dan timbullah perselisihan di dalam
istana khayalan Koyal.
Pada awal bagian tiga, Koyal menangis di bawah pohon beringin dan
ingin semuanya mengakui bahwa dirinya memang menang lotre. Setelah
berhenti dari tangisnya, ia mencoba memegang betis Retno gadis yang dia
sukai, namun ketahuan oleh Tukijan yang juga menyukai Retno. Tukijan lalu
memukul Koyal hingga baju yang dikenakan Koyal sobek. Mendengar
keributan ini Mae dan tokoh lain terbangun dan kaget menyaksikan Tukijan
memukul Koyal. Mae mencoba melerai namun sia-sia. Tukijan semakin kesal
dengan Koyal karena merasa tidak dihargai Koyal, sebab Koyal tahu Tukijan
juga suka Retno tetapi Koyal malah ingin memegang betis Retno didepan
Tukijan. Lot lotre yang Koyal beli pun disobek Tukijan hingga membuat
Koyal semakin terluka hatinya. Melihat hal itu Mae pun memarahi Tukijan.
Hamung juga memarahi Tukijan, sebab mereka tahu bahwa Koyal itu gila
tetapi Tukijan malah meladeninya. Tukijan mengatakan bahwa ia hanya ingin
Koyal sadar maka lot lotre ia sobek. Mae melihat kejadian tersebut merasa
marah terhadap Tukijan, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa lalu Koyal
pergi sambil mengejar sobekan-sobekan kertas lot lotrenya. Setelah kepergian
Koyal, Hamung menasehati Tukijan bahwa yang Tukijan benci sesungguhnya
Retno akan tetapi ia melampiaskannya pada Koyal. Pada bagian ini juga
menceritakan sikap Hamung yang mengajari Panut menjadi pria dewasa dan
untuk menjadi pria tidak boleh mudah menangis. Pada bagian ini juga
menceritakan perjuangan Tukijan untuk bisa mendapatkan tanah dan
mengajak Retno untuk ikut serta dengannya ke Sumatera serta meminangnya
sebagai istri. Meskipun membutuhkan kesabaran menghadapi penolakan
Retno namun pada akhirnya Tukijan dapat mengajak Retno serta Mae pun
merestuinya. Pada bagian tiga ini merupakan bagian akhir cerita drama yang
ditutup dengan dialog Mae dengan kesendiriannya di waktu fajar dibawah
pohon beringin sebab para tokoh telah pergi untuk mencari pekerjaannya
masing-masing.
Lampiran 2
Sekuen (rangkaian peristiwa) Drama Mega,mega
1. Bagian pertama narator mengenalkan dua tokoh perempuan, yakni Mae dan
Retno
2. Mae dengan Retno berbincang-bincang tanpa memandang satu sama lain
3. Mae menanyakan kenapa Retno tidak mau „mbarag‟
4. Muncul tokoh Panut yang berpura-pura bisu sehingga membuat Mae panik
5. Panut tertawa melihat kepanikan Mae, Mae pun memarahi Panut dengan
mengacungkan kayu hingga Panut pergi
6. Retno kembali muncul dengan memaki-maki sendirian
7. Retno dan Mae membicarakan perihal melahirkan, Mae tersinggung
mendengar Retno mengatakan Mae wanita mandul
8. Hamung datang dengan memaki-maki Tukijan yang menunda
keberangkatannya ke Sumatera
9. Mae, Hamung, Panut, dan Retno membicarakan Tukijan yang menunda
keberangkatanya dan Koyal yang gila membeli lotre
10. Koyal datang dengan berteriak mengatakan dirinya menang lotre dan
membacakan no lotnya
11. Retno dan Hamung mengolok-olok kegilaan Koyal saat bercerita menjadi
orang kaya
12. Obrolan Koyal dengan Hamung semakin menjadi-jadi mengikuti kegilaan
Koyal
13. Tukijan datang dengan muka yang kusam, Koyal menjadi panik melihat
kedatangan Tukijan
14. Koyal kemudian pergi bersama Hamung
15. Tukijan membujuk Retno untuk ikut merantau dengannya dan mengatakan
alasan ia menunda keberangkatan karena Retno
16. Bagian kedua, puncak kegilaan Koyal dalam berkhayal
17. Koyal mengajak semua tokoh untuk ikut andil menikmati khayalannya
18. Semua tokoh diajak Koyal untuk makan, belanja, dan jalan-jalan
19. Tukijan tidak mematuhi apa yang Koyal katakan
20. Koyal meminta dicarikan nama panggilan untuk menjadi seorang Raja di
kerajaan khayalannya
21. Babak ketiga, Koyal menangis di bawah pohon beringin dan menyuruh
semuanya untuk mengakui Koyal menang lotre
22. Koyal memegang betis Retno, Tukijan marah saat melihatnya
23. Tukijan memukul Koyal karena Tukijan merasa diremehkan saat Koyal
memegang betis Retno di depannya
24. Mae bangun dan menyuruh Tukijan berhenti memukul Koyal
25. Tukijan mengintrogasi Koyal hingga Koyal ketakutan
26. Hamung menasehati Tukijan untuk menahan diri
27. Mae kembali merasa kesepian akan ditinggal anak-anaknya
28. Hamung menasehati Panut untuk menjadi laki-laki dewasa dan tidak boleh
menangis
29. Panut menghantarkan Hamung ke stasiun untuk pergi merantau
30. Tukijan kembali membujuk Retno untuk ikut dengannya ke Sumatera
31. Retno bingung menentukan pilihan untuk ikut Tukijan atau menjaga Mae
32. Tukijan memarahi Retno yang tidak konsisten
33. Mae menasehati Retno untuk pergi dengan Tukijan
34. Retno menentukan pilihan untuk ikut Tukijan
35. Retno dan Tukijan pergi ke Sumatera
36. Koyal datang dengan meraung-raung kesakitan pada kepalanya
37. Mae panik melihat Koyal meraung-raung
38. Koyal mengatakan telah dipukul di orang hingga kepelanya berdarah
39. Mae tidak menemukan darah di kepala Koyal
40. Koyal kembali pergi dengan berteriak-teriak minta tolong
41. Mae kembali sendirian di bawah pohon beringin
Lampiran 3
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Satuan pendidikan : SMA
Mata pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/Semester : XI(sebelas)/ 2(dua)
Standar Kopetensi : Menulis naskah drama
Kompetensi Dasar : Mendeskripsikan perilaku manusia melalui dialog
naskah drama
Alokasi Waktu : 5X45 Menit
Indikator : Mampu menulis teks drama dengan menggunakan
bahasa yang sesuai untuk:
Mendeskripsikan perilaku tokoh melalui
dialog
Menghidupkan konflik
A. Tujuan Pembelajaran
Agar siswa dapat menjelaskan perilaku tokoh yang terdapat dalam teks
drama
B. Materi Pokok
Teks drama
Deskripsi watak tokoh-tokoh dalam teks drama
Menulis teks drama dengan bahasa bahasa sendiri
Unsur intrinsik drama (tema, penokohan, konflik)
Cara mendeskripsikan perilaku manusia melalui dialog dalam drama
C. Nilai Budaya dan Karakter Bangsa
Bersahabat/ komunikatif
Mandiri
D. Nilai Kewirausahaan/Ekonomi
Kedisiplinan
Kepemimpinan
E. Metode dan skeneario Pembelajaran
Ceramah
Diskusi kelompok
Presentasi
F. Kegiatan Belajar Mengajar
1. Kegiatan Awal
a. Guru mengucapkan salam saat memasuki ruang kelas dan mengajak
berdoa sebelum pembelajaran dimulai
b. Guru mengabsen siswa yang tidak hadir
c. Guru mengkordinasikan siswa agar siap menerima pelajaran
d. Guru menyampaikan kompetensi dasar dan standar kompetensi
2. Kegiatan Inti
a. Eksplorasi
Guru meminta kepada peserta didik untuk menyebutkan unsur-
unsur intrinsik drama
Guru meminta siswa membaca teks drama yang sudah disediakan
secara bergilir
Guru meminta siswa untuk mendeskripsikan watak tokoh dari
naskah yang telah dibaca
b. Elaborasi
Guru meminta siswa untuk membuat kelompok diskusi terdiri dari
3-4 siswa
Guru menjelaskan bagaimana trik menulis teks drama
Siswa berdiskusi dan menulis teks drama dengan menggunakan
bahasa mereka sendiri
Siswa berdiskusi untuk mendeskripsikan perilaku manusia melalui
dialog teks drama yang telah mereka buat
Siswa berdiskusi untuk menemukan cara menghidupkan konflik
dalam teks drama
Siswa berdiskusi untuk menentukan unsur intrinsik drama(tema,
penokohan, konflik) dari teks yang telah mereka buat
Salah satu siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
Siswa lain memberikan tanggapan terhadap hasil didkusi
kelompok yang sedang presentasi
c. Konfirmasi
Guru memberikan kesempatan siswa untuk menanyakan hal-hal
yang belum diketahui
Guru menjelaskan hal-hal yang belum diketahui
3. Kegiatan Akhir
a. Guru dan siswa bersama-sama membuat kesimpulan dari
pembelajaran yang telah dilakukan
b. Guru menutup kegiatan pembelajaran dengan mengucap salam
G. Sumber Belajar
a. Drama Mega,mega Karya Arifin C.Noer
b. Teknik penulisan naskah drama
c. Buku paket Bahasa Indonesia siswa kelas XI
H. Penilaian
1. Teknik
a. Tes (PG, isian, uraian)
b. Penugasan mendeskripsikan perilaku manusia dalam teks drama
2. Instrumen soal
a. Apa yang disebut unsur intrinsik drama?
b. Sebutkan unsur intrinsik(tema, penokohan, konflik) dalam drama
Mega,mega?
c. Jelaskan perilaku tokoh dalam drama Mega,mega?
PENILAIAN DESKRIPSI WATAK PADA DIALOG NASKAH DRAMA
Kompetensi Dasar :Mendeskripsikan perilaku manusia melalui dialog
naskah drama
Nama Siswa :
Kelas/Nomor Absen :
Tanggal Penilaian :
ASPEK YANG DINILAI SKOR
1 2 3 4 5
1. Ketepatan diksi dengan watak yang dideskripsikan
2. Ketepatan jenis kalimat dengan watak yang dideskripsikan
3. Ketepatan struktur kalimat dengan watak yang dideskripsikan
4. Ketepatan isi kalimat dengan watak yang dideskripsikan
5. Ketepatan isi dialog dengan watak yang dideskripsikan
6. Ketepatan isi monolog dengan watak yang dideskripsikan
7. Penulisan kostum pendukung deskripsi watak
8. Penulisan latar pendukung deskripsi watak
9. Penulisan tata lampu pendukung deskripsi watak
10 Penulisan tata panggung pendukung deskripsi watak
JUMLAH SKOR
Mengetahui :
Kepala SMA/MA……
Abdurrahman
Jakarta,
Guru Mata Pelajaran
Yunia Ria Rahayu
Lampiran 4
LEMBAR UJI REFERENSI
Nama : Yunia Ria Rahayu
Nim : 1110013000078
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul : Perilaku Masyarakat Urban dalam Drama Mega-mega Karya Arifin.
C.Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
No. Daftar Referensi Paraf
Pembimbing
1. Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bina Aksara.1988
2.
Ahmadi, Abu. Pengantar Sosiologi. Solo: Ramadhani
3.
Anonim. Arifin C.Noer:“Sutradara Boleh Mati”, Mengapa
Teater Koma Laris?. Bandung: Mingguan Pikiran
Rakyat. Edisi Minggu 8 April 1990
4. Arief, Sritua. Etika Moral Bisnis (1) Perilaku Golongan
Menengah di Indonesia. Jawa Pos. 2000
5. Bayan, Saiful. Arifin C.Noer: Sutradara Kita Sering
Remehkan Perencanaan. Semarang: Suara Merdeka.
Edisi Sabtu 28 November 1992
6. Berita Resmi Statistik. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret
2014. No. 52/07/Th.XVII, 1 Juli Badan Pusat Statistik.
2014
7. Booth, Anne dan Peter Mc.Cawley. Ekonomi Orde Baru.
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan
Ekonomi Sosial. 1990
8. Budianta,Melani dkk. Membaca Sastra Pengantar
Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi.
Magelang: Indonesia Tera. 2006
9. Damono, Sapardi Djoko. Drama Indonesia. Ciputat: Editum.
2010
10. Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud
11. Dokumentasi Data Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional tahun 1961-1968
12. Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2013
13. Hartomo dan Aziz, Arnicun. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta:
Bumi Aksara. 2008
14. Ismail, Taufiq. Pelajaran Bahasa Indonesia Harus Tekankan
Apresiasi Sastra. Jakarta: Kompas. Edisi 3 April 2001
15. Karmini, Ni Nyoman
16. Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik, dan Penerapannya. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
2007
17. Pradopo, Rachmat Djoko. Metode Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. 2002
18. Maria A, Sardjono. Tanpa Seni Manusia Tak Dapat Berkaca
Diri. Jakarta: Media Indonesia. 1990
19. Martono, “Pembelajaran Sastra Sebagai Media Pendidikan
Multikultural”; Sastra dan Budaya Urban dalam Kajian
Lintas Media; Prosiding Konferensi Internasional
Kesusastraan XXI Himpunan Sarjana Kesusatraan
Indonesia. Surabaya: Unair. 2010
20. Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press. 2013
21. Prihatiningsih, Nandya Ratna. skripsi berjudul “Nilai Akhlak
Karimah dalam Naskah Drama Telah Pergi Ia Telah
Kembali Ia Karya Arifin C.Noer dan Implikasinya
dalam Pembelajaran Sastra di SMA. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah. 2013
22. Ratna, Nyoman Kutha Paradigma Sosiologi Sastra,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013
23. Rendra, W.S. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta:
Burungmerak Press. 2009
24. Riduwan. Metode dan Teknik Manyusun Tesis. Bandung:
Alfabeta. 2010
25. Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda. Jakarta: PT.Grafindo Persada. 2004
26 Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta:
Kanisius. 1988
27. Saraswati, Ekarini. Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman
Awal. Malang: UMM Press
28. Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-teori Psikologi Sosial.
Jakarta: Rajawali. 1984
29. S, Hardo. Arifin C.Noer Sineas Lengkap. Jakarta: Suara
Karya Minggu. Edisi Minggu ketiga Agustus 1992
30. Sentosa,Puji.Biografi Arifin C.Noer.http://pujies-
pujies.blogspot.com/2010/01/arifin-c-noer.html. Diunduh di
Perpustakaan Utama UIN Senin, 27-1-2014
31. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT.
Grasindo. 2008
32. Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori
Sastra.Jakarta: Pustaka Jaya.1984
33. Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman. Laporan penelitian
Existing Documentation dalam Perkembangan Teater
Kontemporer di Yogyakarta periode 1950-1990
Kepingan Riwayat Teater Kontemporer. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2000
34. Tumanggor, Rusmin, dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Jakarta: Kencana. 2012
35. Turmudzi, Muhammad Imam. Jurnal Sastra Indonesia vol 2.
No. 1: “Watak dan perilaku tokoh Jumena
Martawangsa dalam Naskah Drama Sumur Tanpa
Dasar Karya Arifin C.Noer”.
36. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993
37. W.S, Hasannudin. Drama Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.
2009
38. Yoganingrum, Ambar, dkk. Merajut Makna: Penelitian
Kualitatif Bidang Perpustakaan dan Informasi.
Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri. 2009
39
Yunita. Skripsi berjudul; “Pandangan Hidup Tokoh Waska
dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes
Madun II Karya Arifin C.Noer dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah
40. Zamroni. Pengantar Pengembangan Teori Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga. 1992
Jakarta, 16 Oktober 2014
Pembimbing,
Rosida Erowati, M.Hum.
NIP. 197710302008012009
BIOGRAFI PENULIS
YUNIA RIA RAHAYU, lahir di Pekalongan 10 Juni 1992.
Penulis memulai pendidikan formalnya disebuah TK Pertiwi, Kwasen, Kesesi,
meskipun tidak selesai. Kemudian menyelesaikan pendidikan dasar di SD N Kwasen
01, lalu melanjutkan pendidikan menengahnya di SMP N 01 Kesesi. Setelah lulus, ia
kembali menempuh pendidikan di sekolah menengah atas MAN 1 Pekalongan, lulus
tahun 2010. Ditahun yang sama ia meneruskan belajarnya di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Anak pertama dari M. Komarudin dengan Sumirah ini tinggal bersama orang
tua tercinta di jalan Angsana 1 no. 7D, Gaplek, Pamulang Timur, Tangerang, Banten.
Sejak kecil penulis menyukai hal-hal yang bernuansa seni, terutama dibidang tari.
Semasa sekolah dasar penulis juga aktif mengikuti ajang pementasan tari bersama
kawan sepermainan dan mengikuti lomba vokal ditingkat SMP. Selama menjadi
mahasiswa, selain menjalani tugas sebagai mahasiswa, penulis juga aktif mengikuti
kegiatan organisasi seni kampus Pojok Seni Tarbiyah (POSTAR) dalam elemen
Lingkar Sastra Tarbiyah (LST). Untuk menyalurkan hobi seninya kini penulis
menjadi pelatih tari di SMP Dharma Karya, Pondok Cabe dan menjadi staf redaksi di
Bee Media (Pustaka Lebah).